ANALISIS KETERKAITAN PERTUMBUHAN, PENGANGGURAN DAN KETIMPANGAN TERHADAP KEMISKINAN PROVINSI JAWA TENGAH 2004-2010
WALUYO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Keterkaitan Pertumbuhan, Pengangguran dan Ketimpangan terhadap Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah 2004-2010 adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Waluyo NRP. H151104484
ABSTRACT
WALUYO. The Linkage Between Growth, Unemployment and Income Inequality on Poverty in Central of Java Province, 2004-2010. Under direction of SRI HARTOYO and LUKYTAWATI ANGGRAENI. The issues about the benefit of growth for the poor have been a priority in development policy. Poverty reduction can be achieved by income growth and distribution. The objectives of this study are to analize the relation between income percapita growth, unemployment and inequality on poverty reduction in Central of Java Province and to identify the determinant of those factors. Using Panel Two-Stage Least Square (2SLS), the results show that the income percapita growth is significantly influenced by the the rate of skilled labor growth, mean years schoolling of labor, the invesment, the quality of transportation and electrical infrastructure, and government spending on investment. The unemployment growth is positively influenced by the growth in skilled and unskilled labor supply and negatively by income percapita growth. The change in income inequality is positively influenced by income percapita growth, education inequality, price index and negatively affected by government spending on investment. The income percapita growth has the largest impact on poverty reduction, but its effectiveness reduced by the growth in unemployment and price index. In the period of 2004-2010, economic growth in Central of Java Province was not pro poor. Keywords: growth, inequality, unemployment, poverty reduction, panel 2SLS
RINGKASAN WALUYO. Analisis Keterkaitan Pertumbuhan, Pengangguran dan Ketimpangan terhadap Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah 2004-2010. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan LUKYTAWATI ANGGRAENI. Pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan tingkat kemiskinan. Setinggi apapun pendapatan nasional perkapita dan pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara selama distribusi pendapatan berjalan tidak merata maka tingkat kemiskinan akan tetap tinggi. Sebaliknya, meskipun distribusi pendapatan telah berjalan merata jika tidak didukung oleh pendapatan nasional perkapita dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka kemiskinan juga akan semakin meluas (Todaro dan Smith, 2006). Sudah menjadi konsensus bahwa pertumbuhan menjadi syarat yang diperlukan untuk menurunkan kemiskinan, namun belum menjadi syarat kecukupan. Pengentasan kemiskinan akan berjalan lebih efektif jika pertumbuhan yang dihasilkan mampu mendorong perluasan kesempatan kerja dan diimbangi dengan kebijakan redistribusi yang akan membawa pada distribusi yang lebih merata (Bourguignon, 2004). Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi yang memiliki permasalahan kemiskinan cukup kompleks. Berdasarkan data BPS, Jawa Tengah selalu memiliki tingkat kemiskinan (HCI) di atas level nasional dan memiliki populasi penduduk miskin (HC) terbanyak kedua setelah Jawa Timur. Hal ini menjadi sangat ironis karena secara administratif Jawa Tengah memiliki lokasi yang strategis, yakni berada di sentral Pulau Jawa yang dekat dengan pusat perekonomian dan kekuasaan sehingga menjadi modal yang baik bagi perkembangan perekonomian. Pencapaian target MDG’s dan RPJM sampai tahun 2011 masih jauh di atas sasaran. Kemiskinan menunjukkan tren menurun, namun penurunannya lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan yang dicapai. Permasalahan kemiskinan menjadi semakin kompleks karena alokasi sumber daya ekonomi, sumber daya manusia dan infrastruktur yang tidak tersebar secara merata antar kabupaten/kota, sehingga kinerja perekonomian dan pola kemiskinan antar wilayah menjadi sangat beragam. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, menganalisis dinamika pertumbuhan pendapatan perkapita, pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan antar waktu dan antar wilayah di Jawa Tengah. Kedua, menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan, distribusi pendapatan dan kemiskinan. Ketiga, menganalisis determinan dari pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari BPS RI, BPS Provinsi Jawa Tengah, dan Kementrian Keuangan RI. Data pokok mencakup pendapatan perkapita yang diproksi dengan PDRB perkapita, ketenagakerjaan, kemiskinan, indeks ketimpangan, stok kapita/investasi, infrastruktur, indeks harga dan belanja pembangunan. Penelitian mencakup semua kabupaten/kota di Jawa Tengah selama 2004-2010. Metode analisis untuk menjawab tujuan terdiri dari analisis deskriptif menggunakan tren, kuadran, peta tematik dan Poverty Growth Curve (PGC) serta analisis ekonometrika menggunakan regresi penel simultan.
Hasil penelitian menunjukkan selama periode 2004-2010, pendapatan perkapita di level provinsi dan semua kabupaten/kota memiliki tren meningkat dan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara level pendapatan perkapita kondisi awal dengan tren perubahannya. Ketimpangan pendapatan pada level provinsi dan mayoritas kabupaten/kota memiliki tren yang meningkat sehingga distribusi pendapatan semakin tidak merata. Kemiskinan pada level provinsi dan mayoritas kabupaten/kota memiliki tren yang menurun, meskipun terdapat beberapa daerah kota yang memiliki tren kemiskinan meningkat. Terdapat hubungan positif antara level pendapatan perkapita dan kemiskinan antar kabupaten/kota. Secara umum, manfaat hasil pertumbuhan selama periode 20042010 secara dominan dinikmati oleh 10% penduduk berpendapatan tertinggi, sehingga pertumbuhan selama periode tersebut belum bersifat pro poor. Penelitian juga menghasilkan temuan determinan yang menjadi sumber pertumbuhan pendapatan perkapita terdiri dari pertumbuhan jumlah pekerja terampil, rata-rata usia lama sekolah, kualitas infrastruktur listrik dan jalan raya, perubahan stok kapita/investasi dan belanja pembangunan. Pertumbuhan jumlah penganggur dipengaruhi oleh pertumbuhan jumlah angkatan kerja menurut pendidikan (SLTA ke atas dan SLTP ke bawah), sementara pertumbuhan pendapatan perkapita memiliki pengaruh positif dalam menurunkan jumlah penganggur. Ketimpangan pendapatan antar penduduk memiliki hubungan yang searah dengan pertumbuhan pendapatan perkapita, ketimpangan pendidikan dan indeks harga, tetapi tidak berhubungan searah dengan belanja pembangunan. Selama periode 2004-2010, pertumbuhan pendapatan perkapita menjadi determinan terpenting bagi penurunan jumlah penduduk miskin, namun efektivitasnya menjadi berkurang karena pertumbuhan juga membawa pada distribusi pendapatan yang semakin tidak merata. Kenaikan indeks harga dan jumlah penganggur juga turut mengurangi efektivitas pengentasan kemiskinan. Saran yang dapat diberikan diantaranya adalah: 1). mempertajam kualitas pertumbuhan melalui perbaikan infrastruktur, kualitas modal manusia, kegiatan investasi dan meningkatkan porsi belanja pembangunan, terutama di kabupaten yang perekonomiannya masih tertinggal dan belum berkembang; 2). Pertumbuhan yang tinggi juga membawa pada distribusi pendapatan yang semakin timpang, sehingga pemerintah seharusnya tidak hanya fokus dalam mengejar akselerasi pertumbuhan, tetapi juga fokus dalam memperbaiki distribusi pendapatan melalui kebijakan redistribusi yang lebih progresif serta mempertajam efektivitas kebijakan transfer subsidi yang sedang/akan dilakukan; 3). Pendidikan menjadi sumber pertumbuhan terpenting dan menjadi variabel antara bagi pengentasan kemiskinan, sehingga diperlukan kebijakan untuk memperluas kesempatan dan menjamin pemerataan bersekolah bagi penduduk miskin dengan cara memberi kuota tempat sampai tingkatan pendidikan menengah dan memberi beasiswa bagi yang berprestasi sampai level pendidikan tinggi; 4). Distribusi pendapatan dan kemiskinan sangat sensitif terhadap perubahan indeks harga, sehingga diperlukan kebijakan untuk menjamin stabilitas harga terutama harga kebutuhan dasar. Kata kunci: pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan, kemiskinan, panel 2SLS
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS KETERKAITAN PERTUMBUHAN, PENGANGGURAN DAN KETIMPANGAN TERHADAP KEMISKINAN PROVINSI JAWA TENGAH 2004-2010
WALUYO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yeti Lies Purnamadewi, M.Sc.Agr
Judul Penelitian : Analisis Keterkaitan Pertumbuhan, Pengangguran dan Ketimpangan terhadap Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah 2004-2010 Nama : Waluyo NRP
: H151104484
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Sri Hartoyo, M.S Ketua
Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P.,M.Si Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 13 Agustus 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Ungkapan puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas petunjuk, rahmat dan kekuatanNya penulis mampu menyelesaikan tesis dengan judul “Analisis Keterkaitan Pertumbuhan, Pengangguran dan Ketimpangan terhadap Kemiskinan Jawa Tengah 2004-2010”. Tesis ini menjadi salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Untaian terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada Dr. Sri Hartoyo, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si selaku anggota komisi pembimbing atas waktu, bimbingan dan arahan selama masa penyusunan tesis serta Dr. Ir. Yeti Lies Purnamadewi, M.Sc.Agr selaku penguji luar komisi dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku penguji wakil program studi atas kesediaannya menjadi penguji dan atas semua koreksi serta masukannya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua dosen pengajar dan segenap pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta yang telah memberi kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh rekanrekan batch 3 Program Studi IE atas semua diskusinya serta rekan-rekan di BPS Provinsi D.I. Yogyakarta atas semua bantuannya. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih kepada Hj. Suminah (ibu), Tri Handayani (istri), Muhammad Shofwan Hanif (anak pertama), Syahran Zakiya Absyar (anak kedua) dan Rizal Aulia Hikmaturrahim (anak ketiga) beserta seluruh keluarga besar di Yogyakarta dan Temanggung atas doa, pengorbanan, dukungan dan kesabarannya. Akhirnya, penulis berharap agar tesis ini menjadi bermanfaat dan mampu memberi kontribusi serta solusi terkait dengan persoalan kemiskinan di level regional Jawa Tengah maupun daerah lainnya.
Bogor,
Agustus 2012 Penulis,
Waluyo
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Temanggung (Jawa Tengah) pada tanggal 4 Oktober 1977. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan H. Nur Sarno (Alm) dan Hj. Suminah. Penulis menikah dengan Tri Handayani dan dikaruniai tiga orang putra, yakni Muhammad Shofwan Hanif, Syahran Zakiya Absyar dan Rizal Aulia Hikmaturrahim. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Mondoretno, Temanggung pada tahun 1990 dan selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 2 Temanggung pada tahun 1993. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 2 Temanggung dan lulus pada tahun 1996, kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta Program Diploma III dan tamat pada tahun 1999. Sejak tahun 1999 penulis bekerja di Badan Pusat Statistik Provinsi D.I. Yogyakarta dan pada tahun 2002 penulis kembali melanjutkan pendidikan Program Diploma IV STIS, tamat pada tahun 2003 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Pada tahun 2010, penulis mengikuti program alih jenis S1 di Departemen Ilmu Ekonomi FEM Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2010. Setelah itu, penulis melanjutkan kuliah pada Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui program beawiswa Badan Pusat Statistik.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xxi
I
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
1.1
Latar Belakang ......................................................................................
1
1.2
Perumusan Masalah ..............................................................................
6
1.3
Tujuan Penelitian ..................................................................................
8
1.4
Manfaat Penelitian ................................................................................
8
1.5
Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................
9
II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
11
2.1
Pertumbuhan Ekonomi .........................................................................
11
2.1.1 Definisi Pertumbuhan Ekonomi dan Pengukurannya ...............
11
2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi ....................................................
12
2.1.2.1 Teori Pertumbuhan Harold Domar ................................
12
2.1.2.2 Teori Pertumbuhan Solow .............................................
13
2.1.2.3 Teori Pertumbuhan Endogen ........................................
16
2.2
Konsep dan teori Pengangguran ..........................................................
18
2.3
Teori Ketimpangan Pendapatan ...........................................................
21
2.3.1 Konsep Distribusi Pendapatan ...................................................
21
2.3.2 Pengukuran Ketimpangan Pendapatan ......................................
22
Teori Kemiskinan ..................................................................................
25
2.4.1 Definisi Kemiskinan ..................................................................
25
2.4.2 Pengukuran Kemiskinan di Indonesia .......................................
26
2.4.3 Indikator Kemiskinan ................................................................
27
Kerangka Analitis Hubungan antara Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan dan Kemiskinan .............................................................
29
2.5.1 Model Pembangunan Dua Sektor Lewis ...................................
29
2.5.2 Keterkaitan Pertumbuhan Dengan Ketimpangan ......................
31
2.5.3 Keterkaitan Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan .......
32
2.5.4 Analisis Poverty Growth Curve (PGC) .....................................
36
2.4
2.5
xiii
2.6
Determinan Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan ...................................................................................
37
2.7
Tinjauan Empiris Penelitian Terdahulu ................................................
39
2.8
Kerangka Pemikiran ............................................................................
43
2.9
Hipotesis Penelitian .............................................................................
44
III METODE PENELITIAN .............................................................................
45
3.1
Jenis dan Sumber Data ........................................................................
45
3.2
Metode Analisis ...................................................................................
46
3.2.1. Analisis Deskriptif ....................................................................
47
3.2.2 Analisis Regresi Data Panel ..........................................................
48
3.2.3 Regresi Data Panel Statis ..........................................................
51
3.2.4 Pemilihan Model (Hausman Test) .............................................
58
3.2.5 Persamaan Simultan dengan Error Component ........................
59
3.2.6 Pengujian Parameter Model ......................................................
60
3.2.7 Pengujian Asumsi .......................................................................
62
3.3
Spesifikasi Model ..................................................................................
63
3.4
Definisi Operasional ..................................................................................
65
IV DINAMIKA PERTUMBUHAN, PENGANGGURAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN .......................................................
69
4.1
4.2
4.3
4.4 xiv
Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah ..............................................
69
4.1.1 Karakteristik Wilayah Administrasi............................................
69
4.1.2 Infrastruktur Wilayah .................................................................
70
4.1.3 Karakteristik Perekonomian........................................................
73
4.1.4 Karakteristik Sumber Daya Manusia ..........................................
76
Dinamika Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan ....................................................................................
79
4.2.1 Dinamika Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita ..
79
4.2.2 Dinamika Angkatan Kerja dan Pengangguran ..........................
85
4.2.3 Dinamika Ketimpangan Pendapatan ........................................
88
4.2.4 Dinamika Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah ..........................
93
Kuadran Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan ......................
96
4.3.1 Kuadran Pertumbuhan dengan Ketimpangan ...........................
97
4.3.2 Kuadran Ketimpangan dengan Kemiskinan .............................
98
4.3.3 Kuadran Pertumbuhan dengan Kemiskinan ..............................
99
Analisis Poverty Growth Curve (PGC) ...............................................
101
V HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 105 5.1
Model Pertumbuhan Pendapatan Perkapita ......................................... 105
5.2
Model Pencari Kerja/Pengangguran ................................................... 109
5.3
Model Ketimpangan ............................................................................. 113
5.4
Model Kemiskinan ............................................................................... 116
5.5
Simulasi Kebijakan ............................................................................. 120 5.5.1 Validasi Model ........................................................................... 121 5.5.2 Dampak Kenaikan Belanja Pembangunan ................................. 121 5.5.3 Dampak Kenaikan Stok Kapita dan Indeks Harga .................... 124
VI KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 127 `
6.1
Kesimpulan ......................................................................................... 127
6.2
Saran dan Implikasi Kebijakan ............................................................ 128
6.2
Saran Lebih Lanjut ................................................................................ 129
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 130
xv
Halaman ini sengaja dikosongkan
xvi
DAFTAR TABEL 1.
Tingkat Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah dan Nasional (Persen) .........
5
2.
Jenis dan Sumber Data dalam Penelitian ...................................................
46
3.
Kriteria Identifikasi Autokorelasi ..............................................................
63
4.
IPM Jawa Tengah Beserta Komponennya, 2004-2010 ..............................
76
5.
Penduduk Usia Kerja Provinsi Jawa Tengah menurut Status Ketenagakerjaan, 2004-2010 ....................................................................
86
Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) Provinsi Jawa Tengah menurut Wilayah, 2004-2010 ....................................................................
89
Pengeluaran Perkapita Riil per Bulan dan Pertumbuhannya Menurut Persentil dan Wilayah di Jawa Tengah Tahun 2004 dan 2010 .................
101
8.
Hasil Estimasi Model Pertumbuhan ..........................................................
105
9.
Hasil Estimasi Model Pengangguran ........................................................
110
10.
Hasil Estimasi Model Ketimpangan .........................................................
113
11.
Hasil Estimasi Model Kemiskinan .............................................................
117
12.
Hasil Validasi Variabel Endogen Pada Model Estimasi ...........................
121
13.
Hasil Simulasi Peningkatan Belanja Pembangunan Sebesar 22 Persen ...
122
14.
Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APDB
6. 7.
15.
Kabupaten/Kota Sebesar 18 Persen, 20 Persen dan 23 Persen .................
123
Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Sebesar 8 Persen (Sim-c) dan Indeks Harga sebesar 2,68 Persen (Sim-d) ...............................................
125
xvii
Halaman ini sengaja dikosongkan
xviii
DAFTAR GAMBAR 1.
Tingkat Kemiskinan (Head Count Index) dan Persebaran Penduduk Miskin Menurut Provinsi Tahun 2009 (Persen) .......................................
4
Tingkat Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2010 ...........................................................................................................
6
Kondisi Steady State dan Dampak Kenaikan Tabungan Terhadap Kondisi Steady State .................................................................................
16
4.
Bagan Pembagian Penduduk Menurut Status Ketenagakerjaan ...............
19
5.
Kekakuan Upah Riil dalam Memengaruhi Pengangguran .........................
20
6.
Kurva Lorenz ............................................................................................
23
7.
Model Pembangunan Dua Sektor Lewis ...................................................
30
8.
Kurva U-Terbalik Hipotesis Kuznets ........................................................
31
9.
Keterkaitan Pertumbuhan dengan Kemiskinan .........................................
33
10.
Segitiga Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan .............................
34
11.
Perubahan Kemiskinan Akibat Efek Pertumbuhan dan Efek Distribusi ...
35
12.
Kerangka Pemikiran ..................................................................................
43
13.
Ringkasan Prosedur Analisis .....................................................................
46
14.
Estimasi Dengan Pendekatan Pooled Least Square (PLS) .......................
53
15.
Estimasi Dengan Pendekatan Within Group (WG) ...................................
54
16.
Kepadatan Penduduk Provinsi Jawa Tengah Menurut Kabupaten/ Kota Tahun 2010 (Jiwa/Km2) ............................................................................
69
Infrastruktur Jalan Raya dan Listrik menurut Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2010 ..................................................................................
71
Boxplot Perkembangan Infrastruktur Jalan Raya dan Listrik menurut Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2004-2010 .....................................
72
Komposisi PDRB dan Penduduk Bekerja menurut Lapangan Usaha Tahun 2010 (Persen) ..................................................................................
74
Sektor Dominan dan Pangsa Penduduk Bekerja (Persen) menurut Lapangan Usaha dan Kabupaten/Kota Tahun 2010 ..................................
75
21.
IPM Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010 .........................
77
22.
Komponen IPM menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010 ............................
78
23.
Level PDRB Perkapita Penduduk Jawa Tengah Atas Dasar Harga Berlaku dan Konstan serta Pertumbuhannya Tahun 2000-2010 ...............
80
Pola Perkembangan PDRB Perkapita Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota Tahun 2004-2010 (Rp Juta) ............................................
81
2. 3.
17. 18. 19. 20.
24.
xix
25.
Tren Pertumbuhan PDRB Perkapita 2004-2010 (Persen) dan Level PDRB Perkapita 2004 (Rp Juta) menurut Kabupaten/Kota ......................
82
Pengelompokan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Berdasarkan Tipologi Klassen Tahun 2004 dan 2010 ..................................................................
83
Perubahan Posisi Kuadran Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Berdasarkan Tipologi Klassen, 2004-2010 ....................................................................
85
Tren TPT 2004-2010 dan Level TPT 2010 menurut Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah ..............................................................................................
87
Indeks Ketimpangan (Gini Rasio) menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2004-2010 .........................................................................
91
Tren Ketimpangan Distribusi Pendapatan menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 ..................................................................................................
92
Jumlah Penduduk Miskin Jawa Tengah (000 Jiwa) dan Persentase Kemiskinan menurut Wilayah, 1999-2010 ...............................................
93
Level Kemiskinan (P 0 ) menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2004-2010 (Persen) ..................................................................................
94
Tren Perubahan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004-2010 .........................................................................
96
Scatterplot Pertumbuhan Pendapatan Perkapita (Persen) dangan Indeks Ketimpangan Tahun 2004 dan 2010 ........................................................
97
35.
Scatterplot Ketimpangan dangan Kemiskinan Tahun 2004 dan 2010 .....
99
36.
Scatterplot Pertumbuhan dan Kemiskinan Tahun 2004 dan 2010 ...........
100
37.
Poverty Growth Curve Jawa Tengah Periode 2004-2010 .........................
102
38.
Proporsi Jumlah Penganggur di Jawa Tengah menurut Pendidikan .........
112
39.
Pangsa Konsumsi menurut Kelompok Pengeluaran (Kuintil) di Jawa Tengah Tahun 2004 dan 2010 ...................................................................
114
Usia Rata-rata Lama Sekolah Penduduk menurut Kelompok Pengeluaran (Kuintil) di Jawa Tengah Tahun 2010 .......................................................
115
Kurva Distribusi Penduduk menurut Pengeluaran Perkapita di Jawa Tengah Tahun 2004 dan 2010 ...................................................................
120
26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.
40. 41.
xx
DAFTAR LAMPIRAN 1.
PDRB Perkapita Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 .....
135
2.
Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 (Persen) ........ 136
3.
Indeks Ketimpangan Pendapatan Penduduk Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 ...................................................................... 137
4.
Indeks Ketimpangan Pendidikan di Jawa Tengah menurut Kabupaten/ Kota, 2004-2010 ........................................................................................ 138
5.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 ...................................................................... 139
6.
Rata-rata Usia Lama Sekolah Penduduk Berusia Produktif di Jawa Tengah menurut Kabupaten/ Kota, 2004-2010 .......................................... 140
7.
Posisi Kuadran Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Berdasarkan Tipologi Klassen, 2004-2010 ................................................................................... 141
8.
Identifikasi Persamaan Struktural dengan Order Condition ......................
142
9.
Hasil Estimasi Model Pertumbuhan ..........................................................
142
10.
Hasil Estimasi Model Pengangguran ........................................................
143
11.
Hasil Estimasi Model Ketimpangan .........................................................
144
12.
Hasil Estimasi Model Kemiskinan .............................................................
145
13.
Hasil Validasi Model Menggunakan Koefisien Determinasi (R2) .............
146
14.
Hasil Simulasi Peningkatan Belanja Pembangunan Sebesar 22 Persen di Semua Kabupaten/Kota ............................................................................. 148
15.
Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APBD Kabupaten/Kota Menjadi 18 Persen ............................................... 149
16.
Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APBD Kabupaten/Kota Menjadi 20 Persen Menurut Tipologi Klassen ... 150
17.
Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APBD Kabupaten/Kota Menjadi 23 Persen Menurut Tipologi Klassen ... 151
18.
Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Sebesar 8 Persen di Kabupaten/ Kota Menurut Tipologi Klassen ................................................................. 152
19.
Hasil Simulasi Peningkatan Indeks Harga Sebesar 2,68 Persen di Kabupaten/Kota Menurut Tipologi Klassen .............................................. 153
xxi
Halaman ini sengaja dikosongkan
xxii
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perbaikan secara multidimensional
dan berkesinambungan dari suatu masyarakat atau sistem sosial menuju tatanan kehidupan yang lebih baik. Proses pembangunan tidak sekedar merepresentasikan aspek ekonomi dalam mengejar akselerasi pertumbuhan, namun memiliki aspek yang lebih luas yakni menyangkut transformasi struktur perekonomian, sosial dan kultural, kelembagaan, serta sikap dan mental berfikir masyarakat. Tujuan terpenting dari proses pembangunan adalah meningkatkan standar kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan serta memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang membebaskan masyarakat dari sifat ketergantungan (Todaro dan Smith, 2006). Aspek pertumbuhan ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan memiliki hubungan yang sangat kompleks dan saling memiliki ketergantungan antara yang satu dengan yang lain. Setinggi apapun pendapatan nasional perkapita dan pertumbuhan yang dicapai oleh suatu negara selama distribusi pendapatan berjalan tidak merata maka tingkat kemiskinan akan tetap tinggi. Sebaliknya, meskipun distribusi pendapatan telah berjalan merata jika pendapatan nasional perkapita dan pertumbuhan rendah maka kemiskinan juga akan semakin meluas (Todaro dan Smith, 2006). Permasalahan yang terpenting bukan bagaimana cara menumbuhkan perekonomian, namun bagaimana kualitas dari pertumbuhan yang dihasilkan. Dalam perspektif yang lebih luas adalah siapa dan seberapa besar bagian dari penduduk yang terlibat dalam aktivitas perekonomian serta siapa yang memperoleh manfaat dari hasil pertumbuhan. Sudah menjadi konsensus bersama bahwa pertumbuhan menjadi syarat yang diperlukan (necesarry condition) untuk menurunkan kemiskinan, namun belum menjadi syarat kecukupan (sufficient condition). Pertumbuhan ekonomi yang berdiri sendiri ibarat pisau yang akan berkurang ketajaman atau manfaatnya bagi pengentasan kemiskinan (Kakwani et al, 2004). Pengentasan kemiskinan akan mampu berjalan lebih efektif jika pertumbuhan yang dihasilkan diimbangi
2
dengan kebijakan redistribusi pendapatan, aset, kekayaan serta ketrampilan yang akan membawa pada kondisi distribusi yang lebih merata (Bourguignon, 2004). Fenomena umum yang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang (NSB) termasuk Indonesia menunjukkan bahwa aktivitas perekonomian hanya digerakkan dan dikuasai oleh sebagian kecil dari penduduk, yakni para pemilik modal. Distribusi kepemilikan aset dan sumber daya yang tidak merata menyebabkan mayoritas penduduk hanya memiliki peran yang sangat kecil, bahkan tak jarang keberadaan mereka hanya berfungsi sebagai penonton. Hal ini sangat berpengaruh terhadap distribusi manfaat yang dihasilkan oleh proses pembangunan yang belum dapat dinikmati secara merata oleh semua golongan penduduk.
Penduduk golongan atas masih lebih dominan dalam menerima
manfaat hasil pertumbuhan, sementara mayoritas penduduk golongan bawah masih belum menerima manfaat secara luas.
Akibatnya permasalahan
kemiskinan, pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan serta diskriminasi masih terus terjadi dan belum menunjukkan penurunan secara signifikan. Sejarah mencatat, strategi industrialisasi yang diterapkan pemerintahan Orde Baru melalui mobilisasi modal asing dan modal penduduk Indonesia yang berada di luar negeri pada tahap awal menunjukkan hasil yang sangat mengesankan. Hingga pertengahan dekade 1990-an, Indonesia mampu mencapai laju pertumbuhan ekonomi per tahun di atas 7 persen. Dalam kurun waktu yang bersamaan, pertumbuhan mampu mendorong penurunan tingkat kemiskinan dari 33,3 persen di akhir tahun 1978 menjadi 17,47 persen di tahun 1996. Kebijakan pembangunan yang bersifat sentralistik dan lebih berpihak pada usaha ekonomi berskala besar menyebabkan pondasi perekonomian menjadi rapuh. Mekanisme trickle down effect melalui akselerasi pertumbuhan tinggi yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan ketimpangan distribusi pendapatan kurang menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Distribusi
pendapatan justru bergerak ke arah yang semakin tidak merata.
Puncaknya,
goncangan krisis ekonomi 1997/1998 yang bermula dari krisis nilai tukar mata uang berdampak luas pada penurunan kinerja perekonomian hingga mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif sebesar 13 persen. Selama masa krisis, harga barang dan jasa mengalami kenaikan yang sangat tajam sehingga inflasi pada
3
masa tersebut tercatat sebesar 77,63 persen dan mendorong peningkatan kemiskinan menjadi 24,23 persen pada tahun 1998. Permasalahan kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan telah menjadi fokus perhatian masyarakat baik di level nasional maupun internasional.
Deklarasi Millenium Development Goals (MDGs) pada bulan
September 2000 menempatkan pengentasan kemiskinan dan kelaparan sebagai tujuan pertama dari delapan butir kesepakatan dalam deklarasi (UNDP, 2003). Target yang ingin dicapai adalah mengurangi hingga setengah dari jumlah orang yang berpenghasilan di bawah US $1 sampai US $2 per hari dan mereka yang menderita kelaparan di akhir tahun 2015.
Guna mendukung tujuan tersebut,
Pemerintah Republik Indonesia menuangkan penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu visi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 dan dipertajam dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 20092014 dengan sasaran utama mempercepat penurunan tingkat kemiskinan di level nasional secara bertahap hingga mencapai 7-10 persen di akhir tahun 2014. Dalam jangka pendek, strategi pembangunan dituangkan dalam konsep triple track strategy yakni pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan (pro growth), penciptaan kesempatan kerja (pro job) dan memberikan manfaat pada kaum miskin (pro poor).
Pencapaian target MDG’s dan RPJP di level nasional sampai tahun 2011 berada di level 12,36 persen, artinya masih jauh di atas sasaran yang ditetapkan. Secara bertahap tingkat kemiskinan selama periode 1998-2011 menunjukkan tren yang semakin menurun dengan dengan rata-rata penurunan 0,394 persen per tahun.
Namun, jika dibandingkan dengan kinerja perekonomian nasional yang
mampu tumbuh di atas 5 persen per tahun maka penurunan kemiskinan terkesan berjalan lambat.
Salah satu penyebabnya adalah kompleksitas permasalahan
kemiskinan di level regional yang sangat beragam, tetapi strategi pengentasasan kemiskinan yang dijalankan masih bersifat sentralistik, serba seragam serta kurang memperhatikan aspek nilai lokal, budaya dan partisipasi masyarakat. Gambar 1 mengilustrasikan tingkat kemiskinan dan persebaran populasi penduduk miskin menurut provinsi di Indonesia pada tahun 2009. Keragaman permasalahan kemiskinan di level regional ditandai oleh persentase penduduk
4
miskin yang sangat bervariasi antar provinsi. Terdapat beberapa provinsi yang sudah memiliki level kemiskinan rendah di bawah 10 persen, namun masih banyak provinsi yang level kemiskinannya di atas 15 persen. 40
HCI Sebaran Populasi HCI Nasional
35
Persentase
30 25 20 15 10 5
Jawa Timur
Jawa Barat
Jawa Tengah
Sumut
Lampung
Sumsel
NTT
NTB
NAD
Sulsel
Banten
DIY
Papua
Riau
Sulteng
Sultra
Kalbar
Maluku
Sumbar
Bengkulu
DKI Jakarta
Jambi
Papua Barat
Kaltim
Gorontalo
Bali
Sulut
Kalsel
Kalteng
Kepri
Sulbar
Babel
Maluku Utara
0
Provinsi
Sumber : BPS, 2009
Gambar 1 Tingkat Kemiskinan (Head Count Index) dan Persebaran Penduduk Miskin Menurut Provinsi, 2009 (Persen)
Salah satu provinsi yang memiliki permasalahan kemiskinan yang cukup kompleks adalah Jawa Tengah. Berdasarkan data BPS, Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi yang selalu memiliki tingkat kemiskinan (Head Count Index/HCI) di atas level nasional dan memiliki populasi penduduk miskin (Head Count/HC) terbanyak kedua setelah Jawa Timur. Hal ini menjadi sangat ironis, karena secara administratif Jawa Tengah tepat berada di sentral Pulau Jawa yang dekat dengan pusat perekonomian maupun pusat kekuasaan sehingga menjadi strategis bagi perkembangan perekonomian.
Dengan lokasi geografis yang
strategis karena menjadi penghubung perdagangan dari Bagian Timur dan Barat Pulau Jawa dan dukungan infrastruktur fisik yang relatif lebih baik dibandingkan dengan provinsi lainnya di luar Pulau Jawa, Jawa Tengah justru menjadi wilayah yang memiliki populasi penduduk miskin sangat besar. Jumlah penduduk miskin Jawa Tengah pada tahun 2011 tercatat sebanyak 5,26 juta jiwa atau 16,21 persen dari populasi penduduk (Tabel 1). Dengan jumlah penduduk miskin secara nasional sebanyak 29,89 juta jiwa (12,36 persen), maka sebanyak 17,58 persen dari populasi penduduk miskin terdapat di Jawa Tengah.
Pencapaian target MDGs dan RPJP di level Provinsi Jawa Tengah
5
sampai tahun 2011 juga masih jauh di atas sasaran secara nasional. Tingkat kemiskinan selama periode 1999-2011 menunjukkan tren yang menurun dengan rata-rata penurunan sebesar 0,359 persen per tahun. Dibandingkan dengan tren penurunan kemiskinan di level nasional yang mencapai 0,394 persen maupun kinerja perekonomian Jawa Tengah yang mampu tumbuh di atas 5 persen per tahun, maka penurunan kemiskinan berjalan jauh lebih lambat.
Lambatnya
pengentasan kemiskinan disebabkan oleh pencapaian pertumbuhan yang tinggi belum dikompensasi oleh perbaikan dalam distribusi pendapatan. Selama periode tersebut, ketidakmerataan pendapatan yang diukur dengan Gini rasio nilainya berfluktuasi dan semakin meningkat dari 0,2524 di tahun 2001 menjadi 0,3087 di tahun 2010. Tabel 1 Tingkat Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah dan Nasional (Persen) Jawa Tengah Tahun
Jawa Tengah Nasional
K
D
K+D
1996
20,67
22,05
21,61
17,47
1999
27,80
29,05
28,46
2002
20,50
24,96
2003
19,66
2004 2005
Tahun
Nasional K
D
K+D
2006
18,90
25,28
22,19
17,75
23,43
2007
17,23
23,45
20,43
16,58
23,06
18,20
2008
16,34
21,96
19,23
15,42
23,19
21,78
17,42
2009
15,41
19,89
17,72
14,15
17,52
23,64
21,11
16,66
2010
14,33
18,66
16,56
13,33
17,24
23,57
20,49
15,97
2011
14,67
17,50
16,21
12,36
-0,394
-0,331
-0,359
-0,394
Rata-rata Penurunan per Tahun (Persen) Keterangan : K = Dearah Perkotaan; D = Daerah Perdesaan Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan 2002-2010, BPS
Permasalahan kemiskinan di Jawa Tengah menjadi semakin kompleks, karena alokasi sumber daya ekonomi, kualitas infrastruktur perekonomian dan sumber daya manusia tidak tersebar secara merata di level kabupaten/kota maupun antar daerah perkotaan dan perdesaan. Di satu sisi, terdapat beberápa daerah yang menjadi pusat konsentrasi perekonomian sehingga mampu tumbuh dan berkembang lebih maju. Di sisi lain, masih terdapat beberapa daerah yang perekonomiannya belum berkembang dan masih terbelakang. Ketidakmerataan tersebut juga berpengaruh terhadap keragaman dalam kinerja perekonomian maupun kesejahteraan penduduk antar wilayah.
Pola dan karakteristik
6
kemiskinan antar wilayah menjadi sangat beragam, meskipun keragaman dalam pola kemiskinan juga dipengaruhi oleh faktor yang lain seperti kondisi sosial budaya, politik, tata kelola pemerintahan maupun kondisi geografis. Gambar 2 mengilustrasikan keragaman pola kemiskinan antar kabupaten/ kota di Jawa Tengah pada tahun 2010. Berdasarkan Gambar 2, terdapat tujuh kabupaten/kota yang memiliki tingkat kemiskinan sekitar 10 persen, artinya sudah mendekati sasaran MDGs dan RPJP.
Ketujuh daerah tersebut adalah Kota
Semarang, Kota Salatiga, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kabupaten Semarang, Kudus dan Jepara.
Sebaliknya, masih terdapat delapan kabupaten yakni
Banyumas, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo, Rembang, Pemalang, Brebes dan Banjarnegara yang memiliki tingkat kemiskinan yang di atas 20 persen dan masih jauh di atas sasaran MDGs maupun RPJP.
Tingkat Kemiskinan (Persen)
30 25 20
Tingkat Kemiskinan Jawa Tengah 15 10 5
Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Bemak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
0
Kabupaten/Kota
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2010
Gambar 2 Tingkat Kemiskinan Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah, 2010
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, terdapat beberapa permasalahan yang
diidentifikasi terkait dengan fenomena kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Pertama, tingkat kemiskinan di level provinsi dan beberapa kabupaten masih sangat tinggi dan penurunannya berjalan lambat meskipun pertumbuhan ekonomi yang dicapai sudah cukup tinggi (di atas 5 persen per tahun). Kedua, distribusi pendapatan pada level provinsi bergerak semakin timpang/tidak merata, artinya pertumbuhan yang dihasilkan semakin tidak berpihak pada golongan penduduk
7
berpendapatan rendah. Ketiga, terdapat keragaman yang cukup mencolok dalam potensi ekonomi, infrastruktur dan sumber daya manusia antar kabupaten/kota yang menyebabkan pola dan karakteristik kemiskinan antar wilayah menjadi sangat beragam. Kemiskinan di kawasan perdesaan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan perkotaan dan penurunannya juga berjalan lebih lambat. Kemiskinan di daerah yang berstatus kabupaten juga cenderung lebih tinggi dari daerah yang berstatus kota. Keterkaitan antara pertumbuhan, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan menjadi topik penelitian yang banyak dikaji secara lintas negara maupun lintas regional dalam suatu negara. Beberapa penelitian sebelumnya (Wodon, 1999; Ravallion, 2001; Dollar dan Kraay, 2002; Hajiji, 2010) menyimpulkan tidak ada trade-off atau hubungan yang sistematis antara pertumbuhan pendapatan perkapita dengan ketimpangan distribusi pendapatan. Meskipun pendapatan perkapita secara-rata-rata meningkat, distribusi tidak mengalami perubahan secara signifikan. Artinya pertumbuhan lebih bersifat netral atau secara proporsional sama untuk semua golongan penduduk. Distribusi pendapatan yang tidak berubah tidak identik dengan tidak ada penurunan dalam kemiskinan. Tingkat kemiskinan tetap mengalami penurunan, namun tingkat kecepatan dalam penurunannya menjadi berkurang. Beberapa
penelitian
sebelumnya
mengkaji
keterkaitan
antara
pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan dengan membandingkan nilai elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan, elastisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan dan elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan. Secara eksplisit, penelitian tersebut belum mengkaji determinan apa yang mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita, perluasan kesempatan kerja maupun determinan yang menyebabkan perubahan dalam distribusi pendapatan dengan tujuan akhir pengentasan kemiskinan. Bertolak dari hal tersebut, maka penelitian mengenai keterkaitan antara pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan dan kemiskinan disertai dengan identifikasi determinan dari masing-masing variabel menjadi menarik untuk dilakukan pada level regional Jawa Tengah. Beberapa permasalahan yang dianalisis dalam penelitian dirumuskan sebagai berikut:
8
1. Bagaimana dinamika pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan antar waktu dan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah? 2. Mengapa penurunan kemiskinan berjalan lambat dan bagaimana keterkaitan antara pertumbuhan, distribusi pendapatan dengan penurunan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah? 3. Determinan apa saja yang memengaruhi pertumbuhan pendapatan perkapita, kesempatan kerja/pengangguran, ketimpangan pendapatan dan bagaimana pengaruhnya bagi pengentasan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah? 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka beberapa tujuan
yang ingin dicapai melalui penelitian tesis dirumuskan sebagai berikut: 1.
Menganalisis dinamika pertumbuhan ekonomi, pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan antar waktu dan antar wilayah di Jawa Tengah menggunakan análisis tren dan análisis kuadran.
2.
Menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan, distribusi pendapatan dan kemiskinan di Jawa Tengah dengan análisis Poverty Growth Curve (PGC).
3.
Menganalisis determinan yang memengaruhi pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan
pendapatan
dan
besarnya
pengaruh
bagi
pengentasan
kemiskinan di Jawa Tengah menggunakan model ekonometrika serta menganalisis dampak penerapan beberapa skenario kebijakan melalui peningkatan belanja pembangunan, investasi dan perubahan indeks harga. 1.4
Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh melalui penelitian
adalah sebagai berikut: 1.
Informasi mengenai dinamika pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan menggunakan analisis tren dan kuadran berguna untuk membandingkan tingkat kemajuan dalam pencapaian penanggulangan kemiskinan antar waktu dan antar wilayah sebagai bahan perencanaan dan evaluasi kebijakan penanggulangan kemiskinan.
9
2.
Informasi mengenai PGC berguna untuk mengetahui distribusi manfaat hasil pertumbuhan bagi semua golongan penduduk, sehingga berguna sebagai bahan evaluasi dalam menentukan arah dan orientasi pembangunan agar lebih berpihak kepada golongan penduduk miskin.
3.
Informasi mengenai determinan yang menjadi sumber pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan dan pengaruhnya bagi pengentasan kemiskinan sangat berguna sebagai bahan evaluasi kebijakan dan penentuan sasaran/ fokus kebijakan selanjutnya.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup análisis hanya mencakup tiga hal. Pertama, mengkaji
dinamika pertumbuhan pendapatan perkapita, pengangguran, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan antar waktu dan antar wilayah. Kedua, mengkaji keterkaitan antara pertumbuhan dan distribusi pendapatan dengan pengentasan kemiskinan.
Ketiga, menggali informasi mengenai determinan pertumbuhan,
ketimpangan, pengangguran dan pengaruhnya bagi pengentasan kemiskinan melalui model ekonometrika serta melakukan simulasi menggunakan beberapa skenario kebijakan. Lingkup wilayah mencakup semua kabupaten/kota di Jawa Tengah yang terdiri dari 28 kabupaten dan 5 kota. Lingkup waktu análisis selama periode 2004-2010, disesuaikan dengan ketersediaan data pokok mengenai kemiskinan sampai level kabupaten/kota. Keterbatasan dari penelitian hanya mengkaji permasalahan dari aspek ekonomi dan belum memasukkan aspek non-ekonomi. Keterbatasan yang lainnya menyangkut aspek tidak tersedianya data dari beberapa variabel, sehingga digunakan data yang lain proksi atau pendekatan.
10
Halaman ini sengaja dikosongkan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pertumbuhan Ekonomi
2.1.1
Definisi Pertumbuhan Ekonomi dan Pengukurannya Pertumbuhan ekonomi dalam perspektif ekonomi makro didefinisikan
sebagai penambahan nilai PDB riil dari waktu ke waktu, atau dapat juga diartikan sebagai meningkatnya kapasitas perekonomian suatu wilayah (Dornbusch et al, 2008). Dalam kerangka regional, konsep PDB identik dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Nilai PDB atau PDRB dapat dihitung melalui tiga
pendekatan, yakni pendekatan produksi, pendapatan dan pengeluaran (Dornbusch et al, 2008). Pendekatan produksi dan pendapatan merupakan pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply), sedangkan pendekatan pengeluaran merupakan pendekatan dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand). Produk Domestik Regional Bruto dari sisi produksi disebut PDRB sektoral didefinisikan sebagai penjumlahan Nilai Tambah Bruto (NTB) yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas ekonomi di suatu wilayah tertentu selama periode tertentu (biasanya satu tahun).
PDRB dengan pendekatan produksi disajikan dalam
sembilan sektor lapangan usaha, yakni: pertanian; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; listik, gas dan air bersih; konstruksi; perdagangan, hotel dan restoran; transportasi dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa. PDRB dengan pendekatan pendapatan dihitung berdasarkan jumlah pendapatan atau balas jasa yang diterima oleh semua faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi di semua sektor. Balas jasa atau pendapatan berupa upah/gaji untuk pemilik tenaga kerja, bunga atau hasil investasi bagi pemilik modal, sewa tanah bagi pemilik lahan serta keuntungan bagi pengusaha. Dari sisi pengeluaran, PDRB dihitung sebagai penjumlahan semua komponen permintaan akhir, yakni konsumsi rumah tangga (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G), serta ekspor bersih (X-M) dan dirumuskan sebagai: 𝑌 =𝐶+𝐼+𝐺+𝑋−𝑀
(2.1)
Konsep ekspor dan impor dalam kerangka regional mencakup semua nilai transaksi ekspor impor yang dilakukan oleh wilayah regional yang bersangkutan dengan
12
negara lain maupun dengan wilayah (region) lain dalam satu negara. Nilai PDRB dengan semua pendekatan biasa dihitung dan disajikan dalam dua bentuk yakni atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan pada tahun dasar tertentu. Nilai PDRB atas dasar harga konstan sering disebut sebagai PDRB riil dan mencerminkan nilai output yang dihitung dengan harga pada tahun dasar tertentu. Perubahan PDRB riil dari waktu ke waktu mencerminkan perubahan kuantitas dan sudah tidak mengandung unsur perubahan harga baik inflasi maupun deflasi. Nilai pertumbuhan ekonomi dihitung sebagai perubahan nilai output (PDRB riil) dari waktu ke waktu dan diformulasikan sebagai berikut : 𝑔=
𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡 − 𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1 𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1
(2.2)
dimana : g merupakan pertumbuhan ekonomi atau persentase perubahan PDRB dari periode t-1 sampai periode ke-t. Salah satu indikator yang merepresentasikan tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara/wilayah secara kasar adalah pendapatan nasional/regional perkapita.
Nilai pendapatan nasional/regional perkapita dihitung dari jumlah
pendapatan nasional/regional suatu wilayah dibagi dengan jumlah penduduk pada waktu yang sama. Penghitungan pendapatan regional perkapita sangat rumit karena harus memperhatikan aspek pembayaran/penerimaan faktor produksi menurut daerah asalnya, depresiasi modal serta pajak tidak langsung. Karena itu, nilai pendapatan regional perkapita sering diproksi dengan pendekatan nilai PDRB perkapita yang dihitung dengan formula: 𝑃𝐷𝑅𝐵𝑝𝑒𝑟𝑘𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎 = 2.1.2
𝑃𝐷𝑅𝐵 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘
(2.3)
Teori Pertumbuhan Ekonomi
2.1.2.1 Teori Pertumbuhan Harrod-Domar Teori pertumbuhan Harrod-Domar diperkenalkan pertama kali oleh Harrod dan Domar menggunakan pendekatan model pertumbuhan Keynesian dalam kerangka perekonomian tertutup. Model ini dikenal dengan model AK dan telah diaplikasikan secara luas di banyak negara yang sedang berkembang dengan tujuan untuk mengejar akselerasi pertumbuhan nasional serta memecahkan
13
persoalan lingkaran kemiskinan (Todaro dan Smith, 2006).
Strategi yang
digunakan adalah meningkatkan akumulasi modal dengan memacu tingkat tabungan dan investasi baik yang berasal dari domestik maupun asing untuk keperluan industrialisasi di banyak bidang. Model pertumbuhan Harrod-Domar dibangun menggunakan tiga asumsi dasar. Pertama, setiap perekonomian harus mencadangkan atau menabung (S) sebagian tertentu (s) dari pendapatan nasional (Y) untuk menambah atau menggantikan barang modal yang telah rusak: 𝑆 = 𝑠𝑌
(2.4)
Kedua, perekonomian berada dalam kondisi keseimbangan sehingga investasi yang direncanakan sama dengan tabungan yang direncanakan. didefinisikan sebagai perubahan kapital K atau 𝐼 = ∆𝐾, sehingga: 𝐼 = 𝑆 = ∆𝐾
Investasi (2.5)
Ketiga, investasi dipengaruhi oleh ekspektasi kenaikan pendapatan nasional (∆𝑌) dan rasio modal output k yang dikenal dengan Incremental Capital Output Rasio (ICOR) atau (𝑘 = 𝐾 ⁄𝑌 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑘 = ∆𝐾⁄∆𝑌), sehingga 𝑆 = 𝐼 = 𝑠𝑌 = ∆𝐾 = 𝑘∆𝑌 dan dapat diringkas menjadi: 𝑠𝑌 = 𝑘∆𝑌
𝑎𝑡𝑎𝑢
∆𝑌 𝑌
𝑠
=𝑘
(2.6)
Persamaan (2.6) mengilustrasikan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingkat tabungan s dan rasio kapital output k. Agar perekonomian dapat tumbuh pesat maka setiap perekonomian harus menabung dan menginvestasikan sebanyak mungkin dari pendapatan nasional yang diperolehnya. 2.1.2.2 Teori Pertumbuhan Solow Sampai era 1980-an, perkembangan teori pertumbuhan lebih didominasi oleh teori pertumbuhan neo-klasik. Hal ini terjadi karena teori pertumbuhan neoklasik mampu menjelaskan sebagian besar fenomena yang terjadi di dunia pada saat itu dan lebih elegan karena dapat dilakukan dengan pendekatan matematis. Teori pertumbuhan yang paling populer adalah model pertumbuhan Solow. Model ini dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian
14
dan bagaimana pengaruhnya terhadap output agregat yang dihasilkan suatu negara (Mankiw, 2007). Model Solow merupakan pengembangan teori klasik yang menekankan proses pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Peningkatan output perkapita terjadi sebagai hasil dari interaksi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Faktor produksi terdiri dari tanah dan sumber daya alam, tenaga kerja, modal dan kemajuan teknologi, namun fokus utama dari model hanya pada peran kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Asumsi yang mendasari model Solow adalah perkembangan teknologi dianggap konstan atau tidak ada perkembangan teknologi.
Hal tersebut berimplikasi, perekonomian akan
mencapai tingkat output dan modal jangka panjang dalam kondisi mapan (steady state). Kondisi steady state terjadi pada saat output dan modal perkapita bersifat konstan atau tidak ada lagi perubahan dalam ouput dan modal per pekerja. Bentuk umum model Solow adalah 𝑌 = 𝐹(𝐾, 𝑁) atau output merupakan
fungsi dari kapital (K) dan tenaga kerja (N). Dengan asumsi fungsi produksi bersifat Constant Return to Scale (CRS) maka dapat ditulis menjadi 𝑧𝑌 = 𝐹(𝑧𝐾, 𝑧𝑁). Jika nilai z=1/N maka persamaan dapat diekspresikan sebagai: 𝐾 𝑌 = 𝑓 � � 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑦 = 𝑓(𝑘) 𝑁 𝑁
(2.7)
Y/N merepresentasikan output per tenaga kerja sebagai fungsi dari kapital per tenaga kerja (K/N). Jika kemajuan teknologi dianggap sebagai variabel eksogen yang mampu meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berproduksi sepanjang waktu maka bentuk umum model dapat dituliskan menjadi 𝑌 = 𝐹(𝐴, 𝐾, 𝑁) dan
dapat diilustrasikan dengan persamaan:
𝑌 𝐾 = 𝑓 � � 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑦 = 𝑓(𝑘) 𝐴𝑁 𝐴𝑁
(2.8)
dimana: Y = Output; K = Kapital; N = Tenaga Kerja; A = Efektifitas Pekerja 𝑌
𝐾
y = 𝐴𝑁 = output per pekerja efektif; k = 𝐴𝑁 = kapital per pekerja efektif.
Permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi. Jika output per pekerja efektif y merupakan penjumlahan dari konsumsi per pekerja efektif c dan investasi per pekerja efektif i, dan s merepresentasikan tingkat tabungan, maka persamaan dapat dituliskan menjadi:
15
𝑦 = 𝑓(𝑘) = 𝑐 + 𝑖
(2.9)
jika 𝑐 = (1 − 𝑠)𝑦 maka :
𝑦 = (1 − 𝑠)𝑦 + 𝑖
𝑖 = 𝑠𝑦 = 𝑠𝑓(𝑘) = 𝑠𝑓 �
𝐾 � 𝐴𝑁
(2.10)
(2.11)
Persamaan (2.11) merepresentasikan investasi sebagai fungsi dari tingkat tabungan dan kapital per pekerja efektif.
Perubahan kapital antar waktu
merupakan selisih antara investasi dan break event investment (investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada tetap terpelihara) dapat dinyatakan sebagai: ∆𝑘 = 𝑠𝑓(𝑘) − (𝛿 + 𝑔𝐴 + 𝑔𝑁 )𝑘
(2.12)
∆𝑘 menyatakan perubahan kapita; 𝑠𝑓(𝑘) menyatakan tingkat investasi; 𝛿 menyatakan depresiasi kapital; 𝑔𝐴 menyatakan kemajuan teknologi dan 𝑔𝑁 menyatakan pertumbuhan tenaga kerja.
Fungsi produksi 𝑦 = 𝑓(𝑘) merupakan fungsi yang bersifat diminishing
marginal product of capital, artinya semakin besar penambahan input kapital akan
menghasilkan tambahan output yang semakin menurun. Diminishing marginal product merupakan penjelas mengapa perekonomian akan mencapai kondisi mapan (steady state) dan tidak tumbuh terus menerus. Jika tingkat tabungan lebih besar dari investasi yang dibutuhkan maka modal per pekerja dan output per pekerja akan meningkat, sebaliknya jika tingkat tabungan kurang dari investasi yang dibutuhkan maka output per pekerja dan modal per pekerja akan menurun. Tingkat pertumbuhan pada kondisi steady state tidak dipengaruhi oleh tingkat tabungan (Gambar 3). Gambar 3 bagian (a) mengilustrasikan kondisi steady state dan Gambar bagian (b) menjelaskan proses pertumbuhan melalui mekanisme kenaikan dalam tingkat tabungan.
Dalam jangka pendek, kenaikan tingkat tabungan akan
menyebabkan peningkatan level serta pertumbuhan kapital per pekerja efektif dan output per pekerja efektif. Dalam jangka panjang kenaikan tingkat tabungan hanya akan menyebabkan kenaikan pada levelnya saja, sementara pertumbuhan
16
(growth) akan semakin mendekati nol atau semakin konvergen. Kenaikan tingkat tabungan hanya akan menggeser konsisi steady state dari C menuju kondisi steady state yang baru di titik C’.
Sumber : Blanchard, 2009
Gambar 3 Kondisi Steady State dan Dampak Kenaikan Tabungan terhadap Kondisi Steady State
2.1.2.3 Teori Pertumbuhan Endogen Ketidakpuasan terhadap teori pertumbuhan neo-klasik mulai muncul di akhir dekade 80-an sebagai akibat ketidakmampuannya dalam menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan hanya menekankan pada pada faktor eksogen yang independen dengan kemajuan teknologi. Dalam pandangan neo-klasik, peningkatan pendapatan perkapita hanya dianggap sebagai fenomena sementara yang bersumber dari perubahan teknologi atau proses penyeimbangan jangka pendek dalam cadangan modal atau tenaga kerja selama perekonomian mendekati keseimbangan jangka panjang. Teori ini juga gagal menjelaskan bagaimana kemajuan teknologi dapat terjadi serta besarnya perbedaan residual Solow pada negara yang memiliki teknologi yang serupa (Todaro dan Smith, 1996). ` Ketidakpuasan tersebut melahirkan sebuah teori pertumbuhan baru yang lebih menekankan pada aspek endogen, yakni sistem yang mengatur proses produksi bukan kekuatan di luar sistem. Motivasi teori pertumbuhan endogen adalah untuk menjelaskan tingkat pertumbuhan antar negara maupun faktor-faktor yang memiliki kontribusi besar dalam menghasilkan pertumbuhan.
Teori
pertumbuhan endogen menganggap perubahan teknologi sebagai sebuah hasil
17
endogen dari investasi publik dan swasta dalam kualitas sumber daya manusia sehingga
mendorong
peran
aktif
kebijakan
publik
dalam
merangsang
pembangunan ekonomi melalui investasi langsung maupun tidak langsung. Teori ini juga menekankan bahwa modal fisik bersifat diminishing marginal return, tetapi modal pengetahuan (knowledge capital) justru memiliki marginal pengembalian yang semakin meningkat.
Teori ini juga mampu
menjelaskan aliran modal internasional yang turut memperparah ketimpangan antara negara maju dan negara yang sedang berkembang. Tingkat pengembalian investasi yang tinggi yang ditawarkan kepada negara yang sedang berkembang dengan rasio modal per tenaga kerja akan berkurang dengan cepat karena tidak didukung dengan investasi sumber daya manusia (pendidikan), infrastruktur serta riset dan pengembangan (R&D) yang memadai (Todaro dan Smith, 1996). Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci utama dalam perekonomian. Pemikiran yang pertama dikembangkan oleh Romer (1986) yang menempatkan stok ilmu pengetahuan menjadi sumber utama bagi peningkatan produktivitas ekonomi karena stok ilmu pengetahuan menjadi faktor produksi yang memiliki skala pengembalian semakin meningkat. Pemikiran yang kedua dikemukakan oleh Lucas (1988) yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human capital melalui model akumulasi human capital. Dalam pandangan Romer, pertumbuhan jangka panjang sangat ditentukan oleh akumulasi pengetahuan para pelaku ekonomi, sehingga variabel modal dalam model pertumbuhan agregat neo-klasik sekarang sudah memperhitungkan unsur akumulasi pengetahuan. Tiga unsur utama dalam model Romer adalah adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan; adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang menyebabkan peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja; dan semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena pesatnya perkembangan di sektor riset. Secara umum model Romer dirumuskan sebagai berikut: 𝛽
𝑌𝑖𝑡 = 𝐾𝑖𝑡𝛼 𝐿1−𝛼 𝑖𝑡 𝐾𝑡
dengan 0 < 𝛼 < 1; 0 < 𝛽 < 1
(2.13)
18
dimana: 𝑌𝑖 adalah output produksi perusahaan i, K i adalah stok modal perusahaan
i, L i adalah tenaga kerja perusahaan i, dan K adalah stok pengetahuan/teknologi (technical knowledge) secara agregat. K diasumsikan mempunyai efek menyebar yang positif terhadap produksi setiap perusahaan. Teori learning dikemukakan oleh Lucas dapat terjadi melalui akumulasi human capital. Teori learning memasukkan unsur ekstemalitas yang terkandung dalam peningkatan kapital pada proses produksi. Peningkatan kapital akan meningkatkan stok public knowledge, sehingga secara keseluruhan proses produksi dalam skala yang bersifat increasing return to scale. Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal maupun non formal (on the job traning). Lucas berpendapat ekstemalitas yang dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu akan menyebabkan proses bersifat learning by doing. Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal, yaitu modal fisik dan modal manusia, rumusan adalah sebagai berikut: 𝑌𝑡 = 𝐴𝐾𝑡𝛼 (𝑢𝑡 𝐻𝑡 𝐿𝑡 )1−𝛼 𝐻𝑡𝜃
(2.14)
dimana: 𝑌 adalah output produksi, 𝐴 adalah konstanta, 𝐾 adalah stok modal, 𝐿
adalah tenaga kerja, 𝑢 adalah waktu yang digunakan untuk pekerja untuk berproduksi, 𝐻 adalah kualitas dari human capital yang merepresentasikan ratarata banyaknya pengetahuaan yang dimiliki oleh pekerja. Jika 𝐻𝑡 meningkat
sejalan dengan 𝑢𝑡 maka fungsi produksi akan bersifat increasing return to scale dimana 𝐻𝑡 bersifat eksternal dan bergantung pada tingkat keterampilan rata-rata
tenaga kerja dalam perusahaan tersebut. 2.2
Konsep dan Teori Pengangguran Pengangguran didefinisikan sebagai bagian dari angkatan kerja atau
penduduk berusia produktif yang tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan atau tidak mendapatkan kesempatan bekerja dengan berbagai alasan (Dornbusch, et al, 2008).
Dinamika dalam pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa jumlah
penawaran tenaga kerja tidak selalu diikuti oleh permintaan tenaga kerja yang seimbang, sehingga fenomena pengangguran akan selalu terjadi di setiap saat.
19
Konsep pengangguran yang digunakan di Indonesia selalu mengalami perkembangan dan perluasan dari waktu ke waktu. Pada awalnya, pengangguran terbuka didefinisikan sebagai bagian dari angkatan kerja yang berada dalam kondisi tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan. Sejak tahun 2001, definisi pengangguran terbuka diperluas mengikuti rekomendasi International Labour Organization (ILO) menjadi bagian dari angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan, atau mempersiapkan suatu usaha, atau tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (sudah putus asa), atau sudah mendapatkan pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (Gambar 4). Tingkat setengah pengangguran didefinisikan sebagai bagian dari penduduk yang berstatus bekerja dengan jumlah jam kerja kurang dari jam kerja normal atau kurang dari 35 jam per minggu. Setengah pengangguran dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setengah pengangguran terpaksa yakni bekerja kurang dari jam kerja normal dan masih mencari pekerjaan atau bersedia menerima pekerjaan yang lain. Kedua, setengah pengangguran sukarela yakni bekerja kurang dari jam kerja normal tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak menerima pekerjaan lain. Bagian ini sering disebut dengan istilah pekerja paruh waktu (part time). PENDUDUK
Usia Kerja (15 Tahun +)
Bukan Usia Kerja (<15 Tahun)
Angkatan Kerja
Bekerja
Bekerja Penuh
Bukan Angkatan Kerja
Menganggur
Setengah Menganggur
Mencari Pekerjaan
Mengurus Rumah Tangga
Mempersiapkan Usaha
Sekolah
Putus Asa (Merasa Tidak Mungkin Mendapat Kerja)
Lainnya
Sudah Mendapat Pekerjaan, Tetapi Belum Mulai Bekerja
Sumber : BPS, 2004
Gambar 4 Bagan Pembagian Penduduk Menurut Status Ketenagakerjaan
20
Jika L menyatakan jumlah angkatan kerja dan diasumsikan tetap, E menyatakan jumlah angkatan kerja yang bekerja dan U menyatakan jumlah angkatan kerja yang menganggur, maka hubungannya dapat dinyatakan dengan 𝐿 = 𝐸 + 𝑈.
Mankiw (2007) menyatakan bahwa tingkat pengangguran terbuka U/L pada
kondisi mapan atau pengangguran alamiah merupakan rasio antara tingkat pemutusan kerja s dengan penjumlahan tingkat pemutusan kerja s dengan tingkat perolehan kerja f dan diformulasikan sebagai: 𝑠 1 𝑈 = = 𝐿 𝑠 + 𝑓 1 + 𝑠/𝑓
(2.15)
Semakin tinggi tingkat pemutusan kerja maka tingkat pengangguran semakin tinggi dan sebaliknya semakin tinggi tingkat perolehan kerja maka tingkat pengangguran akan semakin rendah. Upah Riil, W
SL
U W’ W* DL
E
L*
Tenaga Kerja, L
Sumber: Mankiw, 2007
Gambar 5 Kekakuan Upah Riil dalam Memengaruhi Pengangguran
Persamaan 2.15 bermanfaat untuk mengaitkan tingkat pengangguran dengan pemutusan kerja dan perolehan kerja, namun gagal menjelaskan mengapa masih terjadi pengangguran.
Fenomena pengangguran juga disebabkan oleh
adanya waktu yang diperlukan untuk mencari pekerjaan dan disebut dengan pengangguran friksional. penyebab yang lainnya adalah kegagalan tingkat upah dalam menyesuaikan jumlah penawaran dengan permintaan dalam pasar tenaga kerja atau disebut kekakuan upah (wage rigidity). Pengangguran jenis ini disebut dengan pengangguran
struktural. Tingkat upah sangat berperan
dalam
21
menyeimbangkan penawaran dan permintaan tenaga kerja, namun terkadang upah tidak bersifat fleksibel. Gambar 5 mengilustrasikan ketika upah riil (W’) berada di atas upah keseimbangan dalam pasar tenaga kerja (W*) maka jumlah tenaga kerja yang ditawarkan (S L ) melebihi jumlah permintaan (D L ) sehingga perusahaan akan lebih selektif dalam menjatah tenaga kerja untuk mengisi kesempatan kerja yang terbatas dan jumlah pengangguran akan meningkat (U). Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan upah bersifat kaku, yakni kebijakan penetapan upah minimum, kekuatan monopoli serikat tenaga kerja dan upah efisiensi. 2.3
Teori Ketimpangan Pendapatan
2.3.1 Konsep Distribusi Pendapatan Distribusi pendapatan merepresentasikan besarnya porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah. Besarnya pendapatan yang diterima setiap individu tergantung pada tingkat produktivitas dan peranannya dalam aktivitas perekonomian. Ada dua ukuran pokok dalam distribusi pendapatan, yakni distribusi ukuran dan distribusi fungsional. Distribusi ukuran pendapatan atau distribusi pendapatan perseorangan dihitung dari jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga tanpa memperhatikan cara memperoleh maupun sumber pendapatannya.
Distribusi
fungsional melihat pangsa pendapatan menurut faktor produksi yakni menghitung total pendapatan yang diperoleh setiap faktor produksi baik tanah, tenaga kerja, maupun modal. Dalam analisis ketimpangan, distribusi pendapatan perorangan lebih sering digunakan karena kemudahan dalam aspek data dan penghitungan. 2.3.2 Pengukuran Ketimpangan Pendapatan Ada beberapa ukuran distribusi pendapatan perorangan yang sering digunakan untuk menganalisis dan membandingkan ketimpangan pendapatan antar waktu dan antar wilayah. Beberapa diantaranya adalah ukuran kuintil, desil, persentil, rasio Kuznets, ukuran Bank Dunia, kurva Lorenz dan Gini rasio. Ukuran desil, kuintil maupun persentil dilakukan dengan mengelompokkan pendapatan perkapita penduduk yang telah diurutkan dari yang terendah sampai yang tertinggi serta dibagi ke dalam 5 kelompok (desil), 10 kelompok (kuintil) dan 100 kelompok (persentil). Pangsa pendapatan dari setiap kelompok dihitung
22
dari persentase jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap kelompok dibagi dengan total pendapatan penduduk di wilayah tersebut.
Berdasarkan ukuran
kuintil dapat diturunkan beberapa indikator ketimpangan yang lain seperti rasio Kuznets, ukuran Bank Dunia, kurva Lorenz dan Gini rasio. Rasio Kuznets merupakan rasio jumlah pendapatan yang diterima oleh 20 persen penduduk berpenghasilan tinggi dibagi dengan jumlah pendapatan 40 persen penduduk berpenghasilan rendah. Semakin tinggi nilai rasio Kuznets menunjukkan tingkat ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang semakin tinggi atau tingkat pemerataan yang semakin rendah. Hampir sama dengan rasio Kuznets, ukuran Bank Dunia membagi pendapatan yang diterima penduduk menjadi tiga kelompok, yakni 40 persen penduduk berpenghasilan rendah, 40 persen
penduduk
berpenghasilan
menengah,
dan
20
persen
penduduk
berpenghasilan tinggi. Kategori ketimpangan ditentukan dengan melihat besarnya proporsi pendapatan yang diterima oleh 40 persen penduduk yang berpendapatan rendah. Kriterianya adalah ketimpangan tinggi jika proporsinya < 12 persen; ketimpangan sedang jika berkisar 12-17 persen; dan ketimpangan rendah jika >17 persen (Todaro dan Smith, 1996). Kurva Lorenz menggambarkan hubungan kuantitatif antara penduduk atau rumah tangga sebagai penerima pendapatan dengan jumlah pendapatan yang diterima selama periode tertentu (Gambar 6). Bentuk kurva Lorenz digambarkan dalam bentuk segi empat sama sisi.
Sumbu horizontal menunjukkan jumlah
populasi penduduk atau rumah tangga penerima pendapatan dan sumbu vertikal menunjukkan jumlah persentase pendapatan yang diterima oleh setiap kelompok yang disusun secara kumulatif (dari kelompok penduduk atau rumah tangga yang berpendapatan
terendah
hingga
yang
tertinggi).
mencerminkan garis pemerataan pendapatan. mendekati garis diagonal utama, menunjukkan
Garis
diagonal
utama
Kurva Lorenz yang semakin distribusi pendapatan yang
semakin merata atau ketimpangan yang semakin rendah. Kurva Lorenz yang berimpit dengan garis pemerataan menunjukkan tingkat pemerataan yang sempurna atau tidak terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin menyimpang atau semakin menjauh dari
23
garis pemerataan maka ketidakmerataan semakin besar atau ketimpangan semakin meningkat. 100 90
𝑮𝒊𝒏𝒊 𝑹𝒂𝒔𝒊𝒐 =
Persentase Pendapatan
80 70 60
𝑩𝒊𝒅𝒂𝒏𝒈 𝑰 𝑩𝒊𝒅𝒂𝒏𝒈 𝑰 + 𝑰𝑰
Garis Pemerataan
50
I
40 30
II
20
Kurva Lorenz
10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persentase Populasi
Sumber : Todaro dan Smith (2006)
Gambar 6 Kurva Lorenz
Indikator yang paling populer digunakan untuk mengukur derajat ketimpangan dalam distribusi pendapatan adalah Gini rasio.
Gini rasio
merupakan ukuran ketimpangan yang memenuhi empat prinsip pengukuran, sehingga dapat digunakan untuk membandingkan ketimpangan distribusi pendapatan antar waktu maupun antar wilayah (Todaro dan Smith, 2006). Keempat kriteria atau prinsip pengukuran tersebut didefinisikan sebagai berikut: 1.
Prinsip anonimitas (anonimity principle), artinya ukuran ketimpangan seharusnya tidak tergantung pada siapa yang mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi atau apakah itu orang kaya atau miskin.
2.
Prinsip independensi
skala (scale independence pronciple),
ukuran
ketimpangan tidak tergantung pada ukuran perekonomian suatu negara dan cara mengukur pendapatannya. Artinya, tidak tergantung apakah kondisi negara kaya atau miskin serta diukur dalam dolar atau mata uang lainnya. 3.
Prinsip independensi populasi (population independence principle), ukuran ketimpangan tidak tergantung pada jumlah penduduk suatu negara/wilayah, sehingga
perekonomian
Indonesia
tidak
boleh
dikatakan
lebih
merata/timpang dari Vietnam hanya karena jumlah penduduk Indonesia lebih banyak.
24
4.
Prinsip transfer Pique-Dalton (Pique-Dalton transfer principle), jika diasumsikan semua pendapatan lain konstan maka dengan mentransfer sejumlah pendapatan dari orang kaya kepada orang miskin maka akan dihasilkan distribusi pendapatan yang baru dan lebih merata. Nilai Gini rasio dihitung berdasarkan perbandingan luas daerah I dengan
luas daerah (I+II) dalam kurva Lorenz (Gambar 6). Secara matematis, Ray (1998) menyajikan formula untuk menghitung Gini rasio sebagai berikut: 𝑚
𝑚
1 𝐺 = 2 � � 𝑛𝑗 𝑛𝑘 �𝑦𝑗 − 𝑦𝑘 � 2𝑛 𝜇
1
(2.16)
𝑗=1 𝑗=1
dimana: 𝜇 = 𝑛 ∑𝑚 𝑗=1 𝑛𝑗 𝑦𝑗 merupakan rata-rata pendapatan penduduk (total
pendapatan dibagi dengan jumlah penduduk); n=jumlah penduduk; 𝑛𝑗 =jumlah
penduduk kelompok ke-j; 𝑛𝑘 =jumlah penduduk kelompok ke-k; 𝑦𝑗 = jumlah
pendapatan kelompok penduduk ke-j; 𝑦𝑘 = jumlah pendapatan kelompok penduduk ke-k.
Nilai Gini rasio (G) berkisar antara nol sampai satu, semakin mendekati nol menunjukkan tingkat distribusi pendapatan yang semakin merata. Sebaliknya, jika nilai Gini rasio semakin mendekati satu menunjukkan distribusi pendapatan yang semakin tidak merata atau semakin timpang.
Oshima (1970) membagi
tingkat ketimpangan pendapatan menjadi tiga kriteria, yakni ketimpangan rendah jika Gini rasio kurang dari 0,3, ketimpangan sedang jika Gini rasio berada antara 0,3 sampai 0,4 dan ketimpangan tinggi jika lebih dari 0,4. Todaro dan Smith (2006) menyatakan adanya ketimpangan yang tinggi antara kelompok kaya dan miskin akan menimbulkan beberapa dampak negatif, yakni terjadinya inefisiensi ekonomi serta melemahkan stabilitas dan solidaritas sosial.
Inefisiensi ekonomi terjadi karena kelompok penduduk miskin akan
semakin kesulitan untuk mengakses kredit, sementara kelompok penduduk kaya cenderung berperilaku konsumtif terutama dalam mengkonsumsi barang-barang mewah impor. Adanya ketimpangan menunjukkan belum terwujudnya sistem keadilan sosial sehingga ketika ketimpangan terus meningkat dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama maka akan melemahnya stabilitas serta solidaritas sosial.
25
2.4
Teori Kemiskinan
2.4.1
Definisi Kemiskinan Kemiskinan
memiliki
makna
yang
sangat
luas
dan
bersifat
multidimensional, sehingga definisi kemiskinan juga sangat multitafsir dan selalu mengalami perluasan seiring dengan kompleksitas faktor penyebab maupun permasahalan lain yang melingkupinya. Dimensi kemiskinan tidak hanya menyangkut aspek ekonomi, namun juga menyangkut dimensi sosial, kultural maupun politik.
Kemiskinan dapat diukur melalui dua pendekatan yaitu
pendekatan ekonomi atau income/kekayaan dan pendekatan non-ekonomi. Sen dalam Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa status miskin atau tidaknya seseorang tidak dapat ditentukan oleh tingkat pendapatan atau utilitas yang dimiliki seperti dalam pandangan konvensional. Status miskin atau tidaknya seseorang lebih ditentukan oleh kapabilitas untuk berfungsi (capabilities to function) dan pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang penting, namun tidak dapat dianggap sebagai tujuan akhir. Hal yang terpenting bukan pada besarnya pendapatan yang diperoleh atau utilitas seseorang terhadap suatu barang, tetapi apa yang dapat dilakukan orang dengan pendapatan atau barang yang dimilikinya. Kemiskinan dianggap bentuk kegagalan tidak berfungsinya beberapa kapabilitas dasar yang dimiliki seseorang, atau seseorang dikatakan miskin jika kekurangan kesempatan untuk mencapai atau mendapatkan kapabilitas dasar ini. Dalam perkembangannya, kemiskinan pendekatan income lebih sering digunakan karena lebih mudah dalam aspek pengukuran. Kemiskinan dengan pendekatan income dibedakan menjadi dua, yakni kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan secara relatif didefinisikan sebagai kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang diterima penduduk.
Ukuran kemiskinan relatif sangat
tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk di wilayah tersebut, sehingga dengan definisi ini “orang miskin selalu ada” di semua tempat. Garis kemiskinan relatif tidak dapat digunakan untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar wilayah dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama. Artinya, seseorang yang dikatakan miskin di negara
26
Amerika Serikat belum tentu miskin jika diukur dengan ukuran kemiskinan Indonesia, atau orang yang hidup miskin di Indonesia pada periode 2010 belum tentu miskin pada saat periode 1970-an. Kemiskinan
secara
absolut
didefinisikan
ketidakmampuan
untuk
mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup dan bekerja secara layak (Todaro dan Smith, 2006). Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Permasalahan yang terjadi adalah sangat sulit untuk menentukan standar hidup minimum karena kebutuhan psikologis, sosial dan ekonomi setiap orang berbeda-beda tergantung pada usia maupun karakteristik demografis lainnya. Perkiraan nilai kebutuhan dasar minimum disebut dengan istilah garis kemiskinan absolut. Penduduk yang memiliki pendapatan atau pengeluaran di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut sangat penting untuk menilai atau memperkirakan dampak dari kebijakan penanggulangan kemiskinan antar waktu dalam suatu wilayah. Angka kemiskinan antar wilayah dapat dibandingkan jika menggunakan garis kemiskinan absolut yang sama. 2.4.2
Pengukuran Kemiskinan di Indonesia Dalam defisi secara absolut, garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat
konstan secara riil sehingga kemajuan dalam hal penanggulangan kemiskinan dapat diperbandingkan sepanjang waktu. Bank Dunia telah menetapkan garis kemiskinan absolut, yakni standar hidup yang kurang dari US $ 1 atau US $ 2 perkapita perhari untuk mengukur tingkat kemiskinan secara internasional. Garis kemisninan tersebut dihitung menurut kekuatan daya beli (Purchasing Power Parity) dari setiap negara bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Dalam realita, tidak semua negara mau menerima dan menetapkan garis kemiskinan absolut senilai US $ 1 perkapita atau US $ 2 per hari pada saat membuat perencanaan program penanggulangan kemiskinan. Banyak negara yang lebih memilih strategi praktis dalam menetapkan garis kemiskinan secara lokal berdasarkan persyaratan kalori dengan cara mengidentifikasi kebutuhan dasar makanan dan non makanan dari survei pengeluaran rumah tangga.
27
Penghitungan garis kemiskinan di Indonesia yang dilakukan oleh BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach). Berdasarkan definisi BPS, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat mendasar baik makanan maupun non makanan yang mencakup kebutuhan pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. Garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan makanan dan non makanan. Garis kemiskinan makanan merepresentasikan nilai kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori perkapita per hari yang mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1978. Garis kebutuhan non makanan merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan (BPS, 2008). BPS menetapkan garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi nasional) modul konsumsi rumah tangga. Pada tahun-tahun yang tidak dilaksanakan kegiatan Susenas Modul, garis kemiskinan dihitung berdasarkan garis kemiskinan periode sebelumnya dengan mempertimbangkan aspek perubahan harga atau inflasi/deflasi. Garis kemiskinan juga dihitung di setiap daerah baik menurut provinsi maupun kabupaten/kota yang besarnya tergantung pada standar biaya hidup minimum dan kemampuan/daya beli penduduk di masing-masing daerah. 2.4.3. Indikator Kemiskinan Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan di suatu wilayah.
Ray (1998) dan Todaro dan Smith (2006)
mengemukakan beberapa ukuran kemiskinan, yakni adalah jumlah penduduk miskin (Head Count/HC); persentase penduduk miskin (Head Count Index/HCI); jurang kemiskinan total (Total Poverty Gap/TPG); jurang kemiskinan rata-rata (Average Poverty Gap/APG); dan Foster-Greer-Thorbecke (FGT). Head Count menggambarkan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (GK), sedangkan Head Count Index menggambarkan rasio antara HC dengan jumlah penduduk atau persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
Total Poverty Gap (TPG) atau jurang kemiskinan
menggambarkan seberapa jauh pendapatan kelompok penduduk miskin berada di
28
bawah garis kemiskinan. TPG juga dapat diartikan sebagai pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan hingga tepat berada di garis kemiskinan atau di atasnya. Penghitungan TPG diformulasikan sebagai: 𝐻
𝑇𝑃𝐺 = ��𝑌𝑝 − 𝑌𝑖 � 𝑖=1
𝑌𝑝 = Garis Kemiskinan; 𝑌𝑖 = Pendapatan penduduk miskin ke-i.
(2.17)
Berdasarkan ukuran TPG dapat diturunkan beberapa indikator kemiskinan yang lain, yakni Average Poverty Gap (APG) atau jurang kemiskinan rata-rata (𝐴𝑃𝐺 = 𝑇𝑃𝐺/𝑛); Normalized Poverty Gap (NPG) atau jurang kemiskinan yang telah
dinormalisasi (𝑁𝑃𝐺 = 𝑇𝑃𝐺/𝑦𝑝 ); Average Income Shortfall (AIS) atau jurang
kemiskinan total dibagi dengan jumlah penduduk miskin.
Indikator AIS
menggambarkan besarnya rata-rata transfer atau pendapatan yang diperlukan untuk mengangkat seorang penduduk miskin ke atas garis kemiskinan (𝐴𝐼𝑆 = 𝑇𝑃𝐺/𝐻𝐶).
Foster, Greer dan Thorbecke dalam Ray (1998) merumuskan suatu ukuran
kemiskinan yang memenuhi empat prinsip dalam pengukuran. Keempat prinsip tersebut adalah anonimitas, independensi populasi, monotonisitas dan sensitivitas distribusi. FGT dirumuskan sebagai: 𝐻
dimana:
1 𝑧 − 𝑦𝑖 𝛼 𝑃𝛼 = � � � 𝑛 𝑧
(2.18)
𝑖=1
α
= 0, 1, 2 ; z = Garis Kemiskinan ; n = Jumlah Penduduk
yi
= Rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
H
(i=1,2,…,H), y i < z
= Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
Ukuran FGT dapat diturunkan menjadi tiga indikator sebagai berikut: Jika α = 0, diperoleh nilai Head Count Index (P 0 ) yang merepresentasikan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dan dirumusnya sebagai 𝑃0 = 𝐻 ⁄𝑛 .
29
Jika α = 1, diperoleh indeks kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index/P 1 ) yakni ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks P 1 maka semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.
P1
dirumuskan sebagai: 𝐻
1 𝑧 − 𝑦𝑖 𝑃1 = � � � 𝑛 𝑧 𝑖=1
(2.19)
Nilai Poverty Gap Index/P 1 sangat berguna untuk mengetahui seberapa besar biaya yang diperlukan atau nilai yang harus ditransfer untuk mengangkat penduduk miskin hingga tepat berada di atas garis kemiskinan. Jika α = 2, diperoleh Indeks keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index/P 2 ). Indeks ini memberikan gambaran mengenai intensitas penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin, semakin tinggi nilai indeks, maka ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin semakin meningkat. P 2 dirumuskan sebagai: 𝐻
1 𝑧 − 𝑦𝑖 2 𝑃2 = � � � 𝑧 𝑛 𝑖=1
(2.20)
2.5
Kerangka Analitis Hubungan antara Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan dan Kemiskinan
2.5.1
Model Pembangunan Dua Sektor Lewis Model pembangunan dua sektor yang dikemukakan Lewis (Lewis two
sector model) merupakan salah satu model pembangunan yang mengkaji proses pembangunan di negara-negara dunia ketiga (Todaro dan Smith. 2006). Model ini menekankan pada aspek transformasi struktural dari perekonomian tradisional yang berbasis perdesaan atau sektor pertanian menuju perekonomian modern yang berbasis perkotaan atau sektor industri. Asumsi dasar yang digunakan adalah terdapat surplus tenaga kerja di sektor pertanian yang ditandai oleh produktivitas marginal (MP LA ) sama dengan nol dan produktivitas rata-rata (AP LA ) yang semakin menurun. Semua pekerja di sektor tradisional menghasilkan output yang sama, sehingga tingkat upah ditentukan oleh produktivitas tenaga kerja rata-rata bukan produktivitas tenaga kerja marjinal (Gambar 7).
30
TPM(KM3 )
TPM(KM2 ) TPM2 TPM(KM1 )
Total Produk Pertanian
Total Produk Manufaktur
TPM3
TPA(KA)
TPA
TPM1
L2
L1
L3
LA
QLM
QLA
Produk Marginal/Rata-rata
Upah Riil (=MPLM)
KM3 > KM2 > KM1
SL
WM WA
D3 (KM3 ) D1 (KM1 ) L1
L2
APLA
D2 (KM2 ) L3
MPLA
Surplus TK QLA
QLM
(a) Sektor Modern (Industri)
(b) Sektor Tradisional (Pertanian)
Sumber: Todaro dan Smith, 2006
Gambar 7 Model Pembangunan Dua Sektor Lewis
Sektor industri modern diasumsikan memiliki produktivitas rata-rata (AP LM ) dan tingkat upah riil (WM ) yang lebih tinggi produktivitas (AP P ) dan tingkat upah riil (W P ) di sektor pertanian tradisional. Asumsi ini memungkinkan sektor modern untuk menampung surplus tenaga kerja dari sektor tradisional. Model ini fokus pada proses perpindahan tenaga kerja melalui mekanisme pertumbuhan output dan perluasan kesempatan kerja di sektor industri modern. Perluasan kesempatan kerja ditentukan oleh tingkat investasi, akumulasi modal serta reinvestasi sektor modern. 2.5.2
Keterkaitan Pertumbuhan Dengan Ketimpangan Berdasarkan beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam model dua
sektor Lewis, Kuznets (1955) mengajukan sebuah hipotesis mengenai pola hubungan atau keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan distribusi pendapatan membentuk kurva U terbalik. Studi empiris ini dilakukan dengan menghitung dan menganalisis sejarah pertumbuhan ekonomi di negaranegara maju dalam jangka panjang serta menekankan pada aspek transformasi
31
atau perubahan struktural dari sektor yang berbasis pertanian tradisional menuju sektor industri modern (Gambar 8). 1
Gini Ratio (G)
0.75
0.5
0.25
Ketidakmerataan meningkat
Ketidakmerataan menurun
0
Pendapatan Perkapita (Y)
Sumber : Todaro dan Smith (2006)
Gambar 8 Kurva U-Terbalik Hipotesis Kuznets
Pada masa awal pembangunan ekonomi, pendapatan perkapita maupun ketimpangan pendapatan antar penduduk di kedua sektor masih rendah. Selama masa transisi, produktivitas dan upah tenaga kerja di sektor modern menjadi lebih tinggi dibandingkan sektor tradisional, sehingga pendapatan perkapita yang diterima di sektor modern juga menjadi lebih tinggi.
Hal ini menyebabkan
ketimpangan pendapatan di kedua sektor tersebut semakin meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan perkapita. Setelah melampaui titik kulminasi atau titik puncak akan terjadi mekanisme trickle down effect yang melalui penciptaan dan perluasan kesempatan kerja di sektor modern. Perluasan kesempatan sektor modern akan menyerap surplus atau kelebihan tenaga kerja di sektor tradisional. Mekanisme Trickle down effect akan meningkatkan pendapatan perkapita di sektor tradisional dan sektor modern serta membawa pada perbaikan distribusi sehingga ketimpangan pendapatan semakin menurun. Kesahihan dari hipotesis Kuznets telah telah menjadi topik perdebatan dan mendatangkan banyak pendapat baik yang pro maupun kontra. Kritik utama terhadap penelitian yang mendukung hipotesis Kuznets adalah mayoritas menggunakan data yang lemah dan metodologi yang masih dipertanyakan. Dalam studi empiris di India, Ravallion dan Datt (1996) menyampaikan bahwa selama
32
periode 1950-an sampai 1990-an pendapatan perkapita meningkat secara rata-rata, namun distribusi pendapatan bergerak semakin tidak merata.
Hasil analisis
Ravallion (2001) di 47 negara yang sedang berkembang juga menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi dengan perubahan dalam distribusi pendapatan, artinya pertumbuhan masih bersifat netral. Kakwani, et al. (2000) mempertajam kritik dengan mengungkapkan bahwa hipotesis Kuznets hanya berhasil menjelaskan hubungan ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi pada negara-negara industri maju atau negara dengan pendapatan perkapita tinggi sampai dengan dekade 70-an.
Namun demikian,
hipotesis ini tidak mampu menjelaskan pola hubungan di negara-negara yang sedang berkembang.
Kritik juga dilontarkan Dollar dan Kraay (2002) yang
menyatakan bahwa secara rata-rata, pendapatan kelompok termiskin dalam masyarakat akan meningkat secara proporsional dengan peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat serta tidak ada korelasi yang kuat antara pertumbuhan pendapatan dengan perubahan tingkat ketimpangan.
Meskipun pendapatan
perkapita secara rata-rata meningkat, distribusi pendapatan tidak mengalami perubahan secara signifikan. Distribusi pendapatan cenderung stabil atau bisa naik dan turun dengan perubahan kecil dan memiliki pola yang berbeda untuk setiap negara. 2.5.3
Keterkaitan Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan Warr (2006) mengajukan sebuah kerangka kerja konseptual (conceptual
fremework) dalam penelitian mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di Asia Tenggara (Gambar 9). Menurutnya, pertumbuhan ekonomi menjadi sebuah variabel endogen atau keluaran yang ditentukan oleh kebijakan pemerintah, kekuatan dari luar atau faktor eksternal (eksogeneous) serta peran pasar dalam merespon keduanya. Warr mengasumsikan bahwa kebijakan ekonomi dan faktor eksogen akan memengaruhi tingkat kemiskinan melalui dua jalur, yakni jalur pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan secara rata-rata dan atau jalur redistribusi pendapatan.
Kebijakan pembangunan ekonomi dapat dilakukan
melalui strategi untuk memacu pertumbuhan ekonomi atau meredistribusikan
33
pendapatan, atau secara bersama-sama dengan tujuan akhir untuk mengentaskan kemiskinan. Kebijakan Ekonomi
Pertumbuhan Ekonomi Pengentasan Kemiskinan
Faktor Eksternal
Efek Redistribusi
Sumber: Warr, 2006
Gambar 9 Keterkaitan Pertumbuhan dengan Kemiskinan
Bourguignon (2004) juga menggambarkan keterkaitan hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan, dan pengentasan kemiskinan dalam bentuk segitiga seperti pada Gambar 10. Tingkat kemiskinan diukur dengan ukuran kemiskinan absolut yakni proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan yang diperoleh dari data survei rumah tangga. Ketidakmerataan atau ketimpangan distribusi pendapatan mengacu pada kesenjangan pendapatan relatif antar penduduk yang diukur dengan Gini rasio. Pertumbuhan diukur dengan perubahan rata-rata level kesejahteraan baik dari sisi pendapatan
maupun
pengeluaran.
Menurutnya,
pengentasan
kemiskinan
merupakan fungsi dari pertumbuhan, distribusi pendapatan dan perubahan dalam distribusi pendapatan. Artinya, pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan cara merubah distribusi pendapatan (redistribusi) dan atau meningkatkan level pendapatan. Kemiskinan Absolut dan Pengentasan Kemiskinan
Strategi Pembangunan Distribusi dan Perubahan Distribusi
Tingkat Pendapatan Agregat dan Pertumbuhan
Sumber: Bourguignon, 2004
Gambar 10 Segitiga Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan
34
Perubahan distribusi pendapatan atau redistribusi akan memungkinkan penduduk pada golongan pendapatan rendah untuk mendapatkan tambahan pendapatan atau memperoleh perbaikan pendapatan sehingga bisa memenuhi kebutuhan dasarnya dan mampu terangkat ke atas garis kemiskinan. Secara umum, pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan tingkat pendapatan penduduk golongan pendapatan rendah secara proporsional sama dengan rata-rata pendapatan masyarakat. Kenaikan pendapatan yang diterima penduduk golongan pendapatan rendah akan meningkatkan taraf hidupnya sehingga memungkinkan untuk terangkat di atas garis kemiskinan. Bourguignon juga menyatakan bahwa perubahan dalam distribusi pendapatan dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu efek pertumbuhan (growth effect) dan efek distribusi (distributional effect). Efek pertumbuhan merupakan efek dari perubahan pendapatan yang terjadi secara proporsional pada seluruh level pendapatan sehingga distribusi pendapatan tidak berubah, hanya bergeser ke kanan ketika terjadi peningkatan pendapatan rata-rata atau bergeser ke kiri ketika terjadi penurunan pendapatan rata-rata.
Efek distribusi merupakan efek dari
perubahan dalam distribusi pendapatan secara relatif pada setiap level pendapatan, sementara secara rata-rata pendapatan tidak mengalami perubahan.
Efek
distribusi ditunjukkan oleh perubahan dalam distribusi pendapatan yang independen dari rata-ratanya.
Secara umum, keterkaitan antara pertumbuhan
ekonomi atau pertumbuhan pendapatan dengan distribusi pendapatan dan pengentasan kemiskinan dapat dijelaskan melalui mekanisme dalam Gambar 11. Gambar 11 bagian (a) menunjukkan distribusi pendapatan yang diterima oleh penduduk pada kondisi awal periode.
Sumbu X menyatakan level
pendapatan perkapita yang telah diurutkan dari yang terendah sampai yang tertinggi dan disajikan dalam skala logaritma. Sumbu Y menyatakan share populasi atau persentase jumlah penduduk pada level pendapatan tertentu terhadap jumlah seluruh penduduk. Garis vertikal yang sejajar dengan sumbu Y mengilustrasikan garis kemiskinan absolut. Daerah yang berada di bawah di bawah kurva distribusi dan berada di sebelah kiri garis kemiskinan absolut (area diarsir merah) menggambarkan persentase penduduk miskin atau HCI pada kondisi awal.
35
Sumber: Bourguignon, 2004
Gambar 11 Perubahan Kemiskinan Akibat Efek Pertumbuhan dan Efek Distribusi
Mekanisme efek pertumbuhan diilustrasikan oleh Gambar 11 bagian (b), melalui pergeseran kurva distribusi dari periode awal ke periode berikutnya (bergeser ke kanan) dan diperoleh distribusi pendapatan baru pada periode berikutnya dengan rata-rata pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Peningkatan pendapatan terjadi secara proporsional untuk semua golongan penduduk atau pertumbuhan bersifat netral. Jika diasumsikan garis kemiskinan absolut tidak berubah atau konstan, maka efek pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan digambarkan oleh area yang berwarna hijau. Mekanisme perubahan melalui efek distribusi diilustrasikan oleh Gambar 11 bagian (c).
Kurva distribusi awal berubah menjadi kurva distribusi baru
dengan rata-rata pendapatan perkapita tetap.
Perubahan ini menunjukkan
terjadinya perubahan distribusi pendapatan relatif.
Artinya penduduk pada
golongan pendapatan rendah mengalami kenaikan pendapatan perkapita,
36
sementara pada golongan pendapatan tinggi mengalami penurunan. Mekanisme ini dapat terjadi jika dilakukan transfer pendapatan dari penduduk golongan pendapatan tinggi kepada penduduk golongan pendapatan rendah. Efek distribusi menyebabkan jumlah penduduk miskin berkurang sebanyak area berwarna biru. Gambar bagian (d) menyajikan efek pertumbuhan dan efek distribusi yang terjadi secara bersama-sama.
Kondisi tersebut menggambarkan pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas karena lebih menguntungkan kelompok penduduk yang berpendapatan rendah atau bersifat pro-poor. Artinya, pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pendapatan perkapita secara rata-rata sekaligus mengubah distribusi pendapatan bergerak ke arah yang lebih merata. Kedua efek tersebut secara simultan menyebabkan penurunan kemiskinan menjadi sangat efektif. Dalam realita yang sesungguhnya, pergerakan kurva distribusi bisa ke kanan atau ke kiri tergantung pada kualitas pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan, alokasi kepemilikan sumber daya dan aset serta kebijakan redistribusi pendapatan yang dilakukan. 2.5.4
Poverty Growth Curve (PGC) PGC merupakan salah satu metode untuk mengkaji keterkaitan antara
pertumbuhan, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Metode PGC pertama kali diperkenalkan oleh Son (2004) untuk mengkaji keterkaitan diantara pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan di Thailand. PGC berbentuk sebuah kurva yang merepresentasikan pertumbuhan pendapatan perkapita yang diterima oleh setiap kelompok persentil pengeluaran dalam kurva Lorenz selama dua periode yang berbeda. Jika 𝐿(𝑝) menyatakan fungsi Lorenz yang merepresentasikan jumlah porsi
pendapatan/pengeluaran
dari
setiap persentil p, maka fungsi Lorenz dapat
diekspresikan sebagai: 1 𝑥 𝐿(𝑝) = � 𝑦𝑓(𝑦) 𝑑𝑦 𝑢 𝑜
(2.21)
dimana 𝐿(𝑝) = 0 jika 𝑝 = 0 ; 𝐿(𝑝) = 100 jika 𝑝 = 100 dan 0 ≤ 𝑝 ≤ 100 𝑥
𝑝 = � 𝑦𝑓(𝑦) 𝑑𝑦 𝑜
(2.22)
37
jika 𝐿(𝑝) =
𝑢𝑝 𝑃 𝑢
menyatakan share dari rata-rata pendapatan pada persentil ke-p
dan 𝑢𝑝 menyatakan rata-rata pendapatan pada persentil p dari populasi maka: 𝐿𝑛�𝑢𝑝 � = 𝐿𝑛�𝑢𝐿(𝑝)� − 𝐿𝑛(𝑝)
(2.23)
∆𝐿𝑛�𝑢𝑝 � = 𝑔(𝑝) = ∆𝐿𝑛�𝑢𝐿(𝑝)�
(2.24)
First difference dari persamaan (2.21) adalah
Nilai PGC direpresentasikan oleh 𝑔(𝑝) = ∆Ln(𝑢𝑝 ). Derajat pro poor dapat
diketahui dengan membandingkan pertumbuhan rata-rata pendapatan pada setiap persentil. Jika persentil bawah lebih dominan dari persentil lainnya atau jika pola pertumbuhan memiliki memiliki pola menurun maka pertumbuhan bersifat pro poor, sebaliknya jika persentil atas lebih dominan maka pertumbuhan belum bersifat pro poor. Secara konseptual pendekatan ini memiliki definisi yang cukup kuat, namun memiliki kelemahan karena dilakukan secara parsial tanpa memasukkan garis kemiskinan secara eksplisit dan penentuan derajat pro poor hanya didasarkan pola dominan dalam kurva. 2.6
Determinan Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan Telah
banyak
penelitian
yang
dilakukan
untuk
mengkaji
dan
mengidentifikasi determinan dari pertumbuhan. Dengan menggunakan kerangka konseptual dan metode yang berbeda, beberapa penelitian menggunakan variabel penjelas yang beragam untuk menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi. Barro (1997) menggunakan beberapa variabel untuk menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan. Variabel yang pertama adalah stok kapita dan investasi. Keduanya menjadi determinan paling fundamental dari pertumbuhan ekonomi berdasarkan identifikasi model neo-klasik maupun model endogen. Model neo-klasik menyatakan bahwa investasi memiliki dampak sementara, namun model endogen menyatakan bahwa investasi terutama investasi human capital memiliki dampak yang permanen (Barro dan Sala-I-Martin, 1995). Variabel kedua adalah modal manusia (human capital) yang menjadi sumber pertumbuhan terpenting dalam pandangan model pertumbuhan endogen. Modal manusia tidak hanya mencakup jumlah populasi penduduk dan angkatan
38
kerja, namun juga merepresentasikan kualitas atau keterampilan/skill dan pengetahuan yang dimiliki oleh pekerja. Barro (1991) menyatakan bahwa modal manusia mencakup aspek pendidikan angkatan kerja yang dapat diukur melalui rata-rata lama sekolah penduduk usia produktif dan aspek kesehatan yang diukur dengan usia harapan hidup. Variabel ketiga adalah kualitas infrastruktur perekonomian yang terdiri dari
infrastruktur
transportasi,
telekomunikasi
dan
listrik.
Infrastruktur
perekonomian memiliki peran dalam menjamin kelangsungan produksi dan distribusi barang dan jasa. Kualitas infrastruktur juga menjadi salah satu pertimbangan penting bagi pengusaha dalam menentukan keputusan untuk berinvestasi.
Hasil penelitian Fan et al (2002) menunjukkan bahwa kualitas
infrastruktur transportasi, telekomunikasi dan listrik memiliki dampak tidak langsung terhadap pertumbuhan output dalam perekonomian. Variabel yang keempat adalah
keterbukaan perekonomian (trade
openess). Keterbukaan ekonomi memiliki kontribusi yang cukup penting dalam meningkatkan pertumbuhan melalui jalur promosi, transfer pengetahuan, peningkatan skala ekonomi dan efisiensi. Keterbukaan dapat diukur dengan rasio volume perdagangan atau jumlah ekspor dan impor dengan output nasional (Barro, 1991).
Variabel kelima adalah
tingkat inflasi yang akan memiliki
pengaruh negatif terhadap terhadap pertumbuhan output sehingga dapat mendorong pada pertumbuhan negatif (Barro, 1991).
Variabel yang lainnya
adalah level pendapatan perkapita pada kondisi awal (initial variable), pengeluaran pemerintah untuk belanja modal dan belanja pembangunan. Beberapa variabel yang memengaruhi perubahan jumlah pencari kerja atau pengangguran adalah pertumbuhan angkatan kerja, laju inflasi, investasi dan kebijakan upah minimum. Pertumbuhan angkatan kerja akan berdampak pada meningkatnya pengangguran alamiah melalui penawaran tenaga kerja baru. Jika tidak diimbangi dengan permintaan tenaga kerja yang memadai maka akan terjadi kelebihan penawaran dan menyebabkan pengangguran.
Laju inflasi memiliki
trade off dengan tingkat pengangguran. Jika pemerintah melakukan kebijakan dengan menentukan target pertumbuhan output tertentu maka dapat memacu kesempatan kerja dan menurunkan pengangguran, namun di sisi lain ada biaya
39
yang harus ditanggung yakni meningkatnya harga-harga (inflasi). Sebaliknya, jika kebijakan yang ditetapkan adalah mengendalikan inflasi maka resikonya adalah akan meningkatkan pengangguran. Kebijakan penentuan upah minimum regional
juga
memiliki
pengaruh
positif
dalam
meningkatkan
jumlah
pengangguran. Variabel yang memengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan terdiri dari pertumbuhan pendapatan perkapita, alokasi kepemilikan aset atau kekayaan, ketimpangan dalam skill atau keterampilan, perubahan harga atau inflasi dan pengeluaran pemerintah. Berdasarkan beberapa studi sebelumnya, tidak terdapat relasi yang sistematis antara pertumbuhan pendapatan perkapita dengan ketimpangan distribusi pendapatan dan pola di setiap negara berbeda-beda. Meskipun secara rata-rata pendapatan perkapita meningkat, distribusi dapat bergeser semakin timpang, semakin merata atau tetap. Ketimpangan dalam mengakses
pendidikan
antar
penduduk
menurut
golongan
pendapatan
menyebabkan perbedaan dalam skill atau keterampilan dan produktivitas sehingga upah atau pendapatan diterima juga akan berbeda. Secara rata-rata, penduduk miskin memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah sehingga mayoritas memilih bekerja di sektor informal meskipun tingkat upah dan pendapatan yang diterima lebih rendah. Sebaliknya, rata-rata pendidikan penduduk golongan atas cenderung lebih tinggi sehingga akan lebih selektif dalam menerima pekerjaan. Dengan pendidikan yang lebih tinggi maka produktivitasnya juga akan semakin tinggi sehingga tingkat upah dan pendapatan yang diterimanya juga akan semakin besar. Determinan kemiskinan menurut Bourguignon (2004) terdiri dari pertumbuhan pendapatan perkapita, distribusi pendapatan dan redistribusi pendapatan sehingga semua determinan pertumbuhan dan ketimpangan secara tidak langsung juga akan memengaruhi kemiskinan. 2.7
Tinjauan Empiris Penelitian Terdahulu Penelitian dengan topik yang serupa telah banyak dilakukan baik di dalam
lingkup nasional antar negara menggunakan metode yang berbeda-beda. Wodon (1999) mengembangkan model regresi data panel dalam penelitian mengenai
40
keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan di Banglades. Ada tiga model persamaan regresi data panel yang digunakan, yakni: 𝑙𝑛𝐺𝑖𝑡 =∝ +𝛽𝑙𝑛𝑌𝑖𝑡 + 𝛼𝑖 + 𝜀𝑖𝑡 ;
dan 𝑙𝑛𝑃𝑖𝑡 = 𝜑 + λ𝑙𝑛𝑌𝑖𝑡 + 𝜑𝑖 + 𝜂𝑖𝑡
𝑙𝑛𝑃𝑖𝑡 = 𝜔 + 𝛾𝑙𝑛𝑌𝑖𝑡 + 𝛿𝑙𝑛𝐺𝑖𝑡 + 𝜔𝑖 + 𝑣𝑖𝑡 ;
(2.25)
dimana: 𝐺 = Gini rasio; 𝑌 =Level pendapatan/konsumsi perkapita; 𝑃 = Indikator
kemiskinan FGT; ∝, 𝜔, 𝜑 = koefisien; 𝛼𝑖 , 𝜔𝑖 , 𝜑𝑖 = fixed/random effect; 𝜀𝑖𝑡 ,𝑣𝑖𝑡 , 𝜂𝑖𝑡 =
error term; i=Provinsi; t=Tahun.
𝛽 = Elastisitas ketimpangan terhadap
pertumbuhan; 𝛿=Elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan; 𝛾 = Elastisitas netto kemiskinan terhadap pertumbuhan; λ = Elastisitas total kemiskinan terhadap pertumbuhan, dimana λ = 𝛾 + 𝛽𝛿.
Ada beberapa temuan yang dihasilkan oleh penelitian ini. Pertama, tidak
ada hubungan yang sistematis yang signifikan antara pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan di wilayah perdesaan, sedangkan di daerah perkotaan ada hubungan positif.
Artinya, pertumbuhan yang dihasilkan di wilayah
perkotaan semakin meningkatkan ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Kedua, ada hubungan searah antara perubahan ketimpangan dengan perubahan kemiskinan baik di perkotaan maupun perdesaan sehingga jika ketimpangan meningkat maka kemiskinan juga meningkat. Ketiga, ada hubungan berlawanan antara pertumbuhan dengan perubahan kemiskinan sehingga jika pertumbuhan meningkat maka kemiskinan akan menurun. Hal ini berarti ada manfaat yang diterima penduduk miskin dari pertumbuhan yang dihasilkan. Meng et al. (2005) melakukan penelitian dengan topik yang serupa di kawasan perkotaan China selama periode 1986-2000. Model yang digunakan adalah regresi data panel menggunakan data di level provinsi dan dispesifikasi sebagai: 𝑙𝑛𝑃𝑖𝑡 = 𝛼 + 𝛽𝑙𝑛𝑌𝑖𝑡 + 𝛿𝑙𝑛𝐺𝑖𝑡 + 𝜂𝑙𝑛𝑆𝑖𝑡 + 𝜃𝑙𝑛𝑊𝐸𝑖𝑡 + 𝛾𝑙𝑛𝑋𝑖𝑡 + 𝑢𝑖 + 𝜀𝑖𝑡 (2.26)
Perubahan kemiskinan merupakan fungsi dari pertumbuhan pendapatan perkapita, perubahan gini rasio, perubahan tingkat tabungan, perubahan share pengeluaran
untuk pendidikan, kesehatan dan perumahan, perubahan rata rata jumlah anggota rumah tangga yang bekerja, dan perubahan harga relatif (inflasi) kelompok bahan
41
makanan. Hasil temuannya adalah pertumbuhan pendapatan perkapita merupakan determinan utama dalam penurunan kemiskinan selama waktu 15 tahun dalam penelitian. Perubahan tabungan dan pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan dan perumahan memiliki hubungan yang tidak searah dengan perubahan kemiskinan. Laju inflasi bahan makanan dan ketimpangan pendapatan memiliki hubungan yang searah dengan kemiskinan, artinya jika nilai dari variabel-variabel tersebut meningkat maka akan berpengaruh terhadap pertumbuhan penduduk miskin. Nayyar (2005) membangun sebuah model untuk mengkaji proses penurunan kemiskinan di kawasan perdesaan India melalui dua pendekatan, yakni pendekatan langsung dan tidak langsung. Pendekatan tidak langsung mengacu pada konsep pembangunan dualistik yang menekankan pada interaksi dual economic antara sektor pertanian tradisional dan sektor industri modern sebagai dampak dari proses pembangunan.
Akumulasi kapital di sektor industri
merupakan motor penggerak pertumbuhan dalam pembangunan ekonomi dan pembangunan ekonomi sebagai prasyarat transformasi struktural yang progresif dari sektor pertanian menuju sektor industri modern. Pendekatan tidak langsung menekankan pada aspek redistribusi pendapatan melalui kebijakan peningkatan daya beli, peningkatan akses terhadap aset dan pendidikan, subsidi bahan pangan dan program anti kemiskinan lainnya. Dengan pendekatan model data panel penelitian Nayyar menghasilkan temuan beberapa determinan yang memengaruhi perubahan kemiskinan di kawasan perdesaan India.
Determinan yang berhubungan searah atau positif
adalah perubahan indeks harga konsumen (inflasi) dan distribusi kepemilikan lahan. Determinan yang berhubungan negatif adalah output perkapita sektor non pertanian, pertumbuhan output per pekerja sektor pertanian, pengeluaran untuk program anti kemiskinan, indeks ketimpangan gender dan pertumbuhan infrastruktur fisik. Fan et al (2002) melalukan penelitian dengan topik yang serupa di kawasan perdesaan China dan lebih menekankan pada peran investasi publik. Metode yang mereka gunakan adalah persamaan simultan dengan data panel di level provinsi serta menggunakan beberapa variabel eksogen seperti pertumbuhan penduduk perdesaan, belanja pemerintah untuk pendidikan, belanja investasi dan
42
pengembangan (R&D) sektor pertanian, belanja pemerintah untuk infrastruktur perdesaan seperti telekomunikasi, listrik dan jalan. Hasil temuan dari penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk pendidikan memiliki pengaruh yang paling kuat terhadap penurunan kemiskinan melalui peningkatan usia lama sekolah dan kemampuan baca tulis penduduk. Peningkatan kualitas pendidikan ini akan meningkatkan produktivitas pertanian, upah/income, pertumbuhan output (PDB) di sektor pertanian dan non pertanian dan dampak akhirnya adalah menurunkan kemiskinan. Pengeluaran pemerintah untuk kegiatan pengembangan dan R&D di sektor pertanian juga memiliki andil yang besar dalam meningkatkan produktivitas pertanian, GDP sektor pertanian dan penurunan kemiskinan. Beberapa variabel lain yang juga berpengaruh signifikan adalah pengeluaran investasi pemerintah untuk infrastruktur jalan, telekomunikasi dan listrik. Penelitian serupa juga telah banyak dilakukan di Indonesia. Hajiji (2010) mengkaji keterkaitan pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan di Provinsi Riau menggunakan spesifikasi model yang dikembangkan oleh Wodon (1999). Hasil temuan utamanya adalah pertumbuhan ekonomi menjadi variabel penting dalam proses penurunan kemiskinan di Provinsi Riau. Namun, tingkat efektivitasnya menjadi berkurang karena pertumbuhan yang dihasilkan juga menyebabkan naiknya ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang diterima oleh penduduk. Siregar dan Wahyuniarti (2007) melakukan penelitian mengenai pengaruh pertumbuhan ekonomi dan faktor lainnya terhadap kemiskinan di Indonesia. Temuan yang diperoleh adalah pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin meskipun pengaruhnya relatif kecil. Faktor yang memiliki pengaruh relatif besar dalam menurunkan kemiskinan adalah tingkat pendidikan.
Faktor lainnya yang berpengaruh adalah inflasi,
populasi penduduk, share sektor pertanian, dan sektor industri. Hasil penelitian empiris di berbagai negara/wilayah termasuk Indonesia, menunjukkan adanya keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengentasan kemiskinan.
Secara umum, ada tiga temuan utama,
yakni: pertumbuhan ekonomi menjadi determinan penting bagi pengentasan kemiskinan; belum ada cukup bukti untuk menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
43
memengaruhi distribusi pendapatan semakin merata atau semakin timpang; perubahan distribusi pendapatan ke arah yang lebih merata memberikan dampak yang positif bagi pengentasan kemiskinan. 2.8
Kerangka Pemikiran Keragaman dalam potensi ekonomi, kualitas infrastruktur maupun sumber
daya manusia antar kabupaten/kota di Jawa Tengah menyebabkan keragaman dalam struktur perekonomian dan pola kemiskinan. Pertumbuhan pendapatan perkapita yang dihasilkan di level provinsi dan mayoritas kabupaten/kota sudah cukup tinggi, namun pengentasan kemiskinan belum berjalan secara efektif dan masih jauh di atas sasaran yang diharapkan.
Fokus utama penelitian ini adalah
mengkaji hubungan antara pertumbuhan pendapatan perkapita, pengangguran ketimpangan distribusi pendapatan, pengangguran dan kemiskinan serta mengidentifikasi determinan yang memengaruhi penurunan kemiskinan melalui variabel
pertumbuhan,
perluasan
kesempatan
kerja/pengangguran
dan
ketimpangan pendapatan dengan pendekatan model ekonometrika. Secara umum kerangka pemikiran dalam penelitian ini disusun dengan sistematika Gambar 12. Permasalahan Kemiskinan Jawa Tengah
Tingkat Kemiskinan Tinggi (di atas sasaran MDG’s dan RPJM) Pola Kemiskinan antar Kabupaten/Kota Sangat Heterogen Pertumbuhan Tinggi, Distribusi Pendapatan Tidak Berubah Penurunan Kemiskinan Berjalan Lambat Faktor Penyebab
Struktural
Kultural
Akumulasi Modal Fisik /Investasi Modal Manusia (Tenaga Kerja, Pendidikan, dan Kesehatan) Infrastruktur Perekonomian (Transportasi , Komunikasi dan Listrik) Pengeluaran Pemerintah/Belanja Pembangunan
Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita
Distribusi Pendapatan
Perluasan Kesempatan Kerja dan Pengangguran
Pengentasan Kemiskinan
Keterbukaan Perekonomian Tata Kelola Pemerintahan
Rekomendasi Kebijakan Tidak dianalisis dalam penelitian Dianalisis dalam penelitian
Gambar 12 Kerangka Pemikiran
44
2.9
Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan tinjauan pustaka, maka
beberapa hipotesis yang diuji melalui penelitian adalah sebagai berikut: 1.
Pertumbuhan di Jawa Tengah selama 2004-2010 bersifat netral atau manfaat hasil pertumbuhan telah dinikmati oleh penduduk pada semua golongan pendapatan dengan proporsi yang sama.
2.
Pertumbuhan stok kapita/investasi, jumlah pekerja menurut pendidikan, ratarata usia sekolah penduduk, kualitas infrastruktur transportasi dan listrik, serta belanja pembangunan memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan pendapatan perkapita.
3.
Pertumbuhan jumlah angkatan kerja menurut pendidikan dan upah minimum memiliki pengaruh positif terhadap peningkatan jumlah penganggur, sementara pertumbuhan pendapatan perkapita dan investasi memiliki pengaruh negatif terhadap perubahan jumlah penganggur.
4.
Pertumbuhan pendapatan perkapita dan belanja pembangunan memiliki pengaruh positif dalam mengurangi ketimpangan pendapatan, sementara ketimpangan pendidikan dan perubahan indeks harga memiliki pengaruh positif dalam meningkatkan ketimpangan dalam distribusi pendapatan.
5.
Pertumbuhan pendapatan perkapita memiliki pengaruh positif dalam mengurangi jumlah penduduk miskin, sementara indeks ketimpangan pendapatan, jumlah penganggur dan indeks harga memiliki pengaruh positif dalam meningkatkan jumlah penduduk miskin.
III. METODE PENELITIAN 3.1
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data sekunder yang
berasal dari beberapa sumber seperti BPS RI, BPS Provinsi Jawa Tengah dan Kementrian Keuangan RI. Data pokok kemiskinan yang digunakan adalah jumlah penduduk miskin yang sudah dihitung sampai level kabupaten/kota oleh BPS sejak tahun 2004. Keterbatasan data kemiskinan di level kabupaten/kota belum disajikan menurut wilayah perkotaan/perdesaan. Data pendapatan perkapita penduduk dihitung dari PDRB kabupaten/kota, sedangkan data investasi bersumber dari PDRB penggunaan yang diproksi dengan nilai Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB). Data ketimpangan pendapatan dan ketimpangan pendidikan yang diukur dengan Gini rasio belum disajikan sampai level kabupaten/kota secara periodik, sehingga untuk beberapa tahun harus dihitung terlebih dahulu menggunakan data mentah hasil Susenas. Data Indeks Harga Konsumen (IHK) hanya tersedia di 4 kota inflasi, sehingga untuk memproksinya digunakan pendekatan deflator PDRB. Deflator PDRB dihitung dari rasio antara PDRB atas dasar harga berlaku dengan PDRB riil pada tahun yang sama. Data kualitas sumber daya manusia (human capital) diproksi dengan ratarata usia lama sekolah penduduk berusia kerja berdasarkan estimasi dari hasil Susenas.
Data ketenagakerjaan terdiri dari jumlah angkatan kerja, penduduk
bekerja dan pencari kerja bersumber dari estimasi hasil Susenas dan dibedakan menjadi tenaga terampil (berpendidikan SLTA ke atas) dan tidak terampil (berpendidikan SLTP ke bawah).
Data upah minimum bersumber dari
Disnakertrans kabupaten/kota. Data belanja pembangunan menggunakan realisasi APBD kabupaten/kota yang bersumber dari Kementerian Keuangan.
Kualitas
infrastruktur transportasi diproksi dengan data rasio panjang jalan terhadap luas administrasi yang bersumber dari Dinas Pekerjaan Umum kabupaten/kota, sedangkan infrastruktur listrik diproksi dengan jumlah Kwh energi listrik yang terjual per penduduk yang bersumber dari Perusahaan Listrik Negara (PT PLN). Beberapa data tersebut secara berkala telah disajikan dalam publikasi Daerah
46
Dalam Angka (DDA) kabupaten/kota dan provinsi. Jenis dan sumber data untuk bahan kajian secara ringkas disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Jenis dan Sumber Data dalam Penelitian Data
Keterangan
Kemiskinan Ketimpangan Pertumbuhan Pendidikan
Sumber
Penduduk Upah
Persentase Penduduk Miskin (HCI) Gini rasio Pertumbuhan PDRB perkapita Rata-rata Lama Sekolah Penduduk, Ketimpangan Pendidikan Angkatan Kerja, Penduduk bekerja, Pencari Kerja, TPAK dan TPT Jumlah Penduduk Upah Minimum Kabupaten/Kota
Belanja Publik Inflasi Investasi Infrastruktur
Belanja Publik Pemerintah Kab/Kota IHK, PDRB Deflator PMTDB PDRB Penggunaan Panjang Jalan dan Jumlah Listrik Terjual
Ketenagakerjaan
3.2
BPS Provinsi Jawa Tengah BPS Provinsi Jawa Tengah BPS Provinsi Jawa Tengah BPS Provinsi Jawa Tengah, dihitung dari Susenas BPS Provinsi Jawa Tengah, dihitung dari Susenas Hasil Rebasing SP’2010, BPS Daerah Dalam Angka (DDA), BPS Provinsi Jawa Tengah Kementerian Keuangan BPS Provinsi Jawa Tengah BPS Provinsi Jawa Tengah Dinas PU dan PT PLN
Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian terdiri
dari analisis deskriptif dan regresi data panel. Analisis deskriptif digunakan untuk mengkaji dinamika pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan dan kemiskinan antar waktu dan antar wilayah.
Analisis regresi data panel digunakan untuk
mengkaji keterkaitan antara variabel pertumbuhan, pengangguran, ketimpangan dan kemiskinan serta mengidentifikasi determinan dari setiap variabel. Prosedur analisis secara ringkas disajikan dalam Gambar 13. Determinan dan Keterkaitan Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan dan Kemiskinan
Dinamika Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan
Analisis Deskriptif
Poverty Growth Curve (PGC)
Analisis Tren
Analisis Kuadran
Dinamika antar Waktu
Dinamika antar Wilayah
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 13 Ringkasan Prosedur Analisis
Analisis Ekonometrika (Regresi Data Panel)
1. 2. 3. 4.
Model Pertumbuhan Model Pengangguran Model Ketimpangan Model Kemiskinan
47
3.2.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis yang digunakan untuk menggambarkan keadaan suatu hal atau fenomena secara umum. Tujuan dari analisis deskriptif adalah untuk mempermudah penafsiran atau penjelasan. Dalam penelitian ini, analisis deskriptif digunakan mengkaji dinamika pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan antar waktu dan antar wilayah serta sebagai pendukung untuk mempertajam analisis regresi data panel. Beberapa teknik yang digunakan berupa tabel, grafik dan analisis spasial berupa peta tematik disertai dengan interpretasi dan argumentasi terhadap data yang disajikan. Analisis deskriptif dengan tabulasi maupun grafis merupakan metode yang paling sederhana
tetapi memiliki kemampuan yang cukup kuat untuk menjelaskan
secara kualitatif hubungan antar peubah yang diamati. Selain itu, juga digunakan analisis tren, kuadran dan analisis Poverty Growth Curve (PGC).
Tren perubahan variabel pertumbuhan, pengangguran,
ketimpangan dan kemiskinan dihitung dengan meregresikan perubahan setiap variabel terhadap waktu yang diformulasikan sebagai
𝐿𝑛 𝑌𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑡
atau ∆𝑌𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑡. Komponen tren merupakan koefisien dari variabel waktu
(𝛼1 ). Analisis kuadran dengan metode scatterplot digunakan untuk mengkaji
hubungan antara dua variabel berdasarkan data kabupaten/kota dalam waktu yang sama. Dalam penelitian ini analisis kuadran digunakan untuk mengkaji hubungan antara pertumbuhan pendapatan perkapita dengan levelnya, pertumbuhan dengan ketimpangan, ketimpangan dengan kemiskinan, serta pertumbuhan dengan kemiskinan antar wilayah. Analisis PGC digunakan untuk mengkaji keterkaitan antara pertumbuhan, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan melalui pendekatan kurva.
Secara
umum, analisis ini menggunakan data pendapatan/pengeluaran perkapita setiap individu yang diperoleh dari survei pengeluaran rumah tangga dalam dua periode berbeda. Tahapan dalam analisis ini adalah membagi populasi penduduk menjadi p persentil berdasarkan pendapatan/pengeluaran setiap individu seperti dalam kurva Lorenz. Tahap selanjutnya adalah menghitung rata-rata pendapatan dari setiap persentil selama selang dua periode dan menghitung pertumbuhan pendapatan rata-rata dari setiap persentil.
Plot pertumbuhan pendapatan dari
48
setiap persentil membentuk kurva PGC. Penentuan derajat pro poor dilakukan dengan membandingkan pertumbuhan di setiap kelompok persentil, pada bagian mana yang lebih dominan atau melihat slope dari kurva. Pertumbuhan bersifat pro poor jika penduduk pada kelompok pendapatan terbawah secara dominan menikmati hasil pertumbuhan dengan porsi yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok pendapatan yang lebih tinggi atau jika kurva memiliki slope menurun. 3.2.2
Analisis Regresi Data Panel Analisis regresi data panel digunakan untuk mengkaji keterkaitan,
mengidentifikasi determinan dan pengaruh dari variabel pertumbuhan pendapatan perkapita, pengangguran, ketimpangan terhadap pengentasan kemiskinan. Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang dan waktu, yakni kombinasi antara data cross section yang sama diobservasi menurut waktu atau time series (Gujarati, 2004). Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel dan jika jumlah waktu observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Baltagi (2005) mengungkapkan beberapa keunggulan dalam penggunaan metode data panel sebagai berikut: 1)
Mampu mengontrol heterogenitas individu karena estimasi dapat dilakukan secara eksplisit dengan memasukkan unsur heterogenitas individu.
2)
Mampu memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien.
3)
Sangat baik digunakan dalam studi yang bersifat dynamics of adjustment, sehingga sangat sesuai untuk mengukur perubahan dinamis karena berkaitan dengan observasi cross section yang terjadi berulang.
4)
Sangat baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak mampu dideteksi dalam data cross section saja atau data time series saja.
5)
Dapat digunakan untuk mengkonstruksi dan menguji model perilaku yang lebih kompleks dibandingkan dengan data cross section atau time series saja.
Penggunaan metode data panel juga memiliki beberapa keterbatasan terutama jika pengumpulan data menggunakan metode survei. adalah:
Beberapa keterbatasannya
49
1)
Permasalahan dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data akibat besarnya unit observasi dalam data panel.
Permasalahan tersebut
terkait dengan cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan waktu wawancara. 2)
Distorsi kesalahan dalam pengamatan (measurement errors).
Kesalahan
dalam pengukuran umumnya terjadi karena respon yang tidak sesuai, pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan sebagainya. 3)
Permasalahan selektivitas (selectivity) yang mencakup: a. Self-selectivity: permasalahan karena data yang dikumpulkan untuk penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada. b. Non-response: permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden. c. Attrition: jumlah responden yang cenderung berkurang pada putaran survei berikutnya akibat responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi
4)
Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu.
5)
Cross-section dependence.
Fenomena ini dapat dijelaskan dengan contoh,
data panel yang sifatnya makro dengan unit observasi negara dan saling memiliki ketergantungan antara negara. Jika series mencakup waktu yang panjang maka akan mengabaikan cross-country dependence sehingga menyebabkan penarikan kesimpulan yang salah (misleading inference). Secara garis besar, pendekatan dalam analisis data panel dibedakan menjadi dua, yaitu panel statis dan panel dinamis. Analisis data panel dinamis dicirikan oleh regressor yang mengandung lag dari variabel tak bebas. Pemilihan metode statis maupun dinamis sangat tergantung pada jenis variabel yang digunakan dan pertimbangan hubungan secara ekonomi. Data panel memiliki karakteristik jumlah unit cross section lebih dari 1 (N>1) dan unit time series lebih dari satu (T>1). Jika unit cross section sama dengan satu (N=1) dan unit time series banyak (T>1) maka dikenal data time series murni atau sebaliknya jika unit cross section banyak (N>1) dan unit time series sama dengan satu (T=1) maka dikenal dengan struktur data cross section
50
murni. Pengamatan dengan analisis data cross section hanya dilakukan pada satu titik waktu saja, sehingga perkembangan setiap unit individu tidak dapat diamati. Sebaliknya, model time series menggunakan satu unit individu yang diamati sepanjang waktu t sehingga menimbulkan permasalahan jika peubah yang diobservasi merupakan data hasil agregasi karena memiliki kemungkinan untuk menghasilkan estimasi yang bias. Analisis data panel mampu menggabungkan keduanya untuk mereduksi kekurangan dari kedua jenis data. Notasi yang digunakan dalam data panel terdiri dari dua subscript pada setiap peubahnya. Misalkan 𝑦𝑖𝑡 merupakan nilai peubah tak bebas (dependent
variable), maka 𝑖 menyatakan unit cross section yang dapat berupa individu,
rumah tangga, perusahaan, wilayah, negara atau yang lainnya (𝑖 = 1,2, … , 𝑁) dan
𝑡 menyatakan unit waktu dalam bulan, triwulan, tahun atau yang lainnya (𝑡 = 1,2, … , 𝑇). Jika 𝐾 menyatakan jumlah peubah bebas yang masing-masing diberi
indeks antara 1, 2,…, K maka notasi 𝑋𝑖𝑡′ menyatakan nilai variabel penjelas ke-j,
unit individu ke-i pada waktu ke-t. Untuk mempermudah dalam mengorganisir data panel maka dapat dituliskan ke dalam bentuk matriks sebagai berikut: 𝑦𝑖1 𝑦𝑖2 𝑦𝑖 = � ⋮ � ; 𝑦𝑖𝑇
𝑋1 ⎡ 𝑖1 1 𝑋𝑖 = ⎢𝑋𝑖2 ⎢ ⋮ 1 ⎣𝑋𝑖𝑇
2 𝑋𝑖1 2 𝑋𝑖2 ⋮ 2 𝑋𝑖𝑇
… … ⋱ …
𝐾 𝑋𝑖1 ⎤ 𝐾 𝑋𝑖2 ⎥ ; ⋮ ⎥ 𝐾 𝑋𝑖𝑇 ⎦
𝜀𝑖1 𝜀𝑖2 𝜀𝑖 = � ⋮ � 𝜀𝑖𝑇
(3.1)
𝑦𝑖 menyatakan nilai peubah tak bebas ke-i pada period ke-t; 𝑋𝑖 menyatakan nilai
peubah bebas ke-i pada period ke-t; 𝜀𝑖 menyatakan gangguan acak unit ke- 𝑖 pada waktu ke- 𝑡. Struktur data panel dengan jumlah peubah bebas sebanyak K adalah: Individu ke-1
Individu ke-2
Individu ke-N
Variabel ke-1
𝑋111 ⎡𝑋 ⎢ 112 ⋮ ⎢ 𝑋11𝑇 ⎢ ⎢ 𝑋121 ⎢ 𝑋122 ⎢ ⋮ ⎢ 𝑋12𝑇 ⎢ ⋮ ⎢𝑋1𝑁1 ⎢𝑋1𝑁2 ⎢ ⋮ ⎣𝑋1𝑁𝑇
𝑋211 𝑋212 ⋮ 𝑋21𝑇 𝑋221 𝑋222 ⋮ 𝑋22𝑇 ⋮ 𝑋2𝑁1 𝑋2𝑁2 ⋮ 𝑋2𝑁𝑇
… 𝑋𝐾11 … 𝑋𝐾12 ⎤ ⋱ ⋮ ⎥ ⎥ … 𝑋𝐾1𝑇 ⎥ … 𝑋𝐾21 ⎥ … 𝑋𝐾22 ⎥ ⋱ ⋮ ⎥ … 𝑋𝐾2𝑇 ⎥ ⋮ ⋮ ⎥ … 𝑋𝐾𝑁1 ⎥ … 𝑋𝐾𝑁2 ⎥ ⋱ ⋮ ⎥ … 𝑋𝐾𝑁𝑇 ⎦
Periode ke-1 Periode ke-2
Periode ke-T
Variabel ke-K
51
Penulisan notasi matrik dalam persamaan (3.1) dapat disederhanakan menjadi: 𝑦1 𝑦2 𝑦 =� ⋮ � ; 𝑦𝑁
𝑋1 𝑋2 𝑋=� � ; ⋮ 𝑋𝑁
𝜀1 𝜀2 𝜀=� ⋮ � 𝜀𝑁
(3.2)
𝑦 adalah matriks berukuran NTx1, 𝑋 adalah martiks berukuran NTxK dan 𝜀
adalah matriks berukuran NTx1.
Model standar regresi data panel linier dapat
dituliskan sebagai: 𝑦𝑖𝑡 = 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝜀𝑖𝑡
𝑎𝑡𝑎𝑢
𝑦 = 𝑋′𝛽 + 𝜀
β merupakan matriks berukuran NT x1 yang dapat diekspresikan sebagai:
3.2.3
𝛽1 𝛽 𝛽 = � 2� ⋮ 𝛽𝑁
(3.3) (3.4)
Regresi Data Panel Statis Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi
parameter dalam model regresi data panel statis, yakni Pooled Least Square Estimator (PLS), metode efek tetap atau Fixed Effects Model (FEM) dan metode efek random atau Random Effects Model (REM). Metode yang paling sederhana digunakan adalah PLS atau dikenal sebagai metode kuadrat terkecil seperti yang digunakan pada model cross section dan time series murni.
Karena data panel
memiliki jumlah observasi lebih banyak dibandingkan data cross section dan time series murni, maka ketika data digabungkan menjadi pool data regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan dengan regresi yang menggunakan data cross section dan time series murni. Meskipun demikian, penggabungan data akan menyebabkan variasi atau perbedaan keragaman baik antara individu maupun antar waktu menjadi tidak dapat dibedakan. Permasalahan ini kurang sesuai dengan tujuan penggunaan metode data panel, sehingga untuk banyak kasus penduga least square dapat menjadi bias akibat kesalahan spesifikasi data. Permasalahan tersebut dapat diatasi melalui dua pendekatan metode data panel yang lain, yakni FEM dan REM. Kedua metode dibedakan berdasarkan asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (regressor). Dalam bentuk umum persamaan regresi data panel 𝑦𝑖𝑡 = 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 +
52
𝜀𝑖𝑡 , komponen error atau gangguan acak one way error component model, dispesifikasikan sebagai: 𝜀𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑢𝑖𝑡
(3.5)
Untuk two way error component model, komponen error atau gangguan acak dispesifikasikan sebagai: 𝜀𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝛾𝑡 +𝑢𝑖𝑡
(3.6)
Error term dalam pendekatan one way error component model hanya mencakup komponen error dari efek dari individu (𝛼𝑖 ). Pada two way error component
model, komponen error term juga mencakup efek waktu (𝛾𝑡 ). Perbedaan antara
FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara efek individu 𝛼𝑖 dan/atau efek waktu 𝛾𝑡 dengan variabel bebas 𝑋𝑖𝑡 . Untuk menentukan penggunaan metode FEM atau REM dilakukan dengan uji Hausman. 3.2.3.1 Fixed Effect Model (FEM) Apabila 𝛼𝑖 diperlakukan sebagai parameter tetap atau konstanta dan
nilainya bervariasi untuk setiap individu ke-i (i= 1, 2,…, N), maka model ini disebut sebagai FEM.
Pendekatan FEM mengasumsikan efek individu dan
variabel bebas memiliki korelasi atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep.
Pada umumnya pendekatan FEM terjadi ketika jumlah
individu N relatif kecil dan periode waktu T relatif besar.
Secara umum
persamaan FEM dapat diekspresikan dalam persamaan berikut: untuk one way error component model: 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡
untuk two way error component model:
(3.7)
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝛾𝑡 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡
(3.8)
dengan asumsi bahwa 𝑢𝑖𝑡 ~𝑖𝑖𝑑(𝑜, 𝜎𝑢2 ) dan 𝑋𝑖𝑡′ memiliki korelasi dengan 𝛼𝑖 .
Pendugaan parameter dalam metode FEM dapat dilakukan dengan beberapa cara. a. Pendekatan Pooled Least Square (PLS) Pendekatan PLS dilakukan dengan menggunakan data gabungan (pooled) antara N unit cross section dan T unit time series sehingga akan diperoleh
53
NxT observasi. Untuk one way error component model dalam persamaan 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 dengan 𝛼𝑖 bersifat konstan untuk semua observasi atau 𝛼𝑖 = 𝛼, maka estimasi parameter dapat diekspresikan sebagai: 1 𝑁 𝑇 ∑𝑖=1 ∑𝑇𝑡=1(𝑋𝑖𝑡 − 𝑋�)(𝑦𝑖𝑡 − 𝑦�) ∑𝑁 �𝑖𝑡 𝑦�𝑖𝑡 𝑖=1 ∑𝑡=1 𝑥 𝑁𝑇 𝛽̂ = = 𝑁 1 𝑁 ∑𝑖=1 ∑𝑇𝑡=1 𝑥�𝑖𝑡 2 ∑𝑖=1 ∑𝑇𝑡=1(𝑋𝑖𝑡 − 𝑋�)(𝑋𝑖𝑡 − 𝑋�) 𝑁𝑇 𝛼� = 𝑦� − 𝑋�𝛽̂
dimana:
𝑥�𝑖𝑡 = 𝑋𝑖𝑡 − 𝑋� ;
𝑦�𝑖𝑡 = 𝑦𝑖𝑡 − 𝑦�
(3.9)
(3.10)
𝑑𝑎𝑛
1 1 𝑇 𝑇 𝑋� = 𝑁𝑇 ∑𝑁 � = 𝑁𝑇 ∑𝑁 𝑖=1 ∑𝑡=1 𝑋𝑖𝑡 ; 𝑦 𝑖=1 ∑𝑡=1 𝑦𝑖𝑡
Penggabungan data cross section dan time series akan meningkatkan derajat bebas, sehingga hasil estimasi akan lebih efisien, yakni dengan varian: 𝑣𝑎𝑟�𝛽̂ � =
𝑣𝑎𝑟 (𝑢𝑖𝑡 ) 𝑁 ∑𝑖=1 ∑𝑇𝑡=1 𝑥�𝑖𝑡 2
(3.11)
Kelemahan pendekatan PLS adalah menghasilkan dugaan parameter (𝛽̂ ) yang bias. Hal ini ditunjukkan slope yang tidak sejajar dengan garis regresi untuk masing-masing individu (Gambar 14). Parameter tersebut bias, karena tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda.
Grup 2 Slope yang bias ketika fixed effect diabaikan
Grup 1
Sumber: Firdaus, 2011
Gambar 14 Estimasi Dengan Pendekatan Pooled Least Square
b. Pendekatan Within Group (WG) Pendekatan ini digunakan untuk mengatasi bias pada metode PLS, menggunakan data deviasi dari rata-rata individu. Jika didefinisikan:
54
1 𝑇 𝑋�𝑖 = 𝑇 ∑𝑁 𝑖=1 ∑𝑡=1 𝑋𝑖𝑡
𝑥𝑖𝑡∗ = 𝑋𝑖𝑡 − 𝑋�𝑖 ;
1
𝑇 𝑦�𝑖 = 𝑇 ∑𝑁 𝑖=1 ∑𝑡=1 𝑦𝑖𝑡
𝑦𝑖𝑡∗ = 𝑦𝑖𝑡 − 𝑦�𝑖 ;
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 ;
maka akan diperoleh persamaan:
𝑦�𝑖 = 𝛼𝑖 + 𝑋�𝑖′ 𝛽 + 𝑢�𝑖
𝑦𝑖𝑡 − 𝑦�𝑖 = (𝛼𝑖 − 𝛼𝑖 ) + (𝑋𝑖𝑡 − 𝑋�𝑖 )′ 𝛽 + (𝑢𝑖𝑡 − 𝑢�𝑖 ) 𝑎𝑡𝑎𝑢 ∗′ ∗ 𝑦𝑖𝑡∗ = 𝑥𝑖𝑡 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡
Penduga untuk parameter 𝛽 diformulasikan sebagai: 𝛽̂ 𝑊𝐺 =
∗ ∗ 𝑇 𝑇 � ∑𝑁 ∑𝑁 �𝑡 ) 𝑖=1 ∑𝑡=1(𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑡 )(𝑦𝑖𝑡 − 𝑦 𝑖=1 ∑𝑡=1 𝑥𝑖𝑡 𝑦𝑖𝑡 = 𝑇 𝑇 ∗2 � � ′ ∑𝑁 ∑𝑁 𝑖=1 ∑𝑡=1(𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑡 )(𝑋𝑖𝑡 − 𝑋𝑡 ) 𝑖=1 ∑𝑡=1 𝑥𝑖𝑡
(3.12) (3.13)
Berdasarkan persamaan (3.12) terlihat bahwa FEM dengan pendekatan within group tidak memiliki intersep (Gambar 15).
Kelebihan pendekatan WG
mampu menghasilkan dugaan yang tidak bias, namun memiliki kelemahan menghasilkan dugaan yang tidak efisien atau memiliki varians besar.
Grup 2
Grup 1
Sumber: Firdaus, 2011
Gambar 15 Estimasi Dengan Pendekatan Within Group (WG)
c. Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV) Pendekatan LSDV memiliki tujuan untuk merepresentasikan perbedaan intersep melalui peubah dummy. Pendekatan ini dapat diilustrasikan dengan menambahkan peubah dummy 𝑑𝑔𝑖𝑡 = 1 dengan nilai 𝑔 = 𝑖 ke dalam
persamaan (3.7) sehingga dapat dituliskan menjadi:
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼1 𝑑1𝑖𝑡 + 𝛼2 𝑑2𝑖𝑡 + ⋯ + 𝛼𝑁 𝑑𝑁𝑖𝑡 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 atau
′ 𝑦𝑖𝑡 = ∑𝑁 𝑔=1 𝛼𝑔 𝑑𝑔𝑖𝑡 + 𝑋𝑖𝑡 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡
(3.14)
55
Dengan menggunakan metode OLS parameter dalam persamaan (3.14) dapat diestimasi sehingga diperoleh dugaan parameter 𝛽𝐿𝑆𝐷𝑉 . Kelebihan pendekatan
LSDV adalah mampu menghasilkan dugaan parameter 𝛽 yang tidak bias dan
efisien, tetapi memiliki kelemahan jika unit observasinya besar. Pengujian intersep dapat dilakukan menggunakan uji F dengan hopotesis sebagai berikut: 𝛼1 = 𝛼2 = ⋯ = 𝛼𝑁
H0
:
H1
: minimal ada satu dari 𝛼𝑖 yang tidak sama
Hipotesis tersebut dapat digunakan untuk menguji penggunaan metode yang terbaik antara PLS dan LSDV. Statistik uji yang digunakan adalah: 2 𝑅𝐷𝑉 − 𝑅𝑝2 𝑁𝑇 − 𝑁 − 𝑘 𝐹= � 2 � 𝑁−1 1 − 𝑅𝐷𝑉
dimana:
(3.15)
2 𝑅𝐷𝑉 : koefisien determinasi LSDV; 𝑅𝑝2 : koefisien determinasi Pooled;
𝑘 : jumlah variabel; N : unit individu; T: waktu
Jika F-hitung > F-tabel maka keputusan untuk menolak H 0 signifikan, sehingga minimal ada satu nilai dugaan koefisien dari 𝛼𝑖 yang tidak sama dan LSDV merupakan metode estimasi yang sesuai. Sebaliknya jika penolakan H 0 tidak signifikan maka PLS merupakan metode yang lebih sesuai. d. Pendekatan Two Way Error Component Fixed Effect Model Hal yang mendasari pendekatan Two Way Error Component (FEM) adalah adanya fakta bahwa fixed effects tidak hanya bersumber dari variasi antar individu tetapi juga berasal dari variasi antar waktu atau time effect. Model dasar yang digunakan adalah persamaan (3.8) 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝛾𝑡 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡
dimana 𝛾𝑡 merepresentasikan variasi antar waktu. Dengan mengasumsikan
pengaruh individu (𝛼𝑖 ) dan pengaruh waktu (𝛾𝑡 ) berbeda, maka dengan
menambahkan peubah dummy sebanyak 𝑑𝑠𝑖𝑡 = 1 (𝑠 = 𝑡) dan 𝑑𝑔𝑖𝑡 = 1 (𝑔 =
𝑖) ke dalam persamaan (3.8) akan diperoleh persamaan:
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼1 𝑑1𝑖𝑡 + 𝛼2 𝑑2𝑖𝑡 + ⋯ + 𝛼𝑁 𝑑𝑁𝑖𝑡 + 𝛾2 𝑧2𝑖𝑡 + 𝛾3 𝑧3𝑖𝑡 + ⋯ + 𝛾𝑇 𝑧𝑇𝑖𝑡 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡
(3.16)
Penambahan variabel dummy akan menyebabkan berkurangnya derajat bebas yang akan mengurangi efisiensi dari dugaan parameter.
56
3.2.3.2 Random Effect Model (REM) Pendekatan REM muncul dengan asumsi efek individu (𝛼𝑖 ) dan peubah
bebas tidak memiliki korelasi atau 𝛼𝑖 diperlakukan sebagai parameter random.
Asumsi tersebut membuat komponen efek individu maupun efek waktu dimasukkan ke dalam error term. Pendekatan REM umumnya digunakan bila unit cross section N relatif besar dan unit time series T relatif kecil. Secara umum bentuk model REM dapat diekspresikan dalam persamaan berikut: 𝑦𝑖𝑡 = 𝜇 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 + 𝜏𝑖
(3.17)
𝜏𝑖 = 𝜆𝑖 untuk one way error component model dan 𝜏𝑖 = 𝜆𝑖 + 𝛾𝑡 untuk two way
error component model serta menggunakan asumsi 𝑢𝑖𝑡 ~𝑖𝑖𝑑(𝑜, 𝜎𝑢2 ) dan 𝜏𝑖 ~𝑖𝑖𝑑(𝑜, 𝜎𝜏2 ). Beberapa asumsi yang digunakan dalam REM adalah: 𝐸(𝑢𝑖𝑡 |𝜏𝑖 ) = 0 2 𝐸(𝑢𝑖𝑡 �𝜏𝑖 )
=
𝜎𝑢2
(3.18)
(3.19)
𝐸(𝜏𝑖 |𝑥𝑖𝑡 ) = 0
(3.20)
𝐸(𝜏𝑖2 �𝑥𝑖𝑡 ) = 𝜎𝜏2 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑖, 𝑡
(3.21)
𝐸�𝑢𝑖𝑡 𝜏𝑗 � = 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑖, 𝑡, 𝑗
𝐸�𝑢𝑖𝑡 𝑢𝑗𝑠 � = 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑖 ≠ 𝑗 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡 ≠ 𝑠 𝐸�𝜏𝑖 𝜏𝑗 � = 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑖 ≠ 𝑗
(3.22)
(3.23)
(3.24)
Asumsi yang terpenting diantara semua asumsi dalam REM adalah nilai harapan dari 𝑥𝑖𝑡 untuk setiap 𝜏𝑖 adalah nol atau 𝐸(𝜏𝑖 |𝑥𝑖𝑡 ) = 0 atau tidak ada korelasi antara variabel independen dengan 𝜏𝑖 .
Estimator dalam REM dapat
dilakukan melalui dua pendekatan yakni: a.
Pendekatan Between Estimator (BE) Pendekatan ini berkaitan dengan dimensi antar data (differences between individual) yang ditentukan seperti metode estimasi OLS pada sebuah model regresi dari rata rata individu 𝑦 dalam nilai 𝑥 secara individu. BE konsisten untuk N tak terhingga, dengan asumsi tidak ada korelasi antara peubah bebas
b.
dengan error term atau 𝐸(𝑥𝑖𝑡 , 𝜀𝑖 ) = 0 dan rata-rata sisaan sama dengan nol.
Pendekatan Generalized Least Square (GLS)
Pendekatan generalized least square (GLS) merupakan metode pendugaan yang sering digunakan dalam REM.
Pendekatan ini mengkombinasikan
57
dimensi antar (between) dan dalam (within) data secara efisien. GLS dipandang sebagai rata-rata terbobot dari estimasi between dan within dalam sebuah regresi. Apabila bobot yang dihitung tetap, maka estimator yang diperoleh merupakan random effect estimator. Berdasarkan persamaan (3.17) 𝑦𝑖𝑡 = 𝜇 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 + 𝜏𝑖 maka kombinasi
error dapat ditulis menjadi 𝜔𝑖𝑡 = 𝑢𝑖𝑡 + 𝜏𝑖 dengan beberapa asumsi berikut: 𝐸(𝜔𝑖𝑡 ) = 0
2 ) = 𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2 𝐸(𝜔𝑖𝑡
𝐸(𝜔𝑖𝑡 𝜔𝑖𝑠 ) = 𝜎𝜏2
𝐸�𝜔𝑖𝑡 𝜔𝑗𝑠 � = 0
𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑖, 𝑡
𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑡 ≠ 𝑠
𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑖 ≠ 𝑗 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡 ≠ 𝑠
(3.25)
(3.26)
(3.27)
(3.28)
Apabila gangguan sejumlah T untuk individu i dikumpulkan dalam bentuk vektor 𝜔𝑖𝑡 = (𝜔𝑖1 , 𝜔𝑖2 , … , 𝜔𝑖𝑇 )′ maka dapat dituliskan bahwa: 𝐸(𝜔𝑖 𝜔𝑖′ ) = Ω atau 𝑍𝜆 𝐸(𝑢𝑖 𝑢𝑖′ )𝑍𝜆′ + 𝐸(𝜆𝑖 𝜆′𝑖 ) = Ω
(3.29)
Ω dapat dituliskan dalam bentuk matriks varians-kovarians sebagai berikut: 𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 ⋮ 𝜎𝜏2
⎡ ⎢ Ω=⎢ ⎢ ⎣
𝜎𝜏2 𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 ⋮ 𝜎𝜏2
𝜎𝜏2 𝜎𝜏2 𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2 ⋮ 𝜎𝜏2
… 𝜎𝜏2 ⎤ … 𝜎𝜏2 ⎥ … 𝜎𝜏2 ⎥ ⋱ ⋮ ⎥ 2 … 𝜎𝑢 + 𝜎𝜏2 ⎦
(3.30)
Matriks tersebut juga dapat diartikan sebagai koefisien korelasi antara 𝑢𝑖𝑡 dan
𝑢𝑗𝑠 yang diformulasikan sebagai berikut: 𝜌 = 𝑐𝑜𝑟𝑟𝑒𝑙�𝑢𝑖𝑡 , 𝑢𝑗𝑠 � = 1 = 𝜎𝑢2 /(𝜎𝑢2 + 𝜎𝜏2 )
𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑖 = 𝑗, 𝑡 = 𝑠
𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑖 ≠ 𝑗 , 𝑡 ≠ 𝑠
(3.31)
Untuk keseluruhan observasi panel maka matriks kovarian error 𝜔𝑖𝑡 =
(𝜔𝑖1 , 𝜔𝑖2 , … , 𝜔𝑖𝑇 )′ dapat diturunkan sebagai: Ω ⎡0 ⎢ 𝑉 = 0 𝑁𝑇𝑥𝑁𝑇 ⎢ ⎢⋮ ⎣0
0 Ω 0 ⋮ 0
0 0 Ω ⋮ 0
… 0 … 𝑣⎤ ⎥ … 0 ⎥ = 𝐼𝑁 ⊗ Ω ⋱ ⋮⎥ … Ω⎦
(3.32)
𝐼𝑁 menyatakan matriks identitas berdimensi N dan ⊗ merepresentasikan
Kronecker product. Misalkan dalam persamaan (3.7) 𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝑋𝑖𝑡′ 𝛽 + 𝑢𝑖𝑡 ,
58
𝑌 direpresentasikan sebagai vektor stack dari 𝑦𝑖𝑡 yang dibentuk dengan pola
yang sama dengan 𝜔 (dengan struktur yang sama untuk X), maka sistem persamaan secara keseluruhan dituliskan sebagai: 𝑌 = 𝑋𝛽 + 𝜔
(3.33)
Estmasi menggunaan metode GLS untuk persamaan ini memerlukan transformasi untuk menghilangkan struktur yang tidak baku dari matriks kovarian 𝐸(𝜔𝑖 𝜔𝑖′ ) = Ω . Dengan mendefinisikan matriks penimbang P = Ω P
1/2
dan mengalikannya ke kedua ruas pada persamaan (3.34) diperoleh hasil
transformasi sebagai berikut: 𝑃𝑌 = 𝑃𝑋𝛽 + 𝑃𝜔
𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑌 ∗ = 𝑋 ∗ 𝛽 + 𝜔∗
𝐸(𝜔∗ 𝜔∗ ) = 𝐸(𝑃𝜔𝜔′ 𝑃) = 𝑃𝐸(𝜔𝜔′ )𝑃 = 𝑃Ω𝑃 = 𝐼𝑁𝑇
(3.34)
(3.35)
Penduga metode GLS pada persamaan regresi (3.34) dapat dituliskan sebagai berikut:
3.2.4
𝛽̂𝐺𝐿𝑆 = (𝑋 ′ Ω−1 𝑋)−1 𝑋 ′ Ω−1 𝑌
Pemilihan Model (Hausman Test)
(3.36)
Pemilihan metode yang sesuai apakah FEM atau REM dapat dilakukan melalui pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara peubah bebas dan efek individu. Pengujian asumsi dapat dilakukan dengan uji Hausman. Hipotesis dalam pengujian dirumuskan sebagai berikut: H 0 : 𝐸(𝜏𝑖 |𝑥𝑖𝑡 ) = 0 H 1 : 𝐸(𝜏𝑖 |𝑥𝑖𝑡 ) ≠ 0
atau REM adalah model yang tepat atau FEM adalah model yang tepat
Dasar pengambilan keputusan yntuk menolak H 0 menggunakan statistik Hausman dan dibandingkan dengan nilai Chi square tabel. Statistik Hausman dirumuskan dengan: 𝐻 = (𝛽𝑅𝐸𝑀 − 𝛽𝐹𝐸𝑀 )′ (𝑀𝐹𝐸𝑀 − 𝛽𝑅𝐸𝑀 )−1 (𝛽𝑅𝐸𝑀 − 𝛽𝐹𝐸𝑀 ) ~ 𝜒 2 (𝑘)
dimana: M adalah matriks kovarians β dan k adalah degrees of freedom
(3.37)
Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, keputusan untuk menolak H 0 adalah signifikan, sehingga model yang digunakan adalah FEM. Sebaliknya, jika keputusan menolak H 0 tidak signifikan maka penggunaan REM lebih sesuai.
59
Hsiao dalam Baltagi (2005) menyatakan ketika uji pemilihan FEM atau REM tidak dapat ditentukan secara teoritis maka dapat ditentukan berdasarkan keadaan datanya, apakah berupa data sampel atau populasi.
Metode REM
digunakan jika data diambil dari sampel individu atau beberapa individu yang dipilih secara acak untuk menarik kesimpulan tentang populasinya. Namun, jika evaluasi meliputi seluruh individu dalam populasi atau hanya meliputi beberapa individu dengan penekanan pada individu-individu tersebut maka lebih baik menggunakan FEM. 3.2.5
Persamaan Simultan dengan Error Component Penggunaan metode PLS, FEM atau REM satu tahap tidak dapat
digunakan untuk mengestimasi persamaan yang mengandung bias simultan. Permasalahan endogenity terjadi ketika memasukkan variabel endogen ke sisi kanan persamaan, yakni berupa korelasi antara variabel endogen di sisi kanan dengan komponen sisaan.
Permasalahan endogenity menyebabkan estimasi
dengan OLS menjadi tidak konsisten, sehingga diperlukan metode instrument variable (IV) seperti two-stage least square (2SLS) untuk menghasilkan dugaan yang konsisten. Variabel yang digunakan dalam persamaan simultan dibedakan menjadi beberapa jenis, yakni variabel endogen yang nilainya ditentukan oleh persamaan struktural dan variabel predetermined yang nilainya sudah ditentukan terlebih dahulu. Variabel predetermined terbagi menjadi dua, variabel eksogen yang nilainya sepenuhnya ditentukan dari luar model persamaan dan variabel lagged endogen yang nilainya ditentukan di dalam persamaan struktural berdasarkan nilai yang telah lalu (Juanda, 2009). Tahapan dalam analisis persamaan simultan diawali dengan menentukan spesifikasi model berdasarkan hubungan dalam teori ekonomi serta penelitian terdahulu. Tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi model tersebut berdasarkan order condition dan rank condition. metode estimasi yang sesuai.
Identifikasi berguna untuk menentukan
Persamaan teridentifikasi jika bersifat exactly
identified atau over identified, sehingga akan menghasilkan dugaan parameter yang unik.
60
Kondisi order (order condition) didasarkan atas kaidah penghitungan variabel yang dimasukkan dan dikeluarkan dari suatu persamaan tertentu. Cara yang dilakukan adalah menguji persamaan struktural dengan mengelompokkan terlebih dahulu persamaan persamaan tersebut ke dalam jumlah total persamaan struktural (total variabel endogen) dan dinyatakan dengan G, jumlah variabel dalam model (dinyatakan dengan K, dan jumlah variabel dalam persamaan yang diidentifikasi yang dinyatakan dengan M. Identifikasi dengan order condition diekspresikan dengan (K-M) ≥ (G-I) dan akan menghasilkan tiga alternatif kondisi identifikasi yakni: 1) (K-M) < (G-1), maka persamaan disebut under identified 2) (K-M) = (G-1), maka persamaan disebut just identified 3) (K-M) > (G-1) maka persamaan disebut over identified. Jika persamaan bersifat under identified maka tidak dapat diestimasi, jika just identified dapat diestimasi menggunakan metode ILS dan jika over identified tersebut dapat diestimasi dengan metode 2SLS atau 3SLS.
Baltagi (2005)
memberikan alternatif penduga 2SLS untuk menduga persamaan simultan dalam bentuk data panel dengan pendekatan metode 2SLS konvensional (Panel 2SLS) atau Fixed Effect Two Stage Least Square (Within 2SLS/W2SLS) maupun penduga Random Effect Two Stage GLS (EC2SLS/Error Component 2SLS). 3.2.6
Pengujian Parameter Model Pengujian parameter model bertujuan untuk mengetahui kelayakan model
dan apakah koefisien yang diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis. Pengujian parameter terdiri dari
uji koefisien regresi secara menyeluruh (F-
test/uji F) dan uji koefisien regresi secara parsial (uji t). Uji-F Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi atau parameter model secara menyeluruh/bersamaan.
Kriteria pengujiannya adalah
jika nilai nilai F observasi > F tabel atau nilai probabilitas F-statistic < taraf nyata (α), maka keputusan menolak H 0 signifikan. Dengan menolak H 0 berarti minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas.
61
Uji-t Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menguji koefisien regresi secara parsial menggunakan uji-t. Hipotesis pada uji-t adalah H 0 : β i = 0 vs H 1 : β i ≠ 0. Keputusan dalam pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel atau dengan melihat nilai probabilitas dari t-hitung. Jika nilai t-hitung > t-tabel atau jika nilai probabilitas t < α=0,05 maka keputusan menolak H 0 adalah signifikan dan peubah bebas secara parsial peubah bebas memengaruhi peubah tak bebas. Validasi Model Selain pengujian parameter, kelayakan model dapat diketahui dengan pengujian validasi.
Validasi model bertujuan untuk mengetahui apakah model mampu
merepresentasikan kondisi dunia nyata, dengan membandingkan nilai dugaan dengan nilai aktual. Beberapa pengujian validasi model yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji Theil’s (Theil’s Inequality Coefficient), Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) dan Koefisien Determinasi (R2). Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi hasil estimasi. Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi dari peubah bebas Y dapat diterangkan oleh peubah tak bebas X.
Jika R2 = 0, maka variasi dari Y
tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali, namun jika R2 = 1 maka variasi dari Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X.
Semakin tinggi nilai koefisien
determinasi maka model akan semakin baik, namun kriteria R2 hanya dapat digunakan pada model yang diestimasi dengan OLS. Nilai Theil’s berkisar antara 0 sampai 1, dengan kriteria semakin mendekati nol maka model semakin baik. Nilai statistik Theil’s dirumuskan sebagai berikut:
𝑈=
�1 ∑𝑛𝑡=1(𝑌𝑡𝑠 − 𝑌𝑡𝑎 )2 𝑛
�1 ∑𝑛𝑡=1(𝑌𝑡𝑠 )2 + �1 ∑𝑛𝑡=1(𝑌𝑡𝑎 )2 𝑛 𝑛
(3.38)
Nilai EMSPE dirumuskan sebagai berikut: 1
𝑅𝑀𝑆𝑃𝐸 = �𝑛 ∑𝑛𝑡=1 �
𝑌𝑡𝑠 −𝑌𝑡𝑎 𝑌𝑡𝑎
�
2
(3.39)
62
keterangan: 𝑌𝑡𝑠 = nilai hasil simulasi dasar dari variabel yang diobservasi
𝑌𝑡𝑎 = nilai aktual variabel yang diobservasi
Model dinyatakan valid apabila memiliki nilai RMSPE di bawah 100. Sedangkan koefisien determinasi dinyatakan valid apabila nilainya mendekati 1. 3.2.7
Pengujian Asumsi Jika model yang terpilih berdasarkan uji Hausman adalah REM maka
estimasi dari model diasumsikan best linier unbiased estimator (BLUE) dan tidak perlu dilakukan pengujian terhadap tiga asumsi utama model BLUE (nonmulticolinierity, homoskedasticity, dan non-autocorelation). Hal ini dikarenakan dua alasan, yaitu: (i) sifat data panel adalah bebas dari gejala multikolinieritas; dan (ii) REM adalah model generalized least square (GLS) dan estimasi dengan menggunakan GLS secara otomatis sudah mampu mengurangi gejala autokorelasi, bahkan terbebas dari gejala heteroskedastisitas yang disebabkan variansi sisaan tidak konstan (Gujarati, 2004). Jika model yang terpilih adalah FEM maka perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi sisaan, sebagai berikut: Uji Homoskedastisitas Asumsi pertama yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE maka varian (u i ) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua residual atau error memiliki varian yang sama.
Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas.
Apabila varian tidak
konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat digunakan metode GLS cross section weights, yakni membandingkan jumlah kuadrat residual (sum square residual) antara weighted statistics dengan unweighted statistics. Jika jumlah kuadrat residual pada
weighted
statistics
lebih
kecil
maka
dapat
disimpulkan
terjadi
heteroskedastisitas pada model. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antarobservasi dalam satu peubah atau korelasi antara error masa yang lalu dengan error pada saat ini. Uji autokorelasi
63
yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi dari penduganya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW). Prosedur yang dilakukan dengan membandingkan nilai DW-hitung dan DW-tabel. Kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 3.
Korelasi serial
ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola error acak dari hasil regresi. Tabel 3 Kriteria Identifikasi Autokorelasi Nilai DW
Hasil
4 – dl < DW < 4
Terdapat korelasi serial negatif
4 – du < DW < 4- dl
Hasil tidak dapat ditentukan
2 < DW < 4 – du Du < DW < 2
Tidak ada korelasi serial Tidak ada korelasi serial
dl < DW < du 0 < DW < dl
Hasil tidak dapat ditentukan Terdapat korelasi serial positif
Sumber: Gujarati, 2004
3.3
Spesifikasi Model Spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian terdiri dari empat
persamaan, yakni: (1) Model Pertumbuhan Model pertumbuhan mengacu pada model pertumbuhan endogen digunakan Barro (1997) yang telah dimodifikasi. Pertumbuhan pendapatan perkapita merupakan fungsi dari perubahan jumlah pekerja (dibagi menjadi pekerja terampil dan tidak terampil), modal manusia (rata-rata usia lama sekolah), perubahan stok kapital/investasi, kualitas infrastruktur jalan raya dan listrik serta pengeluaran pemerintah daerah untuk belanja modal/pembangunan. Spesifikasinya adalah: ln 𝐾𝐴𝑃𝑖𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1 ln𝐾𝐸𝑅𝐽𝐴(𝑆𝐿𝑇𝑃−)𝑖𝑡 + 𝛼2 𝐾𝐸𝑅𝐽𝐴(𝑆𝐿𝑇𝐴+)𝑖𝑡 + 𝛼3 ln𝑀𝑌𝑆𝑖𝑡 + 𝛼4 𝐼𝑁𝑉𝑖𝑡 + 𝛼5 ln𝐿𝐼𝑆𝑇𝑖𝑡 + 𝛼6 ln𝐽𝐿𝑁𝑖𝑡 + 𝛼7 ln𝑃𝑈𝐵𝑖𝑡 + 𝑢𝑖𝑡
(2) Model Pengangguran
(3.40)
Dalam model ini, pertumbuhan jumlah pencari kerja/pengangguran merupakan fungsi pertumbuhan jumlah angkatan kerja menurut pendidikan, tingkat upah
64
minimum kabupaten/kota, pertumbuhan pendapatan perkapita dan investasi. Spesifikasi modelnya adalah: ln 𝑈𝑁𝑖𝑡 = 𝛽0 + 𝛽1 ln𝐴𝐾(𝑆𝐿𝑇𝑃 −)𝑖𝑡 + 𝛽2 ln𝐴𝐾(𝑆𝐿𝑇𝐴 +)𝑖𝑡 + 𝛽3 ln𝑈𝑃𝐴𝐻𝑖𝑡 + 𝛽4 ln𝐾𝐴𝑃𝑖𝑡 + 𝛽5 ln𝐼𝑁𝑉𝑖𝑡 + 𝑣𝑖𝑡
(3.41)
(3) Model Ketimpangan Pendapatan
Dalam model ini, indeks ketimpangan (Gini rasio income) merupakan fungsi dari pertumbuhan pendapatan perkapita, indeks ketimpangan pendidikan (Gini rasio pendidikan),
indeks harga dan pengeluaran pemerintah untuk belanja
pembangunan. Spesifikasi adalah: 𝑖𝐺𝐼𝑁𝐼 = 𝛾0 + 𝛾1 ln 𝐾𝐴𝑃𝑖𝑡 + 𝛾2 𝑒𝐺𝐼𝑁𝐼𝑖𝑡 + 𝛾3 ln𝐼𝐻𝐾𝑖𝑡 + 𝛾4 ln𝑃𝑈𝐵𝑖𝑡 + 𝑤𝑖𝑡 (3.42)
(4) Model Kemiskinan:
Model kemiskinan yang digunakan mengacu pada model Wodon (1999) dengan menambahkan variabel jumlah penganggur dan indeks harga. Jumlah penduduk miskin merupakan fungsi dari pertumbuhan pendapatan perkapita, jumlah penganggur, indeks ketimpangan pendapatan serta indeks harga. Spesifikasinya adalah: ln 𝐻𝐶𝑖𝑡 = 𝛿0 + 𝛿1 𝑙𝑛 𝐾𝐴𝑃𝑖𝑡 + 𝛿2 𝑖𝐺𝐼𝑁𝐼𝑖𝑡 + 𝛿3 ln𝑈𝑁𝑖𝑡 + 𝛿4 ln𝐼𝐻𝐾𝑖𝑡 + 𝑧𝑖𝑡
Keterangan :
(3.43)
𝐾𝐴𝑃𝑖𝑡
= Pendapatan perkapita penduduk kabupaten ke-i tahun ke-t
𝑈𝑁𝑖𝑡
= Jumlah pencari kerja/pengangguran kabupaten ke-i tahun ke-t
𝐻𝐶𝑖𝑡
= Jumlah penduduk miskin kabupaten ke-i tahun ke-t
𝐼𝑁𝑉𝑖𝑡
= Nilai Investasi kabupaten ke-i tahun ke-t
𝑖𝐺𝐼𝑁𝐼𝑖𝑡 𝑃𝑈𝐵𝑖𝑡
= Indeks ketimpangan pendapatan kabupaten ke-i tahun ke-t
= Belanja pembangunan/APBD kabupaten ke-i tahun ke-t
𝐽𝐿𝑁𝑖𝑡
= Rasio panjang jalan berstatus baik dan sedang terhadap luas
𝑀𝑌𝑆𝑖𝑡
= Rata-rata usia lama sekolah penduduk kabupaten ke-i tahun ke-t
𝑈𝑃𝐴𝐻𝑖𝑡
= Upah minimum kabupaten ke-i tahun ke-t
𝐿𝐼𝑆𝑇𝑖𝑡 𝐴𝐾𝑖𝑡
𝐾𝐸𝑅𝐽𝐴𝑖𝑡
wilayah kabupaten ke-i tahun ke-t = Rasio energi Kwh energi listrik yang terjual/jumlah penduduk kabupaten ke-i tahun ke-t. = Jumlah angkatan kerja kabupaten ke-i tahun ke-t = Jumlah penduduk bekerja di kabupaten ke-i tahun ke-t
65
𝐼𝐻𝐾𝑖𝑡
= Indeks Harga Konsumen, diproksi dengan deflator PDRB kabupaten ke-i tahun ke-t
𝛼, 𝛽, 𝛾, 𝛿
= Parameter yang diestimasi (menunjukkan nilai elastisitas)
𝑒𝐺𝐼𝑁𝐼𝑖𝑡
= Indeks ketimpangan pendidikan kabupaten ke-i tahun ke-t
𝜀𝑖𝑡
= Error term, 𝜀𝑖𝑡 = 𝜆𝑖 + 𝑢𝑖𝑡 untuk one way error component model
𝛼0 , 𝛽0, 𝛾0 , 𝛿0
= Konstanta/intersep dan 𝜀𝑖𝑡 = 𝜆𝑖 + 𝜇𝑡 + 𝑢𝑖𝑡 untuk two way error component model
Model pertumbuhan dan pengangguran dapat diestimasi secara langsung menggunakan pendekatan FEM maupun REM. Namun, model ketimpangan dan kemiskinan mengandung permasalahan bias simultan karena mamasukkan variabel endogen pendapatan perkapita ke sisi kanan dari kedua persamaan. Permasalahan bias simultan (endogenity) terjadi karena ada korelasi antara variabel endogen di ruas sebelah kanan persamaan dengan sisaan dari model.
Jika terjadi endogenity
akan menyebabkan pendugaan dengan OLS menjadi tidak konsisten (Baltagi, 2005). Keempat persamaan dapat diestimasi menggunakan metode Panel Two Stage Least Square (2SLS).
Langkah yang dilakukan adalah memasukkan
sejumlah variabel sebagai instrumen dari variabel endogen di ruas kanan persamaan.
Pemilihan model estimasi dilakukan dengan menggunakan software
Eviews 6 dan STATA 10. 3.4
Definisi Operasional Definisi operasional dari peubah yang digunakan dalam model adalah
sebagai berikut: 1.
Tingkat kemiskinan merupakan indikator kemiskinan yang diukur dengan jumlah populasi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
2.
Pendapatan perkapita, diproksi dengan pendekatan nilai PDRB riil per jumlah penduduk pada tahun yang sama (dalam satuan juta rupiah).
3.
Gini rasio income merupakan ukuran indeks ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang diterima penduduk diproksi dengan pendekatan pengeluaran perkapita per bulan, karena data pendapatan individu tidak tersedia.
4.
Angkatan kerja didefinisikan sebagai jumlah penduduk berusia produktif (>14 tahun) yang sedang bekerja dan mencari pekerjaan.
Indikator ini
menggambarkan secara kasar bagian dari penduduk berusia kerja yang terlibat
66
aktif dalam kegiatan perekonomian. Angkatan kerja dibagi menjadi dua bagian, berpendidikan SLTP ke bawah sebagai proksi dari angkatan kerja tidak terampil dan SLTA ke atas sebagai proksi angkatan kerja terampil. 5.
Pengangguran merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja dan sedang mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha.
6.
Rata-rata usia lama sekolah didefinisikan sebagai rata-rata jumlah tahun bersekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas, dimulai dari tingkat sekolah dasar sampai kelas terakhir yang pernah diduduki. Indikator ini mencerminkan kualitas sumber daya manusia.
7.
Indeks Harga Konsumen merepresentasikan perkembangan harga barang dan jasa antar periode. Tidak semua kabupaten/kota melakukan penghitungan IHK, sehingga diproksi dengan pendekatan deflator PDRB atau rasio antara PDRB nominal terhadap PDRB riil.
8.
Belanja pembangunan, merupakan bagian dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintah kabupaten/kota yang digunakan untuk belanja modal atau belanja pembangunan (Rp milyar).
9.
Investasi, merupakan variabel proksi dari perubahan stok kapital yang diukur dengan nilai pembentukan modal tetap bruto dalam PDRB pengeluaran kabupaten/kota.
10. Ketimpangan pendidikan, merupakan indikator yang merepresentasikan distribusi atau pangsa/proporsi pendidikan penduduk yang diukur dengan Gini rasio lama sekolah. Nilai Gini rasio pendidikan berkisar antara 0 sampai 1, semakin mendekati nilai satu menunjukkan tingkat pendidikan antar penduduk yang semakin timpang. Pengukuran Gini rasio pendidikan serupa dengan pengukuran Gini rasio pendapatan, variabel pokok yang digunakan adalah usia lama sekolah penduduk. Tekniknya adalah menghitung tahun lama sekolah setiap penduduk berdasarkan data Susenas, kemudian diurutkan dari yang terendah sampai tertinggi dan menghitung proporsi populasi penduduk berdasarkan tingkatan tahun lama pendidikan. 11. Upah minimum, merupakan nilai upah terendah yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota. 12. Rasio panjang jalan, merepresentasikan kualitas infrastruktur transportasi
67
yang diukur dari panjang jalan berstatus baik dan sedang terhadap luas wilayah administrasi. 13. Rasio jumlah listrik terjual, merepresentasikan kualitas infrastruktur listrik yang diukur dari jumlah Kwh energi listrik terjual dibagi dengan jumlah penduduk.
68
Halaman ini sengaja dikosongkan
IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, PENGANGGURAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN
4.1
Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah
4.1.1
Karakteristik Wilayah Administrasi Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa dan
secara administrasi diapit oleh dua provinsi besar Jawa Barat dan Jawa Timur. Wilayah bagian utara berbatasan dengan Laut Jawa, sementara di bagian selatan berbatasan dengan Samudera Hindia dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 16). Wilayah administrasi Jawa Tengah tepat berada di sentral Pulau Jawa yang cukup dekat dengan pusat pemerintahan maupun pusat perekonomian serta menjadi jalur penghubung perdagangan darat antara wilayah bagian barat dan timur Pulau Jawa, sehingga menjadi sangat strategis bagi perkembangan perekonomian.
Sumber : Sensus Penduduk Tahun 2010, BPS
Gambar 16 Kepadatan Penduduk Provinsi Jawa Tengah Menurut Kabupaten/ Kota Tahun 2010 (Jiwa/Km2)
Luas wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah sebesar 32.544 km2 dan terbagi menjadi 29 kabupaten dan 5 kota dengan tipologi wilayah dan karakteristik sosial ekonomi yang beragam (Gambar 16). Wilayah bagian utara
70
merupakan daerah pesisir yang terdiri dari 12 kabupaten/kota dan memanjang dari Kabupaten Brebes sampai Rembang.
Wilayah ini menjadi bagian dari Jalur
transportasi Pantai Utara Pulau Jawa (Pantura). Wilayah pesisir selatan terdiri dari 4 kabupaten, yakni Cilacap, Kebumen, Purworejo dan Wonogiri. Tipologi wilayah pesisir selatan sedikit berbeda dengan pesisir utara, karena memiliki kombinasi antara wilayah pegunungan dan pantai yang memiliki ombak besar. Bagian tengah terdiri dari 17 kabupaten/kota dengan tipologi wilayah berupa dataran dengan kombinasi pegunungan. Beberapa daerah di bagian tengah dan selatan menjadi bagian dari lintas transportasi Jalur Selatan Pulau Jawa. Jumlah penduduk berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010 sebanyak 32,38 juta, sehingga setiap satu km2 dihuni oleh 995 jiwa. Persebaran penduduk menurut wilayah kabupaten/kota menunjukkan pola yang tidak merata (Gambar 16). Populasi penduduk terkonsentrasi di wilayah yang menjadi pusatpusat perekonomian, terutama di wilayah perkotaan, jalur pantura dan kawasan perekonomian yang dikenal dengan segitiga Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang). Wilayah yang menjadi konsentrasi penduduk dan ditandai oleh kepadatan penduduk yang sangat tinggi, yakni lebih dari 3.000 jiwa per km2. Beberapa wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tinggi adalah adalah Kota Surakarta, Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kota Magelang, Kota Salatiga dan Kota Semarang. Wilayah dengan kepadatan penduduk rendah dihuni kurang dari 768 jiwa per km2 dan terdiri dari Kabupaten Cilacap, Wonosobo, Purworejo, Wonogiri, Grobogan, Blora, Rembang serta Pati. 4.1.2
Infrastruktur Wilayah Salah satu aspek penting yang memengaruhi kinerja perekonomian suatu
wilayah adalah kondisi infrastruktur fisik. Dua komponen dari infrastruktur yang memiliki peran sentral dalam menjamin kelangsungan proses produksi maupun memperlancar alur distribusi barang dan jasa adalah infrastruktur transportasi dan listrik. Kuantitas infrastruktur transportasi dapat diukur dengan data panjang jalan yang berstatus baik dan sedang atau disebut dengan jalan berstatus mantap. Kuantitas infrastruktur listrik dapat diukur dengan jumlah daya energi listrik (KWh) yang terjual kepada pelanggan. Namun demikian, data panjang jalan dan
71
jumlah energi terjual belum mencerminkan kualitas infrastruktur yang tersedia. Kualitas infrastruktur lebih berkaitan dengan
aspek kemudahan untuk
mengaksesnya, sehingga untuk membandingkan kualitas infrastruktur antar wilayah dapat dilakukan dengan pendekatan rasio panjang jalan berstatus mantap terhadap luas wilayah administrasi dan rata-rata jumlah energi listrik terjual per penduduk.
Sumber : Diolah dari Daerah Dalam Angka (DDA) Tahun 2011, BPS Provinsi Jawa Tengah
Gambar 17 Infrastruktur Jalan Raya dan Listrik menurut Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2010
Gambar 17 menyajikan perbandingan kualitas infrastruktur transportasi dan listrik menurut wilayah kabupaten/kota di Jawa Tengah pada tahun 2010. Sepuluh daerah yang memiliki kualitas infrastruktur transportasi terbaik terdiri
72
semua daerah kota yakni Kota Surakarta, Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota Tegal, Kota Semarang, Kota Pekalongan serta empat kabupaten yakni Sragen, Kudus, Klaten dan Karanganyar. Hal ini ditunjukkan oleh nilai rasio panjang jalan berstatus baik dan sedang terhadap luas wilayah yang relatif lebih tinggi dari daerah lainnya, sehingga mampu menghubungkan dan menjangkau area yang lebih luas. Lima daerah yang memiliki kualitas infrastruktur jalan raya terendah adalah Blora, Grobogan, Cilacap, Demak dan Rembang. Perkembangan kualitas infrastruktur jalan raya selama periode 2004-2010 menunjukkan pola yang reatif stabil dan penyebaran antar daerah masih belum merata. Daerah kota menjadi pencilan dengan kualitas infrastruktur yang jauh lebih baik, sementara kualitas di daerah kabupaten relatif lebih rendah dan indeksnya mengumpul di sekitar rata-
Infrastruktur Jalan Raya (Km/Luas Wilayah)
rata. 16 72
72
72
72
72
72
73
71 73
12 10 8 73
6 4 2
74 73 76
74 76
71
71
75
75
73 74 76 71
73 74
75
75
76 71
71 73 74 76
71 74 76 75
75
76 74
75
0 2004
Infrastruktur Listrik (Kwh/Penduduk)
72
14
2005
2006
2007
2000 71 71
1500 72 73
1000
74
71 72
72 73
73
74
74
2008
71 72 73
2009
71
71
72 73
72 73
2010 72 71 73
74
500
0 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber : Diolah dari Daerah Dalam Angka (DDA) Jawa Tengah 2005-2011
Gambar 18 Boxplot Perkembangan Infrastruktur Jalan Raya dan Listrik menurut Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2004-2010
Kualitas infrastruktur listrik menurut wilayah juga menunjukkan pola yang hampir serupa dengan kualitas infrastruktur jalan raya. Daerah yang memiliki kualitas infrastruktur listrik terbaik terdiri dari semua daerah berstatus kota dan
73
empat kabupaten yakni Kendal, Karanganyar, Kudus dan Semarang (Gambar 17 dan Gambar 18). Hal ini ditunjukkan oleh nilai rata-rata jumlah energi listrik terjual per penduduk yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Tingginya konsumsi listrik secara tidak langsung ini menggambarkan jangkauan infrastruktur listrik yang lebih luas. Kawasan industri, perdagangan dan jasa di Jawa Tengah sebagian besar terpusat di sembilan daerah tersebut, sehingga membutuhkan supplai listrik yang memadai. Pola perkembangan infrastruktur listrik selama periode 2004-2010 menunjukkan peningkatan secara rata-rata. Dari sisi persebaran antar daerah menunjukkan pola yang tidak merata dan daerah berstatus kota cenderung memiliki infrastruktur yang lebih baik (Gambar 18). Daerah yang memiliki kualitas infrastruktur listrik terendah terdiri dari Kabupaten Magelang, Brebes, Wonosobo, Tegal, Purbalingga dan Blora. Keenam daerah tersebut memiliki wilayah administrasi yang lebih luas dan memiliki tipologi wilayah berupa daerah pegunungan, sehingga jangkauan infrastruktur listrik terkendala oleh kondisi geografis. 4.1.3
Karakteristik Perekonomian Struktur perekonomian Jawa Tengah sampai tahun 2010 didominasi oleh
lapangan usaha pada empat sektor, yakni industri pengolahan; perdagangan, hotel dan restoran; pertanian; dan jasa-jasa. Kontribusi sektor pertanian yang cukup dominan dalam menghasilkan nilai tambah maupun dalam menyerap tenaga kerja di masa awal pembangunan secara berangsur-angsur mengalami penurunan dan peranannya mulai tergantikan oleh sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan. Pada tahun 2010, kontribusi terbesar dalam perekonomian disumbang oleh nilai tambah sektor industri pengolahan dengan andil sebesar 32,89 persen (Gambar 19.a).
Meskipun demikian, 12 persen diantaranya merupakan andil
industri pengolahan migas yang beroperasi di Kabupaten Cilacap dan 20,82 persen sisanya dihasilkan oleh industri rokok yang beroperasi di Kabupaten Kudus, industri tekstil di Kabupaten Karanganyar, industri barang-barang dari kayu di Kabupaten Jepara dan industri lainnya.
Permasalahan dalam struktur
industri pengolahan di Jawa tengah adalah meningkatnya kontribusi sektor
74
industri pengolahan yang lebih didorong oleh peningkatan nilai tambah pada industri migas, padalah jenis industri ini lebih bersifat padat modal atau capital intensive. Di sisi yang lain, kontribusi industri non-migas yang lebih bersifat padat karya atau labor intensive cenderung menurun dalam satu dekade terakhir, dari 25,81 persen di tahun 2000 menjadi 20,82 di tahun 2010. Permasalahan tersebut berpengaruh pada menurunnya kemampuan sektor industri pengolahan dalam menyerap kelebihan tenaga kerja akibat pertumbuhan jumlah angkatan kerja. Pada tahun 2010, jumlah penduduk bekerja yang terserap oleh lapangan usaha di sektor industri pengolahan hanya sebesar 17,81 persen (Gambar 19.c). 19.58
22.27
22.11
19.44 32.89
23.69
11.93
10.49
6.94
6.10 5.92
2.24
(a) Komposisi PDRB dengan Migas
(b) Komposisi PDRB Tanpa Migas
Pertambangan dan LGA Jasa
Keuangan Pertanian
17.81 12.41
6.73 4.07
2.01
3.58
21.43
35.53
6.62 4.20 1.14
0.86
(c) Komposisi Tenaga Kerja
Transportasi dan Komunikasi Perdagangan
Konstruksi Industri Pengolahan
Sumber : Diolah dari PDRB 2011, BPS Provinsi Jawa Tengah
Gambar 19 Komposisi PDRB dan Penduduk Bekerja menurut Lapangan Usaha Tahun 2010 (Persen)
Berdasarkan Gambar 19, sektor perdagangan, sektor pertanian dan sektor jasa-jasa masing-masing memiliki kontribusi nilai tambah sebesar 19,58 persen dan 19,44 persen dan 10,49 persen dalam perekonomian. Sektor yang lainnya memiliki kontribusi nilai tambah kurang dari 7 persen. Meskipun kontribusinya cenderung menurun, sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama bagi sebagian besar penduduk untuk melakukan kegiatan usaha dan bekerja. Pada tahun 2010, sektor pertanian mampu menampung tenaga kerja sebanyak 35,53 persen. Sektor perdagangan dan sektor jasa-jasa masing-masing menyerap tenaga kerja sebanyak 21,43 persen dan 12,41 persen. Struktur perekonomian menurut wilayah kabupaten/kota menunjukkan pola yang beragam (Gambar 20).
Mayoritas kabupaten memiliki struktur
perekonomian yang dominan pada sektor pertanian, sementara struktur perekonomian daerah kota lebih dominan pada sektor perdagangan dan jasa.
75
Terdapat 18 kabupaten yang memiliki struktur perekonomian dominan pada sektor pertanian, yakni Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Wonogiri, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Demak, Temanggung, Batang dan Brebes. Besarnya kontribusi sektor pertanian di setiap kabupaten bervariasi antara 21,86 persen sampai 52,79 persen. Peranan sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja di kedelapanbelas kabupaten tersebut juga sangat dominan dengan nilai yang bervariasi antara 23 persen sampai 64 persen.
Sumber : Diolah PDRB dan Angkatan Kerja 2010, BPS Provinsi Jawa Tengah
Gambar 20 Sektor Dominan dan Pangsa Penduduk Bekerja (Persen) menurut Lapangan Usaha dan Kabupaten/Kota Tahun 2010
Sektor industri pengolahan mendominasi struktur perekonomian di delapan kabupaten, yakni Cilacap, Sukoharjo, Karanganyar, Kudus, Jepara, Semarang, Kendal dan Pekalongan dengan karakteristik dan jenis industri yang bervariasi. Struktur perekonomian Cilacap didominasi oleh industri pengolahan migas, Sukoharjo dan Karanganyar didominasi oleh industri tekstil dan produk tekstil, Kudus didominasi oleh industri pengolahan tembakau/rokok, Jepara didominasi industri barang dari kayu (mebeler) dan Pekalongan didominasi oleh industri batik. Meskipun demikian, tidak semua kabupaten tersebut memiliki pangsa penduduk berkerja yang dominan di sektor industri pengolahan. Kabupaten Cilacap, Semarang dan Batang menjadi tiga kabupaten dengan struktur
76
perekonomian dominan di sektor industri, namun memiliki pangsa tenaga kerja yang dominan di sektor pertanian. Empat daerah yang berstatus kota (Surakarta, Semarang, Pekalongan, Tegal) dan tiga wilayah kabupaten (Klaten, Pemalang dan Tegal) memiliki struktur perekonomian yang dominan pada sektor perdagangan. Kota Salatiga dan Kota Magelang memiliki struktur perekonomian dominan pada sektor jasa, terutama jasa pemerintahan umum. Mayoritas penduduk di tujuh kabupaten/kota tersebut juga melakukan kegiatan bekerja pada sektor perdagangan dan jasa-jasa. 4.1.4
Karakteristik Sumber Daya Manusia Salah satu indikator yang merepresentasikan kemajuan pembangunan
manusia di suatu wilayah adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan sebuah indeks komposit/gabungan antara indikator kesehatan yang diukur dari angka harapan hidup pada saat lahir, indikator pengetahuan yang diukur dari rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf serta standar hidup yang layak yang diukur dari daya beli penduduk (konsumsi riil perkapita yang disesuaikan). Nilai IPM berkisar antara 0 hingga 100 dan semakin mendekati 100 mengindikasikan kualitas pembangunan manusia yang semakin baik. United Nations Development Programme (UNDP, 1996) mengkategorikan nilai IPM menjadi empat, yakni rendah (IPM<50); menengah bawah (50≤IPM<66); menengah atas (66≤IPM<80); dan tinggi (IPM≥80). Tabel 4 IPM Jawa Tengah Beserta Komponennya, 2004-2010 Indikator
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Angka Harapan Hidup (Tahun)
69,70
70,57
70,80
70,90
71,10
71,25
71,40
Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)
6,54
6,64
6,80
6,80
6,86
7,07
7,24
86,72
87,35
88,24
88,62
89,24
89,46
89,95
619
621
622
629
634
636
637
68,88
69,78
71,60
72,10
72,49
17
16
14
14
14
Angka Melek Huruf (Persen) Daya Beli/PPP(Ribu Rp/Bulan) Indeks Pembangunan Manusia Peringkat IPM Nasional
70,25 15
70,92 14
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, Beberapa Terbitan
Perkembangan kualitas pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah yang diukur dengan nilai IPM selama periode 2004-2010 menunjukkan pola yang
77
semakin meningkat dari 68,88 pada tahun 2004 menjadi 72,49 di tahun 2010 (Tabel 4). Secara umum, posisi pembangunan manusia selama periode tersebut termasuk dalam kategori menengah atas dan dari sisi kualitas semakin menunjukkan peningkatan atau semakin membaik. Peringkat IPM Jawa Tengah masih berada di urutan keempat belas dari 33 provinsi di Indonesia. Ketiga aspek penyusun IPM baik aspek kesehatan, aspek pendidikan dan aspek daya beli penduduk semakin menunjukkan perbaikan dalam kualitas. Angka harapan hidup pada saat lahir meningkat dari 69,70 tahun menjadi 71,40 tahun di tahun 2010. Angka ini memiliki makna rata-rata usia harapan hidup yang akan dijalani oleh bayi yang lahir di tahun 2010 sampai akhir hayatnya adalah 71,40 tahun.
Daya beli penduduk yang diukur dari konsumsi riil perkapita
perbulan yang disesuaikan (Purchasing Power Parity/PPP) juga meningkat dari Rp 619 ribu pada tahun 2004 menjadi Rp 637 ribu di tahun 2010. Demikian pula dengan tingkat pengetahuan penduduk yang diukur dari rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf juga mengalami kenaikan yang signifikan. Rata-rata lama sekolah berada pada level 7,24 tahun, artinya rata-rata penduduk berusia kerja (>14 tahun) memiliki lama sekolah yang setara dengan kelas 7 atau SLTP tahun pertama.
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2011
Gambar 21 IPM Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2010
78
Karakteristik pembangunan manusia menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah pada tahun 2010 disajikan dalam Gambar 21.
Nilai IPM di semua
kabupaten/kota bervariasi antara 68,20 sampai 77,86 sehingga termasuk dalam kategori menengah atas. Peringkat nilai IPM secara kasar menunjukkan urutan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh setiap kabupaten/kota, semakin rendah peringkatnya maka semakin baik kualitas pembangunan manusianya dan semakin tinggi peringkatnya maka kualitas pembangunan manusia semakin buruk. Kota Surakarta Kota Semarang Kota Magelang Kota Salatiga Kota Pekalongan Temanggung Semarang Kota Tegal Klaten Sukoharjo Karanganyar Pati Kudus Jepara Banyumas Demak Purworejo Magelang Rembang Purbalingga Cilacap Pekalongan Wonogiri Kebumen Sragen Grobogan Boyolali Blora Tegal Wonosobo Batang Kendal Banjarnegara Pemalang Brebes
10.32 9.98 10.21 9.94 8.66
72.16 72.13 70.22 71.03 70.32 72.54 72.47 68.74 71.50 70.23 72.20 72.83 69.62 70.85 69.72 71.24 70.52 70.12 70.13 70.19 70.82 69.01 72.28 69.32 72.56 69.73 70.37 71.34 68.79 69.98 70.11 68.44 69.04 67.68 67.67 60
65
70
Angka harapan Hidup (Tahun)
75
7.01 7.75 8.25 8.27 8.36 7.39 6.95 8.11 7.40 7.73 7.59 7.75 7.26 6.85 7.18 6.85 6.66 6.32 6.87 6.99 6.76 7.37 6.25 6.56 6.27 6.71 6.91 6.33 6.49 5.70 0
3
6
9
Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)
652 647 650 648
96.68 96.44 97.25 96.50 95.68 95.94 93.62 94.88 89.90 90.69 86.91 86.42 93.71 93.09 93.98 91.36 91.51 91.35 91.17 93.48 90.28 92.05 82.18 90.74 84.36 90.36 85.97 83.19 89.26 90.47 88.09 89.15 88.43 90.76 86.14
12 60 65 70 75 80 85 90 95 100
641 635 635 651 644 647 648 646 637 632 635 632 635 637 641 631 635 640 647 636 628 631 632 642 640 630 630 637 634 635 634 610
Angka Melek Huruf (Persen)
620
630
640
650
660
Daya Beli (Rp 000)
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2011
Gambar 22 Komponen IPM menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010
Lima daerah yang memiliki peringkat IPM tertinggi merupakan daerah yang berstatus kota dan secara berturut-turut adalah Kota Surakarta, Kota Semarang, Kota Magelang, Kota Salatiga serta Kota Pekalongan. Tingginya IPM di kelima daerah dicirikan oleh nilai komponen penyusunnya, yakni indikator pendidikan, kesehatan dan daya beli yang secara umum lebih tinggi dari level provinsi (Gambar 22). Fenomena ini sangat terkait dengan ketersediaan infrastruktur pendidikan, kesehatan maupun perekonomian di daerah kota yang relatif lebih baik dan lebih mudah diakses dibandingkan dengan daerah kabupaten. Kemudahan penduduk perkotaan untuk memperoleh akses pelayanan
79
juga dipengaruhi oleh jarak tempat tinggal ke infrastruktur pelayanan, biaya serta ketersediaan sarana transportasi yang memadai.
Hal ini menjadi penjelas
mengapa IPM daerah kota relatif lebih berkualitas dibandingkan dengan daerah kabupaten. Enam daerah yang memiliki peringkat nilai IPM terendah di Jawa Tengah terdiri dari Kabupaten Brebes, Pemalang, Banjarnegara, Kendal, Batang dan Wonosobo.
Rendahnya kualitas pembangunan manusia di keenam daerah
dicirikan oleh indikator usia harapan hidup, rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk berusia produktif, serta daya beli penduduk yang lebih rendah dari rata-rata pada level provinsi. 4.2
Dinamika Pertumbuhan, Pengangguran, Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan
4.2.1
Dinamika Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita Kinerja perekonomian Jawa Tengah yang diukur dengan pertumbuhan
ekonomi selama periode 1990-2010 memiliki pola yang berfluktuasi. Sampai tahun 1996, perekonomian mampu tumbuh positif dengan rata-rata pertumbuhan di atas 7 persen per tahun. Krisis ekonomi yang bermula dari krisis mata uang pada pertengahan tahun 1997 menyebabkan kinerja perekonomian di level regional memburuk. Dampak krisis menyebabkan pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah melambat hingga 3,03 persen di tahun 1997 dan puncaknya terjadi kontraksi atau pertumbuhan negatif sebesar 11,74 persen di tahun 2008. Pasca krisis ekonomi, kinerja perekonomian secara perlahan mulai bangkit yang ditandai oleh laju pertumbuhan rata-rata di atas 4 persen per tahun. Pendapatan perkapita yang diukur dengan pendekatan PDRB perkapita mencerminkan tingkat kesejahteraan penduduk secara rata-rata dalam suatu wilayah. Perkembangan PDRB perkapita penduduk Jawa Tengah selama periode 2004-2010 sajikan dalam Gambar 23. Secara umum, level PDRB perkapita per tahun atas dasar harga berlaku (ADHB) maupun atas dasar harga konstan (ADHK) tahun 2000 menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Pada tahun dasar 2000, PDRB perkapita berada pada level 3,67 juta per tahun dan secara bertahap meningkat hingga 13,72 juta di tahun 2010. Atas dasar harga konstan tahun 2000,
maka nilainya setara dengan 5,77 juta per tahun.
80
Perkembangan level PDRB perkapita yang selalu meningkat secara kasar menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk secara rata-rata yang semakin membaik. 15
13,72 12,32
12
11,41 9,74 8,82
9
7,36
6 4,24
2,95
3
3,43 3,67
5,43
4,82 3,02
3,59 3,78
3,16
6,09 4,59
4,75
4,97
4,97
4,98
5,13
5,35
5,33
3,55 4,08
3,90
4,28
4,71
4,49
5,24 5,59 4,96
5,26 5,61 5,22
4,80
5,54 5,84
5,14 5,47
5,77
0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
PDRB Perkapita ADHB (Juta Rp) Pertumbuhan Ekonomi
2007
2008
2009
2010
PDRB Perkapita ADHK (Juta Rp) Pertumbuhan PDRB Perkapita ADHK (Persen)
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah
Gambar 23 Level PDRB Perkapita Penduduk Jawa Tengah Atas Dasar Harga Berlaku dan Konstan serta Pertumbuhannya, 2000-2010
Pola pertumbuhan pendapatan perkapita selama periode 2000-2010 hampir sama dengan pola pertumbuhan ekonomi, namun level pertumbuhannya selalu lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi. Secara umum, perubahan pendapatan perkapita selama periode tersebut memiliki tren yang positif sebesar 0,046. Hal ini berarti pendapatan perkapita Jawa Tengah setiap tahun setiap tahun mengalami pertumbuhan dengan rata-rata sebesar 4,6 persen. Gambar 24 mengilustrasikan pola perkembangan pendapatan perkapita riil kabupaten/kota di Jawa Tengah yang diproksi dengan PDRB perkapita selama periode 2004-2010. Tujuh daerah yang memiliki level PDRB perkapita tertinggi secara berturut-turut adalah Kabupaten Kudus, Kabupaten Cilacap, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Magelang, Kota Pekalongan dan Kabupaten Karanganyar. Tingginya level PDRB perkapita riil di Kabupaten Kudus didorong oleh nilai tambah industri pengolahan tembakau/rokok, Kabupaten Karanganyar didorong industri tekstil dan produk tekstil, sementara di Cilacap didorong oleh industri pengolahan migas. Pendapatan perkapita di daerah berstatus kota juga relatif lebih tinggi karena daerah kota menjadi pusat kegiatan ekonomi terutama di sektor perdagangan dan jasa.
81
20
Cilacap
Banyumas
Purbalingga
Banjarnegara
Kebumen
Purworejo
Wonosobo
Magelang
Boyolali
Klaten
Sukoharjo
Wonogiri
Karanganyar
Sragen
Grobogan
Blora
Rembang
Kudus
Jepara
Demak
Pekalongan
Pemalang
Tegal
15 10 5 0 20 15 10 5 0 20
Pati
15 10 5 0
Temanggung
Kendal
Brebes
Kota Magelang
Kota Surakarta
Kota Salatiga
Kota Semarang
Kota Pekalongan
Kota Tegal
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
20
Semarang
Batang
15 10 5 0 20 15 10 5 0
Sumber : PDRB 2004-2010, BPS Provinsi Jawa Tengah
Gambar 24 Pola Perkembangan PDRB Perkapita Riil Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 (Rp Juta)
Pendapatan perkapita riil yang terendah dimiliki oleh Kabupaten Grobogan, Blora, Kebumen, Wonosobo, Pemalang, Demak, Banyumas dan Purbalingga dengan level masing-masing di bawah 3 juta per tahun di tahun 2010. Secara kasar hal ini menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah lainnya. Mayoritas daerah dengan level pendapatan perkapita rendah memiliki struktur perekonomian yang dominan di sektor pertanian. Pola pertumbuhan pendapatan perkapita di semua kabupaten/kota selama periode 2004-2010 memiliki tren positif, artinya semua kabupaten/kota mengalami pertumbuhan pendapatan perkapita meskipun besaran nilainya bervariasi (Gambar 25). Daerah yang memiliki tren pertumbuhan pendapatan perkapita tertinggi adalah Kota Surakarta dan Kota Tegal dengan rata-rata pertumbuhan per tahun masing-masing sebesar 5,3 dan 5,1 persen. Sementara, daerah yang memiliki tren pertumbuhan terendah adalah Kabupaten Batang, Semarang dan Wonosobo dengan rata-rata pertumbuhan per tahun di bawah 3 persen.
82
Level Pendapatan Perkapita (Rp Juta) 16 12 8 4 0
Trend Pertumbuhan 0.07 0.06 0.05 Trend Pertumbuhan Jawa Tengah
0.04 0.03
Kota Surakarta
Tegal
Kota Tegal
Sragen
Purworejo
Karanganyar
Cilacap
Brebes
Wonogiri
Pemalang
Kota Magelang
Pati
Grobogan
Banyumas
Blora
Purbalingga
Boyolali
Magelang
Sukoharjo
Kudus
Klaten
Kebumen
Rembang
Kota Semarang
Pekalongan
Kota Salatiga
Banjarnegara
Kendal
Kota Pekalongan
Jepara
Temanggung
Demak
Wonosobo
Batang
Semarang
0.02
Sumber : Diolah dari data PDRB 2004-2010, BPS Provinsi Jawa Tengah
Gambar 25 Tren Pertumbuhan PDRB Perkapita 2004-2010 (Persen) dan Level PDRB Perkapita 2004 (Rp Juta) menurut Kabupaten/Kota
Secara umum tidak terdapat korelasi yang kuat antara tren pertumbuhan pendapatan perkapita dengan levelnya pada kondisi awal (tahun 2004). Daerah yang memiliki level pendapatan rendah tidak selalu memiliki pertumbuhan yang rendah, demikian pula daerah dengah level pendapatan tinggi tidak selalu memiliki pertumbuhan yang tinggi.
Deviasi pendapatan perkapita riil antar
kabupaten/kota juga semakin meningkat dari 2,83 di tahun 2004 menjadi 3,82 di tahun 2010. Fenomena ini mengindikasikan sampai dengan tahun 2010 pendapatan perkapita antar kabupaten/kota semakin menyebar/divergen. Pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan level pendapatan perkapita dan pertumbuhannya dapat dilakukan menggunakan Tipologi Klassen. Dalam Tipologi Klassen, kabupaten/kota dikelompokkan menjadi empat kuadran. Kuadran I merupakan daerah yang memiliki level pendapatan perkapita dan pertumbuhan di atas rata-rata provinsi, disebut dengan daerah maju. Kuadran II merupakan daerah yang memiliki pendapatan perkapita di atas rata-rata provinsi
83
dan pertumbuhannya berada di bawah rata-rata provinsi, disebut daerah maju tapi tertekan.
Kuadran III merupakan daerah yang memiliki level pendapatan
perkapita dan pertumbuhan di bawah terbelakang.
rata-rata provinsi, disebut daerah
Kuadran IV merupakan daerah yang memiliki level pendapatan
perkapita di bawah rata-rata provinsi dan pertumbuhan di atas rata-rata provinsi, disebut daerah berkembang. Aspek dinamis dalam Tipologi Klasen berkaitan dengan perubahan posisi kuadran setiap kabupaten/kota sepanjang waktu.
Pertumbuhan Pendapatan Tahun 2004 (Persen)
9 8
IV
I
Kudus
7 6
Kota Tegal Kota Surakarta Karanganyar Klaten Sragen Cilacap Brebes Purworejo Wonogiri Rembang Pemalang Pati Pekalongan Sukoharjo Kota Magelang Blora Banyumas Banjarnegara Kota Pekalongan Grobogan Magelang Kota Salatiga Temanggung Demak Boyolali Purbalingga Jepara Wonosobo Kendal Tegal
5 4 3 2
Kota Semarang
Batang
Kebumen
1 0
III
II
Semarang
0
2
4
6
8
10
12
14
Pertumbuhan Pendapatan Tahun 2010 (Persen)
Pendapatan Perkapita Tahun 2004 (Rp Juta)
6
IV
I
Kota Magelang
Sragen
Kota Surakarta Kendal Banyumas Purworejo Purbalingga Blora Tegal Pemalang Kota Pekalongan Brebes Pati Karanganyar Grobogan Banjarnegara Kota Tegal Batang Sukoharjo Kebumen Wonosobo Pekalongan Kota Salatiga Magelang Semarang Rembang Temanggung Wonogiri Jepara Demak Boyolali
5
4
Kota Semarang Cilacap
Kudus
3
2
III
II
Klaten
0
2
4
6
8
10
12
14
Pendapatan Perkapita Tahun 2010 (Rp Juta)
Sumber : Diolah dari data PDRB 2004-2010, BPS Provinsi Jawa Tengah
Gambar 26 Pengelompokan Kabupaten/Kota Jawa Tengah Berdasarkan Tipologi Klassen Tahun 2004 dan 2010
Berdasarkan pengelompokan menggunakan tipologi Klassen, pada tahun 2004 terdapat empat daerah yang termasuk dalam Kuadran I atau daerah dengan perekonomian maju yakni Kabupaten Kudus, Karanganyar, Cilacap dan Kota Surakarta (Gambar 26). Kuadran II atau daerah maju tetapi tertekan terdiri dari
84
Kabupaten Sukoharjo, Kendal, Semarang, Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota Semarang dan Kota Pekalongan. Kuadran I dan II merepresentasikan daerah yang memiliki level pendapatan perkapita di atas rata-rata provinsi dan semuanya merupakan daerah yang memiliki struktur perekonomian dominan pada sektor yang industri pengolahan, perdagangan dan jasa-jasa. Kuadran IV atau daerah yang sedang berkembang terdiri dari tujuh kabupaten/kota, yakni Kabupaten Tegal, Brebes, Sragen, Wonogiri, Purworejo, Klaten dan Kota Tegal. Kuadran III dan terdiri dari 17 kabupaten yang dicirikan oleh level pendapatan perkapita maupun pertumbuhan yang lebih rendah dari ratarata provinsi. Mayoritas daerah tersebut memiliki struktur perekonomian berbasis pertanian dan beberapa diantaranya merupakan daerah dengan kondisi geografis dan tipologi wilayah berupa daerah pegunungan. Posisi kuadran pada tahun 2010 terjadi beberapa perubahan (Gambar 26). Kuadran I yang merepresentasikan daerah dengan perekonomian maju bertambah menjadi tujuh daerah, yakni Kabupaten Kendal, Karanganyar, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kota Magelang, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Daerah yang perekonomiannya tertekan atau berada di Kuadran II terdiri dari Kabupaten Sukoharjo, Semarang, Kudus, Cilacap dan Kota Salatiga.
Hampir sama dengan
tipologi pada tahun 2004, semua kabupaten/kota yang terletak di Kuadran I dan II merupakan daerah yang struktur perekonomiannya dominan pada sektor yang berbasis industri pengolahan, perdagangan dan jasa-jasa dan mayoritas daerah di Kuadran III dan IV merupakan daerah yang memiliki struktur perekonomian dominan pada sektor pertanian. Pergerakan dinamis posisi kuadran setiap kabupaten/kota selama periode 2004-2010 secara ringkas terangkum dalam Gambar 27. Secara umum, terdapat 12 kabupaten/kota yang posisi kuadrannya tidak berubah atau selalu berada di kuadran yang sama. Kabupaten Karanganyar dan Kota Surakarta selalu berada di Kuadran I sehingga menjadi daerah yang memiliki perkembangan perekonomian paling maju. Kabupaten Semarang menjadi daerah yang selalu berada di Kuadran II, artinya perekonomiannya maju tetapi selalu tertekan. Kabupaten Purworejo, Tegal, Brebes dan Sragen selalu berada di Kuadran IV sehingga menjadi daerah yang selalu berkembang. Kabupaten Wonosobo, Demak, Jepara, Temanggung
85
dan Batang selalu menjadi daerah yang berada di Kuadran III, sehingga perkembangan perekonomiannya selalu tertinggal dibandingkan di daerah yang lainnya. KUADRAN I – DAERAH MAJU
KUADRAN IV – DAERAH BERKEMBANG Purworejo, Tegal, Brebes, Sragen
Kebumen, Blora, Magelang, Klaten, Boyolali, Rembang, Pekalongan
Banyumas, Purbalingga Banjarnegara, Wonogiri, Grobogan, Pati, Pemalang
Karanganyar, Kota Surakarta
Kota Tegal
Cilacap, Sukoharjo, Kudus, Kendal, Kota Magelang, Kota Semarang, Kota Salatiga, Kota Pekalongan
KUADRAN III – DAERAH TERBELAKANG
KUADRAN II – DAERAH TERTEKAN
Wonosobo, Jepara, Demak, Temanggung, Batang
Semarang
Gambar 27 Perubahan Posisi Kuadran Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Berdasarkan Tipologi Klassen, 2004-2010
Daerah yang selalu mengalami perubahan posisi kuadran secara dinamis dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan daerah yang selalu berubah posisi diantara Kuadran I dan II, terdiri dari Kabupaten Cilacap, Sukoharjo, Kudus, Kendal, Kota Magelang, Kota Semarang, Kota Salatiga dan Kota Pekalongan.
Bagian kedua merupakan daerah yang selalu
berubah posisi diantara Kuadran III dan IV, terdiri dari Kabupaten Kebumen, Blora, Magelang, Klaten, Boyolali, Rembang dan Pekalongan.
Terdapat tipe
daerah yang hanya berubah satu kali kemudian tetap berada dalam Kuadran yang terakhir. Kota Tegal berubah dari Kuadran IV ke Kuadran I dan kemudian tetap berada di Kuadran I, artinya menjadi semakin maju.
Kabupaten Banyumas,
Purbalingga, Banjarnegara, Wonogiri, Grobogan, Pati dan Pemalang adalah daerah yang berubah dari Kuadran III ke Kuadran IV dan kemudian tetap berada di Kuadran IV yang berarti menjadi semakin berkembang. 4.2.2
Dinamika Angkatan Kerja dan Pengangguran Angkatan kerja merupakan bagian dari penduduk usia kerja yang
sesungguhnya terlibat dan berusaha untuk terlibat aktif dalam kegiatan perekonomian.
Jumlah angkatan kerja di Provinsi Jawa Tengah semakin
86
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk usia kerja.
Selama
periode 1997-2010, pertumbuhan jumlah angkatan kerja memiliki tren positif sebesar 0,93 persen, artinya jumlah angkatan kerja rata-rata meningkat sebesar 0,93 persen per tahun.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) selama
periode 2004-2010 berada pada level 68 sampai 71 persen dari jumlah penduduk berusia kerja. Sisanya merupakan penduduk yang berstatus bukan angkatan kerja yakni tidak melakukan aktivitas kerja atau mencari kerja karena alasan bersekolah, mengurus rumah tangga atau yang lainnya (Tabel 5). Tabel 5 Penduduk Usia Kerja di Jawa Tengah menurut Status Ketenagakerjaan, 2004-2010 Indikator Angkatan Kerja (000 Jiwa) Bekerja (000 Jiwa) Pengangguran (000 Jiwa) Bukan Angkatan Kerja (000 Jiwa) Penduduk Usia Kerja (000 Jiwa) TPAK (Persen) TPT (Persen)
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
16.827
17.210
16.924
17.664
16.691
17.088
16.856
15.528
15.568
15.567
16.304
15.464
15.835
15.809
1.299
1.642
1.357
1.360
1.227
1.252
1.047
6.861
7.073
7.745
7.514
7.721
7.582
7.018
23.689
24.283
24.669
25.178
24.412
24.670
23.875
71,04
70,87
68,60
70,16
68,37
69,27
70,60
7,72
9,54
8,02
7,70
7,35
7,33
6,21
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, Beberapa Terbitan
Komposisi angkatan kerja terdiri dari penduduk bekerja dan penduduk yang sedang mencari pekerjaan atau menganggur. Komposisi jumlah penduduk yang bekerja selama periode 2004-2010 berada pada kisaran 90 sampai 94 persen dari jumlah angkatan kerja. Di sisi lain, komposisi penduduk yang berstatus sedang mencari kerja atau termasuk dalam tingkat pengangguran terbuka (TPT) jumlahnya berkisar antara 6 sampai 10 persen dari angkatan kerja dan cenderung meningkat dalam 15 tahun terakhir. Selama periode 1997-2010, setiap tahun jumlah pencari kerja rata-rata meningkat 1,24 persen sehingga TPT juga memiliki tren positif 4,85 persen per tahun selama periode 1997-2010. Meskipun demikian, dalam enam tahun terakhir ada kecenderungan TPT semakin menurun. Level TPT sangat tergantung pada situasi perekonomian secara makro dan sensitivitas konsep pengukuran yang digunakan. Selama satu dasa warsa terakhir, level TPT yang tertinggi terjadi di tahun 2005-2006 sebagai dampak dari
87
kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga BBM.
Kebijakan tersebut
memicu kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga yang lainnya. Tingginya TPT mempunyai implikasi sosial yang luas dan potensi kerawanan sosial yang akan ditimbulkan menjadi semakin besar. Gambaran umum mengenai dinamika pencari kerja di level kabupaten/ kota pada tahun 2010 beserta tren perubahan selama 2004-2010 disajikan dalam Gambar 28. Level TPT pada level kabupaten/kota di tahun 2010 sangat bervariasi dengan nilai antara 2,97 persen sampai 14,22 persen.
Kabupaten Magelang,
Banjarnegara dan Purworejo menjadi tiga kabupaten yang memiliki level TPT terendah dan ketiganya merupakan daerah yang memiliki struktur perekonomian berbasis pertanian. Semua daerah yang berstatus kota memiliki level TPT di atas rata-rata provinsi dan Kota Tegal serta Kota Magelang menjadi dua daerah yang memiliki level TPT tertinggi. Cilacap Kota Tegal Kota Salatiga Kota Magelang Pati Kota Pekalongan Sragen Tegal Kendal Kota Semarang Brebes Kudus Semarang Grobogan Kebumen Purbalingga Sukoharjo Kota Surakarta Purworejo Magelang Batang Boyolali Rembang Pemalang Demak Klaten Wonogiri Karanganyar Temanggung Wonosobo Pekalongan Jepara Banjarnegara Banyumas Blora
0,20
8,60 8,39
0,00
2,00
4,00
6,00
TPT 2010 (Persen)
8,00
-0,13 0,25
7,25 7,06 6,92 6,91 6,47 6,29 6,05 5,67 5,46 5,38 5,30 5,25 5,20 5,17 5,16 5,16 5,06 5,04 5,03 4,98 4,96 4,93 4,70 4,57 4,52 4,14 3,98 3,95 3,87 3,26 3,06 2,76 2,68
-0,10 -0,14 -0,08 -0,04 -0,14 0,04 0,21 -0,66 0,35 -0,22 0,10 -0,16 -0,04 0,36 -0,02 -0,06 0,16 0,23 0,30 -0,29 -0,36 0,52 -0,01 -0,31 -0,05 0,17 -0,05 0,05 -0,11 -0,11 -0,58 -0,04 10,00
-1
-0,5
0
0,5
1
Trend Perubahan 2004-2010 (persen)
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah
Gambar 28 Tren TPT 2004-2010 dan Level TPT 2010 menurut Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah
Fenomena tingginya pengangguran di perkotaan lebih banyak berkaitan dengan pengangguran alamiah sebagai dampak dari pertumbuhan angkatan kerja
88
dan pengaruh pengangguran friksional. Pengangguran friksional terjadi karena sebagian dari penduduk yang baru masuk dalam angkatan kerja terutama yang berpendidikan tinggi cenderung lebih selektif dalam memilih pekerjaan. Faktor lain yang turut berpengaruh adalah tingkat upah di daerah perkotaan yang lebih bervariasi menurut jenis pekerjaan. Tingkat upah yang bervariasi akan mendorong frekuensi keluar dan masuk pekerja ke perusahaan menjadi semakin besar. Faktor migrasi juga turut mendorong peningkatan jumlah pencari kerja di perkotaan. Angkatan kerja terutama yang berpendidikan tinggi memiliki kecenderungan untuk mencari kesempatan kerja formal yang tersedia di daerah perkotaan. Terbatasnya kesempatan kerja formal yang tersedia menyebabkan sebagian dari mereka rela menunggu untuk mendapatkan kesempatan kerja yang sesuai. Selama periode 2004-2010, sebanyak 13 kabupaten/kota memiliki tren pertumbuhan pencari kerja/penganggur positif atau mengalami peningkatan TPT dari waktu ke waktu. Kabupaten Demak dan Kudus menjadi kabupaten yang memiliki tren peningkatan yang tertinggi.
Tren perubahan TPT di 22
kabupaten/kota yang lainnya memiliki arah negatif, atau secara rata-rata TPT mengalami penurunan setiap tahun. Nilai tren penurunan yang terendah terjadi di Kabupaten Brebes dan Banyumas yakni sebesar -0,66 dan -0,58. 4.2.3
Dinamika Ketimpangan Pendapatan Distribusi pendapatan merepresentasikan besarnya porsi pendapatan yang
diterima oleh individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah.
Salah satu
indikator untuk mengukur ketimpangan dalam distribusi pendapatan adalah Gini rasio. Gini rasio dihitung menggunakan data pendapatan individu atau rumah tangga berdasarkan hasi survei rumah tangga, di Indonesia dikenal dengan Susenas. Pengumpulan data pendapatan rumah tangga yang valid sulit diperoleh karena rumah tangga lebih tertutup ketika melaporkan data pendapatan yang diterima. Alternatifnya,
untuk
menghitung
indeks
ketimpangan
digunakan
pendekatan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga. Dalam realita, pengeluaran setiap individu menurut kelompok umur akan sangat berbeda-beda sehingga pendekatan ini akan memberikan hasil yang bias atau underestimate. Nilai indeks
89
ketimpangan yang diperoleh akan lebih rendah dari kenyataan, karena pendekatan pengeluaran perkapita hanya sensitif untuk mengambarkan pendapatan kelompok penduduk yang berpenghasilan rendah. Indeks ketimpangan pendapatan antar penduduk di Jawa Tengah selama periode 2004-2010 memiliki pola yang cukup berfluktuasi (Tabel 6). Secara umum, ketimpangan pendapatan di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan sehingga distribusi pendapatan di daerah perdesaan cenderung lebih merata. Hal ini tercermin dari nilai Gini rasio di daerah perkotaan yang selalu lebih tinggi dari daerah perdesaan. Fenomena ini berkaitan dengan distribusi kepemilikan aset dan skill penduduk perkotaan yang cenderung lebih timpang.
Karakteristik daerah perkotaan yang menjadi pusat perekonomian
dengan struktur perekonomian yang lebih heterogen menyebabkan tingkat pendapatan yang diterima penduduk menjadi lebih bervariasi. Kecenderungan penduduk yang berpendapatan tinggi untuk tinggal di daerah perkotaan yang memiliki fasilitas lebih lengkap juga menjadi salah satu penyebab tingginya ketimpangan pendapatan di daerah perkotaan. Sebaliknya, struktur perekonomian di daerah perdesaan cenderung lebih homogen dan terkonsentrasi di sektor pertanian dengan tingkat upah maupun pendapatan yang lebih homogen sehingga ketimpangan pendapatan antar penduduk menjadi lebih rendah. Tabel 6 Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) Provinsi Jawa Tengah menurut Wilayah, 2004-2010 Wilayah
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gini Rasio
0,2738
0,3120
0,2956
0,2823
0,3258
0,3164
0,3306
Standar Deviasi
0,0015
0,0020
0,0018
0,0018
0,0021
0,0023
0,0027
Gini Rasio
0,2344
0,2587
0,2345
0,2295
0,2751
0,2511
0,2536
Standar Deviasi
0,0014
0,0014
0,0012
0,0015
0,0017
0,0014
0,0014
Gini Rasio
0,2691
0,3007
0,2816
0,2678
0,3153
0,2996
0,3087
Standar Deviasi
0,0010
0,0013
0,0012
0,0012
0,0015
0,0015
0,0017
Perkotaan
Perdesaan
Perkotaan + Perdesaan
Sumber : Dihitung dari raw data Susenas 2004-2010, BPS
Nilai Gini rasio Jawa Tengah pada tahun 2004 tercatat sebesar 0,2691, sehingga berdasarkan kriteria dari Oshima (1970) distribusi berada dalam
90
ketimpangan yang rendah. Kebijakan pemerintah menaikan harga BBM pada tahun 2005 memicu kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga yang lainnya, sehingga pendapatan perkapita secara riil menurun dan daya beli penduduk terutama pada golongan berpendapatan rendah menurun secara drastis. Hal ini berpengaruh terhadap meningkatnya ketimpangan/ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan hingga menjadi 0,3007 atau meningkat 0,0306 poin di tahun 2005. Implementasi program kompensasi kenaikan harga BBM melalui transfer langsung berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang mulai digulirkan pada triwulan keempat tahun 2006 memiliki dampak sementara dalam meningkatkan daya beli penduduk miskin maupun memperbaiki distribusi pendapatan penduduk. Berdasarkan Tabel 6, nilai Gini rasio mengalami penurunan hingga mencapai 0,2678 di tahun 2007 yang berarti distribusi pendapatan bergerak semakin merata. Dampak yang hanya bersifat sementara terlihat ketika program transfer langsung dihentikan, ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan kembali meningkat menjadi 0,3087 di tahun 2010. Sebaran pendapatan/pengeluaran antar penduduk selama periode 20042010 menunjukkan pola yang semakin melebar atau divergen, artinya jarak antara pendapatan yang terendah dan tertinggi semakin lebar.
Hal ini terlihat dari
deviasi dalam distribusi pendapatan (Gini rasio) yang cenderung meningkat dari 0,001 di tahun 2004 menjadi 0,0017 di tahun 2010 (Tabel 6). Deviasi di daerah perdesaan relatif stabil pada kisaran 0,0014, sementara di daerah perkotaan meningkat secara nyata dari 0,0015 di tahun 2004 menjadi 0,0027 di tahun 2010. Pola perkembangan indeks ketimpangan menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah selama periode 2004-2010 disajikan dalam Gambar 29. Nilai Gini rasio di semua kabupaten/kota bervariasi dengan besaran kurang dari 0,4. Berdasarkan kriteria dari Oshima maka distribusi pendapatan berada dalam kondisi ketimpangan rendah sampai sedang. Secara umum, ketimpangan pendapatan di daerah yang berstatus kota lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kabupaten dan terdapat kecenderungan ketidakmerataan dalam distribusi justru semakin meningkat di beberapa kabupaten/kota.
91
Pada kondisi awal di tahun 2004, dari sepuluh daerah yang memiliki peringkat indeks ketimpangan tertinggi lima diantaranya merupakan wilayah kota yang terdiri dari Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang dan Kota Tegal. Lima kabupaten yang memiliki peringkat indeks ketimpangan tertinggi adalah Banyumas, Temanggung, Tegal, Klaten dan Purbalingga. Satusatunya kota yang memiliki indeks ketimpangan terendah adalah Kota Pekalongan, sedangkan kabupaten yang memiliki peringkat indeks ketimpangan terendah adalah Kudus, Pati, Kebumen dan Rembang. Cilacap
Banyumas
Purbalingga
Banjarnegara
Kebumen
Purworejo
Wonosobo
Magelang
Boyolali
Klaten
Sukoharjo
Wonogiri
Karanganyar
Sragen
Grobogan
Blora
Rembang
Kudus
Jepara
Demak
Pekalongan
Pemalang
Tegal
Kota Semarang
Kota Pekalongan
Kota Tegal
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
0.40
0.20
0.00 0.40
0.20
0.00 0.40
Pati
0.20
0.00
Temanggung
Kendal
Kota Magelang
Kota Surakarta
Kota Salatiga
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
Semarang
0.40
Batang
0.20
0.00
Brebes
0.40
0.20
0.00 2010
2008
2006
2004
Sumber : Dihitung dari raw data Susenas Kor 2004-2010, BPS
Gambar 29 Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio Income) menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2004-2010
Kondisi pada tahun 2010 terjadi sedikit pergeseran, Kota Tegal yang semula termasuk dalam sepuluh daerah yang memiliki peringkat indeks ketimpangan tertinggi berubah statusnya menjadi daerah yang memiliki indeks ketimpangan terendah. Hal ini terjadi karena indeks ketimpangan di Kota Tegal selama dua periode cenderung stabil, sementara wilayah yang lainnya justru bergeser semakin tidak merata. Beberapa kabupaten yang peringkatnya berubah menjadi wilayah dengan indeks ketimpangan tertinggi adalah Sukoharjo, Purworejo, Wonogiri dan Karanganyar.
Lima Kabupaten yang memiliki
92
peringkat terendah adalah Brebes, Kebumen, Pemalang, Jepara dan Rembang, sehingga distribusi pendapatan di kelima daerah tersebut lebih merata. Perubahan distribusi pendapatan penduduk selama periode 2004-2010 dapat dikaji menggunakan komponen tren. Jika tren bernilai positif maka distribusi pendapatan bergeser semakin tidak merata atau ketimpangannya semakin meningkat, sebaliknya jika tren bernilai negatif maka distribusi pendapatan bergeser semakin merata. Nilai tren perubahan indeks ketimpangan di level provinsi selama 2004-2010 sebesar 0,0054. Artinya, setiap tahun indeks ketimpangan meningkat sebesar 0,0054 poin dan distribusi pendapatan penduduk bergeser semakin tidak merata/timpang, meskipun perubahannya berjalan sangat lambat (Gambar 30). Trend Ketimpangan 0,0200 0,0150 0,0100
Trend Perubahan Indeks Ketimpangan Jawa Tengah
0,0050 0,0000 -0,0050 Grobogan Tegal Wonogiri Purworejo Sragen Banjarnegara Kendal Pati Wonosobo Blora Rembang Demak Sukoharjo Semarang Kebumen Kota Magelang Boyolali Purbalingga Pekalongan Klaten Brebes Batang Cilacap Karanganyar Kota Salatiga Kudus Magelang Pemalang Temanggung Banyumas Jepara Kota Semarang Kota Surakarta Kota Tegal Kota Pekalongan
-0,0100
Sumber : Dihitung dari raw data Susenas Kor 2004-2010, BPS
Gambar 30 Tren Ketimpangan Distribusi Pendapatan menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010
Berdasarkan Gambar 30, mayoritas kabupaten/kota memiliki tren perubahan indeks ketimpangan yang bernilai positif, artinya distribusi pendapatan bergerak semakin tidak merata atau timpang. Semua daerah yang berstatus kota memiliki tren perubahan yang meningkat dan yang terbesar terjadi di Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Di sisi yang lain, terdapat 7 kabupaten yang memiliki nilai tren perubahan bertanda negatif atau distribusinya semakin merata. Ketujuh daerah tersebut adalah Kabupaten Grobogan, Tegal, Wonogiri, Purworejo, Sragen, Banjarnegara dan Kendal. Korelasi antara level indeks ketimpangan kondisi awal dengan tren perubahannya memiliki arah negatif sebesar 0,299, sehingga hubungannya sangat lemah.
93
4.2.4
Dinamika Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah Perkembangan jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah selama
periode 1996-2010 cukup berfluktuasi (Gambar 31). Secara umum, perkembangan kemiskinan di daerah perkotaan dan perdesaan memiliki pola yang hampir serupa, namun tingkat kemiskinan di perdesaan selalu lebih tinggi dari daerah perkotaan dan gapnya juga semakin membesar sampai tahun 2007. Pada tahun 1996, jumlah penduduk miskin mencapai 6,418 juta jiwa atau 21,61 persen dari jumlah penduduk Jawa Tengah dan meningkat tajam menjadi 8,785 juta jiwa atau 28,46 persen dari penduduk di tahun 1999. Peningkatan ini merupakan dampak dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997. Selama masa krisis, harga-harga barang dan jasa meningkat tak terkendali sehingga terjadi penurunan daya beli penduduk dan jumlah penduduk miskin menjadi meningkat. HC (000 jiwa) dan HCI (Persen) 35
8,785 7,308
30 25
23,06
21,61
20
6,980
28,46
6,418
6,844
21,78
7,101
6,534
21,11
6,557
22,19
20,49
6,123
20,43
5,655
19,23
5,219
17,72
15
16,56
10 5 0 1996
1999
2002
2003
2004
2005
Jumlah Penduduk Miskin (000 Jiwa) Persentase Penduduk Miskin Perdesaan
2006
2007
2008
2009
2010
Perkotaan Persentase Penduduk Miskin Perdesaan Persentase Penduduk Miskin K+D
Sumber : BPS, Beberapa Terbitan
Gambar 31 Jumlah Penduduk Miskin Jawa Tengah (000 Jiwa) dan Persentase Kemiskinan menurut Wilayah, 1999-2010
Selama
periode
2002-2005,
tingkat
kemiskinan
menunjukkan penurunan hingga mencapai 20,49 persen.
secara
bertahap
Namun, level ini
kembali meningkat menjadi 22,19 persen di tahun 2006 sebagai dampak dari kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Keputusan pemerintah tersebut tidak hanya memicu kenaikan harga atau inflasi pada komoditas bahan bakar dan jasa transportasi, namun juga mendorong inflasi barang dan jasa lainnya terutama pada kelompok bahan pangan. Tingginya laju inflasi menyebabkan daya beli masyarakat menurun drastis, sehingga kemiskinan di tahun 2006 mengalami
94
peningkatan meskipun di triwulan keempat pemerintah melakukan antisipasi dengan menggulirkan program transfer berupa Bantuan langsung Tunai (BLT) kepada rumah tangga miskin sasaran. Format program pengentasan kemiskinan yang lebih terpadu dan terarah dengan mengkombinasikan program bantuan langsung tunai, jaminan kesehatan penduduk miskin, bantuan operasional sekolah dan bantuan langsung masyarakat terutama untuk perbaikan infrastruktur sejak tahun 2007 menunjukkan hasil yang sedikit menggembirakan. Secara bertahap jumlah penduduk miskin maupun persentasenya menunjukkan pola yang semakin menurun hingga mencapai 5,22 juta jiwa atau 16,56 persen di tahun 2010. Gap antara tingkat kemiskinan di daerah perkotaan dan perdesaan selama empat tahun terakhir juga semakin mengecil. Cilacap
Banyumas
Purbalingga
Banjarnegara
Kebumen
Purworejo
Wonosobo
Magelang
Boyolali
Klaten
Sukoharjo
Wonogiri
Karanganyar
Sragen
Grobogan
Blora
Rembang
Kudus
Jepara
Demak
Pekalongan
Pemalang
Tegal
30 20 10 0 30 20 10 0
Pati
30 20 10 0
Temanggung
Kendal
Batang
Brebes
Kota Magelang
Kota Surakarta
Kota Salatiga
Kota Semarang
Kota Pekalongan
Kota Tegal
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004
Semarang 30 20 10 0 30 20 10 0
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, Beberapa Terbitan
Gambar 32 Level Kemiskinan (P 0 ) menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2004-2010 (Persen)
Level kemiskinan menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah selama periode 2004-2010 memiliki pola yang sangat beragam (Gambar 32). Lima daerah yang selalu memiliki tingkat kemiskinan tinggi adalah Kabupaten Kebumen, Rembang, Wonosobo, Purbalingga, dan Brebes dengan level kemiskinan di masing-masing
95
lebih dari 20 persen. Sebaliknya, daerah yang memiliki tingkat kemiskinan terendah adalah Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal dan Kota Salatiga dengan level di masing-masing kurang dari 10 persen. Pada umumnya, daerah yang memiliki tingkat kemiskinan rendah adalah daerah yang memiliki pendapatan perkapita tinggi, struktur perekonomiannya dominan di sektor industri pengolahan, perdagangan dan jasa, dan mayoritas merupakan daerah yang berstatus kota. Meskipun demikian, terdapat daerah yang memiliki pendapatan perkapita tinggi dan kemiskinannya juga tinggi, yakni Kabupaten Cilacap. Tingginya pendapatan perkapita di Cilacap lebih didorong oleh andil dari sektor industri pengolahan migas, namun nilai tambahnya hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk yang terlibat dalam aktivitas produksinya. Pengelolaan industri migas di Cilacap dilakukan oleh BUMN Pertamina, sehingga sebagaian besar nilai tambahnya dan keuntungan yang dihasilkan di setor ke kantor pusat Pertamina sebagai representasi dari perwakilan pemerintah pusat Mayoritas penduduk hanya menerima manfaat yang sangat kecil, sehingga keberadaannya belum memberikan dampak yang signifikan dalam membantu mengentaskan kemiskinan di Cilacap.
Terdapat juga daerah yang memiliki
pendapatan perkapita rendah, namun tingkat kemiskinannya juga rendah, yakni Kabupaten Jepara.
Meskipun secara rata-rata pendapatan perkapita di Jepara
rendah, namun distribusi pendapatan antar penduduk berjalan lebih merata atau mengumpul di sekitar rata-rata sehingga memiliki dampak yang cukup efektif dalam mendorong penurunan kemiskinan. Perubahan dalam level kemiskinan di semua kabupaten/kota selama periode 2004-2010 dapat dikaji menggunakan komponen tren.
Nilai koefisien
tren di level provinsi sebesar -0,374, artinya tingkat kemiskinan (P 0 ) turun dengan rata-rata sebesar 0,374 persen per tahun (Gambar 33). kemiskinan
pada
level
kabupaten/kota
sangat
Tren perubahan
bervariasi.
Mayoritas
kabupaten/kota memiliki tren perubahan kemiskinan negatif atau semakin menurun. Namun demikian, terdapat lima daerah yang memiliki tren perubahan kemiskinan positif atau tingkat kemiskinannya semakin meningkat.
Kelima
daerah tersebut merupakan daerah yang berstatus kota dan terdiri dari Kota Tegal, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Salatiga dan Kota Magelang. Fenomena
96
ini sangat terkait dengan level kemiskinan di kelima daerah yang relatif lebih rendah (<10 persen), memiliki distribusi pendapatan yang cenderung lebih timpang dan mayoritas penduduk miskinnya bersifat persisten. Program pengentasan kemiskinan yang bersifat sentralistik dan serba seragam memiliki pengaruh yang kurang signifikan dalam menurunkan kemiskinan, sehingga diperlukan format program yang lebih intensif dan bersifat pemberdayaan. Tren Perubahan Kemiskinan 0.4 0.2 0 -0.2 -0.4
Tren Perubahan Kemiskinan Jawa Tengah
-0.6 -0.8
Kota Salatiga
Kota Magelang
Kota Pekalongan
Kota Tegal
Kota Semarang
Sragen
Kabupaten/Kota
Semarang
Purworejo
Jepara
Grobogan
Sukoharjo
Tegal
Kota Surakarta
Demak
Blora
Purbalingga
Kudus
Brebes
Magelang
Klaten
Pekalongan
Karanganyar
Pati
Temanggung
Kendal
Boyolali
Rembang
Batang
Banyumas
Pemalang
Kebumen
Wonosobo
Cilacap
Banjarnegara
Wonogiri
-1
Sumber : Diolah dari data kemiskinan 2004-2010
Gambar 33 Tren Perubahan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, 2004-2010
Daerah yang memiliki kemajuan baik dalam pengentasan kemiskinan adalah Kabupaten Wonogiri, Cilacap, Banjarnegara, Kebumen dan Wonosobo. Kelima daerah tersebut memiliki tren penurunan kemiskinan setiap tahun antara 0,6-0,9 persen. Berdasarkan level kemiskinan pada kondisi awal, kelimanya termasuk dalam kategori daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi, sehingga penurunan kemiskinan mampu berjalan lebih efektif dibandingkan dengan daerah yang level kemiskinan pada kondisi awalnya sudah rendah. Secara umum, level kemiskinan pada kondisi awal memiliki hubungan yang tidak searah dengan tren perubahannnya.
Korelasinya antara keduanya sebesar -0,55 dan
fenomena ini menunjukkan adanya proses secara bertahap yang semakin konvergen dalam pola kemiskinan antar wilayah. 4.3
Kuadran Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan Analisis kuadran antara pertumbuhan pendapatan perkapita, ketimpangan
pendapatan dan kemiskinan berguna untuk melihat hubungan antar variabel dan membandingkan tingkat kemajuan antar wilayah berdasarkan ketiga variabel.
97
Analisis ini dilakukan dengan membuat scatterplot dua variabel yang dikaji, yakni pertumbuhan dengan ketimpangan, pertumbuhan dengan kemiskinan dan ketimpangan dengan kemiskinan dengan mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Ravallion (2005) dan Nayyar (2005). 4.3.1
Kuadran Pertumbuhan dengan Ketimpangan Scatterplot antara pertumbuhan pendapatan perkapita dengan indeks
ketimpangan antar kabupaten/kota di Jawa Tengah pada tahun 2004 dan 2010 disajikan dalam Gambar 34. Secara umum, scatterplot antara kedua variabel menunjukkan hubungan positif yang tidak signifikan secara statistik. Korelasi antara keduanya sebesar 0,001 pada tahun 2004 dan 0,33 pada tahun 2010. Meskipun pendapatan perkapita mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu, distribusi pendapatan cenderung stabil dan tidak mengalami perubahan berarti. 9
I (HH)
IV (LH) Kudus
8 7
Cilacap
Pertumbuhan 2004
6
Kota Tegal Karanganyar
5
Brebes
4 3
Pati Kota Pekalongan
2
Sragen
Wonogiri
Purworejo Rembang Pekalongan Pemalang Sukoharjo Blora Banjarnegara Grobogan Magelang Boyolali Purbalingga Jepara Demak Wonosobo Kendal
0 III (LL) 0.20
Banyumas
Kota Magelang Kota Salatiga
Temanggung Kota Semarang
Batang
Kebumen
1
Kota Surakarta Tegal Klaten
Semarang
0.22
II (HL)
0.24
0.26
0.28
0.30
0.32
0.34
Indeks Ketimpangan 2004
Pertumbuhan 2010
8 IV (LH)
I (HH)
Pemalang
5 4
Kota Magelang Kota Surakarta
Sragen
6
Rembang Jepara
3
Kendal Kota Pekalongan Purbalingga Blora Pati Brebes Grobogan Banjarnegara Karanganyar Kota Tegal Batang Kebumen Cilacap Wonosobo Semarang Magelang Pekalongan Temanggung Demak Boyolali Kudus
2
Purworejo
Banyumas
Tegal
Kota Semarang
Sukoharjo
Kota Salatiga
Wonogiri
Klaten
II (HL)
III (LL) 0.20
0.22
0.24
0.26
0.28
0.30
0.32
0.34
0.36
0.38
Indeks Ketimpangan 2010
Gambar 34 Scatterplot Pertumbuhan Pendapatan Perkapita (Persen) dangan Indeks Ketimpangan Tahun 2004 dan 2010
98
Berdasarkan scatterplot selama dua periode, daerah yang selalu berada di Kuadran I (HH) adalah Kabupaten Tegal dan Kota Surakarta. Kuadran ini merepresentasikan daerah yang memiliki pertumbuhan dan ketimpangan di atas rata-rata provinsi. Kota Salatiga menjadi daerah yang selalu berada di Kuadran II (HL) yakni memiliki pertumbuhan di bawah rata-rata dan indeks ketimpangan di atas rata-rata provinsi. Kuadran IV (LH) merepresentasikan daerah yang paling ideal, yakni memiliki kemajuan baik dalam memacu pertumbuhan pendapatan perkapita dan memiliki indeks ketimpangan rendah. Daerah yang selalu berada di kuadran ini selama dua periode adalah Kabupaten Kota Tegal, Kabupaten Karanganyar, Sragen dan Brebes. 4.3.2
Kuadran Ketimpangan dengan Kemiskinan Pola scatterplot antara ketimpangan pendapatan dengan kemiskinan
menunjukkan hubungan linier yang lemah (Gambar 35).
Daerah yang ideal
terletak di Kuadran III (LL) yakni memiliki tingkat kemiskinan dan ketimpangan yang lebih rendah dari rata-rata provinsi. Berdasarkan scatterplot 2004, daerah yang terletak di Kuadran III terdiri dari 10 kabupaten/kota, sementara pada scatterplot tahun 2010 jumlahnya sebanyak 7 kabupaten/kota. Daerah yang selalu berada di kuadran ini selama dua periode adalah Kabupaten Kudus, Jepara, Magelang dan Kota Tegal. Kuadran I (HH) merepresentasikan daerah yang memiliki kemiskinan dan ketimpangan di atas rata-rata provinsi. Pada tahun 2004, kuadran ini terdiri dari tiga daerah yakni Kabupaten Purbalingga, Klaten dan Banyumas. Sementara, pada tahun 2010 terdiri dari empat daerah yakni Kabupaten Banyumas, Grobogan, Sragen dan Purworejo. Mayoritas daerah berstatus kota selama 2004 dan 2010 terletak di Kuadran II (HL) dan merepresentasikan daerah dengan tingkat kemiskinan rendah (di bawah rata-rata provinsi) dan ketimpangan di atas rata-rata provinsi. Daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi pada umumnya memiliki indeks ketimpangan yang rendah dan tercakup dalam Kuadran IV (HH). Terdapat beberapa daerah yang selalu berada di Kuadran IV dan memiliki kemiskinan di atas 20 persen, yakni Kabupaten Rembang, Brebes, Wonosobo, dan Kebumen.
99
I (HH)
40 IV (LH)
Tingkat Kemiskinan 2004
35
Wonosobo
Rembang Kebumen
30
Purbalingga Grobogan
Brebes Banjarnegara
Demak Sragen Wonogiri Purworejo Blora Pemalang Pekalongan Kendal Pati Cilacap Batang Boyolali
25 20
Magelang
15 Kudus
10
Klaten
Karanganyar Sukoharjo Semarang
Jepara
Kota Magelang Kota Surakarta
Temanggung
Kota Salatiga
Kota Tegal
Kota Pekalongan
5
Banyumas Tegal
Kota Semarang
0 III (LL)
II (HL)
0.20
0.22
0.24
0.26
0.28
0.30
0.32
0.34
Indeks Ketimpangan 2004 30
IV (LH)
I (HH)
25
Purbalingga Brebes
Tingkat Kemiskinan 2010
Rembang
Wonosobo
Kebumen
20
Pemalang Demak Pekalongan
15
Cilacap Klaten Blora
Pati Magelang
Jepara
10
Banyumas
Banjarnegara
Kendal Boyolali
Grobogan Sragen Purworejo Wonogiri Batang Karanganyar Temanggung Tegal
Sukoharjo Kota Magelang Semarang Kota Pekalongan Kota Salatiga
Kota Tegal Kudus
5
0
Kota Surakarta
Kota Semarang
II (HL)
III (LL) 0.20
0.22
0.24
0.26
0.28
0.30
0.32
0.34
0.36
0.38
Indeks Ketimpangan 2010
Gambar 35 Scatterplot Ketimpangan dangan Kemiskinan Tahun 2004 dan 2010
4.3.3
Kuadran Pertumbuhan dengan Kemiskinan Pola Scatterplot kabupaten/kota antara pertumbuhan dengan kemiskinan
menunjukkan adanya hubungan yang tidak searah dan memiliki korelasi yang lemah. Daerah yang paling ideal atau memiliki progress terbaik dalam pengentasan kemiskinan maupun memacu pertumbuhan pendapatan terletak di Kuadran IV (LH). Dalam scatterplot tahun 2004, Kuadran IV terdiri dari 6 daerah, yakni Kota Tegal, Kota Surakarta, Kabupaten Kudus, Karanganyar, Cilacap dan Tegal, sementara, dalam scatterplot tahun 2010 terdiri dari delapan daerah. Mayoritas daerah pada kuadran ini merupakan daerah berstatus kota dan kabupaten
yang
memiliki
pendapatan
perkapita
tinggi
dan
struktur
perekonomiannya dominan pada sektor yang berbasis industri pengolahan, perdagangan dan jasa. Kuadran III (LL) merepresentasikan daerah dengan level kemiskinan dan pertumbuhan di bawah rata-rata provinsi. Daerah yang selalu berada di kuadran
100
ini adalah Kabupaten Semarang, Batang, Sukoharjo, Magelang, Jepara, Temanggung dan Kota Salatiga. Kuadran II (HL) mencakup daerah yang memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata dan pertumbuhan pendapatan di bawah rata-rata provinsi, sehingga merepresentasikan daerah yang paling tidak sejahtera. Beberapa daerah yang selalu berada di kuadaran ini adalah Kabupaten Wonosobo, Kebumen, Rembang dan Demak. Semuanya merupakan daerah yang memiliki struktur perekonomian dominan pada sektor pertanian dengan level pendapatan perkapita rendah. Daerah dengan pertumbuhan tinggi namun tingkat kemiskinannya juga tinggi tercakup dalam Kuadran I (HH) dan diwakili oleh Kabupaten Brebes, Sragen dan Purworejo. Daerah dengan kemiskinan tinggi pada umumnya berpindah dari Kuadran I ke Kuadran II maupun sebaliknya.
Gambar 36 Scatterplot Pertumbuhan dan Kemiskinan Tahun 2004 dan 2010
101
4.4
Analisis Poverty Growth Curve (PGC) Analisis PGC berguna untuk mengkaji katerkaitan antara pertumbuhan
yang diproksi dengan pendekatan pengeluaran, distribusi pendapatan dan kemiskinan. Meskipun bersifat parsial tanpa menggunakan garis kemiskinan, indikator ini memiliki konsep yang cukup kuat untuk menjelaskan derajad pro poor growth. Indikator ini dihitung menggunakan variabel pengeluaran perkapita dari data mentah hasil Susenas tahun 2004 dan 2010. Data pengeluaran perkapita dihitung dalam bentuk riil, sehingga pengeluaran pada tahun 2010 dideflate menggunakan laju inflasi umum selama periode 2004-2010. Tabel 7 Pengeluaran Perkapita Riil per Bulan dan Pertumbuhannya Menurut Persentil dan Wilayah di Jawa Tengah Tahun 2004 dan 2010 Pengeluaran Perkapita Riil per Bulan (Rp) Kelompok Pengeluaran
Pertumbuhan Pengeluaran Perkapita Riil 2004-2010 (%)
Perkotaan (K)
Perdesaan (D)
2004
2010
2004
2010
2004
2010
K
D
K+D
5
68.716
92.966
68.505
90.991
68.541
91.401
5,88
5,47
5,56
10
84.989
114.561
85.285
113.665
85.224
113.899
5,80
5,55
5,61
15
95.105
127.014
95.065
127.427
95.073
127.307
5,59
5,67
5,65
20
102.909
137.896
102.819
137.945
102.840
137.929
5,67
5,69
5,69
25
109.760
147.561
109.950
147.687
109.903
147.647
5,74
5,72
5,72
30
117.117
156.708
116.856
156.699
116.930
156.702
5,63
5,68
5,67
35
123.810
166.365
123.558
165.959
123.636
166.105
5,73
5,72
5,72
40
130.701
176.051
130.495
175.998
130.563
176.018
5,78
5,81
5,80
45
137.329
186.261
137.648
186.219
137.539
186.237
5,94
5,88
5,90
50
144.728
196.585
144.769
196.496
144.754
196.534
5,97
5,96
5,96
55
152.401
208.148
152.225
208.037
152.292
208.088
6,10
6,11
6,11
60
161.246
220.855
160.842
220.990
161.021
220.928
6,16
6,23
6,20
65
170.265
234.865
170.451
234.664
170.363
234.761
6,32
6,28
6,30
70
181.105
250.513
180.725
250.380
180.907
250.447
6,39
6,42
6,41
75
193.651
269.975
193.411
269.668
193.543
269.840
6,57
6,57
6,57
80
209.313
293.507
209.372
294.156
209.341
293.791
6,70
6,75
6,72
85
228.985
325.278
228.693
326.246
228.877
325.655
7,01
7,11
7,05
90
257.808
377.202
256.515
374.920
257.352
376.339
7,72
7,69
7,71
95
307.459
466.155
305.537
465.446
306.858
465.946
8,60
8,72
8,64
100
507.540
896.568
497.290
795.229
504.988
877.551 12,77
9,99
12,30
Rata-rata
209.672
303.257
148.986
207.486
174.028
251.162
6,54
7,39
Sumber : Diolah dari Susenas 2004 dan 2010, BPS
K+D
7,44
102
Pengeluaran perkapita riil per bulan menurut kelompok pengeluaran (persentil) dan wilayah secara lengkap disajikan dalam Tabel 7. Selama periode tersebut, pengeluaran perkapita riil secara rata-rata mengalami peningkatan dari Rp 170,23 ribu per bulan menjadi Rp 251,16 ribu per bulan di tahun 2010 atau tumbuh sebesar 7,39 persen per tahun.
Fenomena ini menunjukkan adanya
perbaikan kesejahteraan penduduk secara rata-rata selama periode 2004-2010. Berdasarkan Tabel 7, level pengeluaran perkapita riil per bulan di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan.
Pada
tahun 2004, level pengeluaran perkapita di perkotaan mencapai Rp 209,6 ribu per bulah dan meningkat menjadi Rp 303,25 ribu per bulan di tahun 2010 atau tumbuh sebesar 7,44 persen per tahun. Level pengeluaran perkapita riil di daerah perdesaan pada tahun 2004 sebesar Rp 148,99 ribu dan meningkat menjadi Rp 207,49 ribu di tahun 2010 atau tumbuh sebesar 6,54 persen per tahun. Secara umum, hal tersebut mengindikasikan bahwa secara rata-rata kesejahteraan penduduk daerah perkotaan meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk di daerah perdesaan. Pertumbuhan (%) 13 12 11 10 9 8
Rata-rata Pertumbuhan
7 6 5 4 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
100
Golongan Pengeluaran (Persentil)
Gambar 37 Poverty Growth Curve Jawa Tengah Periode 2004-2010
Nilai pertumbuhan pengeluaran menurut kelompok persentil dapat disusun kurva PGC.
Secara umum, pertumbuhan pengeluaran riil per bulan semakin
meningkat seiring dengan peningkatan kelompok pengeluaran (persentil). Gambar 37 mengilustrasikan porsi manfaat dari pertumbuhan atau peningkatan
103
kesejahteraan yang terbesar dinikmati oleh 15 persen penduduk pada golongan berpendapatan tertinggi.
Sementara itu, 85 persen penduduk pada golongan
pendapatan di bawahnya menerima peningkatan kesejahteraan di bawah rata-rata. Berdasarkan kurva PGC apat disimpulkan bahwa pertumbuhan selama periode 2004-2010 belum bersifat pro poor.
Manfaat pertumbuhan secara
dominan dinikmati oleh penduduk pada golongan pendapatan tertinggi dan belum berpihak kepada penduduk pada golongan berpendapatan rendah. Fenomena ini menjadi penjelas mengapa pengentasan kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan terkesan berjalan lambat.
104
Halaman ini sengaja dikosongkan
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Model Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Model pertumbuhan digunakan untuk mengidentifikasi variabel yang
menjadi sumber pertumbuhan pendapatan perkapita di Jawa Tengah serta mengetahui seberapa besar pengaruhnya.
Hasil estimasi model pertumbuhan
menggunakan pendekatan Panel Two-Stage EGLS atau Panel Two Stage Random Effect secara ringkas disajikan dalam Tabel 8.
Penggunaan metode Random
Effect didasarkan hasi Uji Hausman yang tidak signifikan pada taraf 10 persen, artinya tidak terdapat korelasi antara efek individu dengan variabel bebas sehingga penggunaan Random Effect Model lebih baik dibandingkan dengan Fixed Effect Model. Pengujian parameter hasil estimasi secara menyeluruh menggunakan Uji F menghasilkan nilai statistik F sebesar 253,85 dan signifikan pada taraf 1 persen. Hal ini berarti model layak digunakan karena mampu menjelaskan keragaman variabel tak bebas. Teknik pendugaan dalam model Random Effect dilakukan dengan metode Generalized Least Square (GLS) sehingga secara otomatis mampu mengurangi permasalahan autokorelasi dan gejala heteroskedastisitas yang disebabkan variasi sisaan yang tidak konstan (Gujarati, 2004). Tabel 8 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Variabel
Koefisien
Standart Error
t-Statistic
Elastisitas
0,205
-10,472
0,023
-0,029
-0,001
Variabel Bebas : Log(KAP) Const.
-2,143
Log(KERJA_SLTP)
-0,001
Log(KERJA_SLTA)
0,056
**
0,021
2,612
0,056
Log(MYS)
0,439
***
0,103
4,244
0,439
INV
0,004
***
0,008
4,731
0,033
Log(LISTRIK)
0,333
***
0,028
11,876
0,333
Log(JALAN)
0,052
***
0,016
3,360
0,052
Log(PUB)
0,020
***
0,006
3,114
0,020
***
Catatan : * Signifikan pada taraf 10%, ** Signifikan pada taraf 5%, *** Signifikan pada taraf 1%
Berdasarkan hasil estimasi, variabel yang memiliki pengaruh signifikan terdiri dari jumlah pekerja terampil (berpendidikan SLTA ke atas), stok
106
kapital/investasi, rata-rata usia lama sekolah, kualitas infrastruktur listrik dan jalan raya serta belanja pembangunan. Keenam variabel signifikan pada taraf 1 persen, sementara variabel jumlah pekerja tidak terampil (berpendidikan SLTP ke bawah) tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada taraf 10 persen. Variabel yang memiliki pengaruh terbesar terhadap pertumbuhan pendapatan perkapita adalah modal manusia yang diproksi dari rata-rata usia lama sekolah penduduk (MYS). Elastisitas pendapatan perkapita terhadap rata-rata usia lama sekolah sebesar 0,439, sehingga kenaikan rata-rata usia lama sekolah sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 0,439 persen ceteris paribus. Temuan ini sejalan dengan hipótesis teori pertumbuhan endogen yang menyatakan modal manusia sebagai sumber pertumbuhan yang terpenting. Kenaikan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan akan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan/skill yang dimiliki pekerja dan akan memengaruhi produktivitas melalui cara produksi lebih efisien. Beberapa penelitian sebelumnya juga menghasilkan temuan yang serupa, elastisitas pendapatan perkapita terhadap rata-rata usia lama sekolah memiliki arah positif dengan besaran yang bervariasi (Prasetyo, 2010; Purwanto, 2011). Modal manusia yang diproksi dengan jumlah seluruh pekerja memiliki pengaruh yang tidak signifikan. Ketika variabel jumlah pekerja dibagi menjadi dua bagian, yakni pekerja terampil dan pekerja tidak terampil maka estimasi model menunjukkan hasil yang berbeda.
Elastisitas pendapatan perkapita
terhadap jumlah pekerja terampil sebesar 0,056, sehingga pertumbuhan jumlah pekerja terampil sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 0,056 persen ceteris paribus. Di sisi yang lain, variabel jumlah pekerja yang tidak terampil memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap pendapatan perkapita. Fenomena ini menunjukkan bahwa modal manusia tidak ditentukan oleh jumlah atau kuantitas penduduk yang pekerja, namun lebih ditentukan oleh kualitas keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh pekerja. Hanya pekerja yang memiliki keterampilan/skill yang akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita melalui peningkatan produktivitas. Pentingnya modal manusia dalam mendorong pertumbuhan di Jawa Tengah dihadapkan pada realita masih rendahnya kualitas sumber daya manusia.
107
Rata-rata lama usia sekolah penduduk berusia kerja pada tahun 2001 hanya mencapai 6,09 tahun dan setara dengan tamat SD, meskipun secara bertahap meningkat menjadi 7,24 tahun atau setara dengan SLTP kelas VII di tahun 2010. Kebijakan pemerintah melalui pendidikan dasar sembilan tahun masih belum menghasilkan respon yang menggembirakan, padahal kebijakan ini telah dicanangkan sejak tahun 1994. Rata-rata usia lama sekolah penduduk meningkat, namun tingkat kemajuannya berjalan secara lambat. Hal ini tidak lepas dari adanya ketimpangan dalam memperoleh akses pendidikan baik dari sisi partisipasi, kualitas maupun keberlangsungannya. Fakta menunjukkan masih terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara rata-rata usia lama sekolah di daerah perdesaan dan di daerah perkotaan. Pada Tahun 2010, rata-rata lama sekolah penduduk perdesaan mencapai 6,58 tahun, sementara penduduk perkotaan mencapai 8,38 tahun. Permasalahan ini terkait dengan ketersediaan infrastruktur pendidikan di tingkat SLTP dan SLTA maupun ketersediaan tenaga pendidik yang terpusat di daerah perkotaan. Sementara itu, keberadaan fasilitas pendidikan setingkat SLTP dan SLTA di daerah perdesaan sangat sulit ditemui. Dampaknya, penduduk usia sekolah di perkotaan lebih mudah mengakses pendidikan, sementara di daerah perdesaan mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan akibat persoalan jarak maupun sarana transportasi yang belum memadai. Variabel yang memberikan pengaruh terbesar kedua adalah kualitas infrastruktur
listrik.
Elastisitas
pendapatan
perkapita
terhadap
kualitas
infrastruktur listrik sebesar 0,333, sehingga peningkatan kualitas infrastruktur energi listrik sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 0,333 persen ceteris paribus. Hasil ini juga sejalan dengan temuan dari beberapa penelitian sebelumnya yang menghasilkan elastisitas positif dengan besaran yang bervariasi (Setiadi, 2006; Yanuar, 2006; Prasetyo, 2010; Purwanto, 2011). Besarnya elastisitas pendapatan perkapita terhadap infrastruktur listrik menjadi sangat realistis, karena energi listrik memiliki peran yang sangat strategis dalam menggerakkan aktivitas perekonomian maupun dalam kehidupan seharihari. Pasokan listrik yang tersedia secara cukup dan berkesinambungan tidak
108
hanya penting untuk kegiatan konsumsi, namun juga menjadi jaminan bagi kelangsungan proses produksi terutama pada industri yang berbasis mesin dan teknologi.
Pemanfaatan energi listrik di Jawa Tengah sampai tahun 2010
sebagian besar digunakan untuk keperluan rumah tangga dengan porsi 49,81 persen. Porsi penggunaan energi listrik untuk keperluan industri dan usaha sebesar 45,04 persen dan sisanya sebanyak 5,15 persen digunakan untuk kegiatan sosial, pemerintahan dan penerangan jalan. Berbeda dengan infrastruktur listrik yang memiliki elastisitas cukup besar, kualitas infrastruktur jalan raya hanya memiliki elastisitas sebesar 0,052. Nilai ini memiliki makna peningkatan rasio jalan yang berstatus mantap terhadap luas wilayah sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 0,052 persen ceteris paribus. Beberapa penelitian sebelumnya juga menghasilkan temuan yang serupa, elastisitas infrastruktur jalan raya relatif lebih rendah dibandingkan dengan elastisitas infrastruktur energi listrik (Amrullah, 2006; Sibarani, 2002; Prasetyo, 2010). Kualitas infrastruktur jalan raya memiliki peranan strategis dalam perekonomian, terutama untuk menjamin kelancaran mobilitas faktor produksi maupun distribusi barang dan jasa hasil produksi. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap infrastruktur jalan raya dibandingkan dengan infrastruktur transportasi lainnya menuntut peran pemerintah salaku penyedia jasa pelayanan publik untuk menjamin ketersediaan jalan raya dengan kualitas yang baik. Sampai saat ini, mobilitas barang dan jasa di Jawa Tengah masih sangat bergantung
pada
keberadaan
Jalur
Pantura
yang
kondisinya
semakin
memprihatinkan akibat kualitas jalan yang menurun maupun peningkatan volume kendaraan yang melewatinya. Jalan alternatif melalui jalur selatan dan tengah kondisinya juga lebih memprihatinkan. Permukaan jalan banyak yang rusak dan terkendala
oleh
kondisi
medan
yang
menanjak
serta
berkelok-kelok.
Permasalahan rendahnya kualitas infrasrtuktur jalan raya tidak lepas dari adanya dikotomi dalam pengelolaan infrastruktur jalan antara pemerintah pusat dan daerah.
Celah ini membuka peluang penyimpangan dalam tender dalam
pengelolaan jalan, sehingga meskipun sering diperbaiki kondisi jalan secara cepat mengalami kerusakan.
109
Perubahan stok kapital atau investasi fisik yang diproksi dengan pembentukan modal tetap bruto juga memiliki pengaruh yang signifikan dengan elastisitas sebesar 0,033. Hal ini bermakna perubahan stok kapital sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 0,033 persen ceteris paribus. Pengeluaran pemerintah untuk belanja pembangunan memiliki elastisitas sebesar 0,02, sehingga kenaikan pengeluaran pembangunan sebesar 1 persen akan mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 0,02 persen. Relatif rendahnya pengaruh perubahan stok kapital/investasi dan belanja pembangunan terhadap pertumbuhan menunjukkan pemanfaatan investasi untuk penambahan modal fisik belum berjalan secara optimal. Investasi fisik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta masih terkonsentrasi untuk penambahan modal di sektor konstruksi terutama properti, sementara untuk penambahan modal mesin dan sarana transportasi produktif masih relatif rendah. Porsi investasi fisik untuk kegiatan konstruksi masih di atas 70 persen, padahal tingkat pengembaliannya jauh lebih lambat dibandingkan dengan investasi mesin dan sarana transportasi produktif. Rendahnya pengaruh variabel belanja pembangunan terhadap pertumbuhan juga disebabkan oleh rendahnya rasio belanja pembangunan terhadap APBD. Rata-rata rasio di semua kabupaten/kota pada tahun 2010 hanya sebesar 14,5 persen. Nilai ini masih jauh dari kondisi ideal maupun rata-rata nasional yang mencapai 22,9 persen (Kemenkeu, 2011). 5.2
Model Pencari Kerja/Pengangguran Model pengangguran digunakan untuk mengidentifikasi determinan yang
memengaruhi perubahan jumlah pencari kerja/penganggur. Hasil estimasi model pengangguran menggunakan pendekatan Panel Two-Stage EGLS atau Panel Two Stage Random Effect secara ringkas disajikan dalam Tabel 9. Secara umum, model menghasilkan nilai F statistik sebesar 64,87 dan signifikan pada taraf 1 persen, sehingga mampu menjelaskan keragaman variabel tak bebas. Variabel yang memiliki pengaruh signifikan adalah jumlah angkatan kerja tidak terampil (SLTP ke bawah), angkatan kerja terampil (SLTA ke atas), pendapatan perkapita dan investasi. Variabel upah mínimum riil tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penganggur pada taraf 10 persen.
110
Tabel 9 Hasil Estimasi Model Pengangguran Variabel
Koefisien
Standart Error
t-Statistic
Elastisitas
Const.
1,267
0,158
1,673
Log(AK_SLTP)
0,265
**
0,173
3,205
0,265
Log(AK_SLTA)
0,553
***
0,202
-0,046
0,553
0,333
-4,363
-0,009
Variabel Bebas : Log(UN)
Log(UPAH)
-0,009
Log(KAP)
-1,453
***
0,003
-2,644
-1,453
INV
-0,009
**
0,158
1,673
-0,069
Catatan : * Signifikan pada taraf 10%, ** Signifikan pada taraf 5%, *** Signifikan pada taraf 1%
Berdasarkan hasil estimasi, variabel yang memiliki pengaruh terbesar terhadap perubahan jumlah penganggur adalah pendapatan perkapita dengan elastisitas sebesar -1,453. Setiap pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 1 persen akan berpengaruh terhadap penurunan jumlah pencari kerja/penganggur sebesar 1,453 persen ceteris paribus.
Variabel perubahan stok kapital/investasi
juga memiliki pengaruh negatif dengan elastisitas sebesar -0,069 ceteris paribus, sehingga peningkatan stok kapital sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan jumlah penganggur sebesar -0,069 persen. Investasi memiliki pengaruh langsung terhadap penurunan jumlah penganggur melalui penciptaan kesempatan kerja baru, sehingga semakin tinggi investasi maka peluang terciptanya kesempatan kerja akan semakin besar. Peningkatan jumlah pencari kerja/penganggur di Jawa Tengah juga sangat berkaitan dengan pertumbuhan jumlah angkatan kerja atau sering disebut pengangguran alamiah.
Hal ini terlihat dari besarnya pengaruh peningkatan
jumlah angkatan kerja baik yang terampil maupun yang tidak terampil terhadap peningkatan jumlah pencari kerja. Kedua variabel memiliki pengaruh yang nyata dengan elastisitas masing-masing sebesar 0,553 dan 0,265.
Nilai tersebut
bermakna pertumbuhan jumlah angkatan kerja terampil sebesar 1 persen akan mendorong peningkatan jumlah penganggur sebesar 0,553 persen dan pertumbuhan jumlah angkatan kerja tidak terampil sebesar 1 persen akan memengaruhi pertumbuhan jumlah penganggur sebesar 0,265 persen ceteris paribus.
111
Fenomena tersebut dapat dijelaskan oleh fakta bahwa penduduk yang baru masuk ke dalam angkatan kerja terutama yang berpendidikan tinggi akan lebih rasional untuk mencari dan memilih jenis pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya.
Mereka akan cenderung memilih kesempatan kerja di sektor
formal dengan pertimbangan tingkat upah yang lebih tinggi. Di sisi yang lain, jumlah kesempatan kerja yang tersedia di sektor formal lebih terbatas dibandingkan dengan jumlah peminatnya sehingga berpengaruh pada lamanya waktu bagi angkatan kerja baru untuk mendapatkan kesempatan kerja yang sesuai. Lamanya waktu untuk mencocokkan jenis pekerjaan yang sesuai juga mendorong peningkatan pengangguran friksional terutama pada angkatan kerja baru yang berpendidikan tinggi. Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Suparno (2010) yang menyatakan bahwa rasio jumlah pekerja berpendidikan SLTA ke atas berpengaruh positif terhadap pengangguran di Indonesia. Todaro dan Smith (2006) mengemukakan kebanyakan angkatan kerja cenderung menolak apa yang mereka anggap sebagai penurunan persyaratan atas pekerjaan mereka. Banyak pencari kerja dengan pendidikan tinggi yang memiliki harapan tinggi dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di pasar tenaga kerja. Mereka akan memilih untuk tetap tidak bekerja selama beberapa waktu daripada menerima pekerjaan yang menurut mereka kurang sesuai, apalagi jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang dimiliki. Semakin lamanya waktu menganggur maka harapan-harapan itu akan terus melemah, sehingga pada akhirnya mereka terpaksa menerima jenis-jenis pekerjaan yang sebenarnya hanya memerlukan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Berbeda dengan angkatan kerja terampil, angkatan kerja yang idak terampil akan lebih realistis untuk menempati kesempatan kerja yang tersedia dan membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk menunggu jenis pekerjaan yang sesuai. Kesempatan kerja di sektor informal sekalipun akan dimasuki, meskipun statusnya sebagai buruh lepas bahkan sebagai pekerja tidak dibayar. Maraknya perkembangan di sektor informal menjadi penjelas mengapa pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang tidak terampil memiliki pengaruh yang lebih kecil dalam meningkatkan jumlah penganggur dibandingkan dengan angkatan kerja terampil.
112
Perkembangan jumlah pencari kerja di Jawa Tengah menurut tingkat pendidikan disajikan dalam Gambar 38. Secara umum, terdapat kecenderungan proporsi jumlah pencari kerja dengan level pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi (pekerja terampil) semakin meningkat.
Sebaliknya, proporsi jumlah
pekerja berpendidikan rendah (SLTP ke bawan) jumlahnya semakin menurun. SLTA 35,87 SLTP 29,25
SLTA 41,02
PT 8,09 SD 26,79
SD 23,36
SLTP 27,09
2004
SLTA 44,40
PT 8,53
PT 8,47 SD 22,32
SLTP 24,82
2010
2007
Sumber : Diolah dari Susenas 2004, 2007, 2010, BPS Jawa Provinsi Tengah
Gambar 38 Proporsi Jumlah Penganggur di Jawa Tengah menurut Pendidikan
Berdasarkan hasil estimasi, variabel upah mínimum kabupaten/kota tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan jumlah penganggur. Meskipun secara nominal upah meningkat, namun secara riil nilainya tidak berubah atau cenderung stabil. Tujuan utama kebijakan penetapan upah mínimum adalah untuk mempertahankan standar upah riil yang diterima pekerja sebagai akibat dari kenaikan harga atau inflasi.
Bagi pekerja terdidik kebijakan upah
mínimum tidak memberi pengaruh besar, karena pada umumnya mereka sudah menikmati tingkat upah di atas upah mínimum.
Namun bagi pekerja tidak
terampil atau pekerja berpendidikan rendah, upah mínimum memberikan manfaat yang cukup besar karena meningkatkan upah mereka di atas tingkat upah keseimbangan. Secara umum, kebijakan upah mínimum di Jawa Tengah hanya berlaku pada sektor formal seperti industri pengolahan, konstruksi, perdagangan dan jasa karena secara langsung mudah diawasi oleh instansi yang terkait. Pada sektor informal
dan
sektor
pertanian
upah
mínimum
tidak
berlaku,
karena
pengawasannya sangat sulit dan supply pekerja di sektor tersebut sangat melimpah. Bagi perusahaan formal, kebijakan penentuan upah mínimum di atas tingkat upah keseimbangan akan menambah beban pengeluaran perusahaan. Sebagai konsekuensinya maka perusahaan akan melakukan penjatahan pekerjaan kepada pekerja yang benar-benar produktif atau melakukan hal yang lebih ekstrim
113
dengan memberlakukan sistem kerja kontrak. Semakin maraknya pemanfaatan pekerja kontrak oleh perusahaan menjadi penjelas mengapa upah mínimum menjadi kurang signifikan memengaruhi pertumbuhan jumlah penganggur. 5.3
Model Ketimpangan Model ketimpangan digunakan untuk mengidentifikasi variabel yang
memengaruhi ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar penduduk di Jawa Tengah.
Hasil estimasi model ketimpangan menggunakan pendekatan Panel
Two-Stage EGLS atau Panel Two Stage Random Effect secara ringkas disajikan dalam Tabel 10. Secara umum, semua variabel bebas memiliki pengaruh yang nyata terhadap indeks ketimpangan pendapatan yang diproksi dengan Gini rasio. Pertumbuhan pendapatan perkapita, ketimpangan pendidikan dan indeks harga berpengaruh positif dalam meningkatkan ketimpangan pendapatan, sementara pengeluaran belanja pembangunan memiliki pengaruh positif dalam menurunkan ketimpangan. Nilai statistik F yang dihasilkan model sebesar 10,91 dan signifikan pada taraf 1 persen, sehingga secara keseluruhan model mampu menjelaskan keragaman variabel tak bebas Gini rasio pendapatan. Tabel 10 Hasil Estimasi Model Ketimpangan Variabel
Koefisien
Standart Error
t-Statistic
-0,061
0,085
-0,725
Elastisitas
Variabel Bebas : iGINI Const. Log(KAP)
0,048
***
0,011
4,472
0,175
eGINI
0,118
**
0,061
1,929
0,135
Log(IHK)
0,055
***
0,020
2,713
0,202
Log(PUB)
-0,013
**
0,006
-1,946
-0,046
Catatan : * Signifikan pada taraf 10%, ** Signifikan pada taraf 5%, *** Signifikan pada taraf 1%
Variabel bebas yang memiliki pengaruh terbesar adalah indeks harga yang diproksi dengan deflator PDRB.
Besarnya elastisitas ketimpangan terhadap
indeks harga sebesar 0,202, sehingga setiap kenaikan indeks harga atau inflasi sebesar 1 persen akan meningkatkan indeks ketimpangan pendapatan sebesar 0,202 persen ceteris paribus. Dalam bab sebelumnya telah disampaikan bahwa nilai indeks ketimpangan pendapatan (Gini rasio income) dihitung menggunakan data pengeluaran rumah tangga/individu, karena data pendapatan tidak tersedia.
114
Pola konsumsi atau pengeluaran penduduk sangat sensitif dipengaruhi oleh pendapatan yang diterima dan tingkat harga yang berlaku. Ketika terjadi kenaikan harga barang dan jasa, maka pendapatan riil yang diterima penduduk akan menurun dan sebagai konsekuensinya akan terjadi penurunan daya beli terhadap barang dan jasa.
Penurunan daya beli yang terbesar akan dirasakan oleh
penduduk pada golongan pendapatan rendah, sementara penduduk golongan pendapatan tinggi masih dapat mempertahankan pola konsumsinya.
Hal ini
menjadi penjelas, ketika terjadi kenaikan harga maka akan berdampak pada peningkatan indeks ketimpangan atau distribusi pendapatan/pengeluaran menjadi semakin tidak merata. Variabel pendapatan perkapita memiliki pengaruh terbesar kedua dengan elastisitas sebesar 0,175.
Nilai ini bermakna setiap pertumbuhan pendapatan
perkapita sebesar 1 persen akan meningkatkan indeks ketimpangan sebesar 0,175 persen ceteris paribus. Hasil ini sejalan dengan temuan yang dihasilkan oleh penelitian Wodon (1999), Lin (2003), Hidayat dan Patunru (2007) serta Hajiji (2010) yang menyatakan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan ketimpangan pendapatan antar penduduk.
Sumber : Diolah dari Susenas Kor 2004 dan 2010, BPS
Gambar 39 Pangsa Konsumsi menurut Kelompok Pengeluaran (Kuintil) di Jawa Tengah Tahun 2004 dan 2010
Temuan penelitian ini dapat dijelaskan oleh fenomena distribusi manfaat hasil pertumbuhan di Jawa Tengah lebih banyak dinikmati oleh 20 persen penduduk pada golongan pendapatan teratas. Secara proporsional, bagian dari pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi oleh penduduk pada golongan
115
pendapatan atas selama periode 2004-2010 meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi penduduk pada golongan pendapatan di bawahnya (Gambar 39). Peningkatan pangsa pengeluaran/konsumsi penduduk hanya terjadi di kuintil kesepuluh atau pada golongan pendapatan 10 persen yang tertinggi. Sementara itu, penduduk pada kuintil pertama sampai kuintil delapan atau 80 persen penduduk golongan pendapatan terbawah justru memiliki pangsa pengeluaran/konsumsi yang semakin menurun selama dua periode dan 10 persen penduduk pada kuintil kesembilan memiliki pangsa pengeluaran/konsumsi yang relatif stabil. Variabel indeks ketimpangan pendidikan yang diproksi dengan Gini rasio lama sekolah juga memiliki pengaruh positif dalam meningkatkan indeks ketimpangan
pendapatan.
Elastisitas
ketimpangan
pendapatan
terhadap
ketimpangan pendidikan sebesar 0,135, sehingga perubahan ketimpangan pendidikan sebesar 1 persen akan menyebabkan perubahan ketimpangan pendapatan sebesar 0,135 persen ceteris paribus. Sudah menjadi fenomena umum bahwa pendapatan/upah yang diterima oleh pekerja/penduduk pada semua golongan pendapatan memiliki korelasi yang kuat dengan tingkat produktivitas yang dihasilkan. Produktivitas ditentukan oleh tingkat keterampilan/skill yang dimiliki pekerja dan tingkat keterampilan dapat didorong melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan. Secara tidak langsung, tingkat pendidikan penduduk juga memiliki hubungan positif dengan tingkat pendapatan yang diterimanya.
Sumber : Diolah dari Susenas 2010, BPS Jawa Tengah
Gambar 40 Usia Rata-rata Lama Sekolah Penduduk menurut Kelompok Pengeluaran (Kuintil) di Jawa Tengah Tahun 2010
116
Fenomena di Jawa Tengah menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang diukur dari rata-rata usia lama sekolah antar golongan pendapatan sampai tahun 2010 masih sangat timpang. Secara umum, rata-rata usia lama sekolah penduduk meningkat seiring dengan peningkatan golongan pendapatan penduduk. Penduduk pada golongan pendapatan terendah memiliki rata-rata usia lama sekolah di bawah rata-rata lama sekolah seluruh penduduk yang mencapai 7,37 tahun. Rata-rata usia lama sekolah penduduk pada 20 persen golongan pendapatan terendah hanya 5,86 tahun, artinya secara rata-rata setara dengan belum tamat sekolah dasar.
Sebaliknya, 10 persen penduduk pada golongan pendapatan
tertinggi memiliki rata-rata usia lama sekolah 9,8 tahun atau setara dengan mengenyam pendidikan di tingkat SLTA kelas 1 (Gambar 40). Rendahnya kualitas pendidikan pada golongan 20 persen penduduk berpendapatan terendah menyebabkan produktivitas dan tingkat pendapatan yang diterima menjadi rendah, sehingga pola konsumsinya juga rendah. Di sisi lain, kualitas pendidikan penduduk pada golongan pendapatan tinggi yang relatif lebih baik menyebabkan produktivitas dan pendapatan yang diperoleh lebih tinggi sehingga pola pengeluarannya juga lebih tinggi. Korelasi antara rata-rata usia lama sekolah penduduk dengan rata-rata pengeluaran perkapita menurut persentil juga cukup kuat, yakni sebesar 0,88. Hal ini menjadi penjelas ketimpangan dalam pendidikan akan memiliki pengaruh positif terhadap ketimpangan dalam pendapatan/pengeluaran. Satu-satunya variabel yang memiliki pengaruh signifikan dengan arah yang
berlawanan
modal/pembangunan.
adalah
pengeluaran
pemerintah
untuk
belanja
Elastisitas ketimpangan pendapatan terhadap belanja
pembangunan sebesar -0,046, artinya peningkatan belanja pembangunan sebesar 1 persen akan berpengaruh terhadap penurunan indeks ketimpangan pendapatan sebesar 0,01 persen ceteris paribus. 5.4
Model Kemiskinan Model kemiskinan digunakan untuk mengidentifikasi variabel yang
memengaruhi tingkat kemiskinan di Jawa Tengah. Estimasi model dilakukan menggunakan pendekatan Panel Two-Stage EGLS atau PanelTwo Stage Random
117
Effect dan secara ringkas hasilnya disajikan dalam Tabel 11.
Variabel yang
signifikan memengaruhi jumlah penduduk miskin adalah pendapatan perkapita, jumlah penganggur dan indeks harga.
Sementara, variabel ketimpangan
pendapatan tidak signifikan memengaruhi kemiskinan pada taraf 10 persen. Nilai F statistik yang dihasilkan model sebesar 42,69 dan signifikan pada taraf 1 persen, sehingga secara keseluruhan model mampu menjelaskan keragaman variabel kemiskinan. Tabel 11 Hasil Estimasi Model Kemiskinan Variabel
Koefisien
Standart Error
t-Statistic
Elastisitas
Variabel Bebas : Log(HC) Const.
4,730
***
0,338
13,973
Log(KAP)
-1,585
***
0,175
-9,061
-1,585
Log(UN)
0,052
*
0,035
1,474
0,052
IGINI
0,387
0,763
0,507
0,001
Log(IHK)
0,403
0,095
4,222
0,403
***
Catatan : * Signifikan pada taraf 10%, ** Signifikan pada taraf 5%, *** Signifikan pada taraf 1%
Variabel yang memiliki pengaruh terbesar terhadap penurunan jumlah penduduk miskin adalah pertumbuhan pendapatan perkapita. Elastisitas kemiskinan terhadap pendapatan perkapita sebesar -1,585, artinya pertumbuhan pendapatan perkapita sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 1,585 persen ceteris paribus. beberapa
penelitian
sebelumnya
Hasil ini sejalan dengan temuan dari
yang
menyatakan
bahwa
pertumbuhan
pendapatan perkapita menjadi determinan terpenting bagi penurunan kemiskinan (Wodon, 1999; Bourguignon, 2004; Meng, et al., 2005; Nayyar, 2005; Hajiji, 2010). Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan level dan pertumbuhan pendapatan
perkapita
penduduk
secara
rata-rata,
termasuk
peningkatan
pendapatan pada kelompok penduduk berpendapatan rendah (miskin).
Oleh
karena itu, untuk tujuan pengentasan kemiskinan diperlukan pertumbuhan yang positif.
Hal yang perlu menjadi perhatian adalah kebijakan untuk mengejar
akselerasi pertumbuhan yang tinggi akan membawa pengaruh atau memiliki trade off berupa naiknya indeks harga atau inflasi dan meningkatnya ketidakmerataan
118
dalam distribusi pendapatan. Ketidakmerataan dalam distribusi akan meningkat karena alokasi kepemilikan faktor produksi yang berupa modal, lahan dan skill yang tidak merata. Kenaikan indeks harga maupun indeks ketimpangan akan mengurangi efektifitas pertumbuhan dalam pengentasan kemiskinan di Jawa Tengah. Berdasarkan hasil estimasi, besarnya elastisitas kemiskinan te indeks harga sebesar 0,403. Artinya, setiap kenaikan indeks harga atau inflasi sebesar 1 persen akan menaikkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,403 persen ceteris paribus. Meskipun pendapatan perkapita penduduk secara rata-rata meningkat, terjadinya inflasi akan menyebabkan daya beli menurun dan status miskin penduduk yang berada di sekitar garis kemiskinan menjadi sangat rentan dipengaruhi oleh tingkat perubahan harga. Hasil ini sejalan dengan temuan yang dilakukan oleh Nayyar (2005) dan Meng et. al (2005) yang menyatakan kenaikan indeks harga/inflasi terutama pada kelompok bahan pangan memiliki pengaruh positif dalam meningkatkan kemiskinan. Besarnya elastisitas kemiskinan terhadap pengangguran adalah 0,052, artinya kenaikan jumlah penganggur sebesar 1 persen akan berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah penduduk miskin sebesar 0,049 persen ceteris paribus. Relasi antara pengangguran dengan kemiskinan dapat dijelaskan melalui fenomena ketika banyak orang yang berstatus penganggur maka akan berhadapan dengan permasalahan keterbatasan keuangan/likuiditas akibat menurunnya pendapatan/upah yang diterima. Kondisi ini akan berdampak kepada pemenuhan kebutuhan dasar diri dan keluarganya, sehingga menjadi sangat rentan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan. Anak-anak dari rumah tangga tersebut akan sulit untuk mendapat pendidikan yang layak dan kondisi ini akan memengaruhi produktivitas dan daya saing dalam pasar tenaga kerja pada masa yang datang, Variabel indeks ketimpangan yang diukur dengan Gini rasio memiliki elastisitas sebesar 0,001.
Artinya, setiap kenaikan indeks ketimpangan
pendapatan sebesar 1 persen akan berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah penduduk miskin sebesar 0,001 persen ceteris paribus.
Meskipun demikian,
variabel indeks ketimpangan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan jumlah penduduk miskin pada taraf 10 persen.
119
Pada Bab Tinjauan Pustaka telah dijelaskan bahwa terdapat tiga kemungkinan dari perubahan distribusi pendapatan sebagai efek dari pertumbuhan. Pertama, bagian terbesar pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh penduduk yang tidak miskin dan hanya sebagian kecil sisanya dinikmati oleh penduduk yang miskin. Kemungkinan kedua, bagian terbesar dari pertumbuhan dinikmati oleh penduduk yang miskin, sedangkan sisanya dinikmati oleh penduduk yang tidak miskin. Ketiga, semua golongan penduduk menerima manfaat yang sama dari hasil pertumbuhan.
Ketiga kemungkinan tersebut akan membawa pengaruh yang
berbeda dalam pengentasan kemiskinan. Jika kemungkinan pertama dan ketiga yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi tetap akan mampu mengurangi kemiskinan, tetapi efektivitasnya menjadi jauh berkurang. Jika yang terjadi adalah kemungkinan kedua, maka secara efektif pertumbuhan yang dihasilkan akan mampu mengentaskan kemiskinan. Fenomena yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah adalah kemungkinan yang pertama yakni pertumbuhan meningkat dan bagian terbesar dari hasil pertumbuhan dinikmati oleh penduduk yang tidak miskin. Penduduk miskin hanya menikmati hasil pertumbuhan di bawah rata-rata. Hal ini terjadi karena pertumbuhan juga membawa pada meningkatnya ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan. Permasalahan ini tidak lepas dari lapangan usaha yang menjadi sumber pertumbuhan di Jawa Tengah adalah lapangan usaha/sektor perekonomian yang bersifat capital intensive terutama industri migas, sektor keuangan serta listrik, gas dan air bersih. Sementara itu, lapangan usaha/sektor yang bersifat labor intensive seperti sektor pertanian, perdagangan eceran dan jasa perorangan justru memiliki pertumbuhan yang jauh lebih lambat. Gambar 40 mengilustrasikan perubahan distribusi pengeluaran perkapita riil penduduk Jawa Tengah selama periode 2004 dan 2010.
Sumbu mendatar
menyatakan pengeluaran perkapita riil per bulan dalam satuan rupiah, sementara sumbu vertikal menyatakan fungsi sebaran atau density dari pengeluaran perkapita. Gambar bagian atas merupakan sebaran pendapatan perkapita pada tahun 2004 dan bagian bawah merupakan sebaran tahun 2010.
Secara rata-rata, pengeluaran
perkapita riil per bulan mengalami peningkatan dari Rp 174 ribu pada tahun 2004 menjadi Rp 251 ribu pada tahun 2010. Peningkatan pendapatan riil ini
120
mencerminkan efek pertumbuhan.
Efek pertumbuhan mampu mendorong
penurunan jumlah penduduk miskin selama dua periode yang diilustrasikan oleh berkurangnya luas area di sebelah kiri garis kemiskinan dan di bawah kurva density. Meskipun demikian, terdapat pola distribusi pendapatan selama dua periode justru bergeser ke arah kanan, artinya distribusi menjadi semakin tidak merata atau timpang. Jumlah penduduk miskin tetap mengalami penurunan dari 21,11 persen di tahun 2004 menjadi 16,56 persen pada tahun 2010, tetapi efektifitas dalam penurunannya menjadi berkurang akibat meningkatnya ketimpangan dalam
2.00e-06 4.00e-06 6.00e-06 8.00e-06
distribusi pendapatan.
0
Garis Kemiskinan Rata-rata Pengeluaran Perkapita
200000
400000
600000
800000
1000000
0
200000
400000
600000
800000
1000000
0
2.00e-06 4.00e-06 6.00e-06 8.00e-06
0
Pengeluaran Perkapita
Sumber : Diolah dari Susenas 2004 dan 2010, BPS Jawa Tengah
Gambar 41 Kurva Distribusi Penduduk menurut Pengeluaran Perkapita di Jawa Tengah Tahun 2004 dan 2010
5.5
Simulasi Kebijakan Simulasi merupakan salah satu tahapan dalam permodelan yang dapat
digunakan untuk mengkaji arah hubungan dan besarnya pengaruh dari perubahan variabel eksogen tertentu dalam model terhadap semua variabel endogen. Simulasi memiliki beberapa tujuan, yakni melakukan pengujian dan evaluasi terhadap model (expost), mengevaluasi kebijakan pada masa lampau (backasting) dan membuat peramalan pada masa datang (ex-ante).
121
5.5.1
Validasi Model Tahapan yang dilakukan sebelum melakukan simulasi adalah validasi
model. Validasi berguna untuk mengetahui daya prediksi model hasil estimasi atau sejauh mana hasil estimasi mampu menjelaskan kondisi yang sebenarnya. Model dikatakan valid untuk melakukan simulasi jika memenuhi semua atau sebagian dari kriteria Root Mean Square Percent Error (RMPSE) di bawah 100 persen, Theil’s Innequality Coeficient (U-Theil’s) mendekati 0 dan koefisien determinasi mendekati 1. Hasil validasi model secara ringkas disajikan dalam Tabel 12. Secara umum, keempat persamaan sudah memenuhi aspek kelayakan dan dapat digunakan untuk melakukan simulasi. Hal ini terlihat dari nilai RMPSE pada semua persamaan berkisar antara 0,028-0,216, artinya berada di bawah 100 persen. Nilai U-Theil’s dari semua persamaan juga sudah mendekati 0, tetapi dari validasi menggunakan koefisien determinasi menunjukkan belum semua persamaan memiliki nilai R2 di atas 80 persen. Persamaan ketimpangan (Gini rasio pendapatan) hanya memiliki koefisien determinasi di bawah 50 persen, artinya model hanya mampu menjelaskan keragaman variabel indeks ketimpangan sebesar 50 persen dan 50 persen yang lainnya dijelaskan oleh variabel lain di luar persamaan. Tabel 12 Hasil Validasi Variabel Endogen Pada Model Estimasi Validasi Model RMPSE (Root Mean Percent Squares Error)
U-Theil’s (Theil’s Inequality Coefficient)
R2 (Koefisien Determinasi)
KAP (Pendapatan Perkapita)
0,028
0,015
0,996
UN (Jumlah Penganggur)
0,216
0,099
0,881
IGINI (Gini Rasio Pendapatan)
0,114
0,051
0,496
HC (Jumlah Penduduk Miskin)
0,104
0,047
0,986
Variabel Endogen
Sumber: Hasil pengolahan
5.5.2
Dampak Kenaikan Belanja Pembangunan Analisis dampak kenaikan belanja pembangunan dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh kebijakan pemerintah melalui instrumen belanja pembangunan/modal terhadap pertumbuhan pendapatan perkapita,
122
pengangguran, ketimpangan dan kemiskinan di Jawa Tengah berdasarkan model yang telah dibangun. Simulasi dilakukan melalui dua skenario utama. Skenario pertama adalah meningkatkan pengeluaran belanja pembangunan di semua kabupaten/kota sebesar 22 persen (Sim-a). Skenario 22 persen didasarkan pada tren pertumbuhan belanja pembangunan per tahun selama periode 2004-2010 di Provinsi Jawa Tengah. Skenario yang kedua adalah meningkatkan proporsi atau rasio belanja pembangunan terhadap APBD di semua kabupaten/kota menjadi beberapa tingkatan, yakni 18 persen (Sim-b1), 20 persen (Sim-b2) dan 23 persen (Sim-b3). Nilai skenario 23 persen didasarkan atas rata-rata rasio belanja pembangunan terhadap APBD kabupaten/kota di level nasional selama tahun 2011. Sementara itu, nilai rasio sebesar 18 persen dan 20 persen digunakan sebagai simulasi pembanding. Sampai tahun 2010, rata-rata rasio belanja pembangunan terhadap APBD kabupaten/kota di Jawa Tengah masih sebesar 14,5 persen dan menempati peringkat kedua yang terendah secara nasional (Depkeu, 2011). Hasil simulasi menggunakan skenario kenaikan belanja pembangunan sebesar 22 persen (Sim-a) secara ringkas disajikan dalam Tabel 13. Simulasi ini menghasilkan nilai pendapatan perkapita sebesar Rp 4,78 juta atau meningkat 0,4 persen dari nilai dasar sebesar Rp 4,76 juta. Jumlah penganggur dan indeks ketimpangan mengalami penurunan masing-masing sebesar 0,58 persen dan 0,002 poin. Sementara itu, jumlah penduduk miskin turun 0,75 persen menjadi 5.696 ribu jiwa. Simulasi dengan skenario ini memberikan pengaruh yang sama di semua daerah berdasarkan klasifikasi pada tipologi Klassen (Lampiran 14). Tabel 13 Hasil Simulasi Peningkatan Belanja Pembangunan Sebesar 22 Persen Variabel
Keterangan
Dasar
Simulasi
Perubahan
4,76
4,78
0,40
KAP
Pendapatan Perkapita (Rp Juta)
UN
Jumlah Pengangguran (Jiwa)
849,29
844,38
-0,58
GINI
Indeks Ketimpangan
0,2842
0,2818
-0,002
HC
Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa)
5.739
5.696
-0,75
Sumber : Hasil Pengolahan
Hasil simulasi dengan meningkatkan proporsi belanja pembangunan terhadap APBD semua kabupaten/kota menjadi 18 persen (Sim-b1), 20 persen
123
(Sim-b2) dan 23 persen (Sim-b3) disajikan dalam Tabel 14.
Secara umum,
simulasi menjggunakan Sim-b1, Sim-b2 dan Sim-b3 menghasilkan respon yang lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan, maupun mengurangi pengangguran, ketimpangan dan kemiskinan dibandingkan dengan simulasi pertama (Sim-a). Tabel 14 Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APDB Kabupaten/Kota Sebesar 18 Persen, 20 Persen dan 23 Persen Tipe Daerah/Variabel Endogen
Data Dasar
Simulasi
Perubahan
Sim-b1
Sim-b2
Sim-b3
Sim-b1
Sim-b2
Sim-b3
Daerah Maju KAP UN GINI HC
9,39 129,65 0,3017 458,8
9,51 127,52 0,2962 449,7
9,53 127,12 0,2950 447,9
9,56 126,61 0,2933 445,6
1,33 -1,65 -0,006 -1,98
1,55 -1,95 -0,007 -2,37
1,83 -2,35 -0,008 -2,89
Daerah Tertekan KAP UN GINI HC
8,55 138,93 0,2940 607,9
8,66 135,99 0,2870 590,2
8,68 135,57 0,2858 587,9
8,71 135,02 0,2842 584,8
1,33 -2,12 -0,0070 -2,90
1,55 -2,42 -0,0082 -3,29
1,83 -2,81 -0,0099 -3,80
3,45 263,28 0,2746 2085,09
3,50 258,29 0,2673 2036,83
3,51 257,50 0,2661 2028,73
3,52 256,45 0,2644 2018,04
1,35 -1,90 -0,0073 -2,31
1,56 -2,20 -0,0085 -2,70
1,85 -2,59 -0,0101 -3,22
Daerah Berkembang KAP UN GINI HC
2,99 317,43 0,2790 2587,2
3,02 312,05 0,2718 2529,1
3,03 311,10 0,2706 2519,0
3,04 309,83 0,2689 2505,7
1,24 -1,69 -0,0072 -2,25
1,45 -1,99 -0,0084 -2,64
1,74 -2,39 -0,0100 -3,15
Jawa Tengah KAP UN GINI HC
4,76 849,29 0,2842 5739,0
4,83 833,85 0,2772 5605,9
4,84 831,29 0,2759 5583,6
4,85 827,91 0,2743 5554,2
1,31 -1,82 -0,0070 -2,32
1,53 -2,12 -0,0082 -2,71
1,81 -2,52 -0,0099 -3,22
Daerah Tertinggal KAP UN GINI HC
Sumber : Hasil Pengolahah Keterangan: Sim-b1 : Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan terrhadap APBD Kabupaten/Kota menjadi 18%. Sim-b2 : Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan terrhadap APBD Kabupaten/Kota menjadi 20% Sim-b3 : Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan terrhadap APBD Kabupaten/Kota menjadi 23%
. Pada level provinsi, simulasi dengan meningkatkan porsi belanja pembangunan sampai 23 persen (Sim-b1) merupakan skenario yang paling efektif. Skenario ini menghasilkan pendapatan perkapita sebesar Rp 4,85 juta atau tumbuh 1,81 persen. Jumlah penganggur, indeks ketimpangan maupun jumlah penduduk miskin juga menurun dengan perubahan masing-masing sebesar 2,52 persen, 0,0099 poin dan 3,22 persen. Sementara, Sim-b2 dan Sim-b3 juga menunjukkan hasil yang sama meskipun besarnya perubahan lebih kecil.
Sim-b1 menjadi
124
skenario yang paling realistis untuk diimplementasikan, karena tidak akan memengaruhi perubahan struktur pengeluaran/belanja pemerintah daerah secara frontal. Cara yang dapat ditempuh pemerintah daerah adalah dengan mengurangi porsi pengeluaran sifatnya rutin dan kurang manfaat seperti perjalanan dinas, rapat dan melakukan penghematan untuk anggaran operasional kantor serta mengalihkannya untuk belanja pembangunan. Hasil simulasi berdasarkan klasifikasi daerah dengan tipologi Klassen tahun 2010 menunjukkan bahwa Sim-b1, Sim-b2 dan Sim-b3 lebih efektif diterapkan untuk mengurangi kemiskinan pada daerah dengan kondisi perekonomian tertekan (Kuadran II) dan daerah tertinggal (Kuadran III). Hal ini terlihat dari efektivitas dalam menurunkan kemiskinan yang mampu berjalan lebih cepat dibandingkan dengan daerah maju (Kuadran I). Tabel 14 juga menunjukkan bahwa populasi penduduk miskin terbesar terdapat di daerah tertinggal (Kuadran III) dan berkembang (Kuadran IV), seperti Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Kebumen, Brebes, Pemalang, Blora, Wonogiri, Grobogan dan Rembang. Kebijakan pengentasan kemiskinan melalui peningkatan porsi belanja pembangunan seharusnya lebih diintensifkan di daerah-daerah tersebut dengan cara menambah alokasi pengeluaran pembangunan dari sumber APBD provinsi. 5.5.3
Dampak Kenaikan Stok Kapital/Investasi dan Indeks Harga Simulasi ini bertujuan untuk melihat pengaruh peningkatan stok kapital/
investasi (Sim-c) dan kenaikan indeks harga/inflasi (Sim-d) terhadap pertumbuhan pendapatan perkapita, jumlah penganggur, indeks ketimpangan dan jumlah penduduk miskin. Peningkatan stok kapital (Sim-c) didasarkan atas nilai tren investasi di level provinsi yang tumbuh sebesar 8 persen pertahun, sementara peningkatan indeks harga/inflasi (Sim-d) didasarkan pada inflasi tahunan 2011 di Jawa Tengah yang mencapai 2,68 persen. Hasil simulasi menggunakan kedua skenario disajikan dalam Tabel 15. Simulasi kenaikan investasi (Sim-c) memberikan pengaruh terhadap peningkatan pendapatan perkapita sebesar 0,74 persen dan mengurangi jumlah penganggur sebesar 1,44 persen. Dampak Sim-c terhadap indeks ketimpangan tidak terlalu
125
signifikan karena indeks ketimpangan hasil simulasi cenderung stabil atau tidak berbeda dengan kondisi dasar.
Sementara itu, skenario ini memiliki dampak
dalam menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,49 persen.
Simulasi
berdasarkan daerah menggunakan tipologi Klassen menunjukkan bahwa Sim-c memiliki dampak paling efektif dalam menurunkan kemiskinan di daerah yang termasuk dalam klasifikasi perekonomiannya maju dan tertekan atau daerah yang memiliki level pendapatan perkapita di atas rata-rata provinsi. Sementara itu, dampak bagi pengentasan kemiskinan di daerah yang termasuk dalam klasifikasi berkembang dan terbelakang relatif lebih kecil. Berdasarkan hasil tersebut, untuk tujuan akhir pengentasan kemiskinan maka kebijakan investasi harus lebih diarahkan ke daerah yang termasuk dalam kategori berkembang dan terbelakang. Tabel 15 Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Sebesar 8 Persen (Sim-c) dan Indeks Harga Sebesar 2,68 Persen (Sim-d) Tipe Daerah/Variabel Endogen
Simulasi
Perubahan
Data Dasar
Sim-c
Sim-d
Sim-c
Sim-d
Daerah Maju KAP UN GINI HC
9,39 129,65 0,3017 458,83
9,56 124,24 0,3020 453,33
9,39 129,65 0,3031 464,00
1,90 -4,18 0,0003 -1,20
0,00 0,00 0,0015 1,13
Daerah Tertekan KAP UN GINI HC
8,55 138,93 0,2940 607,89
8,59 136,37 0,2942 601,66
8,55 138,93 0,2955 614,74
0,51 -1,84 0,0002 -1,02
0,00 0,00 0,0015 1,13
Daerah Tertinggal KAP UN GINI HC
3,45 263,28 0,2746 2.085,09
3,46 261,29 0,2747 2.077,83
3,45 263,28 0,2760 2.108,61
0,22 -0,75 0,0001 -0,35
0,00 0,00 0,0015 1,13
Daerah Berkembang KAP UN GINI HC
2,99 317,43 0,2790 2.587,22
2,99 315,13 0,2791 2.577,93
2,99 317,43 0,2804 2.616,40
0,22 -0,72 0,0001 -0,36
0,00 0,00 0,0015 1,13
Jawa Tengah KAP UN GINI HC
4,76 849,29 0,2842 5.739,02
4,80 837,02 0,2841 5.710,75
4,76 849,29 0,2854 5.803,75
0,74 -1,44 0,0000 -0,49
0,00 0,00 0,0013 1,13
Sumber : Hasil Pengolahah Keterangan: Sim-c : Peningkatan Investasi Sebesar 8 Persen Sim-d : Peningkatan Indeks Harga/Inflasi Sebesar 2,68 Persen
126
Hasil simulasi berupa kenaikan indeks harga (Sim-d) sebesar 2,68 persen memberikan pengaruh terhadap positif dalam meningkatkan indeks ketimpangan dan jumlah penduduk miskin. Indeks ketimpangan meningkat sebesar 0,0013 poin, artinya ketika terjadi kenaikan harga/inflasi maka distribusi pendapatan/ pengeluaran penduduk akan bergeser semakin tidak merata. Kenaikan indeks harga sebesar 2,68 persen akan mendorong peningkatan penduduk miskin sebesar 1,13 persen di semua daerah. Implikasinya diperlukan kebijakan untuk menjaga stabilitas harga, terutama harga kebutuhan pokok dengan menjamin ketersediaan barang serta memperlancar alur distribusi.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil pembahasan
adalah: 1. Selama periode 2004-2010, pendapatan perkapita di level provinsi maupun kabupaten/kota memiliki tren positif dengan besaran yang bervariasi dan tidak terdapat korelasi yang sistematis antara level pendapatan perkapita kabupaten/kota pada kondisi awal dengan tren perubahannya.
Ketimpangan
pendapatan di level provinsi dan mayoritas kabupaten/kota memiliki tren meningkat atau distribusinya semakin tidak merata. Terdapat hubungan negatif yang lemah antara indeks ketimpangan kabupaten/kota pada kondisi awal dengan tren perubahannya. Tingkat kemiskinan pada level provinsi dan mayoritas kabupaten memiliki tren yang menurun, sementara pada beberapa daerah kota trennya justru meningkat. Terdapat hubungan negatif antara level kemiskinan kabupaten/kota pada kondisi awal dengan tren perubahannya. 2. Manfaat hasil pertumbuhan selama periode 2004-2010 secara dominan dinikmati oleh 10 persen penduduk pada golongan pendapatan tertinggi, sehingga pertumbuhan Jawa Tengah selama periode tersebut belum bersifat pro poor. 3. Pertumbuhan pendapatan perkapita menjadi determinan utama bagi penurunan jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah, namun efektivitasnya menjadi berkurang karena pertumbuhan juga membawa pada kondisi distribusi pendapatan yang semakin tidak merata.
Kenaikan indeks harga dan
peningkatan jumlah penganggur menjadi determinan yang mengurangi efektifitas kebijakan pengentasan kemiskinan.
Determinan
yang
menjadi
sumber pertumbuhan pendapatan perkapita di Jawa Tengah terdiri dari kualitas modal manusia yang diproksi dengan rata-rata usia lama sekolah, kualitas infrastruktur listrik dan transportasi yang diproksi dengan jalan raya, jumlah pekerja berpendidikan SLTA ke atas (terampil), kapital fisik/investasi dan
belanja
pembangunan.
Determinan
positif
pertumbuhan
jumlah
penganggur/pencari kerja adalah pertumbuhan angkatan kerja menurut
128
pendidikan (SLTA ke atas dan SLTP ke bawah), sementara determinan negatifnya adalah pertumbuhan pendapatan perkapita.
Upah minimum
kabupaten/kota tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penganggur. Ketimpangan pendapatan memiliki hubungan yang searah dengan pertumbuhan pendapatan perkapita, ketimpangan pendidikan dan perubahan indeks harga serta memiliki hubungan yang tidak searah dengan belanja pembangunan. 6.2
Saran dan Implikasi Kebijakan Beberapa saran dan implikasi kebijakan berdasarkan hasil penelitian
adalah sebagai berikut: 1. Pentingnya pertumbuhan pendapatan perkapita bagi pengentasan kemiskinan perlu
disikapi
pemerintah
dengan
kebijakan
mempertajam
kualitas
pertumbuhan melalui perbaikan infrastruktur, kualitas modal manusia dan kegiatan investasi, terutama di kabupaten yang perekonomiannya masih tertinggal dan belum berkembang. 2. Pengeluaran pemerintah untuk belanja pembangunan harus lebih diarahkan untuk perbaikan kualitas infrastruktur terutama di kabupaten yang termasuk kategori tertinggal dan daerah perdesaan melalui program pembangunan yang berbasis lokal/wilayah, bersifat padat karya dan memiliki tujuan akhir pengentasan kemiskinan.
Rasio pengeluaran pemerintah untuk belanja
pembangunan terhadap APBD secara bertahap harus ditingkatkan dengan cara mengurangi alokasi anggaran yang sifatnya rutin dan kurang bermanfaat. 3. Pertumbuhan yang tinggi juga membawa pada distribusi pendapatan ke arah yang semakin tidak merata. Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus dalam mengejar akselerasi pertumbuhan, tetapi juga fokus dalam memperbaiki distribusi pendapatan penduduk melalui kebijakan redistribusi yang lebih progresif. Efektivitas kebijakan transfer subsidi yang sedang/akan dilakukan harus dipertajam melalui evaluasi dan pengawasan terhadap mekanisme dan sasaran. 4. Pola kemiskinan dan ketimpangan di beberapa daerah berstatus kota yang cenderung meningkat harus diintervensi dengan meningkatkan efektivitas
129
program redistribusi baik dari sisi rumah tangga sasaran penerima maupun format program yang lebih bersifat pemberdayaan. Rumah tangga miskin sasaran pada umumnya bersifat persisten, mudah berpindah tempat atau belum tercakup dalam database satuan lingkungan setempat sehingga program penanggulangan kemiskinan harus dikoordinasi pada tingkatan birokrasi yang terendah (RT/RW) melibatkan unsur keterwakilan dari rumah tangga sasaran dan tokoh masyarakat. Kemiskinan kota juga sangat terkait dengan tingginya kepadatan penduduk, sehingga arus urbanisasi ke kota harus dikurangi dengan meningkatkan kualitas infrastruktur di daerah yang pinggiran/penyangga. 4. Kualitas pendidikan menjadi sumber pertumbuhan yang terpenting dan menjadi variabel antara bagi pengentaskan kemiskinan, namun dihadapkan pada realita masih terdapat ketimpangan dalam mengaksesnya. Kebijakan yang harus ditempuh pemerintah adalah memperluas kesempatan dan menjamin pemerataan bersekolah bagi penduduk usia sekolah dari rumah tangga berpendapatan rendah sampai level yang tertinggi. Cara yang dapat ditempuh berupa pemberian kuota tempat bagi siswa dari rumah tangga berpendapatan rendah/miskin untuk bersekolah secara gratis pada level pendidikan dasar dan menengah serta memberi beasiswa bagi siswa dari keluarga miskin yang berprestasi untuk tingkat pendidikan tinggi disertai dengan pengawasan secara ketat dalam implementasinya.
Ketimpangan
pendidikan antar daerah perkotaan dan perdesaan harus dikurangi dengan meningkatkan kualitas infrastruktur pendidikan dan menjamin ketersediaan tenaga pendidik di daerah perdesaan sampai level pendidikan dasar sembilan tahun. 5. Distribusi pendapatan dan kemiskinan sangat sensitif terhadap perubahan indeks harga, sehingga diperlukan kebijakan untuk menjamin stabilitas harga terutama harga kebutuhan dasar. Pada level regional, pemerintah daerah dapat melakukan intervensi dengan memperlancar alur distribusi dan transportasi barang, mengurangi retribusi/pungutan serta mengalokasikan sebagian dari APBD untuk membangun gudang sebagai sarana menyimpan hasil produksi pertanian terutama kebutuhan pokok pada saat panen raya sebagai stok
130
penyangga pada masa paceklik dan melakukan pembelian pada saat harga komoditas jatuh. 6.3
Saran Lebih Lanjut
1. Secara keseluruhan model dapat diperluas dengan memperpanjang unsur waktu (time series) serta memasukkan dummy kabupaten/kota atau dummy karakteristik geografis (pesisir/daratan). 2. Proksi
variabel
pertumbuhan
pendapatan
perkapita
menggunakan
pertumbuhan PDRB perkapita untuk beberapa daerah menjadi kurang tepat, sehingga dapat diproksi menggunakan alternatif lain seperti pertumbuhan pengeluaran perkapita dari data survei pengeluaran rumah tangga. 3. Model Pertumbuhan dapat diperluas dengan memasukkan variabel daya saing wilayah, pengaruh sektoral, keterbukaan perekonomian dan tata kelola pemerintahan.
Model ketimpangan dapat diperluas dengan memasukkan
variabel ketimpangan dalam kepemilikan aset lahan serta transfer program perlindungan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, T. 2006. Analisis Pengaruh Pembangunan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2009-2014. Jakarta: Bappenas. Baltagi, B.H. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data 3rd Edition. Chicester: John Wiley & Sons. Ltd. Barro, R. J.1991. “Economic Growth in a Cross Section of Countries”. Quarterly Journal of Economics 106(2): 407-433. Barro, R. J., Sala-I-Martin. 1995. Economic Growth. Cambridge MA: MIT Press. Barro, R.J. 1997. Determinants of Economic Growth.: A Cross-Country Empirical Study. Cambridge: MIT Press. Blanchard, O. 2009. Macroeconomics. New York: Prentice Hall Business Publishing Bourguignon, F. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Washington: World Bank. [BPS] Badan Pusat Statistik. Website BPS, Berbagai Publikasi. www.bps.go.id. . 2004. Indikator Ketenagakerjaan. Jakarta. . 2008. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2008. Jakarta .2009. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2009. Jakarta .2007-2011. Berita Resmi Statistik. Jakarta. . 2002-2010. Data dan Informasi Kemiskinan. BPS. Jakarta [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawah Tengah. 2004-2010. Daerah dalam Angka Provinsi Jawa Tengah. Semarang: BPS Provinsi Jawa Tengah. Dollar, D., Kraay, A. 2002. Growth is Good for the Poor. Washington: The World Bank Development Research Group. Dornbusch, R., Fischer, S., Startz, R. 2008. Makroeconoms Edisi 10 (Penerjemah: Roy Indra M.). Jakarta: PT Global Edukasi. Fan, S. P., Hazell, Thorat, S. 2002. Linkages between Government Spending, Growth, and Poverty in Rural India. Washington: International Food Policy Research Institute. Firdaus, M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. Cetakan Pertama. Bogor: IPB Press.
132 Gujarati D. N. 2004. Basic Econometrics 4th Edition. New York: McGraw Hill. Hajiji, A. 2010. Keterkaitan antara Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Pengentasan Kemiskinan Provinsi Riau 2002-2008. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hidayat, S., Patunru, A.A. 2007. Pertumbuhan Ekonomi, Ketidakmerataan Pendapatan dan Kemiskinan: Estimasi Parameter Elastisitas Kemiskinan Tingkat Provinsi di Indonesia Tahun 1996-2005. Jakarta: Universitas Indonesia. Juanda, B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press. Kakwani, N., Prakash, B., Son, H.H. 2000. Growth, inequality and poverty: an Introduction. Asian Development Review 18(2): 1-21. Kakwani, N. Khandker S., Son, H.H. 2004. Pro-Poor Growth: Concepts and Measurement with Country Case Studies. Brazil: United Nations Development Programme International Poverty Centre, Vol 1. [Kemenkeu] Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2011. Deskripsi dan Analisis APBD 2011. Jakarta: DJPK Kemenkeu. Kuznets, S. 1955. Economic Growth And Income Inequality. The American Economic Review. 45: 1-28. Lin, B.Q. 2003. Economic Growth, Income Inequality, and Poverty Reduction in People’s Republic of China. Asian Development Review (20):105-124. Lucas, R.E. 1988. On The Mechanics of Economic Development. Journal of Monetary Economics, Vol. 22(1):3-42. Mankiw, G.N. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam (Alih Bahasa Fitria Liza dan Imam Nurmawan). Jakarta: Erlangga. Meng, X., Gregory, R., Wong, Y. 2005. Poverty, Inequality and Growth in Urban China, Discussion Paper No. 1452. Bonn: The Institute For Study of Labor (IZA). Nayyar, G. 2005. Growth and Poverty in Rural India: An Analysis of Inter-State Differences. Economic and Political Weekly. 16(04): 1631-1639. Oshima, H. T. 1970. ‘Income Inequality and Economic Growth: The Postwar Experiences of Asian Countries’. Malayan Economic Review, 15(2): 13. Prasetyo, B.R. 2010. Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Purwanto, T. 2011. Dampak Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara Asean+3. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
133 Ravallion, M., Datt, G. 1996. How Important to India’s Poor is The Sectoral Composition of Growth?, World Bank Economic Review, 10. Ravallion, M. 2001. Growth, Inequality and Poverty: Looking Beyond the Averages. World Bank Policy Research Working Paper. Washington: World Bank. Ravallion, M., Montalvo, J.G. 2010. The Pattern of Growth and Poverty Reduction in China. Journal of Comparative Economics. 28 (2010): 2-16. Ray, D. 1998. Development Economics. New Jersey : Princeton University Press. Romer, P.M. 1986. Increasing Returns and Long-Run Growth. The Journal of Political Economy, Vol. 94(5):1002-1037. Setiadi. 2006. Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Dasar terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional (8 Propinsi di Pulau Sumatera). [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sibarani, M.H.M. 2002. Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. Siregar, H.,Wahyuniarti, D. 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Son, H.H. 2004. A Note on Pro-Poor Growth. Economic Letters. 8(04) 307-314. Suparno. 2010. Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian di Indonesia. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Todaro, M.P. Smith, S.C. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan. (Alih Bahasa oleh Haris Munandar dan Puji A.L.). Jakarta: Erlangga. [UNDP] United Nations Development Program. 1996. Human Development Report. UNDP. [UNDP] United Nations Development Program. 2003. Human Development Report: Millenium Development Goals. UNDP. Warr, P. 2000. Poverty and Growth in South East Asia. Asian Economic Bulletin. 23(3): 279-302. Wodon, Q.T. 1999. Growth, Poverty, and Inequality: A Regional Panel for Bangladesh. Policy Research Working Paper 2072. Washington: World Bank. Yanuar. 2006. Kaitan Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Output serta Dampaknya terhadap Kesenjangan di Indonesia. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor
134
LAMPIRAN
135
Lampiran 1 PDRB Perkapita Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010
No.
PDRB Perkapita Riil (Rp Juta/Tahun)1)
Kabupaten/Kota 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
11,17
12,01
12,60
12,91
13,67
13,86
14,46
1
Cilacap
2
Banyumas
2,32
2,38
2,47
2,59
2,71
2,84
2,99
3
Purbalingga
2,26
2,34
2,44
2,57
2,69
2,83
2,98
4
Banjarnegara
2,56
2,66
2,76
2,89
3,03
3,18
3,32
5
Kebumen
1,95
2,02
2,11
2,20
2,34
2,43
2,54
6
Purworejo
3,13
3,29
3,47
3,70
3,91
4,12
4,34
7
Wonosobo
2,03
2,09
2,16
2,23
2,31
2,40
2,50
8
Magelang
2,72
2,83
2,95
3,08
3,22
3,35
3,48
9
Boyolali
3,62
3,76
3,90
4,05
4,21
4,41
4,57
10
Klaten
3,53
3,69
3,77
3,89
4,04
4,21
4,29
11
Sukoharjo
4,72
4,89
5,09
5,33
5,56
5,80
6,04
12
Wonogiri
2,44
2,55
2,67
2,82
2,95
3,11
3,22
13
Karanganyar
5,05
5,29
5,53
5,81
6,09
6,39
6,70
14
Sragen
2,57
2,71
2,85
3,01
3,18
3,37
3,58
15
Grobogan
1,90
1,99
2,06
2,15
2,26
2,37
2,49
16
Blora
2,01
2,09
2,18
2,26
2,39
2,51
2,63
17
Rembang
3,06
3,15
3,31
3,42
3,57
3,71
3,86
18
Pati
2,96
3,06
3,19
3,35
3,51
3,67
3,85
19
Kudus
13,81
14,29
14,47
14,82
15,27
15,74
16,27
20
Jepara
3,19
3,28
3,38
3,50
3,62
3,76
3,89
21
Demak
2,35
2,42
2,50
2,59
2,67
2,76
2,86
22
Semarang
4,95
5,05
5,19
5,38
5,56
5,74
5,97
23
Temanggung
2,80
2,89
2,97
3,07
3,16
3,28
3,40
24
Kendal
4,75
4,85
5,01
5,20
5,40
5,68
5,99
25
Batang
2,80
2,86
2,92
3,01
3,10
3,20
3,34
26
Pekalongan
3,05
3,16
3,28
3,41
3,56
3,71
3,85
27
Pemalang
2,09
2,17
2,26
2,36
2,48
2,61
2,74
28
Tegal
1,92
2,01
2,11
2,23
2,35
2,48
2,60
29
Brebes
2,40
2,52
2,63
2,76
2,89
3,03
3,18
30
Kota Magelang
7,09
7,40
7,58
7,98
8,39
8,83
9,38
31
Kota Surakarta
7,37
7,74
8,16
8,63
9,11
9,65
10,22
32
Kota Salatiga
4,33
4,46
4,60
4,80
4,98
5,15
5,36
33
Kota Semarang
10,69
11,09
11,57
12,10
12,62
13,12
13,73
34
Kota Pekalongan
6,02
6,22
6,37
6,57
6,78
7,06
7,42
35
Kota Tegal
4,01
4,20
4,41
4,64
4,87
5,12
5,35
Jawa Tengah
4,28
4,49
4,71
4,96
5,22
5,47
5,77
Keterangan : 1) Data jumlah penduduk menggunakan backcasting SP 2010 Sumber : Dihitung dari PDRB Kabupaten/Kota Jawa Tengah 2004-2010, BPS
136
Lampiran 2 Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 (Persen) Tingkat Kesempatan Kerja (TKK)
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Kabupaten/Kota 2004 2005 2006 2007 2008 2009
2010
1. Cilacap
89,22 89,75 85,68 90,51 91,16 93,37
91,40 10,78 10,25
9,68
9,49
8,84
6,63
8,60
2. Banyumas
94,68 95,04 91,82 93,15 94,32 95,46
97,24
5,32
4,96
8,25
6,85
5,68
4,54
2,76
3. Purbalingga
95,19 96,14 92,17 92,63 95,46 94,32
94,83
4,81
3,86
4,26
7,37
4,54
5,68
5,17
4. Banjarnegara
92,03 93,57 91,20 92,18 95,12 95,75
96,94
7,97
6,43
6,07
7,82
4,88
4,25
3,06
5. Kebumen
93,81 94,04 88,67 95,35 93,36 95,34
94,80
6,19
5,96
9,39
4,65
6,64
4,66
5,20
6. Purworejo
96,50 95,95 95,61 96,18 95,58 94,00
94,94
3,50
4,05
4,23
3,82
4,42
6,00
5,06
7. Wonosobo
96,82 97,26 95,75 96,02 95,43 95,76
96,05
3,18
2,74
3,11
3,98
4,57
4,24
3,95
8. Magelang
93,51 93,92 94,32 96,23 94,81 95,19
94,96
6,49
6,08
6,16
3,77
5,19
4,81
5,04
9. Boyolali
92,90 94,90 92,92 95,87 92,55 95,88
95,02
7,10
5,10
4,18
4,13
7,45
4,12
4,98
10. Klaten
91,55 95,58 92,27 92,48 93,87 93,60
95,43
8,45
4,42
8,20
7,52
6,13
6,40
4,57
11. Sukoharjo
89,65 92,34 89,60 93,44 94,85 94,45
94,84 10,35
7,66
7,61
6,56
5,15
5,55
5,16
12. Wonogiri
93,39 93,77 88,38 94,03 91,90 91,60
95,48
6,61
6,23
4,62
5,97
8,10
8,40
4,52
13. Karanganyar
93,63 94,66 94,14 94,76 93,63 95,62
95,86
6,37
5,34
5,80
5,24
6,37
4,38
4,14
14. Sragen
94,40 95,76 87,41 92,50 91,25 93,35
93,53
5,60
4,24
3,75
7,50
8,75
6,65
6,47
15. Grobogan
93,84 96,64 91,29 91,67 94,61 95,23
94,75
6,16
3,36
4,93
8,33
5,39
4,77
5,25
16. Blora
95,78 97,08 84,42 95,67 96,25 96,61
97,32
4,22
2,92
3,49
4,33
3,75
3,39
2,68
17. Rembang
93,89 94,21 87,21 92,24 92,85 95,13
95,04
6,11
5,79
7,19
7,76
7,15
4,87
4,96
18. Pati
94,52 95,91 87,18 93,19 92,28 92,88
93,08
5,48
4,09
7,79
6,81
7,72
7,12
6,92
19. Kudus
92,29 94,80 95,79 94,92 95,20 93,45
94,62
7,71
5,20
4,93
5,08
4,80
6,55
5,38
20. Jepara
95,11 95,87 90,82 96,57 93,98 94,26
96,74
4,89
4,13
2,91
3,43
6,02
5,74
3,26
21. Demak
89,50 93,75 89,69 94,36 93,68 95,52
95,30 10,50
6,25
6,22
5,64
6,32
4,48
4,70
22. Semarang
95,13 95,17 92,96 94,43 92,61 93,93
94,70
4,87
4,83
5,46
5,57
7,39
6,07
5,30
23. Temanggung
96,16 96,51 94,27 96,59 96,49 98,28
96,02
3,84
3,49
4,43
3,41
3,51
1,72
3,98
24. Kendal
91,75 95,35 88,38 91,55 92,56 93,19
93,95
8,25
4,65
7,66
8,45
7,44
6,81
6,05
25. Batang
89,55 93,15 86,34 94,41 92,38 93,85
94,97 10,45
6,85
8,48
5,59
7,62
6,15
5,03
26. Pekalongan
92,80 94,33 90,57 95,04 94,97 95,52
96,13
7,20
5,67
6,71
4,96
5,03
4,48
3,87
27. Pemalang
92,11 93,59 87,56 92,27 93,78 92,71
95,07
7,89
6,41 10,78
7,73
6,22
7,29
4,93
28. Tegal
91,16 92,56 89,13 92,43 90,65 92,72
93,71
8,84
7,44
8,68
7,57
9,35
7,28
6,29
29. Brebes
92,25 93,31 87,81 90,42 90,19 92,10
94,54
7,75
6,69 10,57
9,58
9,81
7,90
5,46
30. Kota Magelang
89,98 86,75 97,46 94,49 93,15 90,91
92,94 10,02 13,25
9,83
5,51
6,85
9,09
7,06
31. Kota Surakarta
91,63 92,80 96,56 93,26 94,90 94,81
94,84
9,95
6,74
5,10
5,19
5,16
32. Kota Salatiga
85,87 88,51 92,90 91,91 92,10 92,58
92,75 14,13 11,49 14,13
8,09
7,90
7,42
7,25
33. Kota Semarang
87,74 90,61 97,64 91,60 93,60 93,66
94,33 12,26
9,39 10,63
8,40
6,40
6,34
5,67
34. Kota Pekalongan
88,08 87,67 93,59 91,05 91,59 92,13
93,09 11,92 12,33 10,89
8,95
8,41
7,87
6,91
35. Kota Tegal
89,27 90,00 92,68 84,68 91,77 91,89
91,61 10,73 10,00
8,48 15,32
8,23
8,11
8,39
Jawa Tengah
92,69 94,18 90,67 93,44 93,47 94,23
94,89
6,96
6,53
5,77
5,11
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, Beberapa Terbitan
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
8,37
7,31
7,20
5,82
6,56
137
Lampiran 3 Indeks Ketimpangan Pendapatan Penduduk Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) No.
Kabupaten/Kota 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
1
Cilacap
0,2468
0,3072
0,2754
0,2864
0,2625
0,2874
0,2686
2
Banyumas
0,3000
0,2581
0,3070
0,2607
0,3657
0,3385
0,3588
3
Purbalingga
0,2665
0,2860
0,3011
0,2868
0,2696
0,2852
0,2547
4
Banjarnegara
0,2280
0,2759
0,2377
0,2775
0,2989
0,2697
0,2752
5
Kebumen
0,2090
0,2448
0,2563
0,2493
0,2793
0,2529
0,2460
6
Purworejo
0,2558
0,3015
0,2819
0,2431
0,2961
0,3016
0,3117
7
Wonosobo
0,2597
0,2796
0,2551
0,2364
0,3176
0,2572
0,2672
8
Magelang
0,2214
0,3164
0,2632
0,2857
0,3143
0,2731
0,2661
9
Boyolali
0,2367
0,2982
0,2683
0,1802
0,3030
0,2813
0,2896
10
Klaten
0,2666
0,3282
0,2470
0,2141
0,3026
0,2523
0,2743
11
Sukoharjo
0,2493
0,2925
0,2252
0,1922
0,2579
0,2682
0,3186
12
Wonogiri
0,2549
0,2925
0,2490
0,2657
0,3175
0,3054
0,3098
13
Karanganyar
0,2605
0,2837
0,2715
0,1903
0,3455
0,3235
0,3063
14
Sragen
0,2411
0,2822
0,2810
0,2850
0,3114
0,2621
0,2951
15
Grobogan
0,2467
0,2374
0,2290
0,2340
0,2790
0,2522
0,2991
16
Blora
0,2115
0,2649
0,2693
0,2818
0,3487
0,2671
0,2773
17
Rembang
0,2114
0,2187
0,2145
0,2179
0,3343
0,2331
0,2172
18
Pati
0,2061
0,2270
0,2056
0,2296
0,2918
0,2818
0,2657
19
Kudus
0,1934
0,2232
0,2023
0,2566
0,2431
0,2681
0,2657
20
Jepara
0,2237
0,2310
0,2217
0,2455
0,2821
0,2359
0,2224
21
Demak
0,2568
0,3220
0,2789
0,2526
0,2727
0,2417
0,2592
22
Semarang
0,2506
0,2579
0,2908
0,2105
0,3122
0,2768
0,2975
23
Temanggung
0,2776
0,2916
0,3413
0,2567
0,2925
0,2862
0,2925
24
Kendal
0,2363
0,2844
0,2657
0,2104
0,2805
0,2965
0,2892
25
Batang
0,2581
0,2698
0,2464
0,1785
0,3008
0,2822
0,2975
26
Pekalongan
0,2248
0,2460
0,2502
0,2378
0,2656
0,2243
0,2508
27
Pemalang
0,2460
0,2455
0,2527
0,2393
0,2290
0,2396
0,2241
28
Tegal
0,2828
0,2877
0,2256
0,2028
0,2775
0,2817
0,3185
29
Brebes
0,2208
0,2796
0,2318
0,2300
0,2740
0,2492
0,2503
30
Kota Magelang
0,3358
0,3324
0,2708
0,2934
0,2792
0,2994
0,3329
31
Kota Surakarta
0,3275
0,3312
0,3183
0,2310
0,3154
0,2893
0,3653
32
Kota Salatiga
0,3132
0,3480
0,3127
0,3323
0,3536
0,3125
0,3752
33
Kota Semarang
0,2749
0,3348
0,3239
0,3435
0,3042
0,3923
0,3463
34
Kota Pekalongan
0,2041
0,2957
0,2576
0,3009
0,2539
0,2702
0,3020
35
Kota Tegal
0,2630
0,2760
0,2655
0,2519
0,3065
0,2626
0,2577
Jawa Tengah
0,2691
0,3007
0,2816
0,2678
0,3153
0,2996
0,3087
Sumber : Diolah dari raw data Susenas Kor 2004-2010, BPS
138
Lampiran 4
Indeks Ketimpangan Pendidikan di Jawa Tengah menurut Kabupaten/ Kota, 2004-2010 Indeks Ketimpangan Pendidikan (Gini Rasio)
No.
Kabupaten/Kota 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
1
Cilacap
0,3050
0,3072
0,3317
0,3228
0,3564
0,3201
0,3241
2
Banyumas
0,3091
0,2581
0,3056
0,2878
0,3320
0,2948
0,3117
3
Purbalingga
0,2995
0,2860
0,2998
0,3158
0,3476
0,2992
0,2920
4
Banjarnegara
0,3272
0,2759
0,3033
0,3256
0,3579
0,3227
0,3305
5
Kebumen
0,3087
0,2448
0,3106
0,3062
0,3411
0,2876
0,3062
6
Purworejo
0,3213
0,3015
0,3021
0,3110
0,3212
0,2787
0,3095
7
Wonosobo
0,2909
0,2796
0,2867
0,2907
0,3465
0,2734
0,2978
8
Magelang
0,3030
0,3164
0,2916
0,3132
0,3279
0,3014
0,3228
9
Boyolali
0,3292
0,2982
0,3419
0,3660
0,3903
0,3417
0,3563
10
Klaten
0,3401
0,3282
0,3154
0,3384
0,3322
0,2972
0,3310
11
Sukoharjo
0,3252
0,2925
0,3104
0,3309
0,3145
0,2812
0,3308
12
Wonogiri
0,3708
0,2705
0,3553
0,3986
0,4256
0,3723
0,3811
13
Karanganyar
0,3524
0,2832
0,3555
0,3717
0,3660
0,3317
0,3292
14
Sragen
0,4282
0,2847
0,4118
0,4152
0,4402
0,3446
0,3000
15
Grobogan
0,3075
0,2416
0,2772
0,3151
0,3575
0,3064
0,2921
16
Blora
0,3554
0,2628
0,3692
0,3822
0,4151
0,3694
0,3963
17
Rembang
0,3170
0,2204
0,3101
0,3205
0,3417
0,2968
0,3086
18
Pati
0,3511
0,2297
0,3207
0,3589
0,3841
0,3634
0,3532
19
Kudus
0,2818
0,2254
0,2727
0,2989
0,2892
0,2719
0,3028
20
Jepara
0,3144
0,2325
0,3158
0,2910
0,3196
0,2878
0,3131
21
Demak
0,3016
0,3225
0,2988
0,3103
0,3410
0,3059
0,2742
22
Semarang
0,2971
0,2554
0,3112
0,3105
0,3169
0,2919
0,2922
23
Temanggung
0,2709
0,2874
0,2634
0,2752
0,3223
0,2709
0,2876
24
Kendal
0,3235
0,2843
0,3326
0,3601
0,3615
0,3168
0,3385
25
Batang
0,3373
0,2701
0,3087
0,3427
0,3793
0,3134
0,3250
26
Pekalongan
0,3290
0,2492
0,3067
0,3345
0,3507
0,2946
0,3103
27
Pemalang
0,3505
0,2465
0,3284
0,3555
0,3882
0,3191
0,3259
28
Tegal
0,3561
0,2857
0,3620
0,3647
0,3773
0,3573
0,3576
29
Brebes
0,4057
0,2870
0,3586
0,3868
0,4125
0,3769
0,3970
30
Kota Magelang
0,2364
0,3352
0,2063
0,2229
0,2245
0,2052
0,2276
31
Kota Surakarta
0,2146
0,3296
0,2061
0,2392
0,2180
0,2213
0,2451
32
Kota Salatiga
0,2471
0,3515
0,2510
0,2506
0,2660
0,2363
0,2667
33
Kota Semarang
0,2282
0,3348
0,2182
0,2407
0,2434
0,2398
0,2607
34
Kota Pekalongan
0,2391
0,2918
0,2534
0,2568
0,2698
0,2551
0,2582
35
Kota Tegal
0,2858
0,2806
0,2774
0,2842
0,2924
0,2823
0,3144
Jawa Tengah
0,3314
0,3287
0,3220
0,3361
0,3570
0,3185
0,3284
Sumber : Diolah dari raw data Susenas Kor 2004-2010, BPS
139
Lampiran 5 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota, 2004-2010 Jumlah Penduduk Miskin (000 Jiwa)
Persentase Penduduk Miskin
Kabupaten/Kota 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010 2004 2005
2006
2007 2008
2009 2010
1
Cilacap
346,24 361,00 402,06 363,65 343,89 318,75 297,24 20,90 22,25 24,93
22,59 21,40 19,88 18,11
2
Banyumas
325,25 326,80 362,22 332,98 340,65 319,85 314,21 21,47 22,02 24,44
22,46 22,93 21,52 20,20
3
Purbalingga
266,51 250,60 262,94 246,26 221,92 205,01 208,95 31,20 29,95 32,38
30,24 27,12 24,97 24,58
4
Banjarnegara
240,25 239,50 251,33 232,92 200,61 184,02 166,71 26,91 27,35 29,40
27,18 23,34 21,36 19,17
5
Kebumen
371,54 349,30 388,74 362,38 334,87 309,61 263,10 30,95 29,83 32,49
30,25 27,87 25,73 22,70
6
Purworejo
167,08 157,10 162,30 146,00 130,04 121,39 115,32 23,51 22,77 22,75
20,49 18,22 17,02 16,61
7
Wonosobo
254,65 239,40 257,49 241,39 207,54 194,02 174,78 33,15 31,68 34,43
32,29 27,72 25,91 23,15
8
Magelang
185,83 174,70 199,05 200,09 190,82 176,49 167,25 16,10 15,42 17,36
17,37 16,49 15,19 14,14
9
Boyolali
172,25 162,00 184,58 167,01 158,36 148,24 127,85 18,47 17,75 20,00
18,06 17,08 15,96 13,72
10 Klaten
263,90 248,10 257,42 249,11 243,07 220,18 197,44 23,38 22,48 22,99
22,27 21,72 19,68 17,47
11 Sukoharjo
118,07 111,00 126,47 113,77
90,22 14,38 13,67 15,63
14,02 12,13 11,51 10,94
12 Wonogiri
246,06 246,80 262,94 237,40 201,06 184,88 145,56 24,43 25,21 27,01
24,44 20,71 19,08 15,67
13 Karanganyar
132,58 130,40 148,58 138,87 125,94 118,79 113,81 16,14 16,14 18,69
17,39 15,68 14,73 13,98
14 Sragen
225,12 204,20 201,94 180,70 177,11 167,30 149,76 26,06 24,28 23,72
21,24 20,83 19,70 17,49
15 Grobogan
385,06 362,10 361,86 330,40 261,95 247,47 233,78 29,30 28,00 27,60
25,14 19,84 18,68 17,86
16 Blora
191,24 177,10 197,62 176,80 155,06 145,95 134,99 22,97 21,73 23,95
21,46 18,79 17,70 16,27
17 Rembang
186,25 175,10 188,47 174,30 154,75 147,15 138,57 32,00 30,72 33,20
30,71 27,21 25,86 23,40
18 Pati
247,87 233,00 256,54 228,80 207,24 184,05 172,45 20,67 19,82 22,14
19,79 17,90 15,92 14,48
19 Kudus
85,50
80,40
91,61
82,41
99,09
97,81
94,45
84,86
70,22 11,44 10,93 12,05 9,88 10,39 11,75
10,73 12,58 10,80 10,44 11,05
9,01
20 Jepara
104,04 108,50 123,62 111,21 119,21 104,74 111,87
9,60 10,18
21 Demak
260,56 245,00 263,50 238,90 217,15 202,24 198,92 24,94 23,60 26,03
23,50 21,24 19,70 18,76
22 Semarang
121,25 114,00 120,68 110,13 102,46
96,72
97,92 13,68 13,16 13,62
12,34 11,37 10,66 10,50
23 Temanggung
107,25 100,80 114,85 115,05 114,68 105,83
95,38 15,22 14,50 16,62
16,55 16,39 15,05 13,46
24 Kendal
185,52 174,40 198,71 192,70 168,22 152,43 130,42 20,87 20,06 21,59
20,70 17,87 16,02 14,47
25 Batang
133,31 125,30 134,44 139,85 121,95 112,17 103,64 19,01 18,15 19,99
20,79 18,08 16,61 14,67
26 Pekalongan
181,11 170,30 189,97 170,00 164,31 151,63 136,62 21,50 20,47 22,80
20,31 19,52 17,93 16,29
27 Pemalang
299,09 300,20 338,21 307,10 325,15 303,73 251,88 22,31 22,59 25,30
22,79 23,92 22,17 19,96
28 Tegal
297,18 279,40 289,67 258,60 220,74 195,46 182,54 20,53 19,60 20,71
18,50 15,78 13,98 13,11
29 Brebes
519,59 488,60 533,11 492,20 459,32 432,40 398,81 29,10 27,79 30,36
27,93 25,98 24,39 23,01
30 Kota Magelang
17,44
16,40
14,47
13,01
14,87
13,65
12,43 14,01 12,94 11,19
10,01 11,16 10,11 10,51
31 Kota Surakarta
69,46
69,10
77,56
69,77
83,36
77,97
69,88 13,72 13,34 15,21
13,64 16,13 14,99 13,96
32 Kota Salatiga
16,04
15,00
15,16
15,59
14,95
14,05
14,20
9,68
8,81
8,90
9,01
8,47
7,82
8,28
33 Kota Semarang
78,98
58,70
77,83
77,64
89,62
73,14
79,75
5,60
4,22
5,33
5,26
6,00
4,84
5,12
34 Kota Pekalongan
18,64
17,50
19,94
17,94
27,99
23,34
26,44
6,81
6,37
7,38
6,62 10,29
8,56
9,36
35 Kota Tegal
23,06
21,70
24,72
22,24
26,79
23,43
25,73
9,49
8,96 10,40
9,36 11,28
9,88 10,62
6.844
6.534
7.101
6.557
6.123
5.655
5.219 21,11 20,49 22,19
Jawa Tengah
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, Beberapa Terbitan.
20,43 18,99 17,48 16,11
140
Lampiran 6 Rata-rata Usia Lama Sekolah Penduduk Berusia Produktif di Jawa Tengah menurut Kabupaten/ Kota, 2004-2010 Rata-rata Usia Lama Sekolah (Tahun) No.
Kabupaten/Kota 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
1
Cilacap
6,42
6,50
6,60
6,60
6,60
6,72
6,85
2
Banyumas
6,89
6,90
7,00
7,49
7,49
7,72
7,73
3
Purbalingga
5,89
6,02
6,10
6,46
6,46
6,81
7,18
4
Banjarnegara
5,70
5,79
5,80
5,98
5,98
6,20
6,33
5
Kebumen
6,44
6,49
6,50
6,65
6,65
6,84
6,87
6
Purworejo
6,86
7,02
7,30
7,30
7,30
7,70
7,75
7
Wonosobo
5,63
5,71
6,00
6,11
6,11
6,27
6,27
8
Magelang
6,61
6,74
7,10
7,10
7,10
7,26
7,26
9
Boyolali
6,88
7,09
7,10
7,10
7,10
7,29
7,37
10
Klaten
7,51
7,67
7,70
7,70
7,75
7,93
8,27
11
Sukoharjo
7,67
7,80
8,10
8,10
8,15
8,36
8,36
12
Wonogiri
5,86
6,05
6,10
6,10
6,10
6,29
6,32
13
Karanganyar
6,89
7,04
7,00
7,00
7,05
7,17
7,39
14
Sragen
5,76
5,91
6,40
6,40
6,50
6,88
6,99
15
Grobogan
6,10
6,21
6,60
6,60
6,60
6,76
6,76
16
Blora
5,71
5,86
6,02
6,02
6,02
6,25
6,25
17
Rembang
5,82
5,92
6,20
6,60
6,65
6,85
6,85
18
Pati
6,24
6,36
6,80
6,80
6,80
6,95
6,95
19
Kudus
7,07
7,25
7,80
7,80
7,80
8,11
8,11
20
Jepara
6,75
6,91
6,90
7,22
7,22
7,40
7,40
21
Demak
6,50
6,63
7,00
7,00
7,00
7,26
7,59
22
Semarang
6,83
6,98
7,10
7,10
7,15
7,40
7,75
23
Temanggung
6,39
6,53
6,70
6,70
6,70
6,86
7,01
24
Kendal
6,41
6,60
6,69
6,69
6,69
6,90
6,91
25
Batang
5,61
5,77
5,80
5,97
6,02
6,34
6,71
26
Pekalongan
5,86
6,00
6,50
6,50
6,50
6,66
6,66
27
Pemalang
5,57
5,76
6,10
6,10
6,10
6,49
6,49
28
Tegal
5,95
6,20
6,20
6,20
6,24
6,42
6,56
29
Brebes
4,84
4,89
5,50
5,50
5,50
5,62
5,70
30
Kota Magelang
9,80
9,95
10,00
10,00
10,00
10,10
10,21
31
Kota Surakarta
9,74
9,83
10,00
10,00
10,15
10,32
10,32
32
Kota Salatiga
9,24
9,50
9,50
9,50
9,50
9,75
9,94
33
Kota Semarang
9,43
9,58
9,80
9,80
9,80
9,98
9,98
34
Kota Pekalongan
8,19
8,30
8,30
8,52
8,52
8,66
8,66
35
Kota Tegal
7,75
7,80
7,80
8,06
8,06
8,25
8,25
Jawa Tengah
6,54
6,64
6,80
6,80
6,86
7,07
7,24
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, Beberapa Terbitan.
141
Lampiran 7
Posisi Kuadran Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Berdasarkan Tipologi Klassen, 2004-2010
Kabupaten/Kota
Posisi Kuadran 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
I
I
I
II
I
II
II
1.
Cilacap
2.
Banyumas
III
III
IV
IV
IV
IV
IV
3.
Purbalingga
III
III
IV
IV
IV
IV
IV
4.
Banjarnegara
III
III
IV
IV
IV
IV
IV
5.
Kebumen
III
III
IV
IV
IV
III
III
6.
Purworejo
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
7.
Wonosobo
III
III
III
III
III
III
III
8.
Magelang
III
III
IV
IV
III
III
III
9.
Boyolali
III
III
IV
III
III
IV
III
10.
Klaten
IV
IV
III
III
III
IV
III
11.
Sukoharjo
II
II
I
I
II
I
II
12.
Wonogiri
IV
IV
IV
IV
IV
IV
III
13.
Karanganyar
I
I
I
I
I
I
I
14.
Sragen
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
15.
Grobogan
III
IV
IV
IV
IV
IV
IV
16.
Blora
III
III
IV
III
IV
IV
IV
17.
Rembang
III
III
IV
III
III
III
III
18.
Pati
III
III
IV
IV
IV
IV
IV
19.
Kudus
I
II
II
II
II
II
II
20.
Jepara
III
III
III
III
III
III
III
21.
Demak
III
III
III
III
III
III
III
22.
Semarang
II
II
II
II
II
II
II
23.
Temanggung
III
III
III
III
III
III
III
24.
Kendal
II
II
II
II
II
I
I
25.
Batang
III
III
III
III
III
III
III
26.
Pekalongan
III
III
IV
IV
III
III
III
27.
Pemalang
III
IV
IV
IV
IV
IV
IV
28.
Tegal
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
29.
Brebes
IV
IV
IV
IV
IV
IV
IV
30.
Kota Magelang
II
I
II
I
I
I
I
31.
Kota Surakarta
I
I
I
I
I
I
I
32.
Kota Salatiga
II
II
II
I
II
II
II
33.
Kota Semarang
II
II
I
I
II
II
I
34.
Kota Pekalongan
II
II
II
II
II
I
I
35.
Kota Tegal
IV
IV
I
I
I
I
I
Keterangan :
Kuadran I = Daerah Maju Kuadran III = Daerah Terbelakang
Kuadran II = Daerah Maju tetapi Tertekan Kuadran IV = Daerah Berkembang
142
Lampiran 8
Identifikasi Persamaan Struktural dengan Order Condition
Persamaan
K
M
G
K-M
G-1
Hasil Identifikasi
1. Pertumbuhan
16
8
4
8
3
Over Identified
2. Pengangguran
16
4
4
12
3
Over Identified
3. Ketimpangan
16
4
4
12
3
Over Identified
4. Kemiskinan
16
4
4
12
3
Over Identified
Lampiran 9
Hasil Estimasi Model Pertumbuhan
Dependent Variable: LOG(KAP) Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects) Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245 Swamy and Arora estimator of component variances Instrument list: C LOG(KERJA_S) LOG(KERJA_A) LOG(MYS1) INV LOG(LIST) LOG(JLN) LOG(PUB) LOG(AK_S) LOG(AK_S) LOG(UPAH) LOG(IHK) EGINI Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(KERJA_S) LOG(KERJA_A) LOG(MYS1) INV LOG(LIST) LOG(JLN) LOG(PUB)
-2.142731 -0.000678 0.055542 0.438830 0.004162 0.333197 0.052198 0.020060
0.204617 0.023075 0.021265 0.103412 0.000880 0.028056 0.015536 0.006442
-10.47193 -0.029392 2.611898 4.243534 4.730581 11.87622 3.359752 3.113922
0.0000 0.9766 0.0096 0.0000 0.0000 0.0000 0.0009 0.0021
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.283239 0.030610
Rho 0.9885 0.0115
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank
0.882321 0.878845 0.030474 253.8507 0.000000 12.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
0.055267 0.087550 0.220090 0.656885 0.220090
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.700059 18.03966
Mean dependent var Durbin-Watson stat
1.354170 0.008014
143
Lampiran 10 Hasil Estimasi Model Pengangguran Dependent Variable: LOG(UN) Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section weights) Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245 Linear estimation after one-step weighting matrix Instrument list: C LOG(KERJA_S) LOG(KERJA_A) LOG(MYS1) INV LOG(LIST) LOG(JLN) LOG(PUB) LOG(AK_S) LOG(AK_S) LOG(UPAH) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(AK_S) LOG(AK_A) LOG(UPAH) LOG(KAP) INV
1.266629 0.264886 0.553119 -0.009293 -1.453354 -0.008577
1.525737 0.158315 0.172603 0.201882 0.333134 0.003244
0.830176 1.673162 3.204568 -0.046031 -4.362675 -2.644229
0.4074 0.0958 0.0016 0.9633 0.0000 0.0088
Effects Specification Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank
0.927011 0.913126 0.221612 64.87287 0.000000 44.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
3.708249 1.718732 10.06793 1.921560 10.33892
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.879574 10.37742
Mean dependent var Durbin-Watson stat
3.181715 1.752312
144
Lampiran 11 Hasil Estimasi Model Ketimpangan Dependent Variable: IGINI Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects) Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245 Swamy and Arora estimator of component variances Instrument list: C LOG(KERJA_S) LOG(KERJA_A) LOG(MYS1) INV LOG(LIST) LOG(JLN) LOG(PUB) LOG(IHK) EGINI Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(KAP) EGINI LOG(IHK) LOG(PUB)
-0.061337 0.047536 0.118415 0.054875 -0.012609
0.084557 0.010631 0.061382 0.020227 0.006480
-0.725391 4.471598 1.929156 2.712918 -1.945950
0.4689 0.0000 0.0549 0.0072 0.0528
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.022124 0.029756
Rho 0.3560 0.6440
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank
0.066689 0.051133 0.030771 10.91219 0.000000 10.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
0.123155 0.031589 0.227238 1.936233 0.206009
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.049763 0.394834
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.271775 1.114358
145
Lampiran 12 Hasil Estimasi Model Kemiskinan Dependent Variable: LOG(HC) Method: Panel Two-Stage EGLS (Cross-section random effects) Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245 Instrument list: C LOG(KERJA_S) LOG(KERJA_A) LOG(MYS1) INV LOG(LIST) LOG(JLN) LOG(PUB) LOG(AK_S) LOG(AK_S) LOG(UPAH) LOG(IHK) EGINI Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(KAP) LOG(UN) IGINI LOG(IHK)
4.729884 -1.585073 0.051504 0.386554 0.402849
0.338494 0.174937 0.034946 0.762640 0.095414
13.97333 -9.060831 1.473815 0.506863 4.222126
0.0000 0.0000 0.1418 0.6127 0.0000
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.374683 0.094764
Rho 0.9399 0.0601
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) Instrument rank
R-squared Sum squared resid
0.351431 0.340622 0.115410 42.69398 0.000000 12.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat Second-Stage SSR
0.469005 0.142127 3.196698 0.721903 2.879732
Unweighted Statistics 0.303305 Mean dependent var 125.7256 Durbin-Watson stat
4.928579 0.018355
146
Lampiran 13 Hasil Validasi Model Menggunakan Koefisien Determinasi (R2) Dependent Variable: LOG(KAP) Method: Panel Least Squares Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(KAP_0)
0.002044 0.998490
0.032420 0.023898
0.063063 41.78073
0.9498 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.996848 0.996320 0.030118 0.189583 529.9731 1888.432 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
1.354170 0.496480 -4.032433 -3.517963 -3.825257 0.764649
Dependent Variable: LOG(UN) Method: Panel Least Squares Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(UN_0)
0.713951 0.775608
0.459460 0.144338
1.553891 5.373565
0.1217 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.880710 0.860733 0.221776 10.27958 40.81962 44.08651 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3.181715 0.594279 -0.039344 0.475127 0.167833 1.812645
147
Dependent Variable: IGINI Method: Panel Least Squares Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C IGINI_0
-0.069342 1.255143
0.057881 0.212862
-1.197997 5.896523
0.2323 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.496512 0.412196 0.029544 0.182420 534.6913 5.888697 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.271775 0.038534 -4.070949 -3.556479 -3.863773 2.405446
Dependent Variable: LOG(HC) Method: Panel Least Squares Sample: 2004 2010 Periods included: 7 Cross-sections included: 35 Total panel (balanced) observations: 245 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(HC_0)
0.965267 0.804149
0.463417 0.094016
2.082933 8.553320
0.0385 0.0000
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.986353 0.984068 0.108552 2.462737 215.8582 431.5925 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
4.928579 0.859995 -1.468230 -0.953760 -1.261054 0.999368
148
Lampiran 14 Hasil Simulasi Peningkatan Belanja Pembangunan Sebesar 22 Persen di Semua Kabupaten/Kota Kabupaten/ Kota
Dasar
Belanja Pembangunan 22 %
KAP
UN
GINI
HC
Cilacap
7,57
61
0,3028
328
Banyumas
2,94
31
0,3144
Purbalingga
2,88
20
0,2862
Banjarnegara
3,30
20
Kebumen
2,43
Purworejo Wonosobo
UN
GINI
HC
KAP
UN
GINI
HC
7,60
61
0,3005
326
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
295
2,95
31
0,3120
293
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
219
2,89
20
0,2839
217
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
0,2803
190
3,31
20
0,2780
188
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
28
0,2594
319
2,44
28
0,2570
317
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
4,09
13
0,2940
130
4,10
13
0,2917
129
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
2,38
13
0,2716
217
2,39
13
0,2693
216
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Magelang
3,27
30
0,2823
180
3,28
29
0,2800
179
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Boyolali
4,45
24
0,2786
150
4,47
24
0,2763
149
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Klaten
4,55
29
0,2874
204
4,57
29
0,2851
202
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Sukoharjo
5,94
24
0,2774
97
5,96
24
0,2751
97
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Wonogiri
3,12
27
0,2944
199
3,13
27
0,2921
197
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Karanganyar
6,39
21
0,2904
117
6,41
21
0,2880
116
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Sragen
3,59
21
0,2844
153
3,61
21
0,2821
152
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Grobogan
2,36
33
0,2616
292
2,37
33
0,2593
290
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Blora
2,51
12
0,2850
147
2,52
12
0,2827
146
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Rembang
3,93
15
0,2560
145
3,94
14
0,2537
144
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Pati
KAP
Perubahan
3,72
30
0,2612
197
3,74
30
0,2589
196
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Kudus
16,99
20
0,2703
73
17,05
20
0,2680
73
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Jepara
3,72
20
0,2550
111
3,74
20
0,2527
111
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Demak
3,05
27
0,2750
192
3,06
27
0,2727
190
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Semarang
6,14
26
0,2848
95
6,17
26
0,2825
94
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Temanggung
3,43
12
0,2979
99
3,45
12
0,2956
98
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Kendal
5,76
27
0,2809
158
5,78
27
0,2786
156
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Batang
3,34
21
0,2752
116
3,35
21
0,2729
115
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Pekalongan
3,81
19
0,2621
153
3,83
19
0,2598
152
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Pemalang
2,69
36
0,2544
271
2,70
36
0,2521
269
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Tegal
2,56
41
0,2797
214
2,57
41
0,2774
213
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Brebes
2,94
60
0,2674
478
2,96
59
0,2651
474
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Kota Magelang
8,84
4
0,3129
13
8,88
4
0,3106
13
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Kota Surakarta
9,74
14
0,3195
65
9,78
14
0,3172
64
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Kota Salatiga
5,31
7
0,3348
14
5,33
7
0,3324
14
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
14,01
42
0,3407
64
14,07
42
0,3384
63
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Kota Pekalongan
7,32
11
0,2815
19
7,35
11
0,2792
19
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Kota Tegal
5,11
10
0,2860
23
5,13
10
0,2836
22
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Jawa Tengah
4,76
849
0,2842
5.739
4,78
844
0,2818
5.696
0,40
-0,58
-0,002
-0,75
Kota Semarang
Keterangan :
Simulasi dengan menaikkan belanja pembangunan sebesar 22 persen KAP = Pendapatan Perkapita (Rp Juta/Tahun) UN = Jumlah Penganggur/Pencari Kerja (Ribu Jiwa) IGINI = Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) HC = Jumlah Penduduk Miskin/Head Count (Ribu Jiwa)
149
Lampiran 15 Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APBD Kabupaten/Kota Menjadi 18 Persen Simulasi Porsi Pengeluaran Pembangunan 18%
Dasar
Kabupaten/Kota KAP
UN
GINI
HC
KAP
UN
GINI
HC
Perubahan KAP
UN
GINI
HC
Karanganyar
6,39
21
0,2904
117
6,48
20
0,2823
114
1,39
-1,99
-0,008
-2,57
Kendal
5,76
27
0,2809
158
5,80
27
0,2763
155
0,80
-1,15
-0,005
-1,49
Kota Magelang
8,84
4
0,3129
13
8,91
4
0,3082
13
0,81
-1,17
-0,005
-1,51
Kota Surakarta
9,74
14
0,3195
65
9,83
14
0,3139
64
0,97
-1,39
-0,006
-1,80
Kota Semarang
14,01
42
0,3407
64
14,24
41
0,3311
62
1,67
-2,38
-0,010
-3,07
Kota Pekalongan
7,32
11
0,2815
19
7,38
11
0,2773
19
0,72
-1,04
-0,004
-1,34
Kota Tegal
5,11
10
0,2860
23
5,12
10
0,2841
22
0,31
-0,45
-0,002
-0,59
Daerah Maju
9,39
130
0,3017
459
9,51 128
0,2962
450
1,33
-1,65
-0,006
-1,98
Cilacap
7,57
61
0,3028
328
7,71
59
0,2921
317
1,87
-2,66
-0,011
-3,44
Sukoharjo
5,94
24
0,2774
97
6,03
23
0,2682
95
1,60
-2,27
-0,009
-2,94
16,99
20
0,2703
73
17,12
20
0,2657
72
0,80
-1,15
-0,005
-1,49
6,14
26
0,2848
95
6,22
26
0,2774
93
1,28
-1,83
-0,007
-2,37
5,34
Kudus Semarang Kota Salatiga Daerah Tertekan
5,31
7
0,3348
14
7
0,3318
14
0,52
-0,75
-0,003
-0,97
8,55
139
0,2940
608
8,66 136
0,2870
590
1,33
-2,12
-0,007
-2,90
Kebumen
2,43
28
0,2594
319
2,45
28
0,2538
314
0,97
-1,39
-0,006
-1,79
Wonosobo
2,38
13
0,2716
217
2,40
13
0,2688
215
0,49
-0,71
-0,003
-0,92
Magelang
3,27
30
0,2823
180
3,32
29
0,2736
175
1,50
-2,14
-0,009
-2,77
Boyolali
4,45
24
0,2786
150
4,51
23
0,2706
146
1,39
-1,99
-0,008
-2,58
Klaten
4,55
29
0,2874
204
4,64
28
0,2760
196
1,99
-2,82
-0,011
-3,64
Wonogiri
3,12
27
0,2944
199
3,15
26
0,2874
194
1,21
-1,74
-0,007
-2,25
Rembang
3,93
15
0,2560
145
3,96
14
0,2514
143
0,78
-1,13
-0,005
-1,46
Jepara
3,72
20
0,2550
111
3,76
19
0,2495
109
0,96
-1,38
-0,006
-1,78
Demak
3,05
27
0,2750
192
3,10
26
0,2652
186
1,70
-2,42
-0,010
-3,13
Temanggung
3,43
12
0,2979
99
3,48
12
0,2907
97
1,26
-1,80
-0,007
-2,33
Batang
3,34
21
0,2752
116
3,38
21
0,2685
113
1,16
-1,66
-0,007
-2,15
3,88
18
0,2521
Pekalongan
3,81
19
0,2621
153
3,45
263
0,2746
2.085
148
1,74
-2,48
-0,010
-3,20
3,50 258
0,2673 2.037
1,35
-1,90
-0,007
-2,31
Banyumas
2,94
31
0,3144
295
2,99
31
0,3045
286
1,71
-2,44
-0,010
-3,15
Purbalingga
2,88
20
Banjarnegara
3,30
20
0,2862
219
2,91
20
0,2798
215
1,10
-1,58
-0,006
-2,05
0,2803
190
3,34
20
0,2736
186
1,17
-1,68
-0,007
Purworejo
4,09
-2,17
13
0,2940
130
4,16
13
0,2841
126
1,71
-2,43
-0,010
Sragen
-3,14
3,59
21
0,2844
153
3,63
21
0,2782
150
1,09
-1,56
-0,006
-2,02
Grobogan
2,36
33
0,2616
292
2,38
32
0,2552
286
1,12
-1,61
-0,006
-2,08
Blora
2,51
12
0,2850
147
2,55
12
0,2769
144
1,40
-2,00
-0,008
-2,59
Pati
3,72
30
0,2612
197
3,77
29
0,2537
193
1,30
-1,86
-0,008
-2,41
Pemalang
2,69
36
0,2544
271
2,72
35
0,2472
265
1,24
-1,78
-0,007
-2,30
Tegal
2,56
41
0,2797
214
2,58
41
0,2752
211
0,79
-1,14
-0,005
-1,47
2,97
59
0,2615
Daerah Tertinggal
2,94
60
0,2674
478
469
1,01
-1,46
-0,006
-1,88
Daerah Berkembang
Brebes
2,99
317
0,2790
2.587
3,02 312
0,2718 2.529
1,24
-1,69
-0,007
-2,25
Jawa Tengah
4,76
849
0,2842
5.739
4,83 834
0,2772 5.606
1,31
-1,82
-0,007
-2,32
Keterangan :
Simulasi dengan menaikkan porsi belanja pembangunan terhadap APBD menjadi 18 persen KAP = Pendapatan Perkapita (Rp Juta/Tahun) UN = Jumlah Penganggur/Pencari Kerja (Ribu Jiwa) IGINI = Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) HC = Jumlah Penduduk Miskin/Head Count (Ribu Jiwa)
150
Lampiran 16
Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APBD Kabupaten/Kota Menjadi 20 Persen Simulasi Porsi Pengeluaran Pembangunan 20%
Dasar
Kabupaten/Kota KAP
UN
GINI
HC
KAP
UN
GINI
HC
Perubahan KAP
UN
GINI
HC
Karanganyar
6,39
21
0,2904
117
6,49
20
0,2811
114
1,61
-2,29
-0,009
-2,96
Kendal
5,76
27
0,2809
158
5,82
27
0,2750
155
1,02
-1,46
-0,006
-1,89
Kota Magelang
8,84
4
0,3129
13
8,93
4
0,3070
13
1,02
-1,47
-0,006
-1,90
Kota Surakarta
9,74
14
0,3195
65
9,85
14
0,3126
64
1,18
-1,70
-0,007
-2,19
Kota Semarang
14,01
42
0,3407
64
14,27
41
0,3298
62
1,88
-2,68
-0,011
-3,46
Kota Pekalongan
7,32
11
0,2815
19
7,39
11
0,2761
19
0,93
-1,34
-0,005
-1,73
Kota Tegal
5,11
10
0,2860
23
5,13
10
0,2829
22
0,53
-0,76
-0,003
-0,98
Daerah Maju
9,39
130
0,3017
459
9,53
127
0,2950
448
1,55
-1,95
-0,007
-2,37
Cilacap
7,57
61
0,3028
328
7,72
59
0,2908
316
2,09
-2,96
-0,012
-3,82
Sukoharjo
5,94
24
0,2774
97
6,05
23
0,2670
94
1,81
-2,57
-0,010
-3,33
16,99
20
0,2703
73
17,16
20
0,2645
72
1,01
-1,46
-0,006
-1,88
6,14
26
0,2848
95
6,23
26
0,2762
93
1,49
-2,13
-0,009
-2,76
5,31
7
0,3348
14
5,35
7
0,3305
14
0,73
-1,05
-0,004
-1,36
8,55
139
0,2940
608
8,68
136
0,2858
588
1,55
-2,42
-0,008
-3,29
Kudus Semarang Kota Salatiga Daerah Tertekan Kebumen
2,43
28
0,2594
319
2,46
28
0,2526
312
1,18
-1,69
-0,007
-2,18
Wonosobo
2,38
13
0,2716
217
2,40
13
0,2675
215
0,70
-1,01
-0,004
-1,31
Magelang
3,27
30
0,2823
180
3,33
29
0,2724
174
1,72
-2,44
-0,010
-3,16
Boyolali
4,45
24
0,2786
150
4,52
23
0,2694
146
1,61
-2,29
-0,009
-2,96
Klaten
4,55
29
0,2874
204
4,65
28
0,2748
195
2,21
-3,12
-0,013
-4,03
Wonogiri
3,12
27
0,2944
199
3,16
26
0,2862
194
1,43
-2,04
-0,008
-2,64
Rembang
3,93
15
0,2560
145
3,97
14
0,2502
142
1,00
-1,43
-0,006
-1,85
Jepara
3,72
20
0,2550
111
3,77
19
0,2483
109
1,17
-1,68
-0,007
-2,17
Demak
3,05
27
0,2750
192
3,10
26
0,2640
185
1,92
-2,72
-0,011
-3,52
Temanggung
3,43
12
0,2979
99
3,48
12
0,2894
96
1,47
-2,10
-0,008
-2,72
Batang
3,34
21
0,2752
116
3,39
21
0,2673
113
1,37
-1,96
-0,008
-2,54
Pekalongan
3,81
19
0,2621
153
3,89
18
0,2508
147
1,96
-2,78
-0,011
-3,59
3,45
263
0,2746
2.085
3,51
257
0,2661
2.029
1,56
-2,20
-0,009
-2,70
2,94
31
0,3144
295
2,99
31
0,3033
285
1,93
-2,74
-0,011
-3,54
Purbalingga
2,88
20
0,2862
219
2,91
20
0,2786
214
1,32
-1,88
-0,008
-2,44
Banjarnegara
3,30
20
0,2803
190
3,35
19
0,2724
185
1,38
-1,98
-0,008
-2,56
Purworejo
4,09
13
0,2940
130
4,16
13
0,2829
125
1,93
-2,73
-0,011
-3,53
Sragen
3,59
21
0,2844
153
3,64
21
0,2769
149
1,30
-1,86
-0,008
-2,40
Grobogan
2,36
33
0,2616
292
2,39
32
0,2539
285
1,34
-1,91
-0,008
-2,47
Blora
2,51
12
0,2850
147
2,55
12
0,2757
143
1,62
-2,31
-0,009
-2,98
Pati
3,72
30
0,2612
197
3,78
29
0,2524
192
1,52
-2,17
-0,009
-2,80
Pemalang
2,69
36
0,2544
271
2,72
35
0,2460
264
1,46
-2,08
-0,008
-2,69
Tegal
2,56
41
0,2797
214
2,59
41
0,2739
210
1,00
-1,44
-0,006
-1,86
Daerah Tertinggal Banyumas
2,94
60
0,2674
478
2,98
58
0,2603
467
1,23
-1,76
-0,007
-2,27
Daerah Berkembang
Brebes
2,99
317
0,2790
2.587
3,03
311
0,2706
2.519
1,45
-1,99
-0,008
-2,64
Jawa Tengah
4,76
849
0,2842
5.739
4,84
831
0,2759
5.584
1,53
-2,12
-0,008
-2,71
Keterangan :
Simulasi dengan menaikkan porsi belanja pembangunan terhadap APBD menjadi 20 persen KAP = Pendapatan Perkapita (Rp Juta/Tahun) UN = Jumlah Penganggur/Pencari Kerja (Ribu Jiwa) IGINI = Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) HC = Jumlah Penduduk Miskin/Head Count (Ribu Jiwa)
151
Lampiran 17
Hasil Simulasi Peningkatan Rasio Belanja Pembangunan Terhadap APBD Kabupaten/Kota Menjadi 23 Persen Simulasi Porsi Pengeluaran Pembangunan 23%
Dasar
Kabupaten/Kota KAP
UN
GINI
HC
KAP
UN
GINI
HC
Perubahan KAP
UN
GINI
HC
Karanganyar
6,39
21
0,2904
117
6,51
20
0,2795
113
1,89
-2,69 -0,011
-3,47
Kendal
5,76
27
0,2809
158
5,83
27
0,2734
154
1,30
-1,86 -0,007
-2,40
Kota Magelang
8,84
4
0,3129
13
8,96
4
0,3054
13
1,31
-1,87 -0,008
-2,42
Kota Surakarta
9,74
14
0,3195
65
9,88
14
0,3110
63
1,47
-2,10 -0,008
-2,71
Kota Semarang
14,01
42
0,3407
64
14,31
41
0,3282
61
2,17
-3,07 -0,012
-3,97
Kota Pekalongan
7,32
11
0,2815
19
7,41
11
0,2745
19
1,22
-1,74 -0,007
-2,25
Kota Tegal
5,11
10
0,2860
23
5,15
10
0,2813
22
0,81
-1,16 -0,005
-1,50
Daerah Maju
9,39
130
0,3017
459
9,56
127
0,2933
446
1,83
-2,35 -0,008
-2,89
Cilacap
7,57
61
0,3028
328
7,75
59
0,2892
314
2,38
-3,36 -0,014
-4,33
Sukoharjo
5,94
24
0,2774
97
6,06
23
0,2654
94
2,10
-2,97 -0,012
-3,84
16,99
20
0,2703
73
17,21
20
0,2628
71
1,30
-1,86 -0,007
-2,40
6,14
26
0,2848
95
6,25
26
0,2746
92
1,78
-2,53 -0,010
-3,27
Kudus Semarang Kota Salatiga
5,31
7
0,3348
14
5,37
7
0,3289
13
1,01
-1,45 -0,006
-1,88
Daerah Tertekan
8,55
139
0,2940
608
8,71
135
0,2842
585
1,83
-2,81 -0,010
-3,80
Kebumen
2,43
28
0,2594
319
2,46
28
0,2509
311
1,46
-2,09 -0,008
-2,70
Wonosobo
2,38
13
0,2716
217
2,41
13
0,2659
214
0,99
-1,42 -0,006
-1,83
Magelang
3,27
30
0,2823
180
3,34
29
0,2708
173
2,00
-2,84 -0,012
-3,67
Boyolali
4,45
24
0,2786
150
4,53
23
0,2677
145
1,89
-2,69 -0,011
-3,47
Klaten
4,55
29
0,2874
204
4,67
28
0,2731
194
2,49
-3,51 -0,014
-4,53
Wonogiri
3,12
27
0,2944
199
3,17
26
0,2846
193
1,71
-2,44 -0,010
-3,15
Rembang
3,93
15
0,2560
145
3,98
14
0,2486
142
1,28
-1,83 -0,007
-2,37
Jepara
3,72
20
0,2550
111
3,78
19
0,2466
108
1,46
-2,08 -0,008
-2,69
Demak
3,05
27
0,2750
192
3,11
26
0,2623
184
2,20
-3,12 -0,013
-4,03
Temanggung
3,43
12
0,2979
99
3,49
12
0,2878
96
1,76
-2,50 -0,010
-3,23
Batang
3,34
21
0,2752
116
3,40
21
0,2656
112
1,66
-2,36 -0,010
-3,05
Pekalongan
3,81
19
0,2621
153
3,90
18
0,2492
147
2,24
-3,17 -0,013
-4,10
3,45
263
0,2746
2.085
3,52
256
0,2644
2.018
1,85
-2,59 -0,010
-3,22
Banyumas
2,94
31
0,3144
295
3,00
30
0,3016
283
2,22
-3,14 -0,013
-4,05
Purbalingga
2,88
20
0,2862
219
2,92
20
0,2770
213
1,60
-2,28 -0,009
-2,95
Banjarnegara
3,30
20
0,2803
190
3,36
19
0,2707
184
1,67
-2,38 -0,010
-3,07
Purworejo
4,09
13
0,2940
130
4,18
13
0,2813
125
2,21
-3,13 -0,013
-4,04
Sragen
3,59
21
0,2844
153
3,65
21
0,2753
149
1,58
-2,26 -0,009
-2,92
Daerah Tertinggal
Grobogan
2,36
33
0,2616
292
2,39
32
0,2523
283
1,62
-2,31 -0,009
-2,98
Blora
2,51
12
0,2850
147
2,56
12
0,2740
142
1,90
-2,70 -0,011
-3,49
Pati
3,72
30
0,2612
197
3,79
29
0,2508
191
1,80
-2,56 -0,010
-3,31
Pemalang
2,69
36
0,2544
271
2,73
35
0,2444
263
1,74
-2,48 -0,010
-3,20
Tegal
2,56
41
0,2797
214
2,60
41
0,2723
209
1,29
-1,84 -0,007
-2,38
2,94
60
0,2674
478
2,99
58
0,2587
464
1,51
-2,16 -0,009
-2,79
Daerah Berkembang
Brebes
2,99
317
0,2790
2.587
3,04
310
0,2689
2.506
1,74
-2,39 -0,010
-3,15
Jawa Tengah
4,76
849
0,2842
5.739
4,85
828
0,2743
5.554
1,81
-2,52 -0,010
-3,22
Keterangan :
Simulasi dengan menaikkan porsi belanja pembangunan terhadap APBD menjadi 23 persen KAP = Pendapatan Perkapita (Rp Juta/Tahun) UN = Jumlah Penganggur/Pencari Kerja (Ribu Jiwa) IGINI = Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) HC = Jumlah Penduduk Miskin/Head Count (Ribu Jiwa)
152
Lampiran 18
Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Sebesar 8 Persen di Kabupaten Kota/Menurut Tipologi Klassen Simulasi Peningkatan Investasi 8%
Dasar
Kabupaten/Kota KAP
UN
GINI
HC
KAP UN
GINI
Perubahan
HC
KAP
UN
GINI
HC
Karanganyar
6,39
21 0,2904
117
6,40
21 0,2905
117
0,21
-0,73
0,0001
-0,36
Kendal
5,76
27 0,2809
158
5,77
27 0,2810
157
0,22
-0,78
0,0001
-0,39
Kota Magelang
8,84
4 0,3129
13
8,86
4 0,3130
13
0,16
-0,55
0,0001
-0,27
Kota Surakarta
9,74
14 0,3195
65
9,80
14 0,3198
64
0,67
-2,32
0,0003
-1,16
Kota Semarang
14,01
42 0,3407
64
14,47
37 0,3422
60
3,32
-10,84
0,0016
-5,55
7,32
11 0,2815
19
7,34
11 0,2816
19
0,28
-0,96
0,0001
-0,48
5,11
Kota Pekalongan Kota Tegal
5,11
10 0,2860
23
Daerah Maju
9,39
130 0,3017
459
Cilacap
7,57
61 0,3028
Sukoharjo
5,94
24 0,2774
16,99 6,14
Kudus Semarang
10 0,2860
22
0,12
-0,43
0,0001
-0,22
9,56 124 0,3020
453
1,90
-4,18
0,0003
-1,20
328
7,63
59 0,3032
324
0,84
-2,91
0,0004
-1,46
97
5,95
24 0,2776
97
0,26
-0,90
0,0001
-0,45
20 0,2703
73
17,06
20 0,2705
73
0,43
-1,48
0,0002
-0,74
26 0,2848
95
6,16
26 0,2850
95
0,28
-0,96
0,0001
-0,48
5,32
Kota Salatiga
5,31
7 0,3348
14
7 0,3348
14
0,06
-0,22
0,0000
-0,11
Daerah Tertekan
8,55
139 0,2940
608
8,59 136 0,2942
602
0,51
-1,84
0,0002
-1,02
Kebumen
2,43
28 0,2594
319
2,43
28 0,2594
319
0,12
-0,43
0,0001
-0,21
Wonosobo
2,38
13 0,2716
217
2,39
13 0,2717
217
0,09
-0,31
0,0000
-0,15
Magelang
3,27
30 0,2823
180
3,28
29 0,2825
179
0,38
-1,33
0,0002
-0,66
Boyolali
4,45
24 0,2786
150
4,45
24 0,2787
150
0,15
-0,54
0,0001
-0,27
Klaten
4,55
29 0,2874
204
4,57
28 0,2876
202
0,37
-1,30
0,0002
-0,65
Wonogiri
3,12
27 0,2944
199
3,12
27 0,2945
198
0,14
-0,50
0,0001
-0,25
Rembang
3,93
15 0,2560
145
3,93
14 0,2561
144
0,20
-0,69
0,0001
-0,34
Jepara
3,72
20 0,2550
111
3,73
20 0,2552
111
0,28
-0,96
0,0001
-0,48
Demak
3,05
27 0,2750
192
3,05
27 0,2751
191
0,20
-0,70
0,0001
-0,35
Temanggung
3,43
12 0,2979
99
3,44
12 0,2980
99
0,14
-0,49
0,0001
-0,24
Batang
3,34
21 0,2752
116
3,35
21 0,2753
115
0,16
-0,56
0,0001
-0,28
19 0,2621
153
3,82
19 0,2622
Pekalongan
3,81
Daerah Tertinggal
3,45
263 0,2746 2.085
152
0,22
-0,77
0,0001
-0,38
3,46 261 0,2747 2.078
0,22
-0,75
0,0001
-0,35
Banyumas
2,94
31 0,3144
295
2,95
31 0,3146
293
0,43
-1,51
0,0002
-0,75
Purbalingga
2,88
20 0,2862
219
2,88
20 0,2863
218
0,21
-0,74
0,0001
-0,37
Banjarnegara
3,30
20 0,2803
190
3,31
20 0,2804
189
0,20
-0,70
0,0001
-0,35
Purworejo
4,09
13 0,2940
130
4,09
13 0,2941
130
0,17
-0,61
0,0001
-0,30
Sragen
3,59
21 0,2844
153
3,60
21 0,2845
153
0,16
-0,55
0,0001
-0,27
Grobogan
2,36
33 0,2616
292
2,36
33 0,2617
291
0,16
-0,56
0,0001
-0,28
Blora
2,51
12 0,2850
147
2,51
12 0,2850
147
0,08
-0,29
0,0000
-0,14
Pati
3,72
30 0,2612
197
3,74
29 0,2613
196
0,34
-1,18
0,0002
-0,59
Pemalang
2,69
36 0,2544
271
2,69
36 0,2545
271
0,12
-0,43
0,0001
-0,21
Tegal
2,56
41 0,2797
214
2,57
41 0,2798
213
0,21
-0,75
0,0001
-0,37
60 0,2674
478
2,95
59 0,2674
477
0,14
-0,51
0,0001
-0,25
Daerah Berkembang
Brebes
2,99
317 0,2790 2.587
2,99 315 0,2791 2.578
0,22
-0,72
0,0001
-0,36
Jawa Tengah
4,76
849 0,2842 5.739
4,80 837 0,2841 5.711
0,74
-1,44
0,0000
-0,49
Keterangan :
2,94
Simulasi dengan menaikkan investasi sebesar 8 persen KAP = Pendapatan Perkapita (Rp Juta/Tahun) UN = Jumlah Penganggur/Pencari Kerja (Ribu Jiwa) IGINI = Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) HC = Jumlah Penduduk Miskin/Head Count (Ribu Jiwa)
153
Lampiran 19 Hasil Simulasi Peningkatan Indeks Harga Sebesar 2,68 Persen di Kabupaten/Kota Menurut Tipologi Klassen Dasar
Kabupaten/Kota KAP
UN
Simulasi Inflasi Sebesar 2,68%
GINI
HC
KAP
UN
GINI
HC
Perubahan KAP
UN
GINI
HC
Karanganyar
6,39
21
0,2904
117
6,39
21
0,2918
118
0,00
0,00
0,001
1,13
Kendal
5,76
27
0,2809
158
5,76
27
0,2824
159
0,00
0,00
0,001
1,13
Kota Magelang
8,84
4
0,3129
13
8,84
4
0,3144
14
0,00
0,00
0,001
1,13
Kota Surakarta
9,74
14
0,3195
65
9,74
14
0,3209
66
0,00
0,00
0,001
1,13
Kota Semarang
14,01
42
0,3407
64
14,01
42
0,3421
64
0,00
0,00
0,001
1,13
Kota Pekalongan
7,32
11
0,2815
19
7,32
11
0,2830
20
0,00
0,00
0,001
1,13
Kota Tegal
5,11
10
0,2860
23
5,11
10
0,2874
23
0,00
0,00
0,001
1,13
Daerah Maju
9,39
130
0,3017
459
9,39
130
0,3031
464
0,00
0,00
0,001
1,13
Cilacap
7,57
61
0,3028
328
7,57
61
0,3043
332
0,00
0,00
0,001
1,13
Sukoharjo
5,94
24
0,2774
97
5,94
24
0,2789
99
0,00
0,00
0,001
1,13
Kudus
16,99
20
0,2703
73
16,99
20
0,2718
74
0,00
0,00
0,001
1,13
Semarang
6,14
26
0,2848
95
6,14
26
0,2863
96
0,00
0,00
0,001
1,13
Kota Salatiga
5,31
7
0,3348
14
5,31
7
0,3362
14
0,00
0,00
0,001
1,13
Daerah Tertekan
8,55
139
0,2940
608
8,55
139
0,2955
615
0,00
0,00
0,001
1,13
Kebumen
2,43
28
0,2594
319
2,43
28
0,2608
323
0,00
0,00
0,001
1,13
Wonosobo
2,38
13
0,2716
217
2,38
13
0,2731
220
0,00
0,00
0,001
1,13
Magelang
3,27
30
0,2823
180
3,27
30
0,2837
182
0,00
0,00
0,001
1,13
Boyolali
4,45
24
0,2786
150
4,45
24
0,2801
152
0,00
0,00
0,001
1,13
Klaten
4,55
29
0,2874
204
4,55
29
0,2889
206
0,00
0,00
0,001
1,13
Wonogiri
3,12
27
0,2944
199
3,12
27
0,2959
201
0,00
0,00
0,001
1,13
Rembang
3,93
15
0,2560
145
3,93
15
0,2574
147
0,00
0,00
0,001
1,13
Jepara
3,72
20
0,2550
111
3,72
20
0,2565
113
0,00
0,00
0,001
1,13
Demak
3,05
27
0,2750
192
3,05
27
0,2764
194
0,00
0,00
0,001
1,13
Temanggung
3,43
12
0,2979
99
3,43
12
0,2994
100
0,00
0,00
0,001
1,13
Batang
3,34
21
0,2752
116
3,34
21
0,2767
117
0,00
0,00
0,001
1,13
Pekalongan
3,81
19
0,2621
153
3,81
19
0,2636
154
0,00
0,00
0,001
1,13
Daerah Tertinggal
3,45
263
0,2746
2.085
3,45
263
0,2760
2.109
0,00
0,00
0,001
1,13
Banyumas
2,94
31
0,3144
295
2,94
31
0,3158
299
0,00
0,00
0,001
1,13
Purbalingga
2,88
20
0,2862
219
2,88
20
0,2877
221
0,00
0,00
0,001
1,13
Banjarnegara
3,30
20
0,2803
190
3,30
20
0,2818
192
0,00
0,00
0,001
1,13
Purworejo
4,09
13
0,2940
130
4,09
13
0,2954
131
0,00
0,00
0,001
1,13
Sragen
3,59
21
0,2844
153
3,59
21
0,2859
155
0,00
0,00
0,001
1,13
Grobogan
2,36
33
0,2616
292
2,36
33
0,2631
295
0,00
0,00
0,001
1,13
Blora
2,51
12
0,2850
147
2,51
12
0,2865
149
0,00
0,00
0,001
1,13
Pati
3,72
30
0,2612
197
3,72
30
0,2626
200
0,00
0,00
0,001
1,13
Pemalang
2,69
36
0,2544
271
2,69
36
0,2558
274
0,00
0,00
0,001
1,13
Tegal
2,56
41
0,2797
214
2,56
41
0,2812
217
0,00
0,00
0,001
1,13
Brebes
2,94
60
0,2674
478
2,94
60
0,2688
483
0,00
0,00
0,001
1,13
Daerah Berkembang
2,99
317
0,2790
2.587
2,99
317
0,2804
2.616
0,00
0,00
0,001
1,13
Jawa Tengah
4,76
849
0,2842
5.739
4,76
849
0,2854
5.804
0,00
0,00
0,001
1,13
Keterangan :
Simulasi kenaikan indeks harga sebesar 2,68 persen KAP = Pendapatan Perkapita (Rp Juta/Tahun) UN = Jumlah Penganggur/Pencari Kerja (Ribu Jiwa) IGINI = Indeks Ketimpangan Pendapatan (Gini Rasio) HC = Jumlah Penduduk Miskin/Head Count (Ribu Jiwa)
154
Halaman ini sengaja dikosongkan