ANALISIS KRITIS IMPLEMENTASI AKAD WADI’AH (Studi Kasus Pada Perbankan Syariah di Indonesia) Mufti Afif* Institut Studi Islam Darussalam Gontor Email:
[email protected] Abstract Islamc banks have became a tredsetter nowadays. Its appear wherever. It is supported by the regulation for Islamic banks conducted by Bank of Indonesia. However, this fact is not followed by the quality of Islamic bank itself. Many products are not suitable with the Islamic rules, ie. saving by wadi’ah yad dhamanah contract. After reviewing some classical literatures, it is concluded that fikih scholars agreed in understanding wadi’ah merely as yad amanah or pure trust without any guarantee. The product of Wadi’ah yad dhamah is the result of contemporary muslim scholars’s reasoning for the sake of bank to gain the profit. This is in accordance the aim of establishment of conventional financial institution for making profit. Fikih scholars agreed that the core of wadi’ah is trust, whether yad dhamanah has the meaning ‘untrust’. By applying transaction of wadi’ah yad dhamanah, it means the manipulation of trust is permitted. Bank syariah telah menjadi tren yang sangat luar biasa pada saat ini. Di mana-mana bermunculan bank-bank syariah yang baru. Hal ini didukung dengan dikeluarkannya regulasi untuk perbankan syariah oleh Bank Indonesia. Namun demikian, fenomena ini tidak dibarengi dengan kualitas bank syariah itu sendiri. Banyak produk-produk bank syariah yang belum memenuhi prinsip-prinsip syariah. Contohnya adalah produk simpanan dengan akad wadi’ah yad dhamanah. Setelah meninjau ulang *
Kampus Institut Studi Islam Darussalam Gontor, Demangan Siman Ponorogo, 63471, Telp. 0352 483 762 / Fax 0352 488 182.
Vol. 2, No. 1, Desember 2013
| 85
Analisis Kritis Implementasi Akad Wadi’ah
beberapa pustaka klasik, dapat disimpulkan bahwa para ahli fikih sependapat bahwa pengertian wadi’ah adalah bersifat yad amanah saja yaitu titipan murni tanpa ada penjaminan ganti rugi. Produk wadi’ah yad dhamanah merupakan hasil kodifikasi ulama kontemporer agar pihak pemegang amanat (yaitu perbankan) menerima keuntungan. Hal ini sejalan dengan prinsip didirikannya lembaga keuangan konvensional yang berorientasi keuntungan. Kesepakatan ulama fikih, wadi’ah dasarnya adalah amanat. Sedangkan yad dhamanah mengandung makna tidak amanat. Dengan mengaplikasikan transaksi wadi’ah yad dhomanah berarti penyelewangan amanat telah diizinkan. Kata Kunci: Titipan, wadi’ah yad amanah, wadi’ah yad dhamanah.
Pendahuluan embahasan hukum riba di perbankan tidak dijumpai dalam buku-buku fikih klasik. Karena jaman dulu belum berdiri bank-bank seperti saat ini yang menjadi kebutuhan masyarakat banyak untuk penyimpanan harta kekayaan. Sehingga untuk memahami berbagai masalah seputar bank atau lembaga keuangan perlu merujuk ke penjelasan ulama fikih kontemporer yang menjumpai praktik perbankan. Sebagaimana kajian fikih klasik, kesimpulan fatwa di antara ulama berbeda-beda, sesuai sudut pandang yang mereka pahami. Namun demikian, mereka tetap sepakat bahwa bunga bank adalah riba dan haram. Sejak dikeluarkannya UU perbankan syariah, kian marak dan semakin bertambah kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap keberadaan lembaga keuangan syariah. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah kuantitas Lembaga Keuangan Syariah yang berdiri dan siap melayani masyarakat Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah berdirinya Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia sudah menjadi solusi terbaik bagi pencegahan praktik ribawi yang diharamkan Agama Islam? Apakah praktik LKS masih seperti lembaga konvensional? Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya jika dalam kesempatan ini penulis mencoba memaparkan kajian literatur baik klasik maupun modern yang berkenaan dengan
P
86 |
Jurnal EKONOMI ISLAM
Mufti Afif
salah satu transaksi muamalat yang kemudian dikomparasikan dengan hakikat kontrak yang terjadi dilapangan. Akad yang pertama dibahas adalah akad wadiah, di mana akad (transaksi) ini dipraktikkan di seluruh LKS; baik perbankan ataupun koperasi dalam proses penghimpunan dana/aset.
Wadi’ah (Titipan) Pengertian Wadi’ah Secara bahasa, wadi’ah berasal dari Bahasa Arab yaitu berarti meninggalkan. Dikatakan demikian karena pemilik harta meninggalkan hartanya kepada orang lain. 1 Bentuk jamak wadi’ah adalah wadaa’i’.2 Secara istilah wadi’ah berarti mewakilkan penjagaan suatu harta yang spesial atau bernilai tertentu dengan cara tertentu.3 Dikutip oleh ath-Thayyar dkk., al-Bahuti Mansyur mendefinisikan wadi’ah sebagai pemberian kuasa oleh penitip kepada orang yang menjaga hartanya tanpa kompensasi (gantirugi).4 Menurut Sjahdeini, Akad wadi’ah merupakan suatu akad yang bersifat tolong-menolong antar sesama manusia.5 Yaitu tolong-menolong dalam hal menyempurnkan amanat. Landasan Syariat Akad Wadi’ah Wadi’ah disyariatkan dalam Islam dan hukumnya boleh. Adapun landasan hukum diperbolehkannya termaktub dalam al-Quran, Sunnah Rasulullah Saw. dan ijma’ ulama, yaitu:
1
Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu’l Islami Wa Adillatuhu, Jilid V, Cet II, (Syiria: Darul Fikri, 1985). h.37 2 Fadhlul HNM Baz, Fikih Abdullah Ibnu Mas’ud ra. fi Fiqhi’l Muamalat; Diraasah Muqarranah, (Saudi Arabia: Umul Qura Press, 1996). h. 363 3 Ibid 4 Muhammad Ath-Thayyar dkk., Ensiklopedi Fiqih Muamalah; dalam Pandangan 4 Madzhab, (Riyadh: Madar al-Wathan, 2004). h. 389 5 S.R. Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Cet I., (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999). h. 55
Vol. 2, No. 1, Desember 2013
| 87
Analisis Kritis Implementasi Akad Wadi’ah
Firman Allah Swt:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya (pemiliknya)…” (Qs. an-Nisa’[4]: 58)
Ibnu Mas’ud menafsirkan kata “amanat” pada ayat di atas mencakup perintah Allah seperti wudhu, shalat, zakat, mandi besar (junub), puasa, menakar timbangan dan ukuran dengan adil, serta menjaga titipan. Maka segala bentuk ibadah kepada Allah atau perbuatan amanat yang berkaitan dengan orang lain wajib ditunaikan. Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa pejuang yang gugur syahid, dihapuskan semua dosa-dosanya kecuali masih memiliki tanggungan amanat. Dan Allah berfirman:
“..maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (titipan/hutang) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya… (Qs. al-Baqarah[2]: 283)
Dalam ayat yang lain disebutkan:
“Dan saling tolong-menolonglah kalian di dalam kebajikan dan ketaqwaan” (Qs. Al-Maidah [5]: 2)6
Rasulullah Saw bersabda:
“Tunaikan amanah orang yang memberi amanah kepadamu dan janganlah kamu menghianati orang yang menghianatimu” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, Ahmad dan Ahshabun Sunan).
Seluruh ulama muslim –hingga saat ini- bersepakat bahwa akad wadi’ah disyariatkan dalam Islam dan hukumnya 88 |
Jurnal EKONOMI ISLAM
Mufti Afif
adalah boleh, mengingat manusia saling membutuhkan bantuan satu sama lain, dan bahkan hal ini menjadi kepentingan bagi beberapa orang. Rukun Aqad Wadi’ah Menurut jumhur ulama rukun wadi’ah ada 4 (empat): 1. dan 2. Adalah dua orang yang bertransaksi (pemilik harta; penitip, dan penerima harta titipan) 3. Harta yang dititipkan 4. Shighah (ijab qabul) Syarat-syarat Sah Rukun Wadi’ah Ulama Madzhab Hanafiyah mensyaratkan bahwa dua orang yang melakukan aqad wadi’ah harus berakal sehat. Maka tidak sah jika akad yang dilakukan oleh anak kecil yang belum bisa membedakan antara yang “baik dan buruk” atau belum faham “benar dan salah”. Demikian juga yang dilakukan oleh orang gila. Kedewasaan (baligh) tidak menjadi syarat sah wadi’ah menurut ulama Madzhab Hanafiyah. Menurut jumhur ulama, pelaku perjanjian wadi’ah harus baligh, berakal sehat dan cakap (sanggup melakukan transaksi tersebut). Syarat harta yang dititipkan harus berupa benda yang bisa dititipkan dan dijaga. Bukan dikatakan sebagai barang titipan jika harta itu berupa burung yang masih terbang bebas di langit atau harta yang tenggelam di dasar laut. Tinjauan Hukum Wadi’ah dalam Tijauan Fikih Klasik. Hukum Menyetujui atau Menerima Harta Titipan. Bagi siapa saja yang menerima amanat titipan dari seseroang, maka ia wajib menunaikan amanatnya yaitu menjaga. Karena pihak pemilik harta mengharapkan keutuhan atas harta miliknya, pastinya ia akan menunjuk seseorang atau kelompok yang bersedia untuk menjaganya dan beramanat. Adapun tugas penerima titipan adalah hanya menjaga.
Vol. 2, No. 1, Desember 2013
| 89
Analisis Kritis Implementasi Akad Wadi’ah
Bagaimana jika ada dua orang penitip harta (kepada seorang penerima), yang kemudian salah satu penitip meminta kembali haknya, dapatkah ia menerima haknya itu?. Menurut Imam Hanafi; Jika ini terjadi, maka tidak boleh harta titipan tersebut diserahkan kepada salah satu pemilik harta, tanpa kehadiran rekannya. Kalau mereka berdua menitipkan satu harta untuk bersama, maka mereka pun harus mengambil secara bersama-sama. Meskipun salah satu pihak dari penitip sudah menjelaskan dengan rinci kepada penerima amanat tersebut mengenai sifat harta titipan bisa dibagi dua dan pembagiannya berprosentase 50 : 50. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i; penerima amanat wajib membayarkan setengah/sebagian harta salah satu pemiliknya jika penitip telah menjelaskan sifat harta dan takaran pembagiannya. Pendapat ini dikiaskan pada kasus dain musytarak (hutang tergabung), dimana pemilik hak bisa mengambil haknya dari orang yang berhutang tanpa menuggu pihak piutang lain. Alasan yang dikemukakan Abu Hanifah mengenai masalah ini adalah bahwa yang berhak memotong/membagi harta tadi adalah dua orang pemilik harta, dan mereka harus hadir dalam satu tempat dan satu waktu agar tetap terjaga keadilan antar keduanya. Jika seorang di antara mereka memaksa untuk mengambil bagian haknya (tanpa kehadiran rekannya), hal ini dipastikan akan memicu persengketaan. Kalaupun ternyata harus dibagi, maka siapa yang berhak membagi? Sementara pihak penerima amanat tidak punya hak untuk membagi harta mereka. Menurut Abu Hanifah, kasus ini berbeda dengan dain musytarak yang mana masing-masing pemilik harta sudah jelas kadar haknya. Seorang penitip (muwaddi’) menitipkan hartanya kepada dua orang penerima amanat, bagaimana hukumnya? Kasus ini merupakan kebalikan kasus di atas. Ilustrasinya adalah; mula-mula seseorang hendak bepergian keluar kota
90 |
Jurnal EKONOMI ISLAM
Mufti Afif
dengan membawa sekantong uang, lantaran takut uang tersebut hilang dijalan, dia menitipkan sekantong uang tadi (katakan senilai Rp.2.000.000,00) kepada dua orang tetangganya yang kebetulan sendang ada di depan rumah. Jika kedua orang (tetangga) tadi menyanggupi untuk menerima titipan secara bersamaan (lantaran ingin saling menolong), maka mereka berhak membagi uang amanat tersebut menjadi dua. Sehingga masing-masing memegang amanat Rp.1000.000,00. Apabila salah seorang penerima amanat mengembalikan harta titipannya (Rp. 1000.000,-) kepada si pemilik, maka ia wajib menanggung Rp.1.000.000,- sisanya. Demikian menurut pendapat Imam Abu Hanifah, karena ia sudah sepakat menjaga seluruh jumlah harta yaitu 2.000.000,- wajib juga baginya untuk mengembalikan seluruh jumlah tersebut. Menurut Imam Malik dan Syafi’i tidak ada kewajiban menanggung (dhaman) sisa amanatnya. Dengan alasan keduanya telah rela mengemban amanat, sehingga setiap orang penerima amanat wajib mengembalikan sendiri-sendiri, sebagaimana mereka mengemban amanat yang tidak terbagi. Semua madzhab sependapat bahwa harta titipan yang utuh (tidak pecah-belah), tidak menyebabkan keterlibatan orang lain dalam hal tanggungjawab. Sepenuhnya tanggungjawab ada di tangan penerima amanat harta tersebut. Logikanya bahwa seorang tidak mungkin dapat menerima amanat sebuah harta yang mestinya utuh (dalam satu tempat) tapi kenyataanya hanya menerima sebagian, sisanya terpisah-pisah di beberapa tempatnya. Status Harta Titipan; Apakah ia Amanat atau Dijaminkan Kesepakatan ulama menyatakan bahwa harta titipan hukumnya boleh, dan menjaganya mendapat pahala. Sedangkan sifatnya adalah amanat, bukan jaminan atau dijamin. Penjaminan tidak diperbolehkan atas wadi’ kecuali adanya suatu hal yang mewajibkan jaminan.
Vol. 2, No. 1, Desember 2013
| 91
Analisis Kritis Implementasi Akad Wadi’ah
Rasulullah saw bersabda:
Artinya: “orang yang dititipi barang tidak dikenakan ganti rugi selama ia tidak berkhianat” (HR. ad-Daru Qutni)
Artinya: “tidak ada ganti rugi terhadap orang yang dipercaya memegang amanat” (HR. ad-Daru Qutni)
Pada kedua hadits di atas jelas, dijelaskan oleh Madzhab Imam Hanifah bahwa memberikan syarat ganti rugi pada orang yang amanat hukumnya membatalkan akad wadi’ah. Bagaimana jika harta titipan dikembalikan dirumah pemilik harta, tapi diterima oleh saudaranya? Ulama fikih (empat madzhab) sepakat tidak boleh. Jika hal ini terjadi, maka wajib bertanggung jawab untuk ganti rugi. Karena bisa jadi harta titipan ini bersifat pribadi milik penitip. Berbeda dengan hukum pinjaman atau sewa-menyewa yang mana pengembaliannya boleh diserahkan kepada sanak famili muwaddi’. Menggunakan (Memanfaatkan) Harta Titipan Imam Hanafi: Apabila harta titipan dimanfaatkan atau dipakai oleh pemegang amanat, maka hukumnya adalah wajib mengganti rugi atas pemakaiannya. Seperti menaiki kuda titipan, memakai baju titipan. Tapi jika tidak digunakan sama sekali semua ulama empat madzhab sepakat tidak ada tanggungan ganti rugi. Karena bentuk dan nilai benda masih utuh seperti semula (sewaktu dipegang pemilik). Ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali: apabila terjadi kerusakan atau kehilangan harta titipan setelah pemakaian (oleh pemegang amanat), wadi’ wajib bertanggung jawab atas ganti rugi, walaupun setelah pemakaian terjadi kerusakan atau kehilangan yang disebabkan oleh bencana alam. Karena pemakaian harta titipan berarti telah melanggar amanat, hilang hukum akad titipan dan batal hukum 92 |
Jurnal EKONOMI ISLAM
Mufti Afif
permintaan keamanan. Hukumnya pun dianggap sebagai pelanggaran atas hukum wadi’ah. Jika pemegang amanat mengakui kesalahannya, maka baginya tanggungjawab dan mengembalikan hartanya kepada pemilik.7 Mencampurkan Harta Titipan dengan Harta Pribadi Jika harta bercampur dan masih memungkinkan untuk dipisahkan (antara milik wadi’ dan milik muwaddi’), maka hukumnya tidak apa-apa. Apabila tidak mungkin bisa dibedakan (dipisahkan), maka wadi’ wajib menanggung gantirugi menurut Imam Abu Hanifah, karena pencampuran harta tersebut sama halnya dengan menghilangkannya. Demikian juga apabila titipan berupa uang seperti dirham yang dicampur dengan dirham yang lain, maka hukumnya wajib menjamin ganti rugi (ulama Madzhab Hanafi). Pendapat ulama madzhab yang lain masih sependapat dengan Imam Abu Hanifah. Mereka menyatakan; kalau tidak memungkinkan pemisahan harta yang bercampur, seperti minyak, dinar dan harta lain (baik harta itu sejenis atau berlainan jenis), maka wajib bagi wadi’ untuk menanggung gantinya. Karena muwaddi’ jelas tidak menghendaki terjadinya pencampuran harta tersebut. Kecuali pendapat Imam Malik yang menambahkan pendapatnya bahwa boleh tidak menangung ganti-rugi atas harta yang dicampur, jika tujuannya keamanan semata atas harta titipan. Namun jika ada tujuan lain dari keamanan, maka wajib menjamin ganti rugi. Apabila harta titipan masih bisa dipisahkan dengan harta pribadi (harta sejenis), maka tidak wajib menanggung ganti rugi. Kecuali terjadi pengurangan nilai dari harta tersebut. Mengingkari Syarat yang Diajukan Muwaddi’ dalam Hal Penjagaan Apabila muwaddi’ memberikan syarat tertentu kepada wadi’ dalam penjagaan; seperti harus disimpan dirumah penerima, atau di tempat yang ditentukan muwaddi’ maka wajib menjamin ganti rugi jika ternyata harta tersebut dipindahkan Vol. 2, No. 1, Desember 2013
| 93
Analisis Kritis Implementasi Akad Wadi’ah
ke tempat lain tanpa ada sebab yang mengharuskan perpindahan. Pendapat ini dikemukakan ulama Hanafi dan lainnya. Kecuali mengganti kotak dengan yang serupa atau bahkan lebih aman dari sebelumnya. Apabila muwaddi’ memerintahkan supaya hartanya dijaga dinegara atau wilayah tertentu serta melarangnya untuk disimpan di wilayah, negara lain, maka menurut ulama Hanafi dan Syafi’i tidak wajib menjamin ganti rugi jika masih dalam wilayah, negara yang sama. Tapi apabila dipindah ke daerah lain (keluar wilayah), wajib menjamin ganti-ruginya. Menurut madzhab Hanbali dan ini adalah pendapat yang paling kuat dikalangan madzhab mereka; wajib menanggung ganti rugi, baik masih satu wilayah, satu negara atau bahkan lebih aman dari tempat yang disayaratkan muwaddi’. Kecuali jika ada ketakutan pada diri wadi’ akan kerusakan harta. Jika tidak dipindah, dan benar terjadi kerusakan atau kehilangan maka wajib mennggantinya. Menurut Ulama Maliki ada enam perkara yang menyebabkan wadi’ mengganti rugi (dhoman): 1. Menitipkan titipan kepada orang lain tanpa ada udzur, terlebih lagi hilang pada saat diminta oleh pemiliknya. 2. Memindahkan harta titipan dari negara ke negara lain. Bukan dari rumah ke rumah. 3. Mencampurkan harta titipan dengan harta lain hingga sulit untuk dipisahkan (dibedakan). 4. Harta titipan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. 5. Harta titipan disia-siakan dan dirusak, tidak dijaga semestinya. 6. Menyalahi aturan /syarat yang ditetapkan penitip. Masalah-masalah furu’ wadi’ah Menurut Ibnu Jizyi dari Madzhab Imam Malik ada beberapa persoalan furu’iyah dalam wadi’ah, di antaranya yaitu: 1. Menjual-belikan (memproduktifkan) harta titipan; Abu Hanifah menyatakan keuntungan harus disedekahkan. Ulama yang lain (dari madzhab Abu hanifah) menyatakan 94 |
Jurnal EKONOMI ISLAM
Mufti Afif
keuntungan sepenuhnya hak muwaddi’. Wadi’ berhak menerima upah sebatas biaya yang dikeluarkan untuk menjaga harta. 2. Meminta upah kepada muwaddi’ atas jerih payah (menjaga amanat); Hal ini tidak diperkenankan, karena unsur dasar wadi’ah adalah tolong menolong, bukan mencari kehidupan. Apabila butuh biaya untuk membeli kunci atau alat keamanan, maka biaya penuh ditanggung oleh muwaddi’.8 III. Diskusi; Apakah Tabungan Implementasi dari Akad Wadi’ah? Menabung di lembaga keuangan baik konvensional maupun syariah pasti dikenalkan dengan istilah rekening. Rekening adalah daftar catatan transaksi antara nasabah dan lembaga. Rekening ini di dalam Bahasa Arab dinamankan alhisab al-jari (perhitungan yang berjalan), atau dikenal dalam bahasa ekonomi dengan account. Dikatakan al-hisab al-jari karena terus bertambah atau berkurang. Berdasarkan penjelasan singkat tersebut, menabung di lembaga keuangan memiliki dua permasalahan penting, yaitu: a. Pertama, lembaga memegang tabungan (rekening) dan memiliki hak untuk mengembangkannya, serta mengikat dirinya untuk bersedia mengembalikan dana (asset) yang suatu saat diambil oleh pemiliknya. b. Kedua, lembaga mengharuskan dirinya untuk mengembalikan dana (asset) tersebut apapun risikonya; baik karena kelalaian ataupun diluar itu. Sehingga lembaga bertanggung jawab terhadap semua bentuk kehilangan dan hal-hal yang tidak diinginkan.9 6
Ibid Ibid, p 36 8 Ibid, h. 51-53 9 Dimyauddin Djuwanini, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). h. 179 7
Vol. 2, No. 1, Desember 2013
| 95
Analisis Kritis Implementasi Akad Wadi’ah
Diskusi I: Fatwa Tabungan atas Titipan (Wadi’ah Yad Dhamanah) Ulama kontemporer Indonesia memasukkan transaksi tabungan dalam akad wadi’ah. karena mereka membagi aqad wadi’ah menjadi dua macam yaitu wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah. Menurut Sjahdaeni wadi’ah yad dhamanah merupakan hasil kodifikasi ulama kontemporer. Hal ini Buchori menyetarakan wadi’ah dengan akad investasi sukarela (nasabah) yang ditujukan untuk kepentingan usaha dengan mekanisme bagi hasil (mudharabah). Sebagian orang menyatakan wadi’ah yad dhamanah adalah titipan nasabah kepada lembaga (baca: Lembaga Keuangan Syariah) yang diizinkan untuk dikelola dalam usaha riil sepanjang dana tersebut belum diambil oleh sipemiliknya. Mengingat dana tersebut dapat dikelola, maka sepantasnya lembaga memberikan kelebihan berupa bonus kepada sipenitip (muwaddi’), meski tidak ada larangan untuk tidak memberikan bonusnya. Dasar hukum dibolehkannya wadi’ah yad dhamanah dengan menyertakan bonus adalah riwayat dari Abu daud berikut:
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Al Qa’nabi, dari Malik dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha` bin Yasar dari Abu Rafi’, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghutang seekor unta muda, kemudian terdapat unta zakat yang datang kepada beliau. Lalu beliau memerintahkanku agar mengembalikan unta muda tersebut kepada yang punya. Lalu aku katakan; saya tidak mendapatkan di antara unta tersebut selain unta pilihan yang berumur empat tahun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
96 |
Jurnal EKONOMI ISLAM
Mufti Afif
bersabda: “Berikan kepadanya, sesungguhnya sebaik-baik orang adalah yang terbaik dalam menunaikan hutang.”10 Sanggahan: nasabah yang mengizinkan hartanya untuk dikelola oleh penerima amanat, menyebabkan terjadi perubahan setatus harta; yaitu dari titipan (wadi’ah) menjadi pinjaman (qard). Karena hakikat titipan menurut ulama Empat Madzhab (yang sudah dibahas) adalah amanat, bukan pemakaian yang kemudian dijamin.
Diskusi II: Penggunaan / Memproduktifkan Harta Muwaddi’ Berdasarkan fatwa wadi’ah yad dhamanah, dana titipan dapat dikelola oleh pemegang amanat, dengan konsekuensi siap menjamin atau bertanggungjawab. Sanggahan: Sebuah kasus berupa pemanfaatan harta titipan seperti ini pernah dialami oleh Zubair bin ‘Awwam. Masyarakat Arab pada saat itu mendatangi Zubair untuk menitipkan harta kekayaannya dengan tujuan melimpahkan penjagaan dan pemeliharaan. Tapi Zubair tidak mau atau tidak rela jika ia tidak diberi hak untuk mentransaksikanya. Dengan catatan Zubair akan menjamin harta tersebut kembali pada pemiliknya. Sehingga dalam penerimaan barang titipan, Zubair tidak mengakui akad wadi’ah, ia mengatakan “tidak, ini adalah pinjaman” (Shahih Bukhari).
Sehingga akad yang semestinya berlaku di dalam akad wadi’ah adalah pinjaman (qard). Diskusi III: Pemberian Bonus dari Pihak Wadi’ Kepada Muwaddi’ Dalam praktiknya, lembaga (pihak wadi’) memberikan kelebihan profit berupa bonus kepada nasabah/pemilik (muwaddi’), meski tidak ada larangan untuk tidak memberikan bonusnya. Sanggahan: Praktik ini tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan hasil ijtihad para ulama empat madzhab yang diakui dunia. Abu Hanifah menyatakan keuntungan harus disedekahkan. Ulama yang lain (dari madzhab Abu hanifah) menyatakan keuntungan sepenuhnya hak muwaddi’. 10
Nur.S Buchori, Koperasi Syariah; Teori dan Praktik, Cet I, (Banten: PAM Press, 2012). h. 19-20
Vol. 2, No. 1, Desember 2013
| 97
Analisis Kritis Implementasi Akad Wadi’ah
Wadi’ berhak menerima upah sebatas biaya yang dikeluarkan untuk menjaga harta. Meminta upah kepada muwaddi’ atas jerih payah (menjaga amanat); tidak diperkenankan, karena unsur dasar wadi’ah adalah tolong menolong, bukan mencari kehidupan. Apabila butuh biaya untuk membeli kunci atau alat keamanan, maka biaya penuh ditanggung oleh muwaddi’. Diskusi IV: Akad Wadi’ah Terjadi Karena Kesepakatan Dua Belah Pihak Sebagian praktisi berpendapat bahwa tindakan lembaga terhadap dana berpijak pada izin yang disepakati oleh nasabah. Demikianlah yang berlaku dimasyarakat kita. Sehingga makna titipan masih bisa berlaku dengan tetap mengembalikan dana yang semisal. Sanggahan: argumen praktisi tersebut tidak bisa diterima. Karena aktivitas lembaga terhadap tabungan telah menghilangkan status titipan. Ada niat menggunakan atau mengolah dana berarti pihak lembaga punya niat untuk mengkhianati amanat (ingkar), lembaga tidak menjaga titipan. Seandainya penerima titipan meminta izin menggunakan dana titipan dan kemudian mendapat izin dari pemiliknya, berarti status barang yang dimanfaatkan saat itu adalah pinjaman (‘ariyah). Apabila dana digunakan lembaga sampai habis, maka status dana tabungan adalah tanggung jawab (menjadi hutang) yang wajib diganti.11
Sebagian praktisi lain menjawab bahwa sudah kewajiban lembaga untuk mengembalikan dana milik nasabah. Sekalipun lembaga tersebut tidak melakukan pelanggaran, hal ini sudah menjadi kebiasaan transaksi di lembaga keuangan. Sanggahan: bagaimana bisa pemegang amanat mewajibkan diri untuk bertanggung jawab penuh atas kerusakan harta yang bukan akibat kelalaian. Jika wadi’ah berlaku seperti ini, maka tidak akan ada seorangpun yang mau menerima harta titipan. Maka jelas bahwa praktik wadi’ah di lembaga keuangan tidak sesuai dengan syariat Islam yang benar. 11
Kholdi Syamsudi, “Tabungan di Bank Syariah, Bukan Wadi’ah”, Majalah Pengusaha Muslim, edisi 25, (Yogyakarta: Yayasan Bina Pengusaha Muslim Press, 2012). h. 64
98 |
Jurnal EKONOMI ISLAM
Mufti Afif
Diskusi V: Landasan Fatwa Wadi’ah yad Dhamanah; dari Riwayat Abu Rafi Sanggahan: Dalil yang digunakan untuk memperbolehkan akad wadi’ah yad dhamanah dari riwayat Abu rafie di atas, tidak sesuai dan sangat tidak tepat. Karena Rasulullah tidak memerintahkan seseorang untuk menitipkan unta kepada Abu Rafie, tapi untuk meminjami unta untuk qurban. Sehingga akadnya adalah pinjam (qard).
Diskusi VI: Kritik Khusus pada Tatanan Prkatis BMI (Bank Muamalat Indonesia) Wadia’h yang bersifat yad amanah dikembangkan oleh BMI (Bank Muamalat Indonesia) dengan cara memodifikasi menjadi yad dhamanah (sistem ganti rugi) ini menimbulkan skema baru dalam pengelolaan dana, yaitu serupa tapi tidak sama dengan mudharabah atau DPK. Dikatakan serupa tapi tidak sama karena terdapat bagi keuntungan, tapi disisi lain tidak ada batas tempo yang diikat dalam kontrak akad. Dalam praktiknya BMI mengelola dengan cara yadh dhamanah dimana apabila terdapat keuntungan dalam pengelolaan dana, maka seluruh profit tersebut menjadi hak milik pihak Bank. Disamping itu, atas kehendak BMI sendiri, tanpa ada persetujuan sebelumnya dengan muwaddi’ (pemilik dana), tapi BMI dapat memberikan bonus kepada para muwaddi’. Menurut pihak BMI (red.pen) praktik ini sejalan dengan pendapat Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki. Sanggahan: Madzhab Hanafi secara jelas menyatakan bahwa, jika wadi’ memproduktifkan harta titipan maka keuntungan harus disedekahkan. Atau keuntungan sepenuhnya hak muwaddi’. Wadi’ berhak menerima upah sebatas biaya yang dikeluarkan untuk menjaga harta tersebut.
Madzhab Maliki tidak bertentangan dengan madzhab yang lain di mana menyatakan bahwa prinsip akad wadi’ah adalah amanat, bukan dhaman. Hanya saja secara rinci madzhab maliki menyebutkan sebab-sebab gugurnya akad wadi’ah, yaitu: 1. Penglihan harta titipan kepada orang lain tanpa ada udzur, terlebih lagi hilang pada saat diminta oleh pemiliknya. Vol. 2, No. 1, Desember 2013
| 99
Analisis Kritis Implementasi Akad Wadi’ah
2. Pemindahan harta titipan dari negara ke negara lain. Bukan dari rumah ke rumah dalam satu negara. 3. Pencampuran harta titipan dengan harta lain hingga sulit untuk dipisahkan (dibedakan). 4. Pemanfaatan harta titipan untuk kepentingan pribadi. 5. Penyesia-siaan harta (pengabaian harta) dan dirusak, tidak dijaga semestinya. 6. Menyalahi aturan /syarat yang ditetapkan penitip. Rincian yang demikian ini, bukan berarti madzhab Maliki membolehkan akad wadi’ah amanat berubah menjadi dhamanah, sebagaimana madzhab Maliki masih komitmen terhadap kewajiban wadi’ dalam menjaga harta titipan dengan serius, tidak boleh lalai. Diskusi VII: Akad Wadi’ah serupa Dengan DPK (Dana Pihak Ketiga) Sanggahan: tidak bisa dipersamakan antara DPK dengan wadi’ah, karena terdapat perbedaan antara DPK dan Wadi’ah sebagai berikut:12
12
100 |
Shomad, “Keraguan Atas…… p 21
Jurnal EKONOMI ISLAM
Mufti Afif
Kesimpulan Setelah meninjau ulang beberapa pustaka klasik (sebagaimana dipaparkan di atas), dapat disimpulkan bahwa para ahli fikih (fuqaha dari empat madzhab) sependapat bahwa pengertian wadi’ah adalah bersifat yad amanah saja yaitu titipan murni tanpa ada penjaminan ganti rugi. Kecuali jika terjadi kelalaian atau kesengajaan penerima amanat meninggalkan amanatnya sebagaimana dijelaskan secara rinci di atas. Sjahdeini menjelaskan lebih lanjut bahwa Wadi’ah yad dhamanah merupakan hasil kodifikasi ulama kontemporer agar pihak pemegang amanat (yaitu perbankan) menerima keuntungan. Hal ini sejalan dengan prinsip didirikannya lembaga keuangan konvensional yang berorientasi keuntungan. Bagi lembaga keuangan, seharusnya berhati-hati dalam memahami fatwa, terkait dengan aplikasi yang terjadi di lapangan. Di perbankan dan lembaga keuangan mengklaim tabungan sebagai akad wadi’ah yad dhamanah, padahal makna dhomanah itu adalah bertanggung jawab (mengganti harta). Kesepakatan ulama fikih, wadi’ah dasarnya adalah amanat. Sedangkan yad dhamanah mengandung makna tidak amanat. Bagaimana bisa instansi keuangan yang ber “lebelkan” syariah tapi melegalkan aktifitas yang tidak amanat. Dengan mengaplikasikan transaksi wadi’ah yad dhomanah berarti penyelewangan amanat telah diizinkan. Setelah mencermati definisi, hasil ijtihad ulama serta argumen-argumen dalam diskusi di atas, seharusnya karakter Vol. 2, No. 1, Desember 2013
| 101
Analisis Kritis Implementasi Akad Wadi’ah
penghimpunan dana di lembaga keuangan terdapat dua mekanisme simpanan suka rela, yaitu: 1. Simpanan sukarela dengan akad qard, yang memiliki skema: a. Lembaga bertindak sebagai pemohon bantuan dana dari segenap masyarakat. b. Lembaga tidak diperkenankan menjanjikan pemberian imbalan berupa bonus kepada masyarakat. c. Lembaga dapat menetapkan permintaan bantuan dana kepada masyarakat berupa biaya administrasi yang terkait langsung dengan biaya pendataan dan pengelolaan. d. Lembaga Syariah menjamin sepenuhnya dalam pengembalian titipan masyarakat jika sewaktu-waktu akan diambil. Daftar Pustaka Ath-Thayyar, Muhammad, dkk., Ensiklopedi Fiqih Muamalah; dalam Pandangan 4 Madzhab, Riyadh: Madar al-Wathan, 2004. Baz, Fadhlul HNM, Fikih Abdullah Ibnu Mas’ud ra. fi Fiqhi’l Muamalat; Diraasah Muqarranah, Saudi Arabia: Umul Qura Press, 1996. Buchori, Nur.S, Koperasi Syariah; Teori dan Praktik, Cet I, Banten: PAM Press, 2012. Djuwanini, Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Furywardhana. F. dan Adnan M.A., “Evaluasi Non Performing Loan (NPL) Pinjaman Qardul Hasan; Studi Kasus di BNI Syari’ah Cabang Yogyakarta”, JAAI volume 10. No 02, Desember 2006. Kementrian Negara Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, Kuwait, 1978. Muslich, A.W, Fiqh Muamalat, cet-1, Jakarta: Amzah, 2010. Shomad, M. Abdus, “Keraguan Atas Praktik Bank Syariah”, Majalah Pengusaha Muslim, edisi 24, Yogyakarta, Yayasan Bina Pengusaha Muslim Press. 102 |
Jurnal EKONOMI ISLAM
Mufti Afif
Sjahdeini, S.R., Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Cet I., Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999. Syamsudi, Kholdi., “Tabungan di Bank Syariah, Bukan Wadi’ah”, Majalah Pengusaha Muslim, edisi 25, Yogyakarta: Yayasan Bina Pengusaha muslim Press, 2012. Zuhaili, Wahbah, al-Fiqhu’l Islami Wa Adillatuhu, Jilid V, Cet II, Syiria: Darul Fikri, 1985 _______, al-Fiqhu’l Islami Wa Adillatuhu, Jilid IV, Cet II, Syiria: Darul Fikri, 1985.
Vol. 2, No. 1, Desember 2013
| 103