Andry Moch. dan Seni Rupa Bandung Andry Mochamad (1977-2008) adalah salah seorang seniman muda yang penting dalam menandai seni rupa kontemporer di Bandung pada akhir 1990-an. Kontribusi karya-karyanya pada perkembangan estetika, genre seni hingga karakter individu kesenimanannya yang sederhana sekaligus unik dan khas membuat ia segera menonjol di tengah seniman-seniman segenerasinya. Sampai akhir hayatnya, karya-karya Andry memperlihatkan kecenderungan seni yang variatif. Ia tidak pernah, misalnya, bekerja dengan mematok garis linier atau terjebak pada satu pilihan ideologi seni tertentu maupun pada satu kosa seni tertentu. Sebaliknya karya-karyanya memperlihatkan visi yang sentrifugal di mana ia selalu cenderung keluar dari sekat-sekat kategori seni– sekalipun kemudian di sana-sini kita tetap bisa mengenali sejumlah terminologinya. Dengan proses kreatif tanpa beban itu, Andry leluasa keluar masuk disiplin seni. Karena itulah minatnya yang luas pada kerja kreatif membuat sosok Andry sulit dikenali secara utuh. Kenyataan seperti ini mungkin adalah risiko yang harus dijalani Andry. Namun demikian, dicermati dari sisi lain, kenyataan itu membuat sosok dan karyanya senantiasa menarik untuk dianalisis. Alih-alih konstan, Andry justru menyiratkan minat yang luas pada kemungkinan-kemungkinan penciptaan seni. Cirinya antara lain adalah bagaimana ia kemudian selalu berupaya mengeksplorasi batas-batas medium (transmedia): ia misalnya fasih menggunakan media video, menyutradai klip musik, membuat seni instalasi, seni obyek (benda temuan), performance art, mengerjakan lukisan, ilustrasi, sound art, site specific project hingga karya-karya seni yang memanifestasikan kecenderungan relational aesthetic. Oleh karena itu, ideologi seninya berayun ibarat pendulum dari dua kutub yang sesungguhnya saling berseberangan secara paradoks: dari seni pop yang nihilis hingga seni-seni untuk perubahan sosial yang kritikal; dari seni-seni tinggi hingga seni-seni berselera rendah yang kitschy – bahkan, kalau perlu diciptakan terma baru, barangkali itu adalah “seni-seni superkitch” - satu level di bawah kitsch. Not Fade Away Not Fade Away – judul pameran yang dipinjam dari salah satu judul lagu Buddy Holly dan Norman Petty yang kemudian menjadi hits debut The Rolling Stones – grup musik yang juga sangat digemari oleh Andry ini sengaja digunakan untuk merepresentasikan proyek pameran “retrospektif” karya-karyanya. Dengan judul pameran ini diharapkan tidak hanya mencerminkan loyalitas dan etos kerja artistik dari sisi Andry sendiri, tetapi juga bagaimana kawan-kawan segenerasinya ingin memberi arti pada sosoknya sebagai seniman dan seorang sahabat karib. Proyek pameran ini menampilkan bagaimana keragaman serta minat-minat Andry yang luas pada penciptaan seni yang dia kerjakan dari pelbagai periode. Dengan cara begitu, diharapkan kita kemudian bisa membaca jejak-jejak pemikiran seni maupun gagasan-gagasan artistiknya dan bagaimana itu semua berkontribusi pada praktik seni rupa kontemporer di Bandung. Selain itu, pameran ini dipandang sebagai proyek sejarah dengan menampilkan artefak-artefak seni, membangun metode pembacaan sejarahnya di dalam ruang galeri sekaligus sebagai suatu upaya untuk memaknainya. Tentu saja, pameran ini tidak bermaksud melampaui Andry sendiri,
1
tetapi lebih berkeinginan untuk menajamkan hasil-hasil kesenian yang telah ia capai semasa hidup; menempatkan figurnya pada konstelasi perkembangan seni rupa di Bandung. Paparan di bawah ini merupakan latar, atau uraian konteks yang diharapkan bisa memberikan gambaran bagaimana Andry sebagai seniman berkiprah di medan sosial seni rupa Bandung. Blupart! Akan selalu menarik menganalisa seni di tengah terjadinya krisis, baik itu krisis politik, sosial, ekonomi, moral, kemanusiaan, pendidikan. Karya-karya seni yang lahir pada situasi itu, umumnya, diciptakan oleh seniman yang kepribadiannya terpecah karena turut mengalami krisis. Hasilnya akan sangat mencengangkan. Sekalipun begitu terdapat kenyataan lain bahwa seni pada kondisi demikian mudah terjebak ke dalam stereotip, pengulangan dan tak jarang mengalami jalan buntu. Eforia pasca kejatuhan Presiden Soeharto pada 1998 ditandai dengan timbulnya krisis kepercayaan, tidak saja pada ranah politik, sosial, moral tetapi merambah pada ranah budaya dan seni. Tahun-tahun setelah kejatuhan itu, seniman mengevaluasi kembali kontribusi mereka pada perubahan. Tidak sedikit seniman yang menemukan kenyataan bahwa masyarakat sudah bisa menyuarakan keinginan-keinginannya bagi perubahan. Ekspresi-ekspresi politik masyarakat yang pada masa Orde Baru dibungkam, kini berubah secara drastis. Mereka menemukan keberanian untuk menyampaikan pendapat, mengarahkan kritik kepada pemerintah. Tahun-tahun pertama setelah kejatuhan adalah tahun-tahun ketika seni kehilangan daya kritisnya. Seni memasuki era baru yang gamang, ambigu dan menciptakan krisis kepercayaan di tengah kalangan seniman yang sebelumnya mewakilkan ekspresi-ekspresi politik masyarakat melalui karya seninya. Masyarakat, di mata seniman, bukan lagi sebuah “entitas beku” yang harus mereka bela sebab masyarakat sudah bisa membela dirinya sendiri. Sepanjang 1999 – 2001, dunia seni rupa mengalami masa transisi yang secara siknifikan melahirkan wajah serta kecenderungan baru dalam penciptaan seni. Seniman-seniman muda yang memulai debutnya pada akhir 1990-an berpikir ulang tentang perlutidaknya meneruskan “ideologi-ideologi kesenian” para pendahulunya. Ideologi kesenian itu terbagi ke dalam dua hal sebagai berikut: pertama, soal otonomi seni yang mengandaikan praktik seni untuk seni (sekalipun pada praktiknya, keyakinan terhadap ideologi ini tidak semurni yang kita bayangkan). Pada masa Orde Baru, ideologi tumbuh subur karena dipandang sejalan dengan proyek pembangunan nasional. Seni diyakini terpisah dari tema-tema yang menyentuh politik, sosial, moral dan agama. Seni-seni semacam ini mudah mendapat restu pemerintah sebab dipandang sejalan dan seirama dengan program pembangunan. Kritik-kritik sosial dalam seni sejauh mungkin dihindari. Seniman menjadi demikian jinak dan kerja artistik mereka seakanakan mengabdi pada persoalan-persoalan “estetika” semata. Tidak heran apabila kemudian mazhab estetik seperti formalisme tumbuh subur. Lukisan abstrak, abstrak figuratif dan beberapa langgam lainnya yang bersifat non-representasional lebih dinikmati oleh publik. Kedua, seni sebagai instrumen bagi perubahan, transformasi, kepedulian, aksi dan keadilan sosial. Sejumlah seniman yang memulai debutnya pada akhir 1980-an dan kemudian reputasi mereka mengemuka pada dekade 1990-an menempatkan dirinya sebagai “agen” sosial – agen perubahan. Tema-tema karya mereka banyak berisi kritik sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dalam beberapa kasus, seni diciptakan sebagai advokasi – pembelaan terhadap masyarakat yang termarjinalkan oleh arus pembangunan. Seniman-seniman ini melakukan aksi partisipatoris
2
terhadap kejadian nyata yang merkea jumpai sehari-hari. Mereka percaya bahwa seni harus mengandung visi-visi untuk perbaikan masyarakat dan negara. Menjelang dan setelah kejatuhan Soeharto, dua kutub ideologi bertemu di arena yang sama. Pada kubu pertama, terjadi krisis kepercayaan di aman seniman meragukan seni untuk seni. Bagi mereka ideologi ini merupakan ideologi yang terlampau mewah diterapkan pada konteks sosial pada masa itu dengan mengingat masyarakat didera oleh kemiskinan, kelaparan dan kekacauan sosial. Menjelang kejatuhan Soeharto, para penganut ideologi berbalik arah menjadi “seniman reformis” yang menjelmakan diri sebagai seniman yang kritis terhadap pemerintah. Sementara pada kubu lainnya, seniman menerima kenyataan bahwa masyarakat yang selama ini hadir dan dibela di karya-karya mereka telah berubah menjadi masyarakat yang kritis, beringas dan cenderung anarkis. Mereka kecewa menyaksikan kenyataan ini. Seniman yang tumbuh menjelang akhir 1990-an adalah generasi yang mengalami transisi dan mendapati kenyataan baru bahwa kedua ideologi itu sama-sama mengalami kebangkrutan. Masa transisi ini ditandai pula stagnasi pada bahas-bahasa ekspresi. Seni-seni yang diciptakan pada masa ini kehilangan “aura” politisnya. Sebab, pada saat bersamaan, media massa dan elektronik mengambil alih peran tersebut. Isu-isu dalam seni sudah didahului oleh media massa dan realitas sehari-hari. Seniman-seniman generasi akhir 1990-an ini memperlihatkan tanda-tanda untuk melampaui kemacetan kreativitas yang dialami oleh generasi sebelumnya. Di Bandung, reaksi-reaksi terhadap stagnasi tersebut muncul dalam bentuk yang beragam. Beberapa karya-karya seni yang diciptakan pada masa ini merepresentasikan mosi tidak percaya pada ideologi-ideologi seni sebelumnya. Mereka mengafirmasi diri sebagai seniman yang tidak ingin dikotakkan ke dalam dua kubu ideologi. Eksplorasi media maupun eksperimen visual bermunculan pada masa ini. Blupart! adalah representasi dari proyek eksperimen tersebut yang diimplementasikan ke dalam bentuk pameran pada 1999 di Bandung sekaligus reaksi atas kegamangan bersama yang melanda dunia seni rupa di tanahair. Blupart! dimulai dengan sebuah mekanisme yang terbilang unik. Sebelum pameran digelar, pada mulanya dia adalah gagasan-gagasan yang ditulis pada sebuah “jurnal” kampus. Selanjutnya, gagasan-gagasan itu disebarkan dalam bentuk penggalan halamanhalaman lepas – seolah dicomot dari sebuah buku utuh. Halaman-halaman itu difotokopi dan disebar ke sejumlah seniman muda. Kesan fiksi tentang Blupart! dikonstruksi sedemikian rupa seolah-olah Blupart! adalah sebuah gerakan seni yang benar-benar terjadi. Blupart! menawarkan anarki dalam seni, merayakan kenihilan nilai-nilai, pemberontakan pada segala hal aturan seni yang terbilang mapan, anti ideologi, anti romantisme, anti sosial, anti sejarah, anti estetika, anti akademi seni, sekaligus anti keburukan, penyampaian humor-humor gelap, kesia-siaan menjadi seniman, spontanitas, mengusung distopia, menolak segala hal yang serba jelas dan serba pasti serta serba-serbi lainnya. Dalam kondisi ini, secara transenden, Blupart! juga menolak “avantgardisme”. Di mata sejumlah seniman muda, Blupart! adalah pencerahan sekaligus penggelapan. Dia seolah memberikan janji-janji pada arah seni yang lebih baik; memberi janji pada kebebasan artistik; memberi ruang pada radikalisme dan anti seni, dan sebagainya. Tetapi, pada kenyataannya, Blupart! sesungguhnya menawarkan mimpi buruk karena sifat ketidakpastiannya. Rebel Art Without Cause Di Bandung, gagasan-gagasan untuk memberontak terhadap kemapanan paradigma seni sudah berlangsung cukup lama. Pada akhir 1990-an penolakan-penolakan tersebut menemukan
3
konteksnya. Arah pemberontakan tersebut bermuara pada: pertama, institusi seni. Institusi Seni Rupa-ITB dibayangkan sebagai representasi dari kemapanan ini dan tidak sedikit seniman yang menyasarkan kekecewaannya kepada institusi ini. Seni Rupa-ITB dinilai “konservatif”, kaku sekaligus mengurung peluang-peluang karir seniman hanya untuk civitas akademinya saja. Kedua, sasaran pemberontakan ditujukan pada satu individu seniman atau sekelompok seniman. Pada dekade 1980-an, melalui kiprah Semsar Siahaan – yang membakar patung gurunya, Sunaryo – pemberontakan dalam seni lebih merupakan konfrontasi pada konsepsi-konsepsi seni. Semsar, misalnya, menolak eksploitasi langgam tradisi (dalam patung-patung Sunaryo) hanya untuk kepentingan artistik seniman. Apa yang dilakukan oleh Semsar, sesungguhnya, mengarah pada sekelompok seniman lain (di luar Sunaryo) yang turut mengeksploitasi khazanah estetik tradisi/etnik. Pada akhir 1990-an, ruang pemberontakan kian menyusut seiring dengan melemahnya ideologi seni. Seniman-seniman muda pada masa ini menemukan kenyataan bahwa pemberontakan dalam seni hanyalah sebuah kecengengan dan usaha untuk mencari perhatian publik. Mereka kehilangan alasan untuk sebuah melakukan pemberontakan seni. Ketimbang memilih untuk bertindak heroik, mereka cenderung mencari kemungkinan-kemungkinan yang berkenaan dengan apakah suatu pemberontakan bisa dilakukan tanpa sebab-musabab, tanpa alasan, tanpa kepentingan? Bagaimanapun, kini sudah tidak ada lagi institusi seni maupun individu seniman yang harus dilawan. Satu-satunya yang tersisa untuk dilawan adalah diri sendiri. Potret-potret diri Agus Suwage yang lahir pada masa ini memperlihatkan tanda-tanda tersebut. Wajahnya muncul sebagai lelucon, ejekan, subyek yang ditertawakan, dikritisi tanpa bermaksud menggurui atau membebani orang lain. Praktik seni rupa pada masa transisi ini banyak berisikan penyangkalan dan pengabaian terhadap masa lalu dan seniman-seniman terdahulu. Mereka cenderung bersikap anti triumphalism – sikap atau keyakinan bahwa suatu doktrin tertentu, sistem sosial, politik, budaya, lebih unggul dan bersifat superior atas semua orang lain. Dengan sukacita mereka merayakan pembebasan diri dari narasi besar sejarah seni – masalah-masalah maupun warisan perjuangannya; berupaya memelihara ketidakpercayaan terutama terhadap segala hal yang terlihat mendominasi. Di mata mereka, seni cenderung didefinisikan oleh tindakan seorang seniman: seni adalah tentang "menjadi seorang seniman" lebih dari sekedar menciptakan "benda-benda seni". Dalam berkarya, “gaya” diutamakan di atas substansi, perayaan terhadap permukaan dilakukan secara lebih “mendalam”.
Pasca Kekongkretan: Seni Semudah “Memecah Telur Untuk Campuran Martabak” Di sini saya melampirkan kembali salah satu sub-judul yang pernah saya tulis untuk mengantar pameran tunggal Budi Adi Nugroho Mainan di Kubangan Tanda-tanda yang Berseliweran, Bersilangan, Berkembang Biak dalam Sekaleng Sup (2011). Bagi saya, sejumlah hal, terutama sekali yang terkait dengan terjadinya pergeseran paradigma seni pada era 1970-an masih cukup relevan untuk menilai sikap-sikap seniman yang berkiprah pada 20 tahun kemudian. Dalam Perspektif Baru, Sanento Yuliman mengamati gejala baru yang dia jumpai di kalangan senman muda. Menurutnya, seniman-seniman muda pada 1970-an bisa “mengambil jarak emosi antara dirinya dan proses pembuatan hasil seni bahkan pembuatannya dapat diserahkan kepada orang lain di bawah petunjuknya.” Maka dengan demikian, menurut Sanento, hasil seni bukan lagi “jiwa tampak” dalam konsepsi S. Sudjojono. Dalam konsepsi ini lukisan sebagai jiwa tampak
4
berarti bahwa lukisan terbentuk oleh sapuan kuas, coretan dan torehan yang merupakan rekaman gerak tangan pelukis, ibarat jarum seismograf yang peka, mencatat temperamen dan “greget” (gerak emosi) pelukis. Lukisan jadi perluasan tulisan tangan dan cap jari (pada patung tanah liat), pahatan (kayu) dan gerak kontur dan bidang, buatan tangan seniman yang peka. Dalam mengamati kecenderungan seniman-seniman muda, Sanento kemudian mengatakan bahwa “pencuri-pencuri muda zaman sekarang menggunakan bermacam teknik baru dan tidak meninggalkan bekas jari.” Seniman seperti Murtoyo Hartoyo, demikian Sanento, membuat seni ialah “main-main”, perbuatan biasa saja sama dengan memecah telur untuk campuran bikin martabak. Seniman ini membuat benda dari benda-benda. Yang kemudian bergeser adalah cara-cara seniman muda memperkenalkan pengalaman baru bertalian dengan “kekongkretan” atau “benda-benda sungguhan” yang terkadang bercampur dengan elemen-elemen lain yang “konvensional”. Jarak antara karya seni dan “benda sehari-hari” semakin menipis. Sanento mempertanyakan: “Apa makna urusan benda-benda ini dengan kekongkretan? Bukankah syarat bagi terjadinya “pengalaman kesenian”, “pengalaman artistik” atau “pengalaman estetik” justru terciptanya jarak dari kekongkretan, terciptanya disinterestedness (Immanuel Kant), Psychical Distance (Edward Bullough)?” Sanento menengarai bahwa seniman-seniman muda generasi 1970-an ini dibasuh oleh iklim sosio-psikologis yang berbeda dengan generasi-generasi terdahulu. Itulah sebabnya, mereka menyorongkan pengalaman yang melibatkan kehadiran tubuh serta lingkungan fisik di mana kita dan hasil seni itu berada. Suatu pelibatan baru dalam seni – kepada kehadiran kita yang kongkret, lingkungan kita yang kongkret, kepada kekongkretan pengalaman. Situasi ini bertolak dari keinginan untuk melihat sekitar, memungut benda-benda dari lingkungan sehari-hari, membuat konstruksi. Pengamatan Sanento terhadap kecenderungan seni-seni baru dekade 1970-an memperlihatkan terjadinya tegangan dalam seni modern Indonesia. Sekalipun demikian cukup sulit dilacak dari mana sumber energi pemberontakan itu berasal. Akan tetapi di Amerika, pada satu dekade sebelumnya, situasi seni memang tengah memfokuskan diri pada ide-ide seni minimalis dan pada arah yang lain mengarah pada lingkungan. Banyak jenis seni bermunculan di era ini seperti seni bumi, seni tanah, seni pop, seni kinetik hingga grafiti. Semua jenis seni ini menantang orang untuk menghubungkan pikiran-pikirannya dengan realitas dan lingkungan. Dan semua hal ini bertalian erat dengan bagaimana seniman mempertanyakan fungsi seni dan bagaimana seharusnya seniman memberikan kontribusi kepada masyarakat. Pada 1960-an ini pula, di Barat, orang mulai membicarakan istilah-istilah interdisiplin seperti “mixed media”, “intermedia”, “multimedia art”. Istilah-istilah ini sesungguhnya digunakan untuk mengidentifikasi jenis-jenis seni baru yang sulit ditempatkan ke dalam kategori tradisional seni lukis dan patung. Di Indonesia, prilaku seniman yang memungut benda-benda lalu memasukkannya ke dalam ruang pamer dan didaulat menjadi seni memang terjadi pada awal dekade 1970-an terlambat 10 tahun dengan Barat. Dalam Perspektif Baru, Sanento seperti menyadari kenyataan ini sehingga ia terlihat hati-hati di dalam melakukan penilaian. Semangat memberlakukan “benda temuan sebagai seni” ini terus berlangsung sampai akhir 1990-an.
Orang-orang/Benda-benda/Ruang-ruang Biasa: Seni yang Tidak Biasa
5
Generasi 1970-an membuka jalan bagi perdebatan institusional seni. Sekurangnya mereka memberikan kemudahan bagi seniman-seniman dikemudian hari dalam melakukan hal yang sama. Sekalipun begitu, tidak berarti bahwa permasalahan estetika ini selesai. Dia tetap saja menyisakan berbagai isu relevan di tanah air. Kasus pembakaran karya Tisna yang dikira “sampah” oleh Pemkot Bandung membuktikan betapa permasalahan ini masih akan terus mengemuka di kemudian hari. Bagaimana 'persepsi identik' dua benda (dua keping jengkol) pada saat yang sama “berbeda secara ontologis” (sekeping jengkol biasa, sementara yang satunya sebagai karya seni). Bagaimana benda-benda biasa berubah menjadi seni? Menjelang akhir 1990-an, karya-karya instalasi Tisna Sanjaya banyak memanfaatkan benda temuan. Jengkol, beras, nampan, kompor, daun pisang dan sebagainya hadir di ruang pameran dan disahkan sebagai “seni”. Akhir-akhir ini, Tisna bahkan memasukkan “onggokan sampah secara apa adanya” ke dalam galeri. Di luar isu lingkungan, sosial maupun politik, persoalan mendasar dalam analisis karya Tisna adalah soal-soal perubahan benda biasa menjadi seni. Pada kasus Handiwirman situasinya berbeda. Handiwirman “mencetak plastik-plastik sampah, ranting, dahan” sebagai sebuah obyek. Ia tidak secara langsung memungut sampah itu dari sungai lalu dimasukkan ke dalam galeri. Ia hanya meminjam “kode sampah”. Proses penciptaan karya-karya Wiyoga Muhardanto maupun Budi Adi Nugroho tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Handiwirman. Mereka semua meminjam “kode benda-benda biasa”. Sementara Tisna – ia menyikapinya sebagai benda kongkret. Yang berpindah hanyalah “konteks ruang”. Di Indonesia, dasar-dasar permasalahan ini dan bagaimana kemudian itu membentuk sebuah “pengertian” belum dielaborasi secara lebih jauh. Dalam Perspektif Baru, Sanento Yuliman sudah memperlihatkan bahwa benda-benda kongkret yang bertransfigurasi sebagai benda seni tidak terlepas dari “aura” seniman yang senantiasa menegakkan asas-asas seni mereka sendiri dan oleh karenanya mereka berhak mendefinisikan seni sesuai kemauan. Pada Tisna mekanisme pembaptisan benda-benda biasa menjadi benda seni bisa dilihat dari “aura” sang seniman. Generasi setelahnya lebih cendeurng memanfaatkan kode benda tersebut. Bagi Andry, berkarya seni adalah pekerjaan biasa, sesuatu yang relatif mudah dikerjakan. Ia menyikapi proses artistik dengan santai dan bersikap apa adanya, tidak dibuat-buat. Ia tidak perduli apakah karya seninya laku atau tidak. Sebab ia memang tidak melayani selera satu golongan tertentu. Ia justru sedang melayani “selera zaman 5 – 7 tahun ke depan”. Ia bukanlah tipe seniman-seniman muda Bandung yang dewasa ini beruntung dekat dengan pasar dan proses pengerjaan karyanya membutuhkan profesionalitas dan uang banyak. Dalam beberapa hal, Andry sesungguhnya masih melakukan strategi penciptaan seni ala generasi 1970-an dan senafas dengan Tisna. Tidak seperti Handiwirman, Wiyoga Muhardanto atau pun Budi Adi Nugroho misalnya, Andry tidak melakukan proses pencetakan kembali benda-benda biasa tersebut. Hampir seluruh karya instalasi, obyek temuan yang dikerjakan olehnya bermula dari bagaimana ia memungut benda-benda yang secara normal bukanlah seni. Setelah itu, ia memodifikasinya – dengan dukungan sejumlah komponen tambahan. Tak jarang bahkan proses modifikasi itu terjadi karena ia berproses di dalam ruang pameran. Dalam proses itulah, unsurunsur pendukung seperti suara atau musik seringkali terintegrasi ke dalam karya. Pada proyek Etnografi (2005) di Rumah Proses saat itu, Andry menyalurkan hobinya berburu benda-benda
6
unik atau yang ia nilai bersifat memorabilia. Benda seperti robot-robotan, misalnya, pada proyek ini ia susun di lantai dengan komposisi yang berganti-ganti. Ia bekerja secara “organik”, artinya tidak pernah terbayangkan sebelumnya bagaimana karya itu seharusnya terlihat. Ia lebih berpegang pada spontanitas, mood, saran-saran semasa proses berlangsung. Dalam beberapa hal, mungkin dengan analogi yang kurang persis sama dengan apa yang sudah ditunjukkan oleh Handiwirman atau Wiyoga Muhardanto. Dalam serial silk screen-nya, Andry banyak memungut kode-kode dari kebudayaan populer. Dari citraan figur pemusik (Gene Simmons, KISS) sampai pejuang revolusioner Che Guevara ia hadirkan kembali ke dalam “idiom seni lukis”. Citraan-citraan itu ia olah ke dalam sebuah situasi visual yang – tidak hanya mencerabut makna awalnya, tetapi juga dikesankan sebagai sebuah “ekosistem tanda” yang riuh. “Lukisan sablon” itu menunjukkan bagaimana citraan kehilangan makna. Yang sakral menjadi profan. Yang dalam menjadi dangkal. Akan tetapi, kita bisa menganalisa perkara ini dari sisi lain. Pilihan teknik sablon oleh Andry boleh jadi berpangkal pada keberpihakannya pada “seni-seni rendahan”. Di situ ia kemudian mentrasfigurasikannya sebagai “seni adiluhung” dan dirayakan di ruang-ruang seni yang bersifat afirmatif. Pada salah satu serial silk screen-nya tampak bagaimana Andry mengksplorasi gestural orang yang ia jumpai sehari-hari. Ia seperti melakukan studi antropologi. Tetapi, sifatnya yang suka mengumpulkan apa saja membuat ia seperti seorang etnografi. Andry tidak sepenuhnya percaya bahwa seni mampu merubah keadaan sosial. Akan tetapi, ia juga bukanlah tipe seniman yang serta merta menilai seni sebagai hanyalah aktivitas remeh temeh – di mana seni diciptakan atas asas coolness, semau gue, anything goes. Ia selalu berusaha keluar dari dua kubu yang mudah membuatnya terjebak dalam keharusan untuk memihak salah satunya. Sebab itu, ia lebih memilih berdiri di tengah-tengah dua kubu tersebut. Ia mencari cara-cara baru dalam seni yang tidak segera terjebak pada nihilisme maupun pada pandangan yang menempatkan seni sebagai instrumen perubahan sosial. Karena itulah, Andry bukan seorang yang fatalis – yang kehilangan makna hidup sebagaimana seniman posmodern yang kita kenal. Genre lukisannya yang lekat dengan langgam seni pop membuat orang sering mengira kalau Andry hanyalah seniman muda kebanyakan – yang asyik merayakan melulu kedangkalan. Pada kenyataannya, Andry lebih dalam dari itu. Ia masih menyimpang kepercayaan akan misi seni dalam membuat perubahan. Ia menyadari benar bahwa dirinya adalah agen budaya dan sosial. Mudah dijumpai bagaimana Andry banyak meminjam kode-kode budaya pop; mengolah citraannya; disajikan kembali ke dalam sebuah komposisi yang tidak hanya bersifat pastiche tetapi memperlihatkan pula jaring semiosis yang rumit. Semua kode-kode itu bertumpuk-tumpuk, bersilangan dan berkembang-biak menjadi makna-makna baru. Dengan “kesadaran” ini, Andry seakan-akan tengah merayakan kedangkalan untuk sebuah “perlawanan”. Inilah yang membuat sosoknya menjadi demikian bersegi – kalau tidak disebut multiparadoks: seperti Andy Warhol yang Marxis tetapi rajin beribadah.
Karya Terakhir Pada pameran Blupart! Andry menyertakan karyanya: sebuah botol berisikan benda-benda – seperti rempah-rempah. Beberapa teman dekatnya mengatakan bahwa ia sangat antusias dan
7
bersuka-cita terlibat di dalam proyek ini. Blupart! memberikan legalitas baru untuk berbuat apa saja dalam praktik seni dan pada saat itu. Saya yakin, Andry sangat menikmati Blupart!. Andry mewakili generasi seniman di masa transisi. Di hadapannya terbuka luas pelbagai kemungkinan dalam seni. Generasinya tinggal memilih sesuai dengan kemauan masing-masing. Generasi ini tidak hanya diwariskan kegamangan ideologi seni pasca kejatuhan Soeharto. Di luar itu, soal-soal yang berkenaan dengan penciptaan seni, bayang-bayang pemberontakan seniman generasi 1970-an hingga seni-seni kritis yang semarak menjelang akhir dekade 1990-an seluruhnya diterima sekaligus sebagai fragmen-fragmen sejarah. Ketika Andry berpulang, ia terlihat seperti belum merampungkan sejumlah hal: eksplorasieksplorasinya yang bertalian dengan seni bebunyian (sound art), video, organisasi VideoLab, dan bahkan pekerjaan melukis. Selain itu, ia juga belum melakukan pameran tunggal dalam ukuran “normal”, yaitu berpameran di ruang galeri yang lebih representatif. Karya-karya terakhirnya antara lain memperlihatkan Andry mengendarai motor Jialing kesayangannya berkeliling ke lokasi-lokasi khusus seperti Gedung Sate. Di samping jok belakang, tampak karangan bunga yang lazim dipakai untuk ucapan selamat dan duka cita. Di karangan bunga itu tertera kata-kata yang mengajak bangsa Indonesia bertaubat. Dalam rekaman video itu, Andry terlihat seperti menyiarkan moralitas, seperti pengkhutbah kontemporer yang mengabarkan pertanda buruk di masa depan. Dan karya itu juga seperti menguji batas-batas seni maupun batas-batas dirinya. Menjelang akhir hidupnya, ia menyiapkan kanvas-kanvas berukuran besar. Ia ingin melukis dengan serius dan berpameran tunggal. Ia seperti hendak berdamai dengan kehidupannya.
Aminudin TH Siregar Direktur Galeri Soemardja Kurator Pameran Not Fade Away
8