ANALISIS ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI DAS BILA SULAWESI SELATAN
IKRIMA STADDAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Aliran Permukaan dan Erosi DAS Bila Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2015
Ikrima Staddal NRP A155110011
RINGKASAN IKRIMA STADDAL. Analisis Aliran Permukaan dan Erosi DAS Bila, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh OTENG HARIDJAJA dan YAYAT HIDAYAT Masalah utama kerusakan sumber daya lahan di daerah aliran sungai disebabkan oleh erosi. Erosi menyebabkan kerusakan tanah yang meliputi sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Penggunaan lahan yang tidak menerapkan kaidahkaidah konservasi membuat proses erosi semakin cepat terjadi dan diikuti hasil sedimentasi yang ikut meningkat. Erosi yang besar pada lahan pertanaian di suatu DAS akan terbawa oleh aliran permukaan ke sungai dan akan menimbulkan masalah yang sangat merugikan. Dalam sistem analisis seperti DAS yang sangat rumit diperlukan suatu alat bantu berupa model yang dapat meyederhanakan sistem dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dalam masalah tersebut. Model yang digunakan adalah model AnnAGNPS dan model SWAT. Model AnnAGNPS (Annualized Agricultural Non Point Source Pollution) adalah model kontinyu yang dapat memprediksi erosi lahan dan erosi skala DAS. Model AnnAGNPS biasanya digunakan untuk membandingkan dampak dari berbagai penggunaan lahan. SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan model kejadian kontinyu skala DAS yang beroperasi secara harian dan dirancang untuk memprediksi dampak pengelolaan terhadap air, sedimen, dan bahan kimia dari pertanian. Tujuan penelitian yaitu (1) memprediksi aliran permukaan dan erosi DAS Bila, dan (2) menentukan pengelolaan lahan optimal untuk mengurangi laju erosi DAS Bila dan jumlah sedimen yang masuk ke Danau Tempe. Metode penelitian yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan data primer dan sekunder, mengolah data input, penggunaan model, kalibrasi, validasi dan aplikasi model untuk menentukan pengelolaan lahan optimal. Deliniasi batas DAS menggunakan model AnnAGNPS tidak terbentuk secara sempurna dikarenakan (1) Model AnnAGNPS kurang akurat dalam memprediksi jaringan sungai pada topografi yang relatif datar (2) Pengembangan interface model AnnAGNPS dengan ArcView belum dalam bentuk extention melainkan template, sehingga integrasi data spasial masih lemah. Deliniasi batas DAS menggunakan model SWAT tidak menggambarkan batasan DAS dilapang, sehingga model AnnAGNPS digantikan dengan model SWAT. Pengolahan data DEM menggunakan model SWAT menghasilkan 23 sub DAS dengan jumlah HRU 378. Kalibrasi parameter input model yang digunakan di DAS Bila adalah kurva aliran permukaan (CN_2), faktor evaporasi tanah (ESCO), faktor tanaman (EPCO), faktor alpha aliran dasar (Alfa_BF), lama air bawah tanah (GW_Delay), ketinggian minimum aliran dasar (GWQMN), fraksi perkolasi perairan dalam (RCHRG_DP), nilai Manning pada saluran utama (CH_N2), nilai hantaran hidrolik pada saluran utama (CH_K2) dan koefisien lag aliran permukaan (SURLAG). Hasil kalibrasi dari 10 parameter yang diinput, diperoleh nilai koefisien deterministik sebesar 0.75 (good) dan NSE sebesar 0.70 (satisfactory). Hasil validasi menunjukkan bahwa perbandingan debit observasi dan debit simulasi
menghasilkan R2 sebesar 0.86 (very good) dan NSE sebesar 0.62 (satisfactory). Hal ini menunjukkan bahwa model SWAT dapat digunakan untuk memprediksi aliran permukaan dan erosi di DAS Bila. Hasil analisis aliran permukaan dan erosi DAS Bila menunjukkan bahwa pemukiman, pertanian lahan kering, sawah sebagai faktor utama tingginya aliran permukaan, sedangkan hutan sekunder dan pertanian lahan kering menjadi faktor utama besarnya erosi. Kontribusi aliran permukaan dari pemukiman pada sub DAS 15 sebesar 535 atau sebesar 55% dari total aliran permukaan, pertanian lahan kering pada sub DAS 7 sebesar 328 mm atau sebesar 48% dari total aliran permukaan dan sawah pada sub DAS 9 sebesar 489 mm atau 47%. Kontribusi erosi pertanian lahan kering pada sub DAS 2 sebesar 456 ton/ha/tahun dengan erosi yang dapat ditoleransikan hanya 22.9 ton/ha/tahun, sedangkan hutan sekunder pada sub DAS 6 menghasilkan erosi sebesar 247 ton/ha/tahun dengan erosi yang dapat ditoleransikan hanya 24.2 ton/ha/tahun. Skenario pengelolaan lahan optimal berupa pengadaan reboisasi pada lahan kritis, penerapan agroforestri pada lahan pertanian kering dengan kemiringan >40%, penerapan teras bangku dan agroforesti pada lahan pertanian kering dengan kemiringan 0-40%, kawasan hutan sekunder dijadikan hutan lindung dan penerapan teras bangku pada lahan sawah, dapat mengurangi aliran permukaan sebesar 68% dan erosi 70% .
Kata kunci : aliran permukaan, erosi, DAS Bila, model SWAT, konservasi tanah
SUMMARY IKRIMA STADDAL. Analysis Surface Runoff and Soil Erosion of Bila Watershed, South Sulawesi. Under supervision of OTENG HARIDJAJA and YAYAT HIDAYAT The main problem of land resources degradation in the watershed caused by soil erosion. Soil erosion cause degradation of soil properties such as physical, chemical and biological. Land utilization without application soil and water conservation make accelerate soil erosion and sedimentation. The highest soil erosion on agricultural land in a watershed will be carried away by surface runoff to the river and will pose a problem that is very detrimental. In very complex analysis systems, such watershed needed a tool in the form of a model that can simplify the system by considering aspects related to the matter. The model used is a AnnAGNPS and SWAT models. AnnAGNPS (Annualized Agricultural Non-Point Source Pollution) is a continuous model that can predict land soil erosions on watershed land scale. AnnAGNPS models commonly can be used to compare the impact of various land uses. SWAT (Soil and Water Assessment Tool) is a continuous scale model that operate on a daily basis and is designed to predict the impact management of water, sediment and chemicals from agriculture land. The objectives of this research are: (1) to analysis surface runoff and soil erosion of Bila watershed, (2) determine best management practices in Bila watershed in order to reduce surface runoff and soil erosion will be enter to Tempe lake. The research methods consist of input data collection, application of the SWAT model, calibration of model parameters, validation and simulation of land management and application of soil and water conservation. Delineation of watershed boundary in AnnAGNPS model was not completely run due to (1) AnnAGNPS model is less accurate in predicting the river network in relatively flat topography, and (2) Development of AnnAGNPS interface with ArcView is not able to integrate of data spasial. Delineation of watershed boundary of AnnAGNPS model was not represent of watershed boundary in the field, therefore AnnAGNPS model was replaced by SWAT model. DEM processing of SWAT model produced 23 sub-basins with number of HRU is 378. Parameter calibration used in Bila watershed were surface runoff curve number (CN_2), soil evaporation compensation factor (ESCO), plant uptake compensation factor (EPCO), the baseflow alpha factor (Alfa_BF), the delay time (GW_Delay), threshold depth of water in shallow aquifer required for return flow to accur (GWQMN), deep aquifer percolation fraction (RCHRG_DP), Manning n value for main channel (CH_N2), effective hydraulic conductivity in main channel (CH_K2) and surface runoff lag coefficient (SURLAG). Calibration results of 10 parameters, showed that coefficient deterministic is 0.75 (good) and NSE is 0.70 (satisfactory). The validation showed that the ratio of discharges observation simulation of R2 is 0.86 (very good) and NSE is 0.62 (satisfactory). This showed that SWAT model can be used to predict surface runoff and soil erotion of Bila watershed.
Results of runoff and erosion analysis indicates that urban, dry land agriculture and paddy field as the main contributes of surface runoff, secondary forest and dry land agriculture became the main contributes of soil erosion. Runoff contribution from urban in sub basin 15 is 535 or 55% of the total runoff, dry land agriculture in sub basin 7 is 328 mm or 48% of the total runoff and rice land in sub basin 9 is 489 mm or 47%. Erosion contribution from dry land agriculture in sub basin 2 is 456 tonnes / ha / year with erosion that can be tolerated only 22.9 tonnes / ha / year, secondary forest in sub basin 6 is 247 tons / ha / year with erosion that can be tolerated only 24.2 tonnes / ha / year. Based on scenario, optimally best management practices for Bila watershed are reforestation on degraded land, agroforestry in dry land agriculture with a slope of> 40%, terracing and agroforestry in dry land agriculture with a slope of 0-40%, protect of secondary forest and terracing in paddy field. The scenario respectively significantly reduce surface runoff and soil erosion by 68% and 70%. Keywords: Bila watershed, soil erosion, soil and water conservation, surface runoff, SWAT model
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI DAN BILA SULAWESI SELATAN
IKRIMA STADDAL
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Latief Mahir Rachman MSc MBA
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala Ridho-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini disusun guna memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, dengan judul Analisis Aliran Permukaan dan Erosi DAS Bila, Sulawesi Selatan. Karya tulis ini mencakup beberapa tujuan penelitian, yakni memprediksi aliran permukaan dan erosi serta menganalisis skenario pengelolaan lahan yang dapat mengurangi aliran permukaan dan erosi DAS Bila. Dalam memprediksi aliran permukaan dan erosi dilakukan dengan bantuan model SWAT yang dapat memprediksi pada skala sub DAS. Keluaran yang dicapai dari penelitian ini adalah penggunaan lahan pemukiman, sawah dan pertanian lahan kering pada kemiringan 15-25% dan 25-40% memberikan kontribusi aliran permukaan paling tinggi, sedangkan penggunaan lahan hutan sekunder dan pertanian lahan kering pada kemiringan 0-8%, 15-25% dan 25-40% memberikan kontribusi erosi paling besar. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc selaku ketua pembimbing dan Dr. Ir. Yayat Hidayat, MSc selaku anggota pembimbing atas arahan dan bimbingan yang sangat berharga kepada penulis, juga kepada Bapak Dr Ir Surya Darma Tarigan selaku ketua program studi, Bapak Dr. Ir. Latief Mahir Rachman MSc MBA selaku penguji luar komisi beserta staf dosen Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, IPB dan kepada semua pihak yang telah membantu. Akhirnya semoga karya ilmiah ini menjadi sumbangsih penulis terhadap ilmu pengetahuan dan berguna bagi semua pihak yang membutuhkan. Terima kasih.
Bogor, Juli 2015
Ikrima Staddal
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 3 5 5
2 TINJAUAN PUSTAKA Aliran Permukaan Erosi dan Tingkat Bahaya Erosi Model AnnAGNPS Model SWAT
6 6 6 7 7
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Alat dan Bahan Tahapan Penelitian
10 10 11 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN penggunaan Lahan Topografi Jenis Tanah Iklim Deliniasi DAS Parameterisasi Model Kalibrasi Debit Aliran Sungai Validasi Debit Aliran Sungai Kontribusi Aliran Permukaan Kontribusi Erosi Identifikasi Potensi Aliran Permukaan dan Erosi Sub DAS Simulasi Pengelolaan Lahan
17 17 18 18 19 21 23 25 28 29 32 34 36
5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
43 43 43
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
45 47
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kelas bahaya erosi Perbedaan model AnnAGNPS dan model SWAT Parameter iklim pada model SWAT Nilai tingkatan kemampuan NSE Penggunaan lahan DAS Bila Kemiringan lereng DAS Bila Jenis tanah DAS Bila Temperatur maksimum dan minimum rataan bulanan (2002-2011) Kecepatan angin dan penyinaran matahari (2002-2011) Pembagian sub DAS berdasarkan model SWAT Parameter input model SWAT Parameter sensitif terhadap debit aliran model SWAT Aliran permukaan hasil model SWAT Tebal aliran permukaan untuk berbagai penggunaan lahan Nilai erosi (ton/ha/tahun) pada penggunaan lahan Simulasi skenario 1 berdasarkan RTK Jeneberang-Walanae Simulasi skenario 2 berdasarkan kondisi aktual DAS Bila Simulasi skenario 3 berdasarkan lahan kritis
7 9 14 16 17 18 18 20 20 23 25 27 30 31 32 37 38 38
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kerangka pemikiran penelitian Lokasi penelitian Bagan alir penelitian Penggunaan lahan tahun 2006 dan 2011 Jenis Tanah DAS Bila Rataan curah hujan bulanan (2002-2011) dari stasiun Bila Riase dan Lagading Proses pengolahan data DEM 30 meter Sub DAS hasil model AnnAGNPS Jaringan sungai hasil observasi dan model Kalibrasi hidrograf aliran debit harian simulasi dan debit observasi Kalibrasi debit harian observasi dan debit harian simulasi Validasi hidrograf aliran debit observasi dan debit simulasi Validasi debit harian observasi dan debit harian simulasi Aliran permukaan sub DAS tahun 2006 dan 2011 Penggunaan lahan pada pertanian lahan kering DAS Bila Tingkat bahaya erosi tahun 2006 dan tahun 2011
4 10 12 17 19 19 21 22 22 26 28 29 29 31 33 34
17 18 19 20
Hasil aliran permukaan pada simulasi skenario 1, 2 dan 3 Hasil erosi pada simulasi skenario lahan 1, 2 dan 3 Tingkat bahaya erosi pada kondisi aktual, skenario 1, 2 dan 3 Tinggi aliran permukaan pada kondisi aktual, skenario 1, 2 dan 3
39 40 41 42
DAFTAR LAMPIRAN Tabel 1 2 3 4 5 6
Hasil aliran permukaan menggunakan model SWAT pada 23 Sub DAS Hasil erosi pada 23 Sub DAS yang terbentuk menggunakan model SWAT Tingkat bahaya aliran permukaan Pendekatan nilai kapasitas menahan air (mm H2O/mm) berdasarkan tekstur tanah Pendekatan nilai konduktifitas hidrolik tanah (mm/jam) berdasarkan tekstur tanah Hasil aliran permukaan dan erosi pada simulasi skenario pengelolaan lahan pada kondisi 1, 2 dan 3
47 48 48 50 50 51
Gambar 1 Penggunaan lahan DAS Bila: hutan primer, hutan sekunder, padang 52 rumput, sawah 2 DAS Bila, Danau Tempe, sub DAS Cendrana, pendangkalan di sub DAS Bila 53 3 Penggunaan lahan DAS Bila: pertanian lahan kering pada kemiringan 15-25%, pertanian lahan kering pada kemiringan 8-15% 54
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya terjadi interaksi antara unsur-unsur biotik dan unsur-unsur abiotik. Interaksi ini dinyatakan dalam bentuk keseimbangan masukan dan keluaran berupa air dan sedimen. Di dalam DAS ada dua proses alami yang sangat penting yaitu aliran permukaan dan erosi. Erosi yang terjadi secara alami tanpa ada aktivitas manusia di dalamnya mempunyai dampak resiko yang lebih kecil dibandingkan erosi yang terjadi karena aktivitas manusia (Asdak 2007). Masalah utama kerusakan sumber daya lahan di daerah aliran sungai disebabkan oleh erosi. Terjadinya erosi menyebabkankerusakan tanah yang meliputi sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Penggunaan lahan yang tidak menerapkan kaidah-kaidah konservasi membuat proses erosi semakin cepat terjadi dan diikuti hasil sedimentasi yang ikut meningkat. Erosi yang besar pada lahan pertanaian di suatu DAS akan terbawa oleh aliran permukaan ke sungai dan akan menimbulkan masalah yang sangat merugikan. Dalam analisis sistem seperti DAS yang sangat rumit diperlukan suatu alat bantu berupa model yang dapat meyederhanakan sistem dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang terkait dalam masalah tersebut. Modelmodel hidrologi DAS menggambarkan interaksi antar variabel-variabel di dalam konteks DAS. Model simulasi telah banyak digunakan untuk memprediksi erosi skala DAS baik model terdistribusi maupun model lamp. Model-model yang dikenal antara lain HEC-1 (Flood Hydrograph Package), HYMO (Hydrologic Model Computer Languange), AnnAGNPS (Annualized Agricultural Non Point Source Pollution), SWM-IV (Standford Watershed Model IV), CREAM (Chemical, Runoff, and Erosion from Agricultural Management) dan SWAT (Soil Water Assessment Tools). Dalam penggunaannya, paket model tersebut harus dipilih sesuai dengan tujuan yang akan dicapai karena masing-masing paket model simulasi mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam keluarannya. Dari segi spasial, sumber polusi dapat dibagi dua yaitu sumber titik polusi (point source pollution) dan bukan sumber titik polusi (non-point source pollution). Model Annualized Agricultural Non Point Source Pollution (AnnAGNPS) adalah model kontinyu yang dapat memprediksi erosi lahan dan erosi skala DAS. Model AnnAGNPS dapat juga digunakan untuk membandingkan dampak dari berbagai penggunaan lahan. Model AnnAGNPS adalah model revisi dari model AGNPS. Model AnnAGNPS memiliki lebih banyak keunggulan dari pada model AGNPS, antara lain model AnnAGNPS merupakan model kontinyu sedangkan AGNPS model single dan model AnnAGNPS dapat digunakan pada DAS dengan skala yang besar (300.000 Ha). Model AGNPS sebelumnya telah banyak diaplikasikan di beberapa negara termasuk beberapa DAS di Indonesia melalui beberapa penelitian, di antaranya : Rahayu pada Tahun 2002 di DAS Kelara Sulawesi Selatan, Nugroho (2000) di DAS Dumpul, Muhlis (1999) yang mengintegrasikan model AGNPS dengan SIG dan Salmawati (2004) di DAS Cilalawi. Model AnnAGNPS telah berhasil digunakan dalam memprediksi aliran permukaan, sedimentasi dan juga berbagai
2
alternatif penggunaan lahan yang efisien di Amerika Serikat, Cekoslowakia, Nepal, Australia, Malaysia dan India. Yuan et al (2001) menggunakan model AnnAGNPS pada DAS Delta Mississippi dan mendapatkan korelasi determenistik yang baik antara aliran permukaan dan hasil sedimen yaitu 0.70. Shamshad et al (2008) menggunakan model AnnAGNPS di Malaysia untuk memprediksi aliran permukaan, koefisien deterministik yang didapatka sebesar 0.90 dan NSE sebesar 0.70. Model AnnAGNPS paling banyak diaplikasikan di negara India sebanyak 21 peneltian, disusul oleh Malaysia sebanyak 20 penelitian, Nepal 19 penelitian, Cekoslowakia 18 penelitian, Amerika Serikat 17 penelitian dan Australia 2 penelitian (Lizhong et al, 2012). Di Indonesia penggunaan model ini belum penulis temukan, karena itu salah satu tujuan dari penelitian ini yaitu mengaplikasikan model AnnAGNPS di Indonesia. Model ini dikembangkan di Amerika Serikat sehingga untuk mengaplikasikan dengan kondisi di Indonesia perlu dilakukan evaluasi model untuk melihat kemampuan dan kelemahan model berdasarkan data yang tersedia di Indonesia. SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan model kejadian kontinyu skala DAS yang beroperasi secara harian dan dirancang untuk memprediksi dampak pengelolaan terhadap air, sedimen, dan bahan kimia dari pertanian. Model SWAT berbasis fisik, efisien secara komputerisasi, dan mampu membuat simulasi untuk jangka waktu yang panjang. Keluaran dari SWAT adalah berupa informasi-informasi mengenai respon hidrologi di DAS, sub-DAS, dan sungai utama. Aplikasi model SWAT telah banyak diterapkan pada DAS-DAS di Indonesia, diantaranya adalah Ifah Latifah pada tahun 2013 menggunakan model SWAT untuk analisis ketersediaan air, sedimentasi, dan karbon di hulu Das Jeneberang Sulawesi selatan, analisis respon hidrologi di Sub DAS Lengkong oleh Gunadi Firdaus pada tahun 2014. Edi Junaidi tahun 2009 menggunakan model SWAT untuk mengkaji alternatif dalam perencanaan pengelolaan DAS Cisadane dan Nana Mulyana tahun 2012 mengaplikasikan SWAT untuk menganalisis luas tutupan hutan terhadap ketersediaan green water dan blue water di sub DAS Gumbasa dan sub DAS Cisadane hulu. DAS yang dipilih pada penelitian ini adalah DAS Bila yang terletak di Sulawesi Selatan. DAS Bila ditetapkan sebagai DAS prioritas, bahkan termasuk salah satu diantara 22 DAS super prioritas (Arsyad 2010). DAS Bila mempunyai luas mencapai 170.727 ha, yang meliputi tiga kabupaten yaitu Enrekang, Sidenrang Rappang dan Wajo. Bagian hulu DAS Bila terdapat di Kabupaten Enrekang sedangkan bagian hilir berada di Danau Tempe Kabupaten Wajo. Sebagai DAS prioritas, hasil pendugaan erosi oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Jeneberang-Walanae tahun 2003, menunjukkan bahwa rata-rata erosi di DAS Bila mencapai 48,16 ton/ha/tahun sedangkan yang dapat ditoleransikan hanya 12 ton/ha/tahun. Hal ini merupakan salah satu permasalahan yang harus segera ditangani di DAS Bila
Perumusan Masalah Merupakan fenomena sosial yang umum dihampir semua DAS, bahwa peningkatan jumlah penduduk mendorong masyarakat untuk membuka dan mengusahakan lahan secara ekstensif ke arah hulu. Pengusahaan lahan yang
3
dibuka di bagian hulu menyebabkan kerusakan lahan dan erosi yang semakin meningkat. Berdasarkan data BP-DAS Jeneberang-Walanae (2003) hampir 60% penduduk DAS Bila bermatapencaharian sebagai petani sehingga ketergantungan akan lahan-lahan pertanian sangat tinggi. Perubahan penggunaan lahan di DAS Bila periode 2003-2006 meliputi hutan primer berkurang dari 38.5% menjadi 9.5%, hutan sekunder dari 11.9% meningkat menjadi 15.3% dan pemukiman dari 0.8% meningkat menjadi 1.7% (Nuddin 2007; BPDAS 2006). Perubahan penggunaan lahan tersebut dapat menyebabkan kondisi hidrologi DAS Bila semakin menurun dan semakin meningkatkan sedimentasi di Danau Tempe. DAS Bila termasuk dalam DAS kritis prioritas 1 (DEPHUT 1998) dengan peningkatan luas lahan kritis yang terus bertambah. Erosi dapat dijadikan salah satu parameter kekritisan lahan, hasil pendugaan erosi oleh BPDAS JeneberangWalanae Tahun 2003, menunjukkan bahwa rata-rata erosi di DAS Bila mencapai 48,16 ton/ha/tahun sedangkan yang dapat ditoleransikan hanya 12 ton/ha/tahun. Bagian hilir DAS Bila terdapat Danau Tempe yang tiap tahunnya mengalami pendangkalan. Danau Tempe terbagi menjadi tiga danau alam yaitu Danau Tempe, Danau Sidenreng dan Danau Buaya. Terdapat akumulasi sedimentasi secara terus menerus sehingga danau-danau ini semakin dangkal dari tahun ke tahun. Pada musim hujan, luas danau mencapai 30.000 ha sedangkan musim kemarau areal danau menyempit menjadi 1000 ha. Tingkat sedimentasi di Danau Tempe diperkirakan mencapai 3–4 cm/tahun (Nurkin 1994). Banjir yang terjadi tiap tahunnya di bagian hilir DAS Bila (Danau Tempe) memperlihatkan bahwa, nilai koefisien aliran permukaan (C) DAS Bila besar. Hasil analisis pada periode 2002-2011 memperlihatkan nilai koefisien aliran permukaan yang semakin tahun semakin besar. Rataan nilai C pada periode 20022006 sebesar 0.56 kemudian meningkat menjadi 0.72 pada periode 2007-2011. Hal ini menunjukkan bahwa dalam periode lima tahun (2007-2011) air hujan yang turun di DAS Bila, 72% menjadi aliran permukaan. Perencanaan pengendalian erosi di DAS Bila sudah pernah dilakukan, pengendalian berupa pengelolaan lahan kritis dengan menyusun Rencana Teknik Lapang-Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RTL-RLKT) yang meliputi lahan seluas 31.449,50 ha yang selanjutnya dikembangkan menjadi 61.792 ha pada tahun 1988. Upaya ini tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan, luas lahan kritis semakin bertambah dari 61.729 ha Tahun 1988 menjadi 86.877 ha pada Tahun 2002 (BPDAS Jeneberang-Walanae 2004 dalam Nuddin 2007).
Kerangka Pemikiran Analisis pertama dilakukan keadaan biofisik DAS Bila dan analisis pada karakteristik dan input model. Analisis kedua berupa simulasi skenario berdasarkan RTK, kondisi eksisting penggunaan lahan DAS Bila dan berdasarkan lahan kritis. Analisis kondisi biofisik DAS berupa kondisi erosi dan aliran permukaan, sedangkan analisis pada model berupa input masukan seperti data penggunaan lahan, data DEM, data tanah, data iklim, data debit dan data menejemen tanaman. Data tanah dan penggunaan lahan dianalisis untuk mendapatkan karakteristik tanah dan penggunaan lahannya, data iklim untuk analisis keadaan hidrologi DAS Bila, data manajemen tanaman dianalisis untuk
4
mengetahui sisstem pengelolaan tanah dan tanaman dan data DEM dianalisis untuk mendeliniasi DAS menjadi sub DAS. Deliniasi pada model AnnAGNPS mengalami kendala sehingga sub DAS tidak terbentuk secara sempurna. Kendala model AnnAGNPS ini selanjutnya digantikan dengan model SWAT. Rangkaian ilustrasi kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.
-
Analisis I Keadaan biofisisk DAS Bila Penggunaan Model
Analisis II Simulasi Skenario berdasarkan RKLH BPDAS, kondisi penggunaan lahan aktual dan lahan kritis
-Penggunaan lahan Dasar dan pengukuran lapangan -Data DEM -Data tanah -Data Iklim -Data debit -Data managemen tanaman
-lahan-lahan kritis dan lahan rehabilitasi -penerapan teknik konservasi tanah dan air
Pembuatan stream dan outlet pada AnnAGNPS (error), digantikan menjadi model SWAT
-Deliniasi DAS -Karakteristik tanah -Karakteristik Penggunaan lahan -Analisis hidrologi -Sistem pengelolaan tanaman dan tanah
Pembangkitan data masukan dengan analisis SWAT
Aliran permukaan dan erosi
ya
tidak
R2
Skenario penggunaan lahan dengan penerapan konservasi tanah dan air
DAS BILA LESTARI
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
5
Tujuan Penelitian Berdasarkan dari latar belakang serta masalah yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Memprediksi aliran permukaan dan erosi DAS Bila. 2. Menentukan pengelolaan lahan optimal untuk mengurangi laju erosi DAS Bila dan jumlah sedimen yang masuk ke Danau Tempe.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pemangku kepentingan dalam merencanakan pengelolaan DAS dan memberikan masukan dalam menentukan pengelolaan lahan terbaik sehingga DAS Bila menjadi lestari.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA DAS merupakan satu kesatuan wilayah berupa sistem lahan dengan tutupan vegetasi, dibatasi oleh batas-batas topografi alami seperti punggungpunggung bukit yang menerima curah hujan sebagai masukan, mengumpulkan dan menyimpan air, sedimen dan unsur hara lainnya serta mengalirkan melalui anak-anak sungai untuk akhirnya keluar melalui melalui suatu sungai utama ke laut atau danau. Secara makro, DAS terdiri dari unsur: biotik (flora dan fauna), abiotik (tanah, air, dan iklim) dan manusia, dimana ketiganya saling berinteraksi dan saling ketergantungan membentuk sistem hidrologi (Haridjaja 2000). Aliran Permukaan Aliran permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan. Aliran permukaan berlangsung ketika jumlah hujan melampaui laju infiltrasi air ke dalam tanah (Asdak 2007). Haridjaja (2000) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah dan laju aliran permukaan pada dasarnya dibagi menjadi dua hal yaitu iklim yang meliputi tipe hujan, intensitas hujan, lama hujan, distribusi hujan, temperatur, angin, dan kelembaban. Serta kondisi atau sifat DAS yang meliputi: kadar air tanah awal, ukuran dan bentuk DAS, elevasi dan topografi, vegetasi yang tumbuh, geologi dan tanah. Aliran permukaan merupakan faktor hidrologi terbesar yang dapat menyumbang debit pada saat terjadi banjir. Volume aliran permukaan dalam jumlah besar dan terus-menerus dapat mengakibatkan erosi yang mengangkut partikel-partikel tanah dan mendeposisikan pada badan-badan air seperti sungai, danau, waduk dan sebagainya. Makin besar jumlah sedimen yang terbawa oleh aliran menunjukkan kondisi DAS yang tidak sehat (Yustika 2013). Erosi Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagianbagian tanah dari suatu tempat ke tempat lainnya oleh media alami. Secara alamiah permukaan bumi akan selalu mengalami proses erosi, dimana di suatu tempat terjadi proses pengikisan sedangkan di tempat yang lain terjadi penimbunan. Peristiwa alamiah ini dapat berlangsung sangat lambat dan tanpa adanya campur tangan manusia proses ini mampu membentuk suatu keseimbangan dinamis. Arsyad (2010) menjelaskan bahwa proses erosi yang disebabkan oleh air merupakan kombinasi dari dua sub proses yang berbeda, yaitu (1) penghancuran struktur tanah menjadi butir – butir primer oleh energi tumbuk butiran hujan yang menimpa tanah dan perendaman oleh air yang tergenang dan penggangkutan butir-butir tanah oleh percikan hujan, dan (2) penghancuran struktur tanah yang diikuti oleh pengangkutan butir- butir tanah oleh air yang mengalir di permukaan tanah. Tanah yang tererosi secara terus menerus akan merusak sifat tanah berupa pengurangan bahan organik, permeabilitas tanah menjadi lambat dan tanah menjadi mudah jenuh. Beratnya tanah yang tererosi dapat ditentukan dengan
7
pendekatan tingkat bahaya erosi, yaitu kehilangan tanah maksimum dibandingkan dengan tebal solum tanah pada setiap unit lahan, bila teknik pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan. Tabel 1 Kelas bahaya erosi Kelas Erosi III IV V Kedalaman tanah (cm) -1 Erosi (ton ha ) <15 15-60 60-180 180-480 >480 Dalam (>90) 0-SR I-R II-S III-B IV-SB Sedang (60-90) I-R II-S III-B IV-SB IV-SB Dangkal (30-60) II-S III-B IV-SB IV-SB IV-SB Sangat dangkal (<30) III-B IV-SB IV-SB IV-SB IV-SB Sumber : Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan (1998) I
II
MODEL AnnAGNPS Model AnnAGNPS dikembangkan oleh Theurer dan Cronshey 1998; Binger dan Theurer 2005 di Agriculture Research Service Departemen Pertanian Amerika (USDA-ARS) dan Natural Resource Conservation Service (USDANRCA). AnnAGNPS adalah model simulasi kontinyu dengan skala DAS yang bertujuan untuk mengevaluasi pencemaran di lahan pertanian (non-point source pollution) dengan luas DAS hingga 300.000 ha. Model AnnAGNPS merupakan model revisi dari AGNPS (Agricultural Non-point Source Pollutan Model) (Young et al. 1990). Model AGNPS merupakan model terdistribusi dengan simulasi hujan tunggal, sedangkan AnnAGNPS model dengan simulasi kontinyu. Berbeda dengan AGNPS yang hanya untuk DAS kecil 20.235 ha, AnnAGNPS bisa diaplikasikan pada DAS besar yang mencapai 300.000 ha. Model AnnAGNPS membagi DAS ke dalam satuan grid (sel) berupa jenis tanah, penggunaan lahan, dan pengelolaan lahan (Shamo 2008). Young et al (1989 dalam Mankin et al 2004), menyatakan bahwa pada model AGNPS ukuran sel 16 ha direkomendasikan untuk DAS dengan luasan diatas 800 ha. Setiap sel dibagi menjadi sel-sel yang berukuran lebih kecil untuk memperoleh resolusi yang lebih detil, ukuran 2.5 acre (1.01 ha) hingga 40 acre (16.19 ha). Model AnnAGNPS memiliki program berisi editor masukan yang berbasis windows dan bertujuan untuk membantu menentukan semua parameter masukan dalam model. Editor masukan berisi data tabular yang mendefinisikan “shapefile” dari GIS untuk membangun beberapa variabel yang ditemukan dalam perhitungan erosi, hasil sedimen, aliran permukaan, dan transportasi dari berbagai bahan kimia dan sumber polusi (USDA 2003 dalam Shamo 2008 ). MODEL SWAT Model SWAT (Soil and Water Assessment Tool) adalah model yang dikembangkan untuk memprediksi dampak dari penggunaan lahan yang bervariasi terhadap air, sedimen dan penggunaan bahan kimia pertanian yang masuk ke dalam suatu DAS atau badan air. SWAT memprediksi pengaruh penggunaan
8
lahan dalam waktu yang lama sehingga SWAT tidak memprediksi hasil untuk suatu kejadian hujan atau suatu peristiwa hujan. Model SWAT dikembangkan oleh Jeff Arnold pada awal tahun 1990-an. Pada tahun 2000. SWAT mengalami perkembangan mendasar, dimana SWAT dapat melakukan perhitungan untuk daerah tropis. SWAT merupakan gabungan dari beberapa model yang dikembangkan ARS dan merupakan pengembangan lebih lanjut dari model SWRRB (Simulator for Water Resources in Rural Basins). Model CREAMS memberikan banyak sumbangan yang penting bagi perumusan model SWAT (Arsyad 2010). Model SWAT membagi suatu DAS menjadi beberapa Sub DAS. Sub DAS ini dikelompokkan berdasarkan kesamaan penggunaan lahan dan beberapa pengaruh sifat lainnya yang dapat berpengaruh terhadap hidrologi dalam DAS tersebut. Informasi masukan untuk setiap sub DAS dikelompokkan ke dalam katagori berikut: iklim, unit respon hidrologi (HRUs), daerah basah, air bawah tanah dan saluran utama yang mengalir di sub DAS. Simulasi hidrologi pada suatu DAS disimulasikan oleh model SWAT dalam dua fase, yaitu fase lahan dan fase air. Pada fase lahan mengendalikan jumlah air, sedimen, unsur hara dan pestisida yang masuk ke dalam saluran utama pada setiap sub DAS. Fase lahan siklus hidrologi yang disimulasi SWAT berdasarkan neraca air: ∑ Yang menyatakan SWt adalah kandungan air tanah air (mm), SWo adalah kandungan air tanah permulaan pada hari 1 (mm), t adalah waktu (hari), Rday adalah jumlah curah hujan pada hari i (mm), Qsurf adalah jumlah aliran permukaan pada hari i (mm), Ea adalah jumlah evepotranspirasi pada hari i (mm), Wseep adalah jumlah air yang masuk ke dalam zone vadose dari profil tanah pada hari i (mm) dan Qgw adalah jumlah air yang merupakan aliran kembali (return flow) (mm). Pada fase air atau fase penelususan (routing) didefenisikan sebagai gerakan air, sedimen dan lainnya melalui jaringan saluran DAS ke titik keluar (outlet). Setelah menentukan banyaknya air, sedimen, unsur hara dan pestisida di dalam saluran, maka muatan tersebut ditelusuri sepanjang jaringan aliran air suatu DAS menggunakan struktur perintah dengan HYMO.
9
Tabel 2. Perbedaan model AnnAGNPS dan model SWAT Deskripsi AnnAGNPS SWAT Komponen dan Analisis hidrologi, hasil Analissi hidrologi, hasil kemampuan sedimen, analisis bahan sedimen, analiss bahan kimia model kimia tanah, irigasi dan pada tanah, analisis penelusuran kemampuan dalam pada saluran, analisis menghasilkan sel (cell) dan pertumbuhan tanaman dan jaringan sungai melalui kemampunnya untuk digunakan TOPAZ dengan Arc Hydro Tools Skala DAS Memprediksi kejadian Memprediksi kejadian dalam dalam jangka lama, harian, jangka lama, harian, jam-jaman. jam-jaman. Menganalisis Menganalisis berdasarkan HRU melalui sel yang sama Simulasi Iklim Dengan bantuan GEM Dengan bantuan WGN Metode PET Metode Penman Metode Penman-Monteith, Priestly-Taylor dan Hargreaves Prediksi aliran Modifikasi SCS CN2 Metode SCS CN2 dan permukaan dan persamaan dalam meprediksi infiltrasi infiltrasi Green-Ampt Prediksi aliran Metode SCS TR-55 Metode rasional dan SCS TR-55 puncak Simulasi aliran Simulasi hanya sampai pada Simulasi dari aliran bawah bawah tanah aliran bawah permukaan permukaan sampai pada lapisan dan aliran (interflow) akuifer sungai Aliran bawah Menggunakan persamaan Menggunakan persaman model permukaan Darcy dan persamaan storage kinematic Hooghoudt Analisis saluran
Persamaan Manning
Sumber : Parajuli et al, 2008
Persamaan Manning dan metode penulusuran dengan Muskingum dan variable storage
10
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2013 sampai Agustus 2014 di DAS Bila. Secara adminstrasi DAS Bila terletak di tiga kabupaten yaitu, Kabupaten Enrekang (hulu), Kabupaten sidenrang Rappang (tengah) dan Kabupaten Wajo (hilir) di Propinsi Sulawesi Selatan (Gambar 2). DAS Bila mempunyai luas mencapai 172.124 ha dan berdasarkan pola aliran yang membentuknya, DAS Bila terdiri dari tiga sub DAS yaitu : 1) Sub DAS Cenranae, 2) Sub DAS Bila dan 3) Sub DAS Bungin.
Gambar 2 Lokasi penelitian Bahan
1. 2. 3. 4.
Bahan yang digunakan meliputi : Data DEM ASTER 30 m Peta digital jenis tanah DAS Bila, skala 1:250.000 (Pusat Penelitian Tanah) Peta digital penggunaan lahan DAS Bila, skala 1:100.000 (Badan Planologi) Data iklim harian selama 10 tahun berupa suhu maksimum dan suhu manimum, radiasi matahari dan kecepatan angin
11
5. 6. 7.
Data curah hujan harian selama 10 tahun (BBWS Pompengan-Jeberang Sulawesi Selatan) Data debit stasiun pengukuran DAS Bila (BBWS Pompengan-Jeneberang Sulawesi Selatan) Data jadwal penanamam dan pemupukan (Dinas Hortikultura dan Pertanian Sulawesi Selatan). Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ring sampel, GPS, lebel, seperangkat komputer dengan beberapa perangkat lunak yaitu ArcMap 9.3, ArcSWAT versi 2009.937b dan Microsoft office 2003/2007, SWATplot, SWATCUP, sedangkan perangkat lunak pada model AnnAGNPS yaitu AnnAGNPS input editor versi 5.30, Stead Editor, ArcView versi 3.3 dan Microsoft Office 2007. Tahapan Penelitian Penelitian dimulai dengan pengumpulan data primer, kemudian pengambilan data sekunder dan pengamatan lapangan, pengolahan data primer dan sekunder, menjalankan model AnnAGNPS dan model SWAT, analisis keluaran dari model, analisis sensitivitas model dengan melihat nilai R2 dan NSE, analisis simulasi, dan analisis simulasi pengelolaan lahan. Pengamatan lapangan berupa identifikasi penggunaan lahan, tindakan konservasi, dan pengelolaan tanaman yang sebenarnya di lapang. Pengolahan data primer dan sekunder dilakukan sebagai input model. Dalam menjalankan model AnnAGPS dan dilakukan pengolahan data DEM, pengolahan data tanah dan penggunaan lahan dan pengolahan data iklim. Tahapan pada model AnnAGNPS dimulai dari pengolahan data DEM dalam TOPAZ selanjutnya pengolahan data tanah dan penggunaan lahan dalam input Editor dan terakhir pengolahan data iklim di GEM. Tahapan model SWAT dimulai dari pembentukan jaringan sungai dan sub sub DAS, dilanjutkan pada pembentukan HRU dan yang terakhir adalah pengolahan data WGN. Analisis sensivitas keluaran model dilakukan pada tahap kalibrasi dengan melihat nilai R2 (>0.65). Skenario pengelolaan lahan dilakukan untuk mendapatkan penggunaan lahan optimum yang akan mengurangi laju aliran permukaan dan erosi DAS Bila. Tahapan penelitian selengkapnya disajikan pada Gambar 3.
12
Mulai Pengumpulan Data
Data DEM
Peta penggunaan lahan
- arah dan akumulasi aliran - jaringan sungai - Sub DAS - outlet
Peta tanah
Data iklim
Karakteristik penggunaan lahan dan karakteristik tanah
Analisis hidrologi DAS
Model SWAT mengolah data DEM dalam watershed deliniation
Model AnnAGNPS mengolah data DEM dalam TOPAZ Hasil Sub DAS tidak terbentuk sempurna
Hasil Sub DAS pada model SWAT terbentuk
Input Editor
Pembentukan HRU
Pengolahan data GEM
Data curah hujan
Pengolahan data WGN
RUN model SWAT
RUN model AnnAGNPS
Kalibrasi ya
Tidak
R2
Skenario Penggunaan Lahan
Penggunaan Lahan Optimum
Gambar 3. Bagan alir penelitian
13
Pengolahan Data Model Pengolahan Data Topografi Data DEM (Digital Elevasi Model) merupakan data yang dihasilkan dari ASTER. Pengolahan data ASTER menjadi DEM dilakukan dengan bantuan Global Mapper. Data ASTER dengan format file ASC diekspor menjadi format elevasi grid (eksport elevation grid format), selanjutnya menentukan unit dari DEM yang telah terbentuk dengan satuan unit meter. DEM yang telah terbentuk dengan DAS Bila digunakan sebagai input model. Penyeragaman semua proyeksi peta perlu dilakukan agar data bisa dioverlay dan dianalisis. Sistem UTM yang digunakan yaitu datum WGS 84 dengan zona wilayah Sulawesi Selatan 50S. Deliniasi DAS Model AnnAGNPS Deliniasi DAS merupakan tahap awal yang dilakukan. Deliniasi bertujuan untuk memisahkan atau memberi batasan daerah penelitian. DEM yang telah dipotong sesuai dengan batas DAS selanjutnya digunakan untuk mendefinisikan arah aliran (flow direction) dan akumulasi aliran (flow accumulation). Arah aliran merupakan arah dimana aliran akan mengalir keluar dari suatu sel (grid). Arah aliran yang dihitung berdasarkan beda tinggi dari setiap sel/grid data DEM tersebut. Akumulasi aliran dihitung sebagai akumulasi banyaknya sel yang mengalir menuju ke setiap sel yang memiliki ketinggian paling rendah. Setelah arah dan akumulasi aliran didapatkan, tahapan selanjutnya menentukan jaringan sungai (stream) dan titik outlet DAS. Sistem jaringan sungai ditentukan dari hasil akumulasi aliran. Titik outlet yang dihasilkan oleh model selanjutnya dapat diedit sesuai dengan titik outlet di lapang. Analisis Tanah dan Penggunaan Lahan Model AnnAGNPS Data tanah yang dibutuhkan pada model AnAGNPS adalah kandungan bahan organik, bobot isi tanah, kedalaman efektif, kapasitas lapang, tekstur dan struktur tanah. Data tanah diinput dengan dua cara yaitu melalui data atribut pada peta tanah dan cara manual melalui editor masukan (input editor). Informasi penggunaan lahan terdiri dari pengelolaan tanah (P) dan tanaman (C), jadwal penaman, penggunaan pupuk, dan persentasi tutupan vegetasi. Data penggunaan lahan di input melalui peta penggunaan lahan dan editor masukan. Data Iklim Model AnnAGNPS Data iklim yang dibutuhkan berupa data harian curah hujan, suhu maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin dan kelembaban udara. Data iklim diolah di GEM (Generation of weather elements for multiple application) yang berbasis DOS. GEM terbagi dua yaitu preGEM dan agGEM. PreGEM digunakan untuk membangun data berupa suhu maksimum dan minimum, curah hujan, kecepatan angin, dan radiasi matahari dengan format
14
excel. Data iklim yang telah dibangun dalam preGEM (preGEM_xls) selanjutkan akan diolah di agGEM dan diinput ke dalam input editor. Deliniasi DAS Model SWAT Proses deliniasi DAS menggunakan model SWAT dilakukan secara otomatis. Setelah titik outlet ditentukan, model SWAT akan membatasi daerah penelitian dengan membaginya kedalam beberapa sub DAS atau subbasin. Terbentuknya subbasin berdasarkan jaringan sungai yang dibentuk pada proses akumulasi aliran. Semakin detil DEM yang digunakan, semakin banyak subbasin yang akan terbentuk. Pengolahan Data Iklim Data iklim yang dibutuhkan berupa data harian curah hujan, suhu maksimum dan minimum, radiasi matahari dan kecepatan angin. Data curah hujan dan debit selama 10 tahun (2002-2011) diperoleh dari Balai Besar JeneberangPompengan Dinas Pekerjaan Umum Sulawesi Selatan. Basis data WGN membutuhkan 14 parameter. Tabel 3. Parameter iklim pada model SWAT No Parameter Keterangan 1 TMPMX Suhu rata-rata harian maksimum dalam sebulan (oC) 2 TMPMN Suhu rata-rata harian minimum dalam sebulan (oC) 3 TMPSTDMX Standar deviasi suhu maksimum harian dalam sebulan (oC) 4 TMPSTDMN Standar deviasi suhu minimum harian dalam sebulan (oC) 5 PCPMM Curah hujan rata-rata (mmH2O) 6 PCPSTD Standar deviasi curah hujan harian dalam sebulan 7 PCPSKW Koefisien Skew untuk curah hujan harian dalam sebulan 8 PR_W1 Perbandingan hari basah ke hari kering dalam sebulan 9 PR_W2 Perbandingan hari basah ke hari basah dalam sebulan 10 PCPD Curah hujan rata-rata harian selama n tahun (mm/H2O) 11 RAINHHMAX Curah hujan maksimum 0.5 jam (mmH2O) 12 SOLARAV Lama penyinaran matahari rata-rata dalam sebulan 13 DEWPT Titik embun rata-rata harian dalam sebulan (oC) 14 WNDAV Kecepatan angin rata-rata harian dalam sebulan (m/detik) Analisis Hydrological Respon Unit (HRU) HRU merupakan analisis hidrologi yang didapatkan dengan cara menggabungkan karakteristik tanah, penggunaan lahan dan kemiringan lereng. Hasil tumpang susun peta tanah dan penggunaan lahan akan memberikan informasi berupa data atribut yang terdapat pada tiap peta. HRU definition adalah proses mendefinisikan HRU menggunakan ambang batas pada jenis tanah, penggunaan lahan dan kemiringan lahan. Ambang batas yang digunakan yaitu 10% sehingga penggunaan lahan, tanah dan kemiringan lereng yang mempunyai luasan kurang dari 10% dari total luasan sub DAS akan dihilangkan dan digeneralkan kepada HRU yang mempunyai luasan lebih besar.
15
Run SWAT Run SWAT merupakan tahapan terakhir, setelah tahapan HRU dan iklim didapatkan selanjutnya menjalankan model (Run SWAT). Pengaturan tanggal dan distribusi hujan perlu dipilih sebelum menjalankan model. Hasil keluaran model berupa file dengan format TXT dan Microsoft Access. Analisis model pada masing masing sub DAS, Reach dan HRU dapat dilihat menggunakan SWAT Plot dan Graphic. Kalibrasi dan Validasi Simulasi hidrologi dalam suatu DAS hanya dapat diterima apabila telah dilakukan validasi dan kalibrasi secara statistik. Data debit digunakan untuk melakukan kalibrasi model. validasi dan kalibrasi dinilai dengan regresi nilai determinasi (R2) dan Nash-Sutcliffe model Efficiency (NSE). Nilai R2 menggambarkan hubungan seberapa jauh antara hasil simulasi dan hasil pengamatan yang nilainya antara 0-1. Metode Nash digunakan untuk melihat sebaran normal yang menentukan jarak perbedaan antara pengukuran dan simulasi. NSE mengindikasikan seberapa dekat hasil pengukuran terhadap data simulasi atau mendekati garis 1:1. Persamaan analisis koefisien deterministik (R2) dan NSE adalah
(1)
Yang mana x adalah data pengukuran bulanan, y data prediksi bulanan dan n adalah banyaknya data. Nilai >0.65 secara umum menunjukkan hasil perdiksi dapat diterima (satisfactory) dan nilai <0.65 secara umum menunjukkan hasil prediksi tidak dapat diterima (unsatisfactory)
(2) Yang mana Yiob adalah hasil pengukuran yang dievaluasi, Yisim adalah nilai yang dievaluasi, Ymean adalah rata-rata hasil pengukuran yang dievaluasi, dan n adalah banyaknya data. Kisaran NSE antara -∞ and 1.0, NSE = 1 merupakan nilai optimal. Nilai antara 0.0 dan 1.0 secara umum menunjukkan tingkat kemampuan model dalam melakukan simulasi dapat diterima. Nilai < 0.0 menunjukkan bahwa nilai ratarata pengukuran lebih baik dari pada nilai simulasi, dengan kata lain kemampuan model dalam melakukan simulasi tidak dapat diterima. Kemampuan model dalam menggambarkan keadaan karakteristk DAS yang dievaluasi menggunakan data harian dan akan diterima saat menunjukkan NSE > 0.5
16
Tabel 4 Nilai tingkatan kemampuan NSE Tingkat Kemampuan NSE Sangat baik 0.75 < NSE ≤ 1.00 Baik 0.65 < NSE ≤ 0.75 Memuaskan 0.50 < NSE ≤ 0.65 Kurang memuaskan NSE ≤ 0.5 Sumber : Moriasi et al. 2007 Simulasi Pengelolaan Lahan Simulasi lahan adalah simulasi yang dilakukan dengan berbagai skenario yang diterapkan berdasarkan teknik konservasi tanah dan air. Simulasi bertujuan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi DAS Bila. Skenario 1 berdasarkan RTK BPDAS Jeneberang-Walanae yaitu skenario kegiatan vegetatif dan skenario kegiatan sipil. Skenario kegiatan vegetatif berupa Agroforesty dan reboisasi, sedangkan kegiatan sipil berupa pengadaan gully plug dan bendungan pengendali. Skenario 2 dilakukan dengan pengelolaan tanaman berupa pola tanam tumpang gilir, pola tanam berurutan, hutan alam dan hutan produksi tebang pilih. Sedangkan, pengelolaan tanah berupa kegiatan kontur, penanaman strip dan teras. Skenario ini dilakukan sesuai dengan penggunaan lahan aktual di DAS Bila Skenario 3 dilakukan dengan mereboisasi lahan kritis, penerapan agroforestri pada pertanian lahan kering >40%, teras bangku dan agroforestri pada pertanian lahan kering dengan kemiringan 0-40%, agroforestri pada semak belukar, terasing dan tanaman penyangga pada sawah dan hutan sekunder dijadikan hutan lindung
17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Daerah Penelitian Penggunaan Lahan Penggunaan lahan DAS Bila terdiri dari 1) hutan primer, 2) hutan sekunder dengan jenis tanaman tahunan, 3) pertanian lahan kering yang didominasi tanaman jagung, pisang, papaya dan kopi, 4) semak belukar yang didominasi taman perdu, 5) padang rumput yang terawat, 6) sawah 7) Pemukiman berupa rumah-rumah penduduk yang sederhana dengan jarak yang tidak rapat, 9) semak belukar rawa (Tabel 5 dan Gambar 4). Tabel 5 Penggunaan lahan DAS Bila Penggunaan Lahan Pertanian lahan kering Sawah Hutan primer Hutan sekunder Pemukiman Padang rumput Belukar rawa Semak belukar Luas
Tahun 2006 Luas (ha) % 62 029 39.9 24 397 15.7 15 872 10.2 24 513 15.1 2 890 1.8 3 196 2.1 1 372 0.9 21 662 13.9 155 288 100
Tahun 2011 Luas (ha) % 62 764 40.4 25 171 16.2 3 033 2.0 37 159 23.8 2890 1.8 3 250 2.1 1 270 0.8 20 374 13.1 155 288 100
Gambar 4 Penggunaan lahan tahun 2006 dan 2011
Perubahan Luas (ha) % 735 0.5 774 0.5 -12 839 -8.3 12 646 8.1 0 0.0 54 0.0 -102 -0.1 -1 288 -0.8
18
Pertanian lahan kering merupakan penggunaan lahan terbesar di DAS Bila dengan luas lahan 62.972 ha atau 40.4% dari total luas DAS. Hutan sekunder menjadi penggunaan lahan kedua dengan persentasi 15.1% pada tahun 2006 dan bertambah menjadi 23.8% pada tahun 2011 (Tabel 5). Pertambahan hutan sekunder dikarenakan adanya konversi dari hutan primer menjadi hutan sekunder sebesar 8.1%, pertanian lahan kering dan sawah sebesar 0.5%. Perubahan penggunaan lahan secara spasial disajikan pada Gambar 4. Topografi Topografi terdiri dari 0-8%, 8-15%, 15-25%, 25-40% dan >40%. Lokasi penelitian memiliki topografi bergunung dan berbukit hingga bergunung curam pada bagian hulu, berombak hingga bergelombang pada bagian tengah dan datar pada bagian hilir. Topografi DAS Bila didominasi oleh datar sebesar 26.25%, bergunungan curam sebesar 25.34% dan berombak sebesar 18.29% (Tabel 6). Tabel 6 Kemiringan lereng DAS Bila Definisi Lereng (%) Datar 0-8 Berombak 8-15 Bergelombang 15-25 Bergunung dan berbukit 25-40 Bergunung curam >40
Luasan (ha) 40 809 28 434 21 331 25 499 39 394
% 26.25 18.29 13.72 16.40 25.34
Jenis Tanah Jenis tanah DAS Bila didapatkan berdasarkan peta tanah skala 1:250.000 Terdapat 6 jenis tanah yaitu Dystropepts, Eutropepts, Paleudults, Tropaquepts, Tropudalfs dan Tropudults. Tanah DAS Bila didominasi tanah Dystropepts sebesar 43.2%, diikuti Paleudults sebesar 20.9% dan Tropaquepts sebesar 20.4 (Tabel 7). Jenis tanah DAS Bila secara spasial disajikan pada gambar 5. Tabel 7 Jenis tanah DAS Bila No Jenis Luas (Ha) 1 Dystropepts 67 141 2 Eutropepts 3 939 3 Paleudults 32 511 4 Tropaquepts 31 653 5 Tropudalfs 1 085 6 Tropudults 18 956 Luas 155 288
% 43.2 2.5 20.9 20.4 0.7 12.2 100
19
Gambar 5 Jenis tanah DAS Bila Iklim Rata-rata curah hujan dari 2 stasiun yaitu Bila Riase dan Lagading selama 10 tahun (2002-2011) menunjukkan bahwa curah hujan maksimum terjadi pada bulan Mei sebesar 489.3 mm dan curah hujan minimum terjadi pada bulan Februari sebesar 90.2 mm (Gambar 6). Tipe pola curah hujan DAS Bila adalah tipe lokal, disebabkan pengaruh biofisik dari DAS berupa pegunungan di bagian Barat dan bentuk topografi dengan lereng yang menghadap Teluk Bone. Iklim basah terjadi pada bulan April sampai September dan iklim kering terjadi pada bulan Oktober sampai Maret. 489.3 482.5 339.1
326.2
196.3
180.2 118.8
124.8 136.7 115.3
90.2
Jan
Gambar 6
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Nop
167.4
Des
Rataan curah hujan bulanan (2002-2011) dari stasiun Bila Riase dan Lagading
20
Data stasiun iklim selama 10 tahun berupa temperatur maksimum dan minimum, kecepatan angin dan penyinaran matahari. Data temperatur maksimum dan minimum memperlihatkan bahwa bulan Oktober memiliki suhu maksimum sebesar 32.7 oC dan temperatur minimum pada bulan Juli sebesar 16.9 oC. Data temperature DAS Bila disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Temperatur maksimum dan minimum rataan bulanan (2002-2011) Bulan Temperatur Maksimum (oC) Temperatur Minimum (oC) Januari 30.8 17.5 Februari 31.1 17.9 Maret 32.1 18.1 April 32.2 18.2 Mei 31.6 17.7 Juni 30.1 17.0 Juli 30.5 16.9 Agustus 30.4 17.3 September 32.0 18.4 Oktober 32.7 18.8 Nopember 32.6 18.6 Desember 31.4 18.0 Rata-rata penyinaran matahari lebih besar pada bulan Septermber sampai bulan Februari. Penyinaran matahari terbesar terjadi pada bulan September sebesar 4.88 MJ-2hari-1 dan penyinaran matahari terkecil terjadi pada bulan Mei dan Juni sebesar 3.84 MJ-2hari-1. Kecepatan angin DAS Bila berkisar 0.117-0.188 m det-1. Kecepatan angin terbesar pada bulan Februari dan terkecil pada bulan Mei dan Juli . Data penyinaran matahari dan kecepatan angin DAS Bila tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Kecepatan angin dan penyinaran matahari (2002-2011) Bulan Kecepatan Angin (m det-1) Penyinaran Matahari (MJ-2hari-1) Januari 0.166 4.05 Februari 0.188 4.61 Maret 0.133 4.06 April 0.125 4.25 Mei 0.117 3.84 Juni 0.132 3.84 Juli 0.117 4.26 Agustus 0.125 4.32 September 0.123 4.88 Oktober 0.124 4.81 November 0.147 4.65 Desember 0.186 4.49
21
Deliniasi DAS Menggunakan Model AnnAGNPS Deliniasi DAS pada model AnnAGNPS menggunakan sub model TOPAZ (Topographic Analysis). Pada pengolahan data DEM di TOPAZ yaitu import TOPAGNPS (Gambar 7), sub DAS (subwa) yang terbentuk sangat kecil dan tidak mempresentasikan semua luasan dari DAS Bila. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain: 1) Model AnnAGNPS kurang akurat dalam memprediksi jaringan sungai pada topografi yang relatif datar. Hal ini terlihat dari hasil jaringan sungai (stream line) yang dihasilkan oleh model tidak sesuai dengan jaringan sungai yang ada di lapang. 2) Pengembangan interface model AnnAGNPS dengan ArcView belum dalam bentuk extention sehingga integrasi data spasial masih lemah.
Gambar 7. Proses pengolahan data DEM 30 meter Gambar 8 memperlihatkan sub DAS yang terbentuk hanya Sub DAS yang memiliki jaringan sungai yang sama dengan jaringan sungai dari Model. Gambar 9 memperlihatkan jaringan sungai berwarna hijau (green line) adalah jaringan sungai dari lapang sedangkan jaringan sungai berwarna ungu (purple line) adalah jaringan sungai dari hasil model. Dari gambar terlihat bahwa jaringan sungai dari lapang dan dari model sangat berbeda. Letak titik outlet sungai (red point) yang berada tepat di jaringan sungai dari lapang bukan pada jaringan sungai dari model menjadi penyebab sub DAS tidak terbentuk secara keseluruhan. Model AnnAGNPS mengalami perkembangan yang lambat jika dibandingkan model hidrologi lainnya. Pengolahan data spasial menggunakan software Arcview masih dalam bentuk template, hal ini mengakibatkan integrasi pengolahan data spasial sangat lemah. Apabila terjadi kesalahan pada data spasial maka model AnnAGNPS tidak dapat memperbaiki data yang salah. Misalnya dalam pengolahan titik outlet DAS, model AnnAGNPS belum memiliki tools untuk menambahkan, menghilangkan dan mengedit titik outlet. Tools ini diperlukan untuk menyesuaikan titik oulet dari lapangan dengan titik outlet yang dibaca oleh model, penyesuaian ini akan membagi DAS menjadi sub DAS.
22
Salah satu kelemahan model AnnAGNPS lainnya adalah ketidakmampuan model dalam menganalisis daerah cekungan. Daerah seperti danau, waduk dan reservoir tidak dapat dibaca oleh model dengan mengasumsikan daerah tersebut bernilai 0. Selain daerah cekungan, model AnnAGNPS kurang akurat dalam menganalisis daerah datar. Hal ini terlihat pada hasil analisis DAS Bila yang didominasi oleh daerah datar (26.25%), model tidak dapat menganalis secara sempurna. Dari penjelasan diatas dan dari hasil trial dan eror yang dilakukan, sub DAS yang dapat dihasilkan hanya satu dan tidak dapat dianalisis lebih lanjut, sehingga model AnnAGNPS dilanjutkan dengan model SWAT.
Gambar 8. Sub DAS hasil model AnnAGNPS
Gambar 9 Jaringan sungai hasil observasi dan model
23
Deliniasi DAS Menggunakan Model SWAT Total luasan DAS Bila adalah 172.124 ha sedangkan total luasan yang dihasilkan model SWAT adalah 155.288 ha. Luasan DAS berkurang disebabkan batasan dari penelitian yang tidak mengambil Danau Tempe sebagai daerah penelitian. Dari hasil deliniasi DAS menggunakan model SWAT terbentuk 23 sub DAS dengan jumlah HRU 378. Sub DAS 1 merupakan sub DAS terbesar yaitu 19.3% dari total luas DAS Bila, sedangkan Sub DAS 22 adalah sub DAS terkecil sebesar 0.18% (Tabel 10). Tabel 10 Pembagian sub DAS berdasarkan model SWAT Sub DAS Luas (Ha) Luas (%) Sub DAS Luas (Ha) 1 30.045 19.3 13 456 2 3.337 2.15 14 3.902 3 5.860 3.77 15 25.576 4 4.158 2.67 16 3.614 5 10.051 6.47 17 8.450 6 18.159 11.7 18 4.306 7 6.736 4.33 19 441 8 2.007 1.29 20 4.682 9 10.415 6.70 21 456 10 2.127 1.37 22 278 11 5.676 3.65 23 561 12 4.176 2.69 Jumlah 155.288
Luas (%) 0.29 2.51 16.5 2.32 5.44 2.77 0.28 3.01 0.29 0.18 0.36 100
Parameterisasi Model Parameterisasi dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik dari parameter DAS Bila. Parameterisasi pada tiap DAS berbeda disebabkan karakteristik DAS yang bervariasi. Parameterisasi model didapatkan dengan 2 cara yaitu dengan bantuan SWAT CUP dan cara manual. SWAT CUP menampilkan parameter sensitif secara langsung pada proses kalibrasi, sedangkan cara manual didapatkan dari beberapa studi literatur. Tiga tahapan yang dilakukan dalam parameterisasi model yaitu mengelompokkan hidrologi tanah, mengelompokkan penggunaan lahan dan menginput database SWAT. Kelompok Hidrologi Tanah Kelompok hidrologi tanah merupakan sutu metode yang dikembangkan oleh SCS (Soil Conservation Service) dalam mengklasifikasikan sifat-sifat tanah. Pengelompokkan tanah dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu melalui sifat fisik tanah, peta tanah detail dan laju infiltrasi minimum tanah. Pada penelitian ini metode yang digunakan melalui sifat fisik tanah yang ditentukan dengan melihat tekstur tanah dari hasil survei. Tekstur tanah DAS Bila terdiri dari liat, lempung berdebu, lempung berliat, liat berpasir dan lempung liat berdebu dengan kelas permeabilitas tanah lambat sampai sedang. Hasil pengolahan data tekstur dan
24
permebilitas tanah didapatkan klasifikasi hidrologi tanah (KHT) pada kelompok B dan C. Sifat-sifat tanah pada kelompok B dan C adalah : Kelompok B : tanah lempung berpasir, loess dangkal Kelompok C : tanah lempung berliat, lempung berpasir dangkal, tanah berkadar bahan organik rendah, dan tanah-tanah berkadar liat tinggi Kandungan air tanah sebelumnya mempengaruhi volume dan laju aliran permukaan. Kandungan air tanah sebelumnya diolah dengan menjumlahkan data curah hujan 5 hari sebelumnya. Dari hasil pengolahan data curah hujan didapatkan kandungan air tanah sebelumnya berada pada kondisi II. Kelompok Penggunaan Lahan Kelompok penggunaan lahan dibedakan berdasarkan tiga faktor yaitu jenis penggunaan lahan, perlakuan atau tindakan yang diberikan dan keadaan hidrologi. Penggunaan lahan yang dikelompokkan oleh SCS terdiri dari 14 macam. Pengelompokkan berdasarkan perlakuan atau tindakan yang diberikan berupa penanaman menurut kontur dan teras, menunjukkan pengaruh terhadap aliran permukaan. Keadaan hidrologi menunjukkan tingkat pengelolaan tanah yang digunakan dalam keadaan buruk, sedang dan baik. Input Database Model SWAT Input database model SWAT dilakukan pada 26 parameter yang didapatkan dari studi literatur. 26 parameter yang diinput meliputi sifat-sifat tanah, kedaan penggunaan lahan, keadaan air bawah tanah, keadaan saluran sungai, keadaan HRU dan keadaan basin (DAS). Tabel 11 memperlihatkan 26 parameter yang diinput dalam database model SWAT.
25
Tabel 11. Parameter input model SWAT No Parameter Keterangan 1 RCHRG_DP.gw fraksi perkolasi perairan dalam 2 GWQMN.gw Ketinggian minimum aliran dasar 3 SLSUBBSN.hru Panjang kemiringan aliran permukaan 4 CN2.mgt Bilangan kurva aliran permukaan 5 GW_REVAP.gw Koefisien revap air tanah 6 GW_DELAY.gw Lama „delay‟ air bawah tanah 7 OV_N.hru Koefisien kekasaran Manning 8 ESCO.hru Faktor evaporasi tanah 9 CANMX.hru Nilai maksimum kanopi 10 GW_SPYLD.gw Hasil spesifikasi pada akuifer dangkal 11 CH_N2.rte Nilai Manning saluran utama 12 CH_K1.sub Konduktivitas hidrolik efektif pada saluran utama 13 EPCO.hru Faktor uptake tanaman 14 CH_W1.sub Rata-taya lebar saluran tributari 15 TIMP.bsn Faktor temperatur lag 16 SLSOIL.hru Panjang kemiringan aliran lateral bawah permukaan 17 CH_K2.rte Hantaran hidrolik 18 SOL_BD.sol Kelembaban porositas tanah 19 CH_L1.sub Cabang saluran yang terpanjang dari sub DAS 20 REVAPMN.gw Batas kedalaman air pada akuifer dangkal untuk mengalir ke akuifer dalam 21 CO2.sub Konsentrasi karbondioksida 22 SOL_K.sol Konduktivitas hidrolik jenuh 23 ALPHA_BF.gw Faktor alpha aliran dasar 24 CH_S1.sub Rata-rata kemiringan pada saluran 25 CH_N1.sub Nilai Manning pada saluran percabangan sungai 26 SURLAG.bsn Koefisien lag aliran permukaan
Min 0 0 10 35 0.02 0 0 0 0 0 -0.01 0
Max 1 5 000 150 98 0.2 500 30 1 100 0.4 0.03 300
0 1 0 0
1 1 000 1 150
-0.01 0.9 0.05
500 2.9 200
0
500
0 0 0 0.001 0.01
800 2 000 1 10 30
0.05
24
Kalibrasi Model SWAT Kalibrasi merupakan suatu proses menyesuaikan nilai-nilai parameter dari model agar keluaran model/hasil simulasi mendekati kondisi dilapang. Data kalibrasi yang dibandingkan yaitu data debit sungai dari tanggal 1 Januari 2006 sampai dengan 30 Nopember 2006 (Gambar 7). Periode data dipilih untuk melihat fluktuasi debit di DAS Bila saat musim kemarau dan musim hujan. Secara kuantitaif nilai kalibrasi dapat dilihat dengan persamaan statistik yaitu nilai koefisien determinasi (R2) dan nilai Nash-Sutcliffe model Efficiency (NSE). Koefisien determinasi memperlihatkan pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen.
26
300
0
250
50
200
100
150
150
100
200
50
250
0
300
Hujan (mm)
Observased (m3/s)
Simulasi (m3/s)
Gambar 10 Kalibrasi hidrograf aliran debit harian simulasi dan debit harian observasi Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan metode otomatis dan metode coba-coba (Indarto 2010). Metode otomatis dilakukan dengan bantuan software SWATCUP. SWATCUP memberikan nilai maksimum dan minimum pada tiap parameter. Kisaran nilai maksimum dan minimum selanjutnya digunakan pada metode coba-coba. Metode coba-coba dilakukan dengan memasukkan beberapa nilai parameter, selanjutnya hasil optimum parameter akan didapatkan secara trial dan error. Sebanyak 26 parameter yang dicobakan dalam database SWAT, diperoleh 10 parameter yang paling sensitif terhadap keluaran model. 10 parameter adalah CN_2, ESCO, EPCO, Alfa_BF, GW_Delay, GWQMN, RCHRG_DP, CH_N2, CH_K2 dan SURLAG Parameter CN_2, ESCO, EPCO digunakan sebagai parameter yang sensitif karena berpengaruh terhadap aliran permukaan. Besaran nilai CN_2 dapat memprediksi jumlah aliran permukaan atau infiltrasi akibat curah hujan. ESCO merupakan parameter yang menentukan jumlah air dalam tanah yang akan mempengaruhi bilangan kurva aliran permukaan dan proses infiltrasi yang terjadi. EPCO mempunyai pengaruh terhadap aliran permukaan karena kemampuan akar tanaman yang dapat menyerap air dan mempunyai pengaruh terhadap transpirasi sehingga memiliki dampak terhadap kelembaban tanah. Parameter Alfa_BF, GW_Delay, GWQMN dan RCHRG_DP digunakan karena mempengaruhi aliran air bawah tanah. CH_N2, CH_K2 dan SURLAG digunakan sebagai parameter sensitif karena mempengaruhi bentuk hidrograf aliran (Yustika 2013).
27
Tabel 12. Parameter sensitif terhadap debit aliran model SWAT No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Parameter CN_2 *mgt (bilangan kurva aliran permukaan) ESCO *hru (faktor evaporasi tanah) EPCO *hru (faktor uptake tanaman) GW_Delay *gw (lama „delay‟ air bawah tanah) CH_N2 *rte (nilai Manning saluran utama) CH_K2 *rte (hantaran hidrolik) GWQMN *gw (ketinggian minimum aliran dasar) RCHRG_DP *gw (fraksi perkolasi perairan dalam) SURLAG *bsn (koefisien lag aliran permukaan) Alfa_BF *gw (faktor alpha aliran dasar)
Awal 55 0 0 30 0.014 0 0 0.05 4 0.048
Nilai Optimum 88 0.95 0.75 80 0.025 130 1000 0.35 8 0.5
Bilangan kurva (CN_2) adalah bilangan yang menyatakan pengaruh dari tanah, keadaan hidrologi dan kandungan air sebelumnya. Hasil pengolahan data menunjukkan tanah berada pada kelompk tanah B dan C dengan kondisi kandungan air tanah sebelumnya pada kondisi II. Nilai bilangan kurva yang digunakan berdasarkan penggunaan lahan. EPCO adalah faktor pengganti penyerapan pada tanaman. Tanaman membutuhkan air sebagai proses transpirasi dan air ini diperoleh oleh tanaman dari ketersediaan air tanah. Jika lapisan tanah pada bagian atas tidak mencukupi untuk proses transpirasi, maka tanaman akan mengambil pada lapisan tanah berikutnya. Nilai 1 menandakan kebutuhan air diperoleh pada lapisan tanah dalam sedangkan 0 menandakan kebutuhan air diperoleh pada lapisan tanah atas. Nilai EPCO pada hutan primer dan hutan sekunder adalah 0.5 sedangkan penggunaan lahan lainnya adalah 0.2. ESCO adalah koefisien kebutuhan air yang diperoleh dari lapisan bawah tanah untuk proses evaporasi tanah karena efek dari kapilaritas dan rekahan. Pada hutan primer dan hutan sekunder nilai optimum ESCO adalah 0.95 sedangkan penggunaan lahan lainnya 0.5. Hutan primer dan hutan sekunder memiliki jenis tanah Dystropepts dengan tekstur lempung berliat. Hal ini membuat nilai hutan lebih besar karena kemampuan tanah liat melepaskan air lebih lambat dibandingkan penggunaan lahan lain. Lama „delay‟ air bawah tanah (GW_DELAY) adalah waktu yang diperlukan air untuk mengalir ke aquifer dangkal. Lamanya air untuk mengalir ke aquifer dangkal dipengaruhi oleh kedalaman zona kedap air, keadaan hidrologi pada zona vadose dan zona air bawah tanah. Nilai GW_DELAY DAS Bila sebesar 80 hari. Nilai ini berlaku untuk semua penggunaan lahan karena memiliki geomorfologi yang sama. Sangrey et al. 1984 dalam Neitsch et al. 2010 menyatakan bahwa suatu daerah memiliki GW_DELAY yang sama apabila geomorfologi (landform) daerah itu sama. GWQMN merupakan ambang batas kedalaman air pada aquifer dangkal yang dibutuhkan untuk kembali mengalir. Air bawah tanah akan mengalir ke sungai apabila kedalaman air pada aquifer dangkal (SHALLST) sama atau lebih besar dari GWQMN. Nilai GWQMN yang didapatkan adalah 1000 mm pada hutan primer dan hutan sekunder, sedangkan penggunaan lahan lainnya sebesar 800 mm. CH_N2 adalah nilai „n‟ Manning pada saluran utama. Hasil simulasi menunjukkan nilai CH_N2 DAS Bila adalah 0.025. Karakteristik saluran utama
28
alami (pernah terjadi pengerukan), memanjang dan seragam. CH_K2 adalah nilai konduktivitas hidrolik pada saluran. Nilai CH_K2 adalah 130 mm/hari dengan karakteristik pasir dan kerikil. Nilai ini menunjukkan kecepatan aliran pada saluran sangat cepat. SURLAG merupakan waktu terjadinya hujan lebih sehingga terjadi puncak aliran permukaan. Time lag DAS Bila pada awal simulasi adalah 4 dan meningkat menjadi 8. ALFA_BF merupakan parameter pada data groundwater (*gw). ALFA_BF adalah faktor aliran dasar yang dapat terlihat secara langsung melalui respon aliran bawah tanah (groundwater). Pada tanah dengan respon yang lambat nilai berkisar antara 0.1-0.3 sedangkan pada tanah dengan respon cepat berkisar antara 0.9-1.0. Dari hasil simulasi ALFA_BF di DAS Bila berbeda berdasarkan penggunaan lahan. Nilai ALFA_BF hutan primer dan sekunder adalah 0.5 hari, padang rumput dan semak belukar adalah 0.3 hari dan pertanian lahan kering, sawah, pemukiman serta belukar rawa adalah 0.1 hari. Hutan primer dan hutan sekunder memiliki nilai lebih besar disebabkan perakaran pohon di hutan yang lebih dalam sehingga kemampuan dalam menahan air lebih besar (Narayan et al. 2010). RCHRG_DP adalah fraksi perkolasi pada aquifer dalam (DEEPST). Parameter ini memperhitungkan perkolasi dari zona perakaran yang dapat menyuplai perairan dalam. Nilai RCHRG_DP berkisar antara 0.1-0.35. Hasil kalibrasi dari 10 parameter yang diinput, diperoleh nilai koefisien deterministik sebesar 0.75 (good) dan NSE sebesar 0.70 (satisfactory) (Gambar 10). Berdasarkan nilai tersebut, maka model SWAT akurat untuk dipergunakan dalam prediksi aliran permukaan dan erosi. 160 Debit Simulasi m3/s
140
y = 0.728x - 0.027 R² = 0.75
120 100 80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
Debit Observasi
100
120
140
160
m3/s
Gambar 11 Kalibrasi debit harian observasi dan debit harian simulasi Validasi Model SWAT Validasi adalah proses evaluasi terhadap model dalam menentukan keakuratan memprediksi proses hidrologi. Validasi bertujuan untuk membuktikan bahwa suatu proses/metode dapat memberikan hasil yang konsisten dengan spesifikasi yang ditetapkan (Indarto 2012). Validasi dilakukan selama 11 bulan
29
mulai dari 1 Januari 2011 sampai 30 Nopember 2011 (Gambar 12). Parameter yang digunakan pada proses validasi sama dengan parameter kalibrasi 600
0
500
100
400
200
300
300
200
400
100
500
0
600
Observased
Simulasi
Hujan (mm)
Gambar 12 Validasi hidrograf aliran debit observasi dan debit simulasi Gambar 13 menunjukkan bahwa perbandingan debit observasi dan debit simulasi menghasilkan R2 sebesar 0.86 (very good) dan NSE sebesar 0.62 (satisfactory). Hal ini memperlihatkan bahwa NSE pada proses kalibrasi lebih besar dibandingkan pada proses validasi, disebabkan jangka waktu yang digunakan pada proses validasi. Jangka waktu ini menyebabkan terjadinya perubahan pada alam sehingga parameterisasi sudah berubah 600
Debit Simulasi m3/s
500 y = 0.471x - 1.140 R² = 0.86
400 300 200 100 0 0
100
200
300 Debit Observasi
400
500
600
m3/s
Gambar 13 Validasi debit harian observasi dan debit harian simulasi Kontribusi Aliran Permukaan Hasil analisis model SWAT digunakan untuk menganalisis aliran permukaan dan erosi DAS Bila. Berdasarkan kalibrasi tahun 2006 dan validasi
30
2011 menunjukkan bahwa, terdapat 9 sub DAS (2, 3, 4, 7, 9, 10, 13, 14 dan 15) sebagai penyumbang aliran permukaan terbesar pada tahun 2006 dan meningkat menjadi 12 sub DAS (1, 2, 3, 4, 5, 7, 9, 10, 13, 14, dan 15) pada tahun 2011. Sub DAS yang memiliki persentase curah hujan menjadi aliran permukan >30% adalah penghasil aliran permukaan tinggi dan sangat tinggi. Aliran permukaan pada semua sub DAS disajikan pada Lampiran Tabel 1. Tabel 13 Aliran permukaan hasil model SWAT Tahun 2006 % Sub Hujan DAS Hujan SRO SRO WYLD (mm) (mm) dari (mm) (mm) CH 1 1 705 490 28.8 713 1 049 2 1 721 815 47.4 955 1 059 3 1 736 585 33.7 988 811 4 1 711 612 35.8 994 1 195 5 1 736 469 27.0 993 816 6 1 719 419 24.3 831 1 092 7 1 736 666 38.3 651 839 8 1 736 374 21.6 716 1 768 9 1 736 788 45.4 730 1 703 10 1 736 825 47.5 604 1 645 11 957 203 21.2 615 875 12 935 230 24.6 609 825 13 1 736 900 51.8 755 1 069 14 1 736 807 46.5 741 1 069 15 1 729 843 48.8 532 1 615
Tahun 2011 % SRO SRO (mm) dari CH 676 64.5 711 67.2 558 68.8 841 70.4 693 84.9 852 78.0 636 75.8 523 29.6 1 048 61.6 1 250 76.0 242 27.6 198 24.0 694 64.9 825 77.1 1 369 84.8
WYLD (mm)
869 851 666 936 719 911 674 964 1 140 1 312 514 502 842 922 1 403 Catatan: SRO = aliran permukaan (surface runoff), WYLD = jumlah air (water yield) Gambar 13 dan Tabel 15 menunjukkan analisis pada tingkat Sub DAS. Sub DAS 1, 5 dan 6 mengalami peningkatan persentase aliran permukaan dikarenakan perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder. Pengurangan tutupan vegetasi di Sub DAS 1, 5 dan 6 mampu meningkatkan aliran permukaan sebesar 40.3%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Zhang et al (2009) di DAS Lao Shi-Khan menunjukkan bahwa aliran permukaan semakin meningkat dengan berkurangnya tutupan vegetasi di DAS Lao Shi-Khan dan ketika dilakukan penambahan tutupan vegetasi sebesar 20% aliran permukaan semakin menurun. Water yield pada masing-masing sub DAS memperlihatkan total hasil air dari aliran permukaan, aliran lateral dan aliran bawah tanah. Semakin banyak aliran permukaan yang terjadi mengakibatkan aliran lateral dan air tanah semakin berkurang. Tahun 2011 sub DAS 5 menghasilkan aliran permukaan sebesar 693 mm atau 84.9%, aliran lateral sebesar 3.7 mm dan aliran bawah tanah sebesar 22 mm, sehingga water yield menjadi 719 mm. Hal ini mengindikasikan bahwa hasil total dari water yield berasal dari aliran permukaan.
31
Analisis Aliran permukaan berdasarkan HRU (Tabel 15) bertujuan melihat penggunaan lahan yang menghasilkan aliran permukaan terbesar. Pemukiman menjadi penyumbang aliran permukaan terbesar yaitu 299 mm pada tahun 2006 kemudian meningkat menjadi 535 mm pada tahun 2011, disusul oleh sawah sebesar 221 mm dan meningkat menjadi 489 mm, pertanian lahan kering sebesar 213 mm meningkat menjadi 489 mm. Hal ini menunjukkan bahwa dalam rentang lima tahun aliran permukaan pada pemukiman, sawah dan pertanian lahan kering meningkat masing-masing sebesar 44.1%, 56.8% dan 35%. Tabel 14 Tebal aliran permukaan untuk berbagai penggunaan lahan Sub DAS
Luas (Ha)
Penggunaan Lahan
Kemiringan Lereng (%)
6 7 15 15 7 15 9 7
18 159 6 736 25 576 25 576 6 736 25 576 10 415 6 736
HPLK HSLK BKRW PDRT SMBK PMKN SWH PTLK
>40 15-25 15-25 15-25 15-25 0-8 15-25 15-25
Aliran Permukaan (mm) Tahun 2006 54.6 66.4 77.5 78.8 88.6 299 221 213
Tahun 2011 200 222 155 128 237 535 489 328
.
Gambar 14 Aliran permukaan sub DAS tahun 2006 dan tahun 2011 Tingginya aliran permukaan pada pertanian lahan kering disebabkan faktor vegetasi dengan kerapatan rendah, sehingga mempercepat proses aliran permukaan terjadi. Asdak (2007) menyatakan bahwa vegetasi dapat memperlambat kecepatan aliran permukaan dan memperbesar jumlah aliran permukaan yang tertahan dipermukaan tanah (surface detention), sehingga dapat
32
menurunkan laju aliran permukaan. Penggenangan pada lahan sawah dan pengolahan tanah yang intensif menjadi penyebab tingginya aliran permukaan. Menurut Kartasapoetra (2004), pengolahan tanah akan mengakibatkan agregat tanah pecah menjadi butiran-butiran tanah yang kecil-kecil dan ada pula yang halus. Butiran-butiran tanah yang kecil (partikel) dan yang halus akan terangkat dan terhanyutkan dengan berlangsungnya aliran permukaan (runoff) sedangkan sebagian akan terbawa infiltrasi dan bagian ini biasanya dapat menutupi pori-pori tanah sehingga infiltrasi air ke dalam lapisan lapisan tanah bagian dalam menjadi terhambat. Daerah pemukiman merupakan daerah yang kedap air dikarenakan daerah pemukiman terdiri dari bangunan-bangunan yang terbuat dari bahan-bahan kedap air seperti semen, beton dan batu bata. Hasil penelitian Ali et al 2011 di Pakistan menunjukkan bahwa volume aliran permukaan dan debit puncak aliran semakin meningkat dengan pertambahnya daerah terbangun. Kontribusi Erosi Tingkat bahaya erosi menunjukkan sub DAS 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 10 dan 13 dalam tingkat sangat berat sedangkan DAS 7, 8, 11, 12, 14, 15, 16 dan 17 masuk dalam tingkat berat. Erosi terberat terdapat di sub DAS 2 sebesar 343.9 ton/ha/tahun pada tahun 2006 dan meningkat menjadi 456 ton/ha/tahun pada tahun 2011. Besarnya tanah yang tererosi dan erosi yang dapat ditoleransikan pada masing-masing sub DAS disajikan pada Lampiran Tabel 2. Tabel 15 Nilai erosi (ton/ha/tahun) pada penggunaan lahan Erosi (ton/ha/tahun) Sub Pengunaan Lahan dominan Kemiringan DAS Tahun 2006 Tahun 2011 lereng (%) Tahun 2006 Tahun 2011 1 2 3 4 5 6 9 13 14 15
PTLK PTLK PTLK PTLK HSLK PTLK PTLK PTLK PTLK PTLK
PTLK PTLK PTLK HSLK HSLK HSLK PTLK PTLK PTLK PTLK
>40 >40 >40 >40 >40 >40 15-25 0-8 0-8 0-8
263 343 116 122 115 104 85.1 63.5 69.3 91.8
325 456 285 296 234 247 195 136 159 153
Beratnya tanah yang tererosi pada masing-masing sub DAS dipengaruhi oleh vegetasi penutup tanah, kemiringan lahan dan tata guna lahan. Tabel 14 memperlihatkan bahwa pertanian lahan kering (PTLK) dan hutan sekunder (HSLK) merupakan penggunaan lahan yang memberikan kontribusi erosi paling besar dibandingkan penggunaan lahan lainnya. Pertanian lahan kering berupa tanaman semusim antara lain jagung, ubi, bawang merah, cabe, kol dan kentang merupakan tanaman yang membutuhkan pengolahan tanah setiap musim tanam. Pengolahan tanah yang terus menerus ini menyebabkan tanah mudah untuk
33
tererosi. Faktor kedua adalah vegetasi pada pertanian lahan kering merupakan tanaman dengan vegetasi penutup bertajuk kecil sehinggga kurang mampu melindungi permukan tanah dari air hujan. Vegetasi penutup tanah berpengaruh untuk menurunkan kecepatan dan memperkecil diameter air hujan, menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya melalui sistem perakaran dan serasah yang dihasilkan, dan mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam meyerapan air (Asdak 2007). Faktor ketiga adalah kemiringan lahan >40%. Erosi semakin besar dengan semakin curamnya lereng (Arsyad 2010). Semakin curam lereng akan memperbesar kecepatan aliran permukaan sehingga memperbesar energi angkut tanah untuk tererosi. Kedudukan lereng juga mempengaruhi besarnya erosi. Sub DAS 13, 14 dan 15 dengan kemiringan 0-8% (landai) memberikan kontribusi erosi yang cukup besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Asdak (2007) bahwa lereng bagian bawah lebih mudah tererosi dari pada lereng bagian atas karena momentum aliran permukaan lebih besar dan kecepatan aliran permukaan lebih terkonsentrasi ketika mencapai lereng bagian bawah. Pertanian lahan kering dan hutan sekunder sebagai penghasil erosi yang besar disebabkan tata guna lahan yang dilakukan belum mengikuti kaidah konservasi tanah dan air. Gambar 16 memperlihatkan penggunaa lahan DAS Bila. Tanaman kol ditanam pada kemiringan lahan 25-40% tanpa teknik konservasi (kiri) dan pembakaran lahan pada tanaman jagung setelah panen (kanan).
Gambar 15. Penggunaan lahan pada pertanian lahan kering DAS Bila Tingkat bahaya erosi pada sub DAS mengalami peningkatan, tahun 2006 terdapat 2 sub DAS (1 dan 2) dengan tingkat bahaya erosi sangat berat, kemudian bertambah menjadi 9 sub DAS (1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 10 dan 13) pada tahun 2011. Sub DAS 5 dan 6 adalah penggunaan lahan hutan primer pada tahun 2006 dan semak belukar, kemudian dikonversi menjadi hutan sekunder pada tahun 2011. Konversi hutan primer menjadi hutan sekunder meningkatkan erosi sebesar 30.6% pada sub DAS 5 dan 35% pada sub DAS 6 Sub DAS 13 mengalami peningkatan bahaya erosi yaitu dari tingkat sedang tahun 2006 kemudian meningkat menjadi tingkat bahaya erosi berat tahun 2011. Sub DAS 13 memiliki luasan yang lebih kecil dibandingkan sub DAS
34
lainnya, tetapi memberikan kontribusi yang cukup besar erosi yaitu 65.8% pada tahun 2011. Penggunaan lahan sawah sebesar 66% menjadi faktor utama meningkatnya erosi, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan sawah di sub DAS 13 telah tererosi berat. Dari hasil erosi sub DAS secara keseluruhan memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan erosi pada DAS Bila. Rataan erosi yang dihasilkan pada tahun 2006 adalah 84.1 ton/ha/tahun kemudian meningkat menjadi 155 ton/ha/tahun pada tahun 2011 (Tabel lampiran 2) dengan erosi yang dapat ditoleransikan sebesar 16.6 ton/ha/tahun. Sebaran tingkat bahaya erosi secara spasial tersaji pada Gambar 16.
Gambar 16 Tingkat bahaya erosi pada tahun 2006 dan tahun 2011 Indentifikasi Potensi Aliran Permukaan dan Erosi Sub DAS Identifikasi sub DAS yang menyebabkan permasalahan dilakukan pada sub DAS 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 13, 14, dan 15. Identifikasi sub DAS didapatkan dari hasil tumpangsusun (overlay) peta aliran permukaan dan erosi tahun 2011. Sub DAS 1 berada di Kabupaten Enrekang Kecamatan Maiwa, dengan kemiringan lahan >40%. Penggunaan lahan dominan adalah hutan sekunder sebesar 47%, disusul pertanian lahan kering 25.7% dan semak belukar 24%. Hasil analisis sub DAS memperlihatkan bahwa curah hujan yang turun, 64.5 % menjadi aliran permukaan dengan erosi yang dapat ditoleransikan sebesar 28 ton/ha/tahun. Erosi yang dapat ditoleransikan (Etol) merupakan suatu kedalaman tanah tertentu yang harus dipelihara agar didapatkan suatu volume tanah yang cukup, baik bagi tempat berjangkarya akar tanaman dan untuk tempat menyimpan air serta unsur
35
hara yang diperlukan oleh tanaman (Arsyad 2010). Nilai Etol harus sama atau lebih besar dari erosi yang terjadi pada lahan. Sub DAS 1 memperlihatkan bahwa erosi pada lahan lebih besar dibandingkan erosi yang dapat ditoleransikan. Sub DAS 2 berada di Kabupaten Enrekang Kecamatan Maiwa. Penggunaan lahan dominan adalah pertanian lahan kering dengan kemiringan lahan >40%. Analisis aliran permukaan memperlihatkan bahwa curah hujan yang jatuh, 67.2% menjadi aliran permukan, sedangkan erosi lahan masih lebih besar dibandingkan nilai Etol sebesar 22.9 ton/ha/tahun. Sub DAS 3 berada di Kabupaten Sidrap Kecamatan Pitu Riawa. Penggunaan lahan sub DAS 3 terdiri dari hutan primer sebesar 57%, pertanian lahan kering 25.3% dan hutan sekunder 8.81% dengan kemiringan lahan >40%. Analisis aliran permukaan memperlihatkan bahwa 68.8% curah hujan menjadi aliran permukaan dengan nilai Etol sebesar 16.6 ton/ha/tahun. Sub DAS 4 berada di Kabupaten Enrekang Kecamatan Maiwa, dengan kemiringan lahan >40% . Penggunaan lahan dominan Sub DAS 4 adalah pertanian lahan kering sebesar 2.33 ha (56%) disusul semak belukar sebesar 1.575 ha (37.8%) dan hutan sekunder sebesar 777 ha (18.6%). Analisis aliran permukaan memperlihatkan bahwa 70.4% curah hujan menjadi aliran permukaan dengan nilai Etol sebesar 22.1 ton/ha/tahun. Sub DAS 5 berada di Kabupaten Sidrap Kecamatan Pitu Riase. Sub DAS 5 berada pada kemiringan lahan >40% dengan luasan sebesar 10.051 ha. Penggunaan lahan dominan adalah hutan sekunder (40.7%) disusul hutan primer (33 %) dan pertanian lahan kering (16.8%). Analisis aliran permukaan memperlihatkan bahwa 84.9% curah hujan menjadi aliran permukaan dengan Etol sebesar 24.2 ton/ha/tahun. Sub DAS 6 berada di Kabupaten Sidrap Kecamatan Pitu Riase. Sub DAS 6 terdiri dari penggunaan lahan hutan sekunder (53.3%), pertanian lahan kering (19.9%) dan hutan primer (16.5%). Sub DAS 6 berada pada kemiringan lahan >40%. Analisis aliran permukaan memperlihatkan bahwa 78% curah hujan menjadi aliran permukaan dengan Etol sebesar 24.2 ton/ha/tahun. Sub DAS 7 berada di Kabupaten Sidrap Kecamatan Pitu Riawa. Sub DAS 7 terdiri dari penggunaan lahan pertanian kering sebesar 52.4% disusul hutan primer sebesar 25.5% dan hutan sekunder sebesar 21.8%. Sub DAS 7 berada pada kemiringan lereng 15-25%. Analisis aliran permukaan memperlihatkan bahwa curah hujan yang jatuh, 75.8% menjadi aliran permukaan. Erosi lahan sebesar 103.3 ton ha-1 y-1 sedangkan Etol sebesar 20.8 ton/ha/tahun. Sub DAS 9 berada di Kabupaten Sidrap Kecamatan Pitu Riawa, dengan kemiringan lahan 15-25%. Penggunaan lahan dominan pertanian lahan kering sebesar 61.2%. Penggunaan lahan kedua adalah semak belukar sebesar 17.5% disusul sawah sebesar 13.4% dan hutan sekunder sebesar 7.4%. Analisis aliran permukaan memperlihatkan bahwa 61.6% curah hujan menjadi aliran permukaan dan Etol sebesar 16.6 ton/ha/tahun. Sub DAS 10 berada di Kabupaten Sidrap Kecamatan Pitu Riawa. Sub DAS 10 memiliki luasan sebesar 2.127 ha dan berada pada kemiringan 15-25%. Penggunaan lahan Sub DAS 10 terdiri dari semak belukar sebesar 19.3%, sawah sebesar 19.2% dan pertanian lahan kering sebesar 51.9%. Analisis aliran permukaan Sub DAS 10 memperlihatkan bahwa curah hujan yang jatuh, 76 %
36
menjadi aliran permukaan, sedang erosi yang dapat ditoleransikan hanya 19.6 ton/ha/tahun. Sub DAS 13 berada di Kabupaten Sidrap Kecamatan Pitu Riawa, dengan kemiringan lahan 0-8%. Luas sub DAS 13 adalah 456.3 ha dengan penggunaan lahan dominan adalah sawah sebesar 301.3 ha (66%) dan pertanian lahan kering sebesar 159 ha (34.8%). Analisis aliran permukaan Sub DAS 13 menunjukkan bahwa curah hujan yang jatuh, 64.9% menjadi aliran permukaan, sedangkan nilai Etol sebesar 23.2 ton/ha/tahun. Sub DAS 14 berada di Kabupaten Wajo Kecamatan Maniang Pajo. Sub DAS 14 berada pada kemiringan lereng 0-8% dan terdiri atas 4 jenis penggunaan lahan. Pertanian lahan kering, sawah, padang rumput dan semak belukar. Pertanian lahan kering menjadi penggunaan lahan dominan yaitu sebesar 54.4% dari total luasan sub DAS 14. Disusul penggunaan lahan sawah sebesar 22.5%, padang rumput 14.8% dan semak belukar 9.13%. Analisis aliran permukaan menunjukkan bahwa 77.1% curah hujan berubah menjadi aliran permukaan dan erosi yang dapat ditoleransikan 20.9 ton/ha/tahun. Sub DAS 15 berada di Kabupaten Wajo Kecamatan Tana Sitolo. Sub DAS 15 merupakan sub DAS terluas kedua setelah sub DAS 1. Luasan Sub DAS 15 yaitu 25.576 ha dengan kemiringan lereng 0-8%. Penggunaan lahan terdiri atas 7 penggunaan lahan yaitu pertanian pertanian kering (63%), sawah (16.4%), semak belukar (7.16%), hutan sekunder (3.71%), padang rumput (1.78%), belukar rawa (1.07%) dan pemukiman (0.60%). Analisis aliran permukaan menunjukkan bahwa 84.8% curah hujan jatuh berubah menjadi aliran permukaan, sedangkan erosi yang dapat ditoleransikan sebesar 18.6 ton/ha/tahun. Identifikasi potensi aliran permukaan dan erosi pada sub DAS menunjukkan bahwa sub DAS yang memiliki kemiringan >40% dengan penggunaan lahan pertanian lahan kering memiliki potensi yang besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Arsyad (2010) bahwa semakin meningkatnya kemiringan lereng aliran permukaan dan erosi akan semakin besar. Pengolahan lahan secara terus menerus pada penggunaan lahan kering menyebabkan tanah menjadi jenuh dan mudah tererosi. Simulasi Pengelolaan Lahan Simulasi pengelolaan lahan dilakukan dengan cara menentukan beberapa skenario yang dapat menurunkan aliran permukaan dan erosi di DAS Bila. Skenario dilakukan pada skala sub DAS dengan mengggunakan 3 skenario simulasi pengelolaan lahan. Skenario 1 berdasarkan RTK PBDAS JeneberangWalanae tahun 2014, skenario 2 berdasarkan tindakan konservasi pada penggunaan lahan eksisting dan skenario 3 dilakukan pada lahan kritis. Hasil Simulasi Model Skenario 1 Skenario 1 dilakukan berdasarkan Rencana Teknik Lapang (RTK) DAS Jeneberang-Walanae tahun 2014. Secara umum skenario dapat dilihat pada Tabel 16.
37
Tabel 16 Simulasi skenario 1 berdasarkan RTK Jeneberang-Walanae No
Penggunaan Lahan
1
Sawah pengelolaan buruk (dalam kawasan lindung) Sawah pengelolaan sedang Semak belukar Hutan primer pengelolaan baik Hutan sekunder pengelolaan sedang Pertanian lahan kering pengelolaan buruk (dalam kawasan lindung) Pertanian lahan kering pengelolaan sedang Total
2 3 4 5 6 7
Arahan RTK Pengelolaan Pengelolaan Tanaman (C) Tanah (P)
Luas (ha)
Reboisasi
-
14 012
Agroforestry Agroforestry Hutan lindung Hutan lindung
Dam pengendali Gully plug Gully plug Gully plug
14 190 15 921 11 543 24 124
Reboisasi
Dam pengendali
22 396
Agroforestry
Dam pengendali
50 048 151 534
Penggunaan lahan semak belukar, sawah dan pertanian lahan kering pengelolaan sedang, diubah menjadi agroforestry dengan pengelolaan tanah berupa dam pengendali. Sawah dan pertanian lahan kering pengelolaan buruk dilakukan reboisasi karena penggunaan lahan ini masuk dalam kawasan hutan sehingga penggunaanya harus dikembalikan menjadi hutan. Lampiran Tabel 6 memperlihatkan bahwa terjadi penurunan aliran permukaan pada hasil skenario 1. Sub DAS 5 mengalami penurunan aliran permukaan paling besar dari 84.9% menjadi 53.5%, disususul sub DAS 10 sebesar dari 76% menjadi 44.8% dan sub DAS 14 sebesar 77.1% menjadi 52%. Sub DAS 1, 2, 4, 6, 9, 10, 13, 14 dan 15 masing-masing menghasilkan aliran permukaan >500 (kelas sangat tinggi). Sub DAS 4, 5, 7, 20, 21, 21, 22, 23 berada pada kelas 300-500 mm (kelas tinggi), Hal ini menandakan bahwa skenario 1 menghasilkan aliran permukaan pada kelas sangat tinggi dan kelas tinggi. Water yield pada skenario 1 menunjukkan bahwa masing-masing sub DAS mengalami penambahan. Sub DAS 11 dan 12 mengalami penambahan paling banyak, masing-masing dari 514 mm menjadi 672 mm dan 502 mm menjadi 650 mm. Hasil erosi menunjukkan bahwa terjadi penurunan erosi pada masingmasing sub DAS. Sub DAS 1, 3, 4, 7, 9, 10, 14 dan 15 masuk dalam tingkat bahaya erosi sedang, sedangkan Sub DAS 2 masuk dalam bahaya erosi berat. Hasil erosi pada skenario 1 menunjukkan bahwa erosi pada masing-masing sub DAS masih besar dibandingkan erosi yang dapat ditoleransikan. Agroforestri merupakan salah satu teknik vegetatif yang menggabungkan antara tanaman pepohonan atau tanaman tahunan dengan tanaman komoditas lain yang ditanam secara bersama-sama ataupun bergantian Subagyono et al (2004). Hasil Simulasi Skenario 2 Skenario 2 dilakukan dengan memperbaiki pengelolaan tanah dan tanaman pada penggunaan lahan aktual. Pengelolaan tanaman dan pengelolaan tanah diolah berdasarkan penggunaan lahan pada masing-masing Sub DAS.
38
Tabel 17. Simulasi skenario 2 berdasarkan kondisi aktual DAS Bila Skenario 2 No Penggunaan lahan Pengelolaan Pengelolaan tanaman (C) tanah (P) 1 Sawah Pola tanam Teras tumpang gilir 2 Semak belukar Hutan lindung 3 Pertanian lahan Pola tanam Mengikuti kontur kering berurutan 4 Hutan primer Hutan alam Hutan produksi Disertai penutup 5 Hutan sekunder tebang pilih tanah rapat 6 Padang rumput Pengelolaan baik Total
Luas (ha) 25 171 20 374 62 972 3 033 37 159 3 250 151 751
Lampiran Tabel 6 memperlihatkan bahwa aliran permukaan berkurang lebih banyak dibandingkan skenario 1. Sub DAS 6, 5 dan 4 mengalami penurunan aliran permukaan paling banyak, masing-masing dari 78% menjadi 29.4%, 84.9% menjadi 44.4% dan 70.4% menjadi 26.9%. Sub DAS 17 dan 18 memperlihatkan persentase curah hujan yang menjadi aliran permukaan paling sedikit yaitu 14.1% dan 13.3%. Hasil skenario 2 memperlihatkan bahwa aliran permukaan dalam kondisi sedang, tinggi dan sangat tinggi. Skenario 2 menunjukkan water yield pada masing-masing sub DAS meningkat. Sub DAS 22 menunjukkan peningkatan terbanyak sebesar 967 mm dari 795 mm, disusul sub DAS 8 sebesar 1090 mm dari 964 dan sub DAS 9 sebesar 1140 mm dari 1302 mm. Hasil erosi memperlihatkan pengurangan pada masing-masing sub DAS. Sub DAS 19, 20 dan 22 menghasilkan erosi yang paling kecil, masing-masing sebesar 23.8 ton/ha/tahun, 21.4 ton/ha/tahun dan 23.2 ton/ha/tahun. Masingmasing sub DAS berada pada tingkat bahaya erosi sedang. Erosi aktual masih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan. Hasil Simulasi Skenario 3 Skenario 3 dilakukan dengan tindakan konservasi tanah dan tanaman pada lahan kritis, pertanian lahan kering, semak belukar, hutan sekunder dan sawah. Tabel 18 Simulasi skenario 3 berdasarkan lahan kritis Tindakan konservasi tanah dan Penggunaan Lahan tanaman Lahan kritis Reboisasi Pertanian lahan kering (>40%) Agroforestry Pertanian lahan kering (0-40%) Teras bangku dan Agroforestry Semak belukar Agroforestry Hutan sekunder Hutan alam (lindung) Sawah Pengelolaan baik Total
Luas (ha) 81 317 12 227 15 237 13 114 14 721 15 172 151 787
39
Hasil aliran permukaan pada skenario 3 memperlihatkan aliran permukaan berkurang lebih banyak dibandingkan skenario 1 dan 2. Sub DAS 15 mengalami pengurangan paling banyak yaitu dari 1369 mm menjadi 216 mm, disusul sub DAS 10 dari 1249 mm menjadi 207 mm dan sub DAS 6 dari 852 mm menjadi 206 mm. Skenario 3 menujukkan aliran permukaan berada pada tingkat agak rendah dan sedang. Water yield pada skenario 3 mengalami peningkatan lebih banyak dibandingkan skenario 1 dan 2. Sub DAS 18 mengalami penambahan paling banyak sebesar 1018 mm dari 718 mm, disusul sub DAS 22 sebesar 1095 mm dari 795 mm dan sub DAS 23 sebesar 990 mm dari 711 mm. Hasil erosi memperlihatkan penurunan pada masing-masing sub DAS. Skenario 3 menunjukkan tingkat bahaya erosi ringan dan sedang. Sub DAS 1, 814 dan sub DAS 16-23 memperlihatkan hasil erosi yang lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan. Berdasarkan hasil simulasi model memperlihatkan bahwa skenario 3 memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan skenario 1 dan 2. Rataan aliran permukaan pada kondisi aktual sebesar 616 mm (Lampiran tabel 6) kemudian setelah dilakukan simulasi, aliran permukaan berkurang menjadi 466 mm pada skenario 1, 340 mm pada skenario 2 dan 197 pada skenario 3. Water yield pada kondisi aktual sebesar 837 mm kemudian bertambah menjadi 887 mm pada skenario 1, 935 mm pada skenario 2 dan 998 mm pada skenario 3.
Aliran permukaan (mm)
1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Sub DAS (ha) Kondisi aktual
Skenario 1
Skenario 2
Skenario 3
Gambar 17 Hasil aliran permukaan pada simulasi lahan skenario 1, 2 dan 3 Gambar 17 memperlihatkan keadaan aliran permukaan pada masingmasing sub DAS. Aliran permukaan pada sub DAS 15 memiliki aliran permukaan paling besar yaitu 1369 mm atau 84.8% menjadi aliran permukaan dari total curah hujan yang terjadi. Hal ini menandakan bahwa infiltrasi pada daerah tersebut sangat kecil. Sub DAS 15 didominasi oleh tekstur tanah lempung berliat, tanah dengan tekstur lempung berliat mempunyai ukuran pori yang kecil sehingga infiltrasi menjadi kecil.
40
Erosi (ton/ha/tahun)
Skenario pengelolaan lahan terlihat bahwa terjadi penurunan aliran permukaan sebesar 24.4% pada skenario 1, 44.7% pada skenario 2 dan 67.9% pada skenario 3 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 1
2
3
4
5
Kondisi aktual
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Sub DAS (ha) Skenario 1 Skenario 2
Skenario 3
Etol
Gambar 18 Hasil erosi pada simulasi lahan skenario 1, 2 dan 3 Gambar 18 memperlihatkan tingkat erosi pada masing-masing sub DAS. Sub DAS 2 dan 1 memberikan kontribusi erosi paling besar. Hal ini disebabkan perubahan penggunaan lahan dari hutan primer menjadi hutan sekunder dan pertanian lahan kering. Sub DAS 1 berada di Kabupaten Enrekang Kecamatan Maiwa dengan kemiringan lahan >40%. Penggunaan lahan dominan adalah hutan sekunder sebesar 47%, disusul pertanian lahan kering 25.7% dan semak belukar 24%, sedangkan sub DAS 2 didominasi pertanian lahan kering dengan kemiringan lahan >40%. Faktor yang mempengaruhi erosi adalah energi kinetik hujan, tanah, topografi dan vegetasi. Energi kinetik hujan akan merusak agregat-agregat tanah sehingga dibutuhkan vegetasi dengan tajuk yang berlapis. Perubahan penggunaan lahan dari hutan primer menjadi hutan sekunder dan pertanian lahan kering mengakibatkan energi kinetik hujan menjadi semakin besar. Vegetasi pada hutan sekunder dan pertanian lahan kering berupa vegetasi dengan tajuk yang kecil dan kerapatan tanaman yang jarang, sehingga kecepatan butiran air hujan akan langsung sampai ke tanah. Jenis tanah berkaitan dengan tekstur yaitu ukuran dan porsi partikel-partikel tanah. Tekstur tanah pada sub DAS 1 dan 2 didominasi tekstur lempung berdebu dan lempung berpasir. Tekstur tanah ini mudah untuk tererosi disebabkan pori-pori tanah yang kecil, yang selanjutkan membuat infiltasi ikut mengecil dan mengakibatkan erosi semakin besar. Skenario pengelolaan lahan terlihat bahwa pada kondisi aktual erosi yang dihasilkan sub DAS 1 sebesar 325 ton/ha/tahun, kemudian berkurang sebesar 131 ton/ha/tahun pada skenario 1, 66.6 ton/ha/tahun pada skenario 2 dan 27.1 ton/ha/tahun pada skenario 3. Sub DAS 2 mengasilkan erosi pada kondisi aktual sebesar 456 ton/ha/tahun, kemudian berkurang sebesar 277 ton/ha/tahun pada skenario 1, 178 ton/ha/tahun pada skenario 2 dan 50.1 ton/ha/tahun.
41
Hasil rataan erosi pada kondisi aktual sebesar 154 ton/ha/tahun, kemudian berkurang menjadi 95 ton/ha/tahun pada skenario 1, 60.5 ton/ha/tahun pada skenario 2 dan 28.9 ton/ha/tahun pada skenario 3. Gambar 19 dan 20 memperlihatkan penyebaran aliran permukaan dan erosi secara spasial pada keadaan aktual dan setelah dilakukan simulasi lahan skenario 1, skenario 2 dan skenario 3.
(a)
(b)
(c) (d) Gambar 19. Tingkat bahaya erosi pada kondisi aktual (a), skenario 1 (b), skenario 2 (c) dan skenario 3 (d)
42
(a)
(c )
(b)
(d)
Gambar 20. Tinggi aliran permukaan pada kondisi aktual (a), skenario 1 (b), skenario 2 (c) dan skenario 3 (d)
43
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Model SWAT dapat digunakan untuk prediksi aliran permukaan dan erosi di DAS Bila, dengan R2 sebesar 0.75 sampai 0.86 dan NSE sebesar 0.62 sampai 0.70 Pengelolaan lahan terbaik untuk DAS Bila adalah reboisasi pada lahan kritis, agroforestri dan teras bangku pada pertanian lahan kering, perlindungan hutan alam, agroforestri pada semak belukar dan teras bangku pada sawah. Pengelolaan tersebut mampu menekan aliran permukaan sebesar 68% dan erosi tanah sebesar 70% Kontribusi aliran permukaan dari pertanian lahan kering pada sub DAS 7 sebesar 48%, lahan sawah pada sub DAS 7 sebesar 47%. Kontribusi erosi dari pertanian lahan kering pada sub DAS 2 sebesar 456 ton/ha/tahun, hutan sekunder pada sub DAS 6 sebesar 247 ton/ha/tahun Model AnnAGNPS tidak dapat digunakan di DAS Bila karena tidak terbentuk jaringan sungai yang sesuai dengan kondisi dilapang
Saran Model AnnAGNPS sebaiknya tidak digunakan pada daerah datar atau cekungan Pada aplikasi model SWAT, untuk menghasilkan efisiensi model terbaik diperlukan input data spasial pada skala yang besar terutama peta tanah dan penggunaan lahan.
DAFTAR PUSTAKA Ali M, Khan SJ, Aslam I, Khan Z. 2011. Simulation of the impacts of land-use change on surface runoff of Lai Nullah Basin in Islamabad, Pakistan. Landscape and Urban Planning Journal 102(1)271-279. Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi ke-2. Bogor (ID): IPB Pr. Asdak C. 2007. Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai. Yogyakarta (ID): UGM Pr. [BPDASJW] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jeneberang-Walanae.2014. Rehabilitasi hutan dan lahan daerah aliran sungai DAS Jeneberang-Walanae. Makassar (ID): BPDAS [Dephut] Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapang Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan [Dirjen RLPS] Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
44
Nomor: P.04/V-SET/2009 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan Haridjaja O. 2000. Pencemaran tanah dan lingkungan. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Indarto. 2012. Hidrologi, dasar teori dan contoh aplikasi model hidrologi. Jakarta (ID): Bumi Aksara Pr. Junaedi E. 2009. Kajian berbagai alternatif perencanaan pengelolaan das cisadane menggunakan model SWAT [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Junker L. 2012. Evaluation of the AnnAGNPS model used for river discharge and sediment yield predictions in a microscale catchment in the Highlands of Ethiopia. [tesis]. Etiopia (ET): Berne University Kyle R. Mankin KR, Bhuyan SJ, Koelliker JK. 2004. Effects of cell size on AGNPS inputs and predictions. Journal of Environmental Hydrology. 1(22):221-301 Lizhong H, He X,Yuan Y, Nan H. 2012. Assessment of runoff and sediment yields using the AnnAGNPS model in a Three-Gorge watershed of China. International Journal of Environmental Research and Public Health. ISSN 1660-4601 Moriasi DN, Arnold JG, Van Liew MW, Bingner RL, Harmel RD, Veith TL. 2007. Model evaluation guidelines for systematic quantification of accuracy in watershed simulations. American Society of Agricultural and Biological Engineers . ISSN 0001−235. Vol 50(3):885−900 Muchtar A, Abdullah N. 2007. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi debit sungai Mamasa. Jurnal Hutan dan Masyarakat. 2(1):174-187. Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Williams JR, King KW. 2002. Soil and Water Assessment Tool: Theoretical Documentation, Version 2000. Texas Water Resources Institute. Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Srinivasan R, and Williams JR. 2002. Soil and Water Assessment Tool: User's Manual, Version 2000. Texas Water Resources Institute. Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Williams JR. 2010. Soil and Water Input/Output File Documentation. Version 2009. Texas Water Resources Institute. Narayan KS, Shakti PC, Gurung P. 2010. Calibration and Validation of SWAT Model for Low Lying Watersheds: A Case Study on the Kliene Nete Watershed, Belgium. Hydro Nepal Issue no (6). Nuddin A. 2007. Analisis sistem kelembagaan dalam perencanaan dan strategi pengelolaan lahan krtisis DAS Bila [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Parajuli PB, Nelson NO, Frees LD, Mankin KR. 2008. Comparison of AnnAGNPS and SWAT model simulation results in USDA-CEAP agricultural watersheds. Hydrol Process (23)748–763. doi: 10.1002/hyp.7174 Shamo DA. 2008. Assessment of non-point source pollution in Lake Awassa watershed using the Annualized Agricultural Non-Point Source (AnnAGNPS) model. [tesis]. Ababa (ET): Addis Ababa University Subagyono K, Marwanto S, Kurnia U. 2004. Teknik konservasi tanah secara vegetatif. Balai Penelitian Tanah. Bogor
45
Young RA, Scott E, Nedham. 1993. AnnAGNPS a continuous simulation watershed model. [Proceedings]. The federal Interagency Workshop on Hydrolgic Modeling Demans for the 90‟s. Yustika RD. 2013. Pengelolaan lahan terbaik hasil simulasi model SWAT untuk mengurangi aliran permukaan di Sub DAS Ciliwung Hulu [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zhang J, Jiang J, Liu D, Donald LD. 2009. Vegetation coverage influence on rainfall-runoff relation based on wavelet analysis. Journal of American Science. 5(2) 97-104
46
LAMPIRAN
47
Lampiran Tabel 1 Hasil aliran permukaan menggunakan model SWAT pada 23 sub DAS Tahun 2006 Tahun 2011 % % Sub Hujan SRO SRO WYLD Hujan SRO SRO WYLD DAS (mm) (mm) dari (mm) (mm) (mm) dari (mm) CH CH 1 1705 490 28.8 713 1049 676 64.5 869 2 1721 815 47.4 955 1059 711 67.2 851 3 1736 585 33.7 988 811 558 68.8 666 4 1711 612 35.8 994 1195 841 70.4 936 5 1736 469 27.0 993 816 693 84.9 719 6 1719 419 24.3 831 1092 852 78.0 911 7 1736 666 38.3 651 839 636 75.8 674 8 1736 374 21.6 716 1768 523 29.6 964 9 1736 788 45.4 730 1703 1048 61.6 1140 10 1736 825 47.5 604 1645 1250 76.0 1312 11 957 203 21.2 615 875 242 27.6 514 12 935 230 24.6 609 825 198 24.0 502 13 1736 900 51.8 755 1069 694 64.9 894 14 1736 807 46.5 794 1069 825 77.1 922 15 1729 843 48.8 732 1615 1369 84.8 1403 16 1564 232 14.8 1101 967 284 29.4 620 17 1562 229 14.7 806 1530 375 24.5 722 18 1554 227 14.6 810 1634 462 28.3 718 19 1564 280 17.9 1209 946 241 25.5 711 20 1555 227 14.6 900 1544 372 24.1 812 21 1564 285 18.2 983 1575 439 27.9 890 22 1564 218 14.0 903 1553 445 28.7 795 23 1564 241 15.4 798 1553 453 29.2 711 Catatan : SRO : Aliran permukaan (surface runoff) WYLD : Water Yield CH : Curah Hujan
48
Lampiran Tabel 2 Hasil erosi pada 23 Sub DAS yang terbentuk pada model SWAT Erosi (ton/ha/tahun) Sub DAS Luas (ha) Etol (ton/ha/tahun) Tahun 2006 Tahun 2011 Sub DAS 1 30.045 263 325 28 Sub DAS 2 3.337 343 456 22.9 Sub DAS 3 5.860 116 285 16.6 Sub DAS 4 4.158 122 296 22.1 Sub DAS 5 10.051 115 234 24.2 Sub DAS 6 18.159 104 247 24.2 Sub DAS 7 6.736 91.6 103 20.8 Sub DAS 8 2.006 92.6 99.4 30.3 Sub DAS 9 10.415 85.1 195 16.7 Sub DAS 10 2.127 66.1 112 19.6 Sub DAS 11 5.675 29.0 77.2 22.9 Sub DAS 12 4.175 42.3 82.5 20.9 Sub DAS 13 456 63.5 186 23.3 Sub DAS 14 3.901 69.3 159 23.3 Sub DAS 15 25.576 91.8 153 20.9 Sub DAS 16 3.614 46.6 97.9 23.3 Sub DAS 17 8.449 32.3 88.5 18.6 Sub DAS 18 4.306 38.7 55.1 17.6 Sub DAS 19 440.5 24.7 53.8 18.6 Sub DAS 20 4.681 17.3 60.4 18.6 Sub DAS 21 455 24.1 58.8 20.9 Sub DAS 22 278.6 26.6 60.2 20.9 Sub DAS 23 560 28.0 60.2 20.9 Rata-rata 84.1 155
Lampiran Tabel 3 Tingkat bahaya aliran permukaan Aliran Permukaan (mm) Kondisi >500 Sangat tinggi 250-500 Tinggi 150-300 Sedang 50-150 Agak rendah <50 Rendah
Tingkat 1 2 3 4 5
49
Lampiran Tabel 4 Pendekatan nilai kapasitas menahan air (mm H2O/mm) tanah) berdasarkan tekstur tanah Nilai Tekstur Simbol Range Rata-rata Pasir S 0.06-0.08 0.07 Pasir berlempung LS 0.09-0.11 0.10 Lempung berpasir SL 0.12-0.14 0.13 Lempung berdebu SiL 0.20-0.22 0.21 Lempung liat berpasir SCL 0.16-0.18 0.17 Lempung L 0.17-0.19 0.18 Lempung berliat CL 0.15-0.19 0.17 Lempung liat berdebu SiCL 0.18-0.20 0.19 Liat berpasir SC 0.16-0.21 0.19 Liat berdebu SiC 0.11-0.13 0.12 Liat C 0.09-0.11 0.10 Sumber : Guides For Editing Soil Properties, 2005 dalam Junaidi (2009)
Lampiran Tabel 5 Pendekatan nilai konduktifitas hidrolik tanah (mm/jam) berdasarkan tekstur tanah Nilai Tekstur Simbol Range Rata-rata Pasir S 152.40-508.10 330.25 Pasir berlempung LS 152.40-508.10 330.25 Lempung berpasir SL 50.80-152.40 10.1.60 Lempung berdebu SiL 15.20-50.80 33.0 Lempung liat berpasir SCL 5.10-15.20 10.15 Lempung L 15.20-50.80 33.0 Lempung berliat CL 5.10-15.20 10.15 Lempung liat berdebu SiCL 5.10-15.10 10.15 Liat berpasir SC 1.50-5.10 3.3 Liat berdebu SiC 1.50-5.10 3.3 Liat C 1.50-5.10 3.3 Sumber : Guides For Editing Soil Properties, 2005 dalam Junaidi (2009)
50
Sub DAS
Hujan (mm)
Kondisi Aktual % SRO SRO WYLD (mm) dari (mm) CH 676 64.5 869
Erosi 325
Skenario 1 % SRO SRO WYLD (mm) dari (mm) CH 542 51.7 901
Erosi
SRO (mm)
131
342
Skenario 2 % SRO WYLD dari (mm) CH 32.6 917
Erosi
SRO (mm)
66.6
228
Skenario 3 % SRO WYLD dari (mm) CH 21.7 953
Erosi
1
1049
27.1
2
1059
711
67.2
851
456
559
52.8
915
277
347
32.8
957
178
200
18.9
998
150
3
811
558
68.8
666
285
436
53.8
720
72.5
336
41.4
751
141
221
27.3
782
61.3
4
1195
841
70.4
936
296
617
51.6
970
159.4
322
26.9
1007
79.2
292
24.5
1137
30.2
5
816
693
84.9
719
234
437
53.5
751
117
331
40.5
795
102
219
26.8
811
51.5
6
1092
852
78.0
911
247
623
57.0
961
226
321
29.4
998
132
206
18.9
1026
35.8
7
839
636
75.8
674
103
442
52.7
692
87.8
336
40.1
726
66.2
206
24.6
750
41.9
8
1768
523
29.6
964
99.4
320
18.1
992
59.4
293
16.6
1090
39.4
193
10.9
1113
24.46
9
1703
1048
61.6
1140
195
862
50.6
1208
146.5
552
32.4
1302
96.7
212
12.5
1350
15.8
10
1645
1250
76.0
1312
112
850
44.8
1450
98.0
544
33.1
1501
43.4
207
12.6
1535
15.9
11
875
242
27.6
514
77.2
160
18.3
672
57.2
130
14.9
708
27.2
105
12.0
777
14.44
12
825
198
24.0
502
82.5
187
22.7
650
62.5
166
20.1
693
32.5
106
12.8
721
14.63
13
1069
694
64.9
894
186
652
43.8
912
113
469
43.8
992
60.3
117
10.9
1061
22.6
14
1069
825
77.1
922
159
647
52.0
964
137.9
449
42.0
996
43.0
217
20.3
1023
16.9
15
1615
1369
84.8
1403
153
1091
67.5
1453
64.4
859
53.2
1513
58.8
216
13.4
1551
18.9
16
967
284
29.4
620
77.9
253
26.2
635
67.9
203
21.0
660
47.9
131
13.5
720
15.23
17
1530
375
24.5
722
88.5
250
16.3
740
58.5
215
14.1
775
28.5
183
11.9
822
16.11
18
1634
462
28.3
718
65.1
261
16.0
742
45.1
218
13.3
780
25.1
194
11.8
1018
15.52
19
946
241
25.5
711
53.8
203
21.5
750
43.8
197
20.8
775
23.8
164
17.4
821
14.36
20
1544
372
24.1
812
61.4
351
22.7
837
41.4
312
20.2
880
21.4
233
15.1
912
14.14
21
1575
439
27.9
890
58.8
318
20.2
920
38.8
295
18.7
945
28.8
217
13.8
990
15.42
22
1553
445
28.7
795
63.2
320
20.6
835
33.2
285
18.4
967
23.2
231
14.9
1095
16.18
23
1553
453
29.2
711
67.2
343
22.1
749
47.2
316
20.4
784
27.2
246
15.8
990
16.30
Rataan
1249.1
617
51.0
837
154.2
466.2
37.2
887
95.0
340.8
28.1
935
60.5
198
16.6
998
28.9
Lampiran Tabel 6 Hasil aliran permukaan dan erosi pada simulasi skenario pengelolaaan lahan pada kondisi 1, 2 dan 3
51
(a)
(c)
(b)
(d)
Lampir Gambar 1 Penggunaan lahan DAS Bila (a) hutan primer (b) hutan sekunder (c) padang rumput (d) sawah
52
(a)
(c)
(b)
(d)
Lampiran Gambar 2 DAS Bila (a) Danau Tempe (b) Pemukiman di Danau Tempe (c) Sub DAS Cendrana (d) Pendangkalan di Sub DAS Bila
53
(a)
(b)
Lampiran Gambar 3 Penggunaan lahan DAS Bila (a) pertanian lahan kering pada kemiringan 15-25% (b) pertanian lahan kering pada kemiringan 8-15%
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tana Toraja pada tanggal 6 Desember 1988. Penulis merupakan anak kedelapan dari sembilan bersaudara, empat anak laki-laki dan lima anak perempuan dari Ayah Staddal dan Ibu Hajrah. Penulis menyelesaikan pendidikan SD (1999), SMP (2002) dan SMA (2005) di Tanah Toraja. Selepas SMA, penulis diterima di Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar. Penulis memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian dari Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2010. Pada Tahun 2011, penulis berkesempatan melanjutkan ke Program Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan DAS, Sekolah Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor melalui beasiswa unggulan DIKTI tahun 2011