ANALISIS TEOLOGI PERJANJIAN BARU TENTANG MERDEKA DARI HUKUM TAURAT BERDASARKAN SURAT ROMA 7:1-6 Oleh Hengki Wijaya Hermeneutika Surat Roma 7:1-6 Frasa “…sebab aku berbicara kepada mereka yang mengetahui hukum” (Rm 7:1). Kata “mereka” bisa menunjuk pada (1) orang percaya Yahudi saja; (2) pertentangan antara orang percaya Yahudi dan non Yahudi di gereja Roma; (3) hukum dalam pengertian yang umum dalam hubungannya dengan semua manusia (lih. 2:14-15); atau (4) kepada orang percaya non Yahudi yang terlibat dalam proses belajar mengenai iman mereka yang baru (katekisasi) dari Kitab Suci Perjanjian Lama (PL).1 Kata κύριεω2 memiliki arti untuk memerintah, memiliki kuasa, tuan, menjadi pemimpin. Suatu kata kerja present active indicative orang ketiga tunggal.3 Orang ketiga tunggal yang dimaksud adalah hukum (nomos). Artinya hukum itu memiliki kuasa, bersifat mengikat terhadap orang yang yang harus mengikuti hukum tersebut. Ada begitu banyak ahli yang beranggapan bahwa Roma pasal 7 ini merupakan bukti pengalaman Paulus di bawah hukum Taurat. Paulus sebagai penulis dari kitab Roma berpendapat bahwa Hukum Taurat itu mempunyai sifat berwibawa dan mengikat (Roma 7:1) dan Hukum Taurat itu bersifat kudus (Roma 7:12). Kehidupan Paulus baik sebelum bertobat maupun sesudah bertobat ia sangat menghargai Hukum Taurat. Paulus adalah orang yang tidak cacat dalam menaati hukum Taurat (Flp 3:6).4 Roma 7:1, “Apakah kamu tidak tahu, saudara-saudara, ....” Rasul Paulus telah menegaskan dalam Rom 6:14, “Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia.” Penekanannya ialah 1
Bob Utley, Surat Paulus kepada: Jemaat di Roma (Texas: Bible Lessons International, 2010), 129; diakses pada tanggal 25 Februari 2013; tersedia di http://www.freebiblecommentary.org/pdf/ind/VOL05_indonesian.pdf 2 James Strong, Strong’s Hebrew and Greek Dictionaries (e-Sword, 2010) s.v. κύριεω 3 BMG Morphology, Word Analysis, s.v. κύριεω In Bible Work Version 7. 4 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 350-352
bahwa orang-orang Romawi percaya adalah orang-orang yang “tidak berada di bawah hukum”, dan Paulus mengetahui bahwa hal ini tidak menyenangkan banyak orang, dan dikecualikan oleh mereka, terutama orang-orang Yahudi yang di antara mereka, yang meskipun mereka percaya dalam Kristus, namun tidak bersemangat hukum, membawanya lagi, dan menjelaskan dan membela itu.5 Menurut Roma 6, umat Kristen telah “mati bagi dosa” (Roma 6:2,11) melalui persekutuan mereka dengan Kristus dan telah “dimerdekakan” (Roma 6:7,18,22) dari dosa, sehingga dosa tidak lagi “berkuasa” (Roma 6:14) atas mereka. Hasil dari kematian akan dosa adalah “melayani” Allah (Roma 6:22) yang beroleh “buah” yang membawa kamu kepada pengudusan (Roma 6:21-22). Paulus mengulangi contoh kemenangan ini di Roma 7: Umat kristen telah “mati bagi hukum Taurat” (Roma 7:4) melalui persekutuan mereka dengan Kristus dan telah “dibebaskan” dari hukum Taurat (Roma 7:6,2-3), sehingga hukum tidak lagi “berkuasa” atas mereka (Roma 7:1). Hasil dari kematian untuk hukum Taurat adalah “melayani” Allah (Roma 7:6), dan yang menghasilkan "buah" kepada Allah (Roma 7:4). Singkatnya, Paulus dengan “tegas menyampaikan” di Roma 6, dan dia terus lebih tegas menyampaikannya lagi dalam Roma 7!6 Tujuan sebenarnya dari Roma pasal 7 adalah untuk menjelaskan dan menjabarkan pernyataan Paulus dalam pasal 6:14, “Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia.” Menurut ayat ini, pembebasan kita dari kuasa dosa adalah bukti nyata bahwa kita tidak lagi berada “dibawah hukum Taurat”. Pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah; “Bagaimana hal itu dapat melewati kenyataan bahwa umat kristen tidak lagi “di bawah hukum Taurat?” Paulus menjawab pertanyaan ini dipasal 7:1-4.7
5
John Gill, John Gill's Exposition of the Entire Bible (e-Sword, 2010). Charles Leiter, Pembenaran dan Lahir Baru (Bekasi: Save The Unreached Ministries, 2010), 140. 7 Charles Leiter, Pembenaran dan Lahir Baru, (Bekasi: Save The Unreached Ministries, 2010), 140. 6
“Karena manusia yang jatuh meninggalkan kedudukannya yang tepat sebagai istri Allah dan ingin menjadi dirinya sendiri sebagai suami, maka Allah memberikannya hukum Taurat yang tidak mungkin ditaatinya. Hukum Taurat bukan ditujukan kepada istri, melainkan kepada suami, dan hukum Taurat diberikan bukan untuk ditaati, melainkan untuk menyingkapkan manusia lama (Rom. 3:20; 5:20). Suami di sini (suami pertama) bukan daging, atau hukum yang mengikat kepada Taurat, melainkan manusia lama yang disebutkan dalam Rom. 6:6 yang sudah disalibkan dengan Kristus, sedangkan suami kedua mengacu kepada Kristus.”8 “Karena manusia lama kita, yaitu suami yang lama, sudah disalibkan dengan Kristus (6:6), maka kita dimerdekakan dari hukumnya dan di satukan dengan Suami yang baru, Kristus, yang hidup selama-lamanya. Jadi sebagai orang beriman kita memiliki dua status. Kata kamu yang pertama dalam ayat ini mengacu kepada kita dalam status yang lama sebagai manusia lama yang telah jatuh, meninggalkan yang meninggalkan posisi semula sebagai istri yang bersandar kepada Allah dan mengambil posisi suami dan kepala semaunya sendiri, merdeka terhadap Allah. kamu yang kedua dalam ayat ini mengacu kepada status baru, sebagai manusia baru yang dilahirkan kembali, dipulihkan kepada posisi kita semula dan tepat sebagai istri Allah yang sejati (Yes. 54:5; 1 Kor. 11:3), bersandar kepada-Nya dan mengambil Dia sebagai kepala kita.”9 Hal ini menunjukkan bahwa hukum Taurat tidak berkuasa lagi atas orang percaya, melainkan Kristus sendiri yang berkuasa atas orang percaya. Hukum Taurat yang kudus, benar dan baik itu menunjukkan dosa dan akibat-akibat dosa, tetapi tidak sanggup menyelamatkan dan menyucikan orang percaya.10
8 Witness Lee, Alkitab Perjanjian Baru dengan CatatanVersi Pemuliha, Cetakan ketiga (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia dan Yayasan Perpustakaan Injil Indonesia, 2006), 9 Witness Lee, Alkitab Perjanjian Baru dengan CatatanVersi Pemulihan, 10 G. Raymond Carlson, Surat Roma (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1978), 65.
Pemikiran dasar dari bagian ini terdapat pada peribahasa hukum yang mengatakan, bahwa kematian membatalkan semua kontrak. Paulus memulainya dengan suatu ilustrasi dari kebenaran ini dan hendak menggunakan gambaran ini sebagai simbol dari apa yang terjadi pada orang Kristen. Selama suaminya masih hidup, seorang wanita tak dapat menikah dengan laki-laki lain, tanpa ia terlibat perzinahan. Tetapi jika suaminya mati, boleh dikatakan kontrak itu batal, dan ia bebas untuk menikah dengan siapa saja yang ia sukai.11 Paulus katakan, kita dulu terikat oleh dasar seperti seorang istri kepada suaminya; dosa telah dibinasakan oleh Kristus;oleh karena itu, sekarang kita bebas menjadi milik Allah. Tak dapat disangkal lagi itulah yang hendak ia katakan. Tetapi ke dalam gambaran itu muncullah masalah hukum Taurat. Ia dapat katakan, seandainya adalah istri hukum Taurat; dan hukum itu sudah dihapuskan oleh karya Kristus; sekarang kita bebas menjadi istri Allah. Tetapi tidak demikian yang Paulus kehendaki, tiba-tiba ia mengubah gambaran itu, kitalah yang telah mati bagi hukum Taurat.12 Fungsi hukum Taurat13 Dalam rangka menjelaskan fungsi Taurat masa kini, Paulus membuat beberapa penegasan tentang bagaimana hukum Taurat itu kena-mengena dengan manusia sebagai pribadi. (1) Taurat membawa pengenalan akan dosa (Rm. 3:20; 4:15; 7:7). Taurat dilihat sebagai suatu penyataan tentang harapan Allah bagi manusia, karena itu ukuran dengan mana manusia akan dihakimi oleh Allah. Ia tidak menyiratkan bahwa sebelum penetapan Hukum Musa dosa belum dikenal. Dalam Roma 5:13 ia mengakui bahwa dosa telah ada di dunia tetapi tidak “diperhitungkan” sebelum hukum Taurat diberiakan. Jadi nampaknya cukup jelas bahwa dalam arti ini Paulus 11
William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat Roma (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1986),
12
William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat Roma (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1986),
142. 142. 13
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, 354-357.
melihat fungsi Taurat sebagai mengajar. Taurat mengajarkan manusia bahwa dosa adalah penghinaan langsung terhadap Allah. Tetapi apakah ini juga berlaku bagi orang-orang Kristen? Paulus bersikeras bahwa perintah itu adalah kudus, benar dan baik (Rm. 7:12), dan karena itu tidak bisa disisihkan begitu saja. Taurat menyatakan tuntutan Allah pada masa lalu, dan standarnya tetap berlaku. Tetapi pendekatan Kristen tak dapat tidak harus berbeda dari pendekatan PL dalam hal bahwa janji mengatasi Taurat. Pengenalan akan dosa masih tetap dibutuhkan, tetapi janji itu membawa jaminan penyucian yang segera. (2) Taurat merangsang dosa. Inilah segi ajaran Paulus yang sulit.14 Ia berkata “Hukum Taurat ditambahkan supaya pelanggaran menjadi semakin banyak” (Rm. 5:20), dan supaya nyata bahwa ia adalah dosa...supaya oleh perintah itu dosa lebih nyata lagi keadaannya sebagai dosa” (Rm. 7:13). Kelihatannya seakan-akan Paulus sedang melukiskan Taurat sebagai penjahat, tetapi maksudnya justru sebaliknya. Ia takkan pernah mengiakan pendapat bahwa apa yang baik bisa memajukan kejahatan. Dalam Rm. 7:13 ia membubuhkan hasil yang buruk itu bukan kepada Taurat, melainkan kepada dosa yang memperalat Taurat untuk maksud-maksudnya sendiri. Pikiran pokok Paulus nampaknya ialah bahwa larangan justru mendorong perlawanan. Manusia harus diyakinkan bahwa dosanya punya sifat sedemikian rupa sehingga ia tidak punya harapan mencapai kebenaran melalui usaha-usaha sendiri. Justru karena fungsi hukum Taurat yang sedemikianlah sehingga Paulus dapat menegaskan bahwa kuasa dosa ialah huku Taurat (1 Kor. 15:56) dalam semua ayat ini ia memakai kata hukum dalam arti peraturan-peeraturan legal yang harus di laksanakan.
14
Beberapa ahli yang ingin menghindarkan gagasan bahwa hukum mendorong dosa, menyarankan bahwa hukum itu membawa orang mencari kebenaran yang didasarkan pada perbuatannya sendiri. Demikinanlah Bultmann (1956, Jilid1, 267)
(3) Taurat itu bersifat rohani. Agar tidak seorangpun berpikir bahwa lebih baik tidak mempunyai Hukum, Paulus serta merta mengemukakan maksudnya yang “rohani”, lalu mempertantangkan sifat ini dengan kodrat kedagingan manusia, yang terjual di bawah kuasa dosa (Rm. 7:14). Dengan kata lain, jika Taurat membuat dosa lebih hebat lagi, itu bukan kesalahan Taurat. Kesalahan terletak pada manusia. Dosa takkan mungkin dirangsang jika manusia tidak bersifat daging. Fungsi sesungguhnya dari Taurat adalah rohani, yakni mencapai hasil-hasil rohani. Jika Taurat memperoleh bahan yang tepat untuk digarap, ia akan mencapai hasil-hasil rohani yang tadi, tetapi kegagalannya terletak pada ketidak-mampuan manusia untuk memberi tanggapan terhadapnya. Tentu dalam pendekatan Kristiani terhadap Taurat muncul keadaan yang lain. Sifat rohani dari Taurat itu membuat mungkin menerimanya ke dalam kehidupan Kristen. (4) Taurat itu memberatkan. Paulus sebagai orang Yahudi tentu akan menerima tanpa bertanya bahwa seorang yang wajib melakukan Taurat wajib melakukan seluruh hukum Taurat (Gal. 5:3) . pelanggaran terhadap salah satu perintah sama dengan melanggar keseluruhannya (Gal. 3:10) inilah yang membuat hidup di bawah kuasa Taurat cenderung menjadi begitu membaratkan. Orang-orang Farisi dalam upayanya mencegah terjadinya pelanggaran yang tak disengaja, telah memagari Taurat dengan sangat banyak adat istiadat, yang betapa baik pun maksudnya, namun hanya menambah beban itu. Injil Kristen menawarkan pembebasan dari peraturan-peraturan yang kecil-kecil itu. Tak pernah disarankan bahwa “adat istiadat” itu akan diambil-alih oleh orang Kristen (Kol. 2:8,16). (5) Taurat menjatuhkan kutuk. Taurat bukan hanya menyatakan dan memajukan dosa, ia juga dengan giat menghukumnya. Hal inilah yang membawa Paulus untuk memperlihatkan kemustahilan seseorang untuk mencapai kebenaran melalui Taurat
(Gal. 3:11). Karena ini jugalah ia melihat Kristus menjadi kutuk bagi kita untuk menebus kita dari kutuk hukum Taurat (Gal 3:13). Fungsi menjatuhkan kutuk itu tak dapat lagi berlaku bagi mereka yang baginya Kristus telah menjadi kutuk. (6) Melalui perbuatan-perbuatan melakukan Taurat orang tidak dapat memperoleh kebenaran. Amanat Paulus yang utama dalam surat Roma dan Galatia ialah bahwa kebenaran datang oleh iman, bukan oleh pekerjaan Taurat (yaitu perbuatan manusia yang dilakukan berpadanan dengan tuntutan Taurat). Paulus belajar dari PL bahwa iman ialah kunci kebenaran (Rm. 1:17; Hab. 2:4). Pembahasan yang lebih lengkap telah disajikan di atas (ps 21.3.b) dan maksud kita serang ialah memperlihatkan ketidakmampuan Taurat untuk memnjawab kebutuhan dasar manusia. Hendaknya dicatat bahwa pentingnya Taurat terbatas pada soal kebenaran ini. Paulus tidak pernah menyarankan bahwa ada sesuatu yang secara hakiki lemah mengenai Taurat, tetapi fungsi fital untuk menyediakan sarana untuk mencapai kebenaran itu diberikan kepada iman, bukan Taurat. Inilah alasan Paulus begitu bersikeras bahwa pembenaran diperolehb melalui iman dan bukan melalui perbuatan melakukan Taurat. (7) Taurat adalah penuntun sampai Kristus datang. Suatu fungsi positif yang penting dari Taurat ialah bertindak sabagai penuntun (paidagogos) sampai Kristus datang (Gal.3:24). Istilah yang Paulus pakai melukiskan seseorang yang bertanggungjawab atas pendidikan moral seorang anak sampai anak itu mencapai kedewasaan dan kemerdekaan. Tugasnya mencakub gagasan perwalian.15 Dengan meninjau kebelakang sebelum zaman iman, Paulus mengakui bahwa Taurat mempunyai fungsi untuk melindungi, tetapi bagi dia jelas bahwa orang beriman tak berada lagi di bawah pengawasan penuntun (Gal. 3:25). Fungsi dari Taurat ini tidak berlaku 15
Penting diperhatiakan bahwa status seorang anak selama di bawah kuasa seorang paidagogos tidak lain daripada seorang budak. Pemikiran Paulus berpusat pada tiadanya kebebasan, bukan pada fungsi-fungsi mendidik dari seorang paidagogos (Ridderbos 1975: hlm. 148)
lagi bagi orang Kristen. Paulus tentu tidak bermaksud bahwa Taurat memimpin orang kepada Kristus, karena ungkapannya membuat jelas bahwa Kristus telah mengubah fungsi Taurat ini sebagai penuntun. (8) Taurat berakhir di dalam Kristus. “Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya”, Rm. 10:4. Adalah penting untuk menentukan dalam arti yang bagaimana Paulus memakai istilah telos (kegenapan). Artinya biasanya ialah penghentian, dan segera muncul pertanyaan, dalam arti yang bagaiman Paulus menganggap bahwa Taurat dicabut dalam Kristus. Kuncinya terdapat pada kata-kata eis dikaiosunen (har. ‘kepada kebenaran; TB “sehingga kebenaran diperoleh”). Ini lagi-lagi memperlihatkan bahwa Taurat dicabut berkenaan dengan kewajiban yang harus dilakukan demi memperoleh keselamatan, tetapi bukan kebenaran dengan fungsinya sebagai ukuran dengan mana Allah akan menghakimi manusia. Dalam Roma 10 bukan fungsi dan kedudukan Taurat yang dibahas, melainkan upaya-upaya Israel untuk mencari kebenaran mereka sendiri. Penting bagi Paulus untuk memperlihatkan bahwa sejak kedatangan Kristus hukum Taurat tidak lagi mempunyai peranan dalam soal ini. Kata telos bisa juga memuat gagasan perlengkapan, jadi pernyataan Paulus mencakup juga pemikiran bahwa persiapan-persiapan di dalam Taurat sudah digenapi di dalam Kristus. Kristus telah memenuhi semua tuntutan Taurat dan telah menebus manusia dari kutuk yang telah ditimpanya, inilah alasan yang lain lagi bagi pendirian bahwa Taurat telah berhenti menjalankan fungsinya dalam hal keselamatan. Paulus katakan, kita dulu terikat oleh dasar seperti seorang istri kepada suaminya; dosa telah dibinasakan oleh Kristus;oleh karena itu, sekarang kita bebas menjadi milik Allah. Tak dapat disangkal lagi itulah yang hendak ia katakan. Tetapi ke dalam gambaran itu muncullah
masalah hukum Taurat. Ia dapat katakan, seandainya adalah istri hukum Taurat; dan hukum itu sudah dihapuskan oleh karya Kristus; sekarang kita bebas menjadi istri Allah. Tetapi tidak demikian yang Paulus kehendaki, tiba-tiba ia mengubah gambaran itu, kitalah yang telah mati bagi hukum Taurat.16 “Bagaiman bisa demikian? Melalui baptisan kita mendapat bagian dalam kematian Kristus. Itu berarti setelah mati kita tidak terikat lagi dari tuntutan hukum Taurat dan dan menjadi bebas untuk menikah lagi. Kali ini kita tidak terikat sebagai suami istri pada hukum Taurat, meliankan pada Kristus. Ketika hal itu terjadi, ketaatan Kristen bukan menjadi suatu beban ketaatan lahiriah berdasarkan peraturan hukum Taurat, melainkan suatu kesetiaan batiniahterhadap Kristus.17 Penting untuk diingat bahwa kebebasan dari persatuan yang pertama itu bukanlah tujuan terakhir. Pemisahan ini adalah untuk tujuan yang positif, yakni untuk “menjadi milik orang lain”. Dan itulah “yang telah dibangkitkan dari antara orang mati”. Melalui persatuan rohani dengan Kristus, waki; orang berdosa, maka dengan iman kita juga mati bersama Dia. Kematian di dalam Kristus membawa kita kepada kebangkitan di dalam Dia. Kita disatukan dengan Dia dan berada di bawah kekuasaanNya. Karena kita milik Dia dan disebut dengan namaNya (Kristen), kita diberi “tempat bersama-sama dengan Dia di surga” (Ef. 2:6) dan mendapat bagian dalam semua persediaan kasih karunia, kuasa, dan berkatNya.18 Kita tidak lagi berjuang untuk hidup sesuai dengan patokan yang lahiriah, sebab kita hendak berkenan kepada Dia yang di dalam kita. Hidup kita tidak dikuasai lagi oleh prinsip yang menakuti, yaitu: “Perbuatan ini” dan “janganlah itu” seperti yang diberikan di gunung Sinai; tetapi sekarang kita “melayani dalam keadaan yang baru”. Meskipun tak mampu mematuhi perintah-perintah yang terakhir pada loh batu di Sinai, dan gagal karena 16
William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat Roma (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1986),
142. 17 18
William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, 143-144. G. Raymond Carlson, Surat Roma, 67-68.
keidakmampuan itu, orang percaya dapat berjalan dalam prinsip baru yang dinyatakan dalam Yesus, yakni hadirat Roh Kudus yang memberi kuasa. Hubungan baru, tanggungjawab baru, persediaan baru, dan kehidupan baru “selalu baru tiap pagi”. Tujuan dari persatuan yang baru dengan Yesus ini adalah “agar kita berbuah bagi Allah”. Dalam keadaan daging kita “mengikuti jalan dunia ini, karena mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain” (Ef. 2:2,3). Hasil persatuan itu, buah yang terbit dari hubungan itu, membuat kita malu. Sekarang setelah bebas dari dosa dan menjadi pelayan “dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat”, maka kita berbuah bagi Allah. Hasil yang wajar dari hubungan perkawinan adalah anak “berkembangbiaklah dan bertamabah banyaklah”. Hasil yang terbit dari persatuan yang lama adalah ketidaksucian padahal sekarang ini hasilnya adalah buah bagi Allah dan bukan bagi kematian. Kita tidak memperoleh kedudukan kita di dalam Kristus karena perbuatan yang baik; perbuatan-perbuatan yang baik itu justru adalah akibat dari kedudukan kita di dalam Dia. Perbuatan baik dari orang yang menganggap dirinya benar memuakkan Allah, sedangkan perbuatab-perbuatan baik dan buah-buah orang percaya berkenan kepada Allah perbuatan baik hanya dapat dihasilkan dari perkawinan atau persatuan dengan Kristus; buah tidak akan ada tanpa persatuan itu.19 ”Penjelasan ayat 2, “Karena manusia yang jatuh meninggalkan kedudukannya yang tepat sebagai istri Allah dan ingin menjadi dirinya sendiri sebagai suami, maka Allah memberikannya hukum Taurat yang tidak mungkin ditaatinya. Hukum Taurat bukan ditujukan kepada istri, melainkan kepada suami, dan hukum Taurat diberikan bukan untuk
19
G. Raymond Carlson, Surat Roma, 67-68.
ditaati, melainkan untuk menyingkapkan manusia lama (Roma 3:20;5:20). Suami di sini (suami pertama) bukan daging, atau hukum yang mengikat kepada Taurat, melainkan manusia lama yang disebutkan dalam Roma 6:6 yang sudah disalibkan dengan Kristus, sedangkan suami kedua mengacu kepada Kristus.”20
20
Witness Lee, Alkitab Perjanjian Baru dengan Catatan Versi Pemulihan Cetakan ketiga (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia dan Yayasan Perpustakaan Injil Indonesia, 2006)