ANALISIS KELAYAKAN EKONOMI DAN KEBERLANJUTAN PENGOLAHAN BIOGAS DARI LIMBAH CAIR TAHU DI DESA KALISARI, PURWOKERTO
LIDYA RAHMA SHAFFITRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI KARYA TULIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa karya tulis berjudul Analisis Kelayakan Ekonomi dan Keberlanjutan Pengolahan Biogas dari Limbah Cair Tahu di Desa Kalisari, Purwokerto adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya tulis yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir karya tulis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015
Lidya Rahma Shaffitri NIM H451120011
RINGKASAN LIDYA RAHMA SHAFFITRI. Analisis Kelayakan Ekonomi dan Keberlanjutan Pengolahan Biogas dari Limbah Cair Tahu di Desa Kalisari, Purwokerto. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT dan METI EKAYANI. Industri tahu merupakan industri yang berpotensi merusak lingkungan karena limbah cair yang dihasilkan oleh industri tahu mengandung kandungan yang berbahaya bagi lingkungan. Desa Kalisari merupakan salah satu sentra industri tahu dengan jumlah kurang lebih 250 pengrajin, dimana dalam proses produksinya menghasilkan limbah berupa limbah padat dan limbah cair. Limbah padat tahu yang dihasilkan di Desa Kalisari, Purwokerto tidak menimbulkan permasalahan bagi lingkungan karena sudah diolah kembali menjadi pakan ternak. Namun tidak demikian halnya dengan limbah cair tahu yang masih menimbulkan permasalahan lingkungan berupa pencemaran air sungai dan bau yang tidak sedap. Pemerintah dalam menanggapi permasalahan ini sudah membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang berjumlah empat unit yang diberi nama Biolita 1, Biolita 2, Biolita 3, dan Biolita 4. Keempat unit IPAL tersebut memiliki lokasi yang tersebar di lokasi yang berbeda sesuai dengan lokasi berkumpulnya para pengrajin tahu. Pada awal pembangunan IPAL di Desa Kalisari, pemerintah masih belum memperhitungkan manfaat dan biaya ekonomi yang dihasilkan oleh IPAL tersebut seperti tingkat keuntungan yang diperoleh apabila menjual biogas kepada masyarakat dengan harga yang lebih murah dari LPG. Penetapan harga biogas (biogas pricing) di Desa Kalisari masih belum dilakukan dengan benar karena sampai saat ini masyarakat Desa Kalisari masih membayar biogas dengan tarif yang sama untuk berapapun jumlah biogas yang mereka manfaatkan. Biogas pricing di Desa Kalisari juga dimaksudkan untuk menghindari para free rider dalam pemanfaatan biogas secara berlebihan, memperoleh cashflow yang bernilai positif sehingga mampu menarik investor dalam berinvestasi dalam penyediaan biogas sebagai bahan bakar alternatif pengganti LPG. Pembangunan IPAL di Desa Kalisari khususnya di Biolita 3 menimbulkan biaya dan manfaat. Analisis kelayakan ekonomi untuk proyek IPAL diperlukan untuk melihat keberlanjan dalam pemanfaatan biogas, hasil dari analisis ini dapat dijadikan acuan untuk proyek pembangunan IPAL di Desa Kalisari selanjutnya apabila umur ekonomi IPAL yang sedang berjalan saat ini habis. Biaya yang timbul dari pembangunan IPAL meliputi biaya finansial dan biaya sosial. Biaya finansial meliputi biaya investasi dan operasional, sedangkan biaya sosial meliputi opportunity cost yang timbul dari pemanfaatan lahan yang diperuntukkan bagi pembangunan biogas. Manfaat yang timbul dari pembangunan biogas meliputi manfaat finansial dan manfaat sosial. Manfaat finansial meliputi penerimaan yang didapat dari pemanfaatan biogas oleh masyarakat dan manfaat sosial meliputi penghematan bahan bakar, peningkatan produktivitas lahan, dan penurunan biaya perbaikan lahan. Penetapan nilai ekonomi (pricing biogas) didapat dari metode Break Even Point (BEP) yang menghasilkan nilai sebesar Rp 2.500/m3. Nilai ini diperoleh dari perhitungan yang menggunakan biaya-biaya yang timbul dari IPAL
yang dibangun di Biolita 3 dengan asumsi bahwa pemanfaatan teknologi dan biaya pembangunan IPAL per m3 untuk seluruh biolita adalah sama. Baik analisis kelayakan finansial maupun ekonomi dilakukan dengan menggunakan dua skenario. Skenario 1 menggunakan harga biogas yang didapat melalui metode BEP dan Skenario 2 menggunakan harga biogas yang didapat dari iuran masyarakat di Biolita 3 yaitu sebesar Rp 20.000/RT/bulan. Hasil yang diperoleh dari Skenario 1 pada analisis kelayakan finansial menunjukkan bahwa proyek layak untuk dijalankan yang ditunjukkan oleh NPV yang bernilai positif yaitu sebesar Rp 201.636.675 dan hasil pada Skenario 2 menunjukkan bahwa proyek tidak layak untuk dijalankan karena menghasilkan NPV yang bernilai negatif yaitu sebesar Rp 443. 128.325. Hasil yang diperoleh dari Skenario 1 pada analisis kelayakan ekonomi menunjukkan bahwa proyek layak untuk dijalankan yang ditunjukkan oleh NPV yang bernilai positif yaitu sebesar Rp 392.704.986 dan hasil pada Skenario 2 menunjukkan bahwa proyek tidak layak untuk dijalankan karena menghasilkan NPV yang bernilai negatif yaitu sebesar Rp 252.060.040. Analisis sensitivitas juga dilakukan pada IPAL yang terdapat pada Biolita 3. Analisis sensitivitas dilakukan dengan menggunakan tiga skenario. Skenario 1 mengasumsikan bahwa terjadi penurunan konsumsi biogas sebesar 34,8%, Skenario 2 mengasumsikan bahwa terjadi peningkatan pada tarif dasar listrik yaitu sebesar 15%, dan Skenario 3 mengasumsikan bahwa terjadi penurunan harga biogas dari Rp 2.500/m3 menjadi Rp 1.450/m3. Dasar penurunan harga biogas tersebut adalah masyarakat hanya mau membayar biogas apabila harga yang dibayarkan tidak lebih dari pengeluaran untuk mengonsumsi LPG 3 kg sebelum selama satu bulan. Hasil yang diperoleh dari ketiga skenario tersebut menunjukkan bahwa proyek pembangunan IPAL masih layak untuk dijalankan. Berdasarkan temuan di lapangan, jenis pengelolaan yang dapat digunakan untuk mengatur pemanfaatan dan pengelolaan IPAL adalah BUMDes. Pemanfaatan biogas secara berkelanjutan dapat dilakukan apabila BUMDes dapat berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku, oleh karena itu tetap diperlukan pengawasan dan monitoring dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Kata kunci: industri tahu, pengolahan limbah cair tahu, analisis kelayakan ekonomi, pricing biogas, biogas
SUMMARY LIDYA RAHMA SHAFFITRI. Economic Feasibility Analysis and Sustainability of Biogas Processing from Tofu Wastewater at Kalisari Village, Purwokerto. Supervised by YUSMAN SYAUKAT dan METI EKAYANI. Tofu industry in Indonesia has a great potential to cause environmental problem due to its wastewater which contain dangerous material. Kalisari Village is one of the tofu industry centre which generates solid and liquid waste in its production process. The solid waste in this village is recycled into animal food thus it doesn’t cause any significant problem for the environment, but the liquid waste is still cause many problems because the industry discharge some of the waste directly to the river. In response to this problem, the government has constructed four units of tofu wastewater treatment plant (WWTP) which are named Biolita 1, Biolita 2, Biolita3, and Biolita 4. The WWTP use anaerobic process to produce biogas. When start building the WWTP in Kalisari village, the government did not calculate yet the benefits and economic costs generated by the WWTP, for example the potency of gains from selling the biogas to the public with a lower price than the LPG. Biogas pricing in the Kalisari village still not done properly because people pay a flat rate regardless the amount of the biogas they use. Biogas pricing in the Kalisari village need to be done properly to avoid the free riders in biogas utilization and to obtain a positive cash flow in order to attract investors to invest in biogas production as an alternative fuel. WWTP in Kalisari Village especially the Biolita 3 create costs and benefits. Costs arising from the construction of the WWTP consist of financial costs and social costs. Financial costs consist of investment and operational costs, while the social costs derived from the opportunity cost arising from the land usage for the WWTP construction. The benefits arising from the construction of biogas consist of financial benefits and social benefits. Financial benefits consist of the revenue obtained from the usage of biogas by the society and social benefits consist of the fuel savings, improved land productivity, and the decreasing of costs of land rehabilitation. Determination of economic value of biogas (biogas pricing) obtained from the Break Even Point (BEP) method which generates a value of Rp 2.500/m3. This value is obtained from the calculation using the costs arising from the tofu wastewater treatment in Biolita 3 with the assumption that the using of technology and the cost of construction of wastewater per m3 for the whole biolita are the same. Both of financial feasibility analysis and economic feasibility analysis are determined by two scenarios. The first scenario uses the revenue of biogas which is derived from BEP method and the second scenario uses the biogas price from society subscription in Biolita 3 which the value is about Rp 20.000/RT/month. The Financial analysis in Scenario 1 showed that the project is feasible that is obtained by positive NPV of Rp 201.636.675 and Scenario 2 showed that the project is unprofitable that is showed by negative NPV of Rp 443.128.325. The economic feasibility analysis in Scenario 1 showed that the project is feasible that is showed by positive NPV of Rp 392.766.663 and Scenario 2 showed that the
project is not feasible that is showed by negative NPV of Rp 252.060.014. The sensitivity analysis in Biolita 3 used three scenarios. The first scenario assumed the decreasing of biogas consumption about 34,8%. The second scenario assumed the decreasing of electricity purchase about 15% and the third scenario assumed the decreasing of biogas price from Rp 2.500/m3 to Rp 1.450/m3. Basic assumption from decreasing the price of biogas in Scenario 3 is that the society only wants to pay biogas if the price of biogas is lower than the price of LPG 3 kg. Based on the observation in the field, the type of management that can be used to regulate the use and management of the tofu wastewater treatment and biogas utilization is BUMDes. Sustainable utilization of biogas can be done if BUMDes can be run according with the applicable rules, therefore supervision and monitoring from local and central government is necessary. Keywords: tofu industry, tofu wastewater treatment, economic feasibilty analysis, pricing biogas, biogas
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KELAYAKAN EKONOMI DAN KEBERLANJUTAN PENGOLAHAN BIOGAS DARI LIMBAH CAIR TAHU DI DESA KALISARI, PURWOKERTO
LIDYA RAHMA SHAFFITRI H451120011
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Ahyar Ismail, MAgr
Judul Tesis
:
Analisis Kelayakan Ekonomi dan Keberlanjutan Pengolahan Biogas dari Limbah Cair Tahu di Desa Kalisari, Purwokerto
Nama NIM
: Lidya Rahma Shaffitri
: H451120011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
~
Dr Meti Ekayani, Shut, MSc ·Anggota
Dr Ir Yusman Syaukat. MEc Ketua
Diketiilim olen
Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Prof Dr Ir Akhmad Fauzi. MSc
Tanggal Ujian: 10 Agustus 2015
Tanggal Lulus:
0 1 SEP 20l5
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehahirat Allah SWT karena atas izinNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Kelayakan Ekonomi dan Keberlanjutan Pengolahan Biogas dari Limbah Cair Tahu di Desa Kalisari, Purwokerto”. Penelitian dan penulisan tesis ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Orangtua, suami, dan adik tercinta atas segala doa, semangat, motivasi, pengertian, dan kasih sayang yang penuh dengan ketulusan 2. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberi curahan pemikiran, bimbingan, arahan, saran, dengan penuh dedikasi dan dorongan motivasi sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat penulis selesaikan 3. Pimpinan dan staf program studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan SPs IPB, atas fasilitas dan dukungan yang diberikan 4. Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr, selaku dosen penguji utama atas pemikiran, saran, dan masukan 5. Dr. Fifi Diana Thamrin, SP, M.Si selaku dosen penguji perwakilan program studi atas pemikiran, saran, dan masukan 6. Kepala Desa Kalisari atas segala informasi dan motivasi yang diberikan selama penulis melakukan penelitian 7. Ibu Yani dan keluarga atas tumpangan, perhatian, dan informasi yang diberikan selama penulis melakukan penelitian 8. Bapak Wiharja dan Bapak Yadi, selaku staf ahli BPPT atas informasi yang telah diberikan 9. Rekan-rekan seperjuangan program studi pascasarjana ESL 2012 atas persaudaraan, kebersamaan, semangat, motivasi selama masa belajar dan penelitian Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan biogas di Indonesia.
Bogor, Agustus 2015
Lidya Rahma Shaffitri
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat Penelitian Batasan Penelitian
1 1 5 7 7 7
TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Energi dan Lingkungan Potensi Energi Terbarukan Biogas Sebagai Energi Alternatif Analisis Biaya dan Manfaat Ekonomi Pencemaran Eksternalitas Dampak Limbah Tahu Penelitian Terdahulu
9 9 9 10 11 12 13 13 14
KERANGKA PEMIKIRAN
16
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data
19 19 19 19 20
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Fisik Daerah Letak dan Luas Wilayah Topografi dan Jenis Tanah Iklim Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Jumlah Penduduk Tingkat Pendidikan Mata Pencaharian Pola Pemanfaatan Lahan Kepemilikan Ternak dan Perikanan Sarana dan Prasarana Sistem Usaha Tani Kelembagaan Desa Gambaran Umum Pengolahan Limbah Cair Tahu secara Anerobik dengan Menggunakan Teknologi Fixed Bed Reactor
27 27 27 27 27 27 27 28 29 29 30 30 30 31 31
Karakteristik Sosial dan Ekonomi Responden Pengrajin Tahu Jenis Kelamin, Usia, Pendidikan Terakhir, dan Pekerjaan Sampingan Motivasi dan Keikutsertaan dalam Kelompok Pengrajin Tahu Biaya Produksi dan Keuntungan Karakteristik Responden Non Pengrajin Tahu Pemanfaatan Energi Konversi LPG ke Biogas Jumlah Jam Memasak Persepsi Responden Konsistensi Pemanfaatan Biogas di Masa Mendatang Alasan Pemanfaatan Biogas Kelebihan Biogas Dibandingkan LPG Gambaran Umum Limbah Tahu di Desa Kalisari
32 33 33 35 37 37 37 38 38 38 39 39 40
ESTIMASI BIAYA DAN MANFAAT INSTALASI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU Estimasi Biaya Finansial dan Sosial Pembangunan IPAL Biaya Investasi dan Operasional Opportunity Cost Lahan IPAL Estimasi Manfaat Finansial dan Sosial Pembangunan IPAL
42 42 42 43 43
ESTIMASI HARGA PEMANFAATAN BIOGAS (BIOGAS PRICING) Pricing menggunakan pendekatan Break Even Point (BEP)
45 45
ANALISIS KELAYAKAN INSTALASI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU Analisis Kelayakan Finansial Analisis Kelayakan Ekonomi Analisis Sensitivitas
47 47 48 48
SKENARIO PEMANFAATAN BIOGAS SECARA BERKELANJUTAN Mekanisme Pemanfaatan dan Penyaluran Biogas di Desa Kalisari Deskripsi Profil IPAL di Desa Kalisari Identifikasi Permasalahan Pemanfaatan Biogas Dasar Pertimbangan Pemilihan Model Kelembagaan untuk Pemanfaatan Biogas di Desa Kalisari BUMDes dalam PemanfaatanBiogas Secara Berkelanjutan Pengelolaan Biogas dengan Model BUMDes
51 51 51 53
KESIMPULAN SARAN
60 60
DAFTAR PUSTAKA
62
LAMPIRAN
65
RIWAYAT HIDUP
73
55 55 58
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 22
Indikator ekonomi dalam revisi APBN 2013 Karakteristik limbah cair tahu Matriks metode penelitian Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan Komposisi penduduk Desa Kalisari menurut mata pencaharian Komposisi kepemilikan ternak di Desa Kalisari Kelembagaan Desa Kalisari Karakteristik responden pengrajin tahu berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, dan pekerjaan sampingan tahun 2014 Biaya tetap produksi tahu per bulan (Rp) Biaya variabel produksi tahu per bulan (Rp) Keuntungan penjualan tahu per bulan (Rp) Karakteristik responden non pengrajin tahu Jumlah jam memasak Uraian biaya investasi dan operasional pembangunan IPAL Biolita 3 Rata-rata penghematan LPG di Biolita 3 Hasil analisis kelayakan finansial dengan menggunakan Skenario 1 dan Skenario 2 Hasil analisis kelayakan ekonomi dengan menggunakan Skenario 1 dan Skenario 2 Hasil analisis sensitivitas dengan menggunakan Skenario 1, Skenario 2, dan Skenario 3 Tabel perbandingan jumlah biaya untuk konsumsi LPG 3 kg dan biogas Profil IPAL di Desa Kalisari Tabel permasalahan pemanfaatan biogas di Desa Kalisari
3 5 21 28 29 30 31 33 35 35 36 37 38 43 44 47 48 49 49 52 53
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Cadangan minyak bumi dan gas di Indonesia 2004-2012 Produksi dan konsumsi mintak bumi di Indonesia periode 1980-2008 Kerangka pemikiran Jumlah penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin Pola pemanfaatan lahan di Desa Kalisari Tahapan proses pengolahan limbah cair secara anaerob Keikutsertaan pengrajin tahu ke dalam kelompok pengrajin tahu Motivasi pengrajin tahu dalam keikutsertaan ke dalam kelompok pengrajin tahu Konsistensi dalam pemanfaatan biogas di masa yang akan datang Alasan pemanfaatan biogas Kelebihan biogas dibandingkan dengan LPG Mekanisme pemanfaatan dan penyaluran biogas di Desa Kalisari Peranan BUMDes di Desa Kalisari Pengelolaan IPAL dan biogas sebelum dan sesudah dibentuk BUMDes
1 2 18 28 29 32 34 34 39 39 40 51 57 58
PENDAHULUAN
Latar Belakang Energi di Indonesia memegang peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat di Indonesia menggunakan energi sebagai bahan bakar untuk berbagai kebutuhan seperti pembangkit listrik, transportasi, industri, dan rumah tangga. Pangsa konsumsi energi final tahun 2000 adalah sektor rumah tangga (38,8%), industri (36,5%), transportasi (18,2%), lainnya (3,8%), dan komersial (2,7%). Komposisi ini berubah pada tahun 2011 menjadi industri (37,2%), rumah tangga (30,7%),transportasi (26,6%), komersial (3,2%), dan lainnya (2,4%). Selama kurun waktu 2000-2011, sektor transportasi mengalami laju pertumbuhan per tahun terbesar yaitu mencapai 6,47% per tahun, disusul sektor komersial (4,32%), dan sektor industri (3,05%). Sesuai dengan pertumbuhan penduduk yang mengalami tingkat pertumbuhan yang landai, maka selama kurun waktu tersebut laju pertumbuhan di sektor rumah tangga hanya mengalami laju pertumbuhan sebesar 0,7%, sedangkan laju pertumbuhan sektor lainnya mengalami penurunan dengan laju penurunan sebesar -1,47% (BPPT 2013). Pertumbuhan penduduk di Indonesia juga mendorong pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan energi sehingga terjadi eksploitasi energi untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Eksploitasi yang tinggi terhadap energi telah menyebabkan kelangkaan sumberdaya tidak terbarukan yang ditandai dengan tingginya harga seperti minyak bumi dan gas. Berdasarkan gambar 1, secara umum cadangan minyak bumi dan gas telah mengalami penurunan selama periode 2004-2012. Karena sifat non renewable resource dari migas dan kebutuhan migas yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi manusia, kelangkaan pada kedua sumber energi tersebut tidak dapat dihindarkan. Hal ini sesuai publikasi yang berjudul The Limit to Growth yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan sangat dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya alam (Meadow et al. 1972 dalam Fauzi 2006), dimana pertumbuhan ekonomi akan terus tumbuh seiring dengan pertumbuhan populasi manusia.
Sumber: Kementerian ESDM (2012)
Gambar 1 Cadangan Minyak Bumi dan Gas di Indonesia 2004-2012
2
Ketersediaan sumberdaya alam yang terbatas ini menyebabkan arus barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam tidak bisa dilakukan secara terus menerus (Fauzi 2006). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2, dimana pertumbuhan populasi yang semakin meningkat menyebabkan tekanan terhadap pemanfaatan minyak bumi yang pada akhirnya menyebabkan supply energi menjadi tidak dapat mencukupi demand terhadap minyak bumi. Hal ini menyebabkan kelangkaan yang disebabkan oleh demand yang lebih tinggi daripada supply minyak bumi.
Production
Consumption
Sumber: Hasan et al. (2012)
Gambar 2 Produksi dan Konsumsi Minyak Bumi di Indonesia Periode 1980- 2008 Tingginya harga minyak bumi di pasar dunia menyebabkan pemerintah Indonesia mengambil kebijakan subsidi untuk pemenuhan kebutuhan minyak bumi di Indonesia. Kebijakan pemerintah dengan menggunakan subsidi ini bertujuan untuk menjaga stabilitas perekonomian di Indonesia karena pertumbuhan ekonomi tidak bisa lepas dari kebutuhan energi. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingginya ketergantungan berbagai sektor terhadap energi, seperti sektor industri yang memerlukan banyak energi dalam menghasilkan output baik berupa barang maupun jasa. Kebijakan subsidi yang diberlakukan pemerintah di sisi lain juga menyebabkan peningkatan yang signifikan pada anggaran belanja pemerintah. Subsidi energi (untuk bahan bakar cair dan listrik) terus membentuk komponen tunggal terbesar dari pengeluaran di Indonesia dimana mencapai 2,5% dari PDB pada tahun 2012. Anggaran belanja total yang dialokasikan untuk subsidi bahan bakar seperti bensin, solar, minyak tanah dan LPG mencapai Rp 199,9 trilyun pada tahun 2013. Anggaran ini juga termasuk alokasi Rp 100 trilyun untuk subsidi listrik dan Rp 100 milyar untuk subsidi konsumsi LGV (gas cair untuk kendaraan). Alokasi subsidi bahan bakar pada tahun 2013 mencapai 17% dari total rencana belanja negara dengan tambahan 8% untuk subsidi listrik (IISD 2014)
3
Tabel 1 Indikator ekonomi dalam revisi APBN 2013 Indikator
Inflasi dari tahun ke tahun Pertumbuhan Tingkat suku bunga obligasi pemerintah Produksi minyak Produksi gas Nilai tukar dimodelkan (Rp/US$) Harga minyak mentah Indonesia (ICP) Subsidi bahan bakar (jumlah premium, solar, minyak tanah, LPG 3 kg digabung) Subsidi bahan bakar (volume premium, solar,minyak tanah digabung) Subsidi bahan bakar (volume LPG 3 kg)
APBN awal 2013
4,9%
APBN revisi 2013 (sebelum audit) Indikator makroekonomi 6,3%
5,5%
6,8% 5%
7,2% 5%
6,0% 5,5%
0,9 mbd2 1,36 mboed9 9.300
0,84 mbd 1,24 mboed 9.600
0,87 mbd 1,24 mboed 10.500
US$100/bbl
US$108/bbl
US$105/bbl
Belanja subsidi bahan bakar IDR 193 trilyun IDR 199,9 trilyun IDR 210,7 trilyun (US$17,4 milyar) (US$18,0 milyar) (US$19,0 milyar) 46mkl4
48 mkl
48 mkl
3,86 juta ton
4,39 juta ton
4,78 juta ton
Belanja subsidi listrik IDR 81,0 trilyun IDR 100,0 trilyun (US$7,3 milyar) (US$9,0 milyar) Fiscal Balance Pendapatan negara IDR 1.530 trilyun IDR 1.502 trilyun (US$137,7 milyar) (US$135,2 milyar) Belanja negara IDR 1.683 trilyun IDR 1.726 trilyun (US$151,5 milyar) (US$179,8 milyar) Defisit anggaran IDR 153,3 trilyun IDR 224,2 trilyun (jumlah) (US$13,8milyar) (US$20,2 milyar) Defisit anggaran 1,65% 2,38% (rasio defisit terhadap PDB) Subsidi listrik
APBN 2014
IDR 71,4 trilyun (US$6,4 milyar) IDR 1.667 trilyun (US$150,0 milyar) IDR 1.843 trilyun (US$167,7 milyar) IDR 175,3 trilyun (US$15,8 milyar) 1,69%
Sumber: IISD (2014)
Dampak lain dari penerapan subsidi ini adalah kerusakan lingkungan karena harga bahan bakar subsidi yang dijual menjadi lebih murah sehingga permintaan akan bahan bakar terus mengalami peningkatan dan eksploitasi terhadap sumberdaya tak terbarukan semakin meningkat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi ketergantungan energi pada sumberdaya tak terbarukan dan menekan biaya subsidi adalah dengan mengembangkan pemanfaatan energi terbarukan. Terdapat beberapa jenis energi terbarukan seperti energi yang dihasilkan dari matahari,
4
angin, biomassa, panas bumi, tenaga air dan sumberdaya di laut, biomassa padat, biogas, dan bahan bakar nabati (BBN) cair (IEA 2005). Biogas merupakan salah satu energi alternatif yang dapat dihasilkan dari limbah rumah tangga, kotoran hewan, kotoran manusia, dan sampah organik yang mengalami proses fermentasi oleh mikroorganisme. Adanya kenaikan harga liquid petroleum gas (LPG) pada Januari 2014 juga banyak mendorong pemanfaatan biogas sebagai bahan bakar pengganti LPG karena biogas merupakan energi yang murah dan ramah lingkungan (Sadzali 2010). Salah satu limbah yang berpotensi untuk menghasilkan biogas di Indonesia adalah limbah cair tahu. Indonesia memiliki jumlah industri tahu yang cukup banyak, yaitu mencapai sekitar 84.000 unit produksi tahu dengan kapasitas produksi lebih dari 2,56 juta ton per tahun (Kemenristek 2010). Jumlah industri tahu yang cukup banyak ini dalam proses produksinya akan menghasilkan limbah cair tahu, oleh karena itu limbah cair tahu sangat berpotensi untuk dapat diolah kembali untuk menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan bakar alternatif pengganti LPG. Pengolahan limbah cair tahu ini perlu dilakukan karena limbah cair tahu mengandung pencemar yang dapat berakibat buruk bagi biota dan lingkungan perairan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu et al. (2012) pada salah satu industri kecil tahu di Kabupaten Tegal, limbah cair tahu yang diamati mengandung konsenterasi Chemical Oxygen Demand (COD) yang jauh melampaui standar baku mutu yang sudah ditetapkan (275 mg/L) yaitu sebesar 4.150 mg/L. Berdasarkan standar baku mutu COD yang sudah ditetapkan yaitu sebesar 275 mg/L, konsenterasi COD yang terdapat di dalam limbah cair tahu sudah jauh melampaui batas yang apabila hal ini dibiarkan terus terjadi akan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan perairan dan kerusakan bahkan kematian pada biota perairan. Salah satu daerah yang sudah melakukan pengolahan limbah cair tahu dan memanfaatkan biogas yang dihasilkan dari pengolahan limbah cair tahu adalah Desa Kalisari, Kabupaten Cilongok, Purwokerto. Industri tahu yang terdapat di Desa Kalisari merupakan industri skala kecil atau lebih dikenal dengan Industri Kecil Menengah (IKM). Sebelum adanya pengolahan limbah cair dengan menggunakan IPAL, para pengrajin tahu membuang limbah cair tahu ke sungai sehingga menyebabkan pencemaran air sungai dan menimbulkan bau yang sangat menyengat. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan salah satu petugas puskesmas yang berada di Desa Kalisari, limbah cair tahu juga menyebabkan gatal-gatal pada warga yang mengonsumsi air sungai tersebut. Pasca pembangunan IPAL di Desa Kalisari, para pengrajin tahu mulai menyalurkan limbah yang dihasilkan dari proses produksi ke IPAL dan kemudian diolah menjadi biogas. Biogas ini yang kemudian didistribusikan kepada masyarakat untuk dikonsumsi sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah dan kayu bakar.
5
Rumusan Masalah Limbah yang dihasilkan dari proses produksi tahu terbagi menjadi dua yaitu limbah padat berupa ampas tahu dan limbah cair. Limbah padat berupa ampas tahu yang dihasilkan oleh sentra industri tahu di Desa Kalisari dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan keripik ampas tahu yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Namun tidak demikian halnya dengan limbah cair tahu. Sebelum adanya IPAL di Desa Kalisari, pengrajin tahu membuang limbah cair tahu ke sungai tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Limbah cair ini memiliki dampak yang sangat berbahaya apabila mencemari lingkungan perairan karena beban pencemar yang terdapat di dalam limbah cair ini tidak sesuai dengan baku mutu yang sudah ditetapkan (Kaswinarni 2007). Limbah industri pada pengolahan tahu dapat menimbulkan masalah karena limbah tersebut mengandung sejumlah besar protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan sisa-sisa bahan kimia yang digunakan saat pembersihan maupun pengolahan. Adanya kadar bahan organik yang tinggi pada buangan air serta bahan yang terikut dalam air pada pengolahan industri pangan akan menyebabkan gangguan pada ekologi lingkungan (Indrasti dan Fauzi 2009). Limbah cair berasal dari sisa perendaman, air tahu yang tidak menggumpal, dan potongan tahu yang hancur karena proses penggumpalan yang tidak sempurna. Limbah cair tahu apabila dibiarkan dapat berubah warna dari yang semula berwarna kuning menjadi warna hitam dan berbau busuk. Hal ini terjadi karena hasil pemecahan protein dan karbohidrat (Goendi et al. 2008). Berikut konsenterasi bahan pencemar yang terdapat di dalam limbah cair tahu. Tabel 2. Karakteristik Limbah Cair Tahu Parameter pH Zat organik BOD COD terlarut NTK Ammonium Nitrat Nitrit Total Phospat Alkalinitas total Asiditas total VSS TSS
Satuan Mg/L KmnO4 Mg/L Mg/L Mg NH3-N/L Mg NH3-N/L Mg/L Mg/L Mg PO43- - P/L Mg/L CaCO3 Mg/L CaCO3 Mg/L Mg/L
Nilai 5,435 9.449 6.586 8.640 297,5 11,2 25,355 0,0313 2,0232 860 1.270 150 2350
Baku mutu 5-9 500 100 20 20 5 400
Sumber: Deptan (2001)
Berdasarkan karakterisik limbah tahu pada tabel 2, terlihat bahwa nilai dari beban pencemar limbah cair tahu memiliki nilai yang lebih tinggi daripada standar baku mutu yang sudah ditetapkan. Contohnya pada COD, dimana nilai dari pengamatan limbah cair tahu sekitar 8.640, sedangkan standar baku mutu yang ditetapkan adalah hanya sebesar 100. Chemical Oxygen Demand atau COD merupakan jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia, dalam hal ini bahan buangan organik akan dioksidasi oleh Kalium bichromat menjadi gas CO2 dan H2O serta
6
sejumlah ion chrom. Semakin banyak Kalium bichromat yang diperlukan dalam reaksi oksidasi maka semakin banyak pula oksigen yang diperlukan. Hal ini menandakan bahwa air lingkungan semakin banyak tercemar oleh bahan buangan organik. Begitu pula dengan Biological Oxygen Demand atau BOD yang menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan untuk memecah atau mendegradasi bahan buangan organik yang ada di dalam air lingkungan tersebut. Pada umumnya air lingkungan atau air alam mengandung mikroorganisme yang dapat “memakan”, memecah, atau menguraikan bahan buangan organik. Jumlah mikroorganisme ini tergantung pada tingkat kebersihan air. Air yang bersih biasanya mengandung mikroorganisme yang relatif sedikit bila dibandingkan dengan air yang tercemar oleh bahan buangan yang bersifat antiseptik atau bersifat racun. Mikroorganisme yang memerlukan oksigen untuk memecah bahan buangan organik sering disebut bakteri aerobik, sedangkan yang tidak memerlukan oksigen disebut bakteri anaerobik. Apabila oksigen dalam air yang terlarut sudah habis maka bakteri aerobik akan mati dan bakteri anaerobik yang akan menggantikan tugas untuk memecah bahan buangan yang ada di dalam air (Wardhana 2004). Setelah pemerintah dalam hal ini Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) membangun IPAL di Desa Kalisari, jumlah pengrajin yang membuang limbah cair ke sungai sudah jauh berkurang. Hal ini disebabkan karena para pengrajin menyalurkan limbah yang dihasilkan dari proses produksi tahu ke IPAL untuk kemudian diolah menjadi biogas. Pembangunan IPAL yang dilakukan oleh Kemenristek dan BPPT ini sebelumnya masih belum memperhitungkan manfaat langsung yang dihasilkan oleh IPAL. Manfaat langsung yang dihasilkan dengan adanya IPAL ini diantaranya konversi pemanfaatan LPG ke biogas oleh rumah tangga yang ada di Desa Kalisari dan manfaat lingkungan lainnya seperti perbaikan kualitas air sungai di sekitar lokasi pembuangan limbah cair tahu. Oleh karena itu, nilai dari proyek tersebut masih belum merefleksikan nilai dari manfaat ekonomi atau sosial keberadaan IPAL pengolah limbah cair tahu. Instalasi Pengolahan Limbah yang ada di Desa Kalisari menimbulkan biaya untuk perawatan dan tenaga kerja yang digunakan untuk mengoperasikan IPAL, di samping itu IPAL juga membutuhkan bahan baku berupa limbah cair tahu untuk dapat terus menghasilkan output berupa biogas yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di Desa Kalisari. Pemanfaat biogas di Desa Kalisari terdiri dari para pengrajin tahu maupun non pengrajin tahu. Harga yang mereka bayarkan untuk pemanfaatan biogas untuk masing-masing rumah tangga adalah sama yaitu sebesar Rp 20.000/RT/bulan. Harga yang diterapkan ini tidak bersifat progresif sehingga timbul beberapa masalah salah satunya adalah free rider yang menyalahgunakan pemanfaatan biogas selain untuk memasak. Permasalahan lain adalah harga yang dikenakan kepada masing-masing rumah tangga ini masih belum diketahui apakah sudah dapat merefleksikan atau belum volume pemanfaatan biogas oleh masing-masing RT dan apakah harga yang dibayarkan sudah dapat menutupi semua biaya yang timbul dari pembangunan dan perawatan IPAL sehingga IPAL dapat terus beroperasi dan menghasilkan biogas secara berkelanjutan. Berdasarkan penjabaran rumusan masalah di atas maka dapat diuraikan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
7
1. Apa saja dan berapa biaya dan manfaat dari instalasi pengolahan limbah cair tahu menjadi biogas 2. Berapa harga yang sesuai dari pemanfaatam biogas dari limbah cair tahu oleh masyarakat 3. Berapa nilai kelayakan ekonomi dan finansial dari instalasi pengolahan limbah cair tahu 4. Bagaimana kelembagaan dan kebijakan dalam pengelolaan limbah cair tahu dan biogas secara berkelanjutan Tujuan Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk dapat melakukan pemanfaatan limbah cair tahu untuk menghasilkan biogas sebagai energi alternatif secara berkelanjutan di Desa Kalisari melalui kelembagaan yang diatur oleh pemerintah setempat. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah; 1. Mengidentifikasi dan mengestimasi biaya dan manfaat ekonomi instalasi pengolahan limbah cair tahu 2. Mengestimasi harga keekonomian biogas 3. Mengevaluasi kelayakan ekonomi instalasi pengolahan limbah cair tahu 4. Merumuskan kelembagaan dan kebijakan dalam pengelolaan limbah cair tahu dan biogas secara berkelanjutan
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Pemerintah Daerah: Harga pemanfaatan biogas diharapkan dapat menjadi acuan dalam pemanfaatan biogas di daerah lain 2. Bagi Pemerintah Pusat: Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait pemanfaatan energi alternatif 3. Bagi akademisi: Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya
Batasan Penelitian Batasan dalam penelitian digunakan untuk memudahkan peneliti untuk melakukan analisis dan juga perhitungan. Batasan dalam penelitian ini meliputi: 1. Penelitian ini terfokus pada biogas yang dihasilkan oleh limbah cair tahu yang terdapat di Desa Kalisari 2. Analisis kelayakan finansial dan ekonomi terfokus pada IPAL yang terdapat pada Biolita 3 yang masih terdapat pada kawasan Desa Kalisari karena data sekunder yang diperoleh merupakan satu-satunya data yang tersedia dan terlengkap sehingga dapat memudahkan proses perhitungan
8
3.
Data mengenai kondisi umum di Desa Kalisari merupakan data monografi tahun 2007 dan 2008 4. Responden pada penelitian ini difokuskan kepada responden pemanfaat biogas baik pengrajin tahu maupun non pengrajin tahu 5. Instalasi yang dinalisis hanyalah Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang berada di Biolita 3. Hal ini dikarenakan karena data biaya yang tersedia lengkap hanya data biaya digester di Biolita 3 6. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang berasal dari Pemerintah Kabupaten Banyumas pada tahun 2013. 7. Penentuan nilai estimasi menggunakan harga yang berlaku pada tahun 2013 8. Umur proyek adalah selama 15 tahun, hal ini didasarkan pada hasil wawancara dengan pihak pelaksana proyek yaitu pihak BPPT 9. Suku bunga yang digunakan adalah rata-rata suku bunga pinjaman pada tahun 2013 yaitu sebesar 12,73% 10. Tingkat suku bunga yang digunakan adalah konstan sepanjang umur proyek 11. Lahan yang digunakan untuk membangun IPAL merupakan lahan yang pada mulanya dimanfaatkan sebagai kolam lele, sehingga yang diperhitungkan adalah opportunity cost dari lahan tersebut 12. Dampak yang dianalisis dalam penelitian ini terbatas pada dampak langsung yang ditimbulkan dari limbah cair tahu
TINJAUAN PUSTAKA
Interaksi Energi dan Lingkungan Aktivitas ekonomi menggunakan sumberdaya alam dan input lain untuk mengubah input tersebut menjadi output yang bermanfaat. Proses baik produksi maupun konsumsi akan menghasilkan sampah yang kemudian dibuang ke lingkungan. Pada saat lingkungan digunakan sebagai sarana pembuangan limbah, terdapat batasan dimana lingkungan dapat mengabsorbsi dan mengasimilasi limbah di dalam sistem. Polusi lingkungan dapat disebabkan oleh fenomena alam dan aktivitas manusia (Bhattacharyya 2011). Permasalahan lingkungan dimulai pada saat limbah yang dibuang ke lingkungan melewati kapasitas asimilasi lingkungan. Polluter yang meyebabkan kerusakan lingkungan akibat aktivitas ekonomi yang mereka lakukan tidak bertanggung jawab atas limbah yang mereka keluarkan ke lingkungan, sehingga menyebabkan timbulnya eksternalitas (Bhattacharyya 2011) . Permasalahan yang timbul di Desa Kalisari sebelum adanya instalasi pengolahan limbah adalah pencemaran air sungai dan bau yang sangat menyengat dari limbah cair tahu yang dibuang ke sungai secara langsung tanpa melalui pengolahan. Sejak tahun 2009, pemerintah pusat telah membangun IPAL untuk pengolahan limbah cair tahu sehingga dapat menghasilkan output berupa biogas (Kemenristek 2009). Biogas ini dihasilkan dari limbah organik dan mengandung sebagian besar metana, CO2, dan air (Boyd 2012). Biogas diproduksi melalui proses-proses biologi yang terjadi dalam kondisi anaerobik (Amigun et al. 2010), hal ini dikarenakan limbah cair tahu memiliki kadar COD melebihi 8000 ppm sehingga pengolahannya menggunakan sistem anaerobik (Kemenristek 2009). Pengolahan secara anaerobik adalah proses biologis dimana mikroorganisme memecah bahan organik dalam kondisi anaerobik (tanpa oksigen) termasuk mencampur berbagai spesies yang berbeda dari mikroorganisme anaerobik yang kemudian mengubah senyawa-bahan organik tersebut menjadi biogas (Wilkie 2005). Manfaat dari biogas yang dihasilkan dari sistem pengolahan dengan menggunakan digester anaerobik diantaranya adalah pengurangan efek gas rumah kaca dan mengurangi pencemaran air (Yiridoe et al. 2009). Manfaat lain dari biogas adalah dapat digunakan sebagai sumber energi baik sebagai gas maupun listrik karena biogas mengadung metana sekitar 50-70 % yang dapat diolah untuk menghasilkan bahan bakar (Boyd 2012). Tidak seperti bahan bakar fosil, pemanfaatan biogas menunjukkan siklus karbon yang tertutup sehingga tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan konsenterasi karbon dioksida (Wilkie 2005).
Potensi Energi Terbarukan Energi terbarukan merupakan energi yang dihasilkan dari proses alam. Terpisah dari sumber energi utama seperti gas alam, mainyak, batu bara dan
10
tenaga air, Indonesia memiliki energi terbarukan yang sangat potensial seperti geotermal, angin, dan biomassa (Hasan M.H. et al. 2012). Sejak tahun 1990, sumber energi terbarukan di dunia mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 1,7% atau sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan Total Pasokan Energi Primer (TPES) dunia. Pertumbuhan tinggi terutama pada energi terbarukan “baru” yaitu angin dan matahari yang meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 19% dimana bagian terbesar terjadi di negara OECD yang mempunyai program angin berskala besar (IEA 2005). Di Indonesia sendiri tercatat pada tahun 2010 berdasarkan potensinya sumber daya panas bumi mencapai 29,038 GW dengan cadangan terbukti sebesar 2,29 Gwe, sementara pemanfaatan untuk pembangkit mencapai 1,16 GW, Potensi tenaga air sebesar sebesar 75,6 GW dengan pemanfaatan mencapai 6,65 GW, Potensi mikrohidro sebesar 769,69 GW dengan pemanfaatan sebesar 228,98 MW, potensi tenaga surya sebesar 22,45 MW dengan pemanfaatan sebesar 20 MWp, sementara potensi biomassa sebesar 49.81 GWe dengan pemanfaatan sebesar 1,6 GW (BPPT 2012). Berdasarkan data potensi dan pemanfaatan energi terbarukan terlihat bahwa pemanfaatan tertinggi dari energi terbarukan adalah mikrohidro dan pemanfaatan terendah adalah biomassa. Biogas merupakan gas yang diproduksi dari biomassa yang dapat berupa limbah atau sampah kota yang memiliki potensi yang cukup besar untuk dapat dimanfaatkan sebagai energi terbarukan dan sudah banyak dikembangkan di daerah pedesaan sebagai bahan bakar pengganti kayu bakar dikarenakan mudah dan murah dalam pengoperasiannya.
Biogas Sebagai Energi Alternatif Biogas merupakan energi terbarukan yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari energi fosil seperti minyak tanah dan gas alam (Haryati 2006). Biogas merupakan hasil akhir dari proses anaerobik dengan komponen utama CH4 dan CO2, H2, N2, dan gas lain seperti H2S. Nilai kalor biogas lebih tinggi dibandingkan sumber energi lainnya seperti batu bara (586 K.cal/m3) ataupun uap air (302 K.cal/m3), tetapi lebih rendah dari gas alam yaitu sebesar 967 K.cal/m3. Setiap 1 m3 biogas setara dengan 0.5 kg gas alam cair (liquid petroleum gas) atau setengah 0.5 L bensin atau 0.5 L minyak diesel. Sebagai pembangkit tenaga listrik, biogas mampu membangkitkan tenaga listrik sebesar 1.25-1.50 kwh (Wagiman 2007). Sebagai salah satu energi alternatif biogas mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan energi alternatif lainnya, selain bahan utama pembuat biogas dapat diperbaharui, biogas yang dihasilkan juga bersih dan mudah dikontrol dan bahan baku untuk membuat biogas dapat berasal dari limbah yang mempunyai nilai ekonomi nol. Dengan menggunakan teknologi yang tepat, limbah dengan nilai ekonomi rendah dapat diproses untuk menghasilkan biogas dengan nilai ekonomi yang tinggi dan hasilnya dapat bermanfaat bagi pengusaha maupun konsumen lainnya. Biogas dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik, energi panas bumi, maupun energi pengganti bahan bakar fosil. Selain itu biogas
11
juga mampu menggantikan kayu bakar dan minyak tanah dalam skala kecil. Pemanfaatan biogas sebagai pengganti minyak tanah dan kayu untuk kegiatan sehari-hari inilah yang sudah banyak diterapkan (Rahayu et al. 2012).
Analisis Biaya dan Manfaat Perhitungan manfaat dan biaya proyek pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua pendekatan tergantung pada pihak yang berkepentingan langsung di dalam proyek. Suatu perhitungan dikatakan sebagai analisis finansial apabila yang berkepentingan langsung dalam benefit dan biaya proyek ini adalah individu atau pengusaha. Benefit di dalam analisis finansial adalah apa yang diperoleh orangorang atau badan-badan swasta yang menanamkan modalnya dalam proyek tersebut (Gray et al. 1997). Analisis finansial terfokus pada hasil untuk modal saham (equity capital) yang ditanam dalam proyek, dan hasil yang didapat disebut dengan private returns. Analisis finansial ini penting artinya dalam memperhitungakan rangsangan bagi mereka yang turut serta dalam mensukseskan pelaksanaan proyek, sebab tidak ada gunannya melaksanakan proyek yang menguntungkan dilihat dari sudut pandang perekonomian keseluruhan jika mereka yang menjalankan kegiatan produksi tidak bertambah baik keadaannya (Kadariah 2001). Sebaliknya, suatu perhitungan dikatakan perhitungan sosial atau ekonomi apabila yang berkepentingan langsung dalam benefit dan biaya proyek adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Benefit di dalam analisis ekonomi adalah seluruh benefit yang yang terjadi dalam masyarakat sebagai hasil dari proyek dan semua biaya yang terpakai terlepas dari siapa saja yang menikmati benefit dan siapa yang mengorbankan sumber-sumber tersebut (Gray et al. 1997). Bagi orang-orang yang menentukann kebijakan, hal terpenting adalah mengarahkan pemanfaatan sumber-sumber yang langka kepada proyek-proyek yang dapat memberikan hasil yang paling banyak bagi perekonomian secara keseluruhan artinya yang dapat menghasilkan social returns yang paling tinggi. Pada dasarnya, perhitungan dalam analisis finansial dan analisis ekonomi dibedakan dalam hal pemanfaatan harga, subsidi, biaya investasi dan pelunasan pinjaman, dan bunga (Gittinger 1986; Gray et al. 1997; Kadariah 1986). Harga Harga yang digunakan dalam analisis privat merupakan harga pasar baik untuk sumber-sumber yang dipergunakan dalam proses produksi maupun untuk hasil-hasil produksi dari proyek, sedangkan dalam analisis ekonomi harga yang digunakan adalah harga bayangan atau shadow price atau accounting price. Harga bayangan ini merupakan harga-harga yang sudah mengalami penyesuaian yang menggambarkan nilai ekonomi yang sebenarnya dari barang dan jasa tersebut. Pajak Pajak di dalam analisis ekonomi tidak dikurangkan/dikeluarkan dari manfaat proyek. Pajak merupakan bagian dari hasil neto proyek yang diserahkan kepada pemerintah untuk digunakan bagi kepentingan masyarakat dan oleh karena itu tidak dianggap sebagai biaya, dengan kata lain pajak tidak termasuk dalam
12
sumber-sumber riil yang pemanfaatannya dalam proyek menyebabkan timbulnya social opportunity cost dari segi masyarakat. Subsidi Subsidi adalah transfer yang perhitungannya merupakan kebalikan dari pajak. Penerimaan subsidi di dalam analisis finansial berarti pengurangan biaya yang harus ditanggung oleh si pemilik proyek. Oleh sebab itu subsidi akan mengurangi biaya. Subsidi di dalam analisis ekonomi dianggap sebagai sumbersumber yang dialihkan dari masyarakat untuk digunakan dalam proyek. Oleh sebab itu subsidi yang diterima proyek adalah beban masyarakat. Biaya Investasi dan Pelunasan Pinjaman Biaya investasi pada permulaan proyek dalam analisis finansial hanyalah yang dibiayai dengan modal saham dari si penanam modal sendiri. Bagian investasi yang dibiayai dengan modal pinjaman, baik dari dalam maupun luar negeri tidak dianggap sebagai biaya pada saat dikeluarkannya, sebab pengeluaran modal milik pihak lain tidak merupakan beban dari segi penanam modal swasta. Di lain pihak, yang menjadi beban penanam modal adalah arus pelunasan pinjaman tersebut beserta bunganya pada tahap produksi nantinya. Biaya investasi dalam analisis ekonomi apakah seluruh biaya investasi, apakah dibiayai dengan modal yang dihimpun dari dalam ataupun luar negeri, dengan modal saham atau pinjaman, dianggap sebagai biaya proyek pada saat pelunasannya, sehingga pelunasan pinjaman yang digunakan untuk membiayai sebagian investasi itu diabaikan dalam perhitungan biaya ekonomi untuk menghindari perhitungan ganda. Bunga Bunga modal dalam analisis ekonomi tidak dikurangkan dalam atau dipisahkan dari hasil bruto, sedangkan dalam analisis finansial terdapat perbedaan antara a) bunga yang dibayarkan kepada orang-orang dari luar yang meminjamkan uangnya kepada proyek. Bunga ini dianggap sebagai biaya (cost), sedang pembayaran kembali hutang dari luar proyek dikurangkan dari hasil bruto sebelum didapatkan arus manfaat, b) bunga atas modal proyek (inputed or paid to the entitiy) tidak dianggap sebagai biaya karena bunga merupakan bagian dari financial returns yang diterima oleh modal proyek.
Ekonomi Pencemaran Proses produksi maupun konsumsi selain menghasilkan keuntungan dan juga kepuasan juga menghasilkan produk sampingan berupa limbah. Limbah merupakan bagian intrinsik atau bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas ekonomi dan akan meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas tersebut. Pada pendekatan konvensional, dampak tersebut tidak secara eksplisit diakomodasikan ke dalam model produksi dan konsumsi, padahal dengan mengabaikan dampak eksternalitas tersebut bukan hanya syarat bagi optimalisasi produksi dan konsumsi tidak terpenuhi, melainkan juga mengabaikan biaya sosial yang seharusnya ditanggung oleh penerima dampak (Fauzi 2006).
13
Pencemaran dalam perspektif biofisik dapat diartikan sebagai masuknya aliran residual (residual flow) yang diakibatkan oleh perilaku manusia ke sistem lingkungan. Apakah kemudian limbah ini mengakibatkan kerusakan atau tidak tergantung pada kemampuan penyerapan media lingkungan seperti air tanah, dan udara. Dari perspektif ekonomi, pencemaran bukan saja dilihat dari hilangnya nilai ekonomi sumberdaya secara kualitas dan kuantitas untuk menyuplai barang dan jasa, namun dampak dari pencemaran terhadap kesejahteraan terhadap masyarakat juga diperhitungkan (Fauzi 2006).
Eksternalitas Masalah yang dapat menyebabkan kegagalan pasar dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi secara efisien adalah eksternalitas. Eksternalitas timbul karena tindakan konsumsi atau produksi dari satu pihak mempunyai pengaruh kepada pihak lain dan tidak ada kompensasi yang dibayar oleh pihak yang menyebabkan atau kompensasi yang diterima oleh pihak yang terkena dampak tersebut. Adanya eksternalitas dari suatu kegiatan menyebabkan sistem perekonomian yang menggunakan sistem pasar persaingan tidak sempurna tidak dapat mengalokasikan sumber-sumber ekonomi secara efisien karena harga tidak mencerminkan dengan tepat akan kelangkaan faktor produksi, dalam hal eksternalitas negatif, biaya produksi yang dihitung oleh pengusaha lebih kecil dibandingkan biaya yang diderita oleh masyarakat (Mangkoesoebroto 2000). Eksternalitas juga dapat didefinisikan sebagai dampak (baik positif maupun negatif) dari suatu kegiatan (baik konsumsi maupun produksi) terhadap suatu pihak yang tidak melakukan kegiatan tersebut. Lebih spesifik lagi eksternalitas terjadi apabila kegiatan produksi atau konsumsi suatu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari puhak lain secar tidak diinginkan dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak (Fauzi 2006). Eksternalitas juga merupakan efek dari aktivitas ekonomi dari satu pihak ke pihak lain yang tidak diperhitungkan ke dalam sistem harga. Definisi ini menekankan pada dampak non pasar yang secara langsung berpengaruh pada satu pelaku dari pelaku lainnya (Juarna dan Harmoni 2005).
Dampak Limbah Tahu Industri tahu menghasilkan produk sampingan berupa limbah cair dan padat. Limbah yang dihasilkan oleh industri tahu dapat memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan dan kesehatan. Limbah padat yang dihasilkan dari industri tahu yang sebagian besar sudah dimanfaatkan oleh pengrajin tahu sebagai pakan ternak dan bahan baku bagi industri lain. Apabila ampas tahu ini tidak dimanfaatkan oleh pengrajin tahu dan langsung dibuang ke lingkungan akan berdampak buruk bagi lingkungan seperti bau busuk yang dihasilkan oleh kandungan bahan organik yang terdapat dalam ampas tahu (Indrasti dan Fauzi 2009). Sebagian besar pengrajin tahu masih belum melakukan pengolahan terhadap limbah cair yang mereka hasilkan. Biaya yang tinggi dan teknologi yang
14
sulit diterapkan merupakan hambatan utama para pengrajin tahu untuk melakukan pengolahan limbah cair tahu. Hal ini mengakibatkan sebagian besar para pengrajin tahu membuang limbah cair hasil proses produksi tahu ke sungai atau ke badan air lainnya secara langsung tanpa melalui proses pengolahan (Shaffitri 2011). Limbah cair tahu yang dihasilkan mengandung banyak zat organik yang dapat dijadikan tempat berkembangnya mikroba yang akan mencemari lingkungan sekitar. Senyawa organik apabila berada pada konsenterasi yang tinggi akan menimbulkan pencemaran pada lingkungan perairan. Kandungan fosfor, nitrogen, dan sulfir serta unsur hara lainnya akan mempercepat pertumbuhan tumbuhan air. Kondisi yang demikian akan menyebabkan kematian biota perairan (Sandriati 2010). Limbah cair tahu mengandung padatan tersuspensi maupun terlarut serta akan megalami perubahan fisika, kimia, dan hayati yang akan menimbulkan gangguan terhadap kesehatan karena menghasilkan zat beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya kuman penyakit atau kuman lainnya yang akan merugikan baik pada produk tahu maupun tubuh manusia. Apabila dibiarkan, air limbah tahu akan berubah warna menjadi cokelat kehitaman dan akan menimbulkan bau busuk. Apabila air limbah ini dialirkan ke sungai dan air sungai tersebut dikonsumsi oleh masyarakat maka akan menimbulkan gangguan kesehatan seperti gatal, diare, kolera, radang usus, dan penyakit lainnya (Kaswinarni 2007).
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai analisis ekonomi pengolahan limbah menjadi biogas sudah banyak dilakukan baik di Indonesia dan di internasional. Penelitian yang dilakukan sebagian besar menganalisis tentang kelayakan ekonomi dari digester anaerobik yang digunakan untuk mengolah limbah dengan menggunakan input limbah yang berasal dari kotoran sapi maupun jenis limbah rumah tangga tertentu. Beberapa penelitian mengenai analisis kelayakan pengolahan limbah menjadi biogas sebagian besar akan menghasilkan cash flow yang negatif. Hal ini disebabkan karena perusahaan atau pemerintah yang menjalankan proyek tersebut masih tidak memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan dari keberdaan pengolahan limbah tersebut. Penelitian terkait analisis kelayakan pengolahan limbah menjadi biogas diantaranya adalah penelitian Binkley et al. (2013), Klavon et al. (2013), Wang dan Calderon (2012), dan Oktaviani (2011). Penelitian Binkley et al. (2013) yang berjudul Electricity Purchase and Distributed Energy Policies for Anaeribic Digesters membahas tentang estimasi net present value (NPV) dari sisi petani. Sejalan dengan penelitian terdahulu, peneliti menemukan bahwa investasi untuk proyek ini tidak menghasilkan keuntungan marginal tanpa adanya subsidi dan pemanfaatan dari produk turunan yang dihasilkan oleh digester tersebut, namun pada saat proyek ini memperhitungkan manfaat sosial seperti pembelian karbon, NPV dari proyek ini bernilai positif. Penelitian Klavon et al. (2013) yang berjudul Economic Analysis of Small Case Agricultural Digesters in the United States yang membahas tentang analisis kelayakan ekonomi digester anaerobik yang menggunakan input dari peternakan
15
susu sapi yang memiliki rata-rata jumlah sapi berjumlah 100-250 ekor. Cash flow yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa biaya capital, biaya kapital per sapi, dan biaya bersih per sapi secara umum mengalami penurunan sejalan peningkatan jumlah sapi. Tidak ada satu sistem pun dari digester anaerobik yang memiliki cash flow positif. Pada saat memasukkan cost sharing sebesar 50% dan memasukkan nilai penerimaan dari pemanfaatan biogas, enam dari enam belas perusahaan susu sapi bernilai positif. Penelitian Wang dan Calderon (2012) yang berjudul Environmental and Economic Analysis of Application of Water Hyacinth for Eutrophic Water Treatment Coupled eith Biogas Productionmembahas tentang pilihan-pilihan untuk mengurangi dampak buruk dari air hyacinth karena air limbah tersebut berasal dari tumbuhan hyacinth yang berkembang biak sangat cepat yang dapat menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen pada air. Pilihan-pilihan yang digunakan untuk mengurangi dampak buruk dari air hyacinth ini diantaranya membangun instalasi pengolahan air dimana air hyacinth dapat digunakan sebagai bahan baku penghasil biogas. Pilihan lain dari pengurangan dampak buruk air hyacinth ini adalah hanya dengan membuang air hyacinth ini ke tempat pembuangan akhir. Hasil dari penelitian ini adalah pilihan dengan membangun instalasi pengolahan limbah lebih menguntungkan karena menghasilkan energi yang positif dan secara ekonomi juga menguntungkan karena biogas dapat dijadikan energi alternatif pengganti bahan bakar fosil, sementara pilihan membangun tempat pembuangan limbah tidak menguntungkan karena biomassa dari air hyacinth yang dibuang ke lingkungan tidak dapat memberikan keuntungan ekonomi karena hanya dibuang begitu saja ke lingkungan dan air hyacinth yang dibuang ke lingkungan menghasilkan emisi yang sampai ke atmosfer. Penelitian Oktaviani (2011) mengenai analisis ekonomi proyek pembangunan mikrohidro membahas tentang keuntungan yang didapat dari proyek pembangunan mikrohidro. Keuntungan yang didapat berupa manfaat langsung dari pemanfaatan energi alternatif sebagai sumber listrik di wilayah pedesaan dan memberikan kontribusi bagi penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Hasil penelitian yang didapat adalah bahwa dengan adanya manfaat langsung yang diperoleh masyarakat dari keberadaan mikrohidro, proyek ini memberikan keuntungan secara ekonomi dimana NPV dari proyek ini adalah positif. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa penelitian mengenai analisis kelayakan ekonomi pengolahan limbah menjadi biogas dalam hal ini digester anaerobik memang sudah banyak dilakukan, namun peneliti belum menemukan penelitian mengenai analisis kelayakan ekonomi pengolahan limbah yang menggunakan bahan baku limbah cair tahu untuk menghasilkan biogas. Selain itu, peneliti juga masih belum menemukan mengenai harga keekonomian yang sesuai untuk pemanfaatan biogas, sistem pembayaran, dan pengelolaan dalam pemanfaatan biogas. Berdasarkan penelitian sebelumnya maka peneliti akan mencoba untuk mengestimasi kelayakan ekonomi dari pengolahan limbah cair tahu untuk menghasilkan biogas, melakukan estimasi dalam menentukan harga keekonomian biogas (pricing biogas), dan merumuskan kelembagaan yang sesuai untuk pemanfaatan biogas agar biogas dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif pengganti LPG dan kayu bakar secara berkelanjutan.
KERANGKA PEMIKIRAN
Sentra industri tahu yang berada di Desa Kalisari, Kabupaten Banyumas dalam proses produksinya menghasilkan produk sampingan berupa limbah. Limbah yang dihasilkan dari proses produksi tahu ini terdiri dari limbah padat dan limbah cair. Limbah padat dari industri tahu ini kemudian dimanfaatkan menjadi pakan ternak dan ada pula yang diolah kembali menjadi keripik ampas tahu untuk dikonsumsi oleh manusia. Limbah cair yang dihasilkan dari industri tahu sebagian besar sudah diolah menggunakan IPAL menjadi biogas namun sebagian lagi masih dibuang secara langsung ke sungai akibat tidak adanya instalasi yang memadai untuk mendistribusikan limbah cair tersebut ke IPAL untuk diolah menjadi biogas yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Kalisari sebagai bahan bakar untuk memasak pengganti LPG dan kayu bakar. Keberadaan biogas sebagai bahan bakar alternatif menyebabkan masyarakat di Desa Kalisari dapat melakukan penghematan LPG kurang lebih sampai 70%. Pemanfaatan biogas di Desa Kalisari dilakukan oleh hampir seluruh warga Desa Kalisari baik para pengrajin maupun non pengrajin tahu dan untuk setiap pemanfaatan biogas selama satu bulan masyarakat harus membayar biogas ke pihak desa sebesar Rp 20.000/RT/bulan. Harga yang dibayarkan oleh warga adalah sama untuk setiap jumlah jam memasak masing-masing rumah tangga. Artinya, harga biogas yang diberlakukan tidak bersifat progresif dimana harga biogas akan menjadi lebih mahal untuk rumah tangga yang mengonsumsi biogas lebih banyak berdasarkan jumlah jam memasak yang mereka lakukan. Penentuan nilai ekonomi atau harga dari biogas dalam penelitian ini diperlukan untuk analisis kelayakan ekonomi dan keberlanjutan dari pemanfaatan biogas. Nilai ekonomi dari biogas yang lebih murah dan lebih ramah lingkungan diharapkan dapat menjadi insentif bagi masyarakat untuk terus mempertahankan pemanfaatan biogas sebagai pengganti bahan bakar fosil yang ketersediaannya terbatas Apabila harga biogas, biaya dan manfaat sosial sudah diestimasi maka selanjutnya dapat dilakukan evaluasi terhadap proyek pembangunan IPAL dengan melakukan analisis kelayakan finansial dan ekonomi. Analisis kelayakan dilakukan dengan maksud untuk melihat sejauh mana proyek ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat setempat dan untuk melihat bagaimana potesi dari keberlanjutan proyek ini. Terdapat dua kemungkinan yang dihasilkan dari analisis kelayakan ini, kemungkinan pertama adalah pemerintah tetap akan mengalami kerugian apabila Net Present Value dari proyek ini bernilai negatif, hal ini diartikan bahwa keseluruhan manfaat masih di bawah biaya total dari pembangunan biogas. Kemungkinan kedua adalah Net Present Value yang akan bernilai positif dimana proyek ini akan menguntungkan apabila terus dikembangkan dan dapat menjadi insentif bagi wilayah yang merupakan sentra industri tahu untuk membangun IPAL yang dapat menghasilkan biogas. Analisis keberlanjutan pemanfaatan biogas dilakukan untuk melihat apakah IPAL yang sebelumnya sudah dibangun oleh pemerintah pusat dapat terus dimanfaatkan secara berkelanjutan sehingga biogas juga dapat dihasilkan secara berkelanjutan. Analisis ini dilakukan dengan cara membandingkan nilai yang didapat dari analisis kelayakan ekonomi dan finansial. Apabila proyek tesebut
17
sudah layak, maka potensi pengembangan biogas dapat terus dilakukan bahkan dapat menarik minat pihak swasta untuk berinvestasi dalam usaha pengembangan biogas sebagai energi alternatif. Sebaliknya, apabila proyek ini tidak layak untuk dijalankan, maka perlu adanya perhatian khusus dalam pengembangan pemanfaatan biogas seperti subsidi. Analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis secara kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan profil industri tahu di Desa Kalisari, karakteristik responden, identifikasi manfaat dan biaya sosial dari adanya pembangunan IPAL, dan analisis pemanfaatan biogas secara berkelanjutan dengan mengidentifikasi para aktor yang terkait dengan para pemanfaat dan pengelola biogas di Desa Kalisari. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengestimasi harga atau nilai ekonomi biogas serta estimasi biaya dan manfaat sosial pembangunan IPAL. Estimasi harga biogas dapat dilakukan dengan menggunakan metode Break Even Point (BEP). Estimasi manfaat sosial dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik valuasi seperti market price approach, sedangkan biaya sosial diestimasi dengan menggunakan opportunity cost dari pemanfaatan lahan untuk membangun IPAL. Alur kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 3.
18
Gambar 3 Kerangka Pemikiran
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di sentra produksi tahu yang berada di Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Purwokerto. Penentuan lokasi ini dilakukan secara sengaja karena lokasi tersebut merupakan salah sentra industri tahu yang sudah mengolah limbah cair tahu menjadi biogas dan sudah memanfaatkan biogas sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah dan kayu bakar. Pengambilan data dilakukan pada bulan April 2014.
Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kuesioner yang akan diambil dari para pengrajin tahu yang melakukan penyaluran limbah cair tahu ke IPAL, pengrajin tahu yang sudah pengrajin tahu yang sudah memanfaatkan biogas sebagai bahan bakar alternatif, dan pengrajin tahu yang belum menggunakan biogas sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah dan kayu bakar, dan masyarakat non pengrajin tahu. Wawancara juga dilakukan dengan pihak aparat desa, pihak Kementrian Riset dan Teknologi, dan BPPT. Data Sekunder yang dikumpulkan meliputi data mengenai profil Desa Kalisari, kandungan beban pencemar limbah cair tahu, biaya pembangunan IPAL, dan studi literatur dari penelitian sebelumnya.
Metode dan Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data cross section. Data cross section menggambarkan pengamatan-pengamatan pada suatu periode waktu dan biasanya nilai-nilai tersebut diukur atau diamati dari objek atau unit pengamatan yang berbeda-beda (Juanda 2009). Data yang diperoleh dari kelompok pengrajin tahu yang menggunakan biogas dan yang belum menggunakan biogas untuk melihat seberapa besar konsumsi biogas dan seberapa besar jumlah pengeluaran terhadap LPG apabila tidak menggunakan biogas dengan asumsi jumlah waktu untuk memasak adalah sama. Metode pengambilan contoh atau metode penentuan responden akan dilakukan dengan menggunakan metode cluster sampling. Cluster sampling adalah teknik memilih sampel dari kelompok-kelompok unit-unit kecil atau cluster. Populasi dari cluster merupakan subpopulasi dari total populasi. Unsur-unsur dalam cluster sifatnya tidak homogen, yang berbeda dengan unit-unit elemen dalam strata. Tiap cluster memiliki anggota yang heterogen menyerupai populasi sendiri (Nazir 2005). Tahapan pertama yang dilakukan dalam memilih sampel adalah menentukan daerah yang menjadi sentra industri tahu skala rumah tangga secara sengaja, yaitu Desa Kalisari, Kecamatan Cilongok, Purwokerto. Alasan pemilihan daerah tersebut adalah karena Desa Kalisari memiliki pengrajin tahu yang sebagian besar sudah menyalurkan limbahnya ke IPAL dan juga desa ini
20
merupakan salah satu desa yang sudah banyak menggunakan biogas dari hasil pengolahan limbah cair tahu sebagai bahan bakar pengganti LPG. Tahap kedua adalah memilih populasi yang tersebar di sekitar empat digester atau pengolahan limbah cair itu berada karena lokasi pengolahan limbah cair yang tersebar. Tahapan selanjutnya adalah menentukan sampel berdasarkan skala produksi tahu berdasarkan jumlah kedelai yang digunakan untuk memproduksi tahu. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 80 responden yang menggunakan biogas yang teridiri dari 40 responden pengrajin tahu dan 40 responden non pengrajin tahu.
Metode Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Identifikasi biaya dan manfaat dilakukan dengan mengguanakan analisis deskriptif kualitatif. Estimasi biaya dan manfaat dari adanya proyek IPAL dilakukan dengan mengguanakan metode market price approach dan shadow price (Suparmoko 2009). Estimasi nilai ekonomi biogas dilakukan dengan menggunakan metode Break Even Point (Thuesen dan Fabrycky 1993). Analisis ekonomi dilakukan dengan menggunakan metode cost benefit analysis (Gittinger 1986) dan analisis kebijakan dalam pemanfaatan dan kelembagaan biogas dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Berikut matriks metode penelitian yang disajikan pada Tabel 3.
21
Tabel 3. Matriks Metode Penelitian Tujuan Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Mengidentifikasi dan mengestimasi biaya dan manfaat ekonomi instalasi pengolahan limbah cair tahu
Mengestimasi harga pemanfaatan biogas
Manganalisis kelayakan ekonomi instalasi limbah cair tahu
Menganalisis kelembagaan pemanfaatan biogas secara berkelanjutan
Biaya privat Manfaat privat Biaya sosial Manfaat sosial
Jumlah limbah yang dihasilkan selama satu hari Jumlah jam memasak per rumah tangga per hari Pemanfaatan LPG sebelum dan sesudah pemanfaatan biogas Konversi berat LPG ke biogas Biaya investasi, biaya persiapan, biaya operasional, biaya pembaharuan Biaya kesempatan akibat pembangunan IPAL seperti biaya pembebasan tanah Manfaat langsung akibat adanya proyek IPAL Manfaat tidak langsung dari adanya proyek pembangunan IPAL seperti peningkatan pendapatan masyarakat, dan penyerapan tenaga kerja Hasil estimasi harga biogas Hasil analisis kelayakan ekonomi Hasil wawancara dengan aparat desa mengenai mekanisme pembayaran iuran pemanfaatan biogas
Metode Pengumpulan Data Kuesioner dengan 40 pengrajin tahu Kuesioner dengan 40 masyarakat non pengrajin tahu Wawancara dengan instansi terkait seperti BPPT, aparat Desa Kalisari, dan BP LH Kabupaten Banyumas Kuesioner dengan 40 pengrajin tahu Kuesioner dengan 40 masyarakat non pengrajin tahu Data hasil penelitian terdahulu mengenai konversi berat LPG ke biogas
Kuesioner dengan 40 pengrajin tahu Kuesioner dengan 40 masyarakat non pengrajin tahu Wawancara dengan instansi terkait seperti BPPT, aparat Desa Kalisari, dan BP LH Kabupaten Banyumas
Metode Analisis Data market price approach, shadow price
Metode biaya produksi dan Break Even Point (BEP)
Cost analysis
benefit
Analisis deskriptif
22
Estimasi Biaya dan Manfaat Sosial Pengolahan Limbah Cair Tahu Manfaat ekonomi yang dihasilkan dari proyek pembangunan IPAL diantaranya berupa manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat intangible (Kadariah 1986). Manfaat langsung yang dirasakan oleh masyarakat akibat pembangunan IPAL adalah pemanfaatan output berupa biogas yang digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti LPG. Manfaat tidak langsung dari pembangunan biogas diantaranya adalah peningkatan produktivitas lahan pertanian. Estimasi manfaat ekonomi dari adanya pembangunan IPAL di Desa Kalisari dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik valuasi seperti metode market price approach. Beberapa manfaat yang dirasakan oleh masyarakat akibat pembangunan IPAL di Desa Kalisari diataranya adalah peningkatan produktivitas pertanian, dan penghematan bahan bakar LPG akibat adanya konversi bahan bakar dari LPG ke biogas. Manfaat Sosial Estimasi manfaat ekonomi dari pembangunan IPAL diperoleh dengan cara menghitung perbedaan pengeluaran yang digunakan untuk membeli LPG 3kg dengan pengeluaran yang digunakan untuk membayar iuran pemanfaatan biogas. Secara umum estimasi ini dapat diformulasikan sebagai berikut: ∆B=
𝑛 𝑖=1(𝐵1𝑖
− 𝐵2𝑖 ) ...................................................................................(1.1)
Keterangan: ∆B = manfaat ekonomi pemanfaatan biogas B1 = pengeluaran sebelum menggunakan biogas B2 = pengeluaran setelah menggunakan biogas n = jumlah sampel i = responden (1, 2, 3,...,n) Biaya Sosial Biaya sosial yang timbul dari adanya pembangunan IPAL adalah opportunity cost dari tanah yang digunakan untuk membangun IPAL dan juga tenaga kerja yang Menurut Kadariah (1986), Biaya sosial yang akan diestimasi di dalam penelitian ini adalah opportunity cost dalam pemanfaatan tanah. Opportunity cost dari tanah merupakan produksi yang dikorbankan karena tanah dimanfaatkan untuk proyek IPAL, dengan kata lain apabila tanah yang dipakai dalam proyek ini sebelumnya sudah menghasilkan, maka yang dihitung sebagai opportunity cost dari tanah adalah nilai sekarang neto yang atau NPV bagi produksi yang dikorbankan ituberdasarkan harga pasar. The opportunity cost bagi tanah dapat berupa: 1. Nilai neto produksi yang hilang 2. Nilai sewa tanah 3. Estimasi langsung mengenai kemampuan tanah untuk berproduksi
23
Estimasi Nilai Ekonomi Biogas Estimasi harga biogas ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan BEP (Break Even Point). Estimasi ini dilakukan pada digester yang berada pada Biolita 3 dengan daya tampung limbah cair tahu sebesar 1400 liter per hari dan jumlah pemanfaat biogas sebesar 67 rumah tangga. Asumsi yang digunakan dalam estimasi ini adalah jumlah biogas yang dimanfaatkan oleh setiap rumah tangga adalah sama yaitu kurang lebih sebesar sebesar 1,8 m3 per hari dan jumlah produksi biogas di setiap harinya adalah sudah maksimal yaitu sebesar 125,4 m3 per hari. Komponen biaya tetap dalam perhitungan harga biogas meliputi biaya listrik dan upah tenaga kerja, sedangkan biaya variabel dalam penetapan harga biogas ini sama dengan nol. Berikut rumus dalam menentukan harga jual biogas dengan menggunakan pendekatan BEP (Thuesen dan Fabrycky 1993). BEP
= 𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎
Jumlah produksi
= 𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎
Harga jual per unit =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡 𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡 – 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡 𝑗𝑢𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡 – 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡
..........................(1.2)
...........................(1.3)
+ 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡....(1.4)
Analisis Kelayakan Ekonomi Pembangunan Instalasi Pengolahan Limbah Cair Tahu Hanley dan Barbier (2009) menyatakan bahwa analisis biaya dan manfaat merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengukur apakah manfaat dari suatu kegiatan tertentu lebih besar dari biaya yang diukur berdasarkan sudut pandang masyarakat secara keseluruhan. Metode analisis biaya dan manfaat memiliki enam tahapan analisis diantaranya: a.
Definisi proyek Tahap ini mencakup objek yang akan dianalisis secara jelas, pertimbangan siapa yang akan merasakan kesejahteraan dengan adanya proyek ini, dan selama berapa lama periode proyek ini berlangsung, dan di dalam penelitian ini, objek yang akan dianalisis adalah instalasi pengolahan limbah cair menjadi biogas. Penelitian ini juga akan membahas mengenai dampak yang dirasakan oleh masyarakat sekitar dengan adanya instalasi pengolahan limbah tahu menjadi biogas dilihat dari sudut pandang masyarakat secara keseluruhan di Desa Kalisari yang menggunakan biogas yang dihasilkan IPAL untuk aktivitas memasaka sehari-hari. Proyek IPAL ini diasumsikan memiliki umur ekonomi selama 15 tahun.
24
b.
Identifikasi dampak fisik dari proyek. Setiap proyek memiliki implikasi terhadap alokasi sumberdaya seperti pemanfaatan tenaga kerja untuk membangun akses jalan, tambahan produksi listrik dari adanya pembangunan pembangkit tenaga listrik baru, tambahan pemanfaatan tanah untuk membangun waduk. Dampak fisik yang ditimbulkan oleh proyek pembangunan IPAL menjadi biogas diantaranya pembebasan tanah yang dilakukan untuk membangun digester dan pemanfaatan tenaga kerja untuk melakukan perawatan dan operasional IPAL.
c.
Valuasi Dampak Hal terpenting dalam analisis biaya dan manfaat adalah memoneterkan nilau dari keseluruhan dampak. Secara umum prinsip dalam valuasi adalah memoneterkan nilai dari biaya dan manfaat sosial. Pada saat pasar bekerja dengan baik maka harga pasar, supply, dan demand sudah dapat menggambarkan manfaat dan biaya sosial, namun terkadang pasar mengalami kegagalan, contohnya pada saat kegiatan perusahaan swasta dan rumah tangga menghasilkan biaya yang dikeluarkan oleh pihak lain, contohnya polusi dari pembangkit listrik yang menggunakan batubara mengakibatkan dampak yang buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Karena tidak ada pasar bagi beberapa barang lingkungan seperti keanekaragama hayati dan kualitas air sungai maka beberapa teknik valuasi dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode valuasi untuk memoneterkan nilai dari barang-barang lingkungan
d.
Discounting aliran manfaat dan biaya Apabila aliran manfaat dan biaya sosial sudah dimoneterkan maka tahapan terpenting selanjutnya adalah mentransformasikan nilai tersebut ke dalam present value (PV). Hal ini muncul akibat adanya nilai waktu dari uang atau preferensi waktu. Secara umum teknik discounting dari manfaat dan biaya sosial adalah: PV (Xt) =
𝑋𝑡 (1+𝑖)𝑡
........................................................................................(1.5)
Keterangan: PV = nilai sekarang X = nilai sekarang dari manfaat dan biaya sosial i = tingkat suku bunga t = waktu (dalam tahun), dari awal pembangunan instalasi (t=0) hingga instalasi tersebut tidak dapat dimanfaatkan lagi e.
Aplikasi uji Net Present Value (NPV), IRR, Net B/C, Gross B/C Tujuan dari analisis biaya dan manfaat adalah untuk membantu proyek yang akan dilakukan agar alokasi sumberdaya untuk menjalankan proyek tersebut dilakukan secara efisien. Kriteria yang dapat dialikasikan untuk menguji hal tersebut adalah dengan menggunakan Net Present Value (NPV). Secara umum formulasi dari NPV adalah :
25
𝐵𝑡 −𝐶𝑡 𝑛 𝑡=0 (1+𝑖)𝑡 .................................................................................(1.6)
𝑁𝑃𝑉 =
Keterangan: NPV = nilai bersih saat ini Bt = manfaat pada tahun ke-t (Rp) Ct = biaya pada tahun ke-t (Rp) i = tingkat suku bunga (%) IRR tingkat investasi adalah tingkat suku bunga (disccount rate) yang menunjukkan nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah keseluruhan investasi proyek. Nilai IRR yang Iebih besar dibandingkan dengan tingkat suku bunga yang berlaku menunjukkan proyek layak untuk dilaksanakan (Horne,1977). Secara umum perkiraan IRR dapat dihitung dengan cara 𝐵𝑡 𝑛 𝑡=1 (1+𝑟)𝑡
=
𝐶𝑡 𝑛 𝑡=1 (1+𝑟)𝑡 ….……………………….…………………..................……………(1.7)
Keterangan: IRR = discount rate sosial yang membuat NPV proyek sama dengan nol Bt = manfaat pada tahun ke-t (Rp) Ct = biaya pada tahun ke-t (Rp) Secara umum perkiraan Net B/C dapat dihitung dengan cara (Gray et al. 1997) 𝐵
𝑁𝑒𝑡 𝐶 = dimana
𝑛 𝐵𝑡 −𝐶𝑡 𝑡=0 1+𝑖 𝑡 𝑛 𝐶𝑡 −𝐵𝑡 𝑡=0 1+𝑖 𝑡
𝐵𝑡 −𝐶𝑡 𝑛 𝑡=0 1+𝑖 𝑡
........................................................................(1.8) > 0 dan
𝑛 𝐶𝑡−𝐵𝑡 𝑡=0 1+𝑖 𝑡
<0
Keterangan: Bt = manfaat pada tahun ke-t (Rp) Ct = biaya pada tahun ke-t (Rp) i = tingkat suku bunga (%) Secara umum perkiraan Net B/C dapat dihitung dengan cara (Gray et al. 1997)
𝐺𝑟𝑜𝑠𝑠 𝐵/𝐶 = f.
𝐵𝑡 𝑛 𝑡=0(1+𝑖)𝑡 𝐶𝑡 𝑛 𝑡=0(1+𝑖)𝑡
................................................................(1.9)
Analisis sensitivitas Uji NPV menggambarkan tentang efisiensi dari proyek yang dijalankan. Apabila data input berubah maka nilai NPV juga akan mengalami perubahan. Hal-hal yang menyebabkan data mengalami perubahan adalah faktor ketidakpastian. Pada beberapa kasus dimana analisis manfaat biaya digunakan, analis harus dapat membuat prediksi yang terfokus pada aliran fisik di masa yang akan datang seperti jumlah listrik yang diproduksi per tahun dan nilai relatif di masa yang akan datang seperti harga dari listrik itu sendiri. Apabila dampak lingkungan dimasukkan ke dalam analisis
26
biaya dan manfaat maka ketidakpastian juga akan semakin besar. Hal yang paling penting dari tahap akhir analisis biaya manfaat adalah membangun analisis sensitivitas. Hal ini diartikan sebagai perhitungan ulang nilai NPV pada saat nilai-nilai dari parameter kunci dalam analisis mengalami perubahan.
Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Biogas Secara Berkelanjutan Analisis kelembagaan pemanfaatan biogas secara berkelanjutan dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Analisis ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi setiap aktor yang berperan dalam pemanfaatan biogas dan pengoperasian IPAL. Analisis ini juga mendeskripsikan kelembagaan pemanfaatan yang sudah berjalan di Desa Kalisari, identifikasi kelemahan dan kekurangan dalam kelembagaan tersebut serta rekomendasi model kelembagaan dalam pemanfaatan biogas di Desa Kalisari berdasarkan observasi terhadap kelembagaan yang sudah ada agar pemanfaatan biogas dapat berjalan secara berkelanjutan dan model kelembagaan ini dapat diterapkan di tempat lain.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Fisik Daerah Kondisi fisik daerah di Desa Kalisari dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori, yaitu letak dan luas wilayah, topografi dan jenis tanah dan Iklim. Letak dan Luas Wilayah Secara administratif Desa Kalisari termasuk dalam wilayah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, terletak di Banyumas bagian barat dari ibukota Kecamatan Cilongok Desa Kalisari berjarak sekitar 4 km, yang dapat ditempuh dengaan angkutan pedesaan umum dalam 20 menit, sedangkan Desa Kalisari dari pusat Kabupaten Banyumas berjarak sekitar 17 km. Waktu tempuh menuju ibukota kabupaten sekitar 35 menit dengan menggunakan kendaraan pribadi. Desa Kalisari terdiri atas 2 dusun yaitu dusun I yang berada disebelah timur yang dibagi atas 2 RW. Dusun II berada di sebelah barat yang dibagi atas 2 RW. Luas wilayah Desa Kalisari adalah 204,355 Ha dengan batas – batas desa sebagai berikut : a. Sebelah Utara : Desa Karang Tengah b. Sebelah Barat : Desa Cikembulan Kec. Pekuncen c. Sebelah Selatan : Desa Lesmana Kec. Ajibarang d. Sebelah Timur : Desa Karanglo Topografi dam jenis Tanah Desa Kalisari memiliki konfigurasi berupa dataran rendah ketinggian antara 220 m diatas permukaaan laut (mdpl). Suhu di daerah Desa Kalisari masih dalam batas normal. Tanah di desa kalisari sebagian tanahnya adalah berupa tanah pertanian Iklim Iklim suatu daerah sangat berpengaruh dalam kehidupan terutama untuk pertumbuhan tanaman dan kelangsungan hidup hewan ternak. Bersamaan dengan iklim di suatu tempat mahluk hidup akan saling berinteraksi, yang dalam kurun waktu tertentu akan menentukan kondisi disuatu wilayah. Curah hujan rata – rata adalah 2000m – 3000m pertahun Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Kondisi sosial ekonomi di Desa Kalisari diklasifikasikan menjadi delapan kategori, yaitu jumlah penduduk, tingkat pendidikan, jenis mata pencaharian, pola pemanfaatan lahan, kepemilikan hewan ternak dan perikanan, sarana dan prasarana, sistem usaha tani, dan kelembagaan desa. Jumlah penduduk Desa Kalisari pada tahun 2008 memiliki 1269 kepala keluarga (KK) dengan jumlah penduduk 4893 jiwa yang terdiri dari 2509 laki – laki dan 2456 perempuan, rata–rata setiap keluarga terdiri dari 4 Anggota keluarga. Komposisi
28
penduduk Desa Kalisari menurut usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada gambar 4. 4 berikut :
Sumber: Data sekunder diolah (2008)
Gambar 4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Berdasarkan Gambar 4, usia kerja dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu angkatan kerja muda (5–24 tahun ), angkatan kerja produktif (25–44 tahun), dan angkatan kerja tua (50–59 tahun), sehingga apabila dikelompokkan kembali maka dapat diketahui bahwa golongan usia produktif berjumlah 3067 jiwa ( 62,68 %) dan golongan usia tidak produktif adalah 1826 jiwa (37, 32 %). Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan didesa kalisari tergolong sedang, hal ini didukung adanya fasilitas pendidikan di Desa Kalisari yaitu diantaranya telah tersediannya 3 Taman Kanak – kanak, 1 Sekolah Dasar, 1 Madrasah Ibtidaiyah. Sebagian besar penduduk desa Kalisari adalah tamatan SD yaitu 2395 orang disusul belum tamat SD 342 orang, 319 tamatan SLTA.Komposisi penduduk Desa Kalisari berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tingkat Pendidikan S1 / S2 D1 D2 D3 Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat SD Belum Tamat SD Tidak Tamat SD Belum diketahui Jumlah
Sumber : Data monografi Desa Kalisari (2008)
Jumlah 51 / 2 5 5 16 319 267 2395 342 311 1182 4893
29
Mata Pencaharian Mata pencaharian sebagian besar keluarga di desa Kalisari adalah pada bidang pertanian sekitar 390 orang, sedangkan sebagai buruh industri pada urutan berikutnya yaitu sekitar 374 orang, mata pencaharian lain dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5. Komposisi Penduduk Desa Kalisari Menurut Mata Pencaharian No Mata Pencaharian Jumlah 1 Petani Sendiri 130 2 Petani Buruh 260 3 Nelayan 0 4 Pengusaha 6 5 Buruh Industri dan Industri Tahu 374 6 Buruh bangunan 124 7 Pedagang 32 8 Pengangkutan 4 9 PNS/TNI Polri 57 10 Pensiunan 23 11 Peternak 12 12 Lain – lain 6 Montir 4 Penderes Kelapa 13 Belum diketahui 3810 Jumlah 4893 Sumber : Data monografi Desa Kalisari (2007)
Pola Pemanfaatan Lahan Luas Desa kalisari seluruhnya adalah 204,355 ha, mayoritas penduduk desa kalisari mempunyai pekerjaan pengrajin tahu dan petani. Maka pola pemikiran lahan sangat berkaitan erat dengan mata pencahariannya. Lahan tersebut terbagi atas 130 ha tanah sawah, 30,035 ha tanah pemukiman, 21 ha tanah pekarangan, dan sisanya adalah tanah untuk tempat pendidikan, lapangan, jalan, pemakaman dan lain–lain. Lahan-lahan sawah di Desa Kalisari dialiri oleh air irigasi yang bersumber dari sungai-sungai yang juga merupakan tempat pembuangan limbah cair tahu, namun semenjak dibangun IPAL di Desa Kalisari, pencemaran sungai yang menjadi sumber air irigasi tersebut sudah jauh berkurang. Berikut presentasi dari pola pemanfaatan lahan di Desa Kalisari.
Sumber: Data monografi Desa Kalisari diolah (2007)
Gambar 5 Pola Pemanfaatan Lahan di Desa Kalisari
30
Komposisi pola pemanfaatan lahan di Desa Kalisari apabila dipresentasikan masing-masing untuk tanah sawah, tanah pemukiman, tanah pekarangan, hutan negara, dan lain-lain adalah 64%, 15%,10%, 0%, dan 11 %. Kepemilikan Ternak dan Perikanan Selain sebagai petani, buruh tani dan pengrajin tahu, pada umumnya penduduk Desa Kalisari juga memelihara hewan ternak. Jenis ternak yang dipelihara antara lain sapi, kambing, kelinci, ayam, babi dan bebek. Pemeliharaan ternak dilakukan oleh penduduk Desa Kalisari sebagai pekerjaan sambilan dan bukan sebagai pekerjaan utama. Hewan ternak berupa sapi, kambing, kelinci, sebagian besar dikandangkan oleh penduduk, hal ini dikarenakan kurangnya lahan yang dimiliki untuk kebebasan hewan itu. Hewan ternak di Desa Kalisari sebagian besar diberikan pakan ternak yang bersumber dari limbah padat tahu dimana peternak dapat membelinya kepada para pengrajin tahu seharga Rp 500/kg. Hijauan untuk pakan ternak itu diperoleh dari sawah, pekarangan, tegalan dan kebun / ladang yang ada. Adapun di bidang perikanan masyarakat Desa Kalisari banyak yang memiliki kolam ikan juga kelompok–kelompok yang memiliki lahan perikanan di aliran sungai. Jumlah kepemilikan hewan ternak dapat dilihat pada tabel berikut :
No 1 2 3 4 5 6 7
Tabel 6. Komposisi Kepemilikan Ternak di Desa Kalisari Kepemilikan Ternak Jumlah ( Ekor ) Sapi / kerbau 12 / 13 Kambing 139 Kuda 2 Kelinci 45 Ayam 2914 Bebek 260 Babi 98 Jumlah 3342
Sumber : Data sekunder monografi Desa Kalisari (2007)
Sarana Prasarana Lalu lintas perhubungan dengan cilongok sebagai ibukota kecamatan dan Purwokerto sebagai ibukota kabupaten.dihubungkan dengan jalan darat dengan kontruksi jalan beraspal, sedangkan dari pusat desa menuju ke seluruh dusun dihubungkan dengan jalan sebagaian besar berasapal. Keadaan jalan yang beraspal mengakibatkan mobilitas dalam kegiatan sehari–hari masyarakat menjadi tinggi,. Bagi penduduk Desa Kalisari jalan beraspal sangat membantu proses kehidupannya terutama bagi pedagang dan para pekerja yang berdagang diluar Desa Kalisari. Hal itu juga mendorong proses produksi dari hasil penduduk berupa tahu dan hasil pertanian untuk dipasarkan. Sistem Usaha Tani di Daerah Kalisari Komoditas pertanian yang diusahakan di Desa Kalisari adalah padi, jagung, dan ketela. Jenis komoditas pertanian yang mendominasi yaitu tanaman padi, karena sistem pengairan sawah di Desa Kalisari menggunakan irigasi.
31
Kelembagaan Desa Kelembagaan desa diartikan organisasi dan aturan main yang menentukan ruang gerak organisasi tersebut dalam mencapai tujuannya. Aturan main yang memberikan gerak berjalannnya suatu organisasi itu diantaranya Undang – undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah serta Keputusan Kepala Daerah, sedangakan lembaga masyarakat adalah suatu himpunan yang mengatur norma–norma dari tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok didalam kehidupan masyarakat, dimana perwujudannya adalah asosiasi. Lembaga sosial yang ada di Desa Kalisari adalah sebagai berikut :
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Tabel 7. Kelembagaan Desa Kalisari Jenis Kelembagaan Desa Jumlah Pengurus / Kader Pemerintah Desa 10 Orang BPD 09 Orang Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa 33 Orang / 10 Seksi PKK 16 Orang / 4 Pokja Kelompok tani wanita Lembaga Persatuan Pemuda Kelompok tani 18 Kelompok / 130 Orang Kelompok penderes Koperasi Industri Kerajinan Kecil 374 Orang Lumbung Desa RT 27 Orang RW Kelompok kesenian 13 Pos Obat Desa 1 TK 3 SD 1 MI 1 SLTP MTs TPA / TPQ 3
Sumber : Data monografi Desa Kalisari (2007)
Gambaran Umum Pengolahan Limbah Cair Tahu secara Anaerobik dengan Menggunakan Teknologi Fixed Bed Reactor Pengolahan limbah cair dilakukan dengan tujuan utama mendegradasi bahan pencemar, sehingga dengan demikian buangan dari suatu proses produksi memiliki kualitas yang memenuhi persyaratan tertentu agar dapat diterima oleh badan air penerima sesuai ketentuan yang berlaku. Penerapan teknologi pengolahan limbah cair perlu terus dikembangkan agar kualitas badan air tidak semakin memburuk (Padmono 2003). Teknologi dalam pengolahan limbah cair dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu sistem pengolahan aerobik untuk limbah cair yang memiliki kadar COD kurang dari 8000 ppm dan sistem pengolahan anaerobik untuk limbah cair yang memiliki kadar COD lebih dari 8000 ppm. Limbah cair tahu memiliki kadar
32
COD lebih dari 8000 ppm sehingga pengolahannya menggunakan sistem anaerobik (Kemenristek 2011). Limbah cair tahu merupakan limbah yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi, oleh karena itu diperlukan suatu pengolahan yang tepat dengan memanfaatkan aktivitas organisme. Mikroorganisme ini dikondisikan secara terkontrol sehingga aktivitasnya optimal untuk mendegradasi bahan organik tersebut. Kondisi terkontrol yang dimaksud adalah kondisi anaerob dimana mikroorganisme dapat hidup di lingkungan tanpa oksigen (Indriyati 2005). Pengolahan anaerobik merupakan proses biologis dimana mikroorganisme mengonversi bahan organik dalam kondisi anaerobik menjadi metana, karbon dioksida, sel mikroba, dan senyawa organik lainnya. Berikut tahapan proses dalam mengolah limbah secara anaerob.
Sumber: Kemenristek (2011)
Gambar 6 Tahapan proses pengolahan limbah cair secara anaerob Terdapat dua jenis reaktor dalam pengolahan limbah yaitu Totally Mix Reactor untuk limbah solid seperti kotoran ternak dan Fixed Bed Reactor atau reaktor unggun tetap untuk limbah cair. Pengolahan limbah yang dilakukan di Desa Kalisari menggunakan jenis Fixed Bed Reactor karena limbah yang diolah merupakan limbah cair. Terdapat beberapa beberapa keunggulan dari pengolahan limbah cair menggunakan Fixed Bed Reactor diantaranya dalam prosesnya dapat menghasilkan energi dalam bentuk biogas, menghasilkan sedikit lumpur, proses lebih stabil, tidak memerlukan lahan yang besar, serta biaya perawatan dan operasional yang murah (Kemenristek 2011) Karakteristik Sosial dan Ekonomi Responden Tahu Responden pengrajin tahu yang dijadikan sampel di Desa Kalisari merupakan responden yang sudah menggunakan biogas dan berada di sekitar masing-masing IPAL berada. Total responden pengrajin tahu adalah sebanyak 39 orang. Karakteristik responden pengrajin tahu yang diamati meliputi jenis
33
kelamin, usia, pendidikan terakhir, pekerjaan sampingan, skala produksi, biaya produksi tahu, dan tingkat keuntungan dari penjualan tahu. Jenis Kelamin, Usia, Pendidikan Terakhir, dan Pekerjaan Sampingan Karakteristik responden berdasarkan faktor demografi diamati dengan melihat faktor jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, dan pekerjaan sampingan. Tabel 8. Karakteristik Responden Pengrajin Tahu Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Pendidikan Terakhir, dan Pekerjaan Sampingan Tahun 2014 Karakteristik Pengrajin Tahu Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Usia (Tahun) 36-45 >46 Jumlah Pendidikan Terakhir SD SMP SMA Jumlah Jenis pekerjaan sampingan Petani Swasta Wiraswasta Tidak ada Lainnya Jumlah
Jumlah (orang)
Presentase (%)
34 5 39
87 13 100
16 23 39
41 59 100
30 4 5 39
77 10 13 100
1 1 4 29 4 39
3 3 10 74 10 100
Sumber: Data primer diolah (2014)
Jenis kelamin paling dominan pada pengamatan ini adalah laki-laki yaitu sebesar 87%, hal ini menunjukkan bahwa pengrajin tahu di Desa Kalisari mayoritas adalah laki-laki dan sisanya yaitu sebanyak 13% adalah perempuan. Usia responden paling dominan berada diatas 46 tahun yaitu sebanyak 59%, hal ini dikarenakan generasi muda yang berada di Desa Kalisari lebih memilih untuk tidak melanjutkan usaha orang tua mereka sebagai pengrajin tahu dan bekerja di luar Desa Kalisari sebagai pegawai. Motivasi dan Keikutsertaan dalam Kelompok Pengrajin Tahu Jumlah pengrajin tahu yang tergabung ke dalam kelompok pengrajin tahu masih lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan pengrajin tahu yang tidak tergabung ke dalam kelompok pengrajun tahu. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap pengrajin tahu, sebagian besar pengrajin tahu tidak tertarik tergabung ke dalam kelompok karena manfaat yang kurang terasa. Menurut sebagian besar responden, keberadaan kelompok pengrajin tahu tidak dapat
34
menanggulangi permasalahan yang dihadapi para pengrajin tahu contohnya apabila terjadi kenaikan harga kedelai.
Sumber: Data primer diolah (2014)
Gambar 7 Keikutsertaan Pengrajin Tahu ke dalam Kelompok Pengrajin Tahu Berdasarkan Gambar 6, presentasi pengrajin tahu yang tergabung ke dalam kelompok pengrajin tahu adalah sebesar 49%, sedangkan sisanya yaitu sebesar 51% tidak tergabung ke dalam kelompok pengrajin tahu.
Sumber: Data primer diolah (2014)
Gambar 8 Motivasi Pengrajin Tahu dalam Keikutsertaan ke dalam Kelompok Pengrajin Tahu Berdasarkan hasil wawancara dengan responden pengrajin tahu di Desa Kalisari yang tergabung dalam kelompokm pengrajin tahu, sebagian besar menyatakan bahwa motivasi mereka bergabung ke dalam kelompok adalah masalah lisensi yaitu sebesar 58%. Sebelum masalah lisensi ini dikedepankan dalam kelompok, para pengrajin tahu mengalami kerugian akibat terdapat oknumoknum pengrajin tahu yang bukan berasal dari Desa Kalisari yang menggunakan label produk tahu yang mereka hasilkan dengan label Tahu Kalisari. Hal ini jelas menimbulkan kerugian bagi para pengrajin tahu dari Desa Kalisari karena banyak pembeli yang mengira tahu tersebut benar-benar asli buatan pengrajin tahu Desa Kalisari, sehingga para pelanggan tersebut banyak beralih kepada oknun pengrajin tahu tersebut. Oleh karena itu, kelompok pengrajin tahu Desa Kalisari akan mengusahakan agar dinas setempat memberikan izin yang direalisasikan dalam
35
bentuk nomer izin yang akan dibubuhkan pada plastik pembungkus tahu buatan Desa Kalisari. Biaya Produksi dan Keuntungan Komponen biaya tetap produksi tahu di Desa Kalisari terdiri dari biaya untuk pembelian widig, raga, ember, saringan, sewa penggilingan, dan cetakan. Beberapa responden pengrajin tahu tidak menyewa penggilingan untuk menggiling kedelai, akan tetapi mereka menggunakan penggilingan milik sendiri dan menggunakan solar sebagai bahan bakar penggilingan kedelai. Besaran biaya tetap masing-masing komponen bervariasi pada setiap skala produksi, misalkan untuk skala produksi 30 kg dan 35 kg pada komponen widig justru biaya lebih besar pada skala produksi 30 kg dibandingkan dengan skala produksi 35 kg. Hal ini dikarenakan setiap responden memiliki preferensi mengenai umur teknis dari widig tersebut. Berikut uraian komponen biaya tetap produksi tahu. Tabel 9 Biaya tetap produksi tahu per bulan (Rp) Komponen biaya tetap Jumlah responden (IKM) Widig Raga Ember Saringan Penggilingan (sewa) Cetakan Total biaya tetap
20 kg 4 20.681 1.872 5.120 8.861 276.000 13.667 326.201
30 kg 4 51.500 2.903 9.944 9.667 180.000 3.880 257.894
35 kg 4 31.250 1.883 9.650 15.330 198.000 37.000 293.063
Biaya tetap per skala produksi (Rp) 40 kg 50 kg 60 kg 100 kg 4 4 4 4 18.150 32.073 81.167 48.889 2.250 3.225 1.481 3.889 6.660 14.104 14.444 12.778 5.958 10.052 9.722 11.111 112.500 300.000 250.000 0 29.792 10.677 5.139 31.667 175.310 370.161 361.953 108.334
150 kg 4 85.000 3.333 13.542 32.000 0 38.750 172.625
200 kg 4 27.500 25.000 1.667 25.000 0 50.000 129.167
Sumber: Data primer diolah (2014)
Komponen biaya variabel produksi tahu di Desa Kalisari terdiri dari air, kedelai, solar, kunyit, garam, plastik, transportasi, upah karyawan, kayu bakar, dan minyak goreng. Terdapat beberapa responden yang menjual tahu putih dan kuning saja dan ada yang menjual tahu goreng, oleh karena itu biaya variabel pada pengusaha tahu goreng lebih besar dari tahu kuning dan putih karena mereka menggunakan minyak untuk menggoreng tahu. Berikut uraian komponen biaya variabel produksi tahu. Tabel 10 Biaya variabel produksi tahu per bulan (Rp) Komponen biaya variabel Air Kedelai Solar Kunyit Garam Plastik Transportasi Upah karyawan Kayu bakar Minyak goreng Total biaya variabel
Biaya variabel per skala produksi (Rp) 20 kg 23.667 4.805.000 4.167 165.000 74.000 275.000 387.500 675.000 625.000 0 7.034.334
30 kg
35 kg
40 kg
50 kg
60 kg
100 kg
150 kg
200 kg
8.167 7.472.250 60.000 155.000 140.000 530.000 440.000 675.000 999.167 204.000
26.600 8.532.600 288.000 264.000 108.000 307.000 474.000 360.000 604.000 660.000
29.500 9.540.000 333.750 210.000 123.000 495.000 1.035.000 1.500.000 1.288.750 300.000
24.125 12.565.500 150.000 243.750 110.625 637.500 937.500 1.338.750 1.023.125 646.875
23.333 15.842.000 270.000 290.000 160.000 850.000 1.580.000 1.900.000 900.000 760.000
43.333 25.200.000 980.000 270.000 200.000 805.000 1.480.000 5.450.000 1.733.333 1.145.000
30.000 36.675.000 903.750 320.625 300.000 1.050.000 1.050.000 3.525.000 2.200.000 3.690.000
80.000 49.800.000 1.050.000 540.000 600.000 4.500.000 4.500.000 7.200.000 2.750.000 5.610.000
10.683.584
11.624.200
14.855.000
17.677.750
22.575.333
37.306.666
49.744.375
74.230.000
Sumber: Data primer diolah (2014)
36
Keuntungan yang diperoleh pengrajin tahu di Desa Kalisari sangat beragam, bahkan skala produksi yang besar belum tentu memiliki keuntungan yang lebih besar dari ukuran skala produksi yang lebih kecil. Contoh, pengrajin tahu yang memiliki skala produksi 35 kg kedelai memiliki keuntungan yang lebih kecil dibandingkan dengan pengrajin tahu dengan skala produksi 30 kg. Hal ini terjadi karena perbedaan dalam penjualan jenis tahu, kualitas bahan baku yang digunakan yang dapat mempengaruhi biaya produksi tahu. Tabel 11 Keuntungan penjualan tahu per bulan (Rp) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Skala Produksi 20 kg 30 kg 35 kg 40 kg 50 kg 60 kg 100 kg 150 kg 200 kg
Biaya Tetap
326.201 257.894 293.063 175.310 370.161 361.953 108.334 172.625 129.167 Rata-rata Sumber: Data primer diolah (2014)
Biaya Variabel 7.034.334 10.683.584 11.624.200 14.855.000 17.677.750 22.573.333 37.306.666 49.744.375 74.230.000
Total Biaya (C) 7.360.535 10.941.478 11.917.263 15.030.310 18.047.911 22.937.286 37.415.000 49.917.000 74.359.167 27.547.328
Penerimaan (R) 10.573.055 15.482.500 15.882.333 22.295.917 23.579.750 25.800.000 46.960.000 56.605.250 80.670.000 33.094.312
Keuntungan 3.212.520 4.541.022 3.965.070 7.265.607 5.531.839 2.862.714 9.545.000 6.688.250 6.310.833 5.546.984
R/C 1,44 1,42 1,33 1,48 1,31 1,12 1,26 1,13 1,08 1,29
37
Karakteristik Responden Non Pengrajin Tahu Karakteristik responden non pengrajin tahu dilihat berdasarkan beberapa faktor demografi diantaranya umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan utama, dan pekerjaan sampingan. Berikut ringkasan karakteristik responden yang disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Karakteristik responden non pengrajin tahu
Sumber: Data primer diolah (2014)
Pemanfaatan Energi Konversi LPG ke Biogas Sebagian penduduk Desa Kalisari sudah melakukan konversi pemanfaatan energi untuk kegiatan memasak sehari-hari dari LPG ke biogas. Pengamatan konversi energi dari LPG ke biogas dilakukan dengan cara melihat besarnya
38
perubahan konsumsi LPG 3 kg sebelum dan sesudah memanfaatkan biogas. Berdasarkan hasil perhitungan konversi LPG ke biogas yang dilakukan terhadap 75 responden didapat rata-rata konversi energi sebesar 4,18 kg LPG atau sekitar 1 tabung lebih LPG ukuran 3 kg. Rata-rata pemanfaatan LPG sebelum adanya biogas selama satu bulan adalah sebanyak 12 kg atau 4 tabung dan setelah adanya biogas kurang lebih sebesar 4,18 kg (lampiran 8). Jumlah konversi ini tidak terlalu besar, jika dipresentasikan kurang lebih sekitar 34,8% dari total penggunaan LPG atau dengan kata lain sebesar 34,8% energi yang digunakan untuk memasak sudah menggunakan biogas. Persentase konnversi ini masih jauh lebih kecil apabila dibandingkan pada saat awal usaha pemanfaatan limbah cair tahu menjadi biogas, dimana nilai konversi mencapai 100%. Penurunan jumlah konversi ini diakibatkan karena adanya penurunan kontinuitas aliran biogas ke rumah warga akibat adanya penyumbatan pipa yang digunakan untuk mengaliri biogas dan juga disebabkan oleh adanya oknum-oknum tertentu yang menyalahgunakan pemanfaatan biogas. Jumlah Jam Memasak Pengamatan jumlah jam memasak dengan menggunakan biogas dilakukan terhadap responden pengrajin tahu maupun non pengrajin tahu. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden pemanfaat biogas, mayoritas menggunakan biogas adalah selama 1 jam. Responden yang menghabiskan waktu memasak selama1,53 jam rata-rata memanfaatkan biogas selama 1 jam. Mayoritas menggunakan biogas hanya untuk merebus air saja. Mereka tidak menggunakan biogas untuk memasak makanan dikarenakan nyala api yang dihasilkan biogas tidak sebesar LPG, sehingga mereka masih menggunakan LPG untuk memasak makanan. Tabel 13 Jumlah jam memasak Jumlah Jam Memasak 15 menit 30 menit 1 jam 1,5 jam 2 jam 2,5 jam 3 jam Jumlah
Jumlah (orang) 1 9 25 3 14 0 23 75
Presentasi (%) 1 12 33 4 19 0 31 100
Sumber: Data primer diolah (2014)
Persepsi Responden Responden dalam pengamatan persepsi responden adalah pengrajin tahu dan non pengrajin tahu. Persepsi responden yang diamati adalah mengenai konsistensi pemanfaaatan biogas di masa yang akan datang, alasan memanfaatkan biogas, dan kelebihan biogas dibandngkan dengan bahan bakar lain untuk memasak di masa yang akan datang.
Konsistensi Pemanfaatan Biogas di Masa Mendatang Mayoritas responden dalam pengamatan ini yaitu sebesar 97% menyatakan bahwa mereka bersedia untuk menggunakan biogas di masa yang
39
akan datang. Pemanfaat biogas ini berpendapat bahwa walaupun gas yang dihasilkan oleh biogas lebih kecil namun dapat menghemat biaya bahan bakar untuk kegiatan masak sehari-hari.
Gambar 9 Konsistensi dalam pemanfaatan biogas di masa yang akan datang Alasan Pemanfaatan Biogas Alasan masyarakat memanfaatkan biogas dan mengonversi LPG ke biogas yang utama adalah karena biogas murah dan ramah lingkungan yaitu sebesar 37%. Masyarakat hanya membayar iuran dalam pemanfaatan biogas adalah sebesar Rp 20.000/RT/bulan. Selain itu faktor keamanan dalam memanfaatkan biogas juga dipandang sangat penting oleh masyarakat, karena masih terdapat kasus tabung LPG yang meledak walaupun tidak dalam kondisi digunakan. Hal ini yang menyebabkan masyarakat berharap agar biogas untuk kedepannya dapat terus dapat dimanfaatkan dengan beberapa perbaikan seperti perbaikan untuk dapat menghasilkan nyala api yang dapat digunakan selama 24 jam.
Gambar 10 Alasan pemanfaatan biogas Kelebihan Biogas dibandingakan LPG Berdasarkan hasil wawancara, kelebihan biogas dibandingkan dengan bahan bakar lain adalah murah yaitu sebesar 35%. Terdapat beberapa responden yang dapat mengonversi seluruh pemanfaatan LPG ke biogas dikarenakan pasokan biogas sudah cukup digunakan untuk kegiatan masak sehari-hari tanpa harus membeli tambahan LPG. Sekitar 28% responden pun menyatakan terdapat faktor ramah lingkungan dalam pemanfaatan biogas karena dalam pemanfaatan masyarakat secara tidak langsung dapat mengurangi pemanfaatan LPG yang bersumber dari energi fosil yang selama ini diketahui bahwa sebagian besar dalam proses pemanfaatannya dapat merusak lingkungan. Oleh karena itu masyarakat
40
pemanfaat biogas dapat dikatakan berkontribusi dalam mengurangi kerusakan lingkungan.
Gambar 11 Kelebihan biogas dibandingkan dengan LPG Gambaran Umum Limbah Tahu di Desa Kalisari Industri tahu di Desa Kalisari pada proses produksinya menghasilkan produk utama berupa tahu putih dan tahu kuning, namun selain menghasilkan produk utama berupa tahu, industri ini juga menghasilkan limbah berupa limbah padat berupa ampas tahu dan limbah cair. Limbah cair tahu berasal dari proses perendaman dan proses akhir pemisahan, sedangkan limbah padat tahu berasal dari penyaringan bubur kedelai yang sudah melalui proses pemerasan berkali-kali dengan menyiram dengan air panas sampai tidak mengandung sari lagi (Damayanti A et al. 2004). Sebagian besar sumber limbah cair tahu adalah cairan kental terpisah dari gumpalan tahu yang disebut dengan air dadih (whey). Cairan ini mengandung kadar protein yang tinggi dan dapat segera terurai (Sani 2006). Limbah cair yang dihasilkan oleh industri tahu di Desa Kalisari sebagian masih memberikan dampak buruk bagi lingkungan karena limbah tersebut menghasilkan bau yang sangat menyengat dan mencemari sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa limbah cair tahu mengandung polutan organik yang cukup tinggi dan apabila terbuang ke badan air dapat menimbulkan penurunan kualitas air dan daya dukung lingkungan perairan sekitar industri tahu. Penelitian yang dilakukan oleh Puspayana dan Damayanti (2013) menunjukkan bahwa limbah cair tahu pada umumnya memiliki karakteristik berupa pH, TSS, COD, BOD, amonia, dan nitrit yang masih melebihi baku mutu air limbah. Hasil penelitian alimsyah dan Damayanti (2013) menunjukkan bahwa air limbah tahu memiliki kandungan BOD 5.643-6.870 mg/l, COD 6.870-10.500 mg/l. Kandungan air limbah tahu tersebut mencemari lingkungan karena melebihi baku mutu masing-masing yaitu BOD 300 mg/l, COD 600 mg/l, dan pH 6-9. Apabila air limmbah tersebut masuk ke dalam badan air tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu akan mencemari sungai meskipun air tersebut memiliki kemampuan purifikasi. Buangan limbah cair tahu merupakan buangan yang bersifat biodegradable yang apabila dibuang ke perairan maka pada awalnya akan terjadi degradasi secara aerob dengan mengambil oksigen air. Apabila oksigen di perairan telah habis maka akan terjadi degradasi anaerob sehingga biota aerob yang ada di air seperti ikan akan mati (Basir dan Dedy 2011). Secara umum, beberapa penyebab industri tahu tidak melakukan pengolahan limbah cair tahu antara lain 1) keterbatasan dana untuk membangun
41
dan mengoperasikan IPAL, 2) tidak tersedia teknologi pengolahan limbah untuk industri kecil, 3) pengusaha masih belum melihat manfaat limbah cair tahu, 4) tingkat kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup, 5) dampak pembuangan limbah terhadap lingkungan tidak mucul secara spontan sehingga masyarakat seakan resisten (Wagiman 2007). Pembuangan limbah secara langsung ke sungai terjadi karena kapasitas IPAL yang ada di Desa Kalisari masih belum dapat menampung seluruh limbah yang dihasilkan oleh para pengrajin tahu, selain itu kendala biaya pembangunan IPAL dan keterbatasan lahan untuk membangun IPAL juga menjadi salah satu penyebab belum dapat dilaksanakannya pembangunan IPAL. Ampas tahu yang dihasilkan dari industri tahu ini sudah tidak menghasilkan dampak buruk bagi lingkungan karena sudah dimanfaatkan kembali menjadi pakan ternak dan diolah kembali menjadi keripik ampas tahu untuk dijual kembali kepada masyarakat sekitar Desa Kalisari. Limbah cair tahu yang dihasilkan proses produksi tahu sebagian sudah diolah kembali menjadi biogas dan sebagian masih dibuang langsung ke sungai tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Pengolahan limbah cair tahu ini bertujuan untuk mengurangi pencemaran air sungai dan menghasilkan biogas untuk dapat dijadikan sebagai energi alternatif pengganti LPG.
ESTIMASI BIAYA DAN MANFAAT INSTALASI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU
Desa Kalisari sebagai salah satu sentra produksi tahu memiliki permasalahan limbah terutama limbah cair tahu. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah pusat untuk mengurangi dampak limbah cair tahu bagi lingkungan adalah dengan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang kemudian menghasilkan biogas untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Kalisari. Jenis IPAL yang digunakan di Desa Kalisari adalah Fixed Bed Reactor yang didesain khusus untuk mengolah limbah cair tahu. Desa Kalisari memiliki IPAL sebanyak empat buah di lokasi yang berbeda yang letaknya sesuai dengan sebaran pengrajin tahu. Setiap IPAL memiliki kelompok pemanfaat biogas yang diberi nama kelompok Biolita 1, Biolita 2, Biolita 3, dan Biolita 4. Pembangunan IPAL pada Biolita 1 dan 2 seluruhnya dibiayai oleh Kementrian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan dilaksanakan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknogi (BPPT), sedangkan pembangunan IPAL pada Biolita 3 dan 4 dibiayai oleh Badan Lingkugan Hidup (BLH) Kabupaten Banyumas dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah dan dilaksanakan oleh BPPT. Estimasi biaya dan manfaat yang dilakukan dalam penelitian ini difokuskan pada pembangunan IPAL pada Biolita 3 karena faktor kelengkapan data. Estimasi Biaya Finansial dan Sosial Pembangunan IPAL Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Desa Kalisari menimbulkan beberapa biaya dan manfaat baik secara finansial maupun secara ekonomi. Biaya finansial yang diamati berupa biaya investasi dan biaya operasional, sedangankan biaya sosial yang diestimasi berupa opportunity cost dari pemanfaatan lahan untuk membangun IPAL. Biaya Investasi dan Operasional Biaya Investasi pembangunan IPAL di Biolita 3 terdiri dari biaya pembuatan DPT dan pagar, bak penampung awal, bak biodigester 1, bak biodigester 2, gas holder, kolam feromediasi, pekerjaan meja press dan perlengkapan lainnya, pengadaan dan pemasangan jaringan pipa limbah tahu, jaringan pipa gas, dan biaya tenaga kerja. Uraian biaya investasi pembangunan IPAL dapat dilihat pada tabel 14. Biaya operasional pada IPAL yang terdapat di Biolita 3 meliputi biaya untuk pembayaran listrik untuk mengoperasikan biogas dan biaya pemeliharaan IPAL berupa biaya tenaga kerja selama satu bulan. Berikut komponen biaya operasional selama satu bulan pada IPAL di Biolita 3.
43
Tabel 14 Uraian biaya investasi dan operasional pembangunan IPAL Biolita 3 Uraian Pekerjaan Biaya Investasi Pembuatan DPT dan Pagar BRC Pembuatan Bak Penampung Awal Pembuatan Bak Biodigester 1 Pembuatan Bak Biodigester 2 Pembuatan Gas Holder Pembuata Kolam Feromediasi Pekerjaan Meja Press dan Perlengkapan Lainnya Pengadaan dan Pemasangan Jaringan Pipa Limbah Tahu Pengadaan dan Pemasangan Jaringan Pipa Gas Biaya Operasional Pembayaran listrik Upah Tenaga Kerja Total Biaya
Volume (unit) 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Jumlah Biaya (Rp)
Total Biaya
49.034.000 22.597.000 22.396.000 77.902.000 197.462.000 5.302.000 49.369.000 86.787.000 35.151.000
49.034.000 22.597.000 22.396.000 77.902.000 197.462.000 5.302.000 49.369.000 86.787.000 35.151.000
600.000 1.800.000
600.000 1.800.000 548.400.000
Sumber: Data primer dan sekunder diolah (2014)
Opprotunity Cost Lahan IPAL Pengolahan limbah cair tahu yang dibangun di kawasan Biolita 3 dilakukan pada lahan yang sebelumnya dimanfaatkan sebagai kolam ikan. Kolam ikan tersebut dapat menghasilkan penerimaan dari penjualan ikan sebesar Rp 2.000.000/tahun. Apabila lahan untuk kolam ikan tersebut diganti peruntukkannya sebagai lahan untuk membangun IPAL, maka biaya kesempatan (opportunity cost) yang hilang adalah sebesar Rp 2.000.000/tahun. Estimasi Manfaat Finansial dan Manfaat Sosial Pembangunan IPAL Manfaat finansial yang terdapat dalam proyek ini merupakan penerimaan yang didapat dari iuran yang dibayarkan oleh pemanfaat biogas selama satu bulan yaitu Rp 20.000/RT/bulan, namun nilai ini masih belum disesuaikan dengan jumlah biogas yang dikonsumsi oleh masing-masing RT pemanfaat biogas tersebut. Iuran ini merupakan hasil dari musyawarah masyarakat Desa Kalisari yang disepakati secara bersama. Manfaat sosial dari pembangunan IPAL diantaranya penghematan pemanfaatan LPG untuk memasak dan peningkatan produktivitas lahan persawahan. Keberadaan IPAL untuk mengolah limbah cair tahu di Biolita 3 Desa Kalisari selain memberikan manfaat bagi kelestarian lingkungan juga memberikan manfaat dalam bentuk penghematan dalam pemanfaatan LPG yang biasa digunakan untuk memasak sehari-hari. Hal ini dikarenakan IPAL yang digunakan dapat menghasilkan gas berupa biogas. Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik termasuk diantaranya kotoran manusia, hewan, limbah rumah tangga, limbah industri yang biodegradable atau limbah organik lainnya yang biodegradable dalam kondisi anaerobik. Kandungan utama dalam biogas adalah gas metan (CH4), karbon dioksida (CO2), dan gas lainnya seperti hidrogen sulfida (H2S), dan gas nitogen (N2), oleh karena itu biogas sangat cocok digunakan sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan pengganti LPG, butana, batubara, maupun bahan-bahan lain yang berasal dari fosil (Moenir dan Yuliasni 2011). Manfaat sosial dari adanya IPAL limbah tahu di Biolita 3 salah satunya adalah penghematan biaya untuk pemanfaatan LPG berukuran 3 kg. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 75 responden pemanfaat biogas didapatkan rata-rata
44
setiap rumah tangga dapat melakukan penghematan sampai dengan 4,18 kg (Lampiran 8) selama satu bulan. Berikut tabel perhitungan rata-rata penghematan LPG di Biolita 3. Tabel 15 Rata-rata penghematan LPG di Biolita 3 Harga LPG/kg (Rp) (a)
Rata-rata penghematan LPG/RT/bulan (kg) (b)
6000
4,18
Rata-rata penghematan biaya konsumsi LPG/RT/bulan (Rp) (c )=( a*b) 25.080
Jumlah pemanfaat LPG di Biolita 3 (d)
Total Penghematan LPG/bulan (kg) (e) = (b*d)
67
280,06
Total penghematan biaya konsumsi LPG/bulan (Rp) (f = e*a) 1.680.360
Total biaya penghematan LPG/tahun (Rp) (g )= f*12) 20.164.320
Sumber: Data primer dan sekunder diolah (2014)
Sebelum IPAL dibangun di Desa Kalisari, semua pengrajin tahu masih membuang limbah cair hasil produksi tahu ke sungai secara langsung tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Dampak yang terjadi akibat pembuangan limbah cair tahu ke sungai bagi lahan pertanian adalah terjadinya kerusakan lahan pertanian karena air irigasi telah terkontaminasi limbah cair tahu. Berdasarkan hasil wawancara dari petani setempat, pembuangan limbah cair tahu ke sungai tersebut mengakibatkan kerusakan pada lahan persawahan seluas 1 ha. Pasca pembangunan IPAL, produktivitas lahan persawahan mengalami peningkatan dari 4,8 ton menjadi 6 ton.
ESTIMASI HARGA PEMANFAATAN BIOGAS (BIOGAS PRICING)
Estimasi harga untuk biogas dimaksudkan untuk mendapatkan harga yang sesuai dengan jumlah volume biogas yang digunakan sehingga harga biogas ini pun bersifat progresif. Biogas yang dimanfaatkan di Desa Kalisari sampai saat ini masih belum memiliki harga per liter atau per meter kubik, sehingga masyarakat hanya membayar iuran untuk perawatan biogas sebesar Rp 20.000/RT/bulan. Harga yang dibayarkan ini dikenakan kepada seluruh pemanfaat biogas baik pemanfaat yang menggunakan dalam jumlah besar maupun kecil. Harga yang berlaku di masyarakat pada saat ini memunculkan beberapa free rider yang menggunakan biogas secara berlebihan dan tidak sesuai dengan peruntukkan awal yaitu untuk kegiatan memasak sehari-hari, sehingga banyak masyarakat lain yang masih tidak tercukupi kebutuhan akan pemanfaatan biogas. Pricing biogas ini kemudian diharapkan dapat menjadi acuan dalam penetapan harga biogas di Desa Kalisari sehingga pemanfaatan biogas dapat dikontrol oleh pengelola biogas dan dapat mencegah munculnya free rider di Desa Kalisari. Pricing Menggunakan Pendekatan Break Even Point (BEP) Estimasi harga biogas ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan BEP (Break Even Point). Estimasi ini dilakukan pada digester yang berada pada Biolita 3 dengan daya tampung limbah cair tahu sebesar 1400 liter per hari dan jumlah pemanfaat biogas sebesar 67 rumah tangga. Asumsi yang digunakan dalam estimasi ini adalah jumlah biogas yang dimanfaatkan oleh setiap rumah tangga adalah sama yaitu kurang lebih sebesar 1,8 m3 per hari dan jumlah produksi biogas di setiap harinya adalah sudah maksimal yaitu sebesar 125,4 m3 per hari. Berikut rumus dalam menentukan harga jual biogas dengan menggunakan pendekatan BEP (Thuesen dan Fabrycky 1993). Harga jual biogas per m3 =
𝑅𝑝 250 .000 100 𝑚 3
+ 𝑅𝑝 0/𝑚3 (∗)
Harga jual biogas per m3 = Rp 2.500/m3 Berdasarkan hasil estimasi, jumlah yang sebaiknya dibayarkan oleh para pemanfaat biogas di Biolita 3 adalah sebesar Rp 2.500/m3. Berdasarkan asumsi yang digunakan maka rata-rata total yang dibayarkan oleh setiap RT adalah Rp 135.000/bulan (Perhitungan pada Tabel 20) . Asumsi dalam penetapan biogas selanjutnya adalah bahwa masyarakat hanya mau membayar untuk pemanfaatan biogas apabila harga biogas lebih kecil atau sama dengan harga LPG 3 kg yang berlaku di pasaran, apabila harga yang dibayarkan melebihi harga LPG 3 kg maka pengembangan biogas yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yaitu LPG 3 kg sulit untuk tercapai. Pemanfaatan biogas ini selain harus didukung dengan harga yang sesuai juga harus didukung dengan instalasi berupa meteran di setiap rumah tangga pemanfaat biogas yang bertujuan untuk mengukur jumlah volume biogas yang digunakan masyarakat sehingga masyarakat membayar pemanfaatan biogas sesuai dengan angka meteran yang ada.
46
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu staf BPPT mengenai harga biogas, didapatkan informasi bahwa pemanfaatan bahan baku yang berbeda untuk menghasilkan biogas akan menghasilkan harga biogas yang berbeda pula. Hal ini terjadi akibat perbedaan jenis digester sesuai dengan jenis bahan baku, temperatur, dan bahan konstruksi yang digunakan. Digester dapat terbuat dari cor beton, baja, bata, atau plastik dan bentuknya dapat berupa seperti silo, bak, kolam, dan dapat diletakkan di bawah tanah. Pemilihan jenis digester sangat bergantung dari jenis limbah yang digunakan, contohnya desain digester untuk limbah cair tahu akan berbeda dengan limbah kotoran sapi (Haryati 2006). Oleh karena itu jenis digester akan sangat mempengaruhi biaya pembuatan digester yang akan mempengaruhi harga biogas yang diestimasi.
ANALISIS KELAYAKAN INSTALASI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU
Analisis kelayakan pembangunan IPAL di Biolita 3 Desa Kalisari dilakukan dengan menggunakan dua jenis analisis, yaitu analisis keyakan finansial dan analisis kelayakan ekonomi. Analisis kelayakan finansial dalam proyek IPAL ini hanya memperhitungkan manfaat finansial berupa penerimaan dari penjualan biogas dimana harga dari biogas sudah diestimasi menggunakan metode BEP serta hanya memperhitungkan biaya finansial berupa biaya investasi dan operasional. Analisis kelayakan ekonomi dalam proyek IPAL memperhitungkan beberapa manfaat sosial seperti peningkatan produktivitas lahan persawahan dan penghematan bahan bakar LPG serta opportunity cost yang digunakan untuk membangun biogas. Analisis kelayakan baik finansial maupun ekonomi menggunakan tiga kriteria performa investasi yaitu NPV,BCR, dan IRR. Analisis Kelayakan Finansial Analisis kelayakan finansial untuk proyek pembangunan IPAL menggunakan dua skenario. Skenario 1 menggunakan harga biogas yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan BEP dan Skenario 2 menggunakan harga biogas yang saat ini dibayarkan oleh masyarakat yaitu sebesar Rp 20.000/RT/bulan. Perhitungan mendetil untuk analisis kelayakan finansial Skenario 1 dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Skenario 2 pada Lampiran 2. Tabel 16 Hasil analisis kelayakan finansial dengan menggunakan Skenario 1 dan Skenario 2 Kriteria investasi Satuan Skenario 1 Skenario 2 NPV Rupiah 201.636.675 -443 128 325 Net B/C 1,47 0,15 Gross B/C 1,37 0,19 IRR Persen 21 Sumber: Data primer dan sekunder diolah (2014)
Berdasarkan tabel 16 diperoleh hasil NPV yaitu sebesar Rp 201.636.675, Net B/C sebesar 1,47, Gross B/C sebesar 1,37, dan IRR yaitu sebesar 21%. Hasil analisis kelayakan finansial pada Skenario 1 menunjukkan bahwa proyek pembangunan IPAL layak untuk dijalankan karena hasil NPV yang positif dan nilai IRR lebih dari tingkat suku bunga yang digunakan pada analisis proyek. Berbeda dengan hasil pada analisis kelayakan finansial pada Skenario 2 yang menunjukkan bahwa proyek tidak layak untuk dijalankan karena menunjukkan NPV yang negatif yaitu sebesar -443 128 325. Berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial pada Skenario 1, NPV bernilai positif, namun keuntungan ini masih belum mencukupi apabila Desa Kalisari ingin melakukan pembangunan IPAL yang baru di akhir umur proyek. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menutupi kekurangan dalam pembiayaan pembangunan IPAL yang baru adalah dengan melakukan pinjaman kepada pihak ketiga baik itu pemerintah ataupun bank dengan dan pengembalian dana pinjaman dapat dilakukan dengan cara mencicil atau dapat menghitung
48
kembali komponen-komponen apa saja yang sekiranya tidak perlu dilakukan reinvestasi, yang perlu diperbaiki, atau yang perlu dibangun kembali sehingga penghematan dalam biaya investasi dapat dilakukan. Analisis Kelayakan Ekonomi Analisis kelayakan ekonomi untuk proyek pembangunan IPAL juga menggunakan dua skenario. Skenario 1 pada analisis kelayakan ekonomi juga menggunakan harga biogas yang diperoleh melalui pendekatan BEP dan Skenario 2 menggunakan harga biogas yang sekarang dibayarkan oleh masyarakat di Desa Kalisari yaitu sebesar Rp 20.000/RT/bulan. Berdasarkan hasil analisis kelayakan ekonomi untuk kedua skenario tersebut, didapatkan bahwa untuk Skenario 1 proyek ini layak untuk dijalankan. Hal ini karena analisis pada Skenario 1 menggunakan harga biogas yang sudah disesuaikan dengan produksi biogas per hari sehingga penerimaan dari pemanfaatan biogas per tahunnya dapat menutupi biaya-biaya yang digunakan untuk pembangunan dan operasional biogas. Hal ini ditunjukkan dengan nilai NPV yang positif dan IRR yang melebihi tingkat suku bunga yang digunakan dalam analisis. Berbeda dengan hasil analisis Skenario 2 yang memberikan hasil proyek tidak layak untuk dijalankan. Hal ini diperlihatkan dari nilai NPV yang negatif, IRR yang bernilai kurang dari suku bunga yang digunakan dalam analisis sepanjang umur proyek, net B/C dan Gross B/C bernilai kurang dari 1. Sekalipun manfaat-manfaat sosial sudah dimasukkan ke dalam analisis, nilai NPV masih bernilai negatif. Hal ini dikarenakan karena pada analisis kelayakan ekonomi pada Skenario 2, penerimaan dari pemanfaatan biogas sangatlah kecil, karena menggunakan harga yang disepakati oleh masyarakat yaitu Rp 20.000/RT/bulan. Perhitungan lebih detil mengenai analisis kelayakan ekonomi Skenario 1 dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Skenario 2 pada Lampiran 4. Berikut hasil analisis kelayakan ekonomi dengan menggunakan beberapa kriteria kelayakan investasi. Tabel 17 Hasil analisis kelayakan ekonomi dengan menggunakan Skenario 1 dan Skenario 2 Kriteria investasi Satuan Skenario 1 Skenario 2 NPV Rupiah 392.704.986 - 252 060 014 Net B/C 2,07 0,44 Gross B/C 1,78 0,50 IRR Persen 32 0 Sumber: Data primer dan sekunder diolah (2014)
Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan dengan menggunakan tiga skenario. Skenario 1 dilakukan dengan melihat perubahan nilai kriteria investasi apabila terjadi penurunan terhadap pemanfaatan biogas sebesar 34,8%, sedangkan Skenario 2 dilakukan dengan melihat perubahan pada kriteria investasi apabila terjadi kenaikan tarif dasar listrik sebesar 15% (BPPT 2013). Skenario 3 dilakukan dengan melihat penurunan pada harga biogas dari Rp 2.500/m3 menjadi Rp 1.450/m3. Perhitungan lebih detil mengenai analisis sensitivitas Skenario 1, Skenario 2, dan Skenario 3 berturut-turut dapat dilihat pada Lampiran 5, Lampiran 6, dan Lampiran 7.
49
Tabel 18 Hasil analisis sensitivitas dengan menggunakan Skenario 1, Skenario 2, dan Skenario 3 Kriteria investasi Satuan Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 NPV Rupiah 131.654.118 392.704.986 77.643.594 Net B/C 1,33 2,07 1,19 Gross B/C 1,26 1,78 1,15 IRR Persen 19 32 16 Sumber: Data primer dan sekunder diolah (2014)
Penurunan konsumsi terhadap biogas terjadi akibat adanya penyumbatan pada pipa penyalur biogas sehingga masyarakat mengurangi konsumsi terhadap biogas dan beralih menggunakan LPG 3 kg,. Hasil analisis sensitivitas pada Skenario 1 menunjukkan bahwa kenaikan tarif LPG menyebabkan NPV mengalami penurunan dari Rp 441.201.296 menjadi Rp 131.654.118. Secara keseluruhan hasil analisis sensitivitas pada Skenario 1 menunjukkan bahwa proyek IPAL layak untuk dijalankan karena NPV yang dihasilkan bernilai positif dan nilai IRR yang melebihi dari tingkat bunga diskonto yang digunakan pada analisis proyek. Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada Skenario 2 secara langsung akan menyebabkan kenaikan pada biaya operasional IPAL pada setiap bulan. Hasil dari analisis sensitivitas secara umum pada Skenario 2 menunjukkan bahwa proyek IPAL ini masih layak. Kenaikan TDL ini menyebabkan penurunan pada nilai NPV dari Rp 441.201.296 menjadi Rp 392.704.986. Dasar dari penurunan harga biogas dari Rp 2.500/m3 menjadi Rp 1.450/m3 pada Skenario 3 adalah jumlah harga LPG 3 kg yang dibayarkan oleh masyarakat selama satu bulan. Diasumsikan bahwa sebelum adanya biogas, setiap RT mengonsumsi LPG 3 kg sebanyak empat tabung selama satu bulan dengan harga Rp 20.000/tabung, dengan demikian masing-masing RT harus membayar sebesar Rp 80.000/bulan untuk konsumsi LPG 3 kg. Berikut perhitungan perbandingan jumlah biaya yang harus dikeluarkan satu RT untuk mengonsumsi LPG berukuran 3 kg dan biogas. Tabel 19 Tabel perbandingan jumlah biaya untuk konsumsi LPG 3 kg dan Biogas Keterangan
LPG Harga per satuan (a) Rp 6.700/kg Jumlah konsumsi 12 kg bahan bakar/RT/bulan (b) Total biaya konsumsi 80.000 bahan bakar/RT/bulan (c) = (a*b)
Harga Biogas(*) Rp 2.500/m3 54 m3
Biogas(**) Rp 1.450/m3 54 m3
135.000
78.300
Sumber: Data primer dan sekunder diolah (2014)
Keterangan: (*) = Harga biogas awal yang diestimasi menggunakan pendekatan BEP (**) = Harga biogas setelah diturunkan
50
Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa apabila dalam analisis untuk Skenario 3 menggunakan harga biogas sebesar Rp 1.450/m3, maka hasil analisis pada Skenario 3 masih menghasilkan NPV yang positif sekalipun NPV mengalami penurunan dari Rp 441.201.296 menjadi Rp 77.643.594. Berdasarkan perhitungan pada Tabel 19, terlihat bahwa apabila harga biogas diturunkan dari Rp 2.500/m3 menjadi Rp 1.450/m3 maka harga yang dibayarkan oleh setiap RT perbulan masih lebih rendah daripada biaya yang dikeluarkan untuk mengonsumsi LPG 3 kg selama satu bulan.
SKENARIO PEMANFAATAN BIOGAS SECARA BERKELANJUTAN
Mekanisme Pemanfaatan dan Penyaluran Biogas di Desa Kalisari Biogas yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Kalisari berasal dari limbah yang berasal dari proses produksi tahu. Sebagian besar pengrajin tahu di Desa Kalisari memiliki saluran untuk menyalurkan limbah cair tahu langsung ke tempat penampungan limbah tahu sementara sebelum diolah menjadi biogas. Keberadaan saluran untuk menyalurkan limbah cair tahu yang dimiliki oleh masing-masing pengrajin tahu ini menjadikan para pengrajin tahu tidak lagi membuang limbah cair tahu ke sungai, namun masih ada sebagian kecil pengrajin tahu yang belum memiliki saluran ini. Hal tersebut disebabkan karena letak pengrajin tahu tersebar jauh dari tempat pengolahan limbah cair tahu, oleh karena itu masih ada pengrajin tahu yang membuang limbah ke sungai walaupun jumlahnya sangat minim. Limbah cair tahu yang sudah terkumpul di tempat penampungan sementara kemudian diolah satu digester pengolah limbah kemudian biogas yang dihasilkan dari pengolahan limbah cair dialirkan ke satu digester lainnya untuk kemudian dialirkan melalui pipa ke RT untuk kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Kalisari. Sampai saat ini sistem pembayaran atas pemanfaatan biogas dilakukan atas dasar musyawarah para warga yaitu sebesar Rp 20.000/RT/bulan. Setiap biolita memiliki bendahara yang bertugas untuk menarik iuran setiap bulan kepada warga yang rumahnya dialiri biogas sehingga setiap biolita memiliki pemasukan yang digunakan untuk biaya operasional dan perawatan IPAL. Secara ringkas mekanisme penyaluran dan pemanfaatan biogas dapat ditunjukkan pada Gambar 12 di bawah ini.
Pengrajin tahu
Pemanfaat biogas (pengrajin tahu dan non pengrajin tahu)
Limbah tahu
cair
Pipa penyalur biogas
Saluran pembuangan limbah cair tahu
Digester penampungan biogas
Bak penampungan sementara limbah cair tahu
Digester pengolahan limbah cair tahu
Sumber: Data primer (2014)
Gambar 12 Mekanisme pemanfaatan dan penyaluran biogas di Desa Kalisari
Deskripsi Profil IPAL di Desa Kalisari Desa Kalisari merupakan salah satu desa sentra industri tahu rumahan yang ada di Indonesia, oleh sebab itu jumlah limbah yang dihasilkan oleh proses produksi tahu juga sangat banyak. Jumlah industri tahu yang ada di Desa Kalisari kurang lebih mencapai 250 IKM. Potensi limbah baik limbah padat maupun
52
limbah cair di Desa Kalisari juga sangat besar dan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan terutama lingkungan perairan apabila limbah tersebut langsung dibuang ke sungai tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Permasalahan mengenai limbah di Desa Kalisari sebagian besar sudah ditangani baik oleh pemerintah pusat mapun pemerintah daerah. Pemerintah dalam hal ini sudah membangun empat unit pengolahan limbah di titik yang berbeda. Pengolahan limbah yang berada di Desa Kalisari ini kemudian akan menghasilkan biogas yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk kebutuhan memasak sehari-hari. Setiap pengolahan limbah yang berada di Desa Kalisari memiliki daya tampung limbah cair yang berbeda-beda namun teknologi yang digunakan oleh keempat IPAL tersebut adalah sama yaitu menggunakan digester fixed bed reactor. Berikut profil dari masing-masing IPAL yang berada di Desa Kalisari yaitu Biolita 1, Biolita 2, Biolita 3, dan Biolita 4. Tabel 20 Profil IPAL di Desa Kalisari Keterangan Tahun dibangun Sumber pembiayaan
Biolita 1 2009 Kemenristek
Jenis reaktor
Fixed Bed Reactor tampung 7.000
Daya digester (liter/hari) Jumlah biogas yang dihasilkan (m3/hari) Jumlah penyalur limbah cair tahu (pengrajin tahu) Jumlah pemanfaat biogas (pengrajin tahu dan non pengrajin tahu) Jam operasional biogas
Biolita 2 2010 Kemenristek
Biolita 3 2012 BLH Kabupaten Banyumas dan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah Bed Fixed Bed Reactor 8.960
Biolita 4 2013 BLH Propinsi Jawa Tengah
Fixed Reactor 3.500
Fixed Reactor 16.500
98
49
125,4
231
17
7
43
72
28
18
67
90
05.00-06.00 WIB dan 18.00-19.00 WIB
04.00-09 WIB dan 14.00-20.00 WIB
05.00-07.30 WIB dan 21.00-22.00 WIB
24 jam
Bed
Sumber: Data primer hasil wawancara dengan Kepala Desa Kalisari (2014)
Berdasarkan tabel 20, dapat dilihat bahwa sumber pembiayaan berbedabeda, hanya saja pelaksana proyek pembangunan pengolahan limbah cair tahu menjadi biogas adalah sama yaitu BPPT. Digester yang ada saat ini dibangun di atas tanah milik desa hanya saja ketersediaan tanah semakin sedikit jumlahnya dikarenakan banyak pemukiman baru yang dibangun di Desa Kalisari.
53
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu staf BPPT, diketahui bahwa 1 liter limbah cair kurang lebih dapat menghasilkan 14 liter biogas. Berdasarkan tabel 20 jumlah biogas yang dihasilkan setiap digester berbeda karena daya tampung limbah cair yang berbeda di setiap digester. Hal ini dikarenakan setiap digester terletak pada lokasi yang dikelilingi oleh pengrajin tahu yang jumlahnya berbeda sehingga jumlah daya tampung limbah sesuai dengan jumlah pengrajin tahu yang mengelilingi setiap digester. Jam operasional untuk mengalirkan gas masing-masing digester pun berbeda-beda tergantung pada kesepakatan anggota pada setiap biolita, penentuan jam operasional ini didasarkan pada jumlah kondisi instalasi yang digunakan untuk mengalirkan biogas.
Identifikasi Permasalahan Pemanfaatan Biogas Sebagian besar penduduk Desa Kalisari menggunakan biogas sebagai bahan bakar tambahan untuk memasak pengganti LPG. Umumnya biogas digunakan untuk memasak air, hal ini dikarenakan api yang dihasilkan kurang besar apabila dipergunakan untuk memasak. Permasalahan utama yang timbul dalam pemanfaatan biogas diantaranya adalah adanya sumbatan pada pipa yang digunakan untuk mengalirkan biogas dari digester ke rumah warga sehingga menyebakan gas mengalir tidak maksimal. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan masing-masing pengurus Biolita 1, Biolita 2, Biolita 3, dan Biolita 4 ditemukan beberapa permasalahan dalam operasional dan pemanfaatan biogas yang berbeda. Tabel 21 Tabel permasalahan pemanfaatan biogas di Desa Kalisari Jenis Permasalahan Aspek teknis
Aspek non teknis
Biolita I
Biolita II
Biolita III
Biolita IV
penyumbatan pipa untuk mengalirkan biogas Masalah kepengurusan dan operasional digester
penyumbatan pipa untuk mengalirkan biogas -
penyumbatan pipa untuk mengalirkan biogas -
Sumber: Data primer (2014)
Permasalahan yang terdapat pada IPAL yang berada di Biolita 1, biolita 2, Biolita 3, dan Biolita 4 secara umum hampir sama yaitu dari aspek teknis dan non teknis. Berdasarkan Tabel 21, permasalahan yang bersumber dari aspek teknis terdapat pada Biolita 1, Biolita 2, dab Biolita 3 yaitu penyumbatan pada pipa oleh uap air yang digunakan untuk mengalirkan biogas ke rumah tangga sehingga distribusi biogas ke rumah tangga menjadi tidak lancar. Hal ini yang menyebabkan seluruh biolita menerapkan jam buka-tutup untuk operasional biogas, agar pada saat jam-jam dimana masyarakat membutuhkan gas untuk kebutuhan memasak dapat terpenuhi dengan baik. Permasalahan pada aspek teknis ini tidak terjadi pada Biolita 4, hal ini dikarenakan IPAL yang berada di
54
Biolita 4 masih sangat baru sehingga kondisi instalasi khususnya perpipaan masih sangat baik dan belum menimbulkan masalah yang berarti. Namun sekalipun pengoperasian biogas di Biolita 4 masih menghasilkan biogas dengan lancar, pada hari-hari tertentu Biolita 4 pun tetap memberlakukan jam buka-tutup pada biogas agar ketersediaan biogas dapat terus terjaga pada saat masyarakat membutuhkan gas di jam-jam tertentu, misalkan di pagi hari dan sore hari untuk kegiatan memasak. Jam operasional yang diterapkan di Biolita 1, Biolita 2, Biolita 3 rata-rata selama 1-2 jam di pagi hari dan 1-3 jam di malam hari. Jumlah jam operasional biogas di ketiga biolita ini memang tidak terlalu panjang dikarenakan rata-rata jumlah jam memasak di Desa Kalisari pun hanya mencapai 1-3 jam sehari. Selain alasan jumlah jam memasak yang tidak terlalu tinggi, adanya free rider di setiap biolita pun menjadi alasan yang kuat untuk memberlakukan jam buka-tutup pada biogas. Hal ini terjadi karena para free rider tersebut mempergunakan biogas untuk menggoreng keripik ampas tahu untuk dijual ke pasar. Pemanfaatan biogas oleh free rider ini sangat membutuhkan biogas dalam jumlah banyak, sekali mereka menggoreng ampas tahu membutuhkan waktu kurang lebih 5-6 jam/hari. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan peruntukkan biogas di Desa Kalisari yaitu untuk memasak sehari-hari untuk dikonsumsi sendiri, sehingga masyarakat tidak perlu lagi untuk membeli LPG di pasar. Sampai saat ini, masih belum ada upaya dari pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memperbaiki instalasi biogas dan free rider yang ada di setiap biolita. Apabila kedua permasalahan inti tersebut dapat diatangani dengan baik oleh pemerintah pusat, daerah, maupun desa, maka pemanfaatan biogas di Desa Kalisari dapat berjalan dengan baik. Permasalahan lain dari pemanfaatan biogas di Desa Kalisari adalah tingginya biaya investasi dalam pembangunan IPAL yang dapat menghasilkan output berupa biogas yang berasal dari pengolahan limbah cair tahu. Pembangunan IPAL di Desa Kalisari sampai saat ini masih bergantung pada dana yang berasal dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Biaya investasi yang sangat tinggi tidak mampu ditutupi oleh pemerintah desa dan para pengrajin tahu. Biaya yang masih dapat ditutupi oleh pengrajin tahu dan pemanfaat biogas adalah biaya operasional IPAL seperti biaya untuk membayar listrik per bulan dan biaya untuk membayar upah tenaga kerja yang bertugas untuk mengoperasikan digester dan menyalurkan biogas per bulan. Pembangunan IPAL di Desa Kalisari masih tergolong baru dan masih belum perlu diadakan perbaikan terhadap instalasi terutama perpipaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Kemenristek selaku pelaksana proyek, tidak diperlukan reinvesatsi untuk instalasi, hanya diperlukan biaya operasional seperti biaya listrik per bulan. Berdasarkan temuan di lapangan, permasalahan dari aspek non teknis hanya dialami oleh Biolita 1, yaitu permasalah dalam pengurusan IPAL dan pemanfaatan biogas. Pemicu dari permasalahan ini adalah adanya politisasi pada saat pemilihan kepala desa. Banyak pendukung kepala desa tidak terpilih yang merupakan pengurus inti di Biolita 1 yang merasa tidak puas atas hasil pemilihan kepala desa, sehingga mereka mengundurkan diri dari kepengurusan IPAL di Biolita 3. Pengunduran diri sebagian pengurus Biolita 1 tersebut menyebabkan ketidakefektifan operasional dari IPAL di Biolita 1.
55
Dasar Pertimbangan Pemilihan Model Kelembagaan untuk Pemanfaatan Biogas di Desa Kalisari Desa Kalisari merupakan salah satu sentra industri tahu yang berada di Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan temuan di lapangan, potensi yang ada di Desa Kalisari dari adanya industri tahu yaitu limbah padat dan cair yang dapat diolah kembali. Limbah padat di Desa Kalisari dapat dijual kepada pemilik ternak untuk dijadikan pakan ternak, sedangkan limbah cair diolah kembali menjadi biogas. Biogas di Desa Kalisari digunakan untuk kegiatan memasak sehari-hari dan keberadaannya dapet menggantikan LPG yang sebelumnya digunakan oleh masyarakat Desa Kalisari. Saat ini penetapan harga biogas di Desa Kalisari masih berdasarkan kesepakatan masyarakat pemanfaat Desa Kalisari, bukan berdasarkan dari perhitungan dari biaya-biaya yang timbul untuk pembangunan biogas. Biogas yang ada di Desa Kalisari ini merupakan potensi ekonomi jika dapat dikelola dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah Desa Kalisari. Pemanfaatan biogas saat ini diatur oleh kelompok-kelompok yang diberi nama Biolita, oleh karena terdapat empat IPAL yang dapat menghasilkan biogas maka terdapat empat biolita di Desa Kalisari yaitu Biolita 1, Biolita 2, Biolita 3, dan Biolita 4. Pengelolaan yang terdapat pada keempat biolita tersebut memiliki beberapa kendala seperti yang telah disebutkan pada Tabel 22. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada Kepala Desa Kalisari, diperoleh informasi bahwa pemerintah Desa Kalisari berencana untuk menghapus keberadaan empat biolita tersebut dan membentuk pengelolaan yang baru yang berada di bawah satu tangan, sehingga kontrol dapat lebih mudah dilakukan terhadap keempat IPAL di Desa Kalisari. Wawancara mengenai pengelolaan IPAL juga dilakukan kepada mantan Kepala Desa Kalisari, berdasarkan hasil wawancara tersebut diperoleh informasi bahwa pemerintah pusat pernah mengusulkan kepada pemerintah Desa Kalisari untuk membangun BUMD dalam pengelolaan biogas sehingga keberadaan biogas dapat menguatkan perekonomian di Desa Kalisari karena Desa Kalisari memiliki potensi ekonomi yang dapat dikembangkan yaitu biogas yang dihasilkan dari limbah cair industri tahu dan dapat meningkatkan pendapatan asli desa. Badan Usaha Milik Desa sebagai institusi ekonomi rakyat lembaga komersial, pertama-tama berpihak kepada pemenuhan kebutuhan (produktif maupun konsumtif) masyarakat adalah melalui pelayanan distribusi penyediaan barang dan jasa (Ramadana et al. 2012). Hal ini diwujudkan dalam pengadaan kebutuhan masyarakat yang tidak memberatkan dalam hal ini adalah penyediaan biogas dengan harga yang lebih murah dari LPG sehingga masyarakat daat menekan pengeluaran per bulan untuk konsumsi biogas. BUMDes dalam Pemanfaatan Biogas Secara Berkelanjutan Pendirian BUMDes dilandasi oleh UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa. Badan usaha ini merupakan badan usaha yang dibangun atas inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri, harus mengutamakan perolehan modalnya dari masyarakat dan Pemdes, meskipun demikian tidak menutup kemungkinan BUMDes dapat memperoleh modalnya dari pihak luar seperti dari pemerintah kabupaten. Badan
56
Usaha Milik Desa sebagai suatu lembaga ekonomi dimana modal ekonomi usahanya dibangun atas inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri. Hal ini berarti pemenuhan modal usaha BUMDes harus bersumber dari masyarakat (PKDSP 2007). Berkaitan dengan modal fasilitasi dalam bentuk strategi peningkatan partisipasi masyarakat dan pemberdayaan ekonomi serta pendampingan usaha, maka pendirian BUMDes didasarkan pada kebutuhan dan potensi desa sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Badan ini sebagai suatu lembaga ekonomi dimana modal usahanya dibangun atas inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri. Hal ini berarti pemenuhan modal usaha BUMDes harus bersumber dari partisipasi masyarakat. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan BUMDes dapat mengajukan pinjaman modal kepada pihak luar seperti dari pemerintah desa atau pihak lain, bahkan melalui pihak ketiga. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Permendagri Nomor 39 Tahun 2010 tentang BUMDes (Sayuti 2011). Pendirian BUMDes di Desa Kalisari sangat memerlukan bantuan baik dari pemerintah kabupaten maupun pemerintah pusat, mengingat usaha yang dijalankan merupakan usaha yang memerlukan biaya pembangunan yang tinggi sehingga peran pemerintah khususnya sebagai pemberi bantuan dana sangat diperlukan. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas pada Skenario III, pembangunan IPAL dari limbah cair tahu untuk menghasilkan biogas, dapat disimpulkan bahwa pembangunan proyek pembangunan IPAL merupakan proyek yang layak untuk terus dijalankan. Harga yang digunakan pada Skenario 3 juga menggunakan harga biogas yang lebih rendah dari harga LPG, dimana pengeluaran untuk mengonsumsi biogas lebih kecil jika dibandingkan dengan LPG berukuran 3 kg. Hasil analisis pada Skenario 3 juga menunjukkan bahwa sekalipun masyarakat membayar biogas dengan harga yang lebih murah dari LPG, namun pemerintah desa masih memperoleh keuntungan dari penjualan biogas. Keuntungan ini kemudian dapat digunakan sebagai dana untuk operasional dan perawatan digester dan dapat digunakan sebagai dana tambahan untuk membangun desa. Berdasarkan hal tersebut dalam hal pemanfaatan biogas secara berkelanjutan dapat dibangun sebuah BUMDes yang dapat menjadi wadah untuk memperkuat perekonomian pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa karena masyarakat Desa Kalisari dapat memanfaatkan biogas yang lebih murah daripada LPG. Badan ini selanjutnya juga dapat direplikasi di desa-desa di Indonesia yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai pengrajin tahu. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Pasal 213 ayat 1, disebutkan bahwa pendirian BUMDes didasarkan pada kebutuhan dan potensi desa, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Desa Kalisari merupakan sentra industri tahu yang memiliki industri tahu rumah tangga sebanyak 250 unit usaha. Jumlah industri tahu yang cukup banyak ini memiliki potensi limbah cair tahu yang banyak untuk diolah kembali menjadi biogas. Berkenaan dengan perencanaan pendiriannya, BUMDes dibangun atas prakarsa (inisiasi) masyarakat serta mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif, (user-owner, user-benefited, and user-controlled), transparansi, emansipatif, akuntabel, dan sustainable dengan mekanisme member-base dan selfhep. Hal terpenting dari semua itu adalah bahwa pengelolaan BUMDes harus dilakukan secara profesional dan mandiri. Badan ini merupakan pilar kegiatan
57
ekonomi di desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial dan komersial. Badan ini sebagai lembaga sosial berpihak pada kepentingan masyarakat melalui kontribusinya dalam penyediaan pelayanan sosial, sedangkan sebagai badan komersial bertujuan untuk mencari keuntungan melalui penawaran sumberdaya lokal (barang dan jasa) ke pasar. Badan ini sebagai badan hukum dibentuk berdasarkan tata perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan kesepakatan yang terbangun dengan masyarakat di desa, dengan demikian BUMDes dapat beragam di setiap desa di Indonesia. Keragaman ini sesuai dengan karakteristik lokal, potensi, dan sumberdaya yang dimiliki masing-masing desa (PKDSP 2007). Peranan BUMDes di Desa Kalisari adalah untuk menciptakan pengolahan limbah cair tahu yang efisien sehingga lingkungan sungai tidak tercemar, mengembangkan sistem insentif dalam tata kelola limbah cair tahu, meningkatkan pendapatan asli desa yang bersumber dari pemanfaatan biogas oleh masyarakat Desa Kalisari, meningkatkan pengolahan potensi desa dalam hal ini pengolahan limbah cair tahu untuk menghasilkan biogas, dan meningkatkan perekonomian masyarakat desa karena keberadaan biogas dapat menggantikan konsumsi LPG sehingga biaya yang dikeluarkan setiap bulannya untuk membeli LPG dapat ditekan. Hasil yang didapat dari pemanfaatan biogas yang diatur melalui BUMDes dapat digunakan kembali untuk membangun desa yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat Desa Kalisari, selain itu juga dapat digunakan untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Desa Kalisari sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat Desa Kalisari. Keberadaan BUMDes diharapkan dapat menjadikan biogas sebagai salah satu energi alternatif pengganti LPG secara berkelanjutan dan mendorong kemandirian energi di Desa Kalisari sehingga tidak lagi bergantung pada bahan bakar fosil untuk kegiatan memasak sehari-hari. Keberadaan BUMDes juga diharapkan dapat menstimulus masyarakat Desa Kalisari untuk mempertahankan industri tahu bahkan menjadikan industri tahu sebagai industri utama yang dapat menggerakkan roda perekonomian di Desa Kalisari, sehingga limbah yang dihasilkan dari industri tahu ini pun semakin meningkat jumlahnya untuk kemudian diolah menjadi biogas. Pengelolaan limbah cair tahu
Meningkatkan potensi ekonomi desa melalui pengelolaan yang lebih efektif dan efisien
Peran BUMDes di Desa Kalisari
Menciptakan lapangan pekerjaan
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Kalisari
Gambar 13 Peranan BUMDes di Desa Kalisari
58
Pengelolaan Biogas dengan Model BUMDes Sampai saat ini IPAL di Desa Kalisari masih dikelola oleh kelompok masyarakat di masing-masing lokasi digester. Pemerintah Desa Kalisari dalam berencana untuk menghapus keberadaan keempat biolita dan menggantinya dengan satu kepengurusan saja. Apabila BUMDes diajukan sebagai lembaga pengelola biogas, maka secara umum struktur pengelolaan IPAL dan pemanfaatan biogas adalah sebagai berikut. Pengelolaan IPAL dan Pemanfaatan Biogas
Setelah dibentuk BUMDes
Sebelum dibentuk BUMDes
Biolita 1
Pelaksana operasional: Ketua Bendahara Teknisi
Biolita 2
Pelaksana operasional: Ketua Bendahara Teknisi
Biolita 3
Biolita 4
Pelaksana operasional: Ketua Bendahara Teknisi
Biolita 1
Pelaksana operasional: Ketua Bendahara Teknisi
Biolita 2
Penasihat/komisaris: Desa
Biolita 3
Kepala
Pelaksana operasional: Masyarakat Desa Kalisari Bagian keuangan Manajer BUMDes Sekretaris Bendahara Karyawan Sumber: Data primer dan data sekunder diolah (2015)
Gambar 14 Pengelolaan IPAL dan biogas sebelum dan sesudah dibentuk BUMDes
Biolita 4
59
Pemanfaatan biogas yang diatur dalam BUMDes akan memiliki struktur kepengurusan yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Pengurusan dalam pemanfaatan biogas sebelum dibentuk BUMDes dilakukan dengan membentuk empat kelompok biolita yang kepengurusannya secara sukarela, tidak ada sistem reward atau punishment kepada pengurus dalam menjalankan tanggung jawab, sehingga mereka tidak merasa dirugikan apabila tidak menjalankan tugas dengan baik. Berbeda apabila pemanfaatan biogas diatur oleh BUMDes yang memiliki struktur yang jelas karena semua tugas, hak, dan kewajiban tertulis dalam AD dan ART yang disahkan oleh pemerintah desa. Setiap pengurus BUMDes yang memiliki tugas dalam mengoperasikan memiliki hak untuk menerima gaji yang didapat dari keuntungan dari pemanfaatan biogas. Hal ini dapat menjadi insentif bagi para pengurus BUMDes untuk merawat IPAL agar terus dapat menghasilkan biogas. Perawatan yang dilakukan oleh pengurus tidak hanya pada instalasi pengolahan limbah tetapi juga pada instalasi penyaluran limbah dari rumah tangga pengrajin tahu ke IPAL. Selama ini para pengrajin tahu masih belum mendapatkan kompensasi atas limbah cair tahu yang disalurkan ke digester pengolahan limbah. Kompensasi ini diharapkan dapat menjadi insentif bagi para pengrajin tahu untuk membuang limbah cair tahu ke IPAL sehingga lingkungan dapat terus terjaga kelestariannya dan produksi biogas dari limbah cair tahu dapat terus dilakukan secara berkelanjutan.
KESIMPULAN 1.
2.
3.
4.
Biaya yang timbul dari pembangunan IPAL meliputi biaya finansial dan sosial. Biaya finansial meliputi biaya investasi dan operasional, sedangkan biaya sosial meliputi opportunity cost lahan. Manfaat yang timbul dari pembangunan IPAL meliputi manfaat finansial dan sosial. Manfaat finansial meliputi penerimaan dari penjualan biogas dan manfaat sosial meliputi pengehematan bahan bakar dan peningkatan produktivitas lahan persawahan Harga Biogas yang didapat dari metode BEP adalah sebesar Rp 2.500/m3. Nilai ini diperoleh dari perhitungan yang menggunakan biaya-biaya yang timbul dari IPAL yang dibangun di Biolita 3 dengan asumsi bahwa pemanfaatan teknologi dan biaya pembangunan IPAL per m3 untuk seluruh biolita adalah sama. Secara keseluruhan baik pada analisis finansial maupun ekonomi, proyek pembangunan IPAL layak untuk dijalankan apabila menggunakan harga biogas sebesar Rp 2.500/m3. Proyek IPAL tidak layak untuk dijalankan apabila menggunakan harga biogas sebesar Rp 20.000/RT/bulan. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan bentuk kelembagaan yang tepat untuk mengkoordinasikan usaha pengolahan dan pemanfaatan biogas di Desa Kalisari. Pemanfaatan biogas secara berkelanjutan dapat dilakukan apabila BUMDes dapat berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. SARAN
1.
2.
3.
4.
5.
Perlunya aturan Desa untuk mengontrol para pemilik usaha industri tahu terhadap para pekerjanya agar limbah yang dihasilkan dari proses produksi tahu tidak dibuang ke sungai atau badan air lainnya karena masih ada beberapa pekerja yang masih membuang ke sungai tanpa diketahui oleh para pemilik usaha. Perlunya keterlibatan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam hal pendanaan khususnya dalam penyediaan modal awal pembangunan biogas termasuk di dalamnya biaya pembebasan lahan untuk membangun IPAL agar seluruh pengrajin tahu dapat menyalurkan limbah cair tahu yang dihasilkan ke dalam IPAL sehingga tidak ada lagi pengrajin tahu yang membuang limbahnya ke sungai Perlunya penelitian yang jelas mengenai penetapan besaran insentif bagi para penyalur limbah cair tahu agar mereka dapat melakukan perawatan terhadap instalasi penyalur limbah di pabrik tahu masing-masing pengrajin Volumetric pricing, penentuan biaya sesuai dengan pemakaian biogas perlu dikembangkan, namun hal ini memerlukan adanya meteran gas yang mencatat penggunaan biogas. Namun upaya ini memerlukan biaya besar, apabila manfaat dari upaya lebih besar dari biayanya, maka volumetric pricing layak untuk dipergunakan. Perlunya kerjasama dengan pemerintah pusat maupun daerah dalam pengelolaan biogas melalui BUMDes dalam bentuk pengawasan, pembinaan, dan pelatihan mengenai tata kelola BUMDes sehingga limbah cair tahu dapat terus diolah sehingga menghasilkan biogas secara berkelanjutan dimana
61
biogas ini merupakan potensi ekonomi di Desa Kalisari yang apabila dikelola dengan baik dapat mewujudkan kemandirian energi di Desa Kalisari.
DAFTAR PUSTAKA Alimsyah A, Damayanti A. 2013. Penggunaan Arang Tempurung Kelapa dan Eceng Gondok untuk Pengolahan Air Limbah Tahu dengan Variasi Konsenterasi. Jurnal Teknik Pomits. 2(1): 6-9 Amigun B, Blottnitz HV. 2010. Capacity-Cost and Location Cost Analyses for Biogas Plants in Africa. Resources, Conservation, and Recycling. 55: 6373 Basir, Dedy WA. 2011. Desain dan Rekayasa Prototipe Daur Ulang Limbah Cair Tahu. Jurnal Riset Teknologi Pencegahan Pencemaran Lingkungan. 1(4): 278-286 Binkley D, Harsh S, Wolf CA, Safferman S, Kirk D. 2012. Electricity Purchase Agreements and Distributed Energy Policies for Anaerobic Digesters. Energy Policy. 53: 341-352 Bhattacharyya SC. 2011. Energy Economics Concepts, Issues, Market and Governance. London (GB): Springer London Boardman AE, Greenberg DH, Vining AR, Weimer DL. 2006. Cost Benefit Analysis Concepts and Practice Third Edition. New Jersey: Pearson Education Boyd A. 2012. Informing International UNFCC Technology Mechanism from the Ground Up: Using Biogas Technology in South Africa As A Case Study to Evaluate the Usefulness of Potential Elements of An International Technology Agreement in the UNFCC Negotiations Process. Energy Policy. 51: 301-311 [BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Outlook Energi Indonesia 2013. Jakarta (ID): Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi (PTPSE) _____________________________________________. Outlook Energi Indonesia 2013. Jakarta (ID): Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi (PTPSE) Damayanti A, Hermana J, Masduqi A. 2004. Analisis Resiko Lingkungan dari Pengolahan Limbah Pabrik Tahu dengan Kayu Apu. Jurnal Purifikasi. 5(4): 151-165 Departemen Pertanian. 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161) Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama Gittinger, JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Jakarta (ID): UI Press-John Hopkins Goendi S, Purwadi T, Nugroho AP. 2008. Kajian Model Digester Limbah Cair Tahu untuk Produksi Biogas Berdasarkan Waktu Penguraian. Disampaikan pada Seminar Nasional Teknik Pertanian. Yogyakarta Gray C, Simanjuntak P, Subur LK, Maspartella PFL, Varley RCG. 1997. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Kedua. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama
63
Haryati T. 2006. Biogas: Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi Alternatif. Jurnal Wartazoa. 16(3): 160-169 Hasan MH, Mahira TMI, Nur H. 2011. A Review on Energy Scenario and Sustainable Energy in Indonesia. Renewable and Sustainable Energy Review. : 2316– 2328 Hanley N dan Barbier EB. 2009. Pricing Nature. UK (GB): Edward Elgar Publishing Horne V. 1977. Financial Management and Policy,. 4th edition, Englewood Cliffs, Prentice-Hall, Inc. Indrasti NS, Fauzi AM. 2009. Produksi Bersih. Bogor (ID): IPB Press Indriyati. 2005. Pengolahan Limbah Cair Organik Secara Biologi Menggunakan Reaktor Anaerobik Lekat Diam. JAI. 1(3): 340-343 [IEA] International Energy Agency. 2005. Manual Statistik Energi. Luxemburg (LU): Eurostat [IISD] International Institute for Sustainable Development. 2014. Tinjauan Subsidi di Indonesia. Switzerland (CH): The International Institute for Sustainable Development Juanda, Bambang. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Press Juarna dan Harmoni A. 2005. “Internalisasi Biaya Eksternal”. Prosding. Seminar Nasional Pesat 2005. http://www/google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=1&ved=0CBIQFjAA &url=http%3A2F%2Frepository.gunadarma.ac.id [terhubung berkala]. Diakses tanggal 1 Mei 2010 Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Jakarta (ID): Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Kaswinarni F. 2007. Kajian Teknis Pengolahan Limbah Padat dan Cair Industri Tahu. Tesis. Semarang (ID): Universitas Diponegoro Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. 2012. Statistik Minyak dan Gas 2011. Jakarta (ID): Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Panduan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta (ID): Kementerian Negara Lingkungan Hidup Klavon KH, Lansing SA, Mubry W, Moss AR, Felton G. 2013. Economic Analysis of Small-Scale Agricultural Digesters in the United States. Biomass and Bioenergy. 54: 36-45 Mangkoesoebroto, G. 2000. Ekonomi Publik. Yogyakarta (ID): BPFE Yogyakarta Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Bogor (ID): Ghalia Indonesia Oktaviani, AO. 2011. Analisis Ekonomi Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro di Desa Megamendung Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Padmono D. 2003. Pengaruh Beban Organik terhadap Efisiensi Anaerobic Fixed Bed Reactor dengan Sistem Catu Up Flow. Jurnal Teknik Lingkungan. 4(3): 148-154 [PKDSP] Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan. 2007. Buku Panduan Pendirian dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa. Malang (ID): Universitas Brawijaya
64
Rahayu SS, Budiarti VSA, Supriyanto E. 2012. Rekayasa pengolahan Limbah Cair Industri Tahu dan Tempe dalam Upaya Mendapatkan Sumber Energi Pedesaan. Jurnal Teknis. 7(3): 129-139 Ramadana CB, Ribawanto H, Suwondo. 2012. Keberadaan BUMD sebagai Penguatan Ekonomi Desa (Studi di Desa Landungsari, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang). Jurnal Administrasi Publik. 1(6): 1068-1076 Sadzali I. 2010. Potensi Limbah Tahu Sebagai Biogas. Jurnal UI untuk Bangsa Seri Kesehatan, Sains, dan Teknologi. 1(1): 62-69 Sandriati, D. 2010. Kajian Pemanfaatan Tanaman Air Eceng Gondok (Eichornia crassipes (Mart) Solms) dan Kimbang (Salvinia molesta) untuk Menurunkan Kadar Nutrient pada Limbah Cair Tahu. Skripsi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Sani EY. 2006. Pengolahan Air Limbah Tahu Menggunakan Reaktor Anerobik Bersekat dan Aerobik. Tesis. Semarang (ID): Universitas Diponegoro Sayuti HM. 2011. Pelembagaan BUMDes Sebagai Penggerak Potensi Ekonomi Desa dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Donggala. Jurnal Academica Fisip Untad. 3(2):717-728 Shaffitri, LR. 2011. Internalisasi Biaya Eksternal Pengolahan Limbah Tahu. Skripsi. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor Suparmoko, M. 2009. Buku Pedoman Penilaian Ekonomi: Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Konsep dan Metode Penghitungan). Yogyskarta (ID): BPFE Yogyakarta Thuesen dan Fabrycky. 1993. Enginering Economy Eight Edition. New Jersey (US): Englewood Cliffs Wagiman. 2007. Identifikasi Potensi Produksi Biogas dari Limbah Cair Tahu dengan Reaktor Upflow Anaerobic Sludge Blanket. Jurnal Bioteknologi. 4(2): 41-45 Wang Z, Calderon MM. 2012. Environment and Economic Analysis of Application of Water Hyacinth for Eutrophic Water Treatment Coupled with Biogas Production. Journal of Environmental Management. 110: 246253 Wardhana,WA. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta (ID): Andi Yogyakarta Wilkie AC. 2005a. Anaerobic Digestion: Biology and Benefits. Dalam: Dairy Manure Management: Treatment, Handling, and Community Realtions. NRAES-176. Natural Resource, Agriculture, and Engineering Service. Cornell University, Ithaca, New York; 2005a. http://biogas.ifas.ufl.edu/Publs/NRAES176-p63-72-Mar2005.pdf. Diakses tanggal 5 Maret 2014 Yiridoe EK, Gordon R, Brown BB. 2009. Nonmarket Cobenefit and Economic Feasibility of On-Farm Biogas Energy Production. Energy Policy. 37: 1170-1179
LAMPIRAN
73
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Juni 1989 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Edy Mulyono dan Ibu Elidar Rusin. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Polisi 1 Bogor pada tahun 2001 dan melanjutkan pendidikan ke SMPN 1 Bogor. Setelah menyelesaikan masa pendidikan SMP pada tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikannya ke SMAN 1 Bogor hingga menamatkan pendidikan SMA-nya pada tahun 2007. Penulis melanjutkan pendidikan sarjana pada tahun 2007 di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan menamatkan pendidikan sarjana pada tahun 2011. Penulis melanjutkan studi magister sains pada program studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor tahun 2012 dan mendapatkan Beasiswa Unggulan Dikti untuk penyelesaian studi. Penulis menikah dengan Eri Widianto pada tahun 2015 dan telah dikaruniai seorang putri bernama Siti Khadijah Inara Paramastri.