Prosiding Seminar Nasional
”Percepatan Desa Berdikari melalui Pemberdayaan Masyarakat dan Inovasi Teknologi” 20-21 November 2014 Purwokerto
ANALISIS POTENSI AMILOLITIK DAN SELULOLITIK DARI ISOLAT AKTINOMISETES LAUT Oleh Ari Asnani, Dini Ryandini, Suwandri Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknik, Unsoed, Puwokerto Program Studi Biologi, Fakultas Biologi, Unsoed, Purwoketo
[email protected]
ABSTRAK Analisis potensi amilolitik dan selulolitik dari enam isolat aktinomisetes laut (K-2C, K-3E, K-4B, K-10A, U2-7A, dan U3-3B) yang diisolasi dari kawasan mangrove Segara Anakan Cilacap telah dilakukan. Metode peneltian meliputi kultivasi aktinomisetes, identifikasi morfologi isolat dan uji biokimia (hidrolisis amilum dan hidrolisis selulosa). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keenam isolat yang diuji memiliki hasil positif kemampuan menghidrolisis pati dan CMC. Potensi tersebut menjadikan isolat aktinomisetes laut K-2C, K-3E, K-4B, K-10A, U2-7A, dan U3-3B sebagai mikroba potensial untuk memproduksi enzim amilase dan selulase. Kata kunci: amilase, selulase, aktinomisetes laut
ABSTRACT The analysis of amylolytic and cellulolytic potency of six marine actinomycetes (K-2C, C3E, K-4B, K-10A, U2-7A, and U3-3B) isolates from the mangrove areas of Segara Anakan Cilacap had been done. The research methods included cultivation of actinomycetes, morphology identification of isolates, and biochemical tests (starch and cellulose hydrolysis). The results showed that all six isolates tested had positive results of having hydrolyzing ability toward starch and CMC. These results showed that marine actinomycetes isolates (K-2C, C-3E, 4B-K, K-10A, U2-7A, and U3-3B) were potential microbes to produce enzymes amylase and cellulase. Keywords: amylase, cellulase, marine actinomycetes PENDAHULUAN Enzim amilase dan selulase merupakan eksoenzim karbohidrase yang mampu menghidrolisis makomolekul karbhidrat pati dan selulosa menjadi monomer penyusunnya. Hingga saat ini kebutuhan terhadap enzim karbohidrase di Indonesia belum dapat dipenuhi sehingga masih harus diimpor. Beberapa jenis mikroba dari kelompok bakteri dan jamur telah dilaporkan mampu menghasilkan enzim karbohidrase (Kusnadi et.al., 2009). Contoh bakteri potensial penghasil amilase pada skala industri adalah adalah bakteri genus 1
Prosiding Seminar Nasional
”Percepatan Desa Berdikari melalui Pemberdayaan Masyarakat dan Inovasi Teknologi” 20-21 November 2014 Purwokerto
Bacillus diantaranya B.licheniformis, B.subtilis dan B.stearothermophillus; adapun mikroba yang mampu menghasilkan enzim selulase diantaranya adalah Trichoderma, yang sering disebut sebagai selulolitik sejati (Salma dan Gunarto, 1999). Mikroba yang dapat digunakan untuk produksi enzim secara komersial harus memenuhi syarat-syarat yaitu tersedia sebagai isolat murni, dapat menghasilkan enzim ekstraseluler sehingga pemanenan enzim akan lebih mudah, cukup stabil, mempunyai kemampuan produksi yang tinggi, dan dapat tumbuh pada medium yang relatif murah. Akan lebih disukai jika mikroba dapat menghasilkan spora dan bentuk sel reproduktif lain sehingga mudah diinokulasikan ke dalam fermentor besar. Salah satu contoh mikroba potensial penghasil enzim adalah aktinomisetes. Aktinomisetes adalah bakteri gram positif yang utamanya dikenal sebagai penghasil antibiotik. Asnani dan Ryandini (2011) telah melaporkan keberadaan aktinomisetes di Segara Anakan. Segara Anakan Cilacap merupakan kawasan Laguna yang unik dan langka dengan perairan laut payau dan beberapa pulau atau daratan berpenduduk (Yuwono et.al., 2007). Masuknya aliran sungai ke daerah laguna dan sekitarnya menyebabkan terjadinya akumulasi nutrien yang pada akhirnya bermanfaat sebagai sumber nutrien dan bahan organik bagi aktinomisetes laut. Peranan aktinomisetes laut yang mampu menggunakan bahan organik menjadi dasar untuk pemanfaatan hasil penelitian tersebut secara berkelanjutan melalui analisis kemampuan isolat aktinomisetes laut dalam memproduksi enzim karbohidrase, khususnya amilase dan selulase. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan penelitian adalah menganalisis potensi amilolitik dan selulolitik dari isolat aktinomisetes laut yang berasal dari Segara Anakan Cilacap. Potensi aktinomisetes amilolitik dan selulolitik menjadi sangat penting untuk tujuan hidrolisis pati dan selulosa menjadi monomer penyusunnya, yaitu glukosa.
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Agustus - Oktober 2014 di laboratorium Biokimia Jurusan MIPA, Fakultas Sains dan Teknik; serta di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Biologi, Unsoed, Purwokerto. Bahan yang digunakan adalah enam isolat aktinomisetes (K-2C, K-3E, K-4B, K-10A, U2-7A, dan U3-3B) yang berasal dari daerah Klaces (K) dan Ujung Alang (U) di wilayah Segara Anakan Cilacap, bahan media kultivasi media, dan bahan uji biokimia hidrolis amilum dan hidrolisis selulosa. Alat yang
2
Prosiding Seminar Nasional
”Percepatan Desa Berdikari melalui Pemberdayaan Masyarakat dan Inovasi Teknologi” 20-21 November 2014 Purwokerto
digunakan adalah perralatan sterilisasi, kultivasi aktinomisetes, dan peralatan untuk uji biokimia. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif. Tahap penelitian meliputi kultivasi isolat aktinomisetes (K-2C, K-3E, K-4B, K-10A, U2-7A, dan U3-3B); identifikasi koloni dengan parameter yang diamati meliputi ukuran, pigmentasi ke substrat, bentuk, permukaan, elevasi, margin, warna miselium aerial dan warna miselium substrat ; serta uji biokimia (hidrolisis amilum dan hidrolisis CMC). Sharma (2014) menyebutkan bahwa pendekatan yang dapat dilakukan untuk identifikasi aktinomisetes adalah melalui pengamatan morfologi baik koloni maupun hifa dan karakter biokimiawi. Kultivasi isolat murni aktinomisetes dilakukan dengan menggoreskan koloni pada medium SCN agar baru. Ciri-ciri koloni aktinomisetes tumbuh yang diperhatikan adalah koloni bulat kecil, pertumbuhan lambat, permukaan koloni (bisa) berhifa, keras seperti berdebu atau seperti beludru, biasanya terdapat titik pusat pada tengah koloni dan koloni berwarna tipikal. Bila koloni aktinomisetes yang tumbuh memiliki warna, maka koloni digoreskan pada medium baru untuk dilakukan identifikasi morfologi isolat. Uji amilase dilakukan dengan menginokulasikan isolat aktinomisetes ke medium yang mengandung amilum atau Starch Agar dengan cara goresan. Setelah diinkubasi selama 3 hari pada suhu 30 oC, ditetesi reagen lugol’s iodine. Adanya zona bening di sekitar koloni menunjukkan aktivitas enzim amilase. Uji selulase dilakukan dengan menginokulasikan isolate aktinomisetes ke medium yang mengandung carboxy methyl cellulose (CMC). Adanya zona bening di sekitar koloni menunjukkan aktivitas enzim amilase.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kultivasi aktinomisetes dilakukan pada Media agar Starch-casein nitrat (SCN) (Asnani dan Ryandini, 2011) yang disuplementasi dengan antifungi nystatin untuk menghambat pertumbuhan jamur. SCN merupakan medium yang spesifik dan sensitif untuk pertumbuhan aktinomisetes. Usha et al., (2010) berhasil mengisolasi 15 isolat aktinomisetes asal tanah dengan menggunakan medium SCN. Khan et al., (2010) juga berhasil mengisolasi dua isolat aktinomisetes yang berasal dari sponge dengan menggunakan medium SCN yang ditambahkan antifungi dan antibakteri. Pertumbuhan koloni aktinomisetes pada medium padat diawali oleh spora tunggal, sporangium atau fragmen dari hifa atau miselium. Perkembangan koloni dapat bersifat
3
Prosiding Seminar Nasional
”Percepatan Desa Berdikari melalui Pemberdayaan Masyarakat dan Inovasi Teknologi” 20-21 November 2014 Purwokerto
massa yang kompak, namun terdapat pula yang menunjukkan adanya pertumbuhan zona yang berbeda-beda yaitu dalam bentuk cincin yang konsentris dengan orientasi radial, atau merupakan kombinasi keduanya. Ukuran koloni tergantung pada spesies, umur dan kondisi pertumbuhannya, dengan diameter koloni bervariasi dari medium hingga ukuran besar.Tipe koloni dapat timbul (raised) atau tumbuh rata, kadang-kadang ditutup dengan permukaan yang kasar berbeludru atau berbubuk. Konsistensi koloni bervariasi dari sangat lembut sampai dengan yang amat keras. Terdapat dua tipe hifa yaitu hifa vegetative (substrat) dan hifa aerial (udara). Hifa substrat merupakan hifa atau miselium yang tumbuh di dalam medium, sedangkan hifa aerial adalah hifa atau miselium yang tumbuh menjulang ke udara. Pertumbuhan koloni pada awalnya berkembang sebagai hifa substrat yang kemudian diikuti oleh perkembangan hifa udara. Sebagai contoh, Streptomyces tumbuh melalui percabangan hifa membentuk miselium substrat dan mampu menyebar dengan adanya spora. Diameter dari miselium substrat sekitar 0,5-1,0 µm (Anderson dan Wellington, 2001). Streptomyces juga diketahui memiliki miselium udara yang tumbuh dipermukaan medium dengan bentuk spiral, panjang, pendek, atau membentuk seperti rantai spora. Hifa udara akan memecahkan tegangan permukaan medium sehingga hifa akan tumbuh keatas. Perkembangan hifa udara dikendalikan oleh pembelahan sel yang selanjutnya akan membentuk dinding spora yang tebal. Identifikasi isolat aktinomisetes dilakukan pada tingkat morfologi koloni dan sel. Parameter yang diamati meliputi ukuran, pigmentasi ke substrat, bentuk, permukaan, elevasi, margin, warna miselium aerial dan warna miselium substrat. Koloni aktinomisetes K-2C, K-3E, K-4B, K-10A, U2-7A, dan U3-3B diamati setiap hari. Pada umumnya pertumbuhan koloni mulai terjadi setelah inkubasi hari ke-2. Morfologi koloni yang berhasil diamati pada hari ke-11 tersaji pada Gambar 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi aktinomisetes yang memiliki miselium berwarna umumnya diperoleh dari serasah di bawah vegetasi mangrove. Hal ini menunjukkan bahwa serasah vegetasi mangrove merupakan tanah yang kaya akan bahan organik hasil pelapukan daun atau karena eksudat perakaran. Sebagai daerah estuarin, kawasan Segara Anakan mengalami pergerakan air pasang dan surut yang menyebabkan suatu kondisi yang tipikal. Hanya mikroorganisma dengan toleransi tinggi terhadap kebutuhan oksigen, temperatur, salinitas dan kelembaban yang selalu berubah yang mampu tetap menjaga survivalnya .
4
Prosiding Seminar Nasional
”Percepatan Desa Berdikari melalui Pemberdayaan Masyarakat dan Inovasi Teknologi” 20-21 November 2014 Purwokerto
[K-2C] Ukuran 6 mm, pigmentasi ke medium merah, bentuk irregular, permukaan powdery, elevasi convex, margin undulate, miselium aerial berwarna abu-abu, miselium substrat berwarna coklat.
[K-3E] Ukuran 6 mm, pigmentasi ke medium tidak ada, bentuk irregular, permukaan powdery, elevasi umbonate, margin undulate, miselium aerial berwarna abu-abu, miselium substrat berwarna coklat.
[K-4B] Ukuran 7 mm, pigmentasi ke medium merah, bentuk irregular, permukaan wringkled, elevasi crateriform, margin undulate, miselium aerial berwarna abu-abu, miselium substrat berwarna coklat.
[K-10A] Ukuran 3 mm, pigmentasi ke medium tidak ada, bentuk filamentous, permukaan velvety, elevasi umbonate, margin filamentous, miselium aerial berwarna ungu, miselium substrat berwarna ungu.
[U2-7A] Ukuran 6 mm, pigmentasi ke medium tidak ada, bentuk circular, permukaan smooth powdery, elevasi raised convex, margin undulate, miselium aerial berwarna putih, miselium substrat warna coklat abu-abu.
[U3-3B] Ukuran 5 mm, pigmentasi ke medium merah, bentuk irregular, permukaan rough, elevasi umbonate, margin undulate, miselium aerial berwarna abu-abu, miselium substrat berwarna coklat.
Gambar 1. Pengamatan koloni isolat aktinomisetes
5
Prosiding Seminar Nasional
”Percepatan Desa Berdikari melalui Pemberdayaan Masyarakat dan Inovasi Teknologi” 20-21 November 2014 Purwokerto
Hasil uji biokimia dari enam isolat K-2C, K-3E, K-4B, K-10A, U2-7A, dan U3-3B (Gambar 2) menunjukkan bahwa semua isolat aktinomisetes laut menunjukkan hasil positif kemampuan menghidrolisis amilum (amilolitik) dan CMC (selulolitik). Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya zona bening di sekitar isolat aktinomisetes dalam medium uji yang digunakan.
K2-C (+)
K-3E (+)
K-4B (+)
K-10A (+)
U2-7A (+)
U3-3B (+)
K2-C (+)
K-3E (+)
K-4B (+)
K-10A (+)
U2-7A (+)
U3-3B (+)
Gambar 2. Deretan atas: Uji positif hidrolisis amilum (amilolitik) ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening di sekitar isolat.; Deretan bawah: Uji positif hidrolisis CMC (selulolitik) ditunjukkan dengan adanya zona bening di sekitar isolat.
Enzim amilase tergolong enzim hidrolase yaitu enzim yang mengkatalisis reaksi hidrolisis pati (amilosa dan amilopektin) dan glikogen menjadi molekul-molekul sederhana seperti dekstrosa, maltosa dan glukosa. Enzim amilase dapat dihasilkan dari mikroorganisme prokariotik atau eukariotik. Enzim amilase dibagi menjadi dua kategori, endoamilase dan eksoamilase. Endoamilase mengkatalisis proses hidrolisis secara acak bagian dalam molekul amilum yang menghasilkan produk linier dan bercabang oligosakarida rantai panjang. Eksoamilase bertindak memutus satuan glukosa secara berturut-turut dari ujung tak mereduksi rantai substrat sehingga menghasilkan produk yang kecil (Reddy et al., 2003). Enzim selulase adalah enzim pendegradasi selulosa menjadi monosakaridanya. Enzim selulase merupakan enzim ekstraseluler yang terdiri dari tiga enzim hidrolitik yaitu endo β(1→4)-D-glukonase (endoglukonase, endoselulase, CMCase (E.C. 3.2.1.4)), ekso β(1→4)-D-glukonase (selobiohidrolase, eksoselulase, selulase mikrokristal, arilase (E.C. 3.2.1.91)), dan β(1→4)-glukosidase (selobiase (E.C. 3.2.1.21)). Enzim selulase yang merupakan suatu kompleks enzim, bekerja secara bertahap atau bersama-sama
6
Prosiding Seminar Nasional
”Percepatan Desa Berdikari melalui Pemberdayaan Masyarakat dan Inovasi Teknologi” 20-21 November 2014 Purwokerto
menguraikan selulosa menjadi unit glukosa (Bhat dan Bhat, 1997). Enzim selulase diproduksi oleh mikroorganisme selulolitik sebagai respons terhadap adanya selulosa pada substratnya (Retnoningtyas et.al., 2009). Pelepasan enzim-enzim ekstraseluler melalui dinding sel dalam bentuk tersimpan dalam vesikel yang dikirim dari badan golgi ke ujung hifa dan kemudian dikeluarkan ke lingkungan secara eksositosis (Wessels, 1990). Kusnadi et.al., (2009) telah melaporkan lima strain jamur Penicillium yang memiliki aktivitas enzim amilase dan selulase. Jamur tersebut diisolasi dari berbagai sampah organik di area Bandung utara. Empat strain Penicillium juga telah dilaporkan mampu mendegradasi serasah mangrove (Affandi et.al., 2001). Jamur pendegradasi serasah di lingkungan mangrove secara khusus masih sangat terbatas, terutama di Indonesia. Padahal keberadaan mikroba di lingkungan mangrove telah diketahui mempunyai peranan penting, diantaranya adalah sebagai mikroba pengurai serasah. Dekomposisi serasah mangrove merupakan proses penting dalam ekosistem berpran dalam regulasi unsur hara dan siklus karbon. Area hutan mangrove merupakan sumber bahan organik dari pelapukan dan penguraian serasah yang sangat bermanfaat bagi mikroorganisme heterotrof seperti aktinomisetes. Aktinomisetes laut yang diperoleh dari kawasan mangrove di Segara Anakan diduga mampu berperan sebagai pengurai bahan-bahan oganik. Oleh karena itu, kemampuan amillitik dan selulolitik dari enam isolat aktinomisetes, K-2C, K-3E, K-4B, K10A, U2-7A, dan U3-3B, akan memiliki prospek pengembangan dalam bidang industri karena mempunyai kemampuan dalam mendegradasi polimer karbohidrat serta berpotensi memproduksi enzim amilase dan selulase.
KESIMPULAN Enam isolat aktinomisetes laut (K-2C, K-3E, K-4B, K-10A, U2-7A, dan U3-3B) yang diisolasi dari Segara Anakan Cilacap menunjukkan hasil positif potensi amilolitik dan selulolitik.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dilakukan dengan dana penelitian Strategis Nasional Tahun 2014 dari Direktorat Pendidikan Tinggi, Kemdikbudnas, R.I.
7
Prosiding Seminar Nasional
”Percepatan Desa Berdikari melalui Pemberdayaan Masyarakat dan Inovasi Teknologi” 20-21 November 2014 Purwokerto
DAFTAR PUSTAKA Affandi, M. 2001. Diversitas dan Visualisasi Karakter Jamur yang Berasosiasi dengan proses degradasi Serasah di Lingkungan Mangrove. http://www.libunair.ac.id Diakses 31 Oktober 2014. Anderson, A. S. & E.M.H. Wellington. 2001. The Taxonomy of Streptomyces and Releated Genera. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology. 51: 797-814. Asnani, A., D. Ryandini. 2011, Screening of Marine Actinomycetes from Segara Anakan Indonesia for Antimicrobial Activity. Proceeding International Conference on Natural Sciences) ICONS 2011, Shaker Verlag, Germany; ISBN 978-3-8440-1403-7; ISSN 1434-5536. Bhat, M.K., dan S. Bhat. 1997. Cellulase Degrading Enzymes and their Potential Industrial Applications. Biotechnol. Adv. 15: 583-620. Khan, S.T., K. Motohashi, Kozonel. M. Takagi, & K. Shin-ya. 2010. Streptomyces Assosiated With A Marine Sponge Haliclona sp; Biosynthetic Genes for Secondary Metabolits and Product. Environmental Microbiology, 13(2): 391-403. Kusnadi, Saefudin, dan Astri Efrianti. 2009. Keanekaragaman Jamur Selulolitik dan Amilolitik Pengurai Sampah Organik dari Berbagai Substrat. Makalah PBI, Malang Miyadoh, S. 1997. Atlas of Actinomycetes. Asakura Publishing Co., Ltd., Japan Retnoningtyas, E.S., A. Wiharsono dan A. Wahyuni. 2009. Pengaruh Perlakuan Awal Substrat Tandan Pisang sebagai Media untuk Produksi Selulase. Makalah, Laboratorium Bioproses, Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya. Salma, S. dan L. Gunarto. 1999. Enzim Selulase dari Trichoderma spp, Jurnal Tinjauan Ilmiah Riset Biologi dan Bioteknologi Pertanian, 2 (2): 37-38, Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. Bogor. Sharma, M., 2014. Actinomycetes: Sources, Identification, and Their Applications. International Journal of Current Microbiology and Applied Sciences, 3(2): 801-832. Usha, R., P. Ananthaselvi, C.K. Venil, & M. Palaniswamy. 2010. Antimicrobial and Antiangiogenesis Activity of Streptomyces parvulus KUAP106 from Mangrove Soil. European Journal of Biological Sciences, 2(4): 77-83. Wessels, J.G.H. 1990. Role of the wall architecture in fungal tip growth. In: Tip Growth in Plant and Fungal Cells ( ed. I. B. Heath), pp. 1-29. Academic Press, New York. Yuwono, E., T.C. Jennerjahn, I. Nordhaus, E.A. Riyanto, M.H. Sastranegara, R. Pribadi. 2007. Ecological Status of Segara Anakan, Indonesia: A Mangrove-fringed Lagoon Affected by Human Activites. Asian Journal of Water, Environment and Pollution, Vol.4 (1), pp. 67-70.
8