ANALISIS MARKETABLE SURPLUS JAGUNG PADA KELUARGA PETANI JAGUNG DI KABUPATEN GROBOGAN Anggittyas Windari, Endang Siti Rahayu, Setyowati Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta Jl. Ir. Sutami No.36 A Kentingan Surakarta 57126 Telp./Fax (0271) 637457 Email :
[email protected]. Telp. 085725149250 Abstract : Government policies that focus on the development of the agricultural sector. Strategy and policy development, especially the agricultural sector geared to improve and insufficient food and farmers income and welfare of the community. For that, it needs to be seen how much the amount of marketable surplus of corn on farm households so there is no shortage or excess food.This research aims to determine the average amount of marketable surplus of corn and to determine the factors that influence the marketable surplus of corn by corn farmers in the family Grobogan. The basic method used is descriptive analytical method. Location deliberate research determined that the consideration that Grobogan Grobogan is the largest corn production centers in Central Java. The data used is primary data and secondary data obtained from interviews, records and observations. The analytical method used is the econometric method with multiple linear regression model. The results showed that the average marketable surplus of corn is 3.361,05 kg/ MT or 96,69 %, and the balance of 115,20 kg / MT or 3,31 % are not sold because of post harvest losses. The factors that significantly affect the marketable surplus corn is corn prices at the farm level, total household income, and farm land of corn. Keyword : Corn, Marketable Surplus, Ekonometric Abstrak : Kebijakan Pemerintah yang menitikberatkan pembangunan pada sektor pertanian. Strategi dan kebijakan pembangunan khususnya sektor pertanian diarahkan untuk meningkatkan dan tercukupinya pangan serta pendapatan petani dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, perlu dilihat seberapa besar jumlah marketable surplus jagung pada rumah tangga petani sehingga tidak terjadi kekurangan atau kelebihan pangan.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya rata-rata marketable surplus jagung dan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap marketable surplus jagung oleh keluarga petani jagung di Kabupaten Grobogan. Metode dasar yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja yaitu Kabupaten Grobogan dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Grobogan merupakan sentra produksi jagung terbesar di Jawa Tengah. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder yang diperoleh dari observasi, wawancara dan pencatatan. Metode analisis yang digunakan adalah metode ekonometrika dengan model regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata marketable surplus jagung adalah sebesar 3.361,05 kg/MT atau 96,69%, dan sisanya sebesar 115,20 kg/MT atau 3,31% tidak dijual karena susut pasca panen. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap marketable surplus jagung adalah harga jagung di tingkat petani, pendapatan total rumah tangga, dan luas lahan usahatani jagung. Kata Kunci : Jagung, Marketable Surplus, Ekonometrika
PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian baik sebagai mata pencaharian maupun sebagai penopang pembangunan. Menurut Wibowo (2000), di dalam pembangunan pertanian subsektor tanaman pangan mempunyai posisi strategis dan penting. Peran subsektor ini adalah sebagai penghasil makanan pokok yang tidak dapat disubstitusi oleh sektor ekonomi lainnya. Salah satu komoditi tanaman pangan yang penting dan mengambil peran dalam pembangunan sektor pertanian adalah komoditas jagung. Bagi orang Indonesia, jagung merupakan makanan pokok kedua setelah beras. Penggunaan jagung sejak tahun 1975 bergeser dari tujuan perdagangan untuk kebutuhan pangan pokok kedua setelah beras, menjadi bahan baku pakan ternak (Yusdja dan Agustian, 2003). Permintaan industri hilir terutama industri pakan ternak terhadap jagung akan terus meningkat dalam kurun waktu yang akan datang. Diperkirakan industri pakan ternak di Indonesia membutuhkan kurang lebih 200.000 ton jagung pipilan kering setiap bulan (Nuhung, 2006). Umumnya, jagung di Jawa Tengah hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi langsung. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu kebutuhan akan jagung telah memasuki industri-industri seperti industri pangan dan industri pakan ternak. Permintaan jagung Jawa Tengah yang meningkat dari tahun ke tahun menjadikan kebutuhan jagung dalam negeri meningkat. Kabupaten Grobogan merupakan sentra produksi jagung dengan luas panen dan produksi terbesar di Jawa Tengah (BPS Jawa Tengah, 2013). Hal ini menandakan banyak rumah tangga petani yang berusahatani jagung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada mulanya, petani jagung di Kabupaten Grobogan menanam jagung putih yang bisa digunakan petani untuk membuat nasi jagung, namun seiring dengan tingginya permintaan jagung oleh perusahaan pakan ternak, sekarang petani mulai beralih ke jagung kuning karena jagung kuning lebih sering digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Selain untuk memenuhi kebutuhan perusahaan pakan ternak, jagung kuning ini rasanya kurang enak sehingga jarang untuk dikonsumsi manusia. Kondisi yang seperti ini akan menyebabkan pergeseran pola perilaku petani dari yang tadinya menyimpan sebagian hasil panennya menjadi menjual seluruh hasil panennya, sedangkan untuk keperluan konsumsi petani bisa membelinya dari pasar. Dengan adanya pergeseran tersebut, maka ada perlakuan yang berbedabeda pula dari petani pada masingmasing pola usahatani terhadap produk jagungnya sehingga akan memberikan pengaruh terhadap marketable surplus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya rata-rata marketable surplus jagung pada keluarga petani jagung di Kabupaten Grobogan dan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. METODE PENELITIAN Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, sedangkan teknik pelaksanaannya menggunakan teknik survey. Jenis dan Sumber Data Data primer yang digunakan dalam penelitian ini meliputi identitas petani, status petani, jumlah anggota keluarga, luas lahan usahatani jagung, kuantitas produksi jagung, harga jagung di tingkat petani, jumlah jagung yang dipasarkan dan pendapatan total rumah tangga.
Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, yaitu Badan Pusat Statistik Jawa Tengah, Badan Pusat Statistik Kabupaten Grobogan dan Dinas Pertanian Kabupaten Grobogan yang meliputi data luas panen, produktivitas dan produksi jagung di Jawa Tengah dan keadaan alam di daerah penelitian. Penentuan Lokasi Penelitian Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja yaitu Kabupaten Grobogan karena Kabupaten Grobogan merupakan daerah sentra produksi jagung di Jawa Tengah (BPS Jawa Tengah, 2013), dengan sampel yang digunakan yaitu Kecamatan Grobogan, Kecamatan Geyer, Kecamatan Wirosari, dan Kecamatan Tanggungharjo. Selanjutnya, dari masing-masing kecamatan ini diambil desa sampel dengan metode purposive sampling yang mewakili daerah kering dan daerah basah, sehingga diperoleh 8 desa yang digunakan yaitu desa Sedayu, Ngrandu, Tanjungrejo dan Ringinpitu sebagai sampel desa lahan basah, dan desa Jatipohon, Ledokdawan, Gedangan dan Sugihmanik sebagai sampel desa lahan kering. Pengambilan Petani Sampel Penelitian ini mengambil sampel petani sebanyak 80 orang, yang masingmasing kecamatan sampel diwakili oleh 20 sampel yaitu 20 petani jagung di Kecamatan Kecamatan Geyer, 20 petani jagung di Kecamatan Wirosari, 20 petani jagung di Kecamatan Grobogan dan 20 petani jagung di Kecamatan Tanggungharjo sehingga masingmasing kecamatan terdiri dari 10 petani pesanggem dan 10 petani non pesanggem. Metode Analisis Data Untuk menghitung marketable surplus jagung dengan mengurangkan hasil panenan (produksi) dengan total
konsumsi keluarga petani akan jagung yang dinyatakan dalam satuan kg/MT. Perhitungan ini dinyatakan dengan rumus : MS= Qp – Qc………………………..(1) MS adalah Marketable surplus (kg/MT), Qp adalah total produksi jagung (kg/MT), Qc adalah jumlah konsumsi jagung oleh keluarga petani (kg/MT) (kebutuhan pangan, pakan ternak, bibit, upah tenaga kerja, susut pasca panen). Untuk menganalisis faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap Marketable Surplus jagung menggunakan metode ekonometrika dengan model regresi linier berganda, yang secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut : MS = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + e........................(2) MS adalah marketable surplus jagung (kg/MT), X1 adalah produksi jagung (kg/MT), X2 adalah harga jagung di tingkat petani (Rp/MT), X3 adalah pendapatan total rumah tangga (Rp/MT), X4 adalah jumlah anggota keluarga petani jagung (orang), X5 adalah luas lahan usahatani jagung (Ha), X6 adalah variabel dummy (status petani), 0 jika petani pesanggem, 1 jika petani non pesanggem, e adalah eror, dan β0-β6 adalah koefisien regresi. Adapun uji terhadap asumsi klasik yang dilakukan meliputi uji multikolinieritas dan uji heteroskedastisitas. Selain itu, perlu dilakukan pengujian model yang meliputi Uji Normalitas, Uji Koefisien Determinasi (R2), Uji F dan Uji t.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Karakteristik responden akan memberikan gambaran tentang keadaan dan latar belakang petani sampel yang berkaitan dengan kegiatan usahatani jagung. Uraian mengenai karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Responden di Kabupaten Grobogan No. Uraian 1. Jumlah responden (orang) 2. Status Petani a. Pesanggem b. Pemilik c. Penyewa 3. Rata-rata umur petani (tahun) 4. Rata-rata pendidikan petani (tahun) 5. Rata-rata jumlah anggota keluarga petani (orang) 6. Rata-rata luas lahan yang digarap (Ha) 7. Rata-rata pengalaman berusahatani (tahun) Sumber : Analisis Data Primer Berdasarkan tabel 1, dari 80 orang responden diperoleh hasil bahwa ratarata umur petani jagung di Kabupaten Grobogan termasuk dalam umur produktif yaitu 47 tahun sehingga dapat dikatakan petani masih mampu bekerja di sawah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Rata-rata pendidikan petani adalah 6 tahun, atau setara SD. Rata-rata tingkat pendidikan petani yang rendah menyebabkan kemampuan untuk menerima dan mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi rendah serta kurangnya manajemen pengelolaan usahatani. Rata-rata jumlah anggota keluarga yang dimiliki oleh responden petani jagung di Kabupaten Grobogan adalah sebanyak 3 orang. Sebagian besar petani yang melakukan kegiatan usahatani adalah kepala keluarga dan isterinya. Terbatasnya keikutsertaan anggota keluarga dalam kegiatan usahatani secara langsung menyebabkan penggunaan tenaga kerja luar semakin besar, yang kemudian akan mempengaruhi pendapatan usahatani. Rata-rata luas lahan yang diolah petani untuk menanam jagung adalah 0,53 Ha. Semakin luas lahan yang digunakan
Jumlah 80 40 38 2 47 6 3 0,53 19
untuk berusahatani jagung, akan menyebabkan produksi jagungnya semakin besar, hal ini akan menyebabkan pendapatan usahatani jagung yang diterima petani meningkat. Rata-rata pengalaman berusahatani jagung adalah 19 tahun. Petani yang memiliki pengalaman lebih lama akan lebih memahami situasi dan kondisi usahataninya, sehingga akan lebih mudah dalam mengelola resiko kegagalan usahataninya. Marketable Surplus Jagung Marketable surplus jagung merupakan kelebihan produksi atas konsumsi keluarga terhadap jagung. Untuk mencari besarnya jumlah jagung yang dipasarkan adalah dengan cara mengurangkan produksi jagung dengan konsumsi jagungnya. Berikut disajikan data mengenai produksi, konsumsi dan penjualan jagung oleh petani jagung pesanggem dan non pesanggem di Kabupaten Grobogan.
Tabel 2. Rata-rata Produksi, Konsumsi, dan Jumlah Jagung yang Dipasarkan oleh Keluarga Petani Jagung Selama Musim Tanam II dan III di Kabupaten Grobogan Tahun 2012/2013 No. 1.
2.
3.
Uraian Petani Pesanggem a. Produksi b. Konsumsi c. Penjualan Petani Non Pesanggem a. Produksi b. Konsumsi c. Penjualan Total a. Produksi b. Konsumsi c. Penjualan
Sumber : Analisis Data Primer Marketable surplus jagung dihitung dengan cara mengurangkan total produksi jagung oleh petani dengan konsumsi jagungnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa marketable surplus jagung adalah sebesar 3.361,05 kg/MT atau 96,69% sehingga tergolong tinggi. Tingginya marketable surplus jagung disebabkan oleh jenis jagung yang ditanam petani. Hampir semua petani di Kabupaten Grobogan membudidayakan jagung jenis hibrida dengan berbagai macam varietas. Jagung jenis ini kurang cocok untuk dikonsumsi manusia sehingga digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Varietas benih yang ditanam oleh petani jagung berbeda-beda karena menyesuaikan struktur tanah dan kondisi masing-masing wilayah. Setiap varietas benih jagung memiliki tingkat tahan serangan hama dan penyakit yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil penelitian di lapang, sebagian besar petani jagung di Kabupaten Grobogan menggunakan benih jagung varietas Pioneer (P-21 dan P-27). Hal ini dikarenakan kualitas jagung Pioneer lebih bagus daripada varietas lainnya. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara
Per UT (kg)
Persentase (%)
2.060,00 72,70 1987,30
100,00 3,53 96,47
1416,25 42,50 1373, 75
100,00 3,00 97,00
3.476,25 115,20 3.361,05
100,00 3,31 96,69
dengan responden, hasil produksi jagung varietas Pioneer lebih tinggi dibandingkan dengan jagung varietas lainnya, lebih tahan di daerah kering, serta lebih tahan hama tikus dan penyakit bulai yang sering menyerang tanaman jagung. Semakin tahan suatu varietas terhadap serangan hama dan penyakit, maka jagung yang dihasilkan akan semakin banyak, sehingga marketable surplusnya semakin tinggi pula. Petani akan menjual seluruh jagung hibridanya dan uangnya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Walaupun petani menjual seluruh hasil panennya, masih ada sisa jagung yang tidak terjual sebesar 115,20 kg/MT atau 3,31% karena setelah dipanen, jagung tersebut mengalami penyusutan. Penyusutan pasca panen ini dapat terjadi karena pada saat pengangkutan hasil panen dari lahan ke rumah, banyak jagung yang tercecer di jalan. Berdasarkan pengamatan lapang, hal ini dikarenakan kondisi jalan yang buruk. Jalanan utama di dalam desa rusak, berlubang, tidak rata atau bergelombang, dan sebagian besar berupa batu-batuan atau belum diaspal, sehingga menyulitkan kendaraan untuk
melewatinya. Selain itu, setelah penjemuran biasanya petani kurang hati-hati sehingga banyak biji jagung yang tercecer dan tertinggal pada saat pengarungan. Berdasarkan hasil analisis, marketable surplus jagung petani non pesanggem lebih tinggi dari marketable surplus jagung petani pesanggem dengan nilai masing-masing sebesar 97% dan 96,47%. Hal ini dikarenakan penyusutan pasca panen yang dialami oleh petani pesanggem lebih besar. Petani non pesanggem yang terdiri dari petani pemilik dan penyewa mengolah lahan sawah maupun tegal yang jaraknya lebih dekat dengan rumah. Berbeda dengan petani pesanggem, mereka mengolah lahan milik Perhutani yang jaraknya lebih jauh dengan rumah mereka. Semakin jauh jarak lahan dengan rumah, ditambah dengan kondisi jalan yang rusak maka akan semakin besar pula kehilangan jagung pada saat pengangkutan. Dilihat dari akses kemudahan, semua petani menjual jagung ke pedagang yang ada di daerah sekitar untuk selanjutnya dijual ke perusahaan pakan ternak. Disamping itu, produk yang dihasilkan petani jagung adalah berupa jagung pipilan kering sehingga setiap pedagan mau menampungnya. Dengan hasil panen yang berlimpah, tidak ada jagung yang dikonsumsi sebagai bahan pangan. Hal ini dikarenakan jagung yang diproduksi petani adalah jagung kuning hibrida yang rasanya tidak enak untuk dimakan. Oleh karena itu, para petani jarang mengolah hasil panennya menjadi produk pangan. Jagung-jagung ini kemudian dijual ke pedagang pengepul desa, kecamatan maupun langsung ke pedagang besar. Harga yang diberikan kepada petani tergantung dari kualitas jagung yang mereka miliki. Biasanya, pedagang akan memberi harga tinggi
apabila jagung yang dijual petani memiliki kualitas yang baik. Kualitas jagung yang diterima oleh pedagang adalah jagung dengan kadar air 17%19% dengan ciri-ciri jika dijatukan ke lantai, biji jagung akan menimbulkan bunyi yang nyaring atau gemerisik, dan apabila digenggam tidak terasa lembab. Selanjutnya pedagang masih melakukan penjemuran untuk menurunkan kadar air jagung sehingga diterima oleh perusahaan pakan ternak yaitu sebesar 12%-14%. Permintaan produk jagung terutama dalam bentuk pipilan kering cukup tinggi. Permintaan produk yang cukup tinggi dari perusahaan pakan ternak menjadikan peluang bagi petani untuk berusahatani jagung. Seberapa banyak produksi jagung yang dihasilkan petani pasti akan diserap perusahaan pakan ternak untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan pakan ternak. Karena kapasitas perusahaan pakan ternak yang ada di Kabupaten Grobogan terbatas, maka sebagian besar jagung tersebut dijual ke luar Kabupaten Grobogan. Salah satu perusahaan pakan ternak di luar kota adalah Japfacomfeed. Pakan yang dihasilkan pabrik pakan ternak memiliki kadar dan kualitas yang baik apabila kualitas jagung sebagai bahan bakunya baik. Kualitas jagung yang diterima oleh perusahaan pakan ternak adalah jagung dengan kadar air berkisar 12%-14%, tidak ada jamur, dan jagung bersih dari kerikil, pasir maupun kotoran yang lainnya. Kualitas jagung yang dihasilkan petani di Kabupaten Grobogan cukup baik dan telah memenuhi kualitas yang diinginkan pasar. Kualitas yang dapat diterima pasar ini akan mempermudah pemasaran jagung yang bisa mencapai keluar wilayah Kabupaten Grobogan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketable Surplus Jagung Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa antara variabel marketable surplus dan variabel produksi memiliki nilai Pearson Correlation 1, yang artinya antara kedua variabel tersebut berkorelasi sempurna. Korelasi yang sempurna ini akan menyebabkan pengaruh dari variabel lain tertutupi oleh variabel produksi sehingga pengaruh variabel lain tersebut menjadi sangat kecil. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyembuhan, yaitu dengan cara mengeluarkan salah satu variabel. Variabel yang dikeluarkan adalah variabel produksi, karena variabel ini merupakan variabel independent, kemudian diregresikan kembali. Dari hasil analisis data dengan bantuan program SPSS, diketahui bahwa tidak terjadi multikolinieritas pada model regresi. Hal ini dapat dilihat dari nilai Tolerance lebih dari 0,1 dan nilai VIF di bawah 10 serta nilai Pearson Correlation tidak ada yang bernilai lebih dari 0,8 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas diantara variabel bebas yang mempengaruhi marketable surplus jagung di Kabupaten Grobogan. Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa pada grafik terlihat titik-titik menyebar secara acak, dan tidak membentuk sebuah pola tertentu yang jelas, serta tersebar baik di atas maupun dibawah angka 0 dan sumbu Y. Hal ini menunjukkan bahwa kesalahan pengganggu mempunyai varian yang sama untuk seluruh nilai-nilai variabel bebas. Ini berarti tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi, sehingga model regresi layak untuk digunakan. Setelah lolos uji asumsi klasik, model persamaan layak digunakan dan diperoleh model persamaan marketable
surplus jagung di Kabupaten Grobogan adalah sebagai berikut: MS = –784,979+0,419 X2 + 0,00013 X3 + 17,026 X4 + 2079,553 X5 – 331,720 X6 + e..........................(3) MS adalah marketable surplus jagung (kg/MT), X1 adalah produksi jagung (kg/MT), X2 adalah harga jagung di tingkat petani (Rp/MT), X3 adalah pendapatan total rumah tangga (Rp/MT), X4 adalah jumlah anggota keluarga petani jagung (orang), X5 adalah luas lahan usahatani jagung (Ha), X6 adalah variabel dummy (status petani), 0 jika petani pesanggem, 1 jika petani non pesanggem, dan e adalah eror. Uji normalitas dilakukan dengan melihat penyebaran data pada sumbu diagonal pada grafik Normal P-Plot dan histogram (Suliyanto, 2011). Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa sebaran titik-titik berada di sekitar garis dan mengikuti garis diagonal, maka dikatakan nilai residual tersebut adalah normal. Histogram membentuk kurva seperti lonceng, dan puncak kurva berada pada titik 0, artinya sebaran datanya seimbang. Berdasarkan analisis uji F yang dilakukan dapat diketahui bahwa nilai signifikansi sebesar 0,000. Nilai tersebut signifikan pada tingkat kepercayaan 99%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel yang diamati yaitu harga jagung di tingkat petani, pendapatan total rumah tangga, jumlah anggota keluarga, luas lahan usahatani jagung dan status petani secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap marketable surplus jagung di Kabupaten Grobogan. Penelitian ini menggunakan nilai Adjusted R2, besarnya nilai koefisien determinasi dari hasil analisis adalah sebesar 0,598. Hal ini berarti 59,8% variabel dependent berupa marketable surplus jagung dapat dijelaskan oleh
variasi variabel independent berupa harga jagung di tingkat petani, pendapatan total rumah tangga, jumlah anggota keluarga, luas lahan usahatani jagung dan status petani yang digunakan dalam model, dan sisanya sebesar 40,2% dijelaskan oleh variabel lain di luar model seperti jumlah konsumen, kualitas jagung dan kebijakan pemerintah. Berdasarkan hasil uji t dapat diketahui pengaruh variabel bebas secara individu terhadap jumlah jagung yang dipasarkan. Berdasarkan analisis diperoleh hasil bahwa variabel bebas berupa harga jagung di tingkat petani, pendapatan total rumah tangga, dan luas lahan usahatani jagung secara individu berpengaruh nyata, sedangkan untuk variabel jumlah anggota keluarga dan variabel dummy berupa status petani secara individu tidak berpengaruh nyata terhadap marketable surplus jagung di Kabupaten Grobogan. Variabel pertama adalah harga jagung di tingkat petani. Secara teori, harga yang tinggi akan memotivasi petani untuk menjual seluruh hasil panennya ke pasar sehingga marketable surplusnya akan semakin besar. Dapat dikatakan bahwa harga berpengaruh nyata terhadap marketable surplus. Teori tersebut mendukung penelitian ini. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa semakin tinggi harga jagung pada saat panen akan memotivasi petani menjual hasil produksinya dalam jumlah yang besar. Harga jagung di tingkat petani berpengaruh nyata dan positif terhadap jagung yang dipasarkan di Kabupaten Grobogan. Koefisien regresi harga jagung sebesar 0,419 yang berarti bahwa setiap peningkatan harga jagung di tingkat petani sebesar 1% maka akan meningkatkan jumlah jagung yang dipasarkan sebesar 0,419%. Hal ini dikarenakan apabila harga naik, maka akan mendorong petani untuk
menjual hasil panennya lebih banyak, bahkan menjual seluruh hasil panennya sehingga marketable surplusnya akan semakin besar. Petani tidak mau mengambil resiko untuk menyimpannya terlalu lama karena jagung apabila disimpan terlalu lama akan terserang jamur sehingga kualitasnya menurun. Apabila kualitasnya kurang bagus maka pedagang pengumpul tidak mau membeli dengan harga tinggi. Variabel selanjutnya adalah pendapatan total rumah tangga. Pendapatan total rumah tangga berpengaruh nyata dan memiliki pengaruh positif terhadap marketable surplus jagung. Variabel ini memiliki koefisien regresi sebesar 0,00013 yang berarti setiap terjadi kenaikkan pendapatan total rumah tangga sebesar 1% akan menaikkan marketable surplus jagung sebesar 0,00013%. Sama halnya dengan petani padi, petani jagung berusahatani untuk memperoleh pendapatan yang akan digunakan untuk modal pada kegiatan usahatani selanjutnya. Semakin besar pendapatan total rumah tangga petani jagung, maka modal petani untuk berusahatani akan semakin besar pula. Hal ini akan mendorong petani untuk memproduksi jagung yang lebih banyak, sehingga kesempatan petani untuk menjual seluruh hasil panennya akan semakin besar, sehingga marketable surplusnya semakin besar pula. Variabel yang diteliti selanjutnya adalah jumlah anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi hasil produksi yang dijual. Dalam usahatani padi, semakin banyak jumlah anggota keluarga akan menurunkan marketable surplus padinya. Hal ini dikarenakan proporsi beras yang dikonsumsi semakin besar sehinggga jumlah beras yang dijual semakin kecil. Pada penelitian ini, jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh nyata dan
memiliki koefisien regresi bernilai positif terhadap marketable surplus jagung di Kabupaten Grobogan. Artinya bertambah atau berkurangnya jumlah anggota keluarga tidak akan berpengaruh terhadap jumlah jagung yang dipasarkan oleh keluarga petani. Perbedaan ini terjadi karena penelitian ini menggunakan komoditas jagung yang bukan merupakan makanan pokok bagi petani di Kabupaten Grobogan sehingga tujuan petani berusahatani jagung bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Variabel selanjutnya adalah luas lahan usahatani jagung. Menurut teori, semakin luas lahan akan berpengaruh terhadap produksi petani, dan semakin banyak produksi maka marketable surplus semakin bertambah. Petani yang memiliki lahan yang luas merupakan petani yang telah bersifat komersial, yaitu mengadakan kegiatan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan pasar. Berbeda dengan petani yang memiliki lahan sempit dan masih merupakan petani subsisten, yaitu yang memproduksi hasil pertanian dengan tujuan untuk kebutuhan konsumsi keluarganya terlebih dahulu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap jumlah jagung yang dipasarkan dan memiliki koefisien regresi bertanda positif yaitu sebesar 2079,553. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan luas lahan sebesar 1 Ha maka akan meningkatkan marketable surplus jagung sebesar 2079,553 kg. Ini dikarenakan semakin luas lahan yang digunakan petani untuk menanam jagung maka produksinya akan semakin besar sehingga marketable surplus jagung akan semakin besar pula. Berdasarkan hasil penelitian, luas lahan yang digunakan petani pesanggem lebih besar daripada petani non pesanggem. Hal ini dikarenakan petani
yang tinggal di daerah sekitar hutan menggunakan lahan milik perhutani untuk berusahatani jagung. Mereka menggunakan lahan tersebut dengan sistem kontrak dan membayar uang sewa dalam sekali pembukaan lahan yaitu sebesar Rp 100.000,- sampai dengan Rp 250.000,- per Ha. Bahkan tidak sedikit petani yang tidak dipungut uang sewa, dengan timbal balik petani harus merawat lahan yang mereka gunakan. Uang tersebut digunakan untuk perbaikan jalan yang ada di tengah hutan. Namun, apabila sewaktuwaktu pihak Perhutani memerlukan tanah tersebut, maka petani harus melepasnya. Variabel terakhir yang diteliti adalah variabel dummy berupa status petani. Variabel dummy adalah variabel pembeda yang menunjukkan apakah pengaruh status petani berupa petani pesanggem dan non pesanggem terhadap jumlah jagung yang dipasarkan berbeda. Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa variabel dummy tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah jagung yang dipasarkan di kabupaten Grobogan. Walaupun secara persentase terdapat perbedaan secara statistik, namun perbedaan yang tidak begitu besar tersebut dapat dikatakan tidak ada bedanya. Baik petani pesanggem maupun non pesanggem sama-sama menjual seluruh jagungnya. Rata-rata petani jagung di Kabupaten Grobogan hanya menggantungkan hidupnya pada kegiatan usahatani jagung, sehingga petani akan berusaha untuk meningkatkan kesejahteraannya dengan cara menjual seluruh hasil panennya. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tentang analisis marketable surplus jagung pada keluarga petani jagung di Kabupaten Grobogan, dapat diambil kesimpulan
bahwa rata-rata marketable surplus jagung adalah sebesar 3.361,05 kg/MT atau 96,69%, dan sisanya sebesar 115,20 kg/MT atau 3,31% tidak dijual karena susut pasca panen. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap marketable surplus jagung adalah harga jagung di tingkat petani, pendapatan total rumah tangga, dan luas lahan usahatani jagung, sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah jumlah anggota keluarga dan variabel dummy berupa status petani, artinya tidak terdapat perbedaan antara petani pesanggem dan non pesanggem terhadap marketable surplus jagung. Saran yang dapat diberikan yaitu perlu adanya upaya penanganan pasca panen yang lebih baik. Petani harus lebih memperhatikan kemasan dan cara pengemasan jagung saat pengarungan sehingga jumlah jagung yang tercecer dapat dikurangi. Petani biasanya menjemur jagung hingga kadar air 1719%, oleh karena itu petani perlu meningkatkan kualitas jagungnya untuk mencapai kadar airnya 12-14%, menjaga kebersihan jagung dari kotoran dan jamur sesuai dengan kualitas yang diminta perusahaan pakan ternak, sehingga petani mendapatkan harga yang lebih tinggi, dan petani perlu mengoptimalkan penggunaan lahan untuk berusahatani jagung agar produksi jagung maksimal. DAFTAR PUSTAKA BPS Jawa Tengah, 2013. Jawa Tengah dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik. Jawa Tengah. Nuhung, I. A., 2006. Bedah Terapi Pertanian Nasional. PT. Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. Suliyanto, 2011. Ekonometrika Terapan : Teori dan Aplikasi dengan SPSS. Andi Ofset. Yogyakarta.
Wibowo, R., 2000. Pertanian dan Pangan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Yusdja, Y. dan Agustian, A., 2003. Analisis Kebijakan Tarif Jagung Antara Petani Jagung dan Peternak. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 1 No 1, Maret 2003 : 36-54.