arwati mandengar suara itu. Dia yakin itu suara lelaki. Dan ketika dia berlompatan mendapatkannya, sungguh benar, yang heran dihadapannya adalah lelaki dengan bentuk kuda jantan. “Aku ke sini karena sudah kena kutuk oleh guruku?” kata Talago. “Maka sudah waktunya kau kubantu. Tapi kenalkan kepadaku siapa gurumu itu”, kata Ki Harwati dengan membujuk yang disertai jarinya yang meraba bulu dada Talago Biru. Anehnya, ketika dia akan menyebut nama Ki Pita Loka, ketika itu pulalah Talago menjadi seperti lupa, dan lidahnya pun kelu. “Jika sekarang kau tidak bersedia, nanti jika lelahmu telah kuakhiri tentu kau akan sudi menyebut namanya”, kata Harwati yang membawa masuk pemuda kekar itu ke dalam guha. KI PITA LOKA memang sedang disiapkan untuk menjadi seorang Guru yang sejati. Guru sejati adalah pendekar lahir dan batin yang dapat menangkap sepak terjang musuh tapi juga dapat mendengar bisik angin. Dan Guru yang sempurna karena dapat menangkap gerak ketiga yaitu gerak kosong. Kini, dalam semedi yang kusyuk sekarang ini, Ki Pita Loka dapat menangkap gerak kosong itu. Tak ada isyarat. Kecuali itu keyakinan akan sesuatu. Yang telah terjadi dan akan terjadi. Ia seperti berkata pada dirinya sendiri seketika musuh menangkap gerak kosong itu:Lima muridku diperangkap musuh. Kini satu lagi muridku diperangkap musuh. Namun ini bukan sebuah musibah kekeliruanku menafsirkan pertamakali, bahwa KitabTujuh yang kucari akan diwariskan pada 7 orang : aku dan enam muridku”. Setelah dia diam sejenak, lalu dia menafsirkan gerak kosong ini lagi: “Kenapa harus berdukacita kehilangan enam murid? Bukankah dengan memiliki satu buku sekarang ini, aku akan mewariskan enam buku lagi?” Pita Loka merasa matanya berat. Dalam duduk bersila itu dia sebenarnya sedang tidur. Tidur seperti manusia sedang mati duduk. Dan rupanya dia mendapatkan mimpi! Mimpi itu amat luar biasa. Dia melihat enam buah bintang jatuh pada sebuah bukit yang dia rasanya kenal. Dan keenam tahi bintang itu ditelan oleh seekor harimau yang punya garis bulu 41 bulatan. Lalu Ki Pita Loka terbangun.
Koleksi KANG ZUSI Malam sudah menjelang tibanya fajar meyingsing di ufuk timur. Pita Loka masih duduk bersila, memikirkan makna mimpi hebat itu. Lalu dia teringat seorang Guru penafsir mimpi yang jago. Dia adalah Guru Gumara. Rupanya ingatan pada Gumara inilah menuntun Ki Pita Loka untuk menafsirkan mimpi yang baru terjadi. Baru dia ingat. Bukit yang ada di mimpi itu adalah Bukit Kumayan. Kalau demikian: “Tafsir mimpi itu adalah, enam bintang jatuh diterima olah salah satu dari harimau-harimau Kumayan. Ki Pita Loka mencoba mempedalam tafsir mimpinya tadi. Bukankah itu berarti, aku harus merebut enam bintang itu dari jagoan Kumayan? Enam bintang itu pastilah enam dari tujuh Kitab Sakti itu, tentunya! Kini, tinggal lagi
bagaimana melaksanakan mimpi itu. Dibukanya Kitab Pertama yang telah menjadi miliknya sekarang. Dia membaca hurufhuruf kuno gundul tak bertanda. Tapi dia mengerti. Dan dia telah amalkan tiap tafsiran dalam Kitab itu, mulai dari pensucian diri, latihan gerak bayi dalam rahim ibu sampai gerak bayi keluar dari kandungan serta teriakan pertama. Penutup keterangan Kitab Pertama itu adalah kalimat yang hampir sulit terbaca saking kunonya; “Kitab Pertama ini harus diamalkan, dan dia disebut juga Kitab Asal. Apabila pemegang Kitab ini sudah menyempurnakan amalnya, maka dia mempunyai kewajiban yang akan diamalkannya berikutnya setelah melewati satu mimpi di waktu dini hari. Kini tergantung si Pemlik Kitab ini, apakah dia melakonkan tafsir mimpi itu dengan betul dan baik, sebab kesalahan langkah akan menjadi sebuah musibah”. Ki Pita Loka menutup Kitab Pertama itu. Dia kembali menggulungrya dengan bungkusan berupa kain kuning. Kitab itu sesuai dengan pesan, harus diikat sebagai ikat pinggang, di atas pusar. Setetah selesai semua, Ki Pita Loka mencoba memantapkan tafsiran mimpinya. Hati kecilnya berseru: “Kembalilah ke Kumayan, rebut enam kitab lainnya itu agar ilmu kau lengkap”. Dia lain menyempurnakan pakaiannya dan ikat rambutnya yang panjang. Setelah sempurna berdiri, Ki Pita Loka berkata pada tubuh gadis di hadapannya: “Terima kasih tujuh bidadari yang mengawalku ketika ngelmu. Aku akan meninggalkan kalian dan aku tidak perlu dikawal lagi”. Tujuh gadis yang samar dalam kabut subuh itu menghilang bagai menguapnya embun. Ketika ia siap meninggalkan Lembah Tujuh Bidadari itu, sekonyong hatinya gentar. Tubuhnya menggigil, bulu romanya merinding. Dan rasa takut pun muncul menggoda batin. Melalui pengalaman, dia mencoba mengusir godaan itu. Dan dia melangkah lebih tegap lagi. Tapi dia tidak menyadari, bahwa langkahnya dibuntuti. Andaikata dia mengetahui bahwa dia dibuntuti tentu dia akan berbalik, menghadapi orang yang membuntuti itu. Dan orang yang membuntuti itu kebetulan jaraknya agak jauh. Orang itu hanya melihat arah pintasan yang dituju Ki Pita Loka. Setelah orang itu yakin bahwa Pita Loka menuju Kumayan, orang itu mengambil jalan pintas.
Koleksi KANG ZUSI Ketika Ki Pita Loka melewati celah terowong Karakeling, dia sepertinya menjadi ragu. Dia merasa tak pernah melewati terowongan ini. KERAGUAN Ki Pita Loka rupanya diintai oleh dua orang pengintip. Dua orang ini pun rupanya sedang membuntuti Ki Pita Loka sejak keluar dari Lembah Tujuh Bidadari. “Bohong kamu bilang dia telah memiliki Kitab itu”. “Percayalah, bahkan aku melihatnya sendiri. Dibungkus dengan kain kuning, dan jatuh dari angkasa ke pangkuannya pada hari Rebo Legi. Aku berdosa jika aku mendustaimu. Lihat, dia duduk di batu itu”. “Mungkin dia kuatir tersesat”. Memang Ki Pita Loka kuatir akan tersesat. Pedoman baginya sudah tak ada lagi,
kecuali bintang. Letak desa Kumayan adalah pada ekor dari Bintang Bimasakti yang baru akan muncul menjelang tengah malam. “Sekarang saja kita rampas Kitab itu”, kata pengintip wanita itu„ yang tak lain adalah Ki Harwati. Dan pengintip pria, Talago Biru, kemudian meraih bahu Ki Harwati dan berbisik: “ Lihat, dia siap akan melanjutkan perjalanan”. “Sssst”, bisik Ki Harwati, “Dia justru mendengar suara kita. Telinganya amat tajam. setajam telinga burung.” Memang telinga Ki Pita Loka tajam. Dia mendengar seperti ada dua manusia bercakap-cakap di atas celah terowongan Karakeling. Dia mencoba memancing dangan mendehem. Lalu, terdengarlah suaranya yang menantang: “Siapa lagi di atas itu jika bukan musuhku?” Dan tantangan itu dipertegas lagi, bagai bunyi gemuruh: “Ayoh turun kamu singa betina Kumayan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu! Dan kau ... kuda jantan muda pengkhianat, kuharap kau turun juga!”. Ki Harwati menatap mata Talago Biru dengan tegang. Dia meraih bahu Talago Biru dan berbisik: “Dia tajam sekali. Begitu tajam sehingga dia mengenal diri kita masing-masing”. “Benar, Harwati. Ketajaman pendengaran adalah bagian dari kependekaran. Kau harus turun ke bawah. Jika tidak, aku yang naik ke atas”, terdengar ancaman itu begitu dahsyat.
Koleksi KANG ZUSI Harwati menghela lengan Talago Biru: “Ayohl” Talago Biru kecut seketika. Begitu Harwati menghela lengan Talago sekali lagi, mendadak sudah menancap di cabang pohon genuk itu ... dua kaki Ki Pita Loka kokoh berdiri, berkacak pinggang. Dalam sekelebatan dia sudah melayang dengan terjangan menghentak ke pinggang Ki Harwati. Tetapi ketika Ki Harwati akan jatuh, satu tungkai kaki Talago Biru membantu menghalangi. Namun tanpa diperkirakannya, Talago merasakan kepalanya terkena tamparan Ki Pita Loka. Dia terlempar kesamping, lalu cepat bergayut di dahan pohon, mengayunkan tubuh yang kemudian melayang menyerbu ke tubuh gurunya sendiri, yang sedang berkacak pinggang sehabis menendang Ki Harwati. Ki Pita Loka berbalik dengan tendangan membelakang mengenai pangkal leher Talago sementara tendangan satunya mengenai perut Ki Harwati yang barusan saja akan menerjang. Ki Harwati kena terjangan itu bagaikan terbang mundur, dan dengan seluruh perasaan marah ketika punggungnya menabrak pohon, dia meneriakkan kutukan: “Mampus kau digigit kalajengking!” Teriakan kutukan itu ampuh. Seratus mungkin dua ratus ekor kalajengking menghambur menuju tubuh Ki Pita
Loka. Tetapi ketika itu pula Ki Pita Loka sudah membuat “tutupan” yaitu kedua telapak tangannya dengan gerak perlahan silih banting bersilang. Dan seratus atau dua ratus ekor kalajengking itu merasa bagai menerjang bara api ketika menabrak telapak tangan Ki Pita Loka. Kesemuanya jatuh ke tanah sebagai bangkai - bangkai binatang yang mati hangus. “Demikian tinggi ilmumu, Ki Pita Loka”, ujar Ki Harwati setelah menyaksikan bangkai-bangkai kalajengkingnya yang mati hangus. “Aku akan belajar padamu,” ujar Ki Harwati. “Aku juga mohon ampun Ki Guru atas durhakaku menyalahi pelajaran. Terimalah kami berdua sebagai murid”, kata Talago Biru. Ki Pita Loka tenang. Dikira sedang mempertimbangkan. Tahu-tahunya dia bagai terbang menguakkan dua kaki, satu kaki menerjang bahu kiri Talago Biru, dan satunya lagi menendang bahu kanan Harwati. Dua-duanya jatuh ke samping dengan teriakan - teriakan mengerikan. “Tolong aku ... aku akan mati...!” Ki Pita Loka mendengar suara wanita di bawah tebing curam itu. Rupanya memang benar, dilihatnya Ki Harwati perutnya tertembus dahan runcing. Rasa kasihannya bangkit, dan dia cuma melakukan dua lompatan ke Koleksi KANG ZUSI kiri dan ke kanan, lalu tubuhnya menempel di dinding tebing di sebelah Harwati yang tersangkut di dahan runcing. Dengan darurat jempol tangannya dilekatkan ke langit-langit mulut, lalu diusapkan ke perut Harwati. MELIHAT kesungguhan Ki Pita Loka merawat Ki Harwati, Talago Biru sadar betapa besar jiwa pendekar itu. ia pernah mendengar ajaran Ki Pita Loka, bahwa seorang pendekar barulah berjiwa besar apabila dia tidak memancung kepala musuhnya yang sudah tak berdaya. Dan seseorang takkan bisa menjadi pendekar yang baik apabila dia tak bisa menahan nafsu, terutama nafsu kelamin. Inilah yang menginsyafkan seketika Talago Biru. Dia menghampiri pada guru yang dikhianati, dan mengulurkan tangan kiri untuk minta maaf. Ki Pita Loka menatap Talago seraya berkata: “Aku kasihan padamu. Sesungguhnya, aku ingin menukar lengan buntungmu itu dengan ilmu yang mesti kamu pelajari dengan prihatin, dan sabar. Seorang pendekar harus memiliki yang dua ini: prihatin dan sabar. Lihatlah orang ini ... “, lalu Ki Pita Loka menunjuk Ki Harwati “Dia pernah belajar pada saya di Guha Lebah. Saya mengajarkannya sungguh sungguh. Dia telah mendapat ilmu itu, dan karena ilmu itu bukan ilmu tempelan maka dia takkan hilang selama-lamanya sehingga ketika dia mau memerangi saya tadi bersama kamu, ilmu yang saya berikanlah yang dia pakai. Termasuk kau. Tapi pelajaran yang kalian dapat dariku belum selasai, jadi kalian takkan mungkin mengalahkanku”. Wajah keguruannya yang berwibawa tampak menelan dua bekas muridnya. Ki Pita Loka kemudian bertanya pada Ki Harwati dan Talago Biru: “Apa yang kalian cari? Kalau kalian berdua ingin mendapatkan Kitab Tujuh, ayoh ikut mengawalku. Tapi ingat, jangan ada di antara kalian yang berkhianat, sebab kalian akan celaka”. Dan di luar dugaan, Ki Harwati berkata: “Soal Kitab Tujuh, ini urusan tuan Guru. Saya tidak ingin ikut campur. Terserah pada Talago akan ikut mengawal pendekar besar ini. Tapi saya tidak ikut”.
Talago Biru menjadi bimbang. Dalam kebimbangan itu Ki Harwati cepat mengambil keputusan. Dia seret tangan Talago dengan merentak: “ Kamu ikut saya! “ Kebimbangan Talago Biru berakhir dengan ikutnya dia menjelang matahari terbit. Terbitnya matahari inilah yang memberi petunjuk kepada Ki Pita Loka mengenai peta Kumayan, desa yang akan di tuju. Kesabaran adalah modalnya. Bisa saja dia melangkah secepat kilat menerjang kiri dan kanan, tetapi tergesa-gesa bukanlah sifat seorang pendekar yang akan memetik kenaikan derajat. Celah Karakeling dia tinggalkan dengan langkah sebaliknya. Dibuatnya tubuhnya seringan mungkin, sehingga rumput - rumput sikejut yang mestinya tertutup jika terinjak, tetap mekar karena tiada terkena sentuhan telapak sang guru.
Koleksi KANG ZUSI Menjelang bukit kecil si Enam yang dinaikinya, Ki Pita Loka melihat tujuh buah bintik hitam. Karena bukit si Enam itu warnanya merah saga, maka bentuk bintik semakin jelas olehnya. Tujuh manusia. Makin dekat semakin jelas, Tujuh manusia itu buntung semua. Beberapa puluh langkah menjelang dia harus menjelang puncak bukit itu, terdengar ancaman dari atas: “Tujuh pendekar buntung meminta anda tidak melewati bukit ini”. Ki Pita Loka tetap melangkah ringan. Makin dekat semakin dirasanya dirinya lebih ringan dari kapas. Dan tahulah dia dalam sekejap mata, bahwa enam orang muridnya yang buntung kini sudah bergabung dengan Ki Dasa Laksana. Ki Pita Loka merasa perlunya berhatihati. Dan diluar dugaannya, muncul seorang dari sebelah bukit itu. Dia bertongkat Dan dia menyatakan siapa dirinya: “Aku, Ki Rotan, bergabung untuk melengkapi angka tujuh menjadi delapan”. Lalu muncul dua orang lain, yang tak lain Ki Harwati dan Talago Biru. Ki Dasa Laksana lalu berkata: “Dengan munculnya dua Pendekar di sampingku, kami seluruhnya menjadi sepuluh. Kami yang sepuluh inilah satu gabungan dalam namaku: Dasa Laksana, karena akulah pemilik Sepuluh Kitab Pendekar yang engkau takkan pernah tahu dan menyentuhnya”. Ki Pita Loka masih melangkah, perlahan sekali. Jika ada nasi bubur di permukaan tanah ketika itu, pastilah takkan tampak bekas telapak kaki Ki Pita Loka karena menginjak bubur itu. Apa yang dia perbuat seluruhnya seperti kosong. Tak di lihat lagi sepuluh lawannya ketika itu. “Gebrak!” perintah Ki Dasa Laksana yang serta merta diikuti dengan suara teriakan lantang bergemuruh bagai lompatan belalang. Ki Pita Loka menjatuhkan diri sebelum gebrakan serentak itu menyerodok tubuhnya, dan dia bergulingan bagai bantal guling. SEKETIKA itu juga angin ribut menerbangkan tanah merah saga bukit si Enam itu.
Ki Pita Loka sudah sampai di lembah bawah yang seluruhnyapadang rumput. Dia bangun dengan ringan, dan mendengar suara riuh di belakangnya ibarat riuhnya belalang menyerbu. Ki Pita Loka bangkit perlahan, menghirup nafas dalam-dalam dengan perlahan, lalu dia menyalurkan kekuatannya mulai dari ubun kepala sampai ke ujung telapak kaki kanan. Sentakan perlahan tapak kaki kanan kebelakang itu menciptakan angin menggebu yang menerkam sepuluh pendekar yang hanya tinggal dua puluh langkah lagi mendekatinya. Kesepuluh pendekar itu semuanya jumpalitan dengan lolongan suara yang mengerikan sekali.
Koleksi KANG ZUSI Ki Pita Loka sedikitpun tak menoleh ke belakang untuk menyaksikan kecelakaan yang menimpa lawan-lawannya. Dia berdiri lamban, lalu melangkah lamban di ataspadang rumput itu sampai ke kaki Bukit Kumayan. Bukit itu terletak di sebelah Barat desa itu, dibatasi oleh dua pancuran. Serasa ada yang membisiki Ki Pita Loka, agar senja itu dia mandi di Pancuran Mayang. Tapi dia kuatir ini semuanya godaan setan, ia tetap percaya pada pesan ayahnya, bahwa pancuran itu tabu untuk mandi bagi yang bukan pendekar yang lengkap kesaktiannya. Namun ketika dia melangkah ke kanan, kaki kirinya dirasanya berat. Dia seaka akan diwajibkan untuk membelok ke kiri, dan suara bisikan itu seakan semakin kuat untuk memerintahtahkannya mandi di Pancuran Mayang. Tapi ketetapan jiwa kependekarannya tidak mantap, sehingga kaki kiri mengalah pada kaki kanan. Dia meniti Pancuran Suri yang batu-batunya amat licin. Dan kemudian, tibalah Ki Pita Loka di seberang Bukit Kumayan yang bau menyannya sudah mulai menerpa hidung sebab pertukaran malam dan siang. Malam benderang datang. Bulan purnama penuh memanjat pohonan cemara yang dua di antaranya sudah buntung seperti kena penggal. Malam itu malam Kamis Wage yang bertepatan dengan malam kelahiran Pita Loka. Dia kini sedang berfikir, apakah akan pulang ke rumah lebih dulu menemui bapak? Ketika itu pulalah Ki Putih Kelabu yang sedang makan malam merasakan bau yang aneh. Bau tujuh macam kembang mayat. Dia tinggalkan santapannya. Dia membuka pintu ruang pendapo, dan alangkah kagetnya dia ketika dilihatnya yang muncul adalah Guru Gumara. “Hah, Guru!” Ki Putih Kelabu kaget Guru Gumara berpakaian putih, menatapnya tajam dan berkata: “Harap malam ini tuan guru tidak tidur. Karena saya baru saja dibangunkan oleh mimpi yang jarang terjadi?”. “Akan dibinasakanlah penduduk Kumayan?” tanya Ki Putih Kelabu. “Tidak, Tapi sebaiknya anda jangan turun tangan jika ada peristiwa yang terjadi”. Lalu Guru Gumara berlalu. Dia datangi Ki Ladang Ganda, dan diucapkan kata - kata yang sama, begitupun kepada guru-guru yang lain.
Seluruh Harimau Kumayan malam itu menjalankan tirakat. Sudah lewat dua jam dari tengah malam yang menegangkan, tak kedengaran satu suarapun yang mencurigai. Rupanya perintah itu dipatuhi oleh seluruh guru penjaga Kumayan karena rasa hormatnya mereka kepada wibawa yang dipancarkan sorot mata Gumara. Ketika itu Gumara sedang menggali sepetak tanah tak jauh dari Bukit Kumayan. Seluruh yang Koleksi KANG ZUSI dilakukannya persis seperti yang dialaminya pada mimpi. Dan ketika mata pacul terdengar meleduk, tahulah Gumara bahwa itulah papan kayu ruyung yang tahan rayap. Perlahan jari tangannya membersihkan permukaan papan ruyung itu. Dia mengumpulkan tenaga untuk menyibak susunan papan ruyung itu dengan hatihati. Tampaknya seluruhnya jadi begitu cepat Ki Pita Loka merasa waktunya tiba untuk meninggalkan tempat persembunyiannya di balik semak pohon kopi. Dia melihat orang yang membongkar tadi sudah pasti masuk ke dalam tanah. Dia hampiri tempat penggalian itu. Dia lihat susunan papan ruyung yang berada di samping lobang. Dan tanpa menanti waktu lagi, dia masuk ke dalam lobang. Hatihati dengan usaha peringatan tubuh sempurna. Kini peranan telinga sungguh diutamakannya. Dia mendengar ada benda yang digeser dan dibuka di tempat gelap itu. Dia mendengar ada lembaran-lembaran yang sedang dibuka. Tapi di dalamsana itu tak ada cahaya apalagi lampu! Siapa orang tadi? Pastilah orang itu sedang membaca Kitab yang Enam. Namun Ki Pita Loka tetap saja tidak mengetahui, bahwa orang yang di dalam itu adalah Guru Gumara. Kini Ki Pita Loka, yang merasa bahwa enam buah kitab itu adalah pelengkap dari Kitab Pertama yang dia miliki dan berada dalam sampul kain kuning di pinggangnya... melangkah ringan lagi untuk tarus masuk. SEMENTARA Ki Pita Loka merayap dalam gelap tanpa menimbulkan suara, Gumara meraba Kitab Ketujuh dengan jari-jarinya. Dia dapat membaca tulisan pada sampul kitab ketujuh itu, lewat cahaya yang muncul bagai neon kecil dari sepuluh kuku jarinya. “Kitab ini yang ketujuh yang berupa Kitab Perdamaian tapi perdamaian ini tidak sempurna sebelum engkau dapatkan Kitab Pertama. Jagalah kukumu yang tajam”. Baru Gumara bisa menghela nafas, karena sejak mendapatkan Enam Kitab dia terheran-heran karena seluruhnya bukan tujuh melainkan enam. Sesuai dengan pesan Kitab kedua yang pada kulit buku itu tertera kemestian membungkusnya kembali dengan kain kuning, maka Gumara melaksanakannya. Lalu keenam kitab itu dia ikatkan pada pinggangnya. Sebelum dia meninggalkan lubang bentuk guha di bawah Bukit Kumayan itu, dia sempat mencium peti tempat kitab itu yang terbuat dari tembaga dilarang membawanya. Semula dia begitu gembira dan mampu menahan kegembiraan itu. Semula dia akan menyelesaikan Tugasnya pada malam Kamis Wage itu dan akan merencanakan mencari Kitab Pertama pada malam Jum”at Kliwon besok. Semulanya memang begitu...
Koleksi KANG ZUSI Tapi begitu dia lihat sosok tak jelas di hadapannya, yang telah memasang kuda-
kuda tapi tak jelas siapa, Gumara menghentikan langkah. Dia melakukan puncak permainan kependekarannya, sebagaimana dia melayani tantangan Ki Karat. Dia cuma berdiri tegak dengan dua tangan melipat silang di dada, menghela nafas dalam, meringankan seluruh gerakan otot dan urat, sehingga seluruh perjalanan darah seakan-akan tak mempunyai getaran lagi. Getaran itu sudah terpusat pada permainan nafas. Dan seluruh gerak adalah nafas. Kedua tangan terlipat itu menghadap ke depan. Tapi ternyata begitu pula lawannya yang tak dikenalnya. Dia merasa lawannya cukup kuat, tarasa sekali ada getaran elektron yang mendorongnya agar bergeser dari tempat berdirinya. Gumara merasa yakin dirinya dapat menahan kiriman getaran elektron itu, dan dia. Berusaha agar tumitnya tak bergeser. Tapi tiba-tiba dia merasa tumitnya bergeser. Ini berarti kekuatan lawannya cukup tangguh dan mempunyai gaya yang sama. Keringatnya menetes. Keringatnya menetes lagi. Dan Ki Pita Loka juga sudah basah kuyup. Keringatnya pun menetes. Dia berusaha untuk mengetahui lawannya. Tapi wajah dan bentuk tubuhnya pun tak jelas. Dia terus bertahan dengan perang nafas. Jarak antara telapak tangannya dan telapak tangan Gumara sudah tinggal beberapa senti meter lagi. Apabila kedua telapak tangan ini sempat beradu, maka akan terciptalah malapetaka besar antara dua pendekar. Akan terdengarlah suara petir dan empat potong tangan pendekar ini akan buntung semuanya. Urat leher Gumara sudah kejang, begitupun Ki Pita Loka, dan kedua pendekar itu tidak dapat mengenali masing-masing. Bila dua-duanya mau memaksakan diri, maka akan celaka. Namun kedua-duanya pun tidak mau menahan diri, menjaga saja agar letak telapak tangan itu berhadap – hadapan saja, tanpa ada geseran. Empat Jam sudah pertarungan itu berlangsung. Cuma karena tadi malam ada bulan puurnama, pagi datang sepertinya lebih lambat. Karena seluruh desa Kumayan diliputi embun yang turun menyirami bumi. Sinar matahari tak dapat menembus embun tebal itu. Tapi memang tampak ada sepuluh bintik yang bergerak teratur menuju Bukit Kumayan itu. Satu di antaranya, Ki Harwati, berkata: “Kita telah tiba di Bukit Kumayan. Karena ini wilayah kekuasaan almarhum ayah saya, kalian yang sembilan orang menunggu di sini”. “Uu tidak bisa”, membantah Dasa Laksana, “Kita yang sepuluh ini berada di bawah panji keilmuan Kitab Sepuluh Dasa Laksana”.
Koleksi KANG ZUSI “Ki Harwati”. cegah Talago Biru, “Aku tidak suka anda membantah beliau”. Ki Harwati kali ini tunduk pada perintah Talago Biru. Dan berdasarkan petunjuk Dasa Laksana, maka sepuluh mereka itu semuanya diam di tempat melihat dulu keadaan. “Aneh, embun pekat baru sekali ini terjadi”“, kata Ki Harwati. “Apa tafsirannya?” tanya Ki Rotan. “Tentu ada sesuatu yang menyelimuti kita. Ini berarti sedang ada rahasia di sekitar Bukit Kumayan sakti ini”, kata Ki Harwati.
Apa yang sedang terjadi memanglah demikian. Perasaan Gumara ketika menahan letihnya telapak tangannya berhadapan dengan lawan, merasa lawannya semakin kabur. Dia tak menyadari, bahwa tirai embun menyelusup ke dalam guha itu. KI PITA LOKA pun agak heran. Lawannya malahan semakin lama semakin kabur, sehingga dia tak menyadari bahwa sebenarnya embun sudah memasuki guha itu. Pertempuran macam begini berbahaya. Jika sedikit saja tumit bergeser maka dorongan telapak tangan akan keluar dari poros getaran. Ya, yang sedang bertempur sebenarnya getaran nafas lawan getaran nafas. Dan Gumara tiba-tiba merasa bahwa ada dorongan kuat dari telapak tangan lawannya. Dia harus imbangi. Dia bergeser ke kanan sedikit, dan dengan serta merta jurus telapak tangannya berubah dan dia rasakan kukunya mencapai sasaran. Ki Pita Loka menahan nyeri di mata kanannya terkena kuku lawan, sehingga dia melakukan putaran tendangan lamban, yang sebenarnya amat kuat menghentak ke paha Gumara. Gumara menahan sakit sembari tersungkur dan dia merasakan sekali lagi tendangan lamban mengenai dadanya. Darah muncrat oleh tendangan lamban yang menggedebuk keras ke dadanya. Gumara bangkit lagi tetapi kakinya terkena serimpung, sehingga kini dia tahu bahwa lawannya adalah wanita. “Kamu itu Harwati?”“ tanya Gumara menduga adik tirinya. Pita Loka yang menyesal baru tahu lawannya adalah Guru Gumara, berusaha melarikan diri. Tetapi dia tersungkur kena serimpungan Gumara. Dia langsung merenggut rambut yang kebetulan kena sambernya, dan dia mau mencekik sambil berkata geram: “Kamu dilaknat ayahmul” Embun menyingkir cepat dan cahaya matahari melintas sekejap. Ketika itulah Gumara kaget melolot melihat orang yang digeramkannya itu ternyata Pita Loka. “Ki Pita Loka”“ serunya sedikit menyesal karena dilihatnya mata kanan Ki Pita Loka Koleksi KANG ZUSI terbeset jari kukunya dan luka. “Aku telah buta sebelah”. ujar Ki Pita Loka. Gumara begitu gugup berusaha mengambil lendir langit-langit mulutnya dan mencoba menggosok ke mata Pita Loka. “Percuma, Guru”. Rasa menyesal Gumara melebihi dari kecamuk cintanya yang berkobar-kobar pada Pita Loka. “Saya rasa kamulah yang pantas memiliki buku ini, karena saya baru saja melihat warna kuning yang membelit di pinggangmu”, ujar Gumara. Ki Pita Loka kaget. Gumara menyibakkan pakaian putihnya. Dan warna kuning yang membelit di pinggangnya itu semakin jelas oleh sorot cahaya matahari yang masuk ke celah lubang galian. Ketika Gumara akan mencopot kain kuning pembungkus enam buah kitab penemuannya itu, Ki Pita Loka mencegah: “Jangan tuan Guru. Anda yang harus memiliki Kitab Tujuh ini”. Ki Pita Loka akan melepas ikat pinggang kuning yang melapis Kitab Pertama yang terselip di pinggangnya, tetapi Ki Gumara menolak: “Aku baru.membuktikan
mimpiku. itupun sudah memuaskanku!” “Ada pesan dalam kitab-kirtab itu?” tanya Ki Pita Loka. “Ada. Pada Kitab Keenam ada pesan, bahwa aku harus menemukan Kitab Pertama sebelum hari Jum”at besok tiba. Dan pagi ini pagi Jum”at Kliwon. Dan kitab itu ada padamu”. “Tidak, Guru. Tidak! Saya tidak berhak mendapatkan Kitab Tujuh itu karena ilmu saya masih rendah. Lagi pula saya akan buta mata sebelah, selama-lamanya!” “Buta atau tidak butanya kau, sama saja buatku!” ucap Gumara, yang segera melepaskan ikat pinggang yang berisi enam buku itu. Pita Loka meronta, “Tidak, tidak!” Tanpa mereka sadari, Ki Harwati sudah mendengar seluruh perdebatan itu. Dia langsung bagaikan terbang ke bawah menyambar ikat panggang kuning yang membungkus buku enam kitab, begitupun Ki Dasa Laksana langsung mempreteli ikat pinggang kuning yang melilit di pinggang Ki Pita Loka. Namun Gumara tidak tinggal diam. Begitu Ki Rotan turun ke lubang dia sudah nanti Koleksi KANG ZUSI dengan terjangan membalik, sehingga tumit Gumara menghantam dagu Ki Rotan. Ki Rotan tak berdaya karena kepalanya melintir kebelakang dan tidak kembali lagi. Dia cuma meronta-ronta dalam keadaan sekarat. Ki Harwati berhasil membebaskan diri dari tendangan gading Ki Pita Loka. Dia akan lari, tetapi lengannya disambar oleh Gumara, sehingga ikat pinggang kuning itu kembali berada dalam tangan Gumara. Dasa Laksana sudah berlari jauh dengan kecepatan luar biasa melarikan ikat pinggang kuning berisi Kitab Pertama. Biarpun dalam keadaan mata sebelah. Ki Pita Loka menghambur meloncat keluar lubang, kakinya disamber Harwati namun berhasil jumpalitan. KI PITA LOKA dengan lari sekencang angin limbubu menerjang semua pohon yang merintanginya untuk mengejar terus Ki Dasa Laksana. Ki Dasa Laksana membalik dan merobohkan pohon pucung. Pohon itu meluncur cepat hendak menimpa Ki Pita Loka, tapi Pita Loka sudah terlebih dulu meloncat terbang yang justru meloncati pohon yang roboh itu. Bunyi berdembam bagaikan bom menggelegar keseluruh Kumayan. Begitulah besar pohon pucung yang roboh itu. Akar pohon itu sempat menyabet lengan buntung Dasa Laksana, tapi dia cepat mundur sembari memasang kuda-kuda ketika mendadak sontak Ki Pita Loka melakukan tendangan bangau merobek pipinya. Darah mengucur dari pipi Dasa Laksana, dan dia membalik ke samping seraya menungkaikan kakinya yang menyerobot tangan Ki Pita Loka. Ki Pita Loka tersungkur dan sebelumnya merobohkan pohon cemara yang ditabrak tubuhnya. Gumara melihat Ki Pita Loka dalam bahaya. Dia meloncati tubuh Harwati yang rupanya mau menghalanginya. Harwati mengejarnya, dan menjegalnya dengan memelintirkan tubuhnya sebanyak 36 kali putaran, sehingga Gumara harus mengakui
kegesitan itu dengan menyungkurkan diri dengan dua telapak tangan ke tanah tapi membuat salto putaran tujuh kali jungkir balik, yang pada akhirnya putaran salto terakhirnya menyempatkan telapak tumitnya menghantam leher Ki Dasa Laksana. Ketika dalam keadaan terpelanting itulah Ki Pita Loka sudah mencegat tubuh itu, lalu menangkapnya dan melemparkannya ke pohon jenggarang yang tegap. Tulang rusuknya keluar disertai teriak kesakitan. Kesempatan ini membuat Ki Pita Loka dengan ceat menerkam tubuhnya yang mandi darah itu. Dia lepaskan ikat pinggang kuning yang membelit pinggang Ki Dasa Laksana, yang kelihatannya merintih. Tulang rusuk itu masih nongol merobek isi perutnya, warnanya putih gading diseling oleh kucuran darah.
Koleksi KANG ZUSI Setumpuk rambutnya ternyata lengket pada kulit pohon jenggareng lepas dari kulit kepalanya. Gumara hanya diam, membiarkan Ki Pita Loka menyiksa Ki Dasa Laksana dengan tamparan mundar mandir dengan telapak kaki kanan. Rupanya Ki Pita Loka sudah puas melampiaskan kemarahannya, yang bukan sifat aslinya, karena kebutaan telah membuat dia kehilangan kontrol. Ki Harwati masih ingin meneruskan perang tanding itu, tetapi dia kehabisan nafas Gumara masih berdiri, dan matanya melihat bagaimana tujuh anak-anak muda buntung tangan pada melarikan diri satu demi satu. Ki Pita Loka akhirnya cukup puas dengan membentak Ki Dasa Laksana: “Pergi kau dari bumi Kumayan. Jangan kotori desaku dengan darahmu yang kotor itu !” Dengan satu tendangan tempelengan pada muka Ki Dasa Laksana, Ki Pita Loka mengangkat tubuh Ki Dasa Laksana kemudian memakinya: “Matilah kamu di desa Anggun sana, desa dari bajingan tengik!” “Begitukah kau memperlakukan ilmu kependekaranmu?” Ki Harwati dalam nafas sesak bertanya di bawah pohon ceremai padanya. Ini mengejutkan Ki Pita Loka. Dia sadar kini, bahwa apa yang telah diperbuatnya yang terakhir atas Ki Dasa Laksana memang tindakan di luar batas. “Jika kamu tersinggung karena tindakan kasarku kepada manusia binatang Dasa Laksana, mohon dimaafkan. Panca inderaku sekarang kurang satu. Kau lihat! Mataku! buta satu!”. Gumara merasa terkena sindiran itu dan segera menerkam tubuh Pita Loka lalu meluncurkan diri berlutut, bersembah: “Ampuni saya pewaris Ilmu Sakti Tertinggi !! Engkau begitu mulia, tapi apa daya saya tak sengaja mencolok matamu!” Ki Pita Loka menyerahkan ikat pinggang kuning berisi Kitab Satu itu kepada Gumara, yang masih berjongkok: “Kau, tuan Guru, adalah orang yang lebih berhak. Hidupmu hanya patut apabila didampingi Harwati, yang mestinya anda bimbing ke ilmu yang benar. Kekalahan saya bukan karena kekuatan otot maupun otaknya. Kekalahan saya hanya kalah bersaing dengan wanita yang penuh ambisi. Harap diketahui, sama sekali saya
tidak ada ambisi pada tuan, sebab tuan guru lebih mulia”. Ki Harwati baru menyadari siapa dirinya. Dia seharusnya mengakui kenyataan ini, apabila dia melihat begitu gencarnya langkah Gumara berlari mengejar Ki Pita Loka.
Koleksi KANG ZUSI Gumara terusmengejarnya sampai Ki Pita Loka memasuki rumah ayahnya, lalu menerkam pendekar tua Ki Putih Kelabu dengan kata-kata mengharukan: “Ayah, terimalah saya sebagai gadis biasa yang durhaka ini. Ayah, tolonglah mataku yang buta ini supaya bisa melihat lagi”. Sementara Harwati masih menangis tersedu di Bukit Kumayan, Gumara masuk dan berkata pada Ki Putih Kelabu: “Maafkan, kebutaan puteri tuan hanyalah karena kelancangan jari saya.” “Anda tentu dapat mengobatinya”, kata Ki Putih Kelabu. “Dengan sangat menyesal, saya tidak bisa mengobatinya. Tapi cacat Pita Loka menjadi tangung jawab saya..” “Jangan menghibur orang buta, tuan Guru”, kata Ki Pita Loka. “Aku bersumpah, jika perlu aku mati untuk menyembuhkan butamu itu, Ki Pita Loka”, ujar Gumara. Ki Harwati yang sudah berada di pekarangan rumah Ki Putih Kelabu, telah mendengar tiap ucapan Gumara. Tangisnya bertambah hebat dan dia tidak habis pikir mengapa cintanya pada kakak tiriya itu tidak pernah bisa punah dari hatinya.
TAMAT