1
ANALISIS SENI RUPA POSMODERN DI INDONESIA MELALUI POSSTRUKTURALIS DERRIDA Mujiyono ∗ Abstrak
Menyikapi seni posmodern yang menyajikan beragam warna, beragam bentuk, dan berbagai idiom estetik adalah persoalan yang penuh kontradiksi terutama dalam bahasa simbol yang dipergunakan sehingga memunculkan indeterminasi, ketidakpastian, dan kegalauan kode. Secara semiotika, khususnya dari kacamata postrukturalisnya Derrida, lewat pintu dekonstruksinya, kita akan bisa menerawang, bahwa fenomena seni posmodern dengan melimpahruahnya simbol adalah sebuah upaya untuk menghadirkan ruang berpikir yang lebih luas, yang mampu membuka cakrawala penafsiran secara tidak terbatas dengan berbagai dimensi perspektif. Terjadi demikian karena hubungan penanda dan petanda tidak akan pernah stabil atau absolut yang terjadi adalah jejak-jejak dari makna yang sebenarnya yang tidak akan pernah ketemu. Kode kultural yang digunakan untuk memaknai karya seni posmodern itu sendiri juga harus bersifat lentur sehingga seni itu sendiri tidak terjebak pada era posmodernitas. Ini adalah sebuah strategi adaptif seni posmodern agar tidak mengalami kematian seperti yang terjadi pada seni modern. Kata kunci: posmodern, penanda, petanda, dan kode kultural
Pendahuluan Era posmodern diawali dengan konsep adanya suatu wilayah yang tidak lagi dibatasi oleh satu negara, melainkan sistem informasi dan komunikasi yang dapat menembus dinding geografis dan politik. Posmodern menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan ideide, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme. Posmodernisme merupakan sebuah konsep periodisasi yang berfungsi untuk menghubungkan munculnya bentuk-bentuk formal baru dalam sendi kultural dengan kelahiran sebuah tipe kehidupan sosial dan sebuah orde ekonomi yang baru; apa yang secara eufismistis disebut sebagai modernisasi masyarakat pasca industri atau konsumer, masyarakat media atau tontonan, atau kapitalisme multinasional. Etos posmodern menolak penjelasan yang harmonis, universal, dan konsisten. Mereka menggantikan semua ini dengan sikap hormat kepada perbedaan dan penghargaan kepada yang khusus (partikular dan lokal) serta membuang yang universal. Posmodernisme menolak penekanan kepada penemuan ilmiah melalui metode sains, yang merupakan fondasi intelektual dari modernisme untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Pada dasarnya, posmodernisme adalah anti-modern (Piliang 2003).
∗
Penulis adalah dosen Jurusan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang
2 Implikasinya, adalah tampilnya beragam bentuk kultural yang tampil ke hadapan masyarakat. Banyak seniman posmodern menggabungkan keanekaragaman bentuk dengan teknik pencampuradukan. Seperti kita ketahui, teknik yang mereka sukai adalah "collage". Kenyataanya, Jacques Derrida menegaskan “collage” sebagai bentuk utama dari wacana posmodern. Perlahan namun pasti, "collage" menarik para pecinta seni ke dalam makna yang dihasilkan "collage" tersebut. Karena "collage" bersifat heterogen, maka makna yang dihasilkannya tidak mungkin tunggal dan stabil. "Collage" menarik para pecinta seni untuk selalu memperoleh makna baru melalui aneka ragam campuran di dalamnya. Seniman posmodern tidak suka kepada pengagung-agungan seorang seniman modern karena kemurnian hasil karyanya. Mereka tidak suka kepada apa yang disebut "stylistic integrity" (integritas gaya). Bagi mereka, tidak ada hasil karya seni yang tunggal. Mereka sengaja menggunakan metode pinjaman dari hasil karya lain, kutipan, petikan, kumpulan, dan pengulangan dari karya-karya yang ada. Bagi mereka, "seniman tunggal yang menghasilkan karya tunggal" hanyalah dongeng belaka. Seniman posmodern menggunakan berbagai gaya yang mencerminkan suatu eklektisisme yang diambil dari berbagai era dalam sejarah. Seniman umumnya menganggap cara demikian harus ditolak karena menghancurkan keutuhan gaya-gaya historis. Para kritikus tersebut menyalahkan gaya posmodern karena tidak ada kedalaman atau keluasan, melanggar batas sejarah hanya demi memberikan kesan untuk masa kini. Gaya dan sejarah dibuat saling tumpang tindih. Mereka mendapatkan posmodernisme sangat kurang dalam orisinalitas dan tidak ada gaya sama sekali. Perubahan esensi itu juga merubah apa yang dulunya dianggap sebagai utopia menjadi heterotopia. Utopia bagi Vattimo berarti bahwa seni selalu diarahkan untuk menjadi semacam rehabilitasi (Vatimo 2003). Seni dengan demikian tidak lagi berarti sebagai yang selalu mempertahankan harmoni dan kesempurnaan karyanya. Untuk itu seni selalu dirancang, didesain supaya bisa tampil sempurna dan mempunyai standarnya sendiri. Perubahannya menjadi heterotopia terlaksana seiring dengan tersingkapkannya bias ideologis Barat sebagai ukuran yang dipakai untuk kesempurnaan seni itu. Kesadaran ini mendistorsikan utopia dan mentransformasikannya menjadi arahan untuk menyingkapkan kemampuan suatu karya dalam membuat dunia maknanya sendiri, komunitasnya sendiri. Mereka hanya menawarkan keanekaragaman yang tak terhitung banyaknya, "multiverse" telah menggantikan model "universe" dari modernisme. Justru yang hendak dicapai adalah keadaan seperti sebuah ensiklopedia, yaitu: masuknya jutaan elemen, penafsiran, dan respons. Dengan demikian, apa yang segera tampak adalah sebuah keadaan
dilematis. Diskursus
posmodernisme di atas, mampu menyediakan kawasan yang sangat luas bagi seni posmodernisme untuk mengembara di dalam keanekaragaman idiom estetik, kekayaan budaya rupa, dan makna-makna aneka ragam dan ketidakmungkinan ungkapan yang ada sebelumnya memasuki kawasan yang tabu sakral. Disamping itu, juga mampu menjauhkan dari segala hal kemapanan, kebuntuan, keangkuhan,
3 imperaialisme, dari cengkraman logosentrisme, erosentrisme, yang mewarnai seni dominan dan hegemonik modernisme sebelumnya. Sehingga dalam hal ini seni posmodern mampu bersifat konstitutif yang berarti membangun sebuah dunia makna baru. Namun, di lihat dari pihak lain, kehadiran seni ini adalah sarat dengan tuduhan-tuduhan yang subversif, anarkhis, moral, ekstasi, schizopfrenik, miskin kreativitas dan inovasi. Aturan-aturan yang telah ada seolah-olah dihancurkan, yang dulunya karya seni itu harus menyenangkan, sekarang malah bisa sebaliknya. Yang dulunya karya seni itu setidaknya masih mempertimbangkan etika sosial, etika agama atau etika-etika yang lain, namun sekarang mungkin kesemuanya itu bisa jadi hanya sebagai aturan usang. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Piliang (2003: 33), seni posmodern adalah kekaburan batas-batas antara seni, kebudayaan, dan iklan atau dunia bisnis yang berujung pada estetikasi umum kehidupan sehari-hari. Karya seni tampak seperti bukan karya seni, sementara hal-hal yang tampak dalam kehidupan sehari-hari tampak begitu indah dan estetis. Seni posmodern lebih bersifat disorientatif yang berarti tidak tertuju pada suatu arahan tertentu. Atas dasar itulah, tulisan ini mencoba untuk mengungkapkan gejala dan menjawab pertanyaaan itu dari sudut pandang semiotika khususnya berdasarkan perspektif semiotika postrukturalis Derrida lewat dekonstruksinya. Sebuah awal diskursus yang masih membutuhkan dialektika secara kontinu. Semiotik dan Pengkodean Semiotika, yang berasal dari kata Yunani “semeion” atau tanda kerap diartikan sebagai ilmu tanda. Perintis semiotika adalah Ferdinand de Sausure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (18301914)(Sachari 2005:62). Tanda menurut Pierce dibagi menjadi menjadi tiga yaitu: ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang bentuknya ada hubungan kemiripan antara penanda dan petanda. Indeks adalah tanda yang hubungan antara petanda dengan penanda dikarenakan hubungan sebab akibat sedangkan simbol adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petanda berdasarkan konsensus atau kesepakatan sosial bukan sebuah hubungan ilmiah. Menurut Sausure simbol dibagi menjadi dua unsur yaitu: terdiri dari petanda dan penanda. Makna adalah apa-apa yang ditandakan, yakni kandungan isi. Hubungan antara penanda dan petanda adalah arbiter (diada-adakan),sebab tidak ada keterkaitan logis namun mempunyai sifat stabil menjadi sebuah konvensi, dengan pengertian ia berada tetap pada posisi yang disepakati komunitas tersebut, misalnya, antara kata pohon dan sebatang pohon yang nyata, maka untuk komunitas tersebut penanda pohon tidak akan tergantikan oleh kata lain. Menurut Piliang (2003:176), hal ini tampak idealismenya bahwa individu hanya sekedar pengguna dari kode sosial tersebut. Dengan lebih memfokuskan pada strukturnya tanpa
4 mengabaikan sejarah perkembangannya dan artikulasinya dan strukturalisme tidak menaruh pada hubungan sebab akibat, hanya lebih memusatkan perhatian pada kajian relasi struktur. Untuk dapat memahai sebuah simbol maka diperlukan sebuah kode. Kode adalah cara pengombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang lain. Seperti apa yang diungkapkan Berger (2000) bahwa kode itu bersifat koheren, rahasia,
nyata, jelas, kultur, berkelanjutan,
dan luas atau meliputi banyak hal. Stuart Hall (1981)
mengajukan tiga macam kode yang biasanya diikuti yaitu: dominant code, negotiated code, dan oppositional code. Dalam kode dominan, penonton menerima makna-makna yang disodorkan sebuah karya. Dalam kode negosiasi, penonton tidak sepenuhnya menerima makna-makna yang disodorkan tapi mereka melakukan negosiasi dan adaptasi sesuai nilai-nilai yang dianutnya, sementara dalam kode oposisi, penonton tidak menerima makna yang diajukan dan menolaknya. Semiotik yang diungkapkan oleh Pierce maupun Saussure bersifat struktural yang mengandung kelemahan. Hal ini sudah tidak lagi mampu dijadikan alat bedah karena realitas yang selalu dijadikan referensi itu selalu mengalami perubahan yang sangat cepat. Karena keterbatasan konsep strukturalisme tersebut, maka beberapa pemikir postrukturalis mencoba mengembangkan berbagai konsep rantai pertandaan. Untuk dapat memberikan analisis yang lebih tepat, maka penulis lebih condong mengikuti analisis semiotik postrukturalis Derrida seorang filsuf Prancis (lahir di Aljazair 1930) yaitu dengan mengatakan menolak adanya metafisika “Ada” yaitu sebuah ideologis kode yang sulit untuk dirubah sehingga setiap penanda akan mengacu pada sebuah petanda yang cenderung tetap. Derrida lebih suka menyangkal hubungan yang bersifat oposisi biner seperti benar/salah, depan/belakang, ada/tidak ada dan penolakan akan kebenaran ideologi tersebut itu sendiri (Derrida 2002). Derrida dengan rumusnya, “dekonstruksi” mencoba membongkar struktur semiotik Sausure tersebut sehingga yang terjadi hubungan antara penanda dan petanda bukanlah sebuah kode yang idealistik yang stabil tetapi lebih merupakan perjalanan tanpa akhir dan batas dari penanda satu ke penanda lain (atau tidak akan pernah ditemukan makna stabil). Sebuah penanda tidak akan mungkin sampai terminal atau tujuan akhir. Jadi yang dicari dari makna sebuah karya bukanlah makna akan tetapi jejak (trace) atau efek makna (Piliang 2003:139). Kultur jaman sekarang ini ditandai pola gaya hidup yang cepat berubah dengan berbagai citraan yang mampu menyajikan makna secara cepat (Piliang 2002:10) sehingga hubungan antara penanda dan petanda juga mengalami perubahan yang cepat pula bahkan yang terjadi adalah hubungan menjadi kabur. Hal inilah yang dapat ditarik sebagai basis logika bahwa kehadiran citraan berarti kehadiran makna yang jumlahnya bisa
ribuan bahkan jutaan. Kehadiran produk baru berarti kehadiran penanda sehingga
menghasilkan petanda yang berarti menyajikan makna.
5 Oleh karena itu, untuk menganalisis berbagai fenomena simbol seni posmodern kita bisa menggunakan pendekatan kode budaya (cultural code) yang telah diajukan Berger. Seperti apa yang diungkapkan oleh Sachari (2005:67) cultural codes meliputi kajian semiotik terhadap
sistem
nilai,
kebiasaan, adat, tipologi kebudayaan, model kebudayaan, model organisasi sosial, sistem kekeluargaan, hingga jaringan komunikasi dari suatu masyarakat tertentu. Kode kultural inilah yang mempengaruhi seorang untuk menafsirkan sesuatu berdasarkan sebuah kebudayaan dan gaya hidup posmodern yang cenderung cepat berubah, dan pararel dengan kehidupan konsumerisme. Seni posmodern itu sendiri dalam pengorganisasian elemen rupanya tersusun berdasarkan kode estetik yang sulit dipahami (Guirad dalam Berger 2000:185). Oleh karena kode estetik adalah sebuah refleksi dari kebudayaan, maka konsep kode kultural digunakan sebagai basis untuk mampu memahami budaya rupa seni posmodern dengan ditopang analisisnya posstrukturalisme Derrida. Seni Posmodern dalam Dekonstruksi Apa yang tersaji dalam seni posmodern dengan mencoba menampilkan berbagai ragam medium sebagai karya rupa bukanlah tanpa makna yang sama sekali tidak ada pesan (secara absolut) yang ingin disuarakan, indeterminasi, ketidakpastian, dan kegalauan kode memang menarik untuk dikaji. Seni posmodern memang mengandung jejak-jejak seni modern yang sekaligus menempatkannya dalam arahan baru yang meninggalkan segala reduksi metafisis atas atas ideologi semiotik strukturalis yang telah disebutkan di atas. Jejak modern masih akan diteruskan sambil mengganti corak reduktif akarnya dengan corak estetis seni posmodern. Apabila kita bedah dengan dengan metode semiotik khususnya posstrukturalisme Derrida (baca: dekonstruksi) maka persoalan akan lebih tampak jelas dan membuat otak kita tidak lagi berkerut dalam melihat beragamnya budaya rupa yang ada di sekitar kita. Yang tersaji dalam seni posmodern adalah sebuah olahan piawai dari perupa posmodernis agar keberadaannya tetap diterima masyarakat karena mampu membuat sebuah strategi untuk bertahan hidup seiring derasnya perubahan kehidupan yang telah mengglobal yang ditandai lahirnya ribuan penanda sekaligus petanda yang silih berganti. Karena kajian lebih diarahkan pada seni rupa, maka penulis lebih banyak menggunakan karya seni rupa sebagai contoh analisis. Bila kita menelisik karya lukisan yang dibuat oleh perupa sekarang, misalnya dengan mendaur ulang idiom estetik masa lalu dengan cara meniru lukisan Eduard Manet, “Olympia” ke dalam format yang baru, seperti pada karya Semsar Siahaan yang berjudul “Olympia, Identitas dengan Ibu dan Anak”; tentu yang ada dalam pemikiran kita sebuah pertanyaan: apa maksudnya lukisan Eduard Manet yang diformat dalam gaya baru tersebut? Bukan pertanyaan itu yang akan dijawab akan tetapi mengapa menggunakan
6 idiom estetik lukisan Eduard Manet sebagai subject matter? Apakah kita sudah kehabisan benda rupa yang ada di sekitar kita yang bisa dijadikan obyek? Mungkin itu pertanyaan yang bersifat epistemologis yang menarik untuk dijawab, tentunya apabila diuraikan lewat posstrukturalisme Derrida. Kondisi yang terjadi dalam lukisan tersebut adalah sebuah perayaan penanda semata yang didapatkan dari ikon masa lalu. Akan tetapi untuk karya perupa tersebut telah menjadi petanda dengan perspektif dimensi waktu sekarang ini. Untuk itu petanda tersebut dapat dijadikan sebagai embrio kelahiran penanda baru yang pada akhirnya akan membentuk petanda yang lain. Proses itu akan terus berulangulang secara cepat. Satu penanda mampu dijadikan petanda secara majemuk karena struktur sosial yang telah berubah mampu memberikan penafsiran yang lain seiring pikiran mereka juga telah terkonstruksi oleh jejalinan arus informasi. Pikiran-pikiran sosial masyarakat tidak akan pernah secara stagnan sehingga yang terjadi adalah apa yang dianalogikan oleh Roland Barthes, yakni kelahiran pembaca mesti berakibat pada kematian penulis. Lukisan Eduard Manet itu sendiri telah menjadi artefak yang memang bisa diolah lagi. Ini adalah suatu kreativitas untuk terus mampu mengungkapkan barang yang di sekitar kita yang sebelumnya tidak mungkin dijamah atau tidak bisa diolah lagi. Kehadiran karya budaya masa lalu wayang misalnya, dalam lukisan Heri Dono bukan karena ketidakmampuan dalam pembuatan bentuk yang inovatif dan asal mencomot perbentukannya saja. Kenapa di seni posmodern bisa diangkat? Karena wayng itu setelah beberapa waktu berjalan, telah mengalami dekontekstualisasi. Dari proses tersebut maka akan memunculkan hubungan antara penanda dengan petanda menjadi bergeser sebab di masyarakat terjadi hubungan konsensus yang telah berubah. Apabila kita mengikuti Stuart Hall, maka dalam pembacaannya kita akan mengikuti kode negoisasi, yaitu pembaca diberikan ruang kebebasan untuk bergerak memahaminya. Oleh pemikiran dekonstruksi, Heri Dono tidak mau terkungkung pada hubungan-hubungan penanda dan petanda yang bersifat stabil, misalnya bahwa raksasa selalu diidentikkan dengan seorang yang jahat, padahal kalau direlasikan dengan hubungan kekinian, orang yang berpenampilan berdasi ternyata lebih jahat dari seorang preman karena telah mengorupsi uang rakyat. Sebuah contoh pemikiran posstrukturalis yang bersifat diakronik dengan memperhatikan faktor sejarah dan kekinian untuk membongkar sebuah kemapanan bisa dilihat pada karyanya yang berjudul “Raksasa Baik Hati Menari Waltz” Medium dalam seni posmodern yang terjadi adalah anything goes, yaitu segala material bisa dijadikan sebagai media dalam berkarya. Berbagai materi menjadi simbol untuk menemukan petandapetanda yang baru. Implikasinya hasil karya rupa cenderung bisa merusak tatanan yang telah dibakukan dan cenderung tidak lazim dan aneh bahkan membingungkan dalam menafsirkannya. Amatilah karya Edo Pillu “Dewa Swasembada Anarkhi”; untuk menyimbolkan sesuatu, Edo tidak mau terpola pada hubungan yang bersifat struktural, yaitu pada pola konvensional yang pakem. Ia mencoba
7 menghadirkan ruang toilet dengan patung yang berkalungkan peta Indonesia yang telah diubah menjadi sebuah karya seni untuk menyuarakan realitas saat itu, yaitu kebobrokan orde baru. Cara berpikirnya bisa dianalogikan dengan karya Marchel Duchamp berjudul “Fountain” yang kemunculannya pada saat modernisme mengalami kebuntuan. Karyanya merupakan sebuah upaya mendekonstruksi bahan dan tidak terpaku pada bidang dua dimensional. Kecenderungan ini dapat dilihat pada kehadiran seni kontemporer yang lain, misalnya, muncul instalasi art, performance art, klik art, dan lain sebagainya. Dia mencoba membuat penanda baru yang sebelumnya tidak terpikirkan untuk diolah. Contoh lain, kehadiran karya Samuel Indratma yang menyajikan botol kaleng “sprite” minuman softdrink yang dielu-elukan oleh sebagian orang untuk segera dinikmatinya, dengan judul “Jangan Menyembah Berhala
Berbaktilah Kepadaku”. Dari sini kita bisa menangkap bahwa pelukis telah
menyajikan sebuah judul yang terasa asimetris atau berkebalikan karena “berbaktilah padaku” mengandung muatan menyembah berhala, jadi terasa adanya parodi. Di sini ada kesan bahwa Samuel ingin mendekonstruksi pengertian berbakti yang tidak selamanya baik, tetapi bisa diartikan sebaliknya, yaitu menyembah berhala yang dianggap sebagai perbuatan berdosa. Minuman softdrink yang biasanya untuk kalangan atas dan memberikan kesegaran ternyata bisa dimanfaatkan sebagai jejak (baca: makna sementara) oleh Samuel untuk para pejabat. Selama ini yang biasa dijadikan sebuah simbol untuk kekuasaan adalah sebuah kursi, namun Samuel dengan cerdas memaparkan dekonstruksi bahasa simbolnya dengan strategi menggantikan simbol pejabat bukan dengan kursi yang lazim digunakan akan tetapi dengan minuman softdrink dengan dibantu lewat judulnya yang ikut mengarahkan kehadiran sebuah realitas pejabat. Ini adalah contoh bahwa kelahiran penanda yang mengacu pada suatu realitas tidaklah terkontruksi secara tetap. Ia lebih bersifat dinamis dan tidak akan pernah stabil. Sebuah stimulus bagi pelukis lain untuk membuka lahan pemikiran baru sehingga mampu mengoptimalkan penanda softdrink tersebut untuk mengacu pada petanda semu atau jejak makna lain lagi yang tidak terbatas. Pada akhirnya, petanda dari kemunculan minuman ”sprite” tidak akan pernah sampai pada ujung terakhir tetapi masih terus membuka peluang jejak-jejak yang baru. Hal ini tergantung kejeniusan pelukis untuk mampu mendekonstruksinya ulang. Idiom estetik seni posmodern yang lain lagi adalah pencampuradukan atau "pastiche". Tujuan teknik ini (yang digunakan oleh high-culture dan video mtv) adalah memperhadapkan para penonton dengan gambar-gambar yang saling bertentangan sehingga tidak ada lagi makna objektif. Dengan pola yang saling bertentangan, warna yang tidak selaras, dan tata huruf yang kacau, "pastiche" menyebar dari dunia seni menuju kehidupan sehari-hari. Ini tampak dari sampul buku, sampul majalah, dan iklan-iklan yang ada. Mengapa muncul demikian, karena penanda yang hadir sebelumnya tidak mampu menyajikan makna yang tetap atau stabil, sehingga yang terjadi adalah perubahan penanda dan petanda secara
8 drastis, disebabkan realitas yang diacunya juga mengalami perubahan yang cepat sehingga kode yang digunakan untuk memahaminya sulit ditemukan karena kultur komunitasnya juga cepat berubah. Jadi intertekstualitas dari kebudayaan masa lalu jika dilihat dari fenomena sekarang, tanda dari masa lalu itu telah mempunyai makna baru. Usaha menggabungkan teks lama ke dalam satu karya bukan tanpa alasan, akan tetapi kehadiran beberapa teks tersebut telah mampu mengungkapkan makna yang baru, namun tidak pernah menemukan makna absolut. Hal ini didukung oleh munculnya masyarakat dengan informasi yang semakin memberikan dasar berpijak bagi euforia posmodern yang ditunjukkan lewat simbol-simbol yang cepat berubah. Benar apa yang disampaikan oleh Derrida bahwa kecenderungan posmodern adalah mendekonstruksi sesuatu yang sesuatunya tidak diberi peluang untuk berubah. Begitu juga dengan makna yang dihasilkan tidak akan pernah sampai pada yang sebenarnya. Hal ini sesuai dengan konsep denotasi dan konotasi Roland Barthes. Konotasi tidak ada yang mutlak sehingga dapat disimpulkan bahwa kelenturan antara relasi pertandaan dengan kode akan menghasilkan makna yang sangat beragam karena hubungan ini akan terus berlanjut sebagai suatu karya open work (Kurniawan 2001). Sekali lagi hal ini adalah ulah kecerdasan dari seni posmodern yang sangat piawai menyajikan sesuatu dalam rangka tetap survive. Apabila proses semacam ini tidak dilakukan, maka yang penulis rasakan, seni akan mengalami kegersangan. Tidak mampu merespon alam di sekitarnya yang memang menyajikan berbagai aspek visual yang bisa dijadikan sebagai sumber inspirasi. Kode simbol dalam konsensus masyarakat atau kode kultural itu sendiri telah mengalami pendekonstruksian sebab masyarakat telah mengalami perubahan landasan filosofis karena mereka sendiri bersinggungan dengan dunia luar atau masyarakat, dengan harapan “Seniman Jangan Asal Mengejutkan” dan karya-karya yang merayakan pembebasan dari aturan baku dalam pilihan media seni serta keluar dari kaidah-kaidah estetika era sebelumnya, tetapi tetap mampu menghadirkan perenungan. Pada dasarnya karya seni rupa adalah hasil dialektika berkesenian dengan lingkungan manusianya, oleh karena itu dalam setiap penciptaan seni harus mampu memberikan dampak bagi masyarakat. Kesimpulan Fenomena seni posmodern dengan segala bentuk pendekonstruksiannya sekali lagi bukan merayakan sebuah wacana tanpa nilai. Sampai kapan pun idiom yang dibawakan oleh posmodern adalah sebuah tanda yang selalu bisa diartikan, walaupun tidak akan pernah stabil. Penanda ini lahir karena sebelumnya ada petanda, setelah petanda lahir baru akan muncul penanda baru sekaligus petanda lain lagi. Proses yang cepat ini tentunya lewat pemahaman kode yang bersifat kultural. Sekarang ini yang terjadi adalah masyarakat dengan kultur yang global sehingga pertumbuhan seni pun akan secepat pertumbuhan
9 teknologi dan hal ini berjalan seiringan dalam rangka menghindari kematian seni. Tidak bisa bertolak belakang akan tetapi selalu berteman berjalan seiringan. Apabila seni tidak ikut merayakan penanda berarti keadaan sudah sedemikian ideal maka tidak akan ada lagi dialektika sebagai proses dari kediri-hadiran manusia. Kalau sampai dialektika ini tidak terjadi karena sudah sedemikian idealnya keadaan, sehingga apapun proses yang dilakukan individu hanya akan diterima tanpa dianggap lagi sebagai sebuah resistensi untuk memperbaiki nilai-nilai kehidupan, maka kita akan sendiri mengalami dehumanisasi.
Daftar Pustaka Berger, A. A. 2000. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer.Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Derrida, J. 2002. Dekonstruksi Spritual: Merayakan Ragam Wajah Spritual. Yogyakarta: Jalasutra. Hall, S.1997. Representation, Cultural Representation and Signifying Practise. London: The Open University-sage Publication Jevtic, Z. dan Horrock, C.1997. Mengenal Michael Foucoult For Beginners.Bandung: Mizan Kurniawan.2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera. Outlet Yogyakarta dalam Seni Rupa Kontemporer.2000.Yogyakarta:Yayasan Seni Cemeti Paradigma dan Pasar.2000.Yogyakarta:Yayasan Seni Cemeti Piliang, Y. A. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Sachari, A. 2005. Metode Penelitian Budaya Rupa. Bandung: Erlangga Vattimo, G. 2003. The End Of Modernity: Nihilisme dan Hermeneutika dalam Budaya Posmodern. Yogyakarta: Sadasiva.
10
Lampiran Gambar-gambar
Edo Pilu, Dewa Swasembada Anarkhi,1997(Buku: Outlet Yogyakarta dalam Seni Rupa Kontemporer)
Heri Dono, Raksasa Baik Hati Menari Waltz (Katalog: Heri Dono a Spritual Journey)
Semsar Siahan, Olympia,Identitas dengan Ibu dan Anak, (Buku: Paradigma dan Pasar)
Samuel Indratma, Jangan Menyembah Berhala,Berbaktilah Kepadaku,1997 (Buku: Outlet Yogyakarta dalam Seni rupa Kontemporer)