0
1
“Aku hidup karena deadline,” Karin berkata lirih saat telah membantingkan
tubuhnya di atas kasur sambil memejamkan mata.
“Adinda, jangan biarkan dua tugas berkumpul dalam waktu yang sama,
karena
mereka
akan
saling
jatuh
cinta
dan
beranak
pinak
banyaaaaaaaaakkkkkkkkkkkk sekali,” ia komat-kamit membayangkan sosok
Kakanda mengucapkan kata-kata semangat untuknya dengan memanggil Adinda.
“Allaahu Akbar,” ia berguling-guling di atas kasur berharap ada ide yang
didapat setelah berguling-guling dan bertakbir. Namun nihil, ia tahu apa yang ia lakukan adalah hal yang bodoh. Tak akan ada sesuatu pun yang akan terselesaikan dari aktivitas seperti itu. Ia mulai membuka kedua matanya,
menatap lamat-lamat langit kamarnya yang berwarna putih kusam karena termakan usia.
2
“Ada apa dengan bulan ini? Mengapa tak sedikit pun memberiku
kesempatan untuk bernapas?”
Karin merasa jengah memikirkan berbagai soal Ujian Tengah Semester yang
harus ia selesaikan minggu ini. Semua soal itu memang tidak harus ia kerjakan di dalam kelas dan dibatasi dengan waktu pengerjaan. Ia justru diberi
keleluasaan seluas-luasnya untuk mencari berbagai bahan bacaan yang dapat
digunakan untuk menunjang jawabannya. Tapi ia bertanya-tanya mengapa mayoritas dosen yang mengajar di semester ini begitu kompak memberikan keleluasaan itu kepadanya? Satu sisi mereka memberikan waktu yang lebih
banyak, namun ternyata waktu yang banyak itu masih saja harus dibagi-bagi dengan pengerjaan soal yang juga banyak.
Karin mulai merindukan masa-masa lalu saat ia masih duduk di bangku
SMA. Saat SMA meskipun ia menerima tugas sekolah yang sangat banyak, itu tidak akan membuatnya tercekik seperti sekarang ini. Berbeda halnya saat ia
duduk di bangku kuliah, hari-harinya begitu mengerikan dengan berbagai deadline dan jadwal begadang yang berderet.
“Adinda, sekiranya tugas-tugas itu mengganggu waktu istirahatmu,
tinggalkanlah. Kesehatanmu jauh lebih penting,” kata-kata semangat Kakanda meluncur lagi dari bibir Karin. Sebenarnya itu adalah terjemahan bebas dari
kata-kata guyonan bahasa Sunda yang sering dikatakan oleh anak-anak kelas di kampusnya yang sedikit dimodifikasi agar lebih motivatif. Sakirana tugas kampus nganggu waktu istirahat, tinggalkeun! Kurang lebih seperti itu. Namun
3
ia segera menggeleng-gelengkan kepalanya, meralat, tidak setuju, tak mungkin Kakanda mengingatkannya untuk tidur dan mengabaikan tugas, itu tidak benar.
“Gercep Karin, Gercep!” kata Karin pada dirinya sendiri. Gercep adalah
singkatan dari bergerak cepat, maksudnya agar Karin bergerak cepat dan bersegera menyelesaikan tugasnya satu-persatu. Namun ia masih terlentang di atas kasur, matanya memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia pun tertidur.
Saat kau terpuruk dan terjatuh pakai pundakku dan kita lawan terpuruk itu karena Tuhan tahu kita mampu, kita mam......... “Hallo, Assalamu’alaikum?” Ali Sastra featuring The Jenggot yang bernyanyi
di ponsel Karin membuatnya terbangun dari tidur siangnya. Di layar ponsel
nampak tulisan Alfian memanggil, tanpa banyak berpikir ia langsung mengangkat panggilan itu. Gawat kalau tak langsung diangkat, Alfian akan
ngedumel seharian di kelas karena Karin tak menjawab telepon atau lama menjawab telepon.
4
“Wa’alaikumsalam, aku udah kirim tugas, cepet cek e-mail kamu!” Alfian
sedang membicarakan tugas kelompoknya bersama Karin. Kebetulan mereka
membagi-bagi tugas bersama ketiga anggota kelompok lainnya bersama Elis, Ambar, Dea dan semua tugas itu dikumpulkan kepada Karin.
“Oh? Udah dikirim? Oke nanti aku kirim. Eh, aku cek,” Karin tersentak
karena ternyata Alfian telah menyelesaikan tugasnya lebih awal.
“Nanti? Sekarang, Rin! Kamu baru bangun tidur, yah?” Mendengar Karin
salah bicara, Alfian langsung berkesimpulan Karin baru terbangun dari tidurnya.
“Hemmm... iya aku cek sekarang, Piyaannnn.”
“Sip, aku tutup. Wasalam,” KLIK, panggilan terputus.
“Idih dimatiin? Dasar Piyaaannnn,” Karin menggerutu sambil memandangi
ponselnya yang tak terhubung lagi dengan panggilan Alfian. Alfian bahkan tak memberi kesempatan kepada Karin untuk menjawab salamnya, mungkin ia
sedang menghemat pulsa. Namun Ia sedikit kesal, ia meremas-remas ponselnya menganggap itu adalah Alfian, meski itu bukan.
Karin melihat jam dinding yang menggantung di salah satu sisi dinding
kamar tidurnya, waktu menunjukkan pukul 14.00, ternyata ia telah tertidur
selama satu jam. Ia menghela napasnya panjang, satu jam waktunya telah ia gunakan untuk beristirahat, saatnya memanfaatkan waktu untuk mengerjakan tugas.
5
Home work, come to Mama..............................
Angin menghembus kencang, membawa terbang tanah yang kering yang
menjelma menjadi debu. Langit Bandung sore hari ini berangsur mendung,
hawa dingin dari angin yang terus berhembus itu membuat daun-daun
pepohonan serempak melambai-lambai ke arah yang sama. Sampah-sampah plastik yang tergeletak di jalanan ikut terbawa angin dan terjebak ke dalam
selokan. Awan hitam terus bergerak bersatu membentuk kumpulan besar. Sebentar lagi hujan lebat akan turun diiringi sahutan petir yang menggelegar.
Seorang gadis berumur 20-an berlari-lari kecil menuju rumah yang berada
di ujung jalan Istiqomah 1. Tinggal tersisa beberapa meter lagi agar ia sampai ke
rumah itu. Ia khawatir hujan yang lebat akan turun secara tiba-tiba dan membasahi seluruh pakaiannya. Ia tak membawa payung ataupun jas hujan yang bisa melindunginya dari hujan. Satu dua suara petir saling bersahutan,
bukan hanya lari-lari kecil, kini gadis itu benar-benar berlari kencang. Ia berlari merunduk sambil menyimpan kedua telapak tangannya di kedua telinganya. Sejak ia kecil, ia merasa takut ketika mendengar petir.
Sementara itu, Karin sedang asyik menuliskan daftar tugasnya untuk 2
minggu ke depan. Ia ingin tahu seberapa banyak tugas-tugas yang harus ia
6
kerjakan
sehingga
membuatnya
merasa
sedemikian
terdesaknya.
Ia
beranggapan akan selalu bertemu dengan pukul 00.00 karena bergadang untuk
mengerjakan tugas. Di sisi lain ia yakin tak perlu melakukan hal berlebihan seperti itu. Ia hanya perlu mengatur waktunya dengan lebih baik.
Tiba-tiba terdengar suara langkah seseorang yang datang ke rumah kosnya
dengan terburu-buru. Seseorang itu mencoba membuka pintu rumah, namun sebelumnya Karin telah mengunci pintu itu sehingga tidak ada yang bisa masuk kecuali penghuni rumah yang memiliki kunci. Untuk membukakan pintu Karin
menunggu seseorang itu mengucap salam, namun tak juga terdengar. Tak lama kemudian, seseorang itu mengeluarkan kunci dan mencoba membuka pintu.
“Assalamu’alaikuuuuum....” seru seseorang itu akhirnya, ternyata itu adalah
gadis berumur 20 tahunan tadi yang berlari di bawah sahutan petir, namanya Jihan. Jihan merupakan salah satu penghuni kos yang sama dengan Karin.
“Wa’alaikumsalaamm, wah.. di luar lagi hujan, yah?” Karin baru saja keluar
dari kamarnya dan menyadari bahwa di luar sedang turun hujan karena Jihan baru saja membuka pintu dan kembali menutupnya.
“Iyaa.. emang kamu kemana aja? Hujannya gede tau!” Jihan menggoda Karin,
padahal hujan baru turun beberapa detik sebelum Jihan masuk rumah.
“Dari kamar suaranya ga kedengeran Jii,” kata Karin sambil berbalik badan
untuk masuk kembali ke kamarnya.
“Rin, Kamis siang ini kamu ada acara ga? Gantiin Feby ngawas acara BEM,
katanya dia ada jadwal UTS,” kata-kata Jihan langsung menahan langkah Karin.
7
“Omo..omo? apaan nih, Ji? Aku yang ganti?” Karin sok menggunakan istilah
bahasa Korea, Omo. Dari berbagai film Korea yang pernah ia saksikan, mereka
seringkali mengucapkan kata seperti itu apabila dihadapkan dengan keadaan yang sama seperti yang sedang Karin alami saat ini.
“Kamis aku ada observasi ke SD, Winda masih sibuk nyiapin acara
pagelaran, Vita.. kasian Vita, dia kan harus pulang pergi, kasian kalau pulang kemaleman? Yah? Yah? Aku ga enak soalnya ini mendadak.” “Terus kamu ga kasian sama aku? Hmm.”
“Please, Rin.. bulan depan kamu bebas tugas, deh.. yaa, yaa? Buat Kamis ini
aja, Rin?”
“Serius bulan depan bebas tugas? Beneran yah, cup! Aku catet loh, Jii!” “Iyaa, iyaa....”
Suasana kamar kembali hening, hanya ada Karin dan catatan tugas-
tugasnya. Jihan pun baru saja menambah satu tugas untuk dilakukannya dalam
dua minggu ini. Setelah dicatat satu per satu, ternyata tugasnya telah penuh
sesak. Minggu pertama dipenuhi deadline UTS setiap harinya, minggu kedua dipenuhi tugas simulasi micro teaching, atau simulasi mengajar dengan para
8
mahasiswa satu kelasnya yang berperan sebagai murid, pembuatan berbagai
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Makalah, presentasi, mengajar dan juga jadwal mentoring di Rohis yang ada di SMP dekat kampus.
Kepala Karin serasa mau pecah, terlebih minggu ini Karin tidak bisa pulang
karena tugas-tugas itu terus menghalanginya untuk pulang.
“Keep calm, Adinda. Coba kamu kerjakan tugasmu satu persatu, mengeluh
karena tugasmu banyak sama sekali tak akan menyelesaikan masalah,” ujar
Karin dalam hati yang berharap kata-kata itu dikatakan langsung oleh Kakandanya, sosok penyemangat yang sampai saat ini keberadaannya masih serba entah hanya berupa bayangan dan khayalan semata.
Di depan sebuah gang kecil ada seorang anak laki-laki yang sedang duduk
berjongkok sambil memainkan ranting pohon menuliskan sesuatu di atas tanah.
Panas yang terik membuatnya tidak tahan berdiri lama-lama sembari menunggu temannya datang. Ia memilih duduk berjongkok di bawah pohon dengan daun yang rindang, di sana udara lebih sejuk dan panasnya mentari tak terlalu menyengat.
Anak laki-laki itu tengah menunggu temannya menaiki sepeda mengelilingi
komplek perumahan sebanyak satu kali putaran. Mereka bergantian bermain
9
sepeda karena hanya salah satu orang dari mereka yang memiliki sepeda. Dan
sekarang sudah 5 menit saat temannya melaju menaiki sepeda mengitari komplek, ia penasaran temannya sudah sampai mana dan menengok ke arah
komplek. Ia melihat temannya dari kejauhan muncul mulai mendekat dengan mengendarai sepeda. Anak laki-laki itu melambai-lambaikan kedua tangannya.
“Cepetan, Deeennn,” kata anak laki-laki itu memanggil temannya agar
segera sampai dan memberikan sepeda untuk dinaikinya. Teman anak laki-laki itu yang dipanggil Den, mulai mengayuh sepedanya lebih cepat, sesekali ia
melepas satu tanganya dan membalas lambaian tangan temannya dan sesekali ia unjuk kebolehan melepas kedua tangannya dari kemudi sepeda. Tiba-tiba, BRUUUKKKKK....!!!!!
Deni, nama anak yang menaiki sepeda itu terjatuh karena mencoba
mengelak tabrakan dengan seorang bapak-bapak berusia 50-an yang secara tiba-tiba muncul dari persimpangan jalan sebelum Deni berhasil mengerem
sepedanya. Jaka, temannya yang sedari tadi menunggu kedatangan Deni langsung menghambur berlari mendekati dan menolong temannya. “Kamu nggak
apa-apa, Den? Ada yang luka
ga?” Tanya
Jaka
mengkhawatirkan keadaan Deni karena sebelumnya ia yang menyebabkan Deni
mengayuh sepedanya lebih kencang. Bapak-bapak yang berada dekat dengan Deni tadi mencoba membantunya bangkit, kedua lutut dan siku tangan kanannya terluka. Deni meringis kesakitan.
10
“Lain kali hati-hati main sepedanya, yah. Jangan kebut-kebutan,” ujar bapak
itu kepada Deni, Deni mengangguk pelan.
“Eh, bapak, bapaknya Pak Hilmi, ya?” ujar Jaka mengenali bapak-bapak itu
sebagai ayah dari guru di sekolahnya, Hilmi. Bapak-bapak itu menyambut hangat sapaan Jaka dan membenarkan pertanyaannya. Keduanya lalu melanjutkan mengantarkan Deni pulang ke rumahnya.
Waktu menunjukkan pukul 23.00, Karin baru menyelesaikan 2 soal dari 4
soal UTS yang harus ia selesaikan malam ini. Sedangkan deadline pengumpulan tugas tinggal menunggu 8 jam lagi, karena tepat pada pukul 07.00 tugas itu
harus segera di kumpulkan. Karin berkali-kali menguap, matanya sudah perih menatapi layar laptop berjam-jam.
“Yoo..yoo.. semangat Kariiinnn... gercep..gercep.. fokus sama solusi, sedikit
lagi pasti selesai. Inget orang tua, Rin. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian,” Karin mencoba menyemangati dirinya sediri dengan menyebutkan
segala pepatah yang ia ingat. Kali ini bukan Kakanda yang memberinya
semangat, ia membutuhkan semangat yang benar-benar semangat, bukan sekedar bayangan ataupun khayalan semata.
11
Namun rasa kantuknya tak mau pergi, ia biarkan tubuhnya terlentang di
atas kasur beberapa detik. Punggungnya terasa sangat pegal karena terlalu lama
duduk untuk mengerjakan tugas. Lalu Karin mencoba bangkit dari tempat tidurnya dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, ia berharap bisa menyelesaikan tugasnya sebelum waktu tengah malam tiba dan dapat segera beristirahat.
“Assalamu’alaikum...” terdengar suara salam yang berat namun jelas dan
lantang khas seseorang yang sangat dikenal Hilmi. Hilmi bergegas pergi ke pintu ruang utama, menyambut siapa yang baru saja datang.
“Wa’alaikumsalam... bapak kok ga bilang-bilang mau pulang? Kan bisa Hilmi
jemput,” ujar Hilmi saat melihat ayahnya datang seraya meraih tangannya untuk dicium.
“Bapak masih bisa pulang sendiri, Mii.” Jawab Bapak akhirnya, padahal Hilmi
ingin mendengar bahwa apa yang dilakukan ayahnya adalah untuk memberikan kejutan pada semua anggota keluarganya.
“Yang lain pada kemana? Ibu, Tesa, sama Karin?” bapak lanjut bertanya.
12
“Ibu lagi ngaji, pak, teh Tessa di rumahnya, kalau dikabarin bapak pulang
pasti bakal ke sini.” Ujar Hilmi seraya mengeluarkan ponsel dari saku kanan celananya mencoba menghubungi kakaknya. “Karin?”
“Karin masih kuliah, pak. Mungkin pulangnya Kamis atau Jum’at, atau
mungkin hari Sabtu pagi baru pulang.”
“Kamis sore saja kamu jemput dia pulang, Hilmi”
“Mm.. tapi Hilmi belum tahu Karin bisa pulang hari apa, pak?”
“Usahakan hari Kamis sore saja adikmu pulang, Hilmi. Kamu tahu, bapak
tidak mungkin meminta sesuatu kalau memang tidak ada hal yang penting?” “Mm, iya pak.. Nanti Hilmi coba hubungi Karin dulu.”
Bapak beranjak menuju kamar tidurnya bersama mamah, ia menyimpan tas
bawaannya dan mengganti pakaian. Sementara itu Hilmi duduk di kursi yang
ada di ruang tamu. Ia duduk tepat di samping jendela, ia memandangi dedaunan
di pekarangan rumahnya yang tengah melambai-lambai diterpa angin sore. Sekejap ia langsung merasa sangat penasaran mengenai hal penting yang ingin bapak sampaikan kepada adiknya, Karin.
Everyone can see There’s a change in me
13
They all say I’m not the same Kid I use to be Don’t go out and play I just dream all day They don’t know what’s wrong with me And I’m too shy to say It’s my first love What I’m dreaming on When I go to bed When I lay my head upon my pillow Don’t know what to do My first love He thinks that I’m too young He doesn’t even know Wish that I could tell him what I’m feeling ’cause I’m feeling my first love Karin mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, ia mendengarkan Nikka Costa
yang sedang bernyanyi di ponselnya mengingatkan dia untuk bangun. Lalu ia
meraih ponselnya yang berada di atas meja tepat di samping tempat tidurnya. KLIK, pukul 04.00.
14
“Astaghfirullah, huhu..” ternyata semalam ia ketiduran, ia segera melangkah
bangkit menuju kamar mandi, masih ada dua soal yang belum ia selesaikan. PING!!!
Ada satu pesan masuk di Black Berry Messenger Karin.
“Rin, Kamis sore pulang, kan? Nanti aa jemput,” itu pesan dari Hilmi, kakak
laki-laki Karin. Aneh. Hilmi jarang sekali menawarkan diri untuk menjemput Karin pulang, jangankan untuk menjemput, mengirim pesan kepada adiknya pun Hilmi terhitung sangat jarang.. Ada apa?
“Aku pulang Jum’at pagi, a. Ada yang harus dikerjain.. jemputnya Jum’at aja,
yah?” pesan terkirim. Beberapa detik kemudian ponsel Karin berbunyi, ternyata kakaknya langsung meneleponnya. Karin segera mengangkat panggilan itu dan mengucap salam, Hilmi langsung menjawab. “Ada apa, a?”
“Beneran ga bisa pulang Kamis? Bapak yang minta kamu pulang, Rin”
“Bapak? Bapak udah pulang?” Karin kaget, ternyata Bapak sudah pulang dan
bapak sendiri yang memintanya segera pulang ke rumah, Karin pikir Hilmi
sedang berbaik hati sehingga menawarkan diri untuk menjemput, ternyata ada alasan lain.
“Iya, katanya ada sesuatu yang penting yang mau disampein ke kamu, usahain
kamu pulang. Nanti Kamis aa ke kosan jam 4, pastiin kamu udah siap berangkat” Karin terdiam, dengan hati-hati ia bertanya, “Aa.. ada apa, sih?”
“Aa belum tahu pasti, kamu siap-siap aja.”
15
“…”
15 menit sebelum jam menunjukkan tepat pukul 06.00 pagi, Karin akhirnya
menyelesaikan tugas UTS-nya. Ia panik karena belum bersiap-siap untuk berangkat ke Kampus, buku-buku dan kertas berisi catatan yang berantakan di kamarnya terpaksa ia injak. Ia bergegas meraih handuk yang menggantung di balik pintu dan pergi ke kamar mandi. Ia bertekad tidak akan ada bolos kuliah di semester ini.
Sementara itu ia terlupa dengan telepon kakaknya.
Lingkar hitam terlihat jelas di sekitar mata Karin, jam pertama kuliah ia sama
sekali kehilangan fokusnya. Pikirannya melanglang buana menuju rumahnya di
kampung, teringat telepon dari kakaknya tadi pagi yang menyebut-nyebut nama bapak. Karin merasa was-was untuk pulang, tak biasanya bapak memintanya
datang mendesak seperti ini. Ia berharap bapak tidak meminta hal-hal yang aneh kepadanya.
“Karin! Sssttt...!” dengan setengah berbisik seseorang memanggil Karin. Ia
segera tersadar dari lamunannya lalu mencari arah sumber suara, ternyata itu
16
Alfian. Alfian nampak menengadahkan telapak tangannya meminta sesuatu.
Karin langsung mengerti, Alfian meminta kumpulan tugas teman-teman satu kelompoknya untuk ia print. Karin mengestafetkan flashdisk-nya untuk diserahkan kepada Alfian, setelah sampai di tangan Alfian, ia segera berbalik duduk ke posisi normal. Dingin.
“Ish.. piyaannn,” Karin merasa geram, ia sebenarnya berharap Alfian
mengucapkan kata terima kasih kepadanya, atau berbasa-basi apapun kepadanya atas tugasnya yang telah ia selesaikan. Namun nyatanya tidak ada sama sekali, sikapnya sangat aneh. Fyuh.
Karin melihat ponsel yang ia simpan di atas meja menyala, ada satu pesan
masuk.
Bismillah, Ngingetin aja, jangan lupa besok jam satu ngawas, ok? PJ-nya Komisi 5, Nanda sama Mahya, kamu tanya mereka aja dress code buat besok gimana. Semangat, ok!
SMS dari Jihan. Karin baru ingat ia harus menggantikan tugas Feby untuk
mengawas besok. Kepalanya mendadak terasa pening, ia merasa ada beban
berat yang terus menghimpitnya. Soal UTS dari 3 mata kuliah masih
menantinya untuk dikerjakan belum lagi permintaan Jihan agar ia
17
menggantikan Feby bertugas Kamis siang dan lagi permintaan bapak untuk segera pulang di sore harinya.
“Kamu dimana, Rin? Aa udah depan kosan."
“Karin masih di kampus, a. Ini lagi mau izin pulang duluan. Bentar, yaa...” “Ok, cepet.” KLIK.
Karin menghela napasnya panjang. Tak terasa hari Kamis begitu cepat
datang. Ia kini tengah bertugas menggantikan Feby untuk memantau
keberlangsungan kegiatan yang dilaksanakan BEM di Kampus sesuai
permintaan Jihan. Namun ternyata ia tidak bisa bertugas sampai acara benarbenar selesai dan mereka melakukan rapat evaluasi. Karin mohon izin pulang lebih awal pada Nanda dan Mahya karena kakaknya sudah datang menjemput.
Karin melangkah cepat menuju kosannya di ujung jalan Istiqamah 1, terlihat
kakaknya sedang duduk di atas motor yang di parkir tepat di depan kosannya. Karin menyapa kakaknya lalu memintanya untuk menunggu sebentar karena Karin akan mengambil barang-barang bawaannya terlebih dahulu di kamar.
“A, sebenernya ada apa?” akhirnya saking penasaran, Karin bertanya lagi
pada Hilmi. Namun sayangnya Hilmi pun tak mengetahui apa-apa.
“Aa juga ga tau, Rin.” Karin sedikit kecewa, tapi memang hanya ada sedikit
kemungkinan Bapak akan memberitahu kakaknya.
18
“Mm...”
“Ayo, pake helmnya, udah mendung nih.”
Keduanya lantas segera meninggalkan kosan dan bergegas pulang sebelum
hujan turun. Karin merapatkan jaketnya karena angin jalanan yang terasa
semakin dingin. Selain itu ia pun masih menerka-nerka apa yang akan
disampaikan Bapak. Namun setelah ia terus memikirkannya ia malah semakin tegang. Ia pun memutuskan untuk menghadapinya lebih santai. Toh dia hanya akan bertemu dan berbicara dengan ayahnya sendiri.
“Sekarang usia kamu berapa tahun, Rin?” itu pertanyaan pertama yang
Bapak ajukan kepada Karin setelah ia dan kakaknya sampai dan beristirahat
beberapa saat. Bapak mengawali dengan membicarakan usia, Karin mulai
penasaran kemana arah pembicaraan yang akan dibawa Bapak. Mungkin bapak akan menawarkan pekerjaan kepada Karin di tempat kawannya? Mungkin saja. “21 tahun, pak..”
“Mm, beberapa hari lalu ada seseorang pemuda yang datang ke bapak,
katanya mau melamar kamu.” Deg! Karin tersentak, ia tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Bapak. Ekspresi kagetnya sangat nampak di hadapan ayahnya itu.
“Yang bener, pak? Ada yang dateng?” Karin benar-benar tak percaya. Setelah
memutuskan untuk menjomblo sejak beberapa tahun lalu karena Bapak tak
19
suka Karin berpacaran, hari ini bapak justru menyampaikan berita seperti itu. Apa kali ini Bapak setuju, dan langsung menerima lamarannya?
“Iyaa.. katanya sebentar lagi dia bersama keluarganya mau dateng kesini
lagi.”
Sebentar lagi? “Dia siapa, pak? Malam ini? Emangnya Bapak udah setuju? Terus aku
gimana?” Karin menyerbu ayahnya dengan berbagai pertanyaan. Ia tak percaya Ayahnya akan menjodohkan Karin dengan seseorang yang belum ia ketahui siapa.
“Tenang, Rin. Kali ini Bapak tidak akan memutuskannya sendiri, kamu bebas
mau menerima ataupun menolak pemuda itu,”
Bapaaaaaakkkkk... yang benar saja? Karin mulai panik, bagaimana mungkin
ia sampai hati menolak lamaran seorang pemuda yang datang bersama
keluarganya. Rasanya ia ingin pura-pura pergi ke warung saja lalu berlari sejauh mungkin.
“Dia siapa, pak? Karin kenal?” Karin mulai pasrah, tak tahu saat ini harus
merasa senang atau seperti apa? Namun tiba-tiba,
“Assalamu’alaikum...” terdengar ucapan salam dari luar, suara laki-laki.
“Nah, sepertinya mereka sudah datang,” ujar Bapak kemudian. Karin loncat
dari tempat duduknya dan berlari menuju kamar. Ia sungguh-sungguh belum siap dengan apa yang akan terjadi sekarang. Ia sangat bingung, namun Ibunya datang dan mencoba memberi pengertian dan menenangkan Karin. Ibu berkata,
Karin harus mempercayai Ayahnya, apapun yang Ayah putuskan untuk Karin, ia
20
harus ingat bahwa itu adalah keputusan dari Ayahnya sendiri. Ayah pasti ingin memberikan yang terbaik untuk Karin.
Ibu lalu mengajak Karin kembali ke ruang tengah dan menyambut tamu yang
datang. Karin melihat Bapak bersalaman dengan seorang pemuda, pemuda itu
memakai kemeja berwarna biru langit dan celana panjang berwarna hitam. Karin mencoba melihat siapa pemuda itu? Namun pemuda itu lantas mencium
tangan Bapak, kepalanya menunduk wajahnya tidak bisa terlihat. Setelah itu, Bapak yang berdiri membelakangi Karin memeluk pemuda itu, wajahnya bisa ia lihat dengan jelas, “Alfian.....”
21
Tentang Penulis
H
ania Afanin merupakan nama pena dari Rofi Urrohmah Sutrisman. Penulis yang lahir di
Bandung tanggal 11 Januari 1995 ini merupakan
anak ke-3 dari 4 bersaudara. Penulis juga merupakan alumni MA PERSIS 31 Banjaran tahun 2013.
Saat ini penulis aktif kuliah di Universitas Pendidikan
Indonesia jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Meski
berkuliah dibidang keguruan, menjadi seorang penulis merupakan salah satu cita-citanya.
22