ANALISIS EKONOMI TERHADAP INSTRUKSI PRESIDEN TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN NASIONAL TAHUN 2005-2008
DISERTASI
SURYA ABADI SEMBIRING
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam Disertasi saya yang berjudul:
ANALISIS EKONOMI TERHADAP INSTRUKSI PRESIDEN TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN NASIONAL TAHUN 2005-2008
merupakan gagasan atau hasil penelitian Disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2011
SURYA ABADI SEMBIRING H361060041
ABSTRACT SURYA ABADI SEMBIRING. An Economic Analysis of the Presidential Instruction for National Rice Policy in 2005-2008 (HARIANTO as Chairman, HERMANTO SIREGAR and BUNGARAN SARAGIH as Members of the Advisory Committee). The objectives of this research are (1) to describe the implementation of rice policy from the perspective of farmer, (2) to evaluate the implementation of rice policy at the national level, and (3) to analyze the impacts of rice policy on the objectives of the policy and on producer and consumer surplus. The research used time series and cross section data. Cross section data were collected from respondent of 30 farmer contact persons as determined by purposive sampling of 59 groups of farmers in six villages in the rice production center in the Sub District of Sei Rampah, Serdang Bedagai, District in the Province of North Sumatera. The data was a monthly time series from March 2005-September 2009. Rice policy model specification uses the simultaneous equations consisting of 15 structural equations and 11 identity equations which was estimated using Two Stages Least Squares (2SLS) method. The results show that: (1) the policy implementation of direct aid for seeds, subsidized fertilizer, and irrigation improvement are not effective at the farmer level to achieve the policy objectives, whereas the policy implementation of government purchase price is effective, (2) the increase of the government purchases price of dried harvest paddy by 15 percent gave a positive impact on farmer returns, farmer terms of trade, and improve food security whereas retail rice price decrease makes producer and consumer surplus increase, (3) the increase of the ceiling retail price of NPK fertilizer by 15 percent gave a negative impact on farmer returns, farmer terms of trade, and food security whereas retail rice price increase makes a negative effect to consumer surplus, (4) the increase of the realization of NPK fertilizer distribution by 10 percent gave a positive impact on farmer returns and improve food security whereas the decrease in price of dried harvest paddy makes negative producer surplus, and (5) the combination of an increase in the government purchase price of dried harvest paddy by 15 percent, along with an increase in the Bulog purchase of price of rice, the ceiling retail price of NPK fertilizer, the realization of NPK fertilizer distribution, and the number of households receiving Raskin increase 10 percent gave a positive impact on farmer returns, farmer terms of trade, and improve food security, whereas retail rice price decrease makes producer and consumer surplus increase. The objectives of rice policies of Presidential Instruction for National Rice Policy in 2005-2008, would be achieved if the combination of government purchase on dried harvest paddy, the Bulog purchase of price of rice, the ceiling retail price of NPK fertilizer, the realization of NPK fertilizer distribution, and the number of households receiving Raskin are simultaneously implemented accordingly. Key Words:
Presidential Instruction for National Rice Policy, farmer returns, farmer terms of trade, food security, producer and consumer surplus.
RINGKASAN SURYA ABADI SEMBIRING. Analisis Ekonomi Terhadap Instruksi Presiden Tentang Kebijakan Perberasan Nasional Tahun 2005-2008 (HARIANTO, sebagai Ketua, HERMANTO SIREGAR dan BUNGARAN SARAGIH, sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Instruksi Presiden tentang kebijakan perberasan merupakan tindakan pemerintah mempengaruhi ekonomi perberasan sehingga peningkatan pendapatan petani, ketahanan pangan dan stabilisasi ekonomi tercapai. Tujuan penelitian yaitu: (1) mendeskripsikan implementasi kebijakan perberasan dari perspektif petani, (2) mengevaluasi implementasi kebijakan perberasan pada tingkat nasional, dan (3) menganalisis dampak kebijakan perberasan terhadap tujuan kebijakan perberasan dan kesejahteraan produsen dan konsumen. Jenis data yang digunakan yaitu data time series dan cross section. Data cross section diperoleh melalui survey kepada 30 orang Kontak Tani, di kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara. Data time series adalah data bulanan dari Maret 2005-September 2009. Model kebijakan perberasan menggunakan spesifikasi persamaan simultan. Data cross section berguna untuk menjelaskan implementasi kebijakan perberasan pada tingkat petani, sedangkan data time series untuk menjelaskan implementasi kebijakan perberasan pada tingkat nasional. Hipotesis penelitian yaitu: (1) implementasi kebijakan perberasan efektif pada tingkat petani, (2) kebijakan perberasan efektif meningkatkan pendapatan petani, ketahanan pangan dan stabilisasi ekonomi, dan (3) kebijakan perberasan berdampak terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen. Temuan penelitian terkait kebijakan bentuan benih, kebijakan pupuk bersubsidi dan kebijakan irigasi pada tingkat petani antara lain: (1) distribusi bantuan benih kurang efektif karena kelompok tani yang memiliki luas hamparan sawah yang sama ternyata menerima jumlah bantuan benih berbeda, disisi lain kelompok tani yang memiliki luas hamparan sawah yang kecil mendapatkan jumlah bantuan benih yang lebih besar, (2) kebijakan pupuk bersubsidi kurang efektif karena harga yang dibayar petani untuk memperoleh pupuk urea, SP, ZA dan NPK lebih besar dari harga eceran tertinggi dan persentase harga beli pupuk oleh petani menunjukkan kecenderungan naik, dan (3) kendala terbesar yang dihadapi petani dalam mengimplementasikan kebijakan perberasan adalah ketersediaan air, disisi lain posisi daerah kecamatan Sei Rampah yang berdekatan dengan ibukota merupakan daya tarik terbesar terjadinya konversi lahan sawah seluas 5 000.3 ha pada kurun waktu 2000-2006. Petani mengikuti kebijakan harga pembelian pemerintah, mampu membedakan gabah kering panen dengan gabah kering giling tetapi kurang memperhatikan kandungan kadar air gabah dalam transaksi dengan agen/pedagang padi. Fakta menunjukkan harga jual gabah petani lebih tinggi 1011 persen di atas harga pembelian pemerintah namun petani tetap mengharapkan pemerintah meningkatkan harga gabah kering panen dan membeli langsung gabah petani. Harga Gabah Kualitas B dan B-II baik ditingkat petani dan penggilingan lebih tinggi dibandingkan harga pembelian pemerintah.
Temuan penelitian terkait kebijakan perberasan di tingkat nasional antara lain: (1) ketersediaan varitas Ciherang tertinggi dibanding dengan varitas padi lainnya, tetapi pada tahun 2008 terendah, yaitu pada Mei 2008, (2) harga pupuk urea, SP-36, ZA dan NPK diatas Harga Eceran Tertinggi. Semakin besar perbedaan antara Harga Eceran Tertinggi dengan harga pupuk, maka biaya dikeluarkan petani semakin naik, (3) kadar air dan kadar kotoran Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling pada tingkat nasional lebih rendah dari persyaratan kualitas yang ditetapkan oleh pemerintah, (4) harga Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling pada musim panen raya lebih rendah dari musim panen gadu dan musim panceklik, (5) dalam kurun waktu Maret 2005 sampai September 2008, harga beras pengecer lebih tinggi dari harga beras dunia, (6) sumbangan beras terhadap inflasi tertinggi pada musim panceklik, dan (7) jumlah pembelian gabah/beras pada musim panen raya lebih tinggi dibandingkan dengan musim gadu dan musim panceklik, sebaliknya penyaluran beras Bulog dan Raskin terendah pada musim panceklik. Persamaan simultan kebijakan perberasan terdiri dari 15 persamaan struktural dan 11 persamaan identitas. Berdasarkan hasil pendugaan parameter kebijakan perberasan nasional diperoleh hasil sebagai berikut: (1) jumlah beras impor responsif terhadap harga beras dunia, nilai tukar rupiah dan harga beras pengecer dalam jangka pendek, dengan elastisitas jangka pendek masing-masing 2.552, -3.594 dan 16.318, (2) jumlah pengadaan beras oleh Bulog responsif terhadap harga gabah kering panen, jumlah produksi beras baik jangka pendek dan jangka panjang, dengan elastisitas jangka pendek -1.698 dan 1.028 sedangkan jangka panjang -3.715 dan 2.248, (3) jumlah penyaluran beras pemerintah responsif terhadap harga beras di pengecer baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dengan elastisitas jangka pendek 4.835 sedangkan jangka panjang 8.447. Jumlah penyaluran beras pemerintah responsif terhadap dummy variabel dalam jangka panjang, dengan elastisitas 1.088, (4) penyaluran beras raskin responsif terhadap jumlah penduduk miskin baik dalam jangka pendek dan panjang, dengan elastisitas jangka pendek sebesar -1.804 dan jangka panjangnya – 2.302, sedangkan penyaluran beras raskin responsif terhadap jumlah rumah tangga penerima Raskin dalam jangka pendek, dengan elastisitas 1.045, (5) harga gabah kering panen responsif terhadap harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen dan kadar air gabah kering panen dalam jangka panjang dengan elastisitas 1.175 dan -3.944, (6) indeks dibayar petani padi responsif terhadap harga pupuk NPK dalam jangka pendek dengan elastisitas jangka pendek sebesar 1.198, dan (7) harga beras pengecer responsif terhadap harga beras pembelian pemerintah dari Bulog dalam jangka pendek dengan dengan elastisitas jangka pendek 1.869. Berdasarkan simulasi terhadap model persamaan simultan diperoleh hasilhasil sebagai berikut: (1) kebijakan peningkatkan 10 persen harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen berdampak terhadap peningkatan penerimaan petani dan nilai tukar petani padi, masing-masing 7.792 dan 11.612 persen. Kebijakan tersebut berdampak terhadap peningkatan persediaan beras masyarakat, persediaan beras domestik dan surplus beras, masing-masing 11.904, 7.232 dan 13.154 persen, diikuti harga beras pengecer turun 2.693 persen, (2) sebaliknya, dampak kebijakan peningkatkan harga eceran tertinggi pupuk NPK 10 persen menyebabkan penerimaan petani dan nilai tukar petani padi turun, masing-
masing 0.139 dan 0.054 persen. Kebijakan tersebut mengakibatkan persediaan beras masyarakat, persediaan beras domestik dan surplus beras turun masingmasing 0.526, 0.316 dan 0.589 persen, diikuti dengan, harga beras pengecer naik 0.145 persen, dan (3) dampak skenario kombinasi kebijakan tunggal dan kombinasi kebijakan, kecuali dampak peningkatan 10 dan 15 persen Harga Eceran Tertinggi pupuk NPK, sudah mengarah kepada perbaikan kesejahteraan, karena produsen dan konsumen beras menjadi lebih baik, sebaliknya peningkatan 10 dan 15 persen harga ecerean tertinggi pupuk NPK menghasilkan net surplus yang negatif, dimana konsumen di pihak yang dirugikan. Kesimpulan penelitian yaitu: (1) implementasi kebijakan Bantuan Langsung Benih Unggul, pupuk bersubsidi dan perbaikan jaringan irigasi tidak efektif untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan, sebaliknya kebijakan harga pembelian pemerintah efektif, (2) peningkatan 10 dan 15 persen harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen berdampak terhadap peningkatan penerimaan petani, nilai tukar petani padi petani, ketahanan pangan dan penurunan harga beras, selain itu kebijakan ini meningkatkan surplus produsen dan konsumen, (3) peningkatan 10 dan 15 persen harga eceran tertinggi pupuk NPK berdampak terhadap penurunan penerimaan petani dan nilai tukar petani padi, ketahanan pangan, sedangkan harga beras meningkat, dan kebijakan ini merugikan kepada konsumen karena kehilangan surplus konsumen, (4) peningkatan 10 persen realisasi penyaluran pupuk NPK berdampak terhadap peningkatan penerimaan petani, ketahanan pangan dan penurunan harga beras, tetapi harga gabah kering panen turun sehingga produsen dirugikan karena kehilangan surplus produsen, dan (5) kombinasi peningkatan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen 10 dan 15 persen diikuti dengan peningkatan harga beras pembelian Bulog, harga eceran tertinggi pupuk NPK, realisasi penyaluran pupuk NPK dan jumlah rumah tangga penerima Raskin masing-masing 10 persen berdampak terhadap peningkatan penerimaan petani, nilai tukar petani padi, ketahanan pangan dan penurunan harga beras, selain itu kebijakan ini meningkatkan surplus produsen dan konsumen. Tujuan kebijakan perberasan dalam Inpres tahun 2005-2008 tercapai apabila pemerintah mengimplementasikan kombinasi harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen, harga beras pembelian Bulog, harga eceran tertinggi pupuk NPK, jumlah rumah tangga penerima beras Raskin dan realisasi penyaluran pupuk NPK. Upaya lainnya yang perlu dilakukan pemerintah antara lain melakukan pembangunan irigasi dan perbaikan sistim jaringan irigasi, membeli langsung gabah petani, memfasilitasi pembentukan koperasi petani baik di tingkat desa atau kelompok tani, dan meneruskan kebijakan pengadaan beras oleh Bulog. Model kebijakan perberasan ini perlu disempurnakan dengan memasukkan variabel yang relevan dan menggunakan data tahunan.
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang- Undang 1. Dilarang mengutip sebagian dan seluruh karya tulis ini, tanpa mencantumkan atau menyebut sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan, karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS EKONOMI TERHADAP INSTRUKSI PRESIDEN TENTANG KEBIJAKAN PERBERASAN NASIONAL TAHUN 2005-2008
SURYA ABADI SEMBIRING
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.S Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. Achmad Suryana, M.S Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Republik Indonesia
2. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Judul Disertasi
: Analisis Ekonomi Terhadap Instruksi Presiden Tentang Kebijakan Perberasan Nasional Tahun 2005-2008
Nama Mahasiswa : Surya Abadi Sembiring Nomor Pokok
: H361060041
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1.Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Harianto, M.S Ketua
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec Anggota Anggota
Mengetahui,
2.Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
Tanggal Ujian: 04 Oktober 2010
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sondi Raya pada tanggal 19 November 1961 dari Bapak Suruhen Sembiring (Almarhum) dan Ibu Lesnaria br Saragih (Almarhum). Penulis merupakan anak pertama dari enam (6) bersaudara. Pada tahun 1974 penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Negeri No 3 Pematang Raya, kemudian melanjutkan sekolah pada Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri No 1 Pematang Raya dan tamat tahun 1976. Tahun 1980 lulus dari Sekolah Menengah Atas pada SMA Budi Mulia Pematang Siantar. Tahun 1980 masuk perguruan tinggi pada Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Sumatera Utara dan lulus pada tahun 1986. Tahun 1993 melanjutkan studi pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 1995. Selama menempuh studi S2, Penulis menerima Piagam Penghargaan dari Program Passarjana IPB untuk Prestasi Akedemik Gemilang di Semester III TA 1994/1995. Kemudian tahun 2006 melanjutkan lagi studi S3 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2010. Selama menempuh studi S3, Penulis aktif mengikuti kegiatan Seminar baik Nasional dan Internasional. Penulis menerima Piagam Penghargaan dari Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor untuk Prestasi Akademik Gemilang di Semester I TA 2006/2007 dan Semester III TA 2007/2008. Penulis bersama dengan Pembimbing menulis Karya Ilmiah dengan Judul Implementasi Kebijakan Perberasan di Tingkat Petani: Kinerja dan Perspektif ke Depan yang dimuat pada Jurnal Terakreditasi Analisis Kebijakan Pertanian.
Riwayat pekerjaan dimulai dari mengajar di SD dan SMP Kalam Kudus Medan pada tahun 1987-1992. Pada tahun 1990 mengajar di SMA Kalam Kudus Medan. Pada tahun 1992- sekarang, menjadi staf pengajar tetap di Jurusan Sosial Ekonomi Universitas Katolik Santo Thomas Medan. Pada tahun 1992-1993, penulis dipercayakan menjadi Sekretaris Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, tahun 1999-2002 menjadi Pembantu Dekan Bidang Akademik (PD-I) Fakultas Pertanian selanjutnya tahun 2002-2003, dipercayakan sebagai Pelaksana Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Unika St. Thomas Medan. Pada tahun 1991 menikah dengan Kasihani br Sinulingga dan dikaruniakan Tuhan seorang anak laki-laki, Kharis Samuel Sembiring.
KATA PENGANTAR Studi adalah anugrah Tuhan, karena itu harus tekun, kerja keras, gigih, tabah dan mengandalkan Tuhan. Terpujilah Allah Bapa di Surga di dalam Kristus Yesus dan persekutuan dengan Roh Kudus, telah memberi kekuatan, kesehatan, hikmat, penyertaan dan penjagaan yang terus dialami sampai Disertasi ini selesai dikerjakan. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada: 1.
Dr. Ir. Harianto, M.S sebagai Ketua Komisi Pembimbing, untuk komunikasi yang baik, motivasi dan perhatian dalam proses pembimbingan, Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai Anggota untuk komunikasi yang baik, motivasi dan perhatian dalam proses bimbingan, dan Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec sebagai Anggota, untuk komunikasi, motivasi dan perhatian dalam proses bimbingan. Ketiga Pembimbing memberi kepercayaan penuh kepada Penulis dalam proses penyelesaian Disertasi.
2.
Prof. Dr. Ir Achmad Suryana, M.S dan Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec sebagai Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka, yang telah memberikan masukan untuk memperkaya isi Disertasi.
3.
Dr. Ir. Parulian Hutagaol, M.S dan Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S sebagai Penguji Luar Komisi, Dr. M. Firdaus sebagai Wakil SPs IPB dan Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.S sebagai Wakil Program Studi EPN untuk masukan berharga pada Ujian Tertutup Tanggal 3 Agustus 2010
4.
Dr. Ir. Yusman Syukat, M.Ec, Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviana, M.S sebagai penguji Prelim Kedua (Proposal Penelitian Disertasi) dan Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A mewakili Program Studi EPN.
5.
Pengurus Perkantas Trust, yang diketuai Junjungan Sipahutar S.H, Drs. Almen Pasaribu, Muliawati Amie, Friska Sitorus, Yuristiawan, Tambos Siahaan, Jiefri Pattiawira, dan Bambang Harjono untuk dukungan beasiswa.
6.
Pastor Paulinus M. Simbolon, OFM Cap sebagai Ketua Yayasan Santo Thomas dan Pastor Elias Sembiring, M.Litt OFM Cap sebagai Rektor Unika Santo Thomas yang telah memberikan izin studi S-3. Pastor Hariandja, OFM Cap sebagai Ketua Yayasan Santo Thomas untuk perpanjangan studi S-3.
7.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A, Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec untuk rekomendasi studi S-3.
8.
Prof. Dr. Ir. Kuncoro sebagai Moderator pada Kolokium tanggal 12 Desember 2008, dan Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S sebagai Moderator pada Seminar tanggal 29 April 2010.
9.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A sebagai Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, untuk kesabaran, keteladanan dan diskusi yang intensif terkait dengan format penulisan Proposal Disertasi dan Disertasi.
10. Seluruh dosen yang pernah mengajar Penulis selama studi S-3 di Program Studi EPN SPs IPB Bogor antara lain Prof. Dr. Ir.M. Tambunan, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A, Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec, Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S, Prof. Dr. Ir. Sri Utami K. M.S, Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec, Dr. Ir. Harianto, M.S, Dr. Ir. Dominicus Savio P. M.S, Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec, Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.Si, Dr. Ir. Joyo Winoto, M.S, Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S, Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec, Dr. Ir. Nunung Nuryantoro, M.Si, Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi S, M.S, Dr. Ir.
Bramasto Nugroho, M.S, Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S, Prof. Dr. Ir. Abdul Azis Darwis, M.Sc 11. Menteri Pertanian dan dukungan Staf, secara khusus Ir. J. Lumbangaol, Menteri Perdagangan dan dukungan Staf, Menteri Keuangan dan dukungan Staf, Kepala Badan Pusat Statistik dan Staf, secara khusus Lia Ermayati, MSE, MPP, Ir. Zainal Achmad, M.Si, Yunita Rusanti dan Arih D. Prasetyo, S.Si yang membantu menyediakan data, Direktur Perum Bulog, khususnya Epi Sulandri, S.E, M.Ec yang menyediakan data perberasan, Direktur BMKG dan Staf, dan Kepala BPN Nasional dan Staf. 12. Prof. Dr. Husen Sawit dan Prof. Dr. Pantjar Simatupang untuk diskusi yang memperkaya isi disertasi, Dr. Ir. Rasidin Karo-Karo, M.S dan Dr. Ir. Adolf M.S untuk diskusi pengolahan data. 13. Tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan di Kecamatan Sei Rampah yaitu Ibnu Faisal W, S.P, Purwanto, S.P, Mhd Sofyan, S.P, Aulia Hidayat, S.P, Hery Effendi S.P, Hasan Basri, S.P, yang ikut membantu pengumpulan data. Suyamto, Ka KUPD Kecamatan Sei Rampah dan Pujiono sebagai Sekretaris Gapoktan di desa Pematang Ganjang, Kecamatan Sei Rampah, yang bersedia memberikan informasi tentang data harga gabah. 14. Ketua Dewan Redaksi Analisis Kebijakan Pertanian, Prof. Dr. Ir. I. Wayan Rusastra, yang telah mengoreksi dan menerbitkan artikel dalam Analisis Kebijakan Pertanian. 15. Teman-teman program doktor EPN Angkatan 2006; Ir. Damianus Adar, M.Sc, Ir. Saptana, M.Si, Ir. Halymathus S, M.Sc, Ir. Urip S, M.S, Ir. Fitria Virgantari, M.S, Ir. Heru Kustanto M.S, Ir. Eddy Supriyadi M.Sc, Ir. Trias
Handayani, M.S, Ir. Muslimin, M.S, Ir. Ono Juarno M.Sc, Dr. Ir. Dewi S M.MA, Ir. Ibrahim Isytar, M.Sc, Ir. Dudi Setiadi, H. M.MA, Ir. Boyke Situmorang, M.M untuk diskusi dan kerjasama yang baik. 16. Kelompok Tumbuh Bersama Pasutri Medan, keluarga Drs. Jefry Sirait, M.M, Ir. Eben Ezer Ginting, M.M, Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div, Herbin Marpaung, S.E, Ir. Simon D Tarigan, M.T dan Jhon Wesly Siahaan, S.E. Kelompok Tumbuh Bersama di Jakarta, keluarga Drs. Almen Pasaribu, Junjungan Sipahutar, S.H, Ferry Tampubolon, S.H, Ivan Sihaloho, S.Si, dan Ganda Silalahi. Tim Doa Perkantas Bogor: Ina, Olly Hutabarat dan Nova. 17. Tim Doa Majelis Jemaat GKPS, W. Sinaga, dr. Juniansen Purba, keluarga J. Lumbantoruan, Alponi Sijabat, S.H, Ir. Jesry Purba, Ir. Darman Saragih, M.T, Pdt. Untung Suseno, M.Th, Ir. Alven Saragih, M.Div, R.H Tarihoran, S.Th dan Eddyman Naibaho, S.H. Tim Doa Perkantas Medan, Dra. Adelina Sitepu, Susan N, Elfrida Naibaho, Sri Menda, Esni Naibaho dan Yuly Sinaga. 18. Perkantas Nasional, secara khusus Pdt. Drs. Polo Situmorang, M.Div, Ir. Tadius Gunadi, M.C, Pdt. Dr. Ir. Mangapul Sagala, M.Div, M.Th, Ir. Indrawaty Sitepu, M.A, Pdt. Dr.Yongky Karman. Perkantas Bogor, secara khusus Ir. Charles Simanjuntak, M.S, Ayub Kurniawan, S.E, Ir Hardy, Ir. Sapto, M.Div, Jerry, Rosmala S.H, M.H, Ir. Novayanti, Ir. Benny Sinaga, Fridawaty Sinaga, Barto Sihombing, S.Si, Ir. Daner Sagala, M.Si; Ir Christ, Ir. Dedi Hutapea, Ir. Liston Siringo-ringo, Ir Hakni Wijaya, M.Si. Pdt. Jhon Ruck, Diana Frost, Desma S, Nelly, Tience Pakpahan dan Janes Purba, S.Si. 19. Anthony Tarigan, S.H dan Ir. Evalina C Pandia, M.S yang telah menunjukkan kasih yang tulus, yang mengijinkan Penulis menempati rumah di Pinang
Merah III No 10 Yasmin 6 Bogor selama studi S-3, Yohana Tarigan; Claudia Tarigan dan Sinta Ginting. Keluarga Dr. Ir. Togu Manurung, M.S yang telah menunjukkan kasih yang tulus, yang mengijinkan Penulis menempati rumah di Cibanteng Raya No 4 Dramaga, mulai Januari 2011 sampai proses penyelesaian studi. 20. Ruby S Garniwan, S.P, untuk diskusi tentang format Disertasi, Suryani Falatehan, A.Md, Kokom dan Husen yang membantu urusan administrasi di Sekretariat Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian SPs IPB. 21. Adik-adik ku; keluarga Drs. Rasmalem Raya Sembiring, M.Div, M.Th, Anthony Siregar, Rasmenang Sembiring, S.Si, Pdt. Beresan Sibagariang, S.Th dan Elserina Mawar Hati br Sembiring, S.S. 22. Isteriku, Dra. Kasihani Sinulingga untuk dukungan doa, kesabaran, kesetiaan, dan pengertian. Saya bersyukur kepada Tuhan karena memiliki isteri yang menjadi penolong dalam suka dan duka, dan takut akan Tuhan. Terpujilah Tuhan. 23. Anak ku Kharis Samuel Sembiring yang kehilangan perhatian, waktu dan kasih selama studi S-3. Terimakasih untuk doa, pengertian dan kasihmu. Terpujilah Tuhan yang telah memanggil mu untuk menjadi hamba-Nya. Disertasi ini tidak terlepas dari keterbatasan dan keterbatasan tersebut merupakan tanggung jawab Penulis. Semoga Disertasi ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2011 Surya Abadi Sembiring
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................. xxiii DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xxvii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xxxi I. PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang ................................................................................
1
1.2 Permasalahan Penelitian .................................................................
9
1.3 Tujuan Penelitian. ...........................................................................
14
1.4
Manfaat Penelitian .........................................................................
14
1.4.1 Kegunaan dalam Lingkungan Akademis/Keilmuan .............
14
1.4.2 Kegunaan dalam Lingkungan Praktis ...................................
14
Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................
15
1.5
II. TINJAUAN PUSTAKA
17
2.1 Metode Analisis Studi Terdahulu .................................................
17
2.2 Luas Panen Padi .............................................................................
18
2.3 Konversi Lahan ...............................................................................
20
2.4 Penggunaan Benih ..........................................................................
22
2.5 Penggunaan Pupuk..........................................................................
23
2.6 Produktifitas Padi............................................................................
27
2.7 Produksi Padi dan Produksi Beras ..................................................
29
2.8 Pasca Panen ....................................................................................
30
2.9 Harga Gabah ...................................................................................
33
2.10 Impor Beras ...................................................................................
37
2.11 Stok Beras ......................................................................................
41
2.12 Permintaan Beras ...........................................................................
42
2.13 Stabilisasi Harga ............................................................................
45
2.14 Ketahanan Pangan .........................................................................
50
2.15 Simulasi Kebijakan ........................................................................
53
2.16 Posisi Studi dan Novelti Disertasi .................................................
56
xvii
III. KERANGKA PEMIKIRAN
57
3.1 Kerangka Teori ..............................................................................
57
3.1.1 Analisis Kebijakan Ekonomi ................................................
57
3.1.1.1 Pengertian Kebijakan ..............................................
57
3.1.1.2 Tujuan Kebijakan Ekonomi.....................................
59
3.1.1.3 Instrumen dan Kendala Kebijakan ..........................
60
3.1.1.4 Variabel Target dan Efek Samping .........................
65
3.1.1.5 Model Kebijakan Ekonomi .....................................
65
3.1.2 Proses Kebijakan Pertanian ..................................................
65
3.1.3 Teori Permintaan Beras ........................................................
69
3.1.4 Permintaan Masukan Produksi .............................................
78
3.1.5 Teori Perdagangan Internasional ..........................................
83
3.1.6 Hubungan Ekonomi Perberasan dengan Makroekonomi .....
88
3.1.7 Pareto Optimum dan Kriteria Pareto ....................................
95
3.1.7.1 Kondisi Pareto Optimum bagi Konsumen................
95
3.1.7.2 Kondisi Pareto Optimum bagi Produsen ..................
98
3.1.7.3 Kondisi Pareto Optimum Kasus Produk Campuran 101 3.1.7.4 Pareto Optimum dan Keseimbangan Kompetitif .... 104 3.1.8 Analisis Ekonomi Kesejahteraan Pada Pasar yang Berorientasi Kebijakan ........................................................ 109 3.1.8.1 Kenaikan Harga Output dan Surplus Produsen ....... 109 3.1.8.2 Penerapan Teknologi Baru dan Surplus Produsen .. 111 3.1.8.3 Dampak Subsidi Input dan Surplus Produsen ......... 112 3.1.8.4 Dampak Stabilitas Harga terhadap Kesejahteraan .. 113 3.1.8.5 Dampak Penerapan Teknologi terhadap Kesejahteraan Masyarakat....................................... 117 3.1.8.6 Dampak Harga Maksimum, Harga Dasar dan Dukungan Harga terhadap Kesejahteraan Masyarakat .............................................................. 119 3.1.8.7 Dampak Pajak Ad Valorem dan Subsidi terhadap Kesejahteraan .......................................................... 123 3.1.8.8 Dampak Harga Pembelian Pemerintah terhadap
xviii
Ekonomi Kesejahteraan ........................................... 125 3.2 Kerangka Berpikir Penelitian ......................................................... 127 3.3 Hipotesis......................................................................................... 132 IV. METODOLOGI PENELITIAN
133
4.1 Jenis dan Sumber Data .................................................................. 133 4.2 Lokasi Penelitian ............................................................................ 133 4.3 Spesifikasi Model ........................................................................... 137 4.3.1
Luas Areal Panen ............................................................. 139
4.3.2
Produktifitas ................................................................... 140
4.3.3
Produksi Padi ................................................................... 140
4.3.4
Produksi Beras ................................................................. 141
4.3.5
Beras untuk Benih dan Susut ........................................... 141
4.3.6
Persediaan Beras Masyarakat .......................................... 142
4.3.7
Jumlah Beras Impor ......................................................... 143
4.3.8
Jumlah Pengadaan Beras Bulog ....................................... 144
4.3.9
Persediaan Beras Bulog ................................................... 145
4.3.10
Persediaan Beras Domestik ............................................ 145
4.3.11
Jumlah Permintaan Beras ................................................ 146
4.3.12
Surplus Beras ................................................................... 146
4.3.13
Penyaluran Beras Bulog................................................... 146
4.3.14
Persediaan Akhir Beras Bulog ......................................... 147
4.3.15
Penyaluran Beras Pemerintah .......................................... 148
4.3.16
Persediaan Akhir Beras Pemerintah ................................ 148
4.3.17
Penyaluran Beras Raskin ................................................. 148
4.3.18
Harga Gabah Kering Panen ............................................. 150
4.3.19
Penerimaan Petani............................................................ 151
4.3.20
Kadar Air Gabah Kering Panen ....................................... 151
4.3.21
Harga Pupuk NPK ........................................................... 152
4.3.22
Nilai Tukar Petani Padi .................................................... 154
4.3.23
Harga Beras Pengecer ...................................................... 155
4.3.24
Harga Beras Pembelian Pemerintah dari Bulog .............. 156
xix
4.4 Identifikasi Model .........................................................................
156
4.5 Metode Pendugaan Model ............................................................
158
4.5.1 Uji F ..................................................................................
159
4.5.2 Koefisien Determinan .......................................................
160
4.5.3 Uji Parsial ..........................................................................
160
4.5.4 Uji Multikolineriti .............................................................
161
4.5.5 Autokorelasi ......................................................................
162
4.6 Validasi Model ..............................................................................
164
4.7 Simulasi Model .............................................................................
166
4.8 Simulasi Kebijakan .......................................................................
166
4.9 Surplus Konsumen dan Produsen .................................................
169
V. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERBERASAN PADA TINGKAT PETANI 5.1
171
Implementasi Kebijakan Perberasan di Petani : Kinerja dan Perspektif ke Depan ..................................................................... 171 5.1.1 Kareteristik Petani Padi Kecamatan Sei Rampah............... 171 5.1.2 Kebijakan Bantuan Benih ................................................. 172 5.1.3 Kebijakan Pupuk Bersubsidi .............................................. 177 5.1.4 Kebijakan Rehabilitasi Lahan Irigasi ................................. 187 5.1.5 Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah di Petani............. 190 5.1.6 Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah di Pedagang Padi 194 5.1.7 Kebijakan Konversi Lahan ................................................. 209 5.1.8 Perspektif Kebijakan Perberasan ke Depan pada Tingkat Petani ..................................................................... 212
5.2 Implementasi Kebijakan Perberasan Nasional ............................. 219 5.2.1 Kebijakan Perbenihan......................................................... 219 5.2.2 Kebijakan Pupuk Bersubsidi ............................................ 223 5.2.3 Kebijakan Kualitas Gabah .................................................. 228 5.2.4 Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah ............................ 231 5.2.5 Kebijakan Impor Beras ....................................................... 235 5.2.6 Kebijakan Stabilisasi Harga ............................................... 238
xx
VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMETRIKA 6.1 Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model Ekonometrika.........
243 243
6.2 Luas Areal Panen .......................................................................... 244 6.3 Produktifitas Padi.......................................................................... 250 6.4 Produksi Padi ................................................................................ 252 6.5 Produksi Beras .............................................................................. 252 6.6 Beras untuk Benih dan Susut ........................................................ 253 6.7 Persediaan Beras Masyarakat ....................................................... 253 6.8 Jumlah Beras Impor ...................................................................
253
6.9 Jumlah Pengadaan Beras Bulog.................................................... 256 6.10 Persediaan Beras Bulog ................................................................ 258 6.11 Persediaan Beras Domestik .......................................................... 258 6.12 Jumlah Permintaan Beras ............................................................. 258 6.13 Surplus Beras ................................................................................ 261 6.14 Penyaluran Beras Bulog ............................................................... 261 6.15 Persediaan Akhir Beras Bulog ...................................................
263
6.16 Penyaluran Beras Pemerintah ....................................................... 263 6.17 Persediaan Akhir Beras Pemerintah ............................................. 265 6.18 Penyaluran Beras Raskin .............................................................. 265 6.19 Harga Gabah Kering Panen .......................................................... 268 6.20 Penerimaan Petani ........................................................................ 271 6.21 Kadar Air Gabah Kering Panen .................................................... 272 6.22 Harga Pupuk NPK ........................................................................ 273 6.23 Nilai Tukar Petani Padi................................................................. 275 6.24 Harga Beras Pengecer ................................................................... 277 6.25 Harga Beras Pembelian Pemerintah dari Bulog ........................... 280
VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERBERASAN TERHADAP TUJUAN KEBIJAKAN DAN KESEJAHTERAAN 7.1 Validasi Model ............................................................................. 7.2 Kebijakan Menaikkan Harga Pembelian Pemerintah terhadap
xxi
283 283
Gabah Kering Panen 10 Persen ....................................................... 287 7.3 Kebijakan Menaikkan Harga Eceran Tertinggi Pupuk NPK 10 Persen .......................................................................................... 291 7.4 Kebijakan Menaikkan Realisasi Penyaluran Pupuk NPK 10 Persen .......................................................................................... 293 7.5 Kebijakan Menaikkan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk NPK Masing-masing 10 Persen ............................................................... 296 7.6 Kebijakan Menaikkan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen dan Realisasi Penyaluran Pupuk NPK Masing-masing 10 Persen ............................................................... 299 7.7 Kebijakan Menaikkan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen, Harga Eceran Tertinggi Pupuk NPK dan Realisasi Penyaluran Pupuk NPK Masing-masing 10 Persen
302
7.8 Kebijakan Menaikkan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen, Harga Pembelian Beras oleh Bulog, Harga Eceran Tertinggi Pupuk NPK, Jumlah Rumah Tangga Penerima Raskin dan Realisasi Penyaluran Pupuk NPK Masing-masing 10 Persen ................................................................ 306 7.9 Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan terhadap Tujuan Kebijakan Perberasan Nasional Melalui Inpres 2005-2008 ............................................................................ 309 7.10 Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan terhadap Kesejahteraan .................................................................................. 315 VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ..................................................................................
319 319
8.2 Implikasi Kebijakan........................................................................ 320 8.3 Saran untuk Studi Lanjutan ............................................................ 321 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ ... 322 LAMPIRAN ...................................................................................... ... 339
xxii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Kota dan Desa Untuk Makanan di Indonesia Tahun 2006-2008 (Rupiah /Bulan). .....................
3
2. Biaya Distribusi Pupuk Urea Bersubsidi dari Lini III ke Lini IV di Beberapa Propinsi di Indonesia Tahun 2006 .............................................
6
3. Analisis Kontribusi Pengadaan Alsin Pasca Panen terhadap Peningkatan Produksi Beras ......................................................................
8
4. Perkembangan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Harga Gabah dan Beras Tahun 2001-2009 ..................................................................... 10 5. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Luas Areal Padi pada Persamaan Simultan .................................................................................. 19 6. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Jumlah Penggunaan Pupuk pada Persamaan Simultan .................................................................................. 26 7. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Produktifitas Padi pada Persamaan Simultan .................................................................................. 28 8. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Harga Gabah pada Persamaan Simultan ..................................................................................................... 37 9. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Impor Beras pada Impor Beras pada Persamaan Simultan ......................................................................... 40 10. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Stok Beras pada Persamaan Simultan ..............................................................................
42
11. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Permintaan Beras pada Persamaan Simultan ...............................................................................
43
12. Angka Proteksi Nominal untuk Beras di Sembilan Negara Asia, 1960-1988 ......................................................................... ...........
47
13. Kontribusi Stabilisasi harga oleh Bulog terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia ............................................................................
49
14. Skenario Simulasi Kebijakan pada Persamaan Simultan .....................
55
15. Daerah Sentra Produksi di Indonesia Tahun 2008 ................................
134
16. Sentra Produksi Padi di Propinsi Sumatera Utara Tahun 2008 .............
134
xxiii
17. Sentra Produksi Kecamatan di Propinsi Sumatera Utara Tahun 2008 ..
135
18. Metode Penentuan Sampel Penelitian di Kecamatan Sei Rampah 2009
136
19. Karateristik Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah Tahun 2009 ......
171
20. Besarnya Bantuan Langsung Benih Unggul Padi Varitas Cibogo Bulan Juli Tahun 2008...........................................................................
173
21. Besarnya Bantuan Langsung Benih Unggul Varitas Ciherang Bulan September dan Oktober 2008......................................................
174
22. Besarnya Bantuan Langsung Benih Unggul Padi Non Hibrida Bulan Desember 2008 ...........................................................................
175
23. Jenis Varitas Padi Ditanam Petani di Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai, MT 2008-2009 .......................................
176
24. Kendala Petani terhadap Kebijakan Pupuk Bersubsidi di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2009 ....
178
25. Harga Pupuk Bersubsidi Urea dan SP-36 di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, MT 2008-2009 .......................................
180
26. Harga Pupuk Bersubsidi ZA dan NPK di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, MT 2008-2009 .......................................
182
27. Persepsi Petani terhadap Distribusi Pupuk Bersubsidi Tidak Tepat di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2009
183
28. Harga Pupuk Bersubsidi dan Non Subsidi di Tingkat Petani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2009
184
29. Sumber Informasi Petani terhadap Kebijakan Pupuk Bersubsidi di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2009
185
30. Respon Petani tentang Kebijakan Pupuk Bersubsidi di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2009
186
31. Kendala Petani di Bidang Infrastruktur Irigasi dalam Mengimplementasikan Kebijakan Perberasan di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2009 .......................
188
32. Respon Petani terhadap Kebijakan Perberasan di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2009 .......................
190
33. Sumber Informasi Petani Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah di
xxiv
Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai ............................................
191
34. Perbedaan Harga Gabah Kering Panen dengan HPP GKP di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, MT 2008 ........
193
35. Konversi Lahan Sawah Menjadi Non Sawah di Kabupaten Serdang Bedagai dari Tahun 2000-2006 .............................................................
212
36. Saran Petani Padi kepada Pemerintah terkait dengan Kebijakan Irigasi di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai ..........
213
37. Saran Petani Padi kepada Pemerintah terkait dengan Kebijakan Pupuk di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai ..........
214
38. Saran Petani Padi kepada Pemerintah terkait dengan Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai..................................................................
216
39. Saran Petani Padi kepada Pemerintah terkait dengan Kebijakan Pendukung di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai ..
218
40. Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi ............................................
224
41. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Luas Areal Panen ...................
247
42. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produktifitas ...........................
250
43. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Persamaan Jumlah Beras Impor 254 44. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Jumlah Pengadaan Beras Bulog 257 45. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Jumlah Permintaan Beras .......
260
46. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penyaluran Beras Bulog .........
262
47. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penyaluran Beras Pemerintah
264
48. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penyaluran Beras Raskin .......
267
49. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Gabah Kering Panen....
270
50. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kadar Air Gabah Kering Panen 273 51. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Pupuk NPK..................
274
52. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Indeks Diterima Petani Padi ...
276
53. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Indeks Dibayar Petani Padi .....
277
xxv
54. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Beras Pengecer .............
279
55. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Beras Pembelian Pemerintah dari Bulog ............................................................................
282
56. Hasil Pengujian Daya Prediksi Model Analisis Kebijakan Perberasan Periode Bulan Maret 2005-September 2009 ..........................................
285
57. Dampak Beberapa Alternatif Kebijakan Tunggal pada periode Bulan Maret 2005-September 2009 .................................................................
288
58. Dampak Beberapa Alternatif Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan pada periode Bulan Maret 2005-September 2009 ................
300
59. Dampak Beberapa Alternatif Kombinasi Kebijakan pada Periode Bulan Maret 2005-September 2009.......................................................
305
xxvi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Anggaran Pemerintah untuk Subsidi ....................................................
11
2. Kerangka Analisis Kebijakan Tinbergen ..............................................
58
3. Teori Kuantitaf Kebijakan Ekonomi .....................................................
61
4. Model Kebijakan Linier Tinbergen ......................................................
66
5. Kurva Permintaan Beras Ordinari dan Kompensate .............................
75
6. Ekspor dan Impor ................................................................................
85
7. Keterkaitan Kebijakan Perberasan dengan Ekonomimakro .................
94
8. Diagram Kotak Edgeworth dan Pareto Konsumen ..............................
96
9. Pareto Optimum pada Produsen............................................................
99
10. Kurva Kemungkinan Produksi ..............................................................
100
11. Kondisi Pareto Optimum Kasus Mix Produk .......................................
102
12. Memaksimumkan Utilitas dengan Kendala Anggaran .........................
106
13. Biaya Minimum dalam Berproduksi .....................................................
107
14. Kenaikan Harga dan Surplus Produsen.................................................
110
15. Dampak Teknolog Baru dan Surplus Produsen ....................................
112
16. Dampak Perubahan Surplus dan Subsidi Input .....................................
113
17. Dampak Stabilisasi Harga terhadap Kesejahteraan ..............................
114
18. Kesediaan Membayar Produsen dan Konsumen...................................
117
19. Dampak Harga Maksimum, Harga Dasar dan Dukungan Harga Harga terhadap Kesejahteraan ..............................................................
121
20. Dampak Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Surplus Konsumen dan Produsen .........................................................
124
21. Dampak Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Surplus Konsumen dan Produsen.......................................................................
126
xxvii
22. Kerangka Berpikir Konseptual Kebijakan Perberasan Nasional Melalui Instruksi Presiden .......................................................... .........
128
23. Kerangka Konseptual Kebijakan Perberasan ............................. ........
130
24. Diagram Model Kebijakan Ekonomi dalam Inspres .................. .......
138
25. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Petani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Hujan 2006................................................................................
196
26. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Penggilingan Di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Kering 2006 ................................................................
197
27. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Petani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Kering 2007 ..................................................................
198
28. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Penggilingan Di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Kering 2007 .................................................................
199
29. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Petani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Hujan 2007 .................................................................. 200 30. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Penggilingan Di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Hujan 2007 ..................................................................
201
31. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Petani Di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Kering 2008 ........................................................ .....
202
32. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Penggilingan Di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Kering 2008 ........................................................ .....
204
33. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Petani Di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Hujan 2008 ......................................................... .....
206
34. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Penggilingan Di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Hujan 2008 ......................................................... .....
207
xxviii
35. Perbedaan Harga Gabah Kualitas KR dengan HPP GKG Di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Hujan 2008 ......................................................... ....
209
36. Jumlah Benih Dicek 2008-2009 ................................................. ....
220
37. Ketersediaan Benih Bermutu per Bulan Tahun 2006-2009 ............
221
38. Ketersediaan Benih Bermutu per Bulan Tahun 2006-2009 ............
222
39. Perkembangan Kebutuhan Pasar dan Ketersediaan Benih Bermutu
223
40. Perkembangan Harga Eceran tertinggi Pupuk Bersubsidi.......... ....
225
41. Perkembangan rasio Harga HPGP dan HET Pupuk ................... ...
226
42. Perkembangan Perbedaan Harga Pembelian Pupuk dan Harga Eceran Tertinggi ......................................................................... .....
227
43. Perkembangan Kadar Air Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling .......................................................................................... .....
229
44. Perkembangan Rata-rata Curah Hujan Bulanan ..............................
229
45. Perkembangan Kadar Kotoran Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling........................................................................
230
46. Perkembangan HPP Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling .......................................................................................... .....
232
47. Perkembangan Harga Gabah/Beras dengan Harga Pembelian Pemerintah ................................................................................... ....
233
48. Persentase Harga Gabah dibawah Harga Pembelian Pemerintah....
234
49. Perkembangan Nilai Tukar Petani Padi ...........................................
235
50. Perkembangan Harga Beras Pengecer dan Harga Impor Beras .. .....
236
51. Perkembangan Disparitas Harga Beras per Bulan dari Bulan Maret 2005 - Oktober 2009 .............................................................
238
52. Perkembangan Pengadaan dan Penyaluran Beras ............................
240
53. Perkembangan Sumbangan Inflasi Beras .................................... ....
241
54. Perkembangan Pengadaan dan Penyaluran Beras ..........................
242
xxix
55. Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan terhadap Pendapatan Petani ..........................................................................
312
56. Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan terhadap Harga Gabah Kering Panen, Harga Pupuk NPK, Indeks Diterima Dan Dibayar Petani Padi ................................................................
312
57. Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan terhadap Ketahanan Pangan..........................................................................
313
58. Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan terhadap Ketahanan Pangan dan Stabilisasi Harga.......................................
314
59. Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan terhadap Stabilisasi Harga ............................................................................
314
60. Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan terhadap Kesejahteraan .................................................................................
317
xxx
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Dinamika Perkembangan Kebijakan Perberasan dalam Inpres ............
339
2. Dinamika Perkembangan HPP terhadap Gabah dan Beras ..................
344
3. Persyaratan kualitas HPP dalam Inpres ................................................
349
4. Pelaksana Instruksi Kebijakan Perberasan ............................................
350
5. Dinamika Matriks Dasar pertimbangan, Diktum dengan Instrumen .....
351
6. Harga Gabah Kualitas B di Petani dan Penggilingan ............................
358
7. Data dan Sumber Data Kebijakan Perberasan .......................................
364
8. Data Kontak Tani Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai ....................................................................................
376
9. Program Pendugaan Parameter Model Kebijakan Perberasan Nasional Dengan Metode 2SLS............................................................................
385
10. Hasil Pendugaan Parameter Model Kebijakan Perberasan Nasional Dengan Metode 2SLS............................................................................
389
11. Program Simulasi Dasar Model Kebijakan Perberasan Nasional Dengan Metode 2SLS............................................................................
404
12. Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan terhadap Tujuan Kebijakan Perberasan ...............................................................
407
xxxi
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah kebijakan perberasan pertama kali muncul dalam Instruksi Presiden (Inpres) No 9 Tahun 2001 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2002, sedangkan Inpres sebelumnya dikenal dengan Kebijakan Harga Dasar Gabah. Kebijakan tersebut telah dimulai sejak tahun 1968/69 dengan ditentukannya harga dasar pembelian gabah (Darwanto, 2001). Kebijakan perberasan pada dasarnya berbicara terhadap tindakan yang dipilih pemerintah mempengaruhi aspek perberasan dalam perekonomian termasuk di dalamnya tujuan dan cara mencapai tujuan kebijakan perberasan. Merujuk Sawit (2009), dasar pertimbangan pemerintah mengeluarkan Inpres Kebijakan Perberasan dimasukkan sebagai tujuan kebijakan perberasan. Tujuan kebijakan perberasan dalam Inpres Kebijakan Perberasan yang dikeluarkan pemerintah dalam kurun waktu 2005-2008 antara lain meningkatkan pendapatan petani, pengembangan ekonomi pedesaan, peningkatan ketahanan pangan dan stabilisasi ekonomi nasional, seperti yang terlihat pada Lampiran 1. Pemerintah menetapkan instrumen kebijakan untuk mencapai tujuan kebijakan diatas. Instrumen kebijakan dalam kurun waktu 2005-2008 secara eksplisit lebih spesifik dibandingkan dengan Inpres sebelumnya, antara lain kebijakan saprodi, kebijakan teknologi, kebijakan perbaikan sistem jaringan irigasi, kebijakan harga, kebijakan Raskin dan bantuan untuk rawan pangan, dan kebijakan impor/ekspor beras, seperti yang terlihat pada Lampiran 3. Kehadiran Inpres Kebijakan Perberasan tahun 2005-2008 merupakan bentuk campur tangan pemerintah dalam ekonomi perberasan. Kondisi tersebut
2
mendukung pernyataan Hakcroe et al (1994) yang mengemukakan bahwa pemerintah memiliki keterikatan dengan sektor pertanian dalam mencapai kesejahteraan pelakunya. Pada kenyataannya, pasar gagal mencapai ”food price dilemma”
yang
dikemukakan
oleh
Barrett
(1999),
dimana
konsumen
menginginkan harga pangan yang rendah sedangkan produsen menginginkan harga pangan yang tinggi. Kegagalan pasar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena adanya barang publik, faktor eksternalitas, kekuatan pasar yang memiliki karateristik
monopoli,
biaya
transaksi
dan
informasi
tidak
sempurna,
menyebabkan pemerintah campur tangan dalam perekonomian (Pogue dan Sgontz, 1978; Stiglizt dalam Sadaoulet dan Janvry, 1995). Campur tangan pemerintah menimbulkan sikap pro dan kontra, diungkapkan Pal et al (1993), karena menciptakan inefisiensi dalam sumberdaya, disisi lain campur tangan pemerintah menyebabkan harga pangan menjadi stabil (Sawit, 2001). Campur tangan pemerintah dalam ekonomi perberasan karena beras merupakan komoditi strategis di Indonesia antara lain, Pertama, komoditi beras merupakan kebutuhan pokok, dimana besarnya pengeluaran rata-rata per kapita sebulan di desa dan kota pada kurun waktu 2006-2008 mencapai 19.07- 21.04 persen dari total anggaran untuk makanan, seperti yang terlihat pada Tabel 1. Kedua, komoditi beras penting dalam perdagangan Indonesia, khususnya perdagangan impor. Efek samping (side effects) impor beras akan merugikan produsen meskipun kebijakan tarif impor diberlakukan sebesar Rp 430 per kg, aktivitas perdagangan beras antar daerah dan antar waktu menurun, beras setiap saat mudah diperoleh, harga dasar gabah terperangkap dalam masalah price
3
overhang secara berkelanjutan, dan
konsumen dianggap mampu untuk
menghadapi fluktuasi harga beras. Disisi lain, fungsi Bulog yang sudah berubah, antara lain tidak lagi memperoleh fasilitas kredit murah dan tidak memiliki lagi captive market yang memadai untuk penyaluran stok beras yang dibelinya (Surono, 2001; Pranolo, 2001; Simatupang, 2001; dan Kariyasa 2003). Tabel 1. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pengeluaran Rata-Rata Per Kapita Sebulan Kota dan Desa Untuk Makanan di Indonesia Tahun 2006-2008
Kelompok Barang Padi-padian Umbi-umbian Ikan Daging Telur dan susu Sayur-sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan lemak Bahan minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lain Makanan dan minuman jadi Tembakau dan sirih Jumlah
2006 Rp/Bln % 33 314 21.44 1 739 1.11 13 832 8.90 5 420 3.48 8 677 5.58 12 939 8.32 4 780 3.07 6 161 3.96 5 762 3.70 7 327 4.71 4 015 2.58 3 719 2.39 30 169 19.41
2007 Rp/Bln % 35 874 20.61 2 322 1.33 13 822 7.94 6 898 3.96 10 497 6.03 13 690 7.86 5 207 2.99 9 055 5.20 5 959 3.42 7 799 4.48 3 900 2.24 4 736 2.72 37 030 21.27
2008 Rp/Bln % 36 970 19.07 2 040 1.05 15 315 7.90 7 104 3.66 12 048 6.21 15 539 8.01 5 978 3.08 8 779 4.52 8 336 4.30 8 221 4.24 4 312 2.22 5 356 2.76 44 193 22.80
17 508
11.26
17 570
10.09
19 636
10.13
155 362
100.00
174 028
100.00
193 828
100.00
Sumber: BPS, 2006; 2007; 2008 (diolah)
Efek samping lain karena impor beras, diungkapkan Harianto (2001) dimana penurunan harga beras akan menguntungkan konsumen yang berada di pedesaan. Elastisitas harga di pedesaan lebih besar daripada elastisitas harga di kota. Elastisitas harga di pedesaan dan di kota masing-masing adalah - 0.707 dan 0.504. Konsumen di pedesaan juga adalah petani padi akan menghadapi dilemma. Turunnya harga akan menguntungkan jika konsumen adalah petani subsisten yang menjadi net buyer, sebaliknya, turunnya harga beras akan merugikan petani konsumen yang net seller.
4
Dasar
pertimbangan
pemerintah
mengeluarkan
Inpres
Kebijakan
Perberasan Tahun 2005-2008 sebagai akibat perkembangan perekonomian nasional, perkembangan nasional dan global di bidang pangan, khususnya perberasan. Kondisi diatas dikemukakan antara lain oleh Suryana dan Murdianto, 2001; Simatupang, 2001; Pranolo, 2001; Cramer dan Jensen, 1991; Sawit, 2001, 2007; Saragih, 2001 yaitu : (1) pasar beras dunia hanya sekitar 4-5 persen dari total produksi dunia sehingga tidak dapat diandalkan sebagai pengadaan beras domestik (2) beras sebagai bahan makanan pokok, (3) produk musiman, (4) kondisi excess supply pada musim panen raya yang merugikan produsen dan musim panceklik yang merugikan konsumen, (5) perubahan lingkungan strategis domestik, dengan berlangsungnya proses desentralisasi dan otonomi daerah, dan (6) pergerakan harga gabah antar musim. Perkembangan nasional dan global di bidang perberasan diatas akan mempengaruhi ketahanan pangan nasional, disisi lain produksi padi dalam negeri akan mempengaruhi ketahanan pangan nasional. Petani sebagai pelaku utama dalam mendukung keberhasilan ketahanan pangan, menghadapi kendala untuk meningkatkan produksi padi. Disisi lain, untuk meningkatkan produktifitas sektor padi, tidak dapat dipisahkan dari sektor perekonomian lainnnya. Sektor padi mempunyai keterkaitan langsung ke belakang (direct backward linkage) dengan dua belas sektor perekonomian lainnya, yang menyediakan input terhadap sektor padi. Lima sektor yang menyediakan input terbesar bagi sektor padi untuk kegiatan proses produksinya yaitu sektor kimia dasar dan pupuk, padi, perdagangan, perbankan dan barang-barang dari logam, masing-masing 49.34; 24.72; 9.45; 9.45, dan 1.64 persen (Sembiring (2002 b).
5
Data tersebut mengindikasikan, Pertama, kontribusi sektor kimia dasar/ pupuk dan sektor padi terhadap sektor padi sebesar 74.06 persen artinya ketersediaan sarana produksi (benih dan pupuk) merupakan syarat mutlak bagi sektor padi. Kedua, sektor padi berkembang apabila tersedia dukungan sektor perdagangan, lembaga perbankan dan mekanisasi pertanian. Kaitan antara pupuk dengan perdagangan akan menentukan harga pupuk di tingkat usahatani padi. Dukungan lembaga perbankan yang menyediakan kredit merupakan syarat pelancar bagi sektor padi sehingga petani padi memiliki akses terhadap teknologi. Sektor logam mewakili pentingnya kehadiran mekanisasi penting bagi sektor padi, akan meningkatkan produktifitas padi. Hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor menunjukkan bahwa insentif berupa fee atau margin keuntungan bagi distributor maupun pengecer pupuk urea bersubsidi adalah relatif kecil. Hal ini perlu diperhatikan, karena dengan kondisi tersebut ada dua kemungkinan yang dapat ditimbulkan yaitu: (1) distributor atau pengecer melakukan penjualan di luar ketetapan harga yang ditentukan
atau menjual
dengan cara curah, dan (2) distributor maupun pengecer tidak tertarik untuk menjadi mitra PT. Pusri dalam mendistribusikan pupuk urea bersubsidi. Kedua hal ini akan berdampak kepada keberlangsungan distribusi pupuk yang dapat menimbulkan permasalahan kelangkaan atau kenaikan harga pupuk. Tabel 2 menunjukkan biaya distribusi pupuk urea bersubsidi per kg dari Lini III ke Lini IV ditentukan oleh jarak, dimana biaya produksi terbesar terdapat di propinsi Kalimantan Barat, Jawa Barat dan Riau, masing-masing 596.472 + 25.333 S, 375.106 + 19.207 S dan 375.513 + 14.845 S, terendah dijumpai di
6
propinsi Sumatera Selatan. Sarana dan prasarana pengangkutan berpengaruh dengan biaya distribusi per kg, dimana dukungan sarana dan prasarana pengangkutan menyebabkan biaya distribusi semakin rendah sebaliknya keadaan transportasi yang kurang memadai menyebabkan biaya distribusi pupuk menjadi besar, seperti di propinsi Kalimantan Barat, dimana biaya distribusi per kg sebesar 85.21 + 3.62 S, dengan kata lain semakin jauh jarak angkut pupuk urea bersubsidi maka biaya yang dikeluarkan semakin besar. Tabel 2. Biaya Distribusi Pupuk Urea Bersubsidi dari Lini III ke Lini IV di Beberapa Provinsi Indonesia Tahun 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Propinsi Jawa Barat Jawa Tengah Regional Jawa Kalimantan Barat Sumatera Selatan Lampung Riau Regional Sumatera
Biaya Distribusi D= TFC + b* S 375.106 + 19.207 S 256.161 + 24.555 S 293.641 + 23.100 S 596.472 + 25.333 S 299.749 + 8.688 S 315.075 + 11.018 S 375.513 + 14.845 S 321.171 + 10.959 S
Biaya Distribusi per Kg 55.02 + 2.74 S 36.59 + 3.49 S 41.95 + 3.30 S 85.21 + 3.62 S 42.82 + 1.24 S 45.01 + 1.57 S 53.64 + 2.12 S 45.88 + 1.57 S
Sumber : LPPM IPB, 2006. Keterangan : TFC : Total Fix Cost (Rp) b: biaya angkut per km; S: Jarak angkut (km)
Produktifitas potensial tercapai apabila petani mampu melakukan teknik budidaya yang relatif sama dengan yang dilakukan pada penelitian lapangan (Irawan, 2004). Di sisi lain, kendala petani sehingga terjadi gap antara produksi potensial dengan produksi aktual menurut Herdt dan Wickham ( 1978): (1) ada tidaknya irigasi, (2) musim, (3) faktor-faktor ekonomi, (4) kerusakan karena serangan hama dan penyakit, dan (5) tidak adanya adopsi teknologi baru oleh petani. Secara berturut-turut besarnya perbedaan produksi potensial dengan aktual dari lima kendala tersebut
yaitu: (1) pengaturan air 23 persen, (2) tidak
mengadopsi teknologi baru 22 persen, (3) serangan hama penyakit 19 persen, dan
7
(4) faktor ekonomi sebesar 17 persen. Dari kelima kendala diatas maka ada tidaknya irigasi dan kendala teknologi merupakan kendala terbesar sehingga terjadi gap antara produksi potensial dan aktual.
Kendala faktor ekonomi
menyebabkan petani kesulitan mengadopsi teknologi baru. Sembiring (2002 a; 2002 c) melakukan studi dengan menggunakan model Hayami dan Herdt, diperoleh bahwa perkembangan teknologi menghasilkan penurunan harga beras sebesar 13.51 sampai 25.00 persen dan diikuti dengan meningkatnya permintaan beras dari 2.94 sampai 6.75 persen. Penurunan harga beras di pasar menyebabkan surplus konsumen meningkat sebesar 5.40 sampai 11.76 persen. Kemajuan teknologi menyebabkan penurunan biaya produksi antara 1.30 sampai 5.12 persen sehingga menghasilkan peningkatan surplus produsen dari 0.01 sampai 2.65 persen. Hasil studi tersebut mendukung teori Mosher, 1966; Ruttan, 1978; Doll dan Orazem, 1984. Dengan kata lain, teknologi mempunyai peranan sangat penting dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat baik
produsen dan konsumen. Penggunaan teknologi pasca panen berguna untuk mengurangi kehilangan pasca panen padi. Bachruddin (2008) menyebutkan ada tiga permasalahan dalam pengembangan penanganan pasca panen, yaitu masalah teknis dan manajemen, sosial dan ekonomi. Permasalahan dari sisi petani antara lain tingkat pengetahuan, ketrampilan dan kesadaran petani terhadap penerapan mekanisasi pasca panen masih terbatas, introduksi mekanisasi pasca panen belum sesuai dengan kebutuhan petani/kelompok tani,
dan daya beli petani/kelompok tani untuk
menyewa atau menerapkan alat mesin pasca panen masih relatif rendah. Selanjutnya, rendemen penggilingan tahun 2007 sebesar 62.60 persen, menurun
8
0.60 persen dibandingkan tahun 1995/1996 sebesar 63.20 persen. Penurunan ini diduga karena banyaknya mesin penggilingan yang sudah relatif tua dan adanya tuntutan kebutuhan konsumen akan kualitas beras yang lebih baik. Tabel 3 menunjukkan bahwa setiap pengadaan satu unit jenis alat mesin akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi beras. Semakin besar kapasitas dari jenis alat mesin, semakin besar kontribusi beras yang diberikan. Sabit bergerigi dengan kapasitas dua hektar per tahun hanya memberikan kontribusi peningkatan produksi beras sebesar 63 kg per tahun, sebaliknya pengadaan alat pasca panen dengan kapasitas yang lebih besar memberikan kontribusi peningkatan beras yang lebih besar yaitu Vertical Dryer dan RMU 2 phase, masing-masing 136 080 dan 181 440 kg per tahun. Tabel 3. Analisis Kontribusi Pengadaan Alsin Pasca Panen terhadap Peningkatan Produksi Beras No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis alat mesin Sabit Bergerigi Terpal Power Thresher Box Dryer Vertical Dryer RMU 1 phase RMU 2 phase
Kap (Ha/th)
Produksi (Ton/Ha)
2
10
1.0
0.1
63
Kontribusi Beras (Kg/thn) 63
12 60 192 1 440
60 300 960 7 200
3.0 2.5 2.0 3.0
1.8 7.5 19.2 216.0
63 63 63 63
1 134 4 725 12 096 136 080
576 1 152
2 880 5 760
4.0 5.0
115.2 288.0
63 63
72 576 181 440
%
Susut (GKG) Ton
Rendemen (%)
Sumber: Bachrudin, (2008) Keterangan: Produktifitas 5 ton/ha . Menurut Sumodiningrat (2004) subsidi pupuk bertujuan menurunkan beban salah satu komponen biaya produksi tetapi dalam kenyataannya menimbulkan kelangkaan dan mendorong kenaikan harga pupuk. Pemerintah mengucurkan bantuan subsidi pupuk melalui pabrik pupuk urea, yang besarnya tahun 2004 mencapai Rp 1.3 triliun, tetapi petani sulit memperoleh pupuk.
9
1.2 Permasalahan Penelitian Pada kenyataannya, tidak mudah menerapkan kebijakan perberasan karena adanya kendala, baik dari sisi petani dan pemerintah. Kendala yang dihadapi petani: (1) rata-rata skala penguasaan lahan usahatani padi hanya 0.3 hektar, (2) sekitar 70 persen petani padi (khususnya buruh tani dan petani skala kecil) termasuk golongan masyarakat miskin atau berpendapatan rendah, (3) sekitar 60 persen petani padi adalah net consumer beras, dan (4) rata-rata pendapatan rumah tangga petani padi dari usahatani padi hanya sekitar 30 persen dari total pendapatan keluarga. Kendala lain yang dihadapi petani yaitu: (1) petani umumnya menghadapi keterbatasan akses pembiayaan usahatani atau kredit, (2) keluarga petani hampir selalu membutuhkan dana tunai segera setelah panen, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga maupun mengganti pinjaman biaya produksi, dan (3) petani padi sulit keluar dari usahatani padi untuk mengusahakan kegiatan pertanian lain karena berbagai faktor, termasuk kondisi infrastruktur (pengairan). Pemerintah menetapkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG) dan harga beras di Bulog. Tabel 4 menunjukkan bahwa instrumen kebijakan harga HPP GKP, HPP GKG dan harga beras di Bulog menunjukkan kecenderungan naik (flex up), masing-masing 12.30, 12.60, 15.10, dan 11.20 persen. . Hasil kajian Kariyasa dan Andyana, dalam Kariyasa (2003) di tiga provinsi (Sumatera Barat, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan) menunjukkan bahwa harga gabah yang diterima petani mendekati harga dasar gabah (HDG), artinya, realisasi HDG tersebut di tingkat petani, masih jauh dari yang diharapkan
10
Tabel 4. Perkembangan Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Harga Gabah dan Beras Tahun 2001-2009 N o
Intruksi Presiden
Harga GKP
Harga Gabah Kering Giling Harga Beras di Bulog Penggilingan Penyimpanan Rp/Kg ∆ (%) Rp/Kg ∆ (%) Rp/Kg ∆ (%) Rp/Kg ∆ (%) 1 No 9/2001 1 500 1 519 2 470 2 No 9/2002 1 230 1 725 15.00 2 700 9.31 3 No 2/2005 1 330 8.16 1 740 0.90 1 765 2 790 3.30 4 No 13/2005 1 730 30.10 2 250 29.30 2 280 29.20 3 550 27.30 5 No 3/2007 2 000 15.60 2 575 14.40 2 600 14.00 4 000 12.70 6 No 1/2008 2 200 10.00 2 800 8.70 2 840 9.20 4 300 7.50 7 No 8/2008 2 400 9.90 3 000 7.10 3 070 8.10 4 600 7.00 Rerata 12.30 12.60 15.10 11.20 Sumber: Inpres tentang Kebijakan Perberasan Tahun 2001-2008 Keterangan : Inpres No 2/2005 menyebutkan harga beras di penggilingan Rp 2.790. ∆ (%) diperoleh dari Harga T1 – T0 /T0 x 100 % . (Data diolah )
Pembelian gabah oleh pemerintah di daerah, selain dilakukan oleh perum Bulog, juga dapat dilakukan oleh badan pemerintah atau badan usaha di bidang pangan. Gabah yang dibeli Bulog harus memenuhi kualitas yang ditetapkan dalam Inpres. Efektifitas kebijakan harga berjalan apabila harga gabah yang diterima petani sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah, disisi lain gabah petani
harus memenuhi persyaratan kualitas gabah seperti yang tertera pada
Lampiran 3 Kendala yang dihadapi pemerintah dalam mencapai tujuan kebijakan antara lain keterbatasan anggaran. Anggaran pemerintah untuk subsidi dialokasikan untuk pupuk, benih, kredit program dan pangan. Alokasi subsidi terbesar diperuntukkan untuk subsidi pupuk, sedangkan alokasi subsidi terendah dialoaksikan terhadap kredit program, dimana besarnya anggaran pemerintah terhadap subsidi pupuk tahun 2007 sebesar Rp 6 260.5 milyar, meningkat tajam menjadi Rp 15 181.5 milyar dan Rp 17 537.0 milyar pada tahun 2008 dan 2009. (Gambar 1). Meskipun pemerintah meningkatkan anggaran untuk subsidi pupuk,
11
tetap ditemukan kelangkaan pupuk, sehingga harga pupuk bersubsidi lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi.
Sumber : Departemen Keuangan, 2010 Gambar 1. Anggaran Pemerintah Untuk Subsidi Dari sisi konsumsi pangan, terdapat perbedaan diantara negara berkembang dengan negara maju. Di negara maju, konsumsi pangan relatif lebih datar dibandingkan dengan negara berkembang. Konsumsi pangan/beras di negara maju yang terjadi pada perubahan kualitas bukan kuantitas. Hukum Engel menyebutkan bahwa semakin naik pendapatan rumah tangga, maka persentase pendapatan yang dialokasikan untuk pangan/beras semakin menurun. Sedangkan di negara berkembang, elastisitas pendapatan positip, sehingga dengan kenaikan pendapatan diikuti dengan naiknya permintaan padi/beras. Disisi lain, pemerintah mengalami kesulitan untuk menurunkan konsumsi beras. Bagi keluarga miskin di Indonesia, sumber protein berasal dari beras, apabila beras dikurangi maka subtitusi beras sebagai sumber protein tidak ada.
12
Di negara maju, perubahan pangan (food) ke pakan (feed) akan mempengaruhi perberasan nasional. Perubahan tersebut menyebabkan permintaan pakan naik. Peningkatan permintaan pakan dunia mendorong produsen di Indonesia meningkatan luas areal tanaman subtitusi padi (jagung), sehingga luas areal tanaman padi berkurang selanjutnya produksi padi/beras nasional turun, stok beras menurun, sehingga mendorong pemerintah mengimpor beras dari pasar dunia. Disisi lain, harga beras di pasar internasional naik karena excess demand. Perubahan dampak global excess demand menjadi global excess supply secara siginifikan mempengaruhi kebijakan perberasan nasional. Apabila pemerintah tidak campur tangan, maka harga beras domestik naik sehingga merugikan konsumen, sedangkan produsen padi/beras diuntungkan. Efek samping yang timbul karena implementasi kebijakan perberasan nasional: (1) instrumen kebijakan dengan naiknya Harga Pembelian Pemerintah (HPP), akan mendorong inflasi sehingga upah buruh, harga saprodi dan barang yang dikonsumsi petani juga naik, (2) instrumen kebijakan impor dan Raskin cenderung menyebabkan harga beras turun dan diikuti dengan penurunan harga gabah petani, (3) kegiatan operasi pasar Bulog menurunkan harga beras, (4) keputusan Bulog menghentikan pembelian gabah di tingkat petani karena gudang Bulog untuk pengadaan cadangan pangan nasional sudah terpenuhi menyebabkan harga gabah turun, dan (5) kebijakan pemerintah meningkatkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menyebabkan kenaikan biaya pasca panen. Disisi lain, pemerintah memiliki keterbatasan menjalankan dan mengawasi kebijakan perberasan pada tingkat implementasi. Hilman (2003) menyebut government failure disebabkan adanya keterbatasan informasi, kemampuan
13
pemerintah untuk mengontrol dan mengawasi pelaku birokrat, pangawasan yang terbatas dan hambatan dalam proses politik antara lembaga legistatif dan eksekutif (pemerintah). Dengan kata lain, implementasi kebijakan perberasan tidak selalu akan meningkatkan
kesejahteraan
petani.
Pemerintah
memiliki
keterbatasan
menjalankan dan mengawasi kebijakan perberasan pada tingkat inplementasi1. Keterbatasan tersebut adalah: (1) harga jual gabah petani lebih rendah dibandingkan harga yang ditentukan oleh pemerintah, dimana 52 persen panen petani tidak mendapat harga yang sesuai dengan ketentuan Inpres, (2) harga beli pupuk subsidi oleh petani diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) (3) terjadi kelangkaan pupuk disisi lain ada petani yang menggunakan pupuk secara berlebihan, (4) dampak kenaikan harga BBM mengakibatkan kenaikan jumlah warga miskin sekitar 10 persen, sehingga jatah beras raskin untuk setiap keluarga menurun dari 20 kg menjadi 10 kg, (5) operasi pasar menyebabkan harga gabah anjlok, (6) ketidak-mampuan Bulog menyerap 10 persen gabah petani, dan (7) lambatnya inovasi hasil pertanian Permasalahan utama penelitian apakah instrumen kebijakan perberasan mampu mencapai tujuan kebijakan perberasan: (1) meningkatkan pendapatan petani, (2) meningkatkan ketahanan pangan dan (3) stabilisasi ekonomi ? Perumusan masalah
kebijakan perberasan nasional yaitu: (1) bagaimana
implementasi kebijakan bantuan benih, pupuk bersubsidi, rehabilitasi jaringan irigasi dan harga pembelian pemerintah terhadap petani dan perspektif ke depan ?, (2) bagaimana implementasi kebijakan perberasan tingkat nasional ?, (3) 1
Kompas, 11 Agustus 2004; 1 Maret 2005; 16 Desember 2004; 3 Agustus 2004; 13 Mei 2004; 19 Agustus 2004; Media Indonesia, 4 April 2004
14
bagaimana model ekonometrika kebijakan perberasan dan dampak kebijakan pemerintah terhadap tujuan kebijakan perberasan?, dan (4) bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat ?. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: 1.
Mendeskripsikan implementasi kebijakan perberasan dari perspektif petani.
2.
Mengevaluasi implementasi kebijakan perberasan pada tingkat nasional.
3.
Menganalisis dampak kebijakan perberasan terhadap tujuan kebijakan perberasan dan kesejahteraan produsen dan konsumen.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak baik dalam lingkup akademis (keilmuan) maupun lingkup praktis. 1.4.1 Kegunaan dalam Lingkungan Akademis/Keilmuan 1.
Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman implementasi kebijakan perberasan pada tingkat produsen/petani padi.
2.
Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman kendala-kendala yang dihadapi pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan perberasan.
3.
Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman menyusun dan menganalisis model persamaan simultan kebijakan perberasan.
4.
Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman dampak kebijakan perberasan terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen.
5.
Memberikan informasi bagi penelitian yang serupa agar dapat melakukan penyempurnaan demi kemajuan ilmu pengetahuan tentang implementasi kebijakan di tingkat petani, penyusunan model persamaan simultan kebijakan
15
perberasan melalui regulasi yang dikeluarkan pemerintah dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat. 1.4.2 Kegunaan dalam Lingkungan Praktis 1.
Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan untuk tambahan informasi sebagai
bahan
masukan
bagi
pemerintah
dalam
menyusun
dan
mengimplementasikan kebijakan perberasan yang memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat. 2.
Hasil penelitian diharapkan menjadi tambahan informasi bagi semua pelaku Instruksi Presiden kebijakan dalam mendukung kebijakan pemerintah khususnya kebijakan perberasan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Dalam kurun waktu delapan tahun dari 2000-2008, pemerintah mengeluarkan
delapan Instruksi Presiden tentang kebijakan perberasan.
Pemerintah memiliki respon yang positif dalam menghadapi perubahan domestik dan global yang mempengaruhi perberasan nasional. Fakta ini mengindikasikan bahwa diktum kebijakan dalam menghadapi perubahan lingkungan domestik dan global berbeda. Konsekwensi kebijakan perberasan dikeluarkan secara periodik menyebabkan analisis kebijakan perberasan dalam suatu kurun waktu yang panjang tidak mudah dilakukan. Penelitian ini fokus terhadap kebijakan perberasan yang dikeluarkan pemerintah tahun 2005-2008. Dasar pertimbangan menentukan Inpres tentang Kebijakan Perberasan tahun 2005-2008, yaitu: (1) dasar pertimbangan pemerintah menetapkan kebijakan perberasan diantara Inpres tidak berbeda, kecuali Inpres Tahun 2005, seperti terlihat pada Lampiran 1, (2) persyaratan kadar kualitas
16
gabah dan beras yang harus dipenuhi tidak berbeda diantara Inpres, kecuali Inpres Tahun 2005, seperti terlihat pada Lampiran 3, (3) pengelompokan gabah terdiri dari Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling, seperti terlihat pada Lampiran 3, (4) pelaku yang ditugasi membeli gabah dan beras pada tingkat nasional yaitu perum Bulog, sedangkan pembelian di daerah dilakukan oleh perum Bulog, badan pemerintah atau badan usaha bidang pangan, seperti terlihat pada Lampiran 2, (5) instrumen kebijakan dalam Inpres tidak memiliki perbedaan yang berarti, kecuali instrumen kebijakan pada Inpres No 8 Tahun 2008, yaitu penggunaan pupuk anorganik dan organik yang berimbang, seperti terlihat pada Lampiran 5, dan (6) pelaksana Inpres tidak berbeda berarti, kecuali Inpres No 2 dan 13 Tahun 2005, dimana Badan Pertanahan Nasional belum bagian dari pelaksana Inpres, seperti terlihat Lampiran 4.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Metode Analisis Studi Terdahulu Studi terdahulu menggunakan data time series tahunan yaitu Situmorang (1995); Hutauruk (1996); Mulyana (1998); Sitepu (2002); Hutauruk dan Sembiring (2002); Sugiyono (2005); Sembiring (2007); Sembiring et al (2008), dan Kusumaningrum (2008), 1981 - 2005 Studi lainnya yang menggunakan data time series yaitu Lakollo (1986); Benu (1996); dan Cahyono (2001), sedangkan studi Lubis (2005) menggunakan nilai elastisitas negara lain. Studi yang menggunakan data cross section Sakrani (1978), pada 23 daerah sentra produksi padi pada musim tanam yang berbeda yaitu musim T-1 (bulan Januari sampai April) dan musim T-2 ( Mei sampai Agustus). Studi yang menggunakan kombinasi data time series dengan cross section dilakukan Anton (1990); Ritonga (2004), dan Nurmalina (2007), sedangkan Suparmin (2005) menggunakan data runtun waktu yang mempunyai masalah kestasioneran. Metode pendugaan analisis yang menggunakan 2 SLS dilakukan Mulyana (1998);
Cahyono (2001); Sitepu (2002); Hutauruk dan Sembiring
(2002) Sugiyono (2005); Sembiring (2007); Sembiring et al. (2008) dan Kusumaningrum (2008). Sedangkan metode pendugaan Three Stage Least Squares (3 SLS) dilakukan oleh Benu ( 1996), dan Hutauruk (1996). Studi terdahulu konteks Indonesia oleh Lakollo (1986);
Situmorang
(1995); Sugiyono (2005); Lubis (2005); Suparmin (2005); Sembiring (2007); Nurmalina (2007); Sembiring et al. (2008) dan Kusumaningrum (2008). Studi konteks Jawa dan Luar Jawa oleh Hutauruk (1996). Studi konteks pendekatan kepulauan, Mulyana (1998), konteks Indonesia dan luar negeri, Sitepu (2002).
18
Studi konteks propinsi, Indonesia dan luar negeri, Cahyono (2001). Studi konteks propinsi oleh Sakrani (1978); Benu (1996); Hutauruk dan Sembiring (2002); konteks Indonesia dengan propinsi oleh Sastrohoetomo (1984), sedangkan kabupaten Ritonga (2004). 2.2 Luas Panen Padi Salah satu tujuan kebijakan dalam instruksi Presiden yaitu meningkatkan pendapatan petani. Peningkatan pendapatan petani apabila produksi padi meningkat. Peningkatan produksi padi tidak terlepas dari teknologi dan sumberdaya yang dimiliki petani padi. Tabel 5 menunjukkan ada tujuh belas jumlah variabel penjelas yang mempengaruhi luas panen padi. Jumlah variabel penjelas tersebut menggambarkan bahwa fenomena luas panen padi beragam. Studi Hutauruk (1996), dan
studi
Hutauruk dan Sembiring (2002)
memasukkan instrumen kebijakan perberasan dalam model. Dalam kurun waktu tersebut, variabel penjelas harga dasar padi masih relevan dimasukkan sebagai variabel penjelas dalam persamaan fungsional luas areal padi. Pedoman harga dasar dalam Inpres No 8 Tahun 2000 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001 berubah menjadi harga dasar pembelian melalui Inpres No 9 Tahun 2001 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2002. Dalam diktum pertama Inpres No 9 Tahun 2001 diberikan instruksi kepada menteri/kepala badan sampai kepada para bupati dan walikota, seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 3, untuk memberi dukungan bagi peningkatan produktifitas petani padi dan produksi beras nasional. Pada tanggal 1 Desember 1969, program Bimas disempurnakan menjadi program Bimas Nasional dengan dibentuknya Badan Pengendalian Bimas melalui
19
Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 95 tahun 1969. Bimas dikembangkan menjadi Intensifikasi Khusus (Insus), selanjutnya menjadi Supra Insus. Berbagai bentuk program intensifikasi tersebut memerlukan penerapan teknologi dan penyaluran kredit usahatani seperti kredit ketahanan pangan, kredit agribisnis dan skim kredit lainnya. Disamping dukungan kredit, pemerintah juga menyediakan pupuk kimia yang disubsidi oleh pemerintah (Hafsah dan Sudaryanto, 2004). Tabel 5. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Luas Areal Padi Pada Persamaan Simultan No
P1
P2
P3
P4
1
Variabel Penjelas Harga padi
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
2
Harga dasar padi
Rp/kg
3
Harga jagung
Rp/kg
4
Harga pupuk
Rp/kg
5
Rasio gabah
6
Suku bunga
%
7
Kredit usahatani
Rp/ha
8
Luas areal irigasi
9
Areal tanam padi
10
Rp/kg
Rp/ha
P8
P9
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/k g
Rp/kg
Rp/kg
Rp/k g
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg Rp/kg
Rp 000/ha
Rp
000 ha
000 ha
Ha
mm/th
mm/t h
000ha
12
Produktifitas padi
Ton/ha
13
Lag produktifitas padi Peubah dummy
17
P7
Rp/kg
11
16
Rp/kg Rp/kg
000 ha
15
P6
Rp/kg
Konversi lahan sawah Curah hujan
14
P5
mm/th
000 ha Mm
mm/th
mm/th
Ku/ha Ku/ha √
Serangan hama penyakit Lag pengeluaran riil irigasi Lag luas areal
ha
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Jumlah variabel
7
7
6
5
8
4
5
6
7
Mlr rp
Keterangan : P1 = Hutauruk (1996); P2 = Mulyana (1998); P3 = Sitepu (2002); P4 = Hutauruk dan Sembiring (2002); P5 = Ritonga (2004); P6 = Sugiyono (2005); P7 = Sembiring (2007); P8 = Sembiring et al (2008) dan P9 = Kusumaningrum (2008)
Studi Hutauruk (1996), Hutauruk dan Sembiring (2002) dan Sitepu (2002) memasukkan harga pupuk dan kredit usahatani sebagai variabel penjelas yang
20
mempengaruhi luas areal padi. Disisi lain, Kusumaningrum (2008) yang menggunakan data time series tahun 1981 - 2005 hanya memasukkan kredit usahatani sebagai variabel penjelas, seperti ditunjukkan Tabel 5. Studi Sastrohoetomo (1984) menggunakan model pendugaan areal panen, dimana luas areal panen setiap musim dipengaruhi oleh harga gabah di deflasi dengan Indeks Harga Konsumen, realisasi dosis pemupukan, areal tanam, bagian areal tanam berupa sawah dalam persen, bagian areal tanam yang berupa sawah bermutu, bagian areal tanam yang menggunakan bibit varitas unggul baru, bagian areal tanam yang puso (tidak panen) karena serangan hama penyakit dan bencana alam (kekeringan dan atau kebanjiran), variabel boneka musim, musim hujan diberi nilai 0, musim kemarau diberi nilai 1. 2.3 Konversi Lahan Pemerintah menyadari bahwa konversi lahan irigasi teknis berdampak kepada ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No 3 tahun 2007 tentang Kebijakan Perberasan yang secara secara eksplisit menyebutkan pentingnya memfasilitasi pengurangan penurunan luas lahan irigasi teknis. Kebijakan untuk mengurangi penurunan luas lahan irigasi teknis menjadi bagian integral dari Inpres tentang Kebijakan Perberasan, setelah Inpres No 3 tahun 2007. Data yang diungkapkan oleh Isa (2006), secara nasional, selama periode tahun 1979-1999, konversi lahan di Indonesia mencapai 1 627 514 hektar atau 81 376 hektar per tahun. Sementara itu, dalam kurun waktu 1999-2002, laju konversi lahan sawah semakin tinggi, yaitu sekitar 132 000 hektar per tahun (Agus et al. 2006). Data yang dikemukakan oleh (Dirjen Pengelola Lahan dan Air, 2005)
21
menunjukkan bahwa sekitar 187 720 hektar sawah di Indonesia telah terkonversi ke penggunaan lain setiap tahunnya. Apabila Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi (7.3 juta hektar), hanya sekitar 4.2 juta hektar (57.6 persen) yang dapat dipertahankan fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3.01 juta hektar (42.4 persen) terancam terkonversi ke penggunaan lain ( Winoto, 2005) Laju konversi lahan yang meningkat setiap tahunnya secara nyata akan mempengaruhi produksi padi selanjutnya ketahanan pangan nasional tidak tercapai. Kerugian yang ditimbulkan konversi lahan dikemukakan Irawan (2005), seperti hilangnya peluang produksi padi sawah rata-rata sebesar 1.19 juta ton per tahun atau 2.46 persen dari produksi padi sawah tahunan selama 2000-2002, dan lahan sawah yang sudah dikonversi tidak pernah berubah kembali menjadi lahan sawah. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konversi lahan diungkapkan oleh Nasution dan Winoto (1996), Pakpahan et al. (2003) , Igbal (2007), dan Iqbal dan Sumaryanto (2007), yaitu : (1) implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang lemah, (2) motif ekonomi pemilik lahan, (3) menurunnya kualitas lahan, (4) peluang memperoleh pendapatan rendah, (5)
daerah persawahan
banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan, (6) infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering, dan (7) dampak pembangunan, dimana pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsun cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.
22
2.4 Penggunaan Benih Tabel Lampiran 1 menunjukkan dinamika perkembangan kebijakan perberasan dalam Inpres, dimana pada kolom matriks terdapat hubungan dasar pertimbangan menetapkan kebijakan dengan diktum dalam Inpres. Inpres yang secara eksplisit memuat tentang diktum penggunaan benih padi unggul bersertifikat yaitu Inpres No 3 Tahun 2007. Tujuan penggunaan benih unggul bersertifikat yaitu untuk mencapai tujuan kebijakan perberasan. Sembiring (2008) mengidentifikasi beberapa faktor kegagalan dari sisi pembuat kebijakan (pemerintah pusat) sehingga kebijakan pengadaan benih tidak mencapai target yang ditentukan. Kegagalan kebijakan (bantuan benih) di tingkat pembuat kebijakan karena: (1) ada lag waktu antara perubahan mekanisme kebijakan pengadaan benih dari sistim tender menjadi penunjukan langsung, dengan keluarnya Surat Edaran Bersama (SEB), (2) pedoman umum tentang kebijakan pengadaan benih belum tersedia, (3) pengadaan benih padi lamban karena terkendala perubahan prosedur pengadaan, dari semula tender menjadi penunjukan langsung, (3) komitmen pemerintah melaksanakan kebijakan pengadaan benih lemah, (4) kerjasama pemerintah pusat dengan pemerintah daerah lemah, dan (5) kebijakan (pengadaan benih) kurang memperhatikan ”informasi/fakta”di lapangan, misalnya iklim dan infrastuktur. Pada kenyataannya pemda kurang meresponi kebijakan pengadaan benih. Bantuan benih yang dijanjikan pemerintah pusat belum didistribusikan ke sejumlah petani di kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Beberapa daerah sentra produksi di Jawa Barat seperti Kerawang, Cirebon, Sukabumi dan Cianjur. Sentra produksi beras di
23
propinsi Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Utara dan Bali, pengadaan benih kurang terealisasi. Faktor-faktor yang menyebabkan respon pemda terhadap kebijakan pengadaan benih kurang berhasil karena: (1) bupati atau walikota terkendala Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yang menyebutkan proyek yang nilainya lebih dari Rp 50 juta harus melalui tender, (2) pemahaman aparat pemerintahan (antara pemerintah pusat dan daerah) terhadap peraturan berbeda, (3) para bupati atau walikota takut kebijakan pengadaan benih melalui penunjukan langsung terkait dengan persoalan hukum, (4) proses administrasi persetujuan penggunaan anggaran untuk pengadaan benih belum selesai, dan (5) pemda kurang percaya terhadap keputusan di tingkat pemerintah pusat. 2.5 Penggunaan Pupuk Inpres yang secara eksplisit memuat tentang diktum penggunaan pupuk berimbang yaitu Inpres No 3 Tahun 2007. Dalam perkembangannya, instrumen kebijakan penggunaan pupuk berimbang berubah menjadi penggunaan pupuk anorganik dan organik secara seimbang, pada Inpres No 8 Tahun 2008, seperti ditunjukkan pada Lampiran 4. Inpres tentang Kebijakan Perberasan tidak mencantumkan harga pupuk bersubsidi, tetapi ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian yang dikeluarkan setiap tahun. Berdasarkan perhitungan Kariyasa, Maulana dan Murdianto (2004), maka Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk urea pada tahun 2004 adalah Rp 1 130 per kg, sehingga subsidi yang harus disediakan oleh pemerintah untuk melakukan kebijakan subsidi sebesar Rp 251 per kg. Kebijakan HET dan subsidi pupuk
24
ini sebaiknya diterapkan untuk semua pasar domestik, mengingat kebutuhan pupuk untuk pasar nonsubsidi (perkebunan besar) hanya sebesar 7.17 persen dari kebutuhan total, sehingga diperkirakan tidak berpengaruh banyak terhadap anggaran negara. Darwis dan Nurmanaf (2004) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi petani dalam membeli pupuk untuk digunakan pada usahatani padi. Bagi petani di Jawa Barat, jumlah pupuk yang dibeli dipengaruhi oleh anjuran Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), pendapatan dan harga pupuk itu sendiri. Sedangkan petani di Sulawesi Selatan,
dipengaruhi oleh pendapatan
dari usahatani, PPL dan harga jual hasil panen. Menurut Darwis dan Nurmanaf (2004), secara umum pemakaian pupuk Urea, SP36, KCl dan ZA tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan dengan diterapkanya paket Desember 1998, dimana Kebijakan Desember 1998 melakukan pencabutan subsidi pupuk dan sekaligus pencabutan monopoli distribusi pupuk. Bagi petani faktor yang mempengaruhi pembelian pupuk adalah PPL (berkaitan dengan anjuran pemakaian pupuk berimbang) dan pendapatan usahatani
padi
yang berkaitan langsung
dengan harga jual
gabah. Hanya sedikit petani yang mempermasalahkan harga pupuk merupakan diperkuat
dampak dengan
yang
langsung penerapan kebijakan subsidi pupuk. Hal ini pemakaian
pupuk
(khusus Urea)
yang
cenderung
bertambah, bahkan melebihi rekomendasi pupuk berimbang. Dengan kondisi seperti ini, disarankan agar pemerintah lebih memfokuskan pada perbaikan efisiensi penggunaan pupuk dan kestabilan harga produk, khususnya harga gabah.
25
Rachman (2003) menjelaskan adanya pemikiran petani bahwa pupuk urea adalah pupuk utama sedangkan jenis pupuk KCL dan SP-36 hanya bersifat pelengkap telah menyebabkan tingkat penggunaan pupuk urea berlebih di tingkat petani. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya peningkatan harga pupuk urea. Umumnya petani menggunakan pupuk urea antara 500 - 700 kg per ha, sebaliknya banyak petani yang tidak menggunakan KCL dan SP-36. Dosis anjuran penggunaan pupuk urea, KCL dan SP-36 per hektar yaitu, 300: 100 :100. Penggunaan pupuk urea secara berlebih, sementara dosis anjuran penggunaannya masih belum ada penyelesaian telah menyebabkan petani tidak berproduksi pada tingkat yang optimal. Hasil penelitian Rachman et al. (2001) dalam Rachman (2003) di 5 propinsi sentra produksi padi ditemukan bahwa secara umum petani membeli pupuk urea, SP-36, KCL, dan ZA lebih mahal, masing-masing 18 persen, 1 persen, 31 persen, dan 19 persen dari harga yang seharusnya dibayar oleh petani. Hal ini mengundang makna bahwa petani belum menikmati kebijakan input yang diterapkan pemerintah, sebagaimana tercirikan dari laba usahatani yang masih tergolong suboptimal. Kariyasa dan Yusdja (2005) menjelaskan
ada lima kondisi yang
menyebabkan pendistribusian pupuk tidak efektif, yaitu Pertama, pemakaian pupuk urea di tingkat petani melebihi dosis anjuran. Dalam perhitungan subsidi pupuk, dosis pemupukan urea yang dianjurkan pemerintah hanya sebanyak 250 kg per ha, akan tetapi dalam prakteknya banyak petani menggunakan pupuk jenis ini berkisar 350-500 kg per ha. Kedua, pemilikan lahan yang sempit (< 0.3 ha) juga menyebabkan penggunaan pupuk kalau
26
dikonversi ke dalam satu hektar menjadi sangat tinggi. Ketiga, tidak adanya ketepatan dalam menghitung luas pertanaman komoditas pangan (padi). Jumlah rencana kebutuhan pupuk yang ditetapkan
Departemen Pertanian yang
merupakan usulan Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten secara umum lebih rendah dari luas pertanaman sesungguhnya, sehingga jumlah permintaan pupuk selalu
melebihi dari
yang dialokasikan. Keempat, adanya ketidakdisiplinan
petani dalam menentukan pola tanam. Kelima, terjadi penggunaan pupuk di tingkat petani untuk kebutuhan yang bukan bersubsidi. Di daerah pantura, banyak permintaan pupuk dari petani untuk kebutuhan tambak, bukan merupakan alokasi pupuk bersubsidi.
Tabel 6. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Jumlah Penggunaan Pupuk Pada Persamaan Simultan No 1
Variabel Penjelas Harga pupuk
2 3
Rasio harga pupuk dengan gabah Harga gabah petani
4
Harga dasar gabah
5
Luas areal panen
6
10
Luas areal intensifikasi Proporsi areal sawah intensifikasi Perubahan luas areal irigasi Dummy Krisis ekonomi Teknologi
11
Lag subsidi pupuk
12
Lag penggunaan pupuk Jumlah variabel
7 8 9
P2 Rp/kg
P3
P4 Rp/kg
P6 Rp/kg
P7 Rp/kg
Rp/kg
P8 Rp/kg
P9 Rp/kg
Rp/kg Rp/kg
Rp/kg
000 ha
000 ha
Rp/kg
Rp/kg
000 ha
000 ha Ha
% Ha D T
Kg/ha
Kg/ha
4
5
3
T
T
Rp miliar Ku/ha
Kg/ha
Kg/ha
Kg/ha
4
5
4
5
Keterangan : P2 = Mulyana (1998); P3 = Sitepu (2002); P4 = Hutauruk dan Sembiring (2002); P6 = Sugiyono (2005); P7 = Sembiring (2007); P8 = Sembiring et al (2008) dan P9 = Kusumaningrum (2008)
27
Tabel 6 menunjukkan instrumen kebijakan yang mempengaruhi jumlah penggunaan pupuk antara lain harga dasar gabah (Sembiring, 2007); Sembiring et al.( 2008) dan lag subsidi pupuk (Sugiyono, 2005). Studi yang memasukkan efek samping kebijakan subsidi sebagai variabel penjelas (Mulyana,1998; Sitepu 2002; Hutauruk dan Sembiring, 2002; Sugiyono, 2005; Sembiring, 2007; Sembiring et al. 2008; dan Kusumaningrum, 2008). Variabel penjelas utama yang mempengaruhi penggunaan pupuk yaitu harga pupuk, artinya harga pupuk akan mempengaruhi jumlah pupuk yang digunakan oleh petani. Anggaran pemerintah terhadap subsidi input diwakili oleh variabel penjelas lag subsidi pupuk. 2.6 Produktifitas Padi Inpres No 9 Tahun 2001 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2002, menyebutkan pelaku kebijakan dalam Tabel Lampiran 1 memberi dukungan bagi peningkatan produktifitas petani padi dan produksi beras nasional. Dalam perkembangan Inpres berikutnya (Inpres No 2 Tahun 2005), secara eksplisit disebutkan bahwa produktifitas padi dilakukan dengan harga pembelian pemerintah. Tabel 7 menunjukkan delapan belas variabel penjelas yang mempengaruhi produktifitas padi. Instrumen kebijakan yang mempengaruhi produktifitas padi yaitu harga dasar padi, harga pupuk dan kredit usahatani. Umumnya studi terdahulu menunjukkan bahwa produksi padi adalah luas areal panen dikalikan dengan produktifitas padi. Persamaan identitas produksi padi yaitu luas areal panen dikalikan produktifitas padi (ton/ha) Produksi beras adalah perkalian antara produksi padi dengan suatu angka konversi k sebesar 0.63. Ada juga studi yang menggunakan angka konversi k sebesar 0.65, seperti Hutauruk (1996).
28
Sastrohoetomo (1984) menggunakan persamaan produktifitas dipengaruhi oleh harga gabah di deflasi dengan Indeks Harga Konsumen, realisasi dosis pemupukan, bagian areal tanam dalam persen, bagian areal tanam yang menggunakan bibit varitas unggul baru, bagian areal tanam yang puso (tidak panen) karena serangan hama dan penyakit dan bencana alam (kekeringan dan atau kebanjiran), dan variabel boneka musim, musim hujan diberi nilai 0, musim kemarau diberi nilai 1. Tabel 7. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Produktifitas Padi Pada Persamaan Simultan No 1 2
Variabel Penjelas Harga Padi
P1 Rp/kg
4
Harga Dasar Padi Rasio Gabah dengan Pupuk Harga Pupuk
5
Trend Pupuk
6
Jumlah Pupuk
7
Luas Areal Irigasi
8
15
Persentase Areal Irigasi Luas Areal Intensifikasi Proporsi Sawah Intensifikasi Konversi Lahan Sawah Luas Areal Padi Sawah Luas Serangan Hama Penyakit Trend Teknologi Dummy
16
Curah Hujan
17
Kredit Usahatani Lag Produktifitas Jumlah Variabel
3
9 10 11 12 13 14
18
Keterangan :
P2
P3
P4
P5
P6
Rp/kg
P7
P8
P9
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg √ Rp/kg √ Kg/ha
Kg/ha
Kg/ha
Kg/ha
Ku/ha
Kg/ha
000 ha %
%
Rp/kg
Kg/ha 000 ha
Kg /ha 000 ha
Kg/ha
%
000 ha
000 ha
000 ha
000 ha
% 000 ha 000 ha ha T
T El Nino
T
T
T
El Nino mm/th
Rp/ha √
√
√
Rp 000/ha √
6
6
6
7
√
√
√
√
√
8
4
5
6
4
P1 = Hutauruk (1996); P2 = Mulyana (1998); P3 = Sitepu (2002); P4 = Hutauruk dan Sembiring (2002); P5 = Ritonga (2004); P6 = Sugiyono (2005); P7 = Sembiring (2007); P8 = Sembiring et al (2008) dan P9 = Kusumaningrum (2008).
29
2.7 Produksi Padi dan Produksi Beras David (1975) dalam disertasinya mengembangkan model pendugaan pendekatan makro dengan menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas dimana produksi gabah total (ribuan ton) dipengaruhi oleh areal tanaman ( ribuan hektar), pupuk NPK yang digunakan total (ribuan ton), bagian yang ditanam Varitas Unggul Benih (VUB) dan variabel boneka. Rachman (1978) dan Rachman dan Montgomery (1980) menggunakan model makro David (1975) dalam Sastrohoetomo (1984) tersebut untuk studinya, dengan beberapa perubahan. Perubahan tersebut dengan menggunaan produksi sebagai produksi rata-rata per hektar, dan memasukkan variabel lahan beririgasi dan dummy musim, dimana musim hujan diberi nilai 1 dan musim kemarau diberi nilai 0. Dalam pengembangan model selanjutnya, David dan Barker (1978) mengembangkan model David (1975) dengan memasukkan variabel harga, indeks pengairan, dosis pemupukan optimal, curah hujan dalam 2 bulan sebelum panen terhadap hujan tahunan dan nilai kotor pendapatan usahatani. Model makro untuk negara – negara Asia (Asia Aggregate) terdiri dari dua model, yakni model pertama yaitu pendugaan melalui fungsi produksi, dan model kedua, pendugaan langsung. Produksi gabah model pertama dipengaruhi oleh areal tanaman padi, pupuk, areal tanaman yang menggunakan VUB, dan variabel boneka untuk memisahkan perbedaan elastisitas produksi pupuk antara negara, sedangkan model produksi gabah dengan model pendugaan langsung dipengaruhi oleh harga nisbi pupuk terhadap padi, dosis pemupukan per hektar, bagian areal yang yang
30
menggunakan VUB, variabel boneka untuk memisahkan elastisitas permintaan pupuk. Rachman (1978) dan Rachman dan Montgomery (1980) telah mengadaptasikan model David (1975) untuk Jawa dan Bali, dengan melakukan penyesuaian dengan memasukkan persentase sawah yang beririgasi teknis dan semi teknis. Widodo (1989) menggunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas dimana satu dari empat model fungsi produksi tersebut dipengaruhi oleh luas lahan, urea, TSP, kombinasi urea dengan TSP, pestisida, jumlah jam kerja ternak, dan efisiensi teknis index Farrel. Persamaan identitas produksi padi yaitu luas areal panen dikalikan produktifitas padi (ton/ha), sedangkan produksi beras adalah perkalian antara produksi padi dengan suatu angka konversi k sebesar 0.63. Ada juga studi yang menggunakan angka konversi k sebesar 0.65, seperti Hutauruk (1996). 2.8 Pasca Panen Inpres No 2 Tahun 2005 pada Lampiran 1 secara eksplisit menyebutkan perlunya dukungan kebijakan bagi pengembangan penanganan pasca panen gabah/beras guna meningkatkan kualitas dan mengurangi kehilangan hasil. Pemerintah melalui Inpres, yang ditunjukkan pada
Lampiran 3 menentukan
persyaratan terhadap Harga Dasar gabah dan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering panen dan Gabah Kering Giling. Pranadji dan Hutabarat (1998) mengutip Winarno (1982) mengemukakan bahwa sejak penanaman padi jenis unggul (VUTN, High-Yield Variety) meluas pada tahun 1970-an, pada panen musim penghujan atau panen raya kebanyakan padi tidak mempunyai kekeringan dan mutu yang cukup untuk disimpan lama.
31
Persentase Kadar Air (KA) gabah yang dikeringkan oleh Pabrik Penggilingan Kecil (PPK), Pabrik Penggilingan Besar (PPB) dan Koperasi Unit Desa (KUD), tergantung pada kepada siapa beras yang dihasilkan tersebut akan dipasarkan. Untuk Dolog / Bulog, KA gabah maksimum 14.5 persen, sebelum digiling jadi beras (gabah lama dan baru sama saja). Sedang untuk memenuhi pasaran umum, misalnya Pasar Induk Cipinang, cukup dikeringkan hingga KA 16-17 persen. Jika dikeringkan hingga KA 14.5 persen, selain lama dan biaya lebih besar yang dihasilkan dari gabah ber KA 16-17 persen. Apalagi jika berasal dari gabah baru harga akan dapat lebih tinggi lagi. Menurut Pranadji dan Hutabarat (1998), kegiatan pengeringan padi sebagai bagian dari unit bisnis penggilingan padi lebih banyak dikuasai olek PPK (Pabrik Penggilingan Kecil), PPB (Pabrik Penggilingan Besar) dan KUD besar, dan nilai tambahnya tidak jatuh ke petani. Ketiga, koordinasi yang bersifat kelembagaan antara Departemen Pertanian, Perindustrian, Koperasi dan Bulog perlu lebih diserasikan agar memberi iklim yang lebih merangsang bagi perkembangan KUD dan organisasi yang mendukungnya. Keempat, penggunaan jenis teknologi lantai jemur untuk kegiatan pengeringan padi dalam sepuluh tahun mendatang agaknya masih sebagai alternatif teknik termurah dan memenuhi patokan pasaran umum (kota besar) dan BULOG. Pada musim panen raya atau cenderung (bulan Maret – Juni), pengeringan gabah dilakukan dan diarahkan untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh Dolog/Bulog. Sebab harga beras yang dibayar Dolog / Bulog lebih tinggi daripada pasar umum / lokal. Sedang dari panen gadu (September–Januari) pengeringan dilakukan untuk gabah yang akan dijual ke pasar umum, karena harga di pasaran
32
umumnya lebih tinggi dibanding Dolog/Bulog. Hal ini berkaitan erat sekali dengan sistem pemasaran beras, yang umumnya dikuasai oleh kegiatan penggilingan padi. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dalam suatu usaha yang bertujuan demi keuntungan atau komersial, kegiatan pengeringan agaknya sukar dipisahkan dengan penggilingan padi. Sebab, biasanya pedagang tidak langsung mengambil keuntungan dari selisih harga antara harga sebelum pengeringan dan sesudah pengeringan. Keuntungan atau nilai tambah diambil dari hasil setelah gabah digiling dan hasil samping seperti sekam, bekatul, menir dan lain-lain yang berguna sebagai pakan ternak. Kegiatan pengeringan, walaupun penting, hanya merupakan salah satu tahap kegiatan dalam proses penggilingan padi Menurut Azahari (2003) mekanisme pertanian khususnya usaha jasa alsintan telah menjadi kebutuhan dasar dalam mendukung keberhasilan pembangunan perberasan nasional. Hal tersebut terkait dengan usaha pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi dan efisien usahatani padi serta peningkatan mutu hasil gabah/beras. Usaha pelayanan jasa alsintan sudah mulai berkembang terutama di daerah sentra produksi padi, namun dalam operasionalnya di temukan beberapa kendala sehingga perkembangannya sangat lamban dan bahkan kurang memadai (bila dilihat dari luas areal dan kebutuhan alsintan) Jenis peralatan jasa alsintan atau suku cadang yang dapat disediakan oleh usaha penggilingan padi meliputi: alat pengolahan tanah, alat perontok, alat penyemprot hama tanaman, peralatan panen, peralatan pengering gabah, alsintan penyediaan air irigasi dengan pompa, dan peralatan lainnya yang sudah biasa digunakan oleh unit usaha pelayanan jasa alsintan.
33
2.9 Harga Gabah Kariyasa (2003) mengutip kajian Kariyasa dan Adnyana bahwa penerimaan dan keuntungan petani padi MT III justru pada umumnya paling tinggi, padahal tingkat produksinya relatif paling rendah dibandingkan pada musim lainnya (MT I dan MT II). Kondisi di lapangan ini sejalan dengan teori ekonomi, karena komoditas gabah/beras penawarannya bersifat inelastis, dimana penurunan produksi yang terjadi MT III telah mampu memacu kenaikan tingkat harga yang lebih besar dibandingkan dengan penurunan produksi tersebut. Kinerja Harga Dasar Gabah (HDG) baru yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 1 725 per kg GKG (Gabah Kering Giling) yang dituangkan dalam Inpres No. 09/2002 dan mulai efektif berlaku 1 Januari 2003. Penetapan harga dasar baru sebesar Rp 1 725 per kg GKG atau setara dengan Rp 2 730 per kg beras (asumsi rendemen dari GKG ke beras 63.2 persen), apakah terlalu tinggi atau rendah amat tergantung pada perkembangan harga beras di pasar internasioal. Dengan kurs rupiah sekitar Rp 8 500 sampai Rp 10 000 maka harga dasar baru tersebut sekitar 51.67 - 78.13 persen lebih tinggi dari harga FOB (asumsi harga FOB US$ 180/ton). Fenomena secara umum perubahan harga beras di Indonesia berkaitan erat dengan musim. Harga gabah/beras akan cenderung turun pada musim panen raya dan cenderung meningkat pada musim paceklik. Harga beras biasanya mencapai puncaknya bulan Desember-Februari yaitu saat musim paceklik di sentra produksi padi. Harga beras akan mencapai titik terendah pada saat panen raya sekitar bulan Maret-Mei. Dalam periode dua minggu yaitu akhir Desember 2001 dan awal Januari 2002 terjadi lonjakan tajam harga beras di Jakarta sebesar 25 persen yang
34
dinilai tidak wajar atau abnormal, padahal harga beras meningkat karena permintaan yang tinggi (saat hari-hari besar atau akibat psikologis pasar peningkatannya antara 2 hingga 3 persen per bulan (Deptan, 2002 dan Simatupang, 2002). Menurut Sudaryanto dan Agustian (2003) lonjakan harga yang tajam disebabkan oleh adanya tindakan spekulatif dalam perdagangan beras sebagai upaya meningkatkan rente ekonomi dari harga beras yang tiba-tiba dalam waktu singkat. Munculnya tindakan spekulatif ini dipicu oleh kondisi: (1) menurunnya volume beras yang diperdagangkan karena pada sebagian besar sentra produksi beras telah memasuki musim paceklik, (2) menurunnya pasokan beras ke Pasar Induk Jakarta karena adanya penurunan aktivitas ekonomi pengolahan dan distribusi) sehubungan dengan panjangnya masa "istirahat" berkaitan dengan periode hari raya lebaran, natal dan Tahun Baru dalam periode lebih dari 2 minggu, (3) terjadinya gangguan distribusi akibat banjir di beberapa daerah (4) meningkatkan harga beras di pasar dunia, dan (5) kemungkinan antisipasi para pedagang karena adanya rencana kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik, telepon dan kebijakan harga dasar gabah/beras yang baru. Simatupang, Murdianto, Kariyasa dan Maulana (2005) menyimpulkan bahwa Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah yang ditetapkan melalui Inpres No. 2 Tahun 2005 dapat terlaksana secara efektif dan berjalan relatif stabil. Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa fakta berikut ini. Pertama, rata-rata harga GKP dan GKG yang diterima petani lebih tinggi dari HPP. Kedua, harga GKP di tingkat petani stabil pada tingkat harga yang cukup tinggi (di atas
HPP) dan yang lebih
penting
kenaikan
harga
GKP
lebih
tinggi
35
dibandingkan dengan kenaikan harga GKG. Dengan kata lain, Inpres No. 2 Tahun 2005
mampu
meningkatkan pendapatan petani padi, karena
dalam
kenyataannya sebagian besar petani menjual gabahnya dalam bentuk GKP. Ketiga,
semakin
menyempitnya
menunjukkan bahwa
perbedaan
peningkatan harga
harga GKP
gabah
dengan
GKG
tahun 2005 benar-benar
dinikmati oleh petani. Simatupang, Murdianto dan Maulana (2005) mengemukakan bahwa penurunan harga gabah petani pada tahun 2004 bersamaan dengan peningkatan cukup tinggi (sekitar 25 persen) harga beras impor. Seperti halnya harga gabah, harga beras yang dibayar konsumen di pasar domestik juga mengalami penurunan pada tahun 2004. Ini berarti, pada tahun 2004 pasar beras dan gabah domestik tersekat, tidak lagi terintegrasi dengan harga beras dunia. Akar penyebabnya ialah kebijakan pelarangan impor beras yang ditetapkan pemerintah sejak bulan Januari 2004, pada awalnya hanya pada masa panen raya, namun diperpanjang secara bertahap hingga sampai bulan Desember 2004 mendatang. Penurunan harga gabah tahun 2004 merupakan akibat dari perpaduan kesalahan kebijakan pelarangan impor dan melonjaknya produksi gabah domestik. Fakta bahwa harga Gabah Kering Giling (GKG) kerapkali di bawah Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) dan harga beras selalu di bawah HDPP walaupun Gabah Kering Panen (GKP) di atas HDPP merupakan isu penting yang perlu dikaji lebih mendalam karena mengandung implikasi terhadap konstruksi kebijakan HDPP tersebut. Patut diduga HDPP untuk GKG dan beras kurang relevan atau terlalu tinggi terhadap GKP (Simatupang, Murdianto dan Maulana, 2005).
36
Pertama, pada umumnya petani menjual gabah dalam bentuk GKP, jarang dalam bentuk GKG dan praktis tidak pernah dalam bentuk beras. Oleh karena itu, HDPP untuk GKG dan beras kurang relevan dijadikan sebagai instrumen penyangga harga gabah petani. HDPP mestinya hanya untuk GKP saja. Harga GKG dan beras dibiarkan bebas berdasarkan kekuatan pasar. Kedua, dapat dipastikan HDPP untuk GKG dan beras relatif terlalu tinggi dibanding untuk GKP. Rasio harga Gabah Kering Giling dengan Gabah Kering Panen berdasarkan harga pasar (di tingkat penggilingan) adalah 1.16 sedangkan berdasarkan HDPP yang ditetapkan pemerintah 1.40. Rasio harga beras di tingkat konsumen dengan Gabah Kering Panen di tingkat penggilingan
adalah
2.15,
sedangkan
berdasarkan HDPP yang ditetapkan pemerintah adalah 2.27. Hal inilah yang menyebabkan harga GKG dan harga beras dapat berada dibawah HDPP masingmasing, walaupun harga GKP di bawah HDPP-nya Ketiga, penetapan HDPP untuk GKG dan beras yang tidak konsisten, atau tegasnya terlalu tinggi relatif terhadap GKP, sementara transaksi GKG dan beras berdasarkan HDPP praktis hanya antara Bulog dan pengusaha kilang penggilingan padi, maka dapat dipastikan penetapan HDPP untuk GKG dan beras kurang bermanfaat bagi petani, lebih menguntungkan bagi Bulog dan mitra pengusaha kilang padinya, dan merugikan bagi negara. Keempat, penetapan tiga HDPP (untuk GKP, GKG, beras) yang tidak konsisten dapat menimbulkan kesulitan dalam monitoring dan evaluasi kinerja kebijakan HDPP tersebut. Jika harga GKP yang diterima petani selalu diatas HDPP, sementara GKG dan beras di bawah HDPP masing-masing, lantas apakah dapat disimpulkan kebijakan HDPP efektif atau tidak ? Harga produk mana yang
37
akan diacu ? Kesulitan ini dapat diatasi dengan menetapkan HDPP untuk satu jenis produk gabah saja, yakni Gabah Kering Panen. Tabel 8. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Harga Gabah Pada Persamaan Simultan No
Variabel Penjelas
1
Harga Beras Eceran Harga Impor Beras Harga Dasar Padi/Gabah Harga Pembelian Pemerintah Nilai Margin Pemasaran Produksi Padi
2 3 4 5 6 7
P1
P2
P3
P4
Rp/kg Rp/kg
P6
Rp/k g $/ton Rp /kg
$/ton Rp /kg
P7
P8
P9
Rp/kg Rp/kg
Rp/ kg
Rp /kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg Rp/kg
Rp/kg 000 ton
Rp/k g 000 ton
000 ton
8
Pengadaan Beras oleh Bulog Trend Waktu
T
T
9
Lag Harga Gabah
Rp/kg
Rp/k g 5
Jumlah Variabel
P5
3
7
Rp/kg 000 ton T
T
3
Rp/k g 4
000 ton
000 ton
Kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
3
3
3
5
Keterangan : P1 = Hutauruk (1996); P2 = Mulyana (1998); P3 = Sitepu (2002); P4 = Hutauruk dan Sembiring (2002); P5 = Ritonga (2004); P6 = Sugiyono (2005); P7 = Sembiring (2007); P8 = Sembiring et al (2008) dan P9 = Kusumaningrum (2008)
Tabel 8 menunjukkan ada sembilan variavel penjelas yang mempengaruhi harga gabah. Instrumen kebijakan yang mempengaruhi harga gabah yaitu harga dasar gabah, sedangkan studi Kusumaningrum (2008) menggunakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kebijakan perberasan dalam Inpres No 2 tahun 2005 dalam diktum keempat disebutkan harga pembelian oleh pemerintah. 2.10 Impor Beras Dalam Inpres No. 9 Tahun 2002,
pemerintah
memberikan arahan
bagaimana mengatur kebijakan impor beras yang melindungi petani dan sekaligus melindungi konsumen dalam negeri. Menurut Mardianto dan Ariani (2004), salah satu cara adalah mengatur penetapan tarif impor. Saat ini tarif impor beras yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar Rp. 430 per kg atau kurang lebih setara dengan 30 persen spesifik tarif saat itu.
38
Sawit (2005) mengemukakan bahwa tingkat tarif terhadap beras ternyata kurang efektif, karena terjadi penyeludupan beras. Sawit mengutip Tabor et al. (2002) bahwa pada periode 2002-2003, ditaksir tidak kurang dari 50 persen beras masuk Indonesia ke Indonesia melalui pelabuhan, terbanyak melalui selat Malaka adalah ilegal. Masuknya beras ilegal tersebut menyebabkan harga gabah tingkat produsen di musim panen raya beberapa tahun malah lebih tinggi dari musim paceklik atau musim panen gadu, akibatnya perdagangan antar pulau dan antar wilayah tidak bergairah, beras dari sentra produsen terhambat mengalir ke wilayah konsumen, terutama ke perkotaan. Selain melalui penetapan tarif impor beras, pemerintah juga telah melakukan pengaturan tata laksana impor, yaitu melarang impor beras pada saat panen raya. Melalui SK Menperindag No 9 Tahun 2004 tentang ketentuan impor beras, telah diatur bahwa impor beras dilarang dalam masa satu bulan sebelum panen raya, pada saat panen raya dan dua bulan setelah panen raya. Mengingat masa panen raya dapat bergeser karena anomali iklim, sehingga penentuan masa panen raya ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Kasryno et al. (2001) mengemukakan bahwa mulai tahun 1994 Indonesia kembali menjadi negara importir beras yang besar di pasar internasional. Kondisi ini antar lain di sebabkan peningkatan produksi beras dalam periode 1990 – 2000 rata-rata 1.3 persen sedangkan laju pertumbuhan permintaan adalah 2.3 persen per tahun. Sedangkan Sawit (2007), mengemukakan sejak 1990, impor beras Indonesia terus meningkat. Puncak impor beras Indonesia terjadi pada periode krismon 1998-1999. Kemudian, pemerintah mengeluarkan SK Mendag No. 439 tentang bea masuk, tertanggal 22 September 1998 dimana
impor beras
39
dibebaskan, dengan bea masuk 0 persen. Indonesia mengalami serbuan impor beras pada 1998, 1999, 2002 dan 2003, yang besarannya mencapai masing-masing 84, 78, 42 dan 11 persen. Serbuan impor ini terjadi lebih parah, karena sebagian besar beras impor itu masuk dalam Musim Panen Raya (MPR) dan Panen Gadu (MPG). Pada periode 1998-99 dan 2000-03, jumlah beras impor yang masuk dalam periode itu mencapai masing-masing 79 persen dan 77 persen. Ini mendorong secara langsung atau tidak langsung terhadap kekacauan pergerakan harga antar musim. Harga gabah pada musim panceklik menjadi lebih rendah dari harga gabah di musim panen raya atau panen gadu. Ini juga mendorong terjadi dan meluasnya kasus kejatuhan harga tingkat petani di bawah harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Serbuan impor telah berdampak negatif terhadap perdagangan antar musim, menyulitkan pemerintah untuk melindungi petani dari kejatuhan harga di musim panen padi. Setelah terjadi kebanjiran impor 1998 dan 1999, kekacauan harga baru terjadi mulai 1999. Harga gabah di MPG jauh lebih rendah dari harga MPR Harga gabah tingkat produsen sebaiknya dianalisa sesuai dengan pola panen padi, karena padi adalah komoditas musiman. Separoh dari luas total areal panen berlangsung pada Musim Panen Raya, sedangkan pada Musim Panen Gadu mengambil peran 35 persen, dan sisanya 15 persen berlangsung pada Musim Paceklik (MP). Menurut Sawit (2007) apabila tidak ada intervensi pemerintah baik berupa pengamanan HPP maupun pengelolaan impor, maka harga gabah tingkat produsen pasti akan jatuh di MPR, dan harganya melonjak pada MP. Kejatuhan harga beras di bawah HPP meluas, mencapai 43 persen pada 2003. Pergerakan harga antar
40
musim menjadi kacau, tidak seperti biasanya. Misalnya harga GKP pada MP atau MPG lebih rendah dari harga MPR. Ini artinya, banyak beras impor masuk pada masa MPG dan stok itu, menyebabkan over supply sehingga mendorong harga turun di MP. Dengan pergerakan harga seperti itu, akan mengurangi insentif para pelaku usaha, terutama UKM untuk membeli gabah, menggiling serta menyimpannya. Kejatuhan harga dasar meluas dan besar. Pemerintah kemudian menetapkan tariff untuk beras Rp 430 per kg atau setara dengan 30 persen ad valorem pada waktu ditetapkan, Januari 2000.
Tabel 9. Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Impor Beras Pada Persamaan Simultan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Variabel Penjelas Harga Impor Beras Harga Beras Tingkat Pengecer Produksi Beras Domestik Permintaan Beras Domestik Nilai Tukar
P1
P2
$/ton
P3 US$ /kg
P4
US$ /kg
Rp/kg 000 ton 000 ton Rp
Stok Beras Nasional Akhir Tahun Lag Stok Beras Nasional Tingkat Bunga Pinjaman Bulog Kecenderungan Waktu Jumlah Penduduk Indonesia Pendapatan per Kapita Indonesia PDB Indonesia
P6 Rp/kg
Rp/kg 000 ton
000 ton
US$ /kg 000 ton
P7 US$ /ton
P9
US$ /ton
Rp/kg
000 ton
000 ton
P8
000 ton
Rp/kg Rp/kg
000 ton
000 ton
000 ton
000 ton
000 ton
Kg
Rp/ US$
Rp/ US$
000 ton
Kg
lag % T
T Juta Jiwa Rp juta
000 orang
Juta Jiwa Rp juta Rp milyar
Penawaran Agregat Lag Impor
√
√
√
Jumlah variabel
6
7
7
√
Rp milyar √
√
√
√
4
6
5
8
6
Keterangan : P1 = Hutauruk (1996); P2 = Mulyana (1998); P3 = Sitepu (2002); P4 = Hutauruk dan Sembiring (2002); P5 = Ritonga (2004); P6 = Sugiyono (2005); P7 = Sembiring (2007); P8 = Sembiring et al (2008) dan P9 = Kusumaningrum (2008)
41
Pergerakan harga gabah antar musim terganggu lagi, pada 2002 dan 2003, karena adanya serbuan impor masing-masing sebesar 42 persen dan 11 persen. Impor beras ternyata banyak masuk dalam bulan-bulan di mana masih panen yaitu di MPG, padahal pada periode itu suplai beras dalam negeri masih tinggi. Hal ini menyebabkan bertambahnya suplai dan stok berlebih, sehingga telah mendorong harga tertekan di MP. Kasus kejatuhan harga gabah juga meluas dalam periode itu. Pada waktu itu, kejatuhan harga di MP masing-masing 13 persen dan 42 persen. Tabel 9 menunjukkan jumlah variabel penjelas yang mempengaruhi impor beras terdapat
14 variabel, tetapi hanya ada satu yang mewakili instrumen
kebijakan yaitu stok beras. Inpres No 9 tahun 2001 merupakan Inpres yang secara exsplist menyebutkan kebijakan perberasan. Sejak dikeluarkannya kebijakan tersebut per 31 Desember 2001, diktum keempat menyebutkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan perlindungan kepada petani dan konsumen.
2.11. Stok Beras Inpres No 2 tahun 2005 secara eksplisit menyebutkan perlunya pengadaan untuk cadangan beras pemerintah dengan mengutamakan pengadaan beras yang berasal dari gabah petani dalam negeri. Diktum keenam tersebut mengindikasikan pentingnya stok beras. Peubah penjelas seperti harga beras domestik dan jumlah impor merupakan peubah penjelas utama dalam menjelaskan keragaman stok beras. Dari sembilan studi terdahulu, Maulana (1998) menggunakan marjin pemasaran beras sebagai peubah penjelas sedangkan Kusumaningrum (2008), menggunakan peubah penjelas pelepasan/penyaluran beras dalam menjelaskan peubah endogen.
42
Cadangan beras pemerintah digunakan untuk penyediaan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan. Tabel 10 menunjukkan variabel penjelas yang mewakili instrumen kebijakan perberasan yaitu impor beras, jumlah pelepasan/penyaluran beras, dan operasi pasar Bulog. Tabel 10.Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Stok Beras Pada Persamaan Simultan No
Variabel Penjelas
P1
P2
P3
P4
P7
P8
P9
1
Harga Beras Domestik
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
2 3
Jumlah Impor Jumlah Pengadaan Gabah/Beras Pelepasan/Penyaluran Beras Produksi Beras Trend Perubahan Stock Tingkat Bunga Pinjaman Bulog Operasi Pasar Bulog
000 ton
000 ton 000 ton
000 ton 000 ton
000 ton
000 ton
000 ton
Kg
000 ton
000 ton
4 5 6 7 8 9 10
Marjin Pemasaran Beras Lag Stok Beras Jumlah variabel
000 ton Ts
Kg 000 ton Ts
%
000 ton Ts
000 ton
% Kg
Rp/kg 000 ton 5
000 ton 7
000 ton 6
000 ton 4
000 ton 5
000 ton 4
Kg 5
Keterangan : P1 = Hutauruk (1996); P2 = Mulyana (1998); P3 = Sitepu (2002); P4 = Hutauruk dan Sembiring (2002); P5 = Ritonga (2004); P6 = Sugiyono (2005); P7 = Sembiring (2007); P8 = Sembiring et al (2008) dan P9 = Kusumaningrum (2008).
2.12 Permintaan Beras Tabel
11
menunjukkan
bahwa
jumlah
variabel
penjelas
yang
mempengaruhi permintaan beras terdapat 13 variabel. Variabel penjelas yang mempengaruhi permintaan beras yaitu harga beras, harga subtitusi, penduduk, pendapatan per kapita, pendapatan penduduk, rata-rata pengeluaran per kapita untuk makanan, trend waktu, indeks harga konsumen, penawaran agregat dan lag permintaan beras. Tabel 8 menunjukkan bahwa meskipun ditemukan variabel penjelas yang sama tetapi satuan harga yang digunakan berbeda. Perbedaan tersebut dijumpai pada studi yang dilakukan Hutauruk (1996) menggunakan harga
43
beras kualitas medium; Mulyana (1998) menggunakan harga beras tingkat konsumen domestik dan Sugiyono (2005) menggunakan harga beras di tingkat pedagang besar. Timmer dan Alderman (1979) juga melakukan pendugaan elastisitas pendapatan dan harga dengan menggunakan model log dengan variabel boneka propinsi, putaran, pedesaan-kota, dan interaksi antar variabel tertentu. Bentuk linier maupun kuadratik telah digunakan dengan memanfaatkan data Susenas 1976 dengan tiga kali putarannya.
Tabel 11.Variabel Penjelas yang Mempengaruhi Permintaan Beras Pada Persamaan Simultan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Variabel Penjelas Harga Beras Eceran Harga Jagung Harga Ubi Kayu Persentase Penduduk Kota Rasio Penduduk Kota dan Desa Pendapatan Per Kapita Pendapatan Penduduk Jumlah Penduduk Pengeluaran/ Kapita untuk Makanan Trend Waktu Indeks Harga Konsumen Penawaran Agregat Lag Permintaan Beras Jumlah variabel
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
P8
P9
Rp /kg Rp/kg
Rp /kg Rp/kg
Rp /kapita
Rp /kapita
Rp /kg Rp /kg
Rp/kg %
% orang
orang
Rp /kapita
Rp 000 orang
Juta orang
Juta orang
orang
T
000 orang Rp /kapita
000 orang
Jiwa
T IHK
IHK
Rp √
√
√
√
√
√
√
√
√
6
7
7
4
6
4
5
5
6
Keterangan : P1 = Hutauruk (1996); P2 = Mulyana (1998); P3 = Sitepu (2002); P4 = Hutauruk dan Sembiring (2002); P5 = Ritonga (2004); P6 = Sugiyono (2005); P7 = Sembiring (2007); P8 = Sembiring et al (2008) dan P9 = Kusumaningrum (2008)
44
Studi pada Tabel 11 menunjukkan bahwa variabel penjelas utama yang mempengaruhi permintaan beras yaitu harga beras eceran, harga jagung, jumlah penduduk, dan lag permintaan beras. Variabel penjelas yang berbeda diantara studi terhadap permintaan beras yaitu harga subtitusi beras, harga ubi kayu (Hutauruk dan Sembiring, 2002), rata-rata pengeluaran per kapita untuk makanan (Ritonga, 2004), penawaran agregat (Sugiyono, 2005) dan pendapatan penduduk Indonesia Kusumaningrum (2008). Model empirik Timmer dan Alderman (1979), yaitu log konsumsi per kapita dalam kg per minggu untuk tiap kelas pendapatan, propinsi dan perkotaan atau pedesaan dipengaruhi oleh perpotongan spesifik kelas pendapatan, log rata – rata pengeluaran total untuk tiap sel pengamatan, log harga sendiri dari komoditi untuk pengamatan, log harga silang, dan variabel boneka nol. Apabila studi Mears et al (1981) dalam Sastrohoetomo (1984) variabel harga tidak tercakup, maka pada studi Squire (1981) dalam Sastrohoetomo (1984) variabel ini tercakup. Dengan menggunakan variabel pengeluaran konsumsi rumah tangga, Squire (1981) telah menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai
proxy
dari
pendapatan.
Model
Squire
konsumsi/persediaan beras per kapita dipengaruhi oleh
(1981)
yaitu
log
log PDB per kapita yang
dideflasi dengan Indeks Harga Barang Bukan Makanan, log harga bahan makanan ke-i, dimana bahan makanan yang dimasukkan adalah beras, ubi kayu, ubi jalar, jagung dan terigu log konsumsi per kapita, dan lag konsumsi beras tahun sebelumnya. Model pendugaan Sastrohoetomo (1984) untuk permintaan beras dipengaruhi harga beras rata-rata bulanan dalam musim yang bersangkutan
45
dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dalam
rupiah per kg,
pendapatan/pengeluaran per kapita sebulan, kwadrat dari pendapatan/pengeluaran per kapita sebulan untuk bisa menangkap efek Engel. Dalam studi tersebut didefinisikan (1) konsumsi per kapita sebulan musiman adalah produksi bersih satu musim ditambah beras impor yang tersalur dalam musim tersebut dibagi jumlah penduduk pertengahan tahun dalam kg per kapita per bulan, (2) harga dasar digunakan sebagai proxy harga musim kemarau (pasar panen) dan harga atap untuk musim hujan (paceklik), dan (3) pendapatan/pengeluaran per kapita sebulan yaitu pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dan PDB dibagi jumlah penduduk pertengahan tahun dan dibagi lagi dengan duabelas. 2.13 Stabilisasi Harga David dan Huang (1996) menyebutkan bahwa peranan ekonomi dan politis perberasan di Asia, menyebabkan pemerintah tidak membiarkan sektor perberasan domestiknya bebas dipengaruhi permintaan pasar serta kekuatan penawaran. Kecuali Thailand, sebagian besar pemerintah Asia mengendalikan harga beras melalui monopoli terhadap perdagangan beras internasional dan operasi pasar domestik dalam jangka pendek. Tindakan yang dilakukan pemerintah dalam jangka panjang yaitu
melakukan investasi terhadap
pengembangan irigasi, penelitian dan kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan produktifitas, dan pemberian incentif kepada petani. David dan Huang (1996) terhadap harga beras yang
menganalisis dampak kebijakan pemerintah
diukur oleh angka proteksi nominal (nominal
protection rate/NPR) yang didefisinikan sebagai persentase kelebihan harga beras domestik (Pd) terhadap harga beras dunia (Pw) yang dikonversi dengani nilai
46
tukar. Harga domestik merepresentasikan
biaya marginal memproduksi beras,
sedangkan Pw merepresentasikan biaya kesempatan memproduksi beras secara domestik. Perbedaan harga beras dunia dengan domestik tersebut, karena: (1) keinginan pemerintah yang kuat untuk menstabilisasi harga beras dari ketidakstabilan harga beras dunia yang ekstrim dan penyesuaian terhadap kurs valuta asing, (2) tindakan pemerintah untuk meningkatkan daya saing beras domestik, dan (3) posisi perdagangan beras dari suatu negara, apakah sebagai negara pengimpor atau pengekspor beras. Data pada Tabel 12 diestimasi dari persentase perbedaan harga domestik dengan harga beras di luar negeri. Harga beras domestik adalah rata-rata harga beras pedagang besar pada setiap negara. Harga beras luar negeri Thailand dan Pakistan ditentukan dari nilai ekspor sedangkan negara lainnya ditentukan berdasarkan harga dunia. Tabel 12 menunjukkan terdapat perbedaan yang tajam terhadap angka perlindungan nominal diantara sembilan negara Asia. Pertama, di negara dengan pendapatan tinggi seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan, terjadi tingkat proteksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara dengan pendapatan rendah di bagian Asia Selatan dan Asia Tenggara. Pada tahun 1960-1988 tingkat proteksi di negara pendapatan tinggi seperti Jepang terus menunjukkan trend yang naik secara tajam dari 70 tahun 1960-1970 menjadi 443 tahun 1980-1988, tertinggi dibandingkan negara Asia lainnya. Kedua, negara pengekspor beras memiliki angka proteksi yang negatif, sementara negara importir beras memiliki angka proteksi yang negatif dan positip. Ketiga, sepanjang tahun 1960-1988, angka proteksi nominal meningkat dengan
47
tajam di negara Asia Timur yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada tahun 1980-an, angka proteksi nominal kelihatan meningkat di Indonesia, Thailand dan Pakistan, sebaliknya angka proteksi nominal di India, Bangladesh dan Philippina mengalami penurunan dalam kurun waktu 1960-1988.
Tabel 12. Angka Proteksi Nominal untuk Beras di Sembilan Negara Asia, Tahun 1960-1988 Negara 1960-1970* 1970-1980** 1980-1988 Bangladesh 68 51 32 India 19 - 5 - 3 Pakistan*** 1 -42 -17 IRRI 18 - 42 -13 Basmati - 40 - 38 -27 Indonesia 3 27 Fhilippina 31 - 3 6 Thailand - 28 - 28 11 Korea Selatan 17 65 243 Taiwan - 12 6 101 Jepang 70 146 443 Sumber : David dan Huang (1996) Ket: * 1960-69 untuk Pakistan; ** : 1973-75, 1978-80 untuk Pakistan Pal et al. (1993) mengemukakan ada tiga pandangan yang berbeda terhadap intervensi pemerintah dalam pangan biji-bijian (gandum dan beras). Pandangan pertama,
dari penganut pasar bebas, yang menyebutkan bahwa
intervensi pemerintah menstabilkan harga menyebabkan inefisiensi skala besar terhadap penggunaan sumberdaya seperti harga pasar terdistorsi sehingga tidak merefleksikan biaya kesempatan, sebagaimana direfleksikan oleh harga internasional. Pandangan kedua, penganut struktural, yang mengatakan bahwa bagi negara maju, harga internasional merupakan harga yang terdistorsi karena tidak
merefleksikan biaya oportuniti. Pandangan ketiga, pendukung campur
tangan pemerintah, yang mendukung stabilisasi harga domestik.
48
Chambers dan Quiggin (2003) melakukan analisis stabilisasi harga terhadap perusahaan penghindar resiko dalam kondisi yang stokastik. Kondisi stokastik yang dimaksud adanya harga-harga dan lingkungan produksi yang stokastik. Studi tersebut mempelajari dampak lingkungan stokastik terhadap tingkat kesejahteraan perusahaan. Perusahaan penghindar resiko berusaha menyeimbangkan ketidak pastian harga terhadap ketidakpastian produksi untuk memperoleh pendapatan dengan melakukan self insurance. Newbery dan Stiglitz (1981), Williams dan Wright (1991), Jha dan Srinivasan (1999) mengemukakan bahwa kegiatan distribusi dapat mempengaruhi fluktuasi harga dan menciptakan ekonomi yang tidak efisien tetapi
tujuan
stabilisasi harga tidak tercapai. Sedangkan (Mc Gregor, 1998; Timmer, 2000; Dawe, 2001) berpendapat bahwa stabilisasi harga pangan dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan ketahanan pangan. Myers (2006) dalam studinya menguji kembali pendekatan Newbery dan Stiglitz (1981) tentang standar biaya kesejahteraan fluktuasi harga pangan dengan menggunakan pendekatan kegunaan second-order Taylor, yang mendefinisikan ukuran equivalent variation dari biaya kesejahteraan fluktuasi harga pangan. Fokus studi Newbery dan Stiglitz (1981) mengukur kesejahteraan terhadap konsumen dan produsen, sedangkan studi Myers (2006) mengevaluasi dampak kesejahteraan terhadap rumah tangga sebagai produsen dan konsumen pangan. Timmer
(1996)
menyebutkan
keuntungan
stabilisasi
harga:
(1)
menurunkan tingkat resiko yang dihadapi petani sehingga investasi semakin produktif dan mendorong petani melakukan investasi yang lebih besar melalui inovasi dan teknologi baru yang meningkatkan produktifitas usahatani beras, dan
49
(2) konsumen diuntungkan melalui harga yang stabil. Keuntungan konsumen melalui stabilisasi harga berpengaruh nyata dari sisi keadilan, dan (3) mengurangi kemiskinan. Menurut Timer (1996) ada dua fakta penting dari Tabel 13, yaitu : (1) Bulog telah menunjukkan kontribusi yang besar terhadap proses pertumbuhan ekonomi dalam 25 tahun melalui stabilisasi harga beras. Kontribusi stabilisasi harga beras oleh Bulog pada periode 1969-74 sangat besar, mencapai 0.98 persen atau hampir mencapai seperenam dari peningkatan output total dalam periode tersebut, dan (2) peranan Bulog melalui stabilisasi harga beras terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sepanjang tahun. Pada pertengahan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) ke Lima pada tahun 1991, kontribusi stabilisasi harga beras tinggal 0.19 persen terhadap pertumbuhan ekonomi atau 3.8 persen terhadap kenaikan total dalam pendapatan per kapita. Penurunan tersebut disebabkan kontribusi beras terhadap perekonomian terus menurun setiap tahun. Dengan kata lain, dampak stabilisasi harga beras terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi menurun sedangkan pendapatan per kapita naik. Tabel 13 Kontribusi Stabilisasi Harga oleh Bulog terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Periode
Pertumbuhan GDP per Kapita
1969-74 1974-79 1979-84 1984-89 1989-91 Sumber: Timer (1996)
5.96 4.51 4.17 3.42 5.01
Pertumbuhan GDP per Kapita oleh Bulog 0.96 0.61 0.28 0.27 0.19
(%/Tahun) Pangsa Pertumbuhan GDP per Kapita oleh Bulog 16.4 13.5 6.7 7.9 3.8
50
Pengalaman Bulog yang dianggap sukses dalam melaksanakan stabilisasi harga beras, mendorong Poulton, C et al. (2006) menyarankan model Bulog Indonesia sebagai model untuk melaksanakan stabilisasi harga pangan di Afrika. Bagi Pearson, S.et al. (1997), kebijakan stabilisasi harga yang membutuhkan pembiayaan besar diimplementasikan oleh Bulog. Ellis (1993) mengemukakan bahwa pada musim surplus produksi (bulan Februari-Mei), Bulog melakukan pembelian gabah/beras sekitar 1.3 juta ton dengan menggunakan kebijakan harga dasar gabah. Disisi lain, Yonekura (2005) melakukan studi tentang tahapan reformasi kelembagaan Bulog menjadi perusahaan publik. Cummings Jr et al. (2006) mempelajari pengalaman negara-negara di Asia tentang stabilisasi harga biji-bijian. Studi tersebut menunjukkan bahwa stabilisasi harga biji-bijian berdampak positip terhadap pertumbuhan sektor pertanian, pembangunan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Cummings Jr et al. (2006) menunjukkan dengan data empiris bahwa pengalaman beberapa negara di Asia, khususnya Indonesia, Pakistan, Fhilippina dan India berbeda dalam menghadapi stabilisasi harga biji-bijian. Timmer (2000) memandang bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan dimensi ”makro” dari ketahanan pangan. Smith, L. D (1997) mengemukakan bahwa stabilisasi harga yang dilakukan pemerintah akan berimplikasi terhadap kestabilan makroekonomi.
2.14 Ketahanan Pangan Suryana dan Swatika (1997) menyimpulkan konsep ketahanan pangan dari studi terdahulu, seperti Soetrisno (1996), Andersen (1994), Soekirman (1996), dan Sahardjo (1996) sebagai pangan yang harus tersedia dalam kuantitas yang cukup
51
dengan kualitas yang memadai pada waktu dan tepat, serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. Menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat (1996) menyebutkan bahwa ketahanan pangan terdiri dari dimensi yaitu ketersediaan (availability), akses (access) dan manfaat (utilization). Menurut Simatupang (2007), kerangka pikir yang dianut pemerintah dalam merancang kebijakan ketahanan pangan ialah: (1) harga yang "terjangkau" dan stabil cukup untuk menjamin bahwa semua konsumen akan dapat memperoleh makanan yang cukup sesuai dengan kebutuhan hidupnya, (2) tingkat harga di konsumen merupakan refleksi dari kecukup-sediaan pangan, (3) stabilisasi harga beras pada tingkat yang "terjangkau" cukup untuk menjamin ketahanan pangan, (4) produksi domestik merupakan sumber pengadaan yang paling handal untuk menjamin kecukup-sediaan pangan, dan (5) oleh karena itu swasembada pangan merupakan strategi yang paling efektif untuk kebijakan ketahanan pangan dalam jangka panjang. Salah satu permasalahan yang diteliti Rindayati (2009) di propinsi Jawa Barat yaitu peranan pemerintah dalam meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan dalam konteks implementasi desentralisasi fiskal. Kebijakan yang paling besar pengaruhnya terhadap peningkatan kinerja perekonomian, peningkatan ketahanan pangan dan penurunan kemiskinan adalah kombinasi antara peningkatan pengeluaran sektor pertanian, peningkatan dana kesehatan dan pendidikan serta peningkatan harga gabah. Artinya kombinasi kebijakan tersebut akan berdampak pada kinerja fiskal daerah yang semakin baik. Melalui simulasi peningkatan pengeluaran sektor pertanian sebesar 20 persen menyebabkan peningkatan pendapatan sektor pertanian sehingga jumlah
52
penduduk miskin menurun. Peningkatan pendapatan dan penurunan jumlah penduduk miskin menyebabkan terjadinya peningkatan rata-rata konsumsi beras, energi dan protein yang merupakan cerminan adanya peningkatan akses pangan dan diversifikasi pangan dari sumber karbohidrat kepada pangan sumber protein. Dengan demikian pengurangan jumlah penduduk miskin dan peningkatan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu, akan berdampak pada kinerja fiskal daerah yang semakin baik karena beban subsidi dari pemerintah berkurang dan pendapatan dari pajak akan meningkat. Baliwati (2001) melakukan studi tentang ketahanan pangan rumah tangga didesa Sukajadi, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor menemukan bahwa sebagai besar (82.0 persen) rumah tangga petani berada pada kondisi ketidaktahanan pangan, dengan rincian 51.0 persen rawan pangan dan 31.0 persen sangat rawan pangan. Ketidaktahanan pangan tersebut disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap pangan baik secara fisik maupun ekonomi. Selanjutnya Baliwati (2001) menyebutkan bahwa modal sosial mempunyai kedudukan yang strategis untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga. Modal sosial yaitu serangkaian nilai, kepercayaan dan jaringan sosial sehingga dapat dilakukan kordinasi dan kerjasama yang bersifat mutualisme untuk memecahkan masalah bersama. Sedangkan kebijakan di bidang pendidikan, perubahan teknologi, pemanfaatan masukan secara lokal dan sarana irigasi memberikan dampak positif dalam jangka panjang sedangkan kebijakan dalam bentuk subsidi memberikan dampak sangat positif dalam jangka pendek. Nurmalina (2007) menyebutkan atribut- atribut yang sensitif terhadap keberlanjutan sistem ketersediaan beras, yaitu dimensi ekologi: (1) ketersediaan
53
lahan dengan sistem irigasi, (2) produktifitas usahatani, (3) konversi lahan sawah, (4) kesesuaian lahan, dan (5) pencetakan sawah. Dimensi ekonomi: (1) perubahan upah riil buruh tani, (2) jumlah rumah tangga pertanian dengan luas lahan lebih besar dari 0.5 ha, (3) nilai tukar petani, (4) jumlah tenaga kerja pertanian, dan (5) produksi padi. Dimensi sosial budaya: (1) penduduk, (2) pertumbuhan konsumsi per kapta, (3) rumah tangga pertanian yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, (4) persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung, dan (5) perempuan berpendidikan. Dimensi kelembagaan: (1) keberadaan lembaga pemerintah yang terkait dengan benih, (2) keberadaan lembaga keuangan mikro, (3) keberadaan lembaga pemerintah Balai Penelitian Tanaman Pangan dan Hortikultura, dan (4) keberadaan lembaga pemerintah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Dimensi teknologi: (1) mesin pengering gabah, (2) mesin pembersih gabah, (3) pompa air, dan (4) mesin pemberantas jasad pengganggu. 2.15 Simulasi Kebijakan Sastrohoetomo (1984) melakukan lima skenario simulasi kebijakan, yaitu: Skenario pertama, tata kebijaksanaan harga yang telah diterapkan dalam tahun 1982, dengan harga pupuk urea dan TSP Rp 70 per kg, harga dasar gabah Rp 135 per kg serta harga atap beras seperti yang terwujud tahun 1982, yaitu sebesar Rp 225 per kg. Skenario kedua, tata kebijaksanaan harga yang telah diterapkan dalam tahun 1983, dengan harga pupuk urea dan TSP Rp 90 per kg, harga dasar gabah Rp 145 per kg serta harga atap beras sebesar Rp 299 per kg. Skenario ketiga, kebijaksanaan harga pupuk urea dan TSP Rp 90 per kg, harga dasar gabah sama dengan harga dasar tahun 1982 (Rp 135 per kg) ditambah
54
kenaikan yang besarnya sama dengan persentase kenaikan rata-rata Indeks Harga Konsumsi, Masukan dan Modal yang harus dibayar Petani (IHKMM) dalam enam tahun terakhir (1978-1982). Karena persentase kenaikan rata-rata IHKMM adalah 17.6 persen maka harga dasar gabah untuk pilihan ini menjadi Rp 158.76 per kg dibulatkan menjadi Rp 159 per kg. Karena laju inflasi diperkirakan berada diatas 10 persen, karena itu pita harga beras antar musim maksimum 10 persen. Harga atap beras adalah Rp 266 per kg. Skenario keempat, harga urea dan TSP masih tetap sama, keduanya naik menjadi Rp 112 per kg, sama dengan nilai ekonomi urea perhitungan Bank Dunia, 1982. Harga gabah dan harga atap beras menjadi Rp 187 per kg dan Rp 285 per kg. Skenario ke lima, kebijaksanaan harga dimana semua subsidi eksplisit dihapuskan. Untuk menghindari subsidi beras, maka pita harga antar musim ditetapkan sebesar 35 persen. Harga urea dan TSP Rp 144 per kg, sedang harga dasar gabah dan harga atap beras menjadi masing-masing Rp 230 per kg dan Rp 473 per kg. Simulasi studi terdahulu terdiri dari dua bagian yaitu studi evaluasi kebijakan pada masa lampau dan peramalan yang akan datang. Simulasi kebijakan pada masa lampau, Hutauruk (1996); Hutauruk dan Sembiring (2002); Ritonga (2004); Sugiyono (2005); Sembiring (2007); Sembiring et al. (2008) dan Kusumaningrum (2008). Studi terdahulu kombinasi antara evaluasi kebijakan pada masa lampau dan peramalan yang akan datang, Mulyana (1998) dan Sitepu (2002). Skenario kebijakan tunggal yang terkait dengan kebijakan perberasan antara lain harga dasar gabah, Harga Pembelian Pemerintah dan subsidi pupuk. Skenario kombinasi kebijakan merupakan kombinasi kebijakan tunggal diatas.
55
Tabel 14. Skenario Simulasi Kebijakan Pada Persamaan Simultan (%) No
Alternatif Kebijakan
P2
P1
1
Harga Dasar Gabah (HDG)/HPP
15
2
Harga Pupuk
15
3
Subsidi Pupuk
4
HDG dan Pupuk Persentase Sama
5
HDG dan Pupuk
6
Harga Beras Eceran
7
Persentase Lahan Irigasi
8
Luas Areal Intensifikasi
9
Pemakaian Kredit
P3 20
P4 15
P5
10/1 5
P6 20
P7 50
15
P8 10
P9 15
10 20
15
20
15
20/25
20
10
15/1 0 20
10
5
5 5
20
50
10
Suku Bunga
11
Devaluasi Rupiah
40
12
40
14
Devaluasi Rupiah dan Menghapus Interevensi Harga Devaluasi Rupiah, HDG dan Pupuk Konversi Lahan
15
Penurunan Tarif Impor
16
Harga Impor Beras
10
17
Nilai Tukar Rupah
10
18
Indeks Harga Konsumen
10
19
HPP dan Urea
20
Menghapus HPP
21
HPP dan Areal Intensifikasi
15/5
22
HPP dan Areal Irigasi
15/5
23
HPP dan Tarif Impor
24
HPP dan Devaluasi Rupiah
25
HPP/Urea, Luas Intensifikasi/Irigasi Tarif / Nilai Tukar
15/1 0 15/1 0 15/5/ 10
13
5
40/ 20
15
15 20 20
15/5 √
Keterangan : P1 = Hutauruk (1996); P2 = Mulyana (1998); P3 = Sitepu (2002); P4 = Hutauruk dan Sembiring (2002); P5 = Ritonga (2004); P6 = Sugiyono (2005); P7 = Sembiring (2007); P8 = Sembiring et al (2008) dan P9 = Kusumaningrum (2008)
Tabel 14 menunjukkan ada 24 skenario simulasi kebijakan yang dilakukan studi terdahulu. Alternatif skenario kebijakan terdiri kebijakan tunggal dan kombinasi kebijakan. Skenario kebijakan tunggal seperti harga dasar gabah dan
56
harga pembelian pemerintah, harga pupuk, subsidi pupuk, harga beras eceran, kredit, suku bunga, lahan intensifikasi dan irigasi, indeks harga konsumen, nilai tukar rupiah dan penghapusan HPP. Skenario kombinasi kebijakan merupakan gabungan dari dua atau tiga kebijakan tunggal. 2.16 Posisi dan Novelti Disertasi Posisi dan novelti disertasi, yaitu: Pertama, pendekatan studi terdahulu parsial, sedangkan kebijakan perberasan nasional bersifat komprehensif, artinya terdapat keterkaitan diantara kebijakan bantuan benih, kebijakan subsidi pupuk, kebijakan harga output, kebijakan pengadaan gabah/beras dan kebijakan penyaluran beras pemerintah dan Raskin. Kedua, studi terdahulu fokus terhadap kebijakan subsidi input, output, dan stabilisasi harga, antara lain harga dasar (floor price), harga maksimum (ceiling price) dan operasi pasar yang dilakukan oleh Bulog. Inpres tentang Kebijakan Perberasan juga mencakup kegiatan pasca panen, benih unggul bersertifikat, pupuk berimbang, ekspor dan impor beras, pembagian beras kepada masyarakat miskin dan masyarakat yang rawan pangan. Inpres tentang perberasan nasional tidak hanya harga, terdapat diktum-diktum lainnya, seperti peningkatkan produktifitas, diversifikasi usahatani dan sebagainya. Operasi pasar tidak hanya ditujukan terhadap stabilisasi harga tetapi juga menolong masyarakat miskin. Ketiga, studi ini menganalisis kebijakan perberasan nasional dengan pendekatan holistik dengan membangun model ekonometrika dimana terdapat keterkaitan tujuan kebijakan, instrumen kebijakan, kendala dan efek samping kebijakan. Keempat, studi ini mendeskripsikan implementasi instrumen kebijakan perberasan melalui Inpres pada tingkat petani dan perspektifnya pada masa mendatang.
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori 3.1.1 Analisis Kebijakan Ekonomi 3.1.1.1 Pengertian Kebijakan Tidak ada definisi tunggal tentang kata kebijakan yang digunakan oleh penulis kebijakan. Secara umum kata kebijakan terkait dengan intervensi pemerintah dalam perekonomian. Ellis (1992) mendefinisikan Policy is defined as the course of action by government towards on aspect of the economy, including the goals the government seeks to achieve and the choices of methods to pursue those goals. Dari definisi diatas, terdapat tiga kata kunci dari kata kebijakan yaitu: (1) tindakan pemerintah dalam perekonomian, (2) adanya tujuan kebijakan, dan (3) pilihan metode/cara untuk mencapai tujuan. Kebijakan dilakukan oleh pemerintah, karena itu kebijakan perlu diformulasi, disamping itu tujuan kebijakan yang ditetapkan
perlu
diimplementasikan.
Kata
pemerintah
merujuk
kepada
sekelompok orang dalam suatu negara yang bertugas pada suatu waktu untuk melakukan kebijakan. Kerangka berpikir analisis kebijakan Timbergen dikenal sebagai teori kebijakan ekonomi. Dalam teori ini, pemerintah bertujuan memaksimumkan kesejahteraan sosial. Kerangka berpikir Timbergen juga disebut dalam literatur kebijakan sebagai objectives-constraints- instruments dengan pendekatan analisis kebijakan. Tugas kebijakan yaitu memilih instruments yang terbaik untuk mencapai target yang sudah ditentukan, dimana terdapat: (1) kendala, (2) keberadaan faktor-faktor tertentu dimana
pengambil kebijakan
mengendalikan factor tersebut seperti iklim, dan (3) efek samping.
tidak dapat
58
Gambar 2 menunjukkan hubungan variabel eksogen dengan endogen dijelaskan melalui model, baik model matematik, linier programming atau model lainnya.
Dalam
analisis
kebijakan
Timbergen,
instrument
kebijakan
dikelompokkan menjadi variabel eksogen sedangkan tujuan dan efek samping sebagai variabel endogen. Tujuan akhir kebijakan yaitu kesejahteraan masyarakat.
Exogenous variables
Relationship Between Variables ”The Model”
POLICY INSTRUMENTS
Endogenous Variables
GOALS OR TARGET VARIABLES
Ultimate Goal
W FOR SOCIAL WALFARE
CONSTRAINTS
FACTORS BEYOND CONTROL
SIDE EFFECTS
Sumber: Ellis (1992) Gambar 2. Kerangka Analisis Kebijakan Timbergen Metodologi teori kuantitatif kebijakan ekonomi terdiri dari tiga elemen, yaitu: (1) fungsi preferensi yang merupakan tujuan kebijakan ekonomi, (2) pengklasifikasian variabel-variabel kebijakan, dan (3) membangun model kuantitatif (Thorbecke dan Hall, 1982).
59
3.1.1.2 Tujuan Kebijakan Ekonomi Fungsi preferensi merefleksikan tujuan kebijakan oleh pengambil keputusan. Fungsi preferensi merupakan wilayah pembuat kebijakan bukan ahli ekonomi, karena
para ahli ekonomi mempunyai peranan untuk menganalisis
dampak kebijakan. Dalam terminologi Timbergen, tujuan disebut variabel target. Fungsi tujuan kebijakan tidak kaku tetapi fleksibel dan dicapai dengan cara memaksimumkan beberapa tujuan, dengan kendala-kendala yang terdapat dalam model. Tujuan kebijakan lebih dari satu, memungkinkan timbulnya persoalan karena ada trade off diantara tujuan kebijakan. Tomeck
dan
Robinson
(1990)
mengemukakan
tujuan
intervensi
pemerintah terhadap harga produk usahatani yaitu untuk mencapai satu atau lebih kombinasi dari tujuan berikut yaitu: (1) mendukung atau meningkatkan pendapatan usahatani, (2) mencegah petani kecil melakukan eksodus dari desa, (3) mencapai usaha untuk mencukupi kebutuhan dalam pangan atau menurunkan ketergantungan dari impor, (4) mengurangi ketidakstabilan harga dan pendapatan, dan (5) mengurangi biaya yang dikeluarkan konsumen untuk pangan atau meningkatkan konsumsi pangan. Norton (2004) mengemukakan kebijakan pertanian memiliki tujuan lebih spesifik: (1) memenuhi kebutuhan nutrisi dan kebutuhan pangan lainnya di daerah pedesaan dan perkotaan, dan (2) meningkatkan daya beli (purchasing power) rumah tangga pedesaan melalui harga riel produk pertanian yang dihasilkan. Peningkatan daya beli rumahtangga pedesaan akan menghasilkan efek permintaan multiplier terhadap produk non pertanian. Dalam konteks ekonomi perberasan Indonesia pada tahun 1960-1980, tujuan yang dicapai pemerintah: (1) mengendalikan tingkat inflasi, (2) meningkatkan stabilisasi harga domestik, (3)
60
mencapai harga beras domestik yang murah, (4) pendapatan petani padi, (5) meningkatkan kecukupan (self-sufficiency) pangan, dan (6) memperbaiki kebutuhan nutrisi. Rasahan (1983) dalam Satari, Karyno and Rasahan, 1986) Elis (1992) mengemukakan tujuan kebijakan pertanian berbeda dan beragam: (1) stabilitas sosial dan politik, (2) integrasi perekonomian nasional, (3) meningkatkan ketahanan pangan, (4) meningkatkan penerimaan dari ekspor, (5) mencegah kekurangan gizi, (6) pertumbuhan ekonomi, dan (7) kesempatan kerja dan lain sebagainya. Skope intervensi kebijakan pertanian dapat di tingkat lokal (meningkatkan pendapatan petani miskin), propinsi atau nasional. Elis (1992) mengelompokkan tujuan kebijakan pertanian menjadi dua tujuan utama yaitu pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan meningkatkan distribusi pendapatan (income distribution), yang sering dikenal sebagai tujuan efficiency dan equity. Dalam ekonomi neoklasikal, efisiensi merujuk terhadap peningkatkan output dengan menggunakan sumberdaya tertentu. Sedangkan equity, merujuk kepada pendistribusian total output diantara individu/kelompok dalam segmen masyarakat, tidak dipersoalkan siapa yang diuntungkan. Seperti diungkapkan Elis (1992) dan Hilman (2003), dalam pelaksanaannya ada konflik diantara tujuan efisiensi dengan equity. 3.1.1.3 Instrumen dan Kendala Kebijakan Bagian kedua teori kuantitatif kebijakan ekonomi yaitu klassifikasi variabel-variabel kebijakan, yaitu variable eksogen yang ditentukan di luar sistim, terdiri dari instrumen kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah dan “data.” Data terdiri dari konstrain dan faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
61
62
Thorbecke dan
Hall (1982) memberikan contoh instrumen kebijakan
berdasarkan alokasi investasi publik berdasar wilayah, kategori infrastruktur dan proyek, perubahan nilai tukar dan tingkat suku bunga dan rasio marginal pajak pendapatan. Contoh ”data” seperti harga impor dalam suatu negara kecil, tingkat pendapatan diantara patner perdagangan antar negara dan cuaca. Instrumen kebijakan adalah metoda atau cara atau alat yang dipilih oleh pemerintah untuk mencapai tujuan. McCalla dan Josling, 1985; Colman dan Young, 1989 dalam Ellis (1992) mengelompokkan instrument terkait dengan kebijakan yang dilakukan: (1) apakah instrumen untuk mencapai efisiensi atau equity, (2) apakah instrumen diterapkan pada level produsen atau konsumen atau diterapkan pada saluran pemasaran atau antar negara, (3) apakah instrument terkait dengan harga, kelembagaan atau teknologi, (4) apakah sifatnya spesifik komoditi atau umum (kebijakan nilai tukar, atau upah minimum), dan (5) apakah instrument terkait kebijakan pasar komoditi seperti subsidi input, kebijakan perdagangan (tarif, quota, pajak ekspor) atau kebijakan makroekonomi (nilai tukar, suku bunga, penawaran uang dan lain-lain). Tomeck dan Robinson (1990) menambahkan instrumen yang digunakan mendukung atau meningkatkan harga komoditi: (1) menentukan harga penjualan, (2) dukungan pinjaman, (3) membuat jaminan atau harga yang dipatok, (4) subsidi ekspor langsung dan tidak langsung, (5) mengurangi jumlah komoditi yang ditawarkan, (6) program diversifikasi, (7) subsidi pangan domestik atau program distribusi pangan, dan (8) tarif, pajak, quota impor atau restriksi lainnya. Selanjutnya Ellis (1992) mengemukakan bahwa ketidakstabilan harga menjadi kendala dalam meningkatkan output usahatani kecil, karena itu
63
instrument stabilisasi harga usahatani seharusnya menjadi fokus dalam analisis kebijakan. Instrumen kebijakan irigasi diperlukan
untuk mengatasi kendala
sumberdaya air. Kendala yang tidak spesifik terkait kebijakan seperti iklim, curah hujan dan sumberdaya alam lainnya merupakan pertanian,
sedangkan
kendala
utama
kendala terhadap produksi
meningkatkan
produktifitas
yaitu
ketersediaan teknologi baru. Kendala yang tidak spesifik terkait lingkungan ekonomi untuk mencapai tujuan kebijakan yaitu nilai tukar mata uang asing, besarnya anggaran pemerintah, harga input dan output internasional. Kendala yang terkait lingkungan politik yaitu pertimbangan keamanan nasional, stabilitas pemerintahan menjalankan tugas kekuasaan, dan persaingan diantara pemegang kekuasaan. Kendala yang sifatnya di luar kendali pemerintah, seperti harga internasional dan curah hujan yang tidak cukup, dimana pemerintah perlu menciptakan varitas tanaman yang sesuai, harga beras internasional, dan harga bahan bakar minyak dunia. Dengan kata lain, kendala – kendala di dalam kebijakan ekonomi ada yang dapat dan tidak dapat dipengaruhi oleh pemerintah. Kendala yang dihadapi pemerintah dalam ekonomi perberasan pada tahun 1960-1980, diungkapkan oleh Rasahan (1983) dalam Satari, Karyno and Rasahan (1986), diantaranya: (1) parameter struktural penawaran beras domestik, (2) parameter struktural permintaan beras domestik, (3) goncangan yang tidak dapat diantisipasi terhadap penawaran dan permintaan domestik beras, (4) pergerakan dari harga beras dunia, (5) penerimaan pemerintah dan nilai tukar asing (6) peranan khusus terhadap ketertarikan politik dan ekonomi, dan (7) sistim pemasaran dan kelembagaan desa.
64
3.1.1.4 Variabel Target dan Efek Samping Dalam model ekonomi kebijakan terdapat dua variabel endogen yang ditentukan dalam sistim (model) yaitu target variabel dan irrelevant variable. Target variabel merefleksikan tujuan kebijakan, sedangkan irrelevant variable mengindikasikan pengaruh (effects) dari suatu kebijakan ekonomi. Perbedaan target dan irrelevant variable tergantung dari sifat alami permasalahan kebijakan dan pertimbangan pemerintahan. Dalam kasus pendapatan sebagai target variabel maka
konsumsi sebagai irrelevant variabel, pada kasus lain, kebijakan
meningkatkan standar hidup masyarakat sebagai target variabel,
maka
pendapatan sebagai variabel irrelevant. Elis (1992) mengemukakan perubahan skecil dalam kebijakan akan berdampak kepada kegiatan perekonomian lainnya, seperti kenaikan harga pangan akan menyebabkan perubahan di pasar komoditi, dan berdampak signifikan terhadap variabel makroekonomi seperti pengeluaran konsumen, upah, inflasi dan nilai tukar. Colman dan Young (1989)
dalam Ellis (1992) mengemukakan
dampak suatu kebijakan dapat diklassifikasikan dalam menjelaskan
analisis
kebijakan pertanian. Terdapat tujuh kategori pengaruh kebijakan yang diidentifikasi yaitu (1) price effects, (2) production effects, (3) consumption effects, (4) trade or balance payment effects, (5) budget effects, (6) income distribution effects, dan (7) social welfare effects. Gambar 3 menunjukkan bahwa data dan instrumen kebijakan secara bersama-sama mempengaruhi target dan irrelevant variabel. Fokus pembuat kebijakan adalah target variabel, yaitu kesejahteraan yang ditunjukkan oleh garis tebal. Disisi lain, pembuat kebijakan kurang berminat terhadap dampak yang
65
diakibatkan oleh garis kosong dan garis yang terputus terhadap irrelevant variabel, yaitu side effects terhadap variabel ekonomi lainnya. Tujuan utama analisis kebijakan yaitu
kesejahteraan sosial. Dalam
terminologi ekonomi kesejahteraan, kesejahteraan sosial adalah total volume dari barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat. Peningkatan kesejahteraan sosial selalu mengarah kepada konsumsi material dan sisi permintaan akhir dalam perekonomian. 3.1.1.5 Model Kebijakan Ekonomi Elemen ketiga teori kuantitatif kebijakan ekonomi yaitu membangun spesifikasi model. Model kebijakan dapat dalam bentuk beberapa persamaan linier yang simultan, dimana sejumlah persamaan yang dibangun
dalam bentuk
hubungan perilaku, teknis dan definisi. Hubungan perilaku seperti fungsi konsumsi, fungsi impor, fungsi pajak dan lainnya, hubungan teknis seperti fungsi produksi yaitu hubungan teknologi antara input dan output, sedangkan hubungan definisi melalui persamaan identitas. Selanjutnya persamaan yang telah dibangun diestimasi dengan least square atau dengan estimasi prosedur lain sebaliknya estimasi tidak dilakukan pada hubungan identitas . 3.1.2 Proses Kebijakan Pertanian Hakcroe et al. (1994) menyatakan kebijakan pangan dan pertanian dihasilkan melalui suatu proses dalam suatu sistim perekonomian pasar. Ada empat tahapan dalam membangun kebijakan yaitu: (1) mengidentifikasi permasalahan yang langsung mempengaruhi perekonomian kebijakan pangan dan pertanian, (2) menyadarkan kesadaran publik terhadap permasalahan, (3) membangun proposal kebijakan alternatif dan memprediksi konsekuensinya, dan (4) mencari keputusan publik dan tindakan implementasi.
66
Proses pendekatan pengambilan keputusan kebijakan dilakukan dengan linear policy cycle, yang terdiri dari dua tahap yaitu formulasi kebijakan dan tahap implementasi kebijakan, seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Tahap pertama adalah tentang tujuan yang akan dicapai. Tahap berikutnya adalah analisis teknis dan ekonomi dengan melakukan alternatif kebijakan untuk mencapai tujuan.
Phase I. Policy Formulation
Policy Goal Declared
Technical/Economic Analysis
Array of Policy Alternatives
Best Policy Chosen
Phase 2. Policy Implementation
Best Policy Implemented
Outcome of Policy
Evaluation of Policy
Lesson of Policy Start Analysis Next Policy Sumber : Ellis (1992) Gambar 4. Model Kebijakan Linier Tinbergen
67
Pembuat kebijakan akan mengambil keputusan setelah menghitung biaya dan keuntungan dari suatu kebijakan, selanjutnya memilih alternatif kebijakan yang paling baik. Tahap kedua yaitu implementasi suatu kebijakan. Kebijakan perlu diimplementasikan dengan baik sehingga tujuan kebijakan tercapai. Outcome suatu kebijakan perlu diukur, selanjutnya dilakukan evaluasi. Evaluasi suatu kebijakan akan membantu mengetahui kekuatan dan kelemahan kebijakan, selanjutnya menindaklanjuti kebijakan tersebut. Gambar 4 menunjukkan terdapat keterkaitan antara formulasi dengan implementasi kebijakan. Pemilihan kebijakan yang tepat akan menghasilkan implementasi kebijakan yang baik, sebaliknya kesalahan dalam memilih kebijakan akan menghasilkan implementasi yang salah. Sadoulet dan de Janvry (1991) mengemukakan bahwa
suatu paket
kebijakan dapat diterapkan dan berkelanjutan melalui uji kelayakan politis, efisiensi dan kesejahteraan yang seringkali bersifat trade off. Strategi yang dilakukan menurunkan trade off adalah: (1) meningkatkan fleksibilitas ekonomi, (2) meningkatkan derajad ekonomi, (3) melakukan pendekatan kepada publik, dan (4) memberikan kompensasi. Selanjutnya Hakcroe et al. (1994) menjelaskan lima variabel independen yang dapat membantu pembuat kebijakan dalam memutuskan suatu kebijakan publik dalam pangan dan pertanian. Pada Persamaan (1) ditunjukkan ke lima variabel yang perlu dipertimbangkan sebelum pembuat kebijakan mengeluarkan suatu kebijakan baru di bidang pangan dan pertanian. Pembuat kebijakan perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan pangan/perberasan yang ada sekarang. Salah satu variabel yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah mengeluarkan Inpres No 3 Tahun 2007 tentang Kebijakan Perberasan yaitu perkembangan
68
perekonomian nasional, sedangkan Inpres No 1 Tahun 2008 dan No 8 Tahun 2008 yaitu perkembangan nasional dan global di bidang pangan, khususnya perberasan. Kelima variabel independen tersebut, yaitu: PPFA = f(P, ES, K, VB, I) .................................................................................. (1) dimana: PPFA : Kebijakan publik untuk pangan dan pertanian P : Kebijakan yang ada sekarang ES : Situasi ekonomi dan sosial yang mempengaruhi kebijakan pangan dan pertanian K : Tingkat pengetahuan dari partisipan individu atau kelompok VB : Nilai dan keyakinan dari partisipan individu atau kelompok I : Pengaruh kelompok yang menaruh perhatian terhadap kebijakan Andersen (2005) memperkenalkan hubungan etika dengan
kebijakan
ekonomi pangan. Faktor etika seharusnya pertimbangan utama dalam menolong penduduk berpendapatan rendah, dimana manusia kehilangan potensi karena kemiskinan, kelaparan dan akhirnya meninggal. Starbird (2005) memperkenalkan kebijakan pengawasan dalam ketahanan pangan, seperti kegiatan yang dilakukan di bidang militer. Kebijakan pengawasan diperlukan karena adanya informasi yang tidak sempurna (imperfect information), mengurangi ketidakpastian dan memotivasi produsen menghasilkan pangan yang berkualitas. Innes (2003) memperkenalkan kebijakan asuransi tanaman sebagai suatu kebijakan alternatif dengan pendekatan kwantitatif. Ada tiga persyaratan yang dipenuhi sehingga kebijakan pertanian optimum yaitu: (1) asuransi penerimaan pemerintah yang dapat menjamin keuntungan petani (πI), (2) pemerintah mampu menciptakan selisih harga positip yang diterima oleh petani (Ps) dengan harga di pasar (Pm), dan (3) asuransi premium (I) yang harus dibayar petani, dimana I ≥ 0. Komponen asuransi merupakan syarat keharusan untuk mencapai kebijakan yang
69
optimal, dimana ada jaminan bahwa target penerimaan minimum petani sama dengan : πI + c(y) + I ...................................................................................................... (2) dimana πI merupakan keuntungan usahatani, c(y) estimasi biaya produksi dan I adalah asuransi premium. Ukuran efektifitas kebijakan menurut Ramdan et al. (2003): (1) efisiensi, suatu kebijakan harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya secara optimal, (2) adil; bobot kebijakan harus ditempatkan adil yakni kepentingan publik tidak terabaikan, (3) mengarah kepada insentif; suatu kebijakan harus mengarah atau mendorong adanya perbaikan dan peningkatan sasaran yang ditetapkan, (4) diterima oleh publik, karena diperuntukkan bagi kepentingan publik, dan (5) moral dimana suatu kebijakan harus dilandasi oleh moral yang baik. 3.1.3 Teori Permintaan Beras Permintaan seorang konsumen terhadap suatu barang dapat diturunkan dari fungsi kegunaan (utility function). Konsumen bertujuan memaksimumkan utilitinya dengan kendala anggaran (Koutsoyiannis, 1977; Nicholson, 1985; Henderson dan Quandt, 1980; dan Varian, 1992). Diasumsikan ada dua komoditi dikonsumsi konsumen yaitu beras dan non beras. Permintaan beras diturunkan dari fungsi kegunaan konsumen beras. Fungsi kegunaan yang digunakan ordinal utility function. Secara matematis fungsi kegunaan dituliskan sebagai berikut: U = f(Cb,Cnb) ................................................................................................... (3) dimana: U : tingkat utilitas konsumen dan konstan Cb: jumlah konsumsi beras
70
Cnb adalah jumlah konsumsi barang lain (non beras). Diasumsikan f (Cb, Cnb) adalah continious dan strictly quasi concave. Diasumsikan turunan parsial persamaan (3) adalah strictly positif. Total diferential dari persamaan fungsi utiliti persamaan (3), yaitu: δU = f1 δCb + f2 δCnb .................................................................................... (4) dimana f1 dan f2 adalah turunan parsial dari U terhadap Cb dan Cnb. Apabila perubahan total utiliti sepanjang kurva indefferen adalah nol, δU adalah nol, maka persamaan (3) berubah menjadi: f1 δCb + f2 δCnb = 0 ........................................................................................ (5) hasilnya diperoleh:
-
∂Cnb f1 = ∂Cb f2
............................................................................................. (6)
Slope kurva indifferen adalah δCnb/ δCb artinya jika seorang konsumen menginginkan lebih banyak mengkonsumsi beras, konsumen mengorbankan konsumsi non beras agar tingkat kepuasan yang diterima tetap sama. Slope negatif, - δCnb/ δCb adalah marginal rate of subtitution dari konsumsi beras terhadap non beras. Marginal rate of subtitution adalah tingkat dimana konsumen bersedia mengganti barang yang satu dengan barang lainnya (Mankiw, 2004). Konsumen bersikap rasional akan memilih kombinasi antara beras dan non beras yang memberikan tingkat kepuasan tertinggi, pada tingkat harga dan pendapatan tertentu. Pada tingkat harga beras Pb dan harga barang selain beras Pnb, serta pendapatan konsumen I, maka dapat dituliskan fungsi kendala anggaran konsumen sebagai berikut: I = Pb*Cb + Pnb*Cnb
...................................................................................
(7)
71
Persamaan (7) diubah menjadi: I - Pb*Cb - Pnb*Cnb = 0
..........................................................................
(8)
Untuk memperoleh fungsi permintaan konsumen terhadap komoditas beras, melalui
maksimisasi
kegunaan dengan kendala pendapatan
konsumen,
digunakan formula fungsi Lagrange (L) dan Lagrange multiplier (λ ) sebagai berikut: L = f (Cb, Cnb) + λ (I - Pb *Cb - Pnb * Cnb)
................................................ (9)
Fungsi permintaan beras akan diperoleh jika persamaan (9) memenuhi syarat First Order Condition (FOC) dan Second Order Condition (SOC), yaitu turunan pertama parsial sama dengan nol dan determinan matrik Hessian bernilai positif. Selain itu, dari FOC diperoleh:
∂L = Cb − λ * Pb = 0 ∂Cb
atau f1 - λ Pb = 0 ………………......................... (10)
∂L = Cnb − λ * Pnb = 0 atau f2 - λ Pnb = 0 ………................................. ∂Cnb
(11)
∂L = I – Pb* Cb - Pnb* Cnb = 0 …………………………..................... ∂λ
(12)
Dengan mensubsitusikan (10) ke dalam (11) maka akan diperoleh:
λ=
Cb Cnb = Pb Pnb
atau
f1/f2 = Pb/Pnb …………............................
(13)
Untuk mencapai tambahan kegunaan yang maksimum maka rasio marginal utiliti harus sama dengan rasio harga.
λ=
Cb Pb = Cnb Pnb
atau λ= f1/Pb = f2/Pn ...............................................
(14)
72
Lagrange multiplier λ merupakan marginal utiliti dari pendapatan. Apabila
marginal utiliti beras dan non beras diasumsikan positif maka marginal utiliti dari pendapatan juga positip. Cb adalah marginal utiliti dari konsumsi beras, sedangkan Cnb adalah tambahan kegunaan dari konsumsi barang non-beras. Makna dari persamaan (14), bahwa kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi sejumlah barang akan maksimum, jika rasio tambahan kepuasan yang dihasilkan oleh barang tersebut sama dengan rasio harganya.
Second order condition diperoleh dengan melakukan turunan parsial kedua terhadap fungsi utiliti dengan f11, f22 dan turunan silang parsial kedua melalui f12 dan f21 sehingga diperoleh determinan bordered Hessian adalah positip.
f 11 f 12 -Pb f 21 f 22 -Pnb > 0 ................................................................................... (15) -Pb –Pnb 0
Dengan menggunakan teknik matriks, persamaan (15) menghasilkan 2 f12 PbPnb – f11 f22 – f22 f12 > 0 .................................................................... (16) Subtitusi Pb = f1/λ dan Pnb = f2/λ dari persamaan 10 dan 11 dan dikalikan dengan λ2 > 0, diperoleh 2 f12 f1 f2 – f11 f22 – f22 f12 > 0 ..................................................................
(17)
Second order condition tercapai apabila fungsi utiliti memenuhi asumsi strict quasi concavity. Dengan terpenuhi asumsi maka kurva indifferen adalah convex dan marginal rate of subtitution adalah decreasing pada titik keseimbangan.
73
Asumsi fungsi permintaan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan ordinary demand function yang juga dikenal dengan fungsi permintaan Marshalian yang menunjukkan jumlah komoditi beras yang dibeli pada tingkat harga dan pendapatan tertentu. Fungsi permintaan ordinari dikenal sebagai fungsi permintaan sederhana tetapi berbeda dengan analisis fungsi permintaan lainnya. Fungsi permintaan Hicksian menjelaskan sejumlah komoditi yang diperoleh pada tingkat utiliti tertentu dengan meminimalkan pengeluaran. Dengan mensubstitusikan persamaan (10) dan (11) ke dalam persamaan (12) akan menghasilkan fungsi permintaan beras dan barang non beras: qCb = I/2 Pb dan qCnb = I/2 Pnb
...........................................................
(18)
Ada dua propertis penting dari fungsi permintaan, Pertama, permintaan terhadap suatu komoditi (beras atau non beras) adalah fungsi
nilai tunggal dari
harga dan pendapatan. Properties yang pertama ini merupakan fungsi utiliti yang
strict quasi concavity; memiliki titik maksimum satu, kemudian ada kombinasi komoditi tunggal, yang berkaitan dengan sejumlah harga dan pendapatan. Kedua, fungsi
permintaan adalah homogenous derajad nol terhadap harga dan
pendapatan. Perubahan harga dan pendapatan dalam proporsi yang sama menyebabkan jumlah permintaan tidak berubah. Dalam konteks beras, perubahan harga beras dan pendapatan dalam jumlah yang sama tidak akan merubah jumlah permintaan beras. Asumsikan seluruh harga dan pendapatan berubah dalam proporsi yang sama, sehingga kendala anggaran menjadi: kI – kPb*Cb - kPnb*Cnb = 0 ......................................................................... (19)
dimana k adalah faktor proporsional. Persamaan (9) menjadi V = f (Cb, Cnb) + λ (kI - kPb *Cb - kPnb * Cnb)
...................................... (20)
74
First order condition menjadi f1 - λ kPb = 0 ……………….............................................................................. (21) f2 - λ kPnb = 0 ………........................................................................................
(22)
kI – kPb* Cb - kPnb* Cnb = 0 …………………………............................... (23) Persamaan 23 merupakan turunan parsial dari persamaan 20, dengan multiplier Langrange dapat ditulis dalam bentuk k(I – Pb* Cb - Pnb* Cnb) = 0 …………………………...............................
(24)
Oleh karena k tidak sama dengan nol, persamaan (24) menjadi I – Pb* Cb - Pnb* Cnb = 0 …………………………...................................
(25)
Dengan menghilangkan k dari persamaan (21) dan (22), dengan memindahkan λ Pb dan λ Pnb akan diperoleh persamaan:
f 1 Pb = f 2 Pnb ......................................................................................................
(26)
Persamaan (26) sama dengan persamaan (13). Kemudian fungsi pemintaan untuk satu set harga dan pendapatan (kPb, kPnb, kI) juga diturunkan dari persamaan yang sama seperti terhadap harga dan pendapatan (Pb, Pnb, I). Fungsi permintaan ordinari konsumen untuk beras dan non beras pada persamaan berikut: qCb = f(Pb,Pnb,I) .....................................................................................
(27)
qCnb = f(Pnb, Pb, I) .................................................................................
(28)
Dimana permintaan beras dipengaruhi oleh harga beras itu sendiri, harga komoditi non beras dan tingkat pendapatan. Asumsi pada persamaan (27), Pnb, I sebagai parameter yang given, sehingga permintaan beras dipengaruhi oleh harga beras itu sendiri, persamaan (27) berubah menjadi:
75
qCb = f(Pb) ..............................................................................................
(29)
dalam bentuk fungsi permintaan inverse, persamaan (29) dapat ditulis dalam bentuk : Pb = D-1(qCb ) ........................................................................................... (30) Grafik pada persamaan (30) harga beras menjadi garis vertikal sedangkan jumlah permintaan beras sebagai garis horijontal. Gambar 5 menunjukkan ada dua kurva permintaan beras yaitu kurva ordinari D dan kurva kompensate D1. Perpotongan kedua kurva pada Pbodan qCbo. Pada harga yang lebih tinggi dari Pbo, kompensasi pendapatan adalah positif. Harga beras pada kurva kompensasi (kurva Hicksian) lebih tinggi dari kurva ordinari (Marshalian). Pada harga yang lebih rendah dari Pbo, harga beras pada kurva Marshalian lebih tinggi dari Hicksian Pb
Pbo
D1
D
qCbo
Sumber: Varian(1992) Gambar 5. Kurva Permintaan Beras Ordinari dan Kompensasi Dalam studi ini, juga dilakukan analisis elastisitas, baik elastisitas harga dan pendapatan terhadap permintaan beras.
Faktor-faktor yang
menentukan elastisitas permintaan beras antara lain (1) tersedianya barang
76
subtitusi yang terdekat, (2) pertimbangan kebutuhan dengan kemewahan, (3) definisi pasar, dan (4) rentang waktu. Elastisitas permintaan terdiri dari elastisitas permintaan harga sendiri (own elasticity) disimbolkan dengan ε11 dan elastisitas permintaan harga barang lain (cross elasticity) dengan simbol ε dengan simbol
21
dan elastisitas pendapatan
η. Elastisitas harga beras adalah
persentase perubahan
jumlah beras dibagi dengan persentase perubahan harga beras.
ε11 =
∂ (ln Cb) Pb ∂Cb = ∂ (ln Pb) Cb ∂Pb
........................................................................ (31)
Asumsi persamaan (31), pola konsumsi dan barang-barang lain konstan. Elastisitas harga mempunyai tanda negatif sesuai dengan kurva permintaannya. Dengan mengetahui elastisitas harga beras, dapat diketahui efek dari perubahan harga beras terhadap belanja (pengeluaran) konsumen terhadap beras. Total pengeluaran konsumen untuk beras adalah CbPb. Perubahan pengeluaran konsumen terhadap beras karena perubahan harga beras yaitu:
∂ (CbPb) ∂Cb = Cb + Pb ∂Pb ∂Pb
= Cb
⎛ Pb ∂Cb ⎞ ⎜1 + ⎟ = Cb( 1 + ε11) .................... ⎝ Cb ∂Pb ⎠
(32)
Apabila ε11 > 1, permintaan beras elastis, maka kenaikan Pb menyebabkan Cb turun sehingga pengeluaran konsumen untuk beras menurun. Apabila ε11 = 1 (unitary elastis) maka kenaikan Pb menyebabkan Cb tidak berubah sehingga pengeluaran konsumen tidak berubah, selanjutnya ε11< 1 (inelastis), kenaikan Pb menyebabkan Cb turun sehingga pengeluaran konsumen untuk beras meningkat tapi dalam jumlah yang kecil.
77
Elastisitas silang menunjukkan tingkat responsif permintaan suatu barang sebagai akibat perubahan barang lain. Barang lain dalam hal ini dapat berupa barang subtitusi dan barang komplemen. Barang A dan B dikatakan subtitusi, artinya saling menggantikan. Dalam studi ini misalnya antara beras dengan jagung atau ubi kayu. Barang A dan B disebut komplemen karena sama-sama diperlukan. Elastisitas silang adalah persentase perubahan jumlah permintaan barang dibagi dengan persentase perubahan harga barang lain, dituliskan sebagai berikut: ε 21 = ∂ (ln Cnb) = Pb ∂Cnb ∂ (ln Pb) Cnb ∂Cb Tanda notasi ε
21,
.................................................................. (33) angka 2 menunjuk konsumsi non beras (Cnb)
dipengaruhi oleh konsumsi barang Cb sedangkan tanda angka 1 menunjukkan harga beras. Elastisitas silang dapat mempunyai nilai positif atau negatif. Apabila elastisitas silang positif (ε 21 > 0) maka diantara beras dan non beras mempunyai hubungan subtistusi atau kompetitif, apabila negatif (ε
21
< 0)
maka hubungannya komplemen. Apabila harga beras naik maka jumlah permintaan beras akan turun sehingga permintaan barang komplemen beras juga turun. Dengan melakukan total diferensial terhadap persamaan (7) diperoleh persamaan sebagai berikut: δI = Pb δCb + Cb δ Pb + Pnb δ Cnb + Cnb δ Pnb .......................................... (34) Apabila δI =δ Pnb = 0 maka persamaan (34) menjadi Pb δCb + Cb δ Pb + Pnb δ Cnb = 0 ............................................................
(35)
78
Dengan mengalikan persamaan (35) dengan
Pb Cb Cnb /I Cb Cnb δ Pb
diperoleh persamaan: α1 ε11 + α2 ε 21 = -α1 .................................................................................
(36)
Dimana α1 = Pb Cb/I merupakan proporsi pendapatan yang dibelanjakan untuk beras, α2 = Pnb Cnb/I merupakan proporsi pendapatan yang dibelanjakan untuk barang non beras. Persamaan (36) disebut kondisi agregat Cournot. Apabila ε11 diketahui maka ε 21 dapat juga diketahui.
Persamaan (27) dan (28) merupakan persamaan permintaan barang dari individu-individu konsumen. Untuk memperoleh persamaan permintaan pasar, harus dilakukan penjumlahan horizontal terhadap persamaan permintaan individu-individu dalam yurisdiksi pasar. Oleh sebab itu fungsi permintaan pasar selain dipengaruhi oleh ketiga faktor di atas juga dipengaruhi oleh jumlah populasi penduduk dalam suatu wilayah pasar. Selain itu, fungsi permintaan pasar selain dipengaruhi oleh harga barang tersebut, harga barang alternatif, pendapatan konsumen, juga dipengaruhi oleh selera konsumen (Koutsoyiannis, 1977). Oleh sebab itu fungsi permintaan pasar beras untuk keperluan konsumsi langsung dapat ditulis sebagai berikut: Dbd = f(Pb, Pnb, I, Pop, T) ...........................................................................
(37)
Persamaan (37) bermakna bahwa konsumsi beras secara langsung (Dbd) merupakan fungsi dari harga beras (Pb), harga bahan pangan selain beras (Pnb), pendapatan masyarakat (I), jumlah penduduk (Pop), dan trend waktu (T) sebagai proksi dari perubahan selera masyarakat. 3.1.4 Permintaan Masukan Produksi
Menurut Koutsoyiannis
(1977), bentuk umum dari fungsi produksi
merupakan hubungan teknologi antara jumlah input dengan jumlah output. Harga
79
input dan output tidak masuk dalam fungsi produksi. Harga input dan output digunakan hanya untuk keputusan produksi dari perusahaan atau produsen. Bentuk umum matematika dari fungsi produksi oleh Koutsoyiannis (1977) yaitu: Y = f ( L, K, R, S, ν, γ) ………………………………………….................. (38) dimana Y L K R S ν γ
: output : input kapital : input kapital : raw material : input lahan : skala pengembalian : parameter efisiens Hubungan antara raw material dengan output diasumsikan konstan pada
setiap tingkat produksi. Demikian juga input lahan diasumsikan konstan terhadap perekonomian secara menyeluruh, sehingga tidak dimasukkan ke dalam fungsi produksi agregat. Pada model Koutsoyiannis, input lahan bersama dengan mesin dan perlengkapannya dimasukkan ke dalam faktor K. Sehingga fungsi produksi dalam teori ekonomi tradisional diasumsikan dalam bentuk: Y = f ( L, K, ν, γ) …………………………………………........................
(39)
Faktor ν adalah return to scale, menunjukkan analisis jangka panjang dari suatu kegiatan produksi. Perbedaan analisis jangka pendek dengan jangka panjang terletak pada komponen-komponen dari faktor produksi yang digunakan. Dalam jangka pendek, komponen faktor produksi terdiri dari faktor dan fixed variabel, sedangkan dalam jangka panjang, semua faktor produksi menjadi faktor variabel. Dalam studi ini, analisis yang dilakukan menggunakan jangka pendek sehingga faktor ν tidak dimasukkan dalam fungsi produksi.
80
Di dalam literatur ekonomi, khususnya literatur ekonomi pertanian disamping lahan, tenaga kerja dan kapital sebagai faktor produksi, juga dimasukkan ketrampilan atau entrepreneurship. Pengembalian untuk lahan diukur dari rent atau sewa, tenaga kerja dengan upah dan kapital dengan suku bunga, sedangkan pengembalian entrepreneurship adalah profit. Entrepreneurship yang dimaksud yaitu bagaimana produsen menggunakan kombinasi dari ke tiga faktor produksi lain (lahan, tenaga kerja dan kapital untuk memperoleh keuntungan (profit). Oleh karena itu dalam studi ini
γ tidak dimasukkan dalam fungsi
produksi. Dengan penjelasan diatas maka persamaan (39) berubah menjadi persamaan berikut (40) dimana fungsi produksi adalah kontinius: Y = f ( L, K ) ……………………………………………….......................... (40) Diktum kebijakan perberasan nasional menjelaskan bahwa benih unggul bersertifikat, pupuk berimbang dan pasca panen merupakan instrumen untuk meningkatkan pendapatan petani. Benih, pupuk dan alat pertanian (pasca panen) masuk dalam variabel kapital dalam persamaan (40). Dalam studi ini diasumsikan bahwa pupuk berimbang dianalisis bukan dalam konteks budidaya tanaman tetapi dari pendekatan analisis ekonomi. Diferensial dari fungsi produksi pada persamaan (40) yaitu δY = f1δ L + f2 δK ......................................................................................... (41) Dimana f1 dan
f2 turunan parsial Y terhadap L dan K, yang menunjukkan
Marginal Product (MP) terhadap L dan K. Produk marginal dari suatu input adalah output tambahan yang bisa diperoleh dengan menambah input yang
81
bersangkutan 1 unit, sedang input lain dianggap konstan. Jika δY = 0 sepanjang kurva isoquant, maka 0 = f1δ L + f2 δK ........................................................................................... RTS = -
∂K f1 = ∂L f2
(42)
...................................................................................... (43)
Rate of technical subtitution (RTS) merupakan rasio antara MPL dengan MPK, dimana RTS adalah tingkat dimana tenaga kerja bisa disubtitusi dengan kapital sementara output tetap konstan di sepanjang kurva isoquant. Asumsikan bahwa tujuan akhir petani padi bukan untuk memaksimumkan output tetapi memaksimumkan keuntungan. Dengan diketahui harga dan output, kombinasi optimum dapat diketahui. Fungsi keuntungan sebagai berikut: Л = TR – TC ................................................................................................... (44) dimana: Л : Profit (Keuntungan) TR : Total Reveneu (Penerimaan Total) TC : Total Cost (Biaya Total) Total reveneu diperoleh dari perkalian dari harga gabah (Py) dengan fungsi produksi Y = f ( L, K ) sedangkan Total Cost merupakan penjumlahan dari Total Variable Cost dengan Total Fixed Cost. Persamaan (41) berubah menjadi persamaan: Л = Py * f ( L, K ) – (TVC + TFC) .............................................................. (45) TVC = w *L + r* K ...................................................................................... (46) TC = w *L + r* K + TFC ............................................................................ (47) Penentuan keputusan produksi dapat didasarkan atas pilihan (1) memaksimumkan keuntungan dengan kendala biaya, atau (2) meminumkan biaya dengan kendala output/produksi. Dalam konteks kebijakan perberasan nasional,
82
keputusan produksi pada pilihan pertama. Pada tingkat keputusan produksi maka variabel harga output dan input boleh dimasukkan dalam persamaan. Notasi pada persamaan (47) sedikit dimodifikasi, dimana TFC dengan notasi b. Dengan mensubtitusi persamaan (45) dan (46) ke dalam TC pada persamaan (47) diperoleh persamaan: C = w *L + r* K + b ................................................................................... (48) Keputusan produksi dengan memaksimumkan keuntungan dengan kendala biaya. Maksimisasi keuntungan dengan prinsip optimalisasi berkendala untuk kasus persaingan sempurna pada pasar keluaran dan pasar masukan dapat dilakukan dengan menurunkan fungsi kuntungan berikut: Л
= Py * f ( L, K ) - w *L - r* K - b ) ......................................................
(49)
FOC terhadap L, K, sehingga diperoleh persamaan (50) sampai (51), ∂π = Pyf1 – w = 0 atau f1Py = w .............................................................. ∂L
(50)
∂π ∂K
(51)
= Pyf2 - r = 0 atau f2 Py = r ...............................................................
Pada persamaan (50) dan (51), f1 adalah marginal produk terhadap input L, sedangkan f2 adalah marginal produk terhadap input K. Turunan partial terhadap L diperoleh f1Py yang menunjukkan Value Marginal Product (VMP) tenaga kerja dan terhadap K diperoleh f2 Py yaitu VMP kapital. Dari persamaan (50) dan (51) diperoleh bahwa VMPi = Pi ...................................................................................................... (52) dimana VMPi adalah nilai produksi marjinal dari masukan i. Fungsi permintaan untuk masukan i yaitu lahan (A), input benih (S), pupuk (F), pestisida (H) dan
83
mesin/peralatan (M) dengan Pi adalah harga masukan i, yang diturunkan dari persamaan (52), yaitu: A = a (Pa, Ps, Pf, Ph, Pm) ............................................................................. (53) S = s (Ps, Pa, Pf, Ph, Pm) . ............................................................................. (54) F = f (Pf, Pa, Ps, Ph, Pm) ............................................................................... (55) H = h (Ph, Pa, Ps, Pf, Pm) .............................................................................. (56) M = m (Pm, Pa, Ps, Pf, Ph) ............................................................................. (57) Fungsi permintaan masukan agregat pada pasar bersaing sempurna dalam suatu wilayah merupakan jumlah permintaan masukan oleh semua individu petani. Dengan mensubtitusikan persamaan (53) hingga (57) ke persamaan (58) maka dari pendekatan masukan produksi akan diperoleh persamaan penawaran berikut: Y = y (Pl, Pa, Ps, Pf, Pm) ............................................................................... (58) Fungsi total penawaran padi pada pasar persaingan sempurna dalam suatu wilayah merupakan jumlah total penawaran padi oleh individu produsen (petani), dengan penentu atau penjelas yang sama.
3.1.5 Teori Perdagangan Internasional
Menurut Krugman dan Obstfeld (1991) dan Nopirin (1997) perdagangan antar negara atau perdagangan internasional muncul karena adanya perbedaan harga komoditi diantara kedua negara. Perbedaan harga tersebut disebabkan karena perbedaan biaya produksi di kedua negara. Sulistyo (1981) mengatakan bahwa perdagangan antar dua negara muncul karena semakin intensifnya spesialisasi dalam proses produksi kedua negara tersebut.
84
Pada Gambar 6 ditunjukkan bahwa pada mulanya terjadi perbedaan harga beras antara negara A dan B, dimana masing-masing mempunyai keseimbangan EA untuk negara A dan EB untuk negara B. Pada titik keseimbangan tersebut negara A memperdagangkan beras dalam jumlah QEA dengan harga PEA, dan negara B memperdagangkan beras dalam jumlah QEB dengan harga PB. Perbedaan ini akan mendorong terjadinya perdagangan antara negara A dan B, yaitu dengan terciptanya permintaan impor dan penawaran ekspor di pasar dunia. Menurut Labys (1973); Krugman dan Obstfeld (1991), permintaan impor adalah kelebihan dari apa yang diminta konsumen atas apa yang ditawarkan oleh produsen domestik. Penawaran dari ekspor asing adalah kelebihan dari apa yang ditawarkan oleh produsen asing (negara lain) atas apa yang diminta oleh konsumen negara tersebut. Nampak dalam Gambar 6 bahwa kelebihan permintaan (exess demand) di negara B merupakan permintaan impor di pasar dunia Dw dan kelebihan penawaran (exess supply) di negara pengekspor (A) merupakan penawaran ekspor dari pasar dunia (Sw). Interaksi antara suplai ekspor dan permintaan impor menghasilkan keseimbangan di pasar dunia Ew, dengan harga dunia Pw dan total transaksi dunia Qw. Pada tingkat harga Pw konsumen di negara eksportir (A) meminta beras sebanyak QA, namun produsen menawarkan kelebihan penawaran sebesar Q1AQ2A, yang harus diekspor ke negara lain, sehingga merupakan penawaran ekspor di pasar dunia. Sementara di negara importir, pada tingkat harga Pw jumlah yang diminta oleh konsumen negara B adalah Q2B dan jumlah 'yang ditawarkan oleh produsen adalah Q1B. Dengan demikian terjadi kelebihan permintaan (exess demand) sebesar Q1BQ2B . Oleh sebab itu negara B harus mengimpor beras sebanyak Q1BQ2B
85
86
Uraian di atas menunjukkan bahwa ekspor suatu negara merupakan selisih antara penawaran domestik dengan permintaan domestik. Secara matematis persamaan ekspor dapat dituliskan sebagai berikut: Xt = St-Dt ...............................................................................................
(59)
dimana Xt adalah jumlah ekspor negara bersangkutan pada tahun t, St adalah jumlah penawaran pada tahun t, dan Dt adalah jumlah barang yang diminta pada tahun tersebut. Dalam pengertian yang lebih luas, ekspor suatu negara merupakan kelebihan penawaran domestik atau produksi barang atau jasa yang tidak dikonsumsi oleh konsumen negara bersangkutan atau tidak disimpan dalam bentuk stok (Labys, 1973; Kindleberger dan Lindert, 1982). Oleh sebab itu persamaan ekspor dapat juga dituliskan sebagai: Xt = St-Ct + STt-l
......................................................................................
(60)
dimana: Xt = jumlah ekspor beras pada lahun ke-t, St = jumlah produksi beras pada tahun ke-t, Ct = jumlah konsumsi beras pada lahun ke-t, STt-1 = jumlah stok beras pada tahun sebelumnya. Branson dan Litvack (1981) menyatakan bahwa penawaran ekspor suatu barang dipengaruhi oleh tingkat bunga dan nilai tukar valuta asing di negara pengekspor dan di negara importir. Sementara Krugman dan Obstfeld (1991) mengatakan bahwa penawaran ekspor suatu negara ditentukan oleh harga barang tersebut di negara asal, harga barang di negara importir. Selain itu kebijakan perdagangan seperti tarif, pembatasan ekspor/impor dapat juga mempengaruhi penawaran ekspor suatu barang dari suatu negara. Jika beberapa faktor tersebut digabungkan, maka akan diperoleh persamaan penawaran ekspor:
87
Xt = f(Pt, PNMt, ERt, Zt, QXt-1) ................................................................ (61) dimana: Pt PNMt ERt Zt Xt-1
= harga tahun ke-t, = harga beras di negara importir pada tahun ke-t, = nilai tukar mata uang asing tahun ke-t, = faktor lain yang mempengaruhi penawaran ekspor pada tahun ke-t, = jumlah ekspor beras tahun sebelumnya.
Komponen perdagangan internasional lainnya adalah permintaan impor. Menurut Labys (1973) permintaan impor suatu barang adalah kelebihan konsumsi yang tidak sanggup diproduksi di dalam negeri. Sementara Krugman dan Obstfeld (1991) menyatakan permintaan impor domestik merupakan kelebihan dari apa yang diminta konsumen atas yang ditawarkan oleh produsen domestik. Oleh sebab itu persamaan impor dapat dituliskan: Mt = Ct- St + STt-1 ....................................................................................... (62) dimana: Mt Ct St STt-l
= jumlah impor beras pada tahun ke-t, = jumlah konsumsi beras tahun ke-t, = jumlah produksi beras tahun ke-t, = jumlah stok beras tahun sebelumnya.
Bila stok beras di negara pengimpor diasumsikan tetap, maka permintaan impor beras negara pengimpor akan konsisten dengan pola konsumsinya. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka fungsi permintaan impor dapat diturunkan dari fungsi konsumsi, sedangkan fungsi konsumsi dapat diturunkan dari fungsi utilitas. Seperti telah dijelaskan didepan, bahwa maksimisasi fungsi utilitas dengan kendala pendapatan akan menghasilkan fungsi konsumsi: Cb = f(Pb, Pnb, I, Pop) ................................................................................ dimana: Cb Pb
= jumlah konsumsi beras, = harga beras,
(63)
88
Pnb = harga non beras, Pop = jumlah penduduk Selain itu, permintaan impor juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, seperti tarif impor, tarif ekspor negara pengekspor, quota ekspor dan lain-lain (Krugman dan Obstfeld, 1991). Dengan menggabung dua rumusan tersebut, serta menggabung peubah Y dan POP menjadi GNPt negara pengimpor, maka fungsi permintaan impor dapat diturunkan sebagai berikut: Mt = f( PJt, PNJt, GNPt, GMt, GXt) ..........................................................
(64)
dimana: PJt = harga beras di negara pengimpor pada tahun ke-t, PNJt = harga barang substitusi beras tahun ke-t, GNPt = pendapatan nasional negara pengimpor pada tahun ke-t, GMt = kebijakan perdagangan pemerintah negara importir pada tahun ke-t, GXt = kebijakan perdagangan negara pengekspor tahun ke-t. 3.1.6 Hubungan Ekonomi Perberasan Nasional dengan Makroekonomi
Menurut Mankiv (2007), untuk menganalisis
kebijakan perekonomian
dalam konteks perberasan dunia maka Indonesia termasuk negara yang besar. Model ekonomimakro untuk menganalisis dampak perberasan Indonesia dengan negara lain diperlukan kombinasi logika perekonomian tertutup dari model ISLM dan logika perekonomian kecil dari Model Mundell-Fleming. Katakanlah keseimbangan Model IS-LM perekonomian Indonesia berada pada tingkat bunga r0 dan pendapatan Y0, seperti ditunjukkan pada bagian a. Bagian b, menunjukkan hubungan tingkat bunga dengan modal aliran neto, pada tingkat bunga r0 menentukan aliran modal keluar neto, CF0. Bagian c menunjukkan bahwa net capital outflow (aliran modal keluar neto) CF0 dan kurva ekspor netto NX menentukan kurs nominal e0.
89
Model IS-LM pada bagian (a) pengeluaran agregat E yang merupakan fungsi dari pendapatan agregat Y dengan tingkat suku bunga R. Diasumsikan bahwa komponen eksogen dari pengeluaran, yaitu: E = E + E (Y , R ),
0 < E y < 1, ER < 0 ………………………… ……. (65)
Turunan partial mengindikasikan bahwa apabila pengeluaran meningkat ketika pendapatan meningkat. Kondisi keseimbangan jika agregat suplai dan permintaan terhadap barang dan jasa adalah sama Y = E + E (Y , R ) ……………………………………………………............
(66)
Sekarang ada dua endogenous variabel yaitu Y dan R, dengan satu eksogenous variabel E tetapi baru satu persamaan, sehingga tidak dapat dicari solusi keseimbangan untuk variabel endogen. Dalam Gambar 7 bagian (a) digambarkan kurva IS, dengan slope negatif. Kurva IS menunjukkan hubungan antara R dengan Y.
Y − E − E (Y , R ) = 0 …………………………………………………........
(67)
Kemudian dilakukan diferensial parsial dari persamaan (67), sehingga diperoleh dR 1 − E y = < 0 …………………………………………………............. dY Er
(68)
Peningkatan eksogenous variabel (E) seperti pengeluaran pemerintah untuk subsidi pupuk atau pembelian/pengadaan gabah/beras, akan menggeser kurva IS ke kanan. Turunan partialnya dengan asumsi Y tetap yaitu: dr dE
=−
1 > 0 ………………………………………………………....... ER
(69)
Kurva LM pada Gambar 7 bagian (a) menunjukkan permintaan uang di pasar uang, dengan persamaan
90
L = L(Y , R ),
Ly > 0, L R < 0 ………………………………….........
(70)
Keseimbangan di pasar uang apabila permintaan dan penawaran uang sama, dimana penawaran uang adalah konstan, diperoleh persamaan berikut L(Y , r ) − M = 0 ……………………………………………………...........
(71)
Persamaan (70) kondisi kedua yang menggambarkan hubungan antara R dan Y pada Gambar 6 bagian (a). Kurva LM adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara R dan Y, dengan slope positip.. Dengan melakukan turunan partial terhadap persamaan (71) diperoleh L dR = − y > 0 ………………………………………………………....... dY Lr
(72)
Dalam kurva LM, penawaran uang adalah eksogen. Untuk menunjukkan dampak dari perubahan penawaran uang terhadap kurva LM, dengan asumsi Y tetap, sedangkan R dan M adalah variabel dalam kondisi keseimbangan pasar uang. dR dM
=
1 < 0 …………………………………………………................. LR
(73)
Akhirnya diperoleh bahwa kenaikan penawaran uang menyebabkan penurunan tingkat suku bunga di pasar uang pada setiap tingkat pendapatan. Dari persamaan (67) dan (71) diperoleh keseimbangan antara LM dan IS pada pendapatan Y0 dan tingkat suku bunga ro Y * − E − E (Y *, R *) = 0 ……………………………………………............ (74) L(Y *, R *) − M = 0 ………………………………………………............... (75) Nilai Y* dan R* merupakan keseimbangan simultan pada pasar barang dan jasa dengan pasar uang. Seperti yang ditunjukkan Gambar 7 bagian (a), ada hubungan
91
antara kurva LM dan IS. Dalam analisis komparatif statis, perlu diketahui dampak dari dua variabel eksogen yaitu dan M, dalam kondisi keseimbangan Y* dan R*. Dalam kasus terjadinya perubahan, dilakukan dengan sistim linier
⎡(1 − E y ) − ( ER )⎤ ⎡∂Y * / ∂ E ⎤ ⎡1⎤ ………………………………........... (76) ⎥= ⎢ ⎢ L LR ⎥⎦ ⎢⎣∂R * / ∂ E ⎥⎦ ⎢⎣0⎥⎦ y ⎣ Dari persamaan (76) diperoleh determinan D sebagai berikut: D = (1 − E y )LR + Ly ( ER ) < 0 …………………………………..................... (77)
Dampak dari komparatif statis yaitu 1 − ( ER ) ∂Y * ∂E
∂R * ∂E
=
=
0
LR D
(1 − ER ) 1 Ly 0 D
=
LR > 0 ………………………………….................... (78) D
=−
Ly D
> 0 ………………………………..................... (79)
Dalam konteks kebijakan perberasan nasional maka peningkatan pengeluaran pemerintah untuk subsidi pupuk, anggaran untuk pembelian gabah petani dan investasi untuk perbaikan saluran irigasi akan menggeser kurva IS ke kanan, sehingga pendapatan akan naik dan diikuti dengan kenaikan suku bunga. Oleh karena pertanian hanya salah satu sektor dari beberapa sektor perekonomian umum dan adanya keterkaitan dengan sektor lainnya, perubahan dalam kebijakan makroekonomi akan mempengaruhi pendapatan di sektor pertanian (perberasan nasional)
melalui perubahan dalam pajak, pengeluaran
pemerintah dan penawaran uang. Kebijakan moneter terkait dengan penawaran
92
uang dan kredit, sedangkan kebijakan fiskal menyangkut pengeluaran pemerintah dan pajak. Perubahan dalam kebijakan moneter dan fiskal akan mempengaruhi baik produsen dan konsumen perberasan nasional. Kebijakan moneter ekspansif, seperti pembelian surat-surat berharga, menyebabkan peningkatan penawaran uang sehingga semakin banyak uang yang digunakan untuk kredit dan pinjaman. Peningkatan jumlah uang/kredit yang dipinjamkan kepada petani padi, cateris paribus, menyebabkan suku bunga menurun, sehingga meningkatkan pengeluaran investasi (Lipsey, 1974; Branson and Litvack, 1981 Dornbush and Fisher, 1987; Mankiv, 2007) Pemberian kredit kepada petani akan
menambah uang beredar, akan
menggeser kurva LM0 ke kanan menjadi LM1, seperti bagian (a). Tingkat pendapatan dan tingkat bunga turun menjadi r1. Asumsi tingkat harga (P) tetap. Gambat 7 bagian (b) menunjukkan bahwa pada perekonomian Indonesia, penurunan tingkat bunga dari r0 ke r1 menyebabkan aliran keluar modal neto meningkat dari CF0 ke CF1. Pada tingkat bunga yang lebih rendah, investor Indonesia akan meningkatkan pemberian pinjaman ke luar negeri. Peningkatan dalam aliran modal keluar neto, akan meningkatkan penawaran rupiah yang akan ditukar menjadi mata uang non-dollar di pasar valuta asing. Asumsikan kurs yang berlaku di Indonesia
adalah floating exchange rate (kurs mengambang).
Peningkatan penawaran rupiah tersebut menyebabkan kurs rupiah terdepresiasi, sebagaimana pada bagian (c) karena barang-barang di Indonesia relatif lebih murah dibandingkan dengan produk luar negeri, sehingga ekspor neto meningkat dari NX0 ke NX1. Bagian (d) kita turunkan dari perpotongan antara kurva IS0
93
dengan kurva LM0 dan LM1 dari bagian (a) sehingga terbentuk kurva aggregate demand (permintaan agregat) yang menunjukkan hubungan antara tingkat harga (P) dengan pendapatan (Y). Asumsikan kurva aggregate supply (penawaran agregat), yang digunakan model Keynesian. Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk perberasan nasional menyebabkan kurva IS bergeser ke kanan, selanjutnya menggeser kurva permintaan agregat AD0 ke AD1, pendapatan Y0 menjadi Y1, sehingga dampak output perberasan nasional akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi ini diharapkan akan mengurangi jumlah pengangguran, selanjutnya mengurangi jumlah orang miskin di Indonesia. Dalam perekonomian tertutup, dampak kebijakan fiskal sebagian dikurangi oleh desakan investasi (crowding out of investment) ketika tingkat bunga naik, investasi turun yang mengurangi pengganda kebijakan fiskal. Dalam perekonomian Indonesia, ketika tingkat bunga naik, aliran modal keluar neto turun, kurs dollar AS berapresiasi dan ekspor neto turun, sehingga pendapatan berkurang dari Y2 ke Y1. Dampak kebijakan fiskal tersebut tetap menyebabkan pertumbuhan ekonomi (Y0 ke Y1) meskipun diikuti dengan inflasi (dari P0 ke P1) yang disebabkan oleh demand pull inflation. Kenaikan harga dari sisi produsen akan menguntungkan karena harga jual produk di pasar bergeser dari P0 ke P1, tetapi dari sisi petani sebagai konsumen, kenaikan harga menyebabkan harga sarana produksi seperti benih, pupuk, pestisida dan alsintan mengalami kenaikan sehingga biaya produksi semakin meningkat. Pada tingkat petani, inflasi menyebabkan daya beli petani semakin rendah.
94
LM0
r
r
LM1
r0
r0 r1
r1
IS1 IS0
Y0 Y 1
Y2
CF0 CF1
Y
b. Aliran Modal Keluar Neto
a. Model IS-LM
e
P P0
e0
P1
e1
CF0
CF1
AD
NX (e)
Y 0 Y1
AD0
NX0 NX1
Y
c. Model Permintaan Agregat
P
CF
AD1
d. Pasar Valuta Asing
NX
AS
P1 P0
Y0 Y1 Y2
Y
e. Pergeseran Kurva Agregat
Sumber: Branson and Litvack (1981), Mankiv (2007) Gambar 7. Keterkaitan Kebijakan Perberasan dengan Ekonomimakro
Campur tangan pemerintah terhadap kebijakan perberasan melalui tersedianya anggaran pemerintah terhadap subsidi pangan, pupuk dan benih. Besarnya anggaran pemerintah untuk mendukung kebijakan perberasan bervariasi,
95
tergantung dari ketersediaan cadangan pangan nasional. Kenaikan anggaran pemerintah menyebabkan kurva IS akan bergeser ke kanan, sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi diikuti dengan kenaikan harga-harga umum (inflasi). 3.1.7 Pareto Optimum dan Kriteria Pareto
3.1.7.1. Kondisi Pareto Optimum bagi Konsumen Asumsikan dalam perekonomian ada dua orang konsumen A dan B, dua produk, yaitu q1 (beras) dan q2 (non beras) yang dihasilkan dan didistribusikan diantara dua individu tersebut. Keadaan ini digambarkan oleh kotak EdgeworthBowley pada Gambar 8, dimana garis mendatar adalah jumlah q1 dan garis tegak adalah jumlah q2 dihasilkan. Setiap titik pada box menggambarkan distribusi q1 dan q2 diantara individu A dan B. Kurva indifferens konsumen A ditunjukkan dalam box dimana OA sebagai titik asal, dengan tiga kurva indifferens yaitu U1A, U2A, and U3A. Kurva indifferens konsumen B yaitu U1B dan U2B dimana OB sebagai titik asal dan bergerak dari atas ke bawah dan dari sisi yang berlawanan. Setiap titik pada kurva indiferens menunjukkan kesamaan dalam kesukaan konsumen A dan B terhadap kombinasi beras dan non beras yang berbeda-beda. Setiap titik pada kurva U3A menghasilkan kepuasan yang lebih besar daripada setiap titik pada kurva U1A, U2A dari sisi konsumen A. Setiap titik pada kurva U2B menunjukkan kepuasan yang lebih besar daripada setiap titik pada kurva U1B dari sisi konsumen B. Pada titik a, individu A mengkonsumsi q11 produk q1 dan q21 produk q2, sedangkan sisanya masing-masing, q1 – q11 dan q2 – q12, didistribusikan kepada individu B. Kurva Kontrak dibentuk dengan menghubungkan semua titik-titik (a dan b) diantara garis singgung kurva indifferens yang mempunyai slope sama
96
dengan kata lain ke dua konsumen memiliki rasio marginal subtitusi yang sama terhadap produk q1 dan q2. Pada titik c, marginal rate of substitution (MRS) q1 terhadap q2 untuk konsumen A, dimana MRSAq1q2 lebih besar dari MRS Bq1q2. Jika konsumen A ingin menambah jumlah q1 yang dikonsumsi sebesar ∆q1, maka konsumen A harus mengurangi konsumsi barang q2 sebesar ∆q2 untuk mendapatkan utilitas sama (titik c bergeser ke d), karena titik d berada pada kurva indifferens U2A yang sama. q2 q22
f
c d
1
q
U2B
a
2
qA
U1 B b U3 A
∆q1 U1 A
q11
e
U2 A
q 21
q1
Sumber: Just, et al. (1982) Gambar 8. Diagram Kotak Edgeworth dan Pareto Konsumen Bagi konsumen B, konsumsi barang q1 yang berkurang sebesar ∆q1 harus diimbangi dengan penambahan ∆q2 sebesar ef sehingga tetap pada tingkat kesejahteraan yang sama. Masih ada kelebihan q2 yang dikorbankan A untuk menambah q1 sebesar ed. Apabila ed dibagi diantara konsumen A dan B maka utilitas naik. Apabila semua ed diberikan kepada A, B tidak dirugikan, demikian juga jika ed diberikan ke B tidak ada yang dirugikan. Dari sisi konsumen A, pergeseran dari titik c ke d menguntungkan konsumen A tanpa merugikan konsumen B. Kondisi ini disebut dengan
perbaikan pareto atau Pareto
97
Improvement. Pergerakan titik c ke titik-titik di dalam area bayang-bayang terang disebut juga pareto improvement. Jika konsumen A ingin meningkatkan utilitas menjadi U3A, maka titik b merupakan kondisi dimana tidak dimungkinkan lagi terjadi perubahan karena jika terjadi perubahan maka salah satu konsumen akan dirugikan. Pada titik b kurva indefferens A dan B bersinggungan. Kondisi di titik d disebut dengan Pareto Optimum. Jika kondisi pareto optimum di titik a dan b dihubungkan akan terbentuklah kurva kontrak dan disepanjang kurva kurva kontrak ini kondisinya adalah pareto optimum. Setiap pergerakan dari titik c ke titik manapun pada daerah terang terjadi perbaikan berdasarkan kriteria Pareto. Oleh karena itu, semua titik dalam daerah terang adalah pareto superior terhadap titik c. Titik e adalah Pareto superior terhadap titik c, dimana konsumen A lebih baik (better off) dan B tidak lebih buruk (worse off). Sedangkan semua titik-titik pada daerah bayang-bayang gelap, jika dibandingkan dengan titik c adalah Pareto inferior, dimana paling sedikit satu individu dirugikan dan individu lain tidak lebih baik. Perbaikan kepada masyarakat dengan menggunakan kriteria Pareto dapat diidentifikasi hanya untuk kasus dimana seseorang diuntungkan atau setidaknya tidak ada yang dirugikan. Anggaplah bahwa masyarakat mulai bergerak dari titik c ke titik e untuk membuat perbaikan pareto (Pareto Improvement). Pada titik e, MRS
A
q1q2> MRS
B
q1q2 dan memperoleh keuntungan dari pertukaran yang
dilakukan. Dengan cara ini, titik pertukaran bergerak sepanjang kurva indifferen U1B sampai titik b tercapai. Pada titik b, jumlah q2 yang dikorbankan A untuk
98
menambah satu unit q1 adalah sama dengan jumlah q2 yang dikorbankan B untuk memperoleh satu unit q1. Pada titik b adalah Pareto optimum. Kondisi optimal pada titik b, dimana. MRS Aq1q2 = MRS Bq1q2 …………………………………………………… (80) Jadi dalam kasus pertukaran murni, setiap titik pada kurva kontrak adalah Pareto optimum; dimana tingkat subtitusi marginal diantara dua barang adalah sama untuk semua konsumen. Suatu Pareto dikatakan efisien apabila tidak bisa menghasilkan suatu barang tanpa mengurangi barang lainnya. 3.1.7.2. Kondisi Pareto Optimum bagi Produsen Asumsikan bahwa dalam perekonomian hanya terdapat dua orang produsen yang menghasilkan dua jenis barang (q1 dan q2), dengan menggunakan dua input yaitu x1 dan x2. Kurva isoquant q1 terdiri dari isoquant q11, q21 dan q31 dan kurva isoquant untuk q2 yaitu q12 dan q22 dengan titik awal Oq2. Kurva isoquant menunjukkan tempat kedudukan dari kombinasi x1 dan x2 yang memberikan hasil yang sama. Setiap titik dalam box menggambarkan alokasi input untuk menghasilkan q1 dan q2. Pada titik g, x11 dari x1 dan x12 dari x2 dialokasikan untuk menghasilkan q1. Input yang sisa yaitu x1 – x11 and x2 – x21 dialokasikan untuk menghasilkan q2. Titik g tidak menggambarkan effisiensi alokasi input karena pada titik g rate of technical subtitution (RTS) x1 terhadap x2 untuk menghasilkan q1 dimana RTS
q1
x1x2 lebih besar dari
RTS
q2
x1x2. Tingkat subtitusi teknis mengukur
dimana produsen bersedia menggantikan input yang satu dengan input lainnya pada tingkat isoquant yang sama. Perpindahan dari titik g ke c menunjukkan bahwa bagi produsen q1 perlu menambah input x1 sebesar ∆x1 dan mengurangi
99
input x2 sebesar ∆x2, sebaliknya bagi produsen q2 penggunaan x2 bertambah banyak sedangkan penggunaan x1 berkurang. Bagi produsen q2, penambahan input x2 sebesar ab lebih kecil dari pengurangan x2 sebesar ∆x2 supaya output q2 tetap pada isoquant awal q12. Titik
g adalah titik yang tidak efisien; karena output
q2 dapat
ditingkatkan tanpa menurunkan output q1. Jika input x2 sebesar bc dialokasikan ke q2 seperti ∆x1 dialokasikan ke q1 maka output q1 dan q2 meningkat. Titik b juga titik yang tidak efisien, karena output q1 dapat ditingkatkan tanpa menurunkan output q2. Output q1 dapat meningkat, dengan membiarkan q2 konstan, dengan realokasi input x1 ke q1 dan input x2 ke q2. Proses ini akan terus berlanjut sampai titik d tercapai. Pada titik d tidak mungkin meningkatkan output q1 tanpa mengurangi output q2, pada Titik d adalah efisien secara Pareto.
x2
O q2
q 12 g
x 12
a b
Δx2
c
d
f q 13 q 12
e
q 11 Δ x1
O q1
q 22
x11
Sumber: Just, et al. (1982) Gambar 9. Pareto Optimum Pada Produsen
x1
100
Apabila titik d dan e dihubungkan akan terbentuk kurva kontrak. Semua titik pada tempat yang efisien Oq1Oq2 adalah titik-titik output yang efisien secara Pareto. Garis singgung isoquants pada Gambar 9 menunjukkan bahwa RTS q1x1x2 = RTS q2x1x2 ……………………………………………………. (81) Pareto optimum dalam produksi menunjukkan bahwa RTS antara dua input adalah sama terhadap semua industri yang menggunakan kedua input tersebut. Kumpulan titik-titik Pareto-optimal Oq1Oq2 digambarkan pada ruangan output. Pada Gambar 10, kurva yang menghubungkan q1* dan q2* berhubungan dengan Oq1Oq2, pada Gambar 9 dimana q2* adalah output maksimum jika semua sumberdaya x1 dan x2 digunakan untuk menghasilkan q1, sedangkan q1* output maksimum jika semua sumberdaya x1 dan x2 digunakan untuk menghasilkan q2.
q2
o
q
2
Δq1
q 12
Δq 2 U
A 1
OB '
OB Δq 2
U 1B U 2B OA
U 1B ' Δq1 q11
q1o
Just, et al. (1982) Gambar 10. Kurva Kemungkinan Produksi Titik-titik pada kurva kontrak sepanjang Oq1Oq2 pada Gambar 9 dapat diterjemahkan ke dalam suatu kurva kemungkinan produksi (production possibility curve) yang menunjukkan semua titik produksi yang efisien menurut
101
Pareto. Kurva kemungkinan produksi menunjukkan jumlah barang yang dapat dihasilkan dengan penggunaan semua faktor produksi secara penuh. Titik g pada Gambar 9 adalah pareto inferior kelihatan pada Gambar 10. Perubahan kotak Edgeworth berhubungan dengan titik asal individu A pada OA dan individu B pada OB dengan output yang berhubungan dengan titik g pada Gambar 9 yang didistribusikan secara efisien pada titik k. Pergerakan ke titik f dalam Gambar 9 berhubungan dengan peningkatan ∆q1 dan ∆q2 pada Gambar 10, akan menggeser titik asal individu B menjadi OB’. Dengan demikian, kurva awal indifferen B dari U1B bergeser ke U1B’, dan konsumsi bergeser ke titik j. Peningkatan output ∆q1 + ∆q2 membuat individu A dan B menjadi lebih baik, maka titik g dalam Gambar 9 bukan Pareto optimum. Walaupun titik g pada Gambar 9 bukan Pareto optimum, dapat disimpulkan bahwa pergerakan dari titik g ke salah satu Pareto efisien produksi disebut Pareto improvement. Itu sebabnya, kriteria Pareto tidak dapat digunakan untuk membandingkan
titik-titik yang
berproduksi secara tidak efisien dengan titik lain yang berproduksi secara efisien. Pergerakan dari OB ke OB’ dalam Gambar 10 dapat terjadi dengan adanya distribusi output yang lebih banyak pada titik h, meskipun adanya pertukaran yang efisien. Pada titik tersebut individu A rugi sedangkan individu B lebih baik. Perbaikan Pareto untuk bundel barang yang banyak hanya terjadi jika seluruh individu diuntungkan dan tidak ada satupun yang dirugikan.
3.1.7.3 Kondisi Pareto Optimum Kasus Produk Campuran Kriteria Pareto tidak dapat digunakan menentukan urutan dari sekumpulan barang dimana sekumpulan barang lebih baik, kurang baik dibandingkan barang
102
lainnya tanpa mengetahui bagaimana barang tersebut didistribusikan. Pada Gambar
11, masyarakat menghasilkan
q11 barang
q1 dan q21 barang
Scitovsky indifference curve (SIC) SIC diberi tanda
q2.
C dalam Gambar 11
berhubungan dengan titik a pada kurva kontrak, dimana tingkat utilitas individu A diwakili oleh U1A dan U1B oleh individu B. Untuk menentukan SIC, dengan menahan OA dalam kondisi tetap, dengan demikian kurva indifferen individu A ditahan diam pada U1A. Pada saat yang sama, OB berpindah sehingga kurva indifferen B bergeser; sedangkan kurva indifferens individu B U1B
tetap
bersinggungan dengan kurva indefferen A pada U1A dengan sumbu datar untuk kedua barang paralel diantara individu. Jadi, C terdiri dari sekumpulan tempat dari semua bundel output dimana setiap anggota masyarakat yang berbeda, jika suatu bundel output awalnya didistribusikan pada titik a.
q2 q 12
OB
q 22 q 23
OB' U 3B
a
b
O B* U 2A
U 1B
a'
U
q 11
A 1
q 13 q 12
OB C ' p'C q1
Just, et al. (1982) Gambar 11. Kondisi Pareto Optimum Kasus Mix Produk
103
Gambar 11 mempertimbangkan perbandingan bundel output di OB yang didistribusikan diantara individu A dan B pada titik a, dengan bundel output di OB’ yang didistribusikan pada titik a'. Kurva
Scitovsky menghubungkan
distribusi pada titik a dan a' masing-masing C dan C’. Kurva Scitovsky C tidak bersinggungan dengan kurva kemungkinan produksi di OB sementara C’ bersinggungan di OB’. Kedua individu dapat dibuat lebih baik dengan memilih bundel pada OB’ karena C’ terletak diatas C dan output pada OB* (bukan OB’) didistribusikan pada titik a' yang dibutuhkan dalam menghasilkan tingkat utilitas yang sama seperti pada OB. Penambahan produk q21 – q31, q22 – q32 dapat dibagi sehingga individu lebih baik dengan bergerak dari OB* ke OB’. Meskipun C' terletak diatas C, kedua individu pada faktanya tidak lebih baik dengan pergerakan dari OB ke OB’ dalam Gambar 11. Itu artinya, bundel yang diwakili OB’ dapat didistribusikan pada titik b, dimana individu A dibuat lebih baik sedangkan individu B relatif lebih buruk pada bundel yang diwakili OB yang didistribusikan di titik a. SICs tidak dapat dengan tepat terhadap yang lain dan satu orang individu mungkin masih lebih buruk pada SIC yang lebih tinggi. Bagaimanapun juga, dimungkinkan mendistribusikan bundel output pada OB’ dimana seseorang
dapat
lebih baik daripada titik a dengan memilih suatu
distribusi produk pada OB’ dalam daerah bayang-bayang. Sekarang membandingkan bundel output di OB’ yang didistribusikan pada titik a’(SIC dilambangkan dengan C' bersinggungan dengan PP') dengan bundel output lainnya yang efisien
dengan semua kemungkinan yang dapat
didistribusikan. Karena tidak ada titik produksi yang layak diatas C’, karena tidak mungkin menghasilkan SIC yang terletak diatas C’. Artinya, jika seseorang mulai
104
di OB’ yang didistribusikan pada titik a', satu orang tidak dapat dibuat lebih baik tanpa membuat yang lain lebih buruk, dengan kata lain OB’ yang didistribusikan pada titik a’ adalah titik Pareto-optimum. Persyaratan persinggungan
SIC dengan kurva kemungkinan produksi
menetapkan tiga set marjinal yang sama untuk Pareto optimum dalam kasus produk campuran. Artinya, slope produksi frontier harus sama dengan
SIC
optimum, dimana slope kurva kemungkinan produksi negatif yaitu marginal rate of transformation dari q1 terhadap q2 (yang mengukur tingkat dimana output yang dapat dipertukarkan dengan jumlah input tetap), dinotasikan
dengan
MRTq1q2 dan slope SIC yang negatif adalah marginal rate of substitution dari q1 terhadap q2, untuk kedua individu A dan B adalah sama. Dengan demikian, produk campuran yang memenuhi persyaratan Pareto optimum dimana marginal rate of transformation sama dengan
tingkat transformasi marginal terhadap
konsumen, yaitu: MRT q1q2 = MRSA q1q2 = MRSBq1q2 …………………………………........ (82)
3.1.7.4 Pareto Optimum dan Keseimbangan Kompetitif Asumsikan
konsumen
memaksimalkan keuntungan,
memaksimumkan
utilitas
dan
produsen
konsumen dan produsen bertindak kompetitif,
dimana harga adalah konstan. Jumlah permintaan barang qk merupakan fungsi DA (pk) untuk individu A dan DB (pk) untuk individu B, dimana pk adalah harga barang qk, k = 1, 2. Penawaran barang qk merupakan fungsi penawaran Sk (pk), k = 1, 2. Asumsikan ada satu set harga
p1 dan p2 yang positif sehingga jumlah
permintaan adalah sama dengan jumlah penawaran untuk setiap komoditas, yaitu DA (p1) + DB (p1) = S1 (p1) dan DA (p2) + DB (p2) = S2 (p2).
105
Set harga p1 dan p2 memberikan keseimbangan yang kompetitif. Dengan demikian, keseimbangan kompetitif adalah sekumpulan harga pada semua pasar dimana tidak ada kelebihan permintaan atau kelebihan penawaran. Konsep ini mudah digunakan untuk kasus umum dimana ada banyak konsumen dan produsen,
dan
harga
produk
ditentukan
penawaran
dan
permintaan.
Keseimbangan yang kompetitif ditunjukkan (1) jika semua konsumen memiliki preferensi yang diwakili oleh kurva indifferen yang konveks ke titik asal, dan (2) jika tidak ada pengembalian yang meningkat dari setiap perusahaan. Hubungan terpenting antara keseimbangan kompetitif dengan Pareto optimum adalah ketika keseimbangan kompetitif terjadi maka terjadi kondisi pareto optimal. Hasil ini dikenal dengan Theorem Optimality yang merujuk kepada teori Adam Smith. Dalam The Wealth of Nation yang dipublikasikan tahun 1776, Smith mengemukakan bahwa kepentingan konsumen adalah memaksimumkan utiliti dan produsen fokus kepada profit, merupakan “best
possible state of affairs” dalam masyarakat. Konsumen memaksimumkan utilitas dengan kendala anggaran II’(Gambar 12) dengan pendapatan m. Konsumen A memilih bundel konsumsi q1 q2 yang memungkinkan untuk mencapai kurva indifferens yang tertinggi. Dengan demikian, konsumen memilih titik singgung antara II’ dengan kurva indifferen UA. Pada titik singgung tersebut, MRSAq1q2 = p1/p2, dimana slope kurva indifferens dan kendala anggaran adalah negatip. Pada pasar persaingan sempurna, semua konsumen diperhadapkan pada harga yang sama, Jadi bagi konsumen B, MRSBq1q2 = p1/p2, dengan demikian MRSBq1q2 = MRSAq1q2 ……………………………………………………. (83)
106
adalah kondisi pertukaran Pareto optimum yang diturunkan dari persamaan (80). Jika semua konsumen diperhadapkan dengan harga relatif yang sama dari dua barang maka marginal equivalen akan sama pada keseimbangan.
q2 m/p2 I
Slope = -MRSAq1q2
Slope = -p1/p2
q2
UA I’ m/p1
q1
q1
Just, et al. (1982) Gambar 12. Memaksimumkan Utilitas dengan Kendala Anggaran Perlu diketahui bahwa perusahaan tidak dapat memaksimumkan keuntungan pada setiap tingkat output tanpa perusahaan menghasilkan output pada biaya minimum. Itu berarti implikasi memaksimumkan keuntungan adalah meminimumkan biaya. Asumsikan
perusahaan
memaksimumkan
keuntungan,
dengan
menghasilkan output q1 (Gambar 13), biaya minimum untuk berproduksi pada harga input w1 dan w2 adalah tetap, dengan menggunakan input x1 dan x2. Biaya minimum dalam berproduksi tercapai pada perpotongan kurva isocost (dinyatakan dengan tingkat biaya C) dengan kurva isoquant yang ditunjukkan dengan output q1 = q1. Slope kurva isoquant dan isocost masing-masing negatif. Titik singgung jika tingkat subtitusi marginal x1 terhadap x2 sama dengan rasio harga input.
107
dengan slope negatip. Semua perusahaan memproduksi dengan menggunakan x1 dan x2 diperhadapkan dengan harga input yang sama: maka, RTSq2x1x2 = RTSq1x1x2 …………………………………………………….... (84) menghasilkan kondisi efisiensi produksi pada persamaan (81). x2
c/w2 C
x2
Slope = - RTSq
1
x1x2
q1 = q1 Slope = -w1/w2 C'
Oq1
x1
c/w1
x1
Just, et al. (1982) Gambar 13. Biaya Minimum dalam Berproduksi Untuk menetapkan bahwa kondisi produk campuran persamaan (82) dipenuhi, dengan cara menaikkan output q1 sebesar ∆q1 dan mengurangi output of q2 sebesar ∆q2, sepanjang kurva kemungkinan produksi. Perubahan ini menyebabkan adanya transfer satu unit x1 atau satu unit x2 dari q2 untuk menghasilkan q1. Peningkatan output sebesar q1 adalah sama dengan produk fisik marginal dari input xk untuk produksi q1, dimana ∆q1 = MPPq1xk. Demikian pula, penurunan output q2 adalah ∆q2 = MPPq1xk. Jumlah q2 yang dikorbankan untuk meningkatkan q1, dinyatakan dengan marginal rate of transformation diantara q1 dan q2. Dengan demikian, 3
MRTq1q 2
q Δq 2 MPPxk = = Δq1 MPPxqk1
………………………………………………….... (85)
108
Produsen yang meminimisasi biaya harus menyamakan marginal physical
product sama dengan per dollar yang dihabiskan untuk setiap input. Dengan demikian, kombinasi biaya terendah terhadap x1, x2 dalam Gambar 13 dicirikan oleh kondisi berikut:
MPPxaj2
=
w2
MPPxaj2 w1
,
j = 1,2 ………………………………………………. (86)
Marginal physical product dari input adalah sama dengan peningkatan output ∆qj dibagi dengan peningkatan input ∆xk
yang diperlukan untuk
meningkatkan output, sehingga MPPxkaj= ∆qj/ ∆xk. Dengan memasukkan hasil ini ke dalam persamaan (86), diperoleh hasil:
w
Δx1 Δx = w2 2 , Δx2 Δx j
j = 1,2
……………………………………………….. (87)
Dimana wk ∆xk/∆qj/ adalah marginal cost, dimana MCaj :
MCaj =
wk j MPPxqk
j = 1,2 ……………………………………………….. . (88)
Produsen yang memaksimumkan keuntungan pada pasar persaingan sempurna akan menyamakan marginal return dengan marginal cost, dengan mensubtitusi pj dengan MCaj dalam persamaan (88) dan membagi persamaan dengan j = 1 dan yang lain dengan j = 2 , hasilnya menjadi: 2
q p1 MPPxk = 1 p2 MPPxq k
................................................................................................... (89)
109
Dari persamaan (85) adalah sisi kanan persamaan (89) adalah MRTq1q2 dimana konsumen menghadapi harga komoditi yang sama, sehingga kondisi produk campuran pada persamaan (82). MRS qA1q 2 = MRTqB1q 2
…………………………………………………………. (90)
pada keseimbangan pasar yang bersaing. Dengan demikian pada pasar persaingan sempurna diperoleh kondisi keseimbangan dimana tidak mungkin
melakukan perubahan tanpa membuat
seseorang lebih buruk pada pasar kompetitif pada keadaan yang efisien menurut Pareto. Kesimpulan ini mungkin satu-satunya hasil yang paling kuat dalam teori ekonomi pasar dan secara luas digunakan oleh ahli-ahli ekonomi yang percaya bahwa pasar kompetitif dan pemerintah tidak perlu intervensi dalam aktifitas pasar. 3.1.8 Analisis Ekonomi Kesejahteraan pada Pasar yang Berorientasi Kebijakan 3.1.8.1 Kenaikan Harga Output dan Surplus Produsen
Instruksi Presiden tentang Kebijakan Perberasan
berada pada kondisi
Pareto Optimum jika ada pihak yang diuntungkan tanpa pihak lain dirugikan. Kebijakan perberasan yang berpihak kepada petani maka pihak yang diuntungkan adalah petani, sebaliknya kebijakan perberasan yang berpihak kepada konsumen maka pihak yang diuntungkan adalah konsumen. Apabila kebijakan perberasan hanya menguntungkan petani tetapi merugikan konsumen atau sebaliknya maka kebijakan tidak memenuhi persyaratan Pareto Optimum. Solusi terhadap kebijakan perberasan yang tidak memenuhi kriteria Pareto Optimum
apa yang disebut dengan dengan criteria kompensasi. Kriteria
110
kompensasi apabila ada sesuatu perubahan akibat suatu kebijakan yang membuat pihak yang diuntungkan memberi kompensasi ke pihak yang dirugikan maka perubahan dianggap layak. Surplus produsen yaitu luasan yang berada di atas kurva penawaran dan dibawah kurva harga, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14. Kurva penawaran untuk perusahaan pada pasar kompetitif adalah Marginal Cost (MC) yang berada diatas titik minimum Variabel Cost. Sebelum kenaikan harga (P1) surplus produsen yaitu P1 x Q1 dikurangi daerah b ( jumlah biaya variabel), yaitu daerah a.
P S B
P2 c
P1
A
e
a
b
d
S 0 Q1
Q2
Q
Sumber: Ellis, F (1992) Gambar 14. Kenaikan Harga dan Surplus Produsen Pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) naik yang ditunjukkan perubahan dari P1 ke P2. Perubahan harga tersebut menyebabkan efek akuntansi dan efek produksi. Efek akuntansi ditunjukkan dengan perubahan surplus produsen. Kenaikan HPP menyebabkan kenaikan produksi dari Q1 ke Q2,
111
sehingga surplus produsen Q2 x P2 dikurangi daerah b + d yaitu a + c + e yang diperoleh dari selisih a + b + c + d + e dengan b + d . Tambahan
surplus
produsen
dengan
kenaikan
Harga
Pembelian
Pemerintah diperoleh dari selisih antara sesudah dengan sebelum kebijakan, yaitu ( a + c + e) – (a) yaitu c + e. Apabila kurva penawaran inelastis maka daerah e semakin kecil dan sebaliknya kurva penawaran yang elastis menyebabkan daerah e semakin meningkat.
3.1.8.2 Penerapan Teknologi Baru dan Surplus Produsen
Besarnya surplus produsen tanpa teknologi yaitu
P1 x Q1 dikurangi
daerah b ( jumlah biaya variabel), yaitu daerah a. Penerapan teknologi baru menggeser
kurva penawaran
S ke S’. Besarnya surplus produsen. dengan
teknologi baru yaitu P1 x Q2 yaitu daerah a + b + c, yang diperoleh dari selisih surplus produsen dengan daerah d. Tambahan surplus produsen dengan kenaikan teknologi baru diperoleh dari selisih antara sesudah dengan sebelum teknologi baru diterapkan, yaitu ( a + b + c) – (a) yaitu daerah b + c, pada Gambar 15. Penerapan teknologi baru menyebabkan output naik dari Q1 ke Q2 dengan asumsi harga konstan dan diikuti dengan tambahan biaya. Tambahan output karena penerapan teknologi lebih besar dari tambahan biaya, sebesar daerah c. Apabila petani memilih berproduksi di Q1 pada kondisi penerapan teknologi baru pada kurva S’ menyebabkan tambahan surplus produsen sebesar daerah b, karena biaya yang dikeluarkan oleh produsen pada tingkat output Q1 lebih rendah dibandingkan pada kondisi kurva S. Dengan kata lain penerapan teknologi meningkatkan kesejahteraan produsen atau petani.
112
P S S’ P1 c
a b S
d S’ 0
Q1
Q
Q2
Sumber: Ellis (1992) Gambar 15. Dampak Teknologi Baru dan Surplus Produsen
3.1.8.3 Kebijakan Subsidi Input dan Surplus Produsen
Sebelum
kebijakan subsidi input diimplementasikan kepada petani,
surplus produsen yaitu P1 x Q1 dikurangi daerah b ( jumlah biaya variabel), yaitu daerah a. Kebijakan subsidi input dimana petani membeli input yang telah disubsidi
oleh pemerintah
per setiap unit input
akan
menggeser
kurva
penawaran S ke S’. Besarnya surplus produsen. dengan adanya kebijakan subsidi input yaitu P1 x Q2 yaitu a + b + c, yang diperoleh dari selisih a + b + c + d dengan daerah
d.
Tambahan surplus produsen dengan kebijakan subsidi
diperoleh dari selisih antara sesudah dengan sebelum subsidi input, yaitu ( a + b + c) – (a) yaitu b + c, ditunjukkan pada Gambar 16. Apabila petani memilih berproduksi di Q1 pada kurva S’ menyebabkan tambahan surplus produsen sebesar derah b. Dengan kata lain kebijakan subsidi
113
input menyebabkan biaya yang dikeluarkan oleh petani terhadap input berkurang sehingga surplus produsen naik sebesar daerah b. Kebijakan subsidi input menyebabkan tambahan output naik dari Q1 ke Q2 dengan asumsi harga konstan.
S
P
S’ P1 a
c
b
d S
0
Q1
Q2
Q
Sumber: Ellis, F (1992) Gambar 16. Dampak Perubahan Surplus Produsen dan Subsidi Input Tambahan penerimaan kotor kenaikan output karena kebijakan subsidi lebih besar dari tambahan biaya yang dikeluarkan, sehingga tambahan output menghasilkan tambahan surplusdan produsen sebesar c. Dengan asumsi kebijakan subsidi input diimplementasi sesuai dengan tujuannya, akan berdampak terhadap perbaikan kesejahteraan produsen. 3.1.8.4 Dampak Stabilitas Harga terhadap Kesejahteraan
Pada musim panen raya harga gabah anjlok sehingga produsen dirugikan sebaliknya pada masa panceklik harga naik sehingga konsumen dirugikan. Masa
114
panceklik dapat terjadi karena kondisi gagal panen, pengaruh iklim dan bencana alam. Salah satu tujuan pemerintah
mengeluarkan Inpres tentang Kebijakan
Perberasan yaitu pentingnya stabilisasi ekonomi. Mengingat beras merupakan komoditi strategis, maka pemerintah berkepentingan menjaga stabilitas harga beras. Untuk menjaga stabilitas harga tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan harga. Salah satu diktum dalam Inpres tentang Kebijakan Perberasan yaitu keputusan pemerintah membeli gabah petani melalui Harga Pembelian Pemerintah baik di tingkat petani dan penggilingan.
P D
j P2
A a
b
Pe
d
c P1
g
i 0
e
Q2
f a
B
h Qe
D Q1
Q
Sumber: Ellis, F (1992) Gambar 17. Dampak Stabilisasi Harga terhadap Kesejahteraan Harga P1 dan P2 adalah harga pasar pada saat panen gagal dan berhasil, sedangkan Pe adalah harga stabilisasi. Kurva penawaran pada Gambar 17 tidak kelihatan, tetapi terletak diantara titik A dan B. Pada kondisi gagal panen, produksi berkurang menjadi Q2, dengan harga yang lebih tinggi pada P2. Surplus
115
konsumen dalam kondisi panen gagal adalah daerah a, sedangkan surplus produsen daerah a + c + i. Surplus konsumen pada kondisi harga stabilisasi yaitu daerah a + b + j, sedangkan surplus produsen c + i. Untuk mempertahankan stabilitas harga tetap di Pe pada kondisi gagal panen maka pemerintah menjual stok sebesar d + g. Penjualan stok pada harga yang lebih rendah dari P2 menguntungkan konsumen, dimana surplus konsumen sebesar a + b + j sehingga keuntungan konsumen menjadi a + b, dari selisih surplus konsumen pada kondisi harga stabil (daerah a + b + j) dengan kondisi gagal panen (daerah j). Sebaliknya, produsen dirugikan sebesar daerah a, yang diperoleh dari selisih surplus produsen kondisi gagal panen (a + c + i) dengan kondisi harga stabil (c + i). Pada kondisi panen berhasil, produksi naik menjadi Q1, dengan harga yang lebih rendah pada P1. Surplus konsumen dalam kondisi panen berhasil adalah daerah a + b + c + d + e + j, sedangkan surplus produsen daerah g + h + i. Untuk mempertahankan stabilitas harga tetap di Pe pada kondisi panen berhasil maka pemerintah membeli gabah sebesar e + f + h. Pemerintah membeli gabah untuk keperluan stok pada harga Pe yang lebih tinggi dari harga pada kondisi panen berhasil, yaitu P1. Tindakan pemerintah membeli gabah sebesar Q1 menguntungkan produsen, dimana surplus produsen sebesar c + d + e + f + i + g + h sehingga keuntungan produsen menjadi c + d + e + f, dari selisih surplus produsen pada kondisi harga stabilisasi (daerah c + d + e + f + I + g + h) dengan kondisi panen berhasil (daerah g + h + i). Sebaliknya, konsumen dirugikan sebesar daerah c + d
116
+ e, yang diperoleh dari selisih surplus konsumen kondisi panen berhasil (a + b + c + d + e + j) dengan kondisi harga stabil (a + b + j). Apabila dibandingkan antara kondisi panen gagal dengan kondisi panen berhasil, diperoleh kesimpulan antara lain (1) penerimaan pemerintah dalam kondisi panen gagal, sebesar daerah d + g sama dengan pengeluaran pemerintah membeli gabah ketika panen berhasil, yaitu daerah e + f + h, (2) konsumen rugi sebesar daerah d, karena c + e sama dengan a + b, (3) produsen untung sebesar daerah d + e + f. Dengan menjumlahkan kerugian konsumen dengan keuntungan produsen, maka kesejahteraan bersih sebesar daerah e + f. Stabilisasi harga belum mencerminkan stabilisasi pendapatan, karena tergantung dari penawaran dan permintaan gabah, juga seberapa besar produk dijual produsen ke pasar. Pada kenyataannya, harga pembelian pemerintah dalam kondisi panen berhasil tidak selalu berada di Pe, karena persyaratan kualitas gabah yang harus dipenuhi oleh petani. Apabila persyaratan kualitas gabah dipenuhi, seperti kadar air dan kadar kotoran untuk Gabah Kering Panen maka harga beli pemerintah pada harga Pe. Pemerintah melalui Bulog membeli Gabah Kering Petani sesuai dengan Harga Pembelian Pemerintah jika kadar airnya maksimal 25 persen. Pemerintah melalui Inpres tentang Kebijakan Perberasan
telah
menetapkan instrument kebijakan pada kondisi panen gagal. Instrumen kebijakan tersebut antara lain penyaluran cadangan beras pemerintah dan melakukan impor beras. Pada kondisi panen gagal, produksi gabah/beras dalam negeri berkurang sehingga harga naik sehingga stabilisasi harga beras terganggu. Salah satu fungsi
117
penyaluran cadangan beras pemerintah untuk menstabilisasi harga beras di pasar melalui kegiatan operasi pasar murni. 3.1.8.5 Dampak Penerapan Teknologi terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Gambar 18 menunjukkan kurva penawaran dan permintaan masing-masing S0 dan D, sedangkan harga dan jumlah keseimbangan pada po dan qo. Sebelum penerapan teknologi, surplus konsumen adalah a sedangkan surplus produsen daerah b + e. Penerapan teknologi baru akan menggeser kurva penawaran ke S1, sehingga harga keseimbangan turun ke po sedangkan jumlah output meningkat menjadi q1.
p
S0 S1 a
p0 b p1
e
c d f
h
g
D q0
q1
q
Sumber: Ellis, F (1992) Gambar 18. Kesediaan Membayar Produsen dan Konsumen Dampak
penerapan
teknologi
baru
terhadap
kesejahteraan
menyebabkan surplus konsumen meningkat dari daerah a menjadi a + b + c + d dengan keuntungan sebesar b + c + d. Jika kurva permintaan merupakan
118
permintaan turunan dari industri yang memaksimalkan keuntungan, maka daerah b + c + d merupakan kesediaan membayar dari industri. Surplus produsen sebelum inovasi teknologi adalah daerah b + e dan e + f + g setelah inovasi, sehingga keuntungan industri adalah daerah f + g - b. Penerimaan kotor produsen pada qo adalah po x qo yaitu daerah b + c + e + f, sedangkan surplus produsen adalah penerimaan kotor (b + c + e + f ) dikurangi dengan jumlah biaya variabel (c + f) yaitu b + e. Jika produsen memutuskan menghasilkan output di qo dan menjual harga di po, pada kondisi penerapan teknologi baru, maka keuntungan produsen meningkat sebesar c + f. Tambahan keuntungan tersebut karena pergeseran kurva penawaran ke kanan menyebabkan biaya marginal berkurang, sehingga jumlah biaya variabel untuk menghasilkan qo berkurang. Jika produsen lebih mempertimbangkan peningkatan produksi yang memaksimalkan keuntungan tetapi kurang mempertimbangkan penyesuaian harga produk, maka keuntungan produsen meningkat sebesar c + d + f + g + h, tetapi diikuti dengan harga produk turun. Oleh karena itu, tingkat keuntungan produsen tidak selalu sama dengan c + d + f + g + h, karena harga output di pasar berada di p1. Dampak kesejahteraan seharusnya ditentukan pada kondisi harga dan kuantitas keseimbangan. Pergeseran kurva penawaran ke kanan menjadi S1 menyebabkan biaya marginal turun, disisi lain output bertambah menjadi q1. Penambahan output q menyebabkan permintaan input naik. Penerapan teknologi yang sifatnya kapital intensif menyebabkan permintaan tenaga kerja turun sehingga pengangguran bertambah, juga diikuti dengan upah buruh yang rendah. Dengan demikian,
119
kesejahteraan pekerja/buruh tani yang menurun berdampak terhadap kesejahteraan sektor lainnya. Dengan asumsi harga di pasar lainnya tidak dipengaruhi oleh suku bunga, masing-masing produsen tidak dapat mempengaruhi harga pasar, dan permintaan memiliki elastisitas harga silang yang kecil, maka dampak perubahan teknologi terhadap
kesejahteraan bersih dapat dihitung, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 18. Keuntungan bersih produsen dan konsumen dengan adanya perubahan teknologi adalah daerah c + d + f + g, yang menggambarkan perubahan daerah diatas kurva penawaran dan dibawah kurva permintaan, dimana semua produsen dan konsumen bersedia membayar. Perubahan teknologi menghasilkan surplus ekonomi yang positif yang dapat didistribusikan untuk mencapai Pareto Optimum. Pada kondisi Pareto Optimum kompensasi diberikan kepada pihak yang dirugikan. Jika daerah b > f + g, maka produsen dirugikan sedangkan konsumen diuntungkan. Seharusnya kriteria untuk melakukan perubahan (perubahan teknologi) yaitu baik produsen dan konsumen diuntungkan, atau setidaknya konsumen yang diuntungkan memberikan kompensasi kepada produsen. Sebagai contoh, jika produsen minus 10 dan konsumen untung 20, maka tanpa kompensasi perubahan tersebut tidak dibenarkan kecuali beban produsen tidak lebih dua kali dari beban konsumen. 3.1.8.6 Dampak Harga Maksimum, Harga Dasar dan Dukungan Harga Terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Dalam Gambar 19, kurva permintaan dan kurva penawaran yaitu D dan S. Pada keseimbangan pasar, harga dan jumlah keseimbangan adalah po dan qo. Pada harga maksimum p1, produsen bersedia menawarkan q1 daripada qo sehingga
120
surplus produsen hilang sebesar d + e. Pada harga p1 konsumen bersedia membeli jumlah output pada q4, tetapi jumlah yang diproduksi adalah q1 sehingga jumlah output dikonsumsi terbatas. Dengan asumsi efisiensi (pasar bersedia membeli pada jumlah yang diproduksi), pengaruh surplus konsumen setara dengan harga naik ke p2, konsumen membayar (p2 – p1) q1. Dengan demikian, perubahan surplus konsumen sebesar daerah d – b. Dampak bersih produsen ditambah konsumen akan kehilangan sebesar b + e. Jika S dan D adalah kurva penawaran kompensasi dan kurva permintaan, yang mewakili konsumen/yang menawarkan sumberdaya, yang merupakan ukuran nyata dari Compensating Variations (CV) atau Equivalent Variations (EV). Compensating Variations adalah sejumlah uang yang dapat diambil dari produsen setelah adanya perubahan sehingga kesejahteraannya sama dengan sebelum adanya perubahan, sedangkan Equivalent Variations
adalah berapa
banyak uang perlu diberikan kepada produsen jika tidak terjadi perubahan agar kesejahteraan sama dengan jika terjadi perubahan. Perubahan yang dimaksud karena adanya campur tangan pemerintah melalui kebijakan harga maksimum, harga dasar, dukungan harga, pajak atau subsidi. Dengan demikian, skema kompensasi harus ada sehingga setiap orang lebih baik tanpa harga maksimum. Sebagai contoh, produsen yang kehilangan daerah d + e dapat hanya membayar daerah d ke konsumen dan konsumen memperoleh keuntungan daerah d tanpa menyerahkan derah b. Harga maksimum akan diberlakukan jika ada kelompok yang menerima keuntungan. Gambar 19 menunjukkan bahwa harga maksimum membantu konsumen jika daerah d > b.
121
Gambar 19 menunjukkan bahwa harga maksimum menyebabkan terjadi kekurangan jumlah output sebesar q4-q1 sehingga setiap individu tidak mungkin mengkonsumsi sebanyak yang diinginkan pada tingkat harga yang baru dan sebagian konsumen tidak memperoleh keuntungan pada tingkat harga yang lebih rendah.
p S p2 p3
a d
b e
p1
c
g f D
h
q1
q0 q3
q4
q
Just, et al. (1982) Gambar 19. Dampak Harga Maksimum, Harga Dasar dan Dukungan Harga Terhadap Kesejahteraan Jika harga dasar pada Gambar 19 adalah p2 maka konsumen hanya mampu membeli q1. Konsumen kehilangan daerah a + b, sementara keuntungan produsen daerah a – e. Kehilangan bersih karena harga dasar adalah daerah b + c. Dengan kompensasi setiap orang lebih baik tanpa harga dasar dibandingkan dengan harga maksimum. Melalui transfer lump-sum sebesar daerah a dari konsumen ke produsen pada harga dan jumlah keseimbangan po dan qo, produsen akan lebih baik pada daerah e dan konsumen akan lebih baik pada daerah b pada harga dasar.
122
Kadang harga dasar atau harga yang dikendalikan
oleh pemerintah
menimbulkan adanya halangan memasuki akses ke pasar. Tindakan pemerintah tersebut menimbulkan perbedaan dalam penawaran dan permintaan terhadap output. Asumsikan harga p2 pada Gambar 19 menunjukkan dukungan harga oleh pemerintah. Pemerintah menetapkan harga p2 dengan membeli jumlah output sebesar q3 – q1, yang membentuk perbedaan penawaran dan permintaan terhadap harga. Dampak dukungan harga terhadap
kesejahteraan adalah konsumen
kehilangan daerah a + b sedangkan keuntungan produsen menjadi a + b + c. Keuntungan produsen dan konsumen secara bersama-sama adalah daerah c pada keseimbangan pasar. Pemerintah mengeluarkan biaya untuk menutupi keuntungan tersebut dengan mengeluarkan anggaran sebesar p2 (q3 –q1) atau daerah b + c + e + f + g + h. Pengeluaran ini dibiayai oleh pembayar pajak dan menyebabkan kerugian bersih ketiga kelompok secara bersama-sama menjadi b + e + f + g + h. Jumlah output tersebut dibeli oleh pemerintah dan dapat dijual kembali ke pasar internasional atau disimpan untuk menutupi keku rangan. Dukungan harga berlaku dalam bidang ekonomi pertanian (dalam konteks Indonesia dukungan harga untuk gabah). Pada musim panen raya terjadi ekses penawaran, yang mendorong harga gabah turun, sehingga pendapatan produsen turun. Dukungan harga dibentuk untuk melindungi petani dari pendapatan yang tidak memadai karena sifat alami dari harga pertanian yang tidak stabil. Dari Gambar 19, transfer lump-sum sebesar daerah a dari konsumen ke produsen dan b + c dari pembayar pajak ke produsen menyebabkan keuntungan produsen lebih
123
besar, dengan kerugian konsumen lebih kecil dan pengeluaran yang kecil oleh pembayar pajak. 3.1.8.7 Dampak Pajak Ad Valorem dan Subsidi Terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Pajak ad valorem adalah pajak yang dibayar per unit dari jumlah output, seperti pajak penjualan. Jika p adalah harga yang dikenakan pada produsen dan t adalah pajak ad valorem, maka pajak yang harus dibayar oleh konsumen untuk setiap unit barang yang dibeli adalah p + t. Dengan demikian efek pajak adalah menurunkan kurva permintaan efektif sehingga kurva permintaan menjadi D1. Harga keseimbangan po dan jumlah keseimbangan qo berubah menjadi keseimbangan baru yaitu harga keseimbangan p1 dan jumlah keseimbangan p1. Jarak harga p2 – p1 adalah sama dengan t sehingga p2 mewakili harga konsumen efektif. Dampak pajak terhadap kesejahteraan yaitu produsen kehilangan daerah d + e dan konsumen kehilangan a + b. Baik produsen dan konsumen kehilangan dari drive pajak karena perpotongan penawaran dan permintaan. Pemerintah memperoleh keuntungan dari pajak sebesar (p2 - p1) . q1 atau sebesar daerah a + d. Dampak kerugian yang diakibatkan oleh pajak disebut dengan deadweight loss yaitu daerah b + c. Pajak memiliki dampak distorsi sebab produsen didorong untuk menyesesuaikan dengan harga marginal yang berbeda dibandingkan dengan yang dialami oleh konsumen. Kemungkinan kondisi yang lebih baik yaitu memberlakukan pajak lump-sum kepada produsen dan konsumen masing-masing daerah d dan e, sehingga harga marginal tidak efektif. Dengan cara ini, harga
124
keseimbangan pada po dan jumlah keseimbangan qo masih tetap dapat dipertahankan, sehingga daerah b + e tidak perlu hilang. Kasus subsidi mirip dengan pajak ad valorem tetapi dengan arah yang berbeda. Apabila pemerintah ingin mendorong produksi
beberapa komoditas
(gabah), maka pemerintah melakukan tindakan subsidi. Misalkan subsidi, dinotasikan dengan s, yang dibayar kepada kas publik sebesar per unit output. Gambar 20 menunjukkan subsidi secara efektif akan menggeser kurva permintaan ke kanan menjadi Do, sehingga terjadi keseimbangan baru pada harga keseimbangan p2 dan jumlah keseimbangan q2. Dengan subsidi, harga produsen yang efektif pada p2 menyebabkan keuntungan produsen menjadi a + b + c, sedangkan keuntungan
konsumen adalah d + e + f. Jumlah subsidi yang
dibayarkan oleh pemerintah (p2 - p1). q2 yang mewakili kerugian sebesar a + b + c + d + e + f kepada pembayar pajak. Subsidi menyebabkan kesejahteraan bersih hilang sebesar daerah g.
p s t p2 p0 P1
S a d
b e
c
g
D0
f
D' q1
q0
q2
D q
Just, et al. (1982) Gambar 20. Dampak Pajak dan Subsidi Terhadap Kesejahteraan
125
Tanpa pertimbangan lain (ketahanan pangan melalui peningkatan produksi gabah), pendekatan yang lebih baik dalam membantu konsumen adalah mentransfer lump-sum sebesar a + b + c dari pembayar pajak ke produsen. Konsumen juga dapat lebih sejahtera tanpa subsidi
dengan cara melakukan
transfer lump-sum d + e + f dari pembayar pajak ke konsumen. Dengan demikian, pembayar pajak memperoleh daerah g, sementara produsen dan konsumen keadaannya lebih baik dengan subsidi. Disisi lain, jika faktor ketahanan pangan dengan peningkatan produksi gabah penting, maka analisis kesejahteraan ekonomi dapat memberikan informasi kepada pembuat kebijakan tentang biaya biaya yang diperlukan untuk mencapai peningkatan ketahanan pangan tersebut.
3.1.8.6 Dampak Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Ekonomi Kesejahteraan
Harga Pembelian Pemerintah terhadap harga gabah dan beras yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Inpres No 2 Tahun 2005, maka penetapan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) menurut keputusan Inpres No. 9 tahun 2001 tanggal 31 Desember 2001 tidak berlaku lagi. Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dikeluarkan oleh pemerintah dikarenakan sudah tidak mungkin lagi melaksanakan kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG). Pelaksanaan HDG tidak dimungkinkan lagi karena anggaran pemerintah yang terbatas. karena tidak mungkin setiap terjadi kelebihan penawaran beras harus dibeli oleh pemerintah. Kebijakan HPP dimaksudkan agar pemerintah dapat merencanakan anggaran untuk pembelian beras dengan pasti. Dampak kebijakan
126
harga pembelian pemerintah terhadap surplus konsumen dan surplus produsen dapat dilihat pada Gambar 21. Apabila dilakukan
suatu
kebijakan dengan mengadakan
subsidi
positif terhadap output (harga pembelian pemerintah terhadap gabah), maka harga output akan menjadi lebih tinggi dan kurva permintaan akan bergeser ke sebelah kanan. Jika diasumsikan tidak ada perdagangan luar negeri, maka pada keadaan awal (Po dan Qo), maka surplus konsumen adalah sebesar PoCB dan surplus produsen sebesar PoCA.
Just, et al. (1982) Gambar 21. Dampak Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Surplus Konsumen dan Produsen Implikasi kebijakan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen atau Gabah Kering Giling dilakukan maka kurva permintaan akan bergeser ke sebelah kanan karena pemerintah membeli kelebihan penawaran sebesar stok yang telah ditetapkan yaitu sebesar delapan persen (Q2-Q1), hal ini dilakukan untuk melindungi produsen dari kerugian. Maka surplus konsumen menjadi PtFD
127
dan surplus produsen menjadi PtFA. Kebijakan ini akan menyebabkan produksi meningkat sebesar Q2 sedangkan jumlah yang diminta oleh konsumen sebesar Q1. Pengeluaran pemerintah akibat diberlakukannya kebijakan harga pembelian pemerintah sebesar Q1EFQ2. Surplus konsumen mengalami penurunan sebesar PoCEPt dan surplus produsen mengalami peningkatan sebesar P0CFPt. 3.2 Kerangka Berpikir Penelitian
Gambar 22 menunjukkan hubungan antara instrumen kebijakan dengan tujuan kebijakan perberasan, disisi lain instrumen kebijakan akan menciptakan efek samping. Implementasi kebijakan perberasan diperhadapkan dengan kendala, baik yang dapat dikendalikan maupun yang tidak dapat dikendalikan. Keempat variabel endogenous baik ketahanan pangan, stabilisasi ekonomi, ekonomi pedesaan dan pendapatan petani saling terkait. Tujuan kebijakan seperti peningkatan produktifitas padi, kualitas padi dan produksi beras akan meningkatkan ketahanan pangan. Tujuan kebijakan perberasan untuk meningkatkan pendapatan petani akan tercapai melalui peningkatan produktifitas didukung kualitas padi/gabah yang baik. Model ekonometrik kebijakan perberasan dibangun berdasarkan teori kuantitatif kebijakan ekonomi Timbergen, sehingga yang termasuk sebagai variabel endogen yaitu tujuan kebijakan dan efek samping, sedangkan instrumen kebijakan, kendala yang dapat dikendalikan tidak dapat dikendalikan bagian variabel eksogen. Merujuk Ellis (1992), di dalam analisis kebijakan ekonomi kemungkinan terjadi instrumen kebijakan berubah menjadi variabel endogen. Inpres tentang kebijakan perberasan, kedudukan impor beras dalam model ekonometrika bisa sebagai variabel eksogen dan endogen.
128
129
Impor beras sebagai instrumen kebijakan apabila produksi gabah/beras dalam negeri tidak dapat memenuhi permintaan pangan/beras, atau dalam rangka menjaga kepentingan petani dan konsumen. Kondisi demikian menempatkan impor beras sebagai variabel eksogen. Sebaliknya efek samping
instrumen
kebijakan perberasan menyebabkan produktitas padi/gabah naik sehingga produksi beras juga naik, dengan demikian mengurangi impor beras. Kondisi demikian menyebabkan impor beras dimasukkan sebagai varibel endogen. Stiglizt (2000) menyebutkan konsekwensi kebijakan pemerintah sering sangat sulit untuk diprediksi dengan akurat, dan meskipun suatu kebijakan sudah diimplementasikan, sering terjadi kontraversi karena dampak kebijakan pemerintah tersebut. Terkait pernyataan tersebut, dalam konteks kebijakan perberasan sering terjadi kontraversi terhadap kebijakan yang sudah dilaksanakan: (1) apakah perlu tidak melakukan impor beras jika produksi beras dalam negeri naik, (2) siapa yang diuntungkan dengan kebijakan perberasan, apakah produsen atau konsumen perberasan, dan (3) apakah petani perlu disubsidi atau tidak. Gambar 22 dikembangkan dari kebijakan perberasan yang terdapat dalam Inpres, tetapi kesejahteraan sosial sebagai tujuan kebijakan tidak secara eksplisit dinyatakan. Myles (1995) menyebutkan bahwa suatu kebijakan optimal adalah kebijakan yang fisibel yang menghasilkan tingkat kesejahteraan tertinggi. Oleh karena itu, Gambar 23 dikembangkan menjadi kerangka konseptual kebijakan perberasan untuk melengkapi Gambar 22. Pada gambar 22 tersebut ditunjukkan keterkaitan tujuan kebijakan, efek samping, kendala dan instrumen kebijakan. Kendala yang tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah yaitu harga pangan dunia dan perubahan iklim.
130
131
Efektifitas kebijakan perberasan apabila tujuan kebijakan seperti peningkatan pendapatan, peningkatan ketahanan pangan dan stabilisasi ekonomi tercapai. Gambar 23 menunjukkan indikator yang berhubungan dengan peningkatan pendapatan antara lain: (1) luas areal panen, (2) produktifitas, (3) produksi padi, (4) harga pupuk bersubsidi, (5) kadar air gabah, (6) nilai tukar petani padi, (7) harga gabah kering panen, (8) indeks harga diterima petani padi dan (9) indeks harga dibayar petani padi. Indikator yang berhubungan dengan peningkatan ketahanan pangan antara lain: (1) produksi beras, (2) tersedianya benih, (3) persediaan beras masyarakat, (4) persediaan beras Bulog, (5) persediaan akhir beras di Bulog, (6) persediaan akhir beras pemerintah, (8) surplus beras, dan (9) persediaan beras domestik. Sedangkan indikator stabilisasi ekonomi terdiri dari (1) harga beras di pengecer, (2) penyaluran beras Bulog, (3) penyaluran beras pemerintah, (4) penyaluran beras Raskin, (5) harga impor beras, dan (6) harga beras pembelian Pemerintah dari Bulog. Instrumen kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah terdiri dari kebijakan sarana produksi pertanian (saprodi) terdiri dari HET pupuk bersubsidi, kebutuhan pupuk bersubsidi, realisasi penyaluran pupuk bersubsidi. Kebijakan lainnya yaitu kebijakan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen, harga beras pembelian pemerintah dari Bulog, pengadaan beras oleh Bulog, dan jumlah rumah tangga penerima raskin. Efektifitas kebijakan pemerintah diukur dari tercapainya tujuan kebijakan dalam Gambar 23 diatas, dengan kata lain kebijakan pemerintah efektif apabila tujuan tercapai. Disamping itu, kebijakan pemerintah perlu dianalisis terhadap
132
kesejahteraan masyarakat, yang diukur dari besarnya surplus produsen dan konsumen. Besarnya surplus produsen dan konsumen memberikan informasi tentang siapa dan berapa besar manfaat dari suatu kebijakan, khususnya kebijakan perberasan. Instrumen kebijakan perberasan merupakan variabel eksogen yang mempengaruhi variabel endogen, disisi lain, side effects merupakan variabel endogen.
3.3 Hipotesis
Hipotesis penelitian yaitu: 1. Implementasi kebijakan perberasan seperti bantuan benih langsung, pupuk bersubsidi, perbaikan jaringan irigasi, harga pembelian pemerintah efektif pada tingkat petani. 2. Kebijakan perberasan efektif terhadap peningkatan pendapatan petani, ketahanan pangan dan stabilisasi ekonomi. 3. Kebijakan konsumen.
perberasan
meningkatkan
kesejahteraan
produsen
dan
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data terdiri dari data time series dan cross section. Data time series dari bulan Maret 2005- September 2009, sejak diberlakukannya Inpres No 2 tahun 2005 sampai dikeluarkannya Inpres No 8 Tahun 2008 yang diberlakukan pada Tanggal 1 Januari 2009. Sumber data time series yaitu Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian,
Perum Bulog, Departemen Perdagangan, Departemen
Keuangan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geologi (BMKG), dan lembaga lain yang mensuplai data perberasan nasional. Data cross section diperoleh dengan melaksanakan survey di tingkat Kelompok Tani. Semua data harga yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data riil. Data harga dideflasi dengan indeks harga konsumen dengan bulan dasar yaitu Juni 2008 dengan tujuan menghilangkan pengaruh inflasi. 4.2 Lokasi Penelitian Penentuan lokasi penelitian dengan purposive sampling, yaitu sentra produksi padi di Indonesia. Tabel 15 menunjukkan delapan sentra produksi padi dengan produksi melebihi 2 juta ton per tahun. Pulau Jawa merupakan lumbung beras di Indonesia, dengan produksi padi mencapai 9-10 juta ton setiap tahunnya yaitu Jawa Tinur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Provinsi Sumatera Utara merupakan penghasil padi terbesar di pulau Jawa setelah provinsi Sulawesi Selatan, dengan produksi mencapai 3 274 061 ton, dengan peringkat 5 dari provinsi yang menjadi sentra padi di Indonesia. Tabel 16 menunjukkan kabupaten yang menjadi sentra produksi di Sumatera Utara, berdasarkan luas panen padi sawah. Kabupaten Serdang Bedagai menempati
134
peringkat ke tiga dalam luas panen di provinsi Sumatera Utara, tetapi produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya, yaitu 46.09 kwintal per ha. Tabel 15. Daerah Sentra Produksi Padi di Indonesia tahun 2008 No Propinsi 1 Jawa Timur 2 Jawa Barat 3 Jawa Tengah 4 Sulawesi Selatan 5 Sumatera Utara 6 Sumatera Selatan 7 Lampung 8 Sumatera Barat Sumber: BPS, ( 2008a), R: Ranking
Produksi Padi per Tahun 10 357 203 10 077 625 9 066 180 3 874 266 3 274 061 2 883 991 2 341 418 2 017 582
(ton) R 1 2 3 4 5 6 7 8
Lokasi penelitian pada tingkat kecamatan yaitu kecamatan yang memiliki luas panen padi sawah terbesar. Tabel 17 menunjukkan kecamatan sentra produksi pada masing-masing kabupaten, dimana kecamatan Sei Rampah memiliki luas panen sawah terbesar dibandingkan kecamatan lainnya di provinsi Sumatera Utara. Luas panen di kecamatan Sei Rampah 17 238 ha dengan produksi padi mencapai 84 766 ha. Tabel 16. Sentra Produksi Padi di Propinsi Sumatera Utara Tahun 2008 No
Kabupaten
Luas Panen
Produksi
(ha) 73 928
(ton) 339 669
Rata-rata Produksi (kw/ha) 45.95
1
Simalungun
2
Langkat
73 042
318 207
43.56
3
Serdang Bedagai
72 618
334 675
46.09
4
Deli Serdang
71 732
329 291
45.91
5
Tapanuli Selatan
67 942
306 182
45.07
6
Labuhan Batu
62 374
269 947
43.28
Sumber: BPS, (2008b).
135
Tabel 17. Sentra Produksi Padi Kecamatan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008 No
Kecamatan
(ha) 73 928 9 959 9 260 7 143 6 127 5 816
(ton) 339 669 56 310 52 422 40 108 34 702 32 084
Rata-rata Produksi (kw/ha) 45.95 56.54 56.61 56.15 56.64 55.17
Kabupaten Langkat 2.1 Kecamatan Secanggang 2.2 Kecamatan Gebang 2.3 Kecamatan Tanjung Pura 2.4 Kecamatan Babalan 2.5 Kecamatan Sei Bingei
73 042 11 135 7 910 7 225 6 168 5 839
318 207 58 055 42 430 35 150 33 805 37 160
43.56 52.10 53.60 48.70 54.80 63.60
3
Kabupaten Serdang Bedagai 3.1 Kecamatan Sei Rampah 3.2 Kecamatan Perbauangan 3.3 Kecamatan Tebing Tinggi 3.4 Kecamatan Dolok Masihul 3.5 Kecamatan Pantai Cermin
72 618 17 238 13 839 10 041 8 916 6 650
334 675 84 766 62 826 49 218 43 098 32 875
46.09 49.17 45.40 49.01 49.33 49.43
4
Kabupaten Deli Serdang*
71 732
329 291
45.91
5
Kabupaten Tapanuli Selatan 5.1 Kecamatan Batang Angkola 5.2 Kecamatan Angkola Timur 5.3 Kecamatan Angkola Barat 5.4 Kecamatan Batang Toru 5.5 Kecamatan Sayurmatinggi
67 942 6 290 5 106 4 240 4 121 3 834
306 182 30 525 25 995 20 967 20 675 19 599
45.07 48.53 50.91 49.45 50.17 51.12
6
Kabupaten Labuhan Batu 6.1 Kecamatan Kualuh Hilir 6.2 Kecamatan Panai Hilir 6.3 Kecamatan Kualuh Leidong 6.4 Kecamatan Panai Tengah 6.5 Kecamatan Kualuh Selatan
62 374 17 064 9 303 8 192 5 288 4 477
269 947 78 238 42 238 37 421 24 256 20 666
43.28 45.85 45.78 45.68 45.87 46.16
1
Kabupaten Simalungun 1.1 Kecamatan Tanah Jawa 1.2 Kecamatan Hutabayu Raja 1.3 Kecamatan Pematang Bandar 1.4 Kecamatan Hatondukan 1.5 Kecamatan Jorlang Hataran
2
Luas Panen
Produksi
Sumber: BPS (2008 c), BPS (2008 d), BPS ( 2008 e), BPS (2008 f) dan BPS (2008 g). Keterangan: * Dalam Deli Serdang dalam Angka 2008 tidak ada Data per Kecamatan
136
Kecamatan Sei Rampah mempunyai enam desa sentra produksi padi, dengan 59 kelompok tani. Responden penelitian yaitu pengurus kelompok tani dengan jumlah 30 orang ( 50 persen dari jumlah kontak tani). Metode penentuan sampel ditentukan dengan purposive sampling, seperti yang ditunjukkan Tabel 18, dimana desa dengan jumlah kelompok tani yang lebih besar, jumlah sampel kontak taninya lebih besar. Pemilihan Kontak tani sebagai sampel karena memiliki ketrampilan, pengetahuan dan pengalaman diatas rata-rata dari anggota kelompok tani lainnya. Jumlah kelompok tani antara desa Pematang Ganjang dan Sei Rejo masing-masing 16 kelompok tani, tetapi jumlah sampel berbeda. Jumlah sampel di desa Pematang Ganjang lebih banyak dari Sei Rejo, dengan pertimbangan kehadiran kontak tani merespon undangan PPL untuk kegiatan penelitian yang dilakukan. Tabel 18. Metode Penentuan Sampel Penelitian di Kecamatan Sei Rampah Tahun 2009 No
Nama Desa Sentra Padi
1 2 3
Pematang Ganjang Sei Rejo Pematang Pelimpahan Sei Rampah Silau Rakyat Sungai Parit Jumlah
4 5 6
Jumlah Kelompok Tani 16 16 8
Jumlah Kontak Tani 16 16 8
Jumlah Sampel Kontak tani 9 7 4
7 5 7 59
7 5 7 59
3 4 3 30
Ket
2*
3* 5
Sumber: Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kecamatan Sei Rampah (Diolah). Keterangan :* Lima Kontak Tani berhalangan sehingga diwakili oleh Sekretaris Kelompok Tani
Penelitian dilakukan sekitar bulan Mei-Juli 2009, pada dua musim tanam yaitu Musim Kering (MK) 2008 dan Musim Hujan (MK) 2008. Sebelum melakukan survey kepada Kontak Tani, terlebih dahulu dilakukan pra survey, melalui kunjungan langsung ke daerah penelitian, diskusi dengan dinas pertanian,
137
dan PPL. Responden diberi kesempatan menjawab setiap pertanyaan dalam lembar questioner. Peneliti dibantu PPL untuk memberikan penjelasan apabila ada pertanyaan yang kurang dimengerti oleh kontak tani. Disamping Kontak Tani, kepada PPL juga diberikan pertanyaan tertulis tentang kebijakan perberasan. 4.3 Spesifikasi Model Pada bagian ini dirumuskan persamaan-persamaan yang spesifik dari peubah-peubah penjelas (explanatory variabel) yang digunakan dalam model kebijakan perberasan. Persamaan struktural yang terkait peningkatan produktivitas dan produksi padi yaitu areal panen padi dan produktivitas padi, harga pupuk NPK, sedangkan produksi padi menjadi persamaan identitas. Persamaan struktural yang terkait peningkatan kualitas hasil yaitu kadar air gabah kering panen. Persamaan struktural terkait peningkatan ketahanan pangan, yaitu penyaluran beras Bulog, penyaluran beras raskin, penyaluran beras pemerintah, dan jumlah impor beras, sedangkan persamaan identitas terdiri dari jumlah ketersediaan beras domestik, jumlah beras untuk benih dan susut, persediaan akhir beras Bulog, persediaan akhir beras pemerintah dan surplus beras. Persamaan struktural terkait dengan tujuan kebijakan stabilisasi ekonomi yaitu persamaan harga beras di pengecer, sedangkan persamaan nilai tukar petani padi dan penerimaan petani untuk tujuan kebijakan peningkatan pendapatan petani. Hubungan persamaan sruktural digambarkan melalui Gambar 24. Pada Gambar 24 ditunjukkan hubungan variabel eksogen dengan variabel endogen. Jumlah variabel endogen 26 dengan 12 lag variabel endogen. Kotak empat persegi panjang adalah variabel endogen, kotak bentuk trapesium variabel eksogen, sedangkan lingkaran bentuk oval adalah lag variabel endogen.
138
139
4.3. 1 Luas Areal Panen Instrumen kebijakan perberasan seperti: (1) mendorong dan memfasilitasi penggunaan pupuk berimbang dalam usahatani padi, (2) memfasilitasi pengurangan penurunan luas lahan irigasi teknis, (3) memfasilitasi rehabilitasi lahan dan penghijauan daerah tangkapan air dan rehabilitasi jaringan irigasi utama, dan (4) dukungan kebijakan harga pembelian pemerintah terhadap gabah dan beras diharapkan akan mendorong peningkatan luas areal panen padi. Kenaikan luas areal panen menyebabkan produktifitas dan produksi padi naik, sehingga tujuan kebijakan perberasan tercapai. Dengan demikian luas areal panen padi dimasukkan sebagai variabel endogen. Instrumen kebijakan untuk mencapai tujuan kebijakan perberasan yang dimasukkan dalam persamaan areal panen padi yaitu harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen. Kendala yang dihadapi petani dalam meningkatkan luas areal panen padi antara lain curah hujan dan rata-rata hari hujan. Persamaan areal panen padi merupakan fungsi dari rasio harga Gabah Kering Panen (HGKP) dengan harga pupuk NPK (HPNP), harga jagung produsen, curah hujan rata-rata, nilai tukar petani padi dan luas areal panen bulan lalu. Persamaan struktural areal panen padi dirumuskan: LAPTt = a0 + a1 RGPNt + a2 HJRTRt + a3 CHITt + a4 NTPPt + a5 LAPT t-1 +u1 .... dimana:
LAPTt RGPNt CHITt NTPPt HJRTt
: : : : :
Luas Areal Panen (000 ha) Rasio HGKP dengan HPNP (Rp/Kg) Rata- rata Curah Hujan Indonesia (mm/bulan) Nilai Tukar Petani Padi Harga Jagung Tingkat Petani (Rp/kg)
LAPT t-1
:
Lag Luas Areal Panen (000 ha)
tanda dan besaran parameter yang diharapkan: a2 < 0 ; a1 , a3 , a4 > 0 dan 0 < a5 < 1
(91)
140
4.3.2 Produktivitas Padi Peningkatan produktivitas padi nasional merupakan tujuan kebijakan perberasan nasional. Instrumen kebijakan untuk meningkatkan produktivitas padi antara lain penggunaan benih padi unggul bersertifikat, penggunaan pupuk berimbang, dan pengurangan kehilangan pasca panen padi. Kendala yang dihadapi untuk mencapai tujuan kebijakan perberasan yaitu teknologi. Dampak teknologi diharapkan meningkatkan produktivitas padi. Persamaan struktural produktivitas padi merupakan fungsi harga pupuk bersubsidi NPK,
trend teknologi dan
produktivitas padi Indonesia bulan lalu. YPITt = bo+ b1 HPNPRt + b2 T + b3 YPIT t-1 + u2 ……………............... . (92) dimana : YPITt HPUTt HPNPt T YPIT t- 1
: Produktifitas Padi (ton/ha) : Harga Pupuk Urea Bersubsidi (Rp/Kg) : Harga Pupuk NPK Bersubsidi (Rp/Kg) : Trend Teknologi : Lag Produktifitas Padi ( ton/ha)
tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan: B2 > 0 ; b1 < 0 dan 0 < b3 < 1 4.3. 3 Produksi Padi Peningkatan produksi padi nasional merupakan tujuan kebijakan perberasan nasional, sehingga dimasukkan sebagai variabel endogen. Model penyesuaian Nerlove dalam Maulana (1998) diperoleh bahwa total produksi diperoleh dari perkalian antara luas areal dengan produktifitas. Peningkatan produksi padi nasional padi diharapkan meningkatkan ketahanan pangan nasional. Persamaan identitas produksi padi nasional QPIT = LAPT x YPIT .............................................................................................. (93) dimana :
141
QPIT LAPT YPIT
: Produksi Padi (000 ton) : Luas Areal Panen (000 ha) : Produktifitas Padi (ton/ha)
4.3.4 Produksi Beras Nasional Produksi beras merupakan tujuan kebijakan perberasan, karena itu dimasukkan sebagai variabel endogen. Produksi beras adalah perkalian antara produksi padi dengan suatu angka konversi k yang nilainya berkisar antara 0.600.65 (Hutauruk, 1996; Maulana, 1998; Sitepu, 2002; Hutauruk dan Sembiring, 2002; Ritonga, 2004; Sugiyono, 2005, Sembiring, 2007; Sembiring et al, 2008 dan Kusumaningrum, 2008). Persamaan identitas produksi beras nasional QBIT
: Fk x QPIT ............................................................................. (94)
Dimana :
QBIT Fk QPIT
: Produksi Beras (000 ton) : Angka Konversi 0.63 : Produksi Padi (000 ton)
4.3. 5 Beras untuk Benih/Susut Jumlah beras untuk benih, susut dan penggunaan lainnya diasumsikan merupakan suatu proporsi tertentu (Fp) dari jumlah produksi beras nasional. QBLD = Fp x QBIT ......................................................................... (95) dimana: QBIT QBLD Fp
: Produksi Beras (000 ton) : Beras untuk benih dan susut (000 ton) : Angka konversi sebesar 0.10
4.3. 6 Persediaan Beras Masyarakat Definisi ketahanan pangan menurut Undang-Undang No 7 tahun 1996 tentang Pangan pada Pasal 1 Ayat 17 disebutkan bahwa :’ ketahanan pangan
142
adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau’ (Undang- Undang No 7 Tahun 1996). Salah satu tujuan kebijakan perberasan dalam Inpres yang dikeluarkan pada periode waktu 2005-2009 yaitu meningkatkan ketahanan pangan. Pasal 46 huruf a UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, disebutkan dalam pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 (Ketahanan Pangan), pemerintah menyelenggarakan, membina dan atau mengkordinasikan segala upaya atau kegiatan untuk mewujudkan cadangan pangan nasional. Selanjutnya Pasal 47 ayat 1 disebutkan bahwa cadangan pangan nasional adalah cadangan pangan pemerintah dan masyarakat. Cadangan pangan pemerintah ditetapkan secara berkala dengan memperhitungkan tingkat kebutuhan nyata pangan masyarakat dan ketersediaan pangan, serta mengantisipasi terjadinya kekurangan pangan dan atau keadaan darurat. Penjelasan Pasal 47 ayat (1) huruf a disebutkan dengan Cadangan pangan pemerintah merupakan cadangan pangan yang dikelola atau dikuasai pemerintah. Pada huruf b yang dimaksud dengan cadangan pangan masyarakat adalah cadangan pangan yang dikelola atau dikuasai oleh masyarakat, termasuk petani, koperasi, pedagang, dan industri rumah tangga. Peraturan Pemerintah RI Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan pada pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan/atau sumber lain. Ayat 4, cadangan pangan nasional adalah persediaan pangan di seluruh wilayah untuk konsumsi manusia, bahan baku industri, dan untuk menghadapi keadaan darurat.
143
Ketahanan pangan tercermin pada ketersediaan pangan secara nyata, maka harus secara jelas dapat diketahui oleh masyarakat mengenai penyediaan pangan. Sumber penyediaan pangan berasal dari produksi dalam negeri, cadangan pangan dan pemasukan pangan. Pemasukan pangan dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan tidak mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Persediaan Beras Masyarakat dinyatakan dengan persamaan identitas residual hasil pengurangan dari produksi beras nasional dengan jumlah benih, susut dan penggunaan lainnya. QCBD = (QBIT – QBLD) ................................................................ (96) dimana: QCBD QBIT QBLD
: Persediaan Beras Masyarakat (000 ton) : Produksi Beras (000 ton) : Beras untuk benih dan susut (000 ton)
4.3.7 Jumlah Impor Beras Instrumen kebijakan perberasan dalam Instruksi Presiden menyebutkan (1) menetapkan kebijakan ekspor dan impor beras dalam rangka menjaga kepentingan petani dan konsumen, dan (2) impor beras dapat dilakukan jika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi cadangan beras pemerintah, dan/atau untuk menjaga stabilitas harga dalam negeri. Tirtosoediro (1968) menyebutkan bahwa ada kepentingan saling tarik menarik diantara kepentingan produsen dan konsumen, yaitu: (1) produsen beras menginginkan harga beras yang merangsang produksi, yang berarti tak mau ditekan, (2) konsumen beras, yang umumnya penduduk di kota, menginginkan harga beras yang rendah artinya sesuai dengan daya belinya, (3) produsen non
144
beras turut mengeluh, kalau harga beras naik, dan (4) seluruh masyarakat menghendaki harga beras yang stabil. Kendala yang dihadapi dalam melakukan impor beras dalam rangka menjaga kepentingan konsumen yaitu nilai tukar rupiah dan harga beras dunia. Persamaan impor beras merupakan fungsi dari harga beras dunia, surplus beras, nilai tukar rupiah, dan harga beras pengecer. Persamaan struktural jumlah impor beras dirumuskan: QMBTt = c0 + c1 HIBTRRt + c2 EXRTt + c3 HBRTRt + c4 SDBIt + u3 …………
(97)
dimana: QMBTt HIBTRRt SDBIt EXRTt HBRTRt
: Jumlah Impor Beras (000 Ton) : Harga Beras Dunia (Rp/Kg) : Surplus Beras (000 ton) : Nilai Tukar Rupiah terhadap US $ (Rp/US $) : Harga Beras Pengecer (Rp/Kg)
tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan: c1, c2 < 0; c3 > 0; dan c4≠ 0 4.3.8 Jumlah Pengadaan Beras oleh Bulog Jumlah pengadaan beras oleh Bulog merupakan fungsi dari harga gabah kering panen real, produksi beras, trend waktu dan jumlah pengadaan beras oleh Bulog bulan lalu. Persamaan struktural jumlah pengadaan beras oleh Bulog dirumuskan: QBBTt = d0 + d1 HGKPRt + d2 QBITt + d3 Tt + d4 QBBT t-1 + u4
dimana: QBBTt HGKPRt QBITt Tt
: Jumlah Pengadaan Beras Bulog (000 Ton) : Harga Gabah Kering Panen (Rp/Kg) : Produksi Beras (000 Ton) : Trend Waktu
………………………
(98)
145
QBBT t-1 : Lag Jumlah Pengadaan Beras oleh Bulog (000 Ton) tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan: d1 < 0 ; d2, d3 > 0; dan 0 < d4 < 1
4.3.9 Persediaan Beras Bulog Persediaan Beras Bulog merupakan persamaan identitas dari persediaan awal beras di Bulog ditambah pengadaan beras oleh Bulog dan jumlah impor beras oleh Bulog. Jumlah beras impor dimasukkan ke dalam Persediaan Beras Bulog karena Bulog melakukan impor beras: QCBB = STBW + QBBT + QMBT dimana: QCBB STBW QBBT QMBT
............................................. (99)
: Persediaan Beras Bulog (000 ton) : Persediaan Awal Beras Bulog (000 ton) : Jumlah Pengadaan Beras oleh Bulog (000 ton) : Jumlah Impor Beras (000 ton)
4.3.10 Persediaan Beras Domestik Persediaan Beras Domestik merupakan persamaan identitas dari persediaan beras di masyarakat ditambah persediaan beras Bulog dikurangi dengan jumlah pengadaan beras oleh Bulog. Mengingat pengadaan beras oleh Bulog diperoleh dari persediaan beras masyarakat, maka untuk menghilangkan pengaruh doublé accounting pada persamaan Persediaan Beras Domestik perlu dikurang dengan
jumlah pengadaan beras oleh Bulog. Persamaan identitas
Persediaan Beras Domestik yaitu: QCBN = QCBD + QCBB - QBBT dimana: QCBN QCBB QBBT
............................................. (100)
: Persediaan Beras Domestik (000 ton) : Persediaan Beras Bulog (000 ton) : Jumlah Pengadaan Beras Bulog (000 ton)
146
QCBD
: Persediaan Beras Masyarakat (000 ton)
4.3.11 Jumlah Permintaan Beras Persamaan jumlah permintaan beras merupakan fungsi dari harga beras di pengecer, penyaluran Raskin dan pendapatan per kapita. QDBTt = e0 + e1 HBRTRt + e2 RASTt + e3 INCRRt + u5 dimana: QDBTt HBRTRt RASTt INCRRt
……………………..
(101)
: Jumlah Permintaan Beras (000 Ton) : Harga Beras Pengecer (Rp/Kg) : Penyaluran Beras Raskin (000 Ton) : Pendapatan per Kapita (Rp Milyar/Kapita)
tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan: e3 > 0; dan e1, e2 < 0
4.3.12 Surplus/Defisit Beras Surplus atau defisit beras merupakan persamaan identitas dari persediaan beras domestik dikurangi dengan jumlah permintaan beras dan jumlah impor beras. SDBI = QCBN - QDBT - QMBT ................................................... (102) dimana: SDBI QCBN QDBT QMBT
: Surplus/Defisit Beras (000 ton) : Persediaan Beras Domestik (000 ton) : Jumlah Permintaan Beras (000 ton) : Jumlah Impor Beras (000 ton)
4.3.13 Penyaluran Beras oleh Bulog Diktum Instruksi Presiden tentang kebijakan perberasan menyebutkan bahwa pengelolaan Cadangan Beras pemerintah dilakukan oleh Perum Bulog. Dengan kata lain, penyediaan beras untuk kepentingan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat miskin, penanggulangan keadaan darurat, dan stabilisasi
147
harga beras dalam negeri dilaksanakan oleh Perum Bulog. Oleh karena itu Bulog melakukan pembelian gabah/beras sesuai dengan ketentuan dalam Instruksi Presiden. Jumlah Operasional Bulog didistribusikan kepada: (1) Operasi Pasar Khusus (OPK)/Raskin, (2) Golongan Anggaran ( TNI-Polri, PNS, Anggaran lain), dan (3) Golongan Non Anggaran ( Operasi Pasar Murni/OPM, Cadangan Beras Pemerintah, Lain- lain). Operasi Pasar Khusus (OPK) dimulai dari bulan Juli 1998 sampai bulan Desember 2001. Distribusi beras untuk kelompok masyarakat miskin dimulai bulan Januari 2002 sampai sekarang, sedangkan distribusi CBP dimulai bulan Januari 2005. Penyaluran beras oleh Bulog pemerintah fungsi dari penyaluran beras untuk Raskin, harga beras di pengecer dan persediaan akhir beras Bulog. Persamaan struktural penyaluran beras oleh Bulog dirumuskan sebagai berikut STOBt = f0 + f1 RASTt + f2 HBRTRt + f3 STBFt + u6 ................................. (103) dimana: STOBt RASTt HBRTRt STBFt
: Penyaluran Beras Bulog (000 ton) : Penyaluran Beras Raskin (000 ton) : Harga Beras Pengecer (Rp/Kg) : Persediaan Akhir Beras Bulog (000 ton)
tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan: f1, f2 > 0 ; dan f3 < 1
4.3.14 Persediaan Akhir Beras Bulog Persediaan Akhir
Beras Bulog merupakan persamaan identitas dari
cadangan beras di Bulog dikurangi dengan penyaluran beras oleh Bulog. STBF = QCBB - STOB
................................................................. (104)
148
dimana: STBF QCBB STOB
: Persediaan Akhir Beras Bulog (000 ton) : Persediaan Beras Bulog (000 ton) : Penyaluran Beras oleh Bulog (000 ton)
4.3.15 Penyaluran Beras Pemerintah Persamaan penyaluran beras pemerintah merupakan fungsi dari harga beras di pengecer, dummy variabel dan penyaluran beras pemerintah bulan lalu. DCBPt = g0 + g1 HBRTRt + g2 D + g3 DCBPt-1 + u7 ……………………… (105) dimana: DCBPt : Penyaluran Beras Pemerintah (000 Ton) HBRTRt : Harga Beras Pengecer (Rp/Kg) D
: Dummy; D=1 Operasi Pasar Murni (OPM) ; D=0 Tidak ada OPM
DCBPTt-1 : Lag Penyaluran Beras Pemerintah(000 Ton) tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan: o1 , o2 > 0 dan 0 < o3 < 1
4.3.16 Persediaan Akhir Beras Pemerintah Persediaan akhir beras pemerintah merupakan persamaan identitas dari persediaan beras pemerintah dikurangi dengan penyaluran beras pemerintah. STGF = QCBG - DCBP dimana: STGF QCBG DCBP
.............................................................
(106)
: Persediaan Akhir Beras Pemerintah (000 ton) : Persediaan Beras Pemerintah (000 ton) : Penyaluran Beras Pemerintah (000 ton)
4.3. 17 Penyaluran Beras Raskin Krisis ekonomi pada tahun 1998 menyebabkan jumlah penduduk miskin meningkat. Pemerintah mengeluarkan kebijakan perberasan baru dengan menyalurkan beras kepada masyarakat miskin. Periode sebelum krisis ekonomi,
149
penyaluran beras dilakukan kepada ABRI, pegawai negeri dan otonom, operasi pasar, PN/PNP dan penyaluran beras non anggaran. Diktum Intruksi Presiden tentang kebijakan perberasan menyebutkan: (1) menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan, dan (2) pengadaan beras untuk penyediaan dan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan dilakukan dengan mengutamakan pengadaan beras yang berasal dari gabah petani dalam negeri. Kendala yang dihadapi dalam penyaluran raskin yaitu jumlah rumah tangga penerima Raskin. Sawit (2002) menyebutkan tujuan program Raskin adalah menyampaikan energi dan protein melalui beras murah atau bersubsidi kepada keluarga rawan pangan. Tujuan program Raskin lebih jelas dan spesifik dibandingkan dengan Operasi Pasar Khusus (OPK). Keluarga rawan pangan tersebut dapat berasal dari keluarga miskin kronis (chronic poor) atau miskin baru (transient poor), baik mereka berada di kota atau di desa. Persamaan penyaluran beras untuk orang miskin merupakan fungsi dari jumlah rumah tangga penerima Raskin, jumlah penduduk miskin, jumlah pengadaan beras oleh Bulog, tingkat inflasi, penerimaan petani dan penyaluran Raskin bulan sebelumnya. Persamaan struktural jumlah penyaluran beras untuk orang miskin dirumuskan sebagai berikut: RASTt = ho + h1 RTRAt + j2 JPMTt + h3 INFTt + h4 QBBTt + h5 TRFTt + j6 RAST t-1+ u8
......................................................................................
dimana: RASTt RTRAt JPMTt
: Penyaluran Beras Raskin (000 ton) : Jumlah Rumah Tangga Penerima Raskin (000 RT) : Jumlah Penduduk Miskin (Juta Orang)
(107)
150
QBBTt INFTt TRFTt RAST t-1
: Jumlah Pengadaan Beras Bulog (000 Ton) : Tingkat Inflasi (%) : Penerimaan Petani (Rp 000 /ha) : Lag Penyaluran Beras Raskin (000 ton)
tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan: h1, h3, h4, > 0 ; 0 < h6 < 1; h2≠ 0 dan h5 < 0. 4.3.18 Harga Gabah Kering Panen Instrumen dalam kebijakan perberasan untuk meningkatkan pendapatan petani yaitu harga pembelian pemerintah terhadap gabah. Side effects karena kenaikan harga pembelian pemerintah menyebabkan harga gabah kering panen petani juga meningkat. Dengan demikian harga gabah kering panen dimasukkan sebagai variabel endogen. Kendala yang dihadapi untuk meningkatkan pendapatan petani yaitu kualitas gabah yang dihasilkan petani. Kualitas gabah diukur melalui kandungan air dan kadar hampa/kotoran gabah kering panen. Pada umumnya petani menjual gabah kering panen. Harga gabah kering panen merupakan fungsi harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen, kadar air gabah kering panen petani, produksi padi, dan harga gabah kering panen petani bulan yang lalu. Persamaan struktural harga gabah kering panen petani dirumuskan: HGKPRt = io + i1 HPGPRt + i2 KAGPt + i3 QPITt + i4 HGKPR t-1 + u9 .................. (108)
dimana: HGKPRt : HPGPRt : : KAGPt QPITt : HGKPR t-1 :
Harga Gabah Kering Panen (Rp/Kg) Harga Pembelian Pemerintah Gabah Kering Panen (Rp/Kg) Kadar Air Gabah Kering Panen (%) Produksi Padi (000 Ton) Lag Harga Gabah Kering Panen (Kg/ha)
tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan: i1 > 0 ; i2, i3 < 0 dan 0 < i4 < 1
151
4.3.19 Penerimaan Petani Penerimaan petani merupakan perkalian produktifitas dengan harga gabah kering panen. Studi yang dilakukan oleh Maulana, 1998; dan Kusumaningrum, 2008; memasukkan pendapatan petani srebagai persamaan identitas. Keterbatasan ketersediaan data tentang jumlah penggunaan input per bulan sehingga studi dibatasi dengan penerimaan petani. Persamaan identitas penerimaan petani yaitu: TRFT = YPIT*HGKPR dimana: TRFT YPIT HGKPR
.............................................................
(109)
: Penerimaan Petani (Rp 000/Ha) : Produktifitas (Ton/Ha) : Harga Gabah Kering Panen (Rp/Kg)
4.3.20 Kadar Air Gabah Kering Panen Peningkatan kualitas padi/gabah merupakan tujuan kebijakan perberasan, karena itu variabel kualitas gabah dimasukkan sebagai variabel endogen. Instrumen kebijakan untuk mencapai tujuan kebijakan yaitu memberi dukungan bagi pengembangan penanganan pasca panen gabah dan kebijakan harga pembelian pemerintah terhadap gabah. Kualitas adalah kondisi dari komponen bawaan yang terdapat pada suatu komoditas yang ukurannya bisa dinilai secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Komponen bawaan disebut komponen kualitas dan dinyatakan dalam angka dengan satuan yaitu persen. Besar kecilnya komponen kualitas yang ada pada bahan (gabah/beras) akan sangat mempengaruhi terhadap mutu seperti daya tahan simpan, penampakan (performance) dan tingkat harga gabah/beras itu sendiri. Kandungan air yaitu jumlah air di dalam gabah yang dinyatakan dalam satuan persen dari berat basah. (Perum Bulog, 2006).
152
Instrumen kebijakan perberasan tentang ketentuan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen diharapkan mendorong petani meningkatkan kualitas hasil gabah. Dengan demikian, kadar air gabah kering panen diminimalkan. Kendala yang dihadapi petani yaitu harga penjualan gabah kering panen, teknologi, rata-rata hari hujan dan jumlah curah hujan. Panen pada musim hujan menyebabkan kadar air gabah kering panen naik, disisi lain kehadiran teknologi mengurangi kandungan air dari gabah kering panen. Kadar air gabah kering panen merupakan fungsi harga gabah kering panen, rata-rata curah hujan, teknologi dan kadar air gabah kering panen bulan yang lalu. Persamaan struktural kadar air gabah kering panen dirumuskan: KAGPt = jo + j1 HGKPRt + j2 CHITt + j3 T + j4 KAGP t-1 + u10 .............
(110)
dimana: KAGPt : Kadar Air Gabah Kering Panen (%) HGKPRt : Harga Gabah Kering Panen (Rp/Kg) : Rata- rata Curah Hujan Indonesia (mm/bulan) CHITt T
: Trend Teknologi
KAGP t-1 : Lag Kadar Air Gabah Kering Panen (%) tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan: j2 > 0 ; j1; j3 < 0 dan 0 < j4 < 1 4.3.21 Harga Pupuk NPK Bersubsidi Instrumen kebijakan dalam kebijakan perberasan tidak secara ekspilist menyebutkan pupuk bersubsidi, tetapi mendorong dan memfasilitasi penggunaan pupuk berimbang dalam usahatani padi. Pemupukan berimbang adalah penambahan pupuk ke dalam tanah dengan jumlah dan jenis unsur hara yang sesuai dengan kesuburan tanah dan kebutuhan unsur hara tanaman untuk meningkatkan produksi dan kualitas hasil komoditas pertanian. Rekomendasi pemupukan berimbang N-P-K-S berpedoman kepada dosis anjuran spesifik lokasi
153
yang dinamis, memperhatikan lahan yang mengalami kekurangan unsur mikro, serta memanfaatkan bahan organik berupa limbah pertanian serta kotoran hewan (PT Petrokimia Gresik, 2009). Rochayati, (2010) dan Las (2010) menyebutkan dosis pemupukan berimbang sesuai dengan status hara tanah dan kebutuhan tanaman yang ditetapkan dengan uji tanah. Pemupukan berimbang dapat dilakukan dengan pupuk tunggal, pupuk majemuk, atau kombinasi pupuk tunggal dan majemuk. Pemupukan berimbang “bisa” tetapi “ tidak sama “ dengan pupuk majemuk, tergantung dari kondisi tanah dan varitas. Side effects dari instrumen kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi menyebabkan harga pembelian petani terhadap pupuk urea bersubsidi melebihi HET pupuk bersubsidi yang ditetapkan oleh pemerintah. Instruksi Presiden menyebutkan perlu menetapkan kebijakan pendukung yang diperlukan bagi efektifnya pelaksanaan kebijakan perberasan. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian secara berkala mengeluarkan keputusan tentang jumlah kebutuhan pupuk bersubsidi setiap tahun. Kendala yang dihadapi adanya perbedaan rencana dan realisasi pupuk bersubsidi. Apabila realisasi pupuk bersubsidi tidak sesuai dengan rencana, harga pupuk bersubsidi akan naik,
dengan demikian harga pupuk NPK bersubsidi
dimasukkan sebagai variabel endogen. Harga pupuk NPK bersubsidi merupakan fungsi dari rasio harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen (HPGP) dengan HET pupuk NPK (HENP), realisasi penyaluran pupuk NPK bersubsidi dan harga pupuk NPK bersubsidi
bulan yang lalu. Persamaan
struktural jumlah penggunaan pupuk NPK bersubsidi dirumuskan:
154
HPNPRt = ko + k1 RGHNt + k2 RPNPt + k3 HPNP t-1 + u11 .......................... (111) dimana: HPNPRt RGHNt RPNPt HPNP t-1
: : : :
Harga Pupuk NPK Bersubsidi (Kg/ha) Rasio HPGP dengan HET Pupuk NPK ( Rp/Kg) Realisasi Penyaluran Pupuk NPK Bersubsidi (000 ton) Lag Harga Pupuk NPK Bersubsidi (Kg/ha)
tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan: k1, k2 <0 ; dan 0 < k3 < 1 4.3. 22 Nilai Tukar Petani Padi Tujuan kebijakan perberasan yaitu meningkatkan pendapatan petani. Dalam studi ini pendapatan petani di froksi dari nilai tukar petani dan berfungsi sebagai variabel endogen. Nilai Tukar Petani (NTPP) diperoleh dari indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani. Persamaan NTPP merupakan persamaan identitas: NTPPt = IT/IB ……………………………………………………………… (112) dimana:
NTPPt ITt IBt
: Nilai Tukar Petani Padi : Indeks Diterima Petani Padi : Indeks Dibayar Petani Padi
Indeks diterima petani padi adalah persamaan struktural, merupakan fungsi dari harga gabah kering petani dan indeks diterima petani padi bulan lalu.
ITt = lo + l1 HGKPRt + l2 IT t-1 + u12………………………………………… (113) dimana:
ITt : Indeks Diterima Petani Padi HGKPRt : Harga Gabah Kering Panen (Rp/Kg) : Lag Indeks Diterima Petani Padi IT t- 1 tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan: l1 > 0 ; dan 0 < l2 < 1
155
Indeks dibayar petani padi adalah persamaan struktural merupakan fungsi dari harga pupuk NPK dan indeks dibayar petani padi bulan lalu. IBt = mo + m1 HPNPRt + m2 IB t-1 + u13…………………………………… (114) dimana:
IBt HPNPRt IB t- 1
: Indeks Dibayar Petani Padi : Harga Pupuk NPK (Rp/Kg) : Lag Indeks Dibayar Petani Padi
tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan: m1 > 0 ; dan 0 < m2 < 1
4.3.23 Harga Beras Pengecer Pertimbangan pemerintah mengeluarkan Intruksi Presiden tentang Kebijakan Perberasan yaitu dalam rangka stabilitas ekonomi nasional, meningkatkan
pendapatan
petani,
peningkatan
ketahanan
pangan,
dan
pengembangan ekonomi pedesaan. Disisi lain, side effects yang ditimbulkan dengan kenaikan harga pembelian pemerintah terhadap beras menyebabkan harga beras di tingkat pengecer juga mengalami kenaikan. Kenaikan harga beras di tingkat pengecer menyebabkan gangguan terhadap stabilisasi ekonomi nasional. Kendala yang dihadapi
untuk mencapai tujuan stabilisasi harga yaitu
kenaikan harga beras impor akan mendorong kenaikan harga beras di tingkat pengecer. Dengan demikian harga beras tingkat pengecer dimasukkan sebagai variabel endogen. Harga beras pengecer merupakan fungsi penyaluran raskin, persediaan beras domestik, persediaan akhir beras beras pemerintah, harga beras pembelian pemerintah dari Bulog, dan harga beras pengecer bulan yang lalu. Persamaan struktural harga beras dalam negeri dirumuskan:
156
HBRTRt = no + n1 RASTt + n2 QCBNt + n3 STGFt + n4 HPGPRt + n5 HBRTR t-1 + u14 ................................................................ dimana: HBRTRt : : RASTt QCBNt : : STGFt HBRTR t-1:
(115)
Harga Beras Pengecer (Rp/Kg) Penyaluran Beras Raskin (000 Ton) Persediaan Beras Domestik (000 Ton) Persediaan Akhir Beras Pemerintah (000 Ton) Lag Harga Beras Pengecer (Rp/Kg)
tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan: n3, n4 > 0 ; n1, n2 < 0 dan 0 < n5 < 1
4.3.24 Harga Pembelian Beras Pemerintah dari Bulog Keputusan pemerintah menentukan harga pembelian beras pemerintah tidak terlepas dari perkembangan perkembangan harga beras baik domestik dan internasional. Persamaan struktural harga pembelian beras pemerintah dari Bulog merupakan fungsi dari harga beras dunia, harga pembelian beras oleh Bulog, harga beras di pengecer dan harga pembelian beras pemerintah dari Bulog. Persamaan struktural harga pembelian beras Pemerintah dari Bulog dirumuskan: HPGBRt = o0 + o1 HIBTRRt + o2 HPBBRt + o3 HBRTRt + o4 HPGBR t-1 + u15 ........(116)
dimana : HPGBRt : Harga Pembelian Beras Pemerintah dari Bulog (Rp/Kg) HIBTRRt : Harga Beras Dunia ( Rp/Kg) HPBBRt : Harga Pembelian Beras oleh Bulog (Rp/Kg) HBRTRt : Harga Beras Pengecer (Rp/Kg HPGBR t-1: Lag Harga Pembelian Beras Pemerintah dari Bulog (Rp/Kg) tanda dan besaran parameter dugaan yang diharapkan o1 , o2 , o3 > 0;
dan 0 < o4 < 1
4.4 Identifikasi Model Identifikasi adalah suatu masalah formulasi model, bukan masalah pendugaan atau penilaian model (Koutsoyiannis, 1977). Model ekonometrika
157
sering dibangun dari sistem persamaan simultan. Suatu model persamaan simultan dikatakan lengkap jika mengandung jumlah persamaan sekurang-kurangnya sama banyak dengan jumlah variabel endogen. Koutsoyiannis (1977) selanjutnya menyatakan bahwa dalam teori ekonometrika dua kemungkinan situasi yang muncul dari proses identifikasi yaitu: (1) persamaan tidak teridentifikasi ( underidentified), sehingga tidak mungkin menduga seluruh parameternya dengan teknik ekonometrika, dan (2) persamaan teridentifikasi, baik teridentifikasi secara tepat (exactly identified) dan secara berlebih (overidentified). Implementasi dari suatu persamaan teridentifikasi yaitu (1) jika suatu persamaan teridentifikasi secara tepat, metode pendekatan yang digunakan untuk pendugaan adalah metode Indirect Least Squares (ILS), dan (2) jika persamaan adalah overidentified, maka indirect least squares tidak dapat digunakan karena tidak menghasilkan pendugaan unique dari parameter struktural. Metode pendugaan yang dilakukan dapat menggunakan Two-Stage Least Squares (2SLS) atau Maximum Likehood Methods. Identifikasi model ditentukan berdasarkan pada kondisi order dimana. kondisi order ditentukan dengan kriteria (Koutsoyiannis, 1977; Karo-Karo dan Sinaga, 2006) K – M ≥ G – 1 .......................................................................................
(117)
dimana: K = Total variabel dalam model yaitu endogenous variables dan predermined variables. M = Jumlah variabel endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model
158
G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah variabel endogen dalam model. Apabila K - M > G - 1 disebut persamaan over identified, exatcly identified apabila K - M = G – 1 dan disebut unidentified apabila
K - M < G - 1.
Berdasarkan kondisi Order diatas, model ekonometrika kebijakan perberasan terdiri dari 15 persamaan struktural dan 11 persamaan identitas. Seluruh persamaan dalam model adalah overidentified, karena memenuhi kondisi K - M > G – 1, dimana jumlah K (jumlah total variabel dalam model, baik variabel endogen dan predetermin) sebanyak 59, jumlah M ( variabel endogen dan eksogen dalam setiap persamaan) berjumlah antara 3 sampai 7 variabel dan jumlah G (jumlah total persamaan sebanyak 26). Dengan demikian untuk persamaan IT dan IB dengan jumlah M sebanyak 3 diperoleh overidentified yaitu 59 – 3 > 26-1, demikian juga untuk persamaan RAST dengan jumlah M sebanyak 7 juga overidentified yaitu 52 > 25. Dengan demikian persamaan lainnya yang memiliki M antara 5-6 juga overidentified. 4.5 Metode Pendugaan Model Berdasarkan seluruh persamaan dalam model adalah overidentified, maka metode pendugaan model yang digunakan yaitu 2SLS, dengan beberapa pertimbangan bahwa penerapan 2 SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah, sedangkan metode Three stage least square (3SLS) dan Full Information Maximum Likehood (FIML) menggunakan informasi yang lebih banyak dan lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model (Gujarati, 1999; Sumodiningrat, 1999). Dalam membangun suatu model, yang merupakan gambaran dari dunia nyata, umumnya satu variabel terikat (dependent) mungkin dipengaruhi lebih dari
159
satu variabel bebas (independent) yang dapat menjelaskan variasi dari variabel tersebut. Model dengan menggunakan data ekonomi sering tidak mengikuti asumsi metode Ordinary least squares, seperti asumsi multicollinearity, dan autocorrelation. Analisis statistik yang dilakukan antara lain uji t, uji F dan koefisien determinasi.
4.5.1 Uji F Fungsi uji F untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen. Setiap persamaan struktural pada model persamaan simultan dilakukan uji statistik F. Dalam model regresi linier berganda, hipotesis yang akan diuji adalah: H 0 : β1 = β 2 = ... = β k = 0 ………………………………………....
(118)
H1 : setidaknya ada satuβ j ≠ 0 dimana Ho ditolak (Koutsoyiannis, 1977) jika : Frasio > Fα …………………………………………………………… (119) dimana Fα adalah nilai batas atas α (kesalahan) pada tabel distribusi F dengan derajat bebas, v1 = K − 1 , dan v 2 = N − K . Nilai F rasio diperoleh dari:
∑ y (K − 1) …………………........................................ = ∑ e (N − K ) 2
Frasio
2
(120)
dimana ∑y2 yaitu jumlah deviasi kuadrat dari garis regresi, ∑e2 adalah jumlah kuadrat residu, derajad bebas untuk ∑y2 yaitu K-1 dimana K = k+1 yaitu jumlah parameter estimasi termasuk intersep. Derajad bebas untuk ∑e2 yaitu N-K dimana N adalah jumlah observasi.
160
4.5.2 Koefisien Determinan
Koefisien determinasi (coefficient of determination) dalam model persamaan regresi linier berganda untuk melihat seberapa dekat garis regresi yang terestimasi dengan data aktualnya. Koefisien determinan, (R2) ditentukan dengan formula: SSR = R = SST 2
∑ (Yˆ − Y ) ∑ (Y − Y )
2 2
…………………………………………… (121)
dimana SSR adalah jumlah deviasi kuadrat dari garis regresi, sedangkan SST yaitu total jumlah deviasi kuadrat. Nilai koefisien determinasi antara 1 dan 0. Sedangkan untuk mencari nilai Adjusted R squared ( R 2 ), masing-masing harus disesuaikan dengan derajat bebas (degree of freedom), sedangkan
n adalah
jumlah observasi. Nilai Adjusted R squared diperoleh dari: SSE
2
R = 1−
(n − K ) ………………………………………………
SST
(n − 1)
(122)
4.5.3 Uji Parsial
Uji parsial dilakukan untuk menguji secara individu (satu per satu dari variabel penjelas) apakah signifikan atau tidak mempengaruhi variabel dependennya, dengan uji statistik t. Hipotesis yang akan diuji yaitu: H0 = β j = 0 H1 = β j ≠ 0
………………………………………………………….. (123)
Uji statistik-t adalah: t=
βj Sβ j
……………………………………………………………
(124)
dimana βj adalah koefisien parameter estimasi dari metode ordinary least square untuk masing-masing variabel penjelas ke-j dan Sβj adalah estimasi standar deviasi
161
(standar error) dari variabel penjelas ke-j. Nilai t rasio dibandingkan dengan nilai distribusi tabel-t dengan derajat bebas n-K. Daerah penolakan H0 dengan dua arah jika t > tα atau t > tα dengan satu arah. 2
4.5.4 Uji Multikolineriti
Suatu hubungan linier antara dua atau lebih variabel independen (predictor variables) disebut juga sebagai multicollinearity. Dalam hal ini variabel-variabel bebas ini tidak bersifat ortogonal. Variabel-variabel bebas yang ortogonal adalah variabel bebas (independent) yang bernilai korelasi diantara sesama sama dengan nol. Jika terdapat korelasi yang sempurna diantara sesama variabel independen, dengan kata lain koefisien korelasi sama dengan satu, maka (a) koefisien parameter menjadi tidak dapat ditaksir, dan (b) nilai standar error setiap koefisien estimasi menjadi tidak terhingga. Hanke (2001) dalam Sitepu dan Sinaga (2006) menyatakan bahwa kekuatan multicollinearity dapat diukur dengan variance inflation factor (VIF), formula VIF dapat dituliskan sebagai berikut: VIF j =
1 , 1 − R 2j
j = 1,2,..., k ……………………………………. (125)
R2j ini adalah koefisien determinasi dari regresi variabel independent ke-j terhadap sisa variabel-variabel independen k – 1, sedangkan variabel independen dimana k = 2, maka r2j merupakan akar dari koefisien korelasi (r). Jika variabel independent Xj ke-j tidak berhubungan, maka variabel lainnya ke X, maka R2j = 0 dan nilai VIF = 1. Jika ada hubungan, maka VIFj > 1. Masalah multicollinearity hampir selalu ditemukan pada persamaan regresi linier
162
berganda. Masalah multicollinearity dapat diatasi dari suatu persamaan regresi linier berganda antara lain dengan melakukan: 1.
Respesifikasi, yaitu dengan mengeluarkan atau menambah variabel yang dianggap relevan secara apriori dan statistik yang paling diyakini dalam menentukan nilai dependen variabel. Cara ini kemungkinan akan dapat merubah baik tanda maupun besaran dari koefisien regresi. Model yang terpilih disebut sebagai elementary regression.
2.
Transformasi variabel, yaitu dengan transformasi variabel dalam suatu model regresi menjadi suatu bentuk yang disebut dengan first difference, ini dilakukan dengan mengurangkan variabel pada periode sebelumnya (periode t = 1) dengan variabel yang sedang berjalan (periode t).
3.
Menambah lebih banyak data, kemungkinan dengan menambah jumlah data diharapkan standar error cenderung turun sehingga memungkinkan untuk mengestimasi koefisien regresi lebih tepat.
4.5.5 Autokorelasi
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar estimasi parameter dalam model regresi linier berganda bersifat BLUE adalah autocorrelation; yaitu cov (ui,uj) = 0, i ≠ j, artinya tidak ada korelasi antara Ui dan Uj untuk Ui ≠ Uj atau dituliskan dengan E(Ui,Uj) = 0 i ≠ j. Asumsi ini mengandung arti nilai faktor gangguan U yang berurutan tidak tergantung secara temporer, yaitu gangguan yang terjadi pada satu titik observasi tidak berhubungan dengan faktor-faktor gangguan lainnya. Jika observasi dilakukan sepanjang waktu, pengaruh faktor gangguan yang terjadi dalam satu periode tidak terbawa ke periode lainnya.
163
Untuk menguji autocorrelated residuals, yang paling sering digunakan dengan cara mendeteksi otokorelasi adalah uji Durbin-Watson, dw, yang didefinisikan: 2
T
dw =
∑ (εˆt − εˆt −1 ) t =2
T
∑ εˆ t =1
……………………………………………..
(126)
2 t
dimana i adalah nilai sisa (residuals) Nilai statistik dw sama dengan 2(1 - p). Dimana p adalah koefisien korelasi antara error periode waktu t dengan error periode waktu t – 1, yang didefinisikan:
ρ=
Cov(εˆt , εˆt −1 )
σ ε2
…………………………………………………..
(127)
Jika nilai p = 0, maka tidak ada otokorelasi, maka nilai statistik dw mendekati dua. Jika p mendekati satu, maka nilai statistik dw mendekati nol, dan ketika p mendekati -1, maka nilai statistik mendekati 4. Selanjutnya karena model mengandung persamaan simultan dan peubah bedakala (lag endogenous variable), maka uji serial korelasi dengan menggunakan statistic dw (Durbin-Waston Statistics) tidak valid untuk digunakan. Untuk mengetahui apakah terdapat serial korelasi (autocorrelation) atau tidak dalam setiap persamaan maka digunakan statistic dh (Durbin-h statistics) (Pindick dan Rubinfield, 1991) sebagai berikut.
h=
⎛ 1 ⎞ n ⎜1 − d ⎟ ⎜ 2 1 − n(var β ) ⎟ ....................................................... ⎝ ⎠
dimana d = dw statistik, n = jumlah observasi, dan var ( β) = varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable.
(128)
164
Apabila hhitung lebih kecil dari nilai kritis h dari tabel distribusi normal, maka dalam persamaan tidak mengalami serial korelasi
4.6 Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu validasi model, dengan tujuan untuk menganalisis sejauh mana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Dalam penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah: Root Means Square Error (RMSE), (Root Means Square Percent Error (RMSPE), dan Theil’s Inequality Coefficient (U) (Pindick and Rubinfield, 1999). Indikator validasi statistik yang digunakan yaitu Root Mean Square Percent Errror (RMSPE) untuk mengukur seberapa dekat nilai masing-masing peubah endogen hasil pendugaan mengikuti nilai data aktualnya selama periode pengamatan atau dengan kata lain seberapa jauh penyimpangannya dalam ukuran persen. RMSE =
(
1 T s ∑ Yt − Ytα T t =1
1 T ⎛ Yt s − Ytα RMSPE = ∑⎜ T t =1 ⎜⎝ Ytα
)
2
……………………………………..
(129)
2
⎞ ⎟⎟ …………………………………… ⎠
(130)
Simbol Ytα adalah nilai aktual dan Yts menunjukkan nilai simulasi, sedangkan T menunjukkan jumlah periode observasi. Pendugaan model akan semakin valid jika nilai RMSE, RMSPE dan U semakin kecil. Nilai U berkisar antara 0 dan 1. Pada persamaan (131), apabila Ytα sama dengan Yts maka nilai U adalah nol, berarti pendugaan model adalah sempurna, sebaliknya nilai Yts adalah nol
165
maka nilai U menjadi satu, sehingga pendugaan model tidak sempurna, dan model perlu direspesifikasi. …………………………………...
(131)
Proporsi bias (UM) pada persamaan (132) menunjukkan kesalahan sistematis untuk mengukur tingkat penyimpangan nilai rata-rata dugaan dengan nilai rata-rata pengamatan aktualnya. Nilai UM yang baik berkisar antara 0.1-0.2. Jika nilai UM diatas 0.2 maka model tersebut perlu direvisi kembali karena terjadi bias sistematik.
……………………………………………..
(132)
Proporsi varians (US) pada persamaan (133) yang menunjukkan kemampuan model menyerupai tingkat perubahan peubah endogen. Jika US sangat besar, artinya nilai seri actual sangat berfluktuasi sedangkan nilai seri pendugaan kurang berfluktuasi. Bila US sangat besar, maka model perlu direvisi kembali. Notasi σs dan σt menunjukkan standar deviasi Yts dan Ytα.
………………………………………………… (133) ……………………………………………..
(134)
Proporsi kovarians (UC) untuk mengukur kesalahan yang tidak sistematik. UC berfungsi untuk menjelaskan kesalahan yang tersisa. Notasi ρ menunjukkan koefisien korelasi nilai pendugaan dengan nilai pengamatan contoh.
Model
166
pendugaan yang baik apabila nilai UM dan US mendekati nol, sedangkan UC mendekati satu, karena UM+US+UC adalah satu.
4.7 Simulasi Model
Setelah model divalidasi dan memenuhi kriteria secara statistik, maka model tersebut dapat dijadikan sebagai model dasar simulasi. Peramalan dapat dibedakan beberapa jenis dan tujuan simulasi, diantaranya ramalan berdasarkan horizon waktu, yang dibedakan menjadi ex post forecasting, ex ante forescasting dan backcasting. Pada periode T1 menunjukkan batas waktu dari model yang di hitung dengan data yang ada. Simulasi yang dibuat antara T1 ke T2 disebut dengan expost simulation atau historical simulation. Nilai historical series yang dimulai tahun t1 dan berakhir tahun t2, digunakan untuk peubah eksogen, sedangkan nilai historical dalam t1 merupakan keadaan awal dari peubah endogen. Ex-post forecasting menunjukkan kalau periode dugaan T2 < T3, maka peramalan dapat dilakukan diakhir periode. Sedangkan pada ex-ante forecasting yang dimulai dari T3 adalah simulasi atau perkiraan nilai dependen variabel yang didasarkan pada variable bebas dan dapat diteruskan hingga pada tahun-tahun berikutnya. 4.8 Simulasi kebijakan
Simulasi merupakan suatu proses yang menerangkan jalur masa yang ditempuh oleh peubah-peubah ekonomi menurut perubahan waktu dengan suatu teknik tertentu. Penentuan waktu suatu simulasi didasarkan pada tujuan simulasi. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1991), tujuan simulasi terdiri dari tiga yaitu pengujian dan evaluasi model, analisis kebijakan historis dan peramalan.
167
Labys (1973) menyatakan bahwa simulasi kebijakan dilakukan pada periode sampel tertentu dengan maksud membantu menjelaskan perilaku pasar komoditi bila suatu kebijakan baru diterapkan. Simulasi kebijakan digunakan karena mampu memberikan berbagai tipe informasi yang cukup bagi pihak-pihak tertentu dalam pengambilan suatu keputusan. Selanjutnya, Challen dan Hagger (1983) menyatakan bahwa simulasi dikatakan statis manakala dalam proses simulasi tersebut nilai peubah bedakala dari peubah endogen menggunakan data pengamatan. Simulasi dikatakan dinamis manakala nilai peubah endogen menggunakan dugaan model. Bila kedua simulasi tersebut dibandingkan maka simulasi dinamis merefleksikan bekerjanya fenomena ekonomi. Simulasi kebijakan dilakukan untuk melihat dampak alternatif kebijakan terhadap semua peubah endogen. Dengan demikian dilihat bagaimana peubah endogen akan bereaksi dan mengantisipasi perubahan. Peubah kebijakan merupakan peubah eksogen. Peubah kebijakan yang diterapkan adalah instrumen kebijakan perberasan yang dilakukan pemerintah. Pada kenyataannya, instrumen kebijakan perberasan yang dilakukan pemerintah
merupakan kombinasi dari
beberapa kebijakan, dengan kata lain pemerintah tidak melakukan kebijakan tunggal (singel policy). Alternatif kebijakan yang diterapkan yaitu gabungan kebijakan harga, kebijakan saprodi dan kebijakan Raskin. Instrumen kebijakan harga yaitu harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen dan harga beras pembelian Bulog. Pada umumnya petani menjual gabah dalam bentuk gabah kering panen. Kebijakan saprodi yaitu Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi NPK
168
dan realisasi penyaluran pupuk NPK untuk tanaman pangan, sedangkan kebijakan Raskin yaitu jumlah rumah tangga penerima Raskin. Skenario kebijakan dilakukan berdasarkan rata-rata kenaikan instrumen kebijakan perberasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam kurun waktu 20052009. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh data-data berikut, yaitu: (1) kenaikan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen sebesar 12.3 persen, (2) kenaikan harga pupuk NPK bersubsidi 2.4 persen, (3) realisasi penyaluran pupuk NPK 7.2 persen, dan (4) kenaikan jumlah rumah tangga penerima Raskin sebesar 18.1 persen. Alternatif kebijakan yang dilakukan yaitu kebijakan tunggal dan kombinasi kebijakan yaitu: 1.
Kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen 10 dan 15 persen.
2.
Kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga eceran tertinggi pupuk NPK bersubsidi 10 dan 15 persen.
3.
Kebijakan pemerintah dengan menaikkan realisasi penyaluran pupuk NPK bersubsidi 10 persen.
4.
Kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen dan
harga eceran tertinggi pupuk NPK
bersubsidi masing-masing 10 persen. 5.
Kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen 15 persen, harga eceran tertinggi pupuk NPK bersubsidi 10 persen.
169
6.
Kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen realisasi penyaluran pupuk NPK bersubsidi masing-masing 10 persen.
7.
Kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen, harga beras pembelian Bulog, harga eceran tertinggi pupuk NPK, realisasi penyaluran pupuk NPK dan jumlah rumah tangga penerima Raskin masing-masing 10 persen.
8.
Kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen 15 persen sedangkan harga beras pembelian Bulog, harga eceran tertinggi pupuk NPK, realisasi penyaluran pupuk NPK dan jumlah rumah tangga penerima Raskin masing-masing 10 persen.
4.9 Surplus Konsumen dan Produsen
Dalam studi ini, alternatif kebijakan untuk menghitung dan menganalisis kesejahteraan produsen dan konsumen diukur dengan surplus produsen dan konsumen pada periode yang diciptakan, sehingga dampak kesejahteraan masyarakat merupakan indikator kebijakan terhadap penentuan arah kebijakan akan dilakukan. Kesejahteraan bersih diperoleh dari selisih surplus produsen dengan surplus konsumen. Dengan
memperoleh surplus produsen dan konsumen akan diperoleh
informasi apakah kebijakan perberasan bias kepada produsen atau konsumen. Melalui persamaan 137 akan diperoleh surplus produsen padi, dan dengan membagi luas panen padi akan diperoleh surplus produsen padi per ha.
170
Dampak alternatif kebijakan perberasan terhadap perubahan kesejahteraan produsen dan konsumen dihitung berdasarkan rumus berikut (Sinaga, 1989 dalam Mulyana, 1998): 1. Perubahan dalam Surplus Produsen Beras: QPITd( HGKPs-HGKPd) + 1/2 (QPITs-QPITd)(HGKPs-HGKPd)
(135)
2. Perubahan dalam Surplus Konsumen Beras: QDBTd(HBRTd-HBRTs)+1/2(QDBTs-QDBTd)(HBRTd-HBRTs) (136) Dimana: QPIT QDBT HGKP HBRT d s
: Produksi Padi (000 Ton) : Jumlah Permintaan Beras (000 Ton) : Harga Gabah Kering Panen (Rp/Kg) : Harga Beras di Pengecer (Rp/Kg) : Notasi pada nilai simulasi dasar : Notasi pada simulasi kebijakan
171
V. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERBERASAN 5.1 Implementasi Kebijakan Perberasan di Tingkat Petani: Kinerja dan Perspektif Ke Depan 5.1.1 Karateristik Petani Padi Kecamatan Sei Rampah Tabel 19 menunjukkan karateristik petani berdasarkan luas lahan sawah diusahai dari penjumlahan lahan sawah dimiliki dan disewa. Jumlah petani yang mengusahakan lahan sawah lebih besar dari satu hektar sekitar 43.33 persen dari responden. Kenaikan umur diikuti dengan pengalaman petani dalam berusahatani. Petani pemilik lahan darat di desa Silau Rakyat dan Sungai Parit mengusahai kebun kelapa sawit. Rata-rata luas lahan sawah disewa signifikan dengan lahan sawah dimiliki dan jumlah tanggungan keluarga, tetapi tidak signifikan dengan tingkat pendidikan petani. Tabel 19. Karakteristik Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah Tahun 2009 No
Karateristik Petani
1 2 3 4 5 5 6 7
Umur (Tahun) Pengalaman Bertani (Tahun) Lahan Sawah Dimiliki (Ha) Lahan Padi Sawah Diusahai (Ha) Lahan Sawah Disewa (Ha) Lahan Darat (Ha) Jumlah Tanggungan (Orang) Tingkat Pendidikan (Orang) 7.1 TSD 7.2 SD 7.3 SMP 7.4 SMA 7.5STM
Jumlah Sampel Sumber: Petani (Diolah)
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0.01- 0.51- 1.01- 1.51- >2.00 0.50 1.00 1.50 2.00 42.75 45.17 50.00 42.00 50.00 20.50 19.50 23.33 19.80 29.67 0.38 0.56 0.69 1.52 2.33 0.40 0.81 1.21 1.92 2.63 0.02 0.25 0.52 0.40 0.29 0.20 0.21 0.16 0.12 1.05 5.00 3.00 5.00 5.00 6.00
Rataan
45.34 21.33 1.13 1.40 0.30 0.18 5.00
0 1 0 3 0
0 5 2 5 0
0 1 2 3 0
0 2 1 1 1
0 1 2 0 0
0 10 7 12 1
4
12
6
5
3
30
Luas lahan sawah dimiliki signifikan dengan lahan disewa, artinya kenaikan lahan sawah dimiliki diikuti dengan kenaikan lahan sawah disewa.
172
Kondisi tersebut membuktikan respon petani positip
terhadap peningkatkan
pendapatan, meskipun terdapat tambahan biaya sewa lahan sebesar Rp 80 000100 000 di desa Sei Rejo dan Sei Rampah, Rp 100 000 – 150 000 ribu di desa Pematang Ganjang setiap 400 m2 per musim tanam. 5.1.2
Implementasi Kebijakan Bantuan Benih Sembiring (2008a) menyebutkan bahwa kebijakan pemberian dana
pengadaan benih bantuan jenis padi varitas unggul bersertifikat dan hibrida merupakan salah satu cara untuk mempertahankan ketahanan pangan di Indonesia. Studi tersebut menguraikan kendala dari sisi pembuat dan pelaku kebijakan sehingga tujuan tidak tercapai. Kondisi tersebut menyebabkan implementasi kebijakan pengadaan bantuan benih diundur yang seharusnya dimulai dari bulan April 2007 menjadi bulan Maret 2008. Hasil evaluasi oleh Direktorat Perbenihan Tahun 2008 menunjukkan bahwa rencana dan realisasi penugasan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) di propinsi Sumatera Utara mencapai 100 persen. Jumlah BLBU mencapai 1.375.000 kg, dengan pelaksana yaitu PT. Sang Hyang Seri (SHS) dan PT. Pertani, masing-masing mendistribusikan benih 750.000 kg dan 625.000 kg. Berdasarkan Berita Acara penerimaan BLBU bulan Juli 2008, kelompok tani Prona memperoleh bantuan benih varitas Cibogo kurang dari 25 kg per ha, sedangkan Kelompok Tani Seroja, Ibus-Ibus dan Ibusan memperoleh BLBU 25 kg per ha, sedangkan kelompok tani lainnya memperoleh bantuan benih diatas 25 kg per ha, seperti ditunjukkan Tabel 20. Informasi dari Tabel 20 mengindikasikan bahwa pendistribusian BLBU tidak berdasarkan luas hamparan sawah yang diusahai oleh masing-masing kelompok tani.
173
Tabel 20. Besarnya Bantuan Langsung Benih Unggul Padi Varitas Cibogo Bulan Juli Tahun 2008 No
Nama Kelompok Tani
Desa
Jumlah Luas Bantuan Hamparan (Kg) Sawah (Ha) 1 Sri Rahayu Pematang Ganjang 1 400 52 2 Seroja Pematang Ganjang 1 250 50 3 Melati Pematang Ganjang 1 300 50 4 Sederhana Pematang Ganjang 1 275 50 5 Ibus-Ibus Sei Rampah 875 35 6 Ibusan Sei Rampah 1 225 49 7 Parit Duabelas Sei Rejo 1 000 30 8 Prona Sei Rejo 875 53 Sumber: Berita Acara Penerimaan Bantuan Langsung Benih Unggul
Bantuan per Hektar (Kg/Ha) 26.92 25.00 26.00 25.50 25.00 25.00 33.33 16.50
Bantuan Langsung Benih Unggul varitas Ciherang bulan September/ Oktober 2008, diterima oleh 17 Kelompok Tani tetapi jumlahnya kurang dari 25 kg per ha, seperti ditunjukkan Tabel 21. Kelompok Tani dengan luas hamparan sawah terbesar (Rahayu di desa Pematang Limpahan Dusun I) menerima BLBU yang lebih kecil (6.51 kg per ha), sebaliknya kelompok tani dengan luas hamparan sawah lebih kecil (Maju Bersama di desa Sei Rejo Dusun II) menerima BLBU yang lebih besar yaitu 22.72 kg per ha. Informasi dari Tabel 21 mengindikasikan bahwa pendistribusian BLBU tidak berdasarkan luas hamparan sawah yang diusahai oleh masing-masing kelompok tani. Berdasarkan berita acara BLBU, Kelompok Tani Prona yang telah menerima BLBU varitas Cibogo pada bulan Juli 2008, juga menerima varitas Ciherang sebesar 9.43 kg per hektarnya pada bulan Oktober 2008. Target luas persawahan penerima BLBU di propinsi Sumatera Utara sebesar 55.000 ha pada Tahun 2008. Target tercapai apabila BLBU per hektar yang diterima masing-masing Kelompok Tani 25 Kg, artinya BLBU kurang dari 25 kg per ha menyebabkan target tidak tercapai. Pada bulan Desember 2008, dari 13 Kelompok Tani penerima BLBU Padi Non Hibrida (Ciherang), terdapat enam
174
kelompok tani penerima BLBU, yang menerima varitas Cibogo pada bulan Juli 2008, yaitu Sri Rahayu, Seroja, Melati dan Sederhana di desa Pematang Ganjang, sedangkan di desa Sei Rejo, yaitu Kelompok Tani Ibusan dan Ibus-Ibus, pada Tabel 22. Terdapat sembilan Kelompok Tani yang memiliki luas hamparan sawah yang sama (masing-masing 50 ha) tetapi bantuan yang diterima per ha berbeda. Besarnya perbedaan BLBU yang diterima Kelompok Tani Sederhana di desa Pematang Ganjang, empat kali lebih besar dibandingkan dengan BLBU yang diterima Kelompok Tani Tani Jaya, Hebras, Cempaka, dan Kenanga, dari desa Sei Rejo. Tabel 21. Besarnya Bantuan Langsung Benih Unggul Varitas Ciherang Bulan September dan Oktober Tahun 2008 No
1 2 3 4
Nama Kelompok Tani Sri Kencana Dahlia Serasi Mekar Jaya
Desa
Jumlah Bantuan (Kg)
Pematang Ganjang Dusun V 750 Pematang Ganjang Dusun V 750 Pematang Pelimpahan 750 Pematang Pelimpahan Dsn 750 V 5 Rahayu Pematang Pelimpahan Dsn I 625 6 Bahagia Pematang Pelimpahan Dsn 625 V 7 Tirtasari Pematang Pelimpahan 375 8 Paret Mesin Sei Rejo Dusun IV 500 9 Sri Jaya Sei Rejo Dusun IV 500 10 Sri Murni Sei Rejo Dusun IV 500 11 Sri Makmur Sei Rejo Dusun II 500 12 Maju Bersama Sei Rejo Dusun II 500 13 Sidorukun Sei Rejo 600 14 Sri Sejati Sei Rejo Dusun II 500 15 Suka Maju Sei Rejo Dusun I 500 16 Perona Sei Rejo Dusun III 500 17 Budiman I Sei Rampah 475 Sumber: Berita Acara Penerimaan Bantuan Langsung Benih Unggul
Luas Hamparan Sawah (Ha) 50 60 55 46
Besarnya Bantuan (Kg/Ha) 15.00 12.50 13.63 16.30
96 55
6.51 11.36
55 45 38 43 34 22 34 30 26 53 25
6.81 11.11 13.15 11.62 14.70 22.72 17.64 16.66 19.23 9.43 19.00
Sembiring (2008) menyebutkan bahwa pada tahap implementasi, kebijakan perberasan nasional adalah fleksibel, dimana kehadirannya tidak
175
menjamin
menyelesaikan
permasalahan
perberasan
nasional
mengingat
mekanisme yang dimunculkan pada waktu dan kondisi tertentu memberikan peluang timbulnya permasalahan baru. Besarnya BLBU yang berbeda meskipun luas hamparan sawah sama diantara Kelompok Tani, akan menciptakan permasalahan baru, adanya perasaan ” tidak adil” diantara Kelompok Tani. Pada tingkat Kelompok Tani, BLBU yang diterima kurang dari 25 kg per ha akan menciptakan permasalahan baru, jika ketua Kelompok Tani (Kontak Tani) tidak bijaksana membagi BLBU tersebut kepada masing-masing anggota kelompoknya. Tindakan Kontak Tani mencegah keributan diantara Kelompok Tani, dengan membagikan bantuan benih tersebut secara merata, dengan kata lain jumlah BLBU yang diterima oleh masing-masing anggota Kelompok Tani tidak ditentukan oleh luas lahan yang dimiliki. Tabel 22. Besarnya Bantuan Langsung Benih Unggul Padi Non Hibrida Bulan Desember Tahun 2008 No
Nama Kelompok Tani
Desa
Jumlah Luas Besarnya Bantuan Hamparan Bantuan (Kg) Sawah (Ha) (Kg/Ha) 1 Ibusan Sei Rampah 625 35 17.87 2 Ibus-Ibus Sei Rampah 625 49 12.75 3 Tani Jaya Pematang Ganjang 250 50 5.00 4 Hebras Pematang Ganjang 250 50 5.00 5 Cempaka Pematang Ganjang 250 50 5.00 6 Melati Pematang Ganjang 550 50 11.00 7 Kenanga Pematang Ganjang 250 50 5.00 8 Seroja Pematang Ganjang 500 50 10.00 9 Sederhana Pematang Ganjang 1 000 50 20.00 10 Sri Rahayu Pematang Ganjang 550 52 10.57 11 Kamboja Pematang Ganjang 625 50 12.50 12 Mawar Pematang Ganjang 625 50 12.50 13 Melur Pematang Ganjang 875 45 19.44 Sumber: Berita Acara Penerimaan Bantuan Langsung Benih Unggul. Padi Non Hibrida : Ciherang
Studi terhadap petani menunjukkan bahwa besarnya bantuan benih pemerintah berkisar antara 0.5 -1.0 kg per 0.04 ha. Besarnya BLBU tersebut
176
bukan berarti petani pemilik lahan tiga ha akan menerima 75 kg, atau petani pemilik lahan 0.16 ha hanya menerima empat kg. Metode pembagian BLBU memerlukan seni tersendiri, sehingga tidak satu orangpun yang dirugikan. Luas hamparan sawah diantara Kelompok Tani berbeda dan keanggotanya Kelompok Tani tidak selalu dari desa terdekat. Dengan kata lain, anggota Kelompok Tani yang sawahnya di suatu desa tetapi bertempat tinggal di desa lain, siap menerima BLBU dalam proporsi yang lebih kecil dibandingkan dengan anggota Kelompok Tani lainnya yang bertempat tinggal di sekitar hamparan sawah. Tabel 23. Jenis Varitas Padi Ditanam Petani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam 2008-2009 (%) N o
Uraian
1
Varitas Padi Musim Tanam Kering (MTK) Tahun 2008 1.1 Ciherang 1.2 Cibogo 1.3 Mekongga 1.4 Hibrida Varitas Padi Musim Tanam Hujan (MTH) Tahun 2008/2009 2.1 Ciherang 2.2 Cibogo 2.3 Mekongga 2.4 Hibrida
2
3
Varitas Padi Musim Tanam Kering (MTK) Tahun 2009 3.1 Ciherang 3.2 Cibogo 3.3 Mekongga 3.4 Hibrida
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0.010.51- 1.01- 1.51- > 2.00 0.50 1.00 1.50 2.00
Total
13.32 0.00 0.00 0.00
36.63 3.33 0.00 0.00
13.32 6.66 0.00 0.00
9.99 5.00 0.00 0.00
6.66 0.00 0.00 0.00
79.92 14.99 0.00 0.00
13.32 0.00 0.00 0.00
39.96 0.00 0.00 0.00
13.32 6.66 0.00 0.00
13.32 3.33 0.00 0.00
6.66 0.00 0.00 0.00
86.58 9.99 0.00 0.00
13.32 0.00 0.00 0.00
26.64 3.33 9.99 0.00
13.32 0.00 6.66 0.00
16.66 0.00 0.00 0.00
6.66 0.00 0.00 0.00
76.60 3.33 16.65 0.00
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, tahun 2008/2009. Tabel 23 menunjukkan varitas padi Ciherang merupakan persentase terbesar ditanam petani pada MTK 2008, MTH 2008/2009 dan MTK 2009, masing-masing mencapai 79.92, 86.51 dan 76.60 persen. Sebaliknya dalam tiga
177
musim tanam terakhir, varitas padi Mekongga menunjukkan trend naik dari nol persen menjadi 16.65 persen. Persentase petani yang merasakan bantuan BLBU kurang memadai dan tidak tepat waktu, masing-masing 9.99 dan 16.65 persen. 5.1.3 Kebijakan Pupuk Bersubsidi Pada kurun waktu tahun 1998-2006, pupuk tersedia di kios pupuk tetapi petani memiliki sumber daya modal yang terbatas, sebaliknya tahun 2007-2009, petani memiliki modal tetapi pupuk tidak tersedia dalam jumlah yang dibutuhkan petani. Petani menghadapi perubahan untuk memperoleh pupuk bersubsidi, dari sistim terbuka menjadi tertutup, yang dimulai tahun 2007. Pada sistem terbuka, petani memiliki akses yang lebih luas untuk memperoleh pupuk, sebaliknya dengan sistem tertutup petani memperoleh jumlah pupuk bersubsidi sesuai dengan isian dalam Rencana Definitif Kelompok Tani (RDKK). Proses penyusunan RDKK membutuhkan waktu dua minggu. Pada Kelompok Tani tertentu, petani perlu melampirkan daftar pajak dalam pengisian RDKK, untuk mencegah terjadinya permintaan pupuk yang melebihi luas lahan yang diusahai. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) diperhadapkan dengan dilemma dalam penyusunan RDKK (Sumaryanto dan Pasandaran, 1991). Disatu pihak jika RDKK disusun persis dengan permintaan petani (lewat Kelompok Tani), PPL menghadapi ketidak terjaminan aplikasi teknologi usahatani sesuai dengan anjuran dan mungkin tidak seragam. Jumlah pupuk yang diperoleh petani tidak sesuai RDKK, ditunjukkan pada Tabel 24. Survey yang dilakukan pada PPL mengindikasikan terjadi kelangkaan pupuk pada masa tanam. Menurut PPL, faktor-faktor penyebab kelangkaan pupuk: (1) waktu kehadiran pupuk dari distributor tidak tepat waktu, (2) jalur distribusi
178
yang panjang dari produsen ke kios penyalur, (3) jumlah pupuk yang diterima Kelompok Tani tidak sesuai dengan rekomendasi PPL, dan (4) Kios Penyalur terlambat melakukan pembayaran ke distributor. Tabel 24. Kendala Petani terhadap Kebijakan Pupuk Bersubsidi di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2009 (%) N o 1
Permasalahan Dihadapi Petani
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0.01- 0.51- 1.01- 1.51- >2.00 0.50 1.00 1.50 2.00 3.33 13.32 6.66 3.33 0.00
Total
Kesulitan memperoleh pupuk Urea 26.64 bersubsidi 2 Kesulitan memperoleh pupuk SP3.33 0.00 0.00 0.00 0.00 3.33 36 bersubsidi 3 Kesulitan memperoleh pupuk ZA 3.33 19.98 9.99 9.99 0.00 43.29 bersubsidi 4 Kesulitan memperoleh pupuk NPK 3.33 19.98 6.66 0.00 0.00 29.97 bersubsidi 5 Kesulitan memperoleh pupuk 0.00 3.33 3.33 0.00 0.00 6.66 Organik bersubsidi 6 Harga pupuk sulit terjangkau 0.00 6.66 3.33 0.00 0.00 9.99 7 Ketersediaan pupuk bersubsidi 0.00 13.32 0.00 0.00 3.33 16.65 tidak tepat waktu 8 Pembelian pupuk dengan sistim 3.33 0.00 0.00 0.00 3.33 6.66 paket memberatkan petani 9 Tambahan biaya karena membeli 0.00 0.00 3.33 0.00 0.00 3.33 pupuk dengan kredit/utang 10 Pupuk yang diperoleh petani tidak 0.00 3.33 0.00 0.00 0.00 3.33 sesuai RDKK 11 Kesulitan memperoleh pupuk KCL 0.00 9.99 3.33 0.00 0.00 13.32 Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2008/2009.
Jumlah pupuk ZA bersubsidi yang dibutuhkan 50 kg tetapi terpenuhi hanya 25 kg, sehingga petani dengan terpaksa membeli pupuk non-subsidi dengan harga Rp 3 400 per kg. Darwis dan Nurmanaf (2004) mengemukakan bahwa sistem distribusi pupuk yang tidak berjalan menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk, sehingga petani membeli pupuk dengan harga yang lebih mahal. Alasan lain dikemukakan oleh Kariyasa dan Yusdja (2005) bahwa pemakaian pupuk urea di tingkat petani melebihi dosis anjuran. Pemikiran petani yang menganggap
179
pupuk urea merupakan pupuk utama sedangkan jenis pupuk KCL dan SP-36 hanya bersifat pelengkap (Rachman, 2003). Kariyasa, Maulana dan Murdianto (2004) menyebutkan upaya pemerintah melindungi petani melalui kebijakan subsidi pupuk belum bisa berjalan seperti yang diharapkan, yang terbukti masih seringnya terjadi fenomena lonjakan harga dan kelangkaan pupuk di tingkat petani. Tabel 24 menunjukkan petani kesulitan memperoleh pupuk bersubsidi, baik Urea, SP-36, ZA, dan NPK, dan diikuti dengan harga pupuk yang sulit terjangkau. Kariyasa, Maulana dan Murdianto (2004) mengemukakan bahwa kelangkaan pupuk di pasar domestik karena terjadinya perembesan pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non-subsidi, yang terjadi pada daerah-daerah yang berdekatan dengan perkebunan besar. Kondisi tersebut juga dihadapi petani di desa Sungai Parit dimana pupuk subsidi mengalami perembesan ke sektor perkebunan kelapa sawit. Kondisi tersebut menyebabkan harga pupuk lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, seperti ditunjukkan pada Tabel 25. Hasil studi Rachman et al (2002) yang dikutip Rachman (2003) di lima propinsi sentra produksi padi menunjukkan hasil yang berbeda dengan kondisi Kontak Tani di kecamatan Sei Rampah. Petani membeli pupuk Urea, SP-36, KCL dan ZA di lima propinsi sentra produksi lebih mahal, masing-masing 18 persen, 1 persen, 31 persen dan 19 persen dari harga yang seharusnya dibayar oleh petani. Permasalahan lain yang memberatkan petani yaitu distributor mewajibkan petani membeli pupuk dengan sistem paket, ditunjukkan pada Tabel 24, dimana petani tetap dalam posisi yang dirugikan. Kerugian yang dialami oleh petani menurut Penyuluh Pertanian Lapangan: (1) petani harus mengeluarkan tambahan
180
biaya di luar pupuk bersubsidi, (2) petani memiliki keterbatasan pengetahuan untuk mengaplikasikan teknologi baru yang dipaketkan dengan pupuk bersubsidi, dan (3) sarana produksi yang dipaketkan dengan pupuk bersubsidi tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Tabel 25. Harga Pupuk Bersubsidi Urea dan SP-36 di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai , Musim Tanam 2008 – 2009 N o 1
Uraian
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0.01- 0.51- 1.01- 1.51- > 2.00 0.50 1.00 1.50 2.00
Rataan
Harga pupuk Urea Bersubsidi Tahun 2008 1.1 Musim Tanam Kering 2008 1 500 1 469 1 500 1 480 1 500 1 489 (Rp/Kg) 1.2 Musim Tanam Hujan 2008 1 500 1 469 1 500 1 480 1 500 1 489 (Rp/Kg) 1.3 Musim Tanam Kering 2009 1 500 1 476 1 510 1 504 1 500 1 498 (Rp/Kg) 1.4 HET Tahun 2008-2009 1 200 1 200 1 200 1 200 1 200 1 200 (Rp/Kg) 1.5 Harga Urea lebih mahal dari 25.00 22.16 25.00 23.33 25.00 24.08 HET Musim Tanam Kering 2008 (%) 1.6 Harga Urea lebih mahal dari 25.00 22.16 25.00 23.33 25.00 24.08 HET Musim Tanam Hujan 2008 (%) 1.7 Harga Urea lebih mahal dari 25.00 23.00 25.83 25.33 25.00 24.83 HET Musim Tanam Kering 2009 (%) 2 Harga pupuk SP-36 Tahun 2008 2.1 Musim Tanam Kering 2008 1 750 1 646 1 633 1 680 1 600 1 662 (Rp/Kg) 2.2 Musim Tanam Hujan 2008 1 750 1 646 1 633 1 680 1 600 1 662 (Rp/Kg) 2.3 Musim Tanam Kering 2009 1 775 1 659 1 660 1 732 1 600 1 685 (Rp/Kg) 2.4 HET Tahun 2008-2009 1 550 1 550 1 550 1 550 1 550 1 550 (Rp/Kg) 2.5 Harga SP-36 lebih mahal dari 12.90 6.19 5.35 8.38 3.22 7.21 HET Musim Tanam Kering 2008 (%) 2.6 Harga SP-36 lebih mahal dari 12.90 6.19 5.35 8.38 3.22 7.21 HET Musim Tanam Hujan 2008 (%) 2.7 Harga SP-36 lebih mahal dari 14.51 6.32 7.09 11.74 3.22 8.58 HET Musim Tanam Hujan 2009 (%) Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, tahun2008/2009. Keterangan: Harga Urea, SP-36, ZA dan NPKphonska tahun 2008 dan 2009 di Lini IV di propinsi Sumatera Utara sama,sesuai Surat Gubsu No 32 tahun 2008.
181
Sistim paket yang merugikan petani, misalnya pupuk bersubsidi dipaketkan dengan pupuk KCL atau pestisida. Disisi lain petani di kecamatan Sei Rampah jarang menggunakan pupuk KCL karena harganya kurang terjangkau petani. Petani di kecamatan Sei Rampah membeli pupuk lebih mahal dibandingkan petani di lima propinsi. Petani membeli pupuk Urea dan SP-36 masing-masing 24.08 persen, 7.21 persen lebih mahal dari HET pada MTK 2008 (Tabel 25). Harga pupuk Urea dan SP-36 pada MTK 2009, masing-masing 24.83 dan 8.58 persen lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayar petani, meskipun HET pupuk bersubsidi tetap sama dengan tahun 2008. Tabel 26 menunjukkan harga beli pupuk ZA dan NPK phonska oleh petani sekitar 34.09 dan 10.62 persen diatas HET pupuk bersubsidi pada MTK 2008. Hasil ini berbeda dengan studi Rachman et al (2002) yang dikutip Rachman (2003) di lima propinsi sentra produksi padi, dimana harga ZA diatas HET sebesar 19 persen, dengan kata lain, harga ZA di kecamatan Sei Rampah lebih tinggi dibandingkan dengan ke lima propinsi sentra produksi padi. Harga pupuk ZA dan NPK phonska pada MTK 2009, masing-masing 35.53 dan 15.42 persen diatas HET, meskipun HET pupuk urea dan SP-36 bersubsidi tidak berubah dari tahun 2008,masing-masing Rp 1 200 per kg dan Rp 1 550 per kg. Kondisi diatas membuktikan bahwa kebijakan pupuk bersubsidi belum efektif, karena tujuan yang diharapkan pemerintah melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No 70/MPP/Kep/2/2009 tentang pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi tidak terlaksana. Pasal 10 ayat 3 menyebutkan bahwa pengecer wajib menjual bersubsidi kepada petani dengan HET, artinya
182
harga yang dibayar petani kepada pengecer sebagai pelaksana resmi harus sesuai dengan harga HET.
Tabel 26. Harga Pupuk Bersubsidi ZA dan NPK di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai , Musim Tanam 2008 – 2009 N o 1
Uraian
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0.01- 0.51- 1.01- 1.51- > 0.50 1.00 1.50 2.00 2.00
Rataan
Harga pupuk ZA Tahun 2008 1 450 1 381 1 417 1 344 1 450 1.1 Musim Tanam Kering 2008 1 408 (Rp/Kg) 1 450 1 383 1 417 1 344 1 450 1 409 1.2 Musim Tanam Hujan 2008 (Rp/Kg) 1.3 Musim Tanam Kering 2009 1 475 1 383 1 427 1 372 1 450 1 421 (Rp/Kg) 1.4 HET Tahun 2008-2009 1 050 1 050 1 050 1 050 1 050 1 050 (Rp/Kg) 1.5 Harga ZA lebih mahal dari 38.09 31.52 34.95 28.00 36.47 34.09 HET Musim Tanam Kering 2008 (%) 1.6 Harga ZA lebih mahal dari 38.09 31.71 34.95 28.00 36.47 34.19 HET Musim Tanam Hujan 2008 (%) 1.7 Harga ZA lebih mahal dari 40.47 31.71 35.90 30.66 36.47 35.33 HET Musim Tanam Kering 2009 (%) 2 Harga pupuk NPK Phonska Tahun 2008 2.1 Musim Tanam Kering 2008 1 800 1 992 1 900 1 940 2 050 1 936 (Rp/Kg) 1 936 2.2 Musim Tanam Hujan 2008 1 800 1 992 1 900 1 940 2 050 (Rp/Kg) 2 020 2.3 Musim Tanam Kering 2009 2 000 2 047 1 960 1 992 2 100 (Rp/Kg) 1 750 2.4 HET Tahun 2008-2009 (Rp/Kg) 1 750 1 750 1 750 1 750 1 750 10.62 2.5 Harga NPK phonska lebih 2.85 13.82 8.57 10.85 17.14 mahal dari HET Musim Tanam Kering 2008 (%) 10.62 2.6 Harga NPK phonska lebih 2.85 13.82 8.57 10.85 12.40 mahal dari HET Musim Tanam Hujan 2008 (%) 15.42 2.7 Harga NPK phonska lebih 14.28 16.97 12.00 13.82 20.00 mahal dari HET Musim Tanam Kering 2009 (%) Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, tahun 2008/2009. Keterangan: Harga Urea, SP-36, ZA dan NPKphonska tahun 2008 dan 2009 di Lini IV di propinsi Sumatera Utara sama,sesuai Surat Gubsu No 32 tahun 2008.
183
Harga pupuk bersubsidi yang lebih tinggi dari HET, sehingga petani tidak melakukan pupuk berimbang dan menerapkan dosis pemupukan sesuai anjuran. Pemupukan berimbang yang dianjurkan pemerintah untuk pupuk Urea 225 kg per ha, ZA 100 kg per ha, SP 150 kg per ha dan KCL 100 kg per ha. Kendala keterbatasan modal dan pupuk menyebabkan terdapat perbedaan rekomendasi pemupukan dengan jumlah pupuk yang diberikan oleh petani. Pada MTK 2008, jumlah pupuk per ha untuk Urea, SP-36, ZA, NPK phonska, masing-masing 126.92, 69.27, 71.73 dan 80.91 kg. Berdasarkan fakta tersebut maka diktum tentang penggunaan pupuk berimbang dalam usahatani padi dalam Inpres No 1 Tahun 2008 belum tercapai. Tabel 27. Persepsi Petani terhadap Distribusi Pupuk Bersubsidi Tidak Tepat di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2009 (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Dampak yang Dialami Pertumbuhan padi terhambat Waktu pemupukan terlambat Dosis pemupukan tidak tepat Hasil panen berkurang Pendapatan turun Kecewa Demonstrasi Merugikan petani
Sumber :
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0.010.511.01- 1.51> 2.00 0.50 1.00 1.50 2.00 0.00 3.33 3.33 0.00 0.00
Total 6.66
0.00
6.66
0.00
3.33
0.00
9.99
0.00
0.00
3.33
0.00
0.00
3.33
13.32 0.00 3.33 0.00 0.00
23.31 0.00 0.00 0.00 3.33
9.99 0.00 3.33 0.00 0.00
13.32 3.33 0.00 3.33 0.00
6.66 0.00 0.00 0.00 0.00
66.6 3.33 6.66 3.33 3.33
Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, tahun 2008/2009.
Persepsi petani ketika distribusi pupuk bersubsidi tidak tepat waktu dapat dilihat pada Tabel 27. Sekitar 69.93 persen petani menyatakan hasil panen berkurang apabila distribusi pupuk bersubsidi tidak tepat waktu di petani. Seperti yang dikemukakan oleh
Kariyasa, Maulana dan Mardianto (2004),
yang
184
menginformasikan prinsip dasar pemberian subsidi pupuk yaitu prinsip azas 6 tepat ( tepat waktu, jumlah, jenis, tempat, mutu dan harga yang layak) dan subsidi harus dan sepatutnya sebesar-besarnya dinikmati oleh petani. Sekitar 3.33 persen petani akan melakukan demonstrasi untuk menyalurkan aspirasinya. Petani padi sawah pernah melaksanakan demonstrasi ke DPRD Serdang Bedagai terkait dengan kelangkaan pupuk. Tabel 28 Harga Pupuk Bersubsidi dan Non Subsidi Informasi di Tingkat Petani Tahun 2009 di Kecamatan Sei Rampah No
Jenis Pupuk 1
1 2 3
Urea ZA NPK
Harga Pupuk Non Bersubsidi (Rp/Zak) 2 180 000 140 000 400 000
Harga Pupuk Bersubsidi (Rp/Zak) 3 70 000 65 000 100 000
4 S-Phos/SP-36 TD 85 000-90 000 5 Petro Organik TD 25 000/20 kg Sumber : Petani Ket: 1 Zak = 50 Kg. TD= Tidak Ada Keterangan: Persentase diperoleh dari Kolom (2- 3)/ 3 x 100%
Perbedaan (Rp/Zak)
Perbedaan (%)
4= 2-3 110 000 75 000 300 000 -
5 157.14 115.38 300.00 -
Petani kesulitan menerapkan pupuk organik, karena sebagian lahan sawah memiliki struktur lahan sawah berpasir. Disisi lain, petani tidak mudah mengubah sikap fanatik terhadap pupuk kimia beralih ke pupuk organik, sehingga wajar petani menggunakan pupuk organik dalam jumlah relatif rendah, 18.33 kg per ha. Kendala lain yang dihadapi petani yaitu keterbatasan sumberdaya modal (28.19 persen), disisi lain harga pupuk non-bersubsidi tidak terjangkau. Sebagai contoh, harga pupuk urea non-subsidi bisa mencapai 157.14 persen lebih tinggi dari harga pupuk urea bersubsidi, seperti ditunjukkan Tabel 28. Keterbatasan modal menyebabkan petani tergantung dengan pedagang pupuk sehingga petani menambah biaya sekitar 10-15 persen dari harga pembelian pupuk. Kondisi dimana petani membayar utang setelah panen disebut yarnen.
185
Apabila harga pembelian pupuk urea sebesar Rp 75 000 per zak maka waktu panen petani membayar sebesar Rp 90 000. Dengan kata lain, beban biaya per kg pupuk urea yang ditanggung oleh petani sebesar Rp 300 per kg. Sistem pembayaran melalui yarnen menyebabkan harga pupuk urea per kg meningkat tajam dari Rp 1 200 menjadi Rp 1 800 per kg, artinya harga urea lebih mahal 50 persen dari HET yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian, petani menghadapi kesulitan melakukan pemupukan tiga kali, karena biaya yang dikeluarkan petani naik. Tabel 29. Sumber Informasi Petani Tentang Kebijakan Pupuk Bersubsidi di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2009 (%) No
Sumber Informasi
1
Penyuluh Pertanian Lapangan Kontak Tani Petani Lain Dinas Pertanian KUPD Telivisi Radio Koran Kios/Pedagang Pupuk
2 3 4 5 6 7 8 9
Sumber :
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) Total 0.010.511.011.51> 0.50 1.00 1.50 2.00 2.00 13.32 33.30 16.65 9.99 6.66 79.92 0.00 3.33 9.99 3.33 9.99 3.33 6.66 0.00
6.66 6.66 13.32 23.31 13.32 3.33 6.66 3.33
0.00 6.66 9.99 3.33 6.66 6.66 3.33 0.00
0.00 0.00 6.66 3.33 6.66 0.00 0.00 3.33
0.00 0.00 0.00 3.33 6.66 0.00 0.00 0.00
6.66 16.65 39.96 36.63 43.29 13.32 16.65 6.66
Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, tahun 2008/2009.
Tabel 29 menunjukkan bahwa sumber informasi petani terbesar diperoleh dari tenaga PPL mencapai
79.92 persen. Disamping PPL, kegiatan petani
mengikuti pertemuan kelompok tani juga menjadi sumber informasi untuk mengikuti kebijakan pupuk bersubsidi, yaitu melalui kontak tani dan petani, masing-masing 6.66 dan 16.65 persen. Kinerja Kepala Unit Pertanian Daerah (KUPD) yang merangkap sebagai petani dan kegiatan pertanian lainnya juga
186
merupakan sumber informasi yang efektif bagi petani mengikuti perkembangan kebijakan pemerintah. Kondisi tersebut mengindikasikan kesadaran petani akan pentingnya peranan pupuk dalam meningkatkan produksi padi. Tabel 29 menunjukkan sekitar 16.65 persen petani mengharapkan pemerintah berusaha sehingga pupuk bersubsidi dengan tepat waktu sampai di petani. Hasil survey terhadap delapan orang PPL menunjukkan bahwa distribusi pupuk tidak tepat waktu sampai di petani. Tabel 30. Respon Petani terhadap Kebijakan Pupuk Bersubsidi di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2009 No
Uraian
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0.01- 0.51- 1.01- 1.51- > 0.50 1.00 1.50 2.00 2.00
Total (%)
1
Mengikuti Kebijakan HET(%) 1.1 Ya 0.00 33.30 16.65 9.99 6.66 66.60 1.2 Tidak 13.32 6.66 3.33 6.66 0.00 29.97 2 Dukungan Pemerintah 5T + H (%) 2.1 Ya 3.33 6.66 3.33 3.33 3.33 19.98 2.2 Tidak 6.66 33.30 16.65 13.32 6.66 76.69 2.3 Ya dan Tidak 3.33 0.00 0.00 0.00 0.00 3.33 Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, tahun 2008/2009.
Tabel 30 menunjukkan bahwa persentase petani mengikuti kebijakan HET mencapai 66.6 persen, artinya petani memiliki respon positif terhadap kebijakan pemerintah, tetapi tidak ada jaminan dimana petani memberikan penilaian positif terhadap kebijakan pemerintah. Penilaian petani terhadap kebijakan distribusi pupuk bersubsidi terkait dukungan pemerintah terhadap pelaksanaan 5T+H (tepat waktu, jumlah, jenis, tempat, mutu dan harga yang layak) rendah, dimana 76.99 persen dari petani mengatakan ’Tidak’ artinya pelaksanaan 5T + H tidak dirasakan petani.
187
Dari sisi PPL, kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah sehingga distribusi pupuk bersubsidi memenuhi 5T+ H, yaitu : (1) alokasi pupuk bersubsidi disesuaikan dengan RDKK, (2) birokrasi dipermudah, (3) perlu pelayanan PT Pusri langsung ke kios penyalur yang menjadi mitra petani, (4) produsen pupuk langsung memberikan pupuk bersubsidi kepada Kelompok Tani, (5) perlu adanya penyuluhan tentang pertanian, melalui pertemuan dan kunjungan kepada petani maupun Kelompok Tani, dan (6) RDKK sudah selesai dalam dua minggu dan satu bulan sebelum pengolahan tanah dan pihak distributor meresponinya dengan cepat. 5.1.4
Kebijakan Rehabilitasi Lahan Irigasi Kendala terbesar yang dihadapi petani dalam infrastruktur irigasi yaitu
ketersediaan air untuk irigasi terbatas, sekitar 63.27 persen, seperti ditunjukkan Tabel 31. Kendala tersebut secara signifikan mempengaruhi produksi padi, seperti yang dikemukakan oleh Herdt dan Wickham (1978), bahwa ada tidaknya irigasi merupakan kendala terbesar sehingga terjadi gap antara produksi potensial dengan produksi aktual. Tabel 31 menunjukkan bahwa petani dengan skala penguasaan lahan sawah diatas dua ha tidak mempunyai kendala di infrastruktur irigasi, kecuali di desa Sungai Parit, dengan kendala ketersediaan air untuk irigasi yang terbatas dan saluran pembuangan air yang kurang berfungsi. Sebaliknya, petani yang usahataninya berada di desa Pematang Pelimpahan
tidak mempunyai
kendala seperti yang ditampilkan dalam Tabel 31. Posisi daerah persawahan di kecamatan Sei Rampah berdekatan dengan ibukota kabupaten dan perkebunan kelapa sawit merupakan daya tarik besar kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan pada masa yang datang, apabila
188
rehabilitasi lahan irigasi tidak diprioritaskan oleh pemerintah. Fakta empiris tersebut sejalan dengan Iqbal dan Sumaryanto (2007), yang mengemukakan daerah persawahan yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan paling rentan terhadap alih fungsi lahan. Disisi lain Irawan (2005) mengemukakan bahwa lahan sawah yang sudah dikonversi bersifat permanen atau tidak pernah berubah kembali menjadi lahan sawah. Tabel
31.Kendala Petani di Bidang Infrastruktur Irigasi dalam Mengimplementasikan Kebijakan Perberasan di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2009 (%)
No
1 2 3 4 5 6 7
Permasalahan Dihadapi Petani Ketersediaan air untuk irigasi terbatas Irigasi belum tersedia Pembuangan air irigasi tidak tersedia Saluran pembuangan air kurang berfungsi Tali air mengalami kebocoran Pintu air irigasi rusak Bendungan air tidak berfungsi
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah Jumlah (Ha) 0.01- 0.511.01- 1.51> 0.50 1.00 1.50 2.00 2.00 6.66 26.64 9.99 16.65 3.33 63.27 3.33 3.33
0.00 0.00
0.00 0.00
0.00 0.00
0.00 0.00
3.33 3.33
3.33
0.00
0.00
0.00
3.33
6.66
0.00
0.00
3.33
0.00
0.00
3.33
0.00 0.00
0.00 3.33
3.33 0.00
0.00 0.00
0.00 0.00
3.33 3.33
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, tahun 2008/2009.
Perbaikan jaringan irigasi di kecamatan Sei Rampah merupakan prioritas utama bagi pemerintah sehingga petani tidak terdorong melakukan konversi lahan sawah. Mengikuti apa yang diungkapkan oleh Pasandaran (2007) bahwa penundaan investasi publik untuk infrastruktur irigasi berarti menunda kemampuan mendukung ketahanan pangan di masa yang akan datang memperbesar impor beras. Perlu disadari benar oleh pemerintah membangun irigasi berarti mendukung kesejahteraan petani.
bahwa
189
Di desa Sungai Parit, dengan debet air sungai hanya mampu mengairi sawah seluas 80 hektar, tidak memungkinkan melakukan tanam serempak, sehingga menciptakan peluang kepada hama (tikus) memiliki ruang gerak yang lebih luas, yang berdampak terhadap kerusakan tanaman padi sawah. Serangan hama tikus menyebabkan produktifitas padi sawah turun. Perbaikan jaringan irigasi akan meningkatkan debet air sehingga mampu mengairi sawah yang lebih luas sehingga tanam serempak terlaksana, dengan demikian dapat meminimalkan serangan hama tikus. Permasalahan
utama
petani
sebagai
pelaku
kebijakan
dalam
mengimplementasikan kebijakan perberasan adalah ketersediaan air untuk irigasi terbatas, mencapai 63.27 persen dari petani, ditunjukkan pada Tabel 31. Di desa Sungai Parit, kegiatan petani mengatasi permasalahan suplai air dengan melakukan gotong royong pada setiap musim tanam dengan bendungan sementara, dari tumpukan
membangun
plastik yang diisi dengan tanah/pasir.
Kegiatan tersebut membutuhkan tambahan biaya yang dikeluarkan petani sekitar Rp 5 juta Di desa Sei Rejo, petani melakukan pompanisasi dengan cara mengeruk air dari sungai Rampah dan dialirkan ke lahan sawah, dan petani mengeluarkan tambahan biaya sebesar 20 kg gabah per 0.04 ha. Sedangkan di desa Pematang Ganjang, petani melakukan penambahan debet air dengan mesin pompa. Seperti dikemukakan oleh Murdianto, Kariyasa dan Maulana (2005), bahwa terbatasnya sumber daya air akan mendorong pengembangan irigasi pompa, khususnya pada lahan tadah hujan. Curah hujan tinggi, tanpa dukungan sistem irigasi menyebabkan lahan sawah banjir sehingga menimbulkan kerugian bagi petani. Kerugian dapat terjadi
190
pada masa vegetatif dan panen padi, selanjutnya mempengaruhi pendapatan petani. Dalam bahasa petani, selama jaringan irigasi berfungsi dengan baik maka petani tidak kuatir meskipun harga saprodi naik. 5.1.5 Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah di Petani Tabel 32 menunjukkan petani mengikuti kebijakan HPP dan mampu membedakan Gabah Kering Panen (GKP) dengan Gabah Kering Giling (GKG) tetapi kurang memperhatikan kandungan kadar air gabah dalam transaksi dengan agen/pedagang padi. Persentase petani yang mempertimbangkan kadar air ketika melakukan transaksi dengan pedagang sekitar 33.3 persen, sedangkan sisanya kurang memperhatikan kualitas gabah yang dihasilkan. Teknik yang dilakukan oleh petani mengetahui kandungan air dari gabah yang dijual antara lain : (1) berdasarkan pengalaman dan pengamatan visual, dan (2) mengambil gabah dengan telapak tangan, menggigit dan mematahkan gabah.
Tabel 32. Respon Petani terhadap Kebijakan Perberasan di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2009 No
Uraian
1
Mengikuti Kebijakan HPP (%) 1.1 Ya 1.2 Tidak
2
3
Mampu Membedakan GKP dan GKG (%) 2.1 Ya 2.2 Tidak Gabah dijual dengan Memperhatikan Kadar Air (%) 3.1 Ya 3.2 Tidak
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0.01- 0.51- 1.011.51- > 0.50 1.00 1.50 2.00 2.00
Total (%)
6.66 6.66
19.98 19.98
13.32 6.66
9.99 6.66
6.66 0.00
56.61 39.96
13.32 0.00
39.96 0.00
19.98 0.00
16.65 0.00
6.66 0.00
100.0 0.00
0.00 13.32
13.32 26.64
6.66 13.32
9.99 6.66
0.00 6.66
29.97 66.60
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Tahun 2008/2009.
191
Seperti yang diungkapkan oleh PPL, ketergantungan petani dengan pedagang pupuk yang sekaligus juga sebagai pedagang padi melalui sistem yearnen, menjadi salah satu pertimbangan petani kurang mempertimbangkan kualitas gabah pada saat transaksi berjalan. Faktor-faktor yang mendorong petani menjual gabah ke pedagang/agen padi yaitu : (1) harga beli pedagang/agen padi lebih tinggi dari Harga Pembelian Pemerintah, (2) kebutuhan keluarga yang mendesak meskipun kadang kala ”diakali’ oleh pedagang/agen, dengan melakukan permainan harga. Misalnya harga di penggilingan tidak berbeda dengan harga pedagang/agen padi (3) petani memiliki hutang kepada pedagang padi yang bertindak sebagai pedagang kios pupuk, (4) petani memiliki sumberdaya terbatas untuk mengangkut hasil usahatani, (5) perilaku petani yang sudah terbiasa menjual gabah ke pedagang/agen, (6) mudah melakukan transaksi dan sistem pembayaran dengan tunai, dan (7) harga gabah yang tidak stabil. Studi ini menunjukkan bahwa penjualan gabah dilakukan pada
tingkat usahatani,
artinya petani jarang melakukan kegiatan penjemuran dalam rangka meningkatkan kualitas gabah, sehingga harga jual lebih tinggi. Tabel 33. Sumber Informasi Petani tentang Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai. (%) No
Sumber Informasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Penyuluh Pertanian Lapangan Kontak Tani Petani Lain Pedagang /Agen/Toke Dinas Pertanian KUPD Telivisi Radio Koran
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0.01- 0.51- 1.011.51> 0.50 1.00 1.50 2.00 2.00 13.32 26.64 19.98 13.32 6.66 3.33 3.33 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6.66 0.00 3.33 3.33 3.33 3.33 0.00 0.00 0.00 0.00 16.65 0.00 0.00 6.66 0.00 16.65 3.33 9.99 6.66 0.00 0.00 3.33 0.00 0.00 0.00 3.33 3.33 0.00 0.00
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, tahun 2008/2009.
Total (%) 79.92 6.66 0.00 13.32 6.66 23.31 36.63 3.33 6.66
192
Tabel 33 menunjukkan sumber informasi utama bagi petani mengetahui kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yaitu PPL, TV dan KUPD masingmasing 79.92, 36.63 persen, dan 23.31 persen. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa: (1) pertemuan kelompok tani yang dilakukan satu kali dalam sebulan, merupakan media yang efektif dalam menyampaikan pesan kebijakan pemerintah kepada petani, dan (2) mass media juga merupakan sarana pendukung yang efektif dalam penyampaian kebijakan pemerintah. Informasi yang diberikan PPL terkait dengan kebijakan harga antara lain (1) dampak panen serentak, musim pendaftaran sekolah, hari raya lebaran terhadap harga gabah, (2) harga gabah dari daerah lain, dan (3) pekerja panen lintas kabupaten. Informasi tersebut penting diketahui karena terkait dengan tingkat upah panen, dimana panen dilakukan dengan ”sistem borongan. Survey pendahuluan menunjukkan
harga gabah petani di propinsi
Sumatera Utara lebih tinggi dari HPP, khususnya di daerah sentra produksi padi. Kualitas gabah pada MTH lebih seragam dan kering dibandingkan dengan MTK, sehingga secara umum harga Gabah Kering Panen pada MTH lebih tinggi dari MTK, seperti ditunjukkan Tabel 34, masing-masing 11.06 dan 10.91 persen. Studi Pranadji dan Hutabarat (1998) mengemukakan bahwa gabah yang dijual pada musim gadu (September-Januari), harga di pasaran lebih tinggi dibandingkan dengan Dolog/Bulog. Berdasarkan indikator yang digunakan Simatupang, Murdianto, Kariyasa dan Maulana (2005), disimpulkan bahwa HPP GKP yang ditetapkan melalui Inpres
No 3 Tahun 2007, No 1 Tahun 2008 dan No 8 Tahun 2008 dapat
terlaksana secara efektif dan berjalan relatif stabil. Kesimpulan ini didasarkan
193
pada beberapa fakta berikut ini. Pertama, rata-rata harga GKP dan
yang
diterima petani lebih tinggi dari HPP GKP. Kedua, harga GKP di tingkat petani stabil pada tingkat harga yang cukup tinggi (di atas HPP) dan yang lebih penting kenaikan harga GKP lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga GKG. Dengan kata lain, Inpres No 3 Tahun 2007, No 1 Tahun 2008 dan No 8 Tahun 2008 Tahun 2005 mampu meningkatkan pendapatan petani padi, karena dalam kenyataannya sebagian besar petani menjual gabahnya dalam bentuk GKP. Tabel 34. Perbedaan Harga Gabah Kering Panen dengan HPP GKP di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, MT 2008 Strata Lahan Sawah (Ha) 0.01-0.50 0.51-1.00 1.01-1.50 1.51-2.00 >2.00 Rata-rata
Harga GKP MTK 2008 Harga Jual HPP GKP Perbedaan (RP/Kg) (Rp/Kg) (%) 2 400.00 2 495.83 2 441.67 2 580.00 2 300.00 2 443.50
2 200 2 200 2 200 2 200 2 200 2 200
9.09 13.44 10.98 17.27 4.54 11.06
Harga GKP MTH 2008 Harga Jual HPP GKP Perbedaan (Rp/Kg) (RP/Kg) (%) 2 575.00 2 662.50 2 683.33 2 740.00 2 650.00 2 662.16
2 400 2 400 2 400 2 400 2 400 2 400
7.29 10.93 11.80 14.16 10.41 10.91
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, tahun 2008/2009. Dari sisi pendekatan harga, instrumen HPP dalam Inpres efektif, bukan berarti implementasi Inpres pada tingkat petani di kecamatan Sei Rampah lepas dari kendala. Beberapa kendala yang dihadapi: (1) pembelian gabah petani tidak dilakukan oleh Perum Bulog/badan pemerintah/badan usaha di bidang pangan tetapi oleh agen/pedagang, (2) pada umumnya proses penjualan gabah diantara petani dengan pedagang berdasarkan pengalaman agen, tidak mengikuti persyaratan kualitas kadar air maksimum dan kadar hampa/kotoran sesuai dengan diktum keenam dalam Instruksi Presiden, (3) petani tetap dalam posisi tawar yang lemah, dalam penentuan harga gabah, karena adanya informasi yang tidak simetris
194
diantara petani dengan agen/pedagang, sehingga petani bersikap pasrah terhadap informasi yang diterima, (4) kendala infrastruktur seperti ketidakadaan alat pengukur kadar air gabah, kerusakan jalan, jembatan yang rusak, merupakan ”alat pembenaran harga” oleh pedagang, dan petani menerima saja harga yang ditentukan oleh pedagang, dan (5) pada kasus tertentu, petani berusaha meningkatkan ”posisi tawar” nya dengan menyebutkan harga gabah pembelian pemerintah, justru melemahkan posisi petani, karena reaksi si agen/pedagang menyuruh petani menjual gabahnya ke pemerintah atau PPL yang pada faktanya tidak mungkin dilakukan. 5.1.6 Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah di Pedagang Padi Pedagang padi mengelompokkan kualitas Gabah Kering Panen yang terdiri dari: (1) kualitas gabah B yaitu kondisi gabah baik (kering, bersih dan persentase beras diatas 53 persen), artinya dalam 100 kg gabah dihasilkan beras lebih besar dari 53 kg, (2) kualitas gabah B-II yaitu kondisi gabah lembab, bersih dan agak hijau dimana persentase beras mencapai 50-53 kg beras, artinya dalam 100 kg gabah dihasilkan beras antara 50 kg-53 kg, (3) kualitas gabah B- III yaitu kondisi gabah kotor, basah, agak hijau dan persentase beras dihasilkan per 100 kg gabah yaitu lebih kecil 50 persen atau kurang dari 50 kg beras, (4) kualitas gabah BX yaitu kondisi gabah kotor, hijau dan basah, dan (5) kualitas gabah BXX yaitu kondisi gabah sangat kotor, sangat hijau dan sangat basah (hitam) karena padi yang kena banjir. Produksi padi pada Musim Tanam Hujan 2006 di desa Pematang Ganjang dijual pada bulan Februari - Mei 2007. Menurut Inpres No 13 Tahun 2005 tentang Kebijakan Perberasan pada diktum keempat disebutkan Harga Pembelian Gabah
195
Kering Panen dalam negeri Rp 1 730 per kilogram di penggilingan, dan memenuhi persyaratan kualitas dengan kadar air maksimum 25 persen. Inpres No 13 Tahun 2005 mulai berlaku pada tanggal 10 Oktober 2005 sampai 31 Maret 2007. Oleh karena diktum pada Inpres No 13 Tahun 2005 tidak menyebutkan secara eksplisit Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen di tingkat petani, maka harga gabah menurut spesifikasi pedagang dibandingkan dengan HPGP di penggilingan. Inpres No 2 Tahun 2005 juga tidak secara eksplisit menyebutkan Harga Pembelian Pemerintah pada tingkat petani, sehingga untuk keperluan analisis, maka Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen sebesar Rp 1 700 di tingkat petani. Dalam kurun waktu Februari-Mei 2007 terjadi 25 kali transaksi diantara pedagang padi dengan petani, pedagang padi dengan penggilingan padi. Sedangkan pada Maret 2007,
terjadi 16 kali transaksi antara pedagang padi
dengan petani, dimana harga beli pedagang untuk kualitas B, B-II dan B-III berfluktuasi, masing-masing dari Rp 2 400 - Rp 2 675 per kg, Rp 2 325 – Rp 2 625 per kg, dan Rp 2 325- Rp 2 525 per kg, seperti terlihat pada Lampiran 6 . Grafik pada Gambar 25 diperoleh dengan cara selisih harga kualitas B, BII dan B-III dengan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen pada tingkat petani, kemudian dibagi dengan Harga Pembelian Pemerintah dan dikali seratus. Transaksi pada tanggal 15-16 Maret 2007 diantara petani dengan pedagang padi menunjukkan sekitar 57.4 persen harga gabah kualitas B lebih tinggi dari HPP Gabah Kering Petani. Perubahan Inpres No 13 Tahun 2005 menjadi Inpres No 3 Tahun 2007 tentang Kebijakan Perberasan menyebabkan HPP Gabah Kering Panen naik menjadi Rp 2 000 per kg di petani.
196
Kenaikan HPP tersebut menyebabkan perbedaan harga gabah kualitas B terhadap HPP Gabah Kering Panen pada tingkat petani turun. Transaksi pada tanggal 2 April 2007 menunjukkan harga gabah kualitas B, B-II dan B-III turun menjadi 21.3, 17.5 dan 17.5 persen dari transaksi sebelum Inpres No 3 Tahun 2007 dikeluarkan pemerintah. Harga gabah kualitas B, B-II dan B-III di petani berfluktuasi sepanjang bulan Maret 2007 dalam 16 kali transaksi antara pedagang padi dengan petani.
Sumber: Pedagang Padi, Februari 2007- April 2007, diolah
Gambar 25. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Petani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Hujan 2006 Data diatas mengindikasikan bahwa harga gabah kualitas B, B-II dan B-III setiap harinya bervariasi, meskipun ditemukan pada hari tertentu harga gabah yang tidak berubah. Misalnya, harga gabah kualitas B-II pada tingkat petani pada tanggal 10 dan 15-17 Maret 2007, yaitu Rp 2 575 per kg. Transaksi pedagang padi dengan petani, pedagang dengan pihak penggilingan, pada kurun waktu tanggal
197
25 Agustus 2007- 04 Oktober 2007 dilakukan 29 kali. Harga gabah kualitas B, BII dan B-III baik pada tingkap petani dan penggilingan pada kurun waktu tanggal 2 Februari 2007- 08 Mei 2007, lebih fluktuatif dari transaksi pada kurun waktu tanggal 25 Agustus 2007- 04 Oktober 2007.
Sumber: Pedagang Padi Bulan Februari 2007-April 200, diolah
Gambar 26. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Penggilingan di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Hujan 2006 Harga gabah kualitas B di penggilingan lebih tinggi dari petani, seperti terlihat pada Lampiran 6, tetapi transaksi tanggal
16 dan 17 Maret 2007,
persentase harga gabah kualitas B diatas HPP GKP penggilingan lebih rendah dari HPP GKP petani. Pada tanggal tersebut, harga gabah kualitas B diatas harga yang ditetapkan pemerintah sebesar 56.07 persen, seperti ditunjukkan pada Gambar 26. Perubahan regulasi kebijakan perberasan menyebabkan harga kualitas gabah B, B-II dan B-III diatas HPP GKP di penggilingan menurun tajam pada tanggal 2 April 2007.
198
Harga gabah kualitas B, B-II dan B-III berbeda diantara MTK 2007 dengan MTH 2006, dimana pada MTH 2006, harga Gabah kualitas B baik di tingkat petani dan penggilingan diatas HPP GKP, sebaliknya harga Gabah Kualitas B, baik di tingkat petani dan penggilingan pada MTK 2007, yaitu dari tanggal 31 Agustus-04 September 2007 lebih rendah dari HPP GKP. Pada tingkat petani, frekwensi harga gabah kualitas B-III lebih rendah dari HPP GKP mencapai 16 kali dari 29 kali (55.17 persen) pada MTK 2007, seperti ditunjukkan pada Gambar 27. Transaksi pada tanggal 01 September 2007 menghasilkan perbedaan harga tertinggi antara gabah kualitas B-III dengan HPP GKP, dimana HPP GKP lebih tinggi 12.5 persen dari harga gabah kualitas B-III.
Sumber: Pedagang Padi, Agustus 2007-Oktober 2007, diolah
Gambar 27. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Petani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Kering 2007 Lampiran 6 menunjukkan perbandingan harga gabah kualitas B, B-II dan B-III dengan HPP Gabah Kering Panen: (1) frekwensi harga gabah kualitas B-III
199
sama dengan HPP GKP pada tingkat petani lebih kecil (3.44 persen), (2) frekwensi harga gabah kualitas B-II sama dengan HPP GKP mencapai tujuh kali (24.13 persen), dan (3) frekwensi harga gabah kualitas B sama dengan HPP GKP satu kali (3.44 persen). Harga gabah kualitas B menunjukkan kenaikan pada kurun kurun waktu tanggal 07 September 2007 sampai tanggal 04 Oktober 2007, tetapi harga gabah kualitas B diatas HPP GKP lebih kecil dari sepuluh persen.
Sumber: Pedagang Padi, Agustus 2007-Oktober 2007, diolah
Gambar 28. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Penggilingan di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Kering 2007 Frekwensi harga gabah kualitas B, B-II dan B-III di tingkat penggilingan dibawah HPP GKP, masing-masing 13.79, 20.68 dan 44.82 persen pada MTK 2007. Harga Gabah Kualitas B, B-II dan B-III diatas HPP GKP di penggilingan, masing-masing dimulai tanggal 05 September, 06 September dan 12 September 2007, seperti ditunjukkan pada Gambar 28. Transaksi yang dilakukan pada tanggal 01 September 2007 menghasilkan perbedaan harga tertinggi antara gabah kualitas B-III dengan HPP GKP, dimana HPP GKP lebih tinggi 12.5 persen dari
200
harga gabah kualitas B-III. Sebaliknya, transaksi tanggal 31 Agustus 2007 sampai 04 September 2007, perbedaan harga gabah kualitas B dari HPP GKP pada tingkat penggilingan lebih kecil dari dua persen.
Sumber: Pedagang Padi, Februari 2008-April 2008, diolah
Gambar 29. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Petani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Hujan 2007 Berbeda dengan transaksi yang dilakukan pada MTK 2007, harga gabah kualitas B, B-II dan B-III pada tingkat petani pada transaksi yang dilakukan pada MTH dari bulan Februari - April 2010 diatas HPP GKP. Perbedaan diantara harga gabah kualitas B dengan HPP GKP di tingkat petani
terbesar terjadi pada
transaksi pada tanggal 14-19 April 2008. Pada tanggal tersebut persentase harga gabah kualitas B-II terbesar dibandingkan dengan HPP GKP di tingkat petani, seperti ditunjukkan pada Gambar 29. Bentuk kurva harga gabah kualitas B dengan B-II dan B-III pada tingkat petani sama, slope nya mendatar, yang mengindikasikan bahwa dalam kurun waktu tertentu tidak ada perubahan harga. Sebagai contoh, transaksi diantara
201
pedagang dengan petani yang dilakukan pada periode tanggal 4 Maret – 8 Maret 2008, baik bentuk kurva B, B-II dan B-III adalah sama. Harga Gabah Kualitas B pada tingkat penggilingan lebih tinggi dibandingkan tingkat petani, dengan perbedaan harga mencapai Rp 25 per kg. Angka ini mengindikasikan bahwa margin kotor yang diterima pedagang padi sebesar Rp 25 per kg. Meskipun terdapat perbedaan harga di tingkat penggilingan dengan petani, harga gabah kualitas B, B-II dan B-III lebih tinggi dari HPP GKP di tingkat penggilingan. Slope kurva pada periode tanggal 4 Maret-8 Maret, 12 Maret-15 Maret dan 18 Maret-21 Maret 2008 untuk harga gabah kualitas B, B-II dan B-III pada tingkat petani tidak berbeda dengan slope kurva harga gabah kualitas B, B-II dan B-III di tingkat penggilingan, dimana slope kurvanya samasama mendatar.
Sumber: Pedagang Padi, Februari 2008- April 2008, diolah
Gambar 30. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Penggilingani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Hujan 2007
202
Dari 30 kali transaksi diantara pedagang dengan penggilingan, terdapat tiga kali harga gabah kualitas B mencapai titik tertinggi yaitu Rp 2 750 per kg pada periode tanggal 14 April – 19 April 2008. Harga gabah kualitas B diatas HPP GKP di tingkat penggilingan cenderung fluktuatif, artinya harga tidak bersifat tetap naik (flex up) tetapi naik turun, seperti ditunjukkan pada Gambar 30. Harga Gabah yang bersifat fluktuatif tersebut merupakan karakteristik tanaman pangan (Cremer dan Jansen, 1991)
Sumber: Pedagang Padi, September 2008-Oktober 2008, diolah
Gambar 31. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Petani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Kering 2008 Dalam Diktum Keenam Inpres No 1 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan Harga disebutkan bahwa Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen ditingkat petani dan penggilingan pada MTK 2008 naik menjadi Rp 2 200 dan Rp 2 240 per kg. Kenaikan tersebut diikuti dengan kenaikan harga gabah di tingkat petani dan penggilingan pada MTK 2008. Harga gabah kualitas
203
B, B-II dan B-III baik ditingkat petani dan penggilingan lebih tinggi dibandingkan dengan MTK 2007. Harga gabah kualitas B, B-II dan B-III pada tingkat petani pada transaksi yang dilakukan pada MTK dari bulan September - Oktober 2008 lebih rendah dari transaksi yang dilakukan pada MTH 2007. Transaksi antara pedagang dengan petani pada tanggal 3 September 2008 untuk Gabah Kualitas B yaitu Rp 2 350 per kg. Jika harga tersebut dibandingkan dengan harga tertinggi Gabah kualitas B pada periode tanggal 14 April-19 April 2008 maka terdapat perbedaan harga sebesar Rp 400 per kg. Perbedaan harga beli pedagang terhadap gabah kualitas B dengan B-II yaitu Rp 50 per kg pada tanggal 3, 27 dan 28 September 2008, sedangkan transaksi pada hari lainnya tidak ada perbedaan harga antara gabah kualitas B dengan B-II. Perbedaan diantara harga gabah kualitas B dan B-II dengan HPP GKP di tingkat petani terbesar terjadi pada transaksi pada tanggal 25 September 2008, sebesar 21.59 persen, sedangkan terendah pada tanggal
3
September 2008, pada Gambar 31. Slope kurva harga gabah kualitas B dengan B-II dan B-III pada tingkat petani mendatar. Sebagai contoh, slope kurva pada transaksi diantara pedagang dengan petani yang dilakukan pada periode tanggal 5 September – 7 September, 10 September-12 September, 15-16 September, 18-24 September, dan 27-28 September 2008 adalah datar artinya pada periode tersebut tidak ada perubahan harga dari ke tiga spesifikasi gabah kualitas B, seperti ditunjukkan pada Gambar 31. Harga gabah kualitas B pada tingkat penggilingan lebih tinggi dibandingkan tingkat petani, dengan perbedaan harga mencapai Rp 50 per kg.
204
Angka ini mengindikasikan bahwa margin kotor yang diterima pedagang padi pada MTK 2008 lebih besar dari MTH 2007. Meskipun perbedaan harga di tingkat penggilingan dibandingkan petani sebesar angka diatas, harga gabah Kualitas B, B-II dan B-III masih penggilingan.
Bentuk
kurva
pada
lebih tinggi dari HPP GKP di tingkat transaksi
diantara
pedagang
dengan
penggilingan yang dilakukan pada periode tanggal 5 September-7 September, 10 September-12 September, 15-16 September, 18-24 September, dan 27-28 September 2008 adalah mendatar artinya pada periode tersebut tidak ada perubahan harga ke tiga spesifikasi gabah kualitas B, pada Gambar 32.
Sumber: Pedagang Padi September 2008-Oktober 2008, diolah
Gambar 32. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Penggilingani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedag, Musim Tanam Kering 2008 Dari 26 kali transaksi diantara pedagang dengan penggilingan, terdapat satu kali harga gabah kualitas B mencapai titik tertinggi yaitu Rp 2 725 per kg pada tanggal 25 September 2008, yang mengindikasikan bahwa terjadi kenaikan
205
harga sebelum tanggal tersebut dan penurunan harga sesudahnya. Meskipun harga Gabah kualitas B pada MTK 2008 lebih rendah dari MTH 2007, harga gabah kualitas B masih diatas HPP GKP di tingkat penggilingan. Perubahan Inpres No 1 Tahun 2008 ke No 8 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2009 menyebabkan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen ditingkat petani dan penggilingan pada MTK 2008 naik menjadi Rp 2 400 dan Rp 2 440 per kg. Kenaikan tersebut diikuti dengan kenaikan harga gabah di tingkat petani dan penggilingan pada MTH 2008. Harga gabah kualitas B, B-II dan B-III baik ditingkat petani dan penggilingan lebih tinggi dibandingkan dengan MTH 2007. Harga gabah kualitas B, B-II dan B-III pada tingkat petani yang dilakukan pada tanggal 13 Februari 2009 - 23 April 2009 lebih tinggi dari tanggal 28 Februari-21 April 2008. Transaksi diantara pedagang dengan petani dari tanggal 16 Maret-18 Maret 2009 merupakan Harga Gabah Kualitas B, B-II dan B-III tertinggi, yaitu masing-masing sebesar Rp 2 875, Rp 2 875 dan Rp 2 825 per kg, pada Gambar 33. Jika harga tersebut dibandingkan dengan harga tertinggi gabah kualitas B pada periode tanggal 14 April-19 April 2008 terdapat perbedaan harga masing-masing sebesar Rp 150, Rp 150 dan Rp 125 per kg untuk gabah kualitas B, B-II dan B-III. Jika dibandingkan dengan harga tertinggi pada tanggal 25 September 2008, maka perbedaan harga semakin meningkat, masing-masing sebesar Rp 200, Rp 200 dan Rp 250 per kg. Bentuk kurva harga gabah kualitas B, B-II dan B-III pada tingkat petani sama, dimana slope kurva harga gabah kualitas B yang datar maka slope kurva
206
gabah kualitas B-II dan B-III juga mendatar. Sebagai contoh, slope kurva pada transaksi diantara pedagang dengan petani yang dilakukan pada periode tanggal 13 Maret – 18 Maret, dan 25 Maret-23 April 2009 adalah mendatar. Transaksi yang dilakukan pada tanggal 13 Maret – 18 Maret 2009, harga gabah Kualitas B, B-II dan B-III lebih tinggi dari HPP GKP di petani, masing-masing sebesar 19.79, 19.79 dan 17.71 persen.
Sumber: Pedagang Padi, Februari 2009-April 2009, diolah
Gambar 33. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Petani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Hujan 2008 Harga pada tingkat penggilingan lebih tinggi dibandingkan tingkat petani, dengan perbedaan harga mencapai Rp 25 per kg. Angka ini mengindikasikan bahwa margin kotor yang diterima pedagang padi pada MTH 2008 lebih kecil dari MTK 2008. Transaksi yang dilakukan pada tanggal 13 Maret – 18 Maret 2009, harga gabah kualitas B, B-II dan B-III lebih tinggi dari HPP GKP di petani, masing-masing sebesar 18.85, 18.85 dan 16.80 persen. Slope kurva transaksi
207
diantara pedagang dengan penggilingan yang dilakukan pada periode tanggal 16 Maret – 18 Maret 2009 adalah mendatar artinya pada periode tersebut tidak ada perubahan harga ke tiga spesifikasi gabah kualitas B, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 34.
Sumber: Pedagang Padi, Februari 2009-April 2009, diolah
Gambar 34. Perbedaan Harga Gabah Kualitas B dengan HPP GKP Penggilingani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Hujan 2008 Dari 30 kali transaksi diantara pedagang dengan penggilingan, terdapat tiga kali harga gabah kualitas B mencapai titik tertinggi yaitu Rp 2 900 per kg pada tanggal 16 Maret-18 Maret 2009, yang mengindikasikan bahwa terjadi kenaikan harga sebelum tanggal tersebut dan penurunan harga sesudahnya. Faktor-faktor yang menyebabkan harga gabah petani lebih tinggi dari HPP GKP menurut PPL: (1) terdapat banyak pedagang padi yang langsung membeli gabah pada tingkat usahatani, (2) adanya persaingan harga diantara pedagang padi, (3)
208
permintaan gabah meningkat, (4) kualitas gabah petani baik, dan (5) petani menjual gabah kepada pihak swasta. Pada tingkat pedagang padi, pengelompokan kualitas Gabah Kering Giling (GKG) yaitu: (1) kualitas gabah KR yaitu kondisi gabah kering, dengan tingkat kadar air yang rendah, (2) kualitas gabah KR-II yaitu kondisi Gabah Kering, dengan tingkat kadar air lebih tinggi dari KR, dan (3) kualitas gabah KR II Saga yaitu sisa hasil padi/kering dari kualitas gabah B-III yang dibiarkan hingga lama. Dalam kurun waktu tahun bulan April 2007- Mei 2009, jumlah transaksi antara pedagang dengan penggilingan gabah untuk gabah kualitas KR dan KR2 lebih rendah dibandingkan dengan gabah kualitas B, dimana jumlah transaksi pada kurun waktu diatas hanya 32 kali. Angka ini mengindikasikan bahwa keputusan petani padi di kecamatan Sei Rampah lebih memilih menjual gabah dalam bentuk Gabah Kering Panen. Transaksi gabah kualitas B pada tahun 2007 berlangsung sampai bulan Oktober 2007 sebaliknya transaksi gabah kualitas KR berlangsung sampai dengan bulan Desember 2007, pada Gambar 35. Masa transaksi yang lebih panjang pada gabah kualitas KR karena gabah hasil panen dilakukan kegiatan pascapanen seperti penjemuran, sehingga kadar air gabah lebih rendah dan dapat disimpan lebih lama. Sebaliknya gabah kualitas B, tidak dilakukan kegiatan pascapanen. Harga gabah kualitas B pada transaksi antara pedagang dengan penggilingan pada tanggal 4 Oktober 2007 yaitu Rp 2 100 per kg, sedangkan harga gabah kualitas KR sebesar Rp 2 800 per kg, terdapat perbedaan harga sebesar Rp 700 per kg. Angka ini mengindikasikan bahwa menjual gabah dalam bentuk kualitas KR lebih menguntungkan, tetapi petani memiliki kendala menjual
209
gabah dalam bentuk gabah kualitas KR. Kendala yang dihadapi petani seperti keterbatasan tempat pengeringan padi dan penyimpanan padi.
Sumber: Pedagang Padi, April 2007-April 2009, diolah
Gambar 35.
Perbedaan Harga Gabah Kualitas KR dengan HPP GKG Penggilingan di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Musim Tanam Hujan 2008
Dari 32 kali transaksi diantara pedagang dengan penggilingan, terdapat satu kali harga Gabah Kualitas KR dan KR2 mencapai titik tertinggi yaitu Rp 3 700 per kg pada tanggal 11 Mei 2009, yang mengindikasikan adanya kenaikan harga sebelum tanggal tersebut dan penurunan harga sesudahnya.
Meskipun
harga Gabah Kualitas KR dan KR2 tertinggi pada tanggal tersebut, harga Gabah KR dan KR2 diatas Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Giling (HPGKG) sebesar 23.33 dan 20.00 persen, lebih rendah dari transaksi tanggal 17 April 2008, yaitu 33.98 dan 28.16 persen diatas HPGKG. 5.1.7 Kebijakan Konversi Lahan Sawah Hasil survey menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil (3.33 persen) petani yang menjual sawah, karena alasan ekonomi, artinya bagian terbesar dari petani tidak menjual lahannya. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
210
petani umumnya tidak ingin menjual lahannya dengan tujuan beralih ke sektor non-pertanian dikemukakan (Witjaksono, 1996), yaitu : (1) Kesempatan kerja di sektor non-pertanian relatif terbatas dan tidak memperlihatkan peningkatan yang signifikan, (2) di daerah pedesaan pemilikan lahan merupakan simbol
status
sosial
yang
kuat, dan (3) untuk dapat beralih ke sektor
non-pertanian umumnya dibutuhkan keterampilan tertentu sesuai dengan bidang pekerjaan atau bidang usaha yang digeluti. Kontak Tani menunjukkan kekuatiran terjadinya konversi lahan sawah, apabila perbaikan jaringan irigasi tidak diperhatikan oleh pemerintah. Kondisi tersebut didukung dengan pengalaman seharian para Kontak Tani, ketika membandingkan petani yang berkebun sawit dengan bersawah. Apabila pemerintah tidak serius memperhatikan perbaikan jaringan irigasi, petani di desa Sungai Parit akan mengalihkan lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit, karena keuntungan berkebun sawit lebih menjanjikan dibandingkan dengan bersawah. Sejalan
dengan
pendapat
Iqbal
dan
Sumaryanto
(2007),
yang
mengemukakan faktor-faktor sehingga lahan sawah paling rentan terhadap alih fungsi lahan, antara lain: (1) kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah, (2) daerah persawahan yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan, (3) akibat pola pembangunan masa sebelumnya, infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari wilayah lahan kering, dan (4) pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri dan sebagainya yang cenderung berlangsung lebih cepat diwilayah bertopografi datar.
211
Dalam kurun waktu tahun 2000-2006, di kecamatan Sei Rampah telah terjadi perubahan fungsi lahan sawah menjadi non pertanian mencapai 5 000.288 ha atau sekitar 28.81 persen dari total konversi lahan sawah di kabupaten Serdang Bedagai. Perubahan konversi lahan sawah menjadi perkebunan rakyat, kebun campuran, pemukiman, dan tegalan masing-masing 19.64, 6.58, 1.86 dan 0.72 persen. Data tersebut mengindikasikan bahwa perubahan status lahan sawah menjadi perkebunan rakyat (kelapa sawit) merupakan persentase terbesar dalam kurun waktu enam tahun, artinya setiap tahun terjadi konversi lahan sawah untuk perkebunan rakyat sebesar 3.27 persen. Posisi daerah persawahan di kecamatan Sei Rampah berdekatan dengan ibukota kabupaten dan perkebunan kelapa sawit merupakan daya tarik besar kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan pada masa yang datang, apabila rehabilitasi lahan irigasi tidak diprioritaskan oleh pemerintah. Berdasarkan data primer ditunjukkan bahwa petani yang memiliki lahan darat, mengusahakan tanaman kelapa sawit. Tabel 35 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2000-2006, telah terjadi perubahan fungsi lahan sawah menjadi non pertanian, seperti bakau, perkebunan rakyat, pemukiman, tegalan, kebun campuran dan non irigasi. Perubahan konversi lahan dari sawah menjadi non sawah terbesar terjadi di kecamatan Sei Rampah mencapai 5 000.288 hektar atau sekitar 28.81 persen dari keseluruhan konversi lahan sawah, sedangkan terendah di kecamatan Kotarih 358.507 ha. Alih fungsi lahan sawah menjadi perkebunan rakyat mencapai 11 325. 712 ha atau 65.26 persen dari luas konversi lahan sawah. Dari 12 kecamatan di kabupaten Serdang Bedagai, perubahan konversi lahan sawah menjadi hutan
212
bakau terjadi di kecamatan Tanjung Beringin, Bandar Khalifah dan Sialang Buah, masing-masing 340.824 ha, 283.699 ha dan 32.871 ha. Tabel 35. Konversi Lahan Sawah Menjadi Non Sawah di Kabupaten Serdang Bedagai dari Tahun 2000 -2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kecamatan Bandar Khalifah Bangun Purba Dolok Masihul Galang Kotarih Pantai Cermin Perbaungan Sei Rampah Sialang Buah Sipispis Tanjung Beringin Tebing Tinggi Jumlah
Perubahan Konversi Lahan Sawah Menjadi Non Sawah (Ha) Bakau Kebun PemuTega Kebun Rakyat kiman lan Campuran 283.699 60.422 47.353 92.053 0
Jumlah NonIrigasi 0
483.527
0
540.185
21.73
105.495
0
15.036
682.446
0
913.299
67.764
0
91.93
0.41
1 072.683
0 0 0
1 072.942 258.661 470.305
246.848 0 228.925
0 0 0
195.809 0 75.966
81.673 99.846 0
1 597.272 358.507 775.196
0 0
2 057.028 3 409.051
678.906 323.638
0 125.294
7.37 1 142.305
0 0
2 743.304 5 000.288
32.871
645.631
326.958
0
735.349
0
1 740.809
0 340.824
367.824 343.324
0 153.973
0 0
0 334.931
22.143 0
3 89.967 1 172.562
0
1 187.040
111.206
37.425
0
0
1 335.671
657.394
11 325.712
2 207.301
360.267
2 583.66
219.108
17 353.442
Sumber : BPN, 2009
Konsekwensi pemekaran kabupaten Deli Serdang menjadi dua kabupaten, yaitu Serdang Bedagai dan Deli Serdang menjadi faktor utama terjadinya konversi lahan sawah menjadi non sawah, karena permintaan lahan untuk kebutuhan pemukiman cukup tinggi, seperti yang terjadi pada tiga kecamatan, yaitu Perbaungan, Sei Rampah dan Sialang Buah. 5.1.8 Perspektif Kebijakan Perberasan Ke Depan Pada Tingkat Petani Bantuan Langsung Benih Unggul yang diberikan kepada petani kurang memadai dan terlambat diterima oleh petani. Besarnya BLBU belum mengikuti ketentuan pemerintah, karena jumlahnya kurang dari 25 kg per ha. Pemerintah perlu konsisten melaksanakan kebijakan BLBU yang ditawarkan kepada petani, sehingga tujuan kebijakan tercapai. Besarnya BLBU diterima petani disesuaikan dengan luas hamparan sawah yang diusahai oleh masing-masing kelompok tani.
213
Jenis varitas BLBU yang diberikan yaitu varitas Ciherang. Pemerintah melalui KUPD/PPL memfasilitasi pendistribusian BLBU antara produsen benih (PT SHS dan PT Pertani) sehingga menimbulkan rasa adil diantara kelompok tani. Pembangunan irigasi dan perbaikan sistim jaringan irigasi merupakan syarat esensial untuk mewujudkan tujuan kebijakan perberasan, ditunjukkan pada Tabel 36. Seperti yang diungkapkan oleh Pasandaran (2007) bahwa adanya teknologi revolusi hijau yang responsif terhadap air memerlukan upaya perbaikan infrastruktur irigasi yang sudah ada dan perluasan sistem irigasi khususnya di luar Jawa. Pemerintah memberikan prioritas utama dalam pembangunan irigasi dan perbaikan sistim irigasi, sehingga petani tidak ”tergoda” melakukan konversi lahan. Petani memiliki ”godaan’ mengkonversi lahan sawah menjadi lahan sawit, karena mengusahakan perkebunan kelapa sawit lebih menjanjikan dibandingkan dengan bertanam padi. Hasil survey menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil (3.33 persen) petani yang menjual sawah, karena alasan ekonomi. Tabel 36. Saran Petani Padi kepada Pemerintah Terkait dengan Kebijakan Irigasi di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai (%) No
Saran Petani
1
Pemerintah melakukan perbaikan jaringan irigasi Pemerintah melarang petani mengkonversi lahan sawah menjadi kebun Kelapa Sawit Pemerintah melakukan pembangunan irigasi
2 3
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0.01- 0.51- 1.01- 1.51- > 0.50 1.00 1.50 2.00 2.00 0.00 13.32 6.66 3.33 3.33
Total
26.44
0.00
3.33
0.00
0.00
0.00
3.33
6.66
16.65
6.66
3.33
0.00
33.30
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, tahun 2008/2009.
Petani menunjukkan kekuatiran terjadinya konversi lahan sawah, apabila perbaikan jaringan irigasi tidak diperhatikan oleh pemerintah. Kondisi tersebut didukung dengan pengalaman seharian para petani, ketika membandingkan
214
keuntungan
berkebun sawit dari bersawah. Apabila pemerintah tidak serius
memperhatikan perbaikan jaringan irigasi, petani di desa Sungai Parit akan mengalihkan lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit, karena keuntungan berkebun sawit lebih menjanjikan dibandingkan dengan bersawah. Petani sudah memberikan tanggung jawabnya dalam bentuk pemberian pajak air kepada lembaga P3A tetapi petani tetap diperhadapkan dengan resiko banjir dengan segala kerugian yang mengikutinya dan ketidakpastian pelaksanaan pembangunan irigasi. Petani tidak mudah memperoleh pupuk bersubsidi (Urea, SP-36, ZA, NPK dan pupuk organik) dan harga yang sulit terjangkau. Persentase harga pupuk bersubsidi lebih mahal dari HET tahun 2009 lebih tinggi dari tahun 2008. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan saprodi, secara khusus kebijakan pupuk bersubsidi tidak efektif. Kondisi tersebut menjadi suatu alasan yang kuat bahwa permasalahan pupuk terletak pada sistem distribusi pupuk itu sendiri. Tabel 37. Saran Petani Padi kepada Pemerintah terkait dengan Kebijakan Pupuk Bersubsidi di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai (%) No
Saran Petani
1
Pemerintah mengawasi distribusi pupuk bersubsidi sehingga lancar Pemerintah mengawasi supaya harga pupuk lebih stabil/tidak naik Pemerintah berusaha sehingga pupuk bersubsidi tepat waktu sampai di petani Pemerintah perlu meningkatkan jumlah pupuk bersubsidi Pemerintah menyediakan pupuk Organik Pemerintah tidak menghilangkan Subsidi
2 3 4 5 6
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0.01- 0.51- 1.01- 1.51- > 0.50 1.00 1.50 2.00 2.00 0.00 6.66 0.00 3.33 0.00
Total
9.99
3.33
0.00
0.00
0.00
0.00
3.33
3.33
9.99
0.00
3.33
0.00
16.65
3.33
6.66
3.33
0.00
0.00
13.32
0.00
0.00
3.33
0.00
0.00
3.33
3.33
0.00
0.00
0.00
0.00
3.33
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, tahun 2008/2009.
215
Sistim pembelian paket oleh distributor pupuk memberatkan petani, karena dengan ”terpaksa” membeli saprodi yang tidak diperlukan untuk kegiatan usahatani, atau kurangnya pengetahuan menyebabkan biaya yang dikeluarkan petani naik. Disamping itu, petani tidak menerima jumlah pupuk bersubsidi sesuai dengan RDKK sehingga tujuan kebijakan pemerintah tidak tercapai. Terkait dengan kebijakan saprodi, tindakan pemerintah antara lain : (1) melakukan pengawasan distribusi pupuk bersubsidi, (2) tidak mengeluarkan kebijakan menaikkan harga pupuk bersubsidi, (3) penyaluran pupuk bersubsidi ke petani tepat waktu, (4) jumlah kebutuhan pupuk bersubsidi untuk tanaman pangan ditingkatkan, dan (5) menyediakan pupuk organik, pada Tabel 35. Dari sisi petani tetap mengharapkan pemerintah meneruskan kebijakan pupuk bersubsidi. Ke-enam saran petani terkait dengan kebijakan pupuk bersubsidi pada Tabel 37 sudah dilakukan oleh pemerintah, tetapi petani dengan skala penguasaan lahan sawah lebih kecil dari satu hektar di kecamatan Sei Rampah kurang merasakan manfaat
dari kebijakan tersebut. Sebaliknya, petani dengan skala
penguasaan lawan sawah diatas dua hektar tidak memberikan saran terhadap pemerintah. Apakah itu berarti petani yang memiliki lahan sawah yang luas sudah merasa puas dengan kebijakan pupuk bersubsidi atau petani tersebut bisa bertahan tanpa campur tangan pemerintah, studi ini tidak menjawab kondisi diatas. Saran petani kepada pemerintah untuk menyediakan pupuk organik mengindikasikan
bahwa
petani
menyadari
teknologi
diperlukan
untuk
meningkatkan produksi. Teknologi baru tidak selalu identik dengan ” peralatan untuk kegiatan usahatani yang canggih” tetapi cara-cara dan metode baru yang dapat menaikkan produksi (Mubyarto, 1989). Menurut Doll dan Orazem (1984),
216
kehadiran teknologi menyebabkan biaya produksi turun dan diikuti dengan kenaikan keuntungan dalam jangka pendek. Harga jual gabah petani lebih tinggi 10-11 persen diatas HPP, namun petani tetap
mengharapkan pemerintah
meningkatkan Harga Pembelian
Pemerintah terhadap gabah dan membeli langsung gabah petani, pada Tabel 38. Studi tentang kebijakan perberasan oleh Hutauruk (1996); Hutauruk dan Sembiring (2002); dan Kusumaningrum (2008) membuktikan bahwa kenaikan harga dasar gabah/harga pembelian pemerintah akan meningkatkan kesejahteraan produsen. Dengan demikian, harapan petani terhadap pemerintah adalah rasional karena kebijakan pemerintah menaikkan HPP menguntungkan bagi petani. Tabel 38. Saran Petani Padi kepada Pemerintah Terkait dengan Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai (%) No
Saran Petani
1
Pemerintah menghentikan impor Beras Pemerintah menaikkan Harga Pembelian Pemeritah terhadap Gabah Pemerintah memantau harga gabah petani Pemerintah memperhatikan keseimbangan kenaikan harga gabah dengan pupuk Pemerintah membeli Gabah dari petani bukan Tengkulak
2 3 4 5
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0.01- 0.51- 1.01- 1.51> 0.50 1.00 1.50 2.00 2.00 0.00 3.33 0.00 0.00 3.33
Total
6.66
9.99
16.65
6.66
3.33
0.00
36.33
0.00
0.00
0.00
3.33
0.00
3.33
0.00
3.33
0.00
0.00
0.00
3.33
0.00
3.33
3.33
0.00
0.00
6.66
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, tahun 2008/2009.
Pemerintah menghadapi kesulitan untuk melakukan pembelian langsung gabah petani, karena keterbatasan sumberdaya. Kesulitan tersebut dapat dipecahkan dengan memfungsikan kembali koperasi sebagai ”perpanjangan pemerintah” untuk membeli langsung gabah petani. Dari 59 kelompok tani di
217
kecamatan Sei Rampah, masih tersisa satu kelompok tani yang memiliki kelembagaan koperasi yaitu Koperasi Sri Murni. Koperasi ini menjalankan fungsi mensuplai saprodi dan simpan pinjam bagi anggotanya.
Dengan dukungan
pemerintah, koperasi ini dapat bertindak merealisasikan harapan petani. Oleh karena itu, campur tangan pemerintah sangat diperlukan untuk mendorong petani membentuk koperasi petani baik di tingkat desa atau kelompok tani. Kehadiran koperasi petani yang difasilitasi pemerintah akan meningkatkan kesejahteraan petani, sehingga tujuan kebijakan perberasan dalam Inpres tercapai. Tabel 39 menunjukkan bahwa sumber informasi utama petani mengetahui kebijakan saprodi adalah PPL oleh karena itu pemerintah perlu mengangkat status PPL harian menjadi tetap (Pegawai Negeri). Perubahan status tersebut penting sehingga mendorong kinerja dan kepercayaan diri dalam membimbing petani, sehingga tujuan kebijakan perberasan tercapai. Disamping itu, perbaikan infrastuktur jalan usahatani menjadi penting, karena terkait dengan ketersediaan saprodi pada tingkat lokalitas usahatani, seperti yang dikemukakan oleh Mosher (1966) dalam bukunya Getting Agricultural Moving. Mosher (1966) mengungkapkan pentingnya faktor insentif bagi petani seperti harga pestisida yang terjangkau petani, dukungan subsidi dan memberikan bantuan
yang
diperlukan
oleh
petani.
Mardianto
dan
Ariani
(2004)
mengemukakan bahwa semua negara penghasil beras di Asia memberikan insentif usahatani padi yang cukup lengkap. Sebagai contoh, India, Philippina,Vietnam, Myanmar dan Thailand memberikan insentif berupa subsidi input (pupuk), bahan bakar, pengadaan alsintan, dan bunga kredit usahatani. Republik Rakyat China,
218
sebagai negara produsen dan konsumen beras terbesar dunia berusaha membimbing petani melalui penyuluhan dan percontohan yang konkrit.
Tabel 39. Saran Petani Padi kepada Pemerintah terkait dengan Kebijakan Pendukung di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai (%) No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Saran Petani
Pemerintah meneruskan bantuan subsidi Pemerintah memperbaiki jalan usahatani Pemerintah memperhatikan kesejahteraan PPL Pemerintah meneruskan pemberian bantuan kepada petani Pemerintah mengusahakan sehingga harga Pestisida tidak naik Pemerintah perlu mendorong PPL meningkatkan Kinerja Pemerintah tetap memperhatikan sektor pertanian Pemerintah melakukan subsidi terhadap pestisida Pemerintah tidak menghilangkan Subsidi Pemerintah mengangkat status PPL harian menjadi PNS Pemerintah konsisten melaksanakan kebijakan yang ditawarkan
Strata Luas Pengusaan Lahan Sawah (Ha) 0.01- 0.51- 1.01- 1.51- > 0.50 1.00 1.50 2.00 2.00 0.00 9.99 0.00 0.00 3.33
Total
12.32
0.00
0.00
0.00
3.33
0.00
3.33
3.33
0.00
0.00
0.00
0.00
3.33
3.33
6.66
3.33
3.33
0.00
16.65
3.33
0.00
3.33
0.00
0.00
6.66
0.00
3.33
0.00
6.66
0.00
9.99
0.00
3.33
0.00
0.00
0.00
3.33
0.00
3.33
0.00
0.00
0.00
3.33
3.33
0.00
0.00
0.00
0.00
3.33
3.33
0.00
0.00
0.00
0.00
3.33
0.00
0.00
3.33
0.00
0.00
3.33
Sumber : Data Primer 30 Orang Kontak Tani di Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, tahun 2008/2009.
Konsekuensi bila reorientasi/implementasi diatas tidak dilakukan, akan terjadi hubungan yang disharmoni antara pemerintah dengan petani, dengan sendirinya merugikan kedua belah pihak. Dari sisi pemerintah sebagai pembuat kebijakan,
outcome
dari inkonsistensi
terhadap
implementasi
kebijakan
perberasan menyebabkan tujuan kebijakan perberasan melalui Inpres tidak tercapai. Dari sisi petani sebagai pelaku kebijakan, kemungkinan keputusannya untuk tetap melanjutkan kegiatan usahatani padi tetapi sebagai pihak dengan
219
”posisi tawar’ lemah, atau mengalihkan kegiatan usahatani ke non padi, yang memberikan kesejahteraan yang lebih baik 5.2 Implementasi Kebijakan Perberasan Tingkat Nasional 5.2.1 Kebijakan Perbenihan Penggunaan benih padi unggul bersertifikat akan meningkatkan produksi padi sehingga ketahanan pangan meningkat.
Nugraha et al. (2005)
mengemukakan instrumen yang diperlukan untuk proses sertifikasi benih sampai kepada benih yang memiliki sertifikat benih belum semuanya tersedia, sehingga perbaikan mutu untuk memuaskan pelanggan (konsumen) belum terjamin. Disisi lain, pengawasan mutu untuk benih komersial dilakukan melalui penerapan prinsip truth-in-labeling atau alternatifnya tanpa pengawasan. Tujuan
pengawasan mutu terhadap benih yang akan diperdagangkan
penting sehingga meningkatkan kepercayaan konsumen. Gambar 36 menunjukkan bahwa jumlah benih dicek tidak sesuai label menunjukkan kecenderungan positip, artinya terjadi kenaikan trend positip pada kurun waktu Januari 2008- Desember 2009. Pada Februari 2008, jumlah benih dicek tidak sesuai label 27.5 ton mengalami peningkatan tajam menjadi 1 025.11 dan 1 471.74 ton pada Januari dan Desember 2009. Menurut Nugraha et al. (2005), benih dari varitas komersil (permintaan tinggi) dengan varitas non komersil (permintaan rendah), serta petani dan konsumen tradisional (belum peduli mutu) dengan petani dan konsumen komersial (telah peduli mutu) diperlakukan sama. Salah satu dampak negatif dari kebijakan tersebut adalah terjadi pengorbanan mutu. Seperti yang ditunjukkan Gambar 36, apabila konsumen memerlukan jaminan mutu, maka kemungkinan
220
benih bersertifikat tidak tersedia karena jumlah benih yang tidak sesuai label cukup tinggi. Studi Sembiring (2008) menunjukkan bahwa benih bersertifikasi tidak jaminan memuaskan konsumen karena ditemukan juga adanya benih palsu.
Sumber: Departemen Pertanian, Juni 2008-Desember 2009
Gambar 36. Jumlah Benih Dicek Tahun 2008-2009 Suprihatno dan Daradjat (2008) mengemukakan 14 alasan petani untuk menanam varitas unggul tertentu, lima alasan utama yang menjadi penentu pilihan petani adalah potensi hasil tinggi, harga jual gabah tinggi, rasa nasi enak (sesuai dengan preferensi konsumen), daya tahan terhadap hama dan penyakit dan umur genjah. Pemilihan varitas unggul padi akan mempengaruhi pendapatan petani dan permintaan varitas unggul tersebut. Suprihatno dan Daradjat (2008) mengemukakan keuntungan ekonomi dari penggantian suatu varitas ke varitas unggul padi lainnya. Keuntungan ekonomi
penanaman varitas Ciherang yang menggantikan varitas IR-64 di
propinsi Jawa Barat mencapai Rp 142 milyar per tahun, diikuti dengan penurunan areal tanam varitas IR-64. Penggantian varitas IR-64 dengan varitas Ciliwung,
221
Memberamo, Ciherang dan Widas di 12 propinsi menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar Rp 1.018 trilyun pada tahun 2002. Namun demikian, luas areal tanam varitas IR-64 pada MT 2002 dan 2002/2003 pada 23 kabupaten di Jawa Barat mencapai 32.9 persen, sedangkan varitas Ciherang, Way Apo Buru, dan Widas masing-masing 17.9 persen, 9.7 persen dan 8.0 persen. (Hidayat et al , 2005 dan Suprihatno dan Daradjat, 2008). Gambar 37 menunjukkan ketersediaan benih bermutu varitas dominan Ciherang lebih besar dibandingkan dengan varitas IR 64 kecuali pada Januari 2008. Fakta ini mengindikasikan bahwa varitas Ciherang yang dilepas pada tahun 2000 lebih diminati oleh konsumen. Varitas benih lainnya yang ketersediaan tinggi tetapi dibawah varitas Ciherang dan IR-64 yaitu Cigeulis, Cibogo, Ciliwung dan Hibrida, sedangkan varitas IR-42 tidak tersedia sejak Juni 2008.
Sumber : Departemen Pertanian, Februari 2006-November 2009
Gambar 37. Ketersediaan Benih Bermutu per Bulan Tahun 2006-2009 Gambar 38 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2006,
ketersediaan
varitas Ciherang tertinggi dibanding dengan varitas padi lainnya, tetapi pada tahun
222
2008 ketersediaan varitas Ciherang mengalami titik terendah, yaitu pada Mei 2008. Persentase ketersedian varitas Ciherang pada Mei sekitar 10.39 persen, disisi lain ketersediaan varitas Cigeulis tertinggi yaitu 20.29 persen, diikuti dengan varitas Hibrida 11.46 persen. Dalam kurun waktu Februari 2006-Desember 2009, ketersediaan varitas IR-64 tertinggi pada Januari 2008, sekitar 50.92 persen dari total ketersediaan benih. Sedangkan varitas Cigeulis, Cibogo, Hibrida dan Ciliwung memberikan kontribusi ketersediaan benih tertinggi, masing-masing pada Mei 2008, Maret 2006, Desember 2009 dan Oktober 2006, dengan persentase secara berurutan yaitu 20.29, 11.74, 19.63 dan 14.78 persen.
Sumber: Departemen Pertanian, Februari 2006-September 2009
Gambar 38. Ketersediaan Benih Bermutu per Bulan Tahun 2006-2009 Informasi pada Gambar 38 menunjukkan bahwa minat konsumen terhadap varitas padi Hibrida dan Ciliwung semakin naik, disisi lain terjadi penurunan ketersediaan benih varitas Ciherang. Namun demikian, ketersediaan benih varitas Ciherang masih tertinggi dibandingkan dengan varitas padi lainnya. Ketersediaan
223
varitas Ciherang mengalami penurunan yang tajam, dimana
sejak Mei 2009
ketersediaan varitas Ciherang menurun tajam menjadi 37.85 persen pada Desember 2009, disisi lain varitas Hibrida dan Ciliwung melonjak naik tajam, yaitu dari 6.06 dan 1.63 pada Mei 2009, menjadi 19.63 dan 12.15 persen pada Desember 2009.
Sumber: Departemen Pertanian, Februari 2006-September 2009
Gambar 39 Perkembangan Kebutuhan Pasar dan Ketersediaan Benih Bermutu 5.2.2 Kebijakan Pupuk Bersubsidi Salah satu diktum dalam Inpres tentang Kebijakan Perberasan yaitu menetapkan kebijakan pendukung yang diperlukan bagi efektifnya pelaksanaan kebijakan perberasan. Kementerian Pertanian secara berkala mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian tentang kebutuhan pupuk bersubsidi dan harga eceran tertinggi
pupuk bersubsidi. Dalam kurun waktu 2005-2009, Kementerian
Pertanian mengeluarkan lima peraturan tentang kebijakan pupuk bersubsidi.
224
Tabel 40 menunjukkan perkembangan Harga Eceran Tertinggi pupuk bersubsidi, dalam kurun waktu 2005-2009. Dalam kurun waktu tersebut, terjadi kenaikan pupuk satu kali dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri No 66/Permentan/OT.140/12/2007 yang menetapkan harga pupuk per kg yaitu urea, ZA, SP-36 dan NPK, masing-masing menjadi Rp 1 200 per kg, Rp 950 per kg, Rp 1 550 per kg dan Rp 1 750 per kg. Persentase kenaikan harga pupuk bersubsidi pada tahun 2007 baik urea, SP-36, ZA dan NPK, masing-masing 14.28, 10.71, 10.52 dan 9.37 persen, dimana kenaikan harga pupuk terbesar pada pupuk urea.
Tabel 40 Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Tahun 2005-2009 No
Tahun 2005
Urea (Rp/Kg) 1 050
ZA (Rp/Kg) 950
SP-36 (Rp/Kg) 1 400
NPK (Rp/Kg) 1 600
1
Organik (Rp/Kg)
2
2006
1 050
950
1 400
1 600
-
3
2007
1 200
1 050
1 550
1 750
-
4
2008
1 200
1 050
1 550
1 750*
1 000
-
Peraturan Menteri No 64/Kpts/SR.130/3 /2005 No 505/Kpts/SR.130/ 12/2005 No 66/Permentan /OT.140/12/2006
No76/Permentan/ OT.140/12/2007 5 2009 1 200 1 050 1 550 1 750* 500 No 42/Permentan /OT.140/12/2008 Keterangan: * NPK Phonska (15:15:15); NPK Pelangi (20:10:10) Rp 1 830/kg, NPK Kujang (30:6:8) Rp 1 586/kg
Pengertian notasi pada Gambar 40, yaitu: (1) Harga Eceran tertinggi pupuk Urea (HETU), (2) Harga Eceran tertinggi pupuk SP-36 (HESP), (3) Harga Eceran tertinggi pupuk ZA (HEZA), dan (4) Harga Eceran tertinggi pupuk NPK (HENP). Pada umumnya, harga jual pupuk bersubsidi pada tingkat kios pengecer pupuk lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi, seperti ditunjukkan pada Gambar 40. Slope kurva HPUT, HPZA, HPSP dan HPNP menunjukkan trend positip artinya
225
harga ke empat pupuk bersubsidi tersebut pada periode Maret 2005-September 2009 naik. Harga tertinggi dari keempat pupuk bersubsidi yaitu: (1) harga pupuk urea Rp 2 325.22 per kg pada Agustus 2009, (2) harga pupuk ZA Rp 1 984.447 pada Desember 2007, (3) harga pupuk SP-36 Rp 3 521.94 per kg pada Januari 2009, dan (4) harga pupuk NPK Rp 4 372.573 per kg pada November 2008. Sampai dengan periode Desember 2008 harga pupuk NPK (HPNP) lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk lainnya, tetapi mulai periode Desember 2008 sampai September 2009, harga pupuk SP-36 lebih tinggi dari HPNP. Perkembangan harga pupuk urea (HPUT) dan HPSP menunjukkan trend naik dibandingkan dengan HPNP dan harga pupuk ZA (HPZA) yang fluktuatif.
Sumber: Departemen Pertanian, Maret 2005-September
Gambar 40 Perkembangan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Rasio Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen (HPGP) dengan HET dari masing-masing harga pupuk bersubsidi menunjukkan kecenderungan positip, ditunjukkan pada Gambar 41. Slope kurva rasio HPGP
226
dengan HENP berbeda dengan slope ke tiga kurva lainnya. Pada periode waktu November 2006 - April 2007, slope kurva rasio HPGP dengan HENP positip meskipun sangat landai, sebaliknya slope ketiga kurva lainnya fluktuatif. Rasio HPGP dengan HET pupuk HEZA tertinggi dibandingkan pupuk lainnya.
Sumber: Departemen Pertanian, Maret 2005-Oktober 2009, diolah
Gambar 41. Perkembangan Rasio Harga Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Gabah Kering Panen dengan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Metode yang digunakan
untuk memperoleh perubahan harga pupuk
bersubsidi yaitu dengan mengurangkan selisih harga pembelian pupuk bersubsidi dengan Harga Eceran Tertinggi dibagi dengan harga pembelian pupuk bersubsidi dikali dengan 100 persen. Tanda positip di depan ∆ menunjukkan besarnya perbedaan harga pembelian pupuk dengan HET yang ditetapkan oleh pemerintah. Gambar 42 menunjukkan perbedaan harga pupuk NPK dibandingkan dengan HET nya lebih besar pada kisaran 50.00-60.00 persen, lebih tinggi dari pupuk SP-36, Urea dan ZA sampai dengan November 2008, sesudah bulan tersebut diikuti
227
dengan SP-36. Semakin besar perbedaan antara HET dengan harga pembelian pupuk, maka tambahan biaya yang dikeluarkan oleh petani semakin naik, khususnya pupuk urea.
Sumber: Departemen Pertanian, Maret 2005-September 2009 ( Diolah)
Gambar 42. Perkembangan Perbedaan Harga Pembelian Pupuk dengan Harga Eceran Tertinggi Gambar 42 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu Maret 2006September 2009, harga beli pupuk bersubsidi oleh petani diatas harga HET yang ditetapkan oleh pemerintah. Data tersebut mengindikasikan bahwa harga pupuk bersubsidi trendnya positip, artinya semakin besar selisih antara harga beli petani dengan HET maka slope kurva perubahan harga semakin curam, seperti yang ditunjukkan oleh perubahan harga pupuk urea dan SP-36, dimana slope harga keduanya menunjukkan kecenderungan naik mulai Maret 2007. Pada bulan tersebut, harga beli petani terhadap pupuk urea dan SP-36 diatas HET mencapai 35.19 dan 39.63 persen. Perbedaan tersebut naik menjadi 48.27 persen terhadap pupuk urea dan 54.75 persen terhadap pupuk SP-36 pada bulan September 2009.
228
Semakin tinggi harga beli pupuk bersubsidi diatas HET tentu merugikan petani, karena pendapatan petani turun. Kondisi tersebut menyebabkan tujuan kebijakan perberasan dalam Inpres tidak tercapai. Dari sisi petani, memiliki ekspektasi harga pupuk bersubsidi tidak berbeda jauh dengan harga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. 5.2.3 Kebijakan Kualitas Gabah Diktum Inpres Kebijakan Perberasan secara eksplisit menyebutkan pentingnya kualitas gabah yang dihasilkan petani. Kualitas gabah akan mempengaruhi harga gabah. Dengan kata lain, semakin baik kualitas gabah maka harga akan naik, sehingga pendapatan petani meningkat. Gambar 43 menunjukkan slope kurva Kadar Air Gabah Kering Panen (KAGP) dan Kadar Air Gabah Kering Giling (KAGG) menurun meskipun sangat landai. Slope kurva KAGP lebih flukuatif dari KAGG, artinya perubahan kadar air KAGP setiap bulannya lebih besar dari KAGG. Dalam kurun tahun 2005-2009, KAGP tertinggi setiap tahunnya terjadi pada Maret, kecuali pada tahun 2007 dimana KAGP tertinggi terjadi pada April, yaitu 20.46 persen. Dalam kurun waktu tahun 2005-2009, persyaratan Kadar Air Maksimum Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling, masing-masing 25 persen dan 14 persen, seperti ditunjukkan Lampiran 1. Berdasarkan persyaratan tersebut, KAGP dan KAGG pada tingkat nasional lebih rendah dari persyaratan kualitas gabah yang ditetapkan dalam Inpres. Gambar 44 menunjukkan
slope kurva rata-rata curah hujan bulanan
fluktuatif, karena perbedaan rata-rata curah hujan setiap bulannya bervariasi. Sebagai contoh, pada tahun 2005, dari Maret-Agustus 2005 rata-rata curah hujan
229
setiap bulan cenderung menurun, selanjutnya dari September- Desember 2005, rata-rata curah hujan bulanan meningkat tajam menjadi 277.10 mm per bulan pada Desember 2005, pada Gambar 44.
Sumber: Badan Pusat Statistik, Maret 2005-Oktober 2009
Gambar 43. Perkembangan Kadar Air Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling
Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Maret 2005-November 2009
Gambar 44 Perkembangan Rata-rata Curah Hujan Bulanan
230
Apabila informasi pada Gambar 43 disandingkan dengan Gambar 44, terdapat hubungan antara KAGP dengan rata-rata curah hujan bulanan, dimana KAGP tertinggi diatas 200 mm per bulan. Sebagai contoh, KAGP tertinggi terjadi pada April 2007 ketika rata-rata curah hujan bulanan mencapai 253.80 mm per bulan. Inpres No 2 Tahun 2005 dan No 13 Tahun 2005 tentang Kebijakan Perberasan secara eksplisit menyebutkan persyaratan Butir Hampa/Kotoran Maksimum terhadap GKP dan GKG, masing-masing 10.0 persen dan 3.0 persen, terlihat pada Lampiran 3. Inpres No 3 Tahun 2007 yang dikeluarkan tanggal 31 Maret
2007
tidak
menggunakan
Butir
Hampa/Kotoran,
tetapi
Kadar
Hampa/Kotoran Maksimum.
Sumber: Badan Pusat Statistik, Maret 2005-November 2009
Gambar 45 Perkembangan harga Kadar Kotoran GKP dan GKG Persyaratan Kadar Hampa/Kotoran Maksimum untuk Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling, masing-masing 10.0 persen dan 3.0 persen.
231
Berdasarkan persyaratan tersebut, KKGP dan KKGG pada tingkat nasional lebih rendah dari persyaratan kualitas dalam Inpres tentang Kebijakan Perberasan, seperti ditunjukkan pada Gambar 45. Slope kurva Kadar Kotoran Gabah Kering Panen (KKGP) menunjukkan trend negatif dalam kurun waktu lima tahun, sedangkan slope kurva Kadar Kotoran Gabah Kering Giling (KKGG) lebih mendatar. Kadar Kotoran Gabah Kering Panen (KKGP) pada Maret 2005 sebesar 7.96 persen (tertinggi), sedangkan terendah pada Januari 2009, sebesar 4.73 persen.
5.2.4 Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah Lampiran 2 menguraikan dinamika perkembangan kebijakan harga terhadap gabah dan beras dalam Inpres tentang Kebijakan Perberasan. Dalam kurun waktu 1997-2008, pemerintah mengeluarkan 11 Inpres tentang Kebijakan Perberasan. Dinamika Kebijakan Harga dalam kurun waktu diatas: (1) Inpres tentang Harga Dasar Gabah, tahun 1997-1998, (2) Inpres tentang Harga Dasar Gabah serta Harga Pembelian Gabah dan Beras tahun 1998-2000, dan
(3)
Kebijakan Perberasan, tahun 2001-2008. Inpres No 2 Tahun 2005 tentang Kebijakan Perberasan menetapkan kebijakan harga melalui Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen (HPGP) dan Gabah Kering Giling (HPGG) dan Beras (HPPB). Frekwensi perubahan kebijakan harga dalam kurun waktu Maret 2005-September 2009 mencapai empat kali. Gambar 46 menunjukkan bahwa baik slope kurva HPGP dan HPGG adalah positip, artinya dalam kurun waktu 55 bulan HPGP dan HPGG naik. Gambar 46 menunjukkan HGKP lebih tinggi dari HPGP, demikian juga halnya dengan HGKG lebih tinggi dari HPGG.
232
Sumber: Badan Pusat Statistik, Maret 2005-Oktober 2009
Gambar 46. Perbedaan Harga Gabah dengan Harga Pembelian Pemerintah Perbedaan harga Gabah Kering Panen dengan HPGP diberi notasi HGHP, merupakan selisih antara Harga Gabah Kering Panen (HGKP) dengan HPGP, kemudian dibagi HPGP dikali dengan seratus, sedangkan HGHG adalah selisih antara Harga Gabah Kering Giling (HGKG) dengan HPGG, dibagi HPGG kemudian dikali seratus. Sedangkan HBHB adalah selisih Harga Beras Pengecer (HBRT) dengan HPPB, kemudian dibagi HPPB dan dikali dengan seratus. Slope kurva HGHP lebih curam dibandingkan dengan HGHG dan HBHB, mengindikasikan
persentase perubahan HGHP setiap bulan lebih besar dari
perubahan HGHG dan HBHB. Pada Mei 2005 persentase HGKP diatas HPGP 4.79 persen kemudian mengalami kenaikan yang tajam menjadi 39.11 persen pada Desember 2005. Selanjutnya menurun tajam menjadi 6.19 persen pada Maret 2006, kemudian melonjak naik dengan tajam menjadi 59.98 persen pada Februari 2007. Pola diatas terulang pada periode April 2007- Januari 2008, tetapi periode Februari 2008-November 2009, slope kurva HGHP lebih landai, meskipun masih
233
lebih curam dari slope HGHG dan HBHB. Pada Februari 2007, baik HGHP dan HGHG mencapai titik tertinggi, sedangkan HBHB tertinggi pada Maret 2007, artinya pada titik tersebut ada perbedaan terbesar antara harga gabah/beras aktual dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Dari ketiga kurva tersebut, frekwensi kurva HGHG dibawah sumbu mendatar nol satu kali, dengan kata lain harga aktual di tempat penggilingan lebih rendah dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam kurun waktu Maret 2005-November 2009, frekwensi HGKG dibawah HPGG terjadi lima kali yaitu Juni 2005, Mei 2007, April 2008, Mei 2008 dan April 2009, masing-masing 4.74, 4.83, 8.11, 1.98 dan 10.18 persen.
Sumber: Badan Pusat Statistik, Maret 2005-Oktober 2009, diolah
Gambar 47. Perbedaan Harga Gabah/Beras dengan Harga Pembelian Pemerintah Informasi pada Gambar 47 menunjukkan kurva HGHP diatas sumbu nol, tidak selalu identik bahwa HGKP diatas HPGP. Observasi di sentra produksi pada beberapa propinsi membuktikan bahwa terdapat kasus dimana harga HGKP dibawah HPP. Dari 626 kali observasi pada Februari 2007, tidak ditemukan
234
adanya kasus HGKP lebih rendah dari HPP. Kondisi yang sama juga terjadi pada HGKG, dari 65 observasi tidak ditemukan adanya kasus HGKG lebih rendah dari HPGG. Observasi di beberapa provinsi membuktikan adanya kasus HGKP lebih rendah dari HPGP, demikian halnya dengan HGKG lebih rendah dari HPGG, seperti ditunjukkan pada Gambar 48. Gambar tersebut memberikan informasi tentang jumlah kasus
HGKP dan HGKG lebih rendah dari HPP. Kasus HGKP
dibawah HPGP diberi notasi HGHPP, sedangkan kasus HGKG dibawah HPGG diberi notasi HGGHP.
Sumber: Badan Pusat Statistikm Maret 2005-Desember 2008, diolah
Gambar 48. Persentase Harga Gabah dibawah Harga Pembelian Pemerintah Semakin tinggi kedudukan suatu titik dari sumbu datar (titik nol) maka jumlah kasus penyimpangan HGKP dan HGKG dibawah HPP semakin besar. Sebagai contoh, kasus HGGHP pada Juli 2005 dan Mei 2007, ditemukan kasus HGKG dibawah HPGG mencapai 70.00 dan 71.08 persen. Artinya, kasus HGKP
235
dan HGKG lebih tinggi dari HPP hanya sekitar 30 persen. Sebaliknya, semakin dekat kedudukan titik HGHPP dan HGGHP dari sumbu datar maka jumlah kasus penyimpangan lebih rendah, dengan kata lain: (1) kasus HGKP lebih tinggi dari HPP persentasenya lebih besar, dan (2) kasus
HGKG lebih tinggi dari HPP
persentasenya lebih besar.
Sumber: Badan Pusat Statistik, Maret 2005-November 2009
Gambar 49. Perkembangan Nilai Tukar Petani Padi Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan rasio index diterima petani dengan index dibayar petani. Semakin tinggi perbedaan harga HGKP diatas HPGP maka nilai tukar petani padi juga semakin tinggi. Pada Gambar 48 ditunjukkan bahwa pada Februari 2007, persentase perbedaan harga HGKP dengan HPGP mencapai 58.93 persen, disisi lain NTP Februari 2007, pada Gambar 49 tertinggi, yaitu 109.93. 5.2.5 Kebijakan Impor Beras Sejak Inpres No 9 Tahun 2001 tentang Kebijakan Perberasan, pemerintah telah menetapkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan perlindungan
236
kepada petani dan konsumen. Dalam perkembangan selanjutnya, melalui Inpres No 3 Tahun 2007, disebutkan bahwa impor beras dilakukan jika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi cadangan beras pemerintah, dan atau menjaga stabilitas harga dalam negeri, seperti terlihat pada Lampiran 1. Harga beras dunia (HMBT) dalam rupiah diperoleh dengan mengalikan harga beras dunia (US$/ton) dengan nilai tukar rupiah, kemudian dibagi dengan seribu sehingga diperoleh harga beras dunia dalam rupiah per kg. Gambar 50 menunjukkan HBRT dan HMBT sama-sama mengalami kenaikan tetapi slope kenaikan HMBT lebih curam dibandingkan dengan HBRT, dimulai periode Februari-Juli 2008, selanjutnya mengalami penurunan yang tajam pada Oktober 2008. Harga beras di pengecer lebih tinggi dari harga beras dunia, kecuali periode Juli-Oktober 2008. Besarnya perbedaan harga (disparitas harga) antara HBRT dan HMBT dimulai dari Maret 2005 sampai September 2008, dimana harga beras di pengecer lebih tinggi dengan harga beras dunia.
Sumber: Perum Bulog, Maret 2005-September 2009 (Diolah)
Gambar 50. Perkembangan Harga Beras Pengecer dan Harga Impor Beras
237
Indonesia dikenal sebagai negara importir beras terbesar di dunia, sehingga impor beras Indonesia akan mempengaruhi harga beras dunia. Apabila konsumen diberikan kesempatan pilihan antara produk beras dalam negeri dengan produk beras impor, dengan asumsi kualitas beras impor dengan domestik sama, maka pilihan konsumen jatuh kepada beras impor, karena dengan tingkat pendapatan tertentu, konsumen akan memperoleh beras impor lebih besar karena harga beras dunia lebih rendah dari beras dalam negeri. Harga gabah kering panen yang dikonversi dengan pengalian faktor konversi sebesar 0.63, diberi notasi KHGKP sedangkan variabel DKHGP adalah disparitas harga KHGKP dengan HMBT. Disparitas harga beras pengecer dengan HMBT, diberi notasi DHBM. Kurva DHBM dan DKHGP dibawah titik nol berarti harga impor beras lebih tinggi dibandingkan dengan HBRT dan HGKP. Apabila kurva DHBM dan DKHGP diatas titik nol, berarti HBRT dan KHGKP lebih tinggi dari HMBT (Gambar 51). Pada kondisi kurva DHBM dan DKHGP diatas titik nol, dalam rangka memenuhi cadangan beras pemerintah, maka pemerintah lebih untung melakukan impor beras dibandingkan dengan membeli gabah/beras dalam negeri. Anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk mengimpor beras, seharusnya dapat dialokasikan untuk membangun irigasi sehingga produksi padi dalam negeri meningkat. Faktor keberpihakan kepada kepentingan petani atau kepentingan konsumen merupakan pertimbangan pemerintah memilih melakukan impor beras atau
membeli beras dalam negeri. Apabila pemerintah bias ke petani, maka
keputusan pemerintah adalah membeli gabah/beras yang dihasilkan petani, meskipun harga lebih mahal.
238
Sumber: Badan Pusat Statistik, Maret 2005-September 2009, diolah
Gambar 51. Perkembangan Disparitas Harga Beras per Bulan dari Bulan Maret 2005-Oktober 2009
5.2.6 Kebijakan Stabilisasi Harga Kebijakan stabilisasi harga secara eksplisit dimuat pertama sekali melalui Inpres No 2 Tahun 2005 tentang Kebijakan Perberasan, dimana pemerintah menyediakan dan menyalurkan beras untuk menanggulangi keadaan darurat dan menjaga stablisasi harga beras dalam negeri melalui pengelolaan cadangan beras pemerintah, seperti terlihat pada Lampiran 1. Disamping
menyediakan dan
menyalurkan beras, tindakan lainnya yang dilakukan pemerintah untuk melakukan stabilisasi harga: (1) impor beras, (2) pengadaan beras, (3) penyaluran Cadangan Beras Pemerintah, dan (4) penyaluran beras kepada masyarakat miskin. Sawit (2007) mengelompokkan musim panen di Indonesia menjadi tiga musim panen yaitu Musim Panen Raya (MR) pada bulan Februari-Mei, Musim Panen Gadu (MG) pada bulan Juni-September dan Musim Paceklik (MP), dari bulan Oktober-Januari. Harga gabah pada Musim Panen Raya (MR) sekitar bulan
239
Februari- Mei
rendah, karena penawaran melebihi permintaan. Pada Musim
Panen Raya, Bulog melakukan pembelian gabah petani dengan harga yang ditetapkan dalam Inpres. Data menunjukkan bahwa sumber utama pengadaan gabah/beras Bulog diperoleh pada Musim Panen Raya. Tujuan pengadaan beras diharapkan mendorong harga gabah petani naik, sehingga petani tidak dirugikan pada MPR. Harga harga gabah pada Musim Paceklik (MP) sekitar bulan OktoberJanuari naik karena permintaan melebihi penawaran. Kenaikan harga gabah di tingkat petani berpengaruh terhadap harga beras di pengecer, sehingga komsumen berada pada pihak yang dirugikan. Kegiatan yang dilakukan oleh Bulog sebagai pelaksana kebijakan pemerintah dengan melaksanakan Operasi Pasar Murni. Notasi MR5, MG5 dan MP5 pada Gambar 52 yaitu: (1) dua huruf pertama menunjuk kepada Musim Panen Raya, Masim Gadu dan Musim Paceklik, dan (5) angka lima merujuk kepada tahun 2005. Dengan demikian angka 6, 7, 8 dan 9 merujuk kepada tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009. Data harga-harga pada Gambar 52 merupakan harga setiap musim. Harga gabah terdiri dari Harga Gabah Kering Panen (HGKP) dan Harga Gabah Kering Giling (HGKG), sedangkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) terdiri dari Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen (HPGP), Gabah Kering Giling (HPGG) dan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Beras (HPPB). Informasi yang ditunjukkan Gambar 52, yaitu : (1) slope kurva HGKP dan HPGP positip, sedangkan HGKP lebih tinggi dari HPGP, baik pada MR, MG dan MP, (2) slope kurva HGKG dan HPGG positip, sedangkan HGKG lebih tinggi
240
dari HPGG, dan (3) slope kurva HBRT dan HPPB positip, sedangkan HBRT lebih tinggi dari HPPB, baik pada MR, MG dan MP.
Sumber: Perum Bulog dan Badan Pusat Statistik, Maret 2005-September 2009
Gambar 52. Perkembangan Pengadaan dan Penyaluran Beras
Harga Gabah Kering Panen (HGKP) pada Musim Panen Raya (MR) lebih rendah dibandingkan dengan HGKP pada Musim Panen Gadu (MPG) dan MP. Harga GKP pada MR5 Rp 1 407.55 per kg lebih rendah dari harga GKP MG5 (Rp 1 542.45 per kg) dan MP5 (Rp 1 864.83 per kg). Kondisi yang sama juga terjadi pada HGKG, dimana HGKG pada MP lebih tinggi dari MG dan MR. Sebagai contoh, HGKG pada MP8 (Rp 2 988.52 per kg) lebih tinggi dari MG8 (Rp 2 887.87 per kg) dan MR8 sebesar Rp 2 711.72 per kg. Slope kurva HGKP dan HGKG yang positif mengindikasikan bahwa harga gabah pada MP lebih tinggi dari MG dan MR, demikian juga pada HBRT. Slope kurva HPGP, HPGG dan HPPB juga positif karena kebijakan pemerintah melalui Inpres tentang Kebijakan perberasan yang menetapkan kenaikan HPP.
241
Sumber: Badan Pusat Statistik, Maret 2005-September 2009
Gambar 53. Perkembangan Sumbangan Inflasi Beras Kenaikan harga beras mendorong terjadinya kenaikan harga-harga umum, yang ditunjukkan dengan adanya sumbangan beras terhadap inflasi (kurva INFB). Slope kurva INFB sangat fluktuatif mengindikasikan bahwa besarnya sumbangan beras terhadap inflasi pada setiap musim tanam sangat bervariasi, kecuali pada MG8, seperti ditunjukkan pada Gambar 53. Dalam kurun waktu lima tahun, kenaikan harga beras tidak hanya mendorong terjadinya inflasi tetapi juga deflasi, seperti yang ditunjukkan pada tiga Musim Panen Raya, yaitu MR5, MR7 dan MR8. Pola pergerakan kurva INFB tidak terlepas dari perubahan
musim panen, dengan kata lain, INFB MP lebih
tinggi dari INFB MG dan MR. Gejala tersebut karena pada MP terjadi kenaikan harga gabah diikuti dengan kenaikan harga beras di tingkat pedagang pengecer yang mendorong kenaikan harga-harga umum atau inflasi.
242
Sumber: Perum Bulog Maret 2005-September 2009 Gambar 54. Perkembangan Pengadaan dan Penyaluran Beras Slope kurva pengadaan beras oleh Bulog (QBBT) lebih fluktuatif dari kurva penyaluran beras pemerintah (DCBP), penyaluran beras untuk masyarakat miskin (RAST) dan penyaluran bers oleh Bulog (STOB). Slope kurva QBBT yang fluktuatif mengindikasikan jumlah pembeliaan gabah/beras oleh Bulog sangat bervariasi pada setiap musim tanam, seperti ditunjukkan pada Gambar 54. Informasi perkembangan dan penyaluran beras dari Gambar 54: (1) jumlah pembelian gabah/beras tertinggi pada MR9, (2) jumlah penyaluran beras pemerintah terbesar pada MR7, dan (3) jumlah penyaluran beras Bulog dan raskin tertinggi pada MG9. Informasi tersebut mengindikasikan bahwa ada hubungan penyaluran beras dengan jumlah pengadaan beras oleh Bulog.
243
243
VI. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMETRIKA 6.1 Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model Ekonometrika Lampiran 10 menunjukkan persamaan struktural yang memiliki nilai F statistik antara 1.41 – 10.00 yaitu jumlah permintaan beras, jumlah impor beras, kadar air gabah kering panen, dan luas areal panen, masing-masing 1.41, 3.01, 3.52, dan 4.76. Meskipun nilai F dari persamaan struktural jumlah permintaan beras impor lebih rendah dibandingkan dengan persamaan struktutral lainnya, tetapi ketiga peubah penjelas berbeda nyata dengan nol. Enam persamaan struktural yang memiliki nilai F antara 10 dan lebih kecil dari 100, yaitu penyaluran beras pemerintah, penyaluran beras Rakin, harga beras pembelian pemerintah dari Bulog, jumlah pengadan beras oleh Bulog, indeks diterima petani padi dan harga gabah kering panen masing-masing 12.51, 20.07, 25.81, 31.63, 33.62 dan 65.97. Sedangkan nilai F persamaan struktural lainnya yaitu persamaan struktural produktifitas, penyaluran beras Bulog, harga pupuk NPK, harga beras di pengecer, dan indeks dibayar petani padi, masing-masing 139.66, 140.22, 153.57, 178.32, dan 5872.14 Persamaan struktural yang memiliki nilai koefisien determinan dibawah 0.500 yaitu luas areal panen, kadar air gabah kering panen, penyaluran beras oleh Bulog, jumlah permintaan beras, jumlah beras impor dan penyaluran beras pemerintah, sedangkan sepuluh persamaan struktural lainnya memiliki koefisien determinan diatas 0.500 yaitu produktifitas padi, indeks diterima petani padi,indeks dibayar petani padi, harga pupuk NPK, harga gabah kering panen, harga beras pengecer, penyaluran beras Bulog, penyaluran beras Raskin, jumlah pengadaan beras oleh Bulog dan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog.
244
Nilai VIF peubah penjelas dari kelima belas persamaan struktural memiliki nilai VIF yang lebih rendah dari sepuluh, artinya tidak ditemukan adanya multikolineriti diantara peubah penjelas. Hasil perhitungan dengan statistik Durbin h diperoleh bahwa persamaan struktural indeks diterima petani padi, indeks dibayar petani padi, kadar air gabah kering panen dan penyaluran beras Raskin ditemukan adanya serial korelasi karena nilai Dh lebih besar dari 1.645 pada α satu persen. Persamaan struktural lainnya tidak ditemukan serial korelasi. Sedangkan persamaan jumlah permintaan beras tidak menggunakan peubah bedakala, dengan nilai Dw persamaan struktural jumlah permintaan beras 3.29 yang menunjukkan adanya serial korelasi yang negatif. 6.2 Luas Areal Panen Padi Koefisien determinasi R2 sebesar 0.33152, berarti hanya 66.848 persen keragaman dalam variabel luas areal panen yang tidak mampu dijelaskan oleh kelima variabel penjelas yang ada. Uji F statistiknya adalah 4.76 berbeda nyata dengan nol pada α satu persen, berarti peubah penjelas dari persamaan luas areal panen padi secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik perilaku luas areal panen padi. Persamaan luas areal panen dalam studi ini sebelumnya memasukkan HPP terhadap gabah kering panen, dimana HPGP secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil temuan peneliti terdahulu dengan menggunakan harga dasar padi, seperti Hutauruk, 1986; sedangkan Benu, 1996; Hutauruk dan Sembiring, 2002 menemukan bahwa harga dasar gabah menunjukkan hubungan yang positip tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol.
245
Perubahan peubah penjelas dari HPGP menjadi HGKP ke dalam persamaan luas areal panen menyebabkan hasil yang berbeda dimana
HGKP
berhubungan negatif dengan LAPT dan secara statistik besaran parameter dugaannya tidak berbeda nyata dengan nol. Temuan penelitian ini berbeda dari hasil temuan oleh Mulyana (1998) dan Sugiyono (2005). Meskipun HGKP naik, ternyata luas areal panen berkurang. Kondisi tersebut dibuktikan dengan adanya konversi lahan setiap tahunnya, dimana secara nasional konversi lahan selama periode 1979-1999 mencapai 81 376 ha setiap tahunnya (Isa, 2006). Konversi lahan semakin meningkat periode 1999-2002, yaitu sekitar 132 000 ha per tahun (Pakpahan et al. 2006). Konversi lahan yang ditunjukkan Dirjen PLA jauh lebih tinggi dibandingkan data sebelumnya, dimana konversi lahan sawah mencapai 187 720 ha setiap tahunnya. Winoto (2005) mengemukakan bahwa dari total lahan sawah beririgasi 7.3 juta ha, hanya sekitar 4.2 juta ha yang dapat dipertahankan fungsinya. Hasil penelitian sebelumnya dengan
menggunakan peubah kebijakan
HPGP serupa dengan hasil temuan peneliti terdahulu dengan menggunakan harga dasar padi, seperti Hutauruk (1986); sedangkan Benu, (1996); Hutauruk dan Sembiring (2002) menemukan bahwa harga dasar gabah menunjukkan hubungan yang positip tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Luas areal panen padi tidak responsif dengan terhadap gabah kering panen baik jangka pendek maupun jangka panjang, dengan elastisitas jangka pendek 0.240 dan jangka panjangnya -0.528, artinya kenaikan harga gabah kering panen satu persen menyebabkan penurunan luas areal panen padi 0.240 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 0.528 persen. Jadi peningkatan harga
246
gabah kering panen berdampak kecil terhadap perubahan luas areal panen padi baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Temuan penelitian ini dimana luas areal tidak responsif dengan HPGP dalam jangka pendek serupa dengan hasil temuan penelitian Hutauruk, 1986; Hutauruk dan Sembiring, 2002. tetapi hasil yang berbeda dalam jangka panjang, karena respon luas areal panen terhadap HPGP adalah elastis. Kondisi tersebut dapat diinterpretasikan bahwa harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen berpengaruh nyata dan berdampak besar terhadap peningkatan luas areal panen. Studi empiris dengan data tahunan yang dilakukan Mulyana (1998) menunjukkan bahwa harga gabah yang diterima petani berhubungan positip dengan luas areal panen menyebabkan perlu dilakukan respesifikasi model untuk persamaan luas areal, dengan memasukkan variabel eksogen rasio harga gabah kering panen dengan harga pupuk NPK. Rasio harga gabah kering panen dengan harga pupuk NPK berhubungan positif dengan Luas Areal Panen dan parameter dugaannya tidak berbeda nyata dengan nol. Luas areal panen padi tidak responsif dengan rasio harga gabah kering panen dengan harga pupuk NPK dengan elastisitas jangka pendek 0.045 dan jangka panjangnya 0.106, artinya kenaikan harga jagung produsen satu persen menyebabkan kenaikan luas areal panen padi 0.045 persen dan dalam jangka panjang 0.106 persen. Jadi peningkatan rasio harga gabah kering panen dengan harga pupuk NPK berdampak kecil terhadap perubahan luas areal panen padi. Harga jagung produsen berhubungan positif dengan luas areal panen dan parameter dugaannya tidak berbeda nyata dengan nol. Hubungan positip diantara
247
harga jagung produsen dengan luas areal panen mengindikasikan bahwa trend harga jagung dan psdi searah pada waktu yang sama, artinya kenaikan harga jagung juga diikuti dengan naiknya harga padi. Temuan studi ini berbeda dengan temuan penelitian terdahulu, Hutauruk, 1996 dan Mulyana, 1998 bahwa harga jagung berhubungan negatif dengan luas areal panen dan secara statistik tidak nyata, berbeda dengan temuan penelitian ini.
Temuan penelitian ini serupa
dengan penelitian yang dilakukan Benu, 1996; Hutauruk dan Sembiring, 2002 menemukan hubungan yang positif dan secara statistik berbeda nyata dengan nol. Tabel 41. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Luas Areal Panen Persamaan/Peubah Intercept Rasio Harga GKP dengan Harga Pupuk NPK Harga Jagung Produsen Curah Hujan Rata-rata Nilai Tukar Petani Padi
Variabel
Koefisien Nilai t ESR -372.157 -0.47
ELR
RGPN
78.65979
0.14
0.045
0.106
HJRTR CHIT NTPP
0.079811 0.859797 457.7856
0.41 0.86 0.67(E)
0.177 0.146 0.398
0.412 0.340 0.926
Lag Luas Areal Panen LLAPT 0.569903 4.59(A) Keterangan: A nyata pada α= satu persen. E nyata pada α= 20 persen; Nilai h=1.905 Luas areal panen padi tidak responsif dengan harga jagung di produsen dengan elastisitas jangka pendek 0.177 dan jangka panjangnya 0.412, artinya kenaikan harga jagung produsen satu persen menyebabkan kenaikan luas areal panen padi 0.177 persen dan dalam jangka panjang 0.412 persen. Jadi peningkatan harga jagung produsen berdampak kecil terhadap perubahan luas areal panen padi. Temuan penelitian ini serupa dengan penelitian terdahulu, dimana luas areal tidak responsif terhadap harga jagung baik dalam jangka pendek dan jangka panjang
248
(Hutauruk, 1986; Benu, 1996; Mulyana, 1998; Hutauruk dan Sembiring, 2002; Kusumaningrum, 2008). Penelitian terdahulu oleh Hutauruk (1986) ; Benu (1996); Mulyana(1998); dan Kusumaningrum (2008) menemukan bahwa curah hujan berhubungan positip dengan luas areal panen, dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Temuan penelitian ini serupa dengan hasil penelitian terdahulu tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Pengaruh perubahan iklim mempengaruhi luas areal panen, seperti ditunjukkan hasil penelitian Naylor et al. (2002). Hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa dampak El Nino menyebabkan luas areal panen di pulau Jawa dan Indonesia mengalami penurunan, diikuti dengan penurunan produktifitas dan produksi padi. Hasil penelitian tersebut juga mengemukakan bahwa pada tahun El Nino penurunan luas areal panen pada Musim Panen bulan Januari-April lebih besar dibandingkan dengan
Musim Panen bulan September-Agustus.
Dengan
menggunakan data tahun 1983-1998, Naylor et al. (2002) menemukan bahwa perubahan 10C pada SSTAs (the Nino 3.4 sea-surface temperature anomalies) menyebabkan penurunan produksi gabah sebesar 1.4 juta ton pada musim panen Agustus-September, lebih besar dibandingkan penurunan produksi pada musim panen Januari-April. Luas areal panen padi tidak responsif dengan curah hujan rata-rata dengan elastisitas jangka pendek 0.146 dan jangka panjangnya 0.340, artinya kenaikan curah hujan rata-rata satu persen menyebabkan kenaikan luas areal panen padi 0.146 persen dan dalam jangka panjang 0.340 persen. Jadi peningkatan curah hujan terhadap gabah kering panen hanya berdampak kecil terhadap perubahan
249
luas areal panen padi. Luas areal panen tidak responsif terhadap curah hujan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang pada penelitian ini serupa dengan temuan penelitian (Hutauruk, 1986; Benu, 1996; Ritonga, 2004; dan Kusumaningrum, 2008) Disamping curah hujan, nilai tukar petani padi juga berhubungan positip dengan luas areal panen tetapi secara statistik besaran parameter dugaannya tidak berbeda nyata dengan nol. Meskipun secara statistik tidak nyata, keputusan petani untuk meningkatkan luas areal padi dipengaruhi oleh nilai tukar petani padi, artinya semakin besar nilai tukar petani padi maka luas areal panen padi juga naik. Luas areal panen padi tidak responsif dengan nilai tukar petani padi dengan elastisitas jangka pendek 0.398 dan jangka panjangnya 0.926, artinya kenaikan nilai tukar petani padi satu persen menyebabkan kenaikan luas areal panen padi 0.398 persen dan dalam jangka panjang 0.926 persen. Jadi peningkatan rata-rata hari hujan berdampak kecil terhadap perubahan luas areal panen padi dalam jangka pendek tetapi berdampak besar dalam jangka panjang, karena nilai elastisitas jangka panjangnya mendekati satu. Nilai parameter peubah bedakala luas areal panen bernilai 0.569903 yang mendekati satu dan berbeda nyata dengan nol artinya nilai koefisien penyesuaiannya mendekati satu, yang menyiratkan bahwa ada tenggang waktu yang begitu lambat bagi petani untuk menyesuaikan luas areal panen padi sawah dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi karena dampak kebijakan pemerintah. Nilai parameter peubah bedakala penelitian ini 0.569903
lebih
rendah dari nilai parameter peubah bedakala penelitian Mulyana, 1998; Hutauruk, 1996 untuk peubah bedakala luas areal panen di luar pulau Jawa, dan Hutauruk
250
dan Sembiring, 2002; tetapi lebih tinggi dari nilai parameter peubah bedakala penelitian Benu, 1996; dan Kusumaningrum, 2008. 6.3 Produktifitas Padi Koefisien determinasi R2 sebesar 0.89338, berarti hanya 10.662 persen keragaman dalam variabel produktifitas padi yang tidak mampu dijelaskan oleh keempat variabel penjelas yang ada. Uji F statistiknya adalah 139.66 berbeda nyata dengan nol pada α satu persen, berarti peubah penjelas dari persamaan produktifitas padi secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik perilaku produktifitas padi. Harga pupuk NPK bersubsidi berhubungan negatif dan secara statistik berbeda nyata dengan nol,
sebaliknya trend teknologi dan peubah bedakala
berhubungan positif dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Temuan penelitian trend teknologi serupa dengan penelitian Hutauruk dan Sembiring, 2002, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol pada penelitian Hutauruk, 1986; Benu, 1996; dan Mulyana, 1998. Tabel 42. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produktifitas Persamaan/Peubah Variabel Koefisien Nilai t ESR ELR Intercept 1.424102 3.12 Harga Pupuk NPK HPNPR -0.00003 - 1.07(D) -0,024 -0,085 Trend Teknologi T 0.001611 1.13(D) 0,010 0,034 Lag Produktifitas Padi LYPIT 0.718507 7.25(A) Keterangan : A = nyata pada α = 1%; D = nyata pada α= 15%; Nilai h=1.808 Produktifitas
padi tidak responsif dengan harga pupuk NPK dengan
elastisitas jangka pendek -0.024 dan jangka panjangnya -0.085, ditunjukkan pada Tabel 42. Artinya kenaikan harga pupuk NPK terhadap produktifitas padi satu persen menyebabkan produktifitas padi turun 0.024 persen dalam jangka pendek
251
dan dalam jangka panjang turun 0.085 persen. Jadi kenaikan harga pupuk urea hanya berdampak kecil terhadap perubahan produktifitas padi. Hasil penelitian ini mendukung hasil studi Situmorang (1995) dimana kenaikan harga pupuk TSP 1 persen menyebabkan permintaan pupuk TSP turun dalam persentase yang kecil, yaitu 0.12 persen. Sebaliknya, penelitian Lakollo (1986) menyimpulkan bahwa elastisitas penggunaan pupuk urea terhadap hasil per hektar padi sawah tertinggi ada di propinsi Maluku dan Irian Jaya yaitu 0.271, yang menggambarkan bahwa apabila penggunaan pupuk ditingkatkan satu persen, maka hasil rata-rata per hektar padi sawah akan meningkat 0.271 persen. Trend teknologi berhubungan positif dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Penemuan penelitian ini serupa dengan penelitian terdahulu Hutauruk (1996) ; Kako et al. (1997) dan Hutauruk dan Sembiring (2002). Trend teknologi yang berpengaruh positif dan nyata mengindikasikan bahwa perubahan teknologi akan meningkatkan produktifitas padi. Produktifitas padi tidak responsif dengan trend teknologi,
dengan
elastisitas jangka pendek 0.010 dan jangka panjangnya 0.034, artinya adanya kecenderungan perubahan teknologi sebesar satu persen menyebabkan kenaikan produktifitas padi 0.010 persen dalam jangka pendek dan 0.034 persen dalam jangka panjang. Jadi perubahan teknologi hanya berdampak kecil terhadap perubahan produktifitas padi. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Kasryno (1986), dimana
elastisitas permintaan untuk teknologi yaitu 1.995.
Permintaan perubahan teknologi yang elastis tersebut menjadikan petani lebih berorientasi komersil.
252
Nilai parameter peubah bedakala produktifitas bernilai 0.718507 dan berbeda nyata dengan nol menyiratkan bahwa ada tenggang waktu yang relatif begitu lambat bapi petani untuk menyesuaikan produktifitas padi sawah dalam merespon
perubahan-perubahan
yang
terjadi
karena
dampak
kebijakan
pemerintah. 6.4 Produksi Padi Produksi padi dalam bentuk gabah merupakan persamaan identitas yaitu perkalian antara luas areal panen dan produktifitas: QPIT = LAPT x YPIT
Persamaan identitas diatas menunjukkan kenaikan luas areal panen atau produktifitas akan meningkatkan produksi padi. Kenaikan luas areal panen dan produktifitas secara bersamaan menyebabkan produksi padi meningkat lebih besar, dibandingkan dengan kenaikan salah satu dari akan lebih berarti jika peningkatan kedua variabel endogen terjadi secara bersamaan. Pada persamaan produktifitas ditunjukkan bahwa kenaikan harga pupuk NPK akan menurunkan produktifitas, disisi lain kenaikan realisasi penyaluran pupuk NPK dan rasio harga pembelian pemerintah terhadap GKP dengan harga HET pupuk NPK akan menurunkan harga pupuk NPK. Dengan kata lain kebijakan pemerintah mempunyai peranan penting dalam peningkatan produksi padi.
6.5 Produksi Beras Produksi beras merupakan perkalian antara produksi padi dengan suatu angka konversi k sebesar 0.63. Produksi beras berbanding lurus dengan produksi
253
padi, dalam arti jika produksi padi meningkat maka secara linier juga akan meningkatkan produksi beras. Persamaan identitas produksi beras : QBIT : Fk x QPIT Peningkatan produksi beras dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, melalui instrumen kebijakan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen, realisasi penyaluran pupuk NPK dan HET pupuk NPK. 6.6 Beras untuk Benih/Susut
Jumlah beras untuk benih, susut dan penggunaan lainnya diasumsikan merupakan suatu proporsi tertentu dari jumlah produksi beras yaitu: QBLD = Fp x QBIT Jumlah beras untuk benih, susut dan penggunaan lainnya berbanding lurus dengan produksi beras, dalam arti jika produksi beras meningkat maka secara linier juga akan meningkatkan jumlah beras untuk penggunaan benih, susut dan penggunaan lainnya. 6.7 Persediaan Beras Masyarakat Persediaan beras masyarakat merupakan selisih produksi beras dengan jumah beras untuk benih dan susut beras: QCBD = QBIT – QBLD Dari persamaan diatas, peningkatan produksi padi akan meningkatkan persediaan beras masyarakat, sebaliknya penurunan produksi beras menyebabkan persediaan beras masyarakat berkurang. 6.8 Jumlah Beras Impor Koefisien determinasi R2 sebesar 0.19745, berarti hanya 80.225 persen keragaman dalam variabel jumlah beras impor yang tidak mampu dijelaskan oleh
254
keempat variabel penjelas yang ada. Uji F statistiknya adalah 3.01 berbeda nyata dengan nol pada pada α satu persen, berarti peubah penjelas secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik jumlah beras impor. Harga beras dunia berhubungan negatif dengan jumlah beras impor dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Jumlah beras impor responsif dengan harga beras dunia dalam jangka pendek dengan elastisitas jangka pendek -2.552, ditunjukkan pada Tabel 43. Artinya kenaikan harga beras dunia satu persen menyebabkan jumlah beras impor turun 2.552 persen dalam jangka pendek. Jadi peningkatan harga beras dunia berdampak besar terhadap perubahan jumlah beras impor dalam jangka pendek. Tabel 43. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Jumlah Beras Impor Persamaan/Peubah Variabel Koefisien Nilai t ESR ELR Intercept -401.730 -0.99 Harga Beras Dunia HIBTRR -0.03656 -1.27(D) -2.552 Nilai Tukar Rupiah EXRT -0.01831 -0.59 -3.594 Harga Beras Pengecer HBRTR 0.160700 2.68(A) 16.138 Surplus Beras SDBI -0.01643 -1.09(D) -0.820 Keterangan : A nyata pada α= 1%; D nyata pada α = 15 persen;Nilai Dw=1.994 Sebelum dilakukan respesifikasi terhadap model persamaan jumlah impor beras, diperoleh bahwa pengadaan beras Bulog berhubungan negatif dengan jumlah beras impor, dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Hasil penelitian Suparmin (2005) dengan memasukkan variabel dummy musim menunjukkan bahwa pembelian gabah petani oleh Bulog pada bulan Maret nyata, dimana pada bulan Maret tersebut jumlah pembelian gabah meningkat sementara pada bulan-bulan lainnya tidak nyata, pada rezim Pasar Bebas (1998-1999). Sedangkan pada rezim Pasar Terbuka Terkendali (2000-
255
2003), menunjukkan bahwa pada bulan Maret dan April pembelian gabah petani oleh Bulog nyata, dimana pada bulan tersebut jumlah pembelian gabah meningkat karena panen raya padi, sementara pada bulan Juni berpengaruh nyata tetapi jumlah pembelian menurun karena hasil panen mulai turun. Nilai tukar rupiah berhubungan negatif dengan jumlah beras impor, tetapi secara statistik besaran parameter dugaannya tidak berbeda nyata dengan nol. Jumlah beras impor responsif dengan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek dengan elastisitas jangka pendek -3.594. Artinya kenaikan nilai tukar rupiah satu persen menyebabkan jumlah beras impor turun 3.594 persen dalam jangka pendek. Jadi peningkatan nilai tukar rupiah berdampak besar terhadap perubahan jumlah beras impor dalam jangka pendek. Harga beras pengecer berhubungan positif dengan jumlah beras impor dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Jumlah beras impor responsif dengan harga beras pengecer dalam jangka pendek dengan elastisitas jangka pendek 16.318, artinya kenaikan harga beras pengecer satu persen menyebabkan jumlah beras impor naik 16.318 persen dalam jangka pendek. Jadi peningkatan harga beras pengecer perubahan jumlah
berdampak besar terhadap
beras impor dalam jangka pendek. Studi Dawe (2002)
menemukan bahwa kenaikan impor beras Indonesia sebesar satu juta ton menyebabkan harga beras dunia naik sebesar US$ 8.56 per ton, sedangkan studi Dawe (2008), kenaikan impor beras Indonesia sebesar satu juta ton menyebabkan harga beras dunia naik sebesar US$ 12.38 per ton. Surplus beras berhubungan negatif dengan jumlah beras impor dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Jumlah beras
256
impor tidak responsif dengan surplus beras
dalam jangka pendek dengan
elastisitas jangka pendek -0.820, artinya kenaikan surplus beras satu persen menyebabkan jumlah beras impor turun 0.820 persen dalam jangka pendek. Jadi peningkatan jumlah surlus beras berdampak besar (elastisitas mendekati satu) terhadap perubahan jumlah beras impor dalam jangka pendek. 6.9 Pengadaan Beras oleh Bulog Koefisien determinasi R2 sebesar 0.72085, berarti hanya 27.915 persen keragaman dalam variabel tingkat inflasi yang tidak mampu dijelaskan oleh keempat variabel penjelas yang ada. Uji F statistiknya adalah 31.63 berbeda nyata dengan nol pada pada α satu persen, berarti peubah penjelas secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik jumlah pengadaan beras oleh Bulog. Sumbangan harga gabah kering panen terhadap jumlah pengadaan beras oleh Bulog berhubungan negatif dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol, dan
responnya elastis baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang, dengan nilai elastisitas -1.698 dan -3.715. Artinya kenaikan sumbangan harga gabah kering panen terhadap jumlah pengadaan beras satu persen menyebabkan jumlah pengadaan beras oleh Bulog turun 1.698 persen dalam jangka pendek dan turun 3.715 persen dalam jangka panjang. Jadi peningkatan sumbangan harga gabah kering panen berdampak besar terhadap perubahan jumlah pengadaan beras oleh Bulog baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jumlah produksi beras berhubungan positif terhadap jumlah pengadaan beras oleh Bulog dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Respon jumlah pengadaan beras oleh Bulog terhadap jumlah produksi
257
beras adalah elastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, dimana besarnya elastisitas jangka pendek 1.028 dan jangka panjangnya 2.248. Artinya kenaikan jumlah produksi beras satu persen menyebabkan kenaikan jumlah pengadaan beras 1.028 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 2.248 persen. Jadi kenaikan jumlah produksi beras berdampak besar terhadap kenaikan
jumlah pengadaan beras oleh Bulog baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Tabel 44. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Jumlah Pengadaan Beras oleh Bulog Persamaan/Peubah Variabel Koefisien Nilai t ESR ELR Intercept 183.8304 0.74 Harga Gabah Kering Panen HGKPR -0.15078 -1.36(C) -1.698 -3.715 Jumlah Produksi Beras QBIT 0.065055 5.39(A) 1.028 2.248 Trend Waktu T 1.607883 1.06(D) 0.225 0.493 Lag Jumlah Pengadaan Beras oleh Bulog LQBBT 0.542909 6.34(A) Keterangan : A nyata pada α= 1%; C nyata pada α = 10 %; D nyata pada α = 15 %; Nilai h = 2.079 Trend waktu berhubungan positif terhadap jumlah pengadaan beras oleh Bulog dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Respon jumlah pengadaan beras oleh Bulog terhadap trend waktu adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, dimana besarnya elastisitas jangka pendek 0.225 dan jangka panjangnya 0.493. Artinya perubahan trend waktu satu persen menyebabkan kenaikan jumlah pengadaan beras 0.225 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 0.493 persen. Jadi perubahan trend waktu
berdampak kecil terhadap kenaikan
pengadaan beras oleh Bulog baik jangka pendek maupun jangka panjang.
jumlah
258
Nilai parameter peubah bedakala jumlah pengadaan beras oleh Bulog 0.085698 dan berbeda nyata dengan nol artinya nilai koefisien penyesuaiannya mendekati nol. Hal ini menunjukkan terdapat tenggang waktu yang lebih cepat untuk menyesuaikan diri bagi pengadaan
beras oleh Bulog dalam merespon
perubahan-perubahan yang terjadi karena kebijakan perberasan. 6.10 Persediaan Beras Bulog Persediaan beras Bulog merupakan persamaan identitas dari persediaan awal beras di Bulog ditambah pengadaan beras oleh Bulog dan jumlah beras impor oleh Bulog, yaitu: QCBB = STBW + QBBT + QMBT Kebijakan pemerintah melalui Bulog untuk membeli gabah/beras dari produksi dalam negeri dan melakukan impor beras akan meningkatkan persediaan beras Bulog.
6.11 Persediaan Beras Domestik Persediaan beras domestik merupakan persamaan identitas dari persediaan beras masyarakat ditambah persediaan beras Bulog dikurangi dengan jumlah pengadaan beras oleh Bulog, yaitu: QCBN = QCBD + QCBB - QBBT Persediaan beras domestik meningkat dengan kenaikan persediaan beras domestik dan persediaan beras Bulog. Persediaan beras domestik ditentukan oleh persediaan beras masyarakat. 6.12 Jumlah Permintaan Beras Koefisien determinasi R2 sebesar 0.07813, berarti hanya 92.187 persen keragaman dalam variabel tingkat inflasi yang tidak mampu dijelaskan oleh
259
keempat variabel penjelas yang ada. Uji F statistiknya adalah 1.41 tidak berbeda nyata dengan nol pada pada α satu persen, berarti peubah penjelas dari persamaan jumlah permintaan beras secara bersama-sama kurang menjelaskan dengan baik jumlah permintaan beras, tetapi secara partial, ketiga peubah penjelas berbeda nyata dengan nol.. Harga beras pengecer berhubungan negatif dengan jumlah permintaan beras dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Hasil ini serupa dengan sesuai dengan hasil penelitian Kako et al. 1997, Shikha dan Srinivasan (2002) yang menggunakan model kebijakan stabilisasi harga di India. Jumlah permintaan beras tidak responsif terhadap harga beras pengecer dengan elastisitas jangka pendek -0.411, seperti ditunjukkan pada Tabel 45. Artinya kenaikan harga beras pengecer satu persen menyebabkan jumlah permintaan beras turun 0.411. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian Hutauruk, 1996; Mulyana, 1998; Shikha dan Srinivasan, 2002; Brennan, 2003 dan Kusumaningrum, 2005, yang menemukan respon permintaan beras terhadap harga beras pengecer adalah inelastis dalam jangka pendek. Hasil penelitian Alderman dan Timmer (1980) dengan menggunakan data cross section, diperoleh hasil berbeda, dimana elastisitas harga beras mencapai -1.105. Alderman dan Timmer menyadari bahwa hasil tersebut jauh lebih besar dari elastisitas harga yang terdapat dalam buku teks, lalu memberikan jastifikasi bahwa elastisitas tersebut merujuk respon yang diharapkan dalam jangka panjang setelah bebera tahun penyesuaian terhadap pendapatan baru atau tingkat harga tertentu.
260
Penyaluran beras raskin berhubungan negatif dengan jumlah permintaan beras dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol Hasil penelitian Suparmin (2005) menunjukkan bahwa pada rezim pasar Terbuka terkendali (2000-2003) bahwa musim berpengaruh nyata terhadap penyaluran beras kepada masyarakat miskin (Raskin), dimana
jumlah penyaluran beras
raskin disebagian besar bulan panen raya tersebut berpengaruh nyata, kecuali pada bulan Juni dan September. Kenaikan satu persen penyaluran raskin menyebabkan jumlah permintaan beras turun 0.086 persen. Tabel 45. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Jumlah Permintaan Beras Persamaan/Peubah Intercept
Variabel
Koefisien 1872.813
Harga Beras di Pengecer
HBRTR -0.15422
Nilai t 4.64 1.45(C) 1.67(C)
ESR
ELR
-0.411
-
Penyaluran Raskin RAST -0.82516 -0.086 Tingkat Pendapatan per Kapita Real INCRR 0.197749 2.01(B) 0.486 Keterangan : B nyata pada α= 5%; C nyata pada α= 10%;Nilai Dw =3.293 Tingkat pendapatan per kapita berhubungan positif dengan jumlah permintaan beras dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Hasil ini serupa dengan sesuai dengan hasil penelitian Mulyana, 1998; Shikha dan Srinivasan (2002). Hasil yang berbeda ditunjukkan Kako et al. (1997) dimana tingkat pendapatan berpengaruh negatif terhadap permintaan beras untuk konsumsi, dan secara statistik parameter dugaan berbeda nyata dengan nol. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa beras merupakan komoditi inferior di Jepang. Respon
permintaan beras terhadap tingkat pendapatan per kapita
adalah inelastis dalam elastisitas
jangka pendek, dengan elastisitas 0.486 dimana nilai
yang ditemukan Shikha dan Srinivasan (2002) sama dengan hasil
261
penelitian
yaitu 0.48,
sedangkan temuan Mulyana (1998) sebesar 0.204.
Alderman dan Timmer (1980) menemukan elastisitas pendapatan untuk beras di pedesaan dan perkotaan yaitu 0.952 dan 0.527. Hasil pembahasan sebelum model persamaan jumlah permintaan beras direspesifikasi menunjukkan harga jagung produsen berhubungan positif dengan jumlah permintaan beras tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jagung merupakan komoditi subtitusi terhadap beras, sedangkan komoditi subtitusi beras di Jepang dari hasil penelitian Kako et al. (1997) adalah daging. Respon jumlah permintaan beras terhadap harga jagung adalah inelastis dalam jangka pendek. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian Mulyana, 1998; Ritonga, 2004; dan Kusumaningrum, 2005. 6.13 Surplus Beras Surplus atau defisit beras merupakan persamaan identitas dari cadangan beras domestik dikurangi dengan jumlah permintaan beras: SDBI = QCBN - QDBT - QMBT Beberapa alternatif yang memungkinkan surplus beras: (1) cadangan beras domestik pada periode tertentu tidak berubah sedangkan permintaan beras tidak naik, (2) kenaikan cadangan beras domestik lebih besar dari kenaikan permintaan beras, dan (3) penurunan cadangan beras domestik lebih kecil dari penurunan permintaan beras. 6.14 Penyaluran Beras Bulog Koefisien determinasi R2 sebesar 0.89377, berarti hanya 10.623 persen keragaman dalam variabel penyaluran beras Bulog yang tidak mampu dijelaskan oleh ketiga variabel penjelas yang ada. Uji F statistiknya adalah 140.22 berbeda
262
nyata dengan nol pada α satu persen, berarti peubah penjelas dari persamaan penyaluran beras Bulog secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik penyaluran beras Bulog. Penyaluran beras Raskin berhubungan positip dengan penyaluran beras Bulog dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Penyaluran beras Bulog tidak responsif dengan penyaluran beras Raskin dalam jangka pendek dengan elastisitas jangka pendek 0.845, seperti ditunjukkan pada Tabel 46. Artinya kenaikan penyaluran beras Raskin
satu persen
menyebabkan penyaluran beras Bulog naik 0.845 persen dalam jangka pendek. Jadi peningkatan penyaluran beras Raskin oleh Bulog berdampak besar( elastisitas mendekati satu) terhadap perubahan penyaluran beras Bulog. Tabel 46. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penyaluran Beras Bulog Persamaan/Peubah Variabel Koefisien Nilai t ESR ELR Intercept -68.3515 -1.27 Penyaluran Beras Raskin RAST 0.927915 17.50(A) 0.845 Harga Beras Pengecer HBRTR 0.023564 2.16(B) 0.547 Persediaan Akhir Beras Bulog STBF -0.01027 -1.11(D) 0.070 Keterangan : A nyata pada α= 1%; B nyata pada α= 5%n; D: nyata pada α = 15 %; Nilai Dw =1.412 Harga beras pengecer berhubungan positip dengan penyaluran beras Bulog, dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Penyaluran beras Bulog tidak responsif dengan cadangan beras Bulog dalam jangka pendek dengan elastisitas 0.547, artinya kenaikan harga beras pengecer satu persen menyebabkan kenaikan penyaluran beras Bulog 0.547 persen dalam jangka pendek. Jadi peningkatan harga beras pengecer berdampak kecil terhadap perubahan penyaluran beras Bulog
263
Stok akhir beras Bulog berhubungan negatif dengan penyaluran beras Bulog, dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Penyaluran beras Bulog tidak responsif dengan stok akhir beras Bulog dalam jangka pendek dengan elastisitas jangka pendek -0.070 artinya kenaikan stok akhr beras Bulog satu persen menyebabkan penurunan penyaluran beras Bulog 0.070 persen dalam jangka pendek. Jadi perubahan stok akhir beras Bulog berdampak kecil terhadap perubahan penyaluran beras Bulog. 6.15 Persediaan Akhir Beras Bulog Persediaan akhir beras di Bulog merupakan persamaan residual yaitu selisih persediaan beras Bulog dengan penyaluran beras Bulog: STBF = QCBB - STOB Pada kenyataannnya, persediaan akhir beras di Bulog pada akhir bulan menjadi persediaan awal bulan beras di Bulog. Tinggi rendahnya penyaluran beras oleh Bulog akan mempengaruhi
persediaan akhir beras Bulog selanjutnya
mempengaruhi persediaan beras di awal bulan. 6.16 Penyaluran Beras Pemerintah Koefisien determinasi R2 sebesar 0.42885, berarti hanya 57,11 persen keragaman dalam variabel jumlah penyaluran beras pemerintah yang tidak mampu dijelaskan oleh ketiga variabel penjelas yang ada. Uji F statistiknya adalah 12.51 berbeda nyata dengan nol pada pada α satu persen, berarti peubah penjelas dari persamaan jumlah penyaluran beras pemerintah secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik penyaluran beras pemerintah. Harga beras pengecer berhubungan positip dengan jumlah penyaluran beras pemerintah dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata
264
dengan nol. Penyaluran beras oleh pemerintah merupakan penjumlahan beras untuk kegiatan Operasi Pasar Murni (OPM) dan bantuan beras untuk bencana alam dan kondisi gawat darurat. Hasil yang serupa ditunjukkan oleh penelitian Suparmin (2005) yang menemukan bahwa paa rezim Orde Baru (1975-1988) terdapat pengaruh yang nyata antara harga beras terhadap jumlah beras untuk operasi pasar murni. Hal ini mengindikasikan bahwa Bulog melakukan Operasi Pasar Murni bila ada sinyal kenaikan harga beras di konsumen. Tabel 47. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penyaluran Beras Pemerintah Persamaan/Peubah Intercept Harga Beras di Pengecer Dummy Variabel Lag Penyaluran Beras Pemerintah Keterangan : A nyata pada α=
Variabel HBRTR D
Koefisien -48.6021 0.009737 15.92033
Nilai t ESR ELR -1.19 1.16(D) 4.835 8.447 2.78(A) 0.623 1.088
LDCBP 0.427531 3.59(A) 1%; D nyata pada α= 15%; Nilai h = 2.088
Jumlah penyaluran beras pemerintah responsif dengan harga beras di pengecer baik jangka pendek dan jangka panjang, dengan elastisitas jangka pendek 4.835 dan 8.447 dalam jangka panjang, ditunjukkan pada Tabel 47. Artinya kenaikan harga beras di pengecer
satu persen menyebabkan jumlah
penyaluran beras pemerintah naik 4.835 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang naik 8.447 persen. Jadi peningkatan harga beras di pengecer berdampak besar terhadap penyaluran beras pemerintah dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dummy variabel berhubungan positif dengan jumlah penyaluran beras pemerintah tetapi secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Jumlah penyaluran beras pemerintah tidak responsif dengan dummy variabel dengan elastisitas jangka pendek 0.623 tetapi responsif dalam jangka
265
panjang dengan elastisitas jangka panjangnya 1.088, seperti ditunjukkan pada Tabel 55. Artinya kenaikan dummy variabel satu persen menyebabkan jumlah penyaluran beras pemerintah naik 0.623 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 1.088 persen. Jadi peningkatan dummy variabel berdampak kecil terhadap perubahan jumlah penyaluran beras pemerintah dalam jangka pendek tetapi berdampak besar dalam jangka panjang. Nilai parameter peubah bedakala DCBP 0.427531 dan berbeda nyata dengan nol artinya nilai koefisien penyesuaiannya mendekati nol, artinya. Hal ini menunjukkan terdapat tenggang waktu yang lebih cepat untuk menyesuaikan diri bagi DCBP di wilayah penelitian dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi pada kebijakan perberasan. 6.17 Persediaan Akhir Beras Pemrintah Persediaan akhir beras pemerintah merupakan persamaan identitas: STGF = QCBG - DCBP Persediaan akhir beras pemerintah naik, yaitu: (1) cadangan beras pemerintah pada periode tertentu tidak berubah sedangkan penyaluran beras pemerintah tidak naik, karena harga beras pengecer stabil, (2) kenaikan cadangan beras pemerintah lebih besar dari kenaikan penyaluran beras pemerintah, dan (3) penurunan cadangan beras pemerintah lebih kecil dari penurunan penyaluran beras pemerintah. 6.18 Penyaluran Beras Raskin Koefisien determinasi R2 sebesar 0.71927, berarti hanya 28.073 persen keragaman dalam variabel jumlah penyaluran beras Raskin yang tidak mampu
266
dijelaskan oleh keenam variabel penjelas yang ada. Uji F statistiknya adalah 20.07 berbeda nyata dengan nol pada pada α satu persen, berarti peubah penjelas dari persamaan penyaluran Raskin secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik penyaluran beras raskin. Jumlah rumah tangga penerima raskin berhubungan positip dengan penyaluran beras Raskin dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Sebelum harga dirilkan, penyaluran beras raskin tidak responsif dengan jumlah rumah tangga penerima raskin baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dengan elastisitas jangka pendek 0.103 dan jangka panjangnya 0.121. Setelah harga dirilkan, penyaluran beras raskin tidak responsif dengan jumlah rumah tangga penerima raskin baik dalam jangka pendek tetapi responsif dalam jangka panjang dengan elastisitas jangka pendek 0.819 dan jangka panjang 1.045, artinya kenaikan jumlah rumah tangga penerima raskin satu persen menyebabkan kenaikan penyaluran beras raskin 0.819 dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang naik 1.045 persen. Jadi jumlah rumah tangga penerima raskin berdampak besar terhadap perubahan penyaluran beras raskin baik dalam jangka pendek (elastisitas mendekati satu) maupun jangka panjang. Jumlah penduduk miskin Indonesia berhubungan negatif dengan penyaluran beras Raskin, dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Penyaluran beras raskin responsif dengan jumlah penduduk miskin baik jangka pendek maupun jangka panjang, dengan elastisitas jangka pendek -1.084 dan jangka panjangnya -2.302, artinya kenaikan jumlah penduduk miskin satu persen menyebabkan penurunan penyaluran beras raskin 1.084 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 2.302 persen,
267
dengan asumsi jumlah penyaluran beras Raskin yang sudah ditetapkan oleh pemerintah tetap setiap bulannya. Jadi peningkatan jumlah penduduk miskin berdampak besar terhadap perubahan penyaluran beras raskin baik jangka pendek maupun jangka panjang. Tabel 48. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penyaluran Beras Untuk Masyarakat Miskin Persamaan/Peubah Intercept Jumlah RT Penerima Raskin Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Tingkat Inflasi Pengadaan Beras oleh Bulog
Variabel RTRA
Koefisien Nilai t ESR 414.7339 2.16 0.011146 5.07(A) 0.819 -9.61143 1.93(B) -1.804 5.774570 1.01(E) 0.022 0.049108 1.28(D) 0.052
ELR
1.045 JPMT 2.302 INFT 0.028 QBBT 0.066 Penerimaan Petani TRFT -0.00790 -1.06(D) -0.446 0.569 Lag Penyaluran Raskin LRAST 0.216435 2.01(B) Keterangan : A nyata pada α= 1%; B nyata pada α = 5%; D nyata pada α = 15 %; persen; E nyata pada α = 20%; Nilai h = 2.711 Tingkat inflasi berhubungan positip dengan penyaluran beras Raskin dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Penyaluran raskin tidak responsif dengan tingkat inflasi dengan elastisitas jangka pendek 0.022 dan jangka panjangnya 0.028, artinya kenaikan tingkat inflasi satu persen menyebabkan penyaluran raskin naik 0.022 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 0.028 persen. Jadi peningkatan tingkat inflasi berdampak kecil terhadap perubahan penyaluran beras raskin Pengadaan beras Bulog berhubungan positip dengan penyaluran beras Raskin dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol.
Penyaluran beras raskin tidak responsif dengan pengadaan beras Bulog
dengan elastisitas jangka pendek 0.052 dan jangka panjangnya 0.066. Artinya
268
kenaikan pengadan beras oleh Bulog satu persen menyebabkan penyaluran beras raskin naik 0.052 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 0.066 persen. Jadi peningkatan pengadaan beras Bulog berdampak kecil terhadap perubahan penyaluran Raskin. Penerimaan petani padi berhubungan negatif dengan penyaluran beras Raskin dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol.
Penyaluran beras raskin tidak responsif dengan penerimaan petani
baikdalamjangka pendek maupun jangka panjang dengan elastisitas jangka pendek -0.446 dan jangka panjangnya -0.569. Artinya kenaikan penerimaan petani padi satu persen menyebabkan penyaluran beras raskin turun 0.446 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 0.569 persen. Jadi peningkatan pengadaan beras Bulog berdampak kecil terhadap perubahan penyaluran raskin. Nilai parameter peubah bedakala penyaluran beras raskin 0.107416 dan berbeda nyata dengan nol artinya nilai koefisien penyesuaiannya mendekati nol. Hal ini menunjukkan terdapat tenggang waktu yang lebih cepat untuk menyesuaikan diri bagi penyaluran beras raskin dalam merespon perubahanperubahan yang terjadi karena kebijakan perberasan. 6.19 Harga Gabah Kering Panen Koefisien determinasi R2 sebesar 0.84339, berarti hanya 15.661 persen keragaman dalam variabel harga gabah kering panen yang tidak mampu dijelaskan oleh kelima variabel penjelas yang ada. Uji F statistiknya adalah 65.97 berbeda nyata dengan nol pada α satu persen, berarti peubah penjelas dari persamaan harga gabah kering panen secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik perilaku harga gabah kering panen.
269
Harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen berhubungan positip dengan harga gabah kering panen dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Penemuan penelitian ini serupa dengan hasil penelitian (Benu, 1996; Mulyana, 1998; Hutauruk dan Sembiring, 2002; Darwanto, 2002; dan Kusumaningrum, 2008), disisi lain penemuan penelitian Hutauruk, 1996 dan Reddy dan Reddy, 2003 menunjukkan pengaruh positip tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol. Hasil yang serupa juga diperoleh Suparmin (2005) melalui hasil uji Vektor Otoregresif pada pasar terbuka terkendali periode 2000-2003 bahwa kebijakan harga dasar pembelian pemerintah tidak berpengaruh nyata terhadap harga gabah petani. Harga gabah kering panen tidak responsif dengan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen dalam jangka pendek tetapi responsif dalam jangka panjang, dengan elastisitas jangka pendek 0.198 dan jangka panjangnya 1.175, seperti ditunjukkan pada Tabel 49. Artinya kenaikan harga pembelian pemerintah terhadap harga gabah kering panen satu persen menyebabkan harga gabah kering panen naik 0.198 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 1.175 persen. Jadi peningkatan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen dalam jangka pendek berdampak kecil terhadap perubahan harga gabah kering panen, sebaliknya dalam jangka panjang berdampak besar terhadap harga gabah kering panen. Penemuan penelitian terdahulu yang serupa dengan hasil studi ini oleh (Hutauruk, 1996; Benu, 1996; dan Mulyana, 1998), disisi lain Hutauruk dan Sembiring, 2002; Kusumaningrum, 2008 menyimpulkan bahwa harga gabah responsif dengan harga dasar gabah. Perbedaan elastisitas tersebut karena : (1)
270
kemungkinan perbedaan instrumen kebijakan perberasan yang digunakan sebagai variabel penjelas, dimana Kusumaningrum menggunakan harga pembelian pemerintah, sedangkan Hutaruk dan Sembiring menggunakan harga dasar padi, dan (2) periode data yang digunakan untuk pengolahan data. Kadar air gabah kering panen berhubungan negatif dengan harga gabah kering panen dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Harga gabah kering panen tidak responsif dengan kadar air gabah kering panen dalam jangka pendek dengan elastisitas jangka pendek -0.825 tetapi responsif dalam jangka panjang dengan elastisitas -3.944, artinya kenaikan kadar air gabah kering panen terhadap harga gabah kering panen satu persen menyebabkan penurunan harga gabah kering panen -0.825 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang turun 3.944 persen. Jadi peningkatan kadar air gabah kering panen berdampak besar terhadap perubahan harga gabah kering panen dalam jangka panjang sebaliknya berdampak kecil dalam jangka pendek. Tabel 49. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Gabah Kering Panen Persamaan/Peubah Variabel Koefisien Intercept 1894.321 HPP Gabah Kering Panen HPGPR 0.294664 Kadar Air Gabah Kering Panen KAGP -99.0402 Produksi Padi QPIT -0.01572 Lag Harga Gabah Kering Panen LHGKP 0.790797 Keterangan : A nyata pada α= 1%; B nyata pada α=
Nilai t ESR ELR 2.98 2.87(A) 0.246 1.175 - 2.81(A) -0.825 -3.944 - 1.90(B) -0.035 -0.167 10.85(A) 5%; Nilai h = 1.811
Produksi padi berhubungan negatif dengan harga gabah kering panen dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Penemuan penelitian ini serupa dengan hasil penelitian terdahulu oleh Mulyana, 1998 dan Kusumaningrum, 2008. Harga gabah kering panen tidak responsif
271
dengan produksi padi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dengan elastisitas jangka pendek -0.035 dan jangka panjangnya -0.167, artinya kenaikan produksi padi terhadap harga gabah kering panen satu persen menyebabkan penurunan harga gabah kering panen 0.035 persen jangka pendek tetapi dalam jangka panjang turun 0.167 persen. Jadi kenaikan produksi padi berdampak kecil terhadap perubahan harga gabah kering panen. Penemuan penelitian ini serupa dengan hasil penelitian terdahulu oleh Mulyana, 1998 dan Kusumaningrum, 2008. Hasil yang serupa juga diperoleh Suparmin (2005) melalui hasil uji Vektor Otoregresif pada pasar terbuka terkendali periode 2000-2003 bahwa tingkat produksi padi tidak berpengaruh nyata terhadap harga gabah petani. Nilai parameter peubah bedakala HGKP sebesar 0.790797 yang mendekati satu dan berbeda nyata dengan nol artinya nilai koefisien penyesuaiannya mendekati satu. Hal ini menunjukkan terdapat tenggang waktu yang lambat untuk menyesuaikan diri bagi HGKP di wilayah penelitian dalam merespon perubahanperubahan yang terjadi karena kebijakan perberasan. 6.20 Penerimaan Petani Penerimaan petani merupakan perkalian produktifitas dengan harga gabah kering panen: TRFT = YPIT*HGKPR Penerimaan petani meningkat dengan adanya kenaikan produktifitas dan harga gabah kering panen. Kebijakan pemerintah meningkatkan harga pembelian gabah kering panen akan mendorong harga gabah kering panen naik sehingga penerimaan petani secara signifikan meningkat. Kebijakan subsidi harga yang
272
dilakukan oleh pemerintah secara signifikan akan meningkatkan penerimaan petani. 6.21 Kadar Air Gabah Kering Panen Koefisien determinasi R2 sebesar 0.22309, berarti hanya 77.691 persen keragaman dalam variabel kadar air Gabah Kering Panen (GKP) yang tidak mampu dijelaskan oleh keempat variabel penjelas yang ada. Uji F statistiknya adalah 3.52 berbeda nyata dengan nol pada α satu persen, berarti peubah penjelas dari persamaan kadar air GKP secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik perilaku kadar air GKP. Harga gabah kering panen dan curah hujan berhubungan positif dengan kadar air gabah kering panen tetapi secara statistik besaran parameter dugaan harga gabah kering panen tidak berbeda nyata dengan nol, sebaliknya besaran parameter curah hujan rata-rata per bulan berbeda nyata dengan nol. Kadar air GKP tidak responsif dengan harga gabah kering panen baik dalam jangka pendek dan jangka panjang dengan elastisitas jangka pendek 0.027 dan jangka panjangnya 0.056, seperti ditunjukkan pada Tabel 50. Artinya kenaikan harga gabah kering panen terhadap kadar air GKP satu persen menyebabkan harga gabah kering panen naik 0.027 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang naik 0.056 persen. Jadi peningkatan harga gabah kering panen
berdampak kecil
terhadap perubahan kadar air GKP. Kadar air GKP tidak responsif dengan curah hujan rata-rata baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan elastisitas jangka pendek 0.013 dan jangka panjangnya 0.026 (Tabel 49). Artinya kenaikan curah hujan rata-rata terhadap kadar air GKP satu persen menyebabkan kadar air GKP naik 0.013
273
persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 0.026 persen. Jadi peningkatan curah hujan hujan rata-rata berdampak kecil terhadap perubahan kadar air GKP. Kadar air GKP tidak responsif dengan trend teknologi baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan elastisitas jangka pendek -0.002 dan jangka panjangnya -0.004, ditunjukkan pada Tabel 47. Artinya kenaikan trend teknologi terhadap kadar air GKP satu persen menyebabkan kadar air GKP turun 0.002 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 0.004 persen. Jadi peningkatan trend teknologi berdampak kecil terhadap perubahan kadar air GKP. Tabel 50. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kadar Air Gabah Kering Panen Persamaan/Peubah Intercept Harga Gabah Kering Panen
Variabel
HGKPR
Koefisien Nilai t ESR 8.506362 2.60 0.000225
0.45
0.027
ELR
0.056
Curah Hujan Rata-rata CHIT 0.001318 1.15(D) 0.013 0.026 Trend Teknologi T -0.00118 -0.19 -0.002 -0.004 Lag Kadar Air Gabah Kering Panen LKAGP 0.515048 3.64(A) Keterangan : A nyata pada α= 1%; D nyata pada α= 15%; Nilai h =2.606 Nilai parameter peubah bedakala KAGP 0.489695 dan berbeda nyata dengan nol artinya nilai koefisien penyesuaiannya mendekati nol. Hal ini menunjukkan terdapat tenggang waktu yang lebih cepat untuk menyesuaikan diri bagi KAGP di wilayah penelitian dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi pada kebijakan perberasan. 6.22 Harga Pupuk NPK Bersubsidi
Koefisien determinasi R2 sebesar 0.9021, berarti hanya 9.79 persen keragaman dalam variabel harga pupuk NPK bersubsidi yang tidak mampu dijelaskan oleh ketiga variabel penjelas yang ada. Uji F statistiknya adalah 153.57
274
berbeda nyata dengan nol pada α satu persen, berarti peubah penjelas dari persamaan harga pupuk NPK secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik perilaku luas harga pupuk NPK bersubsidi. Rasio HPP GKP dengan HET pupuk NPK berhubungan negatif dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol dengan harga pupuk NPK bersubsidi, demikian juga realisasi penyaluran pupuk NPK bersubsidi untuk tanaman pangan berhubungan negatif dengan harga pupuk NPK dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Harga pupuk NPK bersubsidi tidak responsif dengan rasio HPP GKP dengan HET pupuk NPK dengan elastisitas jangka pendek -0.083 dan jangka panjangnya -0.294, artinya kenaikan rasio HPP GKP dengan HET pupuk NPK satu persen menyebabkan harga pupuk NPK bersubsidi turun 0.083 persen dalam jangka pendek dan 0.294 persen dalam jangka panjang. Jadi kenaikan rasio HPP GKP dengan HET pupuk NPK hanya berdampak kecil terhadap harga pupuk NPK bersubsidi. Tabel 51. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Pupuk NPK Persamaan/Peubah Variabel Koefisien Nilai t ESR ELR Intercept 1583.416 2.75 Rasio HPP GKP dengan HET Pupuk NPK RGHN -282.643 -0.89(E) -0.083 -0.294 Realisasi Penyaluran Pupuk NPK RPNP -3.61588 - 1.93(B) -0,055 -0,193 Lag Harga Pupuk NPK Bersubsidi LHPNP 0.717703 7.91(A) Keterangan : A nyata pada α = 1%; B pada α = 5%; E nyata pada α = 20 % Nilai h=1.075 Harga pupuk NPK bersubsidi tidak responsif dengan realisasi penyaluran pupuk NPK bersubsidi dengan elastisitas jangka pendek -0.055 dan elastisitas
275
jangka panjangnya -0.193, artinya kenaikan realisasi penyaluran pupuk NPK bersubsidi satu persen menyebabkan penurunan harga pupuk NPK bersubsidi 0.031 persen dalam jangka pendek dan 0.168 persen dalam jangka panjang. Jadi kenaikan realisasi penyaluran pupuk NPK bersubsidi berdampak kecil terhadap perubahan harga pupuk NPK bersubsidi. Nilai parameter peubah bedakala HPNP sebesar 0.717703 yang mendekati satu dan berbeda nyata dengan nol artinya nilai koefisien penyesuaiannya mendekati satu. Hal ini menunjukkan terdapat tenggang waktu yang lambat untuk menyesuaikan diri bagi HPNP dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi karena kebijakan perberasan. 6.23 Nilai Tukar Petani Padi Persamaan nilai tukar petani diperoleh dari indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. Nilai tukar petani padi adalah persamaan identitas: NTPPt = IT/IB Menurut Simatupang dan Maulana (2006) di Indonesia, Nilai Tukar Petani (NTP) ditafsirkan sebagai penanda (indikator) kesejahteraan petani. Alternatif lain penanda kesejahteraan yang unik bagi rumahtangga tani praktis tidak ada sehingga NTP menjadi pilihan satu-satunya bagi pengamat pembangunan pertanian. Koefisien determinasi R2 sebesar 0.5687, berarti hanya 43.13 persen keragaman dalam variabel indeks diterima petani padi yang tidak mampu dijelaskan oleh ketiga variabel penjelas yang ada. Uji F statistiknya adalah 33.62 berbeda nyata dengan nol pada α satu persen, berarti peubah penjelas dari
276
persamaan indeks diterima petani padi secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik perilaku indeks diterima petani padi. Harga gabah kering panen berhubungan positip dengan indeks diterima petani padi dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Indeks diterima petani padi tidak responsif dengan harga gabah kering panen dalam jangka pendek tetapi responsi dalam jangka panjang, dengan elastisitas jangka pendek 0.810 dan jangka panjangnya 1.555, seperti ditunjukkan pada Tabel 52. Artinya kenaikan harga harga gabah kering panen satu persen menyebabkan kenaikan indeks diterima petani padi 0.810 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 1.555 persen. Nilai parameter peubah bedakala indeks diterima petani 0.478979 yang mendekati nol dan berbeda nyata dengan nol mengindikasikan terdapat tenggang waktu yang lebih cepat untuk menyesuaikan diri bagi indeks diterima petani padi dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi pada kebijakan perberasan. Tabel 52. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Indeks Diterima Petani Padi Persamaan/Peubah Variabel Koefisien Nilai t ESR ELR Intercept -26.7951 -1.47 Harga Gabah Kering Panen HGKPR 0.033222 3.61(A) 0,810 1.555 Lag Indeks Diterima Petani LIT 0.478979 4.48(A) Keterangan : A nyata pada α= 1%; Nilai h =-2.986 Harga pupuk NPK berhubungan positip dengan indeks dibayar petani padi dan secara statistik besaran parameter dugaannya tidak berbeda nyata dengan nol. Indeks dibayar petani padi tidak responsif dengan harga pupuk NPK dalam jangka pendek tetapi responsif dalam jangka panjang, dengan elastisitas jangka pendek 0.003 dan jangka panjangnya 1.198, seperti ditunjukkan pada Tabel 53. Artinya
277
kenaikan harga pupuk NPK satu persen menyebabkan kenaikan indeks dibayar petani padi 0.003 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 1.198 persen. Tabel 53. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Indeks Dibayar Petani Padi Persamaan/Peubah Variabel Koefisien Nilai t ESR ELR Intercept 0.780067 0.23 Harga Pupuk NPK HPNPR 0.000073 0.16 0,003 1.198 Lag Indeks Dibayar Petani LIB 0.997692 55.82(A) Keterangan : A nyata pada α= 1%; Nilai h = 5.352 Nilai parameter peubah bedakala indeks dibayar petani padi yang mendekati satu dan berbeda nyata dengan nol artinya nilai koefisien penyesuaiannya mendekati satu. Hal ini menunjukkan terdapat tenggang waktu yang lambat untuk menyesuaikan diri bagi indeks dibayar petani padi dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi pada kebijakan perberasan. 6.24 Harga Beras Tingkat Pengecer Koefisien determinasi R2 sebesar 0.94892, berarti hanya 5.108 persen keragaman dalam variabel harga beras tingkat pengecer yang tidak mampu dijelaskan oleh keenam variabel penjelas yang ada. Uji F statistiknya adalah 178.32 berbeda nyata dengan nol pada α satu persen, berarti peubah penjelas dari harga beras pengecer secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik perilaku harga beras tingkat pengecer. Hasil studi sebelum persamaan harga beras pengecer direspesifikasi menunjukkan bahwa harga beras dunia berhubungan positip dengan harga beras pengecer dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Studi Mulyana (1998) menemukan bahwa harga beras impor berhubungan
278
positip dengan harga beras pengecer dan secara statistik berbeda nyata dengan nol, disisi lain
Hutauruk (1996) menemukan bahwa harga beras impor
berhubungan positip dengan harga beras pengecer tetapi secara statistik tidak nyata. Harga beras tingkat pengecer tidak responsif dengan harga beras impor baik jangka pendek maupun jangka panjang, dengan elastisitas jangka pendek 0.023 dan jangka panjangnya 0.380, artinya kenaikan harga beras impor satu persen menyebabkan kenaikan harga beras tingkat pengecer 0.023 persen dan dalam jangka panjang 0.380 persen. Jadi peningkatan harga beras impor berdampak kecil terhadap perubahan harga beras tingkat pengecer. Penyaluran raskin berhubungan negatif dengan harga beras pengecer dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Harga beras tingkat pengecer tidak responsif dengan penyaluran beras raskin baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang dengan elastisitas jangka pendek 0.016 dan jangka panjang -0.120. Artinya kenaikan penyaluran beras kepada masyarakat miskin
satu persen menyebabkan penurunan harga beras tingkat
pengecer 0.016 persen dalam jangka panjang dan dalam jangka panjang turun 0.120 persen. Jadi peningkatan penyaluran beras kepada masyarakat miskin berdampak kecil terhadap perubahan harga beras tingkat pengecer dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Persediaan beras domestik berhubungan negatif dengan harga beras pengecer dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Harga beras tingkat pengecer tidak responsif dengan persediaan beras domestik baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan elastisitas jangka pendek -0.000 dan jangka panjangnya -0.000. Artinya kenaikan cadangan beras
279
domestik satu persen menyebabkan penurunan harga beras tingkat pengecer 0.000 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 0.000 persen. Jadi peningkatan persediaan beras domestik hanya berdampak kecil terhadap perubahan harga beras tingkat pengecer. Tabel 54. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Beras Pengecer Persamaan/Peubah Variabel Koefisien Intercept -475.107 Penyaluran Raskin RAST -0.40657 Persediaan Beras Domestik QCBN -0.03299 Persediaan Akhir Beras Pemerintah STGF 0.345754 Harga Beras Pembelian Pemerintah dari Bulog HPGBR 0.265230 Lag Harga Beras Pengecer LHBRTR 0.939869 Keterangan : A nyata pada α= 1%; B nyata pada α=
Nilai t ESR ELR -1.52 -2.07(B) -0,016 -0,120 -3.29(A)
0.000
0.000
2.27(B)
0.028
0.213
2.71(A)
0.248
1.869
17.74(A) 5%; Nilai h = 1.017
Persediaan akhir beras pemerintah berhubungan positip dengan harga beras pengecer dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Harga beras tingkat pengecer tidak responsif dengan persediaan akhir beras pemerintah baik jangka pendek dan jangka panjang dengan elastisitas jangka pendek 0.028 dan jangka panjangnya 0.213, artinya kenaikan persediaan akhir beras pemerintah satu persen menyebabkan kenaikan harga beras tingkat pengecer 0.028 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 0.213 persen. Jadi peningkatan persediaan akhir beras pemerintah hanya berdampak kecil terhadap perubahan harga beras tingkat pengecer. Harga beras pembelian pemerintah dari Bulog berhubungan positip dengan harga beras pengecer dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Harga beras tingkat pengecer tidak responsif dalam jangka
280
pendek tetapi responsif dalam jangka panjang dengan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog, dengan elastisitas jangka pendek 0.248 dan jangka panjangnya 1.869, artinya kenaikan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog satu persen menyebabkan kenaikan harga beras tingkat pengecer 0.2488 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 1.869 persen. Jadi peningkatan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog hanya berdampak kecil dalam jangka pendek tetapi berdampak besar dalam jangka panjang terhadap perubahan harga beras tingkat pengecer. Hasil
studi
sebelum
respesifikai
menunjukkan
penyaluran
beras
pemerintah berhubungan positip dengan harga beras pengecer dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Hasil ini serupa dengan hasil penelitian Reddy dan Reddy (2003). Harga beras tingkat pengecer tidak responsif dengan penyaluran beras pemerintah baik jangka pendek maupun jangka panjang, dengan elastisitas jangka pendek 0.003 dan jangka panjangnya 0.057. Dengan kata lain, peningkatan penyaluran beras pemerintah berdampak kecil terhadap perubahan harga beras tingkat pengecer. Nilai parameter peubah bedakala harga beras pengecer 0.867237 dan berbeda nyata dengan nol artinya nilai koefisien penyesuaiannya mendekati satu. Hal ini menunjukkan terdapat tenggang waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan diri bagi KAGP dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi karena kebijakan perberasan. 6.25 Harga Beras Pembelian Pemerintah dari Bulog Koefisien determinasi R2 sebesar 0.67813 berarti hanya 32.187 persen keragaman dalam variabel harga beras pembelian pemerintah dari Bulog yang
281
tidak mampu dijelaskan oleh keempat variabel penjelas yang ada. Uji F statistiknya adalah 25.81 berbeda nyata dengan nol pada pada α satu persen, berarti peubah penjelas secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik harga beras pembelian pemerintah dari Bulog. Harga beras dunia berhubungan positif dengan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog tetapi secara statistik besaran parameter dugaannya tidak berbeda nyata dengan nol. Harga beras pembelian pemerintah dari Bulog tidak responsif dengan harga beras dunia baik dalam jangka pendek maupun jangka dengan elastisitas jangka pendek 0.006 dan jangka panjangnya 0.010. Artinya kenaikan harga beras dunia satu persen menyebabkan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog harga beras impor naik 0.006 persen dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang 0.010 persen. Jadi harga beras dunia berdampak kecil terhadap perubahan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Harga beras pembelian Bulog berhubungan positif dengan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog, tetapi secara statistik besaran parameter dugaannya tidak berbeda nyata dengan nol. Harga beras pembelian pemerintah dari Bulog tidak responsif dengan harga beras pembelian Bulog baik dalamjangka pendek maupun jangka panjang, dengan elastisitas jangka pendek 0.030 dan jangka panjang dengan elastisitas 0.048, seperti ditunjukkan pada Tabel 55. Artinya kenaikan harga beras pembelian Bulog satu persen menyebabkan hrga beras pembelian pemerintah dari Bulog naik 0.030 persen dalam jangka pendek dan 0.048 persen dalam jangka panjang. Jadi peningkatan harga beras pembelian
282
Bulog berdampak kecil terhadap perubahan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog baik jangka pendek maupun jangka panjang. Harga beras pengecer berhubungan positif dengan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog harga beras impor, dan secara statistik besaran parameter dugaannya berbeda nyata dengan nol. Harga beras pembelian pemerintah dari Bulog tidak responsif dengan harga beras di pengecer baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek dengan elastisitas jangka pendek 0.028 dan elastisitas jangka panjang 0.453, ditunjukkan pada Tabel 55. Artinya kenaikan harga beras di pengecer satu persen menyebabkan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog naik 0.028 persen dalam jangka pendek dan 0.453 persen dalam jangka panjang. Tabel 55 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Beras Pembelian Pemerintah dari Bulog Persamaan/Peubah Variabel Koefisien Nilai t ESR ELR Intercept 1413.436 3.66 Harga Beras Dunia HIBTRR 0.008415 0.45 0.006 0.010 Harga Beras Pembelian Bulog HPBBR 0.036736 0.36 0.030 0.048 Harga Beras Pengecer HBRTR 0.265539 3.76(A) 0.248 0.453 Lag Harga Pembelian Beras Pemerintah dari Bulog LHPGBR 0.374234 2.71(A) Keterangan : A nyata pada α= 1%;Nilai h =1.303 Nilai parameter peubah bedakala harga beras pembelian pemerintah dari Bulog sebesar 0.138108 dan berbeda nyata dengan nol artinya nilai koefisien penyesuaiannya mendekati nol. Hal ini menunjukkan terdapat tenggang waktu yang lebih cepat untuk menyesuaikan diri bagi harga beras pembelian pemerintah dari Bulog dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi karena kebijakan perberasan.
283
VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERBERASAN TERHADAP TUJUAN KEBIJAKAN DAN KESEJAHTERAAN 7.1 Validasi Model Simulasi kebijakan bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan dengan cara merubah nilai peubah kebijakan. Sebelum model disimulasi terlebih dahulu dilakukan validasi model untuk melihat apakah nilai dugaan sesuai dengan nilai aktual masing-masing peubah endogen (Pindyck dan Rubinfeld. 1991). Indikator validasi statistik yang digunakan yaitu Root Mean Square Percent Errror (RMSPE) untuk mengukur seberapa dekat nilai masing-masing peubah endogen hasil pendugaan mengikuti nilai data aktualnya selama periode pengamatan atau dengan kata lain seberapa jauh penyimpangannya dalam ukuran persen. Tabel 56 menunjukkan delapan persamaan dalam model mempunyai nilai RMSPE lebih kecil dari 10 persen. yaitu produktifitas, persediaan akhir beras pemerintah, harga gabah kering panen, penerimaan petani, kadar air gabah kering panen, harga pupuk NPK, penerimaan petani, index harga dibayar petani, harga beras di pengecer, dan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog. Persamaan persediaan beras Bulog dan jumlah permintaan beras mempunyai RMSPE lebih kecil dari 20 persen, sedangkan persamaan luas areal panen, jumlah produksi padi, produksi beras, jumlah beras untuk benih dan susut, persediaan beras masyarakat, persediaan
beras domestik dan persediaan akhir
beras Bulog mempunyai nilai RMSPE antara 20-100 persen. Enam persamaan lainnya seperti surplus beras, penyaluran beras Bulog, penyaluran beras pemerintah, penyaluran Raskin, nilai tukar petani padi dan indeks diterima petani padi mempunyai RMSPE lebih besar dari 100 persen. Berdasarkan kriteria nilai
284
U-Theil’s terdapat 23 persamaan (93 persen) mempunyai nilai U lebih kecil dari 0.30. dan tiga persamaan mempunyai nilai U lebih besar dari 0.30. Nilai U yang lebih besar dari 0.30 dijumpai pada persamaan pengadaan beras Bulog, penyaluran beras pemerintah, dan jumlah beras impor dengan nilai U masing-masing 0.3671, 0.5491 dan 0.5649. Nilai U-Theil’s pada persamaan pengadaan beras Bulog, penyaluran beras pemerintah, dan jumlah beras impor tidak terjadi bias sistematik sebab nilai UM mendekati nol, 0.00, 0.04 dan 0.09. Informasi dari Tabel 56: (1) proporsi bias (UM) menunjukkan kesalahan sistematis karena mengukur tingkat penyimpangan nilai rata-rata dugaan dengan nilai rata-rata pengamatan semua nya mendekati nol kecuali persamaan harga beras pengecer, dan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog, masing-masing 0.66 dan 0.44, (2) bias kemiringan regresi (UR) yang menunjukkan perbedaan sudut regresi dari pengamatan dugaan dimana semakin kecil UR semakin baik. Semua nilai UR mendekati nol, kecuali penerimaan petani, jumlah beras impor, dan harga beras pengecer, masing-masing 0.14, 0.12 dan 0.11, dan (3) nilai UD diharapkan memiliki nilai semakin besar (mendekati 1.00) kecuali harga beras pengecer dan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog, masing-masing 0.22 dan 0.56. Namun demikian, jika dilihat secara keseluruhan. model ini cukup baik digunakan sebagai model pendugaan. Dengan demikian. model struktural kebijakan perberasan dapat digunakan untuk melakukan analisis simulasi kebijakan. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1991), horison waktu simulasi terdiri dari backcasting. ex-post simulation or historical simulation. ex-post forecast dan ex-ante forecast.
285
Tabel 56. Hasil Pengujian Daya Prediksi Model Analisis Kebijakan Perberasan Periode Bulan Maret 2005-September 2009 No
Peubah
Variabel
RMS PE
1
LAPT
Luas Areal Panen
86.0442
2
YPIT
Produktifitas
3
QPIT
4
UM
UR
UD
U
0.00
0.00
1.00
0.2462
1..6997
0.09
0.00
0.91
0.0083
Produksi Padi
87.9375
0.00
0.00
1.00
0.2466
QBIT
Produksi Beras
87.9375
0.00
0.00
1.00
0.2466
5
QBLD
Beras Benih/Susut
87.9375
0.00
0.00
1.00
0.2466
6
QCBD
87.9375
0.00
0.00
1.00
0.2466
7 8 9 10 11 12 13 14
QMBT QBBT QCBB QCBN QDBT SDBI STOB STBF
. . 16.2775 47.0645 11.8951 1 011.5 182.9 20.1165
0.09 0.00 0.05 0.00 0.04 0.00 0.01 0.07
0.12 0.09 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02
0.79 0.91 0.95 0.99 0.96 1.00 0.98 0.91
0.5649 0.3671 0.0674 0.1691 0.0539 0.2845 0.1324 0.0735
15
DCBP
1 356.0
0.04
0.00
0.96
0.5491
16
STGF
6.7846
0.04
0.01
0.95
0.0260
17 18 19 20
RAST HGKPR TRFT KAGP
423.0 6.5223 6.0677 3.2173
0.00 0.00 0.01 0.00
0.01 0.10 0.14 0.00
0.99 0.90 0.85 1.00
0.1255 0.0355 0.0319 0.0160
21 22 23 24 25 26
HPNPR NTPP IT IB HBRTR HPGBR
Persediaan Beras Masyarakat Jumlah Beras Impor Pengadaan Beras Bulog Persediaan Beras Bulog Persediaan Beras Domestik Jumlah Permintaan Beras Surplus Beras Penyaluran Beras Bulog Persediaan Akhir Beras Bulog Penyaluran Beras Pemerintah Persediaan Akhir Beras Pemerintah Penyaluran Raskin Harga Gabah Kering Panen Penerimaan Petani Kadar Air Gabah Kering Panen Harga Pupuk NPK Nilai Tukar Petani Padi Indeks Diterima Petani Padi Indeks Dibayar Petani padi Harga Beras Pengecer Harga Beras Pembelian Pemerintah dari Bulog
6.3382 147.9 146.2 2.0969 6.1703 4.6094
0.00 0.00 0.00 0.03 0.66 0.44
0.01 0.02 0.03 0.09 0.11 0.00
0.99 0.98 0.97 0.88 0.22 0.56
0.0303 0.0642 0.0581 0.0101 0.0329 0.0234
Simulasi yang dilakukan yaitu ex-post simulation or historical simulation. dimana periode T1 dan T2 merupakan batas waktu dari model yang dihitung dengan data yang ada. Nilai historical series yang dimulai tahun T1 merupakan kondisi awal peubah endogen. dan berakhir pada tahun T2 digunakan untuk peubah eksogen. Ex-post simulation or historical simulation digunakan untuk
286
analisis kebijakan yang mempelajari bagaimana peubah endogen akan bereaksi dengan adanya perubahan pada peubah kebijakan sebagai peubah eksogen. Simulasi historis dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian ketiga. Pengukuran dampak setiap simulasi meliputi perubahan persentase peubah-peubah endogen dalam model dan perubahan nilai kesejahteraan pelaku ekonomi. Analisis dampak kebijakan perberasan terhadap tujuan kebijakan perberasan dan kesejahteraan terdiri dari tiga bagian. Pertama, menganalisis dampak kebijakan harga output dan kebijakan pupuk bersubsidi terhadap tujuan kebijakan perberasan. Skenario simulasi yaitu menganalisis dampak kebijakan tunggal terhadap tujuan kebijakan perberasan. Kebijakan tunggal diwakili kebijakan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen dan kebijakan pupuk bersubsidi, yang terdiri dari kebijakan Harga Eceran Tertinggi pupuk NPK dan realisasi penyaluran pupuk NPK. Kedua, menganalisis dampak kombinasi kebijakan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen, Harga Eceran Tertinggi pupuk NPK, realisasi penyaluran pupuk NPK, harga beras pembelian pemerintah dari Bulog dan jumlah rumah tangga penerima Raskin terhadap tujuan kebijakan perberasan. Ketiga, menganalisis dampak kebijakan tunggal dan kombinasi kebijakan terhadap kesejahteraan. Kebijakan tunggal yaitu harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen, Harga Eceran Tertinggi pupuk NPK dan realisasi penyaluran pupuk NPK. Kombinasi kebijakan terdiri dari. Kebijakan tunggal dengan harga beras pembelian pemerintah dari Bulog dan jumlah rumah tangga penerima Raskin terhadap kesejahteraan. Nilai kesejahteraan yang dihitung yaitu surplus produsen padi dan surplus konsumen beras.
287
7.2
Kebijakan Menaikkan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen 10 Persen Skenario kebijakan
tunggal (Singel Policy) terdiri kebijakan harga
pembelian pemerintah terhadap Gabah Kering Panen 10 persen (S1) dan 15 persen (S2), kebijakan harga eceran tertinggi pupuk NPK 10 persen (S3) dan 15 persen (S4) dan realisasi penyaluran pupuk NPK 10 persen (S5). Tabel 57 menunjukkan perubahan yang terjadi karena dampak kebijakan tunggal yang terdiri dari S1, S2, S3 dan S4. Dampak kebijakan realisasi penyaluran pupuk NPK (S5) ditunjukkan pada Tabel 58. Dampak S1 dan S2 menghasilkan besarnya perubahan pada variabel endogen yang berbeda tetapi tanda yang sama. Tanda yang dimaksud yaitu tanda negatif atau positif di depan angka. Tanda positif berarti adanya kenaikan pada variabel endogen, sebaliknya tanda negatif menunjukkan adanya penurunan pada variabel endogen. Mengingat dampak S1 dan S2 menghasilkan arah yang sama, maka pembahasan hasil penelitian cukup diwakili oleh satu skenario kebijakan. Dampak kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap Gabah Kering Panen sebesar 10 persen akan meningkatkan luas areal sebesar lebih besar dari 10 persen yaitu 11.616 persen. Kebijakan ini akan meningkatkan produksi padi sebesar 11.902 persen, diikuti dengan peningkatan produksi beras 11.904 persen. Peningkatan produksi beras akan meningkatkan kebutuhan benih dan susut sebesar 11.900 persen. Peningkatan produksi beras menyebabkan persediaan beras masyarakat meningkat sebesar 11.904 persen. Peningkatan persediaan beras masyarakat akan meningkatkan persediaan beras domestik 7.232 persen sehingga surplus beras naik 13.154 persen. Kenaikan surplus beras menyebabkan jumlah beras impor turun 25.532 persen. Penurunan
288
jumlah impor beras menyebabkan persediaan beras Bulog turun sebesar 1.618 persen, diikuti dengan penurunan persediaan akhir beras Bulog sebesar 1.118 persen. Penurunan persediaan akhir beras Bulog menyebabkan penurunan jumlah beras disalurkan Bulog 5.302 persen. Tabel 57. Dampak Beberapa Alternatif Kebijakan Tunggal pada Periode Bulan Maret 2005-September 2009 (%) Variabel
Nama Variabel
Satuan
Nilai Dasar
S-1
S-2
S-3
S-4
LAPT
Luas Areal Panen
000 Ha
1 063.2
11.616
17.457
-0.329
-0.461
YPIT
Produktifitas
Ton/Ha
4.7909
0.223
0.334
-0.200
-0.288
QPIT
Produksi Padi
000 Ton
5 095.1
11.902
17.907
-0.526
-0.750
QBIT
Produksi Beras
000 Ton
3 209.9
11.904
17.907
-0.526
-0.751
QBLD
Beras Benih/Susut
000 Ton
321
11.900
17.913
-0.530
-0.748
QCBD
Persediaan Beras Masyarakat
000 Ton
2 888.9
11.904
17.910
-0.526
-0.751
QMBT
Jumlah Beras Impor
000 Ton
99.633
-25.532
-38.440
1.331
1.933
QBBT
Jumlah Pengadaan Beras Bulog
000 Ton
203.9
-1.128
-1.569
-1.324
-1.913
QCBB
Persediaan Beras Bulog
000 Ton
1 717.7
-1.618
-2.416
-0.082
-0.116
QCBN
Persediaan Beras Domestik
000 Ton
4 402.7
7.232
10.880
-0.316
-0.450
QDBT
Jumlah Permintaan Beras
000 Ton
1 891.6
1.406
2.115
-0.053
-0.079
SDBI
Surplus Beras
000 Ton
2 411.4
13.154
19.793
-0.589
-0.838
STOB
Penyaluran Beras Bulog
000 Ton
205.6
-5.302
-7.928
0.097
0.146
STBF
Persediaan Akhir Beras Bulog
000 Ton
1 512.1
-1.118
-1.667
-0.106
-0.152
DCBP
Penyaluran Beras Pemerintah Pers ediaan Akhir Beras Pemerintah
000 Ton
5.5931
-37.403
-56.318
2.008
2.864
STGF
000 Ton
407.9
0.515
0.785
-0.025
-0.025
RAST
Penyaluran Beras Raskin
000 Ton
HGKPR
Harga Gabah Kering Panen
Rp/Kg
TRFT
Penerimaan Petani
KAGP
Kadar Air Gabah Kering Panen
HPNPR
Harga Pupuk NPK
Rp/Kg
NTPP
Nilai Tukar Petani Padi
193.2
-4.503
-6.781
0.000
0.000
2 285.7
7.534
11.296
0.066
0.092
Rp000/ha
1 0974.6
7.792
11.693
-0.139
-0.201
%
19.0516
0.410
0.615
0.003
0.005
3809
-2.783
-4.177
2.533
3.633
0.9249
11.612
17.429
-0.054
-0.076
IT
Indeks Diterima Petani Padi
93.6093
11.527
17.189
0.098
0.140
IB
Indeks Dibayar Petani Padi
101.3
-0.197
-0.296
0.197
0.197
HBRTR
Harga Beras Pengecer Harga Beras Pembelian Pemerintah dari Bulog
Rp/Kg
4 679.1
-2.693
-4.054
0.145
0.207
Rp/Kg
4 478.1
-1.170
-1.762
0.065
0.092
HPGBR
Kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP sebesar 10 persen menyebabkan kenaikan harga gabah kering panen sebesar 7.534 persen, diikuti dengan kenaikan penerimaan petani 7.792 persen. Kenaikan
289
penerimaan petani mengakibatkan penyaluran beras Raskin turun sebesar 4.503 persen. Penurunan beras Raskin yang disalurkan menyebabkan: (1) harga beras di pengecer turun sebesar 2.693 persen, dan (2) jumlah beras disalurkan oleh Bulog turun sebesar 5.302 persen. Target kebijakan Raskin yaitu rumah tangga miskin. sehingga program Raskin bersifat targeted subsidy. Beras Raskin dijual kepada rumah tangga miskin dengan harga jual (dari Rp 1 000 naik menjadi Rp 1 500 per kg) lebih rendah dari harga beras di pasar. Oleh karena itu, menurunnya penyaluran beras Raskin sebesar 4.503 berarti jumlah permintaan beras oleh konsumen naik 1.406 persen. Kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP sebesar 10 persen menyebabkan kenaikan harga gabah kering panen sebesar 7.534 persen, sehingga jumlah pengadaan beras oleh Bulog turun 1.128 persen. Penurunan jumlah pengadaan beras oleh Bulog menyebabkan penyaluran beras Raskin turun sebesar 4.503 persen. Penurunan jumlah pengadaan beras Bulog sebesar 1.128 persen menyebabkan persediaan beras Bulog turun 1.618 persen. Meskipun persediaan beras Bulog turun 1.618 persen, persediaan beras domestik tetap naik sebesar 7.232 persen, karena kenaikan persediaan beras masyarakat 11.194 persen jauh lebih besar dibandingkan dengan penurunan persediaan beras Bulog sebesar 1.618 persen. Dengan kata lain, persediaan beras domestik disuplai dari persediaan beras masyarakat. Penurunan harga beras di pengecer menyebabkan : (1) jumlah beras disalurkan oleh Bulog turun 5.302 persen, (2) jumlah beras impor turun 25.532 persen, (3) jumlah permintaan beras naik sebesar 1.406 persen, (4) penyaluran beras pemerintah turun 37.403 persen, dan (5) harga beras pembelian pemerintah
290
dari Bulog turun sebesar 1.170 persen. Penurunan jumlah beras yang disalurkan pemerintah menyebabkan persediaan akhir beras pemerintah naik 0.515 persen, diikuti dengan penurunan harga beras pengecer turun sebesar 2.693 persen. Kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP sebesar 10 persen menyebabkan indeks diterima petani padi naik sebesar 11.527 persen, diikuti dengan kenaikan nilai tukar petani padi penerimaan petani 11.612 persen. Nilai tukar petani padi naik sebesar 11.612 persen menyebabkan luas areal panen naik 11.616 persen. Kebijakan pemerintah menaikkan HPP GKP sebesar 10 persen menyebabkan harga pupuk NPK turun 2.783 persen diikuti dengan kenaikan produktifitas 0.223 persen. Produksi padi naik karena produktifitas dan luas areal panen naik, masing-masing 0.223 dan 11.616 persen. Disisi lain, penurunan harga pupuk NPK menyebabkan indeks dibayar petani padi menurun sebesar 0.197 persen. Mengingat nilai tukar petani padi merupakan rasio indeks diterima petani padi dengan indeks dibayar petani padi, dimana kenaikan indeks diterima petani sebesar 11.585 persen, sedangkan indeks dibayar petani padi menurun, sehingga nilai tukar petani padi naik sebesar 11.612 persen. Kenaikan harga gabah kering panen menyebabkan kadar air gabah kering panen naik sebesar 0.410 persen, artinya kenaikan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar air gabah kering panen. Pemerintah melalui Inpres tentang Kebijakan Perberasan menentukan persyaratan kualitas terhadap gabah kering panen atau gabah kering giling. Meskipun kadar air gabah Kering Panen naik harga gabah kering panen juga naik, karena kadar air gabah kering panen yang dihasilkan oleh petani padi
291
masih sesuai dengan ketentuan dalam Instruksi Presiden tahun 2005-2009. Dampak kebijakan pemerintah dengan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP menjadi 15 persen (S2) menghasilkan tanda yang sama tetapi besaran berbeda dibandingkan dengan kenaikan HPP GKP 10 persen. Dampak kenaikan HPP GKP 15 persen menghasilkan persentase perubahan yang lebih besar dibandingkan dengan dengan kenaikan HPP GKP 10 persen (S1). 7.3 Kebijakan Menaikkan Harga Eceran Tertinggi Pupuk NPK 10 Persen Kebijakan meningkatkan harga HET pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan luas areal turun tetapi penurunannya lebih kecil dari satu persen, yaitu 0.329 persen. Kebijakan ini akan menurunkan produksi padi 0.526 dan produksi beras sebesar 0.526 persen. Penurunan produksi beras akan menurunkan kebutuhan benih dan susut sebesar 0.530 persen. Penurunan produksi beras menyebabkan persediaan beras masyarakat menurun sebesar 0.526 persen. Penurunan persediaan beras masyarakat menyebabkan persediaan beras domestik turun 0.316 persen sehingga surplus beras turun 0.589 persen. Penurunan surplus beras menyebabkan jumlah beras impor naik 1.331 persen. Kenaikan jumlah impor beras menyebabkan persediaan beras Bulog turun sebesar 0.082 persen, diikuti dengan penurunan persediaan akhir beras Bulog sebesar 0.106 persen. Penurunan persediaan akhir beras Bulog menyebabkan kenaikan jumlah beras disalurkan Bulog 0.097 persen. Kebijakan meningkatkan harga HET pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan kenaikan harga gabah kering panen sebesar 0.003 persen, tetapi
penerimaan petani turun sebesar 0.139 persen.
Penurunan penerimaan petani mengakibatkan penyaluran beras Raskin tidak mengalami perubahan namun jumlah beras disalurkan oleh Bulog naik sebesar
292
0.097 persen. Meskipun penyaluran beras Raskin tidak berubah, jumlah permintaan beras menurun karena kenaikan harga beras pengecer 0.145 persen. Kebijakan meningkatkan harga eceran tertinggi uppuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan kenaikan harga gabah 0.066 persen, sehingga jumlah pengadaan beras oleh Bulog turun 1.324 persen. Penurunan jumlah pengadaan beras oleh Bulog tidak mempengaruhi
penyaluran beras Raskin, karena
penyaluran Raskin tidak berubah. Penurunan jumlah pengadaan beras Bulog sebesar 1.324 persen menyebabkan persediaan beras Bulog turun 0.082. Penurunan persediaan beras Bulog turun 0.082 persen menyebabkan persediaan beras domestik tetap turun sebesar 0.316 persen. Kenaikan harga beras di pengecer menyebabkan : (1) jumlah beras disalurkan oleh Bulog naik 0.097 persen, (2) jumlah beras impor naik 1.331 persen, (3) jumlah permintaan beras turun sebesar 0.053 persen, (4) penyaluran beras pemerintah naik 2.008 persen, dan (5) harga beras pembelian pemerintah dari Bulog naik sebesar 0.065 persen. Kenaikan jumlah beras yang disalurkan pemerintah menyebabkan persediaan akhir beras pemerintah turun 0.025 persen, diikuti dengan penurunan harga beras pengecer naik sebesar 0.145 persen. Kebijakan meningkatkan harga pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan indeks dibayar oleh sehingga
petani padi naik
sebesar 0.197
persen,
nilai tukar petani padi penerimaan petani turun 0.054 persen. Nilai
tukar petani padi turun sebesar 0.054 persen menyebabkan luas areal panen turun 0.329 persen. Kebijakan pemerintah menaikkan HET pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan harga pupuk NPK naik dalam persentase lebih besar dari satu
293
persen, yaitu 2.533 persen sehingga indeks dibayar petani padi naik 0.197 persen. Kenaikan indeks dibayar petani yang lebih besar dari indeks diterima petani padi menyebabkan nilai tukar petani turun, sebesar 0.054 persen. Kenaikan harga pupuk NPK menyebabkan produktifitas turun sebesar 0.200 persen, selanjutnya produksi padi juga turun. Dampak kebijakan pemerintah dengan meningkatkan harga eceran tertinggi pupuk NPK menjadi 15 persen (S4) menghasilkan tanda yang sama tetapi besaran berbeda dibandingkan dengan kenaikan HET NPK 10 persen. Dampak kenaikan HET NPK 15 persen menghasilkan persentase perubahan yang lebih besar dibandingkan dengan dengan kenaikan HET NPK 10 persen (S3). 7.4 Kebijakan Menaikkan Realisasi Penyaluran Pupuk NPK 10 Persen Kebijakan meningkatkan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen akan meningkatkan luas areal sebesar 0.235 persen. Kebijakan ini akan meningkatkan produksi padi sebesar 0.385 persen, diikuti dengan peningkatan produksi beras 0.383 persen. Peningkatan produksi beras akan meningkatkan kebutuhan benih dan susut sebesar 0.374 persen. Peningkatan produksi beras menyebabkan persediaan beras masyarakat meningkat sebesar 0.384 persen. Peningkatan persediaan beras masyarakat akan meningkatkan persediaan beras domestik 0.234 persen sehingga surplus beras naik 0.435 persen. Kenaikan surplus beras menyebabkan jumlah beras impor turun 0.849 persen. Penurunan jumlah impor beras menyebabkan persediaan beras Bulog naik sebesar 0.070 persen, diikuti dengan kenaikan persediaan akhir beras Bulog sebesar
0.079
persen. Kenaikan persediaan akhir beras Bulog menyebabkan penurunan jumlah beras disalurkan Bulog tetap. Kebijakan meningkatkan realisasi penyaluran pupuk
294
NPK 10 persen menyebabkan harga gabah kering panen turun sebesar 0.044 persen, tetapi penerimaan petani naik 0.097 persen. Kenaikan penerimaan petani tersebut karena kenaikan produktifitas 0.140 persen lebih besar dengan penurunan harga gabah kering panen sebesar 0.044 persen. Kenaikan penerimaan petani mengakibatkan penyaluran beras Raskin tidak berubah sehingga jumlah beras disalurkan oleh Bulog juga tidak berubah. Meskipun penyaluran beras Raskin tidak berubah tetapi jumlah permintaan beras oleh konsumen naik sebesar 0.037 persen. Kebijakan meningkatkan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan harga gabah kering panen turun sebesar 0.044 persen, sehingga jumlah pengadaan beras oleh Bulog naik 0.981 persen. Kenaikan jumlah pengadaan beras oleh Bulog tidak diikuti dengan perubahan penyaluran Raskin. Kenaikan jumlah pengadaan beras Bulog sebesar 0.961 persen menyebabkan persediaan beras Bulog naik 0.070 persen. Penurunan harga beras di pengecer menyebabkan : (1) jumlah beras disalurkan oleh Bulog turun 0.049 persen, (2) jumlah beras impor turun 0.849 persen, (3) jumlah permintaan beras naik sebesar 0.037 persen, (4) penyaluran beras pemerintah turun 1.219 persen, dan (5) harga beras pembelian pemerintah dari Bulog turun sebesar 0.038 persen. Penurunan jumlah beras yang disalurkan pemerintah menyebabkan persediaan akhir beras pemerintah naik 0.025 persen. Kebijakan meningkatkan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan indeks diterima petani padi turun sebesar 0.068 persen, namun nilai tukar petani padi naik sebesar 0.022 persen, karena penurunan indeks diterima petani padi lebih kecil dari penurunan indeks dibayar petani padi.
295
Kenaikan nilai tukar petani padi menyebabkan luas areal panen naik 0.235, sehingga produksi padi naik. Kebijakan pemerintah menaikkan realisasi penyaluran pupuk NPK 10 persen menyebabkan harga pupuk NPK turun 1.785 persen, sehingga produktifitas naik 0.140 persen sehingga produksi padi juga mengalami kenaikan. Disisi lain, penurunan harga pupuk NPK menyebabkan indeks dibayar petani padi juga menurun sebesar 0.099 persen. Mengingat nilai tukar petani padi merupakan rasio indeks diterima petani padi dengan indeks dibayar petani padi, sehingga penurunan indeks diterima petani sebesar 0.068 persen, diikuti dengan penurunan indeks dibayar petani padi juga turun 0.099 sehingga nilai tukar petani padi tidak berubah. Perubahan penurunan indeks diterima petani padi lebih kecil dari indeks dibayar petani padi sehingga nilai tukar petani padi naik. Kenaikan harga gabah kering panen menyebabkan kadar air gabah kering panen turun dalam persentase yang sangat kecil sebesar 0.003 persen, diikuti dengan tetapi tidak menyebabkan harga gabah kering panen naik, sebaliknya turun sebesar 0.044 persen, dengan kata lain penurunan kadar air gabah kering panen harga GKP tidak berpengaruh terhadap kenaikan harga gabah kering panen. Pemerintah melalui Inpres tentang Kebijakan Perberasan menentukan persyaratan kualitas terhadap gabah kering panen yaitu 25 persen. Dalam kurun waktu Maret 2005-September 2009, penurunan kadar air gabah kering panen tidak diikuti dengan naiknya harga gabah kering panen. Pada tingkat petani, penentuan harga gabah kering panen oleh pedagang padi tidak selalu mengikuti ketentuan kadar air yang ditetapkan dalam Inpres tentang kebijakan perberasan.
296
Apabila skenario simulasi terhadap harga output dan harga input ditingkatkan menjadi 15 persen, namun untuk realisasi penyaluran pupuk NPK tidak dilakukan mengingat realisasi penyaluran pupuk NPK pada periode bulan Maret 2005-September 2009 telah mencapai angka 93 persen. 7.5
Kebijakan Menaikkan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk NPK Masing-masing 10 Persen
Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP dan HET pupuk NPK sebesar 10 persen akan meningkatkan luas areal sebesar 11.211 persen. Kebijakan ini akan meningkatkan produksi padi sebesar 11.244 persen, diikuti dengan peningkatan produksi beras 11.246 persen. Peningkatan produksi beras akan meningkatkan kebutuhan benih dan susut sebesar 11.246 persen. Peningkatan produksi beras menyebabkan persediaan beras masyarakat meningkat sebesar 11.246 persen. Peningkatan persediaan beras masyarakat akan meningkatkan persediaan beras domestik 6.839 persen sehingga surplus beras naik 12.420 persen. Kenaikan surplus beras menyebabkan jumlah beras impor turun 23.858 persen. Penurunan jumlah impor beras menyebabkan persediaan beras Bulog turun sebesar 1.723 persen, diikuti dengan penurunan persediaan akhir beras Bulog sebesar 1.250 persen. Penurunan persediaan akhir beras Bulog menyebabkan penurunan jumlah beras disalurkan Bulog 5.204 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP dan HET pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan kenaikan harga gabah kering panen sebesar 7.617 persen, diikuti dengan kenaikan penerimaan petani 7.630 persen. Kenaikan penerimaan petani mengakibatkan penyaluran beras Raskin turun sebesar 4.555 persen. Penurunan
297
beras Raskin yang disalurkan menyebabkan (1) harga beras di pengecer turun sebesar 2.509 persen, (2) jumlah beras disalurkan oleh Bulog turun sebesar 5.204 persen, dan (3) jumlah permintaan beras naik sebesar 1.377 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP dan HET pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan kenaikan harga gabah kering panen sebesar 7.617 persen, sehingga jumlah pengadan beras oleh Bulog turun 2.845 persen. Penurunan jumlah pengadan beras oleh Bulog menyebabkan penyaluran beras Raskin turun sebesar 4.555 persen. Penurunan jumlah pengadaan beras Bulog sebesar 2.845 persen menyebabkan persediaan beras Bulog turun 1.723 persen. Meskipun persediaan beras Bulog turun 1.723 persen, persediaan beras domestik tetap naik sebesar 6.839 persen, karena perubahan kenaikan persediaan beras masyarakat yang 11.246 persen jauh lebih besar dibandingkan dengan penurunan persediaan beras Bulog sebesar 1.723 persen. Dengan kata lain, persediaan beras domestik disuplai dari persediaan beras masyarakat. Penurunan harga beras di pengecer menyebabkan : (1) jumlah beras disalurkan oleh Bulog turun 5.204 persen, (2) jumlah beras impor turun 23.858 persen, (3) jumlah permintaan beras naik sebesar 1.337 persen, (4) penyaluran beras pemerintah turun 34.882 persen, dan (5) harga beras pembelian pemerintah dari Bulog turun sebesar 1.092 persen. Penurunan jumlah beras yang disalurkan pemerintah menyebabkan persediaan akhir beras pemerintah naik 0.490 persen, diikuti dengan penurunan harga beras pengecer turun sebesar 2.509 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP dan HET pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan indeks diterima
298
petani padi naik sebesar 11.634 persen, diikuti dengan kenaikan nilai tukar petani padi petani 11.547 persen. Nilai tukar petani padi naik sebesar 11.547 persen menyebabkan luas areal panen naik 11.211 persen. Kombinasi kebijakan ini menyebabkan harga pupuk NPK tidak berubah, diikuti dengan produktifitas tetap, namun demikian produksi padi tetap naik karena luae areal panen meningkat 11.211 persen. Dengan kata lain, produksi padi lebih disebabkan karena kenaikan luas areal panen. Disisi lain, harga pupuk NPK yang tetap menyebabkan indeks dibayar petani padi juga tidak berubah. Mengingat nilai tukar petani padi merupakan rasio indeks diterima petani padi dengan indeks dibayar petani padi, sehingga kenaikan indeks diterima petani yang lebih besar dengan indeks dibayar petani padi, sedangkan indeks dibayar petani padi tetap sehingga nilai tukar petani padi naik sebesar 11.547 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP dan HET pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan kadar air gabah kering panen naik dalam persentase lebih kecil dari satu persen, yaitu sebesar 0.414 persen. Pemerintah melalui Inpres tentang Kebijakan Perberasan menentukan persyaratan kualitas terhadap gabah kering panen atau gabah kering giling. Meskipun kadar air gabah Kering Panen naik harga gabah kering panen juga naik, karena kadar air gabah kering panen yang dihasilkan oleh petani padi masih sesuai dengan ketentuan dalam Instruksi Presiden tahun 2005-2009, berkisar 19 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP menjadi 15 persen sedangkan HET pupuk NPK tetap 10 persen Dampak menghasilkan tanda yang sama tetapi besaran berbeda dibandingkan dengan
299
kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP dan HET pupuk NPK sebesar 10 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP 15 persen dan HET pupuk NPK sebesar 10 persen (S7) menghasilkan persentase perubahan yang lebih besar dibandingkan dengan dengan kombinasi kebijakan harga pembelian pemerintah terhadap GKP dan HET pupuk NPK sebesar 10 persen (S6). Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP 15 persen dengan HET pupuk NPK 10 persen menyebabkan harga pupuk NPK menurun 1.265 persen, diikuti dengan kenaikan produktifitas sebesar 0.102. Penurunan harga pupuk NPK menyebabkan indeks dibayar petani padi turun 0.099 persen diikuti dengan kenaikan nilai tukar petani padi 17.353 persen. 7.6
Kebijakan Menaikkan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen dan Realisasi Penyaluran Pupuk NPK Masing-masing 10 Persen
Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP dan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen akan meningkatkan luas areal sebesar 11.889 persen, seperti ditunjukkan pada Tabel 58. Kebijakan ini akan meningkatkan produksi padi sebesar 12.343 persen, diikuti dengan peningkatan produksi beras 12.343 persen. Peningkatan produksi beras akan meningkatkan kebutuhan benih dan susut sebesar 12.336 persen. Peningkatan produksi beras menyebabkan persediaan beras masyarakat meningkat sebesar 12.344 persen. Peningkatan persediaan beras masyarakat akan meningkatkan persediaan beras domestik 7.500 persen sehingga surplus beras naik 13.656 persen. Kenaikan surplus beras menyebabkan jumlah beras impor turun 26.507 persen. Penurunan
300
jumlah impor beras menyebabkan persediaan beras Bulog turun sebesar 1.543 persen, diikuti dengan penurunan persediaan akhir beras Bulog sebesar 1.025 persen. Penurunan persediaan akhir beras Bulog menyebabkan penurunan jumlah beras disalurkan Bulog 5.350 persen. Tabel 58. Dampak Beberapa Alternatif Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan pada Periode Bulan Maret 2005-September 2009 (%) Variabel
Nama Variabel
Satuan
Nilai Dasar
S-5
S-6
S-7
S-8
LAPT
Luas Areal Panen
000 Ha
1 063.2
0.235
11.211
17.005
YPIT
Produktifitas
Ton/Ha
4.7909
0.140
0.000
0.102
11.889 0.361
QPIT
Produksi Padi
000 Ton
5 095.1
0.385
11.244
17.177
12.343
QBIT
Produksi Beras
000 Ton
3 209.9
0.383
11.246
17.178
12.343
QBLD
Beras Benih/Susut
000 Ton
321
0.374
11.246
17.165
12.336
QCBD
Persediaan Beras Masyarakat
000 Ton
2 888.9
0.384
11.246
17.176
12.344
QMBT
Jumlah Beras Impor
000 Ton
99.6733
-0.849
-23.858
-36.576
-26.507
QBBT
Jumlah Pengadaan Beras Bulog
000 Ton
203.9
0.981
-2.845
-3.482
-0.049
QCBB
Persediaan Beras Bulog
000 Ton
1 717.7
0.070
-1.723
-2.532
-1.543
QCBN
Persediaan Beras Domestik
000 Ton
4 402.7
0.234
6.839
10.444
7.500
QDBT
Jumlah Permintaan Beras
000 Ton
1 891.6
0.037
1.337
2.041
1.449
SDBI
Surplus Beras
000 Ton
2 411.4
0.435
12.420
18.977
13.656
STOB
Penyaluran Beras Bulog
000 Ton
205.6
-0.049
-5.204
-7.831
-5.350
STBF
Persediaan Akhir Beras Bulog
000 Ton
1 512.1
0.079
-1.250
-1.812
-1.025
DCBP
Penyaluran Beras Pemerintah Pers ediaan Akhir Beras Pemerintah
000 Ton
5.5931
-1.219
-34.882
-53.512
-38.803
STGF
000 Ton
407.9
0.025
0.490
0.735
0.539
RAST
Penyaluran Beras Raskin
000 Ton
-4.503
HGKPR
Harga Gabah Kering Panen
Rp/Kg
TRFT
Penerimaan Petani
KAGP HPNPR
193.2
0.000
-4.555
-6.781
2 285.7
-0.044
7.617
11.384
7.481
Rp000/ha
10 974.6
0.097
7.630
11.521
7.892
Kadar Air Gabah Kering Panen
%
19.0516
-0.003
0.414
0.619
0.407
Harga Pupuk NPK
Rp/Kg
3 809
-1.785
0.000
-1.265
-4.568
NTPP
Nilai Tukar Petani Padi
0.9249
0.022
11.547
17.353
11.634
IT
Indeks Diterima Petani Padi
93.6093
-0.068
11.634
17.403
11.421
IB
Indeks Dibayar Petani Padi
101.3
-0.099
0.000
-0.099
-0.296
HBRTR
Harga Beras Pengecer Harga Beras Pembelian Pemerintah dari Bulog
Rp/Kg
4 679.1
-0.090
-2.509
-3.849
-2.795
Rp/Kg
4 478.1
-0.038
-1.092
-1.675
-1.215
HPGBR
Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP dan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan kenaikan harga gabah kering panen
sebesar 7.481
persen, diikuti dengan
kenaikan penerimaan petani 7.892 persen. Kenaikan penerimaan petani
301
mengakibatkan penyaluran beras Raskin turun sebesar 4.503 persen. Penurunan beras Raskin yang disalurkan menyebabkan (1) harga beras di pengecer turun sebesar 2.795 persen, (2) jumlah beras disalurkan oleh Bulog turun sebesar 5.350 persen, dan (3) jumlah permintaan beras akan naik 1.449 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP dan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan kenaikan harga gabah kering panen
sebesar 7.481 persen, sehingga jumlah
pengadan beras oleh Bulog turun 0.049 persen. Penurunan jumlah pengadan beras oleh Bulog menyebabkan penyaluran beras Raskin turun sebesar 4.503 persen. Penurunan jumlah pengadaan beras Bulog sebesar 0.049 persen menyebabkan persediaan beras Bulog turun 1.543 persen. Meskipun persediaan beras Bulog turun 1.543 persen, persediaan beras domestik tetap naik sebesar 7.500 persen, karena perubahan kenaikan persediaan beras masyarakat yang 12.344 persen jauh lebih besar dibandingkan dengan penurunan persediaan beras Bulog sebesar 1.543 persen. Dengan kata lain, persediaan beras domestik disuplai dari persediaan beras masyarakat. Penurunan harga beras di pengecer menyebabkan : (1) jumlah beras disalurkan oleh Bulog turun 5.350 persen, (2) jumlah beras impor turun 26.507 persen, (3) jumlah permintaan beras naik sebesar 1.449 persen, (4) penyaluran beras pemerintah turun 38.803 persen, dan (5) harga beras pembelian pemerintah dari Bulog turun sebesar 1.215 persen. Penurunan jumlah beras yang disalurkan pemerintah menyebabkan persediaan akhir beras pemerintah naik 0.539 persen, diikuti dengan penurunan harga beras pengecer turun sebesar 2.795 persen.
302
Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP dan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan indeks diterima petani padi naik sebesar 11.421 persen, diikuti dengan kenaikan nilai tukar petani padi petani 11.634 persen. Nilai tukar petani padi naik sebesar 11.634 persen menyebabkan luas areal panen naik 11.889 persen. Kombinasi kebijakan ini menyebabkan harga pupuk NPK turun 4.568 persen sehingga produktifitas naik sebesar 0.361 persen. Kenaikan produktifitas menyebabkan penerimaan petani naik sebesar 7.892 persen. Disisi lain, penurunan harga pupuk NPK menyebabkan indeks dibayar petani padi turun sebesar 0.296 persen. Mengingat nilai tukar petani padi merupakan rasio indeks diterima petani padi dengan indeks dibayar petani padi, sehingga kenaikan indeks diterima petani padi sedangkan indeks dibayar petani padi padi turun sehingga nilai tukar petani padi naik sebesar 11.634 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP dan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen (S8) menyebabkan kadar air gabah kering panen naik sebesar 0.407 persen, tetapi kadar air gabah kering panen tidak melebihi angka 25 persen. 7.7
Kebijakan Menaikkan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen, Harga Eceran Tertinggi Pupuk NPK dan Realisasi Penyaluran Pupuk NPK Masing-masing 10 Persen Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap
GKP, HET pupuk NPK dan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen akan meningkatkan luas areal sebesar 11.465 persen. Kebijakan ini akan meningkatkan produksi padi sebesar 11.666 persen, diikuti dengan peningkatan produksi beras 11.667 persen. Peningkatan produksi beras akan meningkatkan
303
kebutuhan benih dan susut sebesar 11.651 persen. Peningkatan produksi beras menyebabkan persediaan beras masyarakat meningkat sebesar 11.669 persen. Peningkatan persediaan beras masyarakat akan meningkatkan persediaan beras domestik 7.093 persen sehingga surplus beras naik 12.897 persen. Kenaikan surplus beras menyebabkan jumlah beras impor turun 24.793 persen. Penurunan jumlah impor beras menyebabkan persediaan beras Bulog turun sebesar 1.648 persen, diikuti dengan penurunan persediaan akhir beras Bulog sebesar 1.164 persen. Penurunan persediaan akhir beras Bulog menyebabkan penurunan jumlah beras disalurkan Bulog 5.253 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP, HET pupuk NPK dan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan kenaikan harga gabah kering panen sebesar 7.564 persen, diikuti dengan kenaikan penerimaan petani 7.733 persen. Kenaikan penerimaan petani mengakibatkan penyaluran beras Raskin turun sebesar 4.555 persen. Penurunan beras Raskin yang disalurkan menyebabkan: (1) harga beras di pengecer turun sebesar 2.607 persen, dan (2) jumlah beras disalurkan oleh Bulog turun sebesar 5.253 persen, dan (3) jumlah permintaan beras akan naik 1.374 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP, HET pupuk NPK dan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan kenaikan harga gabah kering panen sebesar 7.564 persen, sehingga jumlah pengadan beras oleh Bulog turun 2.651 persen. Penurunan jumlah pengadaan beras oleh Bulog menyebabkan penyaluran beras raskin turun sebesar 4.555 persen. Penurunan jumlah pengadaan beras Bulog sebesar 1.766 persen menyebabkan persediaan beras Bulog turun 1.648 persen.
304
Meskipun persediaan beras Bulog turun 1.648 persen, persediaan beras domestik tetap naik sebesar 7.093 persen, karena perubahan kenaikan persediaan beras mesyarakat yang 11.669 persen jauh lebih besar dibandingkan dengan penurunan persediaan beras Bulog sebesar 1.648 persen. Dengan kata lain, persediaan beras domestik disuplai dari persediaan beras masyarakat. Penurunan harga beras di pengecer menyebabkan : (1) jumlah beras disalurkan oleh Bulog turun 5.253 persen, (2) jumlah beras impor turun 24.793 persen, (3) jumlah permintaan beras naik sebesar 1.374 persen, (4) penyaluran beras pemerintah turun 36.227 persen, dan (5) harga beras pembelian pemerintah dari Bulog turun sebesar 1.134 persen. Penurunan jumlah beras yang disalurkan pemerintah menyebabkan persediaan akhir beras pemerintah naik 0.490 persen, diikuti dengan penurunan harga beras pengecer turun sebesar 2.607 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP, HET pupuk NPK dan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan indeks diterima petani padi naik sebesar 11.527 persen, diikuti dengan kenaikan nilai tukar petani padi petani 11.569 persen. Nilai tukar petani padi naik sebesar 11.569 persen menyebabkan luas areal panen naik 11.465 persen, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 59. Kombinasi kebijakan ini menyebabkan harga pupuk NPK turun 1.785 persen sehingga produktifitas naik sebesar 0.140 persen. Kenaikan produksi padi karena luas areal panen dan produktifitas naik, masing-masing sebesar 11.465 dan 0.140 persen. Disisi lain, penurunan harga pupuk NPK menyebabkan indeks dibayar petani padi turun sebesar 0.099 persen. Mengingat nilai tukar petani padi merupakan rasio indeks diterima petani padi dengan indeks dibayar petani padi,
305
dimana kenaikan indeks diterima petani yang lebih besar, sebaliknya indeks dibayar petani padi turun, sehingga nilai tukar petani padi naik sebesar 11.502 persen. Tabel 59 Dampak Beberapa Alternatif Kombinasi Kebijakan pada Periode BulanMaret 2005-September 2009 (%) Variabel
Nama Variabel
Satuan
Nilai Dasar 1 063.2
S-9
S-10
S-11
S-12
11.465
17.287
11.465
17.287
LAPT
Luas Areal Panen
000 Ha
YPIT
Produktifitas
Ton/Ha
4.7909
0.140
0.240
0.140
0.240
QPIT
Produksi Padi
000 Ton
5 095.1
11.666
17.627
11.666
17.627
QBIT
Produksi Beras
000 Ton
3 209.9
11.667
17.627
11.667
17.627
QBLD
Beras Benih/Susut
000 Ton
321
11.651
17.632
11.651
17.632
QCBD
Persediaan Beras Masyarakat
000 Ton
2 888.9
11.669
17.626
11.669
17.626
QMBT
Jumlah Beras Impor
000 Ton
99.6733
-24.793
-37.573
-29.614
-42.394
QBBT
Jumlah Pengadaan Beras Bulog
000 Ton
203.9
-1.766
-2.354
-1.766
-2.354
QCBB
Persediaan Beras Bulog
000 Ton
1 717.7
-1.648
-2.457
-1.927
-2.736
QCBN
Persediaan Beras Domestik
000 Ton
4 402.7
7.093
10.716
6.984
10.607
QDBT
Jumlah Permintaan Beras
000 Ton
1 891.6
1.374
2.083
0.730
1.438
SDBI
Surplus Beras
000 Ton
2 411.4
12.897
19.487
13.403
19.993
STOB
Penyaluran Beras Bulog
000 Ton
205.6
-5.253
-7.879
3.648
0.973
STBF
Persediaan Akhir Beras Bulog
000 Ton
1 512.1
-1.164
-1.719
-2.685
-3.247
DCBP
000 Ton
5.5931
-36.227
-54.946
-44.592
-63.310
STGF
Penyaluran Beras Pemerintah Pers ediaan Akhir Beras Pemerintah
000 Ton
407.9
0.490
0.760
0.613
0.883
RAST
Penyaluran Beras Raskin
000 Ton
193.2
-4.555
-6.781
5.901
3.623
HGKPR
Harga Gabah Kering Panen
Rp/Kg
2 285.7
7.564
11.331
7.564
11.331
TRFT
Penerimaan Petani
Rp000/ha
10 974.6
7.733
11.626
7.733
11.626
KAGP
Kadar Air Gabah Kering Panen
%
19.0516
0.412
0.616
0.412
0.616
HPNPR
Harga Pupuk NPK
Rp/Kg
NTPP
Nilai Tukar Petani Padi
3 809
-1.785
-3.051
-1.785
-3.051
0.9249
11.569
17.375
11.569
17.375
IT
Indeks Diterima Petani Padi
93.6093
11.527
17.296
11.527
17.296
IB
Indeks Dibayar Petani Padi
101.3
-0.099
-0.197
-0.099
-0.197
HBRTR
Harga Beras Pengecer Harga Beras Pembelian Pemerintah dari Bulog
Rp/Kg
4 679.1
-2.607
-3.954
-3.221
-4.567
Rp/Kg
4 478.1
-1.134
-1.719
-0.904
-1.492
HPGBR
Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP, HET pupuk NPK dan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen menyebabkan kadar air gabah kering panen naik dalam persentase lebih kecil dari satu persen, yaitu sebesar 0.412 persen dan diikuti dengan kenaikan harga gabah
306
kering panen. Kenaikan kadar air gabah kering panen yang kecil tersebut masih sesuai dengan ketentuan kualitas gabah kering panen dalam Instruksi Presiden tahun 2005-2008. Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GK 15 persen sedangkan, HET pupuk NPK dan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen (S10) menghasilkan tanda yang sama tetapi besaran berbeda dibandingkan dengan kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP, HET pupuk NPK dan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP 15 persen, HET pupuk NPK dan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 (S10) menghasilkan persentase perubahan yang lebih besar dibandingkan dengan dengan kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap GKP, HET pupuk NPK dan realisasi penyaluran pupuk NPK sebesar 10 persen (S9). 7.8
Kebijakan Menaikkan Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Gabah Kering Panen, Harga Pembelian Beras Bulog, Harga Eceran Tertinggi Pupuk NPK, Jumlah Rumah Tangga Penerima Raskin dan Realisasi Penyaluran Pupuk NPK Masing-masing 10 Persen
Kombinasi kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen, harga pembelian beras oleh Bulog, harga eceran tertinggi pupuk NPK, jumlah rumah tangga penerima Raskin dan realisasi penyaluran pupuk NPK masing-masing sebesar 10 persen (S11) meningkatkan luas areal sebesar 11.465 persen. Kebijakan ini akan meningkatkan produksi padi sebesar 11.666 persen, diikuti dengan peningkatan produksi beras 11.667 persen. Peningkatan produksi beras akan meningkatkan kebutuhan benih dan susut
307
sebesar 11.651 persen. Peningkatan produksi beras menyebabkan persediaan beras masyarakat meningkat sebesar 11.669 persen, ditunjukkan pada Tabel 59. Peningkatan persediaan beras masyarakat akan meningkatkan persediaan beras domestik 6.984 persen sehingga surplus beras naik 13.403 persen. Kenaikan surplus beras menyebabkan jumlah beras impor turun 29.614 persen. Penurunan jumlah impor beras menyebabkan persediaan beras Bulog turun sebesar 1.927 persen, diikuti dengan penurunan persediaan akhir beras Bulog sebesar 2.685 persen. Penurunan persediaan akhir beras Bulog karena kenaikan jumlah beras disalurkan Bulog 3.648 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan HPGP, HPBB, HNPK, RTRA dan RPNP masing-masing sebesar 10 persen menyebabkan kenaikan harga gabah kering panen
sebesar 7.564
persen, diikuti dengan
kenaikan penerimaan petani 7.733 persen. Kenaikan penerimaan petani mengakibatkan penyaluran beras Raskin naik sebesar 5.901 persen. Kenaikan beras Raskin tersebut disebabkan kenaikan jumlah rumah tangga penerima Raskin naik 10 persen. Kenaikan beras Raskin yang disalurkan menyebabkan: (1) harga beras di pengecer turun sebesar 3.221 persen, dan (2) jumlah beras disalurkan oleh Bulog naik sebesar 3.648 persen, dan (3) jumlah permintaan beras akan naik 0.730 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan HPGP, HPBB, HNPK, RTRA dan RPNP masing-masing sebesar 10 persen menyebabkan kenaikan harga gabah kering panen sebesar 7.564 persen, sehingga jumlah pengadan beras oleh Bulog turun 1.766 persen. Penurunan jumlah pengadan beras oleh Bulog menyebabkan penyaluran beras raskin naik sebesar 5.901 persen. Penurunan jumlah pengadaan
308
beras Bulog sebesar 1.766 persen menyebabkan persediaan beras Bulog turun 1.927 persen. Meskipun persediaan beras Bulog turun 1.766 persen, persediaan beras domestik tetap naik sebesar 6.984 persen, karena perubahan kenaikan persediaan beras masyarakat yang 11.699 persen jauh lebih besar dibandingkan dengan penurunan persediaan beras Bulog sebesar 1.927 persen. Dengan kata lain, persediaan beras domestik disuplai dari persediaan beras masyarakat. Penurunan harga beras di pengecer menyebabkan : (1) jumlah beras disalurkan oleh Bulog naik 3.648 persen, (2) jumlah beras impor turun 29.614 persen, (3) jumlah permintaan beras naik sebesar 0.730 persen, (4) penyaluran beras pemerintah turun 44.592 persen, dan (5) harga beras pembelian pemerintah dari Bulog turun sebesar 0.904 persen. Penurunan jumlah beras yang disalurkan pemerintah menyebabkan persediaan akhir beras pemerintah naik 0.613 persen, diikuti dengan penurunan harga beras pengecer turun sebesar 3.221 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan HPGP, HPBB, HNPK, RTRA dan RPNP masing-masing sebesar 10 persen menyebabkan indeks diterima petani padi naik sebesar 11.527 persen, diikuti dengan kenaikan nilai tukar petani padi petani 11.569 persen. Nilai tukar petani padi naik
sebesar 11.569 persen
menyebabkan luas areal panen naik 11.465 persen. Kombinasi kebijakan ini menyebabkan harga pupuk NPK turun 1.785 persen sehingga produktifitas naik sebesar 0.140 persen, diikuti dengan kenaikan produksi padi. Meskipun kenaikan produktifitas kecil, tetapi produksi padi naik 11.666 persen karena luas areal panen naik sebesar 10.890 persen. Dengan kata lain, produksi padi lebih disebabkan karena kenaikan luas areal panen. Disisi lain,
309
penurunan harga pupuk NPK menyebabkan indeks dibayar petani padi turun sebesar 0.099 persen. Mengingat nilai tukar petani padi merupakan rasio indeks diterima petani padi dengan indeks dibayar petani padi, dimana kenaikan indeks diterima petani yang lebih besar, sebaliknya indeks dibayar petani padi turun, sehingga nilai tukar petani padi naik sebesar 11.569 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan HPGP, HPBB, HNPK, RTRA dan RPNP masing-masing sebesar 10 persen menyebabkan kadar air gabah kering panen naik tetapi dalam persentase lebih kecil dari satu persen, sebesar 0.412 persen dan diikuti dengan kenaikan harga gabah kering panen. Meskipun kadar air gabah Kering Panen naik tetapi karena kadar air gabah kering panen yang dihasilkan oleh petani padi masih sesuai dengan ketentuan dalam Instruksi Presiden tahun 2005-2009. Kombinasi kebijakan meningkatkan HPGP 15 persen sedangkan HPBB, HNPK, RTRA dan RPNP masing-masing sebesar 10 persen (S12) menghasilkan tanda yang sama tetapi besaran berbeda dibandingkan dengan kombinasi kebijakan meningkatkan HPGP, HPBB, HNPK, RTRA dan RPNP masing-masing sebesar 10 persen. Kombinasi kebijakan meningkatkan HPGP 15 persen sedangkan HPBB, HNPK, RTRA dan RPNP masing-masing sebesar 10 persen menghasilkan persentase perubahan yang lebih besar dibandingkan dengan dengan kombinasi kebijakan meningkatkan HPGP, HPBB, HNPK, RTRA dan RPNP masing-masing sebesar 10 persen (S11). 7.9
Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan Terhadap Tujuan Kebijakan Perberasan Nasional melalui Inpres 2005-2008 Variabel endogen untuk mengukur pendapatan petani yaitu nilai tukar
petani padi dan penerimaan petani. Skenario kebijakan S2 menghasilkan
310
perubahan kenaikan produksi padi (QPIT) tertinggi (17.907 persen) dari skenario lainnya, seperti ditunjukkan pada Gambar 55. Kenaikan produksi padi tertinggi tersebut diikuti dengan perubahan kenaikan nilai tukar petani padi (NTPP) dan penerimaan petani (TRFT) tertinggi, masing-masing 17.429 dan 11.693 persen. Sebaliknya, skenario kebijakan S3 menyebabkan penurunan terhadap QPIT, TRFT dan NTPP, masing-masing sebesar 0.526, 0.139 dan 0.054 persen, sehingga kurva QPIT, TRFT dan NTPP berada dibawah titik nol. Skenario S4 menghasilkan penurunan perubahan QPIT, TRFT dan NTPP yang lebih besar dari skenario S3. Pada
kenyataannya,
pemerintah
mengimplementasikan
kombinasi
kebijakan (mix policy) terhadap kebijakan perberasan nasional. Dengan kata lain, meskipun skenario S2 menghasilkan kenaikan QPIT, TRFT dan NTPP tertinggi, pilihan skenario kebijakan ditentukan oleh skenario kombinasi kebijakan yang menghasilkan kenaikan QPIT, TRFT dan NTPP tertinggi. Skenario S12 menghasilkan perubahan kenaikan QPIT, TRFT dan NTPP tertinggi, masingmasing 17.627, 11.626 dan 17.375 persen. Skenario kombinasi kebijakan yang menghasilkan perubahan kenaikan QPIT, TRFT dan NTPP terendah yaitu skenario S6. Skenario kombinasi kebijakan S6 sampai dengan S12 menghasilkan dampak kenaikan pendapatan petani
diatas tujuh persen, sehingga skenario
kombinasi kebijakan tersebut dapat menjadi pilihan alternatif kebijakan oleh pemerintah untuk merealisasikan tujuan kebijakan perberasan dalam Inpres tahun 2005-2008. Tujuan kebijakan perberasan dalam Inpres tahun 2005-2008 secara eksplisit menyebutkan sikap keberpihakan pemerintah terhadap produsen padi dan
311
konsumen beras. Tujuan kebijakan perberasan untuk meningkatkan pendapatan petani dan pengembangan ekonomi pedesaan menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap produsen padi, disisi lain tujuan kebijakan perberasan untuk ketahanan
pangan
dan
stabilisasi
ekonomi,
menunjukkan
keberpihakan
pemerintah terhadap konsumen beras. Skenario kebijakan tunggal dan kombinasi kebijakan yang mengindikasikan keberpihakan terhadap produsen padi yaitu skenario S1 sampai dengan S10. Skenario kombinasi kebijakan yang mengindikasikan keberpihakan pemerintah terhadap produsen padi dan konsumen beras yaitu skenario S11 dan S12. Skenario kombinasi kebijakan S12 seperti ditunjukkan pada Gambar 56 menghasilkan kenaikan harga gabah kering panen dan indeks diterima petani padi tertinggi, sedangkan terendah dijumpai pada skenario kombinasi kebijakan S8. Pada skenario S12, kenaikan harga gabah kering panen sebesar 11.331 persen menyebabkan indeks diterima petani juga tertinggi, yaitu 17.375 persen, disisi lain pada skenario 8 perubahan kenaikan harga gabah kering panen terendah menyebabkan indeks diterima petani juga terendah, yaitu 11.421 persen. Gambar 57 menunjukkan bahwa dampak skenario kebijakan tunggal maupun kombinasi kebijakan menghasilkan perubahan pengadaan beras oleh Bulog (QBBT) minus kecuali skenario S5 sebesar 0.981 persen. Dampak skenario kebijakan tunggal maupun kombinasi kebijakan menghasilkan perubahan persediaan beras domestik (QCBN), persediaan beras masyarakat (QCBD) dan surplus beras (SDBI) yang positip, kecuali skenario S3 dan S4. Persediaan beras domestik disuplai dari persediaan beras masyarakat. Kenaikan persediaan beras
312
domestik tertinggi dijumpai pada skenario S2 yaitu 10.880 persen sedangkan untuk kombinasi kebijakan pada skenario S12 sebesar 10.607 persen.
20,000
Perubahan (%)
15,000
10,000
QPIT TRFT
5,000
NTPP
0,000 1
2
3
4
5
‐5,000
6
7
8
9
10
11
12
Simulasi
Gambar 55. Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan Terhadap Pendapatan Petani
20,000 15,000
Perubahan (%)
10,000 HGKPR HPNPR
5,000
IT 0,000
IB 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
‐5,000 ‐10,000
Simulasi
Gambar 56. Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan TerhadapHarga Gabah Kering Panen, Harga pupuk NPK, Indeks Diterima dan Dibayar Petani Padi
313
25,000
Perubahan (%)
20,000 15,000
QCBD QBBT
10,000
QCBB QCBN
5,000
SDBI 0,000 1 ‐5,000
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Simulasi
Gambar 57. Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan Terhadap Ketahanan Pangan
Dampak skenario kombinasi kebijakan terhadap ketahanan pangan dalam studi ini ditentukan oleh QCBD, QCBN dan SDBI. Dampak skenario kombinasi kebijakan pada S12 menghasilkan perubahan surplus beras tertinggi, yaitu 19.993 persen. Apabila indikator ketahanan pangan ditentukan oleh persediaan beras masyarakat, maka pilihan kombinasi kebijakan pada skenario S10 dan S12. Selanjutnya, apabila indikator ketahanan pangan berdasarkan persediaan beras domestik, maka pilihan pada kombinasi kebijakan pada skenario S10. Gambar 58 menunjukkan keterkaitan diantara tujuan kebijakan perberasan dalam Inpres tahun 2005-2008, dimana ketahanan pangan yang semakin baik (diukur dari kecukupan pangan) berkaitan dengan stabilisasi harga, yang ditunjukkan dengan perubahan harga beras pengecer berada dibawah titik nol, kecuali pada skenario S3 dan S4. Pada skenario S3 dan S4, perubahan harga beras pengecer positip, masing-masing 0.145 dan 0.207 persen. Secara umum, baik
314
kebijakan tunggal maupun kombinasi kebijakan menghasilkan peningkatan ketahanan pangan, kecuali skenario S3 dan S4.
25,000 20,000
Perubahan (%)
15,000 QCBD
10,000
QCBN 5,000
SDBI
0,000
HBRTR
‐5,000
1
2
3
4
5
‐10,000
6
7
8
9
10
11
12
Simulasi
Gambar 58.Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan Terhadap Ketahanan Pangan dan Stabilisasi Harga
8,000 6,000
Perubahan (%)
4,000 2,000
STOB
0,000
STBF
‐2,000
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
STGF RAST
‐4,000
HBRTR
‐6,000 ‐8,000 ‐10,000
Simulasi
Gambar 59.Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan Terhadap Stabilisasi Harga
315
Gambar 59 menunjukkan dampak skenario kombinasi kebijakan pada S12 menyebabkan persediaan akhir beras Bulog (STBF) turun sebesar 3.247 persen. Mengingat persediaan beras akhir Bulog merupakan persamaan identitas, yaitu selisih persediaan beras Bulog dengan penyaluran beras Bulog, maka penurunan STBF karena jumlah beras yang disalurkan oleh Bulog naik sebesar 0.973 persen. Skenario kombinasi kebijakan pada S12 menyebabkan penyaluran beras Raskin (RAST) naik sebesar 3.623 persen. Salah satu peubah penjelas pada skenario S12 yaitu jumlah rumah tangga penerima Raskin. Kebijakan meningkatkan jumlah rumah tangga penerima Raskin menyebabkan jumlah penyaluran RAST naik. Skenario kebijakan tunggal dan kombinasi kebijakan selain S11 da S12 menghasilkan perubahan RAST yang minus. Dampak skenario kebijakan tunggal pada S3, S4 dan S5 terhadap RAST tidak ada, karena perubahan RAST yang nol persen. Dampak
skenario
kombinasi
tunggal
dan
kombinasi
kebijakan
menghasilkan perubahan persediaan akhir beras pemerintah (STGF) yang positip, kecuali skenario S3 dan S4, dimana perubahan STGF minus 0.025 persen. Kenaikan persediaan akhir beras pemerintah tersebut karena penurunan penyaluran beras pemerintah.
7.10 Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan Terhadap Kesejahteraan Gambar 60 menunjukkan slope kurva surplus produsen beras (SPB), surplus konsumen beras (SKB) dan surplus bersih (NS) fluktuatif. Apabila pemerintah mengimplementasikan kebijakan tunggal, melalui kebijakan meningkatkan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen dari 10 menjadi 15 persen,
316
maka surplus produsen naik menjadi Rp 1 433 atau naik 51.08 persen dari skenario S1. Keputusan pemerintah untuk mengimplementasikan kenaikan harga eceran tertinggi pupuk NPK dari 10 persen (S3) menjadi 15 persen (S4) menyebabkan surplus konsumen beras turun menjadi Rp 18 milyar, atau kesejahteraan surplus konsumen berkurang 42.62 persen dari skenario S3. Sebaliknya, skenario S3 menyebabkan surplus produsen berkurang tajam dibandingkan dengan S2, atau berkurang 99.46 persen dari skenario S2. Dampak kebijakan tunggal pada skenario S3 dan S4 menghasilkan surplus konsumen beras yang negatif, masing-masing Rp 13 milyar dan Rp 18 milyar. Studi Hutauruk, 1996; Mulyana, 1998 menguatkan hasil penelitian ini, bahwa kenaikan harga beras pengecer di pasar akan menurunkan surplus konsumen beras. Hasil penelitian ini yang menunjukkan penurunan harga beras di pasar diikuti dengan kenaikan surplus konsumen serupa dengan hasil penelitian Sembiring (2002 c dan 2002 d), yang menemukan bahwa penurunan harga beras di pasar menyebabkan surplus konsumen meningkat sebesar 5.40 sampai 11.76 persen. Tindakan pemerintah meningkatkan realisasi penyaluran pupuk NPK 10 persen (S5) menguntungkan surplus konsumen sebaliknya surplus produsen berkurang Rp 5 Milyar. Keputusan pemerintah mengimplemetasikan kombinasi kebijakan dengan menaikkan harga gabah kering panen dengan harga eceran tertinggi pupuk NPK masing-masing 10 persen, menyebabkan kesejahteraan produsen dan konsumen beras lebih baik (better off) dari kebijakan kebijakan tunggal, khususnya skenario S3, S4 dan S5.
317
Apabila pemerintah memutuskan meningkatkan harga gabah kering panen naik menjadi 15 persen, sedangkan harga eceran tertinggi pupuk NPK tetap 10 persen maka kondisi kesejahteraan produsen dan konsumen lebih baik lagi, karena kesejahteraan produsen naik 53.44 persen dibandingkan dengan skenario S6, sedangkan kesejahteraan konsumen juga meningkat 55.09 persen. Gambar 60 menunjukkan bahwa surplus produsen beras terbesar ditemukan pada skenario S7, dengan surplus produsen sebesar Rp 1 499 milyar, sedangkan surplus
Perubahan (Rp Milyar)
konsumen terbesar pada skenario S12, yaitu Rp 396 milyar.
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 ‐200 SPB
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
S9
S10
S11
S12
930
1433
8
11
‐5
937
1440
922
959
1397
959
1266
SKB
240
363
‐13
‐18
8
224
344
249
232
354
286
407
NS
1170
1796
‐5
‐8
3
1160
1784
1171
1191
1750
1245
1673
Gambar 60. Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan Terhadap Kesejahteraan
Net surplus (NS) merupakan jumlah antara surplus produsen dengan surplus konsumen beras. Skenario S3 dan S4 masing-masing menghasilkan net surplus negatif yaitu Rp 5 milyar dan Rp 8 milyar, sedangkan skenario lainnya
318
menghasilkan net surplus yang positip. Net surplus yang positip tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut sudah mengarah kepada perbaikan. Skenario kebijakan tunggal (S1, S2, dan S5) dan skenario kombinasi kebijakan (S6, S7, S8, S9, S10, S11 dan S12) menyebabkan kesejahteraan produsen beras dan konsumen beras meningkat
yang berarti skenario kombinasi kebijakan
tersebut diatas berpihak kepada produsen juga konsumen. Net surplus yang negatif karena penambahan surplus produsen beras lebih kecil dari penurunan surplus konsumen, sehingga skenario kebijakan dalam studi ini adalah kebijakan S3 dan S4
belum mengarah kepada perbaikan, karena kesejahteraan yang
dinikmati oleh konsumen lebih rendah dibandingkan dengan pihak produsen.
319
VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Secara umum dapat disimpulkan bahwa Intruksi Presiden tentang kebijakan perberasan sudah disusun sesuai dengan tujuan penyusunan kebijakan tersebut yaitu peningkatan pendapatan petani, ketahanan pangan dan stabilisasi ekonomi. Secara spesifik kesimpulan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Implementasi kebijakan Bantuan Langsung Benih Unggul, pupuk bersubsidi dan perbaikan jaringan irigasi tidak efektif untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan, sebaliknya kebijakan harga pembelian pemerintah efektif. 2. Ketersediaan varitas Ciherang tertinggi dibanding dengan varitas padi lainnya, harga pupuk urea, SP-36, ZA dan NPK diatas Harga Eceran Tertinggi, dan kadar air dan kadar kotoran Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling pada tingkat nasional lebih rendah dari persyaratan kualitas yang ditetapkan oleh pemerintah. 3. Harga Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling pada musim panen raya lebih rendah dari musim panen gadu dan musim panceklik, harga beras pengecer lebih tinggi dari harga beras dunia, dari Maret 2005 sampai September 2008 dan sumbangan beras terhadap inflasi tertinggi pada musim panceklik. 4. Jumlah pembelian gabah/beras pada musim panen raya lebih tinggi dibandingkan dengan
musim gadu dan musim panceklik, sebaliknya
penyaluran beras Bulog dan Raskin terendah pada musim panceklik. 5. Peningkatan 10 dan 15 persen harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen berdampak pada peningkatan penerimaan petani, nilai tukar
320
petani padi petani, ketahanan pangan dan penurunan harga beras, selain itu kebijakan ini meningkatkan surplus produsen dan konsumen. 6. Peningkatan 10 dan 15 persen harga eceran tertinggi pupuk NPK berdampak pada penurunan penerimaan petani dan nilai tukar petani padi, ketahanan pangan, sedangkan harga beras meningkat, dan kebijakan ini merugikan kepada konsumen karena kehilangan surplus konsumen. 7. Peningkatan 10 persen realisasi penyaluran pupuk NPK berdampak terhadap peningkatan penerimaan petani, ketahanan pangan dan penurunan harga beras, tetapi harga gabah kering panen turun sehingga produsen dirugikan karena kehilangan surplus produsen. 8. Kombinasi peningkatan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen 10 dan 15 persen diikuti dengan peningkatan harga beras pembelian Bulog, harga eceran tertinggi pupuk NPK, realisasi penyaluran pupuk NPK dan jumlah rumah tangga penerima Raskin masing-masing 10 persen berdampak pada peningkatan penerimaan petani, nilai tukar petani padi, ketahanan pangan dan penurunan harga beras, selain itu kebijakan ini meningkatkan surplus produsen dan konsumen. 8.2. Implikasi Kebijakan Untuk mencapai tujuan kebijakan perberasan yang efektif sebaiknya pemerintah memberikan BLBU 25 kg per ha dan memfasilitasi pendistribusian BLBU antara produsen benih melalui KUPD/PPL sehingga menimbulkan rasa adil diantara kelompok tani. Pemerintah perlu melakukan pengawasan distribusi pupuk bersubsidi, tidak mengeluarkan kebijakan menaikkan harga pupuk bersubsidi, menyalurkan pupuk bersubsidi ke petani tepat waktu, meningkatkan
321
kebutuhan pupuk bersubsidi untuk tanaman pangan, mengusahakan kenaikan harga pembelian pemerintah lebih tinggi dari HET pupuk bersubsidi, meneruskan kebijakan pupuk bersubsidi, dan mengangkat status PPL harian menjadi tetap (Pegawai Negeri). Upaya lainnya yang perlu dilakukan pemerintah antara lain pembangunan irigasi dan perbaikan sistim jaringan irigasi, membeli langsung gabah petani, memfasilitasi pembentukan koperasi petani baik di tingkat desa atau kelompok tani, dan meneruskan kebijakan pengadaan beras oleh Bulog. Tujuan kebijakan perberasan dalam Inpres tahun 2005-2008 tercapai apabila
pemerintah
mengimplementasikan
kombinasi
peningkatan
harga
pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen, harga beras pembelian Bulog, harga eceran tertinggi pupuk NPK, jumlah rumah tangga penerima beras Raskin dan realisasi penyaluran pupuk NPK. 8.3 Saran Penelitian Lanjutan Model kebijakan perberasan ini perlu disempurnakan dengan memasukkan jumlah penggunaan benih, jumlah penggunaan pupuk oleh petani, pengeluaran pemerintah untuk pembelian gabah/beras, upah di usahatani padi, Produk Domestik Bruto tanaman pangan, suku bunga dan
variabel pembangunan
ekonomi pedesaan, seperti jumlah industri penggilingan di desa, jumlah peralatan teknologi pasca panen dimiliki petani, besarnya dana bantuan pemerintah untuk pengembangan ekonomi pedesaan dan lain-lain. Keterbatasan studi ini karena variasi data yang kecil pada variabel tertentu sehingga studi analisis ekonomi kebijakan perberasan melalui Instruksi Presiden perlu dikembangkan dengan menggunakan data tahunan
322
DAFTAR PUSTAKA Adjid, D.A. 1992. Indonesian Price Policy on Secondary Food Crops. Indonesian Food Journal, 3 (5): 54-67. Agus, F., Irawan, Al Dariah, N.L. Nurida, E.Husen, A. Setyanto, dan H. Mayrowani. 2006. Agricultural Land Conversion as a Threat to Food Security and Environmental Quality in Indonesia. Final Report of Country Case Studies on Multifunctionality of Agriculture in ASEAN Countries. ASEAN-MAFF Japan Project. Jakarta. Alderman, H. and C.P. Timmer. 1980. Food Policy and Food Demand in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 16(3): 83-93. Amang, B. 1984. Harga Beras dan Inflasi di Indonesia, 1967-1981. Ringkasan Disertasi dalam Ilmu Ekonomi. Graduate Divisions of the University of California, Davis. Amang, B. dan M.H. Sawit. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional: Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi. Edisi Kedua. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor. Anas, R. and R. Montgomery. 1980. Asian Fertilizer Demand Reconsidered: An Application to Java and Bali. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 28 (3): 239-271. Andersen, P.P. 1994. World Food Trend and Future Food Security. Food Policy Report. IFPRI, Washington DC. ___________. 2005. Ethics and Economic Policy for the Food System. American Journal of Agricultural Economics, 87(5): 1097-1112. Anderson, K. 2006. Reducing Distorsion to Agricultural Incentives: Progress, Pitfalls and Prospect. Policy Research Working Paper. World Bank, Washington, DC. Anton, J. 1990. Analisis Ekonomi Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Minahasa dalam Rangka Swasembada Beras di Daerah Sulawesi Utara. Tesis Magister Sains. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Azahari, D.H. 2003. Revitalisasi Peran Penggilingan Padi dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian, 1(1): 1-8. Bachrudin, Z. 2008. Kebijakan dan Langkah Operasional Pengembangan Mekanisasi Pertanian dalam Peningkatan Daya Saing Komoditas Tanaman Pangan Utama. Paper disampaikan dalam Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian tanggal 23 Oktober 2008. Balai Besar
323
Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Pengembangan Pertanian, Bogor.
Badan
Penelitian
dan
Baliwati, Y.F. 2001. Model Evaluasi Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani: Desa Sukajadi Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Barrett, C.B. 1999. The Microeconomics of the Developmental Paradox: On the Political Economy of Food Price Policy. Agricultural Economics, 20(2): 159-172. Barker, R., E. Bennagen and Y. Hayami. 1978. New Rice Technology and Policy Alternatives for Food Self Sufficiency. In Barker and Hayami (Editor) Economic Consequences of the New Rice Technology. The International Rice Research Institute, Los Banos. Benu, F.L. 1996. Analisis Struktur Produksi, Konsumsi dan Perdagangan Beras di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Branson, W.H. and J.M. Litvack. 1981. Macroeconomics. Second Edition. Harper & Row Publishers, New York. Brennan, D. 2003. Price Dynamics in the Bangladesh Rice Market: Implications for Public Intervention. Agricultural Economics, 29(1): 15-25. Badan Pusat Statistik. 2008a. Statistik, Jakarta.
Indonesia dalam Angka 2008. Badan Pusat
___________________. 2008b. Sumatera Utara dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik, Medan. ___________________. 2008c. Kabupaten Serdang Bedagai 2008. Badan Pusat Statistik, Perbaungan.
dalam Angka
___________________. 2008d. Tapanuli Selatan dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik, Padang Sidempuan. ___________________. 2008e. Kabupaten Langkat dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik, Binjei. ___________________. 2008f. Kabupaten Simalungun dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik, Pematang Siantar. ___________________. 2008g. Kabupaten Labuhan Batu dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik, Labuhan Batu.
324
___________________. 2008h. Kecamatan Sei Rampah dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik, Sei Rampah. ___________________. 2008i. Kecamatan Perbaungan dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik, Perbaungan. Cahyono, S.A. 2001. Analisis Penawaran dan Permintaan Beras di Propinsi Lampung dan Kaitannya dengan Pasar Beras Domestik dan Internasional. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Chambers, R.G. and J. Quiggin. 2003. Price Stabilization and the Risk Averse Firm. American Journal of Agricultural Economics, 87(2) : 336-347. Coxhead. I. 2000. Consequences of a Food Security Strategy for Economic Welfare, Income Distribution and Land Degradation : The Philippine Case. World Development, 28 (1): 111-128. Cramer, G.L. and C.W. Jensen. 1991. Agricultural Economics and Agribusiness. Fifth Edition. Jhon Wiley & Sons Inc, New York. Cummings Jr, R., S. Rashid and A. Gulati. 2006. Grain Price Stabilization Experience in Asia: What have We Learned ? Food Policy, 31(4): 302312. Darwanto, D.H. 2001. Perilaku Harga Beras dan Gabah di Indonesia. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Darwis, V. dan A.R.Nurmanaf. 2004. Kebijakan Distribusi, Tingkat Harga dan Penggunaan Pupuk di Tingkat Petani. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 22(1): 63-73. Daryanto, A. 1989. Dasar-Dasar Ekonomi Sumberdaya. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. David, C.C. 1975. A Model of Fertilizer Demand of the Asia Rice Economy ( A Macro-Micro Analysis). Ph.D. Dissertation. Stanford University, California. David, C.C. and R. Baker. 1978. Modern Rice Varities and Fertilizer Consumption. In Barker and Hayami (Editor) Economic Consequences of the New Rice Technology. The International Rice Research Institute, Los Banos. David, C.C. and J. Huang. 1996. Political Economy of Rice Protection in Asia. University of Chicago, Chicago.
325
Dawe, D. 2008. Can Indonesia Trust the World Rice Market? Bulletin of Indonesian Economic Studies, 34(1): 115-32. Debertin, D. L. 1986. Agricultural Productions Economics. Macmillan Publishing Company, New York. De Janvry, A., A. Fargeix and E. Sadoulet. 1991. Political Economic of Stabilization Programs: Feasibility, Growth and Welfare. Journal of Policy Modeling, 13 (3): 317-345. Direktorat Perbenihan Dirjen Tanaman Pangan. 2009. Vademikum. Pengawasan Mutu Benih Tanaman Pangan. Jakarta. Dirjen PLA. 2005. Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Lahan. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air. Departemen Pertanian. Jakarta. Doll, J.P. and F. Orazem. 1984. Production Economics: Theory with Application. Jhon Wiley and Sons, New York. Dornbusch, R. and S. Fisher. 1987. Macroeconomics. McGraw-Hill International Editions, Singapore. Ellis, F. 1992. Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University Press, Cambridge. _______. 1993. Private Trade and Public Role in Staple Food Marketing: the Case of Rice in Indonesia. Food Policy, 18(5): 428-438. Gujarati, D. 1988. Basic Econometrics. Second Edition. Mc Graw-Hill Inc, New York. Hadiutomo, K. 2008. Analisis Dampak Penekanan Susut Panen dan Pasca Panen Padi Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Petani di Indonesia. Direktorat Penanganan Pasca Panen, Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. Hafsah, M.J. dan T. Sudaryanto. 2004. Sejarah Intensifikasi Padi dan Prospek Pengembangannya. Dalam Kasryno, F., E. Pasandaran., A.M. Fagi. (Penyunting) Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Halcrow, H.G., R.G.F. Spite and J.E.A. Smith. 1994. Food and Agricultural Policy: Economics and Politics. Second Edition. McGraw-Hill Inc, New York. Harianto 2001. Pendapatan, Harga dan Konsumsi Beras. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan
326
Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Hayami, Y. and R.W. Herdt. 1978. Market Prices Effets of New Rice Technology on Income Distribution. In Barker and Hayami (Editor) Economic Consequences of the New Rice Technology. The International Rice Research Institute, Los Banos. Helmberger, P.G. 1991. Economics Analysis of Farm Programs. Mc Graw Hill. Inc, New York. Hendersen, J.M. and R.E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory A Mathematical Approach. Mc Graw- Hill Inc, Singapore. Herdt, R.W. and T.H. Wikham. 1978. Exploring the Gap Between Potential and Actual Rice Yields: The Philippine Case. In Barker and Hayami (Editor) Economic Consequences of the New Rice Technology. The International Rice Research Institute, Los Banos. Hermanto. 2001. Perkembangan Kelembagaan Pertanian. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Hidayat, J.R., M.O. Adnyana, dan A. Hasanuddin. 2005. Penyebaran Varietas Unggul Tanaman pangan dan Program Pengembangan. Analisis dan Opsi Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Penyunting Partohardjono, S., D.Pasaribu, Hermanto. Monograf No 1, 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hilman, A.L. 2003. Public Finance and Public Policy. Responsibilities and Limitations of Government. Combridge University Press, Combridge. Hoy, M., J. Livernois, C. McKenna, R. Rees and T. Stengos. 2001. Mathematics for Economics. Second Edition. The MIT Press, Combridge. Hutauruk, J. 1996. Analisa Dampak Kebijakan Harga Dasar Padi dan Subsidi Pupuk di Indonesia. Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hutauruk, J. dan S.A. Sembiring. 2002. Dampak Kebijakan Harga Dasar dan Subsidi Pupuk terhadap Kesejahteraan Konsumen dan Produsen. Laporan Penelitian disampaikan dalam Simposium Hasil Penelitian dan Seminar Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik, Tanggal 7-8 Maret 2002, Jakarta.
327
Ikhsan, M. 2001. Kemiskinan dan Harga Beras. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Innes, R. 2003. Crop Insurance in a Political Economy: An Alternative Prespective on Agricultural Policy. American Journal of Agricultural Economics, 85 (2) : 318-335. Intriligator, M.D. 1978. Econometrics Model, Technique and Applications. Prentice Hall International, New Dehli. Irawan, B. 2004. Dinamika Produktifitas dan Kualitas Budidaya Padi Sawah. Dalam Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M Fagi (Editor) Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. ________. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak Pola Pemanfaatannya dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 23(1): 1-18. Irianto, S.G. 2008. Inovasi Mekanisasi Pertanian untuk mendukung Peningkatan Daya Saing dan Ketahanan Pangan Nasional. Paper disampaikan dalam Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian tanggal 23 Oktober 2008. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Isa, I. 2006. Strategi Pengendalian Konversi Lahan Pertanian. Prosiding Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Badan Litbang Departemen Pertanian, MAFF (Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries), Japan dan ASEAN Secretariat. Jakarta. Iqbal, M. 2007. Fenomena dan Strategi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengendalian Konversi Lahan Sawah di Propinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat. Analisis Kebijakan Pertanian, 5(4): 287-303. Iqbal, M dan Sumaryanto.2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu pada Partisipasi Masyarakat. Analisis Kebijakan Pertanian, 5(2): 167-182 Jha, S. and P.V. Srinivasan. 1999. Grain Price Stabilization in India: Evaluation of Policy Alternatives. Agricultural Economics, 21(1): 93-108. Just, R. E., D.L. Hueth and A. Schmitz. 1982. Applied Welfare Economics and Public Policy. Prentice-Hall Inc, Englewood. Kako, T., M. Gemma and S. Ito. 1997. Implications of the Minimum Access Rice Import on Supply and Demand Balance of Rice in Japan. Agricultural Economics, 16(3): 193-204.
328
Kannaripan, C.A. 2000. Commodity Price Stabilisation: Macroeconomic Impacts and Policy Options. Agricultural Economics, 23(1): 17-30. Kariyasa, K. 2003. Dampak Tarif Impor dan Kinerja Harga Dasar serta Implikasinya terhadap Daya Saing Beras Indonesia di Pasar Dunia. Analisis Kebijakan Pertanian, 1(4): 315-330. Kariyasa, K., M. Maulana, dan S. Murdianto. 2004. Usulan Tingkat Subsidi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang Relevan serta Perbaikan Pola Pendistribusian Pupuk di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian, 2(3): 277-287. Kariyasa,K., dan M.O.Adnyana. 2000. Perumusan Kebijakan Harga Gabah dan Pupuk Dalam Era Pasar Bebas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Kariyasa, K. dan Y.Yusdja. 2005. Evaluasi Kebijakan Sistem Distribusi Pupuk Urea di Indonesia: Kasus Propinsi Jawa Barat. Analisis Kebijakan Pertanian, 3(3): 201-216. Karo-Karo, R. 2002. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kasryno, F.1986. Supply of Rice and Demand for Fertilizer for Rice Farming in Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 5(2): 27-42. Kasryno. F., P.Simatupang, E. Pasandaran dan S. Adiningsih. 2001. Reformulasi Kebijaksanaan Perberasan Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 19 (2): 1-23. Keputusan Bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor: KEP46/M.EKON/08/2005, Nomor 34/KEP/MENKO/KESRA/VIII/2005 Tantang Pedoman Umum Kordinasi Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah. Tanggal 9 Agustus. Jakarta. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometric Methods. Harper and Row Publishers Inc, New York. ______________. 1977. Theory of Economics. Harper and Row Publishers Inc, New York. Krugman, P.R. and M. Obstfeld. 2003. International Economics: Theory and Policy. Sixth Edition. Pearson Education International, Boston.
329
Kusumaningrum, R. 2008. Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Labys, W.C. 1973. Dynamic Commodity Models: Spesification, Estimation, and Simulation. Lexington Books D.C. Heath and Company, Lexington. Lakollo, E.M. 1986. Penawaran Beras Indonesia (Suatu Analisis Kontribusi Peubah Penentu Produksi Beras Indonesia Selama Pelita I-III). Tesis Magister Sains. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Las, I. 2010. Arah dan Strategi Pengembangan Pupuk Majemuk NPK dan Pupuk Organik. Paper disampaikan dalam Seminar Nasional Peranan Pupuk NPK dan Organik dalam Meningkatkan Produksi dan Swasembada Beras Berkelanjutan, Tanggal 24 Februari 2010. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Bogor. Lipsey, D. 1974. Basic Macroeconomics : Principles and Reality. The Dryden Press. 901 North Elm Street Hindsdale, Illonis. Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Institut Pertanian Bogor. 2006. Studi Biaya Distribusi Pupuk Urea Bersubsidi dari Lini III ke Lini IV. Hasil Penelitian disampaikan pada Seminar Nasional: Sistem Distribusi Pupuk Urea Bersubsidi Tanggal 3 Desember 2006, Jakarta. Lubis,
A.R. 2005. Analisis Kebijakan Impor Beras Dan Kaitannya dengan Diversifikasi Pangan Pokok. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mankiw, N.G. 2004. Principle of Economics. 3 th Edition. South Western of Thomson Learning, South Western. ____________. 2007. Macroeconomics 6 th Edition. Worth Publishers, New York. Mardianto, S. dan M. Ariani. 2004. Kebijakan Proteksi dan Promosi Komoditas Beras di Asia dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian, 2(4): 340-353. Mcdonald, J.D. and A.S. Daniel. 2003. The Influence of Commodity Programs on Acreage Response to Market Price: With an Ilustration Concerning Rice Policy in the United States. American Journal of Agricultural Economics, 85 (4): 857-871. Mears, L.A. dan S. Afiff. 1969. An Operasional Rice Price Policy for Indonesian. Ekonomi Keuangan Indonesia, 17 (1): 3-13.
330
Mosher, A.T. 1966. Getting Agricultural Moving. The Agricultural Development Council, New York. Mulyana, A. 1998. Keragaan dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Beras: Suatu Analisis Simulasi. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Myers, R.J. 2006. On the Costs of Food Price Fluctuations in Low-Income Countries. Food Policy, 31(4): 288-301. Myles, G.D. 1995. Public Economics. Cambridge University Press, Cambridge. Nasution, L.B. dan J. Winoto. 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation. Naylor, R.L., W.P. Falcon., N. Wada., and D. Rochberg. 2002. Using El Nino/Southern Oscillation Climate Data to Improve Food Policy Planning in Indonesia. Developments in the Asian Rice Economy. In Sombilla, M., M. Hossain, and B. Hargy (Editor). International Rice Research Institute. Philippines. Norton, R.D. 2004. Agricultural Development Policy. Concepts and Experience. John Wiley & Sons Inc, River Street, Hoboken. Natawijaya, R.S. 2001. Dinamika Pasar Beras Domestik. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Nicholson, W. 1999. Teori Ekonomi Mikro: Prinsip Dasar dan Pengembangannya. Edisi Kedua. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Nugraha, U.S., J.R. Hidajat., S. Partohardjono dan S. Purba. 2005. Perspektif Sistem Perbenihan Padi Nasional. Analisis dan Opsi Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Penyunting Partohardjono, S., D.Pasaribu, Hermanto. Monograf No 2, 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Nurmalina, R. 2007. Model Neraca Ketersediaan Beras yang Berkelanjutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pakpahan, A., Sumaryanto, N. Syafat, S. Friyatno, K.D. Saktyanu dan R.P. Somaji. 1993. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke
331
Penggunaan Nonpertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Pal, S., D.K. Bahl and Mruthyunjaya. 1993. Government Interventions in Foodgrain Markets: The Case of India. Food Policy, 18(5): 414-427. Pearson, S., E. Monke, R.J. Baulch. 1997. The Cost of Rice Price Stabilization Under Self-Sufficiency. Silitonga, C., A. Fauzi, M.H. Sawit, P. Suharno, A.Soepanto dan M. Ismet (Penyunting) 30 Tahun Peran Bulog Dalam Ketahanan Pangan. Badan Urusan Bulog, Jakarta. Perum Bulog. 2006. Konsep Dasar Pengelolaan Kualitas. Divisi Regional Jawa Barat. Bandung. PT. Petrokimia Gresik. 2009. Pupuk Produksi. Gresik. Pogue, T.F. and L.G. Sgontz. 1978. Government and Economic Choice. An Introduction to Public Finance. Houghton Mifflin Company, Boston. Poulton, C., J. Kydd, S. Wiggins, A. Dorward. 2006. State Intervention for Food Price Stabilisation in Africa: Can It Work? Food Policy, 31(4): 342-356.
Pusat Studi Ekonomi. 2003. Analisis Ketahanan Pangan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah. Laporan Penelitian. Kerjasama Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Pranadji, T. dan B. Hutabarat. 1998. Beberapa Aspek Sosial Ekonomi Kegiatan Pengeringan Padi. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 6(2): 53-60. Prijambodo, B. 2001. Kondisi Ekonomi Makro dan Keuangan Pemerintah dalam Kebijakan Beras Nasional. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Pyndyck, R.S. and D.L. Rubienfield. 1991. Econometric Models and Econometric Forecast. Mc Grow- Hill International Editional, Singapura. Prabowo, H.E. 2008. Penyusutan Lahan Isu Utama Ketahanan Pangan. Kompas 4 Oktober 2008, 21: (1-7). Pranolo, T. 2001. Pangan, Ketahanan Pangan dan Liberalisasi Perdagangan. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
332
Puspoyo, W. 2002. Bulog dan Beras: Bias-Bias Cara Pandang Terhadap Peranannya. Dalam Sawit, M.H., T. Pranolo., A. Saifullah., B. Djanuwardi dan Sapuan (Editor). Bulog: Pergulatan dalam Pemantapan Peranan dan Penyesuaian Kelembagaan. Kumpulan Naskah dalam Rangka Menyambut 35 Tahun Bulog. IPB Press, Bogor. Ramdan, H., Yusran dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah: Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Alqaprint, Bandung. Rachman, B. 2003. Evaluasi Kebijakan Sistem Distribusi dan Harga Pupuk di Tingkat Petani. Analisis Kebijakan Pertanian, 1(3): 221-237. Rachman, B., Saptana, Supena, dan I.W. Rusastra. 2001. The Impact of Policy Adjusment on Agricultural Input Market Rice Farmer Income. Workshop on Macro Food Policy and Rural Finance. Brawijaya University, Malang. Rindayati, W. 2009. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Di Wilayah Propinsi Jawa Barat. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ritonga, E. 2004. Analisis Keefektipan Kebijakan Harga Dasar Beras. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rochayati, S. 2010. Dinamika dan Neraca Hara NPK pada Pertanaman Padi Produktifitas Tinggi dan Berkelanjutan. Paper Disampaikan dalam Seminar Nasional Peranan Pupuk NPK dan Organik dalam Meningkatkan Produksi dan Swasembada Beras Berkelanjutan, Tanggal 24 Februari 2010. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Bogor. Rusastra, I.W., R. Kustiari dan E. Pasandaran. 1997. Dampak Penghapusan Subsidi Pupuk terhadap Permintaan Pupuk dan Produksi Padi Nasional. Jurnal Agro Ekonomi, 16 (1): 13-41. Ruttan, V.W. 1978. New Rice Technology and Agricultural Development Policy. In Barker and Hayami (Editor) Economic Consequences of the New Rice Technology. The International Rice Research Institute, Los Banos. Sadoulet, E. and A. de Janvry. 1995. Quantitative Development Policy Analysis. The Jhons Hopkins University Press, London. Saifullah, A. 2001. Peran Bulog Dalam Kebijakan Perberasan Nasional. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
333
Sakrani. 1978. Efisiensi Tataniaga Beras di Sumatera Barat : Analisa Keterpaduan Pasar. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Saragih, B. 2001. Sambutan Menteri Pertanian Republik Indonesia pada Diskusi Panel Reformulasi Kebijakan Ekonomi Beras Nasional Tanggal 17 Juli 2001, Bogor. _________. 2010. Impor Beras antara Prinsip dan Keluwesan. Suara Agribisnis. Kumpulan Pemikiran Bungaran Saragih. Penerbit. PT Permata Wacana Lestari. Jakarta. Sastrohoetomo, M.A. 1984. Dampak Kebijaksanaan Harga Pupuk dan Beras terhadap Pendapatan Masyarakat. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Satari, G., F. Kasryno and C.A. Rasahan. 1986. Rice Polies in Indonesia: Historical Perspectives, Features, and Performance. In A. Fujimoto and T.Matsuda (Edited) An Economic Study of Rice Farming in West Java. A Farm Household Survey of Two Villages in Bandung and Subang. Nodai Research Institut, Tokyo University of Agriculture.Tokyo. Sawit, M.H. 2001. Kebijakan Harga Beras: Periode Orba dan Reformasi. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. ___________. 2002. Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin): Sebuah Program Perlindungan Sosial. Dalam Sawit, M.H., T. Pranolo., A. Saifullah., B. Djanuwardi dan Sapuan (Editor). Bulog: Pergulatan dalam Pemantapan Peranan dan Penyesuaian Kelembagaan. Kumpulan Naskah dalam Rangka Menyambut 35 Tahun Bulog. IPB Press, Bogor. ___________.2005. Melindungi Industri Padi/Beras: Menerapkan Tarif Kuota dan Memerankan STE. Analisis Kebijakan Pertanian, Bogor. 3(4): 298-312. ___________.2007. Usulan Kebijakan Beras dari Bank Dunia yang Keliru. Analisis Kebijakan Pertanian, 5(3): 193-212. ___________.2009. HPP Multi-Kualitas di Era Surplus Produksi Beras: Pengalaman Negara lain dan Gagasan buat Indonesia. Disampaikan pada Seminar Rutin Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Kementerian Pertanian. 19 November, Bogor. Sekretariat Kabinet. 2000. Inpres No 8 Tahun 2000 tentang Perberasan, Jakarta.
Kebijakan
334
_________________. 2002. Inpres No 9 Tahun 2002 tentang Perberasan, Jakarta.
Kebijakan
_________________. 2005. Inpres No 2 Tahun 2005 tentang Perberasan, Jakarta.
Kebijakan
_________________. 2005. Inpres No 13 Tahun 2005 tentang Perberasan, Jakarta.
Kebijakan
_________________. 2007. Inpres No 3 Tahun 2007 tentang Kebijakan Perberasan, Jakarta. __________________.2008. Inpres No 1 Tahun 2008 tentang Perberasan, Jakarta.
Kebijakan
__________________.2008. Inpres No 8 Tahun 2008 tentang Perberasan, Jakarta.
Kebijakan
__________________. 1996. Undang-Undang RI Nomor 7 Tentang Pangan, Jakarta. __________________. 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan. Jakarta. Sembiring, S.A. 2002a. Dampak Penerapan Teknologi Baru Beras terhadap Distribusi Pendapatan. Paper disampaikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Tanggal 14-16 Mei 2002. Universitas Negeri Medan, Medan. ____________. 2002b. Strategi Meningkatkan Peranan Sektor Pertanian Dalam Krisis Ekonomi di Sumatera Utara. Dalam Tobing, Sarifuddin, S. Silitonga, Lisnawati dan I. Safni (Editor) Prosiding Seminar Nasional Bidang Ilmu Pertanian. Medan. 11-12 Juni 2002. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Nasional Wilayah Barat dengan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. ____________. 2002c. Effects of New Rice Tehnology on Income Distribution in North Sumatera Indonesia. In Future Scenario in Biological Research: Insights and Co-operation. Proceedings The Fourth Regional IMT-GT UNINET Conference 2002. 15-17 October 2002. Organised by School of Biological Sciences, University Sains Malaysia, Penang. ____________. 2007. Dampak Kebijakan Harga Dasar Gabah dan Subsidi Pupuk Terhadap Kesejahteraan Konsumen dan Produsen di Indonesia. Tugas Empiris dalam Mata Kuliah Ekonometrika Lanjutan. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
335
____________. 2008. Kebijakan Pengadaan Benih di Indonesia Tahun 2007. Paper dipresentasikan pada Kuliah Kebijakan Pertanian Lanjutan. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. ____________. 2008. Kebijakan Perberasan Nasional. Suara Pembaruan. 21 Oktober, 4:(3-6). Sembiring, S.A., P.M. Utomo, H. Yaoi dan M.B. Selamat. 2008. Hubungan Perberasan Nasional dengan Ketahanan Pangan dari Analisis Ekonomi Makro. Paper dipresentasikan dalam Mata Kuliah Falsafah Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Silitonga, C. 1997. Pengendalian Harga Pangan (Beras): Stabilisasi atau Proteksi ? Media Komunikasi & Informasi. Pangan, 8(31): 42-49. Simatupang, P. 2001. Kebijakan Harga Gabah Mengambang Terkendali Sebagai Opsi Pengganti Harga Dasar Gabah. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Simatupang, P., T. Sudaryanto, A. Purwoto and Saptana. 1995. Projections and Policy Implications of Medium and Long Term Rice Supply and Demand in Indonesia. Pusat Studi Sosial Ekonomi dan International Food Policy Research Institute, Bogor. Simatupang, P., S. Mardianto. dan M. Maulana. 2004. Evaluasi Kebijakan Harga Gabah Tahun 2004. Analisis Kebijakan Pertanian, 3(1): 1-11. Simatupang, P., S. Murdianto., K. Kariyasa. dan M. Maulana. 2005. Evaluasi Pelaksanaan Harga Gabah Pembelian Pemerintah Tahun 2005 dan Perspektif Penyesuaiannya Tahun 2006. Analisis Kebijakan Pertanian, 3(3): 187-200. Simatupang, P. 2007. Analisis Kritis Terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 25(1): 1-18. Sinaga, B.M. 1989. Econometric Model of the Indonesian Hardwood Products Industry: A Policy Simulation Analysis. Ph.D. Dissertation, University of the Phillippines at Los Banos. Los Banos. Sitepu, R. 2002. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sitepu, R. dan B.M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometika. Estimasi, Simulasi dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu
336
Ekonomi Pertanian. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Situmorang, J.W. 1995. Tingkat Proteksi dan Dampak Kebijaksanaan Harga terhadap Ekonomi Perberasan Indonesia, Tahun 1979-1991. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soetrisno, N. 1996. Ketersediaan dan Distribusi Pangan dalam Rangka Mendukung Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Kerjasama DeptanUNICEF di Yogyakarta 26-30 Mei. Sudaryanto, T. 2001. Perkembangan Industri Pupuk, Investasi Irigasi, dan Konversi Lahan. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Sudaryanto, T. dan A. Agustian. 2003. Peningkatan Daya Saing Usahatani Padi Aspek Kelembagaan. Analisis Kebijakan Pertanian, 1(3): 255-274. Sugiyono. 2005. Model Ekonomi Politik Regulasi Beras Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Makalah disajikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Kerjasama Deptan-UNICEF di Yogyakarta 26-30 Mei. Suparmin. 2005 Analisis Ekonomi Perberasan Nasional: Peran Bulog Dalam Stabilisasi Harga Beras di Pasar Domestik. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suprihatno, B dan A.A. Daradjat. 2008. Kemajuan dan Ketersediaan Varitas Unggul Padi. Padi. Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan. Buku I. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Suryana, A. dan Hermanto. 2004. Kebijakan Ekonomi Perberasan Nasional. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Suryana, A. dan S. Murdianto. 2001. Dinamika Kebijakan Perberasan Nasional. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Suryana, A. dan K.S. Swatika. 1997. Kinerja Dan Prospek Ketahanan Pangan Pokok. Silitonga, C., A.Fauzi, M.H. Sawit, P.Suharno, A.Soepanto dan M.
337
Ismet (Penyunting) 30 Tahun Peran Bulog Dalam Ketahanan Pangan. Badan Urusan Bulog, Jakarta. Surono, S. 2001. Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Impor Beras Serta Kebijakan Pemerintah untuk Melindungi Petani. Dalam Suryana dan Murdianto (Editor) Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta. Starbird, S.A. 2005. Moral Hazard, Inspection Policy and Food Safety. American Journal of Agricultural Economics, 87 (1): 15-27. Stiglizt, J. E. 2000. Economics of the Public Sector. Third Edition. W.W. Norton & Campany, New York. Sukirman. 1996. Ketahanan Pangan: Konsep, Kebijaksanaan dan Pelaksanaannya. Makalah disajikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Kerjasama Deptan-UNICEF di Yogyakarta 26-30 Mei. Sumodiningrat, G. 2004. Subsidi untuk Petani Padi Mencari Format yang Tepat. Kompas, Senin 6 September 2004, 1: (6), 11: (5-9). Thorbecke, E. and L. Hall. 1982. Nature and Scope of Agricultural Sector Analysis: An Overview. In Thorbecke, E and L. Hall (Edited). In Agricultural Sector Analysis and Models in Developing Countries. Development Policy Studies and Training Service Policy Analysis Division. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Timer, C.P. 1975. The Policy Economy of Rice in Asia: A Methodological Introduction. Food Research Institute Studies. Standford University Press, California. __________ 1996. Does Bulog Stabilize Rice Price In Indonesia ? Should It Try? Bulletin of Indonesian Economic Studies. 32(2): 45-74. __________. 2000. The Macro Dimensions of Food Security: Economic Growth, Equitable Distribution, and Food Price Stability. Food Policy, 25(3): 283295. Timmer, C.P. and H. Alderman. 1979. Estimating Consumption Parameter for Food Policy Analysis. American Journal of Agricultural Economics, 61(5): 982-987. Tirtosoediro, A. 1968. Masalah Penyediaan Beras. Dalam Sawit, M.H., T. Pranolo., A. Saifullah., B. Djanuwardi dan Sapuan (Editor). Bulog: Pergulatan dalam Pemantapan Peranan dan Penyesuaian Kelembagaan.
338
Kumpulan Naskah dalam Rangka Menyambut 35 Tahun Bulog. IPB Press, Bogor. Tomek, W.G. and K.L. Robinson. 1990. Agricultural Product Price. Third Edition. Cornell University Press, London. United States Departement of Agriculture. 1996. The U.S. Contribution to World Food Security. The U.S. Position Paper Prepared for the World Food Summit, 3 July. United States Departement of Agriculture, Washington, D.C. Varian, H.R. 1992. Microeconomic Analysis. Third Edition. Norton Internasional Student, New York. Verbeek, M. 2000. A Quide to Modern Econometrics. John Wiley & Sons, Ltd. Chichester. Widodo, S. 1989. Production Efficiency of Rice Farmers in Java-Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Winoto, J. 2005. Kebijakan Pengendalian Konversi Tanah Pertanian dan Implementasinya. Makalah Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. 13 Desember 2005. Kerjasama Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Institut Pertanian Bogor. Jakarta. Witjaksono, R. 1996. Alih Fungsi Lahan: Suatu Tinjauan Sosiologis. Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation. Yonekura, H. 2005. Institutional Reform in Indonesian’s Food Security Sector: The Transformation of Bulog Into a Public Corporation. Developing Economies, 43(1): 121-48.
339
Lampiran 1. Dinamika Perkembangan Kebijakan Perberasan dalam Inpres N o
Intruksi Presiden (Inpres)
Dasar Pertimbangan Pemerintah Menetapkan Kebijakan
Hubungan Dasar Pertimbangan dengan Diktum dalam Inpres
1
No 2 Tahun 1997 (Harga Dasar Gabah)
1. Meningkatkan produksi pangan 2. Meningkatkan pendapatan petani melalui jaminan harga yang wajar.
1. Menetapkan pedoman harga pembelian dalam rangka pengadan Gabah dan beras produksi dalam negeri. 2. Menetapkan persyaratan kualitas terhadap harga dasar gabah.
24 1997
2
No 19 Tahun 1998 (Harga Dasar Gabah)
1. Meningkatkan produksi pangan 2. Meningkatkan pendapatan petani melalui jaminan harga yang wajar.
1.Menetapkan pedoman harga pembelian dalam rangka pengadaan Gabah dan Beras. 2.Menetapkan persyaratan kualitas terhadap harga dasar gabah.
10 Juli 1998
3
No 32 Tahun 1998 (Harga Dasar Gabah Serta Harga Pembelian Gabah dan Beras)
1. Memacu produksi pangan 2. Meningkatkan pendapatan petani melalui jaminan harga yang wajar. 3. Perkembangan harga pasar untuk pembelian gabah/beras berlangsung sangat dinamis. 4. Memberdayakan ekonomi kerakyatan selain Koperasi dengan mengikutsertakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
1. Menetapkan harga dasar gabah dan harga pembelian gabah dan beras ke dalam Tiga Wilayah. 2. Menetapkan pedoman harga dasar dan harga pembeliaan dalam rangka pengadaan gabah dan Beras produksi dalam negeri. 3. Menetapkan kualitas terhadap harga dasar gabah
31 1998
Des
1Des 1998
4
No 8 Tahun 2000
1. Memberdayakan ekonomi kerakyatan 2. Memacu kegiatan produksi pangan 3. Meningkatkan pendapatan petani melalui jaminan harga yang wajar.
1. Menetapkan harga dasar dan harga pembelian dalam rangka pengadaan gabah dan beras produksi dalam negeri. 2. Menetapkan persyaratan kualitas terhadap harga dasar gabah.
10 2000
Nov
1 Jan 2001
1. Meningkatkan pendapatan petani 2. Pengembangan ekonomi pedesaan
1. Memberi dukungan bagi peningkatan produktifitas petani padi dan produksi beras nasional. 2. Memberi dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam rangka meningkatkan pendapatan petani. 3. Melaksanakan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh pemerintah. 4. Menetapkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan perlindungan kepada petani dan konsumen
31 2001
Des
1 Jan 2002
5
(Harga Dasar Gabah Serta Harga Pembelian gabah dan Beras No 9 Tahun 2001 (Kebijakan Perberasan)
Tanggal Dikeluar kan Jan
Tanggal Berlaku 24 Jan 1997
1 Juni 1998
340
5. Memberikan jaminan bagi persediaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan. 6
No 9 Tahun 2002 (Kebijakan Perberasan)
1. Meningkatkan pendapatan petani 2. Pengembangan ekonomi pedesaan
1. Memberikan dukungan bagi peningkatan produktifitas petani padi dan produksi beras nasional. 2. Memberi dukungan dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam rangka meningkatkan pendapatan petani 3. Melaksanakan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh pemerintah. 4. Menetapkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan perlindungan kepada petani dan konsumen. 5. Memberikan jaminan bagi persediaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan
31 2002
7
No 2 Tahun 2005 (Kebijakan Perberasan)
1. Meningkatkan pendapatan petani 2. Peningkatan ketahanan pangan 3. Pengembangan ekonomi pedesaan
1. Memberi dukungan peningkatan padi, kualitas padi dan produksi padi nasional termasuk pemanfaatan sumberdaya lahan dan air dalam rangka peningkatan pendapatan petani. 2. Memberi dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam rangka meningkatan pendapatan petani. 3. Memberi dukungan kebijakan bagi pengembangan penanganan pasca panen gabah/beras guna meningkatkan kualitas dan mengurangi kehilangan hasil. 4. Melaksanakan kebijakan harga pembelian oleh pemerintah. 5. Menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan, dilakukan dengan mengutamakan pengadaan beras yang berasal dari gabah petani. 6. Menyediakan dan menyalurkan beras untuk menanggulangi keadaan darurat dan menjaga stabilitaas harga beras dalam negeri melalui pengelolaan cadangan beras pemerintah. Pengadan cadangan beras pemerintah dilakukan dengan mengutamakan pengadaan beras yang berasal dari gabah petani. 7. Menetapkan kebijakan impor dan ekspor beras dalam rangka menjaga kepentingan petani dan konsumen.
2 Maret 2005
2 Maret 2005
8
No 13 Tahun 2005
1. Meningkatkan pendapatan petani
10
1 Jan 2006
Des
Okt
1 Jan 2003
341
(Kebijakan Perberasan)
9
No 3 Tahun 2007 (Kebijakan Perberasan)
2. Meningkatkan ketahanan pangan 3. Pengembangan ekonomi pedesaan
1. Memberi dukungan peningkatan produktifitas padi, kualitas padi dan produksi padi nasional termasuk pemanfaatan sumberdaya lahan dan air dalam rangka peningkatan pendapatan petani. 2. Memberi dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam rangka meningkatan pendapatan petani. 3. Memberi dukungan kebijakan bagi pengembangan penanganan pasca panen gabah/beras guna meningkatkan kualitas dan mengurangi kehilangan hasil. 4. Melaksanakan kebijakan harga pembelian pemerintah. 5. Menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan, dilakukan dengan mengutamakan pengadaan beras yang berasal dari gabah petani. 6. Menyediakan dan menyalurkan beras untuk menanggulangi keadaan darurat dan menjaga stabilitaas harga beras dalam negeri melalui pengelolaan cadangan beras pemerintah. Pengadaan cadangan beras pemerintah dilakukan dengan mengutamakan pengadaan beras yang berasal dari gabah petani. 7. Menetapkan kebijakan impor dan ekspor beras dalam rangka menjaga kepentingan petani dan konsumen.Impor beras dapat dilakukan dalam hal ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi.
2005
1. Meningkatkan pendapatan petani 2. Meningkatkan ketahanan pangan 3. Pengembangan ekonomi pedesaan 4. Stabilitas ekonomi nasional. 5. Perkembangan perekonomian nasional
1. Mendorong dan memfasilitasi penggunaan benih padi unggulbersertifikat. 2. Mendorong dan memfasilitasi penggunaan pupuk berimbang dalam usahatani padi 3. Mendorong dan memfasilitasi pengurangan kehilangan pascapanen padi 4. Memfasilitasi pengurangan penurunan luas lahan irigasi teknis 5. Memfasilitasi rehabilitasi lahan dan penghijauan daerah tangkapan air dan rehabilitasi jaringan irigasi utama. 6. Melaksanakan kebijakan pembelian gabah/beras dalam negeri dengan ketentuan harga pembelian pemerintah. 7. Menetapkan kebijakan penyediaan dan penyaluran beras bersubsidi badi mayarakat miskin dan rawan pangan. 8. Menetapkan kebijakan penyediaan dan penyaluran beras untuk menanggulangi keadaan darurat dan bencana. 9. Penyediaan beras bagi kepentingan penyaluran beras bagi
31 2007
Mar
1 April 2007
342
kelompok masyarakat miskin, penanggulangan keadaan darurat dan stabilitas harga beras dalam negeri dilaksanakan dengan mengutamakan pengadaan beras yang berasal dari gabah petani dalam negeri. 10. Menetapkan kebijakan ekspor dan Impor beras dalamrangka menjaga kepentingan petani dan konsumen. Impor beras dilakukan jika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi cadangan beras pemerintah, dan/atau menjaga stabilitas harga dalam negeri. 10
No 1 Tahun 2008 (Kebijakan Perberasan)
1. Stabilitas ekonomi nasional 2. Meningkatkan pendapatan petani 3. Meningkatkan ketahanan pangan 4. Pengembangan ekonomi pedesaan 5. Perkembangan nasional dan global di bidang pangan, khususnya perberasan.
1. Mendorong dan memfasilitasi penggunaan benih padi unggulbersertifikat. 2. Mendorong dan memfasilitasi penggunaan pupuk berimbang dalam usahatani padi 3. Mendorong dan memfasilitasi pengurangan kehilangan pascapanen padi 4. Memfasilitasi pengurangan penurunan luas lahan irigasi teknis 5. Memfasilitasi rehabilitasi lahan dan penghijauan daerah tangkapan air dan rehabilitasi jaringan irigasi utama. 6. Melaksanakan kebijakan pembelian gabah/beras dalam negeri dengan ketentuan harga pembelian pemerintah. 7. Menetapkan kebijakan penyediaan dan penyaluran beras bersubsidi badi mayarakat miskin dan rawan pangan. 8. Menetapkan kebijakan penyediaan dan penyaluran beras untuk menanggulangi keadaan darurat dan bencana. 9. Penyediaan beras bagi kepentingan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah, penanggulangan keadaan darurat dan stabilitas harga beras dalam negeri dilaksanakan dengan mengutamakan pengadaan beras yang berasal dari gabah petani dalam negeri. 10. Menetapkan kebijakan ekspor dan Impor beras dalamrangka menjaga kepentingan petani dan konsumen. Impor beras dilakukan jika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi cadangan beras pemerintah, dan/atau menjaga stabilitas harga dalam negeri. Ekspor beras dilakukan jika ketersediaan beras dalam negeri telah tercukupi, dilaksanakan dengan terkendali, dan tidak mengganggu stablitas harga dalam negeri.
22 April 2008
22 April 2008
343
11
No 8 Tahun 2008 (Kebijakan Perberasan)
1. Stabilitas ekonomi nasional 2. Meningkatkan pendapatan petani 3. Meningkatkan ketahanan pangan 4. Pengembangan ekonomi pedesaan 5. Perkembangan nasional dan global di bidang pangan, khususnya perberasan.
1. Mendorong dan memfasilitasi penggunaan benih padi unggulbersertifikat. 2. Mendorong dan memfasilitasi penggunaan pupuk anorganik dan organik secara berimbang dalam usahatani padi 3. Mendorong dan memfasilitasi pengurangan kehilangan pascapanen padi 4. Mengendalikan pengurangan luas lahan irigasi teknis 5. Memfasilitasi rehabilitasi lahan dan penghijauan daerah tangkapan air dan rehabilitasi jaringan irigasi utama. 6. Mendorong dan memfasilitasi peningkatan investasi di bidang usahata padi. 7. Melaksanakan kebijakan pembelian gabah/beras dalam negeri dengan ketentuan harga pembelian pemerintah. 8. Menetapkan kebijakan penyediaan dan penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah. 9. Menetapkan kebijakan penyediaan dan penyaluran cadangan Beras Pemerintah untuk menjaga stabilisasi harga beras, menanggulangi keadaan darurat, bencana dan rawan pangan. 10. Menetapkan kebijakan untuk menjaga stabilisasi harga beras dalam negeri. 11. Penyediaan beras bagi kepentingan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan pengadaan cadangan Beras Pemerintah dilakukan dengan mengutamakan pengadaan beras yang berasal dari pembelian gabaj petani dalam negeri. 12. Menetapkan kebijakan ekspor dan Impor beras dalam rangka menjaga kepentingan petani dan konsumen. Impor beras dilakukan jika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi cadangan beras pemerintah, dan/atau menjaga stabilitas harga dalam negeri. Ekspor beras dilakukan jika ketersediaan beras dalam negeri telah tercukupi dan tidak mengganggu stablitas harga dalam negeri.
24 2008
Des
1 Jan 2009
344
Lampiran 2. Dinamika Perkembangan Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Gabah dan Beras dalam Inpres No
1
Inpres
Dasar Pertimbangan Pemerintah Menetapkan Kebijakan
No 2 Tahun 1997 (Harga Dasar Gabah)
1. Meningkatkan produksi pangan 2. Meningkatkan pendapatan petani melalui jaminan harga yang wajar.
Instrumen Kebijakan Harga
KUD BULOG
Sejak 24 Jan 1997, HDG dan beras yang telah ada tidak berlaku.
1. Harga Dasar Pembelian GKG oleh Koperasi/KUD Rp 1.000/Kg 2. Harga Pembelian Bulog dari KUD untuk GKG adalah Rp 1.016/Kg 3. Harga Pembelian Bulog dari Non KUD untuk GKG adalah Rp 1.010 /Kg 4. Harga Pembelian Bulog dari KUD untuk Beras adalah Rp 1.660/Kg 5. Harga Pembelian Bulog dari Non KUD untuk Beras adalah Rp 1.650/Kg 6. Menentukan persyaratan kualitas terhadap harga dasar gabah
KUD BULOG
Sejak 1 Juni 1998 HDG dan beras pada Inpres No 2 Tahun 1997 tidak berlaku.
2.
4. 5. 6.
No 19 Tahun 1998 (Harga Dasar Gabah)
1. Meningkatkan produksi pangan 2. Meningkatkan pendapatan petani melalaui jaminan harga yang wajar.
Ketentuan Inpres Tidak Berlaku
Harga Dasar Pembelian GKG oleh Koperasi/KUD Rp 525/Kg Harga Pembelian Bulog dari KUD untuk GKG adalah Rp 541/Kg Harga Pembelian Bulog dari Non KUD untuk GKG adalah Rp 535/Kg Harga Pembelian Bulog dari KUD untuk Beras adalah Rp 856/Kg Harga Pembelian Bulog dari Non KUD untuk Beras adalah Rp 848/Kg Menentukan persyaratan kualitas terhadap harga dasar gabah bagi Petani yang belum mampu memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan pemerintah, maka petani atau kelompok tani dapat menjual produksinya dalam berbagai kondisi kualitas kepada KUD sesuai dengan tabel harga yang berlaku
1.
3.
2
Pelaku
345
7.
3
No 32 Tahun 1998 (Harga Dasar Gabah Serta Harga Pembelian Gabah dan Beras)
1. Memacu produksi pangan 2. Meningkatkan pendapatan petani 3. Perkembangan harga pasar untuk pembelian gabah/beras berlangsung sangat dinamis. 4. Memberdayakan ekonomi kerakyatan selain Koperasi dengan mengikutsertakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
4
No 8 Tahun 2000 (Harga Dasar Gabah Serta Harga Pembelian gabah dan Beras
1. Memberdayakan ekonomi kerakyatan 2. Memacu kegiatan produksi pangan 3. Meningkatkan pendapatan petani melalui jaminan harga yang wajar.
Petani yang belum mampu memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan pemerintah, maka petani atau kelompok tani dapat menjual produksinya dalam berbagai kondisi kualitas kepada KUD/Koperasi sesuai dengan table harga yang berlaku
1. Harga Dasar Pembelian GKG oleh Koperasi/LSM Wilayah I Rp 1.400/Kg, Wilayah II Rp 1.450/Kg dan Wilayah III Rp 1.500/Kg 2. Harga Pembelian Bulog dari Koperasi/LSM untuk GKG untuk Wilayah I adalah Rp 1.419/Kg, Wilayah II Rp 1.469/Kg dan Wilayah III Rp 1.519/Kg 3. Harga Pembelian Bulog dari Non Koperasi/Non LSM untuk GKG GKG untuk Wilayah I adalah Rp 1.410/Kg, Wilayah II Rp 1.460/Kg dan Wilayah III Rp 1.510/Kg 4. Harga Pembelian Bulog untuk Beras dari Koperasi/LSM Wilayah I Rp 2.310/Kg, Wilayah II Rp 2.390/Kg dan Wilayah III Rp 2.470/Kg 5. Harga Pembelian Bulog dari Non Koperasi/Non LSM untuk GKG GKG untuk Wilayah I adalah Rp 2.295/Kg, Wilayah II Rp 2.375/Kg dan Wilayah III 2.455/Kg 6. Menentukan persyaratan kualitas terhadap harga dasar gabah 7. Petani yang belum mampu memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan pemerintah, maka petani atau kelompok tani dapat menjual produksinya dalam berbagai kondisi kualitas kepada Koperasi/LSM sesuai dengan table harga yang berlaku.
1. 2. 3. 4. 5.
Harga Dasar Pembelian GKG dari Petani Rp 1.500/Kg Harga Pembelian Bulog untuk GKG adalah Rp 1.519/Kg Harga Pembelian Bulog untuk Beras adalah Rp 2.470/Kg Menentukan persyaratan kualitas terhadap harga dasar gabah Petani yang belum mampu memenuhi persyaratan kualitas
Koperasi, LSM dan BULOG
BULOG
Sejak 1 Des 1998 HDG dan beras pada Inpres No 19 Tahun 1998 tidak berlaku
Sejak 1 Jan 2001 HDG dan beras pada Inpres No 32 Tahun 1998
346
tidak berlaku
yang ditetapkan pemerintah, maka petani atau kelompok tani dapat menjual produksinya dalam berbagai kondisi kualitas sesuai dengan tabel harga yang berlaku. 5
No 9 Tahun 2001 (Kebijakan Perberasan)
1. Meningkatkan pendapatan petani 2. Pengembangan ekonomi pedesaan
1. 2. 3. 4.
6
No 9 Tahun 2002 (Kebijakan Perberasan)
1. Meningkatkan pendapatan petani 2. Pengembangan ekonomi pedesaan
1. 2. 3. 4.
7
No 2 Tahun 2005 (Kebijakan Perberasan)
1. Meningkatkan pendapatan petani 2. Peningkatan ketahanan pangan 3. Pengembangan ekonomi pedesaan
1.
Harga Dasar Pembelian Gabah Kering Giling Petani dalam negeri oleh Bulog adalah Rp 1.519/Kg di gudang Bulog Harga Dasar Pembelian Beras Petani dalam negeri oleh Bulog adalah Rp 2.470/Kg di gudang Bulog Menentukan persyaratan kualitas terhadap Harga Dasar Pembelian Gabah Kering Giling. Petani yang belum mampu memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan pemerintah, maka petani atau kelompok tani dapat menjual produksinya dalam berbagai kondisi kualitas kepada KUD sesuai dengan table harga yang berlaku
BULOG
Sejak 1 Jan 2002 HDG dan beras pada Inpres No 8 Tahun 2000 tidak berlaku
Harga Dasar Pembelian Gabah Kering Giling Petani dalam negeri oleh Bulog adalah Rp 1.725/Kg di gudang Bulog Harga Dasar Pembelian Beras Petani dalam negeri oleh Bulog adalah Rp 2.790/Kg di gudang Bulog Menentukan persyaratan kualitas terhadap Harga Dasar Pembelian Gabah Kering Giling. Petani yang belum mampu memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan pemerintah, maka petani atau kelompok tani dapat menjual produksinya dalam berbagai kondisi kualitas kepada KUD sesuai dengan table harga yang berlaku
BULOG
Sejak 1 Jan 2003 HDG dan beras pada Inpres No 9 Tahun 2001 tidak berlaku
Melaksanakan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah dengan pedoman sebagai berikut: (1) Harga Pembelian Gabah Kering Panen dalam negeri adalah Rp 1.330/Kg di penggilingan, (2) Harga Pembelian Gabah Kering Giling dalam negeri adalah Rp 1.765/Kg di penyimpanan atau Rp 1.740/Kg di penggilingan dan (3) Harga Pembelian Beras dalam negeri adalah Rp 2.790/Kg di penggilingan
Perum BULOG
Sejak 2 Maret 2005 HDP gabah dan beras pada Inpres No 9 Tahun 2002 tidak berlaku
347
2.
Menentukan persyaratan kualitas Harga Pembelian gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling Menentukan persyaratan terhadap Kualitas Pembelian Beras
3. 8
No 13 Tahun 2005 (Kebijakan Perberasan)
1. Meningkatkan pendapatan petani 2. Meningkatkan ketahanan pangan 3. Pengembangan ekonomi pedesaan
1.
2. 3. 9
No 3 Tahun 2007 (Kebijakan Perberasan)
1. Meningkatkan pendapatan petani 2. Meningkatkan ketahanan pangan 3. Pengembangan ekonomi pedesaan 4. Stabilitas ekonomi nasional. 5. Perkembangan perekonomian nasional
10
No 1 Tahun 2008 (Kebijakan Perberasan)
1. Stabilitas ekonomi nasional 2. Meningkatkan pendapatan petani 3. Meningkatkan ketahanan pangan 4. Pengembangan ekonomi pedesaan 5. Perkembangan nasional dan global di bidang pangan, khususnya perberasan.
1.
Melaksanakan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah dengan pedoman sebagai berikut: (1) Harga Pembelian Gabah Kering Panen dalam negeri adalah Rp 1.730/Kg di penggilingan, (2) Harga Pembelian Gabah Kering Giling dalam negeri adalah Rp 2.280/Kg di penyimpanan atau Rp 2.250/Kg di penggilingan, dan (3) Harga Pembelian Beras dalam negeri adalah Rp 3.550/Kg di penyimpanan. Menentukan persyaratan kualitas Harga Pembelian gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling Menentukan persyaratan terhadap Kualitas Pembelian Beras
Nasional:Peru m BULOG. Pembelian di daerah : Perum BULOG, Badan Pemerintah atau Badan Usaha Bidang pangan
Sejak 1 Jan 2006 HPP gabah dan beras pada Inpres No 2 Tahun 2005 tidak berlaku
1. Melaksanakan kebijakan Pembelian gabah/beras dalam negeri dengan ketentuan HPP: (1) Harga Pembelian Gabah Kering Panen dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 25% dan kadar hampa/kotoran maksimum 10 % adalah Rp 2.000/Kg di petani atau Rp 2.035 /Kg di penggilingan, (2) Harga Pembelian Gabah Kering Giling dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 14% dan kadar hampa/kotoran maksimum 3 % adalah Rp 2.575/Kg di penggilingan atau Rp 2.600 /Kg di gudang Bulog, dan (3) Harga Pembelian Beras dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 14% dan butir patah maksimum 20 % adalah Rp 4.000/Kg di gudang Bulog.
Nasional :Perum BULOG. Pembelian di daerah : Perum BULOG, Badan Pemerintah atau Badan Usaha Bidang pangan
Sejak 1 April 2007 HPP Gabah dan Beras pada Inpres No 13 Tahun 2005 tidak berlaku
Melaksanakan kebijakan Pembelian gabah/beras dalam negeri dengan ketentuan HPP: (1) Harga Pembelian Gabah Kering Panen dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 25% dan kadar hampa/kotoran maksimum 10 % adalah Rp 2.200/Kg di petani atau Rp 2.240 /Kg di penggilingan, (2) Harga Pembelian Gabah Kering Giling
Nasional :Perum BULOG. Pembelian di daerah : Perum BULOG,
Sejak 22 April 2008 HPP Gabah dan Beras pada Inpres No 3 Tahun 2007 tidak berlaku
348
2.
11
No 8 Tahun 2008 (Kebijakan Perberasan)
1. Stabilitas ekonomi nasional 2. Meningkatkan pendapatan petani 3. Meningkatkan ketahanan pangan 4. Pengembangan ekonomi pedesaan 5. Perkembangan nasional dan global di bidang pangan, khususnya perberasan.
1.
2.
dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 14% dan kadar hampa/kotoran maksimum 3 % adalah Rp 2.800/Kg di penggilingan atau Rp 2.840 /Kg di gudang Bulog, dan (3) Harga Pembelian Beras dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 14% dan butir patah maksimum 20 % adalah Rp 4.300/Kg di gudang Bulog. Harga Pembelian Gabah dan Beras diluar kualitas sebagaimana dimaksud diatas ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pertanian.
Badan Pemerintah atau Badan Usaha Bidang pangan
Melaksanakan kebijakan Pembelian gabah/beras dalam negeri dengan ketentuan HPP: (1) Harga Pembelian Gabah Kering Panen dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 25% dan kadar hampa/kotoran maksimum 10 % adalah Rp 2.400/Kg di petani atau Rp 2.440 /Kg di penggilingan, (2) Harga Pembelian Gabah Kering Giling dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 14% dan kadar hampa/kotoran maksimum 3 % adalah Rp 3.000/Kg di penggilingan atau Rp 3.070 /Kg di gudang Bulog, dan (3) Harga Pembelian Beras dalam negeri dengan kualitas kadar air maksimum 14% dan butir patah maksimum 20 % adalah Rp 4.600/Kg di gudang Bulog. Harga Pembelian gabah dan beras diluar kualitas sebagaimana dimaksud diatas ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pertanian.
Nasional :Perum BULOG. Pembelian di daerah : Perum BULOG, Badan Pemerintah atau Badan Usaha Bidang pangan
Sejak 1 Jan 2009 HPP Gabah dan Beras pada Inpres No 1 Tahun 2008 tidak berlaku
349
Lampiran 3. Persyaratan Kualitas Terhadap Harga Dasar Gabah dan Beras dalam Inpres No
Inpres Harga Dasar Gabah Kering Giling
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
No 2 Tahun 1997 No 19 Tahun 1998 No 32 Tahun 1998 No 8 Tahun 2000 No 9 Tahun 2001 No 9 Tahun 2002 No 2 Tahun 2005 No 13 Tahun 2005 No 3 Tahun 2007 No 1 Tahun 2008 No 8 Tahun 2008
KAM
BHK
BKR
BMH
BM
14.0
3.0
3.0
5.0
3.0
14.5
3.0
3.0
5.0
3.0
14.0
3.0
3.0
5.0
3.0
14.0
3.0
3.0
5.0
3.0
14.0
3.0
3.0
5.0
3.0
14.0
3.0
3.0
5.0
3.0
Persyaratan Kualitas (%) Harga Pembelian Pemerintah Gabah Kering Panen KAM BHK BK BMH BM KHK R
Harga Pembelian Pemerintah Gabah Kering Giling KAM BH BK BM BM K K R H H K
25.0
10.0
3.0
10.0
3.0
14.0
3.0
3.0
5.0
3.0
25.0
10.0
3.0
10.0
3.0
14.0
3.0
3.0
5.0
3.0
25.0
10.0
14.0
3.0
25.0
10.0
14.0
3.0
25.0
10.0
14.0
3.0
Keterangan : KAM: Kadar Air Maksimum, BHK: Butir Hampa/Kotoran Maksimum, BKR: Butir Kuning/Rusak Maksimum, BMH: Butir Mengapur/Hijau Maksimum, BM: Butir Merah Maksimum, KHK: Kadar Hampa /Kotoran Maksimum
K
350
Lampiran 4. Pelaksana Intruksi Kebijakan Perberasan No
Inpres
1
BD W
Q P I
−
11
−
11
−
10
−
9
√
15
√
15
√
17
√
17
√
16
√
16
√
17
Pelaksana Intruksi Kebijakan Perberasan M K E
MK R
M D N
M P T
M P P
M P W
M K U
M P I
M P D
M P U
M S L
M H T
M B U
M P H
M P N
B P N
B P S
B P M
M K P
M N P
K B L
GB I
KBN
GBR
No 2 Tahun √ − √ √ √ − √ − − − − − − − − − √ − √ √ √ √ − √ 1997 2 No 19 Tahun √ − √ √ √ − √ − − − − − − − − − √ − √ √ √ √ − √ 1998 3 No 32 Tahun √ − √ √ √ − √ − − − − − − − − − √ − √ √ − √ − √ 1998 4 No 8 Tahun √ − √ √ √ − √ − − − − − − − − − √ − √ − √ − − √ 2000 5 No 9 Tahun √ − √ √ √ √ √ − − − √ − − − √ − √ √ √ − √ − √ √ 2001 6 No 9 Tahun √ − √ √ √ √ √ − − − √ − − − √ − √ √ √ − √ − √ √ 2002 √ − √ √ √ − √ √ √ − − − √ √ 7 No 2 Tahun √* − √ √ − − √ √ √ √ 2005 √ − √ √ √ − √ √ √ − − − √ √ 8 No 13 Tahun √* − √ √ − − √ √ √ √ 2005 √ √ √ − √ √ √ − − − − − − √ 9 No 3 Tahun √* √ √ √ − − √ √ √ √ 2007 √ √ √ − √ √ √ − − − − − − √ 10 No 1 Tahun √* √ √ √ − − √ √ √ √ 2008 √ √ √ − √ √ √ √ − − − − − √ 11 No 8 Tahun √* √ √ √ − − √ √ √ √ 2008 Keterangan: MKE: Menteri Kordinator Bidang Perekonomian, MKR: Menteri Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, MDN: Menteri Dalam Negeri, MPT: Menteri Pertanian, MPP: Menteri Perindustrian dan Perdagangan, MPW: Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah, MKU: Menteri Keuangan, MPI: Menteri Perindustrian, MPD: Menteri Perdagangan, MPU: Menteri Pekerjaan Umum, MSL: Menteri Sosial, MHT: Menteri Kehutanan, MBU: Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, MPH: Menteri Perhubungan, MPN: Menteri Negara Perencanan Pembangunan Nasional, BPN: Kepala Badan Pertanahan Nasional, BPS: Kepala Badan Pusat Statistik, BPM: Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal, MKP: Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, MNP: Menteri Negara Urusan Pangan, KBL: Kepala Badan Urusan Logistik, KKM: Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal, GBI: Gubernur Bank Indonesia, KBN: Kepala Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional, BR: Gubernur Tingkat I, BDW: Bupati dan Walikota, QPI: Jumlah Pelaksana Inpres. * Pelaksana Evaluasi Kinerja Kebijakan Perberasan.
351
Lampiran 5. Dinamika Matriks Dasar Pertimbangan, Diktum dengan Instrumen Kebijakan Perberasan Dalam Inpres No
Inpres
Hubungan Dasar Pertimbangan dengan Diktum dalam Inpres
1
No 2 Tahun 1997 (Harga Dasar Gabah)
1. Menetapkan pedoman harga pembelian dalam rangka pengadan Gabah dan beras produksi dalam negeri. 2. Menetapkan persyaratan kualitas terhadap harga dasar gabah.
1.1 Harga dasar gabah 2.1 Persyaratan kualitas harga dasar gabah
1.1 Produksi pangan 1.2 Pendapatan petani
2
No 19 Tahun 1998 (Harga Dasar Gabah)
1.Menetapkan pedoman harga pembelian dalam rangka pengadaan Gabah dan Beras. 2.Menetapkan persyaratan kualitas terhadap harga dasar gabah.
1.1 Harga dasar gabah 2.1 Persyaratan kualitas harga dasar gabah.
2.1 Produksi pangan 2.2 Pendapatan petani
3
No 32 Tahun 1998 (Harga Dasar Gabah Serta Harga Pembelian Gabah dan Beras)
1. Menetapkan harga dasar gabah dan harga pembelian gabah dan beras ke dalam Tiga Wilayah. 2. Menetapkan pedoman harga dasar dan harga pembeliaan dalam rangka pengadaan gabah dan Beras produksi dalam negeri. 3. Menetapkan kualitas terhadap harga dasar gabah
1.1 Harga dasar gabah dan harga pembelian beras 2.1 Harga dasar gabah 3.1 Persyaratan kualitas harga dasar gabah.
3.1 Produksi pangan 3.2 Pendapatan petani 3.3 Ekonomi kerakyatan
No 8 Tahun 2000
1. Menetapkan harga dasar dan harga pembelian dalam rangka pengadaan gabah dan beras produksi dalam negeri. 2. Menetapkan persyaratan kualitas terhadap harga dasar gabah.
1.1 Harga dasar gabah dan harga pembelian beras 2.1 Persyaratan kualitas dasar gabah
4.1 Ekonomi kerakyatan 4.2 Produksi pangan 4.3 Pendapatan petani
1. Memberi dukungan bagi peningkatan produktifitas petani padi dan produksi beras nasional. 2. Memberi dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam rangka meningkatkan pendapatan petani. 3. Melaksanakan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh pemerintah. 4. Menetapkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan perlindungan kepada petani dan konsumen 5. Memberikan jaminan bagi persediaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat miskin dan
1.1 Harga dasar pembelian gabah dan beras.Tidak ada untuk diversifikasi kegiatan ekonomi petani. Peningkatan pendapatan petani melalui harga dasar pembelian gabah. 3.1 Harga dasar pembelian gabah dan beras 4.1 Perlindungan petani dan konsumen dengan instrumen impor 5.1 Kelompok masyarakat miskin dan
5.1 Produktifitas padi 5.2 Produksi beras nasional 5.3 Diversifikasi kesejahteraan petani 5.4 Perlindungan petani dan konsumen 5.5 Masyarakat miskin dan rawan pangan
4
5
(Harga Dasar Gabah Serta Harga Pembelian gabah dan Beras No 9 Tahun 2001 (Kebijakan Perberasan)
Instrumen Kebijakan dalam Inpres
Tujuan Kebijakan Inpres
352
rawan pangan.
6
7
No 9 Tahun 2002 (Kebijakan Perberasan)
No 2 Tahun 2005 (Kebijakan Perberasan)
1. Memberikan dukungan bagi peningkatan produktifitas petani padi dan produksi beras nasional. 2. Memberi dukungan dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam rangka meningkatkan pendapatan petani 3. Melaksanakan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh pemerintah. 4. Menetapkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan perlindungan kepada petani dan konsumen. 5. Memberikan jaminan bagi persediaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan
1.1 2.1
3.1 4.1 5.1
1.1 1. Memberi dukungan peningkatan produktifitas padi, kualitas padi dan produksi padi nasional termasuk pemanfaatan sumberdaya lahan dan air dalam rangka peningkatan pendapatan petani. 2. Memberi dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam rangka meningkatan pendapatan petani. 3. Memberi dukungan kebijakan bagi pengembangan penanganan pasca panen gabah/beras guna meningkatkan kualitas dan mengurangi kehilangan hasil. 4. Melaksanakan kebijakan harga pembelian oleh pemerintah 5. Menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan, dilakukan dengan mengutamakan pengadaan beras yang berasal dari gabah petani. 6. Menyediakan dan menyalurkan beras untuk menanggulangi keadaan darurat dan menjaga stabilitaas harga beras dala negeri melalui pengelolaan cadangan beras pemerintah. Pengadan cadangan beras pemerintah dilakukan dengan mengutamakan pengadaan beras yang berasal dari gabah petani.
1.2
1.3
1.4
2.1 3.1
4.1 5.1
rawan pangan dengan instrumen jaminan persediaan dan penyaluran beras Harga dasar pembelian gabah dan beras Tidak ada untuk diversifikasi kegiatan ekonomi petani. Peningkatan pendapatan petani melalui isntrumen harga dasar pembelian gabah dan beras. Harga dasar pembelian gabah dan beras Perlindungan petani dan konsumen melalui instrumen impor. Kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui instrumen jaminan persediaan dan penyaluran beras. Peningkatan produktifitas padi dengan harga pembelian pemerintah Instrumen untuk meningkatkan kualitas padi tidak ada kecuali harga pembelian pemerintah Instrumen peningkatan produksi padi nasional tidak ada kecuali harga pembelian pemerintah. Instrumen peningkatan pendapatan petani melalui pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, tetapi ukuran nya tidak ada. Instrumen untuk diversifikasi kegiatan ekonomi petani tidak ada. Instrumen untuk meningkatkan kualitas dan mengurangi kehilangan hasil yaitu pengembangan penanganan pasca panen, tetapi tidak terukur. Harga pembelian pemerintah Kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui instrumen
6.1 Produktifitas padi 6.2 Produksi padi nasional 6.3 Diversifikasi kegiatan ekonomi 6.4 Perlindungan petani dan konsumen 6.5 Masyarakat miskin dan rawan pangan
7.1 Produktifitas padi 7.2 Produksi padi nasional 7.2 Kualitas padi 7.3 Pendapatan petani 7.4 Masyarakat miskin dan rawan pangan 7.5 Menanggulangi keadaan darurat 7.6 Stabilitas harga beras 7.7 Cadangan beras nasional 7.8 Kepentingan petani dan konsumen
353
7. Menetapkan kebijakan impor dan ekspor beras dalam rangka menjaga kepentingan petani dan konsumen.
8
No 13 Tahun 2005 (Kebijakan Perberasan)
1. Memberi dukungan peningkatan produktifitas padi, kualitas padi dan produksi padi nasional termasuk pemanfaatan sumberdaya lahan dan air dalam rangka peningkatan pendapatan petani. 2. Memberi dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam rangka meningkatan pendapatan petani. 3. Memberi dukungan kebijakan bagi pengembangan penanganan pasca panen gabah/beras guna meningkatkan kualitas dan mengurangi kehilangan hasil. 4. Melaksanakan kebijakan harga pembelian oleh pemerintah. 5. Menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan, dilakukan dengan mengutamakan pengadaan beras yang berasal dari gabah petani. 6. Menyediakan dan menyalurkan beras untuk menanggulangi keadaan darurat dan menjaga stabilitaas harga beras dalam negeri melalui pengelolaan cadangan beras pemerintah. Pengadaan cadangan beras pemerintah dilakukan dengan mengutamakan pengadaan beras yang berasal dari gabah petani.
menyediakan san menyalurkan beras bersubsidi Instrumen penyediaan beras untuk masyarakat miskin dan rawan pangan adalah pengadaan beras yang berasal dari gabah petani. 6.1 Instrumen untuk menanggulangi keadaan darurat adalah menyediakan dan menyalurkan beras 6.2 Instrumen menjaga stabilitas harga beras adalah pengelolaan cadangan beras pemerintah 6.3 Instrumen untuk pengadaan cadangan beras pemerintah yaitu pengadaan beras yang berasal dari gabah petani 7.1 Instrumen menjaga kepentingan petani dan konsumen yaitu impor dan ekspor. 1.1 Peningkatan produktifitas padi dengan instrumen Harga pembelian pemerintah 1.2 Instrumen untuk meningkatkan kualitas padi tidak ada kecuali harga pembelian pemerintah 1.3 Instrumen peningkatan produksi padi nasional tidak ada kecuali harga pembelian pemerintah. 1.4 Instrumen peningkatan pendapatan petani melalui pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, tetapi ukuran nya tidak ada. 2.1 Instrumen untuk diversifikasi kegiatan ekonomi petani tidak ada. 3.1 Instrumen untuk meningkatkan kualitas dan mengurangi kehilangan hasil yaitu pengembangan penanganan pasca panen, tetapi tidak terukur. 4.1 Instrumen Harga pembelian pemerintah
8.1 8.2 8.3 8.4 8.5
Produktifitas padi Kaulitas padi Produksi padi nasional Pendapatan petani Diversifikasi kegiatan ekonomi 8.6 Meningkatkan kualitas dan mengurangi kehilangan hasil 8.7 Masyarakat miskin dan rawan pangan 8.8 Menanggulangi keadaan darurat 8.9 Stabilitas harga beras 8.10 Pengadaan beraas dari gabah petani 8.11 Kepentingan petani dan konsumen 8.12 Ketersediaan beras dalam negeri
354
7. Menetapkan kebijakan impor dan ekspor beras dalam rangka menjaga kepentingan petani dan konsumen.Impor beras dapat dilakukan dalam hal ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi.
9
No 3 Tahun 2007 (Kebijakan Perberasan)
1. Mendorong dan memfasilitasi penggunaan benih padi unggul-bersertifikat. 2. Mendorong dan memfasilitasi penggunaan pupuk berimbang dalam usahatani padi 3. Mendorong dan memfasilitasi pengurangan kehilangan pasca-panen padi 4. Memfasilitasi pengurangan penurunan luas lahan irigasi teknis 5. Memfasilitasi rehabilitasi lahan dan penghijauan daerah tangkapan air dan rehabilitasi jaringan irigasi utama. 6. Melaksanakan kebijakan pembelian gabah/beras dalam negeri dengan ketentuan harga pembelian pemerintah. 7. Menetapkan kebijakan penyediaan dan penyaluran beras bersubsidi badi mayarakat miskin dan rawan pangan. 8. Menetapkan kebijakan penyediaan dan penyaluran beras untuk menanggulangi keadaan darurat dan bencana. 9. Penyediaan beras bagi kepentingan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat miskin, penanggulangan keadaan
5.1 Kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui instrumen menyediakan san menyalurkan beras bersubsidi 5.2I nstrumen penyediaan beras untuk masyarakat miskin dan rawan pangan adalah pengadaan beras yang berasal dari gabah petani. 6.1 Instrumen untuk menanggulangi keadaan darurat adalah menyediakan dan menyalurkan beras 6.2 Instrumen menjaga stabilitas harga beras adalah pengelolaan cadangan beras pemerintah 6.3 Instrumen untuk pengadaan cadangan beras pemerintah yaitu pengadaan beras yang berasal dari gabah petani 7.1 Instrumen menjaga kepentingan petani dan konsumen yaitu impor dan ekspor. Instrumen inpor apabila ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi. 1.1 Instrumen penggunaan benih padi unggul bersertifikat 2.1 Instrumen penggunaan pupuk berimbang 3.1 Instrumen pengurangan kehilangan hasil pasca panen padi 4.1 Instrumen penurunan luas lahan irigasi 5.1 Instrumen rehabilitasi lahan dan penghijauan daerah tangkapan air dan rehabilitasi jaringan irigasi utama 6.1 Instrumen pembelian gabah/beras dengan harga pembelian pemerintah. 7.1 Kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui instrumen menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi 8.1 Instrumen untuk menanggulangi
9.1 Pendapatan petani 9.2 Masyarakat miskin dan rawan pangan 9.3 Menanggulangi keadaan darurat dan bencana 9.4 Pengadaan beras dalam negeri 9.5 Kepentingan petani dan produsen 9.6 Cadangan beras pemerintah 9.7 Stabilitas harga dalam negeri
355
darurat dan stabilitas harga beras dalam negeri dilaksanakan dengan pengadaan cadangan beras pemerintah, dengan mengutamakan pengadaan beras dari pembelian gabah petani dalam negeri. 10. Menetapkan kebijakan ekspor dan Impor beras dalamrangka menjaga kepentingan petani dan konsumen. Impor beras dilakukan jika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi cadangan beras pemerintah, dan/atau menjaga stabilitas harga dalam negeri.
9.1
9.2
9.3
9.4
10.1
10.2 10
No 1 Tahun 2008 (Kebijakan Perberasan)
1. Mendorong dan memfasilitasi penggunaan benih padi unggul-bersertifikat. 2. Mendorong dan memfasilitasi penggunaan pupuk berimbang dalam usahatani padi 3. Mendorong dan memfasilitasi pengurangan kehilangan pasca-panen padi 4. Memfasilitasi pengurangan penurunan luas lahan irigasi teknis 5. Memfasilitasi rehabilitasi lahan dan penghijauan daerah tangkapan air dan rehabilitasi jaringan irigasi utama. 6. Melaksanakan kebijakan pembelian gabah/beras dalam negeri dengan ketentuan harga pembelian pemerintah. 7. Menetapkan kebijakan penyediaan dan penyaluran beras bersubsidi badi mayarakat miskin dan rawan pangan. 8. Menetapkan kebijakan penyediaan dan penyaluran beras untuk menanggulangi keadaan darurat dan bencana. 9. Penyediaan beras bagi kepentingan penyaluran beras bagi
1.1 2.1 3.1 4.1 5.1
6.1
7.1
keadaan darurat adalah menyediakan dan menyalurkan beras Instrumen untuk penyediaan dan penyaluran beras bagi masyarakat miskin adalah cadangan beras pemerintah. Instrumen penanggulangan keadaan darurat adalah cadangan beras pemerintah. Instrumen untuk stablias harga beras dalam negeri adalah cadangan beras pemerintah. Instrumen untuk pengadaan cadangan beras pemerintah yaitu pengadaan beras yang berasal dari gabah petani Instrumen menjaga kepentingan petani dan konsumen yaitu impor dan ekspor. Instrumen impor apabila ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi cadangan beras pemerintah. Instrumen impor untuk menjaga stabilitas harga dalam negeri. Instrumen penggunaan benih padi unggul bersertifikat Instrumen penggunaan pupuk berimbang Instrumen pengurangan kehilangan pasca panen padi. Instrumen penurunan luas lahan irigasi Instrumen rehabilitasi lahan dan penghijauan daerah tangkapan air dan rehabilitasi jaringan irigasi utama. Instrumen harga pembelian gabah/beras dengan ketentuan harga pembelian pemerintah Kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui instrumen
10.1 Pendapatan petani 10.2 Masyarakat miskin dan rawan pangan 10.3 Menanggulangi keadaan darurat dan bencana 10.4 Pengadaan beras dalam negeri 10.5 Kepentingan petani dan produsen 10.6 Cadangan beras pemerintah 10.7 Stabilitas harga dalam negeri
356
kelompok masyarakat berpendapatan rendah, penanggulangan keadaan darurat dan stabilitas harga beras dalam negeri dilaksanakan dengan mengutamakan pengadaan beras yang berasal dari gabah petani dalam negeri. 10. Menetapkan kebijakan ekspor dan Impor beras dalam rangka menjaga kepentingan petani dan konsumen. Impor beras dilakukan jika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi cadangan beras pemerintah, dan/atau menjaga stabilitas harga dalam negeri. Ekspor beras dilakukan jika ketersediaan beras dalam negeri telah tercukupi, dilaksanakan dengan terkendali, dan tidak mengganggu stabilitas harga dalam negeri.
11
No 8 Tahun 2008 (Kebijakan Perberasan)
1. Mendorong dan memfasilitasi penggunaan benih padi unggul-bersertifikat. 2. Mendorong dan memfasilitasi penggunaan pupuk anorganik dan organik secara berimbang dalam usahatani padi 3. Mendorong dan memfasilitasi pengurangan kehilangan pasca-panen padi 4. Mengendalikan pengurangan luas lahan irigasi teknis 5. Memfasilitasi rehabilitasi lahan dan penghijauan daerah tangkapan air dan rehabilitasi jaringan irigasi utama. 6. Mendorong dan memfasilitasi peningkatan investasi di bidang usahata padi. 7. Melaksanakan kebijakan pembelian gabah/beras dalam negeri dengan ketentuan harga pembelian pemerintah.
menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi 8.1 Instrumen untuk menanggulangi keadaan darurat dan bencana adalah menyediakan dan menyalurkan beras 9.1 Instrumen untuk stabilitas harga kepada kelompok masyarakat miskin, menjaga stabilitas harga beras adalah pengelolaan cadangan beras pemerintah 9.2 Instrumen untuk pengadaan cadangan beras pemerintah yaitu pengadaan beras yang berasal dari gabah petani 10.1 Instrumen menjaga kepentingan petani dan konsumen yaitu impor dan ekspor. Instrumen impor apabila ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi cadangan beras pemerintah. 10.2 Instrumen impor untuk menjaga stabilitas harga dalam negeri. 10.3 Instrumen ekspor jika ketersediaan beras dalam negeri tercukupi 10.4 Instrumen ekspor jika tidak mengganggu stabilitas harga dalam negeri. 1.1 Instrumen yaitu penggunaan benih padi unggul bersertifikat. 2.1 Instrumen yaitu penggunaan pupuk anorganik dan organik secara berimbang. 3.1 Instrumen yaitu pengurangan kehilangan pasca panen padi. 4.1 Instrumen yaitu pengurangan luas lahan irigasi teknis. 5.1 Instrumen yaitu rehabilitsi lahan dan penghijauan daerah tangkapn air dan rehabilitasi jaringan irigasi utama. 6.1 Instrumen yaitu peningkatan investasi di uahatani padi.
11.1 Pendapatan petani 11.2 Masyarakat berpendapatan rendah 11.3 Stabilisasi harga beras 11.4 Menanggulangi keadaan darurat, bencana dan rawan pangan 11.5 Pengadaan beras dalam negeri 11.6 Kepentingan petani dan produsen 11.7 Ketersediaan beras dalam negeri
357
8. Menetapkan kebijakan penyediaan dan penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah. 9. Menetapkan kebijakan penyediaan dan penyaluran cadangan Beras Pemerintah untuk menjaga stabilisasi harga beras, menanggulangi keadaan darurat, bencana dan rawan pangan. 10. Menetapkan kebijakan untuk menjaga stabilisasi harga beras dalam negeri. 11. Penyediaan beras bagi kepentingan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan pengadaan cadangan Beras Pemerintah dilakukan dengan mengutamakan pengadaan beras yang berasal dari pembelian gabah petani dalam negeri. 12. Menetapkan kebijakan ekspor dan Impor beras dalam rangka menjaga kepentingan petani dan konsumen. Impor beras dilakukan jika ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi cadangan beras pemerintah, dan/atau menjaga stabilitas harga dalam negeri. Ekspor beras dilakukan jika ketersediaan beras dalam negeri telah tercukupi dan tidak mengganggu stabilitas harga dalam negeri.
7.1 Instrumen pembelian gabah/beras dengan ketentuan harga pembelian pemerintah. 8.1 Kelompok masyarakat berpendapatan rendah melalui instrumen menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi 9.1 Instrumen untuk menanggulangi keadaan darurat adalah menyediakan dan menyalurkan beras 9.1 Instrumen cadangan beras pemerintah untuk menjaga stabilisasi harga beras 9.2 Instrumen cadangan beras pemerintah untuk menanggulangi keadaan darurat, bencana dan rawan pangan. 10.1 Sama dengan point 9.1 11.1 Instrumen penyediaan beras untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah 11.2 Instrumen pembelian gabah petani dalam negeri untuk pengadaan cadangan beras pemerintah. 12.1 Instrumen menjaga kepentingan petani dan konsumen yaitu impor dan ekspor. Instrumen impor apabila ketersediaan beras dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi cadangan beras pemerintah. 12.2 Instrumen impor untuk menjaga stabilitas harga dalam negeri. 12.3 Instrumen ekspor jika ketersediaan beras dalam negeri tercukupi 12.4 Instrumen ekspor jika stabilitas harga dalam negeri tidak terganggu.
11.8 Cadangan pemerintah
beras
358
Lampiran 6. Harga Gabah Kualitas B di Petani dan Penggilingan Gabah Kualitas B di RM (RP/Kg)
Kualitas B- II di RM (RP/Kg)
Gabah Kualitas BIII di RM (Rp/Kg)
2 450
2 450
2 350
15/05/2007
2 450
2 375
2 375
25/08/2007
2 100
2 100
2 000
27/08/2007
2 100
2 100
28/08/2007
2 100
30/08/2007
Harga Kualitas B diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas BII diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas BIII diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas B diatas HPP GKP di RM (%)
Harga Kualitas BII diatas HPP GKP di RM (%)
Harga Kualitas BIII diatas HPP GKP di RM (%)
2 000
21.3
21.3
16.3
20.39
20.39
15.48
2 350
2 000
20.0
17.5
17.5
20.39
16.71
16.71
1 950
2 000
2.5
2.5
‐2.5
3.19
3.19
‐1.72
2.5
‐2.5
3.19
3.19
‐1.72
2.5
‐2.5
3.19
3.19
‐1.72
‐5.0
0.74
‐1.72
‐4.18
‐10.0
‐1.72
‐4.18
‐9.09
‐12.5
‐1.72
‐4.18
‐11.55
‐7.5
‐1.72
‐4.18
‐6.63
‐2.5
‐7.5
‐1.72
‐1.72
‐6.63
‐2.5
‐5.0
0.74
‐1.72
‐4.18
0.0
‐10.0
0.74
0.74
‐9.09
0.0
‐2.5
0.74
0.74
‐1.72
0.0
‐2.5
3.19
0.74
‐1.72
‐2.5
3.19
0.74
‐1.72
0.0
‐2.5
3.19
0.74
‐1.72
0.0
‐2.5
3.19
0.74
‐1.72
2.5
0.0
5.65
3.19
0.74
7.5
7.5
2.5
8.11
8.11
3.19
7.5
7.5
2.5
8.11
8.11
3.19
2 000
7.5
7.5
2.5
8.11
8.11
3.19
2 000
8.5
7.5
3.8
9.09
8.11
4.42
2 000
8.8
7.5
3.8
9.34
8.11
4.42
Gabah Kualitas B di F (RP/Kg)
Kualitas BII di F (RP/Kg)
Gabah Kualitas BIII di F (Rp/Kg)
2 035
2 425
2 425
2 325
2 035
2 400
2 350
2 035
2 050
2 050
2 000
2 035
2 050
2 050
1 950
2 000
2.5
2 100
2 000
2 035
2 050
2 050
1 950
2 000
2.5
2 050
2 000
1 950
2 035
2 000
2 000
1 900
2 000
0.0
0.0
31/08/2007
2 000
1 950
1 850
2 035
1 950
1 900
1 800
2 000
‐2.5
‐5.0
01/09/2007
2 000
1 950
1 800
2 035
1 950
1 900
1 750
2 000
‐2.5
‐5.0
02/09/2007
2 000
1 950
1 900
2 035
1 950
1 900
1 850
2 000
‐2.5
‐5.0
04/09/2007
2 000
2 000
1 900
2 035
1 950
1 950
1 850
2 000
‐2.5
05/09/2007
2 050
2 000
1 950
2 035
2 000
1 950
1 900
2 000
0.0
06/09/2007
2 050
2 050
1 850
2 035
2 000
2 000
1 800
2 000
0.0
07/09/1900
2 050
2 050
2 000
2 035
2 050
2 000
1 950
2 000
2.5
08/09/2007
2 100
2 050
2 000
2 035
2 050
2 000
1 950
2 000
2.5
09/09/2007
2 100
2 050
2 000
2 035
2 050
2 000
1 950
2 000
2.5
0.0
10/09/2007
2 100
2 050
2 000
2 035
2 050
2 000
1 950
2 000
2.5
11/09/2007
2 100
2 050
2 000
2 035
2 050
2 000
1 950
2 000
2.5
12/09/2007
2 150
2 100
2 050
2 035
2 100
2 050
2 000
2 000
5.0
14/09/2007
2 200
2 200
2 100
2 035
2 150
2 150
2 050
2 000
15/09/2007
2 200
2 200
2 100
2 035
2 150
2 150
2 050
2 000
16/09/2007
2 200
2 200
2 100
2 035
2 150
2 150
2 050
17/09/2007
2 220
2 200
2 125
2 035
2 170
2 150
2 075
18/09/2007
2 225
2 200
2 125
2 035
2 175
2 150
2 075
Tanggal
08/05/2007
HPP di RM (Rp/Kg)
Keterangan: RM = Tingkat Penggilingan; F = Tingkat Petani
HPP di F (Rp/Kg)
359
Lampiran 6. Lanjutan Harga Kualitas B diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas BII diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas BIII diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas B diatas HPP GKP di RM (%)
Harga Kualitas BII diatas HPP GKP di RM (%)
Harga Kualitas BIII diatas HPP GKP di RM (%)
Gabah Kualitas B di RM (RP/Kg)
Kualitas B- II di RM (RP/Kg)
Gabah Kualitas BIII di RM (Rp/Kg)
22/02/2007
2 425
2 350
2 350
1 730
02/03/2007
2 425
2 375
2 300
05/03/2007
2 450
2 450
08/03/2007
2 500
2 500
09/03/2007
2 550
2 550
10/03/2007
2 650
2 600
2 550
1 730
2 625
2 575
2 525
1 700
54.4
51.5
48.5
53.18
50.29
47.40
2 650
2 650
2 550
1 730
2 625
2 625
2 525
1 700
54.4
54.4
48.5
53.18
53.18
47.40
2 700
2 600
2 500
1 730
2 675
2 575
2 475
1 700
57.4
51.5
45.6
56.07
50.29
44.51
2 675
2 575
2 525
1 700
57.4
51.5
48.5
56.07
50.29
47.40
Tanggal
13/03/2007 15/03/2007 16/03/2007 17/03/2007 19/03/2007
Gabah Kualitas B di F (RP/Kg)
Kualitas BII di F (RP/Kg)
Gabah Kualitas BIII di F (Rp/Kg)
2 400
2 325
2 325
1 700
41.2
36.8
36.8
40.17
35.84
35.84
1 730
2 400
2 350
2 275
1 700
41.2
38.2
33.8
40.17
37.28
32.95
2 400
1 730
2 425
2 425
2 375
1 700
42.6
42.6
39.7
41.62
41.62
38.73
2 400
1 730
2 475
2 475
2 375
1 700
45.6
45.6
39.7
44.51
44.51
38.73
2 550
1 730
2 525
2 525
2 525
1 700
48.5
48.5
48.5
47.40
47.40
47.40
HPP di RM (Rp/Kg)
HPP di F (Rp/Kg)
2 700
2 600
2 550
1 730
2 600
2 600
2 500
1 730
2 575
2 575
2 475
1 700
51.5
51.5
45.6
50.29
50.29
44.51
2 550
2 550
2 450
1 730
2 525
2 525
2 425
1 700
48.5
48.5
42.6
47.40
47.40
41.62
2 500
2 450
1 730
2 475
2 475
2 425
1 700
45.6
45.6
42.6
44.51
44.51
41.62
1 730
2 450
2 450
2 375
1 700
44.1
44.1
39.7
43.06
43.06
38.73
21/03/2007
2 500
23/03/2007
2 475
2 475
2 400
24/03/2007
2 475
2 475
2 400
1730
2 450
2 450
2 375
1 700
44.1
44.1
39.7
43.06
43.06
38.73
2 450
2 450
2 375
1 730
2 425
2 425
2 350
1 700
42.6
42.6
38.2
41.62
41.62
37.28
2 450
2 450
2 375
1 730
2 425
2 425
2 350
1 700
42.6
42.6
38.2
41.62
41.62
37.28
2 450
2 450
2 375
730
2 425
2 425
2 350
1 700
42.6
42.6
38.2
41.62
41.62
37.28
2 450
2 375
2 035
2425
2 425
2 350
2 000
21.3
21.3
17.5
20.39
20.39
16.71
2 500
2 425
2 035
2 475
2 475
2 400
2 000
23.8
23.8
20.0
22.85
22.85
19.16
26/03/2009 28/03/2007 29/03/2007 02/04/2007 03/04/2007
2 450 2 500
05/04/2007
2 550
2 550
2 450
2 035
2 525
2 525
2 425
2 000
26.3
26.3
21.3
25.31
25.31
20.39
06/04/2007
2 450
2 450
2 375
2 035
2 425
2 375
2 325
2 000
21.3
18.8
16.3
20.39
20.39
16.71
2 550
2 450
2 035
2 525
2 525
2 425
2 000
26.3
26.3
21.3
25.31
25.31
20.39
2 500
2 450
2 035
2 525
2 475
2 425
2 000
26.3
23.8
21.3
25.31
22.85
20.39
09/04/2007 10/04/2007
2 550 2 550
Keterangan: RM = Tingkat Penggilingan; F = Tingkat Petani
360
Lampiran 6. Lanjutan Harga Kualitas B diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas BII diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas BIII diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas B diatas HPP GKP di RM (%)
Harga Kualitas BII diatas HPP GKP di RM (%)
Harga Kualitas BIII diatas HPP GKP di RM (%)
Gabah Kualitas B di RM (RP/Kg)
Kualitas B- II di RM (RP/Kg)
Gabah Kualitas BIII di RM (Rp/Kg)
19/09/2007
2 225
2 200
2 125
2 035
20/09/2007
2 225
2 200
2 125
21/09/2007
2 225
2 200
2 125
22/09/2007
2 225
2 200
28/09/2007
2 225
2 175
29/09/2007
2 225
2 175
01/10/2007
2 200
2 200
04/10/2007
2 100
2 100
2 000
2 035
2 050
2 050
1 950
2 000
2.5
2.5
‐2.5
9.34
6.88
4.42
2 550
2 500
2 035
2 625
2 525
2 475
2 000
31.25
26.25
23.75
30.22
25.31
22.85
2 550
2 500
2 035
2 525
2 525
2 475
2 000
26.25
26.25
23.75
25.31
25.31
22.85
2 550
2 500
2 035
2 525
2 525
2 475
2 000
26.25
26.25
23.75
25.31
25.31
22.85
2 450
2 375
2 035
2 425
2 425
2 350
2 000
21.25
21.25
17.5
20.39
20.39
16.71
2 450
2 375
2 035
2 425
2 425
2 350
2 000
21.25
21.25
17.5
20.39
20.39
16.71
2 450
2 375
2 035
2 425
2 425
2 350
2 000
21.25
21.25
17.5
20.39
20.39
16.71
2 450
2 375
2 035
2 425
2 425
2 350
2 000
21.25
21.25
17.5
20.39
20.39
16.71
2 450
2 400
035
2 450
2 425
2 375
2 000
22.5
21.25
18.75
21.62
20.39
17.94
2 425
2 400
2 035
2 475
2 400
2 375
2 000
23.75
20
18.75
22.85
19.16
17.94
2 500
2 450
2 425
2 035
2 475
2 425
2 400
2 000
23.75
21.25
20
22.85
20.39
19.16
2 500
2 450
2 425
2 035
2 475
2 425
2 400
2 000
23.75
21.25
20
22.85
20.39
19.16
2 450
2 425
035
2 475
2 425
2. 400
2 000
23.75
21.25
20
22.85
20.39
19.16
2 425
2 000
23.75
21.25
20
22.85
20.39
19.16
Tanggal
28/02/2008 29/02/2008 02/03/2008 04/03/2008 05/03/2008 07/03/2008 08/03/2008 10/03/2008 11/03/2008 12/03/2008 13/03/2008 14/03/2008 15/03/2008
2 650 2 550 2 550 2 450 2 450 2 450 2 450 2 475 2 500
2 500
Gabah Kualitas B di F (RP/Kg)
Kualitas BII di F (RP/Kg)
Gabah Kualitas BIII di F (Rp/Kg)
2 175
2 150
2 075
2 035
2 175
2 150
2 035
2 175
2 150
2 125
2 035
2 175
2 125
2 035
2 125
2 035
2 100
2 035
HPP di RM (Rp/Kg)
HPP di F (Rp/Kg)
2 000
8.8
7.5
3.8
9.34
8.11
4.42
2 075
2 000
8.8
7.5
3.8
9.34
8.11
4.42
2 075
2 000
8.8
7.5
3.8
9.34
8.11
4.42
2 150
2 075
2 000
8.8
7.5
3.8
9.34
8.11
4.42
2 175
2 125
2 075
2 000
8.8
6.3
3.8
9.34
8.11
6.88
2 175
2 125
2 075
2 000
8.8
6.3
3.8
9.34
6.88
3.19
2 150
2 150
2 050
2 000
7.5
7.5
2.5
9.34
6.88
4.42
2 500
2 450
2 035
2 475
2 425
2 400
17/03/2008
2 525
2 525
2 475
2 035
2 500
2 500
2 450
2 000
25
25
22.5
24.08
24.08
21.62
18/03/2008
2 550
2 550
2 475
2 035
2 525
2 525
2 450
2 000
26.25
26.25
22.5
25.31
25.31
21.62
Keterangan: RM = Tingkat Penggilingan; F = Tingkat Petani
361
Lampiran 6. Lanjutan Tanggal
19/03/2008
Gabah Kualitas B di RM (RP/Kg)
Kualitas B- II di RM (RP/Kg)
Gabah Kualitas BIII di RM (Rp/Kg)
HPP di RM (Rp/Kg)
Gabah Kualitas B di F (RP/Kg)
Kualitas BII di F (RP/Kg)
Gabah Kualitas BIII di F (Rp/Kg)
HPP di F (Rp/Kg)
Harga Kualitas B diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas BII diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas BIII diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas B diatas HPP GKP di RM (%)
Harga Kualitas BII diatas HPP GKP di RM (%)
Harga Kualitas BIII diatas HPP GKP di RM (%)
2 550
2 550
2 475
2 035
2 525
2 525
2 450
2 000
26.25
26.25
22.5
25.31
25.31
21.62
20/03/2008
2 550
2 550
2 475
2 035
2 525
2 525
2 450
2 000
26.25
26.25
22.5
25.31
25.31
21.62
21/03/2008
2 550
2 550
2 475
2 035
2 525
2 525
2 450
2 000
26.25
26.25
22.5
25.31
25.31
21.62
2 550
2 550
2 525
2 035
2 525
2 525
2 500
2 000
26.25
26.25
25
25.31
25.31
24.08
2 575
2 575
2 500
2 035
2 550
2 550
2 475
2 000
27.5
27.5
23.75
26.54
26.54
22.85
2 525
2 035
2 575
2 575
2 500
2 000
28.75
28.75
25
27.76
27.76
24.08
2 525
2 035
2 575
2 525
2 500
2 000
28.75
26.25
25
27.76
25.31
24.08
2 500
2 035
2 475
2 475
2 475
2 000
23.75
23.75
23.75
22.85
22.85
22.85
2 550
2 035
2 625
2 625
2 525
2 000
31.25
31.25
26.25
30.22
30.22
25.31
26.25
26.25
26.25
25.31
25.31
25.31
23/03/2008 24/03/2008 26/03/2008
2 600
2 600
27/03/2008
2 600
2 550
01/04/2008
2 500
2 500
03/04/2008
2 650
2 650
04/04/2008
2 550
2 550
2 550
2 035
2 525
2 525
2 525
2 000
09/04/2008
2 675
2 675
2 650
2 035
2 650
2 650
2 625
2 000
32.5
32.5
31.25
31.45
31.45
30.22
14/04/2008
2 750
2 750
2 725
2 035
2 725
2 725
2 700
2 000
36.25
36.25
35
35.14
35.14
33.91
17/04/2008
2 750
2 750
2 650
2 035
2 725
2 725
2 625
2 000
36.25
36.25
31.25
35.14
35.14
30.22
19/04/2008
2 750
2 750
2 650
2 035
2 725
2 725
2 625
2 000
36.25
36.25
31.25
35.14
35.14
30.22
21/04/2008
2 700
2 650
2 600
2 035
2 675
2 625
2 575
2 000
33.75
31.25
28.75
32.68
30.22
27.76
2 400
2 300
2 240
2 350
2 350
2 250
2 200
6.82
6.82
2.27
7.14
7.14
2.68
2 300
2 500
2 240
2 300
2 250
2 200
2 200
4.55
2.27
0.00
4.91
2.68
11.61
2 400
2 300
2 240
2 350
2 350
2 250
2 200
6.82
6.82
2.27
7.14
7.14
2.68
2 400
2 300
2 240
2 350
2 350
2 250
2 200
6.82
6.82
2.27
7.14
7.14
2.68
2 400
2 300
2 240
2 350
2 350
2 250
2 200
6.82
6.82
2.27
7.14
7.14
2.68
2 450
2 350
2 240
2 400
2 400
2 300
2 200
9.09
9.09
4.55
9.38
9.38
4.91
2 400
2 300
2 240
2 350
2 350
2 250
2 200
6.82
6.82
2.27
7.14
7.14
2.68
2 425
2 325
2 240
2 375
2 375
2 275
2 200
7.95
7.95
3.41
8.26
8.26
3.79
02/09/2008 03/09/2008 05/09/2008 06/09/2008 07/09/2008 08/09/2008 09/09/2008 10/09/2008
2 400 2 350 2 400 2 400 2 400 2 450 2 400 2 425
Keterangan: RM = Tingkat Penggilingan; F = Tingkat Petani
362 Lampiran 6. Lanjutan
Tanggal
11/09/2008 12/09/2008 13/09/2008 15/09/2008 16/09/2008 17/09/2008 18/09/2008 19/09/2008 20/09/2008 22/09/2008 23/09/2008
Gabah Kualitas B di RM (RP/Kg)
Kualitas B- II di RM (RP/Kg)
Gabah Kualitas B- III di RM (Rp/Kg)
HPP di RM (Rp/Kg)
Gabah Kualitas B di F (RP/Kg)
Kualitas BII di F (RP/Kg)
Gabah Kualitas BIII di F (Rp/Kg)
HPP di F (Rp/Kg)
Harga Kualitas B diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas BII diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas BIII diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas B diatas HPP GKP di RM (%)
Harga Kualitas BII diatas HPP GKP di RM (%)
Harga Kualitas BIII diatas HPP GKP di RM (%)
2 425
2 425
2 325
2 240
2 375
2 375
2 275
2 200
7.95
7.95
3.41
8.26
8.26
3.79
2 425
2 425
2 325
2 240
2 375
2 375
2 275
2 200
7.95
7.95
3.41
8.26
8.26
3.79
2 500
2 425
2 240
2 400
2 450
2 375
2 200
9.09
11.36
7.95
9.38
11.61
8.26
2 550
2 475
2 240
2 500
2 500
2 425
2 200
13.64
13.64
10.23
13.84
13.84
10.49
2 550
2 550
2 550
2 240
2 500
2 500
2 500
2 200
13.64
13.64
13.64
13.84
13.84
13.84
2 600
2 600
2 550
2 240
2 550
2 550
2 500
2 200
15.91
15.91
13.64
16.07
16.07
13.84
2 600
2 550
2 240
2 600
2 550
2 500
2 200
18.18
15.91
13.64
18.30
16.07
13.84
2 650
2 550
2 240
2 600
2 600
2 500
2 200
18.18
18.18
13.64
18.30
18.30
13.84
2 650
2 575
2 240
2 600
2 600
2 525
2 200
18.18
18.18
14.77
18.30
18.30
14.96
2 675
2 575
2 240
2 625
2 625
2 525
2 200
19.32
19.32
14.77
19.42
19.42
14.96
2 675
2 550
2 240
2 625
2 625
2 525
2 200
19.32
19.32
14.77
19.42
19.42
13.84
2 575
2 450 2 550
2 650 2 650 2 650 2 675 2 675
24/09/2008
2 675
2 675
2 240
2 625
2 625
2 525
2 200
19.32
19.32
14.77
19.42
19.42
14.96
25/09/2008
2 725
2 725
2 625
2 240
2 675
2 675
2 575
2 200
21.59
21.59
17.05
21.65
21.65
17.19
2 600
2 550
2 240
2 600
2 550
2 500
2 200
18.18
15.91
13.64
18.30
16.07
13.84
2 600
2 550
2 240
2 600
2 550
2 500
2 200
18.18
15.91
13.64
18.30
16.07
13.84
2 650
2 550
2 240
2 625
2 625
2 525
2 200
19.32
19.32
14.77
19.42
18.30
13.84
2 650
2 600
2 240
2 600
2 600
2 575
2 200
18.18
18.18
17.05
18.30
18.30
16.07
2 650
2 600
27/09/2008 28/09/2008 04/10/2008 07/10/2008 08/10/2008
2 650 2 650 2 675 2 650
2 240
2 600
2 600
2 575
2 200
18.18
18.18
17.05
18.30
18.30
16.07
13/02/2009
2 850
2 800
2 800
2 440
2 825
2 800
2 775
2 400
17.71
16.67
15.63
16.80
14.75
14.75
02/03/2009
2 675
2 675
2 650
2 440
2 650
2 650
2 625
2 400
10.42
10.42
9.38
9.63
9.63
8.61
03/03/2009
2 700
2 700
2 600
2 440
2 675
2 675
2 575
2 400
11.46
11.46
7.29
10.66
10.66
6.56
2 700
06/03/2009
2 650
2 800
2 750
2.440
2 775
2 725
2 675
2 400
15.63
13.54
11.46
14.75
12.70
10.66
11/03/2009
2 825
2 825
2 775
2.440
2 800
2 800
2 750
2 400
16.67
16.67
14.58
15.78
15.78
13.73
13/03/2009
2 850
2 850
2 800
2.440
2 825
2 825
2 775
2 400
17.71
17.71
15.63
16.80
16.80
14.75
363 Lampiran 6. Lanjutan
Gabah Kualitas B di RM (RP/Kg)
Kualitas B- II di RM (RP/Kg)
Gabah Kualitas BIII di RM (Rp/Kg)
14/03/2009
2 850
2 850
2 800
2 440
16/03/2009
2 900
2 900
2 850
2 440
2 850 2 850 2 825
Tanggal
17/03/2009 18/03/2009 19/03/2009 20/03/2009
2 900
2 900
2 900
2 900
2 875
2 875
2 875
2 875
Gabah Kualitas B di F (RP/Kg)
Harga Kualitas B diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas BII diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas BIII diatas HPP GKP di F (%)
Harga Kualitas B diatas HPP GKP di RM (%)
Harga Kualitas BII diatas HPP GKP di RM (%)
Harga Kualitas BIII diatas HPP GKP di RM (%)
Kualitas BII di F (RP/Kg)
Gabah Kualitas BIII di F (Rp/Kg)
2 825
2 825
2 775
2 400
17.71
17.71
15.63
16.80
16.80
14.75
2 875
2 875
2 825
2 400
19.79
19.79
17.71
18.85
18.85
16.80
2 440
2 875
2 875
2 825
2 400
19.79
19.79
17.71
18.85
18.85
16.80
2 440
2 875
2 875
2 825
2 400
19.79
19.79
17.71
18.85
18.85
16.80
2 440
2 850
2 850
2 825
2 400
18.75
18.75
17.71
17.83
17.83
15.78
2 875
2 440
2 850
2 850
2 850
2 400
18.75
18.75
18.75
17.83
17.83
17.83
HPP di RM (Rp/Kg)
HPP di F (Rp/Kg)
21/03/2009
2 875
2 875
2 775
2 440
2 850
2 850
2 825
2 400
18.75
18.75
17.71
17.83
17.83
13.73
24/03/2009
2 875
2 775
2 725
2 440
2 850
2 750
2 700
2 400
18.75
14.58
12.50
17.83
13.73
11.68
2 725
2 440
2 800
2 750
2 700
2 400
16.67
14.58
12.50
15.78
13.73
11.68
2 725
2 440
2 800
2 750
2 700
2 400
16.67
14.58
12.50
15.78
13.73
11.68
2 725
2 440
2 800
2 750
2 700
2 400
16.67
14.58
12.50
15.78
13.73
11.68
2 725
2 440
2 800
2 750
2 700
2 400
16.67
14.58
12.50
15.78
13.73
11.68
2 725
2 440
2 800
2 750
2 700
2 400
16.67
14.58
12.50
15.78
13.73
11.68
2 775
2 725
2 440
2 800
2 750
2 700
2 400
16.67
14.58
12.50
15.78
13.73
11.68
2 800
2 750
2 700
2 440
2 775
2 725
2 675
2. 400
15.63
13.54
11.46
14.75
12.70
10.66
2 800
2 750
2 700
2 440
2 775
2 725
2 675
2 400
15.63
13.54
11.46
14.75
12.70
10.66
2 700
2 440
2 775
2 725
2 675
2 400
15.63
13.54
11.46
14.75
12.70
10.66
2 700
2 440
2 775
2 725
2. 675
2. 400
15.63
13.54
11.46
14.75
12.70
10.66
2 700
2 440
2 775
2 725
2. 675
2. 400
15.63
13.54
11.46
14.75
12.70
10.66
2 700
2 440
2 775
2 775
2 675
2. 400
15.63
15.63
11.46
14.75
14.75
10.66
25/03/2009 26/03/2009 27/03/2009 28/03/2009 30/03/2009 31/03/2009 01/04/2009 02/04/2009 03/04/2009 08/04/2009 11/04/2009 13/04/2009
2 825 2 825 2 825
2 775 2 775 2 775
2 825
2 775
2 825
2 775
2 825
2 800
2 750
2 800
2 750
2 800
2 750
2 800
2 800
14/04/2009
2 800
2 800
2 700
2 440
2 775
2 775
2 675
2. 400
15.63
15.63
11.46
14.75
14.75
10.66
15/04/2009
2 800
2 800
2 700
2440
2 775
2 775
2 675
2 400
15.63
15.63
11.46
14.75
14.75
10.66
2 800
2 700
2 440
2 775
2 775
2 675
2 400
15.63
15.63
11.46
14.75
14.75
10.66
2 800
2 700
2 440
2 775
2 775
2 675
2 400
15.63
15.63
11.46
14.75
14.75
10.66
20/04/2009 23/04/2009
2 800 2 800
364 Lampiran 7. Data dan Sumber Data untuk Kebijakan Perberasan Pada Inpres 2005‐2008
N0
LAPT (000 ha)
YPIT (Ton/Ha)
Fk
HPUT (Rp/Kg)
HGKP (Rp/Kg)
HPGP (Rp/Kg)
HGKG (Rp/Kg)
KAGP (%)
KAGG (%)
KKGP (%)
KKGG (%)
QOPT (000 Ha)
DCBP (000 Ton)
1
Mar-05
2 123.23
4.506
0.63
1 655.51
1 435.55
1 330
1 885.62
20.24
13.41
7.96
2.54
31.120
5.981
2
Apr-05
1 859.82
4.506
0.63
1 660.59
1 393.68
1 330
1 920.67
19.76
13.50
7.67
2.39
26.194
0.642
3
Mei-05
978.44
4.669
0.63
1 659.57
1 393.42
1 330
1 895.13
18.84
13.31
7.33
2.25
32.806
0.429
4
Jun-05
833.53
4.669
0.63
1 668.73
1 468.26
1 330
1 759.44
18.90
11.69
7.53
2.51
48.095
0.373
5
Jul-05
975.44
4.669
0.63
1 651.24
1 482.54
1 330
1 657.50
19.34
13.25
7.60
2.35
54.013
2.709
6
Agust-05
1 174.89
4.669
0.63
1 657.35
1 552.09
1 330
1 747.50
18.49
13.01
7.06
2.32
25.253
0.378
7
Sep-05
952.54
4.572
0.63
1 663.90
1 666.92
1 330
1 788.00
18.74
12.74
7.04
2.57
14.936
0.442
8
Okt-05
633.05
4.572
0.63
1 695.74
1 762.61
1 330
1 767.78
19.05
13.04
6.83
2.34
11.443
0.242
9
Nop-05
400.59
4.572
0.63
1 704.61
1 807.82
1 330
2 027.50
17.97
13.64
6.68
2.99
11.618
0.323
10
Des-05
381.46
4.572
0.63
1 728.99
1 850.21
1 330
1 809.38
17.70
12.59
6.73
2.34
22.136
5.245
11
Jan-06
502.77
4.549
0.63
1 798.35
2 038.66
1 730
2 370.60
18.28
13.37
6.47
2.33
37.378
13.705
12
Feb-06
1 345.25
4.549
0.63
1 795.77
2 066.52
1 730
2 346.85
19.63
12.77
7.10
2.24
57.510
23.323
13
Mar-06
2 242.43
4.549
0.63
1 784.66
1 837.14
1 730
2 500.69
19.83
12.77
7.43
2.36
42.788
11.056
14
Apr-06
1 608.65
4.549
0.63
1 795.27
1 899.94
1 730
2 322.77
19.65
13.20
7.03
2.66
26.975
5.018
15
Mei-06
912.09
4.714
0.63
1 811.62
2 052.33
1 730
2 272.66
19.12
13.10
6.75
2.47
35.120
10.466
16
Jun-06
876.59
4.714
0.63
1 801.53
2 140.07
1 730
2 371.45
19.79
12.91
7.38
2.77
46.525
4.631
17
Jul-06
1 059.18
4.714
0.63
1 798.02
2 051.45
1 730
2 425.54
19.78
12.74
7.16
2.67
30.800
6.584
18
Agust-06
1 092.98
4.714
0.63
1 813.46
2 163.31
1 730
2 344.00
19.13
12.77
6.40
2.57
17.320
5.681
19
Sep-06
896.26
4.636
0.63
1 828.22
2 134.07
1 730
2 455.37
18.77
13.04
6.54
2.64
10.975
2.591
20
Okt-06
534.04
4.636
0.63
1 843.94
2 148.48
1 730
2 443.15
18.50
11.96
6.74
2.55
7.258
4.545
21
Nop-06
365.79
4.636
0.63
1 853.38
2 247.92
1 730
2 455.59
18.15
12.53
6.65
2.70
9.698
1.995
22
Des-06
350.41
4.636
0.63
1 839.27
2 429.31
1 730
2 607.87
18.22
12.86
6.28
2.42
13.960
8.584
23
Jan-07
365.73
4.559
0.63
1 824.85
2 671.09
1 730
2 833.06
18.27
12.73
6.89
2.62
27.802
79.212
24
Feb-07
693.55
4.559
0.63
1 830.26
2 750.37
1 730
2 974.54
19.54
12.44
6.93
2.60
39.527
107.000
25
Mar-07
1 605.19
4.559
0.63
1 851.51
2 559.26
1 730
2 892.32
20.36
12.85
7.05
2.48
54.058
113.929
26
Apr-07
2 229.08
4.559
0.63
1 859.07
2 191.84
2 000
2 754.99
20.46
13.18
4.74
2.07
43.952
0.710
27
Mei-07
1 384.95
4.788
0.63
1 852.85
2 241.63
2 000
2 450.52
19.73
13.24
5.03
2.50
43.328
0.258
Bulan
BULOG
BULOG
BPS
BPS
INPRES
BPS
BPS
BPS
BPS
BPS
Deptan
BULOG
365 Lampiran 7. Lanjutan
N0
Bulan
LAPT (000 ha)
YPIT (Ton/Ha)
Fk
HPUT (Rp/Kg)
HGKP (Rp/Kg)
HPGP (Rp/Kg)
HGKG (Rp/Kg)
KAGP (%)
KAGG (%)
KKGP (%)
KKGG (%)
QOPT (000 Ha)
DCBP (000 Ton)
28
Jun-07
947.67
4.788
0.63
1 862.99
2 337.24
2 000
2 695.23
18.90
12.29
5.20
2.26
44.796
0.595
29
Jul-07
963.67
4.788
0.63
1 870.92
2 300.80
2 000
2 650.97
19.17
12.42
5.17
2.25
53.448
0.208
30
Agust-07
1 316.42
4.788
0.63
1 855.72
2 307.66
2 000
2 630.73
19.13
12.82
5.08
2.37
34.954
0.342
31
Sep-07
1 121.87
4.831
0.63
1 854.67
2 364.44
2 000
2 614.41
19.22
12.69
5.11
2.38
27.611
2.476
32
Okt-07
653.64
4.831
0.63
1 869.21
2 375.65
2 000
2 670.84
19.43
12.24
5.21
2.36
12.741
1.162
33
Nop-07
477.41
4.831
0.63
1 921.12
2 379.56
2 000
2 670.12
19.33
12.22
5.12
2.22
15.939
0.664
34
Des-07
388.47
4.831
0.63
1 896.33
2 440.48
2 000
2 700.78
18.78
12.48
5.04
2.28
18.847
80.228
35
Jan-08
417.57
4.879
0.63
1 922.35
2 677.27
2 000
2 882.51
18.13
12.22
5.45
2.04
46.058
24.642
36
Feb-08
1 091.45
4.879
0.63
1 938.74
2 594.47
2 000
2 833.66
19.47
12.57
5.34
2.04
55.724
0.884
37
Mar-08
2 403.61
4.879
0.63
1 948.43
2 202.12
2 000
2 695.71
20.21
12.32
5.22
2.25
71.970
0.580
38
Apr-08
1 851.37
4.879
0.63
1 951.38
2 185.60
2 000
2 572.95
19.84
12.65
5.13
2.19
34.800
1.739
39
Mei-08
2 744.34
4.950
0.63
2 053.03
2 500.17
2 200
2 744.54
18.63
12.79
4.88
2.36
33.552
0.555
40
Jun-08
908.15
4.950
0.63
2 142.10
2 650.78
2 200
2 851.00
18.93
12.69
5.02
2.45
43.339
0.097
41
Jul-08
1 175.65
4.950
0.63
2 161.40
2 583.97
2 200
2 931.76
19.60
12.47
5.03
2.31
44.339
0.242
42
Agust-08
1 230.90
4.950
0.63
2 187.16
2 561.68
2 200
2 880.82
19.49
12.46
4.83
2.23
25.426
0.273
43
Sep-08
921.90
4.828
0.63
2 230.90
2 660.26
2 200
2 887.89
18.79
12.54
5.32
2.27
16.458
1.510
44
Okt-08
579.80
4.828
0.63
2 258.82
2 640.93
2 200
2 952.07
18.43
12.57
4.85
2.30
13.172
0.618
45
Nop-08
411.83
4.828
0.63
2 269.72
2 637.94
2 200
2 954.23
18.92
12.27
4.91
2.27
16.190
0.885
46
Des-08
424.85
4.828
0.63
2 311.26
2 697.56
2 200
3 024.19
18.75
12.40
4.83
2.31
26.989
1.728
47
Jan-09
512.40
4.944
0.63
2 317.08
2 801.47
2 400
3 023.57
18.72
12.09
4.73
2.12
53.695
1.331
48
Feb-09
1 534.13
4.944
0.63
2 286.07
2 839.18
2 400
3 219.09
18.49
12.97
5.11
2.00
62.882
1.020
49
Mar-09
2 409.77
4.944
0.63
2 286.79
2 597.68
2 400
3 180.44
19.93
12.68
4.98
1.95
48.358
0.945
50
Apr-09
1 508.98
4.944
0.63
2 293.52
2 662.39
2 400
2 694.60
18.74
11.41
5.17
2.26
26.697
0.455
51
Mei-09
914.73
5.071
0.63
2 302.37
2 732.34
2 400
3 139.06
19.57
12.76
4.96
2.29
52.773
0.207
52
Jun-09
1 081.33
5.071
0.63
2 304.65
2 738.30
2 400
3 016.46
18.87
11.58
4.90
2.27
59.674
0.393
53
Jul-09
1 188.13
5.071
0.63
2 314.43
2 699.57
2 400
3 039.16
19.16
12.87
5.02
2.47
41.730
0.473
54
Agust-09
1 245.17
5.071
0.63
2 325.22
2 711.18
2 400
3 021.82
19.42
12.56
4.89
2.27
24.425
0.482
55
Sep-09
919.11
4.982
0.63
2 319.86
2 793.62
2 400
3 041.64
17.91
12.51
4.97
2.27
20.088
2.011
366 Lampiran 7. Lanjutan
N0
Bulan
HETU (Rp/Kg)
HESP (Rp/Kg)
HEZA (Rp/Kg)
HENP (Rp/Kg)
RPPU (000 Ton)
RPSP (000 Ton)
RPZA (000 Ton)
RPNP (000 Ton)
HPSP (Rp/Kg)
NTPT
QVUT (Kg/Ha)
FP
SCBP (000 Ha)
1
Mar-05
1 050.00
1400.00
950.00
1 600.00
293.411
66.562
50.456
20.430
2 183.26
101.10
18.221
0.10
326.462
2
Apr-05
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
318.052
75.107
41.560
21.957
2 189.09
100.78
14.361
0.10
320.481
3
Mei-05
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
378.301
71.026
54.910
24.720
2 208.59
101.11
12.924
0.10
319.839
4
Jun-05
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
348.819
67.122
45.402
19.862
2 206.33
101.46
17.390
0.10
319.410
5
Jul-05
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
262.348
60.200
52.854
21.689
2 224.92
102.16
27.972
0.10
319.037
6
Agust-05
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
230.597
49.638
49.969
22.441
2 226.27
102.38
29.753
0.10
316.328
7
Sep-05
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
205.081
47.003
45.513
19.750
2 267.77
102.29
26.770
0.10
315.950
8
Okt-05
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
266.937
65.795
43.603
22.258
2 294.69
100.17
21.106
0.10
315.508
9
Nop-05
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
518.455
71.098
71.835
21.258
2 330.36
99.53
18.808
0.10
315.266
10
Des-05
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
519.177
84.684
67.412
29.639
2 361.31
98.73
13.481
0.10
314.943
11
Jan-06
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
385.066
68.259
56.343
22.845
2 409.67
100.72
16.296
0.10
402.096
12
Feb-06
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
307.121
56.190
49.794
22.972
2 415.17
100.74
14.261
0.10
395.606
13
Mar-06
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
282.427
59.356
50.426
29.910
2 399.33
101.00
13.240
0.10
374.993
14
Apr-06
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
382.958
67.331
51.362
39.238
2 402.53
101.11
15.782
0.10
365.532
15
Mei-06
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
337.520
63.522
63.659
37.242
2 404.33
101.70
11.836
0.10
363.403
16
Jun-06
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
314.921
59.878
56.533
31.696
2 405.55
102.35
13.193
0.10
361.458
17
Jul-06
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
233.968
53.418
53.544
28.826
2 404.53
103.15
23.789
0.10
360.000
18
Agust-06
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
205.938
43.560
45.012
20.848
2 422.38
103.39
27.985
0.10
357.937
19
Sep-06
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
184.191
41.101
39.594
20.140
2 427.54
103.68
21.303
0.10
356.882
20
Okt-06
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
227.835
58.640
42.610
28.605
2 435.22
103.98
21.487
0.10
356.192
21
Nop-06
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
417.680
63.589
40.151
46.829
2 453.39
105.07
22.567
0.10
355.629
22
Des-06
1 050.00
1 400.00
950.00
1 600.00
631.551
76.270
52.123
70.826
2 497.83
106.40
8.724
0.10
355.064
23
Jan-07
1 200.00
1 550.00
1050.00
1 750.00
382.484
75.796
65.116
37.216
2 531.78
108.29
9.675
0.10
602.848
24
Feb-07
1 200.00
1 550.00
1050.00
1 750.00
311.039
70.881
66.643
49.760
2 536.71
109.93
13.990
0.10
523.636
25
Mar-07
1 200.00
1 550.00
1050.00
1 750.00
312.227
67.035
54.777
38.021
2 567.61
109.01
14.925
0.10
416.636
26
Apr-07
1 200.00
1 550.00
1050.00
1 750.00
338.536
61.070
44.399
42.279
2 601.00
105.51
16.941
0.10
302.707
Mei-07
1 200.00
1 550.00
1050.00
1 750.00
402.862
55.673
59.974
59.012
2 602.95
105.67
16.062
0.10
302.707
Permentan
Permentan
Permentan
Permentan
27
Sumber
Lampiran 7. Lanjutan
DEPTAN
DEPTAN
DEPTAN
DEPTAN
BPS
BPS
Deptan
BULOG
367
N0
HETU (Rp/Kg)
HESP (Rp/Kg)
HEZA (Rp/Kg)
HENP (Rp/Kg)
RPPU (000 Ton)
RPSP (000 Ton)
Bulan
RPZA (000 Ton)
RPNP (000 Ton)
HPSP (Rp/Kg)
NTPT
QVUT (Kg/Ha)
FP
SCBP (000 Ha)
28
Jun-07
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
371.385
60.499
48.881
61.031
2 607.66
106.07
12.928
0.10
302.707
29
Jul-07
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
279.061
63.377
57.575
49.847
2 632.94
106.27
28.018
0.10
302.707
30
Agust-07
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
245.161
55.796
54.209
50.554
2 645.38
105.95
23.784
0.10
302.707
31
Sep-07
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
217.918
63.561
49.011
42.476
2 658.51
106.30
23.664
0.10
302.707
32
Okt-07
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
283.961
68.721
46.782
47.041
2 645.80
106.67
19.360
0.10
302.707
33
Nop-07
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
552.502
72.947
79.720
84.704
2 720.99
106.83
11.224
0.10
302.707
34
Des-07
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
553.273
49.486
74.559
75.516
2 805.56
108.63
10.143
0.10
302.707
35
Jan-08
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
495.423
77.727
73.291
67.682
2 919.28
100.69
11.394
0.10
506.902
36
Feb-08
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
359.818
59.608
62.826
65.647
2 976.28
100.59
33.057
0.10
463.440
37
Mar-08
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
345.854
66.466
54.271
72.644
2 996.40
98.79
11.104
0.10
440.288
38
Apr-08
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
413.473
41.949
57.113
78.622
3 056.52
99.05
9.013
0.10
439.272
39
Mei-08
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
391.460
60.726
85.876
89.433
3 161.36
100.17
7.513
0.10
437.782
40
Jun-08
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
309.862
18.782
57.843
70.424
3 298.41
100.64
21.532
0.10
437.755
41
Jul-08
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
248.052
43.976
64.941
77.572
3 335.87
101.71
28.428
0.10
437.741
42
Agust-08
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
212.607
34.942
64.959
80.513
3 372.16
102.00
31.288
0.10
437.741
43
Sep-08
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
252.016
50.278
50.289
69.984
3 393.85
101.69
28.753
0.10
437.423
44
Okt-08
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
319.614
54.541
52.691
81.197
3 408.23
99.20
25.291
0.10
437.423
45
Nop-08
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
499.107
23.040
52.483
75.884
3 420.10
98.36
14.534
0.10
437.423
46
Des-08
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
677.657
42.152
68.013
108.681
3 452.50
98.99
15.513
0.10
437.423
47
Jan-09
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
406.998
52.287
60.947
119.440
3 521.94
98.30
27.825
0.10
619.241
48
Feb-09
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
367.861
58.449
50.581
101.217
3 507.56
98.77
46.208
0.10
617.910
49
Mar-09
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
372.817
59.335
61.753
104.687
3 490.93
98.78
33.613
0.10
616.890
50
Apr-09
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
423.316
47.209
47.437
120.045
3 479.09
99.26
15.707
0.10
615.945
51
Mei-09
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
352.401
68.504
62.307
99.535
3 448.87
99.40
16.284
0.10
615.490
52
Jun-09
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
310.427
54.585
77.315
95.332
3 449.78
99.56
21.907
0.10
615.283
53
Jul-09
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
276.078
62.482
85.321
107.588
3 438.41
99.82
31.654
0.10
614.890
54
Agust-09
1 200.00
1 550.00
1 050.00
1 750.00
241.946
39.833
78.161
100.767
3 441.13
100.24
35.953
0.10
614.417
55 1 200.00 Sep-09 Lampiran 7. Lanjutan
1 550.00
1 050.00
1 750.00
260.916
43.152
64.221
88.574
3 425.71
100.91
33.360
0.10
613.935
368
N0 1
Bulan Mar-05
STGW (000 Ton)
STGF (000 Ton)
RTRA (000RT)
BGKB (000 Ton)
BBOB (000 Ton)
DOPM (000 Ton)
DBAT (000 Ton)
HPPB (Rp/Kg)
CHIT (mm/bln)
QPSP (Kg/Ha)
QPZA (Kg/Ha)
QPNP (Kg/Ha)
QPUT (Kg/Ha)
326.462
320
10 543.222
176.180
4.902
0.000
5.981
2 790.00
222.90
56.762
39.548
27.372
276.648
2
Apr-05
320.481
320
9 876.883
738.207
24.423
0.000
0.642
2 790.00
177.37
48.927
21.418
24.141
293.832
3
Mei-05
319.839
319
9 554.607
725.095
54.250
0.000
0.429
2 790.00
167.77
38.651
26.120
16.839
292.513
4
Jun-05
319.410
319
10 058.335
238.146
49.615
0.000
0.373
2 790.00
136.83
44.026
34.326
30.708
396.115
5
Jul-05
319.037
316
9 661.240
139.529
26.681
0.000
2.709
2 790.00
135.30
65.032
45.326
42.522
446.050
6
Agust-05
316.328
316
9 801.593
53.161
18.683
0.000
0.378
2 790.00
109.57
80.561
51.100
51.080
508.600
7
Sep-05
315.950
316
10 698.575
18.291
7.158
0.000
0.442
2 790.00
112.93
44.808
41.715
14.724
415.967
8
Okt-05
315.508
315
11 239.659
3.295
1.501
0.000
0.242
2 790.00
226.80
29.020
33.207
8.904
202.089
9
Nop-05
315.266
315
8 467.275
0.032
2.236
0.000
0.323
2 790.00
209.90
36.610
19.901
8.202
116.264
10
Des-05
314.943
310
6 325.062
2.998
9.982
0.000
5.245
2 790.00
277.10
24.613
14.116
5.058
192.810
11
Jan-06
309.698
388
7 931.264
7.180
19.533
6.490
7.216
3 550.00
281.53
38.145
28.663
26.489
278.250
12
Feb-06
388.391
372
10 836.221
11.677
1.296
20.613
2.710
3 550.00
273.80
45.978
31.821
31.928
399.131
13
Mar-06
372.283
364
11 341.145
291.118
2.116
9.461
1.595
3 550.00
232.75
39.453
29.645
27.397
372.673
14
Apr-06
363.937
361
11 274.611
447.515
173.055
2.129
2.889
3 550.00
208.85
32.618
25.197
23.285
336.823
15
Mei-06
360.514
353
12 715.266
92.434
284.161
1.945
8.521
3 550.00
156.89
32.868
24.630
22.761
324.585
16
Jun-06
352.937
357
10 461.854
12.456
150.004
1.458
3.173
3 550.00
182.33
36.254
27.243
25.174
388.312
17
Jul-06
356.827
353
13 265.845
4.028
60.009
2.063
4.520
3 550.00
63.47
58.493
43.952
40.617
572.507
18
Agust-06
353.416
352
12 690.791
0.399
20.737
1.055
4.626
3 550.00
50.12
53.898
40.499
37.426
594.094
19
Sep-06
352.256
354
13 653.937
0.000
101.933
0.690
1.901
3 550.00
88.99
46.361
34.837
32.194
282.656
20
Okt-06
354.291
352
13 260.407
0.000
58.019
0.563
3.981
3 550.00
57.32
89.702
67.402
62.289
361.579
21
Nop-06
351.647
354
7 686.107
0.000
12.651
0.565
1.431
3 550.00
122.97
58.386
43.871
40.543
197.677
22
Des-06
353.634
346
2 472.961
0.000
0.191
7.898
0.686
3 550.00
257.37
32.343
24.303
22.460
166.776
23
Jan-07
346.480
524
13 624.146
0.000
0.000
79.212
0.000
3 550.00
286.57
25.313
16.842
25.382
199.262
24
Feb-07
523.636
417
16 736.411
0.000
0.000
107.000
0.000
3 550.00
245.35
35.435
20.438
30.398
289.523
25
Mar-07
416.636
303
16 404.988
0.000
0.000
113.929
0.000
3 550.00
235.24
46.071
25.409
42.359
307.544
26
Apr-07
302.707
302
15 600.063
71.965
250.968
0.000
0.710
4 000.00
253.80
38.955
24.496
37.319
215.485
Mei-07
301.997
302
14 743.045
129.502
558.844
0.000
0.258
4 000.00
178.90
30.819
18.906
29.281
186.199
Permentan
Permentan
Permentan
27
Sumber
BULOG
Lampiran 7. Lanjutan
BULOG
BULOG
BULOG
BULOG
BULOG
BULOG
BULOG
BMKG
Permentan
369
N0
Bulan
STGW (000 Ton)
STGF (000 Ton)
RTRA (000RT)
BGKB (000 Ton)
BBOB (000 Ton)
DOPM (000 Ton)
DBAT (000 Ton)
HPPB (Rp/Kg)
CHIT (mm/bln)
QPSP (Kg/Ha)
QPZA (Kg/Ha)
QPNP (Kg/Ha)
QPUT (Kg/Ha)
28
Jun-07
302.449
302
15 757.882
51.961
342.839
0.000
0.595
4 000.00
172.78
34.984
22.859
29.406
189.660
29
Jul-07
302.112
302
15 309.477
49.261
189.611
0.000
0.208
4 000.00
133.50
50.046
30.638
43.536
264.737
30
Agust-07
302.499
302
16 139.930
20.184
84.784
0.000
0.342
4 000.00
101.11
61.979
36.752
44.652
306.395
31
Sep-07
302.365
300
16 205.975
15.576
49.057
0.000
2.476
4 000.00
94.72
54.320
33.344
49.233
321.500
32
Okt-07
300.231
302
14 495.242
6.460
30.104
0.000
1.162
4 000.00
150.12
44.833
39.030
62.441
312.430
33
Nop-07
301.545
302
13 953.600
4.517
24.744
0.006
0.658
4 000.00
193.77
29.567
21.716
34.250
152.713
34
Des-07
302.043
222
1 794.588
1.447
12.231
77.731
2.497
4 000.00
341.05
20.518
13.343
20.644
91.738
35
Jan-08
222.479
482
12 101.045
0.000
0.000
22.652
1.990
4 000.00
235.67
31.111
20.128
23.179
250.362
36
Feb-08
482.260
463
18 813.327
0.115
2.315
0.484
0.400
4 000.00
260.92
56.198
33.460
62.029
432.292
37
Mar-08
462.556
440
17 949.425
47.008
323.201
0.000
0.580
4 000.00
270.81
46.797
26.857
38.740
286.207
38
Apr-08
439.708
438
18 479.716
117.181
565.217
0.000
1.739
4 000.00
207.77
28.346
16.013
30.730
153.102
39
Mei-08
437.533
437
16 955.211
88.961
477.130
0.000
0.555
4 300.00
117.39
26.604
22.083
42.474
187.440
40
Jun-08
437.227
438
18 721.804
34.472
225.301
0.000
0.097
4 300.00
136.18
43.893
28.339
54.504
230.505
41
Jul-08
437.658
437
18 310.520
24.050
230.322
0.000
0.242
4 300.00
137.33
69.041
44.576
75.015
306.398
42
Agust-08
437.499
437
18 673.494
12.297
183.264
0.000
0.273
4 300.00
141.93
66.481
44.149
94.345
309.084
43
Sep-08
437.468
436
19 246.517
33.043
219.632
0.000
1.510
4 300.00
137.78
56.426
44.930
93.422
333.884
44
Okt-08
435.913
437
19 092.964
16.303
178.528
0.000
0.618
4 300.00
191.67
43.008
29.155
66.755
238.582
45
Nop-08
436.805
437
20 715.559
6.724
201.745
0.001
0.854
4 300.00
293.60
22.001
14.362
33.390
119.553
46
Des-08
436.538
436
20 199.773
3.810
85.809
0.075
1.653
4 300.00
286.39
22.678
12.911
30.720
114.616
47
Jan-09
435.695
618
18 497.302
2.783
71.740
0.000
1.331
4 600.00
278.23
46.223
31.165
42.856
304.661
48
Feb-09
617.910
617
18 497.302
12.721
86.486
0.000
1.020
4 600.00
249.55
69.085
43.390
94.893
435.262
49
Mar-09
616.890
616
18 497.302
133.185
579.798
0.000
0.945
4 600.00
232.29
50.255
30.423
51.771
251.739
50
Apr-09
615.945
615
18 497.302
188.914
752.505
0.000
0.455
4 600.00
208.57
36.372
21.674
49.967
160.901
51
Mei-09
615.490
615
18 497.302
82.747
603.326
0.000
0.207
4 600.00
150.48
34.739
30.418
69.017
200.463
52
Jun-09
615.283
615
18 497.302
44.074
411.554
0.000
0.393
4 600.00
91.89
53.410
36.374
82.533
229.728
53
Jul-09
614.890
614
18 497.302
70.585
209.468
0.000
0.473
4 600.00
88.80
73.058
49.755
98.782
265.553
54
Agust-09
614.417
614
18 497.302
46.435
181.043
0.000
0.482
4 600.00
60.95
73.587
51.548
129.956
280.214
613.935
612
18 497.302
25.466
145.306
0.000
2.011
4 600.00
87.20
61.394
51.568
126.493
297.540
55 Sep-09 Lampiran 7. Lanjutan
370
N0 1
Mar-05
183.303
QMBT (000 Ton) 0.000
STBW (000 Ton) 1 291.216
STBF (000 Ton)
DBGA (000 Ton)
1 206.896
9.364
DBNG (000 Ton) 10.943
STOB (000 Ton)
HBRT (Rp/Kg)
203.610
3 438.21
INFT (%) 1.91
INFB (%) 0.0737
EXRT (Rp/US) 9 370.52
HJRT (Rp/Kg) 2 024.43
HIBT (US$/Kg) 0.266
2
Apr-05
171.604
0.000
1 206.896
1 514.032
10.326
4.240
186.170
3 384.25
0.34
‐0.0746
9 539.35
2 036.46
0.268
3
Mei-05
165.063
0.000
1 514.032
1 827.388
8.309
8.861
182.230
3 357.02
0.21
‐0.0487
9 479.80
1 970.89
0.264
4
Jun-05
172.216
0.000
1 827.388
1 867.018
7.643
9.140
188.990
3 327.05
0.50
0.0198
9 616.45
1 674.51
0.256
5
166.684
0.000
1 867.018
1 804.777
8.750
13.243
188.680
3 342.50
0.78
0.0601
9 799.29
1 817.88
0.246
6
Jul-05 Agust05
168.556
0.000
1 804.777
1 686.227
8.073
8.814
185.440
3 375.17
0.55
0.0601
9 986.18
1 942.88
0.253
7
Sep-05
186.400
0.000
1 686.227
1 478.498
9.476
13.093
208.970
3 460.05
0.69
0.1450
10 232.57
1 869.00
0.257
8
Okt-05
196.326
0.000
1 478.498
1 211.766
9.929
7.150
213.410
3 672.01
8.70
0.2830
10 093.38
1 933.88
0.258
9
Nop-05
147.957
22.800
1 211.766
1 118.394
7.247
5.408
160.610
3 779.59
1.31
0.0908
10 040.71
1 933.88
0.250
10
Des-05
109.899
46.000
1 118.394
1 092.588
10.250
7.997
128.150
3 831.33
‐0.04
0.0939
9 857.32
1 933.88
0.249
11
Jan-06
102.159
83.100
1 092.588
943.230
8.546
13.705
124.410
4 121.51
1.36
0.3971
9 493.00
1 679.91
0.258
12
Feb-06
137.419
0.000
943.230
935.827
7.405
23.323
168.150
4 435.58
0.58
0.3917
9 253.15
1 783.26
0.266
13
Mar-06
141.072
0.000
935.827
945.942
8.406
11.056
160.540
4 379.97
0.03
‐0.1301
9 171.57
1 733.43
0.264
14
Apr-06
143.712
0.000
945.942
1 245.483
7.846
5.018
156.580
4 319.54
0.05
‐0.1258
8 936.94
1 692.85
0.268
15
Mei-06
159.152
0.000
1 245.483
1 408.965
8.882
10.466
178.500
4 388.10
0.37
0.0608
8 984.86
1 763.43
0.275
16
Jun-06
156.344
0.000
1 408.965
1 363.028
19.933
4.631
178.910
4 478.76
0.45
0.0722
9 362.73
1 789.99
0.273
17
164.374
0.000
1 363.028
1 261.898
14.083
6.584
185.040
4 475.80
0.45
0.0513
9 124.52
1 850.23
0.275
18
Jul-06 Agust06
159.744
0.000
1 261.898
1 109.860
10.737
5.681
176.160
4 532.52
0.33
0.1235
9 094.25
1 850.23
0.274
19
Sep-06
173.636
0.000
1 109.860
1 013.789
7.595
2.591
183.820
4 524.08
0.38
‐0.0384
9 143.33
1 849.52
0.274
20
Okt-06
173.727
65.500
1 013.798
958.150
10.577
4.545
188.850
4 521.12
0.86
‐0.0290
9 187.18
1 850.23
0.269
21
Nop-06
95.418
117.650
958.150
988.614
9.631
1.995
107.050
4 551.21
0.34
0.0676
9 134.59
2 184.22
0.267
22
Des-06
17.341
25.622
988.614
957.658
8.531
8.584
34.460
4 823.96
1.21
0.4993
9 086.80
2 439.63
0.272
23
Jan-07
141.095
957.658
737.180
9.878
81.019
231.990
5 011.99
1.04
0.3971
9 066.50
1 679.91
0.279
24
Feb-07
170.858
5.800 1 132.600
737.180
525.957
9.718
108.308
288.880
5 344.99
0.62
0.5224
9 067.80
1 783.26
0.287
25
Mar-07
166.298
200.987
525.957
398.394
8.873
115.349
290.520
5 351.04
0.24
‐0.3520
9 163.95
2 914.65
0.293
26
Apr-07
157.803
185.235
398.394
644.398
13.902
1.143
172.850
5 232.24
‐0.16
‐0.3660
9 097.55
2 634.29
0.291
Mei-07
148.412
132.498
644.398
1 226.820
11.191
1.329
160.930
5 110.22
0.10
‐0.1354
8 844.33
2 632.72
0.291
27
Bulan
RAST (000 Ton)
Sumber
BULOG
BULOG
BULOG
BULOG
BULOG
BULOG
BULOG
BULOG
BPS
BULOG
BULOG
DEPTAN
BULOG
371 Lampiran 7.Lanjutan
N0
Bulan
RAST (000 Ton)
QMBT (000 Ton)
STBW (000 Ton)
STBF (000 Ton)
DBGA (000 Ton)
DBNG (000 Ton)
STOB (000 Ton)
HBRT (Rp/Kg)
INFT (%)
INFB (%)
EXRT (Rp/US)
HJRT (Rp/Kg)
HIBT (US$/Kg)
28
Jun-07
157.810
64.989
1 226.820
1 529.313
9.986
2.422
170.220
5 054.62
0.23
‐0.0044
8 983.65
1 789.99
0.293
29
Jul-07
153.545
76.600
1 529.313
1 675.990
10.265
1.016
164.830
5 093.60
0.72
‐0.0052
9 067.14
1 850.23
0.298
30
Agust-07
163.484
125.450
1 675.990
1 701.065
10.485
1.068
174.970
5 117.18
0.80
0.0275
9 366.68
1 850.23
0.301
31
Sep-07
164.918
86.250
1 701.065
1 651.461
11.485
0.804
177.210
5 099.24
0.80
0.0092
9 309.90
1 849.52
0.301
32
Okt-07
146.358
136.764
1 651.461
1 676.758
22.258
0.793
169.410
5 075.47
0.79
0.0017
9 107.06
1 850.23
0.323
33
Nop-07
144.341
104.906
1 676.758
1 641.895
10.295
0.810
155.450
5 126.39
0.18
0.0164
9 264.27
2 120.36
0.333
34
Des-07
16.884
41.900
1 641.895
1 572.933
11.866
1.852
30.060
5 275.86
1.10
0.1774
9 333.60
2 439.63
0.353
35
Jan-08
104.693
0.000
1 572.933
1 408.387
10.037
44.886
159.620
5 491.00
1.77
0.2710
9 406.35
2 597.75
0.357
36
Feb-08
276.048
0.000
1 408.387
1 087.718
10.665
24.286
311.000
5 456.88
0.65
‐0.0324
9 181.15
2 718.91
0.370
37
Mar-08
264.665
0.000
1 087.718
1 161.085
9.695
1.916
276.280
5 329.99
0.95
‐0.1664
9 184.94
2 657.40
0.410
38
Apr-08
274.001
0.000
1 161.085
1 568.650
12.195
4.238
290.430
5 225.12
0.57
‐0.0880
9 208.64
2 643.48
0.440
39
Mei-08
228.378
0.000
1 568.650
1 827.304
9.349
0.627
238.350
5 331.64
1.41
0.1293
9 290.80
2 757.58
0.510
40
Jun-08
296.218
0.000
1 827.304
1 817.175
8.917
0.682
305.820
5 517.43
2.46
0.0968
9 295.71
3 040.94
0.560
41
Jul-08
252.232
0.000
1 817.175
1 711.852
10.614
3.012
265.860
5 513.18
1.37
‐0.0015
9 163.45
3 293.54
0.695
42
Agust-08
275.081
0.000
1 711.852
1 596.772
10.078
1.003
286.160
5 538.76
0.51
‐0.0009
9 149.25
3 534.48
0.658
43
Sep-08
322.684
0.000
1 596.772
1 537.668
10.305
1.515
334.500
5 561.54
0.97
0.0233
9 340.65
3 474.38
0.682
44
Okt-08
294.103
0.000
1 537.688
1 382.073
9.407
1.296
304.810
5 588.77
0.45
0.0038
10 048.35
3 372.99
0.578
45
Nop-08
354.979
0.000
1 382.073
1 148.697
8.501
1.650
365.130
5 599.65
0.12
0.0006
11 711.15
3 277.86
0.430
46
Des-08
293.562
0.000
1 148.697
1 079.843
3.472
0.187
197.220
5 660.36
‐0.04
0.0467
11 324.84
3 243.80
0.425
47
Jan-09
8.494
0.000
1 079.843
1 133.500
9.048
2.308
19.850
5 799.90
‐0.07
0.0607
11 167.21
3 125.56
0.456
48
Feb-09
119.879
0.000
1 133.500
1 096.539
9.843
1.804
131.530
5 938.03
0.21
0.0854
11 852.75
2 949.44
0.478
49
Mar-09
346.494
0.000
1 096.539
1 678.167
8.183
1.745
356.420
5 948.06
0.22
‐0.0222
11 849.55
2 767.22
0.464
50
Apr-09
336.754
0.000
1 678.167
2 201.485
10.844
1.549
349.150
6 060.47
‐0.31
‐0.0442
11 025.10
2 883.52
0.440
51
Mei-09
363.192
0.000
2 201.485
2 484.000
9.039
1.125
373.360
6 014.32
0.04
‐0.0002
10 392.65
3 043.70
0.433
52
Jun-09
333.872
0.000
2 484.000
2 578.915
9.413
1.342
344.630
5 997.70
0.11
0.0010
10 206.64
3 128.13
0.463
53
Jul-09
289.642
0.000
2 578.915
2 531.556
10.599
1.407
301.650
6 009.66
0.45
0.0010
10 111.33
3 036.11
0.469
54
Agust-09
323.192
0.000
2 531.556
2 408.467
9.018
1.408
333.620
6 019.03
0.56
0.0147
9 977.60
2 979.63
0.434
55
Sep-09
262.329
0.000
2 408.467
2 296.047
8.515
3.054
273.900
6 014.10
1.05
0.0291
9 900.72
3 076.00
0.425
372 Lampiran 7. Lanjutan
N0
QPGB (000 Ton)
HPZA (Rp/Kg)
HPNP (Rp/Kg)
QBBT (000 Ton)
HPBB (Rp/Kg)
HPGB (Rp/Kg)
Bulan
INCT (Rp /Kapita)
QBBT (000 Ton)
SBIT (%)
QDBT (000 Ton)
1
Mar-05
326.462
1 947.642
3 379.167
116.776
2 790
3 494
632 330.5
116.78
7.44
2 020.87
2
Apr-05
320.481
1 940.768
3 379.167
493.183
2 790
3 494
670 475.6
493.18
7.95
1 617.93
3
Mei-05
319.839
1 931.896
3 388.461
514.685
2 790
3 494
670 475.6
514.69
8.25
2 023.96
4
Jun-05
319.410
1 940.703
3 654.167
200.838
2 790
3 494
670 475.6
200.84
8.49
1 620.40
5
Jul-05
319.037
1 947.909
3 737.500
115.282
2 790
3 494
713 000.1
115.28
8.50
2 027.05
6
Agust-05
316.328
1 887.512
3 585.000
52.441
2 790
3 494
713 000.1
52.44
9.51
2 028.60
7
Sep-05
315.950
1 880.553
3 361.111
18.774
2 790
3 494
713 000.1
18.77
10.00
1 624.12
8
Okt-05
315.508
1 785.416
3 681.250
3.595
2 790
3 494
758 474.9
3.59
11.00
2 031.70
9
Nop-05
315.266
1 761.563
3 707.143
2.257
2 790
3 494
758 474.9
2.26
12.25
1 626.60
10
Des-05
314.943
1 812.082
3 707.143
11.887
2 790
3 494
758 474.9
11.89
12.75
2 034.81
11
Jan-06
402.096
1 885.123
3 718.834
24.092
2 790
4 275
782 752.9
24.09
12.75
2 023.33
12
Feb-06
388.391
1 877.239
3 782.143
8.711
2 790
4 275
782 752.9
8.71
12.74
1 620.10
13
Mar-06
372.283
1 863.710
3 726.923
186.976
3 550
4 275
782 752.9
186.98
12.73
2 026.92
14
Apr-06
363.937
1 876.822
3 753.572
457.227
3 550
4 275
812 741.1
457.23
12.74
1 622.98
15
Mei-06
360.514
1 878.492
3 937.500
342.857
3 550
4 275
812 741.1
342.86
12.50
2 030.52
16
Jun-06
352.937
1 880.858
3 892.308
157.914
3 550
4 275
812 741.1
157.91
12.50
1 625.86
17
Jul-06
356.827
1 884.684
3 935.714
62.567
3 550
4 275
870 319.8
62.57
12.25
2 034.12
18
Agust-06
353.416
1 882.702
3 986.667
20.990
3 550
4 275
870 319.8
20.99
11.75
2 035.93
19
Sep-06
352.256
1 867.280
4 050.000
101.933
3 550
4 275
870 319.8
101.93
11.25
1 630.19
20
Okt-06
354.291
1 883.565
3 805.556
58.019
3 550
4 275
873 403.0
58.02
10.75
2 039.54
21
Nop-06
351.647
1 897.930
3 819.629
12.651
3 550
4 275
873 403.0
12.65
10.25
1 633.08
22
Des-06
353.634
1 857.039
3 950.648
0.191
3 550
4 275
873 403.0
0.19
9.75
2 043.16
23
Jan-07
602.162
1 888.331
3 900.991
0.000
3 550
4 620
920 203.1
0.00
9.50
1 935.57
24
Feb-07
523.636
1 918.836
4 001.964
0.000
3 550
4 620
920 203.1
0.00
9.25
1 550.46
25
Mar-07
416.636
1 883.633
3 863.043
0.000
3 550
4 620
920 203.1
0.00
9.00
1 940.58
26
Apr-07
302.707
1 879.984
3 767.500
296.666
4 000
4 620
963 862.5
296.67
9.00
1 554.48
27
Mei-07
301.997
1 891.527
3 673.684
641.078
4 000
4 620
963 862.5
641.08
BULOG
BULOG
8.75 BPS
1 945.61 BPS
Sumber
BULOG
BPS
BPS
BULOG
BPS
BULOG
373 Lampiran 7. Lanjutan
N0
QPGB (000 Ton)
HPZA (Rp/Kg)
HPNP (Rp/Kg)
QBBT (000 Ton)
HPBB (Rp/Kg)
HPGB (Rp/Kg)
Bulan
INC (Rp /Kapita)
QBBT (000 Ton)
SBIT (%)
QDBT (000 Ton)
28
Jun-07
302.449
1 967.241
3 797.368
375.834
4 000
4 620
963 862.5
375.83
8.50
1 558.50
29
Jul-07
302.112
1 977.223
3 920.588
220.892
4 000
4 620
1 031 408.7
220.89
8.25
1 950.65
30
Agust-07
302.499
1 967.163
3 670.588
97.601
4 000
4 620
1 031 408.7
97.60
8.25
1 953.17
31
Sep-07
302.365
1 951.190
3 633.333
58.948
4 000
4 620
1 031 408.7
58.95
8.25
1 564.56
32
Okt-07
300.231
1 957.575
3 661.905
34.206
4 000
4 620
1 035 418.9
34.21
8.25
1 958.23
33
Nop-07
301.545
1 980.046
3 778.261
27.612
4 000
4 620
1 035 418.9
27.61
8.25
1 568.61
34
Des-07
302.043
1 984.447
3 800.000
13.150
4 000
4 620
1 035 418.9
13.15
8.00
1 963.30
35
Jan-08
426.674
1 564.658
3 802.237
0.000
4 000
4 900
1 110 854.3
0.00
8.00
2 029.55
36
Feb-08
482.260
1 565.579
3 802.237
2.388
4 000
4 900
1 110 854.3
2.39
7.93
1 625.37
37
Mar-08
462.556
1 558.811
4 309.202
353.051
4 000
4 900
1 110 854.3
353.05
7.96
2 033.87
38
Apr-08
439.708
1 563.834
4 119.091
639.627
4 000
4 900
1 221 367.5
639.63
7.99
1 628.83
39
Mei-08
437.533
1 577.013
3 928.979
533.620
4 000
5 000
1 221 367.5
533.62
8.31
2 038.20
40
Jun-08
437.227
1 640.892
4 245.832
247.190
4 300
5 200
1 221 367.5
247.19
8.73
1 634.03
41
Jul-08
437.658
1 653.782
4 435.944
245.593
4 300
5 200
1 328 071.4
245.59
9.23
2 042.54
42
Agust-08
437.499
1 664.168
4 435.944
191.073
4 300
5 200
1 328 071.4
191.07
9.28
2 044.72
43
Sep-08
437.468
1 673.923
4 119.091
240.614
4 300
5 200
1 328 071.4
240.61
9.71
1 637.51
44
Okt-08
435.913
1 689.584
4 119.091
188.881
4 300
5 200
1 291 063.5
188.88
10.98
2 049.07
45
Nop-08
436.805
1 697.727
4 372.573
206.015
4 300
5 200
1 291 063.5
206.01
11.24
1 641.00
46
Des-08
436.538
1 730.996
4 182.461
88.229
4 300
5 200
1 291 063.5
88.23
10.83
2 053.43
47
Jan-09
617.513
1 889.976
3 168.531
73.507
4 600
5 500
1 317 119.6
73.51
9.77
2 073.71
48
Feb-09
617.910
1 863.230
3 168.531
94.564
4 600
5 500
1 317 119.6
94.56
8.74
1 660.69
49
Mar-09
616.890
1 851.461
3 168.531
664.370
4 600
5 500
1 317 119.6
664.37
8.21
2 078.02
50
Apr-09
615.945
1 856.109
3 168.531
872.465
4 600
5 500
1 385 705.0
872.47
7.64
1 664.14
51
Mei-09
615.490
1 828.749
3 168.531
655.870
4 600
5 500
1 385 705.0
655.87
7.25
2 082.34
52
Jun-09
615.283
1 875.939
3 168.531
439.541
4 600
5 500
1 385 705.0
439.54
6.95
1 667.60
53
Jul-09
614.890
1 887.715
3 168.531
254.289
4 600
5 500
1 459 802.3
254.29
6.71
2 086.66
54
Agust-09
614.417
1 861.524
3 168.531
210.529
4 600
5 500
1 459 802.3
210.53
6.58
2 088.83
55
Sep-09
613.935
1 838.176
3 168.531
161.477
4 600
5 500
1 459 802.3
161.48
6.48
1 672.80
374 Lampiran 7. Lanjutan HPGG (Rp/Kg) N0
LTPT (000 Ha)
RRHH (Hari/Bln)
Bulan
POPT (Juta Orang)
KBBT (Kg/Bln)
JPMT (Juta Orang)
T
STOB (000 Ton)
D
QPBB (000 Ton)
PBPT (000 Ton)
IHK
1
Mar-05
1 740
2 123
16.4
218.35
9.255
35.851
1
0
203.610
1 411
0
77.75
2
Apr-05
1 740
1 860
17.2
218.52
7.404
35.768
2
0
186.170
1 700
0
78.01
3
Mei-05
1 740
978
13.7
218.69
9.255
35.685
3
0
182.234
2 010
0
78.17
4
Jun-05
1 740
834
13.4
218.85
7.404
35.603
4
0
188.999
2 056
0
78.56
5
Jul-05
1 740
975
12.0
219.02
9.255
35.521
5
0
188.677
1 993
0
79.17
6
Agust-05
1 740
1 175
8.9
219.19
9.255
35.439
6
0
185.442
1 872
0
79.61
7
Sep-05
1 740
953
9.7
219.36
7.404
35.357
7
0
298.969
1 687
0
80.16
8
Okt-05
1 740
633
17.4
219.52
9.255
35.275
8
0
213.406
1 425
0
87.13
9
Nop-05
1 740
401
16.8
219.69
7.404
35.194
9
0
160.612
1 279
0
88.27
10
Des-05
1 740
381
21.3
219.86
9.255
35.113
10
0
128.146
1 221
0
88.23
11
Jan-06
2 250
503
30.7
220.05
9.195
35.450
11
1
124.410
1 068
92
89.43
12
Feb-06
2 250
1 345
26.4
220.24
7.356
35.803
12
1
168.148
1 104
0
89.95
13
Mar-06
2 250
2 242
25.6
220.44
9.195
36.161
13
1
160.535
1 106
0
89.98
14
Apr-06
2 250
1 609
22.7
220.63
7.356
36.521
14
1
156.577
1 402
0
90.02
15
Mei-06
2 250
912
20.8
220.83
9.195
36.885
15
1
178.499
1 587
0
90.35
16
Jun-06
2 250
877
17.9
221.02
7.356
37.253
16
1
178.909
1 542
0
90.76
17
Jul-06
2 250
1 059
8.3
221.22
9.195
37.625
17
1
185.041
1 447
0
91.97
18
Agust-06
2 250
1 093
8.2
221.42
9.195
38.000
18
1
176.162
1 286
0
92.97
19
Sep-06
2 250
896
11.3
221.61
7.356
38.379
19
1
183.822
1 198
0
93.32
20
Okt-06
2 250
534
8.7
221.81
9.195
38.761
20
1
188.849
1 147
0
94.12
21
Nop-06
2 250
366
17.8
222.01
7.356
39.148
21
1
197.045
1 096
0
94.44
22
Des-06
2 250
350
25.0
222.2
9.195
39.538
22
1
34.456
992
0
95.58
23
Jan-07
2 250
366
20.2
222.48
8.700
39.123
23
1
231.992
969
256
96.57
24
Feb-07
2 250
694
18.3
222.77
6.960
38.946
24
1
288.884
815
0
97.17
25
Mar-07
2 250
1 605
18.7
223.06
8.700
38.770
25
1
290.519
689
0
97.40
26
Apr-07
2 575
2 229
17.8
223.34
6.960
38.595
26
0
172.848
817
0
97.24
27
Mei-07
2 575
1 385
15.1
223.63
8.700
38.420
27
0
160.932
1 388
0
97.34
Sumber
INPRES
BULOG
BMKG
BPS
BPS
BPS
BULOG
BULOG
BULOG
BPS
375 Lampiran 7. Lanjutan
N0
HPGG (Rp/Kg)
POPT (Juta Orang)
JPMT (Juta Orang)
STOB (000 Ton)
QPBB (000 Ton)
LTPT (000 Ha)
RRHH(Hari/Bln)
948
15. 4
223.92
6.960
38.247
28
0
170.218
1 700
0
9756
Bulan
KBBT (Kg/Bln)
T
D
PBPT (000 Ton)
IHK
28
Jun-07
2 575
29
Jul-07
2 575
964
12.1
224.21
8.700
38.074
29
0
164.826
1 841
0
98.27
30
Agust-07
2 575
1 316
11.0
224.50
8.700
37.902
30
0
174.974
1 876
0
99.00
31
Sep-07
2 575
1 122
9.3
224.79
6.960
37.731
31
0
177.207
1 829
0
99.80
32
Okt-07
2 575
654
12.2
225.08
8.700
37.561
32
0
169.409
1 846
0
100.58
33
Nop-07
2 575
477
17.1
225.38
6.960
37.391
33
1
155.446
1 797
0
100.77
34
Des-07
2 575
388
25.3
225.67
8.700
37.222
34
1
39.602
1 603
0
101.87
35
Jan-08
2 575
1 483
18.7
225.88
8.985
36.974
35
1
159.616
1 568
204
103.68
36
Feb-08
2 575
739
17.6
226.12
7.188
36.779
36
1
310.999
1 399
0
104.35
37
Mar-08
2 575
887
21.1
226.36
8.985
36.586
37
0
276.276
1 437
0
105.34
38
Apr-08
2 800
1 302
17.8
226.60
7.188
36.393
38
0
290.434
1 859
0
105.94
39
Mei-08
2 800
1 214
11.7
226.85
8.985
36.201
39
0
238.354
2 066
0
107.44
40
Jun-08
2 800
841
12.4
227.33
7.188
36.011
40
0
305.817
2 123
0
110.08
41
Jul-08
2 800
535
12.7
227.33
8.985
35.821
41
0
265.858
1 978
0
111.59
42
Agust-08
2 800
486
13.3
227.57
8.985
35.632
42
0
286.161
1 883
0
112.16
43
Sep-08
2 800
491
12.3
227.81
7.188
35.444
43
0
334.504
1 872
0
113.25
44
Okt-08
2 800
858
16.9
228.05
8.985
35.258
44
0
304.806
1 687
0
113.76
45
Nop-08
2 800
1 887
21.0
228.30
7.188
35.072
45
1
365.130
1 514
0
113.90
46
Des-08
2 800
2 238
20.4
228.54
8.985
34.887
46
1
297.221
1 277
0
113.86
47
Jan-09
3 000
1 248
21.9
228.76
9.065
34.758
47
0
19.850
1 153
182
113.78
48
Feb-09
3 000
751
19.0
229.00
7.252
34.556
48
0
131.525
1 228
0
114.02
49
Mar-09
3 000
1 033
20.4
229.24
9.065
34.356
49
0
356.422
2 035
0
114.27
50
Apr-09
3 000
1 268
18.9
229.47
7.252
34.157
50
0
349.147
2 551
0
113.92
51
Mei-09
3 000
1 162
15.4
229.71
9.065
33.959
51
0
373.356
2 857
0
113.97
52
Jun-09
3 000
864
14.8
229.95
7.252
33.762
52
0
344.626
2 924
0
114.10
53
Jul-09
3 000
632
11.3
230.19
9.065
33.567
53
0
301.648
2 833
0
114.61
54
Agust-09
3 000
549
10.4
230.43
9.065
33.372
54
0
333.618
2 742
0
115.25
55
Sep-09
3 000
564
10.6
230.67
7.252
33.179
55
0
273.898
2 570
0
116.46
376
376 Lampiran 8. Data Kontak Tani Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009
No R
Nama Kontak tani
Umur (Thn)
Pengalaman Bertani (Thn)
Pendidikan Formal (Thn)
Lahan Sawah (Ha)
Lahan Darat (Ha)
Lahan Disewa (ha)
Jlh Tgn Keluarga (org)
Lahan Sawah Diusahai (Ha)
Desa
Kelompok Tani
1
Sabran
39
20
SD
0.16
0.20
0.08
5
0.24
Pematang Ganjang Dsn III
2
Muliono
40
15
SMA
0.40
0.20
0.00
4
0.40
Sei Rejo
Sri rahayu Prona
29
SMA
0.44
0.40
0.00
6
0.44
Sei Rampah
Benteng Sri Murni
Suprapto
49
4
Supianto
43
18
SMA
0.50
0.00
0.00
5
0.50
Sei Rejo
5
Sujono
44
17
SMP
0.32
0.08
0.28
5
0.60
Silau Rakyat
Karya Baru
6
Motsan
57
25
SD
0.12
0.10
0.60
2
0.72
Pematang Ganjang Dsn I
Seroja
7
Suparman
48
15
SMA
0.80
0.10
0.00
7
0.80
Sei Rejo
Paret Mesin
8
Chairul Anwar
26
10
SMA
0.80
0.00
0.00
3
0.80
Pematang Ganjang
Melati
3
9
Misran
44
10
SMP
0.80
0.04
0.00
6
0.80
Silau Rakyat
Maju Bersama
10
Suwardi
48
28
SD
0.40
1.00
0.40
2
0.80
Pematang Pelintahan Dsn VI
Mekar Jaya
11
Sutrisno
49
20
SD
0.52
0.04
0.40
3
0.92
Pematang Ganjang Dsn II
Sederhana
12
Julianto
37
5
SMA
0.00
0.08
0.92
5
0.92
Pematang Ganjang
Melur
13
M.Simbolon
60
35
SMA
0.60
0.24
0.32
1
0.92
Sungai Parit
Tapianauli
14
Mulkan Saragih
26
12
SD
0.40
0.50
0.00
1
0.40
Penjemuran
Mekar tani
15
Hotman Hasibuan
63
43
SD
0.88
0.16
0.08
3
0.96
Pematang Pelintahan
Tirta Sari
16
Sagiman
55
21
SD
1.00
0.20
0.00
3
1.00
Silau Rakyat
Mekar tani
17
Mhd Yani
34
13
SMA
0.60
0.00
0.40
3
1.00
Pematang Ganjang
Kamboja
18
Wagiran
41
15
SMA
0.72
0.60
0.32
3
1.04
Pematang Ganjang Dsn III
Sedap Malam
19
Ponomin
55
40
SD
1.00
0.08
0.12
4
1.12
Sei Rampah
Ibus
20
Sahrul
39
15
SMA
0.90
0.10
0.30
4
1.20
Sei Rejo
Sri Rezeki
21
Jasa Sinaga
61
25
SMP
0.60
0.00
0.60
4
1.20
Pematang Pelintahan Dsn I
Rahayu
22
Mahadi
52
25
SMP
0.40
0.08
0.80
5
1.20
Pematang Ganjang Dsn V
Sri Kencana
23
M.Pangaribuan
52
20
SMA
0.50
0.08
1.00
8
1.50
Pematang Ganjang Dsn VII
Mawar
24
Subandi
45
25
SD
1.30
0.12
0.50
6
1.80
Sei Rejo
Ibusan
25
Mangun
31
10
SMA
0.70
0.10
1.20
4
1.90
Sei Rejo
Paret Duabelas
26
Bangri
49
30
SMP
1.60
0.00
0.30
5
1.90
Sei Rejo
Sri Makmur
27
Z.Sinaga
34
14
STM
2.00
0.40
0.00
4
2.00
Sungai Parit
Blok IV
28
Sutrisno
51
20
SD
2.00
0.00
0.00
5
2.00
Sei Rejo
Sri Harapan
29
Z.Nainggolan
43
25
SMP
2.00
2.00
0.28
10
2.28
Sungai Parit
Huta Tinggi II
30
Asmin
50
22
SD
3.00
0.16
0.00
5
3.00
Pematang Pelintahan
Serasi
377 Lampiran 8. Lanjutan
No R
Harga Pupuk Urea MK 2009 (Rp/Kg)
Harga Pupuk Urea MH 2008 (Rp/ Kg)
Harga Pupuk SP36 MK 2008 (Rp/ Kg)
Harga Pupuk SP-36 MK 2009 (Rp/Kg)
Harga Pupuk SP-36 MH 2008 (Rp/Kg)
Harga Pupuk ZA MK 2008 (Rp/Kg)
Harga Pupuk ZA MK 2009 (Rp/Kg)
Harga Pupuk ZA MH 2008 (Rp/Kg)
Harga Pupuk Ponska/NPK MK 2008 (Rp/Kg)
Harga Pupuk Ponska/NPK MK 2009 (Rp/Kg)
Harga Pupuk Ponska/NPK MH 2008 (Rp/Kg)
1
Sabran
1 500
1 500
1 500
1 600
1 600
1 600
1 400
1 400
1 400
1 900
2 600
1 900
2
Muliono
1 500
1 500
1 500
1 800
1 800
1 800
1 500
1 500
1 500
1 800
1 800
1 800
3
Suprapto
1 500
1 500
1 500
1 800
1 900
1 800
1 400
1 500
1 400
1 700
1 800
1 700
4
Supianto
1 500
1 500
1 500
1 800
1 800
1 800
1 500
1 500
1 500
1 800
1 800
1 800
5
Sujono
1 400
1 400
1 400
1 600
1 600
1 600
1 400
1 400
1 400
1 900
2 000
1 900
6
Motsan
1 500
1 500
1 500
1 600
1 600
1 600
1 400
1 400
1 400
1 900
2 000
1 900
7
Suparman
1 500
1 500
1 500
1 800
1 800
1 800
1 500
1 500
1 500
1 800
1 800
1 800
8
Chairul Anwar
1 500
1 500
1 500
1 600
1 600
1 600
1 400
1 400
1 400
1 900
2 000
1 900
9
Nama Kontak tani
Harga Pupuk Urea MK 2008 (Rp/ Kg)
Misran
1 500
1 500
1 500
1 600
1 600
1 600
1 400
1 400
1 400
2 200
2 200
2 200
10
Suwardi
1 500
1 500
1 500
1 600
1 600
1 600
1 400
1 400
1 400
1 900
2 000
1 900
11
Sutrisno
1 500
1 500
1 500
1 800
1 800
1 800
1 200
1 200
1 200
2 000
2 010
2 000
12
Julianto
1 500
1 500
1 500
1 600
1 600
1 600
1 400
1 400
1 400
1 900
2 000
1 900
13
M.Simbolon
1 600
1 600
1 600
1 600
1 600
1 600
1 700
1 700
1 700
2 500
2 500
2 500
14
Mulkan Saragih
1 400
1 500
1 400
1 600
1 600
1 600
1 400
1 400
1 400
2 200
2 200
2 200
15
Hotman Hasibuan
1 400
1 400
1 400
1 800
1 800
1 800
1 200
1 200
1 200
1 900
1 900
1 900
16
Sagiman
1 400
1 400
1 400
1 600
1 600
1 600
1 400
1 400
1 400
1 900
2 000
1 900
17
Mhd Yani
1 500
1 500
1 500
1 600
1 600
1 600
1 400
1 400
1 400
1 900
2 000
1 900
18
Wagiran
1 500
1 500
1 500
1 600
1 600
1 600
1 400
1 400
1 400
1 900
2 000
1 900
19
Ponomin
1 500
1 560
1 500
1 800
1 860
1 800
1 400
1 460
1 400
2 000
2 060
2 000
20
Sahrul
1 500
1 500
1 500
1 600
1 600
1 600
1 500
1 500
1 500
1 800
1 800
1 800
21
Jasa Sinaga
1 500
1 500
1 500
1 600
1 600
1 600
1 400
1 400
1 400
1 900
2 000
1 900
22
Mahadi
1 500
1 500
1 500
1 600
1 700
1 600
1 400
1 400
1 400
1 900
2 000
1 900
23
M.Pangaribuan
1 500
1 500
1 500
1 600
1 600
1 600
1 400
1 400
1 400
1 900
1 900
1 900
24
Subandi
1 500
1 560
1 500
1 800
1 860
1 800
1 400
1 460
1 400
2 000
2 060
2 000
25
Mangun
1 400
1 500
1 400
1 700
1 700
1 700
1 360
1 400
1 360
1 900
1 900
1 900
26
Bangri
1 500
1 460
1 500
1 700
1 700
1 700
1 360
1 400
1 360
1 900
1 900
1 900
27
Z.Sinaga
1 500
1 500
1 500
1 600
1 600
1 600
1 400
1 400
1 400
1 900
2 000
1 900
28
Sutrisno
1 500
1 500
1 500
1 600
1 800
1 600
1 200
1 200
1 200
2 000
2 100
2 000
29
Z.Nainggolan
1 500
1 500
1 500
1 600
1 600
1 600
1 500
1 500
1 500
2 200
2 200
2 200
30
Asmin
1 500
1 500
1 500
1 600
1 600
1 600
1 400
1 400
1 400
1 900
2 000
1 900
378 Lampiran 8. Lanjutan
No R
Harga Pupuk Organik MK 2008 (Rp/Kg)
Harga Pupuk Organik MK 2009 (Rp/Kg)
Harga Pupuk Organik MH 2008 (RP/Kg)
Frekwensi Pemupukan MK 2008
Frekwensi Pemupukan MK 2009
Frekwensi Pemupukan MH 2008
Harga Jual Gabah MK 2008 (Rp/Kg)
Harga Jual Gabah MH 2008 (RP/Kg)
Produksi Padi MK 2008 (Kg)
Produksi Padi MH 2008 (Kg)
Penerimaan Kotor/Bln MK 2008 (Rp)
Penerimaan Kotor/Bln MH 2008 (Rp)
1
Sabran
1 250
1 250
1 250
3
3
3
2 400
2 500
1 225
980
2 940 000
2 450 000
2
Muliono
1 000
1 000
1 000
3
2
3
2 700
2 750
2 310
2 100
6 237 000
5 775 000
3
Suprapto
1 000
1 000
1 000
2
2
1
2 000
2 400
1 750
1 400
3 500 000
3 360 000
4
Supianto
1 000
1 000
1 000
2
3
2
2 400
2 500
2 100
2 100
5 040 000
5 250 000
5
Sujono
1 250
1 250
1 250
3
3
3
2 650
2 700
2 450
1 750
6 492 500
4 725 000
6
Motsan
1 250
1 250
1 250
3
3
3
2 450
2 600
3 780
3 150
9 261 000
8 190 000
7
Suparman
1 000
1 000
1 000
2
3
2
2 375
2 550
1 750
1 680
4 156 250
4 284 000
8
Chairul Anwar
1 250
1 250
1 250
3
3
3
2 500
2 650
4 200
4 200
10 500 000
11 130 000 14 274 900
9
Nama Kontak tani
Misran
1 000
1 000
1 000
3
3
3
2 625
2 700
6 240
5 287
16 380 000
10
Suwardi
1 250
1 250
1 250
2
2
2
2 500
2 500
2 450
1 750
6 125 000
4 375 000
11
Sutrisno
1 000
1 000
1 000
2
2
2
2 650
2 850
4 830
4 830
12 799 500
13 765 500
12
Julianto
1 000
1 000
1 000
2
2
2
2 300
2 650
4 830
3 220
11 109 000
8 533 000
13
M.Simbolon
1 000
1 000
1 000
2
2
2
2 300
2 600
4 830
3 220
11 109 000
8 372 000
14
Mulkan Saragih
1 000
1 000
1 000
3
3
3
2 500
2 650
2 450
2 240
6 125 000
5 936 000
15
Hotman Hasibuan
1 000
1 000
1 000
2
2
2
2 600
3 000
5 050
3 300
13 130 000
9 900 000
16
Sagiman
1 250
1 250
1 250
2
2
3
2 600
2 700
5 250
3 360
13 650 000
9 072 000
17
Mhd Yani
1 250
1 250
1 250
3
3
3
2 550
2 650
3 150
2 100
8 032 500
5 565 000
18
Wagiran
1 000
1 000
1 000
2
2
2
2 500
2 630
2 520
2 520
6 300 000
6 627 600
19
Ponomin
1 000
1 000
1 000
2
2
2
2 400
2 600
7. 000
6 000
16 800 000
15 600 000
20
Sahrul
1 000
1 000
1 000
3
3
2
2 100
2 800
6 440
5 520
13 524 000
15 456 000
21
Jasa Sinaga
1 250
1 250
1 250
2
2
2
2 500
2 500
7 350
5 250
18 375 000
13 125 000
22
Mahadi
1 000
1000
1 000
2
2
2
2 450
2 600
6 300
5 250
15 435 000
13 650 000
23
M.Pangaribuan
1 250
1 250
1 250
3
3
3
2 700
2 700
8 510
7 400
22 977 000
19 980 000
24
Subandi
1 000
1 000
1 000
2
2
2
2 400
2 600
6 000
5 500
14 400 000
14 300 000
25
Mangun
1 000
1 000
1 000
3
3
3
2 700
2 900
3 000
2 640
8 100 000
7 656 000
26
Bangri
1 250
1 250
1 250
2
2
2
2 700
2 900
14 100
13 160
38 070.000
38 164 000
27
Z.Sinaga
1 250
1 250
1 250
2
2
2
2 600
2 700
12 500
11 000
32 500. 000
29 700 000
28
Sutrisno
1 000
1 000
1 000
3
3
2
2 500
2 600
12 250
10 500
30 625. 000
27 300 000
29
Z.Nainggolan
1 000
1 000
1 000
3
3
3
2 500
2 600
13 900
12 000
34 750.000
31 200 000
30
Asmin
1 250
1 250
1 250
2
2
2
2 500
2 600
18 375
15 750
45 937.500
40 950 000
379 Lampiran 8. Lanjutan
No R
Nama Kontak tani
Jlh Pupuk Urea MK 2008 (kg)
Jlh Pupuk Urea MK 2009 (Kg)
Jlh Pupuk Urea MH 2008 (kg)
Jlh Pupuk SP-36 MK 2008 (Kg)
Jlh Pupuk SP-36 MK 2009 (Kg)
Jlh Pupuk SP-36 MH 2008 (Kg)
Jlh Pupuk ZA MK 2008 (Kg)
Jlh Pupuk ZA i MK 2009 (Kg)
Jlh Pupuk ZA MH 2008 (Kg)
Jlh Pupuk Ponska/NPK MK 2008 (Kg)
Jlh Pupuk Ponska/NPK MK 2009 (Kg)
Jlh Pupuk Ponska/NPK MH 2008 (Kg)
1
Sabran
50
50
50
0
0
0
50
50
50
50
50
50
2
Muliono
50
50
50
50
50
40
50
50
50
0
0
0
3
Suprapto
22
55
22
22
55
33
22
55
22
33
33
33
4
Supianto
100
100
100
0
0
100
100
100
100
0
0
0
5
Sujono
100
50
100
100
100
100
50
100
100
0
0
0
6
Motsan
100
150
0
0
0
0
50
50
50
100
100
100
7
Suparman
50
50
50
50
50
50
50
50
50
0
0
0
8
Chairul Anwar
150
200
150
50
50
0
100
50
100
100
200
100
Misran
75
100
100
100
0
0
0
50
100
50
75
75
10
9
Suwardi
60
60
60
40
40
40
30
30
30
0
0
0
11
Sutrisno
207
115
207
138
65
138
92
52
92
0
0
0
12
Julianto
250
200
0
50
0
50
0
0
0
150
150
150
13
M.Simbolon
100
100
150
100
100
100
100
100
100
0
0
0
14
Mulkan Saragih
100
50
0
100
50
100
50
100
0
100
50
100
15
Hotman Hasibuan
250
132
110
44
44
44
44
66
55
0
0
0
16
Sagiman
100
100
100
50
50
50
100
100
100
50
50
50
17
Mhd Yani
100
250
100
50
50
25
50
50
50
50
300
50
18
Wagiran
100
50
100
50
50
50
0
50
0
100
50
100
19
Ponomin
0
0
0
50
150
50
100
0
50
50
150
50
20
Sahrul
100
100
100
150
150
150
200
200
200
0
0
0
21
Jasa Sinaga
180
180
0
150
0
0
0
150
0
0
0
0
22
Mahadi
250
250
0
0
0
0
0
0
200
0
0
0
23
M.Pangaribuan
250
250
250
0
0
0
0
0
0
200
150
200
24
Subandi
250
400
500
100
150
100
0
0
0
100
250
100
25
Mangun
100
100
100
50
50
50
50
50
50
0
0
0
26
Bangri
280
280
235
200
250
0
200
200
0
0
0
0
27
Z.Sinaga
400
400
400
0
0
0
200
200
200
0
0
0
28
Sutrisno
150
100
100
100
100
100
100
50
100
0
0
0
29
Z.Nainggolan
300
300
300
0
0
0
250
250
250
250
250
250
30
Asmin
375
450
375
225
300
225
225
225
225
250
250
250
Lampiran 8. Lanjutan
380
No R
Nama Kontak tani
Jumlah Pupuk Organik MK 2008 (Kg)
Jumlah Pupuk Organik MK 2009 (Kg)
Jumlah Pupuk Organik MH 2008 (Kg)
NVMK 2008
NVMK 2009
NVMH 2008
Sumber Benih MK 2008
Sumber Benih MK 2009
Sumber Benih MH 2008
Konversi lahan 19982009 (ha)
Jumlah Raskin 2008 Diterima (kg)
Jumlah Raskin 2009 Diterima (Kg)
1
Sabran
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Sendiri
sendiri
sendiri
0
0
0
2
Muliono
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
beli
beli
beli
0
10
10
3
Suprapto
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Sendiri
beli
sendiri
0
7
7
4
Supianto
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
beli
beli
beli
0
5
5
5
Sujono
0
0
0
Cibogo
Megongga
Ciherang
beli
beli
beli
0
0
0
0
6
6
6
Motsan
7
Suparman
8
Chairul Anwar
0
0
0
Ciherang
Megongga
Ciherang
Sendiri
Sendiri
Sendiri
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
beli
beli
beli
0.4
7
7
Ya
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Beli
sendiri
sendiri
0
0
0
Misran
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Beli
Beli
Beli
0
0
0
10
Suwardi
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
beli
beli
beli
0
0
0
11
Sutrisno
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Megongga
beli
beli
beli
0
0
0
12
Julianto
Ya
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Beli
Sendiri/bantuan
Beli
0
6
6
13
M.Simbolon
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
beli/bantuan
beli
beli
0
7.5
7.5
14
Mulkan Saragih
0
0
0
Ciherang
Megongga
Ciherang
bantuan
bantuan
bantuan
0
0
0
15
Hotman Hasibuan
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
bantuan
bantuan
bantuan
0
0
0
16
Sagiman
0
0
0
Ciherang
Cibogo
Ciherang
Sendiri
Sendiri
Sendiri
0
0
0
17
Mhd Yani
0
Ya
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Sendiri
Sendiri
Sendiri
0
0
0
18
Wagiran
40
120
40
Ciherang
Megongga
Ciherang
Sendiri/bantuan
Beli
Sendiri/bantuan
0
0
0
19
Ponomin
160
200
160
Cibogo
Ciherang
Cibogo
beli
beli
beli
0
0
0
20
Sahrul
1500
0
1500
Cibogo
Megongga
Cibogo
Beli
Beli
Beli
0
7
7
21
Jasa Sinaga
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Sendiri
Sendiri
Sendiri
0
0
0
22
Mahadi
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
sendiri
beli
beli
0
6
6
23
M.Pangaribuan
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
sendiri
sendiri
sendiri
0
10
10
24
Subandi
200
360
200
Cibogo
Ciherang
Cibogo
beli
beli
beli
0
0
0
25
Mangun
0
0
0
Cibogo
Ciherang
Ciherang
beli
beli
beli
0
7
7
26
Bangri
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
beli
Beli
Beli
0
0
0
27
Z.Sinaga
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
beli
beli
beli
0
0
0
9
28
Sutrisno
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Sendiri
Beli
Sendiri
0
0
0
29
Z.Nainggolan
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
beli
beli
beli
0
0
0
30
Asmin
0
0
0
Ciherang
Ciherang
Ciherang
Beli
Beli
Beli
0
0
0
Lampiran 8. Lanjutan
381
No R
Nama Kontak tani
Pernah dengar kebijakan Pupuk Bersubsidi
Informasi Perkembangan kebijakan Pupuk Bersubsidi
Kebijakan HET
Mengikuti Kebijakan HPP
Informasi Kebijakan HPP
Mampu membedakan GKP dengan GKG
Persyaratan Kadar Air gabah Dijual
1
Sabran
Ya
PPL
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
2
Muliono
Ya
PPL.Distan.TV.Koran
Tidak
Ya
TV
Ya
Tidak Tidak
3
Suprapto
Ya
PPL.KUPD.Distan.TV
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
4
Supianto
Ya
PPL.Distan.Petani lain. Radio. TV. Koran
Tidak
Ya
Kontak tani PPL.Distan
Ya
Tidak
5
Sujono
Ya
KUPD
Ya
Ya
Koran
Ya
ya
6
Motsan
Ya
PPL
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
7
Suparman
Ya
PPL.TV
Ya
Ya
PPL.TV
Ya
ya
8
Chairul Anwar
Ya
PPL.KUPD.Distan.Pretani lain.Radio.TV.Koran
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
9
Misran
Ya
KUPD
Ya
Tidak
Tidak
Ya
ya
10
Suwardi
Ya
PPL
Ya
Ya
Agen/pedagang
Ya
Tidak
11
Sutrisno
Ya
PPL
Ya
Ya
PPL
Ya
ya
12
Julianto
Ya
KT.PPL.KUPD.Distan.
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
13
M.Simbolon
ya
PPL.Pedagang Pupuk. TV
Ya
Ya
Toke/agen.KUPD
Ya
tidak
14
Mulkan Saragih
Ya
Distan
Ya
Tidak
PPL.KUPD
Ya
Tidak
15
Hotman Hasibuan
Ya
KT.PPL.KUPD.Distan.Petani lain.TV.Koran
Ya
Ya
KT.PPL.Distan
Ya
Tidak
16
Sagiman
Ya
KUPD
Tidak
Ya
PPL
Ya
ya
17
Mhd Yani
Ya
PPL
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
18
Wagiran
Ya
PPL.Distan.TV.Petani lain
Ya
Tidak
Tdiak
Ya
Tidak
19
Ponomin
Ya
KPUD. Distan. Petani lain. TV . Radio
Tidak
Ya
PPL
Ya
Tidak
20
Sahrul
ya
PPL
Ya
Ya
PPL
ya
Ya
21
Jasa Sinaga
Ya
PPL
Ya
Ya
PPL
Ya
Tidak
22
Mahadi
Ya
PPL
Ya
Tidak
PPL
Ya
Tidak
23
M.Pangaribuan
Ya
PPL.Distan.Radio.Koran
Ya
Ya
Radio. Koran
Ya
ya
24
Subandi
Ya
PPL.KPUD.Distan.TV
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
25
Mangun
Ya
Distan
Ya
Ya
TV
Ya
ya
26
Bangri
Ya
PPL
Ya
Ya
PPL.TV
Ya
ya
27
Z.Sinaga
ya
PPL
Ya
Tidak
28
Sutrisno
Ya
Tidak
Ya
Tidak
29
Z.Nainggolan
ya
TV.PPL
Ya
Tidak
30
Asmin
Ya
PPL.KUPD
Ya
Tidak
Lampiran 8. Lanjutan
ya TV
Tidak
Tidak
PPL
Ya
Ya
382
No R
Nama Kontak tani
Lama Mengikuti Kelompok Tani
RDKK
Waktu Pengisian RDKK (hari)
Pertama Sekali Mengisi RDKK
Sudah Diserahkan ke PPL
Dukungan pemerintah 5T+ Harga
HPP Terus Meningkat
Pajak Air (Gabah Kg/Rante/MT)
Dampak Pupuk Bersubsidi Tidak tepat Waktu
1
Sabran
3
Ya
18
2007
Ya
Ya
Ya
2
Hasil kurang
2
Muliono
1
Ya
24
2007
Ya
Ya
6
Hasil berkurang
3
Suprapto
3
Ya
7
2007
Ya
Tidak Ada dan Tidak
Ya
2
Kecewa. hasil berkurang
4
Supianto
5
Ya
7
2007
Ya
Tidak
Ya
2
Hasil panen tdk maksimal
5
Sujono
4
Ya
7
2006
Ya
Tidak
Ya
2
Hasil panen menurun
6
Motsan
3
Ya
14
2007
Ya
Tidak
Ya
2
Penurunan hasil
7
Suparman
2
Ya
7
2007
Ya
Tidak
Ya
6***
8
Chairul Anwar
3
Ya
6
2007
Ya
Tidak
Ya
2
Hasil panen berkurang
9
Misran
5
Ya
18
2004
Ya
Ya
Ya
2
Kesulitan
Pemupukan terlambat
10
Suwardi
3
Ya
7
2007
Ya
Tidak
Ya
4
Kurang hasil
11
Sutrisno
3
Ya
7
2007
Ya
Tidak
Ya
3
waktu dan dosis tdk tepat
12
Julianto
3
Ya
7
2007
Ya
Tidak
Ya
2
hasil panen berkurang
13
M.Simbolon
4
ya
7
2007
Ya
Ya
Ya
1
Hasil panen berkurang
14
2
Ya
6
2008
Ya
Tidak
Ya
2
Kurangnya hasil panen
15
Mulkan Saragih Hotman Hasibuan
2
Ya
7
2008
Ya
Tidak
Ya
4
Hasil tidak maksimal
16
Sagiman
3
Ya
21
2003
Ya
Tidak
Ya
2
Merugikan Petani
17
Mhd Yani
10
Ya
7
2007
Ya
Tidak
Ya
2
Perkembangan padi terhambat
18
Wagiran
9
Ya
14
2007
Ya
Tidak
Ya
2
hasil panen berkurang
19
Ponomin
10
Ya
28
2007
Ya
Tidak
Ya
2
Produksi turun.
20
Sahrul
4
Ya
7
2007
ya
Tidak
Ya
Rp 100.000**
21
Jasa Sinaga
10
Ya
6
2007
Ya
Ya
Ya
4
22
Mahadi
11
Ya
14
2007
Ya
Tidak
Ya
2
Penurunan hasil
23
M.Pangaribuan
10
Ya
6
2007
Ya
Tidak
Ya
2
waktu dan dosis tdk tepat
24
Subandi
4
Ya
28
2007
Ya
Tidak
Ya
20
25
Mangun
4
Ya
6
2007
Ya
Tidak
Ya
3
26
Bangri
7
Ya
6
2007
Ya
Ya
Ya
40*
kecewa Terlambat
Produksi turun. penghasilan turun Petani demontrasi. hasil kurang waktu terbatas
27
Z.Sinaga
nd
Ya
14
nd
Ya
Tidak
Ya
1
28
Sutrisno
3
Ya
7
2007
Ya
Tidak
Ya
3
Hasil panen berkurang
29
Z.Nainggolan
3
Ya
7
nd
Ya
Tidak
Ya
1
Hasil panen berkurang
Ya
Ya
4
Hasil merosot
30 Asmin nd Ya 6 2007 Ya Keterangan: *= dalam satu tahun; ** dalam satu tahun; *** dalam satu tahun dan nd= tidak ada data
Hasil panen berkurang
383 Lampiran 8. Lanjutan
No R 1
Nama Kontak tani Sabran
Masukan Kepada Pemerintah harga padi lebih tinggi. harga pupuk lebih stabil
2
Muliono
kurang tepatnya pemerintah memberikan bantuan kepada petani. irigasi
3
Suprapto
dibuat irigasi.harga gabah ditingkatkan. pupuk bersubsidi dipertahankan dan ditambah
4
Supianto
tinggikan harga gabah. turunkan harga saprodi. status PPL ditingkatkan. membutuhkan PPL
5
Sujono
pembangunan irigasi.pupuk bersubsidi tepat waktu. naikkan harga gabah petani. tingkatkan kinerja PPL
6
Motsan
subsidi pupuk ditambah. jaringan irigasi diperbaiki.
7
Suparman
sarana irigasi. pertanian diperhatikan. pupuk jangan dipersulit. harga gabah harus seimbang
8
Chairul Anwar
pupuk bersubsidi datangnya cepat. irigasi diperbaiki. harga gabah lebih baik
9
Misran
racun disubsidi seperti pupuk. harga gabah dinaikkan. pembangunan irigasi
10
Suwardi
pemerintah membeli gabah. dibantu terus oleh pemerintah
11
Sutrisno
tidak usah impor beras
12
Julianto
Subsidi jangan dihilangkan. harga gabah harus tinggi. penambahan pupuk. masih membutuhkan bantuan dari pemerintah
13
M.Simbolon
pembangunan irigasi supaya masuk anggaran pemerintah.
14
Mulkan Saragih
pembangunan irigasi
15
Hotman Hasibuan
penuhi pupuk.kalau ada bantuan tepat waktu
16
Sagiman
Kesulitan air pada musim kering. minta irigasi
17
Mhd Yani
pupuk bersubsidi jangan dihapus.jangan dipersulit masalah pupuk. dilarang lahan saah dialihkan menjadi lahan sawit
18
Wagiran
harga gabah naik. harga pupuk dan obat-obatan jangan dinaikkan. setiap musim tanam petani diberi bantuan
19
Ponomin
pembangunan irigasi
20
Sahrul
pembangunan irigasi. memperbaiki tali air. harga gabah naik.apa yang dianjurkan oleh pemerintah supaya dipenuhi
21
Jasa Sinaga
pemerintah membeli gabah bukan tengkulak
22
Mahadi
pupuk subsidi ditambah. irigasi dibenahi
23
M.Pangaribuan
pemerintah menyediakan pupuk organik
24
Subandi
pembangunan sarana irigasi
25
Mangun
hilangnya pupuk subsidi. melanjutkan bantuan kepada petani
26
Bangri
naikkan harga gabah
27
Z.Sinaga
perbaikan bendungan/tali air. pemerintah memantau harga gabah petani.kinerja PPL ditingkatkan. perbaikan jalan.pengetahuan petani ditingkatkan supaya tidak dipermainkan .
28
Sutrisno
Pupuk kurang tepat waktu. kurang tepat waktu bantuan kepada petani
29
Z.Nainggolan
perbaikan tali air. sudah beberapa kali diusulkan belum diresponi oleh Pemda
30
Asmin
hentikan beras impor supaya gabah mahal
384 Lampiran 8. Lanjutan No R
Permasalahan Petani
1
Sabran
Kesulitan dalam modal.ketersediaan air untuk irigasi kurang. NPK.ZA dan Super Phos subsidi sulit diperoleh
2
Muliono
air dan pupuk. pengolahan padi terkendala karena tidak adanya irigasi. belum ada pembuangan air
3
Suprapto
Modal. sulit memperoleh pupuk urea bersubsidi.
4
Supianto
debit air yang kurang. salurang pembuangan air kurang berfungsi. bantuan benih kurang memadai. pembelian pupuk dengan sistem paket memberatkan petani.
5
Sujono
6
Motsan
ketersediaan air untuk irigasi kurang ketersediaan air utk irigasi kurang. urea. NPK. ZA. KCL bersubsidi sulit diperoleh. harga pupuk sulit terjangkau. kadang pupuk masuk tidak tepat waktu. pertumbuhan padi tidak normal karena terlambat memupuk
7
Suparman
harga pupuk sulit terjangkau
8
Chairul Anwar
Urea.NPK.ZA bersubsidi sulit diperoleh. ketersediaan air untuk irigasi kurang. kesulitan dalam modal. pupuk harganya tepat. tetapi kurang tepat waktu. dosis tidak tepat
Misran
ketersediaan air untuk irigasi kurang
9
Nama Kontak tani
10
Suwardi
sulit air. sulit memperoleh pupuk urea.NPK.ZA.KCL bersubsidi. ada bantuan tetapi tidak tepat waktu
11
Sutrisno
sulit memperoleh pupuk urea. serangan hama penyakit
12
Julianto
NPK subsidi sulit. ZA bersubsidi. kesulitan modal. air utk irigasi kurang.sulit memperoleh air/pembangunan irigasi. petani ingin menebus pupuk tetapi pupuk belum ada. akibatnya pemupukan tidak tepat waktu dan dosis
13
M.Simbolon
irigasi kurang berfungsi. setiap musim tanam petani bergotong royong membangun bendungan air
14
Mulkan Saragih
ketersediaan air untuk irigasi kurang
15
Hotman Hasibuan
16
Sagiman
sulit memperoleh pupuk urea. NPK. ZA. KCL bersubsidi. tanaman berumur 1 bulan baru dipupuk. pola tanam sudah datang tetapi benih datang terlambat Irigasi kurang. sulit pupuk organik bersubsidi. sulit waktu pembibitan. tanam 3-4 kali. menyemai bibit. kebutuhan pupuk yang dibutuhkan petani tidak sesuai dengan RDKK
17
Mhd Yani
NPK. ZA bersubsidi sulit diperoleh. ketersediaan air untuk irigasi kurang. kesulitan dalam modal. bantuan selalu tidak tepat waktu
18
Wagiran
Kesulitan modal. serangan hama penyakit. MT 2007-2008 hasil menurun karena kena asam-asaman (daun menjadi warna kuning) 16 rante. pinjaman dari pedagang untuk kebutuhan pupuk dimana harganya dari Rp 75.000 menjadi Rp 90.000 tahun 2008-2009.
19
Ponomin
ketersediaan air untuk irigasi kurang. harga pupuk sulit terjangkau. sulit memperoleh pupuk ZA subsidi
20
Sahrul
tali air bocor. pupuk organik terbatas. masalah penyakit
21
Jasa Sinaga
sulit memperoleh pupuk urea. NPK. ZA. KCL bersubsidi
22
Mahadi
ketersediaan air utk irigasi kurang. urea.NPK.ZA. bersubsidi sulit diperoleh
23
M.Pangaribuan
kurang debit air. perbaiki pintu air. penambahan debit air dari Sungai Padang T Tinggi
24
Subandi
ketersediaan air untuk irigasi kurang. sulit memperoleh pupuk bersubsidi ZA
25
Mangun
sulit memperoleh pupuk urea. ketersediaan air utk irigasi kurang. hama penyakit. sulit memperoleh pupuk ZA. bersubsidi. kesulitan modal
26
Bangri
kurangnya debit air.
27
Z.Sinaga
tidak dapat tanam serentak. karena keterbatasan air.
28
Sutrisno
Ketersediaan air untuk irigasi kurang
29
Z.Nainggolan
debit air yang kurang. salurang pembuangan air kurang berfungsi. bantuan benih kurang memadai. pembelian pupuk dengan sistempaket memberatkan petani.
30
Asmin
Tidak ada Informasi
385 Lampiran 9. Program Pendugaan Parameter Model Kebijakan Perberasan Nasional dengan Metode 2 SLS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
options nodate nonumber; data rice1; set tes; /*create data*/ qpit=(lapt*ypit); qbit=(fk*qpit); qbld=(fp*qbit); qcbd=(qbit-qbld); qdbt= (popt*kbbt); qcbb=(stbw+qbbt+qmbt); qcbn = (qcbd+qcbb-qbbt); sdbi=(qcbn-qdbt-qmbt); qcbg=(pbpt+stgw); stbf=(qcbb-stob); stgf=(qcbg-dcbp); ntpp=(It/Ib); /*merilkan data nominal*/ hgkpr=(hgkp / ihk)*100; hjrtr=(hjrt / ihk)*100; hbrtr=(hbrt / ihk)*100; hpgpr=(hpgp / ihk)*100; hetur=(hetu / ihk)*100; henpr=(henp / ihk)*100; hputr=(hput / ihk)*100; hpnpr=(hpnp / ihk)*100; hibtr=(hibt / ihk)*100; tmbtr=(tmbt / ihk)*100; hpbbr=(hpbb / ihk)*100; hpgbr=(hpgb / ihk)*100; hpbbr=(hpbb / ihk)*100; INCR= (INC / IHK)*100; /*variabel lag*/ llapt=lag(lapt); lypit=lag(ypit); lntpt=lag(ntpt); lqput=lag(qput); lqpsp=lag(qpsp); lhgkpr=lag(hgkpr); lhgkg=lag(hgkg); lkagp=lag(kagp); lkkgp=lag(kkgp); lkagg=lag(kagg); lkkgg=lag(kkgg); lhbrtr=lag(hbrtr); lstbf=lag(stbf); lscbp=lag(scbp); lstgf=lag(stgf); ldopm=lag(dopm); ldbat=lag(dbat); lbgkg=lag(bgkg);
386 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109
lbbob=lag(bbob); ldcbp=lag(dcbp); lstob=lag(stob); lrast=lag(rast); lqmbt=lag(qmbt); linft=lag(inft); linfb=lag(infb); lhmbt=lag(hmbt); lkbbt=lag(kbbt); lhputr=lag(hputr); lhpsp=lag(hpsp); lhpza=lag(hpza); lhpnpr=lag(hpnpr); lstgw=lag(stgw); lqdbt=lag(qdbt); lqbbt=lag(qbbt); lhpgpr=lag(hpgpr); lhpgbr=lag(hpgbr); ldopm=lag(dopm); lrpnp=lag(rpnp); lit =lag (It); lib =lag (Ib); /*merubah menjadi rupiah*/ hibtrr=hibtr*exrt; /*variabel lag baru*/ lhibtrr= lag(hibtrr); /*create data baru*/
label
rgpu rgpn rgpu exbt trft grtb ebbt inft1 qmbt1 rghn INCRR
=( hgkpr/hputr); =( hgkpr/hpnpr); =(hgkpr/hputr); =(qdbt*hbrtr); =(ypit*hgkpr); =(qmbt*tmbtr); =(qbbt*hpbbr); =(inft-linft); =(qmbt-lqmbt); =(hpgpr/henpr); =(INCR/popt);
lapt hpgp hpgpr henp ntpt hjrtr ypit qpnp chit hgkp hkgpr qpit qbit rppu it
='Luas Areal Panen' ='HPP GKP' ='HPP GKP Real' ='HET NPK' ='Nilai Tukar Petani' ='Hg Jagung Produsen ' ='Produktifitas' ='Jlh Kebutuhan NPK' ='Curah Hujan' ='Harga GKP' ='Harga GKP Real' ='Produksi Padi' ='Produksi Beras' ='Realisasi Pupuk Urea' ='Id Diterima Petani Padi'
387 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165
Ib hpnp hpnpr kagp dcbp qmbt hgkg ntpp hpgg hbrt hbrtr hppb inft qcbn qbbt stbw qbld stbf stob stgf rast rtra exrt sdbi qdbt popt kbbt qbld rghn rghnr qcbb incrr hpgbr hpnpr hgkpr hpbb hpbbr rgpu rgpn hibtr hibtrr trft inctr t fk fp d dt llapt lypit lntpt lhgkpr lhgkg lkagp lhbrtr lstbf
='Id Dibayar Petani Padi' ='Harga Pupuk NPK' ='Harga Pupuk NPK ' ='Kadar Air GKP' ='Penyaluran CBP' ='Jumlah Impor Beras' ='Harga GKG' ='NTP Padi' ='HPP GKG' ='Hg Beras Eceran' ='Hg Beras Eceran ' ='HPP Beras' ='Inflasi' ='Per Brs Domestik' ='Pengadaan Beras' ='Stok Bulog Awal' ='Beras Benih/Susut' ='Stok Bulog Akhir' ='Stok Operl Bulog' ='St Ak Beras Pemerintah' ='Jlh Beras Rskin' ='Jlh RT Penerima Raskin' ='Nilai Tukar Rupiah' ='Surplus Beras' ='Jlh Permintaan Beras' ='Jumlah Penduduk' ='Konsumsi Beras per Bulan' ='Jumlah Beras Susut/Benih' ='Rasip HPGP dgn HENP' ='Rasio HPGP dgn HENP ' ='Per Beras Bulog' ='Income per Kapita' ='Hg Beli Pem dr Bulog ' ='Hg Pupuk NPK Real' ='Harga GKP Real' ='Hg Beli Bulog' ='Hg Beli Bulog ' ='Rasio hpgpr/hputr' ='Rasio hgkpr/hpnpr' ='Harga Beras Dunia Real' ='Harga Beras Dunia' ='Penerimaan Petani' ='Income per Kapita ' ='Trend Teknologi' ='Faktor Konversi' ='Faktor Proporsi' ='Dummy OPM' ='Dummy tarif' ='Luas Areal Panen t-1' ='Produktifitas t-1' ='NTP t-1' ='Harga GKP t-1' ='Harga GKG t-1' ='Kadar Air GKP t-1' ='Hg Brs Pengecer t-1' ='Stok Bulog Akhir t-1'
388 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 183 184 185 185! 186
188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 219 220 222
lstgf ldcbp lqmbt linft lhmbt lhputr lhpnpr lhpgpr ldopm lhibtrr lrpnp lrast lhpgbr lqbbt lit lib
='Stok Akhir CBP t-1' ='Peny Beras Pem t-1' ='Jlh Impor Beras t-1' ='Inflasi t-1' ='Harga Impor Beras' ='Harga Pupuk Urea ' ='Harga Pupuk NPK ' ='HPP GKP Real t-1' ='DOPM t-1' ='hibtrr t-1' ='rpnp t-1' ='Raskin t-1' ='hpgbr t-1' ='qbbt t-1' ='It t-1' ='Ib t-1';
run; proc syslin 2sls data=rice1 outest=hasil; endogenous lapt ypit qpit qbit qbld qcbd qmbt qbbt qcbb qcbn qdbt dbi stob stbf dcbp stgf rast hpgpr trft kagp hpnpr rpnp ntpp it ib hbrtr hpgbr ; instruments jpmt rgpn inft hpbbr hputr incr INCRR stbw exrt hjrtr rtra chit qpnp hibtrr d llapt lypit lit lib lhpnpr lrpnp lhgkpr lkagp lhbrtr lrast lqbbt lhpgbr; /*persamaan struktural*/ model lapt = rgpn hjrtr chit ntpp llapt /dw; model ypit = hpnpr t lypit /dw; model it = hgkpr lit /dw; model ib = hpnpr lib /dw; model hpnpr = rghn rpnp lhpnpr/dw; model hgkpr = hpgpr kagp qpit lhgkpr /dw; model kagp = hgkpr chit t lkagp /dw; model hbrtr = rast qcbn stgf hpgbr lhbrtr /dw; model stob = rast hbrtr stbf /dw; model rast = rtra jpmt inft qbbt trft lrast /dw; model qmbt = hibtrr exrt hbrtr sdbi /dw; model qdbt = hbrtr rast INCRR /dw; model dcbp = hbrtr dopm stbf /dw; model qbbt = hgkpr qbit t lqbbt /dw; model hpgbr = hibtrr hpbbr hbrtr lhpgbr /dw; /*persamaan identitas*/ identity qpit=qpit+0; identity qbit= qbit+0; identity qcbd= qcbd+0; identity qdbt=qdbt+0; identity qbld=qbld+0; identity qcbb=qcbb+0; identity qcbg=qcbg+0; identity stbf=stbf+0; identity stgf=stgw+0; identity rghn=rghn+0; identity qcbn=qcbn+0; identity sdbi=sdbi+0; identity trft=trft+0; identity ntpp=ntpp+0; run;
389
NOTE: 58 observations were read. 4 observations have missing values. 54 observations were used in the computations. NOTE: The data set WORK.HASIL has 58 observations and 66 variables. NOTE: PROCEDURE SYSLIN used (Total process time): real time 0.98 seconds cpu time 0.17 seconds
389 Lampiran 10. Hasil Pendugaan Parameter Model Kebijakan Perberasan Nasional dengan Metode 2SLS The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
LAPT LAPT Luas Areal Panen
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 48 53
6031281 12161449 18135397
1206256 253363.5
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
503.35228 1066.64852 47.19008
F Value
Pr > F
4.76
0.0013
R-Square Adj R-Sq
0.33152 0.26189
Parameter Estimates
Variable Intercept rgpn hjrtr CHIT ntpp llapt
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1 1
-372.157 78.65979 0.079811 0.859797 457.7856 0.569903
792.2193 562.0348 0.193209 1.000541 679.7987 0.124057
-0.47 0.14 0.41 0.86 0.67 4.59
0.6407 0.8893 0.6814 0.3944 0.5039 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.778681 54 0.107172
Variable Label Intercept Rasio hgkpr/hpnpr Hg Jagung Produsen Curah Hujan NTP Padi Luas Areal Panen t-1
390
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
YPIT YPIT Produktifitas
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 50 53
1.304705 0.155704 1.460021
0.434902 0.003114
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.05580 4.76756 1.17049
F Value
Pr > F
139.66
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.89338 0.88699
Parameter Estimates
Variable Intercept hpnpr T lypit
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1
1.424102 -0.00003 0.001611 0.718507
0.456977 0.000030 0.001423 0.099041
3.12 -1.07 1.13 7.25
0.0030 0.2913 0.2631 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.789981 54 0.078926
Variable Label Intercept Hg Pupuk NPK Real Trend Teknologi Produktifitas t-1
391 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
IT IT Id Diterima Petani Padi
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
2 51 53
9753.312 7397.000 17042.70
4876.656 145.0392
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
12.04322 93.85352 12.83194
F Value
Pr > F
33.62
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.56870 0.55178
Parameter Estimates
Variable Intercept hgkpr lit
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1
-26.7951 0.033222 0.478979
18.17606 0.009191 0.106968
-1.47 3.61 4.48
0.1466 0.0007 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.346744 54 -0.17699
Variable Label Intercept Harga GKP Real It t-1
392 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
IB IB Id Dibayar Petani Padi
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
2 51 53
9991.357 43.38786 10034.80
4995.678 0.850742
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.92236 100.90815 0.91406
F Value
Pr > F
5872.14
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.99568 0.99551
Parameter Estimates
Variable Intercept hpnpr lib
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1
0.780067 0.000073 0.997692
3.413315 0.000458 0.017872
0.23 0.16 55.82
0.8201 0.8738 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.378494 54 0.299107
Variable Label Intercept Hg Pupuk NPK Real Ib t-1
393
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
hpnpr hpnpr Hg Pupuk NPK Real
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 50 53
14029028 1522504 15540632
4676343 30450.08
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
174.49952 3821.28901 4.56651
F Value
Pr > F
153.57
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.90210 0.89623
Parameter Estimates
Variable Intercept rghn RPNP lhpnpr
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1
1583.416 -282.643 -3.61588 0.717703
576.5753 319.2387 1.871328 0.090758
2.75 -0.89 -1.93 7.91
0.0084 0.3802 0.0590 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.791073 54 0.098033
Variable Label Intercept Rasip HPGP dgn HENP RPNP Harga Pupuk NPK
394
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
hgkpr hgkpr Harga GKP Real
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 49 53
2048678 380433.2 2400827
512169.4 7763.942
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
88.11323 2289.48362 3.84861
F Value
Pr > F
65.97
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.84339 0.83060
Parameter Estimates
Variable Intercept hpgpr KAGP qpit lhgkpr
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
1894.321 0.294664 -99.0402 -0.01572 0.790797
635.0820 0.102591 35.19465 0.008282 0.072872
2.98 2.87 -2.81 -1.90 10.85
0.0044 0.0060 0.0070 0.0635 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.583745 54 0.1896
Variable Label Intercept HPP GKP Real Kadar Air GKP Produksi Padi Harga GKP t-1
395
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
KAGP KAGP Kadar Air GKP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 49 53
4.825953 16.80926 21.55900
1.206488 0.343046
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.58570 19.07333 3.07079
F Value
Pr > F
3.52
0.0133
R-Square Adj R-Sq
0.22306 0.15964
Parameter Estimates
Variable Intercept hgkpr CHIT T lkagp
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
8.506362 0.000225 0.001318 -0.00118 0.515048
3.266145 0.000502 0.001148 0.006307 0.141555
2.60 0.45 1.15 -0.19 3.64
0.0121 0.6557 0.2563 0.8527 0.0007
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.807431 54 0.053083
Variable Label Intercept Harga GKP Real Curah Hujan Trend Teknologi Kadar Air GKP t-1
396
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
Hg
hbrtr hbrtr Beras Eceran
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 48 53
6149320 331048.9 6434481
1229864 6896.852
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
83.04729 4936.83670 1.68220
F Value
Pr > F
178.32
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.94892 0.94359
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept RAST qcbn STGF
1 1 1 1
-475.107 -0.40657 -0.03299 0.345754
313.5239 0.196052 0.010039 0.151993
-1.52 -2.07 -3.29 2.27
0.1362 0.0435 0.0019 0.0274
hpgbr lhbrtr
1 1
0.265230 0.867237
0.098031 0.048891
2.71 17.74
0.0094 <.0001
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.740605 54 0.115029
Variable Label Intercept Jlh Beras Rskin Per Brs Domestik St Ak Beras Pemerintah Hg Beli Pem dr Bulog Hg Brs Pengecer t-1
397
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
STOB STOB Stok Operl Bulog
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 50 53
309453.2 36781.58 379034.4
103151.1 735.6317
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
27.12253 212.80981 12.74496
F Value
Pr > F
140.22
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.89377 0.88739
Parameter Estimates
Variable Intercept RAST hbrtr STBF
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1
-68.3515 0.927915 0.023564 -0.01027
53.96852 0.053011 0.010927 0.009264
-1.27 17.50 2.16 -1.11
0.2112 <.0001 0.0359 0.2729
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.142714 54 0.427629
Variable Label Intercept Jlh Beras Rskin Hg Beras Eceran Stok Bulog Akhir
398
The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
RAST RAST Jlh Beras Rskin
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 47 53
281596.3 109904.4 396521.3
46932.72 2338.392
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
48.35692 193.72409 24.96175
F Value
Pr > F
20.07
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.71927 0.68344
Parameter Estimates
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept RTRA
1 1
414.7339 0.011146
191.9394 0.002200
2.16 5.07
0.0358 <.0001
JPMT INFT QBBT trft lrast
1 1 1 1 1
-9.61143 5.774570 0.049108 -0.00790 0.216435
4.978557 5.712023 0.038414 0.007426 0.107416
-1.93 1.01 1.28 -1.06 2.01
0.0596 0.3172 0.2074 0.2930 0.0497
Variable
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
The SAS System
1.538974 54 0.225996
Variable Label Intercept Jlh RT Penerima Raskin JPMT Inflasi Pengadaan Beras Penerimaan Petani Raskin t-1
399 The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
QMBT QMBT Jumlah Impor Beras
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 49 53
260372.6 1058298 1337640
65093.15 21597.91
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
146.96228 49.16020 298.94563
F Value
Pr > F
3.01
0.0267
R-Square Adj R-Sq
0.19745 0.13194
Parameter Estimates
Variable Intercept hibtrr EXRT hbrtr sdbi
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
-401.730 -0.03656 -0.01831 0.160700 -0.01643
404.5048 0.028766 0.031058 0.059873 0.015035
-0.99 -1.27 -0.59 2.68 -1.09
0.3255 0.2098 0.5582 0.0099 0.2799
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
The SAS System
1.994616 54 -0.00135
Variable Label Intercept Harga Beras Dunia Nilai Tukar Rupiah Hg Beras Eceran Surplus Beras
400 The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
QDBT QDBT Jlh Permintaan Beras
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 50 53
177571.9 2095081 2242907
59190.63 41901.62
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
204.69886 1851.43343 11.05624
F Value
Pr > F
1.41
0.2501
R-Square Adj R-Sq
0.07813 0.02282
Parameter Estimates
Variable Intercept hbrtr RAST INCRR
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1
1872.813 -0.15422 -0.82516 0.197749
403.5299 0.106413 0.493902 0.098520
4.64 -1.45 -1.67 2.01
<.0001 0.1535 0.1010 0.0501
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
3.293549 54 -0.67489
Variable Label Intercept Hg Beras Eceran Jlh Beras Rskin Income per Kapita
401 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DCBP DCBP Penyaluran CBP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 50 53
14456.91 19253.84 33666.18
4818.971 385.0767
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
19.62337 9.94104 197.39764
F Value
Pr > F
12.51
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.42885 0.39458
Parameter Estimates
Variable Intercept hbrtr D ldcbp
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1
-48.6021 0.009737 15.92033 0.427531
41.00438 0.008387 5.725709 0.119165
-1.19 1.16 2.78 3.59
0.2415 0.2512 0.0076 0.0008
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.731376 54 0.133799
Variable Label Intercept Hg Beras Eceran Dummy OPM Peny Beras Pem t-1
402 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
QBBT QBBT Pengadaan Beras
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 49 53
1890936 732256.3 2539239
472733.9 14944.01
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
122.24568 203.25833 60.14301
F Value
Pr > F
31.63
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.72085 0.69807
Parameter Estimates
Variable Intercept hgkpr qbit T lqbbt
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
183.8304 -0.15078 0.065055 1.607883 0.542909
249.5772 0.110665 0.012076 1.518963 0.085698
0.74 -1.36 5.39 1.06 6.34
0.4649 0.1793 <.0001 0.2950 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.55464 54 0.201476
Variable Label Intercept Harga GKP Real Produksi Beras Trend Teknologi qbbt t-1
403 The SAS System The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
hpgbr hpgbr Hg Beli Pem dr Bulog
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 49 53
1425268 676490.2 2099794
356317.0 13805.92
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
117.49861 4619.66121 2.54345
F Value
Pr > F
25.81
<.0001
R-Square Adj R-Sq
0.67813 0.65186
Parameter Estimates
Variable Intercept hibtrr hpbbr hbrtr lhpgbr
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
1413.436 0.008415 0.036736 0.265539 0.374234
385.8488 0.018865 0.102668 0.070556 0.138108
3.66 0.45 0.36 3.76 2.71
0.0006 0.6575 0.7220 0.0004 0.0093
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.652173 54 0.169584
Variable Label Intercept Harga Beras Dunia Hg Beli Bulog Hg Beras Eceran hpgbr t-1
404
Lampiran 11. Program Simulasi Dasar Analisis Kebijakan Perberasan dengan Metode 2 SLS 1 options nodate nonumber; 2 data rice1; 3 set tes; 4 5 /*create data*/ 6 qpit=(lapt*ypit); 7 qbit=(fk*qpit); 8 qbld=(fp*qbit); 9 qcbd=(qbit-qbld); 10 qdbt=(popt*kbbt); 11 qcbg=(pbpt+stgw); 12 stgf=(qcbg-dcbp); 13 qcbb=(stbw+qbbt+qmbt); 14 qcbn=(qcbd+qcbb-qbbt); 15 sdbi=(qcbn-qdbt-qmbt); 16 stbf=(qcbb-stob); 17 stgf=(qcbg-dcbp); 18 ntpp=(It/Ib); 19 hgkpr=(hgkp / ihk)*100; 20 hjrtr=(hjrt / ihk)*100; 21 hbrtr=(hbrt / ihk)*100; 22 hpgpr=(hpgp / ihk)*100; 23 henpr=(henp / ihk)*100; 24 hpnpr=(hpnp / ihk) *100; 25 hibtr=(hibt / ihk)*100; 26 tmbtr= (tmbt / ihk)*100; 27 hpbbr=(hpbb / ihk)*100; 28 hpgbr=(hpgb / ihk)*100; 29 hpbbr =( hpbb / ihk)*100; 30 hibtrr= (hibtr*exrt); 31 incr =( inc/ihk)*100; 32 rgpn =(hgkpr/hpnpr); 33 trft =(ypit*hgkpr); 34 grtb =(qmbt*tmbtr); 35 ebbt =(qbbt*hpbbr); 36 rghn =(hpgpr/hpnpr); 37 incrr = (incr/popt); 38 39 /*persamaan struktural*/ 40 label lapt ='Luas Areal Panen' 41 ypit ='Produktifitas' 42 it ='Id Terima Petani ' 43 ib ='Id Bayar Petani ' 44 ntpp ='Nilai Tukar Petani ' 45 hpnpr ='Hg Pupuk NPK ' 46 hgkpr ='Harga GKP ' 47 kagp ='Kadar Air GKP' 48 hbrtr ='Hg Beras Pengecer ' 49 stbf ='Pers Akh Brs Bulog' 50 stob ='Peny Brs Bulog' 51 rast ='Peny Brs Raskin' 52 qmbt ='Jlh Impor Beras' 53 inft ='Tingkat Inflasi'
405 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
71 72 72 ! 74 74 ! 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106
qpit qbit qbld qcbd qcbn qdbt qcbb stgf dcbp ebbt hpgpr hpgbr trft sdbi rpnp
='Produksi Padi' ='Produksi Beras' ='Beras Benih/Susut' ='Pers Brs Domestik' ='Pers Brs Nasional' ='Jlh Permintaan Brs' ='Pers Beras Bulog' ='Pers Akh Brs Pem' ='Peny Brs Pem' ='Nl Pengadaan Brs' ='Harga HPP GKP ' ='Hg Pem dr Bulog' ='Penerimaan Petani' ='Surplus Beras' ='Reali Peny NPK';
run;
proc simnlin data=rice1 dynamic simulate stat outpredict theil; endogenous lapt ypit qpit qbit qbld qcbd qmbt qbbt qcbb qcbn qdbt sdbi stob stbf dcbp stgf rast hgkpr trft kagp hpnpr ntpp it ib hbrtr hpgbr ; instruments jpmt rgpn hjrtr hpgpr inft sbit incr popt dbat hpbbr exrt stbw rtra chit qpnp henp rppu rrhh d t ; llapt=lag(lapt); lypit=lag(ypit); lntpt=lag(ntpt); lhpnpr=lag(hpnpr); lhgkpr=lag(hgkpr); lkagp=lag(kagp); lhbrtr=lag(hbrtr); lstbf=lag(stbf); lstgw=lag(stgw); ldcbp=lag(dcbp); lstob=lag(stob); lrast=lag(rast); lqbbt=lag(qbbt); lqmbt=lag(qmbt); linft=lag(inft); lqdbt=lag(qdbt); ldcbp=lag(dcbp); lhpgpr=lag(hpgpr); lhpgbr=lag(hpgbr); ldopm=lag(dopm); lit = lag(It); lib = Lag (ib); lrpnp=lag(rpnp); parm a0 -372.157 a1 78.65979 a2 0.079811 a3 0.859797 a4 457.7856 a5 0.569903 b0 c0 d0 e0 f0
1.424102 -26.7951 1583.416 1894.321 8.506362
b1 c1 d1 e1 f1
-0.00003 0.033222 -282.643 0.294664 0.000225
b2 0.001611 b3 0.718507 c2 0.478979 d2 -3.61588 d3 0.717703 e2 -99.0402 e3 -0.01572 e4 0.790797 f2 0.001318 f3 -0.00118 f4 0.515048
406 107
g0 -475.107 g1 -0.40657 g2 -0.03299 g3 0.345754 g4 0.265230 g5 0.867237
108 109
h0 -68.3515 h1 0.927915 h2 0.023564 h3 -0.01027 i0 414.7339 i1 0.011146 i2 -9.61143 i3 5.774570 i4 0.049108 i5 -0.00790 i6 0.216435
110 111 112 113 114 115 116 117
j0 k0 m0 n0 o0 p0
118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147
-401.730 0.780067 1872.813 -48.6021 183.8304 1413.436
j1 k1 m1 n1 o1 p1
-0.03656 0.000073 -0.15422 0.009737 -0.15078 0.008415
j2 k2 m2 n2 o2 p2
-0.01831 0.997692 -0.82516 15.92033 0.065055 0.036736
lapt
= a0
+ a1*(hgkpr / hpnpr)
ypit it hpnpr hgkpr kagp hbrtr stob rast qmbt ib qdbt dcbp qbbt hpgbr
= = = = = = = = = = = = = =
+ + + + + + + + + + + + + +
qpit qbit qbld qcbd qcbb qcbn sdbi stbf stgf trft rgpn ntpp
run;
b0 c0 d0 e0 f0 g0 h0 i0 j0 k0 m0 n0 o0 p0
j3 0.160700 j4 -0.01643 m3 n3 o3 p3
0.197749 0.427531 1.607883 o4 0.542909 0.265539 p4 0.374234;
+ a2*hjrtr + a3*chit + a4*ntpp + a5*llapt;
b1*hpnpr + b2*t + b3*lypit; c1*hgkpr + c2*lit; d1*(hpnpr/henpr) + d2*rpnp + d3*lhpnpr; e1*hpgpr + e2*kagp + e3*qpit + e4*lhgkpr; f1*hgkpr + f2*chit + f3*t + f4*lkagp; g1*rast + g2*qcbn + g3*stgf + g4*hpgbr + g5*lhbrtr; h1*rast + h2*hbrtr + h3*stbf; i1*rtra + i2*jpmt + i3*inft + i4*qbbt + i5*trft + i6*lrast; j1*(hibtr*exrt) + j2*exrt + j3*hbrtr + j4*sdbi; k1*hpnpr + k2*lib; m1*hbrtr + m2*rast + m3*(incr/popt) ; n1*hbrtr + n2*d + n3*ldcbp; o1*hgkpr + o2*qbit + o3*t + o4*lqbbt; p1*(hibtr*exrt) + p2*hpbbr + p3*hbrtr + p4*lhpgbr;
=(lapt*ypit); =(fk*qpit); =(fp*qbit); = qbit-qbld; = stbw+qbbt+qmbt; = qcbd+qcbb-qbbt; = qcbn-qdbt-qmbt; = qcbb-stob; = qcbg-dcbp; =(ypit*hgkpr); =(hgkpr/hpnpr); = (it/ib);
407
Lampiran 12. Dampak Kebijakan Tunggal dan Kombinasi Kebijakan terhadap Tujuan Kebijakan Perberasan
Variabel
Nilai Dasar
S-1
Perubahan
Persentase Perubahan (%)
S-2
Perubaha n
Persentas e Perubaha n (%)
S-3
Perubah an
Persentase Perubahan (%)
S-4
Peruba han
Persentase Perubahan (%) -0.461
LAPT
1 063.2
1 186.7
123.5
11.616
1 248.8
185.6
17,457
1 059.7
-3.5
-0.329
1 058.3
-4.9
YPIT
4.7909
4.8016
0.0107
0.223
4.8069
0.016
0,334
4.7813
-0.0096
-0.200
4.7771
-0.0138
-0.288
QPIT
5 095.1
5 701.5
606.4
11.902
6 007.5
912.4
17,907
5 068.3
-26.8
-0.526
5 056.9
-38.2
-0.750
QBIT
3 209.9
3 592
382.1
11.904
3 784.7
574.8
17,907
3193
-16.9
-0.526
3 185.8
-24.1
-0.751
321
359.2
38.2
11.900
378.5
57.5
17,913
319.3
-1.7
-0.530
318.6
-2.4
-0.748 -0.751
QBLD QCBD
2 888.9
3 232.8
343.9
11.904
3 406.3
517.4
17,910
2 873.7
-15.2
-0.526
2 867.2
-21.7
QMBT
99.6733
74.2244
-25.4489
-25.532
61.359
-38.3141
-38,440
101
1.3267
1.331
101.6
1.9267
1.933
QBBT
203.9
201.6
-2.3
-1.128
200.7
-3.2
-1,569
201.2
-2.7
-1.324
200
-3.9
-1.913
QCBB
1 717.7
1 689.9
-27.8
-1.618
1 676.2
-41.5
-2,416
1 716.3
-1.4
-0.082
1 715.7
-2
-0.116
QCBN
4 402.7
4 721.1
318.4
7.232
4 881.7
479
10,880
4 388.8
-13.9
-0.316
4 382.9
-19.8
-0.450
QDBT
1 891.6
1 918.2
26.6
1.406
1 931.6
40
2,115
1 890.6
-1
-0.053
1 890.1
-1.5
-0.079
SDBI
2 411.4
2 728.6
317.2
13.154
2 888.7
477.3
19,793
2 397.2
-14.2
-0.589
2 391.2
-20.2
-0.838
STOB
205.6
194.7
-10.9
-5.302
189.3
-16.3
-7,928
205.8
0.2
0.097
205.9
0.3
0.146
STBF
1 512.1
1 495.2
-16.9
-1.118
1 486.9
-25.2
-1,667
1 510.5
-1.6
-0.106
1 509.8
-2.3
-0.152
DCBP
5.5931
3.5011
-2.092
-37.403
2.4432
-3.1499
-56,318
5.7054
0.1123
2.008
5.7533
0.1602
2.864
STGF
407.9
410
2.1
0.515
411.1
3.2
0,785
407.8
-0.1
-0.025
407.8
-0.1
-0.025
RAST
193.2
184.5
-8.7
-4.503
180.1
-13.1
-6,781
193.2
0
0.000
193.2
0
0.000
2 285.7
HGKPR
7.534
2 543.9
258.2
11,296
2 287.2
1.5
0.066
2 287.8
2.1
0.092
10 974.6
2 457.9 11 829.7
172.2
TRFT
855.1
7.792
12 258
1283.3
11,693
10 959.3
-15.3
-0.139
10 953
-22.1
-0.201
KAGP
19.0516
19.1297
0.0781
0.410
19.169
0.1171
0,615
19.0522
0.0006
0.003
19.053
0.0009
0.005
3 809
3703
-106
-2.783
3 649.9
-159.1
-4,177
3 905.5
96.5
2.533
3947.4
138.4
3.633 -0.076
HPNPR NTPP
0.9249
1.0323
0.1074
11.612
1.0861
0.1612
17,429
0.9244
-0.0005
-0.054
0.9242
-0.0007
IT
93.6093
104.4
10.7907
11.527
109.7
16.0907
17,189
93.7015
0.0922
0.098
93.741
0.1315
0.140
IB
101.3
101.1
-0.2
-0.197
101
-0.3
-0,296
101.5
0.2
0.197
101.5
0.2
0.197
HBRTR
4 679.1
4 553.1
-126
-2.693
4 489.4
-189.7
-4,054
4 685.,9
6.8
0.145
4 688.8
9.7
0.207
HPGBR
4 478.1
4 425.7
-52.4
-1.170
4 399.2
-78.9
-1,762
4 481
2.9
0.065
4 482.2
4.1
0.092
Keterangan: S‐1 : HPGPR naik 10%; S‐2: HPGPR naik 15 %; S‐3: HENPR naik 10% dan S‐4: HENPR naik 15%. ∆ (%): Persentase Perubahan Lampiran 12. Lanjutan
408
Variabel
Nilai Dasar
S-5
Perubahan
Persentase Perubahan (%)
S-6
Perubah an
Persentase Perubahan (%)
S-7
Perubah an
Persentase Perubahan (%)
S-8
Perubahan
Persentase Perubahan (%)
LAPT
1 063.2
1 065.7
2.5
0.235
1 182.4
119.2
11.211
1 244
180.8
17.005
1 189.6
126.4
11.889
YPIT
4.7909
4.7976
0.0067
0.140
4.7909
0
0.000
4.7958
0.0049
0.102
4.8082
0.0173
0.361
QPIT
5 095.1
5 114.7
19.6
0.385
5668
572.9
11.244
5 970.3
875.2
17.177
5724
628.9
12.343
QBIT
3 209.9
3 222.2
12.3
0.383
3 570.9
361
11.246
3 761.3
551.4
17.178
3 606.1
396.2
12.343
QBLD
321
322.2
1.2
0.374
357.1
36.1
11.246
376.1
55.1
17.165
360.6
39.6
12.336
QCBD
2 888.9
2900
11.1
0.384
3 213.8
324.9
11.246
3 385.1
496.2
17.176
3 245.5
356.6
12.344
QMBT
99.6733
98.8272
-0.8461
-0.849
75.893
-23.78
-23.858
63.2163
-36.457
-36.576
73.253
-26.42
-26.507
QBBT
203.9
205.9
2
0.981
198.1
-5.8
-2.845
196.8
-7.1
-3.482
203.8
-0.1
-0.049
QCBB
1 717.7
1 718.9
1.2
0.070
1 688.1
-29.6
-1.723
1 674.2
-43.5
-2.532
1 691.2
-26.5
-1.543
QCBN
4 402.7
4413
10.3
0.234
4 703.8
301.1
6.839
4 862.5
459.8
10.444
4 732.9
330.2
7.500
QDBT
1 891.6
1 892.3
0.7
0.037
1 916.9
25.3
1.337
1 930.2
38.6
2.041
1919
27.4
1.449
SDBI
2 411.4
2 421.9
10.5
0.435
2 710.9
299.5
12.420
2869
457.6
18.977
2 740.7
329.3
13.656 -5.350
STOB
205.6
205.5
-0.1
-0.049
194.9
-10.7
-5.204
189.5
-16.1
-7.831
194.6
-11
STBF
1 512.1
1 513.3
1.2
0.079
1 493.2
-18.9
-1.250
1 484.7
-27.4
-1.812
1 496.6
-15.5
-1.025
DCBP
5.5931
5.5249
-0.0682
-1.219
3.6421
-1.951
-34.882
2.6001
-2.993
-53.512
3.4228
-2.1703
-38.803
STGF
407.9
408
0.1
0.025
409.9
2
0.490
410.9
3
0.735
410.1
2.2
0.539
RAST
193.2
193.2
0
0.000
184.4
-8.8
-4.555
180.1
-13.1
-6.781
184.5
-8.7
-4.503
HGKPR
2 285.7
2 284.7
-1
-0.044
2 459.8
174.1
7.617
2 545.9
260.2
11.384
2 456.7
171
7.481
TRFT
10 974.6
10 985.2
10.6
0.097
11 812
837.4
7.630
12 239
1264.4
11.521
11841
866.1
7.892
KAGP
19.0516
19.0511
-0.0005
-0.003
19.131
0.0789
0.414
19.1696
0.118
0.619
19.129
0.0776
0.407
3809
3741
-68
-1.785
3809
0
0.000
3 760.8
-48.2
-1.265
3635
-174
-4.568
HPNPR NTPP
0.9249
0.9251
0.0002
0.022
1.0317
0.1068
11.547
1.0854
0.1605
17.353
1.0325
0.1076
11.634
IT
93.6093
93.5456
-0.0637
-0.068
104.5
10.8907
11.634
109.9
16.2907
17.403
104.3
10.6907
11.421
IB
101.3
101.2
-0.1
-0.099
101.3
0
0.000
101.2
-0.1
-0.099
101
-0.3
-0.296
HBRTR
4 679.1
4 674.9
-4.2
-0.090
4 561.7
-117.4
-2.509
4 499
-180.1
-3.849
4 548.3
-130.8
-2.795
HPGBR
4 478.1
4 476.4
-1.7
-0.038
4 429.2
-48.9
-1.092
4 403.1
-75
-1.675
-54.4
-1.215
4 423.7
Keterangan: S‐5 : RPNP naik 10%; S‐6: HPGPR dan HENPR naik 10 %; S‐7: HPGPR naik 15% dan HENPR naik 10% dan S‐8: HPGPR dan RPNP naik 10% ∆ (%): Persentase Perubahan
409 Lampiran 12. Lanjutan
Variabel
Nilai Dasar
S-9
Perubahan
Persentase Perubahan (%)
S-10
Perubahan
Persentase Perubahan (%)
S-11
Perubahan
Persentase Perubahan (%)
S-12
Perubahan
Persentase Perubahan (%)
LAPT
1 063.2
1 185.1
121.9
11.465
1 247
183.8
17.287
1 185.1
121.9
11.465
1 247
183.8
17.287
YPIT
4.7909
4.7976
0.0067
0.140
4.8024
0.0115
0.240
4.7976
0.0067
0.140
0.0115
0.240
QPIT
5 095.1
5 689.5
594.4
11.666
5 993.2
898.1
17.627
5 689.5
594.4
11.666
898.1
17.627
QBIT
3 209.9
3 584.4
374.5
11.667
3 775.7
565.8
17.627
3 584.4
374.5
11.667
4.8024 5 993.2 3 775.7
565.8
17.627
321
358.4
37.4
11.651
377.6
56.6
17.632
358.4
37.4
11.651
56.6
17.632
QBLD QCBD
2 888.9
3226
337.1
11.669
3 398.1
509.2
17.626
3226
337.1
11.669
377.6 3 398.1
509.2
17.626
QMBT
99.6733
74.9613
-24.712
-24.793
62.223
-37.45
-37.573
70.1561
-29.5172
-29.614
57.418
-42.255
-42.394
QBBT
203.9
200.3
-3.6
-1.766
199.1
-4.8
-2.354
200.3
-3.6
-1.766
-4.8
-2.354
QCBB
1 717.7
1 689.4
-28.3
-1.648
1 675.5
-42.2
-2.457
1 684.6
-33.1
-1.927
-47
-2.736
QCBN
4 402.7
4715
312.3
7.093
4 874.5
471.8
10.716
4 710.2
307.5
6.984
467
10.607
QDBT
1 891.6
1 917.6
26
1.374
1931
39.4
2.083
1 905.4
13.8
0.730
27.2
1.438
SDBI
482.1
19.993
2 411.4
2 722.4
311
12.897
2 881.3
469.9
19.487
2 734.6
323.2
13.403
199.1 1 670.7 4 869.7 1 918.8 2 893.5
STOB
205.6
194.8
-10.8
-5.253
189.4
-16.2
-7.879
213.1
7.5
3.648
207.6
2
0.973
STBF
1 512.1
1 494.5
-17.6
-1.164
1 486.1
-26
-1.719
1 471.5
-40.6
-2.685
1463
-49.1
-3.247
DCBP
5.5931
3.5669
-2.0262
-36.227
2.5199
-3.0732
-54.946
3.099
-2.4941
-44.592
2.0521
-3.541
-63.310
STGF
407.9
409.9
2
0.490
411
3.1
0.760
410.4
2.5
0.613
411.5
3.6
0.883
RAST
193.2
184.4
-8.8
-4.555
180.1
-13.1
-6.781
204.6
11.4
5.901
7
3.623
2 285.7
172.9
7.564
2 544.7
259
11.331
172.9
7.564
259
11.331
848.7
7.733
12251
1275.9
11.626
2 458.6 11 823.3
200.2 2 544.7
848.7
7.733
12 251
1275.9
11.626
0.0784
0.412
19.169
0.1174
0.616
19.13
0.0784
0.412
0.1174
0.616
HGKPR TRFT
10 974.6
2 458.6 11 823.3
KAGP
19.0516
19.13
HPNPR NTPP IT IB
3809
3741
-68
-1.785
3 692.8
-116.2
-3.051
3741
-68
-1.785
19.169 3 692.8
-116.2
-3.051
0.9249
1.0319
0.107
11.569
1.0856
0.1607
17.375
1.0319
0.107
11.569
1.0856
0.1607
17.375
93.6093
104.4
10.7907
11.527
109.8
16.1907
17.296
104.4
10.7907
11.527
109.8
16.1907
17.296
101.1 4 465.4 4 411.3
-0.2
-0.197
-213.7
-4.567
-66.8
-1.492
101.3
101.2
-0.1
-0.099
101.1
-0.2
-0.197
101.2
-0.1
-0.099
HBRTR
4679.1
4 557.1
-122
-2.607
4 494.1
-185
-3.954
4 528.4
-150.7
-3.221
HPGBR
4478.1
4 427.3
-50.8
-1.134
4 401.1
-77
-1.719
4 437.6
-40.5
-0.904
Keterangan: S‐9 : HPGPR‐HENPR dan RPNP naik 10%; S‐10: HPGPR naik 15% dan HENPR‐RPNP naik 10 %; S‐11: HPGPR‐HENPR‐RPNP‐HPBBR dan RTRA naik 10% dan S‐12: HPGPR naik 15% dan HENPR‐RPNP‐HPBBR dan RTRA naik 10% . ∆ (%): Persentase Perubahan