ANALISA BEBERAPA LOGAM BERAT PADA SPONS (PORIFERA) di PERAIRAN TELUK AMBON (ANALYSIS OF SOME KINDS OF HEAVY METALS ON SPONGE (PORIFERA) IN AMBON BAY) A.N Siahaya, J.A.B Mamesah dan M. Latuihamallo ABSTRACT It is assumed that level of pollution in the water is related to the source of pollution i.e. the closer the source of pollution, the higher the concentration of pollutant in the water. Conseqently, heavy metals concentration which accumulated in the sponge (porifera) is higher too. Therefore pollution areas can bi traced using bioindicator organism. Samples was collected randomly from 4 sampling site i.e. Batu Merah, Batu Capeo, Hative Besar and Seri. Preparation and premilinary study were conducted in the Analytic Laboratory of MIPA Faculty, Pattimura University, Ambon while analysis of heavy metals was done in the laboratory of Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Riset dan Standarisasi Industri Makassar. Concentration of heavy metals Zn, Pb, Cr inthe sponge (porifera) Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene, 2003) was determined using Atomic Absorption Spectrophotometer. Data was analysed using linear regression tecnique in which X axis is concetration of heavy metals (ppm) while Y axis is absorbents. Concentration Zn and Pb could be categorised unhazardous for marine organism, ranging from 2,5 to 3 ppm. Concentration Cr was over the normal limit in the sea water i.e. 0,11 ppm this concentration was hazardous for marine organism. Key word : Sponge (Porifera), Pollution, Heavy Metals, Ambon Bay.
PENDAHULUAN Spons (porifera) merupakan salah satu komodite sumberdaya laut yang akhir-akhir ini mendapat sorotan karena selain bernilai estetika, spons (porifera) juga mengandung senyawa bioaktif (bioatif subtances).Spons (porifera) memilki sifat dasar yang ideal yaitu dapat mengakumulasi bahan pencemar berat hal ini didasarkan pada pola makan spons (porifera) dimana air laut yang mengandung zat-zat makan masuk melalui pori-pori dan disaring melalui sel-sel bulu cambuk sehinggga hewan ini di sebut “filter feeder”. Hewan ini hidup sebagai bentos, memiliki waktu hidup yang cukup lama (Veerdenal,1985). Dengan sifat inilah spons (porifera) dapat digunakan sebagai organisme indikator cemaran logam pada suatu perairan yang merupakan dasar suatu organisme dipakai sebagai indicator pencemar (Philip,1999) Dari sekian banyak limbah yang ada di laut, limbah logam berat merupakan limbah yang berbahaya karena logam berat umumnya bersifat toksik (racun) dan kebanyakan di air dalam bentuk ion. Logam berat yang mencemari perairan banyak jenisnya, diantaranya logam Zn, Pb, Cr, Tingkat pencemaran pada suatu perairan dapat di hubungkan dengan jarak dari sumber pencemaran, jika asumsi benar, makin dekat dengan sumber pencemaran maka kosentrasi bahan pencemar yang terdapat dalam perairan tersebut akan semakin tinggi, sehingga kandungan logam yang terakumulasi dalam spons
359
(porifera) juga akan semakin tinggi. Dengan demikian lokasi cemaran logam dapat dilacak dengan menggunkan organisme bioindikator tersebut. Peta penyebaran terumbu karang di perairan pulau ambon terdiri atas teluk ambon bagian luar dan teluk ambon bagian dalam, dan terumbu karang yang paling banyak adalah pada teluk ambon bagian luar. RUMUSAN MASALAH Kota ambon merupakan ibu kota Propinsi Maluku seiring dengan perkembangannya, pertambahan penduduk tidak bisa dihindari. Akibatnya kegiatan masyarakat bertambah dan tekanan yang dialami oleh Teluk Ambon bertambah juga khususnya pada kasuskasus pencemaran dan salah satunya pencemaran oleh logam berat. Permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah: a. Apakah ada perbedaan akumulasi kosentrasi logam Zn, Pb, Cr, pada spons jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) pada perairan teluk ambon? b. Berapa kosentrasi logam berat Zn, Pb, Cr pada 4 titik sampel pada perairan teluk Ambon? III. 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: Mengetahui kosentrasi logam Zn, Pb, Cr dalam spons jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) pada empat (4) titik sampel. METODE Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei sampai Agustus 2006 meliputi persiapan, pelaksanaan dan penulisan laporan penelitian. Lokasi pengambilan sampel di 4 (empat) titik pada Teluk Ambon bagian luar. Pelaksanaan penelitian yang meliputi penelitian pendahuluan dan persiapan sampel di Laboratorium Analitik Fakultas MIPA Universitas Pattimura, sedangkan analisis logam berat di Laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Balai Riset dan Standarisasi Industri Makassar. Sampel spons (porifera) dari jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) (Gambar 1) di ambil dengan cara penyelaman ke dasar laut yang berbatu karang. Setiap pengambilan, sempel spons (porifera) di bersihkan kemudian di tempatkan ke dalam kantong plastik dan kemudian dibawah ke Laboratorium untuk di analisis. Sampel yang akan di gunakan di pisahkan untuk penentuan akumulasi logam berat dalam spons (porifera) di cuci dengan air panas di tambahkan deterjen, di rendam dalam air laut selama 48 Jam setelah itu di bersihkan lagi dengan aquadest dan di rendam dengan aseton untuk menghilangkan pigmen dari spons (porifera) kemudian dimasukkan dalam oven selama ± 5 jam.(Veerdenal,1985) Cara analisis sampel dilakukan sebagai berikut : Sampel di timbang dengan teliti sebanyak 0,5 gram dalam gelas kimia yang bersih dan kering kemudian ditambahkan 5 ml asam nitrat (HNO3) kemudian di panaskan pada suhu o 159 C selama 2 jam. Sampel yang telah dipanaskan tersebut di dinginkan pada suhu kamar, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml dan di tepatkan volumenya,
360
setelah itu larutan di kocok sampai homogen dan di saring dengan menggunakan kertas saring whatman. Larutan siap di analisis (Siahaya,2000) Penentuan kadar logam berat dengan Spektrofotometer Serapan Atom a. Penyiapan Larutan standar Larutan standar Zn, Pb, Cr 1000 ppm di buat dengan mengambil masing-masing sebanyak 10 ml larutan induk 1000 ppm dan dimasukkan dalam takar 100 ml kemudian di tambahkan asam nitrat (HNO3) 2 % hingga volume 100 ml. Hasil dari pembuatan larutan standart 100 ppm, kemudian dibuat deret larutan baku atau larutan standart. Masing-msing sebagai berikut : Zn : 0,4 ppm ; 0,6 ppm; 0,8 ppm; 1,2 ppm ; 1,6 ppm Pb : 0,4 ppm ; 0,6 ppp; 0,8 ppm ; 1,0 ppm ; 1,2 ppm ; 1,4 ppm Cr : 0,1 ppm ; 0,3 ppm 0,5 ppm ; 0,7 ppm ; 1,1 ppm Penentuan kadar logam berat Zn, Pb, Cr dalam spons (Porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae(Allen & Steene (2003). Kedalam nyala udara-Asetelin di aspirasikan air dan alat pengukur di jadikan nol. Larutan baku secara berturut-turut diaspirasikan didalamnya, menurut kenaikkan konsentrasi. Nilai serapan dari larutan baku tersebut di catat. Kemudian dibuat persamaan regresi linier dari serapan larutan baku dengan konsentrasi. Serapan hasil pengukuran larutan sampel di masukkan kedalam persamaan regresi, sehingga diperoleh konsentrasi logam dalam sampel. c.Analisis Data Dari hasil pengukuran sederetan larutan baku di atas kemudian dibuat grafik untuk masing-masing logam. Untuk semua garis lurus pada grafik antar absorbans dan kosentrasi di perlukan bantuan garis regresi. Sumbu X adalah kosentrasi dalam ppm, sedangkan sumbu Y adalah Absorbans (A). Persamaan regresi adalah : Y = a +bX Nilai-nilai a dan b dihitung dengan rumus :
a
x b x
n
n x y x . y b 2 2 n x x Walaupun dalam suatu garis dapat saja di tarik dari jumlah titik yang tersebar dalam grafik, belum tentu terdapat korelasi antara kedua variabel x dan y. Cara statistik yang di pakai untuk menetukan adaya hubungan antara kedua variabel ialah koefien korelasi (r). Koefisien korelasi ini dapat di hitung dengan rumus :
|HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Fisik Perairan Teluk Ambon Pencemaran dapat diklasifikasikan dalam sejumlah katagori, siantaranya berdasarkan sumebrnya terdiri dari pencemar domestic,pertanian,pertambangan dan lainlain. Berdasarkan komposisi dasar bahan pencemar Menurut Leckie dan James (1974) dalam Palar (2004), kelarutan unsur-unsur logam dalam badan air di kontrol oleh pH badan air, jenis dan kosentrasi logam serta
361
keadaan komponen mineral teroksidasi dan sistem yang berlingkungan redoks, kebanyakan logam bervalensi dua seperti logam Cu 2+, Pb 2+, Ni2+ dan Zn2+ , mengalami hidrolisis pada badan air dengan pH alami yang normal. Badan air yang mempunyai kisaran pH 7-8 kelarutan senyawa-senyawa cendrung stabil. Kenaikkan pH pada air biasanya diikuti dengan semakin kecilnya kelarutan dari senyawa-senyawa logam tesebut. Perubahan tingkat stabil dari kelarutan tersebut biasanya terlihat dalam bentuk pergeseran persenyawaan. Umumnya pada pH yang semakin tinggi, maka kestabilan akan bergeser dari karbonat ke hidroksida. Hidroksida-hidroksida ini mudah sekali membentuk ikatan permukaan dengan partikel-partikel yang terdapat pada badan perairan. Pada temperatur yang tinggi atau diatas rata-rata air menurut Bernhard (1978) Sumadhiharga K (1995) sebagian besar logam akan berpindah dari air ke organisme, sedangkan nilai salinitas akan berpengaruh kepada pembentukan senyawa kompleks. Kondisi fisik pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil analisis logam berat Zn, Pb, Cr dalam spons (Porifera) yang ada di perairan teluk Ambon 4 titik sampling atau lokasi penelitian yaitu titik satu (1) pada perairanBatu Merah; titik dua(2) perairan Batu Capeo; titik tiga (3) pada Perairan hative besar dan titik ke empat (4) di Perairan Seri. Hasil penetapan logam dalam spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) adalah sebagai berikut : 1. Hasil kandungan logam berat Zn, Pb, Cr pada spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) di empat (4) titik atau lokasi perairanan (tabel 2) 2. Diagram kandungan logam Zn, Pb, Cr dalam spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida,Spongiidae) (Allen & Steene (2003) (gambar 1-3) Logam Timbal (Zn) Dari hasil analisis kandungan logam Zn pada perairan Batu- merah atau lokasi/ titik sampel satu (1) yang digambarkan secara deskritif pada gambar 2 menunjukan keberadaan logam zeng (Zn) yang terakumulasi dalam spons jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) memiliki presentasi lebih besar dibandingkan lokasi perairan yang lain yaitu 55,9 % atau sebesar 11,208 ppm. Selanjutnya lokasi empat (4) Perairan Seri memiliki presentasi sebesar 23,2% selanjutnya di ikuti oleh lokasi dua (2) Batu Capeo dan lokasi tiga (3) Hative Besar. Keberadaan logam zink yang terakumulasi dalam tubuh spons (porifera) dikeberadaannya disamping secara alamiah sudah ada seperti yang di laporkan oleh Waldichuk (1974) dalam Darmono (2001) bahwa kosentrasi logam dalam air secara alamiah berbeda untuk jenis airnya (Tabel 4) Keberadaan kosentrasi logam Zn dalam tubuh spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003) logam ini dapat masuk ke air di samping kosentrasinya secara almiah sudah ada seperti pada tabel 3 sebesar 2 µg/L tetapi didalam tubuh spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida Spongiidae) (Allen & Steene (2003) sangat besar 11,208 ppm sehingga di perkirakan penyebab kosentrasi logam ini sangat besar di dalam perairan batu merah adalah bersumber dari aktifitas daratan yang mana sumber-sumber logam Zn adalah
362
berasal dari limbah rumah tangga atau industri yang terbuat dari logam, batu baterei, cat, plastik dan karet (Dons dan Beck 1993). Kadar Zn yang rendah berada pada perairan Seri, Hatiwe besar dan Batu capeo hal ini sangat menguntungkan bagi masyarakat setempat di sekitar pantai. Menurut Hellawell (1989) pada ikan akan terjadi kematian apabila kandungan logam Zn di perairan lebih dari 5 ppm. Logam Timbal (Pb) Kandungan logam timbal (Pb) pada spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida, Spongiidae) (Allen & Steene (2003)di perairan teluk Ambon pada empat (4) lokasi bervariasi. Fenomena yang terlihat pada lokasi satu (1) Perairan Batu-merah yang tertinggi dibandingkan dengan lokasi lain sehingga menunjukan Pb lebih banyak di perairan ini,hasil analisis logam Pb pada spons jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida Spongiidae) (Allen & Steene (2003) yang di peroleh terlihat pada gambar 3. Sumber Pb yang terakumulasi dalam spons (porifera), dapat berasal dari berbagai aktifitas manusia antara lain : kapal bermotor yang digunakan sebagai sarana transfortasi yang menggunakan bahan bakar kenderaan bermotor yang di beri zat aditif sebagai senyawa tetraetil –Pb((C2H 5)4Pb) sebagai zat anti ketuk, di samping itu, kedalam bensin biasanya di tambahkan juga senyawa etilen di-bromida (C 2H4Br2) dan etilen-diklorida (C2H4Cl2) sehingga selama proses pembakaran terjadi di dalam mesin kenderaan terbentuk hasil sampingan Pb yang masuk ke dalam suatu perairan. Konsentrasi logam Pb pada spons (porifera) cendrung lebih besar di bandingkan dengan logam Cu, Cr dan Cd, hal ini dapat saja terjadi karena logam ini lebih mudah di ekskresikan dari dalam tubuh organisme di bandingkan logam Pb, menurut Brown & Person (1978) dalam Husawaty (1997), dikatakan bahwa Cd,Cr,Cu lebih larut di bandingkan dengan Pb karena perbedaan potensial oksidasi, sehingga Pb lebih mudah terakumulasi. Sumber lain logam Pb di perairan yang akan teradsorbsi ke spons (porifera) akibat pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan, di samping itu proses korosifikasi batu karang di sekitar spons (porifera) akibat hempasan gelombang (Palar,2004) Disamping itu sumber Pb dan persenyawaannya dapat menyebabkan limbah ke perairan adalah timbal oksida (PbO4) dalam baterei, kabel listrik, senyawa PbCrO 4 untuk cat yang berwarna kuning, Pb3O4 untuk warna merah, Pb asetat di gunakan secar luas sebagai bahan pengkilap pada keramik dan sekaligus bahan anti api untuk pemadam kebakaran. Persenyawaan Pb dengan arsent dapat di gunakan sebagai insektisida (Palar,2004). Kosentrasi Pb yang mencapai 188 mg/L dapat membunuh ikan-ikan (Darmono,2001). Bardarakan peneltian yang pernah di lakukan pada tahun 1979 oleh Murphy dari Universitas Walles, di katahui bahwa biota-biota perairan seperti Crustaceae akan mengalami kematian setelah 245 jam bila peraairan tersebut terdapat Pb terlarut pada kosentrasi 2,75- 49 mg/L. Ditinjau dari kadar atau kosentasi logam Pb yang terakumulasi dalam Sponbs (porifera) yang terdapat dalam teluk Ambon yang berkisar dari 8,200 mg/Kg berat kering (ppm)- 12,000 mg/Kg berat kering (ppm) dibandingkan kosentrasi Pb di air yang dapat membunuh ikan maka perairan teluk Ambon masih di katakan berada dalam batas aman di tinjau dari kosentrasi logam Pb. Logam Khromium (Cr)
363
Berdasarkan data penelitian yang digambarkan pada gambar 4, terlihat bahwa perairan Teluk Ambon kandungan logam Cr yang terakumulasi dalam spons (porifera) antara 1,950 mg/kg berat kering (ppm)- 2,585 mg/kg berat kering (ppm), dimana bila data dibandingkan dengan perairan Teluk New York maka perairan teluk Ambon masih di bawah, sementara jika dibandingkan dengan standart normal air 0,04 µg/L maka di perkirakan perairan teluk Ambon sudah masuk dalam katagori berbahaya di tinjau dari segi logam Cr-nya. Logam Cr yang masuk ke dalam strata lingkungan dapat datang dari bermacammacam sumber. Tetapi sumber-sumber masukkan logam Cr yang umum diduga paling banyak adalah dari kegiatan-kegiatan perindustrian, kegiatan rumah tangga dan dari pembakaran serta mobilisasi bahan-bahan bakar (Palar,2001). Krom telah di manfaatkan secara luas dalam kehidupan manusia. Logam ini banyak digunakan sebagai bahan pelapis (plating) pada bermacam-macam peralatan, mulai dari peralatan rumah tangga sampai ke mobil. Persenyawaan yang dibentuk dengan menggunakan logam Cr seperti senyawa kromat dan di-kromat sangat banyak digunakan oleh perindustrian, kegunaan umum dalam bidang tekstil, fotografi, zat warna, korek api serta masih banyak kegunaan lainnya.(Stannley,1994) Di perairan proses kimia yang terjadi pada logam Cr seperti pengkompleksan dan sistem redoks sehingga dapat menyebabkan terjadinya pengendapan atau sedimentasi logam Cr di dasar perairan. Proses kimia yang berlangsung di perairanpun dapat terjadi peristiwa reduksi dari senyawa-senyawa Cr6+ yang sangat beracun menjadi Cr3+ yang kurang beracun dan peristiwa ini dapat terjadi jika perairan tersebut bersifat asam . Untuk perairan yang berlingkungan basa ion-ion Cr3+ akan di endapakan di dasar perairan.(Palar,2004) Penelitian yang pernah dilakukan terhadap endapan lumpur di perairan Teluk New York dimana jumlah rata-rata endapan Cr sebesar 5,8 ppm. Rentang endapan tersebut berkisar dari 0,335 ppm sampai 37,9 ppm. Sedangkan standart normal dari kandungan Cr yang terlarut di perairan laut adalam 0,04 µg/L (Pearce,1996,dalam Palar 2004). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Spons (Porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida Spongiidae) (Allen & Steene (2003) dapat digunakan sebagai bioindikator logam berat Cr, Pb dan Zn di perairan teluk Ambon. 2. Ada perbedaan akumulasi kosentrasi logam berat. Untuk logam Zn,Pb untuk perairan Teluk Ambon masih tergolong aman karena kosentrasinya masih ada dibawah ambang batas yaitu 2,5 – 3 ppm. Logam Cr sudah dapat dikategorikan berbahaya sebab sudah melampaui kosentrasi normal dalam air laut yaitu 0,11 ppm. Saran Perlu di lakukan penelitian lebih lanjut terutama untuk beberapa jenis spons (porifera) dan pengaruh kedalaman di empat lokasi guna mendukung data yang sudah di peroleh .Peringatan dini bagi Pemda guna kebijakan yang digunakan harus memperhatikan limbah yang bermuara, terumata dari segi logam berat berbahaya seperti logam logam di atas.
364
DAFTAR PUSTAKA Allen, G,R. And Roger Steene (2003). Indo-Pacific Coral Reef.Field Guide. Calender Print Pte Ltd., Singapore. Anonim, (2003), Profil Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kota Ambon. Allerets. Santika (1987) Metode Penelitian Air. Usaha Nasional Surabaya. Barnes (1991) Invertebrata Zoology. Blackywell Scientific PV6 Oxford London, Edinburg Boston Melbourne. Bergquist, P.R, (1978), Spongest, Hutchinson and Company, London. Boehm,P.D. (1987) Transfort and Transformation Process Regarding Hydrocarbon and Metal Pollution in Offshore Sedimentary Envirmont in : Long-term effect of Shore Oil and Gas Development. D.F.Boesch and N.N. Rabalai, Elsevier Appleid Science,London Bryan, G.W.(1971) The effect of Heavy Metal Contaminan in the sea , in Marine Pollution, Jhonston,R. Ed Academic Press, London. Broadhead, T. W, (1983), Sponge and Spongiomorphs, Notes for a Short Course, University of Tennesse, Konoxtiville, Tennesse. Casarett, L. J.’Doull,J, (1986), The Basic Science of Poisoning.Third Edition, Maxmillan Publishing Co. Inc, New York. Caraan,G.B. Lazaro J.E, (1994), Biologycal Assay for Screning of Marine Samples, Second Marine Natural Product Workshop, Marine Science Institute of Chemestry, University of the Philippines. Connel, W, J., Millev, G, (1985), Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, Penerjemah Yanti K. UI Press, Jakarta. Cotton and Wilkinson, (1989), Kimia Anorganik Dasar, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Darmono, (2001), Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Day, R.A. Jr and Underwood, A.L, (1993), Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi keempat, Penerbit Erlangga, Surabaya. De Jongle, (1994), Sponges in Time and Space, Balkeun Rptterdam. Devoogd, N., (1997). Cross-shelf Distribution of South West Sulawesi Open Reef Sponges. University of Amsterdam. Diannanjaya, I, (1989), Distribusi Logam Berat Cd, Cu, Pb, dan Zn dalam sedimen permukaan Laut Dangkal, Skripsi, F-MIPA UNHAS, Makassar. Djuangsih, W, (1985), Analisis Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn, pada Jenis Karang di Perairan Tanjung Bunga Makassar secara SAA, Skipsi sarjana MIPA, UNHAS, Makassar. Gilbert, J., (1984), Analysis of Food Contaminant, Elsevier Applied Science Publisher, London. Hamidah, (1984), Pengaruh Logam Berat Terhadap Lingkungan. Oseana. Ichsan, A, (1991), Oseanologi di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI No. 29, Jakarta. Meyer Philips, (1998), http://animaldiversity. Umich.edu/ porifer.html 9/1/2000 Palar Heryanto, (1994), Pencemaran dan Toksikologi logam Berat, Rineka Cipta, Jakarta. Rosmiaty, Suryati,E, (2001), Isolasi, Identifikasi dan Pengaruh Senyawa Bioaktif Spons ( Callyspongia pseudoreticulata ) terhadap bakteri patogen dari Udang. Jurnal
365
Bioteknologi Pertanian Vol. 6. No. 1 Balai Penelitian Perikanan Pantai Maros, Indonesia. Supriyono, Agus, (2000), Isolasi dan Elusidasi Struktur Senyawa Hymenidin dan Oridin dari Spons Axinella carteri yang berpotensi sebagai Antibakteri. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 2000. Vol. 2 No. 2. Jakarta. Tabel 1.Kondisi fisik Perairan Teluk Ambon. Kondisi Perairan
Lokasi 1
Salinitas (0/00) Temperatur pH
2
3
29 29 7,7
29 29 7,7
4 29 29 7,7
29 29 7,7
Keterangan : 1. Perairan Batu merah 2. Perairan Batu capeo
3. Perairan Hative Besar 4. Perairan Seri
Tabel 2. Analisis logam spons (porifera) jenis Phyllospongia lamellosa (Distyoceratida Spongiidae) pada lokasi 1,2,3,dan 4 pada perairan teluk Ambon Lokasi Logam (ppm) Zn 11,208 2,785 1,423 4,645
1 2 3 4
Pb 12,000 8,997 8,200 11,521
Cr 2,035 2,585 1,766 1,950
Keterangan : 1. Perairan Batu merah 2. Perairan Batu capeo
3. Perairan Hative Besar 4. Perairan Seri
Tabel 3. Kosentrasi beberapa logam dalam ai laut dan air sungai secara alamiah Logam
Air laut (µ/L)
Air sungai (µ/L)
Cr
0,11
tt
Pb
0,003
670
Zn
2
20
4 4 23.2
Lokasi
3
2 3 7.1
1 55.9 2 13.9
1
0
2
4
6
8
10
12
Konsentrasi Logam Zn (ppm)
Gambar 2. Grafik Histogram hasil analisis logam Zn dalam perairan teluk Ambon pada 4 titik sampel/ lokasi. Keterangan : 1. Perairan Batu merah 2. Perairan Batu capeo
3. Perairan Hative Besar 4. Perairan Seri
366
4
4 28.3
1 29.5
Lo kasi
3
2
3 20.1
1
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
2 22.1
12.0
Konsentrasi Logam Pb (ppm )
Gambar 3. Grafik Histogram hasil analisis logam Pb dalam perairan teluk Ambon pada 4 titik sampel/ lokasi Keterangan: 1. Perairan Batu merah 2. Perairan Batu capeo
3. Perairan Hative Besar 4. Perairan Seri
4
4 23.4
1 24.4
Lokasi
3
2
3 21.2
1
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
2 31.0
3.0
Kons entr asi Logam Cr (ppm )
Gambar 4. Grafik Histogram hasil analisis logam Cr dalam perairan teluk Ambon pada 4 titik sampel/ lokasi Keterangan: 1. Perairan Batu merah 2. Perairan Batu capeo
3. Perairan Hative Besar 4. Perairan Seri
Gambar 1. jenis Spons (porifera) phyllospongia lamellosa, perairan pulau Ambon
367
PENGARUH SUHU HIDROTERMAL AWAL PADA PROSES PEMBENTUKAN ZEOLIT DARI FLY ASH BATU BARA 1)
Dewi Muasyaroh1), Didik Prasetyoko1), Hamzah Fansuri2) Jurusan Kimia FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 - Indonesia 2) Centre for Fuels and Energy, Curtin University of Technology, GPO BOX U1987, Perth WA 6102 – Australia
[email protected]
ABSTRAK Fly ash batubara merupakan hasil samping dari pembakaran batubara yang jumlahnya melimpah. Pembuangan fly ash hasil pembakaran batubara dalam jumlah besar merupakan masalah lingkungan yang serius. Kurangnya tempat penampungan serta perundang-undangan lingkungan yang lebih ketat, memerlukan langkah baru pemanfaatan fly ash batu bara. Konversi fly ash menjadi zeolit merupakan metode alternatif pemanfaatan fly ash yang telah banyak diterapkan. Dalam penelitian ini zeolit disintesis dengan menggunakan proses alkali hidrotermal secara langsung dengan menggunakan larutan alkali hidroksida KOH. Hidrotermal awal dilakukan pada suhu 100 C, 120 C, 150 C dan 180 C selama 3,5 jam, dan dilanjutkan dengan hidrotermal kristalisasi pada suhu 100 C. Padatan hasil sintesis dikarakterisasi menggunakan difraksi sinar-X (XRD) menunjukkan terbentuknya K-Khabazit, K-Phillipsite, analcime, Na-P1 dan heulandite.
Kata Kunci : coal fly ash, suhu hidrotermal awal, zeolit
368
PENDAHULUAN Produksi batubara selama tahun 2006, diungkapkan mencapai 170 juta ton. Sebesar 127 juta ton untuk memenuhi kebutuhan ekspor dan 45 juta ton untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai lebih dari 240 juta ton, sebesar 150 juta ton diantaranya untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Sedang untuk kebutuhan dalam negeri mulai tahun 2009 akan meningkat tajam menjadi sekitar 75 juta ton dengan adanya rencana pembangunan PLTU baru di dalam dan luar Pulau Jawa dengan total kapasitas 10.000 MW, meningkatnya produksi semen setiap tahun, dan semakin berkembangnya industri-industri lain seperti industri kertas (pulp) dan industri tekstil merupakan indikasi penggunaan batubara yang semakin meningkat pula. Apalagi dengan adanya PP No.5 Tahun 2006 sebagai pembaruan Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE) tahun 1998, yang bertujuan utama untuk menciptakan keamanan pasokan energi nasional secara berkelanjutan dan pemanfaatan energi secara efisien, serta terwujudnya bauran energi (energy mix) yang optimal pada tahun 2025 yang salah satunya dengan memanfaatkan sumber energi alternatif di antaranya batubara (Tim Kajian Batubara Nasional, 2006). Diperkirakan laju produksi abu batubara pada sistem pembangkit listrik tenaga uap sebesar 10 % dari volume batubara. Lebih kurang 95 % abu akan tertinggal, masing-masing 20 % berupa bottom ash dan slag, lainnya 75 % berupa fly ash (Susiati, 2006). Hasil samping berupa fly ash yang jumlahnya melimpah merupakan masalah lingkungan yang serius (Belviso, 2007). Sebagai contoh penggunaan di Jepang, 1,5 juta ton fly ash batubara dihasilkan dari pembangkit dan industri, dibuang tanpa digunakan kembali setiap tahun. Limbah fly ash batubara yang relatif besar dapat menimbulkan dampak pencemaran yang cukup berat, baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan masyarakat. Dampak yang paling signifikan bila tidak ada usaha pemanfaatan abu batu bara adalah penumpukan abu batubara pada lahan urugan yang bisa menghasilkan debu di musim kering dan penuhnya lahan urugan yang ada padahal pembuatan lahan urugan baru memerlukan biaya tinggi (Kumar, 2002). Oleh karena itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP85/1999) limbah fly ash dikategorikan sebagai limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya). Fly ash hasil pembakaran batubara di PLTU pada umumnya dibiarkan saja berada di kolam pengendapan sebagaimana dilaporkan oleh Wajima, et al. (2004). Kurangnya tempat penampungan dan perundangundangan lingkungan lebih ketat, maka diperlukan langkah baru pemanfaatan fly ash batubara secara optimal yang menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi dan banyak dibutuhkan oleh pasar. Chang dan Shih (2000) menyebutkan bahwa salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memanfaatkan limbah fly ash batubara adalah dengan mengkonversinya menjadi zeolit. Kristal zeolit sangat efektif untuk pertukaran kation dengan nilai KTK berkisar antara 100 sampai 460 meq/100g (Hollman, 1999). Secara garis besar, mineral zeolit yang mempunyai kapasitas tukar kation tinggi yang dapat digunakan dalam usaha pertanian sebagai reklamasi tanah bermasalah dan meningkatkan efisiensi pemupukan anorganik yang sekaligus penyedia unsur hara (Bachrein, S., 2001). Komposisi fly ash terutama adalah aluminosilikat, mullit (Al6 Si2 O13) dan kuarsa (SiO2 ). Material-material ini merupakan penyedia sumber Al dan Si yang diperlukan untuk sintesis zeolit. Perbandingan Si/Al yang rendah menunjukkan penyerap yang sangat baik karena mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi dan volume pori yang besar (Höller dan Wirsching, 1985; Querol et al., 1997). Sehingga, konversi fly ash menjadi zeolit merupakan bukti yang menunjukkan bahwa fly ash merupakan bahan awal yang murah d an efektif (Woolard, 2000). Querol, et al. (2002) menyebutkan bahwa proses sintesis zeolit dari fly ash yang saat ini digunakan adalah: (a) konversi langsung melalui aktivasi alkalin sederhana terhadap fly ash dengan larutan KOH atau NaOH, (b) ekstraksi silika dari fly ash dan kombinasi silika terlarut dengan larutan aluminat konsentrasi tinggi untuk menghasilkan produk zeolit murni.
369
Sedangkan metode yang paling umum digunakan untuk konversi fly ash menjadi zeolit melibatkan proses hidrotermal, dimana fly ash dicampur dengan larutan alkali seperti NaOH pada kondisi temperatur, tekanan dan waktu reaksi berbeda. Kondisi sintesis tergantung pada komposisi material awal, ukuran partikel, morfologi dan sebagainya (Ojha, et al., 2004). Lin dan Hsih (1995) telah meneliti pengaruh parameter reaksi hidrotermal seperti suhu, molaritas basa dan waktu reaksi pada sifat fly ash dan juga optimasi parameter reaksi untuk memperoleh produk dengan kualitas terbaik. Walaupun demikian, sangatlah penting untuk meneliti secara eksperimen berbagai kondisi yang memungkinkan pembentukan zeolit. Metode hidrotermal sesuai untuk (1) Sintesis yang fasenya tidak stabil pada suhu tinggi (2) Berguna untuk pertumbuhan kristal tunggal dengan mengatur gradien suhu yang sesuai dalam wadah reaksi (3) Pelarutan material start pada keadaan panas dan pengendapan pada suhu yang lebih dingin (West, 1984). Reaksi hidrotermal berlangsung dalam wadah tertutup, oleh karena itu mempertahankan suhu dan tekanan pada volume air yang konstan sangat penting. Dalam penelitian ini, konversi fly ash batu bara menjadi zeolit bertujuan untuk menganalisis pengaruh suhu hidrotermal pada proses pembentukan zeolit. Percobaan disusun pada suhu hidrotermal awal berbeda (100, 120, 150 dan 180 C) selama 3,5 jam, suhu hidrotermal selanjutnya 100 C dengan waktu hidrotermal 6, 24, 48, dan 96 jam. Karakterisasi kimia fly ash dan hasil sintesis menggunakan spektrofotometer serapan atom (SSA) dan X-ray diffraction (XRD).
METODOLOGI PENELITIAN 1. Pemilihan Sampel Fly Ash Fly Ash batu bara digunakan sebagai sumber SiO dan Al O , sampel berasal dari 2
2
3
Perth, Western Australia yang mempunyai kemiripan dengan fly ash batu bara dari Indonesia dalam hal komposisi SiO2 (silikat) dan Al2 O3 (aluminat).
2. Karakterisasi Karakterisasi dilakukan terhadap fly ash sebagai bahan baku maupun terhadap zeolit hasil kristalisasinya. Karakterisasi ini meliputi:
Penentuan Komposisi Kimia. Komposisi kimia dianalisis untuk menentukan kandungan unsur-unsur renik yang terdapat dalam fly ash. Analisis ini dilakukan secara kering dengan menggunakan metode spektroskopi serapan atom (SSA) merk Hitachi Z-800.
Penentuan Komposisi Mineral. Komposisi mineral, baik pada fly ash maupun pada produk hasil sintesis dianalisis dengan teknik difraksi sinar-X. Instrumen difraktometer yang digunakan adalah Philips PW1050 dengan sumber sinar-X Cu menggunakan panjang gelombang yang dihasilkan oleh radiasi Cu K 1 . Tegangan dan kuat arus yang dialirkan untuk menghasilkan sinar-X berturut-turut adalah 40kV dan 30 mA. Sampel discan dari 2θ= 5o – 50o. Data yang diperoleh berupa jarak antar bidang, intensitas dan sudut (2θ ) yang kemudian dianalisis dengan membandingkan pola difraktogram sampel dengan pola difraktogram standar dengan Software Expert Grafik and Identify, sehingga mineral dalam sampel dapat diidentifikasi. Analisis difraksi sinar-X dilakukan di laboratorium Research Center ITS.
3. Sintesis Zeolit Dalam penelitian ini, sebanyak 24 gram fly ash dan sebanyak 16 gram KOH ditimbang. Selanjutnya KOH dilarutkan dengan aquades samapi mencapai volume 150 mL lalu dicampur dengan fly ash. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam reaktor hidrotermal dan diaduk pada kecepatan 400 rpm selama 24 jam. Lalu dilakukan hidrotermal awal yang dikondisikan pada
370
suhu awal 100, 120, 150 dan 180o C selama 3,5 jam. Masing-masing dilanjutkan dengan hidrotermal pada suhu 100o C selama 6, 24, 48 dan 96 jam. Sampling dilakukan dengan mengambil sebanyak 20 mL campuran, kemudian disaring. Padatan yang diperoleh dicuci dengan aquades sampai pH = 7. Lalu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 100o C selama 12 jam untuk menghilangkan kadar air. Padatan hasil sintesis dianalisis secara kualitatif menggunakan difraksi sinar-X (XRD).
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakterisasi Fly Ash Sampel fly ash yang digunakan termasuk dalam kelompok fly ash kelas F (berdasarkan ASTM 618C) dengan kadar kalsium (Ca) rendah dan kadar besi (Fe) yang juga rendah. Unsur-unsur utama pembentuk zeolit yaitu silika dan alumina merupakan unsur utama yang terdapat pada fly ash dengan total kandungan lebih dari 90 % berat. Komposisi kimia fly ash (dalam % massa) ditunjukkan oleh Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Fly Ash Parameter
Fly Ash Parameter (% massa)
Fly Ash Parameter (% massa)
Fly Ash (% massa)
SiO2
52.30
Na 2O
0.10
P2O5
0.07
Al2O3
32.40
K2 O
0.22
BaO
0.04
Fe2 O3
11.00
TiO 2
2.10
SrO
< 0.02
CaO
1.00
MnO
0.20
ZnO
< 0.02
MgO
0.80
SO3
< 0.02
V2O5
0.02
Sedangkan komposisi mineral diperoleh seperti tampak pada Tabel 2. terdiri dari fasa mineral terbanyak adalah fasa amorf, diikuti oleh fasa mullite dan quartz. Tabel 2. Komposisi Fasa Mineral Fly Ash Fasa Mineral
Komposisi (%)
Quartz Mullite
5.7 25.3
Hercynite Mahgemite
0.3 4.1
Amorphous Total
64.6 100
Analisis dengan menggunakan XRD terhadap sampel fly ash diperlukan untuk mengetahui komposisi mineral dan untuk mengamati adanya perubahan yang terdapat pada padatan hasil sintesis terhadap material awal. Pola difraksi fly ash tampak pada Gambar 1.
M
M Q
M M M
Q
M
M Q
Q
Q
371 0
10.00
20.000
30.00
40.00
50.00
60.00
→ 2θ Gambar 1. Difraktogram dari Fly Ash E. Q = kuarsa; M = mullit
Gambar 1. memperlihatkan puncak dari fasa-fasa mineral dalam fly ash. Dengan menggunakan Software Expert Grafik And Identify, diketahui bahwa puncak pada 2θ= 26,29773o ; dan 2θ= 40,85890 o merupakan puncak utama mineral mullit (Al6Si 2O13). Sedangkan puncak 2θ= 20,84023 o dan 2θ = 26,62360o merupakan puncak utama mineral kuarsa (SiO2 ). Dari difraktogram ini dapat dikatakan bahwa sampel fly ash dalam penelitian ini mempunyai komponen penyusun utama berupa SiO 2, aluminosilikat dan fasa amorph (gelas) yang merupakan fasa reaktif utama fly ash (Shim dan Lee, 2006).
2. Pengaruh Suhu Hidrotermal Awal Kondisi hidrotermal diperoleh dengan mengkondisikan reaksi di dalam sebuah reaktor yang tertutup rapat dan dipanasi di dalam oven listrik. Reaktor skala laboratorium yang digunakan bervolume 300 mL dan tidak dilengkapi dengan pengaduk. Pengaruh suhu hidrotermal awal pada proses pembentukan zeolit dapat dipelajari dengan memvariasi suhu hidrotermal awal 100, 120, 150 dan 180o C .
180oC
150oC
120oC
100oC Fly Ash 0
Gambar 2.
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
20.000
30.000
→ 2θ( ) Difraktogram hasil sintesis pada suhu hidrotermal 100 C, 120 C, 150 C dan 180 C.
Pada Gambar 2. pola difraksi sinar-X menunjukkan mulai terbentuknya puncakpuncak yang berbeda dibandingkan pola difraksi sinar-X dari fly ash. Hal ini karena adanya perbedaan suhu hidrotermal awal. Dalam proses hidrotermal perbedaan ini lebih dipengaruhi oleh aktivasi fly ash oleh suhu hidrotermal yang menyebabkan Si dan Al fasa amorf terlarut secara kontinu pada awal reaksi, dimana merupakan masukan bagi pembentukan kristal. Pembentukan kristal zeolit sangat tergantung pada ketersediaan sumber silika dan alumina. Tampak bahwa dengan adanya puncak-puncak khas dari mullit dan kuarsa semakin bertambah intensitasnya sebanding dengan meningkatnya suhu hidrotermal yang berarti menunjukkan meningkatnya fasa kristalin dan mempercepat pembentukan zeolit. Pada suhu hidrotermal 100 C, mulai terjadi peningkatan fasa kuarsa, dari difraktogram tampak bahwa peningkatan ini stabil sedangkan peningkatan fasa mullit baru terjadi pada suhu hidrotermal
372
awal 150 C yang kemudian tidak tampak lagi peningkatannya pada suhu hidrotermal 180 C. Fenomena ini menunjukkan bahwa laju pelarutan alumunium lebih stabil daripada silikon pada awal proses hidrotermal dan pelarutan silikon dipengaruhi oleh peningkatan suhu. Sehingga perbandingan Si/Al akan meningkat dengan meningkatnya suhu hidrotermal. Deangan adanya fasa mullit dan kuarsa secara bersama-sama seringkali menyebabkan produk yang terbentuk berupa produk campuran (Molina, 2004).
3. Pengaruh Suhu Hidrotermal Kristalisasi Suhu hidrotermal selanjutnya yaitu 100o C juga mempengaruhi karakteristik produk hidrotermal yang dihasilkan. Perbandingan Si/Al yang berbeda mempengaruhi kristalinitas setelah hidrotermal awal, sehingga dapat menyebabkan pembentukan kristal zeolit yang berbeda. Produk hidrotermal yang terbentuk dapat diamati dari difraktogram pada Gambar 3, 4, 5 dan Gambar 6.
96 jam
48 jam
24 jam
6 jam
Setelah hidrotermal awal Setelah stirer Fly Ash 0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
→ 2θ o Gambar 3. Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 100 C. Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa setelah 96 jam, pada produk hidrotermal mulai nampak puncak khas untuk K-Khabazit, K-Phillipsite, analcime dan Na-P1.
96 jam
48 jam
24 jam
6 jam
373 Setelah hidrotermal awal Setelah stirer
Gambar 4.
→ 2θ Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 120 oC.
Pada Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan bahwa setelah 48 jam, pada produk hidrotermal mulai nampak puncak khas untuk K-Khabazit, K-Phillipsite, analcime dan heulandite. Bahkan heulandite mulai terbentuk setelah hidrotermal 24 jam dan Na-P1 sudah tidak terbentuk.
96 jam 48 jam
24 jam
6 jam
Setelah hidrotermal awal Setelah stirer
0
Gambar 5.
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
→ 2θ Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 150 oC.
96 jam 48 jam
24 jam
6 jam
Setelah hidrotermal awal Setelah stirer
374
Fly Ash 0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
Gambar 6.
→ 2θ Difraktogram produk hidrotermal dengan suhu hirotermal awal 180 oC.
Kemudian pada Gambar 6 menunjukkan bahwa setelah 24 jam, pada produk hidrotermal mulai nampak puncak khas untuk K-Khabazit, K-Phillipsite, analcime dan heulandite seperti halnya produk hidrotermal awal 120oC dan 150 oC yang juga tidak terbentuk Na-P1. Akan tetapi puncak-puncak yang diperoleh intensitasnya lebih tinggi. Hasil-hasil penelitian ini mempunyai kesesuaian dengan penelitian yang dilakukan oleh Amrhein (1996), yang juga diperoleh Na-P1 dan K-Khabazite pada 100o C, walaupun metode sintesis berbeda. Suhu hidrotermal, terutama suhu hidrotermal awal, sangat berpengaruh pada mulai terbentuknya fasa zeolit, dimana dengan meningkatnya suhu hidrotermal awal akan semakin meningkatkan aktivasi fly ash sehingga frekuensi tumbukan antara fly ash dengan KOH serta tumbukan efektif yang terjadi selanjutnya mempercepat dan meningkatkan pembentukan zeolit. Semakin meningkatnya suhu menyebabkan pembentukan fasa kristalin terjadi semakin cepat, seperti tampak pada Gambar 3, 4, 5 dan Gambar 6. Fasa zeolit terjadi lebih cepat (setelah 24 jam) pada suhu hidrotermal awal 180o C dibandingkan pada suhu hidrotermal awal yang lebih rendah yang baru terbentuk setelah 48 jam pada suhu hidrotermal awal 120 o C dan 150o C) dan setelah 96 jam pada suhu hidrotermal awal 100o C. Dengan demikian laju kristalisasi semakin meningkat dengan adanya kenaikan suhu hidrotermal awal. Pelarutan Si dan Al fasa amorf juga berpengaruh pada perbandingan Si/Al yang mempengaruhi perbedaan produk hidrotermal. Di samping itu, perbedaan produk hidrotermal ini juga dipengaruhi oleh suhu hidrotermal awal dan lama waktu kristalisasi, dimana energi yang dihasilkan dari peningkatan suhu dan reaksi yang lebih lama menyebabkan produk yang kurang stabil mengalami perubahan fasa dan membentuk kristal zeolit yang lebih stabil(Molina, 2004).
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa zeolit dapat disintesis dari fly ash dalam basa KOH dengan metode hidrotermal langsung. Suhu hidrotermal awal sangat mempengaruhi proses pelarutan Si dan Al yang mengawali pembentukan kristal zeolit. Laju kristalisasi semakin meningkat dengan adanya kenaikan suhu hidrotermal awal. Perbandingan Si/Al sangat mempengaruhi produk yang dihasilkan yaitu analcime, K-Chabazite, KPhillipsite, Na-P1 dan heulandite. Perlu adanya optimasi kondisi sintesis yang lebih baik, sehingga konversi fly ash menjadi zeolit dapat menghasilkan produk dengan jumlah dan jenis zeolit yang lebih optimal dan sesuai dengan aplikasinya.
DAFTAR PUSTAKA Amrhein, Ch., Haghnia, G.H., Kim, T.S., Mosher, P.A., Gagajena, R.C., Amanios, T., de la Torre, L. (1996), “Synthesis and properties of zeolites from coal fly ash”. Environ. Sci. Technol. 30, p. 735– 742. Barrer, R. M. (1982), Hydrothermal Chemistry of Zeolites, Academic Press, London.
375
Budhyantoro, A. (2005), “Konversi Abu Layang Batubara sebagai Material Pengemban Logam Nikel dan Uji Ketahanan Struktur Padatan Terhadap Panas”, Jurnal ILMU DASAR, 6, No. 1, hal. 24-32. Chang, H., and Shih, W. (2000), “Synthesis of Zeolite A and X from Fly Ashes and Their Ion Exchange Behavior with Cobalt Ions”, Industrial Engineering Chemical Research, 39, p. 4185-4191. Susiati, H. (2006), Dampak Radioaktif Penggunaan Energi Fosil Batubara dan Energi Nuklir di Pusat Pembangkit Listrik, Pusat Pengembangan Energi Nuklir, BATAN, Yogyakarta. Höller, H., Wirsching, U. (1985), “Zeolites formation from fly ash” Fortschr. Mineral. 63, p. 21– 43. Hollman, G.G., Steenbruggen, G., Janssen-Jurkovicova, M. (1999), “A two-step process for the synthesis of zeolites from coal fly ash”, Fuel, 78, p. 1225– 1230. Lin, C. F., dan Hsi, H. C. (1995) “Resources Recovery of Waste Fly Ash: Synthesis of ZeoliteLike Materials”, Environ. Sci. Technol., 29 (4), p. 1109-1117. Molina, A. dan Poole, C. (2004) “A comparative study using two methods to produce zeolites from fly ash”, Minerals Engineering, 17, p. 167–173. Ojha, K., Pradhan, N. dan Samanta, A. N. (2004), “Zeolite from Fly Ash: Synthesis and Characterization”, Bull. Mater. Sci. Indian Academy of Sciences, 27 (6), p. 555-564. Querol, X., Alastuey, A., Lo´pez-Soler, A., Plana, F., Andre´s, J.M., Juan, R., Ferrer, P., Ruiz, C.R. (1997). “A fast method for recycling fly ash: microwave-assisted zeolite synthesis”. Environ. Sci. Technol., 31 (9), p. 2527–2533. X. Querol et al. (2002) “Synthesis of zeolites from coal fly ash: an overview” International Journal of Coal Geology, 50, p. 413–423.
Shim, Y. S. dan Lee, W. K. (2006), “Effect of Hydrothermal Condition on The Cation Exchange Capacity of MSWI Fly Ash”, Material Science Forum, 510-511, p. 110113. Tim Kajian Batubara Nasional, 2006, Batubara Indonesia, Kelompok Kajian Kebijakan Mineral dan Batubara, Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara. Wajima, T., Kuzawa, K., Ishimoto, H., Tamada, O. dan Nishiyama, T. (2004), “The Synthesis of Zeolite-P, Linde Type A, and Hydroxysodalite Zeolites from Paper Sludge Ash at Low Temperature (80 °C): Optimal Ash-Leaching Condition for Zeolite Synthesis”, American Mineralogist, 89, p. 1694-1700. West, A.J., (1984), Solid State Chemistry and Application, John Wiley & Sons, New York. Woolard, CD, Petrus, K and M van der Horst, (2000), “The use of a modified fly ash as an adsorbent for lead”, Water SA, 26 (4), p. 531-536.
376
Abstrak
PENGARUH KONSENTRASI AMMONIUM TERHADAP KEASAMAN Fe 2O 3 -H/MONTMORILLONIT I.F. Nurcahyo1 , Muhammad Widyo Wartono1, Karna Wijaya2, Wega Trisunaryanti 2, Yunida1 1
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan, Surakarta, Jawa Tengah 2 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Gadjah Mada Sekip Utara, Depok, Sleman, Yogyakarta Preparasi Fe2 O3-H/montmorillonit dilakukan menggunakan metode pertukar ion. Padatan Fe 2O3 -H/montmorillonit diberi perlakuan dengan NH4 + dengan variasi konsentrasi pada temperatur kamar dan kalsinasi. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui perubahan keasaman Fe 2O3 -H/montmorillonit. Keasaman total ditentukan dengan adsorpsi amoniak. Keberadaan situs asam dimonitor dengan DTA dan IR spektrometer. Berdasarkan adsorpsi amoniak diperoleh hasil bahwa semakin pekat konsentrasi NH4 + menyebabkan penurunan keasaman total Fe 2 O3-H/montmorillonit. Berdasarkan data DTA dan IR bahwa perlakuan dengan NH4 + menyebabkan hilangnya situs asam kuat. Kata kunci: Fe2 O3-H /montmorillonit, keasaman total
377
SINTESIS ZEOLIT DARI FLY ASH BATU BARA: PENGARUH WAKTU HIDROTERMAL Ririn Eva Hidayati1 , Didik Prasetyoko2, Hamzah Fansuri2 1MAN Denanyar Jombang, 2Laboratorium Kimia Anorganik Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
[email protected] hp. 08563092630 Abstrak Fly ash batubara telah digunakan untuk mensintesis zeolit melalui reaksi alkali hidrotermal. Sintesis zeolit dilakukan dengan menggunakan 3 M KOH dalam reaktor hidrotermal pada suhu awal 180oC selama 3,5 jam, hidrotermal kedua dilakukan pada suhu 100oC selama 6, 24, 48 dan 96 jam. Zeolit yang dihasilkan dari sintesis ini adalah Philipsit dan Khabasit. Padatan hasil sintesis dikarakterisasi dengan teknik difraksi sinar-X (XRD). Kata kunci: Fly ash, zeolit, sintesis, hidrotermal, karakterisasi
Pembangkit I. Pendahuluan listrik tenaga uap yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya akan menghasilkan limbah gas dan limbah padat yaitu abu layang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash) yang cukup besar jumlahnya. Fly ash yang dihasilkan berkisar 80-90 % dari total abu seluruhnya. PLTU Paiton menghasilkan fly ash ± 1 juta ton per tahun (Budhyantoro, 2005). Limbah fly ash merupakan masalah yang tidak asing lagi dihadapi oleh banyak negara di dunia yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi. Akumulasi limbah fly ash ini bila tidak dimanfaatkan maka membutuhkan tempat yang cukup luas untuk menampungnya. Di Indonesia jumlah pemakaian fly ash batu bara untuk berbagai tujuan masih sangat sedikit (Wajima, et. al., 2004). Sampai saat ini pemanfaatan limbah fly ash masih terbatas pada penggunaannya sebagai bahan urugan, campuran pembuat semen (Sutarno, 2004), campuran pembuat beton, campuran pembuat bahan tahan api dan agregat (Kovo, dan Odega, 2005) serta sedikit bahan-bahan berguna lainnya. Skala pemanfaatan limbah fly ash sebagaimana disebutkan di atas masih sangat kecil dan umumnya bernilai tambah rendah. Zeng R, et. al. (2002) dari China dan Elliot dan Zhang (2004) dari Australia melaporkan tidak lebih 20% dari total fly ash yang dihasilkan telah dimanfaatkan dengan baik sebagai bahan campuran seperti yang telah disebutkan di atas.
Zeolit Untuktermasuk dapat memanfaatkan dalam golongan fly ash mineral secara yang struktur kristalnya disusun oleh tretrahedral SiO 44- dan optimal, AlO 45- . Tetrahedral-tetrahedal perlu dicari alternatif penggunaan ini saling berkaitan fly satu dengan lainnya dengan cara berbagi atom ash yanguntuk oksigen menghasilkan membentuk produk struktur dengan kristal nilai yang mengandung rongga-rongga kosong. Kombinasi tambah tinggi tetrahedal SiO4dan danbanyak AlO 4 menyebabkan dibutuhkan oleh zeolit memiliki muatan parsial negatif. Untuk menetralkan pasar. Dalam muatan negatifChang ini, diperlukan dan Shih (2000) kation-kation (misalnya Na+, K+ , Ca2+ , Mg2+, dan NH4+ ) yang dapat disebutkan bahwa menempati rongga-rongga salah satu kosong pendekatan yang ada. yangSelain dapat terisi kation, rongga-rongga kosong tersebut dapat pula digunakan ditempati untuk oleh memanfaatkan molekul netral limbah seperti air, molekul-molekul organik dan sebagainya asalkan fly ash batubara ukuran molekul tersebut adalah dengan tidak lebih besar dari ukuran rongga. mengkonversinya menjadi zeolit. Fly ash bersifat khas berupa partikel halus dengan diameter 1 – 100 m dan mengandung mineral-mineral silika dan alumina sebagai komponen kristal utama dan beberapa II. Metoda Penelitian komponen amorf. Beberapa mineral yang biasa Bahan dan Alat. Fly Ash batu bara digunakan terdapat dalam fly ash adalah kuarsa (SiO2), sebagai sumber SiO2 dan Al2O3. Sampel fly ash mullit (3Al 2O3.SiO2), hematit (Fe2O 3), yang digunakan diperoleh dari hasil magnetit (Fe 3O4) dan muskovit pembakaran batubara PLTU Paiton. Bahan (K.Al 2S3.AlO10(OH)2). Mulit dan kuarsa dalam kimia yang digunakan dalam penelitian ini fly ash masing-masing merupakan sumber meliputi: KOH, dan aquades. Adapun alat-alat utama silika dan alumina. Mullit tersusun dari yang digunakan meliputi: seperangkat alat-alat 27,8% SiO 2 dan 71,5% Al2O 3 sedangkan gelas, autoclave stainless-steel 100 ml, oven kuarsa mengandung SiO2 lebih dari 99%. merk Binder, stirrer merk Mirrak, neraca Zeolit merupakan material polimer analitik Explorer, Seperangkat alat silika-alumina berpori yang memiliki luas spektrofotometer serapan atom (SSA) merk permukaan yang besar dan situs aktif. Adanya Hitachi Z-800, difraktometer sinar-X merk situs aktif ini mengakibatkan zeolit memiliki Philips tipe PW 1050. kemampuan untuk menyerap senyawa atau ion baik dari dalam larutan atau udara (Davis dan Lobo, 1992). Augustine (1996) juga Sintesis Zeolit. Dalam penelitian ini telah mengatakan bahwa zeolit memiliki sejumlah dipelajari pengaruh kondisi-kondisi proses sifat kimia maupun fisika yang menarik, alkali hidrotermal yang meliputi waktu diantaranya mampu menyerap zat organik hidrotermal awal dan temperatur terhadap maupun anorganik, dapat berlaku sebagai zeolit sisntesis yang dihasilkan. Data penukar kation, dan sebagai katalis untuk karakteristik stuktur fly ash sebelum dan berbagai reaksi. sesudah perlakuan alkali hidrotermal ditentukan melalui interpretasi difraktogram yang diperoleh dari difraksi sinar-X di Laboratorium Research Center ITS Surabaya. Dalam proses sintesis zeolit perbandingan awal mol KOH/SiO2 = 1,8. Untuk mendapatkan angka perbandingan mol tersebut ditimbang fly ash sebanyak 24 gram dan KOH sebanyak 16 gram. Selanjutnya ditambahkan air sebanyak 150 ml. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam reaktor hidrotermal dan diaduk pada kecepatan 400 rpm selama
24 jam. Lalu dilakukan hidrotermal awal yang dikondisikan pada suhu awal 150 oC, 120oC dan 100 oC selama 3,5 jam, hidrotermal kedua dilakukan pada suhu 100oC selama 6, 24, 48 dan 96 jam, selanjutnya disaring. Padatan yang diperoleh kemudian dicuci dengan air sampai pH = 7. Lalu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 90oC selama 12 jam. Filtrat hasil penyaringan dipisahkan lalu diukur pHnya. Padatan yang dihasilkan ( zeolit sintesis) selanjutnya diuji secara kualitatif. Uji kualitatif yang berhubungan dengan struktur dan morfologi produk dilakukan dengan menggunakan difraksi Sinar-X (XRD).
III. Hasil dan Pembahasan Informasi perubahan struktur mikro dan krisatalin yang terjadi selama proses sintesis diperoleh dari data difraksi sinar-X. Pola difraksi sinar-X (XRD) dari sampel fly ash dan zeolit hasil sintetis diperoleh dengan menggunakan difraktometer sinar-X merk Philips tipe PW 1050. Kondisi operasi melibatkan radiasi Cu pada 40.0 kV 30 mA, dengan 2Ө5o – 50o. Data yang diperoleh berupa jarak antar bidang, intensitas dan sudut (2θ ) yang kemudian dicocokkan dengan data pola difraksi sinar–X standar yang diperoleh dari Collection of Simulated XRD Powder Patterns for Zeolies (Treacy and Higgins, 2001), sehingga senyawa yang terdapat dalam sampel dapat diidentifikasi. Difraktogram yang diperoleh dari sampel fly ash batubara tercantum pada Gambar 1.
Gambar 1. Pola difraksi dari fly ash batu bara PLTU Paiton Gambar 1 memperlihatkan puncak tajam pada 2θ= 26,5980o (d = 3,34865 Å), diikuti puncak tajam pada 2θ= 23,975o (d = 3,70873 Å), 2θ= 44,0870o (d = 1,81972 Å) dan 2θ= 20,8042o (d = 4,26629 Å). Menurut Collection of Simulated XRD Powder Patterns for Zeolites, puncak pada 2θ= 26,5980o dan 2θ= 20,8042o dan 2θ= 44,0870 merupakan puncak untuk senyawa kuarsa (SiO2). Sedangkan puncak 2θ= 23,9751o merupakan puncak untuk mineral mulit (Al6 Si2O13). Dari difraktogram ini dapat dikatakan bahwa fly ash PLTU Paiton disusun oleh komponen utama berupa SiO2, aluminosilikat dan fasa amorph (gelas) yang merupakan fasa reaktif utama fly ash. Pengaruh Waktu Hidrotermal Pengaruh waktu reaksi hidrotermal terhadap hasil sintesis dikaji dengan memvariasi waktu hidrotermal selama 3,5, 6, 24, 48 dan 96 jam. Difraktogram hasil sintesis disajikan dalam Gambar 2.
1. Proses alkali hidrotermal terhadap fly ash dapat mengubah komponen utama kuarsa dan fasa amorf menjadi material zeolit, yang mengandung mineral sodalit, mullit, khabasit dan zeolit P. 2. Waktu reaksi hidrotermal berpengaruh terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. Pada waktu Setelah 96 jam reaksi yang lebih tinggi terjadi peningkatan kristalinitas produk hidrotermal. 3. Proses alkali hidrotermal terhadap menghasilkan intensitas fasa kristalin tertinggi pada konsentrasi KOH 3M, Setelah 48dilakukan jam temperatur 150oC dan waktu 96 jam. Perlu optimasi suhu dan konsentrasi, sehingga dihasilkan produk hidrotermal yang optimal. Setelah 24 jam Setelah 6 jam Gambar 2. Difraktogram hasil sintesis Setelah Pola 2,5 jam pada berbagai variasi waktu hidrotermal. difraksi sinar-X pada Gambar 2 menunjukkan puncak utama yang muncul pada reaksi hidrotermal selama 6, 24, 48 dan 96 jam sesuai dengan pola difraksi zeolit P dan semakin lama waktu reaksi hidrotermal menunjukkan kristalinitas yang semakin tinggi. Pada reaksi hidrotemal selama 48 jam, puncak-puncak zeolit P hilang dan digantikan dengan munculnya puncak-puncak khabasit. Hal ini menunjukkan bahwa pada reaksi hidrotermal selama 48 jam terjadi perubahan struktur dari zeolit P menjadi khabasit. Penambahan waktu reaksi hidrotermal sesudah pembentukan zeolit P secara optimum mengakibatkan terjadinya transformasi struktur menjadi bentuk yang secara termodinamik lebih stabil.
IV. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
V. Daftar Pustaka Akbar, F., (1996), “Sintesis Zeolit 4A dari Abu Layang Batubara”, Thesis Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Augustin, R. L., (1996), Heterogenous Catalysis for The Synthetic Chemistry, Monceh Decker Inc., United States. Bell, R. G., (2001), “What are zeolites?”,http://www.bza.org/zeolites.html. Budhyantoro, A., (2005), “Konversi Abu Layang Batubara sebagai Material Pengemban Logam Nikel dan Uji Ketahanan Struktur Padatan Terhadap Panas”, Jurnal ILMU DASAR, Vol. 6 No. 1, hal. 24-32. Baerlocher, Ch., Meier, W. M., Olson, D. H., (2001), “Atlas of Zeolite Framework Types”, 5th Revised Edition, Elsevier. Bonaccorsi, L., dan Proverbio, E., (2004), “Hydrothermal Synthesis of Zeolite LTA by Microwave Irradiation”, Mat Res Innovat, Vol. 8, No. 1, hal. 53-57. Chang, H. L. dan Shih, W. H., (2000), “Synthesis of Zeolites A and X from Fly Ashes and Their Ion-Exchange Behavior with Cobalt Ions”, Ind. Eng. Chem. Res, Vol. 39, hal. 4185-4191. Darwanta, (1997), “Kajian Penambahan Al(OH)3 dalam Sintesis Zeolit 4A dari Abu Layang Batubara, Skripsi program S-1, Jurusan kimia Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.
Gretchen Davis, M. K. E., Hoffman, dan Lobo,(2000), R. F., (1992), “Fly Ash Usage in the Western United States”, NM Bureau of Mines & “Reviews: Zeolite andFebruary Molecular Sieves Mineral Resources, 2000, http://www.wrashg.org. Jumaeri, Kusumaningtyas R. D., dan Synthesis”, J. Material Science, hal. 1-9. Lestari, W. T. P., (2007), “Preparasi danElliot, Karakterisasi Zeolit dari Abu Layang Batubara Secara Alkali A. D., dan Zhang, D., (2004), “Controlled Hidrotermal”, Prosiding Konggres dan Simposium Nasional Kedua MKICS 2007, hal. 1-7. Kovo, A. Release ZeoliteM. Fertilisers: A “Production Value Addedand Characterisation of Zeolite from Ahako Clay in Kogi State, S. dan Edoga, O., (2005), Product Produced from Fly Ash.Journal hal. 1-32. Gates, and Technologies, Issue 7, hal. 31-40. Las, T, Dr., Nigeria”, Leonardo Electronic of Practices B. C, (1992), Catalytic Chemistry, 10 th Limbah edition, Industri dan Radioaktif, PTLR BATAN, hal. 1-8. Mimura, (2006), Potensi Zeolit untuk Mengolah John Wiley & Inc., York. Y., (2001), “Alkali Hidrothermal Synthesis of Zeolites from Coal Fly H., Yokota, K.,Sons Akiba, K.,New Onodera, Ash and Their Uptake Properties of Cesium Ion”, Journal of Nuclear Science and Technology, Vol.38, No.9, hal. 766-772. Moreno, N., Querol, X., Ayora, C., Alastuey, A., Pereira, C. F., Jurkovicova, M., J., (2001), “Potential Environmental Applications of Pure Zeolitic Material Synthesized from Fly Ash”, Journal of Environmental Engineering, hal. 994-1002. Murayama , N., Yamamoto, H., Shibata, J., (2002), “Mechanism of Zeolite Synthesis from Coal Fly Ash by Alkali Hydrothermal Reaction”, International Journal of Mineral Processing, Elsevier, Vol. 64., hal. 1-17. Ojha, K., Pradhan, N. dan Samanta, A. N. (2004), “Zeolite from Fly Ash: Synthesis and Characterization”, Bull. Mater. Sci. Indian Academy of Sciences, Vol. 27, No. 6, hal. 555-564. Querol, X., Umana, J. C., Plana, F., Alastuey, A., Soler, A. L., Medinaceli, A., Valero, A., Domingo, M. J., Rojo, E. G. (1999), “Synthesis of Zeolites from Fly Ash in a Pilot Plant Scale. Examples of Potential Environmental Applications”, International Ash Utilization Symposium, Center for Applied Energy Research, University of Kentucky, Paper 12. Querol, X., Moreno, N., Umana, J. C., Juan, R., Hernandez, S., Pereira, C. F., Ayora, C., Janssen, M., Martinez, J. G., Solano, A. L., Amoros, D. C., (2002), “Application of zeolitic material synthesised from fly ash to the decontamination of waste waterand flue gas”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal. 292-298. Ralayu, S. S., Udhoji, J. S., Meshram, S. U., Naidu, R. R., dan Devotta, S. (2005), “Estimation of Crystallinity in Fly Ash – Based Zeolite – A Using XRD and IR Spectroscopy”, Current Science, Vol. 89, No. 12, hal. 2147-2151. Sanhueza, V., Kelm, U., dan Cid, R. (1999), “Synthesis of Molecular Sieve from Chilean Kaolinites: 1. Synthesis of NaA Type Zeolites”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 74, hal. 358-363. Scott, J., Guang, D., Naeramitmarnsuk, K., Thabout, M., dan Amal, R., (2001), “Zeolite Synthesis from Coal Fly Ash for The Removal of Lead Ions from Aqueous Soution”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal. 63-69. Sibilia, P., (1996), Guide to Material Characterization and Chemical Analysis, 2th Edition, John Wiley-VCH, New York. Smart, L. dan Moore, E. (1993), Solid State Chemistry: An Introduction, 1st edition, Chapman & Hall University and Proffesional Division, London.
Steenbruggen, G. and Hollman, G., (1998), “The synthesis of zeolites from fly ash and the
properties of the zeolite products”, Journal of Geochemical Exploration, Vol. 62, hal. 305–309. Sutarno, Ariyanto, A., dan Budhyantoro, A., (2004), “Sintesis Faujasite Dari Abu Layang Batubara : Pengaruh Refluks Dan Penggerusan Abu Layang Batubara terhadap Kristalinitas Faujasite” Jurnal Matematika dan Sains, Vol. 9, No. 3, hal 285-290. The Fly Ash Resources Center, (2000), February 2000, http://www.Fly Ash Resources Center.org. Wajima, T., Kuzawa, K., Ishimoto, H., Tamada, O. dan Nishiyama, T. (2004), “The Synthesis of Zeolite-P, Linde Type A, and Hydroxysodalite Zeolites from Paper Sludge Ash at Low Temperature (80 °C): Optimal Ash-Leaching Condition for Zeolite Synthesis”, American Mineralogist, Volume 89, hal. 1694-1700. Zeng, R., Umana, J. C., Querol, X., Soler, A. L., Plana, F., Zhuang, X., (2002), “Zeolite synthesis from a high Si–Al fly ash from East China”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal. 267-273.
SINTESIS ZEOLIT DARI FLY ASH BATU BARA: PENGARUH WAKTU HIDROTERMAL
Ririn Eva Hidayati1, Didik Prasetyoko2, Hamzah Fansuri2 1
MAN Denanyar Jombang, 2Laboratorium Kimia Anorganik Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
[email protected] hp. 08563092630
Abstrak Fly ash batubara telah digunakan untuk mensintesis zeolit melalui reaksi alkali hidrotermal. Sintesis zeolit dilakukan dengan menggunakan 3 M KOH dalam reaktor hidrotermal pada suhu awal 180oC selama 3,5 jam, hidrotermal kedua dilakukan pada suhu 100oC selama 6, 24, 48 dan 96 jam. Zeolit yang dihasilkan dari sintesis ini adalah Philipsit dan Khabasit. Padatan hasil sintesis dikarakterisasi dengan teknik difraksi sinar-X (XRD). Kata kunci: Fly ash, zeolit, sintesis, hidrotermal, karakterisasi I.
Pendahuluan Pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya akan menghasilkan limbah gas dan limbah padat yaitu abu layang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash) yang cukup besar jumlahnya. Fly ash yang dihasilkan berkisar 80-90 % dari total abu seluruhnya. PLTU Paiton menghasilkan fly ash ± 1 juta ton per tahun (Budhyantoro, 2005). Limbah fly ash merupakan masalah yang tidak asing lagi dihadapi oleh banyak negara di dunia yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi. Akumulasi limbah fly ash ini bila tidak dimanfaatkan maka membutuhkan tempat yang cukup luas untuk menampungnya. Di Indonesia jumlah pemakaian fly ash batu bara untuk berbagai
tujuan masih sangat sedikit (Wajima, et. al., 2004). Sampai saat ini pemanfaatan limbah fly ash masih terbatas pada penggunaannya sebagai bahan urugan, campuran pembuat semen (Sutarno, 2004), campuran pembuat beton, campuran pembuat bahan tahan api dan agregat (Kovo, dan Odega, 2005) serta sedikit bahan-bahan berguna lainnya. Skala pemanfaatan limbah fly ash sebagaimana disebutkan di atas masih sangat kecil dan umumnya bernilai tambah rendah. Zeng R, et. al. (2002) dari China dan Elliot dan Zhang (2004) dari Australia melaporkan tidak lebih 20% dari total fly ash yang dihasilkan telah dimanfaatkan dengan baik sebagai bahan campuran seperti yang telah disebutkan di atas.
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya
Page 1
Untuk dapat memanfaatkan fly ash secara optimal, perlu dicari alternatif penggunaan fly ash yang menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi dan banyak dibutuhkan oleh pasar. Dalam Chang dan Shih (2000) disebutkan bahwa salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memanfaatkan limbah fly ash batubara adalah dengan mengkonversinya menjadi zeolit. Fly ash bersifat khas berupa partikel halus dengan diameter 1 – 100 m dan mengandung mineral-mineral silika dan alumina sebagai komponen kristal utama dan beberapa komponen amorf. Beberapa mineral yang biasa terdapat dalam fly ash adalah kuarsa (SiO2), mullit (3Al2O3.SiO2), hematit (Fe2O3), magnetit (Fe3O4) dan muskovit (K.Al2S3.AlO10(OH)2). Mulit dan kuarsa dalam fly ash masing-masing merupakan sumber utama silika dan alumina. Mullit tersusun dari 27,8% SiO2 dan 71,5% Al2O3 sedangkan kuarsa mengandung SiO2 lebih dari 99%. Zeolit merupakan material polimer silika-alumina berpori yang memiliki luas permukaan yang besar dan situs aktif. Adanya situs aktif ini mengakibatkan zeolit memiliki kemampuan untuk menyerap senyawa atau ion baik dari dalam larutan atau udara (Davis dan Lobo, 1992). Augustine (1996) juga mengatakan bahwa zeolit memiliki sejumlah sifat kimia maupun fisika yang menarik, diantaranya mampu menyerap zat organik maupun anorganik, dapat berlaku sebagai penukar kation, dan sebagai katalis untuk berbagai reaksi. Zeolit termasuk dalam golongan mineral yang struktur kristalnya disusun oleh tretrahedral SiO44- dan AlO45-. Tetrahedral-tetrahedal ini saling berkaitan satu dengan lainnya dengan cara berbagi atom oksigen untuk membentuk struktur kristal yang mengandung rongga-rongga kosong. Kombinasi tetrahedal SiO4 dan AlO4 menyebabkan zeolit memiliki muatan
parsial negatif. Untuk menetralkan muatan negatif ini, diperlukan kation-kation (misalnya Na+, K+, Ca2+, Mg2+, dan NH4+) yang dapat menempati rongga-rongga kosong yang ada. Selain dapat terisi kation, rongga-rongga kosong tersebut dapat pula ditempati oleh molekul netral seperti air, molekul-molekul organik dan sebagainya asalkan ukuran molekul tersebut tidak lebih besar dari ukuran rongga. II.
Metoda Penelitian
Bahan dan Alat. Fly Ash batu bara digunakan sebagai sumber SiO2 dan Al2O3. Sampel fly ash yang digunakan diperoleh dari hasil pembakaran batubara PLTU Paiton. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: KOH, dan aquades. Adapun alat-alat yang digunakan meliputi: seperangkat alat-alat gelas, autoclave stainless-steel 100 ml, oven merk Binder, stirrer merk Mirrak, neraca analitik Explorer, Seperangkat alat spektrofotometer serapan atom (SSA) merk Hitachi Z-800, difraktometer sinar-X merk Philips tipe PW 1050. Sintesis Zeolit. Dalam penelitian ini telah dipelajari pengaruh kondisi-kondisi proses alkali hidrotermal yang meliputi waktu hidrotermal awal dan temperatur terhadap zeolit sisntesis yang dihasilkan. Data karakteristik stuktur fly ash sebelum dan sesudah perlakuan alkali hidrotermal ditentukan melalui interpretasi difraktogram yang diperoleh dari difraksi sinar-X di Laboratorium Research Center ITS Surabaya. Dalam proses sintesis zeolit perbandingan awal mol KOH/SiO2 = 1,8. Untuk mendapatkan angka perbandingan mol tersebut ditimbang fly ash sebanyak 24 gram dan KOH sebanyak 16 gram. Selanjutnya ditambahkan air sebanyak 150 ml. Campuran tersebut kemudian dimasukkan ke dalam reaktor hidrotermal dan diaduk pada kecepatan 400 rpm selama
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya
Page 2
24 jam. Lalu dilakukan hidrotermal awal yang dikondisikan pada suhu awal 150oC, 120oC dan 100oC selama 3,5 jam, hidrotermal kedua dilakukan pada suhu 100oC selama 6, 24, 48 dan 96 jam, selanjutnya disaring. Padatan yang diperoleh kemudian dicuci dengan air sampai pH = 7. Lalu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 90oC selama 12 jam. Filtrat hasil penyaringan dipisahkan lalu diukur pHnya. Padatan yang dihasilkan ( zeolit sintesis) selanjutnya diuji secara kualitatif. Uji kualitatif yang berhubungan dengan struktur dan morfologi produk dilakukan dengan menggunakan difraksi Sinar-X (XRD). III.
Hasil dan Pembahasan
Informasi perubahan struktur mikro dan krisatalin yang terjadi selama proses sintesis diperoleh dari data difraksi sinar-X. Pola difraksi sinar-X (XRD) dari sampel fly ash dan zeolit hasil sintetis diperoleh dengan menggunakan difraktometer sinar-X merk Philips tipe PW 1050. Kondisi operasi melibatkan radiasi Cu pada 40.0 kV 30 mA, dengan 2Ө 5o – 50o. Data yang diperoleh berupa jarak antar bidang, intensitas dan sudut (2θ) yang kemudian dicocokkan dengan data pola difraksi sinar–X standar yang diperoleh dari Collection of Simulated XRD Powder Patterns for Zeolies (Treacy and Higgins, 2001), sehingga senyawa yang terdapat dalam sampel dapat diidentifikasi. Difraktogram yang diperoleh dari sampel fly ash batubara tercantum pada Gambar 1.
0
20.000
40.000
60.000
Gambar 1. Pola difraksi dari fly ash batu bara PLTU Paiton Gambar 1 memperlihatkan puncak tajam pada 2θ = 26,5980o (d = 3,34865 Å), diikuti puncak tajam pada 2θ = 23,975o (d = 3,70873 Å), 2θ = 44,0870o (d = 1,81972 Å) dan 2θ = 20,8042o (d = 4,26629 Å). Menurut Collection of Simulated XRD Powder Patterns for Zeolites, puncak pada 2θ = 26,5980o dan 2θ = 20,8042o dan 2θ = 44,0870 merupakan puncak untuk senyawa kuarsa (SiO2). Sedangkan puncak 2θ = 23,9751o merupakan puncak untuk mineral mulit (Al6Si2O13). Dari difraktogram ini dapat dikatakan bahwa fly ash PLTU Paiton disusun oleh komponen utama berupa SiO2, aluminosilikat dan fasa amorph (gelas) yang merupakan fasa reaktif utama fly ash. Pengaruh Waktu Hidrotermal Pengaruh waktu reaksi hidrotermal terhadap hasil sintesis dikaji dengan memvariasi waktu hidrotermal selama 3,5, 6, 24, 48 dan 96 jam. Difraktogram hasil sintesis disajikan dalam Gambar 2.
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya
Page 3
Setelah 96 jam Setelah 48 jam Setelah 24 jam Setelah 6 jam Setelah 2,5 jam
0
20.000
40.000
60.000
zeolit, yang mengandung mineral sodalit, mullit, khabasit dan zeolit P. 2. Waktu reaksi hidrotermal berpengaruh terhadap karakteristik produk yang dihasilkan. Pada waktu reaksi yang lebih tinggi terjadi peningkatan kristalinitas produk hidrotermal. 3. Proses alkali hidrotermal terhadap menghasilkan intensitas fasa kristalin tertinggi pada konsentrasi KOH 3M, temperatur 150oC dan waktu 96 jam. Perlu dilakukan optimasi suhu dan konsentrasi, sehingga dihasilkan produk hidrotermal yang optimal. V.
Gambar 2. Difraktogram hasil sintesis pada berbagai variasi waktu hidrotermal. Pola difraksi sinar-X pada Gambar 2 menunjukkan puncak utama yang muncul pada reaksi hidrotermal selama 6, 24, 48 dan 96 jam sesuai dengan pola difraksi zeolit P dan semakin lama waktu reaksi hidrotermal menunjukkan kristalinitas yang semakin tinggi. Pada reaksi hidrotemal selama 48 jam, puncak-puncak zeolit P hilang dan digantikan dengan munculnya puncakpuncak khabasit. Hal ini menunjukkan bahwa pada reaksi hidrotermal selama 48 jam terjadi perubahan struktur dari zeolit P menjadi khabasit. Penambahan waktu reaksi hidrotermal sesudah pembentukan zeolit P secara optimum mengakibatkan terjadinya transformasi struktur menjadi bentuk yang secara termodinamik lebih stabil. IV.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Proses alkali hidrotermal terhadap fly ash dapat mengubah komponen utama kuarsa dan fasa amorf menjadi material
Daftar Pustaka
Akbar, F., (1996), “Sintesis Zeolit 4A dari Abu Layang Batubara”, Thesis Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Augustin, R. L., (1996), Heterogenous Catalysis for The Synthetic Chemistry, Monceh Decker Inc., United States. Bell, R. G., (2001), “What are zeolites?”,http://www.bza.org/zeolites.ht ml. Budhyantoro, A., (2005), “Konversi Abu Layang Batubara sebagai Material Pengemban Logam Nikel dan Uji Ketahanan Struktur Padatan Terhadap Panas”, Jurnal ILMU DASAR, Vol. 6 No. 1, hal. 24-32. Baerlocher, Ch., Meier, W. M., Olson, D. H., (2001), “Atlas of Zeolite Framework Types”, 5th Revised Edition, Elsevier. Bonaccorsi, L., dan Proverbio, E., (2004), “Hydrothermal Synthesis of Zeolite LTA by Microwave Irradiation”, Mat Res Innovat, Vol. 8, No. 1, hal. 53-57. Chang, H. L. dan Shih, W. H., (2000), “Synthesis of Zeolites A and X from Fly Ashes and Their Ion-Exchange Behavior with Cobalt Ions”, Ind. Eng. Chem. Res, Vol. 39, hal. 4185-4191. Darwanta, (1997), “Kajian Penambahan Al(OH)3 dalam Sintesis Zeolit 4A dari Abu Layang Batubara, Skripsi program S1, Jurusan kimia Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya
Page 4
Davis, M. E., dan Lobo, R. F., (1992), “Reviews: Zeolite and Molecular Sieves Synthesis”, J. Material Science, hal. 1-9. Elliot, A. D., dan Zhang, D., (2004), “Controlled Release Zeolite Fertilisers: A Value Added Product Produced from Fly Ash. hal. 1-32. Gates, B. C, (1992), Catalytic Chemistry, 10th edition, John Wiley & Sons Inc., New York.
Gretchen K. Hoffman, (2000), “Fly Ash Usage in the Western United States”, NM Bureau of Mines & Mineral Resources, February 2000, http://www.wrashg.org. Jumaeri, Kusumaningtyas R. D., dan Lestari, W. T. P., (2007), “Preparasi dan Karakterisasi Zeolit dari Abu Layang Batubara Secara Alkali Hidrotermal”, Prosiding Konggres dan Simposium Nasional Kedua MKICS 2007, hal. 1-7. Kovo, A. S. dan Edoga, M. O., (2005), “Production and Characterisation of Zeolite from Ahako Clay in Kogi State, Nigeria”, Leonardo Electronic Journal of Practices and Technologies, Issue 7, hal. 31-40. Las, T, Dr., (2006), Potensi Zeolit untuk Mengolah Limbah Industri dan Radioaktif, PTLR BATAN, hal. 1-8. Mimura, H., Yokota, K., Akiba, K., Onodera, Y., (2001), “Alkali Hidrothermal Synthesis of Zeolites from Coal Fly Ash and Their Uptake Properties of Cesium Ion”, Journal of Nuclear Science and Technology, Vol.38, No.9, hal. 766-772. Moreno, N., Querol, X., Ayora, C., Alastuey, A., Pereira, C. F., Jurkovicova, M., J., (2001), “Potential Environmental Applications of Pure Zeolitic Material Synthesized from Fly Ash”, Journal of Environmental Engineering, hal. 994-1002. Murayama , N., Yamamoto, H., Shibata, J., (2002), “Mechanism of Zeolite Synthesis from Coal Fly Ash by Alkali Hydrothermal Reaction”, International Journal of Mineral Processing, Elsevier, Vol. 64., hal. 1-17.
Ojha, K., Pradhan, N. dan Samanta, A. N. (2004), “Zeolite from Fly Ash: Synthesis and Characterization”, Bull. Mater. Sci. Indian Academy of Sciences, Vol. 27, No. 6, hal. 555-564. Querol, X., Umana, J. C., Plana, F., Alastuey, A., Soler, A. L., Medinaceli, A., Valero, A., Domingo, M. J., Rojo, E. G. (1999), “Synthesis of Zeolites from Fly Ash in a Pilot Plant Scale. Examples of Potential Environmental Applications”, International Ash Utilization Symposium, Center for Applied Energy Research, University of Kentucky, Paper 12. Querol, X., Moreno, N., Umana, J. C., Juan, R., Hernandez, S., Pereira, C. F., Ayora, C., Janssen, M., Martinez, J. G., Solano, A. L., Amoros, D. C., (2002), “Application of zeolitic material synthesised from fly ash to the decontamination of waste waterand flue gas”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal. 292-298. Ralayu, S. S., Udhoji, J. S., Meshram, S. U., Naidu, R. R., dan Devotta, S. (2005), “Estimation of Crystallinity in Fly Ash – Based Zeolite – A Using XRD and IR Spectroscopy”, Current Science, Vol. 89, No. 12, hal. 2147-2151. Sanhueza, V., Kelm, U., dan Cid, R. (1999), “Synthesis of Molecular Sieve from Chilean Kaolinites: 1. Synthesis of NaA Type Zeolites”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 74, hal. 358-363. Scott, J., Guang, D., Naeramitmarnsuk, K., Thabout, M., dan Amal, R., (2001), “Zeolite Synthesis from Coal Fly Ash for The Removal of Lead Ions from Aqueous Soution”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal. 63-69. Sibilia, P., (1996), Guide to Material Characterization and Chemical Analysis, 2th Edition, John Wiley-VCH, New York. Smart, L. dan Moore, E. (1993), Solid State Chemistry: An Introduction, 1st edition, Chapman & Hall University and Proffesional Division, London. Steenbruggen, G. and Hollman, G., (1998), “The synthesis of zeolites from fly ash and the
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya
Page 5
properties of the zeolite products”, Journal of Geochemical Exploration, Vol. 62, hal. 305–309. Sutarno, Ariyanto, A., dan Budhyantoro, A., (2004), “Sintesis Faujasite Dari Abu Layang Batubara : Pengaruh Refluks Dan Penggerusan Abu Layang Batubara terhadap Kristalinitas Faujasite” Jurnal Matematika dan Sains, Vol. 9, No. 3, hal 285-290.
The Fly Ash Resources Center, (2000), February 2000, http://www.Fly Ash Resources Center.org.
Wajima, T., Kuzawa, K., Ishimoto, H., Tamada, O. dan Nishiyama, T. (2004), “The Synthesis of Zeolite-P, Linde Type A, and Hydroxysodalite Zeolites from Paper Sludge Ash at Low Temperature (80 °C): Optimal Ash-Leaching Condition for Zeolite Synthesis”, American Mineralogist, Volume 89, hal. 1694-1700. Zeng, R., Umana, J. C., Querol, X., Soler, A. L., Plana, F., Zhuang, X., (2002), “Zeolite synthesis from a high Si–Al fly ash from East China”, Journal of Chemical Technology and Biotechnology, Vol. 77, hal. 267-273.
Disampaikan pada Seminar Nasional Kimia tanggal 5 Desember 2007di UNESA Surabaya
Page 6
ABSTRAK Karakterisasi Adsorpsi Kitosan Terimpregnasi EDTA Terhadap Larutan Krom (Tokok Adiarto*, A. Budi Prasetyo*, Nora Novianti**, Candra L**) * Jurusan Kimia FMIPA Unair ** Jurusan Teknik Kimia Ubaya Dilakukan sintesis terhadap kitosan dari limbah kulit udang melalui tahap-tahap: Deproteinasi, demineralisasi, depigmentasi, diperoleh kitim. Transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan dengan proses deasetilasi menggunakan NaOH 50 %. Uji kelarutan asam asetat diperoleh kitin tidak larut dan kitosan larut. Menggunakan FTIR diperoleh derajat deasetilasi (DD) kitosan 80,74%. Adsorpsi kitosan pada larutan krom 10 ppm diperoleh % removal 48,03 %. Impregnasi menggunakan Etilen Diamin Tetra Asetat (EDTA) meningkatkan kemampuan adsorpsi kitosan menjadi 95,23 %. Persamaan adsorpsi kitosam sebelum impregnasi mengikuti persamaan langmuir, sedangkan setelah impregnasi mengikuti persamaan Freundlich. Kata Kunci : Kitosan, Kitin, Impregnasi, Adsorpsi
384
DEGRADASI FOTOKATALITIK FENOL DENGAN TEKNIK LAPIS TIPIS TiO2 DARI PREKURSOR TTiP PADA KOLOM GELAS Yusuf Syah, Hamami, Pitra A.W Jurusan Kimia FMIPA Universitas Airlangga ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang degradasi fotokatalitik fenol dengan te knik lapis tipis TiO2 dari prekursor titanium tetraisopropoksida (TTiP) pada kolom gelas. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui bentuk kristas TiO2 dari prekursor TTiP, (2) menentukan efektivitas lapis tipis TiO2 yang terimobilisasi pada kolom gelas dalam proses degradasi fenol pada pH dan konsentrasi optimumnya dan (3) menentukan kinetika reaksi degradasi fenol pada pH dan konsentrasi optimumnya. Senyawa TTiP dikalsinasi pada suhu 400 0 C selama 2 jam. Sisa fenol setelah degradasi diukur serapannya dengan spktrofotometer pada panjang gelombang 516 nm .Hasil penelitian menunjukkan : (1) TiO2 dari hasil kalsinansi TTiP mempunyai bentuk krisal anastase dan brokit dengan perbandingan 3 : 1 ; (2) Degradasi fenol secara optimal terjadi pada pH 10 dan a konsentrasi awal 0,50 ppm dan (3) kinetika reaksi degradasi fenol pada pH dan konsentrasi optimumnya adala orde satu semu.
Kata kunci : Prekursor TTiP, degradasi, fenol
385
Pengaruh Proses Swelling Pada Kitosan Terhadap Karakteristik Adsorpsi Mg(II) Oleh Kitosan Sari Edi Cahyaningrum*, Narsito**, Sri Juari Santoso**, Rudiana Agustini* *Jurusan Kimia, FMIPA , UNESA ** Jurusan Kimia , FMIPA, UGM
Abstrak Telah dibuat dua macam adsorben kitosan dan kitosan untuk adsorpsi ion logam magnesium(II). Beberapa parameter adsorpsi seperti pH optimum, laju adsorpsi dan kapasitas adsorpsi ion magnesium(II) dipelajari.Hasil penelitian menunjukkan bahwa adsorpsi ion logam magnesium(II) pada kitosan dan kitosan bead mempunyai pH optimum yang sama. Laju adsorpsi Magnesium(II) pada kitosan bead secara signifikan lebih cepat disbanding pada kitosan.Proses swelling meningkatkan kapasitas adsorpsi magnesium(II) . Keyword : chitosan, swelling, magnesium(II)
Pendahuluan Kitosan merupakan polisakarida yang dihasilkan dari deasetilasi kitin, sedangkan kitin dapat diisolasi dari serangga dan jamur, kerangka dan cangkang hewan golongan Artropoda, Molusca, Nematoda, dan Crustacea. Kitosan banyak digunakan karena disamping murah dan mudah cara pembuatannya serta tidak beracun .Telah banyak penelitian yang memanfaatkan sifat kitosan baik sebagai agen pengkelat logam berat maupun sebagai bahan penghambat kerja mikroorganisme sehingga memungkinkan kitosan juga berfungsi sebagai
pengawet. Walaupun mempunyai
potensi kitosan sebagai bahan yang multiguna, tetapi kemampuan sebagai adsorben perlu ditingkatkan sehingga berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki sifat kitosan dengan cara melakukan modifikasi secara kimia. Modifikasi dilakukan dengan cara melakukan penggelembungan (swelling) pada kitosan serbuk sehingga terbentuk kitosan bead. Modifikasi dilakukan untuk memperluas ukuran pori (proses swelling), yang diikuti dengan proses crosslink pada rantai kitosan misalnya dengan aldehid, menghasilkan kitosan yang tahan pada pH < 4 dan kapasitas adsorpsinya terhadap logam berat meningkat. Proses swelling yang dikombinasikan dengan crosslink pada kitosan mempengaruhi sifat fisik, mekanik dan ketahanan suhu dari kitosan (Juang, 1997).
386
Metode Penelitian Bahan Kimia Bahan –bahan kimia yang diperoleh di pasaran komersial dengan kemurnian p.a antara lain : NaOH, HCl, , MgCl 2, asam asetat, air bidestilasi bebas ion. Alat Seperangkat alat refluks, seperangkat alat untuk analisa Kjeldhal IR merk Shimadzu FTIR –8010PC, AAS merk Perkin Elmer , pH-meter merk Orion model 710A, shaker, sentrifus merk Fischer scientific dengan kecepatan maksimum 3500 RPM. Prosedur Penelitian Preparasi dan karakterisasi kitosan bead Kitosan bead dipreparasi dengan cara kitosan dilarutkan dalam asam asetat kemudian gel yang terbentuk disemprotkan dalam larutan NaOH . Kitosan bead yang terbentuk selanjutnya dicuci dengan air demineral sampai netral. Kitosan bead yang dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi
gugus fungsi kitosan bead
dengan IR,
penentuan % Deasetilasi dan % Nitrogen, SEM untuk melihat bentuk permukaan kristal kitosan bead sebelum mengikat enzim dan dilakukan pula analisa surface area. Adsorpsi Mg(II) pada kitosan Sebanyak 100 mg kitosan diinteraksikan selama 60 menit dengan 10 ml larutan logam Mg(II) 100mg/L pH larutan dibuat bervariasi 4-8 dengan bufer fosfat. Setelah interaksi kemudian disaring dan fitrat yang diperoleh diukur dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom Hitachi Z-8000 . Pengerjaan yang sama dilakukan untuk penentuan konsentrasi kesetimbangan dan waktu kesetimbangan.
Hasil dan pembahasan Hasil adsorpsi kation Magnesium oleh kitosan dan kitosan bead untuk menentukan pH optimum pada gambar 1 menunjukkan bahwa adsorpsi kation Mg(II) meningkat pada pH 4- 7, kemudian menurun pada pH 8. Adanya protonasi pada gugus –NH 2 menyebabkan melimpahnya ion H+ , sehingga terjadi persaingan pengikatan antara gugus –NH 2 kitosan dengan Mg(II) dan H+ , hal ini menyebabkan adsorpsi pada pH 4 rendah. Pada pH 8 adsorpsi rendah karena sebagian kation Mg(II) telah mengendap menjadi Mg(OH)2 . 387
pengaruh pH terhadap adsorpsi Mg(II) pada kitosan dan kit-bead
kitosan
Jumlah Mg(II) teradsorpsi (%)
80.0
kitosan bead
70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 3.0
3.5
4.0
4.5
5.0
5.5
6.0
6.5
7.0
7.5
8.0
8.5
9.0
9.5
pH
Gambar 1. Pengaruh pH terhadap adsorpsi Mg(II)
Pada gambar 1 terlihat bahwa kitosan bead mampu mengadospsi Mg (II) lebih banyak disbanding kitosan, sedangkan pH optimum dari proses adsorpsi kation Mg(II) baik oleh kitosan maupun kitosan bead adalah sama yaitu pada pH 8. Hasil adsorpsi ion logam Mg(II) oleh kitosan dan kitosan bead pada variasi konsentrasi ditampilkan pada Gambar 2, secara umum menunjukkan adsorpsi ion logam Mg(II) pada kitosan memiliki kecenderungan mengalami peningkatan jumlah logam teradsorpsi hingga konsentrasi awal 300 mg/L. Pada konsentrasi awal 600 mg/L kenaikan konsentrasi logam tidak disertai kenaikan adsorpsi ion logam Mg(II) secara signifikan. Pada konsentrasi 900 mg/L diperkirakan situs aktif kitosan telah jenuh oleh ion logam dan kitosan telah mencapai kapasitas adsorpsinya. Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa adsorpsi ion logam Mg(II) pada kitosan mengikuti pola adsorpsi isoterm Langmuir. Menurut teori isoterm Langmuir adsorpsi diperkirakan terjadi pada lapisan tunggal. Pada saat adsorbat memenuhi lapisan, molekul yang terserap tak akan melebihi jumlah situs aktif pada permukaan adsorben .Perhitungan kapasitas adsorpsi, Konstanta kesetimbangan adsorpsi Mg(II) didapatkan kapasitas adsorpsi (b) sebesar 3,4673.10-4 mol/g, konstanta kesetimbangan adsorpsi sebesar 2853., sedangkan kapasitas adsorpsi kitosan bead terhadap Mg(II) adalah 10, 51.10-4 mol/g, konstanta kesetimbangan adsorpsi 10.453.2 Dari data tersebut menunjukkan bahwa kitosan bead mampu meningkatkan kapasitas adsorpsi kitosan sampai 3 kali, hal tersebut terjadi karena proses swelling meningkatkan ukran pori kitosan sehingga kation Mg(II) mudah teradsorpsi pada kitosan bead.
388
Jumlah Mg(II) Teradsorpsi mg/L
pengaruh konsentrasi terha dap adsorpsi Mg(II) pada kitosan dan Kit-bead
kitosan
1200
kit-bead
1000 800 600 400 200 0 0
200
400
600 800 1000 1200 1400 1600 konsentrasi awal mg/L
Gambar 2. Pengaruh konsentrasi awal pada adsorpsi Mg(II) oleh kitosan Data pengaruh waktu terhadap adsorpsi Mg(II) pada kitosan dan kitosan bead disajikan pada Gambar 3 dan 4. Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa secara umum adsorpsi Mg(II) pada kitosan diatas mula-mula berlangsung yang relatif cepat . Pada 30 menit pertama adsorpsi meningkat tajam, penambahan waktu berikutnya ada sedikit peningkatan jumlah logam yang teradsorpsi dan setelah berlangsung cukup lama laju adsorpsi relatif konstan. Pada tahap ini proses adsorpsi diperkirakan telah mencapai kesetimbangan. Dari data tersebut dapat diperkirakan bahwa tahap kesetimbangan tercapai setelah adsorpsi berlangsung selama 60 menit dan penambahan waktu adsorpsi
jum lah M g(II) teradsor psi (m g/L)
ternyata tidak memberikan kenaikan laju adsorpsi yang signifikan. 500 400 300 200 100 0 0
30
60
90
120
w aktu (menit)
Gambar 3. Pengaruh waktu pada adsorpsi Mg(II) oleh kitosan
389
150
Pengaruh w aktu terhadap adsorpsi Mg pada kitosan bead 60 50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
waktu(menit)
Gambar 4. Pengaruh waktu pada adsorpsi Mg(II) oleh kitosan bead Gambar 3 dan 4 menunjukkan bahwa kitosan bead mempunyai kemampuan adsorpsi terhadap Mg(II) lebih besar disbanding kitosan pada waktu yang sama. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kitosan bead mempunyai laju yang lebih besar disbanding kitosan dalam mengadospsi Mg(II). Untuk mengetahui bagaimana dan gugus apa yang terlibat pada proses pengikatan Mg(II) oleh kitosan dan kitosan bead maka dilakukan identifikasi gugus fungsi kitosan dan kitosan bead dengan menggunakan spektrofotometer infra merah . Data spectra IR untuk kitosan dan kitosan bead ditunjukkkan pada gambar dan table dibawah ini.
390
Gambar 5. Spektra IR kitosan sebelum mengikat Mg(II)
Gambar 6. Spektra IR kitosan setelah mengikat Mg(II)
Tabel 1. Pergeseran gugus fungsi kitosan sebelum dan sesudah mengikat Mg(II)
391
No.
Gugus
Kitosan
fungsi
interaksi
sebelum Kitosan
setelah Besar
interaksi
ν (cm-1)
%T
Pergeseran
ν( cm-1) %T
1.
-NH2
1624,0
23,097
1654,8
16,51
30,8
2.
-OH
3448,5
14,104
3436,9
5,845
11,6
Gambar 7. Spektra IR kitosan bead sebelum mengikat Mg(II)
392
Gambar 8. Spektra IR kitosan bead setelah berinteraksi dengan Mg(II)
Tabel 2. Pergeseran gugus fungsi kitosan bead sebelum dan sesudah mengikat Mg(II) No. Gugus Kitosan
Bead Kitosan
fungsi sebelum interaksi ν (cm-1)
%T
Bead setelah Besar
interaksi ν( cm-1)
Pergeseran %T
1.
-NH2
1627,8
46,191
1651,8
20,342
23,2
2.
-OH
3448,5
24,265
3426,3
10,319
23,2
Data pada tabel 1 dan 2 serta gambar 5, 6, 7 dan 8 menunjukkkan bahwa terjadi pergeseran gugus fungsi kitosan sebelum dan sesudah mengikat Mg(II) demikian pula padakitosan bead juga terjadi pergeseran gugus fungsi. Dari kedua tabel secara umum dapat terlihat bahwa ada kecenderungan bahwa Mg(II) lebih mudah terikat pada gugus fungsi NH2 dibanding pada OH. Dan pergeseran lebih banyak terjadi pada kitosan bead
393
dibanding pada kitosan, hal tersebut mengindikasikan bahwa Mg(II) yang terikat pada kitosan bead lebih banyak dibanding pada kitosan.
Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. pH optimum proses adsorpsi Mg(II) pada kitosan dan kitosan bead adalah sama 2. Kitosan bead mempunyai kapasitas adsorpsi Mg(II) yang lebih besar dibanding kitosan 3. Laju adsorpsi kitosan bead terhadap Mg(II) lebih besar dibanding kitosan 4. Mg(II) cenderung terikat pada gugus amina baik pada kitosan maupun pada kitosan bead.
Daftar Pustaka Adamson, A.W., 1990., Physical Chemistry of Surface , 4nd ed. John Wiley and Sons, New York. Indra dan Syafsir., 1993., Hidrolisis Khitin Menjadi Khitosan serta Aplikasinya Sebagai Pendukung Padat, Jurusan Kimia FMIPA ITS , Surabaya Juang, R.S., Tseng, R.L., Wu, F.C., Lee, S.H., 1997, Adsorption Behavior of Reactive Dyes from Aqueous Streams onto chitosan, J. Chem. Technol. Biotechnol., 70, 391-399. Lesbani, A., 2001, Keterlibatan Mekanisme Pertukaran Kation dan Pembentukan Kompleks dalam Adsorpsi Zn(II) dan Cd(II) pada adsorben Cangkang Kepiting Laut (Portunus pelagicus linn), Tesis S2-Kimia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
394