ANALISIS KONSEKUENSI DISPERSI GAS HIDROGEN SULFIDA PADA INSTALASI PRODUKSI ASSOCIATED GAS PT.X MENGGUNAKAN ALOHA TAHUN 2014 Satrya Alfandi, Dadan Erwandi 1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja, FKM, Universitas Indonesia, Kampus Baru, Depok, Indonesia 2. Keselamatan dan Kesehatan Kerja, FKM, Universitas Indonesia, Kampus Baru, Depok, Indonesia E-Mail :
[email protected]
ABSTRAK Hidrogen sulfida merupakan gas beracun yang terkandung pada instalasi produksi associated gas suatu industri eksplorasi minyak dan gas. Skripsi ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan semi kuantitatif menggunakan data sekunder perusahaan dan literature serta observasi lapangan yang kemudian dianalisis menggunakan perangkat lunak Areal Location Hazardous Atmosphere (ALOHA). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui konsekuensi yang terjadi berdasarkan jangkauan dispersi gas, dan populasi berisiko terpajan dari skenario kebocoran instalasi produksi associated gas yang sudah dirancang. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa skenario worst case (ruptur dan tidak terkendali) pada pipa gas berukuran 10 inch memiliki dispers gas paling luas. Dalam satu jam, dispersi gas H2S terjauh dengan AEGL-1 0.51 ppm (60 min) mencapai 3.6 km dengan populasi berisiko mencakup penduduk yang tinggal di sekitar area station produksi PT. X. Selain itu didapatkan gambaran pengetahuan populasi berisiko terpanajan mengenai bahaya kebocoran gas serta gambaran sistem keselamatan kebocoran gas yang tersedia di PT.X
GAS DISPERSION CONSEQUENCES ANALYSIS OF HYDROGEN SULFIDE IN ASSOCIATED GAS PRODUCTION INSTALLATION USING ALOHA AT PT. X IN 2014 ABSTRACT Hydrogen sulfide is a toxic gas that is contained on the installation of associated gas production of an oil and gas exploration industry. This thesis is a descriptive study with a semi-quantitative approach using secondary data from the company, literature and field observations. Then, these data are analyzed using the software Areal Location of Hazardous Atmosphere (ALOHA). The purpose of this study was to determine the consequences that occur based on the range of gas dispersion, and population at risk to exposed of leakage scenarios that have been designed at the associated gas production installations.
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014
The results of this study found that the worst case scenario (uncontrolled rupture) in a 10 inches gas pipeline has the most extensive gas dispersion. Within an hour, the farthest H2S gas dispersion with AEGL-1 0.51 ppm (60 min) reached 3.6 km with a population at risk include people living in the surrounding area of production station. Moreover, other results from this study were the level of knowledge from population at risk about the dangers from gas leaks and gas leaks safety systems overview that available in PT.X. Keywords : Consequences analysis, Toxic gas dispersion, ALOHA, Associated gas, Hidrogen Sulfida (H 2S), Population at risk
Pendahuluan Gas bumi merupakan salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Gas bumi dihasilkan melalui proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas dan diperoleh dari hasil penambangan minyak dan gas (Kementerian ESDM, 2014). Kandungan gas bumi terdiri dari alkana suku rendah, yaitu metana, etana, propana, dan butana. Selain senyawa alkana terdapat gas lain yang terkandung di dalam gas bumi yaitu karbondioksida (CO2) dan Hidrogen sulfida (H2S) (Septiadevana Riski, 2008). Hidrogen sulfida (H2S) adalah gas yang tidak berwarna, beracun, mudah terbakar dan berbau seperti telur busuk. H2S merupakan gas beracun yang sangat korosif terhadap peralatan produksi gas bumi. Sehingga gas H2S harus dihilangkan dari proses produksi gas (Lathifah Harisma dan Adrian Deery, 2011). Instalasi produksi gas bumi pada industri eksplorasi minyak dan gas bumi termasuk ke dalam kategori major hazard installation. Major Hazard Installation adalah serangkaian proses penyimpanan, penggunaan, dan produksi bahan kimia berbahaya dalam jumlah besar yang berpotensi terjadinya major accident (ILO,1991). Sedangkan, major accident adalah kejadian yang tidak diharapkan, terjadi secara tiba-tiba dapat berupa kebocoran bahan kimia, kebakaran dan ledakan, yang timbul dari proses produksi dalam sebuah industri, dan dapat berakibat fatal bagi pekerja, masyarakat, atau lingkungan, terjadi secara cepat atau perlahan berada di dalam atau diluar instalasi dan melibatkan satu atau lebih hazard (ILO, 1991). Instalasi produksi gas bumi berpotensi terjadinya kecelakaan berupa kebocoran. Kebocoran yang terjadi akan mengakibatkan tersebarnya gas-gas yang terkandung di dalamnya termasuk gas beracun H2S. Hal tersebut akan menyebabkan keracunan gas H2S bagi orang/pekerja
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014
yang berada di wilayah dispersi gas. Gas H2S ini tergolong ke dalam flammable gas sehingga dispersi gas H2S bisa saja menyebabkan kejadian kebakaran dan ledakan jika terdapat sumber ignisi di dekatnya, sehingga berpotensi menyebakan kerusakan yang semakin parah. (Zhang Jianwen, Lei Da, Feng Wenxing, 2011). Kejadian kebocoran gas, kebakaran dan ledakan dapat berujung pada bencana yang merugikan bagi perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Berikut beberapa kecelakaan bahan kimia besar di dunia yang tercatat dalam sejarah : Tabel 1. Data Kejadian Major Accident di Dunia Kerugian Jenis Kecelakaan
Tempat/tahun
Eksplosi Amonium nitrat
Meninggal
Luka/cacat
USD (juta)
Jerman, 1921
561
1900
t.t.
USA 1941
576
3000
50
Eksplosi Dietileter
Jerman 1948
245
3800
18
Gas Beracun Eksplosi Butana Eksplosi Sikloheksana
Jepang 1972 Brazil 1972
76 38
978 78
t.t. 9
Felixbrough, UK 1974
28
78
70
Gas beracun TCDD
Italia 1976
30
220000
60
Eksplosi Propana Eksplosi LPG Gas Beracun Methyl Isocianate
Spanyol 1980 Mexico 1984
51 650
t.t. t.t.
t.t. t.t.
Bhopal, India 1984
2000
200000
t.t.
Eksplosi Amonium Nitrat
Sumber : Soemanto, 1991 *) t.t. : tidak tercatat
Pada dasarnya semua jenis kecelakaan harus dihindari untuk mencegah timbulnya korban dan kerugian materiil. Sebagai langkah awal untuk mencegah terjadinya keccelakaan dibutuhkan penilaian risiko dengan analisis konsekuensi terhadap terjadinya kejadian kecelakaan. PT. X merupakan salah satu perusahaan eksplorasi minyak dan gas bumi di Indonesia yang memiliki wilayah kerja di provinsi Sumatera Selatan. PT. X memiliki instalasi produksi gas bumi dengan rata-rata produksi total gas harian sebesar 13.6 MMSCFD. Kapasitas produksi gas bumi PT. X terbilang cukup besar. Kapasitas produksi gas yang cukup besar tersebut menandakan tingginya gas H2S terproduksi yang terkandung di dalam gas bumi. Dari data hasil onsite analisis PT. X bulan april 2014 didapatkan data konsentrasi gas H2S pada salah satu sumur produksi yaitu hingga 285 ppm.
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014
Tingginya kandungan H2S pada instalasi produksi gas bumi PT. X meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan kebocoran gas. Sehingga diperlukan suatu analisis konsekuensi untuk menilai besarnya dampak yang diakibatkan oleh kejadian kebocoran instalasi produksi associated gas di Lapangan Operasi , PT. X untuk mempersiapkan manajemen tanggap darurat. Analisis konsekuensi yang digunakan menggunakan perangkat lunak Areal Locations of Hazardous Atmospheres (ALOHA) untuk mengetahui jangkauan area yang terdampak dari kejadian kebocoran.
Tinjauan Teoritis
1. Major Hazard Installation Menurut International Labour Organization (ILO) (1991), major hazard installation didefinisikan sebagai instalasi industri yang menyimpan, menggunakan, atau menghasilkan bahan kimia berbahaya baik karena jumlah ataupun sifat dari bahan kimia tersebut yang memiliki potensi menimbulkan major accident. Sedangkan, major accident adalah kejadian yang tidak diharapkan, terjadi secara tiba-tiba dapat berupa kebocoran bahan kimia, kebakaran dan ledakan, yang timbul dari proses produksi dalam sebuah industri, dan dapat berakibat fatal bagi pekerja, masyarakat, atau lingkungan, terjadi secara cepat atau perlahan berada di dalam atau diluar instalasi dan melibatkan satu atau lebih hazard. Kategori major accident yang dapat ditimbulkan dari kecelakan pada major hazard installation antara lain : a. Pelepasan bahan kimia beracun seperti acrylonitrite, ammonia, chlorine, sulphur dioxide, hydrogen chloride, sulphur trioxide, dalam jumlah besar (ton) yang dapat membahayakan jiwa atau kesehatan manusia walaupun jarak antara sumber dan daerah terpengaruh sangat jauh. b. Pelepasan bahan kimia mematikan (extremely toxic) seperti methyl isocyanate atau phosgene dalam jumlah kilogram yang dapat membahayakan jiwa atau kesehatan walaupun jarak antara sumber dan daerah terpengaruh sangat jauh c. Pelepasan cairan atau gas mudah terbakar dalam jumlah besar (ton) yang dapat menghasilkan radiasi panas yang tinggi atau membentuk awan uap yang dapat meledak (explosive vapour cloud)
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014
d. Ledakan yang diakibatkan material reaktif yang tidak stabil seperti ammonium nitrate, nitroglycerine, trinitrotoluene. Berdasarkan jenis dan kuantitas bahan kimia yang digunakan, berikut adalah jenis industri yang memiliki major hazard installation (ILO, 1991) : 1. Industri kimia dan petrokimia 2. Industri perminyakan 3. Tempat penyimpanan LPG (liquid petroleum gas) 4. Tempat penyimpanan gas dan cairan yang mudah terbakar 5. Gudang bahan kimia 6. Industri pupuk 7. Tempat pengolahan air yang menggunakan chlorine Menurut ILO (1991), penilaian major hazard diperlukan untuk perencanaan mitigasi bencana di major installations yang harus dilakukan oleh manajemen dan otoritas setempat yang bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitar yang dapat terpengaruh. Penilaian ini harus dapat mengidentifikasi kejadian tidak terkendali yang dapat menyebabkan terjadinya major accident seperti pelepasan bahan kimia beracun, kebakaran, dan ledakan. Konsekuensi dari hal tersebut harus dinilai dengan menggunakan teknik dan data yang tepat, yang mencakup: a. Pada pelepasan bahan kimia, diperhitungkan mengenai konsentrasi dan dosis dari bahan berbahaya tersebut. b. Pada bahaya kebakaran, diperhitungkan mengenai radiasi panas yang dihasilkan. Pada bahaya ledakan, diperhitungkan perkiraan gelombang ledakan dan efek benda yang terlempar akibat ledakan.
2. Dispersi Gas Dispersi gas beracun merupakan suatu perpindahan gas beracun melalui udara dari tempat terjadinya kebocoran menuju wilayah sekitarnya dan komunitas. Konsentrasi tertinggi dari gas beracun berasal pada titik dimana gas tersebut keluar (bocor) dari tempat penyimpanannya. Semakin terbawa oleh angin, konsentrasi gas semakin berkurang akibat adanya campuran turbulensi dengan udara (Crowl dan Louvar, 2002). Menurut Crowl dan Louvar (2002), dispersi gas beracun ini dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014
a. Kecepatan angin b. Stabilitas atmosfer c. Kondisi tanah d. Ketinggian kebocoran dari atas tanah e. Momentum dan daya apung dari gas Dispersi gas beracun yang terjadi pada bidang industri dapat disebabkan oleh penyebab langsung atapun penyebab tidak langsung. Penyebab langsung berasal dari kebocoran dari tangki dan perpipaan sedangkan penyebab tidak langsung merupakan hasil dari kejadian lain seperti misalnya kebakaran pada zat kimia yang akhirnya membentuk dan menyebarkan gas beracun (Assael dan Kakosimos, 2010).
3. Risiko Kebocoran Pipa Gas Berdasarkan European Gas Pipeline Incident Data Group (EGIG) terdapat lima faktor penyebab terjadinya kebocoran pada instalasi pipa gas. Ke lima faktor tersebut adalah : 1. External interference Merupakan faktor penyebab kebocoran pipa akibat gangguan kepada pipa dari aktivitas/kegiatan luar pipa misalnya penggalian tanah (pada pipa bawah tanah), pohon tumbang, kegiatan alat berat dan kendaraan, dan sebagainya. 2. Corrosion Merupakan proses alami pada logam. Korosi dapat terjadi diluar maupun di dalam pipa. Korosi mengakibatkan dinding pipa semakin menipis dan dapat mengakibatkan terbentuknya lubang. 3. Construction defect dan material failure Merupakan salah satu penyebab kebocoran pipa akibat kesalahan pada material yang digunakan atau pada saat fabrikasi instalasi pipa. Construction defect dapat terjadi pada sambungan pipa dapat berupa sambungan las/weld, sambungan pipa menggunakan flange (flange to flange) atau sambungan terhadap peralatan tambahan seperti valve, pressure gauge, dan sebagainya. 4. Ground movement Merupakan faktor penyebab kebocoran akibat pergerakan tanah sehingga membuat pergerakan pada pipa dan bahkan mematahkan pipa. Pergerakan tanah dapat terjadi akibat erosi, longsor, kegiatan penggalian/penambangan, dan aliran sungai.
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014
5. Lainnya dan tidak diketahui Faktor terjadinya kebocoran lainya diakibatkan oleh beberapa penyebab yang tidak digolongkan ke dalam beberapa faktor risiko diatas. Faktor risiko lainnya yaitu kesalahan desain, lighting, dan pada proses perawatan. Selain itu EGIG menggolongkan besar lubang kebocoran diantaranya : 1. Pinhole/crack : lubang kebocoran berukuran ≤ 2 cm. 2. Hole : lubang kebocoran berukuran > 2 cm atau hingga ukuran diameter pipa. 3. Rupture : kebocoran berukuran lebih dari diameter pipa
Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan semi kuantitatif yang dilakukan dengan memasukkan data yang dibutuhkan ke dalam perangkat lunak Areal Location Hazardous Atmosphere (ALOHA) untuk mengetahui jangkauan dan konsekuensi dispersi gas akibat kebocoran instalasi produksi associated gas PT. X. Data yang dibutuhkan antara lain data sekunder yang berasal dari perusahaan yang meliputi data spesifikasi instalasi produksi associated gas, dan data mengenai kondisi atmosfer Prabumulih. Sementara data mengenai karakteristik gas H2S dan data-data pendukung yang lain diperoleh dari browsing internet dan studi literatur. Selain itu, juga dilakukan observasi langsung untuk mengetahui kondisi lingkungan dan populasi berisiko di sekitar area block station yang termasuk ke dalam threat zone. Setelah itu, dilakukan wawancara kepada pekerja yang menjadi populasi berisiko untuk mengetahui respon terhadap bahaya penyebaran gas beracun. Tahapan pertama yang dilakukan adalah menentukan skenario kebocoran kemudian memasukkan data sekunder mengenai spesifikasi instalasi produksi associated gas dan kondisi atmosfer sehingga dapat diketahui area terdampak dan populasi berisiko apabila terjadi kebocoran pada instalasi produksi associated gas. Setelah itu, dilakukan observasi dan wawancara kepada pekerja untuk menilai respon populasi berisiko dalam menghadapi kejadian kebocoran gas.
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014
Hasil Penelitian 1. Risiko Kebocoran Berdasarkan data European Gas Pipeline Incident Data Group (EGIG) frekuensi terbesar kejadian kebocoran gas terjadi akibat external interference, corrosion, dan material defect/construction failure. Faktor risiko terbesar kejadian kebocoran pipa produksi associated gas yaitu korosi yang dapat diakibatkan oleh bahan kimia korosif yang terkandung di dalam pipa ataupun akibat instalasi pipa pada lingkungan yang korosif. Selain itu, faktor risiko kedua yang mungkin terjadi akibat construction defect/material failure seperti kendurnya sambungan flange to flange atau defect pada pengelasan pipa gas. Kedua faktor risiko tersebut dapat mengakibatkan kejadian kebocoran dengan lubang kecil hingga sedang berdasarkan data EGIG. Sehingga dua faktor risiko terhadap kebocoran pipa yang paling memungkinkan terjadi pada instalasi produksi associated gas yaitu korosi dan construction defect/material failure. Korosi dapat terjadi pada instalasi manifold karena usia manifold yang sudah sangat tua. Sedangkan kejadian construction defect/material failure dapat terjadi pada instalasi pipa yang menghubungkan antara separator dengan H2S removal, khususnya pada salah satu sambungan flange to flange. Kedua faktor risiko beserta lokasi yang sangat berpotensi terjadinya kebocoran menjadi dasar dalam menentukan skenario kejadian kebocoran.
Gambar 1. Frekuensi kebocoran pipa gas
Sumber : European Gas Pipeline Incident Data Group, 2011
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014
2. Skenario Kebocoran 1. Skenario A Pada tanggal 2 Februari 2014 terjadi kebocoran pada instalasi manifold. Kebocoran terjadi pada pipa group satelit G yang memiliki konsentrasi gas H2S tertinggi. Kebocoran terjadi karena korosi. Dalam skenario ini diasumsikan penanggulangan kejadian kebocoran dapat dikendalikan (closed off). 2. Skenario B Pada tanggal 2 Februari 2014 terjadi kebocoran pada instalasi manifold. Kebocoran terjadi pada pipa group satelit G yang memiliki konsentrasi gas H2S paling tinggi. Diasumsikan terjadi ruptur pada instalasi tersebut dan kejadian kebocoran tidak dapat dikendalikan (infinite source). 3. Skenario C Pada tanggal 2 februari 2014 terjadi kebocoran pipa gas berukuran 10 inch yang menghubungkan antara separator dengan H2S removal. Kebocoran terjadi karena construction defect/material failure yaitu semakin kendurnya salah satu sambungan flange to flange. Dalam skenario ini peneliti mengasumsikan kebocoran dapat dikendalikan (closed off). 4. Skenario D Pada tanggal 2 Februari 2014 terjadi kebocoran pipa gas berukuran 10 inch yang menghubungkan antara separator dengan H2S Removal. Diasumsikan terjadi ruptur pada instalasi tersebut dan kejadian kebocoran tidak dapat dikendalikan (infinite source).
3. Simulasi Skenario Kebocoran Berdasarkan pemodelan dispersi gas H2S pada kejadian kebocoran instalasi pipa produksi associated gas PT. X diatas, dapat diketahui threat zone masing-masing skenario pemodelan. Daerah yang termasuk ke dalam threat zone merupakan daerah terbatas untuk dilakukan kegiatan manusia. Threat zone masing-masing skenario dapat dilihat sebagai berikut.
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014
Tabel 2. Threat Zone Threat Zone (m)
Skenario kebocoran Merah
Oranye
Kuning
A
153
212
1,700
B
199
276
2,200
C
49
68
540
D
328
455
3,600
Dari keempat skenario terlihat bahwa skenario D adalah skenario yang memiliki dampak paling buruk dengan jangkauan threat zone mancapai wilayah pemukiman. Hal ini disebabkan skenario D memiliki diameter pipa yang besar dibandingkan dengan skenario B meskipun memiliki asumsi worst case yang sama yaitu rupture dan tidak terkendali. Sedangkan pada skenario lubang kecil skenario A memiliki jangkauan yang jauh dengan skenario C karena memiliki volume gas H2S yang lebih besar. Berdasarkan hasil pemodelan dapat diprediksi gejala dan tanda yang mungkin timbul akibat paparan gas hidrogen sulfida yang dialami populasi terpajan pada tiap zona disperse gas diantaranya : Zona kuning dispersi gas H2S dengan AEGL-1 (60 min) 0.51 ppm. Dalam hal ini, area dengan jangkauan tersebut akan memiliki konsentrasi gas H2S sebesar 0.51 ppm. Populasi berisiko terpajan pada daerah ini akan merasakan bau seperti telur busuk selama 60 menit karena pada konsentrasi ini merupakan ambang batas bau gas H2S (OSHA, 2005). Zona oranye dispersi gas H2S dengan AEGL-2 (60 min) 27 ppm. Dalam hal ini, area dengan jangkauan tersebut akan memiliki konsentrasi gas H2S sebesar 27 ppm. Populasi berisiko terpajan pada daerah ini selama 60 menit akan merasakan kelelahan, sakit kepala, pusing, dan iritasi mata bahkan hilang ingatan sementara (OSHA, 2005). Zona merah dispersi gas H2S dengan AEGL-3 (60 min) 50 ppm. Dalam hal ini, area dengan jangkauan tersebut akan memiliki konsentrasi gas H2S sebesar 50 ppm. Populasi berisiko terpajan pada daerah ini selama 60 min akan mengalami conjunctivitis (“gas eye”), iritasi saluran pernapasan, gangguan pencernaan dan kehilangan nafsu makan (OSHA, 2005).
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014
Selain mengetahui threat zone, pemodelan ALOHA juga dapat memberikan gambaran mengenai safe distance terhadap bahaya kebocoran gas di block station PT. X. Safe distance merupakan hasil analisis dari threat zone yang ada. Penulis mengelompokkan safe distance Block station PT. X menjadi tiga berdasarkan jangkauan dari hasil pemodelan. Jangkauan terjauh skenario C telah mencakup jangkauan zona merah dan zona oranye dari setiap skenario. Sehingga jangkauan
skenario C manjadi batas zona merah safety distance.
Sedangkan jangkauan skenario D merupakan jangkauan terjauh diantara skenario lainnya, sehingga jangkauan skenario D menjadi batas zona kuning safety distance. Pembagian zona safety distance tersebut, yaitu : Zona Merah : 0 – 540 meter Zona Kuning : 540 – 3,600 meter Zona Hijau : lebih dari 3,600 meter
Gambar 2. Penggambaran safety zone
Sumber : Google Earth, 2014 (diolah kembali)
4. Populasi Beresiko Sebaran gas H2S sangat berbahaya bagi kesehatan bahkan keselamatan manusia dan lingkungan. Berdasarkan hasil pemodelan sebaran gas H2S dapat diketahui jumlah populasi berisiko terpajan gas H2S jika terjadi kebocoran instalasi tersebut.
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014
A. Skenario A
Zona merah : 1 orang operator separator, 1 orang operator tangki, 1 orang mandor, 1 orang operator mcc room, 1 orang laboratorium, dan pekerja PT. Z
Zona oranye : seluruh karyawan PT. X, Pekerja departemen technical service dan maintenance.
Zona kuning : sebagian penduduk Unit Pemukiman.
B. Skenario B
Zona Merah : seluruh operator produksi, pekerja PT. Z, seluruh karyawan dan pekerja PT. X
Zona oranye : seluruh pekerja PT. G.
Zona kuning : sebagian penduduk UPT 5.
C. Skenario C
Zona Merah : 1 orang operator separator
Zona Oranye : seluruh operator produksi, operator mcc room, pekerja departemen maintenance.
Zona Kuning :seluruh karyawan dan pekerja PT. X
D. Skenario D
Zona Merah : seluruh karyawan dan pekerja PT. X
Zona Oranye : seluruh karyawan dan pekerja PT. X
Zona Kuning : penduduk UPT 5, sebagian penduduk UPT 4, dan wilayah Metur.
5. Gambaran Pengetahuan dan Respon Populasi Beresiko Peneliti melakukan wawancara dengan delapan orang pekerja yang menjadi populasi berisiko terpajan gas H2S. Delapan orang yang menjadi informan berasal dari beberapa departemen yang terkait dengan proses produksi associated gas. Berikut pembagian asal departemen kedelapan informan tersebut.
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014
Tabel 3. Informan Wawancara Informan Informan 1
Informan 5 Informan 6 Informan 7
Departemen Produksi (operator separator) Produksi (Laboratorium, water injeksi) Produksi (well checker) Maintenance (Operator MCC Room) Technical Service Maintenance Maintenance
Informan 8
HSE
Informan 2 Informan 3 Informan 4
Berdasarkan hasil wawancara dengan delapan pekerja peneliti melihat bagaimana tingkat pengetahuan pekerja mengenai bahaya kebocoran gas. Terdapat tiga variabel utama yang ditanyakan terkait pengetahuan pekerja terhadap bahaya kebocoran gas yaitu : 1. Dampak bahaya kebocoran gas Variabel dampak bahaya kebocoran gas merupakan informasi awal bagi pekerja untuk memperhatikan segala tindakan dan perilaku dalam bekerja. Dari delapan informan menyatakan beberapa dampak dari bahaya kebocoran gas yaitu kebakaran, ledakan dan bahaya keracunan akibat gas H2S. Dari hasil wawancara didapatkan bahwa seluruh informan telah mengetahui adanya bahaya bahan kimia beracun H2S yang terdapat dalam natural gas. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan persepsi antara tim HSE dan para pekerja terhadap bahaya kebocoran gas yang terdapat di PT. X. 2. Tanda-Tanda Kebocoran Gas Tanda-tanda kebocoran gas menurut sebagian besar pekerja yaitu bau khas gas H2S yang seperti telur busuk. Menurut informan, jika terjadi kebocoran gas maka akan muncul bau khas. Bau khas akan berbeda untuk tiap jenis gas, seperti bau kondensat sedangkan gas H2S akan tercium bau seperti telur busuk. Dari hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa setiap informan memiliki cara yang berbeda dalam mengidentifikasi tanda bahaya kebocoran gas sesuai dengan ruang lingkup departemen/pekerjaannya. Namun, setiap informan memberikan keterangan yang sama mengenai tanda bahaya gas beracun H2S yaitu dari bau khas seperti telur busuk. Hal ini
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014
menjelaskan bahwa sebagian besar informan masih mengandalkan indra penciuman untuk mengidentifikasi tanda kebocoran gas. Pada konsentrasi rendah gas H2S akan mengeluarkan bau khas seperti telur busuk, tapi pada konsentrasi tinggi gas H2S tidak akan berbau bahkan akan merusak indra penciuman manusia (Skrtic Lana, 2012). Hal ini tidak sesuai dengan pengetahuan pekerja dalam mengidentifikasi kebocoran gas karena akan membahayakan ketika terdapat konsentrasi gas H2S diatas ambang batas. 3. Tindakan yang dilakukan Variabel ini menjelaskan bagaimana setiap pekerja bertindak jika terjadi kejadian kebocoran gas. Dari delapan informan tersebut tidak ditemukan satu persepsi yang sama mengenai tindakan apa yang harus dilakukan ketika terjadi kebocoran gas. Bahkan dari salah satu kutipan wawancara berikut, menjelaskan pekerja melakukan penanggulangan sendiri. Dari hasil wawancara dapat disimpulkan tidak adanya kesamaan informasi yang didapatkan dari setiap pekerja. Beberapa pekerja memberi keternagan akan melapor kepada pihak berwenang tapi tidak menjelaskan kepada siapa pihak berwenang tersebut apakah departemen HSE atau Produksi. Namun, dalam prosedur emergency response notifikasi kejadian kecelakaan atau kejadian emergency wajib dilaporkan ke Incident Commander dalam hal ini dijabat oleh Field Manager. Sebaiknya dilakukan sosialisasi kembali mengenai notifikasi emergency response procedure sehingga setiap pekerja memiliki pengetahuan yang sama dalam mengambil tindakan ketika terjadi kejadian kebocoran gas.
Kesimpulan 1. Jangkauan terjauh dispersi gas H2S yaitu berdasarkan skenario D (worst case) yang mencapai unit pemukiman dengan radius 3.6 km. 2. Safety zone dispersi gas H2S dari hasil pemodelan menggunakan ALOHA yaitu zona merah 0-540 meter, zona kuning 540-3,600 meter, zona hijau lebih dari 3,600 meter. 3. Pekerja masih mengandalkan indra penciuman dari bau khas gas H2S dalam mengidentifikasi tanda-tanda adanya kebocoran gas. 4. Masih terdapat perbedaan persepsi tindakan yang harus dilakukan dalam menghadapi kebocoran gas.
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014
Saran 1. Perlu dilakukan maintenance dan inspeksi rutin sebagai pencegahan dini terhadap risiko kebocoran pada instalasi produksi associated gas di wilayah block station, karena kadar H2S dari seluruh sumur produksi terkumpul pada satu tempat di block station. 2. Membuat tekanan udara di dalam ruang operator produksi maupun MCC Room lebih besar dibanding tekanan udara luar sehingga jika terjadi kebocoran instalasi produksi gas, gas yang tersebar tidak mudah masuk ke dalam ruangan. 3. Sebaiknya membatasi kegiatan masyarakat pada area safety zone terutama zona merah, karena dapat menambah efek/konsekuensi yaitu meningkatkan jumlah korban akibat dispersi gas H2S jika terjadi kebocoran. 4. Perlu dilakukan sosialisasi kepada pekerja mengenai efek kesehatan berdasarkan konsentrasi, tanda-tanda keberadaan gas H2S, dan tindakan yang harus dilakukan jika terdapat kebocoran gas.
Daftar Referensi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2012). 2012 Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia. Jakarta : Author. Septiadeviana, Riski. (2008). Komposisi Minyak Bumi dan Gas Alam. Tersedia dalam: http://kimia.upi.edu/utama/bahanajar/kuliah_web/2008/Riski Septiadev... (Diakses pada tanggal 17 Februari 2014, 11:21 AM) Nedved, Milos. (1991). Dasar-dasar keselamatan kerja bidang kimia dan pengendalian bahaya besar ( Soemanto Imamkhasani, Penerjemah). International Labour Organization (ILO). Zhang Jianwen, Lei Da, Feng Wenxing, (2011). Analysis of Chemical Disasters Caused by Released of Hidrogen sulfida-Bearing Natural Gas. Procedia Engineering, 26 (2011), 1878-1890. Assael, Marc J dan Kakosimos, Kontantinos E. (2010). Fires, Explosions, and Toxic Gas Dispersions: Effects Calculation and Risk Analysis. Boca Raton: CRC Press European Gas Pipeline Incident Data Group (EGIG). (2011). 8th Report of The European Gas Pipeline Incident Data Group. EGIG 11.R.0402 (version 2). 2011, December. Occupational Safety & Health Administration. (2005). Hidrogen sulfida. Tersedia dalam :
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014
https://www.osha.gov/SLTC/hydrogensulfide/hazards.html (diakses pada tanggal 10 Mei 2014, 11:27 AM) Skrtic, Lana. (2006). Hidrogen sulfida, Oil and Gas, and People’s Health. Thesis. Energy and Resources Group. University of California, Berkeley.
Analisis konsekuensi..., Satrya Alfandi, FKM UI, 2014