ANALISIS HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA BURUH DAN MAJIKAN BERKAITAN DENGAN KEPAILITAN PERUSAHAAN
SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA HUKUM
OLEH: NAMA : MORTEN PURBA
NIM
: 050200355
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
ANALISIS HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA BURUH DAN MAJIKAN BERKAITAN DENGAN KEPAILITAN PERUSAHAAN Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh: MORTEN PURBA NIM DEPARTEMEN
: 050200355 : HUKUM EKONOMI
Disetujui Oleh : Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Prof. Dr. Bismar Nasution,S.H., M.H. NIP. 195603291986011001
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum NIP. 196302151989032002
Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.hum NIP. 195905111986011001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah: “ANALISIS HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA BURUH DAN MAJIKAN BERKAITAN DENGAN KEPAILITAN PERUSAHAAN”. Dalam menyusun skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 4. Bapak M. Husni, S.H., M.H., selaku selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 5. Bapak, Prof. Dr.Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi. 6. Ibu Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
7. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Bapak, Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum, selaku Dosen Wali penulis selama mengikuti masa perkuliahan. 10. Bapak dan Ibu Dosen serta para pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi penulis selama mengikuti perkuliahan. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Ayah J. Purba dan Ibu P. br. Sipayung, yang telah memberikan segenap kasih sayang, perhatian dan dukungan baik secara moril maupun materil kepada penulis. 2. Abang Raijen Purba, Kaha Friska br sinaga yang telah memberikan kasih sayang dan dukungan moril kepada penulis. 3. Kakak Restinaria br Purba, S.S, dan Abangnda Jasri Ali Martopo Purba, yang telah memberikan kasih saying dan dukungan moril kepada penulis. 4. Semua keluarga penulis: Namboru, Amang boru, Tulang, Nantulang, yang telah memberikan segenap kasih sayang, perhatian dan dukungan kepada penulis. 5. Sahabat-sahabat penulis: Arthur, Bona, Rajamin, Ramses, David Van Rodo, Franciscus, Harry, Jonatan, Maripa, Martin, Josua S.H, Rizal, Omri Gea, Yulia C. S. A, S.H., Grez, Santi, Indri Wati, Sisil, Ocha S.H, Tri S.H, Lola Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
S.H., Amel S.H., dan Mulfa S.H, yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis. 6. Teman-teman stambuk 2005 dan para Q_p@z Lovers atas dukungannya kepada penulis. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi semua pihak. Medan, Agustus 2009 Penulis,
MORTEN PURBA (NIM. 050200355)
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................iv ABSTRAKSI .................................................................................................vi BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah.............................................................................. 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 6 D. Keaslian Penulisan ............................................................................... 7 E. Tinjauan Kepustakaan ........................................................................... 8 F. Metode Penelitian............................................................................... 13 G. Sistematika Penulisan .................................................................................. 13 BAB II: HUBUNGAN BURUH DAN MAJIKAN DALAM HUKUM PERBURUHAN A Pengertian Perjanjian Kerja ............................................................... 15 B. Isi Perjanjian Kerja ........................................................................... . 22 C. Jenis Perjanjian Kerja ........................................................................ 28 D. Cara Membuat Perjanjian Kerja ......................................................... 35 BAB III: PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BURUH DAN MAJIKAN A. Penyelesaian Perselisihan Menurut Hukum Ketenagakerjaan............. 42 1.
Penyelesaian Secara Biparte ..................................................... 43
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
2.
Penyelesaian Melalui Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase ........... 45
3.
Pengadilan Hubungan Industrial ................................................ 58
B. Penyelesaian Perselisihan Secara Perdata .......................................... 62 BAB IV: KEDUDUKAN BURUH PERUSAHAAN PAILIT A. Ketentuan Kepailitan Dalam Undang-Undang Kepailitan Dalam Ketenagakerjaan ................................................................................ 66 B. Kedudukan Buruh Dalam Kepailitan Perusahaan ............................... 75 C. Hak-Hak Buruh Dalam Suatu Pemutusan Hubungan Kerja ......................... 92 BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ....................................................................................... 97 B. Saran ................................................................................................. 98 DAFTAR PUSTAKA
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
ABSTRAKSI Morten Purba * Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum** Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum** Pembangunan nasional merupakan pengamalan Pancsila dan pelaksanaan UUD RI 1945 yang diarahkan pada harkat, martabat dan kemampuan manusia serta kepercayaan pada diri dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur baik materil maupun spiritual. Pembangunan ketenagakerjaan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, di Indonesia hubungan industrial merupakan hubungan yang terbentuk antara para pelaku produksi dan/atau jasa yang terdiri dari pekerja/buruh, pengusaha/majikan dan pemerintah. Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana hubungan buruh dan majikan dalam hukum perburuhan, bagaimana penyelesaian sengketa antara buruh dan majikan, bagimana kedudukan buruh apabila perusahaan pailit. Metode penelitian dalam skripsi ini adalah tinjauan kepustakaan (Library research). Dalam metode tinjauan kepustakaan, penulis mengumpulkan data-data berdasarkan sumber-sumber kepustakaan atau bacaan dari buku-buku, pendapat sarjana, dan Peraturan Perundang-undangan. Hubungan antara buruh dan majikan merupakan hubungan yang subordinasi, artinya antara buruh dan majikan mempunyai kedudukan yang berbeda dimana salah satu pihak memberikan perintah untuk melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan isi perjanjian kerja dan memberikan upah kepada pihak pekerja atau buruh dan pihak yang lainnya melaksanakan perintah atau yang diperintah untuk melakukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan isi perjanjian kerja dengan menerima upah dari majikan atau pengusaha. Penyelesaian perselisihan yang terjadi antara buruh dan majikan dapat dilakukan dengan cara penyelesaian melalui bipartite, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Pailitnya suatu perusahaan akan berdampak kepada buruh/pekerja yabg akan mengalami pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tersebut tidak akan beroperasional lagi. Buruh/pekerja merupakan salah satu kreditur yang berhak atas pemenuhan segala piutangnya dari pihak debitur (perusahaan pailit), disamping kreditur-kreditur yang lain. Dalam kepailitan dikenal tiga macam kreditur, yakni kreditur separatis, kreditur preferent dan kreditur konkuren. Yang masing-masing kreditur tersebut berbeda kedudukannya serta juga membedakan besaran pembayaran harta pailit. Pada prinsipnya kedudukan para kreditur adalah sama (paritas creditorium) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan basaran tagihan mereka masing-masing (pari passu pro rata parte). Namun demikian, asas tersebut mengenal pengecualian, yaitu golongan kreditur yang memegang hak agunan atas Departemen Hukum Ekonomi * Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
kebendaan dan golongan kreditur yang haknya didahulukan berdasarkan undangundang kepailitan dan PKPU dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan berakhirnya hubungan kerja maka buruh atau pekerja berhak menerima kompensasi, kompensasi yang diterima oleh pekerja atau buruh berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti haknya sebagaimana diatur dalam Pasal 165 UU Ketenagakerjaan
Kata Kunci : 1. buruh dan majikan 2. kepailitan perusahaan
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945 yang diarahkan pada harkat, martabat dan kemampuan manusia serta kepercayaan pada diri dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual. Pembangunan
ketenagakerjaan
merupakan
bagian
integral
dari
pembangunan nasional, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur yang merata, baik materil maupun spiritual yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. dalam melaksanakan pembangunan nasional peran serta pekerja/buruh semakin meningkat dan seiring dengan itu perlindungan pekerja/buruh harus semakin ditingkatkan baik mengenai upah, kesejahteraan dan harkatnya sebagai manusia. Di Indonesia hubungan industrial (industrial relation) merupakan hubungan yang terbentuk antara para pelaku proses produksi dan/atau jasa yang terdiri dari pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah yang didasarkan pada nilainilai Pancasila dan UUD 1945. (Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).1
1
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal.17. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Sesuai dengan Prinsip yang dianut dalam hubungan industrial Pancasila, hubungan industrial bertujuan untuk: a. Menciptakan ketenangan atau ketentraman kerja serta ketenangan usaha, b. Meningkatkan produksi, c. Meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai dengan martabat manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan dunia usaha sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi hubungan industrial utamanya peranan pihakpihak yang berkepentingan dalam dunia usaha tersebut, semakin baik hubungan industrial maka semakin baik perkembangan dunia usaha. Untuk mencapai produktivitas yang diinginkan, semua pihak yang terlibat dalam proses produksi terutama pengusaha perlu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif. Ketentraman antar pekerja/buruh dan pengusaha merupakan konsep yang harus dikembangkan dalam hubungan industrial jika pihak pekerja/buruh dan pengusaha menginginkan perusahaannya maju dan berkembang serta dapat bersaing dalam tatanan nasional dan internasional. Dengan demikian hubungan kemitraan antar pekerja/buruh dan pengusaha ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemajuan perusahaan. Pada akhirnya tujuan hubungan industrial adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja/buruh dan pengusaha, tujuan ini saling berkaitan dan terkait satu dengan lainnya yang berarti bahwa pengurangan terhadap yang satu akan mempengaruhi yang lain. Tingkat produktivitas perusahaan misalnya, sangat ditentukan oleh tingkat produktivitas pekerja/buruh, Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
produktivitas yang tinggi hanya dimungkinkan jika perusahaan tersebut memperhatikan kesejahteraan para pekerja/buruhnya. Peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh hanya layak jika produktivitas perusahaan meningkat. Namun dalam realitas di lapangan tidak jarang masing-masing pihak bersikukuh mengutamakan dan memperhatikan kepentingaannya masing-masing sehingga tidak tercapai titik temu yang mengakibatkan timbulnya perselisihan hubungan industrial bahkan menjadi gejolak yang berakhir dengan pemogokan. Perselisihan hubungan industrial merupakan perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antar pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh. Perselisihan hubungan industrial terjadi karena disebabkan oleh beberapa hal yakni: 1. Peselisihan hak, merupakan perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 2 2. Perselisihan kepentingan, merupakan perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan , atau perjanjian kerja bersama. 3 3. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, merupakan perselisihan yang
terjadi
antarserikat
pekerja/serikat
buruh
dengan
serikat
2
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial, Pasal 1 butir 1. 3 Ibid, Pasal 1 butir 3. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan. 4 4. Perselisihan pemutusan hubungan kerja, merupakan perselisihan yang terjadi karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. 5 Dalam hukum perburuhan, secara teoritis pemutusan hubungan kerja dapat terjadi kerena, pemutusan hubungan kerja demi hukum, pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha, pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh buruh dan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh hakim. Masing-masing jenis pemutusan hubungan kerja tersebut memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda. Konsekuensi yuridis tersebut berupa prosedur PHK serta hak-hak normatif yang diterima oleh pekerja/buruh. Misalnya, pekerja/buruh yang mengundurkan diri dengan pekerja yang di-PHK kerena perusahaan dinyatakan pailit akan berbeda hak-hak normatif yang diterima oleh pekerja/buruh. Namun dalam prakteknya hak-hak normatif yang diterima pekerja/buruh berkaitan dengan kepailitan perusahaan ditempat pekerja/buruh tersebut bekerja sering terhalang oleh kreditur lain yang lebih memiliki prioritas utama terhadap pemenuhan piutang. Dalam Pasal 55 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dikatakan bahwa setiap kreditur pemegang gadai, 4 5
Ibid, Pasal 1 butir 5. Ibid, Pasal 1 butir 4.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Kreditur yang disebut dalam Pasal 55 ayat 1 undang-undang nomor 37 Tahun 2004 adalah kreditur separatis yang memiliki hak tanggungan, hipotek, pemegang gadai, dan jaminan fidusia. Pada prinsipnya buruh berhak atas imbalan dari pekerjaan yang telah mereka kerjakan. Hal ini secara tegas dinyatakan sebagai utang yang lebih didahulukan pembayarannya daripada utang-utang lainnya. 6 Dengan diberlakukannya Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, maka buruh kedudukannya berada satu tingkat di bawah kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atau kebendaan lainnya, sehingga menghapus perlindungan terhadap hak-hak buruh. Dalam hal ini perlu dicermati, apabila harta pailit yang diagunkan tidak seluruhnya, maka ada kemungkinan hak-hak buruh atas upah dan hak lainnya yang diatur oleh Pasal 95 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat dipenuhi dengan harta pailit yang tidak diagunkan. Namun, akan timbul masalah atau sengketa ketika seluruh harta pailit diagunkan, maka kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atau kebendaan lainnya, berhak melakukan eksekusi dan penjualan terhadap harta pilit tersebut, dan berdampak pada hilangnya hak-hak buruh atas upah/imbalan yang layak.
6
Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Sesuai dengan uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas masalah penyelesain sengketa antara buruh/majikan dengan pengusaha/majikan berkaitan dengan kepailitan perusahaan, dimana pada kesempatan ini khusus diangkat dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah hubungan buruh dan majikan dalam hukum perburuhan? 2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa antara buruh dan majikan? 3. Bagaimanakah kedudukan hukum buruh apabila perusahaan dinyatakan pailit?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Secara umum yang menjadi tujuan penulis membahas skripsi ini adalah guna melengkapi dan memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, disanping untuk membiasakan penulis dalam menyusun suatu karya ilmiah. Disamping itu tulisan ini ditujukan untuk mengetahui kesenjangan (gap) antara das sollen dan das sein atau perbedaan antara seharusnya dengan kenyataan sesungguhnya terjadi di lapangan khususnya dalam bidang Kepailitan Perusahaan. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Beberapa tujuan khusus yang ingin penulis sampaikan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui hubungan buruh dan majikan dalam hukum perburuhan. b. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa yang terjadi antara majikan dan buruh. c. Untuk mengetahui kedudukan buruh apabila perusahaan dinyatakan pailit. 2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis Agar skripsi ini dapat dipergunakan sebagai salah satu referensi atau bahan pertimbangan tentang penyelesaian sengketa buruh dan majikan berkaitan dengan kepailitan perusahaan. b. Secara Praktis Skripsi ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa, masyarakat umum, pemerintah dan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang penyelesaian sengketa buruh dan majikan berkaitan dengan kepailitan perusahaan.
D. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan maupun pemikiran secara pribadi dari awal hingga akhir berdasarkan penulusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara. Penulisan mengenai Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Perusahaan belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama, karena itu keaslian penulisan ini terjamin adanya, kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini semata-mata adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap
dalam
penulisan
yang
memang
sangat
dibutuhkan
untuk
penyempurnaan tulisan ini.
E. Tinjauan Kepustakaan Seiring dengan lajunya perkembangan pembangunan dan proses industrialisasi serta meningkatnya jumlah angkatan kerja, maka masalah perselisihan perburuhan/industrial yang timbul antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan merupakan suatu kejadian yang wajar, mengingat berbagai tipe manusia yang bekerja di perusahaan selalu akan berhadapan dengan kebijaksanaan pengusaha/majikan. 7 Sehubungan dengan hal tersebut, meski bagaimana baiknya suatu hubungan kerja yang telah diperjanjikan dan disepakati bersama oleh pekerja/buruh dan pengusaha/majikan tetapi masalah perselisihan antara ke duanya akan selalu ada dan bahkan sulit untuk dihindarkan. Perselisihan hubungan industrial merupakan perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
7
Hartono Widodo & Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, (Jakarta : Rajawali Pers cetakan kedua, 1992), hal.23. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan. 8 Perselisihan perburuhan/industrial dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Perselisihan perburuhan menurut jenisnya; a. Perselisihan Hak, yakni perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak,
akibat
adanya
perbedaan
pelaksanaan atau
penafsiran, atau perjanjian kerja bersama, 9 b. Perselisihan kepentingan, yakni perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 10 2.
Perselisihan perburuhan menurut sifatnya; a. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh denagn serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam suatu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan,
pelaksanaan
hak,
dan
kewajiban
keserikatpekerjaan, 11
8
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial Pasal 1 butir 1. 9 ibid, Pasal 1 butir 1. 10 ibid, Pasal 1 butir 3. 11 ibid, Pasal 1 butir 5. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
b. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. 12 Apabila pekerja/buruh telah terikat dalam perjanjian kerja, maka yang terpenting baginya adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja. Hal ini dapat dimengerti, karena dengan putusnya hubungan kerja akan membawa pengaruh psikologis, ekonomi dan finansial bagi pekerja/buruh beserta keluarganya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. 13 Pemutusan hubungan kerja dapat disebabkan oleh: 1. Pemutusan hubungan kerja oleh majikan, 2. Pemutusan hubungan kerja oleh buruh, 3. Hubungan kerja putus demi hukum, 4. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan 14 Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan dapat terjadi kepada perusahaan yang dinyatakan oleh pailit akibat dari ketidakmampuan perusahaan membayar utang-utangnya kepada para kreditur. Secara tata bahasa “kepailitan” berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan pailit. 15 Istilah pailit di jumpai dalam perbendaharaan Bahasa Belanda, Prancis, Latin, dan Inggris. Dalam bahasa Prancis digunakan istilah “Faillite” yang berarti 12
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial Pasal 1 butir 4. 13 Hartono Widodo & Judiantoro, opcit, hal. 27. 14 Zaeni Asyahadie, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), hal. 175. 15 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 11. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang melakukan pemogokan disebut dengan “Le Faille”, sedangkan dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah “Faillit” yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Untuk bahasa Inggris digunakan istilah “to fail”, dan untuk bahasa latin digunakan istilah “Faillire”. 16 Beberapa sarjana menyebutkan defenisi daripada pailit anatara lain: 1. R.Soekardono menyebutkan kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga balai harta peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan dan pemberesan Boedel dari orang yang pailit. 17 2. Mohammad Chaidir Ali menyebutkan bahwa kepailitan adalah pembeslahan masal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya diantara para kreditur dengan di bawah penawasan pemerintah. 18 3. Siti Soemarti Hartono menyatakan kepailitan adalah suatu lembaga hukum dalam hukum perdata Eropah sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam hukum Perdata Eropah yang tercantum dalam pasal-pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. 19 Defenisi mengenai kepailitan tidak diatur dalam Faillisementverordening dan Undang-Undang No 4 Tahun 1998. Namun dalam peraturan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 defenisi dari kepailitan diatur dengan jelas dalam Pasal 1 16
Bismar Nasution & Sunarmi, Diktat Hukum Kepailitan, (Medan: Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana USU,2003), hal 17-18. 17 Ibid, hal. 19. 18 Ibid, hal. 19. 19 Ibid, hal, 19. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
angka 1 yang menyebutkan, “kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas”. Agar kekayaan debitur secara hukum dapat diletakkan di bawah sita umum maka harus terlebih dahulu dinyatakan pailit oleh pengadilan. Pengadilan yang berwenang dalam memutuskan pailit adalah Pengadilan Niaga yang ada dalam lingkungan peradilan umum. 20 Debitur pailit dinyatakan pailit apabila ia telah memenuhi syarat yang terdapat dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”. Sehubungan dengan pailitnya suatu perseroan maka kekayaan perseroan itu dalam status sita umum umtuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dari pihak kreditur dalam pelunasan utang-utangnya terhadap perseroan pailit tersebut.
Dibentuklah
suatu
lembaga
yang
berwenang
mengurus
dan
membereskan harta pailit perseroan, wewenang itu diserahkan kepada kurator. kurator adalah balai harta peninggalan atau orang-perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan hakim pengawas.
20
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 1 angka 7. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
F.Metode Penelitian Untuk melengkapi skripsi ini agar mempunyai tujuan yang jelas dan lebih terarah serta dapat dipertanggungjawabkan sebagai salah satu karya ilmiah, maka digunakan Metodr Penelitian Normatif yaitu dengan melakukan pengumpulan data secara Studi Pustaka (Library Research). Dalam penulisan skripsi ini dilakukan suatu penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Adapun data sekunder yang dipergunakan dalan penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku perpustakaan, artikel-artikel baik dari koran maupun majalah, dokumen-dokumen pemerintah termasuk peraturan perundang-undangan. Juga dipelajari mengenai sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan penulisan skripsi ini dengan cara membaca, menafsirkan, mambandingkan serta menerjemahkan dari berbagai sumber yang berhubungan dengan keberadaan suatu perseroan yang dinyatakan pailit dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak terhadap buruh. Pengambilan bahan-bahan dalam tulisan ini juga tidak terlepas dari media-media cetak dan media elektronik.
G. Sistematika Penulisan Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur dan terbagi dalam bab per
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
bab yang saling berangkaian satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah: BAB I
:
Merupakan Bab Pendahuluan sebagai pengantar dalam skripsi ini yang menguraikan latar belakang permaslahan; perumusan masalah kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan; keaslian penulisan; tinjauan kepustakaan; metode penulisan serta diakhiri dengan sistematika penulisan yang dipergunakan.
BAB II
:
Merupakan suatu bab yang membahas mengenai pengertian Perjanjian Kerja; Isi Perjanjian Kerja; Bentuk Perjanjian Kerja; dan Cara Membuat Perjanjian Kerja.
BAB III :
Merupakan suatu bab yang membahas mengenai Penyelesaian Perselisihan Menurut Hukum Ketenagakerjaan; Penyelesaian Secara Biparte; Penyelesaian Melalui Mediasi; Konsiliasi; dan Arbitrase;
Pengadilan
Hubungan
Industrial.
Penyelesaian
Perselisihan Secara Perdata. BAB IV :
Merupakan suatu bab yang membahas mengenai Ketentuan Kepailitan Dalam Undang-Undang Kepailitan Dalam Kaitannya Dengan Ketenagakerjaan; Kedudukan Buruh Dalam Kepailitan Perusahaan; Hak-hak Buruh Dalam Suatu Pemutusan Hubungan Kerja.
BAB V
:
Bab ini merupakan bab terakhir dari skripsi ini yang berisikan kesimpulan dan saran berdasarkan atas uraian-uraian yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
BAB II HUBUNGAN BURUH DAN MAJIKAN DALAM HUKUM PERBURUHAN
A. Pengertian Pejanjian Kerja Perjanjian
kerja
yang
dalam
bahasa
Belanda
disebut
dengan
Arbeidsoereenkoms, dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Dalam ketentuan Pasal 1601 a KUH Perdata, memberikan pengertian Perjanjian Kerja sebagai berikut, “perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah” Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian, yakni “perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syaratsyarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak”. Selain itu, pengertian mengenai perjanjian kerja juga di ketengahkan oleh seorang pakar hukum perburuhan Indonesia, yaitu Bapak Imam Soepomo yang menerangkan bahwa perihal pengertian tentang perjanjian kerja, beliau mengemukakan bahwa: “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu, buruh mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya,
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
majikan yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah”. 21 Setelah diketengahkan tentang beberapa pengertian mengenai Perjanjian Kerja, khususnya pengertian yang ditentukan pada Pasal 1601 a KUH Perdata tersebut, ada dikemukakan perkataan “di bawah perintah”, maka perkataan inilah yang merupakan norma dalam perjanjian kerja dan yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian-perjanjian lainnya, misalnya dengan seorang yang berobat, di mana dokter itu melakukan pekerjaan untuk orang yang berobat, tetapi tidak di bawah pimpinanya, karena itu perjanjian antara dokter dengan orang yang berobat bukanlah perjanjian kerja, tetapi perjanjian melakukan pekerjaan tertentu. Jadi dokter bukanlah buruh dan orang yang berobat bukanlah majikan dan hubungan antara mereka bukanlah hubungan kerja. 22 Perihal ketentuan “di bawah perintah” ini mengandung arti bahwa salah satu yang mengadakan perjanjian kerja harus tunduk pada pihak lainnya, atau di bawah perintah atau pimpinan orang lain, berarti ada unsur wenang perintah. Dan dengan adanya unsur wenang perintah berarti antara kedua pihak ada kedudukan yang tidak sama yang disebut subordinasi. Jadi di sini ada pihak yang kedudukannya di atas, yaitu yang memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di bawah, yaitu yang di perintah. 23 Maka dengan adanya ketentuan tersebut, pihak buruh mau tidak mau harus tunduk pada dan di bawah perintah dari pihak majikan. 21
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Djambatan cetakan sepuluh, 1992), hal. 52. 22 Ibid, hal. 52. 23 Djumdi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, cetakan lima, 2004), hal. 31. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Ketentuan tersebut di atas, menunjukkan bahwa kedudukan yang satu, yaitu si buruh atau pekerja adalah tidak sama dan seimbang yaitu di bawah jika dibandingkan dengan kedudukan dari pihak majikan, dengan demikian dalam melaksanakan hubungan hukum atau kerja, maka kedudukan hukum antara kedua belah pihak jelas tidak dalam kedudukan sama dan seimbang. Sedangkan pengertian perjanjian kerja menurut Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum. Dikatakan lebih umum karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 24 Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap serikat pekerja, sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah upah disamping hak dan kewajiban yang lain. Berdasarkan rumusan perjanjian kerja tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada 4 (empat) unsur agar suatu perjanjian dapat disebut sebagai perjanjian kerja, keempat unsur itu adalah: 1. Adanya Pekerjaan Secara umum Undang-Undang tidak mengatur mengenai pengertian pekerjaan. Pada pokoknya yang dimaksudkan dengan pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dilakukan oleh buruh untuk kepentingan majikan sesuai dengan isi perjanjian kerja. 25 Dalam suatu perjanjian kerja harus ada perjanjian yang diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja.
24
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada cetakan empat, 2003), hal. 55. 25 Abdul Rachmad Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: PTRajaGrafindo Persada,1995), hal. 35. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Pekerja yang melaksanakan pekerjaan atas dasar perjanjian kerja tersebut, pada pokoknya wajib untuk melaksanakan sendiri. Sebab apabila para pihak itu bebas untuk melaksanakan pekerjaannya itu, untuk dilakukan sendiri atau menyuruh pada orang lain untuk melakukannya, akibatnya hal tersebut akan sulit untuk dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja. Walaupun demikian di dalam pelaksanaanya, jika seseorang atau pihak pekerja sewaktu akan melaksanakan pekerjaannya sebagai implementasi dari isi yang tercantum dalam perjanjian kerja, akan tetapi berhalangan. Ternyata ketentuan tersebut bisa dikesampingkan, yaitu dalam pelaksanaanya ternyata pekerjaan tersebut bisa diwakilkan atau digantikan oleh orang lain, sepanjang sebelumnya telah diberitahukan dan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pihak lain yaitu si majikan selaku pemberi kerja. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 1383 KUH Perdata jo 1603 a KUH Perdata. Pasal 1383 KUH Perdata menyatakan,“suatu perjanjian untuk berbuat sesuatu tak dapat dipenuhi oleh seseorang dan pihak ketiga berlawanan dengan kemauan si berpiutang, jika si berpiutang ini mempunyai kepentingan supaya perbuatannya dilakukan sendiri oleh si berpiutang”. Adapun bunyi Pasal 1603 a KUH Perdata adalah,“buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanyalah dengan izin majikan ia dapat menyuruh seseorang ketiga menggantikannya”. Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
2. Di Bawah Perintah Unsur yang paling khas dari perjanjian kerja adalah bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh buruh berada di bawah perintah majikan. 26 Mengenai seberapa jauh unsur “di bawah perintah” ini diartikan, tidak ada kriteria yang pasti tetapi bahwa dalam perjanjian kerja, unsur tersebut harus ada. Hal ini diatur dalam Pasal 1603 b KUH Perdata yang menyatakan bahwa buruh menaati aturan mengenai hal melakukan pekerjaan dan aturan yang ditujukan pada peningkatan tata tertib dalam perusahaan majikan yang ditujukan pada peningkatan tata tertib dalam perusahaan majikan yang diberikan kepadanya oleh atau atas nama majikan dalam batas aturan perundang-undangan atau perjanjian atau peraturan perusahaan, atau jika itu ada dalam batas-batas kebiasaan. Dengan adanya unsur di bawah pimpinan orang lain berarti ada unsur wewenang perintah. Dalam perjanjian kerja unsur wewenang perintah ini memegang peranan yang pokok sebab tanpa adanya unsur wewenang perintah, berarti bukan perjanjian kerja. 3. Adanya unsur Time atau Waktu Tertentu Yang dimaksud unsur waktu tertentu disini bahwa dalam melakukan hubungan kerja tersebut haruslah disesuaikan dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu pekerja tidak boleh melakukan pekerjaannya sekehendak hati, begitu pula si majikan tidak boleh mempekerjakan pekerjanya seumur hidup.
26
Ibid, hal. 37.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Apabila dilakukan demikian, maka berarti hak pribadi manusia akan hilang, sehingga timbullah apa yang dinamakan perbudakan dan bukan perjanjian kerja. 27 Pelaksanaan pekerjaan tersebut harus sesuai dengan isi dalam perjanjian kerja, dengan kata lain dalam rangka pelaksanaan pekerjaanya si buruh tidak boleh bekerja dalam waktu yang seenaknya saja, akan tetapi harus dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, dan juga pelaksanaan pekerjaannya tidak boleh bertentangan dengan ketentun perundang-undangan, kebiasaan setempat dan ketertiban umum. 4. Ada Upah Di dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Dengan demikian, intinya upah merupakan imbalan prestasi yang dibayarkan oleh majikan kepada buruh atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh buruh. Pada dasarnya tidak ada upah apabila tidak ada pekerjaan (No Work, No Pay). 28 Dalam KUH Perdata hal ini ditegaskan dalam Pasal 1602 b, yang berbunyi tidak ada upah dibayar untuk waktu buruh tidak melakukan pekerjaan yang dijanjikan. 27
Koko Kosidin, Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, (Bandung : Mandar Maju), hal. 13. 28 Abdul Rachmad Budiono, opcit, hal. 36. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Dengan demikian upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (Perjanjian Kerja), bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktek lapangan di hotel. Pembayaran upah itu pada prinsipnya harus diberikan dalam bentuk uang, namun demikian praktek pelaksanaan sesuai dengan peraturan perundangundangan, tidak mengurangi kemungkinan pemberian upah dalam bentuk barang, tetapi jumlahnya harus dibatasi. 29 Dengan telah diuraikan 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian kerja, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa defenisi tentang perjanjian kerja mempunyai 4 (empat) essensial yang jika dirumuskan atau diringkas adalah sebagai berikut: 1. Bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, pada pokoknya harus dilakukan sendiri; 2. Harus di bawah perintah orang lain; 3. Pekerjaan tersebut dilakukan dalam waktu tertentu, dan; 4. Si pekerja setelah memenuhi prestasinya, berhak mendapatkan upah, sebaliknya si pengusaha wajib untuk membayar upah tepat pada waktunya. 30
29 30
Djumadi, opcit, hal. 41. Ibid, hal. 44.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
B. Isi Perjanjian Kerja Isi perjanjian kerja merupakan “jantung”nya perjanjian kerja. Ia berkaitan dengan pekerjaan yang diperjanjikan. Adakalanya isi perjanjian kerja ini dirinci dalam perjanjian, tetapi sering juga hanya dicantumkan pokok-pokoknya saja. 31 Menurut Imam Soepomo, isi perjanjian kerja merupakan pokok persoalan, yaitu bahwa pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang yang sifatnya memaksa atau dalam undangundang tentang ketertiban umum atau dengan tata susila masyarakat. 32 Selanjutnya menurut Imam Soepomo perjanjian kerja adalah bertentangan dengan undang-undang tentang ketertiban umum, bila perjanjian kerja itu bertentangan dengan atau melanggar larangan yang termuat dalam undang-undang, misalnya larangan-larangan dalam KUHP. Perjanjian kerja yang menghendaki supaya buruh melakukan perbuatan yang dilarang, umpamanya membuat uang palsu, adalah tidak sah. 33 Isi dari suatu perjanjian kerja terdiri dari kewajiban-kewajiban dan hakhak kedua belah pihak (pekerja dan pengusaha), kewajiban-kewajiban pekerja itu merupakan hak bagi pengusaha. Begitu pula sebaliknya, kewajiban pengusaha menjadi hak bagi pihak pekerja. 34 Kewajiban buruh diatur dalam Pasal 1603, 1603 a, 1603 b, 1603 c, dan 1603 d KUH Perdata. Dari pasal-pasal ini dapat disimpulkan beberapa kewajiban buruh, yaitu: 31
Abdul Rachmad Budiono, opcit, hal. 45. Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan Kerja, (Jakarta : P.P.A.KRI, Bhayangkara, 1968), hal. 64. 33 Ibid, hal. 65. 34 H.Koko Kosidin, opcit, hal. 25. 32
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
1. Melakukan pekerjaan, 2. Menaati peraturan tentang melakukan pekerjaan, 3. Membayar ganti kerugian dan denda. Ad. 1. Melakukan Pekerjaan Melakukan pekerjaan merupakan kewajiban yang paling utama bagi seorang buruh, disamping kewajiban-kewajiban lainnya. Hal ini dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 1603, yaitu “buruh wajib melakukan pekerjaan yang diperjanjikan menurut kemampuannya yang sebaik-baiknya. Sekedar sifat dan luasnya pekerjaan yang harus dilakukan tidak dirumuskan dalam perjanjian atau peraturan majikan, maka hal itu ditentukan oleh kebiasaan”. Pekerjaan yang wajib dilakukan oleh buruh hanyalah pekerjaan yang telah diperjanjikan. Dalam hal sifat dan luasnya (rincian) pekerjaan tidak dirumuskan dalam perjanjian atau peraturan majikan, maka hal itu ditentukan oleh kebiasaan. 35 Dalam praktek hal seperti ini banyak terjadi, misalnya seorang buruh di sebuah rumah makan, kewajiban uatama buruh adalah melayani orang-orang yang membeli makanan. Menurut kebiasaan buruh di rumah makan juga wajib membersihkan meja makan, juga mencuci peralatan untuk makan. Jarang dalam perjanjian kerja dirinci sampai hal yang sekecil-kecilnya mengenai kewajiban buruh.Di samping itu buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya. Akan tetapi, ketentuan tersebut dapat dikesampingkan, yaitu dengan adanya alasan serta dengan sepengetahuan dan izi dari majikan. 36 Ad .2. Menaati Peraturan Tentang Melakukan Pekerjaan 35 36
Abdul Rachmad Budiono, opcit, hal. 48. Pasal 1603 a KUH Perdata
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Kewajiban buruh untuk menaati peraturan tentang segala suatu yang berkaitan dengan melakukan pekerjaan ini merupakan perwujudan dari “di bawah perintah” nya buruh oleh majikan. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 1603 b KUH Perdata, yang berbunyi: “Buruh wajib menaati aturan mengenai hal melakukan dan aturan yang ditujukan pada peningkatan tata tertib dalam perusahaan majikan yang diberikan kepadanya oleh atau atas nama majikan dalam batas aturan perundang-undangan atau perjanjian atau peraturan majikan, atau jika itu ada kebiasaan”. Buruh waktu melakukan pekerjaannya, wajib mentaati yang diberikan oleh majikan sepanjang diatur di dalam perjanjian kerja, undang-undang, dan kebiasaan setempat, hal ini untuk mencegah adanya tindakan majikan yang bersikap sewenang-wenang dalam memberikan perintah, apalagi perintah tersebut bertentangan dengan undang-undang, norma susila, kebiasaan dan ketertiban umum. Jika perintah yang diberikan oleh majikan kepada buruh bertentangan dengan undang-undang, norma susila, kebiasaan dan ketertiban umum, maka dalam hal ini pekerja tidak perlu untuk mentaati perintah tersebut. Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga menjadi jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut, dan materi perjanjian yang dituangkan di dalam perjanjian kerja, harus secara jelas dan tegas. Ad.3. Membayar Ganti Kerugian dan Denda Jika si pekerja atau buruh dalam melakukan pekerjaannya, baik karena kesengajaan atau kelalaian, menimbulkan kerugian, kerusakan, kehilangan atau Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
lain kejadian yang sifatnya tidak menguntungkan atau merugikan majikan. Maka atas kejadian itu buruh atau pekerja harus membayar ganti kerugian. Sementara itu buruh harus membayar denda apabila ia melanggar ketentuan dalam perjanjian kerja tertulis atau peraturan majikan. Mengenai ganti kerugian tersebut ditegaskan dalam Pasal 1601 w KUH Perdata, “jika salah satu pihak dengan sengaja atau karena kesalahannya berbuat bertentangan dengan salah satu kewajibannya, dan kerugian yang diderita oleh pihak lawan tidak dapat dinilai dengan uang, maka pengadilan akan menetapkan suatu jumlah uang menurut keadilan sebagai ganti rugi”. Mengenai denda Pasal 1601 v KUH Perdata menegaskan, “(1) Untuk suatu perbuatan majikan tidak boleh mengenakan denda sambil menuntut ganti rugi, (2) Tiap perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal”. Akan tetapi dengan catatan jika kejadian tersebut karena adanya unsur kesengajaan atau kelalaian dari si pekerja. Ada suatu asas yang biasa disebut demnum in iura datum yang artinya perbuatan melanggar hukum dapat menimbulkan ganti rugi. 37 Sebaliknya jika suatu kejadian tersebut dikarenakan bukan karena kesalahan si pekerja atau karena di luar batas kemampuan si pekerja maka kejadian tersebut bukan menjadi tanggung jawab si pekerja. Misalnya karena bencana alam dan kejadian yang sejenis. Walaupun dalam melakukan hubungan kerja, ada banyak kewajibankewajiban dari si majikan yang harus dilakukan, namun pemenuhan prestasi yang utama dalam suatu perjanjian kerja tersebut adalah kewajiban si najikan untuk
37
Djunadi, opcit, hal. 49.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
membayar upah tepat pada waktunya. Akan tetapi karena kewajiban lainnya juga pentung untuk dilaksanakan oleh si majikan, maka dalam urutan tersebut di bawah ini, akan dirinci sebagai berikut: a. Kewajiban membayar upah Di dalam hubungan kerja, kewajiban yang utama dan terpenting bagi majikan sebagai akibat langsung pelaksanaan perjanjian kerja, adalah membayar upah tepat pada waktunya. Ketentuan ini jelas ditegaskan pada Pasal 1602 KUH Perdata yang berbunyi,“majikan wajib membayar upah kepada buruh pada waktu yang ditentukan”. Ketentuan tentang upah ini juga telah mengalami perubahan pengaturan ke arah hukum publik. Hal ini terlihat dari campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya upah terendah yang harus dibayar oleh pengusaha yang dikenal dengan nama upah minimum. Campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya upah ini penting guna menjaga agar jangan sampai besarnya upah yang diterima oleh pekerja terlampau rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja meskipun secara minimum sekalipun. b. Kewajiban memberikan istirahat/cuti Pihak majikan diwajibkan untuk memberikan istirahat tahunan kepada pekerja secara teratur. Hak atas istirahat ini penting artinya untuk menghilangkan kejenuhan pekerja dalam melakukan pekerjaan. Dengan demikian diharapkan gairah kerja akan tetapi stabil. Cuti tahunan yang lamanya 12 hari kerja. Selain itu
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
pekerja juga atas cuti panjang selama 2 bulan setelah bekerja terus menerus selama 6 tahun pada suatu perusahaan. 38 Majikan wajib mengatur pekerjaan sedemikian rupa sehingga buruh tidak bekerja pada hari minggu dan pada hari-hari yang menurut kebiasaan setempat, sekedar mengenai pekerjaan yang diperjanjikan, disamakan dengan hari minggu. 39 Sehingga di satu pihak hak cuti atau istirahat bisa diberikan secara teratur dan dipihak lain jalannya produksi dari suatu perusahaan tidak terganggu, sehingga semua pihak bisa malaksanakan kewajibannya dengan tenang sebaliknya haknya juga tidak terabaikan, karena itu semuanya bisa terpenuhi dengan baik, tanpa bertentangan dengan isi perjanjian kerja, peraturan perundang-undangan dan kebiasaan setempat. c. Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan Majikan wajib mengurus perawatan/pengobatan bagi pekerja yang bertempat tinggal di rumah majikan menderita sakit atau kecelakaan. Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan, kewajiban ini tidak hanya terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal di rumah majikan, tetapi juga bagi pekerja yang tidak bertempat tinggal di rumah majikan. 40 Perlindungan bagi tenaga kerja yang sakit, kecelakaan, kematian telah dijamin melalui perlindungan JAMSOSTEK sebagimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004. d. Kewajiban memberikan surat keterangan Kewajiban ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1602 a KUH Perdata yamg menentukan bahwa majikan wajib memberikan surat keterangan yang diberi 38
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan Pasal 79 ayat 2. Pasal 1602 v KUH Perdata. 40 Pasal 1602 x KUH Perdata . 39
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
tanggal dan dibubuhi tanda tangan si majikan. Dan di dalam surat keterangan tersebut haruslah berisi tentang sifat pekerjaan yang dilakukan, lamanya hubungan kerja antara si buruh dan majikan. Surat keterangan tersebut diberikan meskipun inisiatif pemutusan hubungan kerja datangnya dari pihak pekerja. Dengan bermodalkan
surat keterangan tersebut, si pekerja dapat membuktikan atas
pengalaman kerjanya, jabatan yang pernah diduduki dan keahlian-keahlian tertentu yang dimilikinya. Selain itu yang lebih penting adalah bahwa pemutusan hubungan kerja tersebut terjadi bkan alasan-alasan negatif lainnya, kan tetapi kesemuanya itu atas permintaan dari si pekerja sendiri. Surat keterangan tersebut sangat penting artinya bagi bekal pekerja dalam mencari pekerjaan baru sehingga ia diperlakukan sesuai dengan pengalaman kerjanya.
C. Jenis Perjanjian Kerja Bedasarkan jangka waktu (sementara atau terus menerus) dan jenis suatu pekerjaan (berulang-ulang atau selesainya suatu pekerjaan tertentu), hubungan kerja dapat dibuat dalam suatu perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. 41 1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Menurut Sehat Damanik, perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja untuk melaksanakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.42
41 42
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan Pasal 56. Sehat Damanik, Outscourcing dan Pejenjian Kerja, (Jakarta : DSS Publishing, 2006),
hal. 130. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Menurut Libertus Jehani, perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja yang jangka berlakunya telah ditentukan. 43 Dalam bahasa sehari-hari sering disebut sebagai karyawan kontrak, bila jangka waktu telah habis maka dengan sendirinya terjadi pemutusan hubungan kerja dan para karyawan tidak berhak mendapatkan kompensasi pemutusan hubungan kerja, seperti uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang pengganti hak, uang pisah. Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kep.100/Men/VI/2004), yang dimaksud dengan perjanjian kerja waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau pekerjaan tertentu. a. Isi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Syarat kerja dan ketentuan yang memuat hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja/buruh yang diperjanjikan dalam PKWT, dipersyaratkan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. 44 Tidak boleh lebih rendah dari ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku maksudnya adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, isi perjanjian kerja baik
43
Libertus Jehani, Hak-Hak Pekerja Bila di PHK, (Jakarta : Visi Media, 2006), hal. 5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan Pasal 54 ayat 2 jo Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Pasal 2. 44
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan bersangkutan. 45 b. Persyaratan Pembuatan PKWT Sesuai ketentuan Pasal 56-Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pembuatan PKWT harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu (Pasal 56 ayat 2) 2. Harus dibuat secara tertulis dan menggunakan Bahasa Indonesia (Pasal 57 ayat 1) 3. Tidak boleh ada masa percobaan (Pasal 58 ayat 1) 4. Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. Pekerjaan yang bersifat musiman;atau d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. (Pasal 59 ayat 1) 5. Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap (Pasal 59 ayat 2)
45
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan Penjelasan Pasal 54
ayat 2. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
c. Perpanjangan dan Pembaruan PKWT Pada dasarnya PKWT didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. 46 Dalam hal pengusaha ingin melakukan perjanjian PKWT, maka paling lama tujuh hari sebelum PKWT berakhir perusahaan telah memberikan pemberitahuan secara tertulis maksud mengenai perpanjangan PKWT tersebut kepada pekerja yang bersangkutan. 47 Pembaruan PKWT hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali paling lama 2 (dua) tahun dan pembaruan PKWT ini baru dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama. Dalam masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari tidak boleh ada hubungan kerja apa pun antara pengusaha dan pemberi kerja. 48 d. PKWT Untuk Pekerjaan Yang Sekali Selesai atau Bersifat Sementara Yang dimaksud dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu dan dibuat untuk paling lama tiga tahun. 49 Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja waktu tertentu dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan, perjanjian kerja waktu tertentu tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan, 46
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan Pasal 59 ayat 4. ibid, Pasal 59 ayat 5. 48 ibid, Pasal 59 ayat 6 49 Kep.100/Men/VI/2004, tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Pasal 3 ayat 1 dan ayat 2. 47
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. 50 Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat bersdasarkan selesainya pekerjaan tertentu, namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu. Pembaruan tersebut dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu tiga puluh hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. 51 e. PKWT Untuk Pekerjaan yang Bersifat Musiman Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya bergantung kepada musim atau cuaca dan hanya dapat dilakukan untuk suatu jenis pekerjaan pada musim tertentu. 52 f. PKWT Untuk Pekerjaan yang Berhubungan Dengan Produk Baru Perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. 53 Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang satu kali paling lama satu tahun tetapi tidak dapat dilakukan pembaruan. 54
50
ibid, Pasal 3 ayat 4. ibid, Pasal 3 ayat 5 dan ayat 6. 52 ibid, Pasal 4. 53 ibid, Pasal 8 ayat 1. 54 ibid, Pasal 8 ayat 2 dan ayat 3. 51
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
g. Perjanjian Kerja Harian Lepas Perjanjian kerja harian lepas harus memenuhi ketentuan bahwa pekerja atau buruhbekerja kurang dari dua puluh satu hari dalam satu bulan. Mengenai pekerja atau buruh yang bekerja selama dua puluh satu hari atau lebih selama tiga bulan berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.55 Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana di atas dikecualikan dari ketentuan batasan jangka waktu PKWT pada umumnya. 56 Maksud dikecualikan dari ketentuan batasan jangka waktu PKWT pada umumnya adalah jangka waktu perjanjian kerja harian lepas tidak dibatasi oleh hanya satu kali perpanjangan dan atau satu kali pembaruan sebagaimana PKWT pada umumnya. 2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Dalam hubungan kerja, karyawan sering dikelompokkan dalam dua jenis yaitu karyawan kontrak dan karyawan tetap. Hubungan kerja karyawn kontrak sebagaimana telah disinggung di atas berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Sedangkan hubungan kerja karyawan tetap berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). PKWT akan berubah menjadi PKWTT (karyawan kontrak berubah menjadi karyawan tetap) apabila jenis dan sifat pekerjaan bukan termasuk dalam ruang lingkup PKWT.
55 56
ibid, Pasal 10 ayat 2 dan ayat 3. ibid, Pasal 11.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu adalah perjanjian kerja antar pengusaha dan pekerja untuk mengadakan hubungan kerja tetap, yang tidak dibatasi jangka waktu tertentu. 57 Pasal 1 angka 2 Kep.100/Men/VI/2004 memberikan pengertian PKWTT merupakan perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Dalam
PKWTT
dapat
memberlakukan
masa
percobaan
kepada
karyawannya asal hal tersebut dituangkan dalam perjanjian kerja tertulis atau bila perjanjian kerjanya bersifat lisan masa percobaan harus dicantumkan dalam surat pengangkatan. Sebaliknya jika dalam perjanjian tidak disebutkan masa percobaan dan hal tersebut juga tidak dicantumkan dalam pengangkatan, maka masa percobaan dianggap tidak ada. 58 Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara lisan, apabila pekerja telah selesai melalui masa percobaan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang baersangkutan, surat pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya memuat: 1. Nama dan alamat pekerja; 2. Tanggal mulai bekerja; 3. Jenis pekerjaan; dan 4. Besarnya upah (Pasal 63 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003) PKWTT berakhir apabila:
57
Sehat Damanik, opcit, hal. 130. Penjelasan Pasal 60 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan. 58
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
a. Pekerja meninggal dunia (PKWTT tidak berakhir oleh meninggalnya pengusaha) b. Adanya
putusan
pengadilan
dan/atau
putusan/penetapan
lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang mempunyai kekuatan hukum tetap c. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama seperti bencana alam, kerusuhan sosial atau gangguan keamanan. (Pasal 61 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003
D. Cara Membuat Perjanjian Kerja Pembuatan perjanjian kerja selalu diawali dengan tersedianya lapangan kerja dan adanya pekerja yang bersedia mengisi lowongan tersebut. Untuk mengikat pertemuan dua kepentingan yang berbeda itu, dibuatlah perjanjian kerja yang memuat kondisi dan syarat-syarat kerja bagi kedua belah pihak. Syaratsyarat kerja tersebut meliputi kondisi kerja serta hak dan kewajiban kedua belah pihak. Sebelum perjanjian dibuat, kedua belah pihak terlebih dahulu mengadakan pertemuan untuk membicarakan kondisi dan syarat-syarat kerja. Apa yang mereka sepakati secara bersama-sama, itulah yang dituangkan dalam perjanjian kerja. Suatu perjanjian kerja dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Adapun syarat sahnya suatu perjanjian atau persetujuan telah ditentukan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa: “Untuk syahnya suatu perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat, yakni: a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri, b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, c. Suatu hal tertentu, d. Suatu sebab yang halal”. Dalam mengetengahkan ke empat syarat yang diperlukan di dalam perjanjian atau persetujuan tersebut, agar lebih jelas maksud dan tujuannya maka akan diuraikan sebagai berikut: a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri Maksudnya adalah kedua belah pihak atau para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut haruslah bersepakat, setuju dan seia sekata atas hal-hal yang diperjanjikan, dengan tanpa ada paksaan, kekeliruan dan penipuan. Apabila halhal tersebut terpenuhi maka kata sepakat yang merupakan unsur utama dari empat syarat dalam suatu perjanjian tersebut telah terpenuhi. b. Kecakapan Membuat Suatu Perjanjian Maksud membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan hukum dan yang bisa melakukan suatu hubungan hukum adalah mereka yang bisa dikategorikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, pihak yang dikatakan sebagai pendukung hak dan kewajiban adalah orang dan badan hukum. 59
59
Djumadi, opcit, hal. 18.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain sebagai berikut: 1. Adanya harta kekayaan yang terpisah, 2. Mempunyai tujuan tertentu, 3. Mempunyai kepentingan sendiri, 4. Ada organisasi 60 Jika para pihak yang membuat perjanjian adalah orang, maka orang yang dianggap sebagai subjek hukum yang bisa melakukan hubungan hukum dengan pihak lain adalah orang-orang yang tidak termasuk di dalam ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, yang menentukan bahwa: “Tak cakap untuk membuat perjanjian adalah: 1. Orang-orang yang belum dewasa, 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, 3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada undang-undang telah melarang suatu perjanjian-perjanian tertentu”. Dengan telah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan seperti yang disebutkan pada Pasal 1330 KUH Perdata tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi (ketentuan dalam kriteria ketiga). Ketentuan ini adalah sesuai dengan isi yang disebutkan pada Pasal 31 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan,
60
Ibid, hal. 18.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
“(1) hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, (2) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”. c. Suatu Hal Tertentu Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adlah sesuatu yang dalam perjanjian tersebut harus telah ditentukan dan disepakati. Ketentuan ini sesuai dengan yang disebutkan pada Pasal 1333 KUH Perdata bahwa barang yang menjadi obyek suatu perjanjian harus ditentukan jenisnya. d. Suatu Sebab yang Halal Menurut undang-undang sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab atau kausa yang tidak halal, misalnya jual beli ganja, untuk mengacaukan ketertiban umum, memberikan kenikmatan seksual tanpa nikah yang sah. Di dalam suatu perjanjian kerja, terdapat beberapa butir yang harus dimuat dalam perjanjian kerja (bentuk sederhana), antara lain: a. Para pihak Yang dimaksud dengan para pihak dalam hal ini antara pekerja dengan pengusaha yang mengadakan hubungan kerja. Apabila pekerja masih di bawah umur, maka pekerja harus diwakili oleh walinya untuk menandatangani perjanjian, baik dalam perjanjian kerja waktu tertentu maupun tidak tertentu, para
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
pihak wajib dicantumkan. Selain itu, uktuk kepastian identitas biasanya para pihak melampirkan kopi identitas yang masih berlaku. b. Isi perjanjian kerja 1). Jangka waktu kerjasama Penentuan jangka waktu kerjasama hanya ditemukan dalam perjanjian kerja waktu tertentu. Pembatasan jangka waktu perjanjian kerja sangat penting mengingat pekerjaan yang dilaksanakan juga hanya sebentar, sehingga untuk adanya ketegasan maka ditetapkan jangka waktu tertentu. Dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu, jangka waktu kerjasama tidak ditentukan. Yang diatur dalam perjanjian hanya menyangkut tanggal dimulainya kerjasama, serta hak dan kewajiban kedua belah pihak. 2). Tugas dan tanggung jawab Pengaturan tentang tugas dan tanggung
jawab
bertutuan untuk
mempertegas/membatasi pekerjaan yang harus dikerjakan oleh pekerja, yang meliputi bertugas dimana dan melakukan pekerjaan apa. Bersamaan dengan penetapan tugas dan tanggung jawab biasanya juga disebutkan tindakan-tindakan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di perusahaan. 3). Masa percobaan Pencantuman masa percobaan (training) hanya pada perjanjian kerja waktu tidak tertentu, sedangkan pada perjanjian kerja waktu tertentu masa percobaan tidak ada. Masa percobaan dibatasi selama-lamanya tiga bulan dan
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
setelah itu pengusaha harus memutuskan apakah pekerja tersebut mampu atau tidak dalam mengemban pekerjaan yang ditugaskan. Syarat-syarat pelaksanaan training telah diatur dalam Pasal 60 jo Pasal 154 huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menurut kedua pasal tersebut syarat-syarat pelaksanaan masa percobaan adalah: a. Masa percobaan hanya dapat dilaksanakan terhadap perjanjian kerja waktu tidak tertentu; b. Pelaksanaan paling lama 3 (tiga) bulan; c. Perjanjian dibuat secara tertulis;dan d. Upah yang dibayarkan tidak boleh lebih kecil dari upah minimum yamg berlaku. 4). Upah dan hak-hak lainnya Upah adalah kompensasi yang diterima oleh pekerja dari pengusaha sebagai penggantian atas tenaga/pikiran yang diberikannya untuk mengerjakan pekerjaan yang ditugaskan oleh pengusaha. 61 Upah harus dirinci jenis dan jumlahnya, apakah bulanan, harian atau borongan. e. Penutup Pada bagian penutup kedua belah pihak mengatur tentang tata cara penyelesaian perselisihan dan keterangan bahwa perjanjian tersebut telah dibuat secara bebas dan sukarela. Sebagai bukti kesepakatan, maka perjanjian dibuat dalam rangkap dua bermaterai dan diberikan kepada masing-masing pihak setelah ditandatangani para pihak dan saksi-saksi (kalau ada)
61
Undang-Undang 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 30.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Pembubuhan tandatangan di atas kertas bermaterai menandakan perjanjian tersebut telah secara sah dan mengikat. Perjanjian yang telah dibuat secara sah dengan dibubuhi materai mempunyai kekuatan yang penuh, sehingga apabila dalam pelaksanaannya ada pihak
yang
ingkar, maka perjanjian yang
ditandatangani tersebut dapat digunakan sebagai bukti yang kuat untuk meminta ganti rugi terhadap pihak lainnya.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA BURUH DAN MAJIKAN
A. Penyelesaian Perselisihan Menurut Hukum Ketenagakerjaan Perselisihan antar pengusaha dengan pekerja disebut dengan Perselisihan Hubungan Industrial. Penyelesaian perselisihan perburuhan diatur dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan sanksi apa yang bisa dikenakan atas pelanggaran tersebut (hukum materil), sedangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengatur tentang tata cara/hukum acara yang berlaku dalam penyelesaian perselisihan tersebut (hukum formil). Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dikenal ada 4 (empat) jenis perselisihan hubungan industrial, yaitu sebagai berikut: 1. Peselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, 2. Perselisihan kepentingan dalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, 3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak, 4. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan adalah perselisihan antar serikat perkerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat pekerjaan. Proses penyelesaian perselisihan tersebut terdiri dari: 1. Penyelesaian secara biparte; 2. Penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrase; 3. Pengadilan hubungan industrial
1. Penyelesaian Melalui Biparte Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih secara musyawarah mufakat tanpa ikut campur pihak lain, sehingga dapat memperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. 62 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menentukan bahwa tahap perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan biparte secara musyawarah untuk mencapai mufakat. 62
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan & Di Luar Pengadilan (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 53. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Penyelesaian perselisihan melalui biparte dilakukan untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulai perundingan 63 Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Biparte sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah sebagai berikut: a. Perundingan untuk mencari penyelesaian secara musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan oleh para pihak harus dibuatkan risalah yang ditandatangani oleh para pihak, yang memuat: 1. Nama dan alamat para pihak; 2. Tanggal dan tempat perundingan; 3. Pokok masalah atau alasan perselisihan; 4. Pendapat para pihak; 5. Kesimpulan atau hasil perundingan; dan 6. Tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan Pasal 6 ayat 1 dan 2 b. Jika musyawarah yang dilakukan mencapai kesepakatan penyelesaian, dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak yang melakukan perundingan (Pasal 7 ayat 1) c. Perjanjian Bersama tersebut bersifat mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak (Pasal 7 ayat 2) d. Perjanjian Bersama tersebut wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada 63
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 3 ayat 2. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Pengadilan Negeri di wilayah para pihak melakukan Perjanjian Bersama (Pasal 7 ayat 3) e. Apabila Perjanjian Bersama tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftarkan untuk mendapat penetapan eksekusi, apabila permohonan eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama maka permohonan eksekusi dapat dimohonkan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah pemohon berdomisili (Pasal 7 ayat 5 dan 6)
2. Penyelesaian Melalui Mediasi Penyelesaian melalui mediasi ini dilakukan seorang penengah yang disebut mediator. Mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral serta membantu para pihak yang berselisih mencapai kesepakatan secara sukarela terhadap permasalahan yang disengketakan. 64 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan bahwa Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
64
Lalu Husni, opcit, hal. 60.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. 65 Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, didahului dengan tahapan sebagai berikut: a. Jika perundingan biparte gagal, salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti upaya penyelesaian secara biparte sudah dilakukan; b. Setelah menerima pencatatan, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase; c. Jika dalam waktu 7 (tujuh) hari para pihak tidak menetapkan pilihan, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian kepada mediator. 65
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 1 angka 12. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara mediasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduk perkara dan segera mengadakan sidang mediasi. 2. Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangan. 3. Jika dalam penyelesaian melalui mediasi mencapai kesepakatan, harus dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. 4. Namun jika tidak tercapai kesepakatan penyelesaian melalui mediasi, maka: a. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis. b. Anjuran tertulis tersebut selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak sidang mediasi pertama harus disampaikan kepada para pihak, c. Para pihak dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak menerima anjuran tersebut sudah harus memberikan jawaban kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran yang dibuat mediator. d. Jika para pihak tidak memberikan pendapatnya, mereka dianggap menolak anjuran tertulis. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
e. Jika anjuran tertulis disetujui, dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. 5. Apabila Perjanjian Bersama yang telah didaftarkan tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan
eksekusi
kepada
Pengadilan
Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftarkan untuk mendapat penetapan eksekusi. 6. Jika pemohon eksekusi berdomosili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. 7. Jika anjuran tertulis yang dibuat oleh mediator ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
8. Mediator harus menyelesaikan tugasnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
a. Penyelesaian Melalui Konsiliasi Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 disebutkan bahwa Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau
perselisihan
antarserikat
pekerja/serikat
buruh
hanya
dalam
satu
perusahaan. 66 Konsiliasi Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Penyelesaian oleh konsiliator dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak. 66
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 1 angka 12. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
2. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan siding konsiliasi pertama. 3. konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam siding konsiliasi guna diminta dan didengar keterangannya. 4. Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi mencapai kesepakatan, dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. 5. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian melalui konsiliasi, maka: a. Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis. b. Anjuran tertulis tersebut selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak sidang konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak. c. Para pihak dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak menerima anjuran tersebut sudah harus memberikan jawaban kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran yang dibuat konsiliator. d. Jika para pihak tidak memberikan pendapatnya, dianggap menolak anjuran tertulis.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
e. Dalam hal anjuran disetujui, dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. 6. Apabila Perjanjian Bersama yang telah didaftarkan tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan
eksekusi
kepada
Pengadilan
Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftarkan untuk mendapat penetapan eksekusi. 7. Dalam hal pemohon eksekusi berdomosili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama, pemohon eksekusi dapat mengajukan
permohonan
eksekusi
melalui
Pengadilan
Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. 8. Jika anjuran tertulis yang dibuat oleh Konsiliator ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. 9. Konsilitor harus menyelesaikan tugasnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permintaan perselisihan. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
b. Penyelesaian Melalui Arbitrase Arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar pengadilan hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. 67 Arbiter hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. 68 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa penyelesaian melalui arbitrase diliakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih dan dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase. Surat perjanjian arbitrase sekurang-kurangnya memuat: 1. Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih. 2. Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang dapat diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan. 3. Jumlah arbiter yang disepakati 67
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 1 angka 14. 68 ibid, Pasal 1 angka 9. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
4. Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase, dan 5. Tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih. 69 Jika para pihak sudah menandatangani surat perjanjian arbitrase, mereka berhak memilih arbiter dari daftar arbiter yang telah ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Arbiter yang menerima penunjukan sebagai arbiter harus memberitahukan kepada para pihak mengenai penerimaan penunjukannya secara tertulis dengan membuat perjanjian penunjukan arbiter. Perjanjian penunjukan arbiter sekurang-kurangnya memuat: 1. Nama lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih dan arbiter. 2. Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil putusan. 3. Biaya arbitrase dan honorarium arbiter. 4. Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase. 5. Tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian dan tanda tangan para pihak yang berselisih dan arbiter. 6. Pernyataan
arbiter
atau
para
arbiter
untuk
tidak
melampaui
kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya, dan
69
ibid, Pasal 32.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
7. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang berselisih. 70 Apabila arbiter telah menerima penunjukan dan telah menandatangani surat perjanjian, yang bersangkutan tidak dapat menarik diri kecuali atas persetujuan para pihak (Pasal 35 ayat 1). Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak dapat mengajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri apabila cukup alasan dan bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan. Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula diajukan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya (Pasal 38 ayat 1 dan 2). Tata cara penyelesaian perselisihan industrial melalui arbiter adalah: 1. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. 2. Apabila para pihak berhasil berdamai, arbiter atau mejelis arbiter wajib membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter. 3. Akte perdamaian tersebut didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian. 4. Pendaftaran akte perdamaian dilakukan sebagai berikut:
70
ibid, Pasal 34 ayat 2.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
a. Akte perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akte perdamaian. b. Apabila akte perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah akte perdamaian didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. c. Dalam hal pemohon eksekusi berdomosili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran akte perdamaian, pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada
Pengadilan
Negeri
yang
berkompeten
melaksanakan eksekusi. 5. Apabila upaya perdamaian gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbiter. 6. Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar keterangannya. 7. Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, perjanjian kebiasaan, keadilan, dan kepentingan umum. 8. Putusan arbitrase memuat: Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
a. Kepala
keputusan
yang
berbunyi
“DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. b. Nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter. c. Nama lengkap dan alamat para pihak. d. Hal-hal yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang berselisih. e. Ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak yang berselisih. f. Pertimbangan yang menjadi dasar keputusan. g. Mulai berlakunya putusan, dan h. Tanda tangan arbiter atau majelis arbiter. 9. Dalam putusan, ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari harus sudah dilaksanakan 10. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. 11. Putusan arbitrase didaftarkan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengdilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan. 12. Apabila putusan arbitrase tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan diperintahkan untuk dijalankan.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
13. Terhadap keputusan arbitrase, salah satu pihak atau para pihak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu. b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan. c. Keputusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan. d. Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial. e. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 14. Dalam
hal
permohonan
tersebut
dikabulkan,
Mahkamah
Agung
menetapkan akibat dari pembatalan baik seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase Dari paparan mengenai tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan mulai dari tingkat biparte, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase, jelas bahwa pada penyelesaian melalui arbitrase para pihak yang berselisih harus menanggung biaya-biaya yang timbul khususnya biaya pemanggilan saksi atau saksi ahli termasuk akomodasinya. Sedangkan pada penyelesaian melalui mediasi dan konsiliasi biaya-biaya tersebut ditanggung oleh Negara yang besarnya akan ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Meskipun mediator, konsiliator hanya berwenang mengeluarkan anjuran penyelesaian kepada para pihak, tapi bilamana anjuran tersebut diterima, sifatnya mengikat serta dapat dilaksanakan melalui fiat eksekusi seperti putusan arbiter. Karena
itu seharunya diatur pula bahwa
mediator, konsiliator dalam
mengeluarkan anjuran tertulis harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum sebagaimana dengan dasar putusan arbiter.
3. Melalui Pengadilan Hanya ada dua lembaga pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yaitu Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung. a. Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Hubungan Industrial adalah muara atau akhir dari rangkaian proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sebagai upaya terakhir, maka penyelesaian setiap perselisihan hubungan industrial terlebih dahulu harus melalui instrument penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti Biparte, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase. Apabila instrument tersebut tidak mampu menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang terjadi barulah dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, maka tugas dan wewenang Pengadilan Hubungan Industrial adalah memeriksa dan memutus: Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
1
Ditingkat pertama mengenai perselisihan hak;
2
Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
3
Ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
4. Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Berikut ini akan diuraikan secara singkat prosedur penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja melalui Pengadilan Hubungan Industrial seperti telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004: a. Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja (Pasal 81); b. Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha (Pasal 82); c. Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri dengan risalah penyelesaian melalui mediasi dan konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan pada penggugat (Pasal 83 ayat 1); d. Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya (Pasal 87); Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
e. Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah menetapkan mejelis hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim AdHoc sebagai anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perselisihan (Pasal 88 ayat 1); f. Dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak penetapan Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang pertama (Pasal 89); g. Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketua Majelis Hakim menetapkan hari sidang berikutnya dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal penundaan, penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu pihak atau para pihak diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan (Pasal 93 ayat 1,2,dan 3); h. Apabila pengusaha tidak memberikan upah atau hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh, maka hakim ketua sidang menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah serta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh (Pasal 96 ayat 3); i.
Majelis Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama (Pasal 103);
j.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan Kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 empat belas) hari kerja: 1). Bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim; 2). Bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan (Pasal 110).
b. Mahkamah Agung Ada dua upaya hukum yang dapat diajukan oleh para pihak yang bersengketa kepada Mahkamah Agung, yaitu: 1) Kasasi Permohonan
kasasi
untuk
menyelesaikan
perselisihan
Pemutusan
Hubungan Kerja selambat-lambatnya harus sudah diputus dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung tanggal penerimaan permohonan (Pasal 110 jo Pasal 115 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004). 71 2). Peninjauan Kembali Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang bertujuan agar putusan PHI maupun MA yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kembali menjadi belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Peninjauan kembali
71
Libertus Jehani, opcit, hal. 26.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
dapat dilakukan apabila ditemukan adanya novum (bukti baru) dan atau adanya kekhilafan hakim dalam menetapkan hukum. 72
B. Penyelesaian Perselisihan Secara Perdata Perselisihan yang dapat diselesaikan melalui Hukum Perdata adalah perselisihan-perselisihan di luar masalah ketenagakerjaan, karena perselisihan tersebut harus diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Pada dasarnya ada dua kelompok jenis perselisihan dalam kasus-kasus perdata, yaitu perbuatan melawan hukum dan cedera janji/wanprestasi. 73 Perbedaan keduanya terletak pada ada atau tidaknya perjanjian yang disepakati kedua belah pihak sebelum terjadi permasalahan. Dalam kasus perbuatan melawan hukum, maka sebelum peristiwa perselisihan terjadi, para pihak tidak pernah melakukan perjanjian/kesepakatan. Sebaliknya dalam kasus cedera janji/wanprestasi, para pihak sudah mempunyai perjanjian sebelum terjadinya perselisihan. Ketika suatu peristiwa wanprestasi terjadi, maka penyelesaian atas kasus tersebut dapat dilakukan melalui pengadilan negeri atau dapat dilakukan melalui arbitrase dalam hal kedua belah pihak menyepakati penyelesaian melalui lembaga tersebut. Lembaga arbitrase dalam artian ini pada dasarnya mempunyai sifat yang sama dengan lembaga arbitrase yang dikenal dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Perbedaanya hanya terletak pada bidang dan keahlian. Dalam kasus perdata, yang diselesaikan dalam kasus-kasus perdata dan arbitornya adalah 72 73
Ibid, hal. 27. Sehat Damanik, opcit, hal.122.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
para ahli di bidang hukum perdata, seperti ahli hukum bisnis, hukum perjanjian, kontrak dagang, pasar modal dan kasus perdarta lainnya. Proses penanganan perkara pada Pengadilan Negeri dimulai dengan pendaftaran gugatan. Isi gugatan memuat tuntutan penggugat yang meminta diputuskan oleh majelis hakim atas kelalaian tergugat memenuhi isi perjanjian. Setelah gugatan didaftarkan, pada persidangan pertama Majelis Hakim akan menganjurkan para pihak untuk melakukan perdamaian. 74 Dalam proses ini para pihak diberi kesempatan untuk berunding dengan difasilitasi oleh mediator dari Pengadilan Negeri. Mediator dipilih oleh para pihak dari hakim yang ditunjuk pihak pengadilan yang bertugas selaku mediator. Apabila ternyata perkara tidak dapat diselesaikan melalui mediator, barulah kemudian diperiksa dalam persidangan yang terbuka untuk umum, yang dipimpin oleh Majelis Hakim yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Tahapan persidangan perkara perdata dimulai dengan pembacaan gugatan. Setelah itu biasanya sidang diundur satu minggu untuk memberi kesempatan kepada tergugat mempersiapkan jawabannya. Setelah jawaban disampaikan, penggugat diberi kesempatan untuk menguatkan gugatannya dan memberi pendapat atas jawaban tergugat melalui pengajuan duplik. Atas duplik yang diajukan penggugat, tergugat masih diberi kesempatan untuk memperkuat jawabannya dan memberikan pendapat atas duplik penggugat, yang disebut dengan pengajuan replik. 75
74
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 71. 75 Ibid, hal. 81. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Setelah replik, maka proses jawab-menjawab dianggap selesai dan selanjutnya para pihak diberi kesempatan untuk melakukan pembuktian. Kesempatan pertama diberikan kepada penggugat untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya.
Kesempatan
berikutnya
diberikan
kepada
tergugat
untuk
membuktikan dalil-dalil gugatannya. Kesempatan berikutnya diberikan kepada tergugat untuk membuktikan dalil-dalil jawabannya. Proses selanjutnya adalah pembuktian. Pada tahap ini pemeriksaan perkara dianggap telah selesai. Sebelum Majelis Hakim memberikan putusannya, para pihak terlebih dahulu diberi kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan tertulis atas perkara tersebut.76 Kesimpulan tersebut tentu diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan perkara, bukti-bukti dan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan. Tujuannya adalah untuk membantu Majelis Hakim dalam memberikan putusan yang seadil-adilnya. Karena tujuannya hanya untuk membantu, maka penyampaian kesimpulan bukan merupakan sesuatu yang wajib. Para pihak diberi kebebasan untuk memberikan atau tidak. Tahap terakhir dari semua proses pemeriksaan perkara perdata adalah pembacaan putusan Majelis Hakim. Putusan memuat pendapat/penilaian hakim atas perkara yang dihadapkan kepadanya. Dalam hal Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara tersebut terbukti dengan sah dan meyakinkan, maka gugatan penggugat
akan
dikabulkan.
Sebaliknya
apabila
pengugat
tidak
dapat
membuktikan dalil-dalil gugatannya, maka gugatan akan ditolak.
76
Sehat Damanik, opcit, hal. 125.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Atas putusan yang diberikan Majelis Hakim, apabila kedua belah pihak bisa menerima, maka putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu eksekusi dari pihak Pengadilan Negeri. Eksekusi atau upaya paksa hanya diperlukan ketika ada pihak yang tidak bersedia melaksanakan isi putusan yang telah berkekuatan tetap. Berbeda dengan putusan Majelis hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial yang tidak mengenal upaya hukum banding, dalam kasus perdata yang dihadapkan pada Pengadilan Negeri, para pihak yang tidak menerima putusan berhak mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan dijatuhkan, atau jika yang menjatuhkan banding tidak hadir pada waktu putusan dijatuhkan, di dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelh putusan itu diberitahukan kepadanya. 77 Penyelesaian kasus perdata melalui Pengadilan Negeri jauh lebih lama dibandingkan dengan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang hanya memakan waktu selambat-lambatnya 140 (seratus empat puluh) hari. 78 Penyelesaian kasus perdata bisa memakan waktu dari awal hingga selesaia (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung dan terakhir Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung) sampai bertahun-tahun.
77 78
Riduan Syahrani, opcit, hal. 144. Sehat Damanik, opcit, hal. 126.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
BAB IV KEDUDUKAN BURUH PERUSAHAAN PAILIT
A. Ketentuan Kepailitan Dalam Undang-Undang Kepailitan Dalam Kaitannya Dengan Ketenagakerjaan 1. Syarat-Syarat Terjadinya Kepailitan Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, maka untuk dapat dinyatakan pailit seorang debitur harus memenuhi syarat sebagai berikut: a.
Debitur mempunyai (minimal) dua atau lebih kreditur,
b.
Tidak membayar sedikitnya (minimal) satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih pembayarannya,
c.
Atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seseorang atau lebih krediturnya,
d.
Atas dasar pembuktian sederhana.
ad a. Debitur mempunyai (minimal) dua atau lebih kreditur Logika dibalik prasyarat ini adalah karena pada intinya kepailitan merupakan proses pembagian harta debitur kepada para krediturnya. Pasal 1131 KUH Perdata mengatur bahwa, “harta debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak serta baik yang sudah ada maupun yang akan datang dikemudian hari adalah jaminan umum atas utang debitur terhadap kreditur”. Sementara Pasal 1132 KUH Perdata mengatur bahwa, “barang debitur merupakan jaminan bersama Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
bagi semua krediturnya, kecuali ada di antara kreditur yang memiliki alasanalasan yang sah untuk didahulukan”. Kedua pasal inilah yang menjadi dasar hukum kepailitan, yang bertujuan untuk meletakkan sita umum terhadap seluruh harta debitur sebagai pelunasan utang-utangnya terhadap semua krediturnya. 79 Keharusan adanya dua atau lebih kreditur dikenal sebagai concursus creditorium. Jadi batasannya adalah jumlah kreditur dan bukan jumlah uang. Dengan syarat harus ada dua atau lebih kreditur ini berhubungan dengan eksistensi hukum kepailitan itu sendiri yang mengatur bagaimana cara membagi harta kekayaan debitur diantara para krediturnya. Rasio kepailitan adalah terjadinya sita umum atas seluruh harta kekayaan debitur untuk kemudian hasil penjualan atas harta kekayaan tersebut dibagi-bagikan kepada semua krediturnya. Tanpa adanya lebih kreditur, rasio kepailitan sebenarnya tidak ada, sebab tidak perlu diadakannya pembagian hasil perolehan aset debitur di antara para krediturnya dengan demikian syarat memiliki lebih dari seorang kreditur sesuai dengan prinsip concursus creditorium. 80 Oleh karena itu, bila hanya ada satu kreditur maka tidak sesuai dengan tujuan proses kepailitan. Selain itu, dalam kondisi hanya ada satu kreditur, si kreditur dapat menempuh jalur perdata biasa untuk mendapatkan pelunasan piutangnya terhadap debitur. ad. b. Tidak membayar sedikitnya (minimal) satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih pembayarannya.
79
Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 108. 80 Bismar Nasution & Sunarmi, opcit, hal. 21. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Syarat berikutnya bagi permohonan pailit dalam undang-undang kepailitan adalah suatu utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Undang-undang kepailitan memperjelas pengertian utang dalam Pasal 1 angka 6 (enam) yang menyatakan, utang adalah kewajiban yang dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya. Kemudian dalam penentuan jatuh tempo dan dapat ditagih, merupakan suatu kesatuan, maksudnya utang yang telah jatuh tempo secara otomatis telah menimbulkan hak tagih pada kreditur. Undang-undang kepailitan memberikan defenisi yang dimaksud dengan utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya (akselerasi) sebagaimana diperjanjikan, karena sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase. 81 Oleh karena itu, penentuan jatuh tempo suatu utang dan kondisi-kondisi yang menyebabkan akselerasi, harus berdasarkan kesepakatan para pihak dalam perjanjian, kesepakatan tersebut berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, yang mengikat para pihak yang didalamnya seperti undang-undang, sehingga yang
81
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Penjelasan Pasal 1 ayat 1. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
menjadi pegangan dalam menentukan apakah utang tersebut jatuh tempo atau belum adalah perjanjian yang mendasari hubungan perikatan itu sendiri. Selain itu jatuh tempo dan dapat ditagih, tidak hanya sebatas perjanjian, melainkan utang yang timbul akibat undang-undang yaitu pengenaan sanksi atau denda dari pejabat yang berwenang maupun karena putusan pengadilan arbiter atau majelis arbitrase. ad. c. Atas permohonan sendiri maupun atas permintaan seseorang atau lebih krediturnya Dalam Pasal 2 undang-undang kepailitan ditentukan yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu: 1. Debitur pemohon pailit (voluntary petition), 2. Satu atau lebih krediturnya, 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum, 4. Dalam hal debitur adalah Bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia, 5. Dalam hal debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga
Proses pemeriksaan permohonan kepailitan dilaksanakan dengan batasan waktu yang telah ditentukan yang singkat. Karena itu pemeriksaan kepailitan dilaksanakan secara sumir (sederahana). Pada dasarnya, jenis penyelesaian perkara kepailitan adalah permohonan dan pemeriksaannya bersifat sepihak, dimana Majelis Hakim hanya bertugas memeriksa kelengkapan dokumen persyaratan untuk dikabulkannya suatu permohonan dengan melakukan cros check dengan si pemohon atau pihak terkait. Walupun dalam Pasal 8 ayat 1 (satu) undang-undang kepailitan menentukan kewajiban debitur dalam persidangan bukan berarti untuk mengajukan jawaban, duplik dan kesimpulan, melainkan untuk mendengar dalil permohonan dari kreditur. Sehingga jika telah ada cukup alat bukti untuk membuktikan prasyarat pailit, maka permohonan persyaratan pailit dikabulkan. 2. Konsekuensi Yuridis Dari Kepailitan Hak debitur untuk melakukan segala sesuatu tindakan hukum yang berkenaan dengan kekayaannya sebelum pernyataan pailit harus dihormati. Namun keadaan itu akan berubah ketika debitur dinyatakan pailit oleh putusan Pengadilan Niaga, maka debitur demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya. Dan terhitung sejak putusan pailit diucapkan maka kewenangan debitur untuk mengurus harta kekayaan beralih kepada kurator. Menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 harta pailit adalah, “segala kekayaan debitur yang ada pada saat putusan pernyataan pailit serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan”. Namun tidak semua harta
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
kekayaan debitur itu masuk ke dalam harta pailit, yang tidak termasuk ke dalam harta pailit, yakni: a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis, tempat tidur dan segala perlengkapannya yang digunakan debitur dan keluarganya dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi debitur dan keluarganya. b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebgai pengajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan hakim pengawas. c. Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang. Peraturan pailit hanya dikenakan pada harta pailit dan tidak diri pribadi debitur pailit, sehingga debitur tidak kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya. Debitur bisa melakukan perbuatan hukum seperti melakukan perjanjian kawin atau menjadi kuasa bagi pihak lain tetapi tidak berlaku bagi perbuatan hukum yang menyangkut pengurusan dan pengalihan harta pailit. 82 Apabila debitur tetap melakukan perbuatan hukum yang bertentangan dengan harta pailit, maka sesuai dengan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 perbuatan hukum tersebut tidak mengikat harta pailit kecuali apabila perbuatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit. Dan menyangkut harta benda yang akan diperolehnya, debitur tetap dapat melakukan perbuatan 82
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Permohonan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 63. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
hukum menerima harta benda yang diperoleh, namun harta yang diperolehnya itu kemudian menjadi bagian dari harta pailit sesuai dengan apa yang dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Tindakan pengurusan dan pengalihan harta benda debitur pailit berada pada kurator. Akibat ketentuan tersebut Direksi suatu Perseroan Terbatas dan badan hukum lainnya untuk megelola perusahaan debitur atau badan hukum tersebut akan “terpasang”, sekalipun mereka tetap menjabat dalam jabatannya tersebut. Segala sesuatunya diputus dan dilaksanakan oleh kurator, direksi tidak memiliki kendali terhadap kurator, sebaliknya mereka harus mematuhi petunjuk dan perintah kurator. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa putusan pernyataan pailit
mengakibatkan
segala penetapan pelaksanaan
pengadilan terhadap setiap bagian kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan
harus
dihentikan
seketika.
Putusan
pernyataan
pailit
juga
mengakibatkan segala penyitaan yang dilakukan akan menjadi hapus, dan jika diperlukan akan dilakukan oleh hakim pengawas. Putusan pernyataan pailit juga memberikan akibat bagi perjanjian yang dilakukan debitur. Pada Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur bahwa terhadap perjanjian timbal balik yang dilakukan debitur baik sebagian atau seluruhan pada saat putusan pailit diucapkan, maka kurator wajib memberikan kepastian jangka waktu kepada pihak yang berkepentingan tentang kelangsungan perjanjian tersebut. Apabila kurator tidak memberi jawaban atau tidak bersedia melanjutkan perjanjian maka perjanjian berakhir dan apabila Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
pihak yang bersangkutan dapat menyatakan kesanggupan melaksanakan perjanjian maka kurator wajib memberikan jaminan akta kesanggupannya itu. Apabila yang diperjanjikan dalam perjanjian timbal balik itu adalah penyerahan barang dengan suatu jangka waktu dan pihak yang berkewajiban untuk menyerahkan barang adalah debitur maka perjanjian akan hapus apabila putusan pailit diucapkan, dan pihak yang bersangkutan dapat meminta ganti rugi dengan menjadi kreditur konkuren. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur mengenai perjanjian sewa suatu benda dan debitur telah menyewa benda tersebut. Apabila putusan pailit diputuskan Pengadilan maka kurator dan pihak yang menyewakan benda tersebut dapat menghentikan perjanjian sewa. Penghentian sewa dilakukan dengan memperhatikan adat kebiasaan setempat dan perjanjian yang umum, bahwa adanya pemberitahuan terlebih dahulu yang waktunya paling singkat 90 (Sembilan puluh) hari. Apabila ternyata uang sewa telah dibayar, maka dengan timbulnya putusan pailit uang sewa menjadi utang harta pailit. Kepailitan terhadap seorang debitur. Maka pailitnya berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 termasuk juga isteri atau suami yang kawin atas persekutuan harta. Ini berarti bahwa seluruh harta suami atau isteri yang termasuk dalam persekutuan harta juga tertera sita kepailitan dan otomatis masuk kedalam harta pailit. Meskipun Pasal 23 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, menyatakan bahwa kepailitan meliputi harta persatuan kawin, namun Pasal 62 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 memberikan pengecualian:
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
1. Suami atau isteri berhak untuk mengambil kembali semua benda bergerak dan tidak bergerak yang merupakan harta bawaan dari isteri atau suami yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah. 2. Benda milik isteri atau suami yang telah dijual dan harganya belum dibayar atau hasil penjualan belum tercampur dalam harta pailit maka isteri atau suami berhak mengambil uang hasil penjualan tersebut. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur mengenai perjanjian perburuhan antara debitur dengan pekerjanya. Dimana para pekerja dapat memutuskan hubungan kerjanya pada debitur, demikian sebaliknya debitur melalui kurator dapat memutuskan hubungan kerja dengan adanya pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelum pemutusan kerja. Putusan pernyataan pailit tidak mempengaruhi hak kreditur untuk menahan benda debitur (hak retensi) hingga dibayarkannya utang debitur. 83 Putusan pernyataan pailit juga tidak berakibat bagi kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai, hak hipotik atau hak anggunan kebendaan lainnya, para kreditur tersebut dapat mengeksekusi seolah-olah tidak terjadi kepailitan. 84 Apabila suatu perusahaan dinyatakan pailit, maka hal tersebut akan memberikan hak kepada karyawan yang bekerja pada debitur pailit untuk meminta Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal tersebut dikarenakan perusahaan tidak akan beroperasional lagi dan karyawan/buruh tersebut akan mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti haknya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yaitu diatur dalam Pasal 83
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 61. 84 ibid, Pasal 60. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
165 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak tersebut adalah merupakan utang yang harus didahulukan pembayarannya. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa sejak tanggal putusan peryataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan peryataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Pada Pasal 95 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan juga menyebutkan bahwa dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Dan pengusaha diwajibkan untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak tersebut sesuai dengan yang seharusnya diterima oleh karyawan/buruh, dan ketentuan tersebut telah diatur dalam Pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dengan adanya peraturan perundang-undangan tersebut maka hak-hak karyawan/buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja dikarenakan tempat dia bekerja terkena pailit dapat terlindungi.
B. Kedudukan Buruh Dalam Kepailitan Perusahaan Secara teoriris, kreditur dapat dibedakan menjadi dua jenis: 1. Kreditur dengan jaminan (secured creditor) yang terdiri dari pemegang hak gadai dan atau fidusia (jaminan benda bergerak), serta pemegang hak tanggungan dan atau hipotek (jaminan benda tidak bergerak); Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
2. Kreditur tanpa jaminan (uncsecured creditor) yang dapat memiliki hak istimewa (baik umum, maupun khusus) ataupun tidak. Di dalam proses kepailitan sendiri, dikenal tiga macam kreditur, yakni kreditur separatis, kreditur preferent, kreditur konkuren atau kreditur bersaing. 85 Yang masing-masing kreditur tersebut berbeda kedudukannya serta juga membedakan besaran pembayaran harta pailit. Pada prinsipnya kedudukan para kreditur adalah sama (paritas creditorium) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passu pro rata parte). Namun demikian, asas tersebut mengenal pengecualian, yaitu golongan kreditur yang memegang hak agunan atas kebendaan dan golongan kreditur yang haknya didahulukan berdasarkan undang-undang kepailitan dan PKPU dan peraturan perundangundangan lainnya. Kreditur separatis merupakan kreditur yang memegang suatu jaminan (agunan) berupa hak kebendaan (seperti gadai, hipotek, hak tanggungan dan fidusia) yang dimiliki oleh debitur yang mana hak kebendaan ini dijadikan jaminan bagi pembayaran utang-utangnya terhadap para krediturnya. Kreditur yang kepentingannya dijamin oleh hak kebendaan ini mempunyai hak untuk melaksanakan suatu prosedur hukum tertentu terhadap hak kebendaan yang dipegangnya demi pelunasan piutangnya. Kreditur ini atas kekuasaannya sendiri dapat mengeksekusi langsung (parate executie) melalui pelelangan umum tanpa adanya suatu putusan pengadilan dan hasil dari pelelangan umum itu, kreditur 85
H. Man.S.Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung : PT.Alumni, 2006), hal. 35. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
yang bersangkutan dapat mengambil pelunasan piutangnya tersebut. Perbuatan hukum itu dilindungi oleh undang-undang dimana dapat kita lihat dalam Pasal 115 KUH Perdata, Pasal 1178 KUH Perdata dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak Tanggungan. Ketentuan yang terakhir ini menyatakan bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dalam hal debitur itu pailit, maka kreditur yang dijamin hak kebendaan ini dapat juga memisahkan jaminan dari harta pailit debitur dan melaksanakan hak atas jaminan tersebut. Ia dapat melaksanakan haknya walaupun debitur telah dinyatakan pailit. Kreditur itu dapat bertindak “seolah-olah tidak terjadi suatu kepailitan”. 86 Akibatnya, kurator tidak berhak untuk menahan barang yang dijaminkan tersebut dan kreditur ini tidak dikenakan biaya kepailitan. Kreditur preferent merupakan kreditur yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 memakai istilah hak-hak istimewa sebagaimana diatur di dalam KUH Perdata. 87 Hak istimewa mengandung arti “hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya”. 88 Menurut KUH Perdata, ada dua jenis hak istimewa, yaitu hak istimewa khusus dan hak istimewa umum. Kreditur dengan hak istimewa khusus menurut 86
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Pasal 55 ayat 1. 87 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Penjelasan Pasal 60 ayat 2.. 88 Pasal 1134 KUH Perdata Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
perundang-undangan dapat mendapatkan kembali tagihannya dengan prioritas atas hasil suatu barang khusus tertentu. Misalnya seorang teknisi membetulkan sebuah mesin. Ongkos perbaikan mesin itu tidak di bayar, maka teknisi ini mempunyai hak prioritas menurut perundang-undangan yang khusus atas hasil dari reperasi mesin yang telah diperbaiki tersebut (Pasal 1139 KUH Perdata point (5) jo Pasal 1147 KUH Perdata). Sedangkan kreditur dengan hak istimewa umum menurut perundangundangan dapat mendapatkan kembali tagihannya dengan prioritas atas hasil penjualan semua barang-barang milik debitur. Misalnya seorang karyawan mempunyai tagihan atas upah yang belum dibayar. Ia mempunyai hak prioritas yang umum menurut perundang-undangan atas hasil penjualan dari semua barangbarang milik debitur (Pasal 1149 point 4 KUH Perdata). Perlu diketahui bahwa suatu hak istimewa yang khusus menurut perundang-undangan mempunyai prioritas di atas hak istimewa umum menurut perundang-undangan (Pasal 1138 KUH Perdata). Namun, secara prinsipil hak gadai, hipotek, hak tanggungan dan fidusia menduduki peringkat di atas hak istimewa khusus dan hak istimewa umum ini, kecuali jika undang-undang secara tegas menentukan sebaliknya (Pasal 1134 KUH Perdata). Kreditur konkuren merupakan kreditur yang pada umumnya (tanpa hak jaminan kebendaan atau hak istimewa). Menurut KUH Perdata, mereka memiliki kedudukan yang setara dan memiliki hak yang seimbang (proporsional) atas piutang-piutang mereka (Pasal 1136 KUH Perdata). Ketentuan tersebut juga dinamakan prinsip paritas creditorium. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Umumnya kreditur golongan inilah yang paling menderita dan harus mendapatkan bagiannya menurut persentase yang ditentukan dalam pemberesan dan mereka hanya akan menerima suatu bagian kecil dari tagihan mereka sebagai deviden. Sehingga dapat disimpulkan, posisi pemegang hak jaminan kebendaan (kreditur seperatis) pada dasarnya lebih tinggi dari pemegang hak istimewa (kreditur preferent) untuk benda-benda yang dijaminkan, dengan beberapa perkecualian, seperti biaya-biaya perkara atau tagihan pajak. Dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU, akan sangat berpotensi terhadap hilangnya hak-hak buruh yang diputuskan hubungan kerjanya karena perusahaan tempat bekerjanya pailit, disebabkan gugurnya demi hukum segala tuntutan yang sedang berjalan dan adanya pasal yang mengatur secara khusus tentang keberadaan kreditur separatis sebagai kreditur pemegang hak tanggungan yang mempunyai wewenang mutlak untuk melakukan eksekusi hak tanggungannya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Padahal, dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyebutkan: Ayat 1 : “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ayat 2 : “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Kehadiran UU Kepailitan dan PKPU khususnya Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. hal inilah yang mendasari mantan buruh PT Sindol Pratama Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
untuk dan atas nama Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) mengajukan hak uji materil ke Mahkamah Konstitusi, tertanggal 6 Juni 2008 yang diterima dan terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 18 Juni 2008, dengan register Perkara Nomor 18/PUUVI/2008. Putusan No.18/PUU-VI/2008 mengenai permohonan pengujian UU Kepailitan dan PKPU yang diajukan oleh pengurus FISBI dan 138 mantan buruh PT Sindol Pratama. Tentang duduk perkaranya Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 6 Juni 2008 yang diterima dan terdaftar di kepaniteraan MK (selanjutnya disebut kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 18 Juni 2008, dengan register Perkara Nomor 18/PUU-VI/2008, mengemukakan hal-hal sebagai berikut: 1. Pernyataan pailit mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan kepailitan, sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 24 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan yang mempunyai buruh yang cukup banyak, kemudian dinyatakan pailit (Bukti P-3). Pailitnya sebuah perusahaan, tentu akan berdampak secara langsung kepada nasib buruh yang bekerja di perusahaan tersebut, dan nasib buruh yang bekerja pada perusahaan yang telah dinyatakan pailit, ditentukan oleh kurator berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
2. Bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), (Bukti P-5) yang berbunyi, “Mahkamah Konstutusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. memutus
sengketa
kewenangan
lembaga
Negara
yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. c. memutus pembubaran partai politik, dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Bahwa karena objek permohonan pengujian ini adalah materi muatan UU Kepailitan dan PKPU terhadap UUD 1945, maka secara hukum, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian atas materi muatan undang-undang a quo. 3. Bahwa dalam perkara ini, para pemohon adalah kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama di dalam sebuah kepentingan serikat buruh Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI), sebuah serikat buruh yang telah dijamin konstitusi yakni Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang tumbuh dan berkembang secara swadaya dan dapat dikulafikasikan sebagai kelompok (dalam hal ini buruh), yang selama ini mempunyai kepedulian serta menjalankan aktivitasnya dalam perlindungan dan penegakan hak-hak buruh di Indonesia, yang tugas dan peranan para Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Pemohon
dalam
melaksanakan
kegiatan-kegiatan
perlindungan,
pembelaan dan penegakan keadilan terhadap hak-hak buruh di Indonesia, tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa, ras, dan agama, sebagimana tercermin dalam ketentuan Anggaran Dasar FISBI (Bukti P6). 4. Bahwa ketentuan Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU, tidak menjamin kepastian hukum yang adil bagi buruh serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dan hanya memberikan peluang serta hak-hak istimewa kepada kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atau kebendaan lainnya, yang akan menghapus perlindungan terhadap hak-hak buruh, baik selama berlangsungnya hubungan kerja maupun saat berakhirnya hubungan kerja karena kepailitan. 5. Bahwa apabila permohonan para pemohon dikabulkan maka kerugian konstitusional para Pemohon selaku kelompok buruh (serikat buruh) yang membela hak-hak buruh dan kepentingan buruh, yang telah dijamin dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tidak akan terjadi lagi. Karena, hak-hak buruh yang diwakili para Pemohon dapat ditetapkan oleh Putusan Pengadilan Hubungan Industrial dan kedudukan para Pemohon tidak lagi di bawah kreditur separatis, karena kedudukan para Pemohonlah yang harus didahulukan, sehingga, amanat konstitusi dapat dijalankan sesuai dengan keinginan para pendiri bangsa (founding mothers and fathers). Dengan demikian, para Pemohon berpendapat bahwa para Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Alasan-Alasan Hukum Pemohon Mengajukan Permohonan Hak Uji Materil. 1. Pasal 29 UU Kepailitan dan PKPU Nomor 37 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. a. Bahwa dalam ketentuan Pasal 29 UU Kepailitan dan PKPU dinyatakan “suatu tuntutan hukum di pengadilan yang diajukan terhadap debitur sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkan putusan pernyataan pailit terhadap debitur”. b. Bahwa ketentuan Pasal 29 UU a quo tersebut di atas, menunjukkan bahwa segala tuntutan hukum apapun yang diajukan terhadap debitur dapat dinyatakan gugur demi hukum, tidak terkecuali tuntutan yang diajukan oleh buruh guna mendapatkan haknya atas upah/imbalan. c. Bahwa Pasal 28 UUD 1945 adalah merupakan pasal yang mengatur hak asasi
manusia
yang
penyelenggaraannya
berkeadilan
social
dan
perikemanusiaan. d. Bahwa dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, secara tegas ditentukan, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. e. Bahwa pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur (perseorangan yang mempunyai utang) tidak
mampu untuk
melakukan pembayaran-
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
pembayaran terhadap utang-utang para krediturnya (perseorangan yang mempunyai piutang). Keadaan tidak mampu membayar pada prinsipnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitur yang telah mengalami kemunduran hingga pada akhirnya usaha debitur dihentikan. f. Bahwa sebelum kurator melakukan pemberesan harta pailit, terlebih dahulu kurator melakukan pengurusan harta pailit, dengan tindakan mendata, dan melakukan verifikasi atas kewajiban debitur pailit. Dalam hal pendataan dan verifikasi piutang kreditur yang timbul karena perjanjian dan atau tagihan, maka pendataan dan verifikasinya tidak terlalu sulit bagi kurator karena telah berdasarkan bukti-bukti tagihan dan perjanjian antara kreditur dengan debitur. Namun, dalam hal pendataan upah buruh yang masuk kualifikasi utang harta pailit, seringkali terjadi ketidakharmonisan perhitungan besaran upah yang dihitung sejak berlangsungnya hubungan kerja sampai berakhirnya hubungan kerja, yang piutangnya timbul karena undang-undang. Permasalahan berlanjut atau berakhirnya hubungan kerja antara debitur dengan buruh selaku kreditur dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU a quo, ditentukan oleh kuratoe. g. Bahwa dalam hal ini, buruh dapat juga untuk tidak menerima pemutusan hubungan kerja yang dilakukan kurator, atau sebaliknya menginginkan untuk diputuskan hubungan kerjanya, sehingga buruh mempunyai hak untuk mengajukan perselisihan hubungan industrial dan/atau pemutusan hubungan kerja ke Pengadilan Hubungan Industrial. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
h. Bahwa hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya perselisihan, apakah upah dihitung berdasarkan berakhirnya hubungan kerja oleh kurator atau berdasarkan putusan PHI, sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. i.
Bahwa ketentuan Pasal 29 UU a quo, ternyata telah tidak menjamin kepastian hukum yang adil dan sama di hadapan hukum, karena ketentuan tersebut telah menghapus nuansa kepastian hukum bagi buruh dalam melakukan pencarian keadilan, sebagaimana telah diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menjamin hak setiap orang atas kepastian hukum yang adil, dengan memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mencari keadilan melalui jalur pengadilan, namun ketentuan tersebut lebih mengharuskan kepada buruh sebagai kreditur untuk tunduk pada penetapan dan/atau keputusan kurator.
2. Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU Nomor 37 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 a. Bahwa ketentuan Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU, menyatakan: Pasal 55 ayat (1) ”Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atau kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”. Pasal 59 ayai (1) Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
“Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, kreditur pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”. Pasal 138 “Kreditur yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditur konkuren atas sebagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya”. b. Bahwa ketentuan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, secara khusus memberika jaminan bagi buruh yaitu, “Setiap oarng berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. c. Bahwa pokok pikiran dari pada ketentuan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah untuk melindungi hak-hak buruh, baik selama berlangsunganya hubungan kerja maupun saat berakhirnya hubungan kerja, sesuai dengan keinginan para pendiri bangsa (founding mothers and fathers).
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU, maka buruh kedudukannya berada satu tingkat di bawah kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak aguanan atau kebendaan lainnya, sehinnga mengahapus perlindungan
terhadap
hak-hak
buruh,
baik
selama
berlangsungnya hubungan kerja maupun saat berakhirnya hubungan kerja karena kepailitan. Dalam hal ini perlu dicermati, apabila harta pailit yang diagunkan tidak seluruhnya, maka ada kemungkinan hak-hak buruh atas upah dan hak lainnya yang diatur oleh Pasal 95 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat dipenuhi dengan harta pailit yang tidak diagunkan. Namun, ketika seluruh harta pailit diagunkan, maka kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atau kebendaan lainnya, berhak melakukan eksekusi dan penjualan terhadap harta pailit tersebut, dan berdampak pada hilangnya hak-hak buruh atas upah/imbalan yang layak sebagaimana dijamin oleh konstitusi yakni Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan uraian tersebut para pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian UU Kepailitan dan PKPU terhadap UUD 1945, dengan amar putusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. 2. Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. 3. Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan Hukumnya: Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan dan PKPU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Keputusannya: Menolak permohonan Pemohon seluruhnya. Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Judicial Review No 18/PUUVI/2008 tentang Permohonan Uji Material terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah sebagai berikut: 1. MK menyatakan bahwa penentuan peringkat penyelesaian atau pelunasan tagihan kredit dalam proses kepailitan yang bersumber dan diatur dalam berbagai produk perundang-undangan baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), maupun dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Berkaitan dengan Tanah, sepanjang mengenai kedudukan buruh dan pekerja, telah diperbaiki sedemikian rupa dalam UU Kepailitan dan PKPU, sehingga upah buruh sebelumnya hanya termasuk urutan kreditur preferen keempat (Pasal 1149 angka 4 KUH Perdata) yang berada dalam posisi di bawah kreditur separatis, menjadi utang harta pailit di bawah biaya kepailitan dan fee kurator berdasarkan Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU. 2. Menurut MK, maka Pasal 95 UU Ketenagakerjaan yang merumuskan bahwa upah buruh tersebut didahulukan, harus dibaca bahwa upah buruh tersebut didahulukan, akan tetapi di bawah kreditur separatis yang dijamin dengan gadai, hipotek, fidusia, hak tanggungan (secured-loan), biaya kepailitan, dan fee kurator. Dengan demikian, tidaklah terdapat pertentangan norma antara UU Kepailitan dan PKPU dan UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian menurut Hakim Konstitusi Akil Mochtar, “tidaklah terdapat pertentangan norma antara UU Kepailitan dan PKPU dan UU Ketenagakerjaan”. Bagi MK, Pasal 55 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pada dasarnya menentukan bahwa kreditur separatis dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak ada kepailitan. Artinya, hak gadai, hipotek, fidusia, dan hak tanggungan lainnya tidak termasuk boedel (warisan) pailit yang akan dieksekusi. Kreditur separatis berhak mengeksekusi sendiri barang-barang jaminan yang ada dalam kekuasaannya. Dalam hal masih terdapat kekurangan setelah eksekusi barang jaminan yang ada dalam kekuasaannya, kreditur separatis berhak atas boedel pailit sebagai kreditur Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
konkuren, sebaliknya dalam hal terdapat kelebihan pemenuhan piutang, maka kelebihan tersebut harus dimasukkan kedalam boedel pailit. Pelaksanaan hakhak kreditur separatis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perlakuan yang tidak adil dan yang tidak layak dalam hubungan kerja (hubungan antara buruh dan majikan), karena dalam hubungan kerja dimaksud, buruh tidak kehilangan hak-haknya dalam kepailitan dan buruh juga tidak kehilangan hak-haknya atau upahnya. Dengan demikian, menurut MK, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), dan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. akan tetapi, faktor lemahnya perlindungan terhadap hak-hak buruh atau pekerja dalam hal terjadinya kepailitan dapat mengakibatkan buruh atau pekerja tidak memperoleh apa-apa karena aset debitur telah dijadikan jaminan bagi kreditur separatis, karena itu harus adanya campur tangan dari negara. 3. MK kemudian berpendapat yang harus dilakukan bukan dengan cara menyatakan pasal-pasal dalam UU Kepailitan dan PKPU yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 dan kemudian memberikan kedudukan buruh sebagai kreditur yang setara dengan kreditur separatis dan/atau menghilangkan status kreditur separatis yang tentunya akan merugikan pihak kreditur separatis yang dijamin hak pelunasan piutangnya berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU melainkan dengan menutup celah kelemahan hukum dengan mengatur hubungan antara buruh dan debitur dalam UU Ketenagakerjaan melalui berbagai kebijakan sosial yang konkret.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Sehingga ada jaminan hukum terhadap hak-hak buruh atau pekerja terpenuhi pada saat debitur dinyatakan pailit. 4. Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi mengatakan posisi buruh dan kreditur separatis selaku pemodal adalah berbeda. Sehinnga menjadi tidak adil apabila sesuatu yang berbeda tersebut diperlakukan secara sama. “Unsur modal dan buruh tidak dapat dikatakan sama, baik dilihat dari sifat, asal-usal dan perannya”. Selain itu, beliau menjelaskan bila urutan prioritas kreditur separatis diturunkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Bila kreditur separatis tidak lagi didahulukan maka akan berakibat tidak adanya rangsangan atau motivasi yang cukup bagi para pemodal untuk menanamkan modalnya. “Tiadanya jaminan akan kembalinya modal akan menyebabkan tidak terciptanya lapangan kerja yang diperlukan pekerja”. Meskipun demikian Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi, menyatakan bahwa perlindungan terhadap buruh tidak boleh dikesampingkan. Karenanya, majelis hakim konstitusi mendesak agar pembentuk UU perlu melakukan sinkronisasi dan harmonisasi undang-undang yang terkait dengan pengaturan hak-hak buruh untuk memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang lebih baik terhadap pekerja atau buruh dalam hal terjadi kepailitan. 5. Secara tegas Hakim Konstitusi Akil Mochtar menilai perlunya menutup celah kelemahan hukum dengan mengatur hubungan antara buruh dan debitur dalam UU Ketenagakerjaan melalui berbagai kebijakan sosial yang konkret. Beliau menambahkan apabila seluruh asset perusahaan habis untuk membayar kreditur separatis, sehingga upah buruh tak terbayarkan maka peran negara Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
akan menjadi penting. Dibutuhkan campur tangan negara untuk mengatasi keadaan demikian melalui berbagai kebijakan sosial yang konkret. 89
C. Hak-Hak Pekerja atau Buruh yang Terkena Pemutusan Hubungan Kerja Pengakhiran Hubungan Kerja memiliki akibat hukum baik terhadap pengusaha maupun bagi pekerja/buruh itu sendiri. Akibat hukum dimaksud adalah berupa pemberian kompensasi kepada pekerja/buruh yang hubungan kerjanya terputus, sedangkan pengusaha berkewajiban untuk memberikan kompensasi tersebut. Berikut ini akan diuraikan komponen-komponen kompensasi yang akan diperoleh pekerja/buruh apabila terjadi PHK: 1. Uang Pesangon Pasal 1 angka (6) Kepmen No.150 Tahun 2000, menyebutkan, “uang pesangon adalah pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja”. 90 Didalam Pasal 156 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ditentukan besarnya pesangon yang akan diterima oleh perkerja/buruh apabila terjadi PHK dimana perhitungannya berdasarkan lamanya pekerja/buruh tersebut bekerja pada suatu perusahaan; a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
89
WWW.mahkamahkonstitusi.go.id Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-150/Men/2000, tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan dan Ganti Kerugian di Perusahaan.. 90
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) yahun, 7 (tujuh) bulan upah: h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; i.
masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (Sembilan ) bulan upah.
2. Uang Penghargaan Masa Kerja Didalam Pasal 1 angka 7 Kepmen No 150 Tahun 2000 disebutkan, “Uang penghargaan masa kerja adalah uang jasa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 sebagai penghargaan pengusaha kepada pekerja yang dikaitkan dengan lamanya masa kerja”. Pasal 156 ayat 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menentukan besarnya uang penghargaan yang akan diberikan kepada pekerja/buruh, sebagai berikut: Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (Sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; c. masa kerja 9 (Sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; h. masa kerja 24 (du puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah. 3. Uang Pengganti Hak Uang pengganti hak di dalam Kepmen No 150 Tahun 2000 disebut dengan ganti kerugian sebagaimana pasal 1 angka 8 yang berbunyi: “Ganti kerugian adalah pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai pengganti istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan pulang ke tempat dimana pekerja diterima bekerja, fasilitas pengobatan, fasilitas perumahan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat sebagai akibat adanya PHK” Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Didalam Pasal 156 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan uang pengganti hak yang seharusnya diterima meliputi: a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 4. Uang Pisah Hak lain dapat diterima oleh pekerja/buruh apabila hubungan kerjanya telah berakhir adalah uang pisah. Uang pisah diberikan kepada pekerja/buruh apabila hal tersebut telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama baik jumlah maupun pelaksanaannya. Pekerja/buruh berhak mendapatkan uang pisah yaitu pekerja yang melakukan kesalahan berat dan mengundurkan diri, dimana tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha sercara langsung (Pasal 158 ayat 4 jo Pasal 162 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003). Pailitnya sebuah perusahaan akan berdampak secara langsung kepada buruh/pekerja, karena perusahaan tempat pekerja/buruh tersebut akan berhenti beroperasi, dengan demikian maka akan terjadi pemutusan hubungan kerja yang akan dilakukan oleh pengusaha. Berdasarkan Pasal 165 UU Ketenagakerjaan Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
dinyatakan “pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon sebesar satu kali ketentuan (Pasal 156 ayat 2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan (Pasal 156 ayat 3), dan uang pengganti hak sesuai dengan ketentuan (Pasal 156 ayat 4)”.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Hubungan antara buruh dan majikan merupakan hubungan yang subordinasi, artinya antara buruh dan majikan mempunyai kedudukan yang berbeda dimana salah satu pihak memberikan perintah untuk melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan isi perjanjian kerja dan memberikan upah kepada pihak pekerja atau buruh dan pihak yang lainnya melaksanakan perintah atau yang diperintah untuk melakukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan isi perjanjian kerja dengan menerima upah dari majikan atau pengusaha. Suatu perjanjian kerja dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya haruslah memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13220 KUH Perdata, yakni sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. 2. Penyelesaian perselisihan yang terjadi antara buruh dan majikan dapat dilakukan dengan cara penyelesaian melalui bipartite, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan melalui Pengadilan Hubungan Industrial. 3. Pailitnya suatu perusahaan akan berdampak kepada buruh/pekerja yabg akan mengalami pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tersebut tidak akan beroperasional lagi. Buruh/pekerja merupakan salah satu Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
kreditur yang berhak atas pemenuhan segala piutangnya dari pihak debitur (perusahaan pailit), disamping kreditur-kreditur yang lain. Dalam kepailitan dikenal tiga macam kreditur, yakni kreditur separatis, kreditur preferent dan kreditur konkuren. Yang masing-masing kreditur tersebut berbeda kedudukannya serta juga membedakan besaran pembayaran harta pailit. Pada prinsipnya kedudukan para kreditur adalah sama (paritas creditorium) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan basaran tagihan mereka masingmasing (pari passu pro rata parte). Namun demikian, asas tersebut mengenal pengecualian, yaitu golongan kreditur yang memegang hak agunan atas kebendaan dan golongan kreditur yang haknya didahulukan berdasarkan undang-undang kepailitan dan PKPU dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Saran 1. Adanya campur tangan negara dalam bentuk yang konkret untuk memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak buruh/pekerja dalam hal terjadii kepailitan ditempat para buruh/majikan bekerja. 2. Jaminan perlindungan yang diberikan kepada pihak buruh/majikan dapat berupa pemberian asuransi. Dengan adanya perlindungan asuransi untuk kehilangan pekerjaan, maka buruh tetap akan mendapatkan hak atas upah, melalui santunan dari lembaga jaminan sosial, sekalipun harta pailit telah habis sama sekali. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
3. Dalam upaya memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang lebih baik terhadap pekerja/buruh, dalam hal terjadi kepailitan pembentu undang-undang dalam hal ini Presiden dan DPR perlu melakukan sinkronisasi dan harmonisasi undang-undang yang terkait dengan pengaturan hak-hak buruh.
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Permohonan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo, 2002. Asyhadie, Zaeni, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Jakarta : PT RajaGrafindo, 1993. Budiono, Abdul Rachmad, Hukum Perburuhan di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo, 1995. Djumadji, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Jakarta : PT RajaGrafindo, 2004. Damanik, Sehat, Outsourcing dan Perjanjian Kerja, Jakarta : Dss Publishing, 2006. Husni, Lalu, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di Luar Pengadilan, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004. _______________, Hukum Ketenagakerjaan RajaGrafindo Persada, 2003.
Indonesia,
Jakarta
:
PT
Irawan, Bagus, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, Bandung : Alumni, 2007. Jehani, Libertus, Hak-Hak Pekerja Bila di PHK, Jakarta : Visi Media, 2006. Kosidin, Koko, Perjanjian Kerja. Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, Bandung : Mandar Maju, 1999. Muharam, Hidayat, Hukum Ketenagakerjaan Serta Pelaksanaannya di Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006. Nasution, Bismar dan Sunarmi, Diktat Hukum Kepailitan, Medan : Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana USU, 2000. Sastrawidjaja, H.Man.S, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, Bandung : PT Alumni, 2006.
Kewajiban
Syahrani, Riduan, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2004. Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.
Soepomo, Iman, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta : Djambatan, 1992. _______________, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan Kerja, Jakarta : PPAKRI Bhayangkara, 1968. Waluyo, Bernadette, Hukum kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung : Mandar Maju, 1999. Widodo, Hartono, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Jakarta : Rajawali Pers cetakan kedua, 1992. Sastrawidjaja, H.Man.S, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, Bandung : PT Alumni, 2006.
Kewajiban
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijke wetboek). Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailiatan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-150/Men/2000 tentang Penyelesaian PHK dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 18/PUU-VI/2008 tentang pengujian UU Kepailitan dan PKPU terhadap UUD 1945
INTERNET http;//www.hukumonline.mahkamahkonstitusi.com
Morten Purba : Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Buruh Dan Majikan Berkaitan Dengan Kepailitan Perusahaan, 2009.