ANALISIS PENGARUH SUKU BUNGA SBI, FLUKTUASI KURS DOLLAR AS DAN TINGKAT INFLASI TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (SE)
Oleh : RANDY AL SAFASSI NIM : 106084002754
JURUSAN ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2010 M
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I.
IDENTITAS PRIBADI
1. Nama
: Randy Al Safassi
2. Tempat/Tanggal Lahir: Payakumbuh 6 April 1988 3. Alamat
: Jl.PT Kandis No. 1 RT/RW:001/004 Bangko,
Jambi
II.
4. Kebangsaan
: Indonesia
5. Handphone
: 085711441147
6. Email
:
[email protected]
7. Jenis Kelamin
: Pria
8. Agama
: Islam
9. Status
: Belum Menikah
10. Hobby
: Olahraga dan Membaca Buku
PENDIDIKAN FORMAL Tempat
Waktu
1.SD NEGERI 188
1994 - 2001
2.MTs USWATUN HASANAH
2001 – 2003
3.MA DARUNNAJAH
2003 – 2006
4.UIN SYARIF HIDAYATULLAH
2006 - 2011
Jakarta Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
i
Abstract Tax revenue is a one the development financing source wich we hope could be fully maximize its contribution in the future so that the independent of the state financing will be accomplished. In view of that, the diversification and improvement om tax-revenue should be an effort through variety policy goverment supported. This study aims to determine how the variables influence SBI. USD Exchange Rate, and inflation on income Tax Receipts in Indonesia. Data used in this research is time series data using multiple regression analysis method is OLS Seconcary data processing result using regression analysis shows that there is significant in influence between SBI, USD Exchange Rate, and Inflation on income Tax Receipts in Indonesia Key words : Interest Rates, Exchange USD, Inflation, Tax and OLS
ii
Abstrak Penerimaan pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang pada masa depan diharapkan kontribusinya semaksimal mungkin, agar tercapai kemandirian dalam pembiayaan keuangan negara. Menyadari hal ini, penggalian dan usaha peningkatan penerimaan pajak terus diupayakan melalui berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk mendukung hal tersebut Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh variabel Suku bunga SBI, Kurs USD, dan Inflasi terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dengan menggunakan metode analisis regresi berganda. Hasil pengolahan data sekunder dengan menggunakan analisis regresi ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara Suku bunga SBI, Kurs USD, dan Inflasi terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan di Indonesia. Kata-kata kunci : Suku Bunga SBI, Kurs USD, Inflasi, PPh.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robill ‘Alamin, Segala puji dan syukur kepada Sumber dari Suara-suara hati yang bersifat mulia, Sumber Ilmu Pengetahuan, Sumber segala Kebenaran, Sang Maha Cahaya, Penabur Cahaya Ilham, Pilar Nalar Kebenaran dan Kebaikan yang Terindah, Sang Kekasih Cinta yang Tidak Terbatas Pencahayaan Cintanya yaitu Allah SWT yang menguasai semesta alam dan yang tela melimpahkan rahmat taufik dan hidayatnya kepada hamba-hambanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Shalawat serta salam yang selalu tercurah kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW sebagai tauladan terbaik bagi keluarga, sahabat dan para pengikutnya, yang telah membawa kita semua dari zaman jahiliyah menjadi zaman yang terang benderang ini dengan adanya agama islam serta dengan ilmu pengetahuan semoga kita semua mendapatkan syafaatnya besok dihari kiamat. Amin Tujuan penulisan skripsi ini yang berjudul “Analisis Pengaruh Suku bunga SBI, Kurs USD, dan Inflasi terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan”, dengan tujuan untuk memnuhi salah satu persyaratan meraih gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis mengalami hambatan dan kesulitan dalam penulisan ini. Namun, berkat rahmatnya skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan serta dorongan dari beberapa pihak, maka penulisan skripsi ini tidak akan selesai. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pihak-pihak yang membantu penyelesaian skripsi ini dan ”semoga allah memberikan balasan yang terbaik”, terutama kepada: 1. Orang tua (Ayah dan Almarhumah Ibu),Paman-Paman dan Bibi-bibi saya yang tidak pernah henti-henti mengiringi langkahku dengan doanya yang penuh dengan keikhlasan, selalu memberikan kasih sayang, bimbingan, serta
iv
dukungan baik materiel maupun spiritual dalam kebaikan dan keberhasilan untuk anak-anaknya. 2. Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah bekerja keras mengembangkan FEIS menjadi FEB. 3. Dr. Lukman, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP), yang telah memberikan dukungan terbaik untuk IESP dan mahasiswanya. 4. Utami Baroroh, M.Si, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan yang telah memberi dukungan dan motivasi kepada setiap mahasiswa. 5. Dr. Yahya Hamzah, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, tuntunan, motivasi, pengarahan, menyempatkan waktunya untuk membaca dan mengoreksi skripsi dan penulis ajukan, serta dukungan yang tidak henti dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Zuhairan Yunmi Yunan, SE M.Sc selaku dosen pembimbing II yang banyak meluangkan waktunya untuk berdiskusi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan baru, serta dukungannya yang tidak henti dalam memberi semangat kepada penulis. 7. Untuk orang yang spesial dihidupku yang tidak pernah henti memberikan dukungan dan motivasi untuk selalu tetap berjuang dan semangat menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Rinde dan rezy, adek-adekku yang selalu aku sayangi, semoga kalian bisa terus berbakti kepada keluarga. 9. Sahabat-sahabat seperjuangan di IESP angkatan 2006, khususnya kosentrasi Ekonomi Pembangunan A, tanpa mengurangi rasa persaudaraan penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan memohon maaf apabila selama ini banyak melakukan kesalahan dan kekurangan. Semoga persahabatan kita tetap terjaga.
v
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan penulis dalam mencapai kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengharapkan semoga penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan. Terima kasih
Jakarta, 14 Februari 2011
(Randy Al Safassi)
vi
DAFTAR ISI
Keterangan
Halaman
Daftar Riwayat Hidup ........................................................................
i
Abstract...............................................................................................
ii
Abstrak................................................................................................
iii
Kata Pengantar....................................................................................
iv
Daftar Isi.....................………………………………………………
vii
Daftar Tabel........................................................................................
x
Daftar Gambar....................................................................................
xi
Daftar Grafik.......................................................................................
xii
Daftar Lampiran..................................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................
1
A. Latar Belakang Permasalahan......………………………………..
1
B. Permasalahan Pokok..........……………………………………….
9
C. Pembatasan Masalah.........……………………………………….
10
D. Tujuan Penelitian...............……………………………………....
10
E. Manfaat Penelitian..............………………………………………
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................
12
A. Pengertian Dasar...........................................................................
12
1. Pengertian Pajak dan Pajak Penghasilan....................................
12
1.1 Definisi Pajak............………………………………………
12
1.2 Pengertian Pajak Penghasilan………………………………
13
1.3 Fungsi Pajak...............………………………………………
14
1.4 Sistem Pemungutan Pajak......………………………………
15
1.5 Pengelompokan Pajak........…………………………………
17
1.6 Asas Pemungutan Pajak.........………………………………
18
1.7 Hambatan Pemungutan Pajak………………………………
21
1.8 Stelsel Pajak...............………………………………………
22
vii
1.9 Fungsi Dasar Perpajakan di Indonesia………………………
23
2. Suku Bunga SBI.............................................................................
29
2.1 Pengertian Suku Bunga..........………………………………
29
2.2 Sertifikat Bank Indonesia (SBI).....…………………………
32
3. Inflasi..............................................................................................
35
3.1 Pengertian dan sebab inflasi...………………………………
35
3.2 Penggolongan Inflasi ............………………………………
39
3.3 Dampak Inflasi....………….......……………………………
41
3.4 Kebijakan Anti Inflasi........…………………………………
42
4. Pengertian Nilai Tukar Valuta Asing.........………………………
46
4.1 Pengertian Nilai tukar Valta Asing....………………………
46
4.2 Sistem Nilai Tukar.................………………………………
49
4.3 Faktor-faktor yang mempengarhi nilai tukar mata uang…....
52
4.4 Teori yang berkaitan dengan pengukuran nilai tukar valuta...
54
4.5 Pengelompokan mata uang asing.......………………………
55
B. Penelitian Terdahulu.............................……….…………………
57
C. Kerangka Pemikiran........................………………………………
69
D. Hipotesis Penelitian........................………………………………
73
BAB III METODE PENELITIAN..................................................
75
A. Ruang Lingkup Penelitian.....……….........………………………
75
B. Metode Penentuan Sampel..............………………………………
75
C. Metode Pengumpulan Data............………………………………
76
D. Metode Analisis.............................................................................
76
1. Uji Linearitas....................……………………………………
77
a. Uji Asumsi Klasik.............................................................
77
1. Uji Normalitas.............................................................
78
2. Uji Multikolinearitas...................................................
78
3. Uji Heterokedastisitas.................................................
79
4. Uji Autokorelasi..........................................................
80
2. Uji Statistik.................................................................................
81
viii
a. Uji Parsial (Uji-t)...........................................................
81
b. Uji Fisher (Uji F)...........................................................
82
3. Uji Koefisien Determinasi ((R²)..................................................
83
E. Definisi Operasional Variabel.........................................................
83
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN....................................
85
A. Deskripsi Data Penelitian..............................................................
85
B. Analisis Dan Pembahasan.............................................................
90
1. Uji Asumsi Klasik.........................................................................
90
a. Uji Normalitas.....................................................................
90
b. Uji Multikolinearitas...........................................................
90
c. Uji Heterokedastisitas..........................................................
92
d. Uji Autokorelasi..................................................................
93
2. Uji Statistik...................................................................................
94
a. Uji Parsial (Uji-t)....................................................................
94
b. Uji Fisher (Uji-F)....................................................................
95
3. Koefisien Determinasi (R²)...........................................................
96
4. Interpretasi....................................................................................
96
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................
100
A. KESIMPULAN.......................................................................
100
B. SARAN...................................................................................
101
Daftar Pustaka.........................………………………………………
103
ix
Daftar Tabel Nomor
Keterangan
Halaman
1.1
Penerimaan Dalam Negeri Tahun 1969-1997...............
2
1.2
Pertumbuhan Ekonomi dan Pajak 2005-2009...............
6
2.1
Contoh Hasil Lelang SBI.............................................
34
4.1
Output Regresi untuk Penerimaan PPh........................
89
4.2
Uji Normalitas..............................................................
90
4.3
Uji Multikolinearitas....................................................
91
4.4
Uji Heterokedastisitas.................................................
92
x
Daftar Gambar Nomor
Keterangan
Halaman
1.1
Perkembangan Penerimaan Pajak Tahun 2005-2009...
6
2.1
Diagram Kerangka Pemikiran......................................
71
xi
Daftar Grafik Nomor
Keterangan
Halaman
4.1
Perkembangan Suku Bunga SBI Tahun 2005-2009...
84
4.2
Perkembangan Kurs USD Tahun 2005-2009.............
86
4.3
Perkembangan Inflasi Tahun 2005-2009....................
87
4.4
Perkembangan PPh Tahun 2005-2009........................
88
xii
Daftar Lampiran Nomor
Keterangan
Halaman
1
Data Variabel..............................................................
106
2
Regresi Awal...............................................................
108
3
Uji Normalitas.............................................................
109
4
Uji Multikolinearitas...................................................
110
7
Uji Heterokedastisitas.................................................
111
8
Uji Autokorelasi..........................................................
112
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan Negara berkembang yang sedang giat melaksanakan pembangunan. Dalam pelaksanan pembangunan ini diperlukan strategi yang tepat agar tercapai pemerataan perekonomian sehingga hasil-hasil pembangunan yang dapat dicapai dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap usaha pembangunan akan selalu membutuhkan dana yang besar. Kebutuhan dana untuk membiayai pembangunan diupayakan agar terus meningkat seirama dengan laju perkembangan pembangunan itu. Pembangunan nasional merupakan kegiatan yang berlangsung terusmenerus dan berkesinambungan yang memerlukan banyak dana yang cukup. Untuk mendapatkan dana pembangunan, pemerintahan dalam memenuhi dana pembangunannya memanfaatkan 2 (dua) sumber dana pokok, yaitu sumber dana dalam negeri dan sumber dana luar negeri. Sumber dana dalam negeri dapat diperoleh dari hasil penerimaan bukan pajak (ekspor migas) dan penerimaan pajak, sedangkan sumber dana luar yang berasal dari luar negeri berasal dari pinjaman luar negeri. Penerimaan dalam struktur APBN merupakan sumber utama pembiayaan rutin pemerintahan (current expenditures) dan pengeluaran pembangunan
1
(investasi) sektor pemerintah atau pengeluaran modal (capital expenditures). Penerimaan dalam negeri terdiri dari beberapa unsur penerimaan, seperti yang terurai disetiap nota keuangan pemerintahan yaitu : a. Penerimaan Migas. Unsur penerimaan berupa hasil penjualan penerimaan minyak bumi dan gas alam. b. Penerimaan Non Migas Unsur penerimaan berupa permintaan yang berasal dari penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak. Sebagai gambaran besarnya jumlah penerimaan dalam negeri dalam struktur APBN dapat disajikan dalam tabel berikut ini : Tabel 1.1 PENERIMAAN DALAM NEGERI 1969/1970 -1996/1997 (dalam miliaran rupiah) Penerimaan minyak penerimaan Penerimaan bumi dan Penerimaan bukan dalam gas alam perpajakan pajak negeri
Tahun REPELITA I 1969/1974 154,76 307,80 REPELITA II 1974/1979 1609,20 1195,80 REPELITA III 1979/1984 7826,46 3334,44 REPELITA IV 1984/1989 9930,48 8376,12 REPELITA V 1989/1994 14805,20 25954,10 REPELITA V 1994/1997 14168,73 49616,53 Sumber : Nota Keuangan APBN 1996/1997
50,56)
513,10
143,01
2928,00
344,98)
11513,88
1571,70
15968,10
3491,38
44250,98
5744,28)
52059,53
Pada masa Repelita I (tahun 1969 sampai tahun 1974) dan Repelita II (tahun 1974 sampai tahun 1979), jumlah penerimaan pajak lebih kecil bila 2
dibandingkan penerimaan minyak bumi dan gas alam. Hal ini disebabkan pembiayaan Negara masih dapat mengandalkan penerimaan ekspor migas tersebut. Baru pada akhir Repelita II, tepatnya mulai pada tahun anggaran 1974 hingga tahun 1979, jumlah penerimaan migas melampaui besarnya penerimaan pajak. Penerimaan pajak kembali melebihi jumlah penerimaan migas pada akhir Repelita IV tepatnya pada tahun anggaran 1988/1989 hingga sekarang. Hal ini disebabkan oleh penerimaan migas yang tidak lagi menjadi primadona dalam struktur penerimaan APBN, selain itu juga kebutuhan dana untuk pembiayaan Negara yang lebih besar disebabkan pengeluaran pembangunan yang semakin meningkat. Dengan melihat perkembangan penerimaaan pajak diatas maka dapat disimpulkan bahwa upaya peningkatan penerimaan pajak telah menjadi suatu yang sangat penting bila pemerintahan saat ini tidak ingin dikatakan gagal dalam melaksanakan fungsinya khususnya fungsi budgeter. Dalam perkembangannya, penerimaan pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan nasional yang cukup dominan. Besarnya peningkatan penerimaan pajak, akan menjamin mantapnya kemandirian dalam pembiayaaan pembangunan nasional. Pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara disamping dari sumber migas dan non migas, dengan posisi yang demikian itu pajak merupakan sumber penerimaan strategis yang harus dikelola dengan baik agar keuangan Negara dapat berjalan dengan lancar dan baik. Dalam struktur keuangan Negara, tugas dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh direktorat
3
jendral pajak dibawah departemen keuangan yang salah satu fungsinya adalah membuat dan melaksanakan kebijakan fiskal. Direktorat Jendral Pajak sebagai instansi yang bertanggung jawab atas realisasi penerimaan pajak, oleh pemerintah dibebani dengan penetapan target penerimaan pajak yang dari tahun ke tahun belakangan ini selalu meningkat demi menutupi anggaran kebutuhan belanja pemerintah (APBN) dan juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Potensi yang muncul dari penetapan target penerimaan pajak yang terus meningkat juga disertai suatu kecemasan dan rasa pesimis akan pencapaian target penerimaan pajak yang akan berimbas pula pada besaran belanja Negara. Penetapan target penerimaan pajak yang tidak realistis karena tidak memperhitungkan kondisi atau indikator makro ekonomi dapat menyebabkan kegagalan dalam proses pencapaian target penerimaan pajak yang dapat dijadikan bukti kegagalan pemerintah dalam menjalankan fungsinya khususnya dalam kebijakan ekonominya yaitu pembiayaan Negara atau fungsinya budgeter. Hal ini disebabkan pencapaian penerimaan pajak secara umum dan pencapaian penerimaan pajak penghasilan secara khusus, sangat dipengaruhi oleh kinerja bisnis perusahaan (corporate bussines) baik swasta maupun BUMN serta sektor individu/perseorangan dalam menghasilkan laba atau keuntungan yang dapat dikenakan pajak. Kondisi makro ekonomi yang tidak baik akan sangat dipengaruhi iklim dunia usaha dengan terciptanya iklim usaha yang tidak kondusif yang menyebabkan sulit tercapainya suatu keuntungan/profit perusahaan yang akan secara langsung menurunkan pembayaran pajak penghasilan kepada Negara.
4
Telah terjadi perkembangan yang sangat signifikan pada kondisi perekonomian nasional dan internasional, yang membawa implikasi sangat besar terhadap pelaksanaan APBN beberapa tahun terakhir ini. Berdasarkan perkembangan terakhir, berbagai indikator ekonomi nasional dan internasional memberi dampak pada asumsi dasar ekonomi makro yang dipakai sebagai dasar perhitungan APBN sering dipandang sudah kurang realistis, sehingga perlu dilakukan beberapa penyesuaian, khususnya terhadap nilai tukar (kurs), inflasi dan tingkat suku bunga SBI.Adanya bentuk revisi atau perubahan dalam penyusunan APBN menunjukkan upaya dari pemerintah untuk lebih mendekatkan struktur dalam APBN kepada kondisi yang paling realistis bila dihubungkan dengan kondisi perekonomian makro pada tahun berjalan. Dengan adanya revisi tersebut akan mempengaruhi langsung besarnya perkiraan penerimaan pajak, seperti diuraikan dalam nota keuangan dan RAPBN-perubahan tahun 2005 bahwa faktorfaktor yang mempangaruhi perkiraan penerimaan perpajakan dalam tahun 2005 antara lain meliputi : (I) perkembangan variabel asumsi ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika serikat, serta tingkat suku bunga; (2) berbagai kebijakan dibidang perpajakan, dan (3) langkah-langkah administrasi perpajakan yang dilaksanakan (RAPBN, 2005). Terkait dengan variabel asumsi pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu asumsi dasar penyusunan APBN, dalam lima tahun terakhir yaitu tahun 2005 hingga tahun 2009 angka realisasi menunjukkan peningkatan yang relatif pesat terutama ditahun 2007 sebesar 6,3 %. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu tahun 2006 realisasi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5%
5
terdapat penurunan sebesar 2%, hal ini menunjukkan sinyal yang positif bagi peningkatan penerimaan pajak bagi Negara. Untuk lebih lengkapnya dalam tabel 1.2 disajikan data pertumbuhan ekonomi dengan penerimaan pajak dalam kurun waktu lima tahun terakhir yaitu tahun 2005 hingga 2009. Tabel 1.2 Pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak, dan pajak penghasilan tahun 2005-2009 : Pertumbuhan Tahun Ekonomi (%) 2005 5.7 2006 5.5 2007 6.3 2008 6.0 2009 4,5 Sumber : Data APBN
Penerimaan pajak (miliar Rp) 347.031,1 409.203,0 490.988,6 658.700,8 725.843,0
Penerimaan Pajak Penghasilan (miliar Rp) 175.541,2 208.833,1 238.430,9 327.497,7 357.400,5
Gambar 1.1 Perkembangan Penerimaan Pajak Tahun 2005 - 2009 800.000,00 700.000,00 600.000,00 500.000,00
Penerimaan Pajak
400.000,00
Penerimaan Pajak Penghasilan
300.000,00 200.000,00 100.000,00 0,00 2005
2006
2007
2008
2009
Sumber : Data Diolah Dari tabel dan gambar diatas, dapat dilihat adanya pertumbuhan ekonomi yang naik turun dan diikuti dengan kenaikan besarnya penerimaan pajak secara umum dan berpengaruh pula pada kenaikan pajak penghasilan secara khusus. Hal 6
ini menunjukkan adanya keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu variabel makro perekonomian dengan jumlah realisasi penerimaan pajak secara umum dan penerimaan pajak secara khusus. Dari gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa ada upaya pemerintah menjalankan kebijakan fiskal dengan mendasari pada kondisi makro ekonomi yang lebih realistis. Namun ada hal yang perlu dicermati mengenai pergerakan dari unsur dalam tabel diatas, pada tahun 2005 dan 2006 terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 2 % akan tetapi diikuti dengan kenaikan permintaan pajak sebesar Rp. 62171,9,- Hal ini bila dilihat secara sekilas, terdapat kenyataan yang sifatnya kontradiktif bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya dimana kenaikan pertumbuhan ekonomi selalu diikuti dengan kenaikan realisasi penerimaan pajak dan pajak penghasilan. Seperti diuraikan diatas bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu variabel ekonomi makro yang menjadi dasar asumsi pemerintah dalam penyusunan APBN dimana didalamnya terdapat kebijakan mengenai penetapan target penerimaan pajak. Masih ada variabel lainnya yang ikut menjadi dasar asumsi tersebut dan secara langsung ikut mempengaruhi tingkat penerimaan pajak seperti ; tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan tingkat suku bunga. Variabel-variabel tersebut diasumsikan cukup mempunyai pengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan, karena menyentuh langsung aktivitas dunia usaha. Implikasi dari perubahan-perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi besarnya harga barang dan jasa di masyarakat yang kemudian
7
akan mempengaruhi besarnya pendapatan dan biaya yang dibukukan oleh wajib pajak dan badan usaha yang mencari keuntungan, seperti kenaikan suku bunga, kurs valuta asing dan inflasi. Kenaikan suku bunga yang dipicu oleh kenaikan suku bunga the fed, menyebabkan meningkatnya beban usaha perusahaan. Disamping itu memburuknya kondisi perekonomian juga dapat dilihat aksi redemption (aksi jual) yang dilakukan oleh pemodal pada media investasi reksadana pendapatan tetap, akibat kenaikan suku bunga. Kebijakan pemerintah dalam menaikan harga bahan bakar minyak, berdampak pada kenaikan harga-harga sejumlah kebutuhan pokok, serta melemahkan daya beli masyarakat. Akibatnya nilai uang yang dimiliki menurun. Turunnya nilai uang tersebut akan menurunkan pula hasil investasi, sehingga akan mempengaruhi pajak yang harus di bayar. Dipihak lain, pergerakan tingkat inflasi juga perlu menjadi perhatian, karena berdampak pada seluruh sektor usaha. Tingginya tingkat inflasi dapat menambah angka kerugian yang berakibat meningkatnya tingkat pengangguran akibat PHK yang dilakukan perusahaan dalam upaya mempertahankan usahanya agar tetap eksis. Dampak inflasi yang tinggi juga akan berimbas pada gejolaknya nilai tukar rupiah atau dolar amerika. Nilai rupiah menjadi turun, akibat naiknya permintaan masyarakat terhadap dolar sementara penawaran terhadap dolar menurun. Tingginya permintaan dolar untuk membiayai barang-barang impor berakibat meningkatnya beban perusahaan dalam melaksanakan aktivitas produksinya,
8
sehingga mengurangi penghasilan bersih perusahaan dan berakibat menurunkan pembayaran pajak kepada Negara. Selain itu faktor lain yang ikut mempengaruhi penerimaan pajak adalah kebijakan dibidang perpajakan dan langkah-langkah administrasi perpajakan yang dilaksanakan oleh pemerintah khususnya direktorat jendral pajak. Penambahan target penerimaan pajak ditangah iklim usaha yang tidak begitu kondusif, membuat realisasi penerimaan pajak dengan sendirinya berimbas pula. Disisi lain kebijakan intensif pajak baru ini, lagi-lagi mengakibatkan potensi penerimaan pajak juga menjadi berkurang. Permintaan insentif ini muncul sebagai tuntutan masyarakat wajib pajak akibat perubahan iklim usaha. Dari uraian diatas menunjukkan bahwa terdapat variabel selain tingkat pertumbuhan
ekonomi
yang
mempengaruhi
tingkat
penerimaan
pajak
penghasilan. Seperti diuraikan dalam penjelasan mengenai APBN 2005 yang menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak, maka perlu dikaji bagaimana pengaruh variabel lainnya terhadap tingkat penerimaan pajak. Hal inilah yang menjadi dasar dilakukannya penelitian dalam skripsi ini, untuk melihat bagaimana pengaruh variabel-variabel makro lain terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan kondisi tersebut diatas skripsi ini akan dianalisis variabel ekonomi lainnya seperti : (I) tingkat suku bunga SBI, (2) nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika serikat, dan (3) tingkat inflasi, dengan melihat bagaimana
9
pengaruhnya terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan. Dari analisis ini dapat dikemukakan permasalahan pokok sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaruh suku bunga SBI terhadap penerimaan pajak penghasilan? 2. Bagaimanakah pengaruh Kurs Dollar AS terhadap penerimaan Pajak Penghasilan? 3. Bagaimanakah pengaruh Tingkat Inflasi terhadap penerimaan Pajak Penghasilan?
C. Pembatasan Masalah Penulis membatasi permasalahan dalam skripsi ini adalah data yang akan dianalisis adalah data variabel suku bunga SBI, Kurs Dollar AS, dan tingkat inflasi yang mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan dari Januari 2005 Desember 2009.
D. Tujuan Penelitian Penelitian dilakukan dengan maksud mendapatkan data dan informasi yang berhubungan dengan latar belakang permasalahan dan pokok permasalahan. Sedangkan penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh dari perubahan suku bunga SBI terhadap penerimaan pajak penghasilan. 2. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh dari perubahan kurs dollar AS terhadap penerimaan pajak penghasilan.
10
3. Untuk menguji dan menganalisi pengaruh dari perubahan tingkat inflasi terhadap enerimaan pajak penghasilan.
E. Manfaat Penelitian Manfaat Penelitian yang diharapkan bisa dicapai dalam penelitian skripsi ini adalah: 1. Bagi penulis sebagai wujud penerapan ilmu-ilmu yang selama ini telah diperoleh selama kuliah yang diinginkan sebagai syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan Strata satu (S-1). 2. Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya ekonomi pembangunan sehingga dapat memperkaya penelitian sejenis yang telah ada dan juga dapat dijadikan bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya. 3. Memberikan referensi sebagai data penelitian lebih lanjut untuk lebih dikembangkan.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Dasar. 1. Pengertian Pajak dan Pajak Penghasilan a. Definisi Pajak Numantu (2003:12) memberikan arti pajak dalam istilah asing yang disebut dengan tax (Inggris) ; import contribution taxe (Perancis) ; Steuer, Abgabe, Gebuhr (Jerman) ; Impuesto contribution, tribute, gravemen, tasa (Spanyol) dan belasting (belanda). Pengertian dan definisi pajak menurut PJ.A.Adriani adalah “Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintah” (Numantu, 2003:12) Dengan demikian, pajak hanya dapat dipungut oleh pemerintah, dan pemerintah baru dapat memungut pajak kalau ada undang-undangnya serta peraturan pelaksananya. pajak merupakan kewajiban bagi masyarakat yang bila diabaikan akan terkena sanksi sesuai dengan undang-undang pajak tersebut.
12
b. Pengertian Pajak Penghasilan. Gunadi (1999:14) menyatakan, “mendefinisikan pajak penghasilan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambahkan kekayaan wajib pajak” Dari pengertian tersebut terdapat empat unsur : (1) pengakuan (income recognition), (2) cakupan geografis (geographical source of income), (3) pemanfaatan, (4) sifat pengertian. Pajak penghasilan hanya dipungut pada tingkat nasional (Negara), oleh karena itu pajak ini termasuk kelompok pajak Negara atau pajak pemerintahan pusat. Pajak penghasilan tergolong sebagai pajak subyektif yaitu yang mempertimbangkan keadaan pribadi wajib pajak sebagai faktor utama dalam pengenaan pajak.
keadaan pribadi wajib pajak, yang tercermin pada
kemampuannya untuk membayar pajak atau daya pikulnya, ikut dipertimbangkan dan dijadikan sebagai dasar utama dalam menentukan berapa besarnya jumlah pajak yang dapat dibebankan kepadanya (Rusjdi,2004:01-2). Pajak penghasilan tergolong sebagai pajak langsung. John Stuart Mills (1860-1873) (Rusjdi, 2004), seorang ahli ekonomi inggris, mempelopori pembedaan pajak atas pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pembedaan ini dilakukan dengan memperhatikan unsur yang mempunyai arti ekonomis yang ada pada pengertian pajak. pajak langsung didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan terhadap orang yang harus menanggung dan membayarnya.
13
c. Fungsi pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan fungsi Negara/pemerintah, baik dalam fungsi alokasi, distribusi, stabilisasi dan regulasi, maupun kombinasi antara keempatnya. Rosdiana (2004;32) menyimpulkan bahwa pada hakekatnya, fungsi pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ; 1. Fungsi Budgetair Fungsi pajak yang paling utama adalah untuk mengisi kas Negara (to raise government’s revenue). fungsi ini disebut dengan fungsi budgetair atau fungsi penerimaan (revenue function), karena itu suatu pemungutan pajak yang sudah seharusnya memenuhi asas revenue productivity. 2. Fungsi Regulerend Pajak juga digunakan oleh pemerintah sebagai instrument untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. pajak, seperti custom duties (bea masuk) digunakan untuk mendorong atau melindungi (memproteksi) produksi dalam negeri, khususnya untuk melindungi infant industry dan atau industri-industri yang dinilai strategis oleh pemerintah. tetapi pajak juga dapat digunakan justru untuk menghambat atau mendistorsi suatu kegiatan perdagangan, misalnya disaat terjadi kelangkaan minyak goreng, pemerintah mengenakan pajak ekspor yang tinggi guna membatasi atau mengurangi ekspor kelapa sawit. Pemerintah juga dapat melakukan pengenaan excise (cukai) terhadap barang atau jasa tertentu yang mempunyai eksternalitas negative dengan tujuan mengurangi atau membatasi produksi dan konsumsi barang atau jasa tersebut.
14
Dengan demikian pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur (regulating/regulerend) guna tercapainya tujuan-tujuan tertentu yang ditetapkan pemerintah. sekali lagi, kebijakan pajak tersebut tidak terlepas dari kerangka teori fungsi-fungsi ekonomi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah.
d. Sistem Pemungutan Pajak Secara umum system pemungutan pajak yang berlaku, adalah : 1) Self Assessment Syatem, adalah suatu sistim pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menetukan sendiri besarnya pajak terutang. Definisi Self Assesment yang ada dalam International Tax Glossary adalah sebagai berikut : “Under self assessment is meant the system wich the tax payer is required not only to declare his basis of essesment (e.g taxable income) but also to submit a calculation with payment of the amount he regards as due” Dalam sistem ini, fiskus hanya berperan untuk mengawasi, seperti misalnya melakukan penelitian apakah surat pemberitahuan (SPT) telah diisi dengan lengkap dan semua lampiran sudah diikut sertakan, juga meneliti kebenaran penghitungan dan penulisan. meskipun demikian, untuk mengetahui kebenaran material data yang ada dalam SPT, fiskus akan melakukan pemeriksaan. Di Indonesia pajak penghasilan badan dan orang pribadi serta pajak pertambahan nilai menggunakan sistem ini.
15
2) Official Assesment System, adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menetukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Berdasarkan surat ketetapan yang diterbitkan fiskus, wajib pajak membayar pajak yang terutang tersebut. Di Indonesia, pajak bumi dan bangunan menganut sistem ini. 3) With Holding System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ide
pemungutan
pajak
dengan
cara
withholding,
pertama
kali
diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1943 dalam rangka mengakselerasi pengumpulan/ pemungutan pajak selama perang dunia ke II, karena terbukti efisien dan efektif sehingga sistem ini dengan cepat diadopsi oleh Negara-negara lainnya. “Menurut Thomas G. Vitez keuntungan dan kerugian dalam system withholding ini adalah : Keuntungannya : 1. Dapat digunakan untuk kepatuhan sukarela ditingkatkan karena pembayar harus melaporkan penghasilan yang pajak telah dipotong, ia akan diidentifikasi oleh laporan pembayar. 2. Karena pajak secara otomatis terkumpul, dibawah abd pelapor non reporter.
16
3. Metode ini mempromosikan keadilan pajak, dia sudah membayar pajak jika ia berutang. 4. Mengurangi atau menghilangkan masalah pengumpulan formulir departemen pajak. 5. Cara yang nyaman bagi wajib pajak untuk membayar pajaknya. Sedangkan kerugiannya adalah : 1. Hal itu akan membuat kesulitan bagi wajib pajak tertentu karena efekpemotongan 2. Akan membawa biaya untuk agen koleksi yang harus mengelola pembayar pajak. (Numantu, 2003:112).
e. Pengelompokan Pajak 1 ) Menurut golongannya a) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain Contoh : Pajak Penghasilan b) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai 2) Menurut sifatnya a) Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan
17
b) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikn keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas barang mewah 3) Menurut lembaga pemungutnya a)
Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahn Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai.
b) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah, terdiri : 1. Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan kendaraan di atas air, dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor. 2. Pajak kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame dan Pajak Penerangan Jalan.
f. Asas Pemungutan Pajak Azas-azas pemungutan pajak menurut Adam smith dalam bukunya “an Inguiry into the nature and causes of the wealth of nations” yang disebut” the four maxims” atau’ the four canons’ yaitu : (suandy, 2000;19) 1. Asas keadilan (Equality), pembenan pajak diantara subyek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuan, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya dibawah perlindungan pemerintah, tidak diperbolehkan suatu Negara mengadakan diskriminasi sesama wajib pajak.
18
2. Asas lepastian hukum (certainty), pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary), kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai subyek pajak, obyek pajak, tarif pajak dan ketentuan mengenai pembayarannya. 3. Asas ketetapan waktu pemungutan (convenience of payment), pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak, yaitu saat sedekat dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan / keuntungan yang dikenakan pajak. 4. Asas pemungutan pajak yang sehemat mungkin (economic of collection), pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin, jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri. Tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh. Dora Hancock E. Stighlitz dalam bukunya “Economic of the public sector” (Haula Rosdiana ; 2004;68) menekankan pada efisiensi yang lebih luas dengan mengatakan bahwa ada lima karakteristik yang diharapkan dalam suatu sistem perpajakan, yaitu : 1. Economically efficient : ‘it should not have an impact on allocation of resources’ sistem perpajakn sedapat mungkin tidak mempengaruhi alokasi sumber daya ekonomi yang efisien. 2. Administrastively simple : ‘it should be easy and inexpensive to administer’. Sistem perpajakan harus mudah, sederhana dan relatif berbiaya murah dalam pengadministrasiannya.
19
3. Flexible : ‘it should be easy for the system to respond to changing economic circumstance’. Sistem perpajakan haruslah sedemikian fleksibel untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi suatu Negara. 4. Politically accountable : ‘taxpayers should be also to determine what they are actually paying so that the political system can more accurate reflect the preferences of individuals’. Sistem perpajakan harus dirancang sedemikian rupa sehingga terdapat kepastian tentang seberapa besar pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak yang merefleksikan keinginan masing-masing individu dalam masyarakat. 5. Fair : ‘it should be seen to be fair in its impact on all individuals’. Sistem perpajakan harus mencerminkan keadilan terhadap masing-masing individu dalam masyarakat. E.R.A Seligman, dalam bukunya the shifting dan Incidence of Taxation (1892) dan the Income Tax (1911) merumuskan empat prinsip pemungutan pajak yakni ; 1. Prinsip Fiscal Prinsip Fiscal berhubungan dengan dua hal, yaitu ; Adequacy (kecukupan) dan elasticity (keluwesan), artinya bahwa pemungutan pajak harus dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan pengeluaran Negara dan harus pula cukup elastis dalam menghadapi berbagai tantangan, perubahan serta perkembangan kondisi perekonomian. 2. Prinsip Administrative
20
Prinsip ini meliputi prinsip certainty, convenience dan economy yakni bahwa ketentuan-ketentuan dalam undang-undang perpajakan haruslah jelas. 3. Prinsip economic Prinsip ini mengatakan bahwa biaya-biaya untuk memungut pajak harus lebih rendah dari jumlah pajak yang dipungut. 4. Prinsip Ethical Prinsip ini meliputi dua hal yaitu ; Uniformity dan Universality. Prinsip Uniformity menggambarkan kesamaan atas perilaku yang sama terhadap para pembayar pajak. Prinsip universality menghendaki supaya setiap wajib pajak yang dikenakan pajak harus memikul beban pajaknya, dan tidak satupun wajib pajak yang memikul beban pajak yang lebih besar dari semestinya.
g. Hambatan pemungutan pajak Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi : (Devano dan Rahayu ; 2006) 1) Perlawan pasif Perlawan pasif terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu Negara, dengan perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan dengan tekhnik itu sendiri. Yang dapat disebabkan antara lain : a) Perkembangan intelektual dan moral masyarakat b) Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat
21
c) Sistem control tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik 2) Perlawanan aktif Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan, yang secara usaha langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain : a) Tax Avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang b) Tax Evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar undang-undang (menggelapkan pajak)
h. Stelsel Pajak Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel, yaitu : (Setyawan dan Suprapti) ; 2004). 1) Stelsel Nyata (riel stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah menghasilkan riil diketahui) 2) Stelsel Anggapan (fictive stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undangundang. Penghasiloan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang
22
terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhhnya. 3) Stelsel campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatun anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
i. Fungsi Dasar Perpajakan di Indonesia Fungsi utama kebijakan perpajakan di Indonesia adalah sebagai alat bagi pemerintah dalam menjalankan fungsi budgeteir, yang terkait langsung dengan pengelolaan keuangan Negara yang tertuang dalam setiap penyampaian nota keuangan APBN. Secara spesifik fungsi ini direlisasikan dalam bentuk suatu tanggung jawab dalam hal pemungutan pajak yang merupakan sumber penerimaan dalam negeri yang dalam struktur APBN menjadi sumber utama pembiayaan rutin pemerintah (current expenditure). Untuk menjalankan fungsi tersebut diperlukan suatu kebijakan yang mengarah pada optimalisasi pemasukan dana ke kas Negara melalui pajak dengan meminimalisir akses negatif yang mungkin muncul dalam proses pemungutan
23
pajak tersebut. Tujuan kebijakan perpajakn pada dasarnya sama dengan kebijakan publik pada umunya, mempunyai tujuan pokok yaitu : (Mansury, 2000:5) 1. Alokasi sumber daya (Alocation of Resources) Penggunaan sumber daya yang terkumpul itu untuk pembentukan barang modal public dan pengeluara belanja Negara lainnya yang berhubungan dengan pembangunan serta penignkatan kesejahteraan dan kemakmuran. 2. Distribusi penghasilan (redistribution of income) yang lebih adil. Pertumbuhan ekonomi dilihat pertama – tama sebagai fungsi “ investment Rate” yang perlu didukung tabungan. Tabungan adalah lebih banyak diaharapkan dari orang-orang kaya
berpenghasilan tinggi, seperti mengenakan PPN atas
barang dan jasa mewah, dan merupakan bibit subur untuk pertumbuhan ekonomi. 3. Stabilitas (stabilization) Sistem perpajakan harus mengakomodasi faktor-faktor kondisi ekonomi, politk, administratif dan tujuan kebijakan publik serta tersedianya instrumeninstrumen kebijakan. Untuk tujuan optimalisasi penerimaan pajak tersebut maka pemerintah dituntut untuk menciptakan kebijakan yang bermuara pada peningkatan penerimaan pajak, hal ini diwujud kan dalam bentuk menata ulang sistem perundangan pemungutan pajak di Indonesia. Reformasi perpajakan di bidang perundangan dilakukan dalam rangka menegakkan asas keadilan, serta mengoptimalkan penerimaan pajak melalui langkah-langkah intensifikasi dan ekstensifikasi.
24
Direktorat jendral pajak sejak tahun 2001, menggulirkan reformasi administrasi perpajakan jangka menengah (3-5 tahun). Secara garis besar, ada tiga tujuan yang secara spesifik hendak dicapai oleh reformasi administrasi perpajakan jangka menengah ini, yaitu : (Purnomo,2004) 1. Tercapai tingkat kepatuhan perpajakan yang tinggi. 2. Tercapainya tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan 3. Tercapainya produktivitas aparat perpajakan yang tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut disusun program-program yang bersifat komprehensif dan mencakup semua operasi DPJ sehingga diharapkan perbaikan administrasi dalam jangka menengah akan membawa dampak positif serta bersifat sustainable. Tentu saja modernisasi administrasi perpajakan akan membutuhkan biaya-biaya serta fasilitas dan prasarana yang baru sehubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi terkini secara luas, perbaikan pelayanan kepada wajib pajak maupun penggunaan teknik dan metode baru untuk menggali potensi pajak. Namun dampak modernisasi perpajakan ini terhadap penerimaan pajak diyakini akan jauh melampaui biaya investasi yang ditanamkan. Oleh karena itu, program reformasi ini adalah program yang tepat untuk membantu kemandirian pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan dilaksanakan dengan biaya minimal. Cakupan kebijakan reformasi perpajakan lebih mendetail dikemukakan oleh Machfud Sidik, “ Strategi perpajakan dalam upaya pemulihan ekonomi, harian bisnis Indonesia, 5 Aguatus 2000”: 1. Self Assesment
25
Wajib pajak tetap mendapatkan kepercayan penuh untuk melaksanakan kewajibannya
dibidang
perpajakan
melalui
sistem
menghitung,
memperhitungkan dan melaporkan sendiri pajak terutang. Melalui sistem ini, administrasi perpajakan diharapkan dapat terlaksan lebih rapi, terkendali, sederhana, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh wajib pajak.
Penyederhanaan prosedur pelaksaan administrasi yang berbelit-belit dan prosedur yang terlalu birokratis justru akan menghambat pelaksanan system self assessment secara optimal. Sejalan debirokratisasi perpajakan, maka wewenang direktur Jendral pajak yang bersifat teknis administrative dapat dilimpahkan kepada aparat bawahannya dalam upaya meningkatkan pelayanan wajib pajak.
2. Keadilan
Terhadap surat keputusan keberatan atau putusan banding yang diterima sebagian atau seluruhnya atas surat ketetapan pajak kurang bayar dan surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (SKPKB dan SKPKBT) yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak akan dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2 persen.
Wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
udaha
pembukuan.
ataau
Namun
pekerjaan demikian
bebas terhadap
wajib wajib
menyelenggarakan pajak
tertentu
diperkenenkan untuk menyelenggarakan pembukuan yang lebih sederhana. 3. Kepastian hukum
26
Menegaskan bahwa jumlah pajak yang terutang menurut surat pemberitahuan tahunan (SPT) yang disampaikan oleh wajib pajak adalah jumlah yang terutang menurut undang-undang perpajakan, kecuali ditemukan bukti sebaliknya.
Kepastian hukumjuga tercermin dalam langkah menaikkan sanksi asas keterlambatan SPT masa dan SPT tahunan
4. Efisiensi
Tahapan wajib pajak tertentu yang ditetapkan oleh menteri keuangan dimungkinkan mempunyai masa pajak lebih dari satu bulan takwin.
Menyederhanakan prosedur restitusi dan menghapuskan kewajiban membuat faktur pajak dengan menetapkan faktur komersial yang juga berfungsi sebagai faktur pajak.
5. Pelayanan
Bagi wajib pajak tertantu yang telah terbukti kepatuhannya dapat diberikan restitusi (pembayaran pendahuluan kelebihan pembayaran pajak) dengan pos audit.
Penyusunan atau amortisasi dihitung dengan basis bulan.
6. Ektensifikasi
Pengertian SPT (surat pemberitahuan tahunan) dipertegas dengan mencantumkan obyek pajak atau bukan obyek pajak serta harga dan kewajiban.
Mengatur kembali intercorporete dividen sebagai bukan obyek pajak dengan syarat antara lain kepemilikan saham sebesar 25 persen atau lebih.
27
Pada dasarnya semua barang adalah barang kena pajak sehingga atas penyerahannya dikenakan pajak pertambahan nilai. Namun terhadap barang-barang tertentu yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, diberikan pembebasan PPN, dan hanya kepada produk akhir. Prinsip administrasi pajak yang diterima secara luas menyatakan bahwa
tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela, yang merupakan tulang punggung system self assaament dimana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajaknya. Menurut Ismaean, (2000), kepatuhaan sukarela sebagai pondasi system self assessment dapat dicapai apabila elemen-elemen kunci telah diterapkan secara efektif, yaitu : A. Program pelayanan yang baik terhadap wajib pajak. B. Prosedur yang sederhana dan memudahkan wajib pajak C. Program pemantauan kepatuhan verifikasi yang efektif D. Pemantauan law enforcement secara tegas dan adil Administrasi perpajakan dianggap berhasil apabila tercapai suatu keseimbangan antara pelayanan terhadap wajib pajak dan penerapan hukum serta peraturan pajak, administrasi perpajakan dapat mengkosentrasikan sumber dayanya dalam mengindentifikasikan informasi yang berhubungan dengan wajib pajak yang gagal memenuhi kewajiban pajak.
28
2. Suku Bunga SBI a. Pengertian Suku Bunga Suku bunga merupakan instrument konvensional untuk mengendalikan atau menekan laju pertumbuhan tingkat inflasi. Suku bunga yang tinggi akan mendorong
orang
untuk
menanamkan
dananya
di
bank
daripada
menginvestasikan pada sektor produksi atau industri yang resikonya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan menanamkan uang di bank terutama dalam bentuk deposito. Suku bunga yang tinggi menyerap jumlah uang yang beredar di masyarakat. Namun disisi lain, tingginya suku bunga akan meningkatkan nilai uang selain menyebabkan besarnya opportunity cost pada sektor industri atau sektor riil (Mamduh Hanafi ; 2003). Jika tingkat suku bunga dinaikkan, jumlah uang yang beredar akan berkurang karena orang lebih senang menabung daripada memutarkan uangnya pada sektor-sektor produktif. Sebaliknya, jika tingkat suku bunga terlalu rendah, jumlah uang yang beredar dimasyarakat akan bertambah karena orang lebih senang memutarkan uangnya pada sektor-sektor yang dinilai produktif. Dengan demikian tingkat inflasi dapat dikendalikan melalui kebijakan tingkat suku bunga bank yang dalam hal ini merupakan tugas dari bank Indonesia (bank sentral). Terjadinya kesenjangan antara investasi dan tabungan merupakan penyebab tingginya tingkat suku bunga, terutama jika dilihat dari sudut indikator ekonomi makro. Kesenjangan antara investasi dan tabungan atau antara dana
29
masyarakat yang berhasil dihimpun sektor perbankan dan kredit yang disalurkan telah menyebabkan kesenjangan yang sangat menyolok sejak tahun 1990. Dalam realitas sehari-hari terdapat 4 (empat) macam suku bunga yaitu : (Mamduh Hanafi ; 2003). a. Suku Bunga Dasar Suku bunga dasar (bank rate) adalah tingkat suku bunga yang ditentukan oleh bank sentral oleh kredit yang diberikan kepada perbankan dan tingkat suku bunga yang ditetapkan bank sentral untuk mendiskonto surat-surat berharga yang ditarik atau yang ditarik atau diambil alih oleh bank sentral. b. Suku bunga efektif Suku bunga efektif (effective rate) adalah suku bunga yang sesungguhnya dibebankan kepada debitur dalam jangka waktu 1 tahun, bila suku bunga nominal sama dengan suku bunga efektif. c. Suku bunga nominal (nominal rate) adalah tingkat suku bunga yang ditentukan berdasarkan jangka waktu 1 tahun. d. Suku bunga padanan (equivalent rate) adalah suku bunga yang besarnya dihitung setiap hari (bunga harian), setiap minggu ( bunga mingguan), setiap bulan (bunga bulanan) atau setiap tahun (bunga tahunan) untuk sejumlah pinjaman (kredit) atau investasi selama jangka waktu tertentu yang apabila dihitung secara anuitas (bunga berbunga) akan membirikan penghasilan bunga dengan jumlah yang sama. Kebijakan suku bunga tinggi, selain mengakibatkan kesenjangan antara dana yang diterima masyarakat dan dana yang berhasil disalurkan kembali dalam
30
bentuk pemberian kredit kepada masyarakat yang jumlahnya jauh melebihi dana yang masuk, mengakibatkan pula kesenjangan antara investasi dan tabungan selama suku bunga masih terus tinggi. Kebijakan tingkat suku bunga tinggi dapat pula digunakan untuk mancegah terjadinya pelarian modal (capital flight) ke luar negeri secara besar-besaran yang bila terjadi akan memperburuk industri perbankan. Industri perbankan merupakan sektor ekonomi yang paling menderita jika terjadi capital flight, terutama bagi bank-bank yang modalnya banyak mengandalkan pinjaman luar negeri. Pertumbuhan industri akan terpengaruh pula, yang pada akhirnya akan menambah angka pengangguran, defisit transaksi berjalan, dan bahakan tidak mustahil pula akan memicu meningkatnya tingkat inflasi yang semakin lama akan semakin sulit dikendalikan. Seseorang investor akan melihat apakah suku bunga riil negatif atau positif, dengan formulasinya sebagai berikut ; (Berlianta ; 2004). Suku Bunga Riil = Suku Bunga Nominal-Inflasi
Suku bunga riil yang negatif merupakan kerugian bagi investor yang mendepositokan uangnya, karena tingkat bunga nominal yang diterimanya lebih rendah daripada tingkat inflasi. Tinggi rendahnya suku bunga berimplikasi langsung terhadap tinggi rendahnya tingkat inflasi, menurut teori moneter klasik, di mana penurunan suku bunga bank sentral akan diikuti oleh penurunan suku bunga bank komersial. Ini akan memicu pertumbuhan kredit perbankan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi.
31
Dalam teori ekonomi konvensional, investasi sangat tergantung pada tingkat bunga (interest) sebagai ukuran biaya dari dana yang digunakan untuk membiayai investasi tersebut. Itulah sebabnya jika suku bunga tinggi, maka investasi atau proyek-proyek lebih sedikit dibandingkan dengan pada saat suku bunga rendah (Amri Amir, 2007), apabila investasi meningkat maka akan menaikkan pajak dan sebaliknya.
b. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) Dalam melaksanakan tugasnya membantu pemerintah dalam mengatur, menjaga dan memelihara kstabilan nilai rupiah, BI mengggunakan beberapa piranti moneter yuang terdiri dari Giro Wajib Minimum (Reserve requirement), Fasilitas Diskonto, Himbauan Moral dan Operasi Pasar Terbuka. Dalam Operasi Pasar Terbuka BI dapat melakukan transaksi jual beli surat berharga termasuk sertifikat bank Indonesia. Beberapa uraian penting tentang SBI dijelaskan sebagai berikut: 1). Pengertian SBI SBI adalah surat berharga atas unjuk dalam rupiah yang diterbitkan oleh BI sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto. 2). Tujuan Penerbitan SBI Sebagai otoritas moneter, BI berkewajiban memelihara kstabilan nilai rupiah. Dalam paradigma yang dianut, jumlah uang primer (uang kartal + uang giral di BI) yang berlebihan dapat mengurangi kstabilan nilai rupiah. SBI diterbitkan dan dijual oleh BI untuk mengurangi kelebihan uang primer tersebut.
32
3). Karakteristik SBI Terdapat beberapa karakteristik SBI, antara lain; (Siamat; 2004) 1). Jangka waktu maksimum 12 bulan dan sementara diterbitkan untuk jangka waktu 1dan 3 bulan. 2). Denominasi : dari yang terendah Rp 50 juta sampai yang tertinggi Rp 100 miliar. 3). Pembelian SBI oleh masyarakat minimal Rp 100 juta, dan selebihnya dengan kelipatan Rp 50 juta. 4). Pembelian SBI di dasarkan pada nilai tunai yang diperoleh dari rumus berikut ini : Nilai Nominal x 360 360 + (tingkat Diskonto x Jangka Waktu)
5). Pembelian SBI memperoleh hasil serupa berupa diskonto yang dibayar dimuka. Besarnya diskonto adalah nominal dikurangi dengan nilai tunai. 6). Pajak Penghasilan (PPh) atas diskonto dikenakan secara final sebesar 15%. 4). Tata cara transaksi penjualan SBI 1). Penjualan SBI dilakukan melalui lelang. Jumlah SBI yang akan dilelang diumumkan setiap hari selasa. 2). Lelang dilakukan setiap hari rabu dan dapat diikuti oleh seluruh bank umum, pialang pasar uang dan pialang pasar modal dengan penyelesaian transaksi hari kamis.
33
3). Dalam pelaksanaan lelang, masing-masing peserta mengajukan penawaran jumlah SBI yang ingin dibeli beserta tingkaat diskontonya. Pemenang lelang akan di prioritaskan pada peserta yang mangajukan penawaran tingkat diskonto yang relatif rendah, dengan batasan atas jumlah SBI yang dilelang. Contoh ada 6 peserta lelang, dan jumlah SBI yang dilelang adalah Rp 5 miliar. Peserta A, B dan C sudah dinyatakan sebagai pemenang dengan jumlah total penawaran Rp 4,5 miliar dan tingkat diskonto yang lebih randah dari peserta DEF. Sisanya Rp 500 juta diperebutkan oleh peserta DEF, dan pemenangnya adalah D karena tingkat diskontonya lebih randah dari peserta EF. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table dibawah ini : Table 2.1 Contoh hasil lelang SBI Target Lelang Rp 5 Miliar Jumlah penawaran suku Peserta bunga A Rp.1.500.000.000 B Rp.1.000.000.000 C Rp.2.000.000.000 D Rp.2.000.000.000 E Rp. 750.000.000 F Rp.1.250.000.000 Sumber : Data diolah
Suku bunga 20% 26% 30% 34% 37% 40%
Jumlah kumulatif Rp.1.500.000.000 Rp.2.500.000.000 Rp.4.500.000.000 Rp.5.000.000.000
Keterangan : Peserta A,B dan C menang lelang Peserta D menang sebagian (Rp 500 juta) Peserta E dan F kalah lelang 34
3. Inflasi a. Pengertian dan sebab inflasi Menurut Boediono (2000) inflasi adalah kecenderungan dari kenaikan harga-harga secara umum dan terus-menerus. Ini tidak berarti bahwa harga berbagai macam barang itu naik dengan persentase yang sama. Mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidaklah bersamaan. Yang penting terdapat kenaikan harga umum barang secara terus menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan yang terjadi hanya sekali saja (meskipun dengan persentase yang cukup besar) bukanlah merupakan inflasi. Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus-menerus (Sukirno, 2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain. Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama. Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus-menerus dan kenaikan harga yang terjadi pada seluruh kelompok barang dan jasa (Pohan, 2008). Bahkan mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidak bersamaan. Yang penting kenaikan harga umum barang secara terus-menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan harga barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar, bukanlah merupakan inflasi, (Nopirin, 2000). Atau dapat dikatakan, kenaikan harga barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan menyebabkan inflasi.
35
Dari kutipan di atas diketahui bahwa inflasi adalah keadaan di mana terjadi kelebihan
permintaan
(Excess
Demand)
terhadap
barang-barang
dalam
perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai Inflasi. Inflasi menyebabkan harga barang impor lebih murah dari pada barang yang dihasilkan di dalam negeri. Maka pada umumnya inflasi akan menyebabkan impor berkembang lebih cepat tetapi sebaliknya perkembangan ekspor akan bertambah lambat. Di samping itu aliran modal yang keluar akan lebih banyak dari pada yang masuk ke dalam negeri. Berbagai kecenderungan ini akan memperburuk keadaan neraca pembayaran, defisit neraca pembayaran yang serius mungkin berlaku. Hal ini seterusnya akan menimbulkan kemerosotan nilai mata uang (Sukirno, 2000). Kenaikan harga-harga menyebabkan barang-barang yang diproduksikan di negara itu tidak dapat bersaing dengan barang yang sama di pasaran luar negeri. Oleh sebab itu ekspor negara tersebut akan turun dan tidak berkembang. Sebaliknya kenaikan harga-harga dalam negeri menyebabkan barang-barang dari negara lain menjadi relatif lebih murah dan ini akan mempercepat pertambahan impor. Inflasi berpengaruh negatif terhadap nilai ekspor, maka selanjutnya inflasi akan menyebabkan impor menjadi lebih besar dari ekspor. Apabila cadangan devisa negara itu cukup besar, kelebihan impor ini dapat dibayar dari cadangan itu. Tetapi apabila cadangan devisa tidak cukup besar, pemerintah akan berusaha
36
untuk mengurangi impor dengan menaikkan pajak impor dan membatasi jumlah barang yang diimpor. Tindakan ini akan menimbulkan kenaikan harga-harga lebih lanjut. Jadi inflasi berpengaruh negatif terhadap nilai ekspor dan berpengaruh positif terhadap nilai impor. Tingkat inflasi yang terjadi di dalam suatu negara akan sangat mempengaruhi impor negara tersebut. Apabila barang-barang dari luar negeri mutunya lebih baik, dan harganya lebih murah daripada barang-barang yang sama dihasilkan di dalam negeri, maka akan terdapat kecenderungan bahwa negara tersebut akan mengimpor lebih banyak barang dari luar negeri (Sukirno, 2002). Definisi inflasi adalah kecenderungan kenaikan harga barang dan jasa secara umum yang berlangsung secara terus-menerus. Kenaikan harga satu atau dua barang tidak dapat disebut inflasi kecuali kenaikan harga tersebut meluas kemana-mana. (Abimanyu, 2004;13). Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa kenaikan satu atau beberapa barang pada saat tertentu dan hanya “sementara” belum tentu menimbulkan inflasi. Menurut Murni (2006 :203) mendefinisikan inflasi sebagai suatu kejadian yang menunjukkan kenaikan tingkat harga secara umum dan berlangsung secara terus-menerus. Berdasarkan definisi ini ada tiga kriteria yang perlu diamati untuk melihat telah terjadinya inflasi, yaitu kenaikan harga, bersifat umum dan terjadi terus menerus. Inflasi merupakan bagian dari keadaan perekonomian yang akan dialami oleh suatu Negara, hanya saja setiap Negara memiliki tingkat inflasi yang
37
berbeda-beda. Untuk mengukur tingkaat inflasi dapat menggunakan indeks harga konsumen. Selain itu dalam beberapa istilah penggunaan inflasi digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang, yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Beberapa ekonom (dari beberapa sekolah di Austria) masih menggunakan arti ini dan bukan peningkatan harga-harga. Inflasi yang terjadi dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang berbedabeda. Beberapa penyebab inflasi diantaranya bisa disebabkan oleh sektor eksporimpor, tabungan atau investasi, pengeluaran dan penerimaan Negara, sektor pemerintah dan swasta. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut (Murni, 2006): a. Inflasi disebabkan oleh sektor ekspor-impor, jika ekspor suatu Negara lebih besar daripada impor akan mengakibatkan terjadinya tekanan inflasi, tekanan inflasi terjadi karena semakin besar jumlah uang yang beredar didalam negeri akibat penerimaan devisa. b. Inflasi disebabkan oleh sektor penerimaan dan pengeluaran Negara, sektor penerimaan dan pengeluaran suatu Negara yang deficit menjadi penyabab inflasi. Karena pengeluaran pemerintah lebih besar dari penerimaannya, maka untuk menutupi keadaan tersebut dilakukan dengan mengeluarkan uang baru yang akan menimbulkan tekanan inflasi. c. Inflasi disebabkan oleh sektor swasta pengeluaran kredit dalam jumlah yang cukup besar untuk memenuhi permintaan kredit swasta dapat juga menyebabkan terjadinya inflasi.
38
Dengan demikian pengendalian jumlah uang beredar di masayarakat dan keseimbangan antara permintaan dan penawaran barang merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan untuk menekan tingkat inflasi.
b. Penggolongan inflasi Penggolongan inflasi dapat dibedakan atas beberapa kelompok (Murni,2006), yaitu : 1. Berdasarkan sumber dan penyebabnya, maka inflasi dapat dikelompokan menjadi; a. Inflasi dari segi permintaan (demand full inflation). Inflasi ini disebabkan oleh bertambahnya permintaan terhadap barangbarang dan jasa-jasa yang menyebabkan bertambahnya permintaan faktor-faktor produksi. Meningkatnya permintan permintan terhadap produksi menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Oleh karena itu inflasi terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total yang berlebihan sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment sehingga terjadi perubahan pada tingkat harga. b. Inflasi dari segi desakan biaya (Cost Push Inflation) Kenaikan harga pada inflasi jenis ini disebabkan adanya kenaikan biaya/ongkos produksi (input) sehingga mengakibatkan harga-harga produk (output) yang dihasilkan ikut naik. Terjadinya kenaikan ongkos produksi ini dapat disebabkan karena buruh menuntut kenaikan upah (wages push inflation) maupun
39
karena perusahaan menghendaki kenaikan keuntungan yang melebihi kemampuan berproduksi (profit push inflation) 2. Berdasarkan asal timbulnya inflasi. Apabila ditinjau dari asalnya, inflasi dapat dibedakan menjadi dua macam ; a. Inflasi dari dalam negeri (domestic inflation). Kenaikan harga terjadi karena ada pengaruh kejutan (shock) dari dalam negeri baik karena perilaku masyarakat non-pemerintah maupun pemerintah yang mengakibatkan kenaikan harga. Misalnya sebagai akibat terjadinya defisit anggran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal. b. Inflasi dari luar negeri (imported inflation). Kenaikan harga umum dapat dipengaruhi tidak saja oleh harga-harga dalam negeri tetapi juga oleh hargaharga barang diluar negeri yang tercermin pada harga barang-barang impor yang berpengaruh langsung pada kenaikan indeks harga umum (IHU) dan dengan sendirinya akan mempengaruhi laju inflasi. Selain itu imported inflation juga dapat disebabkan adanya kenaikan tarif impor barang. 3. Berdasarkan cakupan pengaruh kenaikan harga, inflasi digolongkan menjadi ; a. Inflasi tertutup (closed inflation). Inflasi ini terjadi jika kenaikan harga secara umum hanya berkaitan dengan beberapa barang tertentu secara kontinyu. b. Inflasi terbuka (Open inflation). Inflasi ini terjadi jika kenaikan harga terjadi secara keseluruhan.
40
c. Inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflation). Inflasi ini terjadi apabila serangan inflasi demikian hebatnya dan setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama yang disebabkan nilai uang terus merosot. 4. Berdasarkan parah atau tidaknya inflasi, digolongan menjadi ; a. Inflasi ringan, yaitu inflasi yang lajunya lebih kecil dari 10% pertahun b. Inflasi sedang, yaitu inflasi yang lajunya antara 10 % sampai 30% pertahun c. Inflasi berat, yaitu inflasi yang lajunya antara 30 % sampai 100% pertahun d. Inflasi tidak terkendali, yaitu inflasi yang lajunya lebih dari 100% pertahun
c. Dampak inflasi Inflasi yang tingginya tingkatannya akan menurunkan perkembangan ekonomi suatu Negara (Murni : 2006) hal-hal yang mungkin timbul antara lain sebagai berikut ; 1. Ketika biaya produksi naik akibat inflasi, hal ini akan sangat merugikan pengusaha dan ini menyebabkan kegiatan investasi beralih pada kegiatan yang kurang mendorong produk nasional, seperti tindakan para spekulatif yang ingin mencari keuntungan sesaat. 2. Pada saat kondisi harga tidak menentu (inflasi) para pemilik modal lebih cenderung menanamkan modalnya dalam bentuk pembelian property. Pengalihan investasi ini akan menyebabkan investasi produktif berkurang dan kegiatan ekonomi menurun.
41
3. Inflasi menimbulkan efek yang buruk pada perdagangan dan mematikan pengusaha
dalam
negeri.
Hal
ini
dikarenakan
kenaikan
harga
menyebabkan produk-produk dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk Negara lain sehingga kegiatan ekspor menurun dan impor malah meningkat. 4. Inflasi menimbulkan dampak yang buruk pula dalam neraca pembayaran. Karena menurunnya ekspor dan meningkatnya impor menyebabkan ketidakseimbangan terhadap aliran dana yang masuk dan keluar negeri sehingga posisi neraca pembayaran akan memperburuk. Inflasi bukan berarti bertujuan untuk menghilangkan inflasi sampai pada titik nol, karena bila ini sampai terjadi tidak memacu pertumbuhan ekonomi dan justru akan menimbulkan stagnasi. Kebijakan inflasi akan sangat berarti bagi kegiatan ekonomi bila pemerintah bisa menjaga laju inflasi berada di tingkat yang sangat rendah yaitu sekitar dibawah 5 persen.
d. Kebijakan anti inflasi Upaya-upaya untuk mengendalikan inflasi dapat berupa penerapan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh dua lembaga yang berbeda. Kebijakan fiskal dilaksanakan oleh departemen ekonomi dan keuangan, sedangkan kebijakan moneter dilaksanakan oleh bank sentral. (Murni, 2006 : 207208)
42
1. Kebijakan Fiskal meerupakan kebijakan pemerintah untuk mengubah dan mengendalikan penerimaan dan pengeluarkan pemerintah melalui APBN dengan maksud untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Kebijakan ini dapat dibagi menjadi : Bentuk kebijakan fiskal jangka pendek, berupa ; a. Membuat perubahan yang berkaitan dengan pembelanjaan/pengeluaran pemerintah. b. Membuat perubahan yang berkaitan dengan sistem perpajakan dan jumlah pajak yang ditetapkan. Bentuk kebijakan fiskal jangka panjang, berupa ; a. Kebijakan penstabilan otomatik, artinya menjalankan sistem perpajakan yang telah ada, misalnya sistem pajak progresif dan proporsional. b. Kebijakan fiskal diskresioner, artinya kebijakan yang secara khusus membuat perubahan terhadap sistem yang ada. Misalnya membuat undangundang, peraturan-peraturan baru dibidang penerimaan pemerintah khususnya penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah. 2. Kebijakan Moneter merupakan kebijakan yang dilakukan bank sentral dalam mengatur dan mengendalikan jumlah uang yang beredar. Kebijakan bank sentral ini ada yang bersifat kuantitatif dan ada yang bersifat kualitatif. Kebijakan yang bersifat kuantitatif meliputi : a. Kebijakan operasi pasar terbuka (open market operation) yaitu membeli atau menjual obligasi pemerintah.
43
b. Kebijakan tingkat diskonto yaitu kebijakan dalam rangka dalam menetapkan tngkat suku bunga. Misalnya SBI. c. Kebijakan cadangan wajib (reserve requitment) yaitu kebijakan dalam menetapkan cadangan wajib untuk deposito bank dan lembaga keuangan lainnya. Kebijakan yang bersifat kualitatif meliputi pengawasan kredit secara selektif dan moral situation yaitu membujuk/ menghimbau secara moral kepada masyarakat pengguna jasa bank. Bank sentral memainkan peranan penting dalam mengendalikan inflasi. Bank sentral suatu Negara pada umumnya berusaha mengendalikan tingkat inflasi pada tingkat yang wajar. Beberapa bank sentral bahkan memiliki kewenangan yang independen dalam artian bahwa kebijakannya tidak boleh diintervensi oleh pihak luar bank sentral, termasuk oleh pemerintah itu sendiri. Hal ini disebabkan karena sejumlah studi menunjukkan bahwa bank sentral yang kurang independen salah
satunya
disebabkan
oleh
intervensi
pemerintah
yang
bertujuan
menggunakan kebijakan moneter untuk mendorong perekonomian justru akan berakibat mendorong tingkat inflasi yang lebih tinggi. Bank sentral pada umumnya mengandalkan jumlah uang beredar dan/atau tingkat suku bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu bank sentral juga berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang domestik. Hal ini disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal (dicerminkan oleh tingkat inflasi) maupun eksternal (kurs). Saat ini pola inflation
44
targeting banyak diterpakan oleh bank sentral diseluruh dunia, termasuk oleh bank Indonesia. Reaksi terhadap kebijakan antiinflasi berupa kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang digunakan untuk menekan laju inflasi, harus diperhitungkan sebagai salah satu biaya inflasi yang merupakan dampak yang ditimbulkan oleh inflasi dan menyebabkan beban-beban ekonomi secara tidak efisien yang ditanggung oleh masyarakat(Murni, 2006 : 213). Oleh sebab itu diperlukan kebijakan antiinflasi yang berbiaya rendah, yaitu kebijakan-kebijakan yang berusaha menurunkan inflasi tanpa terjadinya kenaikkan beban ekonomi bagi masyarakat. Kebijakan antiinflasi yang berbiaya rendah ini disebut juga kebijakan pendapatan yaitu tindakan pemerintah yang berusaha membuat yang berusaha membuat inflasi yang rendah (moderat) melalui langkah-langkah langsung, baik melalui persuasi verbal, pengawasan hukum atau intensif-intensif lain. Tindakan-tindakan langsung pemerintah dapat berupa : (Murni, 2006 : 213) 1. Kebijakan pengendalian harga dan upah dipasar produk dan pasar tenaga kerja. 2. Kebijakan pendapatan berbasis pajak berupa kebijakan pemerintah untuk menaikkan pajak penghasilan secara perlahan agar tidak mempengaruhi lonjakan harga barang di pasar. 3. Kebijakan strategi pasar yang menekankan kekuatan pengendalian ketersediaan barang di pasar, sehingga dapat memperkuat daya tahan pasar terhadap kenaikan harga.
45
4. Pengertian Nilai Tukar Valuta Asing dan Sistem Nilai Tukar. a. Pengertian Nilai Tukar Valuta Asing (Foreign Exchange Rate). Nilai tukar Rupiah atau disebut juga kurs Rupiah adalah perbandingan nilai atau harga mata uang Rupiah dengan mata uang lain. Perdagangan antarnegara di mana masing-masing negara mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya angka perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya, yang disebut kurs valuta asing atau kurs (Salvatore, 2008). Nilai tukar terbagi atas nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat menukar mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain. Sedangkan nilai riil (real exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat menukar barang dan jasa dari suatu negara dengan barang dan jasa dari negara lain (Mankiw, 2006). Kurs valuta asing akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan permintaan dan penawaran valuta asing. Permintaan valuta asing diperlukan guna melakukan pembayaran ke luar negeri (impor), diturunkan dari transaksi debit dalam neraca pembayaran internasional. Suatu mata uang dikatakan kuat. apabila transaksi autonomus kredit lebih besar dari transaksi autonomus debit (surplus neraca pembayaran), sebaliknya dikatakan lemah apabila neraca pembayarannya mengalami defisit, atau bisa dikatakan jika permintaan valuta asing melebihi penawaran dari valuta asing (Nopirin, 2000). Nilai tukar yang melonjak-lonjak secara drastis tak terkendali akan menyebabkan kesulitan pada dunia usaha dalam merencanakan usahanya terutama
46
bagi mereka yang mendatangkan bahan baku dari luar negeri atau menjual barangnya ke pasar ekspor oleh karena itu pengelolaan nilai mata uang yang relatif stabil menjadi salah satu faktor moneter yang mendukung perekonomian secara makro (Pohan, 2008). Menurut (Sukirno, 2002) besarnya jumlah mata uang tertentu yang diperlukan untuk memperoleh satu unit valuta asing disebut dengan kurs mata uang asing. Nilai tukar adalah nilai mata uang suatu negara diukur dari nilai satu unit mata uang terhadap mata uang negara lain. Apabila kondisi ekonomi suatu negara mengalami perubahan, maka biasanya diikuti oleh perubahan nilai tukar secara substansional. Masalah mata uang muncul saat suatu negara mengadakan transaksi dengan negara lain, di mana masing-masing negara menggunakan mata uang yang berbeda. Jadi nilai tukar merupakan harga yang harus dibayar oleh mata uang suatu negara untuk memperoleh mata uang negara lain. Kurs riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat di mana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Nilai Tukar (exchange rate) atau kurs adalah harga satu mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara (Mankiw, 2006). Nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga-harga di dalam negeri dibandingkan dengan harga-harga di luar negeri. Nilai tukar dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini: Q S . P/P*
47
Di mana Q dalah nilai tukar riil, S adalah nilai tukar nominal, P adalah tingkat harga domestik dan P* adalah tingkat harga di luar negeri. Kurs inilah sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi aktivitas di pasar saham maupun pasar uang karena investor cenderung akan berhati-hati untuk melakukan investasi. Menurunnya kurs Rupiah terhadap mata uang asing khususnya Dolar AS memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar modal (Sitinjak dan Kurniasari, 2003). Dalam sistem kurs mengambang, depresiasi atau apresiasi nilai mata uang akan mengakibatkan perubahan ke atas ekspor maupun impor. Jika kurs mengalami depresiasi, yaitu nilai mata uang dalam negeri menurun dan berarti nilai mata uangasing bertambah tinggi kursnya (harganya) akan menyebabkan ekspor meningkat dan impor cenderung menurun. Jadi kurs valuta asing mempunyai hubungan yang searah dengan volume ekspor. Apabila nilai kurs dollar meningkat, maka volume ekspor juga akan meningkat (Sukirno, 2002). Dalam ekonomi international penting diperhatikan tentang konvertabilitas uang (currency convertability), yaitu penggunaan mata uang (valuta asing) yang dapat dengan mudah ditukarkan dengan mata uang Negara lain yang biasa disebut dengan istilah Internationally Convertible Currency (Tajul, 2000:6). Mata uang yang kurang konvertibel rentan terhadap inflasi. Sedang mata uang yang konvertibel mempunyai derajat kebebasan yang tinggi untuk dikonversikan ke dalam mata uang Negara lain, kecuali mata uang dari Negaranegara yang menganut sisitem perencanaan terpusat dan sistem pengawasan devisa. Negara-negara yang menganut sistem perencanan terpusat dan sistem
48
pengawasan devisa akan mengenakan restriksi terhadap mata uangnya, sehingga tidak mudah dikonversikan ke dalam mata uang Negara lain. Sedangkan Tajul (2000 : 4-5) dalam bukunya, inflasi dan solusinya, menjelaskan pengertian nilai tukar valuta asing (foreign exchange) sebagai berikut: “Foreign exchange (forex) atau foreign currency, adalah mata uang asing atau alat pembayaran lainnya yang digunakan dalam transkasi ekonomi internasional berdasarkan kurs resmi yang ditetapkan oleh bank sentral”. Jadi nilai tukar valuta asing adalah nilai tukar dari satu mata uang dalam unit terhadap mata uang lainnya, misalnya nilai tukar mata uang rupiah (IDR) terhadap mata uang US Dolar.
b. Sistem Nilai Tukar (Exchange Rate System). Sistem nilai tukar sangat tergantung pada kebijaksanan moneter suatu Negara. Bentuk sistem nilai tukar dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu : (Berlianta, 2004) 1. Fixed Exchange Rate System Merupakan sistem yang menganut nilai tukar yang tetap suatu mata uang yang dapat dipertahankan terhadap mata uang asing. Dan bila tingkat nilai tukar mata uang tersebut bergerak terlalu besar maka pemerintah malakukan intervensi untuk mengembalikannya.
49
Sistem ini mulai diterapkan pada pasca perang dunia kedua yang ditandai dengan digelarnya konferensi mengenai sistem nilai tukar yang diadakan di Bretton Woods, New Hampshire pasa tahun 1944. 2. Floating Exchange Rate System Setelahnya runtuhnya Fixed exchange Rate System maka timbul konsep baru yaitu Floating Exchange Rate System. Dalam konsep ini nilai tukar valuta dibiarkan bergerak bebas. Nilai tukar valuta ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran valuta tersebut di pasar uang. Dalam praktek terdapat dua jenis Floating Exchange Rata System, yaitu : 1. Free Floating Exchange System Dalam sistem ini nilai tukar dibiarkan bergerak bebas. Pergerakannya sepenuhnya tergantung dari kekuatan penawaran dan permintaan di pasar. Bank sentral tidak melakukan intervensi ke pasar guna mempengaruhi nilai tukar mata uangnya. Pada sistem ini perubahan nilai tukar tidak akan mempengaruhi cadangan devisa Negara karena begitu ada perubahan penawaran atau permintaan akan berdampak langsung pada naik-turunnya nilai tukar valuta. 2. Managed (Dirty) Floating Exchange Rate System Pada sistem ini bank sentral dapat melakukan intervensi ke pasar guna mempengaruhi pergerakan nilai tukar valuta. Bank sentral melakukan intervensi ini biasanya disebabkan karena pergerakan kurs valuta dipandang tidak menguntungkan bagi perekonomian Negara tersebut sehingga perlu dilakukan intervensi untuk mencegah akibat yang lebih buruk lagi. Pada sistem ini naik
50
turunnya cadangan devisa ditentukan oleh ada tidaknya intervensi bank sentral ke pasar. Selama periode tiga dekade terakhir Indonesia telah mengimplementasikan sistem nilai tukar yang berbeda-beda. Pada periode Agustus 1971 sampai dengan November 1978 menganut sistem nilai tukar tetap, November 1978 sampai dengan Agustus 1997 menganut sistem nilai tukar mengambang terkendali, dan Agustus 1997 hingga kini menganut sistem nilai tukar mengambang bebas. Sedangkan menurut (Abimayu, 2004), terdapat enam sistem nilai tukar valuta asing, yang dipakai oleh banyak Negara didunia, yaitu ; a. Sistem Fixed (pegged) Dimana otoritas moneter selalu mengintervensi pasar uang untk mempertahankan nilai tukar uang mata using sendiri terhadap mata uang asing tertentu. Intervensi ini memerlukan cadangan devisa yang relatif besar. b. Sistem Adjustable peg. Dimana otoritas moneter terikat untuk memepertahankan nilai valuta asing. Namun otoritas monoter berhak mengubah kurs apabila terjadi perubahan kebijakan. c. Sistem Crawling Peg Dimana otoritas monoter mengaitkan mata uang dalam negeri terhadap satu atau beberapa mata uang asing. Nilai tukar valuta asing dalam sistem ini diubah secara periodik dan berangsur-angsur dalam persentase yang kecil. d. Sistem Managed Float
51
Dimana otoritas moneter tidak terikat untuk mempertahankan nilai tukar valuta asing tertentu. Namun otoritas moneter secara kontinyu mengintervensi pasar berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya, karena cadangan devisa yang menipis. Contoh yang lain, otoritas moneter dapat mengintervensi pasar agar nilai mata uang rupiah melemah untuk mendorong peningkatan ekspor. e. Sistem Wider Band Dimana
otoritas
moneter
membiarkan
nilai
tukar
valuta
asing
mengambang atau berfluktuasi di antara dua titik tertinggi dan terendah. Misalnya diantara Rp. 9000 hingga Rp. 10.000 per 1 US Dollar, jika keadaan perekonomian menyebabkan kurs bergerak melampui dua titik tersebut, otoritas moneter akan mengintervensi pasar dengan cara membeli atau menjual rupiah atau US Dollar. Intervensi ini dimaksudkan untuk menjaga nilai tukar rupiah tetap berada diantara kedua titik tersebut. f. Sistem Free Floating Dalam
sistem
ini
otoritas
moneter
secara
teoritis
tidak
perlu
mengintervensi pasar sehingga sistem ini tidak memerlukan cadangan devisa.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar mata uang. Menurut Hady (2001:46-53) titik keseimbangan nilai tukar suatu mata uang dipengaruhi oleh perubahan permintaan dan penawaran atas mata uang tersebut. Perubahan permintaan dan penawaran dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain:
52
1. Tingkat Inflasi. Perubahan tingkat inflasi suatu Negara dapat mempengaruhi aktivitas perdagangan internationalnya sehingga mempengaruhi permintaan dan penawaran atas mata uang dan oleh karenanya berpengaruh terhadap nilai tukarnya. Meningkatnya inflasi suatu Negara akan mengakibatkan menurunnya nilai tukar mata uangnya terhadap mata uang Negara lain (asumsi inflasi Negara lain tetap). 2. Tingkat Suku Bunga. Menurut Mamduh (2003:110) perubahan tingkat suku bunga suatu Negara akan memepengaruhi investasi asing pada sekuritas Negara tersebut, sehingga akan mempengaruhi permintaan dan penawaran atas mata uang Negara tersebut yang tentunya akan mempengaruhi nilai tukarnya. Meningkatnya tingkat suku bunga suatu Negara (diasumsikan suku bunga Negara lain tetap) akan mengakibatkan permintaan atas mata uang Negara tersebut meningkat sehingga akan menyebabkan meningkatnya nilai tukar mata uangnya terhadap Negara lain. Namun harus diperhatikan juga apakah meningkatnya tingkat suku bunga tersebut adalah nyata (real), artinya tingkat suku bunga Negara tersebut harus lebih tinggi dari tingkat inflasinya. 3. Tingkat pendapatan (income levels). Perubahan tingkat pendapatan suatu Negara juga mempengaruhi nilai tukar mata uang Negara tersebut. Meningkatnya tingkat pendapatan akan mengakibatkan menurunnya nilai tukar mata uangnya terhadap Negara lain (asumsi tingkat pendapatan Negara lain tetap) karena peningkatan pendapatan
53
tersebut akan mengakibatkan meningkatnya permintaan barang dan jasa sehingga mempengaruhi penawaran mata uang negara tersebut meningkat dipasaran. 4. Pengawasan pemerintah. Kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah suatu Negara juga bisa mempengaruhi nilai tukar mata uangnya, misalnya kebijaksanaan suku bunga, pengendalian inflasi dan lain-lain. 5. Expektasi (expectation). Harapan pasar atas nilai tukar mata uang suatu Negara dimasa yang akan dating juga mempengaruhi nilai tukar mata uangnya dimasa sekarang. Jika harapan pasar dimasa yang akan dating nilai tukarnya naik, maka permintaan atas mata uang Negara tersebut akan meningkat sehingga nilai tukarnya akan naik.
d. Beberapa teori yang berkaitan dengan pengukuran nlai tukar valuta. Berikut adalah beberapa teori yang berkaitan dengan nlai tukar valuta asing : (Berlian; 2004:18) 1. Balance of payment approach. Pendekatan ini mendasarkan pada pendapat bahwa nilai tukar valuta terssebut. Alat yang digunakan untuk mengukur kekuatan penawaran dan permintaan valuta asing ini disebut balance of payment yang dapat menunjukkan aliran dana masuk dan keluar suatu Negara. 2. Teori purchasing power parity. Teori ini menghubungkan antara nilai tukar dengan daya beli suatu valuta terhadap barang dan jasa. Pendekatan ini menggunakan apa yang disebut dengan
54
law of one price sebagai dasar asumsi bahwa terdapat dua barang yang identik dan mempunyai harga yang sama. 3. Fisher effect Teori ini diperkenalkan oleh irving fisher, yang menyatakan bahwa tingkat suku bunga riil ditambah tingkat inflasi dinegara itu. 4. International fisher effect Pendapat ini menyatakan bahwa pergerakan nilai mata uang satu Negara dibanding Negara lain (pergerakan kurs) disebabkan oleh perbedaan suku bunga nominal yang ada di kedua Negara tersebut. Implikasi dari teori ini adalah bahwa orang tidak bisa menikmati keuntungan yang lebih tinggi hanya dengan menanamkan dana mereka ke Negara yang mempunyai suku bunga nominal tinggi karena nilai mata uang Negara yang tinggi tersebut akan terdepresiasi (turun nilainya) sebesar selisih bunga nominal dengan Negara yang mempunyai suku bunga nominal lebih rendah.
e. Pengelompokan mata uang asing Tajul (2000:5) membagi kelompok mata uang asing dalam dua kelompok besar 1. Hard currency Mata uang yang termasuk dalam kelompok hard currency adalah mata uang yang mempunyai nilai relatif stabil, tidak terlalu sering mengalami apresiasi (kenaikan nilai) atau depresiasi (penurunan nilai) jika dibandingkan dengan mata uang yang selalu dipilih untuk digunakan sebagai alat pembayaran serta satuan hitung dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional. Hard currency
55
umumnya adalah mata uang dari Negara-negara industri seperti Dollar Amerika Serikat (USD), Yen Jepang (JPY), Poundsterling Inggris (GBP), Deutch Mark Jerman ( DEM), France Prancis (FRF), Dollar Australia (AUD) dan France Swiss (SFR). 2. Soft Currency Lawan dari hard currency adalah soft currency, yaitu mata uang yang lemah yang kurang laku atau jarang sekali digunakan sebagai alat pembayaran dan satuan hitung dalm transaksi ekonomi dan keuangan international karena nilainya relative kurang stabil (inconvertible currency) serta sering terdepresiasi jika dibandingkan dengan mata uang Negara-negara lainnya. Soft currency umumnya terdiri dari mata uang Negara-negara yang sedang berkembang yang sifatnya sangat sensitive terhadap gejolak politik, perubahan kebijakan ekonomi dan moneter pemerintah Negara yang bersangkutan termasuk terhadap perubahanperubahan kondisi social ekonomi internasional. Kemampuan suatu Negara dalam melakukan transaksi ekonomi dan keuangan internasional sangat tergantung pada cadangan devisa yang dimiliki, yang dapat dilihat pada neraca pembayaran internasional atau balance of payment (BOP) yang bersangkutan. Semakin banyak cadangn devisa (valas) suatu Negara akan semakin besar pula kemampuan Negara tersebut melakukan transaksi ekonomi dan keuangan internasional. Menurut Tajul (2000;5), cadangan devisa suatu Negara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : a). official Forex Reserve
56
official forex reserve adalah jumlah seluruh cadangan devisa atau cadangan valuta asing yang dimiliki, dikelola, dikuasai diurus, dan dipertanggung jawabkan oleh bank sentral. b). country forex reserve county forex reserve adalah jumlah seluruh cadangan devisa aatau valuta asing yang dimiliki oleh perorangan atau lembaga, terutama perbankan dan badan usaha milik Negara (BUMN) yang secara moneter merupakan kekayaan Negara.
B. Penelitian Terdahulu 1. Vinelia Agustina Marpaung, Djamaludin Ahmad, dan Kasyful Mahalli (2008) Dalam penelitian tentang Analysis Factor of Influence Tax Arrears in North Sumatera, Dilatar belakangi pertumbuhan ekonomi yang semakin baik dan inflasi yang lebih rendah seharusnya dapat menurunkan penunggakan pajak, karena terjadinya perbaikan kondisi makro ekonomi. Namun demikian di Sumatera Utara perbaikan ekonomi tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah tunggakan pajak. Terjadinya kenaikan tunggakan pajak tersebut kemungkinan disebabkan peningkatan jumlah wajib pajak pribadi yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah wajib pajak badan dan bendaharawan. Oleh karena itu melihat besarnya peranan pajak terhadap pembiayaan pembangunan dan adanya kecenderungan peningkatan tunggakan pajak. Perlu dilakukan suatu penelitian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tunggakan pajak di Sumatera Utara.
57
Dalam penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Dalam penelitian ini tunggakan pajak sebagai variabel terikat, variabel bebasnya adalah pertumbuhan ekonomi, jumlah wajib pajak tahun lalu mempengaruhi tunggakan pajak tahun sekarang, inflasi, dan krisis ekonomi (sebagai variabel dummy). Model regressi yang digunakan adalah regresi distributed-lag, dengan spesifikasi modelnya sebagai berikut : LTgP = a0 – a1 PE + a2 WPt-1 + a3 INF + a4 DM + µ Dimana : LTgP = Logaritma jumlah tunggakan pajak PE
= Pertumbuhan Ekonomi (%)
WPJ
= Jumlah Wajib Pajak
INF
= Tingkat inflasi
DM
= dummy variabel krisis ekonomi, D=0 sebelum krisis ekonomi (19841996), D=1 setelah terjadi krisis ekonomi (1997-2005).
Pertumbuhan ekonomi daerah sumatera utara, jumlah wajib pajak, tingkat inflasi, dan kondisi ekonomi secara serempak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan tunggakan pajak di sumatera utara. Secara parsial, hasil analisis menunjukkan sebagai berikut : Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penunggakan pajak disumatera utara, berarti bahwa peningkatan pertumbuhan akan menurunkan tunggakan pajak di sumatera utara.
58
Jumlah wajib pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap penunggakan pajak disumatera utara. Dengan demikian bahwa jumlah wajib pajak yang semakin meningkat juga akan meningkatkan tunggakan pajak. Inflasi berpengaruh positif tetapi signifikan terhadap penunggakan pajak di sumatera utara. Hal ini berarti bahwa jika inflasi meningkat, maka tunggakan pajak juga akan meningkat. Krisis ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap penunggakan pajak disumatera utara, berarti bahwa setelah krisis ekonomi, tunggakan pajak di sumatera utara semakin meningkat.
2. Linda Dwi Oktavia (2008) Dalam penelitian tantang Pengaruh Suku Bunga SBI, Nilai Tukar Rupiah, dan Inflasi Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Sebelum dan Sesudah Privatisasi Studi Kasus Pada PT. Telekomunikasi Indonesia, dilatar belakangi Indonesia yang merupakan negara berkembang yang sedang membangun khususnya pembangunan dalam bidang ekonomi. Untuk mencapai perekonomian yang stabil, maka diperlukan suatu keadaan moneter yang mantap. Pada awal pemerintahan orde baru, perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Tetapi dengan terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, perekonomian Indonesia mengalami penurunan yang sangat drastis. Dalam mengatasi krisis ekonomi tersebut, berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah diantaranya dengan menaikkan tingkat bunga bank dan mengeluarkan kebijakan pengetatan uang, tetapi ternyata juga tidak mampu
59
mengatasi kemerosotan rupiah terhadap dollar AS yang kemudian memacu laju inflasi hingga tingkat yang mengkhawatirkan. Hal ini berdampak buruk pada iklim investasi yang akhirnya mempengaruhi perkembangan dunia usaha, perbankan dan pasar modal. PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Adalah perusahaan informasi dan komunikasi serta penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi secara lengkap di Indonesia. Kebijakan untuk melakukan privatisasi pada TELKOM terjadi pada tahun 2002, privatisasi dipandang sebagai langkah unutk mengurangi intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi yang seharusnya dilaksanakan oleh sector swasta. Privatisasi diharapkan dapat meningkatkan daya saing dan efisiensi perusahaan yang selanjutnya mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Penelitian ini membahas bagaimana pengaruh suku bunga SBI, nilai tukar rupiah, dan inflasi terhadap kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan rasio profitabilitas yaitu dengan menghitung Return On Asset(ROA), Return On Equity (ROE) dan Net Profit Margin (NPM) pada saat sebelum dan sesudah privatisasi perusahaan. Dalam penelitian menggunakan metode uji asumsi klasik, analisis regresi linier berganda,uji hipotesis, dan pengujian dua sample berpasangan. Pengujian statistik sebelum privatisasi perusahaan menunjukkan bahwa secara parsial hanya variabel suku bunga SBI yang berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan, sedangkan variabel nilai tukar rupiah dan variabel inflasi tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan. Pengujian secara serentak menunjukkan bahwa antara seluruh variabel independen (suku bunga
60
SBI, nilai tukar rupiah, dan inflasi) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen (kinerja keuangan perusahaan). Pengujian statistik sesudah privatisasi perusahaan menunjukkan bahwa secara parsial variabel suku bunga SBI dan variabel inflasi berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan, dan hanya variabel nilai tukar rupiah yang tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan. Pengujian secara serentak menunjukkan bahwa antara seluruh variabel independent (suku bunga SBI, nilai tukar rupiah, dan inflasi) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen (kinerja keuangan perusahaan) Pengujian statistik berdasarkan paired sample T-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kinerja keuangan perusahaan sebelum privatisasi dan kinerja keuangan perusahaan sesudah privatisasi. Hasil tersebut terjadi karena dalam hal ini peneliti memiliki keterbatasan dalam mengukur kinerja keuanganan perusahaan dan dalam jangka waktu pengamatan.
3. Eddie Wahyudi, Bunasor Sanim, Hermanto Siregar, dan Nunung Nuryantono (2009) Dalam penelitian tentang Pengaruh economic Shock Terhadap Penerimaan Pajak Pada Kantor Wilayah Pajak di Indonesia dilatar belakangi Penerimaan pajak yang merupakan dampak akmulasi agregat ekonomi yang tercermin dari aktifitas bisnis, maupun fluktuasinya tidak secara jelas tergambar. Dengan demikian kinerja penerimaan pajak sangat tergantung dari aktifitas bisnis yang ada. Fluktuasi siklus bisnis tersebut sangat tergantung pada pola keseimbangan antara
61
permintaan dan penawaran, dimana gangguan bersifat eksternal maupun internal dapat menyebabkan terjadinya disequilibrium yang mengakibatkan dviasi output terhadap tren yang sedang berlaku. Shock akan menyebabkan fluktuasi ekonomi yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan output terhadap tren berupa kontraksi atau ekspansi ekonomi yang kemudian membentuk sebuah pola siklus naik turun disebut dengan business cycle. Model yang digunakan dalam penelitian adalah model regresi dalam bentuk penyimpangan rata-rata tiap individu dengan tidak memasukkan pengaruh individu. Tujuan yang dihasikan dalam penelitian ini adalah memahami turbulensi lingkungan melalui fluktuasi ekonomi dari masing-masing variabel penyusun tax early warninyg system (TEWS) yang telah disusun sebelumnya menggunakan metode siklus bisnis yang kemudian akan mempengaruhi naik turunnya penerimaan pajak di beberapa kanwil pajak di Indonesia. Dari hasil analisis data panel terhadap 31 kanwil Djp seluruh Indonesia diketahui bahwa fluktuasi variable TEWS berpengaruh positif terhadap kinerja penerimaan pajak di kanwil khusus, kanwil WP besar 1 dan 2, kanwil Jakarta Selatan dan Kanwil Jakarta Pusat. Paling tidak terdapat lima variabel penting untuk dikendalikan yaitu konsumsi minyak, harga minyak, inflasi dalam negeri, uang beredar dan nilai tukar. Strategi pengendalian dalam rangka pengamanan penerimaan pajak didasarkan pada sinyal ynag diberikan oleh TEWS. Dalam tatanan agregat nasional dalam hal ini departemen keuangan republik Indonesia bertindak sebagai
62
pengendali fiskal tidak dapat berdiri sendiri diperlukan koordinasi yang harmonis dengan pihak lain yaitu bank Indonesia sebagai pengendali sistem moneter. Sedangkan hamper semua variabel penyusun TEWS berada diluar kendali direktorat jendral pajak (DJP). Sehingga dalam hal ini posisi DJP bukan merupakan kendali kebujakan dalam level agregat makro. Dengan demikian strategi yang diterapkan oleh DJP juga bukan merupakan strategi pengelola makro ekonomi melainkan lebih bersifat strategi antisipatif dalam hal manajemen pengamanan penerimaan negara. Disamping itu penyelarasan antara kebijakan yang diterapkan untuk stabilisasi penerimaan harus pula dapat menciptakan pengaruh yang kondusif terhadap dunia usaha, sehingga perlu diterapkan strategi tertentu dalam sistem perpajakan. Strategi yang dimaksud disini adalah suatu kumpulan perilaku dan seperangkat tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran dengan cara-cara sistematis, efektif, dan efisien sesuai dengan sinyal-sinyal fluktuasi yang telah diidentifikasi melalui TEWS dan pola kerangka kerja manajemen antisipatif berupa strategy, Value dan Tactic. Seluruh usaha tersebut tidak lain adalah unutk menciptakan harmonisasi hubungan antara fiskus dan wajib pajak sehingga visi serta misi DJP dapat terwujud dengan baik melalui pencapaian indicator kesuksesan berupa peningkatan tax ratio, peningkatan jumlah WP OP filer dan meningkatnya image positif DJP dapat terjadi secara optimal.
4. Wayan yohan widuri (2001)
63
Dalam penelitian tentang Analisis Dampak Dari Diberlakukannya Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 2000: Tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Terjadinya Capital Flight dilatar belakangi untuk mensukseskan pembangunan nasional, pemanfaatan yang optimal terhadap sumber-sumber penerimaan sangat penting dan strategis. Dimana salah satunya adalah sektor pajak. Oleh sebab itu setiap tahun volume penerimaan dalam negeri terutama yang berasak dari pajak senantiasa diupayakan terus meningkat, untuk menghasilkan penerimaan yang semakin besar, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat atau publik khususnya anggaran pembangunan. Apa yang diperkirakan kalangan perbankan, bahwa akan terjadi capital flight akibat dari dinaikkannya tarif pajak penghasikan bunga dari 15% menjadi 20%, tidak atau belum ada indikasi akan terjadi, baik pada kelompok bank swasta, umun maupun asing. Hasil analisis hubungan antara tingkat suku bunga deposito terhadap jumlah deposito, baik pada kelompok bank swasta, umum maupun asing, secara keseluruhan dapat diidentifikasi bahwa nasabah kurang melihat tingkat suku bunga deposito sebagai satu-satunya determinan yang paling penting, yang dapat mempengaruhi mereka untuk memilih tabungan atau deposito sebagai tempat untuk menanamkan dananya. Artinya nasabah memilih perbankan sebagai tampat menanamkan dananya lebih disebabakan oleh faktor-faktor lain sebagai tempat menanamkan dananya lebih disebabkan oleh faktor-faktor lain selain tingkat suku bunga. Faktor-faktor lain tersebut mungkin adalah kemudahan dan tidak
64
dibutuhkan pengetahuan khususnya bila menanamkan uangnya ditempat lain, misal bursa efek, kepastian mendapatkan penghasilan bunga, dan tentunya aman dari resiko kerugian. Hasil analisis hubungan antara tingkat suku bunga deposito dengan tingkat suku bunga kredit (modal kerja dan investasi) pada kelompok bank swasta, umum dan asing adalah adanya hubungan yang searah. Sehingga bila tingkat suku bunga deposito dinaikkan maka suku bunga kredit juga akan naik. Hasil analisis hubungan rata-rata tingkat suku bunga kredit (gabungan dari kelompok swasta, umum dan asing) terhadap inflasi adalah adanya hubungan yang searah. Sehingga bila tingkat suku bunga kredit dinaikkan maka inflasi juga akan naik.
5. Kukuh yogieiswantoro (2002) Dalam penelitian tentang Analisis Aspek Pajak Penghasilan Atas Perdagangan Valuta Asing (foreign exchange trading) Suatu Komparasi Dengan Ketentuan Perpajakan Amerika Serikat yang dilatar belakangi
transaksi
perdagangan valuta asing merupakan suatu bentuk perdagangan jual beli kontrak forward di pasar tunai yang memanfaatkan fluktuasi kurs mata uang asing. Perdagangan tersebut tidak melibatkan adanya pertukaran mata uang asing tetapi membutuhkan jaminan dalam pelaksanaannya. Perlakuan perpajakan di amerika serikat atas transaksi forex trading diatur dalam irc 1256 yang mengidentifikasi keuntungan atau kerugian dari transaksi forex merupakan jenis keuntungan atau kerugian dari modal (capital gain or loss).
65
Kerugian dari modal hanya dapat dikurangkan dari keuntungan dari modal saja. Forex trader mendapatkan keuntungan dari segi perpajakan melalui IRC section 1256 sebab pelaporan keuntungan dan kerugiannya split menjadi 2 yaitu 60% doperlakukan sebagai keuntungan atau kerugian dari investasi jangka panjang (long-term capital gain) yang dikenakan tariff pajak sebesar 15 %, dan sisa 40 % diperlakukan sebagai keuntungan atau kerugian jangka pendek (short-tem capital gain) yang dikenakan pajak dengan tariff sampai dengan 35 %. Sedangkan keuntungan perpajakan di Indonesia atas transaksi perdagangan valuta asing (forex trading) mengacu pada pasal 4 ayat (1) huruf 1 UU PPh atas keuntungan karena selisih kurs mata uang asing merupakan objek pajak. Keuntungan dari selisih kurs yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing pada pasal ayat (1) pengenaan pajaknya dikaitkan dengan system pembukuan yang dianut oleh wajib pajak dengan syarat dilakukan secara taat asas. Oleh karena belum adanya peraturan khusus yang mengatur aspek pajak atas transaksi forex trading maka ketentuan umum berlaku.
6. Ana Ocktavia (2007) Dalam penelitian tentang analisis pengaruh nilai tukar rupiah dan tingkat suku bunga SBI terhadap indeks harga saham gabungan di bursa efek jakarta. Bertujuan untuk meneliti pengaruh antara perubahan tingkat inflasi dan suku bunga SBI terhadap IHSG. Model regresi linier sebagai berikut: Y = a + β1X1 + β2X2 + ɛ
66
Keterangan : Y
= Variabel dependen (IHSG)
a
= Konstanta
X1
= Variabel Independen (tingkat Inflasi)
X2
= Variabel Independen (suku bunga SBI)
ɛ
= Standar Error Disimpulkan bahwa variabel tingkat inflasi berpengaruh signifikan
terhadap indeks harga saham gabungan.
7. Ismail Fahmi Nasution (2008) Dalam
penelitian
tentang
analisis
determinan
penerimaan
pajak
penghasilan (PPh) orang pribadi di propinsi Sumatera Utara. Bertujuan untuk mengetahui pengaruh jumlah wajib pajak, inflasi dan pendapatan perkapita terhadap penerimaan pajak penghasilan orang pribadi. Model regresi sebagai berikut : LPPh OP = α + β1WP + β2INF + β3 Y Kap + ɛ Dimana : PPh OP
= Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (Jutaan Rupiah)
α
= intercept
WP
= Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi
INF
= Inflasi
Ykap
= Pendapatan Per Kapita (Rupiah)
β1, β2, β3
= koefisien regresi
67
ɛ
= error term
Disimpulkan bahwa semua variabel (WP, INF, Ykap) berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan orang pribadi.
8. Dian Putra Perdana (2009) Dalam penelitian tentang Pengaruh Suku Bunga SBI dan Kurs Rupiah serta Inflasi terhadap Harga Saham pada PT. Indosat . Bertujuan untuk mengetahui pengaruh suku bunga SBI dan kurs Rupiah serta tingkat Inflasi terhadap harga saham PT. Indosat. Model regresi sebagai berikut : Y = α + β1SBI + β2USD + β3 INF + ɛ Y
= Harga saham PT. Indosat
α
= intercept
SBI
= Suku bunga SBI
USD
= Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar
INF
= Inflasi
β1, β2, β3
= koefisien regresi
ɛ
= error term
Disimpulkan bahwa Suku bunga SBI berpengaruh terhadap Harga Saham PT. Indosat.
68
9. Neni Supriyanti (2008) Dalam penelitian tentang Analisis Pengaruh Inflasi dan Suku bunga SBI terhadap Return On Asset (ROA) PT. Bank Mandiri. Bertujuan untuk melihat pengaruh Inflasi dan Suku bunga SBI terhadap ROA. Model regresi sebagai berikut : Y = α + β1SBI + β2INF + ɛ Y
= Return On Asset PT. Bank Mandiri
α
= Intercept
SBI
= Suku bunga SBI
INF
= Tingkat Inflasi
β1, β2, β3
= koefisien regresi
ɛ
= error term
Disimpulkan bahwa Suku bunga SBI berpengaruh terhadap ROA PT. Bank Mandiri.
C. Kerangka Pemikiran Secara umum tiga variabel bebas tersebut diatas yaitu suku bunga, kurs dollar AS dan tingkat inflasi, menjadi asumsi yang dapat mempengaruhi perkiraan penerimaan pajak. Skripsi ini bertujuan melihat bagaimana pengaruh perubahan variabel-variabel bebas tersebut terhadap penerimaan pajak penghasilan yang dalam pencapaian realisasinya tidak terlepas dari kondisi internal dan eksternal Direktorat Jendral Pajak. Kondisi eksternal antara lain diwakili oleh variabel suku bunga, kurs dollar AS dan tingkat inflasi.
69
Berdasarkan kerangka pemikiran peneliti yang dipaparkan dibawah, maka untuk menjawab ada tidaknya indikasi penerimaan pajak penghasilan, dapat dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi suku bunga SBI, fluktuasi Kurs Dollar USD dan Tingkat Inflasi. Suku bunga merupakan instrument konvensional untuk mengendalikan atau menekan laju pertumbuhan tingkat inflasi. Suku bunga yang tinggi akan mendorong
orang
untuk
menanamkan
dananya
di
bank
daripada
menginvestasikan pada sektor produksi atau industri yang resikonya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan menanamkan uang di bank terutama dalam bentuk deposito. Suku bunga yang tinggi menyerap jumlah uang yang bereda di masyarakat. Namun disisi lain, tingginya suku bunga akan meningkatkan nilai uang selain menyebabkan besarnya opportunity cost pada sector industri atau sektor riil. Dalam melaksanakan tugasnya membantu pemerintah dalam mengatur, menjaga dan memelihara kstabilan nilai rupiah, BI mengggunakan beberapa piranti moneter yuang terdiri dari Giro Wajib Minimum (Reserve requirement), Fasilitas Diskonto, Himbauan Moral dan Operasi Pasar Terbuka. Dalam Operasi Pasar Terbuka BI dapat melakukan transaksi jual beli surat berharga termasuk sertifikat bank Indonesia. Perdagangan antarnegara di mana masing-masing negara mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya angka perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya, yang disebut kurs valuta asing atau kurs (Salvatore, 2008). Menurut (Sukirno, 2002) besarnya jumlah mata uang tertentu yang diperlukan untuk memperoleh satu unit valuta asing disebut dengan kurs mata
70
uang asing. Nilai tukar adalah nilai mata uang suatu negara diukur dari nilai satu unit mata uang terhadap mata uang negara lain. Apabila kondisi ekonomi suatu negara mengalami perubahan, maka biasanya diikuti oleh perubahan nilai tukar secara substansional. Masalah mata uang muncul saat suatu negara mengadakan transaksi dengan negara lain, di mana masing-masing negara menggunakan mata uang yang berbeda. Jadi nilai tukar merupakan harga yang harus dibayar oleh mata uang suatu negara untuk memperoleh mata uang negara lain. Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus-menerus (Sukirno, 2002). Inflasi menyebabkan harga barang impor lebih murah dari pada barang yang dihasilkan di dalam negeri. Maka pada umumnya inflasi akan menyebabkan impor berkembang lebih cepat tetapi sebaliknya perkembangan ekspor akan bertambah lambat. Di samping itu aliran modal yang keluar akan lebih banyak dari pada yang masuk ke dalam negeri. Berbagai kecenderungan ini akan memperburuk keadaan neraca pembayaran, defisit neraca pembayaran yang serius mungkin berlaku. Hal ini seterusnya akan menimbulkan kemerosotan nilai mata uang (Sukirno, 2002). Model regresi linier berganda yang diperoleh adalah sebagai berikut: (Widarjono,2007:63) Y = f ( X1,X2,X3, ɛ ) Untuk mewujudkan pemikiran dibuat model analisis, yang tergambar pada gambar dibawah ini :
71
Kerangka Pemikiran X1
X2
X3
Y
Analisis Data 1) Uji Linearitas 2) Uji Statistik 3) Uji R² 4) Uji Hipotesis
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
Gambar 2.1 Keterangan : X1
= Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
X2
= Kurs Dollar Amerika
X3
= Tingkat Inflasi
Y
= Penerimaan Pajak Penghasilan
72
D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan dalam kerangka teori bahwa penerimaan pajak yang salah satu unsurnya adalah penerimaan pajak penghasilan, merupakan bagian dari langkah kebijakan fiskal pemerintah. Dimana dalam pelaksanaannya mengatasi permasalahan ekonomi makro, kebijakan fiskal tersebut harus saling menyesuainkan dengan kebijakan moneter yang peranannya dilaksanakan oleh bank sentral yang tugasnya menyangkut masalah kebijakan nilai kurs mata uang. Kebijakan tingkat diskonto dalam menetapkan tingkat bunga SBI dan kebijakan pengendalian tingkat inflasi (inflation targeting) Selain itu yang mendasari hipotesis penelitian ini adalah adanya faktorfaktor yang mempengaruhi perkiraan penerimaan pajak dalam nota keuangan dan RAPBN-P tahun 2005, antara lain asumsi perkembangan variabel makro, seperti : tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dollar amerika serikat serta tingkat suku bunga. Berdasarkan pada kerangka tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut : 1. Ho : tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara perubahan variabel suku bunga SBI terhadap penerimaan pajak penghasilan Ha : terdapat pengaruh yang signifikan antara perubahan variabel suku bunga SBI terhadap penerimaan pajak penghasilan 2. Ho : tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara perubahan variabel suku bunga SBI terhadap penerimaan pajak penghasilan.
73
Ha : terdapat pengaruh yang signifikan antara perubahan variabel kurs dollar amerika terhadap penerimaan pajak penghasilan 3. Ho : tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara perubahan variabel inflasi terhadap penerimaan pajak penghasilan Ha : terdapa pengaruh yang signifikan antara perubahan variabel inflasi terhadap penerimaan pajak penghasilan
74
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup penelitian Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, sedangkan jenis penelitian dilakukan secara deskriptif dan asosiatif. Metode deskriptif adalah metode yang dilakukan untuk mengetahui apa adanya tentang satu atau lebih variabel mandiri (independent) tanpa membuat perbandingan dengan variabel lain. Metode asosiatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih. Penelitian ini mempunyai tingkatan yang tertinggi bila dibandingkan dengan penelitian deskriptif dan komparatif. Dengan penelitian ini maka akan dapat dibangun suatu teori yang dapat berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan dan mengontrol suatu gejala. (Irawan : 2004)
B. Metode Penentuan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah meliputi kondisi perekonomian di Indonesia yang ditandai dengan berbagai variabel makro ekonomi yang mempengaruhinya dan besaran penerimaan pajak penghasilan dari waktu ke waktu. Sampel yang diambil dalam penelitian ini meliputi angka-angka dari variabel yang dianalisis yaitu tingkat suku bunga SBI, nilai kurs dollar AS dan tingkat inflasi serta jumlah penerimaan pajak penghasilan dalam kurun waktu bulan januari 2005 sampai desember 2009.
75
C. Metode Pengumpulan Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari laporan perusahaan dan laporan kegiatan perbankan yang diperoleh dari laporan-laporan yang sudah di publish, artinya data bersifat terbuka/tidak rahasia, seperti laporan bulanan bank Indonesia tentang statistik ekonomi keuangan Indonesia. Dengan kondisi tersebut metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 1). Penelitian Perpustakaan (library research) Dalam memperoleh data penulis mengadakan riset kepustakaan (library research) dengan mencari data-data yang untuk diolah menjadi informasi yang dapat disampaikan dalam skripsi ini. Data-data diperoleh dari buku-buku referensi beberapa surat kabar, majalah-majalah, jurnal dan website. 2). Penelitian Studi Dokumentasi (Documentation d research) Penelitian ini dilakukan dengan cara mengunjungi direktorat perencanaan potensi dan sistem perpajakan dan pusat data dan informasi pajak yang berada gedung B Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak, guna memeperoleh data-data yang diperlukan.
D. Metode Analisis Penelitian ini mencari bagaimana pengaruh antara Suku bunga SBI, Fluktuasi Kurs USD, dan Tingkat Inflasi terhadap penerimaan Pajak Penghasilan. Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda.
76
Model regresi linier berganda yang diperoleh adalah sebagai berikut: (Widarjono,2007:63) Y = f ( X1,X2,X3, ɛ ) Sedangkan Ekonometrika ditulis : Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + ɛt PPh = α + β1SBI + β1USD + β1INF + ɛt Dimana : PPh
= Penerimaan Pajak Penghasilan
SBI
= Suku bunga SBI
USD
= Kurs USD
INF
= Tingkat Inflasi
α
= Konstanta
β1,β2, β3
=Koefisien
regresi
dari
masing-masing
variabel
yang
mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan. ɛt
= Variabel diluar model tetapi tidak ikut berpengaruh terhadap variabel terikat.
1. Uji Linearitas Sebelum analisis regresi dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan pengujian linearitas yaitu uji normalitas data dan bebas dari asumsi klasik yang meliputi multikolinearitas, autokorelasi dan heterokedastisitas. a. Uji Asumsi Klasik Uji penyimpangan asumsi klasik dilakukan dengan model estimasi OLS. Ada beberapa pengujian asumsi klasik yaitu sebagai berikut :
77
1. Normalitas Sebelum analisis regresi dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan pengujian linieritas yaitu uji normalitas data dan bebas dari asumsi klasik yang meliputi multikolinieritas, autokorelasi dan heteroskedastis. Sujianto (2006) menjelaskan bahwa uji distribusi normal adalah uji untuk mengukur apakah datanya memiliki distribusi normal sehingga dapat dipakai dalam statistik parametik. Uji normalitas dilakukan dengan metode kolmogorov-Smirnov Test terhadap Normalitas data. Uji kolmogorov- Smirnov didefinisikan sebagai berikut: Ho : data berdistribusi normal Hi : data berdistribusi tidak normal Pengujian asumsi klasik dilakukan untuk melihat apakah model yang diteliti mengalami penyimpangan klasik atau tidak, sehingga pemeriksaan penyimpangan terhadap asumsi klasik ini perlu dilakukan. Asumsi klasik yang dipakai untuk membentuk model adalah uji multikolinieritas, uji autokorelasi dan uji heteroskedastisitas.
2. Multikolinearitas Salah satu asumsi yang digunakan dalam metode OLS adalah tidak ada hubungan linear antara variabel independen. Adanya hubungan antara variabel independen dalam satu regresi disebut multikolinearitas. Hubungan linear antara variabel independen dapat terjadi dalam bentuk hubungan linear yang sempurna
78
dan hubungan linear yang kurang sempurna. Konsekuensinya terhadap estimator OLS jika terjadi hubungan antara variabel independen di dalam satu model yaitu estimator masih bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator = tidak bias, linear dan mempunyai varian yang minimum). Namun, estimator mempunyai varian dan kovarian yang besar sehingga sulit mendapatkan estimasi yang tepat. Pada penelitan ini, pendeteksian multikolinearitas dengan menggunakan “uji koefisien korelasi” (r). Sebagai aturan main yang kasar (rule of tumb), jika koefisien korelasi cukup tinggi, misalnya: di atas 0,85, maka kita duga ada multikolinearitas dalam model. Sebaliknya, jika koefisien relatif rendah maka kita duga model tidak , uji koefisien korelasinya sebagai berikut: mengandung unsur kolinearitas. Hubungan yang bersifat individual ini, misalnya: variabel X dengan 1
variabel X . 2
Jika r > 0,85 (ada multikolinearitas)
Jika r < 0,85 ( tidak ada multikolinearitas)
Masalah ini sering timbul pada data runtut waktu, di mana korelasi antar variabel independen cukup tinggi. Korelasi yang tinggi ini terjadi karena data-data tersebut mempunyai tren yang sama, sehingga data akan naik turun secara bersamaan.
3. Heteroskedastisitas Suatu asumsi kritis dari model regresi linear klasik adalah bahwa gangguan semuanya mempunyai varian yang sama, jika asumsi ini tidak terpenuhi akan terjadi heteroskedastisitas atau dengan kata lain salah satu penyimpangan dalam asumsi klasik, di mana kondisi tertentu (disturbance) mengandung varian 79
yang tidak konstan. Pengujian heteroskedastisitas dalam penelitian ini menggunakan uji white heteroskedastisitas no cross terms, di mana dalam uji ini probababilitasnya < 0,05 maka terdapat heteroskedastisitas dan sebaliknya jika probabilitasnya > 0,05 maka tidak terdapat heteroskedastisitas.
4. Autokorelasi Autokorelasi adalah gejala adanya korelasi (hubungan) antara residual satu observasi dengan observasi yang lain yang berlainan waktu. Salah satu asumsi penting metode OLS berkaitan dengan residual adalah tidak adanya hubungan antara residual satu dengan residual yang lain. Data runtut waktu diduga sering kali mengandung unsur autokorelasi, sedangkan data antar tempat jarang ditemui adanya unsur autokorelasi. Sama halnya dengan penyimpangan asumsi klasik heteroskedastisitas, dalam autokorelasi estimator OLS tidak menghasilkan estimator BLUE, tetapi hanya LUE. Konsekuensinya adalah jika varian tidak minimum maka menyebabkan perhitungan standar eror metode OLS tidak bisa dipercaya kebenarannya, sehingga membawa dampak pada interval estimasi maupun uji hipotesis yang didasarkan pada distribusi t maupun F tidak lagi bisa dipercaya untuk evaluasi hasil regresi. Untuk mengetahui apakah suatu model regresi mengalami gejala autokorelasi atau tidak, pada penelitian ini menggunakan “uji Lagrange Multiple” dari Breusch-Godfrey, di mana jika hasil ujinya terlihat bahwa probabilitas < 0,05 maka terdapat autokorelasi dan sebaliknya jika dalam uji terlihat bahwa probabilitas > 0,05 maka tidak terdapat autokorelasi. Pengujian Breusch-Godfrey
80
(uji LM) ini dilakukan karena melihat adanya kelemahan uji Durbin-Watson (uji DW), di mana residual hanya dipengaruhi oleh residual sebelumnya dan juga pada uji DW tidak bisa memasukkan variabel bebas yang bersifat random (stokastik), seperti memasukkan variabel kelambanan (Lag) dari variabel terikat sebagai variabel independen dengan model.
2. Uji Statistik Data yang digunakan untuk mengetahui hubungan dari variabel-variabel tersebut. Pengolahan data menggunakan SPSS 16.00. dalam pengujian ini menggunakan Uji Statistik meliputi uji-t, dan uji-F a.
Uji Parsial (Uji-t) Uji parsial (uji-t) digunakan untuk mendeteksi seberapa naik variabel
bebas (IndependentVariabel) dapat menjelaskan (Dependent Variabel) secara individu. Langkah-langkah yang harus dilakukan dengan uji-t yaitu dengan merumuskan hipotesa, yaitu: 1. Uji Hipotesis H0 : bi ≥ α 5% artinya secara individu dengan tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel bebas ke-i terhadap variabel tidak bebas. H1 : bi ≤ α 5% artinya secara individual ada pengaruh yang signifikan dari variabel bebas ke-1 terhadap variabel tidak bebas. Bi = dependent variabel ke-i 2. Berdasarkan output SPSS 16.00, uji-t dapat dilihat dari probabilitas tiap-tiap variabel secara individu:
81
a. Probability β1 dengan t-statistik > α 5% = variabel bebas tidak signifikan atau tidak mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat (terima H0, tolak H1) b. Probability β1 dengan t-statistik < α 5% = variabel bebas signifikan atau mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat (tolakH0, terima H1) b.
Uji Fisher (uji-F) Uji Fisher (uji-F) digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas
(IndependentVariabel) secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel tidak bebas (Dependent Variabel). Pengujian semua koefisien penaksiran regresi secara bersama-sama dilakukan dengan uji-F dengan merumuskan hipotesis, yaitu: 1. Uji Hipotesis H0 : β1=β2=β3 ≥ α 5% artinya secara bersam-sama tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel bebas ke-i terhadap variabel tidak bebas. H1 : β1 ≤ α 5% artinya secara bersama-sama pengaruh yang signifikan dari variabel bebas ke-1 terhadap variabel tidak bebas. β1 = dependent variabel ke-i 2. Berdasarkan output SPSS 16.00, uji-t dapat dilihat dari probabilitas tiaptiap variabel secara individu: a. Probability β1 dengan t-statistik > α 5% = variabel bebas tidak signifikan atau tidak mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat (terima H0, tolak H1). b. Probability β1 dengan t-statistik < α 5% = variabel bebas signifikan atau mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat (tolak H0, terima H1)
82
3.Uji Koefisien Determinasi (R²) Koefisien determinasi (R²) digunakan untuk mengukur sebaik mana variabel terikat dijelaskan oleh total variabel bebas. Yang ukurannya adalah semakin tinggi R² maka garis regresi sampel semakin baik juga. R² mengartikan apakah variabel bebas yang terdapat dalam variabel model mampu menjelaskan perubahan dari variabel tidak bebas. Jika R² mendekati satu maka variabel independent mampu menjelaskan perubahan variabel dependent, tetapi jika R² mendekati 0, maka variabel independent tidak mampu menjelaskan variabel dependent.
E. Definisi Operasional Variabel Definisi Operasional Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Dependent Variabel atau variabel tidak bebas (Y) Pajak penghasilan (PPh) adalah tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambahkan kekayaan wajib pajak. Data tabungan mudharabah dinyatakan dalam triliunan Rupiah yang bersumber dari laporan keuangan Direktorat Jendral Pajak dari periode Januari 2005 – Desember 2009.
2.
Independent variabel atau variabel bebas penelitian (X) adalah :
a. Suku Bunga SBI (SBI)
83
Suku bunga SBI adalah suku bunga surat berharga berharga atas unjuk dalam rupiah yang diterbitkan oleh BI sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto. Data hasil dinyatakan dalam persen (%) yang bersumber dari laporan statistik Bank Indonesia dari periode Januari 2005 – Desember 2009. b. Kurs USD (USD) Nilai tukar USD atau disebut juga kurs USD adalah perbandingan nilai atau harga mata uang USD dengan mata uang Rupiah. Data kurs USD bersumber dari laporan statistik Bank Indonesia dan data ini dinyatakan dalan ribuan rupiah dari periode Januari 2005 - Desember 2009. c. Tingkat Inflasi (INF) Inflasi adalah kenaikan harga secara umum dan terus menerus. Inflasi ini mengacu pada laju inflasi. Data laju inflasi bersumber dari laporan statistik Bank Indonesia dan data ini dinyakan dalam persen (%) pada periode Januari 2005 – Desember 2009.
84
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Penelitian Perkembangan suku bunga SBI selama periode penelitian dari tahun 2005 sampai tahun 2009 menunjukkan tren yang naik-turun, dimulai dari angka 8,25% tahun 2005 merambat turun ke 6,48% pada tahun 2009. Grafik 4.1 Perkembangan Suku bunga SBI periode Januari 2005 – Desember 2009
Sumber : Bank Indonesia (BI) Perkembangan suku bunga SBI selama periode penelitian dapat dibagi dalam lima tahap, tahap pertama awal tahun 2005 sampai akhir tahun 2005 menunjukkan tren yang meningkat, dimulai dari angka 8,25% kemudian merambat naik ke 11,00% akhir tahun 2005. Kemudian memasuki awal tahun 2006 suku bunga SBI relatif stabil dimulai dari angka 12,75% sampai 12,55% 85
akhir tahun 2006. Kemudian memasuki tahun 2007 dalam kisaran angka 9,55% sampai 8,25%. Dan memasuki tahun 2008 suku bunga SBI merangkak naik dalam kisaran angka 7,94% sampai 11,21% akhir tahun 2008. Terakhir tahun 2009 suku bunga SBI relatif stabil dan menunjukkan penurunan dalam kisaran angka 10,06% sampai 6,48% akhir tahun 2009. Disebabkan dengan adanya dukungan perbaikan kondisi makroekonomi lainnya seperti penguatan nilai tukar rupiah, perbaikan laju inflasi, dan tren penurunan suku bunga di sebagian besar negara-negara di dunia. Pergerakan turunnyanya suku bunga SBI yang cukup signifikan dalam periode 5 tahun (2005-2009), tentunya mempengaruhi media investasi lainnya seperti deposito. Para investor tentunya tidak akan menempatkan dananya ke deposito, karena margin yang diperoleh semakin kecil dibanding dengan berinvestasi di bursa saham, reksadana ataupun di sektor usaha produktif. Disamping itu rendahnyanya tingkat suku bunga juga memberi efek domino pada sektor ekonomi lainnya, dengan meningkatkan investasi pada sektor ekonomi lainnya, dengan meningkatkan investasi pada sektor usaha yang pada akhirnya akan lebih memberi kontribusi yang positif terhadap perkembangan aktivitas perekonomian. Misalnya sektor properti menjadi tumbuh kembali setelah limbung disaat krisis, hal ini tentunya memberi dampak pada turunnya angka pengangguran, karena banyak tenaga kerja yang diserap dari aktivitas pembangunan.
86
Grafik 4.2 Perkembangan Kurs USD periode Januari 2005 – Desember 2009
Sumber : Bank Indonesia (BI) Perkembangan kurs Dollar AS dalam kurun waktu 60 bulan pergerakannya berfluktuasi pada kisaran Rp. 9713 ke Rp. 10.061. masih tingginya kurs Dollar AS terhadap rupiah disatu sisi, memberi daya saing yang cukup tinggi pada komoditas ekspor, karena nilai atau harga komoditas Indonesia menjadi murah. Namun di sisi lain, posisi kurs Dollar AS yang tinggi tersebut telah menurunkan daya beli masyarakat, karena Indonesia masih banyak bergantung pada bahan baku impor yang harus dibayar dengan Dollar AS. Sehingga dampak yang ditimbulkan adalah semakin tingginya harga bahan-bahan kebutuhan pokok, yang berakibat semakin menurunnya daya beli masyarakat dan mempengaruhi pola konsumsi nasional. Dengan kondisi yang dialami tersebut sudah selayaknya Indonesia melepaskan diri dari ketergantungan terhadap dollar Amerika, agar kondisi perekonomian
87
nasional lebih memiliki daya tahan terhadap perubahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap Dollar Amerika.
Grafik 4.3 Perkembangan Inflasi periode Januari 2005 – Desember 2009
INFLASI 14 12
persen
10 8 6
INFLASI
4 2 Jan-05 APR JUL OKT Jan-06 APR JUL OKT Jan-07 APR JUL OKT Jan-08 APR JUL OKT Jan-09 APR JUL OKT
0
Sumber : Bank Indonesia (BI) Perkembangan tingkat inflasi selama 5 tahun pergerakannya cenderung menunjukkan tren yang menurun. Dimulai dari angka 8,12% tahun 2005 merambat naik ke 17,92% pada tahun 2006, kemudian turun lagi ke 6,95% pada tahun 2007, pada tahun 2008 inflasi naik lagi dalam kisaran 7,38%, kemudian pada tahun 2009 dalam kisaran angka 9,17%. kondisi ini tentunya memberi arti bahwa harga bahan-bahan pokok terus menunjukkan penurunan. Kondisi tersebut antara lain dipicu oleh penurunan harga-harga produksi, distribusi, atau pasar.
88
Grafik 4.4 Perkembangan Penerimaan Pajak Penghasilan periode Januari 2005 – Desember 2009
PPH 30000000 25000000 persen
20000000 15000000 PPH
10000000 5000000
Jan-05 APR JUL OKT Jan-06 APR JUL OKT Jan-07 APR JUL OKT Jan-08 APR JUL OKT Jan-09 APR JUL OKT
0
Sumber : Direktorat Jendral Pajak Perkembangan penerimaan pajak penghasilan selama periode penelitian menunjukkan perkembangan yang menurun. Dimulai pada awal tahun 2005 dalam kisaran angka Rp 10.010.091,80 (dalam jutaan) merambat turun menjadi Rp 11.773.820,30 (dalam jutaan) pada tahun 2006, kemudian merangkak naik pada awal tahun 2007 dalam kisaran angka Rp 14.862.845,90 (dalam jutaan), tapi pada awal tahun 2008 penerimaan pajak penghasilan menunjukkan penurunan yang dratis dalam kisaran angka Rp 4.681.597,20 (dalam jutaan), dan pada akhir tahun 2009 penerimaan pajak penghasilan dalam kisaran angka 6.374.372,80 (dalam jutaan). Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan
89
pajak penghasilan seperti inflasi,nilai tukar USD, dan suku bunga SBI juga ikut turun.
B. Analisis Pembahasan dan Hasil Regresi Hasil pengolahan data menggunakan regresi linier berganda untuk model persamaan Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + εt Tabel 4.1 Output Regresi untuk Penerimaan Pajak Penghasilan
Variabel Koefisien Std. Error t-Statistik Prob. C -57.922 8.580 -6.751 X1 -1.115 0.374 -2.977 X2 8.195 0.928 8.833 X3 0.513 0.143 3.597 R 0.812 R² 0.660 Adjusted R² 0.640 F-Statistik 32.358 Sumber : Data diolah
0.000 0.004 0.000 0.001
0.000
1. Uji Asumsi Klasik a. Uji Normalitas Uji Normalitas ini bertujuan ingin mengetahui apakah distribusi sebuah data mengikuti atau mendekati distribusi normal. Data yang baik adalah data yang mempunyai pola seperti distribusi normal, yakni distribusi data tidak miring kekiri atau miring kekanan. Untuk mengetahui apakah data tersebut berdistribusi normal, maka angka signifikansi Kolmogorov-smirnov harus lebih besar dari 0,05. 90
Tabel 4.2 One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Variabel
Prob.
Keterangan
Suku bunga SBI
0.486
berdistribusi normal
Kurs USD
0.085
berdistribusi normal
Inflasi
0.226
berdistribusi normal
PPH Sumber : Data diolah
0.568
berdistribusi normal
Dalam uji normalitas diatas, tampak 4 variabel yang diuji memiliki signifikansi lebih besar dari 0,05, yang berarti data-data tersebut berdistribusi normal. dengan kata lain semua variabel dalam penelitian dapat dijadikan sebagai model analisis regresi.
b. Uji Multikolinieritas Analisis ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mengetahui adanya suatu hubungan linier yang sempurna (mendekati sempurna) antara beberapa atau semua variabel bebas (Kuncoro, 2001:114). Pengujian dilakukan dengan cara mendektesi diantara seluruh variabel bebas, mana yang memiliki korelasi yang tinggi (nilai VIF melebihi 10). Bila dari masing-masing variabel bebas tersebut memiliki nilai VIF lebih dari 10, maka variabel tersebut dieliminasi. Dalam uji multikolinieritas ini ada 3 (tiga) variabel bebas yang diuji yakni variabel Inflasi, Suku Bunga SBI dan Kurs dollar Amerika. Output uji multikolonieritas tampak pada table dibawah ini :
91
Tabel 4.3 Variabel
VIF
SBI
3.989
Kurs USD
1.017
Inflasi
3.958
Sumber: data diolah
Dari hasil uji multikolinieritas diatas, diketahui nilai Variance Inflation Factor (VIF) untuk 3 (tiga) variabel bebas yang diteliti kurang dari 10, sehingga ketiga variabel bebas tersebut dapat dimasukkan dalam penelitian selanjutnya.
c. Uji Heterokedastisitas Untuk mengetahui ada atau tidaknya gejala heterokedastisitas adalah melalui uji Glejser dilakukan regresi kesalahan penggangn terhadap setiap variabel bebas yang diduga. Dari hasil pengujian tersebut akan diambil keputusan, yaitu jika t hitung lebih besar dari t tabel pada taraf kepercayaan 95%, atau signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka ß signifikan dan berarti heterokedastisitas terjadi. Dalam uji heterokedastisitas ini, ada tiga variabel regresi kesalahan pengganggu terhadap variabel bebas yang diduga yakni : Residual X1 signifikansinya 0,057>0,05 (tidak terjadi heterokedastisitas) Residual X2 signifikansinya 0,933>0,05 (tidak terjadi heterokedastisitas) Residual X3 signifikansinya 0,313>0,05 (tidak terjadi heterokedastisitas).
92
Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa ketiga variabel bebas tersebut tidak terjadi heterokedastisitas. Hasil komputasi dari masing-masing residual ada tabel 4.4 dibawah ini : Tabel 4.4 Variabel
Prob.
SBI
0.057
Kurs USD
0.933
Inflasi
0.313
Sumber : data diolah
Dari hasil output SPSS tersebut diatas tampak nilai signifikansi variabel SBI 0,057 diatas 0,05. artinya SBI tidak terjadi heterokedastisitas, sehingga SBI terbebas dari masalah heterokedastisitas. Selanjutnya dari hasil output SPSS tersebut diatas juga tampak nilai signifikansi variabel Kurs US Dollar 0,933 diatas 0,05, sehingga variabel Kurs US Dollar tidak terjadi heterokedastisitas, yang berarti Kurs US Dollar terbebas dari masalah heterokedastisitas. Demikian pula untuk variabel inflasi, signifikansi juga lebih besar dari 0,05 (0,313). Artinya variabel inflasi tidak terjadi heterokedastisitas, sehingga variabel inflasi terbebas dari masalah heterokedastisitas.
d. Uji Autokorelasi Uji ini dimaksudkan untuk menguji terdapatnya korelasi diantara kesalahan pengganggu (ei) dari satu observasi ke observasi lainnya. Tidak terjadinya autokorelasi dapat dideteksi apabila :
93
1). Nilai Durbin Watson (DW) hitung lebih besar dari table DW batas atas (d upper)= tidak ada autokorelasi positive 2). Nilai Durbin Watson (DW) hitung diantara tabel DW batas atas (d upper) dan tabel DW batas bawah. Dalam persamaan matematiknya dapat ditulis (d lower) < Durbin Watson hitung < d upper) = no conclusion 3). Nilai Durbin Watson (DW) hitung lebih kecil dari table DW batas bawah (d lower) = ada autocorrelation Hasil
perhitungan
uji
autokorelasi
dari
variabel-variabel
bebas
menunjukkan Nilai Durbin Watson pada model summary adalah sebesar 1.416. jadi karena 1,20 < 1,416 < 1,65 maka menurut makridakis, dkk (1995) dalam sulaiman (2004) adalah tidak ada auto korelasi (Sumber : Lamp)
2. Uji Statistik a. Uji Parsial (Uji-t) 1) β1/SBI = -1.115 Artinya : apabila Suku bunga SBI naik 1% maka akan menurunkan Penerimaan Pajak penghasilan sebesar 1.115% dan sebaliknya. Karena Suku bunga SBI berpengaruh signifikan terhadap Penerimaan Pajak penghasilan, maka naik turunnya Suku bunga SBI akan mempengaruhi besarnya Penerimaan Pajak Penghasilan. Sig β1 = 0.004 lebih kecil dari α 5% = signifikan (Ho ditolak,H1 diterima), artinya terdapat pengaruh antara variabel Suku bunga SBI dengan variabel Penerimaan Pajak Penghasilan.
94
2) β2/USD = 8.195 Artinya : apabila Kurs USD naik 1% maka akan menaikkan Penerimaan Pajak penghasilan sebesar 8.195% dan sebaliknya. Karena Kurs USD berpengaruh signifikan terhadap Penerimaan Pajak penghasilan, maka naik turunnya Kurs USD akan mempengaruhi besarnya Penerimaan Pajak Penghasilan. Sig β1 = 0.000 lebih kecil dari α 5% = signifikan (Ho ditolak,H1 diterima), artinya terdapat pengaruh antara variabel Suku bunga SBI dengan variabel Penerimaan Pajak Penghasilan.
3) β3/INF = 0.513 Artinya : apabila Inflasi naik 1% maka akan menaikkan Penerimaan Pajak penghasilan sebesar 0.513% dan sebaliknya. Karena Suku bunga SBI berpengaruh signifikan terhadap Penerimaan Pajak penghasilan, maka naik turunnya Suku bunga SBI akan mempengaruhi besarnya Penerimaan Pajak Penghasilan. Sig β1 = 0.000 lebih kecil dari α 5% = signifikan (Ho ditolak,H1 diterima), artinya terdapat pengaruh antara variabel Suku bunga SBI dengan variabel Penerimaan Pajak Penghasilan. b. Uji Simultan (Uji-F) F-stat : 32.358 Sig. β1, β2, β3 = 0.000 lebih kecil dari α 5% = signifikan (Ho ditolak, H1 diterima), artinya variabel independen (Suku Bunga SBI, Kurs USD, Inflasi) secara bersama-sama mempengaruhi variabel Dependen (Penerimaan Pajak Penghasilan).
95
3. Koefisien Determinasi (R²) Koefisien determinasi bertujuan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel independen menjelaskan variabel dependen. Dan untuk mengetahui seberapa jauh ketepatan dan kecocokan model yang berbentuk dalam mewakili kelompok data hasil observasi. Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode OLS diperoleh R² = 0.660 (66,00%). Artinya : kemampuan variabel independen (Suku bunga SBI, Kurs USD, Inflasi) dalam menjelaskan variabel (Penerimaan Pajak Penghasilan) adalah sebesar 66,00% sedangkan sisanya sebesar 34,00% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model ini.
4. Interpretasi Hasil Analisis PPH = -57.922 – 1.115*SBI + 8.195*USD + 0.513*INF + ɛt Pembangunan nasional merupakan kegiatan yang berlangsung terusmenerus dan berkesinambungan yang memerlukan banyak dana yang cukup. Salah satu sumber dana pembangunan yaitu penerimaan pajak penghasilan nasional. Pajak penghasilan merupakan kebijakan fiskal yang dijalankan pemerintah dengan cara menaikkan dan menurunkan pajak. Penerimaan pajak penghasilan ini akan dianalisis oleh kebijakan moneter seperti suku bunga SBI, kurs USD, dan Inflasi.
a. Pengaruh Suku bunga SBI terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Variabel Suku bunga SBI mempunyai pengaruh signifikan dan berhubungan negatif dengan Penerimaan Pajak Penghasilan dengan koefisien
96
1.115, artinya setiap kenaikan Suku bunga SBI satu persen, maka akan mengurangi Penerimaan Pajak Penghasilan sebesar 1.115 persen. Dengan probability t-statistik variabel tingkat Suku bunga SBI sebesar 0.004 lebih kecil dengan tingkat signifikansi pada α 5%. Artinya variabel tingkat Suku bunga SBI berpengaruh terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan. Suku bunga SBI berpengaruh terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan dikarenakan pergerakan naik turunnya suku bunga SBI mempengaruhi tingkat investasi (Amri Amir, 2007), sehingga mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan. Hasil ini juga mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Neni Supriyanti (2008) yang menyimpulkan bahwa suku bunga SBI berpengaruh terhadap Return On Asset (ROA) PT. Bank Mandiri, Return On Asset berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan karena cara mendapatkan ROA adalah laba sebelum pajak dibagi total aset yang kemudian dikalikan seratus persen. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Linda Dwi Oktavia (2008) yang menyimpulkan bahwa suku bunga SBI berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan, kinerja keuangan perusahaan berpengaruh terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan.
b. Pengaruh Kurs USD terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Variabel Kurs USD mempunyai pengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan dengan probabiliti variabel kurs USD sebesar
97
0.000 lebih kecil dari α 5%. Dimana setiap penurunan atau peningkatan Kurs USD pada periode tersebut akan mempengaruhi besarnya penerimaan pajak penghasilan. Kurs USD berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan disebabkan Nilai rupiah menjadi turun, akibat naiknya permintaan masyarakat terhadap dolar sementara penawaran terhadap dolar menurun. Tingginya permintaan
dolar
untuk
membiayai
barang-barang
impor
berakibat
meningkatnya beban perusahaan dalam melaksanakan aktivitas produksinya, sehingga
mengurangi
penghasilan
bersih
perusahaan
dan
berakibat
menurunkan pembayaran pajak kepada Negara. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitan sebelumnya yang dilakukan oleh Ana Ocktavia (2007) yang menyimpulkan nilai tukar Rupiah terhadap USD berpengaruh signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
c. Pengaruh inflasi terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Variabel Inflasi mempunyai pengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan dengan probability variabel Inflasi sebesar 0.001 lebih kecil dari α 5%. Dimana setiap penurunan atau peningkatan Inflasi pada periode tersebut akan mempengaruhi besarnya penerimaan pajak penghasilan. Inflasi
berpengaruh
terhadap
penerimaan
pajak
penghasilan
disebabkan tingkat inflasi berdampak pada seluruh sektor usaha. Tingginya tingkat inflasi dapat menambah angka kerugian yang berakibat meningkatnya
98
tingkat pengangguran akibat PHK yang dilakukan perusahaan dalam upaya mempertahankan usahanya agar tetap eksis. Sehingga mengurangi penghasilan bersih perusahaan dan berakibat menurunkan pembayaran pajak kepada Negara. Penelitian ini juga mendukung penelitian sebelumnya oleh Vinelia Agustina Marpaung, Djamaludin Ahmad, dan Kasyful Mahalli (2008) yang menyimpulkan bahwa inflasi berpengaruh signifikan terhadap penunggakan pajak di sumatera utara. Dan juga mendukung penelitian sebelumnya oleh Ismail Fahmi Nasution (2008) yang menyimpulkan bahwa inflasi berpengaruh signifikan terhadap pajak penghasilan orang pribadi.
99
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, serta mengaitkannya dengan perumusan masalah, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yang tertera seperti dibawah ini: 1. Suku bunga SBI berpengaruh secara signifikan terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan. Hal ini berarti bahwa kenaikan suku bunga SBI akan menyebabkan kenaikan penerimaan Pajak Penghasilan, dan suku bunga SBI akan berpengaruh terhadap penurunan penerimaan pajak penghasilan. 2. Kurs USD berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pajak pengahasilan. Hal ini berarti bahwa kenaikan Kurs USD akan menyebabkan kenaikan penerimaan Pajak Penghasilan, dan Kurs USD akan berpengaruh terhadap penurunan penerimaan pajak penghasilan. 3. Inflasi berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pajak pengahasilan. Hal ini berarti bahwa kenaikan Inflasi akan menyebabkan kenaikan penerimaan Pajak Penghasilan, dan Inflasi akan berpengaruh terhadap penurunan penerimaan pajak penghasilan Dari penilaian hasil uji statistik tersebut diatas maka dapat disimpulkan, bahwa faktor-faktor perkembangan variabel ekonomi seperti yang diasumsikan dalam nota keuangan tahun 2005 mempengaruhi perkiraan penerimaan perpajakan
100
dalam kenyataannya pada periode 2005 hingga 2009, memiliki pengaruh yang signifikan. Dengan kata lain pencapaian realisasi penerimaan pajak pada periode tersebut secara kuat dipengaruhi oleh perkembangan tingkat variabel ekonomi makro tersebut. Adapun pencapaian realisasi penerimaan pajak pada periode tersebut, dapat dimungkinkan dipengaruhi faktor lain terhadap penerimaan perpajakan. Faktorfaktor tersebut adalah : 1. Berbagai kebijakan dibidang perpajakan 2. Langkah-langkah administrasi perpajakan yang dilaksanakan.
B. SARAN Berdasarkan kesimpulan diatas, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Sebaiknya pemerintah dalam melaksanakan kebijakan fiskal, terutama kebijakan fiskal jangka pendek berupa penetapan jumlah target penerimaan harus lebih memperhatikan indikator kondisi makro ekonomi yang sedang terjadi agar lebih realistis sesuai dengan perkembangan perekonomian. Karena penetapan target penerimaan pajak yang tidak realistis akan berdampak pada kegagalan pemerintah dalam menjalankan fungsi budgeter. 2. Ditjen pajak dalam upaya pencapaian realisasi penerimaan pajak sebaiknya lebih menfokuskan pada pelaksanaan dan perbaikan langkah-langkah administrasi perpajakan antara lain berupa:
101
a. Langkah-langkah ekstensifikasi perpajakan, berupa pencarian wajib pajak baru yang belum terdaftar dengan cara pemberian NPWP dan pengukuhan PKP (pengusaha kena pajak) dalam rangka peningkatan tax ratio. b. Langkah-langkah intensifikasi pemungutan pajak, berupa perluasan basis pajak. c. Penyempurnaan sistim teknologi informasi d. Penyempurnaan manajemen pemeriksaan pajak e. Peningkatan penyidikan dan penagihan pajak, serta f. Penyempurnaan efektivitas dan efisiensi organisasi. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan melibatkan lebih banyak variabel yang sekiranya berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan dan melibatkan sampel yang lebih banyak agar didapatkan hasil penelitian yang lebih valid. Penelitian sebaiknya diarahkan untuk mencari faktor-faktor yang dominan mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan untuk dijadikan pijakan dalam melakukan perbaikan sehingga upaya peningkatan penerimaan pajak penghasilan dapat berjalan efektif dan efisien serta lebih realistis.
102
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu,, Yoopi, Memahami Kurs Valuta Asing, Penerbit Fakultas Eknomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. Ocktavia, Ana, (2007), Analisis Pengaruh Nilai Tukar Rupiah dan Tingkat Suku Bunga SBI terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Jakarta, Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang, Semarang. Arsjad, Nurjaman dkk, Keaungan Negara, Intermedia, Jakarta 2005. Bank Indonesia, Statistik Ekonomi, Keuangan Indonesia, direktorat Statistik Ekonomi dan Monoter, Bank Indonesia, 2009. Bawazier, Fuad, Kebijakan Ekonomi Publik di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006. Berlianta, Heli Charisma ; Mengenal Valuta Asing; Gajahmada University Press, Yogyakarta 2004. Devano, Sony dan Siti Kurnia Rahayu; Perpajakan; Konsep, Teori dan Isu; Kencana Prenada Media Median Group, Jakarta 2006. Dora Hancock, Taxation : Policy and Pratice ; Thomson Business Press, 2008. Gunadi, Perpajakan, Edisi Revisi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2005. Hanafi, Mamduh, Manajemen Keuangan International, BPFE Yogyakarka, 2003. Ismawan, Indra ; Memahami Reformasi Perpajakan 2000; PT. Alex Media Komputindo, Jakarta 2001. Judi Suseno, Rimsky K, Pajak dan Strategi Bisnis, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2006. Kartasasmita, Ginanjar, Pembangunan untuk Rakyat, PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta, 2005. Kerlinger fred N, Asas-asas Penelitian Behevioral, Edisi ketiga, Penerjemah Bandung R Simatupang, Yogyakarta 2004, Gajahmada University Press. Khalwati, Tajul, Inflasi dan Solusinya, Penerbit Gramedia, Jakarta, 2003. Larking Barry, IBFD International Tax Glossary, Netherland, 2009. 103
Lumbantoruan, Sopar, Akuntansi Pajak, Cetakan kedua, Yogyakarta 2006, Grasindo. Mansury, R ; Kebijakan Perpajakan; Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4); Jakarta 2000. Marpaung, Agustina dkk. (2008). Analysis Factor of Influence Tax Arrears In North Sumatera Utara. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara. Murni, Asfia, Ekonomika Makro ; Refika Aditama ; Bandung Juli 2006 Musgrave, A.Richard and Musgrave B. Peggy, Public Finance in Theory and Practice, Hill Book Company, 2009. Nasution, Ismail Fahmi, (2008), Analisis Determinan Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi di propinsi Sumatera Utara,Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara. Nowak Norman, D, Tax Administration in Theory and Practice, Preger Publishe, New York, 2008 Nurmantu, Safri ; Pengantar Perpajakan ; Granit ; Jakarta 2003 Oktavia, Linda Dewi, 2008, Analisis Pengaruh Suku Bunga SBI, Nilai Tukar Rupiah dan Inflasi terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Sebelum dan Sesudah Privatisasi Pada PT. Telekomunikasi Indonesia, Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma, Jakarta. Prabowo, Y, Akuntansi Perpajakan Terpadu, Grasindo ; Jakarta 2002 Pratisto Arif, Cara Mudah Mangatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 16, PT. Elexmedia Komputindo, Jakarta 2007 Rosdiana, Haula ; Pajak, Teori dan kebijakan ; 2004 Saifudin, Azwar, Reliabiliras dan Validitas, Pustaka Pelajar, Yogyakarka, 2003 Samudra, A. Azhari, Pengantar Pajak Daerah, administrasi Perpajakan FISIP UI, Jakarta 2004. Sharpe, W.F. Alexander, G.J. dan Bailey,J.V, Investment, Prentice Hall, New Jersey, USA. 2009. Siamat, Dahlan,”Manajemen Lembaga Keuangan”, Edisi Keempat, FEUI 2004.
104
Siregar, Syafarudin, Statistik Terapan Untuk Penelitian. T. Grasindo, Jakarta, 2005. Soemitro, H Rochmat; Pajak Penghasilan ; PT. Eresco, Bandung 2000. Sommerfeld. Ray M, Anderson. Hershel M, Brock. Horace R, An Introduction to Taxation, Harcourt Brace Inc, New York 2008. Stiglihtz, Joseph E; Economic of the Public Sector, 2th, New York 2007. Suandy, Erly ; Hukum Pajak ; Salemba Empat, Jakarta 2000. Sudarmanto, Gunawan, Analisis Regresi Linier Ganda dengan SPSS, Graha Ilmu, Jakarta 2005. Suparmoko, M, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, FE Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto, 2000. Supranto J., Statistik, Teori dan Aplikasi, Edisi Keenam, Jilid 2, Penerbit Airlangga, Jakarta, 2001. Surey, Stanley S, Tax Administration in Under Development Countries, Edited by Richard, M. Bird, Oliver Oldman, The John Hopkins Press, Baltimore, 2006. Tambunan, TH Thulus, Perekonomian Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta 2000. Waluyo dan Wirawan, Perpajakan Indonesia, Cetakan Kedua, Salemba Empat, Jakarta, 2000. Zain, Mohammad, Manajemen Perpajakan Indonesia, Edisi Pertama, Salemba Empat, Jakarta, 2003.
105
Lampiran 1 Data Variabel
Periode Jan-05 Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Jan-06 Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Jan-07 Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Suku Bunga SBI 8.25 7.43 10.00 7.70 12.75 7.42 9.51 7.95 12.25 7.44 8.49 11.00 12.75 12.31 12.73 10.92 12.74 11.85 9.88 11.25 12.74 12.50 10.35 12.55 9.55 8.80 8.08 8.31 9.00 8.25 8.55 8.25 9.25 8.25 9.00 8.25
Kurs USD 9713.00 9260.00 10035.00 9495.00 10310.00 9165.00 9830.00 9570.00 10240.00 9480.00 9819.00 10090.00 9446.00 9089.00 9141.00 9041.00 9316.00 9080.00 8892.00 9049.00 9207.00 9098.00 8940.00 9126.00 9320.00 9118.00 8800.00 9052.00 9263.00 8939.00 9061.00 9022.00 9287.00 9023.00 9218.00 9021.00
Inflasi 8.12 7.32 9.06 7.42 18.38 7.15 8.81 7.84 17.89 7.40 8.33 17.11 17.92 15.15 15.60 6.60 17.03 14.90 5.27 14.55 15.74 15.40 6.29 15.53 6.95 6.52 5.77 6.30 6.71 6.01 6.51 6.26 6.88 6.29 6.59 6.06
PPh 10010091.80 9134212.80 12683787.00 9741645.50 22616761.98 7524978.30 11107225.90 9835399.70 19710068.30 9566648.70 10897779.04 12734300.80 11773820.30 3688027.50 4066359.20 3335591.50 4552436.00 3562888.10 2570679.80 3460834.10 4158991.70 3700008.40 3023323.10 3745983.50 14862845.90 4945030.10 3164368.60 4826019.80 5331673.50 3840355.20 4898574.80 4566081.10 7017717.50 4742266.50 5114703.80 4318074.70
106
Jan-08 Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Jan-09 Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
7.94 8.59 9.27 10.94 9.03 7.98 9.53 7.95 8.00 8.26 10.70 11.21 10.06 8.26 7.29 6.59 7.84 8.78 6.97 6.52 6.46 6.48 6.77 6.48
9103.00 9244.00 9294.00 11652.00 9249.00 9135.00 9359.00 9117.00 9139.00 9163.00 9998.00 11268.00 11111.00 11790.00 10340.00 9928.00 10970.00 11793.00 10155.00 9851.00 9411.00 9435.00 10061.00 9422.00
7.36 11.03 11.68 11.90 11.06 8.17 11.77 7.40 8.96 10.38 11.85 12.14 9.17 7.92 6.04 2.78 7.31 8.60 3.65 2.71 2.41 2.75 2.83 2.57
4681597.20 6154536.60 6237727.70 9361460.00 6217681.30 5648095.10 6769487.30 5183512.30 5785349.30 5796533.10 7438815.10 24851019.60 26981284.40 10191936.10 7183627.20 6555041.70 7183473.80 10704258.80 6794002.50 6546477.10 5733919.70 6459767.50 6566367.10 6374372.80
107
Lampiran 2 Regresi
Model Summary
Model
R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square a
1
Adjusted R
.812
.660
.640
.28426
a. Predictors: (Constant), LNINFLASI, LNKURS, LNSBI
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
7.844
3
2.615
Residual
4.040
50
.081
11.884
53
Total
F
Sig.
32.358
a
.000
a. Predictors: (Constant), LNINFLASI, LNKURS, LNSBI b. Dependent Variable: LNPPH
a
Coefficients
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) LNSBI LNKURS LNINFLASI
Std. Error
-57.922
8.580
-1.115
.374
8.195 .513
Coefficients t
Beta
Sig.
-6.751
.000
-.490
-2.977
.004
.928
.734
8.833
.000
.143
.590
3.597
.001
a. Dependent Variable: LNPPH
108
Lampiran 3 Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test LNSBI N
LNKURS
LNINFLASI
LNPPH
54
54
54
54
Mean
2.1982
9.1463
2.0652
15.6380
Std. Deviation
.20826
.04244
.54426
.47353
Absolute
.114
.171
.142
.107
Positive
.114
.171
.082
.107
Negative
-.097
-.105
-.142
-.047
Kolmogorov-Smirnov Z
.837
1.256
1.044
.786
Asymp. Sig. (2-tailed)
.486
.085
.226
.568
Normal Parameters
a,,b
Most Extreme Differences
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
109
Lampiran 4 Uji Multikolinearitas a
Coefficients
Collinearity Statistics Model 1
Tolerance
VIF
LNSBI
.251
3.989
LNKURS
.984
1.017
LNINFLASI
.253
3.958
a. Dependent Variable: LNPPH
110
Lampiran 5 Uji Heterokedastisitas
a
Coefficients
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) SBI
Std. Error
1.273E7
2.703E7
-1212031.869
623154.457
242.976 281491.700
KURS INFLASI
Coefficients t
Beta
Sig. .471
.640
-.432
-1.945
.057
2874.984
.012
.085
.933
276078.482
.231
1.020
.313
a. Dependent Variable: PPH
111
Lampiran 6 Uji Autokorelasi
b
Model Summary
Model 1
R
R Square a
.812
.660
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate .640
.28426
Durbin-Watson 1.416
a. Predictors: (Constant), LNINFLASI, LNKURS, LNSBI b. Dependent Variable: LNPPH
112