AKULTURASI PEMIKIRAN DAN SAINS YUNANI DALAM DUNIA ISLAM Oleh: Ghozali Munir∗ Abstract Acculturation in the field of culture and ideas between one group with another group, can not be avoided when there are contacts or interactions between them. Interaction, either peacefully or by occupation and even war. In this case, it occurred among the nations of the world, especially the Greeks and Arabs, and it seemed/looked the wealth of Greek philosophy and science and its role in the Arab caliphs (Muslim) in the development of philosophy and science. Keywords: philosophy, science, darul hikmah, Hellenism, theology, Islam, Greek.
A. Pendahuluan Filsafat, secara metodologis menurut kaum orientalis seperti dinukil Ibrahim Madzkur dalam kitab: Fȋ al-Falsafah al-Islâmiyah: Manhâj wa Tathbîquh dinyatakan sebagai:1
! ... "#$ %& '"( ')* +, * '(-#+ '.*. / 0/ .1$ & '234 ' "5-6+ %& / 3$ 1&7 Pernyataan ini secara jelas menunjuk dua hal penting mengenai pemikiran Islam, yaitu: (1) bahwa memang benar filsafat Islam dipengaruhi dan “berguru” kepada filsafat Yunani, dan (2) bahwa walau______________ ∗
Prof. Dr. Ghozali Munir, M.A adalah Guru Besar Ilmu Kalam Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. 1 Ibrâhîm Madzkûr, Fî al-Falsafah al-Islâmiyah: Manhâj wa Tathbîquh, (Mesir: Dâr alMa’ârif, 1968), hlm. 22.
Ghozali Munir, Akulturasi Pemikiran dan Sains Yunani ….
1
pun demikian tidak berarti filsafat Islam itu merupakan sekedar jiplakan dan penuturan kembali buah pemikiran Aristoteles dan Neoplatonis. Penyataan Madzkur yang kedua merupakan sanggahan atas tanggapan yang dilontarkan Ernest Renan (1823-1892) dalam buku Averroes et l’Averroeism dan Pierre Maurice Marie Durheim (1861-1916) dalam buku Le Systems du Monde. Sedang pernyataan pertama menimbulkan pertanyaan sejak kapan, sejauh mana dan bagaimana caranya filsafat Yunani mempengaruhi pemikiran dalam Islam, atau dengan kata lain diperlukan uraian tentang “Masuknya Pemikiran dan Sains Yunani ke Dunia Islam”. Kata “masuk” dalam pengertian bahasa berarti “masuk dari luar, turut serta dan ikut campur”,2 dan di dalam tulisan ini diartikan dengan datangnya unsur luar menyelinap ke dunia Islam, dan atau dengan sengaja ditampilkan di dunia Islam. Dari segi materi hal ini berarti adanya campuran unsur-unsur luar dengan apa yang telah ada di dunia Islam, dan atau masuknya unsur-unsur baru menambah apa yang telah ada di dunia Islam. Dalam bahasan ini semua hal yang menyangkut cara maupun materi di atas dapat diterima, sebab penyaluran pemikiran dan sains Yunani ke dunia Islam ipso facto berjalan baik via diffuse maupun via eruditorium. Dengan demikian memang diakui adanya kenyataan bahwa kontak budaya Yunani dengan dunia Islam telah menambah khazanah kekayaan pemikiran dan sains di dunia Islam. Kata “pemikiran” dalam bahasan ini dimaksudkan adalah filsafat dalam pengertian yang lebih populer. Memang cukup sulit menarik definisi yang menyeluruh tentang filsafat. Terlalu aneka ragamnya definisi menyebabkan timbulnya ucapan bahwa untuk memberi pengertian filsafat “tidak ada satu pun definisi yang definitif”.3 Namun demikian untuk memperjelas pembahasan, perlu mengetengahkan rumusan dari Rene Descartes (1596-1650) yang menyatakan bahwa filsafat adalah, “kesimpulan dari pengetahuan yang benar, Tuhan, alam serta manusia sebagai pokok pembicaraannya”.4 ______________ W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1962), hlm. 447. 3 Ahmad Azhar Basyir, Ringkasan Sejarah Filsafat, mimeo, Bahan Kuliah Studi Purna Sarjana IAIN ke-8, (Yogyakarta: SPS, 1981), hlm. 2. 4 Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang: Ramadhani, 1970), hlm. 11. 2
2
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Sains atau sciences yang dimaksudkan adalah ilmu pengetahuan yang dengan kata lain “a systematized knowledge”.5 Di sini dapat dibedakan antara ilmu pengetahuan dengan pengetahuan biasa (knowledge) atau dengan keterampilan (skill). Dari sisi lain sains adalah ilmu-ilmu umum yang berbeda dengan filsafat sebagai “art of thinking”.6 Dunia Islam dimaksudkan adalah alam pemikiran Islam baik yang timbul dari pemikir Arab maupun dari pemikir non Arab. Sebagaimana diketahui bahwa pemikiran di dunia Islam tidak seluruhnya timbul dari pemikir Arab bahkan di bidang filsafat yang terbanyak dari pemikir non Arab. Untuk menjelaskan proses, materi maupun sejauh mana masuknya pemikiran dan sains Yunani, dalam tulisan ini akan dibahas tentang filsafat Yunani yang dilanjutkan dengan bahasan tentang pertemuan dunia Islam dengan filsafat Yunani serta pengaruhnya di dunia Islam. Bagian terakhir mengemukakan analisa dan kesimpulan sebagai rangkuman dari tulisan singkat ini.
B. Pemikiran dan Sains Yunani Alfred North Whitehead (1861-1947), seorang filosof modern mengatakan tentang filsafat Barat sebagai, “All Western philosophy is but a series of footnotes to Plato”.7 Penilaian Whitehead ini cukup menunjukkan betapa besar pengaruh filsafat Yunani, setidak-tidaknya di Barat, sehingga semua kajian filsafat Barat hanya ditempatkan sebagai “catatan kaki” dari pemikiran Plato. Pernyataan itu mengandung kebenaran apabila dihubungkan dengan kenyataan bahwa kajian filsafat sampai saat ini masih berkisar tentang tema-tema yang dibicarakan oleh para pemikir Yunani pertama, di antaranya tentang ada, menjadi, substansi, ruang, waktu, kebenaran, jiwa, pengenalan, Tuhan, dunia dan lain-lainnya. Pemikiran Yunani, dengan demikian, sangat besar pengaruhnya pada pemikiranpemikiran selanjutnya. Dari segi historis, filsafat Yunani memegang peranan penting sebagaimana pernyataan Bertens, “mempelajari filsafat Yunani berarti ______________ 5 Bergen Evans & Carnelia Evans, A Dictionary of Contemporary American Usage, (New York: Random House, 1957), hlm. 435. 6 Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat, (Jakarta: Wijaya, 1970), hlm. 16. 7 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1975), hlm. 22.
Ghozali Munir, Akulturasi Pemikiran dan Sains Yunani ….
3
menyaksikan kelahiran filsafat”.8 Hal ini pun, sebagaimana Whitehead, dapat dipahami secara terbatas yaitu untuk kawasan Barat. Di daerah lain, misalnya di Timur, sebelum kelahiran filsafat Yunani telah tumbuh pemikiran-pemikiran tentang Tuhan, alam dan manusia. Keunggulan pihak Yunani dalam hal ini adalah terkumpulnya catatan yang cukup teratur tentang hasil pemikiran tokoh-tokohnya, sehingga dapat dipelajari oleh pemikir berikutnya. Dari segi teritorial (dalam pengertian kawasan pengaruhnya), istilah Graecia Magna (Yunani Besar) menunjukkan betapa luas teritorial pengaruh Yunani, mencakup daerah-daerah lain, walau ditempuh tanpa penjajahan.9 Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa pada pengertian Yunani, istilah filsafat merupakan pandangan rasional tentang segalagalanya. Jadi kata filsafat telah mencakup pemikiran dan sains.10 Pemikiran Yunani berkembang dalam dua periode besar yaitu masa sebelum Socrates dan masa Socrates serta masa berikutnya.11 1. Masa Sebelum Socrates Masa sebelum Socrates lazim disebut filsafat alam, sebab pemikiran pada masa itu ditujukan untuk mencari arche (inti alam). Pusat pemikiran filsafat pada masa tersebut adalah kota Miletus, salah satu dari dua belas kota terpenting dari Ionia. Kota Miletus terletak di kawasan Asia Kecil dan mempunyai pelabuhan yang strategis untuk sarana perhubungan dengan daerah luar.12 Filsafat alam mulai tersebar sekitar abad ke-6 S.M. Di antara filosof alam yang terkenal adalah Thales (624550: inti alam atau zat pencipta adalah air), Anaximander (611-547: angin), Anaximenes (588-542: tanah), Pythagoras (572-497: bilangan) dan ______________ Ibid. Ibid., hlm. 17. 10 Ibid., hlm. 16. 11 I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: Pustaka Sarjana, 1961), hlm. 23-33. Poedjawijatna membagi menjadi tiga periode yaitu Masa Sebelum Socrates, Masa Socrates dan Masa Sesudah Socrates. Oleh karena pembatasan periodisasi tersebut didasarkan kepada adanya pengaruh Socrates untuk masa-masa sesudahnya, maka tiga periode di atas dalam tulisan ini disederhanakan menjadi dua periode besar. 12 Ionia terletak di bagian tengah pantai barat Asia Kecil. Kota-kota penting Ionia diantaranya Miletus, Ephesus dan Smyrna. Lihat, J.H. Croon, The Encyclopedia of the Classical World, terjemahan Inggris dari Elsevier’s Encyclopedia van de Antieke Wereld oleh J. Muller-Van Santen, (New York: Prentice Hall, 1965), hlm. 111. 8
9
4
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Heraclitus (533-476: api atau juga Logos). Tentang bilangan sang pencipta serta sifat-sifatnya terdapat pemikiran oleh Xenophanes (570-480: satu), Parmenides (fl. 495: antara pencipta dan yang diciptakan tidak mungkin sama), Melissos (fl. 440: pencipta mesti kekal dan tunggal), Zeno (490-430: pencipta tidak mempunyai dimensi ruang) dan lain sebagainya.13 Sejak masa Heraclitus (533-475) aliran filsafat alam bergeser kepada aliran filsafat menjadi, dengan adagium Panta Rhei kai uden menei (semua mengalir, tidak satu pun mantap), tidak ada yang tetap. Selanjutnya pemikiran dari Parmenides (fl. 495) menyatakan bahwa yang ada itu tetap, tidak mungkin berubah. Ada itu hanya satu. Pemikiran ini disebut aliran filsafat ada, merupakan reaksi terhadap pemikiran Heraclitus tentang filsafat menjadi dan sebagai pelopor faham monisme. Para pengikut Parmenides disebut aliran Elea, nama daerah kelahiran Parmenides. Di antara pemikir aliran Elea adalah Zeno (490-430), Empedocles (495-435), Anaxagoras (500-428) dan Democritus (460-370). 2. Masa Socrates dan Sesudahnya Pemikiran di zaman sebelum Socrates menjadikan alam sebagai tumpuannya sehingga masa itu disebut masa. Dengan timbulnya Sofisme,14 perhatian pemikir mulai bergeser dari alam kepada manusia, kemampuan berpikir dan tingkah lakunya. Masa ini disebut masa Socrates atau disebut juga masa antropologis. Pemikiran Socrates (469-399) dipusatkan kepada manusia dan usaha mencari sesuatu yang murni dan sebenarnya. Cara yang ditempuh ialah dengan mengamati yang konkret dengan corak dan ragam yang bermacam-macam, selanjutnya dihilangkan perbedaannya sehingga tampil persamaannya. Itulah yang sejati dan murni, yang menurut pemikiran Socrates, telah ada bukan diciptakan manusia. Manusia banyak membidani lahirnya saja. Socrates melakukannya dengan metode dialektika, dengan cara yang disebutnya sebagai maieuteke tekhne (teknik kebidanan). Ajaran Socrates tertuang dalam tulisan-tulisan muridnya bernama Plato (427-347). ______________ 13 Ejaan nama dan tahun dikutip dari Albert E. Avey, Handbook in the History of Philosophy, (New York: Barnes & Noble, Inc., 1965). 14 Sofis berasal dari kata sofoi (bijaksana). Kaum Sofis merasa telah memiliki kebijaksanaan karena itu merasa tidak perlu mencari kebijaksanaan. Kegiatannya berdebat dan harus menang. Mereka mencari akal untuk selalu menang.
Ghozali Munir, Akulturasi Pemikiran dan Sains Yunani ….
5
Masa Socrates, sebagaimana disebutkan oleh Avey, adalah periode klasik (The Classical Period) yang kemudian disusul oleh periode Hellenisme Pertama (The Early Hellenistic Period).15 Masa Hellenisme ini menurut A. Hanafi berkembang dalam dua fase, yaitu:16 a. Fase Hellenisme, saat di mana pemikiran filsafat hanya dimiliki oleh orang Yunani. Diperkirakan waktunya sampai abad ke-4 S.M. b. Fase Hellenisme Romawi, masa sekitar abad ke-4 S.M. sampai dengan abad ke-6 Masehi Byzantium dan Roma, atau sampai abad ke-7 Masehi di Iskandariyah. Pada masa ini pemikiran filsafat merangkum semua hasil pemikiran yang ada di Barat dan Timur. Masa ini berakhir sampai terjadinya penerjemahan buku-buku filsafat dan sains di dunia Islam. Hellenisme Romawi berkembang dalam tiga masa, yaitu: 1) Masa Pertama, diwarnai oleh aliran Stoa, Epicure, Skeptik dan Eklektika Pertama; 2) Masa Kedua, diwarnai oleh aliran Paripatetik Terakhir, Stoa Baru, Epicure Baru dan Filsafat Yunani; 3) Masa Ketiga, diwarnai oleh aliran Neoplatonisme, Iskandariah dan aliran filsafat di Asia Kecil. Pemikiran filsafat Neoplatonisme inilah yang banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran di dunia Islam.
C. Pertemuan Dunia Islam dengan Pemikiran dan Sains Yunani Sebagai akibat invasi suku Doria pada sekitar abad ke-11 S.M.17 bangsa Yunani menyebar ke daerah-daerah lain di sekitarnya. Penyebaran ini terjadi lagi sekitar abad ke-8 sampai ke-5 S.M. karena alasan ekonomi. Dengan demikian bangsa Yunani menduduki daerah yang lebih luas, meliputi Asia Kecil sampai ke pulau Sicilia serta daerah Italia Selatan, bahkan sampai Kyrene di daratan Afrika.18 Perluasan daerah tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga dikenal istilah Graecia Magna untuk menunjuk keluasan pengaruh Yunani dalam arti teritorial. ______________ Avey, op. cit., hlm. ix. A. Hanafi, Ikhtisar Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Madah, 1965), hlm. 32-33. 17 Doria adalah suku Hellenic terakhir tinggal di Yunani. Invasi mereka dikenal dengan “The Dorian Immigration” meluas sampai kawasan Mediteranian, bahkan ada bukti-bukti kuat sampai ke Mesir. Lihat Croon, op. cit., hlm. 71. 18 Bertens, op. cit., hlm. 16. 15
16
6
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Alexander The Great (356-323), raja Macedonia telah membangun jembatan antara Timur dan Barat.19 Putra dari Philip II ini adalah murid langsung Aristoteles. Sejak Alexander menundukkan Darius III Codomannus (336-330) kebudayaan Yunani berpadu dengan kebudayaan Persia.20 Daerah yang dikenal sebagai The Fertile Crescent yang terletak antara sungai Nil dan Tigris menjadi kawasan pengaruh Hellenisme. Pusat-pusat sains yang terkenal saat itu adalah Harran, Edessa, Yundishapur, Ktesipon dan Syriac. Kegiatan pengajaran filsafat serta sains berpusat di kota-kota Alexandria, Antiochia dan Beirut.21 Setelah Alexander wafat (323 S.M.) kerajaannya terbagi menjadi tiga, Macedonia di Eropa, Ptolomeus di Afrika, dan Seleucid di Asia.22 Pengaruh Yunani yang sangat dominan di daerah-daerah tersebut dapat diketahui dari pemakaian bahasa Yunani sampai dalam bidangbidang administrasi. Pada saat umat Islam memasuki Mesir dan Syria, bahasa Yunani masih tetap dipakai untuk kemudian diganti dengan bahasa Arab. Pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (685-705) kota Antiochia dan Bactra (Bactria, Balkh di Afghanistan) merupakan dua kota besar Seleucid yang masih menjadi pusat filsafat dan sains Yunani. Yundishapur masih memiliki sebuah Akademi dan rumah sakit Yunani.23 ______________ 19 Macedonia adalah suatu distrik di bagian utara Yunani berbatasan dengan Thessaly di bagian Selatan, Epirus di bagian Barat dan Thrace di bagian Timur. Di bawah Philip II Macedonia menjadi kerajaan yang kuat di dunia. 20 Croon, op. cit., hlm. 9 dan 63. 21 Alexandria menjadi nama dari berbagai kota yang ditaklukkan oleh Alexander The Great. Tetapi yang paling dikenal adalah kota Alexandria yang terletak di Mesir, direbut pada tahun 331 S.M. Antiochia (Antioch) adalah ibukota Syria di bawah kekuasaan kerajaan Seleucid. Didirikan tahun 300 S.M. oleh raja Seleucus I, kemudian diperluas oleh raja Antiochus III dan Antiochus IV. 22 Ptolemeus adalah sebutan untuk pemerintahan kerajaan Macedonia di Mesir. Disebut juga Lagiade. Raja-rajanya diberi gelar Ptolemy. Suksesinya sejak 367-330, berakhir pada raja Ptolemy XIV, dengan nama asli Philopater Philometor Caesar (Caesarion) putera Cleopatra. Croon, op. cit., hlm. 1. Seleucid adalah sebutan untuk pemerintahan kerajaan Macedonia di Syria. Berdiri sejak tahun 312 sampai 64. Lihat, ibid., hlm. 193. 23 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 8-9. Menurut Croon, op. cit., hlm. 1., Akademi (Akademos) pada mulanya adalah tempat penataran para pejabat pemerintahan Athena. Plato (427-347) mengisi
Ghozali Munir, Akulturasi Pemikiran dan Sains Yunani ….
7
Menurut Dr. Max Meyerhof dalam tulisannya Von Alexandrian nach Baghdad (Dari Alexandria ke Baghdad), salah satu alasan yang menguatkan hubungan Arab dengan Yunani (dalam bidang pemikiran dan sains) ialah bahwa pada saat Arab menaklukkan Mesir, aliran filsafat Iskandariyah masih eksis di sana.24 Dalam kondisi tersebut dapat diduga adanya penyaluran pemikiran dan sains Yunani via diffuse akibat pergaulan dan kontak sehari-hari. Adapun penyaluran via eruditorum dapat dilihat dalam kegiatan Khalifah Harun al-Rasyid (768-809) melakukan penerjemahan besar-besaran buku-buku Yunani ke dalam bahasa Syriac (Suryani) dan bahasa Arab.25 Penerjemahan dilakukan dengan dua pola yaitu pola Yunani Syriac (Suryani)–Arab, dan pola kedua Yunani–Arab. Salah seorang penerjemah yang terkenal bernama Hunayn bin Ishaq (810-876) telah menerjemah naskah Yunani/Romawi dengan pola pertama sebanyak 20 judul dan dengan pola kedua sebanyak 14 judul.26 Pada masa Khalifah al-Mansur (754-775) telah dimulai penerjemahan buku-buku perbintangan dan kedokteran. Kegiatan tersebut berlangsung terus sampai masa al-Mahdi (775-785) dan memuncak pada masa pemerintahan al-Rasyid. Menurut Jirji Zaidan, ilmu-ilmu “dakhliyah” mulai merambah dunia Islam sejak pemerintahan Abbasiyah Pertama. Di antaranya 9 judul karya Plato (427-374) tentang filsafat dan sastra, 19 judul karya Aristoteles (384-322) tentang filsafat, sastra dan logika, 10 judul karya Epicurus (341-270) tentang kedokteran, 48 judul karya Galen (130-200) tentang kedokteran, serta karya-karya filosof lainnya.27 A.J. Arberry dalam bukunya Aspects of Islamic Civilization mengatakan dengan tegas:
kegiatan Akademos dengan pelajaran yang mendalam tentang filsafat dan matematika. Selanjutnya ditekankan pada teori-teori filsafat. 24 Max Mayerhof, “Min Iskandariyah ilâ Baghdâd” dalam Abdurrahman Badawi (ed.), Al-Turâts al-Yunân fî al-Hadârah al-Islâmiyah, (Kairo: al-Nahdah, 1965), hlm 37. 25 Tahun untuk masa pemerintahan Khalifah dikutip dari Stanley Lane Poole, The Mohammadan Dynasties, (London: Librairie Orientaliste, 1925). 26 Harun Nasution, op. cit., hlm. 9. 27 Jirji Zaidan, Târîkh Adâb al-Lugâh al-’Arâbiyah, (Beirut: Dâr al-Maktabah, t.t.) vol. II, hlm. 338. Lihat juga, Jirji Zaidan, Târîkh al-Tamaddun al-Islâmi, (Kairo: Dâr al-Hilâl, 1958), vol. III, hlm. 153-161.
8
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
“Avid to gather in this inherited capital, Caliphs and their ministers encouraged the handful of scholars learned in the Greek and Syriac to put into Arabic the writings of Plato and Aristotle, of Euclid and Ptolemy, of Hippocrates and Galen. To the religious sciences—Koran and its exegesis, Tradition, Canon law, theology—now came be medicine, mathematics, astronomy, botany, zoology, mineralogy, logic, metaphysic, ethics, politics, in all of which the Greek and their commentators had made 28 fundamental contributions to human knowledge.
Walaupun mungkin pernyataan Arberry di atas tidak seluruhnya benar, tetapi paling tidak menunjukkan adanya masukan sains Yunani ke dunia Islam, seperti juga diterangkan oleh Zaidan di atas. Pertemuan dengan pemikiran dan sains Yunani ini tidak bisa dipungkiri lagi, dan dapat dibuktikan dengan jelas adanya Majelis Penerjemah di zaman Khalifah al-Makmun (813-833) yang diberi nama Dar al-Hikmah, di antara tokohnya yang terkenal adalah Hunayn bin Ishaq, seorang Nasrani aliran Nestorian.
D. Pengaruh Yunani pada Pemikiran dan Sains di Dunia Islam Dr. Ibrahim Madzkur menyatakan bahwa tidak bisa dipungkiri lagi adanya pengaruh filsafat Yunani terhadap pemikiran di dunia Islam. Sebagian besar pandangan-pandangan filsafat Islam menganut prinsipprinsip Plato dan Aristoteles. Hal yang demikian memang sudah lazim dalam arena budaya manusia, pihak yang datang kemudian mencontoh atau berguru kepada pihak yang terdahulu.29 Berkembangnya pemikiran rasional dan liberal dalam bidang agama, khususnya teologi, merupakan arus kuat pengaruh pemikiran Yunani yang diserap dunia Islam. Kaum Mu’tazilah yang mempertahankan nas-nas agama dengan menyesuaikannya pada pertimbangan akal, mendorong untuk menemukan persesuaian yang positif di dalam karya-karya filsafat Yunani. Karenanya pemikiran kaum Mu’tazilah bercorak rasional dan liberal. Tetapi perlu dicatat pula bahwa tidak semua pemikiran yang bercorak filosofis dan rasional merupakan unsur ______________ 28 A.J. Arberyy, Aspects of Islamic Civilization as Depicted in the Original Texts, (London: George Allen, 1964), hlm. 119. 29 Madzkur, op. cit., hlm. 22.
Ghozali Munir, Akulturasi Pemikiran dan Sains Yunani ….
9
luar yang masuk ke dalam Islam. Seperti yang diduga oleh Von Kraemer dalam pemikiran Mu’tazilah itu adalah produk dari pemikiran ulama Nasrani.30 Asalan Kraemer adalah karena pendeta-pendeta terdahulu telah membicarakan dan memperdebatkan soal kebebasan manusia, apakah manusia itu terpaksa atau bebas dalam melakukan perbuatannya. Mereka juga telah membicarakan tentang sifat-sifat Tuhan. Menurut Kraemer, masalah-masalah tersebut diserap oleh kaum Muslimin setelah penaklukan daerah Syam melalui tokoh-tokoh Nasrani di antaranya John of Damascus (700-754).31 Menurut Dr. Ahmad Amin, pernyataan Kraemer itu tidak benar. Sebelum menaklukkan Syam kaum Muslimin telah membicarakan takdir dan sifat-sifat Tuhan berdasar al-Qur’an dan al-Hadits. Apalagi kalau diperhatikan lebih jauh, masalah-masalah tersebut merupakan masalah yang universal untuk agama-agama yang ada. Kekeliruan Kraemer tersebut lebih jelas kelihatan kalau diketahui bahwa kontak-kontak Mu’tazilah ternyata lebih banyak kelompok Majusi Persia daripada kontak dengan Nasrani. Kaidah-kaidah Mu’tazilah disusun untuk menghadapi Majusi Persia bukan untuk menghadapi kalangan Nasrani.32 Untuk menggambarkan betapa besar pengaruh filsafat dalam percaturan pemikiran Islam, dapat disimak dari reaksi keras yang dilontarkan oleh sebagian ulama Islam terhadap filsafat. Timbulnya ungkapan, “man tamantaqa faqad tazandaqa” merupakan suatu reaksi yang sangat menekan perkembangan logika (mantiq).33
______________ 30 Ahmad Amin, Dhuha al-Islâm, (Libanon: Dâr al-Kitâb al-’Arabi, 1933), vol. I, hlm. 344. 31 John of Damascus, nama Arabnya Yahya al-Dimasyqi, penulis buku teologi yang baku di kalangan gereja-gereja Timur. Di antara karyanya adalah Fourtain of Knowledge. Di dalam buku tersebut diuraikan secara rinci logika Aristoteles serta teori realitasnya. Juga menyinggung berbagai bid’ah, menyusun kembali keyakinan ortodoks yang pada gilirannya mendorong perkembangan gereja-gereja Yunani. Karya-karyanya berpengaruh cukup besar pada pemikiran di Barat dan Timur. Lihat, Avey, op. cit., hlm. 77. 32 Ahmad Amin, op. cit., hlm. 345-346. 33 Ignaz Goldziher, “Mauqif Ahl al-Sunnah al-Qudama bi Aza’i ‘Ulûm al-Awâ’ili” terjemahan Arab dari Stellung der Alten Islamichen Orthodoxise zu den Antiken Wissenschoften, dalam Abdirrahman Badawi (ed.,), op. cit., hlm. 147.
10
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Tekanan keras itu telah mendorong al-Farabi (870-950) menyusun pembelaan dengan mengemukakan alasan-alasan dari al-Hadits yang mendorong perkembangan logika.34 Ibnu Salah (1181-1243), salah seorang tokoh Ahlussunnah memberi fatwa dalam rangka reaksinya terhadap filsafat dengan menyandangkan kebodohan, kesesatan, zindiq, dan membabi buta. Beliau menyatakan:35
8'9 :/ ;3: $ <(/ =->/ ?4 (/ =-@+/ A.* C B '*. D4 E 3"F/ F 'G3 < %# 0 %& A?HE & I*. %(/ ... M N/ O (DK4) Ibnu Taimiyah (w. 729), seorang tokoh pembaharu yang banyak melakukan kritik terhadap Ahlussunnah, juga menulis buku-buku dalam rangka menyerang filsafat dan logika Yunani antara lain Al-Radd ‘ala Aqâ’id al-Falasifah dan buku Nasîhat Ahli al-Îmân fî al-Radd ‘alâ Mantîq alYunan.36 Reaksi-reaksi tersebut menunjukkan betapa kuatnya pengaruh filsafat Yunani di dunia Islam. Pengaruh tersebut, khususnya aliran Neoplatonisme, memang dirasa amat dominan sehingga H.A.R. Gibb ______________ Ibid., hlm. 148. Tulisan Farabi tidak sampai kepada kita, isinya dapat disimpulkan dari tulisan Ibnu Abi ‘Usaibi’ah yang berjudul Kalam Jama’ahu min Aqâwil al-Nabi s.a.w. Yusyîru ilâ Shanâ’ah al-Mantiq. 35 Ibid., hlm. 160. Ungkapan Ibnu Salah tersebut mempermainkan kata “falsafah” dengan memisahkan suku kata pertama dari yang kedua dan ketiga (fal-safah), yang diartikan dengan “ditundukkan kebodohan”. Juga Abu al-Fatah al-Busti mengatakan bahwa “falsafah” berasal dari kata fall al-safah. Lihat, Al-Sa’alibi, Yatîmah al-Dahr, (Damaskus: 1304), vol. iv, hlm. 207. Tercatat pula tulisan al-Faqih Abu Umran al-Mirtali yang mempermainkan kata falsafah dalam syairnya: 34
A.# ?P/ A × /B . 6 ?P + Lihat, Kitâb Alîf Bâ’, (Kairo: al-Wahbah, 1304), vol. i, hlm. 23. 36 Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Ibnu Taimiyah: Hayâtuhu wa ‘Asruhu, ‘Arâ’uhu wa Fiqhuhu, (Mesir: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 236-250. Tulisan yang pertama termuat dalam majalah Al-Manar vol. x, hlm. 616-621. Tulisan kedua pernah dibahas oleh Sulaiman alNaqwi dalam majalah Islamic Culture vol. i, 1928. Murid Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, menulis artikel yang senada dalam Miftâh al-Sa’âdah wa Mansyûr Wilâyah al-’Ilm wa alIrâdah. Serangan Ibnu Taimiyah ini bukan ditujukan kepada filsafat secara keseluruhan, tetapi hanya diarahkan kepada produk pemikiran Yunani yang dianggapnya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Islam.
Ghozali Munir, Akulturasi Pemikiran dan Sains Yunani ….
11
mengatakan dalam bukunya Modern Trends in Islam bahwa para pemikir Muslim terdahulu berusaha menyesuaikan ajaran al-Qur’an dengan sistem pemikiran Yunani.37 Menurut Goldziher penampilan yang paling menyolok dari pengaruh Neoplatonis tampak pada aliran-aliran tasawuf. Beliau mengatakan:38
$ R6+ %( ?2R 3"HE S& T " U"HP V"H / ... .[-#+ $"U W 'U"X/ 'YZ ' "5-6+ Teori emanasi, misalnya, bukan saja merambah pemikiran para filosof Muslim, tetapi berkat karya kaum Sufi teori tersebut merambah juga ke dalam versi hadits. Beberapa hadits menerangkan bahwa sesuatu yang pertama kali timbul dari Tuhan adalah “akal” (akal kauni, akal pertama).
= 9 _ 8 E 6 8 E = 9 _ 89 6 89 :A = 6 8G \ ]P ( =/ aE/ Pb aE 8a( B & [ P P ( -`/ :&/ :`/:& .c9 & aE/ cY aE/ & Menurut Imam al-Daruqutni hadits-hadits tentang akal semacam ini adalah hadits palsu (mawdhu’).39 Dalam bidang sains kelihatan pengaruh Yunani lebih jelas sebab, sebagaimana kata Arberry, ilmu-ilmu yang ada sebelum kontak dunia Islam dengan Yunani adalah Tafsir al-Qur’an, Hadits, Fiqh, dan Aqaid (teologi). Tetapi setelah terjadi kontak dengan Yunani berkembanglah ______________ H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam, (New York: Octagon Book, 1978), hlm. 18. Goldziher, “Al-Anâsir al-Aflâtûniyyah al-Muhdatsah wa al-Gunûsiyyah fi alḤadits”, terjemah Arab dari Neoplatonische und Gnostische Elemente in Hadit, dalam Abdurrahman Badawi (ed.), op. cit., hlm. 218. 39 Lihat, al-Kulaini, Kitab al-Aql wa al-Jahl, (Teheran: WOFIS, 1978), hlm. 25-69. Menurut al-Zahabi, Imam al-Daruqutni menilai hadits-hadits yang terhimpun dalam Kitâb al-’Aql sebagai hadits palsu buatan Maisarah bin Abdi Rabbih, orang Persia yang banyak memalsu hadits tentang Fadhâil al-Qur’ân. Hadits-hadits tersebut dikutip secara gelap (saraqa) oleh Dawud al-Muhhabbar dengan membuat sanad baru. Kemudian diteruskan dengan kutipan gelap Abdul Aziz bin Raja’ dan Sulaiman bin Isa al-Sanjari. Lihat, al-Zahabi, Mîzân al-I’tidâl, (Mesir: al-Halabî, t.t.), hlm. Iv, hlm. 230. 37
38
12
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
sains di dunia Islam. Dikenal ilmu-ilmu seperti kedokteran, matematika, botani, astronomi, zoologi, mineralogi, logika, metafisika, etika, politik dan lain sebagainya.40 Penemuan-penemuan baru dalam berbagai bidang oleh para ahli dan sarjana Muslim tidak boleh tidak harus diakui, misalnya penemuan penyakit variola dan rougella, penemuan quicksilver, oleh Ibnu Sina. Namun semua itu terjadi setelah mereka menekuni sains Yunani yang berkembang di dunia Islam, baik yang langsung dari Syria dan Mesir, maupun yang melalui India dan Persia. Suatu hal yang masih merupakan pertanyaan yaitu apakah pemikiran dan sains Yunani ataukah pemikiran dan sains Persia yang lebih besar pengaruhnya di dunia Islam. Ahmad Amin dalam Duha alIslam menjelaskan bahwa masing-masing mempunyai bidang pengaruh yang sama kuatnya. Sains semisal matematika, kedokteran dan lain sebagainya, serta pemikiran filsafat dan yang berhubungan dengan itu bagian terbesar adalah pengaruh Yunani dan di sana-sini tercampur dengan pemikiran India dan lain-lainnya. Tetapi dalam bidang kesusasteraan baik bentuk maupun materinya, tidak terdapat pengaruh Yunani. Yang mengambil bagian terbesar adalah kesusasteraan Persia dan India, di samping Arab sendiri dalam bidang ini mempunyai kekayaan yang cukup berharga. Dalam bidang ketatanegaraan pemikiran Persia lebih dominan dari pada Yunani. Masuknya pemikiran dan sains tersebut di atas, menurut Amin, melalui perantara yang efektif yaitu para mutakallimun untuk jembatan Yunani ke dunia Islam dan orang Persia yang melebur ke Arab sebagai jembatan Persia ke dunia Islam.41
E. Analisis dan Kesimpulan Filsafat adalah pemikiran yang radikal mengenai tiga pokok persoalan besar yaitu Tuhan (Sang Pencipta), alam (kosmos) dan manusia. Di kalangan orang Hindu sejak dahulu kala telah lahir suatu ajaran bahwa alam ini dijadikan oleh Brahma. Juga ajaran tentang Atman yang ______________ Sebagaimana dicontohkan bahwa Algorisme yang dinilai sebagai penemuan al-Khawarizmi (780-850) sebenarnya adalah penataan kembali ilmu hitung yang dikembangkan oleh pemikir Yunani Diophantes (350 S.M.). Al-Khawarizmi menambahkan berbagai penemuannya tentang nol (ciphers), logaritma dan hitungan desimal. 41 Ahmad Amin, op. cit., hlm. 375 dan 383. 40
Ghozali Munir, Akulturasi Pemikiran dan Sains Yunani ….
13
mengajarkan bahwa jiwa itu baru tenang apabila sudah berpadu dengan yang Satu. Filsafat Vedanta menerangkan bahwa alam yang kelihatan ini adalah alam bayangan terletak dalam selubung Maya. Di Cina pada sekitar abad ke-6 S.M. ajaran Lao mengajarkan bahwa zat pencipta itu adalah Tao. Dari Tao lahir pencipta bumi dan pencipta segala kebajikan. Pada abad yang sama di Persia tumbuh pemikiran Zarathustra yang mengajarkan adanya pertentangan abadi dari benda pokok Ormudz dan Ahriman. Di samping itu sejak sebelum timbulnya pemikiran Yunani sudah terdapat orang-orang Arab yang mempelajari kosmos, menyembah matahari dan bulan.42 Dengan demikian pernyataan Bartens yang seakan-akan menempatkan pemikiran Yunani sebagai pemikiran pertama di dunia, harus dipahami secara terbatas, yaitu di kawasan Barat, sebab di Timur sudah sejak lama telah lahir pemikiran yang bercorak filsafat. Kelebihan Yunani hanyalah karena catatan pemikiran tokoh-tokohnya dapat dipelajari oleh generasi berikutnya. Memang benar bahwa pemikiran Yunani yang mengalir ke dunia Islam mempengaruhi corak pemikiran di dunia Islam. Tetapi tidak bisa dikatakan bahwa filsafat dan sains Yunani adalah satu-satunya yang mempengaruhi dunia Islam. Sebagaimana dikatakan oleh De Lacy O’Leary dalam bukunya How Greek Science Passed to The Arab, pengaruh Yunani terhadap pemikiran Arab tidak selalu datang dari Syria dan Mesir, tetapi juga secara tidak langsung datang melalui India bahkan melalui Persia.43 Ilmu-ilmu Falak, Sastra, Hukum, Sejarah dan Musik sebagian diserap dari budaya Persia, sedang Parmakologi, aritmatika, astronomi, musik dan sastra sebagian diserap juga dari India. Namun pengaruh Yunani memang dirasa cukup besar, dan hal ini kelihatan dari reaksi keras dari berbagai kalangan di dunia Islam, khususnya kalangan Ahlussunnah. Perkembangan pemikiran di dunia Islam surut, manakala Ahlussunnah bertambah kuat kekuasaannya di Baghdad pada abad ke-11 M.44
______________ Abu Bakar Atjeh, op. cit., hlm. 13. De Lacy O’Leary, How Greek Science Passed to The Arab, (London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1957), hlm. 96. 44 Mayerhof, op. cit., hlm. 100. 42
43
14
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa memang benar pemikiran dan sains Yunani telah masuk ke dunia Islam melalui kontak Arab dengan kebudayaan Hellenis dan pengaruhnya begitu kuat sehingga di samping efek yang positif juga menimbulkan efek yang negatif.[]
DAFTAR PUSTAKA http://pakguruonline.pendidikan.net/pradigma_pdd_ms_depan_32.html Al-Kulaini, Kitâb al-‘Aql wa al-Jahl, Teheran: WOFIS, 1978. Al-Sa’alibi, Yatimah al-Dahr, Damaskus: 1304. Al-Zahabi, Mizân al-I‘tidâl, Mesir: al-Halabi, t.t. Amin, Ahmad, Dhuhâ al-Islâm, Libanon: Dâr al-Kitâb al-‘Arâbi, 1933, vol. I. Arberyy, A.J., Aspects of Islamic Civilization as Depicted in the Original Texts, London: George Allen, 1964. Atjeh, Abu Bakar, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang: Ramadhani, 1970). Avey, Albert E., Handbook in the History of Philosophy, New York: Barnes & Noble, Inc., 1965. Bakry, Hasbullah, Sistematik Filsafat, Jakarta: Wijaya, 1970. Basyir, Ahmad Azhar, Ringkasan Sejarah Filsafat, mimeo, Bahan Kuliah Studi Purna Sarjana IAIN ke-8, Yogyakarta: SPS, 1981. Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1975. Croon, J.H., The Encyclopedia of the Classical World, terjemahan Inggris dari Elseviers Encyclopedia van de Antieke Wereld oleh J. Muller-Van Santen, New York: Prentice Hall, 1965. Evans, Bergen & Carnelia Evans, A Dictionary of Contemporary American Usage, New York: Random House, 1957. Gibb, H.A.R., Modern Trends in Islam, New York: Octagon Book, 1978. Goldziher, Ignaz, “Al-Anâsir al-Aflâtûniyyah al-Muhadatsah wa alGunûsiyyah fi al-Hadîts”, terjemah Arab dari Neoplatonische und Gnostische Elemente in Hadit, dalam Abdurrahman Badawi (ed.), AlTurâth al-Yunâni fi al-Hadhârah al-Islâmiyah, Kairo: al-Nahdah, 1965. _______, “Mauqif Ahl al-Sunnah al-Qudamâ' bi Azâ’i Ulum al-Awâ’ili” terjemahan Arab dari Stellung der Alten Islamichen Orthodoxise zu den Ghozali Munir, Akulturasi Pemikiran dan Sains Yunani ….
15
Antiken Wissenschoften, dalam Abdurrahman Badawi (ed.,), Al-Turâts al-Yunâni fi al- Hadhârah al-Islâmiyah, Kairo: al-Nahdah, 1965. Hanafi, A., Ikhtisar Filsafat Yunani, Yogyakarta: Madah, 1965. Komaruddin, Kamus Istilah Skripsi dan Tesis, Bandung: Angkasa, 1974. Madzkur, Ibrahim, Fȋ al-Falsafah al-Islâmiyah: Manhâj wa Taṭbiquh, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1968. Mayerhof, Max, “Min Iskandariyah ila Baghdad” dalam Abdurrahman Badawi (ed.), Al-Turâth al-Yunâni fi al-Hadharah al-Islâmiyah, Kairo: alNahdah, 1965. Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). O’Leary, De Lacy, How Greek Science Passed to The Arab, London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1957. Poedjawijatna, I.R., Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Pustaka Sarjana, 1961. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1962. Poole, Stanley Lane, The Mohammadan Dynasties, London: Librairie Orientaliste, 1925. Zahrah, Muhammad Abu, Ibnu Taimiyah: Hayâtuhu wa ‘Asruhu, Arâ’uhu wa Fiqhuhu, Mesir: Dar al-Fikr, t.t. Zaidan, Jirji, Târȋh Adâb al-Lugah al-‘Arâbiyah, Beirut: Dâr al-Maktabah, t.t.. __________, Târȋkh al-Tamaddun al-Islâmi, Kairo: Dâr al-Hilâl, 1958.
16
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
WORK ETHICS IN ISLAMIC PERSPECTIVE Oleh: Wahibur Rokhman∗ Abstract Runtuhnya korporasi besar seperti: Enron, Arthur Anderson, Worldcom, Global Crossing karena mega skandal menjadikan etika kerja mendapat perhatian yang sangat besar di dunia bisnis. Hal ini menunjukkan bahwa sehebat dan seprofesional apapun pengelolaan perusahaan jika tidak dilandasi dengan etika kerja yang baik maka akan terjadi manipulasi yang berakibat pada kebangkrutan. Konsep etika kerja pertama di kembangkan oleh Max Weber dalam buku yang berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, yang mengaitkan antara kesuksesan sistem kapitalis dengan ajaran Protestan. Lebih lanjut, Weber juga pendapat bahwa masyarakat Muslim tidak bisa maju di bidang ekonomi karena berbagai alasan seperti sufisme, sikap fatalisme dan outokratik pada kerajaan-kerajaan Islam. Konsep etika kerja Islam merupakan bentuk respon dari para pakar Muslim di bidang teori organisasi dan sumberdaya manusia atas kritik Weber. Berbagai hasil penelitian yang dilakukan Aslam (2000; 2001) di Turki, Ali (1996) di Amerika menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan etika kerja Islam terhadap produktivitas kerja pada masyarakat Muslim. Keywords: work ethics, business, Islamic ethics, and morality.
A. Introduction The study of work ethics has gained significant interest in recent years following the failures of major corporations like Enron, Arthur Anderson, and WorldCom. However, most studies in this area, as well as in the bigger subject area of business ethics, have been based on the experiences in the American and European countries (Lim and Lay, 2003; Rizk, 2008). Essentially, these studies (e.g. Furnham, 1982, 1990; Furnham and Rajamanickam, 1992) relied on the Protestant Work Ethic (PWE) as advocated by Max Weber (Yousef, 2001). Notwithstanding the impact of Protestantism and PWE on economic development in the ______________ ∗
Wahibur Rokhman, Ph.D adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus
Wahibur Rokhman, Work Ethic in Islamic Perspective
17
West (Weber, 1930/2001), the applicability of models that are based on these elements may be limited in non-Western societies, particularly those which adhere to other religious believes. Islam for example has its own concept of ethics that are derived from the Qur’an and Hadits. In a manner similar to Weberian Protestantism, Islam provides the ideological foundation for a variety of personal attributes that promote economic development (Ali, 2005). Indeed, according to Ali (2005), the application of Islamic ethics brought the Muslims to the golden ages in the eighth until the fourteenth century.
B. Work Ethics Ethics derived from the Greek word “ethos” which means custom or habit. Ethic is the study of values and customs of persons or groups and covers the analysis and employs the concept such as right and wrong, good and evil, and responsibility (Beekun, 1997). It is about what should be done and what should be avoided as human beings, and as members of a group or a society and in the different roles in life. Sometimes the word “ethics” is used synonymously and interchangeably with morality. But some experts like to differentiate between ethics and morals. They argue that ethics are about social values and morality is about personal values. But in practice, courses on moral philosophy cover the same material as courses on ethics (Ciulla, 2003), and both are important as guidance in human relations. There are some reasons for the importance of ethics. First, ethics give a baseline for understanding the concepts of right and wrong. The function of ethics here is as a standard for a guidance and evaluation of human behavior. Second, ethics is a mediator for a dealing or contact with other persons. Unethical attitudes warrant negative responses from people. Third, ethics are a source advice that guides humans on how to act morally in certain situations and how to show others the correct behavior (Beekun, 1997; Ali, 2005). Ethics are built in the individual; they come from within. The individual’s ethics can be influenced by some factors such as family, religious values, ethnic beliefs, personal values and morals and life experiences (Beekun, 1997). It also can be culturally developed given that it is influenced by a combination of social preferences and patterns, family education, religious teachings, and ethnic beliefs and values. This
18
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
combination creates a cultural and social norm as a base of the ethics of humankind. Beekun (2007) expresses the factor determinants of individual ethics as shown in figure below: Figure: Determinants of Individual Ethics
Source: Beekun, (1997), p.3
One of the most important activities in human life is work. Work is an activity that is related with the social and economical side of life. Social relations at work are needed for establishment of the equilibrium in individual and social life. Therefore an ethical guidance that regulates activities in the work place is needed. It is usually called work ethic. Work ethic is a system of values or beliefs that guides employees’ attitudes and behaviors in the workplace. It reflects on an individual’s attitudes towards some aspects of work, including preference for activity and involvement, attitudes toward financial and non financial rewards and the desire for rising career mobility (Cherrington, 1980). It can be described as both a social norm and a set of individual characteristics of the worker. Cherrington (1980) suggests that besides social norm, work ethic is an attribute to promote the accountability and responsibility of the worker; it also has an intrinsic value exclusive of the external rewards (Hill and Fouts, 2005). Wayne and Chapman (1992) view work ethics as a social obligation that referred to usefulness, importance, or general worth that people assign to some behavior or conception related to work. Wahibur Rokhman, Work Ethic in Islamic Perspective
19
Because workers come to work with different values and backgrounds, they need ethical guidance that should be followed by every individual in the organization, such as ethics. It is generally believed that work ethic is an essential attribute in the work place. A survey of managers found that almost 80 percent of them agreed that productivity is suffering because the work ethic has decreased in their organizations (Lipset, 1990). Experts have viewed work ethics from various perspectives. Some of them have the opinion that the truth of the work ethics are from the agreement among the group in the organization. In contrast, some of them have opinions that the truth of the work ethics comes from God as the creator. God made humans in His image, He created a regulation that is suitable for humankind. Based on this way of thinking, the work ethics concepts have spread to a variety of religions in the world. Notable examples are the Protestant and the Islamic Work Ethic.
C. Protestant Work Ethic The term Protestant work ethic (PWE) was first mentioned by Max Weber in his book, The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism. The book addressed the issue of why people pursue material gain for its own sake and not solely for necessity. Weber saw that the root of unintended and unforeseen reaction to the protestant reformation in the 16th century. The PWE is a set of beliefs and values that emphasizes asceticism, industriousness, individualism, conservation of resources, deferment of immediate satisfaction, and overall valuing of work as the most worthwhile way to spend one’s time (Weber, 2002). According to Beit-Hallahmi (1979), PWE “an orientation towards work which emphasizes dedication to work hard, deferment of immediate rewards, conservation of resources, the saving of surplus wealth, and the avoidance of idleness and waste in any form” (p. 263). Max Weber argued that the set of values emphasized by ascetic Protestantism reinforced a strong belief in the value of good, clean and hard work that would ensure individual salvation (Firestone et al., 2005). He proposed a causal relationship between the PWE and the development of capitalism in Western societies. Weber believed that this religious inclination produced a certain type of personality with a high
20
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
motivation to achieve success in worldly terms by working diligently to create and accumulate economic wealth (Weber, 2002). Weber (2002) was explaining the actual dimensions of the PWE. The broader meaning of the PWE refers to one or more of the following beliefs and attitudes: - Taking hard work and industriousness as religious duties. - A negative attitude to leisure activities - Frugality and productivity - Punctuality and time-saving - Pride in work - Commitment and loyalty to occupation and organization - Need for achievement - Honesty - Taking idleness, wasting time and money as vices, - Internal locus of control (one first must blame himself or herself instead of others) - Taking ambition and success as the signs of God’s favor, - Taking poverty as a universal indicator of sin while taking wealth as a sign of God’s favor Some research has shown that people who believe in the PWE tend to have high internal locus of control beliefs (Furnhan, 1984), conservative attitudes and beliefs (Furnham and Bland, 1982); and a high need for achievement (Furnham, 1982). Moreover, as individual difference, PWE beliefs have been found to be powerful predictors of work-related behavior (Greenberg, 1978, 1979). Blau and Ryan (1997) used exploratory factor analysis to identify four dimensions of PWE using 543 respondents. The dimensions are: (a) hard working represents both a belief that effort at work will lead to success and hard work as a value unto itself, (b) non-leisure dimension refers to a suspicious idleness and relaxation (e.g. people should not have more leisure time to spend on relaxation), (c) independence places value on avoiding dependence on other people (e.g. to be superior, a person must stand alone), (d) Ascetics dimension cross materialism and places value on life and reinvestment of profit. Beit-Hallhami (1979) studied the relationship between the PWE and social background variables such as religious self–identification, ethnic background, political self-identification, and religious beliefs. He found Wahibur Rokhman, Work Ethic in Islamic Perspective
21
that PWE relates to other background variables and it is not independently predictive (Wentworth, and Chell., 1997). Furnham et al., (1993) measure PWE values in 13 countries and the results show that participants from richer people in first world countries tend to have lower scores than those from third world countries. Related with PWE, Greenberg and Baron (2008) suggest that employees may consider it as a moral obligation to work hard, shun idleness, and consider an effort to be a reward into itself, therefore, such employees may be more likely to engage in some forms of extra-role behaviors even under conditions of boredom, fatigue or unfairness (Ryan, 2002). Besides the research on the PWE that has been done in the West, a couple of studies also been done in some Eastern countries. A study conducted by Ma (1986) found that Taiwanese PWE scores were not related to religious belief or affiliation. Ali (1988) found that Arab executives had higher PWE level than their Scandinavian and American counterparts. Moreover, there are many other religions and ethnic groups that have achieved success and good economic achievement during part of their history. Notable examples are the Jain in India or Santri Muslim in Java, even though their contributions have been totally ignored in management literature (Ali, 2001). As a result, there is the need to study work ethic in the different references related to other religions such as in Islam (Ali, 2001).
D. Islamic Work Ethic Despite the fact that the Protestant had some contributions for achieving the tremendous progress in economic development in the West (Weber, 1958), Islam also had the concept of ethics that derives from the Qur’an and Hadits. These work ethics had succeeded in bringing the Muslims’ world into the golden ages in the eighth until fourteenth century, under the Islamic empire. In a manner similar to Weberian Protestantism, Islam provides the ideological foundation for a variety of personal attributes that promote economic development (Ali, 2001; Ali and Al-Owaihan, 2008). Islamic work ethic (IWE) may be defined as a set of moral principles that distinguishes what is right from what is wrong (Beekun, 1997) in the Islamic context. The Islamic work ethic is originally based on the Qur’an,
22
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
because the Qur’an is the ultimate source of guidance for Muslims in all aspects of life. The Islamic work ethic emphasizes cooperation in work and consultation which is seen as a way of overcoming obstacles and avoiding mistakes. Islamic work ethic stresses creative work as a source of happiness and accomplishment. Hard work is seen as a virtue and those who work hard are more likely to get ahead in life. Both Islamic and Protestant work ethics place considerable emphasis on hard work, commitment, and dedication to work, work creativity, avoidance of unethical method of wealth accumulation, cooperation and competitiveness at the work place (Yousef, 2001). The issue of Islamic work ethic was also addressed by Prophet Muhammad (s.a.w). According to Ali (2005) they are grouped as: first, pursuing legitimate business, the Prophet asked his followers to do useful work that benefit the society. Second, wealth must be earned. Every people have different capacities and their need to use the capacity to acquire wealth. Thirdly is quality of work. The Prophet transformed the Arab community from laziness to discipline and hard work. He also linked faith and work together to steer Muslims to get prosperity. Fourth is wages. The Prophet asked Muslims to be fair, just and prompt in compensating workers. Fifth is reliance on self. One of the most important functions of work is that it sustains confidence and selfresilience. Sixth is monopoly. The Prophet said “the supplier is blessed and the monopolist is cursed” and “whoever withholds commodities is a sinner”. Seventh is bribery. The Prophet said: “God cursed the one who gives and the one who receives bribery”. Eighth is deeds and intentions. The Prophet said: God does not look at your matters and wealth, rather God examines your intentions and actions. Ninth is transparency. The Prophet said: those who declare things frankly, will not lead to each other destruction. Tenth is greed and which is considered a threat to social and economic justice. The Prophet said: be aware of greediness, it is living poverty. Eleventh, generosity is a virtue in Islam. The Prophet said: the generous person is closest to God, heaven, people and far from hell (Ali, 2005; Ali and Al-Owaihan, 2008). However, not much is known about Islamic work ethic. To date, there are only a few researches that have looked at Islamic work ethic such as Ali (1988, 2001), Yousef, (2000; 2001), Rahman et al., (2006), Ali and Al-Kazemi, (2007), Moayedi, (2009) and Khalil and Abu-Saad (2009).
Wahibur Rokhman, Work Ethic in Islamic Perspective
23
Ali (1988) developed an Islamic work ethic scale and individualism. He used 150 Arab students in the US as his subjects. The result of the reliability test and correlation analysis indicated that both scales were reliable and that the IWE scale was positively and significantly correlated with the individualism scale. Then in 2001, Ali tested his scale among 117 managers in Saudi Arabia. He found that the managers were highly committed to the IWE and showed a moderate tendency toward individualism. This study also provided further evidence of the reliability of these scales. A study on Islamic work ethic in the United Arab Emirates (UAE) was conducted by Yousef (2000), who investigated the mediating role of the IWE between locus of control, role conflict and role ambiguity, using 397 samples. The results suggested that Islamic work ethic related to locus of control, the Islamic work ethic also mediated the relationships between locus of control and role ambiguity. On the other hand, the Islamic work ethic did not mediate the relationship between locus of control and role conflict. In a further research, Yousef (2001) investigated the moderating effect of the IWE on the relationships between organizational commitment and job satisfaction. This study used 425 Muslim employees in several organizations in the United Arab Emirates (UAE). The result of the study was that IWE directly affected both organizational commitment and job satisfaction and that it moderated the relationship between these constructs. In Malaysia, Rahman et al., (2006) examined the relationship between IWE and three organizational commitment dimensions. The three dimensions of organizational commitment were: affective, normative and continuance commitment. This study used 227 employees from several bank branches in Malaysia. The study found that Islamic work ethic has a positive and significant relation with the three dimensions of organizational commitment. Moreover, the affective commitment has a higher correlation with Islamic work ethic than continuance and normative commitment. Another study was conducted by Ali and Al-Kazemi (2007), who investigated IWE in Kuwait, using 761 managers in government and private sectors. The results indicated that managers scored high on Islamic work ethic and loyalty scales. There was a positive high correlation between the two measures. Demographic and organizational variables had significant influence on managerial orientations. Furthermore, a related research was recently conducted by Khalil and Abu-Saad (2009).
24
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
They investigated the Islamic work ethic and individualism using 837 respondents of Arab college students in Israel. They found that there was a strong correlation between Islamic work ethic and individualism scales.
E. Counter of Weber’s Thesis Islam clearly counters the Weber thesis that Muslim societies could not develop their economy. Weber (1982) argued that Islam could not produce values such as Protestant ethics “the spirit of capitalism” because for a number of reasons (in Arslan, 2000). First, Sufism is viewed as an otherworldly character because it is avoidance of world matter. Weber believed that Sufism is a barrier to the development of a capitalistic spirit because it encourages a fatalistic way of life. Second, warrior ethic or the spirit of conquest is regarded to be antithesis of the productive capitalist spirit because war is closely related with a destruction and assassination. Third, Weber argued that the most of Islamic empires are despotic; they restricted property rights and capital accumulation. It created laziness among the people (Arslan, 2000). The Weber opinion about the Islamic values in economics is rejected because faith in Islam includes work as integral component of the human idle. Work and faith, according to Abeng (1997), are the same as a root and tree; one cannot live without the other. Recent research which conducted by Arslan (2000 and 2001) has provided empirical support to refuse Weber’s thesis. Arslan (2000) compared the British and Turkish managers using PWE. He found that Turkish managers scored higher in all characteristics in PWE than British managers. In his conclusion, Arslan mentioned that the result of his research had some impacts: first, the Weber’s criticism of Islamic terms in the economic behavior is not valid, especially in the case of Turkish. Second, religious motives had an important impact on business. Lastly, Turkish Sufi movements had the same role as Calvinism in Northern Europe in the eighteenth century and the Islamic ethic and heritage had an important role in business ethics. Critically, Aslan’s findings mirrored the findings of an earlier research by Ali (1988), who found that Arab managers to be more productive than Western managers.
F. Conclusion During last few years, ethics get more attention in business because of some cases of ethical lapses, especially in Western world such as Enron, Wahibur Rokhman, Work Ethic in Islamic Perspective
25
Arthur Anderson, and WorldCom. After those cases, work ethic is in the meltdown era, the study of ethics become crucial for business’ education in general and also for business’ organization in particular. Some business school quickly responded by adding ethics courses and supported the existing effort to educate ethics in some business organizations. As a complete way of life, Islam has provided a guidance and rule in all aspects including in the work place. Islam is considered work as a way to fulfill the needs and the necessities, to establish the equilibrium in individuals and social life, and also to get the happiness in hereafter as a part of worship to Allah. Thus, the importance of ethics in Islam is clearly apparent. The concept of work ethics in Islam, which is usually called Islamic work ethic, is a set of moral principles that distinguish what is right from what is wrong based on Qur’an and Hadits in the work place. Furthermore, Islam clearly counters the Weber thesis that Muslim societies could not develop their economy. Weber (1982) argued that Islam could not produce values such as Protestant ethics “the spirit of capitalism” because for a number of reasons (in Arslan, 2000). First, Sufism is viewed as an otherworldly character because it is avoidance of world matter. Weber believed that Sufism is a barrier to the development of a capitalistic spirit because it encourages a fatalistic way of life. Second, warrior ethic or the spirit of conquest is regarded to be antithesis of the productive capitalist spirit because war is closely related with a destruction and assassination. Third, Weber argued that the most of Islamic empires are despotic; they restricted property rights and capital accumulation. It created laziness among the people (Arslan, 2000).[]
REFERENCES Abeng, T. (1997) “Business ethics in Islamic context: perspectives of a Muslim business leader”, Business Ethics Quarterly, Vol. 7 No. 3, pp. 47-54. Ali, J.A. and Al-Kazemi, A. (2007) “Managerial problems in Kuwait”, The Journal of Management Development, Vol. 21 No. 5, pp. 366-375. Ali, J.A. and Al-Owaihan, A. (2008) “Islamic work ethic: a critical review”, Cross Cultural Management an International Journal. Vol. 15 No. 1, pp. 519.
26
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Ali, J.A. (1988) “Scaling an Islamic work ethic”, Journal of Social Psychology, Vol. 128 No. 5, pp. 575-583. Ali, J.A. (1992) “Islamic work ethic in Arabia”, Journal of Psychology, Vol. 126 No. 5, pp. 507-517. Ali, J.A. (2005). Islamic Perspectives on Management and Organization. Edward Elgar Publishing, UK. Arslan, M. (2000) “A cross cultural comparison of British and Turkish managers in term of Protestant work ethic characteristics”, Business Ethics: A European Review, Vol. 9 No. 1, pp. 13-19. Arslan, M. (2001) “The Work ethic values of Protestant British, Catholic Irish and Muslim Turkish Managers”, Journal of Business Ethics, Vol. 31, pp. 321-339. Beekun, R. (1997). Islamic Business Ethics. IIIT, Herndon, Virginia, U.S.A. Faridi, F (ed) (1995). Islamic Principles of Business Organization and Management. Qazi Publishers and Distributors, New Delhi. Furnham, A. (1982) “The Protestant work ethic and attitudes towards unemployment”, Journal Occupational Psychology, Vol. 55 No.4, p. 277285. Furnham, A. (1990) The Protestant Work Ethic: The Psychology of WorkRelated Beliefs and Behaviours. London: Routledge. Furnham, A. and Muhuideen, C. (1984) “The Protestant work ethic in Britain and Malaysia”, Journal of Social Psychology, Vol. 122, pp. 157161. Furham, A. and Rajamanickam, R. (1992). “The Protestant Work Ethic and Just World Belief in Great Britain and India”, International Journal of Psychology, Vol. 27 No. 6, pp. 401-416 Koh, H.C. and Boo, E.H. (2004) “Organizational Ethics and Employee Satisfaction and Commitment”, Management Decision, Vol. 42 No. 5, pp. 677-693. Koh, H.C. and Boo, E.H. (2001) “The Link Between Organizational Ethics and Job Satisfaction: A Study of Managers in Singapore”, Journal of Business Ethics, Vol. 29, pp. 309-324. Lim, C. and Lay, C.S. (2003) “Confucianism and the Protestant Work Ethic”. Asia Europe Journal, Vol. 1, pp. 321-322.
Wahibur Rokhman, Work Ethic in Islamic Perspective
27
Mulki, J.P., Jaramillo, J.F., and Locander, W.B. (2008) “Effect of Ethical Climate on Turnover Intention: Linking Attitudinal and Stress Theory,” Journal of Business Ethics, Vol. 78, pp. 559-574. Peterson, D.K. (2003) “The Relationship between Ethical Pressure, Relativistic Moral Beliefs and Organizational Commitment”, Journal of Managerial Psychology, Vol. 16 No. 6, pp. 557-572. Putti, J.M., Aryee, S. and Ling, T.K. (1989) “Work Values and Organizational Commitment: A Study in The Asian Context”, Human Relations, Vol. 42, pp. 275-288. Rahman, N.M., Muhamad, N. and Othman, A.S. (2006) “The Relationship between Islamic Work Ethics and Organizational Commitment: A Case Analysis”, Malaysian Management Review, Vol. 41 No.1. Rizk, R.R. (2008) “Back to Basics: An Islamic Perspective on Business and Work Ethics”, Social Responsibility Journal, Vol. 1 / 2, pp. 246-254. Rice, G. (1999) “Islamic Ethics and The Implication for Business”, Journal of Business Ethics, Vol. 18 No. 4, pp. 345-358. Robbins S.P. (2005). Organizational Behavior. Prentice-Hall, Upper Saddle River, NJ. Sager, J.K., Yi, J. and Futrell, C.M (1998) “A Model Depicting Sales People’s Perceptions.” Journal of Personal Selling and Sales Management, Vol. 18. pp. 1-18. Seibel, H. D. (2007) “Islamic Microfinance in Indonesia: The Challenge of Institutional Diversity, Regulation and Supervision”. Paper presented in Symposium on Financing the Poor: Towards an Islamic Microfinance. Harvard law School. Viswesvaran, C. and Deshpande, S. P. (1996). “Ethics, Success, and Job Satisfaction: A Test of Dissonance Theory in India”, Journal of Business Ethics, Vol. 15, pp. 1065-1069. Vitell, S.J. and Davis, D.L. (1990). “The Relationship between Ethics and Job Satisfaction: An Empirical Investigation”, Journal of Business Ethics, Vol. 9, pp. 489-494. Vitell, S.J. and Singapakdi, A. (2008) “The Role of The Ethics Institutionalization in Influencing Organizational Commitment, Job Satisfaction, and Esprit de Corps”, Journal of Business Ethics, Vol. 81, pp. 343-353. Weeks, A., Terry, L., Loe, C., and Kirk, W. (2004) “The Effect of The Perceived Ethical Climate on The Search for Sales Force Excellence”,
28
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Journal of Personal Selling & Sales Management, Vol. 24 No. 3, pp.199214. Weber, M. (1958) The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Charles Scribner’s Sons, New York, NY. Yousef, D.A. (2000) “Organisational Commitment as A Mediator of The Relationship between Islamic Work Ethic and Attitudes Toward Organizational Change,” Human Relations, Vol. 53 No. 4, pp. 513-537. Yousef, D.A. (2001) “Islamic Work Ethic - a Moderator Between Organisational Commitment And Job Satisfaction in a Cross-Cultural Context”, Personnel Review, Vol. 30 No.2, pp. 152-165.
Wahibur Rokhman, Work Ethic in Islamic Perspective
29
30
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
PERIKATAN DAN PERJANJIAN DALAM HUKUM ISLAM Oleh: Moh. Fauzi∗ Abstract This study is a study of ushul fiqh relates with the law of the transaction between individuals in relation to the property. In that transaction is sometimes used the term of the engagement (al-iltizam) and agreement (al-'aqd), both of which are often interpreted and used in different contexts. Iltizam is closely related to the case of al-haq (right), which is something that arises as a form of human relations. Therefore, the fulfillment of such rights is bound by rules that must be complied with. In addition, something arising from the relationship between humans, sometimes in the form of the agreement. Both became important in the discussion of Islamic law. Keywords: usul fiqh, transaction, mu'amalah, commitment, agreement.
A. Pendahuluan Mu`amalah merupakan salah satu bentuk ajaran syari`ah 1 yang dikandung al-Qur'an. Di samping itu ada juga yang berbentuk ajaran `ibadah. `Ibadah mengatur tata cara umat Islam berhubungan dengan Allah, sedangkan mu`amalah mengatur hubungan sesama umat manusia, demi menciptakan kemaslahatan dan menolak segala bentuk bahaya.2
______________ ∗
Dosen tetap Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang Syari’ah dalam arti sempit identik dengan fikih atau hukum Islam yang diartikan dengan hasil pemahaman (ijtihad) fuqaha’ terhadap syari`ah. Sedangkan dalam arti yang luas, syari`ah mencakup hukum keyakinan, etika, dan tindakan praktis mukallaf (fikih). Lihat Ahmad al-Khatib, al-Fiqh al-Muqaran (Kairo: Dar al-Ta’lif, 1957), hlm. 8. Dalam perjalanan sejarah, hukum Islam tersebut sedikitnya telah melahirkan empat macam produk, yaitu: kitab-kitab fikih, fatwa ulama’, keputusan Pengadilan Agama, dan peraturan perundangan di negeri Muslim. Lihat, Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 31-33. Keempat macam produk tersebut— secara umum—dapat disebut hukum Islam (fikih). 2 Lihat lebih lanjut Mahmud Syaltut, al-Islam `Aqidah wa Syari`ah (Kairo: Dar alQalam, 1966), hlm. 11-12; 77. 1
Moh. Fauzi, Perikatan dan Perjanjian dalam Hukum Islam
31
Hukum mu`amalah menurut istilah kontemporer dikembangkan menjadi beberapa macam.3 Al-qanun al-madany (hukum perdata atau hukum sipil)4 merupakan salah satu bentuk hukum mu`amalah. Hukum perdata ini dibagi menjadi dua; al-ahwal al-syakhsiyyah (hukum yang mengatur hubungan individu dengan keluarganya), dan mu`amalah dalam arti al-ahwal al-`ayniyyah (hukum yang mengatur hubungan transaksi antar individu kaitannya dengan harta benda).5 Di antara yang berhubungan dengan hukum yang terakhir ini ada yang berbentuk perikatan dan perjanjian. Kedua masalah ini akan kita telaah dalam perspektif usul fiqh, sehingga diketahui bentuk istinbat al-hukm (penggalian hukum) yang dilakukan fuqaha’ dalam merumuskan pemikiran fikihnya. Oleh karena objek kajian perikatan dan perjanjian itu sangat luas, tulisan ini hanya mengkaji tentang syarat, rukun (perjanjian) dan hal-hal penting yang terkait dengan keduanya saja.
B. Perikatan (Iltizam) dan Perjanjian (`Aqd) dalam Hukum Islam 1. Pengertian Perikatan dan Sumber-sumbernya Perikatan, dalam hukum Islam diistilahkan dengan iltizam. Istilah ini dibedakan dari `aqd yang diartikan dengan perjanjian.6 Dalam Undang______________ 3 Lihat misalnya `Abdul Wahhab Khallaf, `Ilm Usul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, t.th.), hlm. 32-33; Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub al-`Arabi, t.th.), hlm. 95-8; Syaltut, al-Islam, hlm. 488-490. 4 Dalam hukum umum, istilah hukum perdata dalam arti luas mencakup seluruh hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingankepentingan perseorangan. Ada juga yang memakai istilah hukum sipil untuk hukum privat materiil. Namun karena perkataan “sipil “ juga lazim dipakai sebagai lawan dari “militer”, maka lebih baik dipakai istilah hukum perdata. Lihat Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 1996), cet. XXVIII, hlm. 9. Sedangkan dilihat dari segi pembagian hukum, hukum perdata merupakan lawan dari hukum publik. Pembagian ini berdasarkan isi hukum dengan melihat kepentingan yang diatur oleh hukum. Lihat L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Oetarid Sadino) (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), cet. XXV, hlm. 171. 5 Lihat `Abd al-Raziq Ahmad al-Sanhury, Nazariyyah al-`Aqd (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 1-2. 6 Menurut etimologi, antara iltizam (perikatan) dan `aqd (perjanjian) tidak nampak jelas perbedaannnya secara prinsipil. Iltizam diartikan dengan i`tinaq (berpelukan). Sedangkan `aqd diartikan sebagai naqid al-hall (lawan terurai). Lihat Jamaluddin Muhammad b. Mukarram al-Ansary, Lisan al-`Arab (Beirut: Dar al-Sadir, , 1995), Juz XII, hlm. 542 dan Juz III, hlm. 296. Demikian juga dalam Bahasa Indonesia. Perikatan
32
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
undang hukum perdata Perancis, definisi term iltizam masuk dalam definisi `aqd. Sementara dalam Undang-undang hukum perdata Mesir, menggunakan term ta`ahhud sebagai ganti dari term iltizam. Dari perbedaan ini, al-Sanhury memilih term iltizam yang dapat menampung makna yang dituju. Karena, term ta`ahhud hanya digunakan untuk bentuk perikatan yang sumbernya `aqd, sedangkan iltizam di samping mencakup perikatan yang bersumber dari `aqd juga yang bukan berasal dari `aqd.7 Dengan demikian, perikatan itu lebih umum dan luas daripada perjanjian.8 Definisi iltizam dalam Undang-Undang Mesir yang mengadopsi Undang-Undang Perancis tersebut berpangkal dari Undang-Undang Romawi sebagaimana dikutip oleh Pothier. Orang-orang Romawi mendefinisikan iltizam dengan: ikatan yang bersumber dari undangundang (hukum) yang mengharuskan kita untuk memenuhi sesuatu sesuai dengan undang-undang tersebut. Sedangkan Paul menyatakan: “suatu iltizam terwujud jika ada orang lain yang mampu memaksa kita untuk memberikan sesuatu, atau melakukan pekerjaan, atau mencegah suatu pekerjaan”. Dari kedua definisi tersebut kemudian digabungkan oleh Pothier menjadi: “ikatan yang bersumber dari undang-undang yang mengharuskan kita pada orang lain untuk memberi sesuatu, atau melakukan suatu pekerjaan, atau mencegah dari suatu pekerjaan”.9
diartikan dengan pertalian dan perserikatan. Sedangkan perjanjian di antaranya didefinisikan dengan hukum sikap tindak jamak pihak untuk mengadakan ikatan hukum. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 368, 401. Sementara dalam kamus hukum diartikan perjanjian atau persetujuan diistilahkan dengan verbintenis. Lihat misalnya Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 547. 7 Al-Sanhury, op. cit., hlm. 1. Lihat dan bandingkan dengan Muhammad Salam Madkur, al-Madkhal li al-Fiqh al-Islamy Tarikhuh wa Mashadiruh wa Nazhariyyatuh al`Ammah (T.Kt.: Dar al-Nahdah al-`Arabiyyah, 1960), hlm. 507-508. 8 Dalam hukum perdata yang diatur dalam Buku III B.W. (Burgerlijk Wetboek) juga menunjukkan bahwa perikatan lebih luas dari istilah perjanjian. Meskipun dalam Buku III itu sebagian besar berisi perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, namun ada juga tentang hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian. Seperti, perikatan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige), dan akibat pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Lihat Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, hlm. 122. 9 Al-Sanhury, op. cit.,, hlm. 12.
Moh. Fauzi, Perikatan dan Perjanjian dalam Hukum Islam
33
Dari beberapa pemikiran tentang pengertian iltizam, al-Zarqa' akhirnya memberikan definisi iltizam yang menurutnya merupakan definisi terbaik, yaitu: “adanya seseorang dibebani dengan suatu perbuatan, atau dilarang berbuat sesuatu demi kemaslahatan orang lain”. Tuntutan untuk berbuat sesuatu itu disebut iltizam ijabiyyah (perikatan positif). Sedangkan tuntutan yang berbentuk untuk tidak berbuat sesuatu disebut iltizam salbiyyah (perikatan negatif).10 Pembicaraan tentang iltizam tersebut sangat terkait dengan masalah al-haq (hak). Oleh karena iltizam merupakan bentuk hubungan antar manusia, maka dalam melakukannya mereka terikat oleh aturan-aturan yang harus dipatuhi bersama yang dikenal dengan sebutan hak. Meskipun terdapat macam-macam pemikiran tentang hak, namun setidaknya ada dua makna pokok tentang hak. Pertama, hak diartikan dengan sekumpulan kaidah dan teks-teks tasyri—yang mempunyai nilai paksa—mengatur hubungan manusia antara individu dengan harta benda. Makna ini lebih dekat kepada pemahaman khitab al-syari` (titah pembuat syari'at) yang sinonim dengan term hukum dalam pandangan pakar usul fikih, atau arti qanun dalam terminologi pakar undang-undang. Kedua, hak berarti al-sultah wa al-makinah (kekuasaan dan kekuatan) yang dituntutkan, atau berarti tuntutan yang wajib dilakukan seseorang kepada orang lain. Hak dalam arti seperti inilah— yang secara umum—menjadi objek kajian. Dari pemahaman artinya yang umum, hak itu banyak macam dan pembagiannya. Dalam makna seperti inilah tidak ada definisi -yang dikemukakan pakar hukum Islam dan undang-undang- secara tepat dapat mencakup seluruh macamnya. Namun al-Zarqa' kemudian mendefinisikan hak dengan: “suatu ikhtisas (privilage/ kekhususan) yang ditetapkan oleh syara' yang berupa kekuasaan atau pembebanan”. 11 ______________ 10 Mustafa Ahmad al-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhy al-`Am, Juz I (Damaskus: al-Adib, 1967-1968), hlm. 436-437. Lihat juga al-Madkhal al-Fiqhy al-`Am Nazariyyat al-Iltizam al`Ammah, Juz III, hlm. 81. Pengertian tersebut nampaknya sejalan dengan pengertian hukum perdata (BW) yang disebutkan dalam Pasal 1234: “ perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Lihat Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Andi Hamzah (ed), (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), cet. IV, hlm. 315. 11 Al-Zarqa’, ibid., Juz III, hlm. 9-10. Al-Sanhury mendefinisikan hak dengan: “suatu kemaslahatan yang mempunyai nilai kebendaan yang diberikan oleh hukum kepada individu”. Al-Sanhury, Nazariyyah, hlm. 2.
34
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Hak dibedakan menjadi dua; haq `ayni dan haq syakhsi. Haq `ayni adalah kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang atas sesuatu tertentu sehingga seseorang itu mempunyai hak tertentu atas sesuatu tersebut. Hak semacam ini dibatasi dalam hukum, misalnya hak kepemilikan, hak pemanfaatan, dan lain-lainnya. Sedangkan haq syakhsi yang identik dengan iltizam (disebut dengan haq syakhsi bila dilihat pihak da'in [pemberi pinjaman/hutang], dan disebut iltizam bila dilihat dari pihak madin [orang yang pinjam/hutang]) adalah hubungan antara dua pihak (da'in dan madin) yang memberi hak kepada si pemberi hutang menuntut kepada si berhutang untuk berbuat atau untuk tidak berbuat.12 Pengidentikan haq syakhsi dengan iltizam tersebut menurut alZarqa' dipandang tidak tepat. Meskipun terdapat persamaan antara keduanya seperti dalam unsur-unsur yang membentuk keduanya, namun ada sisi perbedaannya seperti dalam tabi`ah ijabiyyah (sifat yang bernilai positif) dan salbiyyah (negatif) pada keduanya. Tabi`ah haq syakhsi bersifat ijabiyyah yang didasarkan atas tujuan agar dipenuhi tuntutan dan tidak memenuhi pada salah satu pihak. Sementara tabi`ah iltizam bersifat salbiyyah yang didasarkan atas pemikiran pemenuhan atau kebutuhan dengan menyelesaikan janji dan tanggungan dari pihak lain. Jadi, antara haq syakhsi dengan iltizam hanya terdapat hubungan saling timbal balik (taqabul) sebagaimana antara memberi dan menerima.13 Adapun tentang sumber-sumber perikatan, menurut al-Zarqa', istilah sumber-sumber perikatan diartikan dengan segala sesuatu atau kejadian yang darinya lahir sebuah perikatan. Jadi, sumber di sini menjawab pertanyaan: “dari mana lahirnya iltizam?”.14 Sedangkan al-Sanhury mendefinisikan sumber perikatan sebagai sebab yang bernuansa hukum (perundangan) yang dapat mewujudkan perikatan.15 Berdasarkan penelitian induktif dan mengintroduksi pemikiran fikih, al-Zarqa' meringkas sumber-sumber perikatan menjadi lima (5) macam;16 al-`aqd (akad)17, al-iradah al-munfaridah (kemauan sepihak),18 al______________ Al-Sanhury, ibid.,, hlm. 2. Al-Zarqa’, ibid., hlm.. 15-18. Al-Zarqa’, ibid., hlm. 50-51. 14 Al-Zarqa’, ibid., hlm. 84. 15 Al-Sanhury, op. cit., hlm, 72. 16 Al-Zarqa’, op. cit., hlm. 85-92. 17 Contohnya bentuk-bentuk perjanjian yang dilakukan dua pihak (tarafani), seperti perjanjian jual-beli. 12
13
Moh. Fauzi, Perikatan dan Perjanjian dalam Hukum Islam
35
fi`l al-dar (perbuatan yang berbahaya),19 al-fi`l al-nafi` (perbuatan yang bermanfaat),20 dan syara` (hukum).21 Sementara itu, menurut al-Sanhury kelima hal tersebut tidak cukup dipandang sebagai sumber perikatan. Karena, para pemikir hukum Islam tidak membuat bab khusus yang mengkaji tentang perikatan, sumber dan efek yang ditimbulkannya. Karena itu, sumber-sumber perikatan tersebut perlu dilihat kembali, apakah semua itu diakui sebagai sumber perikatan oleh syari'at Islam. Sumber-sumber tersebut harus dikembalikan ke asas mantiqy (dasar logika).22 Berdasarkan hal ini, sebab-sebab tersebut tidaklah hanya terbatas pada haq al-syakhsiyyah, melainkan juga pada haq al-`ayniyyah. Menurutnya, sumber-sumber perikatan pada dasarnya berupa al-waqa'i` al-qanuniyyah dan al-tasarrufat atau al-a`mal al-qanuniyyah .23 Pemikiran alSanhury ini dikomentari al-Zarqa', bahwa al-waqa'i itu ada yang bersifat tabi`iyyah (alamiah), dan ada juga yang bersifat ikhtiyariyyah (diciptakan). Sedangkan al-waqa`i` al-ikhtiyariyyah itu adakalanya berupa a`mal maddiyyah dan ada yang berupa tasarrufat syar`iyyah (al-qanuniyyah). Adapun tasarrufat syar`iyyah ada yang berbentuk sebelah pihak dan ada yang berbagai pihak. Berdasarkan hal ini, sumber perikatan yang berupa `aqd dan kemauan sepihak masuk dalam tasarrufat syar`iyyah. Sedangkan sumber al-`amal al-dar dan al-`amal al-nafi` masuk dalam a`mal maddiyyah. Adapun a`mal maddiyyah dan tasarrufat syar`iyyah keduanya termasuk alwaqa`i` al-ikhtiyariyyah dan sebagai bandingannya adalah al-waqa`i` althabi`iyyah yang menisbatkan sumber-sumber perikatan ke syara' (qanun).24 Sementara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena
18 Contohnya perjanjian yang dilakukan secara sepihak (taraf wahid) , seperti wakaf dan wasiat. 19 Contohnya perbuatan merusakkan barang milik seseorang sehingga dia harus menggantinya. 20 Contohnya seseorang yang membeli sesuatu kemudian diketahui pada waktu berikutnya sesuatu itu menjadi milik orang lain sehingga dia mengembalikan kepada si penjual. 21 Contohnya seorang ayah yang harus memberi nafkah pada anaknya. 22 Al-Sanhury, op. cit., hlm. 62-63. 23 Ibid., hlm. 72-76. 24 Al-Zarqa’, op. cit.,, hlm. 88-92.
36
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
undang-undang (Pasal 1233).25 Selanjutnya disebutkan, perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang (Pasal 1352). Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, muncul dari suatu perbuatan yang sah atau dari perbuatan yang melanggar hukum (Pasal 1353).26 2. Perjanjian: Pengertian, Macam, Rukun dan Syarat-syarat Pengertian tentang perjanjian (`aqd) bermacam-macam tergantung dari perspektif yang digunakan. Menurut terminologi fuqaha’, `aqd adalah irtibat ijab bi qabul `ala wajhin masyru` yathbut atharuh fi mahallih (hubungan antara ijab-qabul menurut aturan yang digariskan, dan efeknya terwujud di tempatnya). Adapun dalam istilah perundang-undangan, `aqd adalah ittifaq iradatayn `ala insya' haqqin aw `ala naqlih aw `ala inha'ih (kesepakatan dua kehendak untuk mewujudkan suatu hak, atau memindahkannya, atau mengakhirinya).27 Dari dua definisi `aqd tersebut, al-Zarqa' berpendapat bahwa definisi versi perundang-undangan tersebut ghayru mani`.28 Karena itu, definisi `aqd yang dikemukakan fuqaha’ itu lebih dalam maknanya dan lebih kuat dilihat dari segi logika, meskipun definisi versi perundang-undangan lebih jelas bentuknya dan lebih mudah dipahami dalam dunia pembelajaran.29 Demikian juga, jenis dan bentuk perjanjian terbagi menjadi bermacam-macam tergantung sudut pandang yang digunakan. Ada kemungkinan satu bentuk perjanjian diberi sifat lebih dari satu, sehingga melahirkan satu bentuk perjanjian yang masuk lebih dari satu jenis pembagian. Di antara sudut pandang yang melahirkan perbedaan jenis dan bentuk perjanjian adalah: 1. Dari segi pembentukannya, perjanjian adakalanya berbentuk perjanjian rida'i, syakli, dan `ayni; ______________ Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang, hlm. 315. Ibid., hlm. 336. 27 Al-Zarqa’, op. cit., Juz I, hlm. 291-292. 28 Menurut `ilm al-mantiq (logika), di antara syarat sebuah definisi itu harus jami`(muttarid) dan mani`(mun`akis). Jami` berarti harus dapat memasukkan semua unsur yang termasuk di dalam mu`arraf (sesuatu yang didefinisikan). Sedangkan mani` berarti dapat menolak sesuatu lain yang tidak termasuk mu`arraf. 29 Al-Zarqa’, op. cit., Juz I, hlm. 295. 25
26
Moh. Fauzi, Perikatan dan Perjanjian dalam Hukum Islam
37
2. Dari segi objeknya, perjanjian dibedakan menjadi perjanjian musamma, ghayru musamma, dan adakalanya berupa perjanjian basit dan mukhtalit; 3. Dari segi efeknya, perjanjian adakalanya berupa perjanjian dhati, ittifaq munazzam, adakalanya mengikat dua pihak atau sepihak, serta ada juga yang berbentuk perjanjian mu`awadah atau tabarru`; 4. Dari segi sifat alaminya, perjanjian ada yang berupa muhaddad atau ihtimali, adakalanya berupa perjanjian fawri atau mustamir, serta adakalanya berupa perjanjian asli atau thaba`i.30 Suatu perjanjian dinyatakan berlaku, jika terdapat unsur-unsur tertentu yang mengandung kriteria yang telah ditetapkan. Ketentuan inilah yang sering disebut dengan istilah syarat dan rukun.31 Unsurunsur pokok yang harus ada dalam suatu perjanjian adalah: 1. Al-`Aqid/al-Muta`aqidayn (orang yang mengadakan perjanjian); 2. Sighat (sesuatu yang menunjukkan adanya kehendak melakukan perjanjian dari para pelaku perjanjian); 3. Mahall al-`Aqd/Ma`qud `Alayh (hal yang di dalamnya terdapat efek dan hukum dari adanya perjanjian); dan 4. Mawdu` al-`Aqd (tujuan inti dari pelaksanaan perjanjian).32 ______________ 30 Untuk mengetahui lebih lanjut tentang penjelasan masing-masing jenis dan bentuk perjanjian tersebut, lihat Al-Sanhury, Nazariyyah, hlm. 111-144. Bandingkan misalnya dengan pembagian perjanjian yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda, berikut dalil yang dikemukakan fuqaha’. Sudut pandang lainnya misalnya, melihat perjanjian dari segi hukm al-wad`iy, hukm al-taklifiy, dan lain-lainnya. Lihat Muslim Ibrahim, Nazariyyah `Ammah li al-`Aqd wa al-Faskh fi al-Fiqh al-Islami al-Muqaran (T.Kt.: T.Pn., T.Th.), hlm. 16-37. 31 Dalam terminologi Usul Fiqh, antara syarat dan rukun itu mengandung segi persamaan sekaligus perbedaan. Persamaannya adalah, keduanya harus ada (dipenuhi) dalam suatu perbuatan hukum. Sedangkan perbedaannya, syarat bukan termasuk bagian integral dari substansi perbuatan hukum itu, sementara rukun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari substansi perbuatan hukum tersebut. Lihat misalnya Wahbah al-Zuhayli, Usul al-Fiqh al-Islamy, Juz I (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), hlm. 100. 32 Keempat unsur pokok dalam perjanjian tersebut sering juga disebut sebagai rukun perjanjian. Namun ada juga yang menyebut rukun perjanjian yang berupa sighat (ijab-qabul) hanya sebagai salah satu dari unsur pokok perjanjian. Jadi dibedakan antara rukun perjanjian dengan unsur-unsur pokok yang harus ada dalam suatu perjanjian yang kadang diistilahkan dengan qiwam al-`aqd, dan ada juga dengan istilah ma yutawqqaf `alayh wuquf al-`aqd. Lihat misalnya al-Zarqa’, al-Madkhal, Juz I, hlm. 312-318; Salam Madkur, al-Madkhal, hlm. 509-511. Sedangkan menurut BW, suatu perjanjian
38
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Masing-masing dari unsur pokok tersebut harus memenuhi syaratsyarat tertentu agar suatu perjanjian sesuai dengan aturan syara' (perjanjian dianggap ada dan terjadi ). Syarat-syarat ini ada yang berupa syarat umum (harus dipenuhi pada setiap perjanjian apa pun macam dan bentuknya),33 dan syarat khusus (hanya harus ada pada sebagian perjanjian dan tidak pada perjanjian yang lain). Di kalangan fuqaha’ mazhab, perbincangan tentang rukun dan syarat perjanjian tidaklah dikaji dalam bab tersendiri. Mereka membahas rukun dan syarat yang harus ada dalam setiap perjanjian dalam masalah al-bay` (jual-beli). Sedangkan dalam bentuk perjanjian lainnya baru disebutkan rukun dan syarat khusus yang berbeda dalam al-bay`.34 Untuk memperoleh gambaran perbedaan tersebut, penulis uraikan sekilas tentang hal-hal pokok. Dalam mazhab Hanafi, rukun perjanjian jual-beli itu hanya satu, yaitu sighat yang berupa ijab-qabul. Sedangkan untuk terjadinya perjanjian jual beli harus memenuhi beberapa syarat (syara'it al-in`iqad).35 yang sah harus memenuhi empat syarat: perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkam diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu yang diperjanjikan, dan suatu sebab atau causa (oorzaak) yang halal artinya tidak terlarang (Pasal 1320). Lihat Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, hlm. 134. 33 Al-Zarqa’ menyebutkan ada tujuh, yaitu: Ahliyyah al-`Aqidayn, Qabiliyyah mahall al-`aqd li hukmih, An la yakuna al-`aqd mamnu`an bi muqtada nass syar`iyyin,An yastawfiya al`aqd syara’ita inqadih al-khassah bih, An yakuna al-`aqd mufidan, Baqa’ al-ijab sahihan ila wuqu` al-qabul, Ittihad majlis al-`aqd., al-Zarqa’, op. cit., Juz I, hlm. 341. 34 `Abdurrahman al-Jaziry menyebutkan rukun perjanjian jual-beli ada 3, yaitu: sighat,al-`aqid, dan ma`qud `alayh. Karena masing-masing terdiri dari dua macam, maka rukun tersebut menjadi 6 macam. Di sini fuqaha’ madhhab berbeda pendapat tentang syarat masing-masing rukun tersebut. Lihat lebih lanjut dalam bukunya al-Fiqh `ala Madhahib al-Arba’ah, Juz II (Kairo: Dar al-Hadits, t.th.), hlm. 141-153; Salam Madkur, alMadkhal, hlm. 512-530. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III (Beirut: Dar alFikr, 1998), Cet. II, hlm. 91-100. 35 Dalam madhhab Hanafi, syarat-syarat dalam perjanjian jual beli dibedakan menjadi empat macam; syarth al-in`iqad (sesuatu yang menjadi terjadinya suatu perjanjian), syarth al-nafadh (sesuatu yang tanpanya hukum tidak dapat ditetapkan, meskipun kadang suatu perbuatan dapat terjadi tanpanya),, syarth al-sihhah (sesuatu yang tanpanya menyebabkan tidak sah suatu hukum, meskipun tanpanya suatu hukum dapat terjadi dan berlanngsung), dan syarth al-luzum (sesuatu yang tanpanya suatu perjanjian jual-beli tidak dapat tetap, meskipun tanpanya dapat terjadi dan berlangsung) . Lihat misalnya Abi Bakr b. Mas`ud al-Kasani, Bada’i` al-Shana’i` fi Tartib alSyara’i`, Juz V ( Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.th.), hlm. 135. Di antara syarth alnafadh adalah al-milk wal wilayah. Sedangkan syarth al-sihhah sebagiannya merupakan semua syarth al-in`iqad dan syarth al-nafadh. Hal lain yang termasuk syarth al-sihhah
Moh. Fauzi, Perikatan dan Perjanjian dalam Hukum Islam
39
Syarat-syarat tersebut juga berbeda tergantung terkait dengan al-`aqid, al`aqd, makan al-`aqd, atau ma`qud `alayh. Syarat al-`aqid di antaranya harus berakal. Karena, keahlian untuk melakukan suatu perbuatan hukum itu merupakan syarat terjadinya suatu perbuatan hukum. Keahlian tersebut tidak dapat terwujud tanpa adanya akal. Sedangkan bulugh (kedewasaan) bukan menjadi syarth alin`iqad.36 Karena itu, menurut Hanafiyyah, sabiy dapat melakukan transaksi jual-beli jika ada bimbingan atau ijin dari walinya. Hal ini dikarenakan sabiy termasuk ahliyyat al-ada' al-qasirah (sahnya seseorang melakukan perbuatan hukum yang belum sempurna). Pemikiran semacam ini sejalan dengan pemikiran usul fiqh mazhab Hanafi tentang ahliyyat al-ada'. Menurut mazhab ini, seseorang baru terkena beban hukum untuk melakukan perbuatan hukum secara sempurna (ahliyyat al-ada' al-kamilah) manakala telah mempunyai kesempurnaan akal. Namun kesempurnaan akal ini bersifat abstrak, sehingga syara' menggantinya dengan sebab yang konkret berupa bulugh. Bulugh inilah yang menjadi sandaran ada dan tidaknya hukum. Dengan bulugh seseorang telah berhak melakukan perbuatan hukum apa pun jenisnya, ibadah maupun akad-akad lainnya.37 Sedangkan syarat yang terkait dengan al-`aqd adalah qabul harus sesuai dengan ijab.38 Adapun yang berhubungan dengan makan al-`aqd, perjanjian jual-beli harus ittihad al-majlis (satu tempat).39 Sedangkan syarat ma`qud `alayh harus mawjud (ada), sehingga tidak boleh menjual ma`dum (sesuatu yang tidak ada) dan sesuatu yang mengandung
adalah ma`qud `alayh harus diketahui dan dapat diserahterimakan. Lihat lebih lanjut hlm. 148, 156, 168. Dalam madhhab Syafi`i dan Hanbali, hanya dikenal dua macam syarth yaitu syarth al-sihhah dan syarth al-luzum. Sementara di kalangan Maliki ada tiga macam, yaitu syarth al-sihhah, syarth al-luzum, dan syarth al-nafadh. Lihat Muslim Ibrahim, Nazariyyah `Ammah, hlm. 12. 36 Di samping berakal, al-`aqid juga harus berbilang. Karena itu, satu orang tidaklah patut melakukan akad dari dua pihak dalam perjanjian jual-beli. Lihat alKasani, Bada’i`, hlm. 135. 37 Abi Bakr Muhammad b. Ahmad b. Abi Sahl, Usul al-Sarakhsy, Juz II (Mesir: Dar al-Kitab al-`Araby, 1372), hlm. 340-341, 349. Lihat juga `Abd al-`Ali Muhammad b. Nizam al-Din al-Ansary, Fawatih al-Rahamut bi Syarh Muslim al-Thubut fi Usul al-Fiqh, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 160. 38 Al-Kasani, Bada’i`, hlm. 136. 39 Ibid., hlm. 137.
40
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
bahaya karena tidak ada.40 Di samping itu, ma`qud `alayh juga harus berupa mal (benda).41 Berbeda dengan mazhab Hanafi, rukun perjanjian (jual-beli) bagi mazhab Syafi`i selain sighat, juga al-`aqid, dan ma`qud `alayh. Sedangkan masing-masing rukun itu juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Misalnya, harus ada kesesuaian antara ijab dan qabul. Ma`qud `alayh harus bermanfaat, suci,42 dapat diserahterimakan.43 Sedangkan si al-`aqid harus rasyid (dewasa),44 punya kebebasan antara membatalkan dan meneruskan perjanjian, di samping dia harus punya kekuasaan, baik
______________ 40 Larangan jual-beli sesuatu yang tidak nampak didasarkan alasan untuk meniadakan unsur gharar (ketidakjelasan sifat dan rupa). Namun ada sedikit perbedaan antara Hanafi dan Syafi`i. Menurut Syafi`i, gharar yang dapat membatalkan jual-beli adalah yang meniadakan ketamakan seseorang untuk memaksa orang lain sehingga rela dengan perjanjian yang mengandung unsur gharar khafi (yang tidak jelas). Sementara Hanafi hanya menjadikan alasan gharar sebagai alasan batalnya jual-beli sesuatu yang tidak nampak. Syihab al-Din Mahmud b. Ahmad al-Zanjani, Takhrij alFuru` `ala al-Usul (Damaskus: Jami`ah Damaskus, 1962), hlm. 63. 41 Al-Kasani, op. cit., hlm. 138-140. 42 Menurut al-Syafi`i, sesuatu yang suci boleh dijualbelikan, sedangkan yang najis tidak boleh. Alasannya adalah, najis itu sesuatu yang harus dijauhi dan dilarang mendekatinya, padahal jual-beli merupakan sarana untuk melakukan pendekatan (kepada Allah). Sementara dalam pandangan Abu Hanifah, pembolehan jual-beli sesuatu itu didasarkan atas manfaat dan tidaknya sesuatu itu. Karena itu, anjing yang terlatih menurut Syafi’i tidak boleh dijualbelikan dan tidak harus mengganti jika terjadi kerusakan dikarenakan najis. Sementara menurut kelompok Hanafi, anjing tersebut boleh dijualbelikan dan harus mengganti jika terjadi kerusakan atasnya. Al-Zanjani, Takhrij hlm. 89-90. 43 Muhammad b. Idris al-Syafi`i, al-Umm, Juz IV (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 2021. Ibnu Qudamah (salah seorang pengikut Hanbali) juga menganggap tidak sah jualbeli sesuatu yang tidak dapat diserahterimakan, misalnya menjual burung yang terbang di udara. Hal ini didasarkan atas Hadits Nabi yang melarang bay` al-gharar (jual beli sesuatu yang tidak jelas sifat dan rupanya). Ibnu Qudamah al-Maqdisy, al-Mughni, Juz IV (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1994), hlm. 144. Sementara itu, larangan jual beli buah-buahan sebelum tampak matang, menurut Ibnu Qayyim didasarkan atas metode sadd al-dhari`ah (menyumbat jalan). Larangan tersebut dimaksudkan agar tidak menjadi sarana memakan harta dan menganiaya si pembeli dengan cara yang tidak benar. Lihat Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, I`lam al-Muwaqqi’in `an Rabb al-`Alamin, Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), hlm. 169. 44 Dalam madhhab Syafi`i, jual-beli yang dilakukan anak kecil adalah batal. Sementara menurut kelompok Hanafiyyah sah dengan bimbingan si wali. Al-Zanjani, Takhrij hlm. 88. Lihat juga footnote nomor 37.
Moh. Fauzi, Perikatan dan Perjanjian dalam Hukum Islam
41
dengan hak kepemilikian, wilayah, atau memberi ijin, serta harus tahu kondisi ma`qud `alayh.45 Meskipun fuqaha’ berbeda dalam menentukan rukun dan syarat perjanjian, mereka sepakat bahwa sighat merupakan rukun perjanjian. Sighat yang disepakati adalah yang berupa qawl (ucapan) dalam bentuk ijab-qabul. Sementara dalam bentuk fi`li (perbuatan) seperti jual-beli mu`atah,46 fuqaha’ berbeda pendapat. Kalangan Hanafiyyah membolehkan jual-beli mu`atah karena sama-sama menunjukkan adanya saling rida (kerelaan) antara kedua pihak.47 Namun menurut al-Syafi`i, hal yang dianggap dapat menunjukkan ridha keduanya hanyalah dalam bentuk ijab-qabul saja, sehingga tidak boleh menyamakan hal lain dengan keduanya. Pendapat Abu Hanifah oleh al-Zanjani dinilai lemah. Karena, meskipun mu`atah menunjukkan adanya unsur ridha, namun syara' hanya mengakui bentuk ridha yang dikandung oleh ijab-qabul. 48 Sementara itu, al-Sanhury setelah mengemukakan rukun perjanjian dalam hukum perdata Perancis yang meliputi empat macam; ridha, keahlian, mahall, dan sabab, dia akhirnya hanya menganggap ridha sebagai satu-satunya rukun perjanjian. Menurutnya, keahlian itu hanya sebagai syarat bagi adanya ridha, bukan sebagai rukun yang berdiri sendiri. Sementara mahall, dan sabab bukanlah rukun perjanjian melainkan sebagai rukun perikatan.49 ______________ 45 Lihat lebih lanjut Zakariyya b. Muhammad al-Ansary, al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh Manzumah al-Bahjah al-Wardiyyah, Juz IV (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1997), Cet. I, hlm. 398-462. Lihat juga `Abdullah b. Hijazy al-Syafi`i, Hasyiyah al-Syarqawy, Juz III (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1997), hlm. 38-43. 46 Adalah suatu praktek jual-beli yang bentuk persetujuannya diwujudkan dalam bentuk perbuatan. 47 Pembolehan mu`atah oleh Hanafiyyah diistibantkan dari ayat-ayat tentang tijarah yang menurutnya tidak ada yang mengharuskan dalam bentuk ucapan (ijabqabul). Jadi selama ada bentuk pertukaran sesuatu yang menjadi hakekat jual beli yang dalam mu`atah diwujudkan dalam bentuk mengambil dan memberi. Ucapan (ijabqabul). hanyalah sebagai petunjuk saja. Al-Kasani, Bada’i`, hlm. 134. 48 Al-Zanjani, Takhrij hlm. 62-63. 49 Al-Sanhury, op. cit., hlm. 147. Pendapat Al-Sanhury yang menjadikan rida’ sebagai satu-satunya rukun perjanjian bila dikaitkan dengan pemikiran usuliyyun berarti menjadikan hikmah sebagai landasan hukum. Hal ini tidak sejalan dengan pendapat mayoritas yang menjadikan landasan hukum dalam bentuk `illlat. Al-Zanjani misalnya, dia pada dasarnya mengakui bahwa kerelaan merupakan landasan utama segala bentuk perjanjian dalam mu`amalah. Namun oleh karena kerelaan tersebut bersifat tidak jelas dan abstrak, maka harus diwujudkan dalam bentuk konkrit yang
42
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Dari uraian di atas, pemikiran fuqaha’ tentang rukun dan syarat perjanjian ada yang semata-mata berdasar berpikir logis. Di sini fuqaha’ tidak menunjuk dalil maupun memahami dari sebuah dalil. Pemikiran ini seperti terlihat ketika fuqaha’ mensyaratkan si `aqid harus mempunyai kekuasaan atas ma`qud `alayh. Ada juga yang didasarkan atas pola ta`lily, seperti ketika mereka mensyaratkan ma`qud `alayh harus mawjud dan dapat diserahterimakan, sehingga tidak boleh menjual sesuatu yang ma`dum. Larangan ini didasarkan atas `illat gharar. Munculnya pemikiran ini diderivasi dari beberapa hadits Nabi yang melarang menjualbelikan sesuatu yang tidak jelas sifat dan bentuknya, seperti air susu yang masih dalam kantong hewan, menjual buah-buahan sebelum kelihatan kematangannya, dan lain-lainnya. Dalam konteks kehidupan modern sekarang ini, khususnya dalam rangka mengantisipasi perkembangan berbagai macam bentuk perjanjian dalam dunia mu`amalah, nampaknya statement Imam al-Syatibi dapat dijadikan landasan. Dia menulis: “al-asl fi al-`ibadat bi al-nisbah ila al-mukallaf al-ta`abbud duna al-iltifat ila al-ma`ani, wa asl al-`adat al-iltifat ila al-ma`ani”50 (dalam masalah yang terkait dengan ibadah bila dihubungkan dengan orang mukallaf pada asalnya bersifat ta`abbudi (taken for granted/ harus diterima apa adanya), tanpa boleh menggali makna tersiratnya. Sedangkan dalam masalah yang berhubungan dengan adat (mu`amalah termasuk di dalamnya) pada dasarnya harus lebih dilihat dari makna kandungannya, dan bukan diterinma secara ta`abbudi).
C. Kesimpulan Seringkali, istilah iltizam (perikatan) secara maknawi diidentikkan dengan hak syakhsi. Namun pengidentikan seperti ini menurut al-Zarqa' dipandang tidak tepat. Meskipun terdapat persamaan antara keduanya seperti dalam unsur-unsur yang membentuk keduanya, namun ada sisi perbedaannya seperti dalam tabi`ah ijabiyyah (sifat yang bernilai positif) dan salbiyyah (negatif) pada keduanya. Thabi`ah haq syakhsi bersifat ijabiyyah yang didasarkan atas tujuan agar dipenuhi tuntutan dan tidak
berupa ijab-qabul yang menunjukkan unsur kerelaan tersebut. Al-Zanjani, Takhrij hlm. 62 50 Abi Ishaq al-Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 211.
Moh. Fauzi, Perikatan dan Perjanjian dalam Hukum Islam
43
memenuhi pada salah satu pihak. Sementara tabi`ah iltizam bersifat salbiyyah yang didasarkan atas pemikiran pemenuhan atau kebutuhan dengan menyelesaikan janji dan tanggungan dari pihak lain. Jadi, antara haq syakhsi dengan iltizam hanya terdapat hubungan saling timbal balik (taqabul) sebagaimana antara memberi dan menerima. Para pemikir hukum Islam tidak membuat bab khusus yang mengkaji tentang perikatan, sumber dan efek yang ditimbulkannya, karena itu sumbersumber perikatan tersebut perlu dilihat kembali, apakah semua itu diakui sebagai sumber perikatan oleh syari'at Islam. Sumber-sumber tersebut harus dikembalikan ke asas mantiqy (dasar logika). Adapun perjanjian (`aqd) bermacam-macam pengertiannya, tergantung dari perspektif yang digunakan. Menurut terminologi fuqaha’, `aqd adalah irtibat ijab bi qabul `ala wajhin masyru` yathbut atharuh fi mahallih (hubungan antara ijab-qabul menurut aturan yang digariskan, dan efeknya terwujud di tempatnya). Adapun dalam istilah perundangundangan, `aqd adalah ittifaq iradatayn `ala insya' haqqin aw `ala naqlih aw `ala inha'ih (kesepakatan dua kehendak untuk mewujudkan suatu hak, atau memindahkannya, atau mengakhirinya). Demikian juga, jenis dan bentuk perjanjian terbagi menjadi bermacam-macam tergantung sudut pandang yang digunakan. Ada kemungkinan satu bentuk perjanjian diberi sifat lebih dari satu, sehingga melahirkan satu bentuk perjanjian yang masuk lebih dari satu jenis pembagian.[]
DAFTAR PUSTAKA Al-Ansary, `Abd al-`Ali Muhammad b. Nizam al-Din. Fawatih al-Rahamut bi Syarh Muslim al-Thubut fi Ushul al-Fiqh, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Al-Syatiby, Abi Ishaq, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Al-Syafi`i, Muhammad b. Idris, al-Umm, Juz IV. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Al-Khatib, Ahmad, al-Fiqh al-Muqaran. Kairo: Dar al-Ta'lif, 1957. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995 . Syaltut, Mahmud, al-Islam `Aqidah wa Syari`ah. Kairo: Dar al-Qalam, 1966. Khallaf, `Abdul Wahhab, `Ilm Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, t.th.
44
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Abu Zahrah, Muhammad, Usul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Kutub al-`Arabi, t.th. Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1996. Al-Jawziyyah, Ibnu Qayyim, I`lam al-Muwaqqi'in `an Rabb al-`Alamin, Juz III. Beirut: Dar al-Fikr, 1977. Van Apeldorn, L.J. Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Oetarid Sadino). Jakarta: Pradnya Paramita, 1993. Al-Sanhury, `Abd al-Raziq Ahmad. Nazhariyyah al-`Aqd. Beirut: Dar alFikr, t.th. Al-Ansary, Jamaluddin Muhammad b. Mukarram. Lisan al-`Arab, Juz III dan XII. Beirut: Dar al-Sadir, , 1995. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999. Sudarsono. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 1999. Salam Madkur, Muhammad, al-Madkhal li al-Fiqh al-Islamy Tarikhuh wa Mashadiruh wa Nazariyyatuh al-`Ammah. t.kt.: Dar al-Nahdah al`Arabiyyah, 1960. Al-Zarqa', Mustafa Ahmad, al-Madkhal al-Fiqhy al-`Am, Juz I dan III. Damaskus: al-Adib, 1967-1968. Suparni, Niniek. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Andi Hamzah (ed). Jakarta: Rineka Cipta, 1998. Ibnu Qudamah al-Maqdisy, al-Mughni, Juz IV. Beirut: Dar al-Kutub al`Ilmiyyah, 1994. Ibrahim, Muslim. Nazhariyyah `Ammah li al-`Aqd wa al-Faskh fi al-Fiqh alIslami al-Muqaran. t.kt.: t.pn., t.th. Al-Zuhayli, Wahbah. Usul al-Fiqh al-Islamy, Juz I. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986. Al-Jaziry, `Abdurrahman. Al-Fiqh `ala Madhahib al-Arba'ah, Juz II. Kairo: Dar al-Hadits, t.th. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Juz III. Beirut: Dar al-Fikr, 1998. Al-Kasani, Abi Bakr b. Mas`ud. Bada'i` al-Sana'i` fi Tartib al-Syara'i`, Juz V. Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.th. Abi Bakr Muhammad b. Ahmad b. Abi Sahl, Ushul al-Sarakhsy, Juz II. Mesir: Dar al-Kitab al-`Araby, 1372. Al-Zanjani, Syihab al-Din Mahmud b. Ahmad, Takhrij al-Furu` `ala alUshul. Damaskus: Jami`ah Damaskus, 1962. Moh. Fauzi, Perikatan dan Perjanjian dalam Hukum Islam
45
Al-Ansary, Zakariyya b. Muhammad, Al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh Manzumah al-Bahjah al-Wardiyyah, Juz IV. Beirut: Dar al-Kutub al`Ilmiyyah, 1997. Al-Syafi`i, `Abdullah b. Hijazy, Hasyiyah al-Syarqawy, Juz III. Beirut: Dar alKutub al-`Ilmiyyah, 1997.
46
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
MAKNA BILANGAN ANGKA DALAM AL-QUR’AN Oleh: Iing Misbahuddin∗ Abstract The Qur'an is not only a principal source of Islamic teachings pertaining to belief, Shari'ah and morals, but there are many cues in the Qur'an that encourage and inspire the advancement of human civilization. The Qur'an as a civilization that does not mean it contains specific theories about science, but also contains the basic principles of science and civilization, one of which is to provide motivation and inspiration to study mathematics and arithmetic. The Qur'an uses numbers and figures are scattered in several verses, either in the form of fractions (al-kasur), unit numbers (al-mufrad), sequence numbers (at-tartibiyah), arranged numbers (murakkab) and dozens of numbers (al-uqd). The Qur'an also mentions 38 numbers, which can be grouped into seven groups of fractions, ie, unit numbers or numbers that only a single digit number composed (murakkab) of two numbers, numbers which are composed of three numbers, numbers which are composed of four numbers, numbers which are composed of five numbers, and numbers are made up of six digits. Some are repeated and there is a one-time mention. The meaning of these numbers there are two kinds of intrinsic meaning (truth) and the meaning of numbers of majazi. Keywords: al-Qur'an, science, civilization, real numbers, numbers majazi.
A. Pendahuluan Al-Qur’an diturunkan Allah SWT. melalui Malaikat Jibril as. kepada pungkasan Rasul dan Nabi saw memiliki beberapa fungsi di antaranya: sebagai mukjizat (suatu bukti bahwa al-Qur’an benar-benar wahyu Allah dan Muhammad SAW. benar Rasul-Nya), sebagai hudan (pe______________ ∗
Iing Misbahuddin adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
Iing Misbahuddin, Makna Bilangan Angka dalam al-Qur’an
47
tunjuk), sebagai mauizhah (pemberi nasehat), al-bayan (sumber informasi), dan sebagainya. Al-Qur’an senantiasa terjaga keasliannya sejak ia diturunkan ke bumi sampai sekarang dan masa akan datang. Demikian itu karena al-Qur’an selain telah mendapat jaminan Allah terpeliharanya, juga karena alQur’an senantiasa dihafal dan ditulis serta dikaji umat manusia khususnya oleh umat Islam. Al-Qur’an telah menjadi inspirasi diturunkannya metode ilmiah, yakni metode empirik induktif dan eksperimen yang menjadi kunci pembuka rahasia-rahasia alam semesta, yang menjadi perintis modernisasi Eropa dan Amerika.1 Dengan mengkaji firman-firman Allah SWT. dalam al-Qur’an, tidak dapat dipungkiri, dalam perjalanan sejarah umat Islam seperti disinyalir Sayyid Husain Nasr, bahwa al-Qur’an merupakan sumber peradaban. Dengan semangat al-Qur’an umat Islam telah melahirkan peradaban besar yang disumbangkan kepada peradaban dunia.2 Berbicara tentang al-Qur’an sebagai peradaban bukan berarti alQur’an mengandung teori-teori khusus tentang sains, namun ia memuat prinsip-prinsip dasar tentang ilmu pengetahuan dan peradaban. Salah satunya adalah al-Qur’an memberikan motivasi dan inspirasi untuk mempelajari matematika dan aritmatika (ilmu hitung). Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat Yunus: 5. “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” (QS. Yunus: 5) Dalam ayat tersebut, secara implisit, al-Qur’an memberikan motivasi kepada manusia untuk mempelajari ilmu hitung (ilmu matematika) yang termasuk salah satu kajian matematika. Al-Qur’an telah banyak mengemukakan tentang bilangan atau ‘adad memuat bilangan pecahan dan bilangan bulat positif, yang menurut penelitian saudara Muhammad Mas’ud berjumlah 38 macam bilangan ______________ 1 Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, (Jakarta: P3M, 1981), hlm. 7. 2 Muhammad Mas’ud, Quantum Bilangan-bilangan al-Qur’an, (Yogyakarta: DIVA Press, 2008), hlm. 12.
48
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
yang tersebar dalam beberapa surat dan ayat. Tema inilah yang menarik penulis untuk membahas dalam tulisan ini.
B. Makna Bilangan dan Angka dalam al-Qur’an 1. Angka dan Bilangan Pengertian bilangan menurut bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut: 1) Banyaknya benda dan sebagainya, 2) Satuan dari jumlah atau banyaknya sesuatu, 3.) Lingkungan dan 4) Perhitungan untuk mengetahui untung rugi suatu perdagangan.3 Sedang menurut istilah, didefinisikan sebagai suatu ide atau gagasan yang bersifat abstrak dan menyatakan banyaknya anggota dari suatu kelompok himpunan.4 Angka menurut bahasa yaitu: (1) tanda atau lambang sebagai pengganti bilangan, (2) nilai (kepandaian, prestasi, dan angka akhir artinya nilai penentu). Angka Arab yaitu angka yang berasal dari ejaan Arab yang sekarang menjadi angka internasional misalnya angka 1, 2, 3, 4 dan seterusnya.5 Angka dalam bahasa Inggris disebut digit atau numeral. Angka berbeda dengan lambang bilangan. Angka hanya berupa 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, (ada 10 angka), sedangkan bilangan dapat terdiri dari satu angka atau kombinasi beberapa angka, seperti bilangan 5, 11, 113 dan seterusnya. Bilangan dalam bahasa Arab adalah ‘adad, benda yang dihitung disebut ma’dud. Terdapat perbedaan antara penggunaan bilangan dalam bahasa Arab dengan bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia tidak dikenal dengan adanya bilangan tunggal, dua atau jamak. Apabila seseorang menyebut sesuatu misalnya “buku satu buah” atau “dua buah” atau “tiga buah” maka kata buku tidak mengalami perubahan dalam penulisannya. Kata bilangan satu, dua, atau tiga disebut “adad” dan kata buku diatas disebut “ma’dud”. Dalam bahasa Arab, kata benda dibagi menjadi kata benda jenis lakilaki (ismu mudzakar) dan kata benda jenis perempuan (ismu mu’anas). ______________ 3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hlm. 150. 4 Muhammad Mas’ud, op.cit., hlm. 3. 5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., hlm. 50.
Iing Misbahuddin, Makna Bilangan Angka dalam al-Qur’an
49
Jenis kata tersebut berpengaruh terhadap penggunaan bilangan. Jenis kata dalam bahasa yaitu tunggal (mufrad), dua (muannas) dan jamak (jam’un). Ketiganya mempunyai aturan-aturan dalam bentuk mufrad, musanna dan jam’un sebagai berikut: ( )آبsatu buku, ( )آنdua buku dan ( )آbanyak buku. Kata bilangan dalam bahasa Arab dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu: 1. Adad Ashliyah, (bilangan pokok) yaitu bilangan yang menunjukkan jumlah sesuatu. Misalnya بlima murid. Adad ashliyah (bilangan pokok) dibagi menjadi 4 macam, yaitu: a. ‘Adad al-mufrad, yaitu bilangan yang berupa 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. b. ‘Adad al-murakkab (bilangan tersusun), yaitu bilangan berupa 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, dan 19. c. ‘Adad al-uqd yaitu bilangan 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, dan 90. d. ‘Adad al-ma’thuf yaitu bilangan dari 21 sampai 99 kecuali bilangan al-uqd. 2. Adad Tartibiyan (urutan) yaitu bilangan yang menunjukkan urutan sesuatu. Misalnya Samirah urutan ke lima barisannya. Bilangan urutan ke lima dibarisannya. Bilangan urutan (tartibiyah) dari 1 sampai ke sepuluh sebagai berikut: Ke satu اول Ke satu او Ke dua ا Ke dua ا Ke tiga ا Ke tiga ا Ke empat ااﺏ Ke empat ااﺏ Ke lima اﻡ Ke lima اﻡ Ke enam ا دس Ke enam dan seterusnya.6 Dalam bahasa Arab selain bilangan-bilangan tersebut di atas, terdapat bilangan kinayah (bilangan yang tidak terang-terangan) yang menunjukkan suatu bilangan di antaranya yaitu: 1. Badl’un (" )ﺏkata bilangan yang menunjukkan bilangan antara 3 sampai sembilan (3-9) misalnya: أت ﺏ" آب% (saya telah membaca beberapa buku). ______________ Fuad Nikmat, Mulakhas Qawaidul Lughah Arabiyah, (Cairo: Maktabah al-Ilmi, 1973), hlm. 61. 6
50
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
2. Kam (& )آistifham dan khabariyah suatu kalimat tanya untuk minta jawaban bilangan. Misalnya dalam kalimat: أت% ( آ& آبbeberapa buku yang telah kamu baca?) dan khabariyah kalimat yang memberitahukan tentang suatu bilangan yang perlu ada jawaban karena hanya menunjukkan jumlah sesuatu. Misalnya dalam kalimat: *)ه'ت+( آ& ﻡ'یberapa banyak kota yang telah engkau lihat?) 3. Kadza (ا- )آkata yang digunakan untuk menunjukkan bilangan banyak. 5. Naifun (.) kata yang menunjukkan bilangan antara 20-30. Misalnya kalimat: آب/ ﺙ ﺙ1 أت% (saya telah membaca 30 buku lebih).7 Al-Qur’an sebagai firman (wahyu) Allah SWT sebagai mukjizat yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril as. Yang dinukil kepada kita dengan mutawatir yang telah ditulis dalam mushaf diawali dengan surat pertama al-Fatihah dan diakhiri dengan surat ke 114 surat al-Nas. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah surat, ayat, kalimat dan huruf al-Qur’an. Menurut mayoritas ulama jumlah surat dan huruf al-Qur’an 114 surat dan menurut sebagian ulama jumlah surat al-Qur’an 113, demikian karena menjadikan surat al-Anfal dan surat al-Baroah dalam satu surat. Jumlah ayat al-Qur’an menurut ulama Kuffah (Baghdad) 6326 ayat, 77.437 kalimat dan 323.671 huruf.8 Sedangkan menurut ulama Madinah 6214 ayat, menurut ulama Makkah 6210 ayat, menurut ulama Basrah (Syria) 6204 ayat, menurut ulama Syam 6226 ayat, menurut ulama Kuffah 6217 ayat dan menurut penyelidikan Ibnu Abbas 6616 ayat dan menurut ulama Indonesia 6666 ayat. Demikianlah beberapa jumlah ayat yang kandungan ayat masingmasing surat ditambah dengan jumlah ayat basmalah pada awal surat kecuali surat al-Baroah, jumlah ayat seluruhnya 6119 ayat. Adapun jumlah kalimatnya menurut Imam Atha bin Yasar, ialah 77.439 kalimat dan jumlah hurufnya ialah 325-345 huruf. Al-Qur’an menggunakan bilangan dan angka yang tersebar dalam beberapa ayat, baik berupa bilangan pecahan (al-kasur), bilangan satuan (al-mufrad), bilangan urutan (at-tartibiyah), bilangan tersusun (murakkab) ______________ Ibid., hlm. 64-65. Sya’ban Muhammad Ismail, Ma al-Qur’anul Karim, (Cairo: Dar al-Ittihad Araby, 1976), hlm. 16. 7
8
Iing Misbahuddin, Makna Bilangan Angka dalam al-Qur’an
51
dan bilangan puluhan (al-uqd). Namun demikian al-Qur’an menyebut bilangan tidak dengan angka tetapi menggunakan kalimat. Menurut Muhammad Mas’ud, dalam al-Qur’an telah menyebutkan 38 bilangan, yang dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok sebagai berikut: 1. Bilangan pecahan, jumlahnya 8 bilangan, yaitu: 1/10 ()ا/)ا )ر, 1/8 (/ )ا, 1/6 ()ا 'س, 1/5 ( )ا, ¼ ()اﺏ, 1/3 (3)ا, ½ (.4+)ا. 2. Bilangan satuan atau bilangan yang hanya satu angka, jumlahnya 9 bilangan, yaitu: 1 ('5)وا, 2 (/+)اﺙ, 3 ()ﺙ ﺙ, 4 ()ارﺏ, 5 ( ), 6 ()ﺱ, 7 ()ﺱ, 8 ( )ﺙ, 9 ( )ﺕ.
3. Bilangan yang tersusun (murakkab) dari dua angka, jumlahnya 12 bilangan, yaitu: 10 ()ة9), 11 ()9'5)ا, 12 ()9+)اﺙ, 19 ()9 )ﺕ, 20 (/)ی9), 30 (/)ﺙ ﺙ, 40 (/)ارﺏ, 50 (/ ), 60 (/)ﺱ, 70 (/)ﺱ, dan 99 (/ )ﺕ وﺕ. 4. Bilangan yang tersusun dari tiga angka, jumlahnya tiga bilangan, yaitu: 100 (:)ﻡ, 200 (ن:)ﻡ, dan 500 (:) ﻡ. 5. Bilangan yang tersusun dari empat angka, jumlahnya 4 bilangan, yaitu: 1.000 (.)ا, 2.000 (ن1)ا, 3.000 ()ﺙ ﺙ اف, dan 5.000 () اف. 6. Bilangan yang tersusun dari lima angka, jumlahnya satu, yaitu: 50.000 (1 ا/ ). 7. Bilangan yang tersusun dari enam angka, jumlahnya satu yaitu:
100.000 (. ا:)ﻡ.9
Apabila ditelaah dari segi penyebutannya dalam al-Qur’an, masingmasing bilangan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: No. Urut
Bilangan
Banyak Penyebutan
1
1/10
1 kali
öΝßγ≈oΨ÷ s?#u !$tΒ u‘$t±÷èÏΒ (#θäón=t/ $tΒuρ
2
1/8
1 kali
Λäò2ts? $£ϑÏΒ ßßϑ›V9$# £ßγn=sù
3
1/6
3 kali
â¨ß‰¡9$# ϵÏiΒT|sù
Contoh Ayat
______________ 9
52
Muhammad Mas’ud, op. cit., hlm. 80.
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
4
1/5
1 kali
…çµ|¡çΗè~ ¬! ¨βr'sù
5
1/4
2 kali
ßìç/”9$# ãΝà6n=sù
6
1/3
3 kali
ß]è=›W9$# ϵÏiΒT|sù
7
1/2
7 kali
÷ΛäôÊtsù $tΒ ß#óÁÏΨsù
8
2/3
3 kali
x8ts? $®ÿÊΕ Èβ$sVè=›V9$# $yϑßγn=sù
9
1
145 kali
î‰ymr& ª!$# uθèδ ö≅è%
10
2
15 kali
È÷uΖøO$# Ì“÷èyϑø9$# š∅ÏΒuρ
11
3
15 kali
&ÿρãè% sπsW≈n=rO £ÎγÅ¡àΡr'Î/ š∅óÁ−/utItƒ
12
4
12 kali
#Zô³tãuρ 9åκô−r& sπyèt/ö‘r& £ÎγÅ¡àΡr'Î/ zóÁ−/utItƒ
13
5
5 kali
öΝåκÞ"ÏŠ$y™ uθèδ ωÎ) >π|¡÷Ηs~ Ÿωuρ
14
6
6 kali
5Θ$−ƒr& Ïπ−GÅ™ ’Îû uÚö‘F{$#uρ ÏN≡uθ≈yϑ¡¡9$# t,n=y{
15
7
24 kali
;N≡uθ≈yϑy™ yìö7y™ £ßγ1§θ|¡sù
16
8
5 kali
BΘ$−ƒr& sπuŠÏΨ≈yϑrOuρ 5Α$uŠs9 yìö7y™ öΝÍκö,n=tã $yδt¤‚y™
17
9
4 kali
¤M≈tƒ#u yìó¡Î@ 4y›θãΒ $oΨ÷ s?#u ô‰s)s9uρ
18
10
9 kali
×'s#ÏΒ%x. ×οu|³tã y7ù=Ï?
19
11
1 kali
$Y6x.öθx. u|³tã y‰tnr& àM÷ƒr&u‘ ’ÎoΤÎ)
Iing Misbahuddin, Makna Bilangan Angka dalam al-Qur’an
53
20
12
5 kali
$YΖøŠtã nοuô³tã $tFt⊥øO$# çµ÷ΖÏΒ ôNtyfxΡ$$sù
21
19
1 kali
u|³tã sπyèó¡Î@ $pκö,n=tæ
22
20
1 kali
tβρçÉ9≈|¹ tβρçô³Ïã öΝä3ΖÏiΒ ä3tƒ βÎ)
23
30
2 kali
24
40
4 kali
25
50
1 kali
\'s#ø‹s9 šÏW≈n=rO 4y›θãΒ $tΡô‰tã≡uρuρ 9ô³yèÎ/ $yγ≈uΖôϑyϑø?r&uρ \'s#ø‹s9 zŠÏèt/ö‘r& #y›θãΒ $tΡô‰tã≡uρ øŒÎ)uρ šÅ¡÷Ηs~ ωÎ) >πuΖy™ y#ø9r& öΝÎγ‹Ïù y]Î7n=sù $YΒ%tæ
26
60
1 kali
$YΖŠÅ3ó¡ÏΒ tÏnGÅ™ ãΠ$yèôÛÎ*sù
27
70
3 kali
Wξã_u‘ tÏèö7y™ …çµtΒöθs% 4y›θãΒ u‘$tG÷z$#uρ
28
80
1 kali
Zοt$ù#y_ tÏΖ≈uΚrO óΟèδρ߉Î=ô_$$sù
29
99
1 kali
Zπyf÷ètΡ tβθãèó¡Î@uρ Óìó¡Î@ …çµs9 Å=r& !#x‹≈yδ ¨βÎ)
30
100
6 kali
…çµsVyèt/ §ΝèO 5Θ$tã sπs=($ÏΒ ª!$# çµs?$tΒr'sù (#θç7Î=øótƒ tβρçÉ9≈|¹ tβρçô³Ïã öΝä3ΖÏiΒ ä3tƒ βÎ)
31
200
2 kali
32
300
1 kali
šÏΖÅ™ 7πs=($ÏΒ y]≈n=rO óΟÎγÏôγx. ’Îû (#θèWÎ6s9uρ
33
1.000
8 kali
7πuΖy™ y#ø9r& ã£ϑyèムöθs9 öΝèδ߉tnr& –Šuθtƒ
54
È÷tGs=($ÏΒ
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
34
35
2.000
3.000
1 kali
1 kali
È÷xø9r& (#þθç7Î=øótƒ ×#ø9r& öΝä3ΖÏiΒ ä3tƒ βÎ) zÏiΒ 7#≈s9#u ÏπsW≈n=sWÎ/ Νä3š/u‘ öΝä.£‰ÏϑムÏπs3Íׯ≈n=yϑø9$# zÏiΒ 7#≈s9#u Ïπ|¡ôϑsƒ¿2 Νä3š/u‘ öΝä.÷ŠÏ‰ôϑãƒ
36
5.000
1 kali
37
50.000
1 kali
7πuΖy™ y#ø9r& ÿ…çνâ‘#y‰ø)ÏΒ tβ%x.
38
100.000
1 kali
šχρ߉ƒÌ“tƒ ÷ρr& A#ø9r& Ïπs=($ÏΒ 4’n<Î) çµ≈oΨù=y™ö‘r&uρ
Ïπs3Íׯ≈n=yϑø9$#
Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa informasi bilangan terkecil dalam ayat-ayat al-Qur’an adalah sepersepuluh ( )ا ﺵdan yang terbesar adalah seratus ribu (. ا:)ﻡ. Sedangkan bilangan yang paling banyak disebutkan atau digunakan dalam al-Qur’an adalah satu, yaitu 145 kali. Al-Qur’an tidak hanya menyebutkan bilangan angkaangka tersebut tanpa tujuan, tetapi dibalik menyebutkan bilangan yang secara tersurat menunjukkan makna ketetapan hukum Allah SWT. seperti dalam ayat-ayat dalam pembagian pusaka, namun secara tersirat terdapat informasi petunjuk al-Qur’an tentang operasional bilangan tersebut. Operasional bilangan rasional dalam al-Qur’an adalah penjumlahan, pengurangan dan pembagian. a. Penjumlahan Ada lima ayat al-Qur’an yang mengandung operasional penjumlahan, misalnya surat al-Baqarah: 196
i f < f &f a f j g 1h eGh `f $f d,g 'k Gf h#f /f Dl m f j ng6 [k o3pd 'g Ydd Yd [e fH g 6d h K g f3 1h d %h f 6d ... .... 'i d(g d “… tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali…” Iing Misbahuddin, Makna Bilangan Angka dalam al-Qur’an
55
Ayat di atas menjelaskan tentang dam (denda) ibadah haji dan umrah, yaitu barang siapa yang tidak menemukan (hewan), maka berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila telah kembali, itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Pada ayat di atas menunjukkan penjumlahan yaitu tiga hari dan tujuh hari sama dengan sepuluh hari, meskipun tidak menggunakan lambang + untuk penjumlahan. b. Pengurangan Operasional pengurangan bilangan juga terdapat dalam al-Qur’an. Setidaknya ada tiga ayat al-Qur’an yang mengandung operasional pengurangan, di antaranya:
q( f& M f * g h Pf +s ,g 'k f#f I f jpd 1h Ng g6 t d gd6d Ag (g "h 9d d,g qr"e fj #f $h pd h d d/f “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun.” (QS. al-Ankabut: 14) Ditinjau dari ilmu hitung, dalam ayat tersebut di atas terdapat operasional pengurangan bilangan rasional, kalimat “seribu tahun kurang lima puluh hari” sama dengan sembilan ratus lima puluh tahun. Jadi usia Nabi Nuh adalah 1000 tahun – 50 tahun = 950 tahun. c. Perkalian Al-Qur’an menyampaikan informasi tentang perkalian bilangan rasional di antaranya:
ng6 d Eg f#f uf h#f h ff hpd 'k orf g 2df d Ag s g g#f ng6 1h Ne df"(h pd d "v.g he3 %f 3gs v 2d(f .'k orf 'v wd g( 'k deh#e x v “Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa butir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiang tangkai seratus butir.” (QS. al-Baqarah: 261) Ditinjau dari ilmu hitung, ayat ini mengandung operasional perkalian bilangan. Hal ini diperoleh dari kalimat “seumpama sebuah biji yang menumbuhkan tujuh tangkai pada setiap tangkai tumbuh seratus biji”, mengandung bilangan 1,7 dan 100. Agar mudah dipahami, maka penjelasan ilmu hitung adalah 1 biji x 7 tangkai x 100 biji = 7000 biji, atau 1 x (7 x 100) = 700.
56
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
d. Pembagian Demikian juga al-Qur’an telah memberikan informasi tentang operasional pembagian bilangan, misalnya:
%g hfwd g( "egXh f3 d /e Eg fU d /e < h &g 1h Rv h(g %h Rv f3 j ,g “Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”. (QS. al-Anfal: 65) Dalam ayat tersebut perbandingan yaitu dua puluh dibanding dua ratus, 20:200 atau 2/200, dapat disederhanakan pembilang dan penyebutnya menjadi 1/10 atau 1:10.10 2. Makna Bilangan dalam al-Qur’an Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa al-Qur’an menyebutkan bilangan-bilangan yang jumlah 38 bilangan. Ada yang diulangulang dan ada yang satu kali penyebutan. Makna bilangan tersebut ada dua macam yaitu makna hakiki (sebenarnya) dan makna bilangan majazi. Misalnya bilangan tujuh yang terdapat dalam al-Qur’an surat alBaqarah 196, tentang dam (denda) ibadah haji, apabila tidak memperoleh hewan untuk dam atau tidak mampu maka berpuasa tiga hari pada waktu haji dan berpuasa tujuh hari apabila telah pulang kembali. Bilangan tujuh dalam ayat ini adalah makna hakiki. Al-Qur’an memang firman Allah SWT. yang mengandung banyak keajaiban-keajaiban yang mengagumkan para peneliti al-Qur’an. Berkenaan dengan bilangan-bilangan yang disebutkan dalam al-Qur’an yang berjumlah 38 bilangan, ada di antaranya bilangan-bilangan istimewa, yaitu bilangan tujuh dan sembilan belas. a. Bilangan Tujuh Al-Qur’an menyebutkan bilangan tujuh 24 kali yang berkaitan dengan teman yang berbeda-beda, yaitu 7 langit, 7 jalan bagi manusia, 7 hari berpuasa, 7 tangkai, 7 ekor sapi betina, 7 tangkai hijau, 7 tahun untuk bercocok tanam, dan 7 tahun yang paceklik, 7 pintu neraka, 7 pemuda penghuni gua, 7 laut, 7 malam angin kencang, 7 ayat yang berulang-ulang (surat al-Fatihah). ______________ 10
Ibid., hlm. 326-352.
Iing Misbahuddin, Makna Bilangan Angka dalam al-Qur’an
57
Bilangan tujuh ada yang mengandung arti hakiki (sebenarnya) dan ada yang mengandung arti majazi (kiasan), di antaranya yang mengandung makna majazi adalah tentang makna tujuh langit. Al-Qur’an menyebutkan tentang tujuh langit (sab’a samawatin) dalam surat al-Baqarah: 29, surat Fushilat: 12, surat at-Thalaq: 12, dan surat Nuh: 15, serta kalimat al-samawati sab’a dalam surat al-Mukmin: 86, surat al-Mulk: 3. Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan tujuh langit, sebagian ulama berpendapat makna tujuh langit adalah makna hakiki, tujuh langit artinya tujuh lapis langit benar-benar tujuh, karena melihat makna dlahir ayat. Sedangkan ulama lain menakwilkan kalimat tujuh langit merupakan perlambang yang menunjukkan jumlah yang tak terbatas. Karena dalam tradisi bahasa Arab, angka tujuh berarti juga untuk menunjukkan jumlah yang tak terbatas.11 Dalam kaitan ini, Damanhuri menjelaskan bahwa dalam sastra bahasa Arab bilangan tujuh, atau sebutan yang lebih banyak seperti tujuh puluh, tujuh ratus, tujuh ribu dan seterusnya, adalah bilangan yang biasa digunakan dalam arti majazi (kiasan) untuk menjelaskan sesuatu yang banyak yang sesuatu hal mungkin karena banyaknya itu, tidak tercapai oleh perkiraan atau perhitungan manusia.12 Demikian juga Syeikh Nawawi al-Bantani dalam kitab Tafsirnya “Murah Labib at-Tafsir al-Munir” menjelaskan bahwa sudah menjadi populer dalam sastra Arab menggunakan bilangan tujuh, tujuh puluh atau tujuh ratus untuk menunjukkan bilangan yang banyak, sesuatu yang tak terbatas. Bilangan tujuh adalah bilangan yang istimewa, karena digunakan untuk bilangan langit, bumi, lautan, iklim, bintang, dan anggota badan.13 Syahrul Alim menjelaskan bahwa masalah tujuh langit itu erat sekali hubungannya dengan bentuk dan besarnya alam semesta, sehingga persoalan ini belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan modern sampai sekarang.14 ______________ 11
Muhammad Nur Ichwan, Tafsir Ilmy, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2004), hlm.
203. Damanhuri Djamil, Kesatupaduan Manusia dan Alam, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 59. 13 Nawawi al-Bantani, Tafsir al-Munir, (Indonesia: Dar Kutub Arabiyah, t.t.), hlm. 349. 14 Syahrul Alim, Menuju Persaksian, (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1983), hlm. 62. 12
58
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
b. Bilangan Sembilan Belas Bilangan sembilan belas hanya disebutkan satu kali dalam al-Qur’an, yaitu surat al-Mudatsir: 30, menurut para ulama tafsir, bahwa bilangan sembilan belas dalam ayat tersebut menunjukkan banyaknya malaikat yang menjaga neraka jahanam. Bilangan sembilan belas dalam surat al-Mudatsir tersebut telah banyak memberikan inspirasi kepada beberapa tokoh yang mengupas tentang bilangan 19 dalam al-Qur’an, di antaranya Musthafa Mahmud dan Rasyid Khalifa. Menurut Musthafa Mahmud, bahwa bilangan sembilan belas dalam ayat tersebut adalah cobaan dan hujjah kepada orang yang mengatakan bahwa al-Qur’an buatan manusia, dan kepada orang yang beriman supaya bertambah imannya.15 Selanjutnya ia mengutip pendapat Rasyad Khalifa, bahwa jumlah huruf “Bismillahir rahmanir rahim” adalah 19 huruf Arab, dan setiap lafazhnya terulang 19 kali dalam surat-surat alQur’an, atau beberapa kali penggandaan angka 19, lebih jelasnya sebagai berikut: - Lafazh ism (dalam ayat bismillah) terulang 19 kali dalam al-Qur’an. - Lafazh Allah berulang 2698 kali dalam al-Qur’an, itu berarti 19 x 142. - Lafazh al-Rahman berulang 57 kali dalam al-Qur’an, berarti 19 x 3. - Lafazh al-Rahim berulang 114 kali dalam al-Qur’an, berarti 19 x 6. - Jumlah surat al-Qur’an 114 surat, berarti 114 kata berarti 19 x 6 dan seterusnya. Demikianlah bilangan sembilan merupakan kunci rahasia kemukjizatan al-Qur’an. Jadi jelas al-Qur’an bukanlah buatan manusia, melainkan wahyu Allah Yang Besar.
C. Kesimpulan Betapa banyak rahasia-rahasia al-Qur’an yang menjadi sesuatu yang misterius bagi manusia. Al-Qur’an tidak hanya merupakan sumber pokok ajaran Islam yang berkaitan dengan akidah, syari’ah dan akhlak, namun ternyata banyak isyarat al-Qur’an yang mendorong dan memberi inspirasi bagi kemajuan peradaban manusia. ______________ 15
Musthafa Mahmud, Menangkap Isyarat al-Qur’an, (Jakarta: Firdaus, 1986), hlm. 61.
Iing Misbahuddin, Makna Bilangan Angka dalam al-Qur’an
59
Al-Qur’an merupakan sumber peradaban manusia yang telah membawa umat manusia mencapai peradaban modern dewasa ini, di antaranya isyarat yang bilangan dan angka dalam al-Qur’an. Dan masih banyak misteri yang lain dalam al-Qur’an yang terungkap oleh manusia, misalnya luas dan batas alam semesta yang dinyatakan tujuh lapis langit dan bumi yang sampai sekarang manusia modern belum mengetahui batas dan luasnya. Semuanya membuktikan bahwa al-Qur’an benar-benar firman Allah SWT dan yang membawanya Nabi Muhammad saw. utusan yang terakhir.[]
DAFTAR PUSTAKA Damanhuri Djamil, Kesatupaduan Manusia dan Alam, Bandung: Pustaka, 1985. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003. Fuad Nikmat, Mulakhas Qawaidul Lughah Arabiyah, Cairo: Maktabah alIlmi, 1973. Muhammad Mas’ud, Quantum Bilangan-bilangan al-Qur’an, Yogyakarta: DIVA Press, 2008. Muhammad Nur Ichwan, Tafsir Ilmy, Yogyakarta: Menara Kudus, 2004. Musthafa Mahmud, Menangkap Isyarat al-Qur’an, Jakarta: Firdaus, 1986. Nawawi al-Bantani, Tafsir al-Munir, Indonesia: Dar Kutub Arabiyah, t.t. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, Jakarta: P3M, 1981. Sya’ban Muhammad Ismail, Ma’al Qur’anul Karim, Cairo: Dar al-Ittihad Araby, 1976. Syahrul Alim, Menuju Persaksian, Yogyakarta: Salahuddin Press, 1983.
60
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
ANALISIS KESIAPAN PELAKU EKONOMI SYARI’AH DALAM MENGHADAPI PELAKSANAAN WAJIB AUDIT Oleh: Ratno Agriyanto∗ Abstract To support the development of Islamic financial institutions the government issued several special regulations related to the control so that the presence of Islamic financial institutions are able to put forward the principle of accountability and professionalism. One of the regulations is the obligation of an audit by a public accounting firm for the institution of Islamic banking. But on the other hand the presence of the Islamic financial institutions has just developed, so it is possible there is no readiness of the Islamic economic agents to face mandatory execution of audits by public accounting firms. The research objective is to determine how the level of preparedness of Islamic economic actors to the obligations of audits by public accountants and to provide models of effective learning strategies for economic actors, especially the Islamic financial institutions to be ready to implement the provisions of mandatory audit of Islamic economic institutions. The methodology used in the study are as follows: (1) The subject study of Islamic economics actors in Semarang with the unit of analysis to managers and accounting clerk (2) data collection method is survey the field to spread questionnaire and interview (3) The analysis used in the study is a qualitative descriptive approach. The results showed that the perpetrators of Islamic Banking in a ready condition for duty audited by a public accountant toward Islamic economic institutions. Although it is generally in ready condition, however there are some disadvantages of competence had by economic actors, such as, lack of understanding of Islamic transactions terms and mechanisms, such as, the terms Sharf, and activity of the bank based in return (profit). To overcome
______________ ∗
Ratno Agriyanto, S.Pd, SE, M.Si adalah dosen tetap pada Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.
Ratno Agriyanto, Analisis Kesiapan Perilaku Ekonomi Syariah….
61
these economic actors expect/hope that there is an Islamic accounting training hoping the ease in obtaining the certification of Islamic accounting. Keywords: readiness audit, public accountants, Institute of Islamic Economics.
A. Pendahuluan Semangat untuk menghidupkan dan menerapkan nilai-nilai Islam didalam kegiatan ekonomi dan keuangan telah mulai nampak pada masyarakat serta pemerintah, walaupun terdapat sebagian di antaranya yang masih menjadi penonton yang kritis. Islam adalah sebagai sebuah sistem nilai dan ekonomi syariah tentunya merupakan subsistem dari sistem nilai tersebut yang juga meliputi akidah dan akhlak. Agar sistem nilai tersebut dapat berfungsi dengan baik dan menjadikan Islam benarbenar sebagai “rahmatan lil’âlamîn“, maka subsistem-subsistem di dalamnya (aqîdah, syarî‘ah, akhlâq) harus dikembangkan secara bersama-sama, saling berinteraksi dan melengkapi satu sama lain melalui suatu proses yang berkesinambungan. Artinya, ekonomi syariah sendiri tidak akan dapat mewujudkan suatu masyarakat madani tanpa diikuti dengan pengembangan dan penerapan di bidang akidah dan akhlak kepada semua pelaku ekonomi syariah. Contoh konkretnya di bidang keuangan syariah misalnya, pihak yang dituntut untuk berlaku jujur dan adil bukan hanya lembaga keuangannya saja, tetapi nasabah dan mitra usahanya juga dituntut hal yang sama. Dengan demikian, tidak akan ada lagi, misalnya, suatu perusahaan yang memiliki lebih dari satu macam Laporan Keuangan untuk periode waktu yang sama untuk kepentingan yang berlainan. Persoalannya apakah perusahaan-perusahaan kita sudah siap dengan konsekwensinya seperti berurusan dengan kantor pajak? Kejujuran dan keadilan bukan merupakan monopoli ajaran Islam, tetapi merupakan ajaran universal dan Islam adalah agama universal. Perkembangan lembaga keuangan syariah dalam 8 tahun terakhir ini sangat menggembirakan, sebagai contoh jumlah bank syariah mengalami peningkatan dari hanya 5 bank syariah (termasuk unit usaha syariah/UUS dari bank-bank konvensional) dan 62 kantor cabang pada tahun 2000 menjadi 31 bank syariah (termasuk 28 UUS) dengan 602 kantor cabang dan kantor kas pada akhir Juli 2008. Total dana pihak ketiga telah mencapai Rp. 13,585 triliun pada akhir tahun 2005 atau naik menjadi lebih dari 1.300% dibandingkan dengan tahun 2000 sebesar Rp.
62
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
1,029 triliun. Pada akhir Juli 2008, dana pihak ketiga tersebut telah mencapai Rp. 32,898 triliun. Total pembiayaan mencapai Rp. 15,120 triliun pada akhir tahun 2005 atau naik sekitar 1.400% dibandingkan dengan akhir tahun 2000 sebesar Rp. 1,271 triliun. Pada akhir Juli 2008, total pembiayan yang diberikan mencapai Rp. 35,190 triliun.1 Untuk mendukung perkembangan lembaga keuangan syariah pemerintah mengeluarkan beberapa regulasi khusus yang terkait dengan pengendalian agar keberadaan lembaga keuangan syariah tersebut dapat terus memberikan konstribusi bagi perkembangan ekonomi secara nasional, dengan tetap mengedepankan prinsip akuntabilitas serta profesionalisme. Beberapa ketentuan tersebut antara lain: 1. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia NOMOR: 39/Per/M.KUKM/XII/ 2007 Tentang Pedoman Pengawasan Koperasi Jasa Keuangan Syariah dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi, pasal 7 point c, disebutkan bahwa ketaatan wajib audit bagi KJKS dan UJKS Koperasi yang mempunyai jumlah volume usaha dalam 1 (satu) tahun paling sedikit Rp. 1.000.000.000,-(satu miliar rupiah). 2. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pasal 35 point 3 disebutkan bahwa neraca dan perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik. Dengan adanya ketentuan tersebut maka lembaga keuangan syariah yang relatif baru berkembang belum berpengalaman diaudit oleh kantor akuntan publik. Sehingga dimungkinkan belum ada kesiapan dari pelaku ekonomi syariah menghadapi kewajiban audit oleh lembaga ekonomi syariah.
B. Permasalahan Dari latar belakang masalah di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah yang dimaksud dengan lembaga ekonomi syariah. 2. Apakah yang dimaksud dengan akuntan publik. 3. Bagaimana kesiapan pelaku ekonomi syariah dalam menghadapi kewajiban audit oleh kantor akuntan publik. ______________ 1
Rizqullah (2008) Majalah Bank dan Manajemen, Edisi 113
Ratno Agriyanto, Analisis Kesiapan Perilaku Ekonomi Syariah….
63
C. Pembahasan 1. Lembaga Ekonomi Syariah Istilah lembaga ekonomi syariah dapat ditemukan dalam UU No. 3/2006 tentang peradilan agama, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah antara lain meliputi: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah Dalam menjalankankan kegiatan transaksinya ekonomi syariah mempunyai asas/prinsip dan karateristik sebagai berikut:2 a. Asas Transaksi Syariah 1) Persaudaraan (ukhuwah) Asas persaudaraan (ukhuwah) esensinya merupakan nilai universal yang menata interaksi sosial dan harmonisasi kepentingan para pihak untuk memanfaatkan secara umum dengan semangat saling tolong menolong. Transaksi syariah menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat (sharing economics) sehingga seseorang tidak boleh mendapat keuntungan di atas kerugian orang lain. Ukhuwah dalam transaksi syariah berdasarkan prinsip saling mengenal (ta’âruf), saling memahami (tafâhum), saling menolong (ta’âwun), saling menjamin (takâful), saling bersinergi dan beraliansi (tahâluf ). b) Keadilan (‘adâlah) Asas keadilan (‘adâlah) esensinya menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai dengan posisinya. Implementasi keadilan dalam kegiatan usaha berupa aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur: riba, kezaliman (merugikan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan), maysir (unsur judi dan sifat spekulatif), gharar (unsur ketidakjelasan), haram (baik dalam barang maupun jasa serta aktivitas operasional). ______________ 2 Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Akuntansi Keuangan tentang Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah, (Jakarta: Salemba Empat, 2007), hlm. 5.
64
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
3) Asas Kemaslahatan (mashlalah) Asas Kemaslahatan (mashlalah) esensinya merupakan segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi duniawi dan ukrawi, materiil dan spiritual, serta individual dan kolektif. Kemaslahatan yang diakui harus memenuhi dua unsur yakni kepatuhan syariah (halâl) serta bermanfaat dan membawa kebaikan (thayyib) dalam semua aspek secara menyeluruh yang tidak kemudharatan. Transaksi syariah yang dianggap bermaslahat harus memenuhi secara keseluruhan unsurunsur yang menjadi tujuan ketetapan syariah (maqasid syariah) yaitu berupa pemeliharaan terhadap: akidah, keimanan, dan ketaqwaan (dîn); akal (‘aql); keturunan (nasl); jiwa dan keselamatan (nafs); dan harta benda (mâl). 4) Asas keseimbangan (tawâzun). Asas keseimbangan (tawâzun) esensinya meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial, keseimbangan aspek pemanfaatan dan pelestarian. Transaksi syariah tidak hanya menekankan pada maksimalisasi keuntungan perusahaan semata untuk kepentingan pemilik. Akan tetapi pada semua pihak yang dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi. 5) Asas universalisme (syumuliyah). Asas universalitas esensinya dapat dilakukan oleh, dengan untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil ‘âlamîn). b. Karateristik Transaksi Syariah Implementasi transaksi yang sesuai dengan paradigma dan asas transaksi syariah harus memiliki karateristik dan persyaratan sebagai berikut: Transaksi hanya dilakukan berdasarkan prinsip saling paham dan saling ridha; Prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayyib); Uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai komoditas; Tidak mengandung unsur riba; Tidak mengandung unsur kezaliman; Tidak mengandung unsur maysir; Tidak mengandung unsur gharar; Tidak mengandung unsur haram; Tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang; Transaksi dilakukan berdasarkan suatu perjanjian yang jelas dan benar serta untuk keuntungan semua pihak tanpa merugikan pihak Ratno Agriyanto, Analisis Kesiapan Perilaku Ekonomi Syariah….
65
lain; Tidak ada distorsi harga melalui rekayasa permintaan (najasy), maupun melalui rekayasa penawaran (ihtikar); Tidak mengandung unsur kolusi dengan suap menyuap (risywah). c. Pedoman Akuntansi Syariah di Indonesia Akuntansi syariah di Indonesia berpedoman kepada: 3 1) Kerangka Dasar Penyusunan dan penyajian Laporan Keuangan Syariah. 2) Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 101 tentang penyajian Laporan Keuangan Syariah. 3) Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 102 tentang Akuntansi Murabahah. 4) Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 103 tentang Akuntansi Salam. 5) Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 104 tentang Akuntansi Istishna, 6) Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 105 tentang Akuntansi Mudharabah. 7) Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 106 tentang Akuntansi Musyarakah. 8) Pernyataan Standart Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah sub Pengakuan dan Pengukuran transaksi transaksi Wadiah, Qardh, Sharf dan Kegiatan Bank Syariah Berbasis Imbalan. 2. Akuntan Publik Profesi akuntan publik dikenal oleh masyarakat dari jasa audit yang disediakan bagi pemakai informasi keuangan. Timbul dan berkembangnya profesi akuntan publik di suatu negara adalah sejalan dengan berkembangnya perusahaan serta berbagai bentuk badan hukum perusahaan dinegara tersebut. Jika perusahaan-perusahaan yang berkembang dalam suatu negara masih berskala kecil dan masih menggunakan modal pemiliknya sendiri untuk membelanjai usahanya, jasa audit yang dihasilkan oleh profesi akuntan publik belum diperlukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Begitu juga jika sebagian besar perusahaan berbadan hukum selain perseroan terbatas (PT) yang bersifat ______________ Selengkapnya baca, Standar Akuntansi Keuangan, Ikatan Akuntan Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2007 ). 3
66
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
terbuka, di negara tersebut jasa audit profesi akuntan publik belum terlalu banyak diperlukan oleh masyarakat usaha. Dalam perusahaan berbadan hukum perseroan terbatas yang bersifat terbuka, saham perusahaan dijual kepada masyarakat umum melalui pasar modal, dan pemegang saham sebagai pemilik perusahaan terpisah dari manajemen perusahaan. Dalam bentuk badan usaha ini, pemilik perusahaan menanamkan dana mereka di dalam perusahaan dan manajemen perusahaan berkewajiban mempertanggungjawabkan dana yang dipercayakan kepada mereka. Laporan keuangan perusahaan di samping digunakan untuk keperluan manajemen perusahaan, juga dimanfaatkan oleh pemilik perusahaan untuk menilai pengelolaan dana yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Untuk lebih meyakini tentang kewajaran penyajian laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen maka diperlukan adanya pihak yang independen untuk menilai kewajaran laporan keuangan. Pihak yang independen tersebut dinamakan akuntan publik. Dalam perkembangan usahanya, baik perusahaan perorangan maupun berbagai perusahaan berbentuk badan hukum yang lain tidak dapat menghindarkan diri dari penarikan dana dari pihak luar, yang tidak selalu dalam bentuk penyertaan modal dari investor, tetapi berupa penarikan pinjaman dari kreditur. Dengan demikian, pihak –pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan perusahaan tidak lagi hanya terbatas pada para pemimpin perusahaan, tetapi meluas kepada para investor dan kreditur serta calon investor dan calon kreditur. Di Indonesia, berkembangnya profesi akuntan publik pernah mendapat dorongan dari pemerintah dalam tahun 1979 sampai dengan 1993, ditandai dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan nomor 108/KMK 07/1979 tentang penggunaan laporan pemeriksaan akuntan publik untuk memperoleh keringanan dalam penentuan pajak perseroan.4
______________ 4 Keputusan Menteri Keuangan nomor 108/KMK 07/1979 tentang penggunaan laporan pemeriksaan akuntan publik untuk memperoleh keringanan dalam penentuan pajak perseroan.
Ratno Agriyanto, Analisis Kesiapan Perilaku Ekonomi Syariah….
67
Gambar 1. Struktur Hubungan antara Akuntan Publik dengan Manajemen Perusahaan, Kreditur, Investor, dan Pihak Luar lain
Sumber: Mulyadi, 1998
3. Kajian Riset Sebelumnya Dari hasil survey awal, belum banyak ditemukan penelitian yang mengkaji tentang kesiapan pelaku ekonomi syariah dalam rangka melaksanakan kewajiban audit oleh kantor akuntan publik. Penelitian yang ditemukan berkaitan dengan kesiapan pengembangan ekonomi syariah adalah penelitian yang dilakukan oleh tim studi tentang investasi syariah di pasar modal Indonesia dari Departemen Keuangan Republik Indonesia sub Badan Pengawas Pasar Modal, dalam rangka proyek peningkatan efisiensi pasar modal tahun anggaran 2004 dan penelitian yang dilakukan oleh Ratno Agriyanto (2010) tentang kesiapan akuntan publik melakukan audit terhadap lembaga ekonomi syariah dengan ringkasan penelitian sebagaimana tercantum dalam tabel 1 di bawah ini:
68
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Tabel 1. Penelitian Terdahulu No 1
2
Peneliti
Judul
Tim studi tentang investasi syariah di Pasar Modal Indonesia (2004)
Studi tentang investasi syariah di Pasar Modal Indonesia
Ratno Agriyanto (2010)
Analisis kesiapan akuntan publik mengaudit lembaga ekonomi syariah.
Metode Penelitian
Tempat penelitian
Deskriptif dengan pendekatan kualitatif
Emiten, Manajer Investasi, lembaga penunjang (kantor akuntan publik, konsultan hukum, notaris), Investor di Kota Jakarta dan Bandung
Sebesar 53 % tingkat kemampuan akuntan publik dalam rangka menunjangpen gembangan investasi syariah menjadi kendala.
Akuntan Publik Di Kota Semarang.
Akuntan Publik berada pada posisi siap dengan nilai sebesar 2.48 pada interval 1.00 – 3.00.
Deskriptif dengan pendekatan kualitatif
Kesimpulan
Sebesar 30 % emiten tidak tertarik untuk menerbitan efek syariah.
Dari hasi1 survey penelitian terdahulu, secara umum dapat disimpulkan bahwa terjadi kendala kesiapan kantor akutan publik dalam mendukung pengembangan ekonomi syariah. Serta ada keengganan emiten untuk menerbitan efek syariah di waktu yang akan datang. Penelitian terdahulu tersebut setidaknya memberi gambaran bahwa penerapan hal-hal yang baru dalam sistem perekonomian syariah akan menemui kendala minimal diawal. Tetapi kita semua tidak berharap hal itu terjadi selamanya. Sehingga penelitian lebih lanjut untuk mengkaji kesiapan pelaku ekonomi Islam (di samping kasus emiten dan akuntan publik di atas) perlu dilakukan supaya lembaga keuangan kebanggaan umat Islam ini dapat terus berkembang dengan mengedepankan akuntabilitas melalui kesiapannya diaudit oleh akuntan publik. Ratno Agriyanto, Analisis Kesiapan Perilaku Ekonomi Syariah….
69
4. Kerangka Teori Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
Beroperasi dengan prinsip syariah dan belum berpengalaman diaudit oleh auditor independen
Latar belakang pedidikan umum dan pendidikan profesi
Akuntan Publik
Penugasan audit
Lembaga Keuangan Syariah
Terjadi gap kompetensi (keahlian) sehingga terjadi ketidaksiapan dari pelaku ekonomi syariah
Diketahui kendala atau penyebab terjadinya tingkat gap kompetensi (keahlian) antara akuntan publik dengan pelaku ekonomi syariah
Strategi kebijakan untuk meningkatkan kompetensi pelaku ekonomi syariah dalam menghadapi pelaksanaan kewajiban audit
5. Metodologi Penelitian Dalam rangka mendukung terlaksananya penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa metode di antaranya adalah: a. Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan, penelitian ini dilakukan dengan cara: 1) Studi Kepustakaan Studi pustaka dilakukan dengan mempelajari beberapa literatur yang terkait dengan prinsip-prinsip syariah dan atau investasi syariah
70
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
pada lembaga ekonomi syariah serta ketentuan standar akuntansi keuangan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam mempelajari literatur, juga mengambil dan mempelajari tulisan serta artikel baik perorangan maupun kelembagaan terutama melalui situssitus resmi milik institusi yang terkait dengan lembaga akuntan publik serta pelaku ekonomi syariah. 2) Studi Lapangan Studi lapangan ini dilakukan untuk memperoleh masukan secara langsung dari para pelaku pasar yang berkaitan dengan ekonomi syariah seperti pengurus lembaga ekonomi syariah (jajaran manajemen, staff akuntansi). Adapun metodenya antara lain adalah: a) Survey, dengan melakukan penyebaran kuesioner kepada sejumlah responden yaitu pengurus lembaga ekonomi syariah (Jajaran Manajemen, Staff akuntansi). Hal ini dilakukan untuk melihat potret dan gambaran nyata seputar kendala yang selama ini menjadi ganjalan bagi para pelaku ekonomi syariah dalam rangka melaksanakan kewajiban audit lembaga ekonomi syariah. b) Diskusi, dengan para narasumber dan atau pihakpihak yang dianggap berkompeten. c) Melakukan wawancara, dengan beberapa pihak terutama dengan manajemen pelaku ekonomi syariah yang telah berpengalaman melaksanakan ketentuan wajib audit oleh kantor akuntan publik. b. Penentuan Sampel Objek penelitian ini adalah seluruh lembaga pelaku ekonomi syariah yang ada di Kota Semarang. Dengan fokus kajian pada lembaga keuangan diluar bank umum yaitu bank perkreditan rakyat syariah (BPRS), dan koperasi jasa keuangan syariah (KJKS). BPRS di kota Semarang berjumlah 2 buah serta KJKS berjumlah 18 buah. Sedangkan responden yang akan digunakan adalah direktur atau manager serta pegawai bagian akuntansi pada lembaga keuangan syariah. Responden tersebut dipilih karena berdasarkan pertimbangan peneliti merekalah yang paling bertanggungjawab dalam menyajikan laporan keuangan untuk kepentingan audit. Teknik pengambilan sampel penelitian adalah seluruh populasi responden dikarenakan jumlah populasi relatif sedikit serta relatif terjangkau. Dari 60 kuesioner yang disebar kepada responden melalui alamat 2 BPRS dan 18 KJKS yang ada di kota Semarang, dari 60 kuesioner tersebut hanya 32 kuesioner yang kembali. Ratno Agriyanto, Analisis Kesiapan Perilaku Ekonomi Syariah….
71
c. Daftar Pertanyaan (Kuesioner) Sesuai dengan tujuan studi sebagaimana telah disebutkan di atas adalah untuk mengetahui kesiapan pelaku ekonomi syariah dalam menghadapi pelaksanaan wajib audit oleh kantor akuntan publik. Kesiapan ini dilihat dari pengetahuan lembaga ekonomi syariah dalam mengetahui pengakuan, pengukuran dan penyajian transaksi syariah. Dan menemukan bentuk-bentuk hambatan atau kendala apa sajakah yang dihadapi pelaku ekonomi syariah dalam melaksanakan wajib audit oleh akuntan publik. Serta mengetahui keinginan atau saran dari pelaku ekonomi syariah agar benar-benar siap untuk diaudit oleh kantor akuntan publik. Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka penyusunan kuesioner dimulai dengan: 1) Gambaran umum responden, dalam kelompok ini diharapkan dapat diperoleh informasi umum mengenai direktur atau manager serta staf akuntansi yang dijadikan responden, sehingga tergambar profil responden. 2) Pengetahuan responden terhadap penyajian laporan keuangan, pengetahuan (pengakuan, pengukuran, penyajian) transaksi pada entitas syariah, dan pengetahuan tentang hak dan kewajiban lembaga ekonomi syariah serta akuntan publik dalam pelaksanaan auidit lembaga ekonomi syariah. Hal ini diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai kekurangan pengetahuan yang seharusnya dimiliki oleh pelaku ekonomi syariah. 3) Masalah atau kendala, pertanyaan ini merupakan inti dari studi yang akan dilakukan, dan diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai apakah terdapat kendala yang dihadapi pelaku ekonomi syariah dalam menyajikan laporan keuangan entitas syariah. 3) Saran, jika terdapat masalah atau kendala yang dihadapi oleh lembaga ekonomi syariah dan dalam rangka meminimalisasi masalah atau kendala yang dihadapi maka pertanyaan ini mencoba menggali tentang hal-hal yang perlu mendapat perhatian dan perbaikan yang diinginkan pelaku ekonomi syariah dalam rangka membentuk kesiapan pelaku ekonomi syariah dalam melaksanakan wajib audit oleh akuntan publik. Kuesioner penelitian ini mempunyai jawaban tertutup dan terbuka. Untuk jawaban tertutup jawaban responden terdiri dari:
72
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
a) “Ya” yang diberi nilai 3; b) “Lain-lain” yang diberi nilai 2; c) “Tidak” yang diberi nilai 1 d. Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam studi ini adalah metode “analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif”. Metode deskriptif kualitatif ini dilakukan melalui proses penyaringan informasi dari kondisi sewajarnya dalam kegiatan suatu objek, dihubungkan dengan langkah pemikiran rasional baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis. Setiap data dan atau informasi yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mengetahui keterkaitannya dengan permasalahan pokok sehingga pada akhirnya bisa ditarik suatu kesimpulan secara objektif. Sedangkan untuk menentukan kesiapan pelaku ekonomi syariah akan digunakan skala sebagaimana tercantum pada tabel 2 di bawah ini: Tabel 2. Nilai Interval Kesiapan Akuntan Publik Interval
Kategori
Keterangan
1.00 – 1.66
C
Tidak Siap
1.67 – 2.33
B
Ragu–ragu
2.34 – 3.00
A
Siap
6. Analisis Kesiapan Pelaku Ekonomi Syariah Melaksanakan Wajib Audit oleh Kantor Akuntan Publik a. Analisis Kesiapan (Pengakuan, Pengukuran dan Penyajian Transaksi Syariah) Berdasarkan hasil kompute analisis menggunakan program spss versi 15 sebagaimana yang terdapat pada lampiran 2, dapat diketahui kesiapan pelaku ekonomi syariah dalam melakukan pengakuan, pengukuran dan penyajian transaksi syariah sebagai berikut:
Ratno Agriyanto, Analisis Kesiapan Perilaku Ekonomi Syariah….
73
Tabel. 3 No
Keterangan Keuangan
Entitas
Skor
Kriteria
2,5
Siap
1
Pelaporan Syariah
2
Murabahah
2,8
Siap
3
Salam
2,6
Siap
4
Istisna
2,6
Siap
5
Mudharabah
2,8
Siap
6
Musyarakah
2,7
Siap
7
Ijarah
2,7
Siap
8
Wadiah
3,0
Siap
9
Qardh
2,7
Siap
10
Sharf
2,3
Ragu-ragu
11
Kegiatan Bank Berbasis Imbalan
1,6
Tidak-siap
Berdasarkan tabel 3 di atas dapat dijelaskan bahwa rata-rata pelaku ekonomi syariah sudah siap melakukan pengakuan, pengukuran dan penyajian transasi pada lembaga ekonomi syariah kecuali transaksi Sharf yang memperoleh kriteria ragu-ragu dan kegiatan bank berbasis imbalan yang memperoleh nilai kriteria tidak siap. Hal ini dimungkinkan karena kedua jenis transaksi tersebut jarang atau tidak terjadi pada lembaga keuangan syariah. b. Analisis Kesiapan Secara Umum Berdasarkan hasil kompute analisis menggunakan program spss versi 15 sebagaimana yang terdapat pada lampiran 2, diperoleh nilai rata-rata (mean) nilai jawaban responden sebesar 2,6 berada pada interval 1.00 – 3.00 atau berkriteria “Siap”. Tabel. 4
74
N
Max
Min
Mean
32
2,00
3,00
2,60
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Berdasarkan tabel di atas secara umum dapat simpulkan bahwa lembaga ekonomi syariah sudah siap untuk melaksanakan wajib audit oleh kantor akuntan publik pada lembaga ekonomi syariah. Namun demikian kesiapannya belum maksimal karena hanya memperoleh skor 2,60 masih dibawah nilai maksimal atau 3,00.
D. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap jawaban responden dapat simpulkan hal-hal sebagai berikut: a. Tingkat Kesiapan Pelaku Ekonomi Syariah Tingkat kesiapan pelaku ekonomi syariah terhadap pelaksanaan wajib audit bagi lembaga ekonomi syariah berada pada kriteria siap artinya dengan adanya kewajiban audit bagi lembaga ekonomi syariah, para pelaku ekonomi syariah sudah siap melaksanakannya. Namun demikian kesiapan pelaku ekonomi syariah tersebut tidak berada pada posisi maksimal artinya masih ada beberapa hal yang harus diketahui oleh akuntan publik antara lain kurang memahami mekanisme transaksi syariah serta kurang pengalaman diaudit oleh kantor akuntan publik Beberapa istilah dan mekanisme transaksi syariah yang sebagian besar tidak dipahami oleh pelaku ekonomi syariah antara lain sharf, kegiatan bank syariah berbasis imbalan. Sedangkan istilah-istilah lain misalkan mudharabah, murabahah, salam, istishna relatif sudah banyak diketahui oleh sebagian besar pelaku ekonomi syariah. b. Model Strategi Pembelajaran. Model strategi pembelajaran yang diharapkan oleh para pelaku ekonomi syariah agar dapat lebih siap atau profesional dalam melaksanakan wajib audit bagi lembaga ekonomi syariah antara lain mereka menginginkan adanya suatu workshop atau pelatihan akuntansi syariah. Permudah sertifikasi akuntansi syariah. 2. Saran Berdasarkan kesimpulan disaran kepada beberapa pihak antara lain sebagai berikut:
Ratno Agriyanto, Analisis Kesiapan Perilaku Ekonomi Syariah….
75
a. Pelaku Ekonomi Syariah Kepada para pelaku ekonomi syariah disarankan agar terus meningkatkan pengetahuannya dalam bidang akuntansi syariah khususnya pemahaman tentang pengertian istilah transaksi syariah serta mekanismenya. Karena pengetahuan tersebut dapat menunjang kelancaran pelaksanakan audit terhadap lembaga ekonomi syariah. Selain hal tersebut akan lebih baik jika rekruitmen pegawai juga memperhatikan latar belakang pendidikan misalkan alumni jurusan ekonomi Islam atau perbankan syariah lebih diutamakan. b. Akuntan Publik Kepada akuntan publik disarankan selain melaksanakan audit terhadap lembaga ekonomi syariah sebaiknya juga melakukan sosialisasi atau pembinaan kepada pelaku ekonomi syariah tentang penyajian laporan keuangan entitas syariah beserta ketentuannya. c. Kalangan Akademik Kepada kalangan akademik khususnya penyelenggara program studi akuntansi umum atau penyelenggara pendidikan profesi akuntan dapat menambahkan mata kuliah tentang fiqih muamalah atau bahkan tambahan bahasa Arab. Mata kuliah tersebut difokuskan pada pemahaman terhadap istilah transaksi syariah serta mekanismenya. Juga diupayakan menjalin kerjasama dengan Ikatan Akuntan Indonesia dalam pelaksanaan sertifikasi akuntansi syariah. d. Ikatan Akuntan Indonesia Kepada Ikatan Akuntan Indonesia disarankan dapat menyelenggarakan pelatihan akuntansi syariah, serta dapat mempercepat penyelenggarakan pendidikan sertifikasi akuntansi syariah yang mudah dan murah tanpa meninggalkan kualitas. Misalkan dengan menggandeng perguruan tinggi dalam proses pendidikan sertifikasi akuntansi syariah maupun tempat ujian. e. Peneliti selanjutnya Kepada peneliti selanjutnya diharapkan dapat menambah kualitas penelitian ini antara lain dengan memperluas sebaran responden dari hanya lingkup kota Semarang menjadi lingkup Propinsi Jateng. Juga diharapkan adanya suatu penelitian jenis PAR untuk memperkuat
76
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
pemahaman pelaku ekonomi syariah dalam menghadapi kewajiban audit oleh akuntan publik. Akhirnya tak ada gading yang retak, kritik serta saran dari pembaca sangat diharapkan oleh peneliti untuk perbaikan penelitian dimasa yang akan datang.[]
DAFTAR PUSTAKA Emory, William C, 1995, Business Research Methods, Revised Edition, Illionis: Richard D. Irwin Inc. Homework. Ikatan Akuntan Indonesia, "Standar Akuntasi Keuangan", Jakarta: Salemba Empat, 2007 Iqbal, Z “ Islamic Financial System , Finance & Develpoment”, Juni 1997 Mulyadi, ”Auditing”, Jakarta: Salemba Empat, 1998 Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia NOMOR: 39/Per/M.KUKM/XII/2007 Tentang Pedoman Pengawasan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Dan Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi. Rahmawati. 1997. “Hubungan antara profesionalisme Internal Auditor dengan Kinerja, Kepuasan, Kommitmen dan Keinginan untuk Pindah”, Tesis pasca Sarjana UGM, tidak diplublikasikan. Ramayah, T danAizzat Mohd. Nasurdin, (2003), “Job Satisfaction and Organizational Commitment: Differential Effects Ror Men and Women,” Jurnal Manajemen dan Bisnis, Vol.5, No.1, Januari 2002, hlm. 75-90. Sagie, Abraham dan Moshe Krausz, 2003, What Aspects of The Job Have Most Effect on Nurse, Human Resource Management Journal, ABI/INFORM Global, Vol.13, No.1, pp. 46-62 Shafer, William E, L.Jane Park, dan Woody M Liao, 2002, “Profesionalism, Organizational-Profesional Conflict and Work Outcomes”, Accounting, Auditing dan Accountability Journal, Vol.15, No.1, pp. 46-68 Tim Penelitian, ”Studi tentang Pengembangan Investasi Syariah di Pasar Modal Indonesia, Departemen Keuangan Republik Indonesia 2004 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Ratno Agriyanto, Analisis Kesiapan Perilaku Ekonomi Syariah….
77
78
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
IMPLEMENTASI TEORI KOMUNIKASI DALAM DAKWAH Oleh: Ibnu Fikri* Abstract If dakwah means "preaching," then the dakwah has entered the area of Communication Studies. In Communication Sciences, a communicator is required to understand: 1) what message will be delivered, 2) how the message was delivered & 3) who will receive the message. There are many theories in science communication in order to a message can be achieved effectively. These theories are very important to use by scholars and practitioners of dakwah. For its implementation, dakwah requires the knowledge and theories in order the effectiveness and the success reached a maximum in the da'wah. In providing the material of religious to the object da’wah must be adapted to the conditions, circumstances and realities of mad'u. It is impossible, if mad'u upper middle class simply overwhelmed by the recitation (monologue) with no dialogue. Or conversely people with a pathetic condition be consulted regardless of the needs of the mad'u. Keywords: theory, communication, da'wah.
A. Pendahuluan Islam telah mendapatkan predikat sebagai agama dakwah. Artinya, sebuah agama yang memiliki kewajiban untuk menyebarkan ajaran agamanya seluruh umat manusia. Dakwah itu sendiri secara teori merupakan aktualisasi imani (theologies) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada tataran kenyataan individual dan sosio-kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara-cara tertentu.1 ______________ *
Penulis adalah staf pengajar di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. Achmad, Amrullah, (ed) “Dakwah Islam dan Perubahan Sosial”, (Yogyakarta: PLP2M, 1985 ), cet. 2, hlm. 2. 1
Ibnu Fikri, Implementasi Teori Komunikasi dalam Dakwah
79
Secara bahasa (etymology) dakwah berasal dari bahasa arab da’a (fi’il madhi/kata kerja bentuk lampau), yad’u (fi’il mudhari’/kata kerja bentuk progress), da’watan atau dakwah (masdhar/kata benda) yang bisa berarti memanggil, mengajak, menyeru, berdo’a dan sebagainya. Namun secara istilah (terminology) menurut beberapa ilmuan, dakwah memiliki arti suatu proses usaha untuk mengajak berbuat kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar agar manusia taat dan tetap mentaati ajaran Islam guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.2 Berkaitan dengan arti dakwah baik secara bahasa maupun istilah, maka fungsi utama dakwah adalah penyampaian ajaran-ajaran Islam yang telah diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. alam hal ini sebagai da’i (penyampai dakwah) bagi umat manusia seluruh alam yang dalam hal ini sebagai mad’u (penerima dakwah). Oleh kerena itu konsep dakwah dalam hal ini, sangat erat sekali kaitannya dengan konsep komunikasi, dimana komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan baik yang bersifat informative, educative maupun provocative yang dilakukan sender (communicator) bisa disebut da’i kepada receiver (communicant) yang dalam dakwah disebut mad’u
B. Komunikasi dan Efektivitas Dakwah Dakwah Islam mula pertama dalam sejarahnya, dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dalam rangka memperkenalkan serta membumikan ajaran Islam. Pada tahap awal dakwah dilakukan dengan pendekatan komunikasi antar pribadi (inter personal), dimana pada saat itu Nabi melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Dalam hal ini, yang dibidik sebagai penerima pesan (receiver) adalah lingkup keluarga yaitu istri dan keluarga terdekatnya. Kemudian, setelah dirasa berhasil dengan pendekatan interpersonal, maka berlanjut pada tahap kedua dengan pendekatan komunikasi kelompok (group communication) dimana pada saat itu Nabi menyampaikan pesan wahyu Tuhan secara semi terbuka kepada sahabat-sahabatnya. Tahap selanjutnya adalah dakwah secara terang-terangan dengan pendekatan komunikasi masa (mass communication), melalui khutbah______________ Aminudin Sanwar, Pengatar Ilmu Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, 1986. hlm. 6. 2
80
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
khutbah di muka umum dan sebagainya. Pada tahap akhir, ketika Nabi telah hijrah ke Madinah dan telah membangun sebuah pemerintahan, dakwah pada masa tersebut dilakukan dengan pendekatan komunikasi organisasi (organization communication). Organisasi tersebut adalah pemerintahan di kota Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. sendiri. Melihat kasus Nabi Muhammad dalam aktivitas dakwah (dari dakwah secara sembunyi-sembunyi, yang penulis analogkan dengan komunikasi interpersonal, sampai pada puncaknya dengan membentuk sebuah pemerintahan dalam hal ini komunikasi organiasasi), maka dapat disimpulkan bahwa dakwah maupun komunikasi, harus dilakukan sesuai dengan kondisi mad’u (receiver), serta socio-culture dimana mad’u berada. Karena, apabila hal ini tidak dilakukan, maka tidak ada jaminan dakwah bisa berhasil. Seperti hal nya Nabi Muhammad saw jika pada tahap awal malakukan aktivitas dakwah langsung menggunakan pendekatan komunikasi masa atau dakwah secara terang-terangan dengan mengumpulkan banyak masa, kemungkinan besar Nabi akan dibunuh oleh orang-orang Arab saat itu pula. Pada prinsipnya, tidak ada jaminan bahwa suatu teori komunikasi tertentu dapat digunakan sebagai pijakan melakukan aktivitas dakwah disemua kalangan masyarakat, terutama masyarakat Indonesia. Sebab, masyarakat Indonesia pada dasarnya bersifat majemuk (plural), termasuk dilihat dari segi geografis, etnis, sosial dan budaya. Oleh karena itulah, aktivitas komunikasi (dakwah) selayaknya di upayakan dengan memperhatikan segi-segi karakteristik sosial dan budaya masyarakat setempat. Jika ditinjau dari segi psikologi komunikasi, ada tiga faktor yang sangat menentukan keberhasilan dakwah; pertama, siapakah yang menyampaikan dakwah (komunikator). Kedua, komunikasi atau teknik penyampaian dakwah, dan ketiga, siapa yang menerima pesan dakwah (audience). Adapun teori yang digunakan dalam tulisan ini diambil dari teori perubahan sikap yang dibahas Mc Guire dan beberapa ahli lainnya. Menurut Mc Guire, proses peribahan sikap sese orang dari tidak tahu atau tidak menerima suatu pesan ke menerima suatu pesan, berlangsung melalui tiga proses dasar yang disebutnya tiga tahap perubahan sikap.
Ibnu Fikri, Implementasi Teori Komunikasi dalam Dakwah
81
ATTENTION
COMPREHENSION
ACCEPTION
Attention adalah perhatian terhadap pesan. Seseorang tidak akan berubah sikap apabila tidak memperhatikan pesan yang disampaikan, oleh karena itu, agar penyampaian dakwah dapat diterima harus ada usaha untuk menarik orang untuk memperhatikan dakwah yang disampaikan. Sedangkan comprehension adalah pemahaman terhadap pesan dakwah. Seseorang yang telah memperhatikan pesan dakwah diharapkan akan mempunyai pemahaman perhadap pesan yang disampaikan. Terjadi atau tidaknya pemahaman terhadap pesan dakwah sangat ditentukan oleh bermacam-macam hal, di antaranya teknik penyampaian dakwah dan bahasa yang dipakai dalam dakwah. Aceeption adalah penerimaan isi dakwah. Dalam hal ini ditolak atau doterimanya isi dakwah sebagai sikap hidup sangat ditentukan oleh pemahaman terhadap pesan dakwah dan juga sejauhmana pesan dakwah sesuai dengan kebutuhan dan nilai hidup pendengar. Dengan adanya penerimaan pesan dakwah ini diharapkan orang akan menjalankan perintah-perintah Islam yang disampai-kan. Lalu, sejauh mana proses perubahan sikap tersebut dapat terbentuk, maka sangat tergantung pada ketiga aspek komunikasi, yaitu komunikator, komunikasi dan audience.3 Dalam konteks komunikasi masa, jika seorang da’i melakukan aktivitas dakwahnya dengan memberikan pesan-pesan ajaran agama pada masyarakat kelas mengengah ke atas dan pada kalangan intelektual atau masyarakat modern dengan ciri utamanya adalah mengedepankan aspek rasionalitas,4 maka komunikasi dakwah yang paling tepat dan efektif agar materi dapat difahami diresapi dan pada akhirnya dilaksanakan dalam perilaku kehidupan sehari-hari adalah dengan melakukan “pengajian” yang dikemas dalam acara seminar, ______________ 3 Djamaludin Ancok dan Fuad Nasori Suroso, Psikologi Islam; Solusi Islam atas problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 54. 4 Soekanto, Soerjono “Sosiologi Suatu Pengantar” edisi ketiga, (Jakarta: Rajawali Press, , 1988), hlm. 230.
82
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
lokakarya, semiloka, diskusi dan sejenisnya, sehingga ada ruang dialogis untuk mendalaminya. Berbeda dengan fenomena di atas, komunikasi dakwah yang paling tepat untuk digunakan pada kalangan kelas menengah kebawah atau pada masyarakat tradisional dengan ciri utamanya konservatif, mempercayai hal-hal mistik dan sebagainya adalah dengan melakukan “pengajian” yang bernuansa pengumpulan masa dan tidak ada unsur dialogis atau monologist. Sebab mereka hanya mampu mendengarkan apa yang disampaikan komunikator dan tidak akan mampu diajak berpikir kritis.
C. Keterbatasan dalam Komunikasi Dakwah Ricoeur adalah seorang ilmuan yang menerapkan tradisi phenomenology dan hermeneutic dalam teorinya. Meskipun ia menyadari pentingnya tradisi oral (actual speech), namun yang paling penting baginya adalah teks. Tradisi oral memang bisa terekam, namun tradisi tersebut akan memisahkan diri (divorce) dari orang yang pertama kali mengucapkan (original speaker) dan situasi sebagaimana dulu tradisi tersebut dibuat. Sedangkan teks tidak demikian, ia akan tetap dalam bentuk aslinya sebagaimana dulu teks tersebut dituliskan. Lingkaran hermeneutika versi Ricoeur terdiri dari penjelasan (explanation) dan pemahaman (understanding). Explanation adalah sesuatu yang mencoba memberikan keterangan yang memuaskan terhadap peristiwa-peristiwa dengan cara mengamati pola-pola (patterns) di antara bagian-bagian teks. Dalam menganalisa teks, seorang penafsir (interpreter) harus mencari kata-kata dan ungkapan yang berulang, tema-tema cerita dan berbagai variasi tema. Sedangkan Understanding adalah sesuatu yang memberikan keterangan yang memuaskan dengan jalan memberikan penafsiran secara keseluruhan. Dalam hermeneutika, seseorang harus melakukan dua proses yang antara lain; 1) membongkar teks menjadi bagian-bagian untuk mencari pola dari bagianbagian tersebut, 2) menilai secara subjektif makna secara keseluruhan. Dari proses tersebut, teks menyediakan berbagai macam makna dan penetapan makna sebuah teks. Hal ini bergantung dari penafsir melihat kekinian yang dihadapinya.5 ______________ Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication,” 7th. edition. (USA: Wadsworth, 2002), hlm 139. 5
Ibnu Fikri, Implementasi Teori Komunikasi dalam Dakwah
83
Dalam konteks komunikasi dakwah, dakwah dengan pendekatan tabligh (monolog), seorang komunikator (da’i) dituntut untuk menjalankan profesinya dengan memberikan keterangan-keterangan atau pesan-pesan ajaran Islam yang bersifat detail dan rinci agar masyarakat menjadi benar-benar faham dan mengerti maksud dari inti ajaran Islam tersebut. Namun kelemahan yang paling urgent pada persoalan ini adalah bahwa masyarakat penerima pesan memiliki keterbatasan kemampuan memahami pesan-pesan yang sifatnya rinci di satu sisi, ditambah lagi sang juru dakwah (komunikator) juga memiliki keterbatasan waktu dalam menjelaskan pesan dakwah. Oleh karena itu, sebagai suatu proses, maka implementasi teori-teori komunikasi dalam dakwah dilaksanakan secara terencana, sistematis dan berkesinambungan. Hal ini berarti bahwa dakwah tidak akan pernah berhenti dilaksanakan sampai kapanpun, lebih-lebih untuk masa sekarang dan yang akan datang, dakwah Islam perlu ditingkatkan, direncanakan dan diorganisir secara lebih professional agar benarbenar bisa menjawab atau memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh umat.6
D. Media Masa dan Kepentingan Dakwah Sejalan dengan perkembangan masyarakat Indonesia ke arah yang lebih informatif (information intensive), maka bobot kepentingan media masa dalam kehidupan manusia menjadi semakin penting peranannya dan sekaligus juga sangat dibutuhkan. Media masa, baik media cetak maupun elektronik, saat ini sudah bisa dinikmati oleh berbagai kalangan masyarakat dan dapat menjangkau sampai ke berbagai pelosok daerah untuk membawakan bermacam-macam informasi, pesanpesan pembangunan, hiburan maupun pengetahuan umum pada masyarakat luas. Dalam khasanah ilmu politik media masa dianggap merupakan “kekuasaan keempat (The Fourth Estate). Selain itu media masa juga dijuluki sebagai watch dog (penjaga kepentingan publik).7 Dari masing-masing ______________ 6 Nurbini, “Dakwah Melalui Teknik Layanan Bimbingan dan Konseling Islami”, Jurnal Risalah Walisongo, 73, (Januari-Pebruari, 1998). hlm. 23. 7 Muzayyin Mahbub, “Media dan Kebijakan Pemerintah,” makalah disampaikan dalam acara Louncing Lembaga Pemantau Media (Media Violence Watch), di Semarang, tanggal 25 Mei 2005.
84
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
media yang ada, telah memiliki karakteristik tersendiri, sehingga seluruhanya berpotensi sebagai alat komunikasi masa yang efektif. Pengalaman di berbagai negara sejak 50 tahun yang lalu menunjukkan bahwa setelah dikenalnya siaran radio, posisi media cetak masih tetap tidak tergoyahkan atau masih mendapat tempat dimasyarakat. Setelah dikenalnya siaran televisi, siaran radio juga masih tetap eksis dan berkembang. Kiranya mudah disepakati bahwa perwujudan potensi tersebut menjadi kegiatan aktual yang bertumbuh terus hanya yang mungkin terjadi karena pelaku tanggap terhadap perubahan lingkungan serta kebutuhan komunikasi di masyarakat. Namun, selain media masa mempunyai manfaat yang begitu besar, disisi lain juga menyimpan potensi madharat (kerusakan) yang tidak kalah besarnya bagi masyarakat, ketika media tidak dikelola secara baik. Melalui media, budaya dan perilaku yang tidak sesuai mulai dikenal oleh masyarakat. Seperti yang dapat dilihat setiap hari, kemasannya dalam bentuk kolom-kolom, gambar-gambar yang berbau seks, filmfilm atau sinetron yang menampilkan adegan-adegan kekerasan dan sebagainya. Semuanya ditayangkan dihampir semua media masa tanpa terkecuali baik media cetak, maupun elektronik. Media ibarat pisau bermata dua, jika dikelola secara baik maka akan bermanfaat tetapi jika sebaliknya, maka media masa akan menjadi senjata pemusnah masal paling ampuh dalam hal nilai-nilai kemanusiaan.8 Di Indonesia saat ini sedang terjadi perkembangan pesat pada media telavisi. Khususnya sepuluh tahun terakhir telah bermunculan dan beroperasi beberapa stasiun televisi swasta dengan jangkauan pemberitaan regional dan bahkan nasional.9 Sayangnya, kebanyakan pemilik media lebih besar dan cendrung pada seguhan-suguhan hiburan seperti sinetron, konser musik, reality show yang berbau extravagance. Sangat jarang tayangan yang berbau pendidikan sekaligus terdapat unsurunsur dakwah di dalamnya. Kalau memang ada, jam tayang acara ______________ 8 HMA. Sahal Mahfudh “Media dan Dampaknya Bagi Umat”, makalah disampaikan pada seminar dan Lounching Lembaga Pemantau Media (Media Violence Watch), di Semarang, 25 Mei 2005. 9 Diantaranya adalah TVRI, RCTI, SCTV, TPI, ANTV, INDOSIAR, Trans TV, TV 7, Lativi, Metro TV, TV Global. Sedangkan di beberapa daerah juga telah berdiri Stasion-stasion TV. Di wilayah semarang saat ini baru terdapat, TV KU, PRO TV dan TV Borobudur. Kehadiran mereka telah memperkuat prasarana informasi nasional.
Ibnu Fikri, Implementasi Teori Komunikasi dalam Dakwah
85
tersebut bisa dipastikan bukan pada jam-jam yang orang jarang menikmatinya (prime time), misalnya pada pagi-pagi sekali atau pada malam hari ketika masyarakat sudah tidak ada yang menonton. Adalagi hal yang lebih ironis dari fenomena di atas adalah ketika beberapa stasiun TV swasta telah mulai menampilkan nilai-nilai dakwah yang dikemas dalam sebuah sinetron, dengan menampilkan artis-artis serta aktor-aktor terkenal memakai kostum layaknya orang-orang saleh baik yang laki-laki maupun perempuan. Namun pada tayangan yang lain (sinetron) artis-artis yang sama, berganti kostum layaknya artis-artis Hollywood yang hanya memakai bikini. Hal ini sebenarnya menimbulkan persepsi skeptis masyarakat terhadap tayangan-tayangan yang berbau Islami. Barangkali, untuk menggugah semangat komunikasi dakwah di tanah air, terdapat semacam ide menarik yang saat ini sedang diupayakan oleh salah satu stasiun TV swasta nasional yang bekerja sama dengan beberapa Ormas Islam. Terlepas dari profit atau tidaknya media tersebut, beberapa waktu lalu, salah satu stasiun TV nasional sedang menggalakkan semacam lomba berdakwah atau lomba berpidato masalah agama Islam yang secara gamblang dapat disebut Audisi Dakwah TPI. Kemudian masyarakatlah yang menilai dengan cara mengirimkan SMS (Short Message System) melalui media phone cell. Apakah tayangan ini merupakan cikal-bakal tumbuhnya gerakan Islamisasi media, kita hanya bisa wait and see (menunggu dan melihat).[]
DAFTAR PUSTAKA Aminudin Sanwar, Pengatar Ilmu Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, 1986. Amrullah Achmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Prima Duta, 1983. Djamaludin Ancok dan Fuad Nasori Suroso, Psikologi Islam; Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. HMA. Sahal Mahfudh “Media dan Dampaknya bagi Umat”, makalah disampaikan pada seminar dan Lounching Lembaga Pemantau Media (Media Violence Watch), di Semarang, 25 Mei 2005. Muzayyin Mahbub “Media dan Kebijakan Pemerintah” makalah disampaikan dalam acara Louncing Lembaga Pemantau Media (Media Violence Watch), di Semarang, 25 Mei 2005.
86
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Nurbini “Dakwah Melalui Teknik Layanan Bimbingan dan Konseling Islami”, Jurnal Risalah Walisongo, 73, (Januari-Februari, 1998). Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, edisi ketiga, Jakarta: Rajawali Press, 1988. Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, 7th. edition. USA: Wadsworth, 2002.
Ibnu Fikri, Implementasi Teori Komunikasi dalam Dakwah
87
88
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
DIALEKTIKA ORIENTASI GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN (ISLAM) DI INDONESIA Oleh: Ahmad Faqih∗ Abstract The Religious social movement in a sociological perspective, is a natural process as the response of each group of man to face the social change occurred. It may also be caused by the strong desire of every human groups to seek change that is expected. Muslims in Indonesia in facing the demands of the objective in accordance with his time/periode, and the demands of the doctrine appeared/ created the social movements to confront and resolve the social problems that exist. Both of these differences resulted the various of Islamic social movements that suited with the characteristics and social dynamics that occur in his time/periode. When we see the orientation at the beginning of the emergence of socioreligious movement, on the 19th and the early 20th century, the type of movement more closely with religious social movements emerged/ appeared as a reaction against to the Dutch colonialism. The Dutch colonial’s periode for 3.5 centuries, has caused the suffering of indigenous (asli/pribumi) people in all facets of life. As known in history, that the religious social movement with the struggle orientation against the colonial was achieved/succeed with a declaration of independence which is the proclamation of independence on August 17, 1945. Based on this success, the orientation of religious social movements shifted from the orientation of the struggle orientation to be the practical politics. This is a logical consequence of the long struggle by the majority of Muslims throughout the country. The dialectic of religious social movement orientation always happened history of Indonesia with the advantages and disadvantages that must be faced. So that, it is difficult for us to justify if right or wrong of any orientation chosen by the Muslims in every phase of history. Keywords: social movements, islamic, Indonesia
______________ ∗
Ahmad Faqih, S.Ag, M.S.I. adalah dosen Sosiologi pada Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang.
Ahmad Faqih, Dialektika Orientasi Gerakan Sosial Keagamaan….
89
A. Pendahuluan Pada awal abad ke-21 ini, umat Islam di Indonesia telah terintegrasi dengan sistem peradaban global yang sarat dengan tantangantantangan baru sebagai ikutannya. Sejumlah ideology dunia, seperti kapitalisme, materialism, sosialisme, komunisme, demikian bebas memberikan pengaruh melalui media virtual internet. Padahal kalau kita kritisi secara radikal, nilai-nilai yang ditawarkan dari beberapa ideologi tersebut, belum tentu sesuai dengan doktrin agama Islam maupun kearifan local dari komunitas umat Islam di Nusantara. Seperti pengaruh kapitalisme yang melanda lembaga-lembaga pendidikan Islam sejak pendidikan dasar sampai pendidikan tingkat perguruan tinggi. Lembaga-lembaga milik umat Islam tersebut, telah kehilangan fungsi sosialnya, karena pihak pengelola ‘terjebak’ pada fungsi-fungsi komersial. Semakin favorit lembaga yang dipimpinnya, berbanding lurus dengan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua. Akhirnya yang bisa menikmati pendidikan yang bermutu, untuk mereka yang bernasib baik atau berasal dari golongan menengah ke atas. Sedangkan umat Islam yang bernasib buruk atau berpenghasilan rendah, tidak akan dapat menikmati mutu lembaga pendidikan Islam. Kita bisa memprediksi kader-kader umat Islam yang berkualitas pada masa mendatang, secara kuantitatif akan semakin berkurang. Karena umat Islam yang masuk dalam kategori tidak mampu/miskin jumlahnya lebih banyak menyerupai bentuk piramida normal. Ketika umat Islam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, pada sebagian komunitas Muslim tidak didampingi oleh elit-elit agama yaitu ulama, ustadz, guru ngaji. Karena para elit tersebut mulai kehilangan pengaruhnya di masyarakat. Umat Islam lebih percaya kepada elit-elit baru yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Gejala perubahan otoritas kepemimpinan elit agama ini, berdampak pada rentannya umat Islam terhadap segala sesuatu yang mereka terima melalui media massa dan media virtual yang semakin bervariasi. Akhir-akhir ini tidak sedikit umat Islam yang menjadi korban kejahatan dari dunia maya dalam berbagai bentuk penipuan yang terorganisir. Seperti penipuan melalui SMS, penipuan melalui facebook, pembobolon rekening tabungan, penipuan melalui pemberian hadiah sebagai pemenang kuis. Gerakan sosial sosioreligius menjadi ‘jalan baru’, bagi umat Islam agar mereka lebih siap dalam menghadapi tantangan-tantangan dunia
90
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
yang tidak terduga sebelumnya. Gerakan sosial keagamaan diharapkan mampu memberi penerang bagi umat Islam yang mengalami kegelisahan dan kebingungan di tengah pusaran peradaban modern.1 Selain itu gerakan tersebut juga dapat dimaksimalkan untuk memberikan pendampingan terhadap umat Islam yang tengah menghadapi problematika yang tidak mampu dihadapi secara individual. Gerakan sosial keagamaan juga seharusnya dapat berperan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan umat Islam dalam berbagai segi; ekonomi, pendidikan, hukum, politik, dan budaya. Tulisan ini akan mengajak pembaca, untuk mengamati dinamika orientasi yang terjadi pada gerakan sosial keagamaan di Indonesia. Dapatkah gerakan sosial keagamaan dapat berperan sesuai dengan tuntutan doktrin agama dengan realitas objektif yang dihadapi umat Islam? Ataukah sebaliknya gerakan sosial keagamaan terjebak pada pengaruh ideology dunia, sehingga seolah menjadi agen-agen rahasia yang dapat merugikan umat Islam sendiri?
B. Orientasi Gerakan Sosial Keagamaan Abad ke-19 s.d. 21 Pada abad ke-19 gerakan sosial keagamaan dinakhodai pemimpinpemimpin kharismatik di berbagai daerah. Para tokoh pemimpin Islam menggunakan solidaritas pedesaan untuk menggerakkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Seorang tokoh kharismatik berhasil menghimpun para pengikutnya dengan solidaritas mekanis, meminjam istilah dari sosiologi Durkheim, selalu dicurigai sebagai telah menggalang solidaritas politik. Sehingga pihak Belanda berusaha mencari dalih agar ditangkap, disuruh membubarkan para pengikutnya, atau dibuang untuk diasingkan.2 Kadangkala di antara gerakan satu dengan satu gerakan lain terdapat suatu jaringan, tetapi jaringan tersebut karena solidaritas komunal yang bersifat mekanis, bukan karena perikatan asosiasional. Ikatan jaringan itu terbentuk karena hubungan darah, perkawinan silang, atau hubungan perguruan (guru-murid). Orientasi gerakan sampai akhir abad ini tetap konsisten memperjuangkan ke______________ 1 Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kebudayaan dan Demokrasi Modernitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 126. 2 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1998), 195
Ahmad Faqih, Dialektika Orientasi Gerakan Sosial Keagamaan….
91
merdekaan dari tekanan penjajah. Spirit gerakan ini sebenarnya disulut segala bentuk intimidasi, kekerasan, ketidakadilan, dan keterpasungan dari kebebasan secara individual dan kolektif. Maka lahirlah elit-elit local di berbagai daerah dengan menggerakkan sumberdaya lokalnya, untuk berjuang keluar dari penjajahan. Gerakan sosial keagamaan ini, meminjam istilah Harris (1974) disebut gerakan revitalisasi atau millenarian. Gerakan ini biasanya muncul dalam kondisi-kondisi ketegangan atau krisis sosial yang ekstrim: dalam masa perubahan sosial yang cepat ketika orang-orang terbangun dan mengalami disorientasi dari pola-pola hidup tradisional mereka; ketika kebudayaan pribumi diubah oleh kolonialisme, perang, atau invasi kebudayaan asing; atau ketika penindasan dan eksploitasi mencapai batas-batas yang tak dapat ditolelir. Dalam kondisi-kondisi demikian, gerakan-gerakan millenarian cenderung timbul ketika orang bingung atau diresahkan oleh apa yang terjadi atas diri meraka, dan ketika tidak tersedia cara-cara yang sangat sekuler untuk menangani ketegangan ini. Gerakan sosial keagamaan itu telah terjadi di banyak tempat dalam sejarah dan di seluruh dunia. Gerakan-gerakan itu dijumpai antara lain di Eropa kuno klasik, abad pertengahan dan modern, Melanesia, Polynesia, Afrika, Amerika Selatan, Amerika Utara dan Indonesia.3 Munculnya Sarikat Islam (SI) 1912 dan Sarikat Dagang Islam (SDI) 1911 (pada awal abad ke-20) menandakan dimulainya babak baru dalam gerakan Islam di Indonesia. Untuk pertama kalinya, kata ‘Islam’ secara eksplisit digunakan sebagai sebuah nama perhimpunan, yang mengindikasikan bahwa Islam sekarang telah diaktifkan sebagai basis identitas kolektif dan sebagai sebuah ideology bagi gerakan-gerakan (proto) nasionalis.4 Ciri pergerakan pada babak ini adalah bahwa tokohtokohnya tidak berlatar belakang pedesaan, tetapi merupakan wakil dari kelas menengah perkotaan. Disamping itu bentuk organisasi modern juga sudah mulai diterapkan. Itu sebabnya, berbeda dengan gerakan Islam pada masa sebelumnya yang bercorak komunal, gerakan Islam setelah awal abad ke-20 lebih bersifat asosiasional dengan solidaritas yang bersifat organis. Begitu juga organisasi-organisasi yang ______________ 3 Stephen K.Sanderson, Makro Sosiologi, terj. Farid Wijidi, S. Menno (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 532-534. 4 Yudi Latif, Intelingensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 200.
92
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
lahir kemudian, misalnya Boedi Oetomo, yang berorientasi cultural mencoba menghimpun kekuatan wong cilik dengan memperluas orientasi gerakannya pada level ekonomi, politik dan agama. Maka organisasi ini kemudian memperoleh basis yang lebih kuat sehingga ia menjadi organisasi besar dan mencakup kawasan yang sangat luas.5 Sebuah pergeseran besar dalam perkembangan historis BU dilakukan oleh Satiman Wirjosandjojo, berkait dengan kegagalan BU menerobos batas-batas etnosentrisme Jawa. Kegagalan ini menjadikan orang-orang yang berasal dari kelompok-kelompok etnik yang berbeda seperti orang-orang Sunda mendirikan perhimpunan sendiri yaitu “Pagujuban Pasundan” dengan kantor pusatnya di Bandung dan Tasikmalaya.6 Kemudian lahir pula Jong Java tahun 1915 yang membangkitkan kesadaran baru bagi para pelajar dari latar etnik dan agama yang berbeda akan identitas mereka sendiri. Manisfestasi dari kesadaran itu tampak pada munculnya perhimpunan pemoeda-peladjar dengan mengikuti garis etnis dan agama mereka sendiri seperti Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Clebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar Rukun (1919), dan beberapa lainnya.7 Muhammadiyah yang lahir tahun 1912 dengan berorientasi keagamaan. Muhammadiyah lebih menampilkan diri sebagai gerakan puritan untuk menghapus beban-beban cultural Islam yang terkena pengaruh budaya agraris, seperti usaha membersihkan Islam dari symbol-simbol agama hawl, manaqib, barzanji, dan semacamnya. Bagi Muhammadiyah symbolic formation semacam itu adalah bid’ah. Dari orientasi yang cenderung bersifat keagamaan itu, kita bisa menilai bahwa Muhammadiyah berupaya untuk melakukan pembaharuan kualitatif yang bersifat keagamaan, suatu dialektika internal yang secara inheren memang selalu muncul di dalam Islam. Nahdlatul Ulama (NU), lahir merupakan reaksi politisasi agama yang dilakukan Sarikat Islam (SI) dan reaksi terhadap gerakan pembaharuan Muhammadiyah. NU, sebenarnya bertujuan untuk melestarikan lembagalembaga dan tradisi-tradisi Islam agraris dengan solidaritas mekanis komunalnya. Meskipun pada perkembangan selanjutnya NU juga berusaha menerapkan bentuk-bentuk pengorganisasian baru, suatu tuntutan yang tidak terelakkan, namun terlihat adanya semacam ambivalensi. ______________ Kuntowijoyo, op. cit., hlm. 196. Yudi Latif, op. cit., hlm. 196. 7 Yudi Latif, Ibid, hlm. 197.
5
6
Ahmad Faqih, Dialektika Orientasi Gerakan Sosial Keagamaan….
93
Apakah NU benar-benar akan menggunakan solidaritas asosiasional dengan dibentuknya struktur organisasi modern, atau apakah ia tetap merupakan organisasi dengan ikatan-ikatan dan jaringan-jaringan komunal. Orientasi gerakan sosial keagamaan menjelang kemerdekaan, ditandai oleh kesadaran yang semakin membaik tentang perlunya peran umat Islam dalam menghadapi kaum kolonial dengan mendirikan Majlis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) yang dipelopori K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah), K.H. Abdul Wahab Chasbullah (NU), dan K.H. Achmad Dahlan (non-partai). Organisasi ini merupakan embrio pembentukan Masyumi sebagai wadah aspirasi politik umat Islam.8 Kemudian Partai Masyumi pernah memainkan kartu politik yang menentukan pada awal demokrasi parlementer. Walaupun peran strategis itu tidak dapat dipertahankan dalam waktu yang lama, sehingga muncul ‘perpecahan’, dimana NU sebagai unsur penting dalam Partai Masyumi memisahkan diri dan mendirikan Partai NU dengan suatu pernyataan bahwa NU akan meninggalkan watak jami’yyahnya. Dengan tampilnya NU sebagai partai politik, maka umat Islam Indonesia terpecah ke dalam empat partai: Masyumi, PSII, NU, dan Perti. Jika dilihat dari sisi orientasi, gerakan sosial keagamaan mengalami perubahan ke arah orientasi politik praktis. Karena para tokoh pejuang kemerdekaan mayoritas dari kalangan umat Islam, sehingga posisi strategis ini mendorong mereka untuk terlibat dalam pembentukan sebuah Negara baru, yang notabenenya aspirasi umat Islam harus diperjuangkan melalui kekuasaan. Fase perjuangan mengisi kemerdekaan itu telah ditampilkan selama demokrasi terpimpin yang telah menjadi catatan sejarah tersendiri. Ia digantikan oleh apa yang disebut sebagai demokrasi Pancasila yang tampaknya masih mencari bentuknya mantap. Demokrasi ini telah beroperasi di Indonesia selama hampir seperempat abad, dimulai sejak sekitar tahun 1966. Dengan dikeluarkannya UU No.8 tahun 1985 tentang kepartaian dan keormasan yang menuntut agar pancasila dijadikan satu-satunya asas dalam berpartai dan berormas, partai dengan label Islam sudah tidak ada. Melihat kenyataan ini, sebagian orang berteori bahwa Islam sudah dipisahkan ______________ A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998), hlm. 20. 8
94
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
dari politik praktis.9 Apalagi ditampak dengan dikeluarkannya kebijakan fusi dari partai-partai, ke dalam tiga partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sehingga kesan adanya hegemoni Negara terhadap masyarakat, seperti dikemukakan Antonio Gramsci, hegemoni muncul ketika Negara secara ideo-politis mendominasi masyarakat dan kekuatan sosial politik lainnya. Pada masa awal Orde Baru, menurut Anderson, Negara memang bangkit serta mengungguli masyarakat dan bangsa. Kebangkitan yang dimaksud adalah adanya penataan kelembagaan Negara melalui strategi sosial-politik, ekonomi dan keamanan yang lebih mengutamakan kepentingan Negara. Posisi pemerintah yang dominan itu, diperkuat pula oleh bantuan asing terutama dari Negara-negara barat.10 Tidak terkecuali kekuatan-kekuatan politik umat Islam secara bertahap mengalami pengkerdilan atau marginalisasi. Dengan format politik yang didesain secara sistemikhegemonik, mengakibatkan posisi tawar-menawar (bargaining position) bagi umat Islam kepada pemerintah, apalagi sikap oposisi banyak mengalami keterbatasan. Bagi Emerson hilangnya kesempatan untuk mendirikan ‘negara Islam’ telah membuat umat Islam memfokuskan energinya kembali dalam kehidupan dan aktivitas non-politik. Di kalangan umat Islam kemudian muncul kegairahan beragama dan aktivitas yang menampilkan wajah ‘Islam kultural’ dalam bentuk kesemarakan dakwah, meningkatnya publikasi keislaman, kesungguhan untuk menampilkan simbol-simbol Islam. Sikap umat Islam yang mengambil posisi di bidang kultural, kemudian menimbulkan dinamika intelektual terutama di kalangan generasi muda yang telah mengenyam pendidikan di Barat. Pada periode ini, lahir beberapa kelompok diskusi dan kajian yang tumbuh di beberapa kota seperti Jakarta dan Yogyakarta. Khazanah pemikiran diperkaya lagi oleh pemikiran-pemikiran alternatif, baik dalam bidang teologi, politik, maupun ekonomi. Nama-nama seperti Dawam Rahardjo, Syafi’i Ma’arif, Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Kuntowijoyo, Nurcholish Madjid tampil dengan gagasan segar meramaikan diskursus ______________ Ibid., hlm. 134. M. Syafi’i Anwar, “Negara dan Cendikiawan Muslim Indonesia Orde Baru”, dalam Syaful Muzani E.d., Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1993), hlm. 132. 9
10
Ahmad Faqih, Dialektika Orientasi Gerakan Sosial Keagamaan….
95
intelektual tahun 1980-an.11 Tulisan-tulisan mereka dalam bentuk buku, monografi, artikel dan komentar di berbagai media massa cukup mendapat tempat dikalangan generasi muda kelas menengah kota. Dengan menggunakan pendekatan yang lebih kontekstual, mereka mengetengahkan fungsionalisasi ajaran Islam untuk mengatasi masalah-masalah umat Islam seperti kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakadilan sosial. Karenanya gagasan-gagasan yang mempunyai muatan ideology semacam ‘negara Islam’ sama sekali dinegasikan dan sebagai gantinya justru memformulasikan pemikiran yang berwawasan keislaman dan keindonesiaan yang inklusif dengan berbagai aliran pemikiran masing-masing. Tidak berlebihan jika dikatakan, meningkatnya semangat intelektualitas tersebut telah membawa perubahan terhadap cara berpikir umat Islam dalam memandang persoalan-persoalan teologi, politik, dan ekonomi yang muncul dalam konteks keislaman dan pembangunan. Hal ini membawa pengaruh lain terutama relasi antara umat Islam dengan pemerintah sebagaimana tampak dalam periode tahun 1980-an sampai dengan periode 1990-an. Perubahan yang cukup signifikan adalah lahirnya pola hubungan yang lebih kooperatif atau akmodatif, dimana kedua pihak menunjukkan saling pengertian yang bermuara pada muculnya konvergensi. Dari kalangan pemerintah muncul pengakuan terus-menerus tentang sumbangan konseptual dari para cendekiawan muda Islam dan ulama dalam mempertemukan gagasan Islam dengan konsep Negara nasional. Keberhasilan pemerintah mengesahkan UU Pendidikan Nasional (1988), dan UU Peradilan Agama (1989) bagi kalangan Islam dilihat sebagai I’tikat pemerintah terhadap umat Islam.12 Termasuk pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang pada akhirnya tidak hanya memberikan kontribusi konseptual kepada pemerintah, juga berperan dalam mensuplai sebagian menteri-menteri dalam Kabinet Pembangunan VI (Majalah Tempo, 8 Desember 1990). Secara berangsur-angsur kekuatan sumberdaya umat Islam semakin lama semakin kuat, disamping sebagian generasi muda Islam mulai ______________ Ibid., hlm. 139. I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan bagi Filsafat, (Jakarta: Kanisius, 1996), 28. 11
12
96
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
menduduki di pusat-pusat kekuasaan, dan sebagian lagi memperkuat di jalur kultural. Maka tantangan yang dihadapi oleh kekuatan Islam pada saat itu, tidak lain adalah para penguasa orde baru. Dominasi kekuatan orde baru yang sangat kuat, ditambah oleh kegagalan proyek pembangunan yang diadopsi dari konsep Rostow, kondisi sosial ekonomi yang semakin tidak menentu atau ‘krisis moneter’ melahirkan semangat generasi muda Islam untuk menuntut reformasi total dari rezim orde baru. Melalui gerakan mahasiswa, para cendekiawan Muslim terdidik dan dengan dukungan masyarakat secara menyeluruh akhirnya bisa meruntuhkan kekuatan orde baru. Kelahiran Orde reformasi merupakan momentum kembalinya orientasi kekuatan politik umat Islam, untuk ‘merebut’ kembali peran penting dalam ikut menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang tercerai-berai akibat kegagalan proyek pembangunan orde baru. Euforia kebebasan dalam berbagai bidang, dalam bidang politik dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh umat Islam mendirikan partai berhaluan Islam (PBB, PKNU, PBR, PKS) dan partai nasionalis religius (PKB, PAN). Pada era multipartai ini, kekuatan politik umat Islam mencapai puncak keberhasilan dengan terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden RI yang diusung oleh moyoritas partai-partai Islam dalam kaukus politik ‘poros tengah’ yang digagas oleh Amien Rais dari Partai Amanat Nasional (PAN). Tetapi keberhasilan ini tidak berlangsung lama, karena partai-partai Islam kembali tidak solid lagi, dan mencapai titik nadirnya dengan pelengseran Gus Dur sebagai Presiden yang notabenenya dipelori oleh partai-partai yang mengusungnya, termasuk di dalamnya partai-partai Islam. Perpecahan dikalangan elit politik Muslim semakin meluas dan hampir semua partai Islam mengalami nasib tragis tersebut. PKB pecah menjadi PKB versi Muhaimin Iskandar dan PKB versi Gus Dur, PAN pecah menjadi PAN versi Amien Rais dan Partai Matahari, dan partai-partai berhaluan Islam yang lain. Hal ini juga merembet pada partai-partai nasionalis seperti PDI. Dampak perpecahan tersebut, di antaranya menguntungkan partai baru yang berhaluan nasionalis yaitu Partai Demokrat yang kemudian menggerogoti partai-partai yang establish dan sukses menjadi Presiden Pertama (Susilo Bambang Yudoyono) yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia pada tahun 2004. Bahkan partai penguasa orde baru yaitu Partai Golkar tidak sanggup membendung citra positif Partai Demokrat Ahmad Faqih, Dialektika Orientasi Gerakan Sosial Keagamaan….
97
tersebut. Nasib Golkar tersebut ditambah dengan stigma negatif dari masyarakat akibat perilaku politik di masa orde baru, terutama perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh sejumlah petinggi Partai Golkar. Sementara di jalur cultural, kita melihat pasca kejatuhan orde baru paling sedikit ada tiga model gerakan yang menjol di ranah public. Yang pertama adalah gerakan pro syariat, yang kedua gerakan Islam moderat, dan yang ketiga gerakan dakwah sufistik.13 Gerakan pro syariat adalah gerakan Islam politik yang memperjuangkan penegakan syariat Islam dalam kehidupan bernegara. Bentuk konkret perjuangannya adalah seruan kembali ke Piagam Jakarta—sebuah dokumen konstitusi yang memuat dasar Negara pancasila dengan rumusan sila pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”—. Gerakan ini dikumandangkan dan dipelopori oleh ormas-ormas Islam seperti Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), dan Forum Komunikasi Ahlussunah Wal Jamaah yang dikenal dengan sebut Laskar Jihad. Diseberang gerakan pro syariat adalah gerakan Islam moderat. Kelompok ini menolak dengan tegas upaya-upaya untuk kembali ke Piagam Jakarta, yang ujung-ujungnya adalah pembentukan Negara Islam, atau penerapan syariat Islam oleh Negara. Bentuk Negara bangsa seperti sekarang ini yang mengakomodasi segala keragaman agama tentu dianggap sudah final. Secara tradisional gerakan Islam moderat ini diwakili oleh ormas Islam terbesar di tanah air yaitu NU dan Muhammadiyah. Keduanya selalu kompok dalam menghadapi manuvermanuver kelompok pro syariat. Kendati demikian, artikulasi kalangan Islam moderat yang paling nyaring justru disuarakan oleh aktivis muda di dalam sebuah aliansi Jaringan Islam Liberal (JIL). Kelompok inilah yang sebenarnya dengan tegas memposisikan diri berhadap-hadapan dengan kalangan pro syariat. Bahkan alas an kelahiran JIL ini terangterangan dinyatakan untuk melawan fundamentalisme Islam. ______________ 13 Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus, “Tipologi Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia”, dalam Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005), hlm. 488-489.
98
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Diantara dua kutub ekstrem itu adalah gerakan dakwah sufistik. Kendati melibatkan “massa”, gerakan ini tidak memiliki agenda perjuangan politik. Tokoh-tokoh gerakan ini adalah K.H. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), H. Muhammad Arifin Ilham dan Ustadz Haryono dengan ciri khas masing-masing. Gerakan Islam model ini menjadi semacam antithesis bagi citra Islam yang keras yang direpresentasikan oleh kelompok-kelompok radikal (kelompok pro syariat). Pada perkembangan selanjutnya memasuki dasawarsa ke-2 pada abad ke-21, gerakan pro syariat menuai tantangan keras dari umat Islam sendiri yang masuk gerakan moderat dan gerakan dakwah sufistik. Karena gerakan pro syariat, konsep dan aktivitasnya dianggap ber-tentangan dengan gerakan mainstream, dan pada sisi lain justru memperkuat citra Islam sebagai agama yang ditegakkan dengan cara-cara kekerasan. Pihak pemerintah melalui Tim Densus 88 melakukan tindakantindakan represif oleh karena perilaku gerakan Islam pro syariat yang dituduh sebagai actor intelektual, mendanai, dan mendukung atas berbagai tindakan-tindakan teror dan pengeboman di berbagai daerah. Badan Intelijen Negara (BIN) terus melakukan usaha-usaha spionase pada tempat-tempat kantong Islam garis keras ini, termasuk kampuskampus seperti UI, ITB, UNDIP, UGM dan kampus-kampus lain. Karena jaringan kelompok ini melibatkan mahasiswa dengan menggunakan teknik-teknik pencucian otak, sehingga tidak sedikit kaum muda Islam terseret dalam pusaran Islam radikal.
C. Kritik tentang Dialektika Orientasi Gerakan Sosial Keagamaan (Islam) di Indonesia Menurut perspektif sosiologis, gerakan sosial (social movement) adalah “any broad social alliance of people who are associated in seeking to effect or to block an aspect of social change within a society”—suatu aliansi sosial sejumlah orang yang berserikat untuk mendorong atau menghambat suatu segi perubahan sosial dalam suatu masyarakat.14 Berbeda dengan perilaku kolektif lainnya, gerakan sosial ditandai oleh adanya tujuan jangka panjang yaitu untuk mengubah atau mempertahankan masyarakat atau institusi yang ada di dalamnya. Misalnya ______________ Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Edisi Kedua, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2000), hlm. 203. 14
Ahmad Faqih, Dialektika Orientasi Gerakan Sosial Keagamaan….
99
gerakan mahasiswa di beberapa kota di Indonesia pada tahun 1965-1966 yang dilakukan hampir setiap hari bertujuan mengubah perimbangan politik dan kebijakan ekonomi pemerintah (pembubaran PKI, penurunan harga, perubahan kabinet). Giddens (1989) dan Light, Keller dan Calhoun (1989), menyebutkan ciri lain dari gerakan sosial yaitu penggunaan cara yang berada di luar institusi yang ada. Berbagai gerakan sosial memang memenuhi kriteria ini; gerakan mahasiswa tahun 1966, gerakan mahasiswa Amerika menentang perang Vietnam, dan gerakan Green Peace memang sering berada di luar institusi yang ada. Karena keanekaragaman gerakan sosial sangat besar, maka berbagai ahli sosiologi mengklasifikannya dengan menggunakan criteria tertentu. David Aberle, misalnya menggunakan criteria tipe perubahan yang dikehendaki dan besarnya perubahan yang diinginkan. Tipologi Aberle adalah sebagai berikut: TIPE PERUBAHAN YANG DIKEHENDAKI BESARNYA PERUBAHAN YANG DIKEHENDAKI
Perubahan Perorangan
Perubahan Sosial
Sebagian
Alternative Movement
Reformative Movement
Menyeluruh
Redemptive Movement
Transformative Movement
Sumber: Adaptasi dari Kamanto, 2000, hlm. 204
Tipe Pertama, alternatif movement merupakan gerakan yang bertujuan mengubah sebagian perilaku perseorangan. Dalam kategori ini dapat kita masukkan berbagai kampanye untuk mengubah perilaku tertentu, misalnya kampanye agar orang tidak merokok, tidak meminum minuman keras, dan tidak menyalahgunakan zat. Tipe Kedua, redemptive movement lebih luas dari tipe pertama, karena yang hendak dicapai adalah perubahan menyeluruh pada perilaku perseorangan. Gerakan ini kebanyakan terdapat di bidang agama; melalui gerakan ini, misalnya, perseorangan diharap untuk bertobat dan mengubah cara hidupnya sesuai dengan ajaran agama. Pada tipe ketiga, reformative movement, yang hendak diubah bukan perseorangan melainkan masyarakat namun ruang lingkup yang hendak diubah hanya segi-segi tertentu masyarakat. Misalnya gerakan kaum homoseks untuk memperoleh pengakuan terhadap gaya hidup mereka atau kaum perempuan untuk memperjuangkan persamaan hak dengan laki-laki.
100
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Sedangkan transformative movement merupakan gerakan untuk mengubah masyarakat secara menyeluruh. Misalnya gerakan orang India yang dianggap tak berkasta untuk menentang diskriminasi oleh orang kasta-kasta bawah, menengah dan atas pun dapat dikategorikan dalam tipe ini karena keberhasilan gerakan mereka akan berarti pula perombakan mendasar pada masyarakat India. Sementara menurut Peter Burke, bahwa untuk memahami gerakan sosial ada gunanya membedakan dua tipe gerakan sosial yaitu apakah gerakan tertentu pada dasarnya untuk memulai sebuah proses perubahan atau gerakan tersebut merupakan reaksi atas perubahan yang sedang terjadi.15 Jika dilihat dari orientasi pada awal munculnya gerakan sosial keagamaan, pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, maka tipe gerakan tersebut lebih dekat dengan tipe yang kedua yaitu gerakan sosial keagamaan muncul sebagai reaksi terhadap kolonialisme Belanda. Penjajahan Belanda dalam kurun waktu 3,5 abad, telah mengakibatkan penderitaan masyarakat pribumi dalam semua segi kehidupan. Hal ini juga dibenarkan beberapa sosiolog seperti Giddens dan Keller bahwa faktor yang mendorong terjadinya gerakan sosial adalah terjadinya deprivasi di masyarakat seperti kehilangan, kekurangan, penderitaan, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Misalnya terjadi pada saat menjelang kelahiran orde baru, dan menjelang kelahiran orde reformasi. Seiring dengan adanya sekelompok masyarakat dan umat Islam yang terdidik, maka untuk memperjuangkan kemerdekaan harus dilakukan melalui tindakan-tindakan kolektif. Sehingga kepeloporan tokoh-tokoh kharismatik di berbagai daerah merupakan wujud dari menggeloranya semangat dan orientasi yang sama untuk terbebas dari belenggu penjajah. Tokoh kharismatik, dalam istilah Max Weber dengan kelebihan yang dimilikinya sebagai manusia super mampu menggerakkan berbagai sumberdaya lokal untuk melakukan gerakan-gerakan perubahan yang diinginkan. Selain itu muncul pula gerakan-gerakan yang lebih terorganisir dengan mengadopsi organiasi modern dengan tujuan dan kepentingan masing-masing, baik perubahan yang bersifat sebagian maupun perubahan yang menyeluruh. ______________ 15
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta: YOI, 2001), hlm. 135.
Ahmad Faqih, Dialektika Orientasi Gerakan Sosial Keagamaan….
101
Sebagaimana dicatat dalam sejarah, bahwa gerakan sosial keagamaan dengan orientasi perjuangan melawan penjajah berhasil dicapai dengan adanya deklarasi kemerdekaan yaitu proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Dengan keberhasilan ini, orientasi gerakan sosial keagamaan mengalami pergeseran dari orientasi perjuangan menjadi berorientasi pada politik praktis. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari perjuangan panjang yang secara mayoritas dilakukan oleh umat Islam di seluruh tanah air. Tetapi pergeseran orientasi ini mengadung resiko di kemudian hari, karena ketika tokohtokoh gerakan sosial keagamaan ini berkecipung di pemerintahan dan politik praktis, perbedaan pemikiran, kepentingan, dan strategi mengakibatkan perpecahan dikalangan umat Islam itu sendiri. Sehingga dampak latennya, meminjam istilah dari Robert Merton perubahan yang menyeluruh dalam rangka mengisi kemerdekaan kandas di tengah jalan. Karena elit birokrasi dan elit politik yang berkuasa (umat Islam) sibuk bertikai sendiri, sementara masalah-masalah sosial seperti ekonomi, hukum, pendidikan, kependudukan, kesehatan semakin tidak terurus. Inilah yang kemudian melahirkan gerakan pelengseran orde lama, untuk beralih pada orde baru. Pada permulaan orde baru, diakibatkan oleh kegagalan umat Islam memimpin pada orde lama, akhirnya gerakan sosial keagamaan Islam mengubah orientasi perjuangannnya melalui jalur kultural. Dengan orientasi ini dari sisi pengembangan sumberdaya manusia, umat Islam mengalami peningkatan yang luar biasa. Tahun 1980-an dan 1990-an merupakan masa “panen raya” bagi inteligensia Muslim Indonesia dari berbagai gerakan. Bukan hanya jumlah inteligensia yang memiliki kualifikasi-kualifikasi pendidikan tinggi mencapai tingkatan yang belum pernah ada sebelumnya, melainkan juga jumlah mereka yang meraih gelar pasca-sarjana dari luar negeri, terutama dari pusat-pusat studi di Barat, juga lebih besar dibandingkan dengan periode mana pun dalam sejarah Indonesia. Pada tahun 1985 terdapat 71.516 Muslim dari kelompok usia muda menyelesaikan S1. Angka ini sekitar 0,2 % dari total penduduk Muslim dari kelompok usia ini atau sama dengan 76 % dari total penduduk Indonesia dari kelompok usia ini yang menyelesaikan S1. Pada tahun 1995, kelompok Muslim dari kelompok usia ini yang menyelesaikan S1 naik menjadi 553.257. Angka ini sama dengan 1,8 % dari total penduduk Muslim dari kelompok usia ini atau 77,5 %
102
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
dari total penduduk Indonesia yang menyelesaikan S1 (Latif, 581-582). Data dari Departemen Agama menunjukkan bahwa antara 1987-1994 saja, tak kurang dari 153 dosen IAIN yang menyelesaikan studi pascasarjananya di universitas-universitas Barat dan 1033 staf masih sedang berpartisipasi dalam program yang sama. Dengan semakin meningkatnya kualitas umat Islam, dan semakin ada kepercayaan dari pemerintah orde baru—gerakan sosial keagamaan Islam kembali berorientasi pada jalur politik. Pergeseran orientasi gerakan ini mungkin tidak semata persoalan kualitas generasi muda yang meningkat dengan pendidikan tinggi dan pasca-sarjana dari dalam dan luar negeri, juga lebih karena kondisi sosial pada akhir-akhir tahun 1997 mengalami titik balik dengan krisis moneter yang terjadi. Sehingga hasrat ke jalur politik kembali dilakukan untuk mengawal agenda-agenda reformasi. Ada kecenderungan nasib gerakan sosial keagamaan periode ini juga hampir serupa pada saat orde lama, karena perpecahan dikalangan elit parpol Islam dan elit birokasi Islam mengalami degradasi moral yang ditandai dengan perilaku korupsi yang semakin mengkhawatirkan.[]
DAFTAR PUSTAKA Anwar , M. Syafi’i , “Negara dan Cendekiawan Muslim Indonesia Orde Baru”, dalam Syaful Muzani E.d., Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1993. Burke, Peter, Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta: YOI, 2001. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus, “Tipologi Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia”, dalam Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005. Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1998. Latif, Yudi, Intelingensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung: Mizan, 2005. Ma’arif, A.Syafi’i, Islam dan Politik di Indonesia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998. Mulkhan, Abdul Munir, Teologi Kebudayaan dan Demokrasi Modernitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Ahmad Faqih, Dialektika Orientasi Gerakan Sosial Keagamaan….
103
Sanderson, Stephen K., Makro Sosiologi, terj.Farid Wijidi, S. Menno Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000. Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme tantangan Bagi Filsafat, Jakarta: Kanisius, 1996. Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi Edisi Kedua, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2000.
104
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
META-ANALISIS HUBUNGAN ORIENTASI RELIGIUS DENGAN PRASANGKA RASIAL Oleh: Baidi Bukhori∗ Abstract Meta-analysis is motivated by research results that are not in the direction with the relationship of religious orientation of intrinsic, extrinsic, and fundamentalism by racial prejudice, and even sometimes there is evidence to the contrary. The purpose of this study is to integrate the results of research on the relationship of religious orientation of intrinsic, extrinsic, and fundamentalism with the racial prejudice that are so variative. The selection of the studies done in two ways: First, it is done manually, ie by way of tracking through the Psychological Abstracts of the American Psychological Association (APA) or through journals in the library of the University of Gadjah Mada (UGM), University in Yogyakarta. Second, tracking the journals can be downloaded via EBSCO, ProQuest, SAGE, and thesis / dissertation obtained from the Networked Digital Library Theses and Dissertations on (NDLTD). Based on the tracking were found seventeen articles, consisting of 38 primary studies. In the analysis, these studies are combined because it was conducted by researchers and research subjects that are the same and the object of prejudice that is different. After the combination, the number of studies that analyzed became 35 studies, it consist of 13 intrinsic orientation, 12 extrinsic, and 10 of fundamentalism. The conclusion of these studies is that there is a negative relationship between intrinsic religious orientation with the racial prejudice, there is a positive relationship between the extrinsic religious orientation with the racial prejudice, and there is a positive relationship between the orientation religious fundamentalism with the racial prejudice. Keywords: meta-analysis, religious orientation, and racial prejudice.
______________ ∗
Dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang.
Baidi Bukhori, Meta-Analisis Hubungan Orientasi Religius….
105
A. Pendahuluan Keanekaragaman suku, bangsa, bahasa, ras, dan agama di dunia merupakan suatu hal yang tak bisa terelakkan. Keanekaragaman tersebut satu segi merupakan suatu hal indah, namun seringkali menimbulkan permasalahan sosial, dan bahkan dapat menimbulkan berbagai friksi dan benturan yang berakar pada kurangnya kesadaran akan perbedaan yang ada. Hal tersebut bisa dilihat dari adanya pertikaian atau konflik sosial yang dilatarbelakangi oleh perbedaan suku, bangsa, ras, maupun umat beragama di Indonesia, seperti konflik Ambon yang menyebabkan tidak kurang 3.000 orang meninggal dunia dan 300.000 orang menjadi pengungsi di negeri sendiri (Taufiq, 2007: 154). Konflik lainnya yang juga mengakibatkan kematian dan kerugian yang besar adalah konflik Poso, Lombok, dan sebagainya (Forum Keadilan, 2000).Selain di Indonesia, konflik sosial yang dilatarbelakangi oleh perbedaan ras maupun agama juga terjadi di berbagai belahan dunia, seperti pertikaian antara Arab dengan Israel di Timur Tengah, perseteruan antar pemeluk agama Katholik dengan Protestan di Eropa, pertikaian antara kelompok Yahudi sebagai minoritas dengan kelompok Kristen di Amerika Serikat, persengketaan antara Hindu dan Islam di India, serta pemberantasan etnis dan agama tertentu di Eropa Timur (Hunsberger, 1995: 114).Masih maraknya konflik sosial yang dilatarbelakangi oleh agama tersebut memberikan petunjuk bahwa prasangka yang dimiliki masing-masing kelompok yang bertikai sangat tinggi. Menurut Nelson (2002: 49) prasangka adalah suatu evaluasi negatif seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau kelompok lain, semata-mata karena orang atau orang-orang itu merupakan anggota kelompok lain yang berbeda dari kelompoknya sendiri. Dengan kata lain, seseorang yang berprasangka terhadap suatu kelompok cenderung menilai secara negatif individu yang menjadi anggotanya, semata-mata karena keanggotaannya dalam kelompok tersebut. Sifat-sifat atau karakteristik yang dimiliki individu tersebut tidak menjadi pertimbangan dalam penilaian sehingga ketidaksukaan tersebut semata-mata karena ia menjadi anggota suatu kelompok, bukan berdasarkan fakta yang melekat pada individu secara objektif (Hadjar, 2002: 16). Sejarah telah menunjukkan bahwa prasangka dapat mendorong timbulnya tragedi kemanusiaan yang mengerikan. Di Jerman misalnya, prasangka terhadap orang-orang Yahudi di paruh
106
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
pertama abad ke 20 telah mendorong munculnya tindakan-tindakan yang mengerikan bagi kemanusiaan, yang mencapai puncaknya pada masa Hitler berkuasa. Dengan tindakan yang kejam, orang-orang Jerman yang berprasangka berusaha mewujudkan tujuannya untuk menghabisi orang-orang Yahudi di sana. Tidak kurang dari 6 juta orang Yahudi dibunuh oleh Nazi Jerman (Whitley dan Kite, 2006: 25). Dalam sejarah perkembangan Amerika Serikat, prasangka warga kulit putih terhadap warga kulit hitam telah menimbulkan tindakan segregasi, pemisahan fasilitas umum berdasarkan perbedaan warna kulit, yang melembaga dalam berbagai lapangan kehidupan (Hadjar, 2002: 5-6). Permasalahan rasial di Amerika Serikat ternyata belum hilang hingga sekarang. Kebencian terhadap etnis minoritas masih terjadi saat berlangsung pemilihan presiden Amerika Serikat, 4-11-2008, dimenangkan oleh Obama yang berkulit hitam. Hal tersebut sebagaimana yang dilaporkan Southern Poverty Law Center (Lembaga Hak Asasi Manusia Amerika Serikat) yang dikutip Reuters, 25-11-2008. Lembaga tersebut dalam laporannya menyatakan bahwa ”Sejauh ini, kami sudah menerima ratusan insiden atau tindak pelecehan dan intimidasi yang dipicu kebencian rasial.”Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh prasangka rasial, maka pemahaman tentang prasangka sangat diperlukan dalam rangka memahami hubungan antar kelompok sosial. Setidaknya ada empat alasan penting untuk memahaminya. Pertama, prasangka seringkali berujung kepada sikap dan perilaku diskriminatif. Kedua, prasangka yang dimiliki seseorang di dalam kelompok (ingroup) seringkali berimplikasi terhadap sikap anggota kelompok lain dalam satu kelompok melalui proses sosialisasi, persuasi, dan identifikasi. Ketiga, prasangka yang dimiliki seseorang juga dapat berimplikasi terhadap perilaku dari individu lain di luar kelompoknya. Mereka dapat bereaksi terhadap prasangka yang muncul dengan menampilkan perilaku yang mereka nilai sesuai dengan mereka, atau merubah perilaku yang mereka pandang sebagai kontradiksi dari prasangka yang ditujukan kepada mereka. Keempat, prasangka dapat memberikan pengaruh terhadap evaluasi kelompok luar (out-group) dan terhadap kelompok mereka sendiri (Stephan & Stephan, 1985: 347). Prasangka merupakan fenomena sosial psikologis, maka ia utamanya dipengaruhi oleh faktor yang terkait dengan potensi berinteraksi sosial dengan objek prasangka, baik yang berasal dari dalam diri individu (internal) maupun dari luar diri individu (eksternal). Faktor dari dalam Baidi Bukhori, Meta-Analisis Hubungan Orientasi Religius….
107
diri yang mempengaruhi prasangka antara lain faktor individu atau sifat kepribadian, seperti tipe kepribadian (Laythe, Finkel, Bringle, dan Kirkpatrick, 2002: 627; Hadjar, 2002: 160-161; Denney, 2008: 25), etnosentrisme (Negy, Shreve, Jensen, & Uddin, 2003: 340; Altemeyer, 2003: 22), dan orientasi religius1 (Rowatt & Franklin, 2004: 133; Rowatt, Franklin, Cotton, 2005: 38; Bizumic & Duckitt, 2007: 199; Smith, Stones, Peck, & Naidoo, 2007: 270; Denney, 2008:25; Dudley & Mulvey, 2009: 148). Faktor di luar diri yang mempengaruhi prasangka antara lain norma sosial (Griffin, Gorsuch, dan Davis, 1987: 358), lingkungan pendidikan (Hadjar, 2002: 160), kontak pertemanan dengan kelompok luar (Pettigrew, 1997: 173; Vonofakou dan Hewstone, 2007: 804), interaksi antar ras (Abidin, 1999:64), status keluarga (Agnew, Thompson dan Gaines, 2000: 403), dan identitas kelompok (Jackson & Hunsberger, 1999: 513; Voci 2006: 265). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, salah satu faktor yang berkaitan dengan prasangka adalah religiusitas/ agama. Allport (1967: 432) mengatakan bahwa agama merupakan suatu yang poradoksal karena agama bisa menyebabkan prasangka, namun agama juga bisa menghambat prasangka. Agama dapat meningkatkan prasangka, terutama terhadap pemeluk agama lain, orang komunis, homoseksual maupun lesbian. Hunsberger (2005:113) melakukan survey penelitian tahun 1990-2003, yang hasilnya antara lain: orientasi religius intrinsik dan ekstrinsik berkorelasi positif dengan sikap tidak toleran pada pemeluk agama lain (masing-masing 1 penelitian). Orientasi religius fundamentalisme juga berkorelasi positif dengan sikap tidak toleran pada pemeluk agama lain (3 studi). Penelitian Herek (1987:34) menyimpulkan bahwa orientasi religius intrinsik berkorelasi positif dengan prasangka terhadap homoseksual. Penelitian McFarland (1989: 324) dan Kirkpatrick (1993: 256) menemukan bahwa orientasi religius intrinsik berkorelasi positif dengan diskriminasi terhadap orang komunis dan homoseksual. Duck (1997: 39) juga menemukan bahwa orientasi religius intrinsik berkorelasi positif dengan prasangka terhadap homoseksual. Penelitian Denney (2008: 25) menemukan bahwa orientasi ______________ Orientasi religius adalah suatu jalan di mana seseorang menjalankan atau menggunakan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai agamanya (Batson dan Ventis dalam Earnshaw, http://clearinghouse.mwsc.edu/manuscripts/172.asp). Tiga aspek yang sering digunakan adalah orientasi religius intrinsik, ekstrinsik, dan fundamentalisme. 1
108
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
religius fundamentalisme berkorelasi positif dengan prasangka terhadap Muslim. Penelitian Altemeyer & Hunsberger (1992: 122) juga menemukan bahwa orientasi religius fundamentalisme juga berkorelasi positif dengan prasangka rasial. Dari hasil penelitian di atas terlihat bahwa meskipun toleransi telah diajarkan pada tiap agama kepada pemeluknya (Suseno, 2001: 66), agama bisa menyebabkan prasangka. Ada beberapa alasan mengapa hal tersebut dapat terjadi. Pertama, prasangka dapat dijumpai pada semua budaya dan hampir semua kelompok dapat menjadi sasarannya (Worcel dan Cooper, 1983: 359). Kedua, hubungan antar kelompok agama, sebagaimana hubungan antar kelompok lain, dapat menimbulkan antagonisme antar kelompok yang digerakkan oleh identifikasi kelompok (Jackson dan Hunsburger, 1999: 513). Ketiga, prasangka dalam konteks agama ini sangat dipengaruhi oleh pertimbangan keagamaan (Klineberg, 1968: 442). Hal tersebut ditunjukkan oleh, misalnya kisah permusuhan kelompok agama lain yang ada dalam kitab suci yang seringkali dianggap tetap berlaku sampai masa sekarang, dengan mengabaikan perbedaan kondisi objektif saat ini (Hadjar, 2002: 7). Selain bisa menimbulkan prasangka, agama juga bisa menghambat prasangka. Penelitian Duck (1997: 39); Fulton, Gorsuch, & Maynard (1999: 18); Duck dan Hunsberger (1999: 165) menemukan bahwa orientasi religius intrinsik berkorelasi negatif dengan prasangka rasial. Watson (1994: 237) mendefinisikan prasangka rasial sebagai penilaian negatif tarhadap seseorang karena orang tersebut menjadi anggota kelompok ras atau suku tertentu. Alasan mengapa agama bisa menghambat prasangka rasial, Ludwig (1989: 176) menyatakan bahwa agama dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia dengan mengedepankan pengertian dan respek di antara umat manusia yang berbeda-beda itu sendiri. Seluruh agama mengajarkan untuk mencintai orang lain dan ajaran ini sangat efektif untuk mereduksi prasangka rasial (Hunsberger, 1995: 808). Dari uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa hubungan antara agama dan prasangka tergantung pada tipe agama berdasarkan perbedaan orientasi religius yang menjadi titik tolak kehidupan pribadi. Prasangka yang kuat muncul pada pribadi yang berorientasi religius ekstrinsik dan fundamentalisme, tetapi tidak pada yang berorientasi intrinsik.
Baidi Bukhori, Meta-Analisis Hubungan Orientasi Religius….
109
B. Metode 1. Pemilihan Studi Prosedur yang digunakan untuk pemilihan studi tentang orientasi religius intrinsik maupun ekstrinsik, fundamentalisme, dan prasangka rasial ada dua cara. Pertama, dilakukan secara manual, yakni dengan cara melakukan pelacakan melalui ringkasan psikologis (Psychological Abstracts dari American Psychological Association, APA) maupun melalui jurnal-jurnal di perpustakaan. Kedua, pelacakan jurnal-jurnal yang dapat di download melalui EBSCO, PROQUEST, SAGE, dan tesis/disertasi yang diperoleh dari Networked Digital Library on Theses and Dissertations (NDLTD). Kata kunci yang digunakan adalah religion, religious, orientation, fundamentalism, dan prejudice. Dari pelacakan tersebut ditemukan tujuh belas artikel, yang terdiri dari 38 studi primer, baik yang telah dipublikasikan melalui jurnal ilmiah maupun hasil penelitian tesis/disertasi yang dipublikasikan melalui internet. 2. Pengkodean Variabel-variabel dalam Tiap-tiap Studi Informasi penting yang dicatat berdasarkan hasil-hasil penelitian individu meliputi (1) tahun publikasi, (2) peneliti, (3) sumber data, seperti jurnal maupun tesis, (4) jumlah subjek penelitian, (5) reliabilitas skala orientasi religius intrinsik (6) reliabilitas skala orientasi religius ekstrinsik (7) reliabilitas skala orientasi religius fundamentalisme (8) reliabilitas skala prasangka rasial, (9) koefisien korelasi antara orientasi religius intrinsik dengan prasangka rasial, (10) koefisien korelasi antara orientasi religius ekstrinsik dengan prasangka rasial, (11) koefisien korelasi antara orientasi fundamentalisme dengan prasangka rasial. 3. Teknik Analisis Data Langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis data adalah sebagai berikut: a. Mengonversi data yang mengandung nilai F ke nilai r sehingga siap diperbandingkan. b. Mengoreksi kesalahan sampel. c. Mengoreksi kesalahan pengukuran. 4. Karakteristik Studi Primer Karakteristik studi primer yang dianalisis tertera pada tabel 1.
110
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Tabel 1. Karakteristik Studi Primer No. Studi
Kulit hitam
Orientasi Religius Intrinsik
0.09
515 515 343 343 42 42 42 42 51
Kulit hitam Kulit hitam Kulit hitam Kulit hitam Kulit hitam Kulit hitam Ras Lain Ras Lain Kulit hitam
Intrinsik Ekstrinsik Intrinsik Ekstrinsik Intrinsik Ekstrinsik Intrinsik Ekstrinsik Intrinsik
-0.15 0.35 -0.12 0.24 -0.22 0.24 -0.19 0.15 -0.36
1978
51
Kulit hitam
Ekstrinsik
0.17
1987 1987 1988
126 126 275
Kulit hitam Kulit hitam Kulit hitam
Intrinsik Ekstrinsik Intrinsik
0.07 0.24 0.18
1988
275
Kulit hitam
Ekstrinsik
0.13
1992
491
Fundamen talisme
0.30
1997 1997 1997
617 617 617
Intrinsik Ekstrinsik Intrinsik
-0.20 0.13 -0.13
Duck , R. J.
1997
617
Ekstrinsik
0.12
Fulton, A. S., Gorsuch, R. L., & Maynard, E. A. Fulton, A. S., Gorsuch, R. L., & Maynard, E. A. Fulton, A. S., Gorsuch, R. L., & Maynard, E. A. Duck, R. J. & Hunsberger, B.
1999
176
Imigran dan minoritas Minoritas Minoritas Penduduk asli Penduduk asli Kulit hitam
Intrinsik
-0.12
1999
176
Kulit hitam
Ekstrinsik
0.13
1999
176
Kulit hitam
0.07
1999
363
25.
Duck, R. J. & Hunsberger, B.
1999
363
Ekstrinsik
0.23
26.
Duck, R. J. & Hunsberger, B.
1999
400
Imigran dan minoritas Imigran dan minoritas Imigran dan minoritas
Fundamen talisme Intrinsik
Intrinsik
-0.20
Peneliti
Tahun
N
1972
93
1973 1973 1973 1973 1976 1976 1976 1976 1978
17. 18. 19.
Strickland, B. R. & Weddell, S. C. Hoge, D. R. & Carrol, J.W. Hoge, D. R. & Carrol, J.W. Hoge, D. R. & Carrol, J.W. Hoge, D. R. & Carrol, J.W. Batson, C. D. Batson, C. D. Batson, C. D. Batson, C. D. Batson, C. D., Naifeh, S. J., & Pate, S. Batson, C. D., Naifeh, S. J., & Pate, S. Herek, G. M. Herek, G. M. Ponton, M.O. & Gorsuch, R. L. Ponton, M.O. & Gorsuch, R. L. Altemeyer, B. & Hunsberger, B. Duck , R. J. Duck , R. J. Duck , R. J.
20. 21.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
22. 23. 24.
Sasaran Prasangka
Baidi Bukhori, Meta-Analisis Hubungan Orientasi Religius….
rxy
-0.14
111
27.
Duck, R. J. & Hunsberger, B.
1999
400
28.
Laythe, B., Finkel, D. G., & Kirkpatrick, L. A. Laythe, B., Finkel, D. G., Bringle, G., & Kirkpatrick, L. A. Rowatt, W. C. & Franklin, L. M. Rowatt, W. C. & Franklin, L. M. Rowatt, W. C. & Franklin, L. M. Rowatt, W. C. , Franklin, L. M. & Cotton, M. Rowatt, W. C. , Franklin, L. M. & Cotton, M. Rowatt, W. C. , Franklin, L. M. & Cotton, M. Bizumic, B. & Duckitt, J.
2001
138
Imigran dan minoritas Ras Lain
2002
313
Ras Lain
2004
158
2004
Smith, T. B., Stones, C. R., Peck, C. E., & Naidoo, A. V. Dudley, M. G. & Mulvey, D.
29.
30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37.
38.
Ekstrinsik
0.13
Fundamen talisme Fundamen talisme
0.05
Kulit hitam
Intrinsik
0.05
158
Kulit hitam
Ekstrinsik
0.20
2004
158
Kulit hitam
0.13
2005
152
Arab
Fundamen talisme Intrinsik
2005
152
Arab
Ekstrinsik
-0.07
2005
152
Arab
0.19
2007
57
Minoritas
2007
563
Kulit Putih
Fundamen talisme Fundamen talisme Fundamen talisme
327
Kulit hitam
Fundamen talisme
0. 07
2009
0.13
0.10
0.00 0.03
C. Hasil Sebagaimana dalam tabel 1, penelitian ini melibatkan 38 studi tentang hubungan orientasi religius intrinsik (15 studi), orientasi religius ekstrinsik (14 studi), dan orientasi religius fundamentalisme (9 studi) dengan prasangka rasial, yang berasal dari 17 artikel. Dalam analisis, studi-studi tersebut ada yang digabung karena dilakukan oleh peneliti dan subjek penelitian yang sama dengan objek prasangka yang berbeda. Dengan adanya penggabungan tersebut maka dibuat rata-rata r studi yang digabungkan. Seperti Penelitian Duck (1997: 39) tentang hubungan orientasi religius intrinsik dengan prasangka terhadap kelompok minoritas (r = -0.2) dan penduduk asli (r = -0.13), maka kedua r tersebut dibuat rerata menjadi: r = -0.165. Setelah dilakukan penggabungan maka jumlah studi yang dianalisis menjadi 35 studi (13 orientasi religius intinsik, 12 ekstrinsik, dan 10 fundamentalisme). Dalam meta-analisis ini akan diuji hubungan orientasi religius intrinsik, orientasi religius ekstrinsik, dan orientasi religius fundamentalisme dengan prasangka rasial.
112
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
1. Hubungan Orientasi Religius Intrinsik dengan Prasangka Rasial Orientasi religius intrinsik menunjuk di mana subjek mengidentifikasi agama sebagai tujuan akhir dalam dirinya sendiri (as an end in itself), atau keyakinan agama untuk keyakinan itu sendiri (religius faith for the sake of faith) (Gorsuch,1994: 332). Paloutzian (1996:159) menambahkan bahwa ide dari orientasi religius intrinsik adalah konsep dimana alasan keyakinan beragama seseorang muncul dari dalam diri sendiri. Dari kedua pengertian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa seseorang dengan orientasi religius intrinsik akan terdorong untuk mengesampingkan kebutuhan egosentrisnya. Konsekuensinya, prasangka mereka tidak berkembang. Tiga belas studi mengenai hubungan orientasi religius intrinsik dengan prasangka rasial dianalisis dalam penelitian ini, melibatkan total subjek 3311 orang. Angka korelasi r yang dilaporkan sangat bervariasi bahkan ada yang negatif maupun positif. Angka korelasi yang negatif berkisar dari r = -0.12 sampai dengan r = -0.36. Nilai r = -0.12 dilaporkan Hoge & Carrol (1973: 186) dan Fulton, Gorsuch, & Maynard (1999: 18), sedang nilai -0,36 dilaporkan Batson, Naifeh, dan Pate (1978: 35). Adapun angka korelasi yang positif berkisar dari 0.05 sampai dengan 0.18. Nilai r = 0.05 dilaporkan Rowatt & Franklin (2004:133), sedang nilai r = 0.18 dilaporkan oleh Ponton dan Gorsuch (1988:266). Menurut Hunter dan Schmidt (1990:298) kesalahan sampling memberikan dampak tidak berstruktur dan sangat dipengaruhi oleh besarnya sampel. Oleh karenanya Ramdhani (2007:121) menyatakan bahwa koreksi terhadap kesalahan dalam pengambilan sampel penting untuk dilakukan terhadap data-data penelitian mengenai variabel yang sama sehingga diperoleh pola hubungan yang lebih konsisten mengenai variabel-variabel yang diuji. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan koreksi terhadap kesalahan dalam pengambilan sampel. Setelah dilakukan koreksi terhadap kesalahan pengambilan sampel diperoleh estimasi mean korelasi pada populasi penelitian ini adalah (ř) = -0.093, sehingga dapat dikatakan bahwa orientasi religius intrinsik berhubungan negatif dengan prasangka rasial. Peran orientasi religius intrinsik terhadap prasangka rasial sebesar 0.008 (0.8%) dan sisanya merupakan faktor lain yang belum terspesifikasi. Variasi nilai hubungan
Baidi Bukhori, Meta-Analisis Hubungan Orientasi Religius….
113
orientasi religius intrinsik dengan prasangka rasial berkisar -0.41335 sampai dengan 0.226494. Menurut Hunter dan Schmidt (1990: 299) artefak lain yang perlu dikoreksi dalam melakukan meta-analisis adalah kesalahan pengukuran. Oleh karena itu selain dilakukan koreksi pengambilan sampel, dalam penelitian ini juga dilakukan koreksi kesalahan pengukuran. Koreksi terhadap kesalahan pengukuran dalam penelitian dilakukan berdasarkan koefisien reliabilitas dari instrumen yang digunakan untuk mengukur orientasi religius intrinsik dan prasangka rasial. Setelah dilakukan koreksi terhadap artefak pengukuran, diperoleh estimasi korelasi (Þ) = -0.113. Dari analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara orientasi religius intrinsik dengan prasangka rasial. 2. Hubungan Orientasi Religius Ekstrinsik dengan Prasangka Rasial Orientasi religius ekstrinsik menunjuk di mana subjek yang menggunakan agamanya sebagai suatu alat untuk mendapatkan tujuan selain agama itu sendiri (non-religius end) (Earnshaw, http://clearinghouse. mwsc.edu/manuscripts/172.asp). Orientasi religius ekstrinsik ini mendasarkan pandangan bahwa motivasi dalam menjalankan agama adalah untuk tujuan sosial atau keyakinan dan nilai di luar agama. Paloutzian (1996: 175) menambahkan bahwa orientasi religius ekstrinsik adalah kebalikan dari orientasi religius intrinsik. Orientasi ekstrinsik tidak melalui proses internalisasi nilai-nilai religius, namun lebih kepada memanfaatkan agama untuk tujuan-tujuan pribadi. Bagi yang berorientasi religius ekstrinsik, agama berfungsi sebagai alat untuk mencapai kebutuhan personal hidupnya, sehingga agama sangat berguna untuk memberikan rasa aman, kedudukan sosial, hiburan, dan dukungan jalan hidupnya. Hal tersebut merupakan lahan subur bagi perkembangan semua bentuk prasangka. Dua belas studi mengenai hubungan orientasi religius ekstrinsik dengan prasangka rasial dianalisis dalam penelitian ini, melibatkan total subjek 3218 orang. Angka korelasi r yang dilaporkan sangat bervariasi bahkan ada yang negatif maupun positif. Angka korelasi negatif dilaporkan oleh Rowatt, Franklin, & Cotton (2005: 38) dengan nilai r= -0.07. Adapun angka korelasi yang positif berkisar dari 0.125 sampai dengan 0.35. Nilai r = 0.125 dilaporkan Duck (1997: 39), sedangkan nilai r tertinggi (r = 0.35) dilaporkan oleh Hoge & Carrol (1973: 186).
114
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Setelah dilakukan koreksi terhadap kesalahan pengambilan sampel diperoleh estimasi mean korelasi pada populasi penelitian ini adalah (ř) = 0.187, sehingga dapat dikatakan bahwa orientasi religius ekstrinsik berkorelasi positif dengan prasangka rasial. Peran orientasi religius ekstrinsik terhadap prasangka rasial 0.035 (3.5 %) dan sisanya merupakan faktor lain yang belum terspesifikasi. Variasi nilai hubungan orientasi religius ekstrinsik dengan prasangka rasial berkisar -0.57923 sampai dengan 0.953294. Koreksi terhadap kesalahan pengukuran dalam penelitian dilakukan berdasarkan koefisien reliabilitas dari instrumen yang digunakan untuk mengukur orientasi religius ekstrinsik dan prasangka rasial. Setelah dilakukan koreksi terhadap artefak pengukuran, diperoleh estimasi korelasi (Þ) = 0.256. Dari analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif antara orientasi religius ekstrinsik dengan prasangka rasial. 3. Hubungan Orientasi Religus Fundamentalisme dengan Prasangka Rasial Fundamentalisme religius adalah kepercayaan adanya sekumpulan ajaran agama yang berisi asas, dasar, hakekat, hal pokok, dan inti kebenaran tentang manusia dan Tuhan; Kebenaran pokok pada dasarnya ditentang oleh kekuatan jahat yang harus dilawan dengan penuh semangat; Kebenaran pokok itu harus diikuti menurut asas, kebiasaankebiasaan yang tak berubah-rubah dari masa lalu; Siapa yang percaya dan mengikuti ajaran pokok itu memiliki hubungan istimewa dengan Tuhan (Altemeyer & Hunsberger, 1992: 118). Seseorang yang memiliki orientasi religius fundamentalisme cenderung memiliki identitas yang lebih menonjol daripada yang tidak memiliki faham fundamentalisme. Mereka mengembangkan banyak kesamaan dalam penampilan, baik pakaian, perilaku, maupun gaya bicara (Herriot, 2007: 118), sehingga perbedaan mereka dengan kelompok lain tampak menonjol. Orang yang memiliki orientasi religius fundamentalisme cenderung memandang kelompoknya lebih positif dibandingkan dengan kelompok lain, bahkan mengklaim dirinya sebagai yang paling benar dalam menjalani hidup. Mereka tak segansegan menyalahkan pihak lain di luar dirinya, bahkan bila perlu ditingkatkan lagi bukan hanya salah melainkan harus diperangi karena dianggap musuh (Sudarsono, 2005: 26). Hal tersebut merupakan lahan subur bagi perkembangan semua bentuk prasangka. Baidi Bukhori, Meta-Analisis Hubungan Orientasi Religius….
115
Sepuluh studi mengenai hubungan orientasi religius fundamentalisme dengan prasangka rasial dianalisis dalam penelitian ini, melibatkan total subjek 2375 orang. Angka korelasi r yang dilaporkan sangat bervariasi berkisar dari 0.00 – 0.30. Nilai r = 0.00 dilaporkan Bizumic & Duckitt (2007: 199), sedangkan nilai r tertinggi (r = 0.30) dilaporkan oleh Altemeyer & Hunsberger (1992: 122). Setelah dilakukan koreksi terhadap kesalahan pengambilan sampel diperoleh estimasi mean korelasi pada populasi penelitian ini adalah (ř) = 0.125, sehingga dapat dikatakan bahwa orientasi religius fundamentalisme berkorelasi positif dengan prasangka rasial. Peran fundamentalisme terhadap prasangka rasial 0.016 (1.56%) dan sisanya merupakan faktor lain yang belum terspesifikasi. Variasi nilai hubungan orientasi religius fundamentalisme dengan prasangka rasial berkisar -0.4944 sampai dengan 0.744004. Koreksi terhadap kesalahan pengukuran dalam penelitian dilakukan berdasarkan koefisien reliabilitas dari instrumen yang digunakan untuk mengukur orientasi religius fundamentalisme dan prasangka rasial. Setelah dilakukan koreksi terhadap artefak pengukuran, diperoleh estimasi korelasi (Þ) = 0.156. Dari analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif antara orientasi religius fundamentalisme dengan prasangka rasial.
D. Diskusi Meta-analisis ini menemukan bahwa: ada korelasi negatif antara orientasi religius intrinsik dengan prasangka rasial, ada korelasi positif antara orientasi religius ekstrinsik dengan prasangka rasial, dan ada korelasi positif antara orientasi religius fundamentalisme dengan prasangka rasial. Bagi pemeluknya, agama memiliki fungsi personal yang bervariasi, tergantung dari orientasi keagamaannya. Bagi yang berorientasi ekstrinsik, agama berfungsi sebagai alat untuk mencapai kebutuhan personal hidupnya. Dalam hal ini, agama sangat berguna untuk memberikan rasa aman, kedudukan sosial, hiburan, dan dukungan jalan hidupnya. Dengan kata lain, seseorang dengan orientasi religius ekstrinsik, menggunakan agamanya untuk tujuan-tujuan tertentu selain agama itu sendiri (Earnshaw, http://clearinghouse. mwsc.edu/manuscripts/172.asp; Paloutzian, 1996: 175). Karena itulah, orientasi beragama yang bersifat
116
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
ekstrinsik tidak banyak memberikan pengaruh terhadap kematangan kepribadian seseorang. Pribadi yang matang cenderung toleran terhadap orang atau kelompok lain, termasuk dalam hal ini adalah ras atau suku yang berbeda. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orientasi religius ekstrinsik merupakan lahan subur bagi perkembangan semua bentuk prasangka termasuk prasangka rasial. Bagi yang berorientasi intrinsik, agama berfungsi sebagai nilai tertinggi yang mendorong untuk mengesampingkan kebutuhan egosentrisnya. Konsekuensinya, prasangka mereka tidak berkembang. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu ajaran agama yang berkaitan dengan prasangka adalah adanya perintah untuk meningkatkan saling pengertian dan perhatian terhadap sesama manusia yang berbeda-beda (Ludwig, 1989). Sejalan dengan pendapat tersebut, Batson dan Gray (1981: 512) menyatakan bahwa semua agama memerintahkan umatnya untuk menyayangi, peduli, dan membantu orang lain. Selain itu, dalam agama manusia diperintahkan untuk lebih banyak berinteraksi dengan orang, yang dalam agama Islam disebut dengan silaturrahmi, dan di hadapan Tuhan juga kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh indikasiindikasi materialistik seperti warna kulit, bentuk rambut, dan lain-lain namun kualitas ketakwaannya. Dengan ajaran tersebut maka seseorang yang memiliki orientasi religius intrinsik akan memiliki prasangka rasial yang rendah karena melakukan internalisasi nilai-nilai yang diajarkan agamanya. Bagi seseorang yang memiliki orientasi religius fundamentalisme cenderung memiliki sikap etnosentris, yakni memiliki pandangan terhadap kelompok sendiri lebih positif daripada kelompok lain dan membuat pendapat tentang kelompok lain didasarkan pada kelompoknya sendiri, termasuk mempersepsikan kelompok lain rendah dan kurang bernilai (Negy, Shreve, Jensen, & Uddin, 2003: 340). Sebagaimana yang terkandung dalam pengertian fundamentalisme, maka seseorang yang memiliki paham fundamentalisme selalu menggunakan ajaran agama menurut versi/tafsiran mereka yang sangat tekstual. Bila ada penafsiran yang berbeda dengan mereka maka akan ditolaknya. Dengan adanya sikap seperti itu maka para pemeluk agama yang memiliki orientasi religius fundamentalisme cenderung berprasangka terhadap kelompok lain, karena dengan didukung oleh keyakinan yang ekstrem, yang hanya mengakui kepercayaan sendiri, dan pada saat
Baidi Bukhori, Meta-Analisis Hubungan Orientasi Religius….
117
yang bersamaan mengkafirkan kepercayaan orang lain, agama dengan mudah diaktifkan sebagai atribut untuk menunjukkan jati diri yang dipertentangkan dengan jati diri lainnya. Situasi yang demikian memungkinkan berkembangnya prasangka terhadap kelompok lain. Penelitian Altemeyer (2003: 22) menunjukkan bahwa fundamentalisme berkaitan dengan etnosentrisme, sedangkan etnosentrisme berkaitan dengan prasangka (Duckitt & Mphuthing, 1998: 80-85; Negy, Shreve, Jensen, & Uddin, 2003: 340; Altemeyer, 2003: 22). Sejalan dengan penelitian tersebut, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa fundamentalisme berkaitan dengan prasangka (Altemeyer & Hunsberger, 1992: 122; Laythe, Finkel, & Kirkpatrick, 2001: 1-10). Dari uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa timbulnya prasangka rasial tergantung pada bagaimana pemeluk agama tersebut “memperlakukan” agamanya. Prasangka yang kuat muncul pada pribadi yang berorientasi agama ekstrinsik dan fundamentalisme tetapi tidak pada orientasi intrinsik. Keterbatasan dari studi ini adalah sebagian besar sampel diambil dengan latar belakang perguruan tinggi (mahasiswa). Hal tersebut dapat terjadi, karena penelitian pada umumnya dilakukan oleh para dosen, atau mungkin karena lebih mudah prosedurnya, serta biayanya lebih murah. Dengan kondisi demikian maka rata-rata usia subjek sangat terbatas. Keterbatasan data ini tidak memungkinkan untuk menggambarkan usia berapa yang paling kuat yang menunjukkan hubungan antara orientasi religius intrinsik maupun ekstrinsik serta fundamentalisme dengan prasangka rasial. Selain keterbatasan tersebut, meta-analisis ini juga memiliki keterbatasan lain, yakni hampir semua subjek penelitian primer adalah orang kulit putih dalam masyarakat dan kebudayaan Barat, yang pada umumnya beragama Kristen Protestan atau Katholik. Karena itu, hasilhasil penelitian tersebut masih bisa dipertanyakan untuk dapat digunakan dalam rangka memahami hubungan antara orientasi religius intrinsik dan ekstrinsik serta fundamentalisme dengan prasangka rasial pada masyarakat yang memiliki karakteristik berbeda dengan masyarakat Barat tersebut. Dengan demikian, kiranya masih diperlukan adanya penelitian tentang hubungan orientasi religius dengan prasangka rasial terutama pada masyarakat selain Barat.
118
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Keterbatasan dari segi instrumen, ternyata cukup banyak studi yang tidak mencantumkan identitas instrumen, reliabilitas, dan validitas. Memang tidak semua jurnal mewajibkan peneliti melaporkan instrumen penelitian. Namun demikian, pelaporan instrumen memberikan pada pembaca gambaran yang jelas tentang hasil penelitian, sehingga pada gilirannya peneliti memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi pembaca laporan penelitiannya.[]
DAFTAR PUSTAKA Allport, G. W. & Ross, J. M. “Personal Religious Orientation and preju#dice”. Journal of Personality and Social Psychology, 5, 432-443. Abidin, Z. (1999). “Prasangka Rasial dan Persepsi Agresi pada Kelompok Mahasiswa Pribumi dan Cina dari Empat Perguruan Tinggi di Bandung”. Tesis, tidak diterbitkan, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Agnew, C. R. , Thompson, V. D., & Gaines, Jr., V. D. (2000). “Incorporating Proximal and Distal Influences on Prejudice: Testing a General Model across Outgroups”. Personality and Social Psychology Bulletin, 26, 403-417. Allport, G.W. (1954). Nature of prejudice. Cambridge, MA: AddissonWesley. Altemeyer, B. & Hunsberger, B. (1992). “Authoritarianism, Religious Fundamentalis, Quest, and Prejudice”. The International Journal for The Psychology of Religion 2 (2), 113-133. Altemeyer, B. (2003). “Why Do Religious Fundamentalists Tend to be Prejudiced?” The International Journal for The Psychology of Religion, 13 (1), 17-28. Batson, C. D. & Gray, R. A. (1981). “Religious Orientation and Helping Behavior: Responding to One’s Own or to The Victim’s Need?” Journal of Personality and Social Psychology, 20 (3), 511-520. Batson, C. D. (1976). “Religion as Prosocial: Agent or Double Agent?” Journal for The Scientific Study of Religion, 15 (1), 29-45. Batson, C. D., Naifeh, S. J., & Pate, S. (1978). “Social Desirability, Religious Orientation, and Racial Prejudice”. Journal for The Scientific Study of Religion, 17 (1), 31-41.
Baidi Bukhori, Meta-Analisis Hubungan Orientasi Religius….
119
Bizumic, B. & Duckitt, J. (2007). “Varieties of Group Self-Centeredness and Dislike of The Specific Other”. Basic and Applied Social Psychology, 29, 195-202. Denney, Jr., H. T. (2008). “Relationships between Religion and Prejudice: Implisit and Explicit Measures”. Thesis, Georgia State University, Georgia. Duck, R. J. & Hunsberger, B. (1999). “Religious Orientation and Prejudice: The Role of Religious Proscription, Right-Wing Authoritarianism, and Social Desirability”. The International Journal for The Psychology of Religion, 9 (3), 157-179. Duck, R. J. (1997). “Conforming to The Will of The Church: The Role of Religious Orientation, Religious Proscription, and Right-Wing Authoritarianism in The Religion-Prejudice Relationship”. Thesis, Wilfrid Laurier University, Ontario. Duckitt, J. & Mphuthing, T. (1998). “Group Identification and Intergroup Attitudes: A Longitudinal Analysis in South Africa”. Journal of Personality and Social Psychology, 74 (1), 80-85. Dudley, M. G. & Mulvey, D. (2009). “Differentiating among Outgroups: Predictors of Congruent and Discordant Prejudice”. North American Journal of Psychology, 11 (1), 143-156. Earnshaw, E.L. (2000). “Religious Orientation and Meaning in Life: An Exploratory Study”. Departement of Psychology: Central Modist Collage. Retrieved March 27, 2008, from http://clearinghouse. mwsc.edu/manuscripts/172.asp. “Lewat Mataram, Api Maluku menuju ke Jakarta”. (2000, 30 January). Forum Keadilan, pp. 14-17 Fulton, A. S., Gorsuch, R. L., & Maynard. E. A. (1999). “Religious Orientation, Antihomosexual Sentiment, and Fundamentalism among Christians”. Journal for The Scientific Study of Religion, 38, 14-22. Gorsuch, R. L. (1994). Toward motivational theoris of intrinsic religious commitment. Journal for The Scientific Study of Religion, 33 (4), 315-325. Griffin, G. A. E., Gorsuch, R. L., & Davis, A. L. (1987). “A Cross-cultural Investigation of Religious Orientation, Social Norms, and Prejudice”. Journal for The Scientific Study of Religion, 26 (3), 358-365. Hadjar, I. (2002). “Pengaruh Lingkungan Pendidikan dan Tipe Kepribadian pada Prasangka terhadap Kelompok Agama Lain; Studi tentang Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan Menengah
120
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Umum Di Kota Semarang”. Tesis, tidak diterbitkan, Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, Jakarta. Herek, G. M. (1987). “Religious Orientation, and Prejudice: A Comparison of Racial and Sexual Attitude”. Personality and Social Psychology Bulletin, 13 (1), 34-44. Herriot, P. (2007). “Religious Fundamentalism and Social Identity”. Journal of Muslim Mental Health, 3, 117-119. Hoge, D. R. & Carrol, J. W. (1973). “Religiousity and Prejudice in Northern and Southern Churches”. Journal for The Scientific Study of Religion, 12, 181-197. Hunsberger, B. (1995). “Religion and Prejudice: The Role Of Religious Fundamentalism, Quest, And Right-Wing Authoritarianism”, Journal of Social Issue, 51, 113-129. Hunter, J. E. & Schmidt, F. L. (1990). Methods of Meta-Analysis: Correcting Error and Bias in Research Findings. London: Sage Publications. Jackson, L. M. & Hunsberger, B. (1999). “An Intergroup Perspective on Religion and Prejudice”. Journal for The Scientific Study of Religion, 38, 509-523. Kirkpatrick, L. A. (1993), “Fundamentalism, Christian Orthodoxy, and Intrinsic Religious Orientation as Predictor of Discriminatory Attitudes”. Journal for The Scientific Study of Religion, 32, 256-268. Klineberg, O. (1968). “Prejudice: The Concept”, International Encyclopedia of the Social Scences, ed. David L. Sills, vol. 12, 439-448. New York: The MacMillan & The Free Press. Laythe, B., Finkel, D. G., & Kirkpatrick, L. A. (2001). “Predicting Prejudice from Religious Fundamentalism and Right-Wing Authoritarianism: A Multiple Regression Approach”. Journal for The Scientific Study of Religion, 40, 1-10. Laythe, B., Finkel, D. G., Bringle, G., & Kirkpatrick, L. A. (2002). “Religious Fundamentalism as a Predictor of Prejudice: A Two-Component Model”. Journal for The Scientific Study of Religion, 41, 623-635. Ludwig, T. M. (1989). The Sacred Paths: Understanding The Religious of The World. New York: MacMillan. McFarland, S. G. (1989). “Religious Orientations and The Targets of Discrimination”. Journal for The Scientific Study of Religion, 28, 324-336. Negy, C., Shreve, T. L., Jensen, & Uddin, N. (2003). “Ethnic Identity, Selfesteem, and Ethnocentrism: A Study of Social Identity Versus
Baidi Bukhori, Meta-Analisis Hubungan Orientasi Religius….
121
Multicultural Theory of Development”. Cultural Diversity and Ethnic Minority Psychology, 9 (4), 333-344. Nelson, T. (2002). The Psychology of Prejudice. Boston: Allyn & Bacon. Paloutzian, R. F. (1996). Invitation to The Psychology of Religion. New York: MacMillan. Pettigrew, T. F. (1997). “Generalized intergroup contac effects on prejudice”. Personality and Social Psychology Bulletin, 23 (2), 173-185. Ponton, M. O. & Gorsuch, R. L. (1988). Prejudice and religion revisited: A cros-cultural investigation with a Venezuelan sample. Journal for The Scientific Study of Religion, 27, 260-271. Ramdhani, N. (2007). “Apakah Kepribadian Menentukan Pemilihan Media Komunikasi? Metaanalisis terhadap Hubungan Kepribadian Extraversion, Neurotism, dan Openness to Experience dengan Penggunaan Email”. Jurnal Psikologi, 34 (2), 112-129. Rowatt, W. C. & Franklin, L. M. (2004). Christian orthodoxy, religious fundamentalism, and right-wing authoritarianism as predictors of implicit racial prejudice. The International Journal for The Psychology of Religion, 14 (2), 125-138. Rowatt, W. C. , Franklin, L. M. & Cotton, M. (2005). “Patterns and Personality Correlates of Implicit and Explicit Attitudes toward Christians and Muslims.” Journal for The Scientific Study of Religion, 44, 29-43. Smith, T. B., Stones, C. R., Peck, C. E., & Naidoo, A. V. (2007). “The Association of Racial Attitudes and Spiritual Beliefs in PostApartheid South Africa. Mental Health, Religion & Culture, 10 (3), 263274. Soedarso (2005). “Agama dan Fundamentalisme”. Jurnal Mozaik, 3 (1), 2039. Stephan, C. W. & Stephan, W. G. (1985). Two Social Psychologies: An Integrative Approach. Illionis: The Dorsey Press. Strickland, B. R. & Weddell, S. C. (1972). “Religious Orientation, Racial Prejudice, and Dogmatism: A Study of Baptist and Unitarians”. Journal for The Scientific Study of Religion, 11 (4), 395-399. Suseno, F. M. (2001). “Pluralisme Agama, Dialog dan Konflik di Indonesia”. dalam Th. Sumartana, dkk (ed.), Pluralisme, konflik, dan pendidikan agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
122
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Taufiq, I. (2007). “Relasi Negara dan Masyarakat dalam Diskursus Konflik di Indonesia”. Dalam M. Jamil (ed.), Mengelola Konflik Membangun Damai (Teori, Strategi, dan Implementasi Resolusi Konflik). Semarang: Walisongo Mediation Center. Voci, A. (2006). “The Link Between Identification and In-group Favouritism: Effect of Theat to Social Identity and Trust-related Emotions”. British Journal of Social Psychology, 45, 265-284. Vonofakou, C. & Hewstone, M. (2007). “Contac With Out-Group Friends as a Predictor of Meta-Attitude Strength and Accessibility of Attitudes toward Gay Men.” Journal of Personality and Social Psychology. 92 (51), 804-820. Watson, L. D. & Frank, J. (1984). Social Psychology. Glenview: Scott Foresman Company. Whitley Jr, B. E. & Kite, M. E. (2006). The Psychology of Prejudice and Discrimination. Singapore: Thomson Wadsworth. Worchel, S. & Cooper, J. (1983). Understanding Social Psychology. Homewood, IL: The Dorsey Press.
Baidi Bukhori, Meta-Analisis Hubungan Orientasi Religius….
123
124
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
WILAYAH STUDI DAN KAJIAN KEISLAMAN: STUDI DAN PENELITIAN TENTANG ISLAM Oleh: Saerozi∗ Abstract Studies anda researches on Islam are faced with a hope of how to give answer for the gap accure between the ideality of the tachings of the religion on one side and the reality of life and human understanding and rarional interpretation which are more and move omproved of all things. A demand to “make” the tachings of religion “objective” becomes more and more strong. There for, an effort to formulate the relevance between what is essential to a religion and what becomes the dynamic of thoughts of its ummah is a must as well as a challenge. Through studies of and research on Islam, it is hoped that they can bridges the relevance of the teaching of the relegion to the needs of modernity of the era. Keywords: Islam, wilayah studi, penelitian.
A. Pendahuluan Islam hadir sebagai pedoman hidup yang menyajikan keluasan materi dan kedalam ajaran, juga sebagai rahmatan lil ‘âlamîn, maka diharapkan mampu memberikankontribusi bagi pemecahan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan umat. Namun demikian, sayangnya pendekatan konvensional yang bercorak subjektif, apologi, dan doktriner, tanpa disadari telah mengurangi kemampuannya dalam menjawab perkembangan zaman kekinian (kontemporer). Kemampuan tersebut tidak secara merata dapat disumbangkan oleh berbagai bidang dan disiplin ilmu keislaman. Bidang dalam disiplin ilmu yang berkemampuan mengkonstekstualisasikan dirinya dengan tuntutan kehidupan, maka ilmu tersebut dapat memberikan ia memiliki konstribusi yang besar, bahkan menjadi faktor determinan yang bersifat konstan bagi perubahan kehidupan manusia. Sedangkan bidang ilmu yang kurang mampu mengkonteks______________ ∗
Dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang.
Saerozi, Wilayah Studi dan Kajian Keislaman….
125
tualisasikan dirinya, maka ia kurang memberi kontribusi bagi kehidupan manusia, bahkan mungkin saja dapat ditinggalkan. Kemampuan masing-masing bidang ilmu tersebut berhubungan dengan pengembangan unsur-unsur pengetahuan ilmiah, yang kemudian menjadi unsur-unsur dalam penelitian, yaitu: (1) unsur substansi atau sasaran (subject matter), (2) unsur informasi dan metodologi, (3) unsur kegunaan dan signifikansi penelitian.1 Unsur substansi berkenaan dengan masalah penelitian, yang bertitik tolak dari wilayah penelitian (research area). Berkenaan dengan hal ini, apabila penelitian akan dilaksanakan diperlukan penentuan wilayah penelitian dalam bidang ilmu tersebut. Unsur informasi mencakup informasi yang relatif kingkrit, dapat diamati dan diukur, seperti fakta dan data; dan informasi yang relatif abstrak seperti konstruk, konsep, hipotesis, teori, bahkan hukum teori. Sedangkan unsur metodologi mencakup, antara lain, penemuan metode penelitian, penemuan sumber data, satuan analisis, cara pengumpulan data, dan perubahan cara analisis data. Unsur kegunaan atau signifikansi penelitian, biasanya diarahkan pada dua hal, yaitu, pertama, mengembangkan pengetahuan ilmiah (penelitian murni/penelitian ilmiah), dan yang kedua diarahkan pada pemenuhan kebutuhan hidup (penelitian terapan/penelitian kebijakan). Unsur ontologis berkenaan dengan wilayah kajian atau bisa dikatakan wilayah penelitian dalam bidang ilmu tersebut. Epistemologis atau teori pengetahuan adalah membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Unsur epistemologis berkaitan dengan informasi dan metodologi. Informasi mencakup informasi yang relatif konkret, dapat diamati dan diukur, seperti fakta dan data; dan informasi yang relatif abstrak seperti konstruk, konsep, hipotesis, teori, bahkan hukum teori. Sedangkan unsur metodologi mencakup, antara lain, penemuan metode penelitian, penemuan sumber data, satuan analisis, cara pengumpulan data, dan perubahan cara analisis data. Dengan metodologi suatu ilmu maka akan diketahui tentang bagaimana cara mengembangkan ilmu tersebut, ______________ 1 Bisri, Cik Hasan, 1999, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agama Islam”, dalam Mimbar Studi Jurnal Ilmu Agama Islam No. 2 Tahun XXII, Januari-April 1999, hlm. 2.
126
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
demikian melalui teori-teori suatu ilmu akan diketahui bagaimana memferifikasi dan merekonstruksi teori di bidang ilmu tersebut. Metodologi dan teori ilmu yang selanjutnya dapat disebut sebagai dimensi epistemologi suatu ilmu. Landasan epistemologis melihat sejauh mana suatu pengetahuan telah diperoleh melalui pendekatan ilmiah. Ontologis dan aksiologis merupakan hakekat kefilsafatan, artinya keduanya membicarakan mengenai kenyataan yang terdalam dan bagaimana mencari makna dan kebenaran. Ada beberapa teori kebenaran yaitu Korespondensi, Konsistensi, Pragmatis, dan Empiris.2 Kemudian ditinjau dari cara memperoleh kebenaran ditinjau dari filsafat yang mendasarinya menurut Muhadjir3 ada tiga paradigma yaitu Positivisme, Rasionalisme, dan Phenomenologi.4 Unsur aksiologis berkenaan dengan kegunaan atau nilai atau etika dalam kaitannya dengan mencari kebahagiaan dan kedamaian bagi umat manusia. Berkenaan dengan hal tersebut, maka makalah ini berusaha membahas tentang Islam sebagai sasaran studi dan penelitian yang bermuara pada pembahasan: (1) wilayah setudi dan penelitian Islam, dan (2) kemudian juga membahas metodologi/pendekatan dalam penelitian Islam.
______________ Terori Korespondensi adalah sesuatu dianggap benar apabila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta atau realitas (situasi aktual). Konsistensi adalah suatu proposisi dianggap benar jika koheren (saling berhubungan) dengan proposisi lainnya yang menerangkan atau sistematik. Terori Pragmatis adalah benar atau tidaknya suatu ungkapan, dalil atau teori semata-mata bergantung kepada kefaedahan atau tidaknya suatu ungkapan, dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk betindak dalam kehidupannya. Teori Empirik adalah kebenaran hanya dapat dinyatakanbenar sejauh bisa dibuktikan secara empirik. 3 Muhadjir, Noeng, Dakwah Islam dan Perubahan Social, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1991), hlm. 20-27. 4 Positivisme adalah cara memperoleh kebenaran dengan cara observasi terhadap hal-hal yang bersifat empirik sensual (inderawi). Contoh panasnya api, dinginnya es, berat benda, prilaku orang dll. Eksperimen, induktivisme. Rasionalisme adalah kebenaran dicapai dengan jalan empirik sensual (indera manusia), empirik logik (ketajaman pikiran), dan empirik etik (ketajaman akal budi). Phenomenologi adalah kebenaran dicapai dengan jalan empirik sensual, empirik logik, empirik etik, dan empirik transendental (fenomena persepsi, pemikiran, keyakinan terhadap sesuatu di luar dirinya). 2
Saerozi, Wilayah Studi dan Kajian Keislaman….
127
B. Pembahasan 1. Pengertian Islam sebagai Sasaran Studi dan Penelitian Secara teoretis Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya di wahyukan Tuhan kepada manusia melalui Muhammad sebagai Rosul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Sumbersumber ajaran Islam yang merupakan bagian pilar penting kajian Islam dan paradigma keislaman tidak keluar dari sumber asli, yaitu al-Qur’an dan hadits. Dengan demikian, studi islam tidak hanya bermuara pada wacana pemikiran, tetapi juga praksis kehidupan yang berlandaskan pada perilaku baik dan benar dalam kehidupan. 5 Sehingga dengan demikian Islam adalah sistem kepercayaan dan tindakan yang didasarkan pada wahyu Allah (al-Qur’an), yang dijelaskan atas sabda-sabda Muhammad SAW. (al-Hadits), kemudian dikembangkan menjadi pandangan hidup pemeluknya melalui pemikiranpemikiran para ulama, dan menjadi realitas kehidupan umat Islam di dalam keragaman faham, tindakan, komunitas, dan lingkungan. Keragaman makna akan Islam ini, di dalam perkembangan (kontemporer) mutakhir dapat dipetakan berdasarkan kecenderungan atau pembidangan studi Islam, yaitu; Ngaji, Islamologi, Apologi, Islamisasi Ilmu, dan Studi Islam Klasik. 6 Maka yang dimaksudkan Islam sebagai sasaran studi dan penelitian secara harfiyah adalah kajian dan penelitian tentang hal-hal yang berkaitan dengan keislaman. Secara khusus tema ini akan membahas tentang kajian secara sistematis dan terpadu untuk mrngetahui, memahami dan menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama islam baik yang menyangkut sumber-sumber ajaran Islam, pokok-pokok ajaran Islam, sejarah Islam, maupun realitas pelaksanaannya dalam kehidupan. 2. Wilayah Studi dan Penelitian Islam Dilihat dari wujud dan sifatnya, wilayah studi dan penelitian Islam, sekurang-kurangnya, dapat dipilah menjadi dua pilihan. Pertama, be______________ 5
Muhaimin, et al., Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.
1. Azizy, A. Qodri, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman, (Jakarta: Ditbinperta, 2003), hlm. 31-38. 6
128
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
rupa ajaran, gagasan, dan produk pemikiran. Ia bersifat ideal, normatif dan preskriptif. Kedua, berupa rangkaian peristiwa, institusi, organisasi, dan pola perilaku dalam kehidupan umat Islam yang berinteraksi, baik internal maupun eksternal. Ia bersifat aktual, empiris, dan deskriptif. Kedua pilahan itu merupakan satu kesatuan wilayah penelitian yang terintegrasi. Ia merupakan dua dimensi dari satu kesatuan. Ia bersifat kontinum, gradual, dan saling menunjang (bukan suatu dikotomi) namun dapat dibedakan terutama untuk kepentingan penelitian.7 Menurut Cik Hasan Bisri (1999)8 wilayah pengembangan Ilmu Agama Islam secara garis besar adalah: (1) Sumber Hukum Qur’an dan Hadits, (2) Metode Istinbath al-ahkam yang digunakan, (3) Perubahan zaman, dan (4) Produk Pemikiran hukum. Menurut Kuntowijoyo (2007)9 wilayah amatan dalam penelitian Islam dapat dilihat dalam dua bagian, yaitu (1) setruktur dalam dan (2) setruktur luar. Aspek Tauhid (theology) mempunyai kekuatan membentuk struktur yang paling dalam. Sesudah itu ada deep structure, yaitu aqidah, ibadah, akhlaq, syari’ah, dan mu’amalah. Di permukaan, yang dapat diamati, berturut-turut akan tampak keyakinan, shalat/puasa/zakat/haji, moral/etika, perilaku normative, dan perilaku sehari-hari. Diterangkan lebih lanjut oleh Kuntowijoyo (2007) bahwa aqidah, ibadah, akhlaq, dan syariat itu immutable (tidak berubah) dari waktu ke waktu, dan dari tempat ke tempat lain, sedangkan muamalah itu dapat saja berubah. Transformation dalam Islam yang sudah utuh, tentunya harus diartikan sebagai transformasi dalam muamalah, tidak dalam bidang lain. Kemudian menurut Qodri Azizy (2003) 10 objek pengkajian ilmuilmu keislaman—baik disebut Islamic religious research atau research on Islam atau bahkan research on Islamic studies, atau research on Islamic knowledge—adalah: (1) Nashsh (al-Qur’an dan Hadits shahihah) sebagai ______________ 7 Dalam studi dan penelitian Islam secara umum, kedua aspek itu biasanya dikemukakan dengan berbagai ungkapan: aspek ideal dan aspek aktual, atau aspek cultural dan aspek structural (Taufik Abdullah, 1989); atau aspek doktrin dan aspek peradaban (Nurcholis Madjid, 1992); atau aspek normativitas atau aspek historisitas (Amin Abdullah, 1996); atau aspek struktur dalam dan aspek setruktur permukaan (Kuntowijoyo, 2007). 8 Cik Hasan Bisri, op. cit., hlm. 28. 9 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi, dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana2007), hlm. 33. 10 Azizy, A. Qodri, op. cit., hlm. 24.
Saerozi, Wilayah Studi dan Kajian Keislaman….
129
kajian kritis tentang penafsiran, hudan, tolok ukur/alat tes. (2) Pemikiran Ulama (The Body of Knowledge), (3) Pemikiran Ulama (Proses kelahirannya), (4) Islamizing Knowledge, (5) Islam dan lmu Sosial dan Humanities, (6) Pendekatan dalam Studi Islam, (7) Ilmu-ilmu Keislaman: untuk Dunia dan Akhirat. Saya dapat menggambarkan wilayah studi dan penelitian Islam dapatlah saya gambarkan dalam model gambar berikut ini: Gambar 1. Wilayah Studi dan Penelitian Islam (Unsur Substantif)11 N O R M A T I F
Teks al-Qur’an & al-Hadits al-Shahih
Bias Historis
Tuntutan Perubahan
Metode Ijtihad/Istinbath Ulama
Bias Intelektual
Produk Pemikiran Ulama: ilmu Fiqh, Akidah, Tasawuf, Filasafat, dll.
Tujuan Ilmu
H I S T O R I S
Keterangan: : hubungan langsung : wilayah studi dan penelitian dalam Islam
Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum, dan ini merupakan acuan normatif bagi produk pemikiran hukum. Kata Qodri Azizy (2003)12 “kita tidak akan mengacak-acak al-Qur’an dan hadits sebagai wahyu, oleh karena perwujudan ijma’ sahabat sudah jelas”. Dijelaskan ______________ 11 Dikembangkan oleh penulis dari model kerangka berpikir dalam penelitian pemikiran ulama dari Cik Hasan Bisri dalam Cik Hasan Bisri, 1999, op. cit., hlm. 28. 12 A. Qodri Azizy, 2003, op. cit., hlm. 14.
130
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
lebih lanjut oleh Qodri Azizy (2003) bahwa “al-Qur’an ini qath’iy alwurud”. Arti yang dimaksud yaitu; umat Islam sepakat bahwa keberadaan al-Qur’an, termasuk teksnya sudah final. Tidak ada perbedaan di antara umat Islam tentang keberadaan al-Qur’an sebagai teks yang tidak ada campur tangan pemikiran dan penelitian manusia. Dengan demikian keberadaan al-Qur’an berarti atas dasar kepercayaan (belief). Yang menjadi kajian adalah hasil pemikiran manusia misalnya alTirmidzi, al-Buhari, al-Muslim, dll. Hadits dapat juga menjadi objek kajian untuk menguji kesahihannya. Sehingga dalam hal ini terbuka kesempatan untuk mengkaji ulang mengenai status hadits. Adanya Nashsh yang terbatas dalam menghadapi berjalannya waktu dan perubahan zaman, maka para ulama dituntut untuk berpikir argumentatif dan induktif disamping deduktif dalam memberikan problem solving persoalan umat. Aktivitas mereka luar biasa banyaknya untuk memeras pikirannya demi memahami nashsh tersebut. Masa sahabat sudah berkembang pemikiran. Bahkan sangat jauh maju, sebagaimana dipraktekkan oleh Umar b. al-Khaththab dan para sahabat yang tinggal di luar hijaz. Juga para imam madzhab juga mengembangkan pemikiran Islam tersebut, misalnya imam Abu Hanifah atau imam al-Syafi’i dengan ungkapan “hum rijâl wa nahnu rijâl” (mereka para tabi’in dianggap sebagai tokoh atau ahli, kamipun juga tokoh atau ahli) sehingga kata para imam madzhab tersebut “kami bebas berpikir dan tidak ada kewajiban untuk mengikuti pendapat mereka”.13 dengan kreativitas para ulama tersebut muncullah beberapa jenis disiplin ilmu dalam Islam seperti ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu filsafat, ilmu tafsir, ilmu hadits, dll. Kompleksitas kehidupan yang dialami pada zaman Nabi SAW. berbeda dengan yang dialami pada waktu kontemporer sehingga dimungkinkan adanya bias historis. Yang dimaksudkan adalah kemungkinan penafsiran hukum yang berbeda-beda dalam setiap periode sejarah. Ini juga dapat terjadi dalam perumusan konstruk teoretis alQur’an yang dibentuk oleh bias intlektual karena pengaruh dari pemikiran-pemikiran lain, misalnya doctrinal theology yang mewarnai orientasi pemikiran ulama dalam memahami nashsh.14 ______________ 13 14
Ibid, hlm. 21. Kuntowijoyo, op. cit., hlm. 19.
Saerozi, Wilayah Studi dan Kajian Keislaman….
131
Pengkajian dan penelitian Islam pada produk pemikiran ulama sudah terbangun sebagai disiplin keilmuan, hanya saja pada wilayah ini sering terjadi bentuk dogmatic, doctrinal, dan normative. Sebagai akibatnya, bukan saja pemahaman nashsh tidak konstektual, namun pemahaman terhadap karya ulama tersebut juga menjadi dokstrinal dan dogmatik, yang seolah tidak tersentuh oleh akal manusia sekarang. Padahal itu semua merupakan hasil ijtihad ulama waktu itu dengan pengaruh budaya adat, dan subjektivitas perorangan. Oleh karena itu diperlukan usaha radikal dan keberanian untuk membongkar kembali apa yang terjadi dan apa yang telah dipraktekkan oleh ulama terdahulu (merekonstruksi). Rekonstruksi yang dimaksudkan di sini adalah disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan zaman. Rekonstruksi ini dapat berupa ijtihad (istinbath) baru sebagai konstruksi ulang disiplin ilmu-ilmu keislaman (fiqh, akidah, tasawuf, dan filsafat) 15 yang sudah ada dan selama ini dianggap baku. Ini dapat berupa perbaikan disiplin, pengembangan atau pengurangan disiplin, atau penciptaan disiplin baru sebagai anak cucu disiplin yang ada, meskipun dengan mereformulasi pemahaman ulang terhadap apa yang ada. Sudah barang tentu tidak bisa diterima terjadinya putusnya alur atau proses pemikiran dari apa yang sudah dilakukan oleh ulama. Ada kontinuitas dan proses historical, seperti yang terjadi dalam tradisi keilmuan pada umumnya. Disamping itu juga dapat dilakukan pendekatan secara interdisipliner, multidisipliner, atau bahkan transdisipliner. 16Tentu harus mengacu pada misi utama Islam, yakni kemaslahatan umat, di satu sisi; dan keterkaitannya dengan ciri utama Islam, di sisi lain.
C. Metodologi/pendekatan dalam Studi dan Penelitian Islam Metode adalah cara atau jalan untuk mendapatkan sesuatu, atau suatu cara kerja dalam keilmuan untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Suatu metode di dalam pengembangan sebuah ilmu hendaklah dipilih dengan mempertimbangkan ke______________ Muhaimin (dkk) (ed), op. cit., hlm. 195. Thahir, Lukman S., Studi Islam Interdisipliner; Aplikasi pendekatan Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah, (Yogyakarta: Qirtas, 2004), hlm. 1. 15
16
132
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
sesuaian ilmu tersebut dengan karakteristik dari objek yang menjadi kajiannya.17 Al-Qur’an sebagai sumber ajaran memuat informasi dan pesanpesan Ilahi yang terabadikan dalam teks, kemudian Nabi Muhammad SAW., sebagai penerima wahyu tersebut mengungkapkan dan menafsirkannya dalam bahasa Hadits. Khusus mengenai hadits, diperlukan kajian mendalam terutama menyangkut dimensi historisnya, hal ini untuk memberikan gambaran tentang originalitas (keaslian) dan autentisitasnya, serta usaha-usaha ulama dalam meneliti Hadits hingga membangun kerangka metodologis penelitian Hadits dan pendekatannya dalam memahami Hadits tersebut, perlu diingat bahwa Hadits barulah dibukukan jauh sesudah Nabi Muhammad SAW. wafat, kemudian bareng-bareng para tabi’in membukukan hadits tersebut. Dalam perkembangan terkini, terdapat empat metodologi/pendekatan yang dipakai dalam mengkaji tentang keislaman (Azizy, 2003)18. Pendekatan tersebut yaitu: Pertama, mereka menggunakan metode ilmu-ilmu yang masuk dalam kelompok humaniora (humanities), seperti filsafat, filologi, ilmu bahasa, dan sejarah. Ajaran Islam berupa karya para pemikir yang sudah termuat dalam teks-teks dijadikan sasaran penelitian dengan pendekatan yang biasa diterapkan dalam disiplin-disiplin kelompok humaniora. Bermula dari pendekatan filologi kemudian dengan pendekatan sejarah yang sangat menonjol, kajian hukum Islam juga dilakukan dengan pendekatan sejarah pemikiran hukum, seperti halnya yang dilakukan Joseph Schacht. Sementara John Wansbrough dan muridnya Andrew Rippin dalam karyanya tentang studi Al Qur'an berangkat dari kajian kritik bahasa atau literary analysis. Kedua, mereka menggunakan metode dalam disiplin teologi, studi Bibel, dan sejarah gereja, di mana pendidikan formalnya diperoleh dari Divinity Schools. Dalam ‘disiplin’ itulah mereka menjadikan Islam sebagai lapangan penelitiannya. Para sarjana dalam bidang ini mendapatkan pendidikan dari fakultas atau sekolah jenis ini. Justru model inilah yang banyak dipraktikkan sebelum 1960-an, yakni pada waktu ______________ 17 Abdullah, Taufiq & M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm. 12. 18 A. Qodri Azizy, op. cit., hlm. 92-94.
Saerozi, Wilayah Studi dan Kajian Keislaman….
133
area studies mengenai Timur Tengah, Timur Dekat, dan Asia Tenggara belum terwujud. Oleh karena itu sering dijumpai orientalis yang juga sekaligus pastur, pendeta, uskup, atau setidaknya missionaris. Ketiga, menggunakan metode ilmu-ilmu sosial (social sciences), seperti sosiologi, antropologi, politik, dan psikologi, meskipun disiplin-disiplin ini ada yang mengelompokkan ke dalam humaniora. Mengenai metodologi penelitiannya, mereka menggunakan metodologi yang biasa dipergunakan dalam disiplin ilmu-ilmu sosial seperti yang dilukakan oleh Leonard Binder sebagai seorang ahli politik dan Clifford Geertz sebagai antropolog. Keempat, menggunakan pendekatan yang dilakukan di jurusanjurusan, pusat-pusat, atau hanya committee, untuk area studies, seperti Middle Eastern Studies, Near Eastern Languages and Civilizations, dan South Asian Studies.
D. Kesimpulan Islam sebagai sasaran studi dan penelitian dalam makalah ini bermuara pada sebuah kesimpulan bahwa: pertama, wilayah kajian dan penelitian Islam dilakukan pada produk pemikiran ulama, berangkat dari premis kesangsian bukan pada premis keyakinan, sehingga menghasilkan kajian Islam yang diharapkan objektif, konstektual, dan preskripsi yaitu sesuai harapan dan tuntutan kebutuhan zaman kontemporer. Kedua, Pendekatan dalam penelitian Islam banyak variasi yang dapat dilakukan yaitu; menggunakan ilmu-ilmu humaniora; menggunakan ilmu teologi; menggunakan metode-metode ilmu sosial; dan juga pendekatan serta pengembangan dilakukan di perguruanperguruan tinggi Islam, maupun perguruan tingi umum.[]
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufiq & Karim, M. Rusli, Metodologi Penelitian Agama, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989. Abdullah, Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. _________, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan IntegratifInterkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
134
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
Azizy, A. Qodri, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman, Jakarta: Ditbinperta, 2003. Bisri, Cik Hasan, “Pemetaan Unsur Penelitian: Upaya Pengembangan Ilmu Agama Islam”, dalam Mimbar Studi Jurnal Ilmu Agama Islam No. 2 Tahun XXII, Januari-April 1999. Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007. Martin, Richard C, (ed), Approaches to Islam in Religious Studies, Tucson: Univ. of Arizona Press, (Terjemahan: Zakiyuddin Baidhawy, 2001, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Jakarta: Muhammadiyah University Press), 1985. Mastuhu dan Ridwan, Dede (ed), Tradisi Penelitian Agama Islam: Tinjauan antar Disiplin Ilmu, Bandung, Pusjarlit Nuansa, 1998. Mudzhar, Atho, 1998, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Muhaimin (dkk) (ed), Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2005. Muhadjir, Noeng. Dakwah Islam dan Perubahan Social. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1991. Praja, Juhaya S., Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, dan Penerapannya di Indonesia, Bandung: Teraju, 2002. Thahir, Lukman S., Studi Islam Interdisipliner; Aplikasi pendekatan Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah, Yogyakarta: Qirtas, 2004.
Saerozi, Wilayah Studi dan Kajian Keislaman….
135
136
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
BOOK REVIEW : Apakah Kebebasan Beragama = Bebas Pindah Agama? Perpsektif Hukum Islam dan HAM Tebal : xvi + 192 halaman Penerbit : Jawa Pos Books dan STAIN Salatiga Press Tahun Terbit : Februari 2008 Penulis : Tri Wahyu Hidayati Judul Buku
Walaupun hukuman mati bagi si murtad bagi sebagian orang mungkin tidak menjadi masalah, namun bagi kebanyakan manusia modern hukuman itu dianggap melukai HAM. Bagi yang setuju dengan hukuman itu, praktik Abu Bakar Shidiq yang pernah memerangi kaum murtad selalu menjadi rujukan. Sementara bagi yang tidak menyetujuinya cenderung mendasarkan argumentasinya pada inkonsistensi logis antar teks dalam al-Qur’an yang satu sisi menjunjung tinggi kebebasan beragama sementara pada saat yang sama menghukum mereka yang keluar dari Islam. Argumentasi lain yang muncul adalah bahwa menghukum si murtad dianggap melanggar HAM. Penulis buku ini dengan cukup piawai merekonstruksi sejauh mana kekuatan doktrinal perintah hukuman mati bagi si murtad. Kesimpulan yang cukup menarik adalah hukuman mati bagi si murtad walaupun secara implisit disinggung oleh al-Qur’an di antaranya melalui al-Nisa’: 89 dan eksplisit oleh hadits, namun landasan doctrinal itu memiliki sebab spesifik, yakni maraknya fenomena pengkhianatan terhadap komunitas Muslim Madinah abad ke-7 terutama yang dilakukan oleh Abdullah b. Saba’ b. Salul (hlm. 41). Karena memiliki sebab yang amat khusus, maka hukuman kepada si murtad tidak bisa diterapkan pada semua waktu dan semua kondisi. Hukuman mati hanya boleh diberlakukan bila kondisi serupa muncul (hlm. 45). Apabila suatu masyarakat dalam kondisi damai maka hukuman tersebut tidak boleh diberlakukan. Hukuman mati bagi si murtad yang ternyata amat kasuistik dalam konteks politik yang amat klasik itu, oleh penulisnya juga dikaji dalam perspektif wacana HAM. Untuk itu penulis mengkaji hukuman itu dengan membenturkannya pada Universal Declaration of Human Rights 1948 yang diakui PBB, UIDHR (Universal Islamic Declaration of Human Book Review: Apakah Kebebasan Beragama = Bebas Pindah Agama?
137
Rifghts), dan CDHR (Cairo Declaration of Human Rights) tahun 1990. Kajian atas HAM semakin mendorong pentingnya pemahaman yang lebih berpijak pada konteks atas persoalan ini. Hukuman itu bukanlah hukuman yang harus dijalankan di segala ruang dan waktu, melainkan hukuman yang memiliki sebab-sebab khusus (hlm. 144). Hukuman mati bagi si murtad sesungguhnya lebih didasarkan pada pertimbangan politis. QS. al-Nisa’: 89 dan hadits-hadits pendukungnya harus dipahami sesuai konteks politik waktu itu, yakni peperangan dan sistem teokrasi. Dalam situasi damai, ayat dan hadits tersebut hanya menjadi informasi sejarah. Ayat dan hadits tersebut nasibnya sama dengan bait syair lagu Halo-halo Bandung yang berbunyi “Mari Bung rebut kembali!” yang kini hanya menjadi informasi sejarah. Ketika dari sudut pertimbangan politis, fenomena riddah sudah tidak mengancam Islam, maka hukuman mati tidak layak diberikan pada si murtad. Ini sesuai dengan prinsip al-hukmu yadûru ma'a illatih wujûdan wa 'adaman (hukum itu tergantung pada ada atau tidaknya ’illat) (hlm. 172). Dalam konteks kekinian dimana bentuk negara nation-state yang sekuler telah disepakati, jelas hukum riddah Islam tidak akan dapat dilaksanakan. Sebaliknya konsep konversi agama model HAM akan dapat terlaksana. Walaupun konsep konversi agama model HAM dapat terlaksana, namun konsep itu terlalu bercorak Barat dan kurang memperhatikan budaya Timur. Dengan kata lain, konsep konversi agama model HAM itu terlalu menganggap remeh keimanan. Seakan-akan, orang boleh beriman atau tidak, tanpa ada risiko yang harus ditanggungnya sama sekali. Gagasan utama buku ini sesungguhnya adalah keinginan penulisnya untuk merumuskan ulang hukum riddah dengan berpijak pada upaya kompromi antara konsep riddah Islam dan konversi agama dalam HAM. Upaya kompromi mampu dilakukannya dengan menempuh 3 langkah, yakni: Pertama, mengembalikan hukum riddah pada prinsip dasar kebebasan beragama secara bertanggung jawab, bukan kebebasan yang tanpa batas atau tidak bertanggung jawab. Kedua, tidak melaksanakan hukuman mati terhadap orang murtad karena hukuman itu selain penuh dengan latar belakang politik Madinah abad ke-7 M juga sudah tidak sesuai dengan konteks masyarakat modern yang cenderung sekuler. Ketiga, dihapuskannya hukuman mati tersebut bukan berarti tidak ada konsekuensi hukum apapun atas tindakan murtad. Hukuman
138
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
perdata atas tindakan murtad masih bisa diterapkan sepanjang rincian hukum perdata itu dapat diserap ke dalam perundangan yang berlaku secara sah di suatu negara. Misalnya, batalnya ikatan perkawinan dan hilangnya hak kewarisan. Ini merupakan hasil kompromi antara aspirasi fikih dan realitas tata hukum modern. Dalam konteks hukum saat ini, suatu aspirasi hukum tidak mungkin bisa diterapkan di masyarakat bila tidak diserap terlebih dahulu dalam perundangundangan yang sah (hlm. 173-4). Buku ini merupakan upaya rekonstruksi internal hukum Islam khusus dalam bidang fikih riddah. Buku ini cukup menarik untuk dibaca karena penulisnya dengan jeli merekonstruksi hubungan antara teks dan konteks secara kritis. Pendekatan kritis yang dipergunakan penulisnya mampu mengantarkannya mencapai kesimpulan yang objektif. Kesimpulan yang objektif itulah yang memudahkan penulis buku ini dalam mendudukkan polemik antara hukum riddah klasik dengan aspirasi HAM modern. Kehadiran buku ini akan mematahkan keyakinan media-media Barat dan sebagian media Timur bahwa Islam itu dalam sejarah berwajah bengis. Dalam buku ini dijelaskan bahwa memang gurat kebengisan itu pernah ada dalam sejarah Islam, tapi itu sama sekali bukan representasi doktrin Islam. Itu hanyalah respon historis umat Islam dalam rangka mempertahankan diri sebagai entitas baru. Ketika sebuah kelompok baru selalu terancam maka mereka hanya dihadapkan pada dua pilihan: mempertahankan diri atau dihabisi. Kebetulan konteks budaya yang ada waktu itu hanyalah budaya kekerasan. Itulah makanya pilihan dijatuhkan pada pilihan pertama (mempertahankan diri) dengan mengangkat senjata. Mengapa dengan senjata? Karena waktu itu budaya diplomasi belum dikenal. Kini budaya manusia sudah jauh lebih beradab. Maka paradigma fikih klasik harus diperbarui sesuai dengan kemajuan budaya dan peradaban. Buku ini merupakan buku yang pertama kali melakukan pembaruan fikih riddah dalam kaitan HAM. Buku semacam ini sangat penting bagi upaya memajukan fikih Islam. Walaupun memiliki keunggulan, buku ini masih memiliki beberapa kelemahan yang cukup mengganggu. Penulisan istilah Arab masih belum menggunakan sistem transliterasi yang konsisten hingga pembaca harus menduga-duga istilah dimaksud sesungguhnya dari akar kata Arab yang mana. Misalnya kata ukul pada hlm. 39. Apakah makBook Review: Apakah Kebebasan Beragama = Bebas Pindah Agama?
139
sud kata itu? Apakah menggunakan hamzah atau ’ain? Padahal keduanya memiliki makna yang berbeda. Disamping itu, teks asli UDHR, UIDHR, dan CDHR tidak dilampirkan dalam buku ini. Padahal, buku ini menjadikannya sebagai rujukan utama disamping juga al-Qur’an dan hadits yang relevan. Akibatnya pembaca kesulitan bila ingin melacak dan mengonfirmasi informasi pada sumber-sumber dimaksud.[] (Muhyar Fanani)
140
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
PEDOMAN TRANSLITERASI
z | ~ $
= a = b = t = ts = j = h = kh = d = dz = r
Huruf Mad â = a panjang î = i panjang û = u panjang
7 C }
V
=
z
=
s
=
sy
=
sh
=
dh
=
th
y { = [ /
=
zh
ه
=
‘a
=
gh
=
f
= q = k = l = m = n = w = h = N’ = y
Diftong
/h d h d B
=
aw
=
ay
=
iy
1.
Pedoman Transliterasi
141
142
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011
TENTANG PENULIS GHOZALI MUNIR adalah Guru Besar Ilmu Kalam atau Teologi Islam pada Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Beberapa karyanya yang pernah diterbitkan dalam bentuk buku antara lain : Ilmu Mantiq (1984), Ilmu Kalam (1985), Filsafat Logika (1990), Filsafat Ilmu (1992), Perkembangan Teologi Modern (1994). Diantara beberapa karyanya yang pernah dimuat dalam Jurnal Ilmiah, antara lain : “Berkenalan dengan Aspek Mistik Islam Kejawen dalam Wirid Hidayat Jati Karya Ronggowarsito” (Theologia, 1995), “Tragedi Pembunuhan dalam Wacana Teologi Islam” (Theologia, 1998), “Konsep Keadilan Ibn Maskawaih” (Walisongo, 1998), “Duet Gus Dur dan Megawati sebagai Wujud Introspeksi Diri Menuju Masyarakat Madani” (Theologia, 2000), “Kekerasan dalam Aliran Khawarij, Pengaruh dan Antisipasinya” (Theologia, 2000), “Pemikiran Teologi al-Sanusi dalam Aliran Asy‘ariyah” (Theologia, 2001), “Studi terhadap Teologi Abul A’la Maududi” (Theologia, 2002), “Iman Menurut K.H. Muhammad Shalih as-Samarani telaah Atas Kitab Tarjamah Sabil al-‘Abid” (Theologia, 2003), “Teologi Islam Terapan: Studi Implementasi Iman Menurut Muhammad Shaleh as-Samarani” (Teologia, 2007). WAHIBUR ROKHMAN adalah dosen Program Studi Ekonomi Islam, Sekilah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus. Menyelesaikan studi S2 dari Magister Science, Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Ph.D dari Internasional Islamic University Malaysia (IIUM). Penulis aktif mengikuti berbagai konferensi baik di tingkat nasional maupun internasional dan menulis artikel di beberapa jurnal internasional, di antaranya di Elektronic Journal Business Ethic and Organizational Behavior (EJBO), Firlandia, Gadjah Mada International Journal of Business (GamaIJB), Yogyakarta. Penulis bersama teman-teman menulis buku berjudul Paradigma Baru Pengembangan Sumberdaya Manusia (AMARA, Yogyakarta) dan Metodologi Penelitian (STAIN, Kudus) MOH. FAUZI adalah dosen Fakultas dakwah IAIN Walisongo Semarang, setelah menyelesaikan program S3 di bidang Pemikiran Fikih Kontemporer IAIN Ar-Raniri Banda Aceh, yang bersangkutan dipercaya menggawangi Pusat Studi Gender (PSG) IAIN Walisongo Semarang.
Tentang Penulis
143
IING NISBAHUDDIN adalah dosen tetap pada Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, sebelumnya pernah menjadi dosen di Fak. Syari’ah UNISSULA Semarang dari tahun 1982 sampai 1986. Karyakarya yang diterbitkan antara lain Metode Dakwah al-Qur’an, Sifat Allah Dua Puluh dalam Ummul Barahin, Pengantar Ilmu Tafsir, Tafsir, Takwil dan Tarjamah al-Qur’an, Ka’bah dan Science Modern, dan Sumber Pokok Tafsir alQur’an. RATNO AGRIYANTO adalah dosen tetap pada Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. Yang bersangkutan selain telah menyelesaikan program S2 Magister Sains Akuntansi di Universitas Diponegoro Semarang juga pernah mengambil pendidikan profesi Akuntansi tahun 2010-2011. IBNU FIKRI adalah alumni Fakultas Dakwah IAIN Walisongo. Setelah menyelesaikan program S2 di PPs IAIN Walisongo semarang, yang bersangkutan menjadi dosen tetap di Fakultas dakwah IAIN Walisongo Semarang. AHMAD FAQIH adalah dosen Sosiologi Dakwah pada Fakultas Dakwah IAIN Walisongo. Untuk korespondensi lebih lanjut, dapat diakses melalui alamat e-mail:
[email protected] dan alamat blog http://faqihwalisongo.blogspot.com BAIDI BUKHORI adalah dosen tetap pada Fakultas dakwah IAIN Walisongo Semarang, setelah lulus dari Program Studi Psikologi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, saat ini yang bersangkutan sedang proses penyelesaian Desertasi pada program S3 Psikologi di UGM Yogyakarta. SAEROZI adalah dosen tetap pada Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, setelah menyelesaikan program S2 dari Program Pascasarjana UNNES, saat ini yang bersangkutan sedang menyelesaikan S3 di program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang.[]
144
Jurnal at-Taqaddum, Volume 3, Nomor 1, Juli 2011