ANALAISIS MUATAN MATERI PASAL PENODAAN AGAMA DALAM KAJIAN POLITIK HUKUM PIDANA
Ibnu Tulaiji Ahmad Al Mughoffary Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sunan Giri Malang
Abstrak Pasal 156a KUHP menjadi cikal bakal pengaturan tindak pidana penodaan agama yang sampai saat ini dipakai untuk menjerat suatu kejahatan yang menodai kesucian agama yang dianut di Indonesia. Tindak pidana penodaan agama adalah tindak pidana yang dalam konteks pengejawantahan isinya mensyaratkan adanya situasi dan kondisi objektif tertentu, dalam hal ini hanya dapat dipidana apabila dilakukan di muka umum di samping unsur-unsur obyektif lainnya yang masih sering diperdebatkan baik terhadap konsep penodaan agamanya maupun konsep hak asasi manusiannya. Politik hukum pidana menjadi suatu kajian penting demi terciptanya rumasan pasal-pasal penodaan yang akan datang menjadi rumusan yang ideal sebagaimana konsep politik hukum pidana yang mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundangundangan pidana yang baik adalah menjadi salah satu jalan keluar yang terbaik guna memberikan “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana” di masa sekarang dan yang akan datang. Kata Kunci: Politik Hukum Pidana, Penodaan Agama
A. LATAR BELAKANG Pengaturan melalui pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 menginstuksikan pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 156a, Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hasil regulasi dalam pasal 156a KUHP tersebut memberikan dampak yang sangat kompleks dan multitafsir dalam pengembangan hukum pidana, di satu sisi fenomena kehidupan warga negara yang
diatur di dalam KUHP ternyata di dalamnya terdapat juga tindakan atau perlakuan yang dianggap diskriminatif dan pelanggaran yang didasarkan atas nama agama. Namun sudut pandang yang lain memandang pengaturan tindak pidana penodaan agama dalam KUHP tersebut harus tetap ada demi mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dan menjaga kesucian suatu agama, melindungi umat dari kesesatan dan untuk melindungi ketentraman beragama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana paparan di atas dalam masyarakat terdapat beraneka ragam kepentingan-kepentingan yang harus dihormati dan dilindungi, sehingga wajarlah apabila setiap orang ataupun kelompok mengharapkan dan menuntut kepentingankepentingan itu untuk dipenuhi. Dalam hal ini kepentingan-kepentingan tersebut harus mempertimbangkan ukurannya secara proporsional (seimbang) dengan tetap menghormati kepentingan-kepentingan yang
59 lain. Tindakan pemerintah dalam menentukan kepentingan mana yang lebih diutamakan adalah harus berdasarkan hukum (rechmatig) dan mengenai sasaran atau manfaat (doelmatig). Pada asasnya setelah mempertimbangkan keabsahan (rechmatigheid) tindakannya kemudian dipertimbangkan manfaatnya (doelmatigheid).1 Oleh karena itu dalam kajian ini, penulis berkehendak untuk menganalisis muatan materi pasal penodaan agama sebagai sembangsih pemikiran demi terciptanya pasal penodaan agama yang ideal untuk masa yang akan datang. B. ANALISIS MUATAN MATERI PASAL 156A JO UU NO. 1/PNPS/1965 Analisis terhadap materi perbuatan yang dilarang atau tindak pidana yang dimuat dalam KUHP haruslah ditafsirkan sebagai satu kesatuan pemahaman mengenai dasar dilarangnya suatu perbuatan yang memuat bidang tertentu dalam KUHP dan memahami kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Sebagaimana dikatakan Muzakir pemahaman suatu pasal dalam hukum pidana haruslah ditafsirkan menurut nilai, asas dan kepentingan hukum yang hendak dilindungi melalui pasal tersebut:2 1
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2005, hal 47. 2 Lebih lanjut Muzakir menjelaskan bahwa di antara pasal-pasal KUHP terdapat rumusan delik "genus" yang memuat konsep dasar rumusan perbuatan yang dilarang (tindak pidana) dan nilai atau kepentingan hukum yang hendak dilindungi melalui pasal-pasal hukum pidana. Delik "genus" tersebut mendasari rumusan perbuatan yang dilarang (tindak pidana) yang dimuat dalam pasal-pasal yang mengatur tindak pidana tertentu yang sejenis, kemudian disebut delik-delik "species". Rumusan delik "species" adalah rumusan perbuatan yang dilarang atau tindak pidana yang memuat penambahan unsur-unsur baru yang merupakan spesifikasi dari delik "genus" yang berfungsi untuk memperberat atau memperingan ancaman pidana yang dimuat dalam delik "genus" atau memberikan unsur-unsur baru berfungsi untuk menambah sifat luar biasanya (seriusitas suatu tindak pidana atau sifat bahaya yang ditimbulkan kepada masyarakat) suatu tindak pidana dari delik "genus" atau delik-delik "species" (lihat rumusan kejahatan genosida,
a. Harus cocok dengan kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam oleh paragraf, bagian dan bab dalam KUHP, dan; b. kepentingan hukum serta nilai hukum yang hendak dilindungi dan ditegakkan melalui bidang/cabang hukum lain nonpidana dalam sistem hukum nasional Indonesia. Oleh karena itu dalam memahami pengaturan tindak pidana penodaan agama harus pula dapat memahami kepentingan hukum yang hendak dilindungi sebagai dasar dilarangnya suatu perbuatan dalam pasal-pasal yang terkait dengan penodaan agama. Istilah penodaan agama selajutnya dapat dipahami sebagai sebuah istilah yang lahir dari Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang “Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama” namun demikian istilah penodaan agama tidaklah dijabarkan pengertiannya dan pembatasannya secara jelas dalam Penetapan Presiden tersebut, Apabila melakukan interpretasi gramatikal terhadap istilah penyalahgunaan dan penodaan agama, maka: Penyalahgunaan, merupakan kata majemuk terdiri dari (dua), asal kata yaitu: “salah dan guna”. Kata salah dapat diartikan tidak betul, tidak benar, keliru, khilaf, cela, cacat, kekeliruan. Sedangkan kata guna dapat diartikan manfaat, faedah, fungsi, kebaikan, memakai. Maka penyalahgunaan dapat diartikan sebagai penggunaan sesuatu yang secara tidak benar, tidak betul atau keliru, tidak sesuai dengan manfaat, faedah dan fungsinya. Sedang penodaan berasal dari kata “noda” yaitu kotoran, bercak, sesuatu yang mencemari, sesuatu yang mengotori, sedang menodai yaitu menjadikan kotor, menjadikan ternoda, mencemarkan, menjelekkan nama baik, merusak kesucian, kejahatan kemanusiaan, tindak pidana terorisme, dan korupsi). Lihat: Muzakir dalam keterangan ahli, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUUV/2007, Mahkamah Konstitusi, hal 29.
60 merusak keluhuran, merusak keagungan. Sehingga penodaan dapat diartikan sebagai perbuatan yang mencemari, mengotori kesucian, merusak keagungan. Meskipun secara gramatikal istilah “penyalahgunaan dan penodaan” dapat diterjemahkan namun ukurannyapun tetap belum jelas, dalam arti lain sejauhmana tindak pidana dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan atau penodaan agama?, oleh karenanya tindakan “penyalahgunaan dan penodaan” bisa ditafsirkan secara luas karena secara normatif terdapat ketidakjelasan norma, disamping juga terdapat konflik norma. Selanjutnya untuk memahami istilah penodaan agama lebih baiknya melakukan penafsiran sistematik yang dapat dikaji melalui rumusan pasal 310 dan 315 KUHP dimana pada pokoknya merupakan suatu delik pengihaan (beleediging) yang berarti serangan atas kehormatan dan/atau nama baik orang lain yang dilakukan dengan perbuatan, ucapan atau tulisan. Pasal 310 KUHP disebutkan istilah penistaan yang berarti perbuatan dengan sengaja menyerang kehormatan dan/atau nama baik orang lain dengan menuduhkan melakukan perbuatan tidak benar, baik penistaan yang dilakukan secara lisan (smaad) ataupun dilakukan secara tertulis (smaadschrift). Sedangkan dalam pasal 315 KUHP disebutkan istilah penghinaan bersahaja/penghinaan ringan (eenvoudige beleediging), yaitu tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat menista atau menista dengan surat yang dilakukan terhadap seseorang, baik dimuka umum dengan lisan atau dengan surat, baik dimuka orang itu sendiri dengan lisan atau dengan perbuatan (feitelijkheid), atau dengan surat yang dikirimkan kepadanya. Menurut Wirjono Prodjodikoro istilah penistaan sebagaimana dalam pasal 310 KUHP merupakan perbuatan tertentu yang dituduhkan kepada si korban, hal ini tidak perlu dikatakan sangat tegas dengan menyebutkan tempat dan waktu perbuatan itu dilakukan, termasuk pula tuduhan tidak
perlu diucapkan di muka umum bahkan dapat dikatakan di muka seorang saja tetapi tampak maksud agar orang itu meneruskan tuduhan tersebut kepada orang-orang lain. Sedang penghinaan bersahaja (eenvoudige beleediging) sebagaimana pasal 315 KUHP tegasnya: segala penghinaan, yaitu segala penyerangan kehormatan dan nama baik seseorang dengan tidak memuat tuduhan melakukan perbuatan tertentu atau tidak ditujukan untuk menyiarkannya kepada khalayak ramai dapat dihukum tetapi terbatas pada cara-cara melakukannya, yaitu:3 a. di muka umum dengan lisan b. di muka umum dengan surat c. di muka orang itu sendiri dengan lisan d. di muka orang itu sendiri dengan surat e. dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya Menurut hemat penulis istilah penistaan sebagaimana pasal 310 KUHP sepertinya kurang sesuai jika mengkaitkan istilah penodaan agama dengan penistaan agama mengingat salah satu unsur yang terdapat pada istilah penistaan tersebut terdapat unsur ”menuduhkan melakukan perbuatan tidak benar”, walaupun adakalanya penodaan agama dapat disertai dengan perbuatan penistaan. Oleh karena itu melalui pemahaman terhadap delik penghinaan sebagaimana rumusan pasal 315 selanjutnya istilah penodaan agama dapat dipahami pengertiannya sebagai suatu perbuatan dengan sengaja menyerang kehormatan dan/atau nama baik agama, atau secara sederhana dapat berarti pula sebagai perbuatan yang telah menodai (memberikan noda) terhadap kehormatan dan/atau nama baik (kesucian) agama. Lebih lanjut, menurut Wirjono Prodjodikoro delik penodaan agama mirip dengan apa yang dinamakan blashphemy atau godslastering yang berarti menghina terhadap Allah, di negeri Belanda terdapat pasal 147 Wetboek van Strafrech yang berbunyi:
3
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal 99-102.
61 “hij die zich in het openbaar ... door smalende godslasteringen of voor godsdienstige gevoelens krenkende wijze uitlaat” (di depan umum mengeluarkan kata-kata yang bersifat penghinaan terhadap Allah secara rasa menusuk keagamaan).4 Istilah “blashphemy” menurut Black’s Law Dictionary diartikan: “the offence of speaking matter relating to god, Jesus Christ, the Bible, or the Book of Common Prayer, inteded to wound the feelings of mandkind or to excite contempt and hatred against the church by law established, or to promote immorality”.5 Sedangkan Andi Hamzah memberikan istilah “penghujatan Allah” (godslastering) berarti: 1) perbuatan penginaan terhadap Allah yang dilakukan dengan cara merusak perasaan keagamaan dengan lisan, tulisan atau lukisan; 2) perbuatan penghinaan terhadap petugas agama dalam melaksanakan keagamaan; atau, 3) perbuatan penghinaan terhadap benda yang dipakai dalam pelaksanaan kebaktian atau peribadatan yang diizinkan.6 Penodaan agama merupakan suatu tindak pidana (delik) setelah ditetapkannya Penetapan Presiden No. 1/PNPS Tahun 1965 yang kemudian dikukuhkan menjadi undang-undang melalui UU No. 5 Tahun 1969 sehingga kini dikenal sebagai UU No. 1/PNPS/1965, selanjutnya perlu diungkapkan bahwa tindak pidana penodaan agama adalah bagian dari delik terhadap agama, walaupun pada awalnya KUHP tidak ditemukan istilah delik terhadap agama, tetapi seperti dikemukakan Barda Nawawi Arief Istilah delik agama itu sendiri sebenarnya mengandung beberapa pengertian: a) delik menurut agama; b) delik terhadap agama; c) delik yang berhubungan 4
Wirjono Prodjodikoro, Ibid, hal 151. Hendry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Editioo, West Publishing Company, St. Paul, Minnesota, 1990, hal 171. 6 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 75-76.
dengan agama, sedangkan Oemar Seno Adji menyebutkan bahwa delik agama hanya mencakup delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama.7 Oleh karena itu lebih lanjut kedudukan tindak pidana/delik penodaan agama termasuk bagian dari delik terhadap agama, dimana istilah delik terhadap agama tersebut menitikberatkan pada 2 (dua) kriminalisasi UU No. 1/PNPS/1965, pasal 156a KUHP: pertama, larangan penyalahgunaan atau penodaan agama dan kedua, larangan terhadap perbuatan yang bermaksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga. Tetapi perlu diungkapkan juga bahwa pasal 156a KUHP adalah bentuk kriminalisasi yang secara langsung bertujuan untuk melindungi agama. Mengacu pada istilah tindak pidana penodaan agama di atas, patutlah dikemukakan bahwa pasal penodaan agama diletakkan pada pondasi pasal 156a huruf a KUHP melalui UU No. 1/PNPS/1965, sedangkan huruf b pasal 156a KUHP adalah bentuk kriminalisasi terhadap perbuatan yang bermaksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang lebih lengkapnya rumusan pasal 156a tersebut adalah sebagai berikut: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; dan (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Esa”. Menurut sudarto penyisipan pasal 156a dalam KUHP yang berdasarkan penetapan presiden No. 1 Tahun 1965 tersebut bertujuan untuk melindungi agama terhadap ucapan-ucapan dan praktek-praktek yang dipandang bisa mengurangi kesucian agama. Oleh karena itu nampak jelas bahwa
5
7
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, 2008, hal 331.
62 hukum pidana digunakan untuk mencegah sesuatu yang sudah timbul dalam masyarakat dan mengkriminalisasikan perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana.8 Lebih lanjut sudarto mengatakan sebelum ada pasal 156a perbuatan yang melecehkan kesucian agama dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga masuk dalam pasal 156 KUHP yang merupakan salah satu pasal penaburan kebencian (haatzaai artikelen), dimana perbuatan tersebut dipandang sebagai (di muka umum) “menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia”. Adapun yang dimaksud dengan “golongan rakyat” adalah tiap bagian rakyat Indonesia, yang berbeda dengan atau beberapa bagian yang lainnya karena rasnya, negeri asalnya, agamanya, dan seterusnya yang tertuang dalam pasal 156 ayat 2, sehingga dapat dipahami bahwa konstruksi yang demikian dalam pasal 156 tersebut tidak memuaskan dan sebenarnya melanggar asas legalitas yang tercantum dalam pasal 1 KUHP sehingga dengan dikeluarkannya penpres tersebut maka secara tidak langsung diakui adanya penyimpangan terhadap pelanggaran dalam delik agama.9 Dalam KUHP tersebut tidak ada tindak pidana yang secara spesifik mengatur tindak pidana penodaan agama namun seperti dipaparkan Sudarto di atas, selain pasal 156a KUHP pasal-pasal lain yang terkait langsung maupun tidak langsung adalah pasal 156 dan 157 KUHP yang merupakan di antara pasal “penyebaran kebencian” (Haartzaai Artikelen)10, dimana 8
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1983, hal 78. 9 Ibid, hal 79. 10 Menurut Soesilo, Pasal 154 sampai dengan pasal 157 adalah pasal yang biasa disebut delik-delik penyebar kebencian “haartzaai-artikelen” yang maksudnya untuk menjaga ketentraman dan ketertiban umum di kalangan penduduk jangan sampai terkena rupa-rupa hasutan yang mengacau dan memecahbelah dengan jalan berpidato, tulisan, gambar dan sebagainya di depan umum atau di sirat kabar. Lebih lanjut baca: R. Soesilo, Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
muatan materi yang terdapat pada pasal 156 dan 157 tersebut merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai delik penghinaan. Interpretasi dan konstruksi terhadap delik penghinaan dapat diperoleh dalam rumusannya bahwa penghinaan adalah menyerang nama baik dan kehormatan yang mengakibatkan orang menjadi terhina. Perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang tercela, jahat (crime) dan dilarang dalam hukum pidana dan setiap delik penghinaan selalu mengandung sifat menghinakan atau membuat orang lain terhina sebagai tujuan (kesengajaan) pelaku melakukan suatu perbuatan. Oleh karena itu pengertian penghinaan tersebut menjadi dasar dilarangnya suatu perbuatan yang dimuat dalam delik "species" penghinaan, dalam hal ini pasal 156 dan 157 adalah penghinaan terhadap golongan rakyat Indonesia dan pasal 156a langsung tertuju pada penghinaan agama. Berkaitan dengan delik penghinaan, pasal 156a juga memuat unsur penghinaan dalam rumusannya, unsur penghinaan tersebut terdapat pada penjelasan pasal 156a KUHP yang termuat dalam penjelasan pasal 4, UU No. 1/PNPS/1965, selengkapnya disebutkan: .... Cara mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dapat dilakukan dengan lisan, tulisan ataupun perbuatan lain. Huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan disini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tinak
Komentarnya Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1994, hal 132.
63 pidana menurut pasal ini. (garis bawah oleh penulis) Huruf b, Orang yang melakukan tindak pidana tersebut disini, di samping mengganggu ketentraman orang beragama, pada dasarnya menghianati sila pertama dari Negara secara total, dan oleh karenanya adalah pada tempatnya, bahwa perbuatannya itu dipidana sepantasnya. Haruslah dipahami bahwa semua delik penghinaan memiliki maksud dan tujuan yang sama yaitu menyerang kehormatan dan nama baik di mata umum. Sebagaimana penjelasan di atas, perbuatan kritik tidak identik dengan menghina, tetapi perbuatan menghina adalah perbuatan yang tercela dan jahat (crime), karena terkandung di dalamnya adalah niat jahat untuk menghina atau membuat orang lain terhina. Pasal 156, 156a dan 157 KUHP, memuat perbuatan yang dilarang (tindak pidana) yang menjadi dasar untuk menentukan sifat jahat/tercelanya perbuatan penghinaan dan objek sasaran yang hendak dilindungi pada satu sisi sama dengan pasal 156a KUHP, karena perkataan golongan rakyat Indonesia dalam rumusan pasal 156 dan 157 KUHP termasuk di dalamnya adalah perlindungan terhadap agama, lebih lanjut rumusan Pasal 156 dan 157 KUHP sebagai berikut: Pasal 156, Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Pasal 157: (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketuhui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut. Jika memperhatikan pasal 156 dan 157 KUHP tersebut di atas memuat unsurunsur perbuatan yang dilarang sebagai tindak pidana yaitu: a. di muka umum Di muka umum adalah di muka orang banyak atau di suatu tempat yang dapat diketahui oleh umum. Jadi, yang penting umum dapat mengetahui perbuatan tersebut. b. menyatakan perasaan: 1) permusuhan, Menyatakan perasaan permusuhan adalah perwujudkan sikap batin seseorang yang tidak suka kepada pihak lain dalam bentuk pernyataan permusuhan dan menempatkan pihak lain tersebut sebagai musuh yang harus diserang atau dimusuhi. 2) kebencian atau Menyatakan perasaan kebencian adalah perwujudan sikap batin seseorang yang tidak suka kepada pihak lain dalam bentuk pernyataan kebencian dan menempatkan pihak
64 lain tersebut sebagai objek atau sasaran perbuatan (perkataan) tertentu sebagai perwujudan dari perasaan kebencian tersebut. 3) penghinaan Menyatakan perasaan penghinaan adalah perwujudan sikap batin tidak suka kepada pihak lain yang dilakukan dalam bentuk pernyataan yang menyerang kehormatan atau nama baik pihak lain yang dapat membuat orang lain terhina. c. Terhadap Golongan Rakyat Indonesia, (dalam hal ini termasuk agama). Menurut Muzakir bentuk pernyataan perasaan tidak suka kepada pihak lain dilakukan dengan ucapan, tulisan, atau perbuatan, perbuatan harus dibedakan dengan "perbuatan atau tindakan permusuhan yang sudah diwujudkan dalam bentuk fisik, misalnya menganiaya atau membunuh yang dilatarbelakangi oleh sikap bermusuhan atau kebencian dan menghina (membuat orang lain terhina). Menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan merupakan perwujudan sikap batin dari perasaan subjektif seseorang. Ukurannya adalah (perasaan) subjektif seseorang dan setiap orang memiliki ukuran yang berbeda-beda tergantung kepada kepribadian masing-masing karena itu, perasaan yang subjektif ini bisa ditafsirkan secara luas dan tak terbatas.11 Pada pasal 156a KUHP terdapat pula persamaan dengan pasal 156 dan 157 KUHP, dalam hal unsur di muka umum, Mengeluarkan perasaan, sifat permusuhan, unsur penghinaan dan juga objek sasaran terhadap perlindungan agama, tetapi pasal 156a tidak memuat unsur kebencian sebagaimana terdapat dalam pasal-pasal haartzaai artikelen, titik tekan dalam pasal 156a KUHP tersebut adalah unsur “penyalahgunaan, penodaan dan maksud untuk tidak beragama” sebagai perluasan unsur tindak pidananya. Sebagaimana penelusuran unsurunsur tindak pidana pada pasal 156, 156a dan 157 dapat dikategorikan sebagai pasal karet, yang dapat menjerat siapa saja yang 11
Muzakir, op.cit, hal 33.
memenuhi unsur tindak pidananya dan unsur rumusan tersebut juga bertentangan dengan asas lex certa, yaitu perbuatan yang hendak dilarang dalam hukum pidana harus dirumuskan dan disebutkan unsur-unsurnya secara terang, jelas dan tegas sehingga jelas maksud, tujuan serta batas-batas perbuatan yang hendak dilarang yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik penegakan hukum pidana. Selanjutnya pada pembahasan kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam pasal tindak pidana penodaan agama, terkait erat dengan penempatan pasal 156a KUHP yang diletakkan pada Bab V KUHP tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum berdasar UU No. 1/PNPS/1965 Pasal 4, Sebagai suatu delik terhadap ketertiban umum pasal 156a didasarkan atas suatu keinginan untuk melindungi rasa ketentraman dari orang-orang beragama sebagaimana dapat dimengerti dari penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal UU No. 1/PNPS/1965, di antara penjelasan umum dalam UU No. 1/PNPS/1965 pada poin 5 dijelaskan: Berhubung dengan maksud memupuk ketenteraman beragama inilah, maka Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewenganpenyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaranajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan (pasal 13); dan kedua kalinya aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa (Pasal 4). Ketentraman orang beragama ini menurut Oemar Seno Adji dipandang sebagai suatu kepentingan hukum yang harus dilindungi, yang mengacu pada kerangka tri-theori sekitar delik-delik agama, sebagaimana dapat kita ungkap lagi ketiga teori tersebut adalah: 1. Friedensschutz Theorie yaitu teori yang memandang ketertiban/ketentraman
65 umum sebagai kepentingan hukum yang dilindungi; 2. Gefuhlsschutz Theorie yaitu teori yang memandang rasa keagamaan sebagai kepentingan-kepentingan hukum yang harus dilindungi; 3. Religionsschutz Theorie yaitu teori yang memandang agama itu sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi/diamankan oleh negara. Berdasarkan kerangka teori di atas, maka pasal 156a KUHP merupakan suatu perwujudan dari Gefuhlsschutz theorie yang hendak melindungi rasa keagamaan atau Friedensschuts theorie apabila yang lebih mendasar adalah ketentraman orang-orang beragama. Perlu dipahami bahwa perlindungan terhadap rasa keagamaan dari orang-orang yang beragama maupun ketentramannya yang hendak dijadikan objek perlindungan, tetap saja pasal 156a KUHP tersebut merupakan delik terhadap ketertiban umum yang membenarkan sandarannya terhadap Gefuhlsschutz theorie dan Friedensschuts theorie tersebut, dengan kata lain rasa ketentraman orang-orang beragama yang diganggu karena ucapan-ucapan atau pernyataan-pernyataan yang dimaksud dalam pasal 156a KUHP tersebut dapat membahayakan ketertiban umum terlepas dari “agama” menjadi objek dari perlindungan.12 Tetapi apabila mendasarkan pada “... agama yang dianut di Indonesia” maka pasal 156a KUHP tersebut membenarkan 12
Seperti dapat diketahui, pasal 156a KUHP memidanakan mereka yang – di muka umum – mengeluarkan perasaan (atau melakukan perbuatanperbuatan), yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama (yang dianut di Indonesia). Secara redaksionil dan tekstueel memungkinkan pemidanaan secara langsung pernyataan perasaan-perasaan tersebut, yang ditujukan terhadap agama. Pernyataan permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan terhadap agama dipidanakan menurut rumusan dalam pasal 156a KUHP tersebut, sedangkan pemidanaannya tidak dilaksanakan oleh karena ia mengganggu ketentraman-ketentraman orang-orang beragama, karena dalam rumusan tersebut menitik beratkan pada konteks “membahayakan ketertiban umum”. Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta, 1984, hal 84.
sandarannya pada Religionsschutz Theorie yaitu teori yang memandang agama itu sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi/diamankan oleh negara, namun tetap saja landasan utamanya adalah ”ketertiban umum”. Sehingga sebagai suatu delik terhadap ketertiban umum dan atas dasar penjelasan yang bermaksud melindungi ketentraman orang-orang beragama, maka pemidanaannya baru dapat dipertimbangkan apabila persyaratan-persyaratan tersebut mengganggu orang-orang beragama dan dapat membahayakan ketertiban umum. Menurut hemat penulis, walaupun secara teoritis dibenarkan pengaturan delik agama berdasarkan Friedensschuts Theorie, Gefuhlsschutz Theorie dan Religionsschutz Theorie, namun pemahaman terhadap kepentingan yang hendak dilindungi dalam rumusan pasal 156a tersebut menjadi tidak jelas dan tidak seimbang dalam konteks ukuran perlindungannya, baik ketentraman beragama ataukah agama itu sendiri yang menjadi objek perlindungan, menjadi relatif terhadap tolak ukurnya sehingga akan menjadi relatif pula penafsirannya dan sukar diterapkan. Oleh karena itu ketentuan pasal 156a jo UU No. 1/PnPs/1965 dan pasal 156, 157 KUHP yang terkait juga dengan pengaturan tindak pidana penodaan agama telah membuktikan kelemahan-kelemahan dalam rumusannya, dimana patut dikemukakan kembali kelemahan yang tampak adalah: 1) tidak adanya rumusan yang jelas mengenai konsep penodaan agama; 2) tidak adanya batasan yang jelas tentang konsep penyalahgunaan dan/atau penodaan agama 3) rumusan tindak pidana penodaan agama lebih terlihat sebagai pasal karet yang dapat menjerat siapa saja yang menodai agama yang diakui di Indonesia. 4) rumusan tindak pidana penodaan agama belum mencerminkan keseimbangan terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Namun perlu kiranya mengungkapkan juga maksud dan tujuan yang mendasar terhadap penciptaan delik agama, sebagaimana dikemukakan Oemar Seno Adji bahwa pengertian mengenai delik agama terbatas pada delik-delik yang
66 kepentingan hukumnya untuk melindungi rasa keagamaan, kerukunan dalam beragama, dan agama itu sendiri sebagai objek perlindungan, oleh karena itu keberadaan delik agama dapat sangat diperlukan apabila terdapat bahaya mengancam agama, ajarannya, lembagalembaganya dan lain sebagainya, yang merupakan pula kebebasan beragama dan beribadah sehingga harus diamankan terhadap serangan-serangan baik berupa pernyataan-pernyataan atau perbuatanperbuatan, oleh karenanya ketentuanketentuan hukum sekitar delik agama dapat berdampingan pula dengan memidanakan “blasphemy” atau “godslastering” dimana perbuatan tersebut menyinggung Nama dan Kehormatan Tuhan, sekaligus kitab suci suatu agama.13 Sebagaimana pendapat Oemar Seno Adji tersebut di atas menarik untuk juga mendapat perhatian, sebab apabila terjadi penyerangan, penyalahgunaan dan penodaan agama cukupkah hanya ditangani dengan pasal menganggu ketertiban, hal ini juga akan menjadi pokok persoalan lain yang berkembang, namun perlu ditekankan bahwa faktor agamalah yang mendorong terjadinya tindak pidana, oleh karena itu menurut hemat penulis kriminalisasi tindak pidana penodaan agama ataukah itu delik agama tidaklah salah dalam tujuannya, tetapi rumusan yang terdapat dalam pengaturannya haruslah disesuaikan dengan rumusan yang ideal, seimbang dan jelas dalam pengaturannya, sehingga aturan tersebut tidak bias penafsiran baik secara subyektifitas maupun karena faktor kepentingan lain. C. KONSEP PENGATURAN TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA DALAM POLITIK HUKUM PIDANA Menurut Muladi berbicara tentang politik hukum pidana (criminal law politics) pada dasarnya merupakan aktivitas yang menyangkut proses menentukan tujuan dan
13
hal 144.
Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) ..., op.cit,
cara melaksanakan tujuan tersebut.14 Namun pada pokonya, permasalahan yang ada pada politik hukum pidana terletak pada “garis-garis kebijakan atau pendekatan yang bagaimanakah sebaiknya ditempuh dalam menggunakan hukum pidana tersebut?”.15 Pada pembicaraan politik hukum pidana mengandung arti juga kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan, yang menyangkut persoalan pilihan-pilihan terhadap perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, serta menyeleksi di antara berbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan hukum pidana pada masa yang akan datang. Oleh karena itu sebagai suatu kebijakan kriminal, politik hukum pidana selanjutnya merupakan ilmu atau alat menuju pembaruan hukum pidana (penal reform) yang pada hakikatnya adalah: 1) Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbarui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. 2) Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memberantas/menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat. 3) Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (yaitu ”social defence dan social welfare”) 4) Merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali (”reorientasi dan reevaluasi”) pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar, atau nilai-nilai sosiofilosofik, sosio-politik, dan sosiokultural yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama ini.16 14
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hal 251. 15 Yemil Anwar & Adang, Pembaharuan Hukum Pidana: Reformasi Hukum Pidana, Grasindo, Jakarta, 2008, hal 59. 16 Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal 3.
67 Menurut Barda Nawawi Arief pembaruan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach). Selanjutnya penyusunan konsep KUHP baru tidak dapat dilepaskan dari ide/kebijakan pembangunan sistem hukum nasional yang berlandaskan pancasila sebagai nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang dicita-citakan dalam arti lain pembaharuan hukum pidana nasional seyogyanya juga dilatarbelakangi dan bersumber/berorientasi pada ide-ide dasar (basic ideas) Pancasila yang mengandung di dalamnya keseimbangan nilai/ide/paradigma: 1) moral religius (Ketuhan); 2) kemanusiaan (humanistik); 3) kebangsaan, 4) demokrasi, dan 5) keadilan sosial. Sebagai sarana pembaruan hukum pidana nasional yang beorientasi pada pendekatan keseimbangan nilai moral religius, keberadaan tindak pidana penodaan agama masuk dalam kajian politik hukum pidana seiring dengan pengembangan konsep KUHP baru dan tuntutan perubahan terhadap muatan materi pasal 156ª KUHP jo UU No. 1/PNPS/1965. oleh karena itu pada pembahasan selanjutnya akan di bahas pengaturan tindak pidana penodaan agama dalam konsep KUHP baru. 1. Pengaturan Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Konsep R-KUHP Patut dikemukakan bahwa semangat perluasan terhadap delik agama sebagaimana dikaji dalam Simposium “Pengaruh Kebudayaan/Agama Terhadap Hukum Pidana” yang diselenggarakan pada tanggal 17 Maret 1975 agaknya menuai hasil yang diinginkan, sehingga sampai pada RUU KUHP draft 2008 konsep pengaturan delik agama berada pada pasal-pasal khusus terhadap perlindungan kepentingan agama. Sebagaimana dalam hasil pertimbangan komisi II Simposium “Pengaruh Kebudayaan/Agama Terhadap Hukum Pidana” tersebut dikemukakan: Dalam hal ini dibenarkan adanya pembentukan delik-delik agama yang perlu mendapat perhatian
khusus untuk diberikan prioritas kepada dasar “Religionsschut Theorie” di mana melihat agama itu sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi. Oleh karena itu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru (yang akan dibentuk) dalam ruang lingkup pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, harus memilih sistem yang baru di mana norma-norma agama yang mempunyai pengaruh terhadap hukum khususnya hukum pidana mendapat perhatian/tempat atau dalam arti bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru perlu diatur delik agama dalam bab tersendiri di mana pasalpasalnya memberikan perlindungan terhadap keagungan Tuhan, Sabda dan sifat-Nya Agama itu sendiri, Nabi/Rasul, Kitab Suci, Pemuka Agama, Perhimpunan dan golongan Agama, lembaga-lembaga Agama, Ajaran ibadah keagamaan dan tempat ibadah atau tempat suci lainnya.17 Arah pemikiran pada waktu itu adalah keinginan untuk menciptakan delik agama yang melandaskan prioritasnya kepada “Religionsschut Theorie” di mana memandang agama itu sendiri sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi, untuk menyeimbangkan Friedensschutz Theorie dan Gefuhlsschutz Theorie. Pandangan tersebut sejalan dengan pemikiran Prof. Oemar Seno Adji selaku penggagas penciptaan delik agama yang sangat mempengaruhi pemikiran pada waktu itu. Melalui argumentasi-argumentasinya yang diangkat dalam bukunya yang berjudul “Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi” Oemar Seno Adji berpendapat: “jikalau kita hendak melahirkan delik “balsphemy”, delik “godslastering”, maka ia harus 17
Badan Pembinaan Hukum Nasional (PHBN), Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama Terhadap Hukum Pidana, Binacipta, Bandung, 1975, hal 135-136.
68 didasarkan atas keyakinan kita, bahwa Tuhan adalah Tuhan, bahwa kita mengagungkan Nama dan Sifat Tuhan, kita menyembah kepadaNya, bukan karena pernyataanpernyataan demikian akan melukai perasaan keagamaan dari masyarakat yang bersangkutan ataupun karena caranya dapat membahayakan ketertiban dan keamanan umum”.18 Oleh karena itu perluasan delik agama sampai pada RUU KUHP konsep 2008 mendapatkan tempat pada bab khusus mengenai Tindak Pidana Agama dan Kehidupan Beragama yang menghendaki adanya delik “blasphemy” atau “Godslastering” dalam pengembangannya, yaitu berupa “penghinaan terhadap Tuhan” dan perbuatan “mengejek, menodai, merendahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran atau ibadah keagamaan. Menurut Muladi, pengaturan dalam Bab tersendiri (Bab VII) tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, guna menunjukkan bahwa Indonesia memang bukan Negara yang berdasarkan atas agama, tetapi juga bukan negara sekuler, melainkan Negara yang berkeTuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini yang dilindungi adalah perasaan hidup keagamaan, ketentraman hidup beragama dan agama yang berkeTuhanan Yang Maha Esa sendiri sebagai kepentingan hukum yang besar; Sebagai pembanding adalah keberadaan Godslasteringswet di Belanda dan Blashphemy di Inggris.19 Secara garis besar konstruksi Rancangan KUHP merupakan lanjutan dari konstruksi rumusan lama, berikut ini akan disandingkan pengaturan pasal-pasal tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama sebagaimana terdapat dalam RUU
18
Oemar Seno Adji, Hukum Acara …., op.cit,
hal 100. 19
Muladi, Beberapa Catatan Terhadap RUU KUHP, dalam: Bahan Pengatar Diskusi Beberapa Tulisan Terkait Kriminal dalam KUHP: Sebagai Bahan Bacaan untuk Focus Group Discussion yang diselenggarakan ELSAM dengan TEMA “Melihat Politik Kodifikasi dalam Rancangan KUHP”, ELSAM, Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, 28 September 2006, hal 20.
KUHP dalam konsep 2008 dengan KUHP WvS:
69 Tabel 1.1 Persandingan Pasal KUHP dan Rancangan KUHP dalam Pengaturan Tindak Pidana Agama KUHP (WvS) BAB V KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM …
Pasal 156 Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara Pasal 156ª Dipidana dengan pidana penjara selamalamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. … Pasal 157 (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongangolongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketuhui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling hanyak empat rupiah lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut padu waktu menjalankan
Rancangan KUHP Draf 2008 Bab VII Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama Bagian I Tindak Pidana terhadap Agama Penghinaan terhadap Agama Pasal 341 Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang sifatnya penghinaan terhadap agama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Kategori III. Pasal 342 Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV. Pasal 343 Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 344 (1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar, sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 atau Pasal 343, dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih ditahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Kategori IV. (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
70 pencariannya dan pada saat, itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
Pasal 156ª Dipidana dengan pidana penjara selamalamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. … b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa." Pasal 175 Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan. Pasal 176 Barang siapa dengan sengaja mengganggu pertemuan keagamaan yang bersifat, umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan atau upacara penguburan jenazah, dengan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah. Pasal 177 Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah: 1. barang siapa menertawakan seorang petugas agama dalam menjalankan tugas yang diizinkan; 2. barang siapa menghina benda-benda untuk keperluan ibadat di tempat atau padu waktu ibadat dilakukan.
melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tersebut. Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama Pasal 345 Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Kategori IV. Bagian II Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah Gangguan terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan Pasal 346 (1) Setiap orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Kategori IV. (2) Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II. Pasal 347 Setiap orang yang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejak petugas agama yang sedang melakukan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Kategori III.
71 Perusakan Tempat Ibadah Pasal 348 Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV. Memperhatikan tabel di atas, Jika dalam KUHP yang selama ini berlaku pada pokoknya penodaan agama hanya ada dalam satu pasal (156a), maka di dalam RUU KUHP terjadi “perluasan kriminalisasi delik agama”, RUU KUHP yang merevisi KUHP lama, pasal-pasal penodaan agama diletakkan dalam bab tersendiri, yaitu Bab VII tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Keagamaan yang di dalamnya terdapat 8 (delapan) pasal, dari delapan pasal itu dibagi dalam dua bagian: Bagian I mengatur tentang tindak pidana terhadap Agama. Bagian ini mengatur tentang Penghinaan terhadap Agama (pasal 341-344) dan Penghasutan untuk Meniadakan Keyakinan terhadap Agama (pasal 345). Bagian II mengatur tentang Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah. Bagian ini mengatur dua hal, yaitu Gangguan terhadap Penyelenggaraan Ibadah dan Kegiatan Keagamaan (pasal 346-347); dan Perusakan Tempat Ibadah (pasal 348). 2. Analisis Pengaturan Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Konsep RKUHP Menyimak rumusan pengaturan delik agama pasal demi pasal dalam RUU KUHP sebagaimana di atas, maka terdapat kelemahan-kelemahan yang memungkinkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Pada pasal 341 misalnya merupakan perluasan dari pasal 156 KUHP yang pada asalnya merupakan pasal haartzaai artikelen20, walaupun pada 20
Mempertahankan ketentuan “haartzaai artikelen” (Pasal-pasal penaburan kebencian) dengan versi “demokratisasi”, yang menghapus kalimat “menyatakan rasa permusuhan, kebencian” sehingga tinggal kata “penghinaan” (ditujukan kepada golongan penduduk), dengan catatan dirumuskan
intinya ingin mempertegas kriminalisasi yang ditujukan untuk melindungi agama, namun pasal 341 tersebut tetap saja multiinterpretasi. Pasal 341 tersebut dikemukakan “… penghinaan terhadap agama, …” dalam penjelasan pasal tersebut ditegaskan “ … Oleh karena itu penghinaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia patut dipidana karena dinilai tidak menghormati dan menyinggung perasaan keagamaan dalam bermasyarakat”, Pasal ini dapat menjerat siapa saja yang dipandang menghina/menodai suatu agama. Dalam konteks perlindungan HAM, maka titik lemah dalam hal “agama yang dianut di Indonesia” yang memberikan dampak tidak adanya ruang bagi agama baru yang diakui pemerintah, perspektif tersebut memberikan ilustrasi bahwa pemerintah tidak mengakui seluruh agama yang berkembang di Indonesia. Pasal 342 menghendaki delik “godslastering” yang bertujuan untuk mengagungkan Tuhan, dalam pasal ini harus dipahami bahwa keinginan perumus KUHP adalah penghinaan ke-Agungan Tuhan secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan umat yang menghormati ke-Agungan Tuhan di samping itu untuk mencegah terjadinya keresahan dan benturan dalam dan di antara kelompok masyarakat melalui penjelasan pasal tersebut, namun pasal tersebut multi sebagai delik materiil. (yang dilarang dan dipidana adalah perbuatan yang menimbulkan akibat tertentu/akibat konstitutif). Akibat tersebut berupa “terjadinya keonaran dalam masyarakat” dan “timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang”; “Menghina” diartikan sebagai “menyerang kehormatan dan nama baik”. Penegak hukum harus bijak untuk membedakan “social control” demi kepentingan umum” dengan “penghinaan”. Muladi, Op.cit, hal 13.
72 interpretasi terhadap sejauh mana tolak ukur penghinaan keagungan Tuhan. Pasal 343 merupakan perluasan dari pasal 156a KUHP yang menghendaki delik “blasphemy” yang penjabarannya untuk mempertegas perbuatan yang dilarang dalam konteks mengejek, menodai atau merendahkan: agama itu sendiri, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran dan ibadah keagamaan. Hal ini juga memberikan pertanyaan mendasar terhadap rumusan tersebut “mengapa hukum pidana bukan melindungi manusianya/penganut agama untuk mendapatkan jaminan perlindungan hukum? Mengapa perlindungan tertuju pada penghormatan atas Nabi, Kitab Suci, ajaran agama, ibadah keagamaan dan agama itu sendiri?”. Walaupun pasal 343 ini ingin memperjelas perlindungan yang menjadi unsur-unsur agama secara umum, namun pasal ini tetap tidak jelas ukurannya dan multi interpretasi. Berkenaan pasal 344 merupakan perluasan pasal 157 KUHP, memberikan dampak yang dapat membahayakan dan mencelakakan seseorang atau agama lain yang tidak memiliki faham sama, pertanyaan mendasar terhadap pasal ini “apakah orang yang syiar agama kemudian memberikan khutbah bahwa orang selain agama tersebut adalah kafir, dan dapat dijerat oleh pasal tersebut?”. Pasal 344 multitafsir dan rentan untuk disalahgunakan. Pasal 345 adalah perluasan dari pasal 156a KUHP poin b, pasal tersebut secara tegas dan jelas menghendaki larangan untuk menghasut agar seseorang menjadi tidak beragama, bentuk penghasutan tersebut sebagaimana dalam penjelasannya: “Penghasutan dilakukan dalam bentuk apapun, dengan tujuan agar pemeluk agama yang di anut di Indonesia menjadi tidak beragama” Berkaitan dengan pasal 346 sampai dengan pasal 348 ditempatkan sebagai pasal tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah, diantaranya adalah pelarangan gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan keagamaan, dalam pasal-pasal tersebut bermaksud untuk melindungi umat beragama dari berbagai perbuatan yang
dianggap sebagai tindak pidana. Dalam RUU KUHP terdapat beberapa hal yang dipandang perumus RUU KUHP sebagai hal yang harus dilindungi dari perbuatan tertentu. Perlindungan terhadap umat beragama itu dirumuskan dalam beberapa bentuk: mengganggu, merintangi, membubarkan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jamaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan (346 ayat 1); membuat gaduh di dekat bangunan tempat ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung (346 ayat 2); mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejak petugas agama yang sedang melakukan tugasnya (347); menodai, merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah (348). Secara garis besar penulis dapat menerima muatan materi yang terdapat dalam pasal 346-348, namun demikian masih perlu adanya kejelasan mendasar sebagai tolak ukur dalam pasal-pasal tersebut, seperti siapa yang dimaksud dengan “... petugas agama”, ukuran apa yang menentukan perbuatan “...membuat gaduh di dekat bangunan tempat ibadah...”, “....mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah...”. Hal-hal demikian perlu dirumuskan secara lebih tajam agar rumusan tersebut tidak justru merusak harmoni kehidupan beragama. Sebagaimana paparan di atas, walaupun secara sadar penulis mengakui bahwa perbuatan penodaan agama adalah bersifat keji dan tercela, namun perluasan kriminalisasi delik agama dalam RUU KUHP tersebut sebenarnya hanya ingin mempertegas unsur-unsur yang dapat dikategorikan sebagai delik agama, tetapi sepertinya kurang memperhatikan ukuran kriminalisasi dan deskriminalisasi secara doktrinal yang seharusnya berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:21 a) kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan “overkriminalisasi” yang masuk kategori “the misuse of criminal sanction”; 21
Muladi, Demokratisasi… op.cit, hal 256.
73 b) kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc; c) kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victimizing) baik aktual maupun potensial; d) kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan prinsip ultimum remedium; e) kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang “enforceable”; f) kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik; g) kriminalisasi harus mengandung unsur “subsosialiteit” (mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali); h) kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu. Selain itu, perluasan delik agama ini terlihat mengarah pada over kriminalisasi (overcriminalization), sebagaimana ditegaskan oleh Muladi overcriminalization didasarkan juga pada sisi “tirani hukum” yang karakteristiknya adalah sebagaimana berikut:22 hukum dirasakan terlalu membatasi kebebasan manusia; semboyan yang berkembang adalah “there is no problem on earth that can not be solved by legislation”; orang menjadi tidak bahagia karena hukum mencampuri aspek-aspek yang kecil dan sangat pribadi dalam kehidupan manusia (ingat istilah “victimless crimes”); hukum positif menjadi semakin banyak dan ada kecenderungan untuk menggunakan hukum pidana sebagai “penekan”; alasan reformasi dan supremasi hukum sering digunakan sebagai pembenaran; setiap pejabat baru menjadikan produk pengaturan sebagai indikator kinerja; terjadi suasana: banyak sekali hukum tapi sedikit sekali keadilan (more laws but less justice); timbul sikap negatif dan nonkoperatif masyarakat dalam penegakan hukum 22
Ibid, hal 261-262.
bahkan menjurus kurang menghargai hukum (wibawa hukum merosot); pelanggaran hukum dan pemidanaan (misalnya dalam tindak pidana ekonomi) sering dihayati sebagai kesialan (unlucky) bahkan si pelaku sering menyebut dirinya sebagai “korban dari sebuah sistem hukum yang tidak adil”; hukum kehilangan kredibilitasnya; apa yang dikatakan sebagai “widespread distrust of the law” menggejala; alasan kepentingan umum yang lebih luas dijadikan alasan pengaturan yang merugikan hak-hak individual; (misalnya distorsi terhadap prinsip hak milik mempunyai fungsi sosial); hukum kehilangan moral and social framework, toleransi dan akal manusia dikalahkan oleh the single-minded social engineering instincts; Mana yang “legal”, mana yang “moral” menjadi tidak jelas. (dikatakan Austin, bahwa “the only behind the law is physical force, not moral and ethical”. Selanjutnya Lord Devlin dalam hal ini mengatakan “there is no longer a moral obligation to obey the law in all circumstances.”; Ingat dalam hal ini perkembangan konsep “strict liability = liability without mens rea” dalam “administrative criminal law”; tujuan hukum menyimpang dari penciptaan kedamaian (keeping the peace), bahkan menuju ke negara polisi; (McLean: “Western countries are sleepwalking to a police state”). Pandangan Muladi tersebut di atas memperkuat terjadinya perluasan kriminalisasi terhadap delik agama yang dipandang sebagai overcriminalization, Oleh karena itu demi terciptanya kerukunan umat beragama dan perlindungan hak asasi manusia, tidak seharusnya pasal-pasal penodaan agama tersebut lebih bersifat represif, tetapi juga harus diupayakan penanggulangan yang dapat direpresentasikan pada upaya-upaya yang bersifat preventif. Oleh karena itu, RUU KUHP berkaitan dengan delik agama masih jauh dari apa yang diharapkan, rumusan-rumusan tersebut belum mencerminkan ide
74 keseimbangan, sebagaimana menurut Barda Nawawi Arief, materi konsep KUHP (sistem hukum pidana materiil dan asas-asasnya), ingin disusun/diformulasikan dengan berorientasi pada berbagai pokok pemikiran dan ide dasar yang secara garis besar dapat disebut ”ide keseimbangan” yang antara lain mencakup:23 1. Keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu/perorangan; 2. Keseimbangan antara perlindungan/kepentingan pelaku tindak pidana (ide individualisasi pidana) dan korban tindak pidana; 3. Keseimbangan antara unsur/faktor ”objektif” (perbuatan lahiriyah) dan subjektif (orang/batiniah/sikap batin); ide daad-dader strafrecht; 4. Keseimbangan antara kriteria formal dan material; 5. Keseimbangan antara kepastian hukum, elastisitas/fleksibilitas, dan keadilan; 6. Keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/internasional/universal. D. KESIMPULAN Berdasarkan uraian yang telah disajikan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab akhir ini dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut: Konsep pengaturan tindak pidana penodaan agama didasarkan pada politik hukum pidana untuk melindungi agama yang sandarkan pada kerangka tri-theori sekitar delik agama, yaitu Friedensschuts Theorie, Gefuhlsschutz Theorie dan Religionsschutz Theorie. Keberadaan UU No. 1/PNPS/1965 dirasa kurang mencerminkan Religionsschutz Theorie, sehingga sampai pada RUU KUHP konsep 2008 terjadi perluasan tindak pidana penodaan agama yang mendapatkan tempat pada bab khusus mengenai Tindak Pidana Agama dan Kehidupan Beragama. Selain itu RUU KUHP menghendaki adanya delik “blasphemy” atau “Godslastering” dalam pengembangannya, yaitu berupa “penghinaan terhadap Tuhan” dan perbuatan “mengejek, menodai, merendahkan agama, 23
Barda Nawawi ...,op.cit, hal 12.
Arief,
Pembaharuan
rasul, nabi, kitab suci, ajaran atau ibadah keagamaan. Namun jika aturan berkaitan dengan delik agama dalam RUU KUHP tersebut nantinya akan diberlakukan, maka yang terpenting adalah menerapkan aturan tersebut tanpa adanya perlakuan diskriminasi sebagai upaya perlindungan HAM dan memberikan jaminan “equality before the law”, tanpa adanya keberpihakan baik oleh negara melalui aparat penegak hukumnya, serta mengoptimalkan peran serta masyarakat untuk tujuan kerukunan umat beragama tanpa adanya tekanan masa dan aksi anarkisme, hal ini kiranya yang diperlukan untuk memperjuangkan aspek perlindungan HAM melalui regulasi agama demi menjunjung tinggi hak kebebasan beragama.
DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Badan Pembinaan Hukum Nasional (PHBN), Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama Terhadap Hukum Pidana, Binacipta, Bandung, 1975. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, 2008. ______, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Hendry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Editioo, West Publishing Company, St. Paul, Minnesota, 1990. Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002. ______, Beberapa Catatan Terhadap RUU KUHP, dalam: Bahan Pengatar Diskusi Beberapa Tulisan Terkait Kriminal dalam KUHP: Sebagai Bahan Bacaan untuk Focus Group Discussion yang diselenggarakan
75 ELSAM dengan TEMA “Melihat Politik Kodifikasi dalam Rancangan KUHP”, ELSAM, Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, 28 September 2006. Muzakir dalam keterangan ahli, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi. Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta, 1984. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta KomentarKomentarnya Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1994. Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1983. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2005. Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003. Yemil Anwar & Adang, Pembaharuan Hukum Pidana: Reformasi Hukum Pidana, Grasindo, Jakarta, 2008.