ANALISIS BENTUK DAN MAKNA KATA BAHASA JAWA SUBDIALEK BANYUMAS JAWA TENGAH PAGUYUBAN PAKUMAS DI TANJUNGPINANG
ARTIKEL E-JOURNAL
diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
RAHAYU SEPTIANINGSIH NIM 110388201 088
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2016
ABSTRAK
SEPTIANINGSIH, RAHAYU. 2016. Analisis Bentuk dan Makna Kata Bahasa Jawa Subdialek Banyumas Jawa Tengah Pada Paguyuban Pakumas di Tanjungpinang. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Pembimbing I Titik Dwi Ramthi Hakim, M.Pd. Pembimbing II Wahyu Indrayatti, M.Pd.
Kata Kunci : Bentuk dan Makna Kata Penelitian ini membahas tentang bentuk dan makna kata yaitu bentuk dan makna kata bahasa Jawa subdialek Banyumas Jawa Tengah pada Paguyuban Pakumas di Tanjungpinang. Hal tersebut dilatarbelakangi bahwa bahasa daerah selain bahasa Melayu memiliki kesamaan dan berkontribusi dalam terbentuknya bahasa Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik cakap semuka, teknik pencatatan, dan teknik rekam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk kata dalam bahasa Jawa juga sama dengan bentuk kata bahasa Indonesia. Bahasa Jawa juga memiliki afiksasi yang sama dengan bahasa Indonesia. Dalam hal makna kata, bahasa Jawa memiliki makna kata sama dengan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa subdialek Banyumas memiliki kekhasannya tersendiri dibandingkan dengan bahasa Jawa standar (bahasa Yogyakarta dan Solo). Berdasarkan penelitian ini dalam diambil simpulan bahwa bentuk kata dalam bahasa Jawa juga dapat diklasifikasikan sama seperti halnya bahasa Indonesia. Bentuk kata itu terdiri dari kata kerja (tembung kriya), kata benda (tembung aran), kata sifat (tembung sipat), kata keterangan (tembung katrangan), dan kata ganti (tembung ganti). Makna kata sendiri diklasifikasikan seperti makna kata berimbuhan, makna kata pengulangan (reduplikasi), dan makna kata majemuk (komposisi).
ABSTRAK
SEPTIANINGSIH, RAHAYU. 2016. Analysis of Form and Meaning of Words Javanese Subdialek Banyumas in Central Java In Society Pakumas in Tanjungpinang. Education Department of Language and Literature Indonesia. Faculty of Teacher Training and Education. University Maritim of Raja Ali Haji. Supervisor I: Titik Dwi Ramthi Hakim, M.Pd. Supervisor II: Wahyu Indrayatti, M.Pd.
Keywords: Form and Meaning of Words This study discusses the shape and meaning of words and the meanings of words that form the Java language subdialek Banyumas in Central Java at the Society Pakumas in Tanjungpinang. It is motivated that the regional languages besides Malay have similarities and contribute to the formation of Indonesian. The method used in this research is descriptive qualitative. The data collection technique used is the technique capable face to face, writing techniques, and recording technique. The results showed that the shape of the Javanese is also similar to the shape of Indonesian words. Java language also has the same affixation to Indonesian. In terms of the meaning of words, the Java language has a word meaning the same as Indonesian. Banyumas subdialek Java language has its own uniqueness compared to standard Java language (the language of Yogyakarta and Solo). Based on this research in the drawn conclusion that the form of words in the Java language can also be classified as well as Indonesian. The word form consists of a verb (tembung kriya), noun (tembung aran), adjectives (tembung sipat), adverbs (tembung katrangan), and pronouns (tembung ganti). The meaning of the word itself is classified as affixation word's meaning, the meaning of the word repetition (reduplication), and the meaning of compound words (composition).
1. Pendahuluan Pada dasarnya bahasa tersebut mempunyai dua aspek mendasar, yaitu aspek bentuk dan makna. Aspek bentuk berkaitan dengan bunyi, tulisan maupun struktur bahasa, sedangkan aspek makna berkaitan dengan leksikal, fungsional maupun gramatikalnya. Apabila kita perhatikan dengan terperinci dan teliti bahasa itu dalam bentuk dan maknanya menunjukkan perbedaan antarpengungkapannya, antara penutur yang satu dengan penutur yang lain. Perbedaan-perbedaan bahasa itu menghasilkan ragam-ragam bahasa atau variasi bahasa. Variasi itu muncul karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi dan kondisi sosial, serta faktor-faktor tertentu yang mempengaruhinya, seperti letak geografis, kelompok sosial, situasi berbahasa atau tingkat formalitas, dan karena perubahan waktu. Indonesia memiliki beranekaragam suku bangsa. Ada suku Jawa, suku Minang, suku Bugis, suku Melayu, suku Batak, dan masih banyak lagi. Dikarenakan beranekaragaman suku, bahasa pun akan beranekaragam pula. Ini disebabkan adanya faktor ekonomi, sosial, maupun letak geografisnya. Penyebab ini pula menyebabkan adanya variasi bahasa dari sekelompok penutur yang berbeda dengan kelompok penutur lainnya. Semua daerah di Indonesia ini memiliki bahasanya masing-masing. Begitu pula daerah Kepulauan Riau. Propinsi yang 90% merupakan lautan ini memiliki bahasa aslinya yaitu bahasa Melayu. Namun, dengan adanya faktor ekonomi, sosial, dan sebagainya, daerah ini akhirnya memiliki bahasa yang bukan bahasa asli Kepulauan Riau akibat dari datangnya para pendatang dari beberapa daerah di luar Kepulauan Riau. Ada bahasa Jawa, bahasa Minang,
bahasa Batak, bahasa Bugis, dan lain-lain. Tidak ada yang tahu pasti kapan tepatnya para pendatang ini datang ke daerah Kepulauan Riau ini. Salah satu bahasa yang dibawa oleh para pendatang ke Kepulauan Riau yaitu bahasa Jawa. Bahasa Jawa sendiri terbagi menjadi beberapa bahasa, diantaranya bahasa Jawa Sunda, bahasa Jawa Solo, bahasa Jawa Banyumas, bahasa Jawa Pacitan, dan sebagainya. 2.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif guna menganalisis bentuk dan makna kata bahasa Jawa subdialek Banyumas Jawa Tengah pada Paguyuban Pakumas di Tanjungpinang. Djayasudarma mendefinisikan metode deskriftif dan kualitatif secara terpisah. Metode deskriptif adalah data yang dikumpulkan bukanlah angkaangka, dapat berupa kata-kata atau gambaran sesuatu (Djayasudarma, 2010:16) sedangkan metodologi kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau lisan di masyarakat bahasa (Djayasudarma 2010:11). Pendekatan kualitatif yang melibatkandata lisan di dalam bahasa melibatkan yang disebut informasi (penutur asli bahasa yang diteliti). 3.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti di lapangan yang melibatkan 19 orang informan yang menggunakan teknik cakap semuka, teknik pencatatan, dan teknik rekam, diketahui bentuk dan makna kata bahasa Jawa subdialek Banyumas Jawa Tengah pada Paguyuban Pakumas di Tanjungpinang adalah sebagao berikut:
1. Bentuk Makna 1. Inyong njaluk wedang putih anget bae la, awake adhem panas, ora patek penak. Kata adhem panas merupakan bentuk kata keterangan (tembung katrangan) yaitu kata yang memberi keterangan pada kata sifat, kata kerja, kata benda atau pada kalimat (Budi Anwari. 2016:66). Namun jika dipisahkan menjadi kata adhem dan panas akan menjadi bentuk kata sifat (tembung sipat) yaitu kelas kata yang mengubah kata benda atau kata
ganti,
biasanya
dengan
menjelaskannya
atau
membuatnya menjadi lebih spesifik. Kata sifat dapat menerangkan kuantitas, kecukupan, urutan, kualitas, maupun penekanan suatu kata (Budi Anwari. 2016:66). Kata adhem dan panas
merupakan kata dasar yang tidak diberi
imbuhan, namun jika digabung menjadi satu kesatuan akan mengalami proses komposisi yaitu proses penggabungan dasar dengan dasar (biasanya berupa akar maupun bentuk berimbuhan) untuk mewadahi suatu “konsep” yang belum tertampung dalam sebuah kata (Abdul Chaer. 2008:209). 2. Yo ngalah. Rika kaya pengantin anyar bae, adhep-adhepan sekang melebu maring ngeneh. Kata adhep-adhepan merupakan bentuk kata kerja (tembung kriya) yaitu kata yang menggambarkan proses, perubahan, atau keadaan yang bukan merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja biasanya berfungsi
sebagai predikat (Budi Anwari. 2016:66). Pada kata adhep-adhepan terjadi proses reduplikasi (tembung dwilingga) yaitu pengulangan seluruh leksem atau secara sederhana (Budi Anwari. 2016:63). Kata adhep-adhepan berasal dari kata dasar adhep, jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses reduplikasi maka akan memiliki bentuk kata benda (tembung aran) yaitu kelas kata yang menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan (Budi Anwari. 2016:66). 3. Age-age lah mangan disit. Kata age-age merupakan bentuk kata keterangan (tembung katrangan) yaitu kata yang memberikan keterangan kepada kata lain, seperti verba (kata kerja) dan adjektiva (kata sifat), yang bukan nomina (kata benda) (Budi Anwari. 2016:66). Pada kata age-age terjadi proses reduplikasi (tembung dwilingga) yaitu pengulangan seluruh leksem atau secara sederhana (Budi Anwari. 2016:63). Kata age-age berasal dari kata dasar age, jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses reduplikasi maka akan memiliki bentuk kata sifat (tembung sipat) yaitu kata yang mengubah nomina atau pronomina, biasanya dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih spesifik (Budi Anwari. 2016:66). 4. Lah tebel tenan dompete, kabotan duit nggo badha ya. Kata kabotan merupakan bentuk kata kerja (tembung kriya) yaitu kata yang menggambarkan proses, perubahan, atau keadaan yang bukan
merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja biasanya berfungsi sebagai predikat (Budi Anwari. 2016:66). Pada kata kabotan terjadi proses afiksasi yaitu konfiks (wuwuhan gabung) ke- abot –an yang berasal dari kata dasar abot (berat), yaitu kata yang diberi imbuhan pada awal dan akhir kata (Budi Anwari. 2016:62). Kata kabotan berasal dari kata dasar abot, jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses afiksasi maka akan memiliki bentuk kata sifat (tembung sipat) yaitu kata yang mengubah nomina atau pronomina, biasanya dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih spesifik (Budi Anwari. 2016:66). 5. Inyong njaluk wedang putih anget bae la, awake adhem panas, ora patek penak. Rasane kadheman terus. Kata kadheman merupakan bentuk kata keterangan (tembung katrangan) yaitu kata yang memberi keterangan pada kata sifat, kata kerja, kata benda atau pada kalimat (Budi Anwari. 2016:66). Dalam kata kadheman terjadi proses afiksasi yaitu konfiks (wuwuhan gabung) ke- adhem –an yang berasal dari kata dasar adhem (dingin), yaitu kata yang diberi imbuhan pada awal dan akhir kata (Budi Anwari. 2016:62). Kata kadheman berasal dari kata dasar adhem, jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses afiksasi akan memiliki bentuk kata sifat (tembung sipat) yaitu kata yang mengubah nomina atau pronomina,
biasanya dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih spesifik (Budi Anwari. 2016:66). 6. Aja kadohan lingguhe. Mengko ora krungu Pak Riyandi ngomong apa. Kata kadohan merupakan bentuk kata benda (tembung aran) yaitu kelas kata yang menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan (Budi Anwari. 2016:66). Dalam kata kadohan terjadi proses afiksasi yaitu konfiks (wuwuhan gabung) ka- adoh –an yang berasal dari kata dasar adhem (dingin), yaitu kata yang diberi imbuhan pada awal dan akhir kata (Budi Anwari. 2016:62). Kata kadohan berasal dari dasar adoh, jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses afiksasi akan memiliki bentuk kata sifat (tembung sipat) yaitu kata yang mengubah nomina atau pronomina, biasanya dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih spesifik (Budi Anwari. 2016:66). 7. Mungkin ana seka bapane ibune ngajokaken nggo halal bihalal bulan ngarep. Kata ngajokaken merupakan bentuk kata kerja (tembung kriya) yaitu kata yang menggambarkan proses, perubahan, atau keadaan yang bukan merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja biasanya berfungsi sebagai predikat (Budi Anwari. 2016:66). Dalam kata ngajokaken terjadi proses afiksasi yaitu konfiks (wuwuhan gabung) N- aju –en
yang berasal dari kata dasar
aju (maju), yaitu kata yang diberi
imbuhan pada awal dan akhir kata (Budi Anwari. 2016:62). Kata ngajokaken berasal dari kata dasar aju, jika berdiri sendriri tanpa mengalami proses afiksasi akan memiliki bentuk kata kerja (tembung kriya) yaitu kata yang menggambarkan proses, perubahan, atau keadaan yang bukan merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja biasanya berfungsi sebagai predikat (Budi Anwari. 2016:66). 8. Uwis lah, kakehan jangane. Kata kakehan merupakan bentuk kata benda (tembung aran) yaitu kelas kata yang menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan (Budi Anwari. 2016:66). Dalam kata kakehan terjadi proses afiksasi yaitu konfiks (wuwuhan gabung) ka- akeh –an yang berasal dari kata dasar akeh (banyak), yaitu kata yang diberi imbuhan pada awal dan akhir kata (Budi Anwari. 2016:62). Kata kakehan berasal dari kata dasar akeh, jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses afiksasi akan memiliki bentuk kata sifat (tembung sipat) yaitu kata yang mengubah nomina atau pronomina, biasanya dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih spesifik (Budi Anwari. 2016:66). 9. Aja sampe kowe ngaku-ngaku uwis bayar duit arisane. Kata ngaku-ngaku merupakan betuk kata kerja (tembung kriya) yaitu kata yang menggambarkan proses, perubahan, atau keadaan yang
bukan merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja biasanya berfungsi sebagai predikat (Budi Anwari. 2016:66). Dalam kata ngaku-ngaku terjadi proses reduplikasi (tembung dwilingga) yaitu pengulangan seluruh leksem atau secara sederhana (Budi Anwari. 2016:63). Kata ngaku-ngaku berasal dari kata dasar ngaku, jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses reduplikasi akan memiliki bentuk kata kerja (tembung kriya) yaitu kata yang menggambarkan proses, perubahan, atau keadaan yang bukan merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja biasanya berfungsi sebagai predikat (Budi Anwari. 2016:66). 10. Maring nganah la, aja ngalang-alangi inyong. Kata ngalang-alangi merupakan betuk kata kerja (tembung kriya) yaitu kata yang menggambarkan proses, perubahan, atau keadaan yang bukan merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja biasanya berfungsi sebagai predikat (Budi Anwari. 2016:66). Dalam kata ngalang-alangi terjadi proses reduplikasi (tembung dwilingga) yaitu pengulangan seluruh leksem atau secara sederhana (Budi Anwari. 2016:63). Kata ngalang-alangi berasal dari kata dasar alang, jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses reduplikasi akan memiliki bentuk kata kerja (tembung kriya) yaitu kata yang menggambarkan proses, perubahan, atau keadaan yang bukan merupakan sifat. Dalam kalimat, kata kerja biasanya berfungsi sebagai predikat (Budi Anwari. 2016:66).
2. Makna Kata 1. Inyong njaluk wedang putih anget bae la, awake adhem panas, ora patek penak. Kata adhem panas mengalami proses komposisi yang kata dasarnya (leksem) adalah
adhem dan panas. Jika kata tersebut disatukan
menjadi kata majemuk akan memiliki makna kata majemuk yang terdapat dalam kata yang berkategori verbal, nomina, dan adjektiva (Mansoer Pateda. 2001:146) yaitu panas dingin atau demam. Kata adhem jika berdiri sendiri tanpa digabungkan dengan kata yang lain dapat memiliki makna kata dasar (leksem) dingin yaitu bersuhu rendah jika dibandingkan dengan suhu tubuh manusia, sedangkan kata panas jika berdiri sendiri tanpa digabungkan dengan kata yang lain dapat memiliki makna kata dasar (leksem) panas yaitu suhu yang lebih tinggi dari suhu tubuh manusia atau dapat dikatakan lawan kata dari dingin. 2. Yo ngalah. Rika kaya pengantin anyar bae, adhep-adhepan sekang melebu maring ngeneh. Kata adhep-adhepan nengalami proses reduplikasi yang kata dasarnya (leksem) adalah adhep. Jika kata adhep mengalami proses reduplikasi seperti adhep-adhepan akan memiliki makna kata reduplikasi yang menyatakan banyak, meskipun, menyerupai, perbuatan, pekerjaan, saling, agak, paling, menyatakan intensitas, bermacam-macam, dan menyatakan sifat (Mansoer Pateda. 2001:143) yaitu berhadapan.
Kata adhep jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses reduplikasi akan memiliki makna hadap (sisi atau bidang sebelah muka; arah ke). 3. Age-age lah mangan disit. Kata age-age mengalami proses reduplikasi yang kata dasarnya (leksem) adalah age. Jika kata age mengalami proses reduplikasi seperti age-age akan memiliki makna kata reduplikasi yang menyatakan banyak, meskipun, menyerupai, perbuatan, pekerjaan, saling, agak, paling, menyatakan intensitas, bermacam-macam, dan menyatakan sifat (Mansoer Pateda. 2001:143) yaitu cepat-cepat (dengan segera sekali). Kata age jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses reduplikasi akan memiliki makna dalam waktu singkat dapat menempuh jarak cukup jauh (perjalanan, gerakan, kejadian, dan sebagainya); laju; deras. 4. Lah tebel tenan dompete, kabotan duit nggo badha ya. Kata kabotan mengalami proses afiksasi (konfiks) yang kata dasarnya (leksem) adalah abot. Jika kata abot mengalami proses afiksasi akan memiliki makna afiksasi yang dapat saja mengakibatkan munculnya makna yang bermacam-macam dari prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks (Mansoer Pateda. 2001:140) yaitu keberatan (perihal beratnya suatu benda, tugas, perasaan, penyakit, dan sebagainya). Kata abot jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses afiksasi akan memiliki makna berat (perihal beratnya suatu benda, tugas, perasaan, penyakit, dan sebagainya).
5. Inyong njaluk wedang putih anget bae la, awake adhem panas, ora patek penak. Rasane kadheman terus. Kata kadheman mengalami proses afiksasi (konfiks) yang kata dasarnya (leksem) adalah adhem. Jika kata adhem mengalami proses afiksasi akan memiliki makna afiksasi yang dapat saja mengakibatkan munculnya makna yang bermacam-macam dari prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks (Mansoer Pateda. 2001:140) yaitu dingin (bersuhu rendah jika dibandingkan dengan suhu tubuh manusia). Kata adhem jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses afiksasi akan memiliki makna kedinginan (terkena dingin; menderita dingin; kesejukan). 6. Aja kadohan lingguhe. Mengko ora krungu Pak Riyandi ngomong apa. Kata kadohan mengalami proses afiksasi (konfiks) yang kata dasarnya (leksem) adalah adoh. Jika kata adoh mengalami proses afiksasi akan memiliki makna afiksasi yang dapat saja mengakibatkan munculnya makna yang bermacam-macam dari prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks (Mansoer Pateda. 2001:140) yaitu kejauhan (tempat yang jauh; jarak jauh).
Kata adoh jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses afiksasi akan memiliki makna kejauhan (panjang antaranya (jaraknya); tidak dekat).
7. Mungkin ana seka bapane ibune ngajokaken nggo halal bihalal bulan ngarep. Kata ngajokaken mengalami proses afiksasi (konfiks) yang kata dasarnya (leksem) adalah aju. Jika kata aju mengalami proses afiksasi akan memiliki makna afiksasi yang dapat saja mengakibatkan munculnya makna yang bermacam-macam dari prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks (Mansoer Pateda. 2001:140) yaitu mengajukan (usul, permohonan, pendapat, dan sebagainya). Kata aju jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses afiksasi akan memiliki makna maju berjalan (bergerak) ke muka; tampil ke muka). 8. Uwis lah, kakehan jangane. Kata kakehan mengalami proses afiksasi (konfiks) yang kata dasarnya (leksem) adalah akeh. Jika kata akeh mengalami proses afiksasi akan memiliki makna afiksasi yang dapat saja mengakibatkan munculnya makna yang bermacam-macam dari prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks (Mansoer Pateda. 2001:140) yaitu kebanyakan (perihal banyak; banyaknya; jumlahnya). Kata akeh jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses afiksasi akan memiliki makna banyak (besar jumlahnya; tidak sedikit). 9. Aja sampe kowe ngaku-ngaku uwis bayar duit arisane. Kata ngaku-ngaku mengalami proses reduplikasi yang kata dasarnya (leksem) adalah ngaku. Jika kata ngaku mengalami proses reduplikasi seperti ngaku-ngaku akan memiliki makna kata reduplikasi yang
menyatakan banyak, meskipun, menyerupai, perbuatan, pekerjaan, saling, agak, paling, menyatakan intensitas, bermacam-macam, dan menyatakan sifat (Mansoer Pateda. 2001:143) yaitu mengaku sebagai (menyatakan (menganggap) dirinya (pandai, kaya, dan sebagainya). Kata ngaku jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses reduplikasi akan memiliki makna mengaku (menerima dan menyatakan bahwa dirinya salah, keliru, dan sebagainya). 10. Maring nganah la, aja ngalang-alangi inyong. Kata ngalang-alangi mengalami proses reduplikasi yang kata dasarnya (leksem) adalah alang. Jika kata alang mengalami proses reduplikasi seperti ngalang-alangi akan memiliki makna kata reduplikasi
yang
menyatakan
banyak,
meskipun,
menyerupai,
perbuatan, pekerjaan, saling, agak, paling, menyatakan intensitas, bermacam-macam, dan menyatakan sifat (Mansoer Pateda. 2001:143) yaitu menghalangi. Kata alang jika berdiri sendiri tanpa mengalami proses reduplikasi akan memiliki makna menghalang (melintang; merintang). 4.
Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan analisis data dan pembahasan, diketahui bentuk dan makna kata bahasa Jawa subdialek Banyumas Jawa Tengah Paguyuban Pakumas di Tanjungpinang, dapat disimpulkan bahwa bahasa Banyumas ini merupakan bahasa yang dibawa para pendatang yang sudah lama ada di kota Tanjungpinang. Bahasa Banyumas di kota Tanjungpinang ini tetap
dipertahankan oleh para pendatang asli Banyumas dengan mendirikan perkumpulan/paguyuban yang bernama Paguyuban Pakumas. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan adanya pembentukan kata pada bahasa Jawa subdialek Banyumas, Jawa Tengah. Pembentukan kata tersebut terdiri dari afiksasi, komposisi, dan reduplikasi. Ini juga membuktikan bahwa bahasa Banyumas memiliki kekhasannya sendiri jika dibandingkan dengan bahasa Jawa standar lainnya (bahasa Yogyakarta dan Solo). Peneliti juga mengharapkan penelitian-penelitian yang berhubungan dengan dialek-dialek daerah dapat ditingkatkan lagi. Bahasa daerah bukan hanya bahasa Banyumas saja yang merupan aset penting bangsa Indonesia. Masih banyak bahasa-bahasa daerah yang lain yang dapat diteliti karena itulah harta bangsa Indonesia yang patut dijaga kelestariannya.
DAFTAR PUSTAKA Arifin, E. Zaenaldan Junaiyah H.M., Morfologi: Bentuk, Makna, dan Fungsi. Jakarta: Grasindo. 2009. Anwari, Budi., Baboning Pepak Basa Jawa. Surabaya: Genta Group Production. 2016. Chaer, Abdul., Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Chaer, Abdul., Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 2002. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina., Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Chaer, Abdul., Morfologi Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta. 2008. Chaer, Abdul., Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 2011. Departemen Pendidikan Nasional., Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2001. Djajasudarma, T. Fatimah., Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama. 2010. Djajasudarma, T. Fatimah., Semantik 1: Makna Leksikal dan Gramatikal. Bandung: Refika Aditama. 2012. Kridalaksana, Harimurti., Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2007. Lubis, Hamid Hasan., Glosarium Bahasa dan Sastra. Bandung: Angkasa. 1994. Mahsun., Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005. Masnon., Analisis Bentuk dan Makna Morfem Subdialek Bahasa Melayu Masyarakat Sekanah Kecamatan Lingga Utara Kabupaten Lingga. Skripsi Universitas Maritim Raja Ali Haji. 2014. Muslich, Masnur., Tata Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian ke Arah Tata bahasa Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara. 2008.
Norliana, Isnaeni Praptanti, dan Siti Fathonah., Kajian Morfologi Bahasa Jawa Dialek Banyumas. Skripsi Universitas Muhammadyah Purwokerto. 2014. Pateda, Mansoer., Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. 2001. Rohmadi, Muhammad dan Lili Hartono., Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa: Teori dan Pembelajarannya. Surakarta: Pelangi Press. 2011. Tarigan, Henry Guntur., Pengajaran Morfologi. Bandung: Angkasa. 2009. Wati, Riau., Bahasa Indonesia: Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Tanjungpinang: CV. Malay Village Library. 2013.