Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Budaya Yogyakarta di Sekolah Dasar Anik Ghufron, C. Asri Budiningsih, Hidayati Email:
[email protected] Universitas Negeri Yogyakarta
ABSTRAK Salah satu persoalan krusial masyaarakat Yogyakarta yang menuntut segera adanya pemecahan yang tepat adalah persoalan pengikisan nilai-nilai budaya Yogyakarta. Anak lebih menyenangi produk budaya yang berasal dari Negara lain daripada menikmati produk budaya asli Yogyakarta. Apabila persoalan ini tak segera diatasi dimungkinkan generasi muda akan mengalami keterasingan budaya daripada pelestari nilai-nilai budaya bangsa. Sesungguhnya, pihak pemerintah telah berusaha untuk memecahkan persoalan ini dengan cara membuat kebijakan untuk pelestarian nilai-nilai budaya bangsa, khususnya melalui kegiatan pendidikan. Misalnya, pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menerbitkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomer 66 Tahun 2013 tentang Kurikulum Pendidikan Berbasis Budaya. Namun, di kalangan masyarakat Yogyakarta masih saja terjadi adanya tindakan-tindakan yang merongrong kedaulatan budaya Yogyakarta. Bagaimana cara yang efektif untuk mengoptimalkan usaha-usaha pemerintah dan masyarakat dalam kegiatan penanaman nilai-nilai budaya bangsa kepada generasi muda? Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menerapkan model-model pembelajaran yang relevan untuk optimalisasi penanaman nilai-nilai budaya Yogyakarta kepada peserta didik. Kata kunci: budaya Yogyakarta, model pembelajaran, sekolah dasar PENDAHULUAN Dalam beberapa kajian teori dan hasil penelitian pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan masih diyakini sebagai institusi pembentuk karakter bangsa (nation and character building). Di dalam kegiatan pendidikan terkandung transfer of values pengalaman belajar kepada peserta didik. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kegiatan pendidikan bagian dari proses budaya. Ki Hadjar Dewantara (Wagiran: 2009) mengatakan “pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak”. Banyak produk yang telah dihasilkan dari kegiatan pendidikan, baik yang bersifat hard skill maupun soft skill. Melalui kegiatan pendidikan, ummat manusia mampu mengembangkan pola kehidupan yang lebih baik, sejahtera, dan berperadaban. Tiada kehidupan tanpa ada aktivitas pendidikan. 54
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Namun demikian, seiring dengan capaian-capaian luar biasa dari bidang pendidikan juga secara simultan terjadi krisis moral, ketidakberadaban suatu bangsa dan masyarakat, dan pendangkalan nilai-nilai edukasi. Salah satu penyebabnya adalah pendidikan bukan lagi ditempatkan pada peran sebagai wahana pengembangan segenap potensi sumberdaya manusia, tetapi pendidikan lebih dipandang sebagai instrumen untuk menaikkan status sosial. Banyak warga masyarakat berpendidikan tinggi, tetapi perilakunya kurang mencerminkan perilaku terpelajar. Kegiatan pembelajaran yang terjadi di beberapa satuan pendidikan ditengarai telah gagal dalam mengantarkan peserta didik dalam proses transfer of value dalam konteks pembentukan karakter bangsa (nation character building), sebagaimana yang tercantum dalam kurikulum resmi. Hanya sedikit guru yang mampu mengembangkan dan melaksanakan pembelajaran untuk pembentukan karakter bangsa. Padahal, kegiatan pembelajaran merupakan faktor determinan bagi keberhasilan dan mutu lulusan. Mengapa masih ada guru yang belum mampu mengembangkan dan melaksanakan pembelajaran yang mampu memfasilitasi peserta didik tumbuh kembang nilai-nilai karakter bangsa? Salah satu sebabnya adalah referensi guru tentang model-model pembelajaran berbasis pendidikan karakter masih terbatas. Model-model pembelajaran yang digunakan guru masih sebatas pada model-model pembelajaran verbalistik. Akibatnya, pemahaman peserta didik kurang komprehensif dan tak menyentuh esensi moral yang berlaku di masyarakat. Kasus ini tidak hanya terjadi pada satu daerah atau masyarakat tertentu saja, tetapi sudah menggejala di seantero nusantara. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, kasus-kasus tersebut juga sudah ada tanda-tandanya. Sementara itu, agar bisa memenangi kompetisi di berbagai bidang kehidupan mensyaratkan tersedianya SDM cerdas, cendikia, dan bermoral. Kita menyadari bahwa Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan guru dalam penyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang lebih bermutu, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan model-model pembelajaran berbasis pendidikan karakter di sekolah. Misalnya, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta telah menerbitkan Peraturan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, nomer 5 tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan berbasis budaya. Namun demikian, hasilnya belum cukup menggembirakan.
55
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Bertitik tolak dari paparan di atas, penulis bermaksud melakukan kajian dengan fokus pada penerapan pembelajaran berbasis budaya Yogyakarta di sekolah dasar. Dengan demikian, rumusan masalah yang diajukan adalah “bagaimana menerapkan pembelajaran berbasis budaya Yogyakarta di sekolah dasar?”
PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA Adanya kebijakan untuk menerapkan kurikulum yang memuat pengembangan nilainilai karakter bangsa sebagai bekal kepada peserta didik agar mampu bersaing dengan bangsa lain menarik untuk ditindaklanjuti. Demikian pula, dengan adanya kebijakan tentang penerapan pembelajaran berbasis pendidikan karakter di sekolah semakin meyakinkan kita bahwa pembelajaran berbasis pendidikan karakter relevan diterapkan dalam sistem pendidikan nasional (sisdiknas). Walaupun harus diakui
masih ada
sekelompok orang yang meragukan efektivitas model pembelajaran berbasis pendidikan karakter dalam konteks reformasi pendidikan untuk mengembangkan SDM berkarakter bangsa Indonesia dan berkualitas yang siap berpikrah secara berjaya dalam dunia ipteks yang mengglobal. Apa
yang
dimaksud
dengan
pembelajaran
berbasis
budaya
Yogyakarta?
Jawabannya, pembelajaran berbasis budaya adalah model pembelajaran yang digunakan guru untuk memfasilitasi peserta didik dalam menguasai seperangkat rumusan kompetensi, dengan mengedepankan dan mengacu pada nilai-nilai budaya yang berlaku di masyarakat Yogyakarta. Dengan batasan yang demikian, para pengelola dan penyelenggara pembelajaran di sekolah perlu memahami nilai-nilai budaya, baik sebagai isi materi maupun pendekatan pembelajaran. Hal ini perlu dilakukan karena kesalahan atau perbedaan makna nilai-nilai budaya akan berpengaruh terhadap ketercapaian tujuan pendidikan nasional yang mengandung nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya apa saja yang perlu dijadikan bahan ajar dan pendekatan pembelajaran ? Berdasarkan Peraturan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, nomer 5 tahun 2011 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya, nilainilai budaya Yogyakarta memuat; nilai-nilai luhur (spiritual, personal – moral, sosial, dan nasionalisme Yogyakarta), artefak (sastram pertunjukan, lukis, busana, kriya, arsitektur, dan boga), dan adat (sosial – jati diri, ekonomo – walfare, dan politik – kekuasaan), yang
56
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
berkembang, berlaku, diakui, diyakini, dan disepakati untuk dilaksanakan oleh setiap warga masyarakat Yogyakarta. Nilai-nilai tersebut, menurut Endang Ekowarni (2010) tak lain adalah nilai-nilai luhur (supreme values) yang merupakan pedoman hidup (guiding principles) yang digunakan untuk mencapai derajat kemanusiaan yang lebih tinggi, hidup yang lebih bermanfaat, kedamaian dan kebahagiaan. Dalam konteks implementasi kurikulum yang berlaku di sekolah dasar, sesungguhnya, model pembelajaran berbasis budaya ini sangat relevan dipakai. Secara umum, kurikulum yang berlaku di sekolah dasar dikembangkan dan mengacu pada rumusan kompetensi lulusan memerlukan model implementasi kurikulum yang mampu memfasilitasi peserta didik dalam penguasaan kompetensi. Dalam pandangan Wina Sanjaya (2005: 81-82) pembelajaran dalam konteks kurikulum berbasis kompetensi perlu memperhatikan prinsip-prinsip; proses pembelajaran adalah membentuk kreasi lingkungan yang dapat membentuk atau mengubah struktur kognitif peserta didik, berhubungan dengan tipe pengetahuan yang harus dipelajari, dan harus melibatkan peran lingkungan sosial. Di sini, yang hendak diwujudkan adalah lulusan yang kompeten di bidangnya dan berkarakter bangsa. Ada beberapa ciri khas model pembelajaran berbasis budaya yang membedakan dengan model pembelajaran lainnya. Pertama, sasaran pembelajaran adalah peserta menguasai domain yang ada di dalam rumusan kompetensi dan nilai-nilai karakter yang terkandung di dalamnya. Kedua, aktivitas-aktivitas pembelajaran ditujukan untuk memfasilitasi peserta didik memperoleh kompetensi yang terumuskan dalam kurikulum yang berlaku, dengan tetap mengedepankan tindakan-tindakan pengembangan nilai-nilai karakter
bangsa. Ketiga, materi pembelajaran diorganisir secara terpadu (integrated)
dengan dimensi nilai-nilai karakter bangsa yang terkait. Keempat, lingkungan pembelajaran ditata secara alamiah. Artinya, peserta didik diberi kesempatan belajar untuk memperoleh pengalaman belajar nyata di masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur yang berkembang kemasyarakatan. Pengalaman nyata di masyarakat sangat efektif daripada pengetahuan instant yang berkembang dalam kelas yang serba terisolir.
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN NON DIREKTIF UNTUK PENANAMAN NILAI-NILAI BUDAYA
57
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Model pembelajaran non direktif karya Carl Rogers dari konsep nondirective counseling dapat diterapkan untuk penanaman nilai budaya Yogyakarta di sekolah dasar. Model pembelajaran ini memusatkan perhatian pada upaya memfasilitasi peserta didik dalam kegiatan belajarnya. Untuk itu, agar efektif maka guru diharapkan mampu berperan sebagai fasilitator dan membantu peserta didik memperoleh pengalaman belajar masingmasing sesuai keinginan peserta didik. Di sini, guru diminta untuk membantu peserta didik untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya yang terkait dengan tugas-tugas sekolah dan/atau kehidupannya sehari-hari, misalnya mengaplikasikan nilai-nilai budaya Yogyakarta. Model ini menciptakan suatu lingkungan belajar yang memudahkan peserta didik dan guru berinteraksi dalam kegiatan pembelajaran. Di samping itu, peserta didik juga dibantu untuk saling berbagi gagasan secara terbuka dan membangun komunikasi yang sehat. Model pembelajaran ini lebih fokus pada pengasuhan dan bimbingan terhadap peserta didik daripada mengontrol proses pembelajaran. Model pembelajaran ini menekankan pada pengembangan pembelajaran jangka panjang secara efektif dan pembentukan kepribadian yang mantap. Dalam pembelajaran ini, guru diharapkan lebih sabar dalam membimbing peserta didik dan memaksakan peserta didik dalam proses pemerolehan pengalaman belajar. Model pembelajaran non direktif bertujuan untuk membantu peserta didik mengekspresikan gagasan, perasaan, dan pola laku yang memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik, efektif, dan percaya diri. Peserta didik diarahkan untuk mengerti kebutuhan, menilai kebutuhan yang esensial, dan membuat keputusan sendiri secara efektif. Ada beberapa asumsi yang mendasari model pembelajaran non direktif, yaitu peserta didik adalah individu yang memiliki potensi utuh dan bisa dikembangkan secara optimal, lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi dan menentukan keberhasilan peserta didik dalam kegiatan belajar, dan interaksi harmonis antara guru dengan peserta didik perlu dibangun dalam proses pembelajaran.
58
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Bagaimana pola proses pembelajaran non direktif untuk penanaman nilai-nilai budaya? Model pembelajaran non direktif memiliki serangkaian tahapan pembelajaran sebagaimana tertera dalam tabel 1. berikut. Tabel 1. Urut-urutan Kegiatan Model Pembelajaran Non Direktif Tahapan kegiatan Tahap pertama: Menjelaskan situasi atau keadaan yang memerlukan pertolongan atau pemecahan Tahap kedua: Menelusuri masalah
Tahap ketiga: Mengembangkan wawasan
Tahap keempat: Merencanakan dan membuat keputusan
Tahap kelima: Keterpaduan
Bentuk kegiatan guru – peserta didik Guru mendorong peserta didik mengungkapkan perasaan (keresahan, rasa ketimpangan, penasaran) secara bebas. 1. Peserta didik didorong untuk menjabarkan (eksplorasi) dan menetapkan masalah. 2. Guru menerima dan mengapresiasi perasaan peserta didik. 1. Peserta didik mendiskusikan berbagai masalah. 2. Guru menyemangati peserta didik dalam berdiskusi. 1. Peserta didik merencanakan sejumlah pilihan pemecahan masalah. 2. Guru ikut memberi pertimbangan atas calon-calon solusi yang mungkin diambil peserta didik. 1. Peserta didik memperoleh pemahaman lebih mendalam dan mengembangkan tindakan yang lebih efektif (baik). 2. Guru menyemangati peserta didik dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan lanjutan.
Berdasarkan langkah-langkah pembelajaran di atas maka di samping guru sebagai fasilitator maka guru perlu berperan sebagai reflektor. Dengan demikian, walaupun peserta didik memperoleh kebebasan untuk mengekspresikan gagasan, perasaan, dan tindakan akan tetapi tetap perlu menjunjung dan memperhatikan kesantuan dalam beraktivitas. Jika peserta didik melakukan kesalahan tidak perlu ada sanksi atau hukuman, tetapi yang bersangkutan diberi arahan untuk tidak melakukan kesalahan tersebut. Selanjutnya, agar kegiatan pembelajaran non direktif terselenggara secara efektif diperlukan lingkungan, kultur akademik, sarana dan prasarana, serta ketersediaan waktu yang mendukung peserta didik mampu mengekspresikan gagasan, perasaan, dan tindakannya secara optimal. 59
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Model pembelajaran non direktif memiliki beberapa keunggulan, baik yang bersifat instructional effect maupun nurturant effect. Instructional effect, antara lain; (1) meningkatkan komunikasi terpadu, (2) mengembangkan pemahaman diri dan refleksi, dan (3) pengembangan diri. Sedangkan, nurturant effect, meliputi; (1) mengembangkan harga diri, (2) meningkatkan motivasi akademik dan sosial, dan (3) mengembangkan kapasitas dan prestasi belajar.
KESIMPULAN Berdasarkan paparan di atas dapat dikemukan beberap hal sebagai kesimpulan sebagai berikut. Pertama, untuk mengantisipasi proses pemudaran atau pengikisan nilainilai budaya Yogyakarta perlu dilakukan kegiatan penanaman nilai-nilai budaya Yogyakarta yang terintegrasi dalam setiap mata pelajaran yang relevan sesuai kurikulum yang berlaku. Kedua, model pembelajaran yang relevan digunakan untuk penanaman nilainilai budaya Yogyakarta adalah model pembelajaran non direktif dari Carl Rogers karena model pembelajaran ini memiliki keunggulan yaitu mampu memfasilitasi peserta didik mengerti kebutuhan, menilai kebutuhan yang esensial, dan membuat keputusan sendiri secara efektif.
DAFTAR RUJUKAN
Anonimous. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Jakarta: Depdiknas-Dirjen Dikdasmen. ____. 2005. Undang-undang Republik Indonesia Nomer 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Jakarta: Depdiknas. Endang Ekowarni. 2010. “Pengembangan nilai-nilai luhur budi pekerti sebagai karakter bangsa”. Diambil dari http://belanegarari.wordpress.com/2009/08/25/pengembangan-nilai-nilai-luhur-budipekerti-sebagai-karakter-bangsa, Pada tanggal tanggal 26 Maret 2010. Fakultas Ilmu Sosial. 2016. Dari karangmalang untuk pengembangan ilmu dan pembangunan bangsa: pemikiran para guru besar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial. Farida Hanum. 2012. “Pengembangan model peningkatan kultur akademik di lingkungan FIP UNY. Laporan penelitian. Yogyakarta: FIP – UNY.
60
Prosiding Seminar Nasional LP3M (Lembaga Pengembangan, Pembelajaran, dan penjaminan Mutu) Surabaya, 5 November 2016 Membangun Karakter untuk Memperkokoh Persatuan dan kesatuan Bangsa
Hasan, S.H,. 2000. “Pengembangan kurikulum berbasis masyarakat”. Makalah seminar nasional pengembangan program pendidikan berbasis kewilayahan menyongsong diterapkannya otonomi daerah, 31 Agustus 2000 di UPI, Bandung. Nur Rohmah Muktiani, dkk,. 2011. Mengembangkan media pembelajaran berbasis komputer untuk pembelajaran dasar gerak pencak silat di program studi PJKR FIK UNY. Laporan penelitian. Yogyakarta: FIK – UNY. Oliva. 1992. Developing the curriculum. (Third Edition). United States: HarperCollins Publishers. Peraturan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomer 5 tahun 2011 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomer 66 Tahun 2013 tentang Kurikulum Berbasis Budaya. Print, Murray. 1992. Curriculum development and design (second edition). Sidney: Allen & Unwin. Ornstein A.C,. & Hunkins F.P,. 2004. Curriculum: foundations, principles, and issues. Fourth edition. New York: Pearson education, Inc. Rogers. EM. 1995. Diffusion of innovations. Fourth edition. New York: The Free Press. Seller dan Miller. 1985. Curriculum; perspectives and practice. New York: Longman. Sukmadinata, N.S,. 1988. Prinsip dan landasan pengembangan kurikulum. Jakarta: P2LPTK Ditjen Dikti Depdikbud. Susetyo Hario Putero, Alexander Agung, dan Haryono Budi Santosa. 2009. “Pendidikan karakter bagi sumber daya manusia Dalam bidang teknologi nuklir”. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Program Studi Teknik Nuklir, Jurusan Teknik Fisika, Universitas Gadjah Mada. Wanda Chrisiana. 2005. “Upaya penerapan pendidikan karakter bagi mahasiswa: studi kasus di jurusan teknik industry UK Petra”. Artikel. Jurnal Teknik Industri Vol. 7. No. I. Juni 2005. Surabaya: Universitas Kristen Petra. Wina Sanjaya. 2005. Pembelajaran dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi. Jakarta: Prenada Media.
61