ANALISIS FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENINGKATAN JUMLAH GIZI BURUK ANAK BALITA DI KABUPATEN MADIUN Sudaryani*, Sri purwanti**, Atni supratiwi** 1. Akademi Keperawatan Dr. Soedono Madiun Jln Imam Bonjol No.Madiun.
*Email:
[email protected] Abstrak Pendahuluan Gizi buruk merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sering dialami oleh negara- negara berkembang seperti Indonesia. Munculnya kasus gizi buruk di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Lampung yang diikuti oleh propinsi lain pada tahun 2005, menunjukkan bahwa masalah gizi di Indonesia masih rawan dan di beberapa wilayah berada pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Di Kabupaten Madiun angka gizi buruk masih relatif rendah jika dibandingkan dengan prevalensi nasional maupun Jawa Timur, tetapi prevalensi ini mengalami peningkatan dalam 4 tahun terakhir. Tahun 2006 prevalensi gizi buruk sebesar 0,63%, tahun 2007 sebesar 0,59%, tahun 2008 sebesar 0,9%, tahun 2009 mencapai 1,05% atau sebesar 335 kasus. Kasus ini tersebar di seluruh wilayah kecamatan dan terbanyak di Kecamatan Pilangkenceng, Wungu, Kebonsari, Balerejo, dan Saradan (Dinkes Kabupaten Madiun, 2008 ; 2009). Metode Penelitian ini menggunakan rancangan case control, variabel efek (anak balita yang mengalami gizi buruk dan gizi baik), diidentifikasi pada saat sekarang, sedangkan faktor resiko (faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk pada anak balita) diidentifikasi sekarang berdasar kejadian pada masa lalu. Populasi kelompok kasus dalam penelitian ini adalah seluruh anak balita yang mengalami gizi buruk beserta pengasuhnya di Kabupaten Madiun dengan jumlah 324 yang didasarkan pada laporan tahunan tahun 2009 Hasil Pengaruh Asupan Gizi Terhadap Gizi Buruk Anak Balita menunjukkan asupan gizi balita gizi buruk 76,37 % kurang dan balita gizi baik 72,73 % baik. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh asupan gizi terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < α (0,05). Kesimpulan Faktor penyebab langsung yang paling berpengaruh untuk terjadinya gizi buruk pada anak balita di Kabupaten Madiun adalah penyakit, dari kelompok tidak langsung tingkat pertama adalah ketersediaan pangan tingkat rumah tangga dan kelompok penyebab tidak langsung kedua adalah kemiskinan. Kata Kunci : Gizi buruk, balita. Abstract Introduction Malnutrition is a public health problem that is often experienced by developing countries such as Indonesia. The emergence of malnutrition in East Nusa Tenggara, West Nusa Tenggara and Lampung provinces, followed by another in 2005, showed that the problem of malnutrition in Indonesia is still vulnerable and in some areas are at the level of a very mengkhawatirkan.Di Madison County malnutrition still relatively low when compared with national prevalence and East Java, but this prevalence has increased in the last 4 years. In 2006 the prevalence of malnutrition by 0.63%, in 2007 by 0.59%, in 2008 by 0.9%, reaching 1.05% in 2009 or a total of 335 cases. The cases are spread throughout the region and most districts in District Pilangkenceng, Wungu, Kebonsari, Balerejo, and Saradan (DHO Madison, 2008; 2009). Methods This study used a case control design, variable effects (children under five suffering from malnutrition and nutrition well), identified in the present, while the risk factors (the factors that affect malnutrition in children under five) are now identified based on past events. Population groups of cases in this study were all children under five suffering from malnutrition and their guardians in Madison County with the number 324 which is based on the annual report of 2009 Results Effect of Nutrient Intake Against Childhood Malnutrition shows nutritional intake malnutrition and 76.37% less good nutrition either 72.73%. Statistical test results showed the influence of nutrient intake on malnutrition of children under five with p = 0.000 <α (0.05). Conclusion Factors most influential direct cause for the occurrence of malnutrition among children under five in Madison County is a disease, not directly from the group's first level is the level of household food availability and the second group is the indirect cause of poverty Key word: Malnutrition, children.
1
Khumaidi (1994) menjelaskan masalah sosial yang mendasari terjadinya gizi buruk adalah; masalah kemiskinan, ketidakstabilan kondisi keluarga, kurangnya pengetahuan dan ketrampilan di bidang memasak, kurang keragaman bahan dan jenis masakan yang menyebabkan kebosanan serta pengadaan dan distribusi pangan antar anggota keluarga yang tidak merata. Gizi buruk merupakan masalah kesehatan masyarakat yang kompleks, yang melibatkan berbagai aspek medis maupun sosial. Mulai tahun 1998 pemerintah telah melakukan upaya penanggulangan gizi buruk balita melalui upaya penjaringan kasus, rujukan dan perawatan gratis di Puskesmas maupun rumah sakit, pemberian makanan tambahan (PMT) serta upaya-upaya lain yang bersifat mempertahankan ketahanan anak terhadap penyakit. Upaya ini dimantapkan lagi pada tahun 2005, setelah munculnya kasus gizi buruk di berbagai wilayah dengan prevalensi yang mengkawatirkan (Depkes RI, 2008). Upaya serupa juga telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Madiun dengan melibatkan berbagai sektor yang terkait, termasuk bantuan pangan bagi keluarga miskin untuk menghindarkan masyarakat dari ancaman kelaparan. Namun semua upaya tersebut nampaknya belum juga dapat mengatasi masalah gizi buruk dan prevalensi gizi buruk meningkat pada tahun 2009. Berdasar fenomena di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan jumlah gizi buruk anak balita di Kabupaten
Pendahuluan Di Kabupaten Madiun angka gizi buruk masih relatif rendah jika dibandingkan dengan prevalensi nasional maupun Jawa Timur, tetapi prevalensi ini mengalami peningkatan dalam 4 tahun terakhir. Tahun 2006 prevalensi gizi buruk sebesar 0,63%, tahun 2007 sebesar 0,59%, tahun 2008 sebesar 0,9%, tahun 2009 mencapai 1,05% atau sebesar 335 kasus. Kasus ini tersebar di seluruh wilayah kecamatan dan terbanyak di Kecamatan Pilangkenceng, Wungu, Kebonsari, Balerejo, dan Saradan (Dinkes Kabupaten Madiun, 2008 ; 2009). Masalah gizi pada balita merupakan ancaman terhadap hilangnya generasi penerus yang berkualitas dan ancaman bagi pembangunan bangsa Indonesia. Beberapa penelitian menjelaskan masalah gizi pada stadium lanjut mengakibatkan terjadinya defisiensi elektrolit intraseluler yang berdampak pada penurunan masa otot dan menyebabkan terjadinya kelemahan pada seluruh organ (Sacharin, 1996). Akibatnya organ tidak dapat berfungsi secara sempurna dan akan mengganggu perkembangan anak, baik motorik, verbal – intelektual dan fungsi sosialnya. (Atmikasari, 2008). Gizi buruk sebagai masalah kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait baik faktor medis yang berhubungan langsung dengan kejadian gizi buruk maupun faktor sosial yaitu tidak cukupnya balita mendapat makanan bergizi yang seimbang akibat asupan gizi kurang atau pola makan salah dan anak menderita penyakit infeksi (Nency & Arifin, 2005). 2
Madiun. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi upaya penanggulangan gizi buruk melalui upaya pencarian faktor yang menyebabkan terjadinya gizi buruk. Penilaian status gizi anak balita menggunakan Baku Antropometri menurut standart WHO-NCHS didasarkan pada nilai Z-Score dengan indeks berat badan menurut tinggi badan. (Soegianto, 2007). Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) < -3 SD dan atau ditemukan tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor (Depkes RI, 2008). Diagnosis gizi buruk dapat ditegakkan melalui pemeriksaan antropometri penghitungan berat badan menurut umur maupun berat badan menurut tinggi badan/ panjang badan dan dapat melalui temuan klinis yaitu kondisi marasmus, kwasiorkor dan bentuk campuran (marasmik kwasiorkor) (Depkes RI, 2008).
balita yang bergizi baik beserta pengasuhnya di Kabupaten Madiun. Besar sampel ditentukan berdasarkan rumus: (Lemeshow, et al., 1990), diperoleh sampel sebesar 55 anak balita gizi buruk. Dengan sampel minimal 1:1, maka besar sampel untuk masing-masing kelompok kasus dan pembanding adalah 55 anak balita gizi buruk. Sehingga sampel keseluruhan sebesar 110 anak balita gizi buruk. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah cluster random sampling dua tingkat. Pengambilan sampel pada penelitian ini diperoleh dengan menentukan 5 kecamatan sebagai cluster dan anak balita yang mengalami gizi buruk di kecamatan tersebut sebagai unit elementer dengan menggunakan cara pengambilan sampel acak sederhana. Sehingga besar sampel tiap-tiap kecamatan adalah 55 : 5 yaitu 11 anak balita yang mengalami gizi buruk, dan 11 anak balita yang bergizi baik sebagai kelompok pembanding. Data yang telah dikumpulkan diolah dengan cara sebagai berikut: Editing,Scoring, Kategori data dan Coding, Entry dan Cleaning dat.
Metode Penelitian ini menggunakan rancangan case control, variabel efek (anak balita yang mengalami gizi buruk dan gizi baik), diidentifikasi pada saat sekarang, sedangkan faktor resiko (faktor-faktor yang mempengaruhi gizi buruk pada anak balita) diidentifikasi sekarang berdasar kejadian pada masa lalu. Populasi kelompok kasus dalam penelitian ini adalah seluruh anak balita yang mengalami gizi buruk beserta pengasuhnya di Kabupaten Madiun dengan jumlah 324 yang didasarkan pada laporan tahunan tahun 2009 (Dinkes Kabupaten Madiun, 2009). Sebagai kelompok pembanding adalah seluruh anak
Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu anak balita yang bergizi buruk 65,5% tidak bekerja dan 1,8% berwiraswasta. Ibu anak balita yang bergizi baik 58,2% tidak bekerja dan 3,6% berwiraswasta. Berat badan lahir (BBL) anak balita yang bergizi buruk 52,7% mempunyai BBL ≤ 2500 dan 47,3% mempunyai Berat Badan Lahir >2500. Anak balita yang bergizi baik 10,9% mempunyai Berat Badan Lahir ≤ 2500 dan 89,1% mempunyai Berat Badan Lahir > 3
2500. Anak balita gizi buruk 54,5% berjenis kelamin laki-laki dan 45,5% berjenis kelamin perempuan. Anak balita gizi baik 50,9% berjenis kelamin laki-laki dan 49,1% berjenis kelamin perempuan Rata-rata berat badan anak balita gizi buruk 9,0 kg dan anak balita gizi baik 13,4 kg. Rata-rata tinggi badan anak balita gizi buruk 80,8 cm dan anak balita gizi baik 90,4. Rata-rata umur anak balita gizi buruk 3,0 tahun dan anak balita gizi baik 2,8 tahun. Rata-rata umur ibu anak balita gizi buruk 31,0 tahun dan anak balita gizi baik 31,9 tahun. Berdasarkan status kesehatan menunjukkan 53 balita gizi buruk dan 50 balita gizi baik pernah menderita penyakit influenza. Saat pengumpulan data ada 13 balita gizi buruk sedang sakit dan tidak satupun anak balita gizi baik yang sakit. Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga pada balita gizi buruk 60,0 % kurang, sedangkan pada balita gizi baik 56,36 % tahan. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh ketersediaan pangan tingkat rumah tangga terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < α (0,05).
Ketersediaan pelayanan kesehatan balita gizi buruk 96,4% baik dan balita gizi baik 100% baik. Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya pengaruh ketersediaan pelayanan kesehatan terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,999 > α (0,05). Tabel 5.9 Tabulasi Silang Ketersediaan Pelayanan Kesehatan pada Anak Balita Gizi Buruk dan Anak Balita Gizi Baik di Kabupaten Madiun Tahun 2010 Keterse Gizi Gizi Baik Total diaan Buruk pelayan f % f % n % an kesehat an Baik 53 96.4 55 100 108 98,2 Cukup 2 3.6 0 0 2 1,8 Total
33
60,0
22
40,0
55
50,0
Tidak Tahan Total
19
34,5 5 100
2
3,64
21
19,1
55
100
11 0
100
55
100
55
100
110
0,999
100
Perilaku dan budaya pengasuhan anak balita gizi buruk 52,8% cukup dan pada anak balita gizi baik 85,5% baik. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh perilaku dalam pengasuhan anak terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < α (0,05). Tabel 5.10 Tabulasi Silang Perilaku dan Budaya Pengasuhan pada Anak Balita Gizi Buruk dan Anak Balita Gizi Baik di Kabupaten Madiun Tahun 2010 Perilaku/ Gizi Gizi Baik Total budaya Buruk pengasuh F % F % N % an anak Nilai Baik 24 43,6 47 85.5 71 64,5 p Cukup 29 52,8 8 14.5 37 33,6 Kurang 2 3,6 0 0 2 1,8 Total 55 100 55 100 110 100
Tabel 5.8 Tabulasi Silang Ketersediaan Pangan Tingkat Rumah Tangga pada Anak Balita Gizi Buruk dan Anak Balita Gizi Baik di Kabupaten Madiun Tahun 2010 Ketersedi Gizi Gizi Baik Total aan Buruk pangan F % F % N % tingkat rumah tangga Tahan 3 5,45 31 56,36 34 30,9 Kurang
55
Nilai p
Pendidikan ibu anak balita gizi buruk 51,0% SD, dan ibu anak balita gizi baik 36,4% SD. Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya pengaruh pendidikan ibu terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,157 < α (0,05).
0,000
4
Nilai P 0,000
Tabel 5.11 Tabulasi Silang Pendidikan Ibu Anak Balita Gizi Buruk dan Anak Balita Gizi Baik di Kabupaten Madiun Tahun 2010 Pendidi Gizi Buruk Gizi Baik Total kan F % F % n PT 0 0 5 9,1 5 SMA 8 14,5 17 30,9 25 SMP 19 34,5 13 23,6 32 SD 28 51,0 20 36,4 48 Total 55 100 55 100 110
% 4,5 22,7 29,1 43,7 100
Anak balita gizi buruk 60% tergolong miskin dan anak balita gizi baik 94,5% tergolong tidak miskin. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh kemiskinan terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < α (0,05).
Anak Balita di Kabupaten Madiun Tahun 2010 N Variabel Nilai Exp ( B ) o p Nilai1. Kemiskina 0,00 26,000 p 2. n 0 Pendidikan 0,28 71215050,10 0,157 o SMA 4 5 o SMP 0,99 36323628,52 o SD 9 7 0,99 98779654,90 9 6 0,99 9
Anak balita dari keluarga yang kurang tahan pangan berisiko 11 kali mengalami gizi buruk dibanding keluarga tahan pangan dengan nilai Exp (B) = 10,677. Anak balita dari Tabel 5.12 keluarga yang tidak tahan pangan Tabulasi Silang Kemiskinan pada Ibu Balita berisiko 81 kali mengalami gizi Gizi Buruk dan Balita Gizi Buruk di Kabupaten Madiun Tahun 2010 buruk dibanding keluarga yang tahan Tingkat Gizi Gizi Baik Total Nilai pangan dengan nilai Exp (B) = Kemiski Buruk p 80,932 nan F % F % N % Perilaku dan budaya Tidak 22 40.0 52 94.5 74 67,3 0,000 pengasuhan anak yang cukup baik Miskin 33 60.0 3 5.5 36 32,7 berisiko 5 kali untuk terjadinya gizi Miskin Total 55 100 55 100 110 100 buruk dibanding perilaku dan budaya pengasuhan anak yang baik dengan Asupan gizi anak balita yang nilai Exp (B) = 5,236. kurang berisiko 7 kali menyebabkan Tabel 5.14 Hasil Analisis Faktor Ketersediaan Pangan gizi buruk dengan nilai Exp (B) = Tingkat Rumah Tangga, Perilaku dan 6,794. Anak balita yang sering sakit Budaya Pengasuhan Anak dan Ketersediaan berisiko 47 kali menyebabkan gizi Pelayanan Kesehatan terhadap Gizi Buruk buruk dengan nilai Exp (B) = 47,048 Anak Balita di Kabupaten Madiun Tahun Tabel.5.13 Asupan Gizi dan Frekuensi Sakit Terhadap Gizi Guruk Anak Balita di Kabupaten Madiun Tahun 2010 Variabel Nilai p Exp ( B ) Asupan gizi Frekuensi sakit
0,002 0,000
1.
6,794 47,048
Anak balita dari keluarga yang miskin berisiko gizi buruk sebesar 26 kali dengan nilai Exp (B) = 26,000.
2.
Tabel.5.15 Hasil Analisis Faktor Kemiskinan dan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Gizi Buruk
5
2010 Variabel Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga o Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga 1 (Kurang tahan pangan) o Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga 2 (Tidak tahan pangan) Perilaku dan budaya pengasuhan anak o Perilaku dan
Nilai p 0,000 0,001
Exp ( B )
0,000
80,932
10,677
0,011 0,003
5,236
o
Budaya Pengasuhan Anak 1 (Cukup baik) Perilaku dan Budaya Pengasuhan Anak 2 (Kurang baik)
0,999
91074998,510
susu, 26,4% kurang mendapat asupan dari kelompok protein. Hal ini menunjukkan banyak anak yang kurang mendapatkan asupan gizi seimbang sehingga berpengaruh terhadap status gizinya. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh asupan gizi terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < α (0,005). Asupan gizi yang kurang pada anak balita memberikan dampak kurang terpenuhinya kebutuhan zat gizi di dalam tubuh dan tidak adanya zat gizi yang disimpan sebagai cadangan makanan. Hal ini menyebabkan sel mengambil cadangan makanan untuk melakukan metabolisme. Tubuh anak banyak kehilangan cadangan makanan dari lemak bawah kulit, sehingga akan terlihat semakin kurus dan keriput (marasmus). Apabila kondisi berlanjut maka cadangan protein dalam otot juga akan digunakan sebagai energi. Hal ini berakibat semakin menurunnya kadar protein di dalam darah yang menyebabkan bengkak pada seluruh tubuh (marasmus). Penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab gangguan gizi pada anak balita. Hasil penelitian menunjukkan anak balita gizi buruk 85,5% sering mengalami sakit sejak lahir, dan anak balita yang sering sakit hanya 10,9 %. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh frekuensi sakit terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,000 < dari α (0,005). Hasil penelitian
Pembahasan Asupan gizi anak balita menunjukkan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak balita. Gizi pada anak balita digunakan sebagai sumber energi untuk beraktifitas dan melakukan pertumbuhan. Hasil penelitian di Kabupaten Madiun menunjukkan bahwa asupan gizi anak balita bergizi buruk 76,37% kurang, sedangkan asupan gizi anak balita bergizi baik 72,73 % baik. Hasil analisis multivariat menunjukkan asupan gizi yang kurang berisiko 7 kali menyebabkan gizi buruk anak balita. Hal ini berarti anak-anak balita yang kurang mendapatkan asupan gizi dapat mengalami kondisi gizi buruk. Asupan gizi yang adekuat adalah asupan gizi yang memenuhi unsur-unsur dari enam kelompok makanan, yaitu dari kelompok nasi/ sereal, sayuran, buah, susu/keju, protein dan lemak. Keenam kelompok makanan ini harus diberikan secara seimbang, sehingga anak dapat memenuhi kebutuhan gizinya untuk beraktifitas, pertumbuhan dan mencegah penyakit infeksi. Hasil penelitian di Kabupaten Madiun menunjukkan ada 66,4% anak kurang mendapat asupan dari kelompok nasi, sebasar 52,7% kurang mendapat asupan dari kelompok sayur, sebesar 83,6% kurang mendapat asupan dari kelompok buah, 83,6% kurang mendapat asupan dari kelompok 6
tersebut menunjukkan bahwa seringnya sakit pada anak balita memberikan kontribusi yang besar terhadap terjadinya gizi buruk di Kabupaten Madiun. Hasil analisis Multivariat menunjukkan sering sakit berisiko 47 kali menyebabkan gizi buruk. Hal ini berarti anak balita yang mulai lahir sampai sekarang sering sakit memiliki risiko yang besar untuk mengalami gizi buruk. Penyakit yang diderita dan seringnya anak sakit merupakan penyebab terpenting kedua dari masalah gizi buruk, terutama di negara terbelakang dan berkembang seperti Indonesia. Triningsih (2007) menjelaskan bahwa penyakit dan gizi buruk merupakan dua kondisi yang saling berkaitan dan memperberat. Hal ini berhubungan dengan peningkatan metabolisme, perubahan nafsu makan, menurunnya kemampuan absorbsi dan kebiasaan mengurangi makanan pada saat sakit. Penyakit infeksi dapat menyebabkan rusaknya beberapa fungsi organ tubuh termasuk fungsi pencernaan, akibatnya zat-zat makanan yang masuk ke tubuh tidak dapat dicerna dan diserap dengan baik oleh tubuh ( Nency & Arifin 2005 ). Beberapa penyakit yang sering menyebabkan terjadinya gizi buruk antara lain cacat bawaan pada anak, penyakit kanker dan penyakit infeksi seperti TBC, diare, campak dan HIV/AIDS. Alsegaf dkk, (2002) menjelasakan sekitar 70% kasus TB paru disertai dengan penurunan berat badan yang menggambarkan kehilangan massa otot dan lemak. Hal ini berakibat terjadinya gizi buruk pada penderita tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak balita yang bergizi buruk 53 anak balita pernah menderita influenza, 7 anak balita menderita retardasi
mental, 5 anak balita pernah diare, 2 anak balita masing-masing menderita TBC dan talasemia, 1 anak balita masing-masing menderita hidrocepalus, microchepali dan bibir sumbing. Sedangkan rata-rata lamanya penyakit infeksi akut yang diderita adalah 4 hari. Penyakit infeksi sering juga menyebabkan peningkatan suhu tubuh, yang berakibat terjadinya penurunan sensasi dan selera makan serta meningkatnya pengeluaran cairan dan elektrolit, sehingga akan mempercepat terjadinya kekurangan nutrisi dan berisiko mengalami gizi buruk. Sebaliknya, kondisi kurang gizi memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan tubuh dan kemampuan fungsi organ, sehingga memudahkan terjadinya penyakit dan infeksi. Ketersediaan/ketahanan pangan tingkat rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan ini berhubungan dengan asupan gizi bagi setiap anggota keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan pangan tingkat rumah tangga pada anak balita gizi buruk 60,0% kurang tahan dan 34,55% tidak tahan. Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga pada anak balita gizi baik 56,36% tahan dan 40,0% kurang tahan. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh ketersediaan pangan tingkat rumah tangga dengan gizi buruk pada balita dengan nilai p = 0,000 < dari α (0,05). Hal ini berarti bahan makanan yang bergizi dan beragam kurang tersedia untuk memenuhi kebutuhan zat gizi bagi setiap anggota keluarga 7
sehingga mengakibatkan terjadinya gizi buruk. Hasil uji multivariat menunjukkan anak balita dari keluarga yang kurang tahan pangan berisiko 11 kali mengalami gizi buruk dibanding keluarga tahan pangan. 10,677. Anak balita dari keluarga yang tidak tahan pangan berisiko 81 kali mengalami gizi buruk dibanding keluarga yang tahan pangan. Hal ini berarti semakin rendah kemampuan keluarga dalam menyediakan bahan pangan yang bergizi dan beragam semakin besar pengaruhnya untuk terjadinya gizi buruk pada anak balita. Terbatasnya persediaan bahan makanan tingkat rumah tangga menyebabkan pengurangan frekuensi dan jumlah makanan yang dimakan serta makan makanan seadanya. Bagi anak balita kondisi ini tak dapat diadaptasi dengan baik, karena mereka sedang mengalami pertumbuhan dan banyak membutuhkan gizi. Akibatnya anak balita kurang mendapat asupan gizi yang baik dari segi jumlah maupun kualitas dan bahkan dapat berdampak terhadap terjadinya gizi buruk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan gizi pada balita gizi buruk 76,37% kurang sedangkan pada balita gizi baik 72,73% baik. Malawirawan, dkk., (2006) dalam studinya menjelaskan anak balita yang mengalami gizi buruk, diakibatkan oleh kurang mendapat keragaman konsumsi makanan dan kurang mendapat makanan dari sumber energi dan protein. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar anak balita yang bergizi buruk mengkonsumsi makanan dari beras dengan lauk yang terbatas pada protein nabati (tempe) dan jarang mengkonsumsi buah dan sayuran.
Tidak tersedinya makanan tingkat rumah tangga berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi, kurangnya pengetahuan keluarga tentang gizi, serta ketersediaan bahan makanan tingkat masyarakat (Sururi, 2006). Hasil penelitian menunjukkan 60% anak balita yang bergizi buruk berasal dari keluarga miskin yang kemampuan daya belinya kurang. Akan tetapi ada 40% keluarga yang tidak miskin memiliki anak balita bergizi buruk. Keluarga yang tidak miskin ini mungkin kurang memiliki pengetahuan keluarga tentang gizi, meskipun daya belinya cukup baik. Hasil penelitian menunjukkan dari 74 keluarga yang tidak miskin terdapat 39,2% kurang tahan pangan. Hal ini berarti keluarga ini memiliki kemampuan untuk membeli tetapi mereka tidak menyediakan sumber bahan makanan yang beragam terutama dari protein hewani. Ketersediaan pelayanan kesehatan adalah terjangkaunya pelayanan kesehatan bagi masyarakat berdasarkan lokasi dan dana serta tingginya pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat. Pelayanan kesehatan yang terjangkau adalah pelayanan kesehatan yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk keluarga yang miskin. Hasil penelitian menunjukkan ketersediaan pelayanan kesehatan bagi anak balita gizi buruk 96,4% baik dan 100% baik bagi anak balita gizi baik. Hasil uji statistik menunjukan tidak ada pengaruh ketersediaan pelayanan kesehatan dengan gizi buruk dengan nilai p = 0,999 > α (0,05). Hal ini berarti pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di Kabupaten Madiun dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat dan kesadaran masyarakat untuk menggunakan 8
fasilitas kesehatan yang tersedia juga tinggi. Dalam hal ini keluarga yang memiliki anak bergizi buruk maupun bergizi baik sama-sama mendapatkan fasilitas kesehatan yang sama dan sama memiliki kesadaran yang baik untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia. Dalam upaya penanggulangan gizi buruk Pemerintah Kabupaten Madiun telah menyelenggarakan berbagai upaya sesuai dengan program pemerintah. Upaya tersebut antara lain: 1) pemantauan pertumbuhan (berat badan) di posyandu yang diikuti dengan tindak lanjut terhadap penemuan kasus berupa konseling oleh petugas gizi, perawat atau bidan, 2) intervensi gizi dan kesehatan, 3) pemberdayaan keluarga, 4) promosi keluarga sadar gizi, 5) advokasi dan pendampingan, 6) revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi. Intervensi Gizi dan kesehatan adalah kegiatan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi bulan Februari dan Agustus, pemberian MP-ASI balita pada gakin, kunjungan neonatal/ anak balita ke puskesmas terutama ketika anak sakit, imunisasi pada bayi, serta penatalaksanaan gizi buruk. Pemantauan pertumbuhan/ berat badan di Kabupaten Madiun telah dilaksanakan di posyandu secara rutin setiap bulan. Berdasarkan laporan Gizi di Puskesmas tahun 2009 jumlah posyandu yang ada sebanyak 863 dan 100% aktif. Jumlah balita yang ada 44.127 dan yang ditimbang 33.355. Program cakupan yang dicapai K/S sebesar 99,95%, D/S sebesar 75,59%, N/D sebesar 64,54% dan BGM/D 4,03%. Hasil penelitian menunjukkan seluruh balita memiliki KMS dan rutin melakukan penimbangan.
Upaya tindak lanjut terhadap penemuan hasil penimbangan di bawah garis merah dilakukan melalui kunjungan rumah oleh petugas kesehatan yaitu tenaga gizi, perawat atau bidan. Tindakan ini merupakan konseling tentang upaya pemenuhan kebutuhan gizi pada anak balita serta promosi program keluarga sadar gizi dengan media leaflet. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 96% anak balita gizi buruk telah dikunjungi oleh tenaga puskesmas dan 4% belum dikunjungan karena dianggap penemuan baru. Upaya pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi kepada balita dilaksanakan setiap 6 bulan sekali di posyandu. Pencapaian program tahun 2009 adalah 107,63% untuk anak balita dan 108,54% untuk bayi (6-11 bulan). Hasil penelitian menunjukkan seluruh (100%) anak balita mendapatkan vitamin A secara rutin mulai umur 6 bulan. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk meningkatkan status gizi balita di Kabupaten Madiun dilaksanakan dengan menggunakan dana dari DAU APBD dan APBD 1, dengan jumlah sasaran 200 balita dan 125 balita. Paket dari DAU APBD berupa Pan Enteral, susu Dancow Balita, Grotavit sirup dan zink sirup yang diberikan untuk 90 hari. Sedangkan paket dari APBD 1 berupa susu vineral yang diberikan selama 90 hari. Hal ini menunjukkan banyak anak balita yang hasil penimbangaannya di bawah garis merah belum semuanya mendapatkan intervensi PMT. Hasil evaluasi program dari 200 balita yang mendapatkan PMT 18,5% naik statusnya, 79,0% tetap dan 2,5% turun. Hasil penelitian menunjukkan dari 55 anak balita yang bergizi 9
buruk 74,54 % pernah mendapatkan PMT pada tahun 2009. Sedangkan pada tahun 2010 program pemberian PMT belum ada. Kegiatan imunisasi dalam upaya mencegah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi telah dilaksanakan di posyandu maupun di puskesmas. Hasil penelitian menunjukkan 100% anak balita telah mendapatkan imunisasi BCG, polio sebanyak 4 kali, DPT sebanyak 3 kali, campak dan Hepatitis B. Sebagian besar anak mendapatkan imunisasi di posyandu dan di bidan desa. Upaya pengobatan kasus penyakit pada anak balita dapat dilakukan di puskesmas, posyandu untuk penyakit tertentu dan bidan desa. Seluruh desa yang digunakan untuk pengambilan data penelitian terdapat bidan desa. Seratus persen anak balita yang sakit segera dibawa berobat ke petugas kesehatan baik di puskesmas ataupun bidan desa. Pemerintah juga telah memberikan jaminan kesehatan masyarakat/ jamkesmas atau jamkesmasda bagi keluarga miskin. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 52,72% keluarga telah mendapatkan program ini. Pola pengasuhan anak atau interaksi ibu dengan anak merupakan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan ibu dan memberikan zat gizi pada anak, upaya pencegahan penyakit dan perawatan anak ketika sakit. Hasil penelitian di Kabupaten Madiun menunjukkan bahwa perilaku dan budaya ibu dalam pengasuhan anak balita gizi buruk 52,8% cukup dan 3,6% kurang. Sedangkan perilaku ibu dalam pengasuhan anak balita gizi baik 85,5% baik dan 14,5% cukup. Hasil uji statistik menunjukkan adanya
pengaruh perilaku pengasuhan anak terhadap gizi buruk dengan nilai p = 0,000 < dari α (0,05). Hasil analisis multivariat menunjukkan perilaku dan budaya pengasuhan anak yang cukup baik berisiko 5 kali untuk terjadinya gizi buruk dibanding perilaku dan budaya pengasuhan anak yang baik. Hal ini berarti semakin baik pola pengasuhan anak semakin baik status gizinya, sebaliknya pola pengasuhan yang kurang baik dapat menyebabkan terjadinya gizi buruk. Sururi (2006) menjelaskan bahwa interaksi ibu dengan anak atau pola pengasuhan anak berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak yang mendapatkan perhatian secara fisik maupun emosional lebih mudah menerima makanan dengan gizi seimbang dibanding dengan anak yang kurang mendapat perhatian dari orang tuanya. Hal ini berkaitan dengan timbulnya perasaan aman, nyama dan rasa kepercayaan diri yang dibangun oleh orang tuanya. Pemberian makan yang menyenangkan, tidak memaksa dengan kekerasan saat anak balita makan, membiarkan balita makan dan memilih makanan sendiri, tidak banyak aturan saat makan, memperhatikan waktu makan balita dan memberikan contoh pola makan yang baik merupakan cara pemberian makan yang dapat dilakukan untuk membiasakan makan secara teratur. Anak yang mendapatkan kepercayaan dan motivasi dalam berperilaku cenderung meningkatkan perilaku ke arah positif, termasuk perilaku makan. Hubungan maupun kondisi yang menyenangkan saat makan dapat membangkitkan selera makan anak, sehingga anak dapat menerima asupan gizi dan mencegah terjadinya kurang gizi atau gizi 10
buruk. Sebaliknya hubungan yang tidak baik saat pemberian makan dapat menyebabkan anak merasa takut dan tertekan sehingga dapat menghilangkan nafsu makannya. Pola pengasuhan lain yang dilakukan oleh keluarga dengan anak balita bergizi baik di Kabupaten Madiun adalah perilaku Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) yang meliputi: 1) Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan anak balita setiap bulan melalui kegiatan posyandu; 2) Memberikan ASI eksklusif; 3) memberikan makanan yang bervariasi dan seimbang zat gizinya; 4) menggunakan garam beryodium; 5) memberikan tablet vitamin A setiap 6 bulan sekali. Pendidikan merupakan ijazah pendidikan formal terakhir yang dimiliki oleh ibu dari anak balita. Secara umum diasumsikan bahwa semakin tinggi pendidikan maka pengetahuan seseorang akan bertambah baik, termasuk pengetahuan tentang pengasuhan anak balita. Dengan demikian semakin tinggi pendidikan ibu semakin mampu mengasuh anak balitanya, sehingga kejadian gizi buruk semakin rendah. Hasil studi Malawirawan L.,dkk, (2006) di NTT, menunjukkan bahwa kasus gizi buruk sebagian besar terjadi pada anak balita yang memiliki orang tua dengan tingkat pendidikan SD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan ibu anak balita gizi buruk 51,0% SD, dan ibu anak balita gizi baik 36,4% pendidikan SD. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh pendidikan ibu terhadap gizi buruk anak balita dengan nilai p = 0,157 < α (0,05). Hal ini berarti ibu yang berpendidikan SD bukan berarti tidak mampu mengasuh dan merawat
anak, dan sebaliknya ibu yang berpendidikan tinggi belum tentu juga mampu mengasuh dan merawat anak. Studi yang dilakukan Maryetti, dkk. (2008) pada keluarga di daerah non Gakin menunjukkan bahwa faktor yang berkaitan dengan terjadinya gizi buruk adalah ketidakpedulian orang tua terhadap kebutuhan gizi balita, meskipun sebenarnya mereka memiliki pengetahuan yang cukup baik. Dalam hal ini kepedulian dan tanggung jawab ibu dalam mengasuh anak sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya gizi buruk. Ibu yang memiliki kepedulian dan tanggung jawab tinggi kepada anaknya akan selalu berusaha agar anak dapat tetap sehat dan terpenuhi kebutuhan gizinya. Berbagai upaya akan mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut, seperti memberikan makan sambil mengajak bermain dengan teman sebayanya atau diajak keliling ke luar rumah sehingga anak merasa senang dan mendapatkan makanan sesuai kebutuhannya. Kemiskinan merupakan penyebab pokok dari gizi buruk. Hasil penelitian di Kabupaten Madiun menunjukkan anak balita bergizi buruk 60% berasal dari keluarga miskin, dan anak balita bergizi baik 94,5% berasal dari keluarga tidak miskin. Hasil uji statistik menunjukkan adanya pengaruh kemiskinan terhadap gizi buruk dengan nilai p=0,000 < α (0,05). Hasil uji statistik multivariat menunjukkan anak balita dari keluarga miskin berisiko mengalami gizi buruk sebesar 26 kali. Keluarga miskin adalah keluarga yang memiliki pendapatan rendah yaitu di bawah Rp 600.000 per bulan. Pendapatan yang rendah 11
menyebabkan daya beli kebutuhan pokok juga rendah. Hal ini menyebabkan keluarga tidak mampu atau terbatas dalam menyediakan bahan makanan yang bergizi, serta terbatasnya keragaman bahan makanan untuk anak balita. Anak balita hanya mendapatkan makanan dengan jenis makanan yang sama sehingga menimbulkan kebosanan dan susah makan. Anak balita dari keluarga ini akan kurang asupan gizinya dan terjadi kurang gizi ataupun gizi buruk. Studi di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2006 menunjukkan bahwa anak balita yang mengalami gizi buruk adalah anak balita yang kurang mendapat keragaman konsumsi makanan dan kurangnya konsumsi makanan dari sumber energi dan protein (Malawirawan, dkk, 2006). Penelitian di Kabupaten Madiun menunjukkan 41,1% anak balita dari keluarga miskin kurang mendapat asupan gizi dari kelompok nasi, 43,1% kurang mendapat asupan gizi dari sayur, 34,8% kurang mendapat asupan gizi dari kelompok buah, 30,4% kurang mendapat asupan gizi dari kelompok susu dan 44,8% kurang mendapat asupan gizi dari protein. Menurut Nency & Arifin (2005) kemiskinan merupakan penyebab pokok dari gizi buruk, dan kemiskinan identik dengan tidak tersedianya makanan bergizi yang beragam dan adekuat. Penelitian di Kabupaten Madiun menunjukkan 83,3% keluarga miskin kurang tahan pangan dan 13,9% tidak tahan pangan. Hal ini karena mereka kurang mampu membeli bahan makanan yang bergizi terutama dari protein hewani dan susu yang harganya relatif mahal.
Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Asupan gizi yang kurang pada anak balita di Kabupaten Madiun berpengaruh sebesar 7 kali mengalami gizi buruk. 2. Penyakit (frekuensi sakit yang sering) pada anak balita di Kabupaten Madiun berpengaruh sebesar 47 kali mengalami gizi buruk. 3. Anak balita dari keluarga yang kurang memiliki ketersediaan pangan di Kabupaten Madiun berisiko sebesar 11 kali mengalami gizi buruk dibanding keluarga yang memiliki ketersediaan pangan yang baik. 4. Perilaku dan budaya pengasuhan anak balita di Kabupaten Madiun yang cukup berpengaruh sebesar 5 kali mengalami gizi buruk dibanding perilaku dan budaya pengasuhan anak balita yang baik. 5. Ketersediaan pelayanan kesehatan tidak berpengaruh terhadap gizi buruk anak balita di Kabupaten Madiun. 6. Pendidikan ibu tidak berpengaruh terhadap gizi buruk anak balita di Kabupaten Madiun. 7. Anak balita dari keluarga miskin di Kabupaten Madiun berisiko sebesar 26 kali mengalami gizi buruk. 8. Faktor penyebab langsung yang paling berpengaruh untuk terjadinya gizi buruk pada anak balita di Kabupaten Madiun adalah penyakit, dari kelompok tidak langsung tingkat pertama adalah ketersediaan pangan tingkat rumah tangga dan kelompok penyebab tidak kedua adalah kemiskinan. 12
Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 2008. Pedoman Respon Cepat Penanggulangan Gizi Buruk. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Hastono, S.P. (2007). Basic data analysis for health research. Depok: FKM-UI. Lemeshow, S.; David,W.H.Jr.; Janelle, K.: Stephen K. L. (1990). Adequacy of sample size in health studies. (Besar sampel dalam penelitian kesehatan). John Wiley & Sons. Malawirawan, Lalu; Aryani Ch.K.; Lidya Y.H. Bolo; Yosef R. 2006. Gambaran Determinan Gizi Buruk pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kabukarudi Kecamatan Lamboya Kabupaten Sumba Barat Nusa Tenggara Timur. http://www.litbang.depkes.go.i d/risbinkes/Buku%20 Laporan%20Penelitian%20200 6. Markum, A.H, dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI Maryetti; Ematip dan Almaizon. 2008. Pengetahuan Ibu tentang Gizi Pada Keluarga Non Gakin di Desa Talawi Hilir Kota Sawahlunto Padang. http://www.bpsntpadang.info/index.php?option= com_content&task=
Kepustakaan Almatsier, Sunita. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Atmikasari, Luh Putu Primi. 2009. Status Gizi. http//www.gizi.net, 24 Desember 2008. Arikunto, S. 2006. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Bakri, dkk.2002. Penelitiam Status Gizi. Jakarta: EGC Brockopp, D.Y. & Marie, T.H.T. 1995. Fundamental of nursing research (Dasar-dasar riset keperawatan). Boston: Jones & Barlett Publishers. Burns, N. & Grove, S.K. 1991. The practice of nursing research: conduct, critiques and utilisation. 2nd. Philadelphia: WB Sounders C.O. Djarwanto. 2001. Mengenal beberapa uji statistik dalam penelitian. Yogyakarta: Liberty. Departemen Komunikasi dan Informatika. 2005. Kriteria Rumah Tangga Miskin. Tim Koordinasi Pusat Program Pemberian Subsidi Langsung Tunai Kepada Rumah Tangga Miskin. Departemen Kesehatan RI. 2005. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009. Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 2000. Pedoman Tatalaksana Kurang Energi Protein pada Anak di Puskesmas dan Rumah Tangga. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 13
view%id=57&itemid...2/20201 0 Murray, Robert K., Daryl K., Peter A. M., Viictor W. R. 2003. Biokimia Harper Edisi 25. Jakarta : EGC. Nency, Yetty. Arifin, Muhamad Thohar. 2005. Gizi Buruk, Ancaman Generasi yang Hilang. Inpvasi Edisi Vol. 5/XVII http://io.ppijepang.org/article. php?id=113 Notoadmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nurcahyo. 2008. Malnutrisi. Akses di http://www.indonesiaindonesia .com/f /11160-malnutrisi/ Polit, D.F. & Hungler, B.P. 199). Nursing research principles and methods. (6th ed.).Philadelphia: J.B. Lippincott. Sabri, L. & Hastono, S.P. 2006. Statistik Kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soegianto, Benny. 2007. Penilaian Status Gizi Dan Baku Antropometri WHO-NCHS. Surabaya: Duta Prima Airlangga Sugiyono, 2000. Metodologi Penelitian Administrasi. Bandung: Alfa Beta Supariasa, I Dewa Nyoman. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC Supriyanto, S. 2007. Metodologi Riset. Surabaya: Program Administrasi & Kebijakan Kesehatan. FKM-Unair. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC Sururi, M. 2006. Penanggulangan Gizi Buruk. Akses di http://www. dinkes purworejo.go.id/index2.php?op
tion=com_content&do_pdf=1 &id=4 Wong, Donna L. 1996. Wong and Whaley's Clinical Manual of Pediatric Nursing. 4/E. MosbyYear Book. Inc.
14