ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL, TEKSTUAL DAN FUNGSI SOSIAL BUDAYA DIDONG DOAH BIBI SI REMBAH KU LAU PADA MASYARAKAT KARO DI BERASTAGI
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN
O L E H
TETY SILVA KURNIA GINTING NIM : 060707021
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2012
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Tulisan ini akan membahas tentang didong doah bibi si rembah ku lau, yaitu salah satu jenis musik vokal yang biasa disajikan dalam pesta perkawinan pada masyarakat Karo. Secara harafiah, kata ‘didong’ berasal dari kata ‘didong-didong’
yang
artinya
‘menimang-nimang
sambil
bernyanyi’,
sedangkan kata ‘doah’ berasal dari kata ‘oah’ yang artinya ‘gendong’, dan si rembah ku lau berarti yang menggendong ke sungai. Ginting menegaskan bahwa didong doah sama dengan lagu nina bobok atau meninabobokkan anak sambil menggendongnya, dan mengatakan "oah nakku".1 Mendukung pendapat Ginting, Prints menyebutkan bahwa didong doah adalah " sebuah aktifitas membuai sambil meninabobokkan anak dengan mengatakan ‘oah’" (Prints 2002 : 160). Berdasarkan uraian di atas maka didong doah si rembah ku lau dapat diartikan sebagai nyanyian yang digunakan pada waktu seseorang menimang ataupun menggendong anak sambil membawanya ke sungai. Namun didong doah bibi si rembah ku lau yang penulis maksud disini adalah didong doah bibi si rembah ku lau yang terkait dengan konteks pesta perkawinan pada masyarakat Karo. Didong doah bibi si rembah ku lau adalah nyanyian yang acap kali disajikan saat upacara perkawinan. Penyajinya adalah bibi si rembah ku lau,
1
Wawancara dengan Malem Ukur Ginting, 10 Maret 2011
1
yaitu saudara perempuan dari ayah sisereh (pengantin perempuan). Didong doah bibi si rembah ku lau yang disajikan pada upacara perkawinan merupakan refleksi ataupun flashback terhadap didong doah yang disajikan bibi si rembah ku lau mana kala sisereh masih bayi. Flashback disini maksudnya adalah bahwa upacara perkawinan sisereh adalah merupakan kesempatan bagi bibi si rembah ku lau untuk mengingatkan atau menceritakan kepada sisereh—dengan cara bersenandung didong doah—riwayat hidupnya ketika masih bayi.2 Lewat didong doah ini, bibi si rembah ku lau juga menuturkan bagaimana dahulu dia begitu menyayangi sisereh, sehingga begitu banyak kain gendongan yang rusak akibat menggendong dan menidurkannya setiap saat.3 Untuk kepentingan tersebutlah didong doah bibi si rembah ku lau selalu disajikan dalam upacara perkawinan. Didong doah bibi si rembah ku lau adalah sesuatu yang disajikan dengan cara disenandungkan. Menurut pemahaman masyarakat Karo apabila didong doah diungkapkan tanpa melantunkan lagunya, maka hal itu tidak disebut erdidong (bernyanyi) melainkan ngerana (berbicara), khususnya di upacara perakawinan. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, didong doah bibi si rembah ku lau selalu dinyanyikan. Pada umumnya masyarakat Karo tidak pernah menyebut erdidong doah bibi sirembah ku lau melainkan didong doah bibi si rembah ku lau. Karena bahasanya terdengar sangat rancu.
2
Dalam senandungnya bibi sirembah ku lau tidak ada mengungkapkan bahwa si bayi adalah calon menantunya, karena hal tersebut sudah jelas terlihat dalam garis kekerabatan yang dimiliki oleh ayah si bayi dengan bibi sirembah ku lau tersebut. 3 Wawancara dengan Katalemuk br Sukatendel, 22 Februari 2011
2
Saat penyajian, teks didong doah bibi si rembah ku lau
biasanya
terungkap secara spontan berdasarkan suasana hati si pelaku dan konteks acaranya. Teks yang disajikan pada upacara perkawinan selalu menggunakan bahasa sehari-hari, termasuk ungkapan-ungkapan yang digunakan, seperti ungkapan rasa syukur, rasa senang ataupun ungkapan kesedihan dan penyesalan. Diskusi dalam skripsi ini akan diarahkan pada penelaahan fungsi sosial dan budaya didong doah bibi si rembah ku lau. Dengan kata lain—sebagai media pendidikan sosial dan budaya—didong doah bibi si rembah ku lau adalah suatu format ekspresi musikal yang mengandung nilai dan norma kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu skripsi ini akan lebih jauh mengindentifikasi kandungan nilai dan norma tersebut di dalam teks didong doah. Dengan mendeskripsikan teks didong doah bibi si rembah ku lau—yaitu memahami makna wacana/teks; yang dalam hal ini dapat diartikan melihat arti yang tersurat maupun tersirat dari teks didong doah bibi si rembah ku lau, memahami strukutur teksnya, serta melihat hubungan antara tekstual dengan aktivitas ekstra musikal4 yang muncul pada saat penyajiannya, —maka akan dapat dipahami kemudian tentang fungsi sosial dan budaya didong doah bibi si rembah ku lau. Oleh karena didong doah bibi si rembah ku lau merupakan sebuah nyanyian, tentulah juga memiliki aspek struktur musikal. Struktur musikal didong doah bibi si rembah ku lau akan mendapat porsi diskusi di dalam 4
Ekstra musikal adalah kegiatan atau kejadian-kejadian yang muncul di luar musikal— kegiatan ini dapat berupa gerakan,ucapan, maupun ekspresi—yang mana merupakan masih menjadi bagian dari sebuah upacara.
3
skripsi ini. Lebih jauh, karena setiap penyaji didong doah bibi si rembah ku lau yang berbeda menyajikan gaya yang berbeda, maka akan pula diperhatikan dan didiskusikan perbedaan tersebut yang sebenarnya menjadi karakter dari setiap penyajinya. Melalui penganalisaan dimaksud diharapkan dapat memberikan gambaran umum struktur musikal didong doah bibi si rembah ku lau ini. Oleh karena itu penulis memberi judul “Analisis Struktur Musikal, Tekstual dan Fungsi Sosial Budaya Didong Doah Bibi Si rembah Ku Lau Pada Masyarakat Karo di Berastagi” pada tulisan ini. Meskipun penyajian dari didong doah bibi si rembah ku lau ini masih disajikan pada pesta perkawinan masyarakat Karo, namum hal ini tidak menjadi perhatian bagi masyarakat serta belum banyak dikaji oleh para peneliti. Hal itu lah yang menyebabkan penulis terdorong untuk melakukan peneletian ini. Selain itu penulis tertarik untuk melihat apa fungsi sosial dan budaya didong doah bibi si rembah ku lau itu sendiri dalam kehidupan masyarakat Karo, dengan mengkaji teks didong doah tersebut. Tulisan ini merupakan tulisan yang dibuat untuk melanjutkan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh salah seorang sarjana Etnomusikologi, yaitu Rumondang Siahaan. Adapun perbedaan yang dapat dilihat adalah terletak pada judul dan pokok permasalahannya. Judul yang dibuat oleh Rumondang Siahaan adalah “Studi Analisis Didong Doah Dalam Pesta Perkawinan Pada Masyarakat Karo”, sedangkan judul yang penulis buat adalah “Analisi Struktur Musikal, Tekstual dan Fungsi Sosial Budaya Didong Doah Bibi Si rembah Ku Lau Pada Masyarakat Karo di Berastagi”. Dari kedua judul
4
tersebut jelas terlihat bagaimana perbedaannya. Judul yang penulis kemukakan lebih spesifik jika dibandingkan dengan judul yang dikemukakan oleh Rumondang Siahaan. Begitu juga pada pokok permasalahannya, adapun pokok permasalahan yang dikemukakan oleh Rumondang adalah tentang bagaimana gambaran umum mengenai pesta perkawinan pada masyarakat karo serta kaitannya dengan penyajian didong doah dan menganalisis melodi didong doah tersebut. Sedangkan pokok permasalahan yang penulis kemukakan adalah apa fungsi sosial dan budaya didong doah bibi si rembah ku lau dalam kehidupan masyarakat karo, dan selain menganalisa struktur musikalnya, penulis juga mendeskripsikan teks didong doah bibi si rembah ku lau dengan melihat makna kalimat, dan hubungan teks dengan kegiatan ekstra musikal pada upacara perkawinan masyarakat
Karo. Adapun tujuan penulis
menjelaskan perbedaan-perbedaan ini adalah agar tidak terjadi pengulangan ataupun duplikasi terhadap tulisan dari pada Rumondang Siahaan tersebut.
1.2. Pokok Permasalahan Ada beberapa hal pokok yang menjadi perhatian utama dalam skripsi ini, antara lain.: apa fungsi sosial dan budaya didong doah bibi si rembah ku lau dalam kehidupan masyarakat Karo, dan bagaimana format struktur musikal maupun tekstual didong doah. Dengan kata lain apakah setiap penyanyi didong doah bibi si rembah ku lau mengaplikasikan sebuah struktur yang sama dan bersifat umum atau tergantung kepada setiap penyaji dan bersifat individu?
5
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi sosial dan budaya didong doah bibi si rembah ku lau dalam kehidupan masyarakat Karo. Selain itu
penelitian ini bertujuan untuk menganalisa
struktur musikal dan mendeskripsikan—melihat struktur— teks didong doah bibi si rembah ku lau.
1.4. Manfaat penelitian Selain sebagai skripsi, penelitian ini juga menjadi penelitian lanjutan dari apa yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti budaya Karo sebelumnya, juga untuk memperdalam pengetahuan tentang
didong doah dalam perkawinan
Karo dan menambah referensi dan dokumentasi budaya Karo. Lebih dari pada itu
penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai materi dasar atau awal untuk penelitian selanjutnya.
1.5. Konsep
Didong doah adalah salah satu musik vokal yang terdapat dalam kesenian masyarakat karo. Masyarakat Karo mengenal tiga jenis didong doah, yaitu didong doah anak (nyanyian menidurkan anak), didong doah maba anak ku lau (nyanyian memandikan anak ke sungai), dan didong doah bibi si rembah ku lau (nyanyian pada pesta perkawinan). Didong doah merupakan nyanyian yang tidak memiliki teks yang baku, dengan kata lain teks muncul
6
dengan spontan berdasarkan suasana hati si penyaji. Didong doah ini adalah nyanyian yang berisi pesan dan nasehat-nasehat, atau dengan kata lain dapat juga disebut dengan nyanyian nasehat. Namun didong doah yang
dimaksud penulis disini adalah didong doah yang terdapat dalam upacara perkawinan masyarakat Karo yang disajikan oleh bibi si rembah ku lau (saudara perempuan ayah sisereh). Analisis dapat diartikan menguraikan atau memilah-milah suatu hal atau ide ke dalam setiap bagian-bagian sehingga dapat diketahui bagaimana sifat, perbandingan, fungsi, maupun hubungan dari bagian-bagian tersebut.5 Analisis yang penulis maksud disini adalah menelaah dan menguraikan struktur musikal nyanyian didong doah, seperti tangga nada, modus, melodi, harmoni, sistem tuning, pola ritem, birama, kualitas suara, dan keras lembutnya suara. Struktur adalah cara bagaimana sesuatu itu dibangun/dibentuk dari beberapa unsur-unsur tertentu. Struktur musikal adalah unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah musik, seperti unsur tangga nada, melodi, harmoni, pola ritem, dan lain sebagainya. Fungsi dapat dikatakan adalah manfaat atau kegunaan dari suatu hal. Sosial merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Fungsi sosial adalah manfaat maupun kegunaan suatu hal dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini penulis akan melihat apa fungsi atau pun kegunaan didong doah dalam kehidupan masyarakat Karo. 5
Webster’s New World Collage Dictionary
7
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat 2002 : 146-147).
Menurut para ahli
antropologi masyarakat adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa umum yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya (Carol R. Ember dan Melvin Ember dalam T.O. Ihromi 1994 : 22). Masyarakat Karo yang dimaksud penulis disini adalah masyarakat Karo yang tinggal dan menempati daerah dataran tinggi Karo (kabupaten Karo), khususnya masyarakat Karo yang tinggal di kota Berastagi, di mana penulis melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan upacara perkawinan yang pernah dilaksanakan disana
1.6. Kerangka Teori Penggunaan dan fungsi musik adalah sesuatu yang penting dipelajari di dalam disiplin ilmu etnomusikologi, karena hal tersebut berhubungan langsung dengan makna atau kepentingan dari musik itu sendiri di tengah-tengah masyarakat pemiliknya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Alan P. Merriam :
... for in the study of human behavior we search constantly ... not only for the descriptive facts about music, but, more important, for the meaning of music ... We wish to know not only what a thing is, but, more significantly, what it does for people and how it does it (1964:209)
Merriam mengungkapkan bahwa sebenarnya kita tidak cukup jika hanya mengumpulkan fakta-fakta tentang musik, yang paling penting adalah
8
apa makna musik tersebut. Kita diharapkan tidak hanya mengetahui apa musik tersebut, tetapi yang lebih penting adalah apa yang dilakukan musik tersebut terhadap masyarakat pendukungnya dan bagaimana dampak atau efek yang dihasilkan terhadap masyarakat pendukungnya sendiri. Lebih lanjut lagi Merriam mengatakan : “Use” then, refers to situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reasons for its employment and particularly the broader purpose which it serve.
Merriam mengatakan bahwa penggunaan musik menekankan terhadap situasi yang bagaimana di dalam pelaksanaannya pada aktifitas masyarakatnya. Sedangkan fungsi musik meliputi alasan-alasan mengapa musik diadakan secara khusus dan apa saja yang dapat dilakukan/diberikan musik tersebut terhadap pemakainya (1964:210) Mutaqqin berpendapat bahwa musik banyak digunakan sebagai media untuk mengajarkan norma-norma, aturan-aturan yang sekalipun tidak tertulis namun berlaku di tengah masyarakat (Moh. Muttaqin 2009:10 ). Para pencipta
lagu anak seperti Bu Kasur, Pak Kasur, Pak Daljono, AT Mahmud, Ibu Sud— semua berupaya mengajarkan anak-anak berperilaku sopan, halus, hormat kepada orangtua, cinta keindahan, sayangi tanaman dan binatang, patuh pada guru, dan lain sebagainya. Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa musik juga berperan sebagai sarana untuk mendidik manusia agar berprilaku baik di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
9
Beberapa teori dan pendapat diatas selanjutnya akan penulis gunakan sebagai landasan didalam pembahasan fungsi sosial didong doah pada kehidupan
masyarakat Karo. Salah satu sumber pokok yang dapat kita pakai untuk memperdalam pengertian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan musik adalah pada teks nyanyian (Merriam 1964:187). Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk menemukan hubungan antara aksen dalam bahasa dengan aksen pada musik, serta sangat membantu melihat reaksi musikal bagi sebuah kata yang dianggap penting dan pewarnaan kata-kata dalam puisi (William P. Malm, 1977 : 9). Pendapat kedua yang diungkapkan oleh Malm tentang reaksi musikal akan penulis gunakan dalam melihat hubungan teks didong doah dengan aktivitas ekstra musikal yang terjadi pada saat upacara berlangsung. Bagaimana reaksi terhadap pengantin dari kata-kata yang diungkapkan si penyaji dalam teks didong doah bibi si rembah ku lau tersebut. Aspek-aspek
musikal
yang
perlu
diperhatikan
dalam
mentranskripsikan dan menganalisis melodi nyanyian didong doah yaitu : pola ritem, meter, intensitas suara (keras lembutnya suara), tangga nada, melodi, interval, frasa, bentuk, maupun teksturnya. Aspek-aspek tersebut oleh Slobin dan Titon (1984) disebut dengan gaya, mereka berpendapat : Style, this includes everything related to the organization of musical sound itself: pitch elements (scale, mode, melody, harmony, tuning systems, and so forth), time elements (rhythms, meter), timbre elements (voice quality, instrumental tone color), and sound intensity (loudness and softness).
10
Menurut mereka gaya adalah segala sesuatu yang terkait dengan organisasi bunyi musikal itu sendiri. Selanjutnya ada empat elemen yang menurut mereka adalah aspek penting yang harus diperhatikan dalam melihat gaya sebuah musik, yaitu: elemen nada (tangga nada, modus, melodi, harmoni, sistem tuning), elemen waktu (pola ritem, birama), elemen warna suara (kualitas suara, warna bunyi instrumental), dan elemen intensitas suara (keras lembutnya suara). Style atau gaya yang diungkapkan oleh mereka merupakan beberapa struktur yang terdapat dalam sebuah musik. Selanjutnya, pernyataan Slobin dan Titon diatas akan penulis jadikan sebagai pedoman dalam menganalisis gaya nyanyian didong doah.Dengan kata lain aspek-aspek tersebut diatas akan dilihat dalam didong doah, dengan pengecualian bahwa hal-hal yang menurut penulis tidak perlu dianalisis—misalnya modus dan harmoni—tidak akan dibicarakan di dalam pembahasan gaya nyanyian didong doah tersebut.
1.7. Metode Penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 1989:3). Sejalan dengan defenisi tersebut, Kirk dan Miller mendefenisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang
11
tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Kirk dan Miller dalam Moleong, 1989 : 3). Menurut Curt Sachs dalam Nettl (1962:16) penelitian dalam etnomusikologi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan meliputi pengumpulan dan perekaman data dari aktivitas musikal dalam sebuah kebudayaan manusia, sedangkan kerja laboratorium meliputi pentranskripsian, menganalisis data dan membuat kesimpulan dari keseluruhan data.6 Dalam rangka mendeskripsikan sebuah musik, kita dianjurkan
memperhatikan strukturnya, maka dilakukanlah transkripsi terhadap musik tersebut. Dalam melakukan transkripsi terhadap suatu musik, kita dapat menggunakan dua pendekatan, seperti yang diungkapkan oleh Nettl; pertama kita dapat menganalisa dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan kedua kita dapat mendeskripsikan apa yang kita lihat dan menuliskannya di atas kertas dengan cara penulisan tertentu (1964:98). Apa yang dikemukakan oleh Nettl ini akan dijadikan pedoman oleh penulis dalam menganalisis—dengan berpedoman pada pendekatan yang ke dua—gaya melodi yang terdapat dalam nyanyian didong doah. Penulis juga melakukan pendekatan emik dan etik dalam penelitian ini, karena penulis adalah ‟orang dalam‟ (insider). Penulis menganggap hal ini
penting karena dapat membantu penulis untuk mendapatkan semua informasi. Conrad dalam bukunya Cultural Anthropology mengemukakan:
6
Curt Sachs dalam Bruno Nettl, 1964 : 62
12
Emic approaches focus on native perceptions and explanations. Etic approaches give priority to the ethnographer’s own observations and conclusions.
Conrad menyebutkan pendekatan emik merupakan fokus pendekatan menurut pandangan dan keterangan pemilik budaya tersebut, sedangkan pendekatan etik adalah pendekatan berdasarkan pengamatan dan kesimpulan peneliti itu sendiri. 7 Dalam hal ini penulis bisa memandang budaya Karo dengan pendekatan emik maupun etik. Kedua pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan data yang objektif
Adapun metode-metode yang penulis lakukan dalam penulisan skripsi ini adalah: studi kepustakaan, penelitian lapangan dan kerja laboratorium. Untuk lebih jelas lagi ke tiga metode tersebut akan dijelaskan selajutnya.
1.7.1. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan merupakan salah satu landasan dalam melakukan sebuah penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumbersumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan penulis akan mendapat input atau masukan tentang apa yang sudah dan belum diteliti. Studi kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan dasar tentang apa yang akan diteliti. Dalam hal ini penulis mempelajari skripsi yang sudah pernah ditulis oleh salah seorang sarjana Etnomusikologi yaitu 7
Lihat Conrad Phillip Kottak dalam Cultural Anthropology
13
Rumondang Siahaan dengan judul Studi Analisis Didong Doah Dalam Pesta Perkawinan Pada Masyarakat Karo (1991). Dengan mempelajari skripsi ini penulis mendapat keuntungan yaitu mengenai gambaran umum tentang didong doah bibi sirembah ku lau. Namun demikian skripsi ini hanya membahas mengenai analisa melodinya saja, serta kaitannya dengan pesta perkawinan pada masyarakat Karo. Kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini kemudian akan penulis bahas dalam skripsi penulis. Selain menganalisa melodi dan bentuk pola ritemnya, penulis juga melihat struktur umum musikal dan fungssi sosial budaya didong doah bibi si rembah ku lau. Disamping mempelajari skripsi Rumondang Siahaan, penulis juga membaca dan mendapat informasi dari beberapa buku, seperti U.C Barus dan Drs. Mberguh Sembiring (1993), Ir. Terang Malem Milala (2008), Darwan Prints S.H (1991), Sarjani Tarigan (2009) dan Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan (1988). Adapun informasi yang penulis peroleh dari buku-buku tersebut adalah berupa pengetahuan menganai adat perkawinan masyarakat Karo, sistem kekerabatan, dan sistem religinya. Dari sekian banyak buku yang penulis pelajari, Rumondang Siahaan adalah satu-satunya penulis yang hanya membahas mengenai didong doah bibi si rembah ku lau. Untuk itu penulis merasa sangat terbantu dengan adanya skripsi tersebut. Untuk melengkapi pengetahuan penulis dalam menulis skripsi ini, penulis juga melakukan studi kepustakaan terhadap topik-topik lain yang berhubungan dengan penelitian skripsi ini, seperti pengetahuan tentang pendidikan, folklore, antropologi, sistem kekerabatan, linguistik, komunikasi,
14
etnograpi, dan musikologi. Selajutnya hasil yang didapat dari penelusuran kepustakaan tersebut akan digunakan sebagai penambahan informasi dalam penulisan skripsi ini.
1.7.2. Penelitian lapangan Penelitian lapangan dilakukan agar penulis dapat mengetahui secara keseluruhan mengenai objek yang diteliti. Dengan melakukan penelitian lapangan, penulis dapat terlibat langsung dengan objek yang sedang diteliti dan mendapat lebih banyak informasi. Dalam kerja lapangan penulis melakukan pengamatan dan pengambilan data melalui perekaman terhadap jalannya upacara secara keseluruhan. Selain melakukan perekaman, penulis juga
melakukan
berbagai wawancara dengan beberapa tokoh adat, penyaji maupun individuindividu yang pernah terlibat dalam menyajikan didong doah ini. Wawancara
dengan informan yang pernah terlibat melaksanakan didong doah bibi si rembah ku lau
penulis lakukan di Berastagi, tepatnya di Jalan Kejora-
Berastagi, tempat dimana informan tersebut menetap. Sedangkan perekaman terhadap upacara perkawinan—yang menyajikan didong doah bibi si rembah ku lau —dilakukan di Jambur Ta Ras Berastagi. Penulis juga melakukan perekaman tambahan dengan meminta informan—yang pernah terlibat dalam penyajian didong doah—untuk menyanyikan didong doah itu sendiri. Adapun teknik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara berfokus (focus interview) yaitu melakukan pertanyaan selalu berpusat pada pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan wawancara bebas (free interview) yaitu pertanyaan tidak hanya terfokus pada pokok permasalahan tetapi pertanyaan dapat
15
berkembang ke pokok permasalahan lainnya yang bertujuan untuk memperoleh
berbagai ragam data, namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan (Koentjaraningrat, 1985:139). Hal ini penulis lakukan untuk mendukung data yang telah diperoleh dari kerja lapangan maupun dari studi kepustakaan. Perekaman audio-visual juga dilakukan selama upacara berlangsung. Perekaman audio menggunakan kamera digital CANON IXUS 80 IS yang sudah dilengkapi dengan alat perekam di dalamnya. Selain itu ada juga rekaman yang dibuat di luar upacara. Rekaman ini dimaksudkan untuk memperjelas detil-detil yang tak terekam dengan baik pada saat upacara. Rekaman ini dilakukan secara digital. Gelombang suara yang muncul—dari suara si penyaji sesuai dengan permintaan penulis—direkam secara langsung juga dari kamera digital CANON IXUS 80 IS . Sedangkan rekaman audiovisual untuk mengabadikan adegan-
adegan yang terjadi dalam upacara juga tetap dilakukan dengan menggunakan kamera digital CANON IXUS 80 IS. 1.7. 3. Metode Transkripsi Transkripsi adalah proses penotasian bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual (Nettl, 1964 : 98). Pentranskripsian bunyi musik merupakan suatu usaha untuk mendeskripsikan musik, yang mana hal ini merupakan bagian penting dalam disiplin etnomusikologi. Sebagai bahan transkripsi penulis mengambil tiga buah sampel nyanyian didong doah dari tiga orang penyaji yang berbeda. Adapun alasan penulis mengambil tiga sampel dari tiga penyaji yang berbeda adalah karena penulis ingin melihat perbedaan struktur yang dinyanyikan oleh ketiga penyaji
16
tersebut, dengan membuat salah satu struktur sebagai pembanding terhadap dua struktur lainnya. Sedangkan alasan penulis memilih ketiga orang tersebut karena mereka adalah orang-orang yang sudah biasa dan berpengalaman dalam menyajikan didong doah. Lebih dari pada itu ketiga penyaji masing-masing menampilkan gaya yang berbeda dalam menyanyikan didong doah. Adapun ketiga penyaji tersebut adalah: Nande8 Rony br Sembiring (70 tahun), Nande Paksa br Sembiring (76 tahun), Nande Sabar br Tarigan (69 tahun). Dalam mentranskripsikan nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau, penulis meminta bantuan kepada beberapa teman yang mampu dalam hal pentranskripsian.9 Namun pentranskripsian itu penulis batasi hanya pada satu sampel saja, yaitu sampel C, karena sampel nyanyian ini direkam secara langsung pada sebuah pesta perkawinan masyarakat Karo dan memakai iringan musik. Kurangnya kualitas dari alat perekam yang digunakan menyebabkan suara yang dihasilkan
tidak bersih dan tidak jelas. Selain kurangnya
pengetahuan penulis tentang pentranskripsian, penulis juga merasa kesulitan untuk membedakan antara bunyi musik pengiring dengan bunyi vokal yang dihasilkan si penyaji, ditambah lagi penulis tidak mengetahui bagaimana cara menghilangkan noice (kebisingan) pada rekaman tersebut. Banyaknya noice yang
terdengar
membuat
penulis
merasa
kesulitan
untuk
mentranskripsikannya. Namun demikian hasil transkripsi yang telah penulis dapatkan, tidaklah sepenuhnya benar. Setelah diperiksa kembali, ternyata masih terdapat beberapa kesalahan. Oleh karena itu penulis pun memutuskan 8
Pada masyarakat Karo istilah nande digunakan pada wanita yang sudah menjadi seorang ibu. Nama anak tertua akan digunakan dibelakang istilah tersebut. 9 Franseda Sitepu S.Sn dan Saidul Irfan Hutabarat S.Sn.
17
untuk memperbaiki sendiri kesalahan-kesalahan tersebut, dengan tanpa bantuan dari siapapun. Hal ini ternyata sangat bermanfaat bagi penulis, karena dapat menjadi proses pembelajaran bagi penulis. Sehingga dua sampel nyanyian lainnya penulis transkripsikan sendiri. Adapun sampel nyanyian yang penulis transkripsikan tersebut adalah sampel A dan C. Penyajian kedua sampel ini tidak didampingi dengan iringan musik, karena penulis tidak mendapatkan sampel ini melalui sebuah pesta perkawinan, melainkan dari dua orang informan—yang sekaligus juga sebagai penyaji—yang langsung penulis wawancara. Karena kedua sampel ini tidak diiringi dengan musik dan alat perekam yang digunakan berkualitas baik, hal ini memberi kemudahan bagi penulis untuk mentranskripsikannya. Untuk mentranskripsikan kedua sampel nyanyian tersebut, penulis melakukan dua buah metode. Adapun kedua metode itu adalah : pertama, penulis mentranskripsikan bunyi melodinya terlebih dahulu, yaitu dengan mendengar nyanyian terebut frasa per frasa dan menirukan bunyinya pada instrumen keyboard, lalu mencatat nada apa yang terdengar, kedua, lalu penulis mentranskripsikan pola ritemnya, yaitu dengan memisahkan teks nyanyian itu menjadi suku-suku kata. Setelah mendapatkan hasilnya (baik melodi maupun pola ritemnya) penulis lalu memindahkannya ke dalam software musik sibellius, kemudian mendengarkan kembali hasil yang telah dipindahkan tersebut. Jika ada bunyi nada atau pola ritem yang kurang tepat, penulis mendengarkan
kembali
sampel
nyanyian
18
tersebut,
lalu
kemudian
memperbaikinya hingga benar. Begitulah terus menerus cara yang penulis lakukan pada setiap frasa sampel nyanyian tersebut. Dalam memindahkan hasil transkripsi didong doah bibi si rembah ku lau tersebut, penulis menggunakan sistem notasi barat. Adapun alasan penulis memilih sistem notasi barat adalah pertama sistem notasi barat sangat cocok digunakan untuk menunjukkan tinggi atau rendahnya suatu nada, kedua sistem notasi barat bisa digunakan untuk menunjukkan nilai ritmis dari setiap nada. Lebih dari pada itu simbol-simbol yang terdapat dalam sistem notasi barat bersifat fleksibel, artinya untuk menyatakan sebuah nada yang sulit untuk ditranskripsikan dapat dibubuhkan atau ditambahkan simbol lain sesuai dengan kebutuhan yang penulis inginkan. Pendekatan transkripsi yang penulis gunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan transkripsi deskriptif, yaitu mencatat semua detail-detail fenomena bunyi musikal yang dapat didengar.10 Namun kenyataannya, ada detail-detail fenomena musikal yang terlalu rumit untuk bisa dinotasikan, misalnya pergeseran tinggi rendahnya nada yang sangat halus pada saat sebuah nada dinyanyikan mau pun perbedaan yang sangat halus dalam nilai ritmis diantara setiap nada. Persoalan diatas merupakan problema musikal yang sulit divisualisasikan dalam penulisan dengan menggunakan sistem notasi barat. Oleh karena itu detail-detail yang tidak dapat divisualisasikan oleh notasi barat tersebut, akan di tangani dengan beberapa simbol tambahan. Tabel 1.1. Simbol-simbol Tambahan Pada Pentranskripsian Didong Doah Bibi Si rembah Ku Lau 10
Lihat Seeger dalam Bruno Nettl, Theory and Method in Ethnomusicology, 1964 : 99
19
No 1 ,
Simbol
Keterangan
,
Ketiga simbol ini digunakan untuk menunjukkan rengget. Perbedaan pada simbol-simbol ini menunjukkan adanya perbedaan gaya pada setiap rengget.
dan 2 Simbol ini menyatakan bahwa pitch nada yang seharusnya lebih tinggi sedikit dari nada yang tertulis. 3 Simbol ini menyatakan bahwa nada yang seharusnya lebih rendah dari nada yang tertulis. 4 Simbol ini digunakan untuk membatasi setiap frasa (pada sampel A dan B) 5 Simbol ini digunakan untuk membatasi setiap frasa pada sampel C. 6 Simbol ( ) digunakan untuk menunjukkan dinamika keras dan simbol ( ) digunakan untuk menunjukkan dinamika lembut. Yang dimaksud dengan dinamika disini adalah bertambah dan berkurangnya volume suara ketika sipenyaji menyanyikan didong doah bibi si rembah ku lau tersebut.
1.7.4. Kerja Laboratorium Dalam kerja laboratorium akan dilakukan proses penganalisisan terhadap semua data-data yang telah didapat. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil
20
rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisis. Pada akhirnya, data-data hasil pengolahan dan analisis disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.
1.8. Lokasi Penelitian Daerah yang penulis ambil sebagai lokasi penelitian adalah di Kota Berastagi, Kabupaten Karo. Adapun alasan penulis memilih lokasi ini adalah, karena berastagi merupakan salah satu daerah tempat bermukimnya masyarakat suku Karo di Kabupaten Tanah Karo, dengan begitu praktek penyajian didong doah bibi si rembah ku lau masih sangat mudah ditemukan. Selain itu Berastagi juga merupakan kampung halaman penulis dan semua kerabat dekat penulis menetap disana, sehingga mudah bagi penulis untuk mencari dan mendapatkan informan. Disamping itu dapat menghemat biaya untuk transportasi dan makan sehari-hari penulis ketika melakukan penelitian. Dalam melakukan wawancara dengan beberapa informan penulis juga tidak menemukan adanya kendala ataupun kesulitan, karena penulis menguasai bahasa Karo dengan baik, yang merupakan bahasa pengantar masyarakat di Berastagi. Dekatnya jarak dari kampus penulis—yang berada di Medan— dengan Berastagi merupakan salah satu alasan penulis memilih lokasi ini. Karena dekatnya jarak tempuh tersebut, penulis dapat melakukan perjalanan pulang dan pergi hanya dalam waktu sehari saja.
21
BAB II ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT KARO
Pada bab II ini saya akan menguraikan tentang keadaan lingkungan dan masyarakat Karo yang tinggal di Berastagi, seperti lokasi lingkungan alam dan
22
demografi, mata pencaharian dan sistem bahasa, serta etnografi umum masyarakat Karo seperti sistem religi, sistem kekerabatan maupun sistem keseniannya. Beberapa aspek tersebut menurut penulis juga penting untuk jelaskan, karena selain untuk mengenalkan daerah penelitian penulis kepada pembaca, beberapa aspek seperti sistem bahasa, sistem kekerabatan dan sistem keseniannya juga berhubungan dengan didong doah bibi si rembah ku lau. Penyajian didong doah bibi si rembah ku lau menggunakan bahasa Karo dan disajikan di pesta perkawinan, yang mana masalah perkawinan disini berhubungan erat dengan sistem kekerabatan. Penulis juga berpendapat bahwa sistem kesenian juga menjadi aspek yang sangat penting untuk dibahas disini, karena didong doah bibi si rembah ku lau merupakan salah satu bentuk seni vokal dari kebudayaan musikal Karo. Berikut ini akan dijelaskan beberapa aspek tersebut secara umum.
2.1 Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi Daerah yang penulis ambil sebagai lokasi penelitian adalah Berastagi, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo. Berastagi berjarak ± 65 km dari ibu kota propinsi Sumatera Utara dan dapat di tempuh dengan menggunakan bus umum, dengan lama perjalanan sekitar 1,5 jam (jika kondisi arus lalu lintas dalam keadaan normal).
23
Gambar 2.1. Kota Berastagi dilihat dari Puncak Gundaling11
Berdasarkan data monografi yang diperoleh penulis dari kantor kecamatan Berastagi, luas wilayah daerah tersebut adalah 3.050 ha dengan jumlah penduduk 40.500 jiwa. Berastagi terletak 1400 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 16° C - 22° C dan diapit oleh dua gunung berapi ; Sinabung (2400 m) dan Sibayak (2100 m).12 Kecamatan Berastagi berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang di sebelah utara, Kecamatan Kabanjahe di sebelah selatan, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Tigapanah dan Barusjahe. (Data Statistik Kecamatan Berastagi tahun 2010).
11 12
Sumber : Dokumentasi penulis, 6 Februari 2009 http://www.dharssi.org.uk/travel/indonesia/berastagi.html
24
Gambar 2.2. Peta Kecamatan Berastagi13
Berastagi merupakan daerah yang subur dan sangat berpotensi dalam bidang pertanian, oleh karena itu Berastagi dikenal sebagai salah satu daerah penghasil sayur dan buah terbesar di Sumatera Utara. Dengan suhu yang dingin dan tanah yang subur14, membuat daerah ini sangat cocok untuk kegiatan pertanian. Tidak sedikit dari hasil pertanian tersebut yang di ekspor ke luar negeri. 13
Sumber : Kantor Camat Berastagi. Tanah yang subur berasal dari letusan dahsyat gunung Sibayak (1881). Letusan vulkanik tersebut menyebabkan tanah disekitarnya menjadi sangat subur dan sangat cocok digunakan untuk kegiatan bercocok tanam. 14
25
Selain itu Berastagi juga dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Hal ini disebabkan karena adanya dua gunung berapi yang menjadi tujuan pendakian wisatawan serta keadaan alamnya yang masih sejuk dan asri. Disamping itu ada beberapa tujuan wisata yang juga menarik perhatian para wisatawan, seperti Bukit Gundaling, Pasar Buah (yang menjual berbagai macam buah-buahan yang dihasilkan dari bumi Berastagi sendiri), dan wisata sado/delman. Mengenai keadaan penduduk , pendidikan, pertanian, sarana gedung serta kelengkapan lainnya dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini.15 TABEL 2.1 Distribusi Penduduk Menurut Jenis Kelamin No
Wanita
Pria
Jumlah (Jiwa)
1
21.074
19.426
40.500
TABEL 2.2 Distribusi Sarana Pendidikan No
1
SMU
SMP
SD
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
2
6
3
5
18
8
TABEL 2.3 Distribusi Sarana Kesehatan No 1
Rumah sakit/ bersalin/klinik 32
Puskesmas
Pustu
BKIA
Posyandu
2
10
13
25
15
Data ini diperoleh dari data monografi (2010) yang terdapat di kantor camat Kecamatan Berastagi.
26
TABEL 2.4 Distribusi Tempat Peribadatan No 1
Mesjid/Mushola 30
Gereja 31
Kuil _
Vihara 3
TABEL 2.5 Jumlah Tenaga Kerja yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan No 1
Pertanian 18.961
Industri 1.772
PNS/ABRI 1.041
Lainnya 312
TABEL 2.6 Luas dan Produksi Tanaman No
Jenisnya Padi
Luas Tanaman/ ha -
Luas yang panen/ ha -
Rata-rata produksi/ ton -
1. 2.
Jagung
34
50
5,2
3.
Ketela pohon
25
38
0,8
4.
Ketela rambat
30
45
1,2
5.
Sayur-sayuran
904
850
-
6.
Buah-buahan
81
159
-
Data pertanian mengenai tanaman padi tidak ada ditunjukkan pada tabel diatas, karena tidak ditemukannya masyarakat di Berastagi yang bercocok tanam menanam padi. Mengenai kosongnya data rata-rata produksi pada tanaman sayur dan buah, dikarenakan data yang penulis peroleh dari kantor camat Berastagi memang tidak lengkap. Disamping itu penulis juga merasa
27
tidak perlu untuk mencari tahu mengenai hal tersebut, karena penelitian ini bukan berfokus pada masalah pertaniannya. TABEL 2.7 Sarana Gedung dan Kelengkapan Lainnya No
Sarana Gedung
Jumlah
1.
Kantor Camat
1 unit
2.
Kantor Kepala Desa/Kelurahan
9 unit
3.
Koperasi Unit Desa
1 unit
4.
Hotel
9 unit
5.
Penginapan/ Losmen/ Wisma
31 unit
6.
Bank Umum
4 unit
7.
BPR
3 unit
Jika dilihat kembali tabel diatas menunjukkan bahwa sarana hotel, penginapan, losmen maupun wisma memiliki jumlah unit yang paling banyak diantara sarana gedung lainnya. Sekitar 70% sarana gedung tersebut terdapat di Berastagi. Ini menunjukkan bahwa kepariwisataan di Berastagi berkembang pesat. Melihat keterangan dari tabel-tabel tersebut, wilayah Kecamatan Berastagi dapat dikatakan berpotensial dalam bidang pertanian dan pariwisata. Dalam bidang pertanian, dapat dilihat dari banyaknya hasil pertanian dan tenaga kerja yang bekerja di bidang yang sama. Sedangkan dalam bidang pariwisata, dapat dilihat dari banyaknya (±68%) sarana-sarana penginapan (hotel, losmen atau pun wisma) yang tersedia. 28
2.2. Masyarakat Karo di Berastagi 2.2.1. Mata Pencaharian Melihat daerah Berastagi yang subur dan berpotensi tinggi dalam bidang pertanian, tidak heran jika sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah bertani terutama penduduk asli yang turun temurun telah menetap di sana. Namun demikian sebagian penduduknya juga ada yang bermata pencaharian sebagai pegawai (swasta maupun negeri), pedagang, maupun kuli di tanah-tanah perkebunan. Biasanya penduduk yang bermata pencaharian sebagai pedagang maupun kuli adalah penduduk (suku) pendatang16, karena sebagian besar dari mereka tidak memiliki sawah atau kebun sendiri untuk diolah.
Gambar 2.3. Lahan perkebunan milik rakyat17
Selain berpotensi di bidang pertanian, Berastagi juga memiliki potensi yang cukup tinggi dalam bidang pariwisata. Oleh karena itu sebagian dari 16
Suku-suku pendatang di Tanah Karo adalah Batak Toba, Simalungun, Jawa, Padang, Nias dan Tionghoa. 17 Sumber : Dokumentasi penulis, 6 Februari 2009
29
penduduknya juga ada yang bermata pencaharian sebagai pengusaha dalam bidang jasa, yang menawarkan jasa perhotelan, penginapan, maupun losmen. 2.2.2. Bahasa Berastagi merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tanah Karo yang penduduknya adalah mayoritas suku Karo. Bahasa Karo merupakan bahasa ibu dari masyarakat Karo yang menetap disana. Hampir seluruh masyarakat Karo menggunakan bahasa Karo sebagai media komunikasi dalam percakapan formal maupun percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan sebagian penduduk yang tidak bersuku Karo pun mengerti dan fasih menggunakan bahasa ini, karena bahasa Karo lebih sering digunakan jika dibandingkan dengan bahasa nasional (bahasa indonesia). Hal ini mengharuskan mereka untuk beradaptasi dengan penduduk asli yang dalam kesehariannya menggunakan bahasa karo. Masyarakat Karo juga memiliki aksara atau tulisan sendiri yang disebut dengan indung surat. Aksara Karo terdiri dari 21 huruf. Adapun bunyi hurufhuruf itu menurut Barus dan Sembiring dalam buku mereka ”Sejemput Adat Budaya Karo” adalah : ha, ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, ya, nga, la, ca, nda, mba, i, u.
30
Gambar 2.4. Indung Surat Aksara Karo18 Aksara Karo tersebut juga di lengkapi dengan beberapa aksara tambahan yang disebut dengan anak surat. Adapun fungsi dari anak surat ini adalah untuk merubah bunyi indung surat. Berikut ini dapat kita lihat beberapa anak surat pada aksara karo serta contoh-contoh penggunaannya. TABEL 2.8 Penggunaan Anak Surat dalam Indung Surat Sumber : Roberto Bangun (2005) N o
Bentuk/ gambar Anak Surat
Nama
Contoh
Dibac a
Fungsi
Menambah huruf ng pada akhir kata
1.
Kebencare n
Tatang
2.
Ketolonge n
Ka-ro
Kalawen
Ja-di
3.
18
Mengubah akhiran a menjadi o Mengubah akhiran a menjadi i
Sumber : Sejemput Adat Budaya Karo oleh U.C Barus dan Drs. Mberguh Sembiring S.H.
31
4.
Kejeringen
Lawah
5.
Ketelengen
Ma-te
Mengubah akhiran a menjadi ē
6.
Sikurun
Ja-bu
Mengubah akhiran a menjadi u
7.
Kebereten
8.
Menambah huruh h pada akhir kata
Le-nga Mengubah akhiran a jadi e
Pemantik
Ka-m
Menghilangka n huruf vokal pada akhir kata
2.2.3. Sistem Religi dan Kepercayaan Kepercayaan yang paling tua pada masyarakat Karo adalah Dinamisme dan Animisme. Dalam tingkat kepercayaan ini dilakukan pemujaan yakni penyembahan kepada yang dianggap suci dan berkuasa, dan pemujaan tersebut dilakukan dimana saja dan kapan saja (E.P. Gintings, 1999:1). Dengan memeluk kepercayaan tersebut masyarakat Karo selalu berfikir secara mistis dan memakai mitos-mitos untuk memahami hidup dan keadaan lingkungan sekitar. Mitos-mitos inilah yang selanjutnya dijadikan acuan dalam mengatur dan mengarahkan seluruh kegiatan hidupannya. Sistem kepercayaan animisme berasal dari zaman Pra-Hindu yang dibawa oleh bangsa Proto-Melayu—nenek moyang masyarakat Karo—ke 32
dalam wilayah Karo. Dalam lapisan sejarah berikutnya, pengaruh Hindu pun memasuki Karo, yang membuat kepercayaan kepada dewata. Kepercayaan ini dibawa oleh pedagang-pedagang dari India (Tamil) yang masuk dari pantai Barat, Barus, dan terus ke Dairi hingga masuk ke Karo.19 Selanjutnya terjadilah pertemuan antara kepercayaan animisme (serba roh) dengan kepercayaan terhadap dewata (Dibata dalam bahasa Karo) melalui adanya perkawinan campuran masyarakat Karo dengan bangsa India/ Tamil. Pengaruh Hindulah yang memperkenalkan kepercayaan terhadap Dewata (Dibata) kepada suku Karo (Gintings 1992:2). Penganut kepercayaan terhadap Dibata ini disebut juga Perbegu. Perbegu berasal dari kata begu yang artinya hantu atau roh orang-orang yang sudah meninggal. Kepercayaan animisme dan dinamisme selanjutnya dapat berbaur serasi dengan pengaruh Hindu, sehingga ritus-ritus yang berhubungan dengan alam dan benda-benda yang dianggap gaib dapat terus berlangsung (Gintings 1992:3) Gintings dalam bukunya Religi Karo, juga menyebutkan bahwa kepercayaan terhadap Dewata ini merupakan kepercayaan terhadap Dibata Kaci-Kaci atau Dibata La Idah.
Dibata Kaci-Kaci memiliki tiga wilayah
kekuasaan yang masing-masing diperintah oleh seorang Dibata sebagai wakil Dibata Kaci-Kaci. Ketiga Dibata tersebut merupakan satu kesatuan yang dalam bahasa Karo disebut Dibata Sitelu (Gintings 1992:3). Konsep Dibata Sitelu :
19
H. Parkin dalam Pdt. E.P. Gintings, 1999:2
33
1. Dibata Datas, yang disebut dengan Guru Batara adalah Dibata yang menguasai dunia bagian atas (langit). Guru Batara berfungsi sebagai pemelihara alam, sumber segala berkat dan kebaikan. 2. Dibata Tengah, yang disebut dengan Tuhan Padukah ni Aji adalah Dibata yang menguasai dunia bagian tengah yaitu bumi. 3. Dibata Teruh, yang disebut Tuhan Banua Koling adalah Dibata yang menguasai dunia bagian bawah yaitu dunia roh atau makhluk halus. Masyarakat Karo juga memiliki beberapa kegiatan ritual atau upacara ritual yang berhubungan dengan kehidupan mereka. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilihat pada penjelasan dibawah ini. a. Erpangir ku Lau Erpangir ku lau adalah salah satu upacara ritual yang bersifat religius pada kepercayaan tradisional masyarakat Karo. Erpangir ku lau dapat juga diartikan keramas/upacara berkeramas ke sungai. Upacara ini dapat dilakukan dengan/ tanpa bantuan seorang guru (dukun),20 tergantung pada permintaan keluarga yang melaksanakannya.
20
Guru atau dukun yang memimpin upacara ini disebut Guru Sibaso. Guru Sibaso biasanya adalah seorang wanita. Guru Sibaso berfungsi sebagai mediator atau pun perantara antara rohroh yang berada disekitar tempat pelaksanaan dengan keluarga yang melaksanakan upacara tersebut.
34
Gambar 2.5. Upacara Erpangir Ku Lau21
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi dilaksanakannya upacara ini, yaitu : sebagai ucapan terimakasih kepada Dibata (Tuhan), untuk menghindari malapetaka, untuk menyembuhkan suatu penyakit, pembersihan diri dari yang kotor, menabalkan seseorang menjadi guru (dukun), dan untuk melaksanakan perkawinan. b. Raleng Tendi Raleng tendi adalah upacara memanggil roh seseorang yang telah mengembara atau meninggalkan raganya karena diganggu oleh keramat (roh penunggu suatu tempat) atau karena suatu peristiwa tertentu. Hal tersebut berhubungan dengan berawan22 yang membuat seseorang sakit. Roh orang sakit itu lah yang perlu dipanggil pulang ke rumah dan kembali kepada raga orang yang bersangkutan. Raleng tendi dilaksanakan oleh seorang Guru Sibaso 21
Sumber : www.karokab.go.id Roh yang tertinggal atau yang pergi dari tubuh seseorang karena suatu peristiwa yang menakutkan yang mengakibatkan orang tersebut menjadi sakit-saitan (Darwin Prints, Kamus Karo-Indonesia 2002:91). 22
35
yang pandai ermang-mang (mengucapkan kata-kata puitis dan magis yang menyentuh hati). Raleng tendi dilaksanakan pada malam hari di rumah sukut (tuan rumah) yang dihadiri oleh sangkep nggeluh (kalimbubu, sembuyak, anak beru) dan hari pelaksanaannya disesuaikan dengan hari yang baik menurut guru simeteh wari (dukun yang mengetahui primbon hari). Perlengkapan yang diperlukan untuk melaksanakan upacara ini adalah baka (keranjang), bulung simelias gelar (dedaunan yang namanya mempunyai makna baik), beras meciho ibas pernakan (beras putih di dalam bakul nasi)23, tinaruh manuk raja mulia ( telur ayam yang disimbolkan sebagai kemuliaan), amak mbentar (tikar putih yang terbuat dari anyaman pandan), dagangen mbentar (kain putih), kumenen (kemenyan). Sebelum upacara dimulai sukut terlebih dahulu memberikan sesajian kepada begu (roh orang mati) yang dianggap sebagai pelindung keluarga. Setelah itu guru pun ersentabi (meminta ijin) dan memanggil tendinya (rohnya) atau jinujungnya (begu yang menjadi junjungannya). Orang yang rohnya dipanggil tersebut dipersilahkan duduk diatas sebuah amak mbentar dan ditutupi dengan dagangen mbentar (kain putih). Baka diangkat diatas kepalanya oleh dua orang gadis yang masih lengkap kedua orang tuanya. Lalu guru pun mulai ermang-mang dengan melantunkan beberapa lirik yang berhubungan dengan upacara tersebut. Setelah ermang-mang dukun pun menggoncang-goncangkan beras yang ada dalam pernakan (bakul nasi), bila baka yang dipegang ke dua gadis tersebut bergetar, menandakan bahwa tendi yang dipanggil tadi telah kembali ke rumah. 23
Beras meciho merupakan sebutan untuk beras putih yang digunakan untuk keperluan suatu upacara.
36
Setelah itu dukun memasukkan telur ayam ke dalam pernakan, sebagai tanda bahwa rohnya telah kembali ke raganya (orang yang sakit tersebut). c. Perumah Begu Perumah begu adalah upacara memanggil roh orang yang telah meninggal. Perumah begu merupakan salah satu kepercayaan tradisional yang hidup pada orang Karo. Menurut aliran kepercayaan ini bahwa orang yang sudah meninggal, rohnya masih bisa di panggil melalui seorang dukun atau Guru Sibaso. Guru Sibaso disini berfungsi sebagai mediator atau penghubung antara roh tersebut dengan keluarga yang bersangkutan melaksanakan upacara. Salah satu tujuan diadakannya upacara ini adalah karena adanya perselisihan yang terjadi diantara keluarga yang bersangkutan, untuk itu perlu di panggil roh nenek moyang mereka untuk mendamaikannya.24
Gambar 2.6. Upacara Perumah Begu25
24 25
Wawancara dengan Katalemuk br Sukatendel, 23 Agustus 2011) Sumber : www.karosiadi.blogspot.com.
37
d. Ndilo Wari Udan Ndilo wari udan adalah salah satu upacara dalam kebudayaan masyarakat Karo yang bersifat magis. Tujuan upacara ini dilaksanakan adalah untuk memohon hujan kepada dibata (Tuhan) karena kemarau yang berkepanjangan. Dalam tradisi kepercayaan tersebut dipahami bahwa adanya bencana yang dialami manusia atau sekelompok manusia karena terganggunya hubungan manusia dengan alam sekitarnya akibat ulah manusia itu sendiri. Misalnya jika terjadi kemarau, hal ini dapat mengganggu kegiatan pertanian masyarakat yang berakibat pada siklus menanam pada para petani. Maka untuk menghindari kemarau yang berkepanjangan diadakanlah upacara ndilo wari udan. Upacara ndilo wari udan juga dikenal dengan kebiasaan ersimbu (perang air). Acara ini dimulai pada pagi hari, semua warga desa berkumpul di kesain (alun-alun). Pembukaan ersimbu dibuka dengan mencurahkan air secara simbolis kepada beberapa orang penting, seperti : simantek kuta (pendiri desa, pengulu), anak beru kuta, kalimbubu kuta, senina dari simantek kuta, guru (dukun) yang ada di desa tersebut. Setelah itu maka acara ersimbu sudah resmi dimulai. Dengan melakukan upacara ini, diharapkan agar hujan pun turun. e. Pagar dan Mere Buah Huta-huta Pagar dan Buah huta-huta adalah roh pelindung keluarga dan atau roh pelindung kampung. Pagar merupakan pemujaan penduduk di suatu kampung terhadap begu (roh) leluhur sebagai tanda penghormatan. Letak pagar biasanya disekeliling kampung.
38
Mere buah huta-huta juga memiliki persamaan dengan pagar, bedanya adalah pada tempatnya saja. Jika pagar dilakukan disekeliling kampung, maka mere buah huta-huta terletak di tengah kampung. Buah huta-huta adalah nama pohon kayu nabar (sejenis pohon beringin) yang ditanam di tengah kampung dan dijadikan sebagai tempat pemujaan. Mere artinya memuja roh tersebut. Pemujaan dilakukan dengan membuat anjap telu suki.26 Pelaksanaan pemujaan ini biasanya dilakukan oleh beberapa orang Guru Sibaso. Pada umumnya masyarakat Karo di Berastagi sudah menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan kata lain setiap individu sudah memeluk agama yang diyakininya masing-masing. Agama yang umum dianut oleh masyarakat Karo di Berastagi adalah Islam, Kristen Protestan dan Katolik. Mengenai kegiatan-kegiatan ritual seperti yang dijelaskan diatas, masyarakat Karo di Berastagi sudah sangat jarang melakukannya, terutama bagi individu yang sudah memeluk agama.
2.2.4. Sistem Kekerabatan Masyarakat Karo memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut/ daliken sitelu. Ketiga sistem tersebut selalu diperlukan dan hadir dalam setiap upacara adat pada masyarakat Karo, termasuk juga dalam sebuah upacara perkawinan.
2.2.4.1. Merga Silima 26
Sejenis tempat persembahan berbentuk segitiga, tiangnya terbuat dari bambu dan dihias keliling dengan lambe (daun muda enau),
39
Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Marga atau merga dalam bahasa Karo tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga atau beru ini diperoleh dari marga ayah (garis keturunan patrilineal). Garis keturunan patrilineal inilah yang selanjutnya dapat memberikan arah dengan siapa seseorang boleh kawin dan tidak boleh kawin. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut ersenina (bersaudara), demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga ersenina. Namun bila ditemukan seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, dan dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring yang ada dapat menikah diantara mereka.
Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah: Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan. Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Submerga ini biasanya dipakai di belakang merga, sehingga
tidak terlihat kerancuan mengenai
pemakaian merga dan submerga. Berikut akan disajikan merga dan pembagiannya :
40
1. Ginting
: Pase, Munthe, Manik, Sinusinga, Seragih, Suka, Babo, Sugihen, Gurupatih, Suka, Beras, Bukit, Garamata, Ajartambun, Jadibata, Jawak, Tumangger, Capah
2. Karo-Karo
: Purba, Ketaren, Sinukaban, Sekali, Sinuraya, Sinuhaji,
Jong/
Jung,
Kemit,
Samura,
Bukit,
Sinulingga, Kaban, Kacaribu, Surbakti, Sitepu, Barus, Manik, Gurusinga, Sinubulan.
3. Perangin-perangin
: Sukatendel, Kutabuloh, Jomborberingen, Jenabun, Kacinambun, Bangun, Keliat, Beliter, Mano, Pinem, Sebayang,
Laksa,
Penggarun,
Uwir,
Sinurat,
Pincawan/ Pencawan, Singarimbun, Limbeng, Prasi, Benjerang,
Namohaji,
Perbesi,
Simanjorang,
Tanjung, Ulunjadi.
4. Sembiring. Merga sembiring terbagi menjadi dua kelompok submerga, yang pertama
adalah sembiring
si
man
biang
(kelompok
yang
tidak
memantangkan daging anjing dan tidak melakukan perkawinan dengan submerga sembiring lainnya), dan yang kedua adalah sembiring si mantangken biang (kelompok yang memantangkan daging anjing dan boleh melakukan perkawinan dengan submerga sembiring lainnya). Uraiannya dapat dilihat sebagai berikut : (a). Sembiring Siman Biang : Kembaren, Keloko, Sinulaki dan Sipayung. (b). Sembiring Simantangken Biang :
41
Brahmana, Gurukinayan, Colia, Muham, Pandia, Keling, Depari, Bunuaji, Milala/Meliala, Pelawi, Sinukapor, Tekang, Busuk, Pandebayang dan Sinukapar.
5. Tarigan
: Tua, Bondong, Jampang, Gersang, Cingkes, Ganagana, Peken/ Pekan, Tambak, Purba, Sibero, Silangit/ Selangit,
Kerendam,
Tegur,
Tambun,
Sahing,
Gerneng.
2.2.4.2. Tutur Si Waluh Tutur adalah kedudukan atau status seseorang dalam masyarakat, yang juga dapat menentukan kekerabatan seseorang. Untuk menunjukkan tingkat kekerabatan di dalam masyarakat Karo dikenal dengan istilah ertutur (bertutur). Ertutur adalah saling menanyakan identitas yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Ertutur merupakan salah satu ciri masyarakat Karo bila ia hendak berkenalan dengan seseorang yang belum pernah dikenalnya. Biasanya diawali dengan menanyakan merga, kemudian bere-bere (marga ibu). Melalui ertutur diperolehlah jalinan hubungan kekerabatan satu sama lain melalui sapaan kekeluargaan yang diperoleh. Sapaan itu dapat berupa : bapa (bapak), nande (ibu), mama (paman), mami (bibi), bengkila (panggilan istri kepada mertua laki-laki), bibi (panggilan istri kepada mertua perempuan), senina (saudara semarga), turang (laki-laki terhadap perempuan dan sebaliknya, yang memiliki marga sama), impal (hubungan kekerabatan antara seorang pemuda dengan anak dari saudara laki-laki ibunya), silih (abang ipar atau adik ipar),
42
bere-bere (keponakan), anak (anak), kempu (cucu), ente (cicit), entah (buyut), turangku (panggilan seorang istri kepada suami dari kakak atau adik perempuan suaminya), agi (adik), kaka (kakak laki-laki/ perempuan), permen (panggilan mertua laki-laki terhadap menantu perempuannya), nini bulang (kakek), nini tudung (nenek), empung (kakek dari ayah atau ibu), beru (nenek dari ayah atau ibu).
Pada dasarnya begitu seseorang (kalak/ orang Karo) lahir ke dunia dia telah memiliki Waluh (delapan) kemungkinan tutur, yaitu apakah sebagai sebagai kalimbubu, puang kalimbubu, senina, sembuyak, senina sipemeren, senina sepengalon/sedalanen, atau anak beru (Tarigan, 2009). Kedelapan kemungkinan tutur tersebut dalam masyarakat Karo dikenal dengan istilah Tutur
Siwaluh, yang mana diperoleh melalui hubungan darah, hubungan
perkawinan, maupun melalui ertutur itu sendiri.
Proses ertutur yang dikenal dalam kalangan masyarakat Karo terdiri dari enam lapis27 yaitu :
1. Merga/ beru adalah marga yang diturunkan/ diwariskan dari ayah, untuk laki-laki disebut merga dan beru untuk perempuan. 2. Bere-bere adalah beru ibu kita. Jika ibu saya beru Karo, maka berebere saya adalah bere-bere Karo. 3. Binuang adalah bere-bere ayah kita. 4. Kempu adalah bere-bere ibu kita. 27
Yusuf Tarigan dalam Sarjani Tarigan, 2009:102-103
43
5. Kampah adalah bere-bere dari kakek kita (dari pihak ayah) 6. Soler adalah bere-bere dari nenek kita (dari pihak ibu)
Lazimnya, masyarakat Karo hanya memakai proses ertutur sampai lapisan kedua saja, sedangkan pada lapisan ketiga dan seterusnya biasanya dipakai dalam acara-acara adat. Kecuali, bila dua orang yang hendak berkenalan, sama sekali tidak memiliki hubungan merga atau beru yang pas, maka diusutlah sampai lapisan ke enam. (Tarigan, 2009).
2.2.4.3. Daliken Sitelu Secara harafiah daliken si telu berarti "tungku yang tiga". Daliken berarti batu tungku, si berarti yang, telu berarti tiga. Secara nyata hal ini menunjukkan pada fungsi batu tungku yaitu sebagai tempat untuk memasak atau menyalakan api. Sebagian orang mengartikannya sebagai rakut si telu (ikatan yang tiga), ada juga yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup). Konsep ini tidak hanya terdapat pada masyarakat Karo saja, tetapi juga dimiliki oleh suku Batak yang lain dengan nama yang berbeda. Masyarakat Batak Toba dan Mandailing mengenalnya dengan sebutan dalihan na tolu. Adapun unsur daliken si telu ini adalah Kalimbubu, sembuyak/senina, dan anakberu.
Kalimbubu
44
Anak Beru
Sembuyak/Senina
Gambar 2.7. Sistem Daliken Sitelu28
Daliken si telu berfungsi sebagai alat pemersatu pada masyarakat Karo, dan dapat mengikat hubungan kekerabatan. Dalam segala aspek kehidupan masyarakat Karo daliken sitelu ini sangat berperan penting, karena daliken sitelu merupakan dasar dalam sistem kekerabatan dan menjadi landasan bagi semua kegiatan yang berhubungan dengan semua kegiatan adat dan hubungan antara sesama masyarakat Karo, serta sebagai dasar untuk saling menghormati dan memperkuat sikap gotong royong. Oleh karena itu maka setiap anggota masyarakat Karo saling berhubungan karena daliken si telu tersebut. Daliken si telu terdiri dari tiga unsur penting yaitu kalimbubu, senina/sembuyak dan anakberu. Sebagai sebuah sistem kekerabatan, daliken sitelu bersifat terbuka. Kedudukan seseorang, sebagai anakberu, atau kalimbubu, atau senina/ sembuyak, tergantung pada keadaan. Penjelasan mengenai unsur-unsur tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
Kalimbubu
28
Sumber : Adat Karo oleh Darwan Prints, 2008
45
Kalimbubu merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam struktur daliken si telu. Kalimbubu adalah kelompok/ pihak pemberi wanita dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Kalimbubu juga kelompok yang sangat dihormati dan dianggap sebagai pemberi berkat oleh masyarakat Karo. Maka dari itu kelompok kalimbubu juga disebut dengan istilah Dibata Ni Idah (Tuhan yang dapat dilihat). Oleh karena itu sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat tidak dianjurkan dalam kebudayaan masyarakat Karo. Dalam acara-acara adat kelompok kalimbubu diwajibkan untuk hadir dan mendapatkan peran. Dalam sebuah pesta perkawinan, orang yang berperan sebagai kalimbubu harus dilayani sebaik mungkin oleh pihak anakberu, yang dalam hal ini adalah penyelenggara pesta. Kalimbubu dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu : 1. Kalimbubu Bena-Bena, adalah paman (mama) dari ayah ego (aku). Misalnya si A bermerga Ginting bere-bere Sembiring, maka Sembiring (turang ibu si A) adalah kalimbubu Si A. Jika si A mempunyai anak, maka merga Sembiring adalah kalimbubu benabena dari anak A. Jadi kalimbubu bena-bena adalah kalimbubu dari ayah kandung. Disebut kalimbubu bena-bena, karena kelompok ini telah berfungsi sebagai pemberi dara minimal sebanyak tiga generasi. Oleh karena itu kelompok ini juga disebut kalimbubu tua. 2. Kalimbubu Simajek Lulang (Kalimbubu Taneh), adalah golongan kalimbubu pertama yang mendirikan sebuah kampung. Status kalimbubu ini selamanya dan diwariskan secara turun temurun.
46
Penentuan kalimbubu ini dilihat berdasarkan merga yang telah mendirikan kampung tersebut. Jika orang pertama yang mendirikan kampung itu adalah bermerga Ginting, maka kalimbubu simajek lulang dikampung itu adalah orang-orang yang bermerga Ginting dan keturunannya. Kalimbubu ini selalu diundang dalam pestapesta adat. 3. Kalimbubu Simada Dareh/ Simupus, adalah saudara laki-laki dari ibu kandung ego (paman kandung ego). Disebut kalimbubu simada dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai darah ego. Golongan kalimbubu ini adalah pihak pemberi wanita terhadap generasi ayah, atau pihak klen dari ibu kandung ego. Dalam adat perkawinan kelompok kalimbubu si mada dareh ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) Kalimbubu singalo ulu emas adalah saudara laki-laki dari ibu pengantin pria, dan (2) Kalimbubu singalo bere-bere adalah saudara laki-laki dari ibu pengantin wanita. 4. Kalimbubu I Perdemui (kalimbubu si erkimbang), adalah kelompok dari pihak mertua
ego (laki-laki), atau bapak mertua berserta
seluruh senina dan sembuyaknya. 5. Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu, yaitu kelompok pemberi anak dara terhadap kalimbubu ego. Pada adat perkawinan masyarakat Karo juga dikenal adanya kalimbubu si telu sada dalanen, yaitu :
47
1. Kalimbubu singalo bere-bere, adalah paman dari pada mempelai wanita atau saudara laki-laki dari ibu mempelai wanita. 2. Kalimbubu singalo perninin/ perkempun, adalah puang kalimbubu dari ibu mempelai wanita. 3. Kalimbubu singalo perbibin, adalah saudara perempuan dari ibu mempelai wanita. Dalam acara pesta perkawinan masyarakat Karo, ketiga kalimbubu tersebut selalu hadir bersama-sama pada saat acara landek (menari) dan ngerana (berbicara memberi nasehat). Dalam kehidupan bermasyarakat maupun adat, kalimbubu
juga
memiliki hak maupun kewajiban (tugas). Kelompok kalimbubu berhak mendapat segala penghormatan dan penghargaan dari anakberunya, dengan kata lain kelompok kalimbubu harus selalu diutamakan, dan berhak menerima ulu emas/ bere-bere (mahar) dari sebuah perkawinan, maneh-maneh (tanda mata atau kenang-kenangan) dari salah seorang anak berunya yang meninggal ( yang menerima disebut kalimbubu si mada dareh). Sedangkan yang menjadi kewajibannya yaitu memberikan saran dan masukan jika diminta oleh anak berunya, mendamaikan anak berunya jika terjadi perselisihan, ngosei (meminjamkan/memakaikan) pakaian adat kepada anak berunya dalam acaraacara adat (misalnya acara perkawinan). Sembuyak/ Senina Senina adalah pertalian saudara semerga atau mereka yang bersaudara karena mempunyai merga/ submerga yang sama. Menurut Prints senina adalah
48
orang-orang yang satu kata dalam permusyawaratan adat. Se berarti satu, nina berarti kata atau pendapat; atau senina juga dapat dikatakan orang yang bersaudara (Prints, 2008:46). Dalam sebuah acara adat senina dan seluruh keluarganya akan ikut serta dan mendukung acara tersebut, senina juga akan mewakili pihak sukut/ sembuyak sebagai penyambung lidah dan sebagai penengah. Mereka bertanggungjawab terhadap setiap upacara adat yang diadakan oleh sembuyak-sembuyaknya. Secara umum hubungan senina ini dapat disebabkan karena adanya hubungan pertalian darah, sesubklen (semerga/ seberu), memiliki ibu yang bersaudara (sepemeren), memiliki istri yang bersaudara (siparibanen), memiliki istri dari beru (sesubklen) yang sama, dan memiliki suami yang bersaudara (kandung atau seklen) (Brahmana, 2003:13). Masyarakat Karo mengenal dua macam bentuk senina, yaitu senina si seh ku sukut (senina langsung) dan senina erkelang ku sukut. Senina si seh ku sukut atau disebut juga senina langsung adalah orang yang langsung memiliki hubungan kekerabatan dengan sukut (tuan rumah) atau pemilik pesta. Senina si seh ku sukut dapat dibedakan menjadi dua : (1) Sembuyak29, adalah orang-orang yang bersaudara kandung (satu ayah ibu, satu nenek dan kakek, satu empung dan satu empung nu empung). Secara harfiah
29
Sembuyak dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : (1) Sembuyak berdasarkan tutur. Mereka yang bersaudara karena memiliki merga yang sama (sesubklen) dan (2) sembuyak berdasarkan hubungan kekerabatan, yang dapat dibagi menjadi 3, yaitu : (a) Sembuyak nini bulang, adalah orang- orang yang bersembuyak karena kakek mereka bersaudara kandung. (b) Sembuyak bapa, adalah orang-orang yang bersembuyak karena ayah mereka bersaudara kandung. (c) Sembuyak Nande adalah orang-orang yang bersembuyak karena ibu mereka bersaudara kandung.
49
se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi sembuyak adalah orangorang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini juga digunakan untuk senina yang berlainan submerga , dalam bahasa Karo disebut sindauh iperdeher (yang jauh menjadi dekat). Saudara perempuan tidak termasuk ke dalam kelompok sembuyak walaupun dilahirkan dari satu rahim, hal ini dikarenakan perempuan mengikuti suaminya. Di dalam acara perkawinan, sembuyak berfungsi untuk menerima rudang-rudang (sejumlah uang). (2) Senina sikaku ranan, adalah orang-orang yang mempunyai merga sama, tetapi submerga yang berbeda. Di dalam acara adat, seperti pesta perkawinan, dia berfungsi menjadi sikaku ranan (sebagai juru bicara). Sedangkan
senina
erkelang
ku
sukut
adalah
senina
yang
perkerabatannya memiliki perantaraan dengan sukut atau pemilik pesta. Senina erkelang ku sukut ini dapat dibedakan menjadi lima, yaitu (1) senina sepemeren, adalah mereka yang bersenina (bersaudara) karena ibu mereka bersaudara kandung, atau dalam bahasa yang lebih sederhana disebut dengan saudara sepupu. Di dalam adat perkawinan senina sepemeren bertugas menerima perbibin (nama mahar yang diberikan kepada pihak saudara-saudara perempuan yang sesubklen dengan ibu kandung pengantin). (2) senina siparibanen, adalah orang-orang yang ersenina karena istri mereka bersaudara kandung (sembuyak) atau beru istri mereka sama. Dalam perkawinan dia bertugas menerima perbibin yang berasal dari istrinya. (3) senina sepengalon, adalah orang-orang yang bersenina karena anaknya yang perempuan menjadi
50
istri dari bere-bere (keponakan) seninanya tersebut. (4) senina sedalanen, adalah orang-orang yang ersenina karena istrinya adalah impal dari seninanya tersebut (singempoi impal). (5) senina secimbangen (untuk wanita), mereka yang bersenina karena suami mereka sesubklen (ersembuyak). Senina/ sembuyak juga memiliki hak dan kewajiban, yaitu mendapat pembagian harta (hanya yang bersembuyak atau seibu seayah), berhak mendapat mas kawin (tukor) jika salah seorang anak wanita dari keluarga tersebut menikah. Sedangkan yang menjadi kewajibannya adalah mengawasi pelaksanaan tugas para anakberunya dan secara bersama-sama menanggung sementara semua biaya pesta. Anak Beru Anak beru berarti anak perempuan. Kelompok anak beru juga dikenal sebagai kelompok pengambil anak dara. Dalam semua acara/ pesta adat, anak beru lah yang bertanggung jawab atas sukses atau tidaknya pesta tersebut. Tugas daripada anakberu adalah sebagai pekerja, pemegang tanggung jawab dan pembawa acara pada sebuah acara/ upacara adat atau acara musyawarah lainnya. Begitu pentingnya peranan anak beru, sehingga kelompok anak beru ini disebut
juga kelompok yang perlu itami-tami (disayangi) oleh
kalimbubunya. Dalam acara adat pelaksanaan tugas seperti di atas merupakan tugas dari anak beru, sedangkan anak beru menteri dan anak beru singikuri bertugas
sebagai pelaksana acara. Anak beru Singerana (anak beru yang
berbicara) bertugas sebagai protokol. Anak beru cekuh baka tutup, beserta anak beru iangkip/iampu/darah bertugas mengatur pembagian tugas.
51
Masyarakat Karo mengenal beberapa jenis dari anak beru ini, yaitu : 1. Anak beru Tua. Anak beru tua adalah pihak penerima anak wanita dalam tingkatan nenek moyang yang secara bertingkat terus menerus minimal tiga generasi. Anak beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat adalah sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubunya, dalam konteks upacara adat 2. Anakberu Jabu ( Anak beru cekuh baka tutup, dan Anak beru cekuh baka buka). Cekuh baka artinya orang yang langsung boleh mengambil barang simpanan kalimbubunya. Dengan kata lain anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya Dipercaya dan diberi kekuasaan seperti ini karena dia merupakan anak kandung saudara perempuan ayah. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak dari Si B adalah anak beru cekoh baka dari Si A. Dalam panggilan seharihari anak beru ini disebut juga bere-bere mama (keponakan paman). 3. Anakberu Iangkip/ Iampu, adalah kelompok penerima wanita yang menciptakan
jalinan
keluarga
52
yang
pertama,
karena
generasi
sebelumnya belum pernah mengambil anak wanita dari pihak kalimbubunya. Sebutan lain untuk anak beru ini adalah anak beru langsung, karena dia langsung mengambil anak wanita dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Masalah peranannya didalam tugas-tugas adat, harus dipilah lagi, dia tidak dibenarkan untuk mencampuri urusan warisan adat dari pihak mertuanya, karena ia merupakan orang pertama yang mengambil/ menikahi anak wanita dari keluarga tersebut (kalimbubunya).
Sedangkan orang
yang
boleh
mencampurinya
hanyalah anak beru jabu. 4. Anak beru Menteri. Anak beru menteri adalah anak beru dari anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru menteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam sebuah upacara adat. Anak beru menteri juga bertugas menjaga penyimpangan-penyimpangan
adat,
baik
dalam
bermusyawarah
maupun ketika acara adat sedang berlangsung. 5. Anak beru Singikuri adalah anak beru dari anak beru menteri. Anak beru singikuri bertugas memberikan saran dan petunjuk di dalam landasan adat dan sekaligus memberi dukungan tenaga yang diperlukan. Anak beru ini juga bertugas dalam mempersiapkan hidangan (konsumsi) dalam konteks upacara adat. Adapun tugas-tugas dari anak beru adalah (1) mengatur jalannya pembicaraan ketika runggu (musyawarah), (2) menyiapkan hidangan dan
53
peralatan pesta serta menanggulangi sementara biaya pesta, (3) mengawasi semua harta benda milik kalimbubunya, yang mana ia wajib menjaga dan mengetahui harta benda kalimbubunya. Ia juga memiliki hak untuk membuka rahasia kalimbubunya. Tugas-tugas seperti ini dilakukan oleh anak beru cekuh baka, (4) Menjadwal pertemuan keluarga, (5) Memberi kabar kepada para kerabat yang lain bila ada pihak kalimbubunya yang berduka cita, (6) Memberi pesan kepada puang kalimbubunya agar membawa ose (pakaian adat) bagi kalimbubunya. Tugas ini juga dilaksanakan oleh anak beru cekuh baka, (7) Menjadi juru damai bagi pihak kalimbubunya. Karena tugas-tugasnya ini lah, maka anakberu berhak untuk
(1)
mengambil putri kalimbubunya, dan biasanya para kalimbubu tidak berani untuk menolak dan (2) berhak mendapat atau menerima warisan dari kalimbubunya yang meninggal dunia. Warisan ini berupa barang yang disebut morah-morah atau maneh-maneh, seperti parang, pisau, pakaian almarhum dan lainnya sebagai kenang-kenangan.
Hubungan Kalimbubu-Anakberu-Sembuyak/Senina Struktur hubungan kekerabatan antara kalimbubu, anakberu dan senina/sembuyak dalam daliken si telu dapat dilihat pada bagan di halaman berikutnya. Bagan 2.1. Hubungan Kalimbubu-Anak beru-Sembuyak/Senina30 Kalimbubu (K)
30
Sembuyak (S1) Sesubklen
Brahmana, 2003:15 (Bagan dan keterangan)
54
Senina (S2) Seklen/ lain klen
Anak beru (B)
Sembuyak (X1) Sesubklen
Senina (X2) Seklen/ lain klen
Keterangan : Masing-masing dari K maupun B memiliki sembuyak/ seninanya. Hubungan yang sudah jelas terpola berdasarkan jalur anak beru-kalimbubu. Hubungan yang jelas dan bisa berpola berdasar mengikuti jalur kekerabatan K-B (anak beru-kalimbubu) karena mereka masing-masing sesubklen Hubungan kekerabatannya belum tentu jelas, terpola berdasarkan jalur K-B (anak beru-kalimbubu), dan bisa juga tidak berpola berdasarkan jalur K-B. Kedudukannya yang sejajar dan masing-masing mempunyai anak beru dan kalimbubu yang bisa sama atau tidak sama dengan jalur K-B
Hubungan perkawinan secara langsung dapat terjadi pada jalur K-B, sedangkan jalur K-X1 atau K-X2, atau B-S1 atau B-S2 merupakan hubungan perkawinan yang terjadi secara tidak langsung. Dalam keluarga K dan keluarga B, secara individu mereka jelas memiliki hubungan kekerabatan, K menjadi kalimbubu (pemberi anak dara) bagi keluarga B dan keluarga B menjadi anak beru (penerima anak dara) dari keluarga K. Dalam keluarga S1 dan X1, walaupun mereka masing-masing memiliki subklen yang sama dengan keluarga K dan keluarga B, yang secara otomatis memiliki jalur hubungan kekerabatan yang sama, namun secara individu jalur kekerabatan ini tidak mutlak harus sama, sebab bisa saja terjadi sebaliknya, di
55
dalam keluarga S1 dan keluarga X1, keluarga X1 lah yang berposisi sebagai kalimbubu bagi keluarga S1. Dalam keluarga S2 dan keluarga X2 (jika mengikut jalur hubungan kekerabatan keluarga K dan keluarga B) walaupun tidak sesubklen, hubungan mereka bisa saj sama dengan keluarga K dan keluarga B, tetapi secara individu jalur ini tidak mutlak demikian, sebab kasusnya sama seperti yang terdapat pada keluarga S1 dan keluarga X1. Di dalam keluarga S2 dan keluarga X2, keluarga X2 bisa menjadi kalimbubu bagi keluarga S2 dan begitu juga sebaliknya. Peluang terjadinya ketidaksamaan jalur kekerabatan tersebut jauh lebih besar dibandingkan keluarga S1 dan keluarga X1, hal ini karena mereka masih tidak sesubklen dengan keluarga K atau keluarga B atau juga dengan keluarga S1 dan X1. Dari semua penjelasan diatas terlihat lah bahwa daliken si telu bersifat demokratis. Seseorang berfungsi sebagai kalimbubu, anak beru atau senina/ sembuyak bergantung kepada situasi dan kondisinya, jadi sifatnya bergiliran.
2.2.5. Kesenian Bentuk kesenian yang paling berkembang dan menonjol dalam kebudayaan masyarakat Karo adalah seni musik, seni tari dan seni suara. Karena ketiga bentuk kesenian tersebut tidak pernah terlepas dari pelaksanaan acara-acara adat, termasuk dalam upacara adat perkawinan.
2.2.5.1. Seni Musik
56
Penyebutan musik dalam masyarakat Karo dikenal dengan istilah gendang. Bagi masyarakat Karo gendang bermakna jamak, setidaknya gendang mempunyai lima makna, yaitu : (1) gendang sebagai ensambel musik, misalnya gendang lima sedalanen, gendang telu sedalanen dan sebagainya; (2) gendang sebagai repertoar atau kumpulan beberapa buah komposisi tradisional, misalnya gendang perang-perang, gendang guru dan sebagainya; (3) gendang sebagai nama lagu atau judul lagu secara tradisional, misalnya gendang simalungen rayat, gendang odak-odak, gendang patam-patam (yang juga terkadang sebagai cak-cak atau style) dan sebagainya; (4) gendang sebagai instrument musik, misalnya gendang indung, gendang anak; dan (5) gendang sebagai upacara, misalnya gendang guro-guro aron, dan sebagainya (Julianus
P.
Limbeng,
http://xeanexiero.blogspot.com)
(a) Sarune
(b) Gendang Singanaki
Singindungi
57
(c) Gendang
(d) Penganak
(e) Gung
Gambar 2.8. Ensambel Gendang Lima Sedalanen31
Ensambel musik yang umum dikenal pada masyarakat Karo adalah ensambel gendang lima sedalanen. Dikatakan lima sedalanen karena ensambel tersebut terdiri dari lima buah alat musik yang dimainkan oleh lima orang pemain. Secara harafiah lima sedalanen dapat diartikan dengan lima sejalan. Adapun kelima alat musik tersebut adalah sarune (aerophone), gendang indung/
singindungi
(membranophone),
gendang
anak/
singanaki
(membranophone), serta gung (idiophone) dan penganak (idiophone). Sedangkan kelima orang pemainnya disebut penarune (sebutan untuk orang yang memainkan sarune), penggual (sebutan untuk orang yang memainkan gendang indung maupun gendang anak), dan simalu gung (sebutan untuk orang yang memainkan penganak dan gong). Ensamble gendang lima sedalanen ini sering digunakan untuk mengiringi kegiatan-kegiatan musikal pada masyarakat Karo, seperti acara menari dan menyanyi ataupun berbagai acara adat dan kegiatan ritual
31
Sumber : www.karosiadi.blogspot.com (Dok.Perikuten Tarigan)
58
(a) Gendang Kulcapi
(b) Gendang Belobat
Gambar 2.9. Ensambel Gendang Telu Sedalanen32
Selain beberapa alat musik diatas masih ada alat musik lain yang dikenal oleh masyarakat Karo, yaitu kulcapi (kordophone), murbab 32
Sumber : www.karosiadi.blogspot.com (Dok. Irwansyah Harahap)
59
(kordophone), surdam (aerophone), balobat (aerophone), dan keteng-keteng (kordo-idiophone). Beberapa alat musik diatas juga sering digunakan oleh masyarakat Karo dalam sebuah ensambel musik, seperti ensambel gendang telu sedalanen. Gendang telu sedalanen sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gendang kulcapi dan gendang belobat. Gendang telu sedalanen terdiri dari tiga buah instrumen musik, yaitu keteng-keteng, mangkuk meciho (berisi air), dan kulcapi/belobat. Perbedaan dari keduanya hanya terletak pada instrumen pembawa melodinya saja, yaitu kulcapi dan belobat. Namun seiring berkembangnya teknologi, maka kedudukan ensambel/ instrumen tradisional Karo tersebut pun tergantikan. Kedudukan alat musik tradisional tersebut digantikan oleh adanya teknologi baru dalam musik yang disebut keyboard atau kibot dalam istilah masyarakat Karo. Era masuknya kibot ke dalam kesenian Karo yaitu sekitar tahun 1990-an, yang pertama kali dikenalkan oleh salah seorang seniman Karo yaitu Jasa Tarigan. Alat musik ini memiliki kelebihan dapat menirukan semua bunyi dari alat musik tradisional Karo.
Gambar 2.10. Instrumen Gendang Keyboard/Kibot (KN 2600)33 Sejak saat itu alat musik kibod mendominasi seni musik pada masyarakat Karo. Masyarakat lebih memilih menggunakan
33
Sumber : jakartacity.olx.co.id
60
kibot untuk
melengkapi sebuah acara adat atau kesenian lainnya dari pada ensambel gendang lima sedalanen, karena praktis dan menghabiskan biaya yang lebih sedikit.
2.2.5.2. Seni Tari Dalam masyarakat Karo istilah tari dikenal dengan sebutan landek. Pola dasar dari tari Karo adalah posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun lutut (endek) yang disesuaikan dengan tempo gendang (musik) dan gerak kaki. Pola dasar tarian itu ditambah dengan variasi tertentu sehingga tarian tersebut terlihat indah dan menarik. Menurut Julianus P. Limbeng (http://xeanexiero.blogspot.com) ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam tari karo, yaitu endek (gerakan naik turun kaki), jole atau jemole, yaitu goyangan badan, dan tan lempir, yaitu tangan yang gemulai dan lembut. Gerakan dasar tarian Karo dibagi atas beberapa gaya yang dalam bahasa Karo disebut dengan cak-cak. Ada beberapa cak-cak yang dikenal pada musik Karo, yang terkait dengan gaya dan tempo sekaligus, yaitu yang dimulai dari cak-cak yang sangat lambat sampai kepada cak-cak yang relatif cepat, yaitu antara lain: cak-cak simalungen rayat (dengan tempo lebih kurang 60-66), cak-cak mari-mari yang merupakan cak-cak yang lebih cepat dari cak-cak simalungen rayat (dengan tempo lebih kurang 70-80), cak-cak odak-odak
(dengan tempo lebih kurang 90 – 98), cak-cak patam-patam
(dengan tempo lebih kurang 98-105). Setiap cak-cak ini berhubungan dengan gerakan maupun endek kaki pada tarian Karo. Semakin cepat cak-cak yang
61
dimainkan maka semakin cepat pula endek kaki atau pun gerakan tarian tersebut. Setiap gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari Karo memiliki makna tertentu. Berikut ini beberapa makna dari gerakan tari Karo yaitu: 1) Gerak tangan kiri naik (sejajar bahu), gerak tangan kanan ke bawah (sejajar dengan paha) melambangkan tengah rukur, yang bermakna selalu menimbang segala sesuatu sebelum melakukannya. 2) Gerakan tangan kanan ke atas (sejajar bahu), gerakan tangan kiri ke bawah (sejajar paha) melambangkan sisampat-sampaten, yang artinya saling membantu dan tolong menolong. 3) Gerakan tangan kiri serong ke kanan (di depan badan) melambangkan ise
pe la banci ndeher adi langa si oraten, yang artinya siapa pun
tidak boleh dekat kalau belum mengetahui hubungan kekerabatan. 4) Gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yang artinya mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat 5) Gerakan tangan ke atas (diatas kepala), melambangkan ise pe labanci ndeher, artinya siapapun tidak bisa mendekat dan berbuat sembarangan 6) Gerakan tangan sampai kepala dan jari membentuk seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya menimbang/ memikirkan sebelum memutuskan sesuatu.
62
7) Gerak tangan kanan dan kiri sampai bahu, melambangkan baban simberat ras menahang ras ibaba, yang bermakna ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. 8) Gerakan tangan dipinggang melambangkan penuh tanggung jawab. 9) Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur i alo-alo alu mehuli, artinya siapapun yang datang jika sudah berkenalan dan mengetahui hubungan kekerabatan diterima dengan baik sebagai kade-kade (keluarga). Menurut Sarjani Tarigan (2009:155) konteks penyajian tari Karo dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : (a) konteks penyajian dalam adat istiadat (b) konteks penyajian dalam religi dan (c) konteks penyajian untuk hiburan. Contoh-contoh tarian yang termasuk ke dalam tiga kategori tersebut dapat dilihat sebagai berikut. a. Konteks penyajian dalam adat istiadat - tarian dalam kerja erdemu bayu (perkawinan); landek sukut, landek kalimbubu, landek anak beru. - tarian dalam acara merdang merdem atau kerja tahun (upacara pertanian/panen). - tarian dalam upacara kematian yang disebut nurun-nurun. - tarian dalam acara guro-guro aron (tarian muda-mudi) - tarian dalam acara ersimbu (upacara memanggil hujan), yang biasa juga
63
disebut dengan dogal-dogal
Gambar 2.11. Acara Menari Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Karo34
- tarian dalam acara mengket rumah mbaru (meresmikan rumah baru) - tarian dalam upacara ngukal tulan-tulan (menggali tulang) b. Konteks penyajian dalam religi
34
Sumber : Pancasona Shooting Video
64
- gendang guru (tarian yang dilakukan oleh seorang dukun) - seluk (trance atau kesurupan)
Gambar 2.12. Tari Tungkat35
- perumah begu (memanggil roh) - erpangir ku lau (keramas ritual atau bathing ceremony) - tari tungkat (tarian untuk mengusir roh-roh jahat dengan menggunakan sebuah tongkat sebagai propertinya) - tari baka (tarian untuk menyembuhkan orang sakit).
c. Konteks penyajian untuk hiburan - Mayan atau Ndikkar (seni bela diri khas Karo) - Tari Kuda-Kuda (Simalungun: Hoda-Hoda) - Gundala-gundala (Tembut-tembut Seberaya) 35
Sumber : www.karokab.go.id
65
- Beberapa tarian kreasi baru seperti tari roti manis, tari terang bulan, tari lima serangke, tari telu serangke, tari uis gara, dll.
(a)
(b)
Gambar 2.13. Ndikkar (a) & Gundala-gundala (b)36
2.2.5.3. Seni Suara (Vokal) Masyarakat Karo baru mengenal seni suara/ vokal diperkirakan sekitar tahun 1800-an, kemudian dalam perkembangannya muncullah lagu-lagu yang
36
Sumber : Dokumentasi penulis, 26 September 2010
66
dibawakan seseorang sebagai ‘perende-rende’ (penyanyi).37 Masyarakat Karo mengenal konsep rende untuk penyebutan istilah bernyanyi. Sedangkan reportoar
yang
dinyanyikan
disebut
ende-enden,
dan
orang
yang
menyanyikannya disebut perende-rende. Seorang perende-ende yang pandai menari (landek) dan terbiasa menyanyi dalam sebuah acara adat/ pesta adat disebut perkolong-kolong. Selain menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan cinta maupun muda-mudi, seorang perkolong-kolong juga diharuskan bisa menyanyikan lagu-lagu yang bertema pemasu-masun yang berisi nasehatnasehat. Teks atau lirik dari pemasu-masun ini bergantung pada konteks upacaranya.
Gambar 2.14. Perkolong-kolong38
37 38
http://www.karoweb.or.id/kedudukan-kebudayaan-karo-ditinjau-dari-aspek-keseniannya/ Nama perkolong-kolong : Luther Tarigan dan Nelly br Sembiring, sumber : salahketik.com
67
Namun dalam kenyataannya tidak hanya ende-enden saja lah yang dapat dinyanyikan. Ada beberapa jenis nyanyian yang bukan ende-enden namun cara penyampaiannya dinyanyikan, seperti tangis-tangis (nyanyian ungkapan kesedihan/ keluh kesah), mang-mang (nyanyian yang berisi doadoa), tabas (nyanyian yang berisi mantra pada saat seorang guru melakukan pengobatan), nendong (nyanyian yang bertujuan untuk mendekatkan seorang guru dengan jinujungnya), turi-turin (nyanyian yang berisikan sebuah cerita), katoneng-katoneng (nyanyian yang berisikan pengharapan), didong doah (nyanyian yang berisi nasehat); didong doah anak (nyanyian menidurkan anak), didong doah maba anak ku lau (nyanyian memandikan anak ke sungai), dan didong doah bibi si rembah ku lau (nyanyian nasehat pada saat upacara perkawinan). Didong doah bibi si rembah ku lau
merupakan yang akan
menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini. Semua nyanyian diatas dapat dikatakan sebagai musik vokal yang bersifat individu, yaitu nyanyian yang dinyanyikan secara pribadi dan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan seseorang. Dalam hal menggarap melodi maupun teksnya, bergantung pada yang menyanyikannya dan konteks acaranya.
68
BAB III PERKAWINAN PADA MASYARAKAT KARO
3.1. Tinjauan Umum Perkawinan Pada Masyarakat Karo Melaksanakan sebuah perkawinan merupakan suatu keharusan bagi semua orang, baik pria maupun wanita untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Maka perkawinan diarahkan, diawasi, dan dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturan adat demi tercapainya sebuah kebahagiaan. Perkawinan adalah hubungan permanen antara laki-laki dan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat. Mengingat setiap masyarakat mempunyai tata cara tersendiri, maka sahnya suatu perkawinan berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Perkawinan mengesahkan hubungan lakilaki dan perempuan serta melegalkan kedudukan hukum atas pengasuhan anak serta pewarisan. Perkawinan yakni suatu kehidupan bersama dari seorang pria dengan seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat serta peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh/ dalam suatu masyarakat tertentu (Tarigan, 1988:46). Di dalam The Advanced Learner’s Dictionary of Current English disebutkan bahwa : Marriage [mæridʒ] n.1. [u] union of a man and woman as husband and wife; state of being married. Perkawinan merupakan bersatunya seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami dan istri; bersatu dalam sebuah pernikahan.
69
Masyarakat karo adalah masyarakat yang mengenal adanya sistem perkawinan clan/ klan (marga). Perkawinan harus dilakukan diluar klan, seseorang diharuskan menikah dengan orang lain di luar marganya (klannya). Sistem perkawinan ini merupakan sistem perkawinan yang berbentuk exogami.
Gambar 3.1. Pengantin Karo39
Perkawinan pada masyarakat Karo tidak hanya berfungsi mengikat seorang pria dengan seorang wanita, tapi juga mengikat hubungan keseluruhan keluarga kedua belah pihak ( Prints 2004 : 71). Dari sinilah berkembang suatu ikatan kekeluargaan dari keluarga inti (nuclear family) menjadi keluarga besar (extended family). Maka dari itu perkawinan rimpal atau disebut cross-cousins eksklusif40 (seorang laki-laki yang menikah dengan putri pamannya atau
39 40
Sumber : Dokumentasi penulis,29 Juni 2011) Lihat Henry Guntur Tarigan dalam bukunya Percikan Budaya Karo, 1988:47
70
seorang wanita yang menikah dengan putra bibinya) sangat dianjurkan dalam masyarakat Karo. Hal ini dimaksudkan agar hubungan kekerabatan kedua keluarga tidak terputus, dan untuk mencegah jatuhnya harta kekayaan ke tangan orang lain yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan apa pun dengan mereka. = Laki-laki = Perempuan
A
B Skema 3.1.Cross-Cousins Eksklusif
Keterangan : A dapat atau dianjurkan mengawini B
Perkawinan pada masyarakat karo dapat dikatakan bersifat religius, karena jalinan tersebut tidak hanya mengikat hubungan kedua belah pihak yang berkawin saja, tetapi juga mengikat seluruh kerabat/keluarga dari kedua belah pihak. Perkawinan yang dianggap tidak wajar pada masyarakat karo yaitu perkawinan semarga (satu klan) dan perkawinan erturang rimpal atau disebut dengan cross-cousins inklusif41 . Sada merga dalam adat karo dianggap bersaudara, sehingga perkawinan tidak diperbolehkan kecuali dalam klan Sembiring.
41
Lihat Henry Guntur Tarigan dalam bukunya Percikan Budaya Karo, 1988:47
71
A
B
Skema 3.2. Cross-Causins Inklusif Keterangan : A tidak dapat atau dilarang mengawini B
3.2. Jenis-Jenis Perkawinan Pada Masyarakat Karo Menurut Darwan Prints (2008:76-82) jenis-jenis perkawinan pada masyarakat Karo dapat dibedakan berdasarkan dua bagian besar, yaitu : (i) jenis perkawinan berdasarkan status pihak yang berkawin dan (ii) jenis perkawinan berdasarkan jauh dekatnya hubungan kekeluargaan/ kekerabatan dari yang berkawin.
3.2.1. Jenis Perkawinan Berdasarkan Status Pihak Yang Berkawin Jenis perkawinan ini dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu : gancih abu, lako man (dapat dibagi menjadi beberapa bagian lagi) dan piher tendi/erbengkila bana. Jenis-jenis perkawinan tersebut merupakan perkawinan yang tidak umum dan tidak biasa pada masyarakat Karo, tetapi justru diizinkan dan tidak dilarang oleh adat (Tarigan, 1988:48). Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.
3.2.1.1. Gancih Abu Secara harafiah gancih abu berarti ”ganti abu”, dan secara luas berarti ”perkawinan yang berlangsung antara dilaki mbalu (pria duda) dengan adik perempuan almarhumah istrinya (Tarigan, 1988:53). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa seorang adik menggantikan posisi kakaknya yang telah
72
meninggal sebagai
istri dari suami
almarhumah kakaknya.
Dengan
terlaksananya perkawinan gancih abu tersebut, maka dianggap bahwa wanita tersebut telah menggantikan—abu jenazah—kakaknya dan menjadi istri yang resmi.
D
C
A(+)
B
Skema 3.3. Gancih Abu Keterangan : Jika A meninggal, maka adat mengizinkan B menikahi C ataupun D.
Perkawinan
ini
biasanya terjadi untuk
meneruskan
hubungan
kekeluargaan, melindungi kepentingan anak yang telah dilahirkan pada perkawinan sebelumnya dan untuk menjaga keutuhan harta dari perkawinan pertama (Prints, 2004:76).
3.2.1.2. Lako Man Jika diartikan kata demi kata lako man artinya ”tugas makan”, namun secara lebih luas lako man dapat diartikan ”segala sesuatu sudah beres, makanan/ santapan telah tersedia, sekarang tinggal makan saja” (Tarigan, 1988:48). Perkawinan lako man adalah perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki dengan janda dari saudara atau pun ayahnya yang telah meninggal.
73
Jadi dapat dikatakan bahwa tugas seorang pria dalam hal ini adalah sebagai pengambil-alih ataupun pengganti dari almarhum suami janda tersebut. Ada beberapa jenis perkawinan lako man yang dikenal pada masyarakat Karo, yaitu :
a. Lako man tiaken Perkawinan lako man tiaken adalah perkawinan yang terjadi antara seorang wanita janda dengan saudara kandung mendiang suaminya atau saudara mendiang suaminya yang berlainan ibu. Untuk lebih jelasnya marilah kita perhatikan skema di bawah ini. B2
A
C3
C2
B1
C1
C(+)
D
Skema 3.4. Lako man tiaken Keterangan : A memiliki dua orang istri; B1 dan B2. Jika C meninggal, maka D dapat dinikahi oleh C1, C2 atau C3.
b. Lako man ngalihken senina Perkawinan lako man ngalihken seniana merupakan perkawinan yang berlangsung antara seorang wanita janda dengan putra saudara laki-laki dari
74
ayah mendiang suaminya. Untuk lebih jelas lihat skema pada halaman berikutnya :
E
D
C
A(+)
B
Skema 3.5. Lakoman ngalihken senina Keterangan : Jika A meninggal dunia, maka B dapat dinikahi oleh C, D, atau E.
c. Lakoman ku nandena Perkawinan yang terjadi antara seorang janda dengan putra saudara laki-laki dari mendiang suaminya. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada skema dibawah ini :
A(+)
C
D
E
F
75
B
Skema 3.6. Lakoman ku nandenan Keterangan : Jika A meninggal dunia, maka B dapat menikah dengan C,D,E, atau F, yang mana keempat nya merupakan kemenakan dari B.
d. lakoman mindo cina Lakoman mindo cina yaitu perkawinan yang berlangsung antara seorang wanita janda dengan cucu laki-laki dari saudara laki-laki—kandung maupun berlainan ibu—dari mendiang suaminya. Atau dengan kata lain dapat dikatakan perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki dengan seorang wanita janda yang menurut silsilah adalah neneknya. Agar lebih jelas lagi dapat diperhatikan pada skema berikut.
A(+)
C
D
E
F
Skema 3.7. Lakoman mindo cina Keterangan : Jika A meninggal dunia, maka B dapat menikah dengan C,D,E, atau F, yang mana keempat nya merupakan cucu dari B.
76
B
3.2.1.3. Piher Tendi/ Erbengkila Bana Piher tendi/ erbengkila bana adalah perkawinan yang berlangsung antara seorang wanita dengan seorang laki-laki yang menurut tutur si wanita memanggil bengkila atau paman kepada laki-laki tersebut. Perhatikan skema di bawah ini :
B
A
C (+)
Skema 3.8. Piher Tendi/ Erbengkila Bana
Keterangan : Jika C meninggal dunia maka B dapat menikahi A atau A dapat di peristri oleh B
3.2.2. Jenis Perkawinan Berdasarkan Jauh Dekatnya Hubungan Kekeluargaan Dari Yang Berkawin. 3.2.2.1. Erdemu Bayu Erdemu bayu adalah perkawinan antara seorang laki-laki yang mempunyai tutur impal kandung dengan seorang wanita, di mana wanita yang dinikahinya merupakan putri dari paman kandungnya (saudara laki-laki dari ibunya), atau jika seorang wanita menikah dengan putra bibi kandungnya (saudara perempuan ayahnya). Jenis perkawinan erdemu bayu ini lah yang diharapkan oleh masyarakat Karo. Karena akan semakin mempererat tali persaudaraan dan dapat mencegah jatuhnya harta kekayaan keluarga tersebut
77
ke tangan yang orang yang tidak mempunyai hubungan persaudaraan (darah) dengan mereka.
3.2.2.2. Ngeranaken/ La Arus Ngeranaken adalah perkawinan yang terjadi antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang bukan impalnya, melainkan dengan turangnya. Hal ini dapat dikatakan sebagai pelanggaran adat. Tidak seharusnya mereka menikah, karena tuturnya adalah erturang (memiliki marga yang sama atau dari klan yang sama). Misalnya, turang sipemeren artinya apabila seorang laklaki menikahi seorang wanita yang memiliki bere-bere (marga ibu) yang sama dengannya. Turang rimpal yaitu merga (marga) yang dibawa oleh pihak lakilaki sama dengan bere-bere yang dibawa si wanita. Di dalam adat pertuturen masyarakat Karo, marga yang dibawa oleh laki-laki lebih berharga daripada marga yang dibawa oleh perempuan. Jadi marga yang dibawa oleh laki-lakilah yang dijadikan sebagai pedoman dalam adat pertuturen.
3.2.2.3. Petuturken Petuturken (perkenalan) atau disebut juga emas perdemuken yaitu apabila seorang pria atau wanita Karo menikah bukan dengan impal kandungnya (orang yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengannya). Hubungan kekerabatan terjadi, justru karena terjadi perkawinan tersebut. Ada dua jenis petuturken yang dikenal dalam adat perkawinan masyarakat Karo,yaitu :
78
1) Laki-laki dan perempuan yang akan menikah tersebut tidak saling mengenal sebelumnya, karena tidak tinggal di tempat/ desa yang sama. Setelah ertutur, maka diketahui bahwa mereka berdua adalah rimpal. Artinya mereka berasal dari klan yang berbeda dan bisa melangsungkan pernihakan, contoh : Laki-laki
Perempuan
Merga Tarigan
Beru Sembiring
Bere-bere Sembiring
Bere-bere Ginting
2) Apabila tidak ada satu marga pun yang berkaitan diantara kedua nya, maka mereka juga bisa dikatakan rimpal, contoh : Laki-laki
Perempuan
Merga Tarigan
Beru Sembiring
Bere-bere Bangun
Bere-bere Ginting
Berdasarkan keterangan tersebut maka disebutlah hubungan mereka sebagai rimpal, agar mereka dapat melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu , pihak laki-laki harus membayar utang kepada anak beru dari pihak perempuan, dan utang itu disebut persadan. Karena dengan membayar persadan tersebutlah pihak laki-laki dapat berdamai dengan anak beru dari pihak wanita.
3.3. Jenis Pesta Perkawinan Dalam
pelaksanaan
acara
perkawinan
ini
peranan
anakberu,
senina/sembuyak dan kalimbubu sangat penting. Apakah itu dalam mengatur hidangan, mengawas acara, mengatur pelaksanaan acara. Kalau calon
79
pengantin bukan orang yang mampu, pihak anakberu, akan memilih jenis pesta yang akan dibuat. Pesta perkawinan pada masyarakat Karo dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu kerja sintua (pesta besar), kerja sintengah (pesta menengah), dan kerja singuda (pesta kecil). Berikut ini dapat dilihat penjelasan lengkapnya.
3.3.1. Kerja Sintua (Pesta Besar) Pesta besar dalam hal ini ialah dengan mengundang semua kerabat, teman-teman sekerja dan teman-teman akrab lainnya. Pesta diadakan di gedung pertemuan umum yang mampu menampung banyak undangan, dan diadakan gendang (musik). Sedangkan untuk konsumsinya (lauk pauk), harus memotong sapi besar berukuran 130-150 kg atau 7-8 ayan (kaleng) daging sapi. Dan berdasarkan aturan adat pembagian tulang sapi harus diberikan kepada orang yang berhak menerimanya, seperti kelompok kalimbubu yang berhak menerima tulan putur (tulang kaki depan), kelompok anak beru yang berhak menerima tulan ikur (tulang bagian buntut), dan kelompok penggual (penabuh gendang) berhak menerima tulan tagan (tulang pinggul).
3.3.2. Kerja Sintengah (Pesta Menengah) Pesta menengah ini ialah dengan mengundang semua kerabat, temanteman sekerja dan teman-teman akrab lainnya melalui surat undangan. Pesta diadakan di gedung pertemuan umum atau los/ jambur (balai desa) yang mampu menampung banyak undangan, tetapi tidak diadakan gendang (musik).
3.3.3. Kerja Singuda (Pesta Kecil)
80
Pesta kecil dalam hal ini tidak dengan mengundang semua kerabat, teman-teman sekerja dan teman-teman akrab lainnya. Yang diundang hanyalah kerabat penting terdekat saja dari kedua belah pihak, dan hanya diundang secara lisan saja (tanpa surat undangan). Pesta diadakan di rumah penganten wanita, dan tidak diadakan gendang (musik).
3.4. Adat Perkawinan Pada Masyarakat Karo 3.4.1. Nungkuni Kata Nungkuni kata merupakan tahap paling awal dalam proses perkawinan pada masyarakat Karo. Pada tahap ini akan diadakan runggu (pembicaraan) mengenai maksud hati daripada kalimbubu (pihak pemberi istri) dan menentukan waktu yang tepat untuk mengadakan acara ngembah belo selambar (acara pinangan). Disini anak beru si ersura-sura (anak beru dari pihak pria/ anak beru yang mempunyai niatan) akan mengutarakan maksud kedatangan mereka kepada kalimbubu dari pihak wanita serta menanyakan kesediaan si gadis untuk di pinang. Apabila sigadis menyatakan belum ada niat untuk erjabu (menikah) maka pihak anak beru si ersura-sura akan undur diri dan menyatakan akan datang kembali pada lain waktu. Jika kalimbubu dari pihak wanita setuju untuk mengadakan proses selanjutnya, maka pihak anak beru si ersura-sura bermohon agar waktu dan tempat pelaksanaan ngembah belo selambar segera ditetapkan. Adapun orang-orang yang terlibat dalam nungkuni kata ini adalah si mupus (kedua orang tua dari kedua belah pihak yang berkahwin) dan beberapa orang dari sukut, senina ku ranan, dan anak beru tua dan beberapa saudaranya.
81
3.4.2. Ngembah Belo Selambar Ngembah belo selambar (ngembah = membawa, belo = sirih, selambar = selembar atau satu lembar) merupakan upacara meminang gadis pada adat perkawinan masyarakat Karo. Acara peminangan ini dilakukan oleh keluarga si laki-laki beserta pihak anak beru, senina, dan kalimbubunya dengan datang dan mengunjungi rumah si gadis. Terjadinya ngembah belo selambar ini apabila sebelumnya telah dilaksanakan musyawarah nungkuni kata dan telah menetapkan tanggal maupun hari dan tempat untuk rencana berikutnya kepada masing-masing keluarga. Acara ngembah belo selambar ini biasanya dilakukan pada malam atau pun sore hari. Jika acara ini dilakukan pada sore hari maka akan diakhiri dengan makan malam bersama, dan jika dilakukan pada malam hari maka acara makan bersama dilakukan sebelum melaksanakan acara tersebut. Sudah menjadi kebiasaan bahwa seluruh biaya yang dibutuhkan untuk acara makan bersama ini di tanggung oleh pihak pengantin pria. Sedangkan tempat untuk melaksanakan ngembah belo selambar ini diadakan di rumah kalimbubu (pihak wanita). Acara ngembah belo selambar ini dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak yang berkawin. Adapun orang-orang yang hadir dalam acara ini adalah : 1. Dari pihak perempuan a. gadis yang dilamar
e. kalimbubu si ngalo beré-beré
b. orang tua (sukut)
f. si ngalo perbibin
c. sembuyak
g. anak beru
d. senina sikaku ranan
82
2. Dari pihak laki-laki a. pemuda yang melamar
d. senina sikaku ranan
b. orang tua
e. kalimbubu si ngalo ulu emas
c. sembuyak
f. anak beru
Sebelum acara ngembah belo selambar dimulai, anak beru dari pihak keluarga calon pengantin pria akan lebih dulu menyerahkan kampil persentabin kepada keluarga calon pengantin wanita melalui anak beru keluarga calon pengantin wanita. Pihak pelamar harus mempersiapkan enam buah kampil yang berisi rokok, korek api, daun sirih, gambir, kapur, pinang, dan tembakau. Lima buah kampil akan diserahkan kepada pihak perempuan yang masingmasing kepada sukut, anak beru, kalimbubu singalo bere-bere, kalimbubu singalo perkempun, dan kalimbubu singalo perbibin. Sedangkan satu buah kampil yang tersisa akan diserahkan kepada pihak laki-laki dan diserahkan kepada kalimbubu singalo ulu emas. Setelah acara penyerahan kampil persentabin ini selesai, barulah acara maba belo selambar dimulai. Pembicaraan yang utama dalam acara maba belo selambar ini adalah menanyakan kesediaan si gadis, orang tua (sembuyak,senina), anak beru, dan kalimbubu (singalo bere-bere, singalo perkempun) dan singalo perbibin atas lamaran tersebut. Apabila jawaban atau kesediaannya sudah diperoleh maka selesailah acara maba belo selambar tersebut.
3.4.3. Nganting Manuk
83
Acara nganting manuk merupakan suatu acara yang diadakan sebagai lanjutan dari maba belo selambar. Dalam acara nganting manuk ini akan diadakan runggu (musyawarah) tentang besarnya jumlah gantang tumba/ unjuken (mas kawin) yang harus diterima oleh pihak perempuan. Untuk itu dalam acara ini harus hadir sangkep nggeluh dari kedua belah pihak, yaitu : 1. Dari pihak perempuan a. Gadis yang akan kawin
f. Kalimbubu singalo bere-bere
b. Sukut (orang tua)
g. Kalimbubu singalo perkempun
c. Sembuyak
h. Singalo Perbibin
d. Senina
i. Anak beru
e. Sepemeren/ separibanen
2. Dari pihak laki-laki a. Pemuda yang akan kawin
e. Sepemeren/ separibanen
b. Sukut (orang tua)
f. Kalimbubu singalo ulu emas
c. Sembuyak
g. Puang kalimbubu
d. Senina
i. Anak beru
Acara nganting manuk diadakan pada malam hari, diawali dengan makan bersama yang lauk utamanya adalah ayam (manuk) yang dimasak dengan jagung tua tumbuk (cipera). Sebelum makan, pihak pria terlebih dahulu menyerahkan luah (oleh-oleh) berupa gulame (dodol) atau rires (lemang), dan nakan baluten kepada pihak perempuan.42 Pada acara makan nakan baluten 42
Di Karo Langkat kebiasaan ini disebut pinggan lanami dan berjumlah sebanyak 12 buah, masing-masing diserahkan kepada singalo perkempun, singalo perninin, singalo bere-bere, sukut (senina, separibanen, sepemeren, sepengalon), anak beru tua, anak beru menteri,
84
yang berjumlah lima buah akan diserahkan masing-masing kepada sukut sinereh, sembuyak/ senina kuranan, singalo bere-bere, singalo perkempun, dan singalo perbibin. Sebelum acara runggu dimulai—sama halnya dengan acara pada maba belo selambar—kampil persentabin (sebanyak 5 buah) yang berisi peralatan untuk merokok dan peralatan makan sirih, akan diserahkan kepada pihak perempuan, dan satu buah kampil lainnya akan diserahkan kepada pihak laki-laki. Setelah acara merokok dan makan sirih selesai, runggu pun dimulai. Dalam hal ini ada kalanya proses nungkuni diulangi, karena ketika acara maba belo selambar mungkin saja keluarga maupun kerabat belum terlalu banyak yang hadir. Namun hal ini tetap tergantung kepada pihak perempuan. Jika proses nungkuni tidak dilaksanakan lagi maka akan langsung dibicarakan tentang gantang tumba/ unjuken. Setelah pembicaraan mengenai mas kawin (gantang tumba) selesai, maka dilanjutkan dengan membicarakan hal-hal berikut ini :
-
Waktu dan tempat pelaksanaan kerja adat (pesta adat) Disini penting dibicarakan waktu dan tempat pelaksanaan kerja, khususnya di daerah perantauan, sebab tempat kerja pada umumnya di gedung-gedung komersial sehingga waktunya sangat tergantung pada tersedianya gedung tersebut. Tempat pelaksanaan kerja biasanya dilaksanakan i kuta si diberu (kampung pihak perempuan)
kalimbubu kuta, guru kuta, penggual, pande namura, pengulu lesung, dan anak kuta. ( Adat Enggeloh Karo Langkat 1995:5 dalam Darwan Prints 2008:94)
85
-
Luah kalimbubu (barang bawaan kalimbubu) Menyiapkan luah kalimbubu bukanlah kewajiban pihak laki-laki, tetapi atas permintaan pihak laki-laki bahwa merekalah yang menyiapkan
luah kalimbubu. Ini dilakukan pihak laki-laki sebagai pernyataan hormat dan terimakasih atas kerelaan kalimbubu (pihak perempuan) telah merelakan dan mengizikan anak gadis mereka untuk erjabu (menikah). -
Gulen Kerja (Konsumsi untuk pesta) Disini dibicarakan jenis dan banyaknya gulen kerja dan pengadaan
daging untuk gulen (sayur) motong atau erbante. Motong berarti sapi atau kerbau yang disembelih, erbante artinya daging yang dibeli ditempat penjualan daging. Setelah hal-hal diatas selesai dibicarakan, maka selanjutnya acara sijalapen pun dimulai (masing-masing menanyakan sangkep nggeluh). Disini terjadi proses perkenalan yang lebih mendalam diantara kedua belah pihak yang dilakukan oleh anak beru dari masing-masing pihak. Seperti menanyakan nama yang menikah beserta marga atau beru yang dibawanya, nama kedua orang tua yang menikah (baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan), dan saling memperkenalkan sembuyak/ senina dan anak beru masing-masing. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada penjelasan berikut ini.
86
Mula-mula pihak sinereh (pihak perempuan) njalapi (menanyai) pihak siempo (pihak laki-laki), yaitu : ise siempo (siapa yang kawin), ise si mupus (siapa ayah kandungnya), ise si peempokenca (siapa yang mengawinkannya), ise senina ku ranan (siapa saudara semarganya), ise anak beru cekoh baka tutup, ise anak beru menteri. Selanjutnya pihak siempo (pihak laki-laki) njalapi sinereh, yaitu : ise sisereh (siapa yang kawin), ise si mupus (siapa ayah kandungnya), ise senina sinerehkenca (siapa saudara yang mengawinkannya), ise senina ku ranan, ise anak beru tua, ise anak beru cekoh baka tutup.
3.4.4. Kerja Adat Kerja adat atau disebut juga dengan pesta adat merupakan rangkaian inti dari adat perkawinan masyarakat Karo. Pada kerja adat ini juga terdapat beberapa langkah yang harus ditempuh lagi. Mengenai langkah-langkah tersebut akan dijelaskan pada halaman berikutnya. Kerja adat biasanya dilaksanakan di sebuah balai desa, yang dikenal dengan sebutan jambur oleh masyarakat Karo. Disinilah kemudian terjadi berbagai kegiatan yang berhubungan dengan beberapa langkah adat perkawinan tersebut.
87
Gambar 3.2. Jambur Ta Ras Berastagi43 3.4.4.1. Ngukati Sebelum rangkaian adat perkawinan dimulai, sekitar pukul 8 pagi diadakanlah acara sarapan bersama-sama (ngukati). Seluruh tamu yang sudah datang dan keluarga dari kedua belah pihak, hadir dan duduk bersama di jambur atau ditempat yang sudah ditentukan menjadi lokasi pesta. Ngukati ini sangat penting diadakan, karena ini merupakan sebuah simbol dalam memberikan penghargaan paling tinggi kepada para tamu yang sudah hadir.
3.4.4.2. Nangketken Ose Nangketken ose merupakan rangkaian pertama dari adat upacara perkawinan Karo. nangketken ose (rose) adalah merupakan acara memberikan pakaian adat lengkap kepada kedua pengantin maupun sukut . Apabila pesta itu adalah kerja sintua dan kalimbubu membawa ose (seperangkat pakaian adat) anak berunya, maka kalimbubu si ngalo ulu emas dari pihak laki-laki akan memasangkan ose pengantin laki-laki, begitu juga dengan kalimbubu si ngalo ulu emas dari pihak perempuan akan memasangkan ose pengantin perempuan. Selanjutnya semua sukut iosei (diberi pakaian adat) oleh kalimbubu si ngalo ulu emasnya masing-masing. Setelah rose selesai maka acara akan dilanjutkan pada langkah selanjutnya, yaitu runggu (akan dijelaskan selajutnya)
43
Sumber : metamorfosasinabung.blogspot.com
88
Tudung
Bulang-bulang
kadangenna
Selempang Langge-langge Gonje
Abit
Gambar 3.3. Pakaian Adat Karo ; Ose Lengkap la eremas-emas44
Acara rose pada pesta perkawinan masyarakat Karo dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu : 1. Ose lengkap la eremas-emas, merupakan seperangkat pakaian adat yang tidak dilengkapi dengan emas-emas (seperangkat perhiasan emas).45 Ose (pakaian) lengkap untuk laki-laki terdiri dari : (a) Bulang-bulang: uis nipes; beka buloh (kain yang dipakai sebagai penutup kepala), (b) Gonje: jongkit/ uis ariteneng/ uis julu (kain yang dipakai sebagai sarung), (c)
44 45
Sumber : Dize Photo Studio Berastagi (7 Juli 2011) Ir. Terang Malem Milala, 2008.
89
Selempang: kampoh eremas-emas (sarung yang berhiaskan benang berwarna emas yang dipakai sebagai selempang), (d) Kadangennna: uis nipes/ uis eremas-emas (kain yang dipakai dibahu). Ose lengkap untuk perempuan terdiri dari : (a) Tudung: kelam-kelam/ uis gara (kain yang dipakai sebagai penutup kepala), (b) Abit: uis ariteneng/ uis julu (kain yang dipakai sebagai sarung), (c) Langge-langge: uis nipes (kain yang dipakai di pinggang)
2.Ose lengkap eremas-emas, merupakan seperangkat pakaian adat yang dilengkapi dengan seperangkat perhiasan emas (perhiasan emas tiruan).46 Pada dasarnya ose (pakaian) yang di gunakan adalah sama dengan ose lengkap la ermas-emas. Maka dari itu disini penulis hanya menambahkan seperangkat perhiasannya saja, karena kelengkapan mengenai pakaian telah dijelaskan sebelumnya. Ose lengkap untuk laki-laki terdiri dari : (a) Bulangna (kain penutup kepala) dililit dengan sertali (semacam ikat kepala), (b) Memakai kalung yang juga disebut dengan sertali, (c) Memakai gelang yang disebut gelang sarong, (d) Memakai rudang-rudang yang dipakai sebagai penghias bulang-bulang. Ose lengkap untuk perempuan terdiri dari : (a) Junjungenna (kain pelapis tudung) kain rambu emas, dan disekeliling tudung dililitkan dengan sertali, (b) Memakai anting-anting yang disebut dengan kodongkodong, (c) Memakai kalung yang disebut dengan sertali.
46
Ir. Terang Malem Milala, 2008.
90
Rudangridang Sertali
Sertali Burana Sertali Kodong-kodong
Burana Sertali
Gelang Sarong
Gambar 3.4. Pakaian Adat Karo ; Ose Lengkap Eremas-emas47 3.4.4.3. Runggu Dalam acara runggu ini akan dibicarakan masalah-masalah yang masih menyangkut dengan perkawinan tersebut. Adapun masalah-masalah yang dimusyawarahkan atau dibicarakan disini adalah masih menyangkut pada halhal yang dibicarakan pada saat acara nganting manuk. Hal ini dilakukan karena keluarga dan kerabat yang hadir pada saat nganting manuk masih terbatas. Dan disinilah hal-hal yang muncul pada acara nganting manuk akan didiskusikan kembali di depan para undangan. Hal ini dilakukan mengingat jika ada terjadi suatu perubahan. Pada musyawarah tersebut, masalah yang berkaitan dengan kesiapan mental dan spiritual pengantin juga akan dibicarakan (Siahaan, 1991:44). 47
Sumber : Pancasona Shooting Video
91
Setelah pembicaran mengenai hal tersebut diatas selesai, maka akan dilanjutkan pada acara ersukat emas/pedalan emas. Pertama-tama anak beru dari pihak laki-laki akan menanyakan kepada pihak perempuan, apakah acara ersukat emas/pedalan emas ini sudah bisa dilaksanakan atau belum. Jika pihak perempuan menyatakan sudah bisa, maka pihak laki-laki akan menyerahkan enam buah kampil persentabin (ndudurken kampil) yang berisi perlengkapan merokok dan makan sirih, lima buah untuk pihak perempuan dan satu buah untuk pihak laki-laki. Sesudah itu masing-masing anak beru dari kedua belah pihak menyatakan bahwa acara tersebut sudah bisa dimulai. Ndudurken kampil (menyerahkan kampil) disini berfungsi sebagai pertanda bahwa acara sudah dapat dimulai.
Gambar 3.5. Acara Ndudurken Kampil48
Disini anak beru lah (baik dari pihak perempuan maupun laki-laki) yang bertugas untuk melakukan musyawarah dan duduk mengambil posisi di tengah-tengah para undangan kedua belah pihak (duduk berbentuk 48
Sumber : http://mannaismayaadventure.wordpress.com
92
lingkaran).49 Masing-masing kelompok anak beru dari kedua belah pihak biasanya terdiri dari 5 atau 6 orang, salah seorang akan menjadi juru bicara dan yang lainnya adalah pendamping (membantu). Anak beru kelompok sinereh terdiri dari : sembuyak ( saudara semarga ayah kandugnya), sinerehken (yang mengawinkan/ saudara ayah kandung), senina ku ranan, anak beru tua/ singerana, anak beru cekoh baka, dan anak beru menteri. Sedangkan anak beru kelompok siempo terdiri dari : sembuyak, si peempoken (yang mengawinkan), senina ku ranan, anak beru tua/ singerana, anak beru cekoh baka, dan anak beru menteri (anak beru sindungi dahin).
Gambar 3.6. Anak beru dari kedua belah pihak50
Hal-hal yang akan dilakukan pada tahap ini (ersukat emas/pedalan emas) adalah penghitungan pembayaran utang adat (uang dalam bentuk tunai) yang disebut batang unjuken. Penghitungan jumlah batang unjuken ini disebut 49
Pesta perkawinan pada masyarakat Karo umumnya diadakan disebuah balai desa yang disebut los atau kesain. Seluruh keluarga, kerabat dan para tamu undangan duduk bersamasama diatas tikar yang sudah disediakan menurut tegunnya (tempat yang sudah ditentukan berdasarkan kekerabatannya) masing-masing. 50 Sumber : Pancasona Shooting Video
93
dengan istilah ersukat emas. Uang unjuken yang telah selesai dihitung tersebut diletakkan di dalam pinggan pasu (piring khas Karo) berwarna putih yang berisi beras, belo cawir (sirih yang paling bagus), uang dirham, dan kuning gersing (kunyit). Pinggan pasu yang sudah diisi tersebut di alasi dengan uis kapal (kain adat yang tebal) berwarna hitam yang disebut uis ariteneng, uis ini berfungsi sebagai lanam (alas) pinggan pasu. Dalam hal ini juga dibutuhkan amak cur (tikar kecil berwarna putih yang dianyam), tikar ini berfungsi sebagai tempat pinggan pasu beserta lanamnya (alasnya). Selanjutnya anak beru dari pihak siempo menyerahkan batang unjuken51 tersebut kepada anak beru pihak sisereh. Penyerahan/ pemberian batang unjuken ini disebut dengan istilah pedalan emas. Adapun batang unjuken yang diserahkan tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 3.1. Batang Unjuken52
Kelompok Penerima
Jumlah yang diterima
1.
Singalo bere-bere
Rp. 286.000
2.
Singalo perkempun
Rp. 196.000
3.
Singalo perbibin
Rp. 196.000
4.
Singalo perkembaren/ perseninan
Rp. 96.000
5.
Singalo ulu emas
Rp. 386.000
No
51 52
Sejumlah uang sebagai pokok dari mas kawin. Data diperoleh di daerah penulis melakukan penelitian; Berastagi.
94
Kelima kelompok penerima tersebut merupakan kelompok yang termasuk kedalam kalimbubu. Selanjutnya masing uang unjuken akan dibagi rata kepada setiap orang yang ada dalam kelompok tersebut. Besar atau kecilnya hasil bagi rata tidak menjadi masalah, karena yang terpenting adalah uang unjuken
tersebut telah sampai kepada individu yang berhak
menerimanya. Hal ini menandakan bahwa individu tersebut dihargai haknya sebagai kalimbubu.53 Setelah pihak keluarga laki-laki menyerahkan uang unjuken kepada pihak pengantin perempuan, maka kelompok pengantin laki-laki sudah berhak menjemput pengantin perempuan untuk duduk di kelompok pengantin laki-laki (disandingkan dikursi yang sudah disediakan). Jadi sebelum semua transaksi uang mahar dan lainnya selesai, kedua pengantin masih duduk di kelompoknya masing-masing dan belum dibolehkan untuk duduk berdampingan. Namun pada kenyataannya seiring perkembangan jaman, keadaan/ peraturan seperti ini sudah banyak dilanggar, terutama dapat kita lihat di daerah perkotaan. Setelah acara penyerahan uang unjuken ini selesai, maka dilanjutkan lah dengan acara makan siang bersama. 3.4.4.4. Ngerana Ngerana merupakan rangkaian terakhir dari adat upacara perkawinan masyarakat Karo. Acara ngerana ini selalu diselingi dengan kegiatan menari bersama (landek). Setiap kelompok yang mendapat giliran ngerana akan 53
Wawancara dengan Katalemuk br Sukatendel, 23 Maret 2011.
95
diberikan kesempatan untuk menari. Dalam acara ini setiap unsur dari daliken sitelu (kalimbubu, senina/sembuyak, anak beru) diberikan kesempatan ngerana (berbicara) untuk menyampaikan pedah-pedah (berbagai nasehat), ajar (petuah), dan toto (doa dan harapan). Ketiga unsur daliken sitelu mempunyai gilirannya masing-masing untuk ngerana dan setiap kelompok mempunyai beberapa orang perwakilannya untuk ngerana. Namun sebelum ketiga unsur daliken sitelu tersebut dipersilahkan untuk ngerana, terlebih dahulu keluargakeluarga terdekat dari kedua mempelai yang dipersilahkan untuk menari (landek). Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah sukut (orang tua dari kedua belah pihak), sembuyak (dari kedua belah pihak), senina; sepemeren, separibanen, sepengalon, dan sedalanen (dari kedua belah pihak). Setelah seluruh keluarga dari kedua belah pihak selesai menari, maka acara ngerana pun sudah dapat dimulai. Kesempatan pertama untuk ngerana akan diberikan kepada kalimbubu dari pihak siempo. Setelah pihak tersebut selesai ngerana dan landek, maka kesempatan kedua diberikan kepada kalimbubu dari pihak sisereh. Kelompok kalimbubu dari pihak sisereh ini juga disebut dengan istilah kalimbubu si telu sada dalanen, karena kelompok ini terdiri dari tiga subkelompok lagi, yang selalu sejalan/bersama-sama hadir ketika mendapat giliran ngerana dalam acara pesta perkawinan. Adapun ketiga subkelompok tersebut adalah kalimbubu singalo bere-bere, kalimbubu singalo perkempun, dan kalimbubu singalo perbibin. Setelah selesai ngerana dan menari bersama, selanjutnya pihak kalimbubu si telu sada dalanen akan menyerahkan luah (kado) kepada kedua mempelai berupa:
96
Tendang (lampu teplok yang menyala), memiliki makna agar rumah tangga yang baru dibangun menjadi terang kepada semua keluarga dan kepada semua orang.
Amak tayangen (tikar, tilam dan bantal), maknanya agar keluarga baru tersebut dapat menikmati kebahagiaan.
Kudin perdakan (periuk nasi), maknanya adalah sebagai modal dasar dalam membangun rumah tangga baru, diharapkan agar kedua mempelai rajin bekerja mencari makan.
Pinggan perpanganen (piring nasi), maknanya adalah agar kedua mempelai dapat menerima berkat dari Tuhan.
Beras meciho ras naruh manuk (beras putih/suci dan telur ayam), maknanya adalah agar keluarga yang beru tersebut selalu serasi dan mendapat kemuliaan. Biasanya kedua komponen tersebut akan dimasukkan kedalam sebuah wadah yang disebut sumpit.
Manuk asuhen (ayam peliharaan), maknanya agar keluarga baru itu mendapat rejeki yang baik, serta tercapai apa yang dicita-citakan.
97
Pinggan perpanganen
Amak tayangen
Kudin perdakan Tendang Beras Meciho ras naruh manuk
Manuk asuhen
Gambar 3.7. Luah dari Kalimbubu54 Setelah pihak kalimbubu si telu sada dalanen selesai menari dan menyerahkan luahnya, anak beru dari pihak siempo pun mendapat giliran selanjutnya untuk ngerana. Begitu kelompok ini selesai ngerana, anak beru dari pihak sisereh pun dipersilahkan untuk ngerana. Anak beru sisereh merupakan kelompok terakhir yang diberikan kesempatan ngerana pada acara ini. Pada saat anak beru dari pihak sisereh ngerana (memberikan nasehat), disinilah diberikan kesempatan kepada bibi si rembah ku lau untuk memberikan nyanyian didong doah terhadap pengantin perempuan, Karena bibi si rembah ku lau termasuk kedalam kelompok anak beru dari pihak sisereh. Biasanya ketika erdidong (menyanyi) si bibi akan menangis tersedusedu sambil menyampaikan semua keluh kesahnya.
54
Sumber : Pancasona shooting video
98
Gambar 3.8. Bibi Si rembah Ku Lau55 Setelah bibi si rembah ku lau selesai erdidong, maka dilanjutkan pada giliran anak beru menteri, yang merupakan kelompok terakhir yang ngerana. Setelah kelompok anak beru ini selesai ngerana, maka selesai pula lah acara kerja adat/ pesta perkawinan tersebut. Penutupan kerja adat ini akan diakhiri dengan menari bersama. Kerja adat biasanya dimulai pada pukul 09.00 WIB dan berakhir pukul 17.00 WIB.
55
Sumber : Dokumentasi penulis, 2 Maret 2011
99
BAB IV ANALISIS FUNGSI SOSIAL BUDAYA DIDONG DOAH BIBI SI REMBAH KU LAU
Dalam bab ini akan dibahas mengenai fungsi sosial budaya dari didong doah bibi si rembah ku lau. Penulis disini akan mendeskripsikan teks dari didong doah bibi si rembah ku lau dengan menterjemahkannya dan melihat apa-apa saja makna
teks tersebut. Penulis juga akan melihat bagaimana
pengaruh didong doah bibi si rembah ku lau itu sendiri terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat Karo. Dengan begitu, maka akan dapat diketahui fungsi sosial dan budaya dari didong doah bibi si rembah ku lau tersebut.
4.1. Deskripsi Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Didong doah bibi si rembah ku lau adalah sebuah nyanyian tradisional Karo yang terdapat/ dinyanyikan pada saat pesta perkawinan. Nyanyian ini dinyanyikan oleh bibi si rembah ku lau (kelompok anak beru) secara individu atau solo dan biasanya diiringi dengan gendang simalungun rayat (musik tradisional Karo). Nyanyian ini biasanya dinyanyikan oleh bibi sisereh (saudara perempuan dari ayah mempelai wanita) dan ditujukan pada sisereh, yang dalam hal ini merupakan permen daripada bibi tersebut. Teks yang dinyanyikan selalu muncul secara spontan berdasarkan konteks penyajiannya (konteks perkawinan). Artinya teks yang muncul tidak bersifat baku dan muncul berdasarkan suasana hati si penyaji. Si penyaji selalu merasa bebas untuk memulai atau menggarap teksnya.
100
Hal yang sama juga terjadi dalam penggarapan melodi dan ritem didong doah bibi si rembah ku lau. Hal ini terjadi karena secara struktural, melodi dan ritem didong doah ini memang tidak memiliki bentuk yang baku. Hal ini pula yang menyebabkan bahwa penyajian didong doah selalu bervariasi, karena setiap penyaji akan menyajikannya dengan gaya dan teknik yang berbeda-beda.
4.2. Penggunaan dan Fungsi Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Penggunaan dan fungsi sebuah musik dalam kebudayaan suatu masyarakat penting untuk dibahas, karena hal ini berhubungan dengan makna musik tersebut terhadap masyarakat pemiliknya, dengan melihat sikap dan cara bersosialisasi mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Merriam mengatakan bahwa penggunaan musik menekankan terhadap situasi yang bagaimana di dalam pelaksanaannya pada aktifitas masyarakatnya. Sedangkan fungsi musik meliputi alasan-alasan mengapa musik diadakan secara khusus dan apa saja yang dapat dilakukan musik tersebut terhadap pemakainya (1964:210). Adapun penggunaan didong bibi si rembah ku lau adalah untuk menyelesaikan tuntutan adat dan untuk kepentingan pesta perkawinan pada kebudayaan masyarakat Karo. Sedangkan fungsi didong doah itu sendiri lebih cenderung sebagai alat komunikasi antara bibi si rembah ku lau baik dengan kedua pengantin maupun kepada orang-orang yang hadir atau ikut terlibat dalam pelaksanaan upacara tersebut. Karena dengan menyanyikan didong doah bibi si rembah ku lau tersebut, si bibi—orang yang bersangkutan—telah dapat mengungkapkan perasaan yang ada didalam hatinya.
101
4.3. Penyajian Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Seperti yang telah diungkapkan diatas bahwa didong doah bibi si rembah ku lau selalu disajikan dalam pesta perkawinan pada masyarakat Karo. Penyaji didong doah bibi si rembah ku lau adalah saudara perempuan dari ayah sisereh, yang disebut dengan bibi si rembah ku lau. Untuk menjadi seorang bibi si rembah ku lau seorang wanita harus mempunyai permen perempuan. Namun ada kalanya seorang wanita tidak mempunyai permen kandung. Hal ini terjadi karena dia tidak memiliki saudara laki-laki atau jika ia memiliki saudara laki-laki tapi saudaranya
tersebut tidak memiliki anak perempuan. Walau
demikian berdasarkan sistem kekerabatan (melalui tutur) masyarakat Karo, ditemukanlah bahwa dia juga mempunyai permen, sehingga dia juga dapat dianggap sebagai bibi si rembah ku lau. Biasanya didong doah bibi si rembah ku lau disajikan pada saat giliran anak beru untuk ngerana. Disinilah kesempatan bagi bibi si rembah ku lau untuk erdidong, karena bibi si rembah ku lau termasuk kedalam kelompok anak beru. Namun demikian sebagian orang menganggap bahwa didong doah bibi si rembah ku lau bukan lah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan dalam sebuah upacara perkawinan masyarakat Karo. Karena didong doah bibi si rembah ku lau tidak mempengaruhi sah atau tidaknya sebuah perkawinan. Tapi dianggap penting untuk melengkapi keharusan melaksanakan adat.56 Menurut konsep bibi si rembah ku lau jika didong doah tersebut tidak dilaksanakan maka sebuah upacara perkawinan dapat dikatakan kurang 56
Dalam konsep masyarakat karo adat merupakan suatu kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilaksanakan dan dipatuhi, yang apabila tidak dilaksanakan akan mempunyai akibat-akibat, tetapi tidak dimuat atau tidak tertulis dalam sebuah kitab undang-undang.
102
lengkap secara adat. Karena selain sebagai bagian daripada rangkaian adat istiadat Karo, penyajian didong doah bibi si rembah ku lau tersebut juga menyangkut tanggung jawab dan eksistensi atau keberadaan mereka sebagai bibi si rembah ku lau. Dengan melaksanakan didong doah maka selesailah tugas dan tanggung jawab mereka sebagai bibi si rembah ku lau dalam pelaksanaan upacara perkawinan tersebut. Lebih jauh lagi jika sebuah upacara perkawinan dilaksanakan tanpa mengikutsertakan didong doah, maka keluarga yang melaksanakannya itu dikatakan orang yang tidak beradat.57 Dari keterangan-keterangan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa didong doah merupakan hal yang penting dilaksanakan dalam sebuah upacara perkawinan dalam memenuhi kelengkapan sebuah adat. Oleh karena itu selain berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi, didong doah berperan penting untuk melengkapi adat upacara perkawinan pada masyarakat karo.
4.4. Deskripsi Teks Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau 4.4.1. Teks Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Dalam menuliskan teks dari didong doah bibi si rembah ku lau ini, penulis akan menampilkan ketiga nyanyian yang disajikan oleh tiga orang yang berbeda, yaitu Nande Paksa Br Sembiring (76 tahun), Nande Roni Br Sembiring (70 tahun) dan Nande Sabar Br Tarigan (69 tahun). Disini penulis juga akan menuliskan terjemahan dari teks tersebut, yang mana langsung diterjemahkan oleh penulis sendiri. Agar memudahkan pembaca dalam
57
Wawancara dengan Nande Rony, Berastagi 27 Februari 2011
103
membaca teknya, penulis langsung membubuhkan terjemahannya di sebelah kanan teks tersebut.
1. Sampel A, Didong doah bibi si rembah ku lau oleh Nande Paksa Br Sembiring Nyanyian ini penulis peroleh melalui rekonstruksi kembali yang dilakukan oleh Nande Paksa Br Sembiring (25 Februari 2011), karena pada saat itu tidak ada pesta perkawinan yang akan diamati. Menurut penulis hasil rekaman ini layak untuk dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini karena Nande Paksa Br Sembiring merupakan penyaji yang sudah biasa melakukan didong doah bibi si rembah ku lau pada acara-acara perkawinan masyarakat Karo. Menurut Nande Paksa Br Sembiring Sebelum bibi si rembah kulau menyajikan didong doah, dia akan menyampaikan beberapa kata-kata pembuka terlebih dahulu. Adapun kata-kata tersebut adalah : ngerana aku bibindu nakku beru ginting emaka wari sekali enda wari salang sai kudoahken me kam sekalenda ras sembiring mergana
saya bibindu berbicara anakku beru ginting58 maka hari ini adalah hari yang cerah /berbahagia ku doahken kamu hari ini dengan sembiring mergana59
emaka nakku enggo gia kam erjabu ula rubat-rubat gelah malem ate kami ras nande ndu ras bapandu e man buaten kami ma enggo nakku beru ginting
jadi anakku meskipun kamu sudah menikah Jangan bertengkar agar kami merasa lega Begitu juga dengan ayah dan ibu mu itu lah yang kami harapkan kan sudah anakku beru ginting
58 59
Marga atau klan yang dibawa perempuan Marga atau klan yang dibawa laki-laki
104
Setelah menyampaikan kata-kata pembuka tersebut, si bibi pun langsung bernyanyi dan mengungkapkan isi hatinya terhadap sisereh. Teks nyanyian sampel A dapat dilihat pada lampiran I.
2. Sampel B, Didong doah bibi si rembah ku lau oleh Nande Roni Br Sembiring. Sama halnya dengan didong doah diatas, nyanyian ini juga penulis peroleh melalui konstruksi ulang yang dilakukan oleh Nande Roni Br Sembiring (27 Februari 2011), yang juga merupakan pelaku yang biasa menyajikan didong doah bibi si rembah ku lau dalam pesta perkawinan masyarakat Karo. Sama halnya dengan nande Paksa, nande Rony juga mengungkapkan beberapa kalimat pembukaan, yaitu : kami enda ngerana sitik tegun anak beru ras sirembah ku lau
kami disini akan berbicara sedikit kelompok anak beru dan sirembah ku lau
Menurut nande Rony kalimat diatas diungkapkan oleh salah seorang dari perwakilan anak beru. Nande Rony juga mengungkapkan, sebelum bibi si rembah ku lau menyajikan didong doah, maka dipersilahkan terlebih dahulu kepada anak beru yang lain untuk menyampaikan pedah-pedah kepada pengantin.Setelah kelompok anak beru selesai ngerana, maka dilanjutkan oleh bibi si rembah ku lau yang langsung erdidong. Didong doah bibi si rembah ku lau yang disajikan oleh nande Rony br Sembiring dapat dilihat pada bagian lampiran I.
105
3. Sampel C, Didong Doah bibi si rembah ku lau oleh Nande Sabar Br Tarigan Nyanyian ini penulis peroleh dari rekaman audio secara langsung pada sebuah upacara perkawinan Karo di Jambur Ta Ras Desa Rumah Berastagi pada tanggal 02 Maret 2011. Nande sabar merupakan penyaji yang juga biasa erdidong pada acara-acara pesta perkawinan. Dengan kata lain, ia sering diminta untuk erdidong pada acara-acara pesta perkawinan, dengan catatan bahwa yang menikah tersebut masih mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Begitu juga pada kasus ini, pengantin perempuan bukanlah permen kandung dari nande Sabar, namun masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya. Disini nande Sabar juga mengungkapkan beberapa kalimat pembuka, dan menyatakan ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. ibas wari simeriah ukur enda enggo erjabu anak kami ras permen kami emaka bujur ningku man Dibata
pada hari yang berbahagia ini sudah menikah anak kami dan menantu kami maka dari itu syukur saya ucapkan kepada Tuhan
aku pe ngerana sitik em kap sirembah ku lau ku didong kam nakku
saya juga akan berbicara sedikit yaitu sirembah ku lau ku timang kamu anakku
Setelah kata-kata pembuka diatas selesai diucapkan, maka bibi si rembah ku lau pun langsung erdidong. Untuk mengetahui teks nyanyian dari sampel C dapat dilihat pada bagian lampiran I Pada sampel B dan C juga ditemukan adanya aktivitas ekstra musikal. Aktivitas ini muncul ketika si penyaji mengungkapkan sesuatu sambil
106
menangis atau dengan kata-kata yang menyentuh hati sisereh. Ketika si bibi menangis atau merasa sangat sedih, maka kedua pengantin akan mendatangi si bibi dan berusaha membujuknya agar tidak bersedih dan berhenti menangis. Aktivitas ini lah yang kemudian disebut dengan aktivitas ekstra musikal. Dibawah ini adalah teks yang diungkapkan oleh si penyaji, yang memicu munculnya aktivitas ekstra musikal tersebut.
Sampel B;B4 B4 enca ge ku elukken ka kena nande biring ku ayaki tarigan mergana e bage nindu nande biringku morah kel ateku kena nande biring ginting
tapi kemudian aku berpaling darimu nande biring ku kejar tarigan mergana ini itu lah yang kau ucapkan nande biring aku sangat berharap padamu nande
Menurut nande Rony br Sembiring contoh seperti kalimat tersebutlah yang dapat menyentuh hati sisereh, sehingga dia kemudian mendatangi bibinya dan membujuk si bibi agar tidak bersedih lagi. Nande Rony juga menuturkan bahwa hal tersebut diatas pasti selalu dialami oleh setiap pengantin perempuan di masyarakat Karo, begitu juga dengan dirinya dahulu. Melihat si bibi bersedih/menangis akan menimbulkan rasa sayang yang lebih besar sisereh terhadap bibinya. Selain itu juga akan memicu sisereh untuk melakukan hal yang sama terhadap permennya kelak.60 Sampel C;C8-C9 C8 enggo bagem anakku ... keleng sikeleng-kelengen 60
biarlah begitu anakku saling menyayangilah
Wawancara dengan nande Rony br Sembiring, 27 Februari 2011
107
kam pagi duana nande tigan anakku (menangis) ginting mergana maka malem pagi ate nande ndu bapandu anakku ... C9 bagenda gia lawes nandendu ndai turang bibina ... nakku anakku (menangis)
kamu berdua nande tigan anakku ginting mergana agar lega perasaan ibu ayahmu anakku ... begini walaupun sudah pergi ibumu tadi turang bibina ... nakku
anakku
Ketika penulis melakukan perekaman langsung pada sampel C di sebuah pesta perkawinan di Berastagi, penulis melihat bahwa saat si bibi mengungkapkan kalimat-kalimat diatas, si bibi tidak henti-hentinya menangis. Sesekali si bibi menghapus air matanya dan berhenti sejenak untuk menarik nafas. Terlihat sekali bahwa si bibi merasakan kesedihan yang begitu mendalam saat itu. Karena melihat si bibi menangis tersedu-sedu, kedua pengantin lalu mendatangi si bibi. Bersama dengan suaminya, dia memeluk si bibi sambil berusaha menenangkan perasaan si bibi.
4.4.2. Makna Teks Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Meski menggunakan bahasa sehari-hari dalam penyajiannya, teks didong doah bibi si rembah ku lau tetap menyiratkan makna yang jelas. Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai makna tersurat (harafiah) dan makna tersirat dari kata-kata maupun kalimat yang terdapat dalam teks didong doah bibi si rembah ku lau. Makna tersebut akan dilihat baik dari kata/kalimat, maupun arti yang tersirat dari setiap baitnya. Sebelum melihat arti
yang
tersirat dari setiap bait tersebut, berikut ini dapat kita lihat makna kata/kalimat dari teks didong doah bibi si rembah ku lau yang disajikan dalam sebuah tabel.
108
Tabel 4.1. Makna Kata Teks Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Sampel Kata/ Kalimat Makna Tersurat Makna Tersirat A Njabuken bana Menikahkan diri sendiri Telah sah menikah (A1) Enggo tambahindu Sudah menambahkan Sudah memiliki teman ndu (A2) teman mu calon suami pilihannya sendiri Enteguh lah Kuatlah pernikahan Agar kedua perjabun kena kalian mempelai memiliki (A2) pernikahan yang langgeng. Kupudi wari enda Kebelakang hari ini Untuk waktu yang (A3) selanjutnya/ waktu yang akan datang Jumpa matawari Bertemu matahari dan Agar kedua jumpa bulan (A6) bulan pengantin cepat mendapatkan anak laki-laki dan perempuan (mendapat keturunan). Morah ateku (A7)
B
Elukken (B1, B4, B7, B8)
Morah (B4, B7)
Beru sembiring e merambit. E pagi dalan ndu ula rubat-rubat (B6)
Perembahndu ndube (B9)
Yang ku harapkan/ ingini Merupakan ungkapan rasa sesal dan kesedihan Menghindari/ dihindari Kata ini berarti bahwa dia telah mengingkari janjinya kepada bibinya. Berharap/ menginginkan Merupakan ungkapan rasa sesal dan kesedihan Beru sembiring ini Agar mereka berdua cerewet. Itulah jalanmu janganlah agar tidak bertengkar bertengkar hanya karena si beru sembiring memiliki sifat yang cerewet. Kain gendonganmu tadi. Kata ndube (tadi) disini berarti waktu ketika sisereh masih 109
bayi.
C
Buah bara nande Buah bahu dari nande Buah bara disini biring (B9) biring bermakna hal yang sangat dicintai si nande biring. Lako kam ku jabu Kamu laku ke rumah Kata lako (laku) kalak (C2) orang lain disini berarti bahwa si gadis telah di pinang oleh keluarga lain Sangap kam Mujur dalam mencari Agar mereka semua kerina encari (C6) bernasib baik dalam mencari uang (dalam pekerjaan), atau murah rejeki. Enggo gia lawes Walau sudah pergi Kata lawes disini (C9) berarti telah meninggal dunia61
Setelah melihat penjelasan dalam tabel tersebut, selanjutnya akan dijelaskan mengenai arti dari teks didong doah bibi si rembah ku lau yang dilihat pada setiap bait. Arti/makna tersebut dapat berisi berupa pesan, doa dan harapan. Ketiga isi ini selalu terdapat dalam sebuah teks didong doah bibi si rembah ku lau. Namun mengingat bahwa teks didong doah bibi si rembah ku lau ini selalu diungkapkan secara bebas oleh penyajinya, maka dalam satu bait teks bisa saja berisi dua hal seperti doa dan harapan, dan kadangkala juga dapat ditemukan adanya ungkapan rasa haru (morah). Jadi bisa saja dalam satu bait nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau terdiri dari beberapa isi. Untuk lebih jelasnya dapt dilihat pada uraian berikut ini.
1. Sampel A 61
Lawes merupakan ungkapan yang lebih halus untuk menggantikan kata mate (meninggal dunia). Masyarakat karo selalu menggunakan ungkapan yang lebih halus untuk kata-kata yang dianggap terlalu kasar untuk diucapkan.
110
Pada sampel A isi yang berupa pesan terdapat pada A1, A3, A5, dan A7. Ungkapan “maka ula kena rubat-rubat” (jangan bertengkar) merupakan hal yang menandakan bahwa sampel A1 ini mengandung pesan. Ungkapan yang sama juga dapat ditemukan pada sampel A3. Sedangkan pesan yang terdapat pada sampel A5 dan A7, adalah pesan untuk menyayangi si bibi. Pesan ini dapat dilihat melalui ungkapan “kelengi kena pagi aku” (sayangilah aku). Isi yang berupa doa dan harapan terdapat pada sampel A2, A3, A4, dan A6. Pada sampel A2, doa dan harapan yang disampaikan dapat dilihat melalui ungkapan “lampas kena galang maka man impalndu e kam pepagi” (cepat besar agar nanti kamu menikah dengan impal mu). Pada sampel A3, doa dan harapan yang diungkapkan dapat dilihat pada kalimat ”enteguh lah perjabun kena” (memiliki pernikahan yang langgeng). Sedangkan pada sampel A4, ungkapan doa dan harapan tersebut dapat dilihat pada kalimat “mejuah-juah kel kam njabuken bana” (diberkatilah kamu karena telah menikah). Pada sampel A6, isi berupa doa dan harapan itu dapat dilihat melalui ungkapan “maka mis ka pagi kena jumpa matawari jumpa bulan nakku” (semoga cepat mendapatkan keturunan). Disamping ungkapan yang telah disebutkan diatas, juga terdapat ungkapan rasa haru (morah) dan sedih pada teks didong doah bibi si rembah ku lau. Ungkapan ini dapat dilihat pada kalimat “enda enggo tambahindu temanndu nakku” (sekarang kamu sudah punya teman lain), yang terdapat pada sampel A2. Ungkapan lain juga dapat dilihat pada sampel A7, yaitu “biasna
111
kam la jumpa ras impalndu e” (cukuplah kamu tidak bertemu dengan impal mu ini).
2. Sampe B Isi yang berupa pesan pada sampel B ini, dapat dilihat pada sampel B5 dan B6. Pada sampel B5 pesan tersebut dapat dilihat melalui ungkapan “sikeleng-kelengen kena pagi” (saling menyayangilah kalian), sedangkan pada sampel B6 ungkapan berupa pesan tersebut dapat dilihat pada kalimat “ula rubat-rubat nakku” (jangan bertengkar). Berikut ini adalah isi yang berupa ungkapan doa dan harapan, yang terdapat pada sampel B8 dan B9. Pada sampel B8 ungkapan berupa doa dan harapan dapat dilihat pada kalimat “sehat sehat kam turang” (sehat-sehat lah kamu turang). Ungkapan ini disampaikan kepada ayah sisereh. Sedangkan pada sampel B9 ungkapan tersebut berupa ”emaka panjang perjabunndu, murah rejekindu nande biring” (maka panjanglah pernikahanmu, murah rejekimu nande biring). Pada sampel B ini juga terdapat adanya ungkapan rasa haru (morah),sedih dan juga rasa kecewa. Ungkapan tersebut dapat kita lihat pada sampel B1, B2, B3, B4, B7 dan B8. Seluruh kalimat yang diungkapan pada setiap bait tersebut merupakan ungkapan rasa sedih, morah, dan kecewa si bibi yang diungkapkan secara acak. Namun pada sampel B8, pada akhir bait terdapat ungkapan doa dan harapan terhadap ayah sisereh, seperti yang tertera diatas. Hal ini sangat memungkinkan, mengingat bahwa teks didong doah bibi si rembah ku lau selalu diungkapkan dengan bebas oleh penyajinya.
112
3. Sampel C Pada sampel C, isi yang berupa ungkapan pesan terdapat pada C3, C4 dan C8. Pesan pada sampel C3 dapat dilihat melalui ungkapan ”e lit sambar ganti nandendu ndai” (inilah pengganti ibumu), maksudnya adalah bahwa si bibi berpesan kepada siempo si beru tarigan ini merupakan pengganti dari ibunya yang sudah meninggal. Sampel C4 menunjukkan ungkapan pesan yang ditujukan kepada ayah sisereh yaitu agar si ayah tidak bersedih lagi meski si beru tarigan tidak bersamanya lagi. Dan pesan yang diungkapkan pada sampel C8, yang ditujukan kepada kedua pengantin adalah ”keleng sikeleng-kelengen kam pagi duana” (saling menyayangilah kalian berdua). Isi yang berupa ungkapan doa dan harapan terdapat pada sampel C1 dan C6. Ungkapan doa dan harapan pada sampel C1 ditandai dengan kalimat ”lampas mbelin lampas gedang” (cepat besar dan tinggi). Sedangkan pada sampel C6 dapat dilihat melalui ungkapan ”sangap kam encari” (beruntung dalam pekerjaan). Dan ungkapan berupa rasa haru (morah) dan kesedihan dapat ditemukan pada sampel C2, C5, C7, C9, dan C10. Pada sampel C2 si bibi merasa morah karena permennya menikah dengan orang lain, hal yang sama juga diungkapkan pada sampel C5. Sedangkan pada sampel C7 rasa morah yang diungkapkan lebih ditujukan kepada ibu sisereh. Pada sampel C9 rasa morah diungkapkan karena ibu siempo telah meninggal dunia. Oleh karena itu rasa morah (haru) tersebut ditujukan kepada siempo. Dan ungkapan rasa morah yang terakhir terdapat pada sampel C10, disini rasa morah tersebut diungkapkan
113
bersamaan dengan perasaan rela/ikhlas terhadap kedua pengantin yang telah mengikat janji dalam sebuah pernikahan. Pada sampel C12 tidak terdapat adanya isi mengenai ungkapan pesan maupun doa, harapan dan rasa morah (haru). Bait tersebut hanya berfungsi sebagai bait penutup terhadap keseluruhan teks didong doah bibi si rembah ku lau.
4.4.3. Pemilihan dan Penggunaan Kata dalam Teks Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Berdasarkan teks-teks yang telah dituliskan sebelumnya, dapat dilihat bahwa kata-kata yang dipakai dalam teks didong doah bibi si rembah ku lau merupakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bahasa sehari-hari masyarakat Karo. Teks yang digunakan adalah kalimat yang tidak bersifat baku, karena berasal dari perasaan (apa yang dipikirkan) oleh penyajinya. Kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks didong doah bibi si rembah ku lau memiliki tujuan dan waktu penggunaan, maksudnya kepada siapa kalimat itu ditujukan dan kapan kalimat tersebut digunakan (muncul). Kata-kata seperti ”didong doah...”, ”doah doah...”, atau ”didong didong...” selalu ditujukan kepada kedua pengantin, khususnya kepada pengantin perempuan. Kalimat ini selalu muncul pada saat si penyaji mengungkapkan isi hatinya kepada kedua pengantin, dan terkhusus kepada pengantin perempuan. Kalimat-kalimat ini biasa muncul pada awal lagu atau pada saat pertengahan lagu. Penggunaan untuk kata didong doah dapat dilihat pada sebagai berikut. Contoh 1 (Lihat sampel A;A1)
114
A1 didong doah... doah nande ginting adi bas wari sekali enda nakku enggo kam njabuken bana ras sembiring mergana Contoh 2 (Lihat sampel C;C2) C2 didong doah doah ... anakku nande tigan lako kam ku jabu kalak nande tigan kujabu ginting mergana e ...
timang-timang nande ginting Karena hari ini anakku Kamu sudah menikah dengan sembiring mergana
timang timang anakku nande tigan laku kamu ke keluarga lain nande tigan ke keluarga ginting mergana ini
Penggunaan kata doah doah dapat dilihat sebagai berikut. Contoh 1 (Lihat sampel A;A6 dan A7) A6 doah-doah... timang-timang ku didong doah ku didong ku timang-timang ku timang nande ginting mama biring nande ginting mama biring A7 doah ... doah timang ... timang ... nande ginting la megogo nande ginting yang baik hati kelengi kena pagi aku sayangi lah aku ras bengkila ndu e nakku dan paman mu ini anakku Penggunaan kata didong didong dapat dilihat sebagai berikut. Contoh 1 (Lihat sampel B;B1) B1 didong didong... doah teman bibina enggo kam ku elukken ndai bibi bage nge nindu nande biring teman bibi na
timang-timang, timang teman bibi na aku sudah mengingkari janji bibi itu lah yang kau ucapkan nande biring teman bibina
Contoh 2 (Lihat sampel C;C1 dan C3) C1 didong didong ... timang timang ... doah nande tigan timang nande tigan ning kami pagi-pagi karaben kami ucap pagi dan sore nande tigan nande tigan C3 didong-didong doah ... anakku ginting mergana ... ku didong ka kam anakku
timang timang anakku ginting mergana ku timang juga kamu anakku
115
Sedangkan kata morah62 secara umum selalu ditujukan kepada sisereh, karena si bibi merasa sedih dan menyesal terhadap kenyataan bahwa permennya menikah dengan orang lain. Namun ada kalanya kata morah ini juga dapat ditujukan kepada orang tua pengantin perempuan (lihat sampel B)63 maupun kepada orang tua pengantin pria (lihat sampel C).64 Kata morah ini selalu digunakan atau muncul pada pertengahan lagu (lihat sampel B), atau bisa saja pada akhir nyanyian (lihat sampel A). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh-contoh berikut ini. Contoh 1 (Lihat sampel B;B4 dan B7) B4 enca ge ku elukken ka kena tapi kemudian aku berpaling darimu ku ayaki tarigan mergana e ku kejar tarigan mergana ini bage nindu nande biringku itu lah yang kau ucapkan nande biring morah kel ateku kena nande biring aku sangat berharap padamu nande ginting B7 enggo bagem turang sembiring mergana enggo gia kami bibi na elukken anak ndu e turang morah na e seh kel morah na mama biring
biarlah begitu turang sembiring mergana walaupun kami bibi nya di ingkari anak kalian ini harap tentu sangat berharap mama biring
Contoh 2 (Lihat sampel A;A7) A7 doah ... doah
timang ... timang ...
62
Penyesalan terhadap sesuatu yang tidak dilakukan (Prints, 2002:399) Pada sampel B ini, oleh si penyaji kata morah juga ditujukan kepada ayah pengantin perempuan. si penyaji juga merasa terharu/sedih (morah), karena ayah pengantin perempuan tidak dapat membuat anaknya menikah dengan anak si penyaji. 64 Pada sampel C, si penyaji secara khusus menujukan kata morah ini kepada ayah pengantin pria. Hal ini dikarenakan istrinya (ibu pengantin pria) telah meninggal dunia. Oleh karena itu si penyaji menyampaikan pesan agar mereka berdua (ayah dan anak tersebut) jangan bersedih (morah) lagi, meskipun ibu/istri nya telah tiada. 63
116
nande ginting la megogo kelengi kena pagi aku ras bengkila ndu e nakku adi enggo kam ku didong bias me kam la jumpa ras impal ndu e nande ginting morah ate ku
nande ginting yang baik hati sayangi lah aku dan paman mu ini anakku karena kamu sudah ku didong cukuplah kamu tidak bertemu dengan impal mu ini nande ginting yang begitu aku harapkan
Adapun kalimat yang ditujukan kepada ayah dari pengantin perempuan adalah ”enggo bagem turang....”, sedangkan kalimat ”maka/ emaka/ enggo bagem...” adalah kalimat yang ditujukan kepada sisereh dan siempo, atau ayah siempo. Jika kalimat enggo bagem diikuti dengan kata turang dibelakangnya, hal ini menandakan bahwa kalimat tersebut sudah pasti ditujukan kepada ayah sisereh. Karena kata turang merupakan panggilan si bibi terhadap ayah sisereh. Namun jika kalimat enggo bagem tidak diikuti oleh kata turang dibelakangnya, maka kalimat tersebut bisa saja ditujukan kepada sisereh, siempo, maupun ayah siempo. Untuk lebih jelasnya, dapat kita lihat pada contoh-contoh berikut ini. Contoh 1 (ditujukan kepada ayah sisereh) Lihat sampel B;B7 B7 enggo bagem turang sembiring mergana enggo gia kami bibi na elukken anak ndu e turang morah na e seh kel morah na mama biring
biarlah begitu turang sembiring mergana walaupun kami bibi nya di ingkari anak kalian ini harap tentu sangat berharap mama biring
Lihat sampel C;C4 dan C10 C4 enggo bagem turang tarigan mergana edangku ras silih kami ola nai kam menek-menek ola nai terame-ame la gia je beru tarigan e ndai
ya sudah lah turang tarigan mergana ipar ku dan ipar (laki-laki) kami jangan lagi kamu bersedih jangan lagi terame-ame walaupun beru tarigan tak disini lagi
117
bage atendu turang ...
begitu pikiranmu turang
C10 enggo bagem bapa Ferdi adi enggo erjabu permen ta e ras anakta e
begitulah ayah Ferdy kalu sudah menikah menantu kita ini dengan anak kita
Contoh 2 (ditujukan kepada sisereh dan siempo) Lihat sampel A;A3, A4, dan A5 A3 maka bagem nakku, enteguh lah perjabun kena ula kam rubat-rubat ku pudi wari enda nande ginting
tapi ya sudahlah anakku, semoga pernikahan kalian langgeng jangan pernah bertengkar untuk ke belakang harinya nande ginting
A4 emaka bagem nande ginting, mejuah-juah kel kam njabuken bana maka malem ate nande ndu bapa ndu njabuken bana nande gintingku sembiring mergana
maka dari itu nande ginting, mejuah-juah lah kamu telah menikah agar lega perasaan ibu dan ayahmu menikah nande ginting ku sembiring mergana
A5 maka bagem teman adi la gia kam man anakku ndai anakku kelengi kena pagi aku nande ginting sembiring mergana
Lihat sampel C;C8 C8 enggo bagem anakku ... keleng sikeleng-kelengen kam pagi duana nande tigan (menangis) ginting mergana
jadi biarlah teman walau kamu tidak
menikah dengan
sayangi lah aku nande ginting sembiring mergana
biarlah begitu anakku saling menyayangilah kamu berdua nande tigan ginting mergana
118
Kata enggo bagem disini merupakan ungkapan dari perasaan ikhlas/ sikap pasrah terhadap sesuatu yang sudah terjadi yang
tidak bisa diputar
kembali. Menurut nande Sabar br Tarigan ungkapan ini dapat mengurangi rasa sedih dan penyesalan yang dia rasakan.65 Sedangkan nande Paksa mengatakan bahwa ungkapan tersebut merupakan ekspresi untuk menunjukkan rasa kesal dan penyesalan terhadap sisereh. 66
4.4.4. Struktur Teks Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Secara umum teks dari didong doah bibi si rembah ku lau tidak memiliki struktur teks yang baku. Artinya teks yang diungkapkan oleh penyaji selalu berdasarkan isi hati si penyaji itu sendiri. Apa yang diungkapkan si penyaji pada awal nyanyian bisa saja muncul kembali pada bagian pertengahan atau akhir dari nyanyian tersebut. Teks didong doah bibi si rembah ku lau tidak memiliki aturan mengenai dimana letak bagian pembuka, isi, atau penutup. Seluruh teks dari didong doah bibi si rembah ku lau merupakan isi. Karena keseluruhan dari teks tersebut berisi pesan-pesan yang jelas, yang harus disampaikan kepada mempelai wanita/pria, kepada kedua orang tua mempelai wanita/pria, kepada famili mempelai wanita, maupun kepada si penyaji itu sendiri. Urutan ini tidaklah bersifat baku. Bisa saja pesan yang disampaikan kepada mempelai wanita muncul dua atau tiga kali, demikian juga halnya dengan pesan yang disampaikan kepada orang tua si mempelai wanita. Berikut
65 66
Wawancara dengan nande Sabar br Tarigan, 02 Maret 2011 Wawancara dengan nande Paksa br Sembiring, 27 Februari 2011
119
ini akan dijelaskan struktur teks didong doah bibi si rembah ku lau yang terdapat dalam tulisan ini. Strukutur teks yang dapat dilihat pada sampel A adalah : dimulai dari pesan yang disampaikan kepada sisereh (A1-A5) kepada sisereh/ siempo (A6)
pesan yang disampaikan
pesan yang disampaikan kepada sisereh (A7).
Pada sampel A ini, si penyaji menyampaikan pesan yang ditujukan kepada sisereh, kemudian kepada sisereh/siempo, dan kembali lagi kepada sisereh. Struktur teks pada sampel B adalah : dimulai dari pesan yang disampaikan kepada sisereh (B1-B4)
pesan yang disampaikan kepada
siempo (B5-B6)
pesan yang disampaikan kepada orang tua (ayah)
sisereh (B7-B8)
pesan yang disampaikan kepada sisereh dan siempo
(B9). Pada sampel II ini, si penyaji menyampaikan pesan yang ditujukan kepada sisereh, pesan yang ditujukan kepada siempo, kemudian kepada orang tua (terutama ayah) sisereh, dan yang terakhir adalah pesan yang ditujukan kepada kedua pengantin. Struktur teks pada sampel nyanyian C adalah : dimulai dari pesan yang disampaikan kepada sisereh (C1-C2) siempo (C3)
pesan
yang
disampaikan
pesan yang disampaikan kepada orang tua sisereh (C4-C7)
pesan yang disampaikan kepada siempo dan sisereh (C8) disampaikan kepada siempo (C9) siempo (C10)
kepada
pesan yang
pesan yang disampaikan kepada ayah
pesan yang disampaikan kepada siempo (C11)
pesan yang
disampaikan kepada kedua orang tua sisereh (C12). Pada samapel C ini, pertama si penyaji menyampaikan pesan yang ditujukan kepada sisereh,
120
kemudian kepada siempo, setelah itu pesan ditujukan kepada orang tua sisereh, lalu pesan kembali ditujukan kepada kedua pengantin secara bersamaan, selanjutnya pesan kembali disampaikan kepada siempo, kemudian pesan yang disampaikan ditujukan kepada ayah siempo, lalu kembali lagi pesan ditujukan kepada siempo, dan yang terakhir adalah pesan yang disampaikan ditujukan kepada kedua orang tua sisereh. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan penulis diatas, jelas terlihat bahwa teks didong doah bibi si rembah ku lau tidak memiliki struktur yang baku. Pesan-pesan yang disampaikan oleh si penyaji diungkapkan berdasarkan perasaan si penyaji dan diungkapkan secara acak. Namun ketiga nyanyian tersebut memiliki persamaan, yaitu : hal yang pertama sekali diungkapkan oleh ketiga penyaji adalah pesan yang ditujukan kepada sisereh. Hal ini dikarenakan bahwa sisereh merupakan orang yang menjadi objek utama dalam didong doah bibi si rembah ku lau ini.
4.4.5. Isi Teks Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Jika diamati lebih jauh, teks didong doah bibi si rembah ku lau sering sekali berisi sejarah kehidupan sisereh dan kedua orang tuanya. Bisa juga mengungkapkan rasa sedih bibi si rembah ku lau terhadap sisereh; misalnya ungkapan rasa kecewa dan penyelesalannya terhadap kenyataan bahwa orang yang diharapkannya akan menikah dengan anaknya ternyata menikah dengan orang lain.67 Kendati dirundung kesedihan yang demikian, di dalam didong 67
Menurut Kumalo Tarigan, dalam masyarakat Karo sudah menjadi keharusan seorang permen (menantu perempuan) akan dinikahkan dengan anak laki-laki bibi sirembah ku lau apabila dewasa nanti. Karena ketika permennya masih bayi, bibi lah yang mendidong doahkan si bayi
121
doahnya bibi si rembah ku lau juga selalu menyertakan pedah (pesan), ajar (ajaran/perintah), dan toto (doa dan harapan) yang disampaikan kepada sisereh, seperti ula rubat-rubat (jangan bertengkar), sikeleng-kelengen kena pagi (saling menyayangi), sangap encari (murah rejeki), gedang ras meteguh perjabun kena (agar memiliki perkawinan yang panjang dan langgeng), jumpa bulan ras matawari (mendapatkan anak laki-laki dan perempuan).
4.5. Fungsi Sosial Budaya Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Pada Masyarakat Karo Selain menganalisis struktur musikalnya, fokus penelitian pada tulisan ini juga membahas mengenai fungsi sosial dan budaya didong doah bibi si rembah ku lau. Setelah menganalisis teks, dengan melihat makna yang tersirat, pesan-pesan yang terkandung, kegiatan ekstra musikalnya, dan melihat keadaan penyajiannya, maka penulis memperoleh fungsi sosial budaya dari nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau ini adalah sebagai perantara atau media pendidikan sosial dan budaya terhadap masyarakat Karo. Adapun fungsi sosial dari didong doah bibi si rembah ku lau adalah ketika nyanyian ini disajikan di depan khayalak ramai. Pesan-pesan yang disampaikan oleh si bibi jelas akan didengar oleh seluruh audiens yang hadir di tempat itu. Dan pesan-pesan tersebut dapat dijadikan pengajaran atau sumber pendidikan informal oleh para audiens yang hadir pada umunya, dan kepada kedua mempelai khususnya. Bentuk pendidikan informal seperti ini lah yang
sambil memandikannya ke sungai. Hal ini menunjukkan bahwa si bibi memiliki tanggung jawab terhadap permennya.
122
kerap kali gampang diserap dan diaplikasikan oleh masyarakat. Karena meskipun tidak tertulis, bentuk pengajaran yang berupa norma-norma dan aturan-aturan tersebut berlaku di kehidupan masyarakat. Dan hal ini lah mendorong masyarakat untuk berlaku sesuai norma dan aturan tersebut agar hidup rukun dan damai. Selain bermanfaat kepada khalayak ramai atau pun masyarakat Karo yang hadir pada acara perkawinan tersebut, pesan-pesan atau ajaran yang disampaikan oleh bibi si rembah ku lau juga jelas sangat memiliki dampak positif kepada kedua pengantin. Dalam pesannya si bibi juga memberi nasehat agar kedua pengantin hendaknya selalu selalu menghargai dan menghormati orang-orang yang sudah menjadi kerabat mereka. Hal ini menandakan bahwa keduanya dianjurkan untuk selalu mendatangi familinya apabila mereka mengadakan pesta adat. Dengan melakukan hal tersebut, maka mereka berdua akan dihargai dan dihormati juga di mata famili-familinya dan masyarakat Karo sebagai orang yang memiliki sopan santun dan etika. Dari penjelasan diatas dapat dipetik bahwa bentuk pengajaran seperti itu juga sangat berguna sebagai sebuah pendidikan dalam keluarga mereka kelak. Berdasarkan penjelasan diatas maka diketahuilah bahwa penggunaan didong doah bibi si rembah ku lau yang disajikan di dalam pesta perkawinan masyarakat Karo ini, jelas dapat mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Karo itu sendiri. Penyajian didong doah bibi si rembah ku lau tersebut telah memberi dampak atau efek positif terhadap masyarakat Karo. Hal ini sesuai
123
dengan apa yang diungkapkan Merriam mengenai penggunaan dan fungsi musik. Sedangkan fungsi budayanya dapat dilihat dari masih dilakukannya praktek didong doah bibi si rembah ku lau ini di Tanah Karo, meski sebagian masyarakat menganggap hal itu tidaklah begitu penting. Dengan masih dilakukannya praktek tersebut menandakan bahwa masyarakat Karo masih memelihara salah satu kebudayaan mereka. Jika hal itu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan terus memeliharanya, maka akan memungkinkan bagi sebagian masyarakat Karo yang tidak melakukan praktek didong doah bibi si rembah ku lau tersebut untuk kembali melakukan penyajiannya dan tetap melestarikannya dan membuatnya menjadi suatu keharusan untuk disajikan. Dengan begitu penyajian dari didong doah bibi si rembah ku lau ini dapat dikatakan berfungsi sebagai sarana dalam menjaga kelestarian salah satu warisan budaya suku Karo ini. Selain itu, melalui aktivitas ektra musikal seperti yang dijelaskan sebelumnya (terdapat pada sampel B dan C), kegiatan penyajian nyanyian ini juga akan terus dapat berlangsung. Karena orang yang telah i didong doahken (dinyanyikan lagu didong doah) oleh bibinya, juga memiliki kemauan untuk melakukan hal yang sama terhadap permennya kelak. Penulis menyimpulkan bahwa jika didong doah bibi si rembah ku lau ini dilakukan oleh setiap generasi, sudah dapat dipastikan bahwa kelestariannya akan tetap terjaga sebagai sebuah warisan kebudayaan pada masyarakat Karo. Dengan masih terjaganya dan dilaksanakannya penyajian didong doah bibi si rembah ku lau
124
ini menjadi sebuah keharusan oleh masyarakat Karo, maka nyanyian ini akan dapat memberi kontribusi atau sumbangan dalam kelestarian budaya Karo, serta dapat berfungsi sebagai media atau alat untuk pelestarian salah satu kebudayaan Karo.
125
BAB V ANALISIS MUSIKAL DIDONG DOAH BIBI SI REMBAH KU LAU
Pada bab V ini akan dibahas mengenai analisis melodi dari didong doah bibi si rembah ku lau. Nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau akan di transkripsikan terlebih dahulu sebelum dilakukan penganalisaan terhadap melodinya.
5.1. Analisis Musikal Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Dalam menganalisis melodi didong doah bibi si rembah ku lau, penulis mengacu pada teori yang diungkapkan oleh Slobin dan Titon mengenai aspek-aspek musikal yang perlu diperhatikan dalam mentranskripsikan sebuah musik. Menurut mereka ada empat elemen yang harus diperhatikan dalam melihat gaya sebuah musik, yaitu : elemen nada (tangga nada, modus, melodi, harmoni, sistem tuning), elemen waktu (pola ritem, meter), elemen warna suara (kualitas suara, warna bunyi instrumental), dan elemen intensitas suara (keras lembutnya suara). Aspek-aspek tersebut kemudian akan dilihat dalam nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau, dengan pengecualian bahwa harmoni dan warna suara instrumental tidak akan dibicarakan dalam pembahasan gaya nyanyian ini. Karena kedua elemen tersebut tidak dapat ditemukan dalam nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau.
126
5.2. Elemen Nada 5.2.1. Tangga Nada Tangga nada atau scale (Itali) adalah susunan nada-nada naik atau pun turun yang tersusun secara berurutan. Setiap nada memiliki jarak terhadap nada lain, sebelum maupun sesudahnya. Tangga nada diatonis (tangga nada mayor dan tangga nada minor) merupakan sistem tangga nada yang lazim digunakan pada musik barat. Pada kebudayaan musik Karo tidak dikenal adanya sistem tangga nada,seperti halnya pada kebudayaan musik barat. Dalam praktek nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau, tangga nadanya dapat ditentukan dengan melihat susunan melodi yang dinyanyikan oleh sipenyaji. Berikut ini dapat dilihat susunan tangga nada didong doah bibi si rembah ku lau dari tiga penyaji yang berbeda.
Nande Paksa br Sembiring
F
A
B
C
D
Nande Rony br Sembiring
F
G
A
127
Nande Sabar br Tarigan
A
Bes
D
Es
E
F
Selain menampilkan bentuk tangga nada dari ketiga penyaji, dibawah ini juga dapat dilihat jumlah dari setiap nada yang muncul.
Tabel 5.1. Jumlah Nada Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau dari Masing-masing Penyaji
Nande Paksa br Sembiring (Sampel A) F 20
Nande Rony br Sembiring (Sampel B)
A 15
B 321
C 36
F 327
G 35
Bes 71
D 389
D 12
A 8
Nande Sabar br Tarigan (Sampel C) A 4
128
Es E F 37 15 11
Jika kita lihat kembali ketiga tangga nada dari ketiga penyaji tersebut, terdapat beberapa nada yang sama, yaitu nada F dan A, sementara nada D hanya terdapat pada sampel A dan C. Sedangkan nada yang sering muncul dari ketiga dari ketiga sampel tersebut adalah nada B (321 kali), nada F (327 kali), nada D (389 kali), nada Bes (71 kali) dan nada Es (37 kali) Dari beberapa keterangan tersebut, maka dapat dilihat apa saja nada yang sering/umum digunakan ketika menyajikan didong doah bibi si rembah ku lau. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tangga nada yang umum digunakan pada penyajian didong doah bibi si rembah ku lau adalah :
F
A
Bes
B
D
Es
Setelah melalui proses pengamatan terhadap tangga nada dari ketiga sampel, maka didapatlah bentuk tangga nada yang umum pada didong doah bibi si rembah ku lau.
5.2.2. Melodi Melodi
adalah
jajaran
atau
susunan
dari
unsur
nada
yang
dikombinasikan dengan unsur ritem dan bergerak/berjalan dalam waktu. Secara alami kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan. Melodi tersusun dari beberapa rangkaian nada secara horizontal. Melodi dari nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau yang disajikan oleh setiap penyaji memiliki variasi yang berbeda-beda. Setiap penyaji
129
mempunyai gaya tersendiri yang diekpresikan dengan kemampuan menguasai nada-nada tinggi maupun menciptakan rengget pada melodi di beberapa frasa. Rengget merupakan ciri khas dalam kebudayaan musik Karo. Tidak hanya pada musik vokal saja, rengget juga terdapat pada sajian musik instrumental pembawa melodi, seperti kulcapi dan sarune. Sebagian orang mengartikan rengget sebagai ornamentasi atau nada hias. Tapi menurut penulis rengget lebih tepat jika disebut gaya, karena rengget memang selalu ditemukan pada musik Karo, dan ini menjadi gaya atau ciri khas dari musik Karo itu sendiri. Sedangkan ornamentasi atau nada hias merupakan nada yang diberi ornamentasi sedemikian rupa, artinya bisa saja ornamentasi itu ada ataupun tidak. Pada melodi dari ketiga sampel nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau juga terdapat adanya rengget. Pada umumnya ketiga penyaji menyanyikan rengget pada akhir setiap frasa (sampel A dan B) dan bar (sampel C). Adapun bentuk melodi dari didong doah bibi si rembah ku lau yang disajikan oleh ketiga penyaji dapat dilihat pada bagian lampiran. Setelah melihat bentuk-bentuk melodi yang disajikan oleh ketiga penyaji, penulis menyimpulkan bahwa ketiganya memiliki ciri khasnya masing-masing. Jika dibandingkan dengan penyaji A dan C, penyaji B cenderung menampilkan melodi yang tidak bervariasi. Penyaji hanya mengolah lagu dari tiga nada saja yaitu nada F, G, dan A. Sedangkan dua penyaji lainnya, menampilkan bentuk-bentuk melodi yang bervariasi, yang diolah dari lima atau enam nada.
130
Ketika membicarakan masalah melodi kita juga hendaknya tidak lupa untuk membicarakan masalah bentuk, frasa dan motif. Meskipun didong doah bibi si rembah ku lau ini merupakan nyanyian tradisional, namun nyanyian ini tetap memiliki ketiga unsur tersebut. Untuk menentukan bentuk pada nyanyian ini, penulis melihatnya berdasarkan kesatuan makna dari pada teks, yang penulis lihat pada kalimatkalimat yang diungkapkan. Setiap kalimat memiliki bentuk-bentuk yang berbeda, baik dari segi makna maupun melodinya. Bentuk-bentuk ini dibedakan berdasarkan adanya ornamentasi pada melodinya. Munculnya ornamentasi ini disebabkan karena adanya perubahan atau pun penambahan kata pada teks nyanyian tersebut. Beberapa bentuk tersebut dapat dilihat pada contoh dibawah ini.
Dari contoh diatas kita dapat melihat adanya dua buah bentuk. Hal ini dapat dilihat pada kalimat “doah didong doah nande ginting” (bentuk A) dan kalimat “adi bas wari sekalenda nakku enggo kam njabuken bana” (bentuk B).
131
Kalimat yang ditandai dengan lingkaran merah merupakan adanya ornamentasi pada melodi, hal ini terjadi karena adanya penambahan kalimat.
Unsur berikutnya yang akan dibicarakan adalah frasa. Frasa merupakan bentuk-bentuk yang lebih kecil dari sebuah komposisi musik. Jika dianalogikan dengan pantun atau puisi, satu frasa itu mirip atau sama dengan satu buah kalimat atau satu bait. Frasa bisa juga dikatakan sebuah pernyataan musikal yang menuju pada suatu saat, dimana saat itu merupakan waktu istirahat. Atau dengan kata lain, setiap satu frasa, ditunjukkan dengan setiap tanda istirahat. Agar lebih dimengerti, dapat dilihat pada contoh berikut ini. Frasa I
Frasa II
Dalam nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau ini juga terdapat beberapa frasa. Frasa-frasa tersebut ditandai dengan berakhirnya satu kalimat atau pada saat penyaji berhenti bernyanyi dan mengambil waktu istirahat. Tanda/simbol frasa hanya penulis gunakan pada sampel A dan B saja, sedangkan pada sampel C penulis tidak menggunakan simbol tersebut. Hal ini dikarenakan pada sampel C sudah terdapat adanya tanda birama. Namun demikian simbol frasa yang penulis gunakan pada sampel A dan B, bukan difungsikan sebagai tanda birama (lihat pada lampiran). Oleh karena itu, frasa pada sampel C akan lebih sulit untuk diidentifikasi jika dibandingkan dengan
132
sampel A dan B. Namun demikian, penulis tetap memberi kemudahan, yaitu dengan menentukan bahwa setiap frasa ditandai dengan berakhirnya satu kalimat atau adanya jeda penyaji untuk istirahat. Seperti ditunjukkan pada sampel C berikut ini.
Pada contoh tersebut penulis membuat tanda untuk membatasi pada setiap frasanya, serta meletakkan angka diatasnya, agar terlihat lebih sederhana dan mudah dimengerti. Alasan penulis membedakan simbol frasa pada sampel A,B dan C ini dikarenakan pada sampel C terdapat adanya tanda birama, yang menyerupai simbol frasa pada sampel A dan B. Jadi penulis memutuskan untuk membuat simbol yang berbeda, agar tidak membingungkan dan terjadi kesalahan dalam memahaminya. Dan unsur ketiga yang dibicarakan dalam pembahasan melodi ini adalah motif. Motif merupakan bagian terkecil dari pada frasa. Dalam didong doah bibi si rembah ku lau ini, motif yang dapat ditemukan adalah rengget.
133
Rengget ini merupakan unsur terkecil yang dapat ditemukan dalam melodi didong doah bibi si rembah ku lau tersebut. Untuk lebih jelasnya, motif yang berupa rengget tersebut dapat dlihat pada contoh berikut.
Sampel A
Sampel B
Sampel C
Lingkaran merah yang terdapat pada setiap contoh diatas adalah motif , yang berupa rengget.
5.2.4. Sistem Tuning Sistem tuning (tuning system) atau disebut juga sistem laras adalah sistem yang digunakan untuk melaraskan atau menetapkan nada (pitches) yang akan digunakan ketika bermain musik. Sistem tuning alat musik keyboard yang digunakan dalam mengiringi nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau selalu bervariasi, maksudnya sistem tuning yang digunakan pada setiap penyanji berbeda-beda. Hal ini akan mengikut pada vokal daripada penyajinya.
134
Dalam ketiga sampel yang ada dalam tulisan ini, hanya satu sampel saja lah yang diiringi dengan menggunakan alat musik keyboard (sampel C). Dan alat musik ini menggunakan sistem tuning dengan nada Bes. Sedangkan dua sampel lainnya (A dan B) tidak terdapat adanya sistem tuning, karena tidak diiringi oleh intsrumen musik.
5.3. Elemen Waktu 5.3.1. Ritem Jika berbicara mengenai ritem, biasanya kita mengidentifikasikan dan mendiskusikan mengenai pulsa, meter, nilai not, atau pun tempo. Walau bagaimanapun masing-masing elemen tersebut memiliki kontribusi untuk mendefinisikan ritem itu sendiri, tapi tidak ada dari elemen tersebut yang dapat menjelaskannya secara keseluruhan. Sebenarnya, defenisi dari ritem itu sendiri sangatlah kompleks, karena melibatkan hubungan antara elemen-elemen seperti yang disebutkan diatas, dan yang lainnya yaitu elemen ritme. Namun demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ritem itu selalu berhubungan dengan waktu. Ritem adalah organisasi musik dalam waktu, atau dengan kata lain lamanya waktu (duration) dari bunyi musik. Untuk menentukan bentuk ritem didong doah bibi si rembah ku lau, penulis melihat bentuk-bentuk yang sering muncul pada ketiga sampel nyanyian tersebut. Kemudian penulis melihat persamaan pada ketiganya. Persamaan tersebutlah yang kemudian penulis simpulkan sebagai bentuk ritem yang sering digunakan dalam penyajian didong doah bibi si rembah ku lau.
135
Berikut ini akan disajikan beberapa bentuk ritem yang sering muncul pada didong doah bibi si rembah ku lau, dari masing-masing penyaji.
Tabel 5.2. Bentuk Ritem Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Pada Nande Paksa br Sembiring Bentuk Ritem
Jumlah Muncul 32 kali
15 kali
16 kali
10 kali
13 kali
3 kali
Tabel 5.3. Bentuk Ritem Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Pada Nande Rony br Sembiring Bentuk Ritem
Jumlah Muncul 8 kali
136
8 kali
3 kali
19 kali
19 kali
11 kali
14 kali
17 kali
Tabel 5.5. Bentuk Ritem Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Pada Nande Sabar Tarigan Bentuk Ritem
Jumlah Muncul 12 kali
25 kali
12 kali
13 kali
12 kali
137
12 kali
8 kali
18 kali
8 kali
Berdasarkan keterangan dari tabel-tabel tersebut, dapat dilihat bentuk pola ritem yang bagaimana yang sering muncul pada ketiga sampel. Bentuk ritem
,
,
,
, dan
Sedangkan bentuk ritem Dan bentuk ritem
, ,
dapat ditemukan pada ketiga sampel. , dan
ditemukan pada sampel B dan C.
hanya ditemukan pada sampel A dan C. Dari
penjelasan-penjelasan tersebut, maka penulis mendapat suatu kesimpulan bahwa bentuk ritem yang umum ditemukan pada didong doah bibi si rembah ku lau adalah bentuk ritem yang sama-sama terdapat pada ketiga sampel dan bentuk ritem yang terdapat pada sampel B dan C. Karena beberapa bentuk ritem tersebut digunakan oleh ketiga penyaji dan dua diantaranya. Berikut ini adalah bentuk-bentuk ritem tersebut :
Bentuk-bentuk ritem tersebut terdapat pada ketiga sampel.
138
Bentuk-bentuk ritem tersebut terdapat pada sampel B dan C.
5.3.2. Meter Kombinasi dari kuat dan lemahnya sebuah pulsa berulang disebut dengan meter (Duckworth, 1992:7). Dengan kata lain meter juga dapat difinisikan sebagai pola berulang yang timbul dari adanya aksen atau penekanan dari sebuah bunyi musik, yang kemudian menetapkan tempo atau ketukan dari musik itu sendiri. Pola meter yang paling umum dikenal adalah duple meter (meter 2/4), triple meter (meter 3/4), dan quadruple meter (meter 4/4). Angka yang terletak di sebelah kiri menunjukkan jumlah ketukan (pulsa) dalam setiap birama, sedangkan angka yang terletak di sebelah kanan menunjukkan nilai dari sebuah nada pada setiap ketukan. Pola-pola tersebut dikenal dengan istilah
time signature (tanda waktu). Time signature ini
dituliskan/ diletakkan pada awal sebuah komposisi musik.
139
Pada didong doah bibi si rembah ku lau tidak ditemukan adanya penggunaan meter (free meter). Karena nyanyian ini disajikan sesuai dengan kebutuhan daripada si penyaji itu sendiri. Maksudnya adalah si penyaji memiliki kebebasan untuk menentukan dimana dia harus berhenti maupun mulai bernyanyi. Namun terdapat pengecualian pada nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau yang disajikan dengan iringan musik tradisional karo (simalungun rayat). Musik simalungun rayat merupakan salah satu reportoar dalam musik tradisional karo yang memiliki tempo antara 60-65 MM, serta mempunyai meter 16/8 (Sebayang,
2011:91-92). Sesuai dengan meter dari
musik simalungun rayat, maka nyanyian didong doah si rembah ku lau pun mengikuti meter musik tersebut. Hal ini terdapat pada sampel nyanyian ketiga yang dinyanyikan oleh Nande Sabar br Sembiring, yaitu dengan meter 16/8. Sedangkan dua sampel lainnya tidak disajikan dengan iringan musik simalungun rayat, oleh sebab itu kedua sampel tersebut bermeter bebas (free meter). Dari penjelasan diatas maka penulis menyimpulkan, bahwa meter dari didong doah bibi si rembah ku lau ditentukan dari keadaan penyajiannya.
5.4. Elemen Warna Suara 5.4.1. Kualitas Suara Jika kita mendengar dua orang bernyanyi secara bersamaan, maka akan terdengar dua warna suara yang berbeda. Hal ini dikarenakan pita suara yang beresonansi pada kedua tenggorokan mereka menghasilkan bunyi yang berbeda.
140
Sama halnya dengan ketiga penyaji didong doah bibi si rembah ku lau yang juga menghasilkan warna atau kualitas suara yang berbeda. Salah satu penyaji (sampel B) memiliki warna suara lebih rendah jika dibandingkan dengan dua penyaji lainnya (sampel A dan C). Penyaji pada sampel B menghasilkan warna suara rendah atau disebut alto dalam musik barat, sedangkan penyaji pada sampel A dan C menghasilkan suara yang tinggi dan nyaring atau dalam musik barat dikenal dengan istilah sopran.
5.4.2. Warna Bunyi Instrumen Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, intstrumen yang digunakan untuk mengiringi nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau pada sampel C adalah alat musik keyboard. Instrumen keyboard ini dapat menirukan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh alat-alat musik tradisional Karo. Alat musik yang ditirukan dalam instrumen keyboard ini ketika mengiringi nyanyian tersebut adalah gendang anak/indung, kulcapi, gong dan penganak. Bunyi gendang anak/indung ditirukan oleh alat musik perkusi, bunyi kulcapi ditirukan oleh alat musik banjo, sedangkan gong dan penganak ditirukan oleh instrumen sejenis gamelan.
5.5. Elemen Intensitas Suara Elemen intensitas suara berhubungan dengan keras dan lembutnya bunyi. Keras atau lembutnya bunyi yang dihasilkan dalam musik barat dikenal dengan istilah dinamika. Meskipun didong doah bibi si rembah ku lau merupakan sebuah nyanyian tradisional, namun dalam penyajiannya dapat
141
ditemukan adanya dinamika, yaitu bagian ketika suara si penyaji terdengar keras/kuat dan ketika suaranya melemah/lembut. Yang penulis maksud dengan dinamika pada tulisan ini adalah bertambah ataupun berkurangnya volume suara si penyaji ketika menyanyikan didong bibi si rembah ku lau. Pada umumnya, dinamika bunyi yang keras/kuat pada didong doah bibi si rembah ku lau ini lebih sering terdengar, bersamaan ketika nada bunyi nada juga naik/meninggi. Sedangkan dinamika yang lembut/pelan terdengar pada saat bunyi nada datar (tidak naik/turun). Berikut ini akan diperlihatkan beberapa contoh yang diambil dari masing-masing sampel didong doah bibi si rembah ku lau.
1. Dinamika Keras/Kuat Sampel A
Sampel B Bagian yang ditandai dengan lingkaran merah adalah bentuk perubahan bunyi nada ketika dinamikanya berubah menjadi lebih keras.
Sampel C
142
2. Dinamika Lembut/pelan Sampel A
Sampel B Bagian yang ditandai dengan lingkaran biru adalah bunyi nada ketika dinamikanya berubah menjadi lebih lembut
Sampel III
143
Dari beberapa contoh tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa perubahan bunyi menjadi lebih keras/kuat terjadi ketika nada-nadanya juga meninggi. Dan perubahan bunyi menjadi lembut terjadi ketika nada hanya pada keadaan datar saja (tidak naik ataupun turun).
144
BAB VI KESIMPULAN
Penelitian yang penulis lakukan terhadap nyanyian didong doah bibi si rembah ku lau ini menghasilkan beberapa kesimpulan mengenai struktur musikal serta fungsi sosial dan budayanya. Setelah melakukan penganalisaan terhadap unsur-unsur musikalnya, maka penulis menemukan struktur umum musikal dari nyanyian tersebut. Adapun kesimpulan mengenai struktur umum dari nyanyian tersebut adalah pertama, nyanyian ini memiliki gaya yang disebut dengan istilah rengget dan sipenyaji selalu meletakkan gaya tersebut pada akhir dari setiap frasa lagu. Kedua, nyanyian ini bersifat free meter apabila disajikan tanpa adanya iringan musik dan memiliki tempo 60-65 MM, baik ketika diiringi dengan musik maupun tidak. Musik pengiringnya adalah reportoar simalungun rayat yang memiliki meter 16/8. Ketiga, nada yang digunakan pada setiap lagu berkisar antara tiga sampai enam buah nada. Dan keempat, meskipun nyanyian ini merupakan sebuah seni tradisional, namun nyanyian ini memiliki dinamika keras/lembut. Dinamika ini ditunjukkan dengan membesar dan mengecilnya volume suara si penyaji. Meskipun penulis menemukan struktur umum musikal didong doah bibi si rembah kulau ini, namun masih terdapat perbedaan dari setiap penyaji ketika mereka menyanyikannya, baik dari segi melodi maupun bentuk pola ritemnya. Karena hal ini mengikut pada kebiasaan orang yang menyajikannya.
145
Perbedaan ini dikarenakan rasa musikalitas yang berbeda dari setiap penyaji. Mengingat kembali bahwa didong doah bibi si rembah ku lau ini, disajikan secara bebas berdasarkan perasaan si penyaji nya. Maka dari pernyataan diatas, penulis menyimpulkan bahwa didong doah bibi si rembah ku lau merupakan salah satu tradisi lisan dari kebudayaan masyarakat Karo. Ketika sebuah nyanyian—sebuah tradisi lisan—disajikan oleh beberapa orang, tentu saja setiap penyaji menyanyikannya dengan gaya yang berbeda-beda. Atau ketika seseorang menyanyikan lagu itu sebanyak dua kali, jika diteliti dengan seksama pasti kita akan menemukan beberapa perbedaan. Perbedaan atau keberagaman ini lah yang menyebabkan struktur musik pada sebuah tradisi lisan juga berbeda-beda. Oleh karena itu sebagai sebuah tradisi lisan, didong doah bibi si rembah ku lau ini sudah jelas memiliki strukutur musik yang berbeda-beda pula. Maka dari itu sebagai sebuah tradisi lisan, nyanyian ini haruslah tetap dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya. Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan terhadap teks didong doah bibi si rembah ku lau, penulis mendapat kesimpulan bahwa teks yang disajikan bersifat tidak baku. Maksudnya adalah teks yang diungkapkan oleh setiap penyaji tidak pernah sama persis, karena dalam menggarap teksnya penyaji selalu mengungkapkannya dengan bebas berdasarkan apa yang dirasakan oleh sipenyaji. Selain mengungkapkan hal-hal yang berkisar mengenai rasa kecewa dan haru
si bibi terhadap sisereh, juga terdapat
ungkapan berupa pesan, doa dan harapan terhadap kedua pengantin maupun kepada ayah dan ibu mereka.
146
Mengenai fungsi sosial budaya didong doah bibi si rembah ku lau, penulis melakukan pengamatan terhadap teks dan keadaan penyajiannya. Karena nyanyian ini disajikan di depan khalayak ramai/ masyarakat, maka pesan-pesan yang disampaikan secara otomatis juga didengar oleh seluruh masyarakat yang hadir. Hal ini dapat dijadikan sebagai sumber pendidikan informal bagi masyarakat pada umunya, dan kedua mempelai khsusnya. Dengan begitu didapatlah fungsi sosial dari didong doah bibi si rembah ku lau, yaitu sebagai media pendidikan sosial dan budaya yang didalamnya terdapat nilai dan norma kehidupan dalam bermasyarakat. Sedangkan fungsi budayanya dapat dilihat dari masih disajikannya praktek didong doah bibi si rembah ku lau ini pada upacara perkawinan masyarakat Karo. Dengan masih ditemukannya penyajian tersebut, dapatlah dilihat bahwa masyarakat karo masih menjaga salah satu kebudayaan dari suku masyarakat itu sendiri. Selain itu rasa ingin atau kemauan sisereh untuk melakukannya lagi kelak terhadap permennya, juga termasuk menjadi salah satu unsur membuat didong doah bibi si rembah ku lau ini tetap ada. Apabila setiap generasi melakukan hal yang sama kepada permennya, maka dapat dipastikan bahwa praktek penyajian nyanyian ini akan terus dapat kita lihat. Dan hal ini menyangkut pada kelestarian salah satu kebudayaan masyarakat Karo. Sehingga ditemukan bahwa penyajian didong doah bibi si rembah ku lau ini dapat berfungsi sebagai sarana untuk tetap menjaga kelestarian salah satu kebudayaan masyarakat Karo. Hal ini juga disebut dengan fungsi kesinambungan kebudayaan.
147
Ketika melakukan penelitian ini, penulis menemukan sedikit kesulitan dalam mencari praktek dari didong doah bibi si rembah ku lau ini. Karena parakteknya tidak selalu dilakukan pada setiap upacara perkawinan yang diadakan oleh masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari data yang penulis peroleh di lapangan. Dari ketiga sampel yang penulis dapatkan, hanya satu sampel saja yang penulis peroleh dari sebuah upacara perkawinan. Sedangkan dua sampel lainnya penulis peroleh ketika penulis melakukan wawancara dengan penyajinya, dengan meminta kedua penyaji tersebut untuk menyanyikannya. Terlihat bahwa praktek didong doah bibi si rembah ku lau sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Karo. Oleh karena itu penulis mengharapkan agar seluruh masyarakat Karo dapat terus menjaga eksistensi dari penyajian didong doah bibi si rembah ku lau ini, dengan tetap menjalankan tradisi ini. Disamping itu, penulis juga menyarankan agar dilakukan penelitian mengenai kebudayaan Karo lainnya, agar seluruh masyarakat Karo (terutama generasi muda) dapat mengetahui budaya mereka sendiri. Dengan begitu masyarakat Karo akan sadar bahwa sebuah kebudayaan itu berharga dan penting untuk tetap dilestarikan.
148
DAFTAR PUSTAKA Barus, U.C. dan Drs. Mberguh Sembiring SH. 1993. Sejemput Adat Budaya Karo. Kabanjahe. Brahmana, M.SI. Drs. Pertampilen S. 2003. Daliken Sitelu dan Solusi Masalah Sosial Pada Masyarakat Karo : Kajian Sistem Pengendalian Sosial. Medan. (tidak dipublikasi) Duckworth, William. 1992. A Creative Approach to Music Fundamental. Belmont, California : Wadsworth, Inc. Gintings, E.P. 1999. Religi Karo. Kabanjahe : Abdi Karya. Hornby, A.S, et al. 1963. The Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Oxford University Press. Ihromi, T.O. (ed). 1994. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Koentjaraningrat. 1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT Gramedia Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Kottak, Conrad Philip. 2000. Cultural Anthropology. New York : The McGrawHill Companies. Malm, William P. 1977. Music Cultures of the Pacific, the Near East, and Asia. New Jersey : Prentice-Hall, Inc. Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Evanston, Illionis : Northwestern University Press. Milala, Ir. Terang Malem. 2008. Indahnya Perkawinan Adat Karo. Jakarta Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Muttaqin, Moh, dkk. ___ . Seni Musik Klasik : Untuk Sekolah Menengah
149
Kejuruan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York : The Free Press of Glencoe. Prints, Darwan SH. 2004. Adat Karo. Medan : Bina Media Perintis. Prints, Darwin.2002. Kamus Karo Indonesia. Medan : Bina Media Perintis. Sebayang, Vanesia Amelia. 2011. Dalan Gendang : Analisis Pola Ritme Dalam Ensambel Gendang Lima Sendalanen Oleh Tiga Pemusik Karo. Medan : Skripsi Sarjana Etnomusikologi. (tidak dipublikasi) Siahaan, Rumondang. 1991. Studi Analisis Didong Doah Dalam Pesta Perkawinan Pada Masyarakat Karo. Medan : Skripsi Sarjana Etnomusikologi. (tidak dipublikasi) Tarigan, Prof. Dr. Henry Guntur. 1988. Percikan Budaya Karo : Kumpulan Karangan Mengenai Adat Istiadat Merga Silima. Bandung : Yayasan Merga Silima. Tarigan, Sarjani. 2009. Lentera Kehidupan Orang Karo Dalam Berbudaya. Medan. Titon, Jeff Todd. 1984. Worlds of Music : An Introduction to the Music of the World’s Peoples. New York : Schirmer Books A Division of Macmillan, Inc.
150
DAFTAR WEBSITE
Julianus P. Limbeng, http://xeanexiero.blogspot.com. http://www.karoweb.or.id/kedudukan-kebudayaan-karo-ditinjau-dari-aspekkeseniannya/ www.karokab.go.id www.karosiadi.blogspot.com www.jakartacity.olx.co.id www.salahketik.com www.metamorfosasinabung.blogspot.com Danielle Surkatty. Karo Batak Wedding Ceremonies. http://mannaismayaadventure.wordpress.com
151
Lampiran I
Sampel A Didong Doah Bibi Sirembah Ku Lau Oleh Nande Paksa br Sembiring A1 Doah didong... doah nande ginting adi bas wari sekalenda nakku enggo kam njabuken bana ras sembiring mergana maka ula kena rubat-rubat nande gintingku
timang-timang nande ginting68 Karena hari ini anakku Kamu sudah menikah dengan sembiring mergana jadi janganlah kalian bertengkar nande gintingku
A2 adi mbarenda ku embah kena ku lau lampas kena galang maka man impalndu e kam pepagi mu enda enggo tambahindu teman ndu nakku man teman impaldu e erdahin beru ginting bibina
sekarang kamu menambah teman kamu anakku dengan teman kerja impal kamu ini beru ginting bibina
A3 maka bagem nakku, enteguh lah perjabun kena ula kena rubat-rubat ku pudi wari enda nande ginting
tapi ya sudahlah anakku, semoga pernikahan kalian langgeng jangan pernah bertengkar untuk ke belakang harinya nande ginting
A4 emaka bagem nande ginting, mejuah-juah kel kam njabuken bana maka malem ate nande ndu bapa ndu njabuken bana nande gintingku sembiring mergana
maka dari itu nande ginting, mejuah-juah lah kamu telah menikah agar lega perasaan ibu dan ayahmu menikah nande ginting ku sembiring mergana
68
kalau dulu ku gendong kamu ke sungai cepatlah kamu besar agar nanti kamu menikah dengan impal
Panggilan kepada perempuan yang mempunyai klen Ginting
152
A5 maka bage teman adi la gia kam man anakku ndai anakku kelengi kena pagi aku nande ginting sembiring mergana bagem bibi labo kerina jumpa ras impal na manusia enda nindu nakku
jadi biarlah teman walau kamu tidak
menikah dengan
sayangilah aku nande ginting sembiring mergana begitulah bibi tidak semua orang bertemu dengan impalnya, ujar mu
A6 doah-doah ku didong doah ku didong nande ginting mama biring maka mis ka pagi kena jumpa matawari jumpa bulan nakku maka meriah kel ukur kami nande ndu bapa ndu mama ndu kerina teman bibina
timang-timang ku timang-timang ku timang nande ginting mama biring semoga kalian cepat bertemu bulan bertemu matahari anakku agar hati kami merasa senang ibu mu ayah mu semua paman-paman mu teman bibina
A7 doah ... doah nande ginting la megogo kelengi kena pagi aku ras kila ndu e nakku adi enggo kam ku didong bias na kam la jumpa ras impal ndu e nande ginting morah ate ku
timang ... timang ... nande ginting yang baik hati sayangi lah aku dan paman mu ini anakku karena kamu sudah ku didong cukuplah kamu tidak bertemu dengan impal mu ini nande ginting yang begitu aku harapkan
Sampel B Didong Doah Bibi Sirembah Ku Lau Oleh Nande Rony br Sembirng B1 didong didong, doah teman bibina enggo kam ku elukken ndai bibi bage nge nindu nande biring teman bibi na
timang-timang, timang teman bibi na aku sudah mengingkari janji bibi itu lah yang kau ucapkan nande biring teman bibina
B2 eggo bage bibi, la padanku jumpa ras anakndu e
begitulah bibi bukan takdir ku bertemu dengan anakmu 153
bage nge nindu buat ndu tarigan mergana e tading karo mergana e
itulah yang kau ucapkan nande biring kau ambil tarigan mergana tinggallah karo mergana
B3 emaka lasam bibi aku i oah ndu mbarenda keri kain panjang e ntah piga i oah oah ndu aku nindu teman bibi na
maka semua percuma bibi aku kau timang dulu entah berapa kain panjang yang habis untuk menggendong ku ucap mu teman bibi na ...
B4 enca ge ku elukken ka kena nande biring ku ayaki tarigan mergana e bage nindu nande biringku morah kel ateku kena nande biring ginting
tapi kemudian aku berpaling darimu nande biring ku kejar tarigan mergana ini itu lah yang kau ucapkan nande biring aku sangat berharap padamu nande
B5 egia bagem tarigan mergana
tapi sudahlah tarigan mergana
seri nge kam ras mama karo, anakku sikeleng-kelengen kena pagi ras beru sembiring
kamu sama dengan mama karo anakku saling menyayangi lah kalian nanti dengan beru sembiring ini
B6 beru sembiring e merambit mama tigan em pagi dalan ndu ula rubat-rubat nakku
beru sembiring ini cerewet mama tigan itu lah jalanmu agar tidak bertengkar anakku
B7 enggo bagem turang sembiring mergana enggo gia kami bibi na elukken anak ndu e turang morah na e seh kel morah na mama biring tading ken anak ndu e kami
biarlah begitu turang sembiring mergana walaupun kami bibi nya di ingkari anak kalian ini harap tentu sangat berharap mama biring ditinggalkan anakmu ini kami
B8 anak kami pe enggo melala galang anak kami pun sudah besar semua karo mergana ndai karo mergana tadi 154
egia di ngeluk anak ndu e, mama biring nande karo sehat sehat kam turang sembiring mergana nande edangku
tapi kalau anak mu sudah berpaling mama biring nande karo sehat sehat lah kamu sembiring mergana ibu ipar ku
Jika bibi sirembah ku lau membawa hadiah berupa kain panjang, maka mereka pun akan menyerahkannya kepada kedua pengantin. Kain panjang itu kemudian akan dibungkuskan ke badan mereka, sambil bibi sirembah ku lau menyanyi.69 B9 enda baba kami kain panjang ndai perembahndu ndube nande biring emaka panjang perjabunndu nande biring kain panjang enda ndai labo mejile ca murah rejekindu nande biring mama tigan buah bara nande biring
ini kami bawa kain panjang tadi gendonganmu dulu nande biring maka panjanglah pernikahanmu nande biring kain panjang ini tidak lah begitu bagus murah rejeki kamu nande biring mama tigan kesayangan nande biring
Sampel C Didong Doah Bibi Sirembah Ku Lau Oleh Nande Sabar br Tarigan C1 didong didong ... doah nande tigan ning kami pagi-pagi karaben nande tigan lampas mbelin lampas gedang ning kami erdoah e nande tigan ... ngena ate kami ...
timang timang ... timang nande tigan kami ucap pagi dan sore nande tigan cepat besar cepat tinggi kami ucap saat menggendong nande tigan yang kami cintai
C2 didong doah doah ... timang timang anakku nande tigan anakku nande tigan lako kam ku jabu kalak nande tigan laku kamu ke keluarga lain nande tigan 69
Wawancara dengan nande Rony, 27 Februari 2011.
155
kujabu ginting mergana e ... kam erjabu nande tigan ate kami ngena C3 didong-didong doah ... anakku ginting mergana ... ku didong ka kam anakku adi nggo buatndu nande tigan e e lit sambar ganti nandendu ndai anakku ateku jadi
ke keluarga ginting mergana ini kamu menikah nande tigan yang kami cintai timang timang anakku ginting mergana ku timang juga kamu anakku kalau sudah kamu nikahi nande tigan ini iniah ganti ibumu tadi anakku yang ku cintai
C4 enggo bagem turang tarigan mergana edangku ras silih kami ola nai kam menek-menek ola nai terame-ame70 la gia je beru tarigan ndai bage atendu turang ...
ya sudah lah turang tarigan mergana ipar ku dan ipar (laki-laki) kami jangan lagi kamu bersedih jangan lagi terame-ame walaupun beru tarigan tak disini lagi begitu pikiranmu turang
C5 ruh anakndu beru tarigan e ... enggo ku jabu ginting mergana e ... Turang tarigan mergana Nande, eda kami
datang anakmu beru tarigan ini sudah ke keluarga ginting mergana ini turang tarigan mergana ibu, ipar kami
C6 sangap kam kerina encari kam pe kerina ku jei o turang tarigan mergana nande, eda kami, permen kami
beruntung dalam pekerjaan kamu pun sekalian o turang tarigan mergana ibu, ipar kami, menantu kami
C7 didong-didong doah ... anakku ... lanai terbelasken aku nande Devi teman senina ... tading aku kaka erjabu anakta sintengah e kaka nindu nge o nande Devi71 Nande tigan kaka ...
timang timang ... anakku … tak bisa aku ucapkan lagi ibu teman senina tinggal aku kakak menikah anak kita yang tengah ini begitu ucapmu ibu Devi nande tigan kakak
C8 enggo bagem anakku ...
biarlah begitu anakku
70
Terame-ame, yang berkata dasar ame merupakan panggilan sayang kepada anak perempuan pada masyarakat karo. 71 Nama pengantin wanita ; Enda Devinta br Tarigan
156
keleng sikeleng-kelengen kam pagi duana nande tigan anakku (menangis) ginting mergana maka malem pagi ate nande ndu bapandu anakku ...
saling menyayangilah kamu berdua nande tigan anakku ginting mergana agar lega perasaan ibu ayahmu anakku ...
C9 bagenda gia lawes nandendu ndai turang bibina ... nakku anakku (menangis)
begini walaupun sudah pergi ibumu tadi turang bibina ... nakku
anakku
C10 enggo bagem bapa Ferdi72 adi enggo erjabu anakta e gi ras permenta
begitulah ayah Ferdy kalu sudah menikah menantu kita ini dengan anak kita
C11 kam pe erdua-dua ginting mergana ula nai ermorah-morah tatap nande tigan e eme sambar e ganti nande ndu ndai ateku agi
kamu juga berdua ginting mergana jangan lagi bersedih lihatlah nande tigan ini ini lah sebagai ganti ibumu tadi pikirku adik
C12 bage ngenca pasu-pasuku man permenndu e ras beberendu e turang tarigan mergana nande, edangku
hanya itu lah berkat ku untuk menantu kamu dan keponakan kamu ini turang tarigan mergana ibu, iparku
72
Nama pengantin pria ; Ferdy Ginting
157
Lampiran II
1. Bentuk Melodi Sampel A
158
159
2. Bentuk Melodi Sampel B
160
161
3. Bentuk Melodi Sampel C
162
163
164
Lampiran III FOTO
(a) Gunung Sinabung
(b) Gunung Sibayak
Kedua gunung ini merupakan salah satu landmark Berastagi Sumber : Dokumentasi penulis (8 Februari 2009)
Rumah adat Karo Sumber : www.karosiadi.blogspot.com Dok. Robert Moore
165
Uis julu yang digunakan sebagai abit (sarung) pada pakaian pengantin perempuan. Sumber : http://rinda-salon.blogspot.com/
Jongkit yang digunakan sebagai gonje (sarung) pada pengantin pria. Sumber : http://rinda-salon.blogspot.com/
166
Uis nipes; uis gara yang digunakan sebagai bulang-bulang (penutup kepala), dan dipakai di bahu sebagai kadangen pada pengantin pria, dan sebagai tudung (penutup kepala) pada pengantin perempuan. Sumber : http://rinda-salon.blogspot.com/
Seperangkat pakaian adat perkawinan Karo lengkap dengan emas-emas (Ose Lengkap Eremas-emas). Sumber : http://rinda-salon.blogspot.com/
167
Berbagai jenis uis nipes yang juga digunakan oleh pengantin perempuan sebagai langge-langge (kain yang dipakai di pinggang). Sumber : http://rinda-salon.blogspot.com/
168
Lampiran IV DATA INFORMAN
1. Nama Umur Alamat Pekerjaan Pemkab
: Malem Ukur Ginting : 52 Tahun : Simalingkar : Seorang pelatih tari tradisional Karo dan penyuluh budaya di Karo
2. Nama Umur Alamat Pekerjaan
: Katalemuk Br Sukatendel : 76 Tahun : Jalan Perwira No. 200A Berastagi : Pensiunan Pegawai Negeri (Guru)
3. Nama Umur Alamat Pekerjaan
: Nande Rony Br Sembiring : 70 Tahun : Jalan Kejora I Berastagi : Petani
5. Nama Umur Alamat Pekerjaan
: Nande Paksa Br Sembring : 76 Tahun : Jalan Kejora I Berastagi :-
6. Nama Umur Alamat Pekerjaan
: Nande Sabar Br Tarigan : 69 Tahun : Desa Raya – Kab. Karo : Petani
169
GLOSARIUM
Adat
: Aturan (perbuatan, kebiasaan dsb) yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala.
Aerophone getaran
: Alat musik yang sumber bunyinya berasal dari udara pada pipa alat musik (alat musik tiup pada umunya).
Aksara
: Sistem tanda grafis yg digunakan manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran.
Anak Beru anak
: Anak
perempuan
perempuan
dalam
atau
keturunan
dari
klan
sebuah marga; Pihak penerima
wanita dalam adat perkawinan masyarakat Karo. Anak Surat atau
: Tanda untuk mematikan atau merubah tulisan huruf abjad Karo yang berjumlah 8 buah.
Analisa mendeskripsikan
:
Suatu
usaha
untuk
menjelaskan
dan
sebuah musik. Animisme
: Kepercayaan kepada roh yg mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dsb).
Ansamble (ensambel) : Seperangkat/sekumpulan alat musik yang dimainkan secara bersama-sama dalam sebuah kelompok/grup. Antropologi
: Ilmu ttg manusia, khususnya ttg asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya pd masa lampau.
Baka
: Keranjang rotan berbentuk segi empat.
Begu
: Roh orang yang telah meninggal.
Berawan (birawan)
: Roh yang tertinggal atau pergi dari tubuh seseorang karena suatu peristiwa yang menakutkan, yang mengakibatkan orang itu menjadi sakit-sakitan
170
Beru
: Klan yang dibawa oleh perempuan.
Bibi sirembah ku lau : Kelompok/ orang yang biasa menyajikan didong doah bibi sirembah ku lau. Birama
: Ruang-ruang ketukan yang disesuaikan dengan tempo dasar.
Budaya kebiasaan
: Pikiran; akal budi; sesuatu yang sudah menjadi yg sudah sukar diubah.
Cak-cak
: Tempo, pola irama.
Demokratis
: Bersifat demokratis atau persamaan hak dan kewajiban.
Deskripsi jelas
: Pemaparan atau penggambaran dng kata-kata secara dan terperinci.
Dibata
: Tuhan, dewata.
Didong doah
: Nyanyian menidurkan anak.
Dinamisme
: Kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yg dapat mempengaruhi keberhasilan
atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. Dokumentasi (spt
: Pengumpulan bukti-bukti dan keterangan-keterangan kutipan dari surat kabar, gambar-gambar, dan lain sebagainya).
Duplikasi
: Perangkapan; perulangan.
Endek
: Irama, ritme, gerakan naik turun tubuh pada waktu menari.
Ensiklopedi atau
: Buku (serangkaian buku) yg menghimpun keterangan uraian tt berbagai hal di bidang seni dan ilmu pengetahuan, yang disusun menurut abjad atau menurut lingkungan ilmu.
171
Erdidong
: Berdendang atau menyanyi
Erpangir
: Berkeramas
Ersimbu
: Saling menyiram.
Ertutur
: Memperkenalkan diri untuk mengetahui hubungan kekeluargaan antara pihak-pihak yang baru saling mengenal dengan saling menanyakan identitas masingmasing.
Etnografi hidup
: Ilmu ttg pelukisan kebudayaan suku-suku bangsa yg tersebar di muka bumi.
Etnomusikologi
: Ilmu perbandingan musik yg bertujuan memperoleh pengertian tt sejarah asal-usul, perkembangan, dan persebaran musik pd pelbagai bangsa di dunia.
Garis Paranada garis
: Garis tempat peletakan notasi yang terdiri dari lima dan empat spasi.
Gundala-gundala mana
: Salah satu tari hiburan pada masyarakat Karo, yang penarinya menggunakan sebuah topeng.
Guru
: Dukun, orang pintar.
Idiophone getaran
: Alat musik yang sumber bunyinya berasal dari pada badan alat itu sendiri.
Impal dr
: Hubungan kekerabatan seorang gadis dng anak lelaki pamannya/ hubungan kekerabatan seorang pemuda dng anak perempuan dr saudara lelaki ibunya.
Indung Surat
: Huruf atau abjad kuno Karo yang berjumlah 21 buah.
Informan
: Orang yg memberi informasi; orang yg menjadi sumber data dalam penelitian; narasumber.
Jambur
: Balai desa, suatu bangunan yang atapnya berbentuk rumah
172
adat Karo. Kade-kade
: Famili, sanak saudara.
Kalimbubu
: Pihak pemberi istri pada adat perkawinan masyarakat Karo;kelompok kekerabatan yang dianggap memiliki kedudukan paling tinggi pada masyarakat Karo. : Nyanyian bercerita (narrative song) pada masyarakat Karo.
Katoneng-katoneng
Kayu Nabar
: Sejenis kayu beringin.
Keramat
: Keramat, suci, angker
Kerja adat Kesain
: Pesta adat : Alun-alun, lapangan desa.
Konteks
: Situasi yang ada hubungannya dng suatu kejadian.
Kordo-idiophone yang
: Alat musik yang sumber bunyinya berasal dari senar diregangkan dari badan alat musik itu sendiri.
Kordophone yang
: Alat musik yang sumber bunyinya berasal dari senar dipetik.
Kualitatif didasari
: Metode penelitian dalam dunia ilmu sosial yang penelitian terhadap informan
langsung
ke lapangan dan wawancara
Laboratorium
: Ruang kerja analisis data bagi etnomusikolog.
Linguistik
: Ilmu ttg bahasa.
Literatur
: Kesustraan/kepustakaan.
Luah
: Oleh-oleh/buah tangan
Maneh-maneh
: Barang warisan atau kenang-kenangan dari seseorang yang sudah meninggal.
Mangmang
: Mantra, jampi, perkataan yang diucapkan untuk mendatangkan kesaktian.
173
Mayoritas tertentu
: Jumlah orang terbanyak yg memperlihatkan ciri menurut suatu patokan dibandingkan dng jumlah yg lain yg tidak memperlihatkan ciri itu.
Melodi
: Susunan rangkaian tiga nada atau lebih dl musik yg terdengar berurutan secara logis serta berirama dan mengungkapkan suatu gagasan.
Membranophone getaran
: Alat
musik yang sumber bunyinya berasal dari
pada membran. Merga
: Klan yang dibawa oleh laki-laki.
Metode
: Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yg ditentukan.
Mistis
: Bersifat mistik atau gaib.
Mitos dahulu,
: Cerita suatu bangsa ttg dewa dan pahlawan zaman mengandung penafsiran ttg asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut dan mengandung arti mendalam yg diungkapkan dng cara gaib.
Monografi
: Tulisan atau uraian mengenai satu bagian dr suatu ilmu atau mengenai suatu masalah tertentu.
Musikal
: Bersifat musik.
Musikologi
: Ilmu ttg musik, sejarah, dan perkembangannya.
Nada
: Tinggi rendahnya bunyi (pitch)
Ndilo Wari Udan
: Upacara memanggil hujan.
Ngukal Tulan-tulan sudah
: Upacara mengangkat tulang/kerangka orang yang meninggal.
Ninabobo
: Nyanyian untuk menidurkan anak.
174
Notasi
: Penggambaran simbolik sebuah musik.
Ose
: Sejenis pakaian yang dipakai pada suatu upacara adat dalam masyarakat Karo.
Patrilineal
: Garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah.
Pemasu-masun
: Pemberian petuah agar mendapat berkat dari Tuhan.
Perbegu
: Kepercayaan kuno yang dianut oleh masyarakat Karo.
Perende-rende
: Penyanyi.
Perkolong-kolong menari,
: Seorang penyanyi (pria/wanita) yang juga pandai yang juga pandai melakukan pemasu-masun.
Permen (permain)
: Menantu perempuan.
Perumah begu
: Suatu upacara yang dilakukan pada malam hari untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal. : Zaman atau masa sebelum masuknya agama Hindu.
Pra-Hindu Primbon dan
: Kitab yang berisikan ramalan (perhitungan hari baik tidak), sistem bilangan yang pelik untuk menghitung hari mujur untuk mengadakan selamatan, mendirikan rumah, memulai perjalanan dan mengurus segala macam kegiatan yang penting, baik bagi perorangan maupun masyarakat.
Protokol masyarakat
: Pembawa acara pada sebuah acara adat pada Karo.
Proto-Melayu
: Bangsa Melayu yg terdahulu atau pertama sekali.
Refleksi
: Cerminan, gambaran.
Religi
: Kepercayaan; kepercayaan kepada Tuhan
Repertoar
: Repertoire; Sebuah komposisi musik.
175
Rose
: Memakai pakaian adat pada suatu upacara.
Sampel
: Contoh.
Sembuyak
: Saudara seperut, saudara kandung.
Senina
: Saudara, pertalian keluarga antara pria dan pria atau wanita dan wanita.
Siempo
: Pengantin pria
Sijalapen pihak
: Proses perkenalan yang terjadi antara kedua belah yang menikah, pembayaran mas kawin.
yang
biasa
dilakukan
sebelum
Siklus
: Putaran waktu yang didalamnya terdapat rangkaian kejadian yang berulang-ulang secara tetap dan teratur.
Sisereh
: Pengantin wanita
Sistem tuning yang
: Pelarasan alat musik, agar dapat menghasilkan nada tepat.
Spontan lebih
: Serta merta, tanpa dipikir, atau tanpa direncanakan dulu; melakukan sesuatu karena dorongan hati.
Struktur
: Cara sesuatu disusun atau dibangun; ketentuan unsurunsur dari suatu benda.
Sukut
: Orang yang melaksanakan pesta, keluarga terdekat (semerga), tuan rumah.
Tangga nada secara
: Susunan nada-nada naik atau pun turun yang tersusun berurutan.
Teks
: Naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang.
Tempo lagu,
: Ukuran lama waktu kecepatan sesuatu gerak (musik, dll).
176
Tendi
: Roh, jiwa.
Teori
: Pendapat yg didasarkan pd penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi.
Tradisi yang
: Adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) masih dijalankan dalam masyarakat.
Turang laki
: Hubungan kekerabatan antara seorang wanita dan lakiyang memiliki klan yang sama atau satu darah.
Upacara perbuatan
: Tanda-tanda kebesaran, rangkaian tindakan atau yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama, perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting.
Variasi
: Ragam.
Vokal
: Mengenai suara, linguistik bunyi bahasa yang dihasilkan oleh arus udara dari paru-paru melalui pita suara dan penyempitan pada saluran suara di atas glotis.
177