ANCAMAN PIDANA PELAKU POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA TURKI DAN TUNISIA (TINJAUAN TEORI MASLAHAT MURSALAH)
Oleh: Edi Darmawijaya, S. Ag., M.Ag Abstract The threat of criminal (criminalization) towards perpetrators of polygamy in family law of the Islamic world namely Turkey and Tunisia, is one of the icons of family law in the Muslim world in this contemporary era. Although it is not found explicitly in the books of Fiqh, criminalization of polygamy itself-in the perspective of Islamic law – is acceptable, with reference to the theory framework of criminal domain of ta'zir in Islamic criminal law. Because Ulil amri-through-Siyasa syar'iyyah Action – outlines the reasons and terms the existence of criminalization of polygamy. Then, with reference to the benchmark in the domain of ta'zir, ulil amri has the authority to assign certain actions that are allowed or not prohibited by religion, e.g. polygamy (in this case), as criminal act and its criminal sanction. Family law of Turkey had done the criminalization of polygamy as well as family law of Tunisia.There are provisions that affirm that polygamy marriage is a criminal which can be threathened with confinement criminal, fines criminal or combination of confinement and fines criminal. Thus, countries Turkey and Tunisia have done a step progressive (point of departure) from the Islamic law-traditional (which is reflected in the books of Fiqh), as do the criminalisation of polygamy in the family law system that applies in each of those countries. Along with that, the issue of criminalization of polygamy in the family law legislation in the Islamic world can be seen already in line or not contrary to the Shariah. Absolute prohibition of polygamy and criminal threats to the culprit indeed can streamline the benefit for women and families. But completely closing the door of polygamy which has some benefit is the unwisdom action. For example, for the husband who eager to have a descent while his wife because, there is something she can’t give it to him is allowed to remarry than they should be divorced. Keywords: polygamy, criminal, family law
Latar Belakang Masalah Pemberlakuan ancaman pidana bagi pelaku poligami belum menjadi potret umum dari hukum/undang-undang yang berlaku di negara-negara Muslim, namun keberadaannya semakin dipertimbangkan dan tetap menjadi
91
Edi Darmawijaya Ancaman Pidana Pelaku Poligami Dalam Hukum Keluarga Turki dan Tunisia . . .
92
salah satu topik hangat masyarakat muslim dunia saat ini. Adalah menarik jika pemberlakuan ancaman pidana bagi pelaku poligami di Turki dan di Tunisia ditelaah lebih dekat, karena kedua negara ini termasuk yang paling tegas mencantumkan klausul ancaman pidana dalam hukum positif mereka. Diskusi ini melibatkan pendapat para ulama baik klasik dan kontemporer tentang poligami, kemudian dikaji dalam perspektif teori maslahat mursalah. Turki adalah negara pertama di dunia Islam yang memberlakukan larangan poligami dengan undang-undang civil Turki tahun 1926. Meskipun masih banyak kaum perempuan Turki yang dipoligami1 tetapi undang-undang ini paling tidak telah berhasil menurunkan angka poligami dan akibat negatifnya di negara tersebut. Ketentuan larangan poligami ini secara jelas terdapat dalam pasal 93, 112 dan 114 undang-undang civil Turki tahun 1926 yang mana ketentuannya pelanggar larangan poligami dapat dijatuhi 2 hukuman. Ketentuan yang melarang poligami di Tunisia diatur dalam UndangUndang Status Perorangan (The Code of Personal Status) tahun 1956 pasal 18. Dalam pasal ini dinyatakan dengan tegas bahwa siapa saja yang menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir dalam bentuk apapun dan dengan alasan apapun maka ia dapat dipenjara selama 1 tahun atau denda 240.000 malim (24.000 franc), atau penjara sekaligus denda.3 Ada dua alasan mengapa poligami dilarang. Pertama, poligami dinyatakan sebagai bagian dari perbudakan yang diterima dalam Islam pada masa perkembangan namun dilarang setelah masyarakat semakin berbudaya. Kedua, bahwa syarat mutlak poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi SAW yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya. Kedua pertimbangan ini bertumpu pada asas maslahah mursalah atau maqashid al-syari’ah. Ada dua permasalahan yang patut menjadi fokus perhatian dalam artikel ini, yaitu: 1. Bagaimana pandangan hukum Islam (pendapat ulama Islam) tentang ancaman pidana pelaku poligami (larangan poligami)? 2. Apa tujuan yang hendak dicapai dalam pemberlakuan ancaman pidana bagi pelaku poligami di dalam hukum keluarga Turki dan Tunisia? 1
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/187-000-wanita-turki-hidup-dalam- pernika han-poligami.htm 2 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis), (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), hlm. 273 3 J.N.D. Anderson, Law Reform in The Modern World, (London: Anthone Press, , 1967), hlm. 156
Edi Darmawijaya Ancaman Pidana Pelaku Poligami Dalam Hukum Keluarga Turki dan Tunisia . . .
93
Kajian Pustaka dan Kerangka Teoritis Sejumlah penelitian telah dilakukan para pakar di negara-negara yang telah melakukan reformasi keluarga tersebut, baik penelitian yang menekankan aspek perbandingan antara konsep tradisional dan konsep kontemporer, antara satu negara dan negara lain, maupun studi yang menekankan status poligami dalam hukum keluarga tersebut. Adapun nama-nama yang telah melakukan penelitian dalam bidang hukum keluarga Islam Kontemporer, diantaranya ialah J.N.D. Anderson, Noel J. Coulson, Tahir Mahmood, Madjid Khadduri, Fazlur Rahman, John L. Esposito, Rubya Mehdi, Dawoud El Alami, dan David Pearl, Sudirman Tebba, Khairuddin Nasution, Muhammad Atho‟ Mudzhar, dan Muhammad Amin Suma. Akan tetapi, persoalan kriminalisasi poligami belum menjadi fokus penelitian mereka. Bagaimanapun, penelitian mereka tentu memberikan kontribusi pemikiran yang signifikan bagi penelitian lain yang sejenis, terutama studi tentang kriminalisasi poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam Sejumlah nash poligami yang terdapat dalam al-Qur‟an dan Hadis adalah (a) Q.s. al-Nisâ‟/4:1; (b) Q.s. al-Nisâ‟/4:2;(c) Q.s. al-Nisâ‟/4:3; (d) Q.s. al-Nisâ‟/4:129; dan Hadis Nabi berikut ini : (1) Hadis yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi : inti hadits ini Nabi SAW memerintahkan salah seorang sahabatnya untuk memilih empat orang saja sebagai isteri dari sepuluh isteri yang dimilikinya. (2) Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri : perintah Nabi SAW kepada para pemuda untuk mengendalikan hawa nafsu biologisnya dengan berpuasa. (3) Hadis yang juga juga diriwayatkan oleh al-Turmudzi : hadits ini menunjukkan keadilan yang bersifat pisik material Nabi SAW terhadap para isteri Beliau SAW. Dari nash-nash tentang poligami di atas dapat diketahui tujuan pokok kebolehan poligami adalah untuk menyelesaikan permasalahan, bukan pemenuhan kebutuhan seksual. Karena itu, jelas nash poligami itu termasuk kelompok nash kasuistik yang temporal untuk menuntaskan masalah yang ada ketika itu. Dan latar belakang makro ayat, yakni praktek Arab pra-Islam, adalah adanya praktik poligami tanpa batas. Karena itu, adanya batasan maksimal empat merupakan pembaruan yang luar biasa oleh Islam. Dalam kaitannya dengan hukum Islam, ancaman pidana merupakan salah satu doktrin hukum pidana Islam. Tentunya, ada perbedaan-di samping persamaan-antara konsep pemidanaan versi hukum pidana Islam dengan yang dimiliki hukum konvensional. Konsep pemidanaan Islam tentu merujuk kepada sumber-sumber otoritatif hukum Islam, diantaranya yakni al-Qur‟an, Hadis, Ijmâ‟, Qiyâs, Maslahah Mursalah, „Urf, dan Sadd al-Dzarî‟ah. Secara doktriner, hukum pidana Islam mengenal tiga jenis tindak pidana, yaitu tindak pidana hudûd, tindak pidana qisâs/diyât, dan tindak pidana
Edi Darmawijaya Ancaman Pidana Pelaku Poligami Dalam Hukum Keluarga Turki dan Tunisia . . .
94
ta„zîr. Kategorisasi ini mengacu kepada jenis sanksi yang ditetapkan atas suatu perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan pidana. Sejarah Poligami Istilah poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu poly atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin/perkawinan. Sementara dalam bahasa Arab istilah poligami sering disebut ta’addud alzaujat. Poligami adalah pernikahan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang wanita dalam waktu bersamaan. Sebaliknya perkawinan seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki disebut poliandri. 4 Dalam beberapa tulisan ada yang menyebut poligami dengan istilah poligini. Kedua istilah tersebut sebenarnya mempunyai kaitan erat dengan pernikahan lebih dari satu orang. Poligami merupakan hal yang biasa dilakukan oleh semua bangsabangsa di Barat dan Timur jauh sebelum Islam datang. Dengan didukung legitimasi raja-raja yang melembagakan pernikahan dengan lebih dari satu orang isteri, maka poligami menjadi suatu yang lumrah dalam kehidupan. 5 Adanya bentuk perkawinan tersebut sebagai akibat rendahnya martabat dari perbudakan yang dialami oleh perempuan. Gambaran tentang beberapa tradisi yang menjadikan poligami suatu kebiasaan dapat digambarkan sebagai berikut. Dalam agama Hindu, poligami dilakukan sejak zaman bahari. Seperti yang dilakukan oleh beberapa bangsa lain, poligami yang berlaku dalam agama Hindu tidak mengenal batasan tertentu mengenai jumlah perempuan yang dinikahi. Bahkan seorang Brahma yang berkasta tinggi sampai sekarang boleh mengawini siapapun yang disukainya tanpa adanya pembatasan.6 Hal tersebut juga membudaya dan melembaga pada masyarakat Israel sebelum datangnya Nabi Musa As. Kebiasaan perkawinan tersebut kemudian diupayakan oleh Talmud di Yerussalem untuk dihapuskan. Seorang suami hanya boleh mengawini perempuan sebatas kemampuannya dalam menjaga dan merawatnya dengan baik. Namun, usaha tersebut nampaknya gagal karena ada sekolompok masyarakat Yahudi pada waktu itu tidak mengakui adanya pembatasan tersebut. 7 Sementara dalam tradisi lain, seorang yang memiliki lebih dari seorang isteri akan diberi hadiah. Kebiasaan tersebut terjadi pada orang Persi.8
4
Lihat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Indonesia, edisi II (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm., 779. 5 Syed Amir Ali, The Spirit of ..., hlm. 223. 6 Ibid. 7 Ibid. 8 Ibid.
Edi Darmawijaya Ancaman Pidana Pelaku Poligami Dalam Hukum Keluarga Turki dan Tunisia . . .
95
Pada peradaban lain yang cukup dikenal berbudaya tinggi seperti di Athena, Yunani, seorang perempuan tak ubahnya seperti binatang yang dapat diperjualbelikan kepada orang lain, bahkan bisa diwariskan layaknya sebuah harta atau benda. Laki-laki dapat mengawini sebanyak mungkin perempuan yang disukainya. Sebaliknya, di Sparta laki-laki tidak boleh menikahi lebih dari seorang perempuan dan hanya dalam kondisi tertentu saja hal itu dibolehkan. Hanya saja, para perempuan boleh mengawini laki-laki sesukanya. 9 Dengan demikian di kalangan kaum Sparta membudaya poliandri. Agama Yahudi memperbolehkan poligami dengan tanpat batasan tertentu. Dalam tradisi Kristen, poligami dijalankan sampai adanya aturan Yustinus. Kebiasaan sebelumnya ada aturan khusus yang membahas poligami. Namun, aturan itu tidak diindahkan oleh umatnya sampai akhirnya perbuatan mereka tersebut dikutuk oleh masyarakat modern. 10 Para perempuan yang dimadu kecuali isteri pertama, selalu dihantui dengan ketidakpastian. Mereka tidak mempunyai hak dan jaminan tertentu yang menguntungkan seperti layaknya yang diberikan untuk isteri pertama.11 Dengan demikian tampak jelas ada diskriminasi perlakuan antara isteri pertama dengan lainnya. Sebelum Islam datang bangsa Arab sangat mendiskriminasi dan memarginalkan perempuan. Sosok perempuan dianggap sebagai aib dan oleh karenanya sejak dini perempuan dimusnahkan dengan cara dikubur hiduphidup. Suku-suku Arab yang sering merendahkan perempuan ini adalah suku Quraisy dan Kinda. 12 Islam datang untuk mengangkat hak dan martabat perempuan dengan meniadakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Usaha mulia ini sesuai dengan tindakan Rasulullah SAW dalam membentuk dan membina umat Islam. Menghormati perempuan merupakan ajaran Islam yang asasi. Sebagai bukti, di zaman Rasulullah SAW banyak perempuan yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan publik seperti dalam bidang pertanian dan peternakan.13 Poligami Masa Nabi SAW Islam pada dasarnya membolehkan poligami berdasarkan firmanNya:“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan 9
Alfatih Suryadilaga, Sejarah Polgami dalam Islam, dalam "Musawa",Jurnal Studi Gender dan Islam, Yogyakarta: Pusat Studi Wanita IAIN Sunan Kalijaga, Maret 2002 Vol.1 No.1, hlm 4 10 Mustafa al-Siba'i, Al-Mar`ah Bain al-Fiqh wa al-Qanun (Mesir: Nasr wa al-Tauzi' al-Maktabat ''Arabiyah bin al-Halb, t.th), hlm. 89 11 Syed Amir Ali, The Spirit of ..., hlm. 225. 12 Ibid., hlm. 228. 13 Afzalur Rahman, "Ensiklopedi Peranan Perempuan dalam Islam", terj. Zalihah Ahmad et.al., (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1994), hlm. 386-390.
96
Edi Darmawijaya Ancaman Pidana Pelaku Poligami Dalam Hukum Keluarga Turki dan Tunisia . . .
(yatim), maka kawinilah apa yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain): duadua, tiga-tiga atau empat-empat. Lalu, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. AnNisâ‟[4}: 3 ). Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi pada ayat di atas: Pertama, ayat ini tidak membuat peraturan baru tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama dan adat istiadat masyarakat. Ia tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkannya. Ia, hanya berbicara tentang bolehnya poligami bagi orang-orang dengan kondisi tertentu. Itu pun diakhiri dengan anjuran untuk ber-monogami dengan firmanNya: “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi pada masa sebelum Islam tidak serta merta dapat dihapuskan oleh Islam. Penghapusan suatu perbuatan yang dilarang oleh agama biasanya dilakukan secara bertahap (gradual) sesuai dengan kemampuan masyarakat muslim yang menerimanya. Sebagai contoh, masalah pelarangan minuman keras seperti Khamar. Setidaknya ada empat ayat al-Qur`an yang berkenaan dengan pelarangan tersebut. 14 Demikian juga tentang poligami, ada ayat yang membolehkan dan ada yat-ayat yang memberikan kebolehan berpoligami dengan pemeliharaan anak yatim. Dengan demikian, poligami menjadi sesuatu yang sulit jika diterapkan pada masyarakat Islam secara luas. Jika Surat al-Nisa ayat 3 di atas ditelusuri lebih mendalam, latar belakang historis diturunkannya ayat tersebut adalah berkenaan dengan harta anak yatim. 15 Mereka yang mengayomi anak yatim dan mengurusi hartanya diingatkan Allah SWT., jika ingin mengawini anak asuhnya yang yatim maka hendaknya dengan iktikad yang baik serta adil. Hal ini terutama berkaitan dengan pemberian mahar dan hak-hak lainnya terhadap perempuan yatim yang dinikahinya. Wali tidak boleh mengawininya hanya dengan tujuan ingin mengambil hartanya maupun menghalang-halangi seorang anak yatim untuk menikah dengan orang lain. Sa'id ibnu Zubair memberikan komentar bahwa (Q.S. Al-Nisa` ayat 3 merupakan ancaman bagi mereka yang tidak mampu berbuat adil terhadap anak yatim dan perempuan lainnya. 16 Demikian juga yang dikemukakan Mujahid, ayat tersebut tidak berkaitan dengan masalah 14
Lihat Q.S. Al-Nahl (16): 67, Al-Baqarah (2): 219. Al-Nisa` (4): 43 dan Al-Maidah (5): 90. Hal-hal yang terkait dengan hikmah pengharaman khamar dapat dilihat dalam Muhammad 'Abd al-'Azhim Al-Zarqani, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur`an (Beirut: Dar alFiqh, 1998), I., hlm. 109. 15 Imam Bukhari, Sahih Al-Bukhari (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1992), V., hlm. 212. 16 Imam Fakhruddin Al-Razi, Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Gaib) (Beirut: Dar alKutub al-'Ilmiyyah, 1990), IX., hlm. 179.
Edi Darmawijaya Ancaman Pidana Pelaku Poligami Dalam Hukum Keluarga Turki dan Tunisia . . .
97
perzinahan melainkan masalah anak yatim. Pendapat lain dikemukakan oleh 'Ikrimah yang menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan penjelasan tentang setting historis masyarakat Arab Jahiliyyah.17 Pembahasan ini tidak akan mengungkapkan lebih lanjut mengenai kontroversi di seputar pendapat ulama tentang poligami khususnya yang berkaitan dengan jumlah bilangan yang dibolehkan.18 Namun pembahasan ini hanya dijadikan rujukan dalam menggambarkan tentang pendapat ulama yang hanya berdebat dalam batas nalar bayani dengan mengutak-atik bahasa sesuai dengan rasio mereka. Hanya mufassir maupun fuqaha yang tidak mempedulikan setting historis ketika Q.S. Al-Nisa` (4): 3 diwahyukan, sehingga ayat ini dicoba dinalar dengan menggunakan pendekatan bahasa dan sebagainya untuk mendukung pembolehan poligami meskipun tradisi masyarakat sudah berbeda. Sebagaimana diketahui sebelum Islam, praktek poligami telah menjadi kebiasaan masyarakat luas di seluruh dunia. Kemudian Islam datang dengan memberikan batasan kebolehan melakukan perkawinan dengan maksimal empat orang isteri saja dan disertai dengan persyaratan mampu berbuat adil di antara isteri-isterinya. Upaya ini sesungguhnya merupakan revolusi Islam yang sangat berarti dalam menegakkan hak-hak kaum perempuan dan meninggikan derajatnya. Pandangan Hukum Islam (Pendapat Ulama Islam) Tentang Ancaman Pidana Pelaku Poligami/Larangan Poligami a. Poligami Menurut Muhammad Abduh Para ulama klasik dari kalangan mufassir (penafsir) maupun fakih (ahli hukum) berpendapat, berdasarkan QS.4:3 pria muslim dapat menikahi empat perempuan. Tafsir ini telah mendominasi nalar seluruh umat Islam. Jadi dalam pengertiannya poligami itu tidak dilarang asalkan tidak lebih dari 4 istri. Akan tetapi, ulama seperti Muhammad Abduh (1849-1905) tidak sepakat dengan penafsiran itu. Baginya diperbolehkannya poligami karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan berkembang, yakni dengan alasan : Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita akibat gugur dalam peperangan antara suku dan kabilah. Maka sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi wanita lebih dari satu. Kedua, saat itu Islam masih sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, wanita yang dinikahi 17
Ibid. Berbagai persoalan tentang interpretasi ulama dalam memahami kebolehan poligami dapat dilihat dalam 'Abd Al-Nasr, Taufiq Al-'Athar, Ta'addud al-Zaujat fi Syari'at alIslamiyyah (Kairo: Mu`assasah al-Bustan li al-Tiba'aj. 1998), V., hlm. 55-58. 18
98
Edi Darmawijaya Ancaman Pidana Pelaku Poligami Dalam Hukum Keluarga Turki dan Tunisia . . .
diharapkan masuk Islam dan memengaruhi sanak keluarganya Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antarsuku yang mencegah peperangan dan konflik. Kini, keadaan telah berubah. Poligami, papar Abduh, justru menimbulkan permusuhan, kebencian, dan pertengkaran antara para istri dan anak, bahkan Syeikh Muhammad Abduh yang juga merupakan mantan Syeikh di Al-Azhar ini berfatwa bahwa berpoligami ini hukumnya haram, dengan alasan : Pertama, syarat poligami adalah berbuat adil. Syarat ini sangat sulit dipenuhi dan hampir mustahil, sebab Allah sudah jelas mengatakan dalam QS.4:129 bahwa lelaki tidak akan mungkin berbuat adil. Kedua, buruknya perlakuan para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberi nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Ketiga, dampak psikologis anak-anak dari hasil pernikahan poligami. Mereka tumbuh dalam kebencian dan pertengkaran sebab ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan istri yang lain. Syeikh Muhammad Abduh juga menjelaskan hanya Nabi Muhammad saja yang dapat berbuat adil sementara yang lain tidak, dan perbuatan yang satu ini tak dapat dijadikan patokan sebab ini kekhususan dari akhlak Nabi kepada istri-istrinya. „Abduh membolehkan poligami hanya kalau istri itu mandul.19 Fatwa dan tafsiran Abduh tentang poligami membuat hanya dialah satusatunya ulama di dunia Islam yang secara tegas mengharamkan poligami. Ulama asal Mesir yang pernah mengecap pendidikan di Paris ini juga melihat poligami adalah praktik masyarakat Arab pra-Islam tentang perempuan pada abad pertama Hijriah (abad ketujuh Masehi) menjelaskan memang budaya Arab pra-Islam mengenal institusi pernikahan tak beradab (nikâh al-jâhili) di mana lelaki dan perempuan mempraktikkan poliandri dan poligami sebagai berikut. Praktik pernikahan Arab pra-Islam ini ada yang berlangsung hingga masa Nabi, bahkan hingga masa Khulafâ al-Rashidîn Poligami yang termaktub dalam QS.4:3 adalah sisa praktik pernikahan jahiliah sebagaimana disebutkan di atas. Fakta sosialnya ialah perempuan kala itu dalam kondisi terpinggirkan, kurang menguntungkan dan menyedihkan, dan Al Quran merekamnya melalui teksteksnya yang masih dapat kita baca saat ini. Dalam hal poligami, Al Quran merekam praktik tersebut sebab poligami 19
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Kairo: Dar lManar, 1346 H), hlm. 287
Edi Darmawijaya Ancaman Pidana Pelaku Poligami Dalam Hukum Keluarga Turki dan Tunisia . . .
99
adalah realitas sosial masyarakat saat itu. Oleh karenanya QS 4:3 harus dilihat sebagai ayat yang belum selesai, sebab Al Quran adalah produk sejarah yang tak bisa luput dari konteks sosial, budaya, dan politik masyarakat Arab di Hijaz saat itu. Al Quran sesungguhnya respons Allah terhadap berbagai persoalan umat yang dihadapi Muhammad kala itu. Sebagai respons, tentu Al Quran menyesuaikan dengan keadaan setempat yang saat itu diisi budaya kelelakian yang dominan.20 Menurut Abduh, praktek poligami merupakan praktek perbudakan. Islam tidak mengajarkan hal seperti itu. Fenomena ini menurut Abduh adalah tradisi jahiliah yang tidak ada hubungannya dengan Islam.21 b. Poligami Menurut Zamakhsyari Zamahsyari dalam kitabnya tafsir Al Kasy-syaaf mengatakan, bahwa poligami menurut syari‟at Islam adalah suatu rukhshah (kelonggaran) ketika darurat. Sama halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa Ramadhan ketika dalam perjalanan.22 c. Poligami Menurut Syaltut Syaltut berbeda pendapat dengan Abduh dengan tidak meletakkan syarat keterpaksaan dalam masalah poligami. Dia menyerahkan kepada individu untuk menentukan keadaan dirinya apakah mampu berlaku adil ataupun tidak, kemudian dia jawab sendirilah depan Allah. Syaltut melihat hukum asal poligami dibolehkan adalah untuk memberi jalan keluar kepada pengasuh anak yatim supaya tidak terjebak dalam kezaliman akibat perbuatannya yang tidak adil terhadap mereka. Oleh karena itu menurut Syaltut, apa yang penting dalam poligami adalah keadilan bukan keterpaksaan.23 Menurut peneliti dari Malaysia Zulkifli Haji Mohd Yusuff dan Aunur Rafiq, idea Syaltut ini sekiranya direalisasikan tanpa pengawasan cermat terhadap pelaku poligami, maka hal ini tidak akan menimbulkan dampak positif. Bahkan mungkin poligami menjadi 'wadah' pemuas nafsu lelaki, dan lahirnya keluarga yang penuh konflik, persaingan tidak sehat, khususnya di kalangan isteri yang dimadu. Biasanya faktor penting yang menjadi
20
http://tulisan-q.blogspot.com/2011/02/poligami-dan-poliandri_22.html http://sebarkanbahagia.blogspot.com/2011_07_01_archive.html 22 Az-Zamakhsyari, Al-Kasyaf Án Haqaiq Ghawamid al-Tanzil wa Úyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta`wil, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., hlm. 23 Mahmud Syalthut, Al-Fatawa: Dirasat li Musykilat al-Muslim al-Mu‟ashir fi Hayatihi alYaumiyah Wajib al-Ammah, (Dar al-Qalam, t.t), h. 21
100
Edi Darmawijaya Ancaman Pidana Pelaku Poligami Dalam Hukum Keluarga Turki dan Tunisia . . .
permulaannya adalah merebut cinta dan perhatian suami, bukannya merebut harta.24 Tujuan Pemberlakuan Ancaman Pidana Bagi Pelaku Poligami Dalam Hukum Keluarga Turki dan Tunisia Alasan yang dipakai kedua negara ini dalam melarang poligami adalah tidak mungkinnya dipenuhi syarat adil sebagaimana disyaratkan al-Qur‟an dalam poligami dan Allah sendiri menyatakan dalam ayat yang berbunyi “walan tastathi’u an ta’dilu bainan nisa’ walau harashtum” 25 yang berarti kamu sekali-kali tidak akan sanggup berlaku adil diantara isteri-isterimu walau kamu sangat menginginkannya. Kalau syarat yang membolehkan tidak dipenuhi dengan sendirinya kebolehan itu menjadi tidak ada. Dari telaah dan bahasan di atas dapat disimpulkan beberapa alasan diberlakukannya ancaman pidana bagi pelaku poligami dalam hukum keluarga Turki dan Tunisia sebagai berikut: 1. Untuk mengatur poligami agar lebih tertib dan selektif dalam rangka menghindari penyalahgunaan poligami oleh laki-laki yang tidak bertanggungjawab dan agar lebih melindungi hak-hak wanita dan keluarga. 2. Dalam rangka mereformasi hukum keluarga Islam dari ketentuan fiqh yang bersifat rigid dan kaku serta cenderung bias geender menjadi hukum keluarga Islam yang lebih egalitarian, demokratis dan adil. 3. Dalam satu kasus seperti di Turki kecendrungan reformasi hukum keluarga ini juga dimaksudkan meningkatkan daya tawar Turki agar lebih dapat diterima dalam pergaulan masyarakat Uni Eropa. Larangan Poligami Ditinjau dari Teori Maslahat Mursalah (Maqashid alSyari’ah Setiap hukum Islam baik itu yang menyangkut hak-hak Allah maupun hak-hak manusia mempunyai tujuan (maqasid al-syari'ah). Menjaga kemaslahatan adalah tujuan utama hukum Islam. Oleh karena itu, 'Allal al-Fasi (m. 1974), ulama pembaru dan tokoh nasionalis Maroko, dalam Maqasid alShari'at al-Islamiyyat wa makarimiha (1991:181-185) mengajukan tiga alasan mengapa poligami harus dilarang tegas. Melarang poligami bertujuan menjaga kemaslahatan umum.
24 25
Ibid. Q.S al-Nisa`(4): 129
Edi Darmawijaya Ancaman Pidana Pelaku Poligami Dalam Hukum Keluarga Turki dan Tunisia . . .
101
Pertama, mencegah akibat buruk oleh perorangan untuk mencegah akibat buruk yang lebih besar. Artinya, kemaslahatan umum dikedepankan dari kemaslahatan pribadi. Al-Fasi mengatakan, melarang poligami itu merugikan orang sebab mencegah keinginan mereka yang ingin poligami. Tetapi, dengan tetap membolehkan poligami akan menimbulkan kerugian lebih besar pada masa sekarang. Dampak negatif yang besar itu adalah merugikan citra Islam. Jika Islam berbicara peningkatan derajat wanita, itu tidak akan tercapai dengan adanya poligami. Kedua, mencegah kerusakan untuk lebih dikedepankan daripada menarik manfaat. Ketiga, perubahan hukum suatu perbuatan mengikuti perubahan kemaslahatannya. Pada masa Nabi, dibolehkannya poligami hingga empat untuk melindungi anak yatim piatu. Jika keadaan perempuan kini lebih baik, yaitu sederajat dengan pria dan harta gadis yatim-piatu bisa diatur lembaga keuangan profesional, konsekuensi logisnya poligami tidak boleh. Karena itu untuk memberi perlindungan kepada perempuan dan keluarga, negara harusn melarang poligami. Sebagai perbandingan kita melihat undang-undang negara Muslim lainnya dalam memandang poligami. Tunisia, selain Turki, melarang poligami sejak tahun 1958. UU perkawinan 1958 yang diperbarui 1964 menyatakan hukuman pelaku poligami adalah satu tahun penjara dan denda 240.000 franc (Pasal 18). Dua negara Muslim di Benua Eropa pun melarang praktik poligami, yaitu Uzbekistan dan Tajikistan. UU Pidana Uzbekistan Nomor 2012-XII Tahun 1994, Pasal 126 menyatakan, "Poligami, yaitu hidup bersama dengan paling sedikit dua perempuan dalam satu rumah, dihukum denda 100 hingga 200 kali gaji minimal bulanan, atau kerja sosial sampai tiga tahun, atau dipenjara hingga tiga tahun." UU Pidana Tajikistan dalam Pasal 170 menyatakan, "Poligami, melakukan pernikahan dengan dua perempuan atau lebih, dihukum denda 200-500 kali gaji minimal bulanan, atau kerja sosial hingga dua tahun." Negara Muslim lain, seperti Maroko, Irak, Yaman, Jordania, Mesir, Aljazair, dan Pakistan, meski tidak secara tegas melarang, tetapi menerapkan syarat ketat dan memberi sanksi berat bagi pelanggarnya, sama seperti Indonesia. UU Maroko al-Mudawwanah 1957, diperbarui 2004, Pasal 31 menyatakan, poligami dilarang jika suami dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil. Pasal itu juga memberi hak bagi perempuan mengajukan cerai jika si
102
Edi Darmawijaya Ancaman Pidana Pelaku Poligami Dalam Hukum Keluarga Turki dan Tunisia . . .
suami poligami (Badriyyah) al-'Iwadi, Masa'il Mukhtarah, Kuwait, 1982:2938). UU Irak 1959 (sebelum invasi AS) Pasal 3 melarang poligami, kecuali ada kondisi yang membolehkannya seperti dalam Ayat 4, yaitu berkecukupan harta untuk menghidupi istri-istrinya dan ada kemaslahatan. Jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil, maka poligami dilarang seperti dinyatakan dalam Ayat 5. Pelanggarnya dihukum satu tahun penjara dan denda 100 dinar (Ayat 6). UU Yaman 1974 Pasal 11 melarang poligami, kecuali atas izin pengadilan dengan kondisi istri mandul atau punya penyakit yang tak dapat disembuhkan. Adapun Pasal 19 UU Jordania 1976 memberi ta'lik talak bagi wanita. Mereka berhak minta janji suami tidak akan poligami. Jika dilanggar, istri dapat mengajukan cerai ke pengadilan. UU Aljazair 1981 Pasal 4 sebenarnya melarang poligami, tetapi dibolehkan jika terpaksa. Pengecualian ini tidak berlaku bagi mereka yang tak dapat berbuat adil atau tak ada alasan syar'i dan izin istri. Istri boleh mengajukan ta'lik talak, yaitu janji suami tidak akan poligami. Jika suami poligami, istri dapat mengajukan cerai (Pasal 5). UU Pakistan tahun 1964 memberi hak bagi istri mengajukan cerai ke pengadilan jika diperlakukan tidak baik/adil. Menilik UU negara-negara Muslim ini, tampak persyaratan poligami sangat sulit dan praktis mustahil dipenuhi. Begitu juga sanksi bagi yang melanggar cukup berat. Tidak adanya larangan yang tegas terhadap poligami, karena ulama dan umat Islam berpatokan pada QS. 4:3 yang mengisyaratkan kebolehan poligami. Penutup Menurut penulis larangan mutlak poligami dan ancaman pidana bagi pelakunya memang dapat mengefektifkan kemaslahatan bagi kaum wanita dan keluarga. Tetapi dengan sama sekali menutup rapat-rapat pintu poligami ada sebagian kemaslahatan yang terabaikan. Misalnya bagi para suami yang sangat menginginkan keturunan sementara isterinya karena suatu hal tidak dapat memberi keturunan, tentu lebih maslahat jika suami diizinkan menikah lagi daripada harus bercerai karena si isteri atau perundangan negara negara tidak mengizinkan. Begitu juga dalam kasus-kasus lain di mana ada maslahat hakiki dengan adanya poligami.
Edi Darmawijaya Ancaman Pidana Pelaku Poligami Dalam Hukum Keluarga Turki dan Tunisia . . .
103
DAFTAR PUSTAKA 'Abd Al-Nasr, Taufiq Al-'Athar, Ta'addud al-Zaujat fi Syari'at al-Islamiyyah (Kairo: Mu`assasah al-Bustan li al-Tiba'aj. 1998) Abdullah, M. Amin, “Al-Ta`wil wa al-„Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci” dalam Al-Jami’ah, vol. 39, No. 2, JuliDesember 2001. Al-Attar, Abd al-Nasir Tawfiq, Ta’addud al-Zawjat fi Shari’a al-Islamiya, cet. V. Kairo: Mu`assasat al-Bustami li al-Tiba‟ah, 1988. Al-Bukhari, Abi Abdullah Muhammad ibn Isma‟il Ibrahim ibn Mugirat ibn Barzabah, Sahih al-Bukhari, Juz V. Cet. I. Beirut: Dar al-Kutub al„Ilmiyyah, 1992. Al-Dimasyqi, Imam Fakhr al-Din Muhammad ibn Umar ibn Husain al-Hassan ibn Ali al-Tamimi al-Bakry al-Razi, Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Gayb). Juz IX. Cet. I, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1990. Al-Gazali, Muhammad, Fiqh Sirah Menghayati Nilai-nilai Riwayat Hidup Rasulullah SAW, terj. Abu Laila dan Muhammad Thohir. Bandung: alMa‟arif, t.t. Al-Husaini, H.M.H. Hamid, Baitun Nubuwwah Rumah Tangga Muhammad SAW. Cet. III., Bandung: Pustaka Hidayah, 1997. Ali, Sayyid Amir, The Spirit of Islam of Evolution and Ideals of Islam with a Litle a Prophet. India: Idarah-l adabiyat-I, 1978. Al-Qur`an al-Karim Al-Razi,Imam Fakhruddin Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Gaib) (Beirut: Dar alKutub al-'Ilmiyyah, 1990) al-Siba'i, MustafaAl-Mar`ah Bain al-Fiqh wa al-Qanun (Mesir: Nasr wa alTauzi' al-Maktabat ''Arabiyah bin al-Halb, t.th) Al-Zarqani, Muhammad 'Abd al-'Azhim Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur`an (Beirut: Dar al-Fiqh, 1998) Anderson,J.N.D. Law Reform in The Modern World, (London: Anthone Press, , 1967) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1994. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Indonesia, edisi II (Jakarta: Balai Pustaka, 1994)
104
Edi Darmawijaya Ancaman Pidana Pelaku Poligami Dalam Hukum Keluarga Turki dan Tunisia . . .
Hasyim, Syafiq, Hal-hal yang Tak Terfikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam Sebuah Dokumentasi. Bandung: Mizan, 2001. http://sebarkanbahagia.blogspot.com/2011_07_01_archive.html http://tulisan-q.blogspot.com/2011/02/poligami-dan-poliandri_22.html http://www.eramuslim.com/berita/dunia/187-000-wanita-turki-hidup-dalampernikahan-poligami.htm Kharofa, Alauddin, Family Lawa Comparative Study Between Arab Law, Islamic, Jews and Christian Law, Roman and French Law. Jilid I. Bagdad: Maktabah al-Ani, 1962. Mahmood,Tahir Personal Law in Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis), (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987) Rahman, Afzalur "Ensiklopedi Sira, Peranan Perempuan dalam Islam", terj. Zalihah Ahmad et.al., (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1994)