TESIS – SF 2342
SINTESIS FGM -Al2O3/Al2TiO5–DISTABILISASI-MgO DENGAN METODE INFILTRASI BERULANG KHUSNUL UMAROH 1107 201 733
DOSEN PEMBIMBING Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D.
PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN MATERIAL JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2009
TESIS – SF 2342
SINTESIS FGM -Al2O3/Al2TiO5-DISTABILISASI-MgO DENGAN METODE INFILTRASI BERULANG KHUSNUL UMAROH 1107 201 733
DOSEN PEMBIMBING Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D.
PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN MATERIAL JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2009
TESIS – SF 2342
SYNTHESIS OF -Al2O3/MgO-STABILIZED-Al2TiO5 FGM BY MULTIPLE INFILTRATION METHOD KHUSNUL UMAROH 1107 201 733
DOSEN PEMBIMBING Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D.
PROGRAM MAGISTER BIDANG KEAHLIAN MATERIAL JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2009
Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains (M.Si.) di Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Oleh: KHUSNUL UMAROH NRP. 1107 201 733
Tanggal Ujian: 13 Juli 2009 Periode Wisuda: Oktober 2009
Disetujui oleh Tim Penguji Tesis:
1. Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D. NIP. 131 879 382
(Pembimbing)
2. Dr. M. Zainuri, M.Si. NIP. 131 879 387
(Penguji I)
3. Drs. Yoyok Cahyono, M.Si. NIP. 131 879 348
(Penguji II)
Direktur Program Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Suparno, MSIE. NIP. 130 532 035
ii
SINTESIS FGM α-Al2O3/Al2TiO5-DISTABILISASI-MgO DENGAN METODE INFILTRASI BERULANG Nama Mahasiswa NRP Pembimbing
: Khusnul Umaroh : 1107201733 : Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D.
ABSTRAK Telah dilakukan sintesis FGM α-Al2O3/Al2TiO5-distabilisasi-MgO (A/AT-MgO) dengan metode infiltrasi berulang, yaitu menggunakan serbuk α-Al2O3 (korundum) sebagai prakeramik dan serbuk MgO sebagai penstabil dengan komposisi berat 0%, 2%, dan 5% serta larutan TiCl 3 sebagai prekursor. Prakeramik dibuat dengan penekanan uniaksial dan prasinter pada suhu 1000 oC selama 1 jam. Infiltrasi prakeramik dilakukan dengan larutan TiCl 3 dengan pengulangan sebanyak tiga kali kemudian disinter pada suhu 1450 oC selama 3 jam untuk membentuk fasa AT dan pemadatan keramik. Kegradualan komposisi fasa dari FGM berdasarkan kedalaman dianalisis secara kualitatif maupun kuantitatif menggunakan metode Rietveld dari data difraksi sinar-x (XRD). Hasil yang bervariasi dari identifikasi fasa dalam sampel pada kedalaman yang berbedapun ditemukan, seperti untuk FGM dengan 0% MgO, pada permukaan, rutile tidak ditemukan, adapun untuk FGM dengan komposisi berat 2% MgO, pada permukaan tidak ditemukan spinel tetapi spinel muncul pada kedalaman tertentu dan untuk FGM dengan 5% MgO, spinel ditemukan pada semua kedalaman dan kandungannnya meningkat berdasarkan kedalaman tersebut. Perhitungan fraksi berat relatif fasa menunjukkan secara umum kandungan AT menurun berdasarkan kedalaman, dan sebaliknya kandungan korundum meningkat. Secara umum dapat disimpulkan infiltrasi berulang dapat meningkatkan kandungan AT, dengan penambahan MgO dapat mengurangi pembentukan AT, dan dengan jumlah MgO yang banyak dapat menghasilkan kandungan spinel yang lebih banyak pula. Kemudian dari uji dekomposisi menunjukkan dengan penambahan MgO pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2 dan 5% membuktikan proses dekomposisi termal dapat direduksi dan dari hasil yang telah diperoleh penambahan 2% MgO lebih efesien dalam mereduksi dekomposisi termal dibandingkan dengan penambahan 5% MgO.
Kata Kunci: FGM, infiltrasi berulang, aluminium titanat, korundum, MgO, difraksi sinar-x, dekomposisi
iii
SYNTHESIS OF α-Al2O3/ MgO-STABILIZED-Al2TiO5 FGM BY MULTIPLE INFILTRATION METHOD By Student Identity Number Supervisor
: Khusnul Umaroh : 1107201733 : Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D.
ABSTRACT Synthesis of α-Al2O3/MgO-Al2TiO5 (A/MgO-AT) functionally-graded composite materials (FGMs) have been done by multiple infiltration method.The synthesis used α-Al2O3 (corundum) powder as the green body, MgO powder as aluminium titanate (Al2TiO5 or AT) stabilizer with weight composition 0% , 2% and 5% and also a solution containing TiCl3 as precursor. The green bodies were made by uniaxial pressing and presintering at temperature of 1000 oC for 1 hour. Green body infiltrations were done three times by the solution, continued with sintering at temperature of 1450 oC for 3 hours to produce AT and densify the ceramics. Phase composition gradual character of the FGMs for their various depths were qualitatively and quantitavely analyzed using X-ray diffraction data, being the latter with Rietveld method. Various results on the phase identification were found at different depths of the samples. For example, for FGM with 0% MgO, there was unreacted rutile at the surface, while for FGM with 2% MgO, spinel was not found at the surface but appeared at the certain depths, and for FGM with 5% MgO, spinel was found at all depths and its content increased with depth. Calculation of phase relative weight fraction showed that in general AT content reduces with depth, but that for corundum increases. In general, it can be concluded that multiple infiltration increased AT at content, the presence of MgO reduced the formation of AT, and more MgO resulted in more spinel. Then, from decomposition test shows MgO addition with weight composition 2 and 5% proves can reduce the thermal decomposition of AT and from the results addition with 2% MgO more efficient than 5% to reduce the thermal decomposition of AT. Keyword: FGM, multiple infiltration, aluminium titanate, corundum, MgO, x-ray diffraction, decomposition
iv
KATA PENGANTAR AlHamdulillahi Robbil „Alamin, Puji syukur kehadlirat Allah SWT atas segala Rahmat, Hidayah, dan Karunia-Nya, Sholawat serta Salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan
Tesis
ini.
Tesis
yang
berjudul
“SINTESIS
FGM
α-
Al2O3/Al2TiO5-DISTABILISASI-MgO DENGAN METODE INFILTRASI BERULANG” ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan akademik guna mencapai gelar magister pada Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Penulis menyadari bahwa terselesainya Tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang paling dalam kepada: 1. Drs. Suminar Pratapa, M.Sc, Ph.D. selaku dosen pembimbing sekaligus Dosen Wali dan juga Ketua program studi Pascasarjana Fisika, yang senantiasa memberikan motivasi, perhatian, wawasan, arahan, dan ilmu pengetahuan, sehingga terselesainya Tesis ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua kebaikan Bapak. 2. Bapak Dr. M. Zainuri, M.Si, dan Drs. Yoyok Cahyono, M.Si, selaku dosen penguji, terimakasih atas saran, kritik, serta masukannya sehingga membawa kesempurnaan Tesis ini. 3. Bapak Drs. Heny Faisal, M.Si., selaku ketua jurusan Fisika FMIPA ITS yang telah banyak memberikan kemudahan sarana kepada penulis selama kuliah sampai terselesainya Tesis ini. 4. Bapak Dirjen Departemen Agama Pusat Jakarta yang telah memberi kepercayaan kepada penulis untuk menerima beasiswa program pascasarjana. 5. Seluruh Staf Pengajar di Jurusan Fisika FMIPA ITS , terimakasih atas didikan, ilmu pengetahuan, dan motivasi yang telah diberikan. 6. Ibunda dan ayahanda tercinta serta saudara-saudaraku tersayang yang memberikan kasih sayang, perhatian, motivasi, dan dukungan moril maupun
v
spiritual, sehingga terselesainya Tesis ini, terima kasih juga untuk M. Maulana R. atas dukungan dan motivasinya yang tiada henti selama ini. 7. Seluruh Staf Laboran Fisika Material FMIPA ITS, khususnya Laboran Keramik dan Laboran XRD Research Center LPPM ITS atas bantuannya dalam penelitian. 8. Bapak Aditianto Ramelan selaku Koordinator Laboratorium Teknik Metalurgi dan Material FTMD ITB, terimakasih atas bantuan penggunaan furnace suhu tinggi. 9. Teman-teman seperjuangan yang tergabung dalam Tim Riset Dana Hibah Penelitian Tim Pascasarjana 2008 dan 2009, terimakasih atas diskusi dan sharing selama ini, 10. Teman-teman S2 depag dan regular yang senantiasa saling memberi motivasi selama menjalani masa-masa sulit dalam studi. 11. Teman-teman diperumdos Blok T-3 Jl. Teknik Kelautan ITS, terimakasih atas dukungan dan bantuannya selama mengerjakan Tesis. Penulis menyadari tidak mampu membalas semua kebaikan tersebut, semoga Allah SWT membalasnya dengan kebaikan yang jauh lebih besar. Semoga Tesis ini dapat memberikan manfaat dan memperluas wacana ilmu pengetahuan serta wawasan kita dalam bidang Fisika pada umumnya dan bidang Fisika Bahan pada khususnya, Amin.
Surabaya, Juli 2009
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL……………………………………………………....
i
LEMBARAN PENGESAHAN……………………………………………
ii
ABSTRAK…………………………………………………………………
iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………..
v
DAFTAR ISI………………………………………………………………
vii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………
ix
DAFTAR TABEL………………………………………………………...
xi
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………
1
1.2 Perumusan Masalah……………………………………………
3
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………...
3
1.4 Batasan Masalah…………………………………………….....
3
1.5 Manfaat Penelitian……………………………………………..
3
1.6 Sistematika Penulisan………………………………………….
4
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA……………………………………………....
5
2.1 Functionally-Graded Materials (FGMs)………………………
5
2.2 Infiltrasi Cairan………………………………………………...
5
2.3 Aluminium Titanat…………………………………………….
7
2.4 Alumina dan Magnesium Oksida……………………………...
9
2.5 Difraksi Sinar-X (XRD)……………………………………....
11
2.6 Analisis Komposisi Fasa……………………………………....
11
2.6.1 Analisis Kualitatif………………………………………..
11
2.6.2 Analisis Kuantitatif………………………………………
12
2.7 Analisis Menggunakan Metode Rietveld……………………...
12
2.8 Fraksi Berat Relatif dan Fraksi Berat Absolut…………………
13
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN…………………………………...
15
3.1 Penyiapan Bahan Uji…………………………………………..
15
3.2 Karakterisasi Bahan Uji……………………………………….
16
vii
3.3 Uji Dekomposisi………………………………………………
16
3.4 Analisis Data Lanjut (Rietveld)……………………………….
17
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………....
19
4.1 Karakterisasi Sifat Fisik…………………………………….....
19
4.2 Karakterisasi Kegradualan Komposisi………………………...
20
4.2.1 Difraksi Sinar-x………………………………………….
20
4.2.2 Hasil Penghalusan Metode Rietveld…………………….
25
4.2.3 Fraksi Berat Fasa………………………………………...
28
4.3 Dekomposisi Termal AT………………………………………
33
4.3.1 Difraksi Sinar-x………………………………………….
33
4.3.2 Fraksi Berat Relatif Fasa………………………………...
37
4.4 Pembahasan…………………………………………………....
41
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………
53
5.1 Kesimpulan…………………………………………………….
53
5.2 Saran…………………………………………………………...
53
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...
55
LAMPIRAN………………………………………………………………..
59
viii
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 3.1 Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4 Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Gambar 4.9
Gambar 4.10
Gambar 4.11
Hal Struktur kristal AT………………………………………… Struktur kristal alumina……………………………………. Struktur kristal MgO………………………………………. Diagram alir penelitian……………………………………. Pola difraksi sinar-x (CuKα =1.5418 Å) dari FGM A/ATMgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 o C........................................................................................... Pola difraksi sinar-x (CuKα =1.5418 Å) dari FGM A/ATMgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 o C........................................................................................... Pola difraksi sinar-x (CuKα =1.5418 Å) dari FGM A/ATMgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 o C........................................................................................... Contoh Pola difraksi permodelan gabungan AT, korundum (A), dan rutile (R).................................................................. Contoh pola hasil akhir dari penghalusan yang diperolehdari program Rietica untuk sampel FGM A/ATMgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,2 mm yang disinter pada suhu 1450 oC.............................. Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO. AT dan A pada kedalaman 0,0-0,5 mm. R pada kedalaman 0,1-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC.......................................... Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO. AT dan A pada kedalaman 0,0-0,5 mm. S pada kedalaman 0,2-0,5 mm. FGM disinter pada suhu1450 oC.......................................... Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO. AT, A, dan S pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC... Pola difraksi sinar-x (CuKα =1.5418 Å) pada permukaan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 oC………………………………………. Pola difraksi sinar-x (CuKα =1.5418 Å) pada permukaan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 oC………………………………………. Pola difraksi sinar-x (CuKα =1.5418 Å) pada permukaan ix
7 9 10 18
21
22
23 26
27
30
31
32
34
35
Gambar 4.12
Gambar 4.13
Gambar 4.14
Gambar 4.15
Gambar 4.16
Gambar 4.17
Gambar 4.18
Gambar 4.19
Gambar 4.20
Gambar A.1 Gambar A.2 Gambar A.3 Gambar E.1
FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 oC………………………………………. Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 oC......... Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 oC......... Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 oC......... Spektra XRD sampel AT hasil serbuk dengan bahan dasar aluminium dan titanium alkoksi yang disinter pada suhu 1100 oC (Stanciu dkk, 2004)................................................. Spektra XRD sampel AT hasil serbuk dengan bahan dasar y aluminium dan titanium alkoksi yang disinter pada suhu 1100 oC (Stanciu dkk, 2004)................................................. Spektra XRD sampel AT hasil serbuk dengan bahan dasar Al(III), Ti(IV), laurylamine (C12H25NH2) dan aqueous klorida yang disinter pada suhu 1100 oC (Stanciu dkk, 2004)..................................................................................... Pola difraksi neutron yang menunjukkan pembentukan korundum dan rutile pada sampel AT yang terdekomposisi isotermal pada suhu 1200 oC selama 22 jam (Low dan Oo, 2008)..................................................................................... Pola difraksi neutron pada pembentukan AT pada suhu 1450 oC. Tiga garis vertikal menunjukkan masing-masing posisi puncak fasa (Low dan Oo, 2008)................................ Pola difraksi sinar-x dari permukaan FGM untuk studi dekomposisi sesudah dianil pada suhu 1050 oC selama 0, 2, 4, dan 6 jam (Pratapa dkk, 1998).......................................... Contoh Pola difraksi pemodelan gabungan AT, korundum (A), dan spinel (S)................................................................. Contoh Pola difraksi pemodelan gabungan AT dengan korundum (A)........................................................................ Contoh Pola difraksi pemodelan gabungan AT, korundum (A), rutile (R), dan spinel (S)................................................ Contoh pemodelan linier pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0 sampai 0,5 mm. FGM disintesis dengan suhu sinter 1450 oC.................
x
36
37
38
40
42
42
43
47
47
49 59 59 60
80
DAFTAR TABEL
TABEL Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel C.1
Tabel C.2
Tabel C.3
Tabel C.4
Tabel C.5
Tabel C.6
Hal Karakteristik fisis alumina…………………………………... Karakteristik fisis MgO……………………………………… Penyusutan diameter FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0, 2, dan 5% MgO. FGM disinter pada suhu 1450 oC selama 3 jam…………………………………………………. Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa AT, korundum, dan rutile dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 oC............................. Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa AT, korundum, dan rutile dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 oC…………………. Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa AT, korundum, dan rutile dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 oC............................. Pemodelan linier kegradualan kandungan AT menurut kedalaman pada FGM A/AT-MgO………………………….. Pemodelan linier kegradualan kandungan AT menurut kedalaman pada FGM A/AT-MgO………………………….. Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC....................................................... Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC....................................................... Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC....................................................... Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/ATMgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,00,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC............................... Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/ATMgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,00,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC............................... Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan
xi
9 10
19
28
29
29 32 40
65
65
66
67
70
Tabel D.1
Tabel D.2
Tabel D.3
Tabel F.1
Tabel F.2
Tabel F.3
Tabel F.4
Tabel F.5
Tabel F.6
Tabel G.1
Tabel G.2
Tabel G.3
Tabel H.1
Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/ATMgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,00,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC............................... Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC..................................... Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC..................................... Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC..................................... Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC................................... Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC................................... Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC................................... Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/ATMgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC............ Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/ATMgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC............ Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/ATMgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC............ Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC...................... Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC...................... Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC...................... Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld dengan software Rietica dengan peak shape pseudo-
xii
73
77
78
79
81
81
82
83
85
88
91
92
93
Tabel H.2
voight pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/ATMgO dengan komposisi berat 0% MgO dan waktu anil 0 jam............................................................................................ Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld dengan software Rietica dengan peak shape pseudovoigt pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/ATMgO dengan komposisi berat 2% MgO dan waktu anil 0 jam............................................................................................
xiii
94
95
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahan keramik banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam perkembangan pembuatan keramik tidak pernah berhenti karena kebutuhankebutuhan spesifik, seperti ketahanan terhadap panas, sifat mekanik yang lebih baik, sifat listrik yang spesifik menjadikan keramik menjadi perhatian dan berkembang. Keramik menarik berbagai kalangan dikarenakan bahan ini mempunyai keunggulan-keunggulan seperti tahan panas, tahan terhadap gesekan, mempunyai stabilitas tinggi, dan mempunyai sifat mekanik yang tinggi (keras, koefisien muai kecil). Di samping mempunyai keunggulan, bahan keramik juga mempunyai keterbatasan, yaitu ketahanan kejutan termal dan mekanik yang rendah sehingga menyebabkan terjadi retakan pada permukaannya (Suasmoro, 2000). Dengan meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka para ilmuwan berusaha menciptakan bahan komposit keramik supaya mempunyai keunggulan dan lebih aplikatif. Salah satunya, berawal pada sekitar tahun 1984 para saintis Jepang untuk pertama kali membuat material komposit keramik bahan ubahan gradual (Functionally-Graded Materials, FGMs). FGMs merupakan material komposit baru yang komposisinya bervariasi dan strukturnya yang gradual yang menghasilkan perubahan pada sifat-sifat material (Niino dalam Canillo, 1995). Salah satu metode yang digunakan dalam mensintesis FGMs adalah metode infiltrasi. Metode infiltrasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas bahan struktur tersebut. Tehnik infiltrasi ini memanfaatkan bahan pra-keramik yang berporus dicelupkan ke dalam larutan yang mengandung prekursor. Kemudian bahan pra-keramik yang mengandung prekursor tersebut disinter pada suhu tinggi agar terbentuk fasa baru (transformasi fasa yaitu reaksi antara bahan pra-keramik dengan prekursor) dan pemadatan bahan komposit. Dengan
1
kegradualan komposisi itu didapatkan sifat fisik yang berubah terhadap kedalaman, misalnya kekerasan dan ketahanan retak (Pratapa dan Low, 1998). Aluminium titanat (Al2TiO5 atau AT) merupakan salah satu material keramik yang mempunyai koefisien ekspansi termal yang rendah, ketahanan kejutan termal yang tinggi dan titik leleh yang tinggi (Thomas dan Steven, 1989), tetapi AT juga mempunyai kelemahan yaitu kekuatan mekaniknya rendah dan stabilitas temperaturnya juga rendah yaitu pada rentang suhu 900–1200 oC AT akan terdekomposisi kembali menjadi bentuk awal yaitu alumina dan rutile (Low, 2008). Untuk mencegah terjadinya dekomposisi tersebut dan menstabilkan AT maka ditambahkan MgO, SiO2 dan ZrO2 (Jayasankar dkk, 2006). Menurut Ishitsuka dkk (1987) substitusi Al oleh Si dan Mg efektif dalam mengontrol dekomposisi termal, tetapi efek substitusi Ti oleh Zr kecil. Penambahan Fe2O3 juga mempertinggi kestabilan termal (Battilana dalam Pratapa, 1997). Sintesis FGMs dengan metode infiltrasi telah dilakukan oleh para peneliti, di antaranya sintesis FGM Al2O3-AT; (AT) tanpa penstabil (Pratapa dan Low, 1996), Al2O3-AT-ZrO2 dengan ZrO2 sebagai penstabil (Pratapa dan Low, 1998; Pratapa dkk., 1998a dan 1998b), Al2O3-AT dengan MgO dan spinel sebagai penstabil (Pratapa dkk., 2001) dan ZrO2-ZrTiO4 (Pratapa, 2005), dengan tehnik infiltrasi tanpa vakum (Marple dan Green, 1993; Low dkk., 1995), FGM spinelMgO dan spinel-A (Gusmahansyah, 2008). Metode infiltrasi yang diaplikasikan untuk sintesis AT tersebut hanya satu kali pencelupan. Akibat infiltrasi tunggal adalah ketajaman gradualitas komposisi dan rendahnya konsentrasi AT dipermukaan (44,5%) (Pratapa,1997), yang akan dicari adalah FGM dengan kegradualan yang landai. Kemudian AT jika dipanaskan pada rentang suhu 9001200 oC akan mengakibatkan AT terdekomposisi kembali menjadi bentuk awal yaitu alumina dan rutile, untuk penstabil ZrO2 efeknya kecil dalam mengontrol dekomposisi termal FGM AT, yaitu ditandai dengan kestabilan FGM dalam rentang temperatur terjadi dekomposisi hanya berlangsung pendek (<6 jam) (Pratapa, 1997), sehingga dari permasalahan tersebut, diusulkan untuk dilakukan penyempurnaan metode sintesis, yaitu dengan infiltrasi berulang dan penggunaan penstabil MgO dalam mengontrol dekomposisi termal FGM AT.
2
Dalam penelitian ini menggunakan korundum (α-Al2O3 atau A) sebagai pra-keramik dan MgO sebagai penstabil serta larutan TiCl3 sebagai infiltran. Untuk mengetahui kegradualan komposisi yang terbentuk, maka FGM ini dikarakterisasi dengan metode difraksi sinar-x (XRD). Selanjutnya untuk mengetahui sifat termal FGM yaitu dengan uji dekomposisi.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian ini adalah: a. Seberapa efektif metode infiltrasi berulang dalam mensintesis FGM A/ATMgO? b. Pada konsentrasi MgO berapa kestabilan FGM A/AT-MgO dapat dicapai?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui keefektifan metode infiltrasi berulang dalam mensintesis FGM A/AT-MgO. 2. Mengetahui konsentrasi MgO yang diperlukan untuk mendapatkan kestabilan FGM A/AT-MgO.
1.4 Batasan Masalah 1. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah korundum sebagai prakeramik dan MgO sebagai penstabil serta larutan TiCl3 sebagai infiltran. 2. Suhu maksimum sinter 1450 oC. 3. Suhu anil untuk studi dekomposisi 1000 oC.
1.5 Manfaat Penelitian Dari penelitian ini memberikan pemahaman tentang teknik infiltrasi berulang dalam mensintesis FGM A/AT-MgO dan juga mengetahui sifat termal serta kegradualan komposisi yang terbentuk dari FGM tersebut sehingga dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
3
1.6 Sistematika Penulisan Dalam penulisan Tesis ini disajikan format beberapa bab. Bab 1 tentang pendahuluan yang memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan masalah, batasan masalah, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Beberapa teori penunjang penelitian dirangkum dalam Bab 2, sedangkan metodologi penelitian ditulis dalam Bab 3. Hasil penelitian dan pembahasannya ditulis dalam Bab 4. Bab 5 kesimpulan dan saran.
4
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA
2.1 Functionally-Graded Material (FGMs) FGMs atau bahan ubahan gradual adalah merupakan material komposit baru yang komposisinya bervariasi dan strukturnya yang gradual yang menghasilkan perubahan pada sifat-sifat material (Niino dalam Canillo, 1995). FGMs dirancang untuk memiliki dua sifat yang berbeda pada kedua permukaan komposit, namun kedua sifat tersebut berubah secara kontinyu dari satu permukan kepermukaan yang lainnya, dengan kata lain konsentrasi dispersoid berubah secara gradual terhadap kedalaman komposit (Hirai dalam Pratapa, 1997). Beberapa FGMs logam-keramik dapat dihasilkan dengan metode infiltrasi serbuk, filtrasi, sinter, teknik difusi dan reaksi dan lain-lain (Pratapa, 1997). Beberapa sistem yang sudah disintesis adalah FGM Al2O3-AT; (AT) tanpa penstabil (Pratapa dan Low, 1996), Al2O3-AT-ZrO2 dengan ZrO2 sebagai penstabil (Pratapa dan Low, 1998; Pratapa dkk., 1998a dan 1998b), Al2O3-AT dengan MgO dan spinel sebagai penstabil (Pratapa dkk., 2001) dan ZrO2-ZrTiO4 (Pratapa, 2005), dengan tehnik infiltrasi tanpa vakum (Marple dan Green, 1993; Low dkk., 1995), FGM spinel-MgO dan spinel-α-Al2O3 (Gusmahansyah, 2008).
2.2 Infiltrasi Cairan Infiltrasi
merupakan
salah
satu
metode
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan kualitas FGMs. Teknik infiltrasi ini memanfaatkan bahan prakeramik yang berporus dicelupkan ke dalam larutan yang mengandung prekursor. Kemudian bahan pra-keramik yang mengandung prekursor tersebut disinter pada suhu tinggi agar terbentuk fasa baru (transformasi fasa yaitu reaksi antara bahan pra-keramik dengan prekursor) dan pemadatan bahan komposit. Dengan kegradualan komposisi itu didapatkan sifat fisik yang berubah terhadap kedalaman, misalnya kekerasan dan ketahanan retak (Pratapa dan Low, 1998). Sintesis FGM AT dengan metode infiltrasi telah dilakukan oleh para peneliti, diantaranya sintesis FGM Al2O3-AT; (AT) tanpa penstabil (Pratapa dan Low,
5
1996), Al2O3-AT-ZrO2 dengan ZrO2 sebagai penstabil (Pratapa dan Low, 1998; Pratapa dkk., 1998a dan 1998b). Low dkk (1996) menggunakan prakeramik alumina berporositas sekitar 49% yang dicelupkan secara total ke dalam larutan tetraethyl ortho-titanate (TEOT) selama 2 jam. Kemudian sampel dikeringkan pada temperatur kamar selama ±24 jam dan disinter pada suhu 1550 oC selama 3 jam. Saat sinter terjadi reaksi antara alumina dan titania membentuk aluminium titanat. Low dkk. Menunjukkan hasil pemetaan distribusi unsur titanium dari komposit AT/Al2O3 secara kualitatif melalui pengukuran intensitas sinar-x, karakteristik dengan menggunakan mikroskop elektron. Pratapa dan Low (1996) memanfaatkan sifat-sifat zirconia-toughened alumina sebagai keramik untuk membuat komposit AT/ZrO2-Al2O3. Seluruh badan prakeramik yang mempunyai porositas sekitar 46% dicelupkan kedalam larutan yang mengandung 30% berat titanium klorida selama 24 jam. Kemudian prakeramik dikeringkan pada temperatur kamar selama 2 jam dan disinter pada suhu 1550oC selama 3 jam. Dari proses ini didapatkan karakteristik kegradualan komposisi unsur-unsur secara kualitatif di mana konsentrasi titanium menurun terhadap kedalam infiltrasi, sedangkan konsentrasi aluminium dan zirkonium hampir tidak mengalami perubahan terhadap kedalam infiltrasi. Penelitian
lebih
lanjut
dilakukan
oleh
Pratapa
(1997)
dengan
menggunakan difraksi sinar-x untuk mengetahui kegradualan komposisi fasa pada komposit AT/ZrO2-Al2O3 terhadap kedalaman bahan yaitu 0,0 hingga 1,5 mm. Fasa yang ada pada material tersebut adalah AT, korundum, zirkonia monoklinik dan zirkonia tetragonal. Dari hasil penelitian didapatkan intensitas AT menurun secara gradual terhadap kedalaman,sebaliknya intensitas korundum semakin meningkat terhadap kedalaman. Adanya perubahan intensitas puncak difraksi terhadap kedalaman menunjukkan bahan tersebut mempunyai kegradualan komposisi dan fasa titania tidak muncul ini dikarenakan titania (rutile) telah bereaksi secara sempurna dengan korundum untuk membentuk aluminium titanat. Pada kasus FGMs, dari hasil penelitian menunjukkan gradasi kandungan prekursor dipermukaan pra-keramik sangat tajam (misal, Pratapa 1997 dan
6
1998a), karena difusi prekursor terjadi secara lambat sehingga prekursor cenderung mengumpul dipermukaan (Pratapa, 2005).
2.3 Aluminium Titanat Aluminium titanat (Al2TiO5 atau AT) atau tialit merupakan material keramik yang koefisien ekspansi termalnya rendah, mempunyai titik leleh tinggi, ketahanan kejutan termalnya tinggi, konduktivitas termal rendah dan tahan rusak (Low, 2008). Karena AT mempunyai koefisien ekspansi termal yang rendah maka dia cocok untuk peralatan yang tahan terhadap kejutan termal (Shobani dkk., 1998). AT juga sebagai isolasi listrik yang baik maka dia cocok untuk komponen penyekat dalam industri otomotif, cetakan cor-coran aluminium (aluminium casting dies) dan material pelindung yang digunakan dalam reaktor fusi nuklir (Low, 1998). AT biasanya dibuat dengan mereaksikan secara sintering melalui reaksi persamaan perbandingan molar dari alumina dan titania (rutile) diatas suhu 1280 o
C (Kato dkk., 1980), dimana jika oksidasi dengan udara menghasilkan: α-Al2O3+TiO2 (rutile)
β-Al2TiO5
(2.1)
Struktur kristal AT adalah tipe pseudobrokite. AT ini mempunyai struktur kristal orthorhombic, dengan space group Cmcm dan parameter kisi: a = 3,591 Å, b = 9,429 Å dan c = 9,636 Å (Zaharescu dkk., 1998).
b a
c
b Po wd erCell 2 .0
a c
Gambar 2.1 Struktur kristal AT
7
Keterangan: = Atom Ti = Atom O = Atom Al Dari gambar 2.1 menunjukkan struktur kristal AT adalah oksigen oktahedral yang didistribusikan di sekitar logam yaitu pada ion Al 3+ dan ion Ti4+. Selain memiliki beberapa keunggulan, AT juga memiliki kelemahan, yaitu berhubungan dengan ketidakstabilan termal pada rentang suhu 900–1200 oC, yang mengakibatkan AT akan terdekomposisi kembali menjadi bentuk awal yaitu korundum dan TiO2 rutile (Kato dkk., 1980). Ketidakstabilan termal ini dapat dikontrol dengan penambahan MgO, SiO2 dan ZrO2 (Jayasankar dkk, 2006). Pengintian mendominasi selama dekomposisi (Kameyama dan Kamaguchi dalam Pratapa, 1997). Menurut Ishitsuka dkk (1987) substitusi Al oleh Si dan Mg efektif dalam mengontrol dekomposisi termal, tetapi efek substitusi Ti oleh Zr kecil. Sedangkan penambahan Fe2O3 juga dapat mempertinggi kestabilan termal (Battilana dkk, 1995). Menurut Ishitsuka, pada sampel yang dianil 240 jam, dekomposisi terjadi pada rentang suhu 900-1200 oC, di bawah suhu 900 oC dan di atas 1200 oC tidak terjadi dekomposisi. Dekomposisi termal dari AT akan terjadi sempurna pada temperatur 1100 oC dengan penambahan 1 sampai 3% SiO2, 5% ZrO2, dan 5% MgO. Penambahan 2% MgO dapat mengubah mekanisme pembentukan AT karena akan terbentuk fase spinel yang diteruskan pertumbuhan solid solution Mg dan menghasilkan pengurangan yang besar dari ukuran butir rata-rata dan densitas material (Buscaglia dkk, 1993). Dari penelitian yang telah dilakukan Pratapa (1997), menunjukkan adanya zirkonia dalam FGM akan memberikan efek yang menguntungkan terhadap dekomposisi termal AT, tetapi efek ini hanya berlangsung pada waktu anil yang pendek (< 6 jam), untuk waktu anil yang lebih lama efek menguntungkan tersebut diperkirakan akan tidak signifikan sebab zirkonia merupakan penstabil yang kurang efektif untuk AT.
8
2.4 Alumina dan Magnesium Oksida Aluminium III Oxide (Al2O3) atau alumina merupakan bahan keramik berbentuk granular yang berwarna putih, sedikit lebih halus daripada garam dapur dan merupakan serbuk yang padat. Jenis alumina tergantung pada metode pembuatannya. Keramik alumina memiliki
kekuatan mekanik yang tinggi,
kekerasannya bagus, tahan korosi dan panas, sehingga dari sifat – sifat tersebut maka aplikasi aluminapun luas, yaitu meliputi keramik elektronik, material yang kekuatannya tinggi dan sebagai katalis (Gocmez, 2008).
Tabel 2.1 Karakteristik fisis Alumina (Web element, 2008) No
Sifat-sifat
Nilai
1
Struktur kristal
HCP
2
Warna
Putih
3
Bentuk
Kristal padat
4
Densitas
4000 Kg.m-3
5
Titik didih
3000 oC
6
Titik leleh
2054 oC
Gambar 2.2 Struktur kristal alumina (Web element, 2008)
Magnesium oksida (MgO) atau magnesia merupakan salah satu jenis bahan keramik yang mempunyai titik lebur yang tinggi yaitu sekitar 3073 K, digunakan pada temperatur refractory yang tinggi, electrical insulation,
9
pembungkus makanan, kosmetik dan hal-hal yang berkenaan dengan bidang farmasi. Magnesium oksida adalah suatu mineral padat putih yang dapat terbentuk secara alami dari magnesium dan oksida, dibentuk oleh suatu ikatan ionik antara satu atom magnesium dan satu atom oksida yang membentuk struktur kristal FCC (Af”idah, 2007), seperti pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Struktur kristal MgO (Web element, 2008) Tabel 2.2 Karakteristik fisis MgO (Web element, 2008) No
Sifat-sifat
Nilai
1
Struktur kristal
FCC
2
Warna
Putih
3
Bentuk
Kristal padat
4
Densitas
3600 Kg.m-3
5
Titik didih
3600 oC
6
Titik leleh
2830 oC
Magnesia banyak digunakan sebagai material konstruksi yang tahan panas dan sebagai wadah atau tempat untuk melebur lapisan logam. MgO merupakan salah satu bahan keramik yang banyak digunakan dalam bahan komposit, yaitu sebagai penguat (filler) yang dapat memperbaiki sifat mekanik dan fisis dari suatu material. MgO bersifat higroskopik secara alami, oleh sebab itu MgO harus
10
diletakkan dalam suatu wadah yang dapat melindunginya dari embun, jika tidak maka akan terbentuk magnesium hidroksida (Mg(OH) 2) yang mengandung air. Untuk mengembalikan magnesium hidroksida menjadi magnesium oksida maka harus dilakukan pemanasan untuk menghilangkan kandungan air didalamnya (Af”idah, 2007).
2.5 Difraksi Sinar-X (XRD) Sinar-x merupakan gelombang elektromagnetik frekuensi tinggi yang dihasilkan dari tumbukan antara elektron yang bergerak cepat dengan atom yang diam. Panjang gelombang sinar-x berkisar antara 0,5-2,5 Ǻ. Sebuah kristal yang terdiri dari deretan atom yang teratur letaknya, masing-masing atom pada kristal dapat menghamburkan gelombang elektromagnetik yang datang padanya. Peristiwa hamburan sinar-x oleh atom-atom pada kristal disebut difraksi sinar-x. Untuk mengidentifikasi fasa-fasa yang ada pada sebuah partikel digunakan model karakterisasi material standar salah satunya adalah difraksi sinar-x ang telah digali oleh peneliti-peneliti sebelumnya, misalnya untuk tujuan analisis komposisi fasa, penentuan ukuran kristal dan penentuan regangan kristal. Untuk tujuan itu, metode Rietveld telah banyak digunakan (Young, 1993). Menurut Pratapa (2004), pengukuran data difraksi menghasilkan keluaran penting yaitu, sudut 2θ dan intensitas pada sudut yang bersesuaian.
2.6 Analisis Komposisi Fasa 2.6.1 Analisis Kualitatif Pola
difraksi
yang
diperoleh
dari
difraktometer
sinar-x
menggambarkan kristalinitas material yang diuji. Dari pola difraksi tersebut dapat diperkirakan ada tidaknya fasa kristal dan/atau fasa amorf. Sedangkan untuk menentukan fasa apa saja yang terdapat pada material disebut identifikasi fasa. Prose identifikasi fasa didasarkan pada pencocokan data posisi-posisi puncak difraksi terukur dengan basis data (database), misalnya dalam bentuk kartu PDF (Powder Diffraction File). Langkah-langkah dalam mengindentifikasi fasa dengan menggunakan software, terdiri dari: Peak search (menemukan posisi puncak) dan Search
11
match (pencocokan terhadap basis data). Search march dapat dilakukan dengan cara manual maupun cara berbasis komputer (Pratapa, 2004).
2.6.2 Analisis Kuantitatif Analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui komposisi dari material yang diuji. Analisis ini dapat dilakukan secara fisika dan kimia. Analisis menggunakan difraksi sinar-x merupakan tehnik yang lebih baik dalam menganalisis campuran kristalin, karena memungkinkan dilakukan identifikasi berbagai komponen pola difraksi yang bersuperposisi. Hal ini disebabkan pada tiap komponen dari campuran menghasilkan pola karakteristik yang tidak saling bergantung satu dengan yang lain. Disamping itu intensitas tiap pola berbanding lurus dengan jumlah yang ada, sehingga analisis kuantitatif untuk berbagai komponen dapat dikembangkan. Analisis secara kimia dapat memberikan informasi tentang komposisi material tetapi mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi dalam membedakan identitas kimiawi dari berbagai fasa dalam sebuah campuran material. Jadi perhitungan yang ada pada analisis fasa material, campuran fasa alloy dari unsur yang sama dengan komposisi berbeda dan jumlah relatif dari polimorf dalam campuran dapat dikerjakan dengan difraksi sinar-x, tetapi sulit bahkan tidak bisa dilakukan dengan metode kimia (Sutrisno, 2006). Dari analisis lanjut tersebut akan menghasilkan tiga karakter utama yang dapat memberikan gambaran tentang kondisi pengukuran dan sifat-sifat kristal yaitu posisi, tinggi serta lebar dan bentuk puncak (Pratapa, 2004).
2.7 Analisis Menggunakan Metode Rietveld Metode Rietveld pertama kali disusun oleh H. M. Rietveld (1967, 1969) dan digunakan untuk mempelajari struktur kristal dari campuran uranium oksida. Metode Rietveld dapat juga digunakan untuk mengamati dan menganalisis data dari pola difraksi polikristalin, terutama ketika terjadi overlap pada pola difraksi. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode kuadrat terkecil yaitu mencocokkan/menghaluskan pola difraksi terhitung (model) dengan pola difraksi
12
terukur. Beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam proses analisis Rietveld adalah (Gusmahansyah, 2008): a. Melakukan identifikasi fasa. Yaitu untuk mengetahui fasa – fasa yang terkandung dalam material. b. Penyusunan format data, yaitu menyusun format data terukur dengan perangkat data yang akan digunakan. c. Membuat model untuk material yang dianalisis, data diambil dari data base sesuai dengan nomor ICSD. d. Melakukan refinement (penghalusan), yang bertujuan untuk mendapatkan kecocokan antara pola difraksi terukur dengan pola difraksi terhitung.
Hasil dari refinement dapat diterima bila telah memenuhi nilai-nilai dari indeks reabilitas (R) yang terdiri dari Figures of merit (FoM) yaitu R-profile(Rp), R-weigted profile (Rwp), R-expected (Rexp) dan Goodness of fit (GoF).
2.8 Fraksi Berat Relatif dan Fraksi Berat Absolut Untuk menghitung komposisi masing-masing fasa dari material, dilakukan dengan memanfaatkan parameter keluaran hasil penghalusan (refinement) dengan metode Rietveld. Metode ‘ZMV’ relatif (Hill dan Howard, 1987) merupakan salah satu metode yang sering digunakan untuk analisis komposisi fasa, dengan persamaan:
Wi
s ( ZMV ) i , s (ZMV ) k i n k 1 k
(2.2)
dengan Wi fraksi berat relatif fasa i (%), s faktor skala Rietveld, Z adalah rumus kimia dalam sel satuan. M adalah berat fasa dan V adalah volume sel satuan.
13
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
14
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Penyiapan Bahan Uji Dalam penelitian ini hal pertama yang dilakukan adalah penyiapan sampel. Untuk FGM A/AT-MgO ini, bahan dasar yang digunakan adalah
serbuk
korundum, serbuk MgO dengan komposisi berat 0%, 2% dan 5%, dan larutan TiCl3 sebagai infiltran. Untuk sintesis sampel FGM ini, serbuk MgO yang dipergunakan merupakan hasil sintesis dengan metode presipitasi. Bahan yang dipergunakan adalah Mg(NO3)3. Langkah-langkah pembuatannya adalah sebagai berikut Mg(NO3)3 dilarutkan dalam 32 mL air bi-destilasi, kemudian larutan tersebut ditambahkan sedikit demi sedikit NH4OH sebanyak 6,5 mL, selanjutnya larutan tersebut disaring dengan kertas penyaring dan dicuci dengan air bi-destilasi sebanyak 3 kali untuk menghilangkan impuritas yang terkandung dalam larutan Mg(NO3)3 tersebut dan akan menghasilkan MgO murni, setelah disaring, endapan yang terbentuk dikeringkan pada suhu sekitar 100 oC untuk menghilangkan kandungan air, yang dilanjutkan dengan kalsinasi pada suhu 600 oC untuk mendapatkan MgO (Afiati, 2009). Selanjutnya dalam pembuatan FGM A/AT-MgO sendiri langkahlangkahnya adalah 25 gram serbuk korundum dicampur dengan serbuk MgO hasil sintesis dengan komposisi berat 0%, 2% dan 5%, kemudian ditambahkan air bidestilasi sebanyak 25 mL dan NH4OH secukupnya lalu dikeringkan dalam oven selama 2 jam pada suhu 70 oC setelah itu digerus dan diayak kemudian dipelet berbentuk silinder dengan diameter 12 mm. Tekanan yang diberikan 37 MPa dan dipra-sinter pada suhu 1000 oC selama 1 jam. Proses selanjutnya sampel diinfiltrasi selama 30 menit, kemudian dikeringkan, setelah dikeringkan sampel diinfiltrasi lagi secara berulang sebanyak tiga kali yang dilanjutkan sinter pada suhu 1450 oC selama 3 jam agar terjadi reaksi prekursor dengan matriknya (transformasi menjadi fasa baru yaitu AT) dan pemadatan komposit.
15
3.2 Karakterisasi Bahan Uji Pengujian Difraksi Sinar-X Pengujian difraksi sinar-x terhadap sampel dilakukan di laboratorium Difraksi Sinar-X RC (Research Center) LPPM ITS Surabaya, dengan spesifikasi alat sebagai berikut: Tipe peralatan Sumber radiasi
Sistem optik
Sampel Data
: Philips X‟Pert MPD (Multi Purpose Diffractometer) System : Anoda-Cu, type PW3373/00 Cu LFF dioperasikan pada 40 kV dan mA Panjang gelombang: CuKα ~ 1,5418 Ǻ (berbobot) : Bragg-Brentano : Programmable Divergensi Slit, panjang iradiasi = 8 mm Incident Beam mask = Inc. Mask Fixed 10 mm Incident Beam soller slit = soller 0,04 rad Receiving slit = soller Fixed 0,1 mm : Sampel tidak dirotasikan : Langkah pengukuran 2θ = 0,02 o Pengukuran 2θ = 10-100 o dan 2θ = 17-45 o
3.3 Uji Dekomposisi Uji dekomposisi bertujuan untuk mengetahui mekanisme dekomposisi dan penstabilan material oleh fasa lain (Pratapa, 1997). Uji ini menggunakan furnace temperatur tinggi yang dilakukan di Laboratorium Fisika Keramik FMIPA ITS. Sedangkan difraksi sinar-x
dilakukan di Laboratorium Difraksi Sinar-X RC
(Research Center) LPPM ITS Surabaya. . Sampel model XRD itu dipilih untuk dianil pada suhu 1000 oC selama 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. Derajat dekomposisi ditentukan dengan menggunakan fraksi berat fasa hasil keluaran dari analisis Rietveld yang besarnya berubah terhadap pertambahan waktu anil.
3.4 Analisis Data Lanjut (Rietveld) Untuk menentukan komposisi fasa dengan menggunakan persamaan (2.2) dan untuk menentukan
fraksi berat absolut menggunakan persamaan (2.3)
dengan memanfaatkan faktor skala s dari hasil pengeluaran Rietica.
16
Kemudian salah satu analisis lanjut untuk mengetahui karakter fisis material secara kuatitatif
berdasarkan data difraksi sinar-x adalah analisis
Rietveld (Rietveld, 1969). Dan program komputer untuk menganalisis data difraksi tersebut dengan software Rietica. Pada penelitian ini, untuk AT dibuat model dari ICSD nomor 27681 (Austin, 1985), korundum dari ICSD nomor 73724 (Maslen, 197), rutile dari ICSD nomor 24780 (Khitrova, 1999) dan spinel dari ICSD nomor 40030 (Sawadah, 1998). Setelah dilakukan pemilihan model, selanjutnya dilakukan pencocokan pola difraksi terukur dengan pola difraksi terhitung dengan cara mengubah/memperhalus (refining) parameter–parameter dalam model terhitung. Analisis ini disebut proses Refinement. Dari proses refinement, akan diperoleh parameter–parameter keluaran (output) yang selanjutnya akan digunakan dalam analisis lanjutan. Parameter–parameter yang direfine adalah dengan Background (Bo, B1, B2, B3, B4, B5), Sample displacement, Phase scale, Lattice parameter, Size, U parameter, Asymetry parameter, Overall thermal, Preferred orientation. Dengan memanfaatkan parameter keluaran Rietica tersebut maka dapat menganalisis komposisi fasa serta perhitungan fraksi berat relatif.
17
Korundum serbuk + MgO serbuk
Pelet
Pra-sinter pada suhu 1000 oC (selama 1 Jam)
Infiltrasi berulang sebanyak 3 kali
Sinter pada suhu 1450 oC (selama 3 jam)
FGM A/AT-MgO
XRD pada permukaan dan berbagai kedalaman
Uji dekomposisi
Kesimpulan
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian
18
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Bab 4 ini berisikan hasil pengukuran data, analisis data dan pembahasan untuk menjelaskan sintesis FGM A/AT-MgO dengan metode infiltrasi berulang. Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan data hasil eksperimen, di antaranya data uji XRD dan uji dekomposisi. Uji XRD dilakukan untuk mengetahui kegradualan komposisi AT, korundum, rutile, dan spinel yang terbentuk pada FGM A/AT-MgO. Selanjutnya uji dekomposisi dilakukan untuk mengetahui mekanisme dekomposisi AT menjadi korundum dan rutile, serta untuk mengetahui penstabilan AT oleh MgO.
4.1 Karakterisasi Sifat Fisik Dalam penelitian ini, karakterisasi pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi
sifat
fisik,
yaitu
penyusutan
diameter.
Sampel
yang
dikarakterisasi adalah FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0, 2, dan 5% MgO yang disinter pada suhu 1450
o
C selama 3 jam. Untuk hasil dari
karakterisasi dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Penyusutan diameter FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0, 2, dan 5% MgO. FGM disinter pada suhu 1450 oC selama 3 jam. No
Komposisi berat
Penyusutan diameter (mm)
MgO (%)
Sebelum
Sesudah
1
0
12,0 (1)
10,5(2)
2
2
12,0(1)
11,1(2)
3
5
12,0(1)
10,7(1)
Pada Tabel 4.1 terlihat adanya penyusutan diameter setelah dilakukan sinter. Untuk FGM dengan 0% MgO sebelum dilakukan sinter, diameternya sebesar 12,0(1) mm, setelah dilakukan sinter diameternya menyusut menjadi
19
10,5(2) mm, sedangkan untuk FGM dengan 2% MgO sebelum dilakukan sinter, diameternya sebesar 12,0(1) mm dan setelah dilakukan sinter ternyata diameternya berubah menjadi 11,1(2) mm. Adapun untuk FGM dengan komposisi berat 5% MgO juga mengalami fenomena yang sama dengan kedua sampel di atas, diameter sebelum sinter sebesar 12,0(1) mm dan setelah sinter menyusut menjadi 10,7(1) mm. Hal tersebut dikarenakan pada saat proses sinter terjadi perpindahan atom yang terdekat yang menyebabkan jumlah titik kontak antar atom semakin bertambah sehingga menimbulkan necking (pembentukan leher). Oleh karena adanya perbedaan energi bebas antara daerah leher dengan permukaan partikel yang memberikan driving force akan menyebabkan transportasi massa (difusi) semakin cepat. Ketika suhu dan waktu semakin meningkat maka akan terjadi pertumbuhan leher yang disebabkan oleh difusi atom-atom pada batas butir dan jarak antar butir akan semakin dekat sehingga ikatan antar butirpun juga semakin kuat. Pengurangan jarak ini menimbulkan penyusutan.
4.2 Karakterisasi Kegradualan Komposisi 4.2.1 Difraksi Sinar-x Difraksi sinar- x digunakan untuk mengetahui kandungan fasa dalam sampel. Kemudian data hasil difraksi sinar-x. pada berbagai variasi kedalaman sampel (0,0-0,5 mm) diukur untuk mengetahui terbentuknya fasa-fasa pada kedalaman tersebut yang komposisinya berubah terhadap kedalaman. Gambar 4.1 menunjukkan pola difraksi sinar-x FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO. Gambar tersebut menyatakan, pada kedalaman 0,0 mm (permukaan) terdapat fasa AT dan korundum dengan puncak intensitas AT lebih tinggi dibandingkan intensitas korundum yang mengindikasikan kandungan AT pada permukaan FGM lebih banyak, intensitas AT tersebut semakin menurun secara gradual sampai kedalaman 0,5 mm, sebaliknya intensitas korundum semakin meningkat seiring kedalaman sampel, ini mengindikasikan FGM memiliki kegradualan komposisi. Rutile tidak muncul pada permukaan FGM yang menandakan bahwa rutile telah bereaksi sempurna dengan korundum membentuk
20
AT. Kemudian pada kedalaman 0,1 mm muncul fasa rutile di sekitar sudut 2θ = 27,4 yang jumlah dan intensitasnya makin meningkat seiring kedalaman sampel.
0,5 mm
Intensitas
0,4 mm
0,3 mm 0,2 mm
#
#
0,1 mm
#
X
X
X
o
X
20
25
X
X
30
o
35
XX
oX X X
40
o
0,0 mm 45
2 Theta
Gambar 4.1 Pola difraksi sinar-x (CuKα =1.5418 Å) dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 oC. Ket: x = AT, o = korundum, dan # = rutile.
Hal tersebut disebabkan oleh rutile dan korundum pada titik-titik tertentu terperangkap tanpa bisa saling bereaksi membentuk AT. Fenomena ini seperti penelitian yang telah dilakukan Pratapa dkk (1998) dengan menggunakan difraksi sinar-x untuk mengetahui kegradualan komposisi fasa pada komposit AT/ZrO2Al2O3 terhadap kedalaman bahan, yaitu 0,0 hingga 1,5 mm. Fasa yang ada pada material tersebut adalah AT, korundum, zirkonia monoklinik dan zirkonia tetragonal, sedangkan fasa rutile tidak ditemukan. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan intensitas AT menurun secara gradual terhadap kedalaman,sebaliknya intensitas korundum semakin meningkat terhadap kedalaman.
21
0,5 mm
Intensitas
0,4 mm
0,3 mm
*
*
*
*
0,2 mm
0,1 mm X X X
o
X
20
25
X
o
X
30
35
o oX
0,0 mm
XX
XX
40
45
2 Theta
Gambar 4.2 Pola difraksi sinar-x (CuKα =1.5418 Å) dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 oC. Ket: x = AT, o = korundum, dan * = spinel.
Gambar 4.2 menunjukkan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO. Gambar tersebut menyatakan intensitas AT menurun secara gradual pada permukaan sampai ke pusat sampel, dan sebaliknya intensitas korundum meningkat terhadap kedalaman. Intensitas AT pada FGM ini lebih rendah dan intensitas korundum lebih tinggi jika dibandingkan dengan FGM dengan 0% MgO. Adanya fenomena ini memberikan pemahaman bahwa dengan penambahan 2% MgO pada FGM maka pada waktu pra-sinter MgO tersebut mengalami pertumbuhan butir yang mengakibatkan porositas FGM semakin kecil sehingga jumlah infiltran TiCl3 yang masuk pada FGM mengalami penurunan dibandingkan pada FGM dengan 0% MgO dan dengan sedikitnya infiltran yang masuk pada FGM maka rutile yang terbentuk pada FGM juga semakin sedikit dan dengan jumlah yang sedikit tersebut maka rutile akan habis bereaksi dengan
22
korundum membentuk AT, sehingga AT yang terbentukpun lebih sedikit dibandingkan pada FGM dengan 0% MgO, sedangkan untuk fasa korundum intensitasnya lebih tinggi dibandingkan pada FGM dengan 0% MgO mengindikasikan dengan sedikitnya jumlah rutile yang terkandung pada FGM akan mengakibatkan semakin sedikit pula jumlah korundum yang dibutuhkan untuk berekasi dengan rutile tersebut untuk membentuk AT, sehingga kandungan korundum yang tersisa masih banyak dibandingkan pada FGM dengan 0% MgO.
0,5 mm
Intensitas
0,4 mm
0,3 mm 0,2 mm
0,1 mm X X X
o
*
20
25
X X
*
* oXX
X
30
o
o
35
XX
40
*
0,0 mm
45
2 Theta
Gambar 4.3 Pola difraksi sinar-x (CuKα =1.5418 Å) dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 oC. Ket: x = AT, o = korundum, dan * = spinel.
Lebih lanjut, rutile tidak ditemukan dalam FGM ini yang menandakan rutile telah habis bereaksi dengan korundum membentuk AT dan spinel tidak ditemukan pada kedalaman 0,0 sampai 0,1 mm yang menandakan terbentuknya solid solution Al2(1-x)MgxTi1+xO5 (Ishitsuka dkk, 1987; Wohlfromm dkk, 1991) dan spinel
23
ternyata ditemukan pada kedalaman 0,2 mm, yaitu sekitar sudut 2θ = 19,0, 31,3, 36,8, dan 44,8, dengan intensitas yang semakin meningkat terhadap kedalaman, peristiwa tersebut menandakan pada kedalaman 0,0 sampai 0,1 mm, solid solution Al2(1-x)MgxTi1+xO5 lebih dulu terbentuk daripada fasa spinel. Gambar 4.3 menunjukkan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO. Pada Gambar tersebut terlihat pada kedalaman 0,0 mm terdapat fasa AT dan korundum dengan intensitas AT lebih rendah dan intensitas korundum lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas AT dan intensitas korundum pada FGM dengan 0% dan 2% MgO, hal ini menandakan pada FGM dengan 5% MgO kandungan fasa AT lebih rendah dan kandungan fasa korundumnya lebih tinggi dibandingkan pada FGM dengan 0% dan 2% MgO, fenomena tersebut dikarenakan dengan penambahan MgO yang lebih banyak yaitu 5% pada FGM maka pada saat pra-sinter porositas FGM semakin mengalami penurunan dibandingkan dengan penambahan 2% MgO yang diakibatkan oleh pertumbuhan butir MgO yang jumlahnya lebih banyak sehingga infiltran TiCl 3 yang masuk pada FGM juga semakin sedikit dan akibatnya rutile yang terbentuk pada FGM mengalami penurunan sehingga AT yang terbentukpun lebih sedikit dibandingkan pada FGM dengan 0% maupun 2% MgO, adapun untuk fasa korundum intensitasnya lebih tinggi dibandingkan pada FGM dengan 0% dan 2% MgO yang menandakan dengan sedikitnya jumlah rutile yang terkandung pada FGM akan mengakibatkan semakin sedikit pula jumlah korundum yang dibutuhkan untuk bereaksi dengan rutile tersebut untuk membentuk AT, sehingga kandungan korundum yang tersisa masih banyak dibandingkan pada FGM dengan 0% dan 2% MgO. Kemudian pada kedalaman selanjutnya intensitas fasa AT semakin menurun sampai kedalaman 0,5 mm dan sebaliknya untuk fasa korundum semakin meningkat seiring kedalaman. Untuk fasa rutile tidak muncul, sedangkan fasa spinel sudah terbentuk pada permukaan FGM dan intensitasnya semakin meningkat sampai kedalaman 0,5 mm. Berdasarkan analisis kualitatif ketiga sampel di atas tersebut, fasa AT ditemukan pada semua kedalaman dan pembentukan fasa AT dibuat dengan mereaksikan secara sintering melalui reaksi persamaan perbandingan molar dari
24
alumina dan titania (rutile) di atas suhu 1280 oC (Kato dkk., 1980), yaitu jika oksidasi dengan udara menghasilkan: α-Al2O3+TiO2 (rutile)
β-Al2TiO5
(4.1)
Pola difraksi dari ketiga sampel terhadap kedalaman mengindikasikan bahwa sampel tersebut merupakan FGM. Studi ini seperti yang telah diamati oleh Marple dan Green (1989) dengan menggabungkan mullite kedalam alumina, FGM Al2O3-AT; (AT) tanpa penstabil (Pratapa dan Low, 1996), Al2O3-AT-ZrO2 dengan ZrO2 sebagai penstabil (Pratapa dan Low, 1998; Pratapa dkk., 1998a dan 1998b), Al2O3-AT dengan MgO dan spinel sebagai penstabil (Pratapa dkk., 2001) dan ZrO2-ZrTiO4
(Pratapa,
2005),
FGM
spinel-MgO
dan
spinel-α-Al2O3
(Gusmahansyah, 2008). Tetapi karakter kegradualan komposisi pada sampel perlu dianalisis lebih lanjut, misalnya dengan menggunakan metode Rietveld seperti yang akan dijelaskan berikut ini.
4.2.2 Hasil Penghalusan Metode Rietveld Setelah melakukan analisis kualitatif langkah selanjutnya melakukan penghalusan menggunakan metode Rietveld dengan software Rietica (Hunter, 1998). Untuk menggunakan metode ini terlebih dahulu dibuat model yang didapatkan dari database kristalografi. Dalam penelitian ini model yang dibuat dari data ICSD yang sesuai dengan bahan yang digunakan untuk sintesis FGM A/AT-MgO, yaitu korundum. Adapun untuk mendapatkan model yang diinginkan maka harus dipilih dari database yang sesuai dengan nomor ICSD sehingga dari hal tersebut dapat menunjukkan kecocokan dan kesesuian antara pola terhitung dengan pola terukur. Pemodelan yang dipilih dalam sampel FGM A/AT-MgO adalah untuk AT dibuat model dari ICSD nomor 27681 (Austin, 1985), korundum dari ICSD nomor 73724 (Maslen, 197), rutile dari ICSD nomor 24780 (Khitrova, 1999) dan spinel dari ICSD nomor 40030 (Sawadah, 1998). Untuk FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO, pola difraksi terhitung yang dipilih dari permodelan tersebut seperti yang ditampilkan pada Gambar 4.4 dan Lampiran A, sedangkan
25
untuk FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2 dan 5% MgO pola difraksi terhitung yang dipilih dari pemodelan tersebut juga ditampilkan pada Lampiran A. Permodelan tersebut akan digunakan sebagai pola difraksi terhitung pada analisis kuantitatif dengan menggunakan metode Rietveld. Data pemodelan yang terpilih dari ICSD ditampilkan pada Lampiran B.
AT#A#R A
70.000 60.000
Counts
50.000
A
AT AT AT
A
40.000 A
30.000 AT
20.000 10.000
AT AT
AT AT
R R
AT
AT
0 20
25
30 2 theta (deg)
35
40
R
45
Gambar 4.4 Contoh Pola difraksi pemodelan gabungan AT, korundum (A), dan rutile (R).
Pada Gambar 4.5 terlihat posisi-posisi puncak sesuai dengan posisi-posisi puncak pada pola difraksi AT, korundum, dan rutile pada Gambar 4.4, begitu variasi intensitas difraksinya, ini menunjukkan pemilihan model bisa diterima. Dalam menganalisis menggunakan metode Rietveld ini, masing-masing sampel dilakukan penghalusan terhadap parameter-parameter dengan urutanurutan, yaitu background, faktor skala, parameter kisi, sample displacement, asymmetry, parameter termal isotropik tiap atom, komposen Gaussian, komponen Lorentzian (HL), dan preferred orientation. Hasil penghalusan parameter-parameter yang menunjukkan kesesuaian antara pola pengukuran dan pola permodelan dimuat dalam Lampiran C. Untuk
26
sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0, 2, maupun 5% MgO proses penghalusan dapat dilakukan pada kedalaman 0,0 sampai 0,5 mm.
AT#A#R 1.400 1.200 1.000
Counts
800 600 400 200 0 -200 20
25
30 2 theta (deg)
35
40
45
Gambar 4.5 Contoh pola hasil akhir dari penghalusan yang diperoleh dari program Rietica untuk sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,2 mm yang disinter pada suhu 1450 oC. Puncak warna merah adalah pola difraksi terhitung, puncak (+++) warna hitam adalah pola difraksi terukur, tiga garis tegak warna biru menunjukkan masing-masing posisi puncak fasa (atas = AT, tengah = korundum, bawah = rutile) dan kurva paling bawah adalah difference plot.
Gambar 4.5 menampilkan contoh pola hasil refinement menggunakan metode Rietveld, untuk FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,2 mm yang disinter pada suhu 1450 oC. Pola difraksi terukur digambarkan dengan tanda (+++) berwarna hitam dan pola difraksi terukur digambarkan dengan puncak berwarna merah. Garis-garis tegak berwarna biru menyatakan posisi seluruh puncak difraksi sampel dan kurva paling bawah adalah plot selisih antara pola difraksi terukur dengan pola difraksi terhitung (difference plot).
27
Dari hasil penghalusan yang telah dilakukan untuk FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0, 2 dan 5% MgO, nilai GoF (kesesuaian antara pola difraksi terhitung dan pola difraksi terukur) besarnya di bawah 4% (Lampiran C). Hasil penghalusan tersebut sesuai dengan yang dinyatakan oleh Kisi (1994), bahwa hasil penghalusan menggunakan metode Rietveld telah memenuhi ketentuan jika nilai GoF kurang dari 4% dan plot selisih antara pola terhitung dengan terukur (Gambar 4.5) tidak berfluktuasi secara signifikan. Dari hasil-hasil tersebut menandakan proses penghalusan selesai dan parameter-parameter keluaran yang dihasilkan dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut. Untuk hasil penghalusan dari semua sampel ditampilkan dalam Lampiran C.
4.2.3 Fraksi Berat Fasa Faktor-faktor yang terlibat dalam perhitungan fraksi berat fasa antara lain: a. Faktor skala Faktor skala merupakan salah satu parameter yang dihaluskan dalam analisis dengan menggunakan metode Rietveld. Faktor skala ini dipergunakan untuk menentukan fraksi berat relatif fasa yang terkandung dalam sampel. Faktor skala dari hasil penghalusan dapat ditampilkan dalam tabel 4.2, 4.3, dan 4.4. b. Faktor Z, M, dan V Faktor Z adalah jumlah rumus kimia dalam sel satuan, M adalah berat fasa dan V adalah volume sel satuan. Nilai faktor-faktor Z, M, V ditampilkan dalam tabel dalam Lampiran D. Tabel 4.2 Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa AT, korundum, dan rutile dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 oC. No
Kedalaman (mm)
1 2 3 4 5 6
0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5
AT 1,198(17) 0,789(2) 0,668(19) 0,505(18) 0,490(19) 0,379(25)
28
Faktor skala (10-4) Korundum 0,557(21) 0,510(34) 2,456(19) 2,398(79) 3,331(1) 2,963(85)
Rutile 0,216(65) 0,803(94) 0,539(15) 1,100(14) 1,709(11)
Tabel 4.3 Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa AT, korundum, dan spinel dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 oC. No 1 2 3 4 5 6
Kedalaman (mm) 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5
AT 1,260(16) 0,677(21) 0,669(42) 0,569(43) 0,302(21) 0,219(16)
Faktor skala (10-4) Korundum 1,457(47) 1,343(68) 2,343(73) 2,735(86) 2,934(95) 2,549(78)
Spinel 0,006(2) 0,022(2) 0,016(9) 0,031(3)
Tabel 4.4 Faktor skala keluaran analisis Rietveld untuk fasa AT, korundum, dan spinel dari FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disintesis dengan sinter pada suhu 1450 oC. No 1 2 3 4 5 6
Kedalaman (mm) 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5
AT 1,068(15) 0,542(19) 0,618(41) 0,297(2) 0,257(14) 0,201(15)
Faktor skala (10-4) Korundum Spinel 1,928(52) 0,086(4) 1,774(7) 0,060(5) 2,457(1) 0,085(5) 2,707(89) 0,097(5) 2,831(91) 0,102(48) 2,687(88) 0,097(5)
Fraksi Berat Relatif Fasa Untuk menentukan fraksi berat relatif dari komposisi fasa yaitu dengan menggunakan persamaan (2.2) dan hasil perhitungan fraksi berat relatif tersebut diuraikan berikut ini. Gambar 4.6 menunjukkan fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM dengan 0% MgO. Kandungan AT pada pada permukaan permukaan sebesar 76,7(15)% dan menurun secara gradual menjadi 28,9(19)% pada 0,2 mm dan 15,9(11)% pada 0,5 mm. Sebaliknya, kandungan korundum meningkat dari 23,4(9)% pada permukaan dan kemudian 69,7(69)% dan 81,2(31)% masing-masing pada kedalaman 0,2 dan 0,3 mm. Adapun kandungan rutile juga meningkat terhadap kedalaman, tetapi
29
pada permukaan FGM, rutile tersebut tidak muncul, kemudian masing-masing pada kedalaman 0,2 dan 0,5 mm kandungan rutile tersebut sebesar 1,5(2)% dan 3,0(2)%. Hasil analisis tersebut menunjukkan jumlah konsentrasi AT pada permukaan FGM lebih besar apabila menggunakan metode infiltrasi berulang, dengan kata lain infiltrasi berulang lebih efektif dalam menghasilkan kandungan AT dibandingkan dengan infiltrasi tunggal seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Pratapa (1997) yang menghasilkan konsentrasi AT dipermukaan FGM lebih
Fraksi berat relatif (%)
rendah, yaitu sekitar 44,5%.
90
AT
80
A
70
R
60 50 40 30 20 10 0 -10
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
Kedalaman (mm)
Gambar 4.6 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO. AT dan A pada kedalaman 0,0-0,5 mm. R pada kedalaman 0,1-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC. Simbol: AT = aluminium titanat, A = korundum dan R = rutile.
Gambar 4.7 menunjukkan fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM dengan 2% MgO dan terlihat kandungan AT menurun seiring kedalaman, dengan besarnya lebih rendah dibandingkan dengan kandungan AT pada FGM dengan 0% MgO, misalnya pada permukaan FGM kandungan AT hanya sebesarnya 57,1(11)% dan pada kedalaman 0,5 mm sebesar 11,3(9)%. Sifat yang sama juga
30
terjadi pada korundum dengan kecenderungan yang berlawanan, yaitu misalnya pada permukaan dan kedalaman 0,5 mm dari FGM masing-masing sebesar 42,9(15)% dan 84,8(35)%. Sedangkan kandungan spinel juga ditemukan dalam FGM dengan besar yang meningkat terhadap kedalaman.
Fraksi berat relatif (%)
100
AT
90
A
80
S
70 60 50 40 30 20 10 0 -10
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
Kedalaman (mm)
Gambar 4.7 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO. AT dan A pada kedalaman 0,0-0,5 mm. S pada kedalaman 0,2-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC. Simbol: AT = aluminium titanat, A = korundum dan S = spinel.
Gambar 4.8 menunjukkan fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM dengan 5% MgO. Pada FGM ini mempunyai fenomena yang mirip dengan FGM dengan 2% MgO, kandungan AT menurun terhadap kedalaman dengan nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan kandungan AT pada FGM dengan 0 dan 2% MgO, yaitu pada permukaan, kandungan AT sebesar 42,2(9)%, dan untuk korundum juga mempunyai sifat yang sama tetapi dengan kecenderungan yang berlawanan. Adapun untuk spinel kandungannya juga meningkat dari kedalaman 0,0 sampai 0,5 mm.
31
90
AT
Fraksi berat relatif (%)
80
A
70
S
60 50 40 30 20 10 0 0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
Kedalaman (mm)
Gambar 4.8 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO. AT, A, dan S pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC. Simbol: AT = aluminium titanat, A = korundum, dan S = spinel.
Tabel 4.5 Pemodelan linier kegradualan kandungan AT menurut kedalaman pada FGM A/AT-MgO. Komposisi berat MgO (%) Gradien Perpotongan
0
2
5
-132,4 72,1
-93,3 53,3
-66,5 38,4
Tanda (-) menunjukkan penurunan konsentrasi AT menurut kedalaman
Kemudian dari hasil pemodelan linier seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.5 terlihat pada FGM dengan 0% MgO mempunyai gradien paling besar dibandingkan pada FGM dengan 2% dan 5% MgO yang berarti FGM dengan 0% MgO tersebut mempunyai kegradualan paling tajam. Adapun untuk FGM dengan 5% MgO mempunyai gradien paling kecil dibandingkan gradien pada FGM dengan 0% dan 2% MgO, yaitu sebesar 66,5 yang menandakan pada FGM dengan 5% MgO telah mengalami kegradualan paling landai dibandingkan dengan FGM dengan 0% dan 2% MgO. Untuk harga korelasi R sampel sebesar 0,8, 0,9 dan 0,9,
32
yaitu masing-masing untuk FGM dengan 0, 2, dan 5% MgO. Grafik pemodelan linier sampel dapat dilihat pada Lampiran E.
4.3 Dekomposisi Termal AT 4.3.1 Difraksi Sinar-x AT merupakan salah satu material komposit yang mempunyai keunggulan juga mempunyai kelemahan, yaitu berhubungan dengan ketidakstabilan termal pada rentang suhu 900–1200 oC, yang mengakibatkan AT akan terdekomposisi kembali menjadi bentuk awal, yaitu korundum dan TiO2 rutile (Kato dkk., 1980). Ketidakstabilan termal ini dapat dikontrol dengan penambahan MgO, SiO2 dan ZrO2 (Jayasankar dkk, 2006). Menurut Ishitsuka dkk (1987) substitusi Al oleh Si dan Mg efektif dalam mengontrol dekomposisi termal, tetapi efek substitusi Ti oleh Zr kecil. Sedangkan penambahan Fe2O3 juga dapat mempertinggi kestabilan termal (Battilana dkk, 1995). Dekomposisi AT pada FGM dapat diketahui dengan XRD. Sedangkan untuk hasil analisis Rietveld uji dekomposisi dapat dilihat pada Lampiran E. Gambar 4.9 menunjukkan pola difraksi sinar-x FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO. Dari Gambar terlihat pada waktu anil 5 jam muncul fasa rutile, dimana intensitasnya meningkat dengan tajam sampai pada waktu anil 20 jam, untuk intensitas korundum juga meningkat seiring waktu anil, dan sebaliknya intensitas AT pada berbagai sudut menurun dengan tajam sampai pada waktu anil 20 jam, bahkan intensitas AT pada berbagai sudut hampir hilang pada waktu anil 20 jam tersebut. Hal ini mengindikasikan AT pada permukaan FGM tanpa penstabil MgO ini sudah mulai terdekomposisi pada waktu anil 5 jam dan derajat dekomposisi termal yang terjadi tinggi. Fenomena seperti ini seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Pratapa dkk (1998) untuk permukaan FGM Al2O3-AT-ZrO2 dengan ZrO2 sebagai penstabil yang dianil pada 1050 oC untuk 0, 2, 4, 6 jam mengalami proses dekomposisi yaitu ditandai dengan perbandingan puncak (AT:alumina) menurun perlahan seiring waktu anil (khususnya antara 0 dan 4 jam), adapun perbandingan puncak (rutile:alumina) meningkat dengan tibatiba seiring waktu anil yang menandakan tingginya derajat dekomposisi termal.
33
20 jam
Intensitas
15 jam
10 jam
#
#
#
#
#
5 jam
X X
X
o
X
20
25
X
X
30
o
35
o
X
X XX
40
X
o
0 jam 45
2 Theta
Gambar 4.9 Pola difraksi sinar-x (CuKα =1.5418 Å) pada permukaan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 oC. Ket: x = AT, o = korundum, dan # = rutile.
Gambar 4.10 menunjukkan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO. Dari Gambar telihat pada waktu anil 5 jam AT pada permukaan FGM juga sudah mulai terdekomposisi pada waktu anil 5 jam, yaitu ditandai dengan munculnya fasa rutile yang intensitasnya meningkat secara perlahan sampai pada waktu anil 20 jam dan intensitas rutile tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas rutile pada FGM dengan 0% MgO, untuk korundum intensitasnya juga meningkat terhadap waktu anil. Sedangkan untuk intensitas AT menurun terhadap waktu anil tapi penurunannya tidak signifikan jika dibandingkan dengan intensitas AT pada FGM dengan 0% MgO. Fenomena ini mengindikasikan dengan penambahan 2% MgO dapat menimbulkan pembentukan solid solution Al2(1x)MgxTi1+xO5
yang berfungsi mereduksi laju dekomposisi AT. Kemudian pada
waktu anil 15 sampai 20 jam muncul fasa spinel yang mengindikasikan solid solution Al2(1-x)MgxTi1+xO5 juga terdekomposisi menjadi korundum, rutile, dan
34
spinel. Studi ini seperti yang pernah dilakukan oleh Buscaglia dkk (1994), penambahan 2% MgO dapat mengubah mekanisme pembentukan AT karena akan terbentuk fase spinel yang diteruskan pertumbuhan solid solution dan dengan munculnya solid solution tersebut dapat mereduksi laju dekomposisi AT.
20 jam
Intensitas
*
*
#
#
#
#
15 jam
10 jam
5 jam
#
X X X X
o
20
25
X
XX
o XX X
X
30
o
o
35
40
0 jam 45
2 Theta
Gambar 4.10 Pola difraksi sinar-x (CuKα =1.5418 Å) pada permukaan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 oC. Keterangan: = AT, o = korundum, # = rutile, dan * = spinel.
Gambar 4.11 menunjukkan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO. Gambar tersebut menjelaskan pada waktu dekomposisi 5 jam AT juga sudah terdekomposisi menjadi rutile dan korundum, dengan intensitas rutile meningkat lebih tajam dan intensitas juga menurun lebih tajam jika dibandingkan dengan FGM dengan 2% MgO, hal ini mengindikasikan dengan penambahan 5% MgO dapat menimbulkan fasa spinel yang berfungsi menghalangi laju
35
dekomposisi AT. Hasil penelitian ini seperti yang telah dilakukan oleh Ishitsuka dkk (1987), dengan menggunakan penstabil SiO2, ZrO2, dan MgO dan waktu anil 1000, 1100, dan 1200 oC, dekomposisi termal dari AT akan terjadi sempurna pada
20 jam
Intensitas
15 jam
10 jam
# X X X
o
*
20
#
# X
25
o
o o
X
*
*
X
30
5 jam
#
35
XX
XX
40
*
0 jam
45
2 Theta
Gambar 4.11 Pola difraksi sinar-x (CuKα =1.5418 Å) pada permukaan FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 oC. Ket: x = AT, o = korundum, # rutile, dan * = spinel.
temperatur 1100 oC dengan penambahan 1 sampai 3% SiO2, 5% ZrO2, dan 5% MgO dan dilaporkan dekomposisi solid solution Al2Ti0,98Zr0,04O5 mempunyai kesamaan dengan AT, yaitu dekomposisi termal yang terjadi masih cukup tinggi. Sebaliknya
dekomposisi
termal
yang
terjadi
pada
solid
solution
Al1,87Si0,100,10TiO5 dan Al1,8Mg0,1Ti1,1O5 mengalami penurunan, hal tersebut berarti substitusi Al oleh Si dan 2Al oleh Mg dan Ti mempunyai efek mengurangi proses dekomposisi.
36
4.3.2 Fraksi Berat Relatif fasa Dalam penelitian ini untuk mengetahui tingkat dekomposisi termal yang terjadi pada FGM A/AT-MgO masing-masing dengan komposisi berat 0, 2, dan 5% MgO yaitu dengan menghitung fraksi berat relatif dari komposisi fasa yang terkandung dalam FGM tersebut, yaitu dengan menggunakan Persamaan (2.2) dan hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Lampiran G. Sedangkan penjelasan tentang hasil perhitungan fraksi berat relatif tersebut diuraikan berikut ini.
90
AT
Fraksi berat relatif (%)
80 70
A
60
R
50 40 30 20 10 0 -10
0
5
10
15
20
Waktu anil (jam)
Gambar 4.12 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 oC. Simbol: AT = aluminium titanat, A = korundum dan R = rutile.
Gambar 4.12 menunjukkan fraksi berat fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO. Gambar tersebut menyatakan kandungan fasa AT menurun dengan drastis mulai waktu anil 5 sampai 20 jam, yang masingmasing besarnya mulai waktu anil 0-15 jam, yaitu: 80,6(30); 80,1(46); 44,5(21); 19,0(13)% dan pada waktu anil 20 jam AT hanya tersisa 4,2(5)%. Sedangkan rutile yang sudah muncul pada waktu anil 5 jam kandungannnya meningkat dengan drastis sampai pada waktu anil 20 jam, kandungan rutile pada waktu anil 5 jam sebesar 0,01(1)%, kemudian dilanjutkan masing-masing pada waktu anil 10 sampai 15 jam kandungannya sebesar 32,2(1) dan 49,0(28)% lalu pada waktu
37
aniling 20 jam kandungannya menjadi sebesar 57,1(1)%. Untuk kandungan korundum juga meningkat terhadap waktu anil, yaitu pada waktu anil 0 jam sebesar 19,4(1)% diteruskan pada waktu anil 5 sampai 15 jam masing-masing sebesar 18,0(12); 23,3(17); 32,0(17)% dan pada waktu anil 20 jam kandungan korundum tersebut sebesar 38,7(2)%. Fenomena ini seperti studi yang telah dilakukan oleh Pratapa dk (1998), kandungan fasa pada permukaan FGM Al2O3AT-ZrO2 dengan ZrO2 sebagai penstabil pada awalnya untuk AT sebesar 44,5%, untuk korundum 44,4%, dan untuk zirkonia sebesar 6,3%, kandungan fasa-fasa tersebut berkurang seiring waktu anil 0, 2, 4, dan 6 jam, yaitu ditandai dengan menurunnya perbandingan puncak (AT:alumina) terhadap waktu anil, sedangkan perbandingan puncak (rutile:alumina) meningkat dengan tiba-tiba terhadap waktu
Fraksi berat relatif (%)
anil.
90
AT
80
A
70
R
60 50 40 30 20 10 0 0
5
10
15
20
Waktu anil (jam)
Gambar 4.13 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 oC. Simbol: AT = aluminium titanat, A = korundum dan R = rutile.
Gambar 4.13 menunjukkan fraksi berat fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO. Gambar tersebut menyatakan kandungan AT pada permukaan FGM menurun secara perlahan mulai waktu anil 0 jam sebesar
38
78,0(5)%, dilanjutkan pada waktu anil 5 sampai 15 jam masing-masing sebesar 76,7(5); 70,5(5), dan 60,1(4)%, kemudian pada waktu anil 20 jam ternyata kandungannya masih tersisa 50,9(2)%. Adapun untuk besar kandungan rutile mengalami kenaikan dengan perlahan dari waktu anil 5 jam (1,5(2)%), lalu masing-masing pada waktu anil 10 sampai 15 jam sebesar 5,2(4) dan 18,7(2)% dan pada waktu anil 20 jam kandungan rutile hanya sebesar 26,9(3)%. Untuk kandungan korundum juga meningkat dari waktu anil 5 jam sampai pada waktu anil 20 jam, misalnya pada waktu anil 0 jam kandungannya sebesar 22,0(21)%, kemudian berubah sebesar 24,3(21)%, yaitu pada waktu anil 10 jam . Kemudian fasa spinel yang muncul mulai pada waktu anil 15 sampai 20 jam, kandungannya juga semakin besar terhadap waktu anil yaitu masing-masing sebesar 0,6(1) dan 0,9(1)%. Fenomena tersebut berbeda dengan fenomena pada FGM dengan 0% MgO, dalam FGM dengan 0% MgO menunjukkan adanya peningkatan kandungan rutile dan penurunan kandungan AT yang signifikan seiring waktu anil, hal tersebut mengindikasikan dengan penambahan 2% MgO dapat mengurangi proses dekomposisi AT menjadi rutile dan korundum, karena pada penambahan 2% MgO akan terbentuk solid solution Al2(1-x)MgxTi1+xO5. Penelitian ini seperti yang telah dilaporkan oleh Byrne dkk (1988), yang menyatakan stabilitas termal AT dengan komposisi yang bervariasi, yaitu dicampur dengan material oksida lain, diantaranya zirkonia, magnesia, silika, dan mullite dan diperoleh hasil material AT yang mengandung silika dan magnesia lebih stabil dalam menghambat proses dekomposisi. Gambar 4.14 menunjukkan fraksi berat fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO. Pada Gambar terlihat kandungan AT pada permukaan FGM menurun terhadap waktu anil, pada waktu anil 0 jam sebesar 54,8(3)% dan kemudian untuk waktu anil 5 sampai 20 jam masing-masing sebesar 41,0(19); 32,6 (23); 31,7(28), dan 25,4(32)%. Sedangkan untuk fasa rutile mengalami peningkatan terhadap waktu anil. Pada waktu anil 5 jam sebesar 3,5(3)% dilanjutkan 10,5(6); 25,9(57); dan 28,2(13)%, yaitu masing-masing pada waktu anil 10 sampai 20 jam. Untuk kandungan fasa korundum juga meningkat terhadap waktu anil, pada waktu anil 0 jam sebesar 34,3(22)% dan akhirnya pada waktu anil 20 jam menjadi 51,7(10)%. Hal tersebut mengindikasikan dengan
39
penambahan 5% MgO dapat menimbulkan fasa spinel yang berfungsi mereduksi laju dekomposisi AT ketika terjadi peristiwa dekomposisi. Penelitian ini seperti yang pernah dilakukan oleh Djambazov dk (1994), dengan penambahan MgO pada AT sebesar 5% dan 15% maka pada sampel dengan 15% MgO mengandung lebih banyak spinel, hal tersebut menandakan semakin besar penambahan MgO maka jumlah spinel yang terbentuk juga semakin meningkat dan spinel yang terbentuk tersebut berfungsi mereduksi laju dekomposisi AT.
70
AT A
Fraksi berat relatif (%)
60
R 50
S
40 30 20 10 0 0
5
10
15
20
Waktu anil (jam)
Gambar 4.14 Fraksi berat relatif fasa-fasa pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil dengan suhu 1000 oC. Simbol: AT = aluminium titanat, A = korundum, R = rutile, dan S = spinel
Tabel 4.6 Pemodelan linier laju dekomposisi AT terhadap waktu anil pada permukaan FGM A/AT-MgO. Komposisi berat MgO (%) Gradien Perpotongan
0
2
5
-4,3 88,9
-1,4 81,4
-1,4 50,72
Tanda (-) menunjukkan penurunan konsentrasi AT terhadap waktu anil
40
Kemudian untuk mengetahui laju dekomposisi AT pada permukaan FGM A/AT-MgO maka dilakukan pemodelan linier seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.6. Tabel tersebut menunjukkan pada FGM dengan 0% MgO mempunyai gradien paling besar dibandingkan pada FGM dengan 2% dan 5% MgO, yaitu sebesar 4,3 yang menandakan laju dekomposisi yang telah terjadi paling cepat dibandingkan kedua sampel lainnya. Kemudian pada FGM dengan 2% dan 5% MgO nilai gradiennnya lebih kecil dibandingkan pada FGM dengan 0% MgO dan nilai gradien kedua sampel tersebut sama, yaitu sebesar 1,4. Hal tersebut menandakan dengan penambahan 2% dan 5% MgO laju dekomposisi AT yang telah terjadi lebih lambat dibandingkan pada FGM dengan 0% MgO yang berarti penambahan 2% dan 5% MgO kedua-duanya sama-sama efektif dalam mereduksi laju dekomposisi AT pada permukaan FGM A/AT-MgO dan karena nilai gradien dari kedua sampel sama maka akan lebih efesien dengan hanya menambahkan 2% MgO dibandingkan dengan 5% MgO.
4.4 Pembahasan Telah dilakukan sintesis FGM A/AT-MgO dengan metode infiltrasi berulang. Untuk FGM tersebut yaitu dengan komposisi berat 0, 2, dan 5% MgO, MgO tersebut berfungsi sebagai penstabil AT. Sebelum dilakukan sintesis FGM telah dilakukan sintesis sampel berupa serbuk AT dengan suhu sinter 1300 oC selama 3 jam, tetapi ternyata dari hasil yang telah diperoleh fasa AT belum terbentuk pada sampel. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Kato dkk (1980) yang melaporkan AT sudah terbentuk pada suhu sinter 1280 oC, bahan dasar yang digunakan adalah Al(OC3H7), dan Ti(OC3H7)4. Kedua bahan dasar tersebut dicampur dan serbuk hasil pencampuran dikeringkan pada 80 oC lalu dipelet dengan diameter 16 mm, dipanaskan 650 oC atau 750 oC selama 1 jam. Proses kristalisasi terjadi pada suhu >700 oC. Puncak anatase muncul pada 700 oC, puncak anatase dan rutile pada 800 oC, dan puncak korundum dan rutile pada 900 oC semua dipanaskan pada 700-900 oC selama 1 jam tetapi AT tidak terdeteksi dan akan terdeteksi pada sampel yang disinter pada suhu 1280 oC. Belum terbentuknya fasa AT tersebut juga tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Stanciu dkk (2004). Stanciu dkk melakukan
41
sintesis serbuk AT dengan metode sol-gel dan kopresipitasi. Pada penelitian ini bahan dasar yang digunakan adalah aluminium dan titanium alkoksi (serbuk a dan serbuk b), Al(III), Ti(IV), laurylamine (C12H25NH2) dan aqueous klorida (serbuk c). Serbuk a disintesis dengan metode sol-gel. Sedangkan untuk serbuk b dicampur secara mekanik dengan perbandingan mol 1:1 dalam etil alkohol lalu dikeringkan
Gambar 4.15 Spektra XRD sampel AT hasil serbuk a yang disinter pada suhu 1100 oC. ( = AT) (Stanciu dkk, 2004).
Gambar 4.16 Spektra XRD sampel AT hasil serbuk b yang disinter pada suhu 1100 oC. ( = AT, = korundum, dan = rutile) (Stanciu dkk, 2004)
dan dianil pada 450 oC selama 2 jam dan serbuk c disintesis dengan metode kopresipitasi kemudian masing-masing serbuk hasil sintesis tersebut dikeringkan
42
dan dianil pada 450 oC selama 2 jam untuk menghilangkan air dan zat-zat organik. Kemudian semua serbuk tersebut dilakukan sinter pada suhu 1100, 1200, dan 1300 oC. Dari hasil XRD (CuKα =1.5418 Å) untuk serbuk a pada suhu 1100 oC mengalami kristalisasi yang sempurna menjadi AT (Gambar 4.15), untuk serbuk b (Gambar 4.16), kandungan AT mengalami pengurangan, sedangkan untuk serbuk c grafik AT lebih tajam dibanding serbuk b (Gambar 4.17). kemudian pada suhu 1300 oC semua serbuk a, b, c mengalami transformasi sempurna menjadi AT.
Gambar 4.17 Spektra XRD sampel AT hasil serbuk c yang disinter pada suhu 1100 oC. ( = AT, = korundum, dan = rutile) (Stanciu dkk, 2004)
Dari hasil sintesis serbuk AT pada suhu 1300 oC yang belum berhasil membentuk AT, maka sintesis dilanjutkan pada suhu yang lebih tinggi yaitu pada suhu 1450 oC dengan sampel yang berupa FGM. Suhu 1450 oC berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Low dan Oo (2008). Setelah dilakukan sintesis FGM A/AT-MgO dengan metode infiltrasi berulang, maka dari hasil karakterisasi fisik terlihat adanya penyusutan diameter setelah dilakukan sinter pada suhu 1450 oC selama 3 jam. Untuk FGM dengan 0% MgO sebelum dilakukan sinter, diameternya sebesar 12,0(1) mm, setelah dilakukan sinter diameternya menyusut menjadi 10,5(2) mm, sedangkan untuk FGM dengan 2% MgO sebelum dilakukan sinter, diameternya sebesar 12,0(1) mm dan setelah dilakukan sinter ternyata diameternya berubah menjadi 11,1(2)
43
mm. Adapun untuk FGM dengan komposisi berat 5% MgO juga mengalami fenomena yang sama dengan kedua sampel di atas, diameter sebelum sinter sebesar 12,0(1) mm dan setelah sinter menyusut menjadi 10,7(1) mm. Proses penyusutan tersebut berhubungan dengan sinter yang telah dilakukan pada sampel. Untuk tahapan-tahapan proses sinter sehingga terjadi necking atau liquid bridge dan mengakibatkan fasa baru dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada tahap awal, terjadi perpindahan atom yang terdekat yang menyebabkan jumlah titik kontak antar permukaan atom semakin bertambah dan menimbulkan necking. Pemberian panas pada sintering sama dengan pemberian energi pada atom yang menyusun bahan tersebut, dan akan menyebabkan terjadinya difusi. Dari proses difusi tersebut akan menyebabkan terjadinya transportasi massa antar partikel penyusun bahan komposit tersebut dan mengakibatkan terbentuknya necking yang berada pada daerah kontak antar partikel. Pada tahap kedua, ukuran necking semakin bertambah luas, sehingga porositas pun menurun. Sedangkan gas yang terjebak akan keluar melalui proses degassing dan jika gas tersebut sudah keluar maka porositas tersebut akan terisi oleh fasa hasil dari transportasi massa. Tahap yang terakhir adalah penyusutan yang diakibatkan oleh pertumbuhan necking yang semakin luas dan necking tersebut menjadi perekat antar partikel dan pada akhirnya akan terbentuk fasa baru yang diinginkan. Kemudian
dari
hasil
karakterisasi
kegradualan
komposisi
FGM
menunjukkan, untuk FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO, berdasarkan hasil analisis data difraksi dibuktikan kandungan fasa AT menurun secara gradual dari kedalaman 0,0 sampai 0,5 mm, namun untuk kandungan korundum meningkat terhadap kedalaman. Adapun untuk rutile tidak muncul pada kedalaman 0,0 mm (permukaan), tetapi ternyata kemudian rutile muncul pada kedalaman 0,1 mm dan besarnya meningkat sampai kedalaman 0,5 mm. Dari hasil analisis tersebut menunjukkan telah terbentuk sifat FGM, yaitu komposisi yang terbentuk mengalami perubahan secara gradual menurut kedalaman berdasarkan perubahan konsentrasi fasa (Hirai, 1996). Hasil ini seperti penelitian yang telah dilakukan Pratapa dkk (1998), bahan dasar yang digunakan adalah serbuk korundum (komposisi berat 90%), larutan TiCl4 (komposisi berat 30%) sebagai infiltran dan m-zirkonia sebagai penstabil AT. Sedangkan langkah-langkah
44
penelitian yang dilakukan adalah serbuk zirkonia dicampur dengan serbuk korundum kemudian dipress dengan tekanan 37 MPa berbentuk silinder, selanjutnya dikalsinasi pada suhu 1000 oC selama 2 jam, pelet tersebut lalu dinfiltrasi dalam TiCl4 selama 24 jam dan disinter pada 1550 oC selama 3 jam. Kemudian dengan menggunakan difraksi sinar-x untuk mengetahui kegradualan komposisi fasa pada komposit AT/ZrO2-Al2O3 terhadap kedalaman bahan, yaitu 0,0 hingga 1,5 mm. Fasa yang ada pada material tersebut adalah AT, korundum, zirkonia monoklinik dan zirkonia tetragonal, sedangkan fasa rutile tidak ditemukan. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan kandungan AT menurun secara gradual terhadap kedalaman,sebaliknya kandungan korundum semakin meningkat terhadap kedalaman. FGM dengan 2% MgO menunjukkan fenomena yang sama dengan FGM dengan 0% MgO, yaitu kandungan AT menurun secara gradual dari permukaan sampel sampai ke pusat sampel, dan kandungan korundum meningkat sampai kedalaman 0,5 mm. Untuk spinel tidak muncul pada kedalaman 0,0 sampai 0,1 mm yang menandakan terbentuknya solid solution Al2(1-x)MgxTi1+xO5, tetapi kemudian spinel ternyata ditemukan pada kedalaman 0,2 mm yang besarnya meningkat terhadap kedalaman. Untuk FGM dengan komposisi berat 5% MgO juga menunjukkan fenomena yang sama dengan FGM dengan 0 dan 2% MgO, yaitu kandungan AT semakin kecil mulai kedalaman 0,0 hingga 0,5 mm dan sebaliknya kandungan korundum meningkat seiring kedalaman. Adapun fasa spinel telah muncul pada permukaan FGM dan kandungannya semakin besar sampai kedalaman 0,5 mm. Dari analisis ketiga sampel di atas menunjukkan ketiga sampel tersebut merupakan FGM dan dari pemodelan linier yang telah dilakukan pada FGM dengan 5% MgO menunjukkan kegradualan yang paling landai dibandingkan pada FGM dengan 0% dan 2% MgO. Terbentuknya solid solution Al2(1-x)MgxTi1+xO5 pada FGM dengan 2% MgO dibuktikan dengan hasil analisis Rietveld yang menunjukkan pelebaran puncak yang terjadi pada FGM tersebut, yaitu terlihat pada nilai U yang telah diperoleh sebesar 0,164, sedangkan pada FGM dengan 0% MgO hanya sebesar 0,049, dan karena pada FGM dengan 2% MgO nilai U lebih besar dibanding pada FGM dengan 0% MgO maka dapat dikatakan pada FGM dengan 2% MgO telah
45
terbentuk solid solution Al2(1-x)MgxTi1+xO5. Hasil tersebut seperti yang dinyatakan oleh Renault dan Brower (1971), pelebaran puncak yang terjadi menandakan terbentuknya solid solution pada sampel. Pelebaran puncak tersebut dikarenakan adanya faulting pada kristal, dimana pada FGM A/AT-MgO faulting tersebut diakibatkan oleh substitusi MgO pada Al dan Ti. Untuk parameter-parameter keluaran dari hasil penghalusan ditampilkan pada Lampiran H. Kemudian dari analisis uji dekomposisi diperoleh hasil untuk FGM dengan 0% MgO yang dianil pada suhu 1000 oC dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam menunjukkan pada waktu anil 5 jam baik dari intensitas maupun perhitungan fraksi berat relatifnya menunjukkan AT pada permukaan FGM sudah mulai terdekomposisi menjadi fasa pembentuk AT yaitu korundum dan rutile, ini dibuktikan dengan munculnya fasa rutile, dimana
kandungannya meningkat
dengan tajam sampai pada waktu anil 20 jam, untuk kandungan korundum juga meningkat seiring waktu anil, dan sebaliknya kandungan AT menurun dengan tajam sampai pada waktu anil 20 jam, bahkan kandungan AT tersebut hampir habis pada waktu anil 20 jam tersebut. Hal ini mengindikasikan FGM tanpa penstabil MgO ini sudah mulai terdekomposisi pada waktu anil 5 jam dan derajat dekomposisi termal yang terjadi tinggi. Studi ini seperti penelitian yang pernah dilakukan oleh Low dan Oo (2008), bahan dasar yang digunakan adalah serbuk korundum (99,9%) dan serbuk rutile (99,5 %) kemudian dicampur dengan perbandingan mol 1:1, lalu diaduk dengan menggunakan mortar. Percampuran serbuk tersebut kemudian dicampur dengan ethanol dengan menggunakan turbula mixer selama 1 jam, selanjutnya adonan dikeringkan dalam oven yang berventilasi pada suhu 100 oC selama 24 jam. Serbuk yang telah kering dipress pada 150 MPa, bentuk silinder dengan panjang 20 mm dan diameter 12 mm, kemudian disinter pada suhu 1600 oC pada furnace yang berventilasi selama 4 jam. Untuk mengetahui dekomposisi fasa dan pembentukan kembali AT yaitu dengan difraksi neutron. Untuk mencapai dekomposisi penuh yang terjadi yaitu dengan dipanaskan pada suhu 1200 oC selama 22 jam dan kemudian sampel dipanaskan lagi pada suhu 1450 oC selama 2 jam untuk mengetahui pembentukan AT lagi. Dan dari difraksi neutron tersebut maka diperoleh hasil, sampel mengalami dekomposisi penuh yaitu dengan dipanaskan pada suhu 1200 oC selama 22 jam
46
Gambar 4.18 Pola difraksi neutron yang menunjukkan pembentukan korundum dan rutile pada sampel AT yang terdekomposisi isotermal pada suhu 1200 oC selama 22 jam (c = korundum, R = rutile) (Low dan Oo, 2008).
Gambar 4.19 Pola difraksi neutron pada pembentukan AT pada suhu 1450 oC. Tiga garis vertikal menunjukkan masing-masing posisi puncak fasa (atas = korundum, tengah = AT, bawah = rutile) (Low dan Oo, 2008).
47
(Gambar 4.18). Kemudian ketika sampel dipanaskan lagi pada suhu 1450 oC selama 2 jam maka fasa pada sampel akan sepenuhnya menjadi AT, dimana dengan menggunakan analisis Rietveld diperoleh hasil Rp = 5,8; GoF = 2,18, kemudian kandungan fasa masing-masing sebesar untuk AT = 98,3%, korundum = 0,6% dan rutile 1,1%, untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 4.19. Kemudian untuk FGM dengan komposisi berat 2% MgO menunjukkan dengan penambahan MgO sebesar 2% mempunyai efek yang menguntungkan dalam upaya menstabilkan dekomposisi termal AT ini dibuktikan dengan penurunan intensitas dan kandungan AT pada permukaan FGM tidak signifikan dibandingkan dengan FGM dengan 0% MgO. Pada FGM dengan 0% MgO kandungan fasa pada waktu anil 20 jam tersisa 4,2 (5)%, sedangkan pada FGM dengan 2% MgO kandungan AT masih tersisa 50,9 (17)%. Hal tersebut dikarenakan keefektifan solid solution Al2(1-x)MgxTix+1O5 yang terbentuk pada FGM dengan komposisi berat 2% MgO untuk mereduksi laju dekomposisi AT. Selanjutnya untuk FGM dengan komposisi berat 5% MgO juga mempunyai fenomena yang sama dengan FGM dengan 2% MgO yaitu penambahan 5% MgO juga mempunyai efek menstabilkan dekomposisi termal AT. Fenomena tersebut juga dapat dijelaskan dari pemodelan linier yang telah diperoleh dimana penambahan 2% dan 5% MgO nilai gradiennya sama, yang berarti keduanya mempunyai efek dapat mengurangi laju dekomposisi AT pada permukaan FGM, tetapi jika ditinjau dari segi kefesienan maka akan lebih efesien dengan hanya menambahkan 2% MgO dibandingkan dengan penambahan 5% MgO. Penelitian sintesis AT dengan menggunakan penstabil ini seperti yang pernah dilakukan oleh Pratapa dkk (1998). Penelitian tersebut menggunakan zirkonia sebagai penstabil dan hasil yang diperoleh ditampilkan pada Gambar 4.20. Gambar 4.20.a menunjukkan hasil XRD dari permukaan FGM dengan penstabil zirkonia yang dianil pada suhu 1050 oC dengan waktu anil 0, 2, 4, dan 6 jam. Pada awalnya pada permukaan FGM tersebut terdapat kandungan AT sebesar 44, 5%, korundum 44,4%, dan 6,3% zirkonia. Kemudian dari Gambar dapat diperhatikan permukaan FGM mengalami dekomposisi menjadi korundum dan rutile yang dibuktikan dengan meningkatnya rutile (101) seiring waktu anil.
48
(a)
(b)
Gambar 4.20 Pola difraksi sinar-x dari permukaan FGM untuk studi dekomposisi sesudah dianil pada suhu 1050 oC selama 0, 2, 4, dan 6 jam. Puncak rutile meningkat (110). Simbol: AT = aluminium titanat, A = korundum, dan Z-m = monoklinik zirkonia (a). Tingkat dekomposisi AT pada FGM AT/A-Zirkonia. Perbandingan puncak yang digunakan yaitu perpaduan intensitas [AT(023)/korundum (024)] dan [rutile (110)/korundum(024)]. Simbol A = korundum dan T = rutile. Tingkat dekomposisi AT pada sampel AT/korundum [ditandai dengan C, Hwang dkk (1994)], yaitu digunakan sebagai pembanding (Pratapa dkk, 1998).
49
Dalam penelitian ini tingkat dekomposisi diketahui dengan menggunakan perbandingan intensitas (AT:korundum) dan (rutile:korundum). Puncak korundum (024), AT (023), dan rutile (110). Kemudian dari gambar 4.20.b menunjukkan hasil dari dekomposisi termal pada FGM yang bervariasi terhadap waktu dan terlihat pada sampel FGM (AT/A) perbandingan puncak (AT:korundum) menurun secara perlahan terhadap waktu anil (khususnya antara 0 dan 4 jam). Adapun perbandingan puncak (rutile:korundum) meningkat seiring waktu anil (FGM (A/R), ini berlawanan dengan perbandingan puncak (rutile:korundum) pada sampel C(T/A) yang meningkat dengan tiba-tiba terhadap anil yang menandakan pada AT murni, derajat dekomposisi termal yang terjadi cukup tinggi. Hasil penelitian Pratapa dkk tersebut menunjukkan adanya zirkonia dalam FGM mempunyai efek yang menguntungkan terhadap dekomposisi termal AT, akan tetapi efek ini diperkirakan hanya pada waktu anil yang pendek (<6 jam). Untuk waktu anil yang lama (di atas 100 jam), efek menguntungkan tersebut diperkirakan tidak akan signifikan, dikarenakan zirkonia merupakan penstabil yang kurang tepat untuk AT (Ishitsuka dkk, 1987; Wolhfromm, 1991). Hal tersebut dikarenakan ketidakmampuan Zr4+ yang relatif besar (jari-jari ion = 0,79Å) untuk mensubstitusi yang lebih kecil Ti 4+ (0,68 Å) atau Al3+ (0,51 Å). Sedangkan MgO dan Fe2O3 tepat sebagai penstabil AT (Battilana, 1995). Kemudian penelitian tentang sintesis AT dengan penstabil MgO, ZrO2, dan SiO2 pernah dilakukan oleh Ishitsuka dkk (1987). Dalam penelitian tersebut bahan dasar yang digunakan MgO dan ZrO2, dimana kedua bahan tersebut dicampur dengan korundum dan rutile dengan perbandingan molar menggunakan penggilingan basah dengan aseton dan plastic ball selama 24 jam, kemudian serbuk dikalsinasi pada suhu 500 oC selama 1 jam, lalu serbuk disintesis dengan solid solution Al2Ti1-xZrxO5 (ATZx) dan Al2(1-x)MgxTi1+xO5 (ATMx). Untuk komposisi berat 20% SiO2 disemprotkan dalam adonan korundum ( komposisi berat 10%) dan rutile kemudian serbuk dikalsinasi pada suhu 1000 oC selama 2 jam, lalu serbuk disintesis dengan solid solution Al6(2-x)/(6-+x)Si6x/(6+x)6x/(6+x)TiO5 (ATSx). Ketiga macam serbuk dipress pada 100 MPa, dipelet dengan diameter 5 mm, dilanjutkan sinter pada suhu 1500 oC selama 12-24 jam di udara. Kemudian sampel dianil pada suhu 900-1300 oC di udara. Dan didapatkan hasil dekomposisi
50
AT terjadi pada rentang suhu 1000-1200 oC. Di bawah 900 oC dan di atas 1300 oC tidak terjadi dekomposisi yaitu sampel yang dianil selama 240 jam. Pada sampel ATZ0.04, ATS0.1 dan ATM0.1 setelah diperlakukan anil pada suhu 1000, 1100 dan 1200 oC ternyata menunjukkan tingkat dekomposisi termal terjadi paling cepat pada suhu 1100 oC dan dekomposisi tersebut sempurna terjadi pada suhu 1100 oC dengan penambahan komposisi berat 1-3% SiO2, 5% ZrO2 dan 5% MgO. Hal tersebut menunjukkan substitusi ion Al oleh Si dan 2Al oleh ion Ti dalam AT efektif dalam mengurangi tingkat dekomposisi termal, tetapi efek substitusi Ti oleh Zr kecil. Substitusi lebih dari 20 mol% Al oleh Mg dan Ti semua dapat mengontrol dekomposisi termal AT. Solid solution MgO dapat memacu stabilitas AT dibandingkan oksida yang lain seperti zirkonia, dikarenakan Mg2+ (jari-jari ion = 0,66 Å) (Bayer, 1971) mensubstitusi Al3+ dengan persamaan reaksi: 2Al3+ = Mg2+ + Ti4+
(4.2)
Substitusi tersebut dapat mengurangi distorsi dari oktahedral oksigen dalam struktur pseudobrookit yang disebabkan oleh perbedaan yang besar jari-jari ion antara Al3+ (0,51 Å) dan Ti4+ (0,68 Å). Dengan demikian dari hasil analisis yang telah dipaparkan di atas membuktikan dengan metode infiltrasi berulang dapat meningkatkan kandungan AT pada FGM A/AT-MgO, kemudian dari hasil karakterisasinya menunjukkan telah terbentuknya salah satu sifat FGM pada sampel. Sedangkan dengan penambahan MgO pada FGM dengan komposisi berat 2 dan 5% membuktikan proses dekomposisi termal dapat direduksi dan dari hasil yang telah diperoleh penambahan 2% MgO ternyata lebih efektif dalam mereduksi dekomposisi termal dibandingkan dengan penambahan 5% MgO.
51
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
52
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Metode infiltrasi berulang dengan menggunakan infiltran TiCl 3 dapat meningkatkan kandungan AT pada FGM A/AT-MgO, yang dibuktikan dari hasil analisis data difraksi dan dari hasil karakterisasi kegradualan komposisi yang telah dilakukan membuktikan pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0, 2, dan 5% MgO, semuanya telah mengalami kegradualan komposisi yang merupakan salah satu sifat dari FGM dan dari ketiga sampel tersebut yang mengalami kegradualan paling landai adalah pada FGM dengan 5% MgO. 2. Penambahan MgO pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% dan 5% membuktikan proses dekomposisi termal dapat direduksi dan dari hasil yang telah diperoleh penambahan 2% dan 5% MgO tersebut ternyata samasama efektif dalam mereduksi dekomposisi termal AT pada permukaan FGM, oleh karena itu akan lebih efesien dengan hanya menambahkan 2% MgO dibandingkan dengan 5% MgO.
5.2 Saran Sintesis FGM A/AT-MgO ini sepenuhnya belum sempurna, Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk dilakukan uji SEM dan EDX, serta uji kekerasan untuk lebih mengetahui karakter dari FGM tersebut, kemudian disarankan juga untuk memperpanjang waktu anil pada FGM dengan komposisi berat 2, dan 5% MgO, yaitu untuk mengetahui waktu anil yang dibutuhkan sehingga AT pada permukaan FGM akan terdekomposisi sempurna membentuk korundum dan rutile, serta mengetahui bagaimana AT terbentuk kembali (recovery).
53
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
54
DAFTAR PUSTAKA Afiati, Z. (2009), “Karakterisasi Difraksi Sinar-x Nano-brucite dan Nano-periclase Hasil Kopresipitasi dengan Perilaku Pemanasan dan Penggilingan”, Tesis, Jurusan Fisika FMIPA ITS, Surabaya. Af”idah, N. (2007), “Penggunaan Al2O3, MgO dan MgAl2O4 Nanokristalin dalam Meningkatkan Kinerja Material Komposit Bermatrik aluminium”, Tugas Akhir, Jurusan Fisika FMIPA ITS, Surabaya. Battilana, G., Buscaglia, V., Nanni P. dan Aliprandi, G. (1995), “Effect of MgO and Fe2O3 on Thermal Stability of Al2TiO5. In High Performance Materials n Engine Technology (ed. Vincenzini, P.), hal 147-154 (Dikutib dari Tesis oleh Pratapa (1997)). Bayer, G. (1971), “Thermal Expansion Characteristics and Stability of Pseudobrookite-type Compounds, Me3O5”, J. Less-Common Metal, vol 24, hal 129-138 (Dikutib dari Jurnal oleh Wohlfromm dkk (1991)). Buessem, W.R., Thielke, N.R. dan Sarakauskas, R.V. (1952), “Thermal Expansion Hysteresis of Aluminium Titanate”, Ceramic Age 60, hal 38. Buscaglia, V., Nanni P., Battilana, G., Aliprandi, G. dan Carry, C. (1994), “Reaction Sintering of Aluminium Titanate: II- Effect of Different Alumina Powders”, Journal of the European Ceramic Society”, vol 13, hal 419-426. Byrne, W.P., Morrel, R. dan Lawson, J. (1988), Science of Ceramics, vol 14, hal 775 (Dikutib dari Jurnal oleh Thomas, H.A. dan Stevens, R. (1989)). Cullity, B.D. (1978), “Element of x-ray diffraction”, 2nd edn. Addison-Wesley, publishing Company, Inc, Notre Dame. Djambazov, S., Lepkova, D. dan Ivanov, I. (1994), “A Study of the Stabilization of Aluminum Titanate”, Jurnal of Material Science, vol 29, hal 25212525.
55
Gocmez, H., Ozcan, O. (2008), “Low temperature synthesis of nanocrystalline αAl2O3 by a tartaric acid gel method”, Material Science and Engineering, vol 475, hal 20-22. Gusmahansyah, R. (2008), “Sintesis Bahan Ubahan Gradual Spinel-MgO dan Spinel–α–Al2O3 dengan Metode Infiltrasi” ,Tesis, Jurusan Fisika FMIPA ITS, Surabaya. Hirai T. (1996), “Functionally Gradient Materials, VCH Verlagsgesellschafft mbH, Weinheim, 259-341 (Dikutib dari Tesis oleh Pratapa (1997)) . Ishitsuka, M., Sato, T., Endo, T. dan Shimada, M. (1987), “Syntesis and Thermal Stability of Aluminium Titanate Solid Solutions”, J. Am. Ceramic Soc, vol 2, hal 69-71. Jayasankar, M., Ananthakumar, S., Mukundan, P. dan Warrier, K.G.K. (2007), “Low temperature synthesis of aluminium titanate by an aqueous solgel route”, Materials Letters, vol 61, hal 790-793. Kameyama, T. dan Yamaguci, T. (1976). Yogyo kyoaishi 84, 589. (Dikutib dari Paper oleh Thomas dan Stevens (1989)). Kato, E., Daimon, K. dan Takahashi, J. (1980), “Decomposition Temperatur of Al2TiO5”, Journal of the American Ceramic Society”, vol 63, hal 355356. Koizumi, M., Niino, M. (1995), “Overview of FGM”, MRS Bulletin, vol 1, hal 19-21. (Dikutib dari paper oleh Canillo (2006)). Low, I.M. dan Oo, Z. (2008), “Reformation of phase composition in decomposed aluminium titanate”, Materials Chemistry and physics, vol 111, hal 912. Marple, B.R. dan Green, D. J. (1989), “Mullite/Alumina Particulate Composites by Infiltration Processing, J. Am. Cera Soc., 72 [11], 2043-4643. Nicola, V. Y. S. dan Madsen I. C. (2001), “On-line X-ray diffraction for quantitative phase analysis: Application in the Portland cement industry”, An International Journal of Materials Characterization, vol 16, hal 71-80.
56
Ohya, Y. dan Nakagama, Z. (1987), “Grain-Boundary Microcracking Due to Thermal Expansion Anisotropy in Aluminum Titanate Ceramics”, J. Am. Ceramic. Soc., vol 70 [8], hal C-184-C-186. Pratapa, S. (1997), “Syntesis and character of a functionally-graded aluminium titanate/ziconia alumina composite”, Thesis, Curtin University of technology, Australia Pratapa, S., Low, I.M. dan O‟Connor, B.H. (1998), “Infiltration-Processed, Functionally
Graded
Aluminium
Titanate/Zirkoniai-Alumina
composite”, Jurnal of Material Science, vol 33, hal 3037-3045. Pratapa, S. (2005), “Bahan Kuliah Difraksi sinar-x”, Jurusan FMIPA ITS, Surabaya. Renault, J. dan Brower, E. (1971), “X-Ray Line Broadening in the Barium Sulfate-Strontium Sulfate Series I”, The American Mineralogist, vol 56, hal 1481-1485. Rietveld, H.M. (1967), “Line Profiles of Neutron Powder Diffraction Peacks for Structure Refinement”, Acta Cryst, vol 22, hal 151-152. Shobani, M., Rezaie, H.R. dan Naghizadeh, R. (2008), “Sol-gel syntesis of aluminium titanate (Al2TiO5) nano-particles”, Journal of materials processing technology, vol.206, hal 282-28 Stanciu, L., Groza, J.R., Stoica L. dan Plactianu, C. (2004), “Influence of Powder Precursors on Reaction Sintering of Al2TiO5“, Scripta Materialia, vol 50, hal 1259-1262. Suasmoro, (2000), “Fisika Keramik”, Jurusan FMIPA ITS, Surabaya. Sutrisno, (2006), “Analisis Kuantitatif Untuk Campuran Corundum dan Periclas dengan efek Mikroabsorpsi”, Tesis, Jurusan Fisika FMIPA ITS Surabaya. Thomas, H.A., dan Stevens, R. (1989), “Aluminium Titanate-A Literature Review Part 1: Microcracking Phenomena”, Ceram. Trans J, vol 88, hal 144151. Young, R.A. (1993), “Introduction to the rietveld method” in the Rietveld method , ed. Young, R.A., Oxford University Press, Oxford, hal 1-38.
57
Zabicky, J., Kimmel, G., Yaaran, J. dan Zevin, L. (1995), “Thermal anisotropy of tialite (Al2TiO5) by powder XRD”, NanoStructured Materials, vol 6, hal 675-678. Zaharaescu, M., Crisan, M., Preda, M., Fruth, V. dan Preda, V. (2003), “Al 2TiO5– Based ceramic obtained by hydrothermal process”, Journal of optoelectronics and advanced materials, vol 5, hal 1411-1416. Web element (2000), Aluminium (III) Oxide. Wohlfromm, H., Epicier, T., Moya, J.S., Pena, P. dan Thomas, G. (1991), “Microstructural Characterization of Aluminium
Titanate-based
Composite Materials”, Journal of the European Ceramic Society”, vol 7, hal 385-396.
58
LAMPIRAN A
AT#A#S S
160.000 140.000 120.000 Counts
100.000 S
80.000 AT
S
60.000
AT AT
40.000
A
AT
A
20.000
A A AT AT
AT AT
0 18
20
22
24
26
28
30 32 34 2 theta (deg)
36
38
40
42
44
Gambar A.1. Contoh pola difraksi pemodelan gabungan AT, korundum (A), dan spinel (S).
AT#A AT
45.000 AT
40.000
AT
35.000 Counts
30.000 A
25.000
A
AT
20.000
A
15.000
A
10.000
AT AT
AT AT
5.000 AT
0 20
25
30 2 theta (deg)
35
40
45
Gambar A.2. Contoh pola difraksi pemodelan gabungan AT dengan korundum (A).
59
AT#A#R#S S
160.000 140.000 120.000 Counts
100.000 S
80.000 AT
60.000
S
AT
AT
40.000 20.000
A
AT
A
A
R
A ATAT
AT AT
38
42
0 18
20
22
24
26
28
30 32 34 2 theta (deg)
36
40
44
Gambar A.3. Contoh pola difraksi pemodelan gabungan AT, korundum (A), rutile (R), dan spinel (S).
60
LAMPIRAN B Data ICSD untuk AT
COL ICSD Collection Code 27681 DATE Recorded Jan 1, 1980; updated May 21, 1985 NAME Dialuminium titanium oxide FORM Al2 Ti O5 = Al2 O5 Ti TITL The crystal structure of aluminium titanate. REF Acta Crystallographica (1,1948-23,1967) ACCRA 6 (1953) 812-813 AUT Austin A E, SchwartzÿCÿM CELL a=3.557(2) b=9.436(5) c=9.648(5) à=90.0 á=90.0 ç=90.0 V=323.8 D=3.67 Z=4 SGR Cmcm (63) - orthorhombic CLAS mmm (Hermann-Mauguin) - D2h (Schoenflies) PRS oC32 ANX AB2X5 PARM Atom__No OxStat Wyck -----X----- -----Y----- -----Z----- -SOFTi 1 4.000 4c 0. 0.190(3) 1/4 Al 1 3.000 8f 0. 0.145(3) 0.560(3) O 1 -2.000 4c 0. 0.760(3) 1/4 O 2 -2.000 8f 0. 0.040(3) 0.120(3) O 3 -2.000 8f 0. 0.320(3) 0.090(3) WYCK f3 c2 TEST Calculated density unusual but tolerable. (Code 23) TEST No R value given in the paper. (Code 51) TEST At least one temperature factor missing in the paper. (Code 53)
61
Data ICSD untuk korundum
COL ICSD Collection Code 73724 DATE Recorded Jan 10, 1995; updated Nov 10, 1997 NAME Aluminium oxide - alpha MINR Corundum FORM Al2 O3 = Al2 O3 TITL Synchrotron X-ray study of the electron density in alpha-Al2O3 REF Acta Crystallographica B (39,1983-) ASBSD 49 (1993) 973-980 AUT Maslen E N, StreltsovÿVÿA, StreltsovaÿNÿR, IshizawaÿN, SatowÿY CELL a=4.754(1) b=4.754(1) c=12.982(1) à=90.0 á=90.0 ç=120.0 V=254.1 Z=6 SGR R -3 c H (167) - trigonal CLAS -3m (Hermann-Mauguin) - D3d (Schoenflies) PRS hR30 ANX A2X3 PARM Atom__No OxStat Wyck -----X----- -----Y----- -----Z----- -SOFAl 1 3.000 12c 0. 0. 0.35223(4) O 1 -2.000 18e 0.69378(17) 0. 1/4 WYCK e cÿ TF Atom U(1,1) U(2,2) U(3,3) U(1,2) U(1,3) U(2,3) Al 1 0.0021 0.0021 0.0025 0.0010 0.0000 0.0000 (1) (1) (2) (1) O 1 0.0025 0.0026 0.0028 0.0013 0.0003 0.0006 (2) (3) (3) (1) (1) (2) REM DEN (accurate electron density determination) REM SNS (synchroton radiation, single crystal) REM M PDF 43-1484 RVAL 0.024
62
Data ICSD untuk rutile
COL ICSD Collection Code 200391 DATE Recorded Jan 1, 1980; updated Jan 19, 1999 NAME Titanium oxide MINR Rutile - synthetic MINR Rutile group FORM Ti O2 = O2 Ti TITL An electron-diffraction investigation of titanium dioxide in thin films REF Kristallografiya KRISA 22 (1977) 1253-1258 AUT Khitrova V I, BunduleÿMÿF, PinskerÿZÿG CELL a=4.590 b=4.590 c=2.960 à=90.0 á=90.0 ç=90.0 V=62.4 D=4.26 Z=2 SGR P 42/m n m (136) - tetragonal CLAS 4/mmm (Hermann-Mauguin) - D4h (Schoenflies) PRS tP6 ANX AX2 PARM Atom__No OxStat Wyck -----X----- -----Y----- -----Z----- -SOFTi 1 4.000 2a 0. 0. 0. O 1 -2.000 4f 0.327(4) 0.327(4) 0. WYCK f a ITF Ti 1 B=0.38 ITF O 1 B=0.98 REM EDS (electron diffraction from a single crystal) REM M PDF 16-934 RVAL 0.146
63
Data ICSD untuk spinel
COL ICSD Collection Code 40030 DATE Recorded Jun, 26, 1998 NAME Magnesium dialuminium oxide MINR Spinel – from Myanmar, Burma FORM Mg Al2 O4 = Al2 Mg O4 FORM Mg (All. 993 Cr0.007) 04 TITL An electron density residual study of magnesium aluminium oxide spinel REF Materials Research Bulletin MRBUA 30 (1995) 341-345 Isue 3 AUT Sawada H CELL a=8.089 (0) b=8.089 (0) c=8.089 ( 0) à=90.0 á=90.0 ç=90.0 V=529.2 D=3.50 Z=8 SGR F d -3 m z (227) - cubic CLAS m-3m (Hermann-Mauguin) - Oh (Schoenflies) PRS cF56 ANX AB2X4 PARM Atom__No OxStat Wyck -----X----- -----Y----- -------Z----- -SOFMg 1 2.000 8a 1/8 1/8 1/8 AL 1 3.000 16d 1/2 1/2 ½ O 1 -2 .000 32e 0.26322 (3) 0.26322 (3) 0.26322 (3) WYCK e d a ITF Mg 1 B=0.349 (1) ITF AL 1 B=0.306 (1) ITF O 1 B=0.418 (1) REM TEM 297 REM M PDF 21-1151, cp. 79000 RVAL 0.013 TEST Calculated density unusual but tolerable. (Code 23)
64
LAMPIRAN C Keluaran Penghalusan Rietveld Difraksi Sinar-x untuk Uji XRD terhadap Kedalaman
Tabel C.1. Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC. No
Fasa
1
AT, korundum AT, korundum, rutile AT, korundum, rutile AT, korundum, rutile AT, korundum, rutile AT, korundum, rutile
2 3 4 5 6
Kedalaman (mm) 0,0
Rp (%)
Rwp (%)
Rexp (%)
22,09
29,63
14,85
GoF (%) 3,98
0,1
14,38
20,65
14,33
2,07
0,2
16,88
22,60
13,61
2,76
0,3
18,58
25,52
13,58
3,53
0,4
18,13
13,07
3,53
0,5
17,26
12,77
3,56
24,53 24,08
Tabel C.2. Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC. No
Fasa
1 2
AT, korundum AT, korundum AT, korundum, spinel AT, korundum, spinel AT, korundum, spinel AT, korundum, spinel
3 4 5 6
Kedalaman (mm) 0,0 0,1
Rp (%)
Rwp (%)
Rexp (%)
18,71 17,39
25,38 24,35
14,57 14,18
GoF (%) 3,04 2,95
0,2
14,29
21,26
13,04
2,66
0,3
16,92
23,83
12,83
3,45
0,4
16,64
24,33
12,50
3,79
0,5
15,22
23,19
13,15
3,11
65
Tabel C.3. Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC. No 1 2 3 4 5 6
Fasa AT, korundum, spinel AT, korundum, spinel AT, korundum, spinel AT, korundum, spinel AT, korundum, spinel AT, korundum, spinel
Kedalaman (mm)
Rp (%)
Rwp (%)
Rexp (%)
GoF (%)
0,0
18,31
24,71
14,05
3,09
0,1
17,26
24,24
13,84
3,07
0,2
18,40
25,28
12,70
3,96
0,3
16,36
24,23
12,55
3,72
0,4
15,84
24,28
12,47
3,78
0,5
17,40
24,63
12,61
3,82
66
Tabel C.4. Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC. Kedalaman 0,0 mm AT Korundum Value Value 1.54563(8) 1.54563(8) 0.138782(6) 0.138782(6) 0.00209506(1) 0.00209506(1) -0.0000269268(8) -0.0000269268(8)
Parameter Background
B0 B1 B2 B3
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
a b c
Lorenziant component Asymetry % Molar % wt
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
B0 B1 B2 B3
0.04360(1)
0.04360(1)
0.000119780(1) 3.589700(3) 9.431661(7) 9.644275(7)
0.0000557209(2) 4.758546(2) 4.758546(2) 12.991725(1)
0.032644(8)
0.039714(4)
0.01280(6) 64.8(14) 76.6(15)
-0.00351(9) 35.3(14) 23.4(9)
Kedalaman 0,1 mm AT Korundum Rutile Value Value Value -28.7(74) -28.7(74) -28.7(74) 3.39579(9) 3.39579(9) 3.39579(9) -0.105247(2) -0.105247(2) -0.105247(2) 0.00108890(3) 0.00108890(3) 0.00108890(3) 0.06453(3)
0.06453(3)
0.06453(3)
0.0000789389(2) 0.0000510017(3) 0.0000215589(6) a b c
3.586140(1) 9.420644(3) 9.641818(3)
4.756753(1) 4.756753(1) 12.978632(4)
4.577081(5) 4.577081(5) 2.950034(5)
0.041765(1)
0.031000(3)
0.089169(7)
0.01396(1) 56.1(23) 69.7(25)
-0.02048(1) 42.5(32) 29.6(21)
0.05000(0) 1.5(4) 0.8(2)
67
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale faktor Parameter Kisi
B0 B1 B2 B3
a b c
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
B0 B1 B2 B3
a b c
AT Value -7.1(89) 1.10016(9) -0.0297409(3) 0.000303007(4)
Kedalaman 0,2 mm Korundum Rutile Value Value -7.1(89) -7.1(89) 1.10016(9) 1.10016(9) -0.0297409(3) -0.0297409(3) 0.000303007(4) 0.000303007(4)
0.03065(2)
0.03065(2)
0.03065(2)
0.0000668030(2)
0.000245614(2)
0.0000803038(9)
3.582708(8) 9.414768(2) 9.636527(2)
4.754106(7) 4.754106(2) 12.977239(2)
4.578140(5) 4.578140(5) 2.955736 2)
0.044056(3)
0.041962
0.109404(4)
-0.00136(6) 18.4(13) 28.9(19)
-0.04290(9) 79.5(83) 69.7(69)
0.03978(5) 2.1(3) 1.5(2)
AT Value -2.1(97) 0.5(10) -0.766067(8) 0.475276(9)
Kedalaman 0,3 mm Korundum Value -2.1(97) 0.5(10) -0.766067(8) 0.475276(9)
Rutile Value -2.1(97) 0.5(10) -0.766067(8) 0.475276(9)
-0.27030(2)
-0.27030(2)
-0.27030(2)
0.0000505181(2) 3.593714(1) 9.448073(2) 9.662998(2)
0.000239832(8) 4.764229(9) 4.764229(9) 13.007213(3)
0.0000539405(2) 4.591938(5) 4.591938(5) 2.964253(3)
0.067121(5)
0.047873(2)
-0.012918(4)
0.08517(9) 15.0(7) 24.1(11)
0.10126(1) 83.4(37) 74.9(32)
0.12657(5) 1.5(4) 1.1(3)
68
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
B0 B1 B2 B3
a b c
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
B0 B1 B2 B3
a b c
Kedalaman 0,4 mm AT Korundum Rutile Value Value Value -10.3(99) -10.3(99) -10.3(99) 1.5(11) 1.5(11) 1.5(11) -0.0435304(5) -0.0435304(5) -0.0435304(5) 0.000481389(4) 0.000481389(4) 0.000481389(4) 0.13155(6)
0.13155(6)
0.13155(6)
0.0000490359(2)
0.000333095(1)
0.000110047(1)
3.579154(2) 9.420659(5) 9.629840(5)
4.750464(2) 4.750464(2) 12.965794(6)
4.585260(5) 4.585260(5) 2.955112(3)
0.045130(5)
0.039178(2)
0.035278(3)
-0.06563(2) 10.9(5) 18.0(9)
-0.08532(3) 86.8(37) 80.3(34)
-0.09658(4) 2.3(3) 1.7(2)
AT Value -5.6(95) 0.8(10) -0.0145675(4) 0.000119497(4)
Kedalaman 0,5 mm Korundum Rutile Value Value -5.6(95) -5.6(95) 0.8(10) 0.8(10) -0.0145675(4) -0.0145675(4) 0.000119497(4) 0.000119497(4)
-0.21471(7)
-0.21471(7)
-0.21471(7)
0.0000379382(3)
0.000296266(8)
0.000170965(1)
3.585818(7) 9.437253(2) 9.657396(1)
4.759237(4) 4.759237(4) 12.992586(2)
4.592779(1) 4.592779(1) 2.961237(9)
0.042073(7)
0.035572(1)
0.042460(2)
0.05000(0) 9.5(7) 15.9(11)
0.05000(0) 86.5(33) 81.2(2)
0.05000(0) 4.1(3) 3.0(2)
69
Tabel C.5. Parameter-parameter hasil dari penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC. Kedalaman 0,0 mm AT Korundum Value Value 1.81973(6) 1.81973(6) 0.0841729(5) 0.0841729(5) 0.00409139(1) 0.00409139(1) 0.0000443837(7) 0.0000443837(7)
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
B0 B1 B2 B3
a b c
Lorenziant component Asymetry % Molar % wt
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
0.02573(1)
0.000126038(2) 3.601466(3) 9.477705(7) 9.692760(8)
0.000145745(5) 4.762157(3) 4.762157(3) 12.999748(9)
0.034405(2)
0.034459(2)
0.01301(5) 42.8(1) 57.1(11)
0.00590(8) 57.2(21) 42.9(15)
Kedalaman 0,1 mm AT Korundum Value Value -6.3(94) -6.3(94) 1.2(10) 1.2(10) -0.0366834(3) -0.0366834(3) 0.000384538(4) 0.000384538(4)
Parameter Background
0.02573(1)
B0 B1 B2 B3
a b c
Lorenziant component Asymetry % Molar % wt
70
-0.03699(5)
-0.03699(5)
0.0000677240(2) 3.601393(2) 9.479991(4) 9.695558(4)
0.000134353(7) 4.761005(2) 4.761005(2) 12.996580(5)
0.036023(3)
0.043444(3)
0.01216(2) 30.4(15) 43.8(19)
0.00115(2) 69.6(44) 56.3(34)
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
B0 B1 B2 B3
a b c
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
B0 B1 B2 B3
a b c
Kedalaman 0,2 mm Korundum Spinel Value Value -10.6(92) -10.6(92) 1.6(9) 1.6(9) -0.0505697(3) -0.0505697(3) 0.0572807(4) 0.0572807(4)
AT Value -10.6(92) 1.6(9) -0.0505697(3) 0.0572807(4) -0.19286(8)
-0.19286(8)
-0.19286(8)
0.0000669790(4)
0.000234312(7)
0.000000569690(2)
3.600011(6) 9.491296(2) 9.723187(1)
4.763780(4) 4.763780(4) 13.006447(2)
8.078126(2) 8.078126(2) 8.078126(2)
0.037703(6)
0.036686(2)
0.046341(4)
0.05000(0) 19.8(14) 30.4(21)
0.05000(0) 79.7(33) 68.9(29)
0.05000(0) 0.5(2) 0.6(3)
Kedalaman 0,3 mm AT Korundum Spinel Value Value Value -10.2(11) -10.2(11) -10.2(11) 1.4(11) 1.4(11) 1.4(11) -0.0391608(4) -0.0391608(4) -0.0391608(4) 0.000429560(4) 0.000429560(4) 0.000429560(4) -0.20969(3)
-0.20969(3)
-0.20969(3)
0.0000569534(4)
0.000273521(9)
0.00000224735(2)
3.600447(1) 9.496873(3) 9.725446(3)
4.763592(1) 4.763592(1) 13.004972(3)
8.094712(4) 8.094712(4) 8.094712(4)
0.039870(7)
0.037454(2)
-0.149355(2)
0.03272(1) 15.0(12) 23.8(19)
0.04915(1) 83.1(35) 73.9(32)
-0.08434(9) 1.9(2) 2.3(2)
71
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
B0 B1 B2 B3
a b c
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
B0 B1 B2 B3
a b c
Kedalaman 0,4 mm AT Korundum Spinel Value Value Value 8.3(10) 8.3(10) 8.3(10) -0.6(11) -0.6(11) -0.6(11) 0.0252516(4) 0.0252516(4) 0.0252516(4) -0.000248331(4) -0.000248331(4) -0.000248331(4) 0.00087(7)
0.00087(7)
0.00087(7)
0.0000302229(2)
0.000293394(9)
0.00000156869(9)
3.593254(8) 9.488863(3) 9.714459(2)
4.758326(4) 4.758327(4) 12.989964(2)
8.070270(1) 8.070270(1) 8.070270(1)
0.033142(9)
0.037658(1)
0.033527(2)
-0.02660(0) 8.1(6) 13.5(10)
-0.02460(0) 90.6(1) 84.8( 38)
-0.02900(0) 1.7(1) 2.7(10)
AT Value 9.3(88) -0.7(9) 0.3(3) -0.000233415(4)
Kedalaman 0,5 mm Korundum Spinel Value Value 9.3(88) 9.3(88) -0.7(9) -0.7(9) 0.3(3) 0.3(3) -0.000233415(4) -0.000233415(4)
-0.26902(8)
-0.26902(8)
-0.26902(8)
0.0000219062(2)
0.000254944(8)
0.00000309950(3)
3.597416(8) 9.493137(3) 9.726717(2)
4.762839(4) 4.762839(4) 13.003383(2)
8.077855 (1) 8.077855 (1) 8.077855 (1)
0.055714(1)
0.035476(1)
0.043557(2)
0.05000(0) 6.7(5) 11.3(1)
0.05000(0) 90.3(38) 84.8(35)
0.05000(0) 3.0(3) 3.9(4)
72
Tabel C.6. Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC.
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
B0 B1 B2 B3
a b c
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
B0 B1 B2 B3
a b c
Kedalaman 0,0 mm AT Korundum Spinel Value Value Value 0.6(6) 0.6(6) 0.6(6) 0.188343(1) 0.188343(1) 0.188343(1) 0.00259433(1) 0.00259433(1) 0.00259433(1) -0.0000383813(8)
-0.0000383813(8)
-0.0000383813(8)
-0.09085(1)
-0.09085(1)
-0.09085(1)
0.000106845
0.000192789(5)
0.00000863169(4)
3.602348(3) 9.491739(8) 9.713540(9)
4.763649(2) 4.763649(2) 13.005576(8)
8.068144(8) 8.068144(8) 8.068144(8)
0.025417(3)
0.022105(2)
0.037861(1)
0.03272(5) 30.0(7) 42.2(9)
0.03326(7) 62.4(20) 49.3(15)
0.01815(7) 7.7(3) 8.4(4)
Kedalaman 0,2 mm AT Korundum Spinel Value Value Value -0.5(12) -0.5(12) -0.5(12) 0.4(12) 0.4(12) 0.4(12) -0.00589016(4) -0.00589016(4) -0.00589016(4) 0.0000321971(5) 0.0000321971(5) 0.0000321971(5) -0.10798(1)
-0.10798(1)
-0.10798(1)
0.0000617975(4)
0.000245749(1)
0.00000851959(5)
3.594733(1) 9.491081(3) 9.727736(2)
4.761456(6) 4.761456(6) 12.997939(2)
8.073925(2) 8.073925(2) 8.073925(2)
0.033801(7)
0.045230(2)
0.055561(1)
0.02445(8) 16.6(12) 25.6(19)
0.02136(6) 76.1(42) 65.7(36)
0.00661(1) 7.3(5) 8.7(6)
73
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
B0 B1 B2 B3
a b c
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
B0 B1 B2 B3
a b c
AT Value 3.1(11) 0.0246457(12) 0.358689(4)
Kedalaman 0,3 mm Korundum Spinel Value Value 3.1(11) 3.1(11) 0.0246457(12) 0.0246457(12) 0.358689(4) 0.358689(4)
-0.0000109479(5)
-0.0000109479(5)
-0.0000109479(5)
0.02257(2)
0.02257(2)
0.02257(2)
0.0000296820(2)
0.000270675(9)
0.00000966819(5)
3.590569(1) 9.483487(4) 9.720649(2)
4.756868(7) 4.756868(7) 12.986568(2)
8.067283(2) 8.067283(2) 8.067283(2)
0.062076(1)
0.043481(2)
0.056588(8)
-0.03439(1) 8.0(6) 13.0(9)
-0.03855(8) 83.8(36) 76.5(38)
-0.04775(1) 8.2(5) 10.5(6)
Kedalaman 0,4 mm AT Korundum Spinel Value Value Value 14.9(11) 14.9(11) 14.9(11) -1.3(11) -1.3(11) -1.3(11) 0.0523658(4) 0.0523658(4) 0.0523658(4) -0.000557589(5) -0.000557589(5) -0.000557589(5) -0.29502(2)
-0.29502(2)
-0.29502(2)
0.0000256549(1)
0.000283127(9)
0.0000102430(5)
3.600016(1) 9.508025(4) 9.751752(3)
4.768812(9) 4.768812(9) 13.022149(3)
8.090387(2) 8.090387(2) 8.090387(2)
0.065482(9)
0.043700(2)
0.062441(9)
0.09473(1) 6.7(4) 11.1(7)
0.11112(1) 84.9(36) 78.2(32)
0.08293(1) 8.5(5) 10.5(6)
74
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
B0 B1 B2 B3
a b c
AT Value 0.3(11) 0.2(12) 0.362639(4) -0.537869(4)
Kedalaman 0,5 mm Korundum Value 0.3(11) 0.2(12) 0.362639(4) -0.537869 (4)
Spinel Value 0.3(11) 0.2(12) 0.362639(4) -0.537869(4)
-0.17793(0)
-0.17793 (0)
-0.17793(0)
0.0000200772(2)
0.000268676(9)
0.00000967957(5)
3.593056(1) 9.494986(4) 9.733595(2)
4.760961(6) 4.760961(6) 12.996403(2)
8.076016(1) 8.076016(1) 8.076016(1)
0.052153(1)
0.041556(2)
0.045005(1)
0.01418(1) 5.6(5) 9.2(7)
0.02291(5) 85.9(37) 79.7(34)
0.00405(1) 8.5(5) 11.0(6)
75
LAMPIRAN D Analisis pada Tesis ini menghitung fraksi berat relatif, rumus yang digunakan adalah rumus pada persamaan 2.2. Salah satu contoh perhitugannya adalah sebagai berikut yaitu untuk fraksi berat relatif fasa AT pada FGM A/ATMgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan kedalaman 0,0 mm:
Wi
s ( ZMV ) i s (ZMV ) k i n k 1 k
W AT
284598,5572 284598,5572 86857,2432
W AT
284598,5572 371455,8004
WAT 0,766 Jadi untuk WAT(%) adalah 0,766 x 100% = 76,6% Sedangkan untuk menghitung ralatnya:
Wi x j 2 x j 2
Wi
1 2
1
W AT
S W AT AT S AT
W AT
0,017.10 4 2 0,04 2 0,021.10 4 2 0,03 2 2 76,6 4 4 1,198.10 326,52 0,557.10 254,77
2
V AT V AT
2
2
S A V A S A VA
2
2 1
WAT 15 Sehingga besar fraksi berat relatif fasa AT adalah sebesar WAT = 76,6(15)
76
Tabel D.1. Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC. Kedalaman S (mm) (x 10-4) (0,0 mm) AT 1,198(17) Korundum 0,557(21)
Z
M
V
W
W(%)
4 6
181,9 102
326,5(1) 254,8(1)
0,766(15) 0,234(9)
76,6 23,4
(0,1 mm) AT Korundum Rutile
0,789(2) 0,510(34) 0,216(65)
4 6 2
181,9 102 79,9
325,7(2) 254,3(1) 61,8(1)
0,697(25) 0,296(21) 0,008(2)
69,7 29,6 0,8
(0,2 mm) AT Korundum Rutile
0,668(19) 2,456(19) 0,803(94)
4 6 2
181,9 102 79,9
325,0(1) 254,0(1) 61,9(1)
0,289(19) 0,697(69) 0,015(2)
28,9 69,7 1,5
(0,3 mm) AT Korundum Rutile
0,505(18) 2,398(79) 0,539(15)
4 6 2
181,9 102 79,9
328,1(2) 255,7(1) 62,5(1)
0,241(11) 0,749(32) 0,011(2)
24,1 74,9 1,1
(0,4 mm) AT Korundum Rutile
0,490(19) 3,331(1) 1,100(14)
4 6 2
181,9 102 79,9
324,7(3) 253,4(2) 62,1(1)
0,180(9) 0,803(34) 0,017(2)
18,0 80,3 1,7
(0,5 mm) AT Korundum Rutile
0,379(25) 2,963(85) 1,709(11)
4 6 2
181,9 102 79,9
326,8(1) 254,9(1) 62,5(1)
0,159(11) 0,812(2) 0,030(2)
15,9 81,2 3,0
77
Tabel D.2. Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC. Kedalaman S (mm) (x 10-4) (0,0 mm) AT 1,260(16) Korundum 1,457(47)
Z
M
V
W
W(%)
4 6
181,9 102
330,8(1) 255,3(1)
0,571(11) 0,429(15)
57,7 42,9
(0,1 mm) AT Korundum
0,677(21) 1,343(68)
4 6
181,9 102
331,1(1) 255,1(2)
0,438(19) 0,563(34)
43,8 56,3
(0,2 mm) AT Korundum Spinel
0,669(42) 2,343(73) 0,006(2)
4 6 8
181,9 102 142,3
332,2(1) 255,6(1) 527,1(3)
0,304(21) 0,689(29) 0,006(3)
30,4 68,9 0,6
(0,3 mm) AT Korundum Spinel
0,569(43) 2,735(86) 0,022(2)
4 6 8
181,9 102 142,3
332,5(2) 255,7(2) 530,4(4)
0,238(19) 0,739(32) 0,023(2)
23,8 73,9 2,3
(0,4 mm) AT Korundum Spinel
0,302(21) 2,934(95) 0,016(9)
4 6 8
181,9 102 142,3
331,2(1) 254,7(1) 525,6(1)
0,135(10) 0,848(38) 0,017(10)
13,5 84,8 1,7
(0,5 mm) AT Korundum Spinel
0,219(16) 2,549(78) 0,031(3)
4 6 8
181,9 102 142,3
332,2(1) 255,5(1) 527,1(1)
0,113(9) 0,848(35) 0,039(3)
11,3 84,8 3,9
78
Tabel D.3. Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO pada kedalaman 0,0-0,5 mm. FGM disinter pada suhu 1450 oC. Kedalaman S (mm) (x 10-4) (0,0 mm) AT 1,068(15) Korundum 1,928(52) Spinel 0,086(4)
Z
M
V
W
W(%)
4 6 8
181,9 102 142,3
332,1(1) 255,6(1) 525,2(1)
0,422(9) 0,493(15) 0,084(4)
42,2 49,3 8,4
(0,1 mm) AT Korundum Spinel
0,542(19) 1,774(7) 0,060(5)
4 6 8
181,9 102 142,3
330,7(2) 254,4(1) 523,8(3)
0,295(13) 0,624(30) 0,081(8)
29,5 62,4 8,1
(0,2 mm) AT Korundum Spinel
0,618(41) 2,457(1) 0,085(5)
4 6 8
181,9 102 142,3
331,9(1) 255,2(1) 526,3(2)
0,256(19) 0,657(36) 0,087(6)
25,6 65,7 8,7
(0,3 mm) AT Korundum Spinel
0,297(2) 2,707(89) 0,097(5)
4 6 8
181,9 102 142,3
330,9(2) 254,5(2) 525,0(2)
13,0(9) 0,765(38) 0,105(6)
13,0 76,5 10,5
(0,4 mm) AT Korundum Spinel
0,257(14) 2,831(91) 0,102(48)
4 6 8
181,9 102 142,3
333,8(2) 256,5(1) 529,6(2)
0,111(7) 0,782(32) 0,0105(6)
11,1 78,2 10,5
(0,5 mm) AT Korundum Spinel
0,201(15) 2,687(88) 0,097(5)
4 6 8
181,9 102 142,3
332,1(2) 255,1(1) 526,7(2)
0,092(7) 0,797(34) 0,110(6)
9,2 79,7 11,0
79
LAMPIRAN E
AT
Fraksi berat relatif (%)
60 50 y = -93,286x + 53,305 R2 = 0,9606
40 30 20 10 0 0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
Kedalaman (mm)
Gambar E.1 Contoh pemodelan linier pada FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO pada kedalaman 0,0 sampai 0,5 mm. FGM disintesis dengan suhu sinter 1450 oC.
80
LAMPIRAN F Keluaran Penghalusan Rietveld Difraksi Sinar-x untuk Uji Dekomposisi
Tabel F.1. Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC. No
Fasa
1
AT, korundum AT, korundum, rutile AT, korundum, rutile AT, korundum, rutile AT, korundum, rutile
2 3 4 5
Waktu Anil (jam) 0
Rp (%)
Rwp (%)
Rexp (%)
16,75
23,83
14,82
GoF (%) 2,59
5
20,39
30,65
15,09
4,13
10
15,59
23,38
14,96
2,44
15
11,66
19,29
15,89
1,47
20
15,15
21,58
15,04
2,06
Tabel F.2. Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC.
No 1 2 3 4 5
Fasa AT, korundum AT, korundum, rutile AT, korundum, rutile AT, korundum, rutile, spinel AT, korundum, rutile, spinel
Waktu Anil (jam) 0
Rp (%)
Rwp (%)
Rexp (%)
20,22
28,89
14,91
GoF (%) 3,75
5
20,44
28,69
14,91
3,70
10
18,82
26,83
15,39
3,04
15
18,91
27,47
15,33
3,21
20
17,14
25,24
15,22
2,75
81
Tabel F.3. Figure of merit pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC.
No 1 2 3 4 5
Fasa AT, korundum, spinel AT, korundum, rutile, spinel AT, korundum, rutile, spinel AT, korundum, rutile, spinel AT, korundum, rutile, spinel
Waktu Anil (jam)
Rp (%)
Rwp (%)
Rexp (%)
GoF (%)
0
18,57
26,16
13,93
3,53
5
17,80
25,22
14,50
3,01
10
21,80
30,66
14,69
4,35
15
18,83
25,17
15,32
2,69
20
20,77
27,94
14,22
3,86
82
Tabel F.4. Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC. Waktu anil 0 jam AT Korundum Value Value -21.5 (85) -21.5 (85) 2.6 (9) 2.6 (9) -0.0823558 (3) -0.0823558 (3) 0.000872583 (3) 0.000872583 (3)
Parameter Background
B0 B1 B2 B3
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
a b c
Lorenziant component Asymetry % Molar % wt
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
B0 B1 B2 B3
a b c
-0.05985 (1)
-0.05985 (1)
0.000112713 (4) 3.588820 (6) 9.421782 (1) 9.640826 (1)
0.0000414100 (1) 4.758387 (1) 4.758387 (1) 12.986490 (4)
0.023920 (2)
0.048010 (1)
0.03875 (4) 69.9 (26) 80.6 (30)
0.03081 (1) 80.6 (30) 19.4 (9)
Waktu anil 5 jam AT Korundum Rutile Value Value Value -3.7 (11) -3.7 (11) -3.7 (11) 0.6 (11) 0.6 (11) 0.6 (11) -0.0129880 (4) -0.0129880 (4) -0.0129880 (4) 0.000115728 4) 0.000115728 4) 0.000115728 4) 0.00505 (4)
0.00505 (4)
0.0000873978 (4) 3.584719 (5) 9.426996 (1) 9.648349 (9)
0.0000308628 (2) 4.756551 (8) 4.756551 (8) 12.980943 (5)
0.025914 (3)
0.042923 (9)
-0.030400 (0)
-0.00906 (4) 70.8 (39) 80.1 (46)
-0.01775 (1) 29.2 (18) 18.0 (12)
0.04953 (4) 0.02 (0.00) 0.01 (0.00)
83
0.00505 (4) 0.000000202009 (2)
4.584552 (3) 4.584552 (3) 2.956923 (2)
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
B0 B1 B2 B3
a b c
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
B0 B1 B2 B3
a b c
AT Value -14.3 (76) 2.0 (8) -0.0710755 (3) 0.000828493 (3)
Waktu anil 10 jam Korundum Rutile Value Value -14.3 (76) -14.3 (76) 2.0 (8) 2.0 (8) -0.0710755 (3) -0.0710755 (3) 0.000828493 (3) 0.000828493 (3)
-0.00542 (5)
-0.00542 (5)
-0.00542 (5)
0.0000712823 (3) 3.584575 (2) 9.437100 (4) 9.656975 (5)
0.0000569196 (4) 4.757825 (2) 4.757825 (2) 12.991373 (6)
0.028176 (4)
0.038757 (4)
0.043413 (4)
0.02565 (2) 28 (13) 44.5 (21)
0.02146 (2) 26.1 (19) 23.3 (17)
0.01673 (2) 46.0 (13) 32.2 (1)
0.00122640 (2) 4.591996 (2) 4.591996 (2) 2.960389 (1)
Waktu anil 15 jam AT Korundum Rutile Value Value Value 2.6 (53) 2.6 (53) 2.6 (53) 0.0387921 (6) 0.0387921 (6) 0.0387921 (6) 0.000990171 (2) 0.000990171 (2) 0.000990171 (2) -0.0000119466 (2)
-0.0000119466 (2)
-0.0000119466 (2)
0.01000 (4)
0.01000 (4)
0.01000 (4)
0.0000297926 (2) 3.579701 (2) 9.429852 (4) 9.654335 (4)
0.0000765624 (3) 4.754614 (1) 4.754614 (1) 12.983851 (5)
4.588469 (1) 4.588469 (1) 2.957753 (1)
0.033577 (6)
0.032930 (3)
0.027713 (2)
0.00109 (2) 10.1 (7) 19.0 (13)
-0.02617 (2) 30.5 (17) 32.0 (17)
-0.02541 (2) 59.4 (34) 49.0 (28)
84
0.00182893
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
B0 B1 B2 B3
a b c
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
AT Value 4.4 (72) -0.0990663 (8) 0.00103182 (3)
Waktu anil 20 jam Korundum Rutile Value Value 4.4 (72) 4.4 (72) -0.0990663 (8) -0.0990663 (8) 0.00103182 (3) 0.00103182 (3)
0.0000560002 (3)
0.0000560002 (3)
0.0000560002 (3)
-0.09111 (1)
-0.09111 (1)
-0.09111 (1)
0.00000709098 (9)
3.580920 (2) 9.439882 (4) 9.659517 (3)
0.0000999313 (4) 0.999313 (6) 0.999313 (6) 12.995793 (2)
0.030967 (2)
0.038463 (3)
0.026195 (2)
0.04320 (1) 2.1 (3) 4.2 (5)
0.03855 (7) 34.0 (16) 38.7 (19)
0.04734 (6) 64.0 (13) 57.1 (12)
0.00230614 (2) 4.592137 (8) 4.592137 (8) 2.960325 94)
Tabel F.5. Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC. Waktu anil 0 jam AT Korundum Value Value -28.2 (96) -28.2 (96) 3.5 (10) 3.5 (10) -0.1 (1) -0.1 (1) 0.122426 (4) 0.122426 (4)
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
B0 B1 B2 B3
a b c
Lorenziant component Asymetry % Molar % wt
85
-0.04749 (2)
-0.04749 (2)
0.000117446 (5) 3.604582 (1) 9.482907 (3) 9.702845 (2)
0.0000510962 (4) 4.765414 (1) 4.765414 (1) 13.012722 (4)
0.060411 (3)
0.045765 (4)
0.04590 (7) 66.5 (41) 78.0 (47)
0.04659 (1) 33.5 (33) 22.0 (21)
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
B0 B1 B2 B3
AT Value -38.7 (98) 4.5 (10) -0.1 (4) 0.00158101 (4)
Waktu anil 5 jam Korundum Value -38.7 (98) 4.5 (10) -0.1 (4) 0.00158101 (4)
Rutile Value -38.7 (98) 4.5 (10) -0.1 (4) 0.00158101 (4)
-0.09543 (3)
-0.09543 (3)
-0.09543 (3)
3.598957 (1) 9.479102 (3) 9.699356 (3)
0.0000503186 (4) 4.760741 (1) 4.760741 (1) 13.004104 (4)
0.0000553225 (8) 4.538853 (3) 4.538853 (3) 2.941822 (2)
0.038154 (4)
0.040542 (5)
0.050000 (0)
0.01035 (2) 64.5 (43) 76.7 (51)
-0.00085 (0) 32.7 (32) 22,0 (21)
0.39288 (3) 2.8 (4) 1.5 (2)
0.000114941 (6) a b c
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
. Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
B0 B1 B2 B3
AT Value -35.7 (91) 4.2 (9) -0.135222 (3) 0.00143547 (4) -0.00904 (3)
-0.00904 (3)
-0.00904 (3)
3.596064 (1) 9.471307 (3) 9.696750 (3)
0.0000567906 (4) 4.758842 (1) 4.758842 (1) 12.998023 (4)
0.038362 (4)
0.040265 (5)
0.063983 (3)
-0.00536 (1) 56.0 (35) 70.5 (45)
-0.02769 (2) 34.5 (30) 24.3 (21)
0.02981 (5) 9.5 (7) 5.2 (4)
0.000106816 (5) a b c
Waktu anil 10 jam Korundum Rutile Value Value -35.7 (91) -35.7 (91) 4.2 (9) 4.2 (9) -0.135222 (3) -0.135222 (3) 0.00143547 (4) 0.00143547 (4)
86
0.000191638 (1) 4.586723 (5) 4.586723 (5) 2.958722 (2)
Parameter Background
B0 B1 B2 B3
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
-0.201410 (3)
0.00215702 (4)
0.00215702 (4)
0.00215702 (4)
0.00215702 (4)
0.01136 (2)
0.01136 (2)
0.01136 (2)
0.01136 (2)
a
3.592140 (1)
4.756693 (9)
4.588721 (3)
8.088748 (4)
b c
9.462173 (3) 9.690935 (2)
4.756693 (9) 12.990837 (3)
4.588721 (3) 2.958271 (9)
8.088748 (4) 8.088748 (4)
0.035909 (4)
0.042282 (4)
0.058133 (1)
0.050000 (0)
-0.00660 (7) 42.9 (31) 60.1 (41)
-0.05328 (1) 26.2 (22) 21.0 (17)
-0.03642 (3) 30.4 (40) 18.7 (24)
-0.05528 (3) 0.5 (01) 0.6 (1)
AT Value -34.9 (85) 4.1 (9) -0.133165 (3) 0.142819 (3)
Waktu anil 20 jam Korundum Rutile Value Value -34.9 (85) -34.9 (85) 4.1 (9) 4.1 (9) -0.133165 (3) -0.133165 (3) 0.142819 (3) 0.142819 (3)
Spinel Value -34.9 (85) 4.1 (9) -0.133165 (3) 0.142819 (3)
-0.11624 (3)
-0.11624 (3)
-0.11624 (3)
-0.11624 (3)
0.000102287 (6)
0.0000659737 (4)
0.00130164 (1)
0.0000006937 68 (1)
a
3.596360 (1)
4.760489 (1)
4.590757 (2)
8.086797 (4)
b c
9.472202 (3) 9.702050 (3)
4.760489 (1) 13.003294 (4)
4.590757 (2) 2.960776 (9)
8.086797 (4) 8.086797 (4)
0.027543 (4)
0.039572 (4)
0.050930 (8)
0.050000 (0)
0.02889 (1) 33.7 (24) 50.9 (17)
0.00803 (2) 25.2 (19) 21.3 (16)
0.03898 (2) 40.5 (41) 26.9 (27)
0.00649 (2) 0.7 (1) 0.9 (1)
Parameter
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Spinel Value -52.6 (94) 6.1 (10)
0.000116180 0.000872059 0.000000443968 0.0000611854(4) (6) (1) (1)
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
Background
AT Value -52.6 (94) 6.1 (10) -0.201410 (3)
Waktu anil 15 jam Korundum Rutile Value Value -52.6 (94) -52.6 (94) 6.1 (10) 6.1 (10) -0.201410 -0.201410 (3) (3)
B0 B1 B2 B3
87
Tabel F.6. Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC.
Parameter Background
B0 B1 B2 B3
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
a b c
Parameter
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
B0 B1 B2 B3
Spinel Value -18.4 (10) 2.3 (11) -0.7 (4)
0.000670790 (4)
0.000670790 (4)
0.000670790 (4)
-0.12128 (1)
-0.12128 (1)
-0.12128 (1)
3.602570 (9) 9.493776 (3) 9.716240 (3)
0.0000931037 (5) 4.764198 (6) 4.764198 (6) 13.007719 (3)
0.00000772209 (4) 8.067855 (1) 8.067855 (1) 8.067855 (1)
0.016294 (4)
0.028995 (3)
0.020201 (1)
0.05000 (0) 42.2 (25) 54.8 (33)
0.05000 (0) 47.1 (30) 34.3 (22)
0.05000 (0) 10.7 (7) 10.9 (7)
0.0000961107 (5)
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
Background
AT Value -18.4 (10) 2.3 (11) -0.7 (4)
Waktu anil 0 jam Korundum Value -18.4 (10) 2.3 (11) -0.7 (4)
AT Value -7.6 (93) 1.2 (10)
Waktu anil 5 jam Korundum Rutile Value Value -7.6 (93) -7.6 (93) 1.2 (10) 1.2 (10)
Spinel Value -7.6 (93) 1.2 (10)
-0.0357264 (3)
-0.0357264 (3)
-0.0357264 (3)
-0.0357264 (3)
0.0375581 (4)
0.0375581 (4)
0.0375581 (4)
0.0375581 (4)
0.01400 (4)
0.01400 (4)
0.01400 (4)
0.01400 (4)
0.0000590848 (2)
0.0000972257 (6)
0.000121776 (1)
0.0000069062 1 (4)
a
3.593712 (2)
4.756876 (1)
4.576381 (4)
8.062684 (3)
b c
9.479546 (6) 9.479546 (6)
4.756876 (1) 12.987022 (4)
4.576381 (4) 2.956254 (2)
8.062684 (3) 8.062684 (3)
0.038973 (5)
0.033110 (3)
0.022192 (2)
0.005763 (1)
-0.02644 (1) 28.9 (14) 41.0 (19)
-0.03807 (2) 54.9 (38) 43.7 (29)
0.09050 (3) 5.6 (5) 3.5 (3)
-0.04667 (2) 10.7 (7) 11.7 (8)
88
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
B0 B1 B2 B3
-0.0280867 (4)
-0.0280867 (4)
-0.0280867 (4)
-0.0280867 (4)
0.000328169 (4)
0.000328169 (4)
0.000328169 (4)
-0.50588 (6)
-0.50588 (6)
-0.50588 (6)
-0.50588 (6)
0.0000454940 (3)
0.0000960297 (5)
0.000354286 (2)
0.0000070595 3 (4)
a
3.605857 (2)
4.770208 (2)
4.603765 (4)
8.097515 (5)
b c
9.508582 (6) 9.742420 (6)
4.770208 (2) 13.029668 (7)
4.603765 (4) 2.967137 (2)
8.097515 (5) 8.097515 (5)
0.042504 (7)
0.031693 (3)
0.028481 (1)
0.054906 (2)
0.10428 (2) 21.5 (15) 32.6 (23)
0.11935 (3) 52.2 (34) 44.4 (29)
0.10774 (4) 15.7 (9) 10.5 (6)
0.08129 (2) 10.6 (8) 12.6 (9)
Parameter
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
Spinel Value -7.0 (11) 1.0 (12)
0.000328169 (4)
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
Background
AT Value -7.0 (11) 1.0 (12)
Waktu anil 10 jam Korundum Rutile Value Value -7.0 (11) -7.0 (11) 1.0 (12) 1.0 (12)
B0 B1 B2 B3
AT Value 16.4 (85) 2.0 (92) -0.6 (3)
Waktu anil 15 jam Korundum Rutile Value Value 16.4 (85) 16.4 (85) 2.0 (92) 2.0 (92) -0.6 (3) -0.6 (3)
Spinel Value 16.4 (85) 2.0 (92) -0.6 (3)
0.000629483 (4)
0.000629483 (4)
0.000629483 (4)
0.000629483 (4)
-0.45128 (3)
-0.45128 (3)
-0.45128 (3)
-0.45128 (3)
0.0000583534 (4)
0.0000952526 (5)
0.00115485 (2)
0.0000067245 4 (3)
a
3.609629 (1)
4.771646 (1)
4.600491 (2)
8.101905 (3)
b c
9.508527 (3) 9.744904 (3)
4.771646 (1) 13.033923 (4)
4.600491 (2) 2.967389 (1)
8.101905 (3) 8.101905 (3)
0.063692 (3)
0.027391 (2)
0.043950 (5)
0.049854 (7)
0.13068 (1) 19.6 (20) 31.7 (28)
0.17327 (2) 36.9 (35) 43.4 (27)
0.17327 (2) 36.4 (83) 25.9 (57)
0.10364 (2) 7.2 (7) 9.1 (7)
89
AT Value -6.0 (11) 0.7 (12) 0.2 (4) 0.132333 (5)
Waktu anil 20 jam Korundum Rutile Value Value -6.0 (11) -6.0 (11) 0.7 (12) 0.7 (12) 0.2 (4) 0.2 (4) 0.132333 (5) 0.132333 (5)
Spinel Value -6.0 (11) 0.7 (12) 0.2 (4) 0.132333 (5)
-0.13675 (1)
-0.13675 (1)
-0.13675 (1)
-0.13675 (1)
0.000111848 (10)
0.000420278 (6)
0.000876919 (1)
0.0000082940 1 (5)
a
3.598230 (1)
4.759987 (7)
4.590024 (1)
8.082625 (2)
b c
9.486869 (3) 9.711775 (2)
4.759987 (7) 12.998096 (2)
4.590024 (1) 2.959957 (6)
8.082625 (2) 8.082625 (2)
0.052091 (9)
0.039243 (3)
0.030064 (6)
0.055427 (1)
0.03194 (9) 15.9 (21) 25.4 (32)
0.03117 (6) 58.7 (12) 51.7 (4.2)
0.04093 (9) 31.7 (18) 28.2 (13)
0.00290 (1) 3.7 (4) 4.7 (5)
Parameter Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Lorenziant component Asymetry % Molar %wt
B0 B1 B2 B3
90
LAMPIRAN G Tabel G.1. Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC. Waktu Anil (jam) 0 AT Korundum
S (x 10-4)
Z
M
V
W
W(%)
1,127(32) 4 0,414(15) 6
181,9 102
325,9(1) 254,6(1)
0,806(30) 0,194(9)
80,6 19,4
5 AT Korundum Rutile
0,874(38) 4 0,309(16) 6 0,002(1) 2
181,9 102 79,9
326,5(3) 254,9(1) 62,4(1)
0,801(46) 0,188(12) 0,0001(1)
80,1 18,8 0,01
10 AT Korundum Rutile
0,713(29) 4 0,569(38) 6 12,264(2) 2
181,9 102 79,9
325,9(2) 254,2(1) 62,3(1)
0,445(21) 0,233(17) 0,322(1)
44,5 23,3 32,2
15 AT Korundum Rutile
0,297(18) 4 0,766(34) 6 18,287(1) 2
181,9 102 79,9
326,0(1) 254,3(1) 62,1(1)
0,190(13) 0,320(17) 0,490(28)
19,0 32,0 49,0
20 AT Korundum Rutile
0,071(1) 4 0,999(45) 6 23,24) 2
181,9 102 79,9
326,8(3) 254,7(2) 62,4(1)
0,042(5) 0,387(19) 0,571(12)
4,2 38,7 57,1
91
Tabel G.2. Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC. Waktu Anil (jam) 0 AT Korundum
S (x 10-4)
Z
M
V
W(%)
W
1,174(53) 0,511(45)
4 6
181,9 102
331,7(2) 255,9(1)
0,780(47) 0,220(21)
78,0 22,0
5 AT Korundum Rutile
1,149(58) 0,503(43) 0,553(1)
4 6 2
181,9 102 79,9
330,5(2) 255,2(1) 62,4(1)
0,767(51) 0,220(21) 0,015(2)
76,7 22,0 1,5
10 AT Korundum Rutile
1,068(53) 0,568(43) 1,916(12)
4 6 2
181,9 102 79,9
330,3(2) 254,9(1) 62,2(1)
0,705(45) 0,243(21) 0,052(4)
70,5 24,3 5,2
15 AT Korundum Rutile Spinel
1.162(1) 0,612(43) 8,720(7) 0,004(1)
4 6 2 8
181,9 102 79,9 142,3
329,4(2) 254,6(1) 62,3(1) 529,2(5)
0,601(41) 0,210(17) 0,187(24) 0,006(1)
60,1 21,0 18,7 0,6
20 AT Korundum Rutile Spinel
1,023(55) 0,659(4) 13,16(12) 0,007(1)
4 6 2 8
181,9 102 79,9 142,3
330,5(2) 255,2(1) 62,4(1) 528,8(4)
0,509(17) 0,213(16) 0,269(27) 0,009(1)
50,9 21,3 26,9 0,9
92
Tabel G.3. Hasil perhitungan fraksi berat fasa relatif FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 5% MgO dengan waktu anil 0, 5, 10, 15, dan 20 jam. FGM dianil pada suhu 1000 oC. Waktu Anil (jam) 0 AT Korundum Spinel
S (x 10-4)
Z
M
V
W
W(%)
0,961(48) 0,931(49) 7,722(4)
4 6 8
181,9 102 142,3
332,3(2) 255,7(1) 525,1(2)
0,548(33) 0,343(22) 0,109(7)
54,8 34,3 10,9
5 AT Korundum Rutile Spinel
0,591(21) 0,972(58) 1,218(10) 0,069(49)
4 6 2 8
181,9 102 79,9 142,3
330,6(4) 254,5(1) 61,9(1) 524,1(3)
0,410(19) 0,437(29) 0,035(3) 0,117(8)
41,0 43,7 3,5 11,7
10 AT Korundum Rutile Spinel
0,455(28) 0,960(54) 3,543(16) 0,071(4)
4 6 2 8
181,9 102 79,9 142,3
334,0(3) 256,8(2) 62,9(1) 530,9(5)
0,326(23) 0,444(29) 0,105(6) 0,126(9)
32,6 44,4 10,5 12,6
15 AT Korundum Rutile Spinel
0,584(38) 0,953(48) 11,549(1) 0,067(3)
4 6 2 8
181,9 102 79,9 142,3
334,9(2) 257,0(1) 62,8(1) 531,8(3)
0,317(28) 0,434(27) 0,259(57) 0,091(7)
31,7 43,4 25,9 9,1
20 AT Korundum Rutile Spinel
1,118(1) 0,999(1) 12,001(10) 0,083(5)
4 6 2 8
181,9 102 79,9 142,3
331,5(2) 259,0(1) 62.9(1) 528.(1)
0,254(32) 0,517(10) 0,282(13) 0,047(5)
25,4 51,7 28,2 4,7
93
LAMPIRAN H Keluaran Penghalusan Rietveld Difraksi Sinar-x untuk Uji Dekomposisi (Pembuktian Solid Solution)
Tabel H.1. Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld dengan software Rietica dengan peak shape pseudo-voight pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 0% MgO dan waktu anil 0 jam. Parameter
Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Waktu anil 0 jam AT Value 0.4 (8) 0.2 (1) 0.000926 (1) -0.000026 (1) 0.01487 (1)
B0 B1 B2 B3
0.000127974 (1) a b c
3.590501 (1) 9.431164 (1) 9.644607 (1)
U Asymetry
0.048137 (1) 0.03980 (1)
% Molar % wt
66.2 (16) 77.7 (18)
94
Tabel H.2. Parameter-parameter hasil dari pengeluaran penghalusan Rietveld dengan software Rietica dengan peak shape pseudo-voight pola-pola difraksi sinar-x dari sampel FGM A/AT-MgO dengan komposisi berat 2% MgO dan waktu anil 0 jam. Parameter
Background
Sample Displacement Phase Scale factor Parameter Kisi
Waktu anil 0 jam AT Value 0,9 (6) 0,1 (1) 0.003384 (1) -0.000049 (1) 0.01108 (1)
B0 B1 B2 B3
0,000124 (1) a b c
3.601668 (1) 9.478675 (1) 9.693291 (1)
U Asymetry
0.163959 (1) 0.01867 (1)
% Molar % wt
45,2 (7) 59,6 (9)
95