Ke DAFTAR ISI Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir PTNBR – BATAN Bandung, 3 Juni 2009
Tema :
Peningkatan Peran Iptek Nuklir untuk Kesejahteraan Masyarakat
ANALISIS FLUKS KALOR PADA CELAH SEMPIT ANULUS DENGAN VARIASI TEMPERATUR AWAL MENGGUNAKAN BAGIAN UJI HeaTiNG-01 Mulya Juarsa1, Efrizon Umar2, Andhang Widi Harto3 1
PTRKN BATAN, Gd.80 Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310 2 PTNBR BATAN, Jl. Tamansari 71, Bandung 40132 3 Jurusan Teknik Fisika Fakultas Teknik UGM, Jl. Grafika No.2 Yogyakarta Email:
[email protected]
ABSTRAK. ANALISIS FLUKS KALOR PADA CELAH SEMPIT ANULUS DENGAN VARIASI TEMPERATUR AWAL MENGGUNAKAN BAGIAN UJI HeaTiNG-01. Eksperimen untuk memahami kompleksitas pendidihan pada celah sempit yang terjadi dalam kecelakaan parah di PLTN TMI-2 perlu dilakukan untuk memperkuat pemahaman manajemen kecelakaan. Penelitian bertujuan untuk memperoleh nilai fluks kalor dan fluks kalor kritis (CHF) selama proses perpindahan panas pendidihan pada celah sempit anulus. Metode penelitian yang dilakukan adalah eksperimen menggunakan bagian uji HeaTiNG-01. Eksperimen dilakukan dengan memanaskan batang panas hingga mencapai temperatur awal batang panas tertentu, untuk penelitian ini tiga variasi temperatur awalnya ditetapkan pada 650oC, 750oC dan 850oC. Kemudian proses pendinginan pada batang panas oleh air bertemperatur saturasi direkam berdasarkan data perubahan temperaturnya. Data temperatur digunakan untuk memperhitungkan nilai fluks kalor dan wall superheat sehingga dapat didefiniskan melalui kurva didih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, meskipun temperatur awal batang panas berbeda namun nilai CHF hampir sama dengan rata-rata CHF 253,7 kW/m2 dengan perubahan hanya 4,7%. Perisitiwa pendidihan pada celah sempit tidak termasuk kategori didih kolam dengan membandingkan area didih film hasil eksperimen menggunakan korelasi Bromley. Kata kunci: kecelakaan parah, anulus, fluks kalor, CHF
ABSTRACT. THE HEAT FLUX ANALYSIS IN AN ANNULUS NARROWS GAP WITH INITIAL TEMPERATUR VARIATIONS USING HeaTiNG-01 TEST SECTION. An experiment to understand the complexity of boiling phenomena on a narrow gap, which has occurs in severe accident at TMI-2 NPP is necessary to be done in aimed to increase the understanding of accident management. The goal of research is to obtain a heat flux and critical heat flux (CHF) value during boiling heat transfer process in a narrow gap annulus. The method of research is experimental using HeaTiNG-01 test section. The experiment has been done with heating-up heated rod until a certain initial temperature, for this experiment, three initial temperature variations was decided at 650oC, 750oC dan 850oC. Then, a cooling process in heated rod by saturated water was recorded based on temperature data changes. Temperature data was used to calculate a value of heat flux and wall superheat temperature, until the results could be defined in boiling curve. The result of this research shows that, althought the initial temperature of heated rod was different, the value of CHF is almost similar with CHF average 253.7 kW/m2 with the changes of only 4.7%. The event of boiling in a narrow gap is not included pool boiling category based on the comparation of film boiling area of the experiment to Bromley correlations. Key words: severe accident, annulus, heat flux, CHF
72
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir PTNBR – BATAN Bandung, 3 Juni 2009
Tema :
Peningkatan Peran Iptek Nuklir untuk Kesejahteraan Masyarakat
fasa-ganda (air dan uap). Pendinginan berlangsung dengan lambat dan menjadikan debris mengalami pengerasan, yang dimulai dari bagian luar hingga ke bagian dalam. Celah yang terbentuk [3], bervariasi dari 0,3 mm hingga 2,0 mm dan dirata-ratakan menjadi sekitar 1,0 mm.
1. PENDAHULUAN Kejadian kecelakaan pada PLTN jenis PWR, Three Mile Island unit 2 (TMI 2) di Amerika pada tahun 1979 [1] telah menjadi acuan dasar dalam penelitian yang memperkuat konsep manajemen kecelakaan dan data untuk perbaikan desain reaktor nuklir. Kecelakaan tersebut termasuk kategori Beyond DBA dan disebut kecelakan parah (severe accident, SA) yang didefiniskan sebagai kecelakaan dengan akibat melelehnya teras reaktor. Klasifikasi fase dalam peristiwa SA [2] adalah fase in-vessel dan fase ex-vessel yang melibatkan kondisi ekstrim dan temperatur yang tinggi. Penelitian terkait konsekuensi dari peristiwa SA mensyaratkan eksperimen terskala dan simulasi numerik yang bertujuan untuk menjelaskan dan mengkaji proses perpindahan panas pendidihan (multiphase) yang kompleks. Sehingga pengetahuan dan pemahaman terhadap proses tersebut diperlukan sebagai metode pelengkap untuk pencegahan dan mitigasi konsekuensi yang ditimbulkannya sebagai dasar manajemen kecelakaan. Selama terjadinya pelelehan teras, bejana tekan reaktor (Reactor Pressure Vessel, RPV) telah mengalami gangguan termal (thermal attack) selama proses gerakan lelehan teras dari bagian atas ke bagian terbawah RPV, yang merupakan fase in-vessel retention. Pada skenario kecelakaan SA untuk TMI 2, saat lelehan teras (debris) bergerak ke bawah dimana bagian bawah RPV dianggap masih menyimpan air dan debris bersentuhan dengan air, maka penguapan terjadi secara ekstrim dan terjadi pengurangan kuantitas air, kemudian sebagian volume air berpindah akibat area air digantikan oleh volume debris. Sehingga, volume air yang terdorong ke arah berlawanan dengan arah gerak debris kembali lagi ke arah bawah dan memunculkan fenomena penggenangan ulang (reflooding) pada bagian celah yang terbentuk antara debris dan RPV. Gambar 1. memperlihatkan skema gerakan air yang pada awalnya naik ke atas (Gambar 1a) kemudian kembali ke arah bawah (Gambar 1b). Gambar 1a menjelaskan gerakan air ke arah atas karena adanya pergantian volume. Sedangkan Gambar 1b menjelaskan ketika debris terhenti dan membentuk celah karena adanya pendidihan yang cukup kuat menahan debris untuk tidak bergerak dan kemudian didinginkan oleh air yang kembali turun karena gravitasi. Proses pendinginan oleh air yang diindikasikan dengan pendidihan merupakan proses yang kompleks dan melibatkan fenomena
Gambar 1. Skema gerakan air saat debris bergerak ke bawah dan terhenti
Keadaan ekstrim yang diprediksikan dapat terjadi adalah kurangnya kuantitas air yang dapat mendinginkan debris dan akan berakibat terjadinya sentuhan antara debris dan dinding RPV sehingga perpindahan panas akan terjadi secara cepat yang serta merta akan melelehkan (sebagian) dinding RPV dan kebocoran radioaktif tingkat tinggi menuju basement containment tidak dapat dihindari. Peristiwa SA pada TMI 2 telah memberikan contoh konkrit, bahwa integritas reaktor dapat terjaga dengan baik. Selain menunjukkan bahwa jumlah volume air yang tersisa ketika sistem pendingin teras darurat gagal mendinginkan teras, kondisi tersebut telah menjadi parameter kunci dalam proses pendinginan debris. Penelitian terkait SA, khususnya perpindahan panas pada celah sempit telah memberikan kontribusi pada pengetahuan akan karakteristik rejim pendidihan yang terbentuk selama pendinginan pada celah sempit, yang banyak dilakukan oleh peneliti lain [4-8] yang tercakup dalam makalah terdahulu [9], sehingga kekurangan yang ada akan diperbaiki dan ditingkatkan dengan penelitian sejenis. Pada akhirnya, penelitian perpindahan panas pada celah sempit untuk geometri anulus perlu dilakukan untuk mempelajari watak fluks kalor yang muncul selama eksperimen dilakukan. Langkah awal penelitian ini dimulai dengan mengkonstruksi dan menguji peralatan eksperimen [10]. Penelitian terdahulu difokuskan pada karakterisasi pemanasan dan pendinginan baik radiasi tanpa air pendingin maupun dengan air pendingin. Pengujian pendinginan dengan air pendingin dilakukan
73
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir PTNBR – BATAN Bandung, 3 Juni 2009
Tema :
pada temperatur awal 850oC dan ukuran celah 2,0 mm. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis fluks kalor yang ditujukan untuk lebih memahami fenomena perpindahan pendidihan yang muncul berdasarkan perubahan temperatur awal batang panas. Analisis dilakukan berdasarkan pada kurva didih dan fluks kalor kritis (CHF) selama perpindahan panas pendidihan di celah sempit anulus yang berukuran 2,0 mm dengan tiga variasi temperatur awal batang panas menggunakan bagian uji HeaTiNG-01.
dengan melibatkan perubahan fasa dari fasa cair menjadi fasa uap. Bentuk fungsinya yang menunjukkan fluks kalor yang dipindahkan dari permukaan panas menuju pendingin versus panas lanjut ke arah dinding yang dikenal sebagai kurva didih. Eksperimen Nukiyama dilakukan pada kondisi tunak. 2.2. Rejim Didih Film (FB) Daerah didih film merupakan rejim dimana benda panas dalam hal ini batang pemanas tidak mengalami pembasahan, namun disekitarnya dikelilingi oleh lapisan film uap. Lapisan uap tersebut diprediksikan juga mengalami pergerakan (untuk kasus ini ke arah atas), sedangkan lapisan uap masih dilingkupi oleh air yang terus bergerak ke bawah. Sehingga untuk menganalisis digunakan perhitungan fluks panas pada rejim didih film menggunakan korelasi perpindahan panas pada celah anulus, untuk aliran uap laminer dengan angka Nusselt, Nu = 4,0 (untuk celah anulus), sebagai berikut:
2. TEORI Kategori proses pendinginan yang menimbulkan pendidihan pada peristiwa SA dapat dimasukkan ke dalam jenis pendidihan kolam (pool boiling), meski selama pendinginan telah terjadi aliran air yang diakibatkan gaya gravitasi. Analisis fluks kalor terkait peristiwa pendidihan dilakukan berdasarkan kurva pendidihan (boiling curve) yang diperoleh dari hasil perhitungan fluks kalor menggunakan data temperatur transien yang terukur selama eksperimen.
⎛k ⎞ q = Nu. ⎜ g ⎟ ΔTs ⎝δ ⎠
Kurva didih (boiling curve) dapat dijadikan dasar untuk mempelajari watak perpindahan panas pada celah sempit. Rejim pendidihan telah didefiniskan oleh Nukiyama [11] berdasarkan eksperimen pada pendidihan kolam (pool boiling) yang diperlihatkan pada Gambar 2.
q (W/m2)
Didih Inti
Didih Transisi
C
Didih Film
A
Kolom terisolasi
⎡ k g3 g ρ g ( ρ f − ρ g ) h fg ⎤ hB = C ⎢ ⎥ μ g ΔTs Lh ⎢⎣ ⎥⎦
FKK
1
4
(2)
E
qmak
B
(1)
dengan, kg adalah konduktivitas termal uap [W/m.K], δ adalah ukuran celah [m] dan ΔTs adalah wall superheat [oC atau K]. Sedangkan untuk membandingkan rejim didih film untuk kasus pendidihan pada celah sempit, digunakan korelasi yang dikembangkan oleh Bromley [13] untuk kasus eksperimen didih kolam dengan menggunakan pelat vertikal panas untuk memahami perpindahan panas didih film dan menghasilkan korelasi sebagai berikut:
2.1. Kurva Pendidihan
Konveksi bebas
Peningkatan Peran Iptek Nuklir untuk Kesejahteraan Masyarakat
untuk pelat vertikal C = 0,667 – 0,943. Dimana hB adalah koefisien perpindahan panas film Bromley [W/m2.K], hfg adalah panas laten penguapan [J/kg], ρ adalah massa jenis air (f) dan uap (g) [kg/m3], µg adalah viskositas dinamik uap [kg/m.s], g adalah percepatan gravitasi [m/s2], dan Lh adalah panjang area dipanaskan [m]. Kedua korelasi tersebut diperlukan untuk meyakinkan apakah kasus didih kolam dengan kasus pendidihan di celah sempit sama atau tidak sama.
qmin D
Didih film minimum
ΔTs (K) Gambar 2. Kurva pendidihan pada didih kolam [12]
Perpindahan panas pendidihan didefinisikan sebagai model perpindahan panas yang terjadi
74
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir PTNBR – BATAN Bandung, 3 Juni 2009
2.3. Fluks Kalor Kritis Ukuran Celah Sempit
dan
Tema :
-
Kasisikasi
Dalam penelitian ini akan digunakan korelasi fluks kalor maksimum (CHF, Critical Heat flux) yang dikembangkan oleh Chunlin Xia et al. [14]. qCHF =
h fg ⎡⎣σ g ( ρ f − ρ g ) ρ g2 ⎤⎦
Batang pemanas yang merupakan simulasi debris untuk geometri anulus, material yang digunakan adalah SS316 dengan panjang 1100 mm (heated length = 750 mm).
Plenum atas
0,25
(3)
⎛L ⎞ 4,59 + 0,11⎜ h ⎟ ⎝δ ⎠
Keramik pemanas Plenum bawah
dengan σ adalah tegangan permukaan [N/m] dan qCHF adalah fluks kalor kritis [W/m2]. Klasifikasi ukuran celah telah dikemukan oleh Kandlikar [15], meskipun pada kenyataannya efek yang muncul pada celah akan bergantung kepada sifat-sifat fluida, temperatur dan tekanannya. Klasifikasi ukuran celah adalah sebagai berikut, celah: konvensional mini mikro mikro transisional nano transisional nano molekular
Peningkatan Peran Iptek Nuklir untuk Kesejahteraan Masyarakat
Batang dipanaskan & tabung gelas kuarsa
support Kabel listrik
Kabel termokopel (14 bh)
Gambar 3. Foto bagian uji HeaTiNG-01
Kemudian 14 termokopel dipasang pada permukaan bagian luar batang pemanas yang digunakan untuk mengukur perubahan temperatur permukaan batang pemanas selama pendidihan berlangsung. Gambar 4 menyajikan posisi pemasangan termokopel. Untuk ukuran celah 2,0 mm dengan diameter dalam tabung gelas kuarsa 41 mm, maka batang panas yang digunakan adalah pipa silinder SS316 dengan diameter luar 37 mm dan tebal 8,5 mm.
: > 3 mm : 3 mm ≥ δ > 0,2 mm : 0,2 mm ≥ δ > 0,01 mm : 0,01 mm ≥ δ 0,001 mm : 0,001 mm ≥ δ > 0,0001 mm : 0,0001 mm ≥ δ
Definisi celah sempit sendiri merupakan celah yang mencakup ukuran celah mikro, celah mini dan celah konvensional dalam hal ini interval ukuran celahnya dimulai dari 0,02 hingga 3 mm. Kandlikar menganalisis perpindahan panas dan koefisien perpindahan panas selama didih aliran pada celah mikro yang terkait dengan aliran fluida dengan menggunakan angka Nusselt.
3. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental menggunakan bagian uji yang didesain dan dikonstruksi sendiri. Bagian uji yang digunakan dinamakan ”HeaTiNG-01” (Heat Transfer in Narrow Gap01). 3.1. Bagian Uji HeaTiNG-01 Gambar 4. Posisi 14 termokopel pada batang pemanas
Foto bagian uji HeaTiNG-01 dapat dilihat pada Gambar 3. Komponen utama bagian uji HeaTiNG-02 terdiri dari: - Plenum atas (tempat menampung air) - Tabung gelas kuarsa (p=1000 mm, OD=45mm, ID=41 mm)
Komponen lainnya adalah flange-flange dan material pengikat antara tabung gelas kuarsa dengan batang pemanas.
75
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir PTNBR – BATAN Bandung, 3 Juni 2009
Tema :
Peningkatan Peran Iptek Nuklir untuk Kesejahteraan Masyarakat
pertama kali air dimasukkan dari atas ke celah sempit hingga eksperimen berakhir, yaitu saat t = tf. Eksperimen ini dilakukan dengan tiga variasi parameter temperatur awal, yaitu 650oC, 750oC dan 850oC dengan masing-masing sekuen temperatur dilakukan sebanyak 2 kali. Sedangkan ukuran celah sempit sebagai parameter tetapnya adalah 2,0 mm.
3.2. Pelaksanaan Eksperimen Secara prinsip, eksperimen dilakukan terlebih dahulu memanaskan batang panas (heated rod) dengan menaikkan daya heater secara bertahap, kemudian ketika temperatur awal yang diinginkan tercapai, daya dimatikan. Panas akan meluruh tanpa adanya inputan daya. Sedangkan, pelaksanaan eksperimen secara umum terbagi dalam tahapan berdasarkan urutan kegiatannya (lihat Gambar 5).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
t= 0 Tahap 1. Pemanasan Awal
t = th
4.1. Evolusi Temperatur
t = to Tahap 2. Pendinginan Radiasi
Akhir pengamatan/ perekaman
Air dimasukkan
Keramik heater dibuka
heater dimatikan
heater dihidupkan
Keramik heater ditutup
t = t in
Ketika temperatur awal batang pemanas mencapai temperatur tertinggi dari salah satu titik termokopelnya, air yang bertemperatur saturasi (mendidih) kemudian digelontorkan ke dalam celah sempit anulus. Gambar 6, 7 dan 8 menunjukan kurva penurunan temperatur secara transien selama proses pendinginan berlangsung. Pendinginan disertai dengan golakan air pada bagian atas batang pemanas, dan timbulnya penetrasi air yang tertahan oleh uap. Uap terbentuk pada bagian bawah, mengingat air mengalir melalui dinding bagian dalam kuarsa tanpa menyentuh batang pemanas. Pertemuan muka air terjadi ditengah-tengah batang pemanas (disekitar TC5 dan TC6), dan pendidihan diakhiri ketika permukaan air yang berlawanan arah bertemu.
t = tf
Tahap 3. Eksperimen
Gambar 5. Diagram tahapan eksperimen perpindahan panas pada celah sempit
1000 950 900 850 800 750 700 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
ukuran celah
o
δ = 2,0 mm o
Ti = 650 C
Temperatur pada TC, Tw [ C]
Tahap 1: Pemanasan Awal Tahap pemanasan awal terbagi dalam tiga langkah, yaitu: 1. Langkah persiapan pemanasan Langkah 1a, persiapan pemanasan dimulai dengan ditutupnya keramik heater hingga heater dinyalakan. Langkah ini berlangsung hingga t = 0 (t menyatakan waktu). Pada Langkah 1a ini, temperatur dinding keramik heater masih sama dengan temperatur awalnya. 2. Langkah pemanasan Langkah 1b, pemanasan berlangsung mulai t = 0, yaitu saat heater dinyalakan hingga heater dimatikan, pada saat t = th, yaitu saat dimana temperatur awal yang diinginkan telah tercapai. 3. Langkah persiapan pembukaan keramik heater Langkah 1c, persiapan pembukaan keramik heater berlangsung pada saat heater telah dimatikan, yaitu saat t = th hingga keramik heater dibuka yaitu pada saat t = to.
posisi radial TC2a, TC2b dan TC2c awal FB pada TC6 posisi radial TC9a, TC9b dan TC9c
akhir FB pada TC6
0
100
200
300
400
500
600
TC1 TC2a TC2b TC2c TC3 TC4 TC5 TC6 TC7 TC8 TC9a TC9b TC9c TC10
700
800
waktu, t [detik]
Gambar 6. Kurva temperatur transien untuk ukuran celah 2,0 mm dan Ti=650oC
Tahap 2: Pendinginan Radiasi Tahap pendinginan radiasi dimulai sejak t = to yaitu sejak dibukanya keramik heater hingga saat t = tin yaitu saat air mulai dimasukkan dari atas (falling film) ke dalam celah sempit .
Identifikasi berdasarkan pola penurunan temperatur dapat menunjukkan pola pendidihan yang terjadi. Diindikasikan telah terjadi tiga macam pendidihan, yaitu didih film (FB), didih transisi (TB) dan didih inti (NB). Ketiga gambar tersebut memperlihatkan pola penurunan temperatur yang cukup ekstrim, dimana garis
Tahap 3: Eksperimen Tahap eksperimen dimulai sejak t = tin yaitu saat
76
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir PTNBR – BATAN Bandung, 3 Juni 2009
Tema :
temperatur yang rendah. Uap akan menahan laju penurunan air, selain faktor radiasi bisa dianggap masih berpengaruh. Gambar 9 menunjukkan tiga perbadingan kurva penurunan temperatur secara transien pada TC6 untuk tiga perbedaan temperatur awal. Meskipun awal dari FB sama, namun akhir FB (rewetting point) memiliki perbedaan. Rewetting point dapat disajikan pada Tabel 2.
penurunan temperatur untuk 3 termokopel yang sama posisi vertikalnya namun berbeda posisi angularnya (TC2a, TC2b dan TC2c di bagian atas, serta TC9a, TC9b dan TC9c di bagian bawah) ternyata hampir berhimpit. Kondisi ini menunjukkan bahwa perpindahan panas yang terjadi secara angular hampir sama untuk posisi horizontal. ukuran celah
Tabel 2. Perbedaan rewetting point
o
posisi radial TC2a, TC2b dan TC2c
awal FB pada TC6
posisi radial TC9a, TC9b dan TC9c
akhir FB pada TC6
0
100
200
300
400
500
600
TC1 TC2a TC2b TC2c TC3 TC4 TC5 TC6 TC7 TC8 TC9a TC9b TC9c
700
Ti (oC) 650 750 850
800
o
waktu, t [detik]
Gambar 7. Kurva temperatur transien untuk ukuran celah 2,0 mm dan Ti=750oC
ukuran celah
o
δ = 2,0 mm o
Ti = 850 C
awal FB pada TC6
Temperatur pada TC, Tw [ C]
1000 950 900 850 800 750 700 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
posisi radial TC2a, TC2b dan TC2c posisi radial TC9a, TC9b dan TC9c
akhir FB pada TC6
0
100
200
300
400
500
600
Trewet (oC) 578 626 690
trewet (detik) 285 299 305
ukuran celah
δ = 2,0 mm Posisi Termokopel, TC6 (450 mm) o
Ti = 650 C
awal FB pada TC6
o
Ti = 750 C o
Ti = 850 C akhir FB pada TC6
0
TC1 TC2a TC2b TC2c TC3 TC4 TC5 TC6 TC7 TC8 TC9a TC9b TC9c
700
1000 950 900 850 800 750 700 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Temperatur pada TC, Tw [ C]
o
δ = 2,0 mm
Ti = 750 C
Temperatur pada TC, Tw [ C]
1000 950 900 850 800 750 700 650 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Peningkatan Peran Iptek Nuklir untuk Kesejahteraan Masyarakat
100
200
300
400
500
600
700
800
waktu, t [detik]
Gambar 9. Kurva temperatur transien untuk tiga variasi temperatur awal
Untuk temperatur Leidenfrost (Trewet) pada kasus celah sempit terjadi dikisaran temperatur 500700oC, dan hal ini berbeda dengan yang diperoleh oleh Nukiyama yang berada pada kisaran 200-300oC (kasus didih kolam). Fluktuasi temperatur telah terjadi mulai awal pendinginan hingga Trewet.
800
waktu, t [detik]
Gambar 8. Kurva temperatur transien untuk ukuran celah 2,0 mm dan Ti=850oC
4.2. Fluks Kalor Pendidihan
Pola yang menunjukkan adanya perbedaan penurunan temperatur akibat perubahan rejim pendidihan juga diperlihatkan melalui Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8. Terlihat pula bahwa terjadi pergeseran waktu akhir dari FB, atau yang disebut sebagai titik pembasahan ulang (rewetting point). Untuk tiga temperatur awal yang makin tinggi memberikan konstribusi waktu yang semakin lambat (lihat TC6). Kondisi ini adalah suatu kewajaran, bahwa pada temperatur awal yang tinggi jumlah uap yang terbentuk jauh lebih banyak dibandingkan
Kemudian, data temperatur transien dari Gambar 9 (data temperatur pada posisi termokopel TC6) digunakan untuk menghitung fluks kalor. Hasil perhitungan dibuat dalam kurva pendidihan, yaitu fluks kalor versus selisih temperatur pengukuran dengan temperatur saturasi air (wall superheat) menggunakan pemecahan kasus persamaan diferensial 1 dimensi untuk distribusi temperatur transien pada silinder berongga. Korelasi yang
77
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir PTNBR – BATAN Bandung, 3 Juni 2009
Tema :
dengan kasus didih kolam, namun yang perlu diperhatikan adalah rejim didih film (FB) memiliki fluktuasi fluks kalor yang tinggi. Hal tersebut sekaligus mengindikasikan bahwa fluks kalor yang tertahan oleh lapisan film cukup besar dan jika hal ini berlangsung cukup lama serta dengan kuantitas fluks yang besar akan menyebabkan dilampauinya titik leleh benda. Namun pada penelitian ini, CHF tidak melampaui titik leleh benda.
digunakan dan syarat batasannya, adalah,
⎡ ∂ 2T 1 ∂T ⎤ ∂T =α ⎢ 2 + ∂t r ∂r ⎥⎦ ⎣ ∂r
(4)
Syarat batas:
∂T =0 ∂r
for r = rin
T = Tm
for
r = rout Tabel 3. Nilai CHF experimen dan Chun-Xia
dengan Tm adalah temperatur yang terukur oleh termokopel, α adalah difusitivitas termal, kemudian rin jari-jari dalam and rout jari-jari luar batang panas. Metode finite difference CranckNicolson dan tri-diagonal matriks algoritma digunakan untuk memecahkan Pers. (4). Dengan diperolehnya distribusi radial temperatur batang panas, nilai fluks kalor dapat dihitung menggunakan persamaan Fourier, sebagai berikut: q = −k
dT dt
r = rout
P O S IS I T E R M O K O P E L T C 6 (450 m m ) o
o
T i = 650 C NB
TB
FB
TB
NB
CH F
T i = 850 C TB
NB
FB
CHF
ΔTw (K)
650 750 850 Chunlin Xia (500oC)
247 249 265
87 115 107
229
-
FB
CH F
CH F
2
Fluks Kalor, q [kW/m ]
o
T i = 750 C
Ti (oC)
Tabel 3 memperlihatkan perbedaan nilai untuk tiga variasi temperatur awal batang pemanas, sehingga dengan membadingkan antara data CHF eksperimen dan CHF Chunlin Xia, diperoleh Gambar kurva CHF versus temperatur awal batang panas (Gambar 11). Gambar 11 memperlihatkan garis CHF Chunlin Xia berada pada korelasi garis hasil eksperimen. Kenaikan variasi temperatur awal batang, hanya memberikan gradien 0,09 kW/m2.oC. Dapat dikatakan bahwa, harga fluks kalor kritis pada perpindahan panas pendidihan di dalam celah sempit hampir tidak dipengaruhi oleh perbedaan temperatur awal batang panas. Kenaikan rata-rata hanya 4,7%..
(5)
Dengan k adalah konduktivitas termal batang panas [W/mK]. Sehingga dari hasil perhitungan diperoleh kurva didih, yaitu fluks kalor versus wall superheat yang merupakan selisih temperatur antara temperatur pembacaan (dinding) dengan air saturasi. Gambar 10 merupakan kurva pendidihan yang dihasilkan berdasarkan perhitungan.
1000
Peningkatan Peran Iptek Nuklir untuk Kesejahteraan Masyarakat
100
.0
2 .0
1 10
low rf po va ar min La
La
La
m in
min
ar
ar
va
va
po
po
rf
rf
low
low
, Nu =4
, Nu =4
10
100
1000 10
100
1000
10
wall superheat, Δ T w all [ C] o
100
1000
Fluks Kalor Kritis, qCHF[kW/m ]
TM FB , Nu =4
TM FB
.0
TM FB
1000
Gambar 10. Kurva pendidihan TC6 untuk masing-masing tiga variasi temperatur awal batang panas
CHF eksperimen CHF (Chunlin Xia, 1996)
qCHF = 186,167+0,09T
800
600
400
850oC
750oC
650oC 200
0 400
450
500
550
600
650
700
750
800
850
900
950 1000
o
Temperatur awal, Ti[ C]
Dari ketiga kurva pada Gambar 10 terlihat bahwa fenomena pendidihan pada celah sempit juga memiliki perbedaan rejim yang sama
Gambar 11. Kurva CHF versus temperatur awal batang panas
78
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir PTNBR – BATAN Bandung, 3 Juni 2009
Tema :
•
Meskipun kecepatan pencapaian rewetting point semakin lambat untuk kenaikan variasi temperatur awal batang panas, akan tetapi ketiga nilai fluks kalor kritis hampir sama dengan kenaikan gradien 0,09 kW/m2.oC atau hanya berubah 4,7%. Nilai rata-rata CHF dari eksperimen adalah 253,7 kW/m2. • Terjadi perbedaan panjang area didih film, dimana untuk temperatur awal yang tinggi akan menyebabkan area didih film yang lebih lama. • Peristiwa pendidihan pada celah sempit membuktikan ketidaksesuaian dengan peristiwa didih kolam yang diwakili oleh korelasi Bromley. Penelitian perlu dilakukan untuk variasi ukuran celah sempit dan diperlukan korelasi pembanding lainnya, sehingga dapat diperoleh korelasi baru yang sesuai dengan kondisi penelitian ini.
δ = 2.0 mm Posisi Termokopel TC6 (450 mm)
1000
2
Heat Flux, q [kW/m ]
o
Ti = 650 C
CHF
Chun-Xia CHF
o
Ti = 750 C o
Ti = 850 C
100
ml e Bro
y
TMFB
10
ina L am
1
r va
, flow por
10
0 =4. Nu
100
Peningkatan Peran Iptek Nuklir untuk Kesejahteraan Masyarakat
1000
Wall Superheat, ΔTwall [ C] o
Gambar 12. Kurva pendidihan TC6 gabungan tiga variasi temperatur awal batang panas
Kurva pendidihan pada Gambar 12 menunjukkan secara jelas bahwa fuks kalor kritis (CHF) yang tercapai hampir sama. Daerah didih film hasil eksperimen menunjukkan kesejajaran garis yang berasal dari korelasi aliran uap laminar untuk angka Nusselt = 4,0. Sedangkan didih film berada di bawah garis Bromley, yang memperjelas bahwa peristiwa perpindahan panas pendidihan pada celah sempit tidak sesuai untuk peristiwa didih kolam, meskipun kedua adalah kasus pada posisi vertikal. Daerah didih film memperlihatkan keadaan yang mirip noise, namun pola noise tetap teratur dan mengikuti garis korelasi aliran uap laminar. Keadaan mirip noise bisa disebabkan oleh keadaan yang berlangsung selama eksperimen dimana terjadi osilasi gerakan ke atas dan ke bawah dari uap dan air. Selain itu selama proses pendinginan awal hingga ke titik rewetting, temperatur turun disertai fluktuasi. Gerakan osilasi ke atas dan ke bawah tidak diketemukan pada kasus batang pemanas yang panjangnya hanya 300 mm[9]. Fenomena ini muncul untuk batang pemanas yang memiliki panjang 1100 mm (dengan area yang dipanaskan 750 mm). Instabilitas Taylor menjadi hal yang akan lebih menarik untuk dianalisis, terkait efek hambatan batasan aliran berlawan (Counter Cuurent Flow Limitation, CCFL) pengaruhnya semakin kuat.
6. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapakan terimakasih kepada Ka.PTRKN, dan Ka. BOFa atas dukungan moril dan pembinaan yang telah diterima. Kepada tim teknis dan kesekretariatan, ucapan terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya. Ucapan terimakasih atas dukungan dana melalui DIPA KNRT tahun anggaran 2007 (SK. Menristek No. 126/M/Kp/XI/2006 tanggal 17 Nopember 2006, perihal Program Insetif Riset Dasar KNRT 2007). Terima kasih kepada Dr. Hendro Tjahyono, atas koreksi dan sarannya terhadap perbaikan makalah ini.
7. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
5. KESIMPULAN 4. Hasil analisis fluks kalor pada kasus perpindahan panas pendidihan di celah sempit menggunakan bagian uji HeaTiNG-01 dan dengan tiga variasi temperatur awal batang panas, menyimpulkan bahwa:
79
US. NRC, (The Accident At Three Mile Island). Available: http://www.nrc.gov (2007). BROUGHTON, J.M. et al., A Scenario on The Three Mile Island Unit 2 Accident, Nuclear Technology, 87 (1) (1989). SEHGAL, B. R. et al., Investigation on melt-structure-water interaction (MSWI) during severe accident, SKI Report 99:42, Stockholm (1999). MONDE, M., KUSUDA, H. and UEHARA, H., Critical heat flux during natural convective boiling in vertical rectangular channels submerged in saturated liquid, Transactions of the ASME 104 (1082) 300-303.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir PTNBR – BATAN Bandung, 3 Juni 2009
Tema :
5.
CHANG, Y. and YAO, S. C., Critical heat flux of narrow vertical annuli with closed bottoms, Trans of ASME 105 (1983) 192195. 6. OHTAKE, H., KOIZUMI, Y. and TAKAHASHI, A., Study on rewetting of vertical-hot-thick surface by a falling film, JSME 64 (642) (1998) 181-189. 7. MURASE, M., KOHRIYAMA, T., KAWABE, Y., YOSHIDA, T. and OKANO, Y., Heat transfer models in narrow gap (Proc. of ICONE9), Nice, France (2001). 8. TANAKA, F., JUARSA, M., MISHIMA, K., Experimental study on transient boiling heat transfer in an annulus with a narrow gap (Proc. of ICONE 11), Tokyo, Japan (2003). 9. JUARSA, M., Master Thesis, Graduate School of Energy Science, Kyoto University, Japan (2003). 10. JUARSA, M. dkk., Penelitian eksperimental perpindahan panas pada celah sempit anulus: konstruksi dan
11.
12.
13.
14.
15.
Peningkatan Peran Iptek Nuklir untuk Kesejahteraan Masyarakat
pengujian alat, Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah 10:2, Desember (2007). NUKIYAMA, S., Maximum and minimum values of heat transmitted from metal to boiling water under atmospheric pressure, J. the Japanese Society of Mechanical Engineering 37 (1934) 367. G. SATISH, M. SHOJI, K. VIJAY, VIJAY K. DHIR, “Handbook of Phase Change: Boiling and Condensation”, Taylor and Francis (1999) 64. BROMLEY, L.A., Heat transfer in stable film boiling, Chemical Engineering Program 46 (1950) 221. CHUNLIN XIA et al., Natural convection in vertical rectangular narrow channels, Eksperimenal Thermal and Fluid Science 12 (1996) 313-324. S.G. KANDLIKAR, Heat transfer mechanisms during flow boiling in microchannels, J. Heat Transfer 126 (8) (2002).
Ke DAFTAR ISI
80