ANALISIS TERMAL BIONANOKOMPOSIT FILLER SERAT KULIT ROTAN
AMINAH BALFAS
DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ABSTRAK AMINAH BALFAS. Analisa Termal Bionanokomposit Filler Serat Kulit Rotan. Dibimbing oleh SITI NIKMATIN dan ABDUL DJAMIL HUSIN. Telah dilakukan penelitian tentang analisa termal DTA dan DSC bionanokomposit matrik polipropillen filler nanopartikel serat kulit rotan dengan variasi filler dan surfaktan yang digunakan. Variasi filler yang digunakan adalah 5 % , 10 %, dan 15 %, sedangkan variasi surfaktan yang digunakan non-surfaktan dan tween 80. Hasil uji DTA matrik 99 % dengan puncak endoterm pertama 168.8 ºC, kedua 310 ºC, 346 ºC, dan keempat 456.8 ºC, serta puncak eksoterm 478.4, untuk uji DTA komposit filler fiber glass puncak endoterm pertama pada suhu 168.6 ºC, eksoterm pertama 233.6 ºC, kedua 392.2 ºC, dan ketiga 444.1. Uji DTA bionanokomposit maksimum terjadi pada komposisi filler 5 % dengan puncak endoterm pertama 166 ºC, kedua 232.7 ºC, ketiga 280.8 ºC, keempat 350.6 ºC, dan kelima 416.8 ºC, serta puncak eksoterm 277 ºC. perubahan entalpi (ΔH) pada puncak endoterm pertama ( + 468.3 K-1 J/g), puncak eksoterm 1 ( - 252 K-1 J/g ), puncak eksoterm 2 (-460.8 K-1 J/g ), puncak eksoterm 3 (-1030.7 K-1 J/g ), dan puncak eksoterm 4 (-11811.6 K-1 J/g), serta memiliki nilai kapasitas panas (cp) K 137724.55 J/ºC. Hasil uji DSC sebagai pembanding uji DTA dengan hasil pucak endoterm pertama 113.60 ºC, endoterm kedua 162.52. Variasi surfaktan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hasil uji DTA dan DSC. Secara keseluruhan ketahanan termal komposit filler nanopartikel serat kulit rotan sebanding filler fiber glass, karena matrik yang dominan berpengaruh pada ketahanan termal. Hasil uji SEM memperlihatkan ketidakhomogenan matrik dan filler. Kata kunci: Bionanokomposit, nanopartikel, matrik, filler, endoterm, eksoterm.
ANALISIS TERMAL BIONANOKOMPOSIT FILLER SERAT KULIT ROTAN
AMINAH BALFAS
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Fisika
DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Analisis Termal Bionanokomposit Filler Serat Kulit Rotan Nama
: Aminah Balfas
NIM
: G74080063
Disetujui
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Dr.Siti Nikmatin, S.Si, M.Si
Abdul Djamil Husin, M.Si
NIP. 19750819 200012 2001
NIP. 19690417 199702 1001
Diketahui Ketua Departemen Fisika
Dr. Akhiruddin Maddu, M.Si NIP. 19660907 198802 1006
Tanggal :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 06 Febuari 1991 dari pasangan Bapak Amir dan Ibu Atika Syuaib. Penulis merupakan putri pertama
dari
tiga
bersaudara.
Penulis
menyelesaikan masa studi di SDN 011 Jakarta selama enam tahun, kemudian melanjutkan ke MTSN 4 Jakarta selama tiga tahun dan melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas di MAN 7 Jakarta dan pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan sarjana strata satu di Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB. Penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan sebagai Duta Anti Korupsi IPB (DAK) 2009-2011. Selama perkuliahan penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi mahasiswa FMIPA IPB dan seminar-seminar baik di dalam maupun di luar kampus.
UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Analisis Termal Bionanokomposit Filler Serat Kulit Rotan. Penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana di Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Kedua orang tua saya Amir dan Atikah Syuaib yang selalu mendoakan, membimbing, menasehati dan banyak hal lainnya. 2. Adik (Afifah Balfas dan Aliyah Balfas) yang selalu memberikan canda tawa dan semangat. 3. Dr.Siti Nikmatin, S.Si, M.Si selaku pembimbing I yang telah memberi bimbingan, motivasi, kritik, dan saran. 4. Abdul Djamil Husin, M.Si selaku pembimbing II yang telah memberi bimbingan, motivasi, kritik, dan saran. 5. Dr Kiagus Dahlan selaku dosen penguji atas masukan dan sarannya. 6. Keluarga Besar saya di Jakarta terima kasih doanya. 7. Tim peneliti bionanokomposit Atin Arie Anggraeni, Dwi Kurniawati Safitri, Rizki Adistya, Doni Kurniawan, Feri Nurdin Ferdiyan yang telah bekerja sama, kalian rekan tim paling top. 8. Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Penelitian yang telah mendanai penelitian ini. 9. Seluruh Dosen Pengajar, Staf dan Karyawan di Departemen Fisika FMIPA IPB. 10. Seluruh Staf dan Pegawai IPB di lingkungan kampus. 11. Teman-temanku angkatan 45 terimakasih atas kebersamaan kalian. 12. Kakak-kakak kelasku 43 dan 44. 13. Adik-adik angkatan 46 dan 47. 14. Teman-teman ku di dwi regina yang selalu memberi canda tawa 15. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis ucapkan satu persatu, terimakasih banyak atas dukungannya. Akhir kata, dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk kemajuan penelitian ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya untuk kita semua. Amin.
Bogor, Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
ix
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................ 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.4 Hipotesis ......................................................................................
1 1 1 1 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 2.1 Rotan ............................................................................................ 2.2 Nanoteknologi .............................................................................. 2.3 Ultrasonikasi ................................................................................ 2.4 Komposit ...................................................................................... 2.5 Nanokomposit .............................................................................. 2.6 Polipropillen (PP) ......................................................................... 2.7 Copling Agent .............................................................................. 2.8 Sifat Termal .................................................................................
2 2 3 4 5 6 7 7 7
BAB 3 METODOLOGI ............................................................................. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................... 3.3 Metode Penelitian ..........................................................................
8 8 8 8
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................
9
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................
13
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
13
LAMPIRAN ..............................................................................................
16
DAFTAR TABEL Halaman 2
1 Kandungan kimia beberapa jenis rotan ........................................................
2 Formula bionanokomposit .....................................................................
9
3 Nilai puncak-puncak pada temogram DTA ..........................................
12
DAFTAR GAMBAR Halaman 4
1
Mekanisme terbentuknya kavitasi pada proses ultrasonikasi …..
2
Pembagian komposit berdasarkan bentuk dari penguatnya ……..
5
3
Ilustrasi komposit berdasarkan susunan penguatnya …….………
5
4
Reaksi endoterm (a) dan reaksi eksoterm (b) …………………….
8
5
8
Hasil uji DTA dengan komposisi filler 5% dan matrik 94%, nonsurfaktan (a), surfaktan (b) ……………………………………….. Hasil uji DTA dengan komposisi filler 10% dan matrik 89%, nonsurfaktan (a), surfaktan (b) …………………………………….. Hasil uji DTA dengan komposisi filler 15% dan matrik 84%, nonsurfaktan (a), surfaktan (b) ……………………………………….. Hasil uji DTA dengan komposisi matrik 99% …………………….
9
Hasil uji DTA komposit dengan komposisi fiber glass dan PP ……
11
10
Hasil uji DSC matrik PP dan filler nanopartikel serat kulit rotan…………
12
Hasil uji DSC matrik PP dan filler fiber glass…………………………….
12
Hasil uji karakterisasi SEM………………………………………………..
13
6 7
11 12
`
10 10 11 11
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Skema alur penelitian…………………………………………………….
16
2 Perhitungan komposisi bionanokomposit ..............................................
17
3 Sintesa nanopartikel serat kulit rotan ......................................................
18
4 Sintesa bionanokomposit ......................................................................
19
5 Tabel puncak DTA ................................................................................
19
6 Perhitumgan perubahan entalpi (ΔH) ......................................................
21
7 Perhitumgam kapasitas panas (Cp) .........................................................
22
8 Hasil uji DTA matrik polietilena dan filler serat serbuk padi ................
23
1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada perkembangan era modern saat ini kebutuhan akan komposit sudah menjadi kebutuhan pokok yang sangat lazim digunakan dalam kebutuhan industri seharihari.1Pemanfaatan polimer sudah meliputi berbagai aspek kehidupan. Industri-industri polimer berkembang pesat selama beberapa puluh tahun terakhir, bahkan industri polimer dapat dipandang sebagai industri dasar dalam negara. Faktor utama yang menyebabkan pesatnya industri polimer adalah bahan-bahan polimer dapat memenuhi spektrum luas dari kehidupan, kualitasnya dapat ditingkatkan lewat pengubahan struktur kimia, penambahan aditif seperti pengisi, penstabil dan pewarna serta memiliki sifat yang mengguntungkan mudah dibentuk (easy printability), fleksibel dan tahan karat. Untuk itu komposit tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, sebagai contoh adalah rangka mesin cuci, frame kaca mata, furnitur, badan mobil, dan sebagainya. Teknologi pembuatan komposit telah berkembang secara pesat dewasa ini, karena material komposit mampu mengabungkan beberapa sifat material yang berbeda karakteristiknya menjadi sifat yang baru dan sesuai dengan desain yang direncanakan.1 Komposit terdiri atas dua bagian yaitu berdasarkan penguatnya dan matriknya. Salah satu penguat pada komposit adalah fiber. Jenis fiber sintesis yang banyak digunakan di industri adalah fiber glass. Fiber glass banyak dipergunakan karena memiliki banyak keuntungan diantaranya tahan korosi dan aus, sifat mekanik dan titik leleh (Tm) yang tinggi. Sementara itu kekurangan dari fiber glass adalah material sintetis yang unsur-unsur penyusunnya merupakan zat kimia yang berasal dari minyak bumi, dalam proses pembuatannya meninggalkan residu yang berbahaya bagi lingkungan, kemudian hari dapat merugikan manusia dan alam. Untuk itu pengembangan rekayasa material dibutuhkan bahan alternatif penyusun komposit yang ramah lingkungan salah satunya adalah serat kulit rotan.2 Ada alasan penting dalam pemanfaatan serat alami kulit rotan. Merupakan material ramah lingkungan, dan densitas rendah (ringan). Indonesia memiliki luas hutan 143 juta hektar diperkirakan hutan yang ditumbuhi rotan seluas kurang lebih
13.20 juta hektar, yang tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan pulau-pulau lain yang memiliki hutan alam, yang pemanfataannya belum maksimal.3 Dalam penelitian ini dibuat komposit dengan matriks polipropillen (PP) dengan filler nanopartikel serat kulit rotan. Komposit dari jenis ini biasa disebut bionanokomposit. Bionanokomposit dibuat dengan metode cetak tekan dengan memvariasikan komposisi dari filler. Bionanokomposit ini dikarakterisasi dengan menggunakan Differential Thermal Analysis (DTA) dan Differential Scanning Calorimetry (DSC). Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan bionanokomposit dengan karakteristik termal yang tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan komposit yang menggunakan filler fiber glass.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah: 1. Apakah komposit filler serat kulit rotan memiliki karakteristik termal yang tidak jauh berbeda dengan komposit filler fiber glass? 2. Bagaimana pengaruh konsentrasi filler (nanopartikel serat kulit rotan) terhadap sifat termal bionanokomposit?
1.3. Tujuan Penelitian 1. 2.
Tujuan dalam penelitian ini adalah : Sintesa bionanokomposit filler nanopartikel serat kulit rotan Karakterisasi termal bionanokomposit filler serat kulit rotan dengan menggunakan DTA dan DSC.
1.4 Hipotesis Filler nanopartikel serat kulit rotan pada bionanokomposit dapat menghasilkan sifat termal komposit yang tidak jauh berbeda dengan komposit yang menggunakan fiber glass.
2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Rotan Rotan berasal dari bahasa melayu “raut” yang berarti mengupas atau menguliti. Tanaman ini berjenis family palmae yang tumbuh memanjat (Lepidocaryodidae). Struktur anatomi batang rotan yaitu tumbuhan berbiji tunggal (monokotil). Seperti pada umumnya tanaman monokotil, bagian tengah batang mempunyai struktur yang berbeda dengan bagian dekat kulit. Bagian tengah memiliki frekuensi ikatan pembuluh jarang, dinding sel tipis, ikatan pembuluh tersebar secara merata dengan bentuk bundar dan diameter pembuluh, phloem dan protoxylem lebih besar. Sedangkan bagian dekat kulit mempunyai susunan ikatan pembuluh lebih padat, dinding sel lebih tebal dan diameter pembuluh metaxylem, phloem dan protoxylem lebih kecil.4 Penampang lintang rotan dapat dipisahkan menjadi tiga bagian yaitu kulit, kortek dan bagian tengah batang. Bagian kulit terbagi atas dua macam lapisan yaitu epidermis sebagai lapisan terluar dan endodermis di lapisan dalam. Lapisan endodermis adalah lapisan yang sangat keras, sel-selnya tidak berlignin dan lapisan dinding tangensialnya mengandung endapan silika yang dilapisi oleh lilin dan tebalnya mencapai 70 mikron.3 Hasil paling penting dari rotan adalah rotan batangan, yaitu batang rotan yang pelepah daunnya telah dihilangkan. Batang rotan sering dikelirukan dengan bambu dan bila diproses menjadi bilah-bilah, sulit untuk dibedakan. Bambu hampir selalu berongga, dan bahkan dalam beberapa spesies yang tak berongga, sukar dibengkokkan. Rotan selalu padat dan biasanya dapat dengan mudah dibengkokkan tanpa deformasi yang nyata. Pengembangan industri pengolahan komposit dengan bahan baku kulit rotan saat ini mempunyai arti yang sangat penting yaitu dari segi pemanfaaatan sumber daya alam yang belum termanfaatkan secara maksimal.3 Struktur anatomi batang rotan yang berhubungan erat dengan menentukan keawetan dan kekuatan rotan antara lain adalah besar pori dan tebalnya dinding sel serabut. Sel serabut diketahui merupakan komponen struktural yang memberikan kekuatan pada rotan. Tebal dinding sel serabut
merupakan parameter anatomi yang paling penting dalam menentukan kekuatan rotan, dinding yang lebih tebal membuat rotan manjadi lebih keras dan lebih berat. Sel-sel serabut yang berdinding tebal menunjang fungsi utama sebagai penunjang mekanis. Komponen kimia rotan juga penting dalam menentukan kekuatan dan keawetan rotan. Kulit rotan adalah material yang tersusun atas selulosa, hemiselulosa dan lignin. Secara umum kandungan kimia beberapa jenis rotan dapat dilihat dari daftar Tabel 1 dibawah. Komponen kimia rotan penting dalam menentukan kekuatan rotan. Selulosa yaitu molekul gula linear berantai panjang termasuk ke dalam holoselulosa. Bentuk polimer ini memungkinkan selulosa saling menumpuk dan terikat menjadi bentuk serat yang sangat kuat. Panjang molekul selulosa ditentukan oleh jumlah monomer di dalam polimer (derajat polimerisasi/DP). DP selulosa tergantung pada jenis tanaman dan umumnya dalam kisaran 200-27.000 unit glukosa. Selulosa dapat disenyawakan dengan asam anorganik seperti asam nitrat, asam sulfat, dan asam fisfat. Molekul-molekul selulosa yang terdapat pada tiap lapisan mempunyai susunan arah melingkar yang berbeda. Dinding serat dapat dibedakan menjadi dua yaitu dinding primer yang merupakan lapisan paling luar dari serat dan dinding sekunder yaitu lapisan dibawah dinding primer.5 Tabel 1 Kandungan kimia beberapa jenis rotan3 Holoselulos a (%)
Selulo sa (%)
Ligni n (%)
Pati (%)
Sampang
71.49
42.89
24.41
19.6
Semambu
70.07
37.36
22.19
21.4
Balubuk
73.34
42.35
24.03
20.9
Batang
73.78
41.09
24.21
20.6
Manau
71.45
39.05
22.22
18.5
Jenis Rotan
3
Selulosa berfungsi memberikan kekuatan tarik pada batang, karena adanya ikatan kovalen yang kuat dalam cincin piranosa dan antar unit gula penyusun selulosa.5 Selain selulosa yang sangat penting juga adalah lignin. Lignin adalah merupakan suatu polimer yang komplek dengan berat molekul yang tinggi. Lignin juga berfungsi memberikan kekuatan pada batang dan makin tinggi kadar lignin dalam rotan makin kuat rotan karena ikatan antar serat juga makin kuat.
2.2 Nanoteknologi Semakin maju peradaban manusia maka permasalahan yang dihadapi menjadi sangat kompleks dan menantang. Tak jarang solusi yang harus dimunculkan memerlukan perhatian sampai pada ukuran yang sangat kecil yang sebelumnya belum pernah terpikirkan oleh manusia. Pengenalan dan pemahaman akan ilmu dan teknologi nano sangat terkait dengan definisi nano, struktur nanomaterial dan konsep teknologi nano. Nanosains adalah ilmu yang mempelajari sifat–sifat unik yang muncul ketika ukuran mendekati skala nanometer sedangkan nanoteknologi adalah rekayasa dari material fungsional, alat, dan sistem melalui pengontrolan benda pada skala dari 1-100 nanometer, dan eksploitasi dari fenomena pada skala tersebut.6 Nano adalah satuan panjang sebesar sepertriliun meter (1 nm = 10-9 m). Perbandingan antara 1 meter dengan 1 nanometer adalah seperti halnya perbandingan antara bola bumi dengan bola pingpong. Mula-mula, tubuh kita berada di dunia berskala meter. Kemudian bagian tubuh manusia yang berskala 10-3 atau milimeter adalah tahi lalat. Selanjutnya, yang berskala 10-6 dari itu atau mikrometer adalah diameter rambut (80 µm), sel tubuh atau sel darah merah (20 µm). Deoxyribonucleic acid (DNA) merupakan bahan nano alami dengan lebar pita gen sebesar 2 nm.7 Bahan nano merupakan jembatan antara atom atau molekul dari bahan berukuran mikrometer (1 nm = 10-3 µm). Apabila nanometer dibagi lagi menjadi sepersepuluhnya, akan sampai pada besaran atom (0.1 nm = 1 Å). Penyusunan ulang atomatom dalam nanoteknologi mencapai tahap penyusunan ulang struktur atom individual, jadi bukan lagi tumpukan atom, (c) d =sehingga 2 nm ketepatannya semakin presisi dan biaya produksi semakin murah. Satu aspek lain yang
sangat menarik dari nanoteknologi adalah kemampuan untuk duplikasi diri secara otomatis. Konsep ini memiliki kesamaan dengan kemampuan reproduksi makhluk hidup. Sel-sel dalam tubuh (tersusun dari atom-atom) memiliki kemampuan memperbaiki diri sehingga sel-sel yang rusak dan mati selalu digantikan dengan sel baru yang sehat.8 Hal utama yang membuat nanomaterial memiliki sifat unik yaitu karena ukurannya yang kecil, nanomaterial memiliki nilai perbandingan antara luas permukaan dan volume yang lebih besar jika dibandingkan dengan material sejenis dalam ukuran besar. Hal ini membuat nanomaterial bersifat lebih reaktif. Reaktivitas material ditentukan oleh atom-atom di permukaan, karena hanya atomatom tersebut yang bersentuhan langsung dengan material lain. Ketika ukuran partikel menuju orde nanometer, maka hukum fisika yang berlaku lebih didominasi oleh hukumhukum fisika kuantum. Sifat-sifat yang berubah pada nanopartikel yang berkaitan dengan fenomena kuantum adalah sebagai akibat keterbatasan ruang gerak elektron dan pembawa muatan lainnya dalam partikel. Fenomena ini merubah sifat material seperti perubahan warna yang dipancarkan, transparansi, kekuatan mekanik, konduktivitas termal, dan magnetisasi. Adanya perubahan rasio jumlah atom yang menempati permukaan terhadap jumlah total atom dapat mempengaruhi perubahan titik didih, titik beku, dan reaktivitas kimia. Perubahanperubahan tersebut merupakan keunggulan nanopartikel dibandingkan dengan partikel sejenis dalam keadaan bulk .9 Beberapa efek penting yang dimiliki materi jika ukurannya diperkecil menuju skala nano misalnya pada sifat termal. Nanomaterial memiliki titik lebur yang lebih rendah dan panas spesifik yang lebih tinggi dibanding sifat bulk-nya. Kemudian reduksi ukuran skala nano akan menurunkan suhu sintering dan suhu pengkristalandikarenakan kandungan energi permukaannya yang tinggi. Hal yang sama juga terjadi pada sifat listrik nanomaterial yang dapat mempunyai energi lebih besar dari pada material ukuran biasa karena memiliki surface area yang besar. Hal ini berkaitan dengan resistivitas listrik yang mengalami kenaikan dengan berkurangnya ukuran partikel. Contohnya material yang bersifat isolator dapat bersifat konduktor ketika berskala nano (nano keramik).10
4
2.3 Ultrasonikasi Ultrasonikasi merupakan teknik pemberian gelombang ultrasonik. Gelombang ultrasonik memiliki frekuensi melebihi batas pendengaran manusia, yaitu di atas 20 kHz. Gelombang suara ultrasonik dapat didengar dan digunakan sebagai alat komunikasi oleh pendengaran beberapa jenis binatang, seperti anjing, kelelawar dan lumba-lumba.11 Penggunaan gelombang ultrasonik (sonikasi) dalam pembentukan materi berukuran nano sangatlah efektif. Gelombang ultrasonik banyak diterapkan dalam berbagai bidang antara lain dalam instrumentasi, kesehatan dan sebagainya. Salah satu yang terpenting dari aplikasi gelombang ultrasonik adalah pemanfaatannya dalam menimbulkan efek kavitasi akustik. Kavitasi merupakan proses pecahnya gelembung pada fluida akibat penurunan tekanan secara tiba-tiba dalam suhu konstan.12 Interaksi gelombang ultrasonik dengan molekul-molekul terjadi melalui media cairan. Ketika gelombang ultrasonik melalui medium sebagai gelombang dapat meningkatkan terjadinya reaksi kimia. Meningkatnya reaksi kimia disebabkan terbentuknya ion dan partikel yang teraktivasi akibat pemberian gelombang ultrasonik yang kemudian terperangkap dalam gelembung. Metoda ultrasonikasi memanfaatkan efek kavitasi yang terjadi ketika gelombang ultrasonik merambat didalam cairan. Sonikasi pada cairan memiliki berbagai parameter, seperti frekuensi, tekanan, temperatur, viskositas, dan konsentrasi. Frekuensi ultrasonik naik akan mengakibatkan produksi dan intensitas gelembung kavitasi dalam cairan menurun.13 Efek ultrasonik pada polimer adalah pemutusan dan pembentukan ikatan, sehingga memungkinkan terjadi perubahan struktur. Dalam proses kavitasi terbentuk gelembung yang berasal dari salah satu fasa yang didispersikan dalam fasa yang lain. Pada proses sonikasi terjadi siklus perendaman gelombang dimana terjadi penurunan energi mekanik terhadap waktu dan resonansi. Hal inilah yang menyebabkan nanopartikel yang terkungkung di dalamnya dapat juga terpisah satu sama lain sehingga didapatkan nanosfer dengan ukuran kecil.15 Penggunaan gelombang ultrasonik sangat efektif dalam pembentukan materi berukuran nano. Gelombang ultrasonik banyak diterapkan pada berbagai bidang seperti bidang instrumentasi, kesehatan dan
sebagainya. Salah satu yang terpenting dari aplikasi gelombang ultrasonik adalah pemanfaatannya dalam pembuatan bahan berukuran nano dengan metode emulsifikasi.14 Kavitasi adalah peristiwa pembentukan, pertumbuhan, dan meledaknya gelembung didalam cairan yang melibatkan sejumlah energi yang sangat besar. Fenomena ini yang dimanfaatkan untuk mereduksi partikel yang dilarutkan dalam cairan antara lain melalui proses tumbukan antar partikel hingga diperoleh partikel berukuran nanometer.11 Mekanisme terbentuknya kavitasi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gelembung kavitasi membesar berlawanan dengan tekanan
Gelembung mamaksimum
Gelembung meledak
Gelembung baru
Gambar 1 Mekanisme terbentuknya kavitasi pada proses ultrasonikasi.15
5
2.4 Komposit Kata komposit (composite) merupakan kata sifat yang berarti susunan atau gabungan. Komposit berasal dari kata kerja to compose yang berarti menyusun atau menggabung. Material komposit didefinisikan sebagai kombinasi antara bentuknya, komposisi kimianya, dan tidak saling melarutkan dimana material yang satu berperan sebagai penguat dan yang lainnya sebagai pengikat, sehingga akan terbentuk material baru yang lebih baik dari material penyusunnya.2 Komposit disusun dari dua komponen yaitu matrik atau resin, dan penguat (reinforcement) atau ada juga yang menyebut filler. Filler dapat berupa struktur, partikel atau serat yang berfungsi sebagai penguat dimana distribusi regangan yang diterima oleh komposit akan diteruskan ke filler. Serat dapat berasal dari alam (kenaf, kulit rotan, rami dll) maupun sintesis (fiber glass, carbon fiber, dll).1 Klarifikasi komposit berdasarkkan matrik digolongkan dalam tiga kelompok besar yaitu : a. Komposit matrik logam (KML) b. Komposit matrik polimer (KPM) c. Komposit matrik keramik (KMK) Adapun pembagian komposit berdasarkan penguatnya dapat diklarifikasikan menjadi 3 macam yaitu (Gambar 2 dan 3): 1. Fibrous composites materials, penguatnya berbentuk serat 2. Structural composites materials, penggabungan material komposit 3. Particulate composite materials, penguatnya berbentuk partikel
Gambar 2 Pembagian komposit berdasarkan bentuk dari penguatnya.
Gambar 3 Ilustrasi komposit berdasarkan susunan penguatnya. Material komposit partikel merupakan komposit yang menggunakan partikel atau serbuk sebagai penguatnya dan terdistribusi secara merata dan matriknya. Ukuran partikel atau serbuk dapat berupa mikrometer atau nanometer sesuai dari kebutuhan aplikasinya. Komposit partikel bersifat isotropis, merupakan produk yang dihasilkan dengan menempatkan partikel-partikel dan sekaligus mengikatnya (ikatan antar muka) dengan suatu matrik bersama-sama dengan satu atau lebih unsur-unsur penyusunnya.16 Komposit dengan penguatan serat dan partikel adalah jenis komposit yang paling sering dipakai dalam aplikasi. Hal ini karena komposit jenis ini memiliki keunggulan terhadap sifat kekuatan tarik dan kekakuan. Material komposit akan bersinergi dalam sifat fisis dan mekanik bila memiliki sebuah sistem yang mempersatukan material-material penunjang untuk mencapai sebuah sifat material yang baru. Aspek penting yang menunjukan karakteristik dari komposit tersebut adalah optimasi dari ikatan antar muka filler dan matrik, dimana antara keduanya tidak terjadi reaksi kimia dan tidak larut satu sama lain.16 Filler adalah bahan pengisi yang digunakan dalam pembuatan komposit. penambahan filler ke dalam matrik bertujuan mengurangi densitas, meningkatkan kekakuan, mengurangi biaya per unit volume. Serat dapat berasal dari alam maupun sintesis. Paduan antara matrik dan serat dari alam disebut biokomposit.1 Biokomposit yang diperkuat serat dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu biokomposit serat pendek (Short Fiber Composite) dan biokomposit serat panjang (Long Fiber Composites).2 Orientasi atau arah serat mempengaruhi jumlah serat yang dapat diisikan ke dalam matrik dan dapat menentukan kekuatan termal maksimum biokomposit. Makin cermat penataannya, makin banyak penguat yang dapat dimasukkan.
6
Berikut ini beberapa karakteristik umum yang harus dipenuhi filler agar kondisi/komposisi optimal sebuah komposit dapat dicapai: 1. Serat harus mampu menerima perubahan gaya dari matrik dan mampu menerima gaya yang bekerja padanya oleh sebab itu serat harus memiliki kelenturan dan tensile strength yang lebih tinggi dari matrik. 2. Sifat termal yang seragam di antara serat 3. Faktor orientasi serat akan menentukan kekuatan mekanis dari biokomposit. Ada tiga jenis orientasi serat yaitu penguatan satu dimensi, dua dimensi dan tiga dimensi. Jenis penguatan serat satu dimensi memiliki kekuatan dan modulus komposit yang maksimum dalam arah orientasi sumbu serat. Jenis penguatan dua dimensi menunjukan kekuatan yang berbeda pada setiap arah orientasi serat. Sedangkan jenis penguatan tiga dimensi adalah isotropik, artinya komposit akan memiliki kek.uatan yang sama pada satu titik. 4. Serat alam yang akan digunakan dalam biokomposit seharusnya memiliki densitas lebih kecil dari matriknya.2 Matrik dalam struktur komposit bisa berasal dari bahan polimer, logam, maupun keramik. Matrik secara umum berperan membentuk dan mengikat serat dalam struktur komposit. Sementara itu karakteristik matrik dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Sebagai bahan penyusun utama dari komposit, matrik harus dapat mengikat dan kompatibel dengan serat sehingga beban yang diterima bahan dapat diteruskan ke serat secara maksimal sehingga diperoleh komposit yang optimal dan stabil selama proses manufaktur. 2. Matrik memiliki modulus elastisitas lebih rendah dari fiber. 3. Komposisi optimal matrik terhadap filler dalam komposit adalah % berat matrik lebih besar dari % berat filler. 4. Membentuk komposit dengan mengikat serat menjadi satu kesatuan struktur. 5. Melindungi serat dari kerusakan akibat kondisi lingkungan (mencegah
timbulnya perambatan crack daru suatu fiber ke fiber lain). 6. Membentuk sifat termal yang lebih baik dari filler.2
2.5 Nanokomposit Nanokomposit merupakan material padat multi fase, dimana setiap fase memiliki satu, dua, atau tiga dimensi yang kurang dari 100 nanometer (nm), atau struktur padat dengan dimensi berskala nanometer yang berulang pada jarak antar bentuk penyusun struktur yang berbeda. Material-material dengan jenis seperti itu terdiri atas padatan anorganik yang tersusun atas komponen organik. Contoh nanokomposit yang ekstrem adalah media berporos, koloid, gel, dan kopolimer. Nanokomposit dapat ditemukan di alam, contohnya adalah kulit tiram dan tulang.17 Ikatan antar partikel yang terjadi pada material nanokomposit memainkan peran penting dalam peningkatan dan pembatasan sifat material. Partikel-partikel yang berukukuran nano itu mempunyai luas permukaan interaksi yang tinggi. Makin banyak partikel yang berinteraksi material semakin kuat. Inilah yang membuat ikatan antarpartikel makin kuat, sehingga konduktifitas termalnya semakin tinggi. Namun penambahan partikel-partikel nano tidak selamanya akan meningkatkan sifat termal, ada batas tertentu yang mana saat dilakukan penambahan, sifat termal justru makin berkurang. Namun pada umumnya, material nanokomposit menunjukkan perbedaan sifat termal, mekanik, listrik, optik, elektrokimia, katalis, dan struktur dibandingkan dengan material penyusunnya.18 Bahan nanokomposit mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan bahan konvensional seperti logam. Nanokomposit juga memiliki sifat termal yang dapat diatur, ketahanan lelah (fatigue resistance) yang baik, tahan korosi, dan memiliki kekuatan jenis (rasio kekuatan terhadap berat jenis) yang tinggi.18 Beberapa aplikasi penting teknologi yang didasarkan material nano antara lain produksi bubuk nano keramik dan material lain, nanokomposit, pengembangan sistem nanoelektrokimia, aplikasi penggunaan tabung nano untuk menyimpan hidrogen, chip DNA dan chip untuk menguji kadar logam dalam kimia ataupun biokimia. Teknologi nano juga digunakan dalam mendeteksi gen maupun
7
mendeteksi obat dalam bidang kedokteran. Selain itu, juga dapat digunakan dalam alatalat nanoelektronik. Pengembangan teknologi nano lebih lanjut dapat diaplikasikan dalam pebuatan laser jenis baru, nanosensor, nanokomputer (yang berbasis tabung nano dan material nano), dan banyak lagi aplikasi lainnya.19
2.6 Polipropillen (PP) Polipropillen (PP) adalah sebuah polimer termo-plastik yang dibuat oleh industri kimia dan digunakan dalam berbagai aplikasi, diantaranya pengemasan tekstil, alat tulis, berbagai tipe wadah terpakaikan ulang serta bagian plastik, perlengkapam labolatorium, pengeras suara, komponen otomotif, dan uang kertas polimer.20 Polipropillen dapat mengalami degradasi rantai saat terkena radiasi ultraviolet dan sinar matahari. Jadi untuk penggunaan PP di luar ruangan, bahan aditif yang menyerap ultraviolet harus digunakan. Polimer dapat dioksidasi pada suhu tinggi, merupakan masalah yang umum dalam pencetakan. Antioksidan normalnya ditambahkan untuk mencegah degradasi dan oksidasi polimer.20 Kebanyakan polipropillen komersial merupakan isotaktik dan memiliki kristalinitas tingkat menengah di antara polietilena berdensitas rendah dengan polietilena berdensitas tinggi. Melalui penggabungan partikel karet, PP bisa dibuat menjadi liat serta fleksibel, bahkan di suhu yang rendah. Hal ini membolehkan polipropillen digunakan sebagai pengganti berbagai plastik teknik, seperti ABS. Polipropillen memiliki permukaan yang tak rata, seringkali lebih kaku daripada beberapa plastik yang lain, lumayan ekonomis, dan bisa dibuat bening saat tidak berwarna tidak transparan polistirena, akrilik maupun plastik tertentu lainnya. Bisa dibuat buram dan berwarna-warni melalui penggunaan pigmen, Polipropillen memiliki resistensi yang sangat bagus terhadap kelelahan (bahan). Polipropillen memiliki titik lebur ~160 °C (320 °F), sebagaimana yang ditentukan Differential Scanning Calorimetry (DSC).21
2.7 Coupling agent Coupling agent adalah suatu zat yang menghubungkan setiap konsituen agar terbentuk sistem yang saling melarutkan dan mempengaruhi adhesi dan tegangan. Adhesi akan semakin besar dan tegangan akan turun dengan penambahan coupling agent akibatnya
akan terbentuk sistem yang saling melarutkan. Pada pembuatan komposit fungsi dasar dari coupling agent adalah unutk meningkatkan gaya adhesi dan menurunkan energi interfacial antara filler dengan matrik.22 Salah satu jenis coupling agent yang sering digunakan adalah polipropillenaanhidrida maleat (PPMA). PPMA mempunyai kekentalan yang rendah pada saat leleh, sehingga fleksibilitasnya tinggi dan lebih agresif mengikat matrik polipropillen.22
2.8 Sifat Termal Sifat termal suatu bahan merupakan salah satu sifat yang cukup penting, untuk diketahui agar bahan dapat dimanfaatkan secara optimal. Untuk mengetahui sifat termal suatu bahan diperlukan suatu metode pengukuran yang disebut analisis termal. Analisis termal dapat diindentifikasikan sebagai pengukuran sifat fisik bahan yang merupakan fungsi dari suhu. Analisis ini dapat menentukan sifat spesifik seperti entalpi, kapasitas kalor, dan koefisien termal bahan.23 Salah satu teknik untuk analisis termal adalah Differential Thermal Analysis (DTA) dan Differential Scanning Calorimetry (DSC) . Analisa termal diferensial adalah teknik dimana suhu dari sampel dibandingkan dengan material inert selama perubahan suhu terprogram. Perbedaan suhu antara sampel dengan bahan referen sebagai fungsi dari suhu pemanasan terprogram. Suhu sampel dan referen akan selalu sama sampai suatu saat terjadi peristiwa termal seperti pelelehan, dekomposisi atau perubahan struktur Kristal terjadi pada sampel. Perbedaan suhu keduanya terus dideteksi dan dicatat sebagai suatu puncak kurva. Pada reaksi endotermik, suhu sampel lebih rendah daripada suhu referen dan sebaliknya bila suhu sampel lebih tinggi daripada suhu referen, maka terjadi reaksi eksotermik.24 Analisa DSC dan DTA digunakan untuk mempelajari transisi fase, seperti melting, suhu transisi gelas (Tg), atau dekomposisi eksotermik, serta menganalisa kestabilan terhadap oksidasi, kapasitas panas suatu bahan, dan perubahan eltalpi dari bahan.24 Perubahan entalpi (ΔH) positif menunjukan bahwa dalam perubahan terdapat penyerapan kalor atau pelepasan kalor. Reaksi kimia yang melepaskan atau mengeluarkan kalor disebut reaksi eksoterm, sedangkan reaksi kimia yang menyerap kalor disebut reaksi endoterm (Gambar 4).
8
Pada reaksi endoterm, sistem menyerap energi. Oleh karena itu entalpi sistem akan bertambah, artinya entalpi produk (Hp) lebih besar daripada entalpi pereaksi (Hr). Akibatnya, perubahan entalpi merupakan selisih antara entalpi produk dengan entalpi pereaksi (Hp-Hr) bertanda positif. Sehingga perubahan entalpi suatu reaksi endoterm dapat dinyatakan: Sebaliknya, pada reaksi eksoterm sistem membebaskan energi sehingga entalpi sistem akan berkurang artinya entalpi produk lebih kecil daripada entalpi pereaksi. Oleh karena itu perubahan entalpinya bertanda negatif. Sehingga perubahan entalpi suatu reaksi eksoterm dapat dinyatakan: ΔH = Hp - Hr < 0 Besar nilai perubahan entalpi pada kurva DTA (lihat lampiran 5 dan 6, halaman 43) dapat diketahui dengan menghitung luas area peak, dinyatakan dalam persamaan: Luas area peak (A) = ± ΔH x m x K A = luas area peak (m2) ΔH = perubahan entalpi (J/g) m = massa sampel (g) K = nilai dari factor kalibrasi (cm2/ J)
BAB 3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Fisika Material, Departemen Fisika, PTBIN BATAN puspitek serpong, dan Lipi Fisika dari bulan Febuari 2012 sampai dengan bulan Juni 2012.
3.2 Alat dan Bahan Bahan utama yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah nanopartikel serat kulit rotan (Filler), fiber glass (Filler), polipropillen (Matrik), dan coupling agent (CA). Sedangkan alat yang digunakan adalah gelas ukur, cetak tekan, cetakan dari alumunium, DTA, DSC, dan SEM.
3.3 Metode Penelitian Tahapan penelitian ini meliputi tahapan sintesa nanopartikel serat rotan, sintesa bionanokomposit yang dilanjutkan dengan katerisasi DTA.
Sintesa Nanopartikel Serat Kulit Rotan Kapasitas kalor dapat ditentukan dengan perumusan berikut : Cp = Cp = kapasitas kalor (J/ ºC) K = konstanta kalibrasi (J kg/s) T2 = suhu cawan kosong (ºC) T1 = suhu sampel pada cawan(ºC) m = massa sampel (kg) H = laju pemanasan rata-rata (ºC/s)
Berikut tahapan pembuatan nanopartikel serat kulit rotan : 1. Kulit rotan berukuran 75 µm sebanyak 10 gram dipanaskan dengan suhu 100 ºC selama 2 jam dengan kecepatan stirrer 200 rpm. Hal ini dimaksudkan unutk homogenisasi dan melunakkan ikatanikatan antar molekul-molekul sehingga proses kavitasi dapat berlangsung optimal. 2. Sebanyak 5 g kulit rotan di ultrasonikasi dengan penambahan surfaktan tween 80 sebanyak 3 %, dan non surfaktan dengan waktu sonikasi 160 menit. 3. Setelah ultrasonikasi selesai serat dipanaskan hingga aquades menguap dan serat kulit rotan menjadi kering (kadar air 5-10 %).
Sintesa Bionanokomposit ΔH = Hp -- HR > 0
ΔH = Hp -- HR < 0
Gambar 4 Reaksi Endoterm (a) dan Reaksi Eksoterm (b)
Nanopartikel serat kulit rotan dicampurkan dengan PP serta PPMA dipanaskan menggunakan spatula, diberikan surfaktan tween 80 (3 %). Komposit filler fiber glass yang digunakan adalah berjenis LR22E PPFG 10 %. Banyaknya matriks dan filler bervariasi, dengan variasi sebagai berikut:
9
Tabel 2 Formula Bionanokomposit Sampel Filler Matriks CA (%) (%) (%) K1 5 94 1 K2 10 89 1 K3 15 84 1 K4 0 99 1 K5 adalah komposit filler fiber glass.
Karakterisasi Termal DTA dan DSC digunakan untuk mempelajari transisi fase, seperti melting, suhu transisi gelas (Tg), atau dekomposisi eksotermik, serta untuk menganalisa kestabilan terhadap oksidasi dan kapasitas panas suatu bahan. Bahan yang diteliti menjalani siklus termal identik. DTA merekam perbedaan suhu sampel dengan suhu referen Suhu yang digunakan 20ºC - 750 ºC dengan laju pemanasan 10 ºC/menit. Referen berupa alumina, lingkungan berupa udara bebas. Uji DTA dilakukan pada 5 sampel. Pengujian DSC dilakukan dengan scan rate 20 ºC/min, dilakukan pada 2 sampel (k1 dan k5).
Karakterisasi Struktur Mikro Scanning Electron Miscroscope (SEM) adalah salah satu jenis mikroskop elektron untuk mengamati dan menganalisa karakteristik struktur mikro dari bionanokomposit yang sistem pencahayaanya menggunakan radiasi elektron dengan panjang gelombang 200- 0.1 A, pembesaran 100.000 – 300.000 kali dan menghasilkan gambar atau bayangan 3 dimensi. SEM yang dipakai merk JEOL JSM-6510 LA 2300 dengan tegangan 20 kV (BES).
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesa nanopartikel serat kulit rotan dengan menggunakan metode ultrasonikasi dihasilkan ukuran sebesar 135.45 nm dengan berat 10 gram. Sintesa bionanokomposit serat kulit rotan dengan metode cetak tekan dihasilkan bionanokomposit sebanyak 8 dengan variasi filler (5 %, 10 %, dan 15 %), PP 99 %, fiber glass 10 %. Bionanokomposit berbentuk balok dengan panjang 5 cm, lebar 3 cm, dan tinggi 2 cm.
Karakteristik termal (DTA dan DSC) pada penelitian ini memegang peranan penting tehadap sifat dari bionanokomposit karena berkaitan erat dengan stuktur dalam bionanokomposit itu sendiri. Pada proses pemanasan terjadi perubahan struktur yang mengakibatkan adanya perubahan dalam kapasitas termal bahan tersebut. Analisa termal ini digunakan untuk mendeteksi perubahan fisika (penguapan) dan perubahan kimia (dekomposisi) suatu bahan yang ditunjukkan dengan penyerapan panas (endoterm) untuk mencairkan bahan dan pelepasan panas (eksotermik) untuk menguapkan bahan. Karakterisasi DTA menggunakan temperatur referensi berupa alpha-alumina dengan titik lebur yang tinggi, sekitar 2050 ºC dan titik didih 2980 ºC. Hasil uji DTA dipresentasikan dalam bentuk kurva termogram (Gambar 5, 6, 7, 8, dan 9). Penggunaan bahan surfaktan secara umum tidak mempengaruhi sifat termalnya. Hal ini dikarenakan penambahan surfaktan pada filler memang tidak lebih dominan dari matrik yang mengakibatkan tidak dapat dilihat perbedaannya pada saat pengujian karakteristik DTA. Dari Gambar 5, 6, dan 7 terlihat dengan pengisian serat kulit rotan secara umum tidak mempengaruhi sifat termalnya karena hampir sama dengan Gambar 9 yaitu hanya matrik berupa polipropillen saja tanpa penambahan serat, yang membedakan hanya kecuraman puncaknya saja. Hal ini terjadi karena massa sampel yang diuji sedikit dengan variasi 5 %, 10 %, dan 15 %. Ikatan serat dengan matriknya sangat kurang sehingga ketika bahan uji diambil dari sampel kemungkinan yang terambil adalah sebagian besar matriknya. Adanya perbedaan kecuraman puncak pada antara Gambar dengan perbedaan komposisi maupun matrik yang tidak ada penambahan seratnya menunjukkan bahwa bahan uji tersebut masih mengandung serat kulit rotan tetapi dengan jumlah relatif sedikit, sehingga efek pada pola termogram tidak terlalu banyak berpengaruh. Gambar 5 ada 1 puncak proses endoterm pada temperatur 171,1 oC pada proses awal terjadi pelunakan pada bahan, selanjutnya bionanokomposit meleleh yang awalnya berbentuk padatan jadi mencair. Pada temperatur yang lebih tinggi terjadi puncak eksoterm 1 (255.6 oC), 2 (335.3 oC), 3 (356.5 o C), 4 (386 oC) dan 5 (460.4 oC).
10
Gambar 5 Hasil uji DTA dengan komposisi filler 5 % dan matrik 94 %.
Gambar 6 Hasil uji DTA dengan komposisi matrik 89 % dan filler 10 %. Puncak eksoterm pertama sampai ke tiga menunjukkan proses dekomposisi dari matrik dan filler, disini bahan akan mengalami proses penguapan bahan dari fase cair serta pengurangan massa secara keseluruhan yang ditandai dengan puncak eksoterm 5. Bahan yang pada mulanya berbentuk padatan akan berubah menjadi gas. Nilai perubahan entalpi (ΔH) pada puncak endoterm pertama ( + 467.5 K-1 J/g), puncak eksoterm 1 ( - 670.4 K-1 J/g ), puncak eksoterm 2 (-230 K-1 J/g ), puncak eksoterm 3 (-185.9 K-1 J/g ), puncak eksoterm 4 (-697.2 K-1 J/g), dan puncak eksoterm 5 ( 692.37 K-1 J/g), serta memiliki nilai kapasitas panas (Cp) K 58562.874 J/ºC. ΔH disini adalah perubahan kalor yang terjadi selama proses penerimaan atau pelepasan kalor sedangkan Cp yang dimaksud adalah jumlah panas yang diperlukan untuk menigkatkan temperature padatan sebesar satu derajat Kelvin. Gambar 6 menunjukkan ada sebanyak 1 puncak proses endoterm pada temperatur 167.4 oC pada proses awal terjadi pelunakan pada bahan, pada puncak kemudian bionanokomposit meleleh yang awalnya
berbentuk padatan jadi mencair. Pada temperatur yang lebih tinggi terjadi puncak eksoterm 1, 2, 3, dan 4. yaitu puncak ke 1 (249.7 oC), puncak ke 2 (311.6 oC), dan puncak ke 3 (354 oC) ,analisis DTA menunjukkan suatu puncak enksoterm yang melebar yang dapat diasosiasikan sebagai proses karakter pertama penguapan bahan dari fase cair. Puncak ke 4 (477.5 oC) bahan mengalami pengurangan massa drastis dan akhirnya bahan benar-benar kehilangan massa secara keseluruhan. Bahan yang berbentuk padatan akhirnya berubah ke bentuk gas selama selang temperatur pemanasan. Nilai perubahan entalpi (ΔH) pada puncak endoterm pertama ( + 468.3 K-1 J/g), puncak eksoterm 1 ( - 252 K-1 J/g ), puncak eksoterm 2 (-460.8 K-1 J/g ), puncak eksoterm 3 (-1030.7 K-1 J/g ), dan puncak eksoterm 4 (11811.6 K-1 J/g), serta memiliki nilai kapasitas panas (Cp) K 173652.7 J/ºC. Gambar 7 sebetulnya tidak terlalu berbeda dengan Gambar 5 dan Gambar 6 yang membedakan hanya temperatur pada puncak yang terjadi puncak endoterm maupun eksoterm. Pada Gambar 7 terdapat 1 puncak endoterm (167.9 oC). puncak eksoterm ke 1 (247.5 oC), ke 2 (268.4 oC), ke 3 (291.6 oC), dan ke 4 (362 oC) menunjukkan dekomposisi dari bahan. Pada temperatur eksotermnya yang juga ditandai sebagai pengurangan massa pada bahan dan perubahan ke bentuk gas yaitu terjadi pada temperatur 471.8 oC (eksoterm ke 5). Dari 3 Gambar diatas dapat dilihat berkurangnya komposisi matrik maka sifat termalnya semakin rendah. Ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh serat kulit rotan sebagai filler dalam hasil uji termal walaupun hanya sedikit. Nilai perubahan entalpi (ΔH) pada puncak endoterm pertama (+517.2 K-1 J/g), puncak eksoterm 1 ( - 162 K-1 J/g ), puncak eksoterm 2 (-61.6 K-1 J/g ), puncak eksoterm 3 (-2173.6 K-1 J/g ), puncak eksoterm 4 (-500.8 K-1 J/g), dan puncak eksoterm 5 ( - 15705.6 K-1 J/g), serta memiliki nilai kapasitas panas (Cp) K 83233.533 J/ºC.
11
memiliki nilai kapasitas panas (Cp) K 137724.55J/ºC. Hasil uji DTA yang terlihat pada Gambar 5 sampai dengan 9 yaitu kurva endoterm yang didapatkan lebih dominan dipengaruhi oleh matrik (polipropillen), sedangkan penggunaan fiber glass maupun serat kulit rotan tidak berpengaruh secara signifikan. Kurva endoterm yang paling tajam merupakan titik leleh komposit. Sedangkan untuk puncak eksoterm pada serat sintesis lebih rendah dibandingkan dengan serat alam karena pada serat alam tidak mengalami fase T (◦C)
Gambar 7 Hasil uji DTA dengan komposisi matrik 84 % dan filler 15 %. Gambar 8 merupakan hasil uji DTA untuk polimer polipropillen dengan komposisi 4.9 g dan menunjukan bahwa hasilnya tidak terlalu berbeda jauh dengan sampel polimer yang telah ditambahkan serat kulit rotan. Perbedaannya terletak pada temperatur di tiaptiap puncak yang ada. Disini sampel tidak langsung meleleh ia mengalami proses pelunakan terlebih dahulu terjadi pada temperatur 89.2 oC, hal ini dikarenakan bahan tidak benar-benar seluruhnya berbentuk kristal tetapi masih terdapat daerah amorfnya walaupun kecil. Pada temperatur 168.8 adalah puncak endoterm pertama Gambar 9 merupakan hasil uji DTA pada komposit gabungan antara fiber glass dengan PP (polipropillen). Pengujian ini difungsikan sebagai pembanding hasil uji DTA komposit yang menggunakan serat kulit rotan. Dari grafiknya dapat kita lihat bahwa sebetulnya tidak terlalu berbeda dari Gambar 7, 8, 9 yang menggunakan serat kulit rotan. Terdapat 1 puncak endoterm (168.6 oC), menunjukkan saat komposit mulai meleleh titik lelehnya ini sedikit lebih tinggi temperaturnya dibandingkan uji DTA pada PP. Puncak eksoterm pertama adalah 233.6 o C, ke dua 392.2 oC, dan ke empat 444.1 oC menunjukkan suatu puncak eksoterm diasosiasikan sebagai proses karakter penguapan bahan dari fase cair, serta menunjukkan proses kehilangan massa secara keseluruhan. Bahan yang berbentuk padatan akhirnya berubah ke bentuk gas selama selang temperatur pemanasan. Nilai perubahan entalpi (ΔH) pada puncak endoterm pertama (+ 879 K-1 J/g), puncak eksoterm 1 ( - 416 K-1 J/g ), puncak eksoterm 2 (-4416 K-1 J/g ), dan puncak eksoterm 3 (-3184 K-1 J/g ), serta
Matrik 99%
T (◦C)
Gambar 8 Hasil uji DTA dengan komposisi matrik 99 %.
Fiber glass 10% + PP 89%
T (◦C)
Gambar 9 Hasil uji DTA komposit dengan komposisi (fiber glass dan PP).
12
cair, serat kulit rotan yang berupa serbuk nano selama proses pemanasan berubah menjadi arang (karbon) langsung bereaksi dengan oksigen dari lingkungan menjadi karbondioksida (CO2) dan menunjukkan fase bahan kehilangan massanya. Kurva eksoterm menunjukkan fase perubahan wujud cair bahan matrik menjadi gas. Pada dasarnya fiber glass mudah diberi tambahan unsur lain sesuai aplikasinya, penambahan unsur tersebut dapat menurunkan atau menaikkan sifat termal dari fiber glass, sedangkan nanopartikel serat kulit rotan unsur-unsur penyusunnya berasal dari dalam tanah yang diserap tanaman untuk memperkuat dinding sel batang dan kulit sehingga mudah terdegradasi oleh lingkungan. Pada Gambar 5 sampai Gambar 9 transisi gelas terjadi pada temperatur permulaan sebelum meleleh dan berubah menjadi gas. Dari tabel 3 dapat dilihat onset temperature, puncak endoterm dan puncak eksoterm Gambar 5 sampai Gambar 9. Gambar 10 menunjukkan hasil uji DSC untuk komposit dengan matrik PP dan filler nanopartikel serat kulit rotan. Pengukuran DSC dilakukan sebagai pembanding DTA, untuk mengetahui temperatur transisi gelas (Tg) dari polimer yang dihasilkan. Puncak endoterm pertama (113.60 ºC) proses terjadinya Tg, dengan temperatur mula-mula 108.50 ºC. Puncak endoterm ke dua pada temperatur 162.52 ini menunjukkan proses pelelehan polimer dari padatan menjadi cairan. Hasil ini tidak jauh berbeda dari DTA tetapi DSC hanya memberikkan kurva sampai pelelehan polimer saja. Gambar 11 merupakan hasil uji DSC matrik PP dan filler fiber glass, puncak endoterm ke dua (162.83 ºC) menunjukkan pelelehan pada polimer, tidak terlalu berbeda dengan Gambar 9 pelelehan terjadi pada temperatur 168.6 ºC. Proses Tg terlihat jelas dengan DSC terjadi pada puncak endoterm pertama (125.26 ºC ) dengan temperatur mulamula 120.08 ºC. Tabel 3 Nilai puncak-puncak pada termogram DTA Spesimen Ns dan S 5% Ns dan S 10% Ns dan S 15% FG PP 99 %
Onset Temperature (0C)
Endoterm (0C)
Eksoterm (0C)
107.9
171.7
460.4
103.8
167.4
477.5
103.9
167.9
471.8
107.9 110.6
168.6 168.8
444.1 478.4
Gambar 10 Hasil uji DSC matrik PP dan filler serat kulit rotan.
Gambar 11 Hasil uji DSC matrik PP dan fillerfiber glass.
Gambar 12 memperlihatkan hasil uji SEM bionanokomposit matrik polipropillen filler nanopartikel serat kulit rotan (komposisi 5 %). Proses pencampuran antara matrik dan filler melalui metode cetak tekan menghasilkan pencampuran yang tidak homogen (aglomerasi). Ketidakhomogenan terjadi karena metode cetak tekan merupakan metode pembuatan komposit yang paling sederhana dan manual, sehingga ikatan adhesi dan kimia antara matrik filler dan surfaktan tidak terjadi secara optimal pada beberapa titik (bidang).
13
puncak eksoterm 3 (-3184 K-1 J/g ), dan serta memiliki nilai kapasitas panas (Cp) K 137724.55 J/ºC. Hasil pengamatan SEM untuk menganalisa karakterisasi struktur mikro dari bionanokomposit matrik polipropilen filler nanopartikel serat kulit rotan (komposisi 5 %) didapatkan pencampuran yang tidak homogeny karena ikatan adhesi dan kimia antara matrik, filler dan surfaktan tidak terjadi secara optimal pada beberapa titik (bidang).
DAFTAR PUSTAKA 1. Gambar 12 Hasil uji karakteristik SEM. 2.
BAB 5 KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini sintesis nanopartikel serat kulit rotan 10 gram dengan metode ultrasonikasi dengan pemberian gelombang ultrasonik (frekuensi 20 kHz, amplitude 30% dan daya 130 Watt) pada waktu ultrasonikasi 2 jam 40 menit menghasilkan nanopartikel serat kulit rotan ukuran 135.45 nm. Sintesa bionanokomposit serat kulit rotan dengan metode cetak tekan dihasilkan sebesar 5 gram untuk masing-masing variasi nanopartikel serat kulit rotan (5 %, 10 %, 15 %), komposit filler fiber glass 10 %, dan PP 99 %. Komposit berbentuk balok dengan panjang 5 cm, lebar 3 cm, dan tinggi 2 cm. Bionanokomposit filler nanopartikel serat kulit rotan pada konsentrasi 5 % memiliki karakteristik termal yang sebanding dengan komposit filler fiber glass konsentrasi 10 %. Bionanokomposit konsentrasi 5% memiliki onset temperature 107.9 ºC, puncak endoterm 171.7 ºC, puncak eksoterm 460.4 ºC, perubahan entalpi (ΔH) pada puncak endoterm pertama ( + 468.3 K-1 J/g), puncak eksoterm 1 ( - 252 K-1 J/g ), puncak eksoterm 2 (-460.8 K-1 J/g ), puncak eksoterm 3 (1030.7 K-1 J/g ), dan puncak eksoterm 4 (11811.6 K-1 J/g), serta memiliki nilai kapasitas panas (Cp) K 173652.7 J/ºC. Komposit filler fiber glass konsentrasi 10 % memiliki onset temperature 107.9 ºC, puncak endoterm 168.6 ºC, puncak eksoterm 444.1 ºC, perubahan entalpi (ΔH) pada puncak endoterm pertama ( + 879 K-1 J/g), puncak eksoterm 1 ( - 416 K-1 J/g ), puncak eksoterm 2 (-4416 K-1 J/g ),
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Gibson, J. L. (2000). Organisasi, Perilaku, Struktur dan Proses. Ed. ke5. Jakarta: Penerbit Erlangga. Nikmatin, S. (2012). Bionanokomposit filler nanopartikel serat kulit rotan sebagai material pengganti komposit sintetis fiber glass pada komponen kendaraan bermotor. [Disertasi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jasni, D. M., Rachman, O. (2006). Sari hasil penelitian rotan. Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, 26, 2228. Sanusi, D. (2003). Rotan: Hasil hutan bukan kayu [Skripsi]. Makasar: Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin. Tellu, A. T. (2008). Sifat kimia jenisjenis rotan yang diperdagangkan di propinsi Sulawesi Tengah. Biodiversitas, 9, 108-111. Fernandez, B. R. (2011). Sintesa nanopartikel. [Tesis]. Padang: Pascasarjana Universitas Andalas. Zhang, T., Wang, W., Zhang, D., Zhang, X., Yurong, M. (2010). Biotemplated synthesis of gold nanoparticle–bacteria cellulose nanofiber nanocomposites and their application in biosensing. J. Advanced Functional Materials, 20, 1152-1160. Ting, F. Y., Xin, G. H., Chang, S. D. (2007). Effect of Different Particle Sizes on Electrochemical Performance of spinel LiMN-O Cathode Materials. J. Mater Sci., 42, 3825- 3830. Abdullah, M., Virgus, Y., Khairurijal. (2008). Review sintesis nanomaterial. Nanosains dan Nanoteknologi, 1, 1-25. Guo, Z., Miliny, J., Wang, Z., Chen, H., Liuyy, K. (2005). Silicon/Disordered Carbon
14
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Nanocomposites for Lithium-Ion Battery Anodes. J. of the Electrochemical Society, 152 (11), A2211-A2216. Soppimath, K. S., Aminabhavi, T. M., Kulkarni, A. R., Rudzinski, W. E. (2001). Biodegradable polymeric nanoparticles as drug delivery devices. J. of Controlled Release, 70, 1-20. Suslick, K. S., Price, G. J. (1999). Application of ultrasound to materials chemistry. J. of Annu.Rev. Sci., 29, 295-326. Nakahira, A., Nakamura, S., Horimoto, M. (2007). Synthesis of modified hydroxyapatite (HAP) substituted with Fe ion for DDS aplication. J. of IEEE Transactions on Magnetic, 43 (6), 2465-2467. Schramm, L. L. (2000). Surfactants: Fundamentals and Applications in the Petroleum Industry. New York: Cambridge University Pr. Wahyudi, A. (2010). Sintesa nanopartikel zeolit secara top down menggunakan planetary ball mill dan ultrasonikator. http://isjd.pdii.lipi. go.id/admin/jurnal/ 81103236.pdf [5 November 2011] Hull, John C. (2006). Options, Futures, and Other Derivatives. Ed. ke-6. New Jersey: Prentice Hall. [Anonim]. (2009). Nanokomposit Material Superkuat dan Ringan. www.wikipedia .org/nanokomposit. [12 mei 2011]. Hadiyawarman. (2008). Fabrikasi Material Nanokomposit Superkuat, Ringan dan Transparan Menggunakan Metode Simple Mixing. J. Nanosains & Nanoteknologi, 1, 14-21. Rao, C. N. R. (2004). The Chemistry of Nanomaterials: Synthesis, Properties and Appplications. 1, 3-527-30686-2. Mujiarto, I. (2005). Sifat dan Karakteristik Material Plastik dan Bahan Aditif. Traksi, 3 (2), 140-144. Hafizullah, A. (2001). Polipropilena. http://WordPress.com/Blog/USU. [26 November 2011] Jokosisworo, S. (2009). Pengaruh penggunaan serat kulit rotan sebagai penguat pada komposit polimer dengan matriks polyester yukalac 157 terhadap kekuatan tarik dan tekuk. Teknik, 30, 3-10. Dodd, James, W., Kenneth, H., Tonge. (1987). Thermal Method : Analytical
24.
Chemistry by Open Learning. London: John Wiley & Sons. Yang, H. S., WOLCOTT, H. S. Thermal Properties of lignocella losic Filler-Thermoplastic polymer Biocomposites. J. of thermal Analysis and Calorimetry, 82 (1), 157-160.
.
16
Lampiran 1 Skema hasil penelitian
Mulai
Serat kulit rotan 75 µm Pemanasan 100 0C 300 rpm 2 jam Ultrasonik (160 menit, Amplitudo 30%) Pengeringan
Nanopartikel SKR
PP (Matriks)
PPMA (CA)
Sintesa bionano komposit metode cetak tekan Komposit (FG + PP)
Uji DTA
(FG+ PP)
Analisa dan pembahasan Selesai
PP
PP
17
Lampiran 2 Perhitungan komposisi bionanokomposit Non-surfaktan dan surfaktan (5 gram): 1. Rotan a. 5% x 5 g = 0.25 g b. 10% x 5 g = 0.5 g c. 15 % x 5 g = 0.75 g 2. Polipropillen a. 94% x 5 g = 4.7 g b. 89% x 5 g = 4.45 g c. 84% x 5 g = 4.2 g d. 99% x 5 g = 4.95 g 3. Coupling Agent a. 1% x 5 g = 0.05 g
18
Lampiran 3 Sintesa nanopartikel serat kulit rotan
Ayakan Kulit Rotan
Serbuk serat kulit rotan
Pen Disk Milling (PDM)
Aquades
Surfaktan
Serbuk serat kulit rotan
pengeringan Proses ultrasonikasi
Nanopartikel serat kulit rotan
19
Lampiran 4 Sintesa bionanokomposit
Nanopartikel serat kulit rotan
Pencampuran
PPMA
PP
Bionanokomposit yang sudah dicetak.
Lampiran 5 Tabel puncak DTA
Fiber glass + PP ΔT ºC 39.3 39.3 38.5 40.2 40.6 40.4 45.6
T ºC 57.2 85.4 168.8 310 346 456.8 478.4
Keterangan Suhu awal Transisi gelas Endoterm 1 Endoterm 2 Endoterm 3 Endoterm 4 Eksoterm
Matrik 99 % ΔT ºC
T ºC
Keterangan
39 39.5 38.5 41 44.4 46.4
77.1 116 168.6 233.6 392.2 444.1
Suhu awal Transisi gelas Endoterm 1 Eksoterm 1 Eksoterm 2 Eksoterm 3
20
Matrik 89% + filler 10% ΔT ºC
T ºC
Keterangan
38.8 38.7 37.3 40.6 41.5 42.5 56.7
34.5 81.6 167.4 249.7 311.6 354 477.5
Suhu awal Transisi gelas Endoterm 1 Eksoterm 1 Eksoterm 2 Enksoterm 3 Eksoterm4
Matrik 84% + filler 15% ΔT ºC 39.6 40.6 40.2 42.5 42.5 43.1 43.6 60.3
T ºC 49.7 102.9 167.9 247.5 268.4 291.6 362.3 471.8
Keterangan Suhu awal Transisi gelas Endoterm 1 Eksoterm 1 Eksoterm 2 Eksoterm 3 Eksoterm 4 Eksoterm 5
Matrik 94% + filler 5% ΔT ºC 39.6 40.6 40.8 44.2 44.8 45.1 56.4
T ºC 56.7 103.3 171.7 255.6 335.3 356.5 460.4
Keterangan Suhu awal Transisi gelas Endoterm 1 Eksoterm 1 Eksoterm 2 Eksoterm 3 Eksoterm 4
21
Lampiran 6 Perhitungan perubahan entalpi (ΔH) Luas area peak (A) = ± ΔH x m x K A = luas area peak (m2) ΔH = perubahan entalpi (J/g) M = massa sampel (g) K = nilai dari factor kalibrasi Diketahui massa sampel = 0.1 g a. Matrik 89% dan filler 10% Puncak endoterm 1
ΔH =
Puncak eksoterm 1
ΔH = -
=
= -252 K-1 J/g
Puncak eksoterm 2
ΔH = -
=
= - 460.8K-1 J/g
Puncak eksoterm 3
ΔH = -
=
= - 1030.7 K-1 J/g
Puncak eksoterm 4
ΔH = -
=
= - 11811.6 K-1
= 1137.3 K-1 J/g
=
J/g b. Matrik 84% dan filler 15% Puncak endoterm 1
ΔH =
Puncak eksoterm 1
ΔH = -
=
= -162 K-1 J/g
Puncak eksoterm 2
ΔH = -
=
= - 61.6K-1 J/g
Puncak eksoterm 3
ΔH = -
=
Puncak eksoterm 4
ΔH = -
=
= - 500.8 K-1 J/g
Puncak eksoterm 5
ΔH = -
=
= - 15705.6 K-1 J/g
= 517.2 K-1 J/g
=
= - 2173.6 K-1 J/g
c. Matrik 94% dan filler 5% Puncak endoterm 1
ΔH =
Puncak eksoterm 1
ΔH = -
=
= -670.4 K-1 J/g
Puncak eksoterm 2
ΔH = -
=
= - 230K-1 J/g
Puncak eksoterm 3
ΔH = -
=
= - 185.9 K-1 J/g
Puncak eksoterm 4
ΔH = -
=
= - 697.2 K-1 J/g
Puncak eksoterm 5
ΔH = -
=
= 467.5 K-1 J/g
=
= - 6923.7 K-1 J/g
22
d. Matrik dan filler fiber glass Puncak endoterm 1
ΔH =
Puncak eksoterm 1
ΔH = -
=
= -416 K-1 J/g
Puncak eksoterm 2
ΔH = -
=
= - 4416 K-1 J/g
Puncak eksoterm 3
ΔH = -
=
= - 3184 K-1 J/g
Lampiran 7 Perhitungan kapasitas panas (Cp) Cp = Cp = kapasitas panas (J/ ºC) K = konstanta kalibrasi (J Kg/ ºC s) T2 = suhu sampel pada cawan kosong (ºC) T1 = suhu sampel setelah terisi bahan (ºC) m = massa sampel (kg) H = pemanasan rata-rata (ºC/s) Diketahui : m = 0.1 g = 0.0001 kg H = 10 ºC/menit = 0.167 ºC/s a. Matrik 89% dan filler 10% Cp =
= K 173652.7 J/ ºC
b. Matrik 84% dan filler 15% Cp =
= K 83233.533 J/ ºC
c. Matrik 94% dan filler 5% Cp =
= K 58562.874 J/ ºC
d. Matrik dan filler fiber glass Cp =
= K 137724.55 J/ ºC
=879 K-1 J/g
=
23
Lampiran 8 Hasil uji Dta matrik polietilena dan filler serat serbuk padi
Dari hasil penelitian Maryono (2008) hasil uji DTA komposit dengan matrik polietilena dan filler serat serbuk padi (Gambar 20) memiliki temperatur transisi gelas 120 ºC, titik leleh 315 ºC, dan temperatur dekomposisi pertama 450 ºC serta kedua 600 ºC. Penambahan serbuk sekam padi sebagai filler mempengaruhi temperatur transisi gelas (Tg), titik leleh (Tm) dan temperatur dekomposisi dari komposit yaitu menurunkan temperatur transisi gelas (Tg), temperatur leleh (Tm) dan menaikkan temperatur dekomposisi. Dari Gambar 19 menunjukkan temperatur dekomposisi terjadi dua kali yang ditandai dengan dua puncak eksoterm setelah titik leleh, yaitu pada temperatur 450 ºC dan 600 ºC dikarenakan pada temperatur 450 ºC polietilena mulai terbakar dan pada temperatur 600 ºC lignin yang terdapat pada serbuk sekam padi mulai terbakar.