Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN SURAT KUASA JUAL TERHADAP PENJUALAN OBJEK HAK TANGGUNGAN DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET Alfis Setyawan1 1
Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Internasional Batam, Batam, Jl Gajah Mada, Simpang UIB Baloi Sei Ladi, Kampus UIB, Batam 29442, Indonesia
Penyesuaian Pengarang E-mail:
[email protected] No Hp: +62811703883
ABSTRAK Penggunaan surat kuasa jual yang diberikan dari debitur kepada kreditur untuk penjualan objek hipotek , hal ini tidak sesuai dengan ketetapan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hipotek. Apabila penulis merujuk kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Pasal 15 ayat (1) berbunyi: Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan Hak Tanggungan; b. tidak memuat kuasa substitusi; c. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utangdan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. Pemberi kredit dan beban hipotik objek pembeli tidak memperoleh perlindungan sah, persetujuan membeli tidak menjumpai kebutuhan dari kebutuhan kebenaran kesepakatan seperti ditetapkan di Artikel 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Seharusnya dalam praktek pengikatan kredit oleh bank dengan nasabah debitur, bank tidak lagi mempersiapkan surat kuasa jual, karena telah ada lembaga Hak Tanggungan, akan tetapi surat kuasa jual tetap ada disetiap pengikatan kredit, dengan alasan bank sangat membutuhkan surat kuasa jual tersebut. Kata kunci: surat kuasa jual, hak tanggungan dalam penyelesaian kredit macet.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Di Era pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat dewasa ini, semakin meningkatnya kecendrungan masyarakat untuk mendapatkan modal atau dana dari bank, dimana kebutuhan terhadap modal dari bank tersebut tidak lain adalah untuk pengembangan usaha atau bisnis. Selain berbisnis pengembangan usaha juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, penyaluran terhadap kebutuhan modal kepada masyarakat yang dilakukan oleh bank disebut dengan istilah kredit atau pembiayaan. Adapun pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank, merupakan salah
1
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
satu tugas dari bank, sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyatakan: ”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Untuk memperoleh kredit dari bank seseorang debitur harus melalui beberapa tahapan, yaitu mulai dari tahapan pengajuan aplikasi/permohonan kredit sampai dengan tahap penerimaan kredit, setelah permohonan kredit diterima, selanjutnya dibuatlah perjanjian kredit antara bank dengan debitur. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok (prinsipiil) yang bersifat riil. Arti riil yang dimaksud di sini adalah terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah debitur, di samping perjanjian kredit, antara bank dengan nasabah debitur juga dibuatkan perjanjian jaminan, surat pengakuan utang dan surat kuasa menjual. Ketentuan penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, mewajibkan kepada bank dalam pemberian kredit untuk membuat perjanjian secara tertulis. Keharusan perjanjian perbankan berbentuk tertulis telah ditetapkan dalam pokok – pokok ketentuan perkreditan oleh Bank Indonesia. Pokok pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia salah satunya memuat “Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah di buat dalam bentuk perjanjian tertulis”. Dalam praktek perbankan, perjanjian kredit yang dibuat secara tertulis, dibedakan dalam dua bentuk perjanjian yaitu perjanjian di bawah tangan dan perjanjian otentik. Perjanjian kredit pada bagian isi, umumnya memuat pasal-pasal mengenai: 1. Pasal yang mengatur jumlah kredit 2. Pasal yang mengatur jangka waktu kredit 3. Pasal yang mengatur bunga kredit 4. Pasal yang mengatur syarat-syarat penarikan dan pencairan kredit 5. Pasal yang mengatur penggunaan kredit 6. Pasal yang mengatur cara pengembalian kredit 7. Pasal yang mengatur tentang jaminan kredit 8. Pasal yang mengatur kelalaian debitur atau wanprestasi 9. Pasal yang mengatur hal-hal yang harus dilakukan debitur 10. Pasal yang mengatur pembatasan terhadap tindakan
2
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
11. Pasal yang mengatur asuransi barang jaminan 12. Pasal yang mengatur pernyataan dan jaminan 13. Pasal yang mengatur perselisihan dan penyelesaian perselisihan 14. Pasal yang mengatur keadaan memaksa (force majeure) 15. Pasal yang mengatur pemberitahuan dan komunikasi 16. Pasal yang mengatur perubahan dan pengalihan Khusus mengenai jaminan, jaminan kredit menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu kenyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Selain itu pengertian anggunan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 ayat 23 adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Secara umum jaminan terbagi atas dua yaitu jaminan perseorangan (personal guaranty) dan jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan khusus untuk tanah tidak lagi menggunakan
lembaga
hipotik
dan
credietverband,
lembaga
hipotik
dan
credietverband telah dicabut sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Hak Tanggungan). Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, menyebutkan pengertian hak tanggungan, yaitu: ”Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tetang Peraturan Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu uang pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”. Di samping jaminan kredit/akta hak tanggungan, dalam pemberian kredit juga dibuatkan oleh notaris akta surat kuasa menjual antara bank dengan nasabah debitur. Pada umumnya surat kuasa menjual tersebut berisikan, debitur sebagai pemberi kuasa memberikan kekuasaan atau kewenangan kepada bank sebagai penerima kuasa, untuk melakukan transaksi jual beli, termasuk perbuatan-perbuatan yang dibutuhkan dalam melakukan transaksi jual beli.
3
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Surat kuasa menjual atau sering juga disebut dengan istilah surat kuasa jual merupakan surat kuasa yang telah disiapkan oleh bank melalui notaris terlebih dahulu, disetiap pemberian fasilitas kredit kepada nasabah debitur. Surat kuasa jual ini dipersiapkan oleh bank, kebanyakan dimotifasi oleh keinginan untuk mempermudah penjualan objek jaminan dikemudian hari apabila debitur ingkar janji wanprestasi atau macet. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, seharusnya dalam praktek pengikatan kredit oleh bank dengan nasabah debitur, bank tidak lagi mempersiapkan surat kuasa jual, karena telah ada lembaga Hak Tanggungan. Di dalam Prakteknya Ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak diindahkan akan tetapi surat kuasa jual tetap ada disetiap pengikatan kredit, dengan alasan bank sangat membutuhkan surat kuasa jual tersebut. Di dalam pengurusan hak tanggungan, penggunaan lembaga hak tanggungan membutuhkan waktu lama untuk pelunasan pinjaman debitur. Namun, hal lain yang dilakukan oleh bank cendrung melakukan tindakan yang lebih cepat dan praktis serta biaya yang ringan. Lamanya proses penjualan objek jaminan dengan mempergunakan lembaga hak tanggungan, secara langsung mempengaruhi kondisi keuangan bank, terutama bank-bank kecil seperti Bank Perkreditan Rakyat/BPR. Hal inilah yang mendorong penulis melakukan analisis mengenai yang pertama kedudukan surat kuasa jual setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan kedua perlindungan hukum kepada kreditur dan pembeli, terhadap transaksi jual beli objek hak tanggungan yang menggunakan surat kuasa jual.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu meneliti sumber-sumber kepustakaan yang relevan dengan topik penelitian, meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumbersumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas. Data-data yang diperoleh kemudian di analisis secara deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendiskripsikan atau menggambarkan fakta-fakta yang ada dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat mengenai penggunaan surat kuasa jual dalam penjualan hak tanggungan. 4
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kedudukan Surat Kuasa Jual Setelah Diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Sebelum berbicara surat kuasa menjual terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan surat kuasa. Surat kuasa secara sederhana dapat didefenisikan sebagai kesepakatan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, dimana pemberikan
kuasa
memberikan
wewenang
kepada
penerima
kuasa
untuk
melaksanakan suatu urusan tertentu. Pemberian kuasa diatur di dalam Buku III Bab XVI mulai dari Pasal 1792 sampai Pasal 1819 KUHPerdata, sedangkan kuasa (volmacht) tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata maupun di dalam perundang-undangan lainnya, akan tetapi diuraikan sebagai salah satu bagian dari pemberian kuasa. Pasal 1792 KUHPerdata berbunyi sebagai berikut “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberi kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Didasarkan kepada hal tersebut dapat dilihat, bahwa unsur-unsur dari pemberian kuasa adalah: 1. Persetujuan 2. Memberi kekuasaan kepada penerima kuasa 3. Atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan 1
Menurut Subekti mendefinisikan surat kuasa merupakan perjanjian antara
pemberi kuasa dengan penerima kuasa atau perjanjian pemberian kuasa, yang mana seseorang memberikan kekuasaan atau kewenangan kepada orang lain yang menerimanya, untuk dan atas namanya melaksanakan atau mengerjakan sesuatu urusan, maksud melaksanakan atau mengerjakan sesuatu urusan adalah melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang mempunyai akibat hukum atau melahirkan suatu akibat hukum. Berdasarkan defenisi yang dikemukakan Subekti di atas, maka surat kuasa harus memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata yaitu: 1. Adanya kesepakatan atau persetujuan para pihak 2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan 1
R Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1999, hal. 140-141 5
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
3. Suatu hal tertentu, artinya memiliki objek tertentu yang jelas dan tegas 4. Suatu sebab yang halal, artinya tidak boleh bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam prakteknya bentuk surat kuasa yang banyak digunakan, adalah surat kuasa bawah tangan dan surat kuasa akte autentik, surat kuasa bawah tangan merupakan surat kuasa yang dibuat sendiri oleh kedua belah pihak antara si pemberi kuasa dengan si penerima kuasa tanpa melibatkan pejabat umum/notaris. Adapun surat kuasa akta autentik adalah surat kuasa yang dibuat oleh pejabat umum/notaris atas permintaan pemberi kuasa dan penerima kuasa. Berdasarkan uraian di atas, secara sederhana surat kuasa jual dapat didefenisikan, sebagai kuasa dari pemilik barang kepada pihak lain sebagai penerima kuasa, untuk melakukan perjualan atas barang tertentu yang dimiliki oleh pemilik barang, termasuk melakukan perbuatan-perbuatan untuk kepentingan penjualan barang tersebut. Penerima kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa sebagai pemilik atas barang. Surat kuasa jual termasuk perjanjian artinya sepanjang ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata terpenuhi maka surat kuasa jual tersebut sahlah sebagai sebuah perjanjian antara para pihak, baik berbentuk akta di bawah tangan maupun berbentuk akta autentik. Selanjutnya berbicara tentang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (Undang-Undang Hak Tanggungan) yang diundangkan pada 9 April 1996, Undang-Undang Hak Tanggungan ini lahirnya merupakan amanat dari Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang berbunyi “hak tangungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 diatur dengan Undang-Undang”. Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 berisikan ketentuan yang mengatur bahwa hak milik, hak guna usaha dan hak guna banguna dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Undang-Undang Hak Tanggungan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya. b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada.
6
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
c. Memenuhi asas spsialisitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.2 Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan unifikasi undang-undang yang mengatur tata cara hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah beserta bendabenda yang berkaitan atas tanah, dengan diundangkannya Undang-Undang Hak Tanggungan maka ketentuan-ketentuan hypotheek sepanjang mengenai tanah (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku II) dan ketentuan Credietverband Stb. 1908542 juncto Stb.1909-584 sebagaimana telah diubah dengan Stb.1937-190 juncto Stb. 1937-191 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Berdasarkan seluruh ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan maka didapatkan bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan ini berbuatan beberapa asas-asas yaitu: 1. Asas sistem tertutup (gesloten system) artinya selain dari hak jaminan kebendaan yang diatur Undang-Undang Hak Tanggungan, Undang-Undang Rumah Susun Nomor 16 Tahun 1985, Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman
Nomor
4
Tahun
1992
dan
Undang-Undang
Jaminan
Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, tidak dapat diadakan hak jaminan kebendaan lain berdasarkan kesepakatan antara para pihak. Hak kebendaan ini bersifat absolut (mutlak), karena itu bersifat limitatif (terbatas). 2. Asas Droit de Preference artinya kreditur pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak yang didahulukan/diutamakan untuk dipenuhi piutangnya. Jika debitur pemberi Hak Tanggungan Wanprestasi (ingkar janji) dalam melunasi utang-utangnya kepada kreditur, maka objek Hak tanggungan milik debitur dijual secara lelang dan hasil penjualan tersebut dibayarkan untuk pelunasan utang kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan. Apabila masih ada sisa dari hasil penjualan objek Hak Tanggungan tersebut dibayarkan kepada kreditur lainnya secara pari passu (konkuren), dan jika sisanya masih ada dan utang debitur semuanya sudah lunas, maka sisa hasil penjualan objek Hak Tanggungan tersebut dikembalikan kepada debitur. (Vide penjelasan umum angka 3 juncto angka 4, Pasal 5 Undang-Undang Hak Tanggungan dan
2
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan 7
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Pasal 6 dan penjelasan Pasal 6 juncto penjelasan umum angka 4 UndangUndang Hak Tanggungan). 3. Asas Droit de Suite yaitu Hak Tanggungan memiliki sifat yang sama dengan Hak Kebendaan yaitu Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya di tangan siapapun objek Hak Tanggungan itu berada. Apabila objek Hak Tanggungan sudah beralih kepemilikan, misalnya sudah dijual kepada pihak ketiga, kreditur tetap mempunyai hak untuk melakukan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan jika debitur wanprestasi (ingkar janji). (Vide Pasal 7 Jo Penjelasan Umum angka 3 huruf b Undang-Undang Hak Tanggungan). 4. Asas Spesialitas yang artinya pertelaan mengenai objek Hak Tanggungan yang terwujud dalam uraian mengenai objek Hak Tanggungan yang dituangkan dalam sertifikat, atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas dan luas tanahnya. Syarat ini merupakan syarat esensial bagi eksistensi Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). (Vide Penjelasan Umum angka 3 huruf c UndangUndang Hak Tanggungan dan baca pula Pasal 11 ayat (1) huruf e UndangUndang Hak Tanggungan dan penjelasannya). 5. Asas Publisitas artinya adalah pendaftaran dan pencatatan dari pembebanan objek Hak Tanggungan sehingga terbuka dan dapat dibaca dan diketahui umum. Pendaftaran dan pencatatan tersebut dilakukan pada buku tanah atau buku tanah Hak Tanggungan dan dilakukan oleh pejabat terkait dan berwenang untuk itu di Kantor pertanahan di wilayah mana tanah tersebut berada. (Vide Undang-Undang Hak Tanggungan Penjelasan umum angka 3c Undang-Undang Hak Tanggungan dan Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Hak Tanggungan dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan). 6. Asas mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusi yang artinya adalah bahwa pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan bagi pemegang Hak Tanggungan harus memiliki kepastian hukum dan mudah untuk dieksekusi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan adanya irah-irah "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" pada sertifikat Hak Tanggungan. 7. Asas Accessoir yang artinya adalah Hak Tanggungan adalah perjanjian tambahan (ikutan) yang mengikuti perjanjian pokoknya (perjanjian utang8
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
piutang),
dan
tidak
merupakan
perjanjian/hak
yang
berdiri
sendiri
(zelfstandigrecht) Adanya dan hapusnya perjanjian ikutan (accessorium tergantung dari perjanjian pokok. (Vide Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasan Umum angka 8 Undang-Undang Hak Tanggungan). Di dalam KUH Perdata asas ini diatur dalam Pasal 1133, 1134 alinea kedua dan Pasal 1198 KUH Perdata. 8. Asas Pemisahan horisontal yang artinya Hak atas tanah terpisah dari bendabenda yang melekat di atasnya. Undang-Undang Hak Tanggungan menganut asas pemisahan horisontal, pemberlakuannya tidak secara otomatis. Harus terlebih dahulu diperjanjikan antara para pihak di dalam APHT. Penerapan asas ini dalam Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan terobosan dari asas perlekatan vertikal yang dianut oleh KUHPerdata. (Vide Penjelasan Umum angka 6 Undang-Undang Hak Tanggungan). 9. Asas perlekatan (Accessie) yang artinya benda-benda yang melekat sebagai kesatuan dengan tanah, karena hukum mengikuti hukum benda pokok. Meskipun Undang-Undang Hak Tanggungan tidak menganut asas perlekatan vertikal sebagaimana KUHPerdata, namun apabila para pihak sepakat menghendakinya, maka asas perlekatan vertikal dapat pula digunakan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dengan catatan harus dituangkan secara tegas di dalam APHT. 10. Asas Iktikad Baik yang artinya iktikad baik yang bersifat objektif yaitu iktikad baik yang sesuai kepatutan yang berlaku di dalam masyarakat pada umumnya. 3 Penjualan obyek Hak Tanggungan berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan atau istilah lainnya eksekusi atas obyek hak tangungan, dapat dilihat kemudian ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dimana Pasal 6 ini mengatur apabila debitur wanprestasi maka objek hak tanggungan dapat dijual untuk pelunasan piutang melalui pelelangan umum, artinya dapat dipahami bahwa berdasarkan Pasal 6 tersebut, bank atau kreditur tidak diperbolehkan untuk menjual sendiri objek hak tanggungan. Penjualan obyek hak tanggungan oleh kreditur secara sendiri dapat dilakukan sepanjang terpenuhi ketentauan Pasa 20 ayat 2 Undang-Undang Hak Tanggungan yang mengatur atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggunga penjualan obyak hak tanggungan 3
Lentera.com. Media Hukum dan Informasi Umum 9
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu dapat diperoleh harga tertinggi dan yang menguntungkan semua pihak, didasarkan atas ketentuan ini dikaitkan dengan surat kuasa jual, maka proses penjualan dengan menggunakan surat kuasa jual diperkenankan adanya kesepakatan antara kreditur dengan debitur untuk melakukan penjualan obyek jaminan hak tanggungan, kesepakatan antara kreditur dengan debitur ini adalah kesepakat yang disepakati setelah terjadinya wanprestasi oleh debitur atau setelah kredit mangalami kemacetan. Dalam hal surat kuasa jual yang telah disiapkan oleh kreditur dan ditandatangani pada waktu pemberian atau penyaluran kredit kepada debitur atau bersamaan pada waktu penantanganan perjanjian kredit antara kreditur dengan debitur, maka terhadap surat kuasa jual tersebut tidak dikenal dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, sehingganya surat kuasa jual yang demikian secara hukum tidak mempunyai kedudukan hukum apapun, penjualan atas obyek hak tanggungan yang dilakukan oleh kreditr yang dilandaskan kepada surat kuasa jual ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan. Perlindungan Hukum Kepada Kreditur Dan Pembeli, terhadap Transaksi Jual Beli Objek Hak Tanggungan Yang Menggunakan Surat Kuasa Jual Sebelum membahas tentang perlindugnan hukum terhadap kreditur dan pembeli objek jaminan hak tanggungan maka terlebih dahulu perlu dijelaskan tentang jaminan, istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu zekerheid, selain istilah jaminan dikenal juga dengan agunan, istilah agunan dapat di lihat di dalam ketentuan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, agunan adalah “jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”. Menurut Badriyah Harun4 tentang jaminan merupakan kebutuhan kreditur untuk memperkecil resiko apabila debitur tidak mampu menyelesaikan segala kewajiban yang berkenaan dengan kredit yang telah dikucurkan. Adanya jaminan apabila debitur tidak mampu membayar, maka kreditur dapat memaksa pembayaran atas kredit yang telah diberikan. Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi 4
Bariyah Harun, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Yokyakarta: Pustaka Yustisia, 2010, hal. 67 10
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
tanggungan untuk segala perikatan perorangan, ketentuan ini mengandung prinsip yang bersifat umum dari hukum jaminan, yaitu: a. Kekayaan seseorang merupakan jaminan dari utang-utangnya. b. Kekayaan tersebut mencakup pula benda-benda yang akan diperoleh/dimiliki kemudian hari. c. Kekayaan tersebut meliputi benda-benda yang bergerak dan tidak bergerak. Jaminan terbagi atas 2 macam yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. 1. Jaminan Perorangan Jaminan perorangan dalam Pasal 1820 KUHPerdata disebut sebagai penanggungan utang, dalam Pasal 1820 KUHPerdata tersebut disebutkan bahwa jaminan perorangan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga, guna kepentingan pihak si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang tersebut tidak memenuhinya. Pelaksanaan jaminan oleh pihak ketiga ini, Pasal 1831 KUHPerdata memberikan pelindungan kepada pihak ketiga, yang berbunyi “si penanggung (pihak ketiga) tidaklah wajib membayar kepada si berpiutang selain jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi hutangnya”. Dengan adanya ketentuan Pasal 1831 KUHPerdata ini, apabila debitur wanprestasi, pihak ketiga sebagai penjamin belum mempunyai kewajiban untuk membayar utang debitur, apabila harta-harta debitur belum disita dan dijual untuk pelunasan utangnya, artinya debitur tetap mempunyai kewajiban terlebih dahulu untuk membayar seluruh utangnya, sesuai dengan hakekat ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata. 2. Jaminan Kebendaan Jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada (droit de suite) dan dapat dialihkan. Jaminan kebendaan juga mempunyai sifat prioriteit artinya siapa yang memegang jaminan atas jaminan kebendaan lebih dahulu maka akan didahulukan pelunasan hutangnya dibandingkan dengan pemegang jaminan hak kebendaan kemudian.5
5
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Bank, Bandung: Alfabeta, 2009, hal. 147 11
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Menurut pendapat Sri Soedewi Masjchoed Sofyan, jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Jaminan imateriil (perorangan) adalah jaminan yang menimbulkan
hubungan
langsung
pada
perorangan
tertentu,
hanya
dapat
dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya. Jaminan kebendaan, dapat digolongkan menjadi 5 macam, yaitu: 1. Gadai (pand) yang diatur di dalam Bab 20 Buku II KUHPerdata. 2. Hipotek, diatur dalam Bab 21 Buku II KUPerdata. 3. Creditverban, diatur dalam Stb 1908 Nomor 542 sebagaimana telah diubah dengan Stb 1937 Nomor 190. 4. Hak tanggungan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. 5. Jaminan fidusia, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. Adapun Jaminan perseorangan terbagi, atas: 1. Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih. 2. Tanggung menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng. 3. Perjanjian garansi. Dari kedelapan jenis jaminan tersebut di atas, yang masih berlaku hingga saat ini, adalah: a.
Gadai
b.
Hak Tanggungan
c.
Jaminan Fidusia
d. Hipotik atas kapal laut dan pesawat udara e.
Borg
f.
Tanggung menanggung dan
g.
Perjanjian garansi
Dalam hukum benda dibedakan menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak, benda bergerak terdiri jaminan benda bertubuh dan benda tidak bertubuh. Sebagai contoh, benda bertubuh adalah kedaraan bermotor, mesin dan peralatan kantor, barang perhiasan, dan sebagainya, benda tidak bertubuh adalah wesel, promes, deposito berjangka, sertifikat deposito, piutang dagang, surat saham, obligasi, dan surat berharga sekuritas lainnya.
12
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Benda tidak bergerak adalah tanah dengan dan tanpa bangunan atau tanaman diatasnya, mesin dan peralatan yang melekat pada tanah dan bangunan dan merupakan satu kesatuan, kapal laut bevolume 20 meter kubik ke atas dan suda didaftar, bangunan rumah susun tanah tempat bangunan didirikan, hak milik atas satuan rumah susun, bangunan rumah susun atau hak milik atas satuan rumah susun jika tanahnya berstatus hak pakai atas tanah Negara. Perbedaan jenis benda ini memiliki konsekwensi yuridis kepada pembebanan jaminan, dimana terhadap benda bergerak, pengikatan jaminannya berupa fidusia dan gadai, sedangkan untuk benda tidak bergerak pengikatan jaminannya adalah hak tanggungan6. Pembebanan jaminan di atas, dilaksanakan dengan perjanjian pembebanan jaminan, perjanjian pembebanan jaminan ini besifat tambahan (assesoir), sedangkan perjanjian pokoknya adalah perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank. Adapun contoh dari perjanjian pokok adalah perjanjian kredit bank. Kredit bank adalah penyediaan yang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga sebagaimana diatur Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Perjanjian pembebanan jaminan dapat berbentuk akta di bawah tangan dan akta autentik, perjanjian pembebanan jaminan dalam bentuk akta autentik biasanya dilakukan oleh bank. Perjanjian pembebanan jaminan dengan akta autentik ini dilakukan di muka dan dihadapan pejabat yang berwenang, pejabat yang berwenang untuk membuat akta jaminan adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang ditunjuk oleh Menteri Agraria, biasanya perjanjian pembebanan dengan menggunakan akta autentik dapat dilakukan pembebanan jaminan atas hak tanggungan, jaminan fidusia dan jaminan hipotik atas kapal laut dan pesawat udara.7 Hak tanggungan dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima. Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, menyebutkan pengertian hak tanggungan adalah: 6
Bariyah Harun, Op. Cit, hal. 73-74 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2004, hal 29-31 7
13
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutangtertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur terhadap krediturkreditur lainnya. Pasal 20 ayat 1 Jo Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan mengatur: Apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan perudangan yang berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjulan tersebut, dengan hak mendahului dari pada krediturkreditur lainnya yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur pemegang hak tanggungan dengan peringkat lebih rendah. Prof. Budi Harsono mengartikan hak tanggungan adalah Penguasaan hak atas tanah, berisikan kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan anggunan, tetapi tidak untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk mejualnya jika debitur cera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur padanya. Esensi dari defenisi hak tanggungan yang disajikan oleh Budi Harsono di atas adalah pada penguasaan hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah merupakan wewenang untuk menguasai hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah oleh kreditur bukan untuk mengusai secara fisik, namun untuk menjualnya jika debitur cedera janji. Ciri –ciri hak tanggungan adalah: 1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulukan kepada pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference. 2. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapa pun benda itu berada atau disebut dengan droit de suit. 3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan. 4. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusi. Selain ciri di atas, keistimewaan kedudukan hukum kreditur pemegang hak tanggugan juga dijamin melalui ketentuan Pasal 21 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 berbunyi “apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, objek hak tangungan tidak masuk dalam boedel pailit pemberi hak tanggungan, sebelum kreditur pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan objek hak tanggungan itu”. Di samping itu dalam Undang-Undang Hak Tanggungan Pasal 12 ditentukan suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh 14
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
pemegang hak tanggungan bila pemberi hak tanggungan cedera janji. Apabila hal ini dicantumkan, maka perjanjian seperti itu batal demi hukum, artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada karena bertentangan dengan substansi Undang-Undang Hak Tanggungan. Dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 telah ditetapkan lima hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan hak tanggungan, yaitu: 1. Hak Milik 2. Hak Guna Usaha 3. Hak Guna Bangunan 4. Hak pakai, baik hak milik maupun hak atas tanah Negara 5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau yang akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan. Apabila debitur wanprestasi atau cedera janji, berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, diberikan hak kepada pemegang hak tanggungan untuk menjual ojek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil perjualan tersebut. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan membuka kemungkinan penjualan objek hak tanggungan tidak melalui pelelangan umum, akan tetapi penjualan di bawah tangan, penjualan dibawah tangan ini dapat dilaksanakan atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan dan jika dengan demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Penjualan di bawah tangan baru dapat dilakukan setelah lewat 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya 2 surat kabar, serta tidak ada pihak yang keberatan, pelanggaran terhadap ketentuan ini mengakibatkan penjualan objek hak tanggungan batal demi hukum. Hak kreditur baru ada untuk melakukan penjualan atas objek hak tanggungan apabila debitur telah wanprestasi atau terjadinya kredit macet, berbicara tentang kredit, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian
15
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693 8
Kualitas Aktiva Bank Umum , penetapan perhitungan kualitas kredit berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan bunga, ditentukan sebagai berikut : 1. Lancar (L), apabila pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit. 2. Dalam Perhatian Khusus (DPK), apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari. 3. Kurang Lancar (KL), apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampui 90 (sembilan puluh) hari sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari. 4. Diragukan (D), apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah mencapai 180 (seratus delapan puluh) hari sampai dengan 270 (dua ratus tujuh puluh) hari. Terjadi cerukan yang bersifat permanen
khususnya
untuk
menutupi
kerugian
operasional
dan
kekurangan arus kas. 5. Macet (M), apabila terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampui 270 (dua ratus tujuh puluh) hari. Berdasarkan atas ketentuan tersebut di atas, kredit yang dikategorikan sebagai kredit bermasalah adalah kredit yang digolongkan dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D) dan Macet (M), sedangkan untuk kredit yang digolongkan lancar dan DPK tidak dikategorikan sebagai kredit bermasalah. Dengan demikian, masalah kredit macet adalah bagian dari kredit bermasalah dengan kualitas yang paling rendah, artinya semakin tinggi jumlah kredit dengan kualitas macet, maka semakin buruklah kualitas kredit yang diberikan. Adanya kredit macet akan mejadi beban kreditur, karena kredit macet menjadi salah satu faktor dan indikator penentu kinerja sebuah bank atau kreditur, oleh karena itu adanya kredit bermasalah apalagi dalam golongan macet menuntut: 1. Penyelesaian yang cepat, tepat dan akurat dan segera mengambil tindakan hukum jika sdah tidak ada jalan lain penyelesaian melalui restrukturisasi. 2. Dilakukan penilaian ulang secara priodik, agar dapat diketahui sedini mungkin baik aktual masalah kredit/loan problem, maupun potensi 8
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, PBI No.7/2/PBI/2005 tahun 2005, LN No.12 Tahun 2005, TLN No. 4471 , Ps. 10 & 12
16
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
masalah/potensial problem sehingga bank dapat mengambil langkahlangkah mengamanan. 3. Dilakukan
penyelamatan
dan
penyelesaian
segera,
apabila
kredit
menunjukkan bermasalah (non performing loan). Adapun yang menjadi penyebab terjadinya kredit macet dalam suatu perjanjian kredit adalah sebagai berikut: a. Faktor intern bank, meliputi: 1) Rendahnya kemampuan atau ketajaman bank melakukan analisis kelayakan permintaan kredit yang diajukan oleh debitor. 2) Lemahnya sistem informasi kredit serta sistem pengawasan dan administrasi kredit mereka. 3) Campur tangan yang berlebihan dari para pemegang saham bank dalam keputusan pemberian kredit. 4) Pengikatan jaminan kredit yang kurang sempurna. b. Faktor ekstern, meliputi: 1) Kegagalan usaha debitor. 2) Menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga kredit. 3) Pemanfaatan iklim persaingan dunia perbankan yang tidak sehat oleh debitor yang tidak bertanggung jawab, dan 4) Musibah yang menimpa perusahaan debitor. Sebagaimana penjelasan di atas, berbicara tentang penjualan obyek hak tanggungan merupakan sebuah proses dalam apaya penyelesaian kredit bermasalah atau kredit macet, penyelesaian kredit macet dalam suatu perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan, penyelesaian secara damai merupakan upaya penyelesaian kredit yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara kreditur dengan debitor yang masih mempunyai itikad baik atau kooperatif dalam upaya penyelesaian kredit macet. Pelaksanaan penjualan obyek hak tanggungan apabila debitor wanprestasi dalam perjanjian kredit, bahwa pihak kreditur tidak langsung melakukan pelelangan umum, akan tetapi tetap berusaha melakukan pendekatan persuasive terhadap nasabah. Pendekatan ini dilakukan agar sedapat mungkin diperoleh penyelesaian kredit bermasalah secara damai tanpa melalui pelelangan umum. Proses pelelangan umum akan ditempuh oleh kreditur, apabila debitor beritikad tidak baik, maka bermodalkan sertifikat hak tanggungan yang menjadi jaminan kredit debitor dapat 17
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
dilakukan penjualan obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum menurut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan. Pelaksanaan penjualan obyek jaminan hak tanggungan dengan cara di bawah tangan, kreditur tidak sepenuhnya mengikuti mekanisme atau persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan, dimana sepanjang ada kesepakatan antara kreditur dengan debitor dan/atau penjamin untuk menjual obyek jaminan, serta didapat kesepakatan harga yang wajar dan menguntungkan semua pihak, yaitu cukup untuk memenuhi kewajiban debitor kepada kreditor, maka kreditur akan menyerahkan hak-hak debitor untuk mendapatkan hak atas tanahnya kepada pembeli obyek jaminan hak tanggungan sesuai dengan kesepakatan dan persetujuan bersama. Hasil penjualan merupakan hasil kesepakatan dan keputusan bersama diantara para pihak sehingga memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum, baik bagi kreditur atau debitur maupun pembeli. Proses pengalihan obyek jaminan dilakukan lebih cepat, dengan prosedur yang lebih sederhana, dan diselesaiakan dalam satu proses dengan penyelseaian kreditnya9. Mekanisme penjualan obyek hak tanggungan yang demikian sejalan dengan ketentauang Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Dengan demikian penjulan terhadap obyek jaminan hak tanggungan yang dilakukan oleh kreditur dengan menggunakan suara kuasa jual yang tidak memenuhi mekanisme Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan merupakan penjualan yang bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atau penjualan obyek hak tanggungan yang cacat hukum. Muatan cacat hukum dalam perjanjian obyek hak tangungan inilah yang kemudian berkonsekwensi hukum tidak terlindunginya kreditur dan pembeli dari obyek jaminan hak tanggungan tersebut, akan tetap apabila surat kuasa jual yang digunakan oleh kreditur sesuai dengan mekanisme ketentuan Pasal 20 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, maka perlindungan hukum akan didapatkan baik itu oleh kreditur maupun oleh pembeli obyek jaminan hak tanggungan, karena perjanjian jual beli obyek hak tanggungan yang dilakukan oleh kreditr dengan pemeli tidak mengandung cacat hukum atau tidak bertentangan dengan hukum. 9
Edy Puwanto, Tesis berjudul Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Parate Eksekusi Dengan Cara Penjualan Di bawah Tangan Atas Obyek Jaminan Hak Tanggungan, Semarang: di PT. Bank Niaga, Tbk Universitas Diponegoro, 2008.
18
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Penjulan obyek hak tanggungan yang dilakukan kreditur dengan menggunakan suara kuasa jual yang tidak memenuhi ketentuan atau bertentangan dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Adapun syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian jual beli obyek hak tanggungan tersebut tidak memenuhi syarat ke 4 (empat) yaitu suatu sebab yang halal. Di dalam Pasal 1337 KUHPerdata menekankan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Terhadap perjanjian yang tidak memenuhi syarat suatu sebab yang halal dinyatakan batal demi hukum artinya perjanjian jual beli obyek hak tanggungan tersebut secara hukum dianggap tidak pernah ada atau dinyatakan telah gugur secara hukum sejak perjanjian tersebut lahir, dengan demikian sangat jelas bahwa perjanjian yang demikian tidak memberikan perlindunan hukum terhadap kreditur maupun terhadap pembeli obyek hak tanggungan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari materi di atas adalah sebagai berikut: 1. Surat kuasa jual yang dibuat dan ditandatangani oleh kredit dengan debitur pada saat pencairan kredit atau pada saat penandatanganan perjanjian kredit bertetangan atau tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, artinya surat kuasa jual tersebut tidak mempunyai kedudukan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Surat kuasa jual yang mepunyai kedudukan secara hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan adalah suarat kuasa jual yang disepakati oleh kreditur dan debitur sebagai upaya penyelesaian terjadinya kredit macet oleh debitur sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat 2 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 2. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan tidak dapat menggunakan surat kuasa jual untuk menjual objek hak tanggungan dalam penyelesaian kedit macet debitur, ketentuan Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak dapat 19
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
diterjemahkan sebagai dasar dari surat kuasa jual, ketentuan Pasal 20 ayat 2 tersebut merupakan dasar untuk dapat dijualnya objek hak tanggungan secara bawah tangan bukan melalui pelelangan umum, akan tetapi penjualan bawah tangan ini baru dapat dilaksanakan dengan persyaratan, adanya kesepakatan antara nasabah debitur dengan bank, terutama mengenai harga jual dan harga jual tersebut dapat dinyakini sebagai harga tertinggi yang dapat menguntungkan kedua belah pihak, artinya perjanjian jual beli atas obyek jamina
hak tanggungan antara kreditur dengan
pembeli yang didasarkan atas surat kuasa jual yang tidak memenuhi persyaratan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak memberikan perlindungan hukum kepada kreditur dan pembeli.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal Dan Makalah Bariyah Harun, Penyelesaian sengketa kredit bermasalah, Yokyakarta: Pustaka Yustisia, 2010. Edy Puwanto, Tesis berjudul Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Parate Eksekusi Dengan Cara Penjualan Di bawah Tangan Atas Obyek Jaminan Hak Tanggungan, Semarang: di PT. Bank Niaga, Tbk Universitas Diponegoro Tahun, 2008. R. Subekti, Aneka perjanjian, Bandung: Alumni, 1992. Salim HS, Perkembangan hukum jaminan di indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Sutarno, Aspek-aspek hukum perkreditan bank, Bandung: Alfabeta, 2009.
Peraturan Perundang-Undangan R. Subekti. dan R. Tjindrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN Tahun 1960 No. 104) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
20
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Website Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, PBI No.7/2/PBI/2005 tahun 2005, LN No.12 Tahun 2005, TLN No. 4471 , Ps. 10 & 12 Lentera.com, Media Hukum Dan Informasi Umum
21
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENGHINAAN AGAMA YANG MENGGUNAKAN SARANA INTERNET (Studi Putusan Pengadilan Negeri Muaro Sijunjung Sumatera Barat Nomor: 45/PID.B/2012/PN.MR.) Effendi Sekedang1 1
Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Sosial Dan Humaniora, Universitas Putera Batam, Batam, Jl Letjen R. Soeprapto, Kampus UPB, Batam 29442, Indonesia.
Penyesuaian Pengarang E-mail:
[email protected] No Hp: +6285261769866
ABSTRAK Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 156 dan Pasal 156a telah mengatur mengenai masalah penghinaan agama, namun pengaturan KUHP ini tidak dapat diterapkan apabila pelaku penghinaan agama tersebut menggunakan media internet dalam melakukan aksinya. Penghinaan agama dengan menggunakan sarana internet telah diatur pada Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tetang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurut undang-undang tersebut pelaku penghina agama dapat dimintakan pertanggungjawabannya apabila telah memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam Pasal 28 Ayat (2). Pada putusan perkara pidana nomor: 45/PID.B/2012/PN. MR kenyataannya Jaksa Penuntut Umum menggunakan Pasal 156a huruf a dan huruf b KUHP serta Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam surat dakwaan yang berbentuk alternatif, hal ini tentunya akan mempengaruhi pertimbangan Hakim dalam mejatuhkan Putusan yang salah terhadap terdakwa. Seharusnya Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan tunggal dengan memilih Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik dengan lebih cermat memahami tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Kata kunci: penghinaan agama, internet
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang berdasarkan kepada Pancasila, dimana pada sila pertama menyebutkan,”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh sebab itu, maka seluruh hukum yang dibuat oleh negara atau pemerintah dalam arti yang seluasluasnya, tidak boleh bertentangan dengan hukum Tuhan. Selain itu tertib hukum yang dibuat, haruslah didasarkan atas dan ditujukan untuk merealisir hukum Tuhan1.
1
Juhaya S Praja. dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Penerbit Angkasa,1982, Hal. 1. 22
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam dunia maya khususnya penghinaan agama pada jejaring sosial di media internet ini merupakan suatu keresahan bagi masyarakat yang terkena dampaknya. Seharusnya jejaring sosial (social network) itu merupakan tempat untuk bersosialisasi antara satu sama lain dan merupakan ajang berkomunikasi terhadap seseorang yang keberadaannya jauh, namun pada era masa kini jejaring sosial banyak disalahgunakan oleh penggunanya. Jejaring sosial merupakan situs dimana setiap orang bisa membuat web page pribadi, kemudian terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Jejaring sosial terbesar antara lain Facebook, Myspace, dan Twitter. Jika media tradisional menggunakan media cetak dan media broadcast, maka media sosial menggunakan internet. Media sosial mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpertisipasi dengan memberi kontribusi dan feedback secara terbuka, memberi komentar, serta membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas.2 Jejaring sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dan lain-lain. Jejaring sosial seperti facebook disalahgunakan oleh para pemilik akunnya dikarenakan beberapa pemilik akun di jejaring sosial ini menunjukkan sikap yang anti terhadap suatu agama tertentu yang ditunjukkan dengan menistakan agama tersebut. Adanya alasan kebebasan mengemukakan pendapat di depan umum yang juga dijelaskan dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, menjadi alasan bagi pemilik akun itu untuk mempublikasikan apapun sesuai kehendak mereka. Tulisan-tulisan yang diunggah pada akun facebook itu mengakibatkan perang ejekan agama menjadi semakin besar. Pemilik akun yang sengaja menulis tulisan yang bermuatan penghinaan terhadap suatu agama menjadi semakin puas dengan komentar pembelaan yang dilakukan para pengguna facebook lain yang merasa bahwa agamanya telah dihina. Internet selain bermanfaat positif bagi manusia, misalnya memudahkan semua urusan pengelolaan informasi, ternyata juga dapat mempunyai dampak negatif dan merugikan anggota masyarakat, misalnya dalam kasus pemalsuan data, provokasi, pornografi, perjudian, pembajakan hak cipta. Kejahatan yang terjadi melalui atau
2
http://aggashi.blogspot.com/2011/11/pengertian-social-networking-media.html diunduh tanggal 22 oktober 2015. 23
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
terhadap jaringan komputer dalam dunia maya (di dalam jaringan internet) atau di luar jaringan tetapi menggunakan komputer. Kejahatan ini lazim disebut cybercrime.3 Mengamati kasus yang terjadi di Padang Sumatera Barat, yaitu seorang pegawai negeri sipil bernama Alexander yang menganut paham Atheis telah melakukan penghinaan terhadap agama islam, dengan menggunakan teknologi informasi (internet) melalui jejaring sosial yang dimanakan Facebook. Alexander dituduh melakukan penghinaan terhadap agama Islam karena tulisan dihalaman Facebook-nya yang berjudul “Nabi Muhammad tertarik kepada menantunya sendiri” dan sebuah komik yang diambilnya dari grup Facebook Atheis Minang lalu diposting pada halaman Facebook Alexander dengan judul “Nabi Muhammad bersetubuh dengan pembantu istrinya.4 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 156 dan Pasal 156 a telah mengatur mengenai masalah penghinaan agama. Dalam artian, bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan permusuhan dan kebenciaan dan penodaan terhadap suatu agama tertentu dapat dipidana. Namun pengaturan KUHP tidak dapat diterapkan apabila pelaku penghinaan agama tersebut menggunakan media Internet dalam melakukan aksinya. Mengingat masih sederhananya pengaturan dalam KUHP dan semakin pesatnya kemajuan di bidang teknologi maka pemerintah pada Tahun 2008 mengeluarkan sebuah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut dengan UU ITE). Di dalam undang-undang tersebut diatur mengenai berbagai macam kegiatan yang dapat dilakukan melalui media dunia maya, salah satunya melalui internet. Perbuatan hukum di dunia maya merupakan fenomena yang sangat mengkhawatirkan mengingat tindakan perjudian, penipuan, terorisme, penyebaran informasi destruktif telah menjadi bagian aktifitas pelaku kejahatan di dunia maya.5 Dunia maya tersebut seperti memiliki dua sisi yang sangat bertolak belakang. Di satu sisi internet mampu memberikan manfaat dan kemudahan bagi para penggunanya terutama dalam hal informasi dan komunikasi. Namun di sisi lain dampak negatif dan merugikan juga dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh para pelaku yang kurang bertanggung jawab. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, 3
Widodo, Hukum Pidana di Bidang Teknologi Informasi (Cybercrime Law), Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013, hal. 8-9. 4 Harry Kurniawan, “Divonis Setelah Atheis” (http://docs.google.com) diunduh 22 Oktober 2015. 5 Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, hal. 70.
24
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
maka isu hukum dan permasalahan yang akan diteliti antara lain adalah sebagai berikut:
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan pada paparan di atas, maka perumusan masalah yang dapat diajukan adalah: 1. Konsep penghinaan agama yang dilakukan menggunakan internet? 2. Ratio decidendi Putusan Pengadilan Negeri Muaro Sijunjung Sumatera Barat Nomor: 45/PID.B/2012/PN.MR.?
METODE PENELITIAN
Penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian hukum normatif yaitu “sebuah proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Argumentasi, teori, atau konsep baru yang dihasilkan dalam penelitian hukum merupakan perspektif untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi”. Pendekatan penulisan yang digunakan adalah pendekatan konsep perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah sumber bahan hukum primer yang diperoleh dengan pengumpulan peraturan perundang-undangan, dan juga sumber bahan hukum sekunder yang diperoleh dengan cara studi dokumen.
HASIL PENELITIAN DAN P E M B A H A S A N
Tinjauan Umum Mengenai Ratio Decidendi Pengertian ratio decidendi atau pertimbangan hakim adalah argument/alasan hakim yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus perkara. Ratio decidendi juga sering diterjemahkan secara harfiah sebagai “alasan untuk keputusan itu”, “the reason” atau “the rationale for the decision”. Black Law Dictionary menyatakan ratio decidendi sebagai “[t]he point in a case which determines the judgment atau menurut Barron’s Law Dictionary adalah “the principle which the case establishes”. Ratio Decidendi tidak hanya penting dalam sistem dimana hakim terikat keputusan hakim yang terlebih dahulu (precedent), akan tetapi juga di negara 25
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
bertradisi civil law system seperti Indonesia. Istilah hukum ini digunakan dalam masyarakat hukum yang merujuk prinsip hukum, moral, politik dan sosial yang digunakan pengadilan sehingga sampai membuat keputusan demikian. Jadi setiap kasus memiliki ratio decidendi, alasan yang menentukan atau inti-inti yang menentukan putusan. Kadang ratio decidendi jelas terlihat akan tetapi terkadang pula perlu dijelaskan. Biasanya memang dalam praktek, hal-hal yang essensiil ini menjadi kepentingan para pihak dalam perkara untuk membuktikannya atau membantahnya.6
Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Sanksi Pidana Berdasarkan Putusan Nomor 45/PID.B/2012/PN.MR. Sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan, terlebih dahulu diawali dengan musyawarah hakim, sebgaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia”. Dengan demikian juga dalam Pasal 182 ayat (7) KUHAP disebutkan “Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia”. Dalam musyawarah hakim tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari anggota majelis hakim termuda dampai dengan hakim yang tertua sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.7 Walaupun musyawarah hakim tersebut bersifat rahasia, namun putusan harus dibacakan didalam persidangan yang terbuka untuk umum.8 Putusan merupakan hasil musyawarah majelis hakim. Musyawarah yang tadinya bersifat rahasia, tetapi ketika dibacakan dipersidangan yang terbuka untuk umum, maka putusan tersebut menjadi tidak rahasia. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat menyebabkan putusan menjadi tidak sah dan putusan menjadi batal demi hukum.
6
Miftakhul Huda, Ratio Decidendi (http://www.miftakhulhuda.com/2011/03/ratio-decidendi.html), diunduh tanggal 10 Oktober 2015. 7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 14 Ayat (2), “Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan”. 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 13 Ayat (2) “Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. 26
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Dalam BAB I tentang ketentuan umum Pasal 1 angka 11 KUHAP disebutkan: Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Menurut Lilik Mulyadi makna putusan hakim merupakan: Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan perkaranya.9 Adapun menurut Leden Marpaung10 menyebutkan bahwa pengertian putusan hakim adalah: Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan. Putusan hakim merupakan proses kesimpulan dari pembuktian yang dilakukan oleh penuntut umum dalam suatu persidangan. Proses pembuktian dalam perkara pidana menjadi sangat penting dan essensial karena dalam proses tersebut yang dicari adalah kebenaran materil. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, demikian bunyi Pasal 183 KUHAP yang menganut sistem pembuktian undang-undang yang negatif (negatif wettelijk). Berbicara mengenai pembuktian perkara pidana di persidangan tentu tidak lepas dari prosedur hukum acara yang berlaku yaitu menelaah dan kemudian menyimpulkan mengenai alat-alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk dan (5) keterangan terdakwa. Dalam suatu putusan pidana dapat berisi pemidanaan, pembebasan (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle
9
Lilik Mulyadi. Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Praktek Peradilan. Bandung: CV Mandar Maju. 2010. hal .94. 10 Ibid, hal. 92. 27
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693 11
rechtvervolging), tergantung dari fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan yang kemudian diformulasikan dalam sebuah putusan hakim. Proses penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana menurut moeljatno, dilakukan dalam beberapa tahap yaitu: 12 1. Tahap menganalisis perbuatan pidana. Perbuatan pidana (dalam bahasa Belanda strafbaar feit) menurut Simons kelakuan (hendeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.13 Menurut Van Hamel, strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan,14 sehingga dari 2 (dua) pemahaman tersebut di atas kemudian disarikan menjadi: a. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku. b. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang melakukan kelakuan tadi.15 2. Tahap menganalisis tanggungjawab pidana Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan kelakuannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada kesalahan, atau sikap bathin yang dapat dicela, sebagaimana dalam asas hukum “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” (green straft zonder schuld ohne shuld keine straft).16 Menurut Moeljatno unsur-unsur pertanggungjawaban pidana untuk membuktikan adanya kesalahan pidana yang dilakukan oleh terdakwa harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut:17
11
Pasal 191 KUHAP: (1) Jika pengadilan berpendapat bahwa hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa diputus bebas, (2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Pasal 193 KUHAP ayat (1) Jika pengadilan berpendapat terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana. 12 Ahmad Rifai, Penemuan hukum oleh hakim dalam perspektif hukum progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 96. 13 Moeljatno, Asas- Asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, 1987, hal. 56. 14 Ibid. hal. 56 15 Loc, Cit. hal. 56 16 Ibid. hal. 57. 17 Ibid. hal. 164. 28
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum) b. Di atas umur tertentu dan mampu bertanggungjawab c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan18 dan kealpaan.19 d. Tidak adanya alasan pemaaf. Dalam Memorie van Toelichting (M.v.T) dijelaskan mengenai alasan-alasan penghapus pidana dibagi menjadi : a. Alasan-alasan yang terdapat dalam bathin terdakwa, yaitu dalam pasal 44 ayat (1) KUHP ada 2 hal yang menyebabkan sesorang yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan pertanggungjawaban, sehingga si pelaku tidak dapat dipidana yaitu : 1) Orang yang pertumbuhan akalnya tidak sempurna atau kurang sempurna, contohnya orang idiot, lemah akal, dan lain sebagainya 2) Orang yang mengalami gangguan penyakit pada kemampuan akal sehatnya, contohnya sakit ingatan / gila. b. Alasan-alasan diluar yaitu sebagaimana di dalam Pasal 48 sampai dengan 51 KUHP. 3. Tahap penentuan pidana Dalam tahap ini jika perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur perbuatan yang didakwakan sesuai dengan alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang tidak ditemukan adanya alasan pemaaf, alasan pembenar maupun alasan penghapus pidana dan adanya keyakinan hakim, maka terdakwa pantas dinyatakan bersalah dan seharusnya dijatuhi pidana. 18
Kesengajaan menurut M.v.T. Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui. Dalam pengertian ini kesengajaan diartikan sebagai willens en wettens. Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana terdapat 2 (dua) teori kesengajaan : 1. Teory Kehendak (wilstheorie) adanya kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur tindak pidana dalam undnag-undang. 2. Teori pengetahuan atau membayangkan (voorstellings theorie) pelaku mampu membayangkan akan timbulnya akibat dari perbuatannya. Bentuk atau tingkat kesengajaan : a. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzzet alsoogmerk) untuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Contoh A memukul B, tentunya A menghendaki B sakit sebagai akibat dipukul. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzzet met zekerheidbewuzijn). Contoh A bermaksud akan menembak B yang berada di dalam ruang kaca. Pecahnya kaca Kealpaan (culpa) menurut Van Hamel mengandung 2 (dua) syarat. 19 Kealpaan (culpa) menurut Van Hamel mengandung 2 (dua) syarat yaitu : a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
29
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Memeriksa suatu perkara yang diajukan di pengadilan kemudian memutus perkara dengan seadil-adilnya adalah bukan perkara yang mudah. Masyarakat dalam era keterbukaan setiap saat dapat memperbincangkan suatu putusan pengadilan apalagi putusan pengadilan tersebut adalah menyangkut suatu hal yang menarik perhatian masyarakat dan akan menjadi konsumsi publik20 untuk dibicarakan dan diperdebatkan. Pembicaraan dan perdebatan tersebut terkadang menghasilkan komentar dari masyarakat yang mengatakan putusan pengadilan tidak mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat dan bahkan akibat dari komentar yang negatif tersebut mengakibatkan rasa ketidakpuasan dalam masyarakat yang kemudian bisa menimbulkan tindak kekerasan. Oleh karena itu hakim dalam membuat suatu putusan harus benar-benar mempertimbangkan banyak hal sehingga melahirkan suatu putusan yang memuaskan semua pihak. Putusan hakim harus memuat alasan-alasan / legal reasoning yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan dan argumentasi dalam putusan tersebut dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim dan putusan yang dibuatnya kepada masyarakat,
para
pihak,
kepada
pengadilan
tingkat
diatasnya
serta
pertanggungjawaban pada ilmu pengetahuan hukum atau doktrin-doktrin. Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:21 1. Teori keseimbangan Pengertian keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya
20
Berdasarkan undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik dalam Pasal 18 ayat (1) tidak termasuk dalam kategori yang dikecualikan adalah informasi berikut a. Putusan badan peradilan b. Ketetapan, keputusan, peraturan, surat edaran, ataupun bentuk kebijakan lain, baik yang tidak berlaku mengikat maupun mengikat kedalam ataupun keluar serta pertimbangan lembaga penegak hukum c. Surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan d. Rencana pengeluaran tahunan lembaga penegak hukum e. Laporan keuangan tahunan lembaga penegak hukum f. Laporan hasil pengembalian uang hasil korupsi dan / atau Informasi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2). 21 Anny Yuserlina, Pertimbangan hakim dalam penerapan pidana terhadap anggota tentara nasional indonesia yang melakukan desersi (studi kasus pengadilan militer i-03 padang), Padang: Artikel Program Pasca Sarjana Universitas Andalas Padang, 2011, Hal. 11.
30
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban. 2. Teori pendekatan seni dan intuisi Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh insting atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim. 3. Teori pendekatan keilmuan Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsostensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya. 4. Teori pendekatan pengalaman Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat. 5. Teori Ratio Decidendi Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
31
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Hakim mempunyai kebebasan mandiri dalam mempertimbangkan berat ringannya sanksi pidana terhadap putusan yang ditanganinya. Kebebasan hakim mutlak dan tidak dicampuri oleh pihak lain. Hal ini di sebabkan untuk menjamin agar putusan pengadilan benar-benar objektif. Kebebasan hakim untuk menentukan berat ringannya sanksi pidana juga harus berpedoman pada batasan maksimum dan juga minimum serta kebebasan yang dimiliki harus berdasarkan rasa keadilan baik terhadap terdakwa maupun masyarakat dan bertanggungjawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam usaha untuk menanggulangi kejahatan pada umumnya terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah melalui upaya terakhir yang menggunakan sarana hukum pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP yang menyebutkan pidana pokok salah satunya adalah pidana penjara. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak pidana penghinaan agama pada akhirnya akan bermuara pada persoalan hakim dalam menjatuhkan putusan. Bentuk dari dakwaan yang didakwakan kepada Terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan dakwaan yang disusun secara alternatif. Dalam praktek peradilan, dakwaan alternatif disebut dengan istilah dakwaan saling “mengecualikan” atau dakwaan “relatif”, atau berupa istilah dakwaan “pilihan (keuze tenlastelegging)”. Pada dakwaan alternatif maka hakim dapat langsung memilih untuk menentukan dakwaan mana yang sekirannya cocok serta sesuai dengan hasil pembuktian di persidangan. Ciri utama dari dakwaan alternatif adalah adanya kata hubung “atau” antara dakwaan satu dengan lainnya sehingga dakwaan jenis ini sifatnya adalah “alternative accusation” atau “alternative tenlastelegging”. Menurut Van Bemmelen, dakwaan alternatif dibuat oleh karena: 1. Penuntut Umum tidak mengetahui secara pasti perbuatan mana dari ketentuan hukum pidana sesuai dakwaan nantinya akan terbukti di persidangan (misalnya suatu perbuatan apakah merupakan penadahan atau mengangkut kayu tanpa dokumen yang sah). 2. Penuntut Umum ragu terhadap peraturan hukum pidana mana yang akan diterapkan hakim atas perbuatan yang menurut pertimbangan telah nyata terbukti.22
22
Lilik Mulyadi, Hukum acara pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 57-58.
32
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Pada putusan perkara pidana Nomor 45/PID.B/2012/PN.MR maka Majelis Hakim dapat memilih dakwaan yang mana yang sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dan menurut pendapat Majelis Hakim dakwaan yang sesuai dengan faktafakta yang terungkap dalam persidangan adalah dakwaan Kesatu perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 28 Ayat (2) Jo Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1.Setiap orang; Yang dimaksud dengan unsur setiap orang adalh tiap-tiap orang pribadi selaku pendukung hak dan kewajiban yang telah dewasa menurut hukum serta mampu mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya menurut hukum; orang sebagai subjek hukum sebagaimana layaknya haruslah memenuhi kriteria kemampuan dan kecakapan bertanggungjawab secara hukum, atau yang disebut juga sebagai syarat-syarat subjektif dan objektif; secara subjektif orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana haruslah sudah dewasa secara hukum, serta cakap dan mampu dalam arti tidak terganggu pikirannya serta secara objektif orang tersebut dapat memahami dan menyadari sepenuhnya akan apa yang diperbuat hingga akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya; 2. Dengan sengaja dan tanpa hak; Maksud unsur “dengan sengaja” secara umum diartikan sebagai maksud atau termasuk dalam niatnya. Bahwa perkataan “dengan sengaja” unsur Pasal ini mengandung makna semua unsur yang ada dibelakangnya juga diliputi Opzet.
Pendapat
ahli
hukum
(Doktrin)
memberikan
pengertian
“Kesengajaan” sebagai dikehendaki dan diinsyafi (Willen en Wetens). Kesengajaan menurut tingkatannya dibedakan menjadi tida,
yaitu:
kesengajaan sebagai maksud (opzet als ogmerk), kesengajaan sebagai sadar kepastian atau keharusan (opzet bij bij zakerheids of moodzakelijkheids bewustzijn) dan kesengajaan sebagai kesadaran akan kemungkinan (dolus eventualis) maksudnya adalah terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu (sesuai
dengan
perumusan
undang-undang
hukum
pidana)
adalah
perwujudan dari kesadaran akan kemungkinan terjadi pada diri pelaku. Ahli hukum Indonesia sebagai penganut teori kesengajaan sebagai kesadaran akan kemungkinan adalah Moeljatno menyebutkan dengan istilah “Teori apa 33
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
boleh buat” yang maksudnya adalah kalau resiko yang diketahui kemungkinan akan adanya itu sungguh-sungguh timbul (di samping hal yang dimaksud), apa boleh buat, dia juga berani pikul resiko akibat yang dilakukannya. Maksud tanpa hak adalah perbuatan melawan hukum dalam perspektif formal (formale wederrechtelijkheid) yaitu suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum formal atau undang-undang formal dengan akibat diterapkannya hukuman bagi barang siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam undang-undang pidana formal; dalam pembentukan undang-undang pada setiap ketentuan pidananya telah dirumuskan perbuatan melawan hukumnya atau perbuatan tidak sah atau tanpa hak, ini dikarenakan untuk mempermudah penerapan hukum di dalam peristiwa-peristiwa yang nyata dan membuat upaya pembuktian yang harus diajukan di depan persidangan menjadi dibatasi serta menghindari kesalahpahaman atau ketidakpastian bagi mereka yang ingin melakukan suatu perbuatan berdasarkan hak yang ada pada mereka. 3. Menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat
tertentu
berdasarkan atas Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA); Menyebarkan informasi di dalam unsur ini dimaksudkan23 adalah menyebarkan memalui media internet dan perbuatan tersebut dilakukan dengan cara memposting atau melink sesuatu konten agar muncul dalam media internet dengan tujuan tertentu oleh si pembuat; pengertian memposting adalah kegiatan atau usaha untuk membuat artikel agar muncul di dalam internet, baik dalam artikel blog maupun dalam status dalam jejaring sosial seperti Facebook ataupun Twitter. Link atau disebut juga hyperlink adalah sebuah acuan dalam dokumen hiperteks (hypertext) ke dokumen yang lain atau sumber lain. Seperti halnya suatu kutipan di dalam literatur yang dikombinasikan dengan sebuah jaringan data dan sesuai dengan protokol akses. Di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berbunyi “Pemanfaatan teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan atas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi”; dari ketentuan Pasal 3 tersebut
23
Putusan Perkara Pidana Nomor 45/Pid.B/2012/PN.MR 34
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
dikaitkan dengan rumusan unsur menyebarkan informasi pada prinsipnya dilandasi oleh motivasi yang baik atau itikad baik.24 Putusan pemidanaan atau verordeling pada dasarnya diatur dalam Pasal193 Ayat (1) KUHAP dengan redaksional bahwa: jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, maka hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukkan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan. Lebih tepatnya lagi, hakim tidak melanggar ketentuan Pasal 183 KUHAP. Selain itu dalam menjatuhkan putusan pemidanaan, jikalau terdakwa itu tidak dilakukan penahanan, dapat diperintahkan Majelis Hakim supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila tindak pidana yang dilakukan itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, atau apabila tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam ketentuan Pasal 21 Ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk itu. Dalam aspek terdakwa dilakukan penahanan, maka pengadilan dapat menetapkan terdakwa tersebut tetap berada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat cukup alasan untuk itu (Pasal 193 Ayat (2) KUHAP). Sedangkan terhadap lamanya pidana (sentencing atau straftoemeting) pembentuk undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menentukan antara pidana minimum sampai maksimum terhadap Pasal yang terbukti dalam persidangan. Mengenai masalah berat ringannya atau lamanya pidana ini merupakan wewenang yudex facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila yudex facti menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan undang-undang sebagaimana ditentukan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1953 K/Pid/1988 tanggal 23 Januari 1993.25 Walaupun pembentuk Undang-Undang memberikan kebebasan menentukan batas maksimum dan minimum lama pidana yang harus dijalani terdakwa, hal ini bukan berarti hakim dapat dengan seenaknya menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan yang lengkap. Penjatuhan pidana tersebut harus cukup dipertimbangkan dan putusan hakim yang kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI. Misalnya, dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 202 K/Pid/1990 tanggal 30 Januari 1993 dimana putusan Pengadilan Tinggi dalam pertimbangan hukumnya untuk memperberat pidana yang dijatuhkan, 24 25
Lilik, Mulyadi. Op.Cit. Hal. 112. Ibid. 35
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
sama sekali tidak menyebutkan alasan-alasan apa yang dapat dinilai untuk menambah atau memperberat pidana.26
Efektifitas Penggunaan Pasal Dalam KUHP Sebagai Dakwaan Alternatif Berdasarkan Putusan Perkara Pidana Nomor 45/Pid.B/2012/PN.MR. Surat dakwaan berfungsi sebagai dasar pemeriksaan suatu perkara pidana dipersidangan, dan hakim hanya akan memeriksa dan mempertimbangkan apa yang tertera dalam surat dakwaan tersebut, sehingga dapat dikatakan keberadaan surat dakwaan sangat penting dalam proses perkara pidana. Menurut Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE.004/J.A./11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, surat dakwaan menempati posisi sentral dan strategis dalam pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan, karena itu surat dakwaan sangat dominan bagi keberhasilan pelaksanaan tugas penuntutan. Ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana, maka fungsi surat dakwaan dapat dikategorikan: 1. Bagi pengadilan/Hakim surat dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dalam penjatuhan putusan; 2. Bagi
Penuntut
Umum,
surat
dakwaan
merupakan
dasar
pembuktian/analisi yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum; 3. Bagi Terdakwa/Penasehat Hukum, surat dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan. Dalam membuat surat dakwaan haruslah cermat dan berhati-hati mengingat bahwa surat tersebut adalah dasar dari pemeriksaan perkara dipersidangan. Hal ini berarti surat dakwaan tersebut harus dibuat sedemikian rupa, sehingga tindak pidana yang sungguh-sungguh dilakukan dan bagaimana dilakukannya bertautan dengan rumusan delik Undang-Undang pidana dimana tercantum larangan atas tindak pidana itu. Apabila yang
disebutkan dalam surat dakwaan itu tidak terbukti atau tidak
merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran maka terdakwa harus dibebaskan. Mengenai syarat-syarat surat dakwaan ini diatur dalam Pasal 143 KUHAP. KUHAP hanya menyebutkan hal-hal yang dimuat dalam surat dakwaan. Mengenai cara penguraiannya tidak disebutkan dalam KUHAP. Hal ini tentulah masih tetap sama dengan kebiasaan yang berlaku sampai saat ini yang telah diterima oleh jurisprudensi.
26
Ibid. Hal. 113. 36
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Sebuah surat dakwaan harus memenuhi beberapa syarat antara lain: 1.
Syarat Formil: yaitu harus dimuat nama (sebaiknya yang lengkap agar kemungkinan kekeliruan dapat dihindarkan), umur-tempat kelahiran, tempat tinggal (ada baiknya biloa disebutkan tempat tinggal tetap dan tempat tinggal yang terakhir), pekerjaan. Hal ini perlu sekali untuk menentukan identifikasi si tersangka atau terdakwa.
2.
Syarat Materiil: yaitu yang membuat inti isi dari surat dakwaan, ialah yang mengenai perbuatan-perbuatan, tempat dan waktu tindak pidana itu dilakukan dan segala keadaan atau masalah yang mendahului, menyertai atau mengikuti perbuatan itu yang dapat memberatkan ataupun yang dapat meringankan terdakwa.
Maksud
dari
perbuatan
disini
adalah
dalam
arti
perbuatan/sikap/gerakan atau tindakan manusia dan hal tersebut haruslah disusun sedemikian rupa, sehingga perumusannya memuat segala unsur tindak pidana yang dikenakan atau yang didakwakan. Perumusan materiil feit ini ditujukan kepada si terdakwa, karenanya perumusan ini harus terang, jelas dan tepat, sebab terdakwa harus mengerti benar-benar apa yang didakwakan kepadanya
sehingga
dengan
demikian
ia
ataupun
pembelanya
dapat
mengadakan pembelaan diri secara efektif.27 Selain sesuai dengan ketentuan KUHAP maka bagi Penuntut Umum hendaknya memperhatikan Pedoman Pembuatan Surat dakwaan terbitan Kejaksaan Agung RI, 1985. Di dalam buku pedoman tersebut dijelaskan pengertian-pengertian dari cermat, jelas dan lengkap, seperti yang disyaratkan oleh pasal 143 Ayat (2) huruf b KUHAP. Cermat adalah ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan kepada undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau dakwaan tidak dapat dibuktikan. Hal yang dapat dicontohkan pengaduan dalam hal delik aduan, apakah terdakwa dapat dipertanggung jawabkan dalam melakukan tindak pidana tersebut, apakah tindak pidana tersebut belum/sudah kadaluarsa, apakah tindak pidana itu tidak nebis in idem. Jelas yaitu Penuntut Umum harus mampu merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian perbuatan materiil (fakta) yang dilakukan terdakwa dalam surat
27
Moch Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2001, hal. 199-200. 37
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
dakwaan. Lengkap adalah uraian dakwaan harus mencakup semua unsur-unsur yang ditentukan Undang-Undang secara lengkap. 28 Berdasarkan Putusan Perkara Pidana Nomor 45/Pid.B/2012/PN.MR. Jaksa Penuntut Umum menggunakan dakwaan alternatif Kesatu Pasal 28 Ayat (2) Jo Pasal 45 Ayat (2) UU ITE atau Kedua Pasal 156a huruf a KUHP atau Ketiga Pasal 156a huruf b KUHP. Penggunaan dakwaan alternatif jaksa penuntut umum menimbulkan kesan bahwa adanya ketidakmampuan jaksa penuntut umum untuk menguasai dengan pasti materi perkara sehingga ragu-ragu terhadap tindak pidana yang didakwakan. Adapun faktor-faktor hambatan dalam penyusunan surat dakwaan adalah sebagai berikut: 1. Adanya sikap rutinisme sebagaimana dikonstatir Jaksa Agung R.I dalam Surat Edaran beliau Nomor: SE-009/J.A/6/1982. tentang jaksa yang melaksanakan tugas penuntutan bersikap santai, bersikap rutin. Hal ini secara sadar harus kita akui adanya. Karena pada masa itu masih ada ditentukan jaksa yang terlambat melimpahkan perkara, adanya jaksa yang dalam membuat memori/kontra memori banding/kasasi secara asalasalan/asal jadi. Penyerahan penanganan tugas tehnis yustisia kepada petugas tata usaha atau orang lain adalah sikap yang tidak bijaksana dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. 2. Faktor kepangkatan/jabatan, Kejaksaan adalah satu dan tak terpisahkan (een en ondeelbaar). Oleh karena itu dalam hubungannya dengan penyusunan surat dakwaan harus diartikan bahwa dalam memajukan perkara-perkara ke muka Pengadilan, maka setiap jaksa wajib mengakui sah surat tuduhan yang dibuat jaksa teman sejawatnya, dengan lain perkataan bahwa ia adalah terkait pada tuduhan tersebut, walaupun terhadap requisitoir mereka masing-masing dianggap mengemukakan pendapat secara individual, kecuali dalam hal-hal tertentu pimpinan kejaksaan menginstruksikan lain. Kejaksaan tidak dapat dipisah-pisahkan, adalah dalam arti bahwa semua karyawan tergabung dalam satu badan, yang bekerja untuk satu cita-cita dan sebab itu sebanyak mungkin harus berusaha untuk tetap satu dalam perbuatan dan satu dalam tujuan, dan dengan kerja sama antara mereka, dapatlah terlaksana misi yang ditugaskan oleh undang-
28
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 65. 38
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
undang kepada Badan Penuntut Umum secara kolektif berupa pemeliharaan undang-undang dan penuntutan kejahatan-kejahatan. Namun dalam praktek terkadang kepangkatan dan jabatan dapat menjadi hambatan bagi kelancaran mekanisme dan prosedur penyusunan dakwaan. 3. Faktor kurangnya minat untuk mengikuti perkembangan hukum baik secara teoritis maupun perkembangan hukum praktis antara lain disebabkan: a. Kesibukan pelaksanaan tugas sehari-hari, b. Terbatasnya kepustakaan yang tersedia didaerah, c. Kurangnya minat baca, d. Bahkan tidak jarang diantarannya yang merasa kemampuan dan kecakapan tehnisnya sudah cukup sehingga ia menganggap tidak perlu lagi
untuk
meningkatkan
profesionalnya.
kemampuan
dan
kecakapan
tehnis
29
Penggunaan Pasal dalam KUHP sebagai dakwaan alternatif oleh Jaksa Penuntut Umum berguna untukl menjerat pelaku penghinaan agama dengan terdakwa Alexander dinilai kurang cermat, dikarenakan tindak pidana ini dilakukan dengan menggunakan sarana internet yang mana hal ini tidak diatur di dalam KUHP. Adapun pendapat yang mengatakan mengenai kelemahan KUHP antara lain: 1. Sahetapy, berpendapat bahwa hukum pidana yang ada tidak siap meghadapi kejahatan komputer, karena tidak segampang itu menganggap kejahatan komputer berupa pencurian data sebagai suatu pencurian. Apabila dikatakan pencurian harus ada barang yang hilang. Sulitnya pembuktian dan kerugian besar yang mungkin terjadi melatarbelakangi pendapatnya yang mengatakan perlunya produk hukum baru untuk menangani kejahatan komputer agar dakwaan terhadap pelaku tidak meleset. 2. J. Sudama Sastroandjojo, menghendaki perlu adanya ketentuan baru yang mengatur permasalahan tindak pidana komputer. Tindak pidana yang menyangkut komputer haruslah ditangani secara khusus, karena caracaranya, lingkungan, waktu, dan letak dalam melakukan kejahatan komputer adalah berbeda dengan tindak pidana lain.30
29
Harun M Husein, Surat Dakwaan Teknik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 111-112 30 Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime), Cetakan kedua, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, hal. 48.
39
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Dalam hukum terdapat suatu azas penting yang di kenal dengan lex specialis derogat legi generalis. Secara sederhana hal ini berarti aturan yang bersifat khusus (specialis) mengkesampingkan aturan yang bersifat umum (generalis), maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika telah ada aturan hukum yang bersifat khusus. Menurut Adami Chazawi ada 6 (enam) ciri sebagai indikator tindak pidana lex specialis dari suatu lex generalis: 1. Dalam tindak pidana lex specialis harus mengandung semua unsur pokok tindak pidana lex generalis. Ditambah satu atau beberapa unsur khusus dalam lex specialis yang tidak terdapat dalam lex generalisnya. Unsur yang disebutkan terakhir sebagai unsur khususnya yang menyebabkan tindak pidana tersebut merupakan lex specialis dari suatu lex generalis. 2. Ruang lingkup tindak pidana bentuk umum dan bentuk khususnya harus sama. Misalnya lex generalis penghinaan, lex specialisnya juga penghinaan. Jika lex generalisnya mengenai pornografi, maka lex specialisnya juga harus mengenai pornografi. 3. Harus terdapat persamaan subjek hukum tindak pidana lex specialis dengan subjek hukum lex generalis. Kalau subjek hukum lex generalisnya orang, maka subjek hukum lex specialisnya juga harus orang. Tidak boleh subjek hukum
yang dianggap
lex
specialisnya
korporasi,
sementara
lex
generalisnya orang. 4. Harus terdapat persamaan objek tindak pidana antara lex specialis dengan objek lex generalis. Kalau objek tindak pidana lex generalis adalah nama baik dan kehormatan orang (penghinaan), maka objek tindak pidana lex specialisnya juga nama baik dan kehormatan orang. Kalau objek lex generalis adalah tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan, maka lex specialisnya juga merupakan tulisan, gambar atau benda yang melanggar kesusilaan. 5. Harus ada persamaan kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam lex specialis dengan lex generalisnya. Kalau kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam lex generalis adalah kepentingan hukum mengenai nama baik dan kehormatan, maka lex specialisnya juga demikian. 6.
Sumber hukum lex specialis harus sama tingkatannya dengan sumber hukum lex generalisnya. Jika lex generalis bersumber pada undang-undang, maka 40
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
sumber lex specialisnya juga harus undang-undang. Jika tidak sama tingkatannya, azas lex specialis derogat legi generalis tidak berlaku karena dapat berbenturan dengan azas berlakunya hukum lex superiori derogat legi inferiori. Hukum yang bersumber lebih tinggi meniadakan berlakunya hukum yang bersumber lebih rendah.31 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Jaksa Penuntut Umum menggunakan dakwaan alternatif dalam perkara pidana Nomor 45/PID.B/2012/PN.MR. tidak sesuai dengan azas lex specialis derogat legi generalis dikarenakan Pasal 156a huruf a dan huruf b KUHP tidak serta merta dapat mengartikan istilah “di depan umum” yang dilakukan menggunakan sarana internet atau dunia maya, sehingga hal ini tentunya akan mempengaruhi pertimbangan Hakim dalam memutus perkara tersebut.
Saran Jaksa Penuntut Umum seharusnya lebih cermat, jelas, dan lengkap dalam menentukan Pasal yang akan digunakan sebagai Surat Dakwaan berdasarkan unsurunsur tindak pidana yang dilakukan. Jaksa Penuntut Umum harus jelas dalam menyusun dan memilih bentuk surat dakwaan dengan menghubungkan fakta-fakta hukum yang telah terdakwa perbuat dengan unsur-unsur pasal yang akan didakwakan, karena dengan begitu akan mempermudah Hakim dalam memberikan pertimbangan hukum sesuai dengan fakta yang terungkap pada persidangan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal Dan Makalah: Anny Yuserlina, Pertimbangan Hakim Dalam Penerapan Pidana Terhadap Anggota Tentara Nasional Indonesia Yang Melakukan Desersi (studi kasus
31
Adami Chazawi, Hukum Pidana Penghinaan (Tindak Pidana Menyerang Kepentingan Hukum Mengenai Martabat Kehormatan dan Martabat Nama Baik Orang Bersifat Pribadi Maupun Komunal), Surabaya: ITS Press, 2009, hal. 266 - 267.
41
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Pengadilan Militer I-03 Padang). Padang: Artikel Program Pasca Sarjana Universitas Andalas Padang, 2011. Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Chazawi Adami, Hukum Pidana Penghinaan (Tindak Pidana Menyerang Kepentingan Hukum Mengenai Martabat Kehormatan dan Martabat Nama Baik Orang Bersifat Pribadi Maupun Komunal), Surabaya, ITS Press, 2009. Husein M Harun, Surat Dakwaan Teknik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya. Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Mulyadi Lilik, Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Praktek Peradilan. Bandung: CV Mandar Maju, 2010. ----------- Hukum Acara Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Praja S Juhaya, Delik Agama Dalam Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung: Penerbit Angkasa, 1982. Rifai Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Salam Faisal Moch, Hukum Acara Pidana Dalam Teori & Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2001. Suhariyanto Budi, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) Cetakan 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013. Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, hal. 70. Widodo, Hukum Pidana di Bidang Teknologi Informasi (Cybercrime Law), Aswaja Pressindo,Yogyakarta, 2013. Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Website Harry, Kurniawan. “Divonis Setelah Atheis” (http://docs.google.com) diunduh 3 Maret 2014. Miftakhul, Huda, Ratio, Decidendi. (http://www.miftakhulhuda.com/2011/03/ratio-decidendi.html),diunduh tanggal 10 Maret 2011. Putusan Pengadilan Putusan Perkara Pidana Nomor 45/Pid.B/2012/PN.MR
42
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
KEABSAHAN KONTRAK PADA TRANSAKSI E-COMMERCE MELALUI MEDIA INTERNET BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Rizki Jayuska 1 1
Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Sosial Dan Humaniora, Universitas Putera Batam, Batam, Jl Letjen R. Soeprapto, Kampus UPB, Batam 29442, Indonesia
Penyesuaian Pengarang E-mail:
[email protected] No Hp: +6285263751999
ABSTRAK Kemajuan teknologi, khususnya internet, pada satu sisi memberikan banyak kemudahan dan manfaat bagi manusia namun pada sisi lain juga menimbulkan permasalahan baru. E-commerce sebagai suatu bentuk perdagangan yang relatif baru juga tidak lepas dari masalah dalam pelaksanaannya. Permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan e-commerce antara lain mengenai keabsahan kontrak dalam e-commerce (online-contract/econtract), pembuktian kontrak tersebut apabila terjadi sengketa dan dokumen elektronik yang karakteristiknya berebeda dengan dokumen konvensional. Di samping itu, transaksi e-commerce sangat bergantung pada kepercayaan di antara para pihak. Ini terjadi karena dalam transaksi e-commerce para pihak tidak melakukan interaksi secara fisik dan bukti suratnya menggunakan media elektronik (paperless). Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian memberi kesimpulan bahwa kontrak elektronik dianggap sah apabila menggunakan system elektronik sesuai peraturan perundangan yang berlaku dan informasi elektronik tersebut dalam bentuk tertulis atau asli dimana informasi yang tercantum didalamnya dapat dijamin keutuhannya, dipertanggungjawabkan, diakses, ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan. KUH Perdata mutatis mutandis dapat diterapkan juga terhadap kontrak elektronik dalam e-commerce Kata kunci: kontrak elektronik, e-commerce, transaksi, pembuktian
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Kegiatan perdagangan dalam masyarakat telah berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut tidak hanya pada apa yang diperdagangkan tetapi juga pada tata cara dari perdagangan itu sendiri. Pada awalnya perdagangan dilakukan secara barter antara dua belah pihak yang langsung bertemu dan bertatap muka yang kemudian melakukan suatu kesepakatan mengenai apa yang akan dipertukarkan tanpa 43
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
ada suatu perjanjian. Setelah ditemukannya alat pembayaran maka lambat laun barter berubah menjadi kegiatan jual beli sehingga menimbulkan perkembangan tata cara perdagangan. Tata cara perdagangan kemudian berkembang dengan adanya suatu perjanjian diantara kedua belah pihak yang sepakat mengadakan suatu perjanjian perdagangan yang di dalam perjanjian tersebut mengatur mengenai hak dan kewajiban. Keberadaan e-commerce merupakan alternatif bisnis yang cukup menjanjikan untuk diterapkan pada saat ini, karena e-commerce memberikan banyak kemudahan bagi kedua belah pihak, baik dari pihak penjual (merchant) maupun dari pihak pembeli (buyer) di dalam melakukan transaksi perdagangan, meskipun para pihak berada di dua benua berbeda sekalipun. Dengan e-commerce setiap transaksi tidak memerlukan pertemuan dalam tahap negoisasi. Oleh karena itu media internet ini dapat menembus batas geografis dan teritorial termasuk yurisdiksi hukumnya.1 Transaksi elektronik menurut Pasal 1 angka 2 UU ITE adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Transaksi yang berarti adanya suatu hubungan hukum yaitu hubungan yang menimbulkan akibat hukum antara dua pihak atau lebih yang dilakukan dengan menggunakan sarana komputer, jaringan komputer dan atau media elektronik lainnya. Transaksi tersebut menggunakan sarana komputer, jaringan komputer dan atau media elektronik lainnya. Transaksi menggunakan sarana elektronik dapat dilakukan dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat sesuai dengan Pasal 17 Ayat (1) UUITE yang berbunyi: penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat. Pada pasal berikutnya materinya dibatasi transaksi elektronik dalam lingkup hukum privat. Di dalam transaksi elektronik antara pihak-pihak
hanya
mengandalkan itikad baik, karena memang transaksi elektronik dikenal di dunia maya yang tidak saling mempertemukan antara pihak-pihak yang bertransaksi sesuai dengan Pasal 17 Ayat (2) UU ITE yang menentukan bahwa para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung.
1
http://nikkoprambudi.tumblr.com/post/35985427005/masyrakat-teknologi diakses pada tanggal 28 November 2014
44
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Transaksi jual beli e-commerce juga merupakan suatu kontrak jual beli sama dengan jual beli konvensional yang biasa dilakukan masyarakat. Perbedaannya hanya pada media yang digunakan. Pada transaksi e-commerce, yang dipergunakan adalah media elektronik yaitu internet, sehingga kesepakatan ataupun kontrak yang tercipta adalah melalui online.2 Suatu kesepakatan selalu diawali dengan adanya penawaran oleh salah satu pihak dan penerimaan oleh pihak lain.3 Secara umum, baik yang dilakukan dalam skala nasional maupun yang bersifat internasional. Dimana alat bukti surat/bukti tulisan diletakkan pada urutan pertama. Yang dimaksud dengan surat di sini adalah surat yang ditandatangani dan berisi perbuatan hukum. Sedangkan surat yang dapat menjadi alat bukti yang kuat adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan notaris (akta autentik). Dari sini timbul permasalahan mengenai validitas kontrak elektronik jika terjadi sengketa antara para pihak. Karena Meskipun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) telah mengaturnya. Kegiatan dalam transaksi e-commerce yang berada diruang siber (cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada hal yang penting untuk dikaji. Hal tersebut akan menjadi fokus studi dalam penelitian ini. Fokus studi dalam tulisan ini terangkum dalam beberapa permasalahan, antara lain: 1. Bagaimana keabsahan kontrak elektronik pada transaksi e-commerce melalui media internet?
2
Abdul Halim Barakatullah, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce lintas Negara Indonesia, Yogyakarta, Pascasarjana FH UII, 2009, hal. 128. 3 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 228.
45
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
METODELOGI PENELITIAN Metodelogi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dimana sumber-sumbernya diambil dari kepustakaan yang relevan dengan topik penelitian. Adapun sumber-sumber kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini meliputi penelitian yang menggunakan peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah dan kasus yang berkaitan dengan penelitian ini sehingga peneliti dapat menganalisa permasalahan yang dibahas. Data-data yang diperoleh oleh peneliti kemudian di analisis secara deskriptif kemudian baru dijabarkan melalui tulisan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Suatu kontrak atau perjanjian adalah suatu “peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Salim HS berpendapat bahwa definisi-definisi tersebut di atas kurang lengkap karena para pihak yang dapat mengadakan perjanjian tidak terbatas pada orang saja namun juga termasuk badan hukum. Untuk itu Salim HS memberikan definisi perjanjian/kontrak sebagai berikut: Hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban
untuk
melaksanakan
prestasinya
sesuai
dengan
yang
telah
disepakatinya. Kesimpulan yang dapat diambil dari defenisi Salim H.S bahwa suatu perjanjian/kontrak setidaknya mengandung empat unsur, yaitu: 1. Ada hubungan hukum, Hubungan hukum ini dibedakan menjadi hubungan hukum yang tertulis dan tidak tertulis. 2. Ada subyek hukum, Subyek hukum ini dibedakan menjadi dua yaitu manusia dan badan hukum. Lebih lanjut, subyek hukum dalam hukum perikatan terdiri dari kreditor, yaitu subyek hukum yang berhak atas prestasi, dan debitor, yaitu subyek hukum yang wajibmemenuhi prestasi. 3. Ada prestasi, Bentuk-bentuk prestasi dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat. 4. Terjadi di bidang harta kekayaan. Harta kekayaan dapat berwujud maupun tidak berwujud dan menyangkut hak dan kewajiban yang mempunyai nilai uang. 46
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum dalam suatu perjanjian tidak lahir dengan sendirinya tetapi lahir karena adanya tindakan hukum yang dilakukan oleh para pihak baik perorangan maupun badan hukum yang berkeinginan untuk membuat hubungan hukum tersebut. Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masingmasing pihak yang membuat kontrak. Dengan kata lain para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji (wanprestasi). 4 Pengaturan tentang kontrak diatur terutama di dalam KUH Perdata (BW), tepatnya dalam buku III, di samping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang misalnya tentang perbuatan melawan hukum. Adapun asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah asas kebebasan berkontrak. Artinya pihak-pihak bebas membuat kontrak apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi kontrak. Namun kebebasan itu sendiri tidak mutlak karena terdapat pemabatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secaralisan dan andai kata dibuat tertulis, maka perjanjian ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian undangundang menentukan bentuk tertentu, apabila bentuk itu tidak dituruti, perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata- mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat adanya (bestaanwaarde) perjanjian. Misalnya, perjanjian mendirikan perseroan terbatas harus dengan akta notaris (Pasal 38 KUHD). Suatu kontrak adalah kesepakatan yang dapat dilaksanakan oleh pengadilan berdasarkan hukum yang berlaku, kepatutan dan kelayakan. Suatu definisi yang sederhana dan diakui secara luas mengenai kontrak dibuat melalui pernyataan kembali mengenai kontrak, yaitu :
4
Burhanudin Ali SDB. Nathaniela STG, Publishing, 2009, hal. 9.
60 Contoh Perjanjian (Kontrak), Jakarta: Hi-Fest
47
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Kontrak adalah suatu janji atau seperangkat janji–janji dan akibat pengingkaran atau pelanggaran atasnya hukum memberikan pemulihan atau menetapkan kewajiban bagi yang ingkar janji disertai sanksi untuk pelaksanaannya. Setiap kontrak setidak-tidaknya melibatkan dua pihak yang menawarkan (offeror) adalah pihak yang mengajukan penawaran untuk membuat suatu kontrak. Pihak yang ditawari (offeree) adalah pihak terhadap siapa kontrak tadi ditawarkan. Dalam mengajukan penawaran, pihak yang menawarkan berjanji untuk melakukan, sesuatu. Pihak yang ditawarkan (offeree) kemudian memiliki kekuasaan untuk menciptakan kontrak, dengan menerima penawaran dari yang menawarkan. Kontrak tercipta apabila penawaran (offer) tadi diterima. Tidak akan tercipta suatu kontrak apabila penawarannya tidak bisa diterima. Dengan demikian kontrak melalui suatu proses pihak-pihak antara yang menawarkan dan yang ditawari, yang disusul dengan diterimanya penawaran oleh yang ditawari seperti nampak pada peragaan 1 di bawah ini :5 Pihak-Pihak Dalam Suatu Kontrak
Penawaran (Offer)
Pihak yang menawarkan (Offerer)
Pihak yang ditawarkan (Offeree)
Penerimaan (Acceptance)
Pihak yang menawarkan (Offerer),
Pihak yang ditawari
menawarkan kepada pihak yang ditawari
(Offeree)
memiliki
kekuasaan
untuk menerima penawaran dan menciptakan
kontrak
antara
keduanya. Sumber: http://ocw.usu.ac.id/
Persyaratan Bagi Sebuah Kontrak Unsur-unsur
kontrak
demi
terwujudnya
sebuah
kontrak
yang
bisa
dilaksanakan, adaempat persyaratan dasar atau unsur sebagai berikut :
5
http://ocw.usu.ac.id/ Di akses pada tanggal 21 mei 2015 48
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
a. Kesepakatan: untuk memperoleh suatu kontrak yang baru dilaksanakan, para
pihakharus
mensyaratkan
saling
adanya
menerima
kesepakatan.
suatupenawaran
(Offer)
Kesepakatan oleh
pihak
ini yang
menawarkan (Offerer) dan penerimaan (Acceptance) dari pihak yang ditawari (Offeree). b. Pertimbangan: janji tersebut harus didukung oleh tawar menawar bagi pertimbangan
yang
berdasarkan
ketentuan
perundang-undangan.
Seringkali, janji-janji untuk memberi dan kewajiban-kewajiban moral tidak dianggap sebagai didukung oleh pertimbangan yang sah. c. Kapasitas mengadakan kontrak: pihak-pihak dalam suatu kontrak harus memiliki kapasitas atau kemampuan untuk mengadakan kontrak. Pihakpihak tertentu, seperti orang-orang yang dianggap kurang akal atau idiot, tidak memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mengadakan kontrak. d. Obyek yang sah: obyek kontrak haruslah sah atau tidak melawan hukum. Kontrak yang diadakan untukl mencapai tujuan-tujuan atau obyek illegal, atau kontrak-kontrak yang berlawanan atau bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah menjadi batal. Setelah dipahaminya ke 4 (empat) persyaratan untuk sebuah kontrak maka
perlu
diketahui
adanya
kekuatan
yang merupakan
dorongan
dilaksanakannya sebuah kontrak. Kita dapati adanya dua kekuatan bagi terlaksananya kontrak, yaitu : 1) Ketulusan atau keikhlasan persetujuan. Niat pihak-pihak untuk menciptakan kontrak harus secara tulus dan ikhlas. Apabila ada sifat paksaan, pengaruh yang tidak dapat dibenarkan, atau penipuan, maka dianggap tidak ada dukungan untuk berkontrak yang pada gilirannya bisa batal atau dibatalkan demi hukum (apabila kontrak telah terjadi). 2) Tulisan dan bentuk. Undang-undang mensyaratkan bahwa kontrak-kontrak tertentu harus secara tertulis atau dalam bentuk tertentu. Kelalaian atau kegagalan mengenai kontrak-kontrak yang harus secara tertulis atau dalam bentuk tertentu dapat diajukan untuk melakukan perlawanan terhadap pelaksanaan suatu kontrak oleh pihak yang merasa dirugikan. Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa dalam kontrak perdagangan konvensional khususnya hukum privat dasar yang 49
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
digunakan adalah aturan-aturan dalam KUH Perdata terutama Buku III tentang Perikatan. Pada perikatan ini menganut asas kebebasan berkontrak, maksudnya pihakpihak diberi kebebasan dalam membuat perjanjian atau transaksi asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan.
Keabsahan Kontrak Elektronik Pada Transaksi E-Commerce Salah satun implikasi dari berkembangnya pemanfaatan tekonolgi informasi dalam kegiatan bisnis dan perdagangan adalah lahinrya kontrak elektronik yang memiliki karakter yang berbeda jika dibandingkan dengan model perdagangan atau kontrak konvensional. Perbedaan karakter ini tidak sepenuhnya dapat diantisipasi oleh hukum yang berlaku. Terbukti dari munculnya perdebatan didalam masyarakat mengenai aspek-aspek hukum tertentu yang mengalami pergeseran paradigma seiring terjadinya pergeseran dari model kontrak offline ke model kontrak online.6 Penyebab timbulnya debat tersebut adalah fakta bahwa secara teknis pengiriman pesan e-mail harus melalui beberapa tahapan tertentu. Terhadap perdebatan tersebut beberapa pihak berpendapat bahwa kontrak telah terbentuk pada saat pembeli mengklik ikon tertentu (I Agree atau I accept), sehingga karenanya pembeli tersebut dianggap terikat pada ketentuan-ketentuan dan persyaratanpersyaratan kontrak sebagaimana yang dilampirkan di dalam penawaran. Pendapat seperti ini didasarkan pada prinsip bahwa kehendak seseorang untuk terikat pada suatu kontrak tidak selalu harus diindikasikan dalam bentuk tertulis, melainkan dapat pula diindikasikan dalam bentuk-bentuk yang lain, seperti bentuk lisan maupun elektronik, termasuk melalui e-mail. Perdebatan dalam komunitas hukum Indonesia sebagaimana terurai di atas selanjutnya menimbulkan ketidakpastian tentang pandangan yang mana yang harus diikuti oleh pengadilan. Terlebih lagi, belum ada putusan hakim yang dapat dijadikan preseden. Ketidakpastian tersebut diperparah dengan berkembangnya pandangan yang mengatakan bahwa transaksi elektronik tidak cukup aman untuk diterapkan dalam transaksi-transaksi penting dan vital. Masalah ketidakpastian hukum sebagaimana terurai di atas merupakan penghambat utama bagi perkembangan dan pertumbuhan e-commerce dan e-contract di Indonesia. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
6
Sanusi H M Arsyad, Hukum dan Teknologi Informasi. Jakarta: Sasrawarna Printing, 2011, hal. 305.
50
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, yang terhadap permasalahan Transaksi Elektronik memberikan pengaturan sebagai berikut: Pasal 17 1) Penyelenggara transaksi elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat. 2) Para pihak yang melakukan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beritikat baik dalam melakukan transaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung. 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggraan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 18 1) Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak 2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya. 3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik Internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional lainnya. 4) Jika para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi internasional yang dibuatnya. 5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada hukum perdata internasional. Pasal 19 Para pihak melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati. Pasal 20 Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima. 51
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
1) Persetujuan atas penawaran transaksi elektronik sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik. Pasal 21 1) Pengirim atau penerima dapat melakukan transaksi elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui agen elektronik. 2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut: a. Jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi b. Jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau c. Jika dilakukan melalui agen elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
transaksi
elektronik
menjadi
tanggung
jawab
penyelenggara agen elektronik 3) Jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap sistem elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara agen elektronik. 4) Jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan 5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik. Pasal 22 1) Penyelenggara agen elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada agen elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi 2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara agen elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dengan peraturan pemerintah.
52
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Terhadap hal-hal tertentu yang belum diatur oleh Undang-Undang ITE ini, dapat diterapkan KUH Perdata sebagaimana dalam Pasal 1313 yang berbunyi: suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Berdasarkan definisi tersebut, berarti bahwa perbuatan pihak-pihak mengklik ikon I Agree atau I Accept adalah dapat dipandang sebagai indikator persetujuan untuk mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau pihak lain. Hal tersebut disebabkan karena ketentuan pasal 1313 KUH Perdata tidak mengatur tentang dengan cara apa atau media apa para pihak harus menyatakan persetujuannya untuk mengikatkan diri dalam kontrak. Hal ini berarti bahwa perbuatan pihak-pihak mengklik ikon I agree atau I accept dan dengan menggunakan media elektronik adalah dapat diterima sebagai perwujudan kehendak untuk terikat pada kontrak. Selanjutnya dalam Pasal 1320 KUH Perdata diatur syarat sahnya suatu perjanjian sebagai berikut: 1. Kesepakatan para pihak yang mana hal ini merupakan cermin dari adanya asas konsensus dari suatu kontrak; 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Dalam hal tidak dipenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan), maka kontrak dapat dibatalkan. Apabila unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) tidak terpenuhi, maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tersebut diketahui bahwa adanya kesepakatan merupakan persyaratan pokok atau utama bagi sahnya suatu kontrak, karena tanpa adanya kesepakatan diantara mereka yang mengadakan perjanjian maka perjanjian itu tidak akan terjadi. Hal ini berarti bahwa yang utama bukanlah bentuk atau media yang digunakan para pihak untuk membuat kontrak, melainkan adalah adanya kesepakatan dinatara para pihak itu. Suatu kesepakatan selalu diawali dengan adanya suatu penawaran oleh suatu pihak dan dilanjutkan dengan adanya tanggapan berupa penerimaan oleh pihak lain. Jika penawaran tersebut tidak ditanggapi atau direspon oleh pihak lain, tidak ada kesepakatan. Oleh karena itu, diperlukan dua pihak untuk melahirkan suatu kesepakatan. Adanya kesepakatan diantara para pihak juga merupakan indikasi bahwa pihak yang satunya bersedia untuk memenuhi kewajiban
53
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
atau prestasinya, dimana prestai tersebut bagi pihak lainnya merupakan hak yang sudah seharusnya diterimanya. Mengingat ketentuan-ketentuan KUH Perdata memandang bahwa syarat yang lebih pokok bagi sahnya suatu perjanjian adalah “adanya kesepakatan” bukan “bentuk”, maka tercapainya kesepakatan ini dapat dinyatakan oleh kedua belah pihak baik secara lisan (dengan ucapan ‘setuju’ atau ‘sanggup’), secara tertulis (misalnya dalam bentuk pembubuhan tanda tangan) atau dilakukan dengan mengklik tombol I Agree atau I Accept pada web page. 7 Adapun syarat kedua bagi sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu syarat kecakapan untuk membentuk suatu perjanjian. Suatu perjanjian, apa pun nama dan bentuknya, pada prinsipnya akan ada dua atau lebih para pihak (subjek hukum) yang terlibat didalamnya. Setidak-tidaknya para pihak yang di maksud dapat berupa perorangan ataupun badan hukum yang segalanya dilindungi secara hukum secara hukum serta memiliki kecakapan untuk berbuat dan bertanggung jawab dalam segala hal mengenai perbuatan hukum yang dilakukannya. Apabila para pihaknya merupakan subyek hukum perseorangan, maka paling tidak ia harus memenuhi persyaratan dapat bertindak dalam hukum, sehat pikiran, jasmani serta mempunyai kemampuan untuk melakukan perjanjian. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian itu harus cakap untuk melakukan perbuatan hukum di muka umum. Namun, dalam konteks kontrak elektronik yamg dibentuk melalui internet, syarat kecakapan sulit untuk diverivikasi. Hal ini terutama disebabkan karena karakteristik internet yang bercirikan anonim (pihak-pihak yang tidak saling kenal dapat melakukan komunikasi melalui internet) dan non face (dalam komunikasi melalui internet tidak diperlukan tatap muka secara langsung). Kedua karakteristik internet tersebut membuka membuka kemungkinan bagi pengguna yang curang untuk melakukan pemalsuan identitas atau menyembunyikan identitas aslinya. Sehingga, dapat dikemukakan bahwa landasan moral yang utama bagi pembentukan kontrak elektronik melalui internet adalah prinsip itikat baik. Ketika semua persyaratan dalam Pasal 1320 telah dipenuhi dalam kontrak online dengan satu cara atau dengan cara lain, ada satu persoalan sangat penting yang tersisa, yaitu bilaman kontrak tersebut dilanggar, bagaimana seseorang akan membuktikan bahwa pelanggaran kontrak telah terjadi dan pihak yang dapat dikenal
7
Loc. Cit. hal . 305. 54
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
tersebut telah lalai dalam memenihi kewajiban. Keaslian catatan berhubungan dengan persyaratan pembuktian yang sesuai dengan undang-undang dari banyak negara dalam hal keaslian, akurasi dan integritas dalam catatan data tersebut. Kesalahan, pengubahan yang curang dan pemalsuan haruslah tidak mempengaruhi catatan data; selain itu prosedur-prosedur yang terlibat dalam pembuatan dan pemeliharaan dan juga pengaturannya harus diawasi dengan sebaik-baiknya. Pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak seharusnya mereka memutuskan cara pengamanan data yang tepat, menetapkan prosedur pemindahan, penyimpanan dan pemrosesan data, perawatan buku catatan data elektronik, penggunaan tanda tangan digital, dan pihak yang berwenang melakukan pengesahan. Suatu cara alternatif untuk membuktikan keaslian dan mencegah terjadinya pemalsuan atau kehilangan isi, seseoarang dapat menggunakan berbagai macam komunikasi yaitu, yang pertama dengan e-mail, kemudian dengan fax, telpon dan telpon genggam. Setiap kali komunikasi kedua diterima, konfirmasi terhadap adanya kontrak dapat dicapai. Namun demikian, keuntungan berupa kecepatan komunikasi elektronik akan berkurang, karena menunggu komunikasi kedua yang akan menunda keseluruhan proses dalam transaksi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan mengenai keabsahan kontrak
pada transaksi
elektronic commerce melalui media internet berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Ketentuan dalam Buku III tentang Perikatan dapat juga diterapkan dalam kontrak elektronik. Beberapa ketentuan KUH Perdata yang bekaitan dengan hal itu, meliputi Pasal 1313 mengenai pengertian perjanjian; Pasal 1320, Pasal 1332, Pasal 1333, Pasal 1334, Pasal 1317, Pasal 1341 mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian; Pasal 1347 mengenai isi suatu perjanjian; Pasal 1244, Pasal 1243, Pasal 1245 mengenai ingkar janji dan ganti kerugian.
Undang-Undang ITE Pasal 18 ayat (1)
menyebutkan Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak. Kemudian ditambahkan Pasal 6, yang dianggap sah apabila menggunakan system elektronik sesuai peraturan perundangan yang berlaku dan informasi elektronik tersebut dalam bentuk tertulis atau asli dimana informasi yang 55
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
tercantum di dalamnya dapat dijamin keutuhannya, dipertanggungjawabkan, diakses, ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan, Pasal 17 ayat (2) beritikad baik, Pasal 15 menggunakan Sistem Elektronik yang andal dan aman serta bertanggung Jawab. KUH Perdata mutatis mutandis dapat diterapkan juga terhadap kontrak elektronik dalam e-commerce.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka dapat diajukan saran sebagai berikut: Untuk mengantisipasi semakin berkembangnya transaksi komersial elektronik (e-commerce) dan untuk menjamin kepastian hukum dalam transaski komersial elektronik, Indonesia hendaknya segera membentuk/mengesahkan peraturan/hukum yang mengatur mengenai transaksi e-commerce bukan mencampurnya dengan materi hukum yang lain. Selain itu perlu dibuat peraturan hukum mengenai cyberlaw termasuk didalamnya ketentuan mengenai pembayaran transaksi secara online, izin penjualan online, perlindungan data buyer, penyelesaian sengketa secara online dan tanggunjawab merchant yang dilakukan di media internet sehingga ketentuan tentang transaksi elektronik dapat terakomodasi. Dengan pengaturan tersebut, para pihak yang terlibat transaski elektronik khusunya pembeli (buyer) sebagai pengguna teknologi elektronik dalam proses transaksi e-commerce dapat lebih terjamin.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal dan Makalah: Barkatullah Abdul Halim, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi ECommerce Lintas Negara Indonesia, Jogjakarta, Pascasarjana FH UII, 2009. Burhanudin Ali SDB. Nathaniela STG, 60 Contoh Perjanjian (Kontrak), Jakarta: HiFest Publishing, 2009. Makarim Edmon, Pengantar Hukum Telematika (Suatu Kompilasi Kajian), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Sanusi H M Arsyad, Hukum dan Teknologi Informasi, Jakarta: Sasrawarna Printing, 2011. Peraturan Perundang-Undangan: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 56
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik Website http://nikkoprambudi.tumblr.com/post/35985427005/masyrakat-teknologi diakses pada tanggal 28 November 2014 http://ocw.usu.ac.id/ Di akses pada tanggal 21 mei 2015
57
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
TANGGUNG JAWAB PENYEDIA LAYANAN KOMPUTASI AWAN TERHADAP PERLINDUNGAN DATA PRIBADI PENGGUNA LAYANAN KOMPUTASI AWAN (BERDASARKAN UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK NOMOR 11 TAHUN 2008) Sulaiman1 1
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Tarakan Kalimantan Utara, Universitas Borneo Tarakan, Jl. Pantai Amai No 1. Tarakan, Indonesia. Penyesuaian Pengarang E-mail:
[email protected] No Hp: 081254295229 ABSTRAK
Dalam perkembangan teknologi informasi, yang memunculkan berbagai macam sarana Informasi dan komunikasi serta suatu layanan penyimpanan data yang berbasis internet. Sehingga kebanyakan masyarakat yang menggunakan media elektronik dan menyimpan data pribadi dilayanan komputasi awan (Cloud Computing) sebagai alat penyimpanan data serta informasi yang berpotensi terjadinya penyalahgunaan data pribadi. Dalam penelitian ini penulis memaparkan mengenai tanggung jawab penyedia layanan Komputasi Awan atas data Pribadi pengguna layanan, hal ini terkait mengenai penerapan pasal perlindungan data pribadi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dikaitkan dengan praktik layanan komputasi awan yang saat ini sedang berkembang pesat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis serta menjelaskan pokok-pokok permasalahan yang ingin diungkap berdasarkan rumusan masalah yaitu makna hukum perlindungan data pribadi yang terdapat dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan konsep hukum agar tercipta perlindungan hukum terhadap data pribadi penguna layanan dan tanggung jawab dari penyedia layanan komputasi awan terhadap data pribadi pengguna layanan. Kata kunci: komputasi awan, perlindungan hukum data pribadi, tanggung jawab
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi informasi salah satunya membawa pengaruh terhadap semakin konvergennya sistem komputasi (computing system) dan sistem komunikasi yang mendorong terintergerasi kedua sistem tersebut pada jarak jauh (telecommunication system). Cepatnya perkembangan teknologi informasi dan diterimanya internet secara luas sebagai infrastruktur alternatif modern, tidak berarti bahwa eksistensi keduanya tidak memunculkan permasalahan-permasalahan, baik yang bersifat teknis maupun yang bersifat yuridis. Perkembangan teknologi informasi 58
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
yang berkembang cepat sangat jauh perbedaanya dengan masa awal kehadirannya. Teknologi informasi telah merubah pola hidup masyarakat secara global dan menyebabkan perubahan sosial budaya, ekonomi, dan kerangka hukum yang berlangsung secara cepat dengan signifikan. Inovasi yang ditawarkan melalui cloud computing ini sangat berpotensi untuk mengembangkankegiatan perekonomian, baik olehorganisasi kecil maupun organisasi besar. Tanpa harus mengeluarkan biaya banyak dalam hal teknologi, kegiatan ekonomi suatu perusahaan dapat berjalan efektif dan efisien. Hal tersebut itulah yangsangat diperlukan oleh organisasi-organisasi kecilyang akan memulai usaha. Di samping itu penggunaan teknologi sudah menjadi keharusan bagi para pelaku bisnis. Kebutuhan komputasi awan diperkirakan bakal mengalami peningkatan yang sangat besar di masa mendatang. Hal tersebut didorong makin banyaknya penggunaan perangkat yang terhubung ke internet dan membutuhkan akses layanan berbasis data secara real time.1 Pada tahun 2015 tersebut, trafik internet bisa mencapai hingga ukuran zetabyte atau miliar-miliar juta bytes.2 Komputasi awan memang menjadi bisnis yang diminati dan diproyeksikan akan terus berkembang. Cisco Internet Business Solutions Group (CIBSG) belum lama ini mengemukakan hasil risetnya mengenai potensi cloud computing. Pasar cloud Indonesia dinilai tengah berada dalam kurva pertumbuhan pesat dan semakin banyak perusahaan yang akan menjadikan cloud sebagai prioritas mereka dalam tahun-tahun mendatang. Perlindungan data begitu penting antara lain adalah mengenai data pertahanan keamanan negara dan data pasar modal. Hal tersebut dapat dilihat dari pertahanan keamanan negara, banyak informasi dan data yang bersifat rahasia yang walaupun tidak memiliki nilai komersial, tetapi apabila jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berwenang ada kemungkinan dapat mengganggu stabilitas nasional seperti data peta wilayah, data kekuatan pasukan, jenis dan jumlah persenjataan. Di dalam kegiatan pasar modal, data merupakan sesuatu yang vital karena itu perlindungan data dalam pasar modal begitu sangat signifikan terkait dengan penggunaan data termasuk juga infrastukturnya. Berdasarkan banyaknya isu hukum yang melingkupi teknologi yang terbilang baru ini, maka penulis tertarik untuk penelitian dan menulis Tesis dengan judul “Tanggung Jawab Penyedia Layanan Komputasi Awan Terhadap Perlindungan Data 1
“Kampanyekan Cloud Dengan Solusi Satu Kotak”.
Diakses pada 19 Oktober 2014 2 Ibid. 59
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Pribadi Pengguna Layanan Komputasi Awan (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008).” Untuk mencoba memberikan jawaban terkait jaminan hukum dan melindungi kepentingan pengguna baik personal maupun perusahaan yang menggunakan jasa fasilitas penyedia layanan Komputasi Awan terhadap data pribadi mereka di Indonesia.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dan batasan masalah di atas, penulis akan mengangkat permasalahan guna dibahas dalam penulisan tesis ini, yaitu: Bagaimana tanggung jawab penyedia layanan komputasi awan terhadap perlindungan data pribadi pengguna layanan komputasi awan?
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tanggung jawab hukum disini berpedoman pada tanggung jawab sebelum terjadinya suatu kejadian, dan tanggung jawab setelah kejadian.Tanggung jawab sebelum sesuatu kejadian adalah tanggung jawab untuk mematuhi semua undangundang dan/atau regulasi mengenai Teknologi Informasi (TI) dalam rangka memberi sesuatu yang layak kepada publik (penerapan prinsip tata kelola yang baik terhadap penyelenggaraan sesuatu). Sementara tanggung jawab setelah kejadian adalah tanggung jawab untuk memulihkan keadaan bagi yang dirugikan kepada keadaan yang semula.3 Tanggung jawab hukum dalam penyelenggaraan sistem elektronik ditentukan berdasarkan undang-undang yang disebut juga Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Perbuatan melawan hukum lahir karena adanya prinsip bahwa barang siapa melakukan perbuatan yang membawa kerugian kepada oranglain mewajibkan orang yang salah karena salahnya mengganti kerugiantersebut (Pasal 1365 KUHPer). Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perbuatan melawan hukum (PMH) harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut;(1) ada suatu perbuatan, (2) perbuatan itu melawan hukum, (3) ada kesalahan dari pelaku, (4) ada kerugian korban, (5) ada hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. 3
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Harapan, 2000, hal. 39 dikutip dari Edmon Makarim, Tanggung Jawab Penyelenggara Terhadap Tata Kelola Yang Baik Dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Good Electronic Governance), Jakarta: Ringkasan Desertasi, FHUI, 2009, hal. 79 60
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Dalam penyelenggaraan sistem elektronik pengadaan tanggung jawab dibedakan dari sisi prosedural atau administratif (business process) dan dari sisi teknis. Dari sisi prosedural ditentukan berdasarkan proses administrasiyang seharusnya dilakukan, sedangkan dari sisi teknis ditentukan berdasarkantata kelola teknologi yang baik dan tepat. Dahulu, data dan software komputer tidak termasuk dalam suatu hal yang dapat diterpakan prinsip strict liability karena data dan software dikategorikan sebagai intangible asset,
namun ternyata hal tersebut justru telah
mengakibatkan perkembangan industrinya menjadi negatif bagi kepentingan perlindungan konsumen.4 Penerapan tanggung jawab penyedia layanan komputasi awan di sini bisa mengacu pada teori-teori tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik. Selain tanggung jawab kepada konsumen, penyelenggara juga bertanggung jawab untuk mengikuti standar yang lazim berlaku dalam komunitasnya dan/atau terhadap penerapan pedoman pemerintah sebagai patokan melakukan upaya yang terbaik dan menjaga mutu penyelenggaraan jasanya (Quality of Services). Pada dasarnya ia harus bertanggung jawab secara mutlak terhadap semua dampak kerugian yang ditimbulkannya kepada pihak lain, namun hal itu bisa berubah menjadi terbatas (pembatasan tanggung jawab), jika ada suatu mekanisme tertentu yang menjadi ukuran dalam best practices. Tanggung jawab sebelum suatu kejadian (ex-ante liability) adalah tanggung jawab untuk mematuhi semua undang-undang dan/atau regulasi administrasi Negara dalam rangka memberikan suatu yang layak kepada publik.5 Sementara untuk tanggung jawab setelah kejadian (ex-post liability) adalah tanggung jawab untuk memulihkan keadaan bagi yang dirugikan kepada keadaan yang semula. Kepentingan tersebut direpresentasikan dengan pembayaran sejumlah ganti rugi yang sesuai dengan kerugian yang diderita, sebagai bentuk kompensasi dari perbuatan tersebut.6 Ada beberapa masalah hukum yang terkait dengan komputasi awan (cloud computing) itu sendiri. Namun dalam hal ini ada 2 (empat) permasalahan terkait dengan tanggungjawab penyedia layanan komputasi awan yang ingin diketahui yaitu: 1. Tindakan yang dilakukan oleh penyedia layanan komputasi awan untuk melindungi data pelanggan.
4
Edmon Makarim, Tanggung Jawab Hukum Penyelenggara Sistem Elektronik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, hal. 225 5 Ibid, hal.160 6 Ibid. 61
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
2. Pertanggung jawaban dari penyedia layanan komputasi awan apabila data pelanggan tersebut bocor atau disalahgunakan. Penjabaran masing-masingnya akan dijabarkan sebagai berikut: a. Tindakan Yang Dilakukan Oleh Penyedia Layanan Komputasi Awan Untuk Melindungi Data Pelanggan Layanan komputasi awan Telkom Indonesia atau yang dikenal dengan Telkom Cloudnya, data pelanggan dilindungi menggunakan teknologi terkini yaitu virtualisasi, partisi, firewall, Information Rights Management, enkripsi dan desain Data Center yang tersebar untuk meningkatkan availability. Sama halnya dengan Microsoft, Menurut Tony Seno, untuk memastikan desain yang baik dan aman, Microsoft juga melakukan sertifikasi terhadap layanan awan Microsoft. Saat ini layanan awan Microsoft sudah mendapatkan sertifikasi FISMA, ISO 27001: 2005, dan SAS 70 type II. Menurut Kurnia Wahyudi, IBM sebagai technology and service provider berupaya semaksimal mungkin memberikan layanan secara teknis dalam melindungi data pelanggan, guna melindungi data pelanggan
dari
aspek
keamanan
(security),
yang
meliputi
Confidentiality, Integrity, dan Availbility, sesuai tingkatan sekuriti yang pelanggan inginkan dalam bentuk Service Level Agreement. Termasuk di dalamnya hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, prosedur, standar layanan dan bantuan yang terkait dengan tingkatan sekuriti yang diinginkan oleh pelanggan. Layanan komputasi awan Biznet, Anggana Gunita juga menjelaskan bahwa untuk melindungi data pelanggan, Biznet telah menuangkannya dalam Service Level Agreement dengan pengguna layanan dimana di dalamnya terdapat kewajiban dari pihak penyedia dan pengguna layanan komputasi awan. Dalam hal ini Biznet bertanggungjawab pada jaringan dan perangkat keras yang disediakan seperti menyediakan pihak keamanan pusat data 24 jam, menjaga pendinginan pusat data, dan menyediakan listrik beserta generator pendukung. Terkait dengan manajemen sekuriti data, dalam layanan ini pihak pengguna yang lebih dituntut untuk dapat mencegah terjadinya tindakantindakan yang mengganggu data mereka seperti hacking, 62
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
spamming, phising, dan lain sebagainya, sedangkan Biznet lebih kearah preventif seperti menyediakan fitur-fitur firewall, update antivirus, dan update program atau Virtual Machine yang disediakan. Biznet menjamin atas ketersediaan layanan komputasi awan baik jaringan maupun perangkat keras hingga 99,8% dan pengguna layanan berhak mendapat penggantian hingga 30 (tiga puluh) persen dari jumlah total tagihan dalam sebulan jika Biznet tidak mencapai jaminan layanan yang dijanjikan pada Service Level Agreement. b. Pertanggung jawaban dari Penyedia Layanan Komputasi Awan Apabila Data Pelanggan Tersebut Bocor atau Disalahgunakan Dalam hal ini, terjadi kebocoran atau penyalahgunaan data, Telkom menghargai dan melindungi privasi data/informasi pelanggan dan tidak akan dibocorkan /disalahgunakan. Namun pada dasarnya kebocoran data ataupu penyalahgunaan data memang sulit untuk dipungkari dikarenakan akibat musibah/bencana yang diakibatkan oleh manusia itu sendiri yang disebut Haeker (pembobol Pertanggung jawaban dari penyedia layanan itu sendiri yang merupakan suatu kewajiaban maka dari itu Telkom selalu meningkatkan keamanan data, sehingga kebocoran dan penyalahgunaan data yang disimpan bisa diminilisir. Microsoft tidak akan mengungkapkan informasi pribadi Anda di luar Microsoft dan anak perusahaan yang dikendalikan dan afiliasi tanpa persetujuan Anda.7 Menurut Tony Seno, apabila ada pelanggaran, maka Microsoft dapat dikenakan pelanggaran pasal privasi/keamanan data dalam Undang-Undang ITE, sedangkan menurut Kurnia Wahyudi dari IBM Indonesia terkait dengan hal ini harus dilihat secara proporsional
dan
perlu
investigasi
yang
mendalam
perihal
penyalahgunaan dan kebocoran. IBM selalu akan mengikuti peraturan dan undang-undang yang berlaku sesuai dengan kesepakatan yang dibuat dengan pelanggan, asalkan investigasi yang menyeluruh dan mendalam telah membuktikannya. Proporsionalitas untuk melihat dimana, oleh siapa, dan karena apa kebocoran dan penyalahgunaan terjadi, termasuk potensi terbesar hal itu terjadi. 7
Microsoft Online Privacy Statement, Diakses pada 1 Januari 2012 63
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Beliau mencontohkan sebagai analogi perihal perlindungan data terhadap nomor telepon selular yang dimiliki oleh pelanggan baru (nomor yang baru dibuat), ternyata para provider telepon selular tak dapat melindungi nomor tersebut dari serangan SMS liar (baik penipuan maupun penawaran) yang diakibatkan beredarnya nomor tersebut oleh oknum yang tidak bertanggungjawab di internal provider (catatan: sang pemilik nomor baru belum pernah atau sempat mendistribusikan nomornya yang baru kepada instansi yang memiliki potensi penyebaran yang tidak bertanggung jawab terjadi, seperti agen kartu kredit, asuransi, dan lain sebagainya). Layanan
komputasi
awan
Biznet,
Biznet
tidak
akan
mengungkapkan informasi pengguna layanan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan pengguna layanan. Biznet dapat bekerja sama dengan otoritas hukum dan/atau pihak ketiga dalam investigasi kejahatan apapun yang dicurigai atau diduga salah, termasuk pengungkapan informasi pengguna layanan, tetapi hanya jika Biznet diminta untuk melakukannya oleh hukum.8 Apabila terjadi kebocoran data atau penyalahgunaan data karena tindakan hacking maka Biznet dalam hal ini mencantumkannya dalam pasal Force Majeure dengan kewajiban untuk memberitahukan keadaan tersebut secepatnya kepada pengguna layanan. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa, Tanggung Jawab Penyedia Layanan Komputasi Awan Terhadap Data Pengguna adalah sebagai berikut : 1. Terkait dengan tanggung jawab penyedia layanan komputasi awan terhadap data maupun data pribadi pengguna layanannya, penulis melihat bahwa terdapat beberapa perbedaan kebijakan teknis yang diterapkan untuk melindungi data tersebut. 2. Dalam hal ini penyedia layanan awan telah menerapkan prinsip tanggung jawab sebelum suatu kejadian (ex-ante liability). 3. Narasumber-narasumber dari beberapa penyedia layanan komputasi awan dimana penyedia layanan komputasi awan menghormati, melindungi dan tidak akan mengungkapkan data pribadi pengguna layanan komputasi awan tanpa adanya persetujuan dari pengguna layanan. 8
Biznet Networks Terms and Condition, , Diakses pada 1 Januari 2012 64
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
4. Data pribadi pengguna layanan komputasi awan apabila dicuri dan/atau dibobol oleh tindakan hacking dan/atau tindakan lain yang diluar kendali dari penyedia layanan maka penyedia layanan komputasi awan tidak bertanggungjawab atas kewajiban yang ditimbulkan dari gangguan tersebut dengan sebelumnya memberitahukan keadaan tersebut secepatnya kepada pelanggan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Dari uraian bab-bab sebelumnya akhirnya penelitian ini sampai pada beberapa kesimpulan atas pembahasan permasalahan yang telah diteliti sebelumnya yaitu sebagai berikut : 1. Tindakan yang dilakukan Berfungsi untuk melindungi data pelanggan dari aspek keamanan (security), yang meliputi Confidentiality, Integrity, dan Availbility, sesuai tingkatan sekuriti yang pelanggan inginkan dalam bentuk Service Level Agreement. Termasuk di dalamnya hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, prosedur, standar layanan dan bantuan yang terkait dengan tingkatan sekuriti yang diinginkan oleh pelanggan. Dalam hal ini Biznet bertanggungjawab pada jaringan dan perangkat keras yang disediakan seperti menyediakan pihak keamanan pusat data 24 jam, menjaga pendinginan pusat data, dan menyediakan listrik beserta generator pendukung. 2. Tanggung Jawab Penyedia Layanan Komputasi Awan Terhadap Data Pengguna adalah sebagai berikut : a. Terkait dengan tanggung jawab penyedia layanan komputasi awan terhadap data maupun data pribadi pengguna layanannya, penulis melihat bahwa terdapat beberapa perbedaan kebijakan teknis yang diterapkan untuk melindungi data tersebut. b. Dalam hal ini penyedia layanan awan telah menerapkan prinsip tanggung jawab sebelum suatu kejadian (ex-ante liability). c. Nara sumber-narasumber dari beberapa penyedia layanan komputasi awan dimana penyedia layanan komputasi awan menghormati, melindungi dan tidak akan mengungkapkan data pribadi pengguna 65
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
layanan komputasi awan tanpa adanya persetujuan dari pengguna layanan. d. Data pribadi pengguna layanan komputasi awan apabila dicuri dan/atau dibobol oleh tindakan hacking dan/atau tindakan lain yang diluar kendali dari penyedia layanan maka penyedia layanan komputasi awan tidak bertanggungjawab atas kewajiban yang ditimbulkan dari gangguan tersebut dengan sebelumnya memberitahukan keadaan tersebut secepatnya kepada pelanggan. Saran Faktor keamanan dan privasi menjadi dua dari empat isu terpenting seputar implementasi komputasi awan di Indonesia, selain masalahketerbatasan akses Internet dan keberadaan data itu sendiri. Dari segi peraturan perundang-undangan, UndangUndang ITE belum cukup untuk mengakomodasi perlindungan data pribadi yang komprehensif. Undang-Undang ITE tidak mengatur sejauh mana maksud dari “penggunaan data” dan tidak tersedianya alas hak secara hukum bagi pemilik data (subjek data) untuk mendapat akses ke data pribadinya dan melakukan perubahan terhadap data pribadinya yang berada di pengguna data. Dalam hal ini, sebelum dikeluarkannya undang-undang atau pengaturan yang lebih komprehensif mengenai perlindungan data pribadi maka para penyedia layanan komputasi awan sebaiknya mematuhi prinsip-prinsip perlindungan data pribadi untuk membangun hubungan kepercayaan kepada pengguna layanan komputasi awan yang lebih baik kedepannya. Selain itu perlu dibentuk lembaga atau satuan tugas khusus untuk perlindungan data pribadi dan privasi antar beberapa instansi/lembaga terkait mengingat data pribadi pelanggan atau konsumen yang terkait dengan beberapa bidang, diantaranya telekomunikasi, perbankan, properti, tindak pidana penipuan, dan lainnya. DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal dan Makalah Edmon Makarim, Tanggung Jawab Penyelenggara Terhadap Tata Kelola Yang Baik Dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Good Electronic Governance), Jakarta: Ringkasan Desertasi, FHUI, 2009, hal. 79 ______________, Tanggung Jawab Hukum Penyelenggara Sistem Elektronik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. Website Biznet Networks Termsand
Condition,
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
menu=terms_condition>, Diakses pada 1Januari 2012 Microsoft
Online
Privacy
Statement,
fullnotice.mspx> Diakses pada 1 Januari 2012
67
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
KEWENANGAN MEMBERI SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA ORGANISASI OLAHRAGA DI INDONESIA (STUDI KASUS MENTERI PEMUDA DAN OLAHRAGA (MENPORA) VERSUS PERSATUAN SEPAK BOLA SELURUH INDONESIA (PSSI)) Sujana Donandi S.1 Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Presiden, Jakarta.
Penyesuaian Pengarang E-mail: [email protected] No Hp: 085769637098
ABSTRAK Menteri Pemuda dan Olahraga telah mengelurakan Surat Keputusan Menpora Nomor 01307 Tahun 2015 yang kemudian menimbulkan polemik antara Menpora dan PSSI.PSSI kemudian juga menerima sanksi administratif dari FIFA karena dianggap telah mendapat intervensi dari pihak ketiga. PSSI kemudian menggugat SK Menpora tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena menganggap Menpora tidak punya wewenang menjatuhkan sanksi administratif kepada PSSI. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan PSSI sebagai organisai olahraga serta bagaimana kewenangan memberi sanksi administratif kepada PSSI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PSSI adalah organisasi olahraga yang tunduk kepada peraturan nasional Indonesia dan peraturan FIFA secara bersamaan. Hal ini berarti, kedua lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk memberi sanksi administratif kepada PSSI apabila PSSI melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Menpora atau FIFA. Kata kunci: kewenangan, sanksi administratif, organisasi olahraga
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Tindakan Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia yang selanjutnya dalam penelitian ini disebut Menpora yang memberikan sanksi administratif kepada Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia yang dalam penelitian ini selanjutnya disebut PSSI pada 18 April 2015 telah menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menpora Nomor 01307 Tahun 2015, Menpora menganggap seluruh kegiatan PSSI ilegal. Alasan keluarnya keputusan ini adalah karena tidak adanya transparansi dalam keuangan PSSI dan PSSI dianggap tidak mampu menjalankan liga dengan baik. Sepakbola sebagai olahraga paling populer di 68
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Indonesia pun berada pada posisi mati suri pasca dikeluarkannya keputusan tersebut. Tindakan ini juga menuai kecaman dari berbagai pihak, khususnya masyarakat pecinta sepakbola. Permasalahan ini berlanjut hingga ke ranah pengadilan. PSSI sebagai sebuah organisasi olahraga yang merasa independen kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kasus terus bergulir hingga akhirnya gugatan masuk ketahap kasasi di Mahkamah Agung. Pada tanggal 7 Maret 2016, Mahkamah Agung memenangkan kubu PSSI dan memerintahkan Menpora untuk mencabut surat keputusan tersebut. Kondisi di atas menunjukkan bahwa Menpora selaku menteri sekaligus Pejabat Tata Usaha Negara yang mengurusi bidang keolahragaan dan pemuda di Indonesia merasa memiliki kewenangan terhadap aktivitas PSSI. Disisi lain, PSSI yang adalah anggota Federation of International Football Association yang selanjutnya disebut FIFA merasa bahwa kedudukan mereka adalah mandiri dan terlepas dari intervensi pemerintah. PSSI menganggap bahwa FIFA adalah pihak yang memiliki legitimasi untuk memberi sanksi administratif kepada PSSI. Meskipun SK tersebut kini telah dicabut, permasalahan mengenai kewenangan memberi sanksi kepada organisasi olahraga di Indonesia seperti PSSI belum banyak dikaji secara yuridis.
Rumusan Masalah Situasi sebagaimana dijelaskan di atas menarik perhatian penulis untuk mengkaji bagaimana sebenarnya kewenangan memberi sanksi administratif kepada PSSI sebagai organisasi olahraga?
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kedudukan PSSI sebagai Organisasi Olahraga PSSI merupakan
organisasi
olahraga
di
Indonesia
yang
mengurus
penyelenggaraan sepak bola secara nasional. PSSI juga berwenang dalam mewakili Indonesia dalam kegiatan-kegiatan sepakbola secara internasional. Eksistensi suatu organisasi olahraga di Indonesia sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Organisasi Olahraga menurut Pasal 1 Angka 24 adalah sekumpulan orang yang menjalin kerja sama dengan
69
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
membentuk organisasi untuk penyelenggaraan olahraga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut Pasal 35 ayat (1) menyatakan: “Dalam pengelolaan keolahragaan, masyarakat dapat membentuk induk organisasi cabang olahraga”. Induk organisasi olahraga sepak bola yang dibentuk oleh masyarakat kemudian menjelma menjadi PSSI. Keberadaaan PSSI sendiri berada di bawah koordinasi Komite Olahraga Nasional Nasional (KONI). Keberadaan KONI merupakan konsekuensi ketentuan Pasal 36 ayat (1) yang menyatakan induk organisasi cabang olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 membentuk suatu komite olahraga nasional. Akibat hukum ketentuan ini adalah PSSI harus mengikuti koordinasi dari KONI sebagai komite olahraga nasional. PSSI dalam surat Musyawarah Nasional Luar Biasa (MUNASLUB) PSSI menjelaskan keberadaan PSSI sebagai organisasi olahraga yang bergerak di bidang sepak bola. Hal ini dimuat di dalam Pasal 1 ayat (5) Surat Keputusan Musyawarah Nasional Luar Biasa Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (MUNASLUB PSSI) 2009, yang menyebutkan: ‘Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia merupakan satu-satunya organisasi sepak bola nasional di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.Untuk selanjutnya di dalam statuta PSSI disebut PSSI atau The Football Association of Indonesia.”
PSSI adalah organisasi dengan bentuk badan hukum. Hal ini merupakan amanah perintah Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan yang menyatakan bahwa: “Setiap induk organisasi cabang olahraga dan induk organisasi olahraga fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbadan hukum yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” PSSI menyatakan kedudukan secara tegas sebagai organisasi berbadan hukum yang bersifat independen. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Statuta PSSI yang menyatakan: “PSSI adalah berbentuk badan hukum privat dan independen yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terdaftar di Jakarta, dan berdiri untuk jangka waktu yang tidak terbatas”
70
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Menurut penulis, independensi PSSI harus dilihat pada tatanan operasional PSSI. Layaknya badan hukum lainnya, seperti perseroan, koperasi, ataupun yayasan, PSSI bebas menentukan arah kebijakan organisasi maupun strategi-strategi untuk mencapai tujuan yang dicanangkan oleh organisasi. Akan tetapi, di sisi lain PSSI tetap harus mengikuti persyaratan formal sebagai suatu organisasi yang tunduk pada hukum Indonesia. Maka, PSSI harus memenuhi aspek legalitasnya sebagai suatu organisasi, mulai dari anggaran dasar hingga perizinan-perizinan terkait badan maupun kegiatannya. Berdasarkan ketentuan dan pemahaman di atas, penulis menyimpulkan bahwa PSSI sebagai sekumpulan orang yang menjalin kerjasama dalam menyelenggarakan persepakbolaan di Indonesia dengan membentuk sutau subjek hukum baru yang mandiri dalam menjalankan kegiatannya. Subjek hukum baru itu kemudian diberi nama PSSI yang sekarang telah berbadan hukum (recht persoon) yang berarti PSSI adalah subjek hukum yang mandiri, yang bertanggung jawab secara organisasi terhadap hak dan kewajiban yang melekat padanya. Kewajiban itu terpisah dari kewajiban pendiri maupun pengurusnya. PSSI juga bersifat independen, artinya PSSI menjalankan kegiatan operasionalnya tanpa intervensi pihak lain. PSSI disisi lain juga merupakan anggota FIFA yang adalah wadah penyelenggaraan sepak bola dunia. Sebagai anggota FIFA, PSSI juga harus mengikuti ketentuan dan peraturan dari FIFA sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 13 STATUTA FIFA yang menyatakan: “Members have the following obligations: a) To comply fully with the statues, regulations, directives, and decisions of FIFA Body’s at anytime as well as the decisions of the court of Arbitration for Sport (CAS) passed on appeal on the basis of Art 66 par. 1 of The FIFA Statues” Ketentuan di atas mewajibkan PSSI sebagai anggota FIFA tunduk kepada Statuta FIFA. Selain itu, pemerintah melalui Pasal 47 ayat (4) Peraturan pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan menyatakan: “Setiap induk organisasi cabang olahraga dan induk organisasi olahraga fungsional yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menjadi anggota federasi olahraga internasional” Melalui ketentuan di atas, maka secara tidak langsung pemerintah mengakui eksistensi federasi olahraga internasional dalam penyelenggaraan olahraga Nasional. 71
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Adapun Federasi olahraga internasional yang menaungi olahraga sepakbola adalah FIFA. Pengakuan ini sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah secara tidak langsung mewajibkan PSSI untuk tunduk pada mekanisme-mekanisme dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh FIFA yang dirumuskan dalam STATUTA FIFA. Dalam hal ini PSSI juga harus tunduk kepada mekanisme pengenaan sanksi kepada anggota FIFA sebagaimana ditetapkan dalam STATUTA FIFA. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa PSSI sebagai organisasi olahraga merupakan organisasi yang tunduk kepada peraturan nasional Indonesia dan peraturan FIFA secara bersamaan. PSSI tunduk kepada hukum Indonesia karena kedudukannya sebagai badan yang didirikan di Indonesia dan tunduk pada peraturan hukum di Indonesia. Di samping itu, secara bersamaan PSSI juga tunduk kepada STATUTA FIFA sebagai tanggung jawab PSSI sebagai organisasi
olahraga
nasional
yang
bergabung
dengan
Federasi
Sepakbola
Internasional. Kewenangan Memberi Sanksi Administratif Kepada PSSI Pada pembahasannya sebelumnya telah dijelaskan bahwa PSSI merupakan badan hukum yang tunduk pada hukum Indonesia dan juga merupakan anggota FIFA yang tunduk pada STATUTA FIFA. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa PSSI ada di bawah Kontrol 2 lembaga, yaitu pemerintah dan FIFA. Dengan demikian, apabila PSSI melanggar peraturan dan ketentuan baik dari pemerintah ataupun FIFA, maka pemerintah atau FIFA dapat memberi sanksi kepada PSSI berdasarkan peraturan yang berlaku. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka untuk mengetahui kewenangan memberi sanksi administratif kepada PSSI sebagai organisasi olahraga dapat dilakukan dengan melihat dari dua sisi. Sisi pertama adalah kewenangan memberi sanksi administratif kepada PSSI oleh pemerintah, dan sisi kedua adalah kewenangan memberi sanksi administratif kepada PSSI oleh FIFA.
Kewenangan Memberi Sanksi Administratif Kepada PSSI oleh Pemerintah Menpora adalah menteri yang memimpin Kementerian Pemuda dan Olahraga. Ia tentunya memiliki kewenangan berdasarkan kedudukannya sebagai menteri. Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.1 Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar negara dalam keadaan bergerak (de 1
Philipus M Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Surabaya: Universitas Airlangga, hal. 1. 72
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
staat in beweging) sehingga negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau Negara.2 Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.3 Kekuasaan erat keitannya dengan kewenangan. Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.4 Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang.5 Kita harus membedakan antara kewenangan (authority,gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenangwewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
2
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998, hal. 35Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1998, hal. 39 4 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Surabaya: Universitas Airlangga, hal. 20 5 Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung: Universitas Parahyangan, 2000, hal. 22. 3
73
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Menpora adalah pembantu presiden. Menpora sebagai pejabat eksekutif memiliki kekuasaan dan kewenangan yang berasal dari Undang-Undang Dasar 1945. Menteri menurut Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 17) memimpin departemen pemerintahan.
Jadi,
menteri
membantu
presiden
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu. Menteri mempunyai tugas: 1) Memimpin Departemen; 2) Menentukan kebijaksanaan di bidang pemerintahan yang secara fungsional ada di bawahnya; 3) Membina dan melaksanakan kerjasama dengan departemen, instansi, dan organisasi lainnya.6 Berdasarkan ketentuan di atas, jelas bahwa menteri berdasarkan sumber kewenangan dari undang-undang diberikan tugas untuk memimpin suatu departemen dan menentukan kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu bagi kepentingan Departemen. Untuk menjalankan tugas tersebut, maka kemudian menteri diberikan kekuasaan dan kewenangan dalam menjalankan tugasnya. Penggunaan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh menteri pada prinsipnya haruslah sesuai dengan norma hukum. Sebagai negara hukum pembentukan menteri dalam sebuah kabinet selain merupakan hak prerogative dari presiden, juga merupakan amanah dari undang-undang. Teori Negara berdasarkan hukum secara esensi bermakna bahwa hukum adalah “supreme” dan kewajiban bagi setiap penyelenggara atau pemerintah untuk tunduk pada hukum. Tidak ada kekuasaan di atas hukum (above the law) semuanya ada di bawah hukum (under the rule if law). Dengan kedudukan ini tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power).7 Dengan demikian, menteri harus menggunakan kekuasaaan dan wewenangnya dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menpora berdasarkan kedudukannya merupakan salah satu Pejabat Tata Usaha Negara. Indroharto menegaskan bahwa siapa saja dan apa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan, maka ia dapat dianggap berkedudukan sebagai badan atau 6
Philipus M Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press, 2008, hal. 90-91. 7 Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), Malang: UMM Press, 2003. hal. 11 74
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Pejabat Tata Usaha Negara (TUN). Arti dari urusan pemerintah di atas adalah kegiatan yang bersifat eksekutif yaitu kegiatan yang bukan kegiatan legislatif atau yudikatif.8 Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Menpora sebagai Pejabat Tata Usaha Negara dapat disebut sebagai suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Pasal 51 Angka 6 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha memberikan definisi mengenai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagai berikut: “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hokum bagi seseorang atau badan hukum perdata.” Pasal 2 menyatakan bahwa yang tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara adalah: 1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; 2) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; 3) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Hukum Acara Pidana, atau peraturan perundang-undangan lainnya yang bersifat hukum pidana; 4) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 5) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenajata Republik Indonesia; 6) Keputusan panitia pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum. Pembatasan ini dilakukan karena dalam penyelenggaraan kenegaraan tidak selamanya merupakan tindakan alat negara yang organisatoris termasuk bestuur atau administrasi bisa saja dilakukan oleh alat negara di luar bestuur yaitu alat-alat negara
8
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, hal. 166. 75
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
yang tugas utamanya melakukan fungsi perundang-undangan dan peradilan (de wetgevende en de rechtlijkemacht).9 Batasan lainnya tentang KTUN juga dapat dilihat dalam Pasal 49 UndangUndang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: 1) Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku; 2) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa setiap penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Menpora yang bersifat individual, konkret dan final merupakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, selama keputusan itu tidak dalam keputusan yang dikecualikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. Maka, dapat dikatakan pula bahwa Menpora memiliki wewenang untuk mengeluarkan SK Nomor 01307 Tahun 2015 yang membawa konsekuensi berhentinya semua aktivitas PSSI dan Menpora bertanggung jawab atas Keputusan tersebut atas jabatannya. Menpora selaku wakil pemerintah dan PSSI sebagai organisasi olahraga yang tunduk pada hukum dan pemerintahan Indonesia pada dasarnya memiliki hubungan kelembagaan yang saling berkoneksi. Koneksi ini merupakan konsekuensi atas kewenangan dan tanggung jawab Menpora dalam memajukan sepak bola Indonesia dan juga eksistensi PSSI sebagai organisasi olahraga yang melakukan aktivitasya di Indonesia, yang tunduk pada hukum Indonesia. Hubungan antara Menpora dan PSSI ini dapat dianalisis melalui hak maupun kewajiban yang saling bertautan antara kedua lembaga dan organisasi tersebut. Menpora sebagai wakil pemerintah memiliki tugas sebagaimana diamanatkan pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang menyatakan: (1) Pemerintah mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan serta standardisasi bidang keolahragaan secara nasional; 9
R.D.H. Koesoemahatmadja, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1975, hal. 22. 76
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Ketentuan di atas memberikan perintah bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan serta standarisasi bidang keolahragaan secara nasional. Artinya, Menpora sebagai pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan peraturan-peraturan maupun tindakan-tindakan yang yang dianggap baik dan perlu demi kemajuan olahraga nasional. Hal ini berlaku bagi olahraga di Indonesia secara keseluruhan. Wewenang ini tentunya juga berlaku bagi setiap stakeholder yang terlibat dalam penyelenggaraan olahraga nasional, termasuk olahraga internasional. Maka, jelaslah wewenang ini juga dapat diberlakukan kepada PSSI. Tugas lainnya yang harus dilakukan oleh pemerintah yang juga berlaku bagi PSSI adalah melakukan standardisasi. Standarsisasi menurut Pasal 1 angka 15 adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, dan merevisi standar nasional dalam berbagai aspek yang berhubungan dengan bidang keolahragaan. Standar keolahragaan sendiri menurut Pasal 81 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 antara lain: 1) Standar kompetensi keolahragaan; 2) Standar isi program penataran/pelatihan tenaga keolahragaan; 3) Standar prasarana dan sarana; 4) Standar pengelolaan organisasi keolahragaan; 5) Standar penyelenggaraan keolahragaan; dan 6) Standar pelayanan minimal keolahragaan. Ketentuan di atas juga memberikan kita kepada pemahaman bahwa Menpora memiliki tugas dalam mengatur standar pengelolaan organisasi olahraga. Menpora dapat membuat ketentuan mengenai standar organisasi olahraga yang menaungi sepakbola. Selain itu, PSSI juga dapat mengawasi organisasi olahraga tersebut. Pengawasan dilakukan untuk menjaga standar organisasi oleharaga sepak bola agar tetap memenuhi syarat-syarat standar ataupun minimal untuk dapat menjadi organisasi yang menaungi sepak bola di Indonesia. Berdasarkan ketentuan-ketentuan dan pemahaman di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa hubungan antara Menpora dan PSSI adalah hubungan antara regulator sekaligus pengawas dengan pihak yang diatur. Menpora selaku Pejabat Tata Usaha Negara yang memimpin lembaga negara yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan dan pengawasan olahraga di Indonesia merupakan pihak yang berwenang dalam mengatur dan mengawasi PSSI sebagai organisasi olahraga yang tunduk pada hukum Indonesia. Regulasi dan Pengawasan berhak dilakukan oleh 77
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Menppora berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan PSSI dan standardiasai PSSI sebagai organisasi olahraga di Indonesia. Pemahaman mengenai kewenangan pemberian sanksi administratif kepada PSSI harus dimulai dari pemahaman mengenai apa yang dimaksud dengan sanksi administratif. Sanksi dalam hukum administratif yaitu alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma administrasi negara. Berdasarkan definisi ini tampak ada empat unsur sanksi dalam hukum administrasi negara,
yaitu
alat
kekuasaan
(machtmiddelen),
bersifat
hukum
publik
(publiekrechtelijke), digunakan oleh pemerintah (overhead), dan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving).10 Ditinjau dari segi sasarannya, dikenal dua jenis sanksi, yaitu sanksi reparatoir dan sanksi punitif. Sanksi reparatoir diartikan sebagai sanksi atas pelanggaran norma yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula atatu menempatkan pada situasi yang sesuai dengan kondisi hukum. Dengan kata lain mengembalikan pada keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran, sedangkan sanksi punitif adalah sanksi yang semata-mata ditujukan untuk memberikan hukuman pada seseorang. Jenis-jenis Sanksi Administratif, antara lain: 1) Paksaan pemerintah (bestuurdwang) Kewenangan paksaan pemerintah dapat diuraikan sebagai kewenangan organ pemerintah untuk melakukan tindakan nyata mengakhiri situasi yang bertentangan dengan norma hukum administrasi karena kewajibannya yang muncul dari norma itu tidak dijalankan atau sebagai reaksi dari pemerintah atas pelanggaran norma yang dilakukan oleh warga negara. Paksaan pemerintah dilihat sebagai suatu bentuk eksekusi nyata, dalam arti langsung dilaksanakan tanpa perantaraan hakim, dan biaya yang berkenaan dengan pelaksanaan paksaan pemerintah ini secara langsung dapat dibebankan pada pihak pelanggar.11 Kewenangan
pemerintah
untuk
menggunakan
bestuurdwang
merupakan kewenangan yang bersifat bebas, dalam arti pemerintah diberikan kebebasan untuk mempertimbangkan menurut inisiatifnya sendiri 10 11
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2003, hal. 235. Ibid, hlm 238-239. 78
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
apakah akan menggunakan bestuurdwang atau bahkan tidak menerapkan sanksi lainnya. Kebebasan pemerintah menggunakan wewenang paksaan pemerintah ini dibatasi oleh asas-asas umum pemerintahan yang baik. 2) Penarikan Kembali Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang Menguntungkan Penarikan atau pencabutan kembali KTUN yang menguntungkan dilakukan dengan mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan atau menyatakan tidak berlaku lagi ketetapan yang terdahulu. Penarikan kembali ketetapan yang menguntungkan berarti meniadakan hak-hak yang terdapat dalam ketetapan itu oleh organ pemerintah.Sanksi ini termasuk sanksi berlaku ke belakang, yaitu sanksi yang mengembalikan pada situasi sebelum keputusan itu dibuat.12 3) Pengenaan Uang Paksa (dwangsom) Dalam hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintah. Pengenaan uang paksa merupakan alternatif untuk tindakan nyata berarti sebagai sanksi subsidair dan dianggap sebagai sanksi reparatoir.13 4) Pengenaan Denda Administratif Pembuat undang-undang dapat memberi wewenang kepada organ pemerintah untuk menjatuhkan hukuman berupa denda terhadap seseorang yang telah melakukan pelanggaran perundang-undangan. Pemberian wewenang langsung mengenai pemberian sanksi punitif ini dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Sanksi ini biasanya terdapat dalam hukum pajak, jaminan sosial dan hukum kepegawaian. Tindakan mempora menunjukkan bahwa Menpora menganggap bahwa ia memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi sebagaimana dirumuskan dalam SK. Untuk mengetahui apakah wewenang tersebut telah tepat, maka masyarakat perlu pula memahami apa saja wewenang Menpora terkait penyelenggaraan olahraga nasional. Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 menyatakan:
12 13
Ibid, hlm 242-243 Ibid, hlm 246-247. 79
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
“Pemerintah mempunyai kewenangan mengembangkan, melaksanakan, dan keolahragaan secara nasional”
untuk mengatur, membina, mengawasi penyelenggaraan
Ketentuan Pasal 13 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 merupakan sumber legitimasi yang memberi kewenangan bagi Menpora selaku Pejabat Tata Usaha Negara untuk mengeluarkan regulasi maupun membuat keputusan dan memberikan sanksi dalam rangka mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan secara nasional. Secara singkat kita dapat menyatakan bahwa kewenangan memberi sanksi kepada PSSI yang berkaitan dengan pengaturan, pembinaan, pengembangan, pelaksanaan, dan penyelenggaraan sepakbola nasional ada di tangan Menpora. Permasalahan ini dapat ditinjau secara lebih konkret dengan melihat SK Kemenpora. Isi lengkap SK Kemenpora tersebut adalah sebagai berikut: 1) Pengenaan Sanksi Adminsitratif kepada Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, yang selanjutnya disingkat Sanksi Adminsitratif kepada PSSI berupa kegiatan keolahragaan yang bersangkutan tidak diakui. 2) Dengan pengenaan Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada DIKTUM PERTAMA, maka seluruh kegiatan PSSI tidak diakui oleh Pemerintah, oleh karena-nya setiap Keputusan dan/atau tindakan yang dihasilkan oleh PSSI termasuk Keputusan hasil Kongres Biasa dan Kongres Luar Biasa tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak sah dan batal demi hukum bagi organisasi, Pemerintah di tingkat pusat dan daerah maupun pihak-pihak lain yang terkait. 3) Dengan pengenaan Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada DIKTUM PERTAMA dan DIKTUM KEDUA, maka seluruh jajaran Pemerintahan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, tidak dapat lagi memberikan pelayanan dan fasilitasi kepada kepengurusan PSSI, dan seluruh kegiatan keolahragaannya. 4) Pada saat Keputusan Menteri ini mulai berlaku: a. Pemerintah akan membentuk Tim Transisi yang mengambil alih hak dan kewenangan PSSI sampai dengan terbentuknya kepengurusaan PSSI yang kompeten sesuai dengan mekanisme organisasi dan statuta FIFA; b. Demi kepentingan nasional, maka persiapan Tim Nasional Sepakbola Indonesia untuk menghadapi SEA Games 2015 harus terus berjalan, dalam hal ini 80
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Pemerintah bersama KONI dan KOI sepakat bahwa KONI dan KOI bersama Program Indonesia Emas (PRIMA) akan menjalankan persiapan Tim Nasional; c. Seluruh pertandingan Indonesia Super League/ISL 2015, Divisi Utama, Divisi I, II, dan III tetap berjalan sebagaimana mestinya dengan supervisi KONI dan KOI bersama Asprov PSSI dan Klub setempat. 5) Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Tim Transisi sebagaimana dimaksud pada DIKTUM KEEMPAT huruf a,
bertanggungjawab dan
berkewajiban menyampaikan laporan kepada Menteri Pemuda dan Olahraga. 6) Biaya yang timbul akibat dari ditetapkannya Keputusan Menteri ini dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran/DIPA Kementerian Pemuda dan Olahraga Tahun Anggaran 2015. 7) Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Alasan SK ini dikeluarkan sebagaimana penulis sarikan dari media suara.com adalah karena PSSI tidak mengindahkan surat teguran dari Menpora hingga 3 kali (SP 3). Surat Peringatan yang disampaikan oleh Menpora kepada PSSI berkenaan dengan pengelola PSSI yang dinilai telah melanggar peraturan olahraga. Surat teguran yang disampaikan kepada pengelola PSSI, Menpora meminta agar PSSI segera melengkapi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Selain itu, Menpora juga meminta pengelola PSSI untuk melengkapi organisasi tersebut dengan legalitas berupa akta notaris pendirian organisasi. PSSI yang mengelola ISL juga tidak pernah membayar pajak pendapatan kepada negara.14 Penulis mendapatkan pemahaman bahwa Latar belakang dikeluarkannya Surat Keputusan Menpora Nomor 01307 Tahun 2015 berkaitan dengan pembinaan, pengembangan, pelaksanaan, dan penyelenggaraan. Dengan tidak adanya Anggran Dasar PSSI, maka dapat dikatakan bahwa PSSI tidak memiliki dasar yang jelas sebagai pegangan bagi para pengurus maupun anggota PSSI. Hal ini dapat dikatakan PSSI tidak memiliki dasar yang jelas dalam pelaksanaan maupun penyelenggaraan kegiatannya. Anggaran dasar pada prinsipnya berfungsi sebagai dasar penyelenggaran 14
http://www.suara.com/bola/2015/06/29/221757/ini-alasan-kemenpora-membekukan-pssi, diakses pada 13 Mei 2016, pukul 16. 42 WIB. 81
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
organisasi dalam rangka mewujudkan good governance. Dengan tidak adanya anggaran dasar, maka tidak ada dasar yang jelas dalam suatu pengurusan organisasi maupun pelaksanaan kegiatan yang dijalankan oleh organisasi tersebut. Di sisi lain, klaim Menpora yang menyatakan bahwa salah satu alasan mengeluarkan SK karena PSSI tidak membayar pajak juga menunjukkan bahwa PSSI tidak transparan dan akuntabel dalam penyelenggaraan organisasi. Menpora selaku pengawas tentu harus menegur PSSI dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan sepakbola yang berlandaskan kepentingan nasonal. Jika PSSI melanggar hukum, maka citra nasional juga akan tercoreng karena organisasi olahraga yang dinaungi melakukan tidak professional dan berpotensi terindikasi terjadi korupsi di dalamnya. Hal ini termasuk dalam wewenang Menpora yang bertugas melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan olahraga nasional. Meskipun, di sisi lain, wewenang untuk memberi sanksi atas pelanggaran pajak oleh PSSI tentunya bukan wewenang Menpora, melainkan wewenang Direktorat Jenderal Pajak. Untuk itu, dalam memberikan sanksi administratif kepada PSSI dengan alas an PSSI tidak membayar pajak, Menpora harus mendapatkan informasi dan klarifikasi yang valid dari Dirjen Pajak. Berdasarkan pemahaman di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pada prinsipnya, SK Menpora telah sesuai dengan wewenang yang dimilikinya sebagaimana diatribusikan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005. Menpora mengenakan sanksi administratif kepada PSSI atas dasar wewenangnya dalam membuat peraturan maupun melakukan pengawasan penyelenggaraan sepakbola nasional. Adapun jenis sanksi administratif yang dikenakan sebagaimana dijabarkan dalam poin-poin penting SK Menpora adalah sanksi yang bersifat paksaan pemerintah (bestuurdwang). Pemberian sanksi administratif diberikan kepada PSSI sebagai bagian dari organisasi yang dibentuk berdasarkan hukum Indonesia dan tunduk pada hokum Indonesia, terlepas dari kedudukan PSSI sebagai anggota Federasi sepakbola dunia, FIFA. Penjelasan-penjelasan di atas mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa Menpora memiliki kewenangan memberi sanksi administratif kepada PSSI yang berkaitan dengan pembinaan, pengembangan, pelaksanaan, dan penyelenggaraan sepakbola. Selain itu, Menpora juga berwenang memberi sanksi berkenaan dengan standardisasi PSSI sebagai organisasi olahraga. Menurut penulis, pada tatanan implementasi, Menpora juga memiliki wewenang untuk memberikan sanksi administratif berkenaan dengan: 82
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
1) Kepatuhan PSSI dalam mengikuti peraturan Menpora dalam bidang olahraga pada umunya dan pada bidang olahraga sepakbola pada khususnya (kewenangan sebagai pmembina dan pengembang) 2) Kelengkapan alat-alat organisasi dalam tubuh PSSI (wewenang sebagai Pembina, pengembang, dan pengawas) 3) Pelaksanaan Kewajiban-kewajiban PSSI sebagai organisasi olahraga (Kewenangan sebagai pengawas) 4) Ketertiban penyelenggaraan sepakbola nasional (wewenang sebagai pelaksana dan pengawas); dan 5) Standardisasi
PSSI
sebagai
organisasi
olahraga
(Kewenangan
Pengawasan dan Standardisasi).
Kewenangan Memberi Sanksi Administratif Kepada PSSI oleh FIFA Pada bahasan sebelumnya telah diutarakan bahwa PSSI juga merupakan anggota FIFA. Sebagai anggota FIFA, PSSI wajib mengikuti ketentuan-ketentuan FIFA yang dirumuskan dalam Statuta FIFA. Keharusan anggota FIFA untuk mengikuti ketentuan dalam Statuta FIFA dimuat dalam Pasal 13 huruf (a) Statuta yang menyatakan: “Members have the following obligations: a) To comply fully with the statues, regulations, directives, and decisions of FIFA Body’s at anytime as well as the decisions of the court of Arbitration for Sport (CAS) passed on appeal on the basis of Art 66 par. 1 of The FIFA Statues” Ketentuan di atas pada intinya mewajibkan seluruh anggota, termasuk PSSI untuk mematuhi secara utuh ketentuan Statuta maupun keputusan dari FIFA. Pada bagian sebelumnya, telah disampaikan bahwa pemerintah mewajibkan seluruh organisasi olahraga di Indonesia untuk ikut dalam Federasi Internasional. Menurut penulis, ketentuan tersebut juga mengandung arti bahwa pemerintah secara tidak langsung telah memberikan wewenang kepada federasi olahraga internasional yang bersangkutan, yang dalam hal ini adalah FIFA untuk mengatur PSSI dalam kapasitas sebagai anggota FIFA. Konsekuensinya, negara secara yuridis mengakui legitimasi FIFA dalam mengatur PSSI sebagai anggotanya. Pengakuan atas kewenangan FIFA terhadap PSSI tidak hanya sebatas kewenangan mengatur, malinkan juga kewenangan dalam memberi sanksi administratif. Hal ini karena berdasarkan Pasal 13, PSSI harus tunduk kepada STATUTA. STATUTA FIFA Pasal 14 menyatakan bahwa bagi anggota yang 83
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
melanggar tanggung jawab dan kewajibannya, maka Kongres FIFA bertanggung jawab untuk membekukan status keanggotaan anggota tersebut. Pasal ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari STATUTA FIFA, maka PSSI juga harus tunduk kepada ketentuan ini. Selain itu, pemerintah juga dapat dianggap telah menyetujui ketentuan ini sebagai konsekuensi pemerintah mewajibkan setiap organisasi olahraga untuk bergabung dalam federasi internasional. Bagi anggota yang dikenai sanksi administratif oleh FIFA, maka ia kehilangan haknya sebagai anggota. Imbasnya, ia tidak dapat mengikuti kegiatan-kegiatan Federasi (FIFA). Tidak hanya itu, anggota tersebut juga akan dikucilkan dalam pergaulan secara internasional. Bahkan, bagi anggota lain yang bekerjasama dengan negara yang telah dikenai hukuman, maka anggota itu juga akan menerima sanksi dari FIFA. Maka, secara tidak langsung, dapat dikatakan bahwa anggota yang menerima sanksi pembekuan dari FIFA telah mati dalam forum internasional. Pasal 17 ayat (1) Statuta FIFA lebih lanjut menyatakan: “ Each member shall manage its affair independently and with no influence from third party” Pasal di atas adalah pasal yang dijadikan dasar mengenaan sanksi administratif oleh FIFA kepada PSSI. SK Menpora dianggap sebagai intervensi pihak ketiga terhadap PSSI sebagai anggota FIFA. PSSI di satu sisi merupakan organisasi yang tunduk pada hukum Indonesia yang menyatakan bahwa Menpora memiliki wewenang untuk melakukan tindakan demi kepentingan olahraga nasional. Disisi lain, hukum Indonesia sendiri telah memberi wewenang kepada FIFA untuk menghukum anggotanya yang dianggap melanggar STATUTA. Lebih lanjut, STATUTA melanggar adanya intervensi dari pihak ketiga. Oleh karena itu, apabila FIFA memandang tindakan Menpora adalah sebuah intervensi terhadap anggota FIFA, penulis berpendapat bahwa FIFA memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada PSSI. Dasar kewenangan ini adalah STATUTA FIFA dan atribusi secara tidak langsung dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005. Penjelasan-penjelasan di atas mengantar kepada pemahaman bahwa FIFA memiliki kewenangan memberi sanksi administratif kepada PSSI berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab PSSI sebagai anggota FIFA yang tunduk kepada ketentuanketentuan FIFA, baik yang berkaitan dengan keorganisasian, pertandingan, dan ketentuan-ketentuan teknis lainnya yang ditetapkan oleh FIFA. Sanksi administratif diberikan berdasarkan ketentuan dalam STATUTA FIFA yang berlaku bagi seluruh anggota FIFA. Sanksi administratif yang dapat diberikan adalah pembekuan status 84
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
PSSI sebagai anggota FIFA yang juga dapat dikategorikan sebagai paksaan dan penarikan kembali status yang sebelumnya dimiliki. Administrasi yang bersifat Komplementer Kewenangan memngenai memberi sanksi administratif kepada PSSI membawa kesimpulan bahwasannya PSSI sebagai organisasi olahraga adalah organisasi yang dibuat dan tunduk pada hukum Indonesia dan PSSI secara bersamaan juga merupakan anggota FIFA yang tunduk kepada FIFA. Realita eksistensi PSSI sebagai suatu organisasi menunjukkan bahwa PSSI harus patuh secara administrasi kepada pemerintah, dalam hal ini Menpora dan juga kepada FIFA. PSSI harus memenuhi kewajibannnya sebagai organisasi olahraga yang tunduk kepada hukum Indonesia. Kepatuhan ini dimulai dari aspek legalitas organisasi yang harus tunduk kepada jurisdiksi Indonesia. PSSI tentunya banyak melakukan aktivitasnya di Indonesia, maka ia harus memenuhi aturan-aturan maupun perizinan-perizinan terkait kegiatannya di Indonesia. Selain itu, PSSI juga harus mengikuti ketentuan-ketentuan Menpora yang berkaitan dengan pembinaan, pengembangan, pelaksanaan, pengawasan, serta standardisasi olahraga di Indonesia. Layaknya suatu badan hukum, PSSI memiliki independensinya dalam menjalankan manajemennya, akan tetapi secara formalitas, ia harus mengikuti ketentuan dari pemerintah. Apabila PSSI melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang ada di Indonesia, maka PSSI harus tunduk pula terhadap sanksi yang diberikan. PSSI sebagai anggota FIFA juga harus mengikuti ketentuan dalam STATUTA FIFA. PSSI sebagai anggota federasi sepakbola Internasional harus berpedoman pada peraturan peraturan FIFA dalam menjalankan perannya sebagai anggota. Artinya, dalam aktivitas dalam mengelola sepakbola maupun dalam melaksanakan kegiatannya secara internasional, PSSI berpedoman pada STATUTA FIFA. Apabila melanggar, maka FIFA dapat memberikan sanksi administrative bagi PSSI. Penulis menyimpulkan bahwa PSSI pada prinsipnya harus memandang kewajibannya terhadap pemerintah dan FIFA sebagai dua hal yang saling melengkapi. Saling melengkapi berarti, PSSI harus memenuhi persyaratan dalam kedua unsur tersebut agar PSSI menjadi organisasi olahraga sepakbola yang beratribut lengkap. Pada prinsipnya, apabila PSSI tidak diakui oleh pemerintah, maka selama ia diakui oleh FIFA, ia tetap memiliki hak dan kewajibannya sebagai anggota FIFA. Namun, 85
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
kondisi ini tentunya tidak proporsional karena PSSI kemudian tidak dapat menjalankan aktivitasnya di dalam negeri. PSSI tentunya tidak akan berkembang dengan kondisi begini dan akan diragukan sifat representatifnya sebagai wakil Indonesia. Di sisi lain, apabila PSSI dikenakan sanksi administratif oleh FIFA berupa pembekuan, namun tetap diakui oleh pemerintah, ia tetap dapat melakukan kegiatan sepakbola professional namun tidak diakui secara internasional. Hal ini juga tentu akan berimbas buruk bagi perkembangan sepakbola. Kedua atribut sebagai organisasi yang legal dan diakui di mata pemerintah dan FIFA tentu hendaknya harus dilengkapi untuk mewujudkan PSSI yang representatif. Maka, wewenang memberi sanksi administratif oleh kedua lembaga tersebut juga hendaknya dipandang sebagai kewenangan yang komplementer. Artinya, jika salah satu diantara kedua lembaga itu memberi sanksi administratif kepada PSSI, khususnya sanksi administratif yang berimbas pada tidak dapat berjalannya kegiatan PSSI, maka PSSI akan menjadi cacat dan mati suri. Oleh karena itu, apabila ada sanksi administratif dari salah salah satu lembaga tersebut, maka sanksi tersebut harus dipandang sebagai permasalahan yang holistik bagi PSSI sebagai organisasi olahraga di Indonesia dan anggota FIFA secara bersamaan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: 1. PSSI sebagai organisasi olahraga merupakan organisasi yang tunduk kepada peraturan nasional Indonesia dan peraturan FIFA secara bersamaan. PSSI tunduk kepada hukum Indonesia karena kedudukannya sebagai badan yang didirikan di Indonesia dan tunduk pada peraturan hukum di Indonesia. Di samping itu, secara bersamaan PSSI juga tunduk kepada STATUTA FIFA sebagai tanggung jawab PSSI sebagai organisasi olahraga nasional yang bergabung dengan Federasi Sepakbola Internasional. 2. PSSI merupakan badan hukum yang tunduk pada Hukum Indonesia dan juga merupakan anggota FIFA yang tunduk pada STATUTA FIFA. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa PSSI ada di bawah Kontrol 2 lembaga, yaitu pemerintah dan FIFA. Hal ini berarti kedua lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk memberi sanksi administrative kepada PSSI apabila PSSI 86
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
melanggar ketentuan yang ditetapkan kedua lembaga tersebut. Menpora memiliki kewenangan memberi sanksi administratif kepada PSSI yang berkaitan dengan pembinaan, pengembangan, pelaksanaan, dan penyelenggaraan sepakbola.Selain itu, Menpora juga berwenang memberi sanksi berkenaan dengan standardisasi PSSI sebagai organisasi olahraga. FIFA memiliki kewenangan memberi sanksi administratif kepada PSSI berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab PSSI sebagai anggota FIFA yang tunduk kepada STATUTA FIFA dan ketentuanketentuan terkait yang dikeluarkan oleh FIFA dan organisasi yang ada di bawahnya. PSSI pada prinsipnya harus memandang kewajibannya terhadap pemerintah dan FIFA sebagai dua hal yang saling melengkapi. DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal Dan Makalah Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung: Universitas Parahyangan, 2000. Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998. Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993. Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Surabaya: Universitas Airlangga Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2003. Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1998. R D H Koesoemahatmadja, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1975. Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti UndangUndang (Perpu), Malang: UMM Press, 2003. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional Peraturan dan Keputusan Lain yang Bukan Peraturan Perundang-Undangan Surat Keputusan Menpora Nomor 01307 Tahun 2015 87
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
STATUTA FIFA STATUTA PSSI Website http://www.suara.com/bola/2015/06/29/221757/ini-alasan-kemenpora-membekukanpssi, diakses pada 13 Mei 2016, pukul 16. 42 WIB.
88
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
KEPASTIAN HUKUM KEPEMILIKAN TANAH OLEH PT PERTAMINA (PERSERO) (ANALISIS PUTUSAN PN NO 21/PDT.G/2011/PN.AB) Lenny Husna1 1
Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Sosial Dan Humaniora, Universitas
Putera Batam, Batam, Jl Letjen R. Soeprapto, Kampus UPB, Batam 29442, Indonesia.
Penyesuaian Pengarang E-mail: No Hp: +6285218685656
ABSTRAK Berangkat dari konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara yang di pergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang kemudian di tuangkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), maka atas tanah negara dapat dilakukan permohonan hak atas tanah baik oleh personal maupun kolektif dan badan-badan hukum, yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Badan Hukum Milik Negara (BUMN) termasuk salah satu subjek hukum yang dapat mengajukan perolehan hak atas tanah, pelaksanaan peralihan hak atas tanah tersebut tentu dilakukan melalui prosedur, syarat dan ketentuan yang berlaku dan atas perolehan hak tersebut wajib dilakukan pendaftaran tanah agar memiliki kekuatan hukum secara autentik, pada Pasal 19 dinyatakan bahwa untuk menciptakan kepastian hukum Pertanahan, Pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah. Atas tanah yang telah didaftarkan selanjutnya diberikan tanda bukti hak atas tanah, yang merupakan alat bukti yang kuat mengenai kepemilikan tanah apabila timbul sengketa dikemudian hari. Seperti halnya dalam penelitian penulis dengan judul Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah Oleh PT Pertamina (Persero) (Analisis Putusan PN No. 21/Pdt.G/2011/PN.AB. Metode yang digunakan adalah Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan keputusankeputusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa: 1) Putusan Hakim pada sengketa kepemilikan atas tanah dalam Perkara No.21/PDT.G/2011/PN.AB, apabila ditinjau dari aspek Hukum Tanah Nasional telah sesuai UU Pokok Agraria, tanah sengketa tidak lagi berstatus hak milik adat, tapi sudah dikonversi menjadi tanah negara, dan PT.Pertamina (Persero), telah melakukan permohonan perolehan hak atas tanah tersebut serta pendaftaran tanah sesuai aturan hukum yang berlaku, sehingga diperoleh sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) sebagai tanda bukti hak atas tanah, 2) Kekuatan pembuktian melalui bukti hak atas tanah berupa sertipikat, merupakan salah satu alat bukti sah secara hukum 3) Berlakunya Pasal 32 PP No 24 Tahun 1997 sebagai kepastian hukum kepemilikan atas tanah, Ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikat baik menguasai sebidang tanah dan didaftarkan sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sertipikat adalah sebagai alat bukti yang kuat dan sah, untuk itu terhadap tanah yang dimiliki hendaknya dilakukan pendaftaran tanah memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah agar memudahkan pembuktian dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Kata kunci: Kepastian hukum, sertipikat hak atas tanah, alat bukti-bukti kepemilikan
89
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
P E N D A H U L U AN Latar Belakang Masalah Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi orang lain. Untuk mencegah masalah tanah tidak sampai menimbulkan konflik kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan dan penggunaan tanah atau dengan kata lain disebut dengan hukum tanah. Maka tak heran, pasca Indonesia merdeka, hal pertama yang dilakukan oleh pemuka bangsa dikala itu adalah proyek “landreform” ditandai dengan diundangkannya pelaksanaan ketentuan tersebut maka diundangkanlah dalam Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 104 tahun 1960 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan diundangkannya UUPA, berarti sejak saat itu Indonesia telah memiliki Hukum Agraria Nasional.1 UUPA merupakan pelaksanaan langsung dari Pasal 33 ayat (3) Undangundang Dasar 1945, ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, sekaligus merupakan pengejawantahan aspirasi bangsa Indonesia dalam pembaharuan Hukum Tanah Nasional.2 Lebih lanjut tanah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa “Bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam didalamnya pada tingkat yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.” Sebagai pemegang hak dan dalam tingkatan tertingginya selaku organisasi kekuasaan seluruh rakyat, maka negaralah yang melaksanakan tugas dan kewenangan bangsa untuk mengelola seluruh tanah bersama itu. Kewenangan menguasai dari negara atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UUPA, adalah meliputi kewenangan untuk:3
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2008, hal. 1. 2 Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Jakarta: LPHI, 2005, hal. 151. 3 Elsa Syarief, Menutaskan Sengketa Tanah, Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, Jakarta, (KPG(Kepustakaan Populer Indonesia ), 2012, hal. 137.
90
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
1. Mengatur dan menyelengarakan peruntukan, pengguasaan, penyediaan serta pemeliharaan tanah, termasuk didalamnya kewenangan negara untuk: a. Membuat rencana umum mengenai peruntukan, penguasaan dan persediaan tanah guna memenuhi berbagai kebutuhan (Pasal 14 UUPA jo UU No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang) b. Mewajibkan pemegang hak atas tanah untuk memelihara tanah, termasuk menambah kesuburan dan mencegah kerusakan (Pasal 15 UUPA) c. Mewajibkan pemegang hak atas tanah pertanian untuk mengerjakan/ pengusahan sendiri secara aktif tanah terniaanya dengan mecegah caracara pemerasan (Pasal 10 UUPA) 2. Menentukan dan mengatur hubungan hukum yang timbul antara orang dengan tanah , meliputi kewenangan untuk: a. Menentukan hak-hak atas tanah apasaja yang dapat diberikan kepada warga negara Indonesia, baik secara personal ataupu kolektif, termasuk didalamnya kewenangan untuk menentukan pemberian hak atas tanah kepada badan hukum dan warga negara asing (Pasal 16 UUPA) b. Menetapkan dan mengatur pembatasan jumlah bidang dan luas tanah yang dapat dipunyai/dikuasai oleh perorangan maupun oleh atau badan hukum (Pasal 7 jo Pasal 17 UUPA) 3. Menetukan dan mengatur hubungan hukum antara perorangan dan perbuatan hukum yang mengenai tanah , meliputi kewenangan untuk: a. Mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah atas seluruh tanah yang ada di wilayang Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 19 UUPA jo PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). b. Mengatur pelaksanaan peralihan hak atas tanah. c. Mengatur penyelesaian sengketa pertanahan, baik yang bersifat perdata, maupun tata usaha negara dengan mengutamakan musyawarah demi tercapai suatu permufakatan. Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum (UUPA, Pasal 4 ayat (1). Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, 91
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Dalam UUPA Tanah dibagi benjadi dua yaitu Tanah Negara dan Tanah Hak. Tanah negara adalah tanah-tanah yang langsung dikuasai oleh Negara yang di atasnya belum/tidak dilekati dengan suatu hak apapun. Adapun macam-macam Tanah Negara dikatagorikan sebagai berikut: 1. Tanah Negara murni 2. Tanah Negara asal Konversi Bekas Hak Barat yang batas waktunya sudah berakhir. 3. Tanah Negara asal tanah hak dengan “pelepasan hak” Pengertian dari Tanah Hak adalah tanah yang di atasnya sudah dilekati/dibebani dengan suatu hak atas tanah tertentu yang dijelaskan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA menyatakan: “Hak-Hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah” : 1. Hak Milik (HM) 2. Hak Guna Usaha (HGB) 3. Hak Guna Bangunan (HGB) 4. Hak Pakai (HP) 5. Hak Sewa 6. Hak Membuka Tanah 7. Hak Memungut Hasil Hutan 8. Hak-hak lain yang tidak termasuk hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang,4 serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebut dalam pasal 53.5 Berangkat dari konsep dasar hak mengusai tanah oleh negara yang di pergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, maka atas tanah negara dapat dilakukan permohonan hak atas tanah baik oleh personal maupun kolektif yang
4
Elsa Syarief, Ibid. hal. 154. “Pasal 16 UUPA mengisyaratkan adanya kemungkinan perkembangan “sebutan” atau Jenis hak atas tanah di masa mendatang” 5 Elsa Syarief, Ibid. hal. 155. “ Pasal 16 UUPA juga memungkinkan keberadaan hak-hak tanah yang bersifat sementara, yaitu yang diatur dalam Pasal 53 UUPA sepert: Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa Tanah Pertanian” 92
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Subyek hukum yang dapat memperoleh hak atas tanah negara adalah:6 1. Perorangan /orang 2. Badan Hukum (perdata) termasuk didalamnya BUMN, BUMD. 3. Badan Hukum Publik: Departemen, lembaga non Departemen, Instansi Pemerintah. Badan Hukum Milik Negara (BUMN) berdasarkan penjelasan diatas termasuk subjek hukum yang dapat mengajukan perolehan hak atas tanah. Sebelumnya, kita harus ketahui terlebih dahulu apa itu. Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam melaksanakan kegiatan usahanya tentu saja BUMN memerlukan insfratruktur-insfraktuktur menunjang atau menjalankan usahanya berupa lahan dan bangunan. BUMN dapat mempunyai hak atas tanah yang lain, yaitu: a. Hak Guna Usaha (Pasal 30 UUPA); b. Hak Guna Bangunan (Pasal 36 UUPA); c. Hak Pakai (Pasal 42 UUPA); dan d. Hak Pengelolaan Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mempunyai dan mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun.7 HGB dapat diberikan atas tanah milik seseorang, tanah hak pengelolaan, maupun atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Subjek HGB adalah: 1. Penetapan pemerintah (untuk tanah yang dikuasai langsung oleh negara 2. Perjanjian Otentik antara pemilik tanah dengan Pemohon HGB. PT Pertamina (Persero) merupakan salah satu BUMN yang ada di Indonesia, Dalam hal ini PT Pertamina (Persero) dapat mengajukan permohonan perolehan hak
6
Waskito Hadimulyono, Hak Guna Bangunan Atas Tanah” (On-Line) Tersedia di www: http://arsiptanah.blogspot.com/2012/12/hak-guna-bangunan-atas-tanah.html. 7 Indonesia Pasal 35 Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UndangUndang Nomor 5 tahun 1960, LN No. 104 tahun 1960, TLN No. 2043 93
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
atas tanah negara untuk membangun insfratruktur-insfraktuktur dalam rangka menunjang atau menjalankan usahanya. Seperti dalam contoh kasus Pada PT Pertamina Depot Ambon, dalam kegiatan operasional perusahaan untuk kegitaan distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk wilayah Maluku, membutuhkan insfratruktur berupa lahan dan bangunan untuk membangun Depot BBM agar kegiatan operasional pendistribusian BBM dapat terlaksana dan dapat memenuhi kebutuhan BBM masyarakat di wilayah tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan lahan tersebut PT Pertamina (Persero) awalnya hanya melakukan penyewaan terhadap tanah negara namun kemudian PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan HGB terhadap tanah negara yang disewanya tersebut. melalui Proses Pemberian hak sesuai hukum yang berlaku, Berdasarkan Surat Keterangan kepala Direktorat Agraria Provinsi Maluku, Perjanjian sewa menyewa tersebut tidak diperpanjang dan diganti dengan Hak Guna Bangunan dan di terbitkan Sertipihat Hak Guna Bangunan (HGB) Oleh Badan Pertanahan Kota Ambon, sebagai Badan yang berwenang mengeluarkan Sertipihat Atas Tanah melalui prosedur Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1997 adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Salah satu tujuan dari pembentukan UUPA adalah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum mengenai hak atas tanah bagi rakyat Indonesia seluruhnya. Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkan hal tersebut diselenggarakan pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) : (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tanah dalam ayat1 pasal ini meliputi : 94
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat. Tujuan diadakannya pendaftaran tanah tersebut adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah agar memudahkan pembuktian dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk menjamin adanya kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut, melalui pendaftaran tanah maka diterbitkan Sertipikat Hak Atas Tanah. Sertipikat hak atas tanah dibuat dengan tujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana kepada pemegang hak yang bersangkutan. Sertipihat diterbitkan untuk kepentingan hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Berdasarkan Pasal 32 Peraturan Perintah Nomor 24 Tahun 1997: (1) Sertipihat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. (2) Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu (5) lima tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut. Ayat (1) pasal ini mengandung makna bahwa sertipikat merupakan alat pembuktian yang kuat dan selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya maka data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar. Selain itu ayat (2) pada pasal ini lebih menegaskan lagi jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang sertipikat tanah, dimana mengandung beberapa syarat, diantaranya :
95
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
a. sertipikat tanah diperoleh dengan itikad baik; b. pemegang hak atas tanah harus menguasai secara fisik tanahnya selama jangka waktu tertentu yaitu sejak lima tahun diterbitkannya sertipikat tanah tersebut; c. sejak lima tahun diterimanya sertipikat hak atas tanah bila tidak adanya keberatan dari pihak ketiga maka keberadaan sertipikat tanah tersebut tidakdapat diganggu gugat lagi; Meskipun kepemilikan tanah telah diatur sedemikian rupa, namun masih saja terdapat permasalahan dalam hal kepemilikan sebidang tanah, misalnya saja terhadap sebidang tanah yang sudah dikuasai oleh subjek hukum selama bertahun-tahun dan telah dilengkapi dengan sertipikat. Terhadap tanah itu masih ada pihak luar yang menuntut hak atas tanah tersebut. Permasalahan ini sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Berkaitan dengan sengketa pertanahan yang mengakibatkan tumpang tindihnya kepemilikan tanah sering terjadi di Indonesia. Banyak faktor yang mengakibatkan hal tersebut terjadi. Secara akademis dapat dikemukakan bahwa penyebab terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Ini baik secara vertikal maupun secara horizontal peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan tanah, praktek-praktek dalam perolehan tanah pada masa lalu dan di era reformasi muncul kembali gugatan, dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem perundang-undangan agraria. Di satu pihak masyarakat masih tetap menggunakan hukum adat sebagai sandaran peraturan pertanahan dan diakui oleh komunitasnya, akan tetapi di lain pihak, hukum agraria nasional belum sepenuhnya mengakui validitas hukum adat tersebut. Sifat permasalahan dari suatu sengketa ada beberapa macam: 8 a. Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai
pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atas tanah yang belum ada haknya. 8
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung: Alumni, 1991, hal. 23 96
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
b. Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan
sebagai dasar pemberian hak. c. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan
peraturan yang kurang/tidak benar. d. Sengketa lain yang mengandung aspek sosial praktis (bersifat strategis).
Jadi dilihat dari substansinya, maka sengketa pertanahan meliputi pokok persoalan yang berkaitan dengan:9 a. Peruntukan dan/atau penggunaan serta penguasaan hak atas tanah; b. Keabsahan suatu hak atas tanah; c. Prosedur pemberian hak atas tanah; dan d. Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya. Seperti halnya contoh kasus diatas Permohonan Hak Atas Tanah Oleh PT Pertamina (Persero) yang sudah melalui presos administrasi hukum yang berlaku, sehingga diberikan hak atas tanah dan diterbitkannya sertipihat HGB, namun masih saja dikemudian hari terjadi sengketa atas tanah yang sudah dikuasai PT Pertamina (Persero) tersebut. Sengketa ini diperkarakan dalam Perkara Perdata, dengan Nomor Perkara 21/PDT.G/2011/PN.AB Pengadilan Negeri Kota Ambon antara Masyarakat yang mengatasnamakan pemilik yang sah (legal) tanah sengketa sebagai tanah petuanan/hak ulayat Negeri Amahusu bersadarkan Besluit van Den GG tanggal 16 mei 1888 No 6 Stbld 1888 No 91 melawan PT Pertamina (Persero) Cabang Ambon Unit Pemasaran VII yang memiliki Sertipihat Hak Guna Bangunan Nomor 386 tanggal 21 Juni 1997. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih lanjut bagaimanakah pengaturan perolehan atas tanah dan pendaftaran tanah berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, dan bagaimana kepastian hukum kepemilikan tanah oleh PT Pertamina (Persero) berdasarkan analisa Putusan Pengadilan Negeri Ambon No 21/PDT.G/2011/PN. AB tanggal 21 Maret 20013 apakah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan maksud untuk mengkaji masalah tersebut, maka dikemukakan judul penelitian. Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah Oleh PT Pertamina (Persero) (Analisis Putusan PN No 21/PDT.G/2011/PN.AB)
9
Rusmadi Murad, Ibid, hal. 24. 97
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas, serta untuk lebih terarahnya sasaran dari penulisan ini, maka penulis akan membatasi penulisan yang hanya akan berkaitan dengan: Bagaimana Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah Oleh PT (Persero) Pertamina Berdasarkan Putusan PN No 21/PDT.G/2011/PN.AB?
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Kepastian Hukum Kepemilikan Tanah Oleh PT. Pertamina (PERSERO) Berdasarkan Putusan 21/PDT.G/2011/PN.AB Kekuatan Pembuktian Kepemilikan Tanah Oleh PT Pertamina (Persero) UUPA merupakan peraturan dasar yang mengatur penguasa, pemilikan, peruntukan, penggunaan, dan pengendalian pemanfaatan tanah yang bertujuan terselenggaranya pengelolaan dan pemanfaatan tanah untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Salah satu aspek yang dibutuhkan untuk tujuan tersebut adalah mengenai kepastian hak atas tanah yang menjadi dasar utama dalam rangka kepastian hukum kepemilikan tanah. Untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah, dalam Pasal 19 UUPA telah diatur ketentuan dasar pendaftaran tanah sebagai berikut :10 (1)Untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. (2) Pendaftaran tanah tersebut pada ayat (1) meliputi: a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Kepastian hukum yang dimaksud dalam ketentuan di atas meliputi:11 (1) kepastian mengenai subyek hak atas tanah yaitu kepastian mengenai orang atau 10
Indonesia (a), Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 5, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Ps. 19. 11 Effendi, Op. Cit., hal. 20-21 98
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah tersebut; (2) kepastian mengenai obyek hak atas tanah yaitu kepastian mengenai letak tanah, batas-batas tanah, panjang dan lebar tanah. Dengan adanya pendaftaran tanah seseorang dapat secara mudah memperoleh keterangan-keterangan berkenaan dengan sebidang tanah seperti hak yang dimiliki, luas tanah, letak tanah, apakah telah dibebani dengan hak tanggungan atau tidak. Dengan demikian penyelenggaraan pendaftaran tanah atau pendaftaran hak atas tanah yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 telah menggunakan asas publisitas dan asas spesialitas. Asas publisitas tercermin dengan adanya pendaftaran tanah yang menyebutkan subyek haknya, jenis haknya, peralihan dan pembebanannya. Di dalam asas spesialitas tercermin dengan adanya data-data fisik tentang hak atas tanah tersebut seperti luas tanah, letak tanah, dan batas-batas tanah. Asas publisitas dan asas spesialitas ini dimuat dalam suatu daftar guna dapat diketahui secara mudah oleh siapa saja yang ingin mengetahuinya, sehingga siapa saja yang ingin mengetahui data-data atas tanah itu tidak perlu lagi mengadakan penyelidikan langsung ke lokasi tanah yang bersangkutan karena segala data-data tersebut dengan mudah dapat diperoleh di Kantor Pertanahan. Oleh karenanya setiap peralihan hak atas tanah tersebut dapat berjalan lancar dan tertib serta tidak memakan waktu yang lama. Berdasarkan hal-hal di atas, maka jelaslah bahwa maksud dan tujuan pemerintah mendaftarkan tanah atau mendaftarkan hak atas tanah adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum berkenaan dengan hal ihwal sebidang tanah yaitu dalam rangka pembuktian jika ada persengketaan dan atau dalam rangka membuka hal ihwal tanah tersebut.12 Dalam Kasus pada Putusan PN NO 21/PDT.G/2011/PN.AB antara PT Pertamina (Persero) dengan Masyarakat Hukum adat yang dimenangkan Oleh PT Pertamina (Persero) karena pihak PT Pertamina (Persero) mampu membuktikan kepemilikan atas tanah dengan bukti sertipikat kepemilikan atas tanah yaitu dasar alas hak berupa Sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) No. 386 tanggal 21 Juni 1997.
12
Ibid, hal. 42-43. 99
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Pihak Penggugat (Masyarakat Hukum Adat Negeri Amahusu) berdalihkan bukti dasar alas hak berupa Peta Pertuanan (Hak Ulayat)Negeri Amahusu, Surat Kepala Pemerintahan Setempat Wilayang Pulau Ambon Nomor: 63/Dsa.6/15/I, tentang Serahkan Rakyat Suku Buton yang ditandatangani oleh kepala Pemerintahan Setempat Wilayah Pulau Ambon/Pembimbing Tata Praja. Bpk S.Siwabessy, dan surat-surat bukti peristiwa adat lainnya yang oleh pihak Penggugat l, dijadikan sebagai dasar alasan posita gugatan Penggugat bahwa tanah obyek sengketa adalah merupakan bagian dari Tanah Petuanan Negeri Amahusu sehingga merupakan hak milik dari Penggugat sehubungan Penggugat penguasa dan/atau sebagai pemilik yang sah (legal) petuanan /hak ulayat (beschikkingsrecht) yang terletak di dalam Negeri Amahusu, ternyata tidak dapat dengan secara jelas dan menunjukkan dan atau mengungkapkan fakta bahwa tanah obyek sengketa adalah merupakan bagian dari Tanah Petuanan Negeri Amahusu sebagaimana didalilkan oleh Penggugat.
Pembuktian Permohonan Hak Atas Tanah PT Pertamina (Persero) Telah Sesuai aturan Hukum yang berlaku Objek sengketa dalam sengketa ini adalah tanah yang luas tanahnya 28.075 m2 (dua puluh delapan ribu tujuh puluh lima meter persegi) yang terletak di Jalan Siwabessy Nomor 1 Kelurahan Benteng (Negeri Amahusu), Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon Provinsi Maluku, dengan batas-batas sebagai berkut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan puskesmas benteng dan perumahan rakyat; 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kali Mati; 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan raya Siwabessy; 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Gudang Arang. Objek sengketa pada awalnya di kuasai oleh pihak Pemerintah (Pemerintahan Provinsi Maluku) berdasarkan kenyataan terjadinya pengalihan aset-aset peninggalan penjajahan Belanda pada saat kemerdekaan, dimana saat perjanjahan Belanda objek sengketa dikuasai oleh Perusahaan Minyak Belanda yang bernama Batavche Petroleum Maschapij/BPM. Setelah keluar meninggalkan Indonesia Kemudian Pihak Pemerintah menyewakan kepada PT Pertamina (Persero) dengan Perjanjian sewa-menyewa tanggal 14 November 1956 Nomor 1/1956 joncto tanggal 10 Oktober 1967 Nomor 3/1967 dan telah berakhir tahun 1972. Kemudian berdasarkan Surat Keterangan kepala Direktorat Agraria Provinsi Maluku tanggal 30 100
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
September 1977 Nomor 71/1977 Perjanjian sewa menyewa tersebut tidak diperpanjang dan diganti dengan Hak Guna Bangunan melalui Proses Pemberian hak sesuai hukum yang berlaku. Dasar Hukum Proses Perolehan Hak Atas Tanah diatur dalam Perkep PBN No 1 Tahun 2011 Jo Perka BPN No 3 Tahun 2012 dan PP Nomor 40 Tahun 1996, Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 5/1973 Tentang Tata Cara Pemohonan Hak Atas Tanah. Perolehan Hak oleh PT Pertamina (Persero) telah dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 5/1973 Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah, sebagai regulasi yang berlaku pada masa itu. dimana berdasarkan PMDN No. 5/1973, permohonan untuk mendapatkan tanah negara dengan Hak Guna Bangunan, Berdasarkan sebagai berikut: Pasal 22 “Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah Negara sebagai dimaksudkan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.” Pasal 23 “Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dapat diberikan kepada: a. Warga Negara Indonesia; b. Badan
Hukum
yang
didirikan
menurut
hukum
Indonesia
dan
berkedudukan di Indonesia.” Pasal 24 (1) “ Ketentuan-ketentuan tersebut dalam Bab I Pasal 1, Bab II Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 berlaku mutatis mutandis terhadap penyelesaian pemberian Hak Guna Bangunan dan pendaftarannya menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Berdasarkan Pasal 4 (1) jo Pasal 24 PMDN No. 5/1973 tersebut, Tata cara permohonan untuk mendapatkan tanah negara dengan Hak Guna Bangunan, Pemohon mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan kepada pejabat yang berwenang melalui Bupati Walikota Kepala Daerah c.q. Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten atau Kotamadya yang bersangkutan secara tertulis. PT Pertamina (Persero) 101
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
telah mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan kepada Kepala Direktorat Agraria Provinsi Maluku dengan bukti Surat Keterangan No 71/1977 Tanggal 30 September 1977 dari kepala Direktorat Agraria Provinsi Maluku. Pasal 4 (2) Huruf a poin 1, menjelaskan bahwa Jika pemohon adalah badan hukum, harus memuat nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya, tanggal dan Nomor Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang penunjukannya sebagai badan hukum yang boleh mempunyai tanah dengan Hak Guna Bangunan. PT Pertamina (Persero) merupakan Badan Hukum Milik Negara yang berdasarkan surat Keputusan Menteri Dalam Negeri. Pasal 4 (2) Huruf b, menjelaskan mengenai tanahnya memuat tentang, letak, luas, dan batas-batasnya, status tanahnya, jenis tanahnya, tanah tersebut telah atau belum dikuasai pemohon. Apabila telah dikuasi sebelumnya, atas dasar apa ia memperoleh atau menguasainya penggunaannya. PT Pertamina (Persero) sudah melalui prosedur tersebut dengan bukti di keluarkannya Keputusan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 621/HGB/BPN/96 tanggal 25 September 1996 butir 2 dinyatakan bahwa tanah yang dikuasi oleh PT Pertamina (Persero) terletak di Kelurahan Benteng, Kecamatan Nusaniwe, Kotamadya Ambon, Propinsi Maluku dengan luas Tanah 28.075 m2 (dua puluh delapan ribu tujuh puluh lima mater persegi), yang statusnya merupakan Tanah Negara. Adapun batas-batas dari tanah tersebut, adalah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan puskesmas benteng dan perumahan rakyat; 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kali Mati; 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan raya Siwabessy; 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Gudang Arang. Setelah menerima permohonan yang dimaksud, maka Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya memerintahkan kepada Kepala Seksi Pengurusan Hak yang bersangkutan,sesuai dengan aturan pada Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11, untuk dan proses sesuai prosedur aturan hukum yang berlaku untuk melalukan pemeriksaan. Pada saat dilakukan pemeriksaan di lapangan di atas tanah tersebut terdapat bangunan kepunyaan PT Pertamina Depot Ambon dan telah sesuai Risalah Pemeriksaan Tanah (Konstatering Rapport) tanggal 28 Juni 1996 dan Risalah Pemeriksaan Tanah A pada tanggal 28 Juni 1996. 102
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Dalam lampiran keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 612/HGB/BPN /96 tanggal 25 September 1996 butir 2 dinyatakan bahwa Tanah yang dikuasai oleh PT Pertamina Depot Ambon yang
terletak
Kelurahan Benteng, Kecamatan Nusaniwe, Kotamadya Ambon Propinsi Maluku dengan luas Tanah 28.075 m2 (dua puluh delapan ribu tujuh puluh lima meter persegi) statusnya adalah Tanah Negara. Kemudian diterbitkannya Gambar Situasi/Surat Ukur No. 536/1996 tanggal 25 Juni 1996 sebagai bukti bahwa penetapan batas-batas tanah yang dikuasai dan ditempati oleh PT Pertamina Depot Ambon adalah sudah sah menurut hukum, karena pengukuran obyek
tanah
dimaksud dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional
Kotamadya Ambon sesuai Surat Ukur atau Gambar Situasi No. 536 /1996 tanggal 25 Juni 1996. Hal tersebut sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 17 (4) dimana dinyatakan bahwa Penetapan batas bidang-bidang tanah mengenai bentuk, ukuran dan teknis penempatan tanda batas ditetapkan oleh Manteri, dalam hal ini Menteri Negara Agraria selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional. PT Pertamina Depot Ambon telah memenuhi syaratsyarat untuk memperoleh Hak Guna Bangunan sesuai dengan asas-asas dan garisgaris kebijaksanaan Pemerintah sehingga PT Pertamina Depot Ambon dapat dikabulkan. Pembuktian Penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 386 Telah Sesuai Aturan Hukum Pendaftaran Tanah yang berlaku. Pelaksanaan pendaftaran tanah diatur dengan PP Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian disempurnakan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Jaminan kepastian hukum hak atas tanah dapat diperoleh bagi pemegang hak dengan wajib dilakukan inventarisasi data-data yang berkenaan dengan setiap peralihannya. Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 12 ayat (1) PP 24/1997, meliputi: 13 a. pengumpulan dan pengelolaan data fisik; 13
Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 491. 103
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
b. pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan haknya; c. penerbitan sertipihat; d. penyajian data fisik dan data yuridis; e. penyimpanan daftar umum dan dokumen; Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan data fisik pertama-tama dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan, yang meliputi : 1. pembuatan peta dasar pendaftaran; 2. penetapan batas-batas bidang tanah; 3. pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta
pendaftaran; 4. pembuatan daftar tanah, dan 5. pembuatan surat ukur;
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 17 ayat (4) dimana dinyatakan bahwa ditetapkan oleh Manteri, dalam hal ini Menteri Negara Agraria selaku
Kepala Badan Pertanahan Nasional. Setelah
melengkapi persyarat pendaftaran tanah oleh PT Pertamina (Persero) kemudian Badan Pertanahan Nasional Kotamadya Ambon melakukan Penetapan batas bidang-bidang tanah
mengenai
bentuk,
ukuran
dan teknis penempatan tanda batas, dan
diterbitkannya Gambar Situasi/Surat Ukur No.536/1996 tanggal 25 Juni 1996. Setelah memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh Hak Guna Bangunan sesuai dengan asas-asas dan garis-garis kebijaksanaan pemerintah maka Diterbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No.386 tanggal 21 Juni 1997 oleh Kantor Pertanahan Kotamadya Ambon kepada PT Pertamina Depot Ambon atas nama Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (Pertamina) yang telah berubah menjadi PT Pertamina (Persero) sejak tanggal 17 September 2003. Dikeluarkannya Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No.386 tanggal 21 Juni 1997 maka PT Pertamina (Persero) merupakan pemilik yang sah secara hukum dan perundang-undangan sebagaimana
berdasarkan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA
disebutkan bahwa: “pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.” Jadi sertipikat dimaksud berlaku sebagai alat bukti yang kuat, bukan suatu alat bukti yang mutlak dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data
104
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai keterangan yang benar. PEMBAHASAN Analisa Pembuktian Sertipikat HGB No 386 Tertanggal 21 Juni 1997 Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria PT Pertamina (Persero) memiliki Surat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 386 tanggal 21 Juni 1997, dapat diperoleh fakta hukum bahwa PT Pertamina (Persero) dalam menempati dan menguasai tanah obyek sengketa dalam perkara ini adalah didasarkan pada alas Hak berupa Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah obyek sengketa tersebut sebagaimana Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 386 tanggal 21 Juni 1997, dan alas hak berupa Hak Guna Bangunan dimaksud berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang berbunyi: “Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun; Berdasarkan alas hak dari PT Pertamina (Persero) dalam menempati dan menguasai obyek sengketa adalah berdasarkan alas hak berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 386 tanggal 21 Juni 1997 yang berlaku sah secara hukum untuk waktu selama 30 tahun yang akan berakhir hingga sampai dengan tanggal 20 Juni 2027 yang akan datang sesuai dengan ketentuan pasal 35 UndangUndang Pembuktian kepemilikan yang sah secara hukum yang berlaku PT Pertamina Persero memiliki alas dasar hak yaitu Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) tanggal 21 Juni Nomor : 386 dengan luas 28.075 m2 yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kota Ambon, Sertipihat ini merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya (Pasal 32 Ayat 1) 1. Data Fisik Bahwa pada saat dilakukan pemeriksaan di lapangan diatas tanah tersebut terdapat bangunan kepunyaan PT Pertamina Depot Ambon dan telah sesuai Risalah Pemeriksaan Tanah (Konstatering Rapport) tanggal 28 Juni 105
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
1996 dan Risalah Pemeriksaan Tanah A pada tanggal 28 Juni 1996. Hal ini berarti PT Pertamina Persero telah melakukan penguasaan secara fisik dengan mendirikan bangunan di atasnya. 2. Data Yuridis Bukti-Bukti Surat yang dimiliki PT Pertamina Persero berupa: (1) Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 386 tanggal 21 Juni 1997 (2) Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan kantor Cabang dan Ex Depot Ambon NOP: 81.71.010.006.002-0292.0, atas nama PT Pertamina (Persero) (3) Surat Perjanjian sewa menyewa No.1/1956 antara Sutan Muhamad Djosan Gelar Sutan Bidjo Radjo (Gubernur Propinsi Maluku) dengan Fredericus Stuker (agen dari NV. Bataafsche Petrolium Maatschappy ) (4) Surat Perjanjian sewa menyewa No.3/1967, tanggal 10 Oktober 1967, antara Drs. H.W.Tutuarima (Kepala Inspeksi Agraria Propinsi Maluku) dengan R.B.Thenu (PT. Pertamina Depot Ambon) (5) Surat Keterangan No. 71/1977 tanggal 30 September 1977 dari Kepala Direktorat Agraria Propinsi Maluku. (6) Keputusan
Menteri
Negara
Agraria
/Kepala
BPN
No.
612/HGB/BPN/96 tanggal bumi 25 September 1996, tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) atas tanah di Kotamadya Ambon. (7) Surat Ukur/GS NO.536/1996 tanggal 25 juni 1996 (8) Staatblaad van Nederlandsschindie, tanggal 16
mei 1888 yakni
Keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 16 mei 1888 no.6 tentang penentuan batas-batas
ibukota Amboina dan dari ibukota wilayah
Banda dan Saparua, Surat-surat
bukti
tersebut
setelah
diperiksa
di Pengadilan ternyata
seluruhnya telah bermetarai cukup dan setelah dicocokan ternyata seluruhnya telah sesuai dengan aslinya. Dari analisa diatas jelaslah bahwa PT Pertamina (Persero) Depot Ambon memiliki Tanda Sertipikat sebagai tanda bukti yang kuat mengandung arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, sebagaimana juga dapat dibuktikan dari data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukurnya.
106
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Selain Pasal 19 UUPA ayat (2) huruf c, yang menyatakan bahwa: “Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku alat pembuktian yang kuat”. Pada KUHPerdata Sertiphikat termasuk dalam Alat Bukti Tertulis berupa akta autentik. Pasal 1868 KUHPerdata menjelasakan bahwa akat autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat. Disinilah dapat dibuktikan bahwa Teori Hukum Positif John Austin dalam bukunya Province of Jurisprudence antara lain menjelaskan bahwa hukum haruslah dianggap sebagai perintah dari penguasa (soverign), tujuannya adalah untuk memisahkan dengan tegas hukum positif dari peraturan-peraturan sosial lainnya, misalnya kebiasaan (hukum adat), dan kesusilaan (morality). Berdasarkan tujuannya Teori normatif-dogmatif, tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum (John Austin). Berdasarkan teori hukum positif yang dikaitkan dengan kepastian hukum pemilikan tanah, Aturan yang konsisten dan dapat diterapkan mengandung arti bahwa ketentuan mengenai pendaftaran tanah supaya dilakukan secara sah serta pasti luasnya dan batas-batasnya sehingga mempunyai kepastian hukum. Aparat pemerintah dalam hal ini Kantor Pertanahan (BPN) menerapkan aturan hukum yang berlaku secara konsisten dan berpegang pada aturan hukum tersebut. Kepastian hukum berkaitan dengan supremasi hukum, karena hukumlah yang berdaulat. Dengan landasan ini undang-undang dalam arti formal dan UndangUndang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar bagi tindakan pemerintah. Atas dasar itu, pengaturan yang jelas mengenai jaminan kepastian hukum kepemilikan tanah sangat penting bagi rakyat suatu bangsa. Pendaftaran hak atas tanah yang melahirkan sertipikat hak atas tanah merupakan salah satu macam hak milik yang dari sudut pandang HAM merupakan HAM yang berkarakteristik absolut. Oleh sebab itu, pemerintah dalam hal ini Kantor Pertanahan berkewajiban secara konstitusional dan yuridis untuk menjalankan pelayanan pendaftaran tanah. Penguasaan terhadap Objek Sengketa PT Pertamina Persero Secara nyata telah menguasai Objek Perkara lebih dari 54 (lima puluh empat) tahun, dan sudah memperoleh sertipihat Hak Guna Bangunan HGB Nomor 386 tanggal 21 Juni 1997. Setelah itu perkara perdata tersebut barulah 107
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
digugat pada tanggal 24 Februari 2011. Adapun tenggang waktu antara penerbitan sertipihat dengan guguatan adalah selama lebih kurang 14 (empat belas) tahun. Gugatan ini termasuk gugatan kadarlusa mengingat aturan hukum Peraturan Pemerintan No 24 Tahun 1997 Pasal 32 ayat (2) “Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu (5) lima tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut” Bersarkan aturan tersebut, maka Kepemilikan Seripikat Hak Guna Bangunan oleh PT Pertamina (Persero) telah memiliki kekuatan hukum tetap. Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 bertujuan untuk secara seimbang memberi kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertipikat sebagai alat buktinya dan pihak yang merasa berhak atas tanah yang bersangkutan juga tidak diabaikan, karena jangka waktu 5 tahun dipandang sudah cukup untuk berusaha mempertahankan haknya, baik langsung maupun melalui pengadilan. Dalam pendaftaran tanah dikenal adanya sistem publikasi, sistem publikasi yang digunakan menurut PP 24/1997 tetap seperti dalam pendaftaran tanah menurut PP No 10/1961. Sistem Negatif yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 (2), Pasal 32 ayat (2), dan Pasal 38 ayat (2) UUPA, bukan sistem publikasi murni. Sistem publikasi yang negatif nurni tidak akan menggunakan sistem pendaftaran hak. Dan juga tidak akan ada pasal seperti dalam pasal-passal UUPA tersebut, bahwa sertipihat merupakan alat bukti yang kuat. Kententuan Pasal 32 ayat (2) tersebut disertai penjelasan memberikan gambaran bahwa pendaftaran tanah yang penyelengaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data disajikan dijamin oleh Negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negartif. Di dalam
108
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
sistem publikasi negatif negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan, tetapi tidaklah dimaksud untuk menggunakan sistem publikasi negatif yang murni. Hal tersebut tampak dari penyataaan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda bukti yang diterbitkan berlaku sebagai tanda bukti yang kuat, dan dalam Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA, bahwa pendaftaran sebagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian hukum yang kuat, Selain itu dari ketentuanketentuan mengenai prosedur, pengumpulan, pengelolaan, penyimpanan, penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertipihat dalam peraturan pemerintah ini, tampak jelas dengan usaha sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data yang benar, karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. sehubungan dengan itu diadakan ketentuan dalam ayat (2) ini. Ketentuan ini bertujuan, pada suatu pihak untuk tetap berpegang pada sistem pusblikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikat baik menguasai sebidang tanah dan didaftarkan sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertipihat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kepastian hukum terhadap tanah tersebut yaitu: Dalam Putusan Pengadilan Negeri Ambon No 21/PDT.G/2011/PN.AB, apabila ditinjau dari aspek Hukum Tanah Nasional telah sesuai dengan UU Pokok Agraria, dan PP Nomor 24 Tahun 1997, tanah sengketa tidak lagi berstatus hak milik adat, tetapi sudah dikonversi menjadi tanah negara dan PT Pertamina telah melakukan Permohonan Perolehan Hak Atas Tanah tersebut serta Perndaftran Tanah sesuai melalui prosedur yang sah dalam Tata Cara Peroleh Hak, yaitu sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 5/1973 Tentang Tata Cara Pemohonan Hak Atas Tanah yang berlaku saat itu dan Proses pendaftaran tanah sesuai dengan PP No 24 Tahun 1997. sehingga diperoleh sertipikat Hak Guna Bangunan (HGB) HGB Nomor 386 tanggal 21 Juni 1997, sebagai tanda bukti hak atas tanah. Kekuatan pembuktian melalui bukti hak atas tanah berupa sertipikat, merupakan salah satu alat bukti sah secara hukum. Sertipikat hak atas tanah dibuat dengan tujuan untuk 109
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana kepada Pemegang hak yang bersangkutan. Sertipihat diterbitkan untuk kepentingan hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Sedangkan bukti adat berupa Peta Pertuanan (Hak Ulayat) dan surat-surat bukti peristiwa adat lainnya yang menegaskan kepemilikan tanah hak ulayat. Belum dapat dijadikan sebagai alas dasar hak kepemilikan yang kuat, mengingat pengakuan atas hak ulayat belum diatur secara jelas dalam hukum positif Indonesia. Berlakunya Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 sebagai kepastian hukum kepemilikan atas tanah. Ketentuan ini bertujuan, pada satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem pusblikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikat baik menguasai sebidang tanah dan didaftarkan sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertipihat sebagai tanda buktinya, yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat Saran Adapun saran yang dapat penulis berikan terhadap kepastian hukum tanah tersebut adalah sebagai berikut: Mengingat Pentingnya Pendaftaran atas tanah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah agar memudahkan pembuktian dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, maka Pemerintah sebagai penyelenggara pendaftaran tanah hendaknya lebih disosialisasikan kepada masyarakat, agar masyarakat menjadi lebih termotivasi untuk mendaftarkan tanahnya sehingga mereka memiliki sertipikat terhadap hak atas tanahnya
sekaligus
menimbulkan
kesadaran
masyarakat
akan
pentingnya
mendaftarkan tanah yang ia miliki. Perlu adanya pengaturan atau payung hukum yang lebih jelas mengenai Perlindungan dan Pengakuan Terhadap Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat terutama mengenai Tanah Ulayat, agar tanah-tanah adat masyarakat hukum adat dapat memiliki kekuatan hukum dan kepastian hukum dalam hukum nasional (Hukum Positif Indonesia). Sistem publikasi yang memakai sistem Negatif yang mengandung unsur positif, bertujuan untuk kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikat baik menguasai sebidang tanah dan didaftarkan sebagai pemegang hak dalam buku tanah, namun Sistem ini masih banyak kelemahan dimana banyak pihak yang memanfaatkan hal tersebut untuk mencari keuntungan, maka sebaiknya itu mencegah hal demikian, pemerintah harus mengatur lebih lanjut mengenai pemeliharaan data di BPN (misalnya dengan peningkatan teknologi secara digital) 110
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
agar history dari kepemilikan tanah (data keterangan riwayat tanah) dapat tercatat dengan baik dan pemilik sertipikat sebagai pemegang alat bukti tertinggi bisa mendapat perlindungan hukum dari hal tersebut, dan pihak BPN tidak salah dalam menerbitkan surat tanah.
DAFTAR PUSTAKA Buku, Jurnal Dan Makalah Chandra S, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah: Persyaratan Permohonan di Kantor Pertanahan, Jakarta: Grasindo, 2005. Effendie Bachtiar, Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Bandung: Alumni, 1993. Harsono Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan, 2008. Hutagalung Arie, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah. Cet.Pertama. Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia. 2005. Syarief Elsa, Menutaskan Sengketa Tanah, Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, Jakarta: KPG(Kepustakaan Populer Indonesia), 2012.
Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang Dasar Rebublik Indonesia Tahun 1945, UUD 1945 -----------Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 tahun 1960, LN No. 104 tahun 1960, TLN No. 2043. -----------Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, PMNA No. 3 Tahun 1997, Website Waskito Hadimulyono, Hak Guna Bangunan Atas Tanah” (On-Line) Tersedia di www: http://arsiptanah.blogspot.com/2012/12/hak-guna-bangunan-atas-tanah. html.
111
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK MAKANAN INDOMIE (MI INSTANT) PRODUSEN INDONESIA Hielvita Ludya1 , Irene Svinarky2 1
Dosen Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Putera Batam, Batam, Jl Letjen R. Soeprapto, Kampus UPB, Batam 29442, Indonesia.
2
Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Sosial Dan Humaniora, Universitas Putera Batam, Batam, Jl Letjen R. Soeprapto, Kampus UPB, Batam 29442, Indonesia.
Penyesuaian Pengarang E-mail1: [email protected], Penyesuaian Pengarang E-mail2: [email protected] No Hp: +6281365535747
ABSTRAK Perlindungan konsumen menjadi hal penting bagi pengguna produk maupun jasa. Produsen sebagai penghasil produk maupun layanan jasa berkompetisi dan menghadirkan berbagai macam kebutuhan konsumen untuk memuaskan para konsumennya. Para produsen menciptakan produk untuk dapat dijual kepada masyarakat sebagai alat pemuas kebutuhan. Indomie adalah merek dagang produk Mie Instan asal Indonesia yang diproduksi oleh PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk., menjadi merek nomor satu sekaligus pemimpin pasar mie instan. Banyak orang mengkonsumsi mi instan dengan alasan praktis dan kecepatan pelayanan. Pemasaran Indomie tersebar keberbagai wilayah nusantara termasuk keluar negeri seperti Singapur, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Eropa, Timur Tengah, Afrika dan Amerika. Konsumen sebagai pengguna produk sudah selayaknya membutuhkan sisi keamanan dalam mengkonsumsi produk-produk. Untuk produk-produk konsumsi misalnya dimana konsumen membutuhkan suatu bentuk perlindungan secara hukum melalui undang-undang perlindungan konsumen. Ketentuan undang-undang perlindungan konsumen tidak hanya perlu diketahui oleh konsumen namun juga para produsen sebagai penghasil produk maupun jasa. Produsen dalam memasarkan setiap barang dan atau jasa perlu memperhatikan hak-hak konsumen dalam rangka untuk melakukan aktivitas bisnis yang beretika dan bertanggung jawab. Undang-undang perlindungan konsumen adalah bentuk peraturan pemerintah, yang bertujuan untuk melindungi hak-hak konsumen. Judul penelitian ini adalah “Perlindungan Konsumen Pada Produk Makanan Indomie (mie instan) PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk”. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1). Bagaimana ketentuan pengaturan produk pangan untuk bahan dasar atau zat pengawet yang digunakan dan aturan standarisasi yang diberlakukan di Indonesia (dalam hal ini kasus yang diangkat untuk Produk brand Indomie yakni mie instant oleh PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. ) dalam kaitannya memberikan perlindungan kepada konsumen ? dan (2) Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi suatu produk konsumsi terhadap konsumen untuk bahan dasar atau zat pengawet yang digunakan dan pemberlakuan aturan standarisasi di Indonesia? Penelitian ini adalah penelitian bisnis dan hukum dalam kaitannya dengan aktivitas bisnis yang dihubungkan dengan sisi hukum, dan juga terkait penelitian hukum empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang dikumpulkan dari reponden dan nara sumber. Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dan metode berpikir induktif untuk membangun kesimpulan dari bahan tertentu untuk memecahkan kasus umum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk., sebagai produsen produk makanan Indomie (mie instan) telah mengimplemetasikan bentuk tanggung jawab 112
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693 bisnis mereka kemasyarakat (konsumen) juga pemerintah dengan menghasilkan dan menawarkan produk mereka kepada konsumen dalam hal ini masih mengikuti dan melaksanakan peraturan pemerintah terkait masalah undang-undang perlindungan konsumen untuk produk makanan yang dihasilkannya. Kata kunci: Perlindungan konsumen, produk makanan indomie, produsen
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Pembangunan serta perkembangan perekonomian pada umumnya terhadap berbagai kemajuan yang terjadi pada bidang teknologi, industri, ekonomi maupun perdagangan, mengakibatkan semakin banyak permasalahan yang terjadi di negara kita. Adapun permasalahan yang terjadi salah satunya adalah permasalahan mengenai perlindungan konsumen di dalam bidang perindustrian dan perdagangan nasional dimana yang telah menghasilkan berbagai variasi barang dan atau jasa yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Selain itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh berbagai bentuk kemajuan teknologi, telekomunikasi dan informatika telah memperluas terhadap ruang gerak arus transaksi barang dan atau jasa yang melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan atau jasa yang ditawarkan menjadi bervariasi baik berupa produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak memang cenderung menguntungkan bagi konsumen dimana hal tersebut dikarenakan kebutuhan konsumen akan barang dan atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, serta semakin terbuka lebar kebebasan mereka untuk dapat memilih berbagai macam jenis kualitas produk barang dan atau jasa. Akan tetapi kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, bahkan konsumen berada pada posisi yang lemah. Maksud dari posisi lemah disini dikarenakan sebagian besar konsumen cenderung dijadikan objek aktivitas bisnis untuk mendapakan keuntungan yang sebesar-besarnya oleh para pelaku usaha melalui kegiatan promosi, cara penjualan melalui iklan di media cetak maupun media online, serta penerapan perjanjian standar yang terkadang cenderung sangat merugikan konsumen di dalam menawarkan serta memperdagangkan produk barang dan atau jasa. Oleh karena itu hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan perlindungan konsumen, maka seluruh permasalahan maupun kasus-kasus mengenai sengketa konsumen penyelesainnya dapat dilaksanakan melalui jalur litigasi (pengadilan) ataupun non litigasi (penyelesaian sengketa di luar pengadilan). Hal ini sebagaimana
113
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
terdapat di dalam peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen yang mengatur mengenai hak-hak konsumen yang harus dilindungi oleh undangundang tersebut. Adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen atau yang sering disebut dengan UUPK dimaksudkan agar dapat menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah maupun lembaga perlindungan konsumen swadaya masyakakat (LPKSM) untuk dapat melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan maupun pendidikan terhadap para konsumen.1 Dalam era globalisasi yang ditandai dengan kesupercanggihan teknologi dan informasi, kehadiran etika bisnis sudah sangat mendesak sekali karena dalam realitas penodaan nilai-nilai etika telah merambah keberbagai ranah kehidupan, terutama dalam ekonomi dan bisnis. Hati nurani para pelaku bisnis telah sedemikian tumpul, buta dan tuli, dan tidak lagi peka menyuarakan nilai-nilai kebajikan yang menghormati harkat manusia dan makhluk lainnya. Mereka sebagian besar tidak lagi moral orientiedi tapi lebih pada profil oriented. Akibatnya, apa dan siapa saja yang ada dihadapan mereka selalu dijadikan objek manipulasi hanya demi keuntungan semata. Masalah kejujuran tidak hanya merupakan kunci sukses seorang pelaku bisnis menurut islam. Tetapi etika bisnis modern juga sangat menekankan pada prinsip kejujuran. Willian C. Byham menuyatakan: “Business ethics build trust, and trust is the basic of modern business. If we accept the view, arque for earlier, that there are not two moralities – one for individuals and one for business – but a common moral frame work judging both individual and corporate activities, then we can gain some quidance for business behavior by looking at what philosophers have seen as morally good life.”2 Dalam Pasal 28 J ayat (1) perubahan yang kedua Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 mengatur mengenai “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Sebagaimana diketahui dengan adanya globalisasi dan perkembangan perekonomian yang terjadi secara pesat dalam era perekonomian modern telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi barang dan atau jasa yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Produk barang dan jasa yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia semakin lama semakin canggih, sehingga timbul kesenjangan terhadap
1 2
Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Graha Ilmu, 2015. hal. 2 Muhammad Djakfar, Etika Bisnis. Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi, Penebar Plus*Imprint dari Penebar Swadaya, Depok, 2012. Hal, 34-35 114
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
kebenaran informasi dan daya tanggap konsumen.3 Dengan posisi konsumen yang lemah ini, produsen atau pelaku usaha akan dengan mudah memasarkan setiap barang dan atau jasa tanpa memperhatikan hak-hak konsumen. Konsumen semata-mata tergantung pada informasi yang diberikan dan disediakan oleh pelaku usaha. Akan tetapi informasi yang diberikan tanpa disertai dengan edukasi akan kurang dirasakan manfaatnya. Hal ini antara lain dilakukan melalui pemasangan label atau standarisasi mutu. Arti penting perlu adanya pemasangan label atau pelabelan ataupun standardisasi, mutu produk sangat dirasakan penting, khususnya terhadap produk makanan, karena hal ini sangat berhubungan dengan nyawa manusia.4 Sebuah kasus yang ditemukan pada produk pangan berupa Indomie yang merupakan merek produk mie instant. Di Indonesia, Indomie diproduksi oleh PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. Selain dipasarkan di Indonesia, Indomie juga dipasarkan secara cukup luas dimancanegara seperti Amerika Serikat, Australia, berbagai negara Asia dan Afrika serta negara-negara Eropa, hal ini menjadikan Indomie sebagai salah satu produk Indonesia yang mampu menembus pasar Internasional. Di Indonesia sendiri, sebutan “Indomie” sudah umum dijadikan istilah generik yang merujuk kepada mie instant. Harga Indomie yang cukup ekonomis dan cita rasanya yang telah disesuaikan dengan selera Indonesia membuat produk mie instant ini sangat digemari oleh masyarakat. Kasus Indomie pernah terjadi di negara Taiwan berupa larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methylparahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik. Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie. Permasalahan yang terjadi di negara Taiwan tersebut sedikit banyak mempergaruhi masyarakat Indonesia untuk behati-hati dalam mengkonsumsi produk mie instant dalam jangka panjang. Berikut adalah pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berhubungan dengan kasus di atas serta jalan penyelesaian:
3
Celina Tri Siwi Kristiyanti,S.H., M.Hum, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Pertama,
Jakarta: Sinar Grafika, hal. 4 4
Sudaryatmo, Hukum & Advokasi Konsumen, Cetakan Kedua, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 14. 115
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
1. Pasal 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 3.
Pasal 4 (c) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
4. Pasal 7
( b dan d )UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Pasal 2 UU PK adalah tentang tujuan perlindungan konsumen yang akan menyinggung tentang Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Perlu ditilik dalam kasus di atas adalah adanya perbedaan standar mutu yang digunakan produsen indomie dengan pemerintahan Thailand yang masing-masing berbeda ketentuan batas aman dan tidak aman suatu zat digunakan dalam pengawet,dalm hal ini Indonesia memakai standart BPOM dan CODEX Alimentarius Commission (CAC) yang diakui secara internasional Namun hal itu menjadi permasalahan karena Taiwan menggunakan standar yang berbeda yang melarang zat mengandung Methyl P-Hydroxybenzoate yang dilarang di Taiwan.hal ini yang dijadikan pokok masalah penarikan indomie oleh karana itu akan dilakukan penyelidikan dan investigasi yang lebih lanjut. Pada pasal 3 UU PK menjelaskan tentang asas perlindungan konsumen yang isinya sebagai berikut: Asas keamanan dan keselamatan konsumen Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan
konsumen
dalam
penggunaan,
pemakaian,
dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas manfaat Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha, sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding
pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-
haknya. Asas keamanan dan keselamatan konsumen digunakan karena sebagai jaminan keamanan dan keselamatan konsumen dalam mengkonsumsi produk indomie tersebut terlebih sebagian besar konsumen produk indomie di Taiwan adalah TKI yang bekerja
116
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
disana, jadi walaupun UU PK adalah hukum Indonesia tetapi haruslah tetap diberlakukan dilihat dari banyaknya konsumen yang merupakan WNI. Asas manfaat digunakan karena kedua pihak yaitu PT Indofood Sukses Makmur selaku produsen dan Taiwan selaku Konsumen sehingga kedua pihak haruslah sama kedudukannya sehingga kedua belah pihak memperoleh hak-haknya, terlebih PT. Indofood Sukses Makmur selalu menyesuaikan dengan syarat dan peraturan yang berlaku di Taiwan. Pada Pasal 4 ( C )UU PK adalah menyinggung tentang hak konsumen (konsumen di Taiwan): “Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan /atau jasa”. Untuk menyikapi hal tersebut PT. Indofood Sukses Makmur harusnya mencantumkan segala bahan dan juga campuran yang dugunakan dalam bumbu produk indomie tersebut sehinnga masyarakat/ atau konsumen di Taiwan tidak rancu dengan berita yang dimuat di beberapa pers di Taiwan. Pada pasal 7 ( b dan d ) adalah menyinggung tentang memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Berdasarkan Pasal 7 (b dan d) di atas maka diwajibkan kepada produsen untuk mencantum segala informasi mengenai produknya disini adalah kewajiban PT Indofood untuk mencantum informasi bahan apa saja yang digunakan dalam produknya. Namun, berdasarkan rilis resmi Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan, produk mie instan yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan Indomie tidak berbahaya. Direktur Indofood Franciscus Welirang bahkan menegaskan, isu negatif yang menimpa Indomie menunjukkan produk tersebut dipandang baik oleh masyarakat internasional, sehingga sangat potensial untuk ekspor. Menurutnya, dari kasus ini terlihat bahwa secara tidak langsung konsumen di Taiwan lebih memilih Indomie dari pada produk mie instan
117
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
lain.Ini bagus sekali. Hal tersebut menandakan bahwa (Indomie) laris dijual di Taiwan, sehingga banyak importir yang mendistribusikan.5
Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang dapat dipaparkan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ketentuan pengaturan produk pangan untuk bahan dasar atau zat pengawet yang digunakan dan aturan standarisasi yang diberlakukan di Indonesia (dalam hal ini kasus yang diangkat untuk Produk brand Indomie yakni mie instant oleh PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. ) dalam kaitannya memberikan perlindungan kepada konsumen ? 2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi suatu produk konsumsi terhadap konsumen untuk bahan dasar atau zat pengawet yang digunakan dan pemberlakuan aturan standarisasi di Indonesia?
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif deskriptif, yaitu dengan cara berusaha memberikan gambaran mengenai permasalahan yang aktual saat ini berdasarkan fakta-fakta yang tampak. Dalam penelitian ini bahan pustaka merupakan data dasar penelitian yang digolongkan sebagai data sekunder. Teknik analisis menggunakan pendekatan kualitatif, dalam pendekatan secara kualitatif tidak digunakan parameter statistik. Setelah melakukan klasifikasi bahanbahan hukum, baik bahan hukum primer maupun sekunder untuk dianalisa kemudian di deskripsikan secara sistematis dengan pendekatan kualitatif. Selanjutnya, metode penelitian digunakan sesuai dengan rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu “Kajian Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Indomie Untuk Bahan Dasar atau Zat Pengawet Yang Digunakan dan Aturan Standarisasi Di Indonesia”. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan jenis penelitian hukum yang mengambil data kepustakaan.
5
(Prayoga Setioutomo, http://prayoga28.blogspot.co.id/2013/10/contoh-perusahaan-yang-melanggaretika.html, Minggu, 13 Oktober 2013.)
118
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
PEMBAHASAN Pengaturan Produk Pangan Untuk Bahan Dasar atau Zat Pengawet Yang Digunakan dan Aturan Standarisasi Di Indonesia” Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen Salah satu produk hukum tentang pangan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-undang tentang pangan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan. Sebagai landasan hukum di bidang pangan, undang-undang tentang pangan dimaksudkan menjadi acuan dari berbagai peraturan Perlindungan Konsumen (UUPK), pengaturan tentang bahan dasar atau zat pengawet yang digunakan dan aturan standarisasi. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00/05. L2569 Tentang Kriteria Dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan, tanggal 31 Mei 2004. Dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat 1 dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan penilaian produk pangan adalah proses penilaian dalam rangka pengawasan produk pangan sebelum diedarkan yang meliputi keamanan, mutu dan gizi serta label produk pangan untuk memperoleh nomor pendaftaran pangan. Pengertian produk pangan adalah pangan olahan baik produksi dalam negeri maupun yang berasal dari impor yang diedarkan dalam kemasan eceran dan berlabel.6 A Dessy Ratnaningtyas seorang praktisi komestika menjelaskan, dua zat yang terkandung dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%. Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada didalam kecap dalam kemasan mie instan tersebut, namun kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi. Apabila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk dikonsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instant, akan berbahaya bagi 6
Keputusan Kepala Badan POM No. HK. 00/05.1.2569 tentang Kriteria dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan, tangga1 31 Mei 2004.
119
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat beresiko terkena penyakit kanker. Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan keamanan produk pangan. Negara Taiwan bukan merupakan anggota Codec Alimentarius Commision. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Standar yang ada di antara kedua negara memiliki perberbedaan maka timbulah kasus Indomie ini.
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Untuk Bahan Dasar Atau Zat Pengawet Yang Digunakan Untuk Produk Pangan Dan Aturan Standarisasi Di Indonesia Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia, yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa, hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya dan sebagainya. Hukum perlindungan konsumen memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga melindungi kepentingan konsumen. Perlunya undang-undang perlindungan konsumen tidak lain karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen, dari mulai proses sampai hasil produksi barang atau jasa dilakukan tanpa campur tangan konsumen sedikitpun. Tujuan dari hukum perlindungan konsumen secara langsung adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen. Secara tidak langsung, hukum perlindungan konsumen juga akan mendorong produsen untuk melakukan usaha dengan penuh tanggung jawab. Selain konsumen berhak menuntut terpenuhinya hakhak tersebut diatas konsumen juga dituntut untuk bisa mengerti dan menyadari bahwa konsumen juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya, 120
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
kewajiban-kewajiban konsumen tersebut diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999
tentang Perlindungan
Konsumen, sebagai
berikut:
(a). Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan dan keselamatan, (b). Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa, (c). Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati dan (d). Mengikuti uapaya pemyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah: 1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal (33). 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999, Nomor 42 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821. 3. Undang-Undang Nomor
5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Abritase dan Alternatif Penyelesaian Sengkata. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. 6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh Dinas Indag Prop/Kab/Kota. 7. Surat Edaran Direktur Jendral Perdagangan Dalam Negeri No. 795/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan. Berikut adalah pasal-pasal dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berhubungan dengan kasus di atas serta jalan penyelesaiannya: 1. Pasal 2 Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 2. Pasal 3 Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 3. Pasal 4 (c) Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 4. Pasal 7 ( b dan d ) Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen merupakan tanggung jawab semua pihak yaitu pemerintah, pelaku usaha, organisasi konsumen dan konsumen itu sendiri. Tanpa adanya andil dari keempat unsur tersebut, sesuai dengan fungsinya masing-masing, 121
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
maka tidaklah mudah mewujudkan kesejahteraan konsumen.7 Pemerintah bertindak sebagai pengayom masyarakat, dan juga sebagai pembina pelaku usaha dalam meningkatkan kemajuan industri dan perekonomian negara. Bentuk perlindungan konsumen yang diberikan adalah dengan mengeluarkan undang-undang, tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengawasan pada penerapan peraturan, peraturanperaturan pemerintah, atau Penerbitan Standar Mutu Barang.8 Perilaku yang adil dan tidak berat sebelah dalam melihat kepentingan konsumen dan produsen diharapkan mampu memberikan perlindungan kepada konsumen. Banyaknya peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah bertujuan untuk melindungi konsumen, seperti Peraturan tentang Zat Warna Makanan, Peraturan tentang Penggunaan Pemanis Buatan, Peraturan tentang Distribusi Pestisida, dll. Untuk standar mutu barang saat ini sudah ratusan jumlahnya, antara lain Standar Susu, Standar Saos Tomat, dan lain-lain. Namun demikian peraturan tersebut belum dirasakan dapat memberikan perlindungan sepenuhnya kepada konsumen, karena kesiapan untuk mengawasi penerapannya masih sangat kurang. Pelaku usaha atau produsen, mereka perlu menyadari, bahwa kelangsungan hidup usahanya sangat tergantung pada konsumen. Oleh karena itu mereka mempunyai kewajiban untuk memproduksi barang dan jasa sebaik dan seaman mungkin dan berusaha untuk memberikan kepuasan dan loyalitas konsumen. Pemberian informasi yang benar dan jelas seperti masalah keamanan, kesehatan maupun keselamatan konsumen.9 Masa konsumsi dari suatu produksi pangan menjadi arti yang sangat penting. Kongres ke-5 tentang “Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggar Hukum”, yang diselenggarakan oleh Badan PBB pada bulan September 1975 di Jenewa memberikan rekomendasi dengan memperluas pengertian kejahatan dengan tindakan “penyalahgunaan kekuasaan ekonomi secara melawan hukum” (illegal abuse of economic power) seperti penipuan konsumen, pencemaran, manipulasi pajak.10 Oleh karena itu, etika bisnis dapat dilihat sebagai suatu usaha untuk merumuskan dan menerapkan prinsip-prinsip dasar etika dibidang hubungan ekonomi antara manusia. Dapat juga dikatakan, bahwa etika bisnis menyoroti segisegi
moral dalam hubungan antaraberbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan
7
Ahmadi Miru, dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kedua, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 110 . 8 Ibid, hal. 9. 9 Husin Syawali, Neni Sri Imamyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan I, Penerbit CV. Mandar Majis, 2000, hal. 42. 10 I. S. Susanto, Kejahatan Korporasi (makalah), Semarang: FH UNDIP, 1993, hal. 8, dalam Parulian Siagian, majalah "Honeste Vivere FH-UKI, volume XVIII September 2004, hal 188. 122
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693 11
bisnis. Dalam dunia pemasaran, keberadaan label produk bisa diibaratkan sebagai sebuah tanda pengenal sekaligus menjadi alat pembeda dari para pesaingnya. Melalui label produk yang digunakan, para pebisnis bisa menyampaikan informasi kepada calon konsumennya mengenai kualitas, legalitas, brand/logo, petunjuk penggunaan, kode produksi, dan lain sebagainya. Masa kadaluarsa (expired date) memang wajib dicantumkan dalam kemasan produk pangan, kecuali untuk buah-buahan atau sayuran segar, roti, dan panganan yang diperkirakan habis dalam 24 jam. Juga untuk produk cuka, garam dapur, gula pasir, kembang gula, permen karet, dan keju yang dibuat dengan tujuan matang dalam kemasannya.12 Informasi soal identifikasi asal produk dan lainnya dapat dinyatakan dalam kode bergaris (bar code). Di bawah garis-garis vertikal yang dapat dibaca dengan teknologi optik itu, umumnya terdapat 13 angka. Dua angka pertama menunjukkan negara asal, lima angka berikutnya pembuat dan distributornya, lima angka selanjutnya merupakan identifikasi produk itu sendiri, dan satu angka terakhir adalah angka kontrol. Kalimat “Gunakan sebelum” umumnya dicantumkan pada produk-produk yang mudah rusak dan umur simpannya pendek, seperti: produk-produk susu (susu segar dan susu cair), daging, serta sayur-sayuran.13 Tanpa perlindungan dan kepastian hukum bagi konsumen, maka Indonesia hanya akan menjadi ajang dumping barang dan jasa yang tidak bermutu. Yang lebih mengkhawatirkan, kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan menjadi lebih sulit terwujud. Untuk menjamin hal-hal tersebut, maka diperlukan adanya kaidah-kaidah hukum yang menjamin syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia yang harus dilengkapi dengan informasi yang benar, jujur dan bertanggung jawab. Pengaturan masalah perlindungan konsumen memang tidak hanya menjadi perhatian dan tanggung jawab setiap negara saja, melainkan juga telah menjadi perhatian organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 39 atau 248 Tahun 1995 tentang
11
K. Bertens dalam A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta, 1993, him 67. Di dalam Parulian Siagian, Ibid. 12 Keputusan Kepala Badan POM RI, Nomor: HK.00.05.23.0131 tanggal 13 Januari 2003, tentang Penyantumkan Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol, dan Batas Kedaluwarsa Pada Penandaan/Label Obat-obat Tradisional, Suplemen Makanan, dan Pangan. 13 Midian Sirait, Pengaturan tentang Makarurn Kedaluwarsa, Makalah disampaikan oleh Wisnu Katim (Direktur Pengawasan Makanan) pada Seminar Daluarsa Bahan Makanan Olahan, 27 November 1985, hal 16-17.
123
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Guidelines, for Consumer Protection, disebutkan, bahwa hakikat perlindungan konsumen menyiratkan kepentingan-kepentingan konsumen.14 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Adapun kesimpulan dari permasalahan di atas yang dapat penulis paparkan adalah sebagai berikut: 1. Perlindungan
konsumen
adalah
perangkat
yang
diciptakan
untuk
melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Perlindungan konsumen merupakan tanggung jawab semua pihak yaitu pemerintah, pelaku usaha, organisasi konsumen dan konsumen itu sendiri. Tanpa adanya andil dari keempat unsur tersebut, sesuai dengan fungsinya masing-masing, maka tidaklah
mudah
mewujudkan
kesejahteraan
konsumen.
Pemerintah
bertindak sebagai pengayom masyarakat, dan juga sebagai pembina pelaku usaha dalam meningkatkan kemajuan industri dan perekonomian negara. Bentuk
perlindungan
konsumen
yang
diberikan
adalah
dengan
mengeluarkan undang-undang, tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengawasan pada penerapan peraturan, peraturan-peraturan pemerintah, atau Penerbitan Standar Mutu Barang. Perilaku yang adil dan tidak berat sebelah dalam melihat kepentingan konsumen dan produsen diharapkan mampu memberikan perlindungan kepada konsumen. 2. Pada kasus produk makanan Indomie (mie instant) yang dipasarkan diIndonesia oleh produsen PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) terkait masalah perlindungan terhadap konsumen untuk bahan dasar atau zat pengawet yang
digunakan untuk produk pangan dan
standarisasi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 1999
tentang Perlindungan
aturan Tahun
Konsumen. PT Indofood CBP Sukses
Makmur Tbk (ICBP) sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan keamanan produk pangan. Pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. 14
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan lnstrumen-instrumen Hukumnya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 251. 124
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hakhaknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal Dan Makalah Ahmadi Miru. dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kedua, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Eli Wuria Dewi, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Graha Ilmu, 2015. Husin Syawali, Neni Sri Imamyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan I, Penerbit CV. Mandar Majis, 2000. I. S. Susanto, Kejahatan Korporasi (makalah), FH UNDIP, Semarang: 1993, di dalam Parulian Siagian, majalah "Honeste Vivere FH-UKI, volume XVIII September 2004. K. Bertens dalam A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Surat Keputusan Keputusan Kepala Badan POM RI, Nomor: HK.00.05.23.0131 tanggal 13 Januari 2003, tentang Penyantuman Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol, dan Batas Kedaluwarsa Pada Penandaan/Label Obat-obat Tradisional, Suplemen Makanan, dan Pangan. Keputusan Kepala Badan POM No. HK. 00/05.1.2569 tentang Kriteria dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan, tangga1 31 Mei 2004. Midian Sirait, Pengaturan tentang Makarurn Kedaluwarsa, Makalah disampaikan oleh Wisnu Katim (Direktur Pengawasan Makanan) pada Seminar Daluarsa Bahan Makanan Olahan, 27 November 1985. Muhammad Djakfar, Etika Bisnis. Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi, Depok: Penebar Plus Imprint dari Penebar Swadaya, 2012. Sudaryatmo, Hukum & Advokasi Konsumen, Cetakan Kedua, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. 125
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
Yusuf Shofie, Perllndungan Konsumen dan lnstrumen-instrumen Hukumnya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000. Website http://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan konsumen http://siswaspk.kemendag.go.id/artikel/123
126
Jurnal Cahaya Keadilan. Vol 4. No 1 ISSN: 2339-1693
127