ANALISIS TIGA DIMENSI LONGSORAN DANGKAL PADA BATUAN VOLKANIK DI DAERAH TROPIS: PENERAPAN DI SINDANGKERTA, KABUPATEN BANDUNG
DISERTASI Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dari Institut Teknologi Bandung
Oleh
RENDY DWI KARTIKO NIM : 32010302 (Program Studi Teknik Geologi)
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2016
Buku Pedoman Disertasi ini dapat diakses melalui situs Sekolah Pascasarjana (SPS) ITB: http://www.sps.itb.ac.id
2
ABSTRAK
ANALISIS TIGA DIMENSI LONGSORAN DANGKAL PADA BATUAN VOLKANIK DI DAERAH TROPIS: PENERAPAN DI SINDANGKERTA, KABUPATEN BANDUNG Oleh
Rendy Dwi Kartiko NIM : 32010302 Longsoran dangkal merupakan proses yang sering terjadi secara periodik pada musim penghujan di daerah pegunungan tropis. Longsoran dengan tipe ini relatif tidak diperhatikan oleh lembaga-lembaga pemerintah dikarenakan lokalitas kejadian longsoran dan tingkat kerusakan yang dihasilkan hanya mengenai individu-individu tertentu, bukan sarana dan prasarana umum. Kejadian longsoran dangkal umumnya berada di persawahan, kebun, ladang, hutan, dan tebing-tebing jalan yang terjal. Kedalaman bidang gelincir longsoran ini tidak lebih dari dua meter, dan lebih sering tidak sampai satu meter. Panjang longsoran dangkal relatif jauh lebih besar dibandingkan kedalamannya, seringkali mencapai bagian paling bawah dari lereng, dengan diawali dari dekat puncak lereng. Lebar longsoran relatif jauh lebih kecil dari panjang longsoran, namun lebih besar dari kedalaman bidang longsorannya. Longsoran dangkal dapat diamati di laboratorium disebabkan oleh volume material yang dibutuhkan untuk pemodelan relatif tidak sebesar pada pemodelan longsoran dengan bidang gelincir yang lebih dalam. Selain itu longsoran dangkal juga merupakan longsoran yang dominan terjadi di lereng terjal pada pegunungan tropis. Wilayah Bandung Selatan memiliki intensitas longsoran dangkal yang cukup tinggi dan menyebabkan rusaknya ladang, sawah, dan perkebunan walau relatif tidak menyebabkan kerusakan ekonomi yang besar. Proses longsoran dangkal biasanya terkait dengan frekuensi hujan yang cukup tinggi dan terdapat curah hujan yang sangat tinggi pada beberapa kejadian hujan dalam frekuensi tersebut. Seringkali pada saat longsoran dangkal terjadi juga ditemui adanya aliran permukaan. Aliran tersebut membuat longsoran dangkal menjadi lebih cair sehingga zona deposisi terendapkan relatif lebih jauh dari
sumber longsorannya. Pada saat hujan yang cukup tinggi tersebut dapat terlihat juga adanya aliran rembesan (seepage) pada bagian bawah lereng. Pemodelan kestabilan lereng pada skala regional untuk menghasilkan peta kerawanan longsoran memberikan bantuan bagi banyak pihak untuk dapat melihat tingkat kerawanan di daerahnya masing-masing. Namun perlu diingat bahwa pemodelan ini dirancang untuk menjadi sederhana, analitik, relatif cepat untuk dilakukan. Penggunaan perangkat lunak TRIGRS dari USGS yang memberikan tambahan fungsi infiltrasi hujan ke dalam tanah merupakan suatu pemodelan yang berbeda dari pemodelan deterministik kestabilan lereng tak hingga lainnya. Pada pemodelan yang ada, umumnya infiltrasi air hujan dilakukan secara satu dimensi, yaitu perubahan secara vertikal. Parameter lateral oleh karena itu pada akhirnya relatif disederhanakan dan kurang mempengaruhi kestabilan lereng. Salah satu parameter lateral yang penting bagi kestabilan lereng adalah adanya gaya rembesan. Gaya rembesan dapat diuraikan secara analitik menjadi suatu gaya lateral yang mempengaruhi faktor keamanan, terutama dari sudut yang dibentuk antara gaya rembesan tersebut terhadap bidang gelincir. Semakin vertikal gaya rembesan maka keruntuhan yang akan terjadi lebih bersifat likuifaksi. Semakin mendekati horizontal gaya rembesan maka keruntuhan yang terjadi akan mengikuti rumusan keruntuhan Mohr-Coulomb. Berdasarkan pengamatan dari modul analog yang telah dikembangkan, terjadi rembesan-rembesan pada saat terjadi gerakan tanah di bagian bawah lereng. Selain itu terlihat terjadi retakan-retakan pada bagian bawah lereng. Hal ini menunjukkan bahwa parameter gaya rembesan memiliki pengaruh yang penting pada inisiasi longsoran. Faktor kohesi juga memberikan pengaruh yang besar pada keruntuhan di modul analog disebabkan ukuran yang jauh lebih kecil dari kondisi asli memperlihatkan pengaruh kohesi yang besar terutama pada sudut lereng yang terjal. Modifikasi formulasi kestabilan lereng tak hingga dengan mempertimbangkan faktor gaya rembesan diajukan pada penelitian ini. Formulasi tersebut menyebabkan amplifikasi gaya rembesan pada zona tertentu dari morfologi lereng, terutama lereng yang tidak kontinyu dan berbentuk cekung. Selain itu formulasi tersebut juga bervariasi pada tanah dengan kohesivitas yang berbeda disebabkan pengaruh kohesivitas terhadap arah dari gaya rembesan.
Kata kunci: rembesan (seepage), longsoran dangkal, gaya rembesan
ii
ABSTRACT
THREE DIMENSIONAL ANALYSIS OF SHALLOW LANDSLIDE ON VOLCANIC ROCKS IN TROPICAL REGION: APPLIED IN SINDANGKERTA, BANDUNG REGENCY
By
Rendy Dwi Kartiko NIM : 32010302 Landslide is periodic process that occurred mainly in rainy season in tropical mountainous region. Government agency tend to neglect this type of landslide because locality of landslide occurrence and lower damage impact, usually only related with individual or family level and not public infrastructures. Shallow landslide occurred usually in paddy field, small farm, garden, forest, and steep road slopes. Landslide of this type has sliding surface typically less than 2 meter, and 1 meter are more common occurrence. Landslide length is far longer than depth, frequently reach lower part of slope and deposited further along and initiated somewhere near slope crest. Width of landslide generally far less than length, but still larger than landslide depth. Shallow landslide can be observed in laboratory because material volume needed for modeling is far less than deep seated landslide with complex mechanism. On the other hand, shallow landslide is dominant landslide type on steep slope of tropical mountainous region. Southern Bandung area has quite high frequency of shallow landslide that damage garden, paddy field, and small plantation, although with less economical impact. Shallow landslide process related with higher rainfall frequency with several high intensity rain in between those rainfalls. Oftentimes shallow landslide accompanied with surface runoff. Those runoff made landslide materials more fluid which in turn made the materials deposited further from landslide sources. When high intensity rain occurred, sometimes seepage can be observed on lower side of the slope. Regional scale modeling for slope stability to produce susceptibility map provide major help for stake holder to observe slope susceptibility in each of their own area. iii
However, one should keep in mind that this model is designed to be simple, analytic, relatively quick to do. The use of USGS’ TRIGRS software that provides additional functionality rainfall infiltration into the soil is a different modeling of deterministic modeling infinite slope stability. In these models, rainfall infiltration is modeled as one dimension, related with vertical changes of values. Lateral parameter therefore relatively simplified and less affect slope stability. One of the parameters that are important for the lateral stability of the slope is seepage occurrence. Seepage force can be explained analytically as lateral force that affects safety factor, especially from the angle formed between the seepage forces against the sliding plane. More vertical seepage force will have liquefaction type of collapse. On the other hand, the more the horizontal oriented seepage will follow of formulation of the Mohr-Coulomb collapse. Based on the observations of the analog modules that have been developed, seepage occurred in the event of ground movement at the slope toe. Also visible cracks visible at slope lower region. This indicates that the parameters of seepage force has a crucial influence on the initiation of shallow landslide. Material cohesion also have a considerable influence on the mass movement in analog modules due to much smaller module size compared to natural condition. Cohesion also showed great influence especially on steep slopes. This study proposed formula modification of infinite slope stability taking into account the seepage force. The modification cause seepage force in certain zones of the morphology of the slopes, especially the slopes were not continuous and concave slopes. In addition these formulations also vary at different soil cohesiveness due to the seepage force direction effect. Keyword: Seepage, shallow landslide, seepage force
iv
ANALISIS TIGA DIMENSI LONGSORAN DANGKAL PADA BATUAN VOLKANIK DI DAERAH TROPIS: PENERAPAN DI SINDANGKERTA, KABUPATEN BANDUNG Oleh
Rendy Dwi Kartiko NIM : 32010302 (Program Studi Teknik Geologi) Institut Teknologi Bandung Menyetujui Tim Pembimbing Tanggal ……………………….. Ketua
___________________________ (Dr. Ir. Prihadi Sumintadiredja)
Anggota
Anggota
_______________________
_______________________
(Dr. Eng. Imam A. Sadisun M.T.)
(Dr. Ir. Adrin Tohari)
v
Dipersembahkan kepada korban longsor di Bandung Selatan
vi
PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI Disertasi Doktor yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut Teknologi Bandung, terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HAKI yang berlaku di Institut Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya. Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh disertasi haruslah seizin Direktur Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdullillah, puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan kehendak-Nya, sehingga disertasi ini dapat terselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Tim Promotor Dr. Ir. Prihadi Sumintadiredja sebagai promotor utama dan anggotanya Dr. Eng. Imam A. Sadisun dan Dr. Ir. Adrin Tohari. yang tidak hentihentinya memberikan masukkan, arahan, bimbingan dan semangat untuk terus menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini di sela-sela kesibukan beliaubeliau sebagai dosen dan peneliti. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman di Laboratorium Geologi Teknik ITB, Saad Abdurrahman, Rizky Satria Putranto, Rosyid, Mohammad Hilmi, Ferdiyansah, yang telah banyak memberikan bantuan untuk pembuatan alat ,pemodelan analog, dan akuisisi diata di lapangan. Kepada Dwi Wijanarko yang telah membantu memecahkan masalah pemrograman dan perangkat lunak terkait dengan penelitian ini baik pada sensor ataupun pada pemodelan. Penulis mengucapkan banyak terimakasih pada penduduk Desa Weninggalih, Desa Wangun, Desa Cililin, di Kecamatan Sindangkerta dan Kecamatan Cililin yang telah dengan tulus membantu jalannya penelitian ini dan siap untuk berperanserta dalam mitigasi bencana alam longsoran. Untuk membantu pekerjaan teknis penulisan, drafting, dan efektivitas administrasi selama mengikuti program S-3 ini, penulis berterimakasih kepada teman-teman di bagian drafting dan staf administrasi Teknik Geologi ITB, terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Ade Suherna, Kang Hendra, Kang Mul, Fita. Penulis sangat berterimakasih kepada Pusat Penelitian Mitigasi Bencana ITB di bawah pimpinan Prof. Mashyur Irsyam yang telah membantu pendanaan penelitian
viii
ini dalam kerangka dana penelitian ITB. Penulis juga berterimakasih pada Yayasan Asahi yang telah juga membantu pendanaan penelitian. Rasa terima kasih kepada keluarga tercinta, ayah dan ibu serta kepada keluarga besar Hardjosuwarno yang telah banyak membantu dan berdoa untuk kesuksesan usaha penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. Akhir kata, semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya. BANDUNG, Juni 2016 Rendy Dwi Kartiko
ix
DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................................................... i ABSTRACT ...........................................................................................................iii PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI ......................................................... vii UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................viii DAFTAR ISI ........................................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI ............................................................xiii DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ...................................................... xvi Bab I Pendahuluan ............................................................................................. 1 I.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1 I.2 Permasalahan Penelitian.............................................................................. 1 I.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 2 I.4 Ruang Lingkup ............................................................................................ 2 I.5 Asumsi......................................................................................................... 2 I.6 Hipotesis ...................................................................................................... 3 I.7 Metodologi .................................................................................................. 3 I.8 Kebaharuan Penelitian ................................................................................ 3 I.9 Sistematika Penelitian ................................................................................. 4 Bab II Metodologi Penelitian .............................................................................. 6 II.1 Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 6 II.1.1 Pemodelan Analog Skala Laboratorium ........................................... 6 II.1.1.1 Wahana pemodelan analog ........................................................ 7 II.1.2 Pemerolehan Data Lapangan............................................................. 8 II.2 Metode Pemrosesan Data ....................................................................... 10 II.2.1 Laboratorium Sifat Fisik dan Mekanik Material ............................. 10 II.2.2 Pemrosesan Data Geofisika............................................................. 10 II.3 Metode Penalaran dan Analitis ............................................................... 10 II.3.1 Analisis Kestabilan Lereng Metode Kesetimbangan Batas ............ 11 II.3.2 Infiltrasi Air pada material lereng ................................................... 12 II.3.3 Pengaruh Seepage (rembesan) pada Kestabilan Lereng ................. 13 II.3.4 Analisis Kestabilan Lereng Tak Hingga (infinite slope) ................. 15 Bab III Geologi Daerah Penelitian .................................................................. 17 III.1 Lokasi Penelitian .................................................................................... 17 III.1.1 Lokasi lapangan .............................................................................. 17 III.1.2 Lokasi laboratorium ........................................................................ 19 III.2 Sifat Fisik dan Material .......................................................................... 19 III.2.1 Model Analog.................................................................................. 20 III.2.2 Sifat Fisik Material Lokasi Lapangan ............................................. 21 III.3 Hambatan Jenis Lokasi Lapangan (Geolistrik) ...................................... 23 Bab IV Analisis ............................................................................................... 25 IV.1 Pemodelan Analog Longsoran Dangkal ............................................. 25 IV.1.1 Material Pasir Ngrayong ................................................................. 26 IV.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta ................................................. 28 IV.2 Analisis Model Lereng Tak Hingga Tiga Dimensi ............................. 28 x
IV.2.1.1 Material Pasir Ngrayong .......................................................... 28 IV.2.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta .......................................... 30 IV.2.2 Daerah Lapangan (Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta).......... 30 IV.3 Metode Kesetimbangan Batas Longsoran Dangkal ............................ 31 IV.4 Analisis Numerik Rembesan pada Lereng.......................................... 32 IV.5 Modifikasi Kestabilan Lereng Tak Hingga ........................................ 33 IV.5.1 Modul Analog ................................................................................. 33 IV.5.1.1 Material Pasir Ngrayong .......................................................... 33 IV.5.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta .......................................... 34 IV.5.2 Daerah Lapangan (Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta).......... 35 Bab V Kesimpulan ............................................................................................. 37 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 38 LAMPIRAN .......................................................................................................... 40
xi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A Lampiran B Lampiran C Lampiran D
Sifat fisik dan mekanik material ............................................... 41 Kondisi longsoran dan tanah di daerah Bandung Selatan (Cililin, Sindangkerta) .............................................................. 47 Foto-foto dan keterangan model analog laboratorium .............. 50 Hasil Lintasan Geolistrik Dua Dimensi .................................... 52
xii
DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI Gambar I-1. Diagram alir penelitian. ...................................................................... 5 Gambar II-1. Model analog dengan dua lapisan. Lapisan bagian bawah merupakan dasar dan dianggap tidak akan mengalami pergeseran/deformasi. Lapisan bagian atas merupakan bagian yang diamati proses longsorannya. ............................................. 7 Gambar II-2. Model analog untuk pemodelan longsoran dangkal. ......................... 8 Gambar II-3. Lokasi pengambilan sampel bor dan lintasan geolistrik. Jarak antar spasi grid adalah 40 meter. Garis hijau menunjukkan garis akuisisi geolistrik, sedangkan titik dengan huruf depan COR merupakan lokasi pengambilan sampel pemboran dangkal. ...... 9 Gambar II-4. Metode analisis dan sintesa untuk mendekati kejadian di lapangan ataupun laboratorium dengan pemodelan analitik dan numerik .................................................................................................. 11 Gambar II-5. Analisis stabilitas metode irisan dengan seepage steady-state (Das, 2010) ......................................................................................... 11 Gambar II-6. Pengaruh seepage (rembesan) terhadap kestabilan lereng. Vektor gaya S merupakan penjabaran seepage vector pada lereng. (Nishigaki dkk., 1996). ............................................................. 14 Gambar II-7. Ilustrasi kestabilan lereng tak hingga, dengan asumis tak ada variasi dari kuantitas pada arah x ataupun arah normal ke samping (keluar dari halaman)(Iverson, 2000). ...................................... 15 Gambar III-1. Posisi lokasi daerah penelitian ditandai kotak warna merah, relatif terhadap Pulau Jawa dan wilayah administrasi Kota Bandung. 17 Gambar III-2. Fisiografi dan elevasi regional dari wilayah penelitian. (Sumber:fisiografi dari Van Bemmelen (1949), elevasi dari citra SRTM) (van Bemmelen, 1949) ................................................ 18 Gambar III-3. Pasir Ngrayong yang dibentuk pada modul akrilik (a) dan gambaran butiran pasir kuarsa Formasi Ngrayong dari material uji (b)......................................................................................... 21 Gambar III-4. Tanah pada lokasi lapangan, merupakan pelapukan tuf volkanik Fm. Beser. ................................................................................. 22 Gambar III-5. Profil pelapukan pada tuf dengan tuf yang lebih segar di bagian bawah relatif lembab. Tanah pelapukan hanya memiliki tebal sekitar 10 cm dan tertutupi oleh tanah humus ladang. .............. 22 Gambar III-6. Hambatan jenis (dalam ohm) pseudo 3D untuk lokasi lapangan. Daerah dengan hambatan jenis rendah (kurang dari 50 ohm) terdapat pada tekuk lereng di bagian bawah dan juga pada bagian atas lereng (warna biru). ................................................ 24 Gambar IV-1. Skenario pemodelan analog, meliputi material pasir Formasi Ngrayong, dan tanah asli dari Sindangkerta dengan jenis pasir lempungan................................................................................. 26 Gambar IV-2. Longsoran pada material pasir dengan model satu lapisan. .......... 27 Gambar IV-3. Longsoran pada material pasir dengan model 2 lapisan. ............... 27 Gambar IV-4. Proses erosi ekstensif pada material Tanah Pasir Sindangkerta. ... 28
xiii
Gambar IV-5. Pemodelan FK dengan model lereng tak hingga. Nilai FK bagian paling bawah sekitar 1.2 pada saat 1200 detik (20 menit) dengan curah hujan 100 mm/jam. Longsor terjadi pada menit ke 30. Penurunan FS relatif cepat pada awal dengan kontrol utama adalah kohesi material. ............................................................. 29 Gambar IV-6. Pemodelan FK model lereng tak hingga untuk material pasir lempungan dengan waktu sekitar 12 jam, curah hujan 100 mm/jam. Pada model ini tidak terjadi longsoran. Penurunan FK relatif epat pada awal simulasi dengan kontrol utama parameter kohesi material. Tanah pasir lempungan sedikit lebih kohesif dibanding material pasir Fm. Ngrayong. .................................. 30 Gambar IV-7. Faktor keamanan pada skala lapangan, dengan panjang 135 m, lebar 100 meter. ........................................................................ 31 Gambar IV-8. Kestabilan lereng dengan metode kesetimbangan batas pada modul analog laboratorium dengan 1 lapisan. ..................................... 32 Gambar IV-9. Model aliran airtanah dalam lereng pada model lokasi lapangan.. 32 Gambar IV-10. Pemodelan FK lereng tak hingga dengan modifikasi gaya seepage pada material pasir Fm. Ngrayong. ........................................... 34 Gambar IV-11. Pemodelan FK lereng tak hingga dengan modifikasi gaya seepage pada material pasir lempungan. ................................................ 35 Gambar IV-12. Hasil modifikasi nilai FK pada skala lapangan, dengan mempertimbangkan faktor vektor rembesan (seepage vector). 36
xiv
DAFTAR TABEL Tabel II-1. Skenario pemodelan analog laboratorium longsoran dangkal. Sudut lereng keseluruhan skenario adalah 40º. ..................................... 6 Tabel III-1. Ringkasan sifat fisik dan mekanik material yang digunakan dalam pemodelan. ................................................................................ 20
xv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
SINGKATAN Nama
Pemakaian pertama
kali
pada halaman FK
Faktor Keamanan (Fs)
1
TRIGRS
Transient Rainfall Infiltration and Grid- 15 Based Regional Slope-Stability Analysis. United States Geological Survey
USGS
LAMBANG Fs
Faktor Keamanan (FK)
ϕ′
Sudut geser dalam tanah pada stress efektif (effective stress)
Wn
Berat material pada irisan ke n
c′
Kohesi tanah
αn
Sudut bidang lengkung (bidang gelincir) pada irisan ke n
bn
Lebar irisan ke n pada bidang lengkung (bidang gelincir)
un
Tekanan pori pada irisan ke n
γs
Berat isi tanah
ψ(Z, t)
Fungsi head tekanan pori per waktu
α
Sudut lereng
γw
Berat isi air
γs
Berat isi tanah
Z
Kedalaman
xvi
15
𝛽
Arah gaya seepage (sudut) diukur terhadap normal (garis tegak lurus) dari bidang gelincir
𝑆
Gaya seepage (rembesan)
𝑞
Debit
𝑘
Konduktivitas
hidrolik
(koefisien
permeabilitas) 𝑖
Gradien hidrolik
𝐻
Head total (satuan panjang)
𝜃
Kadar air (volumetrik)
𝑄
Kondisi
batas
(boundary
condition)
pemberian debit untuk infiltrasi (influx) 𝑡
waktu
xvii
Bab I I.1
Pendahuluan
Latar Belakang
Longsoran umumnya terjadi di alam pada musim hujan dan saat terjadi gempa. Kejadian alamiah ini terjadi dalam suatu periode yang relatif tidak bisa dikontrol langsung oleh manusia. Observasi langsung pada saat kejadian longsor di lereng alamiah menjadi sulit dilakukan pada penelitian. Observasi lebih sering dilakukan setelah kejadian. Oleh karena itu, suatu pendekatan yang lebih terkontrol perlu dilakukan untuk melihat kejadian longsor. Penelitian pada skala laboratorium menjadi suatu pilihan untuk observasi mekanisme kejadian longsoran. Beragam penelitian longsoran pada skala laboratorium (Govind Acharya dkk., 2011; Cui dkk., 2014; Egeli dan Pulat, 2011; Iverson, 2000; Liao dkk., 2009; Ni dkk., 2016; Tohari dkk., 2000) telah dilakukan dengan berbagai ukuran. Pada umumnya model berukuran lebar minimal 70 cm dan tinggi minimal 1 meter. Model-model analog tersebut digunakan untuk dapat lebih memahami proses kejadian longsoran, dengan tipe dan mekanisme longsoran yang berbeda-beda. Mekanisme longsoran memperlihatkan proses perkembangan longsoran. Hal ini perlu diamati dari tahap sebelum terjadinya longsoran hingga setelah terjadinya longsoran. Suatu pemodelan analog yang komprehensif diperlukan untuk dapat mendekati kejadian semacam ini dikarenakan observasi langsung di alam sangat susah dilakukan karena tingginya tingkat ketidakpastian lokasi longsoran. I.2
Permasalahan Penelitian
Kemunculan kejadian longsoran dalam kondisi di lapangan masih menjadi pertanyaan mengenai waktu dan lokasinya secara pasti, terutama dengan menggunakan Faktor Keamanan (FK) (Kim dkk., 2015). Hal ini juga berlaku untuk longsoran yang dangkal sekalipun. Bahkan dalam kondisi lereng dan material yang relatif mirip/homogen, longsoran dapat terjadi di lokasi yang tidak diperkirakan. Parameter lokasi dan waktu kemunculan longsoran (x,y,z,t) merupakan permasalahan yang menarik untuk dikaji. Dan pemahaman dapat dimulai dari
1
longsoran yang sederhana dengan kontrol dari curah hujan dan kedalaman bidang gelincir yang dangkal.
I.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis kestabilan lereng pada longsoran dangkal secara 3 dimensi dengan menggunakan model analog dan model lereng alamiah. I.4
Ruang Lingkup
Penelitian dilakukan pada objek eksperimental dan objek lokasi lapangan di Desa Weninggalih, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat. Model eksperimental analog menggunakan material tanah residual volkanik daerah Sindangkerta dan material pembanding pasir Formasi Ngrayong. dengan ukuran tertentu. Observasi yang dilakukan pada objek eksperimental adalah proses kejadian longsoran, parameter fisik dan mekanik material eksperimen, dengan kontrol parameter dari curah hujan, sudut lereng, dan dimensi dari wahana eksperimental. Sementara observasi pada lokasi lapangan meliputi hambatan jenis (resistivitas) material tanah dan batuan, sifat fisik dan mekanik tanah, kandungan mineralogi dari tanah, proses longsoran yang terjadi di lokasi lapangan. Analisis yang dilakukan meliputi analisis laboratorium dan analisis kestabilan lereng. Analisis laboratorium dilakukan pada material eksperimen, material tanah dari lokasi lapangan. Sementara analisis kestabilan lereng meliputi kestabilan lereng pada skala laboratorium, dan kestabilan lereng pada skala peta atau lapangan. I.5
Asumsi 1. Material tanah volkanik dianggap homogen pada tiap lapisan pemodelan, baik pada model analog maupun pada model skala lapangan. 2. Material dianggap isotropis, dengan gaya-gaya yang berlaku pada material dianggap sama disebabkan oleh posisi material yang masih berada pada permukaan tanah dan tidak dipengaruhi oleh rejim tektonik (gaya lateral anisotropik) tertentu. 2
3. Aliran air dalam material mengikuti model aliran Hukum Darcy. Air dari hujan mengalir dengan model permeabilitas primer Darcy baik untuk material jenuh maupun material tak jenuh. I.6
Hipotesis
Longsoran dangkal dapat terjadi pada suatu zona jenuh air di permukaan yang dipicu dengan adanya aliran rembesan (seepage). Komponen gaya lateral yang ditimbulkan oleh rembesan ini menyebabkan longsoran yang terjadi di bagian kaki lereng untuk material pasir dan semakin ke atas lereng pada material dengan fraksi halus (lempung) yang semakin banyak. I.7
Metodologi
Penelitian ini menggunakan induksi eksperimental yang dikombinasikan dengan deduksi pemodelan pada skala asli di alam untuk lokasi terpilih. Eksperimen dilakukan pada beberap skenario model analog untuk melihat respon material terhadap simulasi hujan buatan dengan curah hujan konstan dalam rentang waktu tertentu. Kontrol terhadap curah hujan, skala model, dan keseragaman material merupakan kontrol eksperimental pada skala laboratorium untuk mendapatkan keseragaman perulangan percobaan. Metode deduksi dilakukan dengan pemodelan analitik dan numerik secara dua dimensi dan tiga dimensi untuk menghasilkan Faktor Keamanan yang menunjukkan kondisi stabilitas dari lereng. Pemodelan analitik dilakukan dengan analisis lereng tak hingga dan analisis kesetimbangan batas. Pemodelan numerik dilakukan dengan metode elemen hingga untuk melihat sebaran vektor gaya dan deformasi yang terjadi pada lereng. I.8
Kebaharuan Penelitian
Penelitian ini mempertimbangkan faktor rembesan dalam kestabilan lereng longsoran dangkal. Gaya rembesan perlu diuraikan komponenenya untuk melihat pengaruhnya pada lereng. Penguraian gaya yang diberikan didasarkan pada arah aliran rembesan pada permukaan lereng.
3
Penelitian ini memberikan gambaran inisiasi kejadian longsoran dangkal yang dikontrol oleh rembesan pada lereng yang dilakukan secara analitik 3 dimensi, dikombinasikan dengan pemodelan numerik 2 dimensi. I.9
Sistematika Penelitian
Penelitian diawali dengan pemodelan analog skala laboratorium, yang bersamaan dengan mengumpulkan data inventarisasi longsoran yang sudah ada untuk daerah di lapangan (Gambar I-1) berdasarkan data-data sekunder. Studi literatur juga dilakukan pada tahapan awal ini, terutama untuk pemodelan analog laboratorium dan pemodelan kestabilan lereng tiga dimensi. Analisis laboratorium dilakukan pada tahap selanjutnya, bersamaan dengan pengembangan alat untuk observasi longsoran dangkal. Sifat fisika dan mekanik tanah baik di skala lab ataupun tanah asli diuji untuk mendapatkan parameter yang dapat digunakan dalam pemodelan analitik ataupun numerik. Sintesa penelitian dilakuan dengan menggabungkan kejadian yang ada di kondisi lapangan dengan observasi yang dilakukan pada skala laboratorium, dengan memodifikasi formulasi faktor keamanan untuk kestabilan lereng pada lereng tak hingga.
4
Permasalahan: · Proses dan mekanisme longsoran dangkal, · Pada beberapa tipe material, · Secara tiga dimensi
· · · ·
· · · · ·
Studi Pustaka: Pemodelan analog longsoran Faktor Keamanan longsoran dangkal 3 dimensi Pengaruh runoff pada longsoran Pengaruh seepage pada proses longsoran
Akuisis data lapangan daerah tipikal longsoran dangkal: Inventarisasi longsoran Pemetaan topografi Sampel tanah (grab dan bor kedalaman 1 meter) Pengambilan data resisitivitas 2 dimensi Analisis Laboratorium
· · · ·
Pemodelan analog skala laboratorium: Pada beberapa variasi curah hujan konstan Variasi lapisan Variasi jenis material Analisis Laboratorium
Pemodelan infiltrasi air hujan dan kestabilan Lereng: · Analitik metode kesetimbangan batas 2 dimensi · Metode numerik elemen hingga 2 dimensi · Analitik metode lereng tak hingga 3 dimensi
Sintesa mekanisme longsoran dangkal 3 dimensi dengan material tanah dan material pasir
Gambar I-1. Diagram alir penelitian.
5
Bab II
Metodologi Penelitian
II.1 Metode Pengumpulan Data Data didapatkan dari pengamatan pada modul skala laboratorium dan pengambilan tanah sampel uji di lapangan serta uji geofisika di lapangan. II.1.1 Pemodelan Analog Skala Laboratorium Pemodelan analog dilakukan pada beberapa skenario untuk memperlihatkan proses curah hujan dan aliran permukaan masuk ke dalam model lereng material. Skenario pemodelan merupakan variasi dari jenis material, lapisan material, dan variasi curah hujan seperti terlihat pada Tabel II-1. Pemodelan awal dilakukan pada satu jenis lapisan material yaitu pada Pasir Kuarsa Formasi Ngrayong dan pada Tanah residual volkanik (tuf) Sindangkerta. Pemodelan pada satu lapisan dilakukan untuk menyederhanakan model agar terlihat bagaimana respon material pada kondisi ideal. Keseluruhan model dilakukan pada sudut lereng 40º yang merupakan nilai tengah berdasarkan pemodelan analog yang dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya (G. Acharya dkk., 2009; Iverson dkk., 1997; Tohari dkk., 2000) yang berkisar di antara 30º - 50º. Tabel II-1. Skenario pemodelan analog laboratorium longsoran dangkal. Sudut lereng keseluruhan skenario adalah 40º. Pasir Ngrayong Satu lapis material Tanah residual Sindangkerta Pasir Ngrayong Dua lapis material, bagian bawah tanah residual Sindangkerta, dipadatkan dengan permeabilitas yang rendah
Tanah residual Sindangkerta, material ayakan > mesh 50
Curah hujan 40 mm/jam Curah hujan 100 mm/ham Curah hujan 40 mm/jam Curah hujan 100 mm/ham Curah hujan 40 mm/jam Curah hujan 100 mm/ham Curah hujan 40 mm/jam Curah hujan 100 mm/ham
Tanah residual Sindangkerta, material ayakan > mesh 50 (0,282 mm) + 50% fraksi halus (< mesh 50 (0,282 mm))
6
Curah hujan 40 mm/jam Curah hujan 100 mm/ham
Berdasarkan hasil pemodelan analog dari satu lapisan ternyata material tanah residual tidak mengalami longsor pada kondisi kontrol pemodelan (curah hujan, dan ukuran skala model), sehingga skenario dengan dua lapisan (Gambar II-1) dilakukan untuk melihat respon material pada lapisan yang lebih tipis di bagian atas. Lapisan bagian bawah dari dua lapisan ini memiliki koefisien permeabilitas yang rendah (jauh lebih rendah dibandingkan infiltrasi air dari kontrol curah hujan) berkisar pada orde 1x10-6 hingga 1x10-8 cm/detik.
Gambar II-1. Model analog dengan dua lapisan. Lapisan bagian bawah merupakan dasar dan dianggap tidak akan mengalami pergeseran/deformasi. Lapisan bagian atas merupakan bagian yang diamati proses longsorannya. II.1.1.1 Wahana pemodelan analog Pemodelan analog menggunakan modul akrilik dengan ukuran panjang 1 meter, lebar 50 cm, dan tinggi 50 cm seperti terlihat pada Gambar II-2. Air dipompa dengan pompa air elektrik dari tangki air, kemudian dialirkan melalui pipa paralon setengah inci untuk dibagi dalam empat lajur nozzle hujan buatan. Observasi aliran air dilakukan dengan beberapa flow meter. Keseluruhan wahana berada dalam tenda sementara untuk melindungi dari hujan dan panas matahari langsung.
7
Gambar II-2. Model analog untuk pemodelan longsoran dangkal. II.1.2 Pemerolehan Data Lapangan Pemerolehan data di lapangan dilakukan dengan: -
Pengeboran tanah dangkal hingga kedalaman 1 meter
-
Observasi tanah dan batuan di sekitar rencana daerah lokasi pemodelan
-
Pengambilan data geolistrik dua dimensi pada 12 lintasan
Tujuan pengeboran tanah dangkal dan pengambilan sampel adalah untuk mendapatkan tanah asli daerah penelitian dan melihat variasi tanah pada kedalaman yang cukup dangkal dan masih memiliki pengaruh terhadap kejadian longsoran dangkal.
8
Gambar II-3. Lokasi pengambilan sampel bor dan lintasan geolistrik. Jarak antar spasi grid adalah 40 meter. Garis hijau menunjukkan garis akuisisi geolistrik, sedangkan titik dengan huruf depan COR merupakan lokasi pengambilan sampel pemboran dangkal. Sebanyak 12 lintasan geolistrik (Gambar II-3) dibentangkan untuk pemerolehan data, dengan fokus terutama pada bagian tengah dan tegak lurus terhadap lereng. Spasi elektroda geolistrik adalah 1,5 meter dengan jumlah eletroda per lintasan adalah sebanyak 48 elektroda. Kedalaman zona akuisisi geolistrik adalalah 11 meter berdasarkan skema spasi elektroda tersebut.
9
II.2 Metode Pemrosesan Data II.2.1 Laboratorium Sifat Fisik dan Mekanik Material Pemrosesan data sifat fisik dan mekanik material Tanah Residual Tuf dari Sindangkerta (Formasi Beser) dan Pasir Formasi Ngrayong dilakukan di laboratotrium geologi teknik Institut Teknologi Bandung, meliputi: -
Densitas Porositas Sebaran Besar Butir Plastisitas tanah dan pasir Klasifikasi nama tanah Koefisien Permeabilitas Kohesi Sudut Geser Dalam
Pada tanah dari lapangan diuji juga: -
X-Ray diffraction Scanning Electron Microscope (SEM)
II.2.2 Pemrosesan Data Geofisika Sebanyak dua belas lintasan geolistrik dengan spasi elektroda 1.5 meter dan elektroda sebanyak 48 buah menghasilkan data yang kemudian diolah dengan perangkat lunak RES2Dinv. Program tersebut memproses data dasar menjadi bentuk penampang dengan kedalaman sebesar 11 meter. Hasil dari penampang tersebut diolah dalam suatu perangkat lunak untuk tampilan dengan mengkombinasikan ke 12 lintasan tersebut dalam suatu file berisi titik-titik dan atribut hambatan jenis. Kemudian dilakukan gridding pada titik-titik data tersebut untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi dari geolistrik di lokasi penelitian. Data grid tersebut menjadi acuan untuk penarikan bidang muka air tanah awal dalam pemodelan analitik lereng tak hingga tiga dimensi. II.3 Metode Penalaran dan Analitis Metode penalaran adalah membandingkan antara hasil proses yang dihasilkan antara kejadian di lapangan berdasarkan observasi dan keterangan penduduk dengan pengamatan observasi di laboratorium. Selain itu, penalaran juga dilakukan
10
dengan studi pustaka terhadap perkembangan metode perkiraan faktor keamanan lereng, terutama pada skala lapangan. Poin-poin tertentu yang menunjukkan kekurangan dari metode yang sudah ada dicoba untuk dimodifikasi, berdasarkan pengamatan yang terjadi di skala laboratorium dan juga di lapangan. Percobaan analog
Analisis laboratorium
Pemodelan skala lab dan lapangan
Cek akurasi
akurat
Selesai
Tidak akurat Kejadian longsor/ rawan di lapangan
Analisis laboratorium
Modifikasi formula Faktor Keamanan (FK)
Gambar II-4. Metode analisis dan sintesa untuk mendekati kejadian di lapangan ataupun laboratorium dengan pemodelan analitik dan numerik
II.3.1 Analisis Kestabilan Lereng Metode Kesetimbangan Batas Metode kesetimbangan batas dikembangkan sejak beberapa dekade yang lalu oleh Bishop, dengan mengasumsikan tekanan air pori bernilai nol. Pada kenyataan dengan aliran seepage stabil (steady state seepage) di kondisi alamiah tekanan pori tidaklah bernilai nol, dan mempengaruhi nilai kekuatan geser efektif (effective shear strength) (Das, 2010).
Gambar II-5. Analisis stabilitas metode irisan dengan seepage steady-state (Das, 2010)
11
Modifikasi Formula Bishop dengan mengakomodir faktor tekanan pori dari muka air tanah (Das, 2010):
Fs =
′ ∑n=p n=1 [ c bn +(Wn −un bn ) tan ϕ′]
∑n=p n=1 Wn sin αn
Dengan
𝑚𝛼(𝑛) = 𝑐𝑜𝑠 𝛼𝑛 +
1 m(α)n
tan ϕ′ sin αn
( 1)
( 2)
𝐹𝑠
Kedua belah sisi dari persamaan memiliki nilai Fs (Faktor Keamanan), sehingga proses trial-error mesti dilakukan untuk mendapatkan nilai Fs. Penggunaan perangkat lunak akan mempercepat proses penghitungan nilai Fs dan relatif merupakan prosedur yang umum dilakukan di kalangan insinyur. Pada analisis metode ini vektor rembesan tidak diuraikan dan menyatu dengan parameter tekanan pori (un ). Penguraian vektor gaya tersebut secara analitik relatif tidak dilakukan mengingat kekompleksan pemodelan infiltrasi air pada lereng sehingga dilakukan dengan pendekatan numerik berdasarkan dari solusi persamaan diferensial aliran tanah dalam lereng. II.3.2 Infiltrasi Air pada material lereng Formulasi aliran fluida dalam material mengikuti Hukum Darcy (dikutip dari (Seep/W, 2012): 𝑞=𝑘𝑖 (3) Dengan debit aliran adalah fungsi dari kondukitivitas hidrolik dan gradien hidrolik dari air dalam material. Hukum ini ternyata dapat diaplikasikan pada tanah tak jenuh (Richards, 1931) dengan menjadikan konduktivitas hidrolik sebagai suatu variabel, dan bukan suatu konstanta. Konduktivitas hidrolik berubah mengikuti nilai kadar air dan tekanan pori. Penjabaran persamaan tersebut dalam persamaan differensial parsial rembesan untuk dua dimensi (Fredlund dan Rahardjo, 1993) dinyatakan sebagai: 𝜕 𝜕𝑥
[𝑘𝑥
𝜕𝐻 𝜕𝑥
]+
𝜕 𝜕𝑦
[𝑘𝑦
12
𝜕𝐻 𝜕𝑦
]+ 𝑄 =
𝜕𝜃 𝜕𝑡
( 4)
, yang menunjukkan bahwa aliran (flux) pada sistem aliran air dalam tanah adalah sama dengan perubahan penyimpanan (kadar air) dalam sistem tersebut. Solusi dari persamaan ini dapat didekati dengan metode numerik elemen hingga sehingga matrik gradien hidrolik didapatkan untuk kasus lereng yang dianalisis. Matriks tersebut sebanding dengan gaya rembesan pada persamaan (6). II.3.3 Pengaruh Seepage (rembesan) pada Kestabilan Lereng Tanah non kohesif yang jenuh akan mengalami likuifaksi statik bila dikenai gaya seepage ke atas yang sama dengan berat tanah yang jenuh. Sudut maksimum lereng yang stabil pada kondisi jenuh di tanah non kohesif adalah sama dengan sudut geser dalam lereng bila tidak terjadi seepage, namun menjadi sekitar separuh sudutnya bila terdapat seepage yang paralel dengan lereng (Iverson dan Major, 1986). Pengaruh seepage sendiri telah dipelajari dengan cukup ekstensif (Ahmadi-Adli dkk., 2014; Liu dan Li, 2015; Tofani dkk., 2006; Vandamme dan Zou, 2013). Pada penampang lereng yang jenuh dengan bidang gelincir tertentu yang dikontrol oleh aliran airtanah (Nishigaki dkk., 1996) seperti terlihat pada Gambar II-6 a, dan b menggambarkan gaya pada salah satu potongan di lereng.
13
infiltration
equipotential line
failure surface
flow line
y b x R
a h’ = w gw
S
h/2
b R
a
h/2
N’
S
N’
b
W W’ Force Polygon
equipotential line
Gambar II-6. Pengaruh seepage (rembesan) terhadap kestabilan lereng. Vektor gaya S merupakan penjabaran seepage vector pada lereng. (Nishigaki dkk., 1996). Nilai W’ merupakan berat dari tanah, S merupakan gaya rembesan yang terjadi pada potongan dengan nilai gradien hidrolik i sebanding dengan tekanan head h’. Faktor keamanan merupakan rasio dari gaya penahan (N’) terhadap gaya pendorong (T) sepanjang bidang pergeseran. Faktor keamanan (Fs) sepanjang bidang percobaan gelinciran akan menjadi fungsi: 𝑊 ′ = 𝛾𝑠 ℎ 𝑏 𝑆 = 𝛾𝑤 𝑖 ℎ 𝑏 𝑇 = 𝑊 ′ 𝑠𝑖𝑛 𝛼 + 𝑆 𝑠𝑖𝑛 𝛽 𝑁 ′ = 𝑊 ′ 𝑐𝑜𝑠 𝛼 − 𝑆 𝑐𝑜𝑠 𝛽
14
( 5) ( 6) (7) (8)
𝐹𝑠 =
∑ 𝑐 ′ 𝑏/ 𝑐𝑜𝑠 𝛼+ ∑[ 𝛾𝑠 ℎ 𝑏 𝑐𝑜𝑠 𝛼− 𝛾𝑤 𝑖 ℎ 𝑏 𝑐𝑜𝑠 𝛽] 𝑡𝑎𝑛 𝜙 ∑[ 𝛾𝑠 ℎ 𝑏 𝑠𝑖𝑛 𝛼− 𝛾𝑤 𝑖 ℎ 𝑏 𝑠𝑖𝑛 𝛽]
( 9)
Faktor keamanan akan dipengaruhi oleh arah dari gaya rembesan, dan komponen gaya rembesan mempengaruhi gaya massa tanah. Nilai FK yang minimal akan terjadi pada arah rembesan yang relatif horizontal, dan nilai FK yang paling tinggi berada pada arah rembesan yang vertikal. II.3.4 Analisis Kestabilan Lereng Tak Hingga (infinite slope) Persamaan kestabilan lereng tak hingga (Iverson, 2000) digunakan sebagai dasar dalam menghitung kestabilan lereng untuk model pada skala laboratorium dan skala peta. Faktor Keamanan pada kedalaman tertentu dihitung dengan (Baum dkk., 2009):
Fs (Z, t) =
tan ϕ′ tan α
+
c′ −ψ(Z,t)γw tan ϕ′ γs Z sin α cos α
( 10)
Gambar II-7. Ilustrasi kestabilan lereng tak hingga, dengan asumis tak ada variasi dari kuantitas pada arah x ataupun arah normal ke samping (keluar dari halaman)(Iverson, 2000). Persamaan ini diaplikasikan pada perangkat lunak TRIGRS yang dikembangkan oleh USGS, ditujukan terutama pada skala regional dan menghasilkan matrik baris dan kolom yang merupakan gambaran dari peta faktor keamanan dari kestabilan lereng.
15
Kohesi memiliki pengaruh kekuatan yang kecil pada lereng-lereng dengan dimensi yang besar. Namun pada lereng terjal dengan kedalaman bidang gelincir yang dangkal kohesi memiliki pengaruh yang besar (Iverson dkk., 1997). Kohesi cenderung melemah dengan adanya pergerakan tanah yang besar. Pengaruh mineralogi tanah lempungan juga memberikan kontribusi pada kekuatan kohesi material disebabkan oleh bentuk orientasi dari mineralogi dengan reorientasi mineral pipih yang paralel dengan bidang deformasi akan menurunkan kekuatan material lempungan. Material dengan kadar lempung di bawah 25% akan lebih menyerupai material pasir dengan sudut geser dalam lebih besar dari 20º (Skempton, 1985).
16
Bab III
Geologi Daerah Penelitian
III.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada lokasi laboratorium dan lapangan. Lokasi laboratorium berada di Laboratorium Geologi Teknik, Institut Teknologi Bandung. Lokasi lapangan berada pada Desa Weninggalih dan Desa Wangun, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia. III.1.1 Lokasi lapangan Lapangan penelitian berada di barat daya dari Kota Bandung, di selatan dari Bendungan Saguling. Wilayah administrasi daerah penelitian masuk dalam Desa Weninggalih dan Desa Wangun, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat, Negara Indonesia seperti terlihat pada Gambar III-1. Wilayah penelitian berada di sisi barat Pulau Jawa, relatif di sisi selatan pada sumbu panjang pulau.
Gambar III-1. Posisi lokasi daerah penelitian ditandai kotak warna merah, relatif terhadap Pulau Jawa dan wilayah administrasi Kota Bandung.
17
Lapangan berada pada bagian utara Zona Pengunungan Selatan Jawa Barat, berbatasan dengan Zona Gunungapi Kuarter seperti terlihat pada Gambar III-2. Elevasi di sekitar daerah penelitian berkisar dari 200 meter di sisi utara-barat laut dan 2600 meter di atas permukaan laut pada sisi timur-tenggara. Daerah penelitian berada pada elevasi 900 – 1100 meter di atas permukaan laut,
Gambar III-2. Fisiografi dan elevasi regional dari wilayah penelitian. (Sumber:fisiografi dari Van Bemmelen (1949), elevasi dari citra SRTM) (van Bemmelen, 1949)
18
III.1.2 Lokasi laboratorium Lokasi laboratorium berada di lantai 4, Gedung Labtek IV, Program Studi Teknik Geologi, Insitut Teknologi Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia. III.2 Sifat Fisik dan Material Material yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua lokasi. Material kontrol diambil dari Formasi Ngrayong, yang berada di Jawa Timur. Material uji yang lain adalah material tanah residual volkanik dari Formasi Beser (Koesmono dkk., 1996). Material Formasi Ngrayong yang digunakan dalam penelitian adalah pasir kuarsa (arenite quartz), berasal dari batuan sedimen berumur Miosen. Pasir ini (selanjutnya disebut sebagai Pasir Ngrayong) merupakan pasir yang telah diproses dengan dioven dan diayak sehingga material berada pada ukuran pasir dengan kisaran ukuran butir adalah 0,389 mm sampai 0,282 mm (mesh 40 – mesh 50). Keseragaman butir material ini dengan demikian adalah bagus (well graded). Sifat fisik dan mekanik dari pasir ini dapat dilihat pada Tabel III-1. Material uji dari tanah residual, pelapukan Tuf Formasi Beser, diambil dari satu lokasi yaitu di Desa Weninggalih, Kecamatan Sindangkerta. Tanah yang dimodelkan secara analog merupakan tanah yang ukuran pasir lanauan dari lokasi di Desa Weninggalih tersebut. Sedangkan tanah yang dimodelkan secara analitik (dengan perangkat lunak) saja adalah beberapa jenis tanah yang merupakan representasi tanah di lokasi tersebut (dari beberapa titik), dan umumnya adalah tanah lanau hingga tanah lempung seperti terlihat di Tabel III-1. Sehingga terdapat tiga macam jenis tanah yang dimodelkan dalam analisis penelitian ini, yaitu: -
Pasir Formasi Ngrayong (disebut Pasir Ngrayong dalam tulisan ini)
-
Tanah Pasir Lanauan Sindangkerta (disebut Tanah Pasir Sindangkerta dalam tulisan ini)
-
Tanah residual volkanik lanau hingga lempung Sindangkerta (disebut Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta dalam tulisan ini) 19
Tabel III-1. Ringkasan sifat fisik dan mekanik material yang digunakan dalam pemodelan. Sifat fisik dan mekanik material
Pasir Formasi Ngrayong
Keterangan
Material kontrol laboratorium
komposisi
void ratio Kadar air awal Konduktivitas hidrolik (Koefisien permeabilitas) jenuh
Tanah Residual Volkanik Tuf Sindangkerta (asli)
Material tanah asli yang diambil dan kemudian diuji (undisturbed)
Pasir, mesh 40 s/d mesh 50 (0,389 s/d 0,282 mm)
Pasir lanauan sampai pasir lempungan (SW-SP)
Lanau plastisitas rendah hingga lempung plastistitas tinggi (ML, MH, CL, CH)
30°
rata-rata 29,7°, rentang dari 28.9° hingga 30.6°
rata-rata 30°, rentang dari 20,2° s/d 31.6°
0,5 s/d 1 kPa
rata-rata 1,53 kPa, rentang antara 0,58 s/d 3,18 kPa
rata-rata 5 kPa, rentang dari 3,7 hingga 6,5 kPa
14.04 KN/m3
14.25 KN/m3
0,8
0,75
14.57 KN/m3 rata-rata 0,63, kisaran dari 0,52 s/d 0,75 19%
Sudut geser dalam Kohesi densitas kering
Tanah residual Volkanik Tuf Sindangkerta, dengan remolded (dibentuk ulang) Material tanah residual yang diproses untuk model analog melalui pengeringan, pencampuran dengan kadar air tertentu
7%
25%
1x10-3 cm/detik
2,5x10-4 cm/detik
1x10-6 cm/detik
III.2.1 Model Analog Material model analog terdiri dari material Pasir Ngrayong dan Tanah Pasir Sindangkerta. Kedua jenis material tersebut dapat ditaburkan dan dibentuk hingga memiliki lereng 40° dan ketinggian material mencapai 45 cm. Material Pasir Ngrayong disiapkan dan dipreparasi di Laboratorium Geodinamik ITB dan merupakan bagian dari Pemodelan Sandbox untuk memodelkan efek tektonik. Sifat fisik dan mekanik pasir ini dapat dilihat pada Tabel III-1. Butiran pasir ini secara umum adalah menyudut tanggung seperti terlihat pada Gambar III-3b. Pasir yang digunakan telah diwarnai menjadi kuning untuk mempermudah melihat aliran air pada saat diberikan simulasi curah hujan seperti terlihat pada Gambar III-3a.
20
Gambar III-3. Pasir Ngrayong yang dibentuk pada modul akrilik (a) dan gambaran butiran pasir kuarsa Formasi Ngrayong dari material uji (b). Sementara material dari tanah asli Desa Weninggalih memiliki variasi seperti terlihat pada Lampiran A dengan resume pada Tabel III-1. Pada percobaan awal dengan beberapa variasi sudut lereng, material tanah asli diambil sebelum dilakukan simulasi hujan, dan diukur parameternya. Umumnya tanah memiliki gradasi buruk dan masuk dalam klasifikasi tanah pasir. Plastisitas tanah pasir ini tergolong cukup tinggi disebabkan oleh kandungan mineral lempungnya yang berpengaruh pada keliatan tanah. Mineral lempungnya diperkirakan sama dengan material Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta (tabel XRD, Lampiran A)Sementara itu nilai koefisien permeabilitas tanah berkisar pada orde 10-4 cm/detik. Nilai kohesi material berkisar pada 0.5 sampai 3.2 kPa, dengan sudut geser dalam berkisar pada 30º.
III.2.2 Sifat Fisik Material Lokasi Lapangan Sementara itu tanah asli di kondisi lapangan umumnya merupakan tanah lanau ataupun tanah lempung dengan plastisitas rendah hingga tinggi (Lampiran A). Sudut geser dalam menunjukkan variasi dari 26° hingga 36° dengan variasi kohesi 3,7 hingga 6,53 kPa. Sementara itu, data dari penelitian sebelumnya (Kartiko, 2009) seperti terlihat pada Lampiran A, permeabilitas di sekitar Desa Weninggalih berada pada orde 10-6 cm/detik. Nilai kohesi material berkisar antara 8 hingga 18 kPa, sudut geser dalam pada kisaran 8º hingga 45º. 21
Ketebalan tanah bervariasi dari 0.5 hingga 1.5 meter. Pada Gambar III-4 nampak tanah memiliki tebal sekitar 0.5 meter pada daerah kupasan tebing. Singkapan tuf yang agak lapuk terlihat berwarna putih dengan oksidasi berwarna kecoklatan. Mineralogi tanah dari uji XRD (Lampiran A) menunjukkan kandungan mineral lempung montmorilonit, kaolinit, selain juga mineral hematit, kuarsa, kristobalit.
Gambar III-4. Tanah pada lokasi lapangan, merupakan pelapukan tuf volkanik Fm. Beser.
Gambar III-5. Profil pelapukan pada tuf dengan tuf yang lebih segar di bagian bawah relatif lembab. Tanah pelapukan hanya memiliki tebal sekitar 10 cm dan tertutupi oleh tanah humus ladang.
22
III.3 Hambatan Jenis Lokasi Lapangan (Geolistrik) Berdasarkan 12 lintasan geolistrik dengan bentang perlintasan sepanjang 72 meter, jarak antar elektroda 1.5 meter didapatkan profil resisitivitas hingga kedalaman 11 meter yang dinilai cukup untuk analisis kestabilan lereng longsoran dangkal. Pseudo section pada Gambar III-6 menunjukkan sebaran hambatan jenis pada nilai yang relatif rendah dan dominan berada hingga sekitar 250 Ohm. Sedangkan daerah dengan hambatan jenis di bawah 50 Ohm menunjukkan konsentrasi di bagian bawah dari sistem lereng, dan sebagian pada tekuk lereng di bagian atas. Sebaran nilai hambatan jenis ini mempengaruhi penentuan kedalaman muka air tanah awal pada pemodelan kestabilan lereng, dan juga mempengaruhi zonasi jenis tanah pada pemodelan. Tanah yang pasiran cenderung dimasukkan pada zona dengan hambatan jenis rendah, sedangkan tanah yang lempungan disebarkan pada zona dengan hambatan jenis yang lebih tinggi. Keseluruhan penampang hambatan jenis dua dimensi dapat dilihat pada Lampiran D. Perlu dicermati dalam lampiran tersebut bahwa legenda warna tiap penampang berbeda-beda, tidak menunjukkan interval yang sama. Oleh karena itu perlu dilihat terlebih dahulu legenda warna dan rentang nilai hambatan jenis yang tertera pada legenda.
23
Gambar III-6. Hambatan jenis (dalam ohm) pseudo 3D untuk lokasi lapangan. Daerah dengan hambatan jenis rendah (kurang dari 50 ohm) terdapat pada tekuk lereng di bagian bawah dan juga pada bagian atas lereng (warna biru).
24
Bab IV
Analisis
IV.1 Pemodelan Analog Longsoran Dangkal Pemodelan analog dilakukan pada dua skenario utama dengan memperlihatkan variasi curah hujan dan variasi koefisien permeabilitas model lereng material (Pasir Ngrayong dan Tanah Pasir Sindangkerta). Pada skenario dimana model lereng material Tanah Pasir Sindangkerta dengan hanya diberikan curah hujan tidak menghasilkan longsoran. Skenario lainnya adalah dengan memberikan batas material jenuh dan material tidak jenuh dengan artifisial. Skenario ini dilakukan dengan menumpuk material jenuh air dengan permeabilitas rendah (Tanah Pasir Sindangkerta) dengan material tidak jenuh , dan kemudian diberikan curah hujan dengan pengamatan hingga terjadi longsor. Terdapat perbedaan hasil pemodelan analog pada kedua macam material (Gambar IV-1). Pada material Pasir Ngrayong menunjukkan terjadinya longsoran, sedangkan pada material Tanah Pasir Sindangkerta kurang menunjukkan proses longsoran dan dominan mengalami erosi.
25
Hujan 40 mm/jam
Tidak Longsor
Pasir Fm. Ngrayong Hujan 100 mm/jam
Longsor
1 Jenis material
Pasir Lempungan Sindangkerta
Bagian atas Pasir Fm. Ngrayong
Hujan 40 mm/jam
Tidak Longsor
Hujan 100 mm/jam
Tidak Longsor
Hujan 40 mm/jam
Tidak Longsor
Hujan 100 mm/jam
Hujan 40 mm/jam 100% Material atas > Mesh 50
2 Jenis Material, bagian bawah pasir lempungan Sindangkerta
Hujan 100 mm/jam
Bagian atas material dari Pasir Lempungan
Pasir mesh>50 + 50% dari bagian fraksi halus
Pasir mesh>50 + 70% dari bagian fraksi halus
Hujan 40 mm/jam
Hujan 100 mm/jam
Longsor
Tidak Longsor
Longsor
Tidak Longsor
Tidak Longsor
Hujan 40 mm/jam
Tidak Longsor
Hujan 100 mm/jam
Tidak Longsor
Gambar IV-1. Skenario pemodelan analog, meliputi material pasir Formasi Ngrayong, dan tanah asli dari Sindangkerta dengan jenis pasir lempungan.
IV.1.1 Material Pasir Ngrayong Pemodelan material pasir dengan satu lapisan Gambar IV-2 menunjukkan longsoran terjadi pada kaki lereng, dengan diawali adanya ponding. Curah hujan yang diberikan berkisar dari 40 mm/jam hingga 150 mm/jam. Sementara pada simulasi dengan dua lapisan longsor terjadi lebih cepat pada menit ke dua puluh Gambar IV-3. Longsoran pada simulasi dua lapisan bergerak dari toe (kaki) lereng ke arah atas. Awal longsoran terbentuk karena rembesan di bagian kaki lereng.
26
Gambar IV-2. Longsoran pada material pasir dengan model satu lapisan.
Gambar IV-3. Longsoran pada material pasir dengan model 2 lapisan.
27
IV.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta Proses simulasi pada tanah dengan satu lapis material berisi Tanah Pasir Sindangkerta tidak menunjukkan adanya longsoran seperti terlihat pada Gambar IV-4. Ponding (kolam) yang menunjukkan kejenuhan material di bagian bawah lereng terjadi setelah 1 jam pemberian curah hujan dengan intensitas 100 mm/jam. Erosi awal terjadi membentuk teras-teras kecil yang sejajar dengan arah lereng. Setelah beberapa lama erosi berkembang intensif pada salah satu sisi lereng dan mengikis material pasir dengan kohesi yang lebih rendah. Proses yang terbentuk kemudian adalah lubang-lubang dengan membentuk pinnacle (kerucut-kerucut) yang masih berbentuk membulat pada saat sekitar 2 jam dari awal pemberian hujan.
Gambar IV-4. Proses erosi ekstensif pada material Tanah Pasir Sindangkerta. Proses simulasi diteruskan hingga 240 menit (4 jam) dan tidak menunjukkan adanya longsoran pada simulasi dengan satu jenis material. IV.2 Analisis Model Lereng Tak Hingga Tiga Dimensi IV.2.1.1 Material Pasir Ngrayong Pada pemodelan analog, material pasir dengan dua lapisan dengan bagian bawah adalah pasir lempungan (tebal 35 cm) dan bagian atas adalah pasir Formasi Ngrayong (tebal 10 cm) mengalami longsoran pada menit ke 20, terlihat pada Gambar IV-3. 28
Sementara itu pada pemodelan dengan model lereng tak hingga (Program TRIGRS) menunjukkan pada menit ke 20 terdapat zona kritis pada bagian bawah lereng lapisan pasir Fm. Ngrayong, namun belum sampai pada nilai FK = 1 (Gambar IV-5). Parameter kohesi memiliki pengaruh yang dominan pada model dengan skala yang kecil. Variasi sedikit dari kohesi menyebabkan nilai FK turun dengan cepat. Sementara itu parameter koefisien permeabilitas, sudut geser dalam, relatif kurang berpengaruh pada skala model dengan ukuran kecil.
Gambar IV-5. Pemodelan FK dengan model lereng tak hingga. Nilai FK bagian paling bawah sekitar 1.2 pada saat 1200 detik (20 menit) dengan curah hujan 100 mm/jam. Longsor terjadi pada menit ke 30. Penurunan FS relatif cepat pada awal dengan kontrol utama adalah kohesi material. Berdasarkan model simulasi yang ada, gaya seepage belum memilki pengaruh pada pemodelan, disebabkan pertumbuhan muka airtanah yang masih berada terkonsentrasi pada zona bagian bawah (belum ada yang mencapai permukaan lereng).
29
IV.2.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta Pemodelan komputasi pada material pasir lempungan memperlihatkan nilai FK yang relatif berada di atas 1.5 pada waktu pemberian hujan yang cukup lama (12 jam). Pada kondisi asli, tanah pasir lempungan dengan sistem dua lapisan relatif susah untuk mengalami longsor hingga sekitar 12 jam. Diperlukan gaya seepage yang lama dan adanya aliran di kaki lereng untuk memicu longsoran.
Gambar IV-6. Pemodelan FK model lereng tak hingga untuk material pasir lempungan dengan waktu sekitar 12 jam, curah hujan 100 mm/jam. Pada model ini tidak terjadi longsoran. Penurunan FK relatif epat pada awal simulasi dengan kontrol utama parameter kohesi material. Tanah pasir lempungan sedikit lebih kohesif dibanding material pasir Fm. Ngrayong. IV.2.2 Daerah Lapangan (Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta) Faktor keamanan yang dihasilkan pada skala lapangan menunjukkan daerah secara dominan berada pada zona FK lebih dari 1 dan kurang dari 3 (Gambar IV-7). Zona yang paling rawan longsor berada di sisi selatan dan sisi utara. Daerah tengah relatif berada pada kondisi aman. Sementara itu dari kondisi di lapangan, daerah di bagian atas dan di bawah memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terlihat dari dipasangnya perkuatan oleh warga sekitar untuk menahan agar tidak terjadi gerakan tanah. Wilayah di barat dari zona dengan faktor keamanan yang tinggi umumnya memiliki tingkat faktor kestabilan lereng yang rendah saat dilihat di lapangan.
30
Gambar IV-7. Faktor keamanan pada skala lapangan, dengan panjang 135 m, lebar 100 meter.
IV.3 Metode Kesetimbangan Batas Longsoran Dangkal Analisa kesetimbangan batas memperlihatkan bahwa lereng pada skala laboratorium tergolong stabil Gambar IV-8. Kenaikan muka airtanah akibat hujan masih belum menyebabkan terjadinya longsor.
31
Gambar IV-8. Kestabilan lereng dengan metode kesetimbangan batas pada modul analog laboratorium dengan 1 lapisan. IV.4 Analisis Numerik Rembesan pada Lereng Rembesan secara numerik merupakan gabungan dari fungsi infiltrasi oleh Richards (1931) dan aliran Darcy. Kondisi batas yang diberikan adalah curah hujan dengan dua skenario, yaitu 40 mm/jam dan 100 mm/jam.
Gambar IV-9. Model aliran airtanah dalam lereng pada model lokasi lapangan.
32
IV.5 Modifikasi Kestabilan Lereng Tak Hingga Penguraian komponen vektor S (rembesan/seepage) pada zona jenuh di permukaan menjadi dasar modifikasi persamaan Faktor Keamanan untuk lereng tak hingga. Nilai 𝛽 (Persamaan (7), Gambar II-6) memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan kestabilan. Pada lereng tak hingga, kecenderungan nilai 𝛽 diambil dari kecepatan naiknya zona seepage pada tekuk lereng. Pada lereng dengan kecepatan kenaikan tekanan pori yang rendah, nilai 𝛽 cenderung lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang memiliki kecepatan kenaikan tekanan pori (build up seepage) yang lebih besar. Pada akhirnya ini menyebabkan bahwa nilai 𝛽
cenderung
mendekati horizontal pada zona dengan kecepatan naik muka airtanah yang tinggi. Formula dengan memberikan pengaruh dari seepage vector ini dipengaruhi oleh kekuatan kohesi material, sehingga menjadi dua opsi formula yang berbeda antara vektor pada zona kohesi rendah (cohesionless) dibandingkan dengan tanah yang kohesif (Nishigaki dkk., 1996). Implementasi vektor ini ditambahkan pada formula dasar faktor keamanan TRIGRS sehingga model memiliki fungsi gaya tekanan air pori secara lateral. Pada sisi teknisnya penguraian gaya tekanan pori dan arah rembesan sulit untuk diselesaikan dengan solusi analitis karena kompleksitas pergerakan infiltrasi air di dalam tanah. Oleh karena itu pendekatan numerik dapat diberikan untuk menguraikan gaya rembesan tersebut. Penguraian dua dimensi tersebut Secara umum modifikasi ini memberikan nilai kestabilan lereng yang lebih menggambarkan keadaan asli dari lereng, terutama pada saat muka airtanah naik dengan cepat. IV.5.1 Modul Analog IV.5.1.1 Material Pasir Ngrayong Pada material pasir nampak modifikasi formula memberikan pengurangan nilai pada perubahan sudut lereng di bagian bawah, dan membuat zona tersebut tidak stabil lebih cepat dibandingkan bila tanpa menggunakan formula modifikasi.
33
Gambar IV-10. Pemodelan FK lereng tak hingga dengan modifikasi gaya seepage pada material pasir Fm. Ngrayong. IV.5.1.2 Material Tanah Pasir Sindangkerta Pada material pasir lempungan, ketika zona pembentukan muka airtanah terlalu pelan dan runoff terlalu besar, maka waktu terjadinya seepage menjadi semakin lama. Dan pada akhirnya seepage yang terjadi juga kurang memiliki kekuatan vektor lateral sehingga tingkat kestabilan lereng tetap cukup tinggi di bagian tekuk lereng.
34
Gambar IV-11. Pemodelan FK lereng tak hingga dengan modifikasi gaya seepage pada material pasir lempungan. IV.5.2 Daerah Lapangan (Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta) Modifikasi seepage memberikan gambaran jelas berkurangnya stabilitas pada zona tekuk lereng, terutama pada saat terjadi kenaikan muka airtanah yang cepat hingga menyentuk permukaan lereng yang cekung tersebut. Daerah ini dapat terlihat di bagian utara, dan juga memperkuat ketidakstabilan di bagian selatan dari lapangan.
35
Gambar IV-12. Hasil modifikasi nilai FK pada skala lapangan, dengan mempertimbangkan faktor vektor rembesan (seepage vector).
36
Bab V
Kesimpulan
Penelitian dilakukan pada skala laboratorium dan skala lapangan untuk melihat proses perkembangan kestabilan lereng pada beberapa jenis material. Berdasarkan hasil yang teramati, material dengan komposisi pasir yang dominan lebih bagus untuk diamati perkembangan pergerakan massanya dibandingkan material dengan komposisi lempungan, terutama pada skala laboratorium. Proses longsoran dapat terlihat jelas pada material dengan komposisi pasir dengan gradasi material yang baik. Pada material yang mengandung fraksi lempung, proses erosi lebih dominan terjadi pada skala laboratorium. Rembesan pada bagian bawah lereng mempengaruhi kestabilan lereng. Longsoran pada material pasiran terjadi dengan didahului adanya rembesan air di bagian bawah lereng (toe). Gaya rembesan pada tekuk lereng dapat dimodelkan pada analisis kestabilan lereng tak hingga sehingga memberikan pengaruh pengurangan nilai Faktor Keamanan, Pengaruh rembesan (seepage) ini dikombinasikan dengan kurvature dari lereng, dimana gaya rembesan akan lebih besar pada morfologi dengan tekuk lereng negatif (cekung) dilihat dari arah aliran rembesan.
37
DAFTAR PUSTAKA Acharya, G., Cochrane, T. A., Davies, T., dan Bowman, E. (2009). The influence of shallow landslides on sediment supply: A flume-based investigation using sandy soil. Engineering Geology, 109, (161–169). Acharya, G., Cochrane, T., Davies, T., dan Bowman, E. (2011). Quantifying and modeling post-failure sediment yields from laboratory-scale soil erosion and shallow landslide experiments with silty loess. Geomorphology, 129, (49–58). Ahmadi-Adli, M., Toker, N. K., dan Huvaj, N. (2014). Prediction of Seepage and Slope Stability in a Flume Test and an Experimental Field Case. Procedia Earth and Planetary Science, 9, 189 – 194. Baum, R. L., Savage, W. Z., dan Godt, J. W. (2009). TRIGRS-A Fortran Program for Transient Rainfall Infiltration and Grid-Based Regional Slope- Stability Analysis, Version 2.0. United States Geological Survey. Cui, P., Guo, C., Zhou, J., Ming-huiHao, dan Xu, F. (2014). The mechanisms behind shallow failures in slopes comprised of landslide deposits. Engineering Geology, Vol. 180, (34–44). Das, B. M. (2010). Principles of Geotechnical Engineering (7 ed.). USA: Cengage Learning. Egeli, I., dan Pulat, H. F. (2011). Mechanism and modelling of shallow soil slope stability during high intensity and short duration rainfall. Scientia Iranica, 18, 9. Fredlund, D. G., dan Rahardjo, H. (1993). Soil mechanics for unsaturated soils. John Wiley & Sons. Iverson, R. M. (2000). Landslide triggering by rain infiltration. Water Resources Research, 36, 1897–1910. Iverson, R. M., dan Major, J. J. (1986). Groundwater seepage vectors and the potential for hillslope failure and debris flow mobilization. Water Resources Research, 22(11), 1543–1548. Iverson, R. M., Reid, M. E., dan LaHusen, R. G. (1997). Debris-flow Mobilization from Landslides. Annv. Rev. Earth Planet, 25, 85–138. Kartiko, R. D. (2009). Evaluation of Landslide Susceptibility in The Tropical Mountainous Region of Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, West Java (Thesis). Insitut Teknologi Bandung, Bandung. Kim, M. S., Onda, Y., Kim, J. K., dan Kim, S. W. (2015). Effect of topography and soil parameterisation representing soil thicknesses on shallow landslide modelling. Quaternary International, 384, 91–106. Koesmono, M., Kusnama, dan Suwarna, N. (1996). Geologic Map of The Sindangbarang and Bandarwaru Quadrangles, Jawa. Bandung: Geological Research and Development Agency of Indonesia. Liao, Z., Hong, Y., Fukuoka, H., dan Sassa, K. (2009). Evaluation of Physicallybased Model’s Predictive Skill for Hurricane-triggered Landslides: Case Study in North Carolina and Indonesia (Vol. 1, hal. 03). Dipresentasikan pada AGU Fall Meeting Abstracts. Liu, Q. Q., dan Li, J. C. (2015). Effects of Water Seepage on the Stability of Soilslopes. IUTAM Symposium on the Dynamics of Extreme Events Influenced 38
by Climate Change (2013), 17, 29–39. http://doi.org/10.1016/j.piutam.2015.06.006 Ni, P., Wang, S., Zhang, S., dan Mei, L. (2016). Response of heterogeneous slopes to increased surcharge load. Computers and Geotechnics, 78, 99–109. http://doi.org/10.1016/j.compgeo.2016.05.007 Nishigaki, M., Tohari, A., dan Komatsu, M. (1996). Stress and seepage vector system on stability analysis of hillslope. Proceeding of the China/Japan International Conference on Water Environments and Disaster Prevention, 160–166. Richards, L. A. (1931). Capillary conduction of liquids through porous mediums. Journal of Applied Physics, 1(5), 318–333. Seep/W. (2012). An Engineering Methodology : Seepage Modeling (July 2012). GEO-SLOPE International Ltd. Skempton, A. (1985). Residual strength of clays in landslides, folded strata and the laboratory*. Geotechnique, 35(1), 3–18. Tofani, V., Dapporto, S., Vannocci, P., dan Casagli, N. (2006). Infiltration, seepage and slope instability mechanisms during the 20-21 November 2000 rainstrom in Tuscany, central Italy. Natural Hazards and Earth System Sciences, 6, 1025–1033. Tohari, A., Nishigaki, M., dan Komatsu, M. (2000). Laboratory Experiements on Inititation of Rainfall-Induced Slope Failure with Moisture Content Measurement. van Bemmelen, R. W. (1949). The Geology of Indonesia, Vol.1,1A. Den Haag: Netherland Government Printing Office. Vandamme, J., dan Zou, Q. (2013). Investigation of slope instability induced by seepage and erosion by a particle method. Computers and Geotechnics, 48, 12.
39
LAMPIRAN
40
Lampiran A
Sifat fisik dan mekanik material
Tanah Pasir Sindangkerta Klasifikasi jenis tanah pada beberapa variasi sudut lereng modul analog seperti terlihat pada Tabel Lampiran 1. Modul analog awal bervariasi dari 15 hingga 45 derajat dengan tujuan untuk melihat proses longsoran yang terjadi di tiap sudut lereng. Namun pada akhirnya pada ketiga jenis lereng tersebut tidak terjadi longsor dan terjadi erosi yang ekstensif. Secara umum tanah yang digunakan adalah tanah pasir dengan karakter bergradasi buruk dan sebagian bergradasi baik. Kecenderungan nama tanah adalah pasir lanauan dengan karakter gradasi yang buruk. Hal ini menunjukkan pengaruh dari pelapukan residual Tuf yang tidak seragam bahkan dalam jarak yang berdekatan. Sampel tanah yang dimodelkan dalam skala laboratorium diambil dari lokasi seluas 4 x 1 m2. Tabel Lampiran 1. Klasifikasi jenis tanah yang digunakan dalam pemodelan analog Sampel Modul45_1 Modul45_2 Modul45_3 Modul30_1 Modul30_2 Modul30_3 Modul15_1 Modul15_2 Modul15_3
Nama pasir lempungan pasir lempungan pasir lanauan pasir lanauan pasir lanauan pasir lanauan pasir lanauan pasir lempungan pasir lanauan
Cu 9.29 16.13 8.67 7.87 8.40 7.19 6.83 10.26 6.16
Karakter Cc Tanah 0.27 poorly graded 1.86 well graded 0.90 poorly graded 0.73 poorly graded 0.65 poorly graded 0.63 poorly graded 1.48 well graded 1.85 well graded 0.78 poorly graded
Nama (USCS) SP SW SP SP SP SP SW SW SP
Plastisitas tanah modul analog relatif tinggi terlihat dari nilai indeks plastisitas pada Tabel Lampiran 2. Hal ini diperkirakan menyebabkan daya ikat yang menjadikan material susah untuk mengalami longsor pada skala laboratorium. Kohesi yang dibangun oleh plastisitas tanah tersebut diperkirakan membuat material menjadi stabil.
41
Tabel Lampiran 2. Plastisitas tanah modul analog
Tabel Lampiran 3. Koefisien permeabilitas (Konduktivitas hidraulik) jenuh tanah pasir, diuji dengan metode falling head
42
Tabel Lampiran 4. Nilai Kohesi dan sudut geser dalam dari Tanah Pasir Sindangkerta. Sampel Modul45_1 Modul45_2 Modul45_3 Modul30_1 Modul30_2 Modul30_3 Modul15_1 Modul15_2 Modul15_3
kohesi
Sudut geser dalam
koefisien permeabilitas
Kpa 3.18 2.18
˚ 30.43 29.28
cm/detik 2.54E-04 8.38E-05
1.40 1.14
29.86 28.89
2.31E-04 1.70E-04
0.67 0.58
29.08 30.63
2.83E-04 2.64E-04
Tanah Lanau Lempungan Sindangkerta Tanah lokasi yang dipilih untuk pemodelan analitik memiliki klasifikasi jenis tanah dari lanau dengan plastisitas rendah (ML), lanau plastisitas tinggi (MH), lempung plastistas rendah (CL) hingga lempung dengan plastistas tinggi (CL) seperti terlihat pada Tabel Lampiran 5. Sebanyak dua puluh sampel tanah pemboran dangkal dikumpulkan pada lokasi lapangan dan menunjukkan variasi yang cukup besar dalam luasan tanah sekitar 80 meter x 130 meter. Kohesi dan sudut geser dalam dari material dapat dilihat pada Tabel Lampiran 6 yang menunjukan nilai kohesi masih rendah untuk skala insitu yaitu di bawah 10 kPa. Sementara itu sudut geser dalam menunjukkan variasi dari 26° hingga 36° yang cukup wajar untuk tanah lempungan.
43
Tabel Lampiran 5. Densitas (KN/m3), void ratio, dan klasifikasi tanah pada lokasi lapangan di Desa Weninggalih. Sampel
Unit weight of solid
C-01 C-02 C-03 C-04 C-05 C-06 C-07 C-08 C-09 C-10 C-13 C-14 C-15 C-16 C-17 C-18 C-19 C-20 C-21 C-23
Void ratio (e)
14.95 13.01 13.15 13.07 14.40 15.31 14.12 15.30 14.79 13.66 14.65 14.22 13.78 14.52 14.85 13.92 13.86 14.51 13.80 13.21
0.47 0.52 0.52 0.52 0.54 0.49 0.47 0.49 0.46 0.53 0.47 0.48 0.53 0.56 0.47 0.53 0.48 0.47 0.52 0.68
Dry unit weight
Klasifikasi Tanah
14.95 MH 13.01 CH 13.15 MH 13.07 MH 14.40 ML 15.31 ML 14.12 CH 15.30 MH 14.79 MH 13.66 CL 14.65 CH 14.22 CL 13.78 CH 14.52 MH 14.85 MH 13.92 CH 13.86 MH 14.51 MH 13.80 CH 13.21 CH
Tabel Lampiran 6. Sebaran sudut geser dalam dan kohesi pada tanah di lokasi lapangan di Desa Weninggalih. Sampel C-01 C-05 C-06 C-08 C-09 C-13 C-15 C-17 C-18 C-21
Kohesi (kPa) Sudut geser dalam 6.53 26.19 4.36 36.41 4.36 23.26 4.41 31.58 6.53 26.19 4.80 36.41 5.12 26.19 5.88 31.58 3.71 36.41 5.23 26.19
44
Gambar Lampiran 1. Plot XRD data tanah residual tuf volkanik kedalaman 0,8 – 1,0 meter di lokasi Desa Weninggalih, Kecamatan Sindangkerta. Tabel Lampiran 7. Tabel jenis-jenis mineral pada tanah residual tuf volkanik kedalaman 0,8 – 1,0 meter di lokasi Desa Weninggalih, Kecamatan Sindangkerta
45
Gambar Lampiran 2. Lokasi sampel tanah Desa Weninggalih dan Sekitarnya dari penelitian sebeumnya (Kartiko, 2009). Tabel Lampiran 8. Sifat tanah di Desa Weninggalih dan sekitarnya dari penelitian sebelumnya (Kartiko, 2009).
46
Lampiran B
Kondisi longsoran dan tanah di daerah Bandung Selatan (Cililin, Sindangkerta)
Longsoran dangkal pada daerah Bandung Selatan terjadi secara periodik, salah satunya adalah longsoran di Kampung Radio, Desa Cililin (Gambar Lampiran 3) yang disertai dengan limpasan air permukaan yang cukup deras. Sudut lereng pada lokasi longsor berkisar pada 35º, dengan panjang longsoran mencapai 200 meter dengan lebar longsoran sekitar 10 meter, dan kedalaman bidang longsoran kurang dari 2 meter.
Gambar Lampiran 3. Longsoran dangkal pada tahun 2015 di sekitar Kecamatan Cililin, dengan batuan dasar adalah lava andesit. Tipikal longsoran di daerah Kecamatan Sindangkerta terjadi pada kebun/ladang dan sawah seperti terlihat pada Gambar Lampiran 4. Kedalaman bidang longsor umumnya kurang dari 2 meter, dengan lebar longsoran bervariasi dari 2 meter hingga 15 meter.
47
Gambar Lampiran 4. Longsoran dangkal di Desa Weninggalih, Kecamatan Sindagkerta.
Gambar Lampiran 5. Longsoran dan singkapan batuan pada lokasi lapangan desertasi di Desa Weninggalih. Batuan dasar tersingkap adalah tuf volkanik.
48
Gambar Lampiran 6. Longsoran di sekitar Desa Weninggalih dari studi sebelumnya (Kartiko, 2009).
49
Lampiran C
Foto-foto dan keterangan model analog laboratorium
Gambar Lampiran 7. Proses simulasi hujan dan longsoran pada modul dengan material satu lapisan berupa Pasir Ngrayong, pada hari pertama dengan pemberian curah hujan 40 mm/jam selama enam jam, dan kemudian hujan dihentikan.
Gambar Lampiran 8. Proses simulasi hujan dan longsoran material satu lapisan berupa Pasir Ngrayong, pada hari pertama dengan pemberian curah hujan 150 mm/jam selama 10 menit. Lereng mengalami longsor di bagian kaki pada zona rembesan, dan kemudian proses simulasi dihentikan.
50
Gambar Lampiran 9. Longsoran pada modul 2 lapisan dengan lapisan atas adalah Pasir Ngrayong.
Gambar Lampiran 10. Longsoran pada modul dengan dua lapisan dengan lapisan bagian atas Tanah Pasir Sindangkerta dengan ukuran lebih besar dari 0,282 mm (mesh 50).
51
Lampiran D
Hasil Lintasan Geolistrik Dua Dimensi
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61