ANALISIS PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN SUAKA ALAM (STUDI KASUS CAGAR ALAM TANGKOKO-DUASUDARA, SULAWESI UTARA)
SANDRA PONTONUWU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pengembangan Ekowisata di Kawasan Suaka Alam (Studi Kasus Cagar Alam TangkokoDuasudara, Sulawesi Utara) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2006
Sandra Pontonuwu NIM P052030291
ABSTRAK SANDRA PONTONUWU. Analisis Pengembangan Ekowisata di Kawasan Suaka Alam (Studi Kasus Cagar Alam Tangkoko-Duasudara, Sulawesi Utara). Dibimbing oleh ARIS MUNANDAR dan SOEHARTINI SEKARTJAKRARINI. Kegiatan ekowisata di Cagar Alam Tangkoko-Duasudara (CATDS) telah menimbulkan masalah yang kompleks, berkaitan dengan statusnya sebagai cagar alam sementara kegiatan ekowisata terus meningkat dan tidak mungkin untuk dihentikan. Untuk itu diperlukan tindakan kebijakan dalam merumuskan pengelolaan dan pengembangan ekowisata di CATDS. Metode yang digunakan adalah survei lapangan mengacu pada kriteria standar penilaian obyek dan daya tarik wisata alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawasan CATDS sangat potensial untuk pengembangan kegiatan ekowisata, dengan daya tarik obyek di CATDS, keunikan, dan endemisitas keanekaragaman flora dan fauna. Terdapat tiga jalur interpretasi yang potensial yaitu Jalur Lingkar; Jalur Puncak dan Jalur Kumeresot, dimana semua atraksi unik kawasan dapat dinikmati. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kebijakan dengan sistem zonasi menjadi pilihan pertama dalam rumusan pengembangan ekowisata di CATDS. Strategi yang perlu dilakukan adalah kerjasama dengan semua stakeholder dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan budaya, meningkatkan pelayanan; akomodasi; sarana dan prasarana untuk menunjang pengembangan yang berkelanjutan. Perencanaan pengembangan yang terintegrasi dengan prinsip pengelolaan co-management dari semua stakeholder juga harus dilakukan.
ABSTRACT SANDRA PONTONUWU. Ecotourism Development Analysis in Nature Sanctuaries Areas (A Case Study of Tangkoko-Duasudara Nature Reserve, North Sulawesi). Supervised by ARIS MUNANDAR and SOEHARTINI SEKARTJAKRARINI. Ecotourism operation in Tangkoko-Duasudara Nature Reserve (TDNR) has generated very complex problem due to its status as preservation area, while ecotourism activity increasing and was no longer possible to be discontinued. Therefore, a policy action formulating management and development of ecotourism in TDNR is needed. Field survey was used as a method concerning standard criterion assessment of objects and natural recreation fascination. Research result indicated that area of TDNR was high potency to be developed for ecotourism, with a lot of interesting objects within the TDNR, a unique and endemic biodiversity of flora and fauna. There are three potential interpretation paths i.e. Lingkar Path; Puncak Path and Kumeresot Path, where all unique attractions could be observed. It also indicated that policy zoning was become first order policy. Suggested strategies are cooperation among stakeholders in managing cultural and natural resources; improvement of service; improvement of accommodation; improvement of facilities and infrastructure to support going concern development. Planning of integrated development from all stakeholders with principles of co-management is also recommended.
© Hak cipta milik Sandra Pontonuwu, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
ANALISIS PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KAWASAN SUAKA ALAM (STUDI KASUS CAGAR ALAM TANGKOKO-DUASUDARA, SULAWESI UTARA)
SANDRA PONTONUWU
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
:
Analisis Pengembangan Ekowisata di Kawasan Suaka Alam (Studi Kasus Cagar Alam Tangkoko-Duasudara, Sulawesi Utara)
Nama
:
Sandra Pontonuwu
NIM
:
P052030291
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Aris Munandar, M.S. Ketua
Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi PSL
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Tanggal Ujian: 13 Januari 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Lulus:
PERSEMBAHAN
Karya ilmiah ini kupersembahkan buat Mama & Papa terima kasih doanya untuk keberhasilanku dalam menyelesaikan studi dan biarlah doa kalian selalu menyertaiku dalam mewujudkan impian kalian menjadi anak perempuan yang selalu memancarkan keindahan dan membawa damai dimanapun aku berada, seperti kata pemazmur: Anak-anak perempuan kita seperti tiang-tiang penjuru, yang dipahat untuk bangunan istana! (Mazmur 144:12). Kakak-kakakku: Reine & Math terima kasih untuk doa, kasih sayang, bantuan moril maupun materinya bagiku, tanpa kalian aku tidak dapat mewujudkan impianku. Ritha & Ferry; Robert & Altje; Rudy & Winnie, terima kasih untuk doa dan kasih sayangnya. Keponakanku: Stevie, Stephani, Nikita, Cendy, Olda dan Rafael, kalian semua adalah malaikat kecil bagiku, terima kasih untuk doa setiap hari buat keberhasilanku. Semoga karya ini menjadi pendorong bagi kalian untuk menggapai cita-cita setinggi langit.... Sahabat-sahabatku: Simon Awuy sahabatku yang terkasih terima kasih untuk doa, kasih sayang dan waktu yang diberikan buatku selama ini; Mapala Asteroida Fapet Unsrat (Romi, Chito, Maikel dan Roiyan) terima kasih atas doa dan dukungannya........VIVA Asteroida; PSL 2003/ganjil: Aini Muthmainah, Audy Supit, Triadi Lesmono terima kasih untuk persahabatan dan persaudaraan yang kalian berikan selama kuliah di PSL; Yaconias, Pak Luther, Pak Fikri dan Pak Hengky terima kasih selalu menjadi sumber inspirasi bagiku; Daud, Shinta, Theresa, Ibu Ida, Fauziah, Nur Indriyani, Wiwik, Arif, Pak Jemi, Pak Melky, Pak Saharin, Agustinus, Edward, Teguh, terima kasih telah memberi warna dalam hidupku.
Semoga kasih Kristus selalu menyertai kita dalam menggapai cita-cita, Amin.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan berkatNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Oktober 2005 memilih tema ekowisata, dengan judul Analisis Pengembangan Ekowisata di Kawasan Suaka Alam (Studi Kasus Cagar Alam Tangkoko-Duasudara). Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Aris Munandar, M.S. dan Ibu Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, M.Sc selaku pembimbing, serta WCS-IP Sulawesi dan BKSDA Sulawesi Utara atas bantuan selama penelitian. Penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh jagawana resort Batuputih, Pemerintah Kelurahan Batuputih, Big Antono (WCS-IP, Sulawesi), Andree Ekadinata (ICRAF), Noldi Kakauhe (KONTAK), serta Mapala Asteroida Fakultas Peternakan Unsrat Manado, yang telah membantu selama pengumpulan dan pengolahan data. Ungkapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada mama, papa, kakak-kakak, serta seluruh keluarga dan sahabat atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2005
Sandra Pontonuwu
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kotamobagu, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara pada tanggal 4 September 1976 sebagai anak bungsu dari pasangan Markus Max Pontonuwu dan Telly Liuw. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri I Kotamobagu dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado melalui Program Tumou Tou. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan UNSRAT, lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2001-2003, penulis bekerja di Wildlife Conservation SocietyIndonesian Programme (WCS-IP, Sulawesi). Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke program Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana IPB.
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH BKSDA
:
Balai Konservasi Sumberdaya Alam
CA
:
Cagar Alam
CATDS
:
Cagar Alam Tangkoko-Duasudara
HL
:
Hutan Lindung
KONTAK
:
Tangkoko Ecotourism Guides Club
LSM
:
Lembaga Swadaya Masyarakat
MPE
:
Metode Perbandingan Eksponensial
Pemkot
:
Pemerintah Kota
PHKA
:
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
SDA
:
Sumberdaya Alam.
SDM
:
Sumberdaya Manusia
SM
:
Suaka Margasatwa
Sulut
:
Sulawesi Utara
TB
:
Taman Buru
TN
:
Taman Nasional
TNBNW
:
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
TNL
:
Taman Nasional Laut
TWA
:
Taman Wisata Alam
Unsrat
:
Universitas Sam Ratulangi
WCS-IP
:
Wildlife Conservation Society-Indonesian Programme
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.............................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
x
I. PENDAHULUAN ......................................................................................
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
Latar Belakang ................................................................................... Tujuan Penelitian ............................................................................... Kerangka Pemikiran........................................................................... Perumusan Masalah ........................................................................... Manfaat Penelitian .............................................................................
1 2 3 3 5
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
6
2.1. 2.2. 2.3. 2.4.
Definisi dan Konsep Ekowisata ......................................................... Pengembangan Ekowisata ................................................................. Kawasan Suaka Alam ....................................................................... Peraturan-Peraturan dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi..........................................................................................
18
III. METODE PENELITIAN............................................................................
21
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian............................................................ 3.2. Metode Penelitian .............................................................................. 3.3. Analisis Data...................................................................................... 3.3.1. Analisis Penilaian Potensi...................................................... 3.3.2. Analisis Paket Kegiatan dan Analisis Sarana dan Prasarana . 3.3.3. Analisis Pengunjung .............................................................. 3.3.4. Analisis Stakeholder .............................................................. 3.3.5. Analisis Metode Perbandingan Eksponensial........................
21 21 23 23 23 23 24 25
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN...........................................
29
4.1. Keadaan Fisik..................................................................................... 4.2. Flora dan Fauna.................................................................................. 4.3. Masyarakat dan Penggunaan Lahan...................................................
29 30 33
vi
6 9
V. HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................
34
5.1. Penilaian Potensi Sumberdaya Ekowisata ......................................... 5.1.1. Potensi Sumberdaya Alam..................................................... 5.1.2. Potensi Sosial, Budaya dan Ekonomi .................................... 5.1.3. Potensi Pengunjung................................................................ 5.2. Analisis Stakeholder: Peranan dan Kepentingannya ......................... 5.3. Evaluasi Jalur Interpretasi.................................................................. 5.4. Evaluasi Alternatif Kebijakan............................................................ 5.5. Aplikasi dalam Rencana Pengembangan Ekowisata .........................
34 34 44 52 56 60 69 71
VI. KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
74
LAMPIRAN ......................................................................................................
79
vii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kriteria kawasan wisata ........................................................................... 11
2
Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan konservasi dan ekowisata........................................................................................... 19
3
Analisis stakeholder................................................................................. 24
4
Bobot kriteria penilaian jalur interpretasi ................................................ 26
5
Bobot kriteria penilaian alternatif kebijakan............................................ 27
6
Matriks MPE evaluasi jalur interpretasi .................................................. 27
7
Matriks MPE evaluasi alternatif kebijakan.............................................. 28
8
Tipe habitat di CA Tangkoko-Duasudara ................................................ 31
9
Hasil penilaian potensi sumberdaya ekowisata........................................ 35
10
Sarana dan prasarana di kawasan CA Tangkoko-Duasudara .................. 49
11
Analisis stakeholder: peranan dan kepentingannya................................. 57
12
Matriks potensi atraksi di jalur interpretasi ............................................. 61
13
Hasil evaluasi jalur interpretasi................................................................ 64
14
Urutan bobot kriteria penilaian alternatif kebijakan ................................ 69
15
Hasil evaluasi alternatif kebijakan ........................................................... 71
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bagan alir kerangka berfikir: tahapan dan proses penelitian ...................
4
2
Definisi ekowisata menurut Ziffer (1989) ...............................................
8
3
Peta lokasi penelitian ............................................................................... 22
4
Macaca nigra dan ternak babi .................................................................
36
5
Tarsius spectrum......................................................................................
37
6
Macaca nigra ...........................................................................................
37
7
Amorphophallus sp ..................................................................................
38
8
Beringin Lobang (Ficus altissima) ..........................................................
38
9
Pengunjung yang berkemah di dalam kawasan .......................................
40
10
Motor dan Macaca nigra .........................................................................
41
11
Sunrise dan rumah terapung di depan Pos 3 ............................................ 43
12
Kegiatan favorit yang dilakukan pengunjung di Pantai Tangkoko..........
44
13
Menara Pengintai Maleo dan lomba perahu nelayan...............................
47
14
Jenis transportasi darat dan laut ............................................................... 48
15
Pintu masuk utama kawasan CATDS dan TWA Batuputih ....................
49
16
Shelter di depan area camping ground.....................................................
49
17
Jumlah wisatawan asing sampai bulan Mei 2005 .................................... 53
18
Jumlah wisatawan asing tahun 1995 sampai tahun 1999.........................
53
19
Mobil dan motor yang diparkir di dalam kawasan ..................................
56
20
Peta jalur interpretasi yang dievaluasi ..................................................... 62
21
Peta Jalur Lingkar .................................................................................... 65
22
Peta Jalur Kumeresot dan Jalur Alang-alang ...........................................
23
Peta Jalur Puncak ..................................................................................... 67
ix
66
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Kawasan konservasi di Provinsi Sulawesi Utara .....................................
80
2
Wilayah kerja BKSDA Sulawesi Utara ...................................................
81
3
Tabel kriteria penilaian dan pengembangan obyek dan daya tarik wisata alam...............................................................................................
82
4
Daftar jenis vegetasi di CA Tangkoko-Duasudara ..................................
87
5
Daftar jenis burung di CA Tangkoko-Duasudara ....................................
92
6
Daftar jenis mamalia di CA Tangkoko-Duasudara..................................
98
7
Daftar jenis reptil di CA Tangkoko-Duasudara .......................................
99
8
Tabel hasil penilaian potensi sumberdaya ekowisata .............................. 100
8a
Obyek wisata darat................................................................................... 100
8b
Obyek wisata pantai................................................................................. 100
8c
Kondisi lingkungan sosial ekonomi......................................................... 100
8d
Pelayanan masyarakat.............................................................................. 100
8e
Kadar hubungan atau aksesibilitas........................................................... 101
8f
Akomodasi, sarana dan prasarana penunjang .......................................... 101
8g
Tersedianya air bersih .............................................................................. 101
8h
Hubungan obyek dengan obyek wisata lain dan keamanan..................... 101
9
Peta kawasan konservasi dan sebaran satwa liar di Minahasa, Manado dan Bitung................................................................................................ 102
10
Peta obyek wisata alam di Minahasa, Manado dan Bitung ..................... 103
x
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Ekowisata bagi negara-negara berkembang dipandang sebagai cara untuk
mengembangkan perekonomian dengan memanfaatkan kawasan-kawasan alami secara tidak konsumtif. Untuk itu ekowisata dapat menjadi sarana berguna bagi pengelolaan sumberdaya alam secara lestari, sebagai bagian dari model terpadu yang mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, sosial budaya dan pelestarian (Lee et al. 2001). Secara teori, ekowisata dapat membantu pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan (Jacobson 1994), yang kemudian dapat menjadi solusi ideal untuk menggabungkan tujuan dari pembangunan dan konservasi (Kinnaird & O’Brien 1996). Dalam usaha untuk menggabungkan tujuan tersebut, Indonesia seperti negara maju lainnya mulai mengembangkan ekowisata (Ruschmann 1992; Giannecchini 1993; Weber 1993; Kinnaird & O’Brien 1996). Cagar Alam Tangkoko-Duasudara (CATDS) salah satu contoh yang sangat nyata dari kawasan lindung di Indonesia yang mengalami pertumbuhan sangat dramatis dalam ekowisata (Kinnaird & O’Brien 1996). Pengelolaan ekowisata di kawasan lindung di Sulawesi Utara (Sulut) ratarata kurang baik; dari potensinya, finansial, pendidikan dan promosi diperkirakan tidak ada (Lee et al. 2001). Saat ini ekowisata terpusat di tiga kawasan lindung di Sulut, yaitu CATDS, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) dan Taman Nasional Laut (TNL) Bunaken. Karena keunikannya CATDS banyak mendapat perhatian peneliti dan wisatawan, kegiatan wisata asing mulai populer pada tahun 80-an. Mackinnon J dan Mackinnon K (1980) mencatat hanya 50 wisatawan asing mengunjungi Tangkoko pada tahun 1978. Tahun 1990 jumlah wisatawan meningkat sampai 643 orang, dan akan terus meningkat (Kinaird & O’Brien 1996). Pengalokasian sebagian kawasan hutan sebagai kawasan suaka alam merupakan langkah awal dalam upaya konservasi sumberdaya alam yang terintegrasi dalam strategi konservasi sumberdaya alam dunia, yaitu perlindungan sistem penyanggah kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa dan ekosistemnya serta pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
2
secara lestari dan berkesinambungan (PHKA 1995). Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah terus berusaha menjaga agar fungsi kawasan CATDS sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya juga sebagai wilayah sistem penyanggah kehidupan tetap terjaga. Menurut UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Cagar Alam (CA) adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Kegiatan ekowisata di CATDS telah mengubah pemahaman masyarakat lokal tentang fungsi kawasan. Masyarakat melihat wisatawan memasuki kawasan, sementara berulangkali disampaikan bahwa berdasarkan fungsi kawasan sebagai CA maka mereka tidak boleh masuk. Sementara itu Pemerintah Kota (Pemkot) Bitung melihat bahwa CATDS adalah sumberdaya yang tidak memberikan kontribusi apapun bagi daerah, karena CATDS tidak dapat dikelola secara langsung oleh Pemkot untuk mendapatkan pemasukan bagi daerah maupun bagi masyarakat sekitar kawasan. Banyaknya tekanan dan masalah yang dihadapi membuktikan bahwa status Tangkoko-Duasudara sebagai CA tidak menjamin kelestarian kawasan itu sendiri. Adanya opini yang berkembang di masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan para peneliti yang mempertanyakan apakah status kawasan Tangkoko-Duasudara masih sesuai dengan keadaannya saat ini atau apakah harus diubah menjadi Taman Nasional (TN) sebagai sister park TNL Bunaken untuk mengatasi semua permasalahan yang dihadapi, terutama masalah kegiatan ekowisata.
1.2.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah 1
Menganalisis dan memetakan potensi ekowisata di Cagar Alam Tangkoko-Duasudara.
2
Merumuskan rencana pengembangan ekowisata yang sesuai dengan potensi, permintaan, tujuan pengelolaan, rencana pembangunan daerah sekitarnya dan status kawasan.
3
1.3.
Kerangka Pemikiran Kegiatan ekowisata pada akhirnya memang tidak bisa terlepas dari dampak
yang dapat ditimbulkan baik positif maupun negatif, sampai pada ambang batas tertentu dimana dampak yang terjadi sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Lebih baik untuk menentukan bagaimana ekowisata memberikan pengaruh pada setiap faktor secara relevan (biofisik, sosial budaya dan ekonomis) dan kemudian bergerak pada satu nilai keputusan hingga sampai berapa banyak perubahan dari masing-masing parameter tersebut dapat dipertimbangkan untuk diterima oleh kawasan dan masyarakat lokal. Adanya perubahan penggunaan dan fungsi CATDS akibat dari kebijakan masing-masing stakeholder yang pada akhirnya menimbulkan konflik karena perbedaan kepentingan dan persepsi tentang batas-batas kewenangan. Untuk mengatasinya diperlukan tindakan kebijakan dalam pengelolaan ekowisata di CATDS. Dalam pengelolaan ekowisata yang berkelanjutan, langkah-langkah penting yang harus dipersiapkan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya dampak negatif adalah dengan melakukan kerja sama antara stakeholder seperti masyarakat lokal, pemerintah, swasta dan pihak-pihak lain yang terkait. Penelitian ini memadukan aspek biofisik, sosial budaya dan ekonomi serta stakeholder dalam menganalisis pengembangan ekowisata. Gambar 1 menunjukkan kerangka berfikir: tahapan dan proses dalam melaksanakan penelitian.
1.4.
Perumusan Masalah Permasalahan yang dihadapi CATDS sangat kompleks, ada kegiatan wisata
dengan status tidak resmi dan pemerintah kesulitan membuat peraturannya. Taman wisata alam (TWA) Batuputih dengan luas 615 ha ditetapkan berdasarkan KEPMENTAN No. 1049 Tahun 1981, niatnya jelas untuk pariwisata tetapi karena tidak disertai dengan rencana pengelolaan, kegiatan wisata akhirnya tumbuh secara alamiah dan berpotensi menjadi ancaman bagi kawasan CA. Kawasan TWA yang disediakan tidak layak untuk dijual, “Taman Wisata Batuputih hanya alang-alang. Tidak ada satwa disitu” (NRM 2002).
Perumusan Tujuan
Formulasi Kebijakan dan
Survei dan Analisis
Rekomendasi
Rencana Rumusan Akhir Tujuan Pengembangan
BIOFISIK Geografi, Topografi, Geologi, Tanah, Iklim dan Gejala Alam Flora & Fauna
Analisis Penilaian Potensi
Jalur Interpretasi
Evaluasi Jalur Interpretasi
Objek & Daya tarik Pengunjung Manfaat Ekowisata yg optimal
Tujuan-tujuan Pengembangan
Analisis Karakteristik Alternatif Kebijakan
Evaluasi Alternatif Kebijakan
SOSBUD & EKONOMI Penduduk (sosial) Budaya Sarana Penunjang
Analisis Sarana & Prasarana
Ekonomi Kebijakan & Rencana Pengelolaan Kawasan
Analisis Paket Kegiatan
Stakeholder
Analisis Stakeholder
4
Umpan Balik
Gambar 1 Bagan alir kerangka berfikir: tahapan dan proses penelitian.
5
Dengan segala kekayaan dan keunikannya, CATDS sangat potensial bagi kegiatan ekowisata, namun sangat disayangkan kegiatan ekowisata di kawasan ini tidak dikelola dengan baik dan sangat potensial bagi dampak negatif serta hilangnya pendapatan yang besar (Kinnaird & O”Brien 1996). Hal ini terjadi karena tidak adanya batas kegiatan ekowisata yang jelas antara TWA Batuputih dan CATDS, sementara itu kegiatan ekowisata di CATDS terus meningkat. Hal ini memperjelas masalah yang dihadapi CATDS bahwa ada permintaan akan kegiatan ekowisata yang tinggi, didukung oleh obyek yang dapat dijual tetapi dibatasi oleh status kawasan sebagai CA. Untuk menganalisis kegiatan ekowisata di CATDS diperlukan identifikasi dan inventarisasi obyek wisata dan faktor-faktor pendukungnya yaitu biofisik, sosial budaya dan ekonomis yang disesuaikan dengan potensi, permintaan, tujuan pengelolaan, rencana pembangunan daerah sekitarnya dan yang lebih penting lagi status kawasan. Dengan demikian diharapkan manfaat ekowisata di kawasan dapat diperoleh secara optimal, yaitu secara sosial ekonomis memberikan keuntungan dan secara ekologis kawasan CATDS tetap lestari. Analisis pengembangan ekowisata di CATDS diharapkan dapat menjadi masukan penting dalam menentukan pemecahan masalah yang dihadapi CATDS. Dengan dukungan semua pemangku kepentingan (stakeholder) maka hasil yang diperoleh nanti dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam menetapkan kebijakan rencana pengelolaan dan pelestarian kawasan CATDS.
1.5.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah 1
Memberikan masukan dan bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan dalam pengelolaan ekowisata di CATDS.
2
Meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan dan pelestarian kawasan
3
Memberikan alternatif bentuk pengelolaan ekowisata yang secara ekonomis menguntungkan dan secara ekologis kawasan tetap lestari.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Definisi dan Konsep Ekowisata Definisi dan konsep ekowisata masih terus menjadi bahan diskusi di dunia
internasional, bahkan ada yang menyatakan bahwa “ekowisata adalah sebuah konsep yang menggabungkan teori konservasi moderen dengan pembuatan uang” (Ziffer 1989), dimana kapitalis dan konservasi bergabung memperjuangkan hal yang sama yaitu pelestarian hidupan liar untuk mendapatkan keuntungan. Penelitian-penelitian tentang pariwisata sejak tahun 1980 telah mengarah pada
pariwisata
yang
bertanggung
jawab,
ramah
lingkungan
serta
mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal, hal ini biasa disebut sebagai pariwisata alternatif (Krippendorf 1982 dalam Fennell 1999). Sebagai bagian dari kegiatan pariwisata, akar ekowisata terletak pada wisata alam (Priskin 2001). Istilah ekowisata mulai diperkenalkan pada tahun 1987 oleh Hector CeballosLascurain, setelah itu beberapa pakar mendefinisikan ekowisata yang masingmasing meninjau dari sudut pandang berbeda (Fennell 1999). Ekowisata umumnya didefinisikan sebagai perjalanan ke daerah yang masih alami untuk menikmati pemandangan dan hidupan liar (Boo 1990; Jacobson 1994), dengan asumsi bahwa sedikit atau tidak menimbulkan dampak pada lingkungan dan memberikan manfaat secara ekonomi dengan mempertahankan keutuhan budaya masyarakat setempat (Kinnaird & O’Brien 1996; Fandeli 2000a). Ekowisata merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial yang diberi batasan sebagai kegiatan yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal serta bagi kelestarian sumberdaya dan keberlanjutannya (Fandeli 2000b). Ekowisata merupakan pariwisata alternatif dalam dunia perjalanan dan konservasi (Western 1993 dalam Lindberg 1993). Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi, oleh karena itu ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab (Fandeli 2000a). Para
konservasionis
melihat
ekowisata
sebagai
kegiatan
yang
mampu
meningkatkan kemampuan finansial dalam kegiatan konservasi dan meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya upaya-upaya konservasi, sedangkan para
7
ilmuwan melihat ekowisata dapat mendukung dan melindungi lingkungan alami pada suatu kawasan konservasi serta diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan flora dan fauna (Adhikerana 1999). Banyak orang menganggap bahwa ekowisata merupakan kesempatan untuk menghasilkan pendapatan dan lapangan pekerjaan di daerah-daerah yang masih alami, tetapi sedikit sekali uang dari pendapatan yang kembali ke tempat tersebut (Lindberg 1991; Boo 1990). Pembagian hasil dari keuntungan wisata dapat mengurangi konflik antara institusi pengelolaan kawasan dengan masyarakat lokal dan meningkatkan partisipasi lokal dalam pengelolaan kawasan (Archabald & Treves 2001). Teorinya, meningkatkan pariwisata di negara-negara berkembang dapat meningkatkan pendapatan lokal. Pendapatan lokal yang tinggi dapat menyumbangkan insentif untuk konservasi (Taylor et al. 2003; Wunder 2000), karena pendapatan wisata lokal sasarannya adalah mereka sendiri dan sebagai instrumen untuk konservasi (Wunder 2000). Menurut Ziffer (1989) relevansi dari ekowisata terletak pada tiga hal, yaitu 1
Ekowisata dapat memajukan dan membiayai konservasi,
2
Ekowisata dapat memajukan dan membiayai pembangunan ekonomi, dan
3
Ekowisata dapat menghancurkan sumberdaya alam yang dilindungi. Batasan Ekowisata secara nasional dirumuskan oleh Kantor Menteri Negara
Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia dalam rencana strategis ekowisata nasional adalah suatu “konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan berbasis pemanfaatan
lingkungan
untuk
perlindungan,
berintikan
partisipasi
aktif
masyarakat, dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah dan diberlakukan bagi kawasan lindung; kawasan terbuka; kawasan alam binaan serta kawasan budaya” (Sekartjakrarini 2004). Banyaknya definisi ekowisata menunjukkan bahwa ekowisata sebenarnya masih merupakan suatu konsep yang akan terus berkembang. Menurut Ziffer (1989) lebih kurang ada 10 istilah dengan banyak variasi yang sering dipakai dalam ekowisata, substansi istilah tersebut berbeda dan terpisah. Kategori istilah ada yang bersifat deskripsi seperti ekspresi dari perjalanan-alam dan perjalanan petualangan, segmen wisata ini berbasis pada aktivitas dimana wisatawan berpartisipasi selama
8
kunjungan mereka. Kategori istilah yang lain berbasis nilai seperti wisata yang bertanggung jawab, perjalanan yang beretika, yang menekankan kebutuhan untuk mempertimbangkan pendekatan dan dampak perjalanan tanpa mempengaruhi aktivitas wisata. Definisi secara penuh dari konsep ekowisata (Gambar 2) harus meliputi motivasi, tingkah laku, dampak dan keuntungan yang diperoleh (Ziffer 1989).
DESKRIPSI/AKSI
NILAI
Wisata berbasis alam Wisata sejarah alam Perjalanan budaya Perjalanan petualangan Perjalanan pengalaman Perjalanan menambah nilai/pendidikan
Wisata alternatif Wisata yang bertanggung jawab Perjalanan etika
EKOWISATA
PENDEKATAN BERENCANA
MOTIVASI TINGKAH LAKU DAMPAK KEUNTUNGAN
Gambar 2 Definisi ekowisata menurut Ziffer (1989). Secara konseptual ekowisata adalah suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Supriatna et al. 2000).
9
2.2.
Pengembangan Ekowisata Sebagai alat pembangunan, ekowisata dapat mewujudkan tiga tujuan dasar
dari konservasi keanekaragaman hayati (UNEP 2003), yaitu 1
Melindungi keanekaragaman hayati dan budaya dengan penguatan sistem manajemen kawasan lindung (umum atau privat) dan meningkatkan nilai ekosistem.
2
Mendukung penggunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dengan menaikkan pendapatan, pekerjaan dan kesempatan berusaha dalam ekowisata dan jaringan usaha yang relevan.
3
Membagi keuntungan pengembangan ekowisata dengan masyarakat lokal, melalui partisipasi aktif dalam perencanaan dan pengelolaan dari kegiatan ekowisata. Dengan menyalurkan keuntungan wisata untuk masyarakat lokal, para
konservasionis berharap dapat membangun sikap masyarakat lokal untuk mendukung konservasi dan dapat mengimbangi biaya-biaya pelestarian (Archabald & Treves 2001). Harus disadari bahwa walaupun ekowisata dapat menjadi alat berharga untuk melestarikan keanekaragaman hayati, juga mempunyai dampak negatif yang lama terhadap lingkungan (ekologis), satwa liar dan masyarakat lokal jika pengelolaannya kurang tepat (Kinnaird & O’Brien 1996). Beberapa bahaya tertentu dapat timbul dari kegiatan ekowisata yang tidak dibatasi seperti masalah kesenjangan ekonomi dan perselisihan diantara anggota masyarakat, konflik budaya antara wisatawan dan masyarakat lokal dan gangguan ekologis yang seringkali tidak disadari oleh masyarakat. Pengelolaan hutan untuk ekowisata merupakan pilihan yang prospektif (Fandeli 2000b), hal ini dilihat dari perubahan yang terjadi pada kurun waktu dua dekade terakhir ini yaitu telah terjadi pergeseran dari mass tourism ke customized tourism. Ekowisata dapat dikembangkan di kawasan hutan produksi; hutan lindung dan hutan konservasi, juga di desa-desa yang mempunyai kekhasan/keunikan. Ada empat prinsip yang harus menjadi pegangan dalam pengembangan hutan untuk ekowisata yaitu konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat dan ekonomi (Ridwan 2000).
10
Ketersediaan dan kualitas komponen produk wisata sangat ditentukan oleh kesiapan para pelaku wisata yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Keberhasilan dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata merupakan hasil kerja sama antara stakeholder, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat (Spoule 1996 dalam Fennell 1999). Menurut Fennel (1999) ada delapan prinsip untuk membangun kemitraan antara stakeholder. Prinsip tersebut adalah 1
Berdasarkan budaya masyarakat lokal.
2
Memberikan tanggung jawab kepada masyarakat lokal.
3
Mempertimbangkan untuk mengembalikan kepemilikan daerah yang dilindungi kepada penduduk asli.
4
Memberikan insentif kepada masyarakat lokal.
5
Mengaitkan program pembangunan dari pemerintah dengan daerah yang dilindungi.
6
Memberikan prioritas kepada masyarakat dengan skala kecil.
7
Melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan.
8
Mempunyai keberanian untuk melakukan pelarangan.
Tempat Tujuan Ekowisata Tempat tujuan wisata merupakan elemen yang penting karena tempat tujuan tersebut umumnya merupakan alasan utama bagi wisatawan untuk berkunjung (Cooper et al. 1993), jadi keadaan di tempat tujuan wisata seperti atraksi wisata, fasilitas, aksesibilitas, pelayanan dan keamanan akan sangat mempengaruhi jumlah pengunjung.
World
Tourism
Organisation
(WTO)
dan
United
Nation
Environmental Programme (UNEP) menetapkan kriteria-kriteria untuk suatu kawasan ekowisata (Tabel 1), kriteria-kriteria tersebut merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan lokasi tujuan ekowisata (Stecker 1996). Dalam pengembangan dan pengelolaan ekowisata sangat penting untuk mengetahui segmen pasar atau sisi permintaan dari ekowisata. Segmen pasar dari ekowisata dipengaruhi oleh faktor-faktor keadaan sosio-demografi, karakteristik dalam perjalanan, motivasi dan pengalaman pengunjung. Pengunjung yang memiliki kebutuhan tertentu, akan memilih tujuan wisata tertentu pula.
11
Tabel 1 Kriteria kawasan wisata No Kriteria 1 Kekhasan atraksi alam (Flagship attraction): tipe hutan, sungai, danau - keanekaragaman hayati - keunikan spesies tertentu kemudahan mengamati flora dan fauna 2 Atraksi pendukung/pelengkap: berenang (air terjun, sungai, pantai)- kegiatan olahraga (jalan kaki, memancing, mendayung) - budaya lokal (kesenian, kebiasaan-kebiasaan tradisional) peninggalan sejarah 3 Aksesibilitas dan Infrastruktur: jarak ke bandara international atau pusat-pusat wisata - akses (jalan raya, jalan kereta api, penerbangan, pelabuhan) - fasilitas kesehatan - komunikasi yang memadai 5 Iklim: cuaca yang mendukung kegiatan rekreasi - banyaknya curah hujan dan distribusinya 6 Kondisi politik dan sosial: adanya stabilitas sosial politik terjaminnnya keamanan pengunjung – pengunjung dapat diterima oleh masyarakat lokal Sumber: WTO/UNEP dalam Stecker (1996).
Kusler (1991) dalam Fennell (1999) mengklasifikasikan ekoturis berdasarkan tujuan wisata, pengalaman yang diinginkan dan dinamika kelompok. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut 1
Ekoturis mandiri adalah orang-orang yang melakukan perjalanan secara individual, tinggal di berbagai tipe akomodasi yang berbeda-beda dan mempunyai mobilitas untuk mengunjungi berbagai tujuan wisata. Pengalaman mereka sangat fleksibel dan merupakan persentase terbesar dari semua ekoturis.
2
Ekoturis dalam tur adalah orang-orang yang melakukan perjalanan dalam kelompok dan mengunjungi objek wisata eksotik.
3
Kelompok ahli atau akademisi adalah orang-orang yang biasanya terlibat dalam penelitian baik sebagai individu maupun kelompok. Pada umumnya mereka tinggal di suatu tempat dalam jangka waktu cukup panjang dan lebih bersedia mengalami kondisi kesusahan dibandingkan ekoturis yang lain.
12
Lindberg (1991) mengklasifikasikan ekoturis berdasarkan pada dedikasi, waktu, tujuan dari perjalanan, tempat dan cara melakukan perjalanan yang dibagi dalam empat kelompok. 1
Hard-Core Nature Tourist: para ilmuwan/peneliti.
2
Dedicated Nature Tourist: ekoturis yang ingin mengetahui tentang budaya masyarakat atau tempat-tempat yang dilindungi (cagar alam).
3
Mainstream Nature Tourist: ekoturis yang menghendaki tempat-tempat spesifik seperti cagar alam.
4
Casual Nature Tourist: ekoturis yang datang sekali-sekali ke tempat-tempat yang alami .
Hard-core dan dedicated nature tourist tidak membutuhkan akomodasi yang lengkap, berbeda dengan mainstream dan casual nature tourist dimana tingkat pelayanan dan akomodasi harus disiapkan lebih baik. The Ecotourism Society (Eplerwood 1999 dalam Fandeli 2000a) menyatakan ada delapan prinsip dalam kegiatan ekowisata. 1
Mencegah dan menanggulangi aktivitas pengunjung yang mengganggu alam dan budaya.
2
Pendidikan konservasi lingkungan.
3
Pendapatan langsung untuk kawasan.
4
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan.
5
Meningkatkan penghasilan masyarakat.
6
Menjaga keharmonisan dengan alam.
7
Menjaga daya dukung lingkungan.
8
Meningkatkan devisa buat pemerintah. Pengembangan ekowisata melibatkan berbagai pihak seperti pengunjung,
sumberdaya alam, pengelola, masyarakat lokal, kalangan bisnis termasuk biro perjalanan (tour operator), pemerintah, LSM, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya pengembangan ekowisata yang baik merupakan simbiosis antara konservasi dan pembangunan, namun kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara pelaku ekowisata bisa terjadi (Lindberg et al. 1997 dalam Nugraheni 2002).
13
Kegiatan yang berdasarkan prinsip ekowisata tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi kegiatan ekowisata di berbagai objek ekowisata. Usaha evaluasi kegiatan ekowisata telah banyak dilakukan dengan berbagai metode evaluasi, diantaranya yang dikembangkan oleh Wallace dan Pierce (1996) dengan enam kriteria utama evaluasi. 1
Berusaha meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.
2
Meningkatkan kesadaran dan pemahaman sistem alam dan budaya setempat serta keterlibatan pengunjung terhadap berbagai aspek yang mempengaruhi sistem tersebut.
3
Berkontribusi terhadap konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang dilindungi.
4
Memaksimalkan partisipasi masyarakat lokal sejak awal dan dalam jangka panjang dalam proses pengambilan keputusan tentang jenis dan jumlah wisata yang ada.
5
Memberikan keuntungan ekonomis dan yang lainnya kepada masyarakat lokal yang melengkapi dan tidak menggantikan jenis mata pencaharian tradisional.
6
Menyediakan kesempatan bagi masyarakat lokal dan karyawan ekowisata untuk mengunjungi dan belajar lebih banyak tentang keindahan alam dan obyek wisata yang menjadi daya tarik pengunjung. Keenam kriteria utama tersebut dijabarkan dalam bentuk kriteria
operasional praktis dan telah dipraktekkan untuk mengevaluasi beberapa obyek ekowisata seperti Amazon, Brazil (Wallace & Pierce 1996). Para peneliti lain melakukan evaluasi kegiatan ekowisata dengan kriteria sejenis dengan berbagai macam penekanan yang berbeda, seperti penekanan pada segi konservasi. Peranan masyarakat lokal harus dipertimbangkan karena mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem, sekaligus adalah pelaku yang berhak mengambil keputusan. Dalam prinsip ekowisata yang telah diterima secara umum, ekowisata berorientasi lokal dan melibatkan masyarakat lokal (Fennell 1999). Ekowisata harus bermanfaat bagi masyarakat lokal melalui keterlibatan aktif secara sosial ekonomi (Ceballos-Lascurain 1993) dan memaksimalkan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan sejak awal secara jangka panjang.
14
Partisipasi dan peran serta masyarakat lokal adalah salah satu alternatif untuk memperlambat hilangnya nilai-nilai keragaman biologi di bumi ini (Carlson 2001). Kedatangan pihak luar lebih cenderung memisahkan masyarakat lokal dengan hutan dan sebaliknya melakukan monopoli hutan, hal ini menyebabkan masyarakat mengalami disintegrasi hubungan dengan hutan yang selama ini telah menghidupi mereka (Liswanti 2004). Perencanaan dan pengelolaan ekowisata yang baik dapat menjadi salah satu alat yang paling efektif untuk konservasi keanekaragaman hayati dalam jangka panjang dengan keadaan yang mendukung seperti kondisi pasar, manajemen di tingkat lokal dan hubungan yang harmonis antara pengembangan ekowisata dengan konservasi (UNEP 2003).
2.3.
Kawasan Suaka Alam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, menjabarkan
pengertian hutan dan klasifikasinya. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan ditetapkan berdasarkan fungsi pokok sebagai (1) hutan konservasi, (2) hutan lindung (HL), dan (3) hutan produksi (PHKA 2005a). Kawasan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang terdiri dari 1
Kawasan Hutan Suaka Alam: hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyanggah kehidupan.
2
Kawasan Hutan Pelestarian Alam; hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyanggah kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
3
Taman Buru (TB): hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.
15
Ketentuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan Ekosistemnya, kawasan konservasi diklasifikasikan sebagai berikut 1
Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyanggah kehidupan, yang mencakup: -
Kawasan Cagar Alam: yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
-
Kawasan Suaka Margasatwa (SM): mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
2
Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyanggah kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang mencakup: -
Kawasan Taman Nasional: mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
-
Kawasan Taman Wisata Alam: dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.
-
Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura): dengan tujuan untuk koleksi tumbuhan dan satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian; ilmu pengetahuan; pendidikan; menunjang budidaya; budaya; pariwisata dan rekreasi.
Pada tahun 1980, Commission on National Parks and Protected Areas (CNPPA) dan The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) menyusun daftar kawasan yang dilindungi berdasarkan kriteria pengelolaan konservasi, dimana Indonesia ikut menerima kriteria tersebut (Daryadi
16
1999 dalam Fandeli 2000c). Semua kawasan tersebut dapat dikembangkan untuk ekowisata (Fandeli 2000c). 1
Scientific Reserve/Strict Nature Reserve (Cagar Alam/Cagar Ilmiah).
2
National Parks/Provincial Parks (Taman Nasional/Taman Provinsi).
3
Natural Monuments/Natural Landmarks (Monumen Alam/Landmark Alam).
4
Nature Conservation Reserve/Managed Nature Reserves/Wildlife Sanctuaries (Suaka Margasatwa).
5
Protected Landscape (Bentang Alam Dilindungi).
6
Resource Reserve (Cagar Sumberdaya).
7
Anthropological Reserve/Natural Biotic Reserve (Cagar Budaya/Kawasan Biotis Alam).
8
Multiple
Use
Managemen
Area/Managed
Resource
Areas
(Kawasan
Pengelolaan Manfaat Ganda/Kawasan Sumberdaya Dikelola). 9
Biosphere Reserve (Cagar Biosfir).
10 World Heritage Sites (Taman Warisan Dunia). Kawasan CA dan TWA dikelola oleh pemerintah berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial budaya. Rencana pengelolaannya sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan. Upaya pengawetannya dilaksanakan dalam bentuk kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan serta penelitian dan pengembangan yang menunjang pengawetan (PHKA 2005b). Wilayah Sulut memiliki 10 kawasan konservasi yang terdiri dari CA Gunung Ambang (yang diperluas pada tahun 1984), CA Gunung Tangkoko dan CA Gunung Duasudara (yang lebih dikenal dengan nama Cagar Alam Tangkoko-Duasudara), CA Gunung Lokon, SM Gunung Manembo-Nembo, SM Karakelang Utara dan Selatan, TNBNW, TWA Batuangus, TWA Batuputih dan TNL Bunaken (Lampiran 1). Kawasan suaka alam khususnya CATDS berada di bawah Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulut. Wilayah kerja BKSDA Sulut sampai saat ini masih meliputi dua provinsi yaitu Sulut dan Gorontalo (lampiran 2).
17
Deskripsi Cagar Alam Tangkoko-Duasudara (CATDS) Kawasan yang terkenal sejak masa Wallace (1859) karena kelimpahan dan keunikan hidupan liarnya (Kinnaird & O’Brien 1997), yang pada awalnya ditetapkan sebagai Monumen Alam Tangkoko pada tahun 1919 (GB No. 6 STBL 1919 Tgl. 12 Feb) seluas 3.196 ha oleh pemerintah Belanda dan pada tahun 1942 ditetapkan sebagai CA oleh The Nature Protection Ordinance. Setelah kemerdekaan kawasan ini dipertahankan sebagai CA (Kinaird & O’Brien 1996), dan diklasifikasikan sebagai hutan hujan dataran rendah (IUCN 1991). Pada tahun 1978 kawasan CA Duasudara ditetapkan seluas 4.299 ha (KEPMENTAN 700/1978)1. Sejak saat itu kedua kawasan ini disatukan dengan nama Cagar Alam Tangkoko-Duasudara, tetapi lebih dikenal dengan nama CA Tangkoko dengan pintu masuk utama kawasan di wilayah Batuputih. Kawasan CATDS adalah tonggak sejarah pelestarian di Sulawesi Bagian Utara (Sulut dan Gorontalo) dengan tujuan untuk menjadikannya sebagai laboratorium alam, sehingga sampai saat ini CATDS disebut oleh masyarakat sekitarnya sebagai “Tanah Larangan” (NRM 2002). Proyek konservasi pertama dilakukan oleh John dan Kathleen Mackinnon pada akhir tahun 1970 (Lee et al. 1999), setelah itu Tangkoko mulai dikenal oleh para peneliti dan dunia internasional. Untuk memfasilitasi kegiatan wisata yang berlangsung di kawasan maka pemerintah menetapkan TWA Batuputih seluas 615 ha berada di Kecamatan Bitung Utara dan TWA Batuangus seluas 635 ha di Kecamatan Bitung Timur (KEPMENTAN 1049/KPTS/UM/1981, Tgl. 21 Desember)2. Kedua TWA ini berbatasan langsung dengan kawasan CA, tetapi usaha tersebut tidak dapat mengatasi masalah kegiatan ekowisata di CATDS. Kawasan CATDS dapat diakses dari laut dan dari semua desa di perbatasannya melalui jalan darat (Kinnaird & O’Brien 1997; Lee et al. 1999), dengan jarak lebih kurang 60 km dari Kota Manado dan lebih kurang 20 km dari Kota Bitung. Dari Kota Manado melalui jalan darat memerlukan waktu lebih kurang 120 menit dan dari Kota Bitung dapat ditempuh lebih kurang 70 menit. Melalui jalur laut dengan menggunakan perahu motor 2 x 40 Pk dapat ditempuh 1 2
BKSDA Sulut (2004). ibid
18
dalam waktu lebih kurang 90 menit dari pantai Bitung ke pantai Batuputih. Di dalam kawasan CA dapat dilakukan kegiatan pariwisata secara terbatas seperti menikmati panorama alam dan hidupan liar (BKSDA Sulut 1998).
2.4.
Peraturan-Peraturan dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi Sejumlah hukum dan kebijakan untuk melindungi kawasan dan spesies
telah ditetapkan (Lee et al. 2001). Menurut Sembiring et al. (1999) peraturanperaturan perundangan tersebut dapat dimasukkan dalam dua kategori berikut ini 1
Peraturan perundang-undangan yang langsung mengatur tentang pengelolaan kawasan konservasi.
2
Peraturan yang secara tidak langsung mengatur atau terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi, termasuk didalamnya peraturan-peraturan pokok sektor sumberdaya alam. Peraturan-peraturan tersebut memiliki hubungan dan memberikan implikasi pada pengelolaan konservasi. Sampai tahun 2003 jumlah kawasan pelestarian alam yang boleh
dimanfaatkan untuk pariwisata tercatat sebanyak 160 lokasi masing-masing TN 41 lokasi, Tahura 17 lokasi dan TWA 102 lokasi (Dephut 2003 dalam Sekartjakrarini 2004). Dari segi kebijakan, untuk mendukung komitmen mengintensifkan penerapan konsep ekowisata dalam pembangunan pariwisata nasional, pemerintah melalui sektor-sektor terkait telah mengeluarkan sejumlah kebijakan operasional-teknis3, diantaranya 1
Pedoman Pengembangan Pariwisata Alam di TN, TWA, HL, SM, TB dan Hutan Produksi (2001 dan 1999)
2
Standar dan Kriteria Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam (2001)
3
Standar dan Kriteria Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam (2001)
4
Pedoman Pengembangan Ekowisata (1998)
5
Pedoman Pengembangan Wisata Minat Khusus (2001)
6
Pedoman Pariwisata di Pulau-pulau Kecil (2003)
7
Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Pengembangan untuk Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati di TN dan TWA (2001)
3
Sekartjakrarini, 2004. Bahan Kuliah Perencanaan Tata Ruang dan Ekowisata. Program Studi PSL Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor
19
8
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri kepada seluruh Gubernur Tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata Daerah (SE No. 660.1/836/V/Bangda Tanggal 28 April 2000)
9
Pedoman Pengembangan Pariwisata di Kawasan Konservasi Laut (3003)
10 Pedoman Interpretasi di Kawasan Konservasi Laut (2004) Selain
kebijakan
operasional
teknis
tersebut,
peraturan-peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan konservasi dan pariwisata alam juga ditetapkan (Tabel 2). Secara regional di bidang pariwisata, Indonesia telah mengikat kerjasama dengan negara-negara ASEAN dan secara internasional ikut menandatangani dan terikat dengan beberapa kesepakatan antar bangsa (Fandeli 2000c), antara lain: 1
World
Conservation
Strategy
(tahun
1980),
merupakan
landasan
penanggulangan ancaman terhadap sumberdaya alam 2
United Nation Converence on Environment and Development (UNCED) di Rio de Jeneiro (tahun 1992) yang menghasilkan antara lain Rio Declaration, Forest Principles, Convention on Climate Change, Convention on Biodiversity dan Agenda 21
3
Commission on National Parks and Protected Areas (CNPPA) dan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) pada tahun 1980 menyusun daftar kawasan yang dilindungi berdasarkan kriteria pengelolaan konservasi (ada 10 kriteria kawasan yang dilindungi)
Tabel 2 Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan konservasi dan ekowisata No Peraturan
Perihal
1
UU No. 5 Tahun 1990
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
2
UU No. 9 Tahun 1990
Kepariwisataan
3
UU No. 23 Tahun 1997
Pengelolaan Lingkungan Hidup
4
UU No. 41 Tahun 1999
Kehutanan
20
Lanjutan No Peraturan
Perihal
5
PP No. 28 Tahun 1985
Perlindungan Hutan
6
PP No. 18 Tahun 1994
Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan TN, Tahura dan TWA
7
PP No. 67 Tahun 1996
Penyelenggaraan Kepariwisataan
8
PP No. 68 Tahun 1998
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
9
PP No. 59 Tahun 1998
Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan
10
PP No. 34 Tahun 2002
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
11
Keppres No. 32 Tahun 1990
Pengelolaan Kawasan Lindung
12
KEPMENHUT No. 28 Tahun 2003
Pembagian Rayon di TN, Tahura, TWA dan TB dalam Rangka Pengenaan Penerimaan Bukan Pajak
13
KEPMENHUT No. 441 Tahun 1990
Pengenaan Iuran dan Pungutan Usaha Hutan Wisata, TN, Tahura dan TWL
14
KEPMENHUT No. 167 Tahun 1994
Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Pelestraian Alam
15
KEPMENHUT No. 446 Tahun 1996
Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam
16
KEPMENHUT No. 447 Tahun 1996
Pembinaan dan Pengawasan Pariwisata Alam
17
KEPMENHUT No. 348 Tahun 1997
Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan No. 446 tahun 1996
Sumber: PHKA (2003); PKA (2000).
III. METODE PENELITIAN 3.1.
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di CATDS (1º29’ N, 125º11’ E) wilayah Batuputih,
Kecamatan Bitung Utara, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara (121º-127º BT dan 0º30’-4º0’ LU), (Gambar 3). Wilayah Batuputih dipilih menjadi lokasi penelitian karena merupakan pintu masuk utama kawasan dan kegiatan ekowisata terpusat di wilayah tersebut. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Oktober 2005, meliputi survei pendahuluan, pengumpulan data di lokasi penelitian, analisis dan pengolahan data.
3.2.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan suatu analisis pengembangan ekowisata di
CATDS, dengan mengacu pada kriteria standar penilaian obyek dan daya tarik wisata alam (PHKA 2002). Penelitian ini menggunakan analisis penilaian potensi untuk sumberdaya ekowisata dan pengunjung, analisis stakeholder, untuk evaluasi jalur interpretasi dan evaluasi alternatif kebijakan menggunakan analisis metode perbandingan eksponensial atau MPE (Ma’arif & Tandjung 2003). Penelitian dilakukan dengan metode survei (non experimental) dengan cara pengamatan langsung di lapangan terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di lokasi penelitian. Pengumpulan data potensi ekowisata (atraksi alam, budaya dan jenis kegiatan wisata lainnya, akomodasi, fasilitas, pelayanan dan infrastruktur), potensi pengunjung dan stakeholder (elemen institusi dan masyarakat di sekitar kawasan) dilakukan dengan teknik in-depth interview dan observasi menurut Kusmayadi (2004). Data keadaan fisik kawasan (topografi; geologi; iklim), daftar jenis flora dan fauna, masyarakat dan penggunaan lahan (kondisi lingkungan sosial ekonomi) dikumpulkan dari sumber bahan dokumentasi dan hasil-hasil penelitian terdahulu serta sumber kepustakaan lainnya yang berkaitan dengan tujuan-tujuan penelitian.
22
Gambar 3 Peta lokasi penelitian.
23
Tahap pertama yang dilakukan adalah studi literatur yang diarahkan untuk merumuskan tujuan-tujuan pengembangan ekowisata. Tahap kedua adalah melakukan identifikasi dan pemetaan potensi ekowisata di kawasan melalui survei dan analisis. Setelah diketahui bahwa daya tarik utama kawasan adalah obyek wisata darat maka dilakukan evaluasi jalur interpretasi yang sering digunakan pengunjung dengan menggunakan MPE. Tahap ketiga adalah menyusun formulasi kebijakan dan rencana pengembangan dimana berdasarkan hasil penilaian potensi, analisis stakeholder dan evaluasi jalur interpretasi ditentukan alternatif kebijakan yang kemudian dievaluasi dengan menggunakan MPE.
3.3.
Analisis Data Data yang diperoleh diolah dengan cara mentabulasikan dan kemudian
dianalisis sesuai dengan jenis dan tujuan penggunaannya.
3.3.1. Analisis Penilaian Potensi Analisis penilaian potensi ekowisata di CATDS dilakukan dengan cara penilaian obyek dan daya tarik wisata alam (analisis daerah operasi), dengan menggunakan tabel kriteria penilaian dan pengembangan obyek dan daya tarik wisata alam (Lampiran 3), berdasarkan kriteria standar yang ditetapkan oleh Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan tahun 2002.
3.3.2. Analisis Paket Kegiatan dan Analisis Sarana dan Prasarana Dilakukan secara deskriptif terhadap produk utama obyek berupa atraksi dan produk penunjang obyek berupa amenitas (Wiratno 2000). Atraksi yang dianalisis adalah atraksi alam, budaya dan penelitian sedangkan amenitas yang dianalisis adalah sarana dan prasarana dalam kawasan maupun di luar kawasan.
3.3.3. Analisis Pengunjung Data pengunjung yang merupakan data sekunder dianalisis dengan cara mentabulasikan, menghitung frekuensi dan menguraikan secara deskriptif (Wiratno 2000). Analisis ini sangat penting dalam hubungannya dengan perencanaan,
24
diversifikasi obyek, dan segmen pasar. Cakupan analisis pengunjung yang dipakai dalam penelitian ini adalah jumlah, asal, lama kunjungan, jenis transportasi, musim kunjungan dan karakteristik kunjungan (rekreasi, penelitian, pendidikan).
3.3.4. Analisis Stakeholder Dilakukan dengan cara observasi dan wawancara mendalam terhadap setiap stakeholder yang terlibat dalam kegiatan ekowisata, yaitu stakeholder primer [pemerintah (BKSDA), Pemkot Bitung, masyarakat (kelompok pemandu lokal)] dan stakeholder sekunder (pengunjung, masyarakat lokal, LSM, sektor swasta/industri). Analisis ini dilakukan untuk melihat sejauh mana peranan dan kepentingan masing-masing stakeholder dalam mendukung kegiatan ekowisata. Tabel 3 menunjukkan analisis stakeholder yang terdiri dari pokok masalah, peranan dan tuntutan-tuntutan dalam menyelesaikan masalah, serta kepentingan masingmasing pihak. Tabel 3 Analisis stakeholder Pokok masalah Stakeholder BKSDA Sulut Masyarakat (kelompok pemandu lokal) Pemkot Bitung Pengembangan Pengunjung ekowisata Masyarakat lokal LSM Sektor swasta (industri)
Peranan
Tuntutan
Kepentingan
25
3.3.5. Analisis Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) Metode perbandingan eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang mengkuantitaskan pendapat seseorang dalam skala tertentu (Ma’arif & Tanjung 2003), sehingga hasil yang diharapkan lebih kuantitatif dan obyektif. Penelitian ini menggunakan pendapat-pendapat dari tiga orang pakar/ahli dalam menentukan derajat kepentingan (bobot) setiap kriteria penilaian untuk evaluasi jalur interpretasi dengan menggunakan metode justifikasi langsung, dan pendapat-pendapat dari 20 orang pakar/ahli untuk evaluasi alternatif kebijakan dengan menggunakan metode pembobotan (Eckenrode Method). Konsep dari metode pembobotan adalah dengan melakukan perubahan urutan menjadi nilai, yaitu urutan pertama dengan tingkat (nilai) yang tertinggi, urutan kedua dengan tingkat (nilai) di bawahnya dan seterusnya (Marimin 2004). Penghitungan bobot dengan metode pembobotan: n
∑λ W
=
e
j =1
n
k
∑λ ∑e e =1
e
λ
ej
ej
ej
j =1
, ej
= 1,2,3,....k =
nilai tujuan ke λ oleh ahli ke j, n = jumlah ahli.
Pemilihan pakar/ahli berdasarkan ilmu, pengalaman dan pengetahuan mereka tentang keadaan kawasan CATDS saat ini yang terdiri dari pemerintah; akademisi; LSM; peneliti; tokoh masyarakat dan pihak swasta. Tahapan penghitungan dimulai dengan penentuan bobot setiap kriteria penilaian dari masing-masing pilihan jalur interpretasi dan alternatif kebijakan. Berdasarkan hasil analisis penilaian potensi maka kriteria-kriteria yang digunakan dalam evaluasi jalur interpretasi adalah keindahan alam, keunikan dan potensi sumberdaya alam, keutuhan sumberdaya alam, keamanan dan kerawanan jalur, kebersihan dan kenyamanan jalur, kemudahan melihat satwa liar (mamalia), kemudahan melihat satwa liar (burung), kemudahan melihat satwa liar (reptil), panjang jalur dan fasilitas penunjang. Kriteria-kriteria yang digunakan dalam
26
penentuan alternatif kebijakan pengembangan ekowisata di kawasan CATDS ditentukan berdasarkan hasil penilaian potensi, evaluasi jalur interpretasi dan analisis stakeholder yang terdiri dari obyek dan daya tarik wisata alam, sarana dan prasarana, aksesibilitas, sumberdaya manusia (SDM), pengunjung, sarana dan prasarana di luar kawasan, sosial ekonomi, obyek wisata alam; budaya dan buatan di luar kawasan, serta partisipasi masyarakat. Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukkan bobot setiap kriteria penilaian dari masing-masing pilihan jalur interpretasi dan alternatif kebijakan. Setelah itu, dilakukan penghitungan total nilai dari setiap jalur interpretasi dan alternatif kebijakan dengan rumus:
m
Total Nilai =
∑(Rk ) j=i
ΤΚΚj
ij
Rk
= Derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada keputusan ke-i, yang dapat dinyatakan dengan skala ordinal TKK = Derajat kepentingan kriteria keputusan, yang dinyatakan dengan bobot n = Jumlah pilihan keputusan m = Jumlah kriteria keputusan
Tabel 4 Bobot kriteria penilaian jalur interpretasi No Kriteria
Bobot
1 2
Keindahan alam Keunikan dan potensi sumberdaya alam
0.10 0.15
3
Keutuhan sumberdaya alam
0.10
4
Keamanan dan kerawanan jalur
0.10
5 6 7
Kebersihan dan kenyamanan jalur Kemudahan melihat satwa liar (mamalia) Kemudahan melihat satwa liar (burung)
0.05 0.15 0.10
8
Kemudahan melihat satwa liar (reptil)
0.10
9 10
Panjang jalur Fasilitas penunjang
0.05 0.10 Jumlah
1.00
27
Tabel 5 Bobot kriteria penilaian alternatif kebijakan No 1 2
Kriteria Obyek dan daya tarik wisata alam (keunikan/khas) Sarana dan prasarana
Bobot 0.99271 0.00250
3
Aksesibilitas
0.00082
4 5 6
Sumberdaya manusia Pengunjung Sarana dan prasarana di luar kawasan
0.00305 0.00011 0.00006
7
Sosial ekonomi
0.00001
8
Obyek wisata alam, budaya dan buatan di luar kawasan
0.00001
9
Partisipasi masyarakat
0.00071 Jumlah
1.00000
Tabel 6 dan Tabel 7 menunjukkan cara pengolahan matriks MPE evaluasi jalur interpretasi dan evaluasi alternatif kebijakan. Jalur interpretasi yang total nilainya masuk urutan tiga besar ditetapkan sebagai jalur potensial, kemudian alternatif kebijakan yang menjadi urutan pertama ditetapkan sebagai pilihan pertama dalam rumusan rencana pengembangan ekowisata di CATDS. Tabel 6 Matriks MPE evaluasi jalur alternatif Kriteria penilaian
Jalur
Kea 1
Jalur Puncak Jalur Pantai Babi Jalur Pantai Jalur Patar Jalur Pinangunian Jalur Kumeresot Jalur Lingkar Jalur Alang-alang Bobot
RK11
TN1
RK41
TN4
TKK1
Kps 2
TKK2
Ksa 3
Kkj 4
Kdk 5
Kmm 6
Kmb 7
Kmr 8
Pjr 9
Fas 10
Nilai
Prio ritas
TKKm
Kea: keindahan alam, Kps: keunikan dan potensi sda, Ksa: keutuhan sda, Kkj: keamanan dan kerawanan jalur, Kdk: kebersihan dan kenyamanan jalur, Kmm: kemudahan melihat mamalia, Kmb: kemudahan melihat burung, Kmr: kemudahan melihat reptil, Pjr: panjang jalur, Fas: fasilitas penunjang. RK11: derajat kepentingan relatif kriteria penilaian Kea pada Jalur Puncak, RK41: derajat kepentingan relatif kriteria penilaian Kea pada Jalur Patar, TN1: Total nilai Jalur Puncak, TN4: Total nilai Jalur Patar, TKK1: bobot Kea, TKK2: bobot Kps, TKKm: total semua bobot.
28
Tabel 7 Matriks MPE evaluasi alternatif kebijakan Alternatif Kebijakan Ekowisata di TWA Batuputih dan TWA Batuangus Ekowisata di CA dan TWA dengan sistem zonasi Ekowisata di CA dan TWA dengan sistem perubahan status Bobot
Kriteria penilaian Odw
Sdp
RK11
TKK1
Aks
Sdm
Peg
Slk
Sek
Olk
Pms
Nilai
Prioritas
TN1
TKK2
TKKm
Odw: obyek dan daya tarik wisata alam, Sdp: sarana dan prasarana, Aks: aksesibilitas, Sdm: sumberdaya manusia, Peg: pengunjung, Slk: sarana dan prasarana di luar kawasan, Sek: sosial ekonomi, Olk: obyek wisata alam; budaya dan buatan di luar kawasan, Pms: partisipasi masyarakat. RK11: derajat kepentingan relatif kriteria penilaian Odw pada alternatif kebijakan pertama, TN1: Total nilai alternatif kebijakan pertama, TKK1: bobot Odw, TKK2: bobot Sdp, TKKm: total semua bobot.
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1.
Keadaan Fisik Kawasan CATDS (1º29’ N, 125º11’ E) terletak di ujung timur laut
semenanjung utara Pulau Sulawesi, masuk dalam
wilayah administrasi Kota
Bitung. Kawasan ini memiliki tiga gunung berapi, yaitu Gunung Tangkoko (dulu dikenal sebagai Gunung Batuangus) dengan ketinggian 1.108 m dpl, dan puncak kembar Gunung Duasudara setinggi 1.351 m dpl (Wangko et al. 2000). Batas CA mengikuti garis Pantai Batuangus sampai Sungai Batuputih, sepanjang Sungai Batuputih sampai muara sungai, dan menyusuri jalan ke arah Desa Duasudara. Batas kawasan melintang dari Duasudara sampai Pinangunian, memotong barat laut Desa Kasawari dan kembali bertemu laut di daerah Batuangus (Kinnaird & O’Brien 1997; Lee et al. 1999). Terdapat coral yang sangat baik dari area TWA Batuputih ke arah timur laut pantai CA dan berpasir hitam (Lee et al. 1999). Topografi Kawasan ini memiliki lereng yang landai dari permukaan laut sampai pada elevasi 1.351 m dpl. Lereng ini dipotong oleh lembah di utara dan selatan yang memiliki ceruk yang dalam. Sebuah punggungan menghubungkan Gunung Tangkoko dan Gunung Duasudara. Gunung Tangkoko memiliki kawah selebar satu kilometer yang membentuk sebuah lembah di bawah puncak (Wangko et al. 2000). Gunung Batuangus yang hampir tidak ditumbuhi apa pun, memiliki aliran lava menuju ke laut. Di tempat aliran lava bertemu dengan laut terdapat runtuhan tabung lava yang membentuk teluk kecil sepanjang 400 m yang mengandung gugusan karang dan satu-satunya habitat mangrove di dalam kawasan. Pantai di bagian utara merupakan serangkaian pantai berpasir berbentuk sabit yang dipisah-pisahkan oleh tanjung berbatu (Kinnaird & O’Brien 1997).
30
Geologi Kawasan CATDS terbentuk dari gunung berapi muda dengan lapisan tanah yang tipis dan berbutir-butir. Tanahnya kurang berkembang dan digolongkan sebagai
regosol
(Sistem
Klasifikasi
Tanah
FAO)
atau
tropopsamment
(Penggolongan oleh USDA), Ph tanah di hutan berkisar antara 6,46-7,70 yang merupakan kisaran yang baik untuk pertumbuhan pohon (Kinnaird dan O’Brien, 1997). Tingkat keasaman tanah di hutan berkurang di areal yang mengandung abu vulkanis lebih rendah. Tanah dekat padang alang-alang lebih asam daripada tanah di hutan. Ketersediaan nutrisi tanah, terutama P dan Ca umumnya rendah. Keasaman potensial dan kemungkinan adanya racun besi rendah. Karena bentuknya yang berpasir, kemampuan tanah untuk menahan air dan nutrisi rendah. Sebagian besar nutrisi terikat pada lapisan organik atau pada vegetasi, sehingga hilangnya tutupan hutan akan berakibat pada hilangnya produktifitas tanah (Kinnaird & O’Brien 1997).
Iklim Iklim Tangkoko-Duasudara bervariasi dari selatan sampai ke utara. Bulan November sampai Mei angin bertiup dari utara dan curah hujan tinggi. Bagian selatan CA yang terlindung gunung memiliki curah hujan yang lebih rendah pada bulan-bulan tersebut. Musim kering dimulai pada bulan Juni saat angin berubah arah, bertiup dari selatan dan tenggara. Angin yang sangat kuat sering terjadi pada bulan Juli sampai September (Kinnaird & O’Brien 1997).
4.2.
Flora dan Fauna Kawasan CATDS kaya akan jenis-jenis burung Sulawesi dan mamalia
terutama primata dan merupakan kawasan dengan jenis-jenis endemik tertinggi dari semua kawasan konservasi di Sulawesi Bagian Utara (Lee et al. 2001). Kawasan yang sangat lengkap tipe habitatnya (Tabel 8), dan memiliki data vegetasi yang cukup lengkap (Lampiran 4) serta dapat mewakili tipe-tipe habitat pulau Sulawesi, khususnya di Sulawesi Bagian Utara yang dideskripsikan sebagai hutan tropis malar hijau (tropical ever green forest), (Kinnaird & O’Brien 1997; Lee et al. 2001).
31
Tabel 8 Tipe habitat di CA Tangkoko-Duasudara Habitat
Penjelasan
Hutan Pantai
Hampir terdapat di sepanjang Pantai Tangkoko dan didominasi oleh Barringtonia asiatica, Morinda bracheata, Pandanus sp. dan Terminalia cattapa serta beberapa jenis liana. CATDS adalah satu-satunya kawasan di Sulawesi yang masih memiliki hutan pantai.
Hutan Cemara
Karena deciduous needle-twigs pohon Casuarina equistifolia tampak seperti pohon pinus. Jenis ini dapat ditemukan di sepanjang Malesia termasuk Indonesia, penyebarannya di Tangkoko terdapat dibagian pantai pasir dan pantai batu yang terbuka (Batuangus).
Alang-alang
Imperata cylindrica adalah rumput yang tumbuh di daerah yang sering terbakar. Karena sering terbakar, banyak spesies eksotis yang ikut dalam proses kolonisasi, seperti Lantana camara, Piper aduncum, Melia azedarach, Spathodea campanulata dan Mimosa sp. Habitat ini merupakan tempat yang baik bagi berbagai fauna seperti jenis rodentia, ular yang memangsa rodentia dan jenis burung padang rumput.
Semak Sekunder
Padang rumput berkembang melalui proses suksesi menjadi semak (scrub) sekunder, yang didominasi berbagai rumput seperti Cyrtocum oxyphyllum yang tumbuh di bawah rimbunan pohon-pohon perintis seperti Piper aduncum, Morinda citrifolia dan Macaranga spp. juga terdapat belukar rapat seperti Lantana camara. Semak sekunder sangat lebat.
Hutan Hujan Dataran Rendah/ Hutan Pamah(lebih kurang 300–600 mdpl)
Tipe habitat terluas di Tangkoko yang terbentuk dari batuan gunung api dan batuan intrunsif. Hutan ini sangat lebat dengan pepohonan paling beragam diantara semua habitat. Memiliki lebih kurang 240 jenis dan memanjang dari batas permukaan laut sampai 600 m dpl. Jenis yang dominan adalah Ficus sp. Cananga odorata, Palaquium amboinensis, dan jenis palem. Lantai hutan terbuka, terdiri dari Livistona rotundivolia, Leea spp. dan Calamus sp. Jenis bunga terbesar di Sulawesi Amorphophallus sp. banyak terdapat di habitat ini.
32
Lanjutan Habitat
Penjelasan
Hutan SubMontana/ Hutan Pegunungan Bawah (perbukitan)
Pada ketinggian antara 600-1000 m dpl terjadi perubahan pada struktur dan komposisi pepohonan. Pohonnya lebih kecil, tajuknya lebih rendah dan lebih terbuka, tumbuhan epifit lebih banyak terutama paku-pakuan dan lumut, dan terjadi penurunan komposisi jenis pohon. Jenis yang umum adalah Eugenia polyanthum, Dillenia ochreata, dan palem Pigafetta fillaria.
Hutan Montana/ Pegunungan (Lumut)
Umumnya terdapat pada ketinggian di atas 1000 m dpl. Puncak Tangkoko dan Duasudara ditumbuhi pohonpohon kecil berbentuk aneh yang ditutupi bantalan tebal tumbuhan bryophytes dan lumut. Pakis, anggrek dan epifit lain biasa tumbuh dimana-mana.
Sumber: (Kinnaird & O’Brien 1997; Lee et al. 2001; Lee et al. 1999). Foto: Sandra Pontonuwu (2005).
Keanekaan habitat di CATDS menunjang tingginya kepadatan berbagai jenis satwa dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Kawasan ini memiliki lebih kurang 178 jenis burung (Lampiran 5), termasuk 52 spesies burung endemik Sulawesi.
Diantaranya
adalah
Rangkong
Sulawesi
(Rhyticeros
cassidix),
Kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus), serta 10 spesies raja udang. Jenis mamalia yang mendiami CATDS adalah Yaki (Macaca nigra), Tangkasi (Tarsius spectrum), Kuse (Ailurops ursinus), Kuskus Kerdil (Stigocuscus celebensis) dan Babi Hutan (Sus celebensis), (Lampiran 6). Jenis satwa lainnya adalah jenis reptil dan amfibi (Lampiran 7), seperti Biawak (Varanus salvator) dan Ular Piton (Phyton sp.). Tangkoko memiliki kepadatan populasi satwa rata-rata lebih tinggi daripada daerah lain di Sulawesi sehingga relatif mudah menjumpai satwa-satwa tersebut di CATDS, selain hutan dan isinya kawasan ini juga dilengkapi laut dengan terumbu karang yang masih baik keadaannya (Kinaird et al. 2000).
33
4.3.
Masyarakat dan Penggunaan Lahan Lahan di sekitar kawasan terutama adalah daerah pertanian. Area terakhir
HL Wiau yang dulu menghubungkan CATDS dan Gunung Klabat telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa dan jagung. Karena kualitas tanah yang miskin, hanya sedikit sayuran dan buah-buahan yang dapat tumbuh. Jenis tanaman utama adalah kelapa, jenis tanaman terbanyak kedua adalah jagung dan ubi kayu. Banyak orang yang bergantung pada perikanan dan ternak untuk menyediakan kebutuhan proteinnya, juga sebagai tambahan pendapatan (Kinnaird & O’Brien 1997). Empat desa membatasi CATDS, yaitu Batuputih di pantai utara sebagai batas barat, Duasudara di batas barat daya, Pinangunian di sebelah selatan dan Kasawari di tenggara. Keempat desa tersebut turut berperan dalam menyebabkan masalah pengelolaan kawasan. Pada tahun 1959 dan tahun 1979 penduduk Duasudara membuka lebih kurang 400 ha lahan untuk perkebunan. Penduduk Batuputih membuka sekitar 400 ha lahan untuk perkebunan kelapa dan peternakan dan memelihara daerah tersebut dengan pembakaran tahunan (Kinnaird & O’Brien 1997). Hutan sekitar Rumesung dibakar secara berulang dengan sengaja, tahun 1991 kebakaran merusak sekitar 800 ha hutan. Masyarakat Desa Kasawari juga menebang hutan dalam kawasan untuk dijadikan kebun, sedangkan masyarakat Desa Duasudara dan Pinangunian terkenal sebagai masyarakat pemburu yang aktif berburu di dalam kawasan (Kinnaird & O’Brien 1997). Semua fenomena tersebut masih berlangsung sampai dengan saat ini4.
4
Hasil wawancara dengan ketua KONTAK, Agustus 2005.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kawasan CATDS telah lama dijadikan salah satu tujuan wisata di Sulut. Secara teoritis ekowisata dilarang di CATDS karena status kawasan tersebut, tetapi kegiatan ekowisata tetap saja berjalan di dalam kawasan. Kawasan CATDS sering dipromosikan oleh biro perjalanan dan dinas pariwisata sebagai salah satu tujuan wisata di Sulut, walaupun belum dimasukkan dalam rencana pengembangan pariwisata daerah. Kegiatan ekowisata di CATDS telah lama dianggap sebagai salah satu ancaman bagi kelestarian kawasan, karena pengelolaannya yang tidak baik. Berdasarkan hal tersebut, Wildlife Conservation Society-Indonesian Programme (WCS-IP) merekomendasikan perubahan status kawasan menjadi TN. Peningkatan status akan memungkinkan PKA dalam hal ini BKSDA mengatasi beberapa masalah yang disebabkan oleh perkembangan kepariwisataan yang tidak teratur (Lee et al. 2001). Hal tersebut juga memungkinkan keterlibatan pemerintah daerah dan para pengelola jasa wisata alam untuk ikut mengelola kawasan. Sampai saat ini wacana perubahan status masih menjadi topik menarik di antara pelaku ekowisata.
5.1.
Penilaian Potensi Sumberdaya Ekowisata Penilaian potensi untuk sumberdaya ekowisata dikelompokkan dalam
potensi sumberdaya alam dan potensi sosial budaya dan ekonomi (Tabel 9, Lampiran 8). Tabel 9 menunjukkan indeks dari masing-masing hasil penilaian potensi sumberdaya ekowisata terhadap total nilai setiap obyek dan daya tarik wisata alam yang dievaluasi.
5.1.1. Potensi Sumberdaya Alam Dilihat dari nilai indeks, kawasan CATDS memiliki sumberdaya alam yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai obyek wisata alam, dari obyek wisata darat (89.58 %) sampai obyek wisata pantai (92.86 %), walaupun hasil penilaiannya belum maksimal. Hasil penilaian (nilai indeks) tersebut dipengaruhi oleh keutuhan sumberdaya alam dan kerawanan kawasan (perambahan, perburuan) yang masih tinggi untuk obyek wisata darat dan adanya arus balik di pantai sekitar
35
area camping ground serta pasir berwarna hitam untuk obyek wisata pantai. Obyek wisata darat dan pantai tidak dikembangkan secara bersama-sama, sehingga yang menonjol hanya atraksi darat sedangkan Pantai Tangkoko belum menjadi tujuan wisata pantai bagi wisatawan. Oleh karena itu pengelolaan kegiatan ekowisata harus direncanakan dengan baik dan terintegrasi dengan rencana pengembangan atraksi lainnya di dalam maupun di luar kawasan.
Tabel 9 Hasil penilaian potensi sumberdaya ekowisata Potensi
Kriteria
Total Nilai¹
Nilai² (N x b)
Indeks³ (%)
Obyek wisata darat
1440
1290
89.58
Obyek wisata pantai
1260
1170
92.86
Kondisi lingkungan sosek
1350
950
70.37
SDA
Daya tarik
Pelayanan masyarakat
Partisipasi masyarakat 300
225
75
1125
925
82.22
90
60
66.67
Prasarana dan sarana penunjang (radius 20 km dari obyek)
120
120
100
Tersedianya air bersih
600
580
96.67
Hubungan obyek dengan obyek wisata lain
450
400
88.89
30
30
100
Kadar hubungan atau Aksesibilitas Akomodasi (radius 15 km dari obyek) Sosbud dan ekonomi
Kelompok
Keamanan
Sarana dan prasarana penunjang
Kebijakan dan rencana pengelolaan kawasan
¹ total nilai setiap obyek dan daya tarik wisata alam yang dinilai, ² hasil penilaian potensi obyek dan daya tarik wisata alam, ³ indeks hasil penilaian potensi terhadap total nilai yang dinyatakan dalam persentase, N: pilihan nilai setiap unsur dalam kriteria penilaian potensi, b: bobot dari setiap kriteria penilaian potensi.
36
Obyek Wisata Darat Ada delapan kriteria yang dinilai dari obyek wisata darat, yaitu keindahan alam, keunikan sumberdaya alam, banyaknya potensi sumberdaya yang menonjol, keutuhan sumberdaya alam, kepekaan sumberdaya alam, jenis kegiatan wisata alam, kebersihan dan kerawanan kawasan (Lampiran 8a).
Keindahan alam Semua kriteria yang dinilai ada dalam kawasan CATDS. Dari puncak Gunung Tangkoko, Gunung Duasudara dan Gunung Batuangus pengunjung dapat melihat pemandangan Kota Bitung, indahnya Laut Sulawesi dan Gunung Klabat yang mempesona. Pemandangan lepas di dalam obyek, mulai dari hutan pantai sampai hutan lumut di puncak Gunung Tangkoko dan Gunung Duasudara. Keindahan akan sedikit terganggu dengan pemandangan hewan ternak (sapi dan babi) yang digembalakan secara liar dalam kawasan TWA Batuputih (Gambar 4).
Gambar 4 Macaca nigra dan ternak babi. Keunikan sumberdaya alam Keunikan flora dan fauna merupakan daya tarik utama kegiatan ekowisata di CATDS. Banyak pengunjung (aktual dan potensial) berkunjung ke kawasan karena ingin melihat keunikan fauna dan flora yang ada di dalam kawasan. Kawasan CATDS memiliki berbagai flora khas Sulawesi yang lengkap, dimana kawasan ini memiliki habitat yang lengkap mulai dari hutan pantai sampai hutan pegunungan atas/lumut.
37
Atraksi spesial yang bisa dinikmati wisatawan adalah: 1
Tarsius (Tarsius spectrum)5, primata terkecil di dunia
dan
termasuk
jenis
satwa
malam
(nocturnal). Kawasan CATDS merupakan satusatunya tempat di Sulawesi yang sangat mudah untuk melihat tarsius, mereka dapat dilihat di setiap pohon tidurnya pada saat akan mulai beraktivitas (sekitar pukul 17.30 WITA) dan saat mereka kembali untuk tidur (sekitar pukul 05.30 WITA).
Pengamatan
tarsius
hanya
dapat
dilakukan pada saat hari mulai malam
Gambar 5 Tarsius spectrum.
dan menjelang pagi. Untuk itu pengunjung harus menyiapkan alat penerang (senter), yang juga berfungsi untuk melihat tarsius lebih lama di pohon tidurnya karena bila terkena cahaya mereka akan tetap diam.
2
Monyet Hitam Sulawesi “Yaki” (Macaca nigra)6. Dari ketiga jenis macaca yang ada di Sulawesi Bagian Utara7, Yaki adalah yang paling
terancam.
Kawasan
CATDS
merupakan satu-satunya tempat yang dapat melihat Yaki di alam dengan mudah, mereka dapat dilihat di semua jalur interpretasi dan
Gambar 6 Macaca nigra.
di kawasan TWA Batuputih pada saat mereka mencari makan di hutan pantai (pukul 08.00-11.00 WITA ). Yaki juga dapat dilihat di setiap pohon tidurnya pada pagi hari (05.00 WITA) saat mereka mulai beraktivitas dan pada sore hari (06.00 WITA) saat mereka akan naik untuk tidur.
5 6 7
Spesies endemik Sulut. ibid Macaca hecki (Bolaang Mongondow-Sulut & Gorontalo), Macaca nigrescens (Gorontalo), Macaca nigra (MinahasaSulut)
38
3
Amorphophallus sp. jenis bunga terbesar yang terdapat di Sulawesi (Kinnaird & O’Brien 1997). Bunga ini banyak ditemukan di hutan dataran rendah CATDS.
Gambar 7 Amorphophallus sp. Sumber foto: KONTAK (2003)
4
Beringin Lobang besar (Ficus altissima) yang terkenal sebagai pohon pencekik (Strangler tree)
merupakan
tempat
yang
selalu
dikunjungi pengunjung. Pohon ini terdapat di hutan dataran rendah CATDS dan dapat dikunjungi melalui Jalur Lingkar. Gambar 8 Beringin Lobang (Ficus altissima). Kawasan CATDS juga memiliki sumber air panas, air terjun Kumeresot dan Tambun serta adat istiadat yang menarik. Semua atraksi tersebut tidak dikelola dengan baik, hal ini karena tidak ada perencanaan pengelolaan kegiatan ekowisata. Setiap atraksi alam mempunyai kondisi, sifat dan perilaku yang harus diperhatikan dalam perencanaan dan pengembangan obyek dan daya tarik wisata alam (Fandeli 2000d).
Banyaknya potensi sumberdaya alam yang menonjol Selain terkenal dengan keunikannya, kawasan CATDS juga memilki sumberdaya alam yang menonjol, yang bisa menjadi berkat maupun ancaman bagi kelestarian kawasan. Di sekitar kawasan, yaitu di beberapa kebun milik masyarakat terdapat tanda berupa bendera yang menandakan bahwa tempat tersebut akan di survei untuk melihat kandungan emas8. Apabila terbukti ada kandungan emas di tanah Batuputih maka
akan sangat mengancam keberadaan kawasan karena
mungkin saja di dalam kawasan juga mengandung emas. 8
Implikasi dari akan dibukanya tambang emas di Likupang, lokasi yang berbatasan langsung dengan Batuputih
39
Kawasan CATDS memiliki beberapa flora yang menonjol yaitu jenis bunga, pohon dan tanaman obat. Jenis vegetasi yang banyak terlihat di dalam kawasan diantaranya Mengkudu daun kecil (Morinda citrifolia) dan Mengkudu daun besar (Morinda bracheata) yang sering dijadikan obat tradisional, Woka (Livistona rotundivolia) yang sering digunakan sebagai atap rumah, Kayu Bolangitang (Tetrameles nudifloria) dan Kayu Binuang (Octomeles sumatrana) yang sering digunakan sebagai bahan dasar perahu. Selain memiliki keunikan, CATDS juga memiliki jenis fauna yang sangat spektakuler terutama jenis burung. CATDS merupakan tempat yang sangat baik untuk melakukan kegiatan pengamatan burung, terutama untuk jenis burung malam. Pengamatan burung dapat dilakukan di sekitar area camping ground sampai Pos 3.
Kepekaan sumberdaya alam Semua sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan baik batuan, flora, fauna, air dan gejala alam9 mengandung nilai yang tinggi. Artinya semua sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengetahuan, kebudayaan, menambah penghasilan dan bahkan untuk pengobatan. Hal inilah yang menjadikan kawasan CATDS sebagai tempat yang menarik bagi banyak peneliti, wisatawan dan perambah hutan. Sesuai dengan konsep ekowisata yang antara lain harus ada produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran maka kawasan CATDS dapat dijadikan sebagai “laboratorium alam” bagi anak-anak sekolah (tingkat SD sampai SMU) di Kota Bitung dan daerah sekitarnya. Hal ini adalah salah satu manfaat dari kegiatan ekowisata yang dapat diperoleh oleh Pemkot Bitung. Masyarakat lokal (pemandu lokal) yang tidak memiliki kemampuan bahasa asing dengan baik juga dapat berpartisipasi aktif, dimana mereka dapat menjadi pemandu bagi anak-anak sekolah tersebut.
9
Kejadian yang dibentuk oleh alam seperti tebing, air terjun, sumber air, dll (kriteria standar analisis daerah operasi).
40
Jenis kegiatan wisata alam Karena memiliki tipe habitat yang lengkap maka banyak jenis kegiatan wisata alam yang dapat dilakukan di dalam kawasan, baik di dalam TWA maupun CA. Mulai dari tracking, rafting, mendaki, berkemah, piknik, pendidikan, dan kegiatan religius, tetapi semua kegiatan tersebut tidak terkontrol dengan baik. Walaupun telah disediakan camping ground di kawasan TWA, para pengunjung selalu mencari tempat lain untuk berkemah bahkan ada yang berkemah di dalam kawasan (Gambar 9). Walaupun tidak ada gangguan dari binatang berbahaya tetapi saat akan masuk ke dalam hutan CATDS pengunjung harus mengoleskan obat anti gigitan serangga di tangan, kaki dan pinggang. Di hutan CATDS terdapat serangga jenis kutu rumput “Gonone”10 yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang dan jika menggigit akan menimbulkan bintik-bintik merah di kulit yang sangat gatal.
Gambar 9 Pengunjung yang berkemah di dalam kawasan
Kebersihan (lokasi dan udara) Alam, industri, pemukiman dan satwa tidak memberikan pengaruh terhadap kebersihan kawasan (lokasi dan udara), walaupun pintu masuk kawasan sangat dekat dengan pemukiman penduduk dan kawasan sangat dekat dengan Kota Bitung yang merupakan kota industri. Coret-coret (vandalisme) juga tidak mempengaruhi kebersihan dan keindahan kawasan.
10
Nama lokal jenis serangga (kutu rumput) yang terdapat di hutan CATDS.
41
Banyak sampah plastik ditemukan di dalam kawasan, terutama di tempattempat yang sering dipakai berkemah dan yang sering dikunjungi. Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran para pengunjung dan tidak adanya sanksi yang diberikan bagi mereka. Banyak pengunjung dan peneliti memakai jasa ojeg motor untuk masuk ke dalam kawasan (Gambar 10). Hal ini sangat mengganggu karena jalur yang dilewati juga merupakan jalur dari beberapa satwa untuk mencari makan terutama Macaca nigra.
Gambar 10 Motor dan Macaca nigra.
Kerawanan kawasan Kecilnya luas kawasan CATDS, batas kawasan yang dikelilingi kampung, jalan dan pantai merupakan ancaman bagi kelestarian kawasan11. Banyaknya jalan masuk ke dalam kawasan sangat menyulitkan petugas jagawana untuk menjaga kawasan dari para pencuri dan perambah hutan. Banyak penduduk yang berburu babi hutan, ayam hutan, kelelawar, burung dan monyet dengan cara memasang jerat maupun dengan senjata. Patroli yang dilakukan tidak memberikan efek jera bagi mereka, hal ini terjadi karena setelah tertangkap banyak yang dibebaskan kembali tanpa ada hukuman yang berarti12. Kebakaran yang terjadi setiap tahun juga menjadi ancaman serius bagi kawasan. Daerah yang sering terjadi kebakaran adalah di daerah alang-alang (camping ground) dan daerah Pantai Dedak di Jalur Pantai (C 4000)13, kebakaran rutin ini bahkan telah mengambil korban jiwa dari
11 12 13
Hasil wawancara dengan kepala pos resort Batuputih Hasil wawancara dengan petugas jagawana dan LSM yang pernah terlibat langsung dalam patroli bersama Jalur penelitian WCS-IP Sulawesi
42
petugas jagawana. Opini yang berkembang di masyarakat bahwa kebakaran yang terjadi selain disebabkan faktor alam juga karena unsur kesengajaan, banyaknya ladang dan lahan pertanian di dalam kawasan menguatkan asumsi tersebut. Luas kerusakan sudah mencapai ± 1.500 ha (BKSDA 2004). Gangguan lain adalah masuknya beberapa spesies eksotik terutama tumbuhan, walaupun belum ada laporan ilmiah tentang pengaruh spesies-spesies tersebut terhadap habitat asli dalam kawasan. Gangguan terhadap flora dan fauna juga datang dari para pengunjung. Hampir setiap pengunjung memberikan makanan bagi satwa liar, seperti pisang untuk Macaca nigra. Para pemandu harus mencari belalang untuk memancing tarsius keluar lebih cepat dari pohon tidurnya. Kelompok dalam jumlah yang besar (lebih dari 10) sering masuk secara bersamaan untuk melihat satwa liar. Hal-hal tersebut sangat mengganggu aktivitas harian satwa, dan telah menjadikan beberapa kelompok satwa terutama Macaca nigra lebih agresif. Gangguan terhadap kawasan memang masih sangat tinggi, tetapi ini terjadi karena tidak ada rencana pengelolaan yang baik. Masyarakat lokal dan BKSDA sepertinya berjalan sendirisendiri dalam menentukan kebijakan pengelolaan kawasan CATDS.
Obyek Wisata Pantai Ada tujuh kriteria yang dinilai dari obyek wisata pantai, yaitu keindahan, keselamatan/keamanan pantai, pasir, variasi kegiatan, kebersihan, lebar pantai dan kenyaman (Lampiran 8b).
Keindahan Banyak pemandangan indah yang dapat dinikmati dari pesisir Pantai Tangkoko, dimulai dari pagi sampai dengan malam hari. Pagi hari pengunjung akan disambut dengan sinar matahari pagi (sunrise) yang sangat indah dan pada malam hari pemandangan lampu-lampu nelayan dari rumah terapung (floating house)14, (Gambar 11). Pantai Tangkoko juga merupakan jalur kapal laut dari Pelabuhan Bitung. Variasi pandangan mulai dari pemandangan Pulau Lembeh, Pulau Gangga, Tanjung Likupang, puncak Gunung Tangkoko dan Gunung 14
Tempat penangkapan ikan di tengah laut
43
Batuangus. Kawasan ini memiliki komponen laut yang sangat unik, berbeda dan dapat menjadi pelengkap bagi TNL Bunaken, atraksi spesial yang dapat di lihat adalah kelompok lumba-lumba yang cukup besar dan tempat peneluran penyu 15. Pasir berwarna hitam menambah keunikan dan keindahan Pantai Tangkoko.
Foto A
Foto B
Gambar 11 Sunrise dan rumah terapung di depan Pos 3. Sumber foto A: WCS-IP Sulawesi; foto B: KONTAK (2003).
Keamanan pantai Pantai Tangkoko bebas dari gangguan manusia, tidak ada kepercayaan yang mengganggu dan bebas dari gangguan binatang berbahaya. Gangguan yang ada adalah adanya arus balik yang cukup besar di pantai sekitar camping ground. Pantai ini tidak dianjurkan untuk kegiatan berenang, karena tidak ada informasi yang terpasang masih ada pengunjung yang melakukan kegiatan di pantai tersebut. Walaupun belum pernah ada korban jiwa bukan berarti tidak menjadi ancaman, karena telah beberapa kali terjadi pengunjung yang hampir tenggelam dan ditolong oleh masyarakat lokal.
Variasi kegiatan Seperti obyek wisata darat, di Pantai Tangkoko juga banyak kegiatan yang dapat dilakukan. Berjemur dan berenang adalah kegiatan favorit yang dilakukan pengunjung (Gambar 12). Biasanya mereka berjemur dan berenang di pantai depan Pos 2 dan Pos 3, kedua lokasi ini merupakan tempat yang aman untuk kegiatan tersebut. Kegiatan selancar, menikmati pemandangan dan bersampan dapat
15
Hasil investigasi KONTAK. 2004. [tidak dipublikasikan].
44
dilakukan di sepanjang pantai, memancing dapat dilakukan di Tanjung Pos 3 dan jenis olahraga pantai lain juga dapat dilakukan di sepanjang pantai. Selain berenang dan menikmati pemandangan, kegiatan yang lain jarang sekali dilakukan oleh pengunjung.
Gambar 12 Kegiatan favorit yang dilakukan pengunjung di Pantai Tangkoko
Kebersihan dan kenyamanan Dibandingkan dengan Pantai Bunaken, Pantai Tangkoko masih jauh lebih bersih. Pantai Tangkoko tidak ada pengaruh dari pemukiman, sungai, pelabuhan dan pelelangan ikan walaupun lokasinya sangat dekat dengan Kelurahan Batuputih yang merupakan kampung nelayan dan kota pelabuhan Bitung. Musim juga tidak berpengaruh terhadap kebersihan pantai16. Pantai Tangkoko bebas dari kebisingan dan bau yang mengganggu, tidak ada gangguan binatang serta bebas dari vandalisme. Kenyamanan akan sedikit terganggu pada saat angin selatan bertiup pada bulan Juli sampai September, dimana pantai menjadi tidak aman untuk berbagai kegiatan bahkan para nelayan banyak yang tidak melaut.
5.1.2. Potensi Sosial, Budaya dan Ekonomi Potensi sosial, budaya dan ekonomi dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu partisipasi masyarakat, sarana dan prasarana penunjang serta kebijakan dan rencana pengelolaan kawasan. Dilihat dari nilai indeks, hasil penilaian potensi 16
Hasil wawancara dengan kepala resort jagawana Tangkoko
45
sosial, budaya dan ekonomi berada di atas nilai rata-rata, ini menunjukkan bahwa dari segi sosial, budaya dan ekonomi kawasan CATDS sangat berpotensi untuk pengembangan ekowisata. Walaupun ada beberapa kriteria penilaian yang harus ditingkatkan seperti penyusunan tata ruang wilayah obyek dalam kawasan, peningkatan kemampuan pemandu lokal, peningkatan akomodasi, sarana dan prasarana penunjang baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan, melibatkan masyarakat lokal dalam setiap tahap perencanaan pengelolaan kawasan dan harus menghasilkan biaya untuk pelestarian kawasan.
Partisipasi Masyarakat Kondisi lingkungan sosial ekonomi dan pelayanan masyarakat adalah dua kriteria yang dikelompokkan dalam partisipasi masyarakat. Sembilan kriteria yang dinilai dari kondisi lingkungan sosial ekonomi (70.37 %), yaitu tata ruang wilayah obyek, status lahan, tingkat pengangguran, mata pencaharian penduduk, ruang gerak pengunjung, pendidikan, tingkat kesuburan tanah, sumberdaya mineral dan persepsi masyarakat (Lampiran 8c); untuk pelayanan masyarakat (75 %), kriteria yang dinilai adalah fasilitas dan kemampuan berbahasa (Lampiran 8d). Tata ruang wilayah obyek di dalam kawasan masih dalam proses penyusunan17, artinya selama ini tidak pernah ada perencanaan yang jelas tentang pemanfaatan setiap obyek dalam kawasan. Hal ini menyebabkan kegiatan ekowisata tidak terkontrol, para pemandu dengan leluasa membawa pengunjung sampai ke dalam kawasan inti CA. Status lahan CATDS adalah hutan negara yang berarti pengelolaannya masih menjadi wewenang pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan. Tingkat pengangguran di bawah 10% dari angkatan kerja yang ada, walaupun ada beberapa yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah buruh tani dan nelayan dan sebagian besar lulusan sekolah dasar18. Masyarakat Batuputih adalah orang-orang yang suka bekerja keras, kalau tidak bisa melaut mereka akan berusaha mencari pekerjaan agar tidak menganggur. Batuputih merupakan pemasok ikan bagi Kecamatan Bitung Utara dan Bitung Timur. 17 18
Hasil wawancara dengan kepala BKSDA Sulut. Data Kelurahan Batuputih, Maret 2005.
46
Ruang gerak pengunjung di CATDS cukup luas, artinya obyek yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata sangat luas dan tersedia, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal baik oleh pengelola maupun oleh pihak swasta. Masyarakat umumnya menyatakan mendukung rencana pengembangan ekowisata dan berharap mendapatkan keuntungan dari kegiatan tersebut. Mereka berharap kegiatan ekowisata akan diatur lebih baik dan lebih “adil”. Masyarakat di sekitar kawasan CATDS terkenal dengan keramahannya yang merupakan ciri khas masyarakat Sulut, memiliki kemampuan komunikasi dan bahasa yang baik (bahasa daerah maupun Indonesia). Hal ini merupakan modal yang besar untuk pengembangan kegiatan ekowisata, tetapi selama ini masyarakat belum dan tidak pernah disiapkan untuk menjadi tuan rumah bagi kegiatan tersebut19. Tangkoko Ecotourism Guides Club (KONTAK) dibentuk di Kelurahan Batuputih, beranggotakan orang-orang muda yang tertarik dan peduli dengan usaha konservasi di CATDS dan TWA Batuputih-Batuangus, saat ini anggota KONTAK berjumlah 22 orang. Sebagian anggota kelompok adalah anak putus sekolah yang berasal dari keluarga petani dan nelayan bahkan ada anak mantan pemburu dan pencuri kayu di dalam kawasan. Karena kepedulian mereka dengan pelestarian kawasan, mereka sering ikut dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan BKSDA seperti patroli dan monitoring. Sebagian dari anggota kelompok ada yang menguasai jenis-jenis flora dan fauna dengan baik. Hal ini karena mereka sering ikut dengan para peneliti yang melakukan penelitian di CATDS. Kelompok ini telah membangun beberapa sarana penunjang baik di dalam maupun di luar kawasan, di dalam kawasan telah dibangun menara pengintai untuk observasi tempat peneluran maleo dan di luar kawasan telah dibangun klinik kesehatan di Kelurahan Batuputih, selain itu mereka telah melakukan atraksi wisata budaya seperti lomba perahu nelayan di Tangkoko (Gambar 13). Selama ini tidak terlihat adanya pendapatan yang dikembalikan untuk mendukung kegiatan pelestarian kawasan. Banyak yang menganggap bahwa harga tiket masuk masih rendah bila dibandingkan dengan keunikan kawasan. Tiket masuk untuk wisatawan asing Rp 35000/orang, jika lebih dari satu orang dalam kelompok maka harga tiketnya menjadi Rp 25000/orang. Dari harga tersebut hanya 19
Hasil wawancara dengan tokoh mayarakat dan LSM yang melakukan survey biodiversity secara rutin di CATDS
47
Gambar 13 Menara pengintai Maleo dan lomba perahu nelayan. Sumber foto: KONTAK (2005).
Rp 5000 yang diberikan untuk pos jagawana, jumlah yang sangat sedikit untuk biaya konservasi kawasan walaupun kawasan CATDS tergolong kecil. Untuk wisatawan lokal tiket masuk Rp 1700/orang dan pelajar Rp 1000/orang. Apabila ingin menaikkan harga tiket masuk maka produk dan atraksi ekowisata harus ditingkatkan.
Sarana dan Prasarana Penunjang Kadar hubungan atau aksesibilitas (Lampiran 8e), akomodasi, prasarana dan sarana penunjang di dalam dan di luar kawasan (lampiran 8f) serta tersedianya air bersih (Lampiran 8g) adalah empat kriteria yang dikelompokkan dalam sarana dan prasarana penunjang.
Kadar hubungan atau aksesibilitas Berdasarkan nilai indeks untuk penilaian kriteria kadar hubungan atau aksesibilitas (82.22 %) kawasan CATDS cukup potensial untuk pengembangan ekowisata. Dari enam kriteria yang dinilai dari kadar hubungan/aksesibilitas, ada dua kriteria yang harus ditingkatkan yaitu frekuensi kendaraan umum dari pusat penyebaran wisata ke obyek dan kapasitas tempat duduk kendaraan menuju obyek wisata. Kondisi dan jarak jalan darat menuju kawasan dalam keadaan baik, walaupun jalannya agak sempit dan berkelok-kelok. Saat hujan jalan agak licin dan berkabut tetapi tidak sampai menganggu aktivitas transportasi menuju kawasan.
48
Letak kawasan sangat dekat dengan Kota Manado (± 60 km) yang memiliki bandara internasional dan dengan Kota Bitung (± 20 km) yang merupakan kota pelabuhan di Sulut. Jenis Transportasi laut biasanya hanya digunakan oleh wisatawan asing, walaupun jenis transportasi umum masih menggunakan mobil bak terbuka20, tetapi frekuensinya ada setiap hari dari Kelurahan Girian (Gambar 14).
Gambar 14 Jenis transportasi darat dan laut.
Akomodasi, prasarana dan sarana penunjang Kawasan CATDS dan TWA Batuputih memiliki satu pintu masuk utama (gambar 15), dari wilayah Batuputih untuk masuk ke dalam kawasan CA harus melewati kawasan TWA Batuputih. Dalam radius 15 km dari kawasan, akomodasi yang tersedia sangat kurang (66.67 %). Disekitar pintu masuk utama kawasan hanya ada empat buah penginapan (homestay) yang keadaannya sangat memprihatinkan. Ada satu buah penginapan yang terletak di ujung Kelurahan Batuputih (Benteng Resort) tetapi keberadaannya tidak memberikan pengaruh terhadap kebutuhan akomodasi di CATDS. Sarana dan prasarana penunjang dalam radius 20 km dari kawasan sangat lengkap, mulai dari fasilitas pelayanan umum seperti kantor pos; telepon umum; rumah makan; bank dan lain sebagainya, tetapi kondisi sarana dan prasarana penunjang di dalam kawasan sangat memprihatinkan, banyak yang rusak dan tidak terawat (Tabel 10, Gambar 16).
20
Mobil yang biasa digunakan untuk mengangkut hasil tangkapan ikan.
49
Gambar 15 Pintu masuk utama kawasan CATDS dan TWA Batuputih. Tabel 10 Sarana dan prasarana di kawasan CA Tangkoko-Duasudara Sarana dan Prasarana Bangunan: Pos jaga TWA Batuputih Pondok kerja TWA Batuputih Pos jaga CA Duasudara Pos jaga TWA Batuangus Shelter TWA Batuputih Loket tiket Pos penelitian
Kendaraan operasional: Sepeda motor Perahu Mesin perahu Alat komunikasi: SSB Antena
Jumlah
Keterangan
1 unit 2 unit (Pos 2 & Pos 3) 1 unit 1 unit 8 unit 1 lokasi 1 buah (di Pos 2)
Baik Baik Rusak berat Rusak 2 rusak, 6 baik Baik Baik, bantuan dari Yayasan Tangkoko Lestari
3 unit 1 unit 1 unit
Baik Rusak Baik
1 unit 1 set
Baik Baik
Sumber: BKSDA Sulut (2004).
Gambar 16 Shelter di depan area camping ground.
50
Tersedianya air bersih Air bersih di dalam kawasan CATDS tersedia sepanjang tahun. Debit air sumber rata-rata lebih dari 30 liter/air, jarak sumber air sangat dekat dengan obyek (0-30 km). Air sangat mudah dialirkan ke obyek dan mudah dikirim dari tempat lain. Di TWA Batuputih terdapat banyak sumber air bersih, ada empat buah sumur yang dibuat yaitu di area camping ground, area shelter 6, Pos 2 dan Pos 3. Air di setiap sumur tersebut sangat jernih, tidak berbau dan tidak asin walaupun jarak sumur sangat dekat dengan laut, hal ini karena CATDS memiliki hutan yang sangat lebat yang merupakan sumber air.
Kebijakan dan Rencana Pengelolaan Kawasan Hubungan obyek dengan obyek wisata lain dan keamanan (Lampiran 8h) adalah dua kriteria yang dikelompokkan dalam kebijakan dan rencana pengelolaan kawasan. Berdasarkan nilai indeks, hubungan obyek dengan obyek wisata lain (88.89 %) dan kondisi keamanan (100 %) kawasan CATDS sangat kondusif untuk pengembangan kegiatan ekowisata, dimana tidak ada binatang pengganggu, tanah yang labil dan bebas dari kepercayaan mengganggu. Untuk atraksi alam (satwa unik) tidak ada obyek wisata lain yang sama dengan CATDS. Obyek wisata alam yang sangat dekat dengan kawasan adalah TNL Bunaken, pantai dan laut Tangkoko belum menjadi tujuan utama untuk wisata laut dan pantai di Sulut. Kebijakan dan rencana pengelolaan kawasan CATDS yang telah dan akan dilakukan oleh BKSDA Sulut adalah sebagai berikut21 A. Pengelolaan kawasan 1. Penyusunan rencana pengelolaan: CATDS, TWA Batuputih dan TWA Batuangus belum memiliki rencana pengelolaan22. 2. Penataan batas kawasan -
Batas buatan (144 buah, batas CA Duasudara dari Kasawari-Temboan)
-
Batas alam (batas CA Tangkoko yaitu Sungai Batuputih, Pantai Batuputih dan Pantai Batuangus)
21 22
-
Batas Fungsi (antara CATDS, TWA Batuputih dan TWA Batuangus)
-
Rekonstruksi batas, dilakukan lima tahun sekali (1988, 1993, 1998, 2003)
BKSDA Sulut (2004). Hasil wawancara dengan kepala BKSDA Sulut.
51
3. Pengembangan sarana prasarana belum maksimal dilakukan. Banyak sarana dan prasarana di dalam kawasan yang rusak berat. 4. Inventarisasi potensi sumberdaya alam, bekerjasama dengan LIPI untuk flora dan WCS-IP Sulawesi untuk fauna (rutin dilakukan setiap bulan) dan dengan para peneliti lainnya. 5. Pembinaan habitat, pada tahun 1978 telah dilakukan reboisasi jenis jati di TWA Batuputih dan di wilayah patar. 6. Pengembangan wisata alam, sarana prasarana yang telah dibangun shelter, pos jaga, sumur dan bangunan MCK di area camping ground. Dibentuknya kelompok pemandu lokal (binaan BKSDA Sulut) 7. Perlindungan dan pengamanan kawasan belum maksimal dilakukan, kurangnya dana dan personil selalu menjadi alasan. B. Pengembangan penelitian 1. Pengumpulan data dan informasi populasi, bekerja sama dengan -
WCS-IP Sulawesi (survei dan monitoring potensi tumbuhan dan satwa liar di CA Tangkoko dan TWA Batuputih)
-
Fakultas Peternakan Unsrat (penelitian primata)
-
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unsrat (penelitian biologi populasi)
-
Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Unsrat (pendidikan)
-
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (penelitian flora khas)
-
Institut Pertanian Bogor (penelitian primata)
-
Penerbitan SIMAKSI (surat ijin masuk kawasan konservasi) untuk peneliti (dalam negeri/luar negeri)
-
Penerbitan ijin pengambilan sampel (3 kali)
-
Penerbitan ijin angkut sampel dalam negeri (3 kali)
2. Pengembangan daerah penyangga -
Pengembangan
usaha
ekonomi
koperasi
desa/kelurahan. -
Kelurahan Makawidey (alat-alat pesta, ternak)
-
Kelurahan Batuputih (ayam, babi, alat-alat pesta)
-
Kelurahan Pinangunian (ternak, alat-alat pesta)
konservasi
masyarakat
52
-
Kelurahan Kasawari (ternak)
-
Kelurahan Pinasungkulan (ternak)
-
Kelurahan Duasudara (alat-alat pesta, ternak)
3. Pengembangan SDM: pemberian muatan lokal bagi anak sekolah (tingkat dasar dan menengah), pembentukan dan pembinaan kader konservasi, pendidikan dan pelatihan polisi hutan dan teknisi. Belum adanya rencana pengelolaan kawasan CATDS yang baku memberikan kesempatan untuk rencana pengembangan ekowisata di dalam kawasan CATDS, apalagi BKSDA Sulut sebagai pengelola dan pemilik kawasan memberikan banyak peluang untuk pengembangan tersebut 23. Selama ini kegiatan ekowisata yang dilakukan hanya terbatas pada pengamatan atraksi-atraksi satwa unik, pengunjung tidak menginginkan atraksi yang lain selain melihat satwa liar. Hal tersebut disebabkan karena tidak ada promosi dan informasi tentang atraksiatraksi menarik lainnya, fasilitas yang tidak terpelihara dengan baik dan lokasilokasi yang dapat dijual tidak pernah difungsikan. Oleh karena itu kelompok pemandu lokal bekerjasama dengan BKSDA Sulut, LSM dan masyarakat lokal mulai membuat atraksi-atraksi menarik di luar kawasan. Sudah saatnya pengunjung diberikan atraksi lain selain satwa liar yang selama ini menjadi tujuan utama mereka, atraksi kegiatan yang berhubungan dengan budaya dan kebiasaan masyarakat lokal layak untuk dijual24. Beberapa paket kegiatan yang telah dilakukan adalah 1
Lomba perahu nelayan se Sulut, lomba ini dilakukan setiap tahun dengan peserta dari seluruh Sulut.
2
Lomba Masamper se Sulut, tarian dan lagu budaya etnis Sangihe-Talaud.
5.1.3. Potensi Pengunjung Jumlah pengunjung rata-rata 500 orang/bulan (ramai) dan 200 orang/bulan (sepi). Pengunjung CATDS 90% adalah wisatawan asing. Selama lima tahun terakhir, tahun 2000 sampai awal tahun 2005 jumlah wisatawan asing yang berkunjung rata-rata 1308 orang/tahun (Gambar 17). Jumlah ini jauh di bawah sepuluh tahun lalu dimana jumlah wisatawan asing tahun 1995 sampai tahun 1999 23 24
Hasil wawancara dengan ketua KONTAK yang menandatangi MOU dengan KSDA untuk kegiatan ekowisata di CATDS. Hasil wawancara dengan ketua KONTAK. 2005.
53
rata-rata 2150 orang/tahun (Gambar 18), walaupun pada tahun 1998 dan 1999 mengalami penurunan yang tajam karena krisis ekonomi. Hal ini terjadi karena selama lima tahun terakhir tidak ada peningkatan dalam hal pelayanan dan sarana penunjang dalam kawasan, bahkan keadaan kawasan sepuluh tahun lalu masih lebih baik dibandingkan dengan keadaan kawasan saat ini. Hal ini terlihat dari banyaknya sarana dan prasarana yang rusak, akomodasi yang tidak terawat dan semakin berkurang. Sebagian besar wisatawan asing berasal dari Belanda, Jepang, Perancis dan Amerika dengan usia remaja hingga dewasa (rata-rata 17–60 tahun). Umumnya tergolong kelompok mainstream dan casual nature tourist, yaitu kelompok yang memerlukan tingkat pelayanan dan akomodasi yang lengkap. 1680
Jumlah Turis Mancanegara
1800 1600 1355
1332
1400
1150
1200
1021
1000 800 600
460
400 200 0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 17 Jumlah wisatawan asing sampai Mei 2005. Sumber: Data pengunjung di loket karcis pos jagawana Batuputih.
Jumlah Turis Mancanegara
4000
3661
3500 2929
3000 2500
2343
2000 1500 1000
866
949
1998
1999
500 0 1995
1996
1997 Tahun
Gambar 18 Jumlah wisatawan asing tahun 1995 sampai tahun 1999. Sumber: Kinnaird (2003).
54
Wisatawan lokal dalam jumlah banyak terlihat hanya pada saat-saat tertentu seperti saat penelitian, studi tur, wisata religius, kegiatan pelatihan oleh instansi pemerintah dan LSM; jumlahnya rata-rata mencapai 684 orang/tahun. Sebagian besar berasal dari Bitung, Manado dan Minahasa yang semuanya masih dalam wilayah Sulut, dengan usia remaja hingga dewasa (rata-rata 16–45 tahun) dan umumnya tergolong dalam kelompok dedicated nature tourist. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan CATDS belum menjadi tujuan ekowisata bagi wisatawan Indonesia. Wisatawan lokal umumnya masuk dalam kelompok yang tidak membutuhkan akomodasi yang lengkap. Umumnya wisatawan asing datang berkelompok antara 4–12 orang, ada yang menggunakan mobil pribadi/sewaan dan perahu motor yang disediakan oleh biro perjalanan atau hotel tempat mereka menginap, tetapi ada juga yang datang dengan menggunakan transportasi umum. Sejak lima tahun terakhir hampir tidak ada wisatawan asing yang tinggal lebih dari satu malam, rata-rata lama kunjungan lebih kurang hanya 3–5 jam. Biasanya yang menginap adalah para penggemar burung terutama burung malam atau mereka yang akan membuat film tentang kawasan25. Hal ini disebabkan karena sangat mudah melihat atraksi unik di dalam kawasan dan tidak ada informasi serta promosi tentang obyek wisata lain, selain itu jarak yang sangat dekat dengan obyek-obyek wisata lain di luar kawasan yang mempunyai penginapan, vila dan hotel yang lebih baik serta jarak yang sangat dekat dengan Kota Bitung dan Kota Manado. Musim kunjungan yang ramai antara bulan Mei sampai bulan Oktober, ini sangat berkaitan dengan musim kunjungan di TNL Bunaken, “Umumnya wisatawan asing setelah melakukan kegiatan menyelam di Bunaken selalu ingin mengunjungi Tangkoko, mereka ingin melihat tarsius (Tarsius spectrum) dan yaki (Macaca nigra)” 26. Kurangnya pemandu terlatih menyebabkan pengunjung yang datang selalu membawa pemandu yang telah disediakan oleh biro perjalanan atau hotel tempat mereka menginap. Faktor pembatasnya antara lain kurangnya kemampuan berbahasa asing dan teknik interpretasi yang buruk, pemandu lokal
25 26
Hasil wawancara dengan para pemilik homestay di CATDS. Hasil wawancara dengan para pengelola tour operator, resort, homestay, hotel yang biasa membawa wisatawan asing ke CATDS
55
seperti hanya sebagai penunjuk jalan. Data kunjungan yang tercatat dengan baik hanya data wisatawan asing sedangkan wisatawan lokal tidak ada data yang akurat. Rata-rata wisatawan asing memberikan kesan yang baik dan sangat puas dengan pemandangan alam dan satwa dalam kawasan. Mereka menyatakan ketidakpuasan terhadap para pemandu lokal yang umumnya tidak memiliki pengetahuan tentang hutan dan satwa yang baik serta kemampuan bahasa yang sangat kurang. Mereka menyatakan kecewa karena kegiatan ekowisata tidak dikelola dengan baik. Saran-saran yang disampaikan dalam kaitannya dengan ekowisata yaitu peningkatan kemampuan pemandu lokal dari segi teknik interpretasi dan kemampuan bahasa. Perbaikan sarana dan prasarana terutama akomodasi, informasi tentang potensi kawasan harus disediakan dengan lengkap, eksistensi flora dan fauna beserta habitatnya dapat tetap dipertahankan. Struktur umur dan asal pengunjung yang sangat potensial menunjukkan bahwa preferensi obyek dan segmentasi pasar ekowisata terhadap kawasan sangat tinggi. Tetapi karena tidak ada pengelolaan pengunjung menyebabkan lama kunjungan yang pendek, tujuan kunjungan yang terbatas dan pola kunjungan yang tidak merata. Tidak adanya pengelolaan pengunjung dapat dilihat dari tidak ada batasan jumlah pengunjung, bila ada lima kelompok yang datang pada hari dan jam yang sama dan ingin melihat atraksi yang sama maka mereka akan dibiarkan masuk secara bersama untuk melihat atraksi tersebut. Sering terjadi di satu pohon tidur tarsius terdapat 15–30 orang yang menunggu. Tidak tersedianya areal parkir menyebabkan rata-rata pengunjung yang membawa kendaraan memarkir kendaraan dalam kawasan, biasanya sampai di Pos 2 dan Pos 327 (Gambar 19). Pengelolaan pengunjung dapat dilaksanakan melalui program-program interpretasi dan pendidikan lingkungan (PHKA 2001), yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan ekowisata.
27
Pos penelitian yang terletak diperbatasan TWA Batuputih dan CATDS.
56
Gambar 19 Mobil dan motor yang diparkir di dalam kawasan.
5.2.
Analisis Stakeholder: Peranan dan Kepentingannya Dalam pengembangan ekowisata memerlukan koordinasi dan integrasi yang
baik dari semua stakeholder. Pemanfaatan kawasan CATDS untuk ekowisata yang tidak disertai dengan rencana pengelolaan dapat menimbulkan potensi konflik yang tinggi di antara stakeholder. Potensi konflik dapat terjadi antara pariwisata vs lingkungan dan pariwisata vs masyarakat (Sekartjakrarini 2004). Analisis stakeholder membantu mengidentifikasi pelaku utama dan pelakupelaku lain yang secara tidak langsung terlibat dalam konflik tersebut. Stakeholder utama merupakan stakeholder yang tidak bisa dihilangkan fungsinya dalam mencari jalan keluar memecahkan masalah dan merupakan pihak yang merasakan langsung akibat dari konflik tersebut. Dalam konflik pengembangan ekowisata di kawasan CATDS, stakeholder utama adalah pemerintah (BKSDA), Pemkot Bitung dan masyarakat (kelompok pemandu lokal). Stakeholder sekunder adalah pengunjung, masyarakat lokal, LSM dan sektor swasta (industri). Tabel 11 menunjukkan peranan, tuntutan-tuntutan dan kepentingan-kepentingan masingmasing stakeholder dalam memecahkan pokok masalah dalam pengembangan ekowisata di CATDS.
57
Tabel 11 Analisis stakeholder: peranan dan kepentingannya Pokok masalah
Stakeholder
Peranan
Tuntutan
Kepentingan
Pemerintah (BKSDA Sulut)
- Penentu kebijakan dan rencana pengelolaan kawasan
Kawasan CATDS bebas dari perambahan dan pencurian
Menjaga agar fungsi kawasan sebagai wilayah sistem penyanggah kehidupan tetap terjaga
- Petugas jagawana tidak boleh menjadi pemandu wisata dalam kawasan
Ijin untuk mengelola ekowisata dalam kawasan
- Monitoring dan evaluasi Masyarakat (kelompok pemandu lokal)
Pengembangan ekowisata
Pemkot Bitung
Pengunjung
Terlibat aktif dalam setiap kegiatan pelestarian dan pengembangan masyarakat lokal serta peningkatan sarana dan prasarana kawasan
- Dilibatkan dalam penyusunan rencana pengelolaan kawasan
- Kawasan CATDS - Mendapatkan - Sosialisasi PAD pengembangan dijadikan tujuan ekowisata kegiatan - Masyarakat ekowisata lokal - BKSDA Sulut merasakan mau bekerjasama - Monitoring dalam perencanaan keuntungan dan evaluasi pengelolaan kegiatan dari kegiatan ekowisata kawasan ekowisata
- Semua atraksi unik - Mendapatkan kepuasan dari dalam kawasan obyek/atraksi dapat dinikmati wisata - Pemandu yang - Mendapatkan profesional pelayanan - Ikut serta terbaik dari dalam promosi - Sarana-prasarana penyelenggara yang baik ekowisata kegiatan ekowisata - Turut serta dalam pembiayaan pelestarian kawasan
58
Lanjutan Pokok masalah
Stakeholder
Peranan
Tuntutan
Kepentingan
Masyarakat lokal
Menjaga kelestarian kawasan
Dilibatkan dalam rencana pengelolaan kawasan
Merasa sebagai pemilik kawasan yang sebenarnya
- Pendidikan dan pelatihan
Pengembangan
LSM
ekowisata
Sektor swasta (industri)
- Pemantau dan pendamping terhadap kepentingan masyarakat lokal
- CATDS tetap Pemerintah (BKSDA Sulut dan lestari Pemkot Bitung) harus bekerjasama - Manfaat kegiatan dengan masyarakat ekowisata lokal dalam dapat dirasakan menentukan arah oleh kebijakan masyarakat pengelolaan lokal dan kawasan CATDS kawasan
- Kondisi kondusif - Membuka lapangan kerja untuk berusaha - Dukungan penuh - Pelayanan dari masyarakat informasi dan lokal dan promosi pemerintah
Mendapatkan keuntungan dari kegiatan ekowisata
Dari hasil analisis stakeholder terlihat bahwa diantara pelaku-pelaku utama (stakeholder utama) memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kepentingankepentingan tersebut adalah -
Pemerintah (BKSDA Sulut): sebagai lembaga yang memiliki wewenang penentu kebijakan dalam rencana pengelolaan kawasan maka BKSDA harus berusaha agar fungsi kawasan CATDS sebagai wilayah sistem penyanggah kehidupan tetap terjaga, tetapi karena tidak ada kerjasama yang baik dengan stakeholder lain maka kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan kawasan tidak berjalan dengan baik. Masyarakat lokal belum dilibatkan secara maksimal dalam rencana pengelolaan kawasan, sementara itu masalah dan tekanan yang dihadapi kawasan semakin tinggi. Kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan hanya sebagai kegiatan rutin yang tidak pernah diaplikasikan dalam penentuan kebijakan pengelolaan, terutama yang berhubungan dengan kegiatan
59
ekowisata. TWA Batuputih yang seharusnya dapat dijadikan tameng untuk perlindungan kawasan CA tidak difungsikan secara maksimal. Kebijakan topdown yang selama ini dilakukan BKSDA ternyata tidak mampu untuk memecahkan masalah dan tekanan yang dihadapi kawasan terutama masalah pengembangan ekowisata. Untuk itu harus dibangun manajemen kolaborasi (co-management) dengan semua pihak yang terlibat dalam kegiatan ekowisata dan pelestarian kawasan. -
Masyarakat (kelompok pemandu lokal): tuntutan untuk mendapatkan ijin mengelola kegiatan ekowisata dalam kawasan adalah keputusan yang tidak dapat ditawar lagi, karena selama ini mereka telah menjadi bagian dari kegiatan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Adanya ijin mengelola kagiatan ekowisata merupakan salah satu bentuk pengakuan dan perlindungan bagi hak-hak serta kewajiban mereka. Hal ini akan memberikan jaminan dalam pelestarian kawasan, dimana kegiatan ekowisata tidak lagi menjadi ancaman bagi kelestarian kawasan CA karena akan dikelola dengan baik. Artinya sebagai kelompok pemandu mereka dapat menjalankan kegiatan ekowisata dengan teratur dan terencana serta jagawana dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penjaga kawasan.
-
Pemkot Bitung: sebagai pemilik wilayah, pemkot mengharapkan dapat terlibat langsung dalam pengelolaan kawasan karena mereka menganggap bahwa pemerintah (BKSDA) tidak mampu mengelola CATDS. Pemerintah pusat dianggap tidak dapat mengendalikan masalah-masalah yang dihadapi kawasan, terutama masalah kegiatan ekowisata. Pemkot melihat bahwa kawasan CATDS adalah sumberdaya yang sangat potensial untuk tujuan wisata. Oleh karena itu mereka mengharapkan BKSDA mau bekerjasama dalam menentukan kebijakan pengelolaan kawasan, sehingga kawasan CATDS dapat dijadikan sebagai tempat tujuan wisata sekaligus sebagai tempat pelestarian alam.
Stakeholder sekunder juga memiliki kepentingan yang berbeda-beda, yaitu - Pengunjung: sebagai elemen penentu dalam kegiatan ekowisata, mereka menuntut agar semua atraksi unik dalam kawasan dapat dinikmati serta pelayanan yang maksimal dari penyelenggara ekowisata. Karakteristik pengunjung sangat menentukan arah kebijakan dalam perencanaan pengelolaan
60
kegiatan ekowisata, karena tanpa mereka kegiatan ekowisata tidak akan memberikan kontribusi bagi upaya konservasi dan pengembangan masyarakat lokal. -
Masyarakat lokal: merasa sebagai pemilik kawasan yang sebenarnya, mereka menuntut untuk dilibatkan secara langsung mulai dari tahap awal perencanaan pengelolaan kawasan. Upaya-upaya konservasi yang dilakukan pemerintah tidak akan maksimal jika masyarakat lokal tidak dilibatkan. Mereka harus merasakan manfaat dari setiap kegiatan yang dilakukan dalam kawasan, dengan demikian mereka akan merasa memiliki dan turut aktif dalam pelestarian kawasan. Kegiatan ekowisata harus disosialisikan kepada masyarakat lokal, agar supaya mereka siap untuk pengembangan kegiatan tersebut.
-
LSM: sebagai pendamping masyarakat lokal, LSM tetap berusaha untuk menjaga agar kawasan tetap lestari dan masyarakat lokal merasakan keuntungan dari kegiatan ekowisata. oleh karena itu, mereka menuntut BKSDA mau bekerjasama dengan masyarakat lokal, Pemkot dan stakeholder lain yang memiliki kepentingan dalam kawasan untuk menentukan arah kebijakan pengelolaan kawasan, terutama dalam rumusan pengembangan ekowisata.
-
Sektor swasta (industri): sebagai pemilik modal dalam kegiatan ekowisata, mereka menuntut adanya kondisi yang kondusif untuk berusaha dan dukungan penuh dari masyarakat lokal dan pemerintah.
5.3.
Evaluasi Jalur Interpretasi Pengunjung yang datang ke CATDS tidak hanya ingin melihat atraksi yang
unik saja. Tetapi mereka juga ingin mempelajari dan mengetahui lebih jauh tentang kawasan dan ekosistemnya, untuk itu program interpretasi dalam kawasan sangat penting. Di dalam kawasan CATDS belum ada satupun program interpretasi yang dikemas dan direncanakan dengan baik. Hal ini terlihat dari kurangnya sarana dan prasarana pendukung di dalam kawasan, tidak ada pusat informasi serta tidak ada pemandu yang terlatih. Banyak program interpretasi yang dapat dikembangkan di dalam kawasan CATDS, salah satunya adalah jalur interpretasi. Di dalam kawasan terdapat banyak jalur atau tapak baik jalur pemburu, pencuri kayu dan jalur-jalur penelitian. Hampir
61
semua peneliti yang melakukan penelitian di kawasan selalu membuat jalur baru, akibatnya banyak jalur yang membingungkan dalam kawasan28. Kelompok pemandu lokal dan petugas jagawana sepakat untuk tidak akan membuka jalur baru dalam kawasan, biasanya mereka menggunakan jalur penelitian WCS-IP Sulawesi, Jalur Lingkar yang dimulai dari belakang Pos 3 dan Jalur Alang-alang yang dimulai dari area camping ground. Daya tarik utama kawasan CATDS adalah keunikan obyek wisata darat. Oleh karena itu evaluasi jalur interpretasi melalui daratan sangat diperlukan, karena jalur interpretasi adalah salah satu kunci dalam manajemen pengunjung dan pengelolaan ekowisata (Wallace 1993). Evaluasi jalur interpretasi dilakukan dengan analisis MPE dan penentuan jalur interpretasi didasarkan pada kondisi nyata, artinya dipilih dari jalur yang telah ada dan sering digunakan pengunjung serta dapat mewakili semua atraksi unik kawasan (Tabel 12, Gambar 20).
Tabel 12 Matriks potensi atraksi di jalur interpretasi Potensi atraksi
Jalur interpretasi
Mn Ts Bl Ks Rg Jalur A (Puncak)
x
x
Jalur B (Pantai Babi)
-
-
Jalur C (Pantai)
x
Jalur D (Patar)
Hl
Hp
Bw
Ai
Re
Wk
X
x
x
x
x
-
-
x
-
-
x
x
x
x
-
-
-
-
-
-
x
-
x
x
-
-
-
x
x
-
x
x
-
-
x
x
x
x
Jalur E (Pinangunian)
-
-
-
-
x
x
-
x
-
x
x
Jalur Kumeresot
x
-
-
-
-
-
-
x
x
x
-
Jalur Lingkar
x
x
x
x
x
-
x
x
-
-
x
Jalur Alang-Alang
x
-
-
-
-
-
x
x
-
x
-
M: Macaca nigra, T: Tarsius spectrum, Bl: Beringin Lobang (Ficus altissima), K: Kuse (Ailurops ursinus & Stigocuscus celebensis), R: Rangkong (Rhyticeros cassidix), Hl: Hutan Lumut, Hp: Hutan Pantai, Br: Birdwacthing, A: Air, Re: Reptil, W: Woka (Livistona rotundifolia).
28
Hasil wawancara dengan kepala pos resort Batuputih
63
Dari delapan alternatif jalur interpretasi yang dievaluasi lima jalur merupakan jalur penelitian WCS-IP Sulawesi (Jalur A–E), satu jalur yang tidak umum (Jalur Kumeresot) dan dua jalur yang umum (Jalur Lingkar dan Jalur Alangalang). Rata-rata panjang jalur interpretasi yang di evaluasi tidak ada yang pendek tetapi tanpa menyusurinya sampai finis semua atraksi unik dalam kawasan dapat dinikmati, kecuali bila ingin melihat hutan lumut di puncak Tangkoko maka harus menyusuri Jalur Puncak sampai finis. Kedelapan jalur interpretasi tersebut adalah sebagai berikut 1
Jalur A (Puncak): dari Pos 3 ke arah puncak Gunung Tangkoko(± 5.5 km).
2
Jalur B (Pantai Babi): dari daerah Pantai Babi (kira-kira 8 km dari Pos 3) ke arah puncak Gunung Tangkoko (± 4.6 km)
3
Jalur C (Pantai): ± 200 meter dari Pos 3 tepat di perbatasan TWA dan CA, menyusuri daerah pantai ke arah Pantai Babi (± 8 km)
4
Jalur D (Patar): dari belakang pos 2 (± 100 meter masuk ke dalam hutan) ke arah air terjun (± 5.5 km)
5
Jalur E (Pinangunian): masuk dari Desa Pinangunian, titik nol dari Desa Kasawari ke arah Gunung Tangkoko (± 5.5 km)
6
Jalur Kumeresot: dari ujung Batuputih ke arah air terjun (± 3 km).
7
Jalur Lingkar: mulai dari belakang Pos 2 dan Pos 3 melingkar ke arah Beringin Lobang, balik lagi ke Pos 3.
8
Jalur Alang-alang: dari area camping ground ke arah Pos 3.
Tabel 13 menunjukkan bahwa jalur interpretasi yang paling menarik adalah Jalur Lingkar, kemudian Jalur Kumeresot dan Jalur Puncak. Jalur Lingkar (Gambar 21) merupakan jalur yang paling mudah dan menjadi favorit bagi para pemandu (lokal dan luar kawasan). Karena banyaknya kelompok pengunjung yang selalu menggunakan jalur tersebut menyebabkan kebersihan dan kenyamanan jalur agak terganggu. Hanya dengan waktu lebih kurang satu jam semua atraksi unik yang menjadi unggulan kawasan dapat di lihat dengan mudah melalui jalur tesebut. Hal ini sangat tidak menguntungkan karena tidak ada atraksi unik dan menarik lainnya yang ditawarkan untuk menahan lama kunjungan pengunjung.
64
Tabel 13 Hasil evaluasi jalur interpretasi Jalur Interpretasi
Nilai
Urutan
Jalur Puncak Jalur Pantai Babi Jalur Pantai Jalur Patar Jalur Pinangunian Jalur Kumeresot Jalur Lingkar Jalur Alang-alang
11.67 10.9 11.34 11.48 10.99 11.49 11.72 11.33
II VIII V IV VII III I VI
Jalur Kumeresot (Gambar 22) adalah jalur yang tidak melalui pintu masuk utama kawasan, jalur ini dimulai dari ujung kampung Batuputih menuju ke air terjun Tambun dan Kumeresot dan satu-satunya jalur yang melewati sumber air panas tempat bekas peneluran maleo (Macrocephalon maleo)29. Jalur ini belum digunakan secara maksimal, hanya beberapa pemandu lokal yang dapat menyakinkan pengunjung untuk menyusuri jalur tersebut. Jalur Puncak (Gambar 23) merupakan jalur favorit untuk melihat hutan lumut di puncak Gunung Tangkoko. Tipe habitat di puncak Tangkoko sangat sensitif, untuk itu jumlah pengunjung harus dibatasi. Jalur ini sering dipilih pengunjung yang ingin melihat burung-burung dataran tinggi. Jalur Alang-alang (Gambar 22) dapat dikembangkan sebagai pusat kegiatan pengamatan burung (birdwatching), sedangkan jalur interpretasi yang lain hanya sesuai untuk penelitian dan harus ditutup untuk umum termasuk untuk kegiatan ekowisata. Dari kedelapan alternatif jalur interpretasi tersebut hanya Jalur Alang-alang di sekitar area camping ground yang tidak masuk dalam wilayah CA, untuk itu diperlukan suatu pembagian zona. Pada prinsipnya kawasan CATDS terbagi atas empat zona yaitu area CA, area TWA, area pemanfaatan dan area pemukiman. Pembagian zona dalam kawasan konservasi sangat penting karena di dalam zona yang berbeda mempunyai fungsi dan tingkatan konservasi yang berbeda, apabila dikaitkan dengan boleh tidaknya masyarakat berkunjung ke dalam kawasan tersebut (Sulthoni 2000). 29
Hasil wawancara dengan petugas jagawana resort Batuputih dan masyarakat yang pernah ikut dalam penelitian maleo.
1 2
12
4
11 6 9
65
Gambar 21 Peta Jalur Lingkar.
2 11
4
66
9 Gambar 22 Peta Jalur Kumeresot dan Jalur Alang-Alang.
67 67
3
7
9
Gambar 23 Peta Jalur Puncak.
68
Untuk itu kelompok pemandu lokal didampingi LSM merekomendasikan pembagian zona dalam kawasan berdasarkan pembagian blok kawasan konservasi untuk pariwisata alam, yaitu blok pemanfaatan dan perlindungan (PHKA 2001) dan disesuaikan dengan kondisi kawasan saat ini. Pembagian Zona tersebut adalah sebagai berikut 1. Zona 1 (area alam): aktivitas manusia dibatasi dan hanya dapat dilakukan bila tidak merusak alam. -
Zona 1a (strict nature area): aktivitas yang boleh dilakukan manusia hanya murni penelitian.
-
Zona 1b (nature conservation area): aktivitas manusia hanya terbatas untuk penelitian dan konservasi. Kegiatan konservasi diperlukan jika aktivitas manusia langsung dan tidak langsung mengancam area alam bebas, seperti di tempat peneluran maleo di pantai Rumesung.
-
Zona 1c (guided tourism area): komponen alam masih tetap yang utama, fasilitas wisata dapat dibangun di bawah pengawasan, area ini dapat berada di semua tipe habitat dan juga dapat menentukan jumlah pengunjung per habitat. Dalam kawasan CA, area ini dibatasi dengan jalur interpretasi yang dapat di lewati pengunjung. Area ini juga memungkinkan untuk kegiatan trekking dengan aktivitas terbatas seperti tidak membuat api dan semua sampah harus dibawa kembali keluar (sampah administrasi).
2. Zona 2 (area pemanfaatan): aktivitas manusia sangat dimungkinkan, tetapi pembangunan sarana dan prasarana harus dibatasi. Di area ini aktivitas manusia dan komponen alam harus seimbang. -
Zona 2a (tourism area): area yang luasnya terbatas dimana pengunjung dapat beraktivitas tanpa pemandu. Harus ada area untuk rekreasi seperti camping ground dan area piknik. Memasak dan membuat api dapat dilakukan di tempat yang telah ditentukan, sampah dibuang di tempat yang telah disediakan dan tidak boleh ada keributan/bising.
-
Zona 2b (extensive agriculture area): kegiatan seperti pengembalaan sapi dapat dilakukan seperti di belakang area camping ground, tetapi dalam skala yang kecil dan tidak intensif.
69
3
Zona 3 (intensive use area): di area ini aktivitas manusia sangat mendukung. Sarana dan prasarana seperti hotel, resort, homestay dapat dibangun. Aktivitas pertanian dapat dilakukan dengan intensif, tetapi penggunaan bahan kimia harus dibatasi karena sangat dekat dengan kawasan lindung.
4
Zona 4 (habitation area): area pemukiman, semua desa yang berbatasan langsung dengan kawasan.
5.4.
Evaluasi Alternatif Kebijakan Dalam analisis pengembangan ekowisata di kawasan CATDS semua
kelebihan, kelemahan, ancaman dan peluang kawasan di analisis lebih mendalam untuk menentukan alternatif-alternatif kebijakan pengembangan yang akan di evaluasi dengan MPE. Tabel 14 menunjukkan bahwa bobot dari kriteria penilaian obyek dan daya tarik wisata alam berada di urutsn pertama sedangkan obyek wisata alam, budaya dan buatan di luar kawasan di urutan terakhir dibandingkan kriteria penilaian lainnya. Ini berarti bahwa keunikan/kekhasan flora dan fauna merupakan kriteria paling penting dalam menentukan alternatif kebijakan untuk pengembangan ekowisata di kawasan CATDS. Hasil pembobotan ini sesuai dengan keadaan kawasan CATDS saat ini, dimana obyek dan daya tarik wisata alam selama ini merupakan modal utama untuk menarik pengunjung. Fandeli (2000d) menyatakan bahwa ekowisata sangat ditentukan oleh keberadaan perilaku dan sifat dari obyek dan daya tarik alam. Tabel 14 Urutan bobot kriteria penilaian alternatif kebijakan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kriteria Obyek & daya tarik wisata alam (keunikan/khas) Sarana dan prasarana Aksesibilitas Sumberdaya manusia Pengunjung Sarana & prasarana di luar kawasan Sosial ekonomi Obyek wisata alam, budaya & buatan diluar kawasan Partisipasi masyarakat Jumlah
Bobot 0.99271 0.00250 0.00082 0.00305 0.00011 0.00006 0.00001 0.00001 0.00071 1.00000
Urutan I III IV II VI VII VIII VIII V
70
Urutan bobot kedua adalah SDM, CATDS memerlukan SDM yang berkualitas. Pengunjung yang berkunjung ke obyek alam telah tersegmentasi pada wisatawan minat khusus, dimana mereka menginginkan suatu perjalanan yang berkualitas (Fandeli 2000d). Hal ini memungkinkan mereka untuk kontak secara langsung dan lebih mendalam dengan obyek alam dan masyarakat lokal. Oleh karena itu peranan pemandu sangat dibutuhkan karena mereka adalah mediator antara obyek dan pengunjung, jika masyarakat lokal dapat menjadi pemandu profesional maka akan saling menguntungkan keduanya (shuib 1997). Umumnya dalam ekowisata lembaga yang paling lemah adalah pengelola kawasan dan pemandu, jika keduanya maju maka ekowisata akan berkembang (Fandeli 2000d). Urutan bobot ketiga adalah sarana dan prasarana di dalam kawasan. Fasilitas yang tersedia di dalam kawasan CATDS masih sangat kurang, kalaupun ada sudah rusak dan tidak terawat. Urutan bobot berikutnya adalah aksesibilitas, para pakar menganggap bahwa aksesibilitas yang tinggi menjadi ancaman bagi kelestarian kawasan CATDS hal ini sesuai dengan Fandeli (2000d) yang menyatakan bahwa untuk kepariwisataan tertentu aksesibilitas yang terlalu tinggi dapat mengancam kelestarian suatu obyek dan daya tarik wisata. Aksesibilitas yang tinggi tidak akan menjadi ancaman bagi kelestarian kawasan, jika kegiatan ekowisata dilaksanakan dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik. Kriteria penilaian partisipasi masyarakat berada di urutan kelima, masyarakat lokal merasa bahwa CATDS adalah milik mereka. Oleh karena itu mereka ingin dilibatkan dalam setiap perencanaan pengelolaan kawasan. Pengembangan kawasan untuk ekowisata tidak akan memberikan manfaat bagi masyarakat lokal, jika mereka tidak terlibat secara langsung dengan kegiatan tersebut (Shuib 1997). Partisipasi masyarakat harus melibatkan semua stakeholder, karena dengan berpartisipasi bukan saja hanya menjalankan kewajiban tetapi untuk memperoleh hak mereka. Apabila kelima kriteria tersebut terpenuhi dengan baik maka keempat kriteria lain yaitu pengunjung, sarana dan prasarana di luar kawasan, sosial ekonomi dan obyek wisata di luar kawasan akan memberikan pengaruh dan manfaat bagi pengembangan ekowisata kawasan. Secara keseluruhan, hasil pembobotan menunjukkan bahwa keunikan dan kekhasan kawasan dalam hal ini
71
flora dan fauna merupakan modal utama bagi pengembangan ekowisata di CATDS. Artinya, apabila keunikan dan kekhasan tersebut hilang/rusak maka tidak ada lagi atraksi unik yang dapat dijual. Tabel 15 menunjukkan bahwa alternatif kebijakan “ekowisata di CA dan TWA dengan sistem zonasi” menjadi prioritas pertama dalam rencana pengembangan ekowisata di CATDS, walaupun total nilainya berbeda tidak nyata dengan alternatif kebijakan perubahan statuss. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan ekowisata dengan sistem zonasi secara tidak langsung berhubungan dengan pengelolaan ekowisata dengan sistem perubahan status. Sistem zonasi yang direkomendasikan memungkinkan kawasan inti CA tetap menjadi blok perlindungan, dimana aktivitas manusia dibatasi.
Tabel 15 Hasil evaluasi alternatif kebijakan No Alternatif Kebijakan 1 2 3
Ekowisata dipusatkan di TWA Ekowisata di CA dan TWA dengan sistem sonasi Ekowisata di CA dan TWA dengan perubahan status
Nilai
Urutan
12.955 16.873 16.871
III I II
Menurut Fandeli (2000d), untuk menjaga kelestarian dan kekayaan alam diperlukan perencanaan. Perencanaan tersebut dilakukan dengan pemintakan atau zonation. Pada umumnya di dalam kawasan konservasi dilakukan zonasi mulai dari yang ketat dilindungi hingga yang intensif pemanfaatannya. Pengelolaan dengan sistem zonasi sangat sesuai dengan kondisi kawasan CATDS saat ini dan dapat memberikan kesempatan bagi semua pihak untuk terlibat aktif dalam pengembangan ekowisata di CATDS.
5.5.
Aplikasi dalam Pengembangan Ekowisata Berdasarkan hasil penilaian potensi, kawasan CATDS sangat potensial
untuk pengembangan ekowisata, dimana 1
Kawasan CATDS tergolong kecil tetapi memiliki flora dan fauna yang unik, tidak terdapat di daerah lain dan sangat mudah dilihat/dinikmati.
2
Memiliki tipe habitat hutan yang lengkap, dari hutan pantai sampai hutan pegunungan atas (elvin cloud forest) di puncak Tangkoko dan Duasudara.
72
3
Memiliki pantai dan laut yang unik.
4
Akses yang sangat dekat dengan Kota Bitung (kota pelabuhan) dan Kota Manado (memiliki bandara internasional).
5
Sulut sangat aman dan bersahabat untuk kegiatan pariwisata. Kawasan
CATDS
juga
memiliki
komponen
stakeholder
yang
menginginkan kawasan tetap lestari. Apapun rencana pengelolaan kawasan selama kawasan tetap terjaga dan tidak menjadi milik pribadi maka masyarakat lokal akan tetap mendukung kebijakan tersebut30. Akomodasi di sekitar kawasan dan kemampuan interpretasi pemandu lokal juga harus ditingkatkan, sehingga wisatawan akan tinggal lebih lama dan menghabiskan lebih banyak waktu serta uang mereka di kawasan CATDS. Strategi yang perlu dilakukan adalah menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan budaya, meningkatkan pelayanan, akomodasi, sarana dan prasarana untuk menunjang pengembangan yang berkelanjutan. Untuk itu diperlukan perencanaan pengembangan yang terintegrasi dengan prinsip pengelolaan co-management.
30
Hasil wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat di sekitar kawasan CATDS
VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1
Kawasan CATDS sangat potensial untuk dikembangkan sebagai obyek ekowisata
2
Daya tarik utama kawasan adalah keunikan/kekhasan flora dan fauna
3
Terdapat tiga jalur interpretasi yang potensial yaitu Jalur Lingkar, Jalur Kumeresot dan Jalur Puncak
4
Rumusan pengembangan “ekowisata di CA dan TWA dengan sistem zonasi” menjadi pilihan pertama dalam rencana pengembangan ekowisata di CATDS, yang menunjukkan bahwa ekowisata di kawasan CATDS tidak bisa dikembangkan secara terpisah, untuk itu diperlukan kerjasama antara semua stakeholder.
Saran 1
Rencana pengelolaan pariwisata kawasan harus diintegrasikan dengan pengembangan atraksi lainnya.
2
Pengembangan Ekowisata harus masuk dalam perencanaan pengembangan kawasan CATDS secara keseluruhan.
3
Manajemen kolaborasi perlu dibangun dengan melibatkan masyarakat lokal mulai dari tahap perencanaan pengelolaan kawasan CATDS.
DAFTAR PUSTAKA Adhikerana, A.S. 1999. Ekowisata di Indonesia: antara angan-angan dan kenyataan. Bahan seminar pengembangan industri pariwisata di Indonesia. Sekolah Tinggi Pariwisata (NHI). Bandung Archabald, K., and L.N. Travis. 2001. Tourism revenue sharing around National Parks in Western Uganda; early efforts to identify and reward local communities. Environmental Conservation 28(2):135-149. BKSDA, Sulut. 1998. Informasi Kawasan Konservasi di Propinsi Sulawesi Utara. Departemen Kehutanan dan Perkebunan: Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Sulawesi Utara. Manado. BKSDA, Sulut. 2004. Pengelolaan Kawasan Konservasi di Bitung. Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Sulawesi Utara. Manado Boo, E. 1990. Ecotourism: the potentials and pitfalls. WWF Publication, Baltimore. USA. Vol.1 Carlson, T.J.S. 2001. Case study on medicinal plant research in Guinea: prior informed consent, focused benefit sharing, and compliance with the convention on biological diversity. Economic Botany 55(4): 478-491. Ceballos-Lascurain, H. 1993. Ekoturisme Sebagai Suatu Gejala yang Menyebar ke Seluruh Dunia. Agencies Collaborating Together (PACT) dan Yayasan Alam Mitra Indonesia (ALAMI) [Penerjemah]; K. Lindberg dan D.A. Hawkins [Editor]. Terjemahan dari Ecotourism: A Guide for Planners and Managers. The Ecotourism Society. North Bennington. Cooper, C., J. Fletcher., D. Gilbert, and Wanhill. 1993. Tourism, Principles and Practice. Essex: Longman Group. Fandeli, C. 2000a. Bagian I. Konsep dan Pengertian Ekowisata: Pengertian dan Konsep Dasar Ekowisata. Dalam C. Fandeli dan Mukhlison [Editor]. Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan UGM, UKSDA Jogya dan Pustaka Pelajar. Jogyakarta. pp.3-11. Fandeli, C. 2000b. Bagian II. Kebijakan Pengembangan Ekowisata: Pengembangan Ekowisata Dengan Paradigma Baru Pengelolaan Areal Konservasi. Dalam C. Fandeli dan Mukhlison [Editor]. Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan UGM, UKSDA Jogya dan Pustaka Pelajar. Jogyakarta. pp.56-73. Fandeli, C. 2000c. Bagian III. Perencanaan Pengembangan Ekowisata: Perencanaan Nasional Pengembangan Ekowisata. Dalam C. Fandeli dan Mukhlison [Editor]. Pengusahaan Ekowisata. Fak. Kehutanan UGM, UKSDA Jogya dan Pustaka Pelajar. Jogyakarta. pp.95-113.
75
Fandeli, C. 2000d. Bagian III. Perencanaan Pengembangan Ekowisata: Perencanaan Pariwisata Alam. Dalam C. Fandeli dan Mukhlison [Editor]. Pengusahaan Ekowisata. Fak. Kehutanan UGM, UKSDA Jogya dan Pustaka Pelajar. Jogyakarta. pp.157-174. Fennell, D.A. 1999. Ecotourism an Introduction. Routledge. London. Giannecchini, J. 1993. Ecotourism: new partners, new relationship. Conservation Biology 7: 429-432. IUCN. 1991. Atlas of Tropical Rainforest. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Gland, Switzerland. Jacobson, S.K. 1994. Biological impacts of ecotourism: tourists and nesting turtles in Tortuguero National Park, Costa Rica. Wildlife Society Bulletin 22:414-419. Kinaird, M.F. 2003. Ecotourism in the Tangkoko-Duasudara Nature Reserve: lost opportunities? [Bahan presentasi]. Disampaikan dalam seminar ilmiah Tiger in the Forest: Sustainable Nature-Based Tourism in SE Asia. American Museum of Natural History, 20-22 Mar 2003. USA. Kinnaird, M.F., T.G. O’Brien., A.D. Dwiyahreni, dan N.L. Winarni. 2000. Pemanfaatan Sumberdaya Alam Tangkoko-Duasudara, Sulawesi Utara, Permasalahan dan Pemecahannya. Memorandum Teknis I. WCS-IP dan PHPA. Jakarta. Kinnaird, M.F., dan T.G. O’Brien. 1997. Cagar Alam Tangkoko-Duasudara, Sulawesi Utara. Rencana Pengelolaan. WCS-IP Sulawesi. Manado. Kinnaird, M.F., and T.G. O’Brien. 1996. Ecotourism in the Tangkoko-Duasudara Nature Reserve: opening pandora’s box?. Oryx 30(1):65-73. Kusmayadi. 2004. Statistika Pariwisata Deskriptif. Gramedia. Jakarta. Lee, R.J., J. Riley, dan R. Merril. 2001. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi di Sulawesi Bagian Utara. WCS-IP dan NRM. Jakarta. Lee, R.J., J. Riley, dan N. Suyatno. 1999. Cagar Alam Tangkoko-Duasudara, Sulawesi Utara – Survey Biologi dan Rekomendasi Pengelolaan. Laporan Untuk DEPHUT. WCS-IP Sulawesi, BKSDA Sulut dan NRM. Manado. Lindberg, K. 1993. Isu-Isu Ekonomi dalam Pengelolaan Ekoturisme. Agencies Collaborating Together (PACT) dan Yayasan Alam Mitra Indonesia (ALAMI) [Penerjemah]; K. Lindberg, dan D.A. Hawkins [Editor]. Terjemahan dari Ecotourism: A Guide for Planners and Managers. The Ecotourism Society. North Bennington.
76
Lindberg, K. 1991. Policies for Maximizing Nature Tourism’s Ecological and Economic Benefits. World Resources Institute. Washington, D.C. Liswanti, N. 2004. Persepsi Masyarakat Lokal Terhadap Pentingnya Hutan dan Lahan-lahan Lain di Lansekap Hutan Tropis, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur [Tesis]. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ma’arif, M.S., dan H. Tanjung. 2003. Teknik-Teknik Kuantitatif Untuk Manajemen. Grasindo. Jakarta. MacKinnon, J., and K. MacKinnon. 1980. Cagar Alam Gunung TangkokoDuasudara, Sulawesi Utara Management Plan 1981-1986. WWF Report. Bogor. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi: Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Jakarta. Nugraheni, N. 2002. Sistem Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional (Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun) [Tesis]. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. NRM. 2002. Tangkoko tempat tinggal atau hanya tinggal tempat. Media lestari: berpikir untuk kembali. Natural Resources Management. Manado. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, Pemerintah Kota Manado, Pemerintah Kota Bitung, Pemerintah Kabupaten Minahasa. 2002. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Minahasa-Manado-Bitung. Proyek Pesisir (USAID Indonesia, Coastal Resources Management Project). Manado. PHKA. 2005a. Kawasan Konservasi. Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Jakarta. www.dephut.go.id/kawasan konservasi . PHKA. 2005b. Kawasan Konservasi. Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Jakarta. www.dephut.go.id/kawasan konservasi/cagar alam&taman wisata alam. PHKA-Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan. 2003. Informasi Promosi dan Peluang Usaha di Taman Wisata Alam. Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Bogor. PHKA-Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan. 2002. KriteriaStandar Penilaian Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (Analisis Daerah Operasi). Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Bogor.
77
PHKA-Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan. 2001. Pengembangan Pariwisata Alam di Taman Nasional. Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Bogor. PHKA-Direktorat Bina Kawasan Suaka Alam dan Konservasi Flora Fauna. 1995. Pedoman Rencana Pengelolaan Suaka Margasatwa dan Cagar Alam (02/PPKK/1994/1995). Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Bogor. PKA-Direktorat Pengembangan Wisata Alam Hutan dan Kebun. 2000. Informasi, Promosi dan Peluang Usaha di Taman Nasional. Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Bogor. Priskin, J. 2001. Assessment of natural resources for nature-based tourism: the case of the central coast region of Western Australia. Tourism Management 22: 637-648. Ruschmann, D.V. 1993. The political economy of tourism. Ecologist 24:142-147. Ridwan, W. 2000. Bagian II. Kebijakan Pengembangan Ekowisata: Kebijakan Pengembangan Hutan Untuk Ekowisata. Dalam C. Fandeli dan Mukhlison [Editor]. Pengusahaan Ekowisata. Fak. Kehutanan UGM, UKSDA Jogya dan Pustaka Pelajar. Jogyakarta. pp.45-55. Sekartjakrarini, S. 2004. Bahan Kuliah Perencanaan Tata Ruang dan Ekowisata. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sembiring, N.S., F. Husbani., M.A. Arif., F. Ivalerina, dan F. Hanif. 1999. Kajian Hukum dan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peran Serta Masyarakat. ICEL. Jakarta. Shuib, A. 1997. The Training of Local Interpretive Guides in Ecotourism at Taman Negara National Park, Malaysia. In J. Bornemeier., M. Victor, and P.B. Durst [Editor]. Ecotourism for Forest Conservation and Community Development. Proceedings of an International Seminar. Chiang Mai, 28-31 January 1997. FAO and RECOFTC. Thailand. pp.235-241. Stecker, B. 1996. Ecotourism: Potential for Conservation and Sustainable Use of Tropical Forest, A Case Study on the National Parks Taman Negara and Endau-Rompin in Malaysia. Eschbom: GTZ GmbH. Sulthoni, A. 2000. Bagian II. Kebijakan Pengembangan Ekowisata: Pengembangan Ekowisata dalam Kawasan Konservasi. Dalam C. Fandeli dan Mukhlison [Editor]. Pengusahaan Ekowisata. Fak Kehutanan UGM, UKSDA Jogya dan Pustaka Pelajar. Jogyakarta. pp.74-81.
78
Supriatna, J., A. Sanjaya., I. Setiawati, dan M.R. Syachrizal. 2000. Ekowisata sebagai usaha pemanfaatan yang berkelanjutan di kawasan lindung. Workshop Komisi Koordinasi Pemanfaatan Obyek Wisata Alam, Balikpapan 6-8 Maret. Taylor, J.E., G.A. Dyer, and M. Stewart. 2003. The economic of ecotourism: a Galapagos Islands economy-wide perspective. Economic Development and Cultural Change 51(4):977-996. Undang-Undang No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UNEP. 2003. About ecotourism. United Nation Environmental Programme. www.uneptie.org/pc/tourism/ecotourism/home.htm Wallace, G.N., and S. Pierce. 1996. An evaluation of ecotourism in Amazonas, Brazil. Annals Tourism Research 23(4): 843-873 Wallace, G.N. 1993. Pengelolaan Pengunjung: Pelajaran Dari Taman Nasional Galapagos. Private Agencies Collaborating Together (PACT) dan Yayasan Alam Mitra Indonesia (ALAMI) [Penerjemah]; Dalam K. Lindberg dan D.A. Hawkins [Editor]. Terjemahan dari: Ecotourism: A Guide for Planners and Managers. The Ecotourism Society. North Bennington. Wangko, M., M. Nusalawo, J. Riley, dan T. Soleman. 2000. Survey Biologi, Patroli, Monitoring dan Rekomendasi Pengelolaan. Laporan untuk Dephut (PKA). WCS-IP, Sulawesi. Manado. Weber, W. 1993. Primate Conservation and Ecotourism in Africa. In C. Potter [Editor]. Conservation of Genetic Resources. American Association for the Advancement of Science. USA. pp.129-150. Wiratno. 2000. Bagian IV. Pengusahaan Ekowisata: Model Analisis dalam Pengembangan Wisata Alam. Dalam C. Fandeli, dan Mukhlison [Editor]. Pengusahaan Ekowisata. Fak Kehutanan UGM, UKSDA Jogya dan Pustaka Pelajar. Jogyakarta. pp.255-273. Wunder, S. 2000. Ecotourism and economics incentives – an empirical approahc. Ecological Economics 32(3):465-479. Ziffer, K.A. 1989. Ecotourism: The Uneasy Alliance. First in Conservation International Series of Working Papers on Ecotourism. Conservation International and Ernst and Young.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kawasan konservasi di Provinsi Sulawesi Utara No Kota/Kabupaten
Fungsi
Nama Kawasan
Luas (ha)
No. SK
Tanggal SK
Bolaang Mongondow
Cagar Alam
Gunung Ambang
8.638,00
Mentan No.359/Kpts/Um/6/1978
21-Jun-78
Bolaang Mongondow
Cagar Alam
Perluasan Gn. Ambang
25.000,00
Menhut No.250/Kpts-II/1984
20-Okt-84
2
Bitung
Cagar Alam
Dua Saudara
4.299,00
Mentan No.700/Kpts/Um/2/1978
13-Feb-78
3
Bitung
Cagar Alam
Tangkoko
3.196,00
Mentan No.1049/Kpts/Um/12/1981
24-Des-81
4
Tomohon - Minahasa
Cagar Alam
Gunung Lokon
100,00
GB.6 Stbl. 90
21-Feb-90
5
Minahasa Selatan
Suaka Margasatwa
Gunung Manembo-nembo
6.500,00
Mentan No.441/Kpts/Um/7/1978
16-Jul-78
6
Talaud
Suaka Margasatwa
Karakelang Utara-Selatan
24.669,00
Menhutbun No.97/Kpts-II/2000
22-Des-00
7
Bolaang Mongondow
Taman Nasional
Bogani Nani wartabone
287.115,00
Menhut. No. 1127/Kpts-II/1992
19-Des-92
8
Bitung
Taman Wisata Alam
Batuangus
635,00
Mentan No.1049/Kpts/Um/12/1981
24-Des-81
9
Bitung
Taman Wisata Alam
Batuputih
615,00
Mentan No.1049/Kpts/Um/12/1981
24-Des-81
Menhut No.730/Kpts-II/91
15-Okt-91
Darat 1
360.767,00
Jumlah Laut 10
Minahasa Utara
Taman Nasional Laut
Bunaken
89.065,00 Total
449.832,00
Sumber: PHKA (2005a).
80
Lampiran 2 Wilayah kerja BKSDA Sulawesi Utara
81
82
Lampiran 3 Tabel kriteria penilaian dan pengembangan obyek dan daya tarik wisata alam Obyek wisata darat (bobot: 6) No Unsur/Sub Unsur 1 Keindahan alam a. Pandangan lepas dalam obyek b. Variasi pandangan dalam obyek c. Pandangan lepas menuju obyek d. Keserasian warna dan bangunan dlm obyek e. Pandangan lingkungan obyek 2 Keunikan sumberdaya alam a. Sumber air panas b. Gua c. Air terjun d. Flora fauna e. adat istiadat 3 Banyaknya potensi sda yang menonjol a. Batuan b. Flora c. Fauna d. Air e. Gejala alam 4 Keutuhan sumberdaya alam a. Batuan b. Flora c. Fauna d. Air e. Gejala alam 5 Kepekaan sumberdaya alam a. Batuan b. Flora c. Fauna d. Air e. Gejala alam 6 Jenis kegiatan wisata alam a. Tracking b. Mendaki c. Rafting d. Camping e. Pendidikan f. Religius g. Hiking h. dll 7 Kebersihan udara dan lokasi bersih tidak ada pengaruh dari : a. Alam b. Industri c. Jalan ramai motor/mobil d. Pemukiman penduduk e. Sampah f. Binatang g. Coret-coret (vandalisme) 8 Kerawanan kawasan (pencurian, perambahan dan kebakaran) a. Perambahan b. Kebakaran c. Gangguan terhadap flora/fauna d. Masuknya flora/fauna e. Eksotik
Nilai Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
25
20
15
10
Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
25
20
15
10
Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
25
20
15
10
Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
25
20
15
10
Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
25
20
15
10
Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
30
30
30
30
Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
25
20
15
10
Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
25
20
15
10
83
Lanjutan Obyek wisata pantai (bobot: 6) No Unsur/Sub Unsur 1 Keindahan a. Variasi pandangan pulau/gunung di laut b. Keindahan pantai c. Keserasian pandangan pantai dan sekitarnya d. Ada keunikan 2 Keselamatan/keamanan pantai a. tidak ada arus balik berbahaya b. Tidak ada kecuraman dasar c. Bebas gangguan binatang berbahaya d. Tidak ada kepercayaan yg mengganggu e. Tidak ada gangguan manusia 3 Pasir 4 Variasi Kegiatan a. Berjemur b. Selancar c. Berenang d. Menikmati Pemandangan e. Olah raga f. Bersampan 5 Kebersihan a. Tidak ada pengaruh pelabuhan b. Tidak ada pengaruh pemukiman c. Tidak ada pengaruh sungai d. Tdk ada pengaruh pelelangan ikan/pabrik e. Tidak ada sumber pencemaran lain f. Tidak ada pengaruh musim Lebar pantai (diukur waktu surut,& panjang 6 pantai minimal 1 km) dalam meter 7 Kenyamanan a. Tidak ada sampah b. Tidak ada coret-coret c. Bebas kebisingan d. Tidak banyak gangguan binatang e. Bebas bau yang mengganggu
Nilai Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
25
20
15
10
Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
25
20
15
10
Pasir merah
Pasir putih
Pasir hitam/ coklat
Pasir bergeluh
Tdk/sedikit berpasir
30
25
20
15
10
Lebih 6
Ada 5-6
Ada 3-4
Ada 1-2
Ada 1
30
25
20
15
10
Lebih 5
Ada 5
Ada 4
Ada 3
ada 1-2
30
25
20
15
10
>150
126-150
76-125
50-75
<50
30
25
20
15
10
Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
25
20
15
10
Akomodasi (radius 15 km dari obyek, bobot: 3) Unsur/Sub Unsur
Jumlah kamar (buah)
Nilai 30
10
30 - 50
15
50 - 75
20
75 - 100
25
> 100
30
84
Lanjutan Kondisi lingkungan sosial ekonomi (bobot: 5) (radius 1 km dari batas kawasan intensive use atau jarak terdekat) Nilai
No Unsur/Sub Unsur Ada & sesuai
1
Status lahan
3
Tingkat pengangguran
4
5
6
Tingkat kesuburan tanah
8
SDA mineral
9
20
15
5
Hutan negara
Hutan adat
Hutan hak
Tanah milik
30
25
20
15
> 40 %
25 - 40 %
10 - 24 %
< 10 %
30
25
20
15
Sebagian besar
Sebagian besar
Petani / nelayan
Pemilik lahan/
buruh tani &
pedagang kecil,
nelayan
industri kecil &
kapal/pegawai
pengrajin
Ruang gerak pengunjung (ha)
7
Tidak ada
penyusunan
30
Mata pencaharian penduduk
Pendidikan
Dalam proses
sesuai
Tata ruang wilayah obyek
2
Ada tapi tidak
30
25
20
15
> 50
41 - 50
31 - 40
< 40
30
25
20
10
Sebagian besar
Sebagian besar
Sebagian besar
Sebagian besar
lulus SLTA ke atas
lulus SLTP ke atas
lulus SD
tidak lulus SD
30
25
20
15
Tidak subur/kritis
Sedang
Subur
Sangat subur
30
25
20
10
Tidak potensial
Kurang potensial
Potensial
Sangat potensial
30
25
20
10
Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 1- 2
30
25
20
10
Persepsi masyarakat terhadap pengembangan obyek wisata alam a. Kurang mendukung b. Mendukung c. Sangat mendukung d. Baik e. Menguntungkan
Keamanan Unsur/Sub Unsur Keamanan a. Tidak ada binatang pengganggu b. Tidak ada rus berbahaya c. Jarang gangguan kamtibmas d. Tidak ada tanah labil e. Bebas kepercayaan mengganggu
Nilai Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
25
20
15
10
85
Lanjutan Pelayanan Masyarakat (bobot: 5) No Unsur/Sub Unsur 1 Pelayanan masyarakat & fasilitas a. Keramahan b. Kesiapan c. Kesanggupan d. Vasilitas e. Kemampuan komunikasi 2 Kemampuan berbahasa a. Daerah setempat b. Indonesia c. Inggris d. Lainnya
Nilai Ada 5
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
25
20
15
10
Ada 4
Ada 3
Ada 2
Ada 1
30
25
15
5
Baik
Cukup
Sedang
Buruk
80
60
40
20
60
40
25
15
40
20
15
5
Kadar hubungan/aksesibilitas (bobot: 5) 1 Kondisi dan jarak jalan darat < 75 Km 76 - 150 Km 151 - 225 Km > 225 Km 2 Pintu gerbang udara Internasional/regional (dlm km) Manado/Medan 3 Waktu tempuh ke obyek (kecepatan tergantung besar pk, kondisi ombak dan sungai) 4 Kendaraan bermotor/perahu di kab/kota (buah) 5 Frekuensi kendaraan umum dari pusat penyebaran wisata ke obyek (buah/hari) 6 kapasitas tempat duduk kendaraan menuju obyek wisata
20
10
5
S/d 150
151 - 300
301 - 450
451 - 600
> 600
25
20
15
10
5
1-2
2-3
3-4
4-5
>5
30
25
20
15
10
> 7500
5001-7500
2501-5000
2500-1000
< 1000
30
25
20
15
10
> 50
40 - 50
30 - 40
20 - 30
<20
30
25
20
15
10
>2500
2000-2500
1500-2000
1000-1500
<1000
30
25
20
15
10
Cat : kalau terjadi kombinasi jalan darat dan air, maka dipakai nilai terendah
1
86
Lanjutan Prasarana dan sarana penunjang (radius 20 km dari obyek, bobot: 2) No Unsur/Sub Unsur 1 Prasarana a. Kantor pos b. Telepon umum c. Puskesmas/klinik d. Wartel & faxsimili e. Warnet f. Jaringan Tv g. Jaringan radio h. Surat kabar 2 Sarana penunjang a. Rumah makan/minum b. Pusat perbelanjaan/pasar c. Bank/money changer d. Toko cindera mata e. Tempat peribadatan f. Toilet umum
Macam 4 macam
3 macam
2 macam
1 macam
Tidak ada
30
25
20
15
10
4 macam
3 macam
2 macam
1 macam
Tidak ada
30
25
20
15
10
Tersedianya air bersih 1 2 3
4
5
2
1-2
0.5 - 0.9
0.5
30
25
20
15
0 - 3 km
3.1 - 5 km
5.1 - 7 km
> 7 km
30
25
20
15
Sangat mudah
Mudah
Agak sukar
Sukar
30
25
20
15
Debit air sumber (liter/detik) Jarak sumber air terhadap lokasi obyek Dapat tidaknya air dialirkan ke obyek atau mudah dikirim dari tempat lain
Dapat langsung dikonsumsi
Kelayakan dikonsumsi
Kontinuitas
perlu perlakuan Kurang layak Tidak layak
30
25
20
15
Tersedia sepanjang tahun
Tersedia 6 - 9 bulan
Tersedia 3 - 6 bulan
Tersedia < 3 bulan
30
25
20
15
Hubungan obyek dengan obyek wisata lain (bobot: 1) No Nilai potensi pasar
1 S/d 50 2 51 - 100
obyek wisata lain Sejenis Tak sejenis Sejenis Tak sejenis
3 101 - 150 Sejenis Tak sejenis
4 151 - 200 Sejenis Tak sejenis
Jumlah Obyek Lain 0
1
2
100 90 80 70
80 100 100 80
60 90 80 90
60
80
50 40 30
3
4
5
20 70 40 90
100 80
60
70
80
60 40
80 50
100 80 60 70
40 80 60 100
1 60 20 80
6 7 Nilai 50 40 1 70 60
30 50
-
-
-
-
40
30
20
10
60
40
20
1
-
-
-
-
-
90
100 90
80
70
60
50
40
30
60 80
20 1 100 90
80
70
60
50
40 90
8
9
10
11
12
87
Lampiran 4 Daftar jenis vegetasi di CA Tangkoko-Duasudara Famili
Species
Nama Lokal
Actinidiaceae Actinidiaceae Actinidiaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Annonaceae Annonaceae Annonaceae Annonaceae Annonaceae Annonaceae Annonaceae Annonaceae Annonaceae Apocynaceae Apocynaceae Araliaceae Araliaceae Bignoniaceae Bombacaceae Boraginaceae Burceraceae Burceraceae Burceraceae Burseraceae Capparidaceae Capparidaceae Capparidaceae Casuarinaceae Celastraceae Celastraceae Celastraceae Combretaceae Combretaceae Combretaceae Datisaceae Datisaceae Dilleniaceae Ebenaceae Ebenaceae Ebenaceae Ebenaceae Ebenaceae
Saurauia lepidocalyse Saurauia sp. Saurauia tristyla Buchanania arborescens Dracontomelon dao Dracontomelon mangiferum Koordersiodendron pinnatum Mangifera indica Spondias dulcis Spondias sp. Cananga odorata Mezzettia parvifolia Polyalthia elliptica Polyalthia glauca Polyalthia grandifolia Polyalthia lateriflora Polyalthia rumphii Popowia pisocarpa Saccopetalum horsfieldii Alstonia ranvolfia Alstonia sumatrana Gastonia papuana Schlefflera sp.* Spathodea campanulata Bombax valetonii Cordia mysea Canarium asperum Canarium hirsutum Canarium vriesanum Garuga floribunda Capparis micracantha Capparis sp. Crateva nurlava Casuarina equisetifolia Euonymus javanicus Lophopetalum javanicum Salacia macrophylla Terminalia catappa Terminalia celebica Terminalia sp. Octomeles sumatrana Tetrameles nudifloria Dillenia ochreata Diospyros celebica Diospyros javanica Diospyros korthalsiana Diospyros maritima Diospyros minahassae
Kayu air gunung Arang perempuan Hegungpung Mangga kecil Rao Leu Bugis hutan Mangga hutang Kadondong Kadondong Kananga
Salakapu kecil Salakapu kananga Salakapu daun panjang Salakapu biasa Salakapu bigi banyak Kayu telor Kayu telor kecil
Kayu pistol, Kayu parahu Kapok hutan Konkujiang, Nonang Damar babi Kenari besar Kanari sedang Kayu Kambing Kuning keras Balontang Kasawari Bilo Nanau Makempes Nusu pantai Nusu buah sedang Nusu buah kecil Binuang Bolangitan Jonggi, Kol Kayu hitam asli Kayu hitam Kayu hitam biasa Kayu hitam Kayu hitam rambut
88
Lanjutan Famili
Species
Nama Lokal
Ebenaceae Ebenaceae Ebenaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Fagaceae Fagaceae Flacourtiaceae Flacourtiaceae Flacourtiaceae Gnetaceae Gnetaceae Guttiferae Guttiferae Guttiferae Guttiferae Guttiferae Guttiferae Guttiferae Guttiferae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lechythidaceae Lechythidaceae Lechythidaceae Leeaceae Leeaceae Leeaceae Leeaceae Leguminoceae Leguminoceae Leguminoceae Leguminoceae
Diospyros rumphii Diospyros sp. Diospyros sp. Acalypha caturus Antidesma celebicum Breynia cernua Drypetes longifolia Drypetes sp. Glochidion philippicum Macaranga mappa Macaranga tanarius Mallotus columnaris Mallotus ricinoides Melanolepis multiglandulosa Lithocarpus celebicus Lithocarpus sp. Casearia sp. Homalium celebicum Homalium foetidum Gnetum gnemon Gnetum latifolium Calophyllum soulattri Cratoxylum celebicum Garcinia celebica Garcinia daedalanthera Garcinia dulcis Garcinia parvifolia Garcinia saulattri Garcinia tetranda Actinodaphne glomerata Cryptocarya bicolor Cryptocarya caesia Cryptocarya celebica Persea sp. Barringtonia asiatica Barringtonia acutangula Planchonia valida Leea aculeata Leea indica Leea rubra Leea sp. Acacia sp. Albizia saponaria Derris dalbergioides Desmodium umbellatum
Kayu hitam badan besar Kayu hitam daun kecil Kayu hitam Kayu biru red fruit Nanamuhang Kalawatan B Kalawatan A Kayu arang putih Binuang daun besar Binuang daun kecil Tula-tula Kayu wool Kayu kapur Loyang, Piong
Kriskis tanjung Liwowos Ganemo Bigi tip (Iliana) Bintangur Wuring Manggis hutan Manggis daun besar Manggis akar kaki Kapu raca Manggis daun halus Tagabulo Pemuli Seperti lithocarpus Tome-tome sakar Bitung Salense Ipil Momaling akar kaki Momaling biasa Momaling daun halus Bengele (shrub) Langehe Wasian
89
Lanjutan Famili
Species
Nama Lokal
Leguminoceae Leguminoceae Leguminoceae Leguminoceae Lythraceae Magnoliaceae Magnoliaceae Melastomaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae
Erythrina sp. Erythrina sp. Pongamia pinnata Ptercarpus indicus Lagerstroemia ovalifolia Elmerillia ovalis Talauma candolii Memecylon sp. Aglaia edulis Aglaia ganggo Aglaia korthalsii Aglaia macrocarpa Aglaia maingayi Aglaia minahassae Aglaia odoratissima Aglaia sp. Chisocheton kingii Dysoxylum arborescens Dysoxylum mollissimum Dysoxylum sp. Melia azedarach Antiaris tetrandum Antiaris toxicaria Artocarpus dadah Ficus altissima Ficus ampelas Ficus annulata Ficus benjamina Ficus bracteata Ficus caulocarpa Ficus chrysolepsis Ficus cordulata Ficus crassiramea Ficus drupacea Ficus fistulata Ficus forstenii Ficus garciniaefolia Ficus globosa Ficus gul Ficus hispida Ficus magnoleaefolia Ficus microcarpa Ficus minahassae Ficus pubinervis Ficus ribes Ficus sagittata Ficus saxophilla Ficus septica Ficus sp. Ficus sp. 1 Ficus sp. 2
Dadap Walantakan Lakehe Linggua Cempaka, Wasian Kayu puso Kopi hutan
Langsat hutan Aglaia seperti leu
Aglaia merah besar Bahulo, Wale Merah kecil Brown-green fruit Aglaia kuning Bugis pante
Maumbi Beringin lubang Hope daun halus Beludru Beringin benjamina Beringin pilo Putih kecil Big green Ficus puting Topi besar Topi besar Ficus cherry Warty
Tine Badang sindiri Prince Bernard Minahassae
Putting kecil
90
Lanjutan Famili
Species
Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Myristicaceae Myristicaceae Myristicaceae Myristicaceae Myristicaceae Myristicaceae Myristicaceae Myrsinaceae Myrsinaceae Myrsinaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Nyctaginaceae Oleaceae Oxalidaceae Palmae Palmae Palmae Palmae Palmae Pandanaceae Papilionatae Piperaceae Rhamnaceae Rhizophoraceae
Ficus sp. 5 Ficus sp. 6 Ficus sp. 7 Ficus sp. 8 Ficus subcordata Ficus subtrinervia Ficus superba Ficus tinctoria Ficus tracipsor Ficus trichocarpa Ficus variegata Ficus virens Gymnocranthera forbesii Gymnocranthera paniculata Horsfieldia brachiata Knema cinerea Knema latericia Knema sp. Myristica fatua Ardisia rumphii Ardisia sp. Maesa perlaurius Eugenia acheriana Eugenia acuminatissima Eugenia densiflora Eugenia polyanthum Eugenia sp. Kjellbergiodendron celebicum Syzygium litorale Syzygium polyantha Syzygium sp. Syzygium sp.1 Pisonia umbellifera Chionanthus montana Averrhoa bilimbi Areca vestiaria Arenga pinnata Calamus sp. Caryota mitis Livistona rotundifolia Pandanus sp. Dalbergia sp. Piper aduncum Zizyphus angustifolia Carallia brachiata
Nama Lokal
Coro, Ara Putting sedang Pala jela buka/besar Pala jela buka/kecil Horbra Pala jela full/merah Pala besar sekali Kayu anoa Limpa (shrub) Pakona kuning Tentigona, Kayu turis Tintibotu Pakoba Jambu hutan Pakoba putih Pakoba merah Pakoba biru Bombongan Kayu pisang Belimbing Pinang yaki Areng, Seho Rotan Seho Yaki Woka Pandan hutan Kayu sirih Lawan tikus Cengkeh hutan
91
Lanjutan Famili
Species
Nama Lokal
Rosaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rutaceae Rutaceae Rutaceae Rutaceae Rutaceae Sapindaceae Sapindaceae Sapindaceae Sapindaceae Sapotaceae Sapotaceae Sapotaceae Sapotaceae Sonneratiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Theaceae Thymelaeaceae Tiliaceae Tiliaceae Ulmaceae Urticaceae Urticaceae Urticaceae Urticaceae Verbenaceae Verbenaceae Verbenaceae
Prunus arborea Anthocephalus macrophyllus Anthocephalus sp. Ixora sp. Morinda bracteata Morinda citrifolia Neonauclea sp. Randia oppositifolia Citrus celebica Clausena excavata Euodia minahassae Euodia speciosa Zanthoxylum sp. Elatostachya zippeliana Harpullia arborea Harpullia cupaniodes Pometia pinnata Palaquium amboinense Palaquium obovatum Palaquium obtusifolium Planchonella oxyedra Duabanga moluccana Heritiera arafensis Kleinhovia hospita Melochia umbellata Pterocymbium javanicum Pterospermum celebicum Pterospermum diversifolium Sterculia comosa Sterculia insularis Eurya acuminata Phaleria capitata Grewia koordersiana Grewia sp. Trema orientalis Dendrocnide microstigma Leucosyke capitellata Piptrurus argenteus Villebrunea rubescens Clerodendrum minahassae Vitex cofassus Vitex quinata
Tenang Karumama putih Kayu mas Suving (shrub) Mengkudu daun besar Mengkudu daun kecil Kayu dancer
Sumber: Lee et al. (2001); Kinnaird et al . (1997).
Lemon Papua Singdio
Timbawa Kamuning Kayu roda Rambutan hutan Nantu Nantu putih Nantu Jablong Aras Durian hutan Bintangar Kayu bintang Bigi helikopter Wolo daun halus Wolo daun besar Sirum paniki Momas Lemon huna Kakene Rupu Sosoro
Lelem Belase Gopasah gedi
Lampiran 5 Daftar jenis burung di CA Tangkoko-Duasudara Nama Inggris
Nama Indonesia
Great Frigatebird Lesser Frigatebird Little Pied Cormorant Great-billed Heron Purple Heron Intermediate Egret Little Egret Reef Egret Cattle Egret Javan Pond-heron Striated Heron Black-crowned Night-heron Japanese Nigth-heron Yellow Bittern Cinnamon Bittern Black Bittern Osprey Jerdon's Baza Barred Honey-buzzard Brahminy Kite White-bellied Sea-eagle Lesser Fish-eagle Sulawesi Serpent-eagle Spotted Harrier Sulawesi Goshawk Chinese Goshawk Spot-tailed Goshawk Small Sparrow-hawk Vinous-breasted Sparrow-hawk Grey-faced Buzzard
Cikalang Besar Cikalang Kecil Pecut-padi Belang Cangak Laut Cangak Merah Kuntul Perak Kuntul kecil Kuntul Karang Kuntul kerbau Blekok Sawah Kokokan Laut Kowak malam Abu Kowak Jepang Bambangan Kuning Bambangan Merah Bambangan Hitam Elang Tiram Baza Jerdon Sikep-madu Sulawesi Elang Bondol Elang Laut Perut Putih Elang-ikan Kecil Elang-ular Sulawesi Elang-rawa Tutul Elang-alap Kepala kelabu Elang-alap Cina Elang-alap Ekor Totol Elang-alap Kecil Elang-alap Dada Merah Elang Kelabu
IUCN
Endemik
EN
NT X X NT NT
X X X
92
Nama Latin Fregata minor Fregata ariel Phalacrocorax melanoleucos Ardea sumatrana Ardea purpurea Egretta intermedia Egretta garzetta Egretta sacra Bubulcus ibis Ardeola speciosa Butorides striatus Nycticorax nycticorax Gorsachius goisagi Ixobrychus sinensis Ixobrychus cinnamomeus Ixobrychus flavicollis Pandion haliaetus Aviceda jerdoni Pernis celebensis Haliastur indus Haliaeetus leucogaster Ichthyophaga humilis Spilornis rufipectus Circus assimilis Accipiter griseiceps Accipiter soloensis Accipiter trinotatus Accipiter nanus Accipiter rhodogaster Butastur indicus
Lanjutan Nama Latin
Nama Inggris
Nama Indonesia
Ictinaetus malayensis Spizaetus lanceolatus Falco moluccensis Falco severus Falco peregrinus Megapodius cumingii Macrocephalon maleo Coturnix chinensis Gallus gallus Turnix suscitator Gallirallus philippensis Gallirallus torquatus Aramidopsis plateni Gymnocrex rosenbergii Poliolimnas cinerea Amaurornis isabellinus Amaurornis phoenicurus Charadrius dubius Numenius phaeopus Tringa totanus Actitis hypoleucos Phalaropus lobatus Chlidonias leucopterus Sterna albifrons Sterna bergii Sterna dougallii Anous stolidus Streptopelia chinensis Macropygia amboinensis
Black Eagle Sulawesi Hawk-eagle Spotted Kestrel Oriental Hobby Peregrine Falcon Philippine Scrubfowl Maleo Blue-breasted Quail Red Junglefowl Barred Button-quail Buff-banded Rail Barred Rail Snoring Rail Blue-faced Rail White-browed Crake Isabelline Bush-hen White-breasted Waterhen Little Ringed Plover Whimbrel Common Redshank Common Sandpiper Red-necked Phalarope White-winged Tern Little Tern Great Crested Tern Roseate Tern Brown Noddy Spotted Dove Slender-billed Cuckoo-dove
Rajawali Hitam Elang Sulawesi Alap-alap sapi Alap-alap macan Alap-alap kawah Gosong Pilipina Maleo Senkawor Puyuh kayu Ayam Hutan Merah Gemak Loreng Mandar-padi Kalung-kuning Mandar-padi Zebra Mandar Dengkur Mandar Muka Biru Tikusan Alis-putih Kareo Sulawesi Kareo Padi Cerek Melayu Gajahan Pengala Trimil Kaki-merah Trimil Pantai Kaki-rumbai Kecil Dara-laut Sayap-Putih Dara-laut Kecil Dara-laut Jambul Dara-laut jambon Camar-angguk Coklat Tekukur Biasa Uncal Ambon
IUCN
Endemik X
VU
X
VU VU
X X X
93
Lanjutan Nama Latin
Nama Inggris
Nama Indonesia
Turacoena manadensis Chalcophaps indica Chalcophaps stephani Gallicolumba tristigmata Treron vernans Treron griseicauda Ptilinopus fischeri Ptilinopus subgularis Ptilinopus superbus Ptilinopus melanospila Ducula forsteni Ducula radiata Ducula aenea Ducula bicolor Ducula luctuosa Cryptophaps poecilorrhoa Trichoglossus ornatus Trichoglossus flavoviridis Prioniturus flavicans Prioniturus platurus Tanygnathus sumatranus Loriculus stigmatus Loriculus exilis Cuculus sparverioides Cuculus fugax Cacomantis merulinus Cacomantis sepulcralis Eudynamys melanorhyncha Scythrops novaehollandiae
Sulawesi Black Pigeon Emerald Dove Stephan's Dove Sulawesi Ground-dove Pink-necked Green Pigeon Grey-cheeked Green Pigeon Red-eared Fruit-dove Maroon-chinned Fruit-dove Superb Fruit-dove Black-naped Fruit-dove White-bellied Imperial Pigeon Grey-headed Imperial Pigeon Green Imperial Pigeon Pied Imperial Pigeon White Imperial Pigeon Sombre Pigeon Ornate Lorikeet Yellow-and-green Lorikeet Yellow-breasted Racquet-tail Golden-mantled Racquet-tail Blue-backed Parrot Sulawesi Hanging-parrot Red-billed Hanging-parrot Large Hawk-cuckoo Hodgson's Hawk-cuckoo Plaintive Cuckoo Rusty-breasted Cuckoo Black-billed Koel Channel-billed Cuckoo
Merpati-hitam sulawesi Delimukan Zamrut Delimukan Timur Delimukan Sulawesi Punai Gading Punai Penganten Walik Keping-merah Walik Malomiti Walik Rajal Walik Kembang Pergam Tutu Pergam Kepala-kelabu Pergam Hijau Pergam Laut Pergam Putih Merpati Murung Perkici Dora Perkici Kuning-hijau Kring-kring Dada-kuning Kring-kring Bukit Betet-kelapa Punggung-biru Serindit Sulawesi Serindit Paruh-merah Kangkok Besar Kangkok Melayu Wiwik Kelabu Wiwik Dada-karat Tuwur Sulawesi Karakalo Australia
IUCN
Endemik X
X
NT
X X
X X
NT
NT
X X X X X X X X
X
94
Lanjutan Nama Latin
Nama Inggris
Nama Indonesia
Rhamphococcyx calyorhynchus Centropus bengalensis Centropus celebensis Tyto rosenbergii Otus manadensis Ninox scutulata Ninox ochracea Ninox punctulata Eurostopodus macrotis Caprimulgus celebensis Collocalia infuscata Collocalia esculenta Hirundapus caudacutus Apus pacificus Apus affinis Hemiprocne longipennis Actenoides monachus Actenoides princeps Cittura cyanotis Halcyon melanorhyncha Halcyon coromanda Halcyon chloris Halcyon sancta Ceyx fallax Alcedo meninting Alcedo atthis Merops superciliosus Merops ornatus Meropogon forsteni
Yellow-billed Malkoha Lesser Coucal Bay Coucal Sulawesi Owl Sulawesi Scopsowl Brown Hawk-owl Ochre-bellied Hawk-owl Speckled Hawk-owl Great Eared Nightjar Sulawesi Nightjar Moluccan Swiftlet Glossy Swiftlet White-throated Needletail Fork-tailed Swift Little Swift Grey-rumped Tree-swift Green-backed Kingfisher Scaly-breasted Kingfisher Lilac-cheeked Kingfisher Black-billed Kingfisher Ruddy Kingfisher Collared Kingfisher Sacred Kingfisher Sulawesi Dwarf Kingfisher Blue-eared Kingfisher Common Kingfisher Blue-tailed Bee-eater Rainbow Bee-eater Purple-bearded Bee-eater
Kadalan Sulawesi Bubut Alang-alang Bubut Sulawesi Serak Sulawesi Celepuk Sulawesi Punggok Coklat Punggok Oker Punggok Tutul Taktarau Besar Sulawesi Nightjar Walet Maluku Walet Sapi Kapinis Jarum-asia Kapinis Laut Kapinis Rumah Tepekong Jambul Cekakak-hutan Tungging-biru Cekakak-hutan Dada-sisip Raja Udang Pipi-ungu Pekaka Buah-buah Cekakak Merah Cekakak Suci Raja Udang-merah sulawesi Raja Udang Meninting Raja Udang Erasia Kirik-kirik Laut Kirik-kirik Australia Kirik-kirik sulawesi
IUCN
Endemik X X X X
NT
X X X
NT NT
NT
X X X X X
X
X
95
Lanjutan Nama Latin
Nama Inggris
Nama Indonesia
Coracias temminckii Eurystomus orientalis Penelopides exarhatus Rhyticeros cassidix Dendrocopos temminckii Mulleripicus fulvus Pitta erythrogaster Pitta sordida Hirundo rustica Hirundo tahitica Motacilla cinerea Anthus gustavi Coracina temminckii Coracina bicolor Coracina leucopygia Coracina morio Lalage leucopygialis Pycnonotus aurigaster Dicrurus montanus Dicrurus hottentottus Oriolus chinensis Corvus enca Trichastoma celebense Monticola solitarius Zoothera erythronota Turdus obscurus Gerygone sulphurea Orthotomus cuculatus Phylloscopus borealis
Purple-winged Roller Common Dollarbird Sulawesi Hornbill Knobbed Hornbill Sulawesi Woodpecker Ashy Woodpecker Red-bellied Pitta Hooded Pitta Barn Swallow Pacific Swallow Grey Wagtail Pechora Pipit Caerulean Cuckoo-shrike Pied Cuckoo-shrike White-rumped Cuckoo-shrike Sulawesi Cicadabird Sulawesi Triller Sooty-headed Bulbul Sulawesi Drongo Hair-crested Drongo Black-naped Oriole Slender-billed Crow Sulawesi Babbler Blue Rock-thrush Red-backed Thrush Eye-browed Thrush Flyeater Mountain Tailorbird Arctic Leaf-warbler
Tiong Lampu Sulawesi Tiong Lampu Biasa Kangkareng Sulawesi Julang Sulawesi Caladik Sulawesi Pelatuk-kelabu Sulawesi Paok Mopo Paok Hijau Layang-layang Api Layang-layang Batu Kicuit Batu Apung Petchora Kepundang-sungu Biru Kepundang-sungu Belang Kepundang-sungu Tungging-putih Kepundang-sungu Sulawesi Kapasan Sulawesi Cucak Kutilang Srigunting Sulawesi Srigunting Jambul-rambut Kepudang Kuduk-hitam Gagak Hutan Pelanduk Sulawesi Murai-batu Tarung Anis Punggung-merah Anis Kening Remetuk Laut Cinenen Gunung Cikrak Kutub
IUCN
Endemik X X X X X
NT
X X X X X X
X NT
X
96
Lanjutan Nama Latin
Nama Inggris
Nama Indonesia
Cisticola exilis Muscicapa griseisticta Cyornis rufigastra Hypothymis azurea Culicicapa helianthea Pachycephala sulfuriventer Artamus leucorynchus Artamus monachus Lanius cristatus Aplonis panayensis Basilornis celebensis Streptocitta albicollis Enodes erythrophris Scissirostrum dubium Myza celebensis Myzomela sanguinolenta Anthreptes malacensis Nectarinia aspasia Nectarinia jugularis Aethopyga siparaja Passer montanus Dicaeum aureolimbatum Dicaeum nehrkorni Dicaeum celebicum Zosterops montanus Zosterops chloris Zosterops atrifrons Lonchura molucca Lonchura punctulata Lonchura malacca Gorsachius goisagi
Golden-headed Cisticola Grey-streaked Flycatcher Mangrove Blue Flycatcher Black-naped Monarch Citrine Flycatcher Sulphur-bellied Whistler White-breasted Wood-swallow Ivory-backed Wood-swallow Brown Shrike Asian Glossy Starling Short-crested Myna White-necked Myna Fiery-browed Myna Finch-billed Myna Dark-eared Myza Scarlet Honeyeater Brown-throated Sunbird Black Sunbird Olive-backed Sunbird Crimson Sunbird Tree Sparrow Yellow-sided Flowerpecker Crimson-crowned Flowerpecker Grey-sided Flowerpecker Mountain White-eye Lemon-bellied White-eye Black-fronted White-eye Black-faced Munia Scaly-breasted Munia Chestnut Munia Japanese Nigth-heron
Cici Merah Cikatan Burit Cikatan Bakau Kehicak Ranting Sikatan Matari Kancilan Perut-kuning Kekep Pulau Kekep Sulawesi Bentet Coklat Perling Kumbang Raja-perling Sulawesi Blibong Pendeta Jalak Alis-api Jalak Tungging-merah Cikarak Sulawesi Myzomela Merah-tua Burung-madu Kelapa Burung-madu Hitam Burung-madu Sriganti Nurng-madu Sepah-raja Burung-gereja Erasia Cabai Panggul-kuning Cabai Sulawesi Cabai Panggul-hitam Kacamata Gunung Kacamata Laut Kacamata Dahi-hitam Bondol Taruk Bondol Peking Bondol Rawa Kowak Jepang
Endemik
X X
X X X X X
X X X
EN
97
DD: data deficient (kurang data), NT: near treatened (mendekati terancam punah), EN: endangered (genting). Sumber: Lee et al . (2001).
IUCN
Lampiran 6 Daftar jenis mamalia di CA Tangkoko-Duasudara Famili
Nama Latin
Nama Inggris
Nama Indonesia
Nama lokal
Phalangeridae Phalangeridae Pteropodidae Pteropodidae Pteropodidae Pteropodidae Pteropodidae Pteropodidae Megadermatidae Rhinolophidae Tarsiidae Cercopithecidae Viverridae Suidae Cervidae Sciuridae Sciuridae Sciuridae Muridae Muridae
Stigocuscus celebensis Ailurops ursinus Pteropus hypomelanus Rousettus celebensis Cynopterus brachyotis Thoopterus nigrescens Nyctimene cephalotes Macroglossus minimus Megaderma spasma Rhinolophus sp. Tarsius spectrum Macaca nigra Viverra tangalunga Sus celebensis Cervus timorensis Hyosciurus ileile Prosciurillus murinus Prosciurillus leucomus Mus musculus Paruromys dominator
Celebes Cuscus Bear Cuscus, Bear Phalanger Island Flying Fox Celebes Rousette Bat Lesser Short-nosed Fruit Bat Swift Fruit Bat Pallas Tube-nosed Fruit Bat Lesser Long-tongued Fruit Bat Malaysian False Vampire
Kuskus Kerdil Kuskus Beruang Kalong Kecil Codot Roset Sulawesi Codot Barong Codot Layang-layang Codot Tabung Pallas Codot Pemakan Madu Kelelawar Mega Kecil Kelelawar Ladang Tarsius Sulawesi Monyet Hitam Sulawesi Musang Sulawesi Babi Hutan Rusa Bajing Moncong Panjang Bajing Kecil Suluwesi Utara Bajing Kerdil Pucat Tikus Piti Biasa Tikus Biasa Sulawesi
Tembung Kuse Lokon Paniki Peret Peret Peret Peret Peret Peret Peret Tangkasi Yaki Musang Babi Hutan Rusa Tupai Tupai Tupai Tikus Tikus Ekor Putih
Spectral Tarsier Crested Celebes Macaque Malay or Sunda Civet Celebes Pig Rusa Deer Sulawesi Lowland Long-nosed Squirrel Celebes Dwarf Squirrel Celebes Dwarf Squirrel Common House Mouse Celebes Rat
IUCN
Endemik
DD DD
X X X
NT
X
EN
X X X X X X X
DD: data deficient (kurang data), NT: near treatened (mendekati terancam punah), EN: endangered (genting). Sumber: Lee et al . (2001).
98
Lampiran 7 Daftar jenis reptil di CA Tangkoko-Duasudara Famili
Nama Latin
Nama Inggris
Nama Lokal
Boidae Analiidae Colubridae
Python reticulatus Cylindrophis ruffus Chiechrysopelea paradisi Boiga dendrophila Boiga irregularis Ophiophagus hannah Naja naja Laticauda colubrina Trimeresurus wagleri Hemidactylus frenatus Draco reticulatus Hydrosaurus amboinenssis Varanus salvator Emoia cyanura Mabuya multifasciata
Reticulated Python Red-Tailed Pipe Snake Paradise Tree Snake Mangrove Snake Brown Cat Snake King Cobra Cobra Yellow-lipped Sea Krait Wagler's Pit-viper Spiny-tailed House Gecko Flying Lizard Sailfin Lizard Monitor Lizard Blue-tailed Skink Many-lined Sun Skink
Ular Piton/Patola
Elapidae
Viperidae Gekkonidae Agamidae Varanidae Scincidae
Keterangan
Ular Kobra Ular Kobra
Soa-soa layar Biawak/Soa-soa
Dilindungi
Sumber: Lee et al . (2001).
99
100
Lampiran 8 Tabel hasil penilaian potensi sumberdaya ekowisata Lampiran 8a Obyek wisata darat Nilai
No Kriteria 1 2 3 4 5 6 7 8
Keindahan alam Keunikan sda Banyaknya potensi sda yang menonjol Keutuhan sda Kepekaan sda Jenis kegiatan wisata alam Kebersihan udara dan lokasi Kerawanan kawasan (pencurian, perambahan dan kebakaran) Jumlah N x b
30 25 30 20 30 30 25 25 1290
Lampiran 8b Obyek wisata pantai No 1 2 3 4 5 6 7
Kriteria
Nilai
Keindahan Keselamatan/keamanan pantai Variasi kegiatan kebersihan Lebar pantai (diukur waktu surut, panjang pantai min 1 km) dalam meter Pasir kenyamanan Jumlah N x b
30 25 30 30 30 20 30 1170
Lampiran 8c Kondisi lingkungan sosial ekonomi Nilai
No Kriteria 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tata ruang wilayah obyek Status lahan Tingkat pengangguran Mata pencaharian penduduk Ruang gerak pengunjung Pendidikan Tingkat kesuburan tanah Sda mineral Persepsi masyarakat terhadap pengembangan obyek wisata alam Jumlah N x b
Lampiran 8d Pelayanan masyarakat No Kriteria 1 2
Pelayanan masyarakat dan fasilitas Kemampuan berbahasa Jumlah N x b
Nilai 20 25 225
5 30 15 30 30 20 20 20 20 950
101
Lampiran 8e Kadar hubungan atau aksesibilitas No Unsur 1 2 3 4 5 6
Nilai
Kondisi dan jarak jalan darat Pintu gerbang udara internasional/regional Waktu tempuh ke obyek Kendaraan bermotor/perahu Frekuensi kendaraan umum dari pusat penyebaran wisata ke obyek kapasitas tempat duduk kendaraan menuju obyek wisata Jumlah N x b
80 25 30 30 10 10 925
Lampiran 8f Akomodasi, prasarana dan sarana penunjang No
Unsur
Akomodasi 1 Jumlah kamar Prasarana dan sarana penunjang 2 Prasarana 3 Sarana penunjang
Nilai
Jumlah N x b
20
60
30 30
120
Lampiran 8g Tersedianya air bersih No Unsur 1 2 3 4 5
Nilai
Debit air sumber (liter/detik) Jarak sumber air terhadap lokasi obyek Dapat tidaknya air dialirkan ke obyek atau mudah dikirim dari tempat lain Kelayakan dikonsumsi kontinuitas Jumlah N x b
Lampiran 8h Hubungan obyek dengan obyek wisata lain dan keamanan No Nilai potensi pasar 1
S/d 50
2
51 - 100
3
101 - 150
4
151 - 200
No 1
Unsur Keamanan
Obyek wisata lain
Nilai
Sejenis Tak sejenis Sejenis Tak sejenis Sejenis Tak sejenis Sejenis Tak sejenis Jumlah N x b
Keamanan Nilai 30
Jumlah N x b 30
30 30 30 25 30 580
Lampiran 9 Peta kawasan konservasi dan sebaran satwa liar di Minahasa, Manado dan Bitung
102
Sumber: Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara et al. (2002).
Lampiran 10 Peta obyek wisata alam di Minahasa, Manado dan Bitung
103
Sumber: Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara et al. (2002).