2
2014
4
Menuju 2014: Elektabilitas tanpa Integritas
8
Pengkhianatan pada Demokrasi
10
no.2 9 ja nua r i 2 01 1
Kesungguhan Mereformasi Agraria
KONSTELASI Analisis Berkala Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Ambisi Hitam ada akhirnya ambisi-ambisi politik itu tak terkendalikan lagi. Mereka yang hendak memupuk harta dan mereka yang hendak mewariskan tahta, kini berlomba menguasai jalan menuju 2014. Kendati tampil tanpa ide, politik awal tahun 2011 ini telah memulai hiruk-pikuk itu: ‘obral capres’! Yang diobral biasanya adalah barang bekas. Dan memang hanya itu yang tersedia dalam pasar politik formal. Sesungguhnya, partai-partai itu tidak punya calon pemimpin. Pemimpin politik adalah inspirator rakyat. Pemimpin politik adalah pemberi visi masa depan. Pemimpin politik adalah pelaku keadilan. Pemimpin politik adalah pendidik kemajemukan. Pemimpin politik adalah ‘dan seterusnya!’ Nah, silakan tagihkan kualitas itu pada semua nama yang hari-hari ini beredar di media massa, dan kita tahu semutu apa sesungguhnya koleksi kepemimpinan politik kita. Indonesia harus bertumbuh di luar tokoh-tokoh obralan. Politik kita tidak dirancang untuk dijarah oleh seorang megalomania. Politik kita tidak juga disediakan untuk menampung kepentingan sebuah
P
dinasti. Politik kita tidak sekalikali dimaksudkan untuk membesarkan persekongkolan oligarkis hitam. Politik kita adalah politik untuk memajukan keadilan dan kecerdasan rakyat. Dalam ukuran itulah kita menempuh persaingan politik yang sesungguhnya. Kita menyebutnya sebagai ‘kompetisi politik’ hanya bila di dalamnya ada kompetisi ‘ide keadilan’. Kita menyebutnya sebagai ‘pesta demokrasi’ hanya bila di dalamnya ada ‘fakta kesetaraan’. Tanpa itu, politik hari-hari ini hanya tampak sebagai gumpalan ambisi para penjarah kekayaan negara, para penjarah kemajemukan, dan para penjarah keadilan sosial. Retorika politik adalah pen didikan dialektik untuk menajam kan kecerdasan pikiran rakyat. Demokrasi mengalirkannya me lalui opini publik. Tetapi manipulasi opini publik justru bagian dari politik para penjarah etika publik hari-hari ini. Penguasaan media massa oleh pemiliknya sendiri telah membelokkan fungsi retorika itu menjadi pembodohan pikiran rakyat. Retorika satu arah dan pemberitaan yang terarah, telah dipaketkan sebagai bagian dari pencapaian ambisi pribadi sang pemilik. Dan jurnalisme kita
telah tunduk pada kepentingan personal itu. Kejahatan sedang tumbuh dalam politik kita. Persekongkolan dua-tiga orang sedang merampok hak-hak keadilan, kecerdasan, dan kemajemukan publik. Kita sedang menyaksikan pentas politik yang menampilkan adegan-adegan kemunafikan oleh aktor-aktor penuh tipu-daya, oleh pemimpin yang tak berani mengambil risiko, dan oleh politisi yang berakal sempit. Memimpin Indonesia adalah memimpin sebuah peluang. Yaitu peluang untuk menjadi negara sejahtera. Peluang untuk menghidupkan kesetaraan. Peluang untuk menaikkan harga diri kaum pekerja. Peluang untuk meloloskan kecerdasan dari Indonesia ke forum dunia. Pemimpin semacam itu tidak mungkin disodorkan sebagai ‘barang obralan’. Juga tidak mungkin muncul dari lubang ambisi hitam. Pemimpin semacam itu hanya tiba melalui kehendak setiap orang yang mendesakkan perubahan karena tidak ingin Indonesia dijarah oleh ambisiambisi hitam! Kita menyebutnya sebagai pemimpin yang ber integritas! n RGX www.p2d.org — konstelasi
1
analisis
2014 residen SBY tidak ingin diidentikkan sebagai sekutu Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar, tapi ia membutuhkan Golkar yang relatif bisa bekerjasama di legislatif. Aburizal Bakrie juga tidak ingin diidentikkan sebagai sekutu SBY— karena ia memiliki ambisinya sendiri– tapi ia juga memerlukan ‘kebaikan’ SBY untuk bisa menjaga kelangsungan bisnisnya. Baginya, selama bisnis berjalan kekuasaan politik tetap di tangan. Hasilnya adalah hubungan dua elit yang turun naik, serba kikuk dan tidak mendidik. Keduanya membangun etalase dan avatar politiknya masingmasing dengan maksud memberi kesan ‘baik’ dan ‘moderat’ kepada satu sama lain. Avatar ini dimaksudkan untuk mencegah ketegangan agar tidak berujung pada katastrofi yang menempatkan keduanya pada kutub yang saling berlawanan. SBY masih menerima Aburizal di istananya baik dalam rangka ramah tamah, seperti ulang tahun keluarga istana, maupun untuk urusanurusan lain yang sukar diketahui publik. Akan tetapi, pada saat yang sama ‘serangan-serangan’ kecil terus digencarkan masing-masing pihak! Melalui saluran-saluran televisi miliknya, Aburizal terus menggencarkan kritik keras ke pada pemerintah. Bersamaan dengan itu, politisi Golkar di DPR terus meributkan kasus Century. Di pihak lain, peme rintah terus mengencangkan perkara pajak dan sebagian aktivis Partai Demokrat terus menuntut penuntasan perkara Gayus.
P
2
konstelasi — www.p2d.org
Sumber foto: http://theonlinecitizen.com/wp-content/uploads/2010/12/ethics_header.jpg
Apa akibat dari pola hubung an SBY-Aburizal ini terhadap politik? Keduanya barangkali akan mengatakan dengan bangga, ‘inilah taktik licin nan cerdas’ yang memang mesti ada dalam riil politik. Akan tetapi dari segi pendidikan politik, pola relasi semacam ini rasanya kurang sehat. Bukti dari situasi tidak sehat itu nampak dalam kasus Sri Mulyani. Kepergian Sri Mulyani menunjukkan bagaimana visi kebijakan pemerintahan akhirnya harus dikorbankan. Keburukan yang kedua, pola semacam ini memberikan ruang yang luas bagi munculnya ‘tukang palak’ politik dari pihak satu dan menciptakan mediokrasi politik dipihak lainnya. Pada kubu SBY misalnya, kekhawatiran para pendukung
SBY akan masa depan dan stabilitas politik kelompok mendorong sebagian mereka untuk bersikap oportunis dan berpikir ‘asal bos selamat’. Akhirnya politik yang bermartabat dan berprinsip dikorbankan. Namun demikian, lepas dari hal-hal yang sudah terjadi, yang menarik untuk terus disimak adalah bagaimana kira-kira ujung dari relasi yang serba kikuk antara Aburizal-SBY ini menjelang 2014? Bagaimana keduanya me nyelesaikan hubungan ‘cintabenci’ ini di pemilu mendatang; putus atau malah kawin? Di sini ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah keduanya akhirnya mengakhiri pola relasi lama dan ber pisah di ujung. Ini artinya Golkar
mengajukan capres-cawapresnya sendiri dan Demokrat/SBY juga mengajukan capres-cawapresnya sendiri, tanpa irisan dan tanpa koalisi. Kemungkinan kedua, dengan berbasis kepentingan ‘pragmatis’ keduanya malah bekerjasama: Golkar/Demokrat mengajukan satu pasangan capres dan cawapresnya. Pada kemungkinan yang pertama, boleh dikatakan secara pragmatis, keterputusan SBYAburizal akan sedikit banyak ditentukan oleh faktor ketiga, Di titik ini, sebenarnya posisi PDIP menjadi sedikit penting. Pola relasi SBY-Aburizal ini memiliki potensi putus apabila PDIP bisa mengajukan suatu kemungkinan kerjasama yang terbuka di masa depan dengan Demokrat. Dengan itu relasi baru yang terbentuk barangkali adalah SBY-Mega. Dari segi karakter, sebenarnya Demokrat-PDIP memang terasa lebih cocok, kedua partai samasama relatif baru sehingga memiliki waktu dan peluang yang sama untuk saling belajar dalam kerjasama secara lebih seimbang. Akan tetapi pada akhirnya, pencapaian hasil pemilu legislatif 2014 yang akan sangat menentukan keyakinan diri dari ketiga partai. Kemungkinan kedua adalah kelanjutan kerjasama Golkar-SBY. Kemungkinan ini berbasis pada pola relasi yang selama ini berlangsung, artinya publik tetap tidak akan menemukan karakter dan posisi yang jelas dari keduabelah pihak. Golkar tetap penting bagi siapapun calon presiden dari Demokrat. Selama Aburizal masih memimpin Golkar maka sulit diharapkan ada suatu posisi tegas yang ke luar dari Demokrat dan SBY. Situasi ini yang menjadi se macam landasan ‘paling rasional’ bagi SBY maupun Aburizal untuk
terus melanjutkan hubungan cinta benci hingga lima tahun mendatang. Namun demikian, pada pelbagai kemungkinan ini posisi paling krusial dan menarik untuk diperbincangkan adalah: siapa calon presiden yang akan diajukan oleh masing-masing pihak? Pemilu legislatif tentunya akan menentukan siapa yang kiranya punya posisi untuk mengajukan capresnya. Tidak akan diragukan lagi bahwa Golkar akan mengajukan ketuanya sendiri, Aburizal sebagai capres. Akan tetapi apa bila Demokrat unggul pada pemilu legislatif nanti sudah pasti Demokrat yang akan mengajukan capresnya dan Aburizal harus cukup puas dengan posisi cawapres. Di sini tanda tanya besar muncul untuk Demokrat: siapa capres mereka apabila mereka mau maju baik dengan maupuan tanpa Golkar? Untuk menjawab ini kita mesti memahami terlebih dahulu kehendak dan posisi SBY selaku orang terkuat dan ter penting di Demokrat. SBY sudah pasti berfikir dalam kerangka regenerasi kekuasaan. Ia secara pasti tengah mempersiapkan generasi penerus dari kalangan keluarganya, tapi untuk tetap mempertahankan citra ‘berpolitik modern’, diperkirakan ia akan cukup berhati-hati untuk tidak jatuh pada model ‘dinasti’ yang vulgar. Untuk itu baginya periode 2014 adalah periode peralihan tapi yang harus terus bisa dipastikan! Dalam kerangka itu ia memerlukan capres yang baru tapi yang bisa dipastikan masih berada dalam pengaruhnya. Di sini orang-orang seperti Pramono Edhie Wibowo, Djoko Santoso, Soetanto, Djoko Suyanto menjadi figur-figur yang mungkin dalam
pilihan SBY. Sebagian kalangan juga menyebut nama Ibu Ani Yudhoyono, meskipun kalangan lain mencoba menepis kemung kinan itu. Segelintir pengamat, yang berfikir institusionalis dengan basis pengalaman ‘mengalahkan’ manuver SBY dalam kongres partai, menyebut nama Anas Urbaningrum. Namun demikian, dengan melampaui urusan tetek-bengek elite ini, yang menjadi soal terpenting bagi kita adalah: sejauh mana kehidupan politik kita ini bisa menyumbang bagi kemajuan Indonesia secara umum? Apabila ke depan, pola relasi lama SBYAburizal ini terus dilakukan tanpa ada pemecahan, maka selama itu pula kehidupan politik kita akan disandera oleh permainan politik sehari-hari yang tidak produktif, menghambat, bahkan buruk dan pada akhirnya menghancurkan kita. Artinya, selama SBY bermaksud konsisten menjalankan visi dan pemerintahannya, berpolitik sesuai dengan pencitraan diri sebagaimana ia dikenali oleh dunia internasional, maka semestinya ia sudah harus lebih berani mengambil sikap, memutus jarak. Selama ia masih berpikir sebagai seorang medioker, selama itu pula ia hanya akan dikenang sebagai presiden yang disayangkan: menang mutlak secara elektoral tapi gagal memberikan ‘legacy’ yang berarti bagi demokrasi di Indonesia. Di titik ini, saya sayup-sayup mendengar suara dari sejumlah orang di sekitar Demokrat yang mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk mencegah keburukan adalah menyediakan obat bagi penyakit politik kita sekarang. Itu mengapa – menurut merekaDemokrat jangan sampai melupakan Sri Mulyani! n RBX
www.p2d.org — konstelasi
3
analisis
Elektabilitas tanpa In epemimpinan merupakan faktor kuat pendorong perubahan dalam sistem presidensialisme. Kekuasaan dan we wenang yang terpisah antara legislatif dengan eksekutif memungkinkan program pemerintah dapat berjalan meski tanpa
K
dukungan politik. Namun dalam praktiknya di Indonesia, kebijakan presiden selalu tersandera oleh tarik-menarik politik legislatif. Tak pelak lagi kalkulasi menuju RI 1 harus bersifat koalisi minimal antara dua partai atau lebih.
Awal tahun 2011 ini wacana politik negeri ini diriuhkan oleh calon-calon RI 1 untuk pemilu 2014 mendatang. Beberapa nama coba diujikan kepada publik (lihat tabel 1). Konsekuensinya koalisi antar partai mulai semakin dinamis.
TAbEl 1. KEMungKInAn CAlon PrEsIDEn 2014 PArTAI
CAlon
Demokrat
Kristiani Yudhoyono, Mantan KSAD Djoko Santoso, Kepala BIN Soetanto, Menkopolhukham Djoko Suyanto, Pramono Edhie Wibowo, dan Anas Urbaningrum
PDI-P
Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, Tjahjo Kumolo
Golkar
Aburizal Bakrie
Gerindra PAN Belum ada
Prabowo Subianto Hatta Rajasa Surya Paloh, Sri Mulyani Indrawati
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Kemungkinan calon pertama adalah Aburizal Bakrie, yang merupakan kandidat terkuat dalam Partai Golkar. Pada pembukaan Rapimnas 1 partai Golkar Aburizal Bakrie menunjukkan optimisme bahwa pada Pemilu 2014 mendatang Golkar bisa menduduki kursi RI 1. Opti misme ini didukung dengan fakta kemenangan Golkar yang men capai 53 persen pada pilkada di hampir semua provinsi. Namun pada perkembangannya, Aburizal mengklarifikasi melalui blog pribadinya bahwa pencalonan tersebut masih tentatif, dan sekaligus mengungkap bahwa 4
konstelasi — www.p2d.org
capres Golkar 2014 nantinya akan ditentukan melalui survei popularitas. Secara politis, jabatan Ketua Umum Golkar yang sekarang ini dipegang Aburizal Bakrie menjadi faktor pendorong terkuat bagi Aburizal untuk mencalonkan diri sebagai capres, belum lagi dengan posisinya sebagai ketua Sekretariat gabungan. Selain itu, kekuatan ekonomi yang dimiliki Aburizal juga merupakan nilai lebih Aburizal dibanding dengan saingan lain dalam internal partai. Menurut majalah Forbes, Aburizal berada pada urutan kesepuluh dalam peringkat orang terkaya di
Indonesia dengan total kekayaan senilai US$2,1 miliar. Aburizal juga menguasai saham beberapa media yang dapat digunakannya sebagai medium kampanye. Namun dalam diri Aburizal terdapat dua negativitas yang bisa mengubur popularitasnya: ter katungnya nasib masyarakat korban lumpur Lapindo dan dugaan penyimpangan pajak perusahaan-perusahaan Bakrie Group. Hatta Rajasa terlihat berupaya menaikkan popularitas melalui iklan di berbagai media yang menampilkan dirinya. Kekuatan Hatta adalah pada pengalamannya
tegritas
Sumber foto: http://www.karawanginfo.com/wp-content/uploads/2009/07/pilpres-2009-2-karawang-info.jpg
dalam kabinet ekonomi yang bisa dimanfaatkan sebagai modal kampanye. Namun begitu, secara riil partai yang mengusungnya adalah partai minoritas yang hanya mendapatkan kursi DPR kurang dari sepuluh persen. Kemungkinan ketiga adalah Prabowo, yang pada pemilu lalu menjadi calon wakil presiden hasil koalisi Gerindra dengan PDI-P. Meskipun mengalami kekalahan, beberapa pihak berkilah bahwa peraihan suara yang hanya 26,8 persen dari pilpres 2009 dikarena kan posisi Prabowo yang hanya menjadi cawapres. Kekuatan Prabowo adalah pada posisinya sebagai Dewan Pembina Partai Gerindra, Ketua HKTI dan kemungkinan didukung kembali oleh PDI-P. Namun begitu, Prabowo dibayang-bayangi duga an pelanggaran HAM di TimorTimur dan juga penculikan aktivis tahun 1997-1998. Sementara pada PDI-P,
popularitas Megawati dianggap telah menurun seiring dengan kekalahannya pada pemilu lalu. Sementara Tjahjo Kumolo dengan posisinya sebagai Sekjen PDI-P tidak menjadi jaminan untuk menjadi kandidat, karena kebesaran PDI-P oleh banyak kalangan dianggap merupakan dampak turunan kharisma Soekarno kepada Megawati. Dengan begitu Puan Maharani merupakan kandidat yang paling mungkin menggantikan Megawati dalam pilpres 2014. Namun popularitas Puan sebagai klan Soekarno yang paling aktif dalam kegiatan partai pun belum sebesar Megawati, yang membuat PDI-P masih gamang dalam menimbang calon presiden 2014. Sebagaimana PDI-P, partai Demokrat juga masih mencari calon yang tepat. Susilo Bambang Yudhoyono telah menjabat dua kali, sehingga regenerasi menjadi persoalan mutlak yang harus
diselesaikan. Suasana demokratis Partai Demokrat pada kongres partai yang menghasilkan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum tidak serta merta meng hilangkan nuansa regenerasi melalui keluarga SBY sebagai pendirinya. Seperti yang diungkap The Jakarta Post pada 15 November 2010, SBY terlihat masih ingin melanjutkan kekuasaan melalui tangan keluarga maupun kerabatnya. Terdapat sederetan nama yang sedang dipertimbangkan SBY guna melanjutkan kekuasaan. Indikasi ini diperkuat dengan upaya SBY yang tetap berusaha memegang kendali Demokrat dengan menjadi Ketua Dewan Pembina Partai meskipun melepas jabatan Ketua Umum kepada Anas. Selain melalui partai yang sudah mapan, terdapat juga calon yang sedang membangun kekuatan politik guna mencalonkan diri sebagai presiden. Meskipun www.p2d.org — konstelasi
5
selalu berkilah, upaya Surya Paloh mengembangkan ormas Nasional Demokrat nampak jelas merupakan penggalangan dukungan politik. Bahkan Nasional Demokrat sangat mungkin berubah menjadi partai politik karena perkembangannya yang luas dan cepat. Nasional Demokrat bisa menjadi kekuatan politik yang kuat bagi Surya Paloh, karena keanggotaannya berasal dari beragam lapisan masyarakat dan berbagai partai politik. Kemungkinan calon yang terakhir tertambat pada Sri Mulyani Indrawati. Sebagai satu-satunya kandidat dari luar lingkaran parpol, Sri Mulyani diharapkan bisa mengawali era baru kepolitikan Indonesia. Popularitas Sri Mulyani menguat melalui kinerjanya dalam reformasi birokrasi pada kementerian keuangan dan juga karena posisinya sebagai korban politisasi bailout Century. Karakter kepemimpinannya yang tegas dan kompeten terbukti berhasil memperkuat perekonomian Indonesia. Sri Mulyani juga dikenal sebagai sosok yang jujur, bersih, dan memiliki integritas yang kuat terhadap tugas yang diembannya. Satu-satunya ganjal-
an bagi Sri Mulyani menuju bursa calon presiden adalah belum adanya dukungan yang kuat dari partai politik. Matriks koalisi CapresCawapres 2014 Prediksi perkiraan koalisi ini dibangun dengan membatasi pada tiga partai yang mendapat suara tertinggi serta partai yang mengusung calon presiden pada pemilu 2009 lalu. Partai Demokrat mungkin akan beraliansi dengan Golkar, PDI-P, ataupun mengusung calon Presiden tanpa aliansi. Jika Demokrat mengusung calonnya sendiri maka kemungkinan kuat Ani Yudhoyono akan menjadi Calon presiden dengan Anas Urbaningrum sebagai wakil presiden. Dodi Ambardi dari Lembaga Survei Indonesia menyebutkan bahwa popularitas Ani Yudhoyono mencapai 75 persen, dan Anas menjadi cawapres karena posisinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Sementara itu, jika beraliansi dengan Golkar hampir bisa dipastikan Demokrat hanya mendapatkan posisi sebagai cawapres, dikarenakan besarnya kekuatan ekonomi dan kekuatan
media Aburizal sebagai kandidat dari partai Golkar. Kemungkinan yang ketiga yang kemungkinannya sangat kecil bagi partai Demokrat adalah bersanding dengan PDI-P, karena memang hubungan keduanya selama ini kurang mesra. Ini terjadi jika Anas sebagai Ketua Umum bersikukuh untuk maju sebagai kandidat meskipun mendapat tekanan dari Dewan Pembina, yang secara antusias disambut oleh Megawati karena Demokrat merupakan partai dominan. Selain menjalin hubungan dengan PDI-P, pilihan terbaik yang dimiliki Anas adalah dengan menjadikan Sri Mulyani sebagai capres sementara Anas sebagai cawapres karena diprediksi akan mendulang suara yang cukup besar. Sementara itu partai Golkar hingga saat ini belum ditemui tokoh yang mampu menandingi Aburizal dalam internal partainya. Sehingga jika Golkar tidak beraliansi maka dalam internal partai akan terjadi perebutan kursi cawapres. Pada kondisi inilah Surya Paloh bisa kembali masuk ke dalam Golkar menjadi pasangan Cawapres Aburizal. Selain itu, potensi ekonomi dan media
TAbEl 2. ProsPEK AlIAnsI 2014 PArTAI Demokrat -- Golkar
Aburizal dan Ani Yudhoyono
Demokrat -- PDI-P
Megawati dan Anas
Demokrat -- (belum ada)
Sri Mulyani dan Anas
Golkar -- PDI-P
Aburizal dan Puan Maharani
PDI-P-- Gerindra
Prabowo dan Puan Maharani
PDI-P -- (belum ada)
Sri Mulyani dan Puan Maharani
Sumber: diolah dari berbagai sumber
6
CAPrEs DAn CAwAPrEs
konstelasi — www.p2d.org
Aburizal akan membuatnya mendominasi siapapun yang menjadi mitra aliansi. Jikapun Golkar kemudian beraliansi dengan PDIP, tentu Megawati tidak akan mau menjadi pasangan cawapres Aburizal, sehingga kemungkinan aliansi Golkar dengan PDI-P adalah melalui Puan Maharani. Pencalonan presiden pada PDI-P juga relatif monoton, dengan pilihan tetap pada Megawati atau beralih ke Puan Maharani. Dengan tanpa aliansi PDI-P akan mengusung Megawati sebagai calon presiden dan kemungkinan besar Puan Maharani akan menjadi cawapresnya meskipun tidak menutup kemungkinan bagi Tjahjo Kumolo, karena duet perempuan dianggap tidak akan meraup banyak simpati masyarakat. Sementara itu, pilihan untuk beraliansi kembali dengan Gerindra juga mengecil yang dikarenakan ambisi Prabowo untuk menjadi capres. Aliansi dengan Gerindra hanya mungkin jika Puan Maharani yang menjadi perwakilan PDI-P, itupun posisinya sebagai cawapres. Menerobos Kebuntuan Tak dapat dipungkiri bahwa figur-figur yang mondar mandir di panggung politik nasional saat ini memiliki nilai keterpilihan (elektabilitas). Tapi kita juga menyadari bahwa ada nama-nama yang pernah berkuasa tapi tak membawa perubahan yang berarti. Ada pula yang sedang ber kuasa tapi tak memberi terobosan. Terlebih lagi menggunakan ke kuasaannya untuk mempertahankan keboborokan yang dicipta kannya. Setiap dari mereka mencoba melanggengkan klan politiknya masing-masing. PDI-P sepertinya akan tetap diteruskan oleh keluarga Soekarno, Golkar diisi oleh para pengusaha kaya,
dan Demokrat semakin hari suasananya semakin ‘kekeluargaan’. Jika pasar politik di masa kini diatur lewat kartel politik, maka menuju 2014 mereka menggulirkan sistem oligarki, baik itu oligarki klan politik atau pun klan ekonomi. Substansi demokrasi adalah menolak kekuasaan yang dipegang segelintir orang secara berkelanjutan. Upaya mempertahankan kekuasaan melalui tambatan tongkat estafet pada kerabat, terlebih anggota keluarga adalah kesalahan fatal. Demokrasi selalu mencoba menghadirkan kebaruan politik yang diharapkan bisa membawa perubahan. Namun begitu, Pemilu 2014 mendatang nampaknya tidak menyediakan pilihan pemimpin yang mampu menghadirkan harapan perubahan. Jika ada kehendak politik untuk membuat perubahan, maka Sri Mulyani Indrawati (SMI) selayaknya masuk dalam bursa pemilihan. Jejak rekamnya menunjukkan sejalannya perkataan dan perbuatan. Perubahan di Indonesia tidak dapat diharapkan dari karakter individu megalomania, inferior, selalu merasa teraniaya, oportunis, mengandalkan kebesaran orang lain dari pada kemampuan diri. Indonesia tidak cukup dipimpin oleh orang baik, tapi juga orang yang berani (courage). Sri Mulyani dikenal tidak ragu mengambil keputusan, mempertimbangkan konsekuensi etis dari perbuatannya, dan selalu konsekuen. Integritasnya perlu diteruskan dengan elektabilitas akan figur dirinya. Partai-partai politik yang serius dengan refor masi Indonesia sepatutnya mempertimbangkan figur SMI. Sebab kepemimpinan yang tegas dan memiliki visi jelas menjadi san daran harapan kemajuan positif bangsa Indonesia di tengah realita
kerumitan reformasi birokrasi dan kesukaran pemberantasan korupsi. Analisis di atas merupakan prediksi awal yang tentutnya akan terus mengalami perubahan, terutama dengan perolehan kursi partai pasca pemilu legislatif 2014. Titik pastinya adalah demokrasi mengandung harapan akan kebaruan politik dan kemajuan kesejahteraan warga, dan dengannya pemimpin Indonesia nantinya harus mampu menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia n RZX
konstelasi d ite rb it ka n o le h Pe rhimp una n Pe nd id ika n De mo kra s i (P2D)
Re d a ks i
Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Fajrimei A. Gofar Fitria Achmada Hendrik A. Boli Tobi Ikravany Hilman Isfahani Ivan Iwa Abdul Rozak Otto Pratama Rachland Nashidik Rizki Setiawan Robby Kurniawan Robertus Robet Sahat K Panggabean Re d a ktur Ahli
Bagus Takwin Richard Oh Rocky Gerung Ala ma t Re d a ks i
Jl. Maleo X No.25, Bintaro Jaya Sektor 9, Tangerang 15229 Tel: (021) 7452992 Fax: (021) 7451471 http://www.p2d.org E-mail:
[email protected]
www.p2d.org — konstelasi
7
analisis
Pengkhianatan pada ndonesia, sebagai negara republik dengan sistem demokrasi, mengalami distorsi dalam memahami dirinya. Bayangkan, mengaku diri sebagai salah satu negara demokrasi yang terbesar di dunia, ternyata rezim-rezimnya di era reformasi gagal memahami demokrasi dan konstitusi UUD 1945. Kegagalan pertama adalah pemberian status khusus wilayah Aceh untuk menjalankan dan menerapkan syariah Islam sebagai dasar hukum dan tata-aturan. Hukum syariah merupakan bentuk hukum yang tidak dikenal di dalam tata-aturan hukum di bawah konstitusi, dan pelanggaran atas konstitusi ini dibenarkan atas nama ‘kekhususan’ wilayah Aceh. Adapun pada era Soekarno, kekhususan wilayah Aceh tersebut diterima sejauh untuk pelaksanaan kegiatan hukum adat dan penyelenggaraan di bidang pendidikan. Preseden tersebut mendorong beberapa wilayah mengajukan proposal sejenis dengan wajah berbeda. Mereka menyusun peraturan daerah (perda) yang pasal-pasalnya mengadopsi UU Kekhususan Aceh, yakni UU No.44/1999. Meski tidak meng adopsi sanksi pidana sebagaimana qanun-qanun dalam perda khusus Aceh, namun bentuk-bentuk larangan yang dihadirkan sama dengan larangan dalam aturan agama. Akibatnya, semua bentuk tindakan kekerasan atas nama agama menemukan dasar pijakannya. Rezim teokrasi muncul dalam ujud perda-perda ber nuansa agama (baik dalam ujud perda syariat maupun perda injili).
I
8
konstelasi — www.p2d.org
Sumber Foto: http://www.tribunnews.com/foto/berita/2010/12/13/spanduk_3.jpg
Rezim teokrasi ini berselingkuh dengan rezim pesolek yang mencoreng-moreng demokrasi demi citra diri. Perkara lainnya muncul barubaru ini. Presiden SBY mengkritik model pemerintahan Yogya yang dinilainya tidak demokratis, karena penentuan kepala daerah bukan didasarkan pada pemilihan, melainkan berdasarkan garis keturunan. Pernyataan SBY yang disampaikan dalam suatu rapat kabinet itu menyebutkan bahwa monarki bertentangan dengan sistem demokrasi yang dianut Indonesia. Pernyataan presiden tersebut berkaitan erat dengan RUU Keistimewaan DI Yogyakarta (RUU KDIY) yang diajukan pemerintah ke DPR. Dalam Pasal 3 Ayat (1) Huruf (a) RUU KDIY disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tata-pemerintahan yang
demokratis adalah: Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung. Dalam Pasal 13 RUU KDIY, Sultan Yogya dan Adipati Paku Alam akan duduk sebagai Parardhya, atau semacam pemangku adat, yang memiliki wewenang, di antaranya: memberikan arahan umum kebijakan, memberikan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah istimewa (perdais), mengusulkan pemberhentian gubernur/wakil jika terbukti bersalah secara hukum, dan lain-lain. Intinya Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam tidak otomatis akan menjadi gubernur dan wakil gubernur di Provinsi DIY. Pernyataan tersebut langsung mendapat tanggapan luas, baik yang pro maupun kontra, juga yang menilainya dari sisi lain yang bukan sekedar pro dan kontra. Yang mendukung pernyataan
Demokrasi
SBY, menolak jika posisi jabatan publik yang diwariskan secara turun-temurun sebagaimana lazimnya pada sistem monarki. Dalam argumen pro-SBY ini digarisbawahi bahwa sistem demokrasi tidak mengenal jabatan publik atas dasar garis keturunan, melainkan pilihan rakyat secara langsung. Monarki di DI Yog yakarta tentu tidak bisa disamakan begitu saja dengan model monarki di Thailand, Inggris, Brunei atau negara-negara Arab. Lingkup DIY hanyalah provinsi, di mana Gubernur bertanggungjawab se cara struktural kepada Presiden RI, sekalipun ia tidak bisa diganti kan begitu saja berdasarkan jangka waktu tertentu. Keunikan ini me mang memerlukan analisis yang lebih detil untuk mendefiniskan monarki seperti apakah yang dipratikkan di DI Yogyakarta. Pandangan anti-SBY me -
nyandarkan argumennya pada latar-belakang sejarah bergabungnya Kesultanan Ngayogyokarto Hadiningrat ke dalam negara Republik Indonesia lewat Maklumat Dua Raja, yang kemudian dipatenkan di dalam Pasal 18 UUD 1945. Ujudnya adalah semacam kontrak politik bahwa Sultan Yogya akan menjadi Kepala Daerah dan Adipati Paku Alam sebagai wakilnya, dengan batas waktu yang tidak ditentukan dan penerusnya diturunkan berdasarkan garis keturunan yang berlaku di kedua kerajaan tersebut. Inilah unsur keistimewaan Yogya sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Konteks inilah yang harus dihormati sebagai kontrak politik antara wilayah Yogya yang independen dengan Republik Indonesia yang baru berdiri. Argumen ini pun mendapat kri tik, di antaranya, kontrak politik harus menilik konteks pembentukannya, yang pada saat ini dinilai sudah tidak lagi relevan. Dalam kritik ini, kontekstualitas kesejarahan dipandang masih bisa dikoreksi sejauh untuk menghadirkan suatu keadaan yang lebih baik. Pandangan ketiga mencoba melampui dua pandangan ter sebut, dengan menyoroti persoal an kepemimpinan nasional, dalam hal ini SBY. Menurut pandangan ini titik permasalahannya terletak pada ketidakmampuan SBY dalam memimpin dan mengelola politik, sehingga berbagai persoalan (termasuk keistimewaan Yogyakarta) menjadi rumit dan tak terselesaikan. Argumennya bahwa Yogya tidak demokratis, tidak ditujukan juga kepada Aceh
yang memberlakukan Syariat Islam, yang juga bertentangan dengan demokrasi. Termasuk sejumlah peraturan daerah sejenis yang mengadopsi nilai-nilai agama yang dianggap angin lalu. Padahal perda semacam itu mendorong sikap diskriminatif dan pengabaian akan hak-hak asasi sebagai pijakan dasar sistem demokrasi. Ketidak-konsistenan SBY menyebabkan soal demi soal terus mengemuka, yang bahkan bertentangan dengan konstitusi, dan tidak diselesaikan, dibiarkan terus terburai tak teratur, membuat sistem tak berjalan efektif. SBY sepertinya lebih mementingkan angka-angka statistik yang mendukung partainya untuk mendulang suara dalam pemilu, daripada nilai-nilai dasar yang penting untuk pondasi republik. Kekacauan administrasi penyelenggaraan negara, yang terwujud dalam pertentangan antara perda atau undang-undang bernuansa agama dengan konstitusi dasar, diabaikan begitu saja karena strategi politiknya adalah bagaimana mendapatkan suara mayoritas. Namun, SBY justru mengutakatik Yogya atas nama demokrasi. Monarki dan perda atas nama agama keduanya merupakan musuh demokrasi, namun yang juga tidak kalah berbahayanya adalah kepemimpinan yang menggunakan kedua musuh demokrasi tersebut menjadi mainan politik hanya demi sejumput kekuasaan, dan menjadikan republik yang didasarkan dan dicitacitakan pada nilai-nilai demokrasi, menjadi kacau-balau, berantakan dan tanpa arah n DHX www.p2d.org — konstelasi
9
analisis
Kesungguhan Mere
khir tahun 2010, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Selain itu juga pemerintah telah menyelesaikan Rancangan Per aturan Pemerintah (RPP) Refor ma Agraria. Terbitnya PP No. 11 tahun 2010 dan RPP mengenai Reforma Agraria adalah upaya Pemerintah SBY untuk me realisasikan janji peningkatan kesejahteraan rakyat khususnya para petani.
A
Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan rakyat Pada tanggal 31 Januari 2007, dalam pidato awal tahun, SBY menyatakan bahwa, ‘prinsip Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat [...] saya anggap mutlak untuk dilakukan.’ Komitmen tersebut ditegaskan lagi oleh pemerintah pada pada tanggal 21 Oktober 2010 bertepatan dengan peringatan Hari Agraria Nasional. Dalam pidatonya, SBY me negaskan bahwa “tujuan besar negara di bidang pertanahan adalah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Mari kita camkan betul visi besar ini. Agar rakyat jadi tuan tanah, tuan yang memiliki bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.’ Menurut Kepala BPN, Joyo Winoto, ada empat pegangan yang mendasari pengelolaan keagrariaan. Pertama, harus bisa berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Kedua, harus menjadi sumber-sumber penataan keadilan. Yang ketiga, harus sus10
konstelasi — www.p2d.org
Sumber Foto: Istimewa
tainability, khususnya penekanan pada keadilan antar generasi. Terakhir, harus memberikan social harmony, dalam kaitan dengan upaya mengikis dan mengurangi sengketa-sengketa soal tanah (Simposium Nasional: Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahtera-
an Rakyat, Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, 2010:19). Dari pernyataan keduanya di atas, semangat untuk memberikan rasa adil dan memenuhi kesejahteraan rakyat menjadi landasan pemerintah untuk melaksanakan reformasi agraria. Pernyataan itu
eformasi Agraria kemudian diikuti dengan pembuatan dan penetapan PP No.11 tahun 2010 dan PP Reforma Agraria. Tetapi masalah agraria tidak cukup hanya dengan retorika pemerintah yang ingin berpihak kepada kepentingan rakyat maupun pembuatan aturan hukumnya. Kita masih ingat, perjalanan sejarah agraria di Indonesia menunjukkan bahwa pernyataan yang radikal dari Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959 dan terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 yang sangat berpihak pada kepentingan petani akhirnya kandas oleh kekuatan politik yang anti pada politik agraria pemerintah Soekarno. Dalam konteks kekinian, situasi keagrariaan belum menghadapkan kekuatan yang pro melawan kekuatan politik yang anti pada program reforma agraria pemerintah SBY. Pada masa lalu, terbitnya UUPA 1960 segera memperhadapkan kelompok yang pro dengan yang anti. Kelompok yang anti pada rencana land reform bersandar pada kekuatan militer, kelompok bisnis dan organisasi tani yang memihak pada petani kaya seperti PETANI dan PERTANU. Sedangkan yang pro bersandar pada Soekarno, PKI maupun BTI sebagai organisasi tani terbesar saat itu. Situasi yang terjadi pasca pemberlakuan UUPA 1960 pada masa lalu mungkin belum akan terjadi dalam waktu dekat ini, tetapi potensi perlawanan tetap ada. Kebijakan reformasi agraria sesungguhnya adalah bagian dari
janji kampanye SBY sejak 2004. Namun baru pada periode kedua pemerintahannya, reforma agraria terealisir lewat produk hukum. Tentu saja banyak pihak mempertanyakan mengapa harus menunggu sampai enam tahun, baru keluar produk hukum reforma agraria. Konflik kepentingan Kontestasi pelbagai kepentingan turut mewarnai perjalanan politik agraria pemerintah. Pada tahun 2006, terbit Perpres No.65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Keluarnya produk hukum itu dipandang oleh sejumlah pengamat agraria sebagai menguatnya lobi kelompok bisnis dalam politik agraria di pemerintahan SBY. Kritik terhadap politik agraria Pemerintahan SBY mendorong pemerintah untuk kembali pada komitmen awal politik agraria yang ingin memberikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.Terbitnya PP No.11 tahun 2010 dan diikuti dengan RPP tentang Reforma Agraria menjadi titik balik keberpihakan pemerintah terhadap rakyat. Adanya PP No.11 tahun 2010 mengharuskan pemerintah untuk menindak sejumlah badan usaha yang selama ini menggunakan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) tak sesuai peruntukkannya. Tanah hasil penertiban itu akan diberi kan kepada kelompok masyarakat yang tak memiliki tanah (tetapi dengan syarat tanah tersebut tak boleh dimanfaatkan lagi untuk
obyek spekulan) dan untuk kepentingan negara. Namun demikian, obyek tanah terlantar yang hanya ditekankan pada HGU dan HGB dari suatu badan hukum dan bukan perseorangan dikritik oleh sejumlah pihak. Di Indonesia, tak jarang dijumpai seorang individu mempunyai tanah yang sangat luas, dan seringkali tanah tersebut juga tidak dimanfaatkan padahal masih banyak rakyat yang tak memiliki tanah. Memang kalau dibandingkan dengan UUPA Tahun 1960, PP No.11 Tahun 2010 lebih lunak, khususnya soal obyek tanah terlantar. UUPA Tahun 1960 punya dampak yang sangat luas juga dalam soal pemilikan tanah. Tidak saja perusahaan-perusahaan, petani-petani kaya yang punya tanah yang sangat luas merasa terancam dengan terbitnya UUPA apalagi ditambah dengan adanya aksi-aksi sepihak di tingkat masyarakat makin membuat kelompok petani-petani kaya terancam. Kelompok petani kaya tak tinggal diam dan melakukan perlawanan yang keras sehingga menajamkan pertentangan kelas di pedesaan. Mungkin pertimbangan aspek historis dari kategorisasi tanah terlantar seperti yang terjadi di masa lalu, menjadi dasar pertimbangan Pemerintah SBY tak memasuki wilayah tersebut. Aspek lain yang dikritik dari pelaksanaan tanah terlantar adalah adanya kemungkinan mengakali PP No.11 tahun 2010 lewat prosedural penetapan tanah terlantar. Suatu badan hukum yang sudah ber tahun-tahun menelantarkan www.p2d.org — konstelasi
11
Sumber Foto: bpn.go.id
tanah, ketika ada peringatan bahwa tanahnya terindikasi sebagai tanah terlantar, bisa saja dalam waktu singkat melakukan aktivitas usaha hanya untuk menghapus status ter indikasi tanah terlantar. Juga tak tertutup kemungkinan bagi oknum BPN untuk bermain mata dengan badan hukum yang terindikasi sebagai obyek tanah terlantar. reforma Agraria Plus Setelah melakukan pembelajaran dalam praktek-praktek reforma agraria yang terjadi baik dalam sejarah Indonesia maupun perbandingan dengan praktek reforma agraria di negara lain, pemerintah Indonesia menelur kan program Reforma Agraria Plus. Yang dimaksud dengan reforma agraria plus adalah pemerintah tak sekedar mem bagi-bagi tanah kepada rakyat, tetapi sekaligus menyediakan akses bagi rakyat untuk me ngembangkan kesejahteraannya. Jadi reforma agraria plus itu mencakup aset dan akses. Pemerintah tak bisa hanya membagi tanah kemudian membiarkan rakyat sendirian me 12
konstelasi — www.p2d.org
ngembangkan kesejahteraannya. Adanya reforma agraria plus meng ikat pemerintah untuk secara terus menerus mendampingi dan memberdayakan masyarakat. Di sinilah peran etis negara muncul. Negara tak sekedar hanya memberikan sumber daya kepada rakyatnya tetapi juga sekaligus bertanggung jawab untuk membantu masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Upaya reforma agraria yang diinisiasi oleh negara jangan hanya dilihat sebagai bentuk ketergan tungan pada kemauan baik negara, sebagaimana kritik yang pernah disampaikan oleh John P.Powelson dan Richard Stock. Keduanya menyatakan bahwa reforma agraria yang hanya didasarkan pada inisiatif negara sepenuhnya (land reform by grace) tak mampu meningkatkan kesejahteraan petani (Endang Suhen dar, Land Reform by Leverage, dalam Menuju Keadilan Agraria, 70 Tahun Gunawan Wiradi, AKATIGA, 2002). Kelemahan dari land reform by grace adalah kalau rejim pemerintahnya tak lagi memberi perhatian pada refor ma agraria maka bagaimana dengan
nasib para petani. Powelson dan Stock mengusulkan dilakukannya reforma agraria yang didasarkan pada hasil perjuangan organisasi tani (land reform by leverage). Sulit membayangkan reforma agraria tanpa peran negara. Hampir tak ada praktek land reform by leverage yang terjadi tanpa peran negara untuk melaksanakan reforma agraria. Bisa saja reforma agraria diperjuangkan oleh organisasi-organisasi tani tetapi perjuangan itu tetap harus bermuara pada politik negara untuk melakukan reforma agraria. Dalam konteks reforma ag raria kekinian, reforma agraria plus yang dicanangkan oleh pemerintahan SBY harus dilihat sebagai peluang untuk segera mendesakkan agenda keagrarian yang lebih menyentuh nasib rakyat. Pemerintah harus terus didorong untuk merealisasikan reforma agraria agar tidak tergoda lagi untuk mengorbankan keadilan rakyat demi kepentingan pemodal, dan rakyat harus memperkuat dirinya sendiri melalui organisasi petani yang betul-betul memperjuangkan nasib petani di Indonesia n HBX