Y. Budi Susanto
1
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR INDIVIDUAL YANG BERPENGARUH TERHADAP ORIENTASI PENGEMBANGAN PRODUK Studi Empirik pada Sentra Industri Sepatu Cibaduyut Y. Budi Susanto Universitas Multimedia Nusantara Abstract Goal of this paper is to investigated the dimensions or factors from individual characteristic leadership or the founder of the firm which in this context is strategic leadership competency and entrepreneurial orientation. This research conducted base on interview and observation, later on the 82 questionere are distributed through 82 shoes craftman in Cibaduyut. Hipothesis are tested using Multiple Linear Regression. Finding of this paper is there are 4 factors that has significant influence on Product Development Orientation. These 4 factors are Strategic Leadership, Comprehensiveness, Deftness, Adaption and Absorbtion. Entreprenuer Orientation & Innovation has significant influence on Product Development Orientation and the other factor are not significant. Keyword : Strategic Competency Leadership, Entreprenuer Orientation, Market Orientation, Product Development Orientation I. Pendahuluan Di Cibaduyut, saat ini terdapat sekitar 800 pengusaha sepatu, yang sebagian besar adalah pengrajin. Dilihat dari keberhasilan berbisnis, belum banyak pengrajin yang menikmati kinerja bisnis yang baik. Daya tawar yang rendah terhadap pedagang besar, membuat pengrajin hanya memiliki marjin yang tipis, yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan pengrajin beserta tenaga kerjanya. Beberapa penyebab yang sering dikeluhkan para pengrajin adalah kurangnya sumberdaya tenaga terampil, tekanan harga oleh pedagang pengecer besar, bahan baku yang langka dan harganya cenderung naik terus, intervensi pemerintah yang tidak tepat sasaran, dlsb. Dilihat dari perspektif kultural, penyebab lain adalah etos kerja yang kurang tepat seperti terlihat dari penggunaan uang pembayaran yang digunakan untuk bersenang-senang. Sikap tidak dapat menerima kehadiran pelaku usaha etnis tertentu yang dikhawatirkan dapat mematikan bisnis atau usaha para pelaku usaha pribumi,
Sebagian besar pengrajin merupakan pengikut pasar (market follower). Namun masih ada beberapa pengrajin yang bermental pelaku industri yang baik. Mereka berusaha keras untuk memiliki konsep dalam berproduksi, memasarkan, dan berbisnis pada umumnya. Dalam berproduksi, mereka mencoba fokus pada jenis produk tertentu sesuai dengan aspirasinya, ada yang focus pada sepatu boot, anak-anak, wanita, dan lain sebagainya dengan desain dan bahan yang mereka pilih. Dari segi pemasaran, mereka tidak mau ditekan pedagang, sehingga memilih menjual secara online, maupun memenuhi pesanan merek-merek ternama di tingkat nasional, seperti Andrew, Playboy, Yongky Komaladi, dlsb. Ada juga yang mengembangkan merek sendiri seperti Nakerschoe, D’Class, Hikers, Nurfion, dlsb. Ketidak-mampuan membangun merek yang disikapi dengan mentalitas membuat produk dengan merek ternama seperti Wrangler, Versace, Caterpilar, dlsb hanya memperburuk situasi. Pemerintah berperan melalui UPT Persepatuan, dengan program pelatihan, Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
2
Analisis Faktor-Faktor Individual yang Berpengaruh Terhadap Orientasi Pengembangan Produk
penyewaan alat-alat produksi dengan harga murah, dan penyewaan aula untuk berbagai acara terkait persepatuan. Kehadiran pedagang yang berasal dari luar Cibaduyut maupun dari luar Jawa, turut memperburuk situasi dalam bentuk makin kuatnya persaingan harga, hingga mayotitas produk yang dijual adalah produk murah. Secara makro, hal ini membuat Cibaduyut lebih eksis sebagai sentra perdagangan, bukan sentra industry. Sementara dari segi mikro, hal ini membuat pengrajin menjadi lebih bermental produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar saja. Namun di tengah suramnya kondisi tersebut, masih ada secercah harapan. Hal ini terlihat dari masih adanya beberapa pengrajin yang memiliki misi dan visi dalam menjalankan. Mereka menjalankan usaha tidak sekedar didorong kepentingan ekonomi untuk menyambung hidup, melainkan dengan mengembangkan produk dan brand yang dapat menjadi pemenuhan kebutuhan eksistensi atau identitas diri. Beberapa pengrajin berusaha eksis dengan tetap memproduksi sepatu kelas atas. Sepatu ini disebut sepatu buatan tangan (hand-made), yang memiliki nilai seni sebagai karya kerajinan (craft) tinggi, dengan bahan seratus persen kulit, dengan teknik Cementing, Blake Stitch, maupun Goodyear Welt. Mereka diantaranya adalah Tegep Boots, Batant Stride, Fortuna, Parker, Old Dog, dlsb. Dilihat dari ketersediaan sumberdaya, industry sepatu Cibaduyut memiliki seperti bahan baku dan keahlian membuat sepatu. Namun ketidakmampuan manajemen bisnis, berakibat belum diperoleh kinerja bisnis yang baik. Pengamatan mununjukkan, sumberdaya lain, dalam hal ini SDM, industry sepatu Sementara itu menurut Vorhies dan Morgan (2012), kinerja sebuah perusahaan dipengaruhi oleh sebuah orientasi stratejik yang disebut Orientasi Pasar. Melihat kondisi di atas, terlihat para pelaku usaha tidak memiliki orientasi pasar yang jelas. Dari pengamatan menunjukkan pula
adanya kelemahan aspek-aspek kewirausahaan, seperti kurangnya inovasi, keberanian mengambil resiko,dan lain sebagainya. Melihat situasi ini, perlu dilakukan sebuah penelitian yang dapat memberi gambaran factor-faktor kewirausahaan tersebut,yang sering disebut sebagai Orientasi Kewirausahaan, mempengaruhi terbentuknya orientasi Pasar yang baik di kalangan para pengusaha di Cibaduyut. Dengan mengetahui hal ini,maka dapat dilakukan usaha pembenahan yang lebih tepat sasaran. II. Tinjauan Literatur dan Hipotesis Orientasi kewirausahaan Selain menghadapi keterbatasan sumberdaya, perusahaan kecil dan menengah menghadapi persoalan pasar, dalam berbagai dimensi persoalannya, seperti perilaku konsumen, perkembangan teknologi, regulasi pemerintah, dan lain sebagainya, yang harus dengan cepat dan tepat direspon dengan berbagai langkah bisnis umumnya, dan pemasaran khususnya. Untuk itu, UMKM membutuhkan pimpinan seorang yang dapat menjalankan proses kewirausahaan dengan baik, atau memiliki sebuah Orientasi Kewirausahaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep Orientasi Kewirausahaan dapa dipandang sebagai uaya penempatan konsep manajemen stratejik ke dalam domain manajemen pemasaran. Lumpkin dan Dess (1996) mencoba membedakan antara pengertian kewirausahan (entrepreneurship) dengan orientasi kewirausahaan (entrepreneurial orientation). Mereka mendefinisikan kewirausahan sebagai konten strategi, berikut cara-cara tindakan yan dilakukan, dalam mendirikan sebuah perusahaan baru (new entry). Contohnya adalah memasuki pasar lama dengan barang baru, dan lain sebagainya. Sedangkan Orientasi Kewirausahaan mereka definisikan sebagai gaya pengambilan keputusan, proses, dan Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
Y. Budi Susanto
metode dari seseorang, untuk dapat berhasil mendirikan dan menjalankan usaha baru tersebut. Definisi orientasi kewirausahaan dijelaskan melalui tiga dimensi inovatif, pengambilan risiko, dan sifat proaktif (Miller, 1983). Lebih jauh Lumpkin dan Dess (1996) menambahkan dimensi otonomi dan agresivitas pada definisi orientasi kewirausahaan tersebut. Dengan demikian, variabel Orientasi Kewirausahaan dapat diwakili oleh dimensi-dimensi sebagai berikut: 1. Inovatif. Inovatif adalah sifat kepribadian wirausahawan yang cenderung terlibat dan mendukung berbagai berbagai proses pencarian ide baru, eksperimen, dan proses kreatif lain yang dapat menghasilkan produk maupun proses baru. Menurut Lumpkin dan Dess (1997), Orientasi Kewirausahaan adalah kecenderungan untuk terlibat dalam dan mendukung ide-ide baru, kebaruan, eksperimen, dan proses-proses kreatif yang mungkin menghasilkan produk baru, jasa, atau proses teknologis. 2. Pengambilan risiko. Pengambilan risiko merupakan sifat wirausahawan yang berkomitmen untuk menanggung segala risiko atas kinerja organisasi bisnis yang dibangunnya sebagai hasil inisiatifnya untuk menangkap peluang yang telah diidentifikasinya. Ia merisikokan dirinya sendiri, bekerja untuk diri sendiri, dan tidak bekerja untuk orang lain. Risiko tersebut muncul dari ketidakpastian atas hasil yang diperoleh, dari berbagai sumber daya yang telah disediakannya (Baird dan Thomas, 1985). Cantillon (1734), yang merupakan orang pertama yang secara resmi menggunakan istilah “kewirausahaan”, mengemukakan bahwa faktor utama yang memisahkan dan membedakan para wirausahawan dari para karyawan atau tenaga profesional yang dibayar adalah soal ketaktentuan dan risiko dari bekerja sendiri sebagai wirausahawan. Miller dan Friesen (1978: 923)
3
mengadopsi konsep ini ketika mereka mendefinisikan pengambilan risiko sebagai “tingkat di mana para manajer bersedia membuat komitmen yang besar dan berisiko terkait sumber daya yang mereka miliki, yaitu sumber daya yang mempunyai peluang kegagalan tingkat tinggi.” Venkatraman (1989a) menggunakan pendekatan yang serupa, dengan bertanya kepada para manajer sampai tingkat mana mereka mengikuti lorong coba-dan-benar atau cenderung hanya mendukung proyek-proyek di mana mereka mengharapkan keuntungan yang nyata dan pasti. 3. Proaktif. Proaktif adalah lawan dari reaktif. Wirausahawan harus memiliki sifat yang berani untuk bertindak terlebih dahulu, tidak menunggu orang lain bertindak baru memberikan reaksi (reaktif) di dalam mencari peluang-peluang baru untuk diimplementasikan dalam organisasi bisnis sehari-hari. Kamus Webster Edisi Kesembilan untuk Perguruan Tinggi (1991: 937) mendefinisikan proaktif sebagai “bertindak mengantisipasi persoalan-persoalan, kebutuhan, atau perubahan yang mungkin terjadi di masa depan.” Venkatraman (1989a: 949) mengemukakan bahwa proaktivitas mengacu pada proses-proses yang diarahkan untuk mengantisipasi dan bertindak karena dorongan kebutuhan di masa depan dengan mencari peluangpeluang baru yang mungkin, atau mungkin tidak, terkait dengan garis operasional sekarang ini, memperkenalkan produkproduk atau merek baru sebelum adanya kompetisi, menghapus secara strategis operasi-operasi yang sedang dalam tahap matang ataupun menurun dari siklus kehidupan.” Lebih jauh menurut Dess Lumpkin (1997), proaktivitas mengacu pada bagaimana sebuah perusahaan berhubungan dengan peluang-peluang pasar dalam proses usaha baru. Lawan konseptual dari proaktivitas adalah pasivitas (lebih dari sekadar reaktif), yaitu Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
4
Analisis Faktor-Faktor Individual yang Berpengaruh Terhadap Orientasi Pengembangan Produk
ketidakacuhan atau ketidakmampuan untuk merebut peluang atau keuntungan di arena pasar. 4. Otonomi. Seorang wirausahawan adalah seorang yang mandiri, otonom. Dengan keberaniannya mengambil risiko, otonomi menjadi sebuah keharusan melekat yang harus ada pada wirausahawan. Peluang yang telah diidentifikasinya diwujudkan dalam bentuk organisasi bisnis beserta tindakan operasionalnya, secara mandiri, independen (Sapienza dan Crijns, 2003). Menurut Lumpkin dan Dess (1997), otonomi mengimplikasikan tindakan yang bebas dari seorang individu atau sebuah tim dalam melahirkan sebuah gagasan atau suatu visi dan menjalankannya sampai terwujud secara penuh. 5. Agresif. Agresif merupakan sifat wirausahawan untuk berani mengeluarkan produk baru atau memodifikasi produk lama, dan bersaing dengan produk lain yang sudah mapan, guna memenangkan persaingan di pasar (Lumpkin dan Dess, 1996). Sementara proaktivitas melibatkan pengambilan inisiatif dalam sebuah upaya untuk membentuk lingkungan untuk keuntungan seseorang, responsivitas melibatkan kemampuan adaptif terhadap tantangan-tantangan dari para kompetitor atau pesaing. Keagresifan kompetitif mengacu pada dorongan khas sebuah perusahaan untuk menantang para pesaingnya secara langsung dan secara intensif untuk mencapai posisi baru atau memperbaiki posisi, yaitu, untuk mencapai hasil jauh lebih unggul daripada para lawannya di arena pasar. Orientasi Pasar Untuk mendapatkan kinerja pemasaran yang baik setiap perusahaan perlu memiliki strategi pemasaran yang tepat. Makna pemasaran mengalami evolusi, sejalan dengan perkembangan teknologi dan peradaban manusia. Kotler (2010) membagi-bagi perkembangan
makna pemasaran dalam periode-periode yang dinamai dengan Marketing 1.0, Marketing 2.0, dan Marketing 3.0. Marketing 1.0 adalah makna pemasaran pada era awal terjadinya keberlimpahan barang akibat revolusi industri, di mana pemasaran dimaknai sebagai productoriented marketing, dan didefinisikan sebagai proses membawa barang ke pasar. Sedangkan Marketing 2.0 disebut sebagai customer-oriented marketing, di mana pemasaran didefinisikan sebagai proses pemenuhan kebutuhan konsumen. Sedangkan Marketing 3.0 disebut sebagai value-oriented marketing, di mana pemasaran didefinisikan sebagai proses pertukaran nilai bagi semua pihak terkait. Menurut Kotler, 2010, salah satu komponen strategi pemasaran adalah orientasi manajemen pemasaran. Terdapat lima alternatif konsep atau orientasi: orientasi produk, orientasi produksi, orientasi penjualan, orientasi pemasaran, dan orientasi pemasaran sosial. Melihat pengertian berbagai orientasi di atas, dan sejalan dengan definisi dan makna strategis pemasaran sebagai fungsi strategis perusahaan untuk menciptakan dan meng-optimalkan pertukaran nilai (value exchange), maka dapat disimpulkan bahwa Orientasi Pemasaran merupakan konsep atau orientasi strategis yang paling tepat untuk digunakan saat ini. Namun, sesuai dengan Vorhies et al (2005), guna menekankan makna substansialnya istilah orientasi pemasaran untuk seterusnya akan diganti dengan orientasi pasar. Mengapa Orientasi Pasar (Market Orientation), bukan Orientasi Pemasaran (Marketing Orientation)? Istilah orientasi pasar lebih bermakna menyeluruh pada fungsi strategis institusi perusahaan. Sementara, orientasi pemasaran bisa mereduksi makna hanya menjadi tanggung jawab satu bagian manajemen fungsional saja. Penciptaan nilai bagi pelanggan bukanlah tanggung jawab fungsional pemasaran saja, melainkan sebuah orkestra Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
Y. Budi Susanto
simfoni di mana semua bagian harus berkontribusi secara terencana dan terpadu di bawah kordinasi seorang konduktor, sehingga diperoleh efek sinergis. Dari penelitian terdahulu, terdapat dua perspektif Orientasi Pasar. Perspektif pertama adalah perspektif kultural (Narver dan Slater 1990, Deshpande, Farley, dan Webster 1993), yang mendefinisikan Orientasi Pasar sebagai norma dan nilainilai individual yang berpusat pada pasar. Orientasi Pasar pada perspektif ini selanjutnya disebut Orientasi Pasar Individual (Individual Market Orientation, IMO) oleh Lam, Kraus, dan Ahearne (2010). Perspektif kedua adalah perspektif perilaku (behavioral) (Kohli dan Jaworski, 1990, 1993), yang mendefinisikan Orienasi Pasar sebagai aktivitas organisasional yang bertujuan mengembangkan pemasaran yang perhatiannya berfokus atau berpusat pada pasar. Dari perspektif kultural, menurut Lam, Kraus, dan Ahearne (2010), Orientasi Pasar terdiri dari tiga dimensi sebagai berikut: 1. Orientasi Pelanggan (Customer Orientation) Orientasi pelanggan adalah pemahaman yang mencukupi atas siapa pembeli yang menjadi sasaran utama, untuk dapat diciptakan nilai bagi mereka secara berkelanjutan (Levitt, 1980), melalui produk yang nilainya bertambah (augmented). Seorang dengan orientasi pelanggan harus memahami rantai nilai keseluruhan tidak hanya saat ini saja, tetapi secara jangka panjang, sesuai dengan dinamika pasar maupun internal perusahaan (Day dan Wensley, 1988). 2. Orientasi Pesaing (Competitor Orientation) Orientasi pesaing berarti seorang produsen memahami kekuatan dan kelemahan jangka pendek dan strategi dan kapabilitas jangka panjang, dari pesaing kuat saat ini dan pesaing potensial ke depan (Aaker 1988; Day dan Wensley, 1988; Porter
5
1980, 1985). Sejalan dengan analisis pelanggan, analisis pesaing saat ini dan potensi pesaing masa depan harus mencakup kapabilitas teknologi terkait. 3. Orientasi Produk (Product Orientation) Yang dimaksud dengan Orientasi Produk adalah sifat dan keterampilan yang terkait dengan produk dan proses produksi. Seseorang dikatakan memiliki orentasi produk manakala ia sangat respek dan menyukai sebuah produk dan memiliki keterampilan yang terkait dengan roses produksi produk tersebut. Oleh Narver dan Slater (1990) dimensi ini diganti dengan Koordinasi Fungsional, yakni kemampuan mengkoordinir semua sumber daya perusahaan dalam menciptakan produk yang memberi nilai superior bagi pelanggan. Terkait dengan hubungan antara orientasi pasar (OP) dengan keunggulan kompetitif berkelanjutan (sustainable competitive advantage), V. Kumar, Eli Jones, Rajkumar Venkatesan, dan Robert P. Leone (2011), dalam risetnya mencoba mengkaji apakah OP memang dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif, atau hanya biaya kompetisi? Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa OP memiliki efek positif pada kinerja bisnis, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Keunggulan kompetitif berkesinambungan kinerja bisnis hasil OP lebih besar pada perusahaan yang lebih awal menerapkannya. Perusahaanperusahaan ini juga menunjukkan memperoleh penjualan dan laba yang lebih besar, dibandingkan perusahaan yang lebih lambat menerapkannya. Perusahaanperusahaan yang mengadopsi OP juga menyadari manfaat tambahan dalam bentuk peningkatan penjualan dan laba, karena adanya carryover effect. OP secara nyata juga berkontribusi besar dalam peningkatan laba, karena OP berfokus pada upaya mempertahankan pelanggan daripada mendapatkan pelanggan baru. Turbulensi lingkungan dan intensitas Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
6
Analisis Faktor-Faktor Individual yang Berpengaruh Terhadap Orientasi Pengembangan Produk
kompetensi menjadi variabel penengah (moderating variable) untuk pengaruh OP terhadap kinerja bisnis, di mana dampak moderasinya pada dekade 1990-an lebih besar daripada dekade 2000-an. Sementara menurut Kirca et al (2010), salah satu antesedens yang berpengaruh terhadap Orientasi pasar adalah faktor individual pemimpin. Ini
H1
sangat signifikan untuk perusahaan yang tergolong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), seperti para pengrajin Cibaduyut. Beberapa faktor individual yang mungkin berpengaruh adalah Kompetensi Kepemimpinan Stratejik dan Orientasi Kewirausahaan. Oleh karena.itu, maka pada penelitian ini diajukan model penelitian sebagai berikut:
H5
H2
H6
H3
H7
H4
H8
Gambar 2.1. Model Penelitian Adapun hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut: Faktor-faktor kemampuan atau kompetensi kepemimpinan stratejik, berturut-turut berpengaruh signifikan terhadap Orientasi Pengembangan Produk (H1, H2, H3, H4). Demikian juga,faktorfaktor Orientasi kewirausahaan berturutturut berpengaruh secara signifikan terhadap Orientasi pengembangan produk (H5, H6,H7,H8). III. Metode penelitian Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yakni penelitian awal yang bersifat eksploratori, dan dilakukan dengan cara pengamatan lapangan dan wawancara mendalam (indepth interview). Penelitian awal ini bertujuan merumuskan fenomena dan masalah pemasaran yang ada, serta
mencari konsep-konsep pemasaran yang terkait, yang diduga berperan dalam terbentuknya kinerja perusahaan seperti yang ada saat ini. Wawancara dilakukan terhadap pelaku usaha, instansi pemerintah terkait, konsumen, dan akademisi. Selanjutnya setelah fenomena dan masalah dirumuskan,dilakukan studi literature untuk mencari informasi tentang konsep-konsep yang terkait, model structural hubungan antar konsep tersebut, dan model pengukuran yang sahih. Pada prinsipnya, penelitian awal ini bersifat kualitatif. Dari penelitian awal kualitatif tersebut, dapat dirumuskan hipotesis model dan hubungan antar konsep, yang selanjutnya akan dilakukan penelitian utama yang bersifat kuantitatif. Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
Y. Budi Susanto
7
Penelitian utama bersifat kuantitatif dan deskriptif. Penelitian kuantitatif dilakukan melalui pengukuran berbagai konsep penelitian yang selanjutnya disebut variable penelitian. Untuk ini, dibuat dan disebarkan kuesioner yang harus diisi oleh para pengrajin. Di sini dilakukan pengukuran terhadap variable penelitian dengan skala interval. Karena variable
No
Konstruk/Konsep/ Variabel
Definisi
1
Kompetensi Kepemimpinan Stratejik
2
3
penelitian bersifat abstrak, maka pada setiap variable perlu dibuat indicatorindikator yang lebih bersifat empiric, sehingga pengukuran dapat dilakukan dengan hasil yang lebih akurat. Proses tersebut disebut operasionalisasi variable. Table berikut menunjukkan operasionalisasi variable penelitian.
Dimensi
Indikator
Kemampuan memahami lingkungan bisnis, merumuskan strategi, dan meng-implementasi-kan strategi bisnis, untuk mencapai tujuan organisasi sesuai dengan misi dan visi organisasi (Hitt and Ireland, 2010)
1. 2. 3. 4.
Comprehensive Deftness Absorbtive Adaptive
@ 5 items
Orientasi Kewirausahaan
Gaya pengambilan keputusan, proses, dan metode yang menunjukkan kewirausahaan perusahaan (Lumpkin & Dess, 1996)
1. 2. 3. 4.
Inovatif Resiko Proaktif Agresif
@ 5 items
Orientasi Pasar
Budaya organisasi yang memberikan norma-norma kuat untuk belajar dari pelanggan dan pesaing (Modifikasi Narver and Slater 1993, dan Lam, Kraus, Ahearne, 2010)
1. Pelanggan 2. Pesaing 3. Produk
@ 5 items
IV. Hasil dan pembahasan Profil Responden Dari responden yang berjumlah 82 orang pengrajin, berikut inii adalah statistic yang menggambarkan deskripsi demografis dari para pengrajin sepatu di Cibaduyut.
Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
8
Analisis Faktor-Faktor Individual yang Berpengaruh Terhadap Orientasi Pengembangan Produk
SEX
Valid FEMALE MALE Total
Frequency Percent 5 6.1 77 93.9 82 100.0
Valid Cumulative Percent Percent 6.1 6.1 93.9 100.0 100.0
Dilihat dari jenis kelamin, terlihat bahwa jumlah pengrajin laki-laki yang menjadi responden adalah 77 orang (93.9%), sedang jumlah pengrajin yang menjadi responden adalah 5 orang (6.1%). Halini menunjukkan mayoritas pengrajin sepatu di Cibaduyut masih didominasi lakilaki. AGE
Valid >50 31-40 41-50 Total
Frequency Percent 46 56.1 6 7.3 30 36.6 82 100.0
Valid Cumulative Percent Percent 56.1 56.1 7.3 63.4 36.6 100.0 100.0
Dilihat dari jenis umur, mayoritas pengrajin berumur di atas 50 tahun (46%). menunjukkan kurangnya kaderisasi pelaku usaha di Cibaduyut. EDU
Valid AKA AKAD S1 S2 SMA Total
Frequency Percent 2 2.4 1 1.2 6 7.3 1 1.2 72 87.8 82 100.0
Hal ini
Valid Cumulative Percent Percent 2.4 2.4 1.2 3.7 7.3 11.0 1.2 12.2 87.8 100.0 100.0
Dilihat dari latarbelakang pendidikan, terlihat bahwa sebagian besar pengrajin sepatu Cibaduyut, yaknj sejumlah 72 orang (87.8%) adalah SMA. Ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mereka harus ditingkatkan.
Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
Y. Budi Susanto
9
Dilihat dari segi lama menjadi pengusaha, terlihat bahwa sebagian besar pengrajin sepatu Cibaduyut, yakni sejumlah 45 orang (54.9%) telah berbisnis selama 11-20 tahun. Hal ini menunjukkan mereka sudah cukup lama berbisnis. CAP
Valid 100% MAJOR MINOR Total
Frequency Percent 53 64.6 28 34.1 1 1.2 82 100.0
Dilihat dari komposisi modal yang dikeluarkan, terlihat bawa sebagian besar pengrajin sepatu Cibaduyut, yakni sejumlah 53 orang (64.6%) berbisnis dengan 100% modal sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa mereka belum banyak melibatkan bank dalam permodalan.
Valid Cumulative Percent Percent 64.6 64.6 34.1 98.8 1.2 100.0 100.0 Uji Hipothesis Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah hubungan antar konsep pemasaran yang dirumuskan dalambipotesis, diterima atau tidak berdasarkan hasilmpengolahan data kuesioner dari para responden. Dari pengolahan regresi linier berganda dengan menggunakan SPSS diperoleh luaran sebagai berikut:
Dari luaran SPSS di atas dapat dilihat bahwa model penelitian di sinimemiliki persamaan regresi linier berganda sebagai berikut: Y = 0.074 – 0.557 COMP + 0.266DEFT + 0.354ABSO + 0.441ADAP + 0.510INOV – 0.082 RESI – 0.079PROA + 0.098 AGRE
Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
10
Analisis Faktor-Faktor Individual yang Berpengaruh Terhadap Orientasi Pengembangan Produk
Dilihat dari nilai t dan signifikansi, terlihat bahwa semua faktor-faktor Kompetensi Kepemimpinan Stratejik secara signifikan berpengaruh terhadap orientasi pengembangan produk. (Hipothesis 1-4 diterima, ditunjukkan dari nilai t > 1.96, atau nilai signifikansi < 0.05). Sedangkan factor-faktor Orientasi Kewirausahaan yang secara signifikan berpengaruh terhadap
orientasi pengembangan produk hanya faktor Inovatif (Hipothesis 5 diterima, ditunjukkan dari nilai t > 1.96, atau nilai signifikansi < 0.05), dimana tiga factor yang lain tidak berpengaruh terhadap produk (Hipothesis 6-8 ditolak, ditunjukkan dari nilai t < 1.96, atau nilai signifikansi > 0.05)
Dari table Model Summary di atas terlihat bahwa nilai Koefisien Determinasi (R2) adalah sebesar 0.667. Artinya variable-variabel dalam penelitian ini menggambarkan kekuatan pengaruh terhadap orientasi pengembangan produk baru adalah
sebesar 66.6%, di mana ini berarti 33,3 persen dipengaruhi oleh variable lain.
V. Kesimpulan dan saran Dari hasil regresi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor Kompetensi Kepemimpinan Stratejik lebih berpengaruh terhadap Orientasi Pengembangan Produk baru, dibandingkan dengan Orientasi kewirausahaan. Oleh karena itu sebagai implikasi manajerial, lebih disarankan upaya perbaikan agar lebih fokus pada upaya pengembangan berbagai indicator dari faktor-faktor Kompetensi Kepeminpinan Stratejik, bukan pada indicator-indikator dari faktor-faktor Orientasi Kewirausahaan. Sedangkan jika dilihat pengaruh signifikan dari faktor-faktornya, faktor adaptasi merupakan faktor kompetensi
kepemimpinan yang paling signifikan berpengaruh, dan keinovatifan merupakan faktor kewirausahaan yang paling berpengaruh. Untu itu, pembinaan perlu dilakukan untuk mengembangkan dua faktor tersebut, agar diperoleh peningkatan kinerja bisnis para pngrajin sepatudi Cibaduyut. VI. Referensi Hitt, M.A, and Ireland, R.D. (2002). The Essence of Strategic Leadership: Managing Human and Social Capital. The journal of Leadership and Organization Studies, 9(1), 314. Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
Y. Budi Susanto
Kotler, Philip (2002), Marketing Management, 11th ed. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Lam, Son K., Kraus, Florian, and Ahearne, Michael (2010), The Diffusion of market Orientation Throughout the Organization: A Social Learning Theory Perspective, Journal of Marketing, Vol. 7 (September 2010), 61-79 Lumpkin G.T. and Dess G.G. ((1996), Clarifying the Enterpreneurial Orientation Construct and Linking it to Performance, Academy of Management Review, Vol 21, No. 1, 135-172 Narver, John C. and Stanley F. Slater (1990), “The Effect of a Market Orientation on Business Profitability,” Journal of Marketing, 54 (October), 20–35. ——— and ——— (1998), “Additional Thoughts on the Measurement of
11
Market Orientation: A Comment on Deshpandé and Farley,” Journal of Market-Focused Management, 2 (3), 233–36. ———, ———, and Brian Tietje (1998), “Creating a Market Orientation,” Journal of Market-Focused Management, 2 (3), 241–56. Narver, John C., Robert L. Jacobson, and Stanley F. Slater (1999), “Market Orientation and Business Performance: An Analysis of Panel Data,” in Developing a Market Orientation, Rohit Deshpandé, ed. Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 195–216. Vorhies, Douglas W., and Morgan,Neil A. (2005), Benchmarking Marketing Capabilities for Sustainable Competitive Advantage, Journal of Marketing, Vol 69 (January 2005), 80-94
Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013