ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PERUBAHAN STATUS GIZI BALITA PADA PROGRAM EDUKASI DAN REHABILITASI GIZI (PERGIZI)
YUSI ARISKA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perubahan Status Gizi Balita pada Progam Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014 Yusi Ariska NIM I14100153
ABSTRAK YUSI ARISKA. Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perubahan Status Gizi Balita pada Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI). Dibimbing oleh LILIK KUSTIYAH dan YEKTI WIDODO. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan status gizi balita pada Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI). Penelitian ini menggunakan data sekunder. Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimental dengan jumlah contoh sebanyak 141 balita. Intervensi yang diberikan pada balita berupa PMT bersama, suplemen zink, dan penyuluhan gizi dan kesehatan bagi ibu balita. Intervensi tersebut diberikan selama 6 bulan dan dilaksanakan di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Rata-rata z-score balita setelah mengikuti Program Edukasi dan Rehabilitasi (PERGIZI) adalah nyata lebih tinggi dibandingkan sebelum mengikuti program tersebut (p<0.05). Nafsu makan berpengaruh positif terhadap perubahan status gizi balita, sedangkan status diare berpengaruh negatif terhadap perubahan status gizi balita (p<0.05). Anak balita yang memiliki nafsu makan yang baik cenderung mengalami kenaikan status gizi (z-score BB/U) 4.036 kali lebih besar daripada balita yang nafsu makannya kurang baik. Balita yang mengalami diare memiliki kecenderungan 0.272 kali lebih kecil mengalami kenaikan status gizi (z-score BB/U) dibandingkan yang tidak mengalami diare. Kata kunci : edukasi dan rehabilitasi gizi, diare, status gizi, balita
ABSTRACT YUSI ARISKA. Impacts of Nutrition Education and Rehabilitation Program (PERGIZI) in Increasing Nutritional Status of Children Under-five Years Old. Supervised by LILIK KUSTIYAH and YEKTI WIDODO. This study aimed to analyze factors that influence the changing of nutritional status of children under-five years that participating in Nutrition Education and Rehabilitation Program (PERGIZI). This research used secondary data with a quasi-experimental design (one group before and after intervention design) of 141 samples. Six months intervention program which applied to the children consisted of provision of complementary feeding and supplement of zink along with nutrition and health education for the mothers. This research conducted at Distric of East Kutai, Province of East Kalimantan. Result showed that average WAZ score of subjects had increased significantly (p<0.05) after participating in PERGIZI. Subject’s appetite had positive effect, but the diarrheal status had negative effect on their nutritional status (p<0.05) after intervention period. Subjects with a good appetite tend to increase WAZ score 4.036 times than the worse one, while diarrheal subjects tend to increase WAZ score 0.272 times than without diarrheal. Keywords : nutrition education and rehabilitation, diarrhea, nutritional status, children under-five years old
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PERUBAHAN STATUS GIZI BALITA PADA PROGRAM EDUKASI DAN REHABILITASI GIZI (PERGIZI)
YUSI ARISKA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Agustus 2014 ini ialah status gizi balita, dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perubahan Status Gizi Balita pada Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr Ir Lilik Kustiyah, MSi dan Bapak Yekti Widodo, SP, MKes selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Yekti Widodo, SP, MKes dan Tim atas perkenannya penggunaan sebagian data penelitian untuk penyusunan skripsi ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MSc selaku dosen pemandu seminar dan penguji skripsi serta teman-teman pembahas seminar. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Selain itu, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada PT Kaltim Prima Coal yang selama ini memberikan bantuan finansial sehingga penulis dapat menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor dan seluruh teman-teman BUD PT KPC terutama Rangga Lawe Sandjaya dan Yudha Yaniari Satriya Putri. Tidak lupa pula ungkapan terima kasih kepada teman-teman gizi masyarakat 47 dan semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, September 2014 Yusi Ariska
DAFTAR ISI PRAKATA
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
v
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
Hipotesis
3
Manfaat
3
KERANGKA PEMIKIRAN
3
METODE
4
Desain, Tempat, dan Waktu
4
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
5
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
5
Pengolahan dan Analisis Data
6
Definisi Operasional
8
HASIL DAN PEMBAHASAN Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI)
9 9
Karakteristik Contoh
12
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga
13
Perkembangan Status Gizi
14
Perbaikan Nafsu Makan
17
Hubungan Variabel dengan Perubahan Status Gizi Balita
20
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perubahan Status Gizi Balita
23
SIMPULAN DAN SARAN
24
Simpulan
24
Saran
24
DAFTAR PUSTAKA
24
LAMPIRAN
27
RIWAYAT HIDUP
30
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Cara pengumpulan data Klasifikasi status gizi anak (balita) berdasarkan indeks BB/U Jadwal kegiatan PERGIZI selama 24 minggu Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga Partisipasi ibu balita menurut frekuensi kehadiran mengikuti kegiatan PERGIZI Status gizi berdasarkan indeks BB/U balita pada awal dan akhir kegiatan PERGIZI Perkembangan status gizi (BB/U) balita berdasarkan status gizi awal Sebaran contoh berdasarkan rata-rata kenaikan berat badan dan keaktifan partisipasi ibu Perubahan status gizi contoh berdasarkan kehadiran dalam kegiatan PERGIZI Perubahan nafsu makan balita berdasarkan status gizi (BB/U) balita Sebaran contoh berdasarkan nafsu makan, frekuensi makan, porsi makan dan perubahan status gizi (%) Penyakit infeksi yang dialami contoh sebelum dan setelah PERGIZI Rekapitulasi hasil uji hubungan antara variabel bebas dengan perubahan status gizi balita
6 7 12 12 13 14 15 15 16 17 18 18 19 20
DAFTAR GAMBAR 1 Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita 2 Alur memperoleh contoh penelitian
4 5
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil analisis uji Binary Logistic Regression
26
PENDAHULUAN Latar Belakang Secara nasional, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada tahun 2013 adalah 19.6%, terdiri atas 5.7% gizi buruk dan 13.9% gizi kurang. Jika dibandingkan dengan prevalensi nasional tahun 2007 (18.4%) dan tahun 2010 (17.9%) terlihat adanya peningkatan. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5.4% tahun 2007, 4.9 % pada tahun 2010, dan 5.7% tahun 2013. Prevalensi gizi kurang naik sebesar 0.9% dari 2007 dan 2013 (Depkes 2013). Prevalensi gizi buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 % dalam periode 2013 sampai 2015 agar sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15.5% dapat tercapai. Atas dasar sasaran MDG 2015, terdapat tiga provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk-kurang sudah mencapai sasaran yaitu Bali, DKI Jakarta, dan Bangka Belitung (Depkes 2013). Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat 30 provinsi di Indonesia yang prevalensi gizi buruk-kurang belum mencapai sasaran MDG 2015. Salah satu provinsi yang belum mencapai target MDG 2015 adalah Kalimantan Timur. Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di Provinsi Kalimantan Timur masing-masing sebesar 6.2% dan 13.1%. Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yang terjadi pada anak balita di Kabupaten Kutai Timur berdasarkan BB/U sebesar 5.7% dan 8.9%, berdasarkan TB/U sebesar 12.7% (sangat pendek) dan 18.4% (pendek), berdasarkan BB/TB sebesar 5% (sangat kurus) dan 6.3% (kurus) (Depkes RI 2009). Oleh karena itu, diperlukan upaya perbaikan gizi buruk dan gizi kurang agar dapat meningkatkan status gizi balita. Upaya penanggulangan gizi buruk ini sangat penting. Hal ini karena dampak yang ditimbulkan dari permasalahan gizi buruk sangat luas dan kompleks. Selain menyebabkan kematian, Azwar (2004) menyatakan bahwa setiap anak gizi buruk mempunyai risiko kehilangan IQ sebesar 10-13 poin. Dampak lain yang ditimbulkan oleh adanya gizi buruk adalah terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak (Atmarita dan Fallah 2004). Menurut Aries dan Martianto (2006), dampak lain dari adanya gizi buruk adalah menurunnya produktivitas anak. Hal ini berhubungan dengan potensi ekonomi di masa mendatang. Penelitian yang dilakukan Aries dan Martianto (2006) menunjukkan bahwa ratasata potensi ekonomi yang hilang di seluruh provinsi Indonesia akibat KEP pada balita sebesar Rp 124 - Rp 559 milyar dengan faktor kehilangan produktivitas sebesar 2-9%. Selain itu, terkait besarnya biaya program penanggulangan gizi buruk seperti PMT, Aries dan Martianto (2006) menyatakan rata-rata biaya program PMT di setiap provinsi di Indonesia tahun 2003 sebesar Rp 1.62 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya penanggulangan gizi buruk jauh lebih rendah dibandingkan besar kerugian ekonomi yang akan timbul jika tidak dilakukan upaya penanganan. Salah satu strategi/model untuk meningkatkan optimalisasi hasil penanggulangan balita gizi kurang dan gizi buruk adalah penanggulangan balita gizi kurang dan gizi buruk berbasis prakarsa dan pemberdayaan masyarakat melalui Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI). PERGIZI merupakan model/strategi baru sebagai salah satu alternatif dalam penganggulangan balita
2 gizi kurang dan gizi buruk. PERGIZI merupakan wahana peningkatan status gizi anak balita di masyarakat (posyandu) melalui edukasi (pembelajaran/penyuluhan /KIE) dan rehabilitasi gizi (pemberian PMT, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, pemberian micronutrient). PERGIZI berbasis prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan secara terpadu, bersinergi, berkelanjutan, dan berkemitraan dengan lintas program dan lintas sektor serta melibatkan masyarakat untuk memberikan kontribusi berupa bahan makanan, tenaga, ataupun uang (Widodo et al. 2008). Intervensi melalui PERGIZI (Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi) telah dilakukan di empat kecamatan di Kabupaten Kutai Timur yaitu Kecamatan Rantau Pulung, Sengata Utara, Sengata Selatan, dan Bengalon sejak tahun 2009. Sasaran utama kegiatan PERGIZI adalah anak balita usia 6-54 bulan yang menderita gizi buruk, gizi kurang dan menuju gizi kurang. Berdasarkan hasil penelitian Widodo et al. (2013), kondisi status gizi balita setelah mengikuti PERGIZI sangat beragam yaitu ada yang mengalami peningkatan status gizi, ada yang status gizinya tetap, bahkan ada sedikit yang mengalami penurunan status gizi. Adanya perbedaan hasil setelah dilakukannya intervensi pada program PERGIZI serta masih terbatasnya penelitian terkait program PERGIZI ini membuat peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan status gizi balita pada program edukasi dan rehabilitasi gizi (PERGIZI).
Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan status gizi balita pada program edukasi dan rehabilitasi gizi (PERGIZI). Tujuan Khusus 1. Mengkaji jenis intervensi yang diberikan pada balita program edukasi dan rehabilitasi gizi. 2. Mengidentifikasi karakteristik contoh balita dan karakteristik sosial ekonomi keluarga. 3. Mengidentifikasi partisipasi (kehadiran) balita dalam mengikuti program edukasi dan rehabilitasi gizi 4. Mengkaji status gizi, nafsu makan dan status penyakit infeksi balita sebelum dan setelah mengikuti program edukasi dan rehabilitasi gizi. 5. Menganalisis hubungan karakteristik sosial ekonomi, nafsu makan, penyakit infeksi, serta partisipasi (kehadiran) dengan perubahan status gizi balita program edukasi dan rehabilitasi gizi. 6. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status gizi balita pada program edukasi dan rehabilitasi gizi.
3 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah 1. Status gizi balita setelah mengikuti program edukasi dan rehabilitasi gizi lebih baik dibandingkan sebelum mengikuti program tersebut.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi khususnya bagi orang tua mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan perubahan status gizi balita pasien program edukasi dan rehabilitasi gizi. Selain itu, diharapkan orang tua dapat mengantisipasi agar status gizi balita bisa dipertahankan atau menjadi lebih baik. Bagi pemerintah atau pengambil kebijakan, hasil dari studi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan program yang tepat dalam upaya meningkatkan status gizi balita.
KERANGKA PEMIKIRAN Banyak faktor yang dapat mempengaruhi status gizi balita. Faktor langsung yang mempengaruhi status gizi adalah konsumsi pangan balita dan penyakit infeksi. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya melemah dan akan mudah terserang penyakit. Faktor tidak langsung yang dapat mempengaruhi status gizi adalah keadaan sosial ekonomi keluarga yang termasuk di dalamnya adalah tingkat pendidikan orang tua dan kategori ekonomi keluarga. Tingkat pendidikan orang tua akan menentukan tingkat pengetahuan orang tua dalam melakukan pola asuh makan dan pola asuh kesehatan yang dilakukan terhadap anak. Ekonomi keluarga akan mempengaruhi ketersediaan makanan di rumah. Selain faktor sosial ekonomi keluarga, faktor tidak langsung lainnya misalnya adanya program edukasi dan rehabilitasi gizi juga akan mempengaruhi status gizi balita. Adanya program rehabilitasi dan edukasi gizi yang mencakup penyuluhan, pemberian micronutrient, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, serta pemberian makanan tambahan (PMT-Bersama) secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap perubahan status gizi balita. Penyuluhan gizi akan mempengaruhi orang tua dalam melakukan pola asuh pada balita terutama pola asuh makan. Kemudian, hal tersebut akan mempengaruhi konsumsi pangan balita. Selain itu, konsumsi pangan balita juga dapat dipengaruhi oleh adanya micronutrient berupa Sirop Zink yang berfungsi untuk meningkatkan nafsu makan pada balita. Adanya pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, akan mempengaruhi status infeksi anak balita. Konsumsi pangan balita dan status kesehatan balita yang membaik tentunya akan mempengaruhi status gizi balita. Secara lengkap hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.
4 Sosial Ekonomi Keluarga - Usia Orang Tua - Tingkat Pendidikan Orang tua - Besar Keluarga - Kategori Ekonomi Keluarga
Konsumsi pangan balita didekati dengan : nafsu makan, frekuensi makan, dan porsi makan
Karakteristik Balita - Usia - Jenis Kelamin - Berat Badan
Penyakit Infeksi - ISPA - Diare
Status Gizi Balita (BB/U) (1, 2)
(2, 3, 4)
Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI) 1. Pemeriksaan Kesehatan dan Pengobatan 2. Penyuluhan Gizi dan Kesehatan 3. Pemberian Micronutrient 4. Pemberian Makanan Tambahan Bersama (PMT-Bersama) Keterangan : = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang dianalisis = Hubungan yang tidak dianalisis Gambar 1 Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita
METODE Desain, Tempat dan Waktu Data yang diolah pada penelitian ini merupakan data sekunder yaitu sebagian data hasil penelitian kerja sama Lembaga Pengembangan Masyarakat (LPM) Equator, PT Kaltim Prima Coal, dan Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur tahun 2012 (Widodo et al. 2013). Penelitian tersebut menggunakan desain kuasi eksperimen, yaitu rancangan sebelum dan sesudah intervensi menggunakan satu kelompok (one group before and after intervention design). Penelitian tersebut dilakukan selama 24 minggu yaitu sejak bulan Desember 2012 hingga Mei 2013. Penelitian tersebut dilaksanakan di empat kecamatan yaitu Kecamatan
5 Rantau Pulung, Sengata Utara, Sengata Selatan, dan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian yang akan dilakukan ini meliputi proses pengolahan, analisis, dan interpretasi data yang dilaksanakan bulan Mei hingga Agustus 2014 di Kampus Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh yang digunakan dalam penelitan ini adalah contoh yang digunakan LPM Equator dalam program PERGIZI 2012. Contoh penelitian yang dilakukan LPM Equator ini adalah seluruh anak balita yang memiliki status gizi buruk, gizi kurang, dan menuju kurang dengan z-score BB/U masing-masing sebesar < -3SD, -3 SD sampai dengan < -2SD, dan -2 SD sampai dengan -1.5 SD berdasarkan standar WHO 2005. Contoh yang diteliti adalah hasil screening di 4 kecamatan yaitu Kecamatan Rantau Pulung, Sengata Utara, Sengata Selatan, dan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan timur. Berdasarkan hasil screening, ditemukan 231 anak balita yang memenuhi kriteria sebagai sasaran PERGIZI, terdiri atas 31 anak gizi buruk, 120 anak gizi kurang, dan 80 anak menuju gizi kurang. Pada akhir pelaksanaan program PERGIZI jumlah balita yang dapat dievaluasi sebanyak 141 balita. Jumlah balita yang memenuhi kriteria sebanyak 141 balita yang terdiri atas 16 balita gizi buruk, 73 balita gizi kurang, dan 52 balita menuju gizi kurang. Secara lengkap hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Jumlah balita yang memenuhi kriteria screening 231 balita
Jumlah balita yang bersedia mengikuti program PERGIZI 220 balita
3 balita menolak ikut, 8 DO
Jumlah balita yang dapat dievaluasi pada akhir program PERGIZI 141 balita 231 balita 16 balita gizi buruk
73 balita gizi kurang
52 balita menuju gizi kurang
Gambar 2 Alur memperoleh contoh penelitian
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data sekunder. Data diperoleh dalam bentuk electronic file berupa entry data dan hasil
6 pengolahan LPM Equator 2012 (Widodo et al. 2013). Sumber dan cara pengumpulan data yang digunakan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Cara pengumpulan data Peubah Karakteristik contoh Usia Jenis kelamin Berat badan
Cara pengambilan data Wawancara menggunakan alat bantu kuisioner Wawancara menggunakan alat bantu kuisioner Pengukuran langsung menggunakan timbangan injak digital dengan ketelitian 50 gram dan kapasitas 150 kg
Karakteristik keluarga Usia Orang Tua Tingkat pendidikan Besar keluarga Kategori ekonomi keluarga
Konsumsi pangan
Penyakit infeksi ISPA Diare Partisipasi/kehadiran mengikuti PERGIZI
Wawancara menggunakan alat bantu kuisioner Wawancara menggunakan alat bantu kuisioner Wawancara menggunakan alat bantu kuisioner Wawancara menggunakan kuisioner berisi 11 daftar barang berharga yang meliputi kepemilikan listrik, televisi, DVD player, playstation, handphone, kulkas, motor, mobil/angkot/truk, rekening tabungan, perhiasan/emas, dan rumah tinggal Wawancara menggunakan kuisioner berisi pertanyaan mengenai persepsi ibu yang berhubungan dengan nafsu makan anak, porsi makan anak, dan frekuensi makan anak dalam sehari. Wawancara menggunakan alat bantu kuisioner
Data kehadiran /absensi dari kader
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan); karakteristik keluarga (usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua, besar keluarga, dan kategori ekonomi keluarga); nafsu makan, penyakit infeksi (ISPA dan diare selama satu bulan terakhir) serta partisipasi atau kehadiran balita mengikuti kegiatan PERGIZI.
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Office Excel dan SPSS 16.0. Proses pengolahan data meliputi editing, cleaning, dan analisis. Usia ayah dan usia ibu contoh dalam penelitian ini dikategorikan menjadi ≤40 tahun dan >40 tahun. Tingkat pendidikan ayah dan ibu dilihat dari tingkat pendidikan formal yang diikuti, kemudian dikategorikan menurut jenjang pendidikan <SMA dan ≥SMA (Mulyati et al. 2008). Besar keluarga dikategorikan menjadi catur warga (≤ 4 orang) dan tidak catur warga (>4 orang) (Lutviana dan Budiono 2010). Status ekonomi keluarga contoh dilihat dari jumlah atau persentase kepemilikan barang berharga yang dimiliki keluarga contoh. Kepemilikan barang berharga merupakan daftar barang berharga yang dimiliki oleh keluarga contoh. Pertanyaan kepemilikan barang berharga terdiri atas 11 item yaitu listrik, televisi,
7 DVD player, playstation, handphone, kulkas, motor, mobil/angkot/truk, rekening tabungan, perhiasan/emas, dan rumah tinggal. Berdasarkan hasil penelitian Widodo et al. (2011) yang menggunakan 9 daftar kepemilikan barang berharga disebutkan bahwa keluarga tidak mampu (miskin) adalah keluarga yang sama sekali tidak memiliki atau yang hanya memiliki 3 jenis barang berharga; kurang mampu (agak miskin) adalah keluarga yang memiliki 4 sampai 6 jenis barang berharga; dan keluarga mampu (kaya) adalah keluarga yang memiliki 7 sampai 9 jenis barang berharga. Pada penelitian ini, status ekonomi keluarga dikategorikan menjadi mampu dan tidak mampu. Status ekonomi dikatakan mampu ketika lebih dari atau sama dengan 80% (lebih dari sama dengan 9 item) barang berharga tersebut dimiliki oleh keluarga balita. Sebaliknya, dikatakan tidak mampu (kurang mampu dan tidak mampu) jika persentase kepemilikan kurang dari 80% (kurang dari 9 item). Nafsu makan anak dikategorikan menjadi baik, cukup, dan sulit. Data nafsu makan diperoleh dari persepsi orang tua. Nafsu makan dikategorikan sulit jika anak tidak mau makan atau mau makan tetapi porsi yang dihabiskan kurang dari atau sama dengan 1/3. Nafsu makan dikategorikan cukup jika porsi yang dihabiskan antara 1/3 hingga 2/3. Nafsu makan dikategorikan baik apabila lebih dari 2/3 makanan habis. Penyakit infeksi yaitu data terkait status ISPA dan diare dikategorikan menjadi dua yaitu iya (menderita ISPA atau diare) dan tidak (tidak menderita ISPA atau diare) selama satu bulan terakhir. Rekomendasi dalam menilai status gizi anak di bawah lima tahun yang dianjurkan untuk digunakan di Indonesia adalah baku World Health Organization-National Centre for Health Statistic (WHO-NCHS). Status gizi anak balita dilihat dari nilai skor-z terhadap berat badan menurut umur (BB/U). Indeks BB/U ini digunakan karena BB/U menggambarkan status gizi balita saat ini serta lebih mudah dan dimengerti oleh masyarakat umum. Kriteria status gizi dengan cara skor-z adalah buruk, kurang, normal, dan lebih sebagaimana tercantum pada Tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi status gizi anak (balita) berdasarkan indeks BB/U Indeks Berat badan menurut umur (BB/U)
Status Gizi Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih
Z-score < -3 SD - 3 SD sampai dengan < -2 SD -2 SD sampai dengan 2 SD > 2 SD
Pada tahap analisis dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS 16 for Windows. Analisis statistik dasar dilakukan untuk mengetahui frekuensi distribusi dan ukuran sebaran (rata-rata dan standar deviasi). Analisis hubungan karakteristik keluarga, nafsu makan, penyakit infeksi, dan partisipasi/kehadiran dengan perubahan status gizi dilakukan menggunakan uji Chi Square. Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan status gizi balita dilakukan dengan uji Binary Logistic Regression. Variabel pada uji Binary Logistic Regression ini merupakan variabel dikotomi. Variabel diberi nilai 0 untuk variabel yang dianggap tidak beresiko dan diberi nilai 1 untuk variabel yang dianggap beresiko.
8 Definisi Operasional
Contoh adalah anak balita laki-laki dan perempuan yang berumur 6-54 bulan yang memiliki status gizi buruk, gizi kurang, dan menuju gizi kurang yang mengikuti program PERGIZI Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI) adalah wahana peningkatan status gizi balita di tingkat masyarakat (Posyandu) melalui kegiatan edukasi (pembelajaran/penyuluhan/KIE) dan rehabilitasi gizi (PMT, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, pemberian micronutrient) yang diikuti contoh. Karakteristik contoh adalah kriteria pada contoh yang dijadikan penilaian antara lain usia, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan. Status gizi adalah hasil masukan zat gizi dan pemanfaatannya di dalam tubuh dengan melihat ukuran tubuh dengan indeks BB/U yang dinyatakan dengan nilai skor-z berdasarkan WHO-NCHS. Kriteria status gizi dengan cara skor-z adalah: buruk, jika nilai skor-z kurang dari -3; kurang, jika nilai skor-z -3 hingga kurang dari -2; normal, jika nilai skor-z -2 hingga 2 dan lebih, jika nilai skor-z lebih dari 2. Perubahan status gizi adalah perubahan z-score berdasarkan indeks BB/U dalam jangka waktu 6 bulan. Menuju gizi kurang adalah balita yang berstatus gizi baik dengan indeks BB/U -2SD hingga -1.5SD. Balita tersebut diikutkan dalam kegiatan PERGIZI atas pertimbangan bahwa balita mengalami sulit makan, berat badan balita sulit naik, dan orang tua ingin anak lebih sehat serta mau berkontribusi dalam program. Pendidikan orang tua adalah jenjang pendidikan formal yang pernah diikuti orang tua. Besar keluarga adalah banyaknya individu yang tinggal bersama dalam satu atap dan bergantung kepada sumber penghidupan yang sama. Konsumsi pangan balita adalah keterangan tentang makan balita terkait nafsu makan, frekuensi makan, dan porsi makan. Penyakit infeksi adalah kondisi riwayat diare dan ISPA balita dalam satu bulan terakhir. ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang dengan gejala panas disertai batuk berdahak/kering atau pilek menyerang contoh selama satu bulan terakhir. Diare adalah kejadian buang air besar sebanyak 3 kali atau lebih dalam sehari dan dengan konsistensi lembek, encer atau bahkan berupa air.
9
HASIL DAN PEMBAHASAN Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI) merupakan wahana peningkatan status gizi balita di tingkat masyarakat (Posyandu) melalui kegiatan edukasi (pembelajaran/penyuluhan/KIE) dan rehabilitasi gizi (PMT, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, pemberian micronutrient). PERGIZI merupakan program yang berbasis masyarakat dan dilakukan secara terpadu, bersinergi, dan berkelanjutan. Selain itu, PERGIZI dilakukan secara bermitraan dengan lintas program dan lintas sektor serta melibatkan ibu balita dan komponen masyarakat untuk memberikan kontribusi berupa bahan makanan, tenaga atau uang. Sasaran kegiatan PERGIZI adalah semua orang tua (ibu) dan anak balita penderita gizi buruk dan gizi kurang yang berumur 6-54 bulan. Sasaran utama PERGIZI adalah semua anak balita dengan indeks antropometri berat badan menurut umur (BB/U) <-2 SD WHO 2005. Kegiatan PERGIZI dilakukan selama 24 minggu (Widodo et al. 2011). Kegiatan intervensi dilakukan selama 24 minggu dengan pertimbangan bahwa dalam waktu tersebut perubahan berat badan balita sudah dapat diamati dengan jelas. Kegiatan utama PERGIZI meliputi: pengukuran antropometri anak balita yang meliputi penimbangan berat badan, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, PMT-bersama (pemberian makanan tambahan yang dimasak bersama dan makan bersama), pemberian micronutrient, penyuluhan gizi dan kesehatan (Widodo et al. 2011) Pengukuran antropometri anak balita Jenis pengukuran antropometri yang dilakukan pada kegiatan PERGIZI adalah penimbangan berat badan. Standar cara pengukuran berat badan yang digunakan adalah anak yang akan ditimbang harus mengenakan pakaian seminimal mungkin, sehingga berat anak yang ditimbang lebih tepat. Tingkat ketelitian alat ukur (timbangan) yang digunakan sebesar 0.1 kg (Widodo et al. 2011). Dalam periode 6 minggu pertama (sejak minggu ke-nol sampai minggu ke-6), penimbangan anak balita dilakukan setiap minggu sekali yaitu setiap awal minggu (hari pertama minggu tersebut). Pada minggu ke-7 sampai minggu ke-12 penimbangan balita dilakukan setiap 2 minggu sekali. Sejak minggu ke-13 hinggan minggu ke-24 penimbangan dilakukan setiap 4 minggu sekali yaitu pada minggu ke-16, ke-20, dan ke-24. Data hasil penimbangan balita setiap bulannya tidak tersedia pada penelitian ini. Oleh karena itu, pada penelitian ini, data berat badan balita yang digunakan adalah data penimbangan berat badan balita pada awal dan akhir kegiatan PERGIZI saja. Pemeriksaan kesehatan dan pengobatan Pemeriksaan kesehatan dan pengobatan dilakukan karena anak yang menderita gizi buruk dan gizi kurang sangat rentan terkena penyakit infeksi. Penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab langsung terjadinya gizi buruk dan gizi kurang. Oleh karena itu, upaya rehabilitasi balita gizi buruk dan gizi kurang harus disertai pemberian pelayanan kesehatan berupa pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, dengan berpedoman pada Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Pelayanan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan diberikan setiap 4 minggu sekali, sejak pertama kali kegiatan PERGIZI mulai dilaksanakan.
10 Jadwal pelaksanaan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan anak balita sasaran PERGIZI adalah hari pertama minggu ke-0, 4, 8, 12, 16, 20 dan minggu ke-24 (Widodo et al. 2011). Pemeriksaan kesehatan dan pengobatan ini dilakukan oleh tenaga kesehatan atau dokter dari puskesmas wilayah setempat. Pemberian makanan tambahan bersama (PMT-Bersama) Balita penderita gizi buruk dan gizi kurang biasanya mempunyai nafsu makan yang tidak baik. Oleh karena itu, upaya rehabilitasi balita penderita gizi buruk dan gizi kurang harus disertai PMT-Bersama dan upaya memperbaiki nafsu makan anak. Jenis PMT-Bersama yang diberikan kepada sasaran PERGIZI adalah makanan yang padat gizi (PMT tinggi energi dan protein), yaitu makanan pokok (nasi), lauk, dan sayur. Jumlah frekuensi pemberian PMT berupa makanan pokok beserta lauknya dilakukan sebanyak 30 kali pemberian. Jadwal pelaksanaan pemberian makanan tambahan yang dimasak dan dimakan bersama pada kegiatan PERGIZI dilakukan selama 24 minggu adalah sebagai berikut: 1. Minggu ke-0 sampai ke-1 (2 minggu): diberikan 1 kali setiap hari (14 kali pemberian). 2. Minggu ke-2 sampai ke-3 (2 minggu): diberikan 3 kali dalam seminggu (6 kali pemberian). 3. Minggu ke-4: diberikan 2 kali dalam seminggu (2 kali pemberian). 4. Minggu ke-5 sampai ke-6 (2 minggu): diberikan 1 kali dalam seminggu (2 kali pemberian). 5. Minggu ke-7 sampai ke-12 (6 minggu): diberikan 1 kali dalam dua minggu (3 kali pemberian). 6. Minggu ke-12 sampai ke-24 (12 minggu) pemberian PMT-Bersama dilakukan setiap 4 minggu sekali Pada awal kegiatan PMT bersama diberikan setiap hari, kemudian secara bertahap frekuensi pemberiannya dikurangi menjadi 3 kali seminggu, 2 kali seminggu, sekali seminggu, dua minggu sekali, dan 4 minggu sekali. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kemandirian orang tua balita agar tidak hanya bergantung pada PMT yang diberikan pada program PERGIZI. Dana dan bahan pembuatan PMT-Bersama diupayakan dapat diperoleh dari kontribusi ibu balita dan masyarakat, tetapi pengelola program harus tetap menyediakan dana pembuatan PMT-Bersama. PMT-Bersama berupa makanan pokok, lauk pauk, dan sayur bertujuan untuk memperbaiki pola dan kebiasaan makan anak. Program PMT yang diberikan pada program PERGIZI tidak diperkenankan untuk dibawa pulang. Balita peserta PERGIZI diharuskan untuk menghabiskan PMT di tempat PERGIZI dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan apakah PMT yang telah disediakan benar-benar dimakan oleh balita. PMT dimasak oleh ibu balita bersama kader dengan bahan makanan yang tersedia secara lokal. Sambil menunggu PMT dihidangkan, balita peserta PERGIZI diajak bermain dan bernyanyi. Setelah waktu makan selesai, balita atau ibu balita mewarnai lingkaran yang menggambarkan porsi makan yang telah dihabiskan balita yaitu ¼, 2/4, ¾ atau habis 1 porsi. Hal ini dimaksudkan agar porsi makan yang dihabiskan selama mengikuti program PERGIZI dapat dilihat dengan jelas. Namun, pada penelitian ini, jumah porsi makan yang dihabiskan balita tidak tersedia sehingga tidak dapat dianalisis perkembangan porsi makannya setiap bulan (Widodo et al. 2011).
11 Pemberian micronutrient sirop Zink Defisiensi seng dapat menyebabkan fungsi pencernaan terganggu, karena gangguan fungsi pankreas, gangguan pembentukan kilomikron, dan kerusakan permukaan saluran cerna. Selain itu dapat terjadi diare dan gangguan fungsi kekebalan. Kekurangan seng kronis dapat mengganggu sistem saraf dan fungsi otak. Kekurangan seng juga mengganggu fungsi kelenjar tiroid dan laju metabolisme, gangguan nafsu makan, penurunan katajaman indera serta menghambat penyembuhan luka (Almatsier 2001). Sebagian besar anak balita yang menderita gizi buruk dan gizi kurang mempunyai nafsu makan yang kurang baik bahkan sama sekali tidak mau makan, sehingga porsi makan yang biasa dimakan hanya sedikit. Oleh karena itu, diberikan micronutrient berupa mineral zink (sirop zink) untuk meningkatkan nafsu makan balita sasaran PERGIZI. Frekuensi pemberian sirop zink dilakukan satu kali sehari dengan dosis (bayi 6-11 bulan 2.5 ml = ½ sendok takar dan anak 12-59 bulan 5 ml = 1 sendok takar). Lama pemberian minimal 8 minggu maksimal 12 minggu (Widodo et al. 2011). Hal ini mengacu pada hasil penelitian Mundiastuti (2003) yang menunjukkan bahwa kenaikan nilai z-score BB/U pada sampel kelompok perlakuan (diberi suplemen seng) tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada pengamatan I (setelah pemberian suplemen seng selama 1.5 bulan). Namun pada pengamatan II (setelah pemberian suplemen seng selama 3 bulan), kenaikan nilai z-score BB/U menunjukkan perbedaan yang cukup bermakna. Hal inilah yang mendasari mengapa suplemen zink diberikan setiap hari selama 12 minggu atau 3 bulan. Penyuluhan gizi dan kesehatan Praktik cara merawat dan memberi makan anak yang tidak tepat merupakan salah satu penyebab utama terjadinya gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita. Rendahnya tingkat pendidikan serta kurangnya penyuluhan gizi dan kesehatan kepada ibu balita, ibu hamil, dan ibu menyusui merupakan penyebab utama buruknya cara merawat dan memberi makan anak balita. Oleh karena itu, upaya peningkatan status gizi balita harus disertai upaya mengubah perilaku ibu balita tentang cara merawat dan memberi makan anak balita dengan perilaku yang lebih baik dan lebih sehat (Widodo et al. 2011). Upaya memperbaiki praktik cara merawat dan memberi makan bayi dan anak balita dilakukan melalui penyuluhan gizi dan kesehatan dengan strategi yang tepat. Strategi dan materi penyuluhan gizi dan kesehatan yang diterapkan dalam kegiatan PERGIZI adalah penyuluhan berdasarkan masalah yang dihadapi dan cara mengatasi masalah tersebut. Topik utama materi penyuluhan untuk rehabilitasi anak balita gizi buruk dan gizi kurang meliputi (Widodo et al. 2011): 1. Penyebab gangguan gizi pada anak balita 2. Cara merawat anak balita gizi buruk 3. Cara memberi makan anak balita gizi buruk 4. Cara merawat anak gizi kurang 5. Cara memberi makan anak gizi kurang 6. Cara mengatasi anak sulit makan 7. Cara mempertahankan berat badan anak 8. Cara mengelola waktu dan sumberdaya keluarga 9. Makanan sehat untuk anak dan balita 10. Menjaga kesehatan anak
12 Kegiatan penyuluhan gizi dan kesehatan dilakukan setiap ada kegiatan PERGIZI yaitu sebanyak 30 kali yang dilakukan pada saat menunggu disajikannya PMT ataupun pada saat pemeriksaan kesehatan. Beberapa materi atau topik yang diberikan lebih dari satu kali dalam pelaksanaannya. Selain disesuaikan dengan kondisi di lapangan, hal tersebut juga dimasudkan untuk mengingatkan kembali tentang materi yang pernah diberikan sebelumnya. Penyuluhan gizi dan kesehatan pada saat pelaksanaan PERGIZI paling sering dilakukan oleh kader. Teknik komunikasi dan materi penyuluhan yang diterapkan pada kegiatan PERGIZI diajarkan dan diberikan kepada kader dan petugas kesehatan melalui pelatihan dan pendampingan. Penyuluhan yang dilakukan oleh kader sebagian besar untuk memotivasi ibu balita agar lebih sabar dan telaten dalam memberi makan anak ketika di rumah. Selain itu, kader juga memotivasi agar lebih semangat dan rajin dalam mengikuti program PERGIZI (Widodo et al. 2011). Selain pemberian penyuluhan, pada saat kegiatan PERGIZI juga dilakukan kegiatan mencuci tangan dengan air bersih dan sabun sebelum makan, memakai alas kaki ketika datang ke posyandu, meminta pedagang keliling tidak menjajakan dagangan di lokasi kegiatan PERGIZI, dan memotong kuku anak balita yang masih panjang, serta mempraktikkan cara membuat Formula-75 dan Formula-100 (Widodo et al. 2011). Secara lengkap jadwal pelaksanaan kegiatan PERGIZI selama 24 minggu disajikan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Jadwal kegiatan PERGIZI selama 24 minggu Jenis Kegiatan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Minggu ke : 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
PMT-Bersama
7x 7x 3x 3x 2x 1x 1x - 1x - 1x - 1x -
-
- 1x -
-
- 1x -
-
- 1x
Pemberian micronutrient Penimbangan berat badan Penyuluhan gizi - kes Pemeriksaan pengobatan
7x 1x 7x 1x
-
- - - 1x - 1x - 1x -
-
- - - 1x - 1x - 1x -
-
- - 1x - 1x - 1x
7x 1x 7x -
7x 1x 3x -
7x 1x 3x -
7x 1x 2x 1x
7x 1x 1x -
7x 1x 1x -
7x -
7x 1x 1x 1x
7x -
7x 1x 1x -
7x -
1x 1x 1x 1x
-
Karakteristik Contoh Karakteristik contoh yang diidentifikasi adalah umur dan jenis kelamin. Rata-rata usia balita 29.16±13.5 bulan (95% CI: 26.90-31.41) dengan usia termuda 6 bulan dan usia tertua 54 bulan. Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan usia (bulan) dan jenis kelamin. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin Kelompok usia (bulan) 6-11 12-23 24-35 36-47 48-59 Total
Jenis kelamin Laki-laki n 4 21 17 19 7 68
% 5.90 30.90 25.00 27.90 10.30 100.00
Perempuan n % 9 12.30 22 30.10 16 21.90 19 26.00 7 9.60 73 100.00
Total n 13 43 33 38 14 141
% 9.20 30.50 23.40 27.00 9.90 100
13 Tabel 4 menjelaskan bahwa sebagian besar (lebih dari separuh) contoh yang digunakan dalam penelitian berjenis kelamin perempuan. Penelitian yang dilakukakan oleh Pradhan di Nepal yang menunjukkan bahwa balita perempuan mempunyai persentase lebih besar dalam masalah gizi baik masalah gizi yang berupa underweight, stunting, maupun wasting (Pradhan 2006). Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya pola sosial kebudayaan berupa pembagian makan dalam keluarga yang lebih mengutamakan laki-laki dibandingkan perempuan. Meskipun demikian, selisih antara jumlah contoh laki-laki dan perempuan tidak terlalu besar. Jumlah contoh terbesar adalah pada kelompok usia 12-23 bulan. Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Karakteristik sosial ekonomi keluarga yang diidentifikasi adalah usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua, besar keluarga, dan status ekonomi keluarga. Berikut ini adalah sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga No
Karakteristik
1
Usia ayah ≤ 40 tahun > 40 tahun Usia ibu ≤ 40 tahun > 40 tahun Tingkat pendidikan ayah < SMA ≥ SMA Tingkat pendidikan ibu < SMA ≥ SMA Besar keluarga ≤ 4 orang > 4 orang Ekonomi keluarga Mampu Tidak mampu
2
3
4
5
6
Gizi buruk
Gizi kurang
Menuju gizi kurang n %
n
%
n
%
15 1
93.8 6.2
56 16
77.8 22.2
4 1
15 1
93.8 6.2
71 2
97.3 2.7
11 5
68.8 31.2
47 25
13 3
81.2 18.8
9 7 3 13
Total n
%
80.8 19.2
113 27
80.7 19.3
49 3
94.2 5.8
135 6
95.7 4.3
65.3 34.7
26 26
50 50
84 56
60 40
42 31
57.5 42.5
36 16
69.2 30.8
91 50
64.5 35.5
56.2 43.8
38 34
52.8 47.2
30 22
57.7 42.3
77 63
55 45
18.8 81.2
11 62
15.1 84.9
9 19
17.3 82.7
23 118
16.3 83.7
Sebagian besar orang tua contoh baik ayah maupun ibu memiliki usia kurang dari 40 tahun dengan rata-rata usia ayah sebesar 34.35±7.020 tahun dan ibu 29.55±6.238 tahun. Usia ayah contoh berkisar antara 20 tahun hingga 58 tahun sedangkan usia ibu berkisar antara 17 tahun hingga 46 tahun. Lebih dari separuh tingkat pendidikan ayah dan ibu contoh adalah kurang dari SMA (tidak sekolahSMP). Contoh sebagian besar berasal dari keluarga yang anggotanya kurang dari atau sama dengan empat orang (55%) dan ekonomi yang tidak mampu (83.7%)
14 Partisipasi Ibu Balita Tingkat partisipasi balita selama mengikuti kegiatan PERGIZI dikategorikan menjadi 3 kategori, yaitu: (1) aktif, adalah anak balita yang mengikuti kegiatan setiap jadwal penimbangan dan hadir sebanyak 21 – 30 kali; (2) kurang aktif, adalah anak balita yang mengikuti kegiatan sebanyak 16 – 21 kali dan hadir pada saat kegiatan terakhir/evaluasi; dan (3) tidak aktif, adalah anak balita yang mengikuti kegiatan sebanyak 10 – 15 kali dan hadir pada saat kegiatan terakhir/evaluasi (Widodo et al. 2013). Data partisipasi ibu balita dalam mengikuti kegiatan PERGIZI berdasarkan frekuensi kehadiran disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Partisipasi ibu balita menurut frekuensi kehadiran mengikuti kegiatan PERGIZI Status gizi
Gizi buruk Gizi kurang Menuju gizi kurang Total
n 10 50 36 96
Partisipasi Aktif Kurang aktif % n % 62.50 2 12.50 68.50 21 28.80 69.20 14 26.90 68.10 37 26.20
Total Tidak aktif n % 4 250 2 2.70 2 3.80 8 5.70
n 16 73 52 141
% 100 100 100 100
Tabel 5 tersebut menunjukkan bahwa jumlah balita yang aktif mengikuti kegiatan PERGIZI sebesar 68.1 %. Hal tersebut dibuktikan dengan persentase masing-masing kelompok balita dengan status gizi buruk, gizi kurang dan menuju gizi kurang yang aktif mengikuti kegiatan PERGIZI masing-masing sebesar 62.5%, 68.5%, dan 69.2%. Partisipasi ibu balita dalam mengikuti pelaksanaan kegiatan PERGIZI termasuk kategori cukup baik. Hal tersebut tidak terlepas dari peran, dukungan, dan tanggung jawab yang sangat tinggi dari para kader Posyandu, kader PKK, tokoh masyarakat, Kepala Puskesmas, TPG, dan bidan desa. Adapun alasan anak balita tidak dapat secara aktif hadir sesuai jadwal adalah orang tua repot, anak sakit, orang tua sakit, ada acara keluarga, lupa, dan hujan.
Perkembangan Status Gizi Indikator utama hasil rehabilitasi melalui kegiatan PERGIZI adalah peningkatan status gizi balita contoh yang diukur berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U). Berbagai indeks antropometri, untuk menginterpretasikannya dibutuhkan ambang batas. Penentuan ambang batas yang paling umum digunakan saat ini adalah dengan memakai standar deviasi unit (SD) atau disebut juga z-score. Rata-rata z-score BB/U balita sebelum mengikuti PERGIZI sebesar -2.2709 ± 0.53337 sedangkan setelah mengikuti program PERGIZI selama 24 minggu rata-rata z-score BB/U balita menjadi sebesar -1.9176 ± 0.66726. Rata-rata z-score balita setelah mengikuti program PERGIZI adalah nyata lebih tinggi dibandingkan sebelum mengikuti program tersebut (p<0.05). Hal ini diduga karena selama mengikuti program PERGIZI contoh
15 mendapatkan PMT bersama dan suplemen zink yang dapat meningkatkan nafsu makan anak. Data status gizi balita contoh didapatkan dari data z-score balita yang telah dikategorikan berdasarkan rekomendasi. Rekomendasi dalam menilai status gizi anak di bawah lima tahun yang dianjurkan untuk digunakan di Indonesia adalah baku World Health Organization-National Centre for Health Statistic (WHONCHS). Berikut ini disajikan data status gizi anak balita dilihat dari nilai skor-z terhadap berat badan menurut umur (BB/U) pada awal dan akhir kegiatan PERGIZI. Tabel 7 Status gizi berdasarkan indeks BB/U balita pada awal dan akhir kegiatan PERGIZI Status Gizi Gizi buruk Gizi kurang Menuju Gizi kurang Gizi baik Total
Awal n % 16 11.3 73 51.8 52 36.9 0 0 141 100
Akhir n 6 53 48 34 141
% 4.3 37.6 34 24.1 100
Tabel 7 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan status gizi balita sebelum dan setelah mengikuti program PERGIZI. Sebagian besar balita mengalami perubahan status gizi. Hal ini dapat dilihat bahwa persentase gizi buruk menurun dari 11.3% menjadi 4.3%, status gizi kurang menurun dari 51.8% menjadi 37.6%, status gizi menuju kurang menurun dari 36.9% menjadi 34%, dan terjadi peningkatan status gizi baik yaitu dari 0% menjadi 24.1%. Namun, perubahan status gizi yang dialami balita beragam yaitu ada yang mengalami peningkatan status gizi, ada yang status gizinya tetap, dan ada juga yang mengalami penurunan status gizi. Sebanyak 48.2% balita mengalami peningkatan status gizi, 48.9% balita status gizinya tetap, dan 2.8% balita mengalami penurunan status gizi. Balita yang mengalami penurunan status gizi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu ada balita yang memang tidak aktif mengikuti PERGIZI, balita mengalami ISPA, dan ada yang mengalami kecacingan dan mengonsumsi obat cacing. Berikut ini adalah tabel perkembangan status gizi balita berdasarkan status gizi awal balita. Tabel 8 Perkembangan status gizi (BB/U) balita berdasarkan status gizi awal Status gizi
Gizi buruk (n=16) Gizi kurang (n=73) Munuju gizi kurang (n=52)
Status gizi balita pada akhir program PERGIZI Gizi buruk Gizi kurang Menuju gizi Gizi baik kurang n % n % n % n % 6 37.5 10 62.5 0 0 0 0 0 0 39 53.4 24 32.8 10 13.6 0 0 4 7.6 24 46.2 24 46.2
Tabel 8 tersebut menunjukkan bahwa ada kecenderungan semakin jelek status gizi balita maka semakin banyak mengalami peningkatan status gizi. Hal tersebut dapat dilihat dari persentase balita gizi buruk yang mengalami peningkatan sebesar 62.5%, balita gizi kurang yang mengalami peningkatan status
16 gizi sebesar 46.4% (penjumlahan status gizi menuju kurang dengan gizi baik), serta 46.2% balita dengan status gizi menuju kurang mengalami peningkatan menjadi status gizi baik. Peningkatan status gizi ini diduga karena adanya pemberian intervensi sirop zink pada program PERGIZI. Menurut Suharto et al. (2011) suplementasi zink berpengaruh signifikan atau bermakna dalam peningkatan status gizi balita. Hal tersebut dapat terjadi karena Zink bermanfaat dalam membantu selera makan, meningkatkan kekebalan tubuh dan meningkatkan pertumbuhan anak. Tabel 8 tersebut juga menunjukkan bahwa sebanyak 7.6% balita menuju gizi kurang mengalami penurunan status gizi. Penurunan status gizi balita dengan status menuju gizi kurang tersebut karena z-score awal balita sudah mendekati borderline status gizi kurang dan sebanyak 50% mengalami ISPA. Selain itu, persepsi orang tua yang cenderung menganggap bahwa status menuju gizi kurang tidak lebih parah dari gizi buruk maupun gizi kurang diduga turut menentukan hal tersebut. Orang tua yang memiliki anak gizi buruk cenderung menganggap bahwa anaknya berada dalam kondisi yang parah sehingga orang tua memberikan perhatian serta pola asuh yang lebih. Selain itu, orang tua yang memiliki anak dengan status gizi kurang atau gizi buruk cenderung akan melakukan usaha yang lebih besar agar status gizi anaknya bisa membaik. Sebaliknya, orang tua yang memiliki anak dengan status menuju gizi kurang mendapatkan perhatian yang lebih rendah dibandingkan yang gizi buruk maupun gizi kurang. Perhatian orang tua tersebut dapat tercermin dari pola asuh yang dilakukan orang tua tehadap anak di rumah termasuk pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. Perubahan status gizi terjadi karena ada perubahan (kenaikan atau penurunan) berat badan anak. Kenaikan berat badan diperoleh dari selisih antara berat badan akhir dengan berat badan awal. Secara keseluruhan, rata-rata kenaikan berat badan balita sebesar 1.27 ± 0.626 kg. Kenaikan berat badan balita berkisar antara 0.25 hingga 3.7 kg. Berikut ini disajikan data rata-rata perubahan (kenaikan) berat badan balita berdasarkan tingkat kehadiran dalam mengikuti kegiatan PERGIZI. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata kenaikan berat badan dan keaktifan partisipasi ibu Partisipasi Aktif Kurang aktif Tidak aktif
Rata-rata kenaikan berat badan (kg) 1.392 1.143 1.106
Tabel 9 menunjukkan bahwa kenaikan berat badan contoh pada kelompok balita yang aktif lebih besar dibandingkan dengan yang kurang aktif maupun tidak aktif. Kecenderungan kenaikan berat badan yang lebih tinggi pada kelompok yang aktif ini diduga karena semakin aktif balita dalam mengikuti program PERGIZI, balita akan semakin rutin untuk mendapatkan sirop zink. Ratnasari (2012) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pemberian zink pada balita gizi kurang dengan kadar albumin rendah secara klinik dapat dikatakan bahwa suplementasi zink dapat meningkatkan sensitivitas taste buds. Dalam keadaan normal konsumsi zink yang cukup akan memperbaiki struktur taste buds sehingga fungsi indra pengecap kembali normal dan adanya perubahan perbaikan terhadap taste acuity. Berfungsinya kembali indra pengecap berdampak pada pemilihan makanan dan
17 tingkat konsumsi yang pada akhirnya akan meningkatkan berat badan balita. Berikut ini disajikan tabel perubahan status gizi balita berdasarkan kehadiran / partisipasi dalam kegiatan PERGIZI. Tabel 10 Perubahan status gizi contoh berdasarkan kehadiran dalam kegiatan PERGIZI Partisipasi Aktif Kurang aktif Tidak aktif Total
Naik n 49 17 2 68
Perubahan status gizi Tidak naik % n % 51 47 49 45.9 20 54.1 25 6 75 48.2 73 51.8
Total n 96 37 8 141
% 100 100 100 100
Tabel 10 menunjukkan bahwa persentase contoh yang mengalami kenaikan status gizi terbesar pada kelompok yang aktif (51%) sedangkan contoh yang tidak mengalami kenaikan status gizi terbesar pada kelompok yang tidak aktif (75%). Ada kecenderungan bahwa semakin aktif maka adanya kenaikan status gizi juga semakin besar begitu pula sebaliknya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Muljati et al. (2007) yang menyatakan bahwa kepatuhan ibu membawa subjek (balita kurus dan kurus sekali) berobat ke klinik gizi memiliki peran penting dalam upaya pemulihan secara rawat jalan di klinik gizi. Subjek yang patuh baik pemantauan pertumbuhan ataupun status kesehatannya dapat dilakukan lebih baik daripada yang tidak patuh. Disamping itu, ibu yang patuh akan mendapat kesempatan lebih sering terpapar dengan pengetahuan gizi dan kesehatan melalui penyuluhan yang disampaikan.
Perbaikan Nafsu Makan Kegiatan pemberian makanan tambahan (PMT) yang dilakukan pada program PERGIZI berupa makanan pokok, lauk-pauk, sayur, dan buah-buahan dan dimakan bersama-sama. Hal ini bertujuan untuk menciptakan suasana makan yang menyenangkan bagi anak agar anak terbiasa dan mau makan makanan pokok. Frekuensi pemberian PMT bersama selama 24 minggu adalah 30 kali dan pelaksanaannya mengikuti jadwal yang telah disusun. Penghentian pemberian PMT bersama dilakukan secara bertahap yaitu setiap hari, 3 kali seminggu, 2 kali seminggu, sekali seminggu, 2 minggu sekali, dan 4 minggu sekali. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kemandirian orang tua balita agar tidak hanya bergantung pada PMT yang diberikan pada program PERGIZI. Selain pemberian PMT-bersama, juga diberikan sirup zink untuk meningkatkan nafsu makan anak. Sirup zink diberikan selama 12 minggu sejak awal kegiatan PERGIZI. Hal ini mengacu pada hasil penelitian Mundiastuti (2003) yang menunjukkan bahwa kenaikan nilai z-score BB/U pada sampel kelompok perlakuan (diberi suplemen seng) menunjukkan perbedaan yang cukup bermakna setelah diintervensi selama 12 minggu atau 3 bulan. Nafsu makan anak dikategorikan menjadi baik, cukup, dan sulit. Data nafsu makan diperoleh dari persepsi orang tua. Nafsu makan dikategorikan sulit jika anak tidak mau makan atau mau makan tetapi porsi yang dihabiskan kurang dari atau sama dengan 1/3. Nafsu makan dikategorikan cukup jika porsi yang dihabiskan antara 1/3 hingga
18 2/3. Nafsu makan dikategorikan baik apabila lebih dari 2/3 makanan habis. Pemantauan nafsu makan balita contoh pada awal kegiatan dan akhir kegiatan PERGIZI disajikan pada Tabel 11 berikut. Tabel 11 Perubahan nafsu makan balita berdasarkan status gizi (BB/U) balita Nafsu makan Sulit Cukup Baik
n 9 6 1
Gizi buruk (n=16) awal akhir % n % 56.25 4 25.00 37.50 9 56.25 6.25 3 18.75
Gizi kurang (n=73) Awal akhir n % n % 30 41.10 9 12.30 37 50.70 60 82.20 6 8.20 4 5.50
Menuju gizi kurang (n=52) Awal Akhir n % n % 26 50.00 7 13.50 23 44.20 36 69.20 3 5.80 9 17.30
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa sebelum intervensi dilakukan, jumlah balita gizi buruk yang mengalami sulit makan sebesar 56.25%. Balita dengan status gizi kurang dan menuju gizi kurang yang mengalami sulit makan sebesar 41.1% dan 50%. Setelah dilakukan intervensi, persentase balita yang mengalami sulit makan menjadi semakin sedikit yaitu 25% pada balita dengan status gizi buruk, 12.3% pada balita gizi kurang, dan 13.5% pada balita menuju gizi kurang. Peningkatan nafsu makan ini diduga karena pemberian sirop zink. Pemberian zink pada balita gizi kurang dengan kadar albumin rendah secara klinik dapat dikatakan bahwa suplementasi zink dapat meningkatkan sensitivitas taste buds. Meningkatnya sensitivitas indra pengecap sangat bermanfaat untuk meningkatkan nafsu makan balita. Dalam keadaan normal konsumsi zink yang cukup akan memperbaiki struktur taste buds sehingga fungsi indra pengecap kembali normal dan adanya perubahan perbaikan terhadap taste acuity. Berfungsinya kembali indra pengecap berdampak pada pemilihan makanan dan tingkat konsumsi yang pada akhirnya akan meningkatkan berat badan balita (Ratnasari 2012). Perkembangan nafsu makan ini juga diikuti oleh perubahan porsi makan atau frekuensi makan balita. Berikut ini disajikan sebaran contoh berdasarkan nafsu makan, frekuensi makan, porsi makan, dan perubahan status gizi. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan nafsu makan, frekuensi makan, porsi makan dan perubahan status gizi (%) Anak berdasarkan nafsu makan Sulit Cukup Baik
Frekuensi makan <3 ≥3
Sedikit
50 19 0
45 14.2 0
50 81 100
Porsi makan Cukup Banyak 55 81 43.8
0 4.8 56.2
Perubahan status gizi Naik Tidak naik 50 50 43.8 56.2 75 25
Tabel 12 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar balita yang mengalami peningkatan status gizi adalah balita yang nafsu makannya baik, frekuensi makannya lebih dari atau sama dengan tiga kali sehari, dan porsi makannya banyak. Nafsu makan yang baik tentu akan menyebabkan frekuensi makan anak menjadi semakin sering atau jumlah porsi yang dimakan semakin banyak. Seringnya frekuensi makan dan banyaknya jumlah porsi makan balita tentunya akan membuat berat badan anak semakin bertambah yang akhirnya membuat status gizi anak mengalami peningkatan.
19 Suharto et al. (2011) dalam hasil penelitiannya yang menggunakan desain eksperimental kepada 100 balita contoh menunjukkan bahwa suplementasi zink berpengaruh signifikan atau bermakna dalam peningkatan status gizi balita. Orang tua balita contoh dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa nafsu anaknya meningkat setelah minum sirup zink. Hal tersebut dapat terjadi karena Zink antara lain bermanfaat dalam meningkatkan selera atau nafsu makan. Namun, hal yang juga perlu diperhatikan adalah status kesehatan anak terutama terkait penyakit infeksi. Hasil studi yang dilakukan oleh Fatmah dan Nurasiah (2002) menunjukkan bahwa nafsu makan balita juga dipengaruhi oleh keberadaan penyakit infeksi yang diderita seperti ISPA dan diare. Selain itu dipengaruhi oleh balita terlalu banyak jajan, merasa bosan dengan menu lauk yang disediakan, dan balita terlalu banyak bermain di luar rumah sehingga melupakan jadwal makannya.
Penyakit Infeksi Penyakit infeksi diukur dari wawancara kepada ibu berdasarkan laporan diagnosis dokter dan gejala untuk penyakit ISPA dan diare selama satu bulan terakhir. Hal ini karena kedua jenis penyakit tersebut sangat rentan terjadi pada anak balita gizi buruk. Anak balita yang menderita ISPA dan diare dalam waktu yang cukup lama dan sering, maka berat badannya akan turun dan ini akan berpengaruh pada status gizinya. Tabel 13 berikut ini menyajikan data mengenai persentase balita yang mengalami ISPA dan diare pada awal dan akhir kegiatan PERGIZI. Tabel 13 Penyakit infeksi yang dialami contoh sebelum dan setelah PERGIZI Kondisi
ISPA Diare
Gizi buruk (n=16) awal akhir n % n % 11 68.75 5 31.25 9 56.25 1 6.25
Gizi kurang (n=73) awal akhir n % n % 51 69.80 32 43.80 26 35.60 11 15.00
Menuju gizi kurang (n=52) awal Akhir n % n % 35 67.30 25 48.00 16 30.80 13 25.00
Secara keseluruhan, jumlah balita contoh yang menderita ISPA dan diare mengalami penurunan antara sebelum dan setelah mengikuti kegiatan PERGIZI. Hal tersebut dibuktikan dengan persentase balita gizi buruk, gizi kurang, dan menuju gizi kurang yang mengalami ISPA dan diare menjadi semakin sedikit. Hal ini diduga karena adanya adanya pemeriksaan kesehatan dan pengobatan yang dilakukan pada saat kegiatan PERGIZI. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh kondisi status balita yang sudah mulai membaik dari sebelum mengikuti kegiatan PERGIZI. Agus et al. (2009) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa diare merupakan penyakit infeksi yang dapat timbul karena status gizi yang buruk, lingkungan yang tidak sehat, pola makan yang tidak higienis, dan status ekonomi yang buruk. Savitha et al. (2007) menyatakan bahwa keadaan malnutrisi berpengaruh pada proporsi ISPA pada balita. Faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi anak adalah makanan dan penyakit infeksi yang diderita oleh anak. Anak yang mendapat makanan baik tetapi sering diserang penyakit infeksi dapat berpengaruh terhadap status gizinya. Begitu juga sebaliknya anak
20 yang makanannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti lemah dan akhirnya mempengaruhi status gizinya (Soekirman 2000).
Hubungan Nafsu Makan dan Penyakit Infeksi dengan Perubahan Status Gizi Balita Uji statistik yang digunakan untuk menganalisis hubungan adalah uji Chi Square. Tabel 14 di bawah ini merupakan hasil rekapitulasi uji hubungan antara variabel bebas dengan perubahan status gizi balita. Tabel 14 Rekapitulasi hasil uji hubungan antara variabel bebas dengan perubahan status gizi balita Variabel Penelitian n
Naik %
Perubahan Status gizi Tidak naik n % n
Nilai p Total %
Usia ayah ≤ 40 tahun > 40 tahun Total
56 11 67
83.6 16.4 100
57 16 73
78.1 21.9 100
113 27 140
80.7 19.3 100
0.542
Usia ibu ≤ 40 tahun > 40 tahun Total
67 1 68
98.5 1.5 100
68 5 73
93.2 6.8 100
135 6 141
95.7 4.3 100
0.210
36 31 67
53.7 46.3 100
48 25
65.8 34.2 100
84 56
Pendidikan ibu < SMA ≥ SMA Total
42 26 68
61.8 38.2 100
24 49 73
32.9 67.1 100
50 91 141
35.5 64.5 100
0.625
Besar Keluarga ≤ 4 orang > 4 orang Total
39 29 68
57.3 42.7 100
39 34 73
53.4 46.6 100
78 63 141
55.3 44.7 100
0.825
Status Ekonomi Mampu Tidak mampu Total
13 55 68
19.1 80.9 100
10 63 73
13.7 86.3 100
23 118 141
16.3 83.7 100
0.521
Nafsu Makan Baik Sulit Total
12 56 68
17.6 82.4 100
4 69 73
5.5 94.5 100
16 125 141
11.3 88.7 100
0.044
Ya Tidak
27 41 68
39.7 60.3 100
35 38 73
47.9 52.1 100
62 79 141
44.0 56.0 100
0.415
Ya Tidak
26.5 73.5 100
7 66 73
9.6 90.4 100
25 116 141
17.7 82.3 100
0.016
Total
18 50 68
Kehadiran Aktif Tidak aktif Total
49 19 68
72.1 27.9 100
47 26 73
64.4 35.6 100
96 45 141
68.1 31.9 100
0.426
Pendidikan Ayah < SMA ≥ SMA Total
73
140
40 60 100
0.201
ISPA
Total Diare
21 Variabel nafsu makan dan status diare berhubungan signifikan dengan perubahan status gizi balita (p<0.05). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel usia ayah, usia ibu, tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu, besar keluarga, status ekonomi keluarga, status ISPA dan kehadiran mengikuti program dengan perubahan status gizi balita (p>0.05). Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah total antara ayah dan ibu, hal tersebut disebabkan oleh adanya satu orang contoh yang tidak memiliki ayah (meninggal dunia) sehingga tidak dicantumkan dalam data. Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan perubahan status gizi Usia ayah atau usia ibu tidak berhubungan signifikan dengan perubahan status gizi balita (p>0.05). Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Mulyati et al. (2008) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur kepala keluarga ataupun umur ibu kandung dengan status gizi balita. Begitu pula dengan hasil penelitian Devi (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia ibu dengan status gizi balita. Sebanyak 113 balita yang memiliki ayah berusia kurang dari atau sama dengan 40 tahun dan 135 balita yang memiliki ibu berusia kurang dari atau sama dengan 40 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar balita yang mengalami gizi buruk, gizi kurang, dan menuju gizi kurang orang tuanya berusia kurang dari sama dengan 40 tahun. Menurut Saputra dan Nurrizka (2012) risiko gizi buruk pada balita paling tinggi terjadi pada kepala rumah tangga dengan usia muda, yaitu usia 24 tahun ke bawah dengan probabilitas sekitar 1.298 kali lebih besar dibanding usia lain. Munculnya kondisi ini akibat kurangnya pengetahuan kepala rumah tangga terhadap gizi. Ini merupakan indikasi dari persoalan kawin muda sehingga kesiapan secara pengetahuan dalam menempuh hidup berumah tangga belum siap. Selanjutnya semakin besar usia kepala rumah tangga semakin kecil risiko anak untuk menderita gizi buruk. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ayah atau tingkat pendidikan ibu dengan perubahan status gizi balita (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa tinggi atau rendahnya tingkat pendidikan ayah atau ibu tidak berhubungan dengan status gizi anak balita. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Griffith (2004) di Maharashtra, India, yang menunjukkan bahwa tidak semua lokasi dalam penelitiannya memiliki hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan status gizi. Hal ini diduga karena tingkat pendidikan hanya berhubungan dengan pengetahuan dan sikap gizi tetapi tidak berhubungan dengan praktek gizi. Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil yang ditemukan oleh Lutviana dan Budiono (2010) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ayah dan ibu dengan status gizi balita. Begitu juga hasil penelitian Abuya menunjukkan hasil yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi balita. Abuya dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa tingkat pendidikan ibu menjadi prediktor kuat dalam menentukan status gizi balita (Abuya et al. 2012). Perbedaan ini diduga karena adanya perbedaan jumlah contoh balita yang digunakan. Jumlah contoh pada penelitian Abuya sebanyak 5156 balita berumur 0-24 bulan sedangkan pada penelitian ini sebanyak 141 contoh. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan perubahan status gizi balita (p>0.05). Namun ada kecenderungan bahwa semakin
22 besar anggota keluarga, maka semakin sedikit yang mengalami kenaikan status gizi. Sebaliknya semakin kecil anggota keluarga, semakin banyak yang mengalami peningkatan status gizi. Hal tersebut diduga karena semakin sedikit beban tanggungan keluarga, semakin baik asupan gizi anak. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Lutviana dan Budiono (2011) serta Devi (2010) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan status gizi balita. Status ekonomi keluarga tidak berhubungan signifikan dengan perubahan status gizi balita (p>0.05). Namun, ada kecenderungan balita yang status ekonomi keluarganya mampu (berdasarkan persentase kepemilikan barang berharga), persentase yang mengalami kenaikan status gizi lebih besar dibandingkan yang tidak mampu. Saputra dan Nurrizka (2011) menyatakan bahwa faktor kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan orang tua merupakan faktor utama dalam risiko balita menderita gizi buruk dan gizi kurang. Hubungan nafsu makan dengan perubahan status gizi Nafsu makan berhubungan signifikan dengan perubahan status gizi balita (p<0.05). Hasil menunjukkan bahwa 75% balita yang nafsu makannya baik mengalami peningkatan status gizi sedangkan balita yang nafsu makannya tidak baik 55.2% tidak mengalami peningkatan status gizi. Hal ini diduga karena nafsu makan merupakan salah satu faktor yang menentukan konsumsi pangan balita tercukupi atau tidak. Hubungan penyakit infeksi dengan perubahan status gizi Status ISPA tidak berhubungan signifikan dengan perubahan status gizi (p>0.05). Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Nurcahyo dan Briawan (2010) yang menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada anak balita mempunyai hubungan negatif dengan status gizi anak balita berdasarkan BB/U (r =-0.426; p<0.05). Perbedaan hasil tersebut diduga karena pada penelitian ini yang dilihat hanya status ISPA saja selama satu bulan terakhir sedangkan pada penelitian yang dilakukan Nurcahyo dan Briawan (2010) sudah memperhatikan lama dan frekuensi ISPA selama tiga bulan terakhir. Status diare berhubungan signifikan dengan perubahan status gizi balita (p<0.05). Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Agus et al. (2009) yang menunjukkan bahwa kejadian diare mempunyai hubungan signifikan dengan status gizi balita dengan indeks BB/U. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Yulia (2007), ditemukan bahwa lama sakit infeksi (ISPA dan diare) mempunyai hubungan dengan status gizi balita dengan indeks BB/U. Semakin lama anak balita sakit, maka status gizi tersebut akan semakin menurun. Hubungan kehadiran dengan perubahan status gizi Kehadiran balita dalam kegiatan PERGIZI tidak berhubungan signifikan dengan perubahan status gizi balita (p>0.05). Ibu balita yang aktif hadir akan lebih banyak mendapatkan pengetahuan gizi dibandingkan yang tidak aktif. Namun, kehadiran saja (aktif mengikuti PERGIZI) tanpa diikuti dengan praktek pengasuhan yang baik oleh ibu balita saat di rumah, tidak dapat meningkatkan status gizi balita. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Rachmadewi dan
23 Khomsan (2009) yang menunjukkan bahwa pengetahuan gizi berhubungan signifikan positif dengan sikap gizi tetapi tidak berhubungan dengan praktek gizi.
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perubahan Status Gizi Balita Hasil uji Binary Logistic Regression menunjukkan nilai R2 sebesar 0.122. Nilai ini berarti sebesar 12.2% perubahan status gizi balita dijelaskan oleh usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua, besar keluarga, status ekonomi keluarga, nafsu makan, status ISPA, status diare, dan kehadiran dalam kegiatan PERGIZI. Selebihnya diduga dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti. Hasil uji menunjukkan bahwa nafsu makan balita merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi perubahan status gizi pada balita yang mengikuti kegiatan PERGIZI dengan koefisien = 1.395 nilai p= 0.023 dan OR= 4.036. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecenderungan anak balita yang memiliki nafsu makan yang baik untuk mengalami kenaikan status gizi (z-score BB/U) 4.036 kali lebih besar daripada balita yang nafsu makannya kurang baik. Nafsu makan akan menentukan banyak atau sedikitnya makanan yang dikonsumsi oleh seseorang. Almatsier (2001) menyatakan bahwa konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi yang optimal terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi yang cukup. Anak yang makan tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya akan melemah sehingga nafsu makan berkurang dan mudah terkena gizi kurang. Faktor lain yang secara signifikan (p<0.05) mempengaruhi perubahan status gizi balita dalam penelitian ini adalah diare. Diare berhubungan negatif dengan perubahan status gizi balita (r= -1.300, p= 0.008, OR= 0.272). Hal tersebut menunjukkan bahwa balita yang mengalami diare memiliki kecenderungan 0.272 kali lebih kecil mengalami kenaikan status gizi (z-score BB/U) dibandingkan yang tidak mengalami diare. Semakin sering anak balita tersebut mengalami sakit, maka status gizi anak tersebut akan semakin buruk (Nurcahyo dan Briawan 2010). Faktor yang mempengaruhi status gizi anak secara langsung adalah makanan dan penyakit infeksi yang diderita oleh anak. Anak yang mendapat makanan baik tetapi sering diserang penyakit infeksi dapat berpengaruh buruk terhadap status gizinya. Begitu juga sebaliknya anak yang makanannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti lemah dan akhirnya berpengaruh terhadap penurunan status gizinya (Soekirman 2000). Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini adalah data variabel konsumsi pangan yang digunakan tidak diukur secara kuantitatif. Pola konsumsi pangan balita didekati dengan melihat nafsu makan, porsi makan, dan frekuensi makan balita. Pengambilan data nafsu makan didasarkan pada persepsi orang tua terhadap kebiasaan makan anak di rumah dan menjadikan banyaknya porsi makan yang dihabiskan balita serta frekuensi makannya sebagai acuan untuk melihat nafsu makan tersebut.
24
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI) bermanfaat dalam hal peningkatan berat badan dan status gizi, penurunan penyakit infeksi, serta peningkatan nafsu makan anak balita. Rata-rata z-score balita setelah mengikuti Program Edukasi dan Rehabilitasi lebih tinggi dibandingkan sebelum mengikuti program tersebut (p<0.05). Setelah mengikuti program PERGIZI didapatkan 48.2% balita mengalami peningkatan status gizi, 48.9% status gizinya tetap, dan 2.8% balita mengalami penurunan status gizi. Anak yang mengalami perbaikan atau peningkatan status gizi umumnya adalah balita yang aktif mengikuti program, mempunyai nafsu makan yang baik, frekuensi makan lebih dari atau sama dengan tiga kali, dan porsi makannya banyak. Terdapat hubungan signifikan positif antara nafsu makan dengan perubahan status gizi (p<0.05). Diare berhubungan signifikan negatif dengan perubahan status gizi balita (p<0.05). Tidak terdapat hubungan signifikan antara usia ayah, usia ibu, tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu, besar keluarga, status ekonomi keluarga, status ISPA dan kehadiran mengikuti program PERGIZI dengan perubahan status gizi balita (p>0.05). Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap perubahan status gizi balita adalah nafsu makan dan diare (p<0.05). Kecenderungan anak balita yang memiliki nafsu makan yang baik untuk mengalami kenaikan status gizi (z-score BB/U) 4.036 kali lebih besar daripada balita yang nafsu makannya kurang baik. Balita yang mengalami diare memiliki kecenderungan 0.272 kali lebih kecil mengalami kenaikan status gizi (z-score BB/U) dibandingkan yang tidak mengalami diare.
Saran Perlunya komitmen orang tua dalam mengikuti kegiatan PERGIZI dan pola asuh yang tepat untuk meningkatkan status gizi balita. Pola konsumsi pangan balita juga perlu diperhatikan agar asupan zat gizi balita dapat terpenuhi. Selain itu, diperlukan juga penelitian lebih lanjut mengenai faktor lain yang berhubungan dengan perubahan status gizi balita selain faktor yang disebutkan dalam penelitian ini serta menggunakan data konsumsi pangan secara kuantitatif. Bagi pengambil kebijakan, program PERGIZI ini dapat direplikasi untuk menanggulangi masalah gizi buruk dan gizi kurang di wilayah atau daerah lain yang memiliki permasalahan gizi buruk dan gizi kurang.
DAFTAR PUSTAKA Abuya. 2012. Effect of mother’s education on child’s nutritional status in the slums of Nairobi. BMC Pediatrics. 18:20. Agus NSS, Handoyo, Widiyanti DAK.2009. Analisis faktor-faktor resiko yang mempengaruhi kejadian diare pada balita di Puskesmas Ambal 1 Kecamatan
25 Ambal Kabupaten Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan 5(2): 65-79 Almatsier. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Aries M, Martianto D. 2006. Estimasi kerugian ekonomi akibat status gizi buruk dan biaya penanggulangannya pada balita di berbagai provinsi di Indonesia. Jurnal Gizi dan Pangan 1(2):26-33. Atmarita, Fallah TS. 2004. Analisis situasi gizi dan kesehatan masyarakat. Di dalam: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”, Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). hlm 129-161. Azwar A. 2004. Aspek kesehatan dan gizi dalam ketahanan pangan. Di dalam: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”, Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). hlm 101-109. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2009. Laporan Hasil Riskesdas Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2007. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI. _______________________________. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI. Devi M. 2010. Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita di Pedesaan. Teknologi dan Kejuruan 33(2): 183-192. Fatmah, Nurasia. 2002. Kebiasaan makan ibu dan anak usia 3-5 tahun pada kelompok sosio-ekonomi tinggi dan rendah di Kelurahan Rambutan dan Penggilingan Jakarta Timur. Makara, Kesehatan. 6(1):17-22. Griffiths. 2001. A tale of two continents: a multilevel comparison of the determinants of child nutritional status from selected African and Indian regions. Health and Place 10: 183–199. Lutviana E, Budiono I. 2010. Prevalensi dan determinan kejadian gizi kurang pada balita. Jurnal Kesehatan Masyarakat 5 (2): 138–144. Muljati S, Heryudarini, Reviana, Rustan E. 2007. Probabilitas pulih pada balita kurus dan kurus sekali menurut kepatuhan mengikuti pemulihan secara rawat jalan di Klinik Gizi Bogor. Jurnal Gizi dan Makanan.30(2):41-48 Mulyati S, Sandjaja, Tjandrarini DH. 2008. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian underweight pada anak usia 24-59 bulan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD): analisis data Suskesda NAD 2006. Penelitian Gizi dan Makanan: 31(1):21-35. Mundiastuti L. 2003. Pemberian suplemen seng (Zn) pada usia 1-3 tahun di Kelurahan Bendul Merisi, Kecamatan Wonocolo dan di Kelurahan Jagir, Kecamatan Wonokromo, Kotamadya Surabaya [Tesis]. Surabaya (ID): Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga. Notoadmodjo S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta (ID): Penerbit Rineka Cipta. Nurcahyo K, Briawan D. 2010. Konsumsi pangan, penyakit infeksi, dan status gizi anak balita pasca perawatan gizi buruk. Jurnal Gizi dan Pangan 5(3):164-170.
26 Pradhan A. 2006. Factor associated with nutritional status of the under five children. Asian Journal of Medical Science. DOI: 10.3126/ajms.vlil.2927. Rachmadewi A, Khomsan A. 2009. Pengetahuan, sikap, dan praktek ASI ekslusif serta status gizi bayi usia 4-12 bulan di pedesaan dan perkotaan. Jurnal Gizi dan Pangan. 4(2):83-90. Ratnasari W. 2012. Peran Zn terhadap fungsi pengecap dan perubahan berat badan (studi pada balita gizi kurang dengan kadar albumin rendah di Bojonegoro). Jurnal Sain Med 4(2):108-112. Saputra W, Nurrizka RH. 2012. Faktor demografi dan risiko gizi buruk dan gizi kurang. Makara Kesehatan 16 (2):95-101 Savitha MR, Nandeeshwara SB, Kumar MJP. 2007. Modifiable risk factors for acute lower respiratory tract infections. Indian J Pediatr 74:477-82. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta (ID) : Departemen Pendidikan Nasional. Suharto, Saptaningrum E, Wijayanti K, Sutarmi, Warijan, Hendromastuti A, Kistimbar S, Prasetyo A, Abidin Z, Mu’awanah. 2011. The influence of zinc supplementation on nutritional status among children under five years of age at Blora district. Jurnal Ilmu Keperawatan Indonesia 1(1). Widodo Y, Cauliarembulan F, Salimar, Noviati F, Ariben A, Lulu IA, Mursyidin, Suryani, Jhon PKS, Agus S et al. 2013. Program penanggulangan anak balita gizi buruk dan gizi kurang melalui PERGIZI, Klinik Gizi, dan KPKIA [Laporan penelitian]. Bogor (ID): Puslitbang Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan. Widodo Y, Muljati S, Harahap H, Triwinarto A. 2008. Penanggulangan balita gizi kurang dan gizi buruk berbasis prakarsa dan pemberdayaan masyarakat melalui PERGIZI [Laporan penelitian]. Bogor (ID): Puslitbang Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan. Widodo Y, Muljati S, Salimar. 2012. Partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi anak balita kurang gizi melalui Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI). Penelitian Gizi dan Makanan.35(2):136-149 Widodo Y, Triwinarto A, Muljati S, Harahap H, Salimar, Sudikno, Husaini YK, Rustan E. 2011. Pedoman PERGIZI: Penatalaksanaan anak balita gizi buruk dan gizi kurang di Pos PERGIZI. Bogor (ID): Puslitbang Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan. Yulia. 2007. Pola asuh makan dan kesehatan anak balita pada keluarga wanita pemetik teh di PTPN VII Pangalengan [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
27
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil uji Binary Logistic Regression Logistic Regression [DataSet1] D:\data\141.sav Case Processing Summary Unweighted Cases
a
Selected Cases
N Included in Analysis
98.6
2
1.4
141
100.0
Missing Cases Total Unselected Cases Total
Percent
139
0
.0
141
100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Dependent Variable Encoding Original Value
Internal Value
NAIK
0
TIDAK NAIK
1
Block 0: Beginning Block Classification Tablea,b Predicted Perubahan BBU Observed Step 0
Perubahan BBU
NAIK
TIDAK NAIK
Percentage Correct
NAIK
0
66
.0
TIDAK NAIK
0
73
100.0
Overall Percentage
52.5
a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500 Variables in the Equation B Step 0
Constant
S.E. .101
Wald .170
df .352
Sig. 1
.553
Variables not in the Equation Score Step 0
Variables
Umi
Sig.
2.388
1
.122
Umay
.611
1
.435
DIARE
7.348
1
.007
PARTIPER2
1.115
1
.291
NAFPOST2
5.491
1
.019
TKPDDAY2
1.821
1
.177
TKPDDIB2
.380
1
.538
BesKel
.242
1
.623
KatEko
.903
1
.342
.694
1
.405
18.79 2
10
.043
ispa Overall Statistics
df
Exp(B) 1.106
28 Block 1: Method = Forward Stepwise (Conditional) Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
Step 2
df
Sig.
Step
7.511
1
.006
Block
7.511
1
.006
Model
7.511
1
.006
Step
5.856
1
.016
Block
13.368
2
.001
Model
13.368
2
.001
Model Summary Step
Cox & Snell R Square
-2 Log likelihood
Nagelkerke R Square
1
a
184.831
.053
.070
2
178.975b
.092
.122
a. Estimation terminated at iteration number 3 because parameter estimates changed by less than .001. b. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than .001. Classification Tablea Predicted Perubahan BBU Observed Step 1
NAIK
Perubahan BBU
NAIK TIDAK NAIK
TIDAK NAIK
Percentage Correct
18
48
27.3
7
66
90.4
Overall Percentage Step 2
60.4
Perubahan BBU
NAIK
27
39
40.9
TIDAK NAIK
11
62
84.9
Overall Percentage
64.0
a. The cut value is .500 Variables in the Equation 95.0% C.I.for EXP(B) B Step 1a
DIARE Constant
Step 2b
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
-1.263
.484
6.804
1
.009
.283
Lower
Upper
.110
.731
.318
.190
2.818
1
.093
1.375
-1.300
.491
7.002
1
.008
.272
.104
.714
NAFPOST2
1.395
.616
5.131
1
.023
4.036
1.207
13.498
Constant
-.919
.587
2.450
1
.118
.399
DIARE
a. Variable(s) entered on step 1:DIARE. b. Variable(s) entered on step 2: NAFPOST2. Model if Term Removeda Model Log Likelihood
Variable
Change in -2 Log Likelihood
df
Sig. of the Change
Step 1
DIARE
-96.181
7.531
1
.006
Step 2
DIARE
-93.348
7.722
1
.005
NAFPOST2
-92.425
5.876
1
.015
a. Based on conditional parameter estimates
29 Variables not in the Equation Score Step 1
Variables
Umi
1
.195
.676
1
.411
PARTIPER2
.578
1
.447
NAFPOST2
5.708
1
.017
TKPDDAY2
1.131
1
.288
TKPDDIB2
.692
1
.405
BesKel
.492
1
.483
KatEko
1.285
1
.257
ispa
1.622
1
.203
12.014
9
.213
2.028
1
.154
.497
1
.481
PARTIPER2
1.125
1
.289
TKPDDAY2
1.056
1
.304
TKPDDIB2
1.022
1
.312
BesKel
.994
1
.319
KatEko
1.943
1
.163
.933
1
.334
6.611
8
.579
Overall Statistics Variables
Sig.
1.681
Umay
Step 2
df
Umi Umay
ispa Overall Statistics
30
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, putri dari pasangan Adenan dan Sulastri. Penulis dilahirkan di Mojokerto pada tanggal 17 Maret 1991. Penulis menyelesaikan pendidikan SD hingga kelas 5 SD di SDN Ngabar 1 Jetis Mojokerto kemudian pindah dan menyelesaikan pendidikan di SDN 1 Singa Geweh Sengata Selatan pada tahun 2003. Tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP YPPSB (Yayasan Pendidikan Swarga Bara). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Sengata Utara Kabupaten Kutai Timur dan lulus tahun 2009. Penulis melanjutkan studi ke IPB pada tahun 2009 melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari beasiswa penuh yang berasal dari PT Kaltim Prima Coal. Satu tahun pertama di IPB penulis mengikuti program Pra Universitas dan mulai mengikuti kuliah regular pada tahun 2010. Penulis berhasil masuk pada Program Studi Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengajar mata kuliah Pengantar Matematika TPB di bimbingan belajar dan privat Mafia Clubs sejak tahun 2010 hingga saat ini. Penulis juga pernah aktif sebagai staf divisi Komukasi dan Informasi dalam Keluarga Pelajar Mahasiswa Kalimantan Timur (KPMKT) dan anggota Club Kulinari Gizi. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Beduyut, Kecamatan Bangodua, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat pada tahun 2013. Penulis juga melakukan Internship Dietetik di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cibinong pada Februari 2014 dengan kasus penyakit dalam (kasus Diabetes Mellitus, Gastroenteritis Akut, Hipertensi dan Hipokalemia), kasus penyakit anak yaitu DHF (Dengue Hemoragic Fever) dan kasus bedah (Gangren Diabetes Mellitus).