Suksesi Kepemimpinan dalam Islam
ANALISIS SISTEM SUKSESI KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM M. Saripuddin Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi
Abstrak Sejarah mencatat pengangkatan Abu Bakar Shidiq menjadi khalifah melalui musyawarah yang panjang di saqifah dan diakhiri dengan pembai’atannya oleh seluruh umat Islam yang hadir disana. Menurut Dhiya’uddin Rais, bahwa pertemuan di Saqifah itu mirip dengan pertemuan nasional atau muktamar luar biasa yang membicarakan nasib umat dalam perjalannya pada masa mendatang, dan meletakkan dustur bagi institusi politik yang baru dan menjadi landasan operasional institusi di masa mendatang. Kata Kunci: Khalīfah, Syūra, Sunni, Syiah, Ahl al-Imāmah Hasil terbesar pertemuan Saqifah adalah berdirinya institusi kekhalifahan yang sejak saat itu menjadi model pemerintahan Islam. Berdirinya institusi politik Islam ini dalam bentuk disepakati oleh para peserta pertemuan mengandung maknamakna yang melahirkan hasil perundang-undangan yang besar. Prof. D.B. Machdonald1, seorang penulis barat, memberikan kesaksian bahwa pertemuan di Saqifah itu mengingatkan secara dekat kepada muktamar politik di era modern yang dalamnya berlangsung perdebatan-perdebatan politik yang menggunakan metode-metode modern. Dari pertemuan di Saqifah itu, Dhiya’uddin Rais menyimpulkan terdapat beberapa teori pemikiran, antara lain : Pertama, teori membela kalangan Anshar yang mengklaim diri mereka sebagai pihak yang berhak untuk memegang jabatan kekhalifahan, dengan alasan merekalah yang membela Islam, 1
D.B. Macdonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence, and Constitutional Theory (New York: The Mac Milan, 1903), 13. TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
195
M. Saripuddin
menjaganya dengan jwia dan harta mereka, yang memberikan tempat dan pertolongan, dan merekalah penduduk asli Madinah. Ini adalah teori politik pertama yang timbul dalam sejarah pemikiran politik Islam2. Kedua, teori yang merupakan bantahan atas teori pertama diatas, berupa pembelaan atas hak kaum Muhajirin atas jabatan kekhalifahan. Teori ini membuktikan bahwa mereka lebih berhak atas jabatan khalifah dibandingkan dengan yang lain, dengan alasan merekalah yang pertama kali menyembah Allah SWT diatas permukaan bumi. Mereka adalah orang-orang kepercayaan Rasul dan keluarga beliau, dan yang bersabar bersama beliau dalam menerima penganiayaan yang keras dari kaumnya dan pendustaan mereka3. Di samping teori di atas, adapula teori ketiga yang dikemukakan oleh Habbad bin Mundzir bin Jamuh, misalnya dengan mengangkat dua khalifah sekaligus, yaitu saat ia berkata “ Dari kami ada pemimpin tersendiri, dan dari kalian ada pemimpin tersendiri pula.” Namun, peserta pertemuan itu, meskipun titik pandang masing-masing kelompok berbeda, menyepakati konsep yang amat penting, yaitu pemilihan kepala negara dilakukan dengan bai’at atau dengan kata lain pemilihan4. Para peserta pertemuan itu akhirnya sepakat untuk memilih Abu Bakar menjadi khalifah (pemimpin) bagi mereka. Pemilihan Abu Bakar bukan karena didasarkan pada sistem kekabilahan atau karena mengikuti adat-istiadat yang berlakuy di kalangan bangsa Arab, sejak lama dengan melihat usia dan kekuasaan. Namun, pemilihan Abu Bakar itu didasarkan karena melihat beliau mempunyai kedudukan keagamaan yang tinggi, dibandingkan sahabat yang lain, dan hal itu diakui oleh semua umat Islam. Dia adalah kelompok yang pertama masuk Islam, telah berjasa besar dalam membela Islam, bersahabat sejak lama dengan Rasulullah SAW, keikhlasannya yang demikian besar, 2
Dhiya’uddin Rais, Al-Islam wa al-Khalifah fi al-Ashr al-Hadits (Naqd Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm), tej. Afif Mohammad (Bandung: Pustaka, 1985), 15. 3 Dhiya’uddin Rais, Al-Islam wa al-Khalifah fi al-Ashr al-Hadits, 15. 4 Dhiya’uddin Rais, Al-Islam wa al-Khalifah fi al-Ashr al-Hadits, 15.
196
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Suksesi Kepemimpinan dalam Islam
imannya yang teguh, serta sifat-sifat dan akhlaknya yang mulia, sehingga menjadikan dirinya sebagai pribadi teladan yang sempurna bagi umat Islam. Hal itu digambarkan oleh Umar bin Khattab dalam ucapannya, “Tidak ada di antara kalian yagn dapat menundukkan semua orang seperti Abu Bakar.”5 Jika saja pemilihan tersebut dilakukan sesuai dengan adat istiadat bangsa Arab, niscaya mereka akan memilih Ibu Ubadah, pemimpin kalangan Khazraj, atau Abu Sufyan, pemimpin tertua Bani Umayyah, ada juga Abbas, petinggi keluarga Bani Hasyim. Diantara mereka juga ada yang lebih tua daripada Abu Bakar. Seandainya demikian, niscaya mereka tidak akan berpaling dari keluarga-keluarga yang kuat itu untuk kemudian memilih salah seorang keturunan suku Tan’im yang lemah, seperti Abu Bakar. Terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah menurut sejarah, dikuatkan dengan sebuah bai’at yang dilakukan oleh rakyat dengna sebuah seremoni pembai’atan umum di dalam masjid pada keesokan harinya. Setelah pembai’atan Abu Bakar naik ke atas mimbar dan menyampaikan pidato pelantikan di hadapan khalayak. Pidato itu merupakan pidato pertama yang menerangkan sistem pemerintahan Islam6. Di antara berbagai hal yang memprioritaskan Abu Bakar untuk dipilih menjadi khalifah, karena kredibilitasnya di mata umat Islam. Abu Bakar merupakan teman Rasul dalam berhijrah, seperti yang diterangkan dalam al-Qur’an Surat alTaubah : 40 : Artinay : Sedang Dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu Dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita." 5
Dhiya’uddin Rais, Al-Islam wa al-Khalifah fi al-Ashr al-Hadits, 16. Abu Ja’far ibn Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), Jilid III, 210. 6
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
197
M. Saripuddin
Faktor lain yang membuat diprioritaskannya Abu Bakar adalah perintah Rasulullah kepada Abu Bakar di kala beliau sakit sebelum meninggal dunia utnuk menjadi imam shalat. Abu Bakar menjalankan tugas tersebut selama tiga hari secara keseluruhan berjumlah tuju belas kali shalat. Bagi umat muslim, hal itu dianggap sebagai isyarat dari Rasulullah SAW bahwa beliau telah menunjuk Abu Bakar untuk menggantikan beliau. Bahkan sebagian ulama melihat hal itu sebagai wasiat eksplisit dari Rasulu bagi Abu Bakar untuk menjadi khalifah Rasul setelah beliau wafat7. Sistem pengangkatan kepala negara sepanjang sejarah Islam dapat dikategorikan ke dalam dua poila, yaitu pengangkatan berdasarkan nash atau wasiat dan pengangkatan berdasarkan syura’ atau pemilihan. Pola pertama dipegang oleh kaum Syiah, sedangkan pola kedua dianut kelompok Sunni. Menurut kelompok Syi’ah, kepala negara harus diangkat berdasarkan nash dan wasiat. Akan tetapi, golongan Sunni memandang hadits-hadits tersebut tidak mutawir sehingga tidak memadai untuk dijadikan dalil8. Menurut golongan Sunni, pengangkatan kepala negara harus didasarkan kepada pilihan umat atau lazim disebut dengan syura. Alasannya, pertama, karena tidak adanya nash yang qath’i tentang siapa pengganti Nabi sebagai kepala negara Islam. Kedua, karena prinsip pemerintahan dalam Islam itu berdasarkan syura. Secara lebih rinci Abu Zaharah menjelaskan bahwa kalangan jumhur ahl al-Sunnah sepakat bahwa pelaksanaan syura dalam pengangkatan kepala negara dapat ditempuh melalui tiga cara. Pertama, melalui pemilihan bebas yang dilaksanakan melalui musyawarah, tanpa ada pengangkatan atau penunjukkan oleh seseorang. Kedua, pengangkatan atau penunjukkan dari khalifah yang berkuasa terhadap seseorang yang bukan keluarganya. Ketiga, pengangkatan atau penunjukkan oleh khalifah yang berkuasa 7
Abu Ja’far ibn Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 197. Lihat juga Dhiya’uddin Rais, Al-Islam wa al-Khalifah fi alAshr al-Hadits, 131. 8 Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal (Jakarta: Paramadina, 2001), 228.
198
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Suksesi Kepemimpinan dalam Islam
terhadap beberapa orang, tiga atau lebih yang merupakan tokohtokoh terkemuka dalam masyarakat untuk selanjutnya dipilih salah satunya menjadi kepala negara. Ketiga cara tersebut mengacu kepada proses pengangkatan keempat khalifah pada masa Khulafa’ Rasyidin. Husain Haikal mengemukakan pemilihan Abu Bakar menjadi khalifah melalui proses musyawarah (syura) yang murni. Hal ini tergambar dalam komentarnya : “Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah (kepala negara) didasarkan pada musyawarah. Abu Bakar dipilih dengan pemilihan umum. Ia dipilih karena posisinya yang dekat dengan Islam dan prestasinya dalam menegakkan Islam, bukan karena unsur kekeluargaan dan kesukuan. Abu Bakar juga tidak mencalonkan dirinya, melainkan dicalonkan oleh Umar bin Khattab dan Abu Ubaydah bin Jarrah.” Penjelasan Haikal diatas, mengandung beberapa pengertian tentang sistem pemilihan kepala negara. Pertama, pengangkatan kepala negara hendaknya dilakukan melalui pemilihan yang berdasarkan musyawarah, bukan berdasarkan voting (pemungutan suara), juga tidak didasarkan atas suara yang terbanyak atau kelompok mayoritas. Kedua, kepala negara hendaknya dipilih karena pengetahuan keisilaman dan prestasinya, bukan berdasarkan kesukuan, kekeluargaan, dan kekayaan. Ketiga, kepala negara hendaknya tidak mencalonkan diri dalam pemilihan, apalagi melakukan kampanye atau propoganda agar terpilih menjadi khalifah9. Menurut Haikal, sistem pemilihan Abu Bakar jauh lebih demokratis dan lebih terbuka daripada pemilihan presiden yang terjadi di Barat, baik di Perancis maupun Amerika10. Pemilihan Abu Bakar benar-benar prosesnya berjalan secara alamiah dan spontanitas tanpa ada rekayasa dan rencana yang diatur sebelumnya. Pertemuan para sahabat di Saqifah merupakan pertemuan bersejarah yang paling besar pengaruhnya terhadap perjalanan 9
Bandingkan dengan Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, 232. 10 Muhammad Husain Haikal, Hayātu Muhammad, (Kairo: Dar alMa’arif, 1993). TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
199
M. Saripuddin
sejarah umat Islam. Dalam pertemuan itu diputuskan adanya keharusan untuk mendirikan kekhalifahan. Pada pertemuan itu telah diputuskan sebuah prinsip yang sangat urgen bahwa pemilihan seorang khalifah (pemimpin) hanya terlaksana melalui prosedur pemilihan dari umat, aspirasi umat atau wakil umat yang aspiratif dan mempresentasikan kedaulatan umat. Sejarah tidak pernah menyebutkan adanya seseorang yang mengklaim adanya teks dari Rasul SAW yang menunjukkan seseorang atau sebuah kelompok keluarga tertentu untuk mengemban jabatan kekhalifahan. Klaim-klaim seperti ini muncul setelah pertemuan Saqifah dari golongan Syi’ah yang secara fanatik loyal (tasyayyu) kepada Ali serta keturunannya. Namun, merupakan kesepakatan final bagi kelompok Ahl alSunnah di mana mereka merupakan kelompok mayoriutas umat Islam dan disepakati juga pendapat mereka dalam hal ini oleh kelompok Mu’tazilah, Murjiah, dan Khawarij, bahwa sumber kekuasaan khalifah hanya dapat dicapai melalui prosedur pemilihan umum oleh umat, yang dicerminkan dengan prosedur pembai’atan. Menurut Mawardi, pada haketnya pemilahan abu bakar di balai pertemuan bani saidah itu oleh kelompok kecil yang terdiri dari lima orang selain abu bakar sendiri. Mereka itu adalah umar bin khattab,abu ubaidah bin jarrah, basyir bin sa’ad, asid bin khudair, dan salim(seorang budak abu khuzaifah yang telah dimerdekakan). Dua di antara mereka dari kelompok muhajirin atau quraisy, dan dua dari kelompok Anshar, masing-masing dari unsur Khazraj dan unsur Auz. Mereka ini menjadi perwakilan dalam memilih Abu Bakar sebagai Khalifah11.
11
Memang banyak sahabat senior yang tidak ikut hadir pada pertemuan itu, seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abd al-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Qaqqash, Thalhah bin Ubaidillah. Tetapi ketidakhadiran mereka bukanlah suatu kesengajaan, karena pertemuan tersebut tidaklah direncanakan terlebih dahulu. Keadaan pada waktu itu amat genting, sehingga memerlukan tindakan yang cepat dan tegas. Para sahabat senior tersebut kemudian seorang demi seorang dengan sukarela berbai’at kepada Abu Bakar. Lihat Munawir Sjadzali. Op.cit., 23
200
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Suksesi Kepemimpinan dalam Islam
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Mawardi,12 dengan menyatakan bahwa untuk satu proses pemilihan atau seleksi diperlukan dua hal. Pertama, Ahl al-Ikhtiar atau mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat. Mereka harus memenuhi tiga syarat : (1) memiliki sikap adil, (2) memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat untuk diangkat sebagai pemimpin, dan (3) memiliki wawasan yang luas dan kearifan yang memungkinkan mereka memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam, dan paling mampu mengelola kepentingan umat di antara mereka yang memenuhi syarat untuk jabatan itu. Kedua, Ahl al-Imamah, atau mereka yang berhak mengisi jabatan imam. Mereka harus memiliki tujuh syarat, (1) sikap adil dengan segala persyaratan, (2) ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad, (30 sehat pendengaran, penglihatan, dan lisannya, (4) utuh anggota-anggota tubuhnya, (5) wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum, (6) keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan menjauhkan musuh, dan (7) keturunan Quraisy13. Menurut Ibnu Taimiyah, pemilihan Abu Bakar didasarkan pada restu dan pemilihan dari umat Islam, karena itu, menurut Ibnu Taimiyah persetujuan dan restu dari masyarakat yang terungkap dalam bai’at mempunyai arti yang amat penting, maka pelaksanaannya harus dilakukan dalam suasana yang menjamin kebebasan berpendapat dan kemudian adanya oposisi meskipun harus senantiasa terkait dengan syari’ah yang wajib dipatuhi pemerintah maupun masyarakat sebagai suatu
12
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi, Kitab al-Ahkam alSultaniyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), 156. 13 Syarat harus keturunan Quraisy ini menjadi perdebatan dikalangan ulama’, sebagian besar kelompok Sunni tidak menjadikan ia sebagai persyaratan menjadi pemimpin (khalifah), seperti al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Haikal, dan lain-lain. Begitu pula kelompok Mu’tazilah, Murjiah, dan Khawarij, tidak menyatakan pemimpin (imam/khalifah) dapat diperoleh oleh siapapun juga yang memenuhi kriteria tertentu, tidak didasarkan pada keturunan, suku, atau kabilah/golongan tertentu saja. Lihat Munawir Sjadzali, op.cit. 42 – 79. TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
201
M. Saripuddin
komitmen tegas untuk mentaati semua aturan dalam al-qur’an dan al-Sunnah.14 Dari penjelasan sistem suksesi kepemimpinan Abu Bakar di atas, menurut hemat penulis, paling tidak ada empat yang dapat kita ambil sebagai pendidikan politik. Pertama, kekhalifahan (kepala negara) tidak didasarkan atas keturunan, wasiat, atau warisan sebagaimana pada sistem kerajaan. Hal ini terlihat dengan tidak adanya Nabi SAW menunjuk siapa pengganti (khalifah) setelahnya. Tidak adanya petunjuk dari Nabi SAW tentang siapa dan bagaimana mekanisme penggantinya mengindikasikan bahwa proses pemilihan khalifah diserahkan sepenuhnya kepada umat Islam. Di samping itu secara eksplisit Nabi tidak menginginkan sistem monarki (kerajaan) yang mewariskan kepemimpinan kepada keluarganya seperti yang diterapkan oleh raja-raja dari Romawi dan Persia. Kedua, pemilihan atau pengangkatan khalifah hendaknya dilakukan berdasarkan musyawarah (syura) dari kaum muslimin. Khalifah haruslah dipilih oleh masyarakat sendiri dan dibai’at secara umum oleh rakyat. Hal ini menggambarkan bahwa pengangkatan khalifah tidak boleh melanggar aspirasi masyarakat, tidak dipaksakan, dan tidak melakukan propoganda atau bujukan supaya memilih seorang khalifah. Pemilihan khalifah bebas dari segala tekanan, intimidasi, intervensi dari pihak lain, ia hendaknya benar-benar murni dari aspirasi dan kehendak rakyat. Seluruh rakyat mempunyai hak yang sama untuk memilih siapa yang menjadi pemimpinnya. Ketiga, kepribadian seorang khalifah haruslah memiliki kredibilitas yang tinggi, disenangi masyarakat, adil, iman yang teguh, dan kuat agamanya. Calon pemimpin (khalifah) tidaklah seorang yang ambisius meminta-minta jabatan dalan artian tidak mencalonkan dirinya menjadi khalifah. Tetapi, seorang calon pemimpin hendaknya dipilih atau dicalonkan oleh orang lain (masyarakat). Inilah suatu kepribadian yang tinggi dan sikap mulia bagi seorang pemimpin yang sangat sulit ditemui dari pemimpin-pemimpin dewasa ini.
14
Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibn Taymiyah, terj. Mufid (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 84.
202
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
Suksesi Kepemimpinan dalam Islam
Keempat, adanya kesediaan atau penerimaan dari khalifah terpilih setelah selesai pembai’atan melalui pidato singkat, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Khulafa’Rasyidin lainnya. Pidato ini penting untuk melihat keseriusan, visi dan misi, serta gambaran kebijaksanaan dari khalifah (pemimpin) yang menerima jabatan tersebut. Pidato disampaikan setelah terpilih bukan sebelumnya, hal ini menghindarkan dari upaya propoganda, bujukan, dan janji-janji muluk untuk menarik simpatik agar pilihan jatuh kepadanya. Demikian sistem suksesi pemilihan Abu Bakar Shiddiq menjadi khalifah. Sistem pengangkatan Khalifah Abu Bakar Shiddiq merupakan tonggak yang amat penting dalam sejarah Islam. Sehingga banyak dari pemikir-pemikir politik Islam merumuskan pandangannya tentang sistem pemilihan kepala negara yang ideal merujuk kepada sistem yang terjadi pada pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah. Daftar Pustaka Haikal, Muhammad Husain, Hayātu Muhammad, Kairo: Dar alMa’arif, 1993. Jindan, Khalid Ibrahim, The Islamic Theory of Government According to Ibn Taymiyah, terj. Mufid. Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Karya, Soekama (dkk), Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998 Macdonald, D.B., Development of Muslim Theology, Jurisprudence, and Constitutional Theory. New York: The Mac Milan, 1903. Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Kitab al-Ahkam alSultaniyyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1966. Mulia, Musdah, Negara Islam : Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta : Paramadina, 2001 Rahman, Fazlur, “ The Islamic Concept of State”, dalam John J. Donohue dan L. Esposito, Islam in Transition : Muslim Perpective, New York : Oxford University Press, 1982 Rais, Amien, Cakrawala Islam : Antara Cita dan Fakta, Cet. II, Bandung : Mizan, 1989
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014
203
M. Saripuddin
Rais, Dhiya’ al-Din, Al-Islam wa al-Khalifah fi al-Ashr alHadits (Naqd Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm), tej. Afif Mohammad, Bandung : Pustaka, 1985. Thabari, Abu Ja’far ibn Muhammad ibn Jarir, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Jilid IV, Beirut : Dar al-Fikr, 1987.
204
TAJDID Vol. XIII, No. 1, Januari-Juni 2014