Jurnal Veteriner September 2009 ISSN: 1411 – 8327
Vo. 10 No. 3:
Analisis Faktor Risiko Penyakit Distemper pada Anjing di Denpasar (RISK FACTORS ANALYSIS FOR CANINE DISTEMPER IN DOGS IN DENPASAR) I Gusti Made Krisna Erawan1), I Nyoman Suartha1), I Wayan Batan2), Emy Sapta Budiari3), Diana Mustikawati3) 1)
Laboratorium Penyakit Dalam Veteriner, 2)Laboratorium Diagnosis Klinik Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali 3) Dokter Hewan praktisi. e-mail: krisnaerawan[at]fkh.unud.ac.id
ABSTRACT A study was conducted to identify the risk factors for canine distemper disease in Denpasar, Bali. Risk factors for canine distemper disease were characterized using hospital records of private veterinary practitioners. This study showed that there was no difference in susceptibility to canine distemper virus infection between males and females. The occurrence of canine distemper disease is not significantly influenced by the season. The risk of canine distemper disease for young dogs, between 0 and 1 year was 4.95-fold increase than the risk of disease for dogs that were older than 1 year. Incompletely vaccination was associated with a 3.77-fold increase in the risk of canine distemper. Key word: canine distemper, risk factors, Oods-Ratio
Jurnal Veteriner September 2009 ISSN: 1411 – 8327
Vo. 10 No. 3:
terinfeksi (Siegmund, 2008; Sellon, 2005).
PENDAHULUAN Distemper adalah salah satu penyakit
Anjing
terinfeksi
distemper
dapat
menular yang menyerang anjing. Penyakit
mengeluarkan virus dalam beberapa bulan
tersebut disebabkan oleh virus dalam genus
(Siegmund, 2008).
Morbillivirus dari famili Paramyxoviridae
menyerang dan menimbulkan gejala atau
dan mempunyai hubungan dekat dengan
lesi
virus measles dan rinderpest (Frisk et al.,
gastrointestinal, urogenital, sistem saraf, dan
1999; Mochizuki et al., 1999; Rudd et al.,
kulit (Koutinas et al., 2004, Siegmund,
2006).
2008).
Virus distemper dapat menyerang
famili
Canidae,
Mustelidae,
dan
pada
mata,
Penyakit
memperlihatkan
dilaporkan
respirasi,
sangat bervariasi. Gejala dapat terjadi berat atau
telah
saluran
Gejala klinik yang ditimbulkan
Procyonidae (Headley dan Graca, 2000). tersebut
Virus distemper
ringan,
tanpa
atau
dengan
gejala-gejala
saraf
kejadiannya pada mamalia air seperti anjing
(Dharmojono,
laut (Kennedy et al., 2000) dan anjing liar di
Diagnosis tentatif untuk penyakit distemper
Afrika (Bildt et al., 2002; Spenser dan
umumnya dilakukan dengan melihat gejala
Burroughs, 1992). Walau pun kucing dan
klinis
babi
Pencegahan
telah
dapat
diinfeksi
secara
2001;
yang
Siegmund,
muncul penyakit
pada
2008).
penderita.
distemper
dapat
eksperimental, hal tersebut dianggap tidak
dilakukan dengan vaksinasi (Sellon, 2005;
penting dalam penyebaran distemper anjing
Spenser dan Burroughs, 1992).
(Headley dan Graca, 2000). Virus distemper
distemper pada anjing telah menurun secara
tidak dapat bertahan lama di luar induk
signifikan sejak dilancarkan upaya vaksinasi
semang dan peka terhadap desinfektan
dengan
seperti senyawa fenol atau ammonium
(modified live vaccine) sejak tahun 1960
kuaterner (Sellon, 2005).
(Dharmojono,
Distemper ditemukan tersebar di
menggunakan
Kommonen
vaksin
2001). et
al.
Namun (1997)
Kasus
hidup
Ek-
melaporkan
seluruh dunia (Headley dan Graca, 2000;
terjadinya wabah distemper pada tahun
Koutinas et al., 2004; Timoney et al., 1992).
1994-1995 di Finlandia termasuk pada
Penyebaran virus distemper yang paling
anjing-anjing yang telah divaksinasi.
utama adalah melalui sekresi partikel-
Studi epidemiologi distemper pada
partikel virus secara aerosol oleh hewan
anjing telah dilakukan di berbagai negara, di
Jurnal Veteriner September 2009 ISSN: 1411 – 8327
Vo. 10 No. 3:
antaranya di India, Denmark, Finlandia,
distemper yang menunjukkan hasil positif.
Brazil, dan Amerika Utara. Penelitian yang
Gejala klinis yang digunakan sebagai acuan
dilakukan di Brazil oleh Headley dan Graca
diagnosis penyakit distemper oleh dokter
(2000) menunjukkan bahwa kebanyakan
hewan
kasus terjadi pada musim dingin pada anjing
menurun, demam, leleran mukopurulen pada
berumur kurang dari 1,5 tahun dan terdapat
mata dan hidung, batuk, muntah, diare,
perbedaan kepekaan di antara ras anjing
pustula pada kulit abdomen, dan gejala saraf
tetapi tidak ada perbedaan yang nyata antara
(Dharmojono, 2001; Sellon, 2005).
anjing jantan dan betina.
Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor resiko
kejadian
penyakit
distemper
praktek
adalah
nafsu
makan
Prevalensi titik, prevalensi periode, dan OR dihitung menurut Thrusfield (2005).
di
Denpasar dengan menghitung nilai OddsRatio (OR) terhadap setiap faktor yang
Penelitian dilaksanakan pada bulan MaretJuni 2008.
terkait. HASIL DAN PEMBAHASAN Selama tahun 2004-2007, sebanyak
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan data
2.640 ekor anjing yang diperiksa pada
pasien anjing yang diperiksa pada klinik
dokter hewan praktek/klinik hewan yang
hewan
di
dijadikan tempat penelitian, sebanyak 105
Denpasar. Data yang dikumpulkan adalah
ekor didiagnosis secara klinis atau dengan
data tahun 2004-2007.
kit diagnosis menderita penyakit distemper.
dan
dokter
hewan
praktek
Pencatatan data
meliputi dugaan terhadap faktor resiko
Prevalensi
titik
penyakit
distemper
terjadinya penyakit distemper, yaitu jenis
bervariasi dari 0,99%
kelamin, umur, status vaksinasi, dan bulan
sampai 8,33% pada tahun 2004. Sedangkan
kejadian. Kelengkapan data yang meliputi
prevalensi periode tahun 2004-2007 adalah
data kelembaban udara dan temperatur
3,98% (Tabel 1).
lingkungan diperoleh dari Badan Meteorogi
distemper 3,98% di Denpasar lebih rendah
dan Geofisika Denpasar.
daripada prevalensi yang ditemukan oleh
pada tahun 2005
Prevalensi penyakit
penyakit
Ek-Kommonen et al. (1997) sebesar 21,7%
praktek
di Finlandia dan Headley dan Graca (2000)
berdasarkan atas gejala klinis atau tes kit
sebesar 11,7% di Brazil. Perbedaan tersebut
Penegakan distemper
oleh
diagnosis dokter
hewan
Jurnal Veteriner September 2009 ISSN: 1411 – 8327
Vo. 10 No. 3:
dapat disebabkan karena perbedaan tingkat
Jumlah kasus distemper setiap bulan
kepekaan metode diagnosis yang digunakan.
sangat berfluktuasi. Jumlah kasus terendah
Ek-Kommonen et al. (1997) menggunakan
terjadi pada bulan April dan Mei dan
metode indirect fluorescent antibody test dan
tertinggi terjadi pada bulan Desember
Headley dan Graca (2000) mendiagnosis
(Gambar 1).
penyakit distemper dengan histopatologi. Perbedaan prevalensi juga dapat disebabkan karena perbedaan tingkat kekebalan anjing yang diperiksa. Gejala klinis yang ditemukan pada semua kasus distemper anjing adalah batuk, diare, pustula pada kulit abdomen, dan gejala saraf berupa depresi, tremor otot atau ataksia.
Sedangkan gejala lain yang
ditemukan adalah demam (69,5%), leleran
Gambar 1. Distribusi kasus distemper setiap bulan di Denpasar tahun 2004-2007
mata (52,4%), leleran hidung (51,4%), muntah (38,1%), dan hiperkeratosis pada telapak kaki hanya ditemukan pada 4,8% kasus. Gejala-gejala tersebut sama dengan yang dilaporkan oleh peneliti terdahulu (Kennedy et al., 2000).
Berdasarkan
faktor-faktor
risiko
yang diduga berpengaruh terhadap penyakit distemper, ditemukan tingkat prevalensi yang
bervariasi.
Penyakit
distemper
ditemukan pada berbagai kondisi, bahkan ditemukan juga pada anjing yang telah divaksinasi. Tingkat prevalensi berdasarkan
Tabel 1. Prevalensi penyakit distemper di Denpasar tahun 2004-2007
vaksinasi)
n (anjing) Tahun
Prevalensi (%) total
faktor inang (jenis kelamin, umur, status
positif
2004
24
2
8,33
2005
101
1
0,99
2006
752
23
3,06
2007
1.763
79
4,48
Total
2.640
105
3,98
dan
lingkungan
disajikan pada Tabel 2.
(musim)
Jurnal Veteriner September 2009 ISSN: 1411 – 8327
Vo. 10 No. 3:
Tabe 2. Prevalensi penyakit distemper berdasarkan faktor risiko
bahwa temuan tersebut menguatkan teori bahwa
n (anjing) total positif
Faktor risiko Jenis kelamin Jantan Betina Umur >12 bulan <12 bulan Status vaksinasi Vaksin lengkap Vaksin tidak lengkap Musim Hujan Kemarau
Prevalensi (%)
jenis
kelamin
inang
tidak
berpengaruh terhadap prevalensi penyakit distemper.
Hasil berbeda diperoleh pada
1603 1037
68 37
4,24 3,57
669 1971
7 98
1,05 4,97
dilakukan di Madras, India, risiko menderita
671 1969
9 96
1,34 4,88
distemper antara anjing jantan dan betina
penelitian yang lain. Pada penelitian yang
adalah 60%:40%, sedangkan penelitian di 1291 1349
45 60
3,49 4,45
Texas, USA mendapatkan hasil sebaliknya, yaitu 45%:55%.
Besarnya pengaruh faktor risiko
Prevalensi distemper pada anjing
terhadap kejadian penyakit distemper pada
muda yang berumur kurang dari 12 bulan di
penelitian ini diduga dari nilai OR yang
Denpasar
disajikan pada Tabel 3.
sedangkan prevalensi pada anjing berumur
Tabel 3. Nilai OR faktor risiko terhadap kejadian penyakit distemper
di atas 12 bulan 1,05% (7/669).
adalah
4,97%
(98/1971),
Anjing
berumur kurang dari 12 bulan mempunyai Faktor risiko Jenis kelamin Jantan Betina Umur >12 bulan <12 bulan Status vaksinasi Vaksin lengkap Vaksin tidak lengkap Musim Hujan Kemarau
Negatif n
%
Positif n %
OR
1535 1000
95,76 96,43
68 37
4,24 3,57
0,84
662 1873
98,95 95,03
7 98
1,05 4,97
4,95
662
98,66
9
1,34
1873
95,12
96
4,88
1246 1289
96,51 95,55
45 60
3,49 4,45
risiko menderita distemper 4,95 kali lebih tinggi dibadingkan anjing berumur di atas 12 bulan (nilai OR: 4,95).
Hasil serupa
dilaporkan oleh beberapa peneliti (Headley dan Graca, 2000; Suartha et al., 2008). Pada
3,77
umur tersebut terjadi penurunan antibodi 1,29
maternal, tingkat cekaman yang tinggi karena lepas sapih dan masa pertumbuhan,
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kepekaan terhadap penyakit distemper antara jenis kelamin jantan dan betina.
Hasil yang sama
serta kemungkinan adanya infeksi penyakit lain yang menurunkan kondisi tubuh anjing. Anjing yang divaksinasi tetapi tidak lengkap
berisiko
menderita
dibandingkan
distemper
dikemukakan oleh Headley dan Graca
3,77:1,00
anjing
yang
(2000) yang melakukan penelitian di Brazil.
divaksin secara lengkap (nilai OR: 3,77).
Headley dan Graca (2000) melaporkan
Bahkan Patronek et al. (1995) melaporkan
Jurnal Veteriner September 2009 ISSN: 1411 – 8327
Vo. 10 No. 3:
bahwa risiko penyakit distemper meningkat
menekan daya tahan tubuh hewan yang baru
350 kali pada anjing yang tidak divaksinasi.
lahir dan disapih (Headley dan Graca, 2000).
Sellon (2000); Spenser dan Burroughs
Temperatur
rata-rata
dan
(1992) melaporkan bahwa kunci pencegahan
kelembaban udara di Denpasar tahun 2004-
terhadap penyakit distemper adalah dengan
2007 pada musim hujan mau pun pada
vaksinasi.
musim kemarau tidak terlalu berfluktuasi
Modified live vaccine (MLV)
atau vaksin rekombinan efektif membentuk
(Gambar 1).
kekebalan. Durasi kekebalan yang terbentuk
mau pun kelembaban udara di negara empat
setelah vaksinasi cukup lama dan interval
musim. Hal tersebut diduga mengakibatkan
vaksinasi dilakukan setiap 3 tahun. Walau
hasil penelitian berbeda dengan di negara
pun dilaporkan penyakit distemper dapat
empat musim.
Berbeda dengan temperatur
terjadi pada anjing yang telah divaksinasi (Ek-Kommonen et al., 1997), vaksinasi
SIMPULAN
sebaiknya dilakukan saat antibodi maternal
Faktor
inang
yang
berisiko
menurun dan diikuti dengan booster secara
meningkatkan kejadian penyakit distemper
periodik hingga anjing mendapat vaksinasi
adalah faktor umur dan status vaksinasi.
secara lengkap.
Anjing berumur muda memiliki risiko lebih
Penelitian ini menunjukkan bahwa
tinggi terinfeksi virus distemper dan risiko
kasus distemper di Denpasar tidak secara
lebih besar terhadap infeksi virus distemper
nyata dipengaruhi oleh faktor musim.
juga terjadi pada anjing yang tidak divaksin
Prevalensi
atau divaksin tidak lengkap.
pada
musim
hujan
3,49%
Faktor jenis
(45/1246) dan pada musim kemarau 4,45%
kelamin dan musim tidak meningkatkan
(60/1289).
risiko kejadian penyakit distemper.
Hasil berbeda dilaporkan oleh
peneliti lain yang menyatakan jumlah kasus menurun pada saat kelembaban udara
UCAPAN TERIMAKASIH
rendah dan temperatur mulai meningkat.
Terjadi peningkatan kasus distemper secara
kepada kolega drh. Anom, drh. Soeharsono,
nyata pada musim dingin dan musim semi
Ph.D., drh. Listriani Wistawan, dan Klinik
serta penurunan jumlah kasus pada musim
Hewan Dr. Dharma yang telah memberikan
panas dan musim gugur.
Musim dingin
kesempatan kepada penulis memanfaatkan
cocok untuk kehidupan virus dan diduga
data pasien sebagai sumber data pada
Penulis mengucapkan terima kasih
Jurnal Veteriner September 2009 ISSN: 1411 – 8327
penelitian ini sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA Bildt MWG, Kulken T, Visee AM, Lema S, Fitzjohn TR, Osterhaus ADME. 2002. Distemper outbreak and its effect on african wild dog conservation. Emerging Infect Dis 8: 211-213. Dharmojono. 2001. Kapita selekta kedokteran veteriner 1 (hewan kecil). Jakarta: Pustaka Popular Obor. Ek-Kommonen C, Sihvonen L, Pekkanen K, Rikula U, Noutio L. 1997. Outbreak of canine distemper in vaccinates dogs in Finland. Vet Rec 141: 380383. Frisk AL, Konig M, Moritz A, Baumgartner W. 1999. Detection of canine distemper virus nucleoprotein RNA by reverse transcription-PCR using serum, whole blood, and cerebrospinal fluid from dogs with distemper. J Clin Micro 37: 36343643. Headley SA, Graca DL. 2000. Canine distemper: epidemiological finding of 250 cases. Brazilian J Vet Res Anim Sci 37. Kennedy S, Kuiken T, Jepson PD, Deaville R, Forsyth M, Barett T, Bildt MWG, Osterhaus ADME, Eybatov T, Duck C, Kydyrmanov A, Mitofanov I, Willson I. 2000. Mass die-off of caspian seals caused by canine distemper virus. Emerging Infect Dis 6:637-639.
Vo. 10 No. 3:
Koutinas AF, Baumgartner W, Tontis D, Polizopoulou Z, Saridomichelakis MN. 2004. Histopathology and immunohistochemistry of canine distemper virus-induced footpad hyperkeratosis (hard pad disease) in dogs with natural canine distemper. Vet Pathol 41: 2-9. Mochizuki M, Hashimoto M, Hagiwara S, Ishiguro S. 1999. Genotypes of canine distemper virus determined by an hemagglutinin genes of recent isolates from dogs in Japan. J Clin Microbiol 37: 2936-2942. Patronek GJ, Glickman LT, Johnson R, Emerick TJ. 1995. Canine distemper infection in pet dogs: II. A casecontrol study of risk factors during a suspected outbreak in Indian. J Am Anim Hospital Ass 31: 230-235. Rudd PA, Cattanco R, Messling VV. 2006. Canine distemper virus uses both the anterograde and the hematogenous pathway for neuroinvasion. J Virol 80:9361-9370. Sellon RK. 2005. Canine viral disease. In Ettinger SJ, Feldman EC (Ed) Textbook of veterinary internal medicine, disease of dog and cat. 6th ed. St. Louis, Missouri: Sounder Elsevier. Siegmund OH, Fraser CM. 2008. The Merck Veterinary Manual. A handbook of diagnosis and therapy for the veterinarian. Rahway, New York: Merck & Co., Inc.
Jurnal Veteriner September 2009 ISSN: 1411 – 8327
Spenser J, Borroughs R. 1992. Antibody response to canine distemper vaccine in African wild dogs. J Wildlife Dis 28: 443-444. Suartha IN, Mahardika IGNK, Dewi IASC, Nursanty NKD, Kote YLS, Handayani AD, Suartini IGAA. 2008. Penerapan teknik Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction untuk peneguhan diagnosis penyakit distemper pada anjing. J Vet 9: 25-32.
Vo. 10 No. 3:
Thrushfield M. 2005. Veterinary Epidemiology. 3rd ed. UK: Balckwell Science Ltd. Timoney JF, Gillessipie JH, Scott FW, Barlough JE. 1992. Hagan and Bruner’s microbiology and infectious diseases of domestic animal. 8th ed. New York: Cornell.