ANALISIS BENTUK DAN MAKNA SASTRA LISAN SUMBAWA SAKECO SUKU SAMAWA DI KABUPATEN SUMBAWADENGAN PENDEKATAN FOKLOR Zekriady SMP Sumbawa Abstak Berdasarkan seluruh hasil penelitian terhadap sakeco sebagai sastra lisan Sumbawa yang berbentuk puisi, dapat disimpulkan sebgai berikut: a) Alur yang digunakan adalah alur maju. b) Latar yang digunakan yaitu: Latar tempat: istana sentris, daerah-daerah yang ada di Sumbawa dan daerah yang ada di Goa (Sulawesi Selatan), Latar suasana: senang, sedih, bahagia, tegang. C) Tokoh dan penokohan yang digunakan yaitu tokoh antagonis dan prota gonis. Karakter yang diberikan kepada masing-masing tokoh sesuai dengan peranan masing-masing. d) Tipografi yang digunakan dalam sakeco berupa tipografi bebas tanpa atura, septima, stanze (octav), quartrain, terzina, dan disitikom. e) Tipografi ini digunakan pada sakco yang yang berbentuk puisi nasehat; Diksi pada sakeco sebagai sastra lisan Sumbawa hanya digunakan pada sakeco bentuk puisi nasehat. f) diksi yang digunakan adalah tau, polak, boat, sirik, alam kubur, bunga, Korong batang, dan tau peno. g) Makna yang terkandung adalah makna kehidupan sosial pada masyarakat Sumbawa dan Sulawesi Selatan memiliki kesamaan yaitu menjodohkan putrinya dengan cara saembara atau adu kekuatan dan kepandaian. Masyarakat Sumbawa memiliki nilai persahabatan yang tidak pandang golongan. Perjuangan masyarakat Sumbawa untuk membela kebenaran rela mempertaruhkan nyawa dan tidak memilih golongan yang melakukan kesalahan. Kata Kunci: Bentuk, Makna, Sastra Lisan
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Budaya Indonesia terdiri atas beraneka ragam budaya daerah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Setiap kebudayaan (culture) memiliki cara hidup sendiri, terutama dalam melakukan tindakan-tindakan sosial warganya, oleh karena perbedaan kebutuhan, sistem kepercayaan, warisan sosial, dan lingkungan fisik.
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa asal mula kebudayaan yaitu dari hasil karya cipta manusia dari zaman nenek moyang yang telah diwariskan kepada generasi penerusnya secara turun temurun. Penerusan kebudayaan ini melingkupi kebudayaan tradisional yang berupa konsep-konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindak aktivitas manusia dalam kehidupan seharihari yang dilingkari dengan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan berupa benda-benda. Dari berbagai Jurnal Artikulasi Vo.6 No.2 Agustus 2008 | 295
prilaku seperti itulah yang dapat menumbuhkan kebudayaan tradisional rakyat. Salah satu kekayaan budaya Indonesia adalah memiliki banyak bahasa daerah. Bahasa dengan budaya sulit ditolak karena bahasa merupakan fenomena budaya. Seperti halnya pada bahasa Jawa yang memuat budaya Jawa, bahasa Sumbawa yang memuat budaya Sumbawa, bahasa Bali yang memuat budaya Bali, dan sebagainya. Bahasa dapat dikatakan sebagai ruh dari budaya itu sendiri. Bahasa sendiri adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf, 2001:1). Komunikasi melalui bahasa ini memungkinkan tiap orang untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya. Sehingga, memungkinkan tiap orang untuk mempelajari kebiasaan, adat istiadat, kebudayaan serta latarbelakanginya masing-masing. Setiap budaya daerah dapat menambah eratnya ikatan solidaritas masyarakat yang bersangkutan. Menurut Boscom dalam (Danandjaja 1997:19) bahwa budaya daerah memiliki empat peranan yaitu: (1) sebagai sistem proyeksi adalah pencerminan angan-angan suatu kolektif; (2) sebagai pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; (3) sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device), dan (4) sebagai alat kontrol agar normanorma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Berbicara masalah kebudayaan pada suatu daerah, sudah tentu mempunyai tradisi sendiri bila dibandingkan dengan dengan tradisi daerah lainnya. Salah satu
contoh yang dapat dilihat yaitu tradisi khas masyarakat Nusa Tenggara Barat khususnya kabupaten Sumbawa, baik dari adat pakaian, adat perkawinan, makanan, kesenian dan maupun prilaku kehidupan sehari-hari jauh berbeda dengan tradisi khasnya kebudayaan yang ada di masyarakat Jawa. Hal itu menandakan beraneka ragamnya kebudayaan masing-masing daerah di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri. Etnis Samawa memiliki tradisi lisan, bahkan disebut-sebut sebagai pilar budaya yang masih ada dari semenjak berabad-abad lamanya sampai sekarang. Tradisi lisan pada mulanya berinduk pada bahasa Samawa dalam syair-syair yang di tembangkan sebagai bentuk pengungkapan rasa cinta, sedih, kritik, nasehat, dalam kehidupan masyarakat, karena sudah menjadi bagian dari cara mengekspresikan isi hatinya, apalagi disampaikan dengan cara dilagukan (temung) dalam aktifitas keseharian dan tradisi upacara adat etnis Samawa. Sakeco adalah satu dari kesenian sastra lisan Sumbawa. Seni ini melibatkan dua pemain sebagai penutur sekaligus memainkan rebana sebagai musik pengiring, yang ditabuh saat penutur menyelesaikan satu alinea cerita kemudian dilanjutkan cerita ke bait berikutnya. Selain menghibur, seni ini juga berisi nasihat hidup dan dahulu dipakai untuk alat perjuangan. Kesenian ini populer bagi etnis Samawa di Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat, biasanya ditampilkan pada acara hajatan warga seperti pernikahan, khitanan, dan sejenisnya. Cerita disampaikan dalam bentuk nyanyian berbalas dan diringi dengan musik. Teman yang sering diangkat menyangkut kisah Jurnal Artikulasi Vo.6 No.2 Agustus 2008 | 296
nyata pergaulan muda-mudi, kasus pembunuhan, fenomena sosial, pemilihan kepala daerah, kawin lari, kasus pembunuhan, dan cerita lain yang menarik diketahui masyarakat. Oleh karena itu sakeco dianggap sebagai puisi yang berbentuk narasi. Cerita Sakeco umumnya terdiri atas pembuka (samula) yang berisi ucapan selamat datang dan terima kasih kepada penonton. Kemudian disusul ringkasan kisah yang akan diceritakan, selanjutnya bagian inti cerita (isi sakeco), dan terakhir racik atau penutup yang biasanya berupa cerita jenaka. Akhir cerita bisa bahagia, sedih, atau tragedi seperti kisah kawin lari (merari) yang dilakukan oleh masyarakat setempat dinilai tabu, bahkan acap mengundang konflik horizontal. Menelusuri lebih lanjut perjalanan sejarah sasrta lisan/tulis khususnya di kabupaten Sumbawa Propinsi Nusa Tenggara Barat memang sudah ada semenjak zaman dahulu kala (zaman nenek moyang). Akan tetapi keberadaan sastra lisan atau tulisan ini sangat dikhawatirkan, karena selama ini masih sangat sedikit usaha yang dilakukan untuk menggali maupun menyusunnya untuk dijadikan sebagai dokumen yang lebih lengkap. Padahal jumlah sastra lisan dan tulis di Sumbawa masih cukup banyak. Ini merupakan gejala yang timbul karena minat dan perhatian masyarakat Sumbawa semakin berkurang terhadap sastra lisan dan tulisan yang ada. Selain itu, yang biasa dan bisa menggunakan kembali sastra lisan dan tulis adalah orangorang yang sudah tua dan jumlahnyapun sedikit. Berangkat dari itu perlu dikhawatirkan dalam jangka waktu ke depan
sastra lisan dan tulis di Sumbawa akan hilang dengan sendirinya sejalan dengan arus perkembangan jaman yang terus mengalir semakin lama semakin maju pesat. Sudah jelas ini dapat merugikan masyarakat pemiliknya dan lebih-lebih merugikan lagi bagi bangsa Indonesia pada umumnya. Maka dari itulah peneliti ingin mengangkat masalah sastra khususnya sastra lisan (foklor) yaitu cerita rakyat Sumbawa yang biasa disebut Sakeco, agar masyarakat umum juga mengetahui bahwa di Sumbawa NTB juga terdapat sastra yang berbentuk cerita rakyat yang memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan inilah yang nantinya akan dapat memperbanyak ragam sastra nusantara. Melalui penelitian ini, akan diungkapkan kembali cerita rakyat Tradisional Sumbawa yang ada di Kabupaten Sumbawa Propinsi Nusa Tenggara Barat, agar dapat terwariskan untuk generasi berikutnya dan dapat dilestarikan. Selain itu, juga untuk menumbuhkembangkan kembali kebudayaan Sumbawa yang pada akhir-akhir ini hampir punah keberadaanya. Yang lebih besar lagi peneliti merasa ikut bertanggung jawab sebagai masyarakat Sumbawa pada khusunya atas kelestarian kebudayaan tradisional Indonesia, serta dapat memberikan manfaat dan masukan kepada Departemen Pendidikan Nasional dalam rangka upaya menggali dan menyelamatkan khasanah kebudayaan tradisional untuk pendidikan. PERMASALAHAN Sesuai dengan judul yang diangkat dalam penelitian ini yaitu Analisis Bentuk, Jurnal Artikulasi Vo.6 No.2 Agustus 2008 | 297
Dan Makna Sastra Lisan Sumbawa (Sakeco) Suku Samawa Di Kabupaten Sumbawadengan Pendekatan Foklor, maka masalah yang dibahas adalah seni sastra khususnya sastra lisan yang ada di kabupaten Sumbawa propinsi Nusa Tenggara Barat. Seni sastra khususnya puisi ini yang nantinya akan ditelaah sesuai dengan yang ada di perumusan masalah. JANGKAUAN MASALAH Penelitian ini hanya menekankan pada analisis bentuk dan makna yang terkadung di dalam Sakeco sebagai sastra lisan Sumbawa. Berkaitan dengan bentuk sastra lisan Sumbawa yang termasuk ke dalam Puisi, maka peneliti menjabarkan pendapat Sukada yang merangkum beberapa konsep struktur yang ditulis oleh ahli sastra berdasarkan proses kreatif dan cara menganalisis karya sastra. Rangkuman tersebut ialah alur sebuah cerita, latar atau setting, penokohan, dan gaya bahasa. Selain pendapat Sukada, ada pun pendapat Suroto yang membentuk sebuah puisi adalah tema, amanat, musikalitas, korespondensi, diksi, simbolisasi, tipografi dan gaya bahasa. Dari segi makna, penelitian ini menekankan pada segi makna kognitif dan makna non kognitif. BATASAN MASALAH Mengingat begitu luasnya dalam mambahas sastra lisan yang ada di nusantara, maka pada penelitian ini perlu adanya batasan masalah. Hal ini juga mempertimbangkan waktu dan kemampuan penulis yang masih sangat terbatas, serta karya yang dijadikan bahan penelitian cukup luas. Maka, pada penelitian ini peneliti membatasi masalah hanya pada bentuk (alur, latar/setting, penokohantifografi, diksi) dan
makna pada sastra lisan (sakeco) suku Samawa pada masyarakat Sumabawa. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah pada penelitian ini meliputi: a. Bagaimanakah bentuk sastra lisan (sakeco) suku Samawa pada masyarakat Sumabawa? b. Bagaimankah makna sastra lisan (sakeco) suku Samawa pada masyarakat Sumabawa? LANDASAN TEORI Tinjauan tentang Folklor Dundes (dalam Dananjaya 1991: 14), kata folklor adalah pengindonesian dari kata Ingris “Folklore” kata ini adalah kata majemuk yang bersal dari dua kata dasar Folk dan Lore. Folk berarti kelompok orangorang yang memiliki ciri-ciri pengenal kebudayaan yang membedakan dari kelompok lain. Tetapi yang tergantung dalam hal ini ialah bahwa merekalah yang mempunyai tradisi, yaitu kebudayaan yang telah diwariskan secara turun-temurun yang mereka akui sebagai milik kelompok mereka sendiri. Adapun yang dimaksud dengan lore tradisi folk yang diwariskan turun-temurun secara lisan atau tutur kata, ataupun melalui contoh yang disertai dengan perbuatan dan alat pembantu pengingat. Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa definisi folklor sebagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara turun-temurun dan tradisional, di antara anggota–anggota kelompok apa saja, dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan, maupun Jurnal Artikulasi Vo.6 No.2 Agustus 2008 | 298
contoh disertai dengan perbuatan dan alat pengingat, sedangkan Koentjaraningrat (1984: 50) mendefinisikan folklor adalah bagian kebudayan kolektif apa saja yang diciptakan, disebarkan atau diwariskan melalui media lisan, yang disertai dengan perbuatan atau alat pengingat. Agar dapat membedakan folklor dari kebudayaan lainnya harus diketahui lebih dahulu ciri-ciri folklor yang dapat dirumuskan sebagai berikut: a) Penyebaran dan pewarisannya secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut kemulut atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat dari suatu generasi ke generasi berikutnya. b) Folklor yang bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif atau standart. c) Folklor yang bersifat anomim, yakni nama penciptanya tidak di ketahui lagi. Oleh karena itu, folklor milik kita bersama. d) Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya; mempunyai kegunaan sebagai alat pendidikan, pelipur lara, proses sosial dan proyeksi keinginan terpendam. e) Folklor mempunyai sifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang sesuai dengan logika umum. f) Fokllor menjadi milik kita bersama dari kolektif tertentu, hal ini sudah diketahui lagi, sehingga anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
Pengertian Sastra Bagi ahli sosiologi, sastra merupakan sumber informasi mengenai tingkah laku, nilai-nilai dan cita-cita yang khas pada anggota-anggota setiap lapisan yang ada di dalam masyarakat, pada kelompokkelompok kekeluargaan atau pada generasigenerasi (Ras, 1985: 1). Pengakuan para ahli itu didasarkan pada sifat dan unsur-unsur sastra yang merupakan refleksi dari kehidupan manusia dan kepada karya sastra yang merupakan wujud tertinggi suatu kebudayaan di dalam masyarakat. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi bukan semata-mata sebuah imitasi langsung dari kehidupan. Hal ini terkait dengan proses penciptaan seniman yang memerlukan perjuangan mencari dan menuliskan ide untuk menciptakan dunia baru (karya sastra) (Luxemburg, 1984:5). Apabila suatu karya sastra menulis secara langsung dan persis suatu peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan nyata, maka karya sastra bukanlah karya sastra melainkan suatu berita atau sejarah. Selanjutnya Luxemburg (1984:9) mengatakan bahwa sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan. Konsep ini secara umum memberi penekanan pada kesepakatan, pemberian nama dan penggolongan oleh masyarakat kepada hasil cipta seseorang yang berkaitan dengan kebudayaan. Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra bersifat subjektif sehingga memerlukan suatu kesepakatan dalam pemberian definisi. Dalam KBBI (2001: 1001-1002) karya sastra tidak hanya Jurnal Artikulasi Vo.6 No.2 Agustus 2008 | 299
berupa kesepakatan, melainkan lebih dikonkritkan yaitu berupa kata-kata yang memiliki nilai estetik dan etik secara terulis, yang akan ditulis maupun yang berbentuk ucapan. Pengertian Puisi Pendapat Wirjosoedarmo adalah karangan yang terikat oleh (a) banyak baris dalam tiap bait (kuplet/strofa, suku karangan) (b) banyak kata dalam tiap baris; (c) banyak suku kata dalam tiap baris (d) rima (e) irama (Pradopo, 1990;5) sedangkan pendapat Altenbernd (1970:2) puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa beriram (bermetrum) (Pradopo, 1990:5) berpendapat puisi adalah merupakan pernyataan perasaan yang bercampur baur (Pradopo, 1990:6) Berbagai pendapat tersebut nampak adanya perbedaan-perbedaan pemikiran mengenai pengertian puisi. Jika dipadukan pendapat-pendapat tentang pengetian puisi yang sebenarnya. Ada tiga unsur pokok, pertama: hal yang meliputi pemikiran, ide atau emosi kedua bentuknya dan ketiga kesannya yang semuanya itu terungkap dengan media bahasa. Jadi puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama (Pradopo, 1990:7). Selanjutnya fungsi puisi dikemukakan oleh Jakobson (dalam Pradopo, 2008:145) sebagai fungsi puitik yaitu fungsi yang memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari poros pemilihan (parataksis) ke poros kombinasi (sintaksis). Antara bunyi, pemilihan kata, frase, kalimat, ide,
dan temanya diekuivalensikan dan disusun dalam sebuah struktur yang kompak. Adapun cara penulisan puisi menurut Saini (1993:111-113) dengan menggunakan akal (rasio) setinggi-tingginya untuk memilih dan menyusun lambanglambang. Puisi digunakan logika intuisi atau logika lambang, setiap kata atau lambang memiliki banyak arti (polivalent). Kata atau konsep dalam logika bisa mengungkapkan arti denotatif, sedang kata atau lambang dalam logika puisi mengungkapkan arti konotatif. Dengan demikian, konsep hanya mengungkapkan arti lugas, yakni arti pikiran, sedang lambang mengungkapkan sekaligus arti pikiran, perasaan dan khayal (imajinasi). Dari banyaknya pengertian pendapat para ahli tentang puisi, maka peneliti menyimpulkan bahwa puisi merupakan hasil cipta manusia yang berupa karya sastra yang diperoleh dari pengalaman jiwa imajiner pengarang dengan menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian yang mempunyai ciri tersendiri. Jika dibandingan dengan bentuk karya sastra lainnya. Bahasa dalam puisi tidak sama dengan bahasa dalam prosa, puisi dibentuk dari unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kajian Struktural Ada beberapa teori dalam analisis karya sastra, Olsen mengungkapkan teori tersebut meliputi (1) teori tradisional, (2) teori intensional, (3) teori ekstensional, (4) teori struktural, (5) teori mimesis, (7) teori emotif, (8) toeri ekspresif, dan (9) teori kognitif (Aminuddin, 2004:56). Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan Jurnal Artikulasi Vo.6 No.2 Agustus 2008 | 300
ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi (Keraf, 1988:23) Pendekatan struktur (strukturalisme) tidak dapat dilepaskan dengan kaum Formalis yang dipandang sebagai peletak dasar telaah sastra dengan pendekatan ilmu modern. Ciri khas penelitian sastra kaum formalisme adalah perhatiannya terhadap sesuatu yang khas dalam subuah teks karya sastra. Nilai estetik karya sastra didasarkan pada poetic function yang diolah berdasarkan kode metrum, rima, macammacam bentuk pararelisme, pertentangan, kiasan dan sebagainya (Fananie, 2002:115). Selanjutnya Fananie (2002:115) menjelaskan bahwa pendekatan struktur sebenarnya banyak dipengaruhi oleh konsep struktur linguistik yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure yang intinya berkaitan dengan sign dan meaning (bentuk dan isi) atau bentuk bahasa adalah pemberi arti dan yang diartikan. Ber-kaitan dengan cara pemberian makna atau memahami makna yang tertuang da-lam karya sastra, penelaah harus mencarinya berdasarkan struktur yang terefleksi melalui unsur bahasa. Bentuk Sastra Lisan Sumbawa (Sakeco) Sebagai Puisi Michael Lane (dalam Sukada, 1987: 52) menjelaskan bahwa struktur adalah sesuatu yang memiliki elemen-elemen (unsur). Elemen ini, memiliki hubungan abstrak antara yang satu dengan yang laninnya. Struktur memiliki isi yang tidak tertentu, hanya dapat dipahami melalui oraganisasi akal dan memberikan gambaran mengenai sesuatu yang riil secara wajar. Mengenai struktur karya sastra, ada
beberapa model yang dirumuskan oleh para ahli sastra. Perumusan tersebut berpangkal dari cara pandang dan bagaimana cara penilaian yang dilakukan terhadap karya sastra. Menurut Aminuddin (1995: 66), sebagai hasil suatu kreasi, karya sastra memiliki unsur yang turut membangunnya yaitu: (1) pengarang atau narator, (2) isi penciptaan, (3) media penyampaian isi berupa bahasa, dan (4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra sehingga menjadi wacana. Konsep ini, melihat karya sastra dari segi hasil kreasi sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan hasil mutlak harus disebutkan, walaupun sebagain unsur pembangun tersebut bukanlah karya sastra, seperti pengarang atau narator. Stanton (dalam Pradopo, 1988: 41) membagi karya sastra menjadi tiga bagian atau persoalan besar, yaitu fakta penceritaan, tema dan sarana sastra. Fakta penceritaan sering disebut struktur faktual merupakan aspek yang harus ada dalam sebuah karya sastra, aspek itu dapat dibagi menjadi elemen yang lebih kecil yaitu, tokoh, alur dan latar. Dalam hal ini sastra dipandang sebagai bentuk yang kompleks dan dinamis. Dalam karya sastra istilah struktur ialah kaitan-kaitan tetap antara kelompokkelompok gejala. Kaitan-kaitan tetap itu berkenaan dengan aspek-aspek yang membangun karya sastra, terutama aspek intrinsik, sedangkan kelompok-kelompok gejala berkaitan dengan perwatakan tokoh sehingga muncul istilah tokoh utama, orang yang menolongnya dan orang yang melawannya (Luxemburg, 1984: 36).
Jurnal Artikulasi Vo.6 No.2 Agustus 2008 | 301
Karya sastra merupakan susunan unsur-unsur bersistem yang antara unsurunsurnya terjadi hubungan yang timbalbalik, saling menentukan. Sejalan dengan pengertian struktur ini, Piaget (dalam Pradopo, 2000: 119) mengatakan bahwa dalam struktur itu terlihat adanya rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar yaitu, ide kesatuan, ide transformasi dan ide pengaturan diri sendiri. Dengan demikian, strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur karya sastra. Sukada (1987: 53-58) merangkum beberapa konsep struktur yang ditulis oleh ahli sastra berdasarkan proses kreatif dan cara menganalisis karya sastra. Penjelasan konsep struktur karya sastra tersebut sebagai berikut: a) Gayus Siagian dalam artikelnya “Beberapa petunjuk Bagi Calon Pengarang”, menyebutkan syaratsyarat yang harus dipenuhi sebuah cerita pendek meliputi: tema atau dasar, plot, lukisan watak (character delineation), pemba-yangan (foreshadowing, suspence), kelangsungan dan suasana (immediacy dan atmosphere), pemusatan dan kesatuan. b) Muchtar Lubis memberikan syarat cerita pendek kedalam tujuh bagaian yang meliputi: theme, plot, trap atau dramatic conflict, character delineation, suspence and foreshadowing, immediacy and atmosphere, point of view, limited focus and unity
c) Boen S. Oemarjati dalam kritik sastra mengenai roman Atheis, menyebutkan unsur-unsur roman meliputi: tema, teknik penulisan dan komposisi, perwata-kan, plot, gaya. d) Aning Retnaningsih menyebutkan unsur-unsur roman ke dalam lima bagian yang meliputi: foreshadowing (bayangan suatu kejadian yang akan datang), tema (dasar atau inti tujuan cerita), plot (rentetan kejadian yang berhubungan yang satu sama lain merupakan sebab akibat), karakter atau watak pelaku, gaya bahasa. e) M.S Hutagalung dalam kritik sastranya “Tanggapan Dunia Asrul Sani, mem-bedakan dua hal, yaitu bentuk dan isi. Segala hal yang berhubungan dengan teknik disebut dengan bentuk, yang meliputi: bahasa, gaya bahasa, gaya karangan, plot, susunan cerita, perwatakan dan sebagainya. Hal-hal yang mengenai kandungan cerita disebut isi, yang meliputi: tema, sikap, pandangan penulis terhadap dan peristiwa serta ide yang hendak disampaikan penulis terhadap pembaca. f) M. Saleh Saad dalam Simposium Bahasa dan Kesusastreaan Indonesia 1996, menyebutkan unsur-unsur penting struktur sebuah cerita rekaan yaitu alur, penokohan, latar, pusat pengisahan. g) Mbiyo Saleh dalam studinya “Sandiwara dalam Pendidikan” menyebut unsur-unsur sandiwara, novel, roman dan cerita pendek terdiri atas: plot, karakter, dialog, setting (mengenai tempat, waktu dan Jurnal Artikulasi Vo.6 No.2 Agustus 2008 | 302
latar belakang), interpretasi kehidupan. Manka Sastra Lisan Sumbawa (Sakeo) Sebagai Puisi Pada umumnya makna kata pertamatama dibedakan atas makna yang bersifat denotatif dan konotatif (Keraf, 2000: 27). Kedua makna tersebut memiliki fungsi tersendiri, makna denotatif seringkali dihubungkan dengan dengan bahasa ilmiah sehingga makna ini disebut juga makna proposional karena bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataanpernyataan yang bersifat faktual. Sedangkan makna konotatif yaitu jenis yang mengandung nilai-nilai emosional. Menurut Herbert Fiegl dalam tulisannya ”Logical Empirism” dalam teori semantik (Parera, 2004: 182) membedakan makna kognitif dan makna nonkognitif sebagai berikut:
Makna dalam bahasa dibedakan menjadi dua yaitu makna kognitif dan makna nonkognitif. Makna kognitif terdapat pada wacana-wacana ilmiah. Sifat dari karangan ilmiah setiap kalimat harus mengandung fungsi informasi yang berarti kalimat tersebut memberi informasi pada pembaca. Bahasa yang digunakan pada wacana ilmiah baku atau menggunakan bahas formal, logis dan fakta. Berbeda dengan makna nonkognitif, makna ini jauh dari sifat-sifat wacana ilmiah. Fungsi yang terdapat pada makna nonkognitif ini meliputi, emotif, ekspresif yang berarti kalimat yang digunakan mengandung ekspresi dan psikologi pengarang. Imajinatif, bahasa itu mengalir
berdasarkan fantasi atau khayalan pengarang. Karena khayalan itu terkadang jauh dari fakta. Begitu juga pada emosional dan motivasional dalam bahasa imajinatif itu terkadang melahirkan motivasi sebagai tuntunan. Berdasarkan fungsi-fungsi di atas dapat disimpulkan secara umum karya sastra berkaitan dengan unsur-unsur kejiawaan. Karya sastra mengevokusi emosi, membangkitkan energi-energi yang stagnasi, baik sebagai akibat pengaruh luar, seperti sosial, politik, dan ekonomi maupun dari dalam sebagai akibat terganggunya mekanisme psikologi itu sendiri (Ratna, 2008: 135). Hal tersebut dapat diketahui melalui bahasa yang digunakan pengarang. Dari perbedaan makna di atas, dapat diketahui bahawa bahasa sastra dominan memiliki makna nonkognitif yang mempunyai fungsi tersendiri. Sesuai dengan sifat bahasa sastra yang lebih Makna Makna Non kognitif Kognitif a) fungsi a) fungsi emotif, informasi ekspresif dan b) formal imbauan fungsional b) imajinatif c) aritmetisc) emosional/afektif logis d) motivasional dan d) faktual direktif empiris mengutamakan estetika. Sehingga fungsi yang terdapat pada kolom makna nonkognitif dapat memberi acuan pada penelitian gaya bahasa pada novel atau karya sastra lainnya. Bentuk makna diperhitungkan sebagai istilah sebab bentuk ini mempunyai Jurnal Artikulasi Vo.6 No.2 Agustus 2008 | 303
konsep dalam bidang ilmu tertentu, yakni dalam bidang linguistik. Ada tiga hal yang dijelaskan oleh filsuf dan linguis sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna. Ketiga hal itu, yakni (i) menjelaskan makna kata secara ilmiah, (ii) mendeskripsikan kalimat secara alamiah, dan (iii) menjelaskan makna dalam proses komunikasi (Kempson dalam Pateda, 2001: 79). Dari hubungan tersebut Kempson berpendapat untuk menjelaskan istilah makna harus dilihat dari segi: (i) kata; (ii) kalimat; dan (iii) apa yang dibutuhkan pembicara untuk berkomunikasi. Pandangan Saussure pada analisis medan makna adalah pada awal lingistik struktural, para linguis sangant dipengaruhi oleh psikologi asosionistik dalam pendekatan mereka terhadap makna. Para linguis dengan intuisi mereka sendiri menyimpulkan hubungan diantara seperangkat kata. Sehingga Ferdinand de Saussure memberikan hubungan asosiatif makna sebagai berikut (1) kesamaan formal dan semantik, (2) similarits semantik (butir umum), (3) similaritas sufiks-umum biasa (4) similaritas kebetulan (Parera, 2004: 138). Pemikiran di atas menjelaskan bahwa analisis medan makna tidak lepas dari hubungan seperangkat kata. Hubungan asosiasi makna mengacu pada semantik atau penataan kalimat yang dihasilkan dari hubungan kata tersebut. Jika dihubungkan dengan karya sastra, panataan kalimat pada karya sastra akan mengarah pada makna kias karena penataan kalimat tersebut difungsikan untuk memberi keindahan pada suatu ungkapan. Makna kiasan (transfered meaning atau figurative meaning) termasuk dari jenis
makna pada kajian metafora. Makna kiasan adalah pemakaian makna kata yang maknanya tidak sebenarnya (Harimurti dalam Pateda, 2004: 108). makna kiasan tidak sesuai lagi dengan konsep yang terdapat di dalam kata tersebut. Makna kiasan sudah bergeser dari makna sebenarnya, namun kalau dipikir secara mendalam, masih ada kaitannya dengan makna sebenarnya. Berdasarkan uraian tentang teori makna di atas bahwa makna dalam bahasa sastra banyak mengandung makna kias yang berfungsi sebagai memberi efek dari bahasa yang digunakan. Selain itu gaya bahasa sastra juga mengandung makna konotatif yang muncul sebagai akibat perasaan pemakai bahasa terhadap kata yang didengar atau kata yang dibaca. Makna ini berfungsi untuk menandai bahasa yang ditimbulkan dari perasaan pengarang. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bentuk Sastra Lisan Sumbawa (Sakeco) Sebagai Puisi Dari data yang telah dianalisis, diketahui bahwa selain sakeco yang berbentuk puisi narasi, juga ditemukan puisi yang berbentuk deskripsi dan puisi yang berbentuk ajakana atau nasehat. Puisi yang berbentuk narasi dan deskripsi tergolong ke dalam puisi yang menceritakan tentang perjuangan, istana sentries atau cerita lingkungan kerajaan dan sejarah terjadinya sebuah daerah. Data baru yang ditemukan adalah puisi yang berbentuk ajakan atau nasehat. Puisi ini cenderung menggunakan bahasa kias, bahasa yang multiinterpretatif. Jurnal Artikulasi Vo.6 No.2 Agustus 2008 | 304
Data yang diketahui sebagai puisi narasi dan deskripsi yaitu sakeco yang berjudul Datu Samawa, Batu Gong, dan Labaham. Dibawah ini akan di jelaskan lebih jelas mengenai sakeco sebagai sastra lisan Sumbawa yang berbentuk puisi narasi dan temuan puisi yang berbentuk nesehat atau ajakan. Makna Sastra Lisan Sumbawa (Sakeco) sebagai Puisi Makna yang yang terkandung dalam sastra lisan Sumbawa sangatlah beragam. Makna yang akan dibahas pada bagia ini hanya sebatas makna kias yang digunakan pada sakeco. Dari data yang diperoleh, pada sakeco yang berjudul Datu Samawa, Batu Gong, dan Labaham memiliki intensitas penggunaan makna kias yang lebih rendah dibandingkan dengan sakeco yang berjudul Pio Leng Dalam Korong Emas. Berikut ini akan dijelaskan satu persatu makna sakeco sastra lisan berbentuk puisi narasi dan nasehat.
b.
c.
d.
e. PENUTUP KESIMPULAN Berdasarkan seluruh hasil penelitian terhadap sakeco sebagai sastra lisan Sumbawa yang berbentuk puisi, dapat disimpulkan sebgai berikut: a. Alur yang digunakan pada sakeco sebagai sastra lisan adalah alur maju. Alur cerita tidak kembali ke masamasa lalu, cerita terus maju mengembangkan alur yang sebelumnya, sakeco ada yang tidak menggunakan alur karena bentuk yang digunakan berupa puisi nasehat
f.
yang hanya menggunakan ungkapanungkapan untuk mewakili sesuatu yang dimaksud. Latar yang digunakan dalam sakeco sebagai sastra lisan Sumbwa yaitu: - Latar tempat: istana sentris, daerah-daerah yang ada di Sumbawa dan daerah yang ada di Goa (Sulawesi Selatan) - Latar suasana: senang, sedih, bahagia, tegang Tokoh dan penokohan yang digunakan dalam sakeco sebagai sastra lisan yaitu tokoh anta gonis dan prota gonis. Karakter yang diberikan kepada masing-masing tokoh sesuai dengan peranan masingmasing. Tipografi yang digunakan dalam sakeco berupa tipografi bebas tanpa atura, septima, stanze (octav), quartrain, terzina, dan disitikom. Tipografi ini digunakan pada sakco yang yang berbentuk puisi nasehat. Diksi pada sakeco sebagai sastra lisan Sumbawa hanya digunakan pada sakeco bentuk puisi nasehat. Diksi yang digunakan adalah tau, polak, boat, sirik, alam kubur, bunga, Korong batang, dan tau peno. Makna yang terkandung dalam sakeco sebagai sastra lisan Sumbawa adalah makna kehidupan sosial pada masyarakat Sumbawa dan Sulawesi Selatan memiliki kesamaan yaitu menjodohkan putrinya dengan cara saembara atau adu kekuatan dan kepandaian. Masyarakat Sumbawa memiliki nilai persahabatan yang
Jurnal Artikulasi Vo.6 No.2 Agustus 2008 | 305
tidak pandang golongan. Perjuangan masyarakat Sumbawa untuk membela kebenaran rela mempertaruhkan nyawa dan tidak memilih golongan yang melakukan kesalahan. Masyarakat Sumbawa sangat meyakini nilai-nilai ketuhanan, sehingga mereka dari dini mereka membentengi diri dengan keimanan kepada tuhan sebab dengan demikian mereka dapat menghinadri ksirikan dan rasa tidak percay bahwa adanya tuhan yang maha esa. SARAN KEPADA PENELITIAN BERIKUTNYA Penelitian yang berjudul “Analisis Bentuk dan Makna sastra Lisan Sumbawa (sakeco) Suku samawa di Kabupaten Sumbawa dengan Pendekatan Folklor” ini menjadi salah satu penelitian tentang sastra klasik/daerah yang bermanfaat dan bisa memberikan tambahan pengetahuan bagi seluruh pembaca. Semoga dapat dijadikan sebuah sebuah pedoman guna penelitianpenelitian selanjutnya, karena sangat sedikit sekali yang meneliti tentang sastra klasik/daerah. Penelitian semacam ini dapat dijadikan pelestarian kebudayaan nasional. SARAN KEPADA PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA
SARAN KEPADA GURU BAHASA DAERAH DAN BAHASA INDONESIA Penulis sangat berharap penelitian ini dapat berguna bagi pengetahuan tentang sastra daerah/klasik yang terdapat di daerah Sumbawa sehingga penelitin ini dapat dijadikan literatur dalam pengajaran sastra dan budaya. Peneliti juga berharap agar sakeco atau puisi tradisional ini agar lebih diperkenalkan kepada siswa di sekolah sebagai suatu karya sastra. Penulis menyadari bahwa penelitaian ini masih jauh dari kesempurnaan karena sempitnya cakrawala keilmuan penulis, keterbatasan pemahaman penulis terhadap sastra klasik/daerah. Harapan penulis semoga penelitian ini dapat berguna bagiseluruh pembaca, pencinta seni, masyarakat Sumbawa, dan Pemerintahan Daerah Sumbawa, walaupun masih banyak kekurangan-kekurangan yang terdapat pada penelitian ini. Penulis berharap saran-saran yang sangat membangun tersebut dari berbagai kalangan sehingga penulis mampu memberi yang terbaik kepada seluruh pembaca. Harapan terakhir dari penulis, semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pada seluruh pembaca pada umunya.
Penulis sangat berharap agar dapat melestarikan kebudayaan dan sastra daerah/klasik terutama puisi tradisional Sumbawa dengan rutin mengadakan berbagai kegiatan seni berupa Parade Budaya dan perlombaan-perlombaan yang dapat mendukung kelestarian budaya Sumbawa sekaligus budaya nasional. Jurnal Artikulasi Vo.6 No.2 Agustus 2008 | 306
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung; Sinar Baru Algensindo _________. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Budiman. 1979. Folklor Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya. Dananjaja, James. 1991. Folklor Indonesia (Ilmu Gosip, dongen, dan lain-lain) Jakarta: Pustaka Utama Grafitri. ______________. 1994. Folklor Indonesia. Jakarta: PT. Temprint. Djojosuroto, Kinanti. 2005. Puisi: Pendekatan dan Pembelajaran. Bandung: Penerbit Nuansa Fenanie, Zainuddin. 2003. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Keraf, Geroys. 1988. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta; Gramedia. Koentjaraningrat, 1984. Kamus istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud Luxemburg, Jan Van dan Miekel Bal. 1982. Pengantar Ilmu Sastra. Dialihbahasakan oleh Dick Hartoko. 1984. Jakarta: Gramedia. Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Remaja Rosdakarya. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta; Gajah Mada University Press. Parera, J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta; Erlangga. Pateda, Mansoer, Dr. Prof. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta; Rineka Cipta. Pradopo, Djoko Rachmat. 2000. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Pradopo, Sri Widati. 1988. Struktur Cerita Rekaan Jawa Modern Berlatar Perang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Ras, J.J..1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: Grafiti Press.
Jurnal Artikulasi Vo.6 No.2 Agustus 2008 | 308
Sukada, Made. 1987. Beberapa Aspek Tentang Sastra. Denpasar: Kayu Mas dan Lembaga Seni dan Lesiba. Tarigan, Henri Guntur, 1986. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Yunus Umar.1981. Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Yunus, Bakhrum. 1987. Struktur Sastra Lisan Alas. Jakarta: Pusat Pembinaan Bahasa dan pengembangan Bahasa.
Jurnal Artikulasi Vo.6 No.2 Agustus 2008 | 309