Simposium XIII FSTPT, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 8-9 Oktober 2010
ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK SISTEM TRANSPORTASI KOTA-KOTA DI JAWA TERHADAP KONSUMSI BBM DENGAN MENGGUNAKAN BIPLOT Pinardi Koestalam Program Doktor Teknik Sipil Universitas Diponegoro Jl. Hayam Wuruk No 5-7, Semarang Telp: (024) 8311 946 Fax: (024) 8311 802
Mudjiastuti Handajani Program Doktor Teknik Sipil Universitas Diponegoro Jl. Hayam Wuruk No 5-7, Semarang Telp: (024) 8311 946 Fax: (024) 8311 802 Email:
[email protected]
Bambang Riyanto DEA Program Doktor Teknik Sipil Universitas Diponegoro Jl. Hayam Wuruk No 5-7, Semarang Telp: (024) 8311 946 Fax: (024) 8311 802
Abstract Use of fuel, time and space efficiently are used in types of transportation systems. Fuel consumption is affected by: vehicle characteristics, road characteristics and the vehicle user aspects. Based on population, city is classified into classes namely megapolitan, metropolitan, big city, average city and small city. By using biplot analysis, it could be shown the relationship among variables (transportation system), the similarity between the object of observation (the city), and the relative positions of objects with variable observations. The characteristic of metropolitan transportation system shows that motorcycle variable has the greatest diversity. The value indicates that motorcycle has widely variety. Bandung and Bekasi are positioned relatively close. It means that both cities have relatively similar in the characteristics of transportation systems. Bogor has high characteristic in personal car and road conditions. Malang is a big city which has the longest road and Surakarta has a high number of public cars. Keywords: Transportation system, Fuel Consumption, Biplot.
LATAR BELAKANG Salah satu hal yang penting, yang akhir-akhir ini mendapat banyak perhatian ahli transportasi adalah konsumsi, pasokan, dan ketersediaan BBM yang semakin langka dan mahal. Hal ini dapat dipahami karena transportasi merupakan penyerap bahan bakar terbesar yang berasal dari sumber fosil yang semakin langka dan tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu, perlu dilakukan efisiensi penggunaan BBM. Efisiensi penggunaan BBM, ruang dan waktu yang digunakan dalam setiap jenis sistem transportasi, berbeda menurut jumlah dan kepadatan penduduk. Penggunaan BBM dipengaruhi oleh pola perjalanan perkotaan. Pola perjalanan dipengaruhi oleh tata letak pusat kegiatan (permukiman, perbelanjaan, perkantoran, sekolah, rumah sakit, dan lain-lain) (Haryono Sukarto, 2006). Dalam strategi dan kebijaksanaan transportasi darat untuk penghematan energi tahun 2009, konsumsi BBM kendaraan di jalan raya dipengaruhi oleh faktor: karakteristik kendaraan, karakteristik jalan dan aspek pengguna kendaraan. Sedangkan faktor yang menentukan konsumsi angkutan umum perkotaan: karakteristik kendaraan, right of way (R/W), aspek operasional. Karakteristik kendaraan meliputi: teknologi, berat kendaraan, kapasitas kendaraan, performance dan type of motor control. Karakteristik angkutan umum adalah: schedulling, kondisi lalulintas, jarak halte/pemberhentian, service, operasional.
1
Simposium XIII FSTPT, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 8-9 Oktober 2010
Jika konsumsi BBM dapat dianggap berbanding lurus dengan emisi gas buang kendaraan bermotor yang dihasilkan, maka konsumsi BBM meningkat pada kecepatan rendah atau terjadi kemacetan. Konsumsi BBM rendah bila kendaraan berjalan dengan kecepatan antara 50-70 km/jam, jika kecepatan di atas 80 km/jam, konsumsi BBM menunjukkan peningkatan lagi (Haryono Sukarto, 2006), hal ini juga diperkuat oleh penelitian A. Caroline Sutandi (2007). Mitchell (2003), mengatakan bahwa konsumsi BBM untuk transportasi jalan raya di daerah perkotaan dipengaruhi oleh sistem transportasi. Dalam penelitiannya, Dail U. A. and Budi H., (2005) menyatakan bahwa kendaraan dengan kecepatan antara 40 - 55 km, konsumsi BBM yang digunakan paling efisien. Menurut Edward K. Morlok dan David J. Chang, 2005, transportasi didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari fasilitas tertentu beserta arus dan sistem kontrol yang memungkinkan orang dan barang dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain secara efisien dalam setiap waktu untuk mendukung aktivitas manusia. Sistem transportasi merupakan bentuk keterikatan antara penumpang, barang, prasarana dan sarana yang berinteraksi dalam rangka perpindahan orang atau barang yang tercakup dalam suatu tatanan, baik secara alami maupun buatan/rekayasa. Konsep dasar transportasi, yakni saling terkait terlaksananya transportasi dan pola perjalanan di perkotaan dipengaruhi oleh tata letak pusat kegiatan (Haryono Sukarto, 2006). Model tata guna lahan sulit untuk dipakai sebagai informasi, karena harus dapat menyajikan model yang baik (Varameth et al, 2007).Rodrigue (2004), meneliti tentang kecepatan kendaraan yang mempengaruhi konsumsi BBM. Taylor Bridget dan Brook Linsay (2004), meneliti tentang kepadatan kendaraan di suatu kawasan kota, semakin padat kawasan kota maka kecepatan semakin rendah dan konsumsi BBM semakin tinggi. Kecepatan yang rendah di ruas jalan akan meningkatkan kebutuhan BBM hingga 50%, selain itu pola jaringan jalan dan kondisi lalulintas dapat menggambarkan tingkat kebutuhan BBM (Rodrigue, 2005). Demikian juga menurut Manuel Jose et al (2005), yang menyatakan bahwa kendaraan dengan cc yang berbeda akan membutuhkan bahan bakar dengan jumlah yang berbeda. Taylor Peter G. (2005), mengembangkan model Markal (Market Allocation) di sektor transportasi yang digunakan sebagai model nasional, model lokal dan model multi nasional sistem energi. T. F. Fwa, (2005), konsumsi BBM dapat dikurangi dengan menggantikan kendaraan kapasitas sedikit menjadi kapasitas besar/massal. Menurut Undang-Undang No 26 tahun 2007 pasal 41, Kota berdasarkan jumlah penduduknya, diklasifikasikan menjadi lima kelas (Dephub, 2008), megapolitan, metropolitan, kota besar, kota sedang dan kota kecil. Ukuran kota ditentukan oleh jumlah penduduk yang tinggal di kawasan yang sudah bersifat kekotaan di dalam wilayah administrasi. Kelompok kota sasaran penelitian diambil hanya tiga kategori kota, yakni a) kota metropolitan dengan penduduk > 1 juta jiwa, b) kota besar dengan penduduk antara 500.000 sampai 1 juta jiwa, c) kota sedang dengan penduduk 100.000 – 500.000 jiwa. Kota yang diteliti adalah kota, bukan ibu kota kabupaten, berjumlah 27 kota di Jawa. Analisis Biplot Biplot adalah teknik statistika deskriptif dimensi ganda (multivariate) yang dapat disajikan secara visual guna menyajikan secara simultan n obyek pengamatan dan p variabel dalam ruang bidang datar (dimensi 2), sehingga ciri-ciri variabel dan obyek pengamatan serta posisi relatif antar obyek pengamatan dengan variabel dapat dianalisis (Jollife 1986 & Rawlings 1988). Jadi dengan biplot dapat ditunjukkan hubungan antar variabel, kemiripan 2
Simposium XIII FSTPT, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 8-9 Oktober 2010
relatif antar objek pengamatan, serta posisi relatif antara objek pengamatan dengan variabel (Kurnia, A, dkk. 2002). Informasi yang diberikan biplot mencakup objek dan variabel dalam satu gambar, sehingga disebut biplot. Hal-hal penting yang bisa didapatkan dari tampilan biplot antara lain: a. Kedekatan antar objek: dua objek dengan karakteristik sama akan digambarkan sebagai dua titik yang posisinya berdekatan. b. Keragaman variabel: informasi ini digunakan untuk melihat variabel tertentu setiap objek, atau nilai dari setiap objek ada yang sangat besar dan ada juga yang sangat kecil. Dalam biplot, variabel dengan keragaman kecil digambarkan sebagai vektor yang pendek sedangkan variabel yang ragamnya besar digambarkan sebagai vektor yang panjang. c. Hubungan (korelasi antar variabel): Informasi ini digunakan untuk menilai pengaruh, variabel yang satu mempengaruhi atau dipengaruhi variabel yang lain. Dengan menggunakan biplot, variabel digambarkan sebagai garis berarah. Dua variabel yang memiliki korelasi positif tinggi akan digambarkan sebagai dua buah garis dengan arah yang sama, atau membentuk sudut sempit. Sementara itu, dua variabel yang memiliki korelasi negatif tinggi akan digambarkan dalam bentuk dua buah garis dengan arah berlawanan, atau membentuk sudut lebar (tumpul). d. Objek yang terletak searah dengan arah suatu variabel, dikatakan bahwa pada objek tersebut nilainya diatas rata-rata. Sebaliknya, jika objek terletak berlawanan dengan arah variabel tersebut, maka objek tersebut memiliki nilai dibawah rata-rata. Sedangkan objek yang hampir berada di tengah-tengah, memiliki nilai dekat dengan rata-rata. Algoritma Biplot : a. Menyiapkan gugus data yang akan digunakan (data berukuran nxp). b. Membangun matriks data X (gugus data yang dikoreksi terhadap rataan masingmasing variabel). c. Membuat matriks L, A, dan matriks U dengan metode SVD d. Membuat matriks G=ULα serta H’=L1-αA’ dengan menggunakan α=0, karena biplot lebih menekankan pada posisi relatif objek atau pengamatan terhadap variabel. e. Mengambil 2 kolom pertama dari matriks G dan 2 baris pertama dari matriks H’. f. Membuat grafik koordinat dari masing-masing matriks dari langkah 6, dimana setiap baris dari 2 kolom pertama matriks G merupakan koordinat (x,y) untuk masingmasing objek, sedangkan setiap kolom dari 2 baris pertama matriks H’ merupakan koordinat (x,y) untuk setiap variabel. g. Menghitung keragaman yang dapat diterangkan oleh biplot dengan rumus p
(
1
2)/
i
.
i 1
Prosedur Komputasi menggunakan software Matlab 7.1, dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Input data yang akan dianalisis 2. Membangun matrix data X 3. Membuat matrix L, A, dan U 4. Membuat matrix G = ULα dan H’=L1-αA dengan menggunakan α=0 5. Mengambil dua kolom pertama matriks G 6. Mengambil dua baris pertama matriks H’ 3
Simposium XIII FSTPT, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 8-9 Oktober 2010
7. Membuat biplot Identifikasi Karakteristik Sistem Transportasi Kota Dari seluruh kota, yaitu 27 kota di Jawa, (bukan ibu kota Kabupaten) diambil sampel guna dilakukan penelitian ini. Tapi hanya 22 kota yang memenuhi kelengkapan data. Variabel yang dipakai adalah: panjang jalan, kondisi jalan baik, kondisi jalan sedang, kondisi jalan rusak, kondisi jalan sangat rusak, kendaraan pribadi (MP,bus, truk dan sepeda motor), kendaraan angkutan umum (bus dan MPU), panjang trayek, pola jaringan jalan. Variabel sistem transportasi kota yang diperoleh semua diolah dan dianalisis dengan menggunakan Biplot. Analisis Biplot Untuk Sistem Transportasi Kota Analisis biplot sistem transportasi kota dikelompokkan dalam: seluruh kota di Jawa (22 kota), kota metropolitan, kota besar dan kota sedang. Karakteristik Sistem Transportasi Kota Metropolitan Grafik biplot yang diperlihatkan pada Gambar 1 mengindikasikan adanya hubungan antara variabel sistem transportasi kota yang tersusun atas panjang jalan, pola jaringan jalan, jalan baik, jalan sedang, jalan rusak, jalan sangat rusak, bus umum, mobil penumpang umum, mobil penumpang pribadi, bus pribadi, truk, dan sepeda motor terhadap kota-kota metropolitan. Plot tersebut menerangkan 77,26% dari total keragaman yang sebenarnya. Keragaman yang dapat dijelaskan oleh dimensi 1 sebesar 41,39% dan keragaman yang dapat dijelaskan oleh dimensi 2 sebesar 35,87%. Di mensi on 2 ( 35. 87% ) 2
1
0
-1
-2 -2
-1
0
1
2
Di mensi on 1 ( 41. 39% )
SumberHasil Analisa, 2010 Gambar 1 Hasil Analisis Biplot Kota Metropolitan Terhadap Sistem Transportasi Kota Keeratan hubungan antar variabel dapat dilihat dari besarnya kosinus sudut antar vektor variabel (korelasi) dan panjang (keragaman) relatif terhadap vektor variabel lainnya. Variabel sistem transportasi kota yang memiliki korelasi positif dan sangat kuat di kota metropolitan adalah panjang jalan dengan jalan baik (0,95), panjang jalan dengan jalan sedang (0,83), jalan sedang dengan jalan sangat rusak (0,88), mobil penumpang pribadi dengan truk (0,81), dan truk dengan sepeda motor (0,93). Korelasi positif relatif besar antara sistem transportasi kota metropolitan contohnya adalah mobil penumpang pribadi dengan truk. Hubungan ini mengindikasikan bahwa kota metropolitan memiliki mobil penumpang pribadi dengan jumlah tinggi, cenderung jumlah truknya tinggi pula. 4
Simposium XIII FSTPT, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 8-9 Oktober 2010
Sedangkan korelasi negatif juga ditunjukkan oleh beberapa variabel seperti panjang jalan dengan bus umum (-0.16), pola jaringan jalan dengan jalan baik (-0.01), pola jaringan jalan dengan bus umum (-0.17), pola jaringan jalan dengan mobil penumpang umum (-0.07), pola jaringan jalan dengan mobil penumpang pribadi (-0.65), pola jaringan jalan dengan bus pribadi (-0.20), pola jaringan jalan dengan truk (-0.21), pola jaringan jalan dengan sepeda motor (-0.51), jalan baik dengan bus umum (-0.15), jalan sangat rusak dengan mobil penumpang pribadi (-0,17), bus umum dengan truk (-0,48), bus umum dengan sepeda motor (-0,24), jalan rusak dengan mobil penumpang pribadi (-0,16), jalan rusak dengan sepeda motor (-0,10), dan lain-lain. Selain itu, dapat dilihat pula posisi relatif antara obyek kota metropolitan dan variabel sistem transportasi kota. Kota Tangerang adalah kota yang memiliki nilai-nilai variabel sistem transportasi kota yang relatif rendah. Surabaya adalah kota metropolitan dengan karakteristik jumlah sepeda motor, truk, dan mobil penumpang pribadi yang tinggi. Kota Semarang adalah kota metropolitan dengan karakteristik jalan sedang, jalan rusak, dan jalan sangat rusak yang panjang. Kota Bekasi dan Bandung adalah dua kota metropolitan dengan karakteristik jumlah bus umum yang tinggi. Karakteristik Sistem Transportasi Kota Besar Grafik biplot yang diperlihatkan pada Gambar 2. mengindikasikan adanya hubungan antara variabel sistem transportasi kota yang tersusun atas panjang jalan, pola jaringan jalan, jalan baik, jalan sedang, jalan rusak, jalan sangat rusak, bus umum, mobil penumpang umum, mobil penumpang pribadi, bus pribadi, truk, dan sepeda motor terhadap kota-kota besar. Plot tersebut menerangkan 87,79% dari total keragaman yang sebenarnya. Keragaman yang dapat dijelaskan oleh dimensi 1 sebesar 56,595% dan keragaman yang dapat dijelaskan oleh dimensi 2 sebesar 31,20%. Hal ini menunjukkan bahwa interpretasi biplot yang dihasilkan mampu menerangkan dengan baik hubungan antar dua variabel sistem transportasi kota dengan kota-kota besar. Di m ensi on 2 ( 31. 20% ) 2
1
0
-1
-2 -2
-1
0
1
2
Di m ensi on 1 ( 56. 59% )
Sumber Hasil Analisa, 2010 Gambar 2 Hasil Analisis Biplot Kota Besar Terhadap Sistem Transportasi Kota Keeratan hubungan antar variabel dapat dilihat dari besarnya kosinus sudut antar vektor variabel (korelasi) dan panjang (keragaman) relatif terhadap vektor variabel lainnya.Jumlah sepeda motor berkorelasi positif dengan jumlah truk, yaitu sebesar 0,98. Jumlah sepeda motor juga berkorelasi positif dengan jalan yang kondisinya baik, yaitu sebesar 0,86. Truk berkorelasi positif dengan panjang jalan yaitu sebesar 0,62. Sedangkan korelasi negatif juga ditunjukkan oleh beberapa variabel seperti pola jaringan jalan dengan 5
Simposium XIII FSTPT, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 8-9 Oktober 2010
jalan baik (-0,23), bus umum dengan truk (-0,98), bus umum dengan sepeda motor (-0,96), bus umum dengan mobil penumpang pribadi (-0,62). Sebagai contoh, bus umum dengan truk memiliki korelasi sebesar -0.98, hubungan ini mengindikasikan bahwa kota besar yang memiliki bus umum dengan jumlah tinggi, maka akan cenderung memiliki jumlah truk yang rendah. Analisis statistika deskriptif terhadap sistem transportasi kota menunjukkan bahwa variabel sepeda motor memiliki keragaman (simpangan baku) terbesar. Besarnya nilai keragaman ini mengindikasikan bahwa sepeda motor di kota besar sangat bervariasi, dengan jumlah terkecil 92.751 dan terbesar 208.313. Kemudian dilihat dari posisi dan kedekatan antar obyek, keempat kota besar memiliki posisi yang berjauhan. Artinya kotakota tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Bogor adalah kota besar dengan karakteritik mobil penumpang umum tinggi dan kondisi jalan sedang. Malang adalah kota besar dengan karakteristik panjang jalan dan kondisi jalan baik yang tinggi. Tasikmalaya tidak terlalu menonjol dalam sistem transportasi kota. Surakarta adalah kota besar dengan karakteristik dengan jumlah mobil penumpang pribadi yang banyak. Karakteristik Sistem Transportasi Kota Sedang Grafik biplot yang diperlihatkan pada Gambar 3 mengindikasikan adanya hubungan antara variabel sistem transportasi kota yang tersusun atas panjang jalan, pola jaringan jalan, jalan baik, jalan sedang, jalan rusak, jalan sangat rusak, bus umum, mobil penumpang umum, mobil penumpang pribadi, bus pribadi, truk, dan sepeda motor terhadap kota-kota sedang. Plot tersebut menerangkan 61,51% dari total keragaman yang sebenarnya. Keragaman yang dapat dijelaskan oleh dimensi 1 sebesar 34,66% dan keragaman yang dapat dijelaskan oleh dimensi 2 sebesar 26,85%. Hal ini menunjukkan bahwa interpretasi biplot yang dihasilkan mampu menerangkan dengan baik hubungan antar dua variabel sistem transportasi kota dengan kota-kota sedang. Di m ensi on 2 ( 26. 85% ) 3
2
1
0
-1 -2
-1
0
1
2
Di m ensi on 1 ( 34. 66% )
Sumb Hasil Analisa, 2010
Gambar 3 Hasil Analisis Biplot Kota Sedang Terhadap Sistem Transportasi Kota Keeratan hubungan antar variabel-variabel dapat dilihat dari besarnya kosinus sudut antar vektor variabel (korelasi) dan panjang (keragaman) relatif terhadap vektor variabel lainnya. Sepeda motor memiliki korelasi yang positif dengan jumlah truk dan mobil 6
Simposium XIII FSTPT, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 8-9 Oktober 2010
penumpang pribadi, yaitu masing-masing sebesar 0,83 dan 0,78. Panjang jalan berkorelasi positif dengan kondisi jalan yang baik, rusak dan sangat rusak. Sedangkan korelasi negatif juga ditunjukkan oleh beberapa variabel seperti jalan sangat rusak dengan bus umum, mobil penumpang umum, mobil penumpang pribadi, bus pribadi, truk, dan sepeda motor, masing-masing sebesar -0,17, -0,04, -0,20, -0,14, -0,31 dan -0,28. Analisis statistika deskriptif terhadap sistem transportasi kota menunjukkan bahwa variabel sepeda motor memiliki keragaman (simpangan baku) terbesar. Besarnya nilai keragaman ini mengindikasikan bahwa sepeda motor untuk kota besar sangat bervariasi, dengan jumlah terkecil 32.469 dan terbesar 262.023. Selain kota Yogyakarta dan Salatiga, kota-kota dalam kategori sedang relatif berada pada posisi yang berdekatan. Hal ini berarti kota-kota tersebut memiliki karakteristik sistem transportasi kota yang relatif sama. Kota Yogyakarta mempunyai karakteristik jumlah mobil pribadi, bus umum dan bus pribadi yang banyak. Salatiga karaketeristik yang menonjol adalah kondisi jalan baik dan jalan sangat rusak yang panjang.
HUBUNGAN SISTEM TRANSPORTASI KOTA TERHADAP KONSUMSI BBM Hubungan Sistem Transportasi Kota Terhadap Konsumsi BBM Kota Metropolitan Berdasarkan uji korelasi, terdapat hubungan linier antara variabel dependen (konsumsi BBM) dengan variabel independen (sistem transportasi kota). Terlihat bahwa variabel konsumsi premium memiliki hubungan linier yang sangat kuat dengan jumlah mobil penumpang umum, yaitu sebesar 0,98. Dari hubungan linier ini dapat diartikan bahwa tingkat konsumsi premium akan meningkat jika jumlah mobil penumpang umum di kota metropolitan juga meningkat. Tingkat besarnya hubungan linier yang kuat juga ditunjukkan oleh hubungan antara tingkat konsumsi solar dengan jumlah mobil penumpang pribadi (0,97) dan jumlah sepeda motor dengan konsumsi solar, yaitu sebesar 0,94. Jumlah Bus Umum memiliki korelasi yang negative terhadap konsumsi solar maupun premium, yaitu masing-masing sebesar -0,05 dan -0,10. Lihat Tabel 1. Tabel 1 Korelasi Antara Sistem Transportasi Kota dengan Konsumsi BBM untuk Kota Metropolitan J.S.
Bus.
P.Jalan
Jalan
Po.J. J.Baik
J.Sedang
J.Rusak
Rusak
Umum
MPU
MPP
Bus.Pri
Truk
S.Motor
Premium
0.25
-0.12
0.42
-0.08
-0.13
-0.42
-0.05
0.98
0.62
0.51
0.79
0.77
Solar
0.64
-0.49
0.85
0.07
0.06
0.04
-0.10
0.47
0.97
0.65
0.84
0.94
Sumber : Hasil Analisa, 2010
Adanya hubungan linier yang positif dan sangat kuat antara jumlah mobil penumpang umum dan tingkat konsumsi premium di kota metropolitan dapat diartikan bahwa tingkat konsumsi premium akan meningkat jika jumlah mobil penumpang umum di kota metropolitan juga meningkat. Kota Surabaya dan Bandung memiliki jumlah mobil penumpang umum dan tingkat konsumsi premium yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa jika jumlah MPU meningkat maka tingkat konsumsi premium juga meningkatkan pula. 7
Simposium XIII FSTPT, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 8-9 Oktober 2010
Hubungan Sistem Transportasi Kota Terhadap Konsumsi BBM Kota Besar Berdasarkan uji korelasi, dari Tabel 2 diketahui bahwa terdapat hubungan linier antara variabel variabel dependen (tingkat konsumsi BBM) dengan variabel independen (sistem transportasi kota). Terlihat bahwa variabel konsumsi premium memiliki hubungan linier yang tinggi dengan jumlah mobil penumpang pribadi, yaitu sebesar 0,88. Dari hubungan linier ini dapat diartikan bahwa tingkat konsumsi premium akan meningkat jika jumlah mobil penumpang pribadi di kota besar juga meningkat. Korelasi yang tinggi juga ditunjukkan oleh jumlah bus umum dan Bus Pribadi terhadap tingkat konsumsi solar, yaitu masing-masing sebesar 0,96 dan 0,85. Hal ini dapat di artikan bahwa tingkat konsumsi solar di kota besar akan meningkat jika bus umum atau bus pribadi meningkat jumlahnya. Namun sebaliknya jumlah bus umum, bus pribadi dan truk menunjukkan adanya korelasi yang rendah terhadap tingkat konsumsi premium. Tabel 2 Korelasi Antara Sistem Transportasi Kota dengan Konsumsi BBM untuk Kota Besar Premium Solar
P. Jalan -0.03 -0.78
Po. J. Jalan -0.77 0.46
J. Baik -0.22 -0.88
J. Sdg 0.90 0.42
J. Rusak -0.36 0.56
J.S. Rusak -0.52 0.15
Bus. U 0.32 0.96
MPU
MPP
0.88 0.61
0.45 -0.79
Bus. Pr -0.23 0.85
Truk -0.12 -0.98
S. Motor -0.13 -1.00
Sumber : Hasil Analisa, 2010
Kota Tasikmalaya memiliki tingkat konsumsi solar yang tertinggi. Hal ini dapat dimengerti karena di kota tersebut jumlah Bus Umum dan Bus Pribadinya yang cukup banyak. Sebaliknya Kota Malang adalah kota dengan kategori besar yang memiliki tingkat konsumsi solar yang rendah. Adanya korelasi yang negative antara jumlah truk dengan tingkat konsumsi solar di kota besar menunjukkan bahwa penambahan jumlah truk justru akan mengurangi jumlah konsumsi solar. Hubungan Sistem Transportasi Terhadap Konsumsi BBM Kota Sedang Berdasarkan uji korelasi, terdapat hubungan linier antara variabel dependen (konsumsi BBM) dengan variabel independen (sistem transportasi kota). Berbeda dengan kota metropolitan dan kota besar, terlihat bahwa variabel konsumsi premium memiliki hubungan linier yang kuat dengan jumlah bus umum, yaitu sebesar 0,89. Dari hubungan linier ini dapat diartikan bahwa tingkat konsumsi premium akan meningkat jika jumlah bus umum di kota sedang juga meningkat. Sedangkan variabel-variabel yang lain memiliki hubungan linier yang rendah bahkan negative terhadap tingkat konsumsi solar maupun premium. Lihat Tabel 3. Tabel 3 Korelasi Sistem Transportasi Kota dengan Tingkat Konsumsi BBM Kota Sedang P.Jalan
Premium Solar
0.12 -0.15
Po.J. Jalan
0.21 -0.02
J.Baik
-0.04 -0.21
J. Sedang
J.Rusak
0.43 -0.03
0.22 0.11
J.S. Rusak
-0.06 -0.10
Bus. Umum
0.89 0.53
MPU
MPP
Bus.Pri
0.05 0.15
0.49 0.00
0.62 0.09
Truk
0.13 -0.10
S. Motor
0.07 -0.29
Sumber : Hasil Analisa, 2010
Kota Yogyakarta memiliki jumlah bus umum dan tingkat konsumsi premium yang tertinggi. Dengan jumlah bus umum yang besar maka akan meningkatkan konsumsi premium di kota Yogyakarta. Sedangkan kota Mojokerto, Tegal, dan Pasuruan memiliki 8
Simposium XIII FSTPT, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 8-9 Oktober 2010
tingkat konsumsi premium yang rendah karena jumlah bus umum di kota-kota tersebut sangat kecil.
KESIMPULAN Kota metropolitan: Hubungan antara variabel sistem transportasi kota tersusun atas panjang jalan, pola jaringan jalan, jalan baik, jalan sedang, jalan rusak, jalan sangat rusak, bus umum, mobil penumpang umum, mobil penumpang pribadi, bus pribadi, truk, dan sepeda motor terhadap kota-kota metropolitan. Besarnya nilai keragaman ini mengindikasikan bahwa sepeda motor untuk kota metropolitan sangat bervariasi, dengan jumlah terkecil 399.802 dan terbesar 972.375. Kemudian dilihat dari posisi dan kedekatan antar obyek, terjadi pengelompokan yang menunjukkan keidentikan atau keserupaan, diantaranya kota Bandung dan Bekasi yang relatif berada pada posisi yang berdekatan. Hal ini dapat diartikan bahwa kedua kota metropolitan tersebut memiliki karakteristik sistem transportasi kota yang relatif sama. Adanya hubungan linier yang positif dan sangat kuat antara jumlah mobil penumpang umum dan tingkat konsumsi premium di kota metropolitan dapat diartikan bahwa tingkat konsumsi premium akan meningkat jika jumlah mobil penumpang umum di kota metropolitan juga meningkat. Kota Surabaya dan Bandung memiliki jumlah mobil penumpang umum dan tingkat konsumsi premium yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa jika jumlah MPU meningkat maka tingkat konsumsi premium juga meningkatkan pula. Kota Besar: Analisis statistika deskriptif terhadap sistem transportasi kota menunjukkan bahwa variabel sepeda motor memiliki keragaman (simpangan baku) terbesar. Besarnya nilai keragaman ini mengindikasikan bahwa sepeda motor di kota besar sangat bervariasi, dengan jumlah terkecil 92.751 dan terbesar 208.313. Kemudian dilihat dari posisi dan kedekatan antar obyek, keempat kota besar memiliki posisi yang berjauhan. Artinya kotakota tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Bogor adalah kota besar dengan karakteritik mobil penumpang umum tinggi dan kondisi jalan sedang. Malang adalah kota besar dengan karakteristik panjang jalan dan kondisi jalan baik yang tinggi. Surakarta adalah kota besar dengan karakteristik dengan jumlah mobil penumpang pribadi yang banyak. Kota Tasikmalaya memiliki tingkat konsumsi solar yang tertinggi. Hal ini dapat dimengerti karena di kota tersebut jumlah Bus Umum dan Bus Pribadinya yang cukup banyak. Sebaliknya Kota Malang adalah kota dengan kategori besar yang memiliki tingkat konsumsi solar yang rendah. Adanya korelasi yang negative antara jumlah truk dengan tingkat konsumsi solar di kota besar menunjukkan bahwa penambahan jumlah truk justru akan mengurangi jumlah konsumsi solar. Kota Sedang: Analisis statistika deskriptif terhadap sistem transportasi kota menunjukkan bahwa variabel sepeda motor memiliki keragaman (simpangan baku) terbesar. Besarnya nilai keragaman ini mengindikasikan bahwa sepeda motor untuk kota besar sangat bervariasi, dengan jumlah terkecil 32.469 dan terbesar 262.023. Kota-kota pada kelompok kota sedang selain Yogyakarta dan Salatiga, memiliki karakteristik sistem transportasi kota yang relatif sama. Selain itu, dapat dilihat pula posisi relatif antara obyek kota sedang dan 9
Simposium XIII FSTPT, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 8-9 Oktober 2010
variabel sistem transportasi kota. Kota Yogyakarta mempunyai karakteristik jumlah mobil pribadi, bus umum dan bus pribadi yang banyak. Karaketeristik kota Salatiga yang menonjol adalah kondisi jalan baik dan jalan sangat rusak yang panjang. Kota Yogyakarta memiliki jumlah bus umum dan tingkat konsumsi premium yang tertinggi. Dengan jumlah bus umum yang besar maka akan meningkatkan konsumsi premium di kota Yogyakarta. Sedangkan kota Mojokerto, Tegal, dan Pasuruan memiliki tingkat konsumsi premium yang rendah karena jumlah bus umum di kota-kota tersebut sangat kecil.
DAFTAR PUSTAKA A. Caroline Sutandi. 2007. Advanced Traffic Control System Impacts on Environmental Quality in A Large City in A Developing Country, Journal of The Eastern Asia for Alamsyah dan Alik Ansyori (2004), Analisa Formulasi Konsumsi Bahan Bakar Pada Lalulintas sebagai Fungsi dari Berhenti, Tundaan frekuensi Berhenti. Frekuensi Tundaan, dan Kecepatan Kendaraan, (Studi Kasus Di Kotamadya Malang). ITS, Surabaya. Anang Kurnia, Bagus Sartono, Deni Irvani. 2002. Analisis Biplot dan Rantai Markov untuk Menelaah Perilaku Konsumen Majalah Berita Mingguan: Forum Statistika den Komputasi. Andry Tanara. 2003. Estimasi Permodelan Kebutuhan BBM Untk Transportasi Darat (Studi Kasus Palembang). Program Pasca Sarjana MSTT. Jogya UGM. Dail Umamil Asri and Budi Hidayat. 2005. Current Transportation Issues in Jakarta and Its Impacts on Environment. Proceeding of The Eastern Asia Society for Transportation Studies vol 5.pp 1792 1798 Edward K. Morlok dan David J. Chang, 2005. Vehicle Speed Profiles To Minimize Work And Fuel Consumption. Transp. Engrg vol. 131 isue 3. pp 173-182. Haryono Sukarto, 2006, Transportasi Perkotaan dan Lingkungan. Jurnal Teknik Sipil vol.3 no 2. Jeff Kenworthy dan Fellix Laube, 2002, Urban Transport Patterns in a Global Sample of Cities and Their Linkages to Transport Infrastructure. Land-use, Economics and Environment. Jollife, LT. 1986. Principle Component Analysis. Springer-Verlag. New York. Lisa Schweitzer dan Abel Valenzuela, Jr., 2004. Environmental injustice and transportation: the claims and the evidence, Journal of Planning Literature. Vol. 18, No. 4, 383-398 Manuel Jose DC, Ricardo GS, Karl NV, Aura CM, Louis Angelo.2005. Development of Emission and Engine Testing Prosedures and Standard Sidecar Design Prototype For Tricycle, Journal of the Eastern Asia Society for transportation Studies, vol 6, pp 3151-3166 Michael Iacono, David Levinson, Ahmed El-Geneidy, 2008. models of transportation and land use change: a guide to the territory. Journal of Planning Literature. Vol. 22, No. 4, 383-340 Mitchell Goro O., 2003, The Indicators of Minority Transportation Equity (TE). Sacramento Transportation & Air Quality Collaborative Community Development Institute. Muhammad Nanang Prayudyanto, Corry Jacub, R Driejana, Ofyar Z. Tamin, 2008. Background For Optimization Of Fuel Consumtion At Congested Network Using Hydrodynamic Traffic Theory, Proceeding FSTPT International Symposium. Rawlings, John O, 1988. Applied regression analysis: a research tool.
10
Simposium XIII FSTPT, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 8-9 Oktober 2010
Rodrigue Jean-Paul, 2004. Transportation and The Environment, Dept. of Economics & Geography Hofstra University, Hempstead, NY, 11549 USA. T.F. Fwa, 2005, Sustainable Urban Transportation Planning and Development Issues and Chalenges for Singapore. Dept ofCivil Engineering of Singapore Taylor Bidget dan Brook Linsay, 2004. Public Attitudes to Transport Issue: Finding from The British Social Attitudes Surveys. Taylor Peter G., 2005. Modelling The Transport Sector in MARKAL Presented at UKERC, Energy System Modelling Theme (ESMT) workshop, PSI, London. Varameth Vichiensan, Kazuaki Miyamoto, Viroj Rujopakarn, 2007. An Empirical Study of Land Use/Transport Interaction in Bangkok With Operational Model Applicaion, Journal of The Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol. 7, 1250-1265. Yosef Rafeq Jabareen, 2006. Sustainable Urban Form: Journal of Planning Education and Research, Vol 62, No. 1, 38-52.
11