ANALISIS KONDISI HUTAN DI KAWASAN PANTAI NATSEPA KABUPATEN MALUKU TENGAH Donny Japly Pugesehan Dosen Agroforestri Politeknik Perdamaian Halmahera
ABSTRAC T Coastal forest has an important function whether for ecological also economical, so that management and utilization must be considered to be continue. In effort to save the conservation of coastal forest, then the information about the condition of forest vegetation in relation with the balancing of coastal forest. This research is aimed to know the condition of coastal forest. This research was conducted in the coastal area of Natsepa. The research are 4 rows that was made in the coastal forest, and each row was made by the sample plot, size 20 x 20 meters for tree, 10x10 for the pole level, 5x5 meters for wean level, and 2x2 meters for the sendling level. The data was analyzed by calculating the important value index, and dissimilarity index. The results of researching in coastal forest showed that there are 12 species of vegetation which is dominated by Teminalia cattapa (Ketapang). Key words : Coastal Forest, Vegetation PENDAHULUAN Latar Belakang Pantai merupakan daerah pinggir laut yang sempit atau wilayah darat yang berbatasan langsung dengan bagian laut, terletak antara air tinggi dan air rendah, walaupun luas daerah ini sangat terbatas, tetapi di sini terdapat variasi faktor–faktor lingkungan yang besar di bandingkan dengan daerah bahari lainnya, Kekayaan, keragaman faktor lingkungan serta kemudahan untuk mencapainya menyebabkan interaksi dalam daerah kecil ini lebih banyak dikenal. Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah pesisir yang kaya dan beragam akan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan serta memiliki garis pantai sepanjang 81.791 km termasuk negara kedua yang memiliki garis pantai terpanjang setelah Kanada. masing-masing mempunyai ciri khas tersendiri dan memiliki potensi sumberdaya yang produktif. Diperkirakan Indonesia juga memiliki 90 tipe ekosistem, baik di daratan maupun perairan dan terdapat 15 formasi hutan alam dari ujung barat di Sabang sampai ujung Timur di Merauke yang merupakan habitat utama banyak spesies tumbuhan dan hewan. Di antara formasi hutan yang memiliki produktivitas dan biodiversitas tinggi, baik jenis flora dan fauna serta mempunyai keunikan
tersendiri di Indonesia adalah hutan pantai yang merupakan bagian dari ekosistem pesisir dan laut yang menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata serta penemuan produk biochemical. Namun, seiring dengan laju pertambahan penduduk dan dinamika pembangunan regional yang tidak taat asas kelestraian lingkungan hidup, tipe hutan tersebut akhir-akhir ini mulai mengalami kerusakan yang berarti, rusaknya ekosistem pantai dapat menimbulkan berbagai permasalahan terutama berkaitan dengan abrasi pantai, intrusi air laut, perubahan iklim mikro, dan turunnya nilai produktivitas hayati di perairan pantai Hutan pantai memiliki berbagai fungsi antara lain sebagai pelindung pantai dari gempuran arus laut dan angin, sebagai tempat berlindung dan berkembang biak bagi berbagai macam jenis satwa, sebagai penghasil bahan organik, dan sebagai daerah penyangga (Sugiarto dan Ekariyono, 1996), karena fungsi yang penting ini maka keberadaan hutan pantai harus tetap dipertahankan dan perlu dilakukan usaha–usaha pengijauan kembali kawasan pantai yang telah rusak. Pantai Natsepa terletak tepat berbatasan dengan Kota Ambon sebagai pusat kota propinsi dengan jumlah penduduk yang lebih besar dan
13
Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 1 Maret 2011 tingkat ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Kabupaten Maluku Tengah. Potensi kegiatan dan aktivitas yang cukup besar terjadi di kawasan pantai ini, mengingat pantai ini sangat menarik untuk dikunjungi. Tingkat aksesibilitas dari dan ke objek wisata Pantai Natsepa terhadap semua daerah pemukiman di Pulau Ambon cukup baik. Jarak rata-rata antara Pantai Natsepa (Suli) dengan semua desa di Kota Ambon adalah 15,65 km, dan semua desa di Pulau Ambon adalah 24,19 km. Jumlah pengunjug ke objek wisata Pantai Natsepa dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Tahun 2002 sebanyak 19.547 orang sampai dengan tahun 2007 sebanyak 64.595 orang atau 179 orang per hari. Ratarata 40.317 orang per tahun atau 111 orang per hari, berarti meningkat setiap tahunnya 27,65 %, bahkan pada waktu–waktu tertentu (hari libur), jumlah pengunjung bisa melewati daya tampung dari pantai ini. Perkembangan kawasan termasuk Pantai Natsepa, akan berkaitan dengan perkembangan perekonomian, penduduk, wilayah dan berbagai faktor lain. Sebaliknya peningkatan ekonomi dapat meningkatkan permintaan lahan untuk pemukiman dan pembangunan sarana prasarana penunjang. Laju pembangunan yang terjadi di Pantai Natsepa semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas dan kegiatan yang dilakukan di kawasan ini. Berbagai sarana dan prasarana penujang, antara lain hotel/penginapan, toko-toko, Café, Restaurant atau rumah makan, serta shelter yang dilakukan ini banyak memanfatakan daerah sekitar pantai sehingga vegetasi yang membentuk formasi hutan pantai dieksplotasi demi pemenuhan akan sarana prasarana. Tingginya aktivitas yang terjadi di pantai ini, baik itu di kawasan pantai maupun di perairan pantai, mengakibatkan terjadi tekanan terhadap berbagai kehidupan yang ada di pantai ini, vegetasi pantai maupun biota yang hidup di perairan pantai. Mengingat bahwa keanekaragaman hayati laut dan sumberdaya wilayah pesisir merupakan sumberdaya yang amat penting bagi kehidupan ekosistem disekitarnya, maka jika dimanfaatkan secara arif dan bijaksana dapat menjadi pilar utama pembangunan ekonomi daerah dan nasional, tetapi apabila sumberdaya tersebut
dimanfaatkan tanpa memperhatikan lingkungan dengan keadaan ekologisnya serta daya dukung, maka akan terjadi kerusakan dan kepunahan di masa depan (Bengen, DG. 2002) Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi hutan atau vegetasi di Pantai Natsepa. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk 1) memberikan motivasi bagi masyarakat disekitar panatai natsepa maupun masyarakat pengujung dalam upaya menjaga kelestarian hutan di Pantai Natsepa 2) bahan informasi bagi pengelolaan kawasan Pantai Natsepa ke depan (3) Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah dalam pengambilan kebijakan untuk pengelolaan dan pengembangan kawasan pantai secara umum METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan kawasan Pantai Natsepa dan perairannya, dalam luasan 2 hektar. Bahan yang digunakan adalah vegetasi pantai tingkat pohon, Tiang, Sapihan, Semai, dengan kriteria tingkat pertumbuhan yang digunakan adalah seperti yang dikemukan oleh Soerianegara dan Indrawan (1976), yaitu semai mulai dari anakan sampai tanaman yang tingginya kurang dari 1,5m ; Sapihan/Pancang mulai dari 1,5m dan lebih sampai pada pohon–pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm ; untuk tingkat Tiang : pohon–pohon yang berdiameter 10–19cm; Tingkat Pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm. Peralatan yang digunakan dalam dalam penelitian adalah seperangkat alat pembuat petak ukur (PU) yaitu tali plastik, kompas, roll, pengukur diameter, Kamera digital, seperangkat alat tulis untuk mencatat data pengamatan. Pengamatan dan pengumpulan vegetasi pantai ini dilakukan untuk melihat komposisi tegakan yang ada di kawasan pantai. Pada lokasi ini dibuat transek yang memanjang ke darat mulai dari pasang tertinggi sampai pada batas terakhir dari formasi hutan pantai. Setiap jalur lebarnya 20m (lebar hutan Pantai Natsepa 20m dari pasang tertinggi sampai ke batas akhir hutan pantai , dan jarak antar jalur 200m, data vegetasi diambil dengan menggunakan sistematic sampling. Pada setiap jalur dibuat petak ukur sebagai berikut 2 x 2m untuk semai dan tumbuhan bawah (tinggi < 1,5 m ), 5 x 5m untuk sapihan
Donny Japly Pugesehan
14
Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 1 Maret 2011
(diameter < 10 cm dan > 1,5 m) 10 x 10m untuk tiang (diameter 10 – 20 cm) serta 20 x 20m untuk pohon (diameter > 20 cm). Data yang diperoleh dari pengukuran dilapangan kemudian diolah dengan menggunakan formulasi metode petak kudrat untuk menghitung :
Indeks nilai Penting = Kerapatan relatif + Frekuensi relatif + dominansi relatif. Untuk mendapatkan keragaman jenis vegetasi di areal hutan Pantai Natsepa, digunakan Indeks Shanon dan Weaner (Latifah, S. 2005).:
Ket : H = Indeks keanekaragaman (diversity) Pi = n/N n = nilai penting suatu jenis N = total nilai penting suatu jenis Skema pembuatan jalur
Arah jalur
PEMBAHASAN
angin maka pasir dari pantai membentuk gundukan kearah darat, setelah gundukan pasir itu biasanya terdapat hutan yang di namakan hutan pantai, (Nybakken, 1988). Sebagai salah satu ekosistem yang ada di wilayah pesisir, hutan pantai biasanya ditumbuhi oleh tumbuhan yang cukup beragam. Tumbuhan tersebut bergerobol membentuk unit – unit tertentu sesuai dengan habitatnya, suatu unit vegetasi yang terbentuk karena habitatnya disebut formasi, setiap formasi diberi nama sesuai dengan species tumbuhan yang paling dominan. Hutan pantai berpasir memiliki berbagai tipe vegetasi yang dikelompokan dalam beberapa formasi diantaranya formasi Pescaprae dan Barringtonia (Tuhuteru,D.F, 2009). Dari hasil pengamatan dilapangan kondisi Pantai Natsepa didominasi oleh formasi vegetasi barringtonia. Jenis tumbuhan yang menyusun struktur dan komposisi formasi Barringtonia dapat dilihat dari hasil analisis vegetasi hutan pantai dengan Indeks Nilai Penting untuk masing–masing tingkat vegetasi. Indeks Nilai Penting merupakan parameter yang dipakai untuk menyatakan tingkat dominasi atau penguasaan species–species dalam suatu komunitas tumbuhan, species–species yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang besar. Untuk tingkat pohon diketahui bahwa vegetasi yang paling dominan di hutan pantai adalah jenis Ketapang (Terminalia cattapa) dengan INP yaitu 94,61 %, jenis yang memiliki INP terendah adalah Waru (Hibiscus tiliaucens) dengan nilai INP 11,30 %. Terminalia cattapa mempunyai INP tertinggi menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai toleransi yang lebih luas terhadap perubahan faktor lingkungan, perbedaan nilai INP yang cukup besar antara Teminalia cattapa dengan jenis- jenis lain menunjukan bahwa jenis– jenis ini mempunyai toleransi yang kecil terhadap perubahan faktor lingkungan.
Ekosistem Hutan Pantai Daerah pantai (Supratidal) merupakan perbatasan antara ekosistem laut dengan ekosistem darat, karena hempasan ombak dan hembusan
Analisis Kondisi Hutan di Kawasan Pantai Natsepa Kabupaten Maluku Tengah
15
Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 1 Maret 2011 Tabel 1. Indeks Nilai Penting setiap species Tingkat Pohon. Nama jenis
Nama latin
K
KR
F
FR
D
DR
INP
Beringin pantai
Ficus benjamina
6.25
3.03
0.25
6.25
2.98
14.59
23.87
Buah rau
Dracontomelon sp
6.25
3.03
0.25
6.25
0.53
2.61
11.89
Gayang
Falcataria sp
12.50
6.06
0.25
6.25
0.86
4.20
16.51
Gondal
Ficus septica
18.75
9.09
0.25
6.25
1.90
9.29
24.63
Gondal putih
Ficus sp
25.00
12.12
0.25
6.25
3.47
16.98
35.35
Hutung
Baringtonia asiatica
18.75
9.09
0.50
12.50
0.76
3.70
25.29
Jambu
Eguenia sp
6.25
3.03
0.25
6.25
0.28
1.38
10.66
Kayu lem
-
6.25
3.03
0.25
6.25
0.71
3.46
12.72
Kelapa
Cocos nucifera
12.50
6.06
0.25
6.25
0.55
2.68
14.99
Ketapang
Terminalia cattapa
75.00
36.36
1.00
25.00
6.80
33.25
94.61
Pulai
Alstonia scolaris
12.50
6.06
0.25
6.25
1.20
5.85
18.16
Waru
Hibiscus tiliaucens
6.25
3.03
0.25
6.25
0.41
2.02
11.30
206.25
100.00
4.00
100.00
20.47
100.00
300.00
Total
Untuk tingkat tiang, jenis yang mempunyai nilai INP terbesar adalah Waru (Hibiscus tiliaucens) dengan nilai INP 70,40 %, sedangkan jenis yang memiliki nilai INP terrendah adalah Pala dengan nilai INP 18,90. Hasil analisis untuk tingkat Tiang menunjukkan bahwa Hibiscus tiliaucens memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan faktor lingkungan dibandingkan
dengan jenis–jenis yang lain. Nilai INP terbesar adalah jenis Siriporar (Ficus sp) dengan INP 53,36, sedangkan INP terrendah adalah jenis Beringin (Ficus benjamina) dan Gayang dengan INP 17,79. Nilai INP terbesar adalah jenis Ketapang (Terminalia cattapa) dengan INP 60,36, sedangkan nilai INP terrendah adalah jenis pulai dan Siripopar (Ficus sp) dengan INP 17,09.
Tabel.2. Indeks Nilai Penting setiap Species Tingkat Tiang Nama jenis Bintanggur Gayang Gondal Kelapa Ketapang Pala Pulai Siripopar Waru Total
Nama latin Callopphyllium spp Falcataria sp Ficus septica Cocos nucifera Terminalia cattapa Myristica fragrans Alstonia scolaris Ficus sp Hibiscus tiliaucens
K 50.00 75.00 50.50 50.50 25.25 25.25 50.50 75.00 150.00 550.00
KR 9.09 13.64 9.09 9.09 4.55 4.55 9.09 13.64 27.27 100.00
Untuk tingkat sapihan dan semai Ficus sp dan Terminalia cattapa mempunyai toleransi
F 0.50 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.50 0.50 3.00
FR 16.67 8.33 8.33 8.33 8.33 8.33 8.33 16.67 16.67 100.00
D 1.15 1.07 0.83 1.02 0.79 0.57 0.58 0.92 2.49 9.42
DR 12.21 11.35 8.85 10.83 8.33 6.02 6.17 9.77 26.46 100.00
INP 37.97 33.32 26.28 28.26 21.21 18.90 23.59 40.07 70.40 300.00
yang tinggi terhadap perubahan faktor lingkungan dibandingkan dengan jenis–jenis yang lain.
Tabel. 3. Indeks Nilai Penting setiap Species Tingkat Sapihan/Pancang Nama jenis Bintanggur Gayang Gondal Ketapang Siripopar Waru Total
Nama latin Callopphyllium spp Falcataria sp Ficus septica Terminalia cattapa Ficus sp Hibiscus tiliaucens
K 200.00 200.00 400.00 400.00 600.00 500.00 2,300.00
KR 8.70 8.70 17.39 17.39 26.09 21.74 100.00
Donny Japly Pugesehan
F 0.25 0.25 0.50 0.50 0.75 0.50 2.75
FR 9.09 9.09 18.18 18.18 27.27 18.18 100.00
INP 17.79 17.79 35.57 35.57 53.36 39.92 200.00
16
Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 1 Maret 2011 Tabel.4. Indeks Nilai Penting setiap Species Tingkat Semai
Nama jenis Nama latin K KR F FR INP Bintanggur 1,875.00 12.00 0.25 9.09 21.09 Callopphyllium spp Gayang 1,875.00 12.00 0.25 9.09 21.09 Falcataria sp Gondal 2,500.00 16.00 0.25 9.09 25.09 Ficus septica Ketapang 3,750.00 24.00 1.00 36.36 60.36 Terminalia cattapa Pulai 1,250.00 8.00 0.25 9.09 17.09 Alstonia scolaris Siripopar 1,250.00 8.00 0.25 9.09 17.09 Ficus Sp Waru 3,125.00 20.00 0.05 18.18 38.18 Hibiscus tiliaucens Total 15,625.00 100.00 2.75 100.00 200.00 Hasil analisa Indeks Nilai Penting ini dapat akibat dari aktivitas pembangunan yang terjadi di disimpulkan bahwa pada tingkat tertentu toleransi daerah ini, kemungkinan kerusakan yang terjadi dari jenis–jenis vegetasi berbeda–beda. Hal ini akibat dari penebangan atau karena kondisi terlihat jelas pada jenis Terminalia cattapa, pada tanah yang kurang subur dan tidak begitu lebar, tingkat pohon dan semai mempunyai toleransi sehingga hanya terdapat satu jenis saja yang yang tinggi, kemudian mengalami pergeseran/ paling dominan. penurunan pada tingkat tiang dan sapihan, KESIMPULAN DAN SARAN begitupun dengan Hibiscus tilliaucens untuk tingkat Tiang mempunyai toleransi yang tinggi Kesimpulan tetapi mengalami pergeseran/penurunan pada tingkat pohon, sapihan dan semai. Pada jenis–jenis 1. Vegetasi Pantai Natsepa didominasi oleh formasi vegetasi barringtonia. yang lain mengalami pergeseran/penurunan yang cukup besar, tingkat toleransi tanaman terhadap 2. Tingkat toleransi tiap – tiap jenis berbeda - beda untuk tingkat pohon dan semai di perubahan faktor lingkungan bervariasi antar jenis domonasi oleh jenis Terminalia cattapa. maupun tingkat pertumbuhannya. Kemampuan suatu jenis untuk tetap bertahan ditentukan oleh 3. Tingkat toleransi tertinggi untuk tingkat berbagai faktor, diantaranya sifat jenis itu sendiri tiang dan sapihan di dominasi oleh jenis dan tanggapannya terhadap faktor lingkungan. Hibiscus tilliaucens Indeks keragaman merupakan ciri tingkat 4. Indeks Keragaman (H) menunjukan bahwa komunitas untuk menyatakan struktur komunitas Vegetasi Pantai Natsepa dalam kondisi tidak tumbuhan, keragaman juga dapat digunakan untuk stabil, telah mengalami tekanan/gangguan mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan yang cukup besar, tekanan atau gangguan menjaga dirinya untuk tetap stabil meskipun ini terjadi akibat berbagai aktivitas pembanada gangguan terhadap komponennya. Hasil gunan dilakukan pada daerah ini. perhitungan indeks Keragaman (H) dilokasi hutan Pantai Natsepa menunjukan bahwa komunitas Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka yang paling tinggi keanekargamannya adalah disaran kepada pihak–pihak terkait, baik itu pada tingkat sapihan/pancang dengan nilai Indeks pemerintah, masyarakat maupun pengelola Keragamannya (H) adalah –1,72,, sedangkan dari kawasan ini bahwa, laju pertumbuhan komunitas dengan nilai Indek Keragaman yang pembangunan yang terjadi di kawasan ini perlu paling rendah adalah tingkat pohon dengan nilai ditata sesuai dengan kondisi dan daya dukung dari keragamannya (H) adalah -2,21. kawasan ini. Aktivitas, baik aktivitas ekonomi, Hasil analis vegetasi yang diperoleh pariwisata dan lainnya perlu diperhatikan dengan dapat disimpulkan bahwa vegetasi hutan Pantai baik, serta dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari Natsepa tergolong tidak stabil. Ketidakstabilan ini masyarakat tentang fungsi dan peranan hutan disebabkan karena hutan pantai ini telah mendapat tekanan/gangguan (kerusakan) yang sangat besar pantai bagi kelangsung hidup.
Analisis Kondisi Hutan di Kawasan Pantai Natsepa Kabupaten Maluku Tengah
Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 1 Maret 2011
17
DAFTAR PUSTAKA Bengen, DG. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan laut Serta Prinsip Pengelolaannya. PKSPL IPB. Bogor. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Latifah, S. 2005. Analsis Vegetasi Hutan Alam. Universitas Sumatera Utara. Nybakken, W. R. 1988. Biologi Laut suatu pendekatan ekologis. Penerbit PT Gramedia. Jakarta Sugiarto dan Ekariyono, W. 1996. Penghijauan Pantai. Penebar Swadaya. Jakarta. Soerianegara dan Indrawan, 1976. Ekologi Hutan Indonesia, Lembaga Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB, Bogor Tuhuteru,D.F. 2009 Hakekat Hutan Pantai Indonesia. Universitas Haluoleo Kendari
Donny Japly Pugesehan