ANALISIS SISTEM TATANIAGA BAWANG DAUN (Allium fistulosum L.) DI KAWASAN AGROPOLITAN KABUPATEN CIANJUR
SKRIPSI
QURROTA A’YUN H34060784
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
RINGKASAN QURROTA A’YUN. Analisis Sistem Tataniaga Bawang Daun (Allium fistulosum L.) di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan LUSI FAUSIA) Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang cukup penting bagi masyarakat Indonesia karena sebagian besar jenis komoditas ini merupakan kebutuhan pokok yang melengkapi kebutuhan gizi masyarakat, khususnya untuk pemenuhan vitamin dan mineral. Salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai komersial cukup tinggi adalah sayuran karena dikonsumsi setiap saat. Bawang daun merupakan salah satu sayuran yang memiliki potensi pasar cukup baik. Nilai ekspor bawang daun meningkat cukup besar pada tahun 2008. Bawang daun juga banyak dibutuhkan oleh masyarakat sebagai bahan penyedap maupun bahan pengobatan. Salah satu daerah sentra produksi bawang daun di Indonesia adalah Kabupaten Cianjur yaitu di Kawasan Agropolitan Cianjur (Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya). Produksi bawang daun yang cukup besar di kawasan Agropolitan diikuti juga dengan semakin meningkatnya jumlah bawang daun yang dipasarkan keluar Kabupaten Cianjur. Pada tahun 2008 jumlah bawang daun yang dipasarkan keluar Kabupaten Cianjur meningkat 54 persen dari tahun 2007. Namun, kondisi ini dihadapkan pada fluktuasi harga bawang daun yang cukup besar. Tahun 2005 harga bawang daun sebesar Rp1.606,00 per kg, meningkat menjadi Rp2.289,00 pada tahun 2006. Kemudian meningkat secara tajam menjadi Rp6.487,00 per kg di tahun 2007, lalu turun cukup besar menjadi Rp4.606,00 per kg pada tahun 2008. Adanya fluktuasi harga tersebut seringkali menyebabkan perbedaan harga yang besar antara harga jual petani dengan harga beli konsumen akhir sehingga menimbulkan kerugian bagi petani maupun bagi konsumen. Selain permasalahan tersebut, permasalahan lainnya adalah petani bawang daun di kawasan Agropolitan sangat bergantung kepada pedagang pengumpul dalam memasarkan bawang daun yang dihasilkan sehingga menyebabkan bargaining position petani lemah. Oleh karena itu, diperlukan suatu analisis mengenai sistem tataniaga bawang daun untuk memberikan pilihan saluran tataniaga yang lebih baik kepada petani. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi sistem tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur, (2) menganalisis efisiensi saluran tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Agropolitan Cianjur pada dua desa inti yaitu Desa Sukatani Kecamatan Pacet dan Desa Sindangjaya Kecamatan Cipanas Jawa Barat. Pengambilan data dilakukan mulai bulan Mei hingga Juni 2010. Penentuan sampel petani bawang daun dengan teknik purposive sampling, berjumlah 30 orang dan penentuan lembaga tataniaga selanjutnya dengan teknik snowball sampling, berjumlah 20 orang. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan dan wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansiinstansi terkait, BPS, internet dan buku-buku literatur. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan
menggunakan analisis marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya. Dari hasil penelitian diketahui bahwa petani bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur melakukan kegiatan tataniaga secara perseorangan, tidak terkoordinasi dengan keberadaan Program Pengembangan Agropolitan. Fasilitas tataniaga yang seharusnya dapat meningkatkan efisiensi tataniaga seperti Sub Terminal Agribisnis (STA) Cigombong yang berada di kawasan Agropolitan belum dapat berfungsi dan dimanfaatkan secara optimal. Implikasi dari hal tersebut adalah para petani melibatkan beberapa lembaga tataniaga dalam menyalurkan hasil penennya, antara lain pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang grosir, supplier dan pedagang pengecer. Masing-masing lembaga tataniaga tersebut melakukan fungsi tataniaga yang sesuai dengan kegiatan yang mereka lakukan dalam menyalurkan bawang daun. Saluran tataniaga yang terdapat pada sistem tataniaga bawang daun di kawasan agropolitan berjumlah dua saluran utama yaitu saluran I yang dilakukan oleh empat petani responden (13,33 %) terdiri dari petani – pedagang pengumpul desa – pedagang pengecer (Pasar Bekasi) – konsumen, saluran II dilakukan oleh 11 petani (36,67 %) terdiri dari petani – pedagang pengumpul desa – pedagang grosir (Pasar Induk) – pedagang pengecer (Pasar Tradisional di Depok, Jakarta dan Tangerang) – konsumen, dan dua saluran alternatif yaitu saluran III yang dilakukan oleh dua petani (6,7 %) terdiri dari petani – pedagang pengumpul desa – konsumen (restoran) dan saluran IV dilakukan oleh 13 orang petani (43,44%) terdiri dari petani – pedagang pengumpul desa – supplier – pedagang pengecer (Supermarket) – konsumen. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani bawang daun di kawasan agropolitan adalah pasar bersaing. Pedagang pengumpul (penjual) dengan supplier (pembeli) dan restoran (pembeli) menghadapi struktur pasar oligopsoni. Pedagang pengumpul (penjual) dengan pedagang grosir (pembeli) dan pedagang pengecer (pembeli) menghadapi struktur pasar bersaing. Struktur pasar yang dihadapi supplier (penjual) dan supermarket (pembeli) yaitu pasar oligopsoni. Pedagang grosir dan pedagang pengecer menghadapi struktur pasar bersaing. Supermarket menghadapi struktur pasar oligopoli. Pedagang pengecer pasar tradisional menghadapi struktur pasar bersaing. Penentuan harga umumnya dilakukan berdasarkan kesepakatan dan mekanisme pasar. Berdasarkan perhitungan efisiensi tataniaga, saluran tataniaga yang paling efisien adalah saluran tataniaga II karena memiliki biaya tataniaga paling rendah yaitu sebesar Rp1.785,96 per kg meskipun marjin tataniaganya sama dengan saluran I. Saluran tataniaga II juga merupakan saluran dengan nilai rasio keuntungan dan biaya yang paling besar yaitu sebesar 1,52.
ANALISIS SISTEM TATANIAGA BAWANG DAUN (Allium fistulosum L.) DI KAWASAN AGROPOLITAN KABUPATEN CIANJUR
QURROTA A’YUN H34060784
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi
: Analisis Sistem Tataniaga Bawang Daun (Allium fistulosum L.) di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur
Nama
: Qurrota A’yun
NIM
: H34060784
Disetujui, Pembimbing
Ir. Lusi Fausia, M.Ec NIP. 19600321 198601 2 001
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Sistem Tataniaga Bawang Daun (Allium fistulosum L.) di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur“ adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2010
Qurrota A’yun H34060784
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 1 Mei 1988. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Miftachus Surur (alm) dan Ibunda Lilis Hotijah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Sarijadi X Bandung pada tahun 2000 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SLTPN 1 Depok. Pendidikan menengah atas di SMAN 2 Depok diselesaikan pada tahun 2006. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Kemudian penulis diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan. Penulis tercatat sebagai pengurus UKM Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman pada tahun 2008-2009 pada Divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Divisi Fasilitas dan Properti. Pada tahun 2007-2008 penulis aktif pula sebagai pengurus organisasi tingkat fakultas yaitu Sharia Economic Student Club (SES-C) sebagai bendahara divisi shar-e. Penulis aktif pula dalam kepanitiaan beberapa acara yang diadakan di kampus maupun fakultas.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, serta shalawat dan salam kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Analisis Sistem Tataniaga Bawang Daun (Allium fistulosum L.) di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur”. Penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini bertujuan menganalisis sistem tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur dengan menggunakan analisis deskriptif untuk menjelaskan mengenai saluran, lembaga, fungsi, struktur dan perilaku pasar tataniaga bawang daun serta analisis secara kuantitatif untuk mengetahui efisiensi saluran tataniaga bawang daun di wilayah Agropolitan Cianjur dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya. Penulis menyadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor, November 2010 Qurrota A’yun
UCAPAN TERIMAKASIH Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1.
Ir. Lusi Fausia, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi atas segala arahan, bimbingan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini.
2.
Dr. Ir. Ratna Winandi Asmarantaka, MS selaku dosen penguji utama yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3.
Suprehatin, SP., MAB selaku dosen penguji departemen yang telah memberikan saran dan kritik demi perbaikan skripsi ini.
4.
Ir. Narni Farmayanti, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik atas segala arahan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama proses perkuliahan.
5.
Pengelola Agropolitan Cianjur khususnya Bapak Mulyadi beserta keluarga yang telah banyak membantu penulis selama proses pengambilan data penelitian.
6.
Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur dan BPP Kecamatan Cipanas, Pengelola Sub Terminal Agribisnis (STA) Cigombong yang telah memberikan banyak informasi kepada penulis selama proses pengambilan data penelitian.
7.
Petani anggota kelompok tani Agropolitan Cianjur serta pedagang bawang daun yang menjadi responden dalam penelitian ini atas kesediaannya meluangkan waktu untuk membantu saya dalam mengumpulkan data penelitian.
8.
Bapak H. Sugilar beserta keluarga yang telah berbaik hati menerima penulis untuk tinggal di rumahnya selama penulis melakukan pengumpulan data.
9.
Seluruh dosen serta staf Departemen Agribisnis. Terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan kepada saya selama proses perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi, seminar, dan sidang.
10. Mila Jamilah yang telah bersedia untuk menjadi pembahas seminar dan memberikan masukan demi perbaikan skripsi ini.
11. Ibu dan Bapak (alm) tercinta serta adikku (Hanif dan Irfan) yang telah memberikan dukungan moril dan materil, doa, serta kasih sayang yang tiada pernah putus. Semoga skripsi ini dapat menjadi persembahan yang terbaik dan awal untuk membahagiakan kalian. 12. Eko Mujiono atas kasih sayang, dukungan, masukan, do’a dan waktu yang telah diberikan untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 13. Sahabat-sahabatku Fuji, Tita, Triana, Shara, Rizka, teman-teman kostan Bateng 69 (Mira, Ria, Ayu, Sifa, Poppy, Meiyana, Asty, Abhe, Renna, Nadia) dan seluruh teman-teman AGB 43 atas persahabatan, keceriaan, dukungan serta semangat yang telah diberikan kepada penulis baik selama perkuliahan maupun selama penulisan skripsi ini. 14. Pihak-pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, namun tidak menghilangkan rasa hormat dan terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.
Bogor, November 2010 Qurrota A’yun
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................
xvii
I
PENDAHULUAN ................................................................. 1.1. Latar Belakang ........................................................... 1.2. Perumusan Masalah ................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ....................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ...................................................... Ruang Lingkup ........................................................... 1.5.
1 1 5 7 7 7
II
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 2.1. Karakteristik Umum Bawang Daun ........................... 2.2. Konsep Agropolitan ................................................... Kajian Mengenai Tataniaga ......................................... 2.3.
8 8 12 15
III
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................... 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ..................................... 3.1.1 Konsep Tataniaga ........................................... 3.1.2 Saluran Tataniaga ........................................... 3.1.3 Fungsi dan Lembaga Tataniaga ....................... 3.1.4 Struktur Pasar ................................................... 3.1.5 Perilaku Pasar ................................................. 3.1.6 Efisiensi Tataniaga ........................................... 3.1.6.1 Marjin Tataniaga .................................. 3.1.6.2 Farmer’s Share .................................... 3.1.6.3 Rasio Keuntungan dan Biaya ............... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ..............................
19 19 19 19 20 23 24 25 25 28 28 28
IV
METODE PENELITIAN .................................................... Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................... 4.1. 4.2. Jenis dan Sumber Data ............................................... 4.3. Metode Pengumpulan Data .......................................... 4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ...................... 4.4.1 Analisis Saluran Tataniaga ............................... 4.4.2 Analisis Lembaga dan Fungsi-Fungsi Tataniaga .......................................................... 4.4.3 Analisis Struktur Pasar ..................................... 4.4.4 Analisis Perilaku Pasar ..................................... 4.4.5 Analisis Efisiensi Tataniaga ............................. 4.4.5.1 Analisis Marjin Tataniaga .................... 4.4.5.2 Analisis Farmer’s Share ...................... 4.4.5.3 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya . 4.5. Definisi Operasional.....................................................
31 31 31 31 32 32 33 33 33 34 34 34 35 35
V
VI
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ............... 5.1. Kawasan Agropolitan Cianjur .................................... 5.1.1 Desa Inti Pusat Pertumbuhan Kawasan Agropolitan ....................................................... 5.1.2 Sarana dan Prasarana Pendukung Pertanian di Kawasan Agropolitan ................................... 5.2. Karakteristik Petani Responden ................................. 5.3. Karakteristik Responden Lembaga-Lembaga Tataniaga ...................................................................... 5.4. Gambaran Umum Usahatani Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur ...............
37 37
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................ Saluran Tataniaga Bawang Daun di Kawasan 6.1. Agropolitan Cianjur .................................................... 6.2. Fungsi Tataniaga dan Lembaga Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur ........................ 6.2.1 Fungsi Tataniaga di Tingkat Petani .................. 6.2.2 Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul ........................................................ 6.2.3 Fungsi Tataniaga di Tingkat Supplier............... 6.2.4 Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Grosir . 6.2.5 Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengecer ............................................................ 6.3. Struktur Pasar pada Masing-Masing Lembaga Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur .......................................................................... 6.3.1 Struktur Pasar di Tingkat Petani ....................... 6.3.2 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul ........................................................ 6.3.3 Struktur Pasar di Tingkat Supplier ................... 6.3.4 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Grosir ...... 6.3.5 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer .. Perilaku Pasar pada Sistem Tataniaga Bawang Daun 6.4. di Kawasan Agropolitan Cianjur ................................. 6.4.1 Praktek Pembelian dan Penjualan ..................... 6.4.1.1 Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Petani................................. 6.4.1.2 Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Pengumpul ........ 6.4.1.3 Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Supplier ............................. 6.4.1.4 Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Grosir ................ 6.4.1.5 Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Pengecer ........... 6.4.2 Sistem Penentuan Harga ................................... 6.4.2.1 Sistem Penentuan Harga di Tingkat Petani ..................................................
54
38 42 44 48 49
54 66 68 70 72 73 75
77 77 77 78 79 79 80 80 80 81 82 82 83 84 84 xii
6.5.
VII
6.4.2.2 Sistem Penentuan Harga di Tingkat Pedagang Pengumpul ......................... 6.4.2.3 Sistem Penentuan Harga di Tingkat Supplier............................................... 6.4.2.4 Sistem Penentuan Harga di Tingkat Pedagang Grosir ................................. 6.4.2.5 Sistem Penentuan Harga di Tingkat Pedagang Pengecer ............................. 6.4.3 Kerjasama antar Lembaga Tataniaga................ Efisiensi Tataniaga pada Sistem Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur .......... 6.5.1 Marjin Tataniaga pada Sistem Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur ............................................................ 6.5.2 Farmer’s Share pada Sistem Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur ............................................................ 6.5.3 Rasio Keuntungan dan Biaya pada Sistem Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur ..........................................
85 85 86 86 86 87
88
91
92
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................ 7.1. Kesimpulan ................................................................ Saran ........................................................................... 7.2.
94 94 95
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
97
LAMPIRAN ......................................................................................
99
xiii
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Nilai PDB Hortikultura berdasarkan Harga Berlaku Periode 2004-2008.................................................................................
2
Volume Ekspor Bawang Merah, Bawang Putih dan Bawang Daun Tahun 2007-2008 .............................................
3
Produksi Tanaman Sayuran Unggulan Per Kecamatan di Kabupaten Cianjur Tahun 2008 ...............................................
4
Banyaknya Bawang Daun yang Dipasarkan Keluar Kabupaten Cianjur ...................................................................
5
5.
Harga Pasar Komoditas Bawang Daun di Kabupaten Cianjur.
6
6.
Kandungan Gizi Bawang Daun dalam Setiap 100 g Bahan yang Dapat Dimakan ................................................................
12
7.
Karakteristik Struktur Pasar .....................................................
24
8.
Jumlah Penduduk Desa Sindangjaya dan Desa Sukatani menurut Mata Pencaharian Tahun 2009 ..................................
40
Jumlah Penduduk Desa Sukatani menurut Usia Tahun 2009 ..............................................................................
40
10. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Sindangjaya dan Sukatani Tahun 2009................................................................
41
11. Distribusi Umur Petani Responden ..........................................
45
12. Tingkat Pendidikan Petani Responden.....................................
46
13. Distribusi Petani Responden Berdasarkan Keikutsertaan Pelatihan ...................................................................................
47
14. Struktur Luas Lahan Petani Responden ...................................
47
15. Status Kepemilikan Lahan Petani Responden..........................
48
16. Distribusi Petani Responden Menurut Lamanya Pengalaman Bertani ......................................................................................
48
17. Distribusi Tingkat Pendidikan Responden Lembaga Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur .....
49
18. Biaya Produksi Bawang Daun per 1000 m2 di Kawasan Agropolitan ..............................................................................
53
19. Karakteristik Bawang Daun yang Dijual pada Setiap Saluran Tataniaga ..................................................................................
57
20. .Farmer’s Share pada Setiap Saluran Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur..............................................
91
2. 3. 4.
9.
22.
Rasio Keuntungan dan Biaya Lembaga Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur ....................................
93
xv
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
Halaman Pola Umum Saluran Pemasaran Produk-produk Pertanian di Indonesia ............................................................................
20
2.
Marjin Tataniaga ....................................................................
27
3.
Alur Kerangka Pemikiran Operasional ..................................
30
4.
Sistem Penanaman Tumpangsari di Kawasan Agropolitan Cianjur....................................................................................
42
5.
Penyiapan Lahan dan Penanaman ..........................................
51
6.
Saluran Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur....................................................................................
56
7.
Bawang Daun yang Dipasarkan ke Pasar Tradisional ...........
58
8.
Bawang Daun yang Dipasarkan ke Supermarket dan Restoran .................................................................................
58
9.
Proses Pencucian Bawang Daun ............................................
59
10.
Proses Pemotongan Akar (a), dan Proses Pengemasan Bawang Daun untuk Disalurkan ke Supermarket ..................
64
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Konsumsi Sayuran Per Kapita Indonesia (Kg/Th).................
100
2.
Produksi Bawang Daun Berdasarkan Propinsi Tahun 2005-2008 ..............................................................................
101
Biaya Tataniaga pada setiap Lembaga dan Saluran Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur ...
102
Marjin Tataniaga Bawang Daun pada Saluran Tataniaga I, II, III dan IV di Kawasan Agropolitan ...............................
103
3. 4.
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian di sektor pertanian. Pada tahun 2009, sebanyak 43.029.493 orang penduduk Indonesia atau sebesar 41,18 persen dari total angkatan kerja Indonesia bekerja pada sektor pertanian (BPS, 2010). Bagi negara agraris, peran sektor pertanian sangat penting dalam mendukung perekonomian nasional, terutama sebagai penyedia bahan pangan, sandang dan papan bagi segenap penduduk, serta penghasil komoditas ekspor nonmigas untuk menarik devisa (Adimihardja, 2006). Sektor pertanian terdiri dari beberapa subsektor, yaitu subsektor hortikultura, tanaman pangan, perkebunan, perikanan, kehutanan dan peternakan. Pembangunan hortikultura telah memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi sektor pertanian maupun perekonomian nasional, yang dilihat dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah rumah tangga yang mengandalkan sumber pendapatan dari subsektor hortikultura, peningkatan pendapatan masyarakat, perdagangan internasional dan sumber pangan masyarakat. Komoditas hortikultura merupakan komoditas yang penting disamping komoditas tanaman pangan karena jenis komoditas ini merupakan kebutuhan pokok yang melengkapi kebutuhan gizi masyarakat, khususnya untuk pemenuhan vitamin dan mineral. Pasar di Indonesia sangat besar dan dari tahun ke tahun menunjukkan
kecenderungan
yang
semakin
meningkat
sejalan
dengan
peningkatan laju pertumbuhan penduduk Indonesia (Ditjen Hortikultura, 2010). Komoditas hortikultura terdiri dari buah-buahan, sayuran, biofarmaka dan tanaman hias. Menurut data Departemen Pertanian tahun 2009, nilai Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor hortikultura dari tahun 2004 hingga 2008 mengalami peningkatan setiap tahunnya (Tabel 1). Salah satu komoditas yang mempunyai prospek cukup baik adalah sayuran. Komoditas sayuran menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar kedua setelah komoditas buah-buahan. Laju peningkatan nilai PDB sayuran dari tahun 2004 hingga 2008 cenderung lebih stabil dibandingkan laju peningkatan nilai PDB buah-buahan. Disamping itu, peningkatan nilai PDB sayuran pada tahun 2008 sebesar 7,2 persen dari tahun
2007, sedangkan peningkatan nilai PDB buah-buahan hanya sebesar 0,7 persen dari tahun 2007. Sayuran memiliki nilai komersial yang cukup tinggi karena sayuran merupakan produk pertanian yang dikonsumsi setiap saat. Sayuran juga merupakan salah satu prioritas pembangunan pada subsektor hortikultura dilihat dari sasaran peningkatan produksi sayuran pada tahun 2010 yaitu sebesar 10 persen, lebih besar dibandingkan sasaran peningkatan produksi buah-buahan yang hanya 5,9 persen dan biofarmaka sebesar 6,6 persen (Ditjen Hortikultura, 2010). Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura berdasarkan Harga Berlaku Periode 20042008 Nilai PDB (Milyar Rp.) Kelompok No Komoditas 2004 2005 2006 2007 2008 1 Buah-buahan 30.765 31.694 35.448 42.362 42.660 2 Sayuran 20.749 22.630 24.694 25.587 27.423 3 Biofarmaka 722 2.806 3.762 4.105 4.118 4 Tanaman Hias 4.609 4.662 4.734 4.741 6.091 Total Hortikultura 56.844 61.792 68.639 76.795 80.292 Sumber : Departemen Pertanian (2009 (a))
Kebutuhan sayuran diprediksi akan selalu mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan adanya kecenderungan masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat dengan mengurangi konsumsi makanan berlemak tinggi dari bahan hewani ke bahan nabati. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2009, konsumsi sayuran Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 konsumsi sayuran per kapita Indonesia sebesar 32,89 kg/thn, pada tahun 2005 meningkat 7,4 persen menjadi 35,33 kg/thn dan pada tahun 2008 sebesar 39,45 kg/thn meningkat sebesar 11,7 persen dari tahun 2005 (Lampiran 1). Salah satu komoditas sayuran yang potensial untuk dikembangkan adalah bawang daun. Bawang daun merupakan jenis sayuran dari kelompok bawang yang banyak digunakan sebagai penyedap dalam masakan. Selain sebagai bahan penyedap dalam masakan, bawang daun juga mengandung unsur-unsur aktif yang memiliki daya bunuh bakteri (sebagai antibiotik) serta dapat merangsang pertumbuhan sel tubuh. Bawang daun juga memiliki kandungan vitamin A dan C 2
yang tinggi, daunnya mengandung minyak atsiri yang berkhasiat diuretik (mempercepat pembentukan urin), diaforetik (peluruh keringat) dan antiradang 1. Dalam setiap 100 gram bahan yang dapat dimakan, bawang daun mengandung 910 SI vitamin A dan 48 mg vitamin C (Cahyono, 2005). Bawang daun juga memiliki keunggulan lain yaitu dapat ditanam sepanjang tahun baik saat musim kemarau atau musim hujan. Bawang daun juga merupakan salah satu komoditas bawang-bawangan dengan peningkatan volume ekspor yang sangat tinggi dibandingkan jenis bawang lainnya yaitu bawang merah dan bawang putih. Pada tahun 2008 jumlah ekspor bawang daun meningkat sebesar 1.160 persen dari tahun 2007. Angka ini sangat besar dibandingkan dengan peningkatan volume ekspor bawang merah yang hanya sebesar 32 persen, sedangkan bawang putih mengalami penurunan volume ekpor sebesar 77 persen (Tabel 2). Tabel 2. Volume Ekspor Bawang Merah, Bawang Putih dan Bawang Daun Tahun 2007-2008 Volume Ekspor (kg) Komoditas 2007 2008 Bawang Merah 9.356.977 12.313.860 Bawang Putih 135.753 30.933 Bawang Daun 322 4.059 Sumber : Departemen Pertanian (2009 (b))
Salah satu daerah sentra penghasil bawang daun adalah Propinsi Jawa Barat. Tingkat produksi bawang daun di Jawa Barat pada tahun 2008 sebanyak 249.907 ton atau sebesar 45,6 persen dari total produksi bawang daun di Indonesia (Lampiran 2). Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah dengan produksi bawang daun yang cukup besar. Berdasarkan data dari Subdin Bina Program Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur tahun 2009, produksi bawang daun di Kabupaten Cianjur tahun 2008 sebanyak 33.206,2 ton atau sebesar 13,3 persen dari total produksi bawang daun di Propinsi Jawa Barat. Produksi bawang daun terbesar terdapat di Kecamatan Pacet, Cugenang dan Cipanas yang merupakan kawasan Agropolitan di Kabupaten Cianjur (Tabel 3). 1
Wahyuningsih.R. 2010. Daun bawang, taburan yang bergizi. www.detikfood.com (Diakses 1 November 2010)
3
Tabel 3. Produksi Tanaman Sayuran Unggulan Per Kecamatan di Kabupaten Cianjur Tahun 2008 Produksi (Kuintal) Kecamatan Bawang Kubis Petsai Wortel Tomat Daun Pacet 115.966 2.461 44.815 289.245 2.451 Sukaresmi 0 0 20.400 4.500 9.066 Cugenang 119.695 82.113 99.370 241.515 17.212 Sukanagara 3.610 0 26.965 0 13.260 Takokak 25.837 31.363 53.443 0 65.218 Campaka 4.727 15.676 20.680 0 11.429 Cipanas 41.813 32.378 17.330 104.807 5.418 Sumber: Subdin Bina Program Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur (2009)
Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur telah menetapkan dua desa yang terbagi dalam dua kecamatan sebagai desa inti dari program Agropolitan yaitu Desa Sindangjaya Kecamatan Cipanas dan Desa Sukatani Kecamatan Pacet. Hal ini dikarenakan kedua desa tersebut memiliki kesesuaian dengan persyaratan dikembangkannya suatu wilayah sebagai kawasan Agropolitan, diantaranya adalah secara geografis kedua desa tersebut terletak di daerah strategis yaitu menghubungkan antara Ibu Kota Propinsi Jawa Barat (Bandung) dengan Ibu Kota Negara (Jakarta), memiliki komoditas unggulan pertanian salah satunya adalah bawang daun dan minat petani dalam upaya pengembangan agribisnis cukup tinggi. Di kawasan Agropolitan ini juga terdapat Sub Terminal Agribisnis (STA) bernama STA Cigombong yang terletak di Kecamatan Pacet. Sub Terminal Agribisnis Cigombong ini didirikan agar dapat berperan sebagai lembaga tataniaga produk pertanian yang dihasilkan oleh petani di kawasan tersebut sekaligus dapat membantu petani dalam memasarkan hasil pertaniannya. Jumlah produksi bawang daun yang cukup besar di kawasan Agropolitan ditambah lagi volume ekspor bawang daun yang semakin meningkat mengindikasikan bahwa bawang daun memiliki potensi pasar yang cukup baik. Hal ini juga perlu didukung dengan sistem tataniaga yang baik agar bawang daun yang dipasarkan dapat sampai ke tangan konsumen pada waktu yang tepat dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai dengan keinginan konsumen.
4
1.2 Perumusan Masalah Program pembangunan Agropolitan merupakan salah satu program yang dilakukan oleh Departemen Pertanian bersama dengan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja sistem agribisnis di perdesaan sehingga tercipta integrasi yang kuat mulai dari subsistem agribisnis hulu (penyediaan input usahatani) hingga subsistem agribisnis hilir (pengolahan dan pemasaran) dan memperkuat interaksi antara daerah perdesaan sebagai daerah penghasil komoditas pertanian dengan daerah perkotaan sebagai daerah konsumsi komoditas pertanian (Djaka, 2003). Kabupaten Cianjur merupakan salah satu kawasan rintisan Agropolitan yang didirikan pada tahun 2002 dengan basis agribisnis yaitu pertanian sayuran (Departemen Pertanian, 2008). Salah satu komoditas sayuran unggulan di kawasan Agropolitan Cianjur adalah bawang daun. Jumlah produksi bawang daun di kawasan Agropolitan tahun 2008 sebesar 277.474 kuintal atau sebesar 23 persen dari total produksi sayuran unggulan di kawasan Agropolitan (Subdin Bina Program Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur, 2009). Produksi bawang daun yang cukup besar ini juga diikuti dengan semakin meningkatnya jumlah bawang daun yang dipasarkan keluar Kabupaten Cianjur. Pada tahun 2008 jumlah bawang daun yang dipasarkan keluar Kabupaten Cianjur meningkat 54 persen dari tahun 2007 (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa bawang daun memiliki potensi pasar yang cukup baik. Namun, kondisi ini dihadapkan pada fluktuasi harga bawang daun yang cukup besar. Tahun 2005 harga bawang daun sebesar Rp1.606,00 per kg, meningkat menjadi Rp2.289,00 pada tahun 2006. Kemudian meningkat secara tajam menjadi Rp6.487,00 per kg di tahun 2007, lalu turun cukup besar menjadi Rp4.606,00 per kg pada tahun 2008 (Tabel 5). Tabel 4. Banyaknya Bawang Daun yang Dipasarkan Keluar Kabupaten Cianjur Tahun Jumlah yang Dipasarkan (Ton) 2004 68.692 2007 61.883 2008 95.228 Sumber: Subdin Bina Usaha Kabupaten Cianjur (2009)
5
Adanya peningkatan jumlah bawang daun yang dipasarkan keluar Kabupaten Cianjur dengan harga yang sangat berfluktuatif menjadi suatu permasalahan yang dihadapi oleh petani bawang daun di kawasan Agropolitan, karena hal ini dapat menimbulkan kerugian bagi petani. Oleh karena itu, proses tataniaga bawang daun perlu ditunjang dengan sistem tataniaga yang efisien agar dapat memberikan keuntungan baik bagi petani sebagai produsen maupun konsumen yang akan mengonsumsi. Tabel 5. Harga Pasar Komoditas Bawang Daun di Kabupaten Cianjur Tahun Harga (Rp/kg) 2005 2006 2007 2008
1.606 2.289 6.487 4.606
Sumber: Subdin Bina Usaha Kabupaten Cianjur (2009)
Sub Terminal Agribisnis (STA) Cigombong yang terdapat di Kecamatan Pacet merupakan salah satu lembaga tataniaga yang terdapat di Kawasan Agropolitan Cianjur yang diharapkan dapat membantu petani dalam proses memasarkan produk pertanian yang dihasilkan. Konsep STA dimaksudkan agar sistem penanganan komoditas dapat dilakukan dalam satu tatanan agribisnis, sekaligus memberikan dampak bagi petani dan pelaku kegiatan lain dalam menciptakan kesejahteraan bersama dalam satu model tataniaga komoditas hasil pertanian yang menguntungkan seluruh pihak (Anugrah, 2004). Tetapi, pada kenyataannya petani di Kawasan Agropolitan Cianjur ini masih banyak yang belum memanfaatkan STA sebagai salah satu lembaga tataniaga dalam memasarkan bawang daun. Para petani justru banyak yang memasarkan bawang daun yang dihasilkannya kepada para pedagang pengumpul. Ketergantungan petani kepada pedagang pengumpul dalam menjual hasil panen bawang daun ini menyebabkan bargaining position petani menjadi rendah. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah sistem tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur? 2. Bagaimanakah efisiensi saluran tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya? 6
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi sistem tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur. 2. Menganalisis efisiensi saluran tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Pelaku pasar, sebagai masukan untuk dapat mengembangkan tataniaga bawang daun di wilayah Agropolitan Cianjur agar lebih efisien. 2. Penulis, untuk memberikan pengetahuan dan pengalaman serta dapat menerapkan ilmu yang telah diperoleh. 3. Pembaca, dapat dijadikan bahan informasi mengenai tataniaga dan sebagai masukan bagi penelitian berikutnya.
1.5 Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi kegiatan sistem tataniaga yang ditinjau melalui saluran tataniaga, lembaga tataniaga, fungsi tataniaga, serta struktur dan perilaku pasar tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur dan efisiensi saluran tataniaga yang dilihat dari efisiensi operasional dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya. Penelitian hanya difokuskan pada saluran tataniaga di kawasan Agropolitan Cianjur.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Umum Bawang Daun Bawang daun termasuk salah satu jenis sayuran. Bagian yang paling penting dari bawang daun yang dapat dikonsumsi adalah daun yang masih muda dan batang semu yang berwarna putih. Pada awalnya bawang daun tumbuh secara liar, namun seiring perkembangan peradaban manusia, bawang daun mulai dibudidayakan. Namun, belum diketahui secara pasti kapan bawang daun tersebut mulai dibudidayakan. Bawang daun diduga berasal dari benua Asia yang memiliki iklim panas (tropis), terutama kawasan Asia Tenggara (Cina dan Jepang). Di Indonesia, budidaya bawang daun pada mulanya hanya terpusat di pulau Jawa (Jawa Barat dan Jawa Timur), terutama di dataran tinggi (pegunungan) yang berhawa sejuk (dingin) seperti Cipanas, Pacet (Cianjur), Lembang (Bandung), dan Malang (Jawa Timur). Tanaman ini dapat beradaptasi luas terhadap berbagai kondisi lingkungan cuaca dan tumbuh baik pada berbagai macam jenis tanah yang subur, kecuali tanah berpasir atau tanah berat (Cahyono, 2005). Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan, bawang daun diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta (tanaman berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (biji berada di dalam buah) Kelas
: Monocotyledoneae (biji tidak berbelah)
Ordo
: Liliflorae
Famili
: Liliaceae
Genus
: Allium
Spesies
: Allium fistulosum L.
Bawang daun (Allium fistulosum L.) termasuk jenis tanaman sayuran daun semusim (berumur pendek). Tanaman ini berbentuk rumput atau rumpun dengan tinggi tanaman mencapai 60 cm atau lebih, bergantung pada varietasnya (Cahyono, 2005). Produktivitas tanaman bawang daun dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dimana bawang daun tersebut ditanam. Kondisi lingkungan (iklim dan tanah) yang cocok sangat menunjang produktivitas tanaman. Kondisi iklim yang harus
diperhatikan dalam pemilihan lokasi usahatani bawang daun adalah suhu udara, kelembapan udara, curah hujan, dan penyinaran cahaya matahari. Kondisi tanah dalam budidaya bawang daun adalah sifat fisik, sifat kimia, sifat biologis, dan letak geografis (ketinggian tempat). 1. Suhu Udara Bawang daun menghendaki suhu udara berkisar antara 190C - 240C. Daerah yang memiliki kisaran suhu udara tersebut adalah daerah yang memiliki ketinggian 400-1.200 m di atas permukaan laut (dpl). Suhu udara yang tinggi (lebih dari 240C) dapat menyebabkan bawang daun tidak dapat tumbuh dengan baik. Di daerah dengan suhu berkisar antara 190C- 240C, proses fotosintesis dapat berlangsung dengan baik dan terbentuk karbohidrat dalam jumlah yang besar. Dengan demikian, sumber energi untuk proses pernapasan (respirasi) cukup tersedia. Demikian juga, proses pertumbuhan tanaman (pembesaran, pembentukan sel-sel baru dan pembentukan anakan) dan produksi (kualitas daun) dapat berjalan dengan baik. 2. Kelembapan Udara Kelembapan udara yang optimal bagi pertumbuhan bawang daun berkisar antara 80–90 persen. Kelembapan udara yang tinggi (lebih dari 90 persen) menyebabkan pertumbuhan bawang daun tidak sempurna, jumlah anakan setiap rumpun sedikit dan tidak subur, kualitas daun jelek dan produksi biji rendah karena proses pembungaan dan pembentukan buah tidak berjalan sempurna. 3. Curah Hujan Bawang daun dapat ditanam sepanjang tahun (sepanjang musim). Bawang daun tergolong tanaman yang tahan terhadap hujan sehingga dapat ditanam pada musim hujan serta memberikan hasil yang cukup baik. Namun, curah hujan yang cocok bagi bawang daun adalah sekitar 1.000–1.500 mm/tahun. Daerah dengan curah hujan tersebut biasanya memiiki ketingian sekitar 1.000–1.500 m dpl. 4. Penyinaran Matahari Sinar matahari merupakan sumber energi yang diperlukan untuk melangsungkan proses fotosintesis. Energi kinetik matahari optimal yang diperlukan oleh tanaman untuk pertumbuhan dan produksi berkisar antara 350–400 kal/cm2 setiap hari. Intensitas matahari yang cukup akan meningkatkan 9
pertumbuhan vegetatif bawang daun, seperti pertumbuhan daun dan anakan, batang dan perakaran. Di samping itu, sinar matahari yang cukup akan meningkatkan pertumbuhan generatif tanaman, seperti pertumbuhan bunga, buah dan biji. 6. Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang cocok bagi tanaman bawang daun adalah tanah gembur, memiliki solum tanah cukup dalam dan mudah mengikat air. Kondisi fisik tanah yang baik akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan perakaran tanaman sehingga penyerapan zat hara (makanan) di dalam tanah dapat berjalan lebih baik. 7. Sifat Kimia Tanah Kondisi kimia tanah yang baik (cocok) untuk bawang daun adalah tanah yang memiiki derajat keasaman tanah (pH tanah) berkisar antara 6,5–7,5. Kondisi tanah yang terlalu asam (pH kurang dari 5,5) menyebabkan beberapa unsur hara, seperti magnesium (Mg), boron (B) dan molibdenum (Mo) menjadi tidak tersedia dan beberapa unsur hara, seperti besi (Fe), aluminium (Al) dan mangan (Mn) menjadi racun bagi tanaman. Dengan demikian, bawang daun yang ditanam pada kondisi tanah yang terlalu asam akan menderita klorosis. Gejala yang tampak adalah daun berbintik-bintik kuning, urat-urat daun berwarna perunggu (tanaman kurang magnesium), daun berukuran kecil dan bagian tepi daun berkerut karena tanaman kekurangan molibdenum. 8. Sifat Biologis Tanah Sifat biologis tanah yang baik adalah tanah yang banyak mengandung bahan organik (humus), unsur-unsur hara yang berguna untuk tanaman dan jasad renik (organisme tanah) yang menguraikan bahan organik tanah. Tanah yang memiliki sifat biologis yang baik akan menyuburkan pertumbuhan tanaman karena dapat menyimpan kelebihan zat hara, membantu proses nitrifikasi, menekan pertumbuhan patogen, serta meningkatkan dan melancarkan peredaran udara di dalam tanah. 9. Ketinggian Tempat Ketinggian tempat sangat berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan dan produksi bawang daun karena berhubungan erat dengan kondisi iklim. Daerah 10
dataran tinggi (pegunungan) dengan ketingian 700–1.200 m dpl. sangat cocok untuk penanaman bawang daun. Bawang daun masih toleran terhadap ketinggian tempat sampai 1.700 m dpl. dan dataran medium dengan ketinggian 250 m dpl. namun hasilnya tidak terlalu baik. Bawang daun paling tidak memiliki dua manfaat, yakni sebagai bahan sayuran dan bahan pengobatan (terapi). Sebagai bahan sayuran, bawang daun dapat dikonsumsi dalam bentuk segar bersama-sama dengan bahan-bahan makanan lainnya dan sebagai bumbu penyedap sekaligus pengharum masakan. Bawang daun sebagai bahan sayuran mengandung gizi yang cukup lengkap. Kandungan zat gizi bawang daun dapat dilihat pada Tabel 6. Selain dikonsumsi sebagai bahan sayuran, bawang daun juga baik untuk pengobatan (terapi) beberapa jenis penyakit. Bawang daun memiliki unsur-unsur aktif yang memiliki daya bunuh terhadap bakteri (sebagai antibiotik) dan dapat merangsang pertumbuhan sel tubuh. Bawang daun juga berguna untuk memudahkan pencernaan makanan, penyembuhan rematik, kurang darah, sukar buang air kecil dan bengkak-bengkak. Dengan demikian, kebutuhan masyarakat terhadap bawang daun cukup besar dan berkesinambungan. Bawang daun dipasarkan dalam bentuk sayuran segar. Pada umumnya bawang daun dipasarkan ke pasar induk, pasar lokal, pasar swalayan dan lembaga tataniaga seperti tengkulak. Pasar bawang daun cukup kuat, dibuktikan dengan harganya yang relatif murah dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Adanya perkembangan industri makanan saat ini yang membutuhkan bawang daun sebagai salah satu bahan dasarnya seperti pedagang martabak, pedagang soto dan restoran-restoran serta peningkatan jumlah ekspor yang cukup besar pada tahun 2008 mengindikasikan bahwa pasar bawang daun juga semakin meningkat (Cahyono, 2005).
11
Tabel 6. Kandungan Gizi Bawang Daun dalam Setiap 100 g Bahan yang Dapat Dimakan No. Jenis Zat Jumlah Kandungan Gizi 1. Kalori (kal.) 29,00 2. Protein (g) 1,80 3. Lemak (g) 0,40 4. Karbohidrat (g) 6,00 5. Serat (g) 0,90 6. Abu (g) 0,50 7. Kalsium (mg) 35,00 8. Fosfor (mg) 38,00 9. Besi (mg) 3,20 10. Vitamin A (SI) 910,00 11. Tiamin (mg) 0,08 12. Riboflavin (mg) 0,09 13. Niasin (mg) 0,60 14. Vitamin C (mg) 48,00 15. Air (g) 16. Nikotinamid (mg) 0,50 Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI (1981) dalam Cahyono (2005).
2.2 Konsep Agropolitan Agropolitan terdiri dari dua kata yaitu agro dan politan. Agro berarti pertanian dan politan berarti kota, dengan demikian agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian. Definisi agropolitan secara harfiah adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang serta mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya 2. Kawasan agropolitan terdiri dari kota pertanian dan desa-desa sentra produksi pertanian yang ada di sekitarnya, dengan batasan yang tidak ditentukan oleh batasan administrasi pemerintahan, tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan skala ekonomi yang ada. Dengan kata lain kawasan agropolitan adalah kawasan agribisnis yang memiliki fasilitas perkotaan. Konsep agropolitan mencoba untuk mengakomodasi dua hal utama, yaitu menetapkan sektor pertanian sebagai sumber pertumbuhan ekonomi utama dan diberlakukannya ketentuan-ketentuan mengenai otonomi daerah .
2
Departemen Pertanian. 2003. Gerakan Pengembangan Kawasan Agropolitan. www.deptan.go.id (Diakses 1 November 2010)
12
Menurut Anugrah (2003) secara garis besar konsep agropolitan mencakup beberapa dimensi yang meliputi3: 1.
Pengembangan kota-kota berukuran kecil sampai sedang dengan jumlah penduduk maksimum 600.000 jiwa dan luas maksimum 30.000 hektar (setara dengan kota kabupaten).
2.
Daerah
belakang
(perdesaan)
dikembangkan
berdasarkan
konsep
perwilayahan komoditas yang menghasilkan satu komoditas/bahan mentah utama dan beberapa komoditas penunjang sesuai dengan kebutuhan. 3.
Pada daerah pusat pertumbuhan (kota) dibangun agroindustri terkait, yaitu terdiri atas beberapa perusahaan sehingga terdapat kompetisi yang sehat.
4.
Wilayah perdesaan didorong untuk membentuk satuan-satuan usaha yang optimal dan selanjutnya diorganisasikan dalam wadah koperasi, perusahaan kecil dan menengah.
5.
Lokasi dan sistem transportasi agroindustri dan pusat pelayanan harus memungkinkan para petani untuk bekerja sebagai pekerja paruh waktu (partime workers). Agropolitan merupakan pemerataan spasial yang akan menyumbang pada
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pembangunan agropolitan merupakan pembangunan pusat-pusat pelayanan pada kota-kota kecil yang dilengkapi dengan infrastruktur fasilitas perkotaan antara lain: jaringan jalan, lembaga pasar, lembaga keuangan, perkantoran, lembaga penyuluhan, lembaga pendidikan, sarana dan prasarana umum lainnya, transportasi, telekomunikasi, listrik, air bersih, lembaga petani dan lembaga kesehatan. Kawasan Agropolitan merupakan program bertahap dan berorientasi jangka panjang, di mana organisasi dan tata kerja yang dikembangkan harus mampu mengakomodasi semua kepentingan dengan mempertimbangkan berbagai aspek baik masyarakat, kelembagaan petani, dunia usaha, kelembagaan sistem agribisnis dan luasan kawasan. Kawasan Agropolitan perlu didukung dengan lembaga keuangan, pasar, kelembagaan petani, akses informasi, sarana transportasi dan jalur distribusi yang singkat4.
3
Anugrah, I.S. 2003. Kunci-kunci keberhasilan pengembangan agropolitan. www.deptan.go.id (Diakses 1 November 2010) 4 Departemen Pertanian. op.cit. Hlm 12
13
Tujuan dari program agropolitan ini diantaranya adalah: (1) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat khususnya daerah di daerah perdesaan, (2) mendorong berkembangnya sistem usaha agribisnis, (3) meningkatkan keterkaitan desa dan kota, (4) mempercepat pertumbuhan kegiatan ekonomi perdesaan, (5) mempercepat industrialisasi perdesaan, (6) mengurangi arus migrasi dari desa ke kota, (7) menciptakan lapangan pekerjaan, dan (8) meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurut Rivai (2003) suatu kawasan Agropolitan yang sudah berkembang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1.
Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis).
2.
Kegiatan di kawasan tersebut sebagian besar didominasi oleh kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk di dalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan.
3.
Hubungan antar kota dan daerah-daerah hinterland di kawasan agropolitan bersifat timbal balik yang harmonis dan saling membutuhkan, dimana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (on-farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off-farm), sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan dan tataniaga hasil produksi pertanian.
4.
Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan suasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan perkotaan. Berkembangnya sistem dan usaha agribisnis di kawasan agropolitan tidak
hanya membangun usaha budidaya (on-farm) saja tetapi termasuk off-farmnya, yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya. Dengan demikian
dapat
mengurangi
kesenjangan
pendapatan
antar
masyarakat,
mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga kerja produktif, serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Rivai, 2003). 14
Agropolitan mensyaratkan keterpaduan mulai dari pengembangan pertanian hingga keterkaitan dengan usaha-usaha pendukung lainnya. Operasionalisasi atas konsep agropolitan sangat bergantung pada kemauan dan ketekunan pihak-pihak di tingkat kabupaten dan provinsi sedangkan pemerintah pusat berada pada posisi regulator dan fasilitator.
2.3. Kajian Mengenai Tataniaga Kajian terdahulu mengenai tataniaga bertujuan untuk membandingkan antara penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan dengan topik yang sama. Fungsi dari kajian terdahulu ini untuk meyakinkan bahwa tidak terjadi pengulangan yang berarti dan adanya arah pengembangan. Hasian (2008) melakukan penelitian mengenai usahatani dan tataniaga kacang kapri di Kecamatan Warungkondang, Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pendapatan usahatani kacang kapri monokultur dengan tumpangsari serta mengidentifikasi pola efisiensi saluran tataniaga kacang kapri dari produsen sampai ke konsumen. Petani responden yang menjadi narasumber dalam penelitian ini berjumlah 30 orang. Hasil penelitian dari pola efisiensi saluran tataniaga kacang kapri di Kecamatan Warungkondang adalah terdapat dua pola saluran tataniaga. Pola I adalah dari petani ke koperasi sebesar 60 persen dan pola II ke pedagang pengumpul sebanyak 40 persen. Besarnya total margin pada pola I Rp9.200,00 dan pola II Rp4.500,00. Dari kedua saluran tataniaga tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda. Kacang kapri yang masuk ke pasar tradisional mempunyai kualitas yang lebih rendah namun jumlahnya banyak. Sedangkan untuk kacang kapri yang lebih bagus dipasarkan ke supermarket namun jumlah yang lebih sedikit. Berdasarkan marjin tataniaga, pola II memiliki marjin tataniaga yang kecil dengan farmer’s share yang lebih besar. Dengan demikian berdasarkan marjin tataniaga dan farmer’s share pola saluran tataniaga yang efisien adalah pola II. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mulyahati (2005) mengenai saluran tataniaga wortel di kawasan Agropolitan, para petani melakukan kegiatan tataniaga secara perseorangan, tidak terkoordinasi dengan keberadaan Program 15
Pengembangan Agropolitan. Halte Agribisnis dan Sub Terminal Agribisnis (STA) yang ada di kawasan Agropolitan yang berfungsi untuk mempermudah tataniaga dan meningkatkan efisiensi tataniaga belum dapat berfungsi dan dimanfaatkan secara optimal. Implikasi dari hal tersebut adalah para petani melibatkan beberapa lembaga tataniaga dalam menyalurkan hasil penennya, antara lain pedagang pengumpul yang berada di tingkat desa, supplier dan pedagang pengecer (Supermarket, Pasar TU. Kemang Bogor dan Pasar Bekasi). Sebagian besar petani lebih memilih menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul karena lebih mudah dan murah. Pada umumnya petani memiliki padagang pengumpul langganan, namun hal ini tidak membatasi petani untuk menjual hasil penennya kepada pedagang pengumpul manapun. Keterikatan penjualan hanya terjadi pada petani yang menerima bantuan modal baik berupa sarana produksi atau uang tunai dari pedagang pengumpul. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani wortel dan pedagang pengumpul di kawasan Agropolitan adalah pasar bersaing. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul (penjual) dan supplier (pembeli) adalah pasar oligopsoni. Supplier dan pedagang pengecer (supermarket) menghadapi struktur pasar oligopoli. Sedangkan pedagang pengecer di Pasar TU. Kemang Bogor dan Pasar Bekasi menghadapi struktur pasar bersaing. Perilaku pasar diketahui dengan mengamati praktek pembelian dan penjualan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, sistem pembayaran dan kerjasama diantara lembaga tataniaga. Petani menjual hasil panennya secara borongan kepada pedagang pengumpul atau langsung ke pedagang pengecer di Pasar Bekasi. Penetapan harga berdasarkan harga pasar yang berlaku. Pedagang pengumpul menjual kepada supplier atau kepada pedagang pengecer, penentuan harga dilakukan berdasarkan mekanisme pasar. Sistem pembayaran dilakukan secara tunai atau dibayarkan ketika produk habis terjual dari pedagang pengecer ke pedagang pengumpul serta dua minggu sekali dari pedagang pengecer (supermarket) ke supplier. Sistem kerjasama antar lembaga tataniaga adalah sistem kepercayaan, namun kejasama yang terjalin antara supermarket dengan supplier terikat oleh hukum dan sistem kontrak.
16
Terdapat tiga saluran tataniaga wortel di kawasan Agropolitan yang dominan dilakukan oleh petani wortel yaitu saluran I petani – pedagang pengumpul – supplier – pedagang pengecer (supermarket) – konsumen. Saluran II petani – pedagang pengumpul – pedagang pengecer (pasar induk Kemang Bogor) – konsumen. Saluran III petani – pedagang pengecer (pasar Bekasi) – konsumen. Berdasarkan marjin tataniaga saluran tataniaga yang paling efisien adalah saluran II, karena memiliki marjin tataniaga terkecil yaitu sebesar Rp825,00 per kg. Farmer’s share tertinggi juga terjadi pada saluran II yaitu sebesar 45 %. Hal ini berarti saluran tersebut memberikan bagian terbesar yang diperoleh petani. Rasio keuntungan biaya tertinggi pada tataniaga wortel terdapat pada saluran III, yaitu sebesar 2,31 yang berarti bahwa setiap 100 rupiah per kg biaya tataniaga yang dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan sebesar 231 rupiah per kg. Anniro (2009) melakukan penelitian mengenai sistem tataniaga beras pandan wangi di Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis saluran tataniaga beras pandan wangi pasca melemahnya peran Gapoktan Citra Sawargi, serta menghitung margin tataniaga, farmer’s share, biaya tataniaga, keuntungan dan struktur pasar sistem tataniaga beras pandan wangi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 16 saluran tataniaga beras pandan wangi, yang terdiri dari 15 (saluran 1-15) saluran beras pandan wangi campuran dan satu saluran beras pandan wangi murni (saluran 16). Saluran yang paling efisien diantara saluran 1-15 adalah saluran 11 karena memiliki nilai margin tataniaga yang paling kecil (Rp2.035,26), biaya tataniaga paling kecil (Rp377,08) dan nilai farmer’s share paling besar (75,77 persen). Saluran 16 sebagai satusatunya saluran yang memasarkan beras pandan wangi murni memiliki nilai marjin tataniaga Rp10.562 rupiah, biaya tataniaga Rp2.780 dan nilai farmer’s share 37,87 persen. Seluruh lembaga tataniaga beras pandan wangi menghadapi struktur pasar mendekati pasar bersaing, sedangkan pabrik beras sebagai pembeli, menghadapi struktur pasar yang mendekati monopsoni. Panjaitan (2009) melakukan penelitian mengenai tataniaga ikan bendeng (Chanos chanos, de Forskal) kasus di Desa Muara Baru, Kecamatan Cimalaya Wetan, Kabupaten Karawang Jawa Barat. Tujuan dari penelitian tersebut adalah 17
menganalisis saluran tataniaga ikan bandeng yang terjadi di daerah penelitian dengan pendekatan fungsi-fungsi tataniaga, lembaga-lembaga tataniaga, saluran tataniaga serta analisis efisiensi tataniaga, struktur pasar, analisis farmer’s share, analisis marjin tataniaga dan analisis keuntungan dan biaya. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat tiga saluran tataniaga yang berlaku di daerah penelitian. Struktur pasar pada ketiga saluran tataniaga tersebut mengarah ke pasar bersaing. Saluran tataniaga yang paling efisien yaitu saluran tataniaga 3 karena memiliki nilai farmer’s share tertinggi yaitu 100 persen dan rasio keuntungan dan biaya yang paling tinggi juga yaitu sebesar 3,3. Penelitian yang akan dilakukan ini memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya pada jenis komoditas yaitu bawang daun. Persamaan dari peneliitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pendekatan yang dilakukan dalam menganalisis sistem tataniaga yaitu dengan pendekatan saluran, lembaga, fungsi, serta struktur dan perilaku pasar tataniaga serta efisiensi saluran tataniaga dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya.
18
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006) tataniaga dapat didefinisikan sebagai tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan bergeraknya barangbarang dan jasa dari produsen sampai ke konsumen. Tataniaga produk agribisnis atau tataniaga produk pertanian (marketing of agricultural), pengertiannya lebih luas dari pengertian pasar. Tataniaga dapat dianalisis dari aspek (ilmu) ekonomi dan manajemen. Dari aspek ekonomi, tataniaga merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem (fungsi-fungsi tataniaga) yang merupakan aktivitas bisnis atau kegiatan produktif dalam mengalirnya produk atau jasa pertanian dari petani produsen hingga konsumen akhir. Dari aspek manajemen, tataniaga adalah suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya individu atau kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain (Asmarantaka, 2008). Menurut Limbong dan Sitorus (1987), tataniaga adalah segala kegiatan dan usaha atau aktivitas yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke konsumen. Dalam proses distribusi dapat terjadi kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari produk untuk lebih memudahkan penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumennya. Ditinjau dari segi ekonomi, kegiatan tataniaga merupakan kegiatan produktif karena memberikan kegunaan benda, waktu, tempat dan hak milik.
3.1.2. Saluran Tataniaga Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling bergantung satu sama lain yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran tataniaga melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Limbong dan Sitorus (1987) mengemukakan bahwa saluran tataniaga dapat dicirikan
dengan memperhatikan banyaknya tingkat saluran. Panjang pendeknya saluran tataniaga akan ditentukan oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa mulai dari produsen sendiri, lembaga-lembaga perantara sampai ke konsumen akhir. Pola umum saluran tataniaga produk-produk pertanian di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Petani atau Produsen
Tengkulak
Pedagang Besar Perantara
Koperasi/KUD
Pengecer
Pabrik/Eksportir
Konsumen Akhir Domestik
Gambar 1. Pola Umum Saluran Tataniaga Produk-produk Pertanian di Indonesia Sumber: Limbong dan Sitorus (1987)
Pihak produsen menggunakan perantara ketika mereka kekurangan sumberdaya finansial untuk melakukan tataniaga langsung atau bila mereka dapat memperoleh penghasilan lebih banyak dengan menggunakan perantara. Fungsi paling penting yang dilakukan perantara adalah informasi, promosi, negosiasi, pemesanan, pembiayaan, pengambilan risiko, pemilikan fisik dan pembayaran.
3.1.3. Fungsi dan Lembaga Tataniaga Fungsi tataniaga adalah berbagai kegiatan atau tindakan-tindakan yang dapat memperlancar proses penyampaian barang atau jasa dari tingkat produsen ke tingkat konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Fungsi-fungsi tataniaga tersebut dapat dikelompokkan atas tiga fungsi, yaitu: 1.
Fungsi pertukaran, yaitu kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik dari barang dan jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran ini meliputi dua fungsi, yaitu fungsi pembelian dan fungsi penjualan.
2.
Fungsi fisik, yaitu semua tindakan yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan bentuk 20
dan kegunaan waktu. Fungsi fisik ini meliputi kegiatan penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan. 3.
Fungsi fasilitas, yaitu semua tindakan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas ini terdiri dari empat fungsi, yaitu : a. Fungsi standardisasi dan grading. Standardisasi merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu suatu barang dengan menggunakan berbagai ukuran seperti warna, susunan kimia, ukuran bentuk, kekuatan atau ketahanan, kadar air, tingkat kematangan, rasa dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan grading adalah mengelompokkan hasil pertanian sesuai dengan standardisasi yang diinginkan sehingga kelompok barang yang terkumpul sudah sesuai dengan satu ukuran standar tertentu. Dengan adanya standardisasi dan grading ini akan memudahkan konsumen maupun produsen memberikan nilai terhadap barang yang bersangkutan. b. Fungsi penanggungan risiko. Dalam proses tataniaga yaitu penyaluran barang dari produsen hingga konsumen terdapat banyak risiko yang dihadapi oleh produsen maupun lembaga-lembaga tataniaga. Risiko yang mungkin dihadapi oleh produsen maupun lembaga tataniaga antara lain kerusakan, kehilangan, kebakaran, penurunan harga dan lain-lain yang timbul selama proses penyaluran barang sejak dari tingkat produsen hingga konsumen. Penanggungan risiko ini dapat ditanggung oleh produsen maupun lembaga tataniaga itu sendiri ataupun dialihkan kepada lembaga lain yaitu lembaga asuransi. c. Fungsi pembiayaan. Fungsi pembiayaan adalah penyediaan biaya untuk keperluan selama proses tataniaga dan juga kegiatan pengelolaan biaya tersebut. Dalam tataniaga modern seperti saat ini kebutuhan akan modal yang sangat besar telah berkembang pesat. Untuk keperluan ini dibutuhkan kemampuan untuk mengelola maupun mencari sumber permodalan. d. Fungsi informasi pasar. Fungsi informasi pasar meliputi kegiatan pengumpulan informasi pasar serta menafsirkan data informasi pasar tersebut. Data pasar yang dikumpulkan tidak saja tentang perkembangan harga di setiap tingkatan pasar tetapi juga menyangkut banyak informasi 21
pasar seperti jenis dan kualitas barang yang diinginkan konsumen, sumber suplai, waktu dan jumlah barang yang diinginkan konsumen dan lain-lain. Agar arus barang mengalir dengan lancar dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen, adanya informasi pasar yang cukup dan dapat ditafsirkan dengan benar sangat dibutuhkan dalam tataniaga suatu komoditas. Dalam tataniaga suatu barang atau jasa, terdapat keterlibatan berbagai pihak, baik dalam bentuk perorangan maupun dalam bentuk kelembagaan seperti pihak produsen, pihak konsumen dan lembaga perantara atau disebut sebagai lembaga tataniaga. Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006), lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga sehingga barang-barang dapat bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen. Dengan kata lain, lembaga tataniaga adalah semua pihak baik perorangan maupun kelompok yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga. Lembagalembaga ini melakukan pengangkutan barang dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen, juga berfungsi sebagai sumber informasi mengenai suatu barang dan jasa. Pengolahan hasil-hasil pertanian selain dilakukan oleh produsen, juga dilakukan lembaga-lembaga tataniaga, baik itu pengolahan tingkat pertama, maupun pengolahan tingkat lebih lanjut. Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat di dalam proses penyaluran barang mulai dari titik produksi sampai titik konsumen dapat dikelompokkan atas empat cara pengelompokkan (Limbong dan Sitorus, 1987), yaitu: 1.
Berdasarkan fungsi yang dilakukan, lembaga tataniaga dapat dikelompokkan atas: Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pedagang pengecer, grosir dan lembaga perantara lainnya. Lembaga yang melakukan kegiatan fisik tataniaga, seperti lembaga pengolahan, lembaga pengangkutan dan pergudangan. Lembaga yang menyediakan fasilitas tataniaga, seperti Bank Unit Desa, KUD, kredit desa dan lembaga yang menyediakan informasi pasar.
22
2.
Berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang, lembaga tataniaga dapat dikelompokkan atas: Lembaga tataniaga yang menguasai dan memiliki barang yang dipasarkan, seperti pengecer, grosir, pedagang pengumpul, tengkulak dan lain-lain. Lembaga tataniaga yang menguasai tapi tidak memiliki barang yang dipasarkan, seperti agen, broker, lembaga pelelangan dan lain-lain. Lembaga tataniaga yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang dipasarkan, seperti lembaga pengangkutan, pengolahan dan perkreditan.
3.
Berdasarkan kedudukan dalam struktur pasar, dapat digolongkan atas: Lembaga tataniaga yang bersaing sempurna, seperti pedagang pengecer rokok, pengecer beras dan lain-lain. Lembaga tataniaga monopolistik, seperti pedagang asinan, pedagang benih, pedagang bibit dan lain-lain. Lembaga tataniaga oligopolis, seperti perusahaan semen, importir cengkeh dan lain-lain. Lembaga tataniaga monopolis, seperti perusahaan kereta api, perusahaan pos dan giro dan lain-lain.
4.
Berdasarkan bentuk usahanya, dapat digolongkan atas: Lembaga tataniaga berbadan hukum, seperti perseroan terbatas, firma, koperasi dan lain-lain. Lembaga tataniaga yang tidak berbadan hukum, seperti perusahaan perseorangan, pedagang pengecer, tengkulak dan lain-lain.
3.1.4. Struktur Pasar Menurut Limbong dan Sitorus (1987), struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran (pangsa pasar yang terkonsentrasi atau menyebar), deskripsi produk dan syarat-syarat keluar masuk pasar. Kohls dan Uhl (2002) mengemukakan empat jenis struktur pasar dengan berbagai karakteristiknya, seperti terlihat pada Tabel 7.
23
Tabel 7. Karakteristik Struktur Pasar Persaingan Persaingan Karakteristik Murni Monopolistik Jumlah Perusahaan/ Sangat banyak Banyak Penjual Diferensiasi/ Sifat Homogen bervariasi Produk Kemudahan Mudah, tidak Relatif mudah Memasuki ada hambatan Pasar Sedikit Pengaruh Tidak berpengaruh, Perusahaan berpengaruh dibatasi oleh Terhadap substitusi Harga
Oligopoli Sedikit Serupa hingga diferensiasi Sulit dengan beberapa hambatan Berpengaruh, dibatasi oleh pesaing
Monopoli Satu Unik Tertutup
Berpengaruh
Sumber : Kohls dan Uhl, 2002
Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar menggambarkan fisik dari industri atau pasar. Terdapat empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar, yaitu (1) jumlah atau ukuran perusahaan atau usahatani di dalam pasar, (2) kondisi atau keadaan produk yang diperjualbelikan, (3) pengetahuan informasi pasar, dan (4) hambatan keluar masuk pasar bagi pelaku tataniaga, misalnya biaya, harga, dan kondisi pasar antara partisipan.
3.1.5 Perilaku Pasar Perilaku pasar adalah pola tingkah laku peserta pasar, yaitu produsen, konsumen dan lembaga tataniaga dalam memberikan respon terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi. Menurut Sudiyono (2002), dalam menganalisis tingkah laku pasar ini, terdapat tiga pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Produsen menghendaki harga yang tinggi, pasar output secara lokal menghendaki pilihan beberapa pembeli, tersedia waktu dan informasi pasar yang cukup dan adanya kekuatan tawar menawar yang lebih kuat. Lembaga tataniaga menghendaki keuntungan yang maksimal, yaitu selisih marjin tataniaga dengan biaya untuk melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga relatif besar. Sedangkan konsumen menghendaki tersedianya produk pertanian sesuai kebutuhan konsumen dengan harga yang wajar. Kriteria yang digunakan untuk menilai tingkah laku pasar meliputi: (1) apakah tingkah laku pasar tidak wajar, eksklusif, saling mematikan ataukah 24
peserta pasar menetapkan taktik paksaan, (2) apakah tidak terjadi promosi penjualan yang menyesatkan, (3) persekongkolan penetapan harga apakah dapat dinyatakan secara terang-terangan atau sembunyi, (4) apakah ada perlindungan terhadap praktek tataniaga yang tidak efisien, (5) apakah praktek penetapan harga yang sama untuk kualitas produk yang lebih baik merugikan produsen.
3.1.6. Efisiensi Tataniaga Tataniaga yang efisien adalah pasar bersaing. Namun, struktur pasar ini realitanya tidak dapat ditemukan (Asmarantaka, 2009). Ukuran efisiensi adalah kepuasan yang dirasakan oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga komoditas tertentu. Ukuran untuk menentukan tingkat kepuasan tersebut adalah sulit dan sangat relatif (Kohls dan Uhl, 2002). Oleh karena itu, efisiensi tataniaga umumnya dapat diukur dengan dua kategori yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional meliputi efisiensi dalam pengolahan, pengemasan, pengangkutan dan fungsi lain dari sistem tataniaga. Dengan adanya efisiensi operasional ini maka biaya tataniaga dapat menjadi lebih rendah dengan kondisi produk yang tetap atau lebih baik. Menurut Sudiyono (2002) suatu tataniaga dikatakan efisien apabila: 1.
Output tetap konstan dicapai dengan input yang lebih sedikit.
2.
Output meningkat sedangkan input yang digunakan tetap konstan.
3.
Output dan input sama-sama mengalami kenaikan, tetapi laju kenaikan output lebih cepat daripada laju input.
4.
Output dan input sama-sama mengalami penurunan, tetapi laju penurunan output lebih lambat daripada laju penurunan input.
Pendekatan efisiensi harga adalah melalui analisis tingkat keterpaduan pasar, sedangkan pendekatan efisiensi operasional melalui analisis marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya. 3.1.6.1 Marjin Tataniaga Kegiatan
tataniaga
mencakup
segala
kegiatan
dan
usaha
yang
berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke 25
tangan konsumen. Umumnya suatu komoditas pertanian diproduksi pada daerah sentra yang letaknya jauh dari konsumen akhir. Komoditas tersebut dapat menempuh jarak antar kota, antar provinsi, antar negara bahkan antar benua. Dengan demikian digunakan konsep marjin tataniaga dalam menganalisis harga yang terjadi antar lembaga tataniaga yang terlibat. Menurut Tomek dan Robinson (1990) dalam Asmarantaka (2009) marjin tataniaga dapat didefinisikan dalam dua alternatif, yaitu: 1.
Sebagai perbedaan harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima produsen.
2.
Merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa tataniaga sebagai akibat adanya aktivitas-aktivitas bisnis yang terjadi dalam sistem tataniaga tersebut.
Definisi yang pertama menjelaskan secara sederhana bahwa marjin tataniaga adalah perbedaan harga di tingkat konsumen (Pr) dengan harga yang diterima petani (Pf) dengan demikian marjin tataniaga adalah M = Pr - Pf. Sedangkan pengertian yang kedua lebih bersifat ekonomi dan definisi ini lebih tepat, karena memberikan pengertian adanya nilai tambah (added value) dari adanya kegiatan tataniaga dan juga mengandung pengertian dari konsep “derived supply” dan “derived demand”. Pengertian dari derived demand adalah permintaan turunan dari “primary demand” yang dalam hal ini adalah permintaan dari konsumen akhir, sedangkan derived demandnya adalah permintaan dari pedagang perantara (grosir atau eceran) ataupun dari perusahaan pengolah kepada petani. Derived supply dalam hal ini adalah penawaran di tingkat pedagang eceran yang merupakan penawaran turunan dari penawaran di tingkat petani (primary supply). Dari kedua konsep marjin tersebut, dapat dikatakan bahwa marjin tataniaga terdiri dari biaya-biaya dan keuntungan perusahaan yang terlibat dalam sistem tataniaga tersebut (Asmarantaka, 2009). Adanya perbedaan kegiatan dari setiap lembaga tataniaga akan menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan lembaga yang lain sampai ke tingkat konsumen akhir. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat dalam penyaluran suatu komoditas dari titik produsen sampai titik konsumen akhir, maka semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut di 26
tingkat produsen dibandingkan dengan harga yang akan dibayar oleh konsumen akhir. Agar lebih jelas, gambaran mengenai marjin tataniaga (biaya + keuntungan tataniaga) dan nilai marjin tataniaga dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat besarnya nilai marjin tataniaga yang merupakan hasil perkalian dari perbedaan harga pada dua tingkat lembaga tataniaga (dalam hal ini selisih harga eceran dengan harga petani) dengan jumlah produk yang dipasarkan. Besar nilai marjin tataniaga ini dapat dituliskan sebagai value marketing margin (VMM) = (Pr-Pf) x Qr,f. Besaran (Pr-Pf) menunjukkan besarnya nilai marjin tataniaga suatu komoditas per unit. Marjin tataniaga berbeda-beda antara satu komoditas dengan komoditas lainnya. Hal ini disebabkan adanya perlakuan yang berbeda antar komoditas-komoditas tersebut. P Marjin Sr = Derived Supply Sf = Primary Supply Pr Pf
Dr = Primary Demand Df = Derived Demand Q
0
Qr, f
Gambar 2. Marjin Tataniaga Sumber: Dahl dan Hammond (1977)
Keterangan gambar : Pr
= Harga tingkat pengecer
Pf
= Harga tingkat petani
Sr
= Penawaran tingkat pengecer
Sf
= Penawaran tingkat petani
Dr
= Permintaan tingkat pengecer
Df
= Permintaan tingkat petani
Qr, f
= Jumlah keseimbangan di tingkat petani dan pengecer 27
3.1.6.2 Farmer’s Share Selain marjin tataniaga, kriteria lain yang dapat menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditas adalah farmer’s share, dengan catatan bahwa komoditas tersebut tidak mengalami perubahan bentuk hingga sampai di tangan konsumen akhir. Kohls dan Uhls (2002) mendefinisikan farmer’s share sebagai persentase harga yang diterima oleh petani sebagai imbalan dari kegiatan usahatani yang dilakukannya dalam menghasilkan suatu komoditas. Farmer’s share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga. Semakin tinggi marjin tataniaga, maka bagian yang diterima oleh petani semakin rendah. Farmer’s share dapat dipengaruhi oleh tingkat pengolahan, keawetan produk, ukuran produk, jumlah produk, dan biaya transportasi (Kohls dan Uhls, 2002). Nilai farmer’s share ditentukan berdasarkan rasio harga yang diterima oleh petani (Pf) dengan harga yang diterima oleh konsumen akhir (Pr) dan dinyatakan dalam persentase.
3.1.6.3 Rasio Keuntungan dan Biaya Kriteria lain dalam menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditas selain marjin tataniaga dan farmer’s share adalah rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga (Asmarantaka, 2009). Hal ini dikarenakan pembanding opportunity cost dari biaya adalah keuntungan. Sistem tataniaga secara teknis dikatakan efisien apabila rasio keuntungan terhadap biaya semakin besar dan nilainya harus positif ( 0).
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Komoditas sayuran merupakan salah satu komoditas yang penting karena dapat memenuhi kebutuhan gizi manusia dalam hal pemenuhan vitamin dan mineral. Salah satu sayuran yang potensial untuk dikembangkan adalah bawang daun. Bawang daun merupakan jenis sayuran dari kelompok bawang yang banyak digunakan sebagai penyedap dalam masakan serta mengandung unsur-unsur aktif yang memiliki daya bunuh bakteri (sebagai antibiotik) serta dapat merangsang pertumbuhan sel tubuh. Kandungan
yang
dimiliki
bawang
daun
ini
menyebabkan bawang daun dapat dijadikan salah satu bentuk pengobatan alternatif. Bawang daun juga merupakan salah satu sayuran bawang dengan 28
potensi ekspor yang cukup baik dilihat dari jumlah peningkatan ekspor bawang daun yang cukup besar pada tahun 2008. Sentra produksi bawang daun di Kabupaten Cianjur terdapat di daerah Agropolitan yaitu Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya yang berada di Kecamatan Pacet dan Cipanas. Jumlah produksi bawang daun di kawasan Agropolitan tahun 2008 sebesar 277.474 kuintal atau sebesar 23 persen dari total produksi sayuran unggulan di kawasan Agropolitan. Produksi bawang daun yang cukup besar ini diikuti dengan semakin meningkatnya jumlah bawang daun yang dipasarkan keluar Kabupaten Cianjur. Pada tahun 2008 jumlah bawang daun yang dipasarkan keluar Kabupaten Cianjur meningkat 54 persen dari tahun 2007. Namun, peningkatan jumlah bawang daun yang dipasarkan keluar kabupaten Cianjur ini dihadapkan pada masalah berfluktuasinya harga yang berlaku. Hal ini menjadi permasalahan bagi petani bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur karena dapat menimbulkan kerugian bagi petani. Disamping itu, petani di kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur sangat bergantung pada pedagang pengumpul dalam hal penjualan bawang daun sehingga bargaining position petani menjadi rendah. Adanya sub terminal agribisnis (STA) di kawasan Agropolitan Cianjur pada kenyataannya belum dimanfaatkan dengan baik oleh para petani dalam memasarkan hasil panen bawang daunnya. Dengan kenyataan seperti itu, maka dibutuhkan suatu analisis mengenai sistem tataniaga yang dapat memberikan alternatif bagi petani agar dapat memilih saluran tataniaga yang paling efisien sehingga dapat meminimalisir kerugian yang mungkin diterima oleh petani. Analisis efisiensi tataniaga ini dilakukan dengan analisis deskriptif mengenai saluran tataniaga, lembaga tataniaga yang terlibat, fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga, dan struktur serta perilaku pasar. Selanjutnya analisis untuk mengetahui efisiensi tataniaga juga dilakukan dengan analisis kuantitatif yaitu dengan menggunakan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya. Dari hasil analisis deskriptif dan kuantitatif tersebut maka dapat diketahui alternatif saluran tataniaga yang paling efisien. Alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 3.
29
-
-
-
Potensi Bawang Daun Bawang daun memiliki kandungan gizi yang cukup baik bagi kesehatan. Bawang daun memiliki khasiat yang dapat dijadikan salah satu pengobatan alternatif. Potensi pasar bawang daun cukup besar. Nilai ekspor bawang daun semakin meningkat.
Permasalahan - Harga bawang daun sangat berfluktuatif. - Posisi tawar petani bawang daun rendah karena adanya ketergantungan penjualan pada pedagang pengumpul. - Adanya STA belum dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan posisi tawar petani.
Sistem Tataniaga Bawang Daun
Analisis Kualitatif Analisis saluran tataniaga Analisis lembaga dan fungsi tataniaga Analisis struktur dan perilaku pasar
Analisis Kuantitatif Analisis marjin tataniaga Analisis farmer’s share Analisis rasio keuntungan dan biaya
Alternatif Saluran Tataniaga Bawang Daun yang paling efisien
Gambar 3. Alur Kerangka Pemikiran Operasional
30
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Agropolitan Cianjur pada dua desa inti yaitu Desa Sukatani Kecamatan Pacet dan Desa Sindangjaya Kecamatan Cipanas Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive) karena merupakan daerah sentra produksi bawang daun di Kabupaten Cianjur. Selain itu, pertimbangan lainnya adalah karena pada dua desa tersebut terdapat banyak pedagang pengumpul yang menyebabkan sistem tataniaganya cukup bervariasi. Penelitian juga dilakukan di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang, Pasar Cikokol Tangerang, Pasar Baru Bekasi Barat dan Pasar Depok Jaya. Pengambilan data dilakukan mulai bulan Mei hingga Juni 2010.
4.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan sekunder. Instrumen yang digunakan untuk mendapatkan data primer yaitu berupa catatan hasil wawancara dan kuesioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansiinstansi terkait yaitu Dinas Pertanian dan Sub Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur, Direktorat Jenderal Hortikultura, BPS (Badan Pusat Statistik), internet dan buku-buku literatur.
4.3 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode pengamatan langsung dan wawancara kepada petani bawang daun dan lembaga tataniaga yang terkait yaitu pedagang di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta, Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang, Pasar Cikokol Tangerang, Pasar Baru Bekasi Barat dan Pasar Depok Jaya. Penentuan sampel petani bawang daun dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling dan penentuan lembaga tataniaga menggunakan teknik snowball sampling yaitu dengan menelusuri saluran tataniaga bawang daun berdasarkan informasi dari lembaga tataniaga sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi saluran tataniaga yang terputus. Penelusuran awal dilakukan kepada petani bawang daun untuk dapat mengetahui kondisi petani, usahatani, dan tataniaga bawang daun. Penelusuran
selanjutnya kepada pedagang bawang daun berdasarkan informasi yang didapat dari petani. Pedagang yang menjadi responden pertama merupakan pedagang pengumpul yang membeli langsung bawang daun kepada petani. Selanjutnya pedagang yang menjadi responden ditentukan berdasarkan alur tataniaga bawang daun hingga ke pedagang pengecer yang berhubungan langsung dengan konsumen akhir. Petani responden dalam penelitian ini berjumlah 30 petani di dua desa inti Agropolitan yaitu Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya. Lembaga tataniaga yang menjadi responden dalam penelitian ini berjumlah 20 orang yang terdiri dari tujuh orang pedagang pengumpul, dua orang pedagang grosir, 10 orang pedagang pengecer dan satu orang supplier.
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan secara deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui secara mendalam mengenai pola saluran tataniaga, lembaga tataniaga yang terlibat, fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh masingmasing lembaga tataniaga serta struktur dan perilaku pasar yang terjadi. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya.
4.4.1 Analisis Saluran Tataniaga Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling bergantung satu sama lain yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu barang atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi oleh konsumen. Sebuah saluran tataniaga melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Panjang pendeknya saluran tataniaga akan ditentukan oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa mulai dari produsen sendiri, lembagalembaga perantara sampai ke konsumen akhir. Pada umumnya semakin panjang saluran tataniaga yang terbentuk maka saluran tataniaga tersebut semakin tidak efisien karena semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat dan menyebabkan marjin tataniaga yang terbentuk semakin besar.
32
4.4.2 Analisis Lembaga dan Fungsi-Fungsi Tataniaga Lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga sehingga barang-barang dapat bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen. Dengan kata lain, lembaga tataniaga adalah semua pihak baik perorangan maupun kelompok yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga. Lembaga-lembaga ini melakukan pengangkutan barang dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen, juga berfungsi sebagai sumber informasi mengenai suatu barang dan jasa. Fungsi tataniaga adalah berbagai kegiatan atau tindakantindakan yang dapat memperlancar proses penyampaian barang atau jasa dari tingkat produsen ke tingkat konsumen. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui fungsi-fungsi tataniaga apa saja yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga baik berupa fungsi pertukaran, fungsi fisik, maupun fungsi fasilitas.
4.4.3 Analisis Struktur Pasar Analisis ini dilakukan untuk mengetahui struktur pasar yang dihadapi oleh masing-masing lembaga tataniaga bawang daun yang terlibat. Penentuan struktur pasar ini dengan mengetahui jumlah pembeli dan penjual, sifat produk yang diperjualbelikan, kemudahan memasuki pasar, dan kemudahan akses informasi pasar yang tersedia.
4.4.4 Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar adalah pola tingkah laku peserta pasar, yaitu produsen, konsumen dan lembaga tataniaga dalam memberikan respon terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana praktek transaksi penjualan dan pembelian yang dijalankan oleh petani dengan pedagang pengumpul hingga pedagang pengecer dengan konsumen. Analisis ini juga dilakukan untuk mengetahui bagaimana hubungan kerjasama yang terjalin antara petani, pedagang hingga konsumen akhir.
33
4.4.5 Analisis Efisiensi Tataniaga 4.4.5.1 Analisis Marjin Tataniaga Dalam kegiatan tataniaga diperlukan suatu pengorbanan untuk dapat menyampaikan dan memberikan nilai tambah suatu produk dari produsen hingga konsumen akhir. Pengorbanan tersebut dapat berupa fisik (tenaga) maupun berupa materi untuk memindahkan produk tersebut atau kegiatan dalam fungsi-fungsi tataniaga. Kegiatan ini dilaksanakan oleh orang-orang atau lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses penyaluran barang tersebut. Total pengorbanan atau pengeluaran ini dinamakan biaya tataniaga. Dengan kata lain biaya tataniaga adalah semua jenis biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses penyampaian barang atau komoditas dari produsen hingga konsumen akhir. Pada dasarnya setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam penyaluran suatu komoditas menginginkan adanya keuntungan dari pengorbanan yang telah dilakukan. Dengan demikian, keuntungan tataniaga merupakan manfaat yang dikehendaki oleh lembaga tataniaga setelah melakukan fungsi-fungsi tataniaga dalam proses penyaluran barang dari tingkat produsen hingga konsumen akhir. Secara matematis marjin tataniaga dapat dituliskan sebagai berikut: Mi = Ci + πi dimana: Mi = Marjin tataniaga pada lembaga ke-i Ci
= Biaya tataniaga pada lembaga ke-i
πi
= Keuntungan tataniaga pada lembaga ke-i
Besarnya total marjin tataniaga atau marjin total (MT) pada suatu saluran tataniaga tertentu dapat dinyatakan sebagai jumlah dari marjin pada masingmasing lembaga tataniaga yang terlibat. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: MT = ∑ Mi. 4.4.5.2 Analisis Farmer’s Share Selain marjin tataniaga, kriteria lain yang dapat menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditas adalah farmer’s share. Farmer’s share merupakan bagian harga yang diterima petani terhadap harga yang dibayarkan oleh konsumen
34
akhir dan dinyatakan dalam persentase. Secara matematis farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut: Fsi = Pfi/Pri x 100 % dimana: Fsi = Persentase bagian harga yang diterima petani waktu ke-i Pfi = Harga di tingkat petani waktu ke-i Psi = Harga di tingkat konsumen waktu ke-i
4.4.5.3 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Analisis ini digunakan untuk mengetahui penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: Rasio Keuntungan dan Biaya = πi/Ci dimana: πi = Keuntungan lembaga tataniaga waktu ke-i Ci = Biaya tataniaga waktu ke-i
4.5 Definisi Operasional 1.
Pedagang pengumpul adalah pedagang yang melakukan pembelian bawang daun dari petani dan yang menyalurkannya kepada pedagang grosir, kepada pedagang pengecer atau langsung dijual kepada konsumen akhir.
2.
Pedagang grosir adalah pedagang yang melakukan pembelian bawang daun dari pedagang pengumpul dan menyalurkannya kepada pedagang pengecer atau langsung kepada konsumen akhir.
3.
Pedagang pengecer adalah pedagang yang melakukan pembelian bawang daun dari pedagang grosir atau pedagang pengumpul dan menyalurkannya kepada konsumen akhir.
4.
Supplier adalah pedagang pengumpul yang menyalurkan bawang daun dari pedagang pengumpul desa ke pedagang pengecer (supermarket).
5.
Marjin tataniaga adalah perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani yang dinyatakan dalam Rp/Kg atau persentase.
35
6.
Farmer’s share adalah bagian harga yang diterima petani terhadap harga yang dibayarkan konsumen akhir dimana besarnya dinyatakan dalam persentase.
7.
Rasio keuntungan dan biaya adalah keuntungan terhadap biaya tataniaga pada masing-masing lembaga tataniaga dengan melihat penyebaran marjin tataniaga.
8.
Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan dalam mendistribusikan produk dari sentra produksi sampai ke konsumen akhir yang dinyatakan dalam Rp/Kg.
9.
Keuntungan tataniaga adalah selisih antara harga jual dengan harga beli dan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam memasarkan produk.
36
V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1 Kawasan Agropolitan Cianjur Agropolitan (agro = pertanian; politan = kota) adalah suatu konsep kota pertanian yang diharapkan mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis, sehingga dapat melayani, mendorong, menarik, dan menghela kegiatan pembangunan pertanian di wilayah sekitarnya. Kabupaten Cianjur telah ditunjuk oleh Departemen Pertanian sebagai salah satu daerah pengembangan perdesaan dengan pendekatan Agropolitan dan merupakan daerah rintisan atau daerah contoh pengembangan program Agropolitan bagi daerah lain. Program Agropolitan ini sudah berjalan sejak tahun 2002 dengan tujuan untuk meningkatkan percepatan pembangunan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota serta mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis berdasarkan pertimbangan utama fungsi wilayah perencanaan sebagai kawasan konversi tanah dan air (Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, 2004). Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur menetapkan dua desa yang terbagi dalam dua kecamatan sebagai desa inti dari program Agropolitan yaitu, Desa Sindangjaya Kecamatan Cipanas dan Desa Sukatani Kecamatan Pacet. Kedua Desa tersebut dipilih karena sesuai dengan persyaratan dikembangkannya suatu wilayah sebagai kawasan Agropolitan dan termasuk ke dalam desa dengan tingkat produksi sayuran yang tinggi. Selain itu, penetapan kedua desa tersebut sebagai daerah pengembangan kawasan Agropolitan juga didasarkan pada beberapa kebijakan baik nasional maupun regional seperti tercantum dalam Master Plan Agropolitan Cianjur tahun 2004, diantaranya adalah : 1.
Peraturan pemerintah Nomor 47 Tahun 1997, Tentang RTRW Nasional dimana Kawasan Puncak ditetapkan sebagai kawasan andalan dengan sektor andalan pertanian tanaman pangan.
2.
Keputusan Presiden Nomor 114 Tahun 1999, tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor – Puncak – Cianjur.
3.
Berdasarkan RTRW Kabupaten Cianjur, Kota Cipanas termasuk dalam jenjang IB yaitu kota-kota yang berfungsi sebagai pusat-pusat produksi, koleksi
dan
distribusi
dengan
lingkup
pelayanan
regional.
4.
Keputusan Bupati Cianjur No. 521.3 Kep. 175-Pc2002, tentang Penentuan Desa Inti Pusat Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan, menetapkan Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya sebagai desa inti pusat rintisan.
5.
Surat
Bupati
Cianjur
Nomor
900/0313/Bappeda
perihal
kesediaan
menyediakan Cost Sharing Proyek P2SDPP dalam mendukung kegiatan pengembangan
Kawasan
Agropolitan
di
Desa Sukatani
dan
Desa
Sindangjaya. 6.
Keputusan Bupati Nomor 521.3/Kep.148-Pe/2002 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Kawasan Agropolitan.
7.
Keputusan
POKJA
Program
Pengembangan
Agropolitan
Nomor
800.05/2281/Distan tentang Pembentukan Korlap dan Pemandu Program Pengembangan Kawasan Agropolitan POKJA Cianjur.
5.1.1 Desa Inti Pusat Pertumbuhan Kawasan Agropolitan Penelitian dilakukan pada dua Desa Inti Pusat Pertumbuhan Kawasan Agropolitan yaitu Desa Sindangjaya Kecamatan Cipanas dan Desa Sukatani Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur. Kedua Desa tersebut berada di wilayah Cianjur Utara dengan topografi wilayah sebagian besar berbukit atau bergununggunung. Desa Sindangjaya dan Desa Sukatani dipilih sebagai Daerah Inti Pusat Rintisan Agropolitan karena memiliki keunggulan di sektor pertanian khususnya hortikultura. Jenis tanaman hortikultura yang menjadi komoditas utama di kedua desa tersebut adalah wortel dan bawang daun. Pola tanam yang digunakan di kedua desa tersebut umumnya tumpangsari, hal ini dilakukan untuk mengurangi risiko kerugian yang dapat dialami oleh para petani. Desa Sindangjaya sebagai salah satu desa percontohan memiliki luas wilayah 512 hektar yang terbagi atas lima kedusunan yaitu Kemang, Jolok, Sindangjaya, Ciherang, dan Gunung Batu. Di sebelah utara desa ini berbatasan dengan Desa Cimacan, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukatani, sebelah timur dengan Desa Sindanglaya, dan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi (Taman Nasional Gede Pangrango). Sementara itu, Desa Sukatani yang memiliki luas wilayah 376 hektar terdiri dari empat kedusunan yaitu Pasir Kampung, Barukupa, Kayumanis serta Gunung Putri. Desa Sukatani berbatasan
38
dengan Desa Sindangjaya di sebelah utara, sebelah timur berbatasan dengan Cipendawa, sebelah selatan dengan Desa Cipanas, dan di bagian barat berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Gede Pangrango (Kabupaten Sukabumi). Kedua desa tersebut dilalui jalan raya utama yang menghubungkan Ibukota Propinsi Jawa Barat (Bandung) dengan Ibukota Negara Indonesia (Jakarta). Hal ini mengakibatkan kedua desa berada pada daerah strategis dalam menghasilkan produk pertanian dan dapat memasarkannya ke Kota Jakarta dan Kota Bandung. Namun, harus didukung pula dengan proses tataniaga yang tepat dan efisien, sehingga kebutuhan pasar di kedua kota yaitu Bandung dan Jakarta dapat terpenuhi dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai dengan permintaan pasar. Jarak Desa Sindangjaya dari pusat pemerintahan kecamatan adalah dua kilometer, sedangkan jarak Desa Sukatani dari pusat pemerintahan kecamatan adalah enam kilometer. Jarak dengan Ibukota Kabupaten adalah 18 kilometer untuk Desa Sindangjaya dan 17 kilometer untuk Desa Sukatani. Lokasi kedua desa ini berjarak sekitar 100 km dari Ibukota Propinsi Jawa Barat (Bandung) dan 90 km dari Ibukota Negara Indonesia (DKI Jakarta). Jarak kedua desa yang cukup jauh dari Kota Bandung dan Jakarta sebagai daerah konsumsi menyebabkan petani maupun pedagang harus dapat menentukan cara memasarkan komoditas sayuran yang dihasilkan khususnya bawang daun sebagai komoditas utama agar dapat diterima oleh konsumen dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang baik serta harga yang wajar. Desa Sindangjaya serta Sukatani merupakan desa di daerah dataran tinggi yang terletak pada ketinggian 1.100-1.350 m dpl. Kisaran suhu pada Desa Sindangjaya antara 210C-240C dan Desa Sukatani memiliki kisaran suhu 200C240C. Banyaknya curah hujan yang diterima adalah 3.000 mm/tahun dengan jumlah hari hujan pertahun rata-rata 186 hari. Jenis tanah di Desa Sindangjaya adalah andosol dan regosol, dengan kemiringan tanah antara 00-300 dan pH tanah 5,5–7,5. Berdasarkan letak dan kondisi geografis di atas, wilayah seperti ini sangat cocok untuk budidaya sayuran, diantaranya wortel dan bawang daun. Jumlah penduduk di Desa Sindangjaya adalah 12.877 jiwa dengan jumlah penduduk pria 5.906 jiwa dan jumlah penduduk wanita sebanyak 6.971 jiwa yang
39
terdapat dalam 5.840 kepala keluarga. Sedangkan Desa Sukatani memiliki jumlah penduduk 11.164 jiwa dengan komposisi jumlah penduduk wanita sebanyak 5.398 jiwa dan penduduk laki-laki sebanyak 5.766 jiwa yang terdapat dalam 3.129 kepala keluarga. Sebagian besar mata pencaharian penduduk di kedua desa adalah sebagai petani dan buruh tani. Selain sebagai petani, mata pencaharian penduduk di kedua desa ini adalah sebagai karyawan, wiraswasta, pertukangan, buruh tani, dan pensiunan. Pembagian jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 8. Adapun pembagian penduduk Desa Sukatani menurut usia dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 8. Jumlah Penduduk Desa Sindangjaya dan Desa Sukatani menurut Mata Pencaharian Tahun 2009 Jumlah (Orang) No. Jenis Mata Pencaharian Desa Sindangjaya Desa Sukatani 1. Karyawan 149 870 2. Wiraswasta 1.297 65 3. Tani 1.943 692 4. Pertukangan 48 5. Buruh tani 598 1.401 6. Pensiunan 52 5 Sumber: Desa Sindangjaya (2009), Desa Sukatani (2009)
Tabel 9. Jumlah Penduduk Desa Sukatani menurut Usia Tahun 2009 Golongan Umur (Tahun) Jumlah (Orang) 0–4 721 5–9 1.125 10 – 14 1.234 15 – 19 1.137 20 – 24 798 25 – 29 1.063 30 – 34 1.034 35 – 39 927 40 – 44 829 45 – 49 736 50 – 54 559 55 – 59 486 60 – 64 310 65 – 69 114 70 – 74 33 ≥ 75 58 Jumlah 11.164 Sumber: Desa Sukatani (2009)
40
Berdasarkan data pada Tabel 10 sebagian besar penduduk di Desa Sindangjaya hanya menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat SD yaitu sebanyak 5.022 orang. Sebanyak 3.879 orang tidak tamat SD, tamatan SMP sebanyak 1.041 orang dan tamatan SMA sebanyak 915 orang. Adapun penduduk Desa Sindangjaya yang menamatkan pendidikannya hingga perguruan tinggi sebanyak 100 orang. Penduduk Desa Sukatani juga sebagian besar hanya menamatkan pendidikannya hingga tingkat SD yaitu sebanyak 4.257 orang, ada pula yang tidak tamat SD yaitu sebanyak 2.187 orang. Tamatan SMP sebanyak 1.053 orang, tamatan SMA sebanyak 418 orang dan lulusan perguruan tinggi sebanyak 297 orang. Penduduk Desa Sindangjaya dan Desa Sukatani sebagian besar merupakan petani dan tingkat pendidikan penduduk di kedua desa sebagian besar hanya sampai tingkat SD. Hal ini berarti bahwa tingkat pendidikan petani di kedua desa masih rendah yaitu hanya sampai tingkat SD. Tingkat pendidikan ini dapat memperlihatkan seberapa besar kemampuan masyarakat desa khususnya petani dapat menerima informasi yang datang dari luar dan mengimplementasikannya dalam proses budidaya maupun tataniaga hasil pertaniannya. Tabel 10. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Sindangjaya dan Sukatani Tahun 2009 Jumlah (Orang) Tingkat Pendidikan Desa Sindangjaya Desa Sukatani Tidak Tamat SD 3.879 2.187 SD 5.022 4.257 SMP 1.041 1.053 SMA 915 418 Perguruan Tinggi 100 297 Jumlah 10.957 8.212 Sumber: Desa Sindangjaya (2009), Desa Sukatani (2009)
Kegiatan pertanian khususnya usahatani di kedua desa didukung oleh kondisi tanah yang gembur. Hal ini menyebabkan tanaman dapat tumbuh dengan subur. Pengairan dilakukan dengan mengalirkan air dari mata air ke selokan di sekitar kebun melalui pipa yang disambung dan diatur dari kolam-kolam penampungan. Namun, belum semua lahan dapat dilalui oleh pipa-pipa ini, sehingga petani masih ada yang mengandalkan air dari hujan, demikian pula pada musim kemarau ketika pasokan air berkurang. 41
Tanaman sayuran yang sebagian besar diusahakan pada dua desa ini adalah wortel dan bawang daun. Selain kedua komoditas tersebut, petani juga membudidayakan berbagai jenis sayur lainnya terutama sayuran dataran tinggi. Kegiatan usahatani dilakukan dengan dua sistem yaitu tumpangsari dan monokultur. Namun, sebagian besar petani melakukan kegiatan usahatani dengan sistem tumpangsari. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir risiko kerugian sehingga dapat meningkatkan pendapatan.
Gambar 4. Sistem Penanaman Tumpangsari di Kawasan Agropolitan Cianjur Rata-rata petani yang melakukan sistem tumpangsari menanam empat komoditas dalam satu kali tanam. Penentuan jenis tanaman biasanya didasarkan pada kemampuan musim dan perkiraan harga jual. Tanaman yang biasa dimanfaatkan untuk tumpangsari diantaranya lobak, caisim, kailan, bit, radish, horinso, dan tangoh. Dalam setahun sebagian besar petani di kedua desa melakukan penanaman sebanyak tiga kali, sehingga dapat dikatakan bahwa di kedua desa terdapat tiga kali musim tanam dalam satu tahun. Rata-rata jumlah panen bawang daun per 1000 m2 dengan jumlah bibit sebanyak 700 kg adalah 1400 kg.
5.1.2 Sarana dan Prasarana Pendukung Pertanian di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur merupakan salah satu dari delapan kabupaten yang ikut dalam program rintisan kawasan pengembangan Agropolitan. Selama pelaksanaan program dari tahun 2002 di Desa Sindangjaya dan Sukatani telah dibangun berbagai sarana dan prasarana penunjang kegiatan pertanian serta berbagai kegiatan
yang
membantu
dalam
pengembangan
kawasan
Agropolitan.
Pembangunan sarana yang telah dilakukan yaitu pembuatan jalan baik jalan raya
42
yang menghubungkan desa-kota maupun jalan setapak di kebun yang dapat membantu petani untuk memasarkan hasil panennya. Selain itu, dibangun pula tempat pertemuan dan kantor pengelola Agropolitan. Bangunan ini juga berfungsi sebagai pos pelayanan agen hayati (pos hati) yang menyediakan beraneka ragam kebutuhan pertanian organik, seperti pupuk dan pestisida organik. Disamping itu, didirikan pula halte Agropolitan, sarana pengolahan hasil Agropolitan (packing house) dan gudang tempat pencucian sayur sebagai sarana yang didirikan dengan tujuan untuk memudahkan petani dalam hal tataniaga produk pertanian yang dihasilkan. Disediakan pula wisma tamu untuk memberikan kenyamanan bagi para pendatang yang melakukan kegiatan di kawasan Agropolitan baik berupa penelitian ataupun studi banding mengenai pertanian. Untuk mendukung kegiatan usahatani diusahakan pula sarana pengairan berupa bak penampungan dan pipa air. Terdapat
beberapa
kelembagaan
petani
di
kawasan
Agropolitan
diantaranya sembilan kelompok tani binaan Agropolitan yang tersebar di kedua desa, yaitu empat kelompok di Desa Sukatani dan lima kelompok di Desa Sindangjaya, kelompok hortikultur, kelompok P4S (Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya) dan kelompok pelayanan agen hayati. Kelompok tersebut berperan sebagai wadah untuk memberikan informasi dan pengetahuan pada para petani segala hal mengenai pertanian, mulai dari usahatani hingga pengolahan dan tataniaga. Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan, yaitu kegiatan pembinaan pada kelompok wanita petani untuk mengembangkan home industry sebagai upaya mengembangkan agribisnis hulu yaitu pengolahan dan tataniaga hasil pertanian, pelatihan (bokashi, pestisida nabati, manajemen usahatani) sebagai upaya meningkatkan kemampuan petani dalam hal budidaya, khususnya untuk budidaya tanaman unggulan seperti bawang daun dan wortel, magang dan studi banding. Selain pembinaan, pada masing-masing kelompok juga telah dilengkapi dengan sarana untuk administrasi. Untuk menunjang kegiatan tataniaga telah didirikan Sub Terminal Agribisnis (STA) Cigombong. Pembentukan STA Cigombong difungsikan sebagai pusat informasi pasar dan pusat transaksi. Adanya STA diharapkan mampu memberikan kepastian dalam tataniaga sayur serta kepastian harga jual yang layak bagi komoditas sayur. Namun, sebagian
43
besar petani di Desa Sindangjaya dan Sukatani enggan memanfaatkan STA karena letaknya yang jauh, harga jual yang relatif sama, serta pembayaran yang tidak tunai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan STA sebagai salah satu sarana tataniaga di kawasan Agropolitan belum dapat memberikan manfaat bagi petani. Kelembagaan petani yang saat ini telah ada di kawasan Agropolitan belum memberikan manfaat yang optimal terhadap kegiatan usahatani di kawasan Agropolitan. Hingga saat ini masih banyak petani yang enggan untuk ikut dalam kelompok tani karena dirasakan tidak ada manfaat yang berarti dengan mengikuti kelompok tani tersebut. Sehingga banyak petani yang berjalan sendiri-sendiri dalam melaksanakan kegiatan usahataninya. Dalam hal tataniaga produk sayuran, halte agribisnis dan STA yang telah dibangun belum dapat memberikan manfaat dan peranan yang optimal untuk memasarkan produk pertanian dari para petani di kawasan Agropolitan. Sehingga banyak petani yang lebih memilih menjual hasil pertaniannya kepada pedagang pengumpul. Kurang optimalnya peranan kelembagaan petani yang ada di kawasan Agropolitan ini dikarenakan belum terintegrasinya kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga petani tersebut serta belum jelasnya program yang akan dilaksanakan oleh Agropolitan. Manfaat yang paling dirasakan petani dan warga sekitar selama adanya program pengembangan Agropolitan adalah adanya pembangunan sarana jalan. Jalan setapak di kebun serta jalan yang menghubungkan antar desa-kota telah memudahkan dalam penyaluran dan pengangkutan sayuran dan mengurangi biaya transportasi bagi para petani dan pedagang pengumpul. Namun demikian, pembangunan jalan ini dirasakan belum merata di kedua desa, sehingga manfaatnya dirasa kurang maksimal. Disamping jalan, sarana air yang disediakan ternyata juga belum mampu menjangkau keseluruhan kawasan. Sehingga sebagian besar petani yang tidak terjangkau sarana pengairan masih bergantung pada air hujan.
5.2 Karakteristik Petani Responden Jumlah petani responden dalam penelitian ini adalah 30 orang. Petani yang menjadi responden merupakan petani yang menanam bawang daun. Umur petani
44
responden berada pada kisaran 30 sampai 65 tahun. Rata-rata umur petani responden adalah 44,8 tahun. Dari 30 petani yang menjadi responden sebesar 23,33 persen petani berada pada kisaran umur 40-44 tahun yaitu sebanyak tujuh orang (Tabel 11). Umur petani termuda adalah 30 tahun dan tertua adalah 65 tahun. Umur petani ini dapat mengindikasikan kemampuan petani dalam menyerap informasi yang datang dari luar. Hal ini dapat mempengaruhi keputusan dalam memproduksi dan penjualan produk hasil pertanian yang dimiliki. Semakin tua umur seorang petani, maka semakin sulit dalam menerima informasi dari luar yang mungkin dapat memberikan manfaat bagi kegiatan usahatani yang dilakukan sehingga dapat menghasilkan keuntungan yang lebih baik. Tabel 11. Distribusi Umur Petani Responden Golongan Umur (Tahun) Jumlah (Orang) 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 – 69 Jumlah
Persentase (%) 3 6 7 6 3 4 1 30
10 20 23,33 20 10 13,33 3,33 100
Tingkat pendidikan dari petani responden relatif rendah sesuai dengan kondisi demografi masyarakat di Desa Sindangjaya dan Desa Sukatani, karena sebagian besar petani hanya menamatkan pendidikannya pada tingkat sekolah dasar (SD) yaitu sebanyak 13 orang (43,33 persen) (Tabel 12). Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh petani dapat mempengaruhi kemampuan petani dalam mengakses informasi pasar yang terjadi serta kemampuan dalam berkomunikasi. Petani yang sebagian besar hanya menyelesaikan pendidikannya hingga SD seringkali kurang dapat berkomunikasi dengan baik pada pendatang yang mungkin
akan
memberikan
masukan
untuk
kemajuan
usahatani
yang
dijalankannya. Hal ini menjadi kesulitan tersendiri bagi para pendatang contohnya seorang peneliti, untuk dapat mendapatkan data yang akurat mengenai kondisi pertanian di kawasan Agropolitan Cianjur ini.
45
Tabel 12. Tingkat Pendidikan Petani Responden Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Tidak Sekolah Tidak Tamat SD SD SMP SMA Jumlah
1 7 13 5 4 30
Persentase (%) 3,33 23,33 43,33 16,67 13,33 100
Semenjak diadakannya program pengembangan Agropolitan di Desa Sindangjaya dan Desa Sukatani, semakin banyak kegiatan pelatihan pertanian yang diselenggarakan. Hal ini menyebabkan sebagian besar petani responden pernah mengikuti pelatihan mengenai pertanian, baik di kawasan Agropolitan itu sendiri maupun studi banding ke daerah lain contohnya Bandung. Sebanyak 23 orang petani responden atau 76,67 persen pernah mengikuti kegiatan pelatihan, sedangkan yang tidak pernah mengikuti pelatihan sebanyak tujuh orang atau 23,33 persen (Tabel 13). Petani yang belum pernah mengikuti pelatihan ini dikarenakan keengganan mereka untuk meninggalkan kegiatan usahataninya untuk mengikuti pelatihan karena menganggap melakukan kegiatan usahatani lebih penting dibandingkan dengan mengikuti pelatihan. Kegiatan pelatihan
yang dilakukan diantaranya adalah pelatihan
pembuatan pupuk kompos yang diadakan oleh pengelola Agropolitan, temu usaha pedagang pengumpul yang bermitra dengan petani yang diadakan oleh Ditjen Hortikultura di kawasan Agropolitan, pelatihan pengendalian mutu dan keamanan komoditas hasil pertanian, pelatihan budidaya sayuran yang diadakan oleh pengelola Agropolitan bekerjasama dengan USAID (United States Agency for International Development) dan pelatihan demplot brokoli yang diadakan dinas pertanian melalui pengelola Agropolitan. Namun, saat ini sudah sangat jarang sekali diadakan pelatihan pertanian di Kawasan Agropolitan Cianjur. Hal ini dikarenakan kurang adanya program yang dilakukan oleh pengelola Agropolitan. Kondisi ini juga terkait dengan semakin berkurangnya perhatian pemerintah, khususnya Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur terhadap kemajuan Agropolitan Cianjur.
46
Tabel 13. Distribusi Petani Responden Berdasarkan Keikutsertaan Pelatihan Keterangan Jumlah (Orang) Persentase (%) Pernah Mengikuti Pelatihan 23 76,67 Tidak Pernah Mengikuti Pelatihan 7 23,33 Jumlah 30 100 Sebagian besar luas lahan yang diusahakan oleh petani responden tergolong sempit yaitu kurang dari satu hektar. Rata-rata luas lahan petani responden adalah 3.637 m2, dimana luas lahan terkecil adalah 500 m2 dan luas lahan terbesar adalah dua hektar. Sebanyak 50 persen petani responden memiliki luas lahan antara 1001-4000 m2 (Tabel 14). Struktur luas lahan yang dimiliki oleh petani dapat memberikan gambaran mengenai usahatani yang dilakukan, yaitu sebagian besar petani di kawasan Agropolitan melakukan usahatani bawang daun dalam skala kecil karena luas lahan yang diusahakan kurang dari satu hektar. Tabel 14. Struktur Luas Lahan Petani Responden Luas Lahan (m2) Jumlah (Orang) ≤ 1000 9 1001 – 4000 15 4001 – 7000 1 7001 – 10000 3 ≥ 10001 2 Jumlah 30
Persentase (%) 30 50 3,33 10 6,67 100
Petani responden dalam penelitian ini hampir seluruhnya memiliki lahan pribadi yang diusahakan untuk usahatani bawang daun, yaitu sebesar 93,33 persen atau sebanyak 28 petani, sedangkan masing-masing satu orang mengusahakan usahatani bawang daun pada lahan sewa dan lahan garapan (Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa petani di kawasan Agropolitan sebagian besar tidak perlu mengeluarkan biaya sewa tanah untuk melakukan kegiatan usahataninya. Keadaan ini dapat memberikan keuntungan kepada petani karena biaya yang dikeluarkan dalam memproduksi bawang daun dapat berkurang.
47
Tabel 15. Status Kepemilikan Lahan Petani Responden Status lahan Jumlah (Orang) Milik sendiri 28 Sewa 1 Garapan 1 Jumlah 30 Sebagian besar petani
Presentase (%)
responden merupakan petani
93,33 3,33 3,33 100 yang telah
berpengalaman cukup lama dalam usahatani bawang daun, yaitu rata-rata selama 22 tahun (Tabel 16). Pengalaman usaha yang relatif lama ini menyebabkan petani di kawasan Agropolitan menjadi ahli untuk melakukan usahatani dan mengetahui berbagai macam masalah yang timbul dalam usahatani bawang daun dan cara untuk mengatasi masalah tersebut, contohnya dalam hal penanganan hama. Tabel 16. Distribusi Petani Responden Menurut Lamanya Pengalaman Bertani Lama Pengalaman (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) ≤ 10 8 26,67 11 – 20 7 23,33 21 – 30 8 26,67 31 – 40 7 23,33 Jumlah 30 100 Kegiatan usahatani bawang daun yang dilakukan oleh para petani responden ini seluruhnya menggunakan modal sendiri. Berdasarkan hasil survei, para petani di kawasan Agropolitan ini cenderung bersifat mandiri, sangat jarang sekali petani meminjam modal untuk menjalankan kegiatan usahataninya. Hal ini dikarenakan para petani umumnya memiliki pendirian untuk tidak mudah meminjam selama masih dapat memberdayakan apa yang mereka miliki. Para petani lebih merasa nyaman berusahatani dengan menggunakan modal sendiri daripada pinjaman.
5.3 Karakteristik Responden Lembaga-Lembaga Tataniaga Lembaga tataniaga yang menjadi responden dalam penelitian ini berjumlah 20 orang. Umumnya responden lembaga tataniaga bawang daun ini mengikuti pendidikan formal mulai sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi. Pedagang pengumpul sebagian besar menyelesaikan pendidikannya hanya sampai
48
tingkat SD yaitu sebanyak tiga orang (57,14 persen). Pedagang grosir yang menjadi responden hanya menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat SD. Pedagang eceran sebanyak 50 persen mengikuti pendidikan formal hingga tingkat SMP. Distribusi tingkat pendidikan responden lembaga tataniaga ini dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Distribusi Tingkat Pendidikan Responden Lembaga Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur Jumlah Pendidikan Ped. Ped. Ped. Pengumpul % Grosir % Eceran % Supplier % SD 4 57,14 2 100 3 30 0 0 SMP 1 14,29 0 0 5 50 0 0 SMA 2 28,57 0 0 2 20 0 0 Perguruan Tinggi 0 0 0 0 0 0 1 100 Jumlah 7 100 2 100 10 100 1 100 Pendidikan responden lembaga tataniaga yang semakin tinggi maka memungkinkan mereka untuk dapat mengakses informasi pasar lebih mudah. Selain itu, kemampuan berpikir mereka yang lebih maju dapat mempermudah komunikasi dalam proses penjualan dan pembelian serta dapat lebih mengerti dalam proses penentuan harga yang bisa memberikan keuntungan yang besar bagi mereka. Supplier yang menjadi responden dalam penelitian ini menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi sehingga ia dapat mengetahui dengan baik informasi pasar yang terjadi, dapat melihat peluang tataniaga yang ada, mudah dalam berkomunikasi karena seorang supplier melakukan kegiatan pembelian dan penjualan dalam jumlah yang besar serta dapat berpengaruh dalam penentuan harga. 5.4 Gambaran Umum Usahatani Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur Sebagian besar petani di kedua desa melakukan kegiatan usahatani bawang daun dalam skala kecil, hal ini dikarenakan rata-rata luas lahan yang dimiliki oleh para petani hanya sebesar 3.637 m2. Sebagian besar petani di kedua desa melakukan penanaman dengan sistem tumpangsari karena dapat meminimalisir
49
kerugian. Umumnya tanaman pendamping yang ditumpangsarikan dengan bawang daun adalah tanaman dengan umur tanam yang lebih pendek dari bawang daun seperti pakcoi yang dalam dua bulan sudah dapat dipanen. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan dana tambahan sebagai modal untuk penanaman musim berikutnya. Para petani di kedua desa mengusahakan bawang daun ini pada petakan lahan yang telah dibentuk bedengan-bedengan dengan lebar ± 1 meter. Pada setiap petakan lahan yang dimiliki, para petani ini tidak menanam tanaman yang sama setiap musimnya, melainkan secara bertahap. Oleh karena itu, jarang sekali terjadi panen raya pada kedua desa ini, karena setiap hari pasti ada petani yang melakukan pemanenan. Pola penanaman seperti ini juga dilakukan untuk menjaga kesuburan lahan agar tidak jenuh dengan hanya ditanami tanaman yang sama setiap musimnya. Usahatani bawang daun terdiri dari enam kegiatan, yaitu penyiapan lahan, penanaman, pemupukan, penyemprotan, penyiangan dan pemanenan. Faktor produksi yang digunakan dalam usahatani bawang daun ini diantaranya adalah bibit, pupuk kandang dan pupuk kimia, obat-obatan, lahan dan tenaga kerja. Peralatan yang umum digunakan diantaranya adalah cangkul, linggis, alat semprot (sprayer) dan sabit. a. Penyiapan Lahan Pengolahan lahan dilakukan dengan menggunakan cangkul dan linggis. pengolahan lahan ini dimulai dengan pembersihan gulma dan sisa-sisa tanaman lain dengan menggunakan sabit. Setelah lahan bersih dari rumput (gulma) dan sisa-sisa tanaman, selanjutnya lahan dicangkul sampai diperoleh struktur tanah yang gembur dan halus. Setelah itu, dilakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang ayam. Umumnya penggunaan pupuk kandang ayam ini untuk 1000 m2 sebanyak 540 kg dengan biaya per kg Rp400,00. Setelah pemupukan, tanah digemburkan kembali dengan cara dicangkul tipis-tipis sedalam 30 cm sekaligus dibuat bedengan-bedengan dengan lebar ± 100 cm dan parit-parit dengan lebar ± 20 cm. Linggis digunakan untuk menyingkirkan bebatuan yang ada pada lahan yang akan digarap. Setelah itu, lahan siap untuk ditanami bibit bawang daun. Sebagian besar petani umumnya menggunakan bibit yang berasal dari hasil panen sebelumnya. Namun, ada juga yang membeli dari petani lain jika
50
hasil panen yang dimiliki kurang baik untuk dijadikan bibit. Rata-rata penggunaan bibit untuk lahan seluas 1000 m2 adalah sebanyak 728 kg dengan biaya rata-rata Rp2.500,00 per kg. b. Penanaman Penanaman bawang daun ini tidak menggunakan teknik khusus, hanya ditanam pada lahan bedengan yang telah dilubangi. Dalam satu bedengan biasanya ditanami lima sampai enam baris bawang daun.
Gambar 5. Penyiapan Lahan dan Penanaman c. Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan tanaman ini terdiri dari kegiatan pemupukan, penyemprotan dan penyiangan. Pemupukan ini merupakan pemupukan kedua setelah pemupukan pertama menggunakan pupuk dasar (pupuk kandang ayam). Pemupukan kedua ini menggunakan pupuk kimia yaitu urea, KCl, TSP, ZA dan NPK. Para petani pada umumnya melakukan pemupukan sebanyak 2-3 kali dalam satu kali masa tanam (4 bulan), yaitu pada saat tanaman berumur 21 hari setelah tanam (hst) dan pada saat tanaman berumur 42 hari setelah tanam. Rata-rata penggunaan pupuk urea, KCl, TSP, ZA dan NPK masing-masing untuk 1000 m2 sebanyak 23 kg, 10 kg, 12 kg, 25 kg dan 14 kg. Biaya untuk penggunaan pupuk urea adalah Rp1.800,00 per kg, KCl Rp1.800,00 per kg, TSP Rp2.500,00 per kg, ZA Rp1.400,00 per kg dan NPK Rp2.500,00 per kg. Pemupukan dilakukan dengan menebarkan pupuk disekitar tanaman oleh pekerja. Pemupukan ini dapat diselesaikan oleh satu orang pekerja laki-laki untuk lahan seluas 1000 m2 dalam waktu satu hari. Pemberantasan hama dan penyakit dilakukan dengan penyemprotan obatobatan pestisida dan fungisida maupun pupuk pelengkap cair (PPC) pada tanaman. Pestisida yang digunakan para petani pada umumnya adalah Curacron dan Dursban, sedangkan fungisida yang umum digunakan adalah Antracol dan PPC yang digunakan adalah Supergro. Rata-rata penggunaan Curacron dan 51
Dursban untuk 1000 m2 masing-masing sebanyak 0,1 liter dan 0,4 liter dengan biaya Curacron Rp190.000,00 per liter dan Dursban Rp65.000,00 per liter. Ratarata penggunaan Antracol dan PPC (Supergro) masing-masing sebanyak 0,4 kg dan 0,4 liter. Biaya Antracol adalah Rp80.000,00 per kg dan Supergro adalah Rp15.000,00 per liter. Pada umumnya penyiangan dilakukan sebanyak satu kali dalam satu masa tanam yaitu pada saat tanaman berumur 42 hst. Penyiangan ini dilakukan dengan bantuan buruh tani wanita yang juga merupakan warga di kedua desa tempat penelitian. d. Pemanenan Pemanenan bawang daun umumnya dilakukan setelah tanaman berumur 3-4 bulan. Sebagian besar petani tidak melakukan pemanenan, karena pada umumnya dilakukan oleh para pedagang pengumpul yang membeli bawang daun ini secara borongan. Rata-rata biaya pemanenan yang dikeluarkan adalah Rp100,00 sampai Rp150,00 per kg, dan umumnya biaya ini ditanggung oleh pedagang pengumpul. e. Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam usahatani bawang daun. Tenaga kerja inilah yang dapat menggerakkan faktor produksi lainnya seperti bibit, pupuk, obat-obatan dan sebagainya. Pada umumnya tenaga kerja pembantu yang digunakan oleh para petani di kedua desa berasal dari luar keluarga. Untuk kegiatan pengolahan lahan hingga penanaman, pemupukan, penyemprotan dan pemanenan diperlukan tenaga kerja pria, sedangkan untuk kegiatan penyiangan lahan dilakukan oleh tenaga kerja wanita. Upah rata-rata untuk tenaga kerja pria di kedua desa yaitu sebesar Rp15.000,00 per hari (Pukul 07.00-12.00). Upah tersebut belum termasuk biaya rokok dan makanan kecil yang diberikan oleh petani kepada buruh yang disewa. Sedangkan untuk upah tenaga kerja wanita yaitu sebesar Rp8.500,00 per hari (Pukul 07.0012.00). Rata-rata penggunaan tenaga kerja untuk melakukan pengolahan lahan per 1000 m2 adalah 23 hari kerja pria (HKP) atau sebesar Rp345.000,00. Sedangkan rata-rata penggunaan tenaga kerja untuk pemupukan dan penyemprotan per 1000 m2 masing-masing adalah 2 HKP dan 6 HKP. Upah penyiangan lahan
52
sebesar 1000 m2 rata-rata sebesar Rp144.500,00 atau sebesar 17 hari kerja wanita (HKW). f. Biaya Produksi Biaya produksi bawang daun yang dikeluarkan petani dalam satu kali masa tanam untuk lahan seluas 1000 m2 rata-rata sebesar Rp2.887.900,00. Biaya tersebut terdiri dari biaya bibit, biaya pupuk, biaya obat-obatan dan biaya tenaga kerja (Tabel 18). Untuk luas lahan 1000 m2 dengan bibit sebanyak 700 kg ratarata dapat dihasilkan bawang daun sebanyak 1,4 ton. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa biaya produksi yang dikeluarkan untuk mendapatkan satu kilogram bawang daun adalah sebesar Rp2.062,79. Tabel 18. Biaya Produksi Bawang Daun per 1000 m2 di Kawasan Agropolitan Jenis Biaya Jumlah Biaya Bibit (728 kg x Rp 2.500/kg) 1.820.000 Biaya Pupuk : Kandang (540 kg x Rp 400/kg) 216.000 Urea (23 kg x Rp 1.800/kg) 41.400 TSP (12 kg x Rp 2.500/kg) 30.000 KCl (10 kg x Rp 1.800/kg) 18.000 ZA (25 kg x Rp 2.500/kg) 35.000 NPK (14 kg x Rp 2.500/kg) 35.000 Biaya Obat-obatan : Curacron (0,1 lt x Rp 190.000/lt) 19.000 Dursban (0,4 lt x Rp 65.000/lt) 26.000 Antracol (0,4 kg x Rp 80.000/kg) 32.000 Supergro (0,4 lt x Rp 15.000/lt) 6.000 Biaya Tenaga Kerja : Pengolahan lahan (23 HKP x Rp 15.000/HKP) 345.000 Pemupukan (2 HKP x Rp 15.000/HKP) 30.000 Penyemprotan (6 HKP x Rp 15.000/HKP) 90.000 Penyiangan (17 HKW x Rp 8.500/HKW) 144.500 Total 2.887.900 Keterangan: HKP = Hari Kerja Pria HKW = Hari Kerja Wanita
53
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Saluran Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur Salah satu kegiatan penanganan pasca panen yang dilakukan oleh petani adalah kegiatan tataniaga. Dalam proses tataniaga suatu komoditas agar bisa sampai ke tangan konsumen dari tangan petani umumnya melibatkan beberapa lembaga tataniaga diantaranya adalah pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang pengecer. Serangkaian organisasi yang saling tergantung dan terlibat dalam penyaluran suatu komoditas hingga dapat digunakan oleh konsumen disebut sebagai saluran tataniaga. Saluran tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan melibatkan beberapa lembaga tataniaga diantaranya adalah pedagang pengumpul di tingkat desa, supplier, pedagang grosir dan pedagang pengecer. Para petani di kawasan Agropolitan menjual hasil panen bawang daunnya secara perseorangan walaupun mereka telah tergabung dalam kelompok tani. Hal ini karena para petani kurang merasakan adanya manfaat dengan adanya kelompok tani tersebut, kelompok tani tersebut juga tidak menyediakan fasilitas untuk dapat memasarkan bawang daun secara berkelompok. Meskipun di kawasan Agropolitan tersebut terdapat Sub Terminal Agribisnis (STA) Cigombong dan Halte Agribisnis, para petani lebih memilih untuk memasarkan hasil panennya kepada para pedagang pengumpul di tingkat desa, hal ini karena akses yang lebih mudah dan murah dibandingkan harus melalui STA dan Halte Agribisnis. Keberadaan STA dan Halte Agribisnis yang seharusnya dapat berfungsi untuk mempermudah proses tataniaga dan meningkatkan efisiensi tataniaga ini dirasakan belum dapat memberikan manfaat yang berarti kepada para petani. Lokasi STA Cigombong yang cukup jauh dari lokasi lahan pertanian para petani menyebabkan petani enggan untuk memasarkan hasil panennya melalui STA karena biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan menjual kepada tengkulak dengan harga jual yang relatif sama. Kurang berperannya STA juga dikarenakan STA Cigombong tersebut saat ini kurang berjalan sebagaimana mestinya yaitu memberikan kemudahan dalam hal tataniaga bagi produk-produk pertanian yang dihasilkan oleh petani di daerah sekitar seperti informasi mengenai harga maupun informasi mengenai penanganan dan pengemasan produk pertanian yang diterima
oleh pasar. STA saat ini juga dikuasai oleh beberapa perusahaan yang memiliki kepentingan bisnis masing-masing. STA dapat memberikan informasi mengenai kondisi pasar kepada kelompok tani yang memang telah menjalin kemitraan dengan perusahaan yang berada dibawah nama STA Cigombong. Namun, para petani di kawasan Agropolitan pada umumnya enggan untuk melakukan kemitraan dengan siapapun karena menganggap dapat membatasi kegiatan usahatani mereka. Dua kepentingan yang cukup berlawanan ini menyebabkan STA kurang berperan dalam tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan. Para petani di kawasan agropolitan yang sangat bergantung pada pedagang pengumpul dalam memasarkan bawang daun yang dihasilkan menyebabkan terbentuknya beberapa saluran tataniaga karena pedagang pengumpul yang ada di kawasan agropolitan jumlahnya cukup banyak. Terdapat empat saluran tataniaga bawang daun yang ada di kawasan Agropolitan. Dua merupakan saluran utama yaitu saluran I dan II karena pasar yang dituju sama sehingga dapat dibandingkan antara kedua saluran tersebut, sisanya merupakan saluran alternatif yaitu saluran III dan IV karena pasar yang dituju berbeda dan konsumennya sudah lebih tersegmentasi. Masing-masing saluran tataniaga ini memasarkan bawang daun ke beberapa daerah yaitu Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang. Saluran tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan ini dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan Gambar 6, saluran tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan ini, yaitu : 1.
Petani – Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Pengecer – Konsumen
2.
Petani – Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Grosir – Pedagang Pengecer – Konsumen
3.
Petani – Pedagang Pengumpul Desa – Konsumen (Restoran)
4.
Petani – Pedagang Pengumpul Desa – Supplier – Pedagang Pengecer (Supermarket) – Konsumen
Dari keempat saluran tataniaga bawang daun tersebut, saluran yang paling banyak digunakan oleh petani di kawasan Agropolitan adalah saluran IV yaitu sebanyak 13 orang (43,33%). Hal ini dikarenakan komoditas bawang daun yang dihasilkan di kawasan Agropolitan banyak yang merupakan bawang daun dengan kualitas super. Bawang daun super ini banyak diminati oleh konsumen supermarket.
55
Pedagang Pengumpul Tk. Desa (47,8%, 8.050 kg)
Petani (100%, 16.840 kg)
Pedagang Pengumpul Tk. Desa (35,15%, 5.920 kg)
Pedagang Pengumpul Tk. Desa (7,7%, 1.300 kg)
Pedagang Pengumpul Tk. Desa (9,3%, 1.570 kg)
4
2
Supplier (43%, 7.245 kg)
Pedagang Grosir (34,1%, 5.742 kg)
1
Pedagang Pengecer (Supermarket) (38,7%, 6.520,5 kg)
Konsumen Rumah Tangga (38,7%,6.520,5 kg)
Pedagang Pengecer (Pasar Tradisional) (30,7%, 5.168 kg)
Konsumen Rumah Tangga (30,1%, 5.065 kg)
Pedagang Pengecer (Pasar Tradisional) (6,9%, 1.170 kg)
3
Konsumen Rumah Tangga (6,8%, 1.147 kg)
Konsumen Restoran (7,45%, 1.256 kg)
Gambar 6. Saluran Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur
56
Namun demikian, tidak sedikit juga petani menghasilkan bawang daun dengan kualitas biasa yaitu jenis bawang daun yang memiliki batang lebih kecil dan pendek. Umumnya bawang daun dengan kualitas biasa ini lebih diminati oleh konsumen di pasar tradisional. Karakteristik bawang daun yang dipasarkan pada setiap saluran dapat dilihat pada Tabel 19. Saluran yang paling sedikit digunakan oleh petani di kawasan Agropolitan adalah saluran III yaitu sebanyak dua orang (6,7%). Hal ini dikarenakan sistem pembayaran pada saluran III ini tidak secara tunai dan petani harus mengeluarkan biaya lebih untuk melakukan panen hingga pengemasan sendiri dan terikat dalam perjanjian kontrak dengan pedagang pengumpul. Pembayaran yang tidak tunai ini memberikan kesulitan tersendiri bagi petani karena umumnya petani menggunakan modal pribadi yang besarnya terbatas, sehingga petani lebih memilih untuk memasarkan hasil panen bawang daunnya kepada pedagang pengumpul yang dapat memberikan pembayaran secara tunai atau keesokan harinya setelah barang terjual habis seperti pada saluran II. Petani yang menggunakan saluran I sebanyak empat orang (13,33%) dan saluran II sebanyak 11 orang (36,67%). Tabel 19. Karakteristik Bawang Daun yang Dijual pada Setiap Saluran Tataniaga Saluran Tujuan Tataniaga Karakteristik Bawang Daun I Pasar tradisional Bawang daun kualitas biasa (eceran) di Bekasi (batang bawang daun kecil (diamenter < 1 cm) dan pendek (± 40 cm), daun berongga kecil dan berwarna hijau tua) II Pasar tradisional Bawang daun kualitas biasa (eceran) di Jakarta, (batang bawang daun kecil dan Depok dan Bekasi pendek, daun berongga kecil dan berwarna hijau tua) III Restoran di Jakarta Bawang daun kualitas super (batang bawang daun besar (diameter 1 – 1,5 cm) dan panjang (± 50 cm), daun berongga lebih besar dari kualitas biasa dan berwarna hijau tua) IV Supermarket di Bogor Bawang daun kualitas super dan Jakarta (batang bawang daun besar dan panjang, daun berongga lebih besar dari kualitas biasa dan berwarna hijau tua)
57
Gambar 7. Bawang Daun yang Dipasarkan ke Pasar Tradisional
Gambar 8. Bawang Daun yang Dipasarkan ke Supermarket dan Restoran Para petani di kawasan Agropolitan tidak terikat hanya pada satu pedagang pengumpul saja karena terdapat sangat banyak pedagang pengumpul di kawasan Agropolitan. Jadi petani dapat memilih dengan bebas kepada pedagang pengumpul mana ia akan menjual hasil panennya. Dalam satu kali masa panen, petani menjual produknya secara bertahap, jadi tidak sekaligus dalam satu hari bawang daun dipanen seluruhnya, umumnya penjualan bawang daun saat panen dalam satu hari rata-rata sebesar 500 kg. Jadi, petani dengan luas lahan 1.000 m2 yang ditanami bibit sebanyak 700 kg dan menghasilkan panen bawang daun keseluruhan sebanyak 1.400 kg akan habis terjual dalam waktu tiga hari. Hal ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan pedagang pengumpul. Biaya pemanenan, pencucian dan pengangkutan bawang daun di kawasan Agropolitan sebagian besar ditanggung oleh pedagang pengumpul, karena pada umumnya pembelian bawang daun dilakukan secara borongan di lahan petani oleh para pedagang pengumpul. Petani juga tidak melakukan kegiatan standardisasi 58
dan grading karena penjualan dilakukan secara borongan sehingga tidak membedakan kualitas. Petani dalam hal ini hanya dikenakan biaya penanggungan risiko yang umumnya sebesar 10 persen dari keseluruhan hasil panen yang dijual ke pedagang pengumpul. Biaya risiko ini merupakan biaya untuk mengganti sisa tanah yang masih menempel pada batang bawang daun dan bawang daun yang memiliki kualitas buruk (busuk). Saluran tataniaga I melibatkan empat lembaga tataniaga, yaitu petani, pedagang pengumpul desa, pedagang pengecer dan konsumen. Pedagang pengecer tujuan saluran tataniaga ini adalah pedagang pengecer di sekitar Bekasi yaitu pedagang pengecer di Pasar Famili dan Pasar Harapan Jaya. Jenis bawang daun yang disalurkan melalui saluran I ini adalah bawang daun dengan kualitas biasa karena tujuan akhir dari saluran tataniaga ini adalah pasar tradisional (eceran) yang konsumennya lebih menyukai bawang daun dengan kualitas biasa. Petani pada saluran I ini melakukan penjualan kepada pedagang pengumpul yang sudah merupakan langganan mereka, sehingga pedagang pengumpul telah mengetahui kualitas yang dihasilkan oleh petani dan jumlah yang dihasilkan, sebaliknya petani pun sudah mengetahui jumlah kebutuhan bawang daun yang diinginkan oleh pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul saluran I ini merupakan pedagang pengumpul yang mempunyai kios sendiri di pasar sehingga dapat menjual langsung kepada pedagang pengecer dan cenderung memiliki modal yang cukup besar karena biaya tataniaga yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan dengan pedagang pengumpul yang tidak memiliki kios dan hanya mengumpulkan bawang daun yang dibeli dari petani. Pedagang pengumpul pada saluran ini membeli bawang daun dari petani dengan sistem borongan, kemudian pedagang pengumpul tersebut melakukan kegiatan pemanenan, pengangkutan, pencucian dan pengemasan.
Gambar 9. Proses Pencucian Bawang Daun
59
Kegiatan pencucian dan pengemasan umumnya dilakukan di rumah pedagang pengumpul itu sendiri yang lokasinya tidak jauh dari lahan petani. Umumnya tempat tinggal pedagang pengumpul di kawasan Agropolitan memiliki kolam kecil yang berfungsi untuk mencuci hasil panen yang dibeli dari petani. Pengemasan bawang daun oleh pedagang pengumpul pada saluran ini hanya dilakukan dengan menggunakan plastik transparan yang mampu memuat bawang daun sebanyak
8-10 kg/plastik. Sebelum dilakukan pengemasan, bawang daun
yang telah dibersihkan kemudian disortir untuk memisahkan antara bawang daun yang siap jual dengan bawang daun yang busuk. Seluruh kegiatan yang dilakukan pedagang pengumpul mulai dari pemanenan hingga pengemasan ini dibantu oleh 2-3 orang tenaga kerja dengan upah sebesar Rp100,00/kg. Pedagang pengumpul pada saluran I ini memiliki kios sendiri di Pasar Baru Bekasi Barat. Oleh karena itu, bawang daun yang telah siap jual langsung dibawa ke Pasar Baru Bekasi Barat dengan menggunakan mobil pick up. Biaya tataniaga mulai dari pemanenan hingga pengangkutan dan penjualan di Pasar Baru Bekasi Barat termasuk biaya penanggungan risiko seluruhnya ditanggung oleh pedagang pengumpul. Petani umumnya mendapatkan nota penjualan dari pedagang pengumpul, sehingga pembayaran dilakukan keesokan harinya. Sistem pembelian antara pedagang pengecer dengan pedagang pengumpul adalah sistem kiloan. Pembayaran oleh pedagang pengecer dilakukan dengan tunai. Dalam proses penjualan di kios Pasar Baru ini, pedagang pengumpul dibantu oleh lima orang pekerja yang mengelola dua kios. Pekerja tersebut selain melakukan penjualan juga melakukan sortasi kembali, karena selama perjalanan dari Cianjur sampai Bekasi mungkin terjadi kerusakan. Hal ini menimbulkan biaya penyusutan yang harus ditanggung oleh pedagang pengumpul. Besarnya penyusutan bawang daun ini rata-rata 10 persen dari total bawang daun yang dibawa. Biaya lain yang harus ditanggung pedagang pengumpul ini adalah biaya retribusi, biaya bongkar muat dan biaya listrik. Pedagang pengecer yang membeli bawang daun dari pedagang pengumpul pada saluran I sudah merupakan langganan. Pedagang pengecer membeli bawang daun secara kiloan. Pedagang pengecer ini kemudian menjual bawang daun di Pasar Harapan Jaya dan Pasar
60
Famili yang letaknya di daerah Bekasi Barat. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer diantaranya adalah biaya pengangkutan termasuk tenaga kerja dan transportasi, biaya sewa kios, biaya retribusi dan biaya listrik. Penjualan dilakukan secara eceran kepada konsumen rumah tangga. Konsumen membeli sesuai kebutuhan mereka, tidak dalam satuan kg, contohnya hanya membeli sebanyak Rp500,00 atau hanya sebagai campuran sayur sop. Jumlah penjualan bawang daun pada saluran tataniaga I ini ketika penelitian dilakukan yaitu pada musim panen bulan April-Mei adalah sebanyak 1.300 kg (7,7%) per hari dari pedagang pengumpul dan sampai ke konsumen yaitu sebanyak 1.147 kg (6,8%). Hal ini dikarenakan adanya penyusutan selama perjalanan dalam proses tataniaga. Saluran tataniaga II melibatkan lima lembaga tataniaga yaitu petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer dan konsumen. Tujuan saluran tataniaga ini adalah Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Induk Tanah Tinggi, Pasar Cikokol dan Pasar Depok Jaya. Sistem pembelian pedagang pengumpul kepada petani adalah dengan sistem borongan, sama seperti pada saluran I. Pedagang pengumpul pada saluran II ini merupakan pedagang pengumpul yang tidak memiliki modal yang besar sehingga penjualan dilakukan masih di sekitar kawasan Agropolitan yaitu kepada pedagang grosir yang berada di kawasan Agropolitan tersebut. Pedagang pengumpul datang sendiri ke lahan petani untuk memanen bawang daun. Setelah dilakukan pemanenan kemudian dilakukan pencucian, sortasi dan pengemasan. Pengemasan dilakukan dengan menggunakan plastik transparan dengan ukuran 8-10 kg bawang daun/plastik. Bawang daun yang sudah siap untuk dijual, kemudian disalurkan kepada pedagang grosir yang ada di kawasan Agropolitan dengan menggunakan motor. Jumlah penjualan bawang daun per hari dari pedagang pengumpul kepada pedagang grosir adalah sebanyak 5.920 kg, namun umumnya terjadi penyusutan sebesar 3 persen sehingga jumlah barang yang diterima pedagang grosir adalah sebanyak 5.742 kg. Selanjutnya pedagang grosir tersebut menyalurkan bawang daun dan beberapa sayuran lain yang didapatnya dari pedagang pengumpul setempat ke Pasar Induk Kramat Jati di Jakarta dan Pasar Induk Tanah Tinggi di Tangerang dengan menggunakan mobil truk kecil.
61
Seluruh biaya yang dikeluarkan selama perjalanan dari Cianjur sampai Jakarta
dan
Tangerang
seperti
biaya
pengangkutan,
transportasi
dan
penanggungan risiko menjadi tanggungan pedagang grosir. Bawang daun dan beberapa sayuran lain yang dibawa oleh pedagang grosir yang telah sampai di loss, kemudian dilakukan bongkar muat untuk disortasi kembali agar produk yang dijual merupakan produk dengan kualitas baik sehingga konsumen tertarik untuk membeli. Bongkar muat dilakukan oleh pekerja yang telah menunggu di loss tersebut. Jumlah bawang daun yang dijual oleh pedagang grosir kepada pedagang pengecer per hari rata-rata yaitu sebesar 5.168 kg (30,7%) hal ini terjadi karena adanya penyusutan akibat selama perjalanan sebesar 10 persen. Pedagang grosir hanya menunggu pembeli datang ke loss mereka yang umumnya merupakan pedagang pengecer yang berasal dari wilayah Tangerang, Depok dan Jakarta. Penjualan bawang daun dari pedagang grosir kepada pedagang pengecer dengan sistem per kantong/plastik minimal sebesar 8 kg/plastik. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang grosir selain biaya yang telah disebutkan sebelumnya adalah biaya sewa loss, biaya retribusi dan biaya listrik. Biaya pengangkutan dari pedagang grosir sampai ke pedagang pengecer ditanggung sendiri oleh pedagang pengecer. Pedagang pengecer ini tersebar di berbagai wilayah, ada yang berjualan di Pasar Induk Tanah Tinggi bagian pasar eceran, Pasar Cikokol dan Pasar Depok Jaya. Biaya pengangkutan yang dilakukan oleh pedagang pengecer pada saluran II cenderung lebih murah dibandingkan pada saluran I karena pedagang pengecer saluran II umumnya melakukan pembelian secara bersama-sama sehingga biaya pengangkutan yang ditanggung menjadi lebih ringan. Pada saluran I biaya pengangkutan umumnya ditanggung oleh perorangan sehingga biaya pengangkutan yang dikeluarkan sedikit lebih besar. Biaya tataniaga yang dikeluarkan pedagang pengecer selain biaya pengangkutan juga biaya sewa kios, biaya retribusi, biaya listrik dan biaya penanggungan risiko bila terjadi kerusakan. Pembelian bawang daun yang dilakukan konsumen akhir dari pedagang pengecer menggunakan sistem harga seperti pada saluran I. Jumlah penjualan bawang daun dari pengecer kepada konsumen pada saluran II ini sebanyak 5.065 kg atau sebesar 30,1% per hari karena terjadi penyusutan barang rata-rata sebesar 2 persen.
62
Saluran tataniaga III merupakan saluran terpendek diantara saluran lainnya dan merupakan alternatif saluran tataniaga bawang daun bagi para petani karena konsumen akhir pada saluran III ini sudah tersegmentasi. Saluran III ini melibatkan tiga lembaga tataniaga yaitu petani, pedagang pengumpul dan konsumen. Petani yang memasarkan bawang daunnya melalui saluran III ini paling sedikit diantara saluran lainnya, yaitu hanya sebanyak dua orang. Hal ini dikarenakan pada saluran ini antara petani dengan pedagang pengumpul terikat suatu kontrak dalam proses jual beli bawang daun yang dilakukan dan sistem pembayaran yang tidak tunai meyebabkan petani enggan memasarkan bawang daunnya pada saluran III ini. Adanya perjanjian kontrak ini secara teori dapat meningkatkan efisiensi karena petani mendapatkan kepastian harga yang berlaku dan jumlah bawang daun yang dibutuhkan pasar serta tujuan tataniaga yang jelas. Namun, petani di kawasan Agropolitan ini masih enggan untuk menjalin kerjasama kontrak dengan pihak lain dalam menjual hasil panen bawang daunnya. Sistem kontrak ini dilakukan karena adanya permintaan tertentu yang datang dari konsumen. Konsumen menginginkan produk bawang daun dengan spesifikasi khusus yaitu yang berkualitas super. Dengan demikian saluran tataniaga III ini terbentuk karena adanya konsep derived demand yang dihadapi oleh petani akibat adanya permintaan utama dari konsumen. Tujuan akhir dari saluran III ini adalah konsumen restoran, sistem jual beli antara pedagang pengumpul dengan restoran ini juga dengan sistem kontrak. Pembayaran hasil bawang daun yang disalurkan petani dilakukan setiap dua minggu jika tidak terjadi keterlambatan. Demikian pula pembayaran yang dilakukan restoran kepada pedagang pengumpul dilakukan setiap dua minggu sekali. Petani pada saluran III ini melakukan kegiatan pemanenan, pengangkutan, pencucian, sortasi hingga pengemasan. Hal ini berdasarkan perjanjian kontrak yang telah disepakati antara petani
dengan
pedagang
pengumpul.
Pedagang
pengumpul
melakukan
standardisasi atas produk bawang daun yang dibeli dari petani. Bawang daun yang akan dijual kepada pedagang pengumpul harus bawang daun dengan kualitas super. Bawang daun yang telah dipanen oleh petani kemudian dilakukan pencucian kemudian dilakukan sortasi untuk memisahkan bawang daun yang busuk dengan yang baik kualitasnya. Bawang daun yang telah
63
dicuci dan disortasi kemudian dikemas dalam plastik transparan berukuran 8 kg/plastik. Bawang daun yang telah siap untuk disalurkan kemudian dibawa ke tempat pedagang pengumpul yang masih berada di kawasan Agropolitan dengan menggunakan mobil pick up kecil. Jumlah bawang daun yang dipasarkan oleh petani kepada pedagang pengumpul adalah sebanyak 1.570 kg (9,3%). Semua biaya tataniaga mulai pemanenan hingga pengemasan dan pengangkutan ke tempat pedagang pengumpul ditanggung oleh petani. Bawang daun yang telah sampai di tempat pedagang pengumpul kemudian dilakukan sortasi kembali, selanjutnya dilakukan pemotongan akar, kemudian dikemas kembali dalam plastik ukuran 8 kg bawang daun/plastik. Jumlah bawang daun yang dipasarkan dari pedagang pengumpul kepada restoran yaitu sebesar 1.256 kg (7,45%), hal ini dikarenakan adanya penyusutan akibat sortasi dan pemotongan akar yang dilakukan oleh pedagang pengumpul.
(a)
(b)
Gambar 10. Proses Pemotongan Akar (a), dan Proses Pengemasan Bawang Daun untuk Disalurkan ke Supermarket (b) Bawang daun yang telah dikemas kemudian dibawa ke restoran-restoran di daerah Jakarta yang telah menjalin kerjasama dengan pedagang pengumpul tersebut. Perjanjian kontrak yang dilakukan antara pedagang pengumpul dengan restoran adalah dalam hal penyaluran barang, harga yang disepakati, standar kualitas barang, jadwal pembayaran dan biaya penanggungan risiko. Penyaluran barang dilakukan setiap hari oleh pedagang pengumpul, jika terjadi kerusakan biaya risiko tersebut ditanggung oleh pedagang pengumpul. Kualitas barang yang disepakati adalah bawang daun yang masih segar dengan bentuk batang yang besar dan panjang serta daun yang tegak. Biaya penanggungan risiko selama pengiriman bawang daun ditanggung oleh pedagang pengumpul.
64
Terakhir, saluran tataniaga IV yang juga merupakan alternatif saluran tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur dan paling banyak digunakan oleh petani di kawasan Agropolitan yaitu sebanyak 13 orang. Saluran IV ini melibatkan lima lembaga tataniaga yaitu petani, pedagang pengumpul, supplier, pedagang pengecer dan konsumen. Pedagang pengecer dalam saluran ini adalah supermarket di Bogor dan Jakarta. Petani pada saluran IV tidak melakukan kegiatan pemanenan karena bawang daun dibeli dengan sistem borongan oleh pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul pada saluran ini merupakan pedagang pengumpul yang akan menyalurkan bawang daun yang dibeli kepada supplier. Pedagang pengumpul ini tahu mengenai spesifikasi barang yang dibutuhkan oleh supplier sehingga dalam proses pembelian bawang daun dari petani pun harus dipilih petani yang menghasilkan panen bawang daun dengan kualitas super seperti yang diinginkan oleh supplier. Pedagang pengumpul pada saluran IV ini umumnya sudah memiliki petani yang menjadi langganan mereka, namun tidak menutup kemungkinan juga pedagang pengumpul ini membeli dari petani lain. Begitu pula para petani, mereka juga dapat memilih untuk memasarkan bawang daunnya kepada pedagang pengumpul manapun. Pedagang pengumpul melakukan kegiatan pemanenan, pengangkutan, sortasi, pencucian dan pengemasan dengan dibantu oleh beberapa orang pekerja. Bawang daun yang disalurkan dalam saluran IV ini merupakan bawang daun dengan kualitas super. Jumlah bawang daun yang dibeli oleh pedagang pengumpul dari petani adalah sebesar 8.050 kg (47,8%) per hari pada waktu musim panen April hingga Mei 2010. Pengemasan dilakukan oleh pedagang pengumpul dengan menggunakan plastik transparan berukuran 8-10 kg/plastik. Bawang daun yang akan disalurkan kepada supplier, sebelumnya dilakukan pemotongan akar dan ujung daun. Hal ini merupakan persyaratan yang harus dilakukan oleh pedagang pengumpul yang akan menyalurkan bawang daunnya ke supplier yang akhirnya akan masuk ke supermarket. Dengan demikian, terjadi pengurangan besarnya jumlah bawang daun yang dijual oleh pedagang pengumpul kepada supplier. Jumlah yang dijual oleh pedagang pengumpul kepada supplier adalah sebesar 7.245 kg (43%) karena terjadi penyusutan sebesar 10 persen. Seluruh biaya tataniaga mulai dari pemanenan hingga pengangkutan bawang daun
65
yang siap untuk disalurkan ke supplier ditanggung oleh pedagang pengumpul. Sistem pembayaran pedagang pengumpul kepada petani dilakukan secara tunai. Penyaluran bawang daun dari pedagang pengumpul ke supplier dilakukan dengan menggunakan motor ataupun mobil pick up kecil. Sistem pembayaran yang dilakukan supplier kepada pedagang pengumpul juga dilakukan secara tunai. Setelah bawang daun sampai di tempat supplier, kemudian dilakukan sortasi kembali dan pengemasan dalam ukuran 250 gr. Pengemasan dilakukan dengan menggunakan alat packing, yaitu dengan mengisolasi bawang daun. Jumlah bawang daun yang disalurkan oleh supplier kepada supermarket yaitu sebanyak 6.520,5 kg karena terjadi penyusutan sebesar 10 persen dikarenakan proses sortasi yang dilakukan oleh supplier dan bagian quality control supermarket. Bawang daun yang telah siap untuk disalurkan ke supermarket kemudian dibawa dengan menggunakan mobil truk kecil ke supermarket di Jakarta dan Bogor yang telah menjalin kerjasama kontrak dengan supplier. Bawang daun yang telah sampai ke supermarket yang dituju kemudian dicek kembali kualitasnya oleh bagian quality control, jika sudah layak untuk dijual kemudian bawang daun tersebut dijual pada etalase sayuran dalam supermarket tersebut. Biaya penanggungan risiko kerusakan selama perjalanan dari tempat supplier sampai ke supermarket ditanggung oleh supplier. Sistem pembayaran yang dilakukan supermarket kepada supplier setiap dua minggu, namun jika terjadi keterlambatan pembayaran dapat tertunda hingga satu bulan. Jumlah bawang daun yang dipasarkan kepada konsumen melalui saluran tataniaga IV ini sebanyak 6.520,5 kg (38,7%) setiap harinya.
6.2 Fungsi Tataniaga dan Lembaga Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur Dalam proses tataniaga komoditas dari produsen hingga konsumen umumnya melibatkan lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga tersebut dalam kegiatannya memasarkan barang melakukan fungsi tataniaganya masing-masing. Pihak-pihak atau lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan antara lain pedagang pengumpul, supplier, pedagang grosir Pasar Induk Kramat Jati, pedagang grosir Pasar Induk Tanah Tinggi,
66
pedagang pengecer Pasar Induk Tanah Tinggi, pedagang pengecer Pasar Famili, Pasar Harapan Jaya, Pasar Cikokol dan Pasar Depok Jaya. Fungsi-fungsi tataniaga tersebut dapat dikelompokkan atas tiga fungsi, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Lembaga tataniaga yang menjalankan fungsi penjualan harus memperhatikan kualitas, kuantitas, bentuk, waktu dan harga yang diinginkan konsumen atau lembaga tataniaga yang ada pada rantai tataniaga selanjutnya. Sedangkan fungsi pembelian dilakukan dengan tujuan untuk memiliki komoditas bawang daun yang akan dikonsumsi ataupun digunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi berikutnya. Fungsi fisik ini meliputi kegiatan penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan. Fungsi penyimpanan umumnya dilakukan pada komoditas pertanian yang bersifat musiman dan dapat tahan lama. Fungsi penyimpanan ini dilakukan untuk mengantisipasi kondisi kelangkaan komoditas tertentu pada waktu tertentu, selain itu juga untuk mengurangi fluktuasi harga yang berlebihan. Namun, untuk komoditas bawang daun sangat jarang sekali dilakukan penyimpanan karena sifatnya yang mudah busuk. Fungsi pengolahan merupakan kegiatan mengubah bentuk dasar dari suatu produk dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas barang baik dalam rangka memperkuat daya tahan barang tersebut maupun dalam rangka meningkatkan nilainya. Namun, hingga saat ini bawang daun yang dipasarkan masih dalam bentuk sayuran segar belum mengalami pengolahan menjadi produk baru. Padahal pada kenyataannya bawang daun dapat diolah lebih lanjut dijadikan makanan ringan yaitu keripik bawang daun dengan proses pengolahan yang sama dengan pembuatan keripik bayam yang saat ini sudah banyak dijual dipasar. Sedangkan fungsi pengangkutan dilakukan untuk menyediakan barang dan jasa di daerah konsumen sesuai dengan kebutuhan konsumen baik menurut waktu, jumlah dan mutunya. Fungsi pengangkutan meliputi perencanaan jenis alat angkutan yang digunakan, waktu pengangkutan dan jenis barang yang akan diangkut. Fungsi fasilitas ini terdiri dari empat fungsi yaitu fungsi standardisasi dan grading, fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Standardisasi merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu suatu barang,
67
sedangkan grading merupakan tindakan menggolongkan atau mengklasifikasikan hasil pertanian menurut suatu standardisasi yang diinginkan, sehingga kelompokkelompok barang yang terkumpul sudah menurut suatu ukuran standar tertentu. Fungsi penanggungan risiko merupakan penerimaan kemungkinan dari kerugian tataniaga produk. Risiko yang mungkin dihadapi oleh produsen maupun lembaga tataniaga antara lain kerusakan, penyusutan, kehilangan, penurunan harga dan lainnya yang timbul selama proses penyaluran barang dari tingkat produsen hingga konsumen. Fungsi penanggungan risiko dapat dilakukan oleh lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga suatu komoditas tersebut ataupun dialihkan kepada pihak lain yaitu lembaga asuransi. Fungsi pembiayaan merupakan penyediaan biaya untuk keperluan selama proses tataniaga dan juga kegiatan pengelolaan biaya tersebut. Fungsi informasi pasar meliputi kegiatan pengumpulan informasi pasar serta menafsirkan data dan informasi pasar tersebut. Informasi pasar ini sangat penting karena dapat mempertemukan potensial penawaran dan permintaan.
6.2.1 Fungsi Tataniaga di Tingkat Petani Petani bawang daun di kawasan Agropolitan melakukan fungsi pertukaran yaitu kegiatan penjualan. Sebagian besar petani memasarkan bawang daunnya kepada pedagang pengumpul dengan sistem borongan. Sehingga seluruh biaya pemanenan, pengangkutan, pencucian dan pengemasan ditanggung oleh pedagang pengumpul. Namun, petani pada saluran III melakukan kegiatan pemanenan hingga penjualan kepada pedagang pengumpul sendiri sehingga biaya tataniaga ditanggung oleh petani. Hal ini sesuai dengan perjanjian jual beli yang telah terjalin antara petani dengan pedagang pengumpul dalam proses tataniaga bawang daun pada saluran III. Keputusan petani melakukan penjualan kepada pedagang pengumpul didasarkan dengan pertimbangan pada kemudahan pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dan kesesuaian permintaan dengan produk yang dimiliki oleh petani. Umumnya petani telah memiliki pedagang langganan masing-masing yang telah mengerti karakteristiknya. Petani di kawasan Agropolitan umumnya tidak melakukan fungsi fisik, kecuali pada saluran III dimana petani melakukan kegiatan pengangkutan dan pengemasan untuk
68
memasarkan bawang daun kepada pedagang pengumpul. Pengangkutan yang dilakukan oleh petani saluran III menggunakan motor atau mobil pick up. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh petani meliputi fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Seluruh petani di kawasan Agropolitan melakukan fungsi penanggungan risiko atas bawang daun yang dijual kepada pedagang pengumpul. Petani yang menjual bawang daun secara borongan dikenakan biaya penanggungan risiko atas bawang daun yang rusak, yaitu sebesar 10 persen dari keseluruhan jumlah bawang daun yang dijual kepada pedagang pengumpul. Biaya ini termasuk biaya penyusutan akibat tanah yang menempel pada akar bawang daun. Fungsi pembiayaan hanya dilakukan oleh petani pada saluran III yaitu biaya untuk pemanenan, pengangkutan, pencucian, sortasi, dan pengemasan sebagai biaya tataniaga. Sebagian besar petani di kawasan Agropolitan tidak melakukan fungsi pembiayaan karena umumnya biaya tataniaga ditanggung oleh pedagang pengumpul. Fungsi fasilitas lain yang dilakukan oleh petani adalah fungsi informasi pasar. Fungsi informasi pasar ini tidak dilakukan oleh seluruh petani, karena ada petani yang tidak mengetahui berapa harga yang sedang berlaku saat panen, petani hanya menerima harga yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul dan melakukan kegiatan penanaman bawang daun. Petani seperti ini umumnya merupakan petani yang sudah berumur diatas 60 tahun, mereka hanya menerima saja kondisi harga pada saat mereka panen tanpa mencari tahu terlebih dahulu informasi harga yang sedang berlaku. Informasi pasar yang dilakukan oleh petani diantaranya adalah informasi perkembangan harga dan jumlah produk yang tersedia serta kualitas dan kuantitas produk yang diinginkan konsumen. Perkembangan harga yang terjadi diantara pedagang pengumpul sangat mudah diketahui oleh petani, karena petani dapat mengakses langsung kepada pedagang pengumpul. Namun, informasi harga ini tidak bersifat transparan karena perubahan harga di pasar tidak dapat diketahui secara langsung oleh petani. Informasi jumlah produk yang tersedia dan informasi harga didapatkan petani melalui perbincangan antar petani atau pedagang pengumpul serta melalui hubungan telepon. Informasi harga dan jumlah produk yang tersedia di pasar umumnya diketahui oleh petani satu bulan sebelum panen, pada saat penelitian
69
dilakukan, informasi mengenai harga yang didapat oleh petani ketika sebelum panen dan pada saat panen terjadi tidak terdapat perbedaan yang sangat besar. Harga sebelum panen yaitu sebesar Rp2.400,00/kg dan pada saat panen Rp2.500,00/kg. Beberapa petani ada yang selalu mengakses informasi pasar yang terjadi karena pemikiran petani tersebut yang sudah maju ada pula yang hanya menerima kondisi yang terjadi saat panen.
6.2.2 Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul Pedagang pengumpul di kawasan Agropolitan melakukan fungsi pertukaran berupa penjualan dan pembelian. Pedagang pengumpul pada saluran I, II dan IV melakukan pembelian kepada petani dengan sistem borongan, sedangkan pedagang pengumpul pada saluran III membeli bawang daun yang telah dipanen dan dikemas oleh petani dalam ukuran 8 kg/plastik sesuai dengan perjanjian. Pembelian dilakukan oleh pedagang pengumpul dengan pertimbangan kesesuaian karakteristik produk yang dihasilkan oleh petani dengan kebutuhan pedagang pengumpul tersebut serta kemampuan pedagang pengumpul itu sendiri dalam proses memasarkan bawang daun seperti jumlah pemilikan modal. Pedagang pengumpul pada saluran I dan II membutuhkan jenis bawang daun dengan kualitas biasa. Perbedaan antara pedagang pengumpul di saluran I dan II adalah dalam jumlah pemilikan modal. Pedagang pengumpul pada saluran I memiliki modal yang lebih besar sehingga dapat menyalurkan langsung kepada pengecer melalui kios yang dimiliki oleh pedagang pengumpul tersebut di pasar. Sedangkan pedagang pengumpul pada saluran II adalah pedagang pengumpul yang memiliki modal yang tidak terlalu besar, sehingga pedagang pengumpul tersebut memasarkan bawang daun yang dibeli dari petani kepada pedagang grosir yang ada di kawasan Agropolitan karena biaya yang dikeluarkan lebih kecil dan dapat memenuhi kebutuhan pedagang grosir tersebut. Fungsi penjualan yang dilakukan oleh pedagang pengumpul pada setiap saluran berbeda-beda tujuan penjualannya. Pedagang pengumpul pada saluran I menjual bawang daun yang telah dibeli dari petani langsung kepada pedagang pengecer di Bekasi, hal ini dilakukan karena pedagang pengumpul tersebut memiliki kios sendiri di Pasar Baru Bekasi
70
Barat. Sedangkan pedagang pengecer pada saluran II menjual bawang daun dari petani kepada pedagang grosir yang ada di kawasan Agropolitan yang nantinya akan dijual di Pasar Induk Kramat Jati dan Pasar Induk Tanah Tinggi. Pedagang pengumpul pada saluran III menjual bawang daun yang dibeli dari petani langsung kepada konsumen yaitu restoran yang ada di Jakarta. Penjualan ini dilakukan karena pedagang pengumpul tersebut memiliki akses untuk mensuplai bawang daun ke restoran dan dapat menentukan besar keuntungan yang diinginkan oleh pedagang pengumpul tersebut. Sedangkan pedagang pengumpul pada saluran IV menjual bawang daun kepada supplier yang nantinya akan disalurkan ke supermarket. Keputusan penjualan ini juga dilakukan oleh pedagang pengumpul dengan pertimbangan keuntungan yang cukup besar dengan menyalurkan bawang daun kepada supplier, namun dengan konsekuensi pedagang pengumpul tersebut harus dapat menyediakan bawang daun dengan kualitas super sesuai yang diinginkan oleh supplier. Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang pengumpul di kawasan Agropolitan berupa fungsi pengangkutan dan fungsi pengemasan. Pedagang pengumpul tidak melakukan penyimpanan karena bawang daun merupakan komoditas pertanian yang bersifat mudah busuk. Pedagang pengumpul pada saluran I,II dan IV melakukan kegiatan pengangkutan bawang daun dari lahan petani yang telah dipanen, kemudian dilakukan pencucian dan pengemasan untuk selanjutnya disalurkan kepada pedagang grosir, pedagang pengecer dan supplier. Pengangkutan ini dilakukan agar produk dapat tersalurkan dan sampai pada konsumen nantinya. Pengangkutan dilakukan dengan menggunakan mobil pick up atau motor. Pengemasan yang dilakukan oleh pedagang pengumpul menggunakan plastik bening berukuran 8-10 kg bawang daun/plastik. Sedangkan untuk pedagang pengumpul pada saluran III fungsi fisik yang dilakukan adalah pengemasan dengan menggunakan plastik ukuran 8 kg bawang daun/plastik kemudian disalurkan ke restoran-restoran di Jakarta. Pedagang pengumpul di kawasan Agropolitan juga melakukan fungsi fasilitas yaitu standardisasi dan sortasi, pembiayaan, penanggungan risiko dan informasi pasar. Standardisasi dan sortasi merupakan kegiatan dimana bawang daun yang telah dipanen dan dilakukan pencucian kemudian dikelompokkan
71
berdasarkan kualitasnya dan memisahkan antara bawang daun yang masih baik dan yang sudah rusak atau busuk. Fungsi ini dilakukan agar bawang daun yang dipasarkan merupakan bawang daun yang memang sesuai dengan keinginan konsumen dalam hal kualitas. Bawang daun dengan kualitas super akan dipasarkan ke supermarket dan restoran, sedangkan yang kualitas biasa akan dipasarkan ke pedagang pengecer di pasar tradisional baik pasar induk maupun pasar eceran. Fungsi pembiayaan dilakukan untuk membiayai seluruh kegiatan tataniaga yang dilakukan mulai dari membeli bawang daun dari petani sampai menjualnya kembali kepada lembaga tataniaga berikutnya. Tanpa adanya fungsi pembiayaan ini, maka proses tataniaga tidak akan dapat terjadi. Penanggungan risiko dilakukan apabila terjadi kerusakan pada bawang daun yang akan dijual ataupun penyusutan. Penanggungan risiko ini dalam bentuk penanggungan biaya yang dikeluarkan akibat adanya kerusakan atau penyusutan sehingga mengurangi jumlah penjualan yang dilakukan. Sedangkan fungsi informasi pasar dilakukan untuk mengetahui harga yang sedang berlaku di pasar serta jenis dan kualitas bawang daun yang diinginkan oleh konsumen. Informasi pasar ini selalu dilakukan oleh pedagang pengumpul karena umumnya pedagang pengumpul sangat tanggap terhadap perubahan harga yang terjadi dan jumlah produk yang tersedia di pasar. Pedagang pengumpul ini mengakses informasi pasar umumnya melalui hubungan telepon atau perbincangan antar pedagang pengumpul lainnya ataupun melalui televisi. Pedagang pengumpul mengakses informasi pasar setiap hari, karena penjualan dan pembelian dilakukan setiap hari.
6.2.3 Fungsi Tataniaga di Tingkat Supplier Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh supplier mencakup fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan adalah fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Supplier melakukan pembelian bawang daun dari pedagang pengumpul yang dapat menyediakan produk sesuai dengan kebutuhan supplier, kemudian menjual kembali kepada pedagang pengecer supermarket yang telah menjalin kerjasama dengan supplier. Fungsi fisik yang dilakukan oleh supplier adalah fungsi pengangkutan dan pengemasan.
72
Pengangkutan dilakukan agar produk dapat sampai dan diterima oleh pedagang pengecer (supermarket). Bawang daun yang telah dibeli dari pedagang pengumpul kemudian disortasi dan dikemas kembali dalam ukuran 250 gram. Hal ini dilakukan sesuai dengan permintaan dari supermarket. Bawang daun yang telah siap untuk dijual ke supermarket, kemudian diangkut menggunakan mobil truk kecil untuk kemudian disalurkan ke supermarket yang ada di Jakarta dan Bogor. Supplier di kawasan Agropolitan juga melakukan fungsi fasilitas yaitu fungsi standardisasi dan sortasi, fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Standardisasi dan sortasi dilakukan untuk menentukan kualitas bawang daun yang diterima dari pedagang pengumpul untuk dijual kembali ke supermarket. Penanggungan risiko dilakukan jika terdapat produk yang kurang baik yang diterima dari pedagang pengumpul dan kerusakan yang mungkin terjadi selama perjalanan untuk menyalurkan bawang daun ke supermarket yang dituju. Penanggungan risiko ini juga sama halnya dengan penanggungan risiko pada petani maupun pedagang pengumpul, yaitu penanggungan biaya atas produk yang tidak dapat terjual karena busuk maupun penyusutan. Pembiayaan dilakukan untuk melakukan pembelian bawang daun dari pedagang pengumpul dan seluruh biaya tataniaga yang harus dikeluarkan dalam proses tataniaga bawang daun hingga sampai ke supermarket. Fungsi informasi pasar dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan harga dan kualitas yang diinginkan oleh konsumen serta jumlah barang yang tersedia di pasar. Supplier melakukan fungsi informasi harga setiap hari, hal ini dikarenakan kegiatan penjualan dan pembelian dilakukan setiap hari. Media yang digunakan oleh supplier dalam mengakses informasi pasar adalah dengan menggunakan handphone, melalui hubungan telepon antar supplier dan supermarket sebagai mitra penjualannya maupun pedagang pengumpul sebagai mitra dalam hal pembelian.
6.2.4 Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Grosir Fungsi tataniaga yang dilakukan pedagang grosir adalah fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan adalah pembelian dan penjualan. Pembelian dilakukan untuk mendapatkan bawang daun
73
dari pedagang pengumpul. Sedangkan penjualan dilakukan untuk menyalurkan bawang daun kepada pedagang pengecer. Pedagang grosir melakukan pembelian bawang daun dari pedagang pengumpul per kantong-kantong plastik berukuran 8-10 kg bawang daun per plastik. Pedagang grosir juga melakukan penjualan kepada pedagang pengecer per kantong dalam ukuran 8-10 kg/plastik. Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang grosir adalah pengangkutan dan pengemasan. Pengangkutan dilakukan untuk menyalurkan barang dari pedagang pengumpul ke Pasar Induk Tanah Tinggi dan Pasar Induk Kramat Jati. Pedagang grosir ini melakukan penjualan di Pasar Induk Kramat Jati dan Pasar Induk Tanah Tinggi dikarenakan telah memiliki loss sebagai tempat untuk menjual sayuran yang dibawa dari kawasan Agropolitan Cianjur pada kedua pasar tersebut.. Pengangkutan dilakukan dengan menggunakan mobil pick up dan mobil truk kecil. Pedagang grosir melakukan bongkar muat bawang daun yang dibawa ketika sampai di loss pada Pasar Induk Tanah Tinggi dan Pasar Induk Kramat Jati. Kemudian dilakukan pengemasan ulang untuk kemudian dijual kepada pedagang pengecer yang datang ke loss pedagang grosir. Pengemasan dilakukan dengan menggunakan plastik. Pengemasan ulang ini dilakukan agar produk yang dijual merupakan produk dengan kualitas yang baik sehingga dapat memberikan kepuasan bagi konsumen. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang grosir adalah fungsi standardisasi dan sortasi, fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Fungsi standardisasi dan sortasi dilakukan untuk memisahkan bawang daun yang rusak selama perjalanan dari Cianjur sampai ke Jakarta dan Tangerang. Sortasi ini dilakukan ketika bawang daun telah sampai ke loss pedagang grosir di pasar. Fungsi penanggungan risiko yang dilakukan berupa biaya yang dikeluarkan akibat bawang daun yang dibawa mengalami kerusakan serta kelebihan dalam jumlah barang sehingga dapat mengalami penurunan harga. Fungsi pembiayaan dilakukan untuk memperlancar proses tataniaga bawang daun mulai pembelian hingga penjualan kembali. Fungsi informasi pasar yang dilakukan berupa informasi mengenai perubahan harga yang terjadi di pasar dan kualitas barang yang diinginkan oleh konsumen. Pedagang grosir juga melakukan fungsi informasi harga setiap hari, hal ini dikarenakan kegiatan penjualan dan
74
pembelian dilakukan setiap hari. Media yang digunakan oleh pedagang grosir dalam mengakses informasi pasar adalah dengan menggunakan handphone, melalui hubungan telepon ataupun perbincangan antar pedagang grosir dan pedagang pengecer sebagai mitra penjualannya maupun pedagang pengumpul sebagai mitra dalam hal pembelian. Dengan demikian, pedagang grosir dapat menentukan harga jual dan harga beli yang sesuai dengan harga pasar yang berlaku.
6.2.5 Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengecer Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengecer mencakup fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Seluruh pedagang pengecer pada tiap saluran melakukan fungsi pertukaran yaitu pembelian dan penjualan. Pedagang pengecer melakukan pembelian dari pedagang pengumpul, supplier maupun pedagang grosir. Penjualan langsung dilakukan kepada konsumen secara eceran baik dalam ukuran 250 gram maupun sesuai dengan kebutuhan konsumen. Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang pengecer adalah fungsi pengangkutan dan pengemasan. Pada saluran I dan II pedagang pengecer melakukan pengangkutan dari pedagang pengumpul dan pedagang grosir dengan menggunakan mobil pick up, motor ataupun menggunakan kuli panggul. Sedangkan pada saluran IV pedagang pengecer (supermarket) tidak melakukan pengangkutan karena bawang daun diantar oleh supplier. Seluruh pedagang pengecer baik pada saluran I, II dan IV melakukan fungsi pengemasan dan tidak melakukan fungsi penyimpanan. Pedagang pengecer melakukan pengemasan bawang daun sesuai dengan jumlah yang akan dibeli oleh konsumen kecuali pada saluran IV, pengecer menjual bawang daunnya dalam ukuran 250 gram. Pengemasan ini dilakukan dengan menggunakan plastik biasa. Fungsi penyimpanan tidak dilakukan karena bawang daun merupakan komoditas yang mudah rusak. Jika terjadi kelebihan jumlah barang yang akan dijual maka para pedagang pengecer ini akan menurunkan harganya agar seluruh bawang daun dapat terjual, kecuali pada supermarket, jika terjadi kelebihan jumlah barang, maka barang yang rusak tersebut tidak akan dijual kembali.
75
Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang pengecer adalah fungsi standardisasi dan sortasi, fungsi penanggungan risiko, fungsi pembiayaan dan fungsi informasi pasar. Standardisasi dan sortasi dilakukan oleh sebagian pedagang pengecer pada saluran I dan II karena kegiatan sortasi ini umumnya telah dilakukan oleh lembaga tataniaga sebelumnya yaitu pedagang grosir dan pedagang pegumpul. Pedagang pengecer melakukan sortasi kembali jika terdapat bawang daun yang rusak saat perjalanan dari pedagang sebelumnya. Pada saluran IV fungsi ini selalu dilakukan agar bawang daun yang masuk ke supermarket merupakan bawang daun dengan kualitas baik. Penanggungan risiko dilakukan oleh pedagang pengecer apabila terdapat bawang daun yang rusak atau busuk sehingga tidak dapat dijual. Selain itu, risiko penurunan harga akibat bawang daun yang tidak terjual sehingga harga jualnya harus diturunkan. Pembiayaan dilakukan untuk membiayai seluruh kegiatan tataniaga mulai dari pembelian hingga penjualan kembali kepada konsumen akhir. Pembiayaan ini termasuk juga biaya penanggungan risiko dan transportasi. Fungsi informasi pasar dilakukan oleh pedagang pengecer pada setiap saluran yaitu saluran I,II dan IV. Informasi pasar ini berupa informasi harga yang berlaku di pasar serta kualitas dan jenis barang yang diinginkan oleh konsumen. Informasi pasar ini umumnya didapatkan dari sesama pedagang pengecer ataupun dari lembaga tataniaga sebelumnya. Pedagang pengecer melakukan fungsi informasi pasar setiap hari, hal ini dikarenakan kegiatan penjualan dan pembelian dilakukan setiap hari. Khusus pada supermarket, informasi pasar umumnya dilakukan dengan melakukan riset pasar. Media yang digunakan oleh pedagang pengecer dalam mengakses informasi pasar adalah dengan menggunakan handphone, melalui hubungan telepon ataupun perbincangan antar pedagang pengecer dan konsumen sebagai mitra penjualannya maupun pedagang pengumpul, supplier atau pedagang grosir sebagai mitra dalam hal pembelian. Dengan demikian, pedagang pengecer dapat menentukan harga jual dan harga beli yang sesuai dengan harga pasar yang berlaku dengan tingkat keuntungan yang diharapkan.
76
6.3 Struktur Pasar pada Masing-Masing Lembaga Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur 6.3.1 Struktur Pasar di Tingkat Petani Struktur pasar yang dihadapi oleh petani bawang daun di kawasan Agropolitan cenderung mendekati pasar bersaing. Hal ini didasarkan pada jumlah petani (penjual) yang banyak, karena penduduk di kedua desa kawasan Agropolitan Cianjur sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani, selain itu juga diikuti dengan banyaknya jumlah pedagang pengumpul yang bertindak sebagai pembeli di kawasan Agropolitan. Petani tidak dapat mempengaruhi terjadinya harga. Harga terbentuk berdasarkan mekanisme pasar dan sesuai dengan harga yang berlaku. Sehingga petani hanya bertindak sebagai penerima harga (price taker). Petani di kawasan Agropolitan dapat dengan bebas memilih untuk menjual hasil panen bawang daunnya kepada pedagang pengumpul manapun. Informasi pasar mengenai harga maupun jumlah komoditas bawang daun yang ada di pasar cukup mudah diakses oleh para petani di kawasan Agropolitan Cianjur ini. Para petani dapat mengakses informasi tersebut dari sesama anggota kelompok tani maupun dari petani lain dan pedagang pengumpul yang ada di kawasan Agropolitan. Petani sebagai pihak penjual dapat dengan mudah memasuki pasar bawang daun ini karena tidak ada hambatan yang berarti. Penjualan bawang daun yang dilakukan oleh petani pada umumnya sama, yaitu dengan cara borongan. Produk yang diperjualbelikan bersifat homogen, yaitu bawang daun yang belum mengalami pengolahan.
6.3.2 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul di kawasan Agropolitan berbeda-beda, hal ini bergantung pada tujuan tataniaga yang dilakukan. Pedagang pengumpul yang menyalurkan bawang daun ke supplier dan konsumen (restoran) menghadapi struktur pasar oligopsoni. Hal ini dikarenakan jumlah supplier dan restoran sebagai pembeli yang lebih sedikit dibandingkan jumlah pedagang pengumpul sebagai penjual. Produk yang diperjualbelikan bersifat standar yaitu bawang daun dengan kualitas super. Terdapat hambatan
77
untuk memasuki pasar ini dikarenakan penjual harus dapat memenuhi permintaan supplier dan restoran setiap harinya yaitu bawang daun dengan kualitas super. Selain itu, hambatan lain adalah proses jual beli antara pedagang pengumpul dengan restoran dilakukan berdasarkan perjanjian kontrak. Dalam hal penentuan harga, supplier cukup berpengaruh karena harga umumnya ditentukan oleh supplier dengan pertimbangan penentuan harga yang dilakukan oleh pesaing. Proses penjualan yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dengan restoran berjalan berdasarkan perjanjian antara kedua belah pihak. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul yang menyalurkan bawang daun ke pedagang grosir dan pedagang pengecer menghadapi struktur pasar bersaing. Jumlah pedagang pengumpul sebagai penjual yang menyalurkan bawang daun kepada pedagang grosir dan pedagang pengecer banyak. Produk yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu bawang daun dengan kualitas biasa. Tidak ada hambatan yang berarti untuk memasuki pasar ini, sehingga pedagang pengumpul dapat dengan mudah keluar masuk pasar. Baik pedagang pengumpul maupun pedagang grosir ataupun pengecer tidak dapat mempengaruhi terbentuknya harga. Harga terbentuk berdasarkan mekanisme pasar. 6.3.3 Struktur Pasar di Tingkat Supplier Struktur pasar yang dihadapi supplier di kawasan Agropolitan Cianjur yaitu pasar oligopsoni. Jumlah supplier sebagai penjual lebih banyak dibandingkan jumlah pedagang pengecer (supermarket) sebagai pembeli yang jumlahnya lebih sedikit. Produk yang diperjualbelikan bersifat standar yaitu bawang daun dengan kualitas super. Supermarket sebagai pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan harga, namun demikian supermarket ini juga harus memperhatikan tindakan yang dilakukan oleh supermarket lain, seperti besarnya harga yang ditentukan. Terdapat hambatan dalam memasuki pasar ini. Seorang supplier harus dapat menyediakan produk dengan kualitas baik yang sesuai dengan keinginan supermarket. Selain itu, seorang supplier harus mempunyai modal yang cukup besar, karena pembayaran dari supermarket dilakukan dalam jangka waktu dua minggu bahkan lebih jika terjadi keterlambatan pembayaran. Seorang supplier
78
tidak dapat dengan mudah keluar atau masuk pasar dikarenakan umumnya telah terjalin kontrak antara supplier dengan supermarket.
6.3.4 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Grosir Sebagian besar pedagang grosir melakukan pembelian bawang daun dari pedagang pengumpul. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang grosir adalah mendekati pasar bersaing. Hal ini berdasarkan jumlah pedagang grosir sebagai penjual yang banyak dengan pedagang pengecer sebagai pembeli juga banyak. Pedagang pengecer yang menjadi pembeli berasal dari daerah Depok, Jakarta dan Tangerang. Sifat barang yang diperjualbelikan homogen, yaitu bawang daun yang belum mengalami pengolahan. Pedagang grosir maupun pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi terbentuknya harga. Baik pedagang grosir maupun pedagang pengecer hanya bertindak sebagai price taker. Harga yang terbentuk berdasarkan mekanisme pasar dan harga yang berlaku. Pedagang grosir dapat dengan mudah keluar masuk pasar.
6.3.5 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer Pedagang pengecer
merupakan
lembaga
tataniaga
terakhir
yang
menyalurkan bawang daun langsung kepada konsumen akhir. Pedagang pengecer pada saluran tataniaga di kawasan Agropolitan menghadapi struktur pasar yang berbeda, hal ini dikarenakan perbedaan jenis pedagang pengecer yang ada. Pedagang pengecer yang merupakan supermarket menghadapi struktur pasar oligopoli. Hal ini dikarenakan jumlah supermarket sebagai penjual sedikit, dibandingkan dengan jumlah konsumen yang banyak. Supermarket dapat menentukan harga jual yang dapat memaksimumkan keuntungan, namun hal ini juga harus dengan memperhatikan tindakan supermarket lain sebagai pesaing. Jenis produk yang dipasarkan bersifat homogen yaitu bawang daun dengan kualitas super. Terdapat hambatan untuk keluar masuk pasar ini, diantaranya adalah kebutuhan modal yang sangat besar untuk dapat menjadi pedagang pengecer dalam bentuk supermarket. Kemampuan mengakses informasi untuk memasuki pasar ini juga sangat terbatas karena persaingan antar supermarket sangat ketat.
79
Pedagang pengecer pada pasar di Bekasi, Depok dan Tangerang menghadapi struktur pasar yang cenderung bersifat pasar bersaing. Hal ini didasarkan pada kondisi jumlah pedagang pengecer yang banyak dan jumlah konsumen sebagai pembeli juga banyak. Baik pedagang pengecer maupun konsumen tidak dapat mempengaruhi terbentuknya harga. Harga terbentuk berdasarkan mekanisme pasar. Jenis barang yang diperjualbelikan bersifat homogen. Pedagang pengecer pada pasar ini dapat dengan bebas untuk keluar masuk pasar dan memperoleh informasi mengenai harga, hal ini dikarenakan tidak terdapat hambatan yang berarti untuk dapat memasuki pasar ini.
6.4 Perilaku Pasar pada Sistem Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur Perilaku pasar adalah pola tingkah laku peserta pasar, yaitu produsen, konsumen dan lembaga tataniaga dalam memberikan respon terhadap situasi pasar yang sedang terjadi. Perilaku pasar ini dapat diamati dari praktek pembelian dan penjualan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat, sistem penentuan harga, sistem pembayaran serta kerjasama yang terjalin antar lembaga tataniaga.
6.4.1 Praktek Pembelian dan Penjualan 6.4.1.1 Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Petani Petani bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur hanya melakukan praktek penjualan saja. Sebagian besar petani menjual hasil panen bawang daunnya kepada pedagang pengumpul yang ada di kawasan Agropolitan. Praktek penjualan yang terjadi umumnya dilakukan dengan cara borongan yaitu petani menjual bawang daunnya di lahan petani, pedagang pengumpul mendatangi kebun petani kemudian melakukan pemanenan. Pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pengumpul kepada petani dilakukan satu hari setelah bawang daun yang dibeli terjual habis. Biaya tataniaga yang terdiri dari biaya pemanenan, pencucian dan pengangkutan bawang daun di kawasan Agropolitan sebagian besar ditanggung oleh pedagang pengumpul.
80
Petani juga tidak melakukan kegiatan standardisasi dan grading karena penjualan dilakukan secara borongan sehingga tidak membedakan kualitas. Petani dalam hal ini hanya dikenakan biaya penanggungan risiko yang umumnya sebesar 10 persen dari keseluruhan hasil panen yang dijual ke pedagang pengumpul. Biaya risiko ini merupakan biaya untuk mengganti sisa tanah yang masih menempel pada batang bawang daun dan bawang daun yang memiliki kualitas buruk (busuk). Pada saluran tataniaga III, petani melakukan kegiatan pemanenan hingga pengangkutan sendiri. Petani menyalurkan bawang daun kepada pedagang pengumpul yang nantinya akan menyalurkan bawang daun ke restoran. Praktek jual beli yang terjadi antara petani dengan pedagang pengumpul ini berdasarkan perjanjian kontrak yang telah disepakati kedua belah pihak. Sistem pembayaran dilakukan dalam jangka waktu dua minggu. Penjualan bawang daun yang dilakukan oleh seluruh petani responden pada waktu panen bulan April hingga Mei 2010 sebanyak 16.840 kg per hari.
6.4.1.2 Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Pengumpul Lembaga tataniaga yang menyalurkan bawang daun setelah petani adalah pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul di kawasan Agropolitan Cianjur umumnya membeli bawang daun dari petani dengan sistem borongan. Pedagang pengumpul biasanya mendatangi kebun bawang daun milik petani yang akan dipanen. Dengan demikian seluruh biaya tataniaga mulai pemanenan hingga pengemasan dan penjualan kembali ditanggung oleh pedagang pengumpul. Pembelian dilakukan secara tunai oleh pedagang pengumpul kepada petani. Namun, pedagang pengumpul pada saluran III tidak melakukan pemanenan, pedagang pengumpul membeli bawang daun yang telah dikemas dari petani. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pengumpul pada saluran III ini dilakukan setiap dua minggu. Pedagang pengumpul ini kemudian akan menjual bawang daun yang telah dikemas dan dilakukan penyortiran ke beberapa lembaga tataniaga yaitu kepada supplier, pedagang grosir, pedagang pengecer dan langsung kepada konsumen yaitu restoran. Pedagang pengumpul yang menyalurkan bawang daun kepada supplier dan restoran menjual bawang daunnya yang telah dipanen, disortasi,
81
dibersihkan dan dipotong ujung daun dan akarnya kemudian dikemas dalam kantong plastik. Pedagang pengumpul yang menjual bawang daunnya ke pedagang grosir dan pedagang pengecer hanya melakukan pemanenan, pencucian, sortasi dan pengemasan dalam kantong plastik, tanpa dilakukan pemotongan pada ujung daun dan akarnya. Jumlah bawang daun dari keseluruhan bawang daun yang dijual petani responden yang disalurkan kepada supplier sebanyak 8.050 kg (47,8%) per hari. Bawang daun yang disalurkan kepada pedagang grosir setiap harinya sebanyak 5.920 kg (35,15%). Sedangkan bawang daun yang disalurkan kepada pedagang pengecer dan restoran masing-masing sebanyak 1.300 kg (7,7%) dan 1.570 kg (9,3%).
6.4.1.3 Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Supplier Supplier melakukan pembelian bawang daun dari pedagang pengumpul yang berada di kawasan Agropolitan Cianjur. Pedagang pengumpul yang menyalurkan bawang daun ke supplier biasanya merupakan langganan supplier tersebut. Sehingga supplier tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan bawang daun yang dibutuhkan. Penjualan bawang daun dari pedagang pengumpul dilakukan per kantong plastik berukuran 8-10 kg bawang daun per plastik. Pembelian yang dilakukan oleh supplier kepada pedagang pengumpul dilakukan secara tunai. Bawang daun yang telah dibeli dari pedagang pengumpul kemudian dijual kembali ke pedagang pengecer (supermarket). Praktek penjualan antara supplier dengan pedagang pengecer (supermarket) dilakukan berdasarkan perjanjian kontrak. Pembayaran yang dilakukan supermarket kepada supplier dilakukan setiap dua minggu. Sebelum dilakukan penjualan, supplier melakukan pengemasan ulang yaitu ukuran 250 gram. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang disepakati antara supplier dengan pedagang pengecer (supermarket). Kegiatan pembelian dan penjualan dilakukan setiap hari.
6.4.1.4 Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Grosir Pedagang grosir melakukan pembelian dari pedagang pengumpul di kawasan Agropolitan Cianjur. Bawang daun yang dibeli dari pedagang
82
pengumpul merupakan bawang daun dengan kualitas biasa. Bawang daun yang dibeli merupakan bawang daun yang telah dikemas dalam plastik ukuran 8-10 kg bawang daun per plastik. Pembayaran yang dilakukan oleh pedagang grosir kepada pedagang pengumpul yaitu secara tunai. Bawang daun yang telah didapat kemudian dijual di loss milik pedagang grosir yaitu di Pasar Induk Tanah Tinggi dan Pasar Induk Kramat Jati. Penjualan dilakukan dengan sistem per kantong plastik berukuran 8-10 kg bawang daun. Pedagang pengecer yang menjadi pembeli merupakan pedagang pengecer dari daerah Bekasi, Depok dan Tangerang.
6.4.1.5 Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Pengecer Dalam penelitian ini, pedagang pengecer yang terlibat dalam sistem tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur merupakan pedagang pengecer supermarket di Jakarta dan Bogor, pedagang pengecer pasar tradisional di Bekasi, Tangerang dan Depok. Pedagang pengecer supermarket melakukan pembelian dari supplier, bawang daun yang dibeli merupakan bawang daun dengan kualitas super. Jual beli yang dilakukan oleh supermarket biasanya berdasarkan perjanjian kontrak. Pembayaran yang dilakukan oleh supermarket dilakukan setiap dua minggu. Pedagang pengecer di pasar tradisional melakukan pembelian bawang daun dari pedagang grosir ataupun dari pedagang pengumpul. Pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pengecer dilakukan secara tunai. Pedagang pengecer mendatangi sendiri kios atau loss pedagang pengumpul dan pedagang grosir untuk membeli bawang daun. Pembeli di tingkat pedagang pengecer merupakan konsumen terakhir yang membeli bawang daun untuk konsumsi sendiri ataupun diolah untuk dijual di rumah makan atau kedai-kedai makanan jadi. Konsumen pada pedagang pengecer supermarket merupakan konsumen menengah ke atas karena bawang daun yang dijual merupakan bawang daun dengan kualitas super yang harganya cenderung lebih mahal dibandingkan pada pasar tradisional. Sedangkan konsumen pada pasar tradisional cenderung merupakan konsumen menengah ke bawah. Kualitas bawang daun yang dijual pada pasar tradisional merupakan bawang daun dengan kualitas biasa, sehingga harganya relatif lebih murah.
83
6.4.2 Sistem Penentuan Harga Umumnya harga terbentuk atas tawar menawar antara pembeli dengan penjual. Penjual menawarkan harga tertentu sesuai dengan pertimbanganpertimbangan yang telah dipikirkan mengenai biaya dan keuntungan yang diinginkan oleh penjual. Penjual harus dapat melindungi harga yang mereka tawarkan agar mendapat keuntungan. Sedangkan pembeli menawarkan harga tertentu untuk
komoditas
yang sedang diperjualbelikan sesuai
dengan
pertimbangan-pertimbangan yang telah dilakukan oleh pembeli. Pembeli juga harus melindungi harga yang ditawarkan agar tidak mengalami kerugian. Ketika terjadi kesepakatan harga antara penjual dan pembeli pada saat itulah terjadi harga pasar dan transaksi dapat terjadi.
6.4.2.1 Sistem Penentuan Harga di Tingkat Petani Petani di kawasan Agropolitan Cianjur tidak dapat mempengaruhi penetapan harga. Dengan demikian petani hanya bertindak sebagai penerima harga (price taker). Harga yang diterima petani merupakan harga yang berlaku di pasar. Jika harga bawang daun mengalami penurunan, para petani di kawasan Agropolitan tetap melakukan penanaman dan pemanenan. Hal ini dilakukan karena bertani bawang daun merupakan pekerjaan utama dan menjadi sumber penghasilan bagi kehidupan mereka. Harga yang diterima petani ini cukup berfluktuasi. Selama waktu penelitian harga yang diterima petani bawang daun berkisar antara Rp2.300,00–Rp2.500,00 per kg. Namun, harga yang diterima petani pada saluran III dan IV lebih ditentukan oleh pedagang pengumpul yang selanjutnya menyalurkan kepada supplier dan restoran. Harga yang diterima petani pada saluran III dan IV lebih tinggi dibandingkan harga yang berlaku di pasar yaitu Rp3.000,00 per kg. Hal ini terjadi karena pada saluran III dan IV kualitas bawang daun yang dijual merupakan kualitas super. Selain itu, restoran dan supplier sanggup untuk membeli bawang daun lebih tinggi kepada pedagang pengumpul selama kualitas dan bentuk bawang daun sesuai dengan keinginan mereka. Dengan demikian, pedagang pengumpul pun dapat memberikan harga yang lebih tinggi kepada petani.
84
6.4.2.2 Sistem Penentuan Harga di Tingkat Pedagang Pengumpul Penentuan harga di tingkat pedagang pengumpul umumnya berdasarkan mekanisme pasar dan harga pasar yang berlaku. Pedagang pengumpul yang menghadapi supplier sebagai pembeli, penentuan harga umumnya berdasarkan harga beli yang diberikan oleh supermarket kepada supplier. Namun demikian, penentuan harga tetap mengacu pada harga pasar yang berlaku. Supplier akan menentukan harga beli kepada pedagang pengumpul setelah mempertimbangkan mengenai biaya dan keuntungan yang diinginkan oleh supplier. Harga yang berlaku biasanya lebih tinggi daripada harga yang berlaku di pasar. Harga yang diterima oleh pedagang pengumpul pada saat penelitian berlangsung yaitu sebesar Rp6.250,00 per kg. Pedagang pengumpul yang menghadapi pedagang grosir dan pedagang pengecer sebagai pembeli, harga terbentuk berdasarkan mekanisme pasar dan harga pasar yang berlaku. Sedangkan pedagang pengumpul yang menghadapi restoran sebagai pembeli, harga ditentukan berdasarkan perjanjian kontrak antara kedua belah pihak. Besarnya harga umumnya mengacu pada harga pasar yang berlaku, namun lebih tinggi dikarenakan perlakuan produk yang sedikit berbeda dan biaya tataniaga yang dilakukan. Harga yang diterima oleh pedagang pengumpul dari restoran pada saat penelitian yaitu Rp6.000,00 per kg. Sistem pembayaran oleh supplier, pedagang grosir dan pedagang pengecer kepada pedagang pengumpul dilakukan secara tunai, sedangkan yang dilakukan restoran yaitu setiap dua minggu sekali.
6.4.2.3 Sistem Penentuan Harga di Tingkat Supplier Penentuan harga di tingkat supplier dilakukan berdasarkan perjanjian kontrak antara supplier dengan pedagang pengecer (supermarket). Namun demikian, besarnya harga tetap mengacu pada harga pasar yang berlaku. Umumnya harga yang berlaku lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar bawang daun pada umumnya. Hal ini terjadi karena kualitas bawang daun yang diperjualbelikan merupakan kualitas super dan perlakuan terhadap produk yang lebih baik, seperti dilakukan pemotongan akar dan ujung daun. Harga yang berlaku di tingkat supplier pada saat penelitian dilakukan adalah Rp12.000,00 per
85
kg. Sistem pembayaran yang dilakukan supplier kepada pedagang pengumpul dilakukan secara tunai, sedangkan yang dilakukan supermarket kepada supplier setiap dua minggu sekali.
6.4.2.4 Sistem Penentuan Harga di Tingkat Pedagang Grosir Penentuan harga di tingkat pedagang grosir berdasarkan mekanisme pasar dan harga pasar yang berlaku. Hal ini juga dikarenakan oleh struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang grosir yaitu mendekati pasar bersaing. Pedagang grosir tidak dapat mempengaruhi terbentuknya harga. Harga bawang daun yang terjadi pada saat penelitian di tingkat pedagang grosir yaitu sebesar Rp4.000,00 per kg.
6.4.2.5 Sistem Penentuan Harga di Tingkat Pedagang Pengecer Penentuan harga di tingkat pedagang pengecer umumnya berdasarkan mekanisme pasar dan harga yang sedang berlaku di pasar. Pedagang pengecer yang terlibat dalam saluran tataniaga di kawasan Agropolitan Cianjur tidak mempunyai kekuatan untuk dapat menentukan harga, kecuali supermarket. Harga yang berlaku di tingkat pedagang pengecer pada saat penelitian yaitu sebesar Rp7.000,00 per kg. Pedagang pengecer (supermarket) dapat menentukan harga sesuai dengan kualitas bawang daun yang diperjualbelikan dan didasarkan atas biaya tataniaga yang dikeluarkan serta jumlah keuntungan yang diinginkan. Namun demikian, penentuan besarnya harga ini juga berdasarkan atas harga pasar yang berlaku dan harga yang ditetapkan oleh supermarket lain sebagai pesaing. Harga yang berlaku di tingkat supermarket pada saat penelitian yaitu sebesar Rp18.000,00 per kg.
6.4.3 Kerjasama antar Lembaga Tataniaga Kerjasama antar lembaga tataniaga sangat penting untuk dilakukan. Hal ini dilakukan untuk memperlancar terjadinya proses tataniaga bawang daun dari petani hingga konsumen akhir. Kerjasama antar lembaga tataniaga pada sistem tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur umumnya dalam bentuk kerjasama jual beli yang tidak terikat kontrak. Ada pula kerjasama pemberian modal yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dengan petani, namun hal ini
86
sangat jarang terjadi karena petani di kawasan Agropolitan umumnya menggunakan modal pribadi dalam menjalankan usahataninya. Petani yang dibantu permodalannya oleh pedagang pengumpul, umumnya tidak mendapatkan kesulitan dalam pengembaliannya. Pembayaran pinjaman dilakukan dengan menyerahkan hasil panen bawang daun sebanyak pinjaman yang diberikan oleh pedagang pengumpul kepada petani. Kerjasama yang terjadi antara petani dengan pedagang pengumpul lebih didasarkan atas kepercayaan dan rasa kekeluargaan. Kerjasama yang terjadi pada saluran tataniaga III dan IV antara pedagang pengumpul
dengan
restoran serta supplier
dengan
pedagang pengecer
(supermarket) yaitu kerjasama jual beli yang terikat dalam suatu perjanjian kontrak. Kerjasama lembaga tataniaga lain dalam sistem tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan ini tidak terikat oleh suatu perjanjian khusus. Umumnya pedagang pengumpul yang membeli bawang daun dari petani merupakan langganan petani tersebut. Namun, tidak menutup kemungkinan juga petani dapat menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul lain yang bukan merupakan pelanggan. Demikian halnya kerjasama yang terjadi antara pedagang pengumpul dengan pedagang grosir, pedagang grosir dengan pedagang pengecer dan pedagang pengecer dengan konsumen. Seluruhnya merupakan kerjasama jual beli bawang daun. Selain kerjasama jual beli, petani maupun pedagang pengumpul yang tinggal di kawasan Agropolitan ini juga melakukan kerjasama dengan pengelola
Agropolitan
dalam
hal
pelatihan
mengenai
pertanian
untuk
meningkatkan keterampilan petani dalam hal budidaya.
6.5 Efisiensi Tataniaga pada Sistem Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur Terdapat dua saluran tataniaga utama pada sistem tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur yang dapat dibandingkan nilai efisiensi tataniaganya karena tujuan akhir dari dua saluran utama ini sama (pasar tradisional) yaitu saluran I dan II. Disamping itu, terdapat dua saluran tataniaga alternatif yang dapat digunakan oleh petani, namun tidak dapat dibandingkan nilai efisiensi tataniaganya karena tujuan akhir tataniaga yang berbeda yaitu saluran III (restoran) dan IV (supermarket).
87
6.5.1 Marjin Tataniaga pada Sistem Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur Saluran tataniaga I merupakan saluran tataniaga yang memasarkan bawang daun dengan tujuan pedagang pengecer di Bekasi. Jenis bawang daun yang diperjualbelikan merupakan bawang daun dengan kualitas biasa. Biaya tataniaga yang dikeluarkan pada saluran I diantaranya adalah biaya panen, pencucian dan sortasi, biaya tenaga kerja, biaya transportasi, biaya penyusutan, biaya pengemasan, biaya komunikasi, biaya bongkar muat, biaya retribusi, biaya listrik dan biaya sewa kios
(Lampiran 3). Besarnya biaya tataniaga total pada saluran I
adalah Rp1.840,13. Keuntungan terbesar pada saluran I diperoleh pedagang pengumpul yaitu sebesar Rp1.472,82 per kg. Hal ini dikarenakan pedagang pengumpul menyalurkan langsung bawang daun kepada pedagang pengecer, sehingga harga yang diterima menjadi lebih tinggi dan keuntungan yang didapat pun lebih besar. Sedangkan keuntungan terkecil dirasakan oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp1.187,05 per kg. Marjin terbesar diperoleh pedagang pengumpul yaitu sebesar Rp2.500,00 per kg. Hal ini karena biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diambil oleh pedagang pengumpul lebih besar dibandingkan dengan pedagang pengecer. Biaya yang lebih besar ini karena jarak tempuh pedagang pengumpul yang cukup jauh yaitu dari Cianjur ke Bekasi, dibandingkan pedagang pengecer yang hanya menempuh jarak dari pedagang pengumpul yang terletak di Bekasi ke pasar di sekitar Bekasi. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul yaitu sebesar Rp1.027,18 per kg dan biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer yaitu Rp812,95 per kg bawang daun. Sedangkan marjin terkecil diperoleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp2.000,00 per kg (Lampiran 4). Pada saluran tataniaga II, biaya yang dikeluarkan diantaranya adalah biaya panen, pencucian dan sortasi, biaya tenaga kerja, biaya transportasi, biaya penyusutan, biaya pengemasan, biaya sewa kios, biaya bongkar muat, biaya retribusi dan biaya listrik (Lampiran 3). Jumlah biaya total yang dikeluarkan pada saluran tataniaga II yaitu sebesar Rp1.785,96 per kg. Biaya pada saluran II ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan biaya pada saluran I padahal rantai
88
tataniaga pada saluran II lebih panjang dibandingkan dengan rantai tataniaga pada saluran I. Hal tersebut dikarenakan biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer pada saluran II lebih efisien dibandingkan dengan pada saluran I. Umumnya pedagang pengecer dengan tujuan pasar eceran yang sama pada saluran II melakukan kegiatan pembelian dari pedagang grosir secara bersama-sama sehingga
biaya
pengangkutan
yang
ditanggung
menjadi
lebih
rendah
dibandingkan pedagang pengecer saluran I yang melakukan kegiatan pembelian secara individu. Keuntungan terbesar diperoleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp2.278,64 per kg, sedangkan keuntungan terkecil diperoleh pedagang pengumpul yaitu sebesar Rp 91,18 per kg. Hal ini dikarenakan biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer tidak besar yaitu Rp721,36 per kg bawang daun dan harga jual bawang daun yang berlaku di tingkat pedagang pengecer cukup besar yaitu Rp7.000,00 per kg bawang daun sehingga keuntungan yang diperoleh pedagang pengecer cenderung besar. Sedangkan di tingkat pedagang pengumpul harga yang berlaku tidak terlalu besar yaitu Rp2.800,00 per kg dengan biaya tataniaga sebesar Rp208,82 per kg dan harga beli dari petani sebesar Rp2.500,00 per kg, maka keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul menjadi kecil. Marjin tataniaga terbesar diperoleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp3.000,00 per kg dan marjin tataniaga terkecil diperoleh pedagang pengumpul yaitu sebesar Rp300,00 per kg bawang daun. Hal ini dikarenakan pedagang pengumpul tidak dapat mengambil keuntungan yang besar karena dibatasi oleh harga pasar yang berlaku. Harga pasar di tingkat pedagang pengumpul pada saluran ini lebih rendah dibandingkan pada saluran lainnya karena pedagang pengumpul saluran II ini merupakan pedagang pengumpul yang membeli dan menjual bawang daun masih di kawasan Agropolitan tersebut. Saluran tataniaga III mengeluarkan biaya tataniaga total yaitu sebesar Rp1.714,56 per kg. Biaya tataniaga tersebut diantaranya adalah biaya panen, pencucian dan sortasi, biaya tenaga kerja, biaya transportasi, biaya penyusutan, dan biaya pengemasan (Lampiran 3). Biaya yang dikeluarkan petani yaitu sebesar Rp200,00 per kg, sedangkan yang dikeluarkan pedagang pengumpul yaitu
89
Rp1.514,56 per kg bawang daun. Keuntungan terbesar didapatkan oleh pedagang pengumpul yaitu sebesar Rp 1.485,44 per kg. Hal ini dikarenakan pedagang pengumpul memiliki kemampuan untuk menentukan harga yang dapat memaksimalkan keuntungan yang didapat. Sedangkan keuntungan yang didapatkan petani yaitu sebesar Rp737,21 per kg bawang daun. Marjin yang diperoleh petani dan pedagang pengumpul masing-masing adalah sebesar Rp937,21 per kg dan Rp3.000,00 per kg. Marjin total pada saluran III ini adalah Rp3.937,00 per kg (Lampiran 4). Saluran tataniaga IV mengeluarkan total biaya tataniaga yaitu sebesar Rp2.623,27 per kg. Biaya tersebut terdiri dari biaya panen, pencucian dan sortasi, biaya tenaga kerja, biaya transportasi, biaya penyusutan, biaya pengemasan dan biaya komunikasi (Lampiran 3). Namun, karena keterbatasan informasi, biaya tataniaga pada supermarket tidak dapat diketahui karena sulitnya akses utuk mendapatkan data tersebut. Biaya pada saluran tataniaga IV ini merupakan biaya tataniaga terbesar diantara biaya tataniaga pada saluran lainnya. Hal ini dikarenakan biaya penyusutan produk lebih besar dibandingkan pada saluran lainnya. Bawang daun yang disalurkan pada tataniaga IV ini merupakan bawang daun dengan kualitas super, jika terjadi kerusakan sedikit pada bawang daun di saluran IV ini, biaya yang dikeluarkan lebih besar karena tidak dapat terjual. Keuntungan terbesar diperoleh pedagang pengecer yaitu supermarket sebesar Rp6.000,00 per kg. Namun keuntungan ini bukan merupakan keuntungan bersih karena termasuk juga biaya di dalamnya yang tidak diketahui besarnya biaya yang dikeluarkan oleh supermarket. Sedangkan keuntungan terkecil diperoleh pedagang pengumpul yaitu sebesar Rp2.289,71 per kg. Marjin tataniaga terbesar diperoleh pedagang pengecer (supermarket) yaitu sebesar Rp6.000,00 per kg, sedangkan marjin tataniaga terkecil diperoleh pedagang pengumpul yaitu sebesar Rp3.250,00 per kg. Biaya tataniaga terbesar antara saluran I dan II ada pada saluran tataniaga I yaitu sebesar Rp1.840,13 per kg. Total keuntungan yang paling besar diantara saluran tataniaga tersebut berada pada saluran tataniaga II yaitu sebesar Rp2.714,04 per kg. Hal ini terjadi karena biaya tataniaga dan harga beli yang
90
dikeluarkan oleh pedagang pengecer saluran II lebih rendah dibandingkan dengan saluran I sehingga keuntungan yang didapat menjadi lebih tinggi. Total marjin tataniaga pada saluran tataniaga I dan II besarnya sama yaitu sebesar Rp4.500,00 per kg. Jika dibandingkan antara saluran I dan II yang lebih efisien adalah saluran II karena biaya tataniaga pada saluran II lebih rendah dibandingkan dengan saluran I meskipun nilai marjin tataniaga yang terbentuk sama. 6.5.2 Farmer’s Share pada Sistem Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur Selain marjin tataniaga, kriteria lain yang dapat menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditas adalah farmer’s share. Farmer’s share merupakan bagian harga yang diterima petani terhadap harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir dan dinyatakan dalam persentase. Farmer’s share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga. Semakin tinggi marjin tataniaga, maka bagian yang diterima oleh petani semakin rendah. Farmer’s share pada setiap saluran tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Farmer’s Share pada Setiap Saluran Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur Harga di Tingkat Harga di Tingkat Farmer’s Saluran Tataniaga Petani (Rp/kg) Konsumen (Rp/kg) share (%) Saluran tataniaga I 2.500 7.000 35,71 Saluran tataniaga II 2.500 7.000 35,71 Saluran tataniaga III 3.000 6.000 50,00 Saluran tataniaga IV 3.000 18.000 16,67 Saluran tataniaga I dan II memiliki nilai farmer’s share yang sama yaitu sebesar 35,71 persen dengan produk akhir yang dikonsumsi oleh konsumen akhir sama. Nilai farmer’s share sebesar 35,71 persen tersebut berarti setiap Rp100,00 yang dibayarkan konsumen akhir maka petani akan mendapatkan bagian sebesar Rp 35,71. Dengan demikian, baik saluran I maupun saluran II memiliki tingkat efisiensi yang sama jika dilihat dari nilai farmer’s share. Pada saluran tataniaga III nilai farmer’s share yang terbentuk cukup besar yaitu sebesar 50 persen. Hal ini berarti bahwa saluran tataniaga III merupakan saluran alternatif yang dapat memberikan keuntungan terbaik bagi petani. Namun, sistem pembayaran yang tidak tunai pada saluran III ini dapat menjadi kendala
91
bagi petani untuk mendapatkan keuntungan yang besar meskipun nilai farmer’s share yang dihasilkan besar. Farmer’s share yang besar ini dikarenakan saluran tataniaga III merupakan saluran tataniaga yang paling pendek. Saluran tataniaga IV memiliki nilai farmer’s share sebesar 16,67 persen. Hal ini dikarenakan terlalu besarnya perbedaan harga yang diterima konsumen dengan harga yang diterima petani akibat adanya biaya tataniaga yang cukup besar pada saluran IV. 6.5.3 Rasio Keuntungan dan Biaya pada Sistem Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur Kriteria lain dalam menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditas selain marjin tataniaga dan farmer’s share adalah rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya ini berarti dari setiap Rp 100 per kg biaya tataniaga yang dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan sebesar rasio keuntungan dan biayanya. Sebaran rasio keuntungan dan biaya pada setiap lembaga tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan dapat dilihat pada Tabel 22. Nilai rasio keuntungan dan biaya yang terbesar antara saluran I dan II ada pada saluran II yaitu sebesar 1,52 yang berarti bahwa setiap Rp 100,- per kg biaya tataniaga yang dikeluarkan untuk memasarkan bawang daun dapat memberikan keuntungan sebesar Rp152,00 per kg. Dengan demikian saluran II merupakan saluran tataniaga yang paling efisien. Total rasio keuntungan dan biaya pada saluran tataniaga IV cukup besar yaitu 4,72, namun demikian besarnya biaya pada tingkat pedagang pengecer (supermarket) tidak diketahui sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti berapa sebenarnya besar rasio keuntungan dan biaya yang terbentuk pada saluran tataniaga IV. Saluran III memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 1,30. Kecilnya nilai rasio keuntungan dan biaya pada saluran III ini disebabkan karena saluran tataniaga yang pendek.
92
Tabel 22. Rasio Keuntungan dan Biaya Lembaga Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur Saluran Lembaga Tataniaga I II III IV Petani Biaya (c) (Rp/kg) 200 Keuntungan (π) (Rp/kg) 737,21 Rasio π/c 3,69 Pedagang Pengumpul Biaya (c) (Rp/kg) 1.027,18 208,82 1.514,56 960,29 Keuntungan (π) (Rp/kg) 1.472,82 91,18 1.485,44 2.289,71 Rasio π/c 1,43 0,44 0,98 2,38 Pedagang Grosir Biaya (c) (Rp/kg) 855,78 Keuntungan (π) (Rp/kg) 344,22 Rasio π/c 0,40 Supplier Biaya (c) (Rp/kg) 1.662,98 Keuntungan (π) (Rp/kg) 4.087,02 Rasio π/c 2,46 Pedagang Pengecer Biaya (c) (Rp/kg) Keuntungan (π) (Rp/kg) Rasio π/c Total Biaya (c) (Rp/kg) Keuntungan (π) (Rp/kg) Rasio π/c
812,95 1.187,05
Data Tidak Diperoleh
721,36 2.287,64
1,46
3,17
1.840,13 2.659,87 1,45
1.785,96 2.723,04 1,52
6.000 Data Tidak Diperoleh
1.714,56 2.222,65 1,30
2.623,27 12.376,73 4,72
93
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1.
Saluran tataniaga bawang daun yang terdapat pada sistem tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan berjumlah empat saluran yaitu, dua saluran merupakan saluran utama (saluran I dan II), sedangkan saluran III dan IV merupakan saluran alternatif. Jumlah bawang daun yang dipasarkan oleh petani melalui saluran I sebanyak 7,7 persen, saluran II sebanyak 35,15 persen, saluran III sebanyak 9,3 persen dan saluran IV sebanyak 47,8 persen.
2.
Lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur adalah petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer dan supplier.
3.
Setiap lembaga tataniaga yang terlibat pada saluran tataniaga bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur melakukan fungsi tataniaga masing-masing yang terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Tidak seluruh fungsi tataniaga dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga. Fungsi tataniaga tersebut dilakukan sesuai dengan kegiatan tataniaga yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga.
4.
Struktur pasar yang dihadapi oleh petani bawang daun di kawasan Agropolitan cenderung mendekati pasar bersaing. Pedagang pengumpul yang menyalurkan bawang daun ke supplier dan konsumen (restoran) menghadapi struktur pasar oligopsoni. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul yang menyalurkan bawang daun ke pedagang grosir dan pedagang pengecer menghadapi struktur pasar yang cenderung mendekati persaingan sempurna. Struktur pasar yang dihadapi supplier di kawasan Agropolitan Cianjur yaitu pasar oligopsoni. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang grosir adalah mendekati pasar bersaing. Pedagang pengecer yang merupakan supermarket menghadapi struktur pasar oligopoli. Pedagang pengecer pada pasar di Bekasi, Depok dan Tangerang menghadapi struktur pasar yang cenderung bersifat pasar bersaing. Perilaku pasar pada setiap lembaga tataniaga umumnya sama. Kegiatan pembelian dan penjualan pada setiap tingkat lembaga tataniaga berjalan dengan baik. Penentuan harga
dilakukan berdasarkan kesepakatan dan mekanisme pasar yang mengacu pada harga yang berlaku di pasar. 5.
Kerjasama yang terjadi antar lembaga tataniaga umumnya dalam bentuk kerjasama jual beliyang tidak terikat kontrak. Kerjasama ini berjalan cukup baik, masing-masing lembaga tataniaga yang bekerjasama dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Kerjasama yang terjadi antara petani dengan pedagang pengumpul lebih didasarkan atas kepercayaan dan rasa kekeluargaan.
6.
Saluran tataniaga yang paling efisien adalah saluran tataniaga II karena memiliki biaya tataniaga yang paling rendah serta nilai rasio keuntungan dan biaya yang paling besar dibandingkan saluran I.
7.2 Saran 1.
Fungsi pengolahan sebaiknya dapat dilakukan oleh petani bawang daun dengan memanfaatkan kelompok wanita tani yang telah ada di kawasan Agropolitan, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah bagi bawang daun tersebut mengingat bahwa bawang daun memiliki kandungan gizi yang cukup baik bagi kesehatan dan memiliki potensi pasar yang besar. Sebagai contoh, bawang daun dapat diolah menjadi keripik bawang daun.
2.
Pengelola Agropolitan sebaiknya dapat lebih bekerjasama dengan petani bukan dalam hal budidaya saja tetapi juga dalam hal memasarkan bawang daun yang dihasilkan, sebagai contoh menyediakan alat angkut bagi para petani yang akan menyalurkan bawang daun ke STA yang letaknya cukup jauh sehingga petani dapat memanfaatkan dengan maksimal fasilitas pendukung yang tersedia di kawasan Agropolitan tersebut. Disamping itu, pemerintah dan pengelola Agropolitan sebaiknya dapat menjembatani dua kepentingan yang berbeda antara STA dan petani dengan memberikan penyuluhan yang jelas kepada petani mengenai manfaat sistem kemitraan dalam memasarkan bawang daun yang dihasilkan. Karena dengan menjalin kemitraan tersebut maka petani memiliki kepastian mengenai harga maupun jumlah bawang daun yang dipasarkan.
95
3.
Perlu ditingkatkan kembali kerjasama antar petani dalam kelompok tani untuk dapat membuat suatu saluran tataniaga yang terkoordinasi dengan jalur distribusi yang jelas, sehingga saluran tataniaga yang terjadi dapat meningkatkan efisiensi tataniaga. Dengan demikian, bargaining position petani dapat lebih kuat dalam proses tataniaga bawang daun, daripada tataniaga yang dilakukan secara individu. Hal ini juga dapat digunakan untuk mengantisipasi terjadinya fluktuasi harga.
96
DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, A. 2006. Strategi mempertahankan multifungsi pertanian di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25:99. Anniro, N. 2009. Analisis sistem tataniaga beras pandan wangi di Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Anugrah, I.S. 2004. Pengembangan Sub Terminal Agribisnis (STA) dan pasar lelang komoditas pertanian dan permasalahannya. Forum Penelitian Agro Ekonomi 22:102. Asmarantaka, R.W. 2008. Tataniaga produk agribisnis [bahan kuliah]. Bogor. _______________. 2009. Tataniaga produk-produk pertanian. Di dalam Kusnadi N, Fariyanti A, Rachmina D, Jahroh S, editor. Bunga Rampai Agribisnis Seri Tataniaga. Bogor: IPB Press. Hlm 19-43. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Cahyono, B. 2005. Bawang daun : teknik budidaya dan analisis usahatani. Yogyakarta: Kanisius. Dahl, D.C. And Hammond, J.W. 1977. Market and price analysis the agricultural industries. Mc-Graw-Hill, Inc. Departemen Pertanian. 2008. Agropolitan kota kebanggaan masyarakat tani. Departemen Pertanian. Jakarta. __________________. 2009 (a). Nilai PDB Hortikultura berdasarkan Harga Berlaku Periode 2004-2008. Jakarta: Departemen Pertanian. __________________. 2009 (b). Volume ekspor komoditas sayuran di Indonesia periode 2003-2008. Jakarta: Departemen Pertanian. Desa Sindangjaya. 2009. Daftar Isian Potensi Desa dan Kelurahan. Desa Sindangjaya. Cianjur. Desa Sukatani. 2009. Daftar Isian Potensi Desa dan Kelurahan. Desa Sukatani. Cianjur. Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. 2004. Master Plan Agropolitan Cianjur. Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. Cianjur. Ditjen Hortikultura. 2010. Pedoman umum pelaksanaan pengembangan hortikultura tahun 2010. Ditjen Hortikultura. Jakarta
Djaka, R.D. 2003. Pengembangan kawasan Agropolitan dalam rangka pengembangan wilayah berbasis Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Ditjen Penataan Ruang Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta. Hanafiah, A.M dan Saefuddin, A.M. 2006. Tataniaga Hasil Perikanan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Hasian, DE. 2008. Usahatani dan tataniaga kacang kapri di Kecamatan Warungkondang, Cianjur, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kohls, R.L dan Uhl, J.N. 2002. Marketing of Agricultural Products 9th Edition. New Jersey. Prentice Hall. Limbong, W.H dan Sitorus, P. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mulyahati, A. 2005. Saluran tataniaga wortel di kawasan Agropolitan Cianjur [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Panjaitan, M.B. 2009. Analisis tataniaga ikan bandeng (Chanos chanos, de Forskal) kasus di Desa Muara Baru Kecamatan Cimalaya Wetan Kabupaten Karawang Jawa Barat [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Rachmina, D dan Burhanuddin. 2008. Panduan Penulisan Proposal dan Skripsi. Bogor: Departemen Agribisnis FEM IPB. Rivai, D.E. 2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan Sebagai Pendekatan Wilayah dan Pemberdayaan Masyarakat Pertanian. Makalah Pengantar Falsafah Sains Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sari, Y.I. 2006. Analisis sistem tataniaga wortel dan bawang daun (studi kasus Desa Sukatani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat) [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Subdin Bina Program Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur. 2009. Laporan tahunan subdin bina program tanaman pangan dan hortikultura Kabupaten Cianjur tahun 2009. Cianjur. Subdin Bina Usaha Kabupaten Cianjur. 2009. Laporan tahunan subdin bina usaha Kabupaten Cianjur tahun 2009. Cianjur. Sudiyono, A. 2002. Pemasaran pertanian. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. [Susenas] Survei Sosial Ekonomi Nasional. 2009. Konsumsi Sayuran Per Kapita. Jakarta: Survei Sosial Ekonomi Nasional. 98
LAMPIRAN
Lampiran 1. Konsumsi Sayuran Per Kapita Indonesia (Kg/Th) No. Jenis Sayuran 2002 2005 1. Bawang merah 2,20 2,21 2. Ketimun 1,72 1,92 3. Kacang merah 4. Kacang panjang 3,74 3,69 5. Kentang 1,77 1,92 6. Kubis 1,92 2,03 7. Tomat 1,53 1,34 8. Wortel 0,83 1,09 9. Cabe merah 1,42 1,51 10. Cabe hijau 0,22 0,24 11. Cabe rawit 1,12 1,16 12. Terung 2,50 2,5 13. Petsai/sawi 0,52 0,78 14. Kangkung 4,63 4,94 15. Labu siam 0,88 0,94 16. Buncis 0,88 0,94 17. Bayam 4,16 4,78 18. Bawang putih 1,07 1,21 19. Jamur 0,05 0,05 20. Petai 21. Jengkol 22. Lainnya 1,72 2,03 JUMLAH SAYUR 32,89 35,33
2008 2,74 2,08 3,80 2,03 1,92 2,23 1,14 1,54 0,27 1,44 2,91 0,88 4,78 1,46 0,94 4,00 1,71 0,06 0,30 0,47 2,76 39,45
Sumber : Susenas (2009)
100
Lampiran 2. Produksi Bawang 2005-2008 Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Daerah Khusus Ibukota Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Daerah Istimewa Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Papua Maluku Utara Papua Barat Total
Daun
Berdasarkan
Propinsi
Produksi (Ton) 2006 2007
2005
Tahun
2008
1.567
1.766
2.224
3.089
22.666 10.490 2 1.756 1.941 9.142 3.223 64
25.509 10.726 49 1.717 2.044 19.325 4.774 443
19.124 3.089 36 1.161 2.578 26.962 3.839 161
18.678 14.971 40 1.940 3.178 34.253 5.178 86
0
0
0
0
264.830 80.679
273.249 105.221
217.040 81.899
249.907 84.941
1.548
1.152
1.570
1.494
47.608 1.126 1.132
57.774 1.090 1.907
47.968 1.163 1.860
56.333 117 1.301
66
139
255
425
532
462
360
537
1.070
1.065
911
768
781
811
656
1.436
381
811
345
236
813
967
1.154
1.495
30.537 191 16.518
40.205 646 16.215
39.523 458 16.386
54.483 517 10.042
1.589
1.601
1.402
430
69 0 0 747 182 187 501.437
42 363 0 768 166 261 571.268
192 497 0 361 134 619 473.927
209 523 0 653 199 284 547.743
Sumber : Departemen Pertanian (2010)
101
Lampiran 3. Biaya Tataniaga pada setiap Lembaga dan Saluran Tataniaga Bawang Daun di Kawasan Agropolitan Cianjur Jenis Biaya pada setiap Lembaga Tataniaga
Jumlah biaya rata-rata (Rp/kg) pada setiap saluran tataniaga 1 2 3 4
Petani Biaya Panen, Pencucian dan Sortasi
100
Biaya Pengemasan
100
Jumlah Biaya Tataniaga
200
Pedagang Pengumpul Biaya Panen, Pencucian dan Sortasi
100
100
100
200
Biaya Tenaga Kerja
150
0
10
5.56
Biaya Transportasi
167
3.56
100
25.72
500.18
85.27
1204.56
627.15
Biaya Pengemasan
80
20
100
100
Biaya Komunikasi
0
0
0
1.85
12.5
0
0
0
Biaya Retribusi
15
0
0
0
Biaya Listrik
2.5
0
0
0
1027.18
208.82
1514.56
960.29
Biaya Penyusutan
Biaya Bongkar Muat
Jumlah Biaya Tataniaga Pedagang Grosir Biaya Tenaga Kerja
125.51
Biaya Transportasi
201.4
Biaya Penyusutan
400.08
Biaya Pengemasan
80
Biaya Sewa Kios
12.22
Biaya Bongkar Muat
20.57
Biaya Retribusi
12.03
Biaya Listrik
3.97
Jumlah Biaya Tataniaga
855.78
Supplier Biaya Tenaga Kerja
48.31
Biaya Transportasi
234.64
Biaya Penyusutan
1200.03
Biaya Pengemasan
180
Jumlah Biaya Tataniaga
1662.98
Pedagang Pengecer Biaya Tenaga Kerja
120.24
175
Biaya Transportasi
240.48
133.34
Biaya Penyusutan
241.12
121.91
50
50
111.11
111.11
0
6.67
Biaya Retribusi
25
88.33
Biaya Listrik
25
35
812.95
721.36
1840.13
1785.96
Biaya Pengemasan Biaya Sewa Kios Biaya Bongkar Muat
Jumlah Biaya Tataniaga Total Biaya Tataniaga
1714.56
2623.27
102
Lampiran 4. Marjin Tataniaga Bawang Daun pada Saluran Tataniaga I, II, III dan IV di Kawasan Agropolitan Uraian
Saluran I Rp/kg
%
2.062,79 0
Saluran II
Saluran III Rp/kg
Saluran IV
Rp/kg
%
%
Rp/kg
%
29,47
2.062,79
29,47
2.062,79
34,38
2.062,79
11,46
0
0
0
200
3,33
0
0
437
6,25
437
6,25
737,21
12,29
937,21
5,21
0
0
0
0
937,21
15,62
0
0
2.500
35,71
2.500
35,71
3.000
50
3.000
16,67
2.500
35,71
2.500
35,71
3.000
50
3.000
16,67
Biaya Tataniaga
1.027,18
14,67
208,82
2,98
1.514,56
25,24
960,29
5,33
Keuntungan Marjin Tataniaga
1.472,82
21,04
91,18
1,30
1.485,44
24,76
2.289,71
12,72
2.500
35,71
300
4,29
3.000
50
3.250
18,06
5.000
71,43
2.800
40
6.000
100
6.250
34,72
2.800
40
Biaya Tataniaga
855,78
12,23
Keuntungan Marjin Tataniaga
344,22
4,92
1.200
17,14
Harga Jual
4.000
57,14 6.250
34,72
Biaya Tataniaga
1.662,98
9,24
Keuntungan Marjin Tataniaga
4.087,02
22,71
5.750
31,94
12.000
66,67 66,67 Data tidak diperoleh
Petani Biaya Produksi Biaya Tataniaga Keuntungan Marjin Tataniaga Harga Jual
Pedagang Pengumpul Harga Beli
Harga Jual Pedagang Grosir Harga Beli
Supplier Harga Beli
Harga Jual Pedagang Pengecer Harga Beli
5.000
71,43
4.000
57,14
812,95
11,61
721,36
10,31
12.000 Data tidak diperoleh
1.187,05
16,96
2.278,64
32,55
6.000
33,33
2.000
28,57
3.000
42,86
6.000
33,33
7.000
100
7.000
100
18.000
100
Total Biaya Total Keuntungan
1.840,13
26,29
1.785,96
25,51
1.714,56
28,58
2.623,27
14,57
2.659,87
38,00
2.714,04
38,77
2.222,65
37,04
12.376,73
68,76
Total Marjin
4.500
64,29
4.500
64,29
3.937
66
15.000
83,33
Biaya Tataniaga Keuntungan Marjin Tataniaga Harga Jual
103