ANALISIS RENCANA PEMBERLAKUAN ELECTRONIC ROAD PRICING UNTUK MENGURANGI POLUSI LINGKUNGAN (Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat)
DESSY CHRISTIARINI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
DESSY CHRISTIARINI. Analisis Rencana Pemberlakuan Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan (Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat). Dibimbing Oleh RIZAL BAHTIAR. Electronic Road Pricing (ERP) merupakan skema tol elektronik untuk mengatur lalu lintas melalui road pricing sebagai mekanisme penggunaan berbasis perpajakan. Kebijakan ini bertujuan agar kelancaran lalu lintas dapat dicapai sehingga masalah lingkungan yang berdampak pula pada sosial ekonomi masyarakat dapat diatasi. Tujuan Penelitian ini adalah 1) Menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi nilai ERP dilihat dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar, 2) Mengestimasi besarnya nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan dilihat dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar (WTP), 3) Mengestimasi besarnya jumlah kendaraan dan emisi yang dapat berkurang akibat pemberlakuan ERP, 4) Menganalisis dampak lingkungan dari pemberlakuan ERP, dan 5) Menganalisis rekomendasi kebijakan yang tepat dalam mengelola sistem pemanfaatan keuangan yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP. Berdasarkan hasil estimasi pada model regresi linier berganda diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besarnya nilai ERP dilihat dari Willingness To Pay (WTP) pengguna jalan adalah tingkat pendidikan, rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar, tingkat pendapatan, dan durasi terkena kemacetan. Sementara variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah keinginan untuk memperbaiki kualitas udara, jumlah tanggungan, dan jenis pekerjaan. Nilai rata-rata WTP (EWTP) sebesar Rp 23.100. Nilai tersebut dapat dijadikan acuan dalam penetapan tarif ERP. Nilai total WTP responden pengguna Jalan Jenderal Sudirman sebesar Rp 212.583.756.000/tahun. Tarif ERP yang sesuai untuk diberlakukan adalah sebesar nilai mean WTP yaitu Rp 23.100, sehingga jumlah kendaraan yang dapat berkurang akibat pemberlakuan ERP sebesar 5.429.628 unit kendaraan/tahun atau 59% dari total populasi. Pengurangan jumlah kendaraan bermotor dapat mengurangi konsentrasi emisi di sekitar wilayah Sudirman. Asumsinya apabila ERP diterapkan maka kondisi pengurangan emisinya akan mendekati rata-rata Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB). Estimasi perkiraan jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP sebesar 3.773.132 unit kendaraan/tahun. Dengan demikian, perkiraan total dana yang dapat dihasilkan dari pemberlakuan ERP dihitung dengan mengalikan jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP dengan nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan, sehingga total dana yang dapat dihasilkan adalah Rp 87.159.349.200/tahun dengan asumsi ERP diberlakukan pada peak pagi, peak siang, dan peak sore. Namun, apabila ERP hanya diberlakukan pada peak pagi dan peak sore saja (ERP tidak berlaku pada peak siang), maka perkiraan total dana yang dapat dihasilkan dari penerapan kebijakan ERP adalah Rp 66.382.428.420/tahun. Kata Kunci : Electronic Road Pricing (ERP), Willingness To Pay (WTP), Tarif ERP
ANALISIS RENCANA PEMBERLAKUAN ELECTRONIC ROAD PRICING UNTUK MENGURANGI POLUSI LINGKUNGAN (Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat)
DESSY CHRISTIARINI H44070026
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Rencana Pemberlakuan Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan: Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor,
Juni 2011
Dessy Christiarini H44070026
Judul Skripsi : Analisis Rencana Pemberlakuan Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan (Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat) Nama
: Dessy Christiarini
NIM
: H44070026
Menyetujui Dosen Pembimbing,
Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si NIP. 19800603 200912 1 006
Mengetahui Ketua Departemen,
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003
Tanggal Lulus:
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun materil untuk menyelesaikan skripsi ini, yaitu kepada : 1. Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang diharapkan. 2. Ayahanda (Yohanes Sumarjo), Ibunda (Brigita Suharsih), Kakakku (Rosa Maharani), Tanteku (Yanti), dan seluruh keluarga besar saya yang selalu memberikan semangat, kasih sayang, doa dan dukungannya kepada penulis. 3. Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan semangat, perhatian, bimbingan, motivasi, saran, dan pengarahan kepada penulis dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr dan Bapak Novindra, SP sebagai dosen penguji yang bersedia meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan saran demi penyempurnaan skripsi ini. 5. Abdull Balfash dan Sahabat-sahabat terbaikku (Oi, Vita, Ai, Astrid, Echi, Uut), teman-teman 1 PS, dan seluruh mahasiswa/i ESL yang selalu membantu, mendoakan, dan memberi semangat/dukungan kepada penulis hingga saat ini. 6. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati
di Departemen Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan, FEM IPB. 7. Seluruh pihak dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah dan Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta yang telah membantu dalam pengambilan data selama penelitian.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “Analisis Rencana Pemberlakuan Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan (Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat)” disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mendapatkan banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperoleh kesempurnaan dalam penulisan berikutnya. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembacanya serta pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Juni 2011
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xii
I. PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ..................................................................... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ..........................................................
1 5 8 8 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
10
2.1. Definisi Electronic Road Pricing (ERP) .................................... 2.2. Latar Belakang Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) ...... 2.3. Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) di Beberapa Negara ........................................................................................ 2.4. Manfaat dan Dampak Electronic Road Pricing (ERP) .............. 2.5. Dasar Hukum Electronic Road Pricing (ERP) .......................... 2.6. Permasalahan Transportasi Publik ............................................. 2.7. Pengertian dan Penyebab Pencemaran Udara ............................ 2.8. Dampak Pencemaran Udara ....................................................... 2.9. Manajemen Transportasi ............................................................
10 13
III. KERANGKA PEMIKIRAN ..........................................................
30
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ..................................................... 3.1.1. Contingent Valuation Method (CVM) ............................. 3.1.1.1. Kelebihan Contingent Valuation Method (CVM) .................................................................. 3.1.1.2. Kelemahan Contingent Valuation Method (CVM) .................................................................. 3.1.1.3. Tahap-tahap Contingent Valuation Method (CVM) .................................................................. 3.1.1.4. Organisasi dalam Pengoperasian Contingent Valuation Method ................................................. 3.1.2. Regresi Linier Berganda .................................................. 3.1.3. Instrumen Ekonomi .......................................................... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ..............................................
30 30
IV. METODE PENELITIAN...............................................................
46
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 4.2. Jenis dan Sumber Data ............................................................... 4.3. Metode Pengambilan Contoh .....................................................
46 46 46
15 17 18 21 22 25 26
31 32 34 38 39 41 43
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ...................................... 4.4.1. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai ERP Dilihat dari WTP Pengguna Jalan .................. 4.4.2. Estimasi Nilai WTP Pengguna Jalan untuk Menentukan Besarnya Nilai ERP ................................... 4.4.3. Estimasi Jumlah Kendaraan dan Emisi yang Berkurang ........................................................................ 4.4.4. Analisis Dampak Lingkungan ......................................... 4.4.5. Rekomendasi Kebijakan.................................................. 4.5. Pengujian Parameter................................................................... 4.5.1. Uji Statistika.................................................................... 4.5.1.1. Koefisien Determinasi (R2) ............................... 4.5.1.2. Uji Statistik t ..................................................... 4.5.1.3. Uji Statistik F .................................................... 4.5.2. Uji Ekonometrika ............................................................ 4.5.2.1. Uji Multikolinear............................................... 4.5.2.2. Uji Heteroskedastisitas ......................................
47
V. GAMBARAN UMUM......................................................................
61
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................... 5.2. Karakteristik Responden ............................................................ 5.2.1. Jenis Kelamin ................................................................... 5.2.2. Tingkat Usia ..................................................................... 5.2.3. Tingkat Pendidikan .......................................................... 5.2.4. Jenis Pekerjaan ................................................................. 5.2.5. Tingkat Pendapatan .......................................................... 5.2.6. Jumlah Tanggungan .........................................................
61 65 65 66 67 67 68 69
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
70
6.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai ERP Dilihat dari Willingness To Pay (WTP) Pengguna Jalan .. 6.2. Estimasi Nilai WTP Pengguna Jalan untuk Menentukan Besarnya Nilai ERP................................................................... 6.3. Estimasi Jumlah Kendaraan dan Emisi yang Berkurang .......... 6.4. Analisis Dampak Lingkungan dari Pemberlakuan ERP ........... 6.4.1. Kondisi Lingkungan ........................................................ 6.4.2. Kondisi Sosial ................................................................. 6.4.3. Kondisi Ekonomi ............................................................ 6.5. Kebijakan Pengelolaann Sistem Pemanfaatan Keuangan dari Pemberlakuan ERP ............................................................
48 50 54 55 55 55 56 56 57 58 58 59
70 76 81 84 85 87 87 90
VII. SIMPULAN DAN SARAN ...........................................................
94
7.1. Simpulan .................................................................................. 7.2. Saran .........................................................................................
94 95
VIII. DAFTAR PUSTAKA ..................................................................
97
LAMPIRAN ...........................................................................................
100
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Jumlah Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI Jakarta Menurut Jenis Tahun 2005-2010 .....................................................................
1
2. Pengelompokan Road Pricing...........................................................
11
3. Metode Analisis Data ........................................................................
47
4. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis di Wilayah Jakarta Pusat Tahun 2005-2010 ....................................................................
64
5. Hasil Analisis Nilai WTP Responden Pengguna Jalan Jenderal Sudirman ...........................................................................................
70
6. Hasil Estimasi Model Regresi Linier Berganda yang Menunjukkan Tidak Adanya Pelanggaran Asumsi dalam Model.....
76
7. Distribusi Nilai WTP Responden ......................................................
78
8. Total WTP Masyarakat Pengguna Jalan Jenderal Sudirman ............
79
9. Total Kendaraan yang Berkurang Akibat Pemberlakuan ERP .........
82
10. Data Car Free Day tahun 2010 .........................................................
84
11. Total Kendaraan yang Dapat Memasuki Zona ERP .........................
88
x
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Aplikasi ERP di Beberapa Kota di Dunia .........................................
16
2. Diagram Alur Kerangka Berfikir ......................................................
45
3. Grafik Volume Lalu Lintas Jalan Sudirman Arah Blok-M ...............
63
4. Grafik Volume Lalu Lintas Jalan Sudirman Arah Semanggi ...........
64
5. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ......................
66
6. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Usia ........................
66
7. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ..............
67
8. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ....................
68
9. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan .............
68
10. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan.............
69
11. Kurva Penawaran WTP .....................................................................
79
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. Hasil Estimasi Model Regresi Linier Berganda ................................
Halaman 101
2. Perhitungan Perkiraan Total Dana yang Dapat Dihasilkan dari Pemberlakuan ERP pada Peak Pagi dan Peak Sore ..........................
106
xii
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Jakarta merupakan ibu kota negara dan sebagai pusat pemerintahan
Indonesia. Menurut Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi (2010), Jakarta mempunyai luas 7.659,02 km2 dengan jumlah penduduk sebesar 8.525.109 jiwa. Jakarta juga mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi yaitu mencapai 19.537 jiwa/km2. Peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan
ekonomi
masyarakat
yang
semakin
tinggi
menyebabkan
pembangunan fisik kota terus melaju dengan pesat. Peningkatan jumlah penduduk juga menyebabkan semakin bertambahnya pengguna kendaraan bermotor yang melebihi kapasitas jalan. Hal ini didorong oleh keinginan untuk kemudahan beraktivitas. Badan Pusat Statistik (2010) memaparkan bahwa produksi kendaraan bermotor untuk kuartal II-2010 mengalami kenaikan hingga 26,15% dibanding periode yang sama tahun lalu. Sementara untuk produksi alat transportasi selain roda empat atau lebih mengalami kenaikan 19,23%. Berikut ini merupakan data perkembangan jumlah kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta tahun 2005-2010. Tabel 1. Jumlah Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI Jakarta Menurut Jenis Tahun 2005-2010 No Tahun 1 2 3 4 5 6
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Penumpang
Beban
Bus
Sepeda Motor
Jumlah
1.454.286 1.499.610 1.547.336 1.610.915 1.661.795 1.789.458
405.105 405.836 414.278 427.359 435.654 441.886
255.886 256.207 256.766 257.370 257.905 273.789
2.908.670 3.242.090 3.579.622 3.968.749 4.333.559 4.835.650
5.023.947 5.403.743 5.798.002 6.264.393 6.688.913 7.340.783
Sumber : Kantor Kepolisian Republik Indonesia (2011)
1
Tabel 1 menunjukkan data jumlah kendaraan bermotor menurut jenisnya, yaitu kendaraan bermotor berjenis penumpang meliputi mobil pribadi dan angkutan umum, kendaraan bermotor berjenis beban meliputi truk dan angkutanangkutan berat, kendaraan bermotor berjenis bus dan sepeda motor. Sejak tahun 2005-2010 jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Perkembangan Kota Jakarta yang semakin pesat ditandai dengan semakin pesatnya pertumbuhan industri, perdagangan, bisnis, pertokoan, dan pemukiman sehingga aktivitas perjalanan menjadi tinggi dan menimbulkan beban pada ruas-ruas jalan. Hal ini mengakibatkan kemacetan hampir di semua ruas-ruas jalan utamanya. Kemacetan lalu lintas di Kota Jakarta semakin hari semakin sulit diatasi. Setiap hari, kemacetan selalu terjadi di berbagai belahan wilayah ibu kota, mulai dari jalan protokol. Kemacetan dapat menimbulkan berbagai masalah yang erat kaitannya dengan sektor lingkungan, sosial, dan ekonomi. Kerugian utama dari kemacetan adalah menurunnya efisiensi dan efektivitas perekonomian kota yang sekaligus dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi nasional karena produktivitas pekerja yang menurun. Selain itu, kemacetan juga meningkatkan biaya operasi dan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) serta meningkatkan polusi udara di Kota Jakarta karena jumlah emisi yang dikeluarkan ke udara lebih tinggi akibat mesin yang menyala lebih lama. Polusi udara yang terus meningkat akan menjadikan lingkungan kota yang tidak sehat dan dapat menurunkan kesehatan manusia. Kebijakan dalam hal sistem transportasi telah banyak dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengurangi tingkat kemacetan di ibu kota
2
sehingga inefisiensi bahan bakar dapat ditekan dan polusi udara dapat dikurangi. Tingkat polusi yang semakin meningkat tidak dapat dipisahkan dengan masalah perencanaan dan manajemen transportasi. Manajemen transportasi yang baik harus diterapkan untuk melancarkan arus lalu lintas dan meningkatkan tingkat mobilitas serta mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Dalam membatasi kendaraan bermotor, Dinas Perhubungan DKI Jakarta menjalankan aturan three in one, yaitu kebijakan mobil berpenumpang minimal tiga orang pada jam-jam tertentu di jalan-jalan protokol Jakarta. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan dan tingkat polusi udara yang semakin tinggi. Penerapan jalur three in one telah diberlakukan sejak 23 Desember 2003. Jalur three in one ini meliputi Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH. Thamrin, Jalan Sisimangaraja, Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan Majapahit, Jalan Gajah Mada, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Pintu Besar Selatan, Jalan Pintu Besar Utara, dan Jalan Jenderal Gatot Subroto. Sistem ini sedikit banyak telah mampu menekan penggunaan kendaraan pribadi pada jalan-jalan utama tersebut, akan tetapi hal ini tidak berpengaruh banyak terhadap keseluruhan sistem transportasi perkotaan di Jakarta. Kebijakan three in one ini dinilai tidak efektif dalam mengurangi kemacetan dan menekan penggunaan kendaraan pribadi di kota Jakarta. Hal ini dikarenakan sistem tersebut memiliki beberapa kelemahan antara lain: (1) tidak adanya manajemen atau aturan yang melarang penggunaan jalan-jalan lokal, sehingga pengguna jalan akan mencari jalan-jalan lokal atau biasa disebut ”jalan tikus” yang ada untuk menghindari daerah three in one, ini memindahkan kemacetan ke daerah lain, (2) beroperasinya penyedia jasa illegal yang berperan sebagai penumpang (jockey) dengan imbalan sejumlah uang untuk melengkapi
3
jumlah penumpang menjadi tiga, dan (3) daerah cakupan aturan ini terbatas pada satu koridor dan tidak didukung dengan skema manajamen permintaan yang lain (seperti manajemen parkir) serta alternatif sistem angkutan umum yang baik.1 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan salah satu kebijkan baru di bidang transportasi yaitu Electronic Road Pricing (ERP). Mekanismenya adalah setiap kendaraan yang melintasi suatu ruas jalan diminta untuk membayar dengan harga tertentu. Kebijakan ini bertujuan untuk menggantikan kebijakan three in one yang dinilai tidak efektif dalam mengendalikan laju penggunaan mobil pribadi sebagai penyebab kemacetan lalu lintas, inefisiensi BBM, dan polusi udara di Kota Jakarta. Upaya ini sangat baik dilakukan karena dapat menurunkan tingkat polusi dan konsumsi bahan bakar minyak. Kebijakan ERP akan diterapkan di beberapa jalan protokol dan rawan macet yang menjadi pusat bisnis Jakarta, seperti Jalan Thamrin-Sudirman, Jalan Gajahmada-Hayamwuruk, dan lain-lain. Electronic Road Pricing (ERP) merupakan teknologi retribusi yang paling efektif dan efisien untuk segera mengatasi kemacetan di Jakarta karena alat pendeteksi kendaraan bermotor yang menggunakan on board unit tersebut bisa mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke Trans Jakarta (busway). Efisien, karena sistem ERP bisa sinkron dengan konsep zona (pembagian daerah) parkir, yaitu zona tengah, zona pinggir dan zona antara. Di Singapura, ERP terbukti berhasil meningkatkan kesadaran masyarakatnya menggunakan kendaraan umum. Sistem ERP juga akhirnya memaksa pengguna kendaraan pribadi mengeluarkan
1
ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta. http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%2 0UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses tanggal 21 November 2010.
4
biaya yang tidak sedikit. Ketika masuk zona-zona parkir tertentu, kendaraannya tidak akan bisa masuk tanpa dilengkapi alat pendeteksi (Business News, 2010)2. Sistem ERP yang dikelola dengan mekanisme yang baik dapat menekan penggunaan kendaraan pribadi hingga titik minimal dan mengarahkan para pengguna kendaraan pribadi untuk beralih dan memanfaatkan angkutan umum yang ada sehingga kemacetan lalu lintas dapat diatasi dan tercapainya efisiensi bahan bakar dan pengurangan polusi di udara secara signifikan. Dana yang diperoleh dari penerapan sistem ERP tersebut dapat digunakan untuk mengembangkan transportasi publik yang lebih aman dan nyaman. 1.2.
Perumusan Masalah Jumlah penduduk di Jakarta setiap tahunnya selalu mengalami
peningkatan. Hal ini diakibatkan selain tingginya tingkat kelahiran, arus urbanisasi di Jakarta juga cenderung tinggi karena daya tarik kota Jakarta untuk mencari pekerjaan. Peningkatan jumlah penduduk ini mengakibatkan peningkatan jumlah kendaraan karena kebutuhan masyarakat terhadap alat transportasi semakin meningkat. Hal tersebut didorong oleh keinginan untuk kemudahan beraktivitas karena aktivitas perjalanan atau tingkat mobilitas di Kota Jakarta cenderung tinggi. Permasalahan transportasi yang dihadapi kota Jakarta sangat besar. Permasalahan utama yang dapat dilihat adalah kemacetan yang terjadi hampir di seluruh ruas jalan kota Jakarta dan sekitarnya. Masalah kemacetan ini merupakan masalah yang selalu timbul di kota-kota besar, khususnya Jakarta.
2
Business News. 2010. Investasi ERP Sebesar Rp 500 Miliar Mengatasi Kemacetan di Jakarta. http://bataviase.co.id/node/417889. Diakses tanggal 21 November 2010.
5
Tingkat kemacetan di Kota Jakarta sudah termasuk dalam kategori yang cukup parah dan merugikan baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Sistem transportasi di Kota Jakarta yang belum efisien dapat menghambat aktivitas ekonomi. Hal ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi karena produktivitas yang menurun akibat kemacetan. Dari total waktu perjalanan pada beberapa ruas jalan, 40% merupakan waktu bergerak dan 60% merupakan waktu hambatan. Kecepatan rata-rata lalu lintas adalah 20.21 km/jam (Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007)3. Selain itu, kemacetan juga berdampak besar bagi lingkungan, yaitu meningkatnya polusi akibat emisi kendaraan bermotor karena mesin yang menyala lebih lama sehingga menimbulkan juga inefisiensi dalam hal bahan bakar minyak (BBM). Tingkat polusi yang semakin tinggi dapat berdampak negatif bagi kualitas hidup dan kesehatan masyarakat. Berbagai solusi dan kebijakan telah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasi permasalahan transportasi di kota Jakarta. Namun, upayaupaya tersebut belum mampu untuk memberikan hasil yang diharapkan. Penerapan aturan three in one yang mewajibkan setiap kendaraan berpenumpang minimal tiga orang pada saat melewati jalan-jalan protokol tertentu dinilai belum efektif dalam mengurangi tingkat kemacetan. Salah satu rencana kebijakan pemerintah dibidang transpotasi adalah diterapkannya Electronic Road Pricing (ERP). Electronic Road Pricing (ERP) merupakan skema tol elektronik untuk mengatur lalu lintas melalui road pricing
3
ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta.http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/ELECTRONIC%20ROAD%20PRICI NG%20UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses tanggal 21 November 2010.
6
sebagai mekanisme penggunaan berbasis perpajakan. ERP adalah bentuk program pembatasan kendaraan pengganti sistem three in one yang efektif untuk mengurangi kemacetan dan polusi udara, khususnya di wilayah yang terbilang sempit dengan persentase pertumbuhan penduduk dan mobilitas yang tinggi. Biaya yang dikenakan dalam mekanisme ERP bertujuan membatasi volume kendaraan dan memberikan kesadaran kepada para pengguna kendaraan pribadi bahwa perjalanan mereka berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian kepada masyarakat yang tidak menggunakan kendaran pribadi. Pemberlakuan ERP diharapkan mampu mengurangi dampak lingkungan dan kemacetan, meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar dan mendorong penggunaan angkutan massal, seperti busway, kereta api, dan lain-lain. Dengan menggunakan angkutan massal, diharapkan adanya efisiensi ruang jalan. Dana yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP dapat menjadi sumber dana pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan di bidang transportasi dan sebagai salah satu sumber pembiayaan untuk mendukung beroperasinya transportasi yang lebih efektif dan ramah lingkungan. Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1)
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai ERP dilihat dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar?
2)
Berapa besarnya nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan dilihat dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar (WTP)?
3)
Berapa besar jumlah kendaraan dan emisi yang dapat berkurang akibat pemberlakuan ERP?
7
4)
Bagaimana dampak lingkungan dari pemberlakuan ERP?
5)
Bagaimana kebijakan yang tepat dalam mengelola sistem pemanfaatan keuangan yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP?
1.3.
Tujuan Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk : 1)
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ERP dilihat dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar.
2)
Mengestimasi besarnya nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan dilihat dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar (WTP).
3)
Mengestimasi besarnya jumlah kendaraan dan emisi yang dapat berkurang akibat pemberlakuan ERP.
4)
Menganalisis dampak lingkungan dari pemberlakuan ERP.
5)
Kebijakan yang tepat dalam mengelola sistem pemanfaatan keuangan yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP.
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian mengenai Analisis Lingkungan Pemberlakuan Electronic Road
Pricing untuk Mengurangi Polusi diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1)
Akademisi dan peneliti, khususnya dalam menilai kebijakan pemerintah di bidang transportasi.
2)
Pemerintah Daerah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam penerapan kebijakan ERP dan membangun sistem transportasi publik berkelanjutan.
8
3)
Masyarakat, khususnya untuk mendorong penggunaan transportasi massal, efisiensi bahan bakar dan memperbaiki kualitas lingkungan.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah :
1)
Penelitian ini hanya dilakukan terhadap pengguna Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat.
2)
Responden pengguna jalan yang dianalisis merupakan pengendara mobil pribadi.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Definisi Electronic Road Pricing (ERP) Electronic road pricing (ERP) adalah kebijakan pemberlakuan jalan
berbayar untuk setiap kendaraan yang melewatinya. ERP bertujuan mengurangi kemacetan di ruas jalan tertentu meski pada simpul jalan yang lain justru menambah kemacetan (Bisnis Indonesia, 2010)4. Salah satu strategi dalam kebijakan sistem transportasi yang berkelanjutan (sustainable transport system policy) adalah manajemen permintaan perjalanan (travel demand management). Secara umum, tujuan dari kebijakan travel demand management adalah untuk mendorong pengguna jalan untuk mengurangi perjalanan yang relatif tidak perlu (terutama pengguna kendaraan pribadi) dan mendorong penggunaan moda transportasi yang lebih efektif, lebih sehat, dan ramah lingkungan. Kebijakan travel demand management dapat dikelompokan menjadi tiga grup yaitu: instrumen-instrumen ekonomi (economic instruments), persetujuan-persetujuan kerjasama (cooperative agreements), dan instrumeninstrumen regulasi (regulatory instruments)5. 1)
Economic instruments menggunakan insentif dan/atau disinsentif untuk mencapai tujuan transportasi yang berkelanjutan (sustainable transport). Salah satu economic instrument yang sering diaplikasikan di beberapa kota di dunia adalah road pricing. Road pricing adalah pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan tertentu. Pada
4
Bisnis Indonesia. 2010. Pusat Ganjal Penerapan ERP. http://bataviase.co.id/node/390480. Diakses tanggal 21 November 2010. 5 Susantono, DR Bambang. 2010. Electronic Road Pricing (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta. http : // bulletin . penataanruang . net / upload / data _ artikel / ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%20UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses : 21 November 2010.
10
dasarnya terdapat dua tujuan dari pengenaan road pricing yaitu untuk menambah pendapatan suatu daerah atau negara, atau suatu sarana untuk mengatur penggunaan kendaraan agar tidak terjadi kemacetan. Tujuan utama dari road pricing, yaitu mengurangi kemacetan, menjadi sumber pendapatan
daerah,
mengurangi
dampak
lingkungan,
mendorong
penggunaan angkutan massal. Berikut ini merupakan pengelompokan road pricing berdasarkan tujuan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengelompokan Road Pricing Nama Deskripsi Road toll (fixed Pengenaan biaya atas rates) penggunaan jalan-jalan tertentu. Congestion pricing Pengenaan biaya didasarkan (time-variable) atas kepadatan lalu lintas, jika lalu lintas padat maka biaya yang dikenakan akan tinggi, namun sebaliknya jika lalu lintas tidak padat maka biaya yang dikenakan akan rendah. Cordon fees Pengenaan biaya atas penggunaan jalan-jalan tertentu. HOV lanes Bagi kendaraan yang tidak bisa banyak menampung jumlah penumpang, akan dikenakan pungutan.
Distance-based Fees
Pay-As-You-Drive Insurance
Biaya yang dikenakan terhadap kendaraan bergantung pada seberapa jauh kendaraan digunakan. Membagi rata pembayaran berdasarkan jarak sehingga asuransi kendaraan menjadi biaya yang tidak tetap.
Tujuan Untuk meningkatkan pendapatan dan investasi. Untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemacetan.
Mengurangi kemacetan di pusat-pusat kota. Untuk mendorong peralihan penggunaan kendaraan pribadi kepada penggunaan kendaraan yang memilik daya tampung yang banyak, sehingga jumlah kendaraan di jalan raya dapat dikurangi. Untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi berbagai masalah lalu lintas. Mengurangi berbagai masalah lalu lintas khususnya kecelakaan lalu lintas.
Sumber : Susantono (2010)
11
2)
Cooperative instruments adalah keterlibatan individu, perusahaan swasta atau institusi pemerintah dalam mengurangi kemacetan lalu lintas, sebagai contoh carpooling yaitu penggunaan kendaraan yang memiliki daya tampung besar agar dapat mengangkut banyak penumpang, misalnya bus jemputan pegawai.
3)
Regulatory instruments umumnya ditetapkan oleh pemerintah dan berisi standar-standar,
larangan-larangan
dan
prosedur
administrasi
untuk
mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, sebagai contoh penetapan hari bebas kendaraan, melarang kendaraan pribadi untuk wilayah tertentu, batasan jumlah penumpang lebih dari 3, dan lain-lain. Congestion pricing (pungutan biaya kemacetan) merupakan salah satu economic instrument yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Electronic Road Pricing (ERP) merupakan salah satu sebutan untuk congestion pricing. Dengan congestion pricing, pengguna kendaraan pribadi akan dikenakan biaya jika mereka melewati satu area atau koridor yang macet pada periode waktu tertentu. Pengguna kendaraan pribadi pada akhirnya harus menentukan apakah akan meneruskan perjalanannya melalui area atau koridor tersebut dengan membayar sejumlah uang, mencari rute lain, mencari tujuan perjalanan lain, merubah waktu dalam melakukan perjalanan, tidak jadi melakukan perjalanan, atau berpindah menggunakan moda lain yang diijinkan untuk melewati area atau koridor tersebut6.
6
Susantono, DR Bambang. 2010. Electronic Road Pricing (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta. http : // bulletin . penataanruang . net / upload / data _ artikel / ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%20UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses : 21 November 2010.
12
Biaya yang dikenakan juga bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada pengguna kendaraan pribadi bahwa perjalanan mereka dengan kendaraan pribadi mempunyai kontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian kepada masyarakat yang tidak mengunakan kendaraan pribadi. Kondisi ini seringkali tidak dipikirkan oleh masyarakat dan pengambil kebijakan. Congestion pricing telah sukses diaplikasikan di beberapa kota seperti Singapore, Stockholm, dan London. Dana yang terkumpul dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pembiayaan untuk mendukung beroperasinya moda transportasi yang lebih efektif, sehat, dan ramah lingkungan sepert Bus Rapid Transit, Mass Rapid Transit, dan lain-lain7. Menurut Button dalam Santos (2004), road pricing adalah sebuah konsep sederhana yang menggunakan harga untuk mencerminkan kelangkaan dan untuk mengalokasikan sumber daya untuk individu yang menggunakannya. 2.2.
Latar Belakang Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) Latar belakang diterapkannya ERP adalah daya dukung jalan di Jakarta
tidak memadai, kerugian akibat kemacetan sangat tinggi (± 42 trilyun), degradasi sistem angkutan umum, dan trend pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang sangat tinggi (Dishub DKI Jakarta, 2011). Berdasarkan informasi dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta, peningkatan jumlah kendaraan pribadi sangat pesat yaitu mencapai 1.117 per hari atau sekitar 9% per tahun. Peningkatan yang terjadi saat ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan luas jalan. Pertumbuhan jalan relatif
7
Susantono, DR Bambang. 2010. Electronic Road Pricing (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta. http : // bulletin . penataanruang . net / upload / data _ artikel / ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%20UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses : 21 November 2010.
13
tetap, yakni sekitar 0,01% per tahun. Jika pembenahan pola transportasi tidak dilakukan, maka pada 2014 Jakarta diperkirakan macet total. Kemacetan akan memberi dampak negatif, baik dalam aspek sosial, lingkungan, maupun ekonomi. Dampak negatif tersebut diantaranya pemborosan Bahan Bakar Minyak (BBM), peningkatan polusi udara, dan penurunan mobilitas. Sebelumnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menerapkan aturan three in one (3 in 1) di beberapa luas jalan ibu kota. Hal ini dimaksudkan untuk membatasi jumlah kendaran pada jam-jam sibuk sehingga kemacetan dapat dikurangi. Namun, dalam pelaksanaanya aturan tersebut dinilai tidak efektif dalam mengatasi kemacetan. Kelemahan penerapan sistem three in one, diantaranya inkonsistensi penindakan pelanggaran aturan 3 in 1, jumlah petugas penegak hukum tidak memadai, dan muncul masalah sosial baru yaitu fenomena joki (Dishub DKI Jakarta, 2010). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memberlakukan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP), yaitu kebijakan pembatasan jumlah kendaraan melalui sistem jalan berbayar, dimana setiap kendaraan yang melintasi ruas jalan tertentu akan dikenakan biaya. Tujuannya adalah untuk mengatasi berbagi masalah yang ditimbulkan akibat kemacetan. Mekanisme penerapan ERP adalah setiap kendaraan yang melintasi zona ERP akan dikenakan sejumlah biaya tertentu. Pintu gerbang zona ERP akan dilengkapi teknologi OBU (on board unit), yaitu alat sensor yang dipasang pada setiap kendaraan yang secara otomatis memotong deposit uang pengguna jalan saat melewati gerbang-gerbang ERP.
14
2.3.
Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) di Beberapa Negara Elektronic Road Pricing telah sukses diterapkan dibeberapa kota di dunia.
Kota-kota yang telah mengaplikasikan sistem ERP ini diantaranya 8: 1)
Singapore Singapore merupakan kota pertama yang mengaplikasikan ERP (sejak tahun 1998), pada awalnya disebut urban road user charging. Tujuannya adalah untuk membatasi lalu lintas yang masuk pada saat jam puncak untuk mengurangi kemacetan. Sebelum ERP, Singapore menggunakan AreaLicensing Scheme (ALS), pada tahun 1998, ALS diganti dengan Electronic Road Pricing (ERP). Harga untuk memasuki daerah atau koridor ERP bervariasi berdasarkan rata-rata kecepatan jaringan. Harga yang bervariasi tersebut ditujukan untuk mempertahankan kecepatan antara 45-65 km/jam pada expressways dan 20-30 km/jam pada jalan arteri. Dampak diterapkanya congestion pricing atau ERP di Sangapore cukup signifikan. Prosentase penggunaan carpools dan bus meningkat dari 41% menjadi 62%, dan volume lalu lintas yang menuju daerah diterapkannya congestion pricing menurun sampai dengan 44%.
2)
London ERP diaplikasikan di London pada 17 Pebruari 2003. Tujuan dari aplikasi ERP di London adalah untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan reliabilitas waktu perjalanan, dan mengurangi polusi udara. Aplikasi ERP di London memberikan beberapa hasil positif antara lain: a) penurunan volume
8
Susantono, DR Bambang. 2010. Electronic Road Pricing (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta. http : // bulletin . penataanruang . net / upload / data _ artikel / ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%20UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses : 21 November 2010.
15
lalu lintas 15%, b) penurunan kemacetan 30%, c) penurunan polusi 12% (NOx, PM10), d) perjalanan menjadi lebih reliable, e) reliabilitas bus schedule meningkat signifikan, f) kecelakaan lalu lintas menurun, g) peningkatan kecepatan tidak meningkatkan fatalitas kecelakan, h) tidak terjadi dampak lalu lintas yang besar di daerah diluar area congestion charging, i) menjadi sumber pendapatan yang sebagian besar dipakai untuk perbaikan pelayanan angkutan umum. 3)
Stockholm ERP diaplikasikan secara resmi mulai 1 Agustus 2007, setelah diuji cobakan sejak tahun 2006. Tujuannya mengurangi kemacetan, meningkatkan aksesibilitas, memperbaiki kualitas lingkungan. Beberapa hasil positif yang bisa dicatat adalah: a) Meningkatnya aksesibilitas yang ditandai dengan penurunan antrian di pusat kota dan daerah-daerah dekat pusat kota sebesar 30-50%. b) Menurunnya total emisi kendaraan bermotor antara 10-14% di pusat kota, dan antara 2-3% untuk total satu kota.
Sumber : Susantono (2010)
Gambar 1. Aplikasi ERP di Beberapa Kota di Dunia
16
2.4.
Manfaat dan Dampak Electronic Road Pricing (ERP) Menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta (2011), manfaat Electronic Road
Pricing (ERP), diantaranya: 1)
Pemerintah : a) Mengurangi kemacetan b) Sumber pendapatan baru dari lalu lintas c) Mempermudah penerapan pembatasan lalu lintas d) Peralihan moda kendaraan pribadi ke angkutan umum e) Meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari manajemen permintaan
2)
Pengendara : a) Kenyamanan berkendara b) Perjalanan menjadi lebih tepat waktu c) Kemudahan pembayaran d) Kemudahan berpindah moda ke angkutan umum
3)
Masyarakat : a) Mengurangi kebisingan yang dihasilkan kendaraan b) Menurunkan tingkat polusi udara yang berasal dari asap kendaraan c) Minimalisasi kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas Apabila diterapkan ERP maka pengemudi dihadapkan pada pilihan-
pilihan, yaitu membayar dan menikmati perjalanan, merubah waktu perjalanan untuk membayar lebih murah, merubah rute perjalanan, merubah moda angkutan yang digunakan, merubah tujuan perjalanan, atau membatalkan perjalanan. Dampak penerapan kebijakan ERP tersebut adalah :
17
a)
Tercapainya efisiensi dalam aspek transportasi seperti tercapainya kelancaran lalu lintas yang menyebabkan penghematan waktu tempuh dan biaya perjalanan.
b)
Peningkatan kualitas lingkungan, TDM (Travel Demand Management) dalam aspek lingkungan diharapkan dapat mengurangi polusi udara, dan mengurangi polusi bunyi dan getaran.
c)
Penataan sistem tata guna lahan, TDM diharapkan dapat merevitalisasi fasilitas perkotaan sesuai dengan fungsinya.
d)
Meningkatkan ekonomi, TDM diharapkan dapat memberikan pendapatan tambahan bagi pemerintah sehingga mendapat dana tambahan untuk meningkatkan kualitas angkutan umum.
e)
Menjamin persamaan hak pengguna jalan, TDM diharapkan dapat memberikan keadilan bagi pengguna jalan dengan memberikan kewajiban yang lebih berat bagi pengguna jalan yang lebih berkontribusi terhadap kemacetan. Selain itu, jaminan terhadap pejalan kaki dan penghuni daerah lokal pun diharapkan dapat terealisasi.
2.5.
Dasar Hukum Electronic Road Pricing (ERP) Dasar hukum penerapan Electronic Road Pricing (ERP) adalah sebagai
berikut (Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2011): 1)
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan a) PASAL 133 UU NO. 22/2009 Pasal 133 ayat (3), Pembatasan lalu lintas dapat dilakukan dengan pengenaan Retribusi Pengendalian Lalu Lintas yang
diperuntukkan
18
bagi peningkatan kinerja lalu lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum. Saat ini Peraturan Pemerintah untuk Undang-Undang ini sedang dalam proses pembahasan, diharapkan dapat lebih menegaskan perlunya pelaksanaan ERP. b) PASAL 472 RPP LLAJ Pembatasan lalu lintas dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian lalu lintas. Retribusi pengendalian lalu lintas adalah biaya tambahan yang harus dibayar oleh pengguna kendaraan perseorangan dan kendaraan barang akibat kemacetan yang disebabkannya. Dana yang diperoleh dari retribusi pengendalian lalu lintas diperuntukkan bagi peningkatan kinerja lalu lintas dan pelayanan angkutan umum. Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan penerapan pembatasan lalu lintas dengan pengenaan retribusi pengendalian lalu lintas diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri yang bertanggung jawab dibidang sarana dan prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan memperhatikan pendapat Menteri dibidang urusan dalam negeri. 2)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (PDRD) Ketentuan tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas / ERP belum dimuat, walaupun pada saat penyusunannya termasuk materi yang dibahas. Namun sesuai pasal 150 Undang-Undang ini, jenis retribusi selain yang ditetapkan dalam pasal 110 ayat (1) (retribusi jasa umum), pasal 127 (retribusi jasa usaha) dan pasal 141 (retribusi perizinan tertentu), sepanjang memenuhi
19
kriteria-kriteria sebagai retribusi, maka dapat ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. ERP dapat memenuhi kriteria sebagai Retribusi Jasa Umum. Retribusi Jasa Umum merupakan retribusi untuk jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemda untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan; (Pasal 1 Ketentuan Umum). 3)
Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2003 Tentang LLAJ, Kereta Api, Sungai Dan Danau, Penyeberangan
4)
Peraturan Gubernur Nomor 103 Tahun 2007 Tentang Pola Transportasi Makro Strategi Pola Transportasi Makro (PTM) meliputi : a) Pembangunan infrastruktur b) Pembangunan angkutan umum massal c) Pengaturan-pengaturan Kebijakan pengaturan berupa rencana pembatasan lalu lintas yang terdiri dari : a) Pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor b) Pembatasan penggunaan jalan c) Pembatasan parkir d) Pengaturan penggunaan jalan tertentu
5)
Draft RTRW Provinsi DKI Jakarta 2010 - 2030 Bab IV Pasal 22 ayat (1), Penerapan manajemen lalu lintas terdiri dari antara lain sistem satu arah, pengaturan dengan lampu lalu lintas, dan
20
kebijakan pembatasan lalu lintas yang diemplementasikan secara bertahap pada daerah tertentu. Electronic Road Pricing (ERP) belum dapat diimplementasikan karena ERP dalam RPP tentang LLAJ masih dalam pembahasan. Selain itu belum ada RPP tentang PDRD yang mengatur ERP dan belum disusunnya Perda tentang ERP. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam ERP, yaitu : 1)
Apek legal, berupa dasar penerapan ERP, dasar penarikan pembayaran, dasar penindakan terhadap pelanggar, dasar pengenaan sanksi terhadap pelanggar, dan mekanisme penggunaan uang hasil ERP
2)
Aspek perencanaan
3)
Aspek teknis berupa teknologi mana yang paling tepat untuk DKI Jakarta
4)
Aspek kelembagaan (institusi)
2.6.
Transportasi Publik Menurut Papageorgiou dalam Hall (2003), transportasi selalu menjadi
aspek penting dari peradaban manusia, tetapi fenomena kemacetan lalu lintas telah menjadi dominan karena peningkatan pesat jumlah kendaraan dan permintaan transportasi hampir di semua moda transportasi. Kemacetan lalu lintas terjadi karena kendaraan terlalu banyak sedangkan untuk menggunakan transportasi umum kapasitasnya terbatas sehingga kebutuhan inovasi baru di bidang transportasi sangat diperlukan. Kemacetan lalu lintas menyebabkan fenomena antrian meskipun kapasitas infrastruktur sepenuhnya dimanfaatkan. Dalam kasus yang terburuk, kemacetan lalu lintas mengarah pada terdegradasinya penggunaan infrastruktur yang tersedia, berkurangnya keamanan, dan peningkatan polusi lingkungan.
21
Menurut Evans dalam Hall (2003), keamanan merupakan pertimbangan penting dalam kegiatan manusia. Setiap jenis sistem transportasi melibatkan beberapa risiko bahaya. Tujuan utama dari transportasi yaitu mengefektifkan pergerakan orang dan barang. Saat ini telah dikembangkan Sistem Transportasi Cerdas (Transportasi Intelligent Systems). Istilah Transportasi Intelligent Systems (ITS) mengacu pada multimoda transportasi paket inovasi canggih yang menggunakan teknologi dalam elektronik dan informasi untuk meningkatkan kinerja kendaraan, jalan raya, dan sistem transit. Pembuat kebijakan telah lama memandang ITS sebagai teknologi potensial untuk memperbaiki masalah kemacetan dan berkurangnya produktivitas sistem transportasi negara. Sementara ITS memungkinkan masyarakat untuk melakukan hal-hal lama yang lebih baik (menekan jumlah kendaraan dan mengurangi insiden yang dapat terjadi di jalan raya). Selain itu memungkinkan masyarakat untuk melakukan hal-hal baru, misalnya mengetahui kapan sebuah bus datang begitu transit dengan ketidakpastian minimal, atau menggunakan variabel harga untuk mengelola puncak permintaan (Gillen dan Levinson, 2004). 2.7.
Pengertian dan Penyebab Pencemaran Udara Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing
di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama akan mengganggu kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan. Pembangunan yang berkembang pesat dewasa ini, khususnya dalam industri dan teknologi, serta meningkatnya jumlah
22
kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil menyebabkan udara menjadi tercemar oleh gas-gas buangan hasil pembakaran (Wardhana, 2004). Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1407 tahun 2002 tentang Pedoman Pengendalian Dampak Pencemaran Udara, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia. Menurut Wardhana (2004), secara umum penyebab pencemaran udara ada dua macam, yaitu : a)
karena faktor internal (secara alamiah), contohnya debu yang beterbangan akibat tiupan angin, abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gas-gas vulkanik, proses pembusukan sampah organik, dan lain-lain.
b)
karena faktor eksternal (karena ulah manusia), contohnya hasil pembakaran bahan bakar fosil, debu/serbuk dari kegiatan industri, dan pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara. Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan campuran
dari satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan atau gas yang masuk terdispersi ke udara dan kemudian menyebar ke lingkungan sekitar.
23
Kecepatan penyebaran ini akan tergantung pada keadaan geografi dan meteorologi setempat. Pemakaian bahan bakar fosil untuk kegiatan ekonomi berkontribusi besar dalam meningkatkan kadar pencemar di udara. Menurut Wardhana (2004), dampak pencemaran lingkungan sebenarnya tidak semata-mata disebabkan oleh karena kegiatan industri dan teknologi saja, namun juga disebabkan oleh faktor lain yang menunjang kegiatan tersebut. Faktor penunjang kegiatan industri dan teknologi adalah faktor penyedia daya listrik dan faktor transportasi. Kegiatan industri dan teknologi membutuhkan tersedianya daya listrik dan transportasi yang sangat diperlukan untuk kelancaran kegiatan industri dan teknologi. Faktor penyedia daya listrik dan faktor transportasi merupakan penyerap terbesar pemakaian bahan bakar fosil, baik berupa batu bara maupun minyak bumi. Sebagian besar pencemar udara (sekitar 75%) berasal dari gas buangan hasil pembakaran bahan bakar fosil (Wardhana, 2004). Menurut Harssema dalam Mulia (2005), pencemaran udara diawali oleh adanya emisi. Emisi merupakan jumlah polutan atau pencemar yang dikeluarkan ke udara dalam satuan waktu. Emisi dapat disebabkan oleh proses alam maupun kegiatan manusia. Emisi akibat proses alam disebut biogenic emissions, contohnya yaitu dekomposisi bahan organik oleh bakteri pengurai yang menghasilkan gas metan (CH4). Emisi yang disebabkan kegiatan manusia disebut anthropogenic
emissions.
Contoh
anthropogenic
emissions
yaitu
hasil
pembakaran bahan bakar fosil, pemakaian zat kimia yang disemprotkan ke udara, dan sebagainya.
24
2.8.
Dampak Pencemaran Udara Menurut Wardhana (2004), dampak pencemaran udara merupakan
masalah serius yang dihadapi oleh negara-negara industri. Pencemaran tersebut tidak hanya mempunyai akibat langsung terhadap kesehatan manusia saja, tetapi juga dapat merusak lingkungan lainnya, seperti hewan, tanaman, bangunan gedung, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1980, kematian yang disebabkan oleh pencemaran udara mencapai angka kurang lebih 51.000 orang. Menurut para ahli, pada sekitar tahun 2000-an kematian yang disebabkan oleh pencemaran udara akan mencapai angka 57.000 orang per tahunnya. Selama 20 tahun angka kematian yang disebabkan oleh pencemaran udara naik mendekati 14% atau mendekati 0,7% per tahun. Selain itu kerugian materi yang disebabkan oleh pencemaran udara, apabila diukur dengan uang, dapat mencapai sekitar 12-16 juta US dollar per tahun (Wardhana, 2004). Menurut Bank Dunia, estimasi kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran udara di Indonesia sebesar 400 US dollar setahun. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Asian Devolepment Bank (ADB) kerugian tersebut belum termasuk kematian dini dan gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh PM10 dan SO2 (World Bank, 2003). Perkiraan kerugian ekonomi yang ditimbulkan pencemaran udara SO2 terhadap kesehatan manusia adalah senilai Rp 92.157.163,- pada tahun 2001. Pencemaran udara menimbulkan kerugian berantai. Masyarakat kota Jakarta harus menanggung kerugian sekitar 180 juta US dollar per tahun akibat polusi udara. Biaya tersebut diprediksi akan meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun mendatang. Kerugian lainnya adalah kehilangan pendapatan
25
karena warga kota tidak dapat bekerja karena sakit. Untuk itu penting mengelola udara bersih agar dampak pencemaran udara tersebut dapat dicegah. Transportasi perkotaan sangat berkontribusi besar dalam menimbulkan pencemaran udara karena emisi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor9. 2.9.
Manajemen Transportasi Tujuan pembangunan sistem transportasi sebagaimana dinyatakan oleh
BAPPEDA DKI Jakarta adalah 1) tersusunnya suatu jaringan sistem transportasi yang efisien dan efektif; 2) meningkatnya kelancaran lalu lintas dan angkutan; 3) terselenggaranya pelayanaan angkutan yang aman, tertib, nyaman, teratur, lancar, dan efisien; 4) terselenggaranya pelayanaan angkutan barang yang sesuai dengan perkembangan sarana angkutan dan teknologi transportasi angkutan barang; 5) meningkatnya keterpaduan baik antara sistem angkutan laut, udara, dan darat maupun antar moda angkutan darat; dan 6) meningkatnya disiplin masyarakat pengguna jalan dan pengguna angkutan (Nugroho, 2003). Menurut Duff (1961) dalam Setijadji (2006), manajemen lalu lintas adalah usaha pengaturan jalan yang ada dalam usaha untuk memanfaatkan secara optimal, prasarana jalan tersebut untuk kepentingan umum. Menurut PP Nomor 43 Tahun 1993, Tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, manajemen lalu lintas adalah pengelolaan dan pengendalian arus lalu lintas dengan melakukan optimasi penggunaan prasarana yang ada. Hal ini menyangkut kondisi arus lalu lintas dan juga sarana penunjangnya, baik saat sekarang maupun
9
WALHI Jabar. 2007. Udara Bersih : Kenyataan, Harapan dan Tantangan. http://walhijabar.wordpress.com/2007/12/25/udara-bersih-kenyataan-harapan-dan-tantangan/. Diakses tanggal 10 Juli 2011.
26
yang direncanakan. Manajemen lalu lintas meliputi kegiatan perencanaan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian lalu lintas. Manajemen lalu lintas adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan suatu proses pengaturan lalu lintas, dan sistem prasarana jalan dengan menggunakan beberapa metode ataupun teknik rekayasa tertentu, tanpa mengadakan pembangunan jalan baru, dalam usaha untuk mencapai tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran tertentu yang berhubungan dengan masalah lalu lintas (Modul Pelatihan Transportasi ITB, 1997). Tujuan dari manajemen lalu lintas adalah : 1)
Mendapatkan tingkat efisiensi dari pergerakan lalu lintas secara menyeluruh dengan tingkat aksesibilitas yang tinggi, dengan menyeimbangkan permintaan dengan sarana penunjang yang tersedia.
2)
Meningkatkan tingkat keselamatan dari pengguna yang dapat diterima oleh semua pihak dan memperbaiki tingkat keselamatan tersebut sebaik mungkin.
3)
Melindungi dan memperbaiki keadaan kondisi lingkungan dimana lalu lintas tersebut berada.
4)
Mempromosikan penggunaan energi secara efisien ataupun penggunaan energi lain yang dampak negatifnya lebih kecil dari pada energi yang ada. Sasaran diberlakukannya manajemen lalu lintas adalah :
1)
Mengatur dan menyederhanakan lalu lintas dengan melakukan pemisahan terhadap tipe, kecepatan dan pemakai jalan yang berbeda untuk meminimumkan gangguan terhadap lalu lintas.
27
2)
Mengurangi tingkat kemacetan lalu lintas dengan menaikkan kapasitas atau mengurangi volume lalu lintas pada suatu jalan.
3)
Melakukan optimasi ruas jalan dengan menentukan fungsi dari jalan dan kontrol terhadap aktivitas-aktivitas yang tidak cocok dengan fungsi jalan tersebut. Manfaat pelaksanaan manajemen lalu lintas adalah :
1)
Efisiensi pergerakan Berhubungan dengan tingkat kecepatan dan pergerakannya, biasanya mereka ingin menyelesaikan perjalanannya secara nyaman dan aman. Karena perjalanan tanpa adanya keterlambatan adalah hal utama yang diinginkan dalam pergerakan lalu lintas.
2)
Keselamatan pergerakan Kecelakaan atau bahaya keselamatan, biasanya dihubungkan dengan tingginya kecepatan kendaraan, namun bertentangan dengan prinsip efisiensi yang hendak dicapai. Makin tinggi kecepatan kendaraan, akan makin sulit untuk dikontrolnya, apalagi jika diminta untuk berhenti. Mengingat bahwa efisiensi pergerakan pada batas tertentu sangat bertentangan dengan keselamatan pergerakan, adalah penting untuk menciptakan keseimbangan yang baik, agar kedua hal tersebut dapat dipertemukan dengan baik tanpa harus bertentangan satu dengan yang lain.
3)
Terciptanya lingkungan yang baik dan nyaman Lingkungan yang baik dan nyaman adalah suatu lingkungan yang tidak terganggu atau lingkungan yang asli. Untuk itu hal yang perlu dipikirkan adalah menjaga agar perubahan-perubahan alam yang terjadi akibat adanya
28
pergerakan dapat diminimalkan dalam usaha menjaga lingkungan yang nyaman. Transportasi dikatakan baik, apabila perjalanan cukup cepat, tidak mengalami kemacetan, frekuensi pelayanan cukup, aman, bebas dari kemungkinan kecelakaan dan kondisi pelayanan yang nyaman. Oleh karena itu untuk mencapai kondisi yang ideal tersebut sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang menjadi komponen transportasi ini, yaitu kondisi prasarana (jalan), sistem jaringan jalan, kondisi sarana (kendaraan) dan sikap mental pemakai fasilitas transportasi tersebut (Sinulingga, 1999).
29
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis terdiri dari beberapa teori yang digunakan
dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan teori-teori yang sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai yaitu Contingent Valuation Method (CVM), regresi linier berganda, dan instrumen ekonomi. 3.1.1. Contingent Valuation Method (CVM) Penilaian ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-market valuation) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu: 1) revealed preference approach merupakan teknik penilaian yang mengandalkan harga implisit di mana Willingness to Pay terungkap melalui model yang dikembangkan, meliputi: Travel Cost, Hedonic Pricing, dan Random Utility Model. 2) stated preference approach merupakan teknik penilaian yang didasarkan pada survei di mana keinginan membayar atau Willingness to Pay diperoleh dari responden, meliputi: Contingent Valuation, Random Utility Model, dan Contingent Choice. Menurut Yakin (1997), Contingent Valuation Method (CVM) merupakan metode yang popular digunakan saat ini, karena CVM dapat mengukur nilai penggunaan (use value) dan nilai non pengguna (non use values) dengan baik. Metode CVM ini sangat tergantung pada hipotesis yang akan dibangun. Misalnya,
seberapa
besar
biaya
yang
harus
ditanggung,
bagaimana
pembayarannya, dan sebagainya. Metode CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu teknis eksperimental melalui simulasi dan teknik survei.
30
Metode CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif sumber daya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaaan. Metode CVM pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar (Willingness To Pay) dari masyarakat terhadap perbaikan lingkungan dan keinginan menerima kompensasi (Willingness To Accept) dari kerusakan lingkungan (Fauzi, 2006). 3.1.1.1 Kelebihan Contingent Valuation Method (CVM) Menurut Hanley dan Spash (1993) kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh pendekatan CVM dalam memperkirakan nilai ekonomi suatu lingkungan adalah sebagai berikut : 1)
Dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal penting, yaitu seringkali menjadi satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat dan dapat diaplikasikan pada berbagai konteks kebijakan lingkungan.
2)
Dapat digunakan dalam berbagai macam penelitian barang-barang lingkungan di sekitar masyarakat.
3)
Dibandingkan dengan teknik penilaian lingkungan lainnya, CVM memiliki kemampuan untuk mengestimasi nilai non pengguna. Dengan CVM, seseorang mungkin dapat mengukur utilitas dari penggunaan barang lingkungan bahkan jika tidak digunakan secara langsung. Meskipun teknik dalam CVM membutuhkan analis yang kompeten, namun hasil penelitian dari peneliti yang menggunakan metode ini tidak sulit untuk dianalisis dan dijabarkan.
31
3.1.1.2 Kelemahan Contingent Valuation Method (CVM) Menurut Fauzi (2006), meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk mengukur WTP, namun terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang utama dari pendekatan ini adalah timbulnya bias. Bias dalam pengumpulan data dengan mengunakan teknik CVM menurut Hanley dan Spash (1993) terdiri dari : 1)
Bias Strategi (Strategic Bias) Adanya responden yang memberikan suatu nilai WTP yang relatif kecil karena alasan bahwa ada responden lain yang akan membayar upaya peningkatan kualitas lingkungan dengan harga yang lebih tinggi kemungkinan dapat terjadi. Alternatif untuk mengurangi bias strategi ini adalah melalui penjelasan bahwa semua orang akan membayar nilai tawaran rata-rata atau penekanan sifat hipotetis dari perlakuan. Hal ini akan mendorong responden untuk memberikan nilai WTP yang benar. Mitchell dan Carson (1989) dalam Hanley dan Spash (1993) menyarankan empat langkah untuk meminimalkan bias strategi yaitu : a) Menghilangkan seluruh pencilan (outliner) b) Penekanan bahwa pembayaran oleh responden adalah dapat dijamin c) Menyembunyikan nilai tawaran responden lain d) Membuat perubahan lingkungan bergantung pada nilai tawaran Sedangkan Hoehn dan Randall (1987) dalam Hanley dan Spash (1993) menyarankan bahwa bias strategi dapat dihilangkan dengan menggunakan format referendum terhadap nilai WTP yang terlalu tinggi.
32
2)
Bias Rancangan (Design Bias) Beberapa hal dalam rencangan survei yang dapat mempengaruhi responden adalah : a) Pemilihan jenis tawaran (bid vehicle). Jenis tawaran yang diberikan dapat mempengaruhi nilai-nilai rata-rata tawaran. b) Bias titik awal (starting point bias). Pada metode bidding game, titik awal yang diberikan kepada responden dapat mempengaruhi nilai tawaran (bid) yang ditawarkan. Hal ini dapat dikarenakan responden yang ditanyai merasa kurang sabar atau karena titik awal yang mengemukakan besarnya nilai tawaran adalah tepat dengan selera responden (disukai responden karena responden tidak memiliki pengalaman
tentang
nilai
perdagangan
benda
lingkungan
yang
dipermasalahkan). c) Sifat informasi yang ditawarkan (nature of information provided). Dalam sebuah pasar hipotesis, responden mengkombinasikan informasi benda lingkungan yang diberikan kepadanya dan bagaimana pasar akan bekerja. Tanggapan responden dapat dipengaruhi oleh pasar hipotesis maupun komoditas spesifik yang diinformasikan pada saat survei. 3)
Bias yang Berhubungan dengan Kondisi Kejiwaan Responden (Mental Account Bias) Bias ini terkait dengan langkah proses pembuatan keputusan seorang individu dalam memutuskan seberapa besar pendapatan, kekayaan, dan waktunya yang dapat dihabiskan untuk benda lingkungan tertentu dalam periode waktu tertentu.
33
4)
Kesalahan Pasar Hipotetik (Hypotetical Market Error) Kesalahan pasar hipotetik terjadi jika fakta yang ditanyakan kepada responden di dalam pasar hipotetik membuat tanggapan responden berbeda dengan konsep yang diinginkan peneliti sehingga nilai WTP yang dihasilkan menjadi berbeda dengan nilai yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan studi CVM tidak berhadapan dengan perdagangan aktual, melainkan suatu perdagangan atau pasar yang murni hipotetik yang didapatkan dari pertemuan antara kondisi psikologi dan sosiologi prilaku. Terjadinya bias pasar hipotetik bergantung pada : a) Bagaimana pertanyaan disampaikan ketika melaksanakan survei. b) Seberapa realitistik responden merasakan pasar hipotetik akan terjadi. c) Bagaimana format WTP yang digunakan. Solusi untuk menghilangkan bias ini salah satunya yaitu desain dari alat survei sedemikian rupa sehingga maksimisasi realitas dari situasi yang akan diuji dan melakukan pengulangan kembali untuk kekonsistenan dari responden.
3.1.1.3 Tahap-tahap Contingent Valuation Method (CVM) Menurut Hanley dan Spash (1993), beberapa tahap dalam penerapan analisis CVM, yaitu : 1)
Membuat Pasar Hipotetik Tahap awal dalam menjalankan CVM adalah membuat pasar hipotetik. Pasar hipotetik tersebut dibangun untuk memberikan suatu alasan mengapa masyarakat seharusnya membayar terhadap suatu barang/jasa lingkungan dimana tidak terdapat nilai dalam mata uang berapa harga barang/jasa 34
lingkungan tersebut. Dalam pasar hipotetik harus menggambarkan bagaimana mekanisme pembayaran yang dilakukan. Skenario kegiatan harus diuraikan secara jelas dalam kuisioner sehingga responden dapat memahami barang lingkungan yang dipertanyakan serta keterlibatan masyarakat dalam rencana kegiatan. Selain itu, di dalam kuisioner juga perlu dijelaskan perubahan yang akan terjadi jika terdapat keinginan masyrakat membayar. 2)
Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP Penawaran besarnya nilai WTP dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Setelah itu dilakukan kegiatan pengambilan sampel. Hal ini dapat dilakukan melalui wawancara dengan tatap muka, dengan perantara telepon, atau surat. Terdapat empat metode yang dapat digunakan untuk memperoleh penawaran besarnya nilai WTP responden (Hanley dan Spash, 1993), yaitu: a) Bidding Game adalah metode tawar-menawar dimana responden ditawarkan sebuah nilai tawaran yang dimulai dari nilai terkecil hingga nilai terbesar sehingga mencapai nilai WTP maksimum yang sanggup dibayarkan responden. b) Open-ended Question adalah metode yang memberikan pertanyaan terbuka kepada responden tentang WTP maksimum yang mampu mereka bayarkan dengan tidak ada nilai tawaran sebelumnya sehingga tidak menimbulkan bias titik awal (starting point bias). Kelebihan metode ini yaitu responden tidak perlu diberi petunjuk yang bisa mempengaruhi nilai yang akan diberikan. Kelemahan metode ini yaitu
35
nilai yang diberikan kurang akurat dan variasi yang dihasilkan terlalu besar. c) Payment Card adalah metode yang menawarkan kepada responden nilai tawaran yang disajikan dalam bentuk kisaran nilai dalam sebuah kartu yang terdiri dari berbagai nilai kemampuan untuk membayar dimana responden dapat memilih nilai maksimal atau nilai minimal yang sesuai dengan preferensinya. Metode ini pada awalnya dikembangkan untuk mengatasi bias titik awal dari metode tawar-menawar. d) Closed-ended Referendum adalah metode yang memberikan sebuah nilai tawaran tunggal kepada responden, baik responden setuju ataupun tidak setuju dengan nilai tersebut. Metode ini menawarkan responden jumlah uang tertentu dan menanyakan apakah respnden mau membayar atau tidak sejumlah uang untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan. 3)
Memperkirakan Nilai Tengah dan Nilai Rata-Rata WTP Setelah data mengenai nilai WTP terkumpul, tahap selanjutnya adalah menghitung nilai tengah (median) dan nilai rata-rata (mean) dari WTP tersebut. Nilai tengah digunakan apabila terjadi rentang nilai penawaran yang terlalu jauh. Jika penghitungan nilai penawaran menggunakan ratarata, maka akan diperoleh nilai yang lebih tinggi dari yang sebenarnya. Oleh karena itu, lebih baik menggunakan nilai tengah karena nilai tengah tidak dipengaruhi oleh rentang penawaran yang cukup besar. Nilai tengah penawaran selalu lebih kecil daripada nilai rata-rata penawaran.
36
4)
Memperkirakan Kurva WTP Suatu kurva WTP dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai WTP sebagai variabel dependen dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut sebagai variabel independen. Kurva WTP ini dapat digunakan untuk memperkirakan perubahan nilai WTP karena perubahan sejumlah variabel independen yang berhubungan dengan mutu lingkungan. Hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dapat berkorelasi linier dengan bentuk persamaan umum sebagai berikut : WTPi = f(Yi, Ei, Ki, Ai, Qi) dimana i adalah responden ke-i.
5)
Menjumlahkan Data Penjumlahan
data
merupakan
proses
dimana
rata-rata
penawaran
dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksud. Bentuk ini sebaiknya termasuk seluruh komponen dari nilai relevan yang ditemukan seperti nilai keberadaan dan nilai penggunaan. 6)
Mengevaluasi Penggunaan CVM Pada tahap ini dilakukan penilaian sejauh mana penerapan CVM telah berhasil dilakukan. Penilaian tersebut dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan seperti apakah responden benar-benar mengerti dan memahami mengenai pasar hipotetik, berapa banyak kepemilikan responden terhadap barang/jasa lingkungan yang terdapat dalam pasar hipotetik, seberapa baik pasar hipotetik yang dibuat dapat mencakup semua aspek barang/jasa lingkungan, asumsi apa yang diperlukan untuk menghasilkan
37
nilai tengah dan menggambarkan nilai tawaran agregat, dan pertanyaan sejenis lainnya. 3.1.1.4 Organisasi dalam Pengoperasian Contingent Valuation Method Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam organisasi pengoperasian CVM, yaitu : 1)
Pasar hipotetik yang digunakan harus memiliki kredibilitas dan realitas.
2)
Alat pembayaran yang digunakan dan atau ukuran kesejahteraan (WTP) sebaiknya tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang terkait di masyarakat.
3)
Responden sebaiknya memiliki informasi yang cukup mengenai barang publik yang dimaksud dalam kuisioner dan alat pembayaran untuk penawaran mereka.
4)
Jika memungkinkan, ukuran WTP sebaiknya dicari, karena responden sering kesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka berikan.
5)
Ukuran contoh yang cukup besar sebaiknya dipilih untuk mempermudah perolehan selang kepercayaan dan reabilitas.
6)
Pengujian kebiasaan, sebaiknya dilakukan dan pengadopsian strategi uuntuk memperkecil strategi bias secara khusus.
7)
Penawaran sanggahan sebaiknya diidentifikasi.
8)
Diperlukan pengetahuan dengan pasti jika contoh memiliki karakteristik yang sama dengan populasi dan penyesuaian diperlukan.
9)
Tanda parameter sebaiknya dilihat kembali untuk melihat jika mereka setuju dengan harapan yang tepat. Nilai minimum dari 15% untuk R adjusted
38
direkomendasikan oleh Mitchell dan Carson (1989) dalam Hanley dan Spash (1993). 3.1.2. Regresi Linier Berganda Menurut Gujarati (2003), model ekonometrika yang baik harus memenuhi tiga kriteria yaitu kiteria ekonometrika, statistika, dan ekonomi. Berdasarkan kriteria ekonometrika, model harus sesuai dengan asumsi klasik, artinya harus terbebas dari gejala heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas. Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari hasil uji F, uji t, dan koefisien determinasi (R2). Berdasarkan kriteria ekonomi, tanda dan besarnya variabel-variabel eksogen dalam model harus seesuai dengan hipotesis, kecuali pada kondisi-kondisi tertentu yang bisa dijelaskan. Metode statistik inferensia yang digunakan yaitu model regresi berganda dengan metode pendugaan kuadrat terkecil OLS (Ordinary Least Square) yang didasarkan pada asumsi yang ada. Pada regresi berganda (multiple regression model) diasumsikan bahwa peubah tak bebas (respons) Y merupakan fungsi linier dari beberapa peubah bebas X1, X2, ... , Xk dan komponen sisaan ε (error). Persamaan model regresi liner berganda secara umum adalah sebagai berikut: Yi = β0 + β1X1i + β2X2i + β3X3i + ... + βkXki + εi dengan i menunjukkan nomor pengamatan dari 1 sampai N untuk data populasi atau sampai n untuk data contoh (sample). Xki merupakan pengamatan ke-i untuk peubah bebas Xk . Koefisien β1 dapat merupakan intersep model regresi berganda. Metode OLS dilakukan dengan pemilihan parameter yang tidak diketahui sehingga jumlah kuadrat kesalahan pengganggu (Residual Sum of Square atau
39
RRS) yaitu Σei2 = minimum (terkecil). Asumsi utama yang mendasari model regresi berganda dengan metode OLS adalah sebagai berikut (Firdaus, 2004) : 1)
Nilai yang diharapkan bersyarat (Conditional Expected Value) dari εi tergantung pada Xi tertentu adalah nol.
2)
Tidak ada korelasi berurutan atau tidak ada korelasi (non-autokorelasi) artinya dengan Xi tertentu simpangan setiap Y yang manapun dari nilai rataratanya tidak menunjukkan adanya korelasi, baik secara positif atau negatif.
3)
Varians bersyarat dari € adalah konstan. Asumsi ini dikenal dengan nama asumsi homoskedastisitas.
4)
Variabel bebas adalah nonstokastik yaitu tetap dalam penyampelan berulang jika stokastik maka didistribusikan secara independent dari gangguan €.
5)
Tidak ada multikolinearitas antara variabel penjelas satu dengan yang lainnya.
6)
€ didistibusikan secara normal dengan rata-rata dan varians yang diberikan oleh asumsi 1 dan 2. Apabila semua asumsi yang mendasari model tersebut terpenuhi maka
suatu fungsi regresi yang diperoleh dari hasil perhitungan pendugaan dengan metode OLS dari koefisien regresi adalah penduga tak bias linier terbaik (best linier unbiased estimator atau BLUE). Sebaliknya jika ada asumsi dalam model regresi yang tidak terpenuhi oleh fungsi regresi yang diperoleh maka kebenaran pendugaan model tersebut atau pengujian hipotesis untuk pengambilan keputusan dapat diragukan. Penyimpangan 2, 3, dan 5 memiliki pengaruh yang serius sedangkan asumsi 1,4, dan 6 tidak.
40
3.1.3. Instrumen Ekonomi Instrumen ekonomi adalah sebagian dari kebijakan lingkungan dalam mengendalikan dampak negatif yang terjadi pada lingkungan melalui mekanisme pasar (Fauzi, 2007). James (1997) dalam Fauzi (2007) mendefinisikan instrumen ekonomi untuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan sebagai mekanisme administratif yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi perilaku siapapun yang mendapatkan nilai dari sumber daya, memanfaatkannya, atau menyebabkan dampak sebagai efek lain atau eksternalitas yang disebabkan aktivitas mereka. Fungsi instrument ekonomi menurut Panayotou (1994) dalam Fauzi (2007) menyebutkan paling tidak ada empat hal utama menyangkut fungsi instrumen ekonomi dalam pengelolaan lingkungan, yaitu : 1)
Menginternalisasikan eksternalitas dengan cara mengoreksi kegagalan pasar melalui mekanisme full cost pricing dimana biaya subsidi, biaya lingkungan dan biaya eksternalitas diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.
2)
Mampu mengurangi konflik pembangunan versus lingkungan, bahkan jika dilakukan secara tepat dapat menjadikan pembangunan ekonomi sebagai wahana (vehicle) untuk perlindungan lingkungan dan sebaliknya.
3)
Instrumen ekonomi berfungsi untuk menganjurkan efisiensi dalam penggunaan barang dan jasa dari sumber daya alam sehingga tidak menimbulkan kelebihan konsumsi karena pasar, melalui isntrumen ekonomi akan memberikan sinyal yang tepat terhadap penggunaan yang tidak efisien.
4)
Instrumen ekonomi dapat digunakan sebagai sumber penerimaan (revenue generating).
41
Instrumen ekonomi dapat dibagi berdasarkan tiga kategori umum menurut dampaknya terhadap keuangan pemerintah (Fauzi, 2007), yaitu : 1)
Instrumen peningkatan revenue, seperti pajak, dan biaya perijinan yang dapat meningkatkan biaya relatif dari teknologi intensif dan produk emisi. Instrumen ini menciptakan insentif yang terus menerus pada inovasi untuk meningkatkan efisiensi emisi atau untuk mengganti pada pengganti emisi yang lebih rendah, serta memberikan penerimaan bagi pemerintah.
2)
Instrumen Budget-neutral, yang meningkatkan biaya relatif emisi dan atau teknologi intensif energi dan produk, namun tidak meningkatkan penerimaan bagi pemerintah. Kategori ini meliputi peraturan yang bersifat market-based, yang mengharuskan perusahaan memenuhi standar baku mutu tetapi membolehkan mereka untuk menjual belikannya dengan pihak lain untuk memenuhi komitmen standar ini. Instrumen budget-neutral ini dapat dikhususkan pada teknologi (misalnya renewable portfolio standard atau emisi kendaraan bermotor), atau dapat juga dikhususkan pada kinerja (misalnya domestic emission trading program).
3)
Instrumen Ekspenditur, seperti subsidi dan insentif lainnya yang menurunkan biaya relatif dari teknologi dan produk dengan emisi yang lebih rendah dan atau intensitas energi, membuatnya semakin kompetitif dengan teknologi yang ada. Instrumen ini dapat ditujukan pada keputusan yang ada (misalnya melalui akselerasi depresiasi untuk tujuan pajak) atau biaya kompetitif
jangka
panjang
melalui
pembiayaan
atau
penelitian,
pengembangan dan komersialisasi teknologi baru. Dengan membiayai
42
subsidi ini, pemerintah layaknya harus meningkatkan pajak lainnya atau menurunkan ekspenditur. 3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Populasi penduduk Jakarta meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini
disebabkan karena Jakarta merupakan pusat pemerintahan yang memiliki daya tarik besar untuk mencari pekerjaan sehingga arus urbanisasinya besar. Populasi penduduk yang besar berimplikasi pada peningkatan permintaan transportasi untuk memudahkan aktivitas sehari-hari. Hal tersebut akan mengakibatkan jumlah kendaraan semakin meningkat, sehingga menimbulkan kemacetan yang semakin sulit diatasi di kota Jakarta. Kemacetan ini menimbulkan berbagai masalah yang erat kaitannya dengan lingkungan, sosial, dan ekonomi. Kemacetan menimbulkan ketidaklancaran lalu lintas, sehingga berimplikasi pada peningkatan konsumsi BBM yang dapat menyebabkan pencemaran udara akibatnya lingkungan menjadi rusak dan tidak sehat. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah di sekor transportasi agar sustainable transportation dapat tercapai dan kualitas lingkungan di kota Jakarta dapat diperbaiki. Electronic Road Pricing (ERP) merupakan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan laju penggunaan kendaraan pribadi dimana setiap kendaraan yang melintasi zona ERP tersebut dikenai biaya dengan harga tertentu. Kebijakan ini bertujuan agar kelancaran lalu lintas dapat dicapai sehingga masalah lingkungan yang berdampak pula pada sosial ekonomi masyarakat dapat diatasi. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk melihat WTP masyarakat yang mencerminkan nilai ERP yang dapat diimplementasikan oleh pemerintah. Hasil
43
dari pemberlakuan ERP berupa pendapatan daerah yang digunakan sebagai dana perbaikan dan pengadaan transportasi publik yang layak dan nyaman.
44
Peningkatan populasi
Permintaan transportasi meningkat
Kemudahan beraktivitas
Peningkatan Jumlah Kendaraan
Kemacetan
Masalah Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi
Kebijakan Transportasi Pemerintah
Electronic Road Pricing (ERP)
Pembatasan Penggunaan Jalan
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ERP
Besarnya nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan
Besarnya jumlah kendaraan dan emisi yang berkurang akibat pemberlakuan ERP
Dampak lingkungan pemberlakuan ERP
Analisis Regresi Berganda
Analisis CVM
Analisis kuantitatif dan CVM
Analisis Deskriptif Kualitatif dan Kuantitatif
Rekomendasi Kebijakan
Keterangan :
Lingkup Penelitan
Gambar 2. Diagram Alur Kerangka Berfikir
45
IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat.
Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) karena lokasi tersebut merupakan salah satu lokasi yang telah direncanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memberlakukan Electronic Road Pricing (ERP). Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan MaretMei 2011. Selama jangka waktu penelitian dilakukan pengambilan data yang dibutuhkan baik primer maupun sekunder. 4.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data
sekunder. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan responden melalui kuisioner. Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai instansi pemerintahan di lokasi penelitian dan instansi-instansi lain yang terkait. 4.3.
Metode Pengambilan Contoh Teknik pengambilan contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode non-probability sampling, yaitu convenience sampling. Metode tersebut merupakan metode pengambilan responden yang mudah ditemui dan mempunyai kemampuan sebagai responden (Nazir, 1988). Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah para pengguna Jalan Jenderal Sudirman. Responden diambil secara sengaja dengan pertimbangan pengguna jalan yang menggunakan mobil pribadi dan biasa melintasi Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Jumlah
46
responden yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 orang. Dalam penelitian sosial jumlah responden sebanyak 100 orang ini dinilai sudah mewakili keseluruhan populasi dan hasil estimasi pada model regresi linier berganda juga menunjukkan bahwa data sudah menyebar normal. Tabel 3. Metode Analisis Data No. 1.
2.
3.
4.
5.
4.4.
Tujuan Penelitian
Sumber Data
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ERP dilihat dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar. Mengestimasi besarnya nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan dilihat dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar (WTP). Mengestimasi besarnya jumlah kendaraan dan emisi yang dapat berkurang akibat pemberlakuan ERP. Menganalisis dampak lingkungan dari pemberlakuan ERP.
Data Primer (Wawancara)
Menganalisis rekomendasi kebijakan yang tepat dalam mengelola sistem pemanfaatan keuangan yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP.
Data primer (Wawancara) dan data sekunder
Metode Analisis Analisis Regresi Berganda
Data primer (Wawancara) dan data sekunder
Analisis CVM
Data primer (Wawancara) dan data sekunder
Analisis kuantitatif dan CVM
Data primer (Wawancara) dan data sekunder
Analisis Deskriptif Kualitatif dan Kuantitatif Analisis Deskriptif Kualitatif
Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh, dikumpulkan, dan dianalisis secara kualitatif
dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan komputer program Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS 15.0 for Windows.
47
4.4.1. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai ERP Dilihat dari WTP Pengguna Jalan Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai ERP dilihat dari faktorfaktor yang mempengaruhi nilai WTP pengguna jalan Sudirman. Hal tersebut dianalisis dengan menggunakan regresi linier berganda. Persamaan regresi besarnya nilai ERP dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: WTP = β0 + β1KMUi + β2TPi - β3PBi + β4PDi - β5JTi + β6JPi + β7DMi + εi dimana : WTP
= Nilai WTP responden (Rp)
KMU
= Keinginan untuk memperbaiki kualitas udara (bernilai 1 jika “sama sekali tidak ingin”, bernilai 2 jika “tidak ingin”, bernilai 3 jika “ingin”, bernilai 4 jika “sangat ingin”)
TP
= Tingkat pendidikan (bernilai 1 jika “SLTA”, bernilai 2 jika “D3/S1”, bernilai 3 jika “S2/S3”)
PB
= Rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar (Rp)
PD
= Tingkat Pendapatan (Rp)
JT
= Jumlah Tanggungan (orang)
JP
= Jenis Pekerjaan (bernilai
1 untuk pekerjaan
yang
harus
menggunakan kendaraan, bernilai 0 untuk pekerjaan yang tidak harus menggunakan kendaraan) DR
= Durasi terkena kemacetan (menit)
i
= Responden ke-i (i = 1, 2, ..., n)
ε
= Galat Besarnya nilai WTP akan mencerminkan besarnya nilai ERP yang sesuai
untuk diberlakukan. Nilai tersebut dipengaruhi oleh faktor- faktor sebagai berikut:
48
penilaian terhadap kualitas udara, tingkat pendidikan, rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan, jenis pekerjaan, dan durasi terkena kemacetan dari masing-masing responden. Variabel-variabel tersebut diduga mempengaruhi nilai yang bersedia responden bayarkan sebagai nilai ERP dalam upaya memperbaiki kualitas udara dan mengatasi kemacetan di Jakarta. Variabel yang diduga akan memiliki koefisien bernilai positif yaitu keinginan untuk memperbaiki suhu udara, tingkat pendidikan, tingat pendapatan, jenis pekerjaan, dan durasi terkena kemacetan. Dihipotesiskan bahwa semakin tinggi keinginan responden untuk memperbaiki suhu udara maka diduga akan mempengaruhi responden dalam memberikan nilai kesediaan membayar (WTP) yang lebih tinggi. Dihipotesiskan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka diduga akan mempengaruhi responden dalam memberikan nilai kesediaan membayar (WTP) yang lebih tinggi. Dihipotesiskan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan responden maka diduga akan mempengaruhi responden dalam memberikan nilai kesediaan membayar (WTP) yang lebih tinggi. Dihipotesiskan bahwa semakin pekerjaan tersebut membutuhkan kendaraan maka diduga akan mempengaruhi responden dalam memberikan nilai kesediaan membayar (WTP) yang lebih tinggi. Dihipotesiskan bahwa semakin lama responden terkena kemacetan maka diduga akan mempengaruhi responden dalam memberikan nilai kesediaan membayar (WTP) yang lebih tinggi. Variabel yang diduga akan memiliki koefisien bernilai negatif yaitu ratarata pengeluaran untuk bahan bakar dan jumlah tanggungan. Dihipotesiskan bahwa semakin besar pengeluaran responden untuk membeli bahan bakar maka diduga akan mempengaruhi responden dalam memberikan nilai kesediaan
49
membayar (WTP) yang lebih rendah. Dihipotesiskan bahwa semakin banyak jumlah tanggungan maka diduga akan mempengaruhi responden dalam memberikan nilai kesediaan membayar (WTP) yang lebih rendah. 4.4.2
Estimasi Nilai WTP Pengguna Jalan untuk Menentukan Besarnya Nilai ERP Nilai WTP dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan CVM.
Tahap-tahap yang dilakukan dalam CVM meliputi (Hanley dan Spash, 1993): 1)
Membuat Pasar Hipotetik Dasar pembentukan pasar hipotetik dalam penelitian ini adalah kemacetan yang semakin parah dan peningkatan polusi udara di kota Jakarta. Dalam upaya mengatasi kemacetan, inefsiensi energi dan mengurangi polusi di Jakarta diterapkan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) dibeberapa ruas jalan protokol di Jakarta, maka diperlukan anggaran biaya yang cukup sarana untuk mengatur penggunaan kendaraan agar upaya mengatasi kemacetan, inefsiensi energi dan mengurangi polusi di Jakarta dapat dilakukan. Hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan salah satu instrumen ekonomi yaitu pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna jalan (road pricing) untuk mencapai tujuan transportasi yang berkelanjutan. Pasar hipotetik yang ditawarkan dibentuk dalam skenario sebagai berikut: Skenario Pasar Hipotetik ”Kemacetan di DKI Jakarta semakin sulit diatasi sehingga menimbulkan berbagai masalah yang erat kaitannya dengan sektor lingkungan, sosial, dan ekonomi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memberlakukan suatu
50
kebijakan dalam hal manajemen transportasi darat untuk mengatasi kemacetan, inefisensi energi, dan mengurangi polusi. Kebijakan tersebut berupa Electronic Road Pricing (ERP), yaitu pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan tertentu untuk mengendalikan laju penggunaan kendaraan pribadi sebagai penyebab kemacetan lalu lintas, inefisiesi energi, dan peningkatan polusi di DKI Jakarta. Besarnya nilai ERP yang akan diberlakukan dapat dilihat dari besarnya kemampuan untuk membayar (WTP) responden atas fasilitas jalan raya yang telah digunakan. WTP tersebut mencerminkan besarnya nilai ERP yang harus dibayar oleh individu pengguna jalan yang sesuai untuk diberlakukan pada ruas jalan tertentu. Dalam prosesnya dibutuhkan peran aktif dan partisipasi dari masyarakat sebagai pengguna jalan. Oleh karena itu diperlukan suatu instrumen ekonomi, yaitu road pricing untuk mencapai tujuan transportasi berkelanjutan yang dapat mengurangi kemacetan dan menciptakan kualitas udara yang lebih baik di kota Jakarta”. Responden dapat mengetahui gambaran tentang situasi hipotetik mengenai rencana penerapan ERP melalui skenario yang telah dibuat. Alat survei yang digunakan berupa kuisioner yang memberikan deskripsi kepada seluruh responden tentang alasan mengapa ERP tersebut perlu diimplementasikan dan bagaimana mekanisme dari kebijakan tersebut. 2)
Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP Penawaran mengenai besarnya nilai WTP diperoleh melalui survei dengan wawancara langsung. Teknik yang digunakan untuk mendapatkan nilai penawaran adalah bidding game. Teknik ini diakukan dengan menanyakan
51
kepada responden apakah bersedia membayar sejumlah uang tertentu dengan nilai titik awal (starting point) sebesar Rp 15.000. Nilai starting point tersebut diperoleh berdasarkan nilai rata-rata pengguna jalan untuk membayar jockey 3 in 1. Jika responden bersedia membayar sebesar nilai starting point maka besarnya nilai yang ditawarkan dinaikkan sampai ke tingkat maksimum yang bersedia dibayarkan oleh responden. Nilai maksimum tersebut menjadi nilai WTP responden. 3)
Memperkirakan Nilai Rata-Rata WTP WTPi dapat diduga dengan melakukan nilai rata-rata dari penjumlahan keseluruhan nilai WTP dibagi dengan jumlah responden. Dugaan rataan WTP dibagi dengan rumus : n
EWTP =
WiPfi i 1
dimana : EWTP = Dugaan rataan WTP Wi
= Nilai WTP ke-i
Pfi
= Frekuensi Relatif
n
= Jumlah responden
i
= Responden ke-i yang bersedia melakukan pembayaran jasa lingkungan
4)
Memperkirakan Kurva WTP Pendugaan kurva akan dilakukan dengan mengunakan persamaan sebagai berikut : WTP = f (KMU, TP, PB, PD, JT, JP, DM) dimana : 52
WTP
= Nilai WTP responden (Rp)
KMU
= Keinginan untuk memperbaiki kualitas udara (bernilai 1 jika “sangat ingin”, bernilai 2 jika “ingin”, bernilai 3 jika “tidak ingin”, bernilai 4 jika “sama sekali tidak ingin”)
TP
= Tingkat pendidikan (bernilai 1 jika “SLTA”, bernilai 2 jika “D3/S1”, bernilai 3 jika “S2/S3”)
PB
= Rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar (Rp)
PD
= Tingkat Pendapatan (Rp)
JT
= Jumlah Tanggungan (orang)
JP
= Jenis Pekerjaan (bernilai 1 untuk pekerjaan yang harus menggunakan kendaraan, bernilai 0 untuk pekerjaan yang tidak harus menggunakan kendaraan)
DR
= Durasi terkena kemacetan (menit)
Kurva WTP dapat digunakan untuk memperkirakan perubahan sejumlah variabel independen yang berhubungan dengan mutu lingkungan. Perkiraan kurva WTP dapat juga diperkirakan dengan menggunakan jumlah kumulatif dari jumlah responden yang menjawab suatu nilai WTP. Asumsinya adalah individu yang bersedia membayar suatu nilai WTP tertentu maka akan bersedia pula membayar suatu nilai WTP yang lebih kecil. 5)
Menjumlahkan Data Penjumlahan data merupakan proses dimana nilai tengah penawaran dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksud. Setelah menduga nilai tengah WTP maka dapat di duga nilai WTP dari pengguna jalan dengan menggunakan rumus :
53
WTPi N n
TWTP =
ni
i 1
dimana : TWTP = Total WTP WTPi
= WTP individu sampel ke-i
ni
= Jumlah sampel ke-i yang bersedia membayar sebesar WTP
N
= Jumlah sampel
P
= Jumlah populasi
i
= Responden ke-i yang bersedia membayar pembayaran jasa lingkungan
6)
Mengevaluasi Penggunaan CVM Pada tahap ini dilakukan penilaian sejauh mana penggunaan CVM telah berhasil. Pada tahap ini memerlukan pendekatan seberapa besar tingkat keberhasilan dalam pengaplikasian CVM. Untuk mengevaluasi pelaksanaan model CVM dilihat tingkat keandalan (reability) fungsi WTP.
4.4.3. Estimasi Jumlah Kendaraan dan Emisi yang Berkurang Penurunan jumlah kendaraan dan emisi yang berkurang diestimasi dengan melakukan analisis secara kuantitatif dengan menggunakan data sekunder dan data primer yang diperoleh di lapangan. Perkiraan jumlah kendaraan yang dapat berkurang akibat pemberlakuan ERP diperkirakan dengan menggunakan jumlah kumulatif dari jumlah responden yang memberikan suatu nilai WTP dengan asumsi responden yang bersedia membayar suatu nilai WTP tertentu maka akan mampu pula untuk membayar suatu nilai WTP yang lebih kecil. Nilai mean WTP mencerminkan nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan, sehingga responden
54
yang memiliki nilai WTP dibawah nilai mean WTP tidak dapat memasuki zona ERP sehingga jumlah kendaraan yang berkurang dapat diperoleh dengan menggunakan pendekatan WTP tersebut. Sedangkan untuk jumlah emisi yang berkurang dianalisis secara kuantitatif dengan data sekunder dari lembaga terkait. 4.4.4. Analisis Dampak Lingkungan Dampak lingkungan dari penerapan Electronic Road Pricing (ERP) dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Dampak lingkungan yang dianalisis terkait dengan kondisi lingkungan, kondisi sosial, dan kondisi ekonomi dari pemberlakuan ERP. 4.4.5. Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan yang tepat dalam mengelola sistem pemanfaatan keuangan yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP dijabarkan secara deskriptif kualitatif. Rekomendasi kebijakan ini terkait pula dengan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai ERP sehingga kebijakan yang diterapkan dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. 4.5.
Pengujian Parameter Dalam melakukan analisis menggunakan regresi linier berganda, asumsi-
asumsi dasar harus terpenuhi jika hal ini tidak terpenuhi akan berakibat pengujian yang dilakukan menjadi tidak efisien dan kesimpulan yang didapat menjadi bias, sehingga perlu dilakukan pengujian parameter agar sesuai dengan kriteria statistika dan kriteria ekonometrika.
55
4.5.1. Uji Statistika Menurut Gujarati (2003), model ekonometrika yang baik harus memenuhi kriteria statistika. Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari koefisien determinasi (R2), uji t, dan uji F. 4.5.1.1 Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi merupakan suatu nilai statistik yang dapat digunakan untuk mengukur ketepatan atau kecocokan suatu garis regresi dan dapat pula digunakan untuk mengetahui besarnya kontribusi variabel bebas (x) terhadap variasi variabel (Y) dari suatu persamaan regresi (Firdaus, 2004). Uji ini dilakukan dalam pelaksanaan CVM. Berhasil tidaknya pelaksanaan CVM dilihat berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2) dari OLS (Ordinary Least Square) WTP. Menurut Mitchell dan Carson (1989) dalam Hanley dan Spash (1993), merekomendasikan 15% sebagai batas minimum dari R2 yang realibel. Nilai R2 lebih rendah dari 0,15 dapat dikatakan tidak reliable. Sedangkan nilai R2 yang tinggi dapat menunjukkan tingkat realibilitas penggunaan CVM. 4.5.1.2 Uji Statistik t Uji statistik t merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh masing-masing variabel bebas (Xi) berpengaruh terhadap variabel tidak bebasnya (Yi). Prosedur pengujiannya (Ramanathan, 1997) adalah sebagai berikut: H0 : βi = 0 H1 : βi ≠ 0
56
t hit(n-k) = i 0
si
dimana : βi
= koefisien regresi ke-i yang diduga
sβi
= standar deviasi koefisien regresi ke-i yang diduga
Jika t-hitung < t-tabel (α/2, n-k), maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap (Yi). Jika t-hitung > t-tabel (α/2, n-k), maka H0 ditolak, artinya variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Yi). 4.5.1.3 Uji Statistik F Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (Xi) secara
bersama-sama
terhadap
variabel
tidak
bebasnya
(Yi).
Prosedur
pengujiannya (Ramanathan, 1997) sebagai berikut : H0 : β1 = β2 = ... = β5 = 0 H1 : minimal ada satu βi ≠ 0 F hit =
JKK /(k 1) JKG / k (n 1)
dimana : JKK
= Jumlah kuadrat untuk nilai tengah kolom
JKG
= Jumlah kuadrat galat
n
= Jumlah sampel
k
= Jumlah peubah
Jika Fhit < Ftabel, maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) secara serentak tidak berpengaruh nyata terhadap (Yi).
57
Jika Fhit > Ftabel, maka H0 ditolak, artinya variabel (Xi) secara serentak berpengaruh nyata terhadap (Yi). 4.5.2. Uji Ekonometrika Menurut Gujarati (2003), model ekonometrika yang baik harus memenuhi pula kriteria ekonometrika. Berdasarkan kriteria ekonometrika, model harus sesuai dengan asumsi klasik, yaitu terbebas dari gejala multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Pada penelitian ini hanya melakukan uji multikolinearitas dan heteroskedastisitas, sedangkan untuk uji autokorelasi tidak dilakukan karena data yang digunakan bukan data time series. 4.5.2.1 Uji Multikolinear Model
yang
melibatkan
banyak
variabel
bebas
sering
terjadi
multicollinearity, yaitu terjadinya kolerasi yang kuat antar variabel-variabel bebasnya. Multicollinearty dalam sebuah model dapat dideteksi dengan membandingkan
besarnya
koefisien
determinasi
(R2)
dengan
koefisien
determinasi parsial antar dua variabel bebas (r2). Hal ini dapat dibuat suatu matriks koefisien determinasi parsial antar variabel bebasnya (Ramanathan, 1997). Multicollinearity dapat dianggap bukan merupakan suatu masalah apabila koefisien determinasi parsial antar dua variabel bebas tidak melebihi nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua variabel secara simultan. Namun multicollinearity dianggap sebagai masalah serius jika koefisien determinasi parsial antar dua variabel bebas melebihi atau sama dengan nilai
58
koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua variabel secara simultan, atau secara matematis dapat dituliskan dalam pertidaksamaan berikut : r2 λi, λj > R2 λi, …, λj Masalah multicollinearity dapat dilihat langsung melalui output komputer dimana apabila VIF < 10 maka tidak ada masalah multicollinearity. 4.5.2.2 Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi metode pendugaan metode kuadrat terkecil adalah homoskedastisitas, yaitu ragam galat konstan dalam setiap amatan. Pelanggaran atas asumsi homoskedastisitas adalah heteroskedastisitas. Dalam analisis regresi linier berganda data penelitian yang baik harus mempunyai sebaran data yang homogen dan metode yang digunakan untuk mengujinya adalah Uji Levene (Levene Test). Rumus Uji Levene (Levene Test) adalah sebagai berikut (Aunuddin, 2005) :
dimana : L = Nilai Levene hitung X = Nilai data residual = Rata-rata data residual N = Jumlah sampel K = Jumlah kelompok Nilai Levene hitung yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan Levene tabel atau dapat juga menggunakan nilai perbandingan signifikansi dengan
59
alpha 5 %. Jika nilai Levene hitung < Levene Tabel atau nilai Sig > 5%, maka data regresi sederhana atau regresi berganda mempunyai ragam yang homogen. Dan sebaliknya jika nilai Levene hitung > Levene Tabel atau nilai Sig < 5 % maka data regresi regresi sederhana atau regresi berganda mempunyai ragam yang tidak homogen.
60
V. GAMBARAN UMUM LOKASI 5.1.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Letak geografis kota Jakarta berada pada 60 12‟ LS dan 1060 48‟ BT. Kota
Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1227 tahun 1989, berupa daratan seluas 661,52 km2, dan lautan seluas 6.977,5 km2 dengan batas wilayah sebagai berikut: 1)
Di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa dan membentang pantai dari Barat sampai ke Timur sepanjang 35 km2
2)
Di sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan wilayah Provinsi Jawa Barat (Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi)
3)
Di sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Banten (Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang) Wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi lima kota
administrasi dan satu kabupaten administrasi. Wilayah kota administrasi meliputi Jakarta Selatan dengan luas wilayah sebesar 145,73 km2, Jakarta Timur dengan luas wilayah sebesar 187,73 km2, Jakarta Pusat dengan luas wilayah sebesar 47 km2, Jakarta Barat dengan luas wilayah sebesar 126,15 km2, Jakarta Utara dengan luas wilayah sebesar 142,20 km2. Wilayah kabupaten administrasi yaitu Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan luas wilayah sebesar 11,81 km2. Secara umum Jakarta beriklim panas dengan rata-rata suhu maksimum udara 34,600C pada siang hari dan suhu minimum udara 22,860C pada malam hari. Stasiun Pengamat Halim Perdana Kusuma mencatat, sepanjang tahun suhu
61
maksimum sekitar 35,400C, kelembaban udara maksimum rata-rata 95,60 persen dan rata-rata minimum 51,60%, dengan rata-rata curah hujan sepanjang tahun 237,96 mm2. Jakarta menjadi pusat bisnis dan perekonomian di Indonesia. Di samping itu Jakarta juga memiliki sarana penunjang ekonomi yang memadai sehingga memungkinkan perekonomian Jakarta dapat bergerak optimal. Penelitian ini berlokasi di salah satu jalan protokol yang terdapat di Kota Jakarta, yaitu Jalan Jenderal Sudirman. Jalan Jenderal Sudirman adalah salah satu jalan utama Jakarta yang merupakan pusat bisnis. Jalan ini membentang sepanjang 4 km dari Dukuh Atas, Tanah Abang, Jakarta Pusat sampai Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Jalan ini berada di perbatasan Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Jalan ini melintasi 6 Kelurahan, yaitu kelurahan: 1)
Setiabudi, Setiabudi, Jakarta Selatan
2)
Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat
3)
Karet Semanggi, Setiabudi, Jakarta Selatan
4)
Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat
5)
Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
6)
Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat Jalan Jenderal Sudirman merupakan salah satu kawasan 3 in 1 dan dilalui
oleh bus Trans Jakarta Koridor 1. Selain itu jalan ini juga dipakai untuk kegiatan Car Free Day yang dilaksanakan setiap dua kali dalam satu bulan. Di sekitar jalan ini berjajar perkantoran dan pusat-pusat bisnis Jakarta. Volume lalu lintas di Jalan Jenderal Sudirman setiap harinya cukup padat. Berikut ini merupakan grafik volume lalu-lintas Jalan Sudirman arah Blok M dapat dilihat pada Gambar 3.
62
Sumber : Dinas Perhubungan (2011)
Gambar 3. Grafik Volume Lalu Lintas Jalan Sudirman Arah Blok-M Survei tersebut dilakukan pada pukul 06.00-09.00 (peak pagi) dan pukul 16.00-19.00 (peak sore) dengan rentang waktu per 15 menit. Gambar 3 menunjukkan bahwa volume lalu lintas tertinggi pada saat peak pagi berada pada menit ke 105 atau sekitar pukul 07.30, karena pada waktu tersebut merupakan waktu dimana orang-orang berangkat kerja. Sedangkan volume lalu lintas tertinggi pada saat peak sore berada pada menit ke 120 atau sekitar pukul 17.45, yaitu pada jam pulang kantor. Survei juga dilakukan pada Jalan Sudirman arah Semanggi. Volume lalu lintas tertinggi pada saat peak pagi berada pada menit ke 120 atau sekitar pukul 07.45. Sedangkan volume lalu lintas tertinggi pada saat peak sore berada pada menit ke 120 atau sekitar pukul 16.45. Berikut ini merupakan grafik volume lalu lintas Jalan Sudirman arah Semanggi dapat dilihat pada Gambar 4.
63
Sumber : Dinas Perhubungan (2011)
Gambar 4. Grafik Volume Lalu Lintas Jalan Sudirman Arah Semanggi Menurut data Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi (2011), jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta pada bulan Februari 2011 tercatat sebanyak 8.524.892 jiwa. Jumlah penduduk di wilayah Jakarta Pusat sebesar 915.862 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk akan berimplikasi pada peningkatan jumlah kendaraan bermotor khususnya untuk wilayah yang menjadi pusat bisnis ibu kota seperti wilayah Sudirman. Berikut ini merupakan data jumlah kendaraan bermotor di Wilayah Jakarta Pusat tahun 2005-2010. Tabel 4. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis di Wilayah Jakarta Pusat Tahun 2005-2010 No
Tahun
Penumpang
Wilayah Jakarta Pusat Beban Bus
Sepeda Motor
Jumlah
1
2005
556.068
123.966
99.389
750.605
1.530.028
2
2006
551.487
112.964
99.452
804.369
1.568.272
3
2007
533.889
108.089
99.548
863.687
1.605.213
4
2008
514.691
104.518
99.604
929.307
1.648.120
5
2009
504.086
102.350
99.629
1.001.793
1.707.858
6
2010
522.991
102.682
102.083
1.078.880
1.806.636
Sumber : Kantor Kepolisian Republik Indonesia (2011)
Tabel 4 menunjukkan data jumlah kendaraan bermotor menurut jenisnya, yaitu kendaraan bermotor berjenis penumpang meliputi mobil pribadi dan angkutan umum, kendaraan bermotor berjenis beban meliputi truk dan angkutan-
64
angkutan berat, kendaraan bermotor berjenis bus dan sepeda motor. Sejak tahun 2005-2010 jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Hal ini dapat menyebabkan potensi kemacetan yang tinggi di wilayah Jakarta Pusat sehingga dapat berdampak pula bagi lingkungan dan perekonomian kota. 5.2.
Karakteristik Responden Karakteristik umum responden dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan
survei terhadap 100 responden yang merupakan pengguna Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Karakteristik umum responden ini dijelaskan dari beberapa variabel, meliputi jenis kelamin, tingkat usia, tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, dan jumlah tanggungan responden. 5.2.1. Jenis Kelamin Sebagian besar responden adalah laki-laki yaitu sebanyak 89 orang (89%), sedangkan responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 11 orang (11%). Hal ini dikarenakan responden yang diambil dalam penelitian ini adalah pengguna mobil pribadi yang pada umumnya didominasi oleh laki-laki. Perbandingan responden laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada Gambar 3.
65
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)
Gambar 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 5.2.2. Tingkat Usia Tingkat usia responden pengguna Jalan Jenderal Sudirman cukup bervariasi. Distribusi usia berkisar antara 20 tahun hingga 60 tahun dan jumlah responden tertinggi terdapat pada sebaran usia 31-40 tahun yaitu berjumlah 41 orang (41%). Responden yang berusia antara 20-30 tahun berjumlah 37 orang (37%), responden yang berusia 41-50 tahun berjumlah 19 orang (19%), dan responden yang berusia 51-60 tahun berjumlah 3 orang (3%). Perbandingan distribusi usia responden tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)
Gambar 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Usia
66
5.2.3. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh responden cukup bervariasi, mulai dari SLTA hingga S3. Berdasarkan data yang diperoleh, tingkat pendidikan yang mayoritas ditempuh oleh responden adalah S1, yaitu sebanyak 60 orang atau 60% dari total keseluruhan responden. Sebanyak 21 orang (21%) menempuh pendidikan sampai ke jenjang S2, sebanyak 14 orang (14%) berpendidikan SLTA, sebanyak 3 orang (3%) berpendidikan D3, dan sebanyak 2 orang (2%) menempuh pendidikan sampai ke jenjang S3. Perbandingan persentase tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 5.
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)
Gambar 7. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 5.2.4. Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan responden cukup bervariasi meliputi pegawai swasta, pegawai BUMN, pegawai negeri sipil, wiraswasta, dan mahasiswa. Mayoritas responden bekerja sebagai pegawai swasta yaitu sebanyak 62 orang atau 62% dari total keseluruhan responden. Sebanyak 18 orang (18%) berprofesi sebagai wiraswasta, sebanyak 10 orang (10%) sebagai mahasiswa, sebanyak 6 orang (6%) sebagai pegawai BUMN dan sebanyak 4 orang (4%) berprofesi sebagai pegawai
67
negeri sipil. Perbandingan persentase jumlah responden pada setiap jenis pekerjaan dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)
Gambar 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan 5.2.5. Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan responden yang berpenghasilan y ≤ Rp. 5.000.000 per bulan sebanyak 22 orang (22%). Mayoritas responden memiliki tingkat pendapatan yang berada pada selang Rp. 5.000.000 < y ≤ Rp.10.000.000 per bulan, yaitu sebanyak 71 orang atau 71% dari total keseluruhan responden. Sebanyak 7 orang (7%) berpenghasilan y > Rp. 10.000.000 per bulan. Distribusi tingkat pendapatan responden dapat dilihat pada Gambar 7.
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)
Gambar 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan 68
5.2.6. Jumlah Tanggungan Mayoritas responden memiliki jumlah tanggungan pada selang 2-3 orang, yaitu sebanyak 48 orang atau 48% dari total keseluruhan responden. Sebanyak 38 orang (38%) memiliki jumlah tanggungan pada selang 0-1 orang, sebanyak 13 orang (13%) memiliki jumlah tanggungan pada selang 4-5 orang, dan sebanyak 1 orang (1%) memiliki jumlah tanggungan pada selang 6-7 orang. Jumlah tanggungan mencakup keluarga inti (anak dan istri/suami) serta tambahan tanggungan bukan keluarga inti yang tinggal dirumah responden maupun tidak tetapi kebutuhannya dibiayai responden. Perbandingan persentase jumlah tanggungan responden dapat dilihat pada Gambar 8.
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)
Gambar 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan
69
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai ERP Dilihat dari Willingness To Pay (WTP) Pengguna Jalan Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTP responden
dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Terdapat tujuh variabel penjelas (independen) yang diduga akan mempengaruhi besarnya nilai WTP (variabel dependen), yaitu keinginan untuk memperbaiki kualitas udara (KMU), tingkat pendidikan (TP), rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar (PB), tingkat pendapatan (PD), jmlah tanggungan (JT), jenis pekerjaan (JP), dan durasi terkena kemacetan (DR). Analisis regresi linier berganda meliputi pengujian hipotesis untuk mengetahui berapa besar dan nyata pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap besarnya nilai WTP. Hasil analisis nilai WTP responden dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Analisis Nilai WTP Responden Pengguna Jalan Jenderal Sudirman Variabel Koefisien T Sig Keterangan Constant 6319,334 1,532 ,129 (-) KMU 9,044 ,007 ,994 Tidak Berpengaruh Nyata TP 3502,699 2,646 ,010 Berpengaruh Nyata* PB -,003 -2,357 ,021 Berpengaruh Nyata* PD ,001 3,416 ,001 Berpengaruh Nyata* JT -304,421 -,675 ,502 Tidak Berpengaruh Nyata JP 1285,909 ,892 ,375 Tidak Berpengaruh Nyata DR 157,797 7,369 ,000 Berpengaruh Nyata** 2 R 62,5% F-Statistik 21,921 0,000 Sumber : Data Primer setelah diolah (2011) Keterangan : ** Pada taraf kepercayaan 99 persen * Pada taraf kepercayaan 95 persen
Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda diketahui bahwa model yang dihasilkan dalam penelitian ini cukup baik. Hal ini dapat ditunjukkan dari nilai R2 sebesar 62,5%. Nilai tersebut menjelaskan bahwa keragaman nilai WTP
70
responden dapat dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas dalam model sebesar 62,5% sedangkan sisanya sebesar 37,5% dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model. Fungsi besarnya nilai WTP responden yang dihasilkan dari analisis regresi linier berganda ditunjukkan oleh model sebagai berikut : WTP = 6.319,334 + 3.502,699 TP – 0,003 PB + 0,001 PD + 157,797 DR Berdasarkan model tersebut diketahui bahwa variabel-variabel penjelas yang berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTP responden adalah sebagai berikut : 1)
Tingkat pendidikan Variabel tingkat pendidikan memiliki nilai Sig sebesar 0,010 menunjukkan bahwa variabel tingkat pendidikan responden signifikan pada taraf kepercayaan (α) 5%. Nilai koefisien pada variabel ini bertanda positif yaitu sebesar 3.502,699. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu level tingkat pendidikan maka diduga nilai WTP responden akan meningkat sebesar Rp 3.502,699. Hal ini karena responden yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih menghargai waktu dan memiliki kesadaran akan pentingnya waktu sehingga lebih cenderung ingin membayar lebih tinggi agar jalan yang dilalui lancar. Selain itu responden yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki kesadaran terhadap lingkungan yang tinggi sehingga lebih mengetahui pentingnya menjaga lingkungan agar terbebas dari polusi yang membahayakan bagi kesehatan sehingga untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih baik diperlukan peran aktif dan partisipasi pengguna jalan dengan memberikan kesediaan membayar lebih tinggi untuk mencapai tujuan transportasi berkelanjutan
71
yang dapat mengurangi kemacetan dan menciptakan kualitas udara yang lebih baik di kota Jakarta. 2)
Rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar Variabel rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar memiliki nilai Sig sebesar 0,021 menunjukkan bahwa variabel rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar responden signifikan pada taraf kepercayaan (α) 5%. Nilai koefisien pada variabel ini bertanda negatif yaitu sebesar 0,003. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan pengeluaran bahan bakar sebesar satu juta rupiah maka diduga nilai WTP responden akan menurun sebesar Rp 3.000. Hal ini karena peningkatan pengeluaran responden akan mengurangi alokasi dana WTP responden akibat adanya penambahan pengeluaran untuk membeli bahan bakar.
3)
Tingkat pendapatan Variabel tingkat pendapatan memiliki nilai Sig sebesar 0,001 menunjukkan bahwa variabel tingkat pendapatan responden signifikan pada taraf kepercayaan (α) 5%. Nilai koefisien pada variabel ini bertanda positif yaitu sebesar 0,001. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan tingkat pendapatan sebesar satu juta rupiah maka diduga nilai WTP responden akan meningkat sebesar Rp 1.000. Hal ini karena responden yang memiliki pendapatan lebih tinggi akan bersedia membayar lebih besar untuk ikut serta dalam upaya perbaikan lingkungan sehingga dapat memperoleh kondisi lingkungan yang lebih nyaman dengan kualitas udara yang lebih baik.
72
4)
Durasi terkena kemacetan Variabel durasi terkena kemacetan memiliki nilai Sig sebesar 0,000 menunjukkan bahwa variabel tersebut signifikan pada taraf kepercayaan (α) 1%. Nilai koefisien pada variabel ini bertanda positif yaitu sebesar 157,797. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan durasi terkena kemacetan sebesar satu menit maka diduga nilai WTP responden akan meningkat sebesar Rp 157,797. Hal ini karena semakin lama responden terkena kemacetan maka responden akan bersedia membayar lebih besar agar dapat mengurangi kemacetan dan menciptakan kualitas udara yang lebih baik. Variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTP
responden adalah keinginan untuk memperbaiki kualitas udara, jumlah tanggungan, dan jenis pekerjaan. Variabel keinginan untuk memperbaiki kualitas udara, jumlah tanggungan, dan jenis pekerjaan tidak berpengaruh nyata karena masing-masing memiliki nilai Sig yang lebih besar dari taraf kepercayaan (α) 20%, yaitu sebesar 0,994, 0,502, dan 0,375. Variabel keinginan untuk memperbaiki kualitas udara tidak berpengaruh nyata karena responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah para pengguna jalan yang menggunakan mobil pribadi, sehingga secara ekonomi mereka dapat dikatakan mampu dan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan ber-AC seperti di dalam kendaraan, di kantor maupun di rumah sehingga suhu udara yang lebih tinggi tidak terlalu berpengaruh bagi mereka. Variabel jumlah tanggungan tidak berpengaruh nyata karena responden rata-rata memiliki penghasilan yang besar sehingga banyak atau sedikitnya jumlah tanggungan tidak berpengaruh terhadap besarnya nilai WTP. Variabel jenis pekerjaan tidak berpengaruh nyata karena
73
responden dengan pekerjaan yang mengharuskannya menggunakan kendaraan belum tentu memiliki nilai WTP yang lebih besar dibandingkan dengan responden yang pekerjaannya tidak mengharuskan untuk menggunakan kendaraan. Pengujian parameter dalam analisis regresi berganda dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen yang dapat diketahui dengan uji statistik t (parsial) dan uji statistik F (simultan). Hasil uji statistik t dan uji statistik F dapat dilihat dalam Tabel 5. 1)
Uji Statistik t Pengaruh parsial setiap variabel independen dapat diketahui dengan melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing-masing variabel independen tersebut. Jika nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel maka variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya. Namun, apabila telah diketaui nilai Sig dari hasil analisis regresi berganda maka untuk mengetahui apakah variabel tersebut nyata atau tidaknya dengan melihat dari nilai Sig yang harus lebih kecil dari nilai α. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa empat variabel penjelas berpengaruh nyata dan tiga variabel tidak berpengaruh nyata karena nilai Sig yang lebih besar dari nilai α. Variabel tingkat pendidikan, rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar, dan tingkat pendapatan berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan (α) 5%, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan, rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar, dan tingkat pendapatan responden 95% secara parsial berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden. Variabel durasi terkena kemacetan berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan (α) 1%, menunjukkan bahwa lamanya durasi terkena kemacetan 99% secara parsial berpengaruh nyata
74
terhadap nilai WTP responden. Variabel keinginan untuk memperbaiki kualitas udara, jumlah tanggungan, dan jenis pekerjaan secara parsial tidak berpengaruh nyata karena nilai Sig ketiga variabel tersebut lebih besar dari taraf kepercayaan (α) 15%. 2)
Uji Statistik F Uji statistik F merupakan pengujian model regresi secara keseluruhan, dimana semua koefisien yang terlibat secara simultan memberikan pengaruh nyata terhadap variabel dependen. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda yang dapat dilihat pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa nilai Fhitung sebesar 21,921 dengan nilai Sig sebesar 0,000 menunjukkan bahwa variabelvariabel penjelas dalam model secara bersama-sama (simultan) berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden pada taraf (α) 15%.
3)
Uji Multikolinear Berdasarkan hasil anlisis regresi linier berganda tidak ditemukan adanya pelanggaran asumsi regresi multikolinearitas. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Variance Inflation Factor (VIF) pada masing-masing variabel independennya. Jika nilai VIF tidak lebih dari 10 maka model dapat dikatakan terbebas dari multikolinearitas. Nilai masing-masing variabel independen pada model memiliki nilai kurang dari 10 untuk semua variabel sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolinearitas dalam model.
4)
Uji Heteroskedastisitas Heteroskedastisitas dapat dilihat dari hasil Uji Levene. Jika nilai Sig lebih besar dari nilai α maka model tersebut homogen atau tidak terdapat heteroskedastisitas dalam model. Berdasarkan Uji Levene diperoleh bahwa
75
nilai Sig sebesar 0,563 lebih besar dari nilai α=5%, sehingga dapat disimpulkan
bahwa
model
yang
dihasilkan
tidak
terdapat
heteroskedastisitas. Hasil analisis regresi linier berganda menunjukan bahwa model yang dihasilkan baik dan tidak terdapat pelanggaran asumsi regresi linier berganda yaitu multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi yang dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Estimasi Model Regresi Linier Berganda yang Tidak Adanya Pelanggaran Asumsi dalam Model Variabel Constant KMU TP PB PD JT VIF 1,534 1,867 1,339 1,633 1,394 Uji Levene F df1 df2 0,785 5 94
Menunjukkan JP DR 1,492 1,369 Sig 0,563
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)
6.2.
Estimasi Nilai WTP Pengguna Jalan untuk Menentukan Besarnya Nilai ERP Nilai WTP responden terhadap upaya pengurangan polusi dan perbaikan
kualitas udara melalui kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) diestimasi dengan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) melalui survei langsung terhadap masyarakat pengguna jalan. Hasil pelaksanaan CVM adalah sebagai berikut : 1)
Membangun Pasar Hipotetik Responden diberikan situasi hipotetik yang menggambarkan kondisi lingkungan DKI Jakarta yang mengalami penurunan akibat peningkatan polusi udara dan kemacetan yang semakin parah sehingga menimbulkan berbagai masalah yang erat kaitannya dengan sektor lingkungan, sosial, dan ekonomi sehingga akan diberlakukan suatu kebijakan dalam hal manajemen
76
transportasi darat untuk mengatasi kemacetan, inefisiensi BBM, dan mengurangi polusi, yaitu kebijakan ERP dengan pengaplikasian instrumen ekonomi berupa road pricing atau pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan tertentu untuk mengendalikan laju penggunaan kendaraan pribadi sehingga tercapai tujuan transportasi
berkelanjutan
yang dapat
mengurangi
kemacetan dan
menciptakan kualitas udara yang lebih baik di kota Jakarta. Dengan demikian, responden memperoleh gambaran tentang situasi hipotetik yang dibangun dalam upaya mengurangi polusi. 2)
Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP Penawaran mengenai besarnya nilai WTP diperoleh melalui survei dengan wawancara langsung. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan nilai penawaran adalah bidding game atau metode tawarmenawar dimana responden ditawarkan sebuah nilai tawaran yang dimulai dari nilai terkecil hingga nilai terbesar sehingga mencapai nilai WTP maksimum yang sanggup dibayarkan responden. Teknik ini dilakukan dengan menanyakan kepada responden apakah bersedia membayar sejumlah uang tertentu dengan nilai titik awal (starting point) sebesar Rp 15.000. Nilai starting point tersebut diperoleh berdasarkan nilai rata-rata pengguna jalan untuk membayar jockey 3 in 1. Jika responden bersedia membayar sebesar nilai starting point maka besarnya nilai yang ditawarkan dinaikkan sampai ke tingkat maksimum yang bersedia dibayarkan oleh responden. Nilai maksimum tersebut menjadi nilai WTP responden.
77
3)
Memperkirakan Nilai Rata-Rata WTP Dugaan nilai rata-rata WTP responden diperoleh berdasarkan data distribusi WTP responden dan menggunakan rumus. Distribusi nilai WTP responden dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Distribusi Nilai WTP Responden No
Kelas WTP
Frekuensi
1 2 3 4 5 6 Total
15.000 20.000 25.000 30.000 35.000 50.000
30 29 22 8 4 7 100
Frekuensi Relatif 0,30 0,29 0,22 0,08 0,04 0,07 1
Jumlah 4.500 5.800 5.500 2.400 1.400 3.500 23.100
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)
Kelas WTP responden diperoleh dengan menentukan nilai terkecil sampai nilai terbesar WTP yang bersedia dibayarkan oleh responden. Berdasarkan Tabel 7 besarnya nilai WTP responden mulai dari Rp 15.000 – Rp 50.000. Hasil perhitungan diperoleh bahwa nilai rata-rata WTP (EWTP) sebesar Rp 23.100. Nilai rata-rata WTP responden tersebut dapat dijadikan acuan dalam penetapan tarif dalam kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) sehingga tujuan untuk mengendalikan laju penggunaan kendaraan pribadi sebagai penyebab kemacetan lalu lintas, inefisiensi energi, dan peningkatan polusi dapat tercapai. 4)
Memperkirakan kurva WTP Pendugaan kurva WTP respoden dapat dilakukan dengan menggunakan jumlah kumulatif dari jumlah responden yang menjawab suatu nilai WTP. Asumsinya adalah individu yang bersedia membayar suatu nilai WTP tertentu maka akan bersedia pula membayar suatu nilai WTP yang lebih
78
kecil. Kurva yang menggambarkan penawaran WTP dapat dilihat pada Gambar 11.
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)
Gambar 11. Kurva Penawaran WTP 5)
Menjumlahkan Data untuk Menentukan Total WTP Nilai total (TWTP) responden dihitung berdasarkan data distribusi WTP responden dan dengan menggunakan rumus. Nilai WTP pada setiap kelas dikalikan dengan frekuensi relatif (ni/N) kemudian dikalikan dengan populasi dari tiap kelas WTP. Selanjutnya hasil perkalian tersebut dijumlahkan sehingga didapatkan total WTP (TWTP) responden. Hasil perhitungan total WTP dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Total WTP Masyarakat Pengguna Jalan Jenderal Sudirman Kelas Frekuensi No Frekuensi Populasi Jumlah WTP WTP Relatif 1 15.000 30 0,30 2 20.000 29 0,29 3 25.000 22 0,22 4 30.000 8 0,08 5 35.000 4 0,04 6 50.000 7 0,07 Total 100 1 Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)
2.760.828 2.668.800 2.024.607 736.221 368.110 644.193 9.202.760
41.412.420.000 53.376.008.000 50.615.180.000 22.086.624.000 12.883.864.000 32.209.660.000 212.583.756.000
79
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 8 diperoleh bahwa nilai total WTP responden
pengguna
Jalan
Jenderal
Sudirman
sebesar
Rp
212.583.756.000/tahun, dimana populasinya merupakan jumlah kendaraan yang memasuki wilayah Sudirman yang didasarkan pada data volume lalu lintas Jalan Sudirman arah Blok M dan Semanggi yang diperoleh dari Dinas Perhubungan (untuk peak pagi dan peak sore) dan data primer (untuk peak siang). Kendaraan yang digunakan untuk perhitungan merupakan kendaraan berat meliputi truk dan kendaraan ringan meliputi mobil pribadi dengan asumsi bahwa : 1) ERP berlaku mulai pukul 06.00-19.00, 2) ERP berlaku pada hari aktif yaitu Senin-Jumat, dan 3) survei kendaraan dilakukan pada saat jam diberlakukannya 3 in 1 dan pada saat 3 in 1 tidak berlaku. Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan diperoleh bahwa total volume lalu lintas Jalan Sudirman untuk peak pagi sebesar 18.112 kendaraan dan untuk peak sore sebesar 12.362 kendaraan. Berdasarkan data primer diperoleh bahwa total kendaraan yang memasuki wilayah Sudirman pada peak siang sebesar 9.538 kendaraan, sehingga perkiraan total kendaraan yang memasuki wilayah Sudirman per harinya sebesar 40.012 unit kendaraan. Jumlah kendaraan yang memasuki wilayah Sudirman per tahun diperoleh dengan mengalikan jumlah kendaraan per hari dengan hari aktif, yaitu Senin-Jumat (1 tahun = 230 hari aktif). Dengan demikian, perkiraan total kendaraan yang memasuki wilayah Sudirman per tahun sebesar 9.202.760 unit kendaraan. Nilai total WTP ini menggambarkan kesediaan pengguna jalan untuk membayar dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan agar sesuai dengan standar yang diinginkan yaitu pengurangan
80
polusi udara, kemacetan, dan efisiensi energi. Namun, nilai total WTP tersebut tidak dapat dijadikan acuan karena nilainya yang tidak seragam. 6)
Mengevaluasi Penggunaan CVM Penggunaan CVM dalam penelitian ini dievaluasi dengan melihat nilai R2 yang diperoleh dari hasil analisis regresi linier berganda. Penelitian yang berkaitan dengan benda-benda lingkungan dapat mentolerir nilai R2 sampai dengan 15%, hal ini karena penelitian tentang lingkungan berhubungan dengan perilaku manusia sehingga nilai R2 tidak harus besar. Nilia R2 yang diperoleh dari hasil analisis regresi linier berganda dalam penelitian ini sebesar 62,7% sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil pelaksanaan CVM dalam penelitian ini dapat diyakini kebenaran dan keandalannya.
6.3.
Estimasi Jumlah Kendaraan dan Emisi yang Berkurang Kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) merupakan suatu kebijakan
berupa pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan tertentu untuk mengendalikan laju penggunaan kendaraan pribadi. Mekanismenya adalah setiap kendaraan yang melewati ruas jalan tertentu akan dikenai biaya dengan harga yang tidak murah. Hal ini dimaksudkan agar para pengguna kendaraan pribadi mau beralih untuk menggunakan transportasi masal. Manfaat yang bisa diperoleh dari pemberlakuan ERP antara lain mengurangi kemacetan, sumber pendapatan baru dari lalu lintas, mempermudah penerapan pembatasan lalu lintas, peralihan moda kendaraan pribadi ke angkutan umum, mengurangi kebisingan yang dihasilkan kendaraan, menurunkan tingkat
81
polusi udara yang berasal dari asap kendaraan, dan minimalisasi kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kebijakan ERP dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi karena ketidakmampuan pengguna jalan untuk membayar tarif yang diberlakukan dalam ERP. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa nilai mean WTP mencerminkan harga ERP yang sesuai untuk diberlakukan sehingga responden pengguna jalan yang memiliki nilai WTP dibawah nilai mean WTP tidak dapat memasuki zona ERP agar tujuan untuk mengurangi laju penggunaan kendaraan pribadi dapat tercapai. Hasil perhitungan jumlah kendaraan yang dapat berkurang akibat pemberlakuan ERP dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Total Kendaraan yang Berkurang Akibat Pemberlakuan ERP Frekuensi No Kelas WTP Frekuensi Populasi Relatif 1 15.000 30 0,30 2.760.828 2 20.000 29 0,29 2.668.800 Jumlah Kendaraan yang Tidak Dapat Memasuki Zona ERP 5.429.628 Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 9 tarif ERP yang sesuai untuk diberlakukan adalah sebesar nilai mean WTP yaitu Rp 23.100. Apabila tarif sebesar Rp 23.100 ini diberlakukan maka responden pengguna jalan yang tidak mampu membayar nilai tersebut adalah responden dengan kelas WTP sebesar Rp 15.000 dan Rp 20.000. Jumlah frekuensi relatif responden yang tidak dapat memasuki zona ERP sebesar 0,59 (59%) artinya pemberlakuan ERP dengan tarif Rp 23.100 akan mengurangi jumlah kendaraan sebesar 59% dari total jumlah kendaraan yang menggunakan Jalan Jenderal Sudirman. Total populasi yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 9.202.760 unit kendaraan/tahun (Tabel 8).
82
Dengan demikian, jumlah kendaraan yang dapat berkurang akibat pemberlakuan ERP adalah sebesar 5.429.628 unit kendaraan/tahun atau 59% dari total populasi (Tabel 9). Dampak lain yang bisa diperoleh dari penerapan ERP adalah peningkatan kualitas lingkungan karena dapat mengurangi polusi udara, dan mengurangi polusi bunyi dan getaran. Apabila jumlah kendaraan berkurang maka polusi udara pun akan berkurang. Berdasarkan data car free day (hari bebas kendaraan bermotor) yang diperoleh dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta diketahui bahwa terjadi pengurangan kadar polusi udara yang sangat signifikan antara hari kerja dan hari bebas kendaraan bermotor. Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Kegiatan ini juga menjadi ajang promosi sarana transportasi alternatif selain kendaraan pribadi dan promosi upayaupaya perbaikan dan peningkatan kualitas sarana–sarana alternatif tersebut. Pelaksanaan HBKB ini dapat mengurangi pencemaran udara di lokasi pelaksanaan dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya membatasi penggunaan kendaraan pribadi untuk memperoleh kualitas udara yang lebih baik. Tujuan HBKB ialah memberikan pendidikan pada masyarakat terkait pentingnya manfaat udara segar dan bersih. Tujuan lainnya adalah untuk mengubah ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan bermotor sehingga masyarakat dapat beralih ke angkutan umum, bersepeda, atau bahkan berjalan kaki. Berikut ini merupakan data perbandingan konsentrasi pencemar untuk parameter PM10, CO, NO dan THC pada hari bebas kendaraan bermotor dan hari kerja tahun 2010.
83
Tabel 10. Data Car Free Day tahun 2010 Parameter Debu (PM10) Carbon monoksida (CO) Nitrogen monoksida (NO) Total Hidrokarbon (THC)
HBKB 62,42 1,37 19,16 3,89
Hari Kerja 103,77 4,28 88,91 5,20
Penurunan
%
Satuan
41,35 2,90 69,74 1,31
40% 68% 78% 25%
µg/m3 mg/m3 µg/m3 µg/m3
Sumber : Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta
Tabel 10 menunjukkan bahwa penerapan hari bebas kendaraan bermotor dapat mengurangi konsentrasi pencemar untuk parameter PM10, CO, NO, dan THC apabila dibandingkan dengan hari kerja. Penurunan konsentrasi pencemar rata-rata untuk parameter PM10, CO, NO, dan THC pada tahun 2010 masingmasing sebesar 41,35 µg/m3 (40%), 2,90 µg/m3 (68%), 69,74 µg/m3 (78%), dan 1,31 µg/m3 (25%). Berdasarkan fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa pengurangan jumlah kendaraan bermotor dapat mengurangi tingkat polusi udara yang berasal dari kendaraan bermotor. Penerapan kebijakan ERP dapat menyebabkan pengurangan jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengurangan jumlah kendaraan bermotor dapat mengurangi konsentrasi emisi di sekitar wilayah Sudirman. Asumsinya apabila ERP diterapkan maka kondisi pengurangan emisinya akan mendekati rata-rata HBKB, sehingga semakin berkurang jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP, maka kondisi lingkungan akan semakin baik. Namun perlu ditunjang dengan pembatasan emisi yang ketat. 6.4.
Analisis Dampak Lingkungan dari Pemberlakuan ERP Pemberlakuan ERP akan memberikan dampak bagi lingkungan, baik
lingkungan masyarakat maupun sosial. Dampak lingkungan yang dianalisis dalam
84
penelitian ini terkait dengan kondisi lingkungan, kondisi sosial, dan kondisi ekonomi dari pemberlakuan ERP. 6.4.1. Kondisi Lingkungan Electronic Road Pricing (ERP) merupakan salah satu kebijakan pemerintah di bidang transportasi untuk mengatasi kemacetan dan membatasi jumlah penggunaan kendaraan pribadi sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam perjalanan. Kemacetan menimbulkan berbagai masalah yang sangat erat kaitannya dengan lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Kemacetan berdampak besar bagi lingkungan karena jumlah emisi yang dikeluarkan ke udara lebih tinggi akibat mesin yang menyala lebih lama. Selain itu pembangunan fisik kota yang ditandai dengan berdirinya pusatpusat industri disertai dengan melonjaknya produksi kendaraan bermotor mengakibatkan kepadatan lalu lintas semakin meningkat pula dan menghasilkan produksi sampingan berupa emisi gas buang kendaraan bermotor yang merupakan salah satu sumber pencemaran udara. Berbagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di Jakarta tidak akan efektif tanpa kebijakan mengurangi jumlah pengguna kendaraan. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor ini tidak diimbangi dengan peningkatan lebar jalan, sehingga kemacetan pun semakin sulit untuk diatasi dan polusi udara semakin meningkat. Pencemaran udara ini akan menyebabkan perubahan lingkungan udara akibat masuknya zat pencemar ke dalam udara. Masalah polusi yang diakibatkan oleh emisi gas buang kendaraan bermotor dapat menyebabkan penurunan kualitas udara dan daya dukung lingkungan. Selain itu, polusi udara juga berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan pada
85
manusia. Zat-zat pencemar berbahaya yang bersumber dari emisi kendaraan bermotor antara lain nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), timbal (Pb), hidrokarbon (HC), sulfur dioksida (SO2), dan debu (PM10). Upaya pengendalian pencemaran udara akibat gas buang kendaraan di sektor transportasi dapat dilakukan dengan kebijakan ERP. Sektor transportasi merupakan salah satu komponen yang cukup penting dalam perkembangan perekonomian. Perkembangan sektor transportasi mengakibatkan peningkatan penggunaan kendaraan pribadi untuk kemudahan beraktivitas. Peningkatan penggunaan kendaraan ini dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan berupa peningkatan konsentrasi pencemaran udara. Perkembangan jumlah kendaraan bermotor yang selalu meningkat setiap tahunnya memerlukan perencanaan kebijakan di bidang transportasi yang ramah lingkungan yaitu mengurangi potensi masyarakat untuk terkena dampak polusi udara yang diakibatkan oleh sarana transportasi. Kendaraan bermotor merupakan alat transportasi yang menjadi sumber bergerak dalam pencemaran udara sehingga penyebaran emisinya mempunyai suatu pola penyebaran spasial yang meluas, sehingga sangat berdampak besar bagi lingkungan. Penerapan kebijakan ERP dapat menyebabkan pengurangan jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengurangan jumlah kendaraan bermotor dapat mengurangi konsentrasi emisi di sekitar wilayah Sudirman. Pemberlakuan ERP dapat meningkatkan kualitas lingkungan, karena dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sehingga polusi udara dapat dikurangi. Pentingnya menjaga kualitas udara tetap bersih agar lingkungan menjadi sehat, indah dan nyaman.
86
6.4.2. Kondisi Sosial Penerapan kebijakan ERP ini akan berdampak pada pengurangan jumlah kendaraan pribadi yang dapat melintasi Jalan Jenderal Sudirman. Hal tersebut dikarenakan tarif yang diberlakukan relatif mahal sehingga tidak semua pengguna jalan mampu untuk membayar tarif yang diberlakukan pemerintah tersebut. Berdasarkan penelitian ini diperkirakan bahwa jumlah kendaraan yang tidak dapat memasuki wilayah Sudirman apabila ERP diberlakukan adalah sebesar 5.429.628 unit kendaraan atau 59% dari total populasi (Tabel 9). Selain itu pemberlakuan ERP juga menghilangkan penyedia jasa ilegal (jockey 3 in 1) yang biasanya beroperasi di sekitar wilayah Sudirman. Masyarakat akan mendukung kebijakan pemerintah ini dengan syarat adanya pengembangan transportasi massal dengan kualitas yang baik dan alternatif sistem angkutan umum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada umumnya masyarakat cenderung enggan untuk beralih menggunakan transportasi massal karena angkutan umum yang ada dirasa masih sangat tidak nyaman, tidak aman, dan tidak tepat waktu. Pengguna angkutan umum sering dihadapkan pada situasi yang sangat tidak nyaman karena harus mengantri dan berjubel di dalam angkutan umum. Keinginan masyarakat untuk mempercepat waktu tempuh ini tidak didukung oleh ketersediaan sarana transportasi yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. 6.4.3. Kondisi Ekonomi Wilayah Sudirman merupakan salah satu pusat bisnis dan perkantoran di Ibu Kota. Oleh sebab itu perlu didukung oleh kondisi lalu lintas yang lancar sehingga aktivitas ekonomi dapat berjalan efektif dan efisien. Kemacetan dapat
87
menurunkan
efisiensi
dan
efektivitas
perekonomian
kota
yang
dapat
mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi nasional karena produktivitas pekerja yang menurun. Upaya mengurangi kemacetan di sektor transportasi sangat penting untuk dilakukan mengingat sektor transportasi merupakan salah satu komponen penting dalam perkembangan perekonomian. Berdasarkan hasil perhitungan estimasi perkiraan jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP sebesar 3.773.132 unit kendaraan. Hasil perhitungan jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Total Kendaraan yang Dapat Memasuki Zona ERP Kelas Frekuensi No Frekuensi WTP Relatif 1 25.000 22 0,22 2 30.000 8 0,08 3 35.000 4 0,04 4 50.000 7 0,07 Jumlah Kendaraan yang Dapat Memasuki Zona ERP
Populasi 2.024.607 736.221 368.110 644.193 3.773.132
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)
Berdasarkan Tabel 11 responden pengguna jalan yang dapat memasuki zona ERP adalah pengguna kendaraan yang memiliki nilai WTP diatas nilai mean WTP yaitu responden dengan kelas WTP sebesar Rp 25.000, Rp 30.000, Rp 35.000, dan Rp 50.000. Perkiraan total dana yang dapat dihasilkan dari pemberlakuan ERP dihitung dengan mengalikan jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP dengan nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan, sehingga perkiraan total dana yang dapat dihasilkan dari penerapan kebijakan ERP adalah Rp 87.159.349.200/tahun dengan asumsi ERP diberlakukan pada peak pagi, peak siang, dan peak sore. Namun, apabila ERP hanya diberlakukan pada peak pagi dan peak sore saja (ERP tidak berlaku pada peak siang), maka perkiraan total dana
88
yang
dapat
dihasilkan
dari
penerapan
kebijakan
ERP
adalah
Rp
66.382.428.420/tahun (Lampiran 2). Dana tersebut dapat digunakan untuk pengembangan transportasi massal dan pembangunan infrastruktur untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat terhadap sarana penunjang transportasi. Namun yang perlu diperhatikan, apabila ERP diberlakukan maka akan meningkatkan biaya perjalanan bagi kendaraan yang tidak dapat memasuki zona ERP, sehingga perlu didukung dengan skema manajamen permintaan yang lain, seperti manajemen parkir atau alternatif angkutan umum yang aman dan nyaman untuk kendaraan yang tidak dapat memasuki zona ERP. Hal tersebut dapat menjadi insentif pula bagi para pengguna moda transportasi massal karena telah ikut serta dalam menekan penggunaan kendaraan pribadi di wilayah Sudirman. Kebijakan ERP juga bertujuan untuk menggantikan kebijakan three in one yang dinilai tidak efektif dalam mengendalikan laju penggunaan mobil pribadi sehingga apabila kebijakan ini diterapkan maka dapat menghilangkan penyedia jasa illegal (jockey) di wilayah Sudirman. Hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah apabila jockey dihilangkan maka para jockey 3 in 1 yang biasa beroperasi di Jalan Jenderal Sudirman akan mengalami kehilangan pendapatan yang merupakan tambahan pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu penting diupayakan untuk membuka lapangan pekerjaan baru di bidang lain agar pengangguran dapat dikurangi, misalnya di bidang transportasi yaitu penambahan armada busway. Hal tersebut tentu membutuhkan pula lebih banyak pegawai sehingga yang menganggur dapat terserap di bidang tersebut.
89
Berdasarkan hasil estimasi pada model regresi linear berganda, variabel pendapatan berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTP yang digunakan sebagai dasar penetapan nilai ERP. Peningkatan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pendapatan, sehingga apabila pendapatan meningkat maka nilai ERP dapat dinaikkan hingga ke tingkat maksimal. Apabila pendapatan meningkat namun nilai ERP tetap maka kebijakan tersebut akan gagal untuk menekan laju penggunaan kendaraan pribadi. Selain itu, dana yang dihasilkan dapat digunakan untuk pengembangan moda transportasi massal yang lebih baik dan sesuai dengan harapan masyarakat selaku pengguna jalan. 6.5.
Kebijakan Pengelolaann Pemberlakuan ERP
Sistem
Pemanfaatan
Keuangan
dari
Kebijakan ERP berpotensi besar dalam membatasi laju penggunaan kendaraan pribadi, sehingga dapat mengurangi polusi udara di Jakarta dan menjadikan kualitas lingkungan perkotaan yang lebih baik dan sehat. Kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) merupakan kebijakan pembatasan jumlah kendaraan melalui sistem jalan berbayar, dimana setiap kendaraan yang melintasi ruas jalan tertentu akan dikenakan biaya. Mekanisme penerapan ERP adalah setiap kendaraan yang melintasi zona ERP akan dikenakan sejumlah biaya tertentu. Pintu gerbang zona ERP akan dilengkapi teknologi OBU (on board unit). Biaya yang dikenakan juga bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada pengguna kendaraan pribadi bahwa perjalanan mereka dengan kendaraan pribadi mempunyai kontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian kepada masyarakat yang tidak mengunakan kendaraan pribadi.
90
Pengenaan biaya kepada pengguna jalan (road pricing) ini tentunya akan menjadi salah satu sumber pendapatan bagi negara maupun daerah. Namun, pendapatan yang diperoleh dari penerapan kebijakan ini harus dapat kembali kepada masyarakat dengan pembangunan infrastruktur transportasi yang lebih aman, nyaman, cepat, dan tepat waktu sehingga pengguna kendaraan pribadi dapat beralih untuk memanfaatkan transportasi massal yang ada sehingga kemacetan dan peningkatan polusi udara dapat diatasi. Tujuan utama dari road pricing, yaitu mengurangi kemacetan, menjadi sumber pendapatan daerah, mengurangi dampak lingkungan, mendorong penggunaan angkutan umum massal. Kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengelolaan sistem pemanfaatan keuangan dari pemberlakuan ERP adalah sebagai berikut : 1)
Pembangunan dan pengembangan transportasi massal Dana yang terkumpul dari pelaksanaan kebijakan ERP ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pembiayaan untuk mendukung beroperasinya transportasi massal yang lebih efektif, nyaman, aman, dan ramah lingkungan. Hal tersebut dikarenakan untuk melakukan perbaikan, pemeliharaan, dan penambahan armada angkutan umum serta fasilitas transportasi pendukung lainnya diperlukan dana yang cukup besar. Sebelum kebijakan ERP ini dilaksanakan sebaiknya pemerintah membangun terlebih dahulu transportasi masal yang dapat menjamin masyarakat aman dan nyaman
dalam
menggunakan
angkutan
umum
tersebut,
sehingga
masyarakat mau beralih dan memanfaatkan transportasi massal yang ada dan tujuan untuk mengurangi polusi dan kemacetan bisa tercapai.
91
2)
Pembangunan lahan parkir Ketersediaan lahan parkir masih sangat kurang, sehingga penumpang yang menggunakan moda transportasi massal seperti kereta api belum dilengkapi dengan fasilitas parkir yang memadai. Kondisi seperti ini menjadikan masyarakat semakin enggan menggunakan transportasi massal. Selain itu lahan parkir ini juga dapat digunakan untuk kendaraan-kendaraan yang tidak dapat memsuki zona ERP, tetapi harus dapat menjamin keamanan bagi para pengguna jalan untuk menitipkan kendaraannya di tempat parkir tersebut. Dengan demikian kemacetan di ibu kota dapat diatasi dan polusi dapat dikurangi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah sebagai
berikut: 1)
Tarif yang diberlakukan untuk transportasi massal sebaiknya disesuaikan dengan tingkat kemampuan rata-rata pengguna jalan (tidak mahal).
2)
Apabila kebijakan ERP ini diterapkan namun strategi transportasi massal tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, maka aktivitas ekonomi akan menurun sehingga gejolak sosial dan keresahan masyarakat akan meningkat. Prinsip penerapan ERP ini adalah kendaraan masih tetap bisa masuk artinya aktivitas ekonomi pun masih bisa berjalan dengan baik dan diperoleh pula kualitas lingkungan yang lebih baik serta dana yang dihasilkan dari penerapan ERP ini bisa digunakan sebaik mungkin untuk pengembangan transportasi massal, seperti kereta api, busway, dan lain-lain. Kualitas udara yang bersih sangat diperlukan di kota-kota besar seperti
Jakarta yang menjadi pusat bisnis dan kegiatan perekonomian. Hal tersebut untuk
92
menunjang kegiatan ekonomi masyarakat agar tetap bisa berjalan dan tumbuh dengan baik tanpa harus diganggu oleh produktivitas yang menurun karena lingkungan yang tidak sehat dan tercemar polusi yang tinggi. Dalam menjaga kualitas udara agar tetap bersih diperlukan juga kebijakan pendukung diantaranya : 1)
Memberlakukan secara ketat batas emisi kendaraan bermotor dengan penerapan Peraturan Daerah yang mengatur kewajiban lolos uji emisi bagi setiap kendaraan bermotor. Perawatan kendaraan secara baik dan benar akan menghasilkan gas buang yang masih dapat ditolerir oleh lingkungan dan dapat memperpanjang usia pemakaian kendaraan itu sendiri, sehingga masyarakat pun dapat berkontribusi besar dalam pengurangan polusi udara.
2)
Melakukan pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan umur kendaraan. Hal tersebut karena kendaraan yang umurnya lebih tua mengeluarkan emisi yang lebih besar dibanding kendaraan yang umur pemakaiannya relatif lebih pendek.
3)
Penerapan pajak progresif kendaraan agar masyarakat membatasi jumlah kepemilikan kendaraannya. Sistem pajak progresif dikenakan bagi masyarakat yang memiliki kendaraan lebih dari satu, baik kendaraan pribadi roda dua maupun roda empat. Dengan demikian masyarakat akan berpikir kembali untuk memiliki kendaraan lebih dari satu. Hal ini dapat mengatasi kemacetan, polusi udara, dan inefisiensi bahan bakar minyak.
93
VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1.
Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut : 1)
Berdasarkan hasil estimasi pada model regresi linier berganda diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besarnya nilai ERP dilihat dari Willingness To Pay (WTP) pengguna jalan adalah tingkat pendidikan, rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar, tingkat pendapatan, dan durasi terkena kemacetan. Sementara variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTP responden adalah keinginan untuk memperbaiki kualitas udara, jumlah tanggungan, dan jenis pekerjaan.
2)
Nilai rata-rata WTP (EWTP) sebesar Rp 23.100. Nilai tersebut dapat dijadikan acuan dalam penetapan tarif ERP sehingga tujuan untuk mengendalikan laju penggunaan kendaraan pribadi sebagai penyebab kemacetan lalu lintas, inefisiesi energi, dan peningkatan polusi dapat tercapai. Nilai total WTP responden pengguna Jalan Jenderal Sudirman sebesar Rp 212.583.756.000/tahun.
3)
Tarif ERP yang sesuai untuk diberlakukan adalah sebesar nilai mean WTP yaitu Rp 23.100, sehingga jumlah kendaraan yang dapat berkurang akibat pemberlakuan ERP dengan tarif Rp 23.100 akan mengurangi jumlah kendaraan sebesar 5.429.628 unit kendaraan/tahun atau 59% dari total populasi. Pengurangan jumlah kendaraan bermotor dapat mengurangi konsentrasi emisi di sekitar wilayah Sudirman. Asumsinya apabila ERP
94
diterapkan maka kondisi pengurangan emisinya akan mendekati rata-rata HBKB. 4)
Estimasi perkiraan jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP sebesar 3.773.132 unit kendaraan/tahun. Perkiraan total dana yang dapat dihasilkan dari pemberlakuan ERP dihitung dengan mengalikan jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP dengan nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan, sehingga total dana yang dapat dihasilkan adalah Rp 87.159.349.200/tahun dengan asumsi ERP diberlakukan pada peak pagi, peak siang, dan peak sore. Namun, apabila ERP hanya diberlakukan pada peak pagi dan peak sore saja (ERP tidak berlaku pada peak siang), maka perkiraan total dana yang dapat dihasilkan dari penerapan kebijakan ERP adalah Rp 66.382.428.420/tahun.
5)
Kebijakan yang tepat dalam pengelolaan sistem pemanfaatan keuangan yang dihasilkan
dari
pemeberlakuan
ERP
adalah
pembangunan
dan
pengembangan transportasi massal yang lebih efektif, nyaman, aman, dan ramah lingkungan serta pembangunan lahan parkir agar masyarakat mau beralih dan memanfaatkan transportasi massal yang ada sehingga tujuan menggurangi laju penggunaan kendaraan pribadi dapat tercapai. 7.2.
Saran Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, peneliti memberikan
beberapa saran sebagai berikut : 1)
Perlu ketegasan pemerintah agar kebijakan ini dapat segera dilaksanakan yaitu dengan menetapkan dasar hukum terkait pemungutan retribusi ERP yang belum ada. Hal ini karena pungutan ERP tidak termasuk dalam jenis
95
retribusi atau pajak dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sehingga diperlukan aspek legal dengan menetapkan dasar hukum yang dapat mendukung kebijakan ini dapat dilaksanakan. 2)
Perlu adanya kerja sama yang erat antara pemerintah dengan berbagai pihak terkait agar dapat melakukan pengembangan sistem transportasi yang terintegrasi sehingga dapat memudahkan para pengguna transportasi massal untuk mencapai tujuan perjalanan mereka.
3)
Perlu dibangun dan dikembangkan transportasi massal yang efisien, tepat waktu, mudah, terintegrasi, serta kenyamanan dan keamanannya dapat terjamin sehingga masyarakat mau beralih dan memanfaatkan transportasi publik yang ada sehingga dapat menekan penggunaan kendaraan pribadi sehingga dapat mengurangi polusi udara secara signifikan karena menjaga kualitas lingkungan udara perlu kebersamaan semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat.
4)
Perlu penelitian lebih lanjut untuk menghitung emisi sehingga dapat diketahui sejauh mana dampak penerapan ERP terhadap lingkungan dan diperlukan pula penelitian lebih lanjut dengan responden pengguna sepeda motor sehingga dapat diperoleh tarif ERP yang sesuai untuk diberlakukan bagi pengendara sepeda motor.
96
DAFTAR PUSTAKA Amanda, S. 2009. Analisis Willingness To Pay Pengunjung Obek Wisata Danau Situgede dalam Upaya Pelestarian Lingkungan. Skripsi. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Aunuddin. 2005. Statistika : Rancangan dan Analisis Data. IPB Press. Bogor.
Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta. 2011. „Data Car Free Day Tahun 2010‟. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah. Jakarta Badan Pusat Statistik 2010. ‟Produksi Kendaraan Bermotor untuk Kuartal II‟. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Business News. 2010. Investasi ERP Sebesar Rp 500 Miliar Mengatasi Kemacetan di Jakarta. http://bataviase.co.id/node/417889. Diakses : 21 November 2010. Bisnis Indonesia. 2010. Pusat Ganjal Penerapan ERP. http : // bataviase . co . id / node/390480. Diakses : 21 November 2010. Dinas Perhubungan. 2011. „Electronic Road Pricing‟. Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Jakarta. . 2011. „Formulir Survey Volume Lalu Lintas‟. Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Jakarta. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil 2010. „Jumlah Penduduk Provinsi DKI Jakarta„. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Jakarta. Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. . 2007. Instrumen Ekonomi untuk Pengelolaan Lingkungan. Laporan disampaikan kepada DANIDA Denmark dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) RI. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara. Jakarta. Gillen, D dan Levinson, D. 2004. Assessing The Benefits and Costs of ITS : Making The Business Case for ITS Investements. Kluwer Academic Publishers. Boston. Goh, M. 2002. Congestion management and electronic road pricing in Singapore. Journal of Transport Geography 10 : 29–38. Faculty of Business Administration, National University of Singapore. Singapore.
97
Gujarati, D. 2003. Basic Econometric (Edisi ke Empat). McGraw-Hill. New York. Hall, R.W. 2003. Handbook of Transportation Science 2nd Edition. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht. Hanley, N dan C. L. Spash. 1993. Cost-Benefit Analysis and Environmental. Edward Elgar Publishing England. Hosmer, D. W dan S. Lemeshow. 1989. Applied Logistic Regression. John Wiley & Sons Inc. New York. Kelompok Bidang Keahlian Rekayasa Transportasi Jurusan Teknik Sipil FTSPITB. 1997. Modul Pelatihan, Metode Survei Lalu-Lintas dan Transportasi. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat. ITB. Bandung. Mulia, R. M. 2005. Kesehatan Lingkungan. Graha Ilmu. Yogyakarta. Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Nugroho, A. 2003. Bang, Nyopirnya Jangan Asal : Kiat Menjadi Pemakai Transportasi yang Bijak. Piramedia. Jakarta. Salim, A. 1998. Manajemen Transportasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Santos, G. 2004. Road Pricing : Theory and Evidence. Elsevier Ltd. London. Sapta, R. D. 2009. Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas Terhadap Sosial Ekonomi Pengguna Jalan Melalui Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM). Skripsi. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Setijadji, A. 2006. Studi Kemacetan Lalu Lintas Jalan Kaligawe Kota Semarang. Tesis. Program Pasca Sarjana. Magister Teknik Pembangunan Kota. Universitas Diponegoro. Semarang. Sinulingga, B.D. 1999. Pembangunan Kota Tinjauan Regional dan Lokal. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Susantono, DR. B. 2010. Electronic Road Pricing (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta. http : // bulletin . penataanruang . net/upload/data_artikel/ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%20UNT UK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses : 21 November 2010. Ramathan, R. 1997. Introductory Economics with Applications. The Dryden Press. Philadelpia. Umar, H. 2005. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 98
Wardhana, W. A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan (Edisi Revisi). Andi Offset. Yogyakarta. Yakin, A. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan: Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. CV Akademika Presindo. Jakarta.
99
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Estimasi Model Regresi Linear Berganda Nonparametric Correlation Keinginan memperbaiki udara Spearman's rho
Keinginan memperbaiki udara
Jenis pekerjaan
Durasi terkena macet
-,102
,397(**)
,490(**)
,481(**)
,008 100 ,595(**)
,311 100 ,330(**)
,000 100 ,466(**)
,000 100 ,398(**)
,000 100 ,585(**)
,000 100 1,000
,000 100 ,348(**)
,001 100 ,348(**)
,000 100 ,252(*)
,000 100 ,255(*)
,000 100 ,279(**)
,000 100 ,595(**)
. 100 ,348(**)
,000 100 1,000
,000 100 ,442(**)
,011 100 ,463(**)
,010 100 ,357(**)
,005 100 ,648(**)
,008 100 -,102
,000 100 ,330(**)
,000 100 ,348(**)
. 100 ,442(**)
,000 100 1,000
,000 100 ,109
,000 100 -,071
,000 100 ,070
,311 100 ,397(**)
,001 100 ,466(**)
,000 100 ,252(*)
,000 100 ,463(**)
. 100 ,109
,278 100 1,000
,482 100 ,443(**)
,491 100 ,591(**)
,000 100 ,490(**)
,000 100 ,398(**)
,011 100 ,255(*)
,000 100 ,357(**)
,278 100 -,071
. 100 ,443(**)
,000 100 1,000
,000 100 ,697(**)
,000 100 ,481(**)
,000 100 ,585(**)
,010 100 ,279(**)
,000 100 ,648(**)
,482 100 ,070
,000 100 ,591(**)
. 100 ,697(**)
,000 100 1,000
Sig. (2-tailed)
,000
,000
,005
,000
,491
,000
,000
.
N
100
100
100
100
100
100
100
100
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Tingkat pendidikan
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Pengeluaran bahan bakar
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Tingkat pendapatan
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Jumlah tanggungan
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Jenis pekerjaan
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Durasi terkena macet
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
WTP
N Correlation Coefficient
101
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Tingkat pendidikan
Pengeluaran BBM
Tingkat pendapatan
1,000
,449(**)
,199(*)
,264(**)
. 100 ,449(**)
,000 100 1,000
,047 100 ,389(**)
,000 100 ,199(*)
. 100 ,389(**)
,047 100 ,264(**)
Jumlah tanggungan
WTP
Lampiran 1. Hasil Estimasi Model Regresi Linear Berganda (Lanjutan…) Descriptive Statistics
WTP Keinginan memperbaiki udara Tingkat pendidikan Pengeluaran BBM Tingkat pendapatan Jumlah tanggungan Jenis pekerjaan Durasi terkena macet
Mean 23100,00 3,59 2,09 1261670,00 7985000,00 1,85 ,58 50,70
Std. Deviation 9177,817 ,570 ,605 577159,363 4310648,666 1,533 ,496 32,012
N 100 100 100 100 100 100 100 100
Model Summary(b) Adjusted R Std. Error of Square the Estimate 1 ,791(a) ,625 ,597 5828,802 a. Predictors: (Constant), Durasi terkena macet, Jumlah tanggungan, Pengeluaran BBM, Jenis Pekerjaan, Keinginan memperbaiki udara, Tingkat pendidikan, Tingkat pendapatan b. Dependent Variable: WTP Model
R
R Square
102
Lampiran 1. Hasil Estimasi Model Regresi Linear Berganda (Lanjutan…) ANOVA(b) Model
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
1
Regression 5213306593,747 7 744758084,821 21,921 ,000(a) Residual 3125693406,253 92 33974928,329 Total 8339000000,000 99 a. Predictors: (Constant), Durasi terkena macet, Jumlah tanggungan, Pengeluaran BBM, Jenis Pekerjaan, Keinginan memperbaiki udara, Tingkat pendidikan, Tingkat pendapatan b. Dependent Variable: WTP Coefficients(a) Model
1
(Constant) Keinginan memperbaiki udara Tingkat pendidikan Pengeluaran BBM Tingkat pendapatan Jumlah tanggungan Jenis pekerjaan Durasi terkena macet
a Dependent Variable: WTP
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
B Std. Error 6319,334 4123,790 9,044 1272,532 3502,699 1323,964 -,003 ,001 ,001 ,000 -304,421 451,147 1285,909 1442,306 157,797 21,414
Beta ,001 ,231 -,174 ,279 -,051 ,070 ,550
t Tolerance 1,532 ,007 2,646 -2,357 3,416 -,675 ,892 7,369
Sig.
Collinearity Statistics B
,129 ,994 ,010 ,021 ,001 ,502 ,375 ,000
,652 ,536 ,747 ,612 ,717 ,670 ,730
VIF 1,534 1,867 1,339 1,633 1,394 1,492 1,369
103
Lampiran 1. Hasil Estimasi Model Regresi Linear Berganda (Lanjutan…) Residuals Statistics(a) Minimum Predicted Value
Adjusted Predicted Value
Mean
Std. Deviation
N
10870,07
42195,82
23100,00
7256,698
100
-1,685
2,631
,000
1,000
100
973,666
4304,721
1580,844
470,254
100
Std. Predicted Value Standard Error of Predicted Value
Maximum
10589,38
48148,25
23165,24
7462,512
100
-17999,645
17696,160
,000
5618,955
100
Std. Residual
-3,088
3,036
,000
,964
100
Stud. Residual
-3,358
3,203
-,005
1,024
100
Residual
a Dependent Variable: WTP Levene's Test of Equality of Error Variances(a) Dependent Variable: res1 F df1 df2 Sig. ,785 5 94 ,563 Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a Design: Intercept+WTP Charts Histogram
Dependent Variable: WTP 25
Frequency
20
15
10
5 Mean =1.39E-17 Std. Dev. =0.964 N =100
0 -4
-2
0
2
4
Regression Standardized Residual
104
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Dependent Variable: WTP
Expected Cum Prob
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Observed Cum Prob
105
Lampiran 2. Perhitungan Perkiraan Total Dana yang Dapat Dihasilkan dari Pemberlakuan ERP pada Peak Pagi dan Peak Sore
Total Kendaraan Total kendaraan per tahun (1 tahun = 230 hari aktif) Total kendaraan yang berkurang akibat pemberlakuan ERP (59% dari total kendaraan per tahun) Total kendaraan yang bisa masuk zona ERP per tahun (Total kendaraan per tahuntotal kendaraan yang berkurang akibat pemberlakuan ERP) Perkiraan total dana yang diperoleh per tahun Perkiraan total dana yang diperoleh per tahun (peak pagi + peak sore)
PEAK PAGI
PEAK SORE
18.112
12.362
4.165.760
2.843.260
2.457.798
1.677.523
1.707.962
1.165.737
39.453.912.960
26.928.515.460
66.382.428.420
106
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 28 Desember 1988. Penulis bernama lengkap Dessy Christiarini yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Yohanes Sumarjo dan Brigita Suharsih. Penulis mengawali pendidikan di TK Kartika Chandra Kirana Bogor pada tahun 1993. Tahun 2001 penulis menyelesaikan studi di Sekolah Dasar Negeri Cimandala 1 Bogor. Tahun 2004 penulis lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Bogor. Tahun 2007 penulis lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bogor, lalu pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI dan diterima sebagai mahasiswi Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama
menjadi
mahasiswi,
penulis
aktif
dalam
Resource
and
Environmental Economics Student Association (REESA) sebagai staf divisi Coorporate Social Responsibility pada tahun (2008-2009) dan sebagai staf divisi Study Research and Development pada tahun (2009-2010). Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan seperti, Biopore on Situgede (BIOS) pada tahun 2008, RESAYCLE tahun 2009 dan Green Base pada tahun 2009.