ANALISA HUKUM TERHADAP KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIPIKAT JAMINAN FIDUSIA (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh: Ahmad Wahyudi 109048000083
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakam hasil jiplakan dan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulfah Jakarta.
Jakarta, 24 April 2014
Ahmad Wahyudi
iii
ABSTRAK
AHMAD WAHYUDI, NIM : 109048000083 ANALISA HUKUM TERHADAP KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIPIKAT JAMINAN FIDUSIA (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia) Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M, 75 halaman + lampiran. Penelitian ini menganalisa kekuatan eksekutorial yang melekat pada Sertipikat Jaminan Fidusia sebagaimana tertuang dalam pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan untuk khazanah keilmuan dalam bidang hukum fidusia dan tambahan referensi untuk peneliti yang akan datang. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research) atau studi dokumen yang bersifat yuridis normatif. Sertipikat Jaminan Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial tanpa melalui proses peradilan, sehingga jika seorang debitor melakukan wanprestasi kreditor bisa melakukan eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia tanpa melalui proses peradilan. Namun dalam prakteknya sering terjadi adanya keberatan dari pihak debitor maupun pihak ketiga yang merasa dirugikan dengan adanya eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia, selain itu objek benda yang akan dieksekusi terkadang sudah disita terlebih dahulu oleh orang lain tanpa sepengetahuan pihak kreditor. Jika adanya keberatan terhadap eksekusi benda objek jaminan fidusia atau objek jaminan fidusia sudah terlebih dahulu disita oleh orang lain atau sengaja dipindah tangankan oleh debitor kepada pihak ketiga maka secara otomatis akan melahirkan sengketa (dsipute) sehingga adanya proses peradilan dalam eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia sangat memungkinkan. Jika salah satu pihak ada yang keberatan terhadap eksekusi yang akan dilakukan, langkah hukum yang perlu dilakukan adalah mengajukan keberatan ke pengadilan. Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Pengadilan dilarang menolak memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Kata kunci
: Fidusia, Kekuatan Eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia.
Pembimbing
: Nahrowi, SH. MH. dan Andi Syafrani, SHI. MCCL.
Daftar Pustaka
: Tahun 1965 sampai tahun 2011
iv
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, serta hidayah-Nya sehingga penulis
dapat
TERHADAP
menyelesaikan KEKUATAN
skripsi
yang
berjudul
EKSEKUTORIAL
ANALISA
SERTIFIKAT
HUKUM JAMINAN
FIDUSIA (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Sholawat dan salam tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita kepada jalan yang lurus dan diridhai oleh Allah SWT. Penulis menyadari bahwa terdapat masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Namun demikian penulis tetap berusaha menyelesaikannya dengan kesungguhan dan kerja keras. Selanjutnya, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Nahrowi, SH. MH
selaku pembimbing
I
dan Bapak Andi Syafrani, SH.I MCCL selaku
pembimbing II yang telah dengan sabar, tekun, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga kepada penulis selama menyusun skripsi. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2. JM. Muslimin M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
v
3. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., M.H., selaku ketua prodi Ilmu Hukum. 4. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., selaku sekretaris prodi Ilmu Hukum yang senantiasa memberikan perhatian kepada skripsi saya ini. 5. Abdurrauf L.c., M.A., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan masukannya selama beberapa tahun kepada penulis. Semoga apa yang telah bapak arahkan kepada penulis dapat bermanfaat dan dibalas oleh Allah SWT. 6. Segenap Dosen beserta Staf Karyawan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah baik dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis, serta memberikan pehatian dan kasih sayang kepada penulis sehingga meninggalkan kesan bahagia selama masa studi di lingkungan universitas. 7. Terima kasih sebesar-besaraya kepada ayahanda H.Okar dan Ibunda Hj.Rosdiana yang telah memberikan doa untuk penulis menyelesaikan skripsi ini, nafkah dan kasih sayang selama ini, serta pengorbanan kepentingannya untuk mendahulukan studi penulis. 8. Terima kasih sebesar-besarnya kepada saudara-saudara kandung sekaligus teman-teman penulis, Asep saepudin, Ade Mulyana, Susilawati, Rian Ahmad Faisal, S.H., Aris Munandar, Abdul latip Komarudin, S.E., Ahmad Taufik dan Arland Ahmad Septian yang telah memberikan dorongan berbentuk motifasi dan inspirasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 9. Kawan-kawan angkatan 2009 Aden Daenuri, Muhamad andriansyah, Prayoza saputra, Rivianta Putra, Fikri abdullah, Muhamad Andi Firdaus, Madama Taufiq dan lain lain yang telah saling bantu-membantu selama proses perkuliahan sehingga tugas-tugas dan penulisan skripsi ini dapat selesai sebagaimana mustinya. 10. Andini Sri Dewi Mandasari yang tiada henti selalu memberikan semangat serta motivasi dalam pembuatan skripsi ini sehingga membuat penulis lebih bersemangat dalam pengerjaan skripsi ini. vi
11. Teman-teman Fakultas Syariah dan Hukum uin yang mengenal dan berteman baik dengan penulis, semoga teman-teman semua sukses dan sejahtera di masa yang akan datang. 12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas semua kebaikan.
Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan segenap civitas akademika dan masyarakat pada umumnya.
Jakarta, 24 April 2014
Ahmad Wahyudi
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING..........................................
i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI.....................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN........................................................................ iii ABSTRAK...................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR................................................................................
v
DAFTAR ISI...............................................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.........................................................
1
B. Identifikasi Masalah................................................................ 6 C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah....................... 7 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian...............................................
9
E. Review Kajian Terdahulu.......................................................
9
F. Metodologi Penelitian............................................................. 10 G. Sistematika Pembahasan......................................................... 12 BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG HUKUM JAMINAN A. Hak Tanggungan..................................................................... 15 B. Hipotek...................................................................................
15
C. Gadai.......................................................................................
17
D. Fidusia..................................................................................... 18
viii
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENYITAAN A. Tujuan Penyitaan....................................................................
32 36
B. Syarat dan Alasan Penyitaan................................................... 41 C. Macam-macam penyitaan (Beslag)....................................... BAB IV ANALISIS HUKUM KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIPIKAT JAMINAN FIDUSIA A. Sertipikat Jaminan Fidusia Menurut UU Jaminan Fidusia.....
54
B. Eksekusi Jaminan Fidusia.......................................................
58
C. Kemungkinan Adanya Proses Peradilan dalam Eksekusi......
60
D. Dasar Hukum Adanya Proses Peradilan.................................
65
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.............................................................................
70
B. Saran.......................................................................................
71
Daftar Pustaka............................................................................................
72
LAMPIRAN
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Penjelasan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia disebutkan, bahwa dalam rangka meneruskan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun swasta, baik perorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang sangat besar. Sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan pinjam meminjam dari lembaga keuangan, terutama bank.
Tingginya kebutuhan perusahaa-perusahaan dalam rangka mendapatkan modal segar untuk membiayai kegiatan usahanya mengakibatkan lahirnya persaingan usaha antar bank semakin tajam. Hal ini mendorong munculnya berbagai jenis produk, terutama penawaran kredit terhadap perusahaan-perusahaan non jasa keuangan semakin banyak dan dipermudah.1 Namun sebelum bank memberikan kredit, bank harus menilai dengan seksama watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha debitor. Faktor-faktor tersebut memegang peranan penting dalam menentukan pemberian kredit, disamping ketentuan tersebut, di dalam bank berlaku
1
Chaerudin Syah Nasution, “Manajemen Kredit Syariah Bank Muamalat’. Diakses dari : http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CChaerudin-3.pdf.
1
2
asas commaneteringverbod yaitu adanya plarangan bagi bank untuk tidak menanggung resiko debitor.2
Setiap kegiatan usaha yang memerlukan fasilitas kredit, disyaratkan harus ada jaminan dalam pelaksanaannya. Kredit akan diberikan kepada nasabah apabila terdapat jaminan kredit terlebih dahulu. Hal ini dilakukan karena pemberian kredit mengandung resiko sehingga dalam pelaksanannya harus berdasarkan pemberian kredit yang sehat.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka kemudian lahirlah sejumlah peraturan yang mengatur tentang jaminan dalam kredit, yang kemudian disebut dengan “Hukum Jaminan” yang merupakan salah satu bagian dari hukum ekonomi (the economic law).3 Hukum jaminan mempunyai fungsi sebagai penunjang kegiatan perekonomian dan kegiatan pembangunan pada umumnya. 4
Bagi pihak debitor, bentuk jaminan yang baik adalah jaminan yang tidak akan mengganggu kegiatan usahanya. Sedangkan bagi kreditor, jaminan yang baik adalah jaminan yang dapat memberikan rasa aman dan kepastian hukum, bahwa kredit yang
2
Sri Soedewi M Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusaia di Dalam Praktek dan Pelaksanannya di Indonesia, (Jogjakarta : FH UGM, 1980), h. 11. 3
Sri Soedewi Maschoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan (Yogyakarta : Liberti, 1980), h. 33. 4
R. Subekti & R. Tjiptosoedibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet XXV, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1992), h. 269.
3
diberikan dapat diperoleh kembali tepat pada waktunya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Salah satu bentuk jaminan yang sudah lama diakui adalah fidusia, yang telah dilembagakan dan diatur secara lengkap dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Fidusia merupakan salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan. Jaminan Fidusia memberikan kemudahan bagi para pihak yang menggunakannya, khususnya bagi debitor (Pemberi Fidusia). Namun sebaliknya karena Jaminan Fidusia tidak didaftarkan, kurang menjamin pihak kreditor (Penerima Fidusia). Pemberi Fidusia mungkin saja menjaminkan benda yang telah dibebani dengan fidusia kepada pihak lain tanpa sepengetahuan Penerima Fidusia.
Dalam undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, diatur tentang pendaftaran jaminan fidusia guna memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan dan memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada Penerima Fidusia (kreditor) terhadap kreditor lain. Fidusia dianggap sebagai jaminan yang lebih cocok bagi bank ataupun nasabahnya untuk barang bergerak, hal ini dikarenakan kreditor tidak perlu repot-repot merawat dan menyediakan tempat menyimpan barang jaminan. Dalam sistem jaminan fidusia, barang tidak diserahkan kepada kreditor, tetapi masih berada dalam kekuasaan debitor, namun sebelum utang
4
dibayar lunas oleh debitor, hak milik barang berpindah untuk sementara waktu kepada kreditor.5
Fidusia merupakan suatu jenis jaminan yang timbul dari suatu perjanjian, dalam hal ini adalah perjanjian utang-piutang yang dilakukan antara kreditor dengan debitor. Setelah ada perjanjian utang-piutang antara kreditor dengan debitor maka selanjutnya harus dibuat perjanjian fidusia yang dibuat dalam bentuk tertulis dan dituangkan dalam akta notaris, hal ini dilakukan untuk melindungi dan memudahkan kreditor dalam pembuktian bahwa telah ada suatu penyerahan hak kepemilikan terhadap kreditor. Perjanjian ini kemudian sering disebut dengan “akta jaminan fidusia”. Hal ini sesuai dengan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang berbunyi :
“Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia”. Perjanjian fidusia bersifat accesoir (ikutan) karena perjanjian fidusia merupakan pelengkap dari perjanjian utang-piutang (perjanjian kredit).6 Suatu perjanjian akan terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang
5
Gatot Suparmono, Perbankan dan Masalah Kredit : Suatu Tinjauan, (Jakarta: Jambatan, 1995), h. 74. 6
Meriam Darus Badrul zaman, Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fidusia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), h. 89.
5
dirugikan. Namun adakalanya salah satu pihak melakukan wanprestasi (cederajanji) sehingga sebuah perjanjian tidak berjalan sebagaimana mestinya. Wanprestasi itu sendiri adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaiannya, debitor tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa (force majeure).7
Dalam kenyatannya, sering kali debitor cederajanji terhadap perjanjian kredit yang telah disepakatinya sehingga hal ini menimbulkan suatu permasalahan yang butuh penyelesaian secara tepat. Selain itu, dengan adanya cederajanji yang dilakukan oleh debitor tentunya menimbulkan kerugian yang dialami oleh kreditor. Untuk melindungi hak hukum kreditor jika seorang debitor wanprestasi dalam pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang N0. 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia
menyebutkan :
Ayat 2 : “Sertipikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Ayat 3 : “Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”.
7
Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), h. 21.
6
Selanjutnya dalam Penjelasan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia disebutkan bahwa “ yang dimaksud dengan "kekuatan eksekutorial" adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut”
Dari penjelasan di atas maka kita dapat memahami bahwa Sertipikat Jaminan Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial tanpa melalui proses peradilan. Namun dalam prakteknya sering terjadi adanya keberatan dari pihak debitor maupun pihak ketiga yang merasa dirugikan dengan adanya sita jaminan yang dilakukan terhadap asset yang menjadi objek jaminan fidusia. Sehingga jika adanya keberatan terhadap eksekusi maka menurut penulis, hal ini memungkinkan adanya proses peradilan dalam melakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memberi judul skripsi ini dengan judul : ANALISA HUKUM TERHADAP KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIPIKAT JAMINAN FIDUSIA (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia)
B. Identifikasi Masalah
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa Sertipikat Jaminan Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial tanpa melalui proses peradilan. Namun dalam prakteknya sering terjadi adanya keberatan dari pihak debitor maupun pihak ketiga
7
yang merasa dirugikan dengan adanya eksekusi yang dilakukan terhadap asset yang menjadi objek jaminan fidusia. Sehingga jika adanya keberatan terhadap eksekusi benda objek jaminan fidusia maka menurut penulis, hal ini memungkinkan adanya proses peradilan dalam eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Jika ada salah satu pihak yang keberatan terhadap eksekusi, maka secara otomatis akan melahirkan sengketa (dispute) sehingga proses peradilan sangat mungkin terjadi. Namun kemungkinan adanya proses peradilan terhadap eksekusi benda objek jaminan fidusia ini memerlukan dasar hukum dan alasan-alasan yang jelas. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap masalah ini.
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
Agar skripsi ini terfokus dan pembahasannya tidak melebar, penulis membatasi dan merumuskan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut:
1. Pembatasan Masalah
Fokus pembahasan dalam skripsi ini adalah kekuatan eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia menurut pasal 15 ayat (2) dan (3) UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, yang menyatakan bahwa Sertipikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan Eksekutorial layaknya putusan pengadilan. Selain itu penerima fidusia
8
boleh menyita asset yang menjadi objek jaminan fidusia tanpa melalui proses peradilan jika debitor cederajanji.
Namun menurut penulis hal tersebut tidak berlaku mutlak karena dalam situasi tertentu memungkinkan adanya proses peradilan seperti keberatan dari pihat debitor (pemberi fidusia) maupun pihak ketiga yang merasa dirugikan akibat eksekusi asset objek jaminan fidusia.
2. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini penulis hendak membahas persoalan terkait kekuatan eksekutorial sertipikat jaminan fidusia yang menurut pasal 15 ayat (2) dan (3) UU No. 42 Tentang Jaminan Fidusia tidak perlu lagi melalui proses peradilan dalam melakukan sita jaminan.
Dari persoalan di atas penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimana kekuatan eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia menurut UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia? b. Apakah kekuatan eksekutorial yang melekat pada sertipikat jaminan fidusia berlaku mutlak?
9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum
Mengetahui sejauh mana kekuatan eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia menurut UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
b. Tujuan Khusus
Mengetahui kekuatan eksekutorial yang melekat pada Sertipikat Jaminan Fidusia sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat (2) dan (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
2. Manfaat Penelitian
a. Sebagai sumbangan untuk khazanah keilmuan dalam bidang hukum fidusia; b. Sebagai tambahan referensi untuk peneliti yang akan datang dalam bidang hukum fidusia.
E. Review Kajian Terdahulu
Kajian hukum fidusia ini pernah dikaji dalam skripsi yang ditulis oleh “Ichwan Kurnia” mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum. Skripsi ini diberi judul “ Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia Menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan Hukum Islam”.
Skripsi ini menjelaskan
10
perjanjian kredit dengan jaminan secara fidusia menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan hukum Islam. Walaupun skripsi ini bersifat komparasi hukum fidusia menurut hukum positif dan hukum Islam, tetapi skripsi ini sudah cukup baik dalam memaparkan dasar-dasar hukum fidusia secara umum. Sedangkan skripsi yang akan disusun oleh penulis tidak bersifat komparatif karena dalam skripsi ini penulis hanya akan membahas fidusia dalam perspektif hukum positif saja, selain itu topik pembahasan dalam skripsi ini lebih khusus mengenai pasal 15 ayat (2) dan (3) UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif. Karena dalam penelitian normatif menelaah asas-asas hukum, meneliti sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, dan perbandingan hukum.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan (library research) atau studi dokumen. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan dalam data sekunder. Namun, dalam penelitian hukum, data sekunder ini mencakup bahan hukum primer (konstitusi, peraturan perundang-undangan, dll).
11
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berwujud dokumentasi naskah, baik itu buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan bahasan-bahasan yang berkaitan dengan hukum fidusia. Berikut adalah sumber-sumber data yang akan dikumpulkan dan menjadi rujukan dalam penelitian ini:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh penulis langsung dari sumber utamanya, data primer yang dimaksud dalam skripsi ini antara lain sebagai berikut:
1) Undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia 2) Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia 3) Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang berasal dari hasil penelitian orang lain yang penulis gunakan untuk tujuan berbeda. Data ini bersumber dari buku-buku, contohcontoh sertipikat jaminan fidusia yang sering digunakan dll.
3. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan disini adalah analisis isi (content analysis), Analisis Isi (Content Analysis) secara sederhana diartikan sebagai metode untuk
12
mengumpulkan dan menganalisis muatan dari sebuah “teks”. Teks dapat berupa katakata, makna gambar, simbol, gagasan, tema dan bermacam bentuk pesan yang dapat dikomunikasikan. Analisis Isi berusaha memahami data bukan sebagai kumpulan peristiwa fisik, tetapi sebagai gejala simbolik untuk mengungkap makna yang terkandung dalam sebuah teks agar memperoleh pemahaman terhadap pesan yang direpresentasikan.8 Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan teks tersebut tidak lain adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan fidusia yang masih berlaku di Indonesia.
4. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Buku Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
G. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini akan disusun menggunakan pembahasan secara sistematis yang akan dibagi menjadi 5 (lima) bab, adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :
8
Agus s. Ekomadyo, Prospek Penerapan Metode Analisis Isi (Content Analysis) Dalam Penelitian Media Arsitektur. Dimuat dalam Jurnal Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni, No.2 Vol.10. Agustus 2006, h. 51-57.
13
Bab pertama berisi pendahuluan. Yang terdiri dari : Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metodologi Penelitian dan Sitematika Penulisan Skripsi Ini.
Bab kedua, Tinjauan Umum Tentang Hukum Jaminan. Terdiri dari : Hak Tanggungan, Hipotik, Gadai, Fidusia.
Bab ketiga, Tinjauan Yuridis Tentang Penyitaan. Terdiri dari : Judicial Execution, non Judicial Execution.
Bab keempat, Analisis Hukum Kekuatan Eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia. Terdiri dari : Sertipikat Jaminan Fidusia Menurut UU Jaminan Fidusia, Eksekusi Jaminan Fidusia, Kemungkinan Adanya Proses Peradilan Dalam Eksekusi dan Dasar Hukum Adanya Proses Peradilan.
Bab kelima, Penutup. Terdiri dari : Kesimpulan dan Saran.
BAB II TINJAUAN YURIDIS TENTANG HUKUM JAMINAN
Hukum Jaminan merupakan suatu peraturan yang mengatur mengenai hubungan timbal balik antara seorang debitor selaku orang yang berhutang dengan seorang kreditor selaku orang yang mempunyai piutang. Hubungan kreditor dengan debitor melahirkan suatu perikatan yang menimbulkan hak dan kewajiban untuk masing-masing pihak. Hak seorang kreditor adalah menerima pembayaran untuk pelunasan utang sebagaimana tertuang dalam perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan hak seorang debitor adalah menerima objek benda yang dijadikan pinjaman.
Untuk memberikan rasa aman dan kepastian seorang kreditor agar benda yang dijadikan objek pinjamannya bisa kembali sesuai dengan perjanjian maka seorang debitor memberikan suatu benda yang dijaminkan kepada kreditor, benda jaminan ini bersifat preventif agar jika debitor tidak mampu melunasi utang-utangnya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, kreditor bisa melakukan sita eksekusi terhadap benda yang dijadikan objek jaminan. Untuk lebih jelasnya berikut penulis jelaskan beberapa macam Hukum Jaminan yang ada di Indonesia.
14
15
A. Hak Tanggungan
Berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996 bahwa Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain (preferen).
Hak Tanggungan adalah sebagai hak jaminan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 diamanatkan dari Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah sebagai pengganti hipotek. Berdasarkan pasal 4 pada Undang-Undang Hak Tanggungan, objek hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.
B. Hipotek
Hipotek menurut Pasal 1162 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak,
16
untuk mengambil penggantian bagi pelunasan suatu perikatan. Ada dua pihak yang berkaitan
dalam
perjanjian
pembebanan
hipotek,
yaitu
pemberi
hipotek
(hypotheekgever) dan penerima hipotek. Pemberi hipotek adalah mereka yang sebagai jaminan memberikan suatu hak kebendaan (hipotek) atas bendanya yang tidak bergerak. Penerima hipotek disebut juga hypotheekbank, hypotheekhouder atau hypotheeknemer. Hypotheekhouder atau Hypotheeknemer, yaitu pihak yang menerima hipotek, pihak yang meminjamkan uang di bawah ikatan hipotek biasanya adalah lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan nonbank.1
Benda yang bisa dijadikan objek hipotek diatur dalam pasal 1164 KUH Perdata, yaitu : barang-barang tak bergerak yang dapat diperdagangkan beserta semua yang termasuk bagiannya, sejauh hal yang tersebut terakhir ini dianggap sebagai barang tak bergerak; hak pakai barang-barang itu dengan segala sesuatu yang termasuk bagiannya; hak numpang karang dan hak usaha; bunga tanah yang terutang baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk hasil tanah; hak sepersepuluh; bazar atau pekan raya yang diakui oleh pemerintah beserta hak istimewanya yang melekat.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, maka hipotek atas tanah tidak berlaku lagi, tetapi yang digunakan dalam pembebanan hak atas tanah tersebut adalah hak tanggungan. Sedangkan benda tidak bergerak, seperti kapal laut tetap berlaku ketentuan-ketentuan tentang hipotek 1
200.
Salim, PerkembanganHukumJaminandi Indonesia, (Jakarta : PT. Raja GrafindoPersada, 2007), h.
17
sebagaimana diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Ukuran minimal kapal lautnya 20 m3 (dua puluh meter kubik), sedangkan di bawah itu berlaku ketentuan yang termasuk benda-benda bergerak dengan jaminan fidusia.2
Di dalam Pasal 1209 KUH Perdata diatur tentang hapusnya hipotek. Hapusnya hipotek karena 3 hal, yaitu : Hapusnya perikatan pokoknya, pelepasan hipotek oleh kreditor dan Pengaturan urutan tingkat oleh pengadilan.
C. Gadai
Berdasarkan Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgerlijk wetboek) gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang berutang atau seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biayabiaya mana harus didahulukan. Objek dari hak gadai adalah benda bergerak. Benda bergerak yang dimaksudkan meliputi benda bergerak yang berwujud (lichamelijke zaken) dan benda bergerak yang tidak berwujud (onlichamelijke zaken) yang merupakan hak untuk 2
Ibid, h. 200.
18
mendapatkan pembayaran uang yang berwujud surat-surat berharga, hal ini diatur dalam pasal 1152 dan 1153 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek).
D. Fidusia Istilah jaminan fidusia terdiri dari 2 kata, yaitu kata ‘jaminan” dan kata “fidusia”. Kata jaminan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti tanggungan atas pinjaman yang diterima.3 Sedangkan dalam Kamus Manajemen disebutkan bahwa kata fidusia (fiduciare) mempunyai arti suatu hak tanggungan atas barang bergerak, di mana barang jaminan dikuasai oleh debitor tetapi kepemilikannya diserahkan kepada kreditor.4 Dalam kamus English-Indonesia, fidusia berasal dari kata fiduciary yang mempunyai tiga arti, yaitu : yang berkenaan dengan wali atau orang kepercayaan dalam hubungan perwalian, dikuasai atau dipegang oleh wali dan tergantung pada kesepakatan bersama. Dalam istilah hukum agraria, fidusia berarti hak jaminan yang berupa penyerahan hak atas benda berdsarkan kepercayaan yang disepakati sebagai jaminan bagi pelunasan piutang kreditor.5 Dalam hukum perdata, arti fidusia secara bahasa adalah kepercayaan sedangkan arti menurut istilah adalah barang yang oleh debitor dipercayakan kepada kreditor sebagai jaminan utang.6 Kata fidusia menurut
3
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cet II, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), h. 456. 4
BN. Marbun, Kamus Manajemen, Cet I, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 78.
5
CST Kansil dan Christian ST Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, Cet I, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), h. 65. 6
Ibid, h. 159.
19
kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai pendelegasian wewenang pengolahan uang dari pemilik kepada pihak yang didelegasi. Dari berbagai macam definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa jaminan fidusia merupakan suatu bentuk jaminan terhadap perjanjian utang-piutang dimana barang yang menjadi objek jaminan tetap di bawah kekuasaan debitor, sedangkan kepemilikan sementara dialihkan kepada kreditor selama utang belum dapat dilunasi. Apabila debitor cederajanji, maka kreditor sebagai penerima fidusia tidak dapat memiliki benda yang menjadi objek jaminan tersebut, melainkan benda tersebut harus terlebih dahulu dijual/lelang untuk kemudian mengambil hak pelunasan piutangnya sesuai dengan hak preferen yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditor.7
Dengan demikian dapat disimpulkan dalam perjanjian jaminan fidusia, konstruksi yang terjadi adalah pemberi fidusia bertindak sebagai pemilik manfaat sedangkan penerima fidusia bertindak sebagai pemilik yuridis.8 Dari berbagai pengertian di atas mengenai jaminan fidusia, maka jaminan fidusia memiliki unsurunsur berikut :
a.
Adanya hak jaminan;
b.
Adanya objek, yaitu benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud maupun benda tidak bergerah yang tidak dibebani hak tanggungan;
7
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (bandung: Alimni, 2004), h. 18. 8
Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, h. 22.
20
c.
Benda yang menjadi objek jaminan tetap berada di bawah kekuasaan pemberi fidusia (debitor);
d.
Memberikan kedudukan yang diutamakan terhadap kreditor lain (hak preferen).
Dari uraian di atas mengenai jaminan fidusia dan fidusia, jelas sekali bahwa fidusia dibedakan dari jaminan fidusia, dimana fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan sedangkan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia.9
1. Latar Belakang Jaminan Fidusia Fidusia merupakan lembaga jaminan yang sudah lama dikenal dalam masyarakat Romawi yang berakar dari hukum kebiasaan, kemudian lahir dalam yurisprudensi dan sekarang ini diformalkan dalam Undang-Undang. Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang eksistensi dan perkembangannya selalu dikaitkan dengan sistem civil law.10 Menurut hukum Romawi dikenal 2 bentuk fidusia yaitu, fidusia Cum creditore dan fidusia cum amico. Kedua bentuk fidusia tersebut timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciary kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iurre cession. Dari kata cum creditore dapat diduga bahwa penyerahan bukan dimaksudkan
9
Gunawan Widjaya & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 39. 10
Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, h. 35.
21
untuk sungguh-sungguh peralihan pemilikan, tetapi hanya sebagai jaminan saja. Dalam fidusia cum creditore isi janji yang dibuat oleh debitor dan kreditornya adalah bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditornya sebagai jaminan untuk utangnya dengan kesepakatan bahwa bilamana utangnya terbayar, benda terebut akan dikembalikan kepada debitor.11 Selain bentuk fidusia cum creditore dikenal juga bentuk fidusia cum amico, yang terjadi bilamana seseorang menyerahkan kewenangannya kepada pihak lain atau menyerahkan suatu barang kepada pihak lain untuk diurus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fidusia cum amico merupakan hubungan yang tidak ditujukan untuk jaminan utang melainkan untuk urusan pengurusan harta. 12 Ketika hukum Romawi diresepsi oleh hukum Belanda, lembaga fidusia tidak turut diambil alih, oleh karena itu tidak mengherankan bahwa fidusia sebagai lembaga jaminan tidak terdapat dalam Burgelijk Wetboek (BW). Dengan berkembangnya gadai dan hipotek, lembaga fidusia yang berasal dari Romawi ini tidak populer dan tidak digemari dan kemudian hilang dari lalu lintas perkreditan.13 Namun demikian setelah sekian lama praktek jaminan fidusia tidak lagi digunakan, pada abad ke-19 di Eropa terjadi kelesuan ekonomi akibat kemerosotan hasil panen, sehingga semua perusahaan-perusahaan pertanian membutuhkan modal, sementara lembaga hipotek tidak dapat diandalkan sebab para petani mempunyai luas
11
Ibid, h. 42.
12
Ibid, h. 45.
13
Ibid, h. 47.
22
tanah yang sangat terbatas untuk dapat dijadikan jaminan hutang. Disisi lain agar petani dapat mengambil kreditnya pihak perbankan juga meminta jaminan lain dalam bentuk gadai, akan tetapi para petani tidak dapat menyerahkan barang-barangnya karena dibutuhkan untuk proses produksi pertanian, di sisi lain pihak bank juga tidak membutuhkan barang-barang tersebut untuk diserahkan kepada pihak bank sebagai jaminan hutang.14 Konsekuensi dari statisnya sektor hukum perkreditan dan lembaga jaminan tersebut melahirkan upaya-upaya untuk mencari jalan keluar dan terobosan secara yuridis, maka di Belanda mulailah dihidupkan kembali kosntruksi hukum pengalihan hak kepemilikan secara kepercayaan atas barang-barang bergerak sebagaimana telah dipraktekan oleh masyarakat Romawi yang dikenal dengan fiducia cum creditore. Pengakuan terhadap eksistensi jaminan fidusia bermula dari adanya yurisprudensi melalui putusan pertamanya tentang fidusia dalam perkara yang dikenal dengan nama Bier Brouwrij Arrest tanggal 25 Januari 1929 yang menyatakan bahwa jaminan fidusia tidak dimaksudkan untuk menyelundupkan/menggagalkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh undang-undang dengan secara tidak pantas. Sistem hukum Indonesia mempunyai hubungan yang erat dengan hukum Belanda karena adanya pertautan sejarah yang didasarkan kepada asas konkordasi (concordantie beginsel).15
14 15
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2000), h. 11.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1982) hal 198.
23
Seperti halnya di Belanda, keberadaan fidusia di Indonesia juga diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hooggerrecht (HGH) tanggal 18 Agustus 1932 dalam kasus sebagai berikut : ”Pedro Clignent meminjam uang dari Bataafsche Petroeum Maatschapji (BPM) dengan jaminan hak milik atas sebuah mobil berdasarkan kepercayaan. Clignent tetap menguasai mobil itu atas dasar perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignent lalai membayar utangnya dan mobil tersebut akan diambil BPM. Ketika Clignent benar-benar tidak melunasi utang-utangnya pada waktu yang ditentukan, BPM menuntut penyerahan mobil dari Clignent,namun ditolaknya dengan alasan perjanjian yang dibuat tidak sah. Menurut Clignent perjanjian yang ada adalah gadai, tetapi karena barang gadai dibiarkan tetap dalam kekuasaan debitor maka gadai tersebut menjadi tidak sah sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2) BW. Dalam putusannya HGH menolak alasan Clignent bukanlah gadai, melainkan penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang telah diakui oleh Hoggeraad dalam Bier Brouwrij Arrest, Clignent diwajibkan untuk menyerahkan jaminan itu kepada BPM”.16 Dalam perjalanannya fidusia telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan para pihak. Pada zaman Romawi dulu, kedudukan penerima fidusia adalah sebagai pemilik atas barang yang difidusiakan, akan tetapi sudah diterima bahwa penerima fidusia hanya sebagai pemegang jaminan saja.
Tidak hanya sampai di sana, perkembangan selanjutnya juga menyangkut kedudukan debitor, hubungannya dengan pihak ketiga dan mengenai objek jaminan fidusia. Mengenai objek jaminan fidusia ini, Hoogeraad Belanda maupun Mahkamah 16
h. 16
Yasmine Nurul Fitriasti, Analisi Yuridis Hukum Jaminan Fidusia, ( FH UI: Skripsi, 2010),
24
Agung Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan terhadap barang-barang bergerak saja. Namun pada praktek kemudian orang juga melakukan fidusia terhadap barang tidak bergerak, apalagi sejak diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria (UU No 5 Tahun 1960) perbedaan antara bergerak dengan tidak bergerak menjadi kabur karena undang-undang tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah. Dengan lahirnya Undang-Undang Jaminan Fidusia maka objek jaminan fidusia meliputi benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan dan hak-hak atas tanah yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hak Tanggungan.17
2. Objek dan Subjek Jaminan Fidusia
Objek yang menjadi jaminan fidusia biasanya adalah barang bergerak. Namun dalam perkembangannya barang tidak bergerak juga dapat diikat dengan fidusia. Pendapat MA pada mulanya membatasi fidusia hanya terbatas pada barang-barang bergerak saja, hal ini tampak pada putusan No. 372K/Sip/1970. Namun kemudian dalam UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun mengakui fidusia terhadap tanah hak pakai atas tanah negara (pasal 12 ayat (1) huruf a).18
17 18
Ibid, h. 18.
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan yuridis, (Jakarta : Djambatan, 1997), h. 93.
25
Selain diakui keberadaannya oleh undang-undang, ternyata objek fidusia telah diperluas bukan hanya barang-barang bergerak, tetapi undang-undang menetapkan objeknya dapat pula barang-barang tidak bergerak yaitu tanah hak pakai atas negara beserta bangunan di atasnya. Selanjutnya objek fidusia terus mengalami perkembangan dalam praktek sampai kepada tanah yang belum didaftarkan/belum bersertipikat. Dalam praktek juga dapat ditemui dimana bank-bank menerima tanah yang belum bersertipikat sebagai jaminan fidusia terutama untuk kredit yang jumlahnya kecil.19 Dengan berlakunya undang-undang Jaminan Fidusia, maka objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas: berdasarkan Pasal 1 butir 2 Undangundang Jaminan Fidusia, Objek jaminan Fidusia dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu: 1.
Benda bergerak; baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud; Semua benda bergerak yang dapat dijadikan jaminan. Kenderaan bermotor, barangbarang persediaan, hasil tanaman dan lainnya. Sedangkan barang bergerak tidak berwujud contohnya adalah piutang/tagihan, hak merek, paten dll.
2.
Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Bangunan yang tidak dibebani tanggungan disini maksudnya adalah bangunan yang berdiri di atas tanah yang bukan tanah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai atas tanah negara. Sebagai contohnya yaitu
19
Ibid, h. 93.
26
bangunan seperti gedung yang berdiri di atas tanah milik orang lain, dimana gedung tersebut dijaminkan, akan tetapi tanahnya tidak, karena gadai, hipotek dan hak tanggungan tidak bisa menampung kebutuhan jaminan untuk itu, maka fidusia bisa menjadi jalan keluarnya.
Dalam pasal 1 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia disebutkan, bahwa objek fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan dan hak hipotek.
Sedangkan yang dimaksud dengan subjek fidusia adalah pemberi dan penerima fidusia. Pemberi fidusia bisa perorangan atau bedan hukum/korporasi yang menjadi pemilik benda yang dijadikan objek jaminan fidusia. Begitupun dengan penerima fidusia bisa orang perorangan atau badan hukum/korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia. 20
3.
Asas-asas Jaminan Fidusia Jaminan Fidusia sesuai Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 adalah hak
jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
20
H. Salim, HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), h. 64.
27
tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia, pembentuk Undang-Undang tidak mencantumkan secara tegas asas-asas hukum jaminan fidusia yang menjadi fundamen dari pembentukan norma hukumnya. Oleh karena itu untuk menemukan asas-asas hukum jaminan fidusia dicari dengan jalan menelaah pasal demi pasal dari UndangUndang Jaminan Fidusia tersebut.21 Adapun asas pokok dalam Jaminan Fidusia, yaitu: 1.
Asas Spesialitas atas Fixed Loan
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia. Objek jaminan fidusia merupakan agunan atau jaminan atas pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya. Oleh karena itu, objek jaminan fidusia harus jelas dan tertentu pada satu segi, dan pada segi lain harus pasti jumlah utang debitor atau paling tidak dipastikan atau diperhitungkan jumlahnya.
2.
Asas asscesoir
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia, jaminan fidusia adalah perjanjian ikutan dari perjanjian pokok (principal agreement). Perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang. Dengan demikian keabsahan perjanjian jaminan fidusia 21
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, h. 19.
28
tergantung pada perjanjian pokok, dan penghapusan benda objek jaminan fidusia tergantung pada penghapusan perjanjian pokok.
3.
Asas Droit de Suite
Menurut Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia dinyatakan Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun berada, kecuali keberadaannya pada tangan pihak ketiga berdasarkan pengalihan hak atas piutang atau cessie berdasarkan Pasal 613 KUH Perdata. Dengan demikian, hak atas jaminan fidusia merupakan hak kebendaan mutlak atau in rem bukan hak in personam.
4.
Asas Preferen (Droit de Preference)
Pengertian Asas Preferen atau hak didahulukan ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu memberi hak didahulukan atau diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lain untuk mengambil pemenuhan pembayaran pelunasan utang atas penjualan benda objek fidusia. Kualitas hak didahulukan penerima fidusia tidak hapus meskipun debitor pailit atau dilikuidasi sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia.22
22
Ibid, h. 20-22.
29
4.
Pengalihan dan Hapusnya Jaminan Fidusia Pengalihan Jaminan Fidusia diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Jaminan
Fidusia yang menetapkan bahwa pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan Jaminan Fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada kreditor baru. Peralihan itu didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.23 Dalam ilmu hukum, ”Pengalihan hak atas piutang” seperti yang diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Jaminan Fidusia tersebut dikenal dengan istilah ”cessie” yaitu pengalihan piutang yang dilakukan dengan akta otentik atau akta di bawah tangan. Dengan adanya cessie terhadap perjanjian dasar yang menerbitkan utangpiutang tersebut, maka Jaminan Fidusia sebagai perjanjian assesoir demi hukum juga beralih kepada penerima hak cessie dalam pengalihan perjanjian dasar. Ini berarti pula segala hak dan kewajiban kreditor (sebagai penerima fidusia) lama beralih kepada kreditor (sebagai penerima fidusia) baru.24 Sedangkan hapusnya jaminan fidusia diatur dalam pasal 25 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Basarkan pasal tersebut maka jaminan fidusia hapus dengan sendirinya apabila : 1.
Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;
2.
Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia; atau
3.
Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia. 23 24
Gunawan Widjaya & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, h. 148. Ibid, h. 148.
30
Hapusnya jaminan fidusia karena lunasnya hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia adalah konsekuensi logis dari karakter perjanjian assessoir. Jadi jika perjanjian hutang piutangnya tersebut hapus karena sebab apapun maka jaminan fidusia tersebut menjadi hapus pula. Sementara itu hapusnya jaminan fidusia karena pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima jaminan fidusia adalah wajar karena sebagai pihak yang mempunyai hak ia bebas untuk mempertahankan atau melepaskan haknya tersebut. Hapusnya jaminan fidusia karena musnahnya barang jaminan fidusia tersebut dapat dibenarkan karena tidak ada manfaat lagi fidusia itu dipertahankan, jika barang objek jaminan fidusia tersebut sudah tidak ada, akan tetapi jika ada asuransi maka hal tersebut menjadi hak dari penerima fidusia dan pemberi fidusia tersebut harus membuktikan bahwa musnahnya barang yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut adalah diluar dari kesalahannya.
Jika membaca UU Hak Tanggungan dan UU Jaminan Fidusia, maka Hak Tanggungan dan Fidusia mempunyai banyak sekali kemiripan, namun yang paling membedakan dari keduanya adalah objek bendanya, hak tanggungan lebih khusus pada tanah dan benda yang berkaitan dengan tanah tersebut, sedangkan fidusia lebih umum termasuk benda bergerak dan tidak bergerak, benda berwujud dan benda tidak berwujud. Untuk dapat mengetahui perbedaan dan persamaan dari masing-masing bentuk jaminan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
31
Bentuk Jaminan Hak Tanggungan
Hipotek
Gadai
Fidusia
Objek Jaminan Keterangan Tanah yang berstatus hak milik, hak guna hak jaminan yang dibebankan pada hak usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditorkreditor lain (preferen). barang-barang tak bergerak yang dapat suatu hak kebendaan atas benda-benda diperdagangkan beserta semua yang tak bergerak, untuk mengambil termasuk bagiannya, sejauh hal yang penggantian daripadanya bagi pelunasan tersebut terakhir ini dianggap sebagai bagi suatu perikatan barang tak bergerak; hak pakai barangbarang itu dengan segala sesuatu yang termasuk bagiannya; hak numpang karang dan hak usaha; bunga tanah yang terutang baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk hasil tanah; hak sepersepuluh; bazar atau pecan raya yang diakui oleh pemerintah beserta hak istimewanya yang melekat Benda bergerak baik berwujud maupun suatu hak yang diperoleh seorang tidak berwujud berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya. Benda bergerak; baik yang berwujud pengalihan hak kepemilikan suatu benda maupun yang tidak berwujud, Benda tidak atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bergerak, khususnya bangunan yang tidak bahwa bendayang hak kepemilikannya dapat dibebani hak tanggungan. dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENYITAAN
Dalam hukum jaminan tindakan penyitaan merupakan suatu hal yang sangat umum dilakukan. Tindakan penyitaan biasanya dilakukan ketika seorang debitor tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran hutang sebagaimana telah disepakati dalam perjanjiannya dengan kreditor, mengenai perjanjian diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) pasal 1338 menyatakan : “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam jaminan fidusia, tindakan penyitaan merupakan suatu hal yang biasa dilakukan karena seorang pemberi fidusia tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran hutang. Proses penyitaan dalam hukum jaminan fidusia diatur dalam pasal 29 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. A. Tujuan Penyitaan
Penyitaan berasal dari terminologi Beslag (Belanda), namun istilah bakunya ialah kata sita atau penyitaan. Sita merupakan tindakan hukum yang diambil pengadilan mendahului pemeriksaan pokok perkara atau mendahului putusan. Sering sita itu dilakukan pada saat proses pemeriksaan perkara sedang berjalan.
32
33
Tujuan utama dari penyitaan adalah agar tergugat tidak memindahkan atau membebankan harta kekayaan kepada pihak ke tiga. Inilah yang menjadi salah satu tujuan sita jaminan yaitu untuk menjaga keutuhan keberadaan harta atau harta kekayaan tergugat selama proses pemeriksaan perkara berlangsung sampai perkara memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.1
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sita jaminan merupakan upaya agar tercipta keutuhan dan keberadaan harta yang disita sampai keputusan dapat di eksekusi, hal ini menjaga agar gugatan pada saat proses eksekusi tiba tidak hampa (Pasal 213 Rbg). Sedangkan perbuatan seorang tergugat yang memindah tangankan benda yang menjadi objek sitaan diatur dalam Pasal 215 Rbg yaitu :
“Demi hukum melarang tergugat untuk menjual, memindahkan barang sitaan kepada siapa pun”. Pelanggaran atas itu menimbulkan dua akibat hukum, yaitu :
1. Akibat hukum dari segi perdata
Apabila barang menjadi objek sengketa dilakukan tindakan jual beli atau penindasan hak atau barang tersebut maka tindakan atau perbuatan tersebut batal demi hukum. Akibat dari batalnya demi perbuatan tindakan tersebut, secara hukum, status barang tersebut kembali menjadi dalam keadaan semula sebagai barang sitaan, 1
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti , 2000), h. 57.
34
sehingga tindakan atau perbuatan pemindahan hak atas barang dianggap tidak pernah terjadi (never existed). Ini diatur dalam Pasal 215 Rbg.
2. Akibat hukum dari segi pidana
Dalam hukum pidana, apabila pihak tergugat / yang kena sita melakukan penjualan atau pemindahan hak dan barang-barang menjadi sengketa, diancam sesuai Pasal 231 KUHP, tindakan pidana yang diancam dengan Pasal 231 KUHP ini adalah berupa tindak kejahatan yang dengan sengaja melepas barang yang telah dijatuhi sita menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindak kejahatan ini diancam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun.
Dengan mengaitkan tujuan penyitaan dengan ketentuan Pasal 215 Rbg dan Pasal 231 KUH Perdata, tujuan penyitaan adalah jaminan perlindungan yang kuat bagi penggugat atas terpenuhinya pelaksanaan putusan pengadilan pada saat eksekusi dijalankan.2 Namun selain itu ada tujuan lain yang tidak kalah penting dalam penyitaan, yaitu untuk memastikan objek eksekusi atas kemenangan penggugat, atau disimpulkan objek eksekusi sudah pasti. Hal ini menjaga agar kemenangan penggugat tidak ilusioner (hampa) sehingga kemenangan penggugat ada suatu materinya. Barang yang menjadi objek sitaan dapat langsung menjadi objek eksekusi. Ini dapat kita lihat pada Pasal 214 Rbg yang menegaskan bahwa
2
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 286.
35
setiap barang yang disita dilarang diperjual belikan atau dipindahkan tergugat kepada pihak ketiga atau pihak lain.
Dalam hal ini perbuatan jual beli merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam Pasal 214 Rbg, dimana jual beli akan batal demi hukum apabila terlebih dahulu telah didaftarkan dan diumumkan. Dalam kasus seperti itu, sita masih tetap menjangkau pihak ketiga atau pihak lain yang ingin memiliki harta sitaan tersebut, sehingga eksekusi dapat dilaksanakan dan tanpa halangan.3 Kepastian objek eksekusi atas barang sitaan semakin sempurna sesuai dengan penegasan MA yang menyatakan, bila putusan telah berkekuatan hukum tetap maka barang yang disita demi hukum langsung menjadi sita eksekusi. Penegasan MA memberi kepastian atas objek eksekusi yang apabila telah berketentuan hukum tetap kemenangan atas penggugat dapat langsung dijamin dengan pasti terhadap adanya barang sitaan tersebut. Apabila kita lihat penjelasan di atas, kita bisa memahami tentang tujuan pokok dari penyitaan yaitu : Pertama, untuk melindungi kepentingan penggugat dari itikad buruk tergugat sehingga gugatan menjadi tidak hampa (ilusioner), pada saat putusan telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, memberi jaminan kepastian hukum bagi Penggugat terhadap kepastian terhadap objek eksekusi apabila keputusan telah berkekuatan hukum tetap. 4
3
M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, ( Bandung,: Pustaka, 1990), h. 9. 4
Himpunan Tanya Jawab Rakerda, MA RI, 1987-1962, h. 177.
36
B. Syarat dan Alasan Penyitaan Penyitaan tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat yang telah ada dan berlaku sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun kecukupan syarat-syarat tidaklah cukup dan sempurna apabila tidak dibarengi dengan adanya alasan-alasan penyitaan.
Syarat penyitaan harus melalui adanya permohonan sita kepada hakim. Hakim tentunya akan mempelajari permohonan sita tersebut sesuai dengan tata cara pengajuan permohonan yang berlaku. Syarat penyitaan berdasarkan permohonan sita merupakan hal yang mendasar, sebab hakim tidaklah akan menjatuhkan sita apabila tidak ada inisiatif dari pengugat yang mengajukan permohonan sita.
Biasanya dalam suatu permohonan sita diajukan bersama-sama dalam surat gugatan. Bentuk dan tata cara pengguna permohonan sita jaminan yang seperti ini lazim dijumpai. Penggugat mengajukan permohonan sita secara tertulis dalam bentuk surat gugatan, sekaligus bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok. Pengajuan permohonan sita dalam bentuk ini tidak dapat dipisahkan dari dalil gugatan pokok.
Namun ada kalanya permohonan sita diajukan terpisah dari pokok perkara, pada bentuk permohonan ini penggugat membuatnya atau menyiapkannya dalam bentuk tersendiri yang terpisah dari gugatan pokok perkara. Disamping gugatan perkara, penggugat dapat mengajukan permohonan sita dalam surat yang lain,
37
bahkan dimungkinkan dan dibolehkan pengajuan permohonan sita tersendiri secara lisan. Namun didalam prakteknya, bentuk permohonan sita tersendiri secara lisan jarang terjadi. Tetapi pada hakekatnya, kelangkaan praktek itu bukan berarti dapat melenyapkan hak penggugat untuk mengajukan permohonan sita secara lisan.5
Sedangkan penentuan tenggang waktu pengajuan permohonan sita diatur dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg. Yang mana tenggang waktu untuk mengajukan permohonan sita jaminan adalah selama putusan belum dijatuhkan atau selama belum ada berkekuatan hukum tetap. Jadi selama putusan perkara belum diputus oleh hakim atau selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, masih terbuka hak dan kesempatan untuk mengajukan permohonan sita.
Permohonan sita yang telah dimohonkan tadi selayaknya disempurnakan dengan adanya alasan sita. Sangat mustahil sekali hakim mau mengabulkan sita apabila tidak dibarengi dengan suatu alasan sita yang kuat. Mengingat sangat eksepsionalnya sifat sita atau penyitaan,
maka hakim harus benar-benar
mengamati, memperhatikan, serta menimbang
alasan sita tersebut dengan
teliti. Jangan sampai permohonan sita itu dikabulkan tanpa mengkaji alasan yang dibenarkan oleh hukum.
Dalam permasalahan kewenangan memerintahkan pelaksanaan sita, masih terdapat perbedaan pendapat diantara praktisi hukum. Pendapat pertama, mutlak 5
25.
M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, h.
38
menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Menurut pendapat ini, hanyalah Pengadilan Negeri yang mempunyai kewenangan atas sita. Di dalam undang-undang tidak ada kewenangan yang diberikan kepada Pengadilan Tinggi (PT) sebagai instansi tingkat banding. Pendapat kedua, Pengadilan Tinggi (PT) berwewenang memerintah sita. Menurut pendapat Prof. R. Subekti6, Permohonan penyitaan dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi (PT) selama pokok perkaranya belum diputus oleh pengadilan tingkat banding. Alasan beliau berpijak pada Pasal 261 Rbg yang di dalamnya terdapat kalimat “Sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Di sini Prof. R. Subekti menyimpulkan kalimat tersebut menunjukan bahwa permohonan sita dapat juga ditujukan kepada PT selama pokok perkaranya sebelum diputus dalam tingkat banding.
Seperti kita ketahui sebelumnya, permohonan sita hanya boleh dikabulkan dan diletakan terhadap barang-barang yang ditunjuk penggugat. Penunjukan ini diwajibkan terhadap barang yang ditunjuk secara jelas dan pasti, baik mengenai sifat, letak, ukuran yang berkaitan dengan identitas barang. Kewajiban penggugat sehubungan dengan penunjukan barang
yang diminta untuk disita harus
menjelaskan letak, sifat, dan ukuran barang, mengemukakan surat-surat yang berkenaan dengan identitas barang (bukti surat barang), penegasan positif status barang adalah milik tergugat.
6
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Bina Cipta ,1977), h. 49.
39
Namun di antara beberapa unsur kewajiban di atas, ada yang berpendapat tidak mutlak penggugat harus dapat menunjukan atau mengajukan surat identitas atau surat bukti barang. Menurut praktek yang sudah ada, dianggap cukup bila penggugat telah mampu menjelaskan unsur, sifat, letak dan ukurannya, ditambah dengan unsur penegasan yang positif bahwa barang itu milik tergugat atau setidaktidaknya dalam kekuasan tergugat. Intinya adalah penggugat tidak boleh menyebutkan barang objek sita secara umum, meskipun Pasal 1311 KUH Perdata menegaskan segala harta kekayaan kreditor menjadi tanggungan untuk membayar utangnya. 7
Pada diri hakim tidak ada kewajiban hukum untuk mencari dan menemukan identitas atau rincian barang yang menjadi objek sita. Hal ini adalah mutlak kewajiban penggugat. Oleh karena itu, sangat mustahil bagi penggugat meminta hakim mencari dan menemukan identitas barang
yang hendak
disita,
karena
penyitaan adalah untuk kepentingan penggugat maka dialah yang mesti menyebut identitasnya secara terang dan pasti.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa upaya penyitaan adalah tindakan yang bersifat eksepsional dan merupakan perampasan harta kekayaan tergugat. Jadi permohonan sita atau penyitaan harus berdasarkan alasan yang kuat. Di dalam pengajuan gugatan, penggugat harus dapat menunjukan kepada hakim
7
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 291.
40
tentang
adanya relevansi dan urgensi penyitaan dilakukan dalam perkara yang
bersangkutan. Ditinjau dari ketentuan Pasal 261 Rbg maupun Pasal 720 Rv, alasan-alasan pokok permintaan sita, yaitu : Pertama, adanya kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat berusaha mencari akal guna menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, di mana dilakukan selama proses pemeriksaan perkara berlangsung. Kedua, kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan mempunyai sifat yang objektif, yaitu Penggugat harus mampu menunjukan faktafakta tentang adanya langkah-langkah tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, selama proses pemeriksaan perkara berlangsung. Sekurang-kurangnya, penggugat dapat menunjukan adanya indikasi objektif tentang adanya upaya untuk menghilangkan atau mengasingkan barang-barangnya guna menghindari isi gugatan penggugat. Sesuai dengan pendapat Prof. Supomo yang menjelaskan bahwa dalam peradilan perdata tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata. Hakim harus mampu melihat bahwa seandainya sita tidak diajukan akan menimbulkan kerugian dari pihak penggugat. 8
Kesimpulannya, penggugat tidak dibenarkan mendasarkan kekhawatiran dan persangkaan secara pribadi saja terhadap tergugat untuk mengajukan sita. Berdasarkan Pasal 261 Rbg atau Pasal 720 Rv, alasan dapat dikatakan objektif apabila dilengkapi dengan fakta-fakta atau petunjuk-petunjuk yang nyata. Hal ini diharuskan karena hakim dapat menolak permohonan sita apabila alasan sita tidak 8
K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h. 9.
41
kuat. Karena menurut undang-undang, yang berhak menilai alasan sita adalah hakim.9
C. Macam-macam penyitaan (Beslag)
Secara garis besar penyitaan bisa dikategorikan ke dalam dua bentuk. Yaitu penyitaan yang melalui proses peradilan dan penyitaan yang tidak melalui proses peradilan, berikut penulis paparkan kedua bentuk penyitaan tersebut.
1.
Judicial Execution
Judicial execution merupakan eksekusi atau penyitaan yang dalam proses pelaksanannya harus melalui jalur peradilan. Dalam prakteknya terdapat beberapa macam bentuk penyitaan yang dilakukan melalui proses peradilan, berikut penulis paparkan macam-macam bentuknya.
a. Sita Revindikasi (Revindikatoir Beslag)
Permintaan untuk mengajukan permohonan sita revindikasi dapat diajukan secara lisan maupun tertulis kepada ketua Pengadilan Negeri (PN), dimana tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal. Hal ini agar penyitaan atas barang sitaan jauh lebih mudah. Menurut Pasal 1977 ayat (2) KUH Perdata dan Pasal 1751 KUH Perdata disebutkan bahwa hanyalah pemilik benda yang bergerak yang 9
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2010) h. 89.
42
barangnya dikuasai orang lain yang dapat mengajukan sita revindikasi. Hal ini juga berlaku kepada hak reklame, yaitu hak daripada penjual barang bergerak untuk meminta kembali barangnya apabila harga barang tidak dibayar. Pemilik barang tersebut juga dapat mengajukan sita revindikasi (Pasal 1145 KUH Perdata dan Pasal 232 KUH Dagang).
Tuntutan revindikasi ini dapat dikabulkan langsung terhadap orang yang menguasai barang sengketa tanpa meminta pembatalan lebih dahulu tentang jual beli dan barang yang dilakukan oleh orang tersebut dengan pihak lain.
10
Ada
beberapa ciri khas dari bentuk sita revindikasi yaitu antara lain benda yang menjadi objek sengketa tersebut telah dikuasai atau berada di tangan tergugat secara tidak sah atau dengan cara melawan hukum atau dengan mana tergugat tidak berhak atasnya.
Ciri khas lainnya pada bentuk sita revindikasi adalah, sita revindikasi hanya terbatas pada benda bergerak saja, sehingga tidak mungkin diajukan dan dikabulkan terhadap benda tidak bergerak, walaupun dalil gugatan berdasarkan hak milik. Menurut Pasal 505 KUH Perdata barang bergerak ini dapat dibagi atas benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan. 11
10 11
R. Subekti, Kumpulan Putusan MA, (Jakarta : Gunung Agung, 1965), h. 243.
P. N. H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 2009), h. 206.
43
b. Sita marital (Maritale beslag)
Sita Marital adalah sita yang didasarkan pada sengketa yang timbul antara suami istri, seperti pada perkara perceraian, pada perkara pembagian harta bersama atau pada perbuatan yang membahayakan harta bersama. Apabila kita mengaitkan Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan PP No .9 Tahun 1975, ada isyarat hak bagi istri atau suami yang mengajukan permintaan sita terhadap harta perkawinan selama proses pemeriksaan perkara perceraian berlangsung.
Penerapan sita marital meliputi seluruh harta perkawinan terutama apabila terjadi perceraian (huwelijksantbinding) yang diartikan bagi seluruh harta kekayaan bersama (harta gono-gini) baik yang ada pada suami maupun yang ada pada istri. Jadi, maritale beslag tidak meliputi harta bawaan atau harta pribadi suami atau istri. Tentang penjualan harta bersama yang telah disita adalah atas izin hakim berdasarkan putusan.12
Mengenai permohonan izin penjualan harta bersama, izin penjualan tersebut bersifat voluntair bukan bersifat contentiosa atau bersifat partai. diajukan
13
Ini
guna mempermudah proses beracara dalam permohonan izin untuk
penjualan barang sitaan oleh pengadilan.
12
M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, h.
149. 13
Ibid, h. 150.
44
c. Sita jaminan (Consevatoir beslag) Prof. R. Subekti dalam bukunya Hukum Acara Perdata, 14 beliau mengatakan bahwa istilah sita jaminan sama dengan conservatoir beslag. Hal ini diperkuat dengan adanya SEMA No. 05/1975 Tanggal 1 Desember 1975, yang telah mengalih bahasakan consevatoir beslag menjadi sita jaminan. Yurisprudensi juga menguatkan istilah consevatoir beslag menjadi sita jaminan. Seperti contohnya pada Putusan Mahkamah Agung (MA) Tanggal 11 November 1976 No. 607/K/Sip/1974.
Sita Jaminan adalah penyitaan harta kekayaan tergugat pada perkara hak milik, utang-piutang atau pada tuntutan ganti-kerugian. Objek sita jaminan dapat berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak baik terhadap benda berwujud maupun tidak berwujud (lychammelijk on lychammelijk).15 Namun di lain sisi, sita juga dapat meliputi seluruh harta kekayaan tergugat sampai mencukupi seluruh jumlah tagihan apabila gugatan didasarkan atas utang piutang atau tuntutan ganti kerugian.
Sita jaminan dapat dijalankan sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, jadi sita jaminan ini adalah upaya hukum yang bersifat eksepsional. Kewenangan memerintahkan pelaksanaan sita jaminan terletak pada tangan ketua majelis yang memeriksa perkara tersebut. Ini karena hakim diperintahkan undang14 15
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 1977), h. 48.
C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Umum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), h. 244.
45
undang sebagai penilai unsur persangkaan suatu permohonan sita jaminan. Menurut Sudikno Mertokusumo, 16 sita consevatoir ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada ketua pengadilan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dan untuk menjaga barang agar tidak dialihkan atau tidak dijual.
Sita jaminan menurut asasnya otomatis menjadi sita eksekusi apabila telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.17 Tentang masalah penjagaan harta sitaan dalam sita jaminan diatur tegas dalam Pasal 508 Rv dan Pasal 212 Rbg diberikan pada tersita (tergugat). Tersitalah yang menjadi penjaganya demi hukum. Tersita boleh memakai barang yang telah disita dengan syarat harga barang tersebut tidak boleh turun. Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia, 18 yang dapat disita berdasarkan sita jaminan adalah : Sita jaminan atas barang-barang bergerak milik kreditor, sita jaminan atas barang-barang tetap milik kreditor, sita jaminan atas barang-barang bergerak milik kreditor yang ada pada pihak ketiga, Sita jaminan atas kreditor, sita gadai (panden beslag), sita atas barangbarang kreditor yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di indonesia atau orang yang bukan penduduk indonesia, sita jaminan terhadap pesawat terbang,
16
Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 93.
17
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 70. 18
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia., h. 95.
46
sita jaminan terhadap barang milik negara, ditambah sita jaminan atas kapal (menurut pendapat M. Yahya Harahap). 19
d. Rijdende Beslag
Rijdende Beslag adalah sita jaminan yang diletakan atas harta kekayaan tergugat atas permintaan penggugat. Dalam rijdende beslag yang disita adalah sarana perusahaan. Penjagaan dan pengusahaan atas perusahaan tidak boleh diserahkan pada penggugat, jadi kegiatan usaha dari si tergugat tidak dilarang. Contohnya apabila pengadilan mengabulkan sita jaminan atas suatu perusahaan, maka yang boleh disita adalah sarana dan peralatannya saja.
Pada jenis penyitaan ini, ruang lingkupnya terbatas, karena rijdende beslag adalah salah satu dari bentuk sita jaminan yang bersifat khusus. Oleh karena itu rijdende beslag dapat diletakan terhadap benda-benda bergerak dan benda-benda tidak bergerak.
Rijdende beslag juga bisa didasarkan atas sengketa hak milik, utangpiutang dan tuntutan ganti kerugian. Rijdende juga dapat meliputi seluruh harta kreditor maupun hanya sebagian dari hartanya. Namun rijdende beslag terbatas pada benda-benda yang berbentuk sarana perusahaan saja, contohnya adalah sita terhadap gedung-gedung, mobil, dan sebagainya.
19
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 353.
47
e. Sita niet bevinding
Merupakan sita dimana barang yang ditunjuk penggugat dalam permohonan sita tidak diketemukan dilapangan pada saat pelaksanaan penyitaan atau barang sitaan tersebut berbeda jenis dan sifatnya antara apa yang dikemukakan oleh si penggugat dengan yang ada dilapangan. Bisa juga terdapat perbedaan batas maupun luas, sehingga mengakibatkan pelaksanaan sita jaminan menjadi gagal.
Dalam SEMA Tanggal 25 April 1961 No.2 Tahun 1962 ditentukan tentang pengertian niet bevinding dan serta tata cara pembuatan pernyataan niet bevinding, yaitu secara nyata barang tidak ditemukan, secara nyata barang tidak ada, sifat dan jenisnya berbeda dengan apa yang dikemukakan penggugat, batas- batas maupun luas yang di kemukakan penggugat tidak sesuai dengan pernyataan di lapangan.
f. Sita Persamaan (Vergelijkende Beslag)
Vergelijkende Beslag merupakan permohonan sita yang kedua, yang bertujuan untuk menyesuaikan diri pada sita pertama, dimana barang secara nyata telah dipertanggungkan kepada pihak lain. Jadi barang yang telah diletakan sita, tidak bisa dilakukan sita untuk yang kedua kalinya. Tindakan yang dibenarkan adalah dilakukan sita persamaan.
Sita Persamaan hanya bisa diletakan pada keadaan barang yang menjadi objek sengketa telah lebih dahulu disita oleh orang lain. Jadi sita persamaan hanya bisa
48
terjadi karena ada upaya hukum sita yang telah ada terlebih dahulu sebelum pemohon sita persamaan meminta permohonan sita. Barang yang menjadi objek sengketa harus sama antara barang yang menjadi permohonan pemohon sita pertama dengan pemohon sita yang selanjutunya. Barang yang telah menjadi objek sita tersebut atau barang yang menjadi sengketa tersebut sudah didaftar di Pengadilan Negeri sebagai barang yang telah diletakan sita. Tentang objek sita persamaan tidak terbatas pada benda-benda bergerak saja, terhadap benda-benda tidak bergerak juga bisa. Sita persamaan bisa didasarkan atas sengketa hak milik, utang-piutang, dan tuntutan ganti-kerugian. Apabila sita jaminan dicabut atau dinyatakan tidak berkuatan hukum, maka sita persamaan sesuai dengan urutannya menjadi sita jaminan (sita jaminan utama).20 Sedangkan dasar hukum yang mengatur tentang sita persamaan adal dalam Pasal 463 Rv.
g. Sita Eksekusi Lanjutan (Voorgezette Beslag)
Sita eksekusi lanjutan terjadi apabila barang- barang yang disita sebelumnya dengan sita conservatoir, yang dalam rangka eksekusi telah berubah menjadi sita eksekusi dan dilelang, hasilnya tidak cukup untuk membayar jumlah uang yang harus dibayar berdasarkan Putusan Pengadilan, maka akan dilakukan sita eksekusi lanjutan terhadap barang-barang milik tergugat, untuk kemudian dilelang. Ruang
lingkup
penerapan sita lanjutan terbatas pada suatu keadaan dimana barang- barang yang 20
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama/Mahkamah Syar'iyah :Buku II, Edisi 2007, (Jakarta : Mahkamah Agung RI, 2008), h. 419-422.
49
menjadi barang sitaan tersebut tidak cukup untuk melunasi seluruh utang-utang dari para kreditor. Sita lanjutan bisa diletakan terhadap benda-benda bergerak dan benda-benda tidak bergerak. Sita ini juga dapat meliputi seluruh harta kekayaan kreditor sampai semua tagihan para kreditor bisa dilunasi atau terpenuhi. 21
h. Sita Eksekusi
Sita Eksekusi merupakan sita yang bertujuan untuk melaksanakan putusan, apabila keputusan telah berkekuatan hukum yang tetap. Sita eksekusi yang merupakan sita yang sesungguhnya, dalam artian sita yang dapat melaksanakan sebuah isi dari putusan pengadilan. Sita eksekusi hanya terbatas pada sengketa utang-piutang dan tuntutan ganti-kerugian saja. Dari segi kewenangan, kewenangan memerintahkan sita eksekusi berada pada pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 206 Rbg.
Tentang tata cara pelaksanaan sita eksekusi sama dengan tata cara sita jaminan. Sita eksekusi timbul akibat tergugat (pihak yang kalah) tidak mau melaksanakan isi putusan secara sukarela. Dengan demikian salah satu prinsip yang melekat pada eksekusi merupakan tindakan yang timbul apabila pihak tergugat tidak mau menjalankan isi putusan secara sukarela. 22
21
Proses Acara Penyitaan, Pengadilan Negeri Slawi. Artikel diakses pada tgl 18-11-2013 dari : http://pn-slawi.go.id/?page_id=499 22
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan dan Penerapan Eksekusi Bidang Perdata, h. 12.
50
Ruang lingkup sita eksekusi hanya terbatas pada telah adanya keputusan yang berkukatan hukum tetap. Jadi bila suatu putusan telah berkekuatan hukum tetap, maka sita eksekusi bisa dilaksanakan. Pemohon sita eksekusi biasanya pihak yang memenangkan pokok perkara di sidang peradilan. Objek sita eksekusi bisa berupa benda-benda yang bergerak maupun terhadap benda-benda yang tidak bergerak. Ada pengecualian dalam perkara yang bisa diajukan dalam sita eksekusi. Sita eksekusi hanya bisa dimajukan terhadap perkara sengketa utang-piutang dan tuntutan ganti kerugian saja. Sedangkan dalam sengketa hak milik tidak bisa. Sita eksekusi tidak bisa diterapkan pada jenis sengketa hak milik.23
2.
Non Judicial Execution (Parate Eksekusi)
Non Judicial Execution atau Parate Eksekusi adalah proses eksekusi terhadap suatu barang dengan menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya, dalam arti tanpa perantaraan hakim, yang ditujukan atas sesuatu barang jaminan untuk selanjutnya mejual sendiri barang tersebut.24 Parate Eksekusi adalah eksekusi yang dilaksanakan sendiri oleh pemegang hak jaminan tanpa melalui bantuan atau campur tangan dari Pengadilan. Atau dengan perkataan lain, Parate Eksekusi dilaksanakan tanpa meminta fiat eksekusi atau ijin dari Pengadilan Negeri. Apabila kreditor cidera janji, kreditor berhak untuk menjual objek hak tanggungan 23
M. Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, h.
17. 24
R. Subekti, Pelaksanaan Perikatan Eksekusi Riil dan Uang Paksa, Dalam : Penemuan Hukum dan Pemecahan Masalah Hukum, Proyek Pengembangan Teknis Yustisial, MA RI, Jakarta, h. 69.
51
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutangnya dari hasil penjualan yang dilakukan. Melalui penjualan objek jaminan di muka umum diharapkan dapat diperoleh harga terbaik.25 Parate Eksekusi secara implisit tersurat dan tersirat dalam Undang-undang Hak Tanggungan, khususnya diatur dalam Penjelasan Umum Pasal 9 Undang-undang Hak Tanggungan, yang menyebutkan : ”Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam Pelaksanaan eksekusinya, jika kreditor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglement Indonesia yang Diperbarui (Het Herzeine Inlands Reglement) dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura)”. Dalam batang tubuh Undang-undang Hak Tanggungan dasar berpijaknya pengaturan parate eksekusi hak tanggungan adalah Pasal 20 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut : “Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan: a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau;
25
Yordan Demesky, Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah di PT Bank Permata Tbk, (Tesis, FH UI : 2011), h. 62.
52
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya”. Pada Pasal 20 ayat (1) huruf a di atas, dinyatakan bahwa apabila kreditor cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undangundang Hak Tanggungan.
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Secara substansial unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 6 tersebut menunjukkan adanya dua hal penting manakala kreditor wanprestasi, yaitu peralihan hak dan pelaksanaan hak bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama. Dalam pasal tersebut, hak kreditor dalam hal kreditor cidera janji, untuk menjual obyek Hak Tanggungan melalui lelang sudah diberikan oleh undang-undang sendiri kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan yang pertama. Dalam praktiknya saat ini, Parate Eksekusi Hak Tanggungan merupakan alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang banyak digunakan oleh lembaga keuangan di Indonesia, khususnya oleh perbankan. Alternatif penyelesaian kredit
53
bermasalah menggunakan Parate Eksekusi Hak Tanggungan ini lebih disukai oleh perbankan karena proses penyelesaiannya relatif lebih sederhana dan cepat, serta biaya yang dikeluarkan relatif kecil.26 Sedangkan dalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia parate eksekusi disebut dalam pasal 15 ayat 2 dan 3 yang berbunyi sebagai berikut : (2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri. Dalam penjelasan UU ini yang dimaksud dengan kekuatan eksekutorial adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
26
Ibid, h. 63-64.
BAB IV ANALISIS HUKUM KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIPIKAT JAMINAN FIDUSIA
A. Sertipikat Jaminan Fidusia Menurut UU Jaminan Fidusia
Sertipikat Jaminan Fidusia yang dipegang oleh penerima fidusia sebagai tanda bukti adanya hak hukum yang dimiliki oleh penerima fidusia tidak serta merta ada setelah perjanjian kedua belah pihak lahir. Adanya Sertipikat Jaminan Fidusia harus melalui proses sebagaimana diatur oleh undang-undang.
1.
Proses Lahirnya Sertipikat Jaminan Fidusia
Proses lahirnya Sertipikat Jaminan Fidusia harus melalui tiga tahap, adapun tahap-tahap itu adalah sebagai berikut :
Tahap pertama adalah lahirnya perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang (perjanjian kredit) yang disepakati oleh pihak kreditor selaku orang yang mempunyai piutang dan pihak debitor selaku orang yang mempunyai hutang. Seperti yang telah penulis jelaskan dalam bab satu bahwa untuk menjamin debitor agar membayar utangnya, maka kreditor membutuhkan benda yang bisa dijadikan jaminan, sehingga apabila debitor cedera janji kreditor mempunyai kepastian hukum agar uang yang dipinjamkan kepada debitor mampu terlunasi.
54
55
Tahap kedua adalah lahirnya Akta Jaminan Fidusia, Pasal 5 UU No. 42 Tahun 1999 menyatakan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia harus dibuat dalam akta notaris. Adapun bunyi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut :
“Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia”. Berdasarkan bunyi pasal di atas, maka benda yang akan dijadikan objek jaminan fidusia wajib dituangkan dalam akta notaris berbahasa Indonesia. Dengan begitu akta jaminan fidusia itu wajib adanya karena merupakan perintah dari undangundang. Adapun isi dari akta jaminan fidusia tersebut sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut : a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia; b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; c. Uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia; d. Nilai penjaminan; e. Nilai Benda yang menjadi objek jaminan Fidusia. (Lihat pasal 6 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia)
Tahap ketiga adalah tahap pendaftaran, setelah para pihak (kreditor dan debitor) melakukan kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian kredit, kemudian membuat akta jaminan fidusia ke notaris, hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan pendaftaran. Pasal 11 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 menyatakan : “Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan”.
56
Berdasarkan pasal 11 dan 12 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan pasal 2-4 Peraturan Pemerintah No. 86 tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, Pendaftaran benda yang menjadi objek jaminan fidusia harus dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya. Pendaftaran itu sendiri dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia kemudian ditujukan kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Proses pendaftarannya adalah sebagai berikut :
a. Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia diajukan kepada Menteri Hukum dan HAM oleh Penerima Fidusia. b. Permohonan pendaftaran diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia melalui Kantor Pendaftaran Fidusia dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia. c. Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia; d. Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia sebagaimana dilengkapi dengan : 1) Salinan akta notaris tentang pembebanan Jaminan Fidusia; 2) Surat kuasa atau surat pendelegasian wewenang untuk melakukan pendaftaran Jaminan Fidusia (jika diwakilkan); 3) Bukti pembayaran biaya pendaftaran Jaminan Fidusia; 4) Mengisi formulir Pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia yang bentuk dan isinya telah ditetapkan.
57
Setelah kelengkapan persyaratan permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia telah dipenuh, pejabat mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar, kemudian setelah dilakukan pencatatan dalam buku daftar maka terbitlah Sertipikat Jaminan Fidusia.
2.
Kekuatan Hukum Eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia
Sebagai upaya untuk memperkuat perlindungan bagi para pihak, maka kantor pendaftaran fidusia mengeluarkan alat tanda bukti tentang adanya jaminan fidusia atas barang atau benda tersebut, yang di antaranya mencantumkan nama pemberi dan pemegang fidusia, objek jaminan, nilai penjaminan, akta fidusia serta perjanjian pokok yang mendasari adanya akta fidusia, dimana surat itu disebut dengan Sertipikat Jaminan Fidusia sebagai salinan dari Buku Daftar Fidusia.
Sertipikat Jaminan Fidusia sebagai alat bukti jaminan fidusia yang di dalamnya
tercantum
irah-irah
“DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”, sehingga memiliki kekuatan eksekutorial yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kekuatan eksekutorial yang melekat pada Sertipikat Jaminan Fidusia memberikan keleluasaan kepada penerima fidusia untuk melakukan pelaksanaan eksekusi tanpa perlu adanya suatu putusan pengadilan jika pemberi fidusia melakukan cedera janji, dalam hal ini penerima fidusia memiliki kekuatan yang kuat dan dilindungi oleh undang-undang. Hal ini akan memberikan rasa aman bagi
58
penerima fidusia dan rasa percaya terhadap pemberi fidusia. Kekuatan eksekutorial atas Sertipikat Jaminan Fidusia memberikan hak kepada penerima fidusia untuk dapat mengeksekusi jaminan fidusianya dengan syarat debitor atau pemberi fidusia cidera janji.1 Pasal 15 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyatakan :
“Sertipikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Dalam penjelasan ayat 15 tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "kekuatan eksekutorial" adalah langsung dapat dilaksanakan eksekusi tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Sertipikat Jaminan Fidusia dapat langsung dipergunakan untuk mengeksekusi objek jaminan fidusia apabila debitor cidera janji atau wanprestasi tanpa diperlukan adanya proses persidangan dan pemeriksaan melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
B. Eksekusi Jaminan Fidusia
Pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara :
1.
Melaksanakan titel eksekutorial; 1
Anggiat Ferdinan, Kekuatan Eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia Terhadap Objek Jaminan Dalam Kepailitan, (Medan: USU, 2009), h. 63.
59
2.
Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia melalui lelang atas kekuasaan penerima fidusia melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
3.
Menjual objek jaminan fidusia secara dibawah tangan atas dasar kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Pelaksanaan eksekusi sesuai dengan Pasal 29 tersebut pada intinya dilaksanakan dengan cara melalui pelelangan di depan umum atau dengan cara penjualan di bawah tangan, disesuaikan dengan perkiraan memperoleh hasil penjualan yang dapat menghasilkan nilai penjualan yang lebih tinggi. Untuk penjualan di bawah tangan harus dengan persetujuan dari pemberi dan penerima fidusia serta dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan serta diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Selanjutnya Pasal 30 menyatakan pemberi fidusia diwajibkan menyerahkan objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, apabila objek jaminan fidusia tidak diserahkan oleh pemberi fidusia, maka pemberi fidusia berhak mengambil objek jaminan dan bila perlu meminta bantuan pihak yang berwenang.
60
Dalam prakteknya, pelaksanaan esekusi objek jaminan fidusia kebanyakan dilakukan dengan penjualan di bawah tangan. Cara penyelesaian ini lebih menguntungkan debitor/pemberi Fidusia dan kreditor, sebab penyelesaian bisa lebih cepat dan biaya-biaya jauh lebih ringan, seperti biaya perkara, dan bea lelang tidak dikenakan dengan cara ini. Dengan penjualan di bawah tangan dapat diharapkan harga akan mencapai nilai yang sewajarnya, sehingga piutang kreditor dapat dilunasi dan apabila masih tersisa dari harga jual itu maka sisa pembayaran akan menjadi milik debitor.
C. Kemungkinan Adanya Proses Peradilan dalam Eksekusi
Seperti yang sudah diuraikan di atas bahwa Sertipikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial, sehingga penerima fidusia (kreditor) dapat langsung melakukan sita eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tanpa melalui proses peradilan. Artinya jika debitor cedera janji tidak perlu adanya proses pembuktian di pengadilan untuk melakukan sita eksekusi terhadap benda objek jaminan fidusia, cukup dengan Sertipikat Jaminan Fidusia yang mempunyai irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dan Sertipikat Jaminan Fidusia itu sudah seperti putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).
Namun kekuatan eksekutorial yang melekat pada Sertipikat Jaminan Fidusia itu tidaklah berlaku mutlak, karena dalam situasi tertentu proses peradilan terhadap
61
eksekusi barang yang menjadi objek jaminan fidusia bisa saja terjadi. Adapaun keadaan yang menyebabkan terjadinya proses peradilan dalam eksekusi objek jaminan fidusia adalah sebagai berikut :
1.
Sertipikat Jaminan Fidusia Diragukan Keabsahannya
Sertipikat Jaminan Fidusia merupakan bukti paling penting yang dimiliki oleh seorang kreditor guna membuktikan bahwa telah terjadi proses utang piutang dengan menggunakan sistem jaminan fidusia. Namun jika di kemudian hari salah satu pihak merasa dirugikan dan ingin membuktikan keabsahan Sertipikat Jaminan Fidusia di muka hakim maka tidak menutup kemingkinan akan adanya proses peradilan dalam proses eksekusi objek jaminan fidusia.
Sertipikat Jaminan Fidusia merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, oleh karena itu sertipikat ini sudah cukup untuk dijadikan alat melakukan sita eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia (lihat pasal 1870 BW). Jika alasannya cukup kuat bahwa Sertipikat Jaminan Fidusia itu palsu atau dipalsukan oleh orang yang masih hidup maka surat itu kemudian dikirim kepada jaksa untuk kemudian dilakukan penuntutan sebagaimana mestinya. Jika terjadi hal demikian maka proses acara perdata mengenai fidusia untuk sementara waktu ditangguhkan sampai perkara pidananya diputus. 2
2
Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teoridan Praktek, (Bandung: CV Mandar Maju, 2009), h. 63.
62
2.
Keberatan dari Debitor
Dengan Sertipikat Jaminan Fidusia, kreditor dapat melakukan eksekusi terhadap barang yang menjadi objek jaminan fidusia, hal ini seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa Sertipikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial,
sehingga
dengan
sertipikat
tersebut
kreditor
dapat
langsung
mengeksekusi objek jaminan fidusia tanpa melalui proses peradilan.
Namun adakalanya upaya eksekusi yang dilakukan oleh kreditor terhadap objek jaminan fidusia mendapatkan perlawanan dari debitor. Perlawanan yang dimaksud oleh penulis adalah debitor merasa dirinya tidak cederajanji sebagaimana yang dituduhkan oleh kreditor. Sehingga hal ini akan menimbulkan suatu sengketa (dispute) antara kreditor yang menuduh debitornya cedera janji sedangkan debitor merasa dirinya tidak melakukan cederajanji. Maka dalam kasus seperti ini tentunya memerlukan proses pembuktian yang mendalam, sehingga proses peradilan dalam hal ini sangat mungkin terjadi bahkan bisa saja kemudian debitor mampu membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan wanprestasi dan eksekusi bisa dibatalkan. Baharudin Usman, SH, dalam Tesisnya yang berjudul “PELAKSANAAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DI PT BANK INDEX SELINDO CABANG JAKARTA PUSAT” dalam salah satu poin kesimpulannya menyatakan bahwa hambatan-hambatan yang muncul dalam praktek eksekusi jaminan fidusia adalah Objek Jaminan Fidusia tidak ditemukan, muncul pihak yang keberatan atas eksekusi
63
tersebut, debitor tidak mau menyerahkan obyek jaminan, objek jaminan tidak dalam kondisi utuh. Berdasarkan fakta-fakta di atas, penulis berpendapat bahwa proses peradilan
dalam
pelaksanaan
eksekusi
Objek
Jaminan
Fidusia
sangatlah
memungkinkan.
3.
Perlawanan Pihak Ketiga
Di atas telah dijelaskan bahwa salah satu kendala yang dialami dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia adalah adanya pihak-pihak yang keberatan. Pihak-pihak ini biasanya adalah pihak ketiga yang secara hukum ada kepentingan terhadap barang yang menjadi objek jaminan fidusia, pihak ketiga merasa ada hak terhadap barang yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak-hak tersebut bisa terjadi akibat adanya sewa-menyewa, gadai ataupun yang lainnya. Hal ini sangat mugkin karena ini merupakan salah satu kekurangan yang ada dalam sistem jaminan fidusia, yang mana barang masih tetap berada dalam kekuasaan debitor.
Pada dasarnya dalam pasal 36 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia disebutkan bahwa debitor tidak boleh memindah tangankan dengan cara apapun barang yang sudah menjadi objek jaminan fidusia tanpa izin tertulis dari penerima fidusia dan hal tersebut diancam dengan hukuman pidana. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan apabila suatu saat terjadi eksekusi terhadap benda yang
64
menjadi objek jaminan fidusia ada keberatan dari pihak-pihak tertentu yang merasa punya hak terhadap benda tersebut.
Jika sudah ada pihak-pihak tertentu yang keberatan dengan adanya eksekusi terhadap barang yang menjadi objek jaminan fidusia, maka proses pembuktian di peradilan sangatlah mungkin terjadi dan kedua belah pihak akan saling membuktikan hak-haknya masing-masing di depan majelis hakim.
4.
Objek Jaminan Sudah Disita Terlebih Dahulu
Dalam bab 3 di atas telah dijelaskan macam-macam bentuk penyitaan, dan salah satu bentuk penyitaan yang telah dijelaskan oleh penulis adalah Vergelijkende Beslag yang mana hanya bisa diletakan pada keadaan barang yang menjadi objek sengketa telah lebih dahulu disita oleh orang lain. Dengan kata lain sita ini disebabkan karena ada upaya hukum penyitaan yang telah ada sebelumnya oleh pihak lain.
Objek jaminan fidusia yang akan dilakukan eksekusi juga bisa terjadi di mana barang yang menjadi objek jaminan fidusia telah lebih dahulu disita oleh orang lain. Contoh kasus seperti ini yang sempat beredar di media massa adalah kasus antara PT. CIMB Niaga dan PT. Mestika Sawit Inti Jaya melawan seseorang yang bernama Husein. Kasus terjadi ketika PT. Mestika Sawit Inti Jaya meminjam sejumlah uang kepada PT. CIMB Niaga dengan jaminan alat-alat
65
pabrik kelapa sawit dengan menggunakan sistem jaminan fidusia. Dalam perjalanannya, PT. Mestika Sawit Inti Jaya tidak bisa membayar utangnya yang kemudian PT. CIMB Niaga melakukan eksekusi terhadap barang yang menjadi objek jaminan fidusia menggunakan Sertipikat Jaminan Fidusia. Di lapangan ternyata barang yang menjadi objek jaminan fidusia telah disita terlebih dahulu oleh seseorang yang bernama Husein berdasarkan izin penyitaan dari PN Lubuk Pakam. Setelah dilakukan penyelidikan ternyata PT. Mestika Sawit Inti Jaya telah memindah tangankan barang-barang yang menjadi objek jaminan fidusia kepada Husain tanpa izin tertulis dari PT. CIMB Niaga. Setelah diketahui ternyata PT Mestika Sawit Inti Jaya telah melakukan perjanjian jual beli dengan orang yang bernama Husein. Meskipun kemudian Direktur Utama PT. Mestika Sawit Inti Jaya dijerat pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan pasal 36 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia namun kemudian untuk mendapatkan hakhaknya PT. CIMB Niaga mengajukan gugatan perdata ke PN Medan dan kemudian terjadilah proses peradilan sampai ke Mahkaman Agung.3
D. Dasar Hukum Adanya Proses Peradilan
M. Soerjono, SH dalam kedudukannya selaku Ketua Mahkamah Agung mengatakan: “Jika dilihat kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan dikaitkan dengan aneka ragam janji-janji 11 3
Baca Putusan Mahkamah Agung No. 2768 K/Pdt/2011 tanggal 9 Maret 2012 Mengenai Sengketa Objek Jaminan Fidusia dan HakTanggungan.
66
(sebelas) jenis yang dapat dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan berdasar Pasal 11 ayat 2 dan Undang-Undang Hak Tanggungan memberi kesimpulan kepada kita bahwa walaupun tujuan Undang-Undang Hak Tanggungan adalah untuk memberi jaminan yang kuat dalam pengikatan utang piutang/kredit dengan jaminan Hak Tanggungan, namun tidak begitu saja secara otomatis setiap Sertipikat Hak Tanggungan dapat dieksekusi secara langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila permohonan sedemikian diajukan kepadanya. Karena menurut Soerjono Setiap kasus mempunyai ciri tersendiri yang harus diteliti secara cermat oleh hakim/Ketua Pengadilan Negeri dalam kedudukannya, agar hukum dan keadilan benar-benar terwujud”.4 Terdapat dua hal penting dalam pokok-pokok pikiran yang disampaikan oleh Ketua Mahkamah Agung RI (M.Soerjono, SH) yaitu :
a. Bahwa tidak begitu saja secara otomatis setiap sertipikat Hak Tanggungan dapat dieksekusi secara langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila permohonan eksekusi diajukan kepadanya; b. Setiap kasus mempunyai ciri tersendiri yang harus diteliti secara cermat oleh hakim/Ketua Pengadilan Negeri dalam kedudukannya agar hukum dan keadilan benar-benar terwujud.
Bahwa dari kedua pokok pikiran tersebut mengingatkan kepada kita, bahwa meskipun Hak Tanggungan itu telah dibuat secara formal sebagai akta otentik, akan 4
M. Soerjono, Undang-Undang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dan Permasalahannya :EksekusiHakTanggungan di DalamPraktek, (Jakarta : MA RI, 1998), h. 112.
67
tetapi tidak menutup kemungkinan ditemukannya “cacat hukum” di dalamnya. Bahkan pihak-pihak tertentu, akan dapat saja mencari perlindungan hukum pada “Hak Tanggungan dan Fidusia”, dalam rangka mengelabui orang lain dari kewajibannya. Dalam hal ini penulis sangat sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Soerjono, karena penegakan hukum pada dasarnya harus memegang prinsip keadilan dan hal tersebut juga dapat membongkar praktek-praktek kejahatan ekonomi yang berlindung pada dokumen-dokumen resmi yang dianggap sebagai akta otentik.5
Gagasan yang dikemukakan oleh Soerjono pada dasarnya menyangkut tentang kekuatan eksekutorial yang melekat pada Sertipikat Hak Tanggungan, hal ini wajar karena pendapat ini dikemukakan pada tahun 1998 sebelum lahirnya UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Namun dalam prakteknya gagasan yang dikemukakan oleh Soerjono digunakan oleh majelis hakim Mahkamah Agung untuk menjadi landasan hukum adanya proses peradilan dalam eksekusi objek jaminan fidusia.6
Selain itu, apabila ditelaah dan diteliti secara seksama dalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia tidak menyebutkan eksekusi lewat gugatan ke pengadilan, tetapi tentunya pihak-pihak yang berkepentingan dapat menempuh prosedur eksekusi biasa lewat gugatan ke pengadilan. Sebab, keberadaan Undang-
5 6
Ibid, h. 112.
Lihat Putusan Mahkamah Agung No. 2768 K/Pdt/2011, tanggal 9 Maret 2012 Mengenai Sengketa Objek Jaminan Fidusia dan Hak Tanggungan. h. 35.
68
Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dengan model-model eksekusi khusus tidak untuk meniadakan hukum acara yang umum. Tidak ada indikasi sedikitpun dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang bertujuan meniadakan ketentuan hukum acara umum tentang eksekusi umum lewat gugatan ke Pengadilan Negeri yang berwenang.
Selain itu, apabila ada salah satu pihak yang merasa dirugikan dengan adanya eksekusi jaminan fidusia tanpa melalui proses peradilan maka satu-satunya langkah hukum orang tersebut adalah melakukan gugatan ke peradilan umum, sedangkan pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan :
“Pengadilan dilarang menolak memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksan dan mengadilinya.” Bunyi pasal di atas merupakan bukti bahwa semua orang boleh mengadukan semua persoalannya kepada majelis hakim (pengadilan) guna memperoleh keputusan yang seadil-adilnya. Namun Allah memperingatkan kepada kita melalui firmanNya dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi : َوَﻟَﺎ َﺗﺄْ ُﻛﻠُﻮْا أَﻣْﻮَاﻟَﻜُ ْﻢ ﺑَﯿْﻨَﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟْﺒَﺎﻃِﻞِ وَﺗُﺪْﻟُﻮْا ﺑِﮭَﺎ إِﻟَﻰ اﻟْﺤُﻜﱠﺎمِ ﻟِﺘَﺄْﻛُﻠُﻮْا ﻓَﺮِﯾْﻘٌﺎ ﻣﱢﻦْ أَﻣْﻮَالِ اﻟﻨﱠﺎسِ ﺑِﺎﻟْﺈِﺛْﻢِ وَأَﻧْﺘُﻢْ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮْن Artinya : Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang
69
lain itu dengan jalan berbuat dosa, sedangkan kamu mengetahui. (QS Al-Baqarah : 188) Sedangkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Tirmidzi mengatakan7 : ُإِﻧﱠﻤَﺎ أَﻧَﺎ ﺑَﺸَﺮٌ وَإِﻧﱠﻜُﻢْ ﺗَﺨْﺘَﺼِﻤُﻮْنَ إِﻟَﻲﱠ وَﻟَﻌَﻞﱠ ﺑَﻌْﻀَﻜُﻢْ أَنْ ﯾَﻜُﻮْنَ أَﻟْﺤَﻦُ ﺑِﺤُﺠﱠ ِﺘﮫِ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺾٍ ﻓَﺄَﻗْﻀَﻰ ﺑِﻨَﺤْﻮِ ﻣَﺎ اَﺳْﻤَﻊ (ﻓَﻤَﻦْ ﻗَﻀَﯿْﺖُ ﻟَﮫُ ﻣِﻦْ ﺣَﻖﱢ اَﺧِﯿْﮫِ ﺷَﯿْﺌًﺎ ﻓَﻠَﺎ ﯾَﺄْﺧُﺬْهُ أَﻗْﻄَﻊُ ﻟَﮫُ ﻗَﻄْﻌَﺔً ﻣِﻦَ اﻟﻨﱠﺎرِ )رواه أﺑﻮ داود و ﺗﺮﻣﺬي Artinya : Sesungguhnya aku adalah manusia dan kalian senantiasa membawa pertikaian untuk diselesaikan olehku, dan mungkin sebagian dari kamu lebih cakap berhujjah dari sebagian lainnya, maka aku telah memutuskan hukuman berdasarkan apa yang kudengar saja. Barangsiapa yang telah kujatuhi hukuman dan hukuman itu mengambil hak yang lain (akibat kurang cakap orang yang benar dalam berhujjah) maka janganlah kamu mengambilnya, sesungguhnya itu akan menjadi sepotong api neraka. (HR Abu Daud dan Tirmidzi).
7
Muhammad Ibnu Ali Ibnu Muhammad As-Syaukani, Nailul Autar, (Penerbit, kota dan Tahun tidak diketahui), Jilid 8, h. 632 hadis No. 3920.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap kekuatan eksekutorial sertipikat jaminan fidusia berdasarkan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.
Sertipikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang setara dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (incraht), sedangkan yang dimaksud dengan kekuatan eksekutorial adalah dapat dilakukan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tanpa melalui proses peradilan. Artinya, dengan menggunakan sertipikat jaminan fidusia kreditor dapat langsung melakukan eksekusi tanpa melalui proses peradilan.
2.
Kekuatan eksekutorial yang melekat pada sertipikat jaminan fidusia tidaklah berlaku mutlak. Yang dimaksud dengan tidak berlaku mutlak adalah tidak selamanya
seorang
kreditor
bisa
melakukan
eksekusi
hanya
dengan
menggunakan Sertipikat Jaminan Fidusia tanpa melalui proses peradilan, karena proses peradilan bisa saja terjadi apabila ada pihak-pihak yang keberatan terhadap eksekusi atau sertipikatnya diragukan keabsahannya, keberatan para pihak tersebut baik dari pihak debitor maupun pihak ketiga yang merasa
70
71
dirugikan, selain itu apabila objek jaminan fidusia sudah terlebih dahulu dieksekusi oleh orang lain maka kemungkinan proses peradilan dalam eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia sangat dimungkinkan.
B. Saran Untuk para perancang peraturan perundang-undangan (legal drafter) penulis menyarankan agar diatur secara jelas dan tegas tentang langkah hukum yang harus diambil oleh-pihak-pihak yang berkepentingan jika dalam proses eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia mengalami kendala seperti pihak debitor yang keberatan, orang ketiga yang keberatan dan objek jaminan yang sudah tidak ada. Untuk peneliti yang akan datang penulis menyarankan agar penelitian yang sama dilakukan terhadap sertipikat hak tanggungan, karena ada banyak kemiripan antara hak tanggungan dan jaminan fidusia.
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku dan Artikel Badrul Zaman, Meriam Darus. Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fidusia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991. Demesky, Yordan. Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Alternatif Penyelesaian Kredit Bermasalah Di Pt Bank Permata Tbk. Tesis, FH UI: 2011. Ekomadyo, Agus S. “Prospek Penerapan Metode Analisis Isi (Content Analysis) Dalam Penelitian Media Arsitektur”. Dimuat dalam Jurnal Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni, No.2 Vol.10. Agustus 2006. Ferdinan, Anggiat. Kekuatan Eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia Terhadap Objek Jaminan Dalam Kepailitan. Medan: USU, 2009. Fitriasti, Yasmine Nurul. Analisi yuridis hukum Jaminan Fidusia. FH UI: 2010. Fuady, Munir. Jaminan Fidusia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000. Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2007 . Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag. Bandung: Pustaka, 1990. . Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta : Sinar Grafika, 2009. HS, H. Salim. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2008. Kamelo, Tan. Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan. Bandung: Alimni, 2004. Kansil, CST dan Kansil, Christian ST. Kamus Istilah Aneka Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000. Cet I. Kansil, CST. Pengantar Ilmu Hukum Umum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
72
73
Mahkamah Agung RI. Himpunan Tanya Jawab Rakerda. 1987-1962. . Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama/Mahkamah Syar'iyah: Buku II, Edisi 2007. Jakarta: 2008. Marbun, BN. Kamus Manajemen. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003. Maschoen Sofwan, Sri Soedewi. Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fidusaia di Dalam Praktek dan Pelaksanannya di Indonesia. Jogjakarta: FH UGM, 1980. . Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberti, 1980. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2010. Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000. Pramono, Nindyo. Hukum Komersi. Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003. Saleh, K. Wantjik. Hukum Acara Perdata RBG/HIR. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002. Simanjuntak, P N H. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2009. Soerjono, M. Undang-Undang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dan Permasalahannya. Jakarta: MA RI, 1998. Subekti, R & Tjiptosoedibjo R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1992. Cet -XXV. Subekti, R “Pelaksanaan Perikatan Eksekusi Riil dan Uang Paksa” Dalam Penemuan Hukum dan Pemecahan Masalah Hukum. Proyek Pengembangan Teknis Yustisial, MA RI. . Hukum Acara Perdata. Jakarta: Bina Cipta, 1977. . Kumpulan Putusan MA. Jakarta: Gunung Agung, 1965.
74
Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan yuridis. Jakarta: Djambatan, 1997. Sutantio, Retno Wulan & Oeripkartawinatam, Iskandar. Hukum Acara Perdata DalamTeori dan Praktek. Bandung: CV MandarMaju, 2009. Widjaya, Gunawan & Yani, Ahmad. Jaminan Fidusia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cet II. Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Putusan Mahkamah Agung No.2768 K/Pdt/2011. Peraturan perundang-undangan Kitab Undang-Undang RI Hukum Pidana (Wetboek van Straftrecht). Kitab Undang-undang RI Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Peraturan Pemerintah RI No. 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Undang-Undang RI No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Undang-undang RI No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Dokumen Elektronik Lesmana, Ignatius Denny. “Asas-asas Hak Tanggungan” diakses pada tanggal 28-122013 dari: http://lbh.unpar.ac.id/radio-chevy-103-5fm/asas-asas-haktanggungan/ Nasution, Chaerudin Syah. “Manajemen Kredit Syariah Bank Muamalat’. Diakses pada tanggal 27-11-2013 dari: http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CChaerudin-3.pdf.
75
Pengadilan Negeri Slawi. Proses Acara Penyitaan. Artikel diakses pada tgl 18-112013 dari: http://pn-slawi.go.id/?page_id=499 “Fidusia, Gadai, Hipotik”. Artikel diakses pada tanggal 28-12-2013 dari: http://padmimonang.wordpress.com/2012/10/29/fidusia-gadai-hipotik/
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBUK INDONESIA Menimbang : a. bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya etentuan hukum yang jelas danlengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan; b. bahwa Jaminan Fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini masih didasarkan pada yurisprudensi dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan secara lengkap dan komprehensif; c. bahwa untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih memacu pembangunan nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta mampu memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dibentuk ketentuan yang lengkap mengenai Jaminan Fidusia dan jaminan tersebut perlu didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia; d. bahwa bedasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c dipandang perlu membentuk Undang-undang tentang Jaminan Fidusia; Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945; Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBUK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN FIDUSIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal l Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. 2. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak bewujud dan benda tidak bergerak khususnya Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. 3. Piutang adalah hak untuk menerima pembayaran. 4. Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun tidak begerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek. 5. Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. 6. Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia. 7. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang lainnya, baik secara langsung maupun kontinjen. 8. Kreditor adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang. 9. Debitor adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang. 10. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi. BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 Undang-undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani Benda dengan Jaminan Fidusia. Pasal 3 Undang-undang ini tidak belaku terhadap : a. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar; b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isl kotor berukuran 20 (dua puluh) M3 atau lebih;
c. d.
Hipotek atas pesawat terbang; dan Gadai. BAB III PEMBEBANAN, PENDAFTARAN, PENGALIHAN, DAN HAPUSNYA JAMINAN FIDUSIA Bagian Pertama Pembebanan Jaminan Fidusia
Pasal 4 Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok bukan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Pasal 5 (1) Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia. (2) Terhadap pembuatan akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 6 Akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sekurang-kurangnya memuat : a. identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia; b. data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; c. uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia; d. nilai penjaminan; dan e. nilai Benda yang menjadi objek jaminan Fidusia. Pasal 7 Utang yang pelunasannya dijamin dengan fidusia dapat berupa : a. utang yang telah ada; b. utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu; atau . c. utang yang pada saat eksekusj dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi. Pasal 8 Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari Penerima Fidusia tersebut. Pasal 9 (1) Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis Benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. (2) Pembebanan jaminan atas Benda atau piutang yang diperoleh kemudian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak perlu dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri. Pasal 10 Kecuali diperjanjikan lain : a. Jaminan Fidusia meliputi hasil dari Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. b. Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia diasuransikan. Bagian Kedua Pendaftaran Jaminan Fidusia Pasal 11 (1) Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan. (2) Dalam hal Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berada di luar wilayah negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku. Pasal 12 (1) Pendaftaran Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. (2) Untuk pertama kali, Kantor Pendaftaran Fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (3) Kantor Pendaftaran Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman. (4) Ketentuan mengenai pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia untuk daerah lain dan penetapan wilayah kerjanya diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 13 (1) Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia. (2) Pernyataan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat : a. identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia; b. tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta Jaminan Fidusia; c. data perjanjian pokok yang dijamin fidusia; d. uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia; e. nilai penjaminan; dan f. nilai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. (3) Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Jaminan Fidusia dan biaya pendaftaran diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 14 (1) Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada Penerima Fidusia Sertifikat Jaminan Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. (2) Sertifikat Jaminan Fidusia yang merupakan salinan Buku Daftar Fidusia memuat catatan tentang hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). (3) Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia. Pasal 15 (1) Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "DEMI KEADlLAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". (2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri. Pasal 16 (1) Apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Penerima Fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. (2) Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan perubahan, melakukan pencatatan perubahan tersebut dalam Buku Daftar Fidusia dan menerbitkan Pernyataan Perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Sertifikat Jaminan Fidusia. Pasal 17 Pemberi Fidusia dilarang melakukan Fidusia ulang terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar. Pasal 18 Segala keterangan mengenai Benda Fidusia yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk umum. Bagian Ketiga Pengalihan Jaminan Fidusia Pasal 19 (1) Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditor baru. (2) Beralihnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftarkan oleh kreditor baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. Pasal 20 Jaminan Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun Benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Pasal 21 (1) Pemberi Fidusia dapat menyalihkan benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia dengan cara dan prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, apabila telah terjadi cidera janji oleh debitor dan atau Pemberi Fidusia pihak ketiga.
(3) Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang telah dialihkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diganti oleh Pemberi Fidusia dengan objek yang setara. (4) Dalam hal Pemberi Fidusia cidera janji, maka hasil pengalihan dan atau tagihan yang timbul karena pengalihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), demi hukum menjadi objek Jaminan Fidusia pengganti dari objek Jaminan Fidusia yang dialihkan. Pasal 22 Pembeli benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang merupakan benda persediaan bebas dari tuntutan meskipun pembeli tersebut mengetahui tentang adanya Jaminan Fidusia itu, dengan ketentuan bahwa pembeli telah membayar lunas harga penjualan Benda tersebut sesuai dengan harga pasar. Pasal 23 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, apabila Penerima Fidusia setuju bahwa Pemberi Fidusia dapat menggunakan, menggabungkan, mencampur, atau mengalihkan Benda atau hasil dari Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, atau menyetujui melakukan penagihan atau melakukan kompromi atas piutang, maka persetujuan tersebut tidak berarti bahwa Penerima Fidusia melepaskan Jaminan Fidusia. (2) Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kapada pihak lain Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia. Pasal 24 Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi Fidusia baik yang timbul dari hubungan kontraktual atau yang timbul dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Bagian Keempat Hapusnya Jaminan Fidusia Pasal 25 (1) Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut : a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia; b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau c. musnahnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. (2) Musnahnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b. (3) Penerima Fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak, atau musnahnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut. Pasal 26 (1) Dengan hapusnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia dari Buku Daftar Fidusia. (2) Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan yang menyatakan Sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak belaku lagi. BAB IV HAK MENDAHULU Pasal 27 (1) Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. (2) Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. (3) Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia. Pasal 28 Apabila atas Benda yang sama menjadi objekJaminan Fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian Jaminan Fidusia, maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pedaftaran Fidusia. BAB V EKSEKUSI JAMINAN ADUSIA Pasal 29 (1) Apabila debitor atau Pemberi Fidusia ciderajanji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara : a. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimakasud dalam Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia;
b.
penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan; c. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. (2) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi dan atau Penerima Fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Pasal 30 Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia. Pasal 31 Dalam hal Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa, penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 32 Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal demi hukum. Pasal 33 Setiap janji yang memberikan kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji, batal demi hukum. Pasal 34 (1) Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, Penerima Fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia. (2) Apabila hasi eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar. BAB VI KETENTUAN PIDANA Pasal 35 Setiap orang yang dengan sengaja mamalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak. melahirkan. perjanjian Jaminan Fidusia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Pasal 36 Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah. BAB VII KETENTUAN PERAUHAN Pasal 37 (1) Pembebanan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. (2) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak berdirinya Kantor Pendaftaran Fidusia, semua perjanjian Jaminan Fidusia harus sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini, kecuali ketentuan mengenai kewajiban pembuatan akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). (3) Jika dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dilakukan penyesuaian, maka perjanjian Jaminan Fidusia tersebut bukan merupakan hak agunan atas kebendaan sebagaimana dimaksud dalam Undangundang ini. Pasal 38 Sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan mengenai Fidusia tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti, atau diperbaharui. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39 Kantor Pendaftaran Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dibentuk dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-undang ini diundangkan. Pasal 40 Undang-undang ini disebut Undang-undang Fidusia. Pasal 41 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggaI 30 September 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 September 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd MULADI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 168
PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA UMUM 1. Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dan yang besar. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan pinjam meminjam. 2. Selama ini, kegiatan pinjam-meminjam dengan menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dari lembaga Hipotek atas tanah dan credietverband. Di samping itu, hak jaminan lainnya yang banyak digunakan pada dewasa ini adalah Gadai, Hipotek selain tanah, dan Jaminan Fidusia. Undang-undang yang berkaitan dengan Jaminan Fidusia adalah Pasal 15 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, yang menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain dapat dibebani dengan Jaminan Fidusia. Selain itu, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun mengatur mengenai hak milik atas satuan rumah susun yangn dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah negara. Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi. Bentuk jaminan inf digunakan secara luas dalam transaksi pinjam-meminjam karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah, dan cepat, tetapi tidak menjamin adanya kepastian hukum. Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada para Pemberi Fidusia untuk menguasai Benda yang dijaminkan, untuk melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan Jaminan Fidusia. Pada awalnya, Benda yang menjadi objek fidusia terbatas pada kekayaan benda bergerak yang berwujud dalam bentuk peralatan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, Benda yang menjadi objek fidusia termasuk juga kekayaan benda bergerak yang tak berwujud, maupun benda tak bergerak. 3. Undang-undang ini, dimaksudkan untuk menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan Jaminan Fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan. Seperti telah dijelaskan bahwa Jaminan Fidusia memberikan kemudahan bagi para pihak yang menggunakannya, khususnya bagi Pemberi Fidusia. Namun sebaliknya karena Jaminan Fidusia tidak didaftarkan, kurang menjamin pihak yang menerima Fidusia. Pemberi Fidusia mungkin saja menjaminkan benda yang telah dibebani dengan Fidusia kepada pihak lain tanpa sepengetahuan Penerima Fidusia. Sebelum Undang-undang ini dibentuk, pada umumnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bermotor. Oleh karena itu, guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, maka menurut Undang-undang ini objek Jaminan Fidusia diberikan pengertian yang luas yaitu benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud, dan benda tak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan tanggungan sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Dalam Undang-undang ini, diatur tentang pendaftaran Jaminan Fidusia guna memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan dan pendaftaran Jaminan Fidusia memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lain. Karena Jaminan Fidusia memberikan hak kepada pihak Pemberi Fidusia untuk tetap menguasai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia berdasarkan kepercayaan, maka diharapkan sistem pendaftaran yang diatur dalam Undang-undang ini dapat memberikan jaminan kepada pihak Penerirna Fidusia dan pihak yang mempunyak kepentingan terhadap Benda tersebut. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 dan Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Huruf a Berdasarkan ketentuan ini, maka bangunan di atas tanah milik orang lain yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek Jaminan Fidusia. Huruf b s.d Huruf d Cukup jelas Pasal 4 Yang dimaksud dengan prestasi dalam ketentuan ini adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang. Pasal 5 Ayat (1) Dalam akta Jaminan Fidusia selain dicantumkan hari dan tanggal, juga dicantumkan mengenai waktu (jam) pembuatan akta tersebut.
Ayat (2) Cukup jelas Pasal 6 Huruf a Yang dimaksud dengan "identitas" dalam Pasal ini adalahmeliputi nama lengkap, agama, tempat tinggal, atau tempat kedudukan, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, dan pekerjaan. Huruf b Yang dimaksud dengan "data perjanjian pokok" adalah mengenai macam perjanjian dan utang yang dijamin dengan fidusia. Huruf c Uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasikan Benda tersebut, dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemitikannya. Dalam hal Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia merupakan benda dalam persediaan (inventory) yang selalu berubah-ubah dan atau tidak tetap, seperti stok bahan baku, barang jadi, atau portofolio perusahaan efek, maka dalam akta Jaminan Fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merek, kualitas dari Benda tersebut. Huruf d dan Huruf e Cukup jelas Pasal 7 Huruf a Cukup jelas Huruf b Utang yang akan timbul di kemudian hari yang dikenal dengan istilah "kontijen", misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditor untuk kepentingan debitor dalam rangka pelaksanaan garansi bank. Huruf c Utang yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah utang bunga atas pinjaman pokok dan biaya lainnya yang jumlahnya dapat ditentukan kemudian. Pasal 8 Ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberian fidusia kepada lebih dari satu Penerima Fidusia dalam rangka pembiayaan kredit konsorsium. Yang dimaksud dengan "kuasa" adalah orang yang mendapat kuasa khusus dari Penerima Fidusia untuk mewakili kepentingannya dalam penerimaan Jaminan Fidusia dari Pemberi Fidusia. Yang djmaksud dengan "wakil" adalah orang yang secara hukum dianggap mewakili Penerima Fidusia dalam penerimaan Jaminan Fidusia, misalnya, Wali Amanat dalam mewakili kepentingan pemegang obligasi. Pasal 9 Ketentuan dalam Pasal ini penting dipandang dari segi kornersial. Ketentuan ini secara tegas membolehkan Jaminan Fidusia mencakup Benda yang diperoleh di kemudian hari. Hal ini menunjukkan Undang-undang ini menjamin fleksibilitas yang berkenaan dengan hal ihwal Benda yang dapat dibebani Jaminan Fidusia bagi pelunasan utang. Pasal 10 Huruf a Yang dimaksud dengan "hasil dari Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia" adalah segala sesuatu yang diperoleh dari Benda yang dibebani Jaminan Fidusia. Huruf b Ketentuan dalam huruf b ini dimaksudkan untuk menegaskan apabila Benda itu diasuransikan, maka klaim asuransi tersebut merupakan hak Penerima Fidusia. Pasal 11 Pendaftaran Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan Pemberi Fidusia dan pendaftarannya mencakup benda, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditor lainnya mengenai Benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia. Pasal 12 Kantor Pendaftaran Fidusia merupakan bagian dalam lingkungan Departemen Kehakiman dan bukan institusi yang mandiri atau unit pelaksana teknis. Kantor Pendaftaran Fidusia didirikan untuk pertama kali di jakarta dan secara bertahap, sesuai keper1uan, di ibukota propinsi di seluruh wilayah negara RI. Dalam hal Kantor Pendaftaran Fidusia belum didirikan di tiap daerah Tingkat II maka wilayah kerja Kantor Pendaftaran Fidusia di ibukota propinsi meliputi seluruh daerah Tingkat II yang berada di lingkungan wilayahnya. Pendirian Kantor Pendaftaran Fidusia di daerah Tingkat II dapat disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 13 Ayat (1) dan Ayat (2) . Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan agar Kantor Pendaftaran Fidusia tidak melakukan penilaian terhadap kebenaran yang dicantumkan dalam pernyataan Pendaftaran Jaminan Fidusia, akan tetapi hanya melakukan pengecekan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). Ayat (4) . Cukup jelas Pasal 14
Ayat (1) dan Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan ini tidak mengurangi berlakunya Pasal 613 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bagi pengalihan piutang atas nama dan kebendaan tak berwujud lainnya.. Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan "kekuatan eksekutorial" adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Ayat (3) Salah satu ciri Jaminan Fidusia adalah kemudahan dalam pelaksanaan eksekusinya yaitu apabila pihak Pemberi Fidusia cidera janji. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini dipandang perlu diatur secara khusus tentang eksekusi Jaminan Fidusia melalui lembaga parate eksekusi. Pasal 16 Ayat (1) Perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia, harus diberitahukan kepada para pihak. Perubahan ini tidak perlu dilakukan dengan akta notaris dalam rangka efisiensi untuk memenuhi kebutuhan dunia usaha. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 17 Fidusia ulang oleh Pemberi Fidusia, baik debitor maupun penjamin pihak ketiga, tidak dimungkinkan atas Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia karena hak kepemilikan atas Benda tersebut telah beralih kepada Penerima Fidusia. Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 "Pengalihan hak atas piutang" dalam ketentuan ini, dikenal dengan istilah "cessie" yakni pengalihan piutang yang dilakukan dengan akta otentik atau akta di bawah tangan. Dengan adanya cessie ini, maka segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia lama beralih kepada Penerima Fidusia baru dan pengalihan hak atas piutang tersebut diberitahukan kepada Pemberi Fidusia. Pasal 20 Ketentuan ini mengakui prinsip "droit de suite" yang telah merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan (in rem). Pasal 21 Ketentuan ini menegaskan kembali bahwa Pemberi Fidusia dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Namun demikian untuk menjaga kepentingan Penerima Fidusia, maka Benda yang dialihkan tersebut wajib diganti dengan objek yang setara. Yang dimaksud dengan "mengalihkan" antara lain termasuk menjual atau menyewakan dalam rangka kegiatan usahanya. Yang dimaksud dengan "setara" tidak hanya nialinya tetapi iuga jenisnya. Yang dimaksud dengan "cidera janji" adalah tidak memenuhi prestasi, baik yang berdasarkan perjanjian pokok, perjanjian Jaminan Fidusia, maupun perjanjian jaminan lainnya. Pasal 22 Yang dimaksud dengan "harga pasar" adalah harga yang wajar yang berlaku di pasar pada saat penjualan Benda tersebut, sehingga tidak mengesankan adanya penipuan dari pihak Pemberi Fidusia dalam melakukan penjualan Benda tersebut. Pasal 23 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "menggabungkan" adalah penyatuan bagian-bagian dari Benda tersebut. Yang dimaksud dengan "mencampur" adalah penyatuan Benda yang sepadan dengan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "benda yang tidak merupakan benda persediaan", misalnya mesin produksi, mobil pribadi, atau rumah pribadi yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Sesual dengan sifat ikutan dari Jaminan Fidusia, maka adanya Jaminan Fidusia tergantung pada adanya piutang yang dijamln pelunasannya. Apabila piutang tersebut hapus karena hapusnya utang atau karena pelepasan, maka dengan sendirinya Jaminan Fldusia yang bersangkutan menjadi hapus. Yang dimaksud dengan "hapusnya utang" antara lain karena pelunasan dan bukti hapusnya utang berupa keterangan yang dibuat kreditor. Ayat (2)
Dalam hal Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia musnah dan Benda tersebut diasuransikan maka klaim asuransi akan menjadi pengganti objek Jaminan Fidusia tersebut. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1) Hak yang didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran Benda yang menjadi Jaminan Fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Ketentuan dalam ayat ini berhubungan dengan ketentuan bahwa Jaminan Fidusia merupakan hak agunan atas kebendaan bagi pelunasan utang. Di samping itu, ketentuan dalam Undang-undang tentang Kepailitan menentukan bahwa Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia berada di luar kepailitan dan atau likuidasi. Pasal 28 dan Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila pertu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang. Pasal 31 s.d Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Ayat (1) dan Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Berdasarkan ketentuan ayat ini, maka perjanjian Jaminan Fidusia yang tidak didaftar tidak mempunyai hak yang didahulukan (preferen) baik di dalam maupun di luar kepailitan dan atau likuidasi. Pasal 38 s.d Pasal 41 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUB LIK INDONESIA NOMOR 3889