ANALISIS PENGARUH PAPARAN ASAP ROKOK DI RUMAH PADA WANITA TERHADAP KEJADIAN HIPERTENSI The Analysis of Secondhand Smoke Effect at House on Women toward Hypertension Lina Nurwidayanti1, Chatarina Umbul Wahyuni2 1FKM UA,
[email protected] 2Departemen Epidemiologi FKM UA,
[email protected] Alamat Korespondensi: Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur, Indonesia ABSTRAK Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskuler yang menyebabkan 20–50% dari seluruh kematian. Salah satu faktor risiko hipertensi adalah merokok. Merokok tidak hanya berdampak pada perokok tetapi juga pada orang di sekitarnya sebagai perokok pasif karena komponen racun yang ditemukan dalam asap rokok mainstream ditemukan pula dalam asap rokok lingkungan (sidestream), kadang dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Tujuan penelitian untuk menganalisis pengaruh paparan asap rokok di rumah pada wanita terhadap kejadian hipertensi. Desain penelitian adalah kasus-kontrol. Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Mulyorejo. Populasi kasus adalah semua pasien wanita yang menderita hipertensi dan populasi kontrol adalah semua pasien wanita yang tidak menderita hipertensi. Jumlah sampel sebanyak 84 responden yang dipilih dengan metode systematic random sampling. Variabel dependen adalah kejadian hipertensi sedangkan variabel independen terdiri dari: karakteristik responden, status perokok pasif, hubungan keluarga, jenis rokok, jumlah perokok, lama terpapar asap rokok, jumlah rokok, lokasi merokok dan reaksi perokok pasif dianalisis dengan regresi logistik sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik umur > 40 tahun (CI 95%: 1,723–14,256; OR = 4,96) dan pendidikan (CI 95%: 0,309–0,807; OR = 0,50) berpengaruh terhadap kejadian hipertensi. Pada variabel paparan asap rokok di rumah pada wanita tidak ditemukan pengaruhnya terhadap kejadian hipertensi. Nilai Population Atribute Risk = 0,27, berarti 27% kejadian hipertensi pada wanita dapat dicegah dengan menghilangkan faktor risiko paparan asap rokok. Kesimpulan dari penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh paparan asap rokok di rumah pada wanita terhadap kejadian hipertensi, namun pada penelitian lain telah dibuktikan bahwa merokok pasif adalah faktor risiko kejadian hipertensi. Kata kunci: asap rokok, hipertensi, perokok pasif, rumah, wanita ABSTRACT Hypertension is a major risk factor of cardiovascular diseases and lead to 20–50% of all deaths. Smoking is one of risk factors for hypertension. Smoking is not only affects the smoker but also the people around them as passive smoker because the toxins components found in mainstream cigarette smoke were also found in environmental tobacco smoke, sometimes in higher concentrations. The purpose of this study was analyzing the effect of secondhand smoke at house on women toward hypertension. The design of the study was case control. The study was conducted at the Health Center Mulyorejo Surabaya. The case populations was all female patients who have hypertension and the control populations was all female patients who did not have hypertension. The numbers of sample were 84 respondents. The sampling technique in this study used systematic random sampling. The dependent variabel was hypertension and the independent variables of this study were the respondents characteristics, passive smoker status, family relationship, the type of cigarette, the number of smoker, the duration of smoke exposure, the number of cigarette consumptions, smoking location, and passive smoker reaction were analyzed by simple logistic regression. The results of this study showed age > 40 years old (CI 95%: 1.723–14.256; OR = 4.96) and higher education (CI 95%: 0.309–0.807; OR = 0.50) significantly affect the hypertension. Variables of secondhand smoke exposure at house on women had no affects to hypertension. The value of Population Attribute Risk (PAR) from this study was 0.27 which means 27% hypertension can be prevented by eliminating the risk factor of passive smoker. The conclusion of this study found no effect of exposure to secondhand smoke at house on woman toward hypertension, but other studies have demonstrated that passive smoking is a risk factor for hypertension. Keywords: secondhand smoke, hypertension, passive smoker, house, women
244
Lina dkk., Analisis Pengaruh Paparan… PENDAHULUAN Tekanan darah tinggi sistolik atau gabungan sistolik dan diastolik merupakan salah satu faktor risiko utama mortalitas dan morbiditas dalam hal gangguan kardiovaskuler yang mengakibatkan 20–50% dari seluruh kematian (WHO, 2001 dan Kaplan, 2002). Hipertensi merupakan faktor risiko utama kejadian stroke, gagal jantung dan penyakit jantung koroner (Kaplan, 2002). Dari tahun 1999 sampai 2009, angka kematian akibat hipertensi meningkat 17,1% (American Heart Association, 2013). Di seluruh dunia, hampir 1 miliar orang yaitu, sekitar seperempat dari seluruh populasi orang dewasa menyandang hipertensi. Jumlah ini cenderung meningkat (CDC dalam Rahajeng dan Tuminah, 2009). Pada tahun 2025, diperkirakan penyandang hipertensi mencapai hampir 1,6 miliar orang (Palmer and Williams, 2005). Prevalensi hipertensi meningkat dengan bertambahnya umur dan lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita sampai usia 55 tahun, namun akan sedikit lebih tinggi pada wanita postmenopause (Babatsikou and Zavitsanou, 2010) sedangkan di Indonesia penderita hipertensi lebih banyak pada wanita yaitu 37% daripada pria hanya 28% (Misti dkk., 2009). Dalam kurun waktu 10 tahun (1991–2000) di Indonesia telah berlangsung transisi epidemiologi, seiring dengan berlangsungnya transisi demografi. Hasil SKRT 2001 menunjukkan bahwa proporsi kematian tertinggi adalah karena penyakit sirkulasi di mana hasil survei sebelumnya masih didominasi oleh penyakit infeksi. Prevalensi nasional hipertensi pada penduduk usia > 18 tahun sebesar 31,7% berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah dan Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan angka prevalensi hipertensi di atas ratarata nasional sebesar 37,4% (Riskesdas, 2007). Berdasarkan Profil Kesehatan Jawa Timur 2010 selama tiga tahun (2008–2010), hipertensi selalu berada pada urutan tiga penyakit terbanyak dan penyakit degeneratif nomor satu terbanyak menurut kunjungan di puskesmas sentinel di Jawa Timur. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius karena mer upakan faktor risiko utama untuk stroke, gagal jantung dan penyakit koroner serta tingginya angka mortalitasnya. Selain itu tampak kecenderungan peningkatan insidennya. Sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan kejadian hipertensi. Dalam upaya pencegahan diperlukan identifikasi karakteristik
245
epidemiologi yang dapat menjadi faktor risiko hipertensi. Beberapa faktor risiko hipertensi yaitu umur, ras/suku, urban/rural, jenis kelamin, geografis, gemuk, stress, personality type A, diet, DM, water composition, alcohol, rokok, kopi dan pil KB (Bustan, 2000). Menurut WHO (2006) umur, kebiasaan merokok, diabetes dan obesitas merupakan faktor risiko penyakit sirkulasi yang berhubungan dengan pembuluh darah. Udjianti (2010) genetik, jenis kelamin, umur, diet, obesitas, gaya hidup (merokok dan konsumsi alcohol) merupakan faktor risiko dari hipertensi. Rokok merupakan faktor risiko kejadian hipertensi nomor tiga setelah faktor genetik dan stress psikologis pada lansia di wilayah kerja Puskesms Kroya I Kabupaten Cilacap (Sulistiani, 2005). Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar dan diisap dan/ atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan ( PP RI No. 109, 2012). Asap rokok mengandung tar berkisar antara 3 sampai 40 mg (Mukono, 2005). Nikotin yang terdapat dalam asap rokok arus samping (sidestream) 4–6 kali lebih besar dari asap rokok arus utama (mainstream) (Sussana, Dewi dkk., 2003). Di daerah perkotaan pada umumnya, 80% dari kehidupan suatu individu berada di dalam ruangan (indoor). Sedangkan anak, bayi, orang tua, dan penderita penyakit kronis memiliki waktu tinggal di dalam ruangan lebih banyak. (Mukono, 2005). Di antara berbagai bahan pencemar dalam ruang (indoor), asap rokok merupakan pencemar yang biasanya mempunyai kuantitas paling banyak. Hal ini disebabkan besarnya aktivitas merokok di dalam ruangan yang sering dilakukan oleh mereka yang mempunyai kebiasaan merokok. (Pudjiastuti, dkk, 1998). Makin meningkatnya masalah perokok pasif di lingkungan kerja atau tempat tinggal yang tertutup memungkinkan terjadinya pengaruh perokok pasif. Hal ini menunjukkan bahaya ganda rokok yang tidak saja untuk perokok sendiri tetapi untuk orang lain di sekitarnya (Bustan, 2000). Merokok pasif (involuntary smoking) adalah paparan asap rokok terhadap non-perokok yang terdiri dari campuran hembusan asap rokok perokok dan asap dari rokok yang dibakar atau perangkat merokok lainnya (pipa,
246
Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 244–253
cerutu, bidi, dan lain-lain) dan larut dalam udara ambient (WHO, 2013). Sedangkan perokok pasif adalah nonperokok yang terpaksa ikut menghirup asap rokok. Data dari Dinkes Kota Surabaya menyebutkan bahwa jumlah perokok di Kota Surabaya hingga tahun 2004 berada pada kisaran persentase 63,7%. Persentase tersebut meningkat dari tahun 1994 (54,5%) dan 2001 (58,9%) (Bachtiar, 2010). Perokok sebagai bagian dari masyarakat saat merokok juga berinteraksi dengan nonperokok baik di keluarga maupun di komunitas, sehingga dapat diperkirakan bahwa jumlah perokok pasif atau orang yang terpapar asap rokok jumlahnya lebih banyak dari jumlah perokok. Lingkungan berasap tembakau mengandung lebih dari 4000 senyawa kimia. Komponen racun yang ditemukan dalam asap rokok mainstream (yang diisap/dihirup perokok) juga ditemukan dalam asap rokok lingkungan, bahkan kadang dalam konsentrasi yang lebih tinggi (USDHHS, 1989 dalam Kozlowski et al., 2001). Hasil pengukuran level continine (metabolite primer nikotin) ditemukan sebesar 80% pada perokok pasif (CDC, 1993 dalam Kozlowski et al., 2001). Tiga komponen toksik yang utama adalah karbonmonoksida (CO), nikotin (C10H14N2), dan tar. Anak-anak dan dewasa nonperokok dapat mengalami dampak kesehatan yang sama dengan perokok aktif. Baik merokok dan paparan asap rokok meningkatkan risiko penyakit jantung (Institute of Medicine, 2009 dan U.S. Department of Health and Human Services, 2010 dalam CDC, 2012). The United States Environmental Protection Agency (EPA) mengklasifikasikan asap rokok atau yang biasa disebut asap tembakau lingkungan sebagai karsinogen Kelas A (diketahui pada manusia) di samping asbes, arsen, benzene dan gas radon. Menurut The British Medical Association tidak ada batas aman dalam paparan asap rokok (ASH, 2011). Rahajeng dan Tuminah (2009) menyatakan bahwa zat kimia beracun, misalnya nikotin dan karbon monoksida yang dihisap akan masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses artereosklerosis dan tekanan darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya arterosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen otot jantung.
Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah kapiler di dalam paru-paru dan diedarkan ke aliran darah hingga ke otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Nikotin yang terkandung dalam rokok dan asap rokok dapat membuat pembuluh darah mengecil sehingga meningkatkan tekanan darah segera setelah isapan pertama (Rhoden and Schein, 2010). Setelah merokok minimal 2 batang dua batang maka tekanan sistolik maupun diastolik akan meningkat 10 mmHg. Tekanan darah akan tetap pada ketinggian tersebut sampai 30 menit setelah berhenti mengisap rokok. Saat efek nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah juga akan menurun dengan perlahan. Namun pada perokok berat tekanan darah akan berada pada level tinggi sepanjang hari (Surono, 2012). Menu r ut data P2PK PU selama tahu n 2009–2011 hipertensi selalu masuk dalam 10 penyakit terbanyak dan merupakan penyakit degeneratif terbanyak nomor satu di Puskesmas Mulyorejo. Tren kejadian hipertensi di Puskesmas Mulyorejo cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari kuesioner yang disebar sebelum penelitian diperoleh data bahwa 8 dari 10 pasien hipertensi wanita merupakan perokok pasif. Berdasarkan gambaran kejadian hipertensi di Puskesmas Mulyorejo pada bulan Maret 2012– Februari 2013 prevalensi hipertensi meningkat dengan bertambahnya umur dan lebih banyak pada wanita (65%) daripada pria (35%) dan meskipun jumlah total pasien kelompok umur > 55 tahun lebih banyak daripada kelompok umur < 55 tahun, angka kejadian tertinggi justru pada umur 49 tahun dengan 38 kasus dari 717 kasus. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh paparan asap rokok di rumah pada wanita terhadap kejadian hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Mulyorejo Kota Surabaya. METODE Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik dengan rancang bangun penelitian case-control. Populasi kasus pada penelitian ini adalah semua pasien wanita yang menderita hipertensi. Populasi kontrol adalah semua
Lina dkk., Analisis Pengaruh Paparan… pasien wanita yang tidak menderita hipertensi. Sampel kelompok kasus pada penelitian ini adalah pasien wanita yang menderita hipertensi sebanyak 42 orang dan kelompok kontrol adalah pasien wanita yang tidak menderita hipertensi sebanyak 42 orang. Kriteria inklusi adalah wanita dewasa berusia ≥ 55 tahun, bukan perokok aktif dan bersedia menjadi responden penelitian. Cara pengambilan sampel dengan metode systematic random sampling. Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Mulyorejo Kota Surabaya pada bulan Mei-Juni 2013. Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu kejadian hipertensi yang diketahui dari data rekam medik atau KMS responden. Variabel bebas penelitian terdiri dari: karakteristik responden (umur, pendidikan, status pekerjaan), status perokok pasif, hubungan keluarga, jenis rokok, jumlah perokok, lama terpapar asap rokok, jumlah rokok, lokasi merokok dan reaksi perokok pasif yang diperoleh melalui wawancara dengan alat bantu kuesioner. Data yang diperoleh dari hasil penelitian disajikan dalam bentuk deskriptif yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji statistik regresi logistic sederhana untuk mempelajari pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Hubungan antar variabel bebas dengan variabel terikat dikatakan bermakna jika nilai Confidence Interval (CI 95%) tidak melewati angka 1. Sedangkan untuk melihat besar risiko variabel bebas terhadap variabel terikat dengan melihat nilai Exp (B) sebagai OR (Odds Ratio). Nilai Population Atribute Risk (PAR) digunakan untuk melihat proporsi kasus dalam populasi yang akan bisa dicegah bila faktor risiko dapat dihilangkan. HASIL Karakteristik responden terdiri dari umur, pendidikan dan status pekerjaan. Umur responden dikelompokkan ke dalam 2 kategori, ≤ 40 tahun dan > 40 tahun. Baik pada kelompok hipertensi maupun tidak hipertensi lebih dari separuh responden berada pada kelompok umur > 40 tahun (85,7% dan 54,8%). Pada kelompok hipertensi terdapat perbedaan proporsi cukup jauh antara kategori umur ≤ 40 tahun yaitu 14,3% dan umur > 40 tahun yaitu 85,7%, sedangkan pada kelompok tidak hipertensi proporsi kedua kategori umur cenderung sebanding (45,2% dengan 54,8%). Variabel kelompok umur secara signifikan berpengaruh terhadap kejadian
247
hipertensi. Nilai OR = 4,96 artinya wanita yang berumur > 40 tahun memiliki risiko 4,96 kali daripada yang berusia ≤ 40 tahun untuk terjadi hipertensi. Semua responden (100%), baik pada kelompok hipertensi maupun tidak hipertensi berjenis kelamin perempuan. Pendidikan dari kelompok hipertensi sebagian besar hanya tamatan sekolah dasar atau sederajat (45,2%) dan 4 responden tidak tamat sekolah dasar. Kelompok kontrol atau tidak hipertensi memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik, karena sebagian besar tamat SMA/sederajat (40,5%) dan 1 responden tidak tamat sekolah dasar. Baik pada kelompok hipertensi maupun tidak hipertensi, persentase tingkat pendidikan terendah (2,4% dan 4,8%) adalah lulus Akademi/PT. Pendidikan berpengaruh signifikan terhadap kejadian hipertensi. Nilai OR = 0,50 merupakan faktor protektif, artinya tiap naik satu tingkat pendidikan risiko terjadi hipertensi meningkat 0,50 kali. Atau dapat dikatakan orang yang berpendidikan lebih rendah memiliki risiko 2 (1/0,500) kali daripada yang berpendidikan lebih tinggi untuk terjadi hipertensi. Status pekerjaan atau suatu kegiatan yang menghasilkan uang baik pada kelompok hipertensi maupun tidak hipertensi sebagian besar (69,0% dan 52,4%) tidak bekerja. Nilai OR = 2,0 berarti wanita yang tidak bekerja memiliki risiko 2,0 kali daripada orang yang bekerja untuk terjadi hipertensi. Namun status pekerjaan tidak bermakna secara statistik. Responden kelompok kasus (hipertensi) adalah wanita rata-rata berumur 47,71 tahun, pendidikan terakhir SD/sederajat (45,2%) dan tidak bekerja (69,0%). Sedangkan kelompok kontrol adalah wanita rata-rata berumur 40,97 tahun, pendidikan SMA/ sederajat (40,5%) dan cenderung hampir sama antara jumlah yang bekerja dan tidak (47,6% dan 52,4%). Karakteristik umur dan pendidikan terbukti berpengaruh terhadap kejadian hipertensi seperti pada Tabel 1. Perokok pasif adalah nonperokok yang tinggal serumah dengan perokok aktif dan terpapar asap rokok setiap hari. Baik pada kelompok hipertensi maupun tidak hipertensi sebagian besar responden adalah perokok pasif (69% dan 61,9%) di rumah. Jumlah wanita perokok pasif mencapai lebih dari separuh total responden (65,5%) seperti pada Tabel 2. Nilai OR untuk perokok pasif adalah 1,37 berarti, perokok pasif mempunyai risiko 1,37 kali daripada bukan perokok pasif untuk terjadi
248
Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 244–253
Tabel 1. Gambaran Karakteristik Responden pada Kelompok Hipertensi dan Tidak Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Mulyorejo Karakteristik Responden
Hipertensi
Tidak Hipertensi
OR
CI 95%
6 (14,3%) 36 (85,7%)
19 (45,2%) 23 (54,8%)
ref 4,9
1,723–14,256
4 (9,5%) 19 (45,2%) 11 (26,2%) 7 (16,7%) 1 (2,4%)
1 (2,4%) 10 (23,8%) 12 (28,6%) 17 (40,5%) 2 (4,8%)
0,5
0,309–0,807
Status Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja
13 (31,0%) 29 (69,0%)
20 (47,6%) 22 (52,4%)
ref 2,0
0,832–4,945
Total
42 (100%)
42 (100%)
Umur ≤ 40 tahun > 40 tahun Pendidikan Tidak sekolah SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Akademi/PT
Tabel 2. Analisis Statistik Pengaruh Perokok Pasif Terhadap Kejadian Hipertensi Variabel Paparan Asap Rokok Hipertensi
Tidak Hipertensi
OR
CI 95%
Perokok pasif Ya Tidak
29(69%) 13(31%)
26(61,9%) 16(38,1%)
1,37 ref
0,556-3,387
Total
42(100%)
42(100%)
hipertensi. Namun variabel wanita perokok pasif tidak berpengaruh terhadap kejadian hipertensi secara statistik seperti pada Tabel 3. Nilai PAR (Population Attribute Risk) dihitung berdasarkan variabel status perokok pasif pada Tabel 2. Nilai PAR adalah 0,27 artinya 27% kasus hipertensi pada wanita nonperokok dapat dicegah dengan menghilangkan faktor risiko paparan asap rokok di rumah (perokok pasif). Pada variabel hubungan keluarga sampai dengan variabel reaksi perokok pasif, jumlah data responden yang diikutsertakan dalam analisis sebanyak 55 orang yang merupakan perokok pasif. Hasil analisis pengaruh dengan regresi logistik sederhana pada Tabel 3. Hubungan keluarga antara nonperokok dengan perokok yang tinggal serumah pada Tabel 3, baik pada kelompok hipertensi maupun tidak hipertensi sebagian besar merupakan istri dari perokok (51,7% dan 73,1%). Perbedaan yang menyolok terlihat pada kategori variabel ibu, di mana pada kelompok hipertensi mencapai 27,6% sedangkan pada kelompok tidak hipertensi hanya 7,7%.
Kategori istri & ibu pada Tabel 3 menunjukkan ada lebih dari 1 perokok aktif di rumah yaitu suami dan anak dari responden. Nilai OR menunjukkan bahwa ibu/mertua dari perokok aktif memiliki risiko 13,50 kali daripada saudara untuk terjadi hipertensi, sedangkan anak dan istri sekaligus ibu dari perokok aktif memiliki risiko 6,00 kali daripada saudara untuk terjadi hipertensi. Istri yang terpapar asap rokok suaminya di rumah memiliki risiko 2,37 kali daripada saudara perokok aktif untuk terjadi hipertensi. Namun hubungan keluarga tidak berpengaruh terhadap kejadian hipertensi secara statistik seperti pada Tabel 3. Jenis rokok berdasarkan kadar nikotin dan tar, baik pada kelompok hipertensi maupun tidak hipertensi, sebagian besar perokok cenderung mengonsumsi rokok berkadar nikotin dan tar tinggi (79,3% dan 61,5%) daripada rokok dengan kadar nikotin dan tar rendah. Nilai OR untuk rokok berkadar tinggi adalah 2,37 berarti perokok pasif yang tinggal serumah dengan perokok aktif yang mengisap rokok berkadar nikotin dan tar tinggi mempunyai risiko 2,37 kali daripada yang tinggal
Lina dkk., Analisis Pengaruh Paparan…
249
Tabel 3. Analisis Statistik Pengaruh Paparan Asap Rokok di Rumah pada Wanita Terhadap Kejadian Hipertensi Variabel Paparan Asap Rokok Hubungan Keluarga Saudara Istri Anak/menantu Ibu/mertua Istri&ibu Jenis Rokok Kadar rendah Kadar tinggi Jumlah perokok 1 orang >1 orang Lama paparan ≤ 10 tahun >10 tahun Jumlah rokok < 5 btg/hari ≥ 5 btg/hari Lokasi merokok Diluar rumah/teras Didalam rumah Reaksi perokok Menghindar Tidak menghindar
Hipertensi
Tidak Hipertensi
OR
CI 95%
1 (3,4%) 15 (51,7%) 2 (6,9%) 9 (31,0%) 2 (6,9%)
3 (11,5%) 19 (73,1%) 1 (3,8%) 2 (7,7%) 1 (3,8%)
ref 2,37 6,0 13,5 6,00
0,223–25,140 0,221–162,531 0,878–207,624 0,221–162,531
6 (20,7%) 23 (79,3%)
10 (38,5%) 16 (61,5%)
ref 2,37
0,724–7,926
27 (93,1%) 2 (6,9%)
25 (96,2%) 1 (3,8%)
Ref 1,85
0,158–21,704
10 (34,5%) 19 (65,5%)
10 (38,5%) 16 (61,5%)
ref 1,19
0,395–3,568
17 (58,6%) 12 (41,4%)
19 (73,1%) 7 (26,9%)
ref 1,92
0,613–5,984
12 (41,4%) 17 (58,6%)
18 (61,5%) 8 (38,5%)
ref 2,13
0,917–4,924
19 (65,5%) 10 (34,5%)
17 (65,4%) 9 (34,6%)
ref 0,99
0,327–3,026
Total
dengan perokok yang mengisap rokok berkadar nikotin dan tar rendah untuk terjadi hipertensi. Namun tidak ada pengaruh jenis rokok terhadap kejadian hipertensi secara statistik. Berdasarkan jumlah perokok aktif di rumah, lebih dari 90% jumlah perokok aktif di rumah baik kelompok hipertensi maupun tidak hipertensi terdiri dari 1 orang (93,1% dan 96,2%), 2 responden dari kelompok hipertensi yang menyatakan tinggal serumah dengan > 1 perokok aktif sedangkan pada kelompok tidak hipertensi hanya 1 responden. Nilai OR = 1,85 berarti perokok pasif yang tinggal serumah dengan > 1 orang perokok aktif berisiko 1,85 kali daripada serumah dengan 1 perokok aktif untuk terjadi hipertensi. Jumlah total perokok aktif yang tinggal serumah dengan perokok pasif tidak bermakna secara statistik terhadap kejadian hipertensi. Berdasarkan lama terpapar baik pada kelompok hipertensi maupun tidak hipertensi sebagian besar responden terpapar asap rokok selama lebih dari 10 tahun (65,5% dan 65,4%) yang dihitung
berdasarkan lama tinggal dengan perokok sampai saat wawancara. Wanita nonperokok yang terpapar asap rokok di rumah selama > 10 tahun memiliki risiko 1,19 kali daripada yang terpapar asap rokok ≤ 10 tahun untuk terjadi hipertensi. Namun lama papar asap rokok secara statistik tidak berpengaruh. Rata-rata jumlah rokok yang diisap perokok di rumah baik pada wanita kelompok hipertensi maupun tidak hipertensi hanya sebagian kecil yang merokok ≤ 5 batang/hari (41,4% dan 34,5%). Wanita nonperokok yang tinggal dengan perokok yang mengisap ≥ 5 batang/hari berisiko 1,92 kali daripada yang tinggal dengan perokok yang mengisap rokok < 5 batang/hari untuk terjadi hipertensi. Rata-rata jumlah rokok secara statistik tidak bermakna. Sedangkan lokasi merokok perokok saat di rumah pada wanita kelompok hipertensi berkebalikan dengan tidak hipertensi. Pada kelompok hipertensi lebih dari separuh (58,6%) perokok merokok di dalam rumah, sedangkan pada
250
Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 244–253
kelompok tidak hipertensi sebagian besar perokok merokok di luar rumah/teras (61,5%). Nilai OR = 2,13 berarti responden yang tinggal dengan perokok yang merokok di dalam rumah berisiko 2,13 kali daripada yang tinggal dengan perokok yang merokok di luar rumah untuk terjadi hipertensi. Namun variabel lokasi merokok tidak bermakna secara statistik. Reaksi wanita perokok pasif baik pada kelompok hipertensi maupun tidak hipertensi terhadap paparan asap rokok yaitu sebagian besar responden (65,5% dan 65,4%) menghindari asap rokok saat perokok mulai merokok di rumah. Nilai OR adalah 0,99 berarti reaksi tidak menghindar merupakan faktor protektif kejadian hipertensi. Wanita perokok pasif yang tidak menghindari asap rokok memiliki risiko 0,99 kali daripada perokok pasif yang menghindari asap rokok untuk terjadi hipertensi. Bisa juga dikatakan orang yang menghindari asap rokok memiliki risiko 1,00 (1/0,99) kali atau sama dengan yang tidak menghindari asap rokok. Namun reaksi perokok pasif secara statistik tidak berpengaruh. PEMBAHASAN Hipertensi merupakan 3 terbesar penyakit di Puskesmas Mulyorejo pada tahun 2011 dan penyakit degeneratif terbanyak, namun belum ada program pencegahan dan penanggulangan hipertensi secara khusus di Puskesmas. Pencegahan terdiri dari pencegahan primordial, primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primordial adalah Perda Kota Surabaya yang mewajibkan penyelenggaraan posyandu lansia. Pencegahan primer dilakukan dalam bentuk penyuluhan di posyandu lansia yang dilakukan oleh nakes atau mahasiswa karena belum berjalannya meja 4 posyandu lansia (penyuluhan oleh kader), kegiatan lainnya adalah senam lansia yang dilakukan 1 bulan sekali. Kegiatan pencegahan sekunder lebih banyak dilakukan melalui pengukuran tekanan darah secara rutin 1 bulan sekali di Posyandu Lansia pada anggota posyandu yang memiliki hipertensi atau tidak dan pemberian obat penurun tekanan darah kepada pasien dengan hipertensi. Pencegahan tersier dengan memberikan rujukan akibat komplikasi hipertensi untuk membatasi kecacatan dan kematian akibat hipertensi. Responden untuk kelompok kasus (hipertensi) adalah wanita rata-rata berumur 47,71 tahun,
pendidikan terakhir SD/sederajat dan tidak bekerja. Sedangkan kelompok kontrol terdiri dari wanita rata-rata berumur 40,97 tahun, pendidikan SMA/ sederajat dan cenderung hampir sama jumlahnya antara yang bekerja dan tidak. Karakteristik umur dan pendidikan terbukti berpengaruh terhadap kejadian hipertensi. Umur memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hipertensi yaitu terjadi peningkatan risiko sebesar 4,96 kali pada usia > 40 tahun, hal tersebut sesuai dengan penelitian Babatsikou dan Zavitsanou (2010) dalam jurnal Epidemiology of Hypertension in The Elderly dan Bustan (2000) bahwa prevalensi hipertensi meningkat dengan bertambahnya umur yaitu pada umur > 40 tahun. Peningkatan kejadian hipertensi ekuivalen dengan bertambahnya umur, disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi kaku, sebagai akibatnya adalah meningkatnya tekanan darah sistolik. (Kaplan dalam Rahajeng dan Tuminah, 2010). Namun usia minimum kejadian hipertensi (25 tahun) perlu mendapat perhatian karena mengindikasikan ada pergeseran usia kejadian hipertensi ke arah usia muda. Misti, dkk. (2009) kejadian hipertensi pada perempuan usia 20–50 tahun di Kota Bengkulu berhubungan dengan konsumsi garam, stress, obesitas dan minum kopi. Semua responden berjenis kelamin wanita karena penderita hipertensi lebih banyak pada wanita daripada pada pria dan wanita paling berpotensi untuk menjadi perokok pasif baik sebagai istri, ibu, anak maupun saudara. Hasil penelitian menunjuk kan tingkat pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian hipertensi. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka risiko hipertensi akan berkurang 0,5 kali. Hal tersebut sama dengan hasil telaah Rahajeng dan Tumimah (2010) bahwa responden yang tidak bersekolah secara bermakna berisiko 1,61 kali terkena hipertensi dibandingkan yang lulus perguruan tinggi. Pendidikan rendah berkaitan dengan rendahnya pengetahuan maupun kesadaran untuk berperilaku hidup sehat dan mengakses sarana pelayanan kesehatan. Status pekerjaan yang terdiri dari bekerja dan tidak bekerja tidak berpengaruh terhadap kejadian hipertensi pada wanita. Berbeda dengan penelitian Rahajeng dan Tumimah (2009) serta Dwi Anggara dan Prayitno (2013) bahwa orang yang tidak bekerja lebih berisiko menderita hipertensi daripada yang bekerja karena bekerja akan meningkatkan aktivitas fisik sehingga menurunkan risiko hipertensi.
Lina dkk., Analisis Pengaruh Paparan… Status perokok pasif dilihat dari apakah responden tinggal serumah dengan perokok aktif. Sebanyak 55 dari 84 responden merupakan perokok pasif. Pada dua penelitian sebelumnya ditemukan hasil yang bertentangan antara hubungan paparan asap rokok (perokok pasif) pada wanita dengan kejadian hipertensi. Hasil penelitian Ashari (2011) perokok pasif terbukti sebagai faktor risiko hipertensi pada wanita usia 40–70 tahun. Bertentangan dengan penelitian Atika dkk. (2009) yang menyatakan tidak ada hubungan secara bermakna antara perokok pasif dengan terjadinya hipertensi pada penduduk wanita usia 30-65 tahun. Pada kelompok wanita usia yang lebih muda kejadian hipertensi di Kota Bengkulu berhubungan dengan konsumsi garam, stress, obesitas dan minum kopi (Misti dkk., 2009) atau karena penurunan kadar nikotin. Hubungan keluarga antara perokok pasif dengan perokok aktif terdiri dari istri, anak/menantu, ibu/ mertua dan saudara. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh hubungan keluarga nonperokok dengan perokok terhadap kejadian hipertensi. Berbeda dengan penelitian Roger X et al. (1999) di Melbourne tentang paparan asap rokok terhadap kejadian stroke, pasangan (suami/istri) memiliki risiko 2,03 kali daripada selain pasangan untuk terkena stroke akibat paparan asap rokok. Jenis rokok didasarkan pada kadar nikotin dan tar. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya pengaruh antara kadar nikotin dan tar dengan kejadian hipertensi. Hal tersebut bertentangan dengan pernyataan Rhoden and Schein (2010) bahwa kadar nikotin dan tar dalam rokok akan berpengaruh terhadap kadar nikotin dan tar dalam asap rokok. Semakin tinggi kadar nikotin dan tar dalam rokok semakin tinggi kadarnya dalam asap rokok. Nikotin yang terkandung dalam rokok dan asap rokok dapat membuat pembuluh darah mengecil sehingga meningkatkan tekanan darah. Kemungkinan hal tersebut dipengaruhi oleh rentang waktu antara pajanan asap rokok dengan pengukuran tekanan darah. Peningkatan tekanan darah 10 mmHg pada sistolik dan diastolik terjadi jika seseorang terpapar asap rokok yang setara dengan minimal dua batang rokok. Tekanan darah akan tetap pada ketinggian tersebut sampai 30 menit setelah bebas dari paparan asap rokok, saat efek nikotin perlahan-lahan menghilang maka tekanan darah juga akan menurun dengan perlahan. Hutapea (2013) peningkatan tensi (perokok) dipengaruhi oleh nikotin yang merangsang pelepasan vasopressin
251
serta hormon adrenokortikotropik yang berperan langsung meningkatkan tekanan darah serta irama jantung. Namun menurut Surono (2012) pada nonperokok yang terpapar asap rokok dari perokok berat maka tekanan darah akan berada pada level tinggi sepanjang hari. Berdasarkan jumlah perokok aktif di rumah hasil penelitian menunjukkan tidak ditemukannya pengaruh antara jumlah perokok aktif di rumah dengan kejadian hipertensi pada wanita perokok pasif. Berbeda dengan penelitian Ashari (2011) yang secara statistik bermakna bahwa jumlah perokok dalam rumah merupakan faktor risiko hipertensi dengan OR = 2,5. Jumlah perokok aktif berkaitan dengan jumlah asap rokok yang dihasilkan, namun paparan asap rokok juga dipengaruhi oleh lokasi perokok merokok dan reaksi perokok pasif terhadap paparan asap, di mana sebanyak 65,5% responden memilih untuk menghindari asap rokok. Berdasarkan lama terpapar asap rokok (tahun), hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh antara lama terpapar asap rokok di rumah dengan kejadian hipertensi. Berbeda dengan penelitian Ashari (2011) yang menunjukkan ada kemaknaan secara statistik antara lama merokok dari perokok aktif dengan hipertensi pada wanita perokok pasif dengan OR = 3,6. Namun Price and Wilson (2006) dalam Sitepu (2012) kaitannya dengan perilaku merokok, diketahui bahwa risiko merokok terhadap hipertensi berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap per hari, dan bukan pada lama merokok. Seseorang yang merokok lebih dari satu pak rokok sehari menjadi lebih rentan mendapat hipertensi karena zat-zat kimia dalam rokok bersifat kumulatif (ditimbun) dan jika dosis racunnya telah mencapai titik toksis gejala yang ditimbulkan akan terlihat. Sebagian besar perokok yang tinggal serumah dengan responden hanya merokok dalam kuantitas kecil yaitu < 5 batang/hari. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh yang bermakna antara rata-rata jumlah rokok yang dihisap perokok aktif dengan kejadian hipertensi, sama dengan penelitian Ashari (2011) tidak menemukan kemaknaan secara statistik antara jumlah rokok yang dihisap perokok aktif dengan hipertensi. Didukung oleh pernyataan Price and Wilson (2006) dalam Sitepu (2012) bahwa jumlah rokok yang diisap per hari lebih berpengaruh daripada lama paparan. Karena faktor akumulasi toksin. Sehingga semakin sedikit rokok yang diisap maka semakin sedikit akumulasi toksin dan cenderung menurunkan pengaruh terhadap kejadian hipertensi.
252
Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 244–253
Berdasarkan lokasi perokok merokok, hasil penelitian menunjukkan tidak adanya pengaruh lokasi perokok merokok di dalam rumah atau di luar rumah terhadap kejadian hipertensi. Kemungkinan hal tersebut berkaitan dengan reaksi individu perokok pasif yang cenderung menghindari asap rokok dari perokok aktif di rumahnya. Bertentangan dengan The Iowa Attorney General’s Report on Secondhand Smoke (2003) bahwa memisahkan perokok dan bukan perokok yang berada dalam ruang udara yang sama dapat mengurangi tetapi tidak menghilangkan paparan asap pada nonperokok, sehingga risiko kesehatan akibat paparan asap rokok masih bisa terjadi. Berdasarkan reaksi nonperokok terhadap paparan asap rokok, hasil penelitian tidak menunjukkan adanya pengaruh antara reaksi menghindar atau tidaknya perokok pasif dari asap rokok saat perokok merokok di rumah terhadap kejadian hipertensi. Kemungkinan hal tersebut juga berkaitan dengan lokasi merokok perokok aktif di rumah. Karena 54,5% perokok memilih merokok di teras atau luar rumah. Bertentangan dengan The British Medical Association yang menyatakan tidak ada batas aman dalam paparan asap rokok (ASH, 2011). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini kelompok kasus adalah wanita rata-rata berumur 47,71 tahun, pendidikan SD/sederajat dan tidak bekerja. Sedangkan kelompok kontrol adalah wanita rata-rata berumur 40,97 tahun, pendidikan SMA/ sederajat dan cenderung hampir sama antara jumlah yang bekerja dan tidak. Semakin bertambah umur maka risiko kejadian hipertensi semakin meningkat. Sedangkan semakin tinggi tingkat pendidikan risiko hipertensi akan menurun sampai setengahnya. Perokok pasif wanita tidak berpengaruh terhadap kejadian hipertensi dan wanita yang dapat menghilangkan paparan asap rokok di rumahnya dapat terhindar dari kejadian hipertensi sebesar 27%. Serta tidak ada pengaruh paparan asap rokok di rumah pada wanita terhadap kejadian hipertensi. Saran Saran yang dapat diajukan berkaitan dengan penelitian ini adalah bagi Dinas Kesehatan Kota
Surabaya, pengendalian dan pencegahan hipertensi dengan menghilangkan faktor risikonya, dalam hal ini paparan asap rokok di rumah melalui penyebarluasan media promosi kesehatan (selebaran, poster, banner, leaflet). Meskipun dalam penelitian ini tidak ditemukan pengaruh namun dalam penelitian lain telah dibuktikan paparan asap rokok pada perokok pasif berisiko terhadap kejadian hipertensi. Bagi puskesmas, pencegahan d an penanggulangan hipertensi dengan mengaktifkan kegiatan di meja 4 (penyuluhan) posyandu oleh para kader, oleh karena itu diperlukan pelatihan dan materi penyuluhan bagi para kader posyandu. Promosi bahaya rokok dan asap rokok kepada masyarakat melalui penyuluhan di posyandu dan pemasangan media promosi kesehatan di Puskesmas, Pustu dan Pusling. Meskipun dalam penelitian ini tidak ditemukan pengaruh namun dalam penelitian lain telah dibuktikan adanya hubungan antara asap rokok dengan kejadian hipertensi. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya meneliti tentang faktor risiko hipertensi pada usia < 40 tahun, paparan asap rokok yang dikaitkan dengan penyakit lain yang ditimbulkan oleh rokok menurut variabel paparan asap rokok pada non perokok, dan paparan asap rokok pada wanita usia produktif dengan menggunakan desain penelitian kohort, serta penelitian tentang perbedaan kejadian penyakit yang ditimbulkan oleh asap rokok antara perokok aktif dan perokok pasif. REFERENSI Ashari, A. 2011. Perokok Pasif sebagai Faktor Risiko Hipertensi pada Wanita Usia 40–70 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tlogosari Kulon Kota Semarang. Skripsi. Atika, dkk., 2009. Hubungan Perokok Pasif dengan Terjadinya Hipertensi Pada Penduduk Wanita Usia 30–65 Tahun di Dusun Krajan Desa Sumberngepoh Kecamatan Lawang. Artikel Penelitian. American Heart Association. 2013. High Blood Pressure. Babatsikou, Fotoula & Assimina Z. 2010. Epidemiology of Hypertension in The Elderly. Health Science Journal ® Volume 4. No. 1: 24–30. Bachtiar, Z., 2010. Opini Masyarakat PascaPemberitaan Berlakunya Perda Antirokok di Surabaya pada Harian Jawa Pos (Studi Deskriptif
Lina dkk., Analisis Pengaruh Paparan… tentang Opini Masyarakat Pasca-Pemberitaan Berlakunya Perda Antirokok di Surabaya pada Harian Jawa Pos). Bustan, M.N., 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT Rineka Cipta. Depkes. R.I., 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Dinkes Jatim, 2011. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2010. Hutapea, R., 2013. Why Rokok? Tembakau dan Peradaban Manusia. Jakarta: Bee Media Indonesia Kaplan, N. 2002. Hypertension in the Elderly Second Edition. London: Martin Dunitz Ltd. Kozlowski, Lynn T., et al., 2001. Cigarettes, Nicotine & Health a Biobehavioral Approach. California: Sage Publications, Inc. Litbang Depkes. 2002. Survey Kesehatan Rumah Tangga 2001. Misti, dkk., 2009. Faktor-Faktor Kejadian Hipertensi pada Perempuan Usia 20–50 Tahun di Kota Bengkulu. Mukono, H.J., 2005. Toksikologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press.
253
PP RI No. 109. 2012. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Pudjiastuti, dkk., 1998. Kualitas Udara dalam Ruang. Jakarta: Dirjen PT Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Rahajeng, Ekowati & Sulistyowati T. 2009. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di Indonesia. Maj Kedokt Indon, Volume: 59, Nomor: 12, Halaman 580-587. Desember 2009. Rhoden, C.A. & Schein S.W. 2010. Bringing Down High Blood Pressure. Maryland: The Rowman & Littlefield Publishing Group, Inc. Sitepu, R. 2012. Pengaruh Kebiasaan Merokok dan Status Gizi terhadap Hipertensi pada Pegawai Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara. Tesis. Udjianti, J.W. 2010. Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika. WHO. 2001. Pengendalian Hipertensi. Diterjemahkan oleh: Kosasih. Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB. WHO. 2006. Neurological Disorders, Public Health Challenges. Switzerland: WHO Press.