AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN MUTU SENSORI FORMULASI MINUMAN FUNGSIONAL SAWO (Achras sapota L.) DAN KAYU MANIS (Cinnamomum burmannii)
FATHONAH NUR ANGGRAINI
PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/1435 H
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN MUTU SENSORI FORMULASI MINUMAN FUNGSIONAL SAWO (Achras sapota L.) DAN KAYU MANIS (Cinnamomum burmannii)
Oleh: FATHONAH NUR ANGGRAINI NIM 109096000023
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif HidayatullahJakarta
PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/1435 H
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN MUTU SENSORI FORMULASI MINUMAN FUNGSIONAL SAWO (Achras sapota L.) DAN KAYU MANIS (Cinnamomum burmannii)
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif HidayatullahJakarta
Oleh: Fathonah Nur Anggraini 109096000023
Menyetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Anna Muawanah, M.Si. NIP : 19740508 199903 2 002
Drs. Dede Sukandar, M. Si NIP. 19650104 199103 1 004
Mengetahui, Ketua Program Studi Kimia
Drs. Dede Sukandar, M. Si NIP. 19650104 199103 1 004
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi yang berjudul “Aktivitas Antioksidan dan Mutu Sensori Formulasi Minuman Fungsional Sawo (Achras sapota L.) dan Kayu Manis (Cinnamomum Burmannii) telah diuji dan dinyatakan lulus pada sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Jum’at, 21 Maret 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Kimia.
Menyetujui, Penguji I
Penguji II
Sandra Hermanto, M.Si. NIP : 19750810 200501 1 005
Nurhasni, M. Si NIP. 19740618 200501 2 005
Pembimbing I
Pembimbing II
Anna Muawanah, M.Si. NIP : 19740508 199903 2 002
Drs. Dede Sukandar, M. Si NIP. 19650104 199103 1 004
Mengetahui, Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Ketua Program Studi Kimia
Dr. Agus Salim, M.Si. NIP : 19720816 199903 1 003
Drs. Dede Sukandar, M. Si NIP. 19650104 199103 1 004
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN
Jakarta, Maret 2014
Fathonah Nur Anggraini 109096000023
ABSTRAK
FATHONAH NUR ANGGRAINI, Aktivitas Antioksidan dan Mutu Sensori Formulasi Minuman Fungsional Sawo (Achras sapota L) dan Kayu Manis (Cinnamomum burmannii). Di bawah bimbingan ANNA MUAWANAH dan DEDE SUKANDAR. Penelitian mengenai aktivitas antioksidan dan mutu sensori formulasi minuman fungsional sawo (Achras sapota L) dan kayu manis (Cinnamomum burmannii) telah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui formulasi minuman yang paling disukai berdasarkan uji organoleptik dan aktivitas antioksidannya serta kualitasnya berdasarkan standar mutu sari buah SNI 01-3719-1995. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu penentuan formulasi minuman fungsional, analisis antioksidan yang meliputi aktivitasnya (IC50), serta komponen antioksidan vitamin C dan total fenolik, dan terakhir analisis produk meliputi sifat fisik, sifat kimia, cemaran logam dan cemaran mikroba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula 561 merupakan produk yang paling disukai panelis berdasarkan uji organoleptik. Formulasi 561 menunjukkan aktivitas antioksidan (IC50) 54,1 μL/mL, yang berbeda nyata dengan aktivitas antioksidan (IC50) komponen penyusunnya sawo 72,04 μL/mL pada taraf signifikansi 5%. Kandungan total fenolik formulasi 561 yaitu sebesar 459,69 (mg/L) EAG, vitamin C 70,4 mg/100 mL, kadar air 88,32 % (b/b), pH 3,94, total padatan terlarut 10 %, total asam 7,68 %, dan kadar abu 0,48 % (b/b), logam Zn 0,95 mg/L, logam Cu 0,285 mg/L serta total mikroba kurang dari 1,0 × 101 koloni/mL. Formulasi 561 memiliki kualitas yang sesuai dengan standar SNI sari buah (SNI 01-3719-1995). Kata Kunci: Achras sapota L, Cinnamomum burmannii, minuman fungsional, aktivitas antioksidan, mutu sensori, SNI 01-3719-1995.
ABSTRACT
FATHONAH NUR ANGGRAINI, Antioxidant Activity and Sensory Quality In Sapota (Achras sapota L) and Cinnamon (Cinnamomum burmannii) Functional Drink Formulation. Advisor ANNA MUAWANAH dan DEDE SUKANDAR. The antioxidant activity and sensory quality in sapota (Achras sapota L) and cinnamon (Cinnamomum burmannii) functional drink formulation was studied. The objective of this study was to determine the most preffered formulation based on organoleptic, to determine antioxidant activity and quality of sapota-cinammon functional drink formulation based on SNI 01-3719-1995. The research consisted of three stages, which were determinating of sapota-cinammon drink formulation, analysis of antioxidant covering the activity (IC50) and the component of antioxidant were asorbic acid and phenolic total compounds, and lastly analysis of products covering the physical properties, chemical properties, metal contaminations and microbial contamination. The results showed that the 561 formula was the most preferred formulation by panelists based on the organoleptic test. In the formulation 561 indicates antioxidant activity (IC50) of 54,1 μL/mL which were significantly different to antioxidant activity (IC50) the constituent components sapota of 72,04 μL/mL on level of significance 5%. Phenolic total content the 561 formula of 459,69 (mg/L) EAG, asorbic acid content of 70,4 mg/100 ml, moisture 88,32 % (w/w), pH 3,94, TSS of 10%, acid total acidity of 7,68 %, level of ash 0,48 % (w/w), Zn level of 0,95 mg/L, Cu level of 0,285 mg/L, and total microbial was less than 1,0 × 101 colony/mL of product. The quality of 561 formulation heve met the standards of SNI (SNI 01-3719-1995). Keywords : Achras sapota L,Cinnamomum burmannii, functional drink, antioxidant activity, sensory quality, SNI 01-3719-1995.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan pada Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aktivitas Antioksidan dan Mutu Sensori Formulasi Minuman Fungsional Sawo (Achras sapota L.) dan Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)”yang disusun dalam rangka memenuhi mata kuliah tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia di Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu secara ikhlas dalam penyelesaian skiripsi ini, yakni kepada: 1. Ibu Anna Muawanah, M.Si., selaku pembimbing I yang telah dengan sabar membimbing dan memberikan saran kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini. 2. Bapak Drs. Dede Sukandar, M.Si., selaku pembimbing II dan juga selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan perhatian dan bimbingannya kepada penulis. 3. Dr. Agus Salim, M.Si., selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Dr.Thamzil Laz selaku penasihat akademik yang selalu memberikan nasihat, motivasi, dan inspirasi kepada penulis.
vii
5. Ayah, Bunda, dan juga Kakak yang tidak pernah mengenal lelah dalam memberikan perhatian dan dukungannya kepada penulis sampai sekarang. 6. Keluargaku di Solo Mbah Putri, Pakde, Om, Bulek, Sepupu yang senantiasa selalu mendoakan penulis dalam setiap kesulitan dan perjuangan. Semoga Allah SWTmembalas kebaikan kalian. 7. Ade, Diah, Lina, Ayya, Nur, Dita, Adaw, Puput, Chitta, Rafi, Hafiz serta teman-teman kimia 2009 yang sudah banyak partisipasinya, dalam membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. 8. Kak pipit selaku laboran kimia yang telah sabar membantu dan mendukung dalam proses penelitian. 9. Adik- adik kimia angkatan 2010 dan 2011 yang juga telah membantu dalam proses penelitian. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan pengetahuan bagi para pembacanya. Aamiin. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri, mudahmudahan semua bentuk perhatian, bantuan dan partisipasi yang sudah diberikan mendapatkan pahala yang setimpal dari-Nya. Jakarta, Januari 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Hal KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah .................................................................................... 3 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3 1.4. Hipotesis Penelitian .................................................................................... 4 1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sawo Manila ............................................................................................... 5 2.2. Kayu Manis............................................................................................... 11 2.3. Pangan Fungsional .................................................................................... 14 2.4. Minuman Sari Buah .................................................................................. 15 2.4.1. Komposisi Sari Buah ..................................................................... 19 2.5. Antioksidan ............................................................................................... 22 2.6. Analisis Sensori ........................................................................................ 28 2.7. Instrumentasi ............................................................................................ 30
ix
2.7.1. Spektrofotometri Serapan Atom.................................................... 30 2.7.2. Spektrofotometri UV-Vis .............................................................. 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian..................................................................
35
3.2. Alat dan Bahan ........................................................................................
35
3.3. Prosedur Penelitian ..................................................................................
36
3.3.1. Pembuatan Minuman Fungsional .................................................. 36 3.3.2. Analisis Sensori ............................................................................. 37 3.3.3. Analisis antioksidan ...................................................................... 38 3.3.4. Uji Sifat Fisik dan Kimia ............................................................. 39 3.3.5. Uji Cemaran Logam ...................................................................... 42 3.3.6. Uji Cemaran Mikroba.................................................................... 42 3.3.7. Analisis Data ................................................................................. 44 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Sensori......................................................................................... 45 4.2. Analisis Antioksidan ................................................................................. 57 4.3. Uji Sifat Fisik dan Kimia .......................................................................... 67 4.4. Uji Cemaran Logam .................................................................................. 70 4.5. Uji Cemaran Mikroba ..............................................................................
71
x
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ............................................................................................... 74 5.2. Saran .......................................................................................................... 75 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 76 LAMPIRAN .................................................................................................... 87
xi
DAFTAR GAMBAR
Hal Gambar 1. Sawo Manila (Achras Sapota L) .................................................... 5 Gambar 2. Struktur Beberapa Fenolat ............................................................. 9 Gambar 3. Kulit Dan Bubuk Kayu Manis ....................................................... 11 Gambar 4. Sukrosa .......................................................................................... 21 Gambar 5. Mekanisme Antioksidan Primer .................................................... 23 Gambar 6. Asam Askorbat .............................................................................. 24 Gambar 7. Mekanisme Reaksi Asam Askorbat dan Ion Superoksida Dan Hidrogen Peroksida........................................................................ 26 Gambar 8. Reduksi DPPH dari Senyawa Peredam Radikal Bebas ................. 27 Gambar 9. Skema Peralatan SSA .................................................................... 31 Gambar 10. Komponen Spektrofotometer UV-Vis ........................................... 33 Gambar 11. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Warna .................................. 46 Gambar 12. Formulasi Minuman Fungsional .................................................... 47 Gambar 13. Reaksi Antara dalam Pembentukan Melanin ................................. 49 Gambar 14. Reaksi Pembentukan Melanin dari O-Kuinon atau O-Difenol ...... 50 Gambar 15. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Aroma .................................. 51 Gambar 16. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Rasa Manis dan Asam ......... 54 Gambar 17. Skema Teori Kemanisan ................................................................ 55 Gambar 18. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Penerimaan Keseluruhan ..... 57 Gambar 19. Reaksi Pembentukan Kompleks Molibdenum-Tungsten Blue ...... 59
xii
Gambar 20. Kurva Korelasi Aktivitas Antioksidan dengan Kadar Fenolik Total Buah Sawo, Kayu Manis, dan Jeruk Nipis ........................... 62 Gambar 21. Mekanisme Kerja Antioksidan Golongan Fenol ........................... 64 Gambar 22. Mekanisme Kerja Vitamin C Sebagai Antioksidan ....................... 65 Gambar 23. Mekanisme Reaksi Asam Askorbat dan Ion Superoksida dan Hidrogen Peroksida........................................................................ 66
xiii
DAFTAR TABEL
Hal Tabel 1. Kandungan Sawo dalam 100 g Sawo Masak Segar ......................... 8 Tabel 2. Standar Mutu Minuman Sari Buah (SNI 01-3719-1995) ................... 16 Tabel 3. Formulasi Minuman Sari Buah Sawo ................................................. 37 Tabel 4. Hasil Pengujian Organoleptik Minuman Fungsional ......................... 45 Tabel 5. Kandungan Total Fenolik, Vitamin C, dan Antioksidan pada Sawo, Kayu Manis, dan Jeruk Nipis ............................................................. 58 Tabel 6. Kandungan Total Fenolik, Vitamin C, dan Antioksidan pada Minuman Fungsional 561 ................................................................... 63 Tabel 7. Sifat Kimia dan Fisik Minuman Fungsional Tersukai........................ 67 Tabel 8. Uji Cemaran Logam Minuman Tersukai ............................................ 70
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Hal Lampiran 1. Bagan Skema Penelitian ................................................................ 88 Lampiran 2. Bagan Proses Pembuatan Minuman Fungsional Sawo-Kayu Manis ....................................................................... 89 Lampiran 3. Formulir Uji Organoleptik ........................................................... 90 Lampiran 4. Skor Hedonik Panelis Terhadap Minuman Fungsional Sawo-Kayu Manis ....................................................................... 91 Lampiran 5. Hasil SPSS Warna ....................................................................... 96 Lampiran 6. Hasil SPSS Aroma....................................................................... 97 Lampiran 7. Hasil SPSS Rasa Manis ............................................................... 98 Lampiran 8. Hasil SPSS Rasa Asam ................................................................ 99 Lampiran 9. Hasil SPSS Penerimaan Keseluruhan .......................................... 100 Lampiran 10. Hasil Uji T-Student Aktivitas Antioksidan Perasan Sawo dan Minuman Formula 561 ........................................................ 101 Lampiran 11. Hasil Uji T-Student Kandungan Total Fenolik Perasan Sawo dan Minuman Formula 561 ......................................................... 102 Lampiran 12. Pengujian Aktivitas Antoksidan Sawo, Kayu Manis, dan Jeruk Nipis .................................................................................. 103 Lampiran 13. Perhitungan Minuman Fungsional 561 ....................................... 104 Lampiran 14. Hasil Analisis Total Fenol ......................................................... 105 Lampiran 15. Hasil Uji Logam.......................................................................... 106 Lampiran 16. Hasil Uji Cemaran Mikroba ........................................................ 107
xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Buah sawo (Achras sapota L.) selama ini dianggap sebagai buah asli
Indonesia karena sudah lama dikenal dan ditanam di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Buah sawo disukai karena memiliki rasa yang manis dan biasa dikonsumsi sebagai buah segar dalam keadaan matang (Rukmana, 1997). Namun, buah sawo sebagai produk hortikultura merupakan komoditas yang mudah rusak terutama setelah pemanenan. Kerusakan yang terjadi dapat berupa kerusakan fisik, mekanis, maupun mikrobiologis (Ratule, 1999), sehingga tidak dapat disimpan lama dan umumnya hanya dapat bertahan selama lima sampai tujuh hari jika disimpan pada kondisi normal (Aryati, 2006). Kondisi buah sawo yang demikian, maka diperlukan teknologi pengolahan sehingga buah sawo tidak hanya dikonsumsi dalam bentuk segar, melainkan dapat dimanfaatkan menjadi bahan olahan lain yang memiliki nilai tambah. Pengolahan ini merupakan salah satu cara untuk mempertahankan mutu produk dan memperpanjang masa simpan buah sawo (Aryati, 2006). Salah satu bentuk pengolahan yang dapat dijadikan sebagai alternatif yaitu diolah menjadi pangan fungsional berupa minuman fungsional sari buah. Pangan fungsional merupakan pangan yang mempunyai efek fisiologis bagi tubuh, seperti dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan kondisi umum dari tubuh, mengurangi resiko terhadap suatu penyakit, dan bahkan dapat
1
digunakan untuk menyembuhkan beberapa penyakit (Astawan, 2003; Siro et al., 2008). Efek fisiologis tersebut karena adanya komponen aktif yang terkandung didalam bahan pangan tersebut (Winarti et al., 2005). Komponen aktif yang terkandung didalam buah sawo dan bermanfaat bagi kesehatan yaitu vitamin C, fenolik, dan karotenoid yang diketehui memilik efek antioksidan (Kulkarni et al.,2006). Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas (Kumalaningsih, 2006). Radikal bebas yang berlebih dapat menyerang senyawa apa saja terutama yang rentan seperti lipid dan protein dan berimplikasi pada timbulnya berbagai penyakit degeneratif (Middleton, 2000). Pengolahan sawo selain untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang masa simpan, juga dapat menghasilkan minuman fungsional yang dapat dijadikan sebagai sumber gizi terutama sumber antioksidan. Selain itu, pembuatan minuman fungsional dapat juga dipadukan dengan bahan lain seperti kayu manis sebagai flavor dalam formulasi minuman. Kayu manis merupakan tanaman rempah yang telah lama dimanfaatkan sebagai pewangi atau peningkat cita rasa pada makanan atau minuman (Rismunandar et al.,2001). Komponen-komponen bioaktif dalam kayu manis, seperti sinamaldehid, asam sinamat, dan sineol diketahui memiliki aktivitas antioksidan yang bermanfaat bagi kesehatan (Jayapprakasha, 2003). Dengan demikian, perpaduan antara sawo dengan rempah-rempah dalam formulasi diharapkan akan menghasilkan suatu formulasi yang dapat diterima dari segi sensori dan juga dapat diperoleh aktivitas antioksidan yang lebih tinggi.
2
1.2.
Rumusan Masalah a. Apakah formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis berpengaruh terhadap tingkat kesukaan panelis berdasarkan pengujian organoleptik? b. Bagaimana aktivitas antioksidan formulasi minuman fungsional sawokayu manis yang tersukai? c. Apakah kualitas formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis tersukai telah memenuhi standar mutu sari buah sesuai SNI 01-37191995.
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu: a. Mendapatkan formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis yang paling disukai oleh panelis berdasarkan pengujian organoleptik. b. Mengetahui aktivitas antioksidan formulasi minuman fungsional sawokayu manis yang paling disukai. c. Mengetahui kualitas formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis tersukai sesuai standar mutu sari buah sesuai SNI 01-3719-1995.
3
1.4.
Hipotesis a.
Terdapat pengaruh formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis terhadap
tingkat
kesukaan
panelis
berdasarkan
pengujian
organoleptik. b.
Formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis yang tersukai memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi.
c.
Kualitas formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis telah memenuhi standar mutu sari buah sesuai SNI 01-3719-1995.
1.5.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat
kepada masyarakat mengenai pemanfaatan buah sawo sebagai bahan baku alternatif minuman fungsional yang memiliki aktivitas antioksidan, bermanfaat bagi kesehatan dan juga sebagai upaya dalam peningkatan mutu produk buah sawo.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sawo Manila (Achras sapota L) Sawo manila, Achras sapota L.yang biasa dikenal sebagai chikku
merupakan salah satu buah lezat daerah tropis yang merupakan keluarga dari Sapotaceae. Sawo disukai karena rasanya yang manis dan lezat. Sawo biasa dikonsumsi sebagai makanan pencuci mulut (Hiremath et al., 2012). Tanaman sawo diduga berasal dari daerah Amerika Tengah, terutama kawasan Guatemala. Namun, tanaman sawo selama ini dianggap sebagai tanaman asli Indonesia karena sudah lama dikenal dan ditanam di Indonesia terutama di Pulau Jawa (Rukmana,1997). Sawo diketahui merupakan salah satu tanaman buah utama di India, Meksiko, Guatemala, dan Venezuela (Kulkarni et al., 2006; Maya et al., 2003). Bentuk tanaman dan buah sawo dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Sawo Manila ( Candra, 2011) Di Indonesia, sawo merupakan tanaman buah-buahan yang berbuah tanpa musim. Tanaman sawo ini dapat tumbuh dan bereproduksi dengan baik mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 700 meter diatas permukaan laut. Tanaman sawo memiliki daya adaptasi yang cukup luas pada kondisi iklim tropis 5
(Rukmana, 1997). Buah sawo yang cukup tua memiliki ukuran buah yang maksimal, kulit buah berwarna coklat muda, daging buah agak lembek, bila dipetik mudah terlepas dari tangkainya, serta bergetah relatif sedikit (Aryati, 2006). Matangnya buah dapat diberi batasan sebagai perubahan berturut-turut warna buah, aroma, tekstur kearah kondisi buah yang siap untuk dikonsumsi (Kartasapoetra, 1989). Sawo tidak dapat disimpan lama dan umumnya buah hanya dapat bertahan selama lima sampai tujuh hari jika disimpan pada kondisi biasa (Aryati, 2006). Buah sawo umumnya dikonsumsi sebagai buah segar dalam keadaan matang atau biasa dinamakan buah meja (Rukmana, 1997). Sawo memiliki beberapa nama umum lainnya yang berbeda pada setiap negara, seperti sawo manila (Indonesia), baramasi (Bengal dan Bihar), buah chiku (Malaya, India), chicle (Meksiko), chico (Filipina), korob (Kosta Rika), Mespil (Virgin Islands), muy (Guatemala), muyozapot (El Salvador), neeseberry (British West Indies), nispero (Puerto Rico, Amerika Tengah), nispero quitense (Ekuador), sapotí (Brasil), sapotille (French West Indies), zapota (Venezuela)(Morton, 1987). Menurut Heyne (1987), tanaman sawo manila (gambar 1) memiliki taksonomi sebagai berikut. Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Ericales
Famili
: Sapotaceae
Genus
: Chrysophyllum
Spesies
: Achras sapota L
6
Menurut Rukmana (1997), sawo termasuk buah klima-terik yaitu buah yang proses fisiologisnya berlangsung terus walau sudah dipetik atau dipanen. Proses fisiologis yang dimaksud yaitu akan mengadakan perubahan dari tua (mature) setelah panen menjadi masak (ripening) dan akan berlanjut ke fase lewat matang (decaying) atau pembusukan juga disertai terbentuk aroma khas. Oleh karena itu, buah sawo sebagai produk hortikultura merupakan komoditas yang mudah rusak terutama setelah pemanenan. Kerusakan yang terjadi dapat berupa kerusakan fisik, mekanis, maupun mikrobiologis (Ratule, 1999), sehingga tidak dapat disimpan lama dan umumnya buah hanya dapat bertahan selama 5-7 hari jika disimpan pada kondisi biasa (Aryati, 2006). Kondisi buah sawo yang demikian, perlu diperkenalkan kepada petani khususnya dan masyarakat umumnya mengenai teknologi pengolahannya sehingga buah sawo tidak hanya dikonsumsi dalam bentuk segar, melainkan dapat dimanfaatkan menjadi bahan olahan lain yang memiliki nilai tambah besar. Selain itu, pengolahan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan mutu produk pertanian (Aryati, 2006). .Tanaman sawo, selain menghasilkan buah yang rasanya manis dan menyegarkan, juga mengandung gizi cukup tinggi dengan komposisi lengkap (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Pemprov Jabar, 2008; Aryati, 2006).
7
Tabel 1.Kandungan Sawo dalam 100 g Sawo Masak Segar oleh Direktorat Gizi Depkes (1981). No Kandungan Gizi Jumlah 1. Kalori 92.00 kal 2. Protein 0.50 g 3. Lemak 0.1 g 4. Karbohidrat 22.4 g 5. Kalsium 25.00 g 6. Fosfor 12.00 mg 7. Zat besi 1.00 mg 8. Vitamin A 60.00 SI 9. Vitamin B1 0.01 mg 10. Vitamin C 21.00 mg 11. Air 75.50 g 12. Bagian yang dapat dimakan 79.00 %
Buah sawo juga diketahui mengandung flavonoid, saponin, dan tanin (Sukandar et al., 2012). Selain itu, sawo diketahui merupakan sumber yang baik dari asam askorbat, karetenoid, dan fenolik yang dilaporkan memiliki banyak manfaat pada kesehatan (Kulkarni et al., 2006). Hasil penelitian Sukandar et al (2012) menunjukkan ekstrak etanol buah sawo memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi yaitu dengan IC50 sebesar 29,20 ppm, sedangkan Kulkarni et al (2006) menyebutkan dalam penelitiannya perasan sari sawo memiliki aktivitas antioksidan (IC50) sebesar 87,53 μL/mL. Buah sawo dilaporkan juga mengandung gula (Siddappa et al., 1954), asam (Shanmugavelu et al.,1973), protein, asam amino (Selvaraj et al.,1984), fenolat (gambar 2), yaitu, asam galat (1), asam chlorogenic (2), catechin (3), leucodelphinidin (4), leucocyanidin (5).dan leucopelargonidin (6) (Mathew et al.,1969), karotenoid, asam askorbat, dan mineral seperti kalium, kalsium dan zat besi (Selvaraj et al., 1984).
8
1 2
3
4
5
6
Gambar 2. Struktur Beberapa Fenolat Shanmugavelu et al (1973) menyebutkan buah sawo juga merupakan sumber yang baik dari gula yang dapat dicerna, yaitu berkisar antara 12 sampai 20 persen dan juga memiliki banyak kandungan mineral seperti zat besi dan kalsium. Buah juga memiliki jumlah yang cukup protein, lemak, kalsium, serat, fosfor, karoten, zat besi, dan vitamin C. Selain itu, sawo diketahui kaya akan bio-besi yang diperlukan dalam pembentukan hemoglobin (Gursharansingh, 2001).
9
Sumeru (1995) menyebutkan buah sawo adalah buah berdaging buah tebal dengan rasa manis yang memiliki kandungan gula sebesar 14%, sakarosa 7,02%, dektrosa 3,7%, levulosa 3,4%, dan mengandung sedikit asam serta abu 1%. Selain itu, sawo mengandung gizi cukup tinggi dengan komposisi lengkap, yaitu kalori 92,0 kkal, protein 0,5 gram, lemak 0,10 gram, karbohidrat 26,4 gram dan vitamin sekitar 60,00 SI (Rukmana, 1997). Buah sawo memiliki kandungan mineral cukup baik. Buah ini merupakan sumber kalium yang baik, yaitu 193 mg/100 g. Di lain pihak, sawo juga memiliki kadar natrium yang rendah, 12 mg/100g. Perbandingan kandungan kalium dan natrium yang mencapai 16:1 menjadikan sawo sangat baik untuk jantung dan pembuluh darah (Candra, 2010). Logam transisi, besi, tembaga, dan seng, juga merupakan nutrisi penting yang terkandung dalam sawo (Kulkarni et al., 2006). Kekurangan ion logam ini dilaporkan telah menjadi gangguan defisiensi gizi yang paling umum terjadi di dunia yang mempengaruhi sekitar dua milyar orang, sebagian besar mereka tinggal di negara berkembang (Lynch, 2005). Menurut Kulkarni et al (2006) dalam Kwong et al (2004), kekurangan zat besi memiliki dampak yang merusak yakni menurunnya imunitas sel dan menyebabkan perubahan perilaku dan kognitif. Kekurangan tembaga juga telah dikaitkan dengan gangguan metabolisme karbohidrat (Davis et al.,1987), sedangkan kekurangan seng menyebabkan kekurangan atau ketidak sempurnaan dari pertumbuhan, kematangan seksual, kekebalan, rasa dan nafsu makan (Apgar, 1992).
10
2.2.
Kayu Manis Menurut Heyne (1987), pohon kayu manis merupakan tumbuhan asli Asia
Selatan, Asia Tenggara dan daratan Cina, Indonesia termasuk didalamnya. Tumbuhan ini termasuk famili Lauraceae yang memiliki nilai ekonomi dan merupakan tanaman tahunan yang memerlukan waktu lama untuk diambil hasilnya. Hasil utama kayu manis (gambar 3) adalah kulit batang dan dahan, sedang hasil samping adalah ranting dan daun. Komoditas ini selain digunakan sebagai rempah, hasil olahannya seperti minyak atsiri dan oleoresin banyak dimanfaatkandalam industri-industri farmasi, kosmetik, makanan, minuman, rokok, dan lain-lain.
Gambar 3. Kulit dan Bubuk Kayu Manis (Rusli et al., 1988). Dari 54 spesies kayu manis (Cinnamomum sp.) yang dikenal di dunia, 12 di antaranya terdapat di Indonesia. Tiga jenis kayu manis yang menonjol di pasar dunia yaitu Cinnamomum burmannii (di Indonesia) yang produknya dikenal dengan nama cassiavera, Cinnamomum zeylanicum (di Sri Lanka dan Seycelles) dan Cinnamomum cassia (di China) yang produknya dikenal dengan Cassia China. Jenis-jenis tersebut merupakan beberapa tanaman rempah yang terkenal di pasar dunia. Tanaman kayu manis yang selama ini banyak dikembangkan di Indonesia adalah C. burmannii Bl, yang merupakan usaha perkebunan rakyat,
11
terutama diusahakan di Sumatera Barat, Jambi dan Sumatera Utara. Jenis Cburmanii BL atau cassiavera ini merupakan produk ekspor tradisional yang masih dikuasai Indonesia sebagai negara pengekspor utama di dunia.Tanaman kayu manis memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kerajaan
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Laurales
Suku
: Lauraceae
Marga
: Cinnamomum
Spesies
: Cinnamomum burmanii Bl
Tanaman kayu manis merupakan jenis tanaman rempah yang tergolong dalam famili Lauraceae, yaitu salah satu famili dari ordo Ranales. Famili ini memiliki 45 genera dan 1100 spesies. Pertanaman kayu manis umumnya merupakan perkebunan rakyat, terutama
tersebar di daerah Sumatera Barat,
Kerinci, dan Tapanuli Selatan. Dewasa ini kayu manis juga sudah mulai dikembangkan di Jawa, Kalimantan, Flores, dan Lombok. Jenis tanaman yang diusahakan sebagaian besar adalah Cinnamomum burmannii BI. dan sedikit Cinnamomum zeylanicum BI. dan Cinnamomum cassia BI, terutama di daerah Jawa Barat (Rusliet al., 1985). Kulit kayu manis kering yang bermutu baik pada umumnya mengandung minyak atsiri, pati, getah, resin, fixed oil, tanin, selulosa, zat warna, kalium oksalat, dan mineral (Rismunandar et al., 2001).
12
Komponen utama flavor dalam kayu manis adalah sinamaldehid gmbar struktur, yang bukan merupakan fenol. Tetapi komponen minor flavor, kumarin mengandung gugus fenol dan penting untuk memberi ciri khas flavor alami kayu manis (Ho et al., 1992). Eugenol yang merupakan komponen utama flavor cengkeh, juga ditemukan pada kayu manis dalam jumlah kecil. Eugenol ditemukan pada kayu manis sebesar 0,04-0,2 %, pada oleoresin kayu manis sebesar 2-6 %, dan pada minyak kayu manis sebesar 70-90 % (Ho et al., 1992). Kayu manis dapat berperan sebagai antioksidan karena mengandung senyawa tanin dan eugenol (King, 2000). Selain sebagai rempah, hasil olahan kulit kayu manis seperti minyak atsiri dan oleoresin banyak digunakan dalam industri-indusri farmasi, kosmetik, makanan dan minuman, rokok, dan sebagainya. Tanaman ini juga digunakan sebagai tanaman penghijauan dan konservasi tanah-tanah yang miring pada daerah aliran sungai. Cinnamomum burmannii juga banyak ditanam sebagai tanaman hias karena warna pucuknya yg merah terlihat indah (Rusli et al., 1985). Minyak atsiri kayu manis sudah sejak lama dimanfaatkan sebagai antiseptik. Minyak kayu manis ini juga memiliki efek untuk mengeluarkan angin (karminatif), membangkitkan selera atau menguatkan lambung (stomakik), sebagai obat sariawan, encok, masuk angin, dan sebagai antidiare. Untuk pengolahan makanan dan minuman, minyak kayu manis sudah lama dimanfaatkan sebagai pewangi atau peningkat citarasa, diantaranya untuk minuman keras, minuman ringan, agar-agar, kue, kembang gula, bumbu gulai, dan sup (Rismunandar et al., 2001).
13
2.3.
Pangan Fungsional Menurut Badan POM (2011), pangan fungsional adalah pangan olahan
yang mengandung satu atau lebih komponen pangan yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu diluar fungsi dasarnya, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Menurut Winarti & Nurdjanah (2005), berbagai jenis pangan fungsional telah beredar di pasaran, mulai dari produk susu probiotik tradisional seperti yoghurt, kefir dan coumiss sampai produk susu rendah lemak siap dikonsumsi yang mengandung serat larut. Berbagai minuman telah tersedia dan berkhasiat menyehatkan tubuh yang mengandung komponen aktif rempah-rempah seperti kunyit asam, minuman sari jahe, sari temulawak, beras kencur, serbat, dan bandrek. Pangan fungsional dikonsumsi layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur, dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen, serta tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberikan efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya jika digunakan pada jumlah penggunaan yang dianjurkan. Meskipun mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak berbentuk kapsul, tablet atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (Winarti et al.,2005 dalam Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), 2001). Pangan fungsional mempunyai tiga fungsi dasar antara lain sensory (warna dan penampilan menarik, citarasanya enak), nutritional (bernilai gizi), dan physiological (memberikan pengaruh fisiologis, menguntungkan bagi tubuh). Fungsi fisiologis dari suatu pangan fungsional antara lain: a) mencegah penyakit
14
yang berhubungan dengan konsumsi pangan, b) meningkatkan daya tahan tubuh (regulating bio-defensiveness), c) meregulasi rithme kondisi fisik tubuh, d) memperlambat proses penuaan (aging), dan e) penyehatan kembali (recovery) tubuh setelah menderita penyakit tertentu (Muchtadi, 2004). Dewasa ini produk pangan fungsional yang bermanfaat bagi kesehatan mulai banyak diminati oleh konsumen karena kesadaran akan pentingnya hidup sehat semakin meningkat. Senyawa fitokimia sebagai senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesehatan termasuk fungsinya dalam pencegahan terhadap penyakit degeneratif. Beberapa senyawa fitokimia yang diketahui mempunyai fungsi fisiologis adalah karotenoid, fitosterol, saponin, glikosinolat, polifenol, inhibitor protease, monoterpen, fitoestrogen, sulfide dan asam fitat (Winarti et al., 2005). Komponen fenolik dalam tanaman diketahui dapat menghambat pertumbuhan kanker dan mempunyai aktivitas antimutagenik. Pertumbuhan kanker yang dapat ditekan oleh senyawa fenolik antara lain kanker usus, payudara, paru-paru, dan kulit (Craig, 1999). 2.4.
Minuman Sari Buah Minuman sari buah adalah minuman ringan yang dibuat dari sari buah dan
air minum dengan atau tanpa penambahan gula dan bahan tambahan makanan yang diizinkan (SNI 01-3719-1995). Minuman sari buah yang diproduksi harus memiliki mutu yang sesuai dengan yang ada dalam SNI 01-3719-1995 yang ditunjukkan pada tabel 2 berikut.
15
Tabel 2. Standar Mutu Minuman Sari Buah (SNI 01-3719-1995) No Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1. Keadaan: 1.1 Aroma Normal 1.2 Rasa Normal (ml N NaOH)/100 2. Bilangan Formol ml min.15 3. Bahan tambahan makanan: 3.1 Pemanis buatan tidak boleh ada 3.2 Pewarna tambahan sesuai SNI 01-0222-1987*) 3.3 Pengawet sesuai SNI 01-0222-1987*) 4. Cemaran logam: 4.1 Timbal (Pb) mg/kg maks. 0,3 4.2 Tembaga (Cu) mg/kg maks. 5,0 4.3 Seng (Zn) mg/kg maks. 5,0 maks. 4.4 Timah (Sn) mg/kg 40,0/250,0**) 4.5 Raksa (Hg) mg/kg maks. 0,03 5. Cemaran arsen (As) mg/kg maks. 0,2 6. Cemaran mikroba 6.1 Angka lempeng total koloni/ml maks. 2 x 102 6.2 Coliform APM/ml maks. 20 6.3 E.coli APM/ml <3 6.4 Salmonella koloni/25ml Negatif 6.5 S.Aureus koloni/ml 0 6.6 Vibrio.sp koloni/ml Negatif 6.7 Kapang koloni/ml maks. 50 6.8 Khamir koloni/ml maks. 50 CATATAN: *) dan revisinya **) untuk yang dikemas dalam kaleng
Menurut Pollard et al (1974), sari buah merupakan hasil pengepresan atau ekstraksi buah yang sudah disaring. Buah yang digunakan sebagai sari buah harus dalam keadaan matang dan mempunyai cita rasa yang enak. Buah-buahan yang akan diproses menjadi sari buah hendaknya merupakan buah varietas tertentu dan
16
berasal dari daerah penanaman yang sama. Sedangkan faktor yang mempengaruhi cita rasa sari buah adalah perbandingan antara gula dan asam, jenis dan jumlah komponen aroma, serta jenis vitamin (Kusumawati, 2008). Menurut Makfoeld (1982), tahap-tahap pengolahan sari buah secara umum adalah pemilihan dan penentuan kematangan buah, pencucian dan sortasi, ekstraksi, homogenisasi, penyaringan, deaerasi, pengawetan, dan pengemasan. Untuk buah-buahan tertentu, dapat dilakukan modifikasi terhadap proses pengolahan tersebut, bergantung pada sifat buah dan sari buah yang diinginkan (Kusumawati, 2008). Pemilihan bahan merupakan hal yang penting dalam pembuatan formulasi minuman ini, karena bahan yang baik akan menghasilkan kualitas minuman yang baik pula. Pemilihan buah dilakukan berdasarkan bentuk buah, ukuran, warna, dan banyak sedikitnya noda yang merupakan faktor dari kerusakan. Penghancuran sari buah dilakukan dengan blender dan ekstraksi dilakukan dengan cara pengepresan secara manual atau dengan pengepres alat dan kain saring. Ekstraksi yang baik dapat menghindarkan tercampurnya kotoran dan jaringan buah sehingga flavornya baik (Muchtadi, 1979). Penambahan pengawet berperan penting dalam pembuatan sari buah untuk meminimalkan pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu pengawet yang dapat digunakan yaitu natrium benzoat. Batas maksimum pengawet yang diperbolehkan Menkes di dalam minuman yaitu 600 mg/kg (PP No. 722/ Menkes/ Per/ IX/ 1988).Natrium benzoat dipilih sebagai pengawet minuman karena efektif mampu menghambat pertumbuhan kapang dan khamir (Jay, 1978). Namun, keefektifan
17
natrium benzoat bekerja sebagai pengawet yaitu pada bahan pangan yang memiliki pH ≤ 4.0 (Jay, 1978; Dunn, 1957). Oleh karena itu, perlu ditambahkan asidulan atau zar pengatur keasaman yang berfungsi untuk menurunkan pH pada minuman. Asidulan yang dapat ditambahkan yaitu asidulan alami seperti jeruk nipis. Asidulan alami dapat dipilih agar meminimalkan penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) sintetis ke dalam minuman (Herold, 2007). Pengemasan yang merupakan bagian penting dalam suatu proses pembuatan produk pangan. Menurut Dwiari (2008), fungsi paling mendasar dari kemasan adalah mewadahi dan melindungi produk dari kerusakan-kerusakan sehingga lebih mudah disimpan, diangkut, dan dipasarkan. Jenis kemasan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu botol. Botol merupakan kemasan berbahan gelas yang memiliki beberapa keuntungan, yaitu bersifat inert terhadap bahan kimia, tahan terhadap tekanan dari dalam, tahan panas, dan relatif murah. Selain itu, botol gelap yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kemasan yang tahan cahaya, tidak transparan atau tidak tembus cahaya, sehingga menghindarkan produk dari reaksi oksidasi akibat terkena cahaya langsung yang dapat menyebabkan kerusakan pada produk. Setalah dilakukan proses pengemasan, dilakukan proses pasteurisasi. Pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang dapat membunuh atau memusnahkan sebagian tetapi tidak semua mikroba yang ada dalam bahan dan biasanya menggunakan suhu di bawah 100℃. Pasteurisasi membunuh semua mikroorganisme mesofilik dan sebagian yang bersifat termofilik (Winarno, 1993). Walaupun demikian, proses pasteurisasi hanya efektif membunuh mikroba
18
patogen atau pembusuk, maka produk pangan yang sudah dipasteurisasi umumnya masih mengandung mikroba lain seperti bakteri tidak berspora dari genera Streptoccocus dan Lactobacillus, serta kapang dan khamir (Fardiaz, 1996). Penyimpanan dingin (chilling storage) merupakan cara penyimpanan bahan atau produk pangan di bawah suhu 15°C dan di atas titik beku bahan/produk. Penyimpanan dingin merupakan salah satu cara menghambat turunnya mutu sari buah, disamping penambahan zat-zat pengawet kimia dan konsentrasi gula yang tinggi. Pendinginan akan menurunkan laju pertumbuhan mikroba pada bahan/produk yang disimpan. Penurunan ini disebabkan terjadinya denaturasi enzim dan penghambatan sintesa enzim yang dibutuhkan mikroba. Menurut Pollard & Timberlake (1974), suhu penyimpanan yang ideal bagi sari buah adalah 35-40°F (1.67-4.44°C) (Kusumawati, 2008).. 2.4.1. Komposisi Sari Buah Dalam penelitian ini, minuman fungsional sari buah dibuat dengan beberapa komposisi diantaranya yaitu, buah sawo, kayu manis, air, gula pasir, jeruk nipis, dan natrium benzoat. Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan (Winarno, 1992). Air yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengekstraksi komponen-komponen kimia dalam buah sawo hingga menjadi sari buah. Namun, air dalam penggunaanya harus memenuhi beberapa persyarataan agar dapat digunakan, diantaranya yaitu sebagai berikut (Hartono, 2011)
19
a.
Syarat fisik. Air tersebut bening (tak berwarna), tidak berasa, dan suhu dibawah suhu diluarnya.
b.
Syarat bakteriologis. Air harus terbebas dari segala macam bakteri, terutama bakteri patogen. Untuk mengetahuinya dengan memeriksa melalui sampel air, dalam per 100 ml sampel tidak dibolehkan terkandung bakteri E.Coli dan total bakteri koliform (PMK No.492 tentang persyaratan kualitas air minum).
c.
Syarat kimia. Air tidak boleh mengandung zat-zat kimia berbahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan. Gula atau sukrosa (gambar 4) adalah oligosakarida yang memiliki peran
penting dalam pengolahan makanan dan banyak terdapat pada tebu, bit, siwalan,dan kelapa kopyor. Untuk industri-industri makanan biasa digunakan sukrosa dalam bentuk kristal halus atau kasar dan dalam jumlah yang banyak dipergunakan dalam bentuk cairan sukrosa (sirup). Pada pembuatan sirup, gula pasir (sukrosa) dilarutkan dalam air dan dipanaskan, sebagian sukrosa akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa, yang disebut gula invert (Winarno, 1992). Menurut Buckle et al (1987), sukrosa dalam pembuatan makanan berfungsi untuk memberi rasa manis dan sebagai pengawet dimana dalam konsentrasi tinggi dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan menurunkan aktivitas air dalam bahan pangan (Muawannah, 2012).
20
7 Gambar 4. Sukrosa
Jeruk nipis adalah asidulan alami yang dapat ditambahkan dalam pembuatan minuman fungsional sari buah. Jeruk nipis memiliki karakteristik citarasa yang lembut, berair, dan sangat asam dengan aroma yang tajam (Fellers, 1985). Senyawa volatil dari buah jeruk juga sangat penting dalam membentuk aroma dan flavor. Komponen-komponen ini mencakup hidrokarbon terpen, komponen karbonil, alkohol, dan ester yang terdapat pada minyak kulit jeruk dan sedikit pada kantung minyak yang terdapat dalam kantung sari buah (Ting et al., 1971). Pemanfaatan jeruk nipis cukup luas antara lain ialah sebagai bahan obat tradisional, untuk perawatan kecantikan, untuk penyedap makanan, dan untuk menambah rasa segar pada minuman (Kordial, 2009).
Natrium benzoat merupakan butiran atau sebuk putih tidak berbau dan bahan ini dapat ditambahkan langsung ke dalam makanan atau dilarutkan terlebih dahulu di dalam air atau pelarut-pelarut lainnya. Dalam penggunaanya, asam benzoat kurang kelarutannya dalam air dibandingkan dalam bentuk garamnya, sehingga pemakaiannya sering digunakan dalam bentuk garamnya yaitu natrium benzoat (C6H3COONa) (Winarno et al.,1980).
21
Natrium benzoat merupakan pengawat sintetis yang biasa ditambahkan pada makanan atau minuman. Aturan menteri kesehatan menyebutkan bahwa batas penggunaan natrium benzoat pada yaitu600 mg/kg, PP No. 722/ Menkes/ Per/ IX/ 1988. Mekanisme kerja natrium benzoat sebagai pengawet yaitu berdasarkan permeabilitas membran sel mikroba terhadap molekul-molekul asam benzoat tidak terdisosiasi. Molekul-molekul asam benzoat tersebut dalam suasana asam dapat mencapai sel mikroba yang membran selnya mempunyai sifat permeabel terhadap molekul-molekul asam benzoat yang tidak terdisosiasi. Sel mikroba yang mempunyai pH cairan sel netral akan dimasuki molekul-molekul asam benzoat, maka molekul asam benzoat akan berdisosiasi dan menghasilkan ion-ion H+, sehingga akan menurunkan pH mikroba tersebut. Hal ini mengakibatkan metabolisme sel akan terganggu dan akhirnya sel mikroba tersebut mati (Winarno dan Laksmi, 1974)
2.5.
Antioksidan Menurut Kochhar & Rossel (1990), antioksidan sebagai senyawa yang
dapat menunda, memperlambat, dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid. Menurut Winarno (1997), antioksidan dibagi menjadi dua ketegori yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer merupakan zat yang dapat bereaksi dengan radikal bebas atau mengubahnya menjadi produk yang stabil, sedangkan antioksidan sekunder atau antioksidan preventif dapat mengurangi laju awal reaksi (Gordon, 1990). Menurut Shahidi (1995), antioksidan
22
primer (AH) bekerja dengan mekanisme seperti pada gambar 5. Antioksidan primer (AH) bereaksi dengan oksida lipid dengan cara memberikan atom hidrogen secara terus-menerus kepada radikal lipida (reaksi 1 dan 2). Reaksi berikutnya berkompetisi dengan rantai reaksi propagasi (reaksi 5 dan 6). (1) ROO*+AH ROOH + A* (2) RO*+ AH ROH + A* (3) ROO*+ A*ROOA (4) RO*+ A*ROA (5) RO*+ RH ROOH + R* (6) ROO*+ RH R*+ ROOH Gambar 5. Mekanisme Antioksidan Primer Berdasarkan fungsinya, menurut Siagian (2002) antioksidan dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu: a. Tipe pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas, dengan menyumbangkan atom H, misalnya vitamin E. b. Tipe pereduksi, dengan mentransfer atom H atau oksigen, atau bersifat pemulung, misalnya vitamin C. c. Tipe pengikat logam, mampu mengikat zat peroksidan, seperti Fe2+ dan Cu2+, misalnya flavonoid. d. Antioksidan sekunder, mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi bentukstabil, pada manusia dikenal SOD, katalase, glutation peroksidase.
23
8 Gambar 6. Asam Askorbat Vitamin C atau asam askorbat (gambar 6) merupakan nutrien dan vitamin yang larut dalam air dan penting untuk kehidupan serta untuk menjaga kesehatan. Vitamin ini juga dikenal dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu asam askorbat. Vitamin C dikenal sebagai antioksidan terlarut air paling dikenal, vitamin C juga secara efektif memungut formasi ROS dan radikal bebas (Frei, 1994). Sebagai antioksidan, vitamin C bekerja sebagai donor elektron, dengan cara memindahkan satu elektron ke senyawa logam Cu. Selain itu, vitamin C juga dapat menyumbangkan elektron ke dalam reaksi biokimia intraseluler dan ekstraseluler. Vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif di dalam sel netrofil, monosit, protein lensa, dan retina. Vitamin ini juga dapat bereaksi dengan Fe-ferritin. Diluar sel, vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif, mencegah terjadinya LDL teroksidasi, mentransfer electron ke dalam tokoferol teroksidasi dan mengabsorpsi logam dalam saluran pencernaan (Levine, et al., 1995). Askorbat dapat langsung menangkap radikal bebas oksigen, baik dengan atau tanpa katalisator enzim. Secara tidak langsung, askorbat dapat meredam aktivitas dengan cara mengubah tokoferol menjadi bentuk tereduksi. Reaksinya
24
terhadap senyawa oksigen reaktif lebih cepat dibandingkan dengan komponen lainnya. Askorbat juga melindungi makromolekul penting dari oksidatif. Reaksi terhadap radikal hidroksil terbatas hanya melalui proses difusi. Vitamin C bekerja secara sinergis dengan vitamin E. Vitamin E yang teroksidasi radikal bebas dapat bereaksi dengan vitamin C kemudian akan berubah menjadi tokoferol setelah mendapat ion hidrogen dari vitamin C (BellevilleNabeet,1996) Sebagai zat penyapu radikal bebas, vitamin C dapat langsung bereaksi dengan anion superoksida, radikal hidroksil, oksigen singlet dan lipid peroksida. Sebagai reduktor asam askorbat akan mendonorkan satu elektron membentuk semidehidroaskorbat yang tidak bersifat reaktif dan selanjutnya mengalami reaksi disproporsionasi membentuk dehidroaskorbat
yang bersifat tidak stabil.
Dehidroaskorbat akan terdegradasi membentuk asam oksalat dan asam treonat. Oleh karena kemampuan vitamin C sebagai penghambat radikal bebas, maka peranannya sangat penting dalam menjaga integritas membran sel (Suhartono et al., 2007). Menurut Asada (1992) reaksi askorbat dengan superoksida secara fisologis mirip dengan kerja enzim SOD dan reaksi dengan hidrogen peroksida dikatalisis oleh enzim askorbat peroksidase, yaitu sebagai berikut (gambar 7)
25
Gambar 7. Mekanisme Reaksi Asam Askorbat dan Ion Superoksida (Atas) danHidrogen Peroksida (Bawah) (Asada, 1992) Askorbat ditemukan dalam kloroplas, sitosol, vakuola, dan kompartemen ekstraseluler. Kloroplas mengandung semua enzim yang berfungsi untuk meregenerasi askorbat tereduksi dan produk-produk terioksidasi. Hidrogen peroksida juga dihancurkan dalam kloroplas melalui reaksi redoks askorbat dan pemanfaatan kembali glutation. Superoksida diubah menjadi hidrogen peroksida secara spontan melalui reaksi dismutasi atau oleh enzim SOD. Hidrogen peroksida ditangkap oleh askorbat dan enzim askorbat peroksidase (Asada, 1992). Dalam hal ini monodehiroaskorbat memiliki 2 jalur regenerasi. Salah satunya melalui monodehidrosiaskorbat reduktase, yang lainnya melalui dehidroaskorbat reduktase dan glutation, sementara yang berperan sebagai donor elektron adalah NADPH. Jalur ini juga memberikan 2 manfaat, yaitu detoksifikasi hidrogen peroksida yang didiga berperan dalam reaksi Feton dan oksidasi NADPH. Salah satu uji untuk menentukan aktivitas antioksidan penangkap radikal adalah metode DPPH (1,1-Diphenyl-2-picrylhidrazyl).Metode DPPH memberikan informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal stabil. DPPH
26
memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm dengan warna violet gelap. Penangkap radikal bebas menyebabkan elektron menjadi berpasangan yang kemudian menyebabkan penghilangan warna yang sebanding dengan jumlah elektron yang diambil (Sunarni, 2005). Molekul 1,1-diphenyl-2-picrylhidrazil (DPPH) pada gambar 8, yang bereaksi dengan atom hidrogen yang dilepaskan satu molekul komponen sampel (antioksidan), pelepasan satu molekul sampel akan membentuk senyawa 1,1diphenyl-2-21 picrylhidrazine dan radikal antioksidan yang menyebabkan terjadinya peluruhan warna DPPH dari ungu ke kuning. Reaksi antara antioksidan dengan molekul DPPH (Prakash, 2001).
N
N
N
NH NO 2
O 2N
+
A
H
NO 2
O 2N
+
A
NO 2
NO 2
9 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil Antioksidan 2,2-difenil-1-pikrilhidrazin (DPPH) (DPPH Hidrazin) Gambar8. Reaksi Radikal DPPHdengan Senyawa Antioksidan Antioksidan alami yang paling umum adalah flavonoid (flavanol, isoflavon, flavon, katekin, dan flavanon), turunan dari asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam organik polifungsional (Pratt et al.,1990). Secara alami, antioksidan terdapat dalam hampir semua bahan pangan. Walaupun demikian, jika
27
bahan pangan tersebut diolah maka antioksidan yang terkandung di dalamnya dapat mengalami degradasi kimia atau fisik sehingga fungsinya berkurang (Fardiaz, 1980). 2.6.
Analisis Sensori Analisis sensori atau pengujian organoleptik penting dilakukan untuk
mendapatkan formulasi minuman yang tersukai sehingga dapat diketahui apakah suatu produk dapat diterima oleh konsumen atau tidak (Muawanah et al., 2012). Analisis sensori atau pengujian organoleptik adalah identifikasi, pengukuran ilmiah, analisis, dan interpretasi dari karakteristik (atribut) produk berdasarkan penerimaan melalui kelima indera manusia yaitu penglihatan, penciuman, pencicipan, perabaan, dan pendengaran. Atribut sensori yang dianalisis dengan pengindraan ini antara lain adalah penampilan, aroma, tekstur dan konsistensi, citarasa, serta suara (Meilgaard, 1999). Metode pengujian sensori melibatkan panelis dalam menilai suatu produk pangan. Panelis adalah orang atau sekelompok orang yang menilai dan memberikan tanggapan terhadap produk yang diuji. Panelis dapat dipilih dari konsumen awam pengguna produk sampai seorang yang sangat ahli dalam menilai menilai kualitas sensori. Penggunaan panelis diharapkan dapat menjelaskan sensasi dan persepsi citarasa yang diterima oleh indra manusia (Setyaningsih et al., 2010). Citarasa (flavor) merupakan kompleks sensasi yang ditimbulkan oleh berbagai indra (penciuman, pengecap, penglihatan, peraba, dan pendengaran) pada waktu mengkonsumsi makanan atau minuman. Kompleks sensasi yang
28
ditimbulkan dapat berupa sensasi rasa (manis, asam, asin, dan pahit) oleh papila lidah (taste buds), sensasi aroma oleh rongga hidung (nasal cavity), dan sensasi pain (sepat, panas atau pedas (pungency), dingin) oleh saraf-saraf trigeminal. Sensasi tidak langsung, seperti penampakan, suara, dan emosi juga turut berpengaruh terhadap persepsi citarasa makanan dan minuman yang dikonsumsi. Oleh karena itu, sensasi tersebut dapat mempengaruhi aspek penerimaan konsumen secara keseluruhan (Lindsay, 1996). Secara umum, Meilgaard (1999) mengklasifikasikan analisis sensori menjadi tiga bagian yaitu, uji pembedaan, uji deskripsi, dan uji afektif. a. Uji Pembedaan Uji pembedaan yaitu uji yang digunakan untuk mengetahui perbedaan diantara dua atau lebih contoh. Uji pembedaan biasanya digunakan
dalam
konteks pengawasan mutu produk, studi umur simpan, dan investigasi bau atau flavor asing. b. Uji Deskriptif Uji deskriptif yaitu uji yang digunakan untuk menentukan atau mengukur karakter dan instensitas perbedaan dalam suatu produk. Uji ini lebih tepat digunakan untuk pengembangan produk, reformulasi produk, dan untuk meneliti perbedaan produk percobaan dengan produk komersial. Panelis yang digunakan dalam uji ini yaitu yang sudah terlatih yang telah melalui proses seleksi dan pelatihan.
29
c. Uji Afektif Uji afektif yaitu uji yang digunakan untuk mengetahui respon individu berupa penerimaan ataupun kesukaan dari konsumen terhadap produk yang sudah ada, produk baru, atau karakteristik khusus dari produk yang diuji. Menurut Poste (1991), hasil uji afektif mengindikasikan pilihan, kesukaan, atau penerimaan suatu produk. Secara umum terdapat dua macam uji afektif yaitu uji afektif kualitatif dan uji afektif kuantitatif. Metode uji afektif kualitatatif terdiri dari focus group, focus panel, dan wawancara personal. Sedangkan, metode uji afektif kuantitatif terdiri dari uji kesukaan atau uji hedonik dan uji penerimaan (Meilgaard, 1999). Menurut Poste (1991), uji kesukaan atau uji hedonik merupakan metode pengujian yang paling umum dilakukan untuk mengukur kesukaan suatu sampel bila dibandingkan sampel lain. Skala hedonik kemudian digunakan utnuk menunjukkan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap suatu produk. Skala yang dapat digunakan pada uji hedonik yaitu skala yang berkisar antara 1 sampai 5 antara 1 sampai 5, dimana (5) Sangat Suka, (4) Suka, (3) Agak Suka, (2) Tidak Suka, dan (1) Sangat Tidak Suka (Akhtar et al., 2010). 2.7.
Instrumentasi
2.7.1. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) Spektrometri serapan atom adalah bagian dari spektroskopi. Teknik spektroskopi didasarkan pada emisi atau absorbsi radiasi elektromagnetik yang merupakan sifat khas dari perubahan energi tertentu dalam suatu molekul atau atom. Perubahan energi ini berupa tingkatan energi yang terkuantisasi yang mencirikan jenis-jenis atom atau molekul. Bila suatu substansi diradiasi dengan
30
radiasi elektromagnetik, energi dari foton dapat dipindahkan ke atom atau molekul sehingga dapat mengubah tingkatnya dari keadaan dasar ke keadaan tereksitasi. Proses ini dikenal sebagai absorpsi (Anwar et al., 1989). Dalam garis besarnya
prinsip
spektrofotometri
serapan
atom
sama
saja
dengan
spektrofotometri sinar tampak dan ultraviolet. Perbedaan terletak pada bentuk spektrum, cara pengerjaan sampel dan peralatannya (Rohman, 2007). Metode spektrofotometri serapan atom, berprinsip pada absorbansi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang tersebut memiliki energi yang cukup untuk mengubah tingkat energi elektronik suatu atom. Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu atom pada keadaan dasar dinaikkan tingkat energinya ke tingkat eksitasi (Khopkar, 2003). Skema peralatan AAS (gambar 9) yaitu:
Gambar 9. Skema Peralatan SSA (Haswell, 1991)
31
1. Sumber radiasi, yaitu berupa lampu katoda berongga (hollow cathoda lamp). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutuo yang mengandung suatu katida dan anoda. 2. Atomizer,yaitu yang terdiri dari pengabut dan pembakar. 3. Monokromator, yaitu untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang yang digunakan dalam analisis. 4. Detektor, yaitu untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat pengatoman. 5. Rekorder, yaitu suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai sistem pencatatan hasil (Rohman, 2007). 2.7.2. Spektrofotemetri UV-VIS Spektrofotometri merupakan suatu metode pengukuran yang digunakan untuk mempelajari interaksi antara atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik, dimana substansi kimia secara selektif menghamburkan (scatter), menyerap atau mengemisi energi elektromagnetik pada panjang gelombang yang digunakan dalam range ultraviolet (200-400 nm), sinar tampak (400-700 nm), atau cahaya yang mendekati inframerah (Khopkar, 2003). Prinsip spektrofotometri UV-Vis yakni radiasi pada rentang panjang gelombang 200-800 nm dilewatkan melalui suatu larutan senyawa. Elektronelektron pada ikatan didalam molekul menjadi tereksitasi sehingga menempati keadaan kuantum yang lebih tinggi dan dalam proses menyerap sejumlah energi yang melewati larutan tersebut. Dua hukum empiris telah diformulasikan tentang intensitas serapan. Hukum Lambert’s menyatakan bahwa fraksi sinar yang diserap
32
tidak tergantung terhadap intensitas sumber sinar. Hukum Beer’s menyatakan bahwa serapan tergantung jumlah molekul yang terserap. Dari kedua hukum tersebut dapat disajikan ke dalam persamaan berikut (Supratman, 2010): A = log
Io I
= kcb
Dimana : A = absorbansi
Io = intensitas sinar awal
I = intensitas sinar yang diteruskan
c = konsentrasi sampel
b = tebal selyang dilalui sampel (cm) k = koefisien ekstingsi Hukum Beer menyatakan bahwa absorbans berbanding langsung dengan tebal larutan dan konsentrasi larutan. Dimana apabila suatu berkas radiasi dengan intensitas Io dilewatkan melalui suatu larutan dalam wadah transparan setebal b yang berisi sejumlah n partikel (atom, ion, atau molekul) maka sebagian radiasi akan diserap sehingga intensitas radiasi yang diteruskan I menjadi lebih kecil dari pada Io. Dimana berkurangnya intensitas radiasi tergantung dari luas penampang yang menyerap partikel, dan luas penampang ini sebanding dengan jumlah partikel (n). Ini menunjukkan bahwa larutan tersebut menyerap sejumlah sinar.
Gambar 10. Komponen Spektrofotometer UV-Vis (Fernandez, 2011)
33
Sebuah spektrofotometer memiliki lima bagian penting (gambar 10), yaitu: 1. Sumber cahaya, untuk UV umumnya digunakan lampu deuterium (D2O), untuk visibel digunakan lampu tungsten xenon (Auc). 2. Monokromator, suatu alat yang berfungsi mengubah cahaya polikromatik menjadi cahaya monokromatik. 3. Sel penyerap / wadah pada sampel, cell dalam spektrofotometer disebut juga dengan kuvet. 4. Photodetector, berfungsi untuk mengubah energi cahaya menjadi energi listrik. 5. Analyzer (pengolah data), untuk spektrofotometer modern biasanya dilengkapi dengan komputer.
34
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) Kimia
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian inidilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai November 2013.
3.2.
Alat dan Bahan
3.2.1. Alat Alat-alat yang digunakan pada penelitianini antara lain yaitu pisau, juice extractor, alat penyaring, botol gelas, timbangan analitik, hot plate, tanur listrik, peralatan gelas kimia, pH meter, refraktometri, spektrofotometer UV-Vis (Lambda 25 merk Perkin Elmer), dan spektrofotometer serapan atom (Perkin Elmer Analyst 800). 3.2.2. Bahan Bahan-bahan utama yang digunakan adalah buah sawo, kayu manis, jeruk nipis, C6H3COONa, dan C12H22O11 yang didapatkan dari Pasar Tradisional Ciputat, Tangerang Selatan. Bahan-bahan lainnnya yaitu Na2CO3, C7H6O5 (asam galat), reagen Folin-Cicalteau, KI, I2, NaOH, HNO3, CH3OH, DPPH, PCA dan BPW.
35
3.3.
Prosedur Penelitian
3.3.1. Pembuatan minuman fungsional Pembuatan minuman fungsional dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu, pemilihan bahan, ekstraksi, penambahan larutan gula, natrium benzoat, dan jeruk nipis, pengemasan, dan pasteurisasi. Buah sawo dipilih berdasarkan bentuk buah, ukuran, warna, banyak sedikitnya noda yang merupakan faktor dari kerusakan. Buah yang memiliki gumpalan getah dan gorasan pada kulitnya tidak dipilih karena menandakan kematangan buah yang tidak merata atau rusaknya buah. Sortasi atau pemilihan ulang dilakukan yang bertujuan agar didapatkan hasil yang seragam, lalu dilakukan pembersihan dan pencucian. Kemudian, dilakukan ekstraksi untuk mendapatkan sari buah yang diinginkan dengan menggunakan alat juice extractor. Dilakukan penyaringan dengan penyaring dan kainuntuk memisahkan ampas dan sari buahnya. Selanjutnya, dilakukan ekstraksi kayu manis dengan menggunakan airselama 15 menit yang dilakukan di dalam wadah tertutup untuk meminimalkan teruapkannya komponen volatil. Selanjutnya, minuman fungsional dibuat dengan lima macam formulasi (tabel 3) yaitu dengan mencampurkan perasan sari sawo, ekstrak kayu manis 0,8 % (b/v), larutan gula 30 % (b/v), jeruk nipis, dan larutan natrium benzoat (konsentrasi akhir 500 ppm). (Aturan Menkes batas maksimum pengawetyaitu 600 mg/kg, PP No. 722/ Menkes/ Per/ IX/ 1988).Minuman dibuat dalam volume total 100 mL untuk memudahkan formulasi.
36
Tabel 3. Formulasi minuman sari buah sawo Bahan Sari sawo (mL) Ekstrak kayu manis 0,8 % b/b Larutan gula 30 % (b/b) Larutan Na-Benzoat (konsentrasi akhir 500 ppm) Jeruk nipis (mL)
829 40 40 15 1 4
Komposisi per 100 mL 561 401 952 45 50 55 35 30 25 15 15 15 1 4
1 4
1 4
733 60 20 15 1 4
Minuman fungsional yang telah diformulasi lalu dikemas ke dalam botol kaca yang sebelumnya telah disterilkan. Setelah itu, botol di pasteurisasi didalam penangas air selama 30 detik. 3.3.2. Analisis Sensori Analisis sensori atau uji organoleptik dilakukan melalui uji hedonik yang mengindikasikan pilihan, kesukaan, atau penerimaan suatu produk. Parameter uji yang digunakan yaitu parameter warna, aroma, rasa manis, rasa asam, dan penerimaan keseluruhan. Pengujian dilakukan terhadap 20 orang panelis semi terlatih, yaitu panelis yang bukan ahli dan juga yang bukan awam yang tidak bisa mengenali ciri-ciri organoleptik. Pengujian dilakukandalam sebuah kuesioner (lampiran 3) dengan menggunakan skala hedonik yang berkisar antara 1 sampai 5, dimana (5) Sangat Suka, (4) Suka, (3) Agak Suka, (2) Tidak Suka, dan (1) Sangat Tidak Suka (Akhtar et al., 2010). Data yang didapatkan kemudian dianalisis dengan menggunakan software SPSS versi 17 untuk menentukan formulasi yang paling disukai panelis. Formulasi tersukai kemudian dianalisis antioksidannya yang meliputi pengujian aktivitas antioksidan serta komponen kimia antioksidan, kemudian diuji sifat fisik, dan sifat kimianya sesuai SNI 01-3719-1995.
37
3.3.3. Analisis Antioksidan Analisis antioksidan meliputi pengujian aktivitas antioksidan dan komponen kimia antioksidan yaitu pengujian total fenolik dan kandungan vitamin C. 3.3.3.1.Uji Aktivitas Antioksidan (Kekuda et al., 2010) Aktivitas
penghambatan
radikal
sampel
dilakukan
berdasarkan
penghambatannya pada radikal bebas 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH). Disiapkan larutan sampel pada varian konsentrasi (0,19 𝜇L sampai 100 𝜇L/mL) dalam metanol. Dimasukkan masing-masing larutan sampel sebanyak 2 mL ke dalam tabung reaksi. Setelah itu ditambahkan 2 mL larutan DPPH 0,002 % (dalam metanol). Dilakukan inkubasi didalam ruang gelap selama 30 menit, lalu diukur absorbansi sampel dengan spektrofotometer UV-Vis (panjang gelombang=518 nm). Besarnya aktivitas antioksidan diukur dengan parameter persen inhibisi lalu diukur (IC50). Persen inhibisi=
𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖𝐷𝑃𝑃𝐻 −𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖𝐷𝑃𝑃𝐻
× 100 %
Nilai IC50 ditentukan dengan menggunakan rumus persamaan regresi linear, dengan ekstrapolasi persen inhibisi sebagai ordinat (y) dan konsentrasi sebagai absis (x). 3.3.3.2.Analisis Total Fenol (Heilerova et al., 2003 ) Pengukuran total fenol dilakukan dengan menggunakan reagen FolinCiocalteu dan asam galat sebagai standar. Pertama-tama 0,2 mL sampeldiambil dan kemudian ditambahkan 1 mL reagen Folin Ciocalteu 10 % (dalam air). Didiamkan atau diinkubasi selama 5 menit dalam tempat gelap. Setelah itu,
38
ditambahkan 3 mL larutan Na2CO32 % (dalam air). Sampel diinkubasi selama 1 jam dalam tempat gelap. Lalu absorsorbansinya diukur pada panjang gelombang 765 nm dengan spektrofotometer UV-Vis. Total fenolik ditentukan dalam (𝜇g/mL) berat ekuivalen asam galat (EAG) dengan menggunakan persamaan regresi dari kurva standar asam galat (0–32 𝜇g/mL). 3.3.3.3.Analisis Kadar Vitamin C (AOAC, 1999) Kadar vitamin C ditentukan dengan cara titrasi Iod. Sebanyak 5 ml sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml. Ditambahkan 20 ml air destilat dan beberapa tetes larutan pati sebagai indikator. Selanjutnya dititrasi dengan larutan Iod 0,01 N sampai larutan berwarna biru. Tiap ml larutan Iod equivalen dengan 0,88 mg asam askorbat. Kadar vitamin C dapat dihitung sebagai asam askorbat dengan rumus sebagai berikut : 𝐴=
ml Iod 0,01 N x 0,88 x P x 100 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
dimana, 𝐴 merupakan mg asam askorbat per 100 ml sari buah dan P merupakan faktor pengenceran. 3.3.4. Uji Sifat Kimia dan Fisik Analisis sifat kimia dan fisik bertujuan untuk mengetahui komposisi nilai gizi dari produk pangan. Uji sifat kimia dan fisik meliputi analisis kadar air, kadar abu, pH, total padatan terlarut, dan total asam. 3.3.4.1. Kadar Air (AOAC, 2005) Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105°C selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan 39
sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105°C selama 5 jam atau hingga beratnya konstan. Setelah selesai proses kemudian cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali. Perhitungan kadar air: % Kadar air =
𝐵−𝐶 𝐵−𝐴
× 100 %
Keterangan : A = Berat cawan kosong (gram) B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram) C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram) 3.3.4.2. pH Pengukuran nilai pH dilakukan dengan menggunakan alat pH-meter. Pengukuran nilai pH dilakukan sebanyak tiga kali ulangan untuk setiap minuman fungsional. 3.3.4.3. Uji Padatan Terlarut Uji padatan terlarut dilakukan dengan menggunakan hand refraktometer dengan cara sari buah diteteskan pada kaca sensor yang ada pada hand refraktometer dan angka brix dibaca. 3.3.4.4. Total Asam (AOAC 1990) Sebanyak 10 g sampel diencerkan dengan aquades sampai volume 100 ml. Diambil 10 ml sampel hasil pengenceran, lalu ditambahkan dengan tiga tetes indikator phenolptalin. Kemudian dititrasi sampel dengan 0,1 N NaOH sampai
40
terjadi perubahan warna menjadi merah jambu. Total asam dianggap sebagai total asam sitrat (% asam sitrat) yang terkandung dalam sampel. Penentuan total asam dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut: 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 (%) =
𝑉𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑚𝑙 × 𝑁𝑁𝑎𝑂𝐻 × 𝐵Σ 𝑎𝑠𝑎𝑚 × 𝐹𝑝 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
Keterangan: V NaOH= volume NaOH yang digunakan saat titrasi N NaOH= normalitas NaOH 𝐵Σ 𝑎𝑠𝑎𝑚= berat eqivalen asam sitrat Fp= faktor pengenceran 3.3.4.5. Kadar Abu (AOAC 2005) Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105°C kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600℃ selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Kadar abu ditentukan dengan rumus: 𝐶−𝐴
% Kadar abu = 𝐵−𝐴× 100 % Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong (gram) B = Berat cawan dengan sampel (gram) C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)
41
3.3.5
Uji Cemaran Logam (SNI 01-3719-1995) Sebanyak 5-10 gram contoh ditimbang kemudian dimasukan ke dalam
cawan porselen, ditempatkan cawan berisi sampel uji diatas penaggas listrik dan dipanaskan secara bertahap sampai sampel tidak berasap lagi. Kemudian dilanjutkan pengabuan dalam tanur pada suhu 500 ℃ ± 5℃ sampai abu berwarna putih, bebas dari karbon. Kemudian abu berwarna putih dilarutkan dalam 5 mL HNO3 1 N sambil dipanaskan diatas penanggas listrik atau penanggas air selama 2-3 menit dan dimasukan ke dalam labu ukur 50 mL kemudian dititar hingga tanda garis dengan aquades, jika perlu disaring larutan dengan menggunakan kertas saring Whatman No.41 ke dalam labu ukur 50 mL. Kemudian larutan blanko disiapkan dengan perlakuan yang sama seperti contoh. Lalu dibaca absorbansi larutan baku kerja dan larutan sampel terhadap blanko menggunakan SSA pada panjang gelombang maksimum sekitar 324,7 nm untuk Cu, 217 nm untuk Pb, dan 213,9 nm untuk Zn. 3.3.6
Uji Cemaran Mikroba Metode (ALT) Angka Lempeng Total Pada uji ini pertama dilakukan pembuatan Plate count agar (PCA),
Buffered peptone water (BPW), dan uji cemaran mikroba. a.
Pembuatan Plate count agar (PCA) Bahan-bahan 5 g Pancreatic digest of ceseine, 2,5 g yeast extract, 1 g
glukosa, 15 g agar dilarutkan dalam 1000 mL air suling. pH diatur menjadi 7,0 dan dimasukkan 450 mL larutan tersebuk ke dalam botol-botol berukuran 500 mL. Disterilkan pada suhu 121°C selama 15 menit pada autoklaf.
42
b.
Pembuatan Buffered peptone water (BPW) Bahan-bahan 10 g peptone, 5g natrium klorida, 3,5 g disodium hidrogen
fosfat, 1,5 g kalium dihidrogen fosfat dilarutkan ke dalam 1000 mL air suling. Kemudian diatur pH menjadi 7,0. Dipipet kedalam tabung-tabung reaksi. Disterilkan pada autoklaf pada suhu 121°C selama 20 menit. c.
Uji cemaran mikroba Tingkat
pengenceran
1:100,
1:1000,
dan1:10000
dibuat
dengan
menggunakan larutan pengencer BPW. Masing-masing 1 mL dipipet dari pengenceran tersebut ke dalam cawan petri steril secara duplo. Sebanyak 12-15 mL media PCA yang masih cair dengan suhu 45 C ± 1°C dituangkanke dalam masing-masing cawan petri. Cawan petri digoyangkan dengan hati-hati sehingga sampel dan pembenihan tercampur merata dan memadat. Pemeriksaan dikerjakan blanko dengan mencampur air pengencer untuk setiap sampel yang diperiksa. Campuran dalam cawan petri dibiarkan sampai memadat. Semua cawan petri dimasukkan dengan posisi terbalik ke dalam lemari pengeram pada suhu 35°C±1°C selama 24 jam sampai 48 jam. Pertumbuhan koloni dicatat pada setiap cawan petri yang mengandung 25 koloni-250 koloni setelah 48 jam. Perhitungan angka lempeng totalnya yaitu: Angka lempeng total (koloni/mL) = n x F Keterangan: n adalah rata-rata koloni dari dua cawan petri satu pengenceran, (koloni/mL), F adalah faktor pengenceran dari rata-rata koloni yang dipakai.
43
3.3.7
Analisis Data Data yang didapat dari penilitian ini diolah menggunakan sofware SPSS
One Way ANOVA dan bila berbeda nyata dilakukan uji lanjut Duncan.
44
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Analisis Sensori Analisis sensori atau pengujian organoleptik penting dilakukan untuk
mendapatkan formulasi minuman yang tersukai sehingga dapat diketahui apakah suatu produk dapat diterima oleh konsumen atau tidak (Muawanah, 2012). Uji organoleptik pada produk pangan harus dilakukan karena akan berkaitan dengan selera dan penerimaan konsumen terhadap produk tersebut di pasaran. Suatu produk akan sia-sia walaupun secara uji kima, fisik, dan nilai gizinya tinggi, tetapi bila rasanya tidak enak akan sulit diterima oleh konsumen (Soekarto, 1990). Analisis sensori yang digunakan yaitu uji afektif. Hasil uji afektif mengindikasikan pilihan, kesukaan, atau penerimaan suatu produk (Poste, 1991). Terdapat dua macam uji afektif yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Pada proses pengujiannya, digunakan pengujian secara kuantitatif atau yang lebih dikenal sebagai uji hedonik. Hasil pengujian organoleptik pada minuman fungsional dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Hasil Pengujian Organoleptik Minuman Fungsional Penerimaan Keseluruhan 561 3,50±0,89a 3,20±0,83a 3,95±0,69a 3,90±0,85b 3,90±0,72a 952 3,45±0,94a 3,50±0,69a 3,75±0,72a 3,60±1,05b 3,80±0,83a 733 3,15±0,87a 3,40±1,14a 3,55±0,76a 3,00±0,86a 3,30±0,98a 829 3,20±1,00a 3,60±0,94a 3,45±0,94a 3,35±0,81b 3,50±1,00a 401 3,10±0,85a 3,55±1,23a 3,45±0,82a 3,60±0,82b 3,45±0,82a Keterangan: Abjad yang diberi huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada 𝛼=0,05 Kode
Warna
Aroma
Kemanisan
45
Keasaman
Hasil pengujian organoleptik minuman fungsional (tabel 4) menunjukkan bahwa parameter warna, aroma, rasa manis, dan penerimaan keseluruhan tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%, namun berbeda nyata pada parameter rasa asam. Hasil analisis ragam ANOVA dapat dilihat pada lampiran 5-9.
4.1.1. Warna Hasil pengujian organoleptik menunjukkan rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap parameter warnaberada pada skala kisaran 3,1-3,5 atau berada pada kisaran agak disukai (gambar 11). Hasil analisis sidik ragam ANOVA menunjukkan bahwa kelima formulasi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% terhadap tingkat kesukaan panelis (lampiran 5). Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan formulasi pada minuman fungsional sawo-kayu manis tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis. Ini menunjukkan bahwa kelima formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis dapat digunakan karena
Skala Hedonik Wana
memiliki tingkat penerimaan yang hampir sama.
3,6
3,5
3,5
3,45
3,4 3,3 3,15
3,2
3,2 3,1
3,1 3 2,9 561
952
733
829
401
Kode
Gambar 11. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Warna
46
Formulasi 561 memiliki skor hedonik tertinggi dengan rata-rata penerimaan 3,5 dengan persentase 15% panelis menyatakan tidak suka, 30% menyatakan agak suka, 45% menyatakan suka, dan 10% menyatakan sangat suka.
Warna merupakan parameter yang penting dalam pengujian organoleptik karena konsumen cenderung lebih tertarik pada suatu bahan pangan yang menarik warnanya.Warna berkaitan erat dengan penerimaan produk pangan, karena warna merupakan atribut kualitas yang paling penting, walaupun suatu produk bernilai gizi tinggi, rasa enak dan tekstur baik namun jika warnanya kurang menarik maka akan menyebabkan produk tersebut kurang diminati. Hal ini karena warna merupakan parameter pertama yang menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk (Fennema, 1985). Selain itu, warna biasanya menjadi faktor pertama yang dilihat konsumen dalam memilih suatu produk pangan (Winarno, 2002). Warna minuman fungsional sawo-kayu manis yaitu berwarna coklat (gambar 12). Hal ini terjadi karena telah terjadi reaksi pencoklatan enzimatik yang terjadi pada saat pembuatan minuman fungsional sawo-kayu manis.
Gambar 12. Formulasi Minuman Fungsional
47
Reaksi pencoklatan enzimatis terjadi karena adanya kandungan fenolik pada bahan. Menurut Winarno (1992), senyawa fenolik yang bertindak sebagai substrat dalam reaksi pencoklatan enzimatis dapat berupa tanin dan katekin. Sawo dan kayu manis diketahui mengandung tanin dan katekin (King, 2000; Mathew, 1969)
Proses pemotongan, pengupasan, pengirisan, dan ekstraksi yang dilakukan pada sawo dan kayu manis mengakibatkan kerusakan jaringan yang menyebabkan senyawa fenol yang ada dalam vakuola keluar dan bertemu dengan enzim yang ada dalam sitoplasma (Soesanto et al., 1994). Pada umumnya reaksi oksidasi fenol dikatalisis oleh dua enzim fenolase yaitu kresolase dan katekolase. Kresolase mengkatalisis oksidasi monofenol (tirosin dan kresol) dengan menambah gugus hidroksil pada posisi ortonya sehingga menjadi orto-difenol. Reaksi oksidasi selanjutnya, katekolase menghilangkan dua atom hidrogen pada orto difenol membentuk orto-quinon (Park et al.,1985) Reaksi dalam tahapini dapat dilihat pada Gambar 13.
48
CH2CH(NH2)COOH
CH2CH(NH2)COOH +(O) Aktivitas Kresolase OH
OH
OH L - tirosin
3,4-Dihidroksi fenilalanin
CH2CH(NH2)COOH
CH2CH(NH2)COOH +(O)
+
Aktivitas Katekolase
H 2O
O
OH OH 3,4-Dihidroksi fenilalanin
O 0 - Kuinon fenilalanin
Gambar 13. Reaksi Antara dalam Pembentukan Melanin (Park et al.,1985)
Menurut Eskin et al (1971), katekolase mengkatalisis reaksi oksidasi orto difenol menjadi orto-quinon, orto-quinon dengan orto difenol akan terhidroksilasi membentuk trihidroksi benzena, kemudian trihidroksi benzena bereaksi dengan orto-quinon membentuk hidroksi quinon. Menurut (Soesanto et al.,1994), selanjutnya hidroksi quinon mengalami polimerisasi dan menjadi polimer berwarna coklat yang akhirnya menjadi melanin berwarna coklat (gambar 14). Pembentukan senyawa melanin dari orto quinon berlangsung secara spontan dan tidak tergantung pada adanya enzim atau oksigen (Eskin et al.,1971).
49
OH
O OH
OH H2O
atau
O - difenol
OH
O
O - kuinon
OH trihidroksi benzena
OH
OH OH
O
O OH trihidroksi benzena
O
O 4-Hidroksikuinon
Gambar 14. Reaksi Pembentukan 4-Hidroksi Kuinon (Melanin) dari O-Kuinon atau O-Difenol (Eskin et al.,1971). Untuk meminimalkan reaksi pencoklatan pada minuman, dapat dilakukan proses blansir pada bahan. Blansir yaitu proses pemanasan yang bertujuan untuk menginaktifkan enzim-enzim di dalam bahan pangan, katalase dan peroksidase, yang berperan dalam reaksi pencoklatan (Fardiaz et al.,1980). Blansir dapat dilakukan dengan menggunakan uap, steam blancher, atau air panas, hot water blancher. (Muchtadi, 1989). Namun, proses blansir yang berlebihan dapat menyebabkan kehilangan nilai gizi pada bahan makanan sehingga proses blansir tidak dilakukan.
50
4.1.2. Aroma Hasil pengujian organoleptik menunjukkan rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap parameter aroma berada pada skala kisaran 3.2− 3.6 atau berada pada kisaran agak disukai sampai disukai. (gambar 15). Hasil analisis sidik ragam ANOVA menunjukkan bahwa kelima formulasi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% terhadap tingkat kesukaan panelis (lampiran 6). Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan formulasi pada minuman fungsional sawokayu manis tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap parameter aroma. Ini menunjukkan bahwa kelima formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis dapat digunakan karena memiliki tingkat penerimaan yang hampir sama.
Skala Hedonik Aroma
3,7
3,6
3,6
3,5
3,5
3,55
3,4
3,4 3,3
3,2
3,2 3,1 3 561
952
733
829
401
Kode
Gambar 15. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Aroma
Formulasi 829 memiliki skor hedonik aroma tertinggi dengan rata-rata penerimaan 3,6. Formulasi 829 mengandung ekstrak kayu manis terbanyak dibandingkan sampel yang lain yaitu sebanyak 40% sehingga diduga mempengaruhi kesukaan panelis terhadap aroma. Menurut Rismunandar et al
51
(2001), kayu manis dapat digunakan sebagai peningkat cita rasa pada makanan atau minuman. Ho et al (1992) mengatakan, komponen utama flavor dalam kayu manis adalah sinamaldehid, yang bukan merupakan fenol. Tetapi komponen minor flavor, kumarin mengandung gugus fenol dan penting untuk memberi ciri khas flavor alami kayu manis.Senyawa volatil dari buah jeruk juga sangat penting dalam membentuk aroma dan flavor. Komponen-komponen ini mencakup hidrokarbon terpen, komponen karbonil, alkohol, dan ester yang terdapat pada minyak kulit jeruk dan sedikit pada kantung minyak yang terdapat dalam kantung sari buah (Ting et al.,1971). Senyawa aroma adalah senyawa kimia yang memiliki aroma atau bau. Sebuah senyawa kimia memiliki aroma atau bau ketika dua kondisi terpenuhi yaitu senyawa tersebut bersifat volatil, sehingga mudah mencapai sistem penciuman di bagian atas hidung, dan perlu konsentrasi yang cukup untuk dapat berinteraksi dengan satu atau lebih reseptor penciuman. Aroma merupakan parameter yang memegang peranan penting dalam penilaian suatu produk. Aroma atau bau suatu bahan pangan disebabkan oleh senyawa yang mempengaruhinya (Deman, 1997). Untuk dapat menghasilkan bau, zat-zat bau harus dapat menguap, sedikit larut dalam air dan sedikit larut dalam lemak. Pengujian terhadap aroma merupakan aspek yang penting dalam industri pangan, karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian terhadap penerimaan suatu produk. Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang mudah menguap. Aroma juga dapat dipakai sebagai suatu indikator terjadinya kerusakan pada produk. Misalnya sebagai akibat dari
52
pemanasan atau cara penyimpanan yang kurang baik, ataupun karena adanya cacat (off flavor) pada suatu produk. Aroma makanan juga banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut (Bambang Kartika et al.,1988). 4.1.3. Rasa Bambang Kartika (1988) menyatakan bahwa pada umumnya bahan pangan tidak hanya terdiri dari salah satu rasa, tetapi merupakan gabungan berbagai macam rasa secara terpadu sehingga menimbulkan cita rasa yang utuh. Ada empat macam rasa dasar pada bahan pangan yaitu manis, asin, asam, dan pahit. Dalam penelitian ini, pengujian organoleptik dilakukan meliputi parameter rasa manis dan rasa asam. Hasil pengujian organoleptik menunjukkan rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap parameter rasa manis berada pada skala kisaran 3,45-3,95, sedangkan terhadap parameter rasa asam berada pada kisaran 3,0-3.90. Kisaran ini atau berada pada kisaran agak suka sampai suka (gambar 16). Hasil analisis sidik ragam ANOVA (lampiran 7) menunjukkan bahwa kelima formulasi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap parameter rasa manis. Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan formulasi pada minuman fungsional sawo-kayu manis tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap parameter rasa manis. Formulasi 561 memiliki skor hedonik tertinggi dengan rata-rata penerimaan 3,95 dengan persentase 25% menyatakan agak suka, 55% menyatakan suka, dan 20% menyatakan sangat suka. Pada parameter rasa asam ditunjukkan bahwa formulasi berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% (lampiran 8) terhadap tingkat kesukaan panelis. Hasil
53
uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa dari kelima formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis, formulasi 561 merupakan formulasi yang paling disukai panelis karena berada pada subset kedua dan memiliki skor hedonik tertinggi dengan ratarata penerimaan 3,90 dengan persentase 5% panelis menyatakan tidak suka, 25%
Skala hedonik
menyatakan agak suka, 45% menyatakan suka, dan 25% menyatakan sangat suka.
4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
3,95 3,9
3,75 3,6
3,55 3
3,453,35
3,45 3,6
kemanisan keasaman
561
952
733
829
401
Kode
Gambar 16. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Rasa Manis dan Asam Rasa asam mempengaruhi tingkat penerimaan pada panelis karena penambahan jeruk nipis pada minuman fungsional sawo-kayu manis yang memberi rasa menyegarkan (Kordial, 2009). Rasa merupakan parameter paling penting dalam pembuatan suatu produk pangan. Jika penampilan menarik, namun memiliki rasa yang tidak enak, maka produk tersebut tidak akan disukai oleh konsumen. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi dengan komponen rasa yang lain (Winarno, 2002).Menurut Winarno (1997), berbagai senyawa kimia menimbulkan rasa yang berbeda. Rasa asam disebabkan oleh donor proton. Intensitas rasa asam
54
tergantung pada ion H+ yang dihasilkan dari hidrolisis asam. Menurut Rozum (2009), asam merupakan hasil dekomposisi penting dari selulosa dan hemiselulosa. Selain itu, rasa manis dapat ditimbulkan oleh senyawa organik alifatik yang mengandung gugus OH seperti alkohol, beberapa asam amino, aldehida, dan gliserol (Winarno,1997). Suatu teori yang menjelaskan terjadinya kemanisan telah diajukan oleh Shallenberg dan Acree yang mendasarkan sifat-sifat ikatan hidrogen pada senyawa yang manis (gambar 17). Suatu senyawa yang manis dengan atom-atom elektronegatif A dan B, dengan sebuah atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada A, kemungkinan besar akan membentuk pasangan ikatan hidrogen dengan struktur yang sama dari reseptor pada ujung syaraf rasa, sehingga menghasilkan respon manis. A-H mewakili gugusan donor proton, sedang B sebagai gugusan fungsional bertindak sebagai akseptor proton. Jarak antara AH dan B minimal harus 3 Å. Bila tidak, pembentukan pasangan ikatan hidrogen ini akan terganggudan tidak akan menghasilkan respon manis (Winarno, 1997).
Senyawa manis Ca. 3 Å
A
B
H H B
A
Ca. 3Å
Sisi reseptor
Gambar 17. Skema Teori Kemanisan 55
Selain senyawa kimia, suhu dan konsentrasi juga mempengaruhi rasa. Suhu mempengaruhi kuncup cecapan, sensitivitas akan berkurang bila suhu lebih besar dari 20℃ dan lebih kecil dari 30℃ dimana akan menimbulkan sedikit perbedaan rasa. Konsentrasi juga mempengaruhi rasa, dimana setiap orang memiliki batas konsentrasi terendah terhadap suatu rasa agar masih bisa dirasakan. Batas ini juga berbeda-beda pada setiap orang (Winarno, 1997). Interaksi dengan komponen rasa lain juga akan mempengaruhi rasa dalam suatu bahan pangan. Komponen rasa lain jika berinteraksi dengan komponen rasa primer dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan intensitas rasa. Efek interaksi ini berbeda pada tingkat konsentrasi dan tresholdnya (Winarno, 1997). 4.1.4. Penerimaan Keseluruhan Penerimaan keseluruhan merupakan parameter paling penting karena berkaitan dengan tingkat penerimaan produk oleh panelis. Hasil pengujian organoleptik menunjukkan rata-rata tingkat kesukaan panelis berada pada skala kisaran 3.3− 3.9 atau berada pada kisaran agak disukai sampai disukai. (gambar 18). Hasil analisis sidik ragam ANOVA menunjukkan bahwa kelima formulasi tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% terhadap tingkat kesukaan panelis (lampiran 9). Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan formulasi pada minuman fungsional sawo-kayu manis tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap parameter penerimaan keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa kelima formulasi minuman fungsional sawo-kayu manis dapat digunakan karena memiliki tingkat penerimaan yang hampir sama. Formulasi 561 memiliki skor
56
hedonik tertinggi dengan rata-rata penerimaan 3,9 dengan persentase 30%
Skala Hedonik Penerimaan Keseluruhan
menyatakan agak suka, 50% menyatakan suka, dan 20% menyatakan sangat suka.
4
3,9 3,8
3,8 3,6
3,5
3,4
3,45
3,3
3,2 3 561
952
733
829
401
Kode
Gambar 18. Histogram Rata-Rata Skor Hedonik Penerimaan Keseluruhan Formulasi 561 dipilih sebagai formulasi tersukai yang didasarkan pada parameter warna, aroma, rasa, dan penerimaan keseluruhan.Berdasarkan hasil analisis, hanya parameter rasa asam saja yang memberikan pengaruh nyata terhadap kesukaan panelis yaitu sampel 561. Parameter lainnya tidak memberikan pengaruh nyata yang artinya formulasi manapun dapat dipilih karena memiliki kisaran nilai kesukaan atau tingkat penerimaan yang relatif sama. Namun, formulasi 561 dipilih karena formulasi ini paling disukai dibandingkan dengan formulasi lainnya karena memiliki skor rata-rata hedonik tertinggi.
4.2.
Analisis Antioksidan Analisis antioksidan meliputi pengujian aktivitas antioksidan dan
komponen kimia antioksidan yaitu pengujian total fenolik dan kandungan vitamin C. Selain dilakukan analisis antioksidan formulasi tersukai, dilakukan pula analisis antioksidan terhadap komponen penyusun minuman fungsional yaitu
57
sawo, kayu manis serta jeruk nipis. Pengujian ini dilakukan untuk melihat pengaruh komponen penyusun minuman fungsional terhadap aktivitas antioksidan minuman fungsional tersukai.
4.2.1. Analisis Antioksidan Komponen Penyusun Minuman Fungsional Analisis antioksidan komponen penyusun minuman fungsional yaitu total fenolik, vitamin C, dan aktivitas antioksidan pada sawo, kayu manis, dan jeruk nipis, dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Kandungan Total Fenolik, vitamin C, dan Antioksidan pada Sawo, Kayu Manis, dan Jeruk Nipis Total fenolik Vitamin C Antioksidan Sampel (mg/L) (mg/100 mL) IC50 (μL/mL) Sawo 386,25 42,24 72,04 Kayu manis 533,75 0,82 Jeruk nipis 398,12 605,4 2,18
Kayu manis memiliki kandungan total fenolik tertinggi yaitu 533,75 mg/L, jika dibandingkan dengan kandungan fenolik pada sawo dan kayu manis yang sebesar 389,25 mg/L dan 398,12 mg/L (tabel 5). Kandungan total fenolik pada kayu manis ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Yulianto et al (2013) dengan kandungan total fenolnya yaitu sebesar 63.78 mg/L. Hasil yang berbeda juga ditunjukkan oleh kandungan fenolik pada sawo. Kulkarni et al (2006) menyebutkan kandungan total fenolik pada buah sawo yaitu sebesar 134,6 mg/100 g.
Perbedaan komponen kimia didalam suatu tanaman dapat terjadi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti budidaya, tempat tumbuh, faktor ekstraksi, sifat pelarut (Yusmeiarti et al.,2007), perbedaan varietas, keadaan iklim, 58
cara pemeliharaan tanaman, cara pemanenan, kematangan pada waktu panen, dan kondisi penyimpanan setelah panen (Muchtadi, 2001). Pengukuran total
fenolik
diukur secara
spektrofotometri
dengan
menggunakan metode Folin-Ciocalteu. Prinsip dasar metode Folin-Ciocalteu adalah reaksi oksidasi dan reduksi kolorimetrik untuk mengukur semua senyawa fenolik dalam sampel uji. Pereaksi Folin-Ciocalteu merupakan larutan kompleks ion polimerik yang dibuat dari asam fosfomolibdat dan asam heteropoli fosfotungstat yang terdiri dari air, natrium tungstat, natrium molibdat, asam fosfat, asam klorida, litium sulfat, dan bromin (Folin dan Ciocalteu, 1944). Senyawa fenolik bereaksi dengan oksidator fosfomolibdat dibawah kondisi alkalis menghasilkan senyawa fenolat dan kompleks molibdenumtungsten berwarna biru (gambar 19) (Rorong dan Suryanto, 2010). Menurut Singleton et al (1965), warna biru yang teramati berbanding lurus dengan konsentrasi ion fenolat yang terbentuk, semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka semakin banyak ion fenolat yang terbentuk sehingga warna biru yang dihasilkan semakin pekat.
Gambar 19. Reaksi Pembentukan Kompleks Molibdenum-Tungsten Blue (Hardiana et al.,2012). 59
Kandungan total fenolik dihitung berdasarkan kurva standar asam galat dan dihitung dalam (mg/L) berat ekuivalen asam galat (EAG).Penggunaan asam galat sebagai larutan standar dikarenakan asam galat memiliki gugus hidroksil dan ikatan rangkap terkonjugasi pada masing-masing cincin benzena sehingga senyawa ini mudah bereaksi membentuk kompleks dengan reagent FolinCiocalteu serta merupakan unit penyusun senyawa fenolik (Rorong dan Suryanto, 2010). Vitamin C atau L-asam askorbat merupakan antioksidan yang larut dalam air (aqueous antioxidant). Senyawa ini, menurut Zakaria et al (1996), merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh terhadap senyawa oksigen rektif dalam plasma dan sel. Hasil analisis menunjukkan kandungan vitamin C pada buah sawo (tabel 5) yaitu sebesar 42,24 mg/100 mL dan pada jeruk nipis sebesar 605,4 mg/100 mL. Hasil ini berbeda jika dibandingkan dengan literatur. Kulkarni et al (2006) menyebutkan kandungan vitamin C buah sawo yaitu sebesar 10,52 mg/100 g. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan metode pengukuran yang digunakan. Aktivitas antioksidan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode metode penghambatan radikal bebas 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH). Metode ini dipilih karena merupakan metode yang sederhana, mudah, dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang singkat (Damayanthi et al.,2010). Hasil pengukuran aktivitas antioksidanpada tabel 5 menunjukkan sawo memiliki IC50 sebesar 72,04 μL/mL, IC50 kayu manis sebesar 0,82 μL/mL, dan IC50 jeruk nipis sebesar 2,18 μL/mL. Aktivitas antioksidan (IC50) buah sawo dalam penelitian ini lebih tinggi yaitu dibandingkan dengan aktivitas
60
antioksidan buah sawo dalam Kulkarni et al (2006) sebesar 87,53 μL/mL. Hasil pengujian aktivitas antioksidan dalam penelitian ini (sawo, jeruk nipis, dan kayu manis) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan (IC50) tergolong dalam katagori kuat sampai sangat kuat. Menurut Molyneux (2004), suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10-0,15 mg/ml, dan lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml. Senyawa-senyawa
fenolik
telah
dilaporkan
mempunyai
aktivitas
antioksidan karena sifat redoksnya. Senyawa fenolik berperan sebagai agen pereduksi, pemberi hidrogen, peredam oksigen singlet, dan juga sebagai pengkelat logam yang potensial (Kahkonen, 1999). Dalam penelitian yang dilakukan Kusumowati et al (2012), hubungan aktivitas antioksidan dan kadar fenolik dapat digambarkan dalam kurva korelasi dimana korelasinya ditunjukkan dengan harga R2. Harga R2 sebesar 0,631 dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kandungan fenolik menyumbangkan 63,1% pada aktivitas antioksidan yang dimiliki pada masing-masing ekstrak dan 36,9% dari senyawa lain yang juga berpotensi sebagai antioksidan. Hubungan aktivitas antioksidan dan kadar fenolik juga digambarkan dalam penelitian yang dilakukan Javanmardi (2003) yang menunjukan hubungan antara kandungan fenolik total (x) dengan IC50(y) fraksi atau ekstrak buah merah dengan koefisien korelasi R2= 0,3641. Hasil ini menunjukkan bahwa 36,41 % aktivitas antioksidan buah merah merupakan hasil kontribusi dari senyawa-senyawa fenolik.
61
Hubungan aktivitas antioksidan dan kadar fenolik total dalam penelitian ini juga digambarkan dalam kurva korelasi pada gambar20. Hubungan antara kandungan fenolik total (x) dan IC50 (y) dinyatakan dengan koefisien korelasi r2=0,330, dengan y = -0,285x + 150,6. Hasil ini menunjukkan bahwa 33% aktivitas antioksidan pada buah sawo, kayu manis, dan jeruk nipis merupakan
Aktivitas antioksidan IC50 (μL/mL)
hasil kontribusi dari senyawa-senyawa fenolik. 80 70 60 50 40 30 20 10 0 -10 0
386,25; 72,04 Sawo y = -0,285x + 150,6 R² = 0,330
398,12; 2,18 Jeruk nipis
533,75; 0,82 Kayu manis
100 200 300 400 500 600 Kadar fenolik total berdasarkan berat ekuivelen asam galat EAG (mg/L)
Gambar 20.Kurva Korelasi Aktivitas Antioksidan dengan Kadar Fenolik Total Buah Sawo, Kayu Manis, dan Jeruk Nipis Dalam penelitian ini, aktivitas antioksidan memiliki korelasi positif dengan kadar fenolik totalnya, dimana semakin tinggi kadar fenolik mangakibatkan semakin besar aktivitas antioksidannya (Kusumowati, 2012). Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reakski oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Winarsi, 2007).
62
4.2.2. Analisis Antioksidan Minuman Fungsional Sawo-Kayu Manis Analisis antioksidan minuman fungsional sawo kayu manis dilakukan pada minuman formulasi tersukai 561. Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Kandungan Total Fenolik, Vitamin C, dan Antioksidan pada Minuman Fungsional 561 Total fenolik Vitamin C Antioksidan Sampel (mg/L) (mg/100 mL) IC50 (μL/mL) Minuman Fungsional 561
459,69
70,4
54,1
Kandungan antioksidan (IC50) pada minuman fungsional yaitu 54,1 μL/mL. Sementara itu, kandungan total fenolik dan vitamin C nya yaitu sebesar 459,69 mg/L dan 70,4 mg/100 mL. Aktivitas antioksidan pada minuman fungsional 561 (IC50= 54,1 μL/mL) lebih tinggi dibandingkan dengan komponen penyusun minuman fungsionalnya yaitu buah sawo (IC50=72,04 μL/mL). Berdasarkan hasil uji T-student, aktivitas antioksidan formulasi 561 berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% dengan aktivitas antioksidan sawo (lampiran 10). Hasil ini menunjukkan bahwa minuman formulasi 561 mampu mencapai nilai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan komponen penyusunnya yaitu sawo. Molyneux (2004) juga mengatakan, antioksidan dikatakan kuat apabila nilai IC50 berada pada kisaran antara 0,05-0,10 mg/ml. Oleh karena itu, dapat dikatakan minuman fungsional sawo-kayu manis tersukai memiliki aktivitas antioksidan yang baik karena sudah tergolong dalam katagori kuat. Tingginya aktivitas antioksidan pada minuman fungsional sawo-kayu manis erat hubungannya dengan senyawa kimia yang berkontribusi yaitu seperti fenolik dan vitamin C (Rahmawati, 2004).Kandungan total fenolik dalam
63
minuman fungsional sawo-kayu manis sebesar 459,69 mg/L lebih tinggi dibandingkan kandungan total fenolik pada komponen penyusunnya sawo sebesar 386,25 mg/L. Berdasarkan hasil uji T-student, kandungan total fenolik minuman fungsional 561 berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% dengan kandungan total fenolik sawo (lampiran 11). Peningkatan kandungan fenolik terjadi dikarenakan terdapat pengaruh penambahan ekstrak kayu manis dan jeruk nipis yang diketahui memiliki kandungan fenolik sebesar 533,75 mg/L kayu manis dan 388,12 mg/L (tabel 5). Menurut Purseglove et al (1991), pada kayu manis terdapat eugenol dan kaumarin dari golongan polifenol yang memiliki aktivitas antioksidan. Peningkatan kandungan fenolik minuman fungsional sawo-kayu manis berkorelasi positif dengan aktivitas antioksidannya. Peningkatan kandungan fenolik meningkatkan pula aktivitas antioksidannya (Djumarti, 2003).
Gambar 21. Mekanisme Kerja Antioksidan Golongan Fenol (Wanasundara et al., 2005) Mekanisme kerja senyawa fenol sebagai antioksidan disebabkan karenastruktur atau konfigurasi dalam struktur molekul fenolik berfungsi sebagai donorhidrogen pada radikal yang terbentuk (ROO∙) sehingga dihasilkan ROOH dansenyawa fenolik yang memiliki radikal bebas (Gambar 21). Antioksidan yangmemiliki radikal bebas ini tidak mempunyai kemampuan untuk mengalami reaksioksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Wanasundara et al.,2005).
64
Vitamin C pada minuman fungsional 561 yaitu 70,4 mg/100 mL. Hasil ini lebih besar dibandingkan dengan kandungan vitamin C pada buah sawo yaitu sebesar 42,24 mg/100 mL. Kenaikan kandungan vitamin C ini disebabkan penambahan jeruk nipis yang juga diketahui mengandung vitamin C sebesar 605,4 mg/100 mL (tabel 5). Penambahan kayu manis tidak menyebabkan kenaikan kandungan vitamin C karena kayu manis tidak mengandung vitamin C. Vitamin C juga turut berkontribusi terhadap tingginya aktivitas antioksidan. Vitamin C mampu mendonorkan atom hidrogen ke radikal bebas DPPH membentuk senyawa DPPH tereduksi yang stabil (gambar 22). O2N
OH NO2
O 2N
OH
R
R'
O2N
O* NO2
OH
R
R'
O 2N Vit. C
DPPH (radikal)
O2N
OH NO2
DPPH (tereduksi)
R
Vit. C (radikal)
O 2N
OH R'
O2N DPPH (radikal)
H
O
O
H NO2
R
R'
O 2N Vit. C (radikal)
DPPH (tereduksi)
Vit. C (radikal) yang telah di stabilisasi
Gambar 22. Mekanisme Kerja Vitamin C Sebagai Antioksidan (Nishizawa et al.,2005) Vitamin C mampu mereduksi radikal superoksida, hidroksil, asam hipoklorida, dan oksigen reaktif yang berasal dari netrofil dan monosit yang teraktivasi. Antioksidan vitamin C mampu bereaksi dengan radikal bebas, kemudian mengubahnya menjadi radikal askorbil. Senyawa radikal terakhir ini akan segera berubah menjadi askorbat dan dehidroaskorbat. Asam askorbat dapat
65
bereaksi dengan oksigen teraktivasi, seperti anion superoksida dan radikal hidroksil. Pada konsentrasi rendah, vitamin C bereaksi dengan radikal hidroksil menjadi askorbil yang sedikit reaktif, sementara pada kadar tinggi, asam ini tidak akan bereaksi (Zakaria et al.,1996) Menurut Asada (1992) reaksi askorbat dengan superoksida secara fisologis mirip dengan kerja enzim SOD dan reaksi dengan hidrogen peroksida dikatalisis oleh enzim askorbat peroksidase, yaitu sebagai berikut (gambar 23):
Gambar 23. Mekanisme Reaksi Asam Askorbat dan Ion Superoksida (Atas) dan hidrogen Peroksida (bawah) (Asada, 1992) Askorbat ditemukan dalam kloroplas, sitosol, vakuola, dan kompartemen ekstraseluler. Kloroplas mengandung semua enzim yang berfungsi untuk meregenerasi askorbat tereduksi dan produk-produk terioksidasi. Superoksida diubah menjadi hidrogen peroksida secara spontan melalui reaksi dismutasi atau oleh enzim SOD. Hidrogen peroksida ditangkap oleh askorbat dan enzim askorbat peroksidase. Hidrogen peroksida juga dihancurkan dalam kloroplas melalui reaksi redoks askorbat dan pemanfaatan kembali glutation (Asada, 1992).
66
Sebagai antioksidan, vitamin C bekerja sebagai donor elektron, dengan cara memindahkan satu elektron ke senyawa logam Tembaga. Selain itu, vitamin C juga dapat menyumbangkan elektron ke dalam reaksi biokimia intraseluler dan ekstraseluler. Vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif di dalam sel netrofil, monosit, protein lensa dan retina. Vitamin ini juga dapat bereaksi dengan Fe-ferritin. Di luar sel, vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif, mencegah terjadinya LDL teroksidasi, mentransfer elektron ke dalam tokoferol teroksidasi, dan mengabsorpsi logam dalam saluran pencernaan (Levine et al.,1995). 4.3.
Uji Sifat Kimia dan Fisik Analisis sifat kimia dan fisik terhadap minuman fungsional tersukai
bertujuan untuk mengetahui komposisi nilai gizi dari minuman tersebut. Hasil analisis sifat kimia dan fisik dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Sifat Kimia dan Fisik Minuman Fungsional Tersukai No Parameter 1. Kadar air % (b/b) 2. Ph 3. Total padatan terlarut % 4. Total asam (%) 5. Kadar abu % (b/b)
Nilai 88,32 3,94 10 7,68 0,48
Kadar air dalam minuman fungsional ini yaitu sebesar 88,32 %. Kadar air yang tinggi disebabkan penambahan air di dalam proses pembuatan minuman fungsional ini. Penentuan kadar air pada produk pangan perlu dilakukan karena erat hubungannya dengan stabilitas dan kualitas produk. Dimana kadar air sangat mempengaruhi sifat-sifat produk, perubahan kimia, dan kerusakan oleh mikroba 67
(Buckle et al.,1979), karena air dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Nilai pH pada minuman fungsional tersukai yaitu 3,94 yang berarti produk memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Tingkat keasaman yang tinggi ini disebabkan oleh penambahan jeruk nipis yang berfungsi sebagai asidulan. pH ini telah sesuai karena natrium benzoat yang ditambahkan pada minuman fungsional ini efektif sebagai pengawet yaitu pada bahan pangan yang memiliki pH ≤ 4.0 (Jay, 1978; Dunn, 1957). Nilai pH merupakan salah satu parameter yang penting untuk diukur karena berhubungan dengan kualitas suatu produk pangan. Perubahan nilai pH yang signifikan dapat mengubah rasa dari suatu produk pangan. Produk dengan keasaman rendah umumnya cenderung lebih awet karena mikroba akan sulit tumbuh pada media dengan keasaman tinggi (Triswandari, 2006). Total padatan terlarut pada minuman ini yaitu 10% yang diukur dengan menggunakan alat refractometer. Salah satu hal yang berhubungan dengan total padatan terlarut adalah banyaknya padatan yang ditambahkan pada proses pembuatan produk (Susanto, 2011). Pada pembuatan minuman fungsional ini, padatan yang ditambahkan yaitu gula pasir atau sukrosa sebesar 30%. Menurut Fardiaz et al (1992) hasil dari pengukuran total padatan terlarut bukan merupakan total karbohidrat, melainkan kadar dari molekul karbohidrat yang mempunyai indeks refraksi seperti gula-gula sederhana. Refraksi ini disebabkan oleh adanya interaksi antara gayaelektrostatistik dan gaya elektromagnet dari atom-atom dalam molekul cairan.Menurut Muafi (2004) komponen-komponen yang terukur sebagai
68
total padatan terlarut yaitu sukrosa, gula pereduksi, asam organik, dan protein. Perubahan total gula menyebabkan perubahan total padatan terlarut (Susanto, 1986). Berdasarkan hasil analisis, total asam minuman fungsional tersukai memiliki nilai sebesar 7,68 %. Perubahan total asam tertitrasi tidak selalu sesuai sengan pengukuran pH (Frazier et al.,1978). Pada pengukuran total asam tertitrasi, komponen asam yang terdisosiasi ikut terukur. Sedangkan pada pengukuran pH hanya komponen asam yang terdisosiasi yang terukur (Silvia, 2002). Total asam tertitrasi (TAT) merupakan presentase asam dalam bahan yang ditentukan secara titrasi dengan basa standar. Salah satu
faktor yang berhubungan dengan
kestabilan mutu produk pangan adalah total asam. Keawetan bahan pangan untuk disimpan lebih lama bergantung pada total asam yang ada dalam bahan pangan tersebut (Susanto, 2011). Kadar abu dalam minuman fungsional ini yaitu sebesar 0,48%. Kadar abu ini menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar dan menjadi zat yang tidak dapat menguap selama pengabuan (Suryaningrum et al.,2005). Besaran kadar abu ini menunjukkan tingginya kandungan mineral dalam bahan pangan tersebut (Sudarmadji et al.,1989). Mineral yang terkandung dalam buah sawo sendiri diketahui yaitu besi (Fe), seng (Zn), kalsium (Ca), kalium (K), tembaga (Cu) (Kulkarni, 2006).Abu merupakan hasil residu zat anorganik dari pembakaran bahan organik. Kadar abu terdiri dari unsur anorganik atau mineral (Deman, 1997). Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga
69
dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahanbahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno, 2008).
4.4.
Uji Cemaran Logam Uji cemaran logam dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat cemaran
logam di dalam bahan pangan atau tidak. Hasil uji cemaran logam dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Uji Cemaran Logam Minuman Tersukai Kriteria Uji
Hasil Uji
Standar SNI (01-3719-1995) maks. 0,3 maks. 5,0 maks. 5,0
Timbal (Pb) nd Tembaga (Cu) 0,285 Seng (Zn) 0,95 *Satuan dalam ppm Berdasarkan hasil analisis cemaran logam pada minuman fungsional (lampiran 13), didapatkan hasil minuman fungsional tidak mengandung logam Pb, tetapi mengandung logam Zn sebesar 0,95 mg/L dan logam Cu sebesar 0,285 mg/L. Menurut Saksono (1986), logam berat yang mencemari makanan dapat dihasilkan akibat alat yang digunakan untuk pengolahan dan penyajian makanan. Tetapi, sebetulnya logam juga dibutuhkan oleh tubuh. Dalam kulkarni (2006), buah sawo diketahui mengandung beberapa mineral logam seperti besi (Fe), seng (Zn), kalsium (Ca), kalium (K), tembaga (Cu). Berdasarkan standar yang ditetapkan oleh standar nasional indonesia, kandungan logam Zn dan Cu dalam minuman fungsional masih dalam jumlah yang relatif kecil dan masih memenuhi standar mutu minuman sari buah. Standar
70
mutu nasional indonesia menetapkan bahwa kandungan maksimal logam Zn pada minuman sari buah yaitu sebesar 5 mg/L, logam Cu juga sebesar 5 mg/L. Rendahnya kandungan logam pada minuman fungsional ini menunjukkan bahwa minuman fungsional ini masih memiliki kualitas yang baik dan dikatagorikan aman.
4.5.
Uji Cemaran Mikroba Hasil analisis cemaran mikroba berdasarkan total plate count (TPC)
minuman formulasi tersukai menunjukkan hasil cemaran mikroba yang rendah yaitu kurang dari 1,0 × 101 koloni/mL (Lampiran 14). Hasil ini masih sesuai dengan ambang batas yang ditentukan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI 013719-1995) yaitu maksimal 2 ×102 koloni/mL. Keamanan pangan merupakan persyaratan yang harus dipenuhi dalam pembuatan suatu produk pangan. Salah satunya yaitu keamanan pangan dari segi mikrobiologi karena merupakan suatu indikator apakah suatu bahan pangan layak dikonsumsi atau tidak (Kordial, 2009). Menurut Fardiaz (1998), total mikroba yang dikandung oleh suatu produk pangan dapat mengindikasikan tingkat keamanan dan kerusakan produk. Mikroba tidak diinginkan yang tumbuh dalam produk menunjukkan adanya kontaminasi dari luar atau ketidaksempurnaan proses pengolahan. Pertumbuhan mikroba pada makanan dapat menyebabkan kerusakan dan kebusukan makanan (Fardiaz, 1998). Sawo kaya akan gula (13,54%), asam (0,24 %) dimana mendukung perkembangan mikroorganisme dalam waktu yang cepat, karena gula dan asamasam organik merupakan sumber makanan yang baik bagi mikroorganisme. Sawo
71
berfermentasi dengan cepat dalam beberapa waktu setelah proses ekstraksi yang dikarenakan reaksi enzimatik dan fermentasi mikroba. Oleh karena itu, pengawetan dibutuhkan sangat penting dilakukan (Hiremath, 2012). Proses pasteurisasi dan penambahan pengawet natrium benzoat pada minuman fungsional ini telah menyebabkan nilai cemaran mikroba yang rendah. Pasteurisasi dapat membunuh atau memusnahkan sebagian tetapi tidak semua mikroba yang ada dalam bahan. Pasteurisasi membunuh semua mikroorganisme mesofilik dan sebagian yang bersifat termofilik (Winarno, 1993). Proses pasteurisasi hanya efektif membunuh mikroba patogen atau pembusuk, maka produk pangan yang sudah dipasteurisasi umumnya masih mengandung mikroba lain seperti bakteri tidak berspora dari genera Streptoccocus dan Lactobacillus, serta kapang dan khamir (Fardiaz, 1996). Penambahan bahan pengawet yaitu natrium benzoat dalam minuman secara efektif dapat menghambat pertumbuhan mikroba, khususnya kapang dan khamir (Jay, 1978). Selain itu, kegunaan bahan pengawet yang utama adalah untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang terkontaminasi pada bahan. Pertumbuhan mikroorganisme tersebut dihalangi dengan cara merusak membran sel, mempengaruhi aktivitas enzim, atau merusak mekanisme genetik sel (Frazier, 1979). Mekanisme kerja natrium benzoat sebagai pengawet adalah berdasarkan permeabilitas membran sel mikroba terhadap molekul-molekul asam benzoat tidak terdisosiasi. Dalam suasana asam molekul-molekul asam benzoat tersebut dapat mencapai sel mikroba yang membran selnya mempunyai sifat permeabel terhadap molekul-molekul asam benzoat yang tidak terdisosiasi. Sel mikroba yang
72
mempunyai pH cairan sel netral akan dimasuki molekul-molekul asam benzoat, maka molekul asam benzoat akan berdisosiasi dan menghasilkan ion-ion H+, sehingga akan menurunkan pH mikroba tersebut. Hal ini mengakibatkan metabolisme sel akan terganggu dan akhirnya sel mikroba tersebut mati (Winarno dan Laksmi, 1974) Dalam bahan pangan natrium benzoat terurai menjadi zat yang lebih efektif, yaitu asam benzoat yang tidak dapat terdisosiasi. Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh asam benzoat efektif pada pH 2,5-4,0 (Winarno, 1992). pH minuman yang ditambahkan jeruk nipis adalah 3,94, sehingga penambahan natrium benzoat ke dalam minuman ini sudah tepat sehingga secara aktif mampu menghambat tumbuhnya mikroba pada minuman fungsional sawo-kayu manis. Kerja asam sebagai bahan pengawet yaitu berperan menurunkan pH yang berarti disertai dengan naiknya konsentrasi ion hidrogen (H+) dan dijumpai bahwa pH rendah lebih besar penghambatannya pada pertumbuhan mikrorganisme (Tranggono et al.,1989).Oleh karena itu, minuman fungsional formulasi 561 sawo-kayu manis ini aman dan layak untuk dikonsumsi karena masih menurut standar mutu yang ditetapkan Badan Standarisasi Nasional (BSN) RI.
73
BAB V PENUTUP
5.1.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap minuman fungsional
sawo-kayu manis, maka dapat disimpulkan bahwa: a.
Formulasi 561 adalah formulasi
tersukai yang tidak mempengaruhi
tingkat kesukaan panelis terhadap parameter warna, aroma, rasa kemanisan, dan penerimaan keseluruhan, tetapi mempengaruhi parameter rasa keasaman. Tingkat kesukaan formulasi secara umum berada pada kisaran disukai. b.
Formulasi tersukai 561 memiliki aktivitas antioksidan IC50 sebesar 54,1 μL/mL, dimana nilainya berbeda nyata dibandingkan dengan aktivitas antioksidan IC50 komponen penyusunnya, yaitu sawo dengan IC50 sebesar 72,04 μL/mL pada taraf signifikansi 5%.
c.
Formulasi tersukai 561 menunjukkan total fenolik 459,69 (mg/L) EAG, vitamin C 70,4 mg/100 mL, kadar air 88,32 % (b/b), pH 3,94, total padatan terlarut 10 %, total asam 7,68 g/100 mL, dan kadar abu 0,48 % (b/b), logam Zn 0,95 mg/L, logam Cu 0,285 mg/L serta total mikroba kurang dari 1,0 × 101 koloni/mL. Formulasi telah memenuhi standar mutu sari buah dalam SNI 01-3719-1995.
74
5.2.
Saran Saran yang dapat diberikan dari peneitian ini yaitu diperlukan penelitian
lebih lanjut mengenai pengaruh penyimpanan minuman fungsional sawo-kayu manis terhadap umur simpan dan bagaimana pengaruhnya terhadap sifat fisikokimia dan aktivitas antioksidannya.
75
DAFTAR PUSTAKA
Akhtar. S., Muhammad. R., Anwaar. A., and Atif. N. 2010. Physico-Chemical, Microbiological and Sensory Stability of Chemically Preserved Mango Pulp. Pak. J. Bot. Vol. 42 : 853-856. Anwar. M. N. dan Hendra. A. 1989. Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. [AOAC]. 1990. Official Methods of Analysis of The Association Analytical Chemistry, Inc., Washington D. C. [AOAC]. 1999. Official Methods of Analysis of The Association Analytical Chemistry, Inc., Washington D. C. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc. Apgar, J. 1992. Zinc and Reproduction: An update. J. Nutr. Biochem. 3 : 266– 278. Aryati, V. & B. Napitupulu. 2006. Pengolahan Buah Sawo Secara Sederhana untuk Mendukung Agroindustri Hortikultura di Sumatera Utara.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. Asada, K. 1992. Ascorbate Peroxidase-Hydrogen Peroxydescavenging Enzyme in Plants.Didalam: Physiologia Plantarum. 85:23241 Ashurst P. R. 1995. Production and Packaging of Non-Carbonated Fruit Juicesand Fruit Beverages. London : Blackie Academic and Proffesional. Astawan, M. 2003. Pangan Fungsional untuk Kesehatan yang Optimal. Kompas Sabtu 23 Maret 2003.Didalam: Sukandar, D., S. Hermanto & E.R. Amelia. 2012. Penapisan Bioaktivitas Tanaman Pangan Fungsional Masyarakat Jawa Barat dan Banten. Laporan Penelitian Institusional. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2001. Kajian Proses Standarisasi Produk Pangan Fungsional di Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Lokakarya
76
Kajian Penyusunan Standar Pangan Fungsional. Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta. Bambang Kartika. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. UGM Press. Yogyakarta. Belleville-Nabet, F.1996. sat Gizi Antioksidan Penangkal Senyawa Radikal Pangan dalam Sistem Biologis. Dalam Prosiding Seminar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan:Reaksi BIOMOLEKULAR, Dampak terhadap Kesehatan dan Penangkalan. CFNS-IPB dan Kedutaan Besar PerancisJekarta Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet & M. Wooton. 1979. Ilmu Pangan.Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. Jakarta : UI Press. Candra, A. 2010. Buah Sawo Baik untuk Jantung. http://www.sehatnews.com. Didalam: Sukandar, D., S. Hermanto & E.R. Amelia. 2012. Penapisan Bioaktivitas Tanaman Pangan Fungsional Masyarakat Jawa Barat dan Banten. Laporan Penelitian Institusional. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Craig, W.J. 1999. Health-Promoting Properties of Common Herbs. Am. J. Clin. Nutr. 70 (3): 491S−499s. Damayanthi, E., K.Lilik., K. Mahani & H.Farizal. 2010. Aktivitas AntioksidanBekatul Lebih Tinggi daripada Jus Tomat dan Penurunan AktivitasAntioksidan Serum Setelah Interverensi Minuman Kaya Antioksidan.Journal of Nutrition and food . 5 (3) : 205-210. Davis, G.K. & W. Mertz. 1987. Copper. Didalam:Trace Elements in Human and Animal Nutrition. 1 : 301–364. Academic PressNew York, NY. Deman,J.M. 1997. Kimia Makanan. Bandung: Penerbit ITB Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2008. Budidaya Sawo (Achras zapota L). Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Direktorat Gizi Depkes RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara Karya Aksara,Jakarta. Dunn, C.G. 1957. Food Preservatives. Di dalam: G. F. Reddish (Ed.). Antiseptics, Disinfectants, Fungicides, and Chemical and Physical Sterilization. Lea & Febiger, Philadelphia Dwiari, S.R., D.D Asadayanti, Nurhayati, M. Sofyaningsih, S.F.A.R.Yudhanti, dan I.B.K.W.Yoga. 2008. Teknologi Pangan Jilid 2 untuk SMK. Direktorat 77
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Eskin, N. A. M., H. M. Henderson and R. J. Townsend, 1971. Browning Reactionin Food. Biochemistry of Foods. Academic Press, New York, SanFrancisco, London. p: 69-108. Fardiaz, D. Srikandi F., F.G. Winarno. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia. Jakarta. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fardiaz, D. 1996. Proses termal dalam pengendalian tahap pengolahan kritis untuk menjamin keamanan pangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Proses Termal. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor, 14 Desember.Didalam Herold.2007.Formulasi Minuman Fungsional Berbasis Kumis Kucing (Orthosiphon Aristatus Bl. Miq) Yang Didasarkan Pada Optimasi Aktivitas Antioksidan, Mutu Citarasa Dan Warna [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Fardiaz. 1998. Panduan Pengolahan Pangan yang Baik Bagi Industri Rumah Tangga. Badan Pengawas Obat dan Makanan Deput Bidang Pengawas Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Jakarta Fellers, P.J. 1985. Evaluation of Quality of Fruits and Vegetables. AVI Publ. Comp. Inc., Westport, Connecticut. Fennema OR, editor. 1985. Food Chemistry. Ed ke-3. New York: Marcel Dekker, Inc. Fernandez, Benny Rio.2011. Spektroskopi Infra Merah (FTIR) Dan Sinar Tampak (Uv-Vis). Universitas Andalas Padang Folin, Octo, Ciocalteu, Vintila. 1994. On Tyrosine and Tryptophane Determinations in Proteins. Jour.Bio.Chem.,73: 627-650.1927, in. ToddSanford,10,412. Frazier, W.C dan D.C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. McGraw Hill Publishing Company Ltd. New Delhi . Frei. 1994. Reactive Oxygen Species and Antioxidant Vitamins: Mechanisms of Action (American Jurnal Medicine). Excerpta Medica Inc. Furia, T. E. 1981. Handbook of Food Additives, Vol. 11. Ohio : CRC Press, Inc.
78
Goldberg, I. 1994. Functional Foods, Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals. London : Chapman & Hall. Gordon, M. H. 1990. The Mechanism of Antioxidant Action in Vitro. Di dalam B. J. F. Hudson (eds.). Food Antioxidans. Elsevier App. Sci., London. Gurusharasingh, K. 2001. Sapota for Health. Agro India, 6 (6) : 25. Hardiana, R.,Rudiyansyah., T.A, Zaharah. Aktivitas Antioksidan Senyawa Golongan Fenol dari Beberapa Jenis Tumbuhan Famili Malvaceae. 2012. JKK (Vol.1 (1), Hal. 8-13). Hariyadi, P. 2000. Dasar-dasar Teori dan Praktek Proses Termal. Pusat StudiPangan dan Gizi, PSPG-IPB. Bogor. Hariyatmi. 2004. Kemampuan vitamin C sebagai antioksidan Terhadap radikal bebas pada lanjut usia. Jurnal MIPA vol 14 No.1.Surakarta. UMS Hartono. 2011. Airku Sehat. http://kampuskeperawatan.blogspot.com/2011/05/airku-sehat.html. Diakses pada tahun 2012. Heilerova, L., M. Buckova, P. Tarapcik, S. Silhar dan J. Labuda. 2003. Comparison of antioxidant activity data for aqueous extracts of Lemon Blam (Melissa officinalis L.), Oregano (Origanum vulgare L.), Thyme (Thymus vulgaris L.) dan Agrimony (Agrimonia eupatoria L.) obtained by conventional method and the DNA-based biosensor. Czech J. Food Sci., 21: 78-84. Herold. 2007. Formulasi Minuman Fungsional Berbasis Kumis Kucing (Orthosiphon Aristatus Bl. Miq) Yang Didasarkan Pada Optimasi Aktivitas Antioksidan, Mutu Citarasa Dan Warna [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Terjemahan BadanLitbang Kehutanan Jakarta. Dep-Hut, Jakarta. Hiremath, J.B. & A.K. Rokhade. 2012. Preparation and Preservation of Sapota Juice. International Journal of Food, Agriculture and Veterinary Sciences. 2 (1) : 87-91. Ho, C.T., C.Y. Lee dan M.T. Huang. 1992. Phenolics compounds in food and their effect on health I: Analysis, Occcurence, and Chemistry. American Chemical Society. Washington DC.
79
Javanmardi J, Stushnoff C, Locke E, and Vivanco JM. Antioxidant activity and total phenolic content of Iranian Ocimum accessions. J. Food Chem. 2003. 83: 547-50. Jay, J.M. 1978. Modern Food Microbiology 2nd Ed. D. Van Nostrand Company, New York. Jayaprakasha, G. K.; Jaganmohan Rao, L.; Sakariah, K. K. Volatile constituents from Cinnamomum zeylanicum fruit stalks and their antioxidant activities. J. Agric. Food Chem. 2003, 51, 4344-4348. Kahkonen MP, Hopia AI, Vuorela HJ, Rauha JP, Pihlaja K, Kujala TS, and Heinonen M. 1999. Antioxidant activity of extracts containing phenolic compounds. J. Agric. Food Chem. 47:3954-62. Kartasapoetra, A. G. 1989. Teknologi Pasca Panen. Bina Aksara. Jakarta. Kekuda T.R.P., Vinayaka K.S., Kumar S.V.P.,Sudharshan S.J. 2010, Antioxidant and Antibacterial Activity of Lichen Extracts, Honey, and Their Combination, Journal ofPharmacy Research, 2(12): 1875-1878. Khopkar. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : Universitas Indonesia. King, R. A. 2000. The Role of Polyphenol In Human Health. Didalam. J.D. Brooker (ed). Tannins in Livestock and Human Nutrition. ACIAR Proceedings No. 92 Kochar, S. P. dan B. Rossell. 1990. Detection estimation and evaluation of antioxidants in food system. Didalam: B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. Elvisier Applied Science. London. Kordial, D. 2009. Perpanjangan Umur Simpan dan Perbaikan Citarasa Minuman Fungsional Berbasis Kumis Kucing (Orthosiphon Aristatus Bl. Miq) Menggunakan Ekstrak Berbagai Varietas Jeruk [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Kulkarni, A.P., R.S. Policegoudra & S.M. Aradhya. 2006. Chemical Composition and Antioxidant Activity of Sapota (Achras sapota Linn.) Fruit. Journal of Food Biochemistry. 31: 399–414. Kumalaningsih, S. 2006. Antioksidan Alami. Cetakan Pertama. Surabaya: Tribus Agrisarana. Hal. 4-5 dan 16. Kuncahyo, I & Sunardi. 2007. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak BelimbingWuluh (Averrhoa bilimbi, L.) Terhadap 1,1-Diphenyl-2-Picrylhidrazyl(DPPH). Seminar Teknologi (SNT 2007). Yogyakarta.
80
Kusumawati,R.P. 2008. Pengaruh Penambahan Asam Sitrat dan Pewarna Alami Kayu Secang (Caesalpinia sappan L) Terhadap Stabilitas Sari Buah Belimbing Manis (Averrhoa carambola L) [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Kusumowati, I.T.D.,T.A, Sudjono.,A.Suhendi.,M. Da’i.,R.Wirawati. 2012. Korelasi Kandungan Fenolik dan Aktivitas Antiradikal Ekstrak Etanol Daun Empat Tanaman Obat Indonesia (Piper bettle, Sauropus androgynus, Averrhoa bilimbi, dan Guazuma ulmifolia). Jurnal Pharmacon (Vol.13, No.1, 1-5). Kwong, W.T., P. Friello & R.D. Semba. 2004. Interactions Between Iron Deficiency and Lead Poisoning: Epidemiology and Pathogenesis. Sci. Total Environ. 330 : 21–37. Levine, M, K.R.. Dhariwal, R.W. Welch, Y. Wang, dan J.B. Park 1995. Determination of Optimal Vitamin C Requirements in Humans. Didalam: The WA MERICAN Journal of Clinical Nutrition. 62(Suppl) 1347S1356S. Lindsay, R.C. 1996. Flavors. Di dalam: O. R. Fennema (Ed.). Food Chemistry 3rd Ed. Marcel Dekker Inc., New York, Busel. Lynch, S.R. 2005. The impact of iron fortification on nutritional anemia.Best Pract. Res. Clin. Haematol. 18(2) : 333–346. Makfoeld, J. 1982. Deskripsi Pengolahan Hasil Nabati. Agritech, Yogyakarta. Mathew, A.G. & S. Lakshminarayana. 1969. Polyphenols of Immature Sapota Fruit. Phytochemistry. 8 :507–509. Maya, T., P. J. John. & P. Rajendrakumar. 2003. Sapota Beverage Powder for Instant Chikku Shake. Proceedings of 5th International Food Convention, Mysore, h. 188. Meilgaard, M., G.V. Civille, dan B.T. Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd Ed. CRC. Press, USA. Middleton, E.T. dan Morice, A.H. 2000. Breath Carbon Monoxide As An Indication Of Smoking Habit. http://www.chestjournal.org/cgi/content/full/ 117/758. Molyneux P. 2004. The use of stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioksidan activity. Songklanakarin J Sci Technol 26(2):211-219.
81
Morton, J. 1987. Sapodilla. http;//www. hort.purdue.edu/newcrop/morton. Diakses pada tanggal 24 November 2013. Muafi K. 2004. Produksi Asam Asetat Kasar dari Jerami Nangka [Skripsi]. Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya Muawannah, A., A, Sad’duddin., D, Sukandar., N,Radiastuti, & I, Djajanegara. 2012. Penggunaan Bunga Kecombrang (Etlingera Elatior) dalam Proses Formulasi Permen Jelly. Jurnal valensi (Vol. 2 No. 4, 526-533). Muchtadi, D. 1979. Pengolahan Hasil Pertanian. Dept. Teknologi Hasil Pertanian, Fatemeta, IPB, Bogor. Muchtadi, T. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Depdikbud. PAU IPB. Bogor. Muchtadi, D. 2001. Potensi Pangan Tradisional Sebagai Pangan Fungsional dan Suplemen. Didalam. L. Nuraida dan R.D. Hariyadi (Eds). Pangan Tradisional. Pusat Kajian Makanan Tradisional, Institut Pertanian Bogor. Pp: 25-34 Muchtadi, D. 2004. Komponen Bioaktif dalam Pangan Fungsional. Gizi Medik Indonesia (Vol. 3 No. 7) hal. 4-6. Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia Cabang DKI Jakarta. Nishizawa M, M Kohno, M Nishimura, A Kitagawa, Y Niwano. 2005. Nonreductive Scavenging of 1,1-Diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) by Peroxyradical: A Useful Method for Quantitative Analysis of Peroxyradical. Chem Pharm Bull 53(6) 714-716 Okada, M. 1990. Fish as Raw Material Of Fishery Products, Didalam: Motohiro T, Kadota H, Hashimoto K, Kayama M, Tokunaga T,editor, Science of Processing Marine Products Vol I. Japan International Cooperation Agency, Hyogo International Centre.Didalam: Surmayanto, H., R.I. Pratama.,dan J.Santoso. 2012. Karakteristik Kimia dan Sensori Ikan PE. Semnaskan_UGM / Pasca Panen (pPA-05)-1. Park, E. Y. dan B. S. Luh. 1985. Polyphenol Oxidase of Kiwi Fruit. J. Food Sci. 51, No.1. Pawar, C.D., A.A. Patil & G.D. Joshi. 2011. Physico-chemical parameters of sapota fruits at different maturity stages.Karnataka J. Agric. Sci., 24 (3) : 420-421.
82
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK.03.1.23.11.11.09909 TAHUN 2011. Pengawasan Klaim dalam Label dan Iklan Pangan Olahan. Peraturan Menteri Kesehatan No.492/Menkes/Per/IV/2010. Persyaratan Kualitas Air Minum. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pollard, A.& C.F. Timberlake. 1974. Fruit Juice. In Hulme, A.C.(ed).The Biochemistry of Fruit and Their product. Vol.2. Academic Press,London. Poste, L.M., D. A. Mackie., G. Butler dan E. Larmond. 1991. Laboratory Methode for Sensory Analysis of Food. Research Branch Agriculture Canada, Canada. Potter,
N. 1973. Food Westport,Connecticut.
Science.
The
AVI
Publishing
Co,
Inc.
Pradono, D.I., Y. Lestari, D. Saprudin, D. Firmansyah, S. Febriany, dan L.K. Darusman. 2006. Formulation of Supplement Jamu From Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) and Ginger, and In Vitro Pharmacological Assay of Antioxidant. Prakash, A. 2001. Antioxidant Activity. Medallion Laboratories : Analithycal Progres. 19 (2) : 1 – 4. Pratt, D. E dan B. J. F. Hudson. 1990. Natural Antioxidants Not Exploited Commercially. Di dalam B. J. F. Hudson (eds.) Food Antioxidants. Elsevier App, Sci., London. Purseglove, J.O., Brown, E.G., Green, C.J., and Robins, S.R. 1991. Spices, Frogman, Science and Tech. Publication London. pp 52-102 Rahmawati, D. 2004. Uji Antiradikal Bebas Senyawa Golongan Flavonoid pada Ekstrak Metanol Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) secara spektroskopi [Skripsi]. Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Udayana. Denpasar. Ratule, M.T. 1999. Teknik Atmosfir Termodifikasi dalam Penanganan Buah dan Sayuran Segar. Jurnal Litbang Pertanian. 18 (3) : 98 – 102. Rismunandar dan F.B.Paimin. 2001. Kayu Manis: Budi Daya dan Pengolahan Penebar Swadaya, Jakarta Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Cetakan II. Jakarta: Penerbit PustakaPelajar. Hal. 298-299, 304-311.
83
Rorong, Johnly A dan Suryanto, Edi.2010. Analisis Fitokimia Enceng Gondok (Eichhornia crassipes) Dan Efeknya Sebagai Agen Photoreduksi Fe3+. Chem. Prog. 3(1): 33-41 Rozum, J. 2009. Smoke Flavor, dalam: Tarte R, editor, Ingredients in Meat Product, Properties, Functionality and Aplication. Springer Science, New York. Didalam: Surmayanto, H., R.I. Pratama.,dan J.Santoso. 2012. Karakteristik Kimia dan Sensori Ikan PE. Semnaskan_UGM / Pasca Panen (pPA-05)-1. Rukmana, R. 1997. Sawo. Penerbit Kanisius: Yogyakarta. Rusli, S dan P. Wahid. 1985. Produksi dan Mutu Beberapa Jenis Kayu Manis Seminar. Lokakarya Pembudidayaan Tanaman Obat dan Pameran Obar Tradisional. Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan Universitas Jendral Soedirman. Purwekerto. Ruxton, C. H. S., Gardner, E. J. and Walker, D. 2006. Can pure fruit and vegetable juices protect against cancer and cardiovascular disease too? International Journal of Food Sciences and Nutrition. Vol. 57 (3–4). Hal. 249–272. Saksono, L. 1986. Pengantar Sanitasi Makanan. Bandung: Alumni. Setyaningsih, D., Apriyantono, A.,dan Sari, M.P. 2010. Analisis sensori utnuk industri pangan dan agro. IPB Press: Bogor. Selvaraj, Y. & D.K. Pal. 1984. Changes in the Chemical Composition and Enzyme Activity of the Two-Sapodilla Cultivars During Development and Ripening. J. Hort. Sci.59 : 275–281. Shahidi, F dan M. Nazck. 1995. Food Phenolics. Technomic Publ, Co., Inc. Lancaster. Shanmugavelu, K.G. & G. Srinivasan. 1973. Proximate Composition of Fruits of Sapota Cultivars. South Ind. Hort.21 : 107–108. Siagian A. 2002. Bahan Tambahan Makanan. Medan: Universitas Sumatera Utara. Sidappa, G.S. & B.S. Bhatia. 1854. The Identification of Sugar in Fruit by Paper Chromatography. Ind. J. Hortic. 11 : 19–23. Silvia. 2002. Pembuatan Yogurt Kedelai (Soygurt) dengan Menggunakan Kultur Campuran Bifidobacterium Bifidum Dan Streptoccus Thermophilus. Skripsi. Fakultas Pertanian Bogor, Institut Pertanian Bogor. Bogor
84
Singleton,V.L. and J.A Rossi. 1965. Colorimetry of Total Phenolic with Phosphomolybdic-Phosphotungstic Acid Reagent. American Journal Enology and Viticulture. 16: 147. Siro, I., Kapolna, E., Kapolna, B. dan Logasi, A. 2008. Functional Foods Product Development, Marketing, and Consumer Acceptance- A Review, Appetite, vol. 51, pp. 456-467. SNI 01-3719-1995. Minuman Sari Buah. Badan Standarisasi Nasional. Soekarto, S.T. 1990. Penilaian Organoleptik. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor Soesanto, T dan Saneto, B. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu: Surabaya. Stratford, M., 1999. Traditional Preservatives Organic Acids. In Robinson, R. K., Batt, C. A., dan Patel, P. D. (Eds.), Encyclopedia of FoodMicrobiology Volume 3. Academic Press, California, USA Sudarmadji, S., B, Haryono, dan Sukoro. 1989. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Hasil Pertanian. Yogyakarta : Liberty. Suhartono E, Fachir H & Setiawan B. 2007. Kapita Sketsa Biokimia Stres Oksidatif Dasar dan Penyakit. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin: Pustaka Benua Sukandar, D., S. Hermanto & E.R. Amelia. 2012. Penapisan Bioaktivitas Tanaman Pangan Fungsional Masyarakat Jawa Barat dan Banten. Laporan Penelitian Institusional. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumeru, A. 1995. Holikultura Aspek Budayz.. Hal. 397-398. Universitas Indonesia, Jakarta. Sunarni, T. 2005. Aktivitas Antioksidan Penangkap Radikal Bebas Beberapakecambah Dari Biji Tanaman Familia Papilionaceae, Jurnal FarmasiIndonesia. 2 (2) : 53-61. Supratman, Unang. 2010. Elusidasi Struktur Senyawa Organik. Widya Padjajaran. Bandung. Suryaningrum ThD, Basmal J, dan Nurochmawati. 2005. Studi Pembuatan Edible Film dari Karaginan. Jurnal penelitian perikanan indonesia. 11(4): 1-13.
85
Susanto, E. 1986. Pengaruh Jenis Pisang, Jumlah Konsenstrat, Dan Lama Penyimpanan Terhadap Mutu Minuman Ringan Sari Buah Pisang [Skripsi]. Fakultas Terknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor: Bogor. Susanto, W,H. dan B.R. Setyohadi. 2011. Pengaruh Varietas Apel (Malus Sylvestris) dan Lama Fermentasi oleh Khamir Saccharomyces cerivisiae sebagai Perlakuan Pra-Pengolahan terhadap Karakteristik Sirup. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 12 No. 3 [Desember 2011] 135-142 Tranggono, Sutardji, Haryadi, Suparno dan A.Murdiati. 1989. Bahan Tambahan Pangan. Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama Antar Universitas Pangan Dan Gizi UGM. Yohyakarta Trilaksani, W. 2003. Antioksidan: Jenis, Sumber, Mekanisme Kerja dan Peran Terhadap Kesehatan. Term paper Intoductory Science Philosophy (PPS702), IPB. Triswandari, N. 2006. Pembuatan minuman belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) jahe ( zingiber officinale) dan pengujian stabilitasnya selama penyimpanan Yulianto, R.R. Formulasi Produk Minuman Herbal Berbasis Cincau Hitam (Mesona Palustris), Jahe (Zingiber Officinale), Dan Kayu Manis (Cinnamomum Burmanni).2013. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 1 No.1 p.65-77, Yusmeiarti, Silfia dan Rosalinda Syarif. 2007. Pengaruh Bahan Tambahan terhadap Sifat Fisik Oleoresin Cassiavera Mutu Rendah. Buletin BIPD, Vol.XV, No.2 Desember 200, pp. 29-37. Wanasundara, P. K. J. P. D and Shahidi, F. 2005. Bailey’s Industrial Oil and FatProducts, Sixth Edition, Six Volume. Saskatoon, Saskatchewan, Canada :John Wiley & Sons, Inc. Winarno, F.G. & B.S. Laksmi. 1974. Dasar Pengawetan, Sanitasi, danKeracunan. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, InstitutPertanian Bogor-Press.Bogor. Winarno, FG., S. Fardiaz, D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan.PT Gramedia, 63 – 65. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Winarno, F. G. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama.
86
Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. M-Brio Press, Bogor. Didalam: Surmayanto, H., R.I. Pratama.,dan J.Santoso. 2012. Karakteristik Kimia dan Sensori Ikan PE. Semnaskan_UGM / Pasca Panen (pPA-05)-1. Winarti, C. & N. Nurdjanah. 2005. Peluang Tanaman Rempah dan Obat Sebagai Sumber Pangan Fungsional. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian J. Litbang Pertanian. 24 (2) : 47-55. Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Universitas Sumatera Utara. Zakaria, F.R. 1996. Peranan Zat-Zat Gizi dalam Sistem Kekebalan Tubuh.Didalam: Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 7(3): 75-81
87
Lampiran 1. Bagan Skema Penelitian
88
Lampiran 2. Bagan Proses Pembuatan Minuman Fungsional Sawo-Kayu Manis
89
Lampiran 3. Formulir Uji Organoleptik Uji Hedonik Nama Panelis
:
Tanggal Pengujian
:
Jenis Sampel
: Minuman Fungsional Sawo-Kayu Manis
Instruksi
:
Dihadapan saudara terdapat lima sampel berkode. Nilailah pernyataan anda terhadap sampel tersebut berdasarkan penilaian anda dengan nilai sebagai berikut: 1. Sangat Tidak Suka 2. Tidak Suka 3. Agak Suka 4. Suka 5. Sangat Suka
Kode Parameter Pengujian Sampel Warna Aroma Kemanisan Keasaman Penerimaan Keseluruhan 561 952 733 829 401 Komentar :
90
Lampiran 4. Skor Hedonik Panelis Terhadap Minuman Fungsional Sawo-Kayu Manis Warna Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rata-rata
561 4 4 4 3 4 4 4 2 2 3 3 2 4 3 4 3 3 5 4 5 3,5
952 4 3 4 4 3 4 4 2 2 3 2 5 3 2 4 4 4 5 3 4 3,45
Formulasi 733 4 3 4 3 4 4 4 2 3 3 2 3 4 2 3 3 3 2 2 5 3,15
829 4 4 4 4 4 4 4 3 2 4 2 2 4 2 3 3 2 4 1 4 3,2
401 3 3 4 3 3 3 4 2 3 3 3 4 4 2 3 3 3 3 1 5 3,1
91
Aroma Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rata-rata
561 5 3 3 4 4 4 3 2 3 3 2 3 4 2 4 4 3 3 2 3 3,2
952 5 4 3 4 4 4 3 2 3 3 3 4 4 3 3 3 3 4 4 4 3,5
Formulasi 733 5 3 3 4 4 5 4 3 4 4 2 5 4 2 2 4 3 2 1 4 3,4
829 5 4 3 4 4 5 4 4 5 4 3 2 4 2 4 3 3 4 2 3 3,6
401 5 3 3 4 4 4 3 3 5 4 2 5 5 3 3 5 2 2 1 5 3,55
92
Rasa manis Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rata-rata
561 5 4 4 4 4 4 4 3 4 3 4 3 3 4 5 4 3 5 4 5 3,95
952 3 4 4 4 4 3 4 2 3 4 5 5 4 4 4 4 4 3 3 4 3,75
Formulasi 733 3 3 4 3 4 4 4 3 3 5 3 3 5 3 3 3 4 3 3 5 3,55
829 5 4 4 3 3 4 3 3 5 4 2 2 4 3 4 3 3 3 2 5 3,45
401 4 3 4 3 4 4 3 2 4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 1 3 3,45
93
Rasa asam Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rata-rata
561 4 5 4 4 5 3 3 3 5 4 4 2 3 4 5 3 4 4 4 5 3,9
952 2 4 4 3 5 4 4 2 2 3 5 5 4 4 4 4 3 5 2 3 3,6
Formulasi 733 1 3 4 2 4 4 3 3 2 4 3 2 4 3 3 3 3 4 2 3 3
829 3 3 4 3 3 4 3 3 4 4 2 2 4 3 4 4 3 4 2 5 3,35
401 4 4 4 4 3 3 4 3 4 4 4 5 4 4 3 4 4 3 1 3 3,6
94
Penerimaan keseluruhan Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rata-rata
561 5 4 4 4 4 3 3 3 4 3 4 3 4 4 5 4 3 5 4 5 3,9
952 2 4 4 4 5 4 4 2 3 3 5 5 4 3 4 4 4 4 4 4 3,8
Formulasi 733 1 3 4 3 4 5 4 3 3 4 3 4 5 3 2 3 3 3 2 4 3,3
829 3 4 4 3 4 4 4 4 5 4 2 2 4 3 4 3 3 4 1 5 3,5
401 4 3 4 3 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 3 4 3 2 1 4 3,45
95
Lampiran 5. Hasil SPSS Warna Warna Descriptives WARNA 95% Confidence Interval for Mean N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound Minimum
401
20
3.10
.852
.191
2.70
3.50
1
5
561 733
20 20
3.50 3.15
.889 .875
.199 .196
3.08 2.74
3.92 3.56
2 2
5 5
829
20
3.20
1.005
.225
2.73
3.67
1
4
952
20
3.45
.945
.211
3.01
3.89
2
5
Total
100
3.28
.911
.091
3.10
3.46
1
5
Test of Homogeneity of Variances WARNA Levene Statistic
df1
1.222
df2 4
Sig. 95
.307
ANOVA WARNA Sum of Squares Between Groups
df
Mean Square
2.660
4
.665
Within Groups
79.500
95
.837
Total
82.160
99
F
Sig. .795
.532
Post Hoc Tests WARNA a
Duncan
Subset for alpha = 0.05 KODE 401 733 829 952 561 Sig.
N
1 20 20 20 20 20
3.10 3.15 3.20 3.45 3.50 .225
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000.
96
Maximum
Lampiran 6. Hasil SPSS Aroma Aroma
Descriptives AROMA 95% Confidence Interval for Mean N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimum
Maximum
401
20
3.55
1.234
.276
2.97
4.13
1
5
561 733
20 20
3.20 3.40
.834 1.142
.186 .255
2.81 2.87
3.59 3.93
2 1
5 5
829 952
20 20
3.60 3.50
.940 .688
.210 .154
3.16 3.18
4.04 3.82
2 2
5 5
100
3.45
.978
.098
3.26
3.64
1
5
Total
Test of Homogeneity of Variances AROMA Levene Statistic
df1
df2
2.899
4
Sig. 95
.026
ANOVA AROMA Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
2.000 92.750 94.750
Mean Square 4 95 99
.500 .976
F
Sig. .512
.727
Post Hoc Tests AROMA a
Duncan
Subset for alpha = 0.05 KODE 561 733 952 401 829 Sig.
N
1 20 20 20 20 20
3.20 3.40 3.50 3.55 3.60 .262
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000.
97
Lampiran 7. Hasil SPSS Rasa Manis Rasa Manis
Descriptives KEMANISAN 95% Confidence Interval for Mean N 401 561 733 829 952 Total
Mean 20 20 20 20 20 100
Std. Deviation
3.45 3.95 3.55 3.45 3.75 3.63
Std. Error
.826 .686 .759 .945 .716 .800
Lower Bound
.185 .153 .170 .211 .160 .080
Upper Bound
3.06 3.63 3.19 3.01 3.41 3.47
Minimum
Maximum
3.84 4.27 3.91 3.89 4.09 3.79
1 3 3 2 2 1
F
Sig.
4 5 5 5 5 5
Test of Homogeneity of Variances KEMANISAN Levene Statistic
df1
1.492
df2 4
Sig. 95
.211 ANOVA
KEMANISAN Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups Within Groups
3.760 59.550
4 95
Total
63.310
99
.940 .627
1.500
.209
Post Hoc Tests KEMANISAN a
Duncan
Subset for alpha = 0.05 KODE 401 829 733 952 561 Sig.
N
1 20 20 20 20 20
3.45 3.45 3.55 3.75 3.95 .077
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000.
98
Lampiran 8. Hasil SPSS Rasa Asam Rasa Asam Descriptives KEASAMAN 95% Confidence Interval for Mean N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimum
Maximum
401
20
3.60
.821
.184
3.22
3.98
1
5
561
20
3.90
.852
.191
3.50
4.30
2
5
733
20
3.00
.858
.192
2.60
3.40
1
4
829
20
3.35
.813
.182
2.97
3.73
2
5
952
20
3.60
1.046
.234
3.11
4.09
2
5
Total
100
3.49
.916
.092
3.31
3.67
1
5
Test of Homogeneity of Variances KEASAMAN Levene Statistic
df1
df2
.941
4
Sig. 95
.444 ANOVA
KEASAMAN Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups Within Groups
9.040 73.950
4 95
Total
82.990
99
2.260 .778
F
Sig. 2.903
.026
Post Hoc Tests KEASAMAN a
Duncan
Subset for alpha = 0.05 KODE
N
1
2
733
20
3.00
829 401
20 20
3.35 3.60
3.35 3.60
952 561
20 20
3.60
3.60 3.90
.051
.074
Sig.
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000.
99
Lampiran 9. Hasil SPSS Penerimaan Keseluruhan
Descriptives PENERIMAAN_KESELURUHAN 95% Confidence Interval for Mean N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimum
Maximum
401 561
20 20
3.45 3.90
.826 .718
.185 .161
3.06 3.56
3.84 4.24
1 3
4 5
733 829 952 Total
20 20 20 100
3.30 3.50 3.80 3.59
.979 1.000 .834 .889
.219 .224 .186 .089
2.84 3.03 3.41 3.41
3.76 3.97 4.19 3.77
1 1 2 1
5 5 5 5
Test of Homogeneity of Variances PENERIMAAN_KESELURUHAN Levene Statistic
df1
.823
df2 4
Sig. 95
.514
ANOVA PENERIMAAN_KESELURUHAN Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups Within Groups
5.040 73.150
4 95
Total
78.190
99
1.260 .770
F
Sig. 1.636
.171
Post Hoc Tests PENERIMAAN_KESELURUHAN Duncan
a
Subset for alpha = 0.05 KODE
N
1
733
20
3.30
401 829 952 561 Sig.
20 20 20 20
3.45 3.50 3.80 3.90 .055
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 20,000.
100
Lampiran 10. Hasil Uji T-Student Aktivitas Antioksidan Perasan Sawo dan Minuman Formula 561 T-Test Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Sawo
72.0200
2
.02828
.02000
Minuman_Formula_561
54.0500
2
.07071
.05000
Paired Samples Correlations N Pair 1
Correlation
Sawo & Minuman_Formula_561
2
Sig.
1.000
.000
Paired Samples Test Paired Differences
Mean Pair 1 Sawo 17.9700 Minuman_Formula_ 0 561
Std. Deviation .04243
Std. Error Mean .03000
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
t
17.58881
18.35119 599.000
Sig. (2tailed)
df 1
101
.001
Lampiran 11. Hasil Uji T-Student Kandungan Total Fenolik Perasan Sawo dan Minuman Formula 561 T-Test Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
minuman_fungsional
459.6950
2
.00707
.00500
sawo
386.2250
2
.03536
.02500
Paired Samples Correlations N Pair 1
minuman_fungsional & sawo
Correlation 2
-1.000
Sig. .000
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval
Mean Pair 1 minuman_fungsiona 73.4700 l - sawo
0
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
.04243
.03000
of the Difference
Sig. (2-
Lower
Upper
t
df
73.08881
73.85119 2449.00
tailed) 1
0
102
.000
Lampiran 12. Pengujian Aktivitas Antoksidan Sawo, Kayu Manis, dan Jeruk Nipis. Sampel
Sawo
561
Sampel Kayu manis
Jeruk nipis
Konsentrasi 1,56 3,125 6,25 12,5 25 50 100
Absorbansi 0,325 0,318 0,309 0,288 0,269 0,212 0,132
% Inhibisi 9,72 11,67 14,17 20,00 25,28 41,11 63,33
1,56 3,125 6,25 12,5 25 50 100
0,258 0,251 0,248 0,223 0,175 0,121 0,054
4,80 7,38 8,49 17,71 35,42 55,35 80,07
Konsentrasi 0,19 0,39 0,78 1,56
Absorbansi 0,363 0,315 0,19 0,056
%Inhibisi 13,78 25,18 54,87 86,70
0,19 0,39 0,78 1,56 3,125
0,299 0,286 0,262 0,252 0,165
28,98 32,07 37,77 40,14 60,81
IC50
Nilai Regresi
72,04
y = 0,539x + 11,17 R2 = 0,989
54,1
y = 0,782x + 7,694 R2 = 0,956
IC50
Nilai Regresi
0,82
y = 53,43x + 6,123 R² = 0,979
2,18 y = 10,30x + 27,49 R² = 0,970
103
Lampiran 13. Perhitungan Minuman Fungsional 561 a. Kadar air % 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 𝑈1 =
17,01 − 12,36 4,65 = × 100% = 89,77 % 17,01 − 11,83 5,18
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 𝑈2 =
17,56 − 13,06 4,5 = × 100% = 86,87 % 17,56 − 12,38 5,18
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 =
89,77% + 86,97% = 88,32 % 2
b. Kadar abu % 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 𝑈1 =
16,85 − 16,83 0,02 = × 100% = 0,39 % 22,00 − 16,83 5,17
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 𝑈2 =
17,83 − 17,80 0,03 = × 100% = 0,57 % 23,03 − 11,80 5,23
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 =
0,39% + 0,57% = 0,48 % 2
c. Total asam 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚 =
𝑉𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 × 𝑁 𝑁𝑎𝑂𝐻 × 𝐵Σ 𝑎𝑠𝑎𝑚 𝑠𝑖𝑡𝑟𝑎𝑡 × 𝑓𝑝 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑎𝑚( % 𝑎𝑠𝑎𝑚 𝑠𝑖𝑡𝑟𝑎𝑡) =
0,3 𝑚𝑙 × 0,1 𝑁 × 64 × 10 = 7,68 % 2,5 𝑔
d. Vitamin C 𝑣𝑖𝑡𝑎𝑚𝑖𝑛 𝐶 =
𝑉 𝑖𝑜𝑑 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 × 0,88 × 𝑃 × 100 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
=
0,5 𝑚𝑙 × 0,88 × 4 × 100 2,5 𝑚𝑙
= 70,4 mg/100 ml
104
Lampiran 14. Hasil Analisis Total Fenol
Absorbansi standar Asam Galat
Absorbansi (761,9 nm)
1 2 4 8 16 32
0,0063 0,0126 0,0242 0,0481 0,0802 0,1615
0,18 0,16 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0
y = 0,004x + 0,003 R² = 0,997 Series1 Linear (Series1)
0
10
20
30
40
Konsentrasi (ppm)
Kurva kalibrasi standar asam galat
105
Lampiran 15. Hasil Uji Logam
106
Lampiran 16. Hasil Uji Cemaran Mikroba
107