Jurnal Matematika dan Sains Vol. 9 No. 3, September 2004, hal 273-277
Analisis Hubungan Frekuensi-Magnitudo Gempa Bumi di Bali dan Sekitarnya Wandono1,2), Sri Widiyantoro2,3), Gunawan Ibrahim1,2), Edy Soewono3) Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta, 2)Program Studi Pascasarjana, Sains Kebumian, Dep. GM-ITB, 3)KPP-MIT, Departemen Matematika, ITB
1)
Diterima Juni 2004, disetujui untuk dipublikasikan Agustus 2004 Abstrak Variasi tiga dimensi b-value di Bali dan sekitarnya dipetakan melalui analisis hubungan frekuensi-magnitudo. Anomali b-value tinggi teramati pada interval kedalaman 90-180 km di bawah pulau Lombok. Hal ini diduga sebagai indikator keberadaan zona pelelehan magma basaltik lempeng oseanik Hindia yang menunjam dibawah lempeng kontinental Eurasia di Nusa Tenggara Barat. Analisis ini memperkuat hipotesis keberadaan partial melting penunjaman lempeng samudera. Kata kunci : b-value, partial melting, busur Sunda timur. Abstract We mapped the 3-D b-value variation in Bali and its vicinity through analyzing the frequency-magnitude relation. A high b-value anomaly is observed beneath the Lombok volcanic arc at 90-180 km depth interval. It is related to the zone of partial melting of basaltic magma on the subducted slab of Indian oceanic plate beneath the Eurasian plate in Nusa Tenggara Barat. This analysis supports the hypothesis about the existence of melting point on the slab. Keywords: b-value, melting point, eastern Sunda arcs. utara, sehingga daerah ini termasuk daerah rentan terhadap bahaya gempa. Hasil pemantauan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) pada wilayah 112o118o BT dan 6o -12o LS, enam tahun terakhir setelah dipasang jaringan seismograf Bali dan sekitarnya yang dikenal dengan jaringan seismograf regional III, menunjukkan jumlah yang cukup besar sekitar 5186 gempa dengan M<5 dan 848 gempa dengan M>5. Gambar.1 memperlihatkan sebaran gempa bumi dan sensor jaringan seismograf regional III yang terdiri atas 8 seismometer telemetri perioda pendek yang tersebar di Bali (6 sensor), Lombok (1 sensor), Jawa Timur (1 sensor) dan 2 stasiun Geofisika, yakni di Denpasar (DNP) dan Kahang-kahang (KHK).
1. Pendahuluan Secara tektonik, Bali dan Nusa Tenggara Barat berada di wilayah busur Sunda bagian timur, membentang dari selat Sunda ke timur hingga pulau Sumba1). Busur Sunda bagian timur memiliki beberapa karakteristik, yaitu penunjaman lempeng tektonik, busur gunung berapi dan jalur gempa bumi. Distribusi gempa di wilayah ini mencapai kedalaman 650 km namun pada kedalaman 300-500 km terdapat jeda aktivitas seismik (seimic gap). Seismisitas Bali dan Nusa Tenggara Barat cukup rapat karena dipengaruhi aktivitas penunjaman lempeng Indo-Australia di sebelah selatan dan Flores back arc thrust fault di sebelah
(b)
(a)
Gambar-1 : (a) Seismisitas di Bali dan sekitarnya dari katalog USGS. Titik warna biru, hijau dan merah masingmasing menunjukan lokasi gempa dengan keadalaman < 180 km, 180-360 km dan 360-600 km. Segitiga merah menunjukan lokasi gunung berapi. (b) Jaringan pemantau gempa bumi di Bali dan sekitarnya terdiri atas 8 sensor telemetri (segitiga biru) dan 2 stasiun Geofisika berpenghuni (segitiga merah). 273
274
JMS Vol. 9 No. 3, September 2004
Studi sebelumnya tentang seismisi-tas di Bali dan sekitarnya dengan analisis hubungan frekuensi– magnitudo gempa (b-value) telah dilakukan pada daerah studi yang luas, sehingga hasil yang diperoleh merupakan nilai rata-ratanya2). Untuk mengetahui sebaran nilai b lebih rinci maka dalam studi ini dilakukan pencacahan wilayah studi dengan teknik grid 3-D dengan ukuran grid kecil3). Studi ini diharapkan dapat mengenali karak-teristik seismik Bali dan sekitarnya secara lebih rinci. 2. Data Data yang digunakan dalam studi ini adalah katalog data gempa bumi United States Geological Survey (USGS) perioda tahun 1970-2001. Untuk menguji data USGS tersebut dilakukan komparasi dengan katalog data4). Katalog Engdahl adalah katalog gempa USGS dari 1964-2000 yang telah direlokasi dengan model bumi ak1354). Gempa bumi terpilih adalah gempa yang deviasi lokasinya kurang dari 25 km. 3. Fungsi Likelihood Hubungan frekuensi-magnitudo gempa bumi dikenalkan pertama kali sekitar 60 tahun silam5). Secara umum, hubungan frekuensi-magnitudo gempa bumi dinyatakan dengan persamaan empirik Gutenberg-Richter sbb :
log N = a '−bM
1)
dengan a’ = a – log (b. ln 10), N adalah jumlah kumulatif gempa bumi pada wilayah kajian dengan magnitudo lebih besar atau sama dengan M, a dan b masing-masing adalah parameter model regresi. Jika fungsi distribusi probabilitas yang tergantung pada parameter b adalah f(M,b), maka fungsi Likelihood didefinisikan sebagai; P(M,b)=f(M1,b).f(M2,b).f(M3,b).....f(MN,b)
2)
dengan Mi dan b masing-masing adalah magnitudo dan parameter kemiringan garis lurus (gradien) pada persamaan (1) yang belum diketahui.
)
Estimasi Likelihood dari b adalah harga parameter yang memaksimalkan fungsi P(M, b).
) Nilai estimasi b dapat diperoleh melalui ∂ ln P =0 ∂b
3)
Jika metoda ini diterapkan pada masalah hubungan magnitude-frekuensi,6) fungsi distribusi probabilitas Mi adalah '
f ( M i , b ' ) = b ' e −b ( M i − M o ) , M i > M o
4)
dengan b’ = b. ln 10. Fungsi Likelihood sampel adalah
⎡ ⎛ N ⎞⎤ P = (b' ) N . exp ⎢− b' ⎜ ∑ M i − NM o ⎟⎥ ⎠⎦ ⎣ ⎝ i =1
5)
dari persamaan (5) diperoleh estimasi likelihood nilai
) b adalah ) b=
log e M − Mo
dan estimasi nilai
6)
) a pada persamaan (1) adalah :
) a = log N + log(b. ln 10) + M o b
7)
dengan N, M dan Mo masing-masing adalah jumlah kumulatif data yang digunakan, magnitudo rata-rata dan magnitudo terkecil dalam blok volume yang dikaji. Nilai b adalah kemiringan garis lurus yang dinyatakan oleh persamaan (1). Nilai b dari hubungan frekuensi-magnitudo gempa, biasa dikenal juga sebagai b-value. Nilai b bergantung kondisi struktur, makin besar nilai b menggambarkan struktur makin tidak homogen.7) Pada daerah temperatur tinggi seperti dapur magma, dan daerah sumber geothermal menunjukkan nilai b tinggi.8) Dengan teknik grid 3-D dapat dibuat citra distribusi nilai b fungsi dari ruang dengan resolusi tinggi. Besarnya nilai b tiap grid dihitung dengan mengambil jumlah gempa tetap. Nilai b dihitung dari titik ke titik grid yang telah ditentukan dengan jumlah gempa sama tanpa memperhatikan luas daerahnya. Untuk mendapat citra nilai b dengan resolusi tinggi, digunakan interpolasi spline untuk memperoleh nilai b antara titik-titik grid. Nilai b yang mewakili masingmasing titik adalah nilai b yang tingkat kepercayaanya (goodness of fit) lebih dari 90 %. Magnitudo minimal tiap volume, Mc > 4,5. Persamaan tingkat kepercayaan dinyatakan dengan 9)
⎞ ⎛ ∑ |Bi − Si | ⎟ ⎜ R(a, b, M ) = 100 − ⎜ Mi S 100 ⎟ i ∑ ⎟ ⎜ i ⎠ ⎝ M max
8)
Bi dan Si masing-masing adalah jumlah gempa kumulatif dengan magnitudo Mi yang teramati dan yang terprediksi. Dalam studi ini diambil daerah Bali dan sekitarnya 112 o -118 o BT dan 6 o -12 o LS. Ukuran grid horizontal 0,5o x 0,5o dan tebal tiap lapisan 30 km, dari permukaan sampai kedalaman 600 km (Gambar 2).
JMS Vol. 9 No. 3, September 2004
275
Gambar-2 : Grid 3-D wilayah studi distribusi nilai b untuk daerah Bali dan sekitarnya. Ukuran grid horizontal 0,5o x 0,5o dan tebal tiap lapisan 30 km, dari permukaan sampai kedalaman 600 km. 4. Diskusi dan Kesimpulan Distribusi horizontal nilai b di Bali dan sekitarnya tampak bervariasi tiap lapisan (Gambar 3a - d). Variasi nilai b untuk katalog gempa yang
berbeda memperlihatkan kisaran nilai yang berbeda pula, hal ini berkaitan dengan perioda waktu katalog yang digunakan. Nilai b pada daerah aktif berubah terhadap waktu4).
Gambar 3 : Distribusi b-value di Bali dan sekitarnya. (a), (b), (c) dan (d) masing-masing adalah citra b-value pada kedalaman 90, 120,150 dan 180 km yang diperoleh dari katalog USGS. Segitiga warna merah menunjukkan gunung api.
276
JMS Vol. 9 No. 3, September 2004
Dengan teknik yang kita sebut moving window, menentukan b-value dengan perioda waktu tetap dan bergerak ke depan dari tahun ke tahun,
diperoleh (secara kualitatif) bahwa b-value di beberapa tempat yang aktif kegempaan-nya, berubah terhadap waktu (Gambar 4).
Gambar 4 : Peta distribusi b-value pada kedalaman 90 km dengan perioda data 10 tahun berdasarkan data USGS. (a), (b), (c), (d), (e) dan (f) masing –masing adalah citra b-value di Bali dan sekitarnya perioda 1989-1998, 19901999, 1991-2000, 1992-2001, 1993-2002 dan 1994-2003. Secara global, nilai b berkisar 0,67 – 1 dan tidak memperlihatkan adanya variasi pada beberapa Nilai b rata-rata daerah Bali dan tempat.(10) sekitarnya yang dihasilkan dari data kalalog USGS 1964-2000 pada wilayah 112o-118o BT dan 6o -12o LS sampai kedalaman 100 km adalah 1,08 2). Tabel 1 : Kisaran nilai b (b-value) dari tiga sumber data. Katalog BMG USGS Engdahl
Kisaran b-value 0,86 – 2,00 0,77 – 3,20 0,82 – 2,20
Perioda Waktu 1996 -2003 1970 - 2002 1964 - 2000
Hasil perhitungan nilai b dalam studi ini diperoleh anomali nilai b tinggi (b~3,0) tampak pada kedalaman 90 – 180 km di bawah gunung berapi Rinjani di Nusa Tenggara Barat, dan anomali nilai b rendah (b~0,77) di selat Bali pada kedalam 0-60 km (Gambar 3a-d). Keberadaan titik leleh (metling point) bagian lempeng tektonik yang menunjam, yang biasa dikenal dengan slab, secara teoritis pada kedalaman 90 km dibawah busur vulanik. Interpretasi model konvergensi batas lempeng tektonik di Jepang Baratdaya menunjukkan adanya bagian mantel peridotit yang
meleleh pada kedalaman 100-200 km tepat dibawah busur vulkanik(11). Model distribusi temperatur pada slab (model iasp91) memperlihatkan bahwa slab dibawah volcanic line sekitar 100 km di bawah tanah mempunyai temperatur sama dengan temperatur mantel sehingga terjadi lelehan bagian slab yang biasa dikenal zone of partial melting of basaltic magma.(11) Gambar 5(a) memperlihatkan potongan melintang arah U-S di bawah Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat. Anomali b-value tinggi dibawah busur vulkanik tampak jelas pada kedalaman sekitar 90-180 km di atas kelompok gempa (titik-titik hitam) yang merupakan zona Beniof-Wadati yang merepresentasikan slab. Gambar 5(b) memperlihatkan potongan melintang yang sejajar dengan palung Jawa (arah B-T), indikasi melting point (warna putih) tampak pada kedalaman 90-200, b-value tertinggi di bawah P. Lombok. Dari citra nilai b yang dihasilkan dapat ditarik kesimpulan bahwa anomali nilai b tinngi pada kedalaman 90-180 km dibawah gunung berapi Rinjani berkaitan dengan lokasi melting point slab lempeng oseanik Hindia di bawah Pulau Lombok. Bagian materi yang meleleh terangkat ke atas karena densitasnya lebih kecil dari densitas sekitarnya (mantel atas) ditunjukan dengan nilai b tinggi di atas
JMS Vol. 9 No. 3, September 2004
slab. Distribusi b-value tinngi naik ke atas menuju posisi gunung berapi (Gambar 5). Nilai b tinggi di bawah gunung Rinjani merepresentasikan adanya
277
materi panas yang berada dikenal dengan magma.
di
bawahnya,
yang
Gambar 5 : a) Cross section U-S pada 116,5 BT, tegak lurus dengan palung Jawa ( Java trench). Garis tebal adalah estimasi bentuk slab. b) Cross section arah B-T, sejajar dengan palung (trench). Segitiga dan titik-titik hitam masing-masing adalah gunung berapi dan hiposenter. Daftar Pustaka : 1.
2. 3.
4.
5.
Puspito, N.T., & Shimazaki, K., “Mantel structure and seismotectonics of the Sunda and Banda arcs”, Tectonophysics, 251, 215228, (1995). Gunawan, M.T., & Wandono, “Tinjauan Statistik Resiko Gempa di Indonesia”, Year Book Mitigation 2000 , Ristek RI, (2001). Wiemer, S., Wyss M., & McNutt, S.R., “Temporal and three-dimensional spatial analysis of frequency-magnitude distribution near Long Valley Caldera, California”, Geophys. J. Int., 134, 409-421, (1998). Engdahl, E.R., Van der Hilst, R.D., & Buland, R., “Global teleseismic earthquakes relocation with improved travel times and procedures for depth determination”, BSSA, 88, 3, 722-743, (1998). Welkner, P., “Statistical Analysis of Earthquake Occurrence in Japan 1926-1956”, Bull. IISEE, 2, 1-27, (1965).
6.
Mogi, K., “Earthquakes and Fractures”, Tectonophysics, 5, 35-55, (1967). 7. Aki, K., “Maximum likelihood estimate of b value in the formula log N = a-bM and its confidence limit”, Bull. Erthq. Res. Inst., 43, (1965). 8. Wiemer, S., McNutt, S.R., & Wyss, M., Shimazaki, K., “Variation in the FrequencyMagnitude Distribution in Volcanic Areas”, http://seismo.ethz.ch/staff/stefan/stefan_ETHZ. html. 9. Wiemer, S., & Wyss, M., “Minimum Magnitude of Completeness in Earthquake Catalog; Examples from Alaska, the Western US and Japan”, BSSA., 90, 4, 859-869, (2000). 10. Lay, T. & T.C. Wallace, “Earthquake Statistics”, Modern Global Seismology, Academic Press San Diego, 392-393, (1995). 11. Kearey, P. & Vine, F.J., “Subduction zones”, Global Tectonics, Blackwell Scientific Publication London, 144-179, (1990).