ANALISIS MANFAAT PROGRAM BIOGAS ASAL TERNAK BERSAMA MASYARAKAT (BATAMAS) KOTA PALOPO (Studi Kasus Kelompok Tani Kampulang Kecamatan Wara Selatan Kota Palopo) Benefit Analysis of Biogas Program with the Community Animal Origin (BATAMAS) Palopo City (A Study Case on Farmer Group Kampulang Songka Village District Wara Southern Palopo City) Syamsuddin, A. Rahman Mappangaja dan Asmuddin Natsir
ABSTRACT The purpose of this study were: (1) to determine whether the program has been implemented BATAMAS cattle dung as raw material for biogas and organic fertilizer. (2) to assess the use of biogas as an alternative fuel and organic fertilizer production to increase farmers' income, (3) whether the program BATAMAS can change the pattern or system of animal husbandry from the traditional system into intensive. The research was conducted on farmer group Songka Kampulang Village South Wara District Municipality Palopo conducted in January to Meret survey method in 2011 with 25 farmers. Analysis of the data used deskreptif qualitative analysis and revenue analysis. The results showed that age, program on farmer group BATAMAS Kampulang Songka Village South Wara District Municipality has implemented Palopo Beef cattle dung as raw material for biogas and organic fertilizer. The use of biogas and organic fertilizer production to increase farmers' income by an average of Rp.468.120 per month, and implementation of maintenance programs to change the way cattle BATAMAS become maintenance intensive system. Key word : Biogas Program, Community Animal, Farmer Group, Organic fertilizer.
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah : (1) untuk mengetahui apakah Program BATAMAS telah mengimplementasikan kotoran ternak sebagai bahan baku biogas dan pupuk organik. (2) untuk mengetahui penggunaan biogas sebagai bahan bakar alternatif dan produksi pupuk organik dapat menambah pendapatan petani, (3) apakah Program BATAMAS dapat merubah pola atau sistem pemeliharaan ternak dari sistem tradisional menjadi intensif. Penelitian ini dilaksanakan pada kelompoktani Kampulang Kelurahan Songka Kecamatan Wara Selatan Kota Palopo yang dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Meret 2011 dengan metode survei pada 25 petani. Analisis data yang digunakan yaitu analisis deskreptif kualitatif dan analisis pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan umur bahwa, program BATAMAS pada kelompoktani
Kampulang Kelurahan Songka Kecamatan Wara Selatan Kota Palopo telah mengimplementasikan kotoran ternak Sapi sebagai bahan baku Biogas dan Pupuk Organik. Penggunaan Biogas dan produksi pupuk organik dapat meningkatkan pendapatan petani rata-rata sebesar Rp.468.120 per bulan, dan pelaksanaan program BATAMAS merubah pola pemeliharan ternak menjadi sistem pemeliharaan secara intensif. Kata Kunci : Biogas, Peternakan, Kelompok Tani, Pupuk Organik, Pendapatan
PENDAHULUAN Secara umum ternak telah dikenal sebagai penghasil bahan pangan seperti daging, susu dan telur yang merupakan sumber protein hewani. Protein hewani tersebut sangat diperlukan untuk kelanjutan kehidupan manusia, peran protein hewani disamping sebagai zat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tubuh, juga diperlukan untuk menjaga tingkat kesehatan serta memacu pertumbuhan otak. Tingkat kecerdasan dan produktivitas sangat berkaitan dengan kecukupan protein yang dikonsumsi oleh manusia. Disamping manfaat ternak sebagai sumber protein, khusus ternak besar bermanfaat juga sebagai sumber tenaga tarik, untuk membajak disawah dan transportasi di sentra produksi pertanian. Selain itu kotoran ternak bila dapat dikumpulkan dan diproses secara baik dapat menghasilkan biogas yang dapat berguna sebagai energi alternatif dan pupuk organik yang sangat berguna untuk penyubur tanah (Simamora.S., 2010) Biogas merupakan energi alternatif, energi ini punya masa depan cerah. Sejauh ini pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas belum sepopuler dibandingkan pemanfaatannya sebagai bahan baku pupuk organik. Padahal dengan teknologi biogas, kotoran ternak dapat dikonversi menjadi energi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi untuk berbagai kebutuhan misalnya memasak, lampu penerangan, transportasi hingga keperluan lain yang memerlukan energi. Bila biogas telah diaplikasikan secara luas, persoalan kekurangan pasokan atau krisi energi bisa dihindari, dan masalah pencemaran lingkungan oleh kotoran ternak pun bisa teratasi. (Judoamidjojo dkk., 1992). Dua isu global yang hangat diperbincangkan masyarakat Indonesia dan dunia adalah mengenai krisis energi dan pemanasan global. Krisis energi yang dampaknya langsung bisa dirasakan adalah tingginya harga bahan bakar. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa kebutuhan (konsumen) terhadap bahan bakar semakin meningkat dengan pesat, sementara itu sumbernya makin berkurang. Selain itu, penggunaan bahan bakar dari minyak bumi dan batu bara disinyalir sebagai penyebab utama terjadinya pemanasan global. (Soerawidjaja, Tatang H. 2010.) Salah satu jenis bahan bakar yang banyak digunakan masyarakat adalah minyak tanah. Konsumsi minyak tanah yang terus mengalami peningkatan telah membebani anggaran keuangan negara. Hal ini disebabkan karena harga jual minyak tanah berada jauh dibawah harga perekonomiannya. Sebagai konsekuensinya, pemerintah terpaksa memberikan subsidi yang cukup besar dari setiap liter minyak tanah yang dibeli oleh masyarakat. Kenyataan, dilapangan subsidi terhadap minyak tanah terbukti tidak sepenuhnya tepat sasaran. Tidak sedikit terjadi penyelewengan sehingga minyak tanah bersubsidi tak hanya dikonsumsi masyarakat miskin namun juga oleh industri maupun masyarakat mampu. Menanggapi persoalan terbut diatas, para pakar dan ilmuan mencoba mengembangkan berbagai metode / teknologi yang dapat menghasilkan bahan bakar alternatif sebagai pengganti minyak tanah dan LPG. Salah satu
teknologi yang dikembangkan yaitu pemanfaatan Limbah peternakan sebagai bagan baku Biogas. Biogas yang dihasilkan dari limbah peternakan tersebut mempunyai nilai ekonomi tinggi, karena dapat dipergunakan tidak saja sebagai bahan bakar alternatif pada rumah tangga petani tetapi juga dapat dipergunakan sebagai sumber energi untuk penerangan. (Syamsuddin, T.R. dan Iskandar, H.H., 2005) Potensi biogas yang strategis tersebut telah menginspirasi pemerintah dalam hal ini Kementrian Pertanian untuk mendorong masyarakat desa untuk mengembangkan Biogas asal limbah ternak tersebut. Kementerian Pertanian Republik Indonesia di awal tahun 2009 meluncurkan Program BATAMAS (Biogas Asal Ternak Bersama Masyarakat). METODE PENELITIAN Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Kelompok Tani Kampulang Kelurahan Songka Kecamatan Wara Selatan Kota Palopo, atas pertimbangan bahwa di wilayah Kelompoktani Kampulang merupakan salah satu wilayah yang telah melaksanakan Program Biogas Asal Ternak Bersama Masyarakat (BATAMAS). Waktu pelaksanaan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, yaitu pada bulan Januari sampai Maret 2011. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini dipilih secara purpossive sampling (sengaja) yaitu sengaja memilih semua petani, yang berada dalam wilayah kelompoktani Kampulang Kelurahan Songka, baik yang telah melaksanakan Program BATAMAS kelompoktani maupun yang belum melaksanakan Program BATAMAS. Berdasarkan tujuan dari penelitian untuk mengkaji manfaat yang didapat oleh responden sebelum dan sesudah mengikuti program BATAMAS, maka populasi yang berjumlah 25 orang dikelompokkan dalam dua strata yaitu petani yang telah melaksanakan Program BATAMAS sebanyak 5 orang, dan petani yang belum melaksanakan Program BATAMAS sebanyak 20 orang. Dalam penelitian ini, strata yang telah malaksanakan program BATAMAS jumlahnya 5 orang, dan yang belum malaksanakan program BATAMAS jumlahnya 20 orang, karena tergolong populasi yang sedikit, sehingga peneliti mengambil sampel 100% dari tiap populasi strata yang ada. Dengan demikian, maka jumlah sampel untuk strata yang telah malaksanakan program BATAMAS sebanyak 5 orang, dan yang belum malaksanakan program BATAMAS sebanyak 20 orang, sehingga keseluruhan jumlah sampel sebanyak 25 orang responden Jenis Dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung (observasi) dan melalui wawancara, Data sekunder yaitu data yang digunakan untuk melengkapi data primer yang diperoleh dari instansi terkait meliputi data jumlah petani / peternak yang melaksanakan kegiatan dan jumlah anggaran dalam pelaksanaan kegiatan, antara lain dari kantor Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Palopo, Kantor Kelurahan Songka, perpustakaan dan jaringan internet.
Metode Pengumpulan Data Instrumen dalam metode pengumpulan data adalah kuesioner yang berupa daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dan disusun secara sistematis dalam rangka perolehan data lapangan, yaitu : 1. Wawancara Wawancara terstruktur kepada responden dengan pengisian Quisioner yang telah disiapkan dengan maksud untuk melengkapi dan memperdalam hasil pengamatan sehingga dapat mengungkap masalah yang akan diteliti. 2. Observasi / pengamatan Observasi atau pengamatan merupakan tehnik pengumpulan data dengan mengamati secara langsung sasaran atau objek penelitian dan merekam peristiwa dan perilaku secara wajar dan rinci, adapun obyek yang diamati adalah petani yang menjadi responden dan masyarakat di sekitar wilayah penelitian secara umum. 3. Dokumentasi Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk melengkapi data yang menurut peneliti sangat dibutuhkan untuk mengungkap dan menampilkan rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian. Pengolahan Dan Analisis Data Data yang terkumpul dan diperoleh pada penelitian ini di analisis secara Deskriptif Kualitatif dengan menggunakan tabel skoring (skor). Kategori responden didasarkan atas jawaban-jawaban terhadap sejumlah pertanyaan yang menyangkut implementasi pelaksanaan Program BATAMAS pada petani / peternak responden kelompok tani Kampulang, Kecamatan Wara Selatan, Kota Palopo, dan manfaat Program BATAMAS yang akan mempengaruhi peningkatan pendapatan serta perubahan pola pemeliharaan ternak di tingkat petani. Silalahi (2009), mengemukakan bahwa kategori pengukuran (response categories) ditentukan oleh skala pengukuran variabel, jika metode penelitian menggunakan kualitatif nonparametric maka tipe skala yang digunakan adalah skala ordinal (Hair, 1995). Skala ordinal dapat diurut dalam urutan tingkatan (rank order) yaitu dari tingkat yang “terendah” ketingkat yang “tertinggi” menurut atribut dalam suatu urutan atau orde tertentu. Selanjutnya, banyaknya jenjang kategori dalam mengukur suatu variabel perlu disesuaikan dengan tujuan dan karakteristik populasi penelitian. Jika populasi penelitian adalah masyarakat pedesaan, maka jawaban yang berjenjang tiga atau lima lebih sesuai digunakan. Angka skoring dalam skala ordinal menunjukkan angka dalam suatu urutan tertentu saja, tapi bukan berarti bahwa angka-angka tersebut menunjukkan jarak yang sama besarnya, tidak ada ukuran tingkat kepuasan dalam absolute term (jarak mutlak), juga tidak diketahui exact difference (perbedaan pasti) antara angka dalam skala kepuasan, melainkan hanya menunjukkan atau menyatakan urutan saja Analisis pendapatan untuk mengetahui besarnya pendapatan dari penggunaan biogas sebagai bahan bakar alternatif dan produksi pupuk organik dari limbah biogas maka digunakan analsisi pendapatan sederhana yaitu : π = TR – TC Dimana π : Pendapatan TR : Total Reevena yaitu total produksi dikalikan dengan harga jual TC : Total Cost yaitu total biaya produksi (rupiah)
HASIL DAN PEMBAHASAN Letak dan Luas Wilayah Penelitian Kelurahan Songka yang merupakan wilayah dari Kelompok Tani Kampulang berada di Kecamatan Wara Selatan tepatnya sekitar 6 Km sebelah selatan Kota Palopo. Kelurahan Songka Kecamatan Wara Selatan mempunyai luas 2,84 Km2 dan berada pada ketinggian 0 sampai 1,041 meter dari permukaan laut. Batas Wilayah Kelurahan Songka adalah sebagai berikut : Sebelah utara : Kelurahan Takkalala Sebelah Selatan : Kelurahan Sampoddo Sebelah Barat : Kelurahan Mawa Sebelah Timur : Teluk Bone Keadaan Penduduk Penduduk adalah suatu kelompok masyarakat atau populasi yang tinggal atau hidup berkelompok dan menetap di suatu daerah tertentu. Keadaan penduduk adalah beberapa keterangan yang menggambarkan kondisi seluruh penduduk pada wilayah penelitian. Keterangan tersebut mengenai jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, mata pencaharian serta sarana dan prasarana. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis kelamin adalah kelas atau kelompok yang terbentuk dalam suatu spesies sebagai sarana atau sebagai akibat digunakannya proses reproduksi seksual untuk mempertahankan keberlangsungan spesies itu. (Anonim2, 2009). Tabel 7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin.
No
Jenis Kelamin
Jumlah Penduduk (Jiwa)
1 Laki-laki 2 Perempuan Jumlah
Persentase (%)
981
43,52
1.273
56,48
2.254
100,00
Sumber; Kantor Kelurahan Songka, 2011 Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa jumlah penduduk secara keseluruhan adalah 2.254 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki 981 jiwa atau 43,52% dan jumlah penduduk perempuan sebesar 1.273 jiwa atau 56,48%. Selisilih diantara keduanya hanya sedikit, dan walaupun jumlah wanita lebih besar dari jumlah laki-laki namun tidaklah menjadi masalah karena tradisi di Kelurahan Lembang jika suami mereka bekerja sebagai petani maka sebagai istri selalu bersamasama/kompak dalam melaksanakan pekerjaan di bidang pertanian dan peternakan, saling bahu membahu sejak awal dalam proses produksi hingga pasca panen, sehingga dapat mengurangi tenaga kerja dan menekan upah tenaga kerja, begitu pula dengan lainnya.
1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk merupakan pekerjaan pokok yang dilakukan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Keadaan penduduk di Kelurahan Songka Kecamatan Wara Selatan Kota Palopo ketika ditinjau dari keadaan penduduk berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel Tabel
Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian.
No
Mata Pencaharian
Jumlah (Jiwa)
Persentase (%)
1
Petani
308
26,26
2
Pedagang
121
10,32
3
Buruh Tani
246
20,97
4
Pertukangan
58
4,94
5
Pegawai Negeri
263
22,42
6
Pegawai Swasta
75
6,39
7
ABRI
16
1,36
8
Jasa
44
3,75
9
Pensiunan
42
3,58
1173
100,00
Jumlah
Sumber: Kantor Kelurahan Songka, 2011. Pada Tabel diatas, terlihat bahwa sebagian besar penduduk di Kelurahan Songka mempunyai mata pencaharian sebagai petani yaitu sebanyak 308 jiwa dengan persentase 26,26%, sedangkan yang paling sedikit yaitu ABRI dengan jumlah 16 orang atau 1,36%. Hal ini mempertegas bahwa pendapatan penduduk Kelurahan Songka sebagian besar bersumber dari usaha pertanian khususnya sebagai petani.
2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. (Anonim3, 2009) Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi maju tidaknya suatu wilayah atau masyarakat. Pendidikan merupakan modal utama manusia karena pendidikan mempengaruhi cara berfikir seseorang. Pada umumnya pendidikan di Kelurahan Songka, lebih banyak yang hanya sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) yakni sebanyak 569 jiwa atau 25,24%, sedangkan tingkat pendidikan yang paling sedikit yaitu pada jenjang pendidikan Sarjana hanya sebanyak 124 jiwa atau 5,50% yang berhasil meraihnya. Melihat jumlah penduduk yang lebih banyak lulusan SMA saja dari pada lulusan sarjana, ini dipengaruhi oleh jenis profesi/pekerjaan orang tua mereka, sehingga berpengaruh terhadap kemampuan orang tua mereka dalam membiayai pendidikannya.
Identitas Responden Identitas responden menggambarkan kondisi atau keadaan serta status orang yang menjadi responden tersebut. Identitas seorang petani penting untuk diketahui, karena kemampuan petani sebagai pembudidaya dipengaruhi oleh beberapa unsur diantaranya meliputi usia, luas lahan, tingat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, dan pengalaman berusahatani serta status lahan. Usia petani mempengaruhi fisik dan cara berfikir dalam berusaha. Luas lahan akan mempengaruhi petani dalam mencari metode-metode yang baru dan mudah dalam proses produksi. Tingkat pendidikan mempengaruhi pola pikir dan cepat tidaknya teknologi baru diadopsi oleh petani. Jumlah tanggungan keluarga akan memotivasi petani dalam bekerja. Status lahan akan mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan usahataninya. Dan lama berusahatani mempengaruhi kemampuan dan cara berpikir petani dalam mengolah usahataninya. Adapun identitas petani responden di Kelompok Tani Kampulang Kelurahan Songka meliputi usia, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, luas lahan, jumlah tanggungan keluarga, dan status lahan, serta intensitas keikutsertaannya dalamProgram BATAMAS, disajikan pada Lampiran. 1.
Usia Usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan petani dalam berusahatani. Usia mempengaruhi fisik dan pola pikir petani. Pada umumnya petani yang berusia muda memiliki kemampuan fisik yang lebih baik dibanding dengan petani yang berusia relative tua. Seseorang yang masih muda relative lebih cepat menerima hal-hal baru, lebih berani mengambil resiko, dan lebih dinamis. Sedangkan seseorang yang relative tua mempunyai kapasitas pengelolaan yang matang dan memiliki banyak pengalaman dalam mengelola usahataninya, sehingga ia sangat hati-hati dalam bertindak dan mengambil keputusan. Keadaan 25 petani / peternak responden berdasarkan kelompok usia dapat dilihat pada Table berikut. Table 10. Kelompok Usia Responden
NO. Usia (Tahun)
Responden yg telah Responden yg belum melaksanakan BATAMAS melaksanakan BATAMAS Jumlah (Orang)
Persentase (%)
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
1.
20 - 50
3
60
9
45,00
2.
> 50
2
40
11
55,00
Jumlah
5
100
20
100,00
Sumber : Data Primer Setelah di Olah, 2011 Terlihat pada table 10, bahwa usia petani responden yang ikut Program BATAMAS, Pada Kelompoktani Kampulang, pada umumnya berada pada golongan usia produktif, yaitu sebanyak 3 orang atau 60% dan usia >50 tahun atau golongan usia yang tidak produktif
berjumlah 2 orang atau 40%. Menurut Ananta A. (Fitrah AR., 2008) bahwa penggolongan usia 20-50 tahun disebut usia produktif dan usia diatas 50 tahun disebut usia tidak produktif. Ini berarti bahwa usia petani responden sebagian besar berada pada usia produktif yang berarti fisik dan tenaga mereka masih kuat untuk bekerja mengelolah usahataninya dan mampu untuk terlibat dalam pelaksanaan Program BATAMAS, Pada Kelompoktani Kampulan diprogramkan oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Palopo. Sebenarnya dilapangan, sesuai yang diketahui oleh penulis, bahwa petani yang tergabung dalam kelompoktani Kampulang itu adalah petani yang rata-rata berusia antara 20 tahun hingga 50 tahun. Pada usia seperti inilah yang merupakan motivasi petani untuk lebih agresif dalam memenuhi/mencapai tujuannya. Pada usia muda, biasanya bersifat ingin lebih tahu dan tak ingin ketinggalan dalam suatu hal. Seperti halnya rasa keinginan tahuannya apa itu Program BATAMAS, sehingga membawa mereka ikut dalam Program BATAMAS, ternyata manfaat yang didapat lebih banyak sehingga mau menerapkannya dilahan usahataninya. Selanjutnya tabel 10 juga terlihat bahwa usia petani responden yang belum ikut Program BATAMAS berbanding terbalik dengan kelompok usia yang ikut Program BATAMAS, dimana terlihat dengan jelas bahwa untuk kelompok usia produktif jumlahnya lebih sedikit yaitu 9 orang responden atau 45%, dibandingkan dengan kelompok usia tidak produktif jumlahnya lebih banyak, yaitu sebanyak 11 orang responden atau 55%. Kenyataannya dilapangan, sehingga penulis dapat menyimpulkan bahwa petani yang tidak masuk atau tergabung dalam Program BATAMAS, biasanya petani yang usianya diatas dari 50 tahun, mereka tidak mau lagi disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan/dilaksanakan jika tergabung dalam satu kelompotani. Pola pikir mereka lebih kolot atau masih melakukan adat lama dengan mempercayai bahwa apa yang telah diajarkan oleh orang tua mereka adalah yang terbaik jadi tidak perlu lagi mengubahnya dengan cara lain.
2. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan yang dimaksud adalah berapa lama pendidikan formal yang pernah diikuti oleh petani responden. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mendorong seseorang untuk berfikir dan bertindak secara rasional. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka cenderung semakin dinamis dan tanggap terhadap penerimaan hal-hal baru dibandingkan dengan seseorang yang berpendidikan relatif rendah. Untuk mengetahui tingkat pendidikan petani responden yang ikut Program BATAMAS dan yang belum ikut Program BATAMAS, dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Tingkat Pendidikan Petani Responden.
Tingkat NO. Pendidikan Kategori (Tahun)
Responden yg telah melaksanakan BATAMAS
Responden yg belum melaksanakan BATAMAS
Jumlah (Org)
Jumlah (Org)
Persentase (% )
Persentase (% )
1.
<9
Rendah
0
0,00
12
60,00
2.
≥9
Tinggi
5
100,00
8
40,00
5
100,00
20
100,00
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah di Olah, 2011.
Pada tabel 11 terlihat bahwa, tingkat pendidikan petani responden yang telah melaksanakan Program BATAMAS dibagi atas dua tingkatan yaitu tingkat pendidikan formal yang <9 tahun atau yang hanya mengenyam pendidikan formal mulai dari SD hingga SMP saja, jumlahnya tidak ada (0,00%), dan jumlah petani responden yang tingkat pendidikannya ≥9 tahun atau petani respponden yang mampu mengenyam bangku sekolah hingga ke Sekolah Menengah Atas (SMA), jumlahnya sebanyak 5 orang responden (100%). Penjelasan diatas memberikan gambaran bahwa, tingkat pendidikan formal merupakan satu hal yang dapat mendukung keberhasilan suatu usahatani. Dengan adanya pendidikan, maka seseorang atau petani akan lebih responsive terhadap hal-hal baru dan lebih mudah untuk menyerap pengetahuan dan inovasi, serta cepat menerima dan mencoba teknologi baru dalam pertanian. Hal ini sejalan dengan pendapat Soekartawi (1986), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka pola pikir juga semakin luas dan tentunya akan lebih cepat dalam menerima suatu inovasi yang disampaikan. Terbukti pada responden, dengan tingkat pendidikannya yang lebih tinggi, akan lebih responsif terhadap program baru yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Palopo yaitu Program BATAMAS, keikutsertaannya mengisyaratkan bahwa mereka ingin lebih maju dalam usahataninya dengan menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat dari praktek lapang, tentunya disertai pula dengan keinginan untuk mencoba teknologi baru tersebut. Untuk jumlah petani responden yang belum melaksanakan Program BATAMAS, terlihat pada Tabel 11, bahwa tingkat pendidikan petani responden yang belum melaksanakan Program BATAMAS terbagi atas dua tingkatan pula, yaitu tingkat pendidikan formal yang <9 tahun berjumlah 12 orang responden atau 60,00%. Persentase jumlah responden yang hanya mengenyam pendidikan <9 tahun lebih besar dari jumlah petani responden yang tingkat pendidikannya ≥9 tahun sebanyak 8 orang responden atau hanya 40 % saja.
Pengalaman Berusahatani Pengalaman berusahatani yang dimaksud adalah mulai diperhitungkan sejak seorang petani mulai terlibat dalam kegiatan usahatani. Pengalaman berusahatani merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan bekerja dan berpikir petani dalam mengelolah usahataninya. Menurut Fadholi (1989), pengalaman berusahatani dapat menentukan berhasil tidaknya petani dalam mengelolah usahataninya sebab dari pengalaman itulah dapat menjadi guru dan petunjuk dalam melakukan kegiatan selanjutnya. Dari pengalaman berusahatani yang lebih mapan petani dapat mengubah metodenya sehingga usahataninya menjadi lebih produktif. Pengalaman berusahatani responden dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Pengalaman Berusahatani Petani Responden.
Pengalaman NO. Berusahatani Kategori (th)
Responden yg telah Responden yg belum melaksanakan melaksanakan BATAMAS BATAMAS Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Org) (%) (Org) (%)
1.
< 17
Rendah
1
20,00
6
30,00
2.
≥ 17
Tinggi
4
80,00
14
70,00
5
100,00
20
100,00
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah di Olah, 2011. Terlihat pada Tabel 12, bahwa pengalaman berusahatani responden lebih banyak yang sama atau diatas rata-rata 17 tahun yaitu sebanyak 4 orang responden (80,00%). Hal ini menggambarkan bahwa petani responden telah memiliki pengalaman berusahatani yang cukup lama, sehingga pengalaman yang diperoleh tersebut cukup untuk menentukan dan mengembangkan usahatani selanjutnya. Hal ini senada dengan pendapat Suharyanto (2009) yang menyatakan bahwa petani yang telah lama bergulat dalam dunia usahataninya dapat meningkatkan kemampuan petani serta memberikan modal yang besar dalam menentukan dan mengembangkan usahataninya kearah yang lebih maju Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan responden, bahwa banyaknya responden yang mempunyai pengalaman berusahatani lebih dari 17 tahun, karena profesinya sebagai petani sejak berumur 15 tahun atau setelah tamat dari SMP atau tidak sampai tamat karena faktor ekonomi keluarga. Namun demikian, masih ada keinginan untuk berubah ke arah yang lebih baik, dengan melihat dan merasakan langsung manfaat ikut dalam program BATAMAS yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Palopo saat itu. Jumlah petani responden yang belum melaksanakan program BATAMAS, penngalaman usahataninya yang >17 tahun sebanyak 14 orang (70,00%), dan ternyata bahwa usianya rata-rata >50 tahun yang berarti tidak produktif lagi. Hal itu berdampak pada sulitnya mengambil keputusan untuk kemajuan usahataninya, karena sangat sulitnya
menerima perubahan atau inovasi teknlogi baru dalam pertanian sehingga mereka sulit pula untuk dapat berkembang lebih maju dari sebelumnya.. Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi Jumlah ternak sangat mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan dalam hal penyediaan pakan, obat-obatan dan ketersedian KTS. Jumlah ternak adalah jumlah ternak Sapi yang dipelihara untuk dapat memanfaatkan limbahnya (KTS) sebagai bahan baku biogas. Adapun jumlah petani responden yang memiliki jumlah ternak sapi berbeda-beda dapat dilihat pada table berikut ini: Adapun jumlah petani responden yang memiliki ternak sapi berbeda-beda dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Jumlah Ternak Sapi Petani Responden.
NO.
Ternak Sapi (Ekor)
Kategori
Responden yg telah Responden yg belum melaksanakan melaksanakan BATAMAS BATAMAS Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Org) (%) (Org) (%)
1.
<2
Kurang
0
0,00
17
85,00
2
2-3
Cukup
4
80,00
1
5,00
3
>3
Banyak
1
20,00
2
10,00
5
100,00
20
100,00
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah di Olah, 2011. Pada Tabel 13 terlihat bahwa, jumlah ternak Sapi petani responden lebih banyak yang tergolong dalam kategori memeliki ternak yang cukup dibanding yang memiliki ternak kurang dan banyak. Jumlah ternak Sapi petani responden yang jumlah ternaknya cukup sebanyak 4 orang responden atau 80,00% dan petani responden yang jumlah ternaknya kurang dari dua ekortidak ada dan petani responden yang jumlah ternaknya lebih dari tiga ekor hanya sebanyak 1 orang responden atau 20,00%. Bagi responden yang ikut Program BATAMAS dikelompoktani Kampulang Kelurahan Songka, mempunyai kebiasaan yang positif yaitu baik bagi yang mempunyai ternak yang cukup ataupun lebih, cenderung untuk melihat peluang usaha yang ada dalam menunjang peningkatan pendapatan dari usaha taninya khusunya usaha peternakan Sapi. Pada Tabel 13 juga terlihat hasil data yang diperoleh dilapangan bahwa petani responden yang belum melaksanakan Program BATAMAS mempunyai jumlah ternak Sapi kurang dari dua ekor, jumlahnya lebih besar yaitu sebanyak 17 orang responden atau 85%, dan petani responden yang jumlah ternak Sapinya cukup dua atau tiga ekor jumlahnya
sekitar 2 orang responden atau 10,00% dan petani responden yang jumlah ternak sapinya lebih dari tiga ekor sebanyak 1 orang reponden atau 5,00%. Dari hasil wawancara dengan responden yang jumlah ternak sapi kurang dari dua ekor, diketahui bahwa salah satu faktor yang membuat mereka enggan ikut program BATAMAS adalah karena tidak memenuhi persyaratan jumlah ternak yang diharapkan menghasilkan Kotoran Ternak sebagai bahan baku Biogas, dengan jumlah ternak yang kurang dari dua ekor mereka akan kewalahan dalam produksi biogas. Menurut anonim (Pedum BATAMAS, 2009), bahwa untuk penerapan teknologi Biogas skala individual, biodigester dapat dibuat untuk keperluan 1 rumah tangga atau beberapa rumah tangga, tetapi dibangun/dipasang pada peternak yang mempunyai sapi minimal 2 ekor. Volume biodigester yang diperlukan cukup 2 M3 biodigester yang portable bahan dari drum/plastik, bak beton atau fiber glass. Besar volume biodigester tergantung jumlah populasi ternak yang dimiliki oleh peternak tersebut. 3. Jumlah Tanggungan Keluarga Tanggungan keluarga adalah semua orang yang tinggal dalam suatu rumah dengan biaya dan kebutuhan hidup lainnya ditanggung kepala keluarga. Tanggungan keluarga merupakan salah satu sumberdaya manusia pertanian yang dimiliki oleh petani, terutama yang berusia produktif dan ikut membantu dalam kegiatan usahataninya. Jumlah anggota keluarga dapat menambah sumber tenaga kerja dalam mengerjakan proses produksi namun disatu sisi jumlah yang terlalu banyak dapat menyebabkan biaya beban hidup juga bertambah, terutama anggota keluarga yang tidak aktif lagi bekerja atau tidak produktif. Jumlah tanggungan keluarga responden dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Jumlah Tanggungan Keluarga Petani Responden.
Tanggungan NO. Keluarga (Orang)
Kategori
Responden yg telah Responden yg belum melaksanakan melaksanakan BATAMAS BATAMAS Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Org) (%) (Org) (%)
1.
<3
Sedikit
0
0,00
4
20,00
2.
≥3
Banyak
5
100,00
16
80,00
5
100,00
20
100,00
Jumlah
Sumber : Data Primer Setelah di Olah, 2011. Pada Tabel 14, terlihat bahwa jumlah tanggungan keluarga petani responden dibagi atas dua kategori, yaitu 1) jumlah tanggungan keluarga yang kurang dari 3 orang dan, 2) jumlah tanggungan keluarganya 3 orang atau lebih. Hal ini dilakukan karena penulis melihat dari data responden secara keseluruhan, bahwa rata-rata jumlah tanggungan keluarga responden lebih banyak yang berjumlah kurang dari 3 orang dan yang tertinggi 6 orang. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, jumlah tanggungan keluarga yang <3 orang tidak ada (0%), ini masuk dalam kategori sedikit dan yang di tanggung adalah istri dan satu orang anaknya, sedangkan jumlah tanggungan keluarga yang ≥3 orang sebanyak 5
orang (100%), termasuk kategori banyak, hingga ada responden yang mempunyai jumlah tanggungan keluarga sampai 6 orang, dan yang ditanggung masing-masing adalah istri, anak, mantu dan cucu-cucunya. Banyaknya jumlah tanggungan keluarga petani responden yang ≥3 orang, sangatlah berpengaruh terhadap biaya yang dikeluarkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup tanggungannya. Banyaknya anggota keluarga dapat mempengaruhi kegiatan responden dalam mencari nafkah, sebab makin banyaknya anggota dalam keluarga tersebut maka tanggungan makin banyak pula sehingga kebutuhan semakin bertambah. Sesuai dengan pendapat Mubiarto (2000), yang menyatakan bahwa besarnya jumlah anggota keluarga yang akan menggunakan jumlah pendapatan yang sedikit dari hasil produksi, akan berakibat rendahnya tingkat konsumsi. Hal ini berpengaruh terhadap produktivitas kerja dan kecerdasan anak, menurunnya kemampuan berinvestasi, dan upaya pemupukan modal. Namun bila jumlah tanggungan keluarga tersebut kebanyakan yang berusia produktif, maka dapat menambah sumber tenaga kerja dalam mengerjakan proses produksi usahataninya. Selanjutnya jumlah tanggungan keluarga petani responden yang belum melaksanakan Program BATAMAS, seperti yang terlihat pada Tabel 13 bahwa, jumlah tanggungan keluarga responden yang <3 orang berjumlah 4 orang (20%), sedang jumlah tanggungan keluarga responden yang ≥3 orang berjumlah 14 orang (80%). Jumlah ini lebih besar dibanding yang <3 orang, artinya jumlah tanggungan keluarga responden jumlahnya antara 3 sampai 6 orang dalam satu atap. Keluarga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan yang tinggal bersama dan makan dari satu dapur yang tidak terbatas pada orang-orang yang mempunyai hubungan darah saja, atau seseorang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan yang mengurus keperluan hidupnya sendiri (Anonim4, 2009). Inplementasi Pemanfaatan KTS Sebagai Bahan Baku Biogas dan Pupuk Organik 1. Inplementasi Pemanfaatan KTS sebagai Bahan Baku Biogas Berdasarkan hasil wawancara dengan 5 orang responden yang telah melaksanakan Program BATAMAS bahwa semuanya menggunakan KTS Sapi sebagai bahan baku utama Biogas. Menurut salah seorang responden Bapak Muh. Rum (Wawancara, Rabu 2/03/2011, 09:15 Wita), untuk pengisian KTS Sapi dilakukan secara rutin dengan umlah pengisian KTS Sapi rata-rata setiap kali pengisian sebanyak 15 – 20 liter KTS yang telah dicampur dengan air kencing Sapi (Urin Sapi) yang telah ditampung dengan perbandingan 2 : 1. Untuk menjaga ketersediaan gas di dalam penampungan gas, maka pengisian Kotoran Ternak Segar (KTS) sapi pada umumnya yang dilakukan oleh anggota Kelompok Tani Kampulang dilakukan pengisian Degister secara kontinyu atau secara rutin, yakni setiap hari dilakukan pengisian 3 kali pagi pukul 06.30, siang pukul 12.00, dan sore hari pukul 17.30. Dalam pengisian KTS ke dalam Digester dilakukan oleh anggota keluarga. Pada umumnya penggunaan Digester di Kelompok Tani Kampulang terbuat dari bahan plastik (tanki air warna orange) yang mudah diperoleh di Daerah dengan kapasitas Digester 2 m3. Penggunaan bahan bakar oleh petani responden sebelum melaksanakan Program BATAMAS lebih banyak yang menggunakan Bahan Bakar Minyak Tanah, Menurut Pak Ahmad (Wawancara, Jumat 4/03/2011, 15:00 Wita), bahwa semua anggota kelompok tani
sebelumnya menggunakan bahan bakar minyak tanah dalam kebutuhan memesak rumah tangga. sementara biogas belum ada yang menggunakan. Setelah melaksanakan program BATAMAS terlihat semua petani yang telah membuat instalasi biogas atau sebanyak 5 orang yang telah melaksanakan Program BATAMAS tidak lagi menggunakan Bahan Bakar Minyak Tanah, LPG ataupun kayu bakar, tetapi semuanya menggunakan Biogas sepenuhnya sebagai Bahan Bakar dalam kebutuhan memasak rumah tangga. Penggantian penggunaan bahan bakar Minyak tanah, LPG dan Kayu bakar menjadi bahan bakar Biogas sebagai bahan bakar memsak bagi kebutuhan rumah tangga responden sangat memabntu mengurangi biaya yang dikeluarkan oleh petani responden pelaksana Program BATAMAS. Tingkat kesetaraan nilai ekonomis dari pada penggunaan Biogas sebagai bahan bakar rumah tangga.
1.
2. Inplementasi Pemanfaatan KTS sebagai Pupuk Organik Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan atau manusia seperti pupuk kandang, pupuk hijau, dan kompos baik yang berbentuk cair maupun padat. Menurut Pak Rum (Wawancara, Rabu 2/03/2011, 09:15 Wita), bahwa sisa pengolahan bahan biogas berupa Limbah Biogas secara otomatis akan keluar dari lubang pengeluaran (outlet) setiap kali dilakukan pengisian bahan baku biogas. Sisa hasil pengolahan bahan biogas tersebut dapat digunakan sebagai pupuk kandang / pupuk organik berupa pupuk padat dan cair melalui poroses fermentasi. Pupuk organik yang dihasilkan adalah Bebas Bau, sehingga memiliki nilai tambah dan dapat dikemas menjadi lebih menarik (Ginting, 2007). Untuk mengolah limbah Biogas (sludge) menjadi pupuk organik anggota kelompok melakukan proses tahapan pelaksanaan sebagai berikut : Pembuatan limbah Padat Biogas. Dari hasil wawancara dengan 5 orang responden bahwa dalam pemanfaatan limbah Biogas sebagian besar responden Pelaksana Program BATAMAS tidak melakukan pengolahan Limbah biogas menjadi pupuk organik, melainkan menjual secara langsung kepada Ketua Kelompoktani Kampulang (Pak Rum) untuk selanjutnya dikumpul dan diolah menjadi pupuk organik. Nilai penjualan limbah Biogas yang berbentuk padat di jual seharga Rp. 500,- (lima ratus rupiah) per Kg. Tabel 17. Nilai Skoring Pemanfaatan Limbah Padat Biogas sebagai Pupuk Organik .
Skor
Kategori
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
Keterangan
1
Rendah
3
60,00
< 50%
2
Sedang
1
20,00
50% - 80%
3
Tinggi
1
20,00
>80% - 100%
5
100,00
Jumlah
Sumber: Data Primer Setelah diolah, 2011.
Pada tabel 17, menunjukkan bahwa, pada kategori tinggi dengan nilai skor 3, terdapat 1 orang responden (20.00%), telah memanfaatkan limbah Biogas sebagai pupuk organik padat dan cair melalui proses fermentasi sesuai Petunjuk Teknis (Juknis) oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Palopo, sehingga realisasi persentase tingkat pelaksanaannya di lapangan >80100%. Selanjutnya pada kategori sedang dengan nilai skor 2, juga terdapat 1 orang responden (20%), telah memanfaatkan limbah Biogas sebagai pupuk organik padat melalui proses fermentasi sesuai Petunjuk Teknis (Juknis) oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Palopo, namun dalam pelaksanaanya tidak secara kontinyu . Sementara pengolahan limbah cair Biogas belum dilakukan sesuai petunjuk teknis, sehingga realisasi persentase tingkat pelaksanaannya di lapangan 50-80%. Untuk limbah cair biogas, setelah tertampung dalam wadah yang telah disiapkan, selanjutnya di jual ke Pak Rum (Ketua Kelompok Tani Kampulang) seharga Rp. 1000,- per liter. Pada kategori rendah dengan nilai skor 1, terdapat 3 orang responden (60%), tidak memanfaatkan limbah Biogas sebagai pupuk organik padat dan cair melalui proses fermentasi sesuai Petunjuk Teknis (Juknis) oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Palopo, sehingga realisasi persentase tingkat pelaksanaannya di lapangan <50%. Analisis Pendapatan Responden dari Manfaat Program BATAMAS Dari hasil analisis finansial yang telah dilakukan dengan memasukkan komponenkomponen berikut : 1) Total Nilai Produksi diperoleh dari Nilai Produksi Biogas (Produksi biogas per hari disetarakan dengan penggunaan bahan bakar minyak tanah dikali dengan harga minyak tanah di tingkat konsumen dikali 30 hari) ditambah dengan Nilai Produksi Pupuk Organik (Produksi Pupuk Organik per bulan dikalikan dengan harga per Kg), 2) Total Biaya Variabel yang meliputi biaya pembelian pakan ternak per hari dikali 30 hari ditambah biaya penanganan kesehatan ternak per bulan, dan biaya tenaga kerja per bulan, 3) Total biaya tetap meliputi biaya penyusutan peralatan Biogas dan bangunan pengolahan pupuk organik per bulan. Untuk lebih jelasnya mengenai analisis pendapatan responden pelaksana Program BATAMAS di Kelompoktani Kampulang Kelurahan Songka Kec. Wara Selatan Kota Palopo disajikan pada Tabel 18. Tabel 18
No 1.
2.
Analisi Pendapatan Responden Pelaksana Program BATAMAS pada Kelompoktani Kampulang Kel. Songka Kec. Wara Selatan Kota Palopo Harga Jumlah Satuan Total Nilai Uraian Satuan Fisik (Rp) (Rp) Produksi / Bulan 1.187.120 1. Biogas 97 m3 4.960 481.120 2. Pupuk Organik Padat 3. Pupuk Organik Cair Biaya Tetap 1. Penyusutan : a. Instalasi Biogas - Digester
1008 202
Kg Liter
500 1.000
60
Bulan
3.000.000
504.000 202.000 451.000 151.000 66.000 50.000
3.
4. 5.
- Penampungan Gas 30 - Selang Gas 30 - Water Trap 60 - Kompor Gas 60 b. Bak Limbah Padat 60 c. Bak Limbah Cair 30 2. Upah Tenaga Kerja 1 Biaya Variabel 1. Pakan Ternak 1.260 2. Obat-Vaksin 1 Total Biaya / Bulan (2+3) Pendapatan bersih / Bulan (1 – 4)
Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan Kg Kali
240.000 150.000 60.000 120.000 4.500.000 300.000 300.000 200 16.000
8.000 5.000 1.000 2.000 75.000 10.000 300.000 268.000 252.000 16.000 719.000 468.120
Sumber : Data Primer Setelah di Olah, 2011. Berdasarkan tabel 18, biaya dalam pelaksanaan Program BATAMAS terdiri dari (a) biaya tetap sebesar Rp. 451.000 (biaya penyusutan Instalasi Biogas, bak penampungan limbah padat dan cair biogas) sebesar Rp. 151.000 per bulan dan (b). Upah tenaga kerja sebesar Rp. 300.000 per bulan. Sedangkan biaya variabel dalam pelaksanaan program BATAMAS sebesar Rp. 268.000 terdiri dari (a) biaya pakan ternak untuk 1 ekor sapi yang membutuhkan pakan sebanyak, 15 Kg Hijauan perharai atau seharga Rp. 90.000/Ekor/bulan, (b) Biaya perawatan kesehatan ternak sebesar Rp. 16.000 per bulan. Dari total biaya tetap dan biaya variabel maka diperoleh total biaya dalam analisis pelaksanaan program BATAMAS di Kelompoktani Kampulang sebesar Rp. 719.000. Pada Tabel 18 juga dapat dilihat pendapatan responden pelaksana program BATAMAS di Kelompoktani Kampulang diperoleh dari (a) penggunaan gas bio setiap bulan senbanyak 97 M3 atau setara dengan penggunaan minyak tanah sebanyak 1,85 liter / 1 M3, sehingga untuk menghitung nilai pemakaian biogas selama satu bulan yaitu 1,85 dikali 30 hari dikali Rp. 8.000 (harga minyak tanah di tingkat konsumen) sama dengan Rp. 481.120, (b) pendapatan lain yang diterima oleh responden pelaksana Program BATAMAS yaitu penjualan limbah padat biogas yang dihasilkan setiap bulan rata-rata sebanyak 1.008 Kg, Harga penjualan limbah padat biogas ke Ketua kelompok seharga Rp. 500 / Kg, jadi dalam setiap bulanja pendapatan dari penjualan limbah padat biogas sebesar Rp. 504.000. (c) penjualan limbah cair biogas yang diperoleh rata-rata setiap responden per bulan sebanyak 202 lietr dengan harga penjualan sebesar Rp. 1.000 / Liter atau sebesar Rp. 202.000 / Bulan. Total pendapatan responden pelaksana Program BATAMAS di kelompok tani Kampulang dari nilai produksi Biogas dan penjualan limbah padat dan cair Biogas yaitu sebesar Rp. 1.187.120 setiap bulannya. Rincian biaya dan penerimaan dalam pelaksanaan Program BATAMAS pada kelompoktani Kampulang Kelurahan Songka Kecamatan Wara Selatan Kota Palopo terdiri dari : Biaya tetap (FC) =Rp. 451.000 Biaya Variabel (VC) = Rp 268.000 Total Penerimaan (TR) = Rp. 1.187.120 Pendapatan (π) = Rp. 468.120
Pendapatan bersih yang diperoleh responden pelaksana Program BATAMAS di kelompok tani Kampulang yaitu Total Pendapatan di kurangi total biaya sehingga diperoleh pendapatan bersih sebesar Rp. 468.120 per bulan. Pengaruh Program BATAMAS terhadap Pola Pemeliharaan Ternak Responden Dari hasil pengamatan di lapangan terhadap system pemeliharaan ternak responden pelaksana Program BATAMAS pada kelompoktani Kampulang Kelurahan Songka Kec. Wara Selatan Kota Palopo, terjadi perubahan sistem Pemeliharaan Ternak Sapi yang sebelumnya melaksanakan pemeliharaan Ternak sapi secara tradisional atau di gembalakan, dengan adanya Program BATAMAS petani / Peternak melaksanakan sistem pemeliharaan secara Intensif. Untuk lebih jelasnya adapat dilihat pada tabel 19. Tabel 19. Nilai Skoring Sitem pemeliharaan ternak Responden Pelaksana Program BATAMAS Kelurahan Songka
Skor
Kategori
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
Keterangan
1
Rendah
0
0,00
< 50%
2
Sedang
4
80,00
50% - 80%
3
Tinggi
1
20,00
>80% - 100%
5
100,00
Jumlah
Sumber: Data Primer Setelah diolah, 2011. Pada Tabel 19 menunjukkan bahwa, pada kategori tinggi dengan nilai skor 3, terdapat 1 orang responden (20.00%), yang melaksanakan sistem pemeliharaan ternak sapi, dengan baik dan telah sesuai dengan ketentuan persyaratan yang telah ditetapkan dalam Petunjuk Teknis (Juknis) oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Palopo, sehingga realisasi persentase tingkat pelaksanaannya di lapangan >80-100%. Selanjutnya pada kategori sedang dengan nilai skor 2, terdapat 4 orang responden (80%), kurang baik dan masih ada yang belum sesuai dengan ketentuan persyaratan yang telah ditetapkan dalam Petunjuk Teknis (Juknis) oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Palopo, sehingga realisasi persentase tingkat pelaksanaannya di lapangan 50-80%. Responden sebahagian besar belum melakukan sanitasi kandang secara rutin yang dapat mempengaruhi kualitas KTS yang dihasilkan. Kontruksi kandang dan saluran drainase belum memenuhi syarat teknis kandang yang juga dapat mempengaruhi kwalitas KTS yang dihasilkan. Pernyataan tersebut di benarkan oleh salah seorang responden pelaksana Program BATAMAS yaitu Pak Bachtiar (Wawancara, Sabtu 12/03/2011, 14:30 Wita) bahwa Pemeliharaan ternak Sapi secara intensif atau dikandangkan wajib dilaksanakan oleh peternak yang mengikuti Program BATAMAS, hal ini di karenakan kebutuhan akan kotoran ternak Sapi atau feces sangat dibutuhkan untuk dapat memproduksi Biogas dan mendapatkan limbah sebagai bahan baku pupuk organik, disamping itu juga kebun yang dulunya sebelum melaksanakan Program BATAMAS digunakan sebagai tempat pengembalaan ternak Sapi sekarang setelah melaksanakan Program BATAMAS di fungsikan sebagai kebun hijauan makan ternak untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Proses dan implementasi pemanfaatan kotoran ternak sapi segar yang dilaksanakan oleh responden pelaksana Program BATAMAS di Kelompoktani Kampulang Kelurahan Songka Kecamatan Wara Selatan Kota Palopo di kategorikan tinggi dengan nilai skor 3, pelaksanaannya berjalan dengan baik dan telah sesuai dengan ketentuan persyaratan yang telah ditetapkan dalam Petunjuk Teknis (Juknis) oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Palopo, sehingga realisasi persentase tingkat pelaksanaannya di lapangan >80-100%. Dari hasil inplementasi pelaksanaan Program BATAMAS petani responden yang dapat menggunakan Biogas sebagai bahan bakar alternatif dalam kebutuhan rumah tangga. 2. Proses dan implementasi pemanfaatan limbah Biogas menjadi pupuk organik padat dan cair oleh responden pelaksana Program BATAMAS di Kelompoktani Kampulang Kelurahan Songka Kecamatan Wara Selatan Kota Palopo di kategorikan sedang dengan nilai skor 2, pelaksanaannya kurang baik karena sebagian responden masih ada yang belum mengolah limbah padat dan cair Biogas menjadi pupuk organik padat dan cair, sehingga realisasi persentase tingkat pelaksanaannya di lapangan 50-80%. 3. Analisis pendapatan petani responden pelaksana Program BATAMAS di Kelompoktani Kampulang yang diperoleh rata-rata setiap bulannya sebesar Rp. 468.120 yang diperoleh dari hasil produksi biogas dan penjualan limbah padat dan cair Biogas. 4. Sistem pemeliharaan ternak yang dilakukan oleh petani responden pelaksana program BATAMAS berubah dari yang sebelumnya pemeliharaan ternak Sapi dilaksanakan secara tradisional atau di gembalakan sekarang setelah melaksanakan program BATAMAS menjadi sistem pemeliharaan ternak Sapi secara intensif atau dikandangkan, sehingga sistem pemeliharaan ternak sapi di kategorikan tinggi dengan nilai skor 3, sehingga Program BATAMAS dapat merubah pemeliharaan ternak Sapi menjadi intensif.
Saran Adapun saran yang dapat penulis berikan sesuai hasil penelitian adalah sebagai berikut : 1. Untuk lebih meningkatkan pendapatan petani pelaksana Program BATAMAS, maka pelru dilakukan pengolahan limbah padat dan cair biogas menjadi pupuk organik yang siap dipakai untuk pemupukan pertanaman sehinggamendapatkan nilai tambah. 5. Untuk menjaga kesinambungan produksi biogas dan limbah biogas perlu dilakukan perwatan isntalasi dengan baik oleh anggota kelompok