ANALISIS HASIL PEMERIKSAAN BPK TERHADAP PT. KERETA API INDONESIA
BAGIAN ANALISA PEMERIKSAAN BPK DAN PENGAWASAN DPD BEKERJASAMA DENGAN TENAGA KONSULTAN Dr. HENDRI SAPARINI
I. PENDAHULUAN Kereta api adalah salah satu moda transportasi yang bersifat massal, berdaya angkut tinggi, dan memiliki tingkat keamanan yang tinggi. Oleh sebab itu, kereta api – termasuk trem – banyak digunakan di berbagai negara. Bahkan saat ini, beberapa negara mengoperasikan Kereta api super cepat yang dapat menempuh ratusan kilometer per jam seperti Shinkansen di Jepang, TGV di Perancis, dsb. Sejarah perkeretapian di Indonesia dimulai pada tangggal 17 Juni 1864 dengan dimulainya pembangunan rel kereta api antara Kemijen-Tanggung oleh pemerintah Kolonial Belanda. Setelah diambil alih oleh pemerintahan pendudukan Jepang, Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) mengambil alih pada tahun 1945, tepatnya tanggal 28 September dan pengelolan kereta api dilakukan oleh Djawatan Kereta Api. Lembaga pengelola kereta api tersebut berubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) pada tahun 1963 berdasarkan PP. No. 22 tahun 1963. Kemudian, diubah namanya menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api pada tangal 15 September 1971, yang dalam perkembangannya kemudian berkembang menjadi Perumka pada tanggal 2 Januari 1991 berdasarkan PP. No. 57 tahun 1990. PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) adalah perusahaan negara yang didirikan berdasarkan PP. No. 19 Th. 1998 dan Keppres No. 39 Th. 1999. PT KAI didirikan untuk mengelola salah satu sarana transportasi publik yang memiliki daya angkut tinggi dan ekonomis, sebagai sarana mobilitas publik dan penunjang kegiatan ekonomi. Meskipun memiliki nilai strategis secara sosial dan ekonomi, perkeretapian di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat lambat. Jangankan memiliki kereta api super cepat seperti Shinkansen, bahkan panjang jaringan kereta api cenderung stagnan. Seperti diketahui, Shinkansen generasi pertama di Jepang sudah dikembangkan sejak tahun 1964. Lambatnya perkembangan perkeretapian di Indonesia di sebabkan oleh kelemahan-kelemahan internal PT KAI dan kelemahan kebijakan pemerintah. Pada tahun 1939, panjang jalan KA di Indonesia sudah mencapai 6.811 km. Akan tetapi, pada tahun 1950 panjang jalan kereta api di Indonesia berkurang menjadi 5.910 km. Bahkan pada tahun 1999 berkurang lagi hingga hanya sekitar 4.615,918 km. Analisa terhadap hasil temuan Badan Pemerikasa Keuangan (BPK) atas laporan PT KAI – yaitu Laporan Biaya Perolehan Aset, Pemeliharaan Sarana dan Prasarana, PMN serta Pelaksanaan PSO, IMO dan TAC Pada PT Kereta Api (Persero) Tahun Anggaran 2006 – hanyalah salah satu langkah untuk memberikan rekomendasi agar Kinerja PT KAI di masa yang akan datang bisa lebih baik. Akan tetapi yang lebih penting adalah rekomendasi agar sistem perkeretapian nasional menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Sistem perkerataapian nasional saat ini sudah sangat jauh tertinggal dari negara-neara maju, baik dari sisi kecepatan, keamanan, kenyamanan maupun daya angkut penumpang dan manusia. II. HASIL TEMUAN BPK ATAS LAPORAN PT KAI Sejak tahun 2000, pemerintah melaksanakan program Public Service Obligation (PSO), Infrastructure Maintenance and Operation (IMO) dan Track
2
Acces Charge (TAC) yang terkait dengan kegiatan PT KAI. Ketentuan umum yang menjadi dasar pelaksanaan program-program tersebut adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) Menhub, Menkeu dan Meneg Renbangnas/Kepala Bappenas tahun 1999 dan SKB Dirjen Hubdat, Dirjen Anggaran dan Deputi Kepala Bappenas Bidang Prasarana yang ditandatangani tahun 1999. PSO adalah pembiayaan pemerintah atas pelayanan umum angkutan kereta api penumpang kelas ekonomi. Jadi PSO adalah subsidi peperintah yang dihitung berdasarkan selisih antara biaya operasional penumpang kelas ekonomi dan tarif ekonomi penumpang kelas ekonomi yang ditetapkan pemerintah. IMO adalah biaya yang ditanggung oleh pemerintah untuk perawatan dan pengoperasian prasarana perkeretaapian yang dimiliki pemerintah dan dilimpahkan kepada PT KAI sebagai penyelenggara. Biaya tersebut meliputi perawatan dan pengoperasian jalan kereta api, jembatan, terowongan, wessel, sistem persinyalan dan telekomunikasi. TAC adalah biaya yang harus dibayar oleh penyelenggara kereta api (PT KAI) kepada pemerintah atas prasarana perkeretapian yang dimiliki pemerintah. TAC adalah Pendapatan negara Bukan pajak yang harus disetorkan kepada pemerintah oleh PT KAI. Uraian a. b. c. d. e. f.
PSO IMO TAC PSO,IMO dan TAC (a+b-c) APBN + ABT PSO, IMO, dan TAC yang ditanggung PT KAI
2001 530.0 421.0 608.0 343.0 60.0 283.0
2002 389.9 461.0 593.1 257.8 60.0 197.8
Tahun 2003 343.6 546.6 535.6 354.6 106.2 248.4
2004 367.9 538.3 502.4 403.7 225.0 178.7
2005 594.1 585.0 624.1 555.5 270.0 285.1
Jumlah 2225.5 2551.9 2863.2 1914.6 721.2 1193.0
Berdasarkan tabel tersebut di atas, anggaran pemerintah tahun 2001-2005 dapat diketahui bahwa anggaran pemerintah untuk PT KAI (PSO dan IMO) selalu selalu lebih rendah dari kewajiban pemerintah. 1. Mekanisme pelaksanaan subsidi Infrastructure Maintenance and Operation (IMO) dan pungutan Track Access Charges (TAC) di PT KA tidak sesuai aturan. a. Mekanisme tersebut belum sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Direktur Jenderal Anggaran dan Deputi Kepala Bappenas Bidang Prasarana yang mengakibatkan penerimaan TAC dan pengeluaran IMO tidak tercatat dalam APBN (out of budget). Pelanggaran tersebut dilakukan baik oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Perhubungan yang lalai memberikan biaya IMO yang seharus diberikan langsung kepada PT KAI dan PT KAI yang tidak menyetorkan TAC langsung kepada pemerintah namun terlebih dahulu digunakan untuk membayar biaya IMO dan PSO. Padahal pelanggaran ini sudah berlangsung sejak tahun 2000. Tindakan di atas bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 3 ayat (5) yang menyatakan bahwa semua
3
penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN. Item Pungutan Track Access Charges (TAC) Biaya Infrastructure Maintenance and Operation (IMO) Biaya Public Service Obligation (PSO) Rugi Subsidi PSO Kekurangan
Nilai (Rp juta) 746,530.83 693,039.39 638,235.50 -584,744.06 450,000.00 -134,744.06
Selama ini biaya-biaya PSO, IMO dan TAC hanya ada dalam perhitungan PT KAI dan tidak ada transfer dana riil. Dengan demikian PSO dan IMO yang menjadi kewajiban negara dan TAC yang merupakan kewajiban PT KAI tidak masuk di dalam APBN. Jika PSO dan IMO dibayarkan kepada PT KAI, dana tersebut dapat dimanfaatkan oleh PT KAI sebagai biaya operasional, atau modal kerja, pada tahun bersangkutan. b. Penyebab Kerugian PT KAI Biaya yang ditanggung oleh PT KAI lebih besar dari subsidi yang diberikan. Sementara subsidi yang dianggarkan tergantung pada besarnya jumlah penumpang hingga 90% total kapasitas. Namun faktanya jumlah penumpang (tingkat okupansi) hingga tahun 2006 selalu rendah. Akibatnya subsidi pun rendah. Ketika nilai subsidi lebih rendah dari biaya operasional maka PT KAI mengalami kerugian. Inilah konsekuensi jika yang disubsidi itu adalah penumpang bukan biaya operasional. Dengan mekanisme seperti ini maka PT KAI dituntut untuk menggenjot peningkatan jumlah penumpang dan mengefisienkan biaya operasional atau dengan meminta pemerintah menaikkan tarif tiket penumpang. Tahun
1 2002 2003 2004 2005 2006
Kapasitas Dinamis (Pencapaian Pendapatan PT KAI) (%) 2 67 69 65 66 82
Kapasitas tersedia yang tidak disubsidi Pemerintah 3 = (90%-2) 23 21 25 24 8
Sebagai transportasi publik maka pilihannya hanya pada efisiensi dan peningkatan jumlah penumpang. Disinilah peran PT KAI untuk membenahi manajemen operasional menjadi sangat penting. Bukan sebaliknya karena selalu merugi maka kualitas layanannya makin rendah sehingga minat masyarakat untuk menggunakan kereta api menurun. Jika hal ini terjadi maka pendapatan justru akan semakin mengecil dan perusahan akan semakin merugi. Jika PT KAI sebagai operator tidak meningkatkan performanya maka pemerintah dapat saja mencabut izinnya dan melakukan general tender kepada
4
perusahaan mana saja yang bisa beroperasi lebih efisien sebagaimana yang dilakukan di negara lain namun tetap meningkatkan jumlah subsidi agar kereta api sebagai moda transportasi publik yang murah dan nyaman bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini, perluasan jaringan kereta api adalah salah satu tugas pemerintah dalam rangka menyediakan sarana transportasi masal yang murah, aman dan terjadwal. 2. Pemeliharaan prasarana kereta api tidak dilakukan dengan baik dan tidak berdasarkan prosedur Hal tersebut disebabkan PT KAI dan Departemen Perhubungan dalam hal ini Dirjen Perkeretaapian tidak menaati ketentuan yang berlaku sehingga belum tersedia pos anggaran subsidi IMO dan pungutan TAC di APBN. Padahal sebagaimana yang dinyatakan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Direktur Jenderal Anggaran dan Deputi Kepala Bappenas Bidang Prasarana No.SK.95/HK.101/DRJD/1999, No.Kep.37/A/1999 dan No.3998/D.IV/06 tanggal 28 Juni 1999 tentang Kriteria, Tolok Ukur dan Mekanisme Pembiayaan atas Pelayanan Umum Angkutan Penumpang Kereta Api Kelas Ekonomi, Pembiayaan atas Perawatan dan Pengoperasian Prasarana Kereta Api serta Biaya atas Penggunaan Prasarana Kereta Api yang antara lain menyatakan (Pasal 24 dan 25) mekanisme IMO sebagai berikut: a) Departemen Perhubungan mengusulkan IMO ke Departemen Keuangan dan/atau Bappenas untuk memperoleh alokasi anggaran. b) Deputi Kepala Bappenas Bidang Prasarana dan/atau Dirjen Anggaran Depkeu mengevaluasi dan menyetujui penetapan alokasi anggaran sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Karena IMO tidak dibayarkan kepada PT KAI, seperti telah disebutkan di atas, maka PT. KAI mengalami kekurangan dana untuk membiaya operasinya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika perawatan prasarana kereta api terganggu dan berakibat pada turunnya tingkat keamanan dan keandalan moda transportasi ini. 3. Sistem adiministrasi PT KAI dan Departemen Perhubungan belum sesuai standar Hal ini terlihat dari Laporan Inventaris Tahunan kekayaan milik negara yang dikelola PT KA tidak tertib dan terdapat aset milik negara yang belum tercatat minimal sebesar Rp499.827,45 juta, AUD$115.318,00 ribu dan £20.272,58 ribu sehingga mengakibatkan nilai Barang Inventaris Milik Negara yang dikelola PT KA belum dilaporkan secara keseluruhan sehingga Laporan Tahunan Departemen Perhubungan tidak sesuai dengan kenyataan. Penyebabnya adalah sistem Sistem Akuntansi Barang Milik Negara belum diterbitkan secara lengkap sehingga tidak mencakup beberapa aset yang dikelola oleh PT. KAI. Ini menunjukkan masih lemahnya sistem pencatatan aset negara. Sebenarnya kesalahan ini terletak pada Departemen Perhubungan dimana Berita Acara Serah Terima (BAST) proyek tidak selalu diterima. Kalaupun diterima maka beberapa item aset dan nilainya tidak dicantumkan.
5
4. PT. KAI kurang optimal memelihara dan memanfaatkan aset negara: a. Pembiaran terhadap tanah yang dikuasai pihak lain -
Hingga saat laporan BPK diterbitkan Tanah dan bangunan PT KA dikuasai pihak lain mencapai 9.217.634,93 M2 atau 3,16% dari seluruh luas tanah dengan nilai buku dalam laporan keuangan Rp402.782.003,00 yaitu:
No. 1 2 3 4
-
Uraian Dikuasai Swasta/Penduduk Dikuasai Pemerintah Daerah Dikuasai Instansi Pemerintah Dikuasai BUMN/BUMD
Tanah & Bangunan (M2) 4.282.951,07 4.013.492,36 688.741,00 232.450,50 9.217.634,93
% 46,5 43,5 7,5 2,5 100
Tanah PT KA yang telah bersertifikat mencapai 113.158.371,00 M2, sedangkan tanah yang belum bersertifikat seluas 178.479.032,98 M2, yang tersebar di Jawa dan Sumatera.
b. Kurang serius dalam menangani sengketa dengan pihak ketiga -
penyelesaian proses KSO antara PT KA dengan PT Senopati Perkasa di Surabaya berlarut-larut sehingga mengakibatkan kompensasi yang diterima PT KA sudah tidak sesuai lagi dengan kelayakan kondisi saat ini dan menyebabkan perusahaan kehilangan kesempatan PT KA untuk memperoleh pendapatan
-
piutang bongkar sebesar Rp1.796,19 juta kepada PT Bukit Asam (Persero) sejak tahun 2004 yang masih bersengketa sehingga berpotensi tidak tertagih.
c. Potensi kolusi akibat nilai sewa yang lebih rendah dari harga wajar - Sewa tanah dan bangunan dibawah harga yang ditetapkan Direksi yaitu sewa tanah oleh PT Excelcomindo Pratama (PT EP) dan sembilan kontrak sewa tanah di PT KA Sub Divre III.1 Kertapati Sumatera Selatan sehingga nilai kontrak PT KA lebih rendah sebesar Rp856,82 juta. - Pendapatan sewa ruangan PT KA Daop I seluas 149,54 m2 di Stasiun Gambir, Jakarta lebih rendah sebesar Rp310,92 juta dari yang seharusnya dapat diperoleh. d. Kelalaian dalam menyusun dan memperpanjang kontrak, menagih bea sewa dan mengawasi proyek -
Kontrak perjanjian pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) milik PT Pertamina antara PT KA dengan PT Satria Saka Pratama tidak memadai sehingga biaya perawatan ketel dan kegiatan tera ketel yang dikeluarkan PT KA tidak dapat diyakini kewajarannya,
-
Sewa tanah antara PT KA dengan DPU Provinsi DKI Jakarta belum diperpanjang yang mengakibatkan denda keterlambatan pembayaran sewa tidak diterima untuk tahun pertama dan tahun kedua masing-
6
masing sebesar Rp33,24 juta dan Rp24,38 juta, penerimaan sewa tanah tahun kedua sebesar Rp487,53 juta tidak terealisir, -
PT KA belum menerima pendapatan sewa tanah dan denda minimal sebesar Rp128,76 juta serta tidak adanya kejelasan status tanah yang masih digunakan PT Kendiva.
-
Status pengelolaan tanah milik PT KA seluas 8.463 M2 di Pekalongan tidak jelas dan berpotensi menjadi tuntutan litigasi sehingga mengakibatkan pendapatan sewa tanah untuk periode Maret 2006 s.d. November 2007 tidak dapat diterima minimal sebesar Rp322,02 juta, denda keterlambatan sebesar Rp26,83 juta belum diterima PT KA. Dengan demikian penerimaan PT KA disajikan kurang (understated) sebesar Rp348,85 juta.
-
Penyelesaian pekerjaan pengadaan dan pemasangan jaringan Radio Link 7/8 GHz untuk Serdang – Prabumulih oleh CV Permadani terlambat dari jadwal yang ditetapkan sehingga, s.d. pemeriksaan fisik tanggal 19 Nopember 2007, jaringan Radio Link 7/8 GHz untuk Serdang – Prabumulih belum dapat difungsikan dengan baik.
e. Manajemen persediaan dan pengadaan barang yang kurang baik -
persediaan tidak terpakai di PT KA per 31 Desember 2006 senilai Rp29.819,62 juta. Akibatnya dana PT KA tertanam di persediaan selama lima tahun lebih tanpa memberikan manfaat.
-
permintaan dan pengeluaran atas bahan dan suku cadang di BY Manggarai dan BY Yogyakarta masing-masing sebesar Rp7.448,02 juta dan Rp4.491,15 juta diragukan penggunaannya. Demikian pula pengeluaran bahan dan suku cadang senilai Rp1.480,85 juta yang mengatasnamakan kereta dan KRL yang tidak diperbaiki di BY Manggarai diragukan kebenarannya.
-
Pengadaan rem blok T.358 K di Unit Teknik Sarana PT KA Kantor Pusat tidak sesuai dengan spesifikasi teknik sehingga mengakibatkan PT KA mengalami kerugian minimal sebesar Rp796,00 juta,
-
Proyek Departemen Perhubungan berupa penggantian jembatan baja dengan Box Culvert di BH 6A KM 2+020 Tanjung Priok yang didanai oleh PT KA Sebesar Rp620,45 juta belum bermanfaat. Hal ini disebabkan ijin pelaksanaan dari PT JICT belum ada dan pembebasan lahan menuju pelabuhan belum selesai.
Managemen PT KAI perlu memperbaiki sistem managemen dan pengawasan agar tercapai optimalisasi asset dan efisiensi biaya operasional. Berdasarkan beberapa temuan di atas, terdapat masalah yang cukup serius dalam hal pengelolaan asset PT KAI, terutama dalam perencanaan dan pengawasan. Untuk menyelesaikan malah asset-aset PT KAI yang dikuasai oleh pihak lain, peran pemerintah sangat besar karena sebagai contoh, sekitar 53,5% tanah dan bangunan PT KAI dikuasai oleh pemda, lembaga pemerintah dan BUMN/BUMD. Pemerintah perlu mempertimbangkan ketentuan/peraturan
7
agar pemanfaatan asset-aset PT KAI tersebut dapat memberi nilai tambah dan kemudahan bagi operasional PT KAI. III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan analisa ringkas di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja yang masih rendah dari PT KAI disebabkan oleh faktor: pertama, internal perusahaan yaitu kinerja dan sistem managemen yang belum optimal. Kelamahan ini terlihat dari, misalnya: ketidaktaatan terhdap ketentuan yang berlaku, pengadaan barang yang tidak terencana, pengelolaan barang yang tidak terkendali, pengelolaan aset yang tidak maksimal, kontrak kerjasama yang lemah, dsb. Sementara faktor kedua adalah kebijakan pemerintah yang masih lemah, sebagai contoh: mekanisme pengajuan IMO yang tidak dilaksanakan dengan baik, kebijakan transportasi terpadu yang masih lemah, sistem pengawasan yang masih lemah, sistem perkerataapian yang tidak dikempangkan secara opimal, dsb. Kebijakan pemerintah yang lemah tersebut tidak saja berpengaruh terhadap kinerja PT KAI, tetapi juga terhadap sistem dan jaringan perkeretaapian nasional, bahkan terhadap sistem angkutan secara umum. Agar kinerja PT KAI dapat meningkat dan sistem perkeretaapian nasional dapat berkembang, beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak terkait: 1. Pemerintah sebagai pejabat pubik seharusnya taat pada aturan yang benar. Oleh karena itu pemerintah dalam hal ini Dephub seharusnya melakukan pembayaran PSO dan IMO kepada PT KAI tanpa harus menunggu hasil pengurangan dari TAC yang diperoleh oleh PT KAI. Dengan demikian PT. KAI juga harus menyetor seluruh pendapatan dari TAC tanpa harus mengurangkan dengan biaya PSO dan IMO. Pembayaran PSO dan IMO oleh pemerintah kepada PT KAI dapat berdampak positif karena dana tersebut dapat digunakan untuk biaya operasional PT KAI. 2. Besaran PSO sebaiknya dihitung berdasarkan biaya operasional kereta api (Rp/km) untuk kereta api penumpang. Subsidi hanya diberikan untuk kereta api ekonomi, baik dalam kota maupun antar kota/propinsi. 3. Diperlukan pembenahan terhadap aturan yang berlaku. Yang lebih penting lagi adalah penegakan peraturan tersebut. 4. Pemerintah seharusnya meningkatkan subsidi bagi PT KAI sehingga kualitas dan kuantitas fasilitas dan prasarana yang dimiliki Pemerintah yang dikelola oleh PT KAI dapat lebih baik sehingga Kereta Api dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat dengan nyaman dan murah. 5. PT KAI harus ditindak dengan keras atas berbagai kelalaian dan kelambanannya dalam menjalankan berbagai tanggungjawab yang diembannya antara lain pembiaran terhadap aset-aset tanah yang tidak bersertifikat dan dikuasai oleh pihak lain, penyelesaian berbagai konflik dengan pihak lain, penagihan piutang, pengawasan proyek yang berjalan. Sebaliknyapemerintah juga harus dapat memberikan apresiasi kepada PT KAI jika dapat memenuhi tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
8
6. PT KAI perlu meningkatkan kualitas SDM yang dimiliki sehingga pelayanan, pemeliharaan dan pengadaan sarana dan prasrana perkeretaapian lebih optimal. 7. Tingkat okupansi yang lebih rendah dari yang ditetapkan pemerintah harus dikaji oleh PT KAI agar dapat diperoleh solusi yang terbaik. Jika dilihat dari perkembangan alat transportasi saat ini, kereta api adalah salah pilihan moda trsnaportasi darat massal yang ekonomis dan relatif paling aman. Jadi, tingkat okupasinya seharusnya masih bisa ditingkatkan lagi. Yang terpenting dari berbagai faktor tersebut adalah perubahan paradigma dalam penyusunan kebijakan perkeretaapian nasional pada khususnya dan kebijakan transportasi pada umumnya. Perubahan paradigma tersebut harus diarahkan untuk tersedianya sarana angkutan massal yang handal (cepat, aman, tepat waktu, ekonomis) sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
9