Jurnal Analitika Magister Psikologi UMA, 8 (1) (2016): 35-55
Analitika, Vol. 8 (1) Juni (2016) p-ISSN : 2085-6601 e-ISSN : 2502-4590
ANALITIKA
Available online http:/ojs.uma.ac.id/index.php/analitika
Hubungan Dukungan Sosial Dan Kecerdasan Emosional Dengan Self Regulated Learning The Relationship Between Social Support And Emotional Intelligence With Self Regulated Learning Rifi Hamdani Lubis
Universitas Medan Area, Indonesia Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang hubungan antara dukungan sosial dan kecerdasan emosional dengan self regulated learning. Populasi penelitian adalah siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Medan dengan sampel penelitian yaitu siswa kelas VIII yang dipilih secara random sebanyak 150 siswa. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan skala dukungan sosial, skala kecerdasan emosional, dan skala self regulated learning yang disusun berdasarkan teori yang relevan dengan menggunakan metode Likert. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan self-regulated learning pada siswa dengan kekuatan hubungan sebesar 8,35% ; adanya hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan self-regulated learning pada siswa dengan kekuatan hubungan sebesar 22,27%; dan adanya hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan kecerdasan emosional terhadap self-regulated learning pada siswa dengan kekuatan hubungan sebesar 25,29 %.
Kata Kunci : dukungan sosial; kecerdasan emosional; self regulated learning Abstract
The aim of this research was to determine relationship between social support and emotional intelligence with self regulated learning. Research population are 150 VIII grade students of Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Medan which choosen randomly. Data were analyzed suing social support scala, emotional intelligence scala and self regulated learning scala arranged based on relevance theory with Likert method. The results of this research show there is significance relationship between social support eith self regulated learning in student in the amount of 8,35 %; emotional intelligence with self regulated learning in the amount 22,27 %; and emotional intelligence toward self regulated learning in the amount of 25,29 %.
Key words: social support; emotional intelligence; self regulated learning.
How to cite: Lubis, Rifi. 2016, Hubungan Dukungan Sosial Dan Kecerdasan Emosional Dengan Self Regulated Learning, Jurnal Analitika Magister Psikologi UMA, 8 (1): 35-55
35
Rifi Hamdani Lubis, Hubungan Dukungan Sosial Dan Kecerdasan Emosional Dengan Self Regulated
PENDAHULUAN Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dewasa ini menimbulkan berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Masuknya Indonesia ke dalam era globalisasi dan perdagangan bebas tentunya menimbulkan permasalahan dalam upaya mempersiapkan sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, salah satu upaya menciptakan insaninsan di masyarakat yang mandiri, handal, memiliki wawasan yang luas dan mampu berpikir kritis serta berdaya juang diperlukan pengembangan pendidikan yang dilakukan dan terus ditingkatkan secara berkesinambungan agar mendapatkan hasil kualitas sumber daya manusia yang cerdas dan terampil sehingga mampu bersaing pada era globalisasi ini. Pendidikan merupakan suatu cara bagi seseorang dalam mengembangkan potensi yang ada pada dirinya melalui pembelajaran baik secara formal maupun nonformal. Pengertian pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000) adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan, melalui cara-cara formal, informal dan nonformal. Pada kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah pendidikan yang identik dengan bayangan sekolah yang merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melalui bimbingan, pengajaran dan latihan dalam rangka membantu siswa agara mampu
mengembangkan potensinya dari aspek intelektual, moral, sosial, emosional dan spiritual. Lebih lanjut dikatakan bahwa pendidikan adalah upaya secara sadar, memiliki dasar dan terorganisir yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang jelas. Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan dan kondisi normal baik fisik maupun mental yang memiliki potensi untuk menjadi cerdas karena sejatinya manusia dibekali dengan potensi kecerdasan. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk formal dalam mengasah potensi kecerdasan yang dimiliki. Tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan manusia yang mampu mandiri secara intelektual. Kemandirian secara intelektual yang menjadi tujuan pendidikan dapat dicapai melalui berbagai modus pendidikan yang salah satunya adalah melalui pendidikan formal di sekolah. Adicondro dan Purnamasari (2011) mengatakan bahwa komponenkonponen penting yang harus diperhatikan dalam suatu proses pendidikan yaitu, pendidik, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan, dan kurikulum sebagai materi ajar untuk siswa. Komponen-komponen ini memegang peranan yang sangat penting dalam suatu proses pendidikan sehingga dapat menghasilkan siswa yang berguna bagi bangsa dan negara. Hal ini merupakan tujuan penting para siswa untuk mengikuti suatu proses belajar di sekolahnya. Fathurrohman, dkk (2013) mengatakan bahwa salah satu lembaga pendidikan adalah sekolah. Sekolah menyelenggarakan proses belajar mengajar untuk membimbing, mendidik,
36
Jurnal Analitika Magister Psikologi UMA, 8 (1) (2016): 35-55
melatih dan mengembangkan kemampuan siswa untuk mencapai tujuan pendidikan, antara lain ialah menjadi manusia yang berbudi luhur. Lebih lanjut dikatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN). Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, saleh, sabar, jujur, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2006). Sekolah sebagai lembaga pendidikan menghendaki setiap siswanya agar dapat belajar dengan optimal yang diharapkan dapat mencapai prestasi yang terbaik. Adanya tuntutan belajar tersebut mengharuskan siswa untuk dapat belajar secara mandiri, disiplin dalam mengatur waktu dan melaksanakan kegiatan belajar yang lebih terarah dan intensif sehingga memungkinkan bagi siswa menjadi pribadi yang kreatif, produktif dan inovatif. Siswa harus memiliki bekal utama yang dibutuhkan untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut antara lain kemampuan dan keterampilan untuk mengatur kegiatan
belajar, mengontrol kegiatan belajar, mengetahui arah dan tujuan belajar serta memiliki sumber-sumber informasi untuk mendukung proses belajarnya. Pada kenyataannya sering dijumpai adanya masalah siswa untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekolah dalam hal penghayatannya mengenai budaya belajar di sekolah. Siswa memiliki anggapan bahwa dengan ketidak hadiran guru yang mengajar merupakan suatu hal yang menyenangkan, perilaku membolos pada jam pelajaran serta tidak menunjukkan antusias pada pelajaran-pelajaran tertentu. Hal ini menyebabkan kebanyakan dari siswa memperoleh prestasi yang rendah dan tidak sesuai dengan harapan sehingga menurunkan semangat dalam belajar. Marijan (2010) sebagai praktisi pendidikan di SMPN 5 Wates Kulon Progo Yogyakarta mengatakan bahwa adanya kondisi yang sangat ironis bahkan bertolak belakang dalam dunia pendidikan kita yang artinya adanya ketidakseimbangan antara harapan dengan kenyataan. Harapan dari produk pendidikan sangatlah mutlak dan ideal akan tetapi kenyataannya proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta daya dukung masyarakat belum dapat dikatakan seimbang. Dari sepuluh fenomena pendidikan yang disampaikannya, ada beberapa yang diambil antara lain fenomena penyeragaman yang menjadi ciri khas sistem pendidikan kita dimana siswa dihadapkan pada berbagai keseragaman untuk memudahkan pengaturannya yang dapat mengekang emosional dan kognitifnya. Orang tua siswa dan masyarakat yang memiliki rutinitas
37
Rifi Hamdani Lubis, Hubungan Dukungan Sosial Dan Kecerdasan Emosional Dengan Self Regulated
tinggi sehingga tidak memiliki waktu untuk mengontrol, mengawasi dan mendidik putra-putrinya dan cenderung menyerahkan seluruh tanggung jawab pendidikan kepada guru. Kurangnya minat siswa selaku subjek pendidikan untuk belajar, membaca dan ke perpustakaan sebagai awal dari rendahnya kualitas siswa dan adanya budaya mengobrol, nonton TV, nongkrong dan kumpul-kumpul sepertinya menjadi proporsi waktu harihari yang dilewati. Sujarwo (2014) mengatakan bahwa hasil pengamatan dan pengalaman mengajar di SMP Negeri 1 Kalisat Kabupaten Jember selama ini merasakan bahwa kondisi pembelajaran yang terjadi di sekolah selama ini tidak memberikan peluang kepada siswa untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis yang dimiliki karena siswa masih saja menjadi objek. Mereka diposisikan sebagai orang yang tidak tahu apa-apa dan orang yang harus dikasihani sehingga menyebabkan motivasi dan prestasi belajar yang masih sangat rendah. Fenomena yang terjadi di Air Joman, Kisaran, Sumatera Utara disampaikan oleh BNNPSUMU pada 19 April 2014 menurur Ucok selaku Plt. Kepala Desa Banjar mengatakan bahwa peredaran penyalahgunaan narkoba jenis lem sudah merambah sampai di wilayahnya yang dilakukan oleh pelajar SMP, SLTA dan remaja putus sekolah. Lem cap kambing yang mengeluarkan aroma seperti minyak bensin mereka jadikan sebagai pengganti narkoba berupa ganja, pil ekstasi dan shabushabu. Kegiatan tersebut sudah menjadi kebiasaan di kalangan pelajar dan remaja
meskipun ada warga yang mengeluhkan akan tetapi seolah-olah ada proses pembiaran dan tidak mau tahu terhadap kondisi generasi penerus bangsa. Fakta tersebut terungkap saat BNN Kabupaten Asahan mengadakan kegiatan sosialisasi di lingkungan masyarakat desa dan kelurahan pada Rabu, 22 Januari 2014. Psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI), Suhati Kurniawati (2015) mengatakan fenomena lembaga bimbingan belajar yang semakin marak menjelang Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) berakar dari budaya instan yang menginginkan hasil dengan segera. Beliau mengatakan bahwa ini terlihat sebagai suatu hal yang juga menjangkiti anaka-anak remaja serta anak-anak muda sekarang sehingga mereka tidak lagi menganggap serius pelajaran yang diterimanya disekolah. Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi memandang banyak sarjana S1 yang menganggur salah satunya disebabkan sistem pendidikan yang diterapkan hanya menciptakan generasi-generasi robot penurut tanpa memiliki kreativitas dan kecerdasan. Menurutnya masih banyak sistem pendidikan yang tidak ramah anak, termasuk sistem yang bernuansa kekerasan termasuk kekerasan psikologis. Salah satunya adalah sistem poin, gara-gara sudah mengumpulkan maksimal poin maka anak dikeluarkan dari sekolah. Jika anak-anak di SMP baik lalu di SMA berubah, maka sistem pendidikan sekolahnya yang harus di evaluasi. Sistem pendidikan yang tidak ramah anak hanya akan menciptakan generasi-generasi robot, yaitu penurut tanpa kreativitas dan kecerdasan moral
38
Jurnal Analitika Magister Psikologi UMA, 8 (1) (2016): 35-55
yang baik. Untuk itu seharusnya dilakukan evaluasi guna mencari apa yang salah sehingga anak tidak melakukan hal seperti itu. Setelah sistem pendidikan yang diperbaiki menjadi ramah anak, lalu guru-guru pengajar juga perlu mendapatkan pengertian tentang pendidikan yang baik untuk memperlakukan anak serta adanya dukungan dan peran serta dari orang tua (Kompas, 8 Desember 2013). Perubahan suasana belajar dalam upaya menjadikan belajar sebagai salah satu hal yang lebih baik salah satunya dengan memperbaiki kualitas pembelajaran, muatan dari kurikulum yang diterapkan dan metode yang digunakan dalam belajar di kelas sehingga proses belajar menjadi aktif dan lebih menyenangkan. Santrock (2008) mengatakan ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam metode pengajaran di kelas yaitu dengan instruksi teacher-centered dan instruksi learner-contered. Instruksi teachercentered merupakan cara terbaik untuk mengajarkan keahlian dasar yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang terstruktur dengan jelas. Guru dalam pendekatan ini berperan meciptakan sasaran behavioral (perilaku), menganalisis tugas dan menyusun taksonomi (klasifikasi) instruksional kepada siswa. Pendekatan ini pada umumnya lebih menitikberatkan pada aspek kognitif. Pada instruksi learner-centered guru dalam hal ini berperan sebagai pendorong untuk membantu murid agar dapat secara aktif mengkonstruksi pemahaman mereka, menentukan tujuan dan rencana, berpikir mendalam dan kreatif, memantau pembelajaran
mereka, memecahkan problem dunia nyata, mengembangkan rasa percaya diri yang positif dan mengontrol emosi, memotivasi diri sendiri, belajar sesuai dengan level perkembangan, bekerjasama secara efektif dengan orang lain (termasuk orang yang berbeda latar belakan), mengevaluasi preferensi mereka dan memenuhi standar. Pendekatan ini akan lebih efektif digunakan pada saat murid sudah memiliki pengetahuan yang memadai dalam membuat keputusan tentang bagaimana dan apa yang harus dipelajari. Menurut Winne (Santrock, 2008) self-regulated learning adalah kemampuan untuk memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan ini bisa jadi berupa tujuan akademik (kemampuan meningkatkan pemahaman dalam membaca, menjadi penulis yang baik, belajar perkalian, mengajukan pertanyaan yang relevan) atau tujuan sosioemosional (kemampuan mengontrol kemarahan, belajar akrab dengan teman sebaya). Pelajar dengan self-regulated learning memiliki karakteristik antara lain: bertujuan memperluas pengetahuan dan menjaga motivasi, menyadari keadaan emosi mereka dan punya strategi untuk mengelola emosinya, secara periodik memonitor kemajuan ke arah tujuannya, menyesuaikan atau memperbaiki strategi berdasarkan kemajuan yang mereka buat dan mengevaluasi halangan yang mungkin muncul serta melakukan adaptasi yang diperlukan. Deasyanti dan Armeini (2007) menjelaskan bahwa self-regulated learning adalah proses aktif dan konstruktif dimana siswa menentukan
39
Rifi Hamdani Lubis, Hubungan Dukungan Sosial Dan Kecerdasan Emosional Dengan Self Regulated
tujuan belajar, mengimplementasikan strategi dan memonitor kemajuan pencapaian tujuan yang melibatkan kognisi, metakognisi dan motivasi, afeksi dan perilaku siswa dalam belajar. Dengan melibatkan unsur-unsur tersebut, siswa mampu memutuskan sendiri atau dengan bantuan orang lain, apa yang menjadi kebutuhan bagi dirinya, bagaimana menetapkan sasaran belajarnya, strategi apa yang akan digunakan dalam menyelesaikan tugas akademik dan dapat memantau kemajuan diri sendiri. Adicondro dan Purnamasari (2011) dalam penelitiannya mengatakan bahwa self-regulated learning adalah proses aktif dan konstruktif siswa dalam menetapkan tujuan untuk proses belajarnya dan berusaha untuk memonitor, meregulasi, dan mengontrol kognisi, motivasi, dan perilaku, yang kemudian semuanya diarahkan dan didorong oleh tujuan dan mengutamakan konteks lingkungan. Siswa yang mempunyai self-regulated learning tinggi adalah siswa yang secara metakognitif, motivasional, dan behavioral merupakan peserta aktif dalam proses belajar. Siswa diharapkan memiliki self regulated learning yang tinggi. Apabila para siswa memiliki self regulated learning yang rendah akan mengakibatkan kesulitan dalam menerima materi pelajaran sehingga hasil belajar mereka menjadi tidak optimal. Selain itu, hal tersebut juga dapat berdampak pada ketidaklulusan, karena apabila sampai kelas IX tidak ada perubahan dalam hal mereka belajar maka siswa akan sulit mencapai standar kelulusan dari pemerintah yang setiap tahunnya naik.
Menurut Zimmerman (1990) dalam teori sosial kognitif terdapat tiga hal yang mempengaruhi seseorang sehingga melakukan self-regulated learning, yakni individu, perilaku dan lingkungan. Faktor individu meliputi pengetahuan, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan metakognisi serta efikasi diri. Faktor perilaku meliputi behavior self reaction, personal self reaction serta environment self reaction. Sedangkan faktor lingkungan dapat berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan dan lain sebagainya. Salah satu yang dapat mempengaruhi self-regulated learning dalam faktor individu adalah efikasi diri dan faktor lingkungan di antaranya adalah dukungan sosial dari orang tua. Siswa yang memiliki kemampuan self-regulated learning yang baik akan memiliki kecenderungan menunjukkan sikap atau karakteristik memiliki tujuan yang jelas, bersifat strategis dan gigih dalam belajar. Strategi ini merupakan salah satu aspek penting yang mana akan dapat membawa siswa dalam mencapai suatu prestasi akademik yang lebih baik pada saat menempuh pendidikan baik secar formal, informal maupun nonformal. Dari beberapa penjelasan diatas jelaslah bahwa self-regulated learning adalah kemampuan mengatur sebagian dari tingkah lakunya sendiri sebagai tingkatan partisipasi siswa secara aktif melibatkan metakognisi, motivasi dan perilaku dalam proses belajarnya. Siswa yang tergolong dalam usia remaja menurut Santrock (2008) masa remaja adalah periode transisi, saat seorang
40
Jurnal Analitika Magister Psikologi UMA, 8 (1) (2016): 35-55
individu mengalami perubahan fisik dan psikologis dari kanak-kanak menjadi dewasa. Pada masa transisi ini remaja dipandang dari dua sisi yang berlainan di satu sisi remaja ingin menjadi seseorang yang mandiri tanpa bantuan orang tuanya lagi, namun di sisi lain remaja masih membutuhkan bantuan dari orang tuanya. Berkaitan dengan hasil penelitian yang dilakukan Agustiani pada tahun 2002 mengatakan bahwa remaja masih menunjukkan ketergantungan terhadap orang tua terutama jika dihadapkan pada masalah penting yang menyangkut kehidupannya. Pada kultur masyarakat Indonesia yang umumnya menempatkan orang tua sebagai sosok panutan dan suri tauladan hal ini dapat dengan mudah kita jumpai pada kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitar kita. Dukungan sosial menurut Sarafino (1994) merupakan bantuan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok di sekitarnya, dengan membuat penerima merasa nyaman, dicintai dan dihargai. Dukungan yang diterima dari orang lain dapat disebut sebagai dukungan sosial. Konsep operasional dari dukungan sosial adalah peceived support (dukungan yang dirasakan) yang memiliki dua elemen dasar diantaranya adalah persepsi bahwa ada sejumlah orang lain dimana seseorang dapat mengendalikannya saat dibutuhkan dan derajat kepuasan terhadap dukungan yang ada (DiMatteo, 2004). Menurut Santrock (2008) keluarga merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk mandiri. Dukungan yang paling besar di dalam lingkungan rumah adalah bersumber
dari orang tua. Orang tua diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Dukungan sosial yang diperoleh dari orang tua akan dirasakan oleh remaja sebagai suatu kecenderungan perasaan untuk bersikap lebih tenang jika dihadapkan pada suatu masalah. Dukungan sosial ini dapat berupa dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi atau dukungan dari kelompok terdekat yaitu keluarga. Tarmidi dan Rambe (2010) dalam penelitiannya mengatakan bahwa dukungan sosial dari orang tua dapat dilakukan dengan cara memberikan dukungan yang bersifat positif bagi proses pembelajaran anak seperti dengan menghargai apapun pikiran dan perasaan yang dirasakan oleh siswa, mau berbagi perasaan, memberikan contoh dan menjadi model bagi siswa untuk menghadapi perasaannya sendiri dengan cara yang tepat serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba menyelesaikan sendiri masalahnya. Menurut Hurlock (2001) dukungan dari keluarga yang berupa penerimaan, perhatian dan rasa percaya tersebut akan meningkatkan kebahagiaan dalam diri remaja. Kebahagiaan yang diperoleh remaja menyebabkan remaja termotivasi untuk terus berusaha mencapai tujuannya. Remaja juga mempunyai rasa percaya diri dalam menyelesaikan tugas yang dihadapi. Jadi dukungan sosial dari
41
Rifi Hamdani Lubis, Hubungan Dukungan Sosial Dan Kecerdasan Emosional Dengan Self Regulated
keluarga akan membantu remaja dalam menyelesaikan suatu masalah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang mengatakan bahwa dukungan sosial dari keluarganya tinggi akan meningkatkan self-regulated learning. Orang yang mendapatkan dukungan sosial keluarga yang tinggi maka akan banyak mendapatkan dukungan emosional, penghargaan, instrumental, dan informatif dari keluarga. Apabila dukungan emosional tinggi, individu akan mendapatkan motivasi yang tinggi dari anggota keluarga. Apabila penghargaan untuk individu tersebut besar, maka akan mendapatkan pujian. Apabila individu memperoleh instrument, akan mendapatkan fasilitas yang memadai dari keluarga. Apabila individu memperoleh informatif yang banyak, akan memperoleh nasihat sehingga individu tersebut menjadi lebih percaya diri. Hal tersebut berdampak self-regulated learning individu tersebut menjadi tinggi karena individu mampu mengelola secara efektif pengalaman belajarnya sendiri di dalam berbagai cara sehingga mencapai hasil belajar yang optimal. Selain dukungan sosial, kecerdasan emosional juga merupakan salah satu faktor yang memiliki hubungan pada seorang siswa untuk memiliki selfregulated learning. Adanya hubungan dari kecerdasan emosional terhadap selfregulated learning secara implisit dapat dijelaskan dengan adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan kemampuan pemecahan masalah seseorang dalam melakukan pembelajaran yang berhubungan dengan self-regulated learning. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Karina,
dkk (2014) mengatakan bahwa siswa dengan kemampuan pemecahan masalah dan kecerdasan emosional yang baik adalah awal siswa untuk meraih prestasi belajar yang lebih tinggi dan sebagai bekal untuk dapat mengarungi kehidupan di masa mendatang. Diharapkan peran guru hendaknya mampu mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa dan membiasakan siswa untuk belajar sendiri (self-regulated learning) dan terkait dengan kecerdasan emosional hendaknya perlu terus dilatih, dibiasakan dan dilakukan dalam pembelajaran secara kontinu. Studi yang dilakukan oleh Widyasari (2008) pada SMA di Surakarta menunjukkan bahwa kurikulum pendidikan nasional di Indonesia saat ini lebih banyak bobot pendidikannya yang diarahkan untuk merangsang perkembangan kognitif siswa dan kurang diimbangi oleh stimulasi bagi perkembangan aspek sosial dan emosi. Goleman (2003) mengatakan bahwa pentingnya keterampilan emosional diberikan dalam proses pembelajaran anak karena ha ini dapat memperbaiki nilai prestasi akademis dan kinerja sekolah anak. Aspek-aspek yang terdapat dalam keterampilan emosional pada anak dalam keterampilan belajar dasar antara lain seperti bagaimana menyingkirkan gangguan, menyemangati diri sediri untuk belajar dan mengatasi godaan agara dapat memusatkan perhatian pada pelajaran dapat membantu pendidikan anak di sekolah dan dapat mendukung sekolah dalam mencapai tujuan utamanya. Sebaliknya dengan adanya acaman, rasa
42
Jurnal Analitika Magister Psikologi UMA, 8 (1) (2016): 35-55
tidak aman dan ketidaknyamanan akan dapat mempengaruhi efektifitas belajar. Lebih lanjut menurut Goleman (2003) mengatakan bahwa keterampilan emosional dapat memberikan informasi dasar pada anak dalam upaya untuk menemukan cara menyelesaikan perselisihan antar pribadi dengan lebih positif, anak memiliki keyakinan diri yang lebih besar, tidak mempersalahkan diri sendiri bila ada sesuatu hal yang terjadi dan merasa bahwa mereka memiliki banyak pendukung yaitu guru dan orang tua yang dapat mereka mintai bantuannya. Pendapat ini sejalan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan dan Zulkaida (2013) yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kemandirian mahasiswa PTK X. Kecerdasan emosional yang tinggi tersebut berdasarkan dari aspek-aspek yang tinggi dari kesadaran sosial, pengaturan diri, keterampilan sosial dan kesadaran diri. Heru Purnomo (2015) mengatakan dalam penelitiannya bahwa adanya penyimpangan moral remaja dengan berbagai gejala yang melibatkan perilaku remaja akhir-akhir ini yang tampak menonjol di masyarakat dalam bentuk kenakalan biasa maupun perilaku yang menjurus tindak kriminal. Sebagai contoh perilaku yang biasanya muncul pada media-media pemberitaan adalah perkosaan, tawuran, pergaulan bebas, penggunaan narkoba, menyontek, mabuk-mabukan dan membolos. Adapun faktor penyebabnya antara lain adalah media internet, media televisi atau media massa, lingkungan pergaulan yang buruk, pendidikan agama yang rendah,
kondisi keluarga dan pola asuh orang tua dan kecerdasan emosi. Hal ini kemungkinan besar berpengaruh pada sikap dan dapat menimbulkan masalah yang serius pada saat siswa berada di sekolah dan melakukan kegiatan belajar. Gambaran sikap seseorang yang seperti itu, tentu saja akan mempengaruhi selfregulated learning yang dimiliki oleh siswa dalam belajar. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diasumsikan bahwa siswa akan memiliki self-regulated learning yang tinggi dalam belajar apabila setiap siswa tersebut memiliki dukungan sosial yang tinggi ditambah dengan adanya kecerdasan emosional yang dimiliki dalam belajar. Siswa yang potensial yang berada di berbagai sekolah dan lembaga pendidikan, baik sekolah negeri maupun swasta akan menghasilkan siswa yang memiliki self-regulated learning yang optimal jika pada sekolah tersebut memperhatikan adanya dukungan sosial yang terutama dari orang tua dan kecerdasan emosional siswa dalam belajar. Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa siswa yang memiliki dukungan sosisal dan kecerdasan emosional yang tinggi diharapkan akan dapat memiliki self-regulated learning yang tinggi. Selfregulated learning tinggi yang dimiliki oleh seseorang akan dapat menghantarkan mereka mencapai tujuan yang ingin dicapainya. Siswa dalam hal ini merupakan aset dari suatu bangsa sebagai generasi penerus yang mendapatkan dukungan sosial dan memiliki kecerdasan emosional yang tinggi diharapkan akan dapat menghasilkan suatu self-regulated learning yang tinggi dalam belajar
43
Rifi Hamdani Lubis, Hubungan Dukungan Sosial Dan Kecerdasan Emosional Dengan Self Regulated
sekaligus dapat dijadikan sebagai bekal dalam menjalani kehidupan. Namun, siswa juga menginginkan adanya perhatian dan penghargaan atas pembelajaran yang dilakukannya dari sekolah, guru, rekan-rekan dan keluarga terutama orang tua dimaksudkan atas prestasi dan keberhasilan yang telah dicapai terutama dalam kemajuan belajar dan peningkatan kemampuan, sehingga tercipta suatu kondisi yang nyaman bagi siswa merasakan usaha yang dilakukannya dihargai oleh lingkungan tempat ia belajar sekaligus dapat meningkatkan kecerdasan emosional yang dimiliki. METODE PENELITIAN
Populasi penelitian adalah seluruh siswa di Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Medan. Berdasarkan data tahun 2015 yang diperoleh dari pihak sekolah diketahui bahwa seluruh siswa berjumlah 1.125 orang. Mengingat jumlah populasi dengan jumlah yang relatif banyak, maka sampel penelitian ini dikhususkan pada sampel siswa kelas VIII berjumlah 450 siswa yang diambil secara random sebanyak 150 siswa. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan tiga skala, yaitu : 1. Skala self-regulated learning : disusun berdasarkan aspek-aspek selfregulated learning yang terdiri dari metakognisi, motivasi dan perilaku. Setelah uji coba, skala ini memiliki 37 aitem yang sahih dengan koefisien validitas bergerak antara 0,1078 – 0,6296 dan dan koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,8615.
2. Skala dukungan sosial : disusun berdasarkan aspek-aspek dukungan sosial orang tua yang terdiri dari attachment (kasih sayang/kelekatan), reassurance of worth (pengakuan/penghargaan), guidance (bimbingan), reliable alliance (ikatan hubungan yang handal), social integration (integrasi sosial) dan opportunity to provide nurturance (kemungkinan dibantu). Setelah uji coba, skala ini memiliki 30 aitem yang sahih dengan koefisien validitas bergerak antara 0,1611 – 0,7691 dan koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,8923. 3. Skala kecerdasan emosional : disusun berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosional yang terdiri dari pengenalan diri (self-awareness), pengaturan diri (self-regulation), motivasi diri (self-motivation) dan hubungan yang efektif (efektive relationship). Setelah uji coba, skala ini memiliki 29 aitem yang sahih dengan koefisien validitas bergerak antara 0,1083 – 0,5855 dan koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,7835.
HASIL DAN PEMBAHASAN Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan teknik One Sample Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa distribusi skor subjek pada skala selfregulated learning memiliki sebaran normal, karena hal ini dapat dibuktikan dengan melihat hasil analisis dengan nilai KS - Z = 0,661; p = 0,775 (p > 0,05). Distribusi skor subjek pada skala dukungan sosial mendapatkan nilai KS Z = 0,800; p = 0,545 (p > 0,05), serta distribusi skor subjek pada skala
44
Jurnal Analitika Magister Psikologi UMA, 8 (1) (2016): 35-55
dukungan sosial. Persamaan regresi dimaksud yaitu Y = 92,228 + 0,273X1. Berdasarkan persamaan regresi tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin baik dukungan sosial yang dilakukan oleh orang tua terhadap siswa maka semakin baik self-regulated learning yang dimiliki siswa. Ilustrasi dari adanya hubungan positif, linier dan signifikan dapat dilihat dari ilustrasi model grafik di bawah ini: Gambar 1. Hubungan linier antara dukungan sosial dengan self-regulated learning 150 68
SELF REGULATED LEARNING
kecerdasan emosional diperoleh dengan nilai KS - Z = 0,750; p = 0,628 (p > 0,05), yang keduanya juga memiliki sebaran yang normal. Uji linieritas dilakukan dengan menggunakan teknik Anova, antara skor pada self-regulated learning dengan skor skala dukungan sosial diperoleh Fhitung = 13,754 dan p = 0,000 (p < 0,05) sedangkan signifikansi dari kreteria linier tersebut dapat dilihat dari Deviation from Linearity dimana nilai koefisien Fhitung = 1,070; p = 0,382 sehingga secara analisis dinyatakan signifikan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang linier dan signifikan antara skor skala self-regulated learning dengan skor skala dukungan sosial. Sedangkan uji linieritas skor pada skala self-regulated learning dengan skor skala kecerdasan emosional diperoleh hasil Fhitung = 43,84 dan p = 0,000 (p < 0,05) dan Deviation from Linearity Fhitung = 1,119; p = 0,323 yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang linier dan signifikan antara keduanya. Uji hipotesis pertama adalah untuk menguji apakah ada hubungan dukungan sosial dengan self-regulated learning siswa menggunakan analisis regresi sederhana karena skor skala keduanya memiliki sebaran yang normal, linier dan signifikan yang menunjukkan koefisien regresi ( r ) sebesar 0,289 dengan p = 0,000 (p < 0,05), maka hipotesis yang menyatakan ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan self-regulated learning siswa dapat diterima. Persamaan regresi yang terbentuk dapat dijadikan sebagai alat prediksi untuk melihat gejala perubahan yang terjadi pada variabel self-regulated learning dikarenakan adanya perubahan pada
140
5
130 90
120
110
40
12 40
119 119 90
12
100
6
9976
33 143
7
30 26
145 52
115 136 22
69 81 32 104 5365 124 38 41 5623 61 123 118 58 28 54 57 103 45 141 94 87 42 117 101 71 131 122 27110 72 31 2 105 70 133 16 14 37 20 64 142 115 136 221057 54 38 61 86 107 127 25122 94 48 67 1 43 18 21 114 145 23 66 68 131 132 52 56 70 109 141 148 28 29 36 73 95 114 35 17 49 66 142 143 105 124 11104 33 58 44 92 134 135 71 86 106 15 55 76 81 18137 21 24 41 92 99 102 117 120 32 2101 50 112 123 113 69 82 89 6147 55 127 118 121 31 49 79 19 3130 128 149 63 84 91 5 43 59 10 112 126 17 46 62 72 7 108 144 64 75 110 116 42 51 83 129 13 27 4138 37982 11 3529 25 2039 65 77 88 53 87 97 98 9100 139 150 26129 30 50 34 87874146 111 125 97 4 108 14919 15 36 16 1 8 5985 6793 14096 139 91 147 134 133 4544 116 121 14 1036034 48 9888 132 478037 80 146 100 62 128 24137 106 60 46 93 111 75 120 109 73 95 47 140 78 1351 96 138 39 977 144 130 74 126 125 83 84 135 150 107 102 148 63
85
90 60
70
80
90
100
110
120
DUKUNGAN SOSIAL
Berdasarkan sebaran ilustrasi gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut dengan adanya kekuatan hubungan yang linier dan signifikan antara dukungan sosial dengan selfregulated learning yang dapat dilihat berdasarkan banyaknya responden yang berada pada garis linier. Selanjutnya responden yang terdapat diantara dua garis prediksi merupakan pembentuk kuatnya hubungan yang terjadi pada dukungan sosial dengan self-regulated learning. Kekuatan hubungan atau sumbangan yang diberikan oleh variabel dukungan sosial terhadap self-regulated learning tersebut dapat dinyatakan 45
Rifi Hamdani Lubis, Hubungan Dukungan Sosial Dan Kecerdasan Emosional Dengan Self Regulated
dengan nilai Determinasi (R2) = (0,289)2 x 100 % = 8,35 %. Uji hipotesis kedua dilakukan untuk menguji apakah ada hubungan kecerdasan emosional dengan selfregulated learning siswa dengan menggunakan analisis regresi sederhana, karena sebaran skor skalanya normal, linier dan signifikan. Hasil yang didapat dari uji hipotesis tersebut menunjukkan koefisien regresi ( r ) sebesar 0,473 dengan p = 0,000 (p < 0,05), sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan self-regulated learning siswa dapat diterima. Persamaan regresi yang terbentuk dapat dijadikan sebagai alat prediksi untuk melihat gejala perubahan yang terjadi pada variabel self-regulated learning dikarenakan adanya perubahan pada kecerdasan emosional. Persamaan regresi dimaksud yaitu Y = 62,392 + 0,603X2. Berdasarkan persamaan regresi tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin baik kecerdasan emosional yang dimiliki oleh siswa maka semakin baik self-regulated learning yang dimiliki siswa. Ilustrasi dari adanya hubungan positif, linier dan signifikan dapat dilihat dari ilustrasi model grafik di bawah ini:
Berdasarkan sebaran ilustrasi gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut bahwa adanya kekuatan hubungan linier dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan selfregulated learning yang dapat dilihat berdasarkan banyaknya responden yang berada pada garis linier. Selanjutnya responden yang terdapat diantara dua garis prediksi merupakan pembentuk dari kuatnya hubungan yang terjadi pada kecerdasan emosional dengan selfregulated learning. Kekuatan hubungan atau sumbangan yang diberikan oleh variabel kecerdasan emosional terhadap self-regulated learning tersebut dapat dinyatakan dengan nilai Determinasi (R2) sebesar = (0,473)2 x 100 % = 22,37 % Pengujian hipotesis ketiga menyatakan bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial dan kecerdasan emosional secara bersama sama terhadap self-regulated learning siswa menggunakan teknik analisis regresi ganda. Hasil yang didapat dari uji hipotesis tersebut menunjukkan koefisien regresi ganda (R) sebesar 0,509 dengan p = 0,000 (p < 0,05), sehingga hipotesis yang menyatakan ada hubungan positif antara dukungan sosial dan kecerdasan emosional dengan selfregulated learning siswa secara bersamasama dapat diterima. Persamaan regresi yang terbentuk yaitu Y = 50,105 + 0,181X1 + 0,548X2.
Gambar 2. Hubungan linier antara kecerdasan emosional dengan self-regulated learning 150
SELF REGULATED LEARNING
68
140
6 33 5 52
99 145
130
115
7
30
76
136 22 143
26
6981 104 32 53 38 65 56 23 61 65 118 5728 58 54 123 16 2 2270 34 61 81 45 141 123 142 143 69136 141 3194 32 87 131 117 101 122 71 42 66 76 43 105 110 27 72 31 70 2 40 37 20 90 142 2542 64 128 3873 67 71 78 91 114 18 1 4821 146 43 115 23 47 54 58 49 17 66 113 26129 45 11 21 28 50 56 79 92 44 86 101 118 119 147 149 14132 48 57 62 90 112 89 127 131 104 116 133 145 13 15 35 36 53 55 75 50 113 109 117 46 77 8 10 59 17 72 83 99 7122 100 121 127 24126 82 29 3 35 11 79 129 2540 108 111 137 20 84 87 95 97 41108 97 8 36 15149 3416 105 12 27 33 51 52 80 98 1124 5 139 18 49 63 86 89 3110 6 93 134 139 133 147 91 44 59 74 88 9114 103 134 150 30112 39 96 121 116 119 14 106 125 10 88 98 132 138 144 29 102 106 80 137 100 24 62 146 128 130 60140 82 46 107 120 37 60 93 111 95 109 75 73 148 85120 140 51 13 4778 135 138 96 12 39 130 144 9 77 74 126 125 83 84 135 107 150 102 148 124 41
19 4 68
103
120
110
100
4
19
46
63
85
90 70
80
90
100
110
120
Jurnal Analitika Magister Psikologi UMA, 8 (1) (2016): 35-55
Berdasarkan persamaan prediksi tersebut dapat dijelaskan bahwa faktor determinasi yang dinyatakan paling kuat dalam menentukan perubahan pada selfregulated learning yakni pada faktor kecerdasan emosional bila dibandingkan dengan faktor dukungan sosial. Kekuatan hubungan atau sumbangan yang diberikan oleh variabel kecerdasan emosional dan dukungan sosial orang tua secara bersama-sama terhadap selfregulated learning tersebut dapat dinyatakan dengan nilai Determinasi (R2) sebesar = (0,509)2 x 100 % = 25,90 %. Ilustrasi dari hubungan antara dukungan sosial dan kecerdasan emosional secara bersama-sama dengan self-regulated learning dapat dijelaskan dengan gambar grafik berikut ini :
Gambar 4. Hubungan linier antara dukungan sosial dan kecerdasan emosional dengan selfregulated learning
Berdasarkan grafik tersebut dapat dijelaskan, variabel dukungan sosial yang diberikan oleh orang tua dan kecerdasan emosional yang dimiliki siswa secara bersama-sama berestimasi dengan variabel self-regulated learning hingga membentuk ilustrasi garis diagonal yang arahnya dari kiri bawah ke
kanan atas. Hal ini mengindikasikan bahwa estimasi yang terjadi menunjukan ke arah positif dan signifikan. Ini artinya semakin semakin baik dukungan sosial yang diberikan oleh orang tua dan kecerdasan emosional yang dimiliki siswa secara bersama-sama dapat mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap perubahan ke arah yang lebih baik dari self-regulated learning yang dimiliki siswa. Tabel berikut merupakan rangkuman hasil pembandingan mean hipotetik dan mean empirik : Tabel 1
Perbandingan Antara Mean Hipotetik dengan Mean Empirik Variabel selfregulated learning siswa
Mean/Nilai Rata-rata
Hipotetik
Empirik
93
118,45
Dukungan Sosial
61,5
92,29
Kecerdasan Emosional
72,5
96,25
Keterangan selfregulated learning siswa baik Dukungan Sosial baik
Kecerdasan Emosional baik
Pembahasan hasil penelitian dalam penelitian ini dikaji berdasarkan data yang diperoleh dari konstruk indikator yang dibangun. Data yang dimaksudkan dalam penelitian ini yaitu informasi yang diterima oleh peneliti melalui jawaban instrumen yang disebarkan kepada responden. Selanjutnya, dengan melihat
47
Rifi Hamdani Lubis, Hubungan Dukungan Sosial Dan Kecerdasan Emosional Dengan Self Regulated
perbandingan seharga dari data yang telah dikonversi dalam bentuk angka, maka kita dapat mengetahui besarnya hubungan yang ditunjukkan berdasarkan hasil analisis statistik. Untuk kajian lebih lanjut hasil penelitian yang sudah diperoleh dalam bentuk empiris selanjutnya dikaji berdasarkan teori-teori yang dibangun pada masingmasing variabel. Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan teknik analisi Regresi Sederhana pada hipotesis pertama menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan self-regulated learning siswa dalam belajar. Sedangkan dilihat konstruk indikator dan data serta teoriteori yang dibangun yang dikutip dari kedua variabel menunjukkan adanya hubungan dalam pernyataan instrumen pada masing masing indikator. Demikian halnya jika ditelusuri berdasarkan skor data kuantitatif yang ditunjukkan pada hasil rekapitulasi data penelitian antara data Dukungan Sosial orang tua dengan data Self-Regulated Learning menunjukkan adanya nilai perbandingan seharga dari kedua variabel tersebut. Jika ditinjau berdasarkan analisis instrumen, kedekatan emosional yang dirasakan anak dengan orang tuanya, terjadinya integrasi sosial antara anak dan orang tua melalui bimbinganbimbingan orang tua terhadap anak dan kemungkinan besar yang dirasakan anak untuk dapat dibantu dalam kesulitan belajar sehingga menimbulkan hubungan yang dapat diandalkan bagi siswa dari orang tuanya. Secara psikologis, kesemua hal tersebut erat kaitannya dengan peningkatan selfregulated learning yang terbangun dalam
diri si anak. Seperti meningkatnya motivasi belajar, terbentuknya metakognitif dan strategi kognitif serta strategi pengelolaan lingkungan dan sumber daya dalam diri anak. Seperti dijelaskan Gottlieb (dalam Smet, 2004) menyatakan bahwa dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasihat verbal dan non verbal, bantuan yang nyata atau tindakan yang diberikan oleh orang lain yang dalam hal ini orang tua atau didapat karena hubungan mereka dengan lingkungan dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi dirinya. Dalam hal ini siswa yang merasa memperoleh dukungan sosial secara emosional merasa lega karena diperhatikan oleh orang tua, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada siswa, agar siswa dapat mencari jalan keluar untuk memecahkan masalahnya dalam belajar. Lebih tegas dijelaskan Fischer (2008) juga menyatakan bahwa salah satu hal yang berperan penting dalam pembentukan kemandirian belajar pada diri siswa adalah dari dukungan yang diterima oleh siswa dari komunitas tempat dimana siswa berada, seperti dari sekolah, teman, orang tua, guru dan sebagainya. Dukungan teori-teori di atas, juga telah membuktikan ungkapan kebenaran dari beberapa pernyataan instrumen terpilih oleh responden yang menyatakan bahwa: “Saya merasa orang tua sangat mencintai saya, selalu memberikan semangat dalam hal mengikuti perkembangan belajar dan selalu antusias menemani saya membeli buku-buku pelajaran ke toko buku. Disisi lain adanya usaha dari pihak anggota keluarga untuk mencari informasi solusi
48
Jurnal Analitika Magister Psikologi UMA, 8 (1) (2016): 35-55
permasalahn terkait dengan pelajaranpelajaran yang sulit dan permasalahan yang sulit lainnya di luar permasalahan dalam belajar yang diwujudkan dalam bentuk nasehat, bimbingan dan pujian dari orang tua kepada saya ketika berhasil memperoleh prestasi baik dalam situasi permasalahan belajar maupun dalam setiap kali saya akan melakukan pengambilan keputusan terkait dengan permasalahan yang saya hadapi.” Seperti dijelaskan Santrok (2003), keluarga merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk mandiri. Dukungan yang paling besar di dalam lingkungan rumah adalah bersumber dari orang tua. Orang tua diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Demikian juga seperti apa yang disampaikan Gottlieb (dalam Smet, 2004) menyatakan bahwa dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasihat verbal dan non verbal, bantuan yang nyata atau tindakan yang diberikan oleh orang lain atau didapat karena hubungan mereka dengan lingkungan dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi dirinya. Berdasarkan ungkapan pernyataan dari beberapa ahli sebelumnya dapat dipahami bahwasanya, dukungan sosial yang diberikan orang tua maupun yang berasal dari lingkunan keluarga kepada si anak baik berupa nasihat verbal dan non verbal, bantuan yang nyata atau tindakan yang diberikan oleh orang lain
serta kesempatan kepada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimiliki siswa seperti: belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala perbuatannya merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk emosional atau berefek terhadap perilaku lainya bagi diri si anak. Jika ke semua dukungan sosial yang diberikan orang tua tersebut berorientasi pada hal-hal yang posisitif maka pembentukan dan perkembangan metakognitif, emosional dan prilaku belajar aktif dapat tercapai tujuan dalam belajar yang tumbuh pada diri si anak juga menunjukkan hal yang positif. Sedangkan sebaliknya, jika dukungan yan diberikan orang tua dan lingkungan keluarga tidak berorientasi pada hal-hal yang positif maka perkebangan metakognitif, emosinal dan prilaku belajar tidak dapat menjapai tujuan dalam belajar bagi si anak dengan kata lain self-regulated learning dalam diri si anak tidak tumbuh secara optimal. Selanjutnya pada hipotesis kedua menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan emosional dengan self-regulated learning siswa dalam belajar. Pembuktian hipotesis kedua ini sejalan dengan ungkapan teori yang dikemukakan Goleman (2002), seseorang yang cerdas secara emosi akan memiliki kemampuan dalam menguasai diri, mengenal dirinya dan mengelola diri sendiri serta kemampuan dalam membina hubungan dengan orang lain. Sejalan dengan pendapat tersebut, secara tegas juga disampaikan Shapiro (1999) kecerdasan
49
Rifi Hamdani Lubis, Hubungan Dukungan Sosial Dan Kecerdasan Emosional Dengan Self Regulated
emosional sangat berhubungan dengan berbagai hal yaitu perilaku moral, cara berpikir yang realistik, pemecahan masalah, interaksi sosial, emosi diri dan keberhasilan baik secara akademik maupun pekerjaan. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengenali, mengolah dan mengontrol emosi agar seseorang mampu meresponsecara positif terhadap setiap kondisi yang merangsang munculnya emosi-emosi tersebut. Pendapat yang sama dalam rangka menegaskan pembuktian hipotesis kedua ini, seperti dijalaskan kembali oleh Goleman (2002) kecerdasan emosional didalamnya termasuk kemampuan memacu diri agar tetap tekun dalam mengenal dirinya dan mengelola diri sendiri. Hasil penelusuran data dari kedua variabel yang terestimasi, selanjutnya dengan melihat gambaran jawaban option option yang terpilih dari pernyataan instrumen yang diberikan menunjukkan adanya skor perbandingan seharga sehingga menghasilkan nilai korelasional yang signifikan. Hal ini memberikan gambaran bahwa semakin baik perkembangan kecerdasan emosional yang dimiliki siswa maka semakin baik perkembangan selfregulated learning siswa dalam belajar. Hasil penelusuran instrumen terpilih yang dikembangkan berdasarkan indikator, menunjukkan bahwa seorang siswa yang mampu mengenali dirinya terkait dengan: kejujuran emosi, enerji emosi umpan balik emosi dan intuisi praktis, selanjutnya, siswa yang mampu mengelola emosi, seperti: mampu mengatasi kecemasan, mengatasi kesedihan dan mampu bertahan pada situasi sulit serta dapat mengendalikan
diri terestimasi secara positif dengan situasi yang terjadi pada diri siswa dalam membangun nilai-nilai instrinsik, ekstrinsik, membangunan keyakninan dalam mengontrol diri serta dapat meregulasi secara positif terkait dengan metakognitif dan strategi kognitif dalam membangun tindakan tindakan selfregulated learning siswa dalam belajar. Sebagaimana instrumen yang dikutif pada option option pernyataan pada variabel kecerdasan emosional sebagai berikut : “ Saya bersemangat ketika membaca latar belakang pendidikan orang-orang yang sudah berhasil, mengambil contoh kesuksesan dari orang lain, membina hubungan dan kedekatan dengan orang lain untuk mengambil pengalamannya dan berusaha menjalin kedekatan hubungan dengan orang lain untuk menambah pengetahuan”. Alasan kuat terpilihnya optionoption di atas oleh responden, terdeteksi dari jawaban-jawaban option lainnya terkait dengan dasar keinginan siswa dalam memperoleh keberhasilan dalam belajar. Sebagaimana petikan pernyataan instrumen sebagai berikut: “ Saya memiliki semangat yang tinggi untuk maju (lebih baik), dengan cara mencari hal-hal yang baru untuk menunjang keberhasilan saya, memanfaatkan semua potensi yang ada pada diri saya secara maksimal, walaupun banyak cobaan yang dapat menimbulkan kecemasan bagi diri saya, saya dapat mengatasinya dengan baik, Betapapun cobaan tersebut sangat berat, saya berusaha untuk lebih baik lagi, misalkan mendapat musibah berusaha untuk tenang kembali, bersikap tenang meskipun banyak masalah yang saya 50
Jurnal Analitika Magister Psikologi UMA, 8 (1) (2016): 35-55
hadapi, namun tetap akan termotivasi untuk melakukan sesuatu yang positif, sebab saya mengenali diri saya sendiri dengan baik.. Sejalan dengan karakteristik responden memilih option di dijelaskan Zimmerman (1989) mengatakan bahwa self-regulated learning berdasar pada usaha aktif siswa yang melibatkan metakognisi, motivasi dan perilaku untuk mencapai prestasi akademik yang lebih baik. Lebih jauh Zimmerman (2008) menjelaskan komponen motivasi dalam self-regulated learning adalah sebagai berikut: minat belajar dari dalam diri individu untuk menguasai dan memahami materi sebagai usaha dalam meraih prestasi belajar yang terbaik dapat dilakukan dengan cara menyenangi orang lain atau mengalahkan orang lain, dan keyakinan yang dimiliki terhadap kemampuan yang dimiliki. Anaisis lebih lanjut dari pembahasan ini tampak jelas pada illustrasi yang ditampilkan pada gambar 2. Hubungan linier antara kecerdasan emosional dengan self-regulated learning sebelumnya yakni: titik-titik estimasi yang terjadi antara kecerdasan emosional dengan self-regulated learning lebih cenderung berada diantara kedua garis prediksi yang mengarah pada pembentukan garis yang lebih linier dibandingkan dengan gambar 1 sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel kecerdasan emosional lebih dominan mempengaruhi selfregulated learning dari pada variabel dukungan sosial. Temuan ini sejalan dengan apa yang telah disampaikan Shapiro (dalam Goleman, 2000) membagi kecerdasan
emosional menjadi dua bagian yakni peran orang tua atau dapat dikatakan dukungan sosial yang berasal dari orang tua dan komunikasi dengan seseorang atau kelompok di lingkungan keluarga. Seperti dijelaskannya Peran orang tua sangat besar dalam mengajarkan dan memberikan teladan pada anak untuk mempelajari perasaan-perasaannya dan mengajarkan nilai-nilai moral dari perasaan tersebut, mengajarkan maupun mengatasi masalahnya dan mampu menerima tentang pemecahan masalah, mengajarkan keterampilan sosial dan mengajarkan cara mengungkapkan katakata yang baik. Sedangkan komunikasi dapat membantu anak masuk kedalam pengalaman yang baik dengan seseorang ataupun kelompok, karena komunikasi meliputi berbagai informasi pribadi, mengajukan pertanyaan kepada orang lain, mengekspresikan minat penerimaan Berdasarkan pendapat Shapiro (dalam Goleman, 2000) tersebut, jelaslah bahwa mengapa variabel kecerdasan emosional lebih dominan dari pada variabel dukungan sosial dalam mempengaruhi terbentuknya selfregulated learning pada diri anak (siswa). Karena secara konseptual diakui bahwa peran orang tua dan komunikasi yang terjadi di lingkungan keluarga merupakan salah satu bagian atau faktor dari banyaknya bagian atau faktor-faktor yang membentuk kecerdasan emosional anak. Secara tegas disampaikan Zimmerman (1990) dalam teori sosial kognitif terdapat tiga hal yang dapat mempengaruhi seseorang dalam melakukan self-regulated learning, yakni individu, perilaku dan lingkungan. 51
Rifi Hamdani Lubis, Hubungan Dukungan Sosial Dan Kecerdasan Emosional Dengan Self Regulated
Dua diantara tiga faktor tersebut individu dan prilaku merupakan faktor determinan pembentuk kecerdasan emosional. Sedangkan faktor lingkungan salah satu yang ada di dalamnya adalah faktor dukungan sosial dari orang tua. Dari dari ketiga faktor tersebut dapat dijelaskan bahwa faktor individu meliputi pengetahuan, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan metakognisi, serta efikasi diri. Faktor perilaku meliputi behavior self reaction, personal self reaction serta environment self reaction. Sedangkan faktor lingkungan dapat berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan dan lain sebagainya. Salah satu yang dapat mempengaruhi self-regulated learning dalam faktor individu adalah kecerdasan emosional dan faktor lingkungan salah satunya adalah dukungan sosial dari orang tua. Berdasarkan uraian sebelumnya diduga, semakin baik tingkat kecerdasan emosional seseorang atau siswa maka semakin baik self-regulated learning yang dimilikinya. Pada hasil pembuktian hipotesis ketiga menjelaskan bahwa terdapat hubungan positif antara dukungan sosial dan kecerdasan emosional secara bersama sama terhadap self-regulated learning siswa. Terdapatnya hubungan positif antara dukungan sosial dan kecerdasan emosional secara bersama sama terhadap self-regulated learning yang dimiliki siswa. Hasil temuan ini sejalan dengan pendapat Alsa (2006) yang mengatakan bahwa self-regulated learning yang berkualitas adalah belajar dengan menjaga motivasi, meregulasi metakognisi dan menggunakan strategi
belajar, baik strategi kognitif maupun strategi mengelola lingkungan dan sumber daya. Dari sisi motivasi dijelaskan secara tegas oleh Mulyasa (2008) mengatakan bahwa tujuan dalam belajar berkaitan dengan motivasi. Siswa akan melakukan sesuatu kalau ia memiliki tujuan atas perbuatannya, jika tujuan jelas maka siswa akan memiliki dorongan yang kuat untuk mencapainya. Demikian juga Santrock (2008) mengatakan bahwa motivasi merupakan proses yang memberi semangat, arah dan kegigihan perilaku. Perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh dengan energi, terarah dan bertahan lama. Dari kedua pendapat ini, jelaslah bahwa dalam meningkatkan self regulated learning yang terdapat dalam diri siswa sangat dibutuhkan adanya motivasi yang kuat. Baik hal itu datangnya dalam dalam diri siswa itu sendiri (intrinsik) maupun yang datangnya dari lingkungan yang dalam hal ini dapat dikatakan dukungan sosial dari orang tua. Sedangkan dari sudut pandang kecerdasan emosional, kemampuan seorang siswa dalam meningkatkan self regulated learning yang dimilikinya ini terkait dengan kemampuan siswa dalam meregulasi metakognisi dan menggunakan strategi belajar, baik strategi kognitif maupun strategi mengelola lingkungan dan sumber daya, secara tegas disampaikan Fernandez, (2008). Kesadaran akan kemampuan dan pengetahuan mengenai kecerdasan emosional yang dimiliki oleh peserta didik akan dapat memberikan pengaruh pada keberhasilan dalam belajar. Apabila peserta didik memiliki IQ tinggi, tetapi dengan tingkat kecerdasan emosional
52
Jurnal Analitika Magister Psikologi UMA, 8 (1) (2016): 35-55
yang rendah, ia akan cenderung terlihat sebagai seorang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustasi, idak mudah percaya pada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa jika mengalami stress. Kondisi sebaliknya akan keliahatan pada peserta didik yang memiliki tingkat IQ rata-rata, tetapi dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Tidak pula dapat dipungkiri bahwa peserta didik yang memiliki tingkat IQ tinggi cenderung lebih tertutup dengan lingkungan sekitar dan kurang dapat menerima perbedaan di sekitarnya. Lebih lanjut dijelaskannya, mengapa bisa terjadi hal yang demikian adalah karena kurang berkembangnya kecerdasan emosional yang dapat mengakibatkan peserta didik kurang dapat mengembangkan kererampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial mengontrol diri. Tentu tidak pula mengherankan jika terdapat ada diantara anak yang pandai secara intelektual, tetapi gagal secara emosional. Seperti dijelaskan sebelumnya oleh Zimmerman (1990) dalam teori sosial kognitif terdapat tiga hal yang dapat mempengaruhi seseorang dalam melakukan self-regulated learning, yakni individu, perilaku dan lingkungan. Faktor individu meliputi pengetahuan, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan metakognisi, serta efikasi diri. Faktor perilaku meliputi behavior self reaction, personal self reaction serta environment self reaction. Sedangkan faktor lingkungan dapat berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, baik lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, lingkungan pergaulan dan lain sebagainya. Salah satu yang dapat mempengaruhi self-regulated learning dalam faktor individu adalah kecerdasan emosional dan faktor lingkungan diantaranya adalah dukungan sosial dari orang tua. Temuan penelitian ini juga didukung oleh hasil-hasil penelitian terdahulu seperti yang dilakukan Saguni dan Amin (2014), membuktikan bahwa dukungan sosial teman sebaya dan selfregulated learning memiliki hubungan yang positif dengan motivasi belajar pada siswa. Pada bagian lain, hasil penelitian Haryani, (2013), Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan sosial orang tua dengan motivasi belajar pada mahasiswa fakultas psikologi UMA.. Beberapa pernyataan responden pada masing-masing variabel dukungan sosial dan kecerdasan emosional terhadap pernyataan instrumen yang terdapat pada variabel self-regulated learning juga menunjukkan kesamaan dalam wujud data, ketiga variabel ini terestimasi secara linier membentuk bidang diagonal sebagaimana terlihat pada gambar 3 pada temuan hipotesis ketiga sebelumnya. Beberapa data melalui option pernyataan yang terdapat pada ketiga variabel penelitian menunjukkan karakteristik sebaran data yang sama. Option pernyataan tesebut adalah sebagai berikut: Nasehat yang diberikan orang tua menjadi pedoman saat saya bergaul di luar (DS). Dengan kemampuan yang saya miliki, saya dapat mengenali emosi orang lain (KE). Saya berusaha membina kedekatan hubungan dengan orang lain (KE). Saya merasa yakin atas 53
Rifi Hamdani Lubis, Hubungan Dukungan Sosial Dan Kecerdasan Emosional Dengan Self Regulated
perbuatan yang saya lakukan dapat memberikan kenyamanan kepada orang lain (KE). Saya berusaha menunjukkan hal terbaik agar orang lain tidak meras tersinggung. (KE). Saya bersikap sopan santun kepada teman saya, karena saya ingin punya banyak teman (KE). Saya akan mengurangi gangguan belajar di kelas dengan meminta teman yang ribut untuk diam (SRL). Berdasarkan pernyataanpernyataan para ahli sebelumnya, hasilhasil penelitian terdahulu dan dianalisa secara verbal dari konteks instrumen maka terdapat alur searah yang menggambar keselarasan antara dukungan sosial yang sudah diterima oleh siswa dari lingkungannya dalam hal ini berupa lingkungan keluarga yang lebih dominan dan kemampuan emosional secara pribadi berupa sosial kognitif yang dimiliki siswa dapat mempengaruhi siswa dalam melalakukan self-regulated learning dalam dirinya Akhirnya temuan ini menegaskan bahwa semakin baik dukungan sosial yang diberikan oleh orang tua dan kecerdasan emosional yang dimiliki siswa secara bersama-sama dapat diyakini secara empiris berpengaruh positif dan signifikan dengan perubahan ke arah yang lebih baik dari selfregulated learning yang dimiliki siswa. SIMPULAN
Hasil penelitian menemukan adanya hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan self-regulated learning pada siswa dengan kekuatan hubungan sebesar 8,35%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, semakin tinggi dukungan sosial yang
dimiliki oleh siswa maka akan semakin tinggi self-regulated learning. Selanjutnya, diketahui pula adanya hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan selfregulated learning pada siswa dengan kekuatan hubungan sebesar 22,27%. Dengan demikian semakin tinggi kecerdasan emosional yang dimiliki oleh siswa maka akan semakin tinggi selfregulated learning. Lebih jauh lagi ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan kecerdasan emosional terhadap selfregulated learning pada siswa dengan kekuatan hubungan sebesar 25,29 %. Semakin tinggi dukungan sosial dan kecerdasan emosional yang dimiliki oleh siswa maka akan semakin tinggi selfregulated learning. DAFTAR PUSTAKA Adicondro, Nobelina & Purnamasari, Alfi. (2011). Efikasi Diri, Dukungan Sosial Keluarga dan Self-Regulated Learning pada Siswa Kelas VIII. Jurnal Humanitas Vol. VIII No. 1, Januari 2011, 17-27. Ahmadi. (1991). Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Aziz, A. (2009). Belajar Berdasar Regulasi Diri ditinjau dari Jenis Pendidikan. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Pascasarjana UGM. Balai Pustaka. (2000). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Deasyanti dan Armei, Anna. (2007). Self Regulation Learning pada Mahasiswa Fakultas Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Perspektif Ilmu Pendidikan. Vol. 16, Tahun VIII. Depdiknas. 2006. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika. Fathurrohman, P., Suryana, AA., & Fatriany, F. (2013). Pengembangan Pendidikan Karakter. Bandung: PT Refika Aditama.
54
Jurnal Analitika Magister Psikologi UMA, 8 (1) (2016): 35-55 Goleman, D. (2000). Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hall, C.S., dan Lindzey, G. (2005). Psikologi Kepribadian 2: Teori-teori Holistik (Organismik-Fenomenologis). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hurlock, E.B. (1994). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Terjemahan dari Developmental Psychology: A Life-Span Approach. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Haryani, Yuli T. (2013). Hubungan Antara Dukungan Sosial Orang Tua Dengan Motivasi Belajar Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Medan Area. Skripsi (tidak diterbitkan). Medan: Fakultas Psikologi UMA. Purnamasari dan Adicondro. (2011). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Terjemahan dari Developmental Psychology: A Life-Span Approach. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Santrock, J.W. (2008). Psikologi Pendidikan. Edisi Kedua. Jakarta: Prenada Media Group. Stein, S.J., dan Book, H.E. (2004). Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Bandung: Kaifa. Zimmerman, B.J. (1990). Self Regulated Learning and Academic Achievement:An Overview. Educational Psychologist. 25(1), 3-17. Lawrence ErlbaumAssociates.
55