ANALISIS UP TAKE KANDUNGAN LOGAM BERAT DARI KOMPOS LUMPUR WATER TREATMENT PLANT OLEH TANAMAN
ENHAR HAKIM
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ABSTRAK
ENHAR HAKIM. Analisis Up Take Kandungan Logam Berat dari Kompos Lumpur Water Treatment Plant oleh Tanaman. Dibimbing oleh Dr. Satyanto K. Saptomo, STP, MSi dan Allen Kurniawan, ST, MT. Pemanfaatan lumpur hasil pengolahan sangat minim dan kurang diperhatikan oleh banyak kalangan industri. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan kompos dari lumpur pengolahan air minum sebagai media tanam, mengidentifikasi adanya kandungan logam berat pada kompos yang terserap pada tanaman, dan mendegradasi kandungan logam berat pada lumpur dengan cara fitoremediasi. Metode yang digunakan adalah pemanfaatan kompos WTP sebagai media tanam tanpa campuran tanah. Pada pengujian menggunakan tiga macam kompos WTP yang berbeda-beda. Kompos 1 berasal dari WTP PT. Krakatau Tirta Industri, Cilegon, Jawa Barat. Kompos 2 berasal dari WTP PDAM Tirta Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Kompos 3 berasal dari WTP PDAM Tirta Kahuripan, Cibinong Jawa Barat. Pada ketiga uji tanaman mengalami pertumbuhan yang subur dan mengalami proses degradasi logam berat. Hasil ketiga uji kandungan logam berat pada tanaman setelah panen menunjukkan nilai di atas ambang batas SNI 7387 tahun 2009 tentang batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan. Tanaman dengan menggunakan kompos WTP tidak aman untuk dikonsumsi. Pendegradasian logam berat pada saat dalam bentuk lumpur WTP hingga tanaman dipanen mengalami penurunan nilai logam berat. Hal ini menunjukkan kelayakan pemanfaatan lumpur WTP dengan cara pengomposan dan pengaplikasian pada media tanam. Kompos WTP dapat menyuburkan tanaman, tetapi tidak untuk tanaman pangan. . Kata kunci : lumpur, kompos, logam berat, degradasi, SNI 7387 tahun 2009
ABSTRACT
ENHAR HAKIM. Analysis Up Take Content Heavy Metal from Composting the Sludge Water Treatment Plant by Plants. Supervised by Dr. Satyanto K. Saptomo, STP, MSi and Allen Kurniawan, ST, MT. Utilization of sludge processing results are very minimal and less noticed by many among the industry. This research aims to identify the feasibility of compost of sludge processing drinking water as a medium for planting, identifying the presence of heavy metals content in the compost that is absorbed in plants, and degrades the contents of heavy metals in sludge by means of fitoremediasi. The method used is the utilization of compost as a medium for planting without WTP mixed soil. On testing using three kinds of different compost WTP. Compost 1 comes from WTP PT. Krakatau Tirta Industry, Cilegon, West Java. Compost 2 comes from WTP PDAM Tirta Pakuan Bogor, West Java. Compost 3 comes from WTP PDAM Tirta Kahuripan Cibinong, West Java. On the third having a lush growth of vegetation and experience the process of degradation the heavy metals. The results of the three trials heavy metal content in plants after harvest showed values above the threshold limit of SNI 7387 in 2009 about The Limit of Heavy Metal Contamination in Food. Composting plant using WTP is not safe for consumption. Degradation of heavy metals in the form of mud at the WTP to harvest heavy metals impaired. This demonstrates the feasibility of the utilization of WTP sludge by composting and application of the growing media. Compost WTP can fertilize the plants, but not for food crops. Keywords: mud, compost, heavy metals, degradation, SNI 7387 in 2009.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
ANALISIS UP TAKE KANDUNGAN LOGAM BERAT DARI KOMPOS LUMPUR WATER TREATMENT PLANT OLEH TANAMAN
ENHAR HAKIM
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi Nama mahasiswa NIM
: Analisis Up Take Kandungan Logam Berat dari Kompos Lumpur Water Treatment Plant oleh Tanaman. : Enhar Hakim : F44080052
Disetujui oleh,
Dr. Satyanto K. Saptomo, STP, MSi Pembimbing I
Allen Kurniawan, ST, MT Pembimbing II
Diketahui oleh,
Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, MAgr Ketua Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan
Tanggal lulus:
PRAKATA Alhamdulillahirobbil’alamin segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir ini yang berjudul “Analisis Up Take Kandungan Logam Berat dari Kompos Lumpur Water Treatment Plant oleh Tanaman” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kompos Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB, Kelurahan Margajaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, dari bulan Maret 2012 hingga Desember 2012. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Satyanto K, Saptomo, STP, MSi selaku dosen pembimbing pertama penelitian dan Allen Kurniawan, ST, MT selaku dosen pembimbing kedua penelitian. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih atas do’a kedua orangtua dan temanteman dalam memberikan semangat. Penulis juga menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan penelitian ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Bogor, 4 Februari 2013
Enhar Hakim
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat TUJUAN PUSTAKA Karakteristik Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum Sumber Lumpur Karakteristik Fisik Lumpur Karakteristik Kimia Lumpur Karakteristik Biologi Lumpur Pemanfaatan Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum Pengomposan Faktor Yang Mempengaruhi Pengomposan Karakteristik Lumpur dan Mutu Kompos Teknik Remediasi Tanah Soil Venting Soil Vapour Extraction (SVE) Bioremediasi Proses Fitoremediasi Mekanisme Proses Media Proses/Tanam BAHAN DAN METODE Tempat Dan Waktu Alat Dan Bahan Metode Pelaksanaan HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lumpur Proses Pengomposan Karakteristik Pengomposan Pengaruh Kandungan Logam Berat Terhadap Tanaman SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
viii viii x 1 2 2 2 3 3 3 4 4 11 11 12 12 17 17 18 18 19 21 23 25 28 28 28 28 31 31 33 37 40 50 50 50 52 55 59
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Rasio C/N berbagai bahan baku yang dapat dibuat sebagai kompos 13 Tabel 2 Faktor penting dalam perencanaan proses pengomposan secara aerobik 16 Tabel 3 Aplikasi fitoremediasi untuk mengatasi berbagai polutan dan tanamannya 22 Tabel 4 Kualitas lumpur sebelum pengomposan 31 Tabel 5 Karakteristik lumpur 32 Tabel 6 Klasifikasi pengomposan berdasarkan cara pembuatannya 36 37 Tabel 6 Kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan Tabel 7 Perbandingan kualitas kompos WTP dengan SNI 19-7030-2004 38 Tabel 8 Standar kualitas kompos SNI 19-7030-2004 39 Tabel 9 Uji pertama pada tanaman kangkung 44 Tabel 10 Uji kedua pada tanaman kangkung dan cabe 45 Tabel 11 Uji ketiga lumpur pada kangkung dan rumput gajah mini 46
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Proses tranportasi Soil Vapour Extraction Gambar 2 Alfalfa legum salah satu tumbuhan hyperaccumulator Gambar 3 Diagram alir penelitian Gambar 4 Pembibitan kangkung pada uji pertama dengan pupuk komersil (kiri) dan kompos 2 (kanan) Gambar 5 Tanaman kangkung uji kedua dengan kompos : A. Komersil, B. kompos 1, dan C. kompos 2 Gambar 6 Rumput gajah mini dan kangkung pada uji ketiga dengan menggunakan lumpur 2
19 27 30 44 45 48
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Kadar air uji ketiga
56
Lampiran 2 Kadar air uji kedua
56
Lampiran 3 Parameter yang perlu diperhatikan dengan seksama dalam setiap jenis air limbah industri
57
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan industri yang cukup pesat di Indonesia mengakibatkan meningkatnya jumlah limbah, sehingga dapat menimbulkan permasalahan lingkungan apabila tidak ditangani secara serius. Pemanfaatan lumpur hasil pengolahan sangat minim dan kurang diperhatikan oleh banyak kalangan industri. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir biaya pengeluaran pengolahan lanjutan untuk setiap proses produksi. Dampak negatif yang dilihat dalam jangka pendek tidak terlalu berpengaruh terhadap lingkungan sekitar, karena hanya menghasilkan tumbuhan liar. Namun dampak negatif dalam jangka panjang dapat mengganggu karakteristik alamiah tanah. Perusahaan air minum merupakan salah satu instansi yang menghasilkan limbah berupa lumpur padat dan lumpur cair di setiap akhir proses produksi. Pada umumnya lumpur cair dibuang langsung ke badan air seperti sungai, sedangkan lumpur padat dibiarkan menumpuk pada suatu lahan. Instansi ini menghasilkan produksi lumpur yang besar dari hasil sedimentasi air baku (sungai), sebagian besar berupa bahan organik. Selain bahan organik, lumpur mengandung logam berat dengan konsentrasi yang beragam. Logam berat seperti Cd, Pb, Hg, Cu, Cr, dan Zn tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Logam-logam tersebut dihasilkan oleh bahan kimia yang digunakan dalam proses penjernihan dan sterilisasi air yang akan digunakan dalam proses pengolahan air baku. Pada kegiatan domestik dan non domestik selain perusahaan air minum, logam tersebut dapat berasal dari limbah bahan makanan, kegiatan rumah tangga, industri, percetakan, pabrik kimia, tekstil, farmasi, dan lainnya yang kemungkinan berada di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai), ketika air baku tersebut digunakan untuk proses pengolahan air bersih. Mengingat lumpur tidak dimanfaatkan secara optimal, maka dampak negatif yang dirasakan adalah timbulnya bau kurang sedap sebagai akibat dari reaksireaksi biokimia pada saat reduksi. Meningkatnya kuantitas lumpur di lingkungan tanpa adanya pengolahan, menyebabkan beban lingkungan dalam mereduksi lumpur semakin besar. Diperlukan cara untuk pemanfaatan lumpur lebih lanjut ataupun cara untuk mereduksi kandungan logam berat yang ada pada lumpur untuk tidak berpotensi mencemari lingkungan. Fitoremediasi terhadap lumpur yang tidak digunakan juga dapat dijadikan alternatif pemanfaatan lumpur tersebut. Analisis lebih lanjut diperlukan pada pupuk kompos Water Treatment Plant (WTP) apabila menggunakan cara fitoremediasi. Dari hasil uji laboratorium, lumpur WTP mengandung bahan organik dan logam berat yang tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai media tanam. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemungkinan logam berat diserap oleh tanaman, sehingga toksisitas lumpur yang menghambat pertumbuhan tanaman dapat direduksi. Atas dasar deskripsi di atas, hasil penelitian ini diharapkan dapat memanfaatkan lumpur hasil pengolahan dengan mengetahui efektivitas pengomposan dan proses fitoremediasi untuk mereduksi kandungan unsur logam berbahaya.
Pupuk kompos merupakan salah satu produk pemanfaatan lumpur hasil pengolahan, dengan menggunakan biaya yang relatif rendah dan proses pengomposan yang tidak terlalu lama. Selain itu, lumpur hasil pengolahan air terkadang termasuk dalam kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), yang keberadaannya belum diketahui, sehingga membutuhkan penanganan lanjutan untuk mereduksi kandungan logam berat. Panduan pengelolaan limbah lumpur disesuaikan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah dengan PP No. 18/1999 tentang pengolahan limbah B3. Pupuk kompos WTP dapat digunakan sebagai media tanam, namun diperlukan pengamatan terhadap penyebaran kandungan logam berat kompos yang kemungkinan dapat diserap oleh tanaman. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan menganalisis kelayakan kompos WTP yang menjadi media tanam. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memberikan alternatif pemanfaatan limbah lumpur Water Treatment Plant (WTP) pada suatu industri dengan cara pengomposan lumpur dan fitoremediasi dengan tanaman. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan kompos dari lumpur pengolahan air minum sebagai media tanam, mengidentifikasi adanya kandungan logam berat pada kompos yang terserap pada tanaman, mendegradasi kandungan logam berat pada lumpur dengan cara fitoremediasi. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kelayakan kompos WTP sebagai media tanam dan cara pemanfaatan lumpur industri. Dengan demikian informasi yang didapat dari penelitian ini diharapkan sebagai alternatif untuk mereduksi pencemaran lingkungan
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum Proses pengolahan air minum yang menggunakan air sungai sebagai bahan baku menghasilkan produk utama berupa air bersih yang siap dikonsumsi. Selain produk utama tersebut, dihasilkan juga limbah berupa lumpur. Limbah lumpur dalam proses pengolahan ini merupakan hasil proses pengendapan (presedimentasi dan sedimentasi) serta penyaringan (filtrasi). Dalam air sungai biasanya terdapat padatan terlarut dan tersuspensi. Zat terlarut terdiri dari oksigen, karbohidrat, basa, asam, senyawa mikroorganisme dan berbagai pencemar yang bergantung pada lokasi, suhu, dan tekanan. Padatan tersuspensi dalam air sungai diantaranya mengandung lumpur, sisa tanaman, dan limbah industri. Diantara zatzat tersebut ada yang dapat menyuburkan tanah atau dapat digunakan untuk keperluan lain (Mahida 1992 dalam Yeni 2001). Produksi lumpur per hari menurut Supriyanto (1993) dalam Halim (2003) pada umumnya 10-50% dari beban COD limbah yang diolah. Lumpur akan selalu diproduksi sebagai hasil dari pertumbuhan bakteri atau mikroorganisme pengurai selama proses berlangsung. Karakteristik dari lumpur residu dihasilkan pada dasarnya merupakan fungsi dari proses pengolahan, penambahan bahan kimia, dan kuantitas air baku. Pengertian akan kuantitas lumpur, kandungan padatan, dan sifat padatan sangatlah penting untuk memilih dan mendesain perangkat proses yang tepat (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012). Lumpur tersebut kemudian dibentuk menjadi suatu produk yang disebut wet spray yang mengandung 2% kadar kering. Dapat pula kandungan air dalam lumpur ditekan dengan alat filter press atau belt press sehingga menghasilkan produk dengan kadar air 40% (L’Hermite 1988 dalam Halim 2003). Sumber Lumpur Lumpur pengolahan air didefinisikan sebagai akumulasi padatan atau endapan yang dikeluarkan dari bak sedimentasi (pengendapan) atau clarifier pada instalasi pengolahan air maupun industri pada umumnya. Sumber utama residu pengolahan air adalah lumpur koagulasi aluminium atau lumpur besi, lumpur proses softening, dan pencucian balik filter. Lumpur mengandung konsentrasi tinggi garam aluminium atau besi dengan campuran bahan organik dan anorganik dan presipitat. Dahulu pengeringan akan lumpur koagulasi adalah tugas yang sangat sulit dan pada akhirnya dibuang langsung ke sumber air seperti sungai atau danau. Namun saat ini lumpur diolah untuk pembuangan akhir dan air backwash dan clarifier dikembalikan ke fasilitas pengolahan untuk didaur ulang (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012). Lumpur koagulasi diproduksi melalui proses flokulasi dan pengendapan alami dari kekeruhan. Aluminium dan garam besi bereaksi dengan alkalinitas dan membentuk endapan aluminium dan ferric hidroksida. Lumpur mengandung hidroksida tersebut dan kekeruhan yang menyebabkan senyawa organik dan anorganik. Walaupun nilai BOD dan COD kemungkinan tinggi, namun lumpur ini tetap stabil dikarenakan tidak terdapat material organik yang mendorong
dekomposisi aktif atau mendukung kondisi anaerob. Hasilnya lumpur dapat diakumulasikan pada bak sedimentasi selama beberapa hari dan bulan, dan dibuang secara berkala (Kurniasih 2012). Kuantitas padatan yang dihasilkan pada koagulasi bergantung pada total padatan tersuspensi yang terkandung pada air, tipe, dan dosis koagulan, dan efisiensi bak sedimentasi. Umumnya 60-90% dari padatan total dihilangkan pada bak sedimentasi. Padatan yang tersisa dihilangkan pada proses filtrasi. Tidak terdapat korelasi pasti antara kekeruhan dan total padatan tersuspensi. Rasio total padatan tersuspensi dengan kekeruhan normalnya bervariasi dari 0.5-2. Total padatan pada fasilitas koagulasi aluminium dapat bervariasi antara 8-210 kg/100m3 dari air baku yang diolah (Kurniasih 2012). Karakteristik Fisik Lumpur Karakteristik fisik lumpur merupakan hasil endapan dari air limbah suatu industri. Karakteristik fisik air limbah industri meliputi bau, temperatur, warna, kekeruhan dan kandungan zat padat. Zat padat ini terdiri dari materi yang dapat di flotasi, materi yang dapat diendapkan dan materi koloid, dan materi terlarut. Sifat fisik air limbah yang merupakan penentuan derajat kekotoran air limbah sangat dipengaruhi oleh kandungan zat padat. Jumlah total endapan terdiri dari bendabenda yang mengendap, terlarut, dan tercampur. Air limbah yang partikel ukuran besar memudahkan proses pengendapan, sedangkan apabila air limbah berisikan partikel ukuran yang sangat kecil akan menyulitkan dalam proses pengendapan. Besarnya endapan dinyatakan dalam mg/l air limbah. Hal ini sangat penting untuk mengetahui derajat pengendapan dan jumlah endapan yang ada dalam badan air (Gunawan 2006). Salah satu sifat fisik yang digunakan dalam analisis kualitas air limbah yaitu padatan tersuspensi (total suspended solid). Analisa zat padat dalam air sangat penting bagi penentuan komponen-komponen air secara lengkap, dan untuk perencanaan dan pengawasan dalam proses-proses pengolahan air buangan. Padatan tersuspensi di dasar badan air akan mengganggu kehidupan didalam badan air, dan akan mengalami dekomposisi yang dapat menurunkan kadar oksigen di dalam air. Padatan dapat menyebabkan kekeruhan air, menyebabkan penyimpangan sinar matahari, sehingga berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap organisme di badan air (Gunawan 2006). Karakteristik Kimia Lumpur Sifat kimia air limbah maupun lumpur yang merupakan bahan organik terlarut dapat menghabiskan oksigen dalam limbah serta menimbulkan rasa dan bau yang menyengat. Pada umumnya zat organik berisikan kombinasi karbon, hidrogen, dan oksigen bersama-sama dengan nitrogen. Umumnya kandungan bahan organik berisikan 40-60% protein dan 25-50% berupa karbohidrat. Semakin banyak jumlah dan jenis bahan organik, hal ini akan mempersulit dalam pengelolaan air limbah. Menurut Gunawan (2006), beberapa sifat kimia yang digunakan sebagai parameter kualitas air, yaitu : a. pH pH adalah parameter untuk mengetahui intensitas tingkat keasaman atau kebasaan dari suatu larutan yang dinyatakan dengan konsentrasi ion hidrogen
terlarut. Pada instalasi pengolahan air buangan secara biologi, pH harus dikontrol supaya berada dalam rentang yang cocok untuk organisme tertentu yang digunakan. Baku mutu pH berkisar pada rentang yang cukup besar di sekitar pH netral, yaitu 6-9. Hal ini bukan berarti bahwa perubahan pH yang terjadi sepanjang rentang tersebut sama sekali tidak berdampak terhadap mahluk hidup dan lingkungan sekitar. pH merupakan faktor penting yang menentukan pola distribusi biota akuatik. Karena itu perubahan pH yang terkecil dapat memberi dampak besar terhadap toksisitas polutan seperti amonia. Dampak dari sejumlah polutan dapat bervariasi, mulai dari tidak terdeteksi sampai sangat serius tergantung pada pH. b. Bichemical Oxygen Demand (BOD) BOD adalah suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses biologi yang benar-benar terjadi di dalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasi) hampir semua zat organik yang terlarut dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi dalam air. Penentuan BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk atau industri. Penguraian zat organisme adalah peristiwa alamiah, bila suatu badan air dicemari oleh zat organis, bakeri dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses oksidasi tersebut yang dapat mengakibatkan kematian biota dalam air dan keadaan menjadi anaerob dan dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut, semakin besar angka BOD maka menunjukkan bahwa derajat pengotoran limbah adalah semakin besar. Pemerikasaan BOD didasarkan atas reaksi oksidasi zat organik dan anorganik dengan oksigen didalam air dan proses tersebut berlangsung karena adanya bakteri aerob. Sebagai hasil oksidasi akan terbentuk CO₂, air, dan amonia. Mikroorganisme pada awalnya menggunakan bahan organik secara cepat untuk metabolisme serta pembentukan sel akan menyebabkan meningkatkan BOD dalam 1-3 hari. Sesudah bahan organik dicerna, maka kebutuhan akan oksigen akan turun. Reaksi biologis pada tes BOD dilakukan pada temperatur inkubasi 20°C dan dilakukan selama 5 hari. Mengingat dengan waktu tersebut sebanyak 60-70% kebutuhan terbaik karbon dapat tercapai, sehingga mempunyai istilah BOD5. Jumlah zat organis yang ada didalam air diukur melalui jumlah oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk mengoksidasi zat organis tersebut, kemudian indikasi kandungan zat organik dapat ditentukan, makin banyak kebutuhan oksigen yang dibutuhkan bakteri untuk menguraikannya, maka semakin tinggi nilai BOD. c. Chemical Oxygen Demand (COD) COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada didalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara alamiah dapat dioksidasai melalui mikrobiologis menjadi CO₂, H₂O dan senyawa organik, dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air. Jumlah oksigen terhitung, jika komposisi zat organis terlarut telah diketahui dan dianggap semua C, H, dan N habis teroksidasi menjadi CO₂, H₂O, dan NO3.
d. Dissolved Oxygen (DO) Semua gas di udara dapat terlarut dalam air namun memiliki kelarutan yang berbeda-beda. Oksigen termasuk gas yang sukar larut dalam air dan hanya dapat terlarut karena perbedaan tekanan parsial air dan udara, bukan dengan reaksi kimia. Kelarutan oksigen dalam air juga berbeda-beda terhadap temperatur, berkisar antara 14.6 mg/l (0°C, 1 atm) – 7 mg/l (35°C, 1 atm). Dalam kondisi kritis, jumlah maksimum oksigen yang dapat larut dalam air hanya 8 mg/l. Kelarutan oksigen semakin rendah jika garam dalam air semakin tinggi. DO adalah faktor yang menentukan apakah perubahan yang terjadi dalam air limbah disebabkan oleh proses aerob atau anaerob. Organisme aerob menggunakan oksigen bebas untuk mengoksidasi senyawa-senyawa organik dan anorganik menghasilkan senyawa akhir yang tidak berbahaya. Organisme anaerob mereduksi garam-garam anorganik seperti sulfat dan menghasilkan senyawa akhir yang berbahaya. Karena jumlah organisme aerob dan anaerob di alam sama-sama banyak, maka sangat penting untuk menjaga supaya tersedia oksigen dalam jumlah yang cukup bagi organisme aerob dan kondisi yang tidak cocok bagi organisme anaerob. Karena itu pemantauan DO perlu dilakukan terhadap badan air penerima dan dalam proses biologi pengolahan air buangan domestik maupun industri. e. Phosphat Semua air permukaan dapat mendukung pertumbuhan organisme akuatik seperti plankton (zooplankton dan fitoplankton), ganggang, dan cyanobacteria. Pertumbuhan tanaman dalam air dapat dibatasi oleh beberapa faktor seperti cahaya dan karakteristik fisik air tersebut. Pada banyak kasus, faktor pembatas tersebut adalah ketersediaan nutrisi anorganik terutama fosfat. Semakin banyak nutrisi yang masuk dalam badan air, semakin besar pertumbuhan tanaman, sehingga karakteristik biologi badan air dapat berubah Buangan organik dalam air adalah sumber nutrisi yang penting bagi tanaman karena dekomposisi materi organik akan menghasilkan fosfat, nitrat, dan nutrisi lain yang dibutuhkan oleh tanaman. Buangan domestik banyak mengandung fosfat yang berasal dari bubuk deterjen (air cucian). Akibat perkembangan deterjen sintesis, kandungan fosfor anorganik dalam deterjen berkisar antara 2-3 mg/l dan kandungan fosfor organik berkisar antara 0.5-1 mg/l. Kandungan fosfor anorganik dalam limbah domestik saat ini diperkirakan mencapai 2-3 kali lebih banyak daripada ketika deterjen sintesis belum digunakan secara luas, kecuali jika pemerintah setempat membatasi penggunaan deterjen berbahan dasar fosfat. Organisme yang digunakan dalam proses pengolahan air buangan secara biologi memerlukan sejumlah fosfor untuk reproduksi dan sintesa sel baru. Namun limbah domestik mengandung fosfor dalam jumlah yang jauh lebih besar dari yang dibutuhkan oleh mikroorganisme tersebut. Hal itu dapat dibuktikan dengan besarnya kandungan fosfat dalam efluen pengolahan biologi air limbah. f. Chlorine bebas Chlorine biasa digunakan sebagai desinfektan pada proses pengolahan air, baik minum maupun air buangan. Klorinasi bertujuan untuk menghilangkan kandungan mikroba pathogen dalam air supaya konsumen terhindar dari penyakit
bawaan air. Walaupun mikroba pathogen dalam air telah banyak tersisihkan selama proses pengolahan sebelumnya, namun masih mungkin tersisa sejumlah mikroba pathogen terutama virus. Karena itu biasanya desinfeksi merupakan proses terakhir pengolahan air. Clorine digunakan dalam bentuk clorine bebas atau hipokrit. Selain bereaksi dengan mikroba pathogen, clorine juga bereaksi dengan senyawa- senyawa lain dalam air seperti amonia, besi, mangan, sulfide, dan beberapa senyawa organik. Karena itu perlu ditambahkan clorine yang tersedia dalam jumlah cukup untuk membunuh mikroba pathogen. Chlorine bereaksi dengan air hipoklorit dan asam hipoklorit menurut reaksi berikut : Cl2 + H₂O
HOCl + H+Cl
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses desinfeksi antara lain adalah jumlah dan jenis mikroba pathogen yang ingin dihilangkan, jenis dan konsentrasi desinfektan yang digunakan, temperatur air, waktu kontak, karakteristik fisik dan kimia air yang akan diolah, pH, dan pencampuran. Dosis clorine seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pemantauan konsentrasi chlorine di ujung bak klorinasi perlu dilakukan secara teratur untuk meninjau efektivitas proses klorinasi. Karakteristik air yang diolah dapat berubah-ubah seiring dengan perubahan musim dan cuaca. Dari hasil pemantauan tersebut dapat diantisipasi sumber-sumber kontaminasi. g. Amonia (NH3N) Amonia terdapat secara alami dalam berbagai konsentrasi pada air tanah, air permukaan, dan air buangan. Amonia dapat berasal dari reduksi senyawa organik yang mengandung nitrogen, deaminasi senyawa amina, hidrolisa urea, dan akibat penggunaannya untuk deklorinasi dalam instalasi pengolahan air. Jumlah amonia dalam air tanah relatif sedikit karena diserap oleh tanah. Amonia bersifat sangat toksik terhadap banyak organisme, terutama ikan dan invertebrata, sedangkan amonium (NH4) bersifat kurang toksik. Konsentrasi amonia dalam air tergantung pada pH dan temperatur. Semakin tinggi pH dan temperatur, semakin tinggi juga konsentrasi amonia. Konsentrasi amonia juga menentukan tingkat toksisitas larutan. Nitrifikasi adalah proses oksidasi biologi amonia menjadi nitrat oleh bakteri autotrof, dengan nitrit sebagai senyawa antara. Karakteristik kimia air limbah industri terdiri dari dua bagian. Bagian pertama yaitu zat organik terdiri dari karbohidrat, minyak lemak, protein, zat organik yang dapat menimbulkan kanker dan mutasi, surfactant, senyawa organik volatile, dan lain-lain. Karakteristik kimia untuk lumpur pada umumnya dibagi menjadi dua bagian. Karakteristik kimia lumpur aluminium terkandung BOD5 30300 mg/l, COD 30-5000 mg/l, pH 6-8, dan total padatan 0.1-4%. Karakteristik kimia lumpur besi terkandung BOD5 30-300 mg/l, COD 30-5000 mg/l , pH 7.48.5 mg/l, dan total padatan 0.25-3.5 % (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012). Fraksi organik lumpur secara kimiawi dapat dirumuskan sebagai C₂H7O2N atau perumusan yang lebih kompleks lagi sebagai C60H87O23N12P, sehingga kandungan C53% dan rasio C/N empiris 4.3. Untuk basis fraksi anorganik yang 10% terdiri dari P2O5 (50%), SO3 (15%), Na2O (11%), CaO (9%), MgO (8%), K2O (6%), dan Fe2O3 (1%) (Metcalf dan Eddy, 1991 dalam Halim 2003).
Karakteristik di lapangan untuk lumpur sangat bervariasi tergantung jenis industri, tambahan bahan kimia selama proses pengolahan dan sistem dewatering dari lumpur. Umumnya solid content dalam dewatered lumpur 20-40% atau kandungan air 60-80%, sedangkan rasio C/N dengan bias biodegradable C sekitar 6-15%. Parameter yang diukur dalam percobaaan ini dilakukan terhadap sifat-sifat kimia media tanam. Parameter sifat kimia media tanaman yang dianalisis adalah Al, Fe, Pb, Cd, Mn yang memungkinkan terkontaminasi ke dalam tanaman. a. Unsur Aluminium (Al) Aluminium (Al) sebenarnya merupakan racun bagi tanaman. Walaupun demikian tanaman mempunyai daya ketenggangan tertentu terhadap aluminium. Dalam keadaan tertentu tanaman dapat membatasi serapan aluminium, sehingga terhindar dari keracunan aluminium. Tanaman dapat membentuk dinding tebal pada akar rambut dengan ujung akar yang membengkak menyerupai kail (Soepardi 1983). Menurut Kocian (1995) dalam Nurlaela (2007) senyawa Aluminium terbagi menjadi 3 bentuk yaitu mononuklear (Al3+), Aluminium kompleks, dan Aluminium polinuklear. Endapan unsur Al(OH)3 terbentuk pada pH netral, sedangkan Al(OH)4- terbentuk pada pH yang tinggi. Untuk pH yang rendah (kurang dari 4) akan terbentuk Al (H2O)63+ atau dikenal dengan Al3+ yang merupakan toksik paling berbahaya dalam bentuk Al bagi tumbuhan (Matsumoto 2000 dalam Nurlaela 2007). Pengaruh Aluminium terhadap pertumbuhan tanaman antara lain menurunkan penyerapan kation bivalen oleh akar terutama penyerapan Ca2+ dan Mg2+, menghambat pembelahan sel-sel meristem akar, serta menurunkan penyerapan SO42-, PO42-, dan Cl- (Nurlaela 2007). Kerusakan tanaman akibat unsur Aluminium ini nampak dengan jelas pada akar. Akar menjadi tebal, pendek, dan terhambat perpanjangannya (Delhaize et al 1993 dalam Nurlaela 2007). Keracunan Al terutama terlihat pada ujung akar. Adanya Aluminium yang berlebih dapat menyebabkan akar utama menjadi kerdil dan akar lateral terhambat pertumbuhannya (Samac DA dan Tesfaye M 2003 dalam Nurlaela 2007). Menurut Kochian (1995) dalam Nurlaela (2007), terdapat beberapa mekanisme yang dilakukan oleh tanaman untuk mengatasi keracunan Aluminium yaitu ekslusif Aluminium pada ujung akar, melepaskan ligan pengkelat Aluminium seperti asam sitrat, oksalat, malat, dan meningkatkan pH rizosfer. Tanaman toleran dan sensitif terhadap Aluminium, akan mengakumulasi Aluminium pada tanah masam yang mengandung Aluminium (Samac DA dan Tesfaye M 2003 dalam Nurlaela 2007). Salah satu kriteria tanaman yang toleran terhadap Al yaitu dapat mengurangi absorpsi dan translokasi Aluminium ke bagian tajuk karena sebagian besar Al telah disimpan di vakuola sel akar (Matsumono 2000 dalam Nurlaela 2007). Upaya untuk mengatasi keracunan Aluminium antara lain dengan ameliorasi menggunakan kapur, bahan organik atau dengan pemupukan tinggi. Pendekatan ini memerlukan biaya tinggi dan terkadang sarana produksi tersebut tidak tersedia pada saat dibutuhkan, sehingga sulit untuk diadopsi oleh para petani. Pilihan lain adalah berupa penggunaan varietas yang tenggang. Untuk dapat memisahkan tanaman yang bersifat tenggang atau peka diperlukan konsentrasi yang tepat dan tolak ukur, serta kriteria yang digunakan (Syafrudin et al 2006). Beberapa
penelitian menggunakan panjang akar relatif dengan batas 50% dianggap tenggang, seperti pada kedelai (Sopandie et al 2000 dalam Syafrudin et al 2006) dan pada tanaman padi (Jagau 2001 dalam Syafrudin et al 2006). b. Unsur Kadmium (Cd) Kadmium adalah logam berat yang banyak digunakan dalam industri. Kadmium (Cd) termasuk golongan IIB dalam tabel periodik dengan nomor atom 48, bobot atom 112.40, massa jenis 8.65 g/cm3, dan titik leleh 320.9°C. Unsur Cd juga merupakan golongan logam beracun, tidak hanya untuk pertumbuhan tanaman, tetapi juga bagi manusia dan hewan. Cd merupakan hara nonesensial bagi tanaman, namun mempunyai afinitas yang tinggi terhadap gugus tiol (-SH) dalam enzim dan protein. Oleh karena itu, keberadaan Cd akan mengganggu aktvitas enzim, metabolisme, besi, dan menyebabkan klorosis pada daun (Alloway 1990 dalam Khatimah 2006) Seperti logam–logam lainnya, Cd juga terkandung dalam batuan beku dan sedimen. Kandungan total Cd dalam tanah kurang dari 8 ppm, sedangkan pada tanah yang kaya akan logam, kandungan Cd tanah tersebut bisa mencapai 800 ppm. Unsur Cd di alam tidak pernah ditimbang tersendiri, selalu sebagai produk sampingan logam lain, misalnya Zn (Leagreid et al 1999 dalam Khatimah 2006). Unsur Cd dapat terlarut dalam tanah, diserap oleh permukaan organik maupun anorganik, terikat kuat dalam mineral-mineral tanah, diendapkan oleh senyawasenyawa yang berada di dalam tanah, dan terkandung dalam bahan hidup. Faktorfaktor yang mengatur fase padat dan fase cair Cd dalam tanah sangat kompleks yaitu dengan distribusi Cd yang merupakan dasar sehubungan dengan ketersediaannya dalam tanaman (Lagereff 1972 dalam Khatimah 2006) Unsur Cd dalam tanah dapat menjadi penyebab gangguan penyerapan unsur hara oleh akar tanaman melalui interaksi kompetitif antagonis maupun sinergis dengan ion hara mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Unsur Cd bersifat antagonis dengan Zn, tetapi bersifat sinergis dengan Fe dan Mn. Unsur Cd dan Zn secara kimiawi hampir serupa, tetapi tingkat toksisitas Zn lebih rendah dan merupakan unsur esensial bagi tanaman (Lepp 1981 dalam Khatimah 2006). Unsur Cadmium bersifat tidak esensial dan beracun, bahkan tingkat toksisitasnya menempati urutan kedua setelah raksa (Laws 1981 dalam Dewi 2010). Gejala awal keracunan Cadmium dapat berupa timbulnya warna kuning pada gigi, gangguan penciuman, sampai yang lebih serius, yaitu emfisema dan proteinuria yang sangat membahayakan manusia. Piorowski dan Coleman (1980) dalam Dewi (2010) menyatakan keracunan Cadmium dapat berupa kerusakan ginjal, kehilangan sel-sel darah merah, kerapuhan tulang dan tekanan darah tinggi. Kandungan Cadmium yang masih diperbolehkan dalam komoditi konsumsi menurut standar Departemen Kesehatan RI adalah sebesar 1.00 ppp. c. Unsur Besi (Fe) Zat besi penting bagi pembentukan hijau daun (khlorofil). Pembentuk zat karbohidrat, lemak, protein dan enzim. Jadi jika terjadi kekurangan zat besi akan menghambat pertumbuhan khlorofil. Jika dalam tanaman terjadi kekurangan Mangan dan Kalium atau kelebihan sulfat akan mengakibatkan pergerakan Fe terhambat dan Fe tidak sampai ke daun meskipun pengisapan Fe dalam tanah
berlangsung terus. Unsur Fe yang berlebih dalam jumlah tertentu dapat mengakibatkan racun bagi tanaman. d. Unsur Timah (Pb) Timah termasuk golongan IVA dalam daftar berkala dengan bobot atom 207.19 dan nomor atom 82. Timah merupakan logam lunak berwarna abu-abu kebiruan dengan massa jenis 11.434 g/cm3 dan titik leleh 1470°C. Timah memiliki dua tingkat oksidasi stabil, yaitu Pb (II) dan Pb (IV), tetapi di alam didominasi oleh Pb2+. Garam-garam Pb sedikit larut dalam air (klorida dan bromida) atau hampir tidak terlarut sebagai karbonat dan hidroksida. Unsur Pb di alam terdapat sebagai PbS (galena), PbSO4 (anglesite), PbCO3, dan Pb (OH)2 (Cotton dan Wilkinson 1989 dalam Khatimah 2006). Menurut Bohn (1979) dalam Khatimah (2006) timah cenderung terakumulasi dan tersedimentasi dalam tanah karena kelarutannya yang rendah dan relatif bebas dari degradasi oleh mikroorganisme. Timah dalam tanah banyak dijumpai dalam bentuk dapat dipertukarkan, dijerap, karbonat organik, sulfida, dan hidrous oksida. Timah yang berasal dari udara sekitar dan ditambahkan ke permukaan tanah tidak akan mengalami pergerakan ke bawah tanaman. Hal ini disebabkan oleh banyaknya timah yang dijerap pada permukaan mineral liat dan koloid organik dan pembentukan kelat timbal oleh badan organik, sehingga kelarutannya rendah. Timah merupakan unsur yang tidak esensial baik untuk tanaman maupun hewan. Timah selalu terikat kuat dengan bahan organik atau koloid terendapkan. Hal ini membantu mengurangi penyerapan timah oleh tanaman. Mobilitas timah dalam jaringan tanaman terjadi dalam bentuk ion dan kompleks-kompleks kelat. Adanya logam berat dalam tanah dapat menyebabkan perubahan kapasitas tukar kation (KTK) dan perubahan komposisi unsur hara (Buckman dan Brady 1969 dalam Khatimah 2006). e. Unsur Mangan (Mn) Mangan diserap tanaman untuk pembentukan zat protein dan vitamin terutama vitamin C. Selain itu, Mn penting untuk dapat mempertahanakan kondisi hijau daun pada daun yang tua. Fungsi Mangan yaitu sebagai enzim feroksidase dan sebagai aktifator macam-macam enzim. Tersedia mangan bagi tanaman tergantung pada pH tanah. Dimana pada pH rendah mangan akan banyak tersedia. Kekurangan Mn dapat dilakukan dengan memberikan 1% MnSO4H₂O , sedangkan apabila kelebihan Mn dapat dilakukan dengan jalan menambahkan zat fosfor dan kapur. Unsur Mn yang berlebihan dapat menyebabkan sifat racun bagi tanaman. Menurut Treshow (1970) dalam Taryana (1995) menerangkan bahwa pada beberapa kasus nekrotik kecil terjadi berupa bintik-bintik yang terlihat pada bagian antara tulang-tulang daun. Nekrotik adalah terjadinya sel mati sebelum pada waktunya. Pada akhirnya tunas-tunas akan mati yang diikuti dengan kematian tanaman muda. Walaupun keracunan Mn berbeda-beda untuk tiap spesies tanaman, tetapi pada umumnya tepi-tepi daun akan mengkerut dan pertumbuhan terhambat. Jika terjadi akumulasi Mn yang tinggi akan terjadi klorotik (garis-garis kekuningan) hingga memutih.
Tanaman yang keracunan Mn menunjukkan gejala seperti pertumbuhan lambat, adanya noda berwarna coklat kekuningan diantaranya urat daun, ujung daun mengering pada saat tanaman berumur 8 MST (Minggu Setelah Tanam), klorosis pada daun muda, pertumbuhan yang lambat, dan hasil produksi rendah (Surachman 2010). Karakteristik Biologis Lumpur Karakteristik air limbah industri, yang merupakan mikroorganisme yang terdapat dalam air limbah industri. Pemerikasaan air secara biologis sangat penting dan dapat dilakukan terhadap semua jenis air, terutama dilakukan untuk menentukan standar kualitas air. Mengingat bahwa air merupakan sumber kehidupan utama bagi mahluk hidup. Pemeriksaan air secara mikrobiologis baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif dapat dipakai sebagai pengukuran derajat pencemaran. Di setiap badan air, baik air alam maupun air buangan terdapat bakteri atau mikroorganisme. Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme terpenting dalam sistem penanganan limbah. Bakteri ada yang bersifat pathogen sehingga merugikan dan ada yang bersifat non pathogen/menguntungkan. Bakteri pathogen bermacam-macam bentuk dan jenisnya sehingga sulit dideteksi. Analisa mikrobiologi untuk bakteri-bakteri tersebut maka diperlukan adanya indikator organisme. Indikator organisme menunjukkan adanya pencemaran oleh tinja manusia dan hewan sehingga mudah dideteksi. Dengan demikian apabila indikator organisme tersebut ditemui dalam sampel air, berarti air tersebut tercemar oleh tinja dan kemungkinan besar mengandung bakteri pathogen. Analisa menggunakan indikator organisme adalah metode yang paling umum dan dilaksanakan secara rutin. Indikator organisme yang paling umum digunakan adalah bakteri coliform khususnya Eschericia coli, karena jumlah bakteri ini sangat banyak dan memilki ketahanan paling besar terhadap desinfektan, sehingga jika jenis coliform sudah tidak ada setelah proses desinfeksi, maka diharapkan mikroorganisme lain juga sudah mati. Efisiensi suatu proses pengolahan air buangan, tidak dapat menghilangkan semua mikroba. Karena itu perlu dilakukan pemantauan terhadap konsentrasi mikroba pathogen dalam badan air penerima, terutama pada air yang digunakan untuk kegiatan domestik/rumah tangga. Air tidak boleh mengandung bakteri-bakteri golongan coli melebihi batas-batas yang telah ditentukan yaitu 1 coli/100 ml air. Hal ini bertujuan untuk keselamatan lingkungan (Wardana 1999 dalam Gunawan 2006). Karakteristik lumpur secara biologis, mikroorganisme tersebut terdiri dari group prokaryotik dan group eukaryotik. Komposisi dasar sel terdiri dari sekitar 90% organik dan 10% anorganik dan produksi lumpur per hari pada umumnya 10-50% dari beban COD limbah yang diolah (Supriyanto 1993 dalam Halim 2003). Pemanfaatan Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum Lumpur selain dimanfaatkan menjadi sebuah pupuk kompos, juga dapat digunakan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Pemanfaatan lumpur PT. Krakatau Tirta Industri dijadikan bahan bangunan (batako) oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Permukiman tahun 1997. Bahan bangunan seperti batako yang
dihasilkan dari lumpur kurang bagus atau mudah rapuh (Tim Peneliti Pengembangan dan Permukiman PU 1994 dalam Yeni 2001). Namun tidak sedikit lumpur dibiarkan menumpuk dan tidak dimanfaatkan secara optimal di berbagai industri. Adanya banyak pertimbangan dari bagian manajemen perusahaan misalnya, terkait waktu, dana, efisiensi pemanfaatan untuk sebuah lumpur sisa pengolahan sebuah industri. Pengomposan Pengomposan (composting) didefinisikan sebagai dekomposisi biologi dan stabilitas dari bahan organik pada suhu termofili. Sebagain hasil produksi panas secara biologis, dengan hasil akhir berupa produk yang cukup stabil dalam bentuk padatan (agregat) komplek, dan apabila diberikan pada lahan tidak akan menimbulkan efek yang merugikan terhadap lingkungan (Haug 1980 dalam Halim 2003). Menurut Metcalf dan Eddy (1991), dalam pengomposan merupakan biodegradasi dari bahan organik menjadi suatu produk yang stabil. Proses pengomposan yang sempurna akan menghasilkan produk yang tidak mengganggu baik selama penyimpanan maupun aplikasinya, seperti bau busuk, bakteri pathogen. Selama proses pengomposan, suhu akan mencapai kisaran 50-70ºC, sehingga bakteri pathogen dari lumpur akan mati. Menurut Murbandono (1983) dalam Halim (2003), dalam proses pengomposan terjadi perubahan-perubahan antara lain : a. Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak lilin menjadi CO₂ dan air. b. Protein, melalui amida-amida dan asam-asam amino menjadi amoniak, CO₂ dan air. c. Pengikatan beberapa unsur hara di dalam tubuh mikroorganisme terutama Nitrogen disamping Phospat, Kalium dan lain- lain yang terlepas kembali bila mikroorganisme itu mati. d. Peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman. Selama proses ada tiga tahapan berbeda dalam kaitannya dengan suhu yang diamati, yaitu mesofilik dan cooling (tahap pendinginan). Pada tahap awal mesofilik suhu proses akan naik dari suhu lingkungan ke-40ºC dengan adanya kapang dan bakteri pembentukan asam. Suhu proses akan terus meningkat ke tahap termofilik antara 40-70ºC, dimana mikroorganisme akan digantikan oleh bakteri termofilik, actinomycetes dan termofilik kapang. Pada kisaran suhu termofilik proses degradasi dan stabilisasi akan berlangsung secara maksimal. Tahap pendinginan ditandai dengan penurunan aktifitas dengan bakteri dan kapang mesofilik. Selama tahap cooling, proses penguapan air dari mineral yang telah dikomposkan akan masih terus berlangsung, demikian pula stabilitas pH dan penyempurnaan pembentukan asam humik (Metcalf dan Eddy 1991 dalam Andhika 2003). Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan Beberapa faktor yang sangat penting pengaruhnya pada proses pengomposan antara lain rasio C/N, susunan bahan, kelembapan dan aerasi, suhu, pH, kebutuhan oksigen, dan mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan (Andhika 2003).
a. Rasio C/N Proses pembuatan kompos tergantung pada kerja mikroorganisme yang memerlukan sumber karbon untuk mendapatkan energi dan bahan bagi sel-sel baru, bersama dengan pasokan N untuk protein sel. Rasio karbon nitrogen (C/N) dalam campuran pertama berkisar antara 25-35. Jika rasio terlalu tinggi, maka prosesnya akan memakan waktu lama sebelum cukup karbon dioksidasi menjadi karbon dioksida, dan sebaiknya jika terlalu rendah, maka nitrogen yang merupakan komponen pupuk penting dari kompos, akan dibebaskan sebagai amonia. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, maka dapat ditambahkan dengan bahan nitrogen seperti kotoran ternak, sedangkan apabila terlalu rendah dapat pula ditambahkan dengan bahan kaya karbon seperti jerami, sekam atau serbuk-serbuk kayu (Dalzell et al 1987 dalam Halim 2003). Tabel 12 Rasio C/N berbagai bahan baku yang dapat dibuat sebagai kompos Jenis Bahan Rasio C/N Lumpur aktif 6 Lumpur yang belum dicerna 11 Pepolongan 19 Gulma hijau 13 Rumput-rumputan 20 Jerami 30-80 Serbuk gergaji busuk 208 Sumber : Haug 1980 dalam Halim 2003.
Pada pengomposan sejumlah amonium terbentuk dari perombakan protein dan asam amino. Amonium yang terbentuk dapat mengalami tiga hal, yaitu digunakan oleh mikroorganisme untuk berkembang biak, sebagian hilang melalui penguapan dan sebagian lagi diubah menjadi nitrit (Haug 1980 dalam Halim, 2003). Unsur karbon dan nitrogen keduanya dibutuhkan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme, yaitu 30 bagian karbon (C) dan 1 bagian nitrogen (N) atau rasio C/N = 30 dalam perbandingan berat. Tidak ada unsur makro atau unsur tambahan lain yang ditemukan sebagai faktor penghambat pada proses pengomposan lumpur (Metcalf dan Eddy 1991 dalam Andhika 2003). Pada proses pengomposan optimum rasio C/N ideal adalah 20-40 dan rasio yang terbaik adalah 30. Rasio merupakan faktor terpenting dalam pengomposan, karena proses pengomposan tergantung pada kegiatan mikroba yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan pembentuk sel bersamaan dengan nitrogen untuk pembentuk selnya. Besarnya rasio C/N tergantung pada jenis bahan yang digunakan (CPIS 1992 dalam Andhika 2003). b. Suhu Pengomposan Mikroorganisme dalam melakukan proses dekomposisi menghasilkan panas. Proses dekomposisi kompos pada umumnya mencapai suhu antara 32-60ºC. Suhu di bawah 32ºC proses berlangsung lambat, sedangkan suhu diatas 60ºC mikroorganisme tidak dapat bertahan. Suhu pada gundukan kompos tergantung pada panas yang hilang pada aerasi proses pendinginan. Pada kondisi lingkungan yang basah atau lembap, gundukan kompos dapat lebih besar untuk meminimalkan kehilangan panas. Ketika pengomposan kehilangan banyak
nitrogen pada lingkungan kering atau panas, gundukan kompos diperkecil dan pembalikan diperlukan untuk menyediakan oksigen. Kondisi optimum pengomposan dari pencapaian suhu antara 55-65ºC (Richard 1996 dalam Halim 2003). Menurut Indriani (1999) dalam Halim (2003), bila suhu terlalu tinggi mikroorganisme akan mati, sedangkan bila suhu relatif rendah mikroorganisme belum dapat bekerja atau dalam keadaan dorman. Aktivitas mikroorganisme pada proses pengomposan tersebut juga menghasilkan panas sehingga untuk menjaga suhu tetap optimal sering dilakukan pembalikan. c. Susunan Bahan dan Ukuran partikel Ukuran partikel bahan menentukan ukuran volume dan volume pori-pori bahan. Jika ukuran partikel bertambah kecil, maka jumlah pori-pori bertambah. Pori-pori kecil dapat menghambat pergerakan udara yang biasanya merupakan masalah pada proses pengomposan. Ukuran partikel menentukan luas permukaan dari suatu bahan. Makin halus suatu partikel, makin luas permukaan yang terbuka terhadap kegiatan mikroorganisme (Halim 2003). Menurut Murbandono (1983) dalam Halim (2003), sampai batas tertentu semakin kecil ukuran potongan bahan, semakin cepat pula waktu pembusukannya. Hal ini dikarenakan semakin banyak permukaan yang tersedia bagi bakteri untuk menyerang dan menghancurkan meterial-material tersebut. Apabila perajangan terlalu kecil, timbunan akan menjadi tersumbat dan tidak terkena udara. d. Kelembapan dan Aerasi Dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme juga tergantung dari kelembapan yang terdapat pada bahan tersebut (Haug 1980 dalam Halim 2003). Menurut Academy of Science (1981) dalam Halim (2003), bahwa kadar air adalah bagian penting dalam proses pengomposan dan membutuhkan kelembapan antara 50-70%. Kadar air yang optimum penting untuk memperoleh kompos yang bermutu tinggi, karena semua mikroorganisme pada proses pengomposan membutuhkan air untuk kelangsungan hidupnya. Air adalah bahan penting bagi protoplasma sel yang berfungsi sebagai pelarut makanan. Kadar air di bawah 20% mengakibatkan proses metabolisme terhambat dan berjalan lambat jika kadar air di atas 70%. Air diperlukan selama pengomposan untuk memelihara kelembapan yang tepat bagi aktivitas mikroorganisme. Kadar air ideal pada pengomposan adalah 40-60%. Pada kadar air yang terlalu besar, bahan kompos menjadi lebih rapat dan mengakibatkan pengurangan jumlah udara yang bersikulasi, sehingga menghasilkan kondisi anaerobik. Apabila kadar air tidak mencukupi, suhu bahan kompos menjadi lebih rendah, walapun suhu bahan pusat kompos tetap tinggi. Kondisi tersebut mengakibatkan penambahan waktu penguraian. Jika kompos terlalu basah, dapat ditambahkan beberapa material kering seperti potongan kayu dan dedaunan. Hal ini dapat meningkatkan porositas agar air dan udara dapat mengalir dengan baik (Richard 1996 dalam Halim 2003). Penguraian senyawa organik sangat tergantung pada faktor kadar air. Batas terendah dari aktifitas bakteri adalah antara 12-15%, meskipun sebenarnya kadar air lebih kecil dari 40% merupakan batas dari kecepatan penguraian optimum. Idealnya kadar air antara 50-60%. Jika kadar air dari campuran lebih besar dari 60%, maka integritas struktural yang baik juga tidak akan dicapai. Selama proses
pengomposan sebagian air akan teruapkan sehingga perlu dilakukan pengaturan dengan penyemprotan, misalnya bersamaan dengan pembalikan pada proses windrow, untuk menjaga kondisi kadar air yang optimum selama proses pengomposan (Richard 1996 dalam Halim 2003). Windrow merupakan adalah proses pembuatan kompos paling sederhana dan paling murah dengan hanya menumpukkan bahan-bahan kompos pada suatu lahan. Gundukan dari kompos juga memberikan pengaruh pada kadar air, pada situasi kering, pembentukan cekungan bagian atas gundukan akan memaksimalkan penyerapan air dan curahan hujan dapat menambah kandungan air yang hilang sebagai uap. Apabila dalam keadaan basah, gundukan kompos dibentuk naik supaya dapat meminimalkan absorpsi dengan menumpahkan air (Richard 1996 dalam Halim 2003). Menurut Dalzell et al (1987) dalam Halim (2003), proses pengomposan memperlukan udara yang cukup ke semua bagian tumpukan kompos untuk memasok oksigen pada mikroorganisme dan mengeluarkan karbon dioksida yang dihasilkan. Tidak adanya udara (kondisi anaerobik) akan menimbulkan perkembangbiakan berbagai macam mikroorganisme yang menyebabkan keasaman dan pembusukan tumpukan yang menimbulkan bau busuk. e. Nilai pH Pengomposan Menurut Murbandono (1983) dalam Halim (2003), pengontrolan pH agar tetap pada kondisi yang optimal perlu dilakukan, karena keasaman yang terlalu rendah (pH tinggi) menyebabkan kenaikkan konstruksi oksigen yang mengakibatkan hasil yang buruk terhadap lingkungan. Menurut CPIS (1992) dalam Halim (2003), menambahkan pH yang terlalu tinggi juga menyebabkan unsur nitrogen pada bahan kompos berubah menjadi amoniak, sebaliknya pada kondisi asam (pH rendah) dapat menyebabkan matinya sebagian besar mikroorganisme. Menurut Hadiwiyoto (1983) dalam Halim (2003), pengontrolan pH dapat dilakukan dengan penambahan kotoran hewan, urea, atau pupuk nitrogen untuk menurunkan pH, sedangkan pemberian kapur dan abu dapur untuk menaikkan pH. Kondisi pH optimum untuk pertumbuhan bakteri pada umumnya adalah antara 6-7.5 dan 5.5-8 untuk fungi. Selama proses tumpukan, umumnya kondisi pH bervariasi dan akan terkontrol dengan sendirinya. Kondisi pH awal yang relatif tinggi, misalnya akibat penggunaan CaO pada lumpur, akan melarutkan nitrogen dalam kompos dan selanjutnya akan diemisikan sebagai amoniak. Tidaklah mudah untuk mengatur kondisi pH dalam tumpukan massa kompos untuk pencapaian pertumbuhan biologis yang optimum. Pengaturan kondisi pH belum ditemukan kontrol opresional yang efektif (Metcalf dan Eddy 1991 dalam Andhika 2003). f. Kebutuhan oksigen Persyaratan konsentrasi optimum dari oksigen di dalam massa kompos antara 5-15% volume. Peningkatan kandungan oksigen melewati 15%, misalnya akibatnya pengaliran udara yang terlalu cepat atau terlalu sering dibalik akan menurunkan suhu dari sistem. Pada Tabel 2 menjelaskan Faktor penting dalam perencanaan proses pengomposan secara aerobik.
Tabel 13 Faktor penting dalam perencanaan proses pengomposan secara aerobik Faktor Keterangan Jenis Jenis untreated dan digested sludge keduanya dapat lumpur dikomposkan. Untreated sludge lebih berpotensi menimbulkan masalah bau, terutama pada aplikasi windrow. Untreated sludge lebih mempunyai ketersediaan energi, lebih mudah terdegradasi dan mempunyai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi. Amendments Beberapa karakteristiknya, seperti kadar air, ukuran partikel, dan dan bulking karbon tersedia sangat berperan terhadap proses dan kualitas agents produk akhir. Bahan-bahan tersebut harus mudah didapat dan murah seperti : serpihan kayu, gergaji, jerami, sekam dan kulit padi, recycled compost dan lain-lain. Rasio C/N
Rasio C/N awal harus sekitar 25-30 perbandingan berat. Unsur karbonnya harus mudah terdegradasi.
Volatile solids
Dari campuran kompos harus >50%
Kandungan udara
Setidaknya masih ada 50% oksigen yang berada dalam kesetimbangan sistem, atau kandungan oksigen antara 5-10% di semua bagian tumpukan untuk tercapainya hasil yang optimum Dari campuran kompos antara 40-60%. Berkurangnya kadar air akibat penguapan, terutama pada sistem windrow dapat ditambahkan bersamaan dengan proses pembalikan
Kadar air
pH
Harus antara 6-9 kondisi pH yang relatif tinggi akan meningkatkan emisi nitrogen sebagai amoniak
Suhu
Suhu optimum untuk stabilisasi 45-55°C. Pada kondisi terbaik, suhu akan mencapai 50-55°C pada kondisi awal dan meningkat ke 55-65°C saat periode pengomposan berlangsung. Suhu yang terlalu tinggi akan menurunkan aktifitas kerja mikroba. Periode selanjutnya temperatur akan menurun pada tahap cured process, sekaligus untuk menurunkan kadar air
Mixing dan turning
Untuk mencegah kekeringan, pengerasan, penggumpulan dan aliran kontak udara yang tidak merata, material dalam tumpukan proses harus diaduk dan dibalik secara terjadwal sesuai kebutuhan. Frekuensi pembalikan tergantung sistem pengomposan. Logam berat Kandungan dalam lumpur dan kompos akhir harus dipantau dan trace secara teratur untuk menjamin kualitas produk akhirnya tidak organics melampaui ambang batas untuk aplikasi lebih lanjut. Kondisi lokasi
Beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam penentuan lokasi, termasuk ketersediaan lahan, akses, jarak terhadap sumber lumpur dan bulking agent, penggunaan lahan sekitar, ketersediaan zona penyangga, tenaga kerja, kondisi iklim.
Sumber : Metcalf dan Eddy 1991 dalam Andhika 2003.
Diperlukannya kandungan oksigen >5% untuk menjaga kestabilan kondisi aerobik, meskipun pada kondisi konsentrasi oksigen di dalam tumpukan yang hanya sekitar 0.5% tidak didapati adanya kondisi anaerobik (Metcalf dan Eddy 1991 dalam Andhika 2003). g. Mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan Mikororganisme yang biasa bekerja pada proses pengomposan adalah bakteri, kapang, Actinomycetes, dan protozoa (Indriani 1999 dalam Halim 2003). Menurut Hadiwiyoto (1983) dalam Halim (2003) pengomposan akan berjalan lama apabila jumlah mikroorganisme perombak pada mulanya sedikit. Semakin banyak jumlah mikroorganisme pada awal suatu proses, fase adaptasinya semakin singkat. Untuk memperbanyak jumlah mikroorganisme pada awal pengomposan dapat ditambahkan bibit berupa kotoran ternak atau limbah cair, karena baik kotoran ternak atau limbah cair banyak mengandung bakteri perombak. Karakteristik Lumpur dan Mutu Kompos Karakteristik lumpur seperti pemahaman akan kuantitas hasil lumpur, kandungan padatan, dan sifat padatan sangatlah penting untuk memilih dan mendesain perangkat proses yang tepat (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012). Pemanfaatan lumpur salah satunya dapat dijadikan pupuk kompos. Kandungan organik yang baik pada lumpur dapat dimanfaatkan dengan proses pengomposan. Dalam pembentukan kompos sendiri membutuhkan adanya kandungan unsur hara yang sebagian ada pada lumpur WTP. Kompos dari lumpur WTP menurut hasil analisis telah memiliki kandungan logam berat lebih sedikit dibandingkan logam berat pada saat berupa lumpur, hal ini dikarenakan telah terdegradasi oleh mikroorganisme dalam proses pengomposan. Kandungan utama kompos merupakan bahan organik. Kompos mengandung unsur hara seperti nitrogen, fosfat, kalium, dan magnesium. Kandungan unsur hara kompos tidak tetap. Hal ini dipengaruhi oleh bahan yang dikomposkan, cara pengomposan, dan cara penyimpanan (Anonim 1999 dalam Halim 2003). Teknik Remediasi Tanah Remediasi memiliki suatu arti yaitu perbaikan. Remediasi tanah adalah pemulihan tanah yang terkontaminasi oleh zat-zat pencemar seperti logam berat dan atau senyawa organik untuk mengembalikan fungsi tanah, sehingga dapat dimanfaatkan kembali dan tidak menimbulkan masalah bagi lingkungan (Hakim et al 2005). Teknologi pada umumnya dapat dilakukan dengan isolasi, immobilisasi, reduksi toksisitas, pemisahan fisis dan ekstraksi. Teknologi secara ekstraksi untuk remediasi tanah antara lain soil washing, phyrometallurgical, insitu, soil flushing dan elektrokinetic treatment (Cyntia 1997 dalam Hakim et al 2005). Tujuan remediasi mencegah penyebaran kontaminasi pada tingkat yang tidak diharapkan, mencegah pergerakan kontaminan, minimalisasi kontaminan lebih lanjut hasil dari perlindian tanah atau NAPL (Non Aqueous Phase Liquid), mengembalikan tanah ke penggunaan yang menguntungkan. LNAPL (Light Non Aqueous Phase Liquid) adalah pemompaan cair ke permukaan dari serangkaian sumur ekstraksi atau sambungan ekstraksi. DNAPL (Dense Non Aqueous Phase
liquid) adalah sumber pencemar kontinyu yang bermasalah. LNAPL dan DNAPL dapat menimbulkan kontaminasi terlarut. LNAPL lebih mudah dilokalisir dan dikurangi daripada DNAPL. Komposisi LNAPL lebih biodegradable sehingga dapat diturunkan dengan aspirasi/pemompaan. DNAPL dilokalisir dahulu baru kemudian diturunkan konsentrasinya (Soil ... 2012). Soil Venting Tanah ventilasi adalah teknologi yang menggunakan udara untuk mengekstrak kontaminan volatile dari tanah yang terkontaminasi. Tanah ventilasi (Soil venting) yang mencakup ekstraksi udara dan injeksi merupakan salah satu metode utama yang digunakan di Amerika Serikat untuk menghilangkan VOC (Volatile Organik Compounds) dari tak jenuh. Teknologi ini juga dikenal sebagai tanah uap ekstraksi (Soil vapour extraction). Para Desainer harus memiliki ahli geologi, hidrogeologi, ilmuwan tanah, ahli kimia untuk merancang suatu sistem yang optimal. Sebuah pengetahuan dasar kimia juga diperlukan untuk mengembangkan sampling kualitas dan rencana pemantauan. Teknologi ini tepat guna dalam menghilangkan kontaminan organik berbahaya dari tanah bawah permukaan (Soil ... 2012). Banyak model tanah ventilasi mengasumsikan bahwa lokal partisi dari kontaminan ke dalam berbagai tahapan yang diatur oleh kendala ekuilibrium (Johnson et al 1990 dalam Lingineni dan Dhir 1995). Salah satu proses utama yang mempengaruhi kinerja tanah. Sistem ventilasi adalah perpindahan masa dari interfase kontaminan fraksi dalam kondisi aliran adveki, diciptakan oleh gradient tekanan bawah permukaan. Teknologi ini telah diterima oleh banyak kalangan selama dekade terakhir karena kebutuhan dari suatu in-situ, biaya efektif, metode untuk mengatasi berbagai kontaminasi masalah yang diciptakan oleh kebocoran bawah permukaan. Soil Vapour Extraction (SVE) Soil Vapour Extraction merupakan salah satu teknologi pengolahan air tanah. Air sparging adalah stripping udara secara in-situ yang sederhana. Air sparging berfungsi memompa udara untuk meningkatkan aktifitas degradasi pada mikroba. Sistem SVE terdiri dari satu atau lebih sumur ekstraksi yang diputar di zona tak jenuh, blower, dan sering juga di injeksi udara. Sumur-sumur injeksi diisi udara dan compressor ke akuifer. Stripping udara ini digunakan untuk mentransfer senyawa organik volatile (VOC) dari air tanah ke udara. Soil Vapor Extraction atau ekstraksi uap tanah disertai air sparging digunakan untuk menangkap aliran udara terkontaminasi. Ekstraksi uap tanah menggunakan serangkaian sumur tersaring di zona tak jenuh untuk menangkap uap tanah (Soil ... 2012). Faktor-faktor yang menetukan fase uap kontaminan dan transportasi Soil Vapor Extraction di zona tak jenuh diantaranya: a. Pencemaran transportasi dan penghapusan. Mekanisme transportasi dan penghapusan termasuk adveksi penguapan, desorpsi, biodegradasi, dan difusi. Pada Gambar 1 menggambarkan proses yang terjadi dalam tanah terkontaminasi oleh VOC dan mekanisme penghapusan kontaminan (USEPA 1991 dalam Soil ... 2012). Pada Gambar 1 dijelaskan VOC ada di zona tak jenuh sebagai cairan fase residual tak berair (NAPL). NAPL
ditahan oleh beberapa kapiler antar partikel padat, seperti organik teradsorpsi yang terkait dengan permukaan. b. Pencemaran properti. Sifat fisika dan kimia sangat mempengaruhi alur dan transportasi kontaminan. Properti ini mempengaruhi distribusi kontaminan antara empat fase pada tanah, seperti fase gas (uap), dilarutkan dalam pori-pori (fase air), teradsorpsi pada permukaan partikel (fase padat), dan sebagai NAPL. c. Sifat tanah. Sifat fisik dan kimia kontaminan seperti media berpori dan karakteristik cairan sangat mempengaruhi alur dan kontaminan dan transportasi. Berikut alur kontaminan dan transportasi SVE dapar dilihat pada Gambar 1.
Sumber : Soil ... 2012.
Gambar 4 Proses tranportasi Soil Vapour Extraction Bioremediasi Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme yang telah dipilih untuk ditumbuhkan pada polutan tertentu sebagai upaya untuk menurunkan kadar polutan tersebut. Pada saat proses bioremediasi berlangsung, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi struktur polutan beracun menjadi tidak kompleks sehingga menjadi metabolit yang tidak beracun dan berbahaya. Sehubungan dengan bioremediasi, Pemerintah Indonesia telah mempunyai payung hukum yang mengatur standar baku kegiatan bioremediasi dalam mengatasi permasalahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan perminyakan serta bentuk pencemaran lainnya (logam berat dan pestisida) melalui Kementerian Lingkungan Hidup, Kep Men LH No.128 tahun 2003, tentang tatacara dan persyaratan teknis dan pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis (bioremediasi) yang juga mencantumkan bahwa bioremediasi dilakukan dengan menggunakan mikroba lokal (Priadie 2012). Pada dasarnya, pengolahan secara biologi dalam pengendalian pencemaran air, termasuk upaya bioremediasi, dengan memanfaatkan bakteri bukan hal baru
namun telah memainkan peran sentral dalam pengolahan limbah konvensional sejak tahun 1900-an (Mara, Duncan, and Horan 2003 dalam Priadie 2012). Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada pengolahan air limbah yang mengandung senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida dan herbisida (Tortora 2010 dalam Priadie 2012), maupun nutrisi dalam air seperti nitrogen dan fosfat pada perairan tergenang (Great Lakes Bio systems. Inc. Co 0rb-3.com dalam Priadie 2012). Teknik bioremediasi dapat dilaksanakan secara in-situ maupun cara exsitu. Teknik bioremediasi in-situ umumnya diaplikasikan pada lokasi tercemar ringan, lokasi yang tidak dapat dipindahkan, atau karakteristik kontaminan yang volatile. Bioremediasi ex-situ merupakan teknik bioremediasi dengan cara lahan atau air yang terkontaminasi diangkat, kemudian diolah dan diproses pada lahan khusus yang disiapkan untuk proses bioremediasi. Penanganan semacam ini lebih aman terhadap lingkungan karena agen pendegradasi yang dipergunakan adalah mikroba yang terurai secara alami (Budianto 2008 dalam Charlena 2010). Bioremediasi secara ex-situ dapat dilakukan dengan teknik landfarming dan bioslurry. Landfarming merupakan salah satu kategori jenis bioremediasi exsitu yang dapat mempersingkat waktu untuk pembersih lahan yang terkontaminasi dibandingkan dengan cara fisika, kimia, dan biologi. Teknik landfarming ini membutuhkan penggalian dan penempatan pada tumpukan-tumpukan. Tumpukantumpukan itu secara berkala dipindahkan untuk dicampurkan dan diatur kelembapannya. Pengaturan pH tanah dan penambahan nutrisi dibutuhkan untuk meningkatkan aktivitas biologi (Poon 1996 dalam Charlena 2010). Menurut Garcia et al (2010) dalam Charlena (2010), teknik landfarming merupakan metode yang seringkali dipilih untuk tanah yang terkontaminasi hidrokarbon, karena relatif lebih murah, dan berpotensi berhasil. Bioremediasi dengan teknik bioslurry menggunakan bioreaktor berupa bejana (container) atau reaktor yang digunakan untuk perlakuan terhadap cairan atau bubur (slurry). Slurry bioreaktor tidak hanya digunakan untuk mendegradasi limbah berbentuk fase cairan dan slurry, namun dapat mendegradasi limbah padat/tanah. Menurut Banerji (1997) dalam Charlena (2010), fase bioslurry dapat memiliki tingkat kepadatan 10-40%. Slurry ini kemudian disimpan dalam bioreaktor. Dalam bioreaktor slurry akan diberikan nutrisi dalam kondisi lingkungan yang terkontrol agar mikroba dapat melakukan proses degradasi dengan baik. Selain penambahan nutrisi, ke dalam reaktor diberikan suplai udara atau oksigen untuk menjaga agar kondisi aerobik pada bioreaktor tetap terjaga. Pengadukan dilakukan secara mekanik atau pneumatik. Keuntungan proses bioremediasi dengan menggunakan slurry bioreaktor adalah mempercepat proses transfer massa antara fase padat dan cair, kontrol lingkungan dapat berlangsung dengan baik, mudah dalam memelihara tingkat penerimaan elektron dalam reaktor, dan berpotensi dalam mencegah kontaminasi oleh mikroba pengganggu. Landfarming dan slurry bioreaktor merupakan salah satu teknologi bioremediasi yang terus berkembang hingga saat ini. Metode landfarming maupun slurry bioreaktor dapat mereduksi dampak pencemaran limbah minyak bumi karena bioremediasi merupakan metode alternatif yang aman dimana polutan (hidrokarbon) dapat diuraikan oleh mikroba menjadi bahan yang tidak berbahaya seperti CO2 dan H2O. Landfarming atau slurry bioreaktor memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Untuk itu perlu dikaji metode yang lebih efektif
dalam menangani limbah minyak bumi. Seberapa efektif bioremediasi dalam merombak hidrokarbon dari limbah minyak bumi pada fase slurry dan fase padat, merupakan permasalahan yang perlu diketahui dan dikembangkan. Proses Fitoremediasi Fitoremedisasi dapat dilakukan secara in-situ (langsung di tempat terjadinya pencemaran), maupun secara ex-situ atau menggunakan kolam buatan yang merupakan bioreaktor besar untuk penanganan limbah. Tanaman dapat digunakan secara langsung dalam bentuk alaminya lengkap terdiri bagian akar, batang, dan daun maupun dalam bentuk kultur jaringan tanaman. Secara tradisional, tanaman telah lama digunakan untuk proses penjernihan air. Mekanisme yang terjadi adalah proses koagulasi menggunakan ekstrak tanaman yang bersifat koagulan. Tanaman enceng gondok (Eichornia crassipes) telah lama digunakan untuk pengolahan air limbah secara tradisional. Konsep fitoremediasi lebih berkembang dengan aplikasi baru untuk dekontaminasi tanah yang tercemar oleh senyawa-senyawa organik maupun anorganik. Perkembangan yang pesat di bidang penelitian fitoremediasi tidak lepas dari kemajuan di bidang biologi molekuler, rekayasa genetika dan teknologi enzim. Fitoremediasi dapat dijadikan indikator adanya pencemaran air dan udara (Pratomo 2004). Adanya batasan konsentrasi polutan yang dapat ditolerir oleh tanaman. Tanaman secara umum hanya dapat hidup pada limbah dengan BOD kurang dari 300 mg/l. Keuntungan dari teknik fitoremediasi antara lain adalah efisiensi biaya untuk volume pencemar yang besar dan konsentrasi rendah, tidak membutuhkan peralatan yang rumit dan pekerja spesialis, lebih ramah lingkungan dan lainnya (Erakhumen 2007 dalam Abadi 2008). Macam-macam logam berat dan unsur radioaktif dibersihkan oleh tanaman melalui cara berikut ini : a. Biodegradasi dalam rizosfer Dalam proses ini, tanaman mengeluarkan senyawa organik dan enzim melalui akar (eksudat akar), sehingga daerah rizosfer merupakan lingkungan yang sangat baik untuk tempat tumbuhnya mikroba dalam tanah. Mikroba di daerah rizosfer akan mempercepat proses biodegradasi kontaminan. b. Fitostabilitasi Dalam proses stabilisasi, berbagai senyawa yang dihasilkan oleh tanaman dapat mengimobilisasi kontaminan, sehingga diubah menjadi senyawa yang stabil. Tanaman mencegah migrasi polutan, dengan mengurangi runoff, erosi permukaan, dan aliran air bawah tanah. c. Fitoakumulasi (fitoekstraksi) Akar tanaman dapat menyerap kontaminan bersamaan dengan penyerapan nutrient dan air. Massa Kontaminan tidak dirombak, tetapi diendapkan di bagian trubus dan daun tanaman. Metode ini digunakan terutama untuk menyerap limbah yang mengandung logam berat. Sebagai contoh aplikasi fitoremediasi untuk mengatasi berbagai polutan dan tanamannya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 14 Aplikasi fitoremediasi untuk mengatasi berbagai polutan dan tanamannya Aplikasi Media Polutan Jenis Tanaman 1. Fitovolatilisasi Tanah, air Herbisida (atrazine, Pohon bawah tanah, alachlor); aromatik Phreatophyte air lindi, dan (BTEX); alifatik (poplar, willow, tempat berklor (TCE); cottonwood, dan pengolahan air nutrien; limbah aspen); rumput limbah amunisi (TNT dan (rye, bermuda, RDX) sorghum, dan fescue); legum (clover, alfalfa, dan cowpea) 2. Stimulasi Tanah, Organik (pestisida, Penghasil fenolik mikroba sedimen dan aromatik, dan (mulberry, apel, tempat polynuclear osage, jeruk); pengolahan air aromatik/PAH) rumput (rye, limbah fescue, Bermuda); tanaman air untuk sedimen 3. Fitostabilisasi
Tanah dan sedimen
4. Fitoekstraksi
Tanah, rawa, Logam (Pb, Cd, Zn, dan sedimen As, Cu, Cr, Se, U) dengan pemberian EDTA untuk Pb dan Selenium
Bunga matahari ; Indian Mustard; Rape seed; Barle, Hops; Crucifera; tanaman Serpentine; Nettle, dandelion
5. Degradasi
Tanah, air bawah tanah, air lindi, tempat pengolahan air limbah
Pohon Phreatophyte (poplar, willow, cottonwood,aspen); rumput (rye, bermuda, sorghum, fescue); legum (clover, alfalfa, cowpea)
Sumber : Zynda 2007.
Logam (Pb, Cd, Zn, As, Cu, Cr, Se, U), organik hidrofobik (PAH, PCB, DDT, dieldrin)
Herbisida (atrazine, alachlor); aromatik (BTEX); alifatik berklor (TCE); nutrien; limbah amunisi (TNT, RDX)
Pohon Phreatophyte dengan transpirasi tinggi (kontrol hidrolis); rumput pencegah erosi; sistem perakaran rapat untuk menyerap kontaminan.
d. Rizofiltrasi (sistem hidroponik untuk pembersihan air) Rizofiltrasi prinsipnya sama dengan fitoakumulasi, tetapi tanaman yang digunakan untuk membersihkan ditumbuhkan dalam media cair (sistem hidroponik). Sistem ini dapat digunakan untuk mengolah air bawah tanah secara ex-situ. Air bawah tanah dipompa ke permukaan untuk diolah menggunakan tanaman. Sistem hidroponik memerlukan media cari buatan yang dikondisikan seperti dalam tanah, misalnya diberi campuran pasir dan mineral perlit, atau vermikulit. Setelah tanaman jenuh dengan kontaminan, kemudian dipanen dan diproses. e. Fitovolatilisasi Dalam proses ini, tanaman menyerap air yang mengandung kontaminan organik melalui akar, diangkut ke bagian daun, dan mengeluarkan kontaminan yang sudah didetoksifikasi ke udara melalui daun. f. Fitodegradasi Kontaminan organik diserap ke dalam tanaman. Dalam proses metabolisme, tanaman dapat merombak kontaminan yang sudah bersifat toksik. g. Pengendalian hidrolisis Tanaman yang berbentuk pohon, secara tidak langsung dapat membersihkan lingkungan, dengan cara mengendalikan pergerakan air bawah tanah. Pohon merupakan pompa alami, saat akar yang berada pada lapisan air bawah tanah menyerap air dalam jumlah besar. Pohon poplar merupakan salah satu contoh pohon yang dapat menyerap 30 galon air per hari. Pohon Cottonwood dapat menyerap lebih dari 350 galon per hari. Mekanisme Proses Mekanisme kerja fitoremediasi mencakup proses fitoekstraksi, rhizofiltasi, fitodegradasi, fitostabilitasi dan fitovolatilisasi (Kelly 1999 dalam Moenir 2010). Fitoekstraksi adalah penyerapan logam berat oleh akar tanaman dan mengakumulasikan logam berat tersebut ke bagian-bagian tanaman seperti akar, batang, dan daun. Rhizofiltasi adalah pemanfaaan kemampuan akar tanaman untuk menyerap, mengendapkan, mengakumulasikan logam berat dari aliran limbah. Fitodegradasi adalah metabolisme logam berat di dalam jaringan tanaman oleh enzim seperti dehalogenase dan oksigenase. Fitostabilitasi adalah kemampuan tanaman tanaman dalam mengekskresikan (mengeluarkan) suatu senyawa kimia tertentu untuk mengimobilisasi logam berat di daerah rizosfer (perakaran), sedangkan Fitovolatilisasi terjadi ketika tanaman menyerap logam berat dan melepaskannya ke udara lewat daun dan ada kalanya logam berat mengalami degradasi terlebih dahulu sebelum dilepas lewat daun (Anonim 1999 dalam Moenir 2010). Secara umum mekanisme penyerapan logam berat oleh tanaman berlangsung secara aktif (active up take) dan penyerapan secara pasif (passive up take). 1. Penyerapan logam berat secara aktif (active up take) oleh tanaman, meliputi tiga proses yaitu: a. Penyerapan logam berat oleh akar
b. Translokasi logam dari akar ke bagian-bagian tanaman yang lain c. Lokalisasi/akumulasi logam berat tersebut pada bagian sel tertentu untuk menjaga agar logam berat tidak menghambat metabolisme tanaman tersebut. Proses ini tergantung pada energi yang berkandung dan sensitifitasnya terhadap pH, suhu, kekuatan ikatan ionik dan cahaya. Penyerapan logam berat oleh akar tanaman dapat terjadi apabila logam berat tersebut berada di sekitar akar (rizosfer) dan untuk membawa logam berat masuk kedalam rizosfer rizosfer terdapat beberapa faktor tergantung pada jenis tanamannya. (Suhendrayatna 2001 dalam Moenir 2010). a. Faktor pH Pada tanaman Thlaspi caerulescens, mobilisasi logam Zn dipacu oleh terjadinya penurunan pH pada daerah perakaran sebesar 0.2-0.4 unit (MC.Grath 1999 dalam Moenir 2010). b. Pembentukan reduktase spesifik logam Digunakan untuk meningkatkan penyerapan logam berat, tanaman membentuk suatu molekul reduktase di membran akarnya dan reduktase ini berfungsi untuk mereduksi logam berat dan selanjutnya diangkut melalui kanal khusus didalam membran akar dalam (Marschner dan Romheld 1994 dalam Moenir 2010). c. Ekstraksi zat khelat (zat pengikat) Pada jenis rumput-rumputan dalam proses penyerapan logam berat dapat ditingkatkan dengan pembentukan zat khelat (pengikat) yang dinamakan phytosiderator. Molekul phytosiderator akan mengikat logam berat dan membawanya ke dalam sel akar melalui transport aktif. Beberapa logam berat yang dapat diikat oleh molekul phytosiderator seperti Cu, Zn dan Mn. (Gwozdz et al 1997 dalam Moenir 2010). Translokasi logam dan akar ke bagian-bagian tanaman yang lain dilakukan setelah logam berat masuk di dalam akar tanaman untuk selanjutnya didistribusikan ke bagian-bagian tanaman yang lain (batang dan daun) melalui jaringan pengangkut xylem dan floem. Kemampuan pengangkutan dalam tanaman dapat ditingkatkan dengan bantuan zat khelat. Beberapa zat khelat yang dapat mengikat logam berat adalah phytochelatin yang mengikat logam Se, histidin, mengikat logam Ni dan glutanion mengikat Cd (MC.Grath 1999 dalam Moenir 2010). Lokalisasi/akumulasi logam berat pada sel tanaman. Pada konsentrasi tertentu logam berat dapat meracuni tanaman dan untuk mencegah terjadinya peracunan tersebut, tanaman mempunyai mekanisme detoksifikasi, yaitu dengan cara melokalisasi/mengakumulasi logam berat dalam jaringan tanaman tertentu dan berbeda antara satu tanaman dengan tanaman lainnya, seperti untuk logam Cd di akar pada tanaman Silenedioica, (Grant et al 1998 dalam Moenir 2010), logam Ni di lateks pada tanaman Serbetia Acuminata (Collins 1999 dalam Moenir 2010). 2. Penyerapan logam berat secara pasif (passive up take) atau biosorpsi Proses ini terjadi ketika ion logam berat mengikat dinding sel dan proses pengikatan ini dapat dilakukan dengan dua cara :
a. Pertukaran ion dimana ion monovalen dan divalent seperti ion Na, Mg, dan Ca pada dinding sel digantikan dengan ion logam berat. b. Formasi kompleks antara ion-ion logam berat dengan gugus fungsional seperti korboksil, thil, fosfat, hidroksi yang berada di dinding sel. Proses biosorpsi dapat berjalan lebih efektif pada pH tertentu dan kehadiran ion-ion lainnya di media, dimana logam berat dapat diendapkan sebagai garam yang tidak terlarut (Suhendrayatma 2001 dalam Onrizal 2005 dalam Moenir 2010). Media Proses/Tanam Tanah sebagai media tanam mempunyai kelemahan yaitu sifat fisiknya cepat memadat karena sedikit bahan organik. Sifat ini berakibat terhadap terbatasnya perkembangan akar sehingga bobot kering akar tanaman kecil (Hendromono 1988 dalam Andhika 2003). Media tumbuh tanaman yang diperdagangkan saat ini terdiri dari campuran bahan-bahan yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman misalnya sekam padi, serbuk gergaji, dan gambut. Pembuatan media campuran dilakukan untuk memperbaiki kondisi fisik dan kimia pada daerah perakaran. Kondisi yang diharapkan dari media campuran adalah menurunkan laju pemadatan, meningkatkan laju infiltrasi dan perkolasi, kecukupan aerasi bagi perakaran, daya menahan air, dan KTK yang tinggi dalam pembuatan media tumbuh, sifat fisik dan kimia harus diperhitungkan agar tanaman tumbuh optimal. Sifat fisik dan kimia harus diperhitungkan agar tanaman tumbuh optimal. Sifat fisik yang penting bagi tanaman adalah tekstur, struktur, dan porositas, sedangkan sifat kimia yang penting adalah pH, daya hantar listrik (DHL) dan kapasitas tukar kation (KTK). Sifat fisik berperan penting dalam mempengaruhi infiltrasi, daya menahan air, dan pergerakan air serta aerasi media tanam (Flegmann dan George 1975 dalam Andhika 2003). Media tanam yang digunakan untuk pengaplikasian pengujian kompos lumpur ini adalah tanaman yang tergolong dari hortikultura yang dapat digunakan atau dikonsumsi masyarakat. Tanaman hortikultura yang dapat dimanfaatkan daunnya seperti sawi,kangkung,atau bayam. Tanaman yang hortikultura yang dapat dimanfaatkan buahnya seperti tomat dan cabai. Tanaman yang dapat dimanfaatkan bagian akarnya seperti kentang, singkong, atau umbi-umbian. Hal ini tidak lain untuk mengetahui sejauh mana kemungkinan kandungan logam terserap oleh tanaman tersebut, sehingga hasil indentifikasi ini dapat bermanfaat selain untuk bercocok tanam juga bermanfaat untuk pemanfaatan lumpur secara optimal. Tanaman berikut merupakan bagian dari tanaman vegetatif (akar, batang, dan daun). Hal ini diperuntukan untuk dapat mengetahui kemungkinan kandungan logam yang terserap tanaman secara lebih cepat. Analisis kandungan logam pada tanaman serta kandungan unsur hara pada tanah juga harus diteliti lebih lanjut, guna mengetahui adanya kandungan logam. Beberapa jenis tanaman mempunyai kemampuan menyerap dan mengkonsentrasikan logam berat dalam biomassanya dalam kadar yang tinggi tanpa membahayakan kehidupan tanaman tersebut dan tanaman itu disebut Hyperaccumulator. Hyperaccumulator adalah tanaman yang mempunyai
kemampuan untuk menyerap dan kemudian mengkonsentrasikan logam didalam biomassanya dalam kadar yang luar biasa tinggi namun tidak mengganggu kehidupannya. Menurut Baker (1999) dalam Eddy (2008), tanaman hyperaccumulator dapat mengakumulasikan logam berat sampai 11% berat kering, dan batas kadar logam yang terdapat dalam jaringan biomassa berbedabeda tergantung pada jenis tanamannya. Untuk logam Cd kadar tertinggi 0.01% (100 mg/kg berat kering), logam Co, Cu, dan Pb kadar tertinggi adalah 0.1% (1,000 mg/kg berat kering) dan untuk Zn dan Mn adalah 1% (10,000 mg/kg berat kering). Beberapa jenis tumbuhan mampu bekerja sebagai agen fitoremediasi, seperti azolla, kiambang (Salvinia molesta), eceng gondok (Eichhornia crassipes), kangkung air (Ipomea aquatic) serta beberapa jenis tumbuhan mangrove. Jenisjenis ini merupakan tumbuhan air yang banyak dijumpai di sungai, pantai, rawa atau danau. Selain itu juga beberapa tumbuhan yang tumbuh di tanah juga mampu berperan dalam fitoremediasi. Tumbuhan-tumbuhan ini memiliki kemampuan yang disebut dengan hyperaccumulator, yaitu relatif tahan terhadap berbagai macam bahan pencemar dan mampu mengakumulasikannya dalam jaringan dengan jumlah yang cukup besar. Untuk itulah maka tumbuhan-tumbuhan ini banyak dipilih sebagai objek penelitian fitoremediasi untuk lingkungan tercemar logam berat seperti Pb (Eddy 2008). Mekanisme biologi dari hyperaccumulator unsur logam pada dasarnya meliputi proses-proses: a. Interaksi rizosferik. Dalam hal ini tumbuhan hiperaccumulator memiliki kemampuan untuk melarutkan unsur logam pada rizosfer dan menyerap logam bahkan fraksi tanah yang tidak mobile sekalipun sehingga menjadikan penyerapan logam pada hyperaccumulator melebihi tumbuhan normal (McGrath et al 1997 dalam Hidayati dan Saefudin 2003). b. Proses penyerapan (up take) Logam oleh akar pada hyperaccumulator lebih cepat dibandingkan tumbuhan normal, terbukti dengan adanya konsentrasi logam yang tinggi pada akarnya. Disamping itu akar hyperaccumulator memiliki daya selektifitas yang tinggi terhadap unsur logam tertentu (lasat 1996 dalam Hidayati dan Saefudin 2003). c. Sistem translokasi Sistem translokasi unsur dari akar ke tajuk pada hyperaccumulator lebih efisien dibandingkan tanaman normal. Hal ini dibuktikan oleh rasio tajuk/akar konsentrasi logam hyperaccumulator yang nilainya lebih dari satu (Gabbrielli et al 1991 dalam Hidayati dan Saefudin 2003). Pada Gambar 2, merupakan salah satu jenis tanaman Hyperaccumulator yang biasa digunakan sebagai tanaman pendegradasi logam berat.
Gambar 5 Alfalfa legum salah satu tanaman hyperaccumulator
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kompos Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB, Kelurahan Margajaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Analisa kualitas kandungan logam kompos dilakukan di Balai Penelitian Tanah. Penelitian berjalan sejak bulan Maret 2012 sampai dengan bulan Desember 2012. Alat dan bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan untuk alat bercocok tanam dalam pot seperti sendok sekop, pot, polybag, timbangan, alat pengering (oven), dan peralatan laboratorium yang diperlukan untuk menganalisis kandungan logam pada kompos dan tanaman. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lumpur yang dihasilkan oleh WTP industri air minum, pupuk kompos komersil, pupuk kompos dari lumpur WTP, bibit tanaman cabe dan kangkung. Lumpur yang digunakan berasal dari tiga lokasi. Lokasi pertama, lumpur berasal dari WTP PT. Krakatau Tirta Industri, Cilegon, Jawa Barat. Lokasi kedua, lumpur berasal dari PDAM Tirta Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Lokasi ketiga lumpur berasal dari PDAM Tirta Kahuripan, Cibinong, Jawa Barat. Metode Pelaksanaan Penelitian ini dilakukan dalam tiga kali pengujian proses fitoremediasi dan analisis kandungan logam berat sebelum dan sesudah pemanenan a. Analisis kandungan media tanam Sebelum kompos dan lumpur siap dipakai, terlebih dahulu diteliti pada laboratorium kandungan logam berat yang ada. Kandungan yang ada pada kompos yang digunakan memenuhi kebutuhan tanaman seperti unsur C/N, N, P, K, dan lain-lain. b. Persiapan Media Bahan campuran yang telah siap digunakan untuk media tanam berupa tanah dan kompos hasil penelitian. Kemudian bahan-bahan tersebut dicampur sesuai perlakuan dan diaduk hingga merata, lalu dimasukkan dalam polybag berukuran 15 x 20 cm. c. Penanaman Penanaman dilakukan dengan bibit yang telah disiap pakai. Dengan pencampuran tanah serta kompos yang siap pakai maka bibit-bibit tersebut ditanam pada masing-masing polybag yang telah tersedia. Tanaman yang tumbuh kembang dengan baik dalam polybag, setelah 14 hari masa tanaman kemudian dipindahkan ke dalam pot.
d. Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi penyiraman, penyulaman, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit tanaman. Penyiraman dilakukan setiap hari atau sesuai kebutuhan. e. Pengamatan Peubah yang diamati meliputi : 1. Tinggi tanaman, diukur menggunakan alat ukur dari permukaan media sampai titik tumbuh tanaman. Pengukuran dilakukan setiap minggu dari umur 1 MST (Minggu Setelah Tanam ) hingga 8 MST pada tanaman contoh 2. Jumlah cabang pertanaman. Pengamatan jumlah cabang dilakukan seminggu sekali dan dilakukan pada cabang yang berwarna hijau, kuat dan sehat. f. Analisis kandungan logam berat pada media tanam dan tanaman. Setelah tanaman memenuhi syarat untuk dipanen, tanaman terlebih dahulu dikeringkan dengan suhu 55°C sekitar 2-3 hari di dalam oven khusus, untuk dihitung dari segi kadar basah dan kadar keringnya. Tanaman yang telah dikering akan diteliti lebih lanjut di Laboratorium. Pengamatan lanjutan kandungan logam dilakukan pada laboratorium Balai Penelitian Tanah, Bogor dengan mengidentifikasi adanya kandungan logam berat yang terserap pada masingmasing media tanam. Kandungan logam berat yang akan diidentifikasi adalah Al, Fe, Pb, Cd, dan Mn. Berikut diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan Gambar 3, bagian awal penelitian mendirikan suatu tempat persiapan media tanam berupa bangunan kecil beratap solartuff dan beralaskan semen beukuran 4x3m. Kompos 1 merupakan data sekunder hasil penelitian Wicaksono (2012). Kompos 2 dan 3 merupakan data sekunder hasil penelitian Kurniasih (2012). Selain itu, data sekunder dari ketiga kompos hasil penelitian sebelumnya akan dibandingkan dengan kompos komersil dalam penyerapan logam berat pada media tanam. Uji pertama dan uji kedua bertujuan untuk mengetahui kalayakan kompos WTP pada tanaman dan mengidentifikasi kandungan logam berat pada kompos WTP yang terserap oleh tanaman. Pada uji pertama dilakukan dengan menggunakan kompos 2 dan kompos komersil pada tanaman kangkung. Pada uji kedua dengan menggunakan kompos 1, kompos 2, dan kompos komersil. Uji kedua ini dilakukan pada tanaman kangkung serta tanaman cabe. Uji ketiga bertujuan untuk mengetahui penyerapan logam berat Lumpur WTP dengan cara fitoremediasi. Uji ketiga dilakukan dengan menggunakan kompos 3 pada pembibitan tanaman kangkung. Pembibitan dilanjutkan dengan proses fitoremediasi menggunakan lumpur 2 (PDAM Tirta Pakuan, Bogor) dengan menggunakan salah satu jenis tanaman Hyperaccumulator yaitu gajah mini pada media pot. Tanaman kangkung setelah dilakukan pembibitan pada polybag, kemudian dipindahkan pada media pot yang telah diberikan lumpur 2. Pada proses fitoremediasi menggunakan media pot, serta tidak menggunakan campuran kompos.
Persiapan Media Tanam
Identifikasi Logam Berat Uji Pertama Kompos 2
Pembibitan Kangkung
Pemeliharaan Kangkung
Identifikasi Logam Berat Uji Kedua Kompos 1 dan 2
Pembibitan Kangkung dan Cabe
Pemeliharaan Kangkung dan Cabe
Perawatan Perawatan
Data Kandungan Kompos dan Lumpur
Fitoremediasi Lumpur Uji Ketiga Kompos 3
Pembibitan Kangkung Lumpur 2
Pemeliharaan Kangkung dan Gajah Mini
Pemanenan Pemanenan
Uji Kandungan Logam Berat Tanaman di Laboratorium
Perawatan Uji Kandungan Logam Berat Tanaman di Laboratorium
Pemanenan
Uji Kandungan Logam Berat Tanaman dan Lumpur di Laboratorium
Gambar 6 Diagram alir penelitian Pengamatan kandungan logam dilakukan pada laboratorium Balai Penelitian Tanah (Bogor) dengan mengidentifikasi adanya kandungan logam berat yang terserap pada masing-masing media tanam. Pada uji ketiga, setelah lumpur menjadi media tanam dilakukan uji laboratorium kandungan logam berat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lumpur Karakteristik lumpur perlu untuk diperhatikan, baik secara kuantitas yang dihasilkan setiap proses, kandungan padatan, dan sifat padatan sebagai dasar pemilihan dan desain perangkat proses (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012). Tabel 4 di bawah ini merupakan kandungan logam hasil analisis Laboratorium Tanah, Bogor. Tabel 15 Kualitas lumpur sebelum pengomposan No Parameter Satuan Lumpur 1 1 N % 0.39 2 C % 3.36 3 C/N * 4 P % 2.1 x 10-4 5 K % 93 x 10-4 6 Mg % * 7 Fe % 2.92 8 Al % 16.15 9 Mn ppm 2044 10 Zn ppm * 11 Pb ppm 1.52
Lumpur 2 0.09 1.1 12 0.45 0.1 0.14 3.39 9.22 1311 18 11
Lumpur 3 0.13 1.69 13 0.43 0.14 0.24 5.49 14.42 1418 39 29
Sumber : Wicaksono 2012 dan Kurniasih 2012. Keterangan * : tidak dianalisis
Logam dari bermacam-macam lumpur pada Tabel 4, tidak hanya memiliki kandungan logam berat yang dapat merusak tanaman, namun memiliki kandungan organik yang dapat memenuhi pertumbuhan tanaman misalkan unsur N, C, C/N, P, dan K, sedangkan logam yang dapat merusak tanaman antara lain Mg, Fe, Al, Mn, Zn, dan Pb. Selain menghambat pertumbuhan, unsur tersebut dapat berakibat racun bagi tanaman. Ketiga lumpur sebelum digunakan sebagai media tanaman, proses pengomposan dilakukan terlebih dahulu dengan durasi selama 60 hari. Lumpur 2 digunakan langsung sebagai media tanam dengan cara fitoremediasi. Pada lumpur 2 terdapat nilai rasio C/N sebesar 12. Nilai ini lebih besar dari SNI 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos dari sampah organik domestik, dengan rasio C/N sebesar 10. C/N ini sangat baik untuk tanaman pada saat proses metabolisme. Nilai logam berat pada lumpur 2 cukup rendah misalnya pada parameter Mg 0.14 %, sedangkan pada SNI kompos nilai Mg 0.6 %. Lumpur 1 mempunyai nilai N, P, dan K berturut-turut sebesar 0.39 %, 2.1 x 10-4 %, dan 93 x 10-4 %. Nilai standar pada SNI kompos N, P, dan K berturut-turut senilai 0.40%, 0.10%, dan 0.2%. Parameter N,P, dan K pada lumpur 1 memiliki nilai yang baik untuk membantu tanaman pada masa pertumbuhan. Kandungan logam pada lumpur 1 memiliki nilai Al 16.15 %, nilai ini hampir mendekati batas maksimum pada SNI kompos sebesar 2.20 %. Hal ini disebabkan PDAM 1 dominan menggunakan aluminium untuk proses penjernihan air.
Pengomposan yang telah dilakukan oleh Wicaksono (2012) dan Kurniasih (2012) kemudian dibandingkan dengan kompos komersil. Kompos komersil ini diasumsikan memenuhi standar kualitas kompos, sehingga banyak beredar di masyarakat. Kompos WTP menggunakan campuran jerami, kotoran kambing, dan lumpur dengan perbandingan masing masing berturut-turut 1:1:1. Ketiga kompos tersebut akan dilakukan pengujian terhadap tanaman kangkung dan cabe. Rumput gajah mini menggunakan lumpur WTP dengan proses fitoremediasi pada uji ketiga. Tabel 16 Karakteristik lumpur Karakteristik
Lumpur Aluminium
Lumpur Besi
8-210, tipikal 48 1200-1520 10% konsentrasi dalam 2 hari di sand beds
80 1200-1800 -
30-300 30-5000 6-8 0.1-4
30-300 30-5000 7.4-8.5 0.25-3.5
15-40 15-25 -
4.6-20.6 5.1-14.1
Fisik
Kuantitas, kg/1000m3 Densitas kering, kg/m3 Dewaterability Kimia
BOD5 mg/L COD, mg/L pH Total padatan, % Karakteristik Padatan
AL2O5,5H2O, % Fe, % Organik, % Volatiles, % Sumber : Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012.
Berdasarkan Tabel 5, maka lumpur yang digunakan pada penelitian ini merupakan jenis lumpur besi sebesar 4.6-20.6%, hal ini dapat terlihat pada Tabel 4 dengan nilai Fe berturut-turut pada lumpur 1, 2, dan 3 sebesar 2.92 %, 3.39%, dan 5.49%. Pada prinsipnya Aluminium dan garam besi merupakan bahan kimia utama yang digunakan untuk menghilangkan partikel koloid. Banyak instalasi menggunakan kapur bersama dengan aluminium atau besi untuk mencapai pelunakan parsial dan untuk meningkatkan koagulasi (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012). Polimer juga digunakan sebagai pembantu filter untuk meningkatkan penghilangan partikel koloid pada proses koagulasi dan filtrasi. Activated carbon juga sering digunakan untuk kontrol rasa dan bau. Setiap karakteristik lumpur akan berbeda-beda dan kondisi ini perlu diperhitungkan untuk estimasi kuantitas dan kualitas lumpur (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012). Pada karakteristik lumpur juga terdapat sifat fisika, kimia, dan biologi lumpur. Sifat fisik lumpur salah satunya padatan tersuspensi (total suspended solid). Sifat fisika pada lumpur digunakan untuk analisa komponen-komponen lumpur keseluruhan dan sebagai perencanaan dan pengawasan dalam proses-proses pengolahan lumpur. Padatan
yang tersuspensi di dasar air dapat mengganggu kehidupan pada badan air, misalnya lumpur dalam bentuk cair. Padatan ini akan mengalami dekomposisi yang dapat menurunkan kadar oksigen di dalam air, sehingga menyebabkan tingkat kekeruhan air meningkat. Air yang keruh menimbulkan penyimpangan sinar matahari, sehingga berpengaruh terhadap organisme air baik langsung maupun tidak langsung (Gunawan 2006). Karakteristik kimia lumpur diantaranya terdiri dari pH, BOD5, dan COD. Pada unsur pH mempengaruhi pola distribusi biota akuatik, apabila lumpur cair ini dibuang ke dalam air. Perubahan pH yang terkecil dapat memberikan dampak besar terhadap toksisitas polutan seperti amonia. BOD5 (Biochemical Oxygen demand) dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasi), hampir semua zat organic terlarut dan sebagian zat-zat organik tersuspensi dalam air. Penentuan BOD5 ini diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat lumpur. Penguraian zat organisme adalah peristiwa alamiah, apabila badan air dicemari oleh zat organis. Bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses oksidasi, sehingga kematian biota dalam air meningkat dan kondisi air bersifat anaerob dapat menimbulkan bau busuk. Semakin besar konsentrasi BOD, maka derajat pengotoran limbah semakin besar. COD (Chemical Oxygen demand) adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Angka COD ini merupakan ukuran bagi pencemaran lumpur oleh zat-zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui mikrobiologis menjadi CO 2, H2O, senyawa organik, serta mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air. Karakteristik kimia sangat mempengaruhi kelayakan lumpur untuk ditumpuk atau dibuang ke perairan apabila tidak dimanfaatkan. Karakteristik biologi diperlukan untuk menentukan standar kualitas lumpur. Indikator organisme yang paling umum digunakan adalah bakteri coliform khususnya Eschericia coli. Jumlah bakteri coliform sangat banyak dan memiliki ketahanan paling besar terhadap desinfektan, sehingga jika bakteri coliform hilang setelah proses desinfeksi, maka diharapkan mikroorganisme lain seperti group prokaryotik dan group eukaryotik sudah mati. Komposisi dasar sel terdiri dari sekitar 90% organik dan 10% anorganik (Supriyanto 1993 dalam Halim 2003). Proses Pengomposan Limbah lumpur sedimentasi dari WTP merupakan limbah padatan hasil pengolahan air bersih yang mengandung logam-logam sisa koagulan seperti silika dan alumina (tawas) yang digunakan saat proses koagulasi berlangsung. Komposisi dasar lumpur salah satunya adalah mikroorganisme. Menurut Metcalf dan Eddy (1991) dalam Wicaksono (2012), menyatakan bahwa komposisi dasar sel yaitu 90% materi organik dan 10% material anorganik. Adanya kandungan organik yang tinggi sangat berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai kompos. Proses pengomposan dimulai dengan melakukan pencampuran antara lumpur, jerami, dan kotoran kandang pada suatu kotak berbahan balok dengan dikondisikan terciptanya proses aerasi atau masuknya oksigen yang diperlukan dalam proses aerob selama pengomposan berlangsung. Perbandingan jerami, kotoran kambing, dan lumpur dengan perbandingan masing masing sebesar 1:1:1. Pengomposan dilakukan dengan mencampur dan menumpuk ketiga bahan tersebut ke dalam kotak kompos selama 60 hari. Setelah semua bahan tersebut
tercampur dan tertumpuk di dalam kotak tersebut, tumpukan bahan-bahan ini akan mengalami proses dekomposisi secara aerob. Mekanisme proses pengomposan secara umum berawal dari miroorganisme yang mengambil air, oksigen dari udara dan makanan dari bahan organik. Bahan organik ini akan dikonversi menjadi produk seperti CO2, H2O, sebagian humus dan energi. Sebagian energi digunakan untuk pertumbuhan dan dibebaskan menjadi panas. Kondisi tersebut mengakibatkan tumpukan bahan kompos melewati tiga tahapan yang berkaitan dengan suhu pengamatan, yaitu tahap penghangatan (mesophilic), suhu puncak (thermofilic), dan pendinginan (cooling) (Dalzell et al 1987 dalam Wicaksono 2012) Tiga tahapan dalam proses pengomposan sangat penting dalam menjaga mutu kompos yang akan dihasilkan. Tahapan mesofilik merupakan fase awal yang kaya akan energi, melimpah, dan mudah terdegradasi oleh jamur dan bakteri yang umumnya disebut dekomposer (Insam et al 2009 dalam Kurniasih 2012). Pada awalnya bakteri mesofilik dan jamur mendegradasi senyawa yang mudah larut dan terdegradasi, seperti monosakarida, pati, dan lipid. Bakteri ini dapat memproduksi asam organik, dan pH menurun hingga 5-5.5. Suhu mulai meningkat secara spontan sebagai panas yang dilepaskan dari reaksi degradasi eksotermis. Degradasi protein mengarah pada pelepasan ammonia dan pH meningkat drastis 8-9. Fase ini berlangsung selama beberapa jam dan beberapa hari (Rudnik 2008 dalam Kurniasih 2012). Fase mesofilik berlangsung pada suhu 25-40°C. Tahapan termofilik berlangsung pada suhu 40-65°C. Suhu tinggi memberikan keuntungan kompetitif untuk mikroorganisme termofilik untuk mengalahkan mikroba mesofilik. Organisme mesofilik tidak aktif pada suhu tinggi dan bersamaan dengan substrat yang mudah terdegradasi. Dekomposisi terus berlangsung dengan cepat dan berakselerasi mencapai suhu sekitar 62°C. Pada suhu 60°C, lebih dari 40% padatan terdegradasi dalam minggu pertama dan hampir semuanya oleh bakteri (Insam et al 2009 dalam Kurniasih 2012). Tahapan terakhir merupakan tahap pendinginan. Ketika aktivitas organisme termofilik berhenti karena kehabisan substrat dan sumber karbon yang mudah terdegradasi dikonsumsi, suhu mulai menurun. Setelah mendingin, kompos menjadi stabil. Bakteri mesofilik dan fungi muncul kembali, serta diikuti dengan fase pematangan. Namun sebagian besar spesiesnya berbeda dengan spesies pada fase mesofilik awal. Proses biologi sekarang menjadi lambat, tetapi kompos menjadi lebih humus dan lebih matang. Durasi fase ini tergantung pada komposisi material organik dan efisiensi proses yang dapat ditentukan dari konsumsi oksigen (Rudnik 2008 dalam Kurniasih 2012). Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain rasio C/N, susunan bahan dan ukuran partikel, aerasi dan kelembapan, suhu, serta nilai pH. Rasio C/N merupakan salah satu faktor penting karena dalam proses pengomposan bergantung pada kegiatan mikroorganisme yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan pembentuk sel. Menurut Metcalf dan Eddy (1991) dalam Andhika (2003), unsur karbon dan nitrogen keduanya dibutuhkan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme, yaitu 30 bagian karbon (C) dan 1 bagian nitrogen (N) atau rasio C/N = 30 dalam perbandingan berat. Rasio C/N yang ideal adalah antara 25-35 sebagai perbandingan yang paling ideal.
Unsur C/N dalam rasio tersebut dipandang sebagai biodegradable carbon. Rasio C/N yang rendah atau kandungan unsur N yang tinggi akan meningkatkan emisi nitrogen sebagai amoniak. Rasio C/N yang tinggi atau kandungan unsur N yang relatif kurang akan menyebabkan proses pengomposan berlangsung lebih lambat dan nitrogen menjadi faktor penghambat (growth-rate limiting factor). Tidak ada unsur makro atau unsur tambahan lain yang ditemukan sebagai faktor penghambat pada proses pengomposan lumpur (Metcalf dan Eddy 1991 dalam Andhika 2003). Menurut Indriani (1999) dalam (Andhika 2003), kompos mempunyai sifat yang menguntungkan antara lain : a. Memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan. b. Memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai. c. Menambah daya ikat air pada tanah. d. Memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah. e. Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara. f. Mengandung hara yang lengkap, walaupun jumlahnya sedikit. g. Membantu proses pelapukan bahan mineral. h. Memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikroba. i. Menurunkan aktifitas mikroorganisme yang merugikan. Secara umum, proses pengomposan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Berdasarkan penggunaan oksigen Berdasarkan penggunaan oksigen, pengomposan dibedakan ke dalam proses aerobik dan proses anaerobik (Gaur 1983 dalam Andhika 2003). Proses aerobik adalah pengomposan yang memerlukan oksigen. Reaksi yang terjadi selama proses aerobik adalah sebagai berikut : Gula [(CH2O)x] Protein [N-organik] Sulfur organik [S] + xO2 Fosfor organik
H3PO4
xCO2 + H2O + energi NO3- + energi SO2- + energi Ca(H2PO4)2
Keseluruhan reaksi : Aktifitas mikroorganisme mikroorganisme AktifitasAktifitas mikroorganisme Bahan organik CO2 + H2O
nutrisi + humus + energi
Proses anaerobik adalah proses yang tidak memerlukan oksigen dan dapat dilakukan dalam jangka waktu yang relatif cepat. Menurut CPIS (1992) dalam Andhika (2003), proses tersebut dapat terjadi secara bersamaan dalam sebuah tumpukan. Proses anaerobik terjadi pada bagian tumpukan yang tidak berongga sementara proses aerobik aktif di bagian tumpukan yang memiliki oksigen yang cukup. Kekurangan proses anaerobik adalah timbulnya bau dari kompos karena terbentuknya senyawa indol, skatol, merkaptan dan H2S, melalui reaksi sebagai berikut :
Bakteri penghasil asam
(CH2O)x
xCH3COOH methamonus
xCH3COOH
CH4 + CO2
N-organik
NH3 cahaya
2H2 + xCO2
(CH2O)x + S + H2O
2. Suhu proses Berdasarkan perbedaan suhu proses, pengomposan diklasifikasikan menjadi proses mesofilik dan termofilik. Pengomposan mesofilik dilakukan pada suhu 2030°C, sedangkan pengomposan termofilik dilakukan dengan menggunakan kisaran suhu antara 45-65°C (LPPM-IPB 1994 dalam Andhika 2003). 3. Cara pembuatan Klasifikasi pengomposan berdasarkan cara pembuatannya, diperlihatkan pada Tabel 17. Tabel 6 Klasifikasi pengomposan berdasarkan cara pembuatannya Klasifikasi Metode Sistem terbuka Turned pile Static pile : - penyedotan udara - penghembusan udara - ventilasi - penghembusan udara dengan kontrol suhu Sistem terbuka Reaktor vertikal : - kontinyu - tidak kontinyu Reaktor horizontal : - material diam (statis) - material bergerak Sumber : De Bortoldi et al 1984 dalam Andhika 2003.
Pada kompos penelitian ini, menggunakan sistem terbuka static pile. Metode ini di samping sederhana, juga tidak membutuhkan pembalikan atau pengadukan secara berkala seperti proses pengomposan pada umumnya. 4. Kelangsungan proses Berdasarkan kelangsungan proses, pengomposan dibedakan menjadi batch dan berkelanjutan. Proses batch dilakukan dengan cara menumpuk bahan dan dibiarkan menjadi kompos, sedangkan proses berkelanjutan dilakukan dengan pemberian bahan secara terus-menerus untuk dikomposkan. Proses berkelanjutan lebih rumit dan memerlukan teknologi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan proses batch (LPPM-IPB 1994 dalam Andhika 2003). Pada penelitian ini, kompos yang digunakan menerapkan proses batch. Pada kompos WTP yang digunakan pada penelitian ini, menggunakan pengomposan WTP dengan cara sistem terbuka static pile. Pipa pada tumpukan
kompos ini berfungsi untuk mengalirkan udara. Pengomposan WTP kompos 1 menggunakan kotak yang berbahan hebel dengan dimensi 150cm x 150cm x 70cm (panjang x lebar x tinggi). Hebel yang digunakan berukuran 66.25cm x 7.5cm x 7cm (panjang x lebar x tinggi). Pengomposan WTP kompos 2 dan 3 menggunakan dimensi 60cm x 20 x 7.5cm (panjang x lebar x tinggi). Pengomposan dapat dipercepat dengan beberapa strategi. Secara umum strategi untuk mempercepat proses pengomposan dengan memanipulasi kondisi pengomposan dan menggunakan aktivator pengomposan. Memanipulasi kondisi pengomposan dengan cara ukuran bahan dicacah sehingga memiliki ukuran yang cukup kecil, bahan yang terlalu kering diberi tambahan air agar lembap, dan bahan yang terlalu basah untuk dilakukan pengeringan terlebih dahulu. Hal ini bertujuan mendapatkan rasio C/N yang optimal. Menggunakan aktivator pengomposan dengan cara memanfaatkan organisme seperti cacing tanah, bakteri, cendawan, dan lain-lain. Beberapa kondisi yang optimal untuk dapat mempercepat proses pengomposan padat terlihat dalam Tabel 7. Tabel 18 Kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan Kondisi Kondisi yang bisa diterima Ideal Rasio C/N 20 : 1 s/d 40 : 1 25-35 : 1 Kelembapan 40-65 % 45-62% berat Konsentrasi oksigen tersedia > 5% > 10% Ukuran partikel 1 inchi bervariasi Bulk density 1000 lbs/cu yd 1000 lbs/cu yd pH 5.5-9.0 6.5-8.0 Suhu 43-66°C 54-60°C Sumber : Ryak 1992.
Ketiga kompos penelitian ini telah melalui tahap-tahap pengomposan dengan baik, sehingga menghasilkan unsur hara yang dapat menyuburkan tanaman. Data kandungan ketiga kompos dapat dilihat pada Tabel 8. Data tersebut merupakan data sekunder pada penelitian. Kandungan logam berat yang terdapat pada kompos akan dianalisis seberapa besar yang terserap pada tanaman, apabila kompos digunakan sebagai media tanam. Kompos yang digunakan sebagai media tanam tidak dicampur dengan unsur tanah, hal ini dikarenakan tanah dapat membantu penyerapan kandungan logam berat pada kompos WTP. Penyerapan tanaman terhadap logam berat kompos WTP merupakan salah satu kegiatan fitoremediasi, sehingga kandungan logam berat pada kompos WTP akan menurun. Pada saat pengomposan lumpur WTP menjadi kompos WTP merupakan proses yang dapat menurunkan kandungan logam berat, perbandingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 dimana kandungan logam berat sebelum dilakukan pengomposan lebih besar daripada nilai kandungan logam berat setelah dilakukan pengomposan pada Tabel 8. Karakteristik Pengomposan Standar kualitas kompos SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik digunakan sebagai acuan dasar penelitian ini. Kompos komersil yang ada dipasaran diasumsikan menjadi kompos dengan syarat
SNI. Kompos komersil akan menjadi perbandingan bagi kompos WTP lainnya. Tanaman akan dianalisis serapan logam berat dari kompos WTP. Berikut kandungan kompos WTP dibandingkan SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 19 Perbandingan kualitas kompos WTP dengan SNI 19-7030-2004 No. Parameter Satuan Kompos Kompos Kompos SNI SNI 1 2 3 (min) (max) 1 N % 0.69 0.93 0.84 0.4 2
C- organik
%
26.01
12.46
10.28
9.8
32
3
C/N
-
-
13
12
10
20
4
P
%
0.35
0.39
0.51
0.1
-
5
K
%
0.25
0.52
0.72
0.2
-
6
Mg
%
0.3
0.82**
1.09**
-
0.6
7
Fe
%
1.26
1.57
1.3
-
2
8
Al
%
4.59**
6.71**
4.28**
-
2.2
9
Mn
%
0.05
0.16**
0.17**
-
0.1
10
Zn
ppm
*
28
31
-
500
11
Pb
ppm
ttd
ttd
ttd
-
150
11
Cd
mg/kg
*
17.493
10.754
-
3
Sumber : Wicaksono 2012 dan Kurniasih 2012. Keterangan ttd : tidak terdeteksi, limit deteksi Pb :0.8 ppm * : tidak dianalisis
** : tidak sesuai SNI - : tidak ada
Parameter kompos 1 memilki nilai Nitrogen, Phospat, dan Kalium berturutturut sebesar 0.69%, 0.35%, dan 0.25%. Nilai Nitrogen, Phospat, dan Kalium tersebut mengalami penurunan dibandingkan pada saat masih menjadi lumpur dengan nilai berturut turut-turut sebesar 0.39%, 2.1 x 10-4%, dan 93 x 10-4%. Berdasarkan acuan SNI 19-7030-2004 tentang tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik, tidak ada batas maksimal dari unsur Nitrogen, Phospat, dan Kalium, sehingga kompos 1 termasuk kompos yang baik untuk tanaman karena memiliki nilai Nitrogen, Phospat, dan Kalium yang cukup besar dibandingkan SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Unsur Nitrogen, Phospat, dan Kalium pada SNI 19-7030-2004 tidak memiliki batas maksimum, hanya batas minimum sebesar 0.4%, 0.1%, dan 0.2%. Unsur Aluminium pada kompos 1 memiliki nilai sebesar 4.59%. Nilai tersebut lebih besar dari nilai maksimum pada SNI sebesar 2.2%. Kandungan unsur Mangan di dalam kompos 1 sebesar 0.05% lebih rendah dibandingkan nilai maksimum pada SNI sebesar 0.1%. Unsur Fe pada kompos 1 memiliki nilai sebesar 1.26%. Nilai tersebut tidak melebihi ambang batas SNI sebesar 2%. Unsur logam seperti timah dan Kadmium pada kompos tidak dianalisis pada kompos 1. Jadi secara keseluruhan, kompos 1 memiliki kandungan unsur yang dibutuhkan tanaman sesuai dengan SNI 19-7030-2004 tentang tentang Spesifikasi
Kompos dari Sampah Organik Domestik, logam berat yang terkandung dalam kompos 1 tidak melebihi ambang batas yang telah ditetapkan. Pada Tabel 9, merupakan kualitas kompos SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik yang menjadi acuan penelitian ini. Tabel 20 Standar kualitas kompos SNI 19-7030-2004 No Parameter Satuan SNI 19-7030-2004 Minimal Maksimal 1 Kadar Air % ˚C 50 2 Temperatur suhu air tanah 3 Warna kehitaman 4 Bau berbau tanah 5 Ukuran partikel mm 0.55 25 6 Kemampuan ikat air % 58 7 pH 6.80 7.49 8 Bahan asing % * 1.5 Unsur makro 9 Bahan organik % 27 58 10 Nitrogen % 0.40 11 Karbon % 9.80 32 12 Phosfor (P205) % 0.10 13 C/N –rasio 10 20 14 Kalium (k20) % 0.20 * Unsur mikro 15 Arsen mg/kg * 13 16 Cadmium mg/kg * 3 17 Cobal (co) mg/kg * 34 18 Chromium (Cr) mg/kg * 210 19 Tembaga (Cu) mg/kg * 100 20 Mercuri (Hg) mg/kg 0.8 21 Nikel (Ni) mg/kg * 62 22 Timbal (Pb) mg/kg * 150 23 Selenium (Se) mg/kg * 2 24 Seng (Zn) mg/kg * 500 Unsur lain 25 Calsium % * 25.50 26 Magnesium (Mg) % * 0.60 27 Besi (Fe) % * 2.00 28 Aluminium(Al) % 2.20 29 Mangan (Mn) % 0.10 Bakteri 30 Fecal Coli MPN/gr 1000 31 Salmonella sp. MPN/4gr 3 Keterangan : * Nilainya besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum.
Parameter kompos 2 memiliki nilai Nitrogen, Phospat, dan Kalium berturutturut sebesar 0.93%, 0.39%, dan 0.52%. Nilai Nitorgen, Phospat, dan Kalium
tersebut mengalami kenaikan dibandingkan pada saat masih menjadi lumpur dengan nilai berturut-turut sebesar 0.09%, 0.45%, dan 0.1%. Nilai ini menunjukkan bahwa kompos 2 memiliki unsur hara yang baik untuk pertumbuhan tanaman, karena memiliki nilai unsur hara yang tinggi. Unsur Aluminium pada kompos 2 memiliki nilai sebesar 6.71%. Nilai ini lebih besar dari nilai maksimum SNI sebesar 2.2%. Kandungan unsur Mn pada kompos 2 sebesar 0.16 %, sehingga nilai tersebut lebih besar dari nilai maksimum SNI sebesar 0.1%. Unsur-unsur lain yaitu Fe dan Cd pada kompos 2 berturut-turut memiliki kandungan sebesar 1.57% dan 17.493 mg/kg. Unsur Pb pada kompos 2 tidak terdeteksi. Kandungan Fe berada di bawah standar yang ditetapkan SNI sebesar 2%. Kandungan Cd berada di atas batas maksimum SNI 3 mg/kg. Unsur Pb dengan nilai analisis tidak terdeteksi memiliki kemungkinan bahwa, kandungan Pb melebihi batas deteksi yaitu sebesar 0.8 ppm atau kompos 2 tidak mengandung unsur Pb. Parameter kompos 3 memiliki nilai Nitrogen, Phospat, dan Kalium berturutturut sebesar 0.84%, 0.51%, dan 0.72%. Nilai Nitrogen, Phospat, dan Kalium tersebut mengalami penurunan apabila dibandingkan pada saat menjadi lumpur dengan nilai berturut-turut sebesar 0.13%, 0.43%, dan 0.14%. Nilai ini menunjukkan bahwa kompos 3 memiliki unsur hara yang baik untuk pertumbuhan tanaman. Unsur Aluminium pada kompos 3 memiliki nilai sebesar 4,28% lebih besar dari nilai maksimum SNI yang memiliki nilai 2.2%. Kandungan unsur Mn pada kompos 3 sebesar 0.17%, sehingga nilai tersebut lebih besar dari nilai maksimum SNI sebesar 0.1%. Unsur-unsur lain yaitu Fe pada kompos 3 berturut-turut memiliki kandungan sebesar 1.3%. Kandungan Fe berada di bawah standar yang ditetapkan SNI sebesar 2%. Pada kompos 3, unsur Cd memiliki nilai sebesar 10.754 mg/kg lebih besar dari nilai maksimum SNI yang memiliki nilai 3 mg/kg. Kandungan Pb kompos 3 tidak dapat terdeteksi memiliki kemungkinan bahwa, kandungan Pb melebihi batas deteksi yaitu sebesar 0.8 ppm atau kompos 3 tidak mengandung unsur Pb. Perubahan nilai ketiga kompos yang digunakan pada penelitian mengalami peningkatan unsur hara seperti kandungan N, P, dan K berpotensi untuk menyuburkan tanaman, sedangkan kandungan logam berat unsur Al, Fe, dan Mn pada lumpur mengalami proses degradasi setelah proses pengomposan. Hal ini dipengaruhi oleh bahan-bahan dalam proses pengomposan seperti jerami dan kotoran kandang. Berdasarkan hasil perbandingan kompos WTP dengan Kompos SNI 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos dari sampah organik domestik pada Tabel 9, kandungan ketiga kompos yang digunakan pada penelitian dapat berpotensi menyuburkan tanaman dan sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan. Penggunaan kompos WTP sebagai pupuk organik bagi tanaman memerlukan beberapa persyaratan yaitu ketersediaan unsur hara dan minimnya kandungan logam berat yang berpotensi diserap oleh tanaman. Beberapa unsur hara makro yang harus tersedia bagi tanaman yang dianalisis pada penelitian ini adalah fosfor (P2O5), kalium (K2O), dan kapasitas tukar kation (KTK). Fosfor, N, dan K merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Hakim et al (1980) dalam Halim (2003), kekurangan unsur P dalam tanah dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat dan merosotnya hasil tanaman.
Pengaruh Kandungan Logam Berat Terhadap Tanaman Kompos yang digunakan pada penelitian ini memiliki unsur kandungan C/N yang cukup bagi tanaman. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 8, nilai parameter tiap kompos yang digunakan dapat berpengaruh baik untuk proses pertumbuhan tanaman, dapat pula berpengaruh negatif pada pertumbuhan tanaman menjadi bahan berbahaya, apabila tanaman dikonsumsi oleh masyarakat. Tanaman tersebut tumbuh dengan baik, setelah dilakukan pembibitan pada polybag. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan pola penyebaran logam yang terkandung pada tiap tanaman, Al diakumulasikan di tudung akar, meristem apikal dan daerah pemanjangan akar. Akumulasi Al pada umumnya dijumpai pada epidermis dan korteks akar. Perbedaan akumulasi Al berhubungan dengan perbedaan tingkat sensitivitas tumbuhan (Matsumoto 2000 dalam Kurniasih 2012). Interaksi antara Al dengan genotif hanya terjadi terhadap peubah panjang akar relatif (PAR), pertambahan panjang akar relatif (PPAR), bobot akar relatif (BAR), dan bobot tajuk relatif (BTR). Secara umum semakin tinggi konsentrasi Al, tingkat ketenggangan tanaman berdasarkan nilai PAR semakin peka. Kerusakan Al terutama terlihat pada ujung akar. Adanya Aluminium yang berlebihan dapat menyebabkan akar utama menjadi kerdil dan akar lateral terhambat pertumbuhannya (Samac DA dan Tesfaye M 2003 dalam Nurlaela 2007). Tanaman yang keracunan Al ditunjukkan dengan penurunan pertumbuhan akar dan tajuk. Tajuk merupakan bagian atas tanaman yang terdiri dari cabang dan ranting. Semakin tinggi konsentrasi Al, maka semakin tinggi penurunan pertumbuhan akar maupun tajuk. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 5, bahwa tanaman kangkung terhambat dalam pertumbuhannya. Pada usia sekitar 60 hari (masa panen), tanaman tersebut memiliki pertumbuhan yang cukup kerdil di usianya. Pada kompos 1, kompos 2, dan kompos 3 memiliki nilai Al berturut-turut 4.59%, 6.71%, dan 4.28%. Nilai Al pada ketiga kompos ini melebihi batas SNI sebesar 2.2%. Pada Tabel 10 menunjukkan banyaknya penyerapan Al pada uji kedua dengan menggunakan kompos 2 memiliki nilai sebesar 0.04 mg/kg atau setara 4 x 10-6%. Secara visual, tanaman yang keracunan Al akan terhambat pembelahan selnya terutama sel akar yang disebabkan oleh ikatan Al dengan DNA dan menghentikan proses pembelahan sel meristem apikal (Polle dan Konzak 1990 dalam Syarifuddin et al 2006). Tudung akar, meristem dan zona pemanjangan akar paling peka terhadap keracunan Al, pada bagian ini Al diakumulasikan lebih banyak (Delhaize dan Ryan 1995 dalam Syarifuddin et al 2006). Keracunan Al menyebabkan kadar P akar menurun, sehingga panjang akar yang keracunan Al lebih pendek dibandingkan yang tidak keracunan Al (Syarifudin 2002 dalam Syarifuddin et al 2006). Kandungan Cd pada jaringan daun selain berasal dari serapan timbal yang terdapat di tanah, juga berasal dari timbal yang tercemar ke udara. Menurut Merian (1994) dalam Khatimah (2006) bahwa unsur Cd dan Pb pada tanaman terdapat dalam jaringan akar dan daun, sedikit di batang dan konsentrasi terkecil terdapat pada bunga dan buah. Tingginya akumulasi Cd pada akar dijelaskan dengan pendapat Leep (1981) dalam Khatimah (2006) yang menyatakan bahwa sebagian besar logam yang diserap dari tanah secara tepat berubah menjadi bentuk tidak aktif melalui proses deposisi dalam akar, sehingga sukar dipindahkan ke
bagian lain tanaman. Logam-logam yang terserap oleh akar-akar rambut mengalami proses pengikatan, inaktivasi, dan pengendapan. Akumulasi Pb dan Cd di dalam jaringan tanaman dapat terjadi melalui dua cara, yaitu penyerapan melalui akar dan melalui daun. Besar kecilnya akumulasi Pb dan Cd pada tanaman buah relatif berbeda pada berbagai varietas. Pada Tabel 8, nilai Pb dan Cd kompos 2 memiliki nilai sebesar ttd (tidak terdeteksi) dan 17.493 mg/kg. Nilai Pb tidak terdeteksi menunjukkan beberapa kemungkinan antara Pb tersebut melebih limit batas pengujian sampel atau kompos tersebut tidak mengandung Pb. Nilai Cd kompos 2 pada Tabel 8 melebihi baku mutu SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Unsur Pb memiliki kemampuan kelarutan yang rendah, cenderung terakumulasi, dan tersedimentasi pada kompos WTP (Bohn 1979 dalam Khatimah 2006). Hal ini ditunjukkan pada Tabel 10, nilai Pb yang terserap pada tanaman memiliki nilai sebesar 2.12 mg/kg. Penyerapan Pb melalui ukuran stomata yang lebih besar (panjang 10 mikrometer dan lebar 2-7 mikrometer) daripada ukuran partikel Pb (kurang dari 4 mikrometer), memungkinkan Pb masuk ke dalam jaringan daun melalui stomata. Unsur Pb dalam jaringan akan terjadi penumpukan sel jaringan pagar atau jaringan akar terbentuk (Baker dan Allen 1978 dalam Dewi 2010). Unsur Pb dapat mengganggu kesehatan dengan berbagai cara, diantaranya pengurangan sel-sel darah merah, penurunan sintesis, dan penghambatan sintesis heme yang menyebabkan anemia (Purdom 1980 dalam Dewi 2010). Menurut SNI 7387 tahun 2009, kandungan Pb yang diperbolehkan ada dalam sayuran <0.5 mg/kg. Hal ini menujukkan nilai Pb pada Tabel 10 melebihi baku mutu logam Pb yang diperbolehkan pada sayuran. Nilai Cd pada Tabel 10 memiliki nilai sebesar 0.61 mg/kg. Hal ini melebihi baku mutu yang telah ditetapkan SNI 7387 tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan yaitu memiliki nilai sebesar <0.2 mg/kg. Tingkat serapan Pb dan Cd tidak hanya bergantung pada kandungan logam dalam kompos WTP, tetapi juga dipengaruhi oleh jenis tanaman (varietas), pH tanah, ketersediaan unsur-unsur hara, morfologi dan fisiologi tanaman, kemampuan tanaman menyerap Pb dan Cd, serta umur tanaman tersebut. Semakin lama umur tanaman, maka daya serap akan logam berat juga semakin besar. Selain itu, faktor yang mempengaruhi lahan seperti banyaknya tanaman penutup dan jenis tanaman di sekitar lahan tersebut juga mempengaruhi akumulasi Pb dan Cd dalam tanaman (Darmono 1995 dalam Khatimah 2006). Unsur utama Pb pada umumnya terdapat di udara dan berasal dari kendaraan bermotor, industri, dan sumber yang memang ada secara alamiah. Menurut Rustiawan (1994) dalam Dewi (2010), menyatakan 60-70% pencemaran udara di perkotaaan berasal dari kendaraan bermotor, dan salah satunya adalah Pb. Emisi alami juga melepaskan Pb terutama akibat erosi tanah dan aktivitas vulkanik. Unsur Pb yang masuk ke udara, sebagian jatuh ke permukaan tanah dan vegetasi, sebagian melayang-layang di udara dan masuk ke dalam tubuh manusia. Hal ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung melalui rantai pangan, sehingga dapat mempengaruhi kesehatannya. Pada unsur Mn pada umumnya memiliki akumulasi tinggi apabila berada pada tanah masam (Goenadi 1981 dalam Taryana 1995). Unsur pH dalam tanah juga mempengaruhi unsur Mn, hal ini dikarenakan pH berperan penting dalam
proses oksidasi dan reduksi dalam tanah. Pada umumnya suasana oksidatif didukung oleh pH tinggi, sedangkan suasana masam membantu terciptanya reduktif. Pada proses reduktif Mn akan terurai menjadi Mn yang dapat dipertukarkan (Hakim et al 1986 dalam Taryana 1995). Namun pada penelitian ini uji pertama dan kedua tidak menggunakan tanah, hanya menggunakan kompos sebagai media tanam. Pada uji ketiga menggunakan sebagian tanah yang terdapat pada tanaman gajah mini. Terdapatnya kandungan Cu, Mn, dan Zn yang terakumulasi pada bagian dalam daun disebabkan karena ketiga unsur ini diperlukan dalam menyusun klorofil dan membantu proses fotosintesis (Setyaamidjaya 1986 dalam Taryana 1995). Akumulasi Cu dan Zn dalam akar, batang, cabang, dan ranting serta buah dan bunga disebabkan karena Cu dan Zn diperlukan dalam pembentukan dan pengaturan enzim tanaman, bahkan persenyawaan-persenyawaan Zn mempunyai fungsi pada pembentukan hormon tumbuhan (auxin) dan penting untuk keseimbangan fisiologi, sedangkan terjadinya akumulasi Mn dalam akar, batang, cabang, dan ranting karena Mn diperlukan dalam proses-proses desimilasi, yaitu pernafasan ketika enzim-enzim yang mengatur proses ini mengandung Mn (Taryana 1995). Khusus dalam buah, Mn digunakan untuk merangsang perkecambahan dan merangsang pemasakan buah. Tersebarnya berbagai unsur logam pada berbagai bagian morfologi tanaman tanaman atau pohon erat kaitannya dengan mekanisme fisiologi tanaman. Untuk mengurangi tingkat keracunan dari ion-ion toksik, maka tanaman akan melakukan ameliorasi (penanggulangan) dengan jalan lokalisasi, yaitu menyebarkan ion-ion toksik pada berbagai bagian morfologi sehingga akumulasinya tersebar. Pada proses ameliorasi dapat memungkinkan organ-organ morfologi lebih toleran terhadap ion toksik (Andani dan Purbayanti 1984 dalam Taryana 1995). Unsur Mn banyak terakumulasi pada bagian daun. Penumpukan Mn dalam daun berhubungan dengan mekanisme fisiologi tanaman untuk mengurangi toksisitas Mn. Mn yang berlebihan akan dibuang dengan jalan menggugurkan daun yang telah jenuh toksik. Umumnya daun-daun tua yang mempunyai kandungan logam berat yang lebih besar dibandingkan daun muda atau pucuk. Hilangnya suatu organ yang jenuh dengan toksik merupakan bentuk paling sederhana dari eksresi (Andani dan Purbayanti 1984 dalam Taryana 1995). Eksresi yang paling aktif juga terjadi paling tidak untuk garam. Garam secara aktif ditarik dari xylem, kembali ke xylem parenkima, dan dikeluarkan dari akar-akar kembali ke media (Yeo et al 1977 dalam Andani dan Purbayanti 1981 dalam Taryana 1995). Berdasarkan kandungan logam berat pada tanaman kangkung pada Tabel 10, beberapa kandungan logam Al, Cd, Fe, dan Pb tidak semuanya diserap oleh tanaman. Pada Tabel 10 dilakukan pengulangan pengujian laboratorium sebanyak tiga kali. Nilai kandungan logam tersebut telah mengalami pendegradasian oleh tanaman, namun dibandingkan dari batas logam berat pada makanan menurut SNI 7387 tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat pada Makanan kategori sayuran, kadar Cd <0.2 mg/kg dan Pb <0.5 mg/kg, sedangkan nilai Cd dan Pb pada uji pertama (Tabel 10) memiliki nilai sebesar 0.61 mg/kg dan 2.12 mg/kg. Pada hasil uji laboratorium Tabel 10 di atas, unsur Cd dan Pb melebihi ambang batas aman makanan dan tidak layak untuk dikonsumsi.
Tabel 21 Uji pertama pada tanaman kangkung No Contoh uji Logam berat pada tanaman setelah panen (mg/kg) Al Cd Fe Pb 1 Kompos 2-1 0.04 0.56 0.46 2.12 2 Kompos 2-2 0.02 0.61 0.4 1.95 3 Kompos 2-3 0.05 0.42 0.38 2.07 4 Kompos ttd 0.34 0.2 1.03 Komersil 1 5 Kompos 0.01 0.3 0.26 0.97 Komersil 2 6 Kompos ttd 0.29 0.22 1.12 Komersil 3
Logam berat pada kompos sebelum panen (%) Al 6.71 6.71 6.71
Cd 17.49 17.49 17.49
Fe 1.57 1.57 1.57
Pb ttd ttd ttd
< 2.2
<3
<2
< 0.015
< 2.2
<3
<2
< 0.015
< 2.2
<3
<2
< 0.015
Keterangan ttd : tidak terdeteksi
Penelitian kandungan logam berat yang bermula dalam bentuk lumpur, proses pengomposan, pengujian kompos pada tanaman, sehingga dapat terlihat kompos WTP ini berpotensi untuk menyuburkan tanaman serta belum tentu aman untuk dikonsumsi. Hal ini dikarenakan kandungan logam berat yang berbeda pada setiap industri. Perkembangan pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. Pertumbuhan kangkung dengan lumpur WTP sangat subur, memiliki batang besar serta hijau dibandingkan menggunakan kompos komersil (SNI), tetapi logam berat yang terkandung pada tanaman tidak layak untuk dikonsumsi. Hal dikarenakan logam berat yang terkandung pada tanaman melebih baku mutu yang telah ditetapkan oleh SNI 7387 tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat pada Makanan kategori sayuran.
Gambar 7. Pembibitan kangkung pada uji pertama dengan pupuk komersil (kiri) dan kompos 2 (kanan)
Tabel 22 Uji kedua pada tanaman kangkung dan cabe No Contoh uji Logam berat tanaman Logam berat kompos sebelum setelah panen (mg/kg) panen (%) Al Mn Fe Pb Al Mn Fe Pb 1 Kangkung 0.53 3.9 0.75 1.28 6.71 0.16 1.57 ttd 2-1 2 Kangkung 0.56 3.87 0.89 1,31 6.71 0.16 1.57 ttd 2-2 3 Kangkung 0.56 3.09 2.31 ttd < 2.2 < 0.1 < 2 < 0.015 komersil 1 4 Kangkung 0.59 3.21 2.52 ttd < 2.2 < 0.1 < 2 < 0.015 komersil 2 5 Kangkung 0.63 4.63 2.42 ttd 4.59 0.05 1.26 ttd 1-1 6 Kangkung 0.58 4.52 2.34 ttd 4.59 0.05 1.26 ttd 1-2 7 CABE 2-1 0.04 0.59 0.5 1.17 6,71 0.16 1.57 ttd 8 CABE 2-2 0.06 0.53 0.61 1.13 6,71 0.16 1.57 ttd Keterangan ttd : tidak terdeteksi.
Nilai Mn pada Tabel 11, memiliki nilai sebesar 0.16 mg/kg dibandingkan nilai Mn pada saat dalam bentuk kompos 2 (Tabel 8) memiliki nilai sebesar 0.16%. Nilai Mn pada kompos 2 melebih ambang batas Mn pada kompos SNI 197030-2004 yaitu dengan nilai sebesar 0.1%, sehingga perlu adanya penambahan zat fosfor dan kapur menurunkan nilai Mn yang melebihi baku mutu pada kompos WTP tersebut. Hal ini juga dapat berdampak pada pertumbuhan yang lambat, adanya noda berwarna coklat kekuningan diantara urat daun, ujung daun mengering pada saat tanaman berumur 8 MST (Minggu Setelah Tanam), dan disertai pertumbuhan yang lambat. Hal ini terbukti pada Gambar 5, tanaman mengalami pertumbuhan yang lambat diakibatkan nilai Mn yang melebihi baku mutu kompos SNI 19-7030-2004. Berdasarkan kandungan logam berat pada Tabel 11, terlihat beberapa nilai logam Al, Mn, Fe, dan Pb tidak semua diserap tanaman. Pada Tabel 11 diatas, dilakukan pengulangan pengujian laboratorium sebanyak dua kali. Kangkung 2-1 pada Tabel 11, memiliki arti tanaman kangkung dengan menggunakan kompos 2 (PDAM Bogor) dengan ulangan pertama pada uji laboratorium. Logam berat tersebut telah mengalami proses degrasi pada proses media tanam, sehingga kadar logam berat tersebut sebagian diserap pada tanaman dan didistribusikan ke seluruh bagian tanaman, seperti akar, batang, maupun daun. Namun dibandingkan dari batas logam berat pada makanan kategori sayuran menurut peraturan SNI 7387 tahun 2009, nilai Pb tidak boleh melebihi < 0.5 mg/kg. Pada pada Tabel 11 dengan Pb paling besar 1.31 mg/kg. Hal ini menunjukkan kadar tersebut masih tinggi dan tidak layak untuk dikonsumsi. Unsur Mn pada kompos 2 pada uji kedua ini, memiliki nilai 0.16% (dapat dilihat pada Tabel 8), dibandingkan nilai maksimum Mn menurut SNI 19-7030-2004 memiliki nilai sebesar 0.1%.
A
B
C
Gambar 5 Tanaman kangkung uji kedua dengan kompos : A. Komersil, B. Kompos 1, dan C. Kompos 2 Unsur Mn kompos 2 pada Tabel 11 melebihi batas mutu kompos SNI 197030-2004 dan melebihi batas logam berat pada makanan kategori sayuran menurut peraturan SNI 7387 tahun 2009. Penanggulangan kelebihan unsur Mn dapat diatasi dengan penambahan zat kapur atau kapur. Penambahan zat kapur atau fosfor dapat dilakukan pada saat proses pengomposan atau pada saat proses pengaplikasian kompos WTP pada media tanam. Tabel 23. Uji ketiga lumpur pada kangkung dan rumput gajah No Contoh uji logam berat setelah panen (mg/kg) Al Cd Fe Pb 1 Kangkung lumpur 2-1 0.01 ttd 473 0.11 2 Kangkung lumpur 2-2 0.02 ttd 399 0.09 3 Rumput gajah lumpur 2-1 ttd ttd 1782 0.25 4 Rumput gajah lumpur 2-2 ttd ttd 1526 0.27 5 Lumpur kangkung 2-1 0.34 0.001 2318 1.15 6 Lumpur kangkung 2-2 0.36 0.001 2152 1.2 7 Lumpur gajah mini 2-1 0.13 0.001 2251 0.97 8 Lumpur gajah mini 2-2 0.11 0.001 2194 0.87 Keterangan ttd: tidak terdeteksi
Berdasarkan analisis ketiga pada Tabel 12, tanaman kangkung dan rumput gajah mini hanya menggunakan lumpur WTP 2 sebagai media tanam. Uji ketiga dilakukan dengan proses fitoremediasi. Kandungan unsur Pb tertinggi pada kangkung memiliki nilai sebesar 0.11 mg/kg dibandingkan dengan rumput gajah mini memiliki nilai Pb tertinggi sebesar 0.27 mg/kg. Unsur Pb pada uji ketiga memiliki nilai lebih rendah dibandingkan SNI 7387 tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam pangan yang memiliki nilai < 0.5 mg/kg. Nilai Pb pada uji ketiga lebih rendah dibandingkan pada uji kedua dan ketiga dengan menggunakan Lumpur yang telah dilakukan proses pengomposan. Nilai Pb dalam bentuk lumpur sebelum pengujian ketiga memiliki nilai sebesar 1.52 ppm atau setara dengan 1.52 mg/kg (dapat dilihat pada Tabel 4), sedangkan
nilai Pb kompos 2 yang digunakan pada uji pertama dan kedua memiliki nilai tidak terdeteksi (dapat dilihat pada Tabel 8) . Nilai Pb pada kompos 2 tidak terdeteksi memiliki arti bahwa nilai tersebut melebih batas deteksi Pb. Nilai Pb mengalami peningkatan setelah melakukan proses pengomposan. Meningkatnya unsur Pb dipengaruhi faktor kandungan bahan pengomposan telah terkontaminasi oleh unsur Pb seperti jerami atau kotoran kambing, sehingga melebih batas SNI 19-7030-2004. Kandungan unsur Pb tertinggi pada lumpur kangkung memiliki nilai sebesar 1.2 mg/kg, dibandingkan dengan lumpur gajah mini Pb tertinggi memiliki nilai sebesar 0.97 mg/kg. Pada Tabel 12, dilakukan pengulangan pengujian laboratorium sebanyak dua kali. Kangkung lumpur 2-1 memiliki arti tanaman kangkungan dengan menggunakan lumpur 2 (PDAM Bogor) dengan uji laboratorium ulangan pertama. Logam berat Pb pada lumpur awal pengujian memiliki nilai 1.52 mg/kg (dapat dilihat pada Tabel 4). Hal ini menunjukkan pada uji ketiga dengan cara fitoremediasi dapat menurunkan unsur logam berat Pb. Proses fitoremediasi pada uji ketiga dengan nilai terbesar Pb pada lumpur 1.52 mg/kg, serta kandungan logam berat dengan nilai terbesar pada kangkung 1.2 mg/kg memiliki daya serap logam berat pada tanaman ± 0.19 mg/kg. Penyerapan logam berat secara pasif (passive up take) atau biosorpsi dapat terjadi di dalam metobolisme tumbuhan. Logam berat mengikat dinding sel dan proses pengikatan salah satunya dengan cara pertukaran ion monovalent dan divalent pada dinding sel diganti dengan ion logam berat yang ada pada kompos WTP (Suhendrayatma 2001 dalam Onrizal 2005 dalam Moenir 2010). Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 12, tanaman kangkung memiliki nilai logam Pb lebih rendah dibandingkan dengan rumput gajah mini. Namun pada nilai logam Pb pada lumpur kangkung lebih besar dibandingkan dengan lumpur kangkung gajah mini. Hal ini menujukkan bahwa rumput gajah mini dapat menyerap logam berat lebih besar dibandingkan tanaman kangkung. Terbukti dari sisa logam Pb pada lumpur gajah mini memiliki nilai lebih rendah daripada sisa logam Pb pada lumpur kangkung. Hal ini menujukkan tanaman Hyperaccumulator dapat menyerap logam berat lebih besar daripada tanaman. Pada uji ketiga menggunakan rumput gajah mini sebagai salah satu tanaman hyperaccumulator menunjukkan penyerapan logam oleh akar lebih cepat dibandingkan dengan tanaman kangkung, sistem translokasi unsur dari akar ke tajuk lebih efisien, dan kemampuan untuk melarutkan unsur logam pada lumpur melebih tanaman kangkung (Lasat 1996 dalam Hidayati dan Saefudin 2003). Hal ini terbukti dari adanya konsentrasi logam Pb yang tinggi pada rumput gajah mini. Menurut Eddy (2008), kangkung air (Ipomea aquatic) merupakan salah satu tanaman hyperaccumulator. Tanaman ini memiliki kemampuan bertahan terhadap berbagai macam bahan pencemar dan mampu mengakumulasikannya dalam jaringan dengan jumlah yang cukup besar. Hal ini dapat terlihat pada uji kedua dan ketiga, bahwa tanaman kangkung dapat tumbuh dengan subur dengan media tanam berupa kompos maupun lumpur WTP. Kompos dan Lumpur WTP tersebut masih mengandung logam berat yang melebih ambang batas SNI. Tanaman hyperaccumulator mempunyai kemampuan menyerap, kemudian mengkonsentrasikan logam berat pada kadar yang luar biasa tinggi namun tidak mengganggu kehidupannya. Menurut Baker (1999) dalam Eddy (2008), tanaman hyperaccumulator dapat mengakumulasi logam berat sampai 11% berat kering,
dan batas kadar logam yang terdapat dalam jaringan biomassa berbeda-beda tergantung pada jenis tanamannya. Untuk logam Pb kadar tertinggi adalah 0.1% (1,000 mg/kg berat kering). Pada penelitian ini terdapat beberapa satuan yang digunakan untuk menghitung kadar logam berat seperti persen (%), mg/kg, dan ppm. Pada dasarnya hasil analisa suatu uji dinyatakan sebagai mg/kg atau part per million (ppm), dengan anggapan bahwa 1 liter air setara dengan 1 kilogram (kg), maka ppm dapat dinyatakan sebagai berikut : 1 ppm = 1 mg/kg = 1 mg/lt
= 1 gr/ton
= 0.0001%
Jadi dapat digunakan 1 ppm = 1x10-4
Gambar 6 Rumput gajah mini dan kangkung pada uji ketiga dengan menggunakan lumpur 2
Pada Gambar 6, rumput gajah mini merupakan salah satu tanaman hyperaccumulator dengan kemampuan mendegradasi logam berat yang ada pada lumpur WTP. Dalam penelitian menggunakan rumput gajah mini dikarenakan, tanaman ini dapat tumbuh pada media pot yang akan dibandingkan dengan tanaman kangkung yang juga dapat tumbuh pada media pot. Rumput gajah mini merupakan salah satu tanaman alternatif Hyperaccumulator yang dapat dengan mudah digunakan oleh masyarakat sebagai rumput pekarangan rumah dan relatif mudah dijumpai di kalangan masyarakat pada umumnya. Pada uji ketiga ini fitoremediasi lumpur 2 pada rumput gajah mini akan dibandingkan dengan fitoremediasi lumpur 2 pada kangkung. Hasil penelitian ketiga ini menunjukkan kandungan logam berat pada lumpur banyak diserap oleh tanaman rumput gajah mini dibandingkan tanaman kangkung. Pada perlakuan ketiga pembibitan ini dilakukan di rumah kompos Departemen Teknik Sipil, yang berupa saung beratapkan fiber solartuff dan beralaskan semen. Berdimensi 3x4m ini dilakukan pembibitan cabe sebanyak 13 polybag dan kangkung sebanyak 15 polybag yang kemudian apabila tumbuh dengan baik akan dipindah tempatkan pada pot. Saung berbahan solartuff
mengandung polycarbone digunakan selain untuk atap, bahan awet, lebih baik dalam menyerap sinar matahari (UV Protection), dan berbahan ringan. Berikut merupakan standar kualitas kompos menurut SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Dalam SNI ini dijelaskan kematangan kompos ditunjukkan oleh hal-hal berikut : a. C/N – rasio mempunyai nilai (10-20). b. Suhu sesuai dengan suhu air tanah. c. Berwarna kehitaman dan tekstur seperti tanah d. Berbau tanah Unsur mikro nilai nilai berdasarkan konsentrasi unsur-unsur mikro seperti Cu,Mo, Zn dan juga berdasarkan logam berat yang terkandung pada lumpur yang digunakan, tak lepas dari jerami, air, dan kotoran kambing misalnya, masing – masing berpotensi menyumbang logam berat juga. Menurut Peraturan BPOM tahun 2009, unsur Pb memiliki nilai <0.5 mg/kg dan SNI 7387 tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan, kadar Hg memiliki nilai <0.03 mg/kg dan unsur Cd memiliki nilai <0.2 mg/kg. Batas ini merupakan batas maksimum yang terdapat pada buah, sayur (termasuk jamur, umbi, kacang kedelai, dan lidah buaya), rumput laut, dan biji-bijian. Mekanisme penyerapan logam berat Hg, Pb, dan Cd tidak berpengaruhi oleh tingginya konsentrasi logam berat dalam makanan yang kita konsumsi. Jumlah logam yang diserap oleh tubuh dari makanan tergantung pada , beberapa pilihan makanan, keadaan kesehatan tubuh, Susunan genetik, dan kandungan vitamin yang ada dalam makanan. Menurut Yannai dan Sach (1993) dalam Dewi (2010), menyatakan beberapa faktor biologis, seperti umur, jenis kelamin, komposisi makanan juga mempengaruhi ketersediaan logam berat secara biologis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa makanan ternak dari jagung memiliki serat kasar tinggi, sehingga penyerapan logam–logam menjadi rendah. Hal ini didukung oleh Yunnai, et al (1978) dalam Dewi (2010), bahwa makanan berserat kandungan fosfornya dalam bentuk fosfat tinggi, sehingga serapan Hg, Pb, dan Cd oleh tubuh menjadi rendah. Beracun atau kurang beracunnya suatu bahan pencemar tergantung pada berbagai faktor, diantaranya takaran zat yang kontak atau masuk ke dalam tubuh dan perlakuan sehari-hari, seperti budaya dan lingkungan kerjanya (Rustamadji 1991 dalam Dewi 2010). Logam berat yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman akan dicerna di usus duabelas jari dan akan diangkut oleh plasma (albumin). Albumin akan berasosiasi dengan protein yang akan diedarkan ke bagian tubuh tertentu yang membutuhkan dan terakumulasi di hati, ginjal, rambut, dan ujung kuku. Logam berat juga dapat dieksresikan melalui feses, urine dan sisa pernafasan (Gibson dan Linder 1990 dalam Saeni 2010). Pada saat beredar di dalam tubuh, logam berat mengalami beberapa interaksi diantaranya dengan protein, enzim, membran sel, metabolit dan DNA. Melihat pengaruh kerja logam berat yang begitu besar pada tubuh, maka keberadaannya di dalam tubuh yang melebihi ambang batas sangat berbahaya.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pengomposan merupakan proses dekomposisi biologi dan stabilitas dari bahan organik pada suhu termofili dengan hasil sampingan berupa padatan dalam bentuk kompos. Proses fitoremediasi merupakan pemulihan air ataupun tanah dengan memanfaatkan kemampuan akar tanaman dalam menyerap zat kontaminan yang terkandung di dalamnya. Proses pengomposan dan fitoremediasi dalam pengaplikasiannya berguna dalam memanfaatkan limbah lumpur Water Treatment Plan (WTP) dari sebuah industri. Penelitian ini menggunakan kompos 1 yang berasal dari PT. Karakatau Tirta Industri, kompos 2 yang berasal dari PDAM Tirta Pakuan, dan kompos 3 yang berasal dari PDAM Tirta Kahuripan. Dari hasil penelitian, kandungan logam berat masih terdapat pada kompos WTP, walaupun tidak menghalangi pertumbuhan tanaman. Logam berat Al pada kompos 1, kompos 2, dan kompos 3 memiliki nilai berturut-turut 4.59%, 6.71%, dan 4.28%. Nilai Al setelah proses pengomposan ini berada di atas baku mutu SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik yaitu sebesar 2.2%. Logam berat Mn pada kompos 2 dan kompos 3 memiliki nilai berturut-turut 0.16% dan 0.17%. Nilai Mn setelah proses pengomposan ini berada di atas baku mutu SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik yaitu sebesar 0.1%. Logam berat Cd pada kompos 2 dan kompos 3 memiliki nilai berturut-turut 17.49 mg/kg dan 10.75 mg/kg. Nilai Cd setelah proses pengomposan ini berada di atas baku mutu SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik yaitu sebesar 3 mg/kg. Konsentrasi logam berat kompos yang cukup dapat mempersubur tanaman, sedangkan konsentrasi logam berat yang berlebih dapat merusak tanaman dan berdampak keracunan. Unsur Pb pada uji pertama, uji kedua, dan ketiga memiliki nilai berturut-turut sebesar 0.97-2.12 mg/kg, 1.13-1.31 mg/kg, dan 0.09-1.2 mg/kg. Nilai Pb ini di atas baku mutu SNI 7387 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan yaitu sebesar 0.5 mg/kg. Unsur Cd pada uji pertama dan uji ketiga memiliki nilai berturut-turut sebesar 0.97-2.12 mg/kg dan 0.001 mg/kg. Pada uji pertama di atas ambang batas SNI 7387 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan yaitu sebesar 0.2 mg/kg, sedangkan pada uji ketiga masih di bawah baku mutu. Konsentrasi Al, Fe, dan Mn pada kompos 1, kompos 2, dan kompos 3 memiliki nilai berturut-turut sebesar 4.28-6.71%, 1.26-1.57%, dan 0.05-0.17%. Nilai Al, Fe, dan Mn ini di atas baku mutu SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik yaitu masing-masing sebesar 2.2%, 2%, dan 0.1%. Unsur Al, Fe, dan Mn mempengaruhi proses metabolisme tanaman, sehingga tanaman mengalami pertumbuhan yang lambat, akar kerdil, dan bentuk daun yang kekuning-kuningan. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa nilai reduksi logam berat lumpur WTP terbesar diperoleh melalui pengomposan dan media tanam pada uji pertama dan kedua. Proses degradasi logam berat lumpur WTP dengan cara fitoremediasi pada uji ketiga juga dapat dilakukan, tetapi tidak semua tanaman dapat digunakan dengan cara fitoremediasi dengan menggunakan lumpur. Mendegradasi logam berat lumpur WTP dengan pengomposan dan media memiliki kekurangan, yaitu
membutuhkan rentang waktu yang lebih lama dibandingkan proses degradasi lumpur WTP dengan cara fitoremediasi lumpur. Saran Uji kelayakan lumpur WTP pada media tanam perlu dilakukan analisis kandungan lumpur. Hal ini perlu dilakukan karena lumpur yang dihasilkan oleh tiap industri memiliki kandungan logam berat yang berbeda-beda. Kandungan logam berat pada lumpur WTP yang memiliki nilai tinggi membutuhkan jenis tanaman pendegradasi yang lebih peka. Pada pengujian kelayakan lumpur WTP diharapkan tidak menggunakan campuran tanah. Apabila terdapat campuran tanah, maka akan membantu penyerapan logam berat dan unsur hara pada kompos WTP. Hal ini akan berpengaruh terhadap kadar penyerapan logam berat pada tanaman. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan beberapa jenis tanaman yang berbeda, serta menggunakan rancangan percobaan pada setiap pengulangannya. Pada pengembangan penelitian selanjutnya diharapkan pula melakukan uji kandungan logam berat pada kompos WTP dan tanaman setelah masa panen. Pengembangan penelitian untuk kepentingan ilmu pengetahuan yang lebih jauh dapat dilakukan dengan pengukuran penyerapan logam berat pada setiap fase pertumbuhan tanaman seperti pada saat masa pembibitan tanaman, fase tanaman masih berusia setengah masa panen, pada saat tanaman telah memasuki masa panen, dan pada saat tanaman memasuki batas jenuh pertumbuhan.
DAFTAR PUSTAKA Abadi MI. 2008. Penyisihan Cs pada Perairan Tercemar Menggunakan Tanaman Kiapu (Pistia stratiotes L) secara Rhizofiltrasi. [skripsi]. Bandung (ID): Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung. Andhika NR. 2003. Pengomposan limbah Sludge Industri Kertas dengan Metode Cina dan Pemanfaatannya sebagai Komponen Media Tanam Kacang Panjang. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soil Vapor Extraction and Bioventing. 2012. Engineering Manual. Engineering and Design. US Army Corps of Engineers. Charlena. 2010. Bioremediasi Tanah Tercemar Limbah Minyak Berat Menggunakan Konsorsium Bakteri. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dewi KSP, Saeni MS. 2010. Tingkat Pencemaran Logam Berat (Hg, Pb, dan Cd) di dalam Sayuran, Air Minum dan Rambut di Denpasar, Gianyar dan Tabanan. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Eddy S. 2008. Pemanfaatan teknik fitoremediasi pada lingkungan tercemar timbal. Jurnal biologi: 1-8. Gunawan Y. 2006. Peluang Penerapan Produksi Bersih pada Sistem Pengolahan Air Limbah Domestik Waste Water Treatment Plant #48, Studi Kasus di PT. Badak NGL Bontang. [tesis]. Semarang (ID): Jurusan Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro. Hakim L, Sismanto, dan Siti F. 2005. Remediasi tanah terkontaminasi logam berat krom (Cr) dengan teknik remediasi. Jurnal Logika 2 (2) : 18-30. Halim A. 2003. Pemanfaatan Limbah Padat Sludge Industri Kertas untuk Pembuatan Kompos sebagai Media Tanam Padi. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hidayati N, Saefudin. 2003. Potensi hipertoleransi dan serapan logam beberapa jenis tumbuhan terhadap limbah pengolahan emas. Jurnal Laporan Teknik: 147-159. Khatimah H. 2006. Perubahan Konsentrasi Timbal dan Kadmium Akibat Perlakuan Pupuk Organik dalam Sistem Budidaya Sayuran Organik. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Kimia, Institut Pertanian Bogor.
Kurniasih N. 2012. Pengomposan Lumpur Pengolahan Air dengan Limbah Pertanian. [tesis]. Bogor (ID): Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Lingineni S, Dhir VK. 1996. Controlling Transport Processes During NAPL Removal by Soil venting. Los Angeles (UK). University of California. Moenir M. 2010. Kajian fitoremediasi sebagai alternatif pemulihan tanah tercemar logam berat. Jurnal Riset Teknologi Pencegahan dan Pencemaran Industri 1 (2) : 115-123. Nurlaela. 2007. Distribusi dan Akumulasi Aluminium pada Akar Padi dalam Kondisi Cekaman Aluminium pada Larutan Hara. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Biologi, Institut Pertanian Bogor. Priadie B. 2012. Teknik bioremediasi sebagai alternatif dalam upaya pengendalian pencemaran air. Jurnal Ilmu Lingkungan 10(1): 135-145. Ryak R. 1992. On-farm Composting Handbook. Northeast Regional Agricultural Engineering Service Pub. No. 54. Cooperative Extension Service. Ithaca, N.Y. 1992 ; 186pp. A classic in on-form composting. Website: www.nreas.org Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jakarta (ID): PT Gramedia Surachman D. 2010. Potensial Redoks (Eh) dan Kelarutan Fe dan Mn serta Kaitannya dengan Pertumbuhan Padi pada Budidaya Sistem Konvensional dan System of Rice Intensification. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Syafruddin, Sopandie D, dan Trikoesoemaningtyas. 2006. Ketenggangan genotipe jagung (Zea mays L.) terhadap cekaman aluminium. Buletin Agronomi Institut Pertanian Bogor 34 (1): 1-10. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2004. Standar Nasional Indonesia No. 197030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Badan Standarisasi Nasional. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. Standar Nasional Indonesia 7387 : 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan. Badan Standarisasi Nasional. Taryana AT. 1995. Akumulasi Logam Berat (Cu, Mn, dan Zn) pada Jenis Rhizophora stylosa Griff, di Hutan Tanaman Mangrove Cilacap BKPH Rawa Timur, KPH Banyumas Barat Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah. Bogor (ID): Jurusan Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor.
Wicaksono AB. 2012. Pemanfaatan Limbah Lumpur Water Treatment Plant PT. Krakatau Tirta Industri sebagai Bahan Baku Kompos. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Yeni WP. 2001. Pemanfaatan Sludge Limbah Pengolahan Air Minum (SPAM) sebagai Media Tanaman. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Zynda T. 2007. Phytoremediation, Technical Assistance for Browfields (TAB) Program, Michigan (US). http://cluin.org/PRODUCTS/CITGUIDE/Phyto.htm.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kadar air uji ketiga Kadar Air Uji Ketiga
Jenis tanaman
wadah
Berat basah
kangkung 2-1 kangkung 2-2 Gajah mini 2-1 Gajah mini 2-2
93,1911 108,5377 96,6862 95,6233
97,7389 113,8224 98,2032 97,0418
Berat kering 93,7942 109,1347 97,2069 96,0834
kadar air (%) 86,74% 88,70% 65,68% 67,56%
Lampiran 2 Kadar air uji kedua Jenis Tanaman
wadah
Berat basah
Cabe 2-1 Cabe 2-2 Kangkung komersil 1 kangkung komersil 2 Kangkung 1-1 Kangkung 1-2 kangkung 2-1 kangkung 2-2
103,0204 105,5768 107,0372 108,4567 100,4658 101,2689 96,7324 100,327
108,0204 110,1659 111,1296 111,4432 105,269 105,5988 101,1674 105,1843
Berat kering 104,2921 106,9011 107,6088 108,8689 101,475 101,9719 97,2841 100,9612
kadar air (%) 74,57% 71,14% 86,03% 86,20% 78,99% 83,76% 87,56% 86,94%
Lampiran 3 Parameter yang perlu diperhatikan dengan seksama dalam setiap jenis air limbah industri
Minuman
Pengalengan
Pupuk
Kimia anorganik
Kimia organik
Dagang
Besi
Plastik
Kertas
Minyak
Baja
Tekstil
Harian
INDUSTRI
Kendaraan
Parameter
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
1
1
1
1
BOD5
x
COD
x
x
x x
TOC
x
x
x
x
x
x
x x
0
1
2
3
4
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
TOD
x
x
pH
x
Total solids
x
Suspended solids
x
x
x
x
x
x
x
x x
Settleable solids
x
Total
x
dissolved
x
x
x
x
x
x x
x
x
x
x
x
solids Volatile
suspended
x
solids Minyak dan lemak
x
x
x
x
Logam berat Kromium
x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Nikel
x
Besi
x
x
Zeng
x
x
Arsen
x x
x
x
x
x
x
Air raksa
x x
x x
x x
x
Timbal (copper)
Timbal
x
x
x
x
Tin
x
Kadmium
x
x
Kalsium
x
Flourida
x
Sianida
x x
x x
Klorida
x
x
x
Sulfat
x
x
x
Amoniak
x
x
Sodium
x
x
x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Silikat
x
Sulfit
x
Nitrat
x
x
Fosfor
x
Urea Anorganik
x
x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Warna
x
Jumlah coli
x
Coli faeces
x
x
Bahan beracun
x
Temperatur
x
Kekeruhan
x
Buih
x
x x
x
x
x
x
x
x x
x
Bau
x
x
x
x
Fenol
x
Klorinated benezoids dan
x
x x
x
x
x
x
x
x
x
Polinuklear
aromaties Mercaptan/sulfida
x
x
x
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rao-rao, Batusangkar, Sumatera Barat pada tanggal 29 November 1990. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari bapak Yulhendri dan ibu Helniwati. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri I Bangselok pada tahun 2002, sekolah melanjutkan pendidikan tingkat pertama di SLTP Negeri I Sumenep, Madura pada tahun 2005, sekolah menengah atas di SMA Negeri I Sumenep, Madura pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis diterima di IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Rokan Hilir dan tercatat sebagai mahasiswa Departemen teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam berbagai organisasi. Pada Tahun 2010 penulis menjadi Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Kelurga Mahasiswa IPB serta pada tahun 2011 menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan IPB.
D