PERBANDINGAN KOMPONEN KIMIA RIMPANG TEMU HITAM (Curcuma aeruginosa Roxb.) DAN TEMU PUTIH (C. zedoaria) YANG TUMBUH DI INDONESIA DENGAN GAJUTSU (C. zedoaria) ASAL JEPANG COMPARISON OF CHEMICAL CONSTITUEN OF TEMU HITAM RHIZOME (Curcuma aeruginosa Roxb) AND TEMU PUTIH RHIZOMES (C. Zedoaria Roxb) GROWTH IN INDONESIA WITH GAJUTSU RHIZOME (C. Zedoaria) GROWTH IN JAPAN Andria Agusta Laboratorium Fitokimia, Bidang botani, Puslit Biologi-LIPI
ABSTRAK Studi perbandingan komponen kimia minyak atsiri dari rimpang temu hitam (Curcuma aeruginosa), temu putih (C. zedoaria) yang tumbuh di Indonesia dan gajutsu (C. zedoaria) yang tumbuhan di Jepang telah dilakukan dengan kombinasi teknik kromatografi gas dan spektrometri massa (GC-MS). Hasil analisis memperlihatkan bahwa komponen kimia minyak atsiri temu putih berbeda jauh dengan komponen kimia minyak atsiri gajutsu. Sedangkan komponen minyak atsiri temu hitam dan gajutsu memiliki komponen kimia yang identik. Kata Kunci: Zingiberaceae, C. aeruginosa, C. zedoaria, minyak atsiri, komponen kimia.
ABSTRACT A comparison of chemical components the essential oils from fresh rhizomes of temu putih (C. aeruginosa), temu putih (C. zedoaria) growth in Indonesia and gajutsu (C. zedoaria) growth in Japan have been done through GC-MS analysis. The results showed that chemical constituents of essential oil of temu putih is quite different compare with chemical constituents of essential oil of gajutsu. Furthermore, chemical constituents of essential oils of temu hitam and gajutsu are identical each other. Key Words: Zingiberaceae, Curcuma aeruginosa, Curcuma zedoaria, essential oil, chemical constituents.
Alamat Korespondensi : Andria Agusta Laboratorium Fitokimia, Bidang botani, Puslit Biologi-LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Science Center, Cibinong 16119 Telp. 0251-313929 E-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN Pada akhir tahun 1980an dan awal 1990an, pembicaraan mengenai khasiat C. zedoaria (temu putih) mulai hangat dibicarakan ditengah masyarakat Indonesia. Tidak hanya masyarakat awam, topik tentang khasiat dan kegunaan rimpang temu putih juga mendapat perhatian khusus oleh kaum akademisi dan praktisi peneliti. Rimpang dari tumbuhan ini dipercaya dapat digunakan untuk mengobati rematik/inflamasi (Yoshioka et al., 1998), hepatoprotektor, vasorelaksan, inhibitor produksi NO (Matsuda et al., 2001a; 2001b; 2001c) dan bahkan dilaporkan juga berisfat sebagai antikanker (Zang et al., 2007). Kejadian ini menyebabkan komoditi rimpang temu putih memiliki nilai jual yang meningkat tajam pada era tersebut, dan masih berlangsung sampai saat ini di Indonesia. Fenomena C. zedoaria sebagai bahan berkhasiat obat tersebut, tidak lepas dari laporan yang dipublikasikan oleh para peneliti di Jepang, China dan Korea. Namun data terakhir menyebutkan bahwa rimpang segar dari gajutsu (C. zedoaria) yang tumbuh di Jepang (Yakushima, sentra produksi gajutsu di Jepang) ternyata memiliki komponen kimia yang sangat berbeda dengan temu putih (C. zedoaria) asal Indonesia yang telah diaklimatisasi selama 3,5 tahun di Yakushima. Dan sungguh mengejutkan bahwa komponen kimia gajutsu tersebut identik dengan komponen kimia temu hitam (C. aeruginosa) asal Indonesia yang juga telah diaklimatisasi selama 3,5 di tempat yang sama (Kitamura et al., 2007). Melihat kenyataan tersebut, timbul suatu pertanyaan yang harus segera dijawab dan diklarifikasi lebih lanjut, yaitu apakah C. aeruginosa (temu hitam) yang tumbuh di Indonesia juga memiliki komponen kimia yang sama dengan C. aeruginosa yang telah diaklimatisasi di Yakushima (Jepang) dan gajutsu yang telah dilaporkan selama ini dengan nama C. zedoaria oleh para peneliti Jepang, China dan Korea. Salah satu karakter spesifik dari tumbuhan temu-temuan ini adalah sebagai penghasil minyak atsiri. Maka pada tulisan ini akan dipaparkan hasil analisis GC-MS minyak atsiri rimpang temu hitam dan temu putih yang tumbuh di Indonesia dan perbandingannya dengan minyak atsiri dari gajutsu asal Yakushima, Jepang. METODOLOGI PENELITIAN Bahan Rimpang temu hitam (C. aeruginosa) dan temu putih (C. zeodaira) di koleksi di Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Maret 2001. Identifikasi jenisnya di lakukan di Herbarium
Bogoriensis, Puslit Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor. Sedangkan minyak atsiri dari (ekstrak n-heksana) rimpang segar gajutsu diperoleh dari Prof. Dr. Hirotaka Shibuya, Faculty Pharmacy and Pharmaceutical Science, Fukuyama University, Jepang. Jalannya Penelitian Ekstraksi Minyak Atsiri Seberat 37,5 g rimpang segar temu hitam di potong kecil dan diekstraksi dengan 100 ml metanol pada temperatur 50 oC selama satu jam (3 kali). Ekstrak metanol kemudian di partisi dengan n-heksana sebanyak 3 kali dan dipekatkan dengan rotary evaporator pada temperatur ruang dan menghasilkan 0,29 g minyak atsiri. Proses ekstraksi yang sama juga dilakukan terhadap 40,1 g rimpang segar temu putih dan menghasilkan 0,37 g minyak atsiri. Analisis GC-MS Masing-masing 10 mg minyak atsiri dari rimpang temu hitam, temu putih dan gajutsu dilarutkan dalam 0,5 ml aseton. Kemudian masingmasing larutan ekstrak tersebut dianalisis dengan GC-MS (Shimadzu QP-5000) dengan menggunakan kolom kapiler GL Sciences TC-17 (0,25 mm x 30 m) volume injeksi 5 µl. Pada analisis ini suhu kolom diprogram dari 80 oC isothermal selama 3 menit, kemudian dinaikkan menjadi 150 oC dengan kecepatan kenaikan suhu 5 o C/menit, kemudian suhu dinaikkan lagi sampai 250 oC dengan kecepatan kenaikkan suhu 3 o C/menit. Pada suhu 250 oC suhu kolom dipertahankan selama 5 menit. Suhu injektor diprogram konstan pada 230 oC, interfase 250 oC dan Helium sebagai gas pembawa dengan kecepatan alir 1,3 ml/menit. Spektrum massa hasil analisis selanjutnya dibandingkan dengan spektrum massa pada database NIST dan senyawa standar yang diisolasi dari ekstrak n-heksana rimpang segar temu hitam dan gajutsu. HASIL DAN PEMBAHASAN Kromatogram hasil analisis GC-MS minyak atsiri dari rimpang segar temu hitam, temu putih dan gajutsu ditampilkan pada Gambar 1. Pada minyak atsiri temu hitam berhasil diidentifikasi sebanyak 26 komponen kimia, dan pada minyak atsiri temu putih hanya 20 komponen kimia. Sedangkan pada minyak atsiri gajutsu berhasil diidentifikasi sebanyak 27 komponen kimia (Tabel 1). Identifikasi komponen kimia ketiga jenis minyak atsiri tersebut dilakukan dengan cara membandingkannya dengan database
NIST library. Sedangkan untuk identifikasi senyawa furanodiena (16), kurzerenona (18), furanodienona (19), kurkumenol (21), dehidrokurdiona (22), furanogermenona (23), (4S,5S-(+)-germakrona 4,5-epoksida (24) dan zederona (27) diidentifikasi melalui teknik adisi dengan senyawa standar yang diisolasi dari minyak
atsiri rimpang segar gajutsu. Sedangkan kurkumafuranol (25) dan kurzeona (26) diidentifikasi dengan teknik adisi senyawa standar yang diisolasi dari rimpang segar temu hitam yang dikoleksi dari Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Agusta, dipersiapkan untuk publikasi)
A
B
C
Gambar 1. Total ion chromatogram (TIC) minyak atsiri temu hitam (A), temu putih (C).
gajutsu (B) dan
O
O
HO
O 19. furanodienona
18. kurzerenona
Gambar 2. Penataan ulang kurzerenona (18) dan furanodienona (19).
Pada kromatogram minyak atsiri ketiga jenis temutemuan tersebut terdapat dua komponen kimia, yaitu kurzerenona (18) dan furanodienona (19) yang membentuk satu puncak pada kromatogram hasil analisis GC-MS. Hal ini disebabkan karena terjadi penataan ulang pada struktur kimia senyawa tersebut akibat terpapar oleh suhu tinggi (Hikino et al., 1975) selama analisis GC-MS berlangsung seperti diilustrasikan pada Gambar 2. Pada minyak atsiri temu hitam dan gajutsu, kedua senyawa ini (18, 19) merupakan komponen utama di samping 1,8-sineol (6), kamfor (8), kurkumenol (21) dan (4S,5S-(+)-germakrona 4,5-epoksida (24). Sedangkan komponen utama pada minyak atsiri temu putih adalah kamfor (8), germakrena D (14), germakrona (20) dan furanogermenona (23). Dari hasil analisis tersebut jelas terlihat bahwa komponen minyak atsiri temu putih berbeda jauh dengan komponen kimia minyak atsiri gajutsu yang juga dilaporkan sebagai C. zedoaria oleh para peneliti dari Jepang, China dan Korea (Shibuya et al., 1986). Di pihak lain, komponen kimia minyak atsiri gajutsu justru identik dengan komponen kimia minyak atsiri rimpang temu hitam, kecuali senyawa dehidrokurdiona (22) yang tidak terdapat pada minyak atsiri temu hitam asal Jasinga. Namun senyawa dehidrokurdiona (22) ini malah ditemukan sebagai komponen kimia minyak atsiri temu hitam dari tumbuhan yang telah diaklimatisasi di Jepang selama 3,5 tahun (Kitamura et al., 2007). Perbedaan tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan faktor iklim dan lingkungan antara Indonesia dan Jepang yang menyebabkan tidak terbentuknya dehidrokurdiona (22) di dalam sel-sel tumbuhan temu hitam yang tumbuh di Indonesia.
Berdasarkan
fakta
tersebut,
senyawa
dehidrokurdiona (22) dapat dijadikan sebagai marker spesifik untuk minyak atsiri temu hitam yang berasal dari jepang, atau sebagai pembeda antara minyak atsiri temu hitam asal Indonesia dengan minyak atsiri gajutsu yang dilaporkan dengan nama C. zedoaria. Berdasarkan perbedaan komponen kimia minyak atsiri temu hitam, temu putih dan gajustu maka dapat diperkirakan adanya perbedaan jalur biosintesis senyawa terpenoid pada tumbuhan temu hitam dan gajutsu serta temu putih seperti terlihat pada Gambar 3. Senyawa germakrona (20) merupakan senyawa kunci pada perbedaan jalur biosintesis senyawa terpena pada tumbuhan tersebut. Pada temu hitam dan gajutsu, aktivitas enzim yang bertanggung jawab terhadap reaksi epoksidasi germakrona (20) menjadi (4S,5S)-(+)germakrona 4,5-epoksida (24) lebih dominan dibanding aktivitas enzim yang bertanggung jawab terhadap reaksi siklisasi germakrona (20) menjadi furanodiena (16). Sebagai akibatnya senyawa yang dibiosintesis selanjutnya dari (4S,5S)-(+)germakrona 4,5-epoksida (24) memiliki kandungan yang relatif lebih dominan pada minyak temu hitam dan gajutsu. Sebaliknya pada temu putih jalur biosintesis siklisasi germakrona (20) menjadi furanodiena (16) yang diikuti dengan reaksi epoksidasi menjadi furanogermenona (23) jauh lebih dominan. Bahkan jalur biosintesis melalui jalur reaksi epoksidasi menjadi (4S,5S)-(+)germakrona 4,5-epoksida (24) tidak terdeteksi sama sekali pada temu putih yang ditandai dengan tidak ditemuinya senyawa tersebut pada minyak atsiri temu putih.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini jelaslah bahwa komponen kimia minyak atsiri temu putih atau C. zedoaria yang tumbuh di Indonesia (Jasinga, Bogor) jauh berbeda dengan gajutsu yang juga disebut sebagai C. zedoaria yang tumbuh di Jepang. Sebaliknya minyak atsiri gajutsu memperlihatkan komponen kimia yang identik dengan temu hitam yang tumbuhan di Indonesia (Jasinga, Bogor). Untuk itu, jika penggunaan rimpang temu putih di Indonesia selama ini jika didasarkan khasiat C. zedoaria yang dilaporkan oleh peneliti Jepang, China dan Korea, maka hal tersebut adalah keliru. Ucapan terimakasih Diucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Hirotaka Shibuya, Natural Product Chemistry Laboratory, Faculty of Pharmacy and Pharmaceutical Science, Fukuyama University, Japan atas pemberian minyak atsiri (ekstrak nheksana) rimpang gajutsu. DAFTAR PUSTAKA Hikino, H., Konno, C., Agatsuma, K., Takemoto, T., Horibe, I., Tori, K., Ueyama, M. and Takeda, K., 1975, Sesquiterpenoids. Part XLVII. Structure, configuration, conformation, and thermal rearrangement of furanodienone, isofuranodienone, curzerenone, epicurzerenone, and pyrocurzerenone, sesquiterpenoids of Curcuma zedoaria, J. Chem. Soc., Perkin Trans. 1, 478-484. Kitamura, C., Nagoe, T., Prana, M.S., Agusta, A., Ohashi, K. and Shibuya, H., 2007, Comparison of Curcuma sp. in Yakushima with C. aeruginosa and C. zedoaria in Java by trnK gene sequence, RAPD pattern and essential oil component, J. Nat. Med., 61, 239-243. Makabe, H., Maru, N., Kuwabara, A., Kamo, T. And Hirota, M., 2006, Anti-inflamatory sesquiterpenes from Curcuma zedoaria. Nat. Prod. Res., 20, 680-685 Matsuda, H., Morikawa, T., Ninomiya, K., and Yoshikawa, M., 2001a, Absolute Stereostructure of Carabrane-Type Sesquiterpene and Vasorelaxant Active Sesquiterpenes from Zedoariae Rhizoma. Tetrahedron, 57, 8443-8453. Matsuda, H., Morikawa, T., Ninomiya, K., and Yoshikawa, M., 2001b, Absolute Stereostructures of Three New Carabrane-
Type Sesquiterpenes, Curcumenolactones A, B, and C. Bioorg, Med. Chem., 9, 909916. Matsuda, H., Morikawa, T., Toguchida, I., Ninomiya, K., and Yoshikawa, M., 2001c, Medicinal Foodstuffs. XXVIII. Inhibitor of nitric oxide production and new sesquiterpenes, zedoarofuran, 4epicurcumenol, neocurcumenol, gajutsulactone A and B, and zedoarolides A and B, from Zedoariae rhizome. Chem. Pharm. Bull., 49, 1558-1566. Shibuya, H., Yoshihara, M., Kitano, E., Nasagawa, M. and Kitagawa, I., 1986, Qualitative and quantitative analysis of essential oil constituents in various Zedoariae rhizoma (gajutsu) by means of gas liquid chromatography-mass spectrometry, Yakugaku Zasshi, 106. 212-216. Yoshioka, T., Fujii, E., Endo, M., Wada, K., Tokunaga, Y., Shiba, N., Hohsho, H., Shibuya, H. and Muraki, T., 1998, Antiinflammatory potency of dehydrocurdione, a zedoary-derived sesquiterpene. Inflamm. Res., 47, 476481. Zhang, HY., C.X. Hua, C.P. Liu b, H.F. Li, J.S. Wang, K.L. Yuan, J.W. Tang, G.W. Xu., 2007, Screening and analysis of bioactive compounds in traditional Chinese medicines using cell extract and gas chromatography–mass spectrometry. J. Pharm. Biomed. Anal., 43, 151–157.