AKTUALISASI DIRI DALAM MENGKOMUNIKASIKAN MEANING OF SUFFERING PADA IBU DENGAN ANAK PENYANDANG AUTIS Hersinta & Veronika Soepomo1 Abstract When parents with autistic children face conflicts and stresses caused by the diagnosis, they pass through the stress cycle, which leads to self-actualization and how they achieve the meaning of suffering. This literature review focused on analyzing how two mothers of autistic children faced stresses and conflicts, therefore passed through the “meaning of suffering” process and how they created self-actualization and communicated the meaning of suffering. From analyzing case studies, theories and concepts about the communication process, self-development, meaning of life and self-actualization, it was found that parents with autistic children could cope with stresses and conflicts, which finally lead to how they could delvelop their potential and create self-actualization. Keywords: Self-actualization, meaning of suffering, self-development, communication process, parenting with autistic child Abstrak Ketika orang tua dengan anak autis menghadapi konflik dan tekanan yang disebabkan oleh diagnosis, mereka akan melewati siklus stres, yang mengarah ke aktualisasi diri dan bagaimana mereka mencapai arti penderitaan. Kajian literatur ini difokuskan pada analisis bagaimana dua ibu dari anak-anak autis menghadapi stres dan konflik, karena itu melewati proses “makna penderitaan” dan bagaimana mereka menciptakan aktualisasi diri dan mengkomunikasikan arti penderitaan. Dari analisis kasus, teori dan konsep penelitian tentang proses komunikasi, pengembangan diri, makna hidup dan aktualisasi diri, ditemukan bahwa orang tua dengan anak-anak autis bisa mengatasi stres dan konflik, yang akhirnya mengarah pada bagaimana mereka dapat menyelidiki potensi mereka dan menciptakan aktualisasi diri. Kata kunci: Aktualisasi, makna penderitaan, pengembangan diri, proses komunikasi, pengasuhan anak autis
1
Mass Communication Dept. STIKOM – The London School of Public Relations, Jakarta Corresponding Author: STIKOM-LSPR Campus B, Sudirman Park Jl K.H. Mas Mansyur Kav. 35, Jakarta Pusat 10220 Email:
[email protected]
2 | Communicare Journal of Communication Studies Vol. V No. 1, January – June 2012 Latar Belakang Manusia menurut kodratnya adalah makhluk sosial, karena itu manusia membutuhkan komunikasi untuk berhubungan dan berinteraksi dengan manusia lainnnya. Kebutuhan untuk berkomunikasi dan berinteraksi ini bisa diwujudkan dalam bentuk mencari pasangan hidup guna menghasilkan keturunan. Ruben dan Stewart mengatakan bahwa salah satu fungsi dasar komunikasi dalam kehidupan manusia adalah mencari pasangan untuk menjalin ikatan perkawinan (courtship and mating) dan bereproduksi, kemudian dilanjutkan dengan hubungan antara orangtua dengan anak serta proses sosialisasi yang terjadi dalam kehidupan keluarga (2006: 60). Ketika manusia memasuki tahap perkawinan, salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh setiap pasangan adalah mencapai kebahagiaan. Banyak di antara pasangan yang percaya bahwa sesudah menikah, hidup akan menjadi semakin bahagia dan istimewa. Terlebih lagi ketika pasangan suami-istri dikaruniai anak yang menjadi dambaan mereka. Kehadiran anak-anak ini akan menyemarakkan suasana keluarga dan akan membuat pasangan tersebut merasa lengkap atas tujuan perkawinan mereka. Kehadiran anak juga membuat suamiistri memiliki keterikatan dan tanggung jawab untuk membesarkan, merawat dan mencintainya. Ketika anak ini lahir, kebahagian pasangan semakin bertambah. Namun, jalan menuju kebahagiaan tak selamanya berjalan lancar dan mulus. Banyak tantangan dan persoalan yang terkadang menghambat jalannya rumah-tangga untuk menuju kebahagiaan. Hambatan dan tantangan tersebut di antaranya adalah ketika pasangan suami-istri dikaruniai anak yang memerlukan perhatian dan perlakuan khusus. Kondisi anak yang memerlukan perlakuan khusus saat ini banyak ditemukan, mulai dari mereka yang memiliki keterbatasan
fisik seperti tuna rungu, tuna netra, cerebral palsy; dan keterbatasan mental-intelektual seperti tuna grahita; maupun kebutuhan khusus yang juga ditandai dengan keterbatasan psikis (diantaranya gangguan sosial-emosional) seperti autisme. Khusus untuk kategori terakhir, saat ini jumlah anak yang didiagnosa autisme meningkat pesat sepuluh tahun belakangan ini. Pada tahun 1989 hanya ada 2 pasien autistik yang tercatat di Poliklinik Jiwa Anak RSCM Jakarta. Tapi sebelas tahun berikutnya (tahun 2000) meningkat menjadi 103 kasus penderita autistik (Nuryanto, 2006). Di Amerika Serikat sendiri, saat ini perbandingan antara anak normal dan autis adalah 1:150, di Inggris 1:100. Menurut Ketua Yayasan Autisme Indonesia, dr Melly Budhiman SpKJ, Indonesia belum punya data yang jelas mengenai anak autis, karena belum pernah ada survei mengenai hal itu. Tapi gejala autisme sebenarnya sudah muncul di Indonesia sekitar tahun 1990. “Gejala Autisme ini muncul pada siapa saja, tidak peduli ras, pendidikan maupun golongan ekonomi-sosial” (Messwati, 2008) Mengasuh dan merawat anak penderita autis bukan merupakan hal yang mudah. Anak autis umumnya memiliki masalah yang kompleks dalam perkembangan anak. Menurut ciri-ciri dalam petunjuk mengenai gangguan perkembangan mental yang dipublikasikan oleh American Psychiatric Association, yang dikenal dengan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition), para penyandang autis memiliki keterbatasan pada 3 (tiga) area, yaitu (1) interaksi sosial timbal balik, (2) komunikasi verbal dan nonverbal, serta (3) pola perilaku, minat serta kegiatan yang terbatas (Bolte, Westerwald, Holtmann, Freitag & Poustka, 2010). Karena itu, anak autis tampak seperti seorang yang tidak bisa dikendalikan. Selain tidak mampu bersosialisasi, penderita tidak dapat mengendalikan emosinya. Kadang tertawa terbahak dan kadang marah tak terkendali. Bahkan anak autis biasanya tidak mampu
Hersinta & Veronika, Aktualisasi Diri dalam Mengkomunikasikan Meaning of Suffering pada... | 3
mengendalikan dirinya sendiri dan memiliki gerakan-gerakan aneh yang selalu diulangulang. Gejala autis umumnya terdeteksi setelah anak menginjak usia antara dua-tiga tahun karena perkembangannya tampak tidak sesuai dengan anak seusianya. Dan ketika orangtua mencari rujukan ke ahli (dokter anak, psikiater, pedagog, psikolog anak) untuk memeriksakan keterlambatan anaknya, banyak yang keluar dengan diagnosa autis. Bagi orang tua yang menerima diagnosa anaknya sebagai penderita autis, umumnya akan merasa sedih, kesal, kecewa, dan marah. Segala emosi negatif akan keluar. Hal ini wajar karena merupakan ungkapan emosi seseorang, namun hal ini tidak harus membuat mereka terpuruk berlama-lama. Para orangtua yang memiliki anak autis harus bangkit untuk mencari solusi bagi anak yang dititipkan Tuhan pada mereka. Sebagai orangtua, mereka harus mulai sadar bahwa anak autis juga bisa hidup mandiri, dapat berkarya dan berprestasi serta dapat diterima di masyarakat. Kunci utama dalam menghadapi masalah yang tidak kecil ini adalah dengan berusaha sabar, tabah, kuat dan berpikir positif, serta jangan sampai lupa berpasrah pada Sang Pencipta. Ketika faktor tersebut dimiliki orangtua, mereka akan lebih mampu mendampingi dan mendukung ke arah perbaikan perkembangan anaknya, sampai si anak dapat menunjukkan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Saat orangtua menghadapi masalah seperti itu, seringkali timbul pertanyaan dan rasa sesal dalam diri mereka, mengapa mereka yang harus mengalami kehidupan seperti itu. Meskipun pada akhirnya mereka sadar bahwa di balik kehadiran anak penderita autis ada hikmah yang terkuak dalam kehidupan yang mereka jalani. Proses pemaknaan diri termasuk memaknai penderitaan (meaning of suffering) membuat para orang tua menjadi pribadi yang matang, merasa lebih kuat, lebih tegar dan lebih bijaksana, tidak putus asa, dan tidak
egosentris. dalam menerima kenyataan hidup yang mereka alami. Dalam kondisi seperti ini, para orang tua tanpa menyadari bisa mengembangkan kekuatan dirinya sebagai pendidik yang terbaik bagi anak penderita autis. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk aktualisasi diri pada orangtua, khususnya ibu yang memiliki anak penyandang autis. Penulis ingin melihat bagaimana cara para ibu mengkomunikasikan makna penderitaan menjadi makna yang berguna bagi masyarakat luas. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses “meaning of suffering” yang dialami oleh para ibu dari anak penyandang autism. Juga untuk menganalisis bentuk perwujudan aktualisasi diri para ibu dari anak penyandang autisme tersebut dalam mengkomunikasikan “meaning of suffering”. Analisis yang dilakukan dibatasi hanya berdasarkan kajian literatur berupa buku, jurnal, dan artikel pada berbagai media massa, serta wawancara terhadap dua orang narasumber. Seperti yang dilakukan oleh Adriana Ginanjar, ia berusaha menggali dan mempelajari lebih dalam mengenai autisme, ia dan beberapa teman-temannya tergerak untuk mendirikan sekolah khusus bagi anak-anak autis, Mandiga. Sementara Jenny McCarthy, yang awalnya lebih dikenal sebagai artis dan model di AS, Jenny dapat mengatasi keterpurukan dalam dirinya dan membagi kisahnya ke banyak orang dengan aktif tampil di berbagai acara talk show, membuat buku-buku mengenai perjuangannya menjadi orangtua anak berkebutuhan khusus, serta mendirikan organisasi untuk membantu anak-anak yang didiagnosa autis, Generation Rescue. Interpretasi Dalam Proses Komunikasi Komunikasi ialah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara sender (pengirim) dan receiver (penerima). Menurut Ruben (2005), proses komunikasi juga melalui tahap reacting-acting-interacting.
4 | Communicare Journal of Communication Studies Vol. V No. 1, January – June 2012 Melalui penerimaan dan pengiriman pesan, manusia merasakan, membuat pemahaman serta bertindak terhadap objek, manusia lainnya serta masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Saat kita memproses pesan, baik itu secara visual, auditori, maupun dari indra lainnya seperti perabaan, pengecapan dan bau-bauan, manusia akan bereaksi (reacting) terhadap lingkungan sekitarnya (Ruben, 2005). Manusia dalam berkomunikasi tidak hanya menyeleksi, menginterpretasi dan mengingat pesan, tapi juga menggunakan informasi sebagai dasar petunjuk bagi mereka untuk berperilaku. Menurut Ruben (2005), ada beberapa tahapan dalam proses interpretasi pesan, yaitu: (1). Describe; menggambarkan asal-muasal, karakteristik,dan tampilan pesan yang ditangkap, baik dalam bentuk objek, situasi atau orang tertentu; (2) Classification; manusia membandingkan observasi yang baru diperolehnya dengan pengalaman sebelumnya yang sudah ada di dalam otaknya, untuk melihat apakah informasi tersebut sesuai atau tidak; (3) Evaluation; manusia mengidentifikasikan berbagai kemungkinan hubungan antara diri mereka dengan objek-objek lain, situasi, atau individu lain di lingkungan sekitar kita (4) Acting; berupa tindakan verbal maupun non-verbal. Setelah acting, manusia akan mengumpulkan informasi sebagai umpan balik untuk memonitor dan menganalisis dampak dari tindakannya. Dalam menghadapi konflik dan masalah, keempat tahap penginterpretasian dalam proses komunikasi juga dilewati oleh tiap individu. Untuk itu, kasus yang diangkat dalam penelitian ini akan dialisis bagaimana ibu dengan anak autis menginterpretasikan masalahnya melalui tahap-tahap proses komunikasi tersebut, sehingga dapat menghasilkan suatu tindakan (acting).
“menjadi seseorang”. Dalam memaknai dirinya itu manusia menjalani kehidupannya melalui proses yang dinamis. Manusia mengembangkan, memodifikasi dan menyempurnakan identitas personal dirinya, yang kita sebut sebagai konsep diri (Ruben, 2005). Dalam kondisi demikian, komunikasi berperan dalam mengembangkan konsep diri setiap individu mulai sejak manusia lahir hingga dewasa. Pengalaman hidup serta lingkungan fisiknya turut membentuk konsep diri seseorang. Secara akumulatif, pengalaman-pengalaman yang dilaluinya itu membawa pengaruh bagi dirinya. Dan salah satu bagian penting dalam proses pengembangan diri adalah rasa percaya diri (self-esteem). Kepercayaan diri ini mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Sebagai contoh, Gudykunst mengatakan bahwa individu dengan percaya diri tinggi cenderung lebih fleksibel dalam menghadapi situasi (Ruben, 2005). Mereka lebih mampu beradaptasi dalam situasi yang sulit, karena mereka lebih santai dan menerima apa adanya. Perkembangan Hidup Manusia Rentang kehidupan menurut Papalia, Diane E, et. al. menyusun sebagai berikut: • Tahap I: Masa Bayi masih dalam kandungan ibunya, Masa infancy • Tahap II: Masa Todlerhood ( bayi dibawah tiga tahun atau batita) usia 0 - 3 tahun
• Tahap III: Masa Early Childhood - masa kanak-kanak awal, usia 3 - 6 tahun • Tahap IV: Masa Middle Childhood/ Pre Adolescence – masa kanak-kanak pertengahan atau masa Pra-remaja , usia 6 - 11 tahun • Tahap V: Masa Adolescence – masa remaja, usia 11 - 20 tahun • Tahap VI:Masa Young Adulthood – masa dewasa awal, usia 20 - 40 tahun • Tahap VII:Masa Middle Adulthood – masa Self-development dewasa tengah/madya, usia 40 - 65 tahun Menurut Gordon Allport, setiap individu • Tahap VIII:Masa Late Adulthood – masa akan berusaha memaknai dirinya untuk dewasa akhir, usia lebih dari 65 tahun
Hersinta & Veronika, Aktualisasi Diri dalam Mengkomunikasikan Meaning of Suffering pada... | 5
Penelitian ini berfokus pada tahap perkembangan individu yang ke VII, karena para subyek penelitian usianya berkisar pada usia 40 - 65 tahun, mengacu pada usia dewasa Tengah atau Madya. Fase ini juga disebut fase generatifitas versus stagnasi. Dalam fase ini, seseorang bertanggung jawab terhadap generasi berikutnya. Ayah dan ibu bertanggung jawab akan generasi muda. Sebaliknya generasi yang tua dalam hubungan timbal balik dengan generasi muda memperoleh pengalaman yang berguna bagi pengembangan dirinya sendiri. Fase Dewasa Madya ini, kemungkinan yang satu merupakan generativitas, kemungkinan yang lain adalah stagnasi atau sikap terpaku dan berhenti disebabkan oleh sifat yang egosentris. Mereka yang berhasil dalam proses psikososial dalam fase ketujuh ini menurut Erikson akan betul-betul menjalani kehidupan yang bermakna bagi dirinya maupun orang lain. Hidup Manusia dan Aktualisasi Diri Maslow mengembangkan gagasan yang dikenal dengan sebutan hierarki kebutuhan, yang terdiri dari kebutuhan akan: (1) Fisiologis; mencakup kebutuhan fisik seperti kebutuhan akan makanan, pakaian, istirahat, dan berhubungan seks; (2) Rasa aman; kebutuhan untuk menemukan situasi dan kondisi yang aman, stabil, dan terlindung; (3) Cinta dan rindu; di mana manusia mulai merasa butuh teman, kekasih, anak, dan bentuk hubungan berdasarkan perasaan lainnya; (4) Harga diri; kebutuhan terhadap status, kemuliaan, kehormatan, perhatian, reputasi, apresiasi, bahkan dominasi; dan (5) Aktualisasi diri. Dilihat secara keseluruhan, perkembangan kebutuhan-kebutuhan tadi seakan-akan bertahap. Ketika lahir, kebutuhan manusia yang paling penting adalah kebutuhan fisiologis. Setelah itu, manusia mulai menyadari memerlukan rasa aman. Selanjutnya akan membutuhkan perhatian dan afeksi dari orang lain, dan
akhirnya akan mencari harga diri. Sebaliknya, ketika kondisi tidak menguntungkan atau ketika usaha-usaha untuk survive terancam, manusia dapat “mundur” ke level kebutuhan yang lebih rendah. Kebutuhan di tingkat terakhir, aktualiasi diri, agak berbeda dengan empat tingkat sebelumnya. Maslow menyebut tingkat ini dengan istilah berbeda: motivasi pertumbuhan (sebagai lawan dari motivasi defisit), kebutuhan untuk ada (being-needs) atau B-Needs Kebutuhan ini mencakup hasrat untuk terus mewujudkan potensi diri, keinginan untuk “menjadi apa yang Anda bisa”. Kebutuhan ini lebih merupakan persoalan menjadi yang sempurna, menjadi “Anda” yang sebenarnya. Oleh karena itulah kebutuhan ini disebut aktualisasi-diri. Aktualisasi diri adalah sebuah keadaan dimana seorang manusia telah merasa menjadi dirinya sendiri, mengerjakan sesuatu yang disukainya dengan gembira, dengan hati ikhlas. Ia tidak lagi menempatkan keberhasilan dari pekerjaannya pada ukuran yang biasanya berlaku, yakni penghasilan yang diperoleh dari hasil sebuah kerja. Ukurannya menjadi berubah sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang dianut dan difahami oleh dirinya. Dalam teori Kebutuhan Maslow, konsep aktualisasi diri didefinisikan sebagai keinginan untuk mewujudkan kemampuan diri atau “keinginan untuk menjadi apapun yang seseorang mampu untuk mencapainya.” Menurut konsep Hirarki Kebutuhan Individu Maslow (Schultz, 1991), manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhan universal dan dibawa sejak lahir. Kebutuhan ini tersusun dalam tingkatan dari yang terendah sampai tertinggi. Kebutuhan paling rendah dan paling kuat harus dipuaskan terlebih dahulu sebelum muncul kebutuhan tingkat selanjutnya. Kebutuhan paling tinggi dalam hirarki kebutuhan individu Abraham Maslow adalah aktualisasi diri.
6 | Communicare Journal of Communication Studies Vol. V No. 1, January – June 2012 Makna Hidup Para orang tua penderita autis melakukan aktivitas yang bermakna, misalnya: Makna hidup adalah hal-hal yang mengikuti kegiatan keagamaan, dianggap sangat penting dan berharga serta membantu orang bermasalah, memberikan nilai khusus bagi seseorang, mendampingi anaknya untuk mengikuti sehingga layak dijadikan tujuan hidup. Bila kegiatan, memelihara tanaman dan hal itu berhasil dipenuhi akan menyebabkan binatang piaraan dll. Kegiatan seperti ini seseorang merasakan kehidupan yang memberi kepuasan tersendiri bagi para berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan orang tua yang berarti bagi anaknya, perasaan bahagia (Bastaman, 1996). dirinya, dan lingkungan. Makna hidup menurut Frankl (1970), harus dilihat sebagai suatu yang sangat 2. Makna Penderitaan Penderitaan memberikan suatu makna subyektif karena berkaitan dengan hubungan jika seseorang menghadapi situasi traindividu dengan pengalamannya, meskipun gis yang tidak dapat dihindari. Bilamana makna hidup itu sendiri sebenarnya suatu suatu keadaan tidak bisa diubah dan inyang sangat obyektif, artinya benar-benar dividu tidak lagi memiliki peluang untuk ada dan dialami dalam kehidupan. Lebih merealisasi nilai-nilai kreatif, maka saatlanjut Frankl menyatakan, ada tiga makna nya untuk merealisasi nilai-nilai bersikap. dalam hidup ini, yaitu: Nilai-nilai sikap teraktualisasi ketika indi1. Makna Kerja vidu dihadapkan pada suatu yang sudah Aktualisasi nilai-nilai kreatif yang bisa menjadi takdir. Dalam menghadapi mamemberikan makna kepada kehidupan salah ini, individu bersikap menerima kesindividu dalam hubungannya dengan ulitan-kesulitan hidupnya, dan di sanalah masyarakat dan karenanya memperoleh teraktualisasi potensi-potensi nilai yang makna dan nilai. Makna dan nilai ini tidak terkira banyaknya. berhubungan dengan kegiatan seseorang Ketika keluarga terutama ibu yang sebagai kontribusinya terhadap anaknya didiagnosa memiliki kebutuhan masyarakat dan bukan semata-mata khusus, maka penderitaan seperti itu jenis kegiatannya yang sesungguhnya dialami oleh para ibu dengan perilaku yang dinilai. sabar, ta’wakal, berpasrah diri pada Sang Individu/Ibu (middle adult,40 s/d 60 thn) Proses Komunikasi
Self Development
Kebutuhan Hidup -Fisiologis -Rasa aman -Cinta -Harga Diri -Aktualisasi Diri
Stress: -Engineering approach -Medico psychological -Psychological
Meaning of Life -Meaning of work -Meaning of suffering -Meaning of love
Diagram 1 Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian Sumber: Hasil Olahan Literatur
Hersinta & Veronika, Aktualisasi Diri dalam Mengkomunikasikan Meaning of Suffering pada... | 7
Pencipta, serta berusaha untuk mencari solusi masalah. 3. Makna Cinta Cinta berarti mengalami hidup bersama orang lain dalam segala keunikan dan keistimewaannya. Dalam cinta terjadi penerimaan penuh akan nilai-nilai, tanpa kontribusi maupun usaha dari yang dicintai. Cinta membuat individu menerima segala keunikan dan keistimewaan orang yang dicintainya. Cinta memungkinkan individu untuk melihat inti spiritual orang lain, nilai-nilai potensial dan hakekat yang dimilikinya serta menghayati dunia orang lain sehingga dapat memperluas dunia kita sendiri. Bahkan ketika pengalaman kita dalam bercinta berubah menjadi kisah yang menyedihkan, maka kita diperkaya dengan makna yang lebih mendalam akan arti hidup.
buku serta artikel terkait dari media cetak (majalah) maupun elektronik (internet). Selain itu juga dilakukan wawancara mendalam dengan dua orang ibu yang memiliki anak penyandang autisme, yaitu Adriana Ginanjar dan Jenny McCarthy. Kedua wanita ini dipilih karena mereka dinilai telah berhasil mewujudkan kebutuhan akan aktualisasi diri dalam proses memaknai penderitaan atau masalah yang dihadapi. Adriana Ginanjar berusaha menggali dan mempelajari lebih dalam mengenai autisme. Ia dan beberapa teman-temannya tergerak untuk mendirikan sekolah khusus bagi anakanak autis, Mandiga. Sementara Jenny McCarthy, yang awalnya lebih dikenal sebagai artis dan model di AS, dapat mengatasi keterpurukan dalam dirinya dan membagi kisahnya ke banyak orang dengan aktif tampil di berbagai acara talk show, membuat bukubuku mengenai perjuangannya menjadi Metodologi Penelitian orangtua anak berkebutuhan khusus, serta Penelitian ini berbentuk kajian literatur, mendirikan organisasi bernama Generation yang bertujuan untuk mengkaji permasalahan Rescue yang bertujuan untuk membantu yang akan diteliti, yaitu bagaimana proses anak-anak yang didiagnosa autis. aktualisasi diri yang terjadi pada diri ibuibu dari anak penyandang autistik, sehingga Analisa dan Diskusi mereka dapat mengkomunikasikan makna Pada pengalaman Adriana Ginanjar penderitaan (meaning of suffering) yang telah terjadi proses komunikasi yang dialaminya. Melalui kajian literatur, peneliti melibatkan tahap reacting-acting-interacting, dapat menyatakan bahwa permasalahan ketika ia menghadapi fakta bahwa putranya yang ingin diteliti memiliki signifikansi yang mengalami masalah dalam tumbuh cukup jelas, baik dari segi subyek yang akan kembangnya. Saat mengamati bahwa diteliti dan lingkungannya, maupun dari Azka, putranya yang ketika itu berusia sisi relevansi penelitian tersebut dengan balita, tampak hiperaktif, enggan dipeluk penelitian sebelumnya. serta mengalami keterlambatan bicara, Kajian literatur untuk penelitian ini ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak secara sistematik bisa dibagi ke dalam kajian biasa. Melalui proses penerimaan pesan, tentang konteks penelitian, konsep dan baik secara visual, auditori maupun indra teori yang terkait serta hasil-hasil penelitian lainnya, Adriana membangun pemahaman terdahulu (Creswell, 1994). Termasuk bahwa putranya mengalami perkembangan identifikasi penemuan-penemuan yang sama, yang berbeda dengan anak-anak lainnya, penemuan-penemuan yang bertentangan, dan mendorongnya melakukan tindakan dan hal-hal yang belum ditemukan. Sumber (acting) berupa pencarian informasi, melalui informasi yang menjadi rujukan untuk kajian literatur dan interaksi dengan orang lain. literatur ini, selain berasal dari penelitian Dalam pencarian informasi tersebut, Adriana sebelumnya, juga diperoleh dari buku- bertemu dan berinteraksi (tahap interacting)
8 | Communicare Journal of Communication Studies Vol. V No. 1, January – June 2012 dengan beberapa orang yang memiliki dan mendalami masalah serupa, seperti Dyah Puspita (kakak kelasnya di jurusan Psikologi Universitas Indonesia (UI) yang memiliki putra dengan autis juga) serta Dr Melly Budiman yang mendalami masalah anakanak autis. Manusia dalam hidupnya tidak hanya menyeleksi dan menginterpretasikan pesan, namun juga menggunakan informasi yang diperolehnya sebagai dasar untuk berperilaku (Ruben, 2005). Dalam kasus ini, Adriana mengalami empat tahap penginterpretasian pesan dalam proses komunikasi, tahap pertama adalah describe, yaitu menangkap pesan dan situasi yang tampak pada Azka. Adriana mengamati bahwa perkembangan Azka berbeda dari anak seusianya. Di usia empat tahun, Azka mengalami banyak gangguan, seperti sulit dipeluk dan dipegang, sangat hiperaktif serta bicaranya sangat terlambat. Apa yang dilihatnya membuat Adriana membandingkan dengan pengetahuan dan informasi yang dimilikinya. Sebagai psikolog, sedikit banyak ia memiliki pengetahuan mengenai perkembangan anak, walaupun diakuinya, untuk informasi tentang autisme, saat itu ia belum tahu banyak. Tahap ini disebut dengan classification, di mana individu membandingkan kesesuaian observasi yang dilihatnya dengan informasi yang dimiliki sebelumnya. Ketika Adriana menyimpulkan dari observasinya bahwa ada sesuatu yang berbeda pada anaknya, maka ia mulai mencari informasi dan membawa Azka ke psikiater untuk didiagnosa lebih lanjut. Awalnya, ia tidak mengira bahwa putranya menyandang autisme, karena dari hasil diskusinya dengan para seniornya di Fakultas Psikologi UI, mereka berpendapat bahwa Azka hanya kurang stimulasi dan harus diterapi. Namun setelah melihat perkembangannya yang semakin berbeda dengan anak seusianya, seperti kontak dengan orang lain yang terbatas, Adriana mencari informasi lain, termasuk bergabung dengan para orangtua
yang memiliki masalah sama. Di sini ia sudah masuk ke tahap evaluation, di mana individu mengidentifikasikan berbagai kemungkinan hubungan antara diri mereka dengan lingkungan maupun individu lainnya, untuk menentukan langkah berikutnya, yaitu tahap acting, berupa tindakan berdasarkan informasi dari ketiga tahap sebelumnya. Dalam tahap keempat, ketika Adriana telah mengumpulkan informasi serta mendalami pemahaman mengenai autisme, sikap dan tindakannya pada putranya berubah. Yang semula ia mengira bahwa putranya tidak mau jika diperintahkan melakukan sesuatu, kini ia paham bahwa anak autis mengalami masalah dalam komunikasi, termasuk memahami perintah. Atau saat putranya meminta sesuatu, tapi ia tidak mengerti apa yang diminta. Dengan berbekal informasi dan pengetahuan yang diperolehnya, Adriana mencoba lebih memahami kondisi Azka dan mengubah sikapnya, termasuk cara berkomunikasinya pada putranya. Awalnya ia berbicara keras pada Azka, namun ini tidak berhasil, karena putranya akan semakin mengamuk. Adriana juga mengubah harapannya pada Azka, saat puteranya itu berusia 5 tahun dan kemampuannya masih tertinggal dibanding anak sebayanya. Akhirnya ia tidak mau menuntut pencapaian yang bagi putranya mungkin akan terasa sulit. Hal yang dianggap terpenting adalah, Azka dapat mandiri dan merasa bahagia. Tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami Adriana Ginanjar, Jenny McCarthy menghadapi keterkejutan serta perasaan depresi dan kemarahan ketika menghadapi kenyataan bahwa putranya, Evan, didiagnosa autisme. Sebelum memperoleh diagnosa dari dokter serta psikiater dan psikolog, Evan terlebih dulu mengalami serangan kejang beberapa kali yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit. Setelah mengalami serangan kejang berulang saat usia putranya berumur 2,5 tahun, Jenny baru menyadari ada sesuatu yang berbeda pada diri putranya.
Hersinta & Veronika, Aktualisasi Diri dalam Mengkomunikasikan Meaning of Suffering pada... | 9
Awalnya, Jenny tidak merasa ada ciriciri berbeda dari perilaku putranya. Selama ini, kadang-kadang Evan memperlihatkan perilaku yang aneh, seperti berputar-putar dan mengepakkan tangannya. Namun sebagai orang awam, Jenny menganggap hal tersebut merupakan perilaku biasa yang sering dilakukan anak-anak balita. Begitu pula kebiasaan putranya sebelum tidur yang tampak tidak peduli jika Jenny meninggalkannya sendirian. Ia yang tadinya bangga karena mengira Evan sudah berani untuk tidur sendirian di usia yang masih sangat belia, berubah menjadi cemas ketika menyadari putranya tersebut sering menatap kosong ke atas langit-langit kamarnya selama berjam-jam sebelum tidur. Berbeda dengan Adriana, tahap reacting baru dialami Jenny setelah Evan mengalami kejang berulang. Ia tidak memiliki informasi maupun pemahaman lebih dalam tentang perkembangan anak, sehingga setelah putranya dirawat, Jenny baru mengamati bahwa ada gejala yang tidak biasa dalam diri putranya. Bahkan, ketika Evan harus menjalani serangkaian pengobatan untuk mengatasi kejang yang dialaminya, perilaku dan sikap yang ditampilkannya semakin aneh. Jenny mengamati bahwa Evan semakin hidup dalam dunianya sendiri, menatap kosong ke arah tembok atau langit-langit, tidak peduli dengan kehadiran orang lain di sekitarnya. Melalui pesan yang dilihatnya secara visual dan auditori, serta taktil, bagaimana putranya tidak bereaksi terhadap sentuhan dan pelukan. Jenny memahami bahwa putranya menunjukkan ciri tumbuh kembang yang tidak umum, sehingga mendorongnya mengambil tindakan (tahap acting) mencari informasi melalui internet untuk mengetahui apa yang terjadi pada Evan. Jenny juga menempuh tahap interacting dengan berkomunikasi pada ahli medis, seorang dokter spesialis syaraf terkenal. Dari dokter tersebut, Jenny memperoleh kejelasan atas apa yang dialami anaknya, bahwa Evan menampakkan ciri-ciri
yang umumnya dimiliki oleh anak autis. Dapat disimpulkan, bahwa ketika menghadapi konflik tersebut, Jenny melewati 4 tahap proses penginterpretasian pesan, mulai dari tahap describe saat ia menangkap gejala yang tidak umum pada anaknya, lalu tahap classification ketika ia memperoleh dan memilah informasi yang didapatnya dan membandingkannya dengan apa yang telah diketahuinya, bahwa sebelumnya ia tidak pernah melihat dengan jelas keanehan perilaku yang ditampakkan putranya. Tahap ketiga adalah evaluation, di mana Jenny telah mendapat diagnosa dari dokter atas apa yang dialami Evan, dan ia lalu mempertimbangkan apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya. Selain rasa shock dan kesedihan yang dialaminya ketika tahu putranya menyandang autisme, Jenny segera melakukan tindakan yang merupakan tahap keempat (tahap acting) dengan mengikuti berbagai tes, program-program terapi seperti terapi perilaku dan sensori, serta program diet CFGF (Casein Free Gluten Free). Self-development Dalam hidupnya manusia melalui proses pengembangan diri mulai dari kecil hingga dewasa. Di saat dewasa, berbagai pengalaman hidup dan lingkungan komunikasi dan fisik membentuk konsep dirinya. Begitu juga dengan siklus penyesuaian stres, di mana individu menghadapi ancaman dan tantangan yang akan memberi kontribusi terhadap pengembangan dirinya. Pada kasus ini, masalah dan konflik yang dialami Adriana berkaitan dengan kondisi yang dihadapi putranya, sempat membuat ia stres dan shock. Diakuinya, pada tahun pertama saat ia mengetahui putranya menyandang autisme, ia banyak merasakan luapan emosi yang tinggi, seperti sering marah, menangis, bahkan menderita sakit maag karena kecemasan yang besar. Menurut Ruben (2005), masalah penyakit maupun yang berkaitan dengan kondisi fisik merupakan peringkat ke-10 penyebab stres
10 | Communicare Journal of Communication Studies Vol. V No. 1, January – June 2012 pada individu. Namun stres dapat menjadi kekuatan yang sangat positif, karena dapat membuka kesempatan untuk pertumbuhan dan perubahan sosial serta personal. Misalnya, ketika Adriana belum banyak mengetahui informasi tentang cara menangani autisme, ia dan rekan-rekannya yang memiliki masalah dan perhatian pada autisme, memutuskan untuk mencari informasi lebih banyak, kemudian melakukan sharing- berdiskusi dan berbagi pengetahuan sesama mereka, hingga mencari alat-alat peraga dan memberi pelatihan pada para terapis. Bahkan, Adriana bersama beberapa rekannya mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak autisme, Mandiga (Mandiri dan Bahagia). Berangkat dari keprihatinan sulitnya untuk mencari sekolah khusus bagi anak-anak autis, serta menyadari kemungkinan putranya akan sulit jika dipaksa untuk menempuh pendidikan di sekolah umum, akhirnya ia bersama rekan-rekannya mendirikan Mandiga sebagai laboratorium, dengan harapan jika modul yang diterapkan berhasil, dapat menjadi contoh untuk sekolah lainnya yang serupa. Dari kondisi awal yang sempat mengalami stres dan konflik karena menghadapi masalah autisme yang dialami putranya, akhirnya Adriana mampu beradaptasi dengan siklus stres dan menjalani proses “menjadi” (becoming). Walaupun awalnya sempat mengalami shock, merasakan kondisi emosional yang tinggi berupa kemarahan, kesedihan serta kecemasan, pada akhirnya ia berhasil mengatasinya, dan menjadikan masalah tersebut untuk melakukan perubahan secara personal, yaitu menerima dan memahami kondisi putranya, serta melakukan tindakan sosial dengan mendirikan sekolah anak berkebutuhan khusus. Dalam kasus Jenny, konflik yang dialaminya berkaitan dengan diagnosa autis putranya, juga membuat ia stres dan sedih. Hal ini berlangsung cukup lama, meski Jenny segera bangkit dan mencari informasi dan penanganan yang menurutnya terbaik
bagi putranya. Ia pun harus mengalami perceraian, yang salah satunya disebabkan oleh konflik karena perbedaan pandangan dalam menangani autisme putranya. Beberapa bulan setelah Jenny melalui siklus penyesuaian terhadap stres yang dialaminya, ia sempat mengalami sesak nafas dan panik yang berkepanjangan. Dari hasil konsultasi dengan psikiater, ternyata penyebabnya dipicu oleh rasa bersalah dari dalam dirinya karena putranya didiagnosa menyandang autisme. Selama ini, Jenny tidak dapat sepenuhnya melepaskan emosi dan kemarahan dalam dirinya. Fokus utamanya adalah bagaimana ia harus melakukan tindakan yang terbaik untuk mengatasi kondisi autisme putranya. Ia mengakui bahwa, “I hadn’t allowed myself to grieve, I need to focus on getting Evan’s better.” Jenny memperoleh kekuatan baru ketika bertemu dengan ibu-ibu dari anak penyandang autis lainnya, saat membawa putranya untuk terapi. Pertemuannya dengan sesama rekan artis Hollywood, Holly Robinson Peete, yang juga memiliki putra yang didiagnosa autis, memiliki makna tersendiri baginya. Para ibu ini saling berbagi cerita dan dukungan. Lingkungan masyarakat memang selayaknya berusaha membangun ‘investasi’ dengan membekali orangtua anak berkebutuhan khusus dengan pemahaman dan rujukan serta panduan praktis, karena kualitas masa depan dari anak-anak autis ini sangat tergantung dari tingkat motivasi serta pemahaman orangtuanya mengenai selukbeluk autisme (Clerq & Peeters, 2007). Dan berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain yang memiliki masalah serupa, membawa kekuatan yang positif bagi diri Jenny untuk bangkit. Apalagi, ia melihat bahwa peran ibu memang lebih besar dalam menangani anak. Jenny juga melihat mantan suaminya tidak memiliki pemikiran sejalan dengan dirinya dalam mengusahakan proses penyembuhan putra mereka. Menurut Ruben (2005), salah satu ba-
Hersinta & Veronika, Aktualisasi Diri dalam Mengkomunikasikan Meaning of Suffering pada... | 11
gian yang penting dalam proses pengembangan diri adalah rasa percaya diri (selfesteem). Dalam kasus Jenny McCarthy, profesinya sebagai artis dan public figure membantunya memiliki percaya diri yang tinggi serta mempunyai sikap positif terhadap dirinya. Kepercayaan diri ini mempengaruhi perilaku komunikasi manusia, dan menjadikan mereka cenderung lebih fleksibel dalam menghadapi situasi (Gudykunst dalam Ruben, 2005). Jenny akhirnya menerima kondisinya sebagai ibu dari putra autistik dan menganggap bahwa ia “ditunjuk” karena memiliki kemampuan untuk menjangkau jutaan ibu-ibu lainnya yang memiliki masalah serupa. Ia percaya bahwa dirinya dapat berbagi pengalaman dan informasi kepada orangtua lainnya. Hal ini yang diwujudkannya dengan mengkomunikasikan pengalaman yang dimilikinya dalam membesarkan putranya lewat beberapa buku yang menjadi best seller, seperti Louder Than Words: A Mother’s Journey in Healing Autism, Healing and Preventing Autism: A Complete Guide yang ditulisnya bersama dokter Jerry Kartzinel, serta Mother Warriors: A Nation of Parents Healing Autism Against All Odds, sebuah buku berisi kumpulan kisah para orangtua dari anak-anak penyandang autisme. Jenny juga aktif tampil dalam berbagai acara talk show televisi populer di AS, seperti Oprah, Good Morning America dan The View untuk mengkomunikasikan dan membagi pengalamannya dalam menghadapi putranya. Ia juga mendirikan organisasi non-profit Generation Rescue,untuk edukasi orangtua serta mengumpulkan donasi bagi penelitian yang berhubungan dengan autisme. Dalam salah satu wawancaranya, Jenny mengakui bahwa apa yang awalnya dianggap sebagai penderitaan, kini menjadi kekuatan positif yang mendorongnya untuk berbagi dengan masyarakat. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Ruben (2005), bahwa stres dapat menjadi kekuatan yang sangat positif, artinya dapat membuka kesempatan untuk pertumbuhan dan
perubahan sosial serta personal. Stres Menurut Cox & McKay (dalam Cooper & Payne, 1991), pengertian stress dapat dilihat berdasarkan tiga pendekatan, yaitu: 1. Engineering approach atau the stimulusbased, yaitu stress dilihat sebagai stimulus yang merupakan ciri khas dari lingkungan individu atau dapat juga dilihat sebagai elemen yang membahayakan bagi individu yang berasal dari lingkungan. Dalam kasus ini, kondisi fisik anak mereka tidak sama dengan anak lainnya, menjadi buah bibir oleh orang-orang sekitarnya akan perilaku anaknya, memerlukan perhatian ekstra waktu sehingga mengurangi perhatian terhadap pekerjaannya maupun tugas sosialnya, serta membutuhkan biaya tidak sedikit untuk terapi anak tersebut. 2. Medico-psychological atau the responsebased, dimana stres dilihat sebagai respon yang umum atau non-spesifik terhadap stimulus yang dianggap membahayakan. Stres sebagai respon ada dua komponen yaitu psikologis dan fisologis. Dalam kasus ini kedua tokoh dalam merespon secara psikologis : kecewa, sedih, marah, malu, menolak atas diagnosa autis bagi anaknya oleh beberapa ahli. Sedang respon fisiologis : jantung melemah, tekanan darah meningkat, menurunnya berat badan, pusing munculnya kembali penyakit yang lama diderita, semuanya itu dikarenakan adanya diagnose untuk anaknya. 3. Psychological approach atau interactional and appraisal theories, dimana stress dilihat sebagai transaksi antara individu dengan lingkungannya. Para tokoh merasa marah terhadap lingkungan, kecewa terhadap nasib yang dideritanya, menyesali atau mendekatkan diri kepada Tuhan menghadapi anak yang didiagnosa autis.
12 | Communicare Journal of Communication Studies Vol. V No. 1, January – June 2012 Sementara stres sebagai Stimulus, ekonominya. Selain suaminya bekerja ia Respon, dan Proses menurut Baum, Coyne, pun menunjang ekonomi keluarga dalam Holroyd dan Hobfoll dapat dilihat dalam armemenuhi kebutuhan keluarga. Ia juga tian Stimulus: yaitu ketika kondisi dua tokoh merasa aman dan terlindungi oleh suami tersebut menerima diagnosa anaknya mendan anggota keluarga lainnya (sanak yandang autisme, mengalami stres yang diskeluarganya yang mendukungnya). ebut stressor (Sarafino, 1990). Selanjutnya, Sedang Jenny dalam kebutuhan ini, respon; merupakan suatu reaksi individu meskipun ia sebagai single-parent, yang muncul karena adanya situasi tertentu bekerja dan menjadi artis, ia merasakan yang menimbulkan stres. Respon yang munaman dan terlindungi di antara temancul dapat secara fisiologis, seperti jantung teman sekerjanya. berdebar, gemetar dan pusing atau secara 3. Kebutuhan akan cinta. Ketika kebutuhan psikologis seperti cemas, takut, malu, marah, fisiologis dan rasa aman sudah terpenuhi, sulit berkonsentrasi dan mudah tersinggung. kebutuhan ketiga pun muncul. Kedua Terakhir adalah proses; digambarkan sebagai tokoh mulai merasa butuh teman, kekasih, suatu kegiatan di mana individu secara akanak, dan bentuk hubungan berdasarkan tif dapat mengurangi dampak stres melalui perasaan lainnya. Kebutuhan ini strategi : memahami, mencari tahu, mengaditunjukkan Adriana sangat dekat dengan nalisa atas diagnose autism (kognitif), menanggota keluarganya terutama cinta dari erima, mengurangi kesedihan, berserah diri orang tua, suami dan anak-anaknya. pada Tuhan (afektif) dan mendatangi dokter Sedang Jenny merasakan support dari untuk mencari informasi, sharing dengan teteman-teman dekatnya yang satu profesi man (konatif). yang memberikan perhatian. Ketika salah satu rekan artis Hollywood Jenny, Holly Proses Aktualisasi Diri dari Kebutuhan Robinson Peete, yang juga memiliki putra Hidup Manusia yang didiagnosa autis, berbagi cerita dengannya. Para ibu ini saling berbagi Konsep aktualisasi diri didefinisikan cerita dan dukungan. Pada akhirnya, sebagai keinginan untuk mewujudkan Jenny tersadar akan kondisi putranya, kemampuan diri atau “keinginan untuk dan bagaimana ia harus mengambil menjadi apapun yang seseorang mampu tindakan dan keputusan untuk mengatasi untuk mencapainya” (Maslow dalam Schultz, kondisi putranya tersebut. 1991). Manusia didorong oleh kebutuhan4. Kebutuhan akan harga diri. Setelah kebutuhan universal dan dibawa sejak lahir. ketiga kebutuhan di atas terpenuhi maka Kebutuhan hidup pada kedua tokoh ini, sesuai kebutuhan selanjutnya adalah harga diri. teori hirarki kebutuhan manusia, adalah: Maslow mengatakan bahwa ada dua 1. Kebutuhan akan fisiologis. Ini mencakup: bentuk kebutuhan terhadap harga diri, sandang, pangan dan papan yang telah yakni bentuk yang lemah dan yang kuat. dimiliki ke dua tokoh tersebut. Bentuk yang lemah adalah kebutuhan 2. Kebutuhan akan rasa aman. Kalau kita untuk dihargai orang lain, kebutuhan kebutuhan fisiologis sudah diperhatikan, terhadap status, kemuliaan, kehormatan, barulah lapisan kebutuhan kedua ini perhatian, reputasi, apresiasi, bahkan muncul. Hal ini mencakup keinginan dominasi. Sementara yang kuat adalah menemukan situasi dan kondisi yang kebutuhan kita untuk percaya diri, aman, stabil, dan terlindung. Adriana kompetensi, kesuksesan, independensi menemukan rasa aman dalam keluarga dan kebebasan. Bentuk kedua ini lebih dan dalam pendampingan suaminya, kuat karena sekali didapat kita tidak ia juga stabil dalam kehidupan mudah melepaskannya, berbeda dengan
Hersinta & Veronika, Aktualisasi Diri dalam Mengkomunikasikan Meaning of Suffering pada... | 13
kebutuhan kita akan penghargaan orang lain. Adriana sebagai dosen, ia dihargai oleh mahasiswanya, namun harga diri yang paling kuat pada diri Adriana adalah ia percaya diri dan tidak malu mengungkapkan anaknya menderita Autisme. Ia memiliki kompentensi untuk memberikan sharing pada orang lain dan tetap tegar terhadap situasi tersebut, membuat Adriana sebagai ibu, istri dan dosen sukses dan tidak merasakan tekanan dari manapun. Menurut Schultz, Schmidt & Stichter (2011), pendidikan orangtua dari anak-anak berkebutuhan khusus dapat meningkatkan pemahaman dan kemampuan orangtua untuk mengatur perilaku (Cordisco, Strain, & Depew, 1988), serta mengajarkan kemampuan berkomunikasi (CharlopChristy & Carpenter, 2000), serta kemampuan sosial si anak (Solomon, Necheles, Ferch, & Bruckman, 2007). Pendidikan yang baik dan wawasan yang luas membuat orangtua dapat menyikapi gangguan perkembangan si anak dengan baik, mengasah kemampuan pengasuhan yang mereka miliki, serta mengurangi tingkat stres yang dialami. Sedang Jenny, ia mendapat publikasi dan ketenarannya sebagai artis. Namun ketenaran dan penghargaan sebagai artis dan model tidak seberapa dibanding dengan kepercayaan dirinya untuk mengungkapkan masalah anaknya yang begitu tanpa beban dan mengundang simpati banyak kalangan ibu-ibu dan sesama artis. Ia berjuang sendiri mencapai sukses tanpa didampingi pasangan hidupnya dalam sharing atas masalah yang dihadapi. Kompetensi Jenny bisa dilihat ketika ia mencari simpati dengan menjual keartisannya untuk mempromosikan masalah autism kepada masyarakat luas, supaya lebih peduli. Jenny percaya bahwa ia “ditunjuk” karena memiliki kemampuan untuk menjangkau jutaan ibu-ibu lainnya yang memiliki masalah serupa.
5. Aktualisasi diri adalah sebuah keadaan dimana seorang manusia telah merasa menjadi dirinya sendiri, ia mengerjakan sesuatu yang disukainya dan ia mengerjakannya dengan gembira, dengan hati yang ikhlas. Dalam kasus ini, Adriana mendirikan sekolah Mandiga dengan kesadaran penuh untuk menolong banyak orang yang mengalami kecemasan sama dengan dirinya, yaitu anaknya menyandang autism. Ia dengan sukarela membantu tenaga muda untuk untuk direkrut sebagai pengajar di sekolah yang didirikan. Adriana dengan hati yang ikhlas dan gembira membuat buku dan sharing sebagai pembicara di acara seminar tentang penanganan anak autis. Sedang Jenny, Ia percaya bahwa dirinya dapat berbagi pengalaman dan informasi kepada orangtua lainnya, dan inilah yang diwujudkannya dengan membuat buku yang akhirnya menjadi best seller. Melalui bukunya, Jenny memperoleh banyak respon positif dari para orangtua yang anaknya mengalami kasus serupa. Mereka menyatakan terimakasihnya pada Jenny, menangis dan bercerita bahwa mereka banyak terinspirasi dan terbantu dengan pengalaman Jenny. Hal ini membuat Jeanny tetap bisa bertahan dan merasa telah melakukan hal yang benar. Saat ini, ia kerap tampil di acara-acara dan seminar untuk berbagi pengalamannya dalam proses pemulihan putranya, serta mendirikan sebuah organisasi untuk anak-anak berkebutuhan khusus, Generation Rescue. Dilihat secara keseluruhan, perkembangan kebutuhan-kebutuhan tadi seakan-akan bertahap. Ketika lahir, kebutuhan manusia yang paling penting adalah kebutuhan fisiologis. Setelah itu, manusia mulai menyadari memerlukan rasa aman. Selanjutnya akan membutuhkan perhatian dan afeksi dari orang lain, dan
14 | Communicare Journal of Communication Studies Vol. V No. 1, January – June 2012 akhirnya akan mencari harga diri. Ketika kegiatannya yaitu mengaktualkan kondisi tidak menguntungkan atau ketika potensinya untuk membuahkan suatu usaha-usaha untuk survive terancam, karya yang dinikmati banyak masyarakat, manusia dapat “mundur” ke level kebutuhan terutama ibu-ibu yang memiliki anak yang lebih rendah. Ketika karier seseorang yang memiliki kebutuhan khusus seperti jatuh mungkin orang tersebut akan beralih autism. mencari perhatian dan simpati orang lain. 2. Makna Penderitaan Sedang pencapaian terakhir dari kebutuhan Ketika anak pertama Adriana manusia adalah aktualisasi diri, yaitu memperoleh diagnosa autis pada tidak lagi diartikan bagaimana seseorang tahun 1997, informasi tentang autisme mengembangkan dirinya, melainkan masih amat minim. Setelah mendapat bagaimana ia tahu tentang kelebihannya dan pengalaman dan mendapat pengetahuan mampu mencapai apa yang diinginkan. dari hasil wawancara terhadap Donna William seorang Autis berusia 43 Makna Hidup tahun yang menulis 9 buku, termasuk otobiografinya di tahun 2006, membuat Berdasarkan penjelasan dalam Adriana berubah pikiran, yaitu: Anak kerangka teoretis di atas, maka yang dapat autis ingin diterima sebagai individu membawa manusia kepada makna hidupnya, yang unik dengan segala kekurangan yaitu: dan keunggulannya. Mereka ingin belajar 1. Makna Kerja tentang dunia luar tetapi juga berharap Dalam kasus Adriana, makna kerja dipahami dunianya oleh orang lain. dengan cara ia tetap sebagai dosen Mereka ingin dipandang sebagai individu dan ibu rumah tangga serta istri. Sejak yang punya potensi positif dan mampu pertemuan dengan Donna, Adriana mencapai prestasi. The presumption of lebih banyak berempati dengan Azka intellect. Apa yang diungkapkan oleh anaknya yang menyandang autis. Selain Donna membuat Adriana sadar bahwa itu, Adriana bersama teman-temannya selama ini orang tua paling tahu apa yang mendirikan sekolah Mandiga. Sekolah terbaik bagi anaknya. Orang tua sering yang mungil dengan murid-murid yang mengabaikan keinginan dan perasaan unik, dan memberikan begitu banyak anak demi mencapai target kemajuan pengalaman berharga untuk lebih yang sudah ditentukan. Sejak pertemuan memahami autisme. Sedangkan Jenny dengan Donna, Adriana lebih banyak selain masih berperan sebagai artis dan berempati dengan Azka anaknya yang model, juga masih sempat meluangkan menyandang autis. waktunya untuk menulis buku tentang Bagi kasus Jenny, setelah mengalami pemahaman anak-anak autism yang proses dan pergulatan yang berat agar cukup terkenal dan menjadi inspirasi putranya, Evan, memperoleh diagnosa bagi ibu-ibu yang mengalami hal serupa. yang tepat setelah sempat dirawat di Jenny McCarthy akhirnya merasa telah rumah sakit akibat serangan kejang yang menemukan sesuatu dalam hidupnya cukup parah di usia dua tahun, hingga yang sangat berarti. akhirnya dinyatakan menyandang Makna dan nilai ini berhubungan dengan autism. Pada akhirnya, Jenny tersadar kegiatan kedua tokoh ini dalam memberi akan kondisi putranya, dan bagaimana kontribusi terhadap masyarakat. Dalam ia harus mengambil tindakan dan hal ini bukan jenis kegiatan mereka yang keputusan untuk mengobati kondisi sesungguhnya yang dinilai, melainkan putranya tersebut. Sementara ia berpacu pada sikap kedua tokoh tersebut terhadap
Hersinta & Veronika, Aktualisasi Diri dalam Mengkomunikasikan Meaning of Suffering pada... | 15
dengan upaya terapi dan program lainnya bagi Evan, Jenny juga menemukan kedamaian dengan mencoba mencari jawaban lewat doa dan meditasi. Ia kerap bertanya, mengapa ia dan putranya diberi cobaan seperti ini, mengapa mereka harus menempuh jalur “khusus” yang digariskan padanya dan putranya. Dan Jenny percaya bahwa jawabannya adalah karena ia mampu. Jenny percaya bahwa ia “ditunjuk” karena memiliki kemampuan untuk menjangkau jutaan ibu-ibu lainnya yang memiliki masalah serupa. Nilainilai sikap teraktualisasi ketika individu dihadapkan pada suatu yang sudah menjadi takdirnya. Dalam menghadapi masalah ini, individu bersikap menerima kesulitan-kesulitan hidupnya, dan di sanalah teraktualisasi potensi-potensi nilai yang tidak terkira banyaknya. 3. Makna Cinta Dalam kasus kedua tokoh ini, makna cinta pada diri Adriana adalah perubahan yang terjadi pada diri Adriana sangat banyak. Sebagai pribadi tidak lagi tampil dengan wajah penuh kesedihan dan kerut merut kelelahan. Adriana menjadi lebih penyabar, lebih tahan banting menghadapi masalah, dan lebih bahagia. Setiap kemajuan yang berhasil diraih Azka, sekecil apapun, merupakan berkah yang luar biasa. Ternyata kehadiran seorang anak autis, yang selalu dipandang sebagai ketidaksempurnaan, bisa memberikan begitu banyak pelajaran berharga serta membuat hidupnya “sempurna”. Kalau Jenny terkait dengan makna cinta yaitu ketika ia menyadari bahwa Evan berpotensi untuk mempelajari kemampuan dan ketrampilan yang ia butuhkan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya, serta berperilaku “normal” dan bersekolah di sekolah umum, bahkan jika kesempatan untuk berhasil hanya sebesar 1% pun, Jenny bertekad untuk
memperjuangkannya. Ia menemukan amunisi yang dibutuhkannya ketika memperoleh informasi mengenai diet CFGF (bebas kasein dan bebas gluten), pengobatan anti jamur, serta beragam terapi perilaku. Jenny juga mencari informasi dan dukungan dari para dokter yang tergabung dalam kelompok DAN! (Defeat Autism Now!). Segi positif yang ada pada krisis psikososial ini adalah kepedulian kaum tua untuk mempertahankan pandangan mereka yang bijaksana itu dan meneruskannya kepada kaum muda sebagai bekal perkembangan hidup mereka yang sehat. Sedang segi negatifnya adalah sikap kaum tua yang rigid, yaitu sikap tidak mau menerima pandangan orang lain, khususnya pandangan kaum muda, kaku dalam berpikir dan bertindak. Sikap ini menghambat kemajuan yang ada dalam masyarakat yang telah berkembang. Hal ini artinya, kedua tokoh itu meskipun dalam keadaan menderita, mereka mampu menyikapi dengan bijaksana dan kemudian mampu menemukan jalan keluar dan memperoleh kreativitas untuk mengungkapkan cintanya dengan suatu karya yaitu membuat generesi penerusnya bisa melanjukan karya yaitu membuat pendidikan melalui sekolah dan melalui buku. Hal ini pun juga terkait kedua tokoh ini tidak terpaku dengan kesusahannya tetapi mencari jalan keluar dari penderitaan dengan melalui cintanya dengan karya yang bisa dinikmati masyarakat. Simpulan Dari paparan di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa kedua ibu yang menjadi obyek penelitian ini, mengalami beberapa tahapan, baik dari perspektif komunikasi maupun psikologi, sebelum mereka akhirnya dapat mengkomunikasikan makna penderitaan (meaning of suffering) dan mewujudkan aktualisasi diri, yang dapat diuraikan sebagai berikut.
16 | Communicare Journal of Communication Studies Vol. V No. 1, January – June 2012 Proses komunikasi yang dilalui oleh Adriana dan Jenny dalam menyikapi masalah yang mereka hadapi, meliputi tahap reacting-acting-interacting. Tiap individu melalui proses penerimaan pesan mengenai diagnosa dan kondisi anak mereka, membangun pemahaman bahwa putra mereka mengalami perkembangan yang berbeda dengan anak-anak lain. Hal ini mendorong mereka melakukan tindakan (acting) berupa pencarian informasi, melalui literatur dan interaksi dengan orang lain, yang dianggap ahli dan berpengalaman. Pada kasus ini, masalah dan konflik yang dialami Adriana dan Jenny berkaitan dengan kondisi autistik putra mereka, membuat mereka menderita stres dan shock. Namun dari dua kasus ini, stres dapat menjadi kekuatan yang sangat positif. Karena pada akhirnya mereka dapat melalui siklus penyesuaian stress dan memberi kontribusi terhadap pengembangan diri secara personal maupun untuk aktivitas social. Stres yang dialami kedua ibu tersebut bisa mendatangkan kemampuan mereka untuk mengaktualisasikan potensinya dengan menghasilkan karya yang dapat dinikmati masyarakat. Penderitaan memberikan makna jika individu dapat menghadapinya dengan sikap tepat terhadap situasi tragis yang tidak dapat dihindari. Dalam memaknai penderitaan, meskipun kedua ibu itu dalam keadaan menderita, mereka mampu menyikapi dengan bijaksana dan kemudian mampu menemukan jalan keluar. Saran Kajian meaning of suffering dalam mengkomunikasikan aktualisasi diri bisa dijadikan acuan lebih lanjut untuk penelitian dengan bidang yang sama, meski tidak menggunakan nara sumber yang memiliki nama besar di masyarakat, artinya kita bisa membandingkan dengan nara sumber yang hidupnya sederhana, yaitu ibu rumah tangga dengan kemampuan untuk
mengkomunikasikan meaning of suffering, agar alur penemuan makna hidup dalam usia dewasa tengah (Middle Adulthood) lebih jelas. Bagi ibu atau siapa saja yang membaca kajian ini, dapat menarik manfaat bagaimana cara menyikapi kesusahan yang tidak bisa dihindari, yakni mencari informasi tentang autisme, menjalani hidup dengan penuh hikmat, berserah diri pada Yang Kuasa, berusaha untuk berpikir dan berbuat positif sehingga bermakna bagi dirinya maupun terhadap lingkungannya.
Hersinta & Veronika, Aktualisasi Diri dalam Mengkomunikasikan Meaning of Suffering pada... | 17
Referensi Atwater, E. (1983). Psychology of Adjustment: Personal Growth in a Changing World. (Second Ed.). New Jersey: Prentice Hall. Bastaman, H.D. (1996). Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis. Jakarta: Paramadina. Bolte, S., Westerwald, E., Holtmann, M., Freitag, C. & Poustka, F. (2010). Autistic Traits and Autism Spectrum Disorders: The Clinical Validity of Two Measures Presuming a Continuum of Social Communication Skills. Journal of Autism Developmental Disorder. 41:66–72. Cax, T. (1988). Psychobiological Factor In Stress and Health, In: Fisher, S., & Reason, J., Handbook Of Life Stress, Cognition and Health, New York: John Wiley & Sons. Clerq, H. & Peeters, T. (2007). A Partnership between Parents and Professionals, In: Pérez, J.M., González, P.M., Comí, M.L & Nieto, C., New Developments in Autism: The Future is Today, London: Jessica Kingsley Publishers. Coyne, J.C. & Downey, G. (1991). Social Factor and Psychopathology, Stress, Social Suport, and Coping Processes, Annual Review Of Psychology 42, 401-405. Creswell, J.C. (1994). Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches, California: Sage Publications. Frankl, V.E. (1977). Man’s Search for Meaning: an Introduction to Logotherapy, London: Hodder and Stoughton. Frankl, V.E. (1970). The Will to Meaning: Foundations and Application of Logotherapy, New York: New America Library. Frankl, V.E. (1968). The Meaning of Love, New York: New America Library. Ginanjar, A. (2008). Panduan Praktis Anak Autis: Menjadi Orangtua Istimewa, Jakarta: Dian Rakyat. Haditono, S.R. (1999). Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Lazarus, R.S. & Folkman, S. (1984). Coping and Adaptation; In: Gentry,W.,(Ed.), Hand Book of Behavioral Medicine, New York: The Guilford Press. McCarthy, J. (2009). Mother Warriors: A Nation of Parents Healing Autism Against All Odds. New York: Plume. McCarthy, J. (2007). Louder Than Words: A Mother’s Journey in Healing Autism, New York: Dulton. Messwati, E.D. & Evy, R. (2008). Boom! Autisme Terus Meningkat, Kompas, 8 Juni 2008. Neuman, L. (2003). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Methods, 5th ed. Boston: Allyn & Bacon. Nuryanto. (2006). “Anak Autis Perlu Diet”, Suara Merdeka, 4 Desember 2006. Ruben, B.D. & Stewart, L. (2005). Communication and Human Behavior, Boston: Allyn & Bacon, Santrock, J.W. (1995). Life Span Development – 5th edition, Dallas: University of Texas. Sarafino, E.P. (1990). Health Psychology, Biopsychosocial Interaction, New York: John Wiley & Sons.
18 | Communicare Journal of Communication Studies Vol. V No. 1, January – June 2012 Schultz, D. (1991). Psikologi Pertumbuhan, Model-model Kepribadian Sehat, Jakarta: Kanisius. Schultz, R. (1976). Effect Of Control and Predictability on The Physical and Psychological Well-Being of the Institutionalized Aged. Journal of Personality and Social Psychology, 33, 563-573. Schultz, T.R., Schmidt, C.T., & Stichter, J.P. (2011). A Review of Parent Education Programs for Parents of Children With Autism Spectrum Disorders. Focus on Autism and Other Developmental Disabilities 26(2) 96 –104.