AJARAN MORAL DALAM PERSPEKTIF SIDHARTA GAUTAMA DAN AL-GHAZALI M.Asyur Sidharta Gautama tokoh sentral moral dalam agama Buddha telah berperan besar dalam mengubah sistem kehidupan sosial kemasyarakatan Buddhis. Ajaranajaran yang ia sampaikan di dalam kitab Tripitaka (tiga keranjang) meliputi sepuluh perilaku baik (dasasila), lima sila (pancasila) yang dihindari, sepuluh peraturan yang dijauhi (dasa sikkhapada) dan kelompok sila (Silakkhandha) mempunyai pengaruh besar dalam umatnya begitu juga dengan Imam al-Ghazali sang al-hujjah al-Islam. Ia membagi moral menjadi dua macam ; pertama moral tercela yaitu moral yang harus dihindari dari jiwa seseorang (Muhlikat), Kedua adalah moral terpuji, yaitu beberapa sifat mulia dan terpuji serta bisa menyelamatkan amal kebaikan (Munjiat). Walaupun tema-tema yang dibuat kedua tokoh tersebut berbeda tetapi tujuan yang diraih dan hendak dicapai adalah sama yaitu kebahagiaan. Dalam konsep Sidharta Gautama kebahagiaan hakiki adalah pencapaian nirwana sedangkan menurut al-Ghazali kebahagiaan hakiki adalah ukhrawi. Sidharta Gautama, the central figure in Budhism, played a significant role in changing the social life of Budhis. His teachings in Tripitake scripture (three baskets) covers ten good conducts (dasasile), five principles (pancasila) have to be avoided, ten rules have to be hindered (dasa skkhapada) and five (silakkahndha) that have great influence in his community. In comparision to that, Imam al-Ghazali is called hujjatul al-Islam. He divides morality into two kinds; the first is called bad moral, that has to be avoided by sny body (muhlikat). The second is called good morality, they are a number of good moralities that can save good deeds (munjiat). Although the themes proposed by these two religious leaders seem to be different, their gaols to be reached are relatively similar, that is happiness. The real happiness in the concept of Sidharta Gautama is to reaching nirvana. While according to al-Ghazali, the real happiness can be experinced or enjoyed in the hereafter. I. PENDAHULUAN Ajaran akhlak atau moral merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan mutlak umat manusia agar tercipta kedamaian, ketenangan dan keadilan di dunia. Pentingnya moral bagi manusia, bisa dilihat dari ajaran semua agama di dunia, baik agama samawi atau agama ardli. Semua agama tersebut membawa pesan moral untuk umatnya. Hal itu disampaikan dan didakwahkan oleh pembawa agama atau tokoh panutan melalui keteladanan diri dan kitab yang diajarkannya
Dosen Luar Biasa IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi dan STAI Syekh Maulana Qari
Bangko
1
kepada manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa moral adalah ajaran universal dan ada dalam setiap agama1. Keteladanan tokoh-tokoh moral dan karya-karya yang dibuat oleh mereka selalu dijadikan rujukan di kalangan akademisi maupun non akademisi, mahasiswa ataupun masyarakat biasa seperti dalam agama Buddha adalah kitab Tripitaka begitu pula dalam agama Islam - salah satunya seperti karya al-Ghazali kitab Ihya’ Ulum ad-Din. II. PEMBAHASAN A. Biografi Sidharta Gautama dan Imam al-Ghazali 1. Sidharta Gautama Mulai abad ke enam hingga abad ke dua SM, Keadaan India dapat dikatakan kacau. Pada zaman itu terjadi krisis politik dengan masuknya bangsa-bangsa asing ke India, hingga keamanan terganggu, misalnya penaklukan dari Persia pada awal abad ke enam SM oleh raja Darius I dari Persia yang memasuki bagian Barat India dan menjadikannya salah satu bagian dari propinsi Persia. Pada masa tersebut muncul pengelompokan strata masyakat yang disebut dengan kasta. Kasta tersebut telah membuat jurang pemisah antara masyarakat dalam bentuk perbedaaan tingkatan manusia. Kasta tersebut adalah Kasta Brahmana (para imam), kasta ksatria (yang memerintah), kasta waisya (para pekerja), dan kasta sudra (rakyat jelata, hamba)2. Pada masa tersebut lahirlah Sidharta Gautama, pendiri agama Buddha yang timbul sekitar abad ke-6 SM sebagai reaksi terhadap sistem upacara dan ritual keagamaan Brahmana yang terlampau kaku.3 Sidharta hidupnya sangat senang tapi hanya menikmati kesenangan hidup duniawi dalam istananya. Ia merasa terjebak di tengah kemewahan seperti seekor 1
Ajaran moral dalam agama Hindu di antaranya adalah ajaran acara (kejujuran dan kebenaran), sadacara (bertindak dan berprilaku yang benar). Sri Swami Sivanda, Intisari Ajaran Hindu. Surabaya : Yayasan Sanatana Dharmasrama Paramita, 1997, hal.82. Moral dalam agama Kristen misalnya ajaran kasih dan damai seperti yang tersebut dalam kitab Injil ; “Hendaklah kamu semua seiya sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati ”. Lihat Perjanjian Baru New Testamen Kitab Petrus ayat, 8. Pasal 3. Indonesia : Lembaga al-Kitab Indonesia The Gideons Internasional, hal. 654. 2 Harun Hadi Wijono, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta : Gunung Mulia, 1990, hal 19,23 3 lihat Abdurrahman, cs Agama-Agama di Dunia, Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988, hal. 101.
2
burung dalam sangkar emas. Selama kunjungannya keluar istana, ia menyaksikan empat penampakan yaitu orang tua, orang sakit, orang mati, dan petapa suci. Saat ia melihat hal-hal tersebut satu demi satu, kesadaran datang padanya, bahwa hidup akan menjadi uzur dan mati, ia bertanyatanya dimanakah ada alam kehidupan yang tidak ada uzur dan kematian. Pemikiran tersebut membuatnya suka pergi menyendiri untuk merenung di tempat yang sunyi dan tenang4. Ketika Sidharta Gautama sedang duduk di bawah pohon bodhi terdengar suara lagu yang syairnya kira-kira mempunyai arti sebagai berikut, “ Bila senar gitar ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi, jika terlalu kencang, putuslah senar gitar itu, dan lenyaplah suara gitar itu. Bila senar gitar ini dikendorkan, suaranya akan semakin rendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara gitar itu. Wahai manusia, mengapa belum sadar-sadar pula dalam segala hal janganlah keterlaluan”. Akhirnya Pertapa Gautama menghentikan tapanya yang sangat ekstrim yang telah dijalani selama enam tahun di hutan Uruwela.5 Ia berkelana menyebarkan dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada manusia, hingga mencapai usia 80 tahun, di mana ia mengetahui bahwa tiga bulan lagi akan Parinirwana.6 Setelah tiga bulan masa berlalu, ia wafat pada tahun 543 SM pada purnama bulan Waisak.7 2. Imam al-Ghazali Pada masa paceklik di semua lini kehidupan sang hujjah al-Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dilahirkan di kota Thus, Khurasan, l0 mil dari Naisabur, Persia pada tahun 450.H. Al-Ghazali hidup pada abad ke-5 Hijriyah atau abad ke-10 4
Sri Dhammananda, What Buddhist Believe, Alih Bahasa oleh Ida kurniati Keyakinan Umat Buddha Buku Standard Wajib Baca, Jakarta : Pustaka Karaniya, 2005, cet. III, hal. 2. 5 Dharmacarya Dharmeswara. Kuliah Agama Buddha Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Yayasan Sanata Dharma Indonesisa (Yasadari).1997, hal. 10 6 Parinibbana adalah Nirwana penuh, kepadaman tanpa sisa. Panjika, N. Perawira, Kamus Baru Buddha Dhamma, Jakarta : Tri Sattva Buddhist Centre, 1993, hal. 153. Sedangkan Nirwana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. kebahagiaan nirwana tidak dapat dialami dengan memanjakan indera, tetapi dengan menenangkannya. Lihat Sri Dhammananda. What Buddhist ..., hal. 151. 7 Bhante Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya. I. Jakarta : Yayasan Dhammadipa Arama,1997. hal.188.
3
Masehi8, ini berarti ia hidup pada masa kelemahan Daulah Abbasiyah dari serangan dan ancaman teror kelompok Batiniyah9. Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana sebagai pemintal benang tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat simpatinya kepada para ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu memberikan nasehatnya kepada umat. Itulah sebabnya ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya, al-Ghazali dan saudaranya yang ketika itu masih kecil Ahmad kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan didikan dan bimbingan.10 Diperkirakan al-Ghazali hidup dalam suasana sederhana kesufian tersebut sampai usia 15 tahun (450-465 H).11 Kemudian pada tahun 478 H, ia pindah lagi ke al-Askar, sehingga tidak
sempat
menjumpai
Nidzamul
Muluk.12
Tahun
488
H,
ditinggalkanya dunia pengajaran (pendidikan), selanjutnya ia menunaikan ibadah haji. Sepulang dari tanah suci, al-Ghazali mengunjungi kota kelahirannya Thus, di sinipun ia tetap berkhalwat. Tahun 488. H atau bertepatan dengan 1095 M, al-Ghazali dilanda keragu-raguan, skeptis terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum, teologi, dan filsafat), 8
Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Jakarta : UI-Press, 1986, cet. VII, hal 52. 9 Pemberian nama bathiniyah, karena kelompok ini mengakui bahwa di samping ada zhahir al-Qur’an, ada pula batinnya. orang-orang bodoh - menurut mereka - akan berhenti sampai zhahir alQur’an saja, sedangkan orang-orang yang berakal dan cerdas, maka - menurut mereka - nash-nash adalah rumus-rumus dan isyarat yang menunjukkan hakikat yang tersembunyi. Ini akan berkembang dalam agama mulai permasalahan aqidah sampai permasalahan taklif syar’i. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Fadla’ikh al-Bathiniyah. Kairo Daar al-Qaumiyah. 1964, hal. 11. Abu Fath Muhammad bin Abdu al-Karim asy-Syahrastani. Al-Milal wa an-Nihal. I. Kairo : Mathbaah Musthafa al-Babi al-Halabi. 1961, hal. 333. Aliran ini mempunyai banyak kelompok, nama-namanya disesuaikan dengan kondisi masa dan tempat. Kelompok bathiniyah yang terkenal adalah Ismailiyah, Qaramithah, Babakiyah, Drus, dan Nusairiyah. Lihat Abdurrahman Badawi. Mazhabul Islamiyin. II. Beirut : Daar Ilmu, 1973. hal. Kelompok terpenting dari segi politik adalah Ismailiyah, karena mereka berhasil mendirikan Daulah Fathimiyah pada tahun 296 hijriyah. Umar Farukh Ibnu Khaldun. Tarikh al-Fikri al-Arabi ila Aiyam. Beirut : Daar Ilm. 1966, hal. 239. 10 Yang dikutip oleh Hasyimsyah Nasution dari B. Lewis, (ed), The Encyclopaedia of Islam, vol. II. Leiden : E.J.Brill,1983, hal.1038. Karena pekerjaan orang tuanya itulah ia disebut al-Ghazali. Lihat Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999, hal. 77. 11 Hasyimsyah Nasution,. Filsafat ..., hal. 77. 12 Seorang menteri dari kerajaan Saljuk, menteri inilah yang memiliki madrasah tersebut “Nidzamiyah” dengan mengukirkan namanya menjadi nama madrasah yang di pimpin oleh al-Ghazali yang dikukuhkan pengangkatannya pada tahun 484 H, sehingga ia populer sebagai tokoh ulama, lihat Utsman Abdul Karem. Apa dan Siapa 45 Budayawan Muslim Dunia. Surabaya : Risalah Gusti, 1995, hal 85.
4
kegunaan pekerjaanya, dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga ia menderita penyakit selama dua bulan, dan sulit diobati, karena itu alGhazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah Nidzamiyah, pada periode itulah ia menulis karya monumentalnya Ihya Ulum ad-Din.13 Sejak itu, dia senantiasa pulang pergi antara Damaskus dan Baitul Maqdis.14 Pada tahun 499 H ia mulai aktif mengajar lagi di Nidzamiyah, Naisabur. Hanya saja tidak sampai bertahan lama di sana, kemudian ditinggalkannya Naisabur untuk kesekian kalinya tepatnya pada tahun 503 H, ia kembali ke Thus untuk mengajar hadits dan mendirikan madrasah bagi para fuqaha dan sebuah Zawiyah atau Khanaqa15 untuk para Mutasawwifin. hingga memenuhi panggilan Allah SWT pada tahun 505 H atau bertepatan dengan 1111 M.16 B. Esensi Ajaran Moral Buddha Sidharta Gautama Dalam Kitab Tripitaka Dan Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya’ Ulum Ad-Din 1. Esensi Moral Dalam etika, sebagai filsafat tentang tingkah laku, antara lain dibicarakan apakah ukuran baik buruk prilaku manusia, tapi yang dicari adalah ukuran yang bersifat umum dan berlaku bagi semua manusia, tidak hanya berlaku secara persial. Teori ini ada dua macam ; pertama adalah teori deontologis dan kedua adalah teori teleologis.17 Adapun yang termasuk teori deontologis adalah teori formalisti (ethical
formalism/deontological
ethic),
yaitu
aturan-aturan
etika
universal merupakan kewajiban, tanpa memandang akibat-akibatnya bagi
13
Hasyimsyah Nasution, Filsafat ..., hal. 79. Utsman Abdul Karem. Apa dan ..., hal 85 15 Seperti tempat berkhalwat/menyendiri bagi para penempuh jalan sufi. 16 Abdul Karem Utsman. Apa dan ..., 87, lihat juga Majid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1984, hal. 153 17 Deontologis adalah mencari ukuran baik buruk perbuatan pada perbuatan dan aturannya sendiri, sedangkan teleologis adalah mengukur baik buruk perbuatan dari akibat-akibat yang ditimbulkannya atau disebut teori Teleological ethis yaitu teori dalam etika yang beranggapan bahwa suatu tindakan benar atau salah dikaitkan dengan maksud atau tujuan yang dianggap baik. Ali Mudhafir, Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2001, hal. 65. 14
5
pelaku ataupun orang lain18. Sedangkan menurut formalistik Kant, teori ini adalah teori pilihan atas perbuatan moral yang benar dapat dilakukan sesuai dengan banyaknya motif dan patokan, misalnya simpati, kebaikan, kebajikan, kasih. Motif dan patokan yang tertinggi harus merupakan kewajiban19. Teori ini berdasarkan pada ; a) benar salahnya suatu tindakan moral ditentukan, sekurang-kurangnya sebagian, mengacu pada aturan perbuatan yang resmi dari pada akibat-akibat atau hasil-hasil suatu tindakan. b) beberapa tindakan yang sesuai dengan aturan-aturan yang sudah ditentukan adalah wajib, tanpa memandang hasil-hasilnya. Kadangkadang disebut teori formalis karena didasarkan pada kaidah-kaidah yang pasti. Dikaitkan dengan ethical intuitionism, jika hal ini dipikirkan bahwa aturan-aturan formal perbuatan diperoleh dengan intuisi. Dilawankan dengan pendekatan yang pragmatis, utilitarianis dan teleologis yang menekankan pada hasil suatu tindakan yang menentukan nilai tindakan moral20 2. Ajaran Moral Buddha Sidharta Gautama dan Imam al-Ghazali Moral menurut Buddha Sidharta Gautama prilaku dan sikap batin seseorang yang mempunyai nilai-nilai luhur sehingga kelihatan efek positif dari nilai-nilai tersebut terhadapnya dan orang lain. “Apakah permulaan dari batin yang luhur ?. Sila yang sempurna kesuciannya”. (Tripitaka bagian Kitab Samyutta Nikaya V : 143)21 “Jika seseorang biksu ingin dicintai dan dihormati oleh sesama biksu, dia harus menjalankan sila”. (Tripitaka Kitab Digha Nikaya II : 69-70)22 Moral dalam ajaran Buddha bertujuan praktis menuntun orang menuju tujuan akhir kebahagiaan tertinggi yaitu nirwana. Individu dianggap bertanggung jawab untuk keberuntungan dan kemalangannya
18
Ali Mudhafir, Kamus Istilah …, hal. 64 Ali Mudhafir, Kamus Istilah …, hal. 65. 20 Ali Mudhafir, Kamus Istilah …, hal. 64. 21 Tripitaka Kitab Samyutta Nikaya V : 143. Pandita Dhimmavisarada, Sila dan Vinaya. Jakarta : Budhis Bodohi, 1997, hal. 9. 22 Tripitaka Kitab Digha Nikaya II : 69-70. lihat Pandita Dhimmavisarada, Sila dan ...,hal.14. 19
6
sendiri agar lepas dari dukkha23 yang didasarkan pada kehendak atau karma24. Keselamatan umat Buddha adalah hasil pengembangan moral orang itu sendiri dan tidak dapat diadakan atau diberikan pada seseorang perantara eksternal.25 “Tidak ada tempat sembunyi untuk melarikan diri dari hasil karma”.26 ( Tripitaka bagian Kitab Dhammapada ; 127) Karma atau kehendak seseorang yang ingin menjadi manusia yang mempunyai moral yang terpuji dan tidak memiliki moral yang tercela adalah melatih dirinya sendiri dengan melaksanakan dan mematuhi prilaku baik dan meninggalkan prilaku buruk. “Perbuatan buruk ini hanya dilakukan oleh dirimu, bukan oleh orang tuamu, temanmu, atau saudaramu, dan dirimu sendirilah yang akan menuai hasil yang menyakitkan.” (Tripitaka Kitab Dhammapada : 165).27 “Dan bagaimana seseorang dengan melindungi diri sendiri juga melindungi orang lain dengan kesabaran dan menahan diri dengan hidup tanpa kejahatan dan tak membahayakan, dengan cinta kasih.” (Satipatthana Samyutta : 19).28 Ajaran moral Buddha didasarkan pada kehendak atau karma (intuisi manusia). Karma seorang Buddhis adalah hasil dari pengembangan moral orang itu sendiri dan tidak dapat diadakan atau diberikan pada seseorang perantara eksternal. Buddha berkata ; “Semua makhluk memiliki karmanya sendiri, mewarisi karmanya sendiri, lahir dari karmanya sendiri, berhubungan dengan karmanya sendiri, terlindung oleh karma sendiri, apapun karma yang dibuatnya baik atau buruk itulah yang akan diwarisi.” (Tripitaka Paritta suci : 37). 23
Semua jenis penderitaan dalam kehidupan manusia misalnya dilahirkan, usia tua, sakit, mati, berkumpul dengan orang yang tidak disukai atau harus berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan, dipisahkan dari orang yang dicintai, tidak mendapatkan sesuatu yang didambakan, kesedihan, ratap tangis, kesukaran, kesusahan, dan semua bentuk derita fisik dan mental yang secara umum disebut sebagai penderitaan dan termasuk dalam dukkha. 23 Sri Dhammananda, What Buddhist ..., hal. 129 24 Karma adalah suatu hukum alam impersonal yang bekerja sesuai dengan tindakan manusia. Ia adalah hukum tersendiri dan tidak ada pemberi hukum, karma bekerja dengan sendirinya tanpa campur tangan sosok pengatur eksternal. Lihat Sri Dhammananda, What Buddhist ..., hal. 123 25 Sri Dhammananda, What Buddhist ..., hal. 123 26 Sri Dhammananda, What Buddhist ..., hal. 129 27 Tripitaka Kitab Dhammapada : 165. 28 Tripitaka Kitab Satipatthana Samyutta : 19.
7
Dalam ajaran Buddha, moral merupakan pantulan dari norma-norma yang ditaatinya, prilaku itu memperlihatkan dirinya melalui tiga pintu (karmadvarani) yaitu ; jasmaniah, ucapan dan pikiran. Prilaku yang terpantul melalui tiga macam itu mungkin baik (kusala) atau tidak baik (akusala), sebagaimana dikatakan Buddha ; “Kebajikan moral adalah dasar, sebagai pendahulu dan pembentuk dari semua yang indah, oleh karena itu hendaklah orang-orang menyempurnakan kebajikan moral”. (Tripitaka Kitab Theragatha : 612)29 Adapun tujuan akhir dari manusia dalam hidup dan sesudah mati menurut pandangan Sang Buddha adalah mencapai nirwana, oleh karena itu seseorang harus berlatih, membina, memahami dan menjalani sila atau moral. Buddha berkata ; “Nirwana tidak bisa diungkap dengan kata-kata atau permisalan di dunia, bahkan Buddha memberi isyarat bahwa nirwana adalah yang tidak bisa diungkap dengan pendekatan panca indra (terhenti). Ini termasuk persoalan yang tidak bisa dibahas (Tripitaka Samyutta Nikaya III : 187)30 “Oh sahabat, nirwana itulah sukha (kebahagiaan), nirwana itulah sukkha (kebahagiaan)”, kemudian Udayi bertanya ; “Tapi sahabat kebahagiaan yang manakah anda maksudkan kalau tidak ada perasaan, dijawabnya ; “Justru tanpa perasaan itulah kebahagiaan. (Tripitaka Kitab Anguttara Nikaya IX : 34).31 Apakah nirwana itu ? sang Buddha menjawab : “Padamnya hawa nafsu, padamnya kebenciaan, padamnya kebodohan”. (Tripitaka Kitab Udana VIII : 1)32 Sidhartha Gautama membagi moral kepada dua macam yaitu moral tercela dan harus dijauhi serta moral terpuji yang harus dilaksanakan oleh Buddhis, adapun moral yang terpuji adalah melaksanakan sepuluh prilaku baik, yaitu ; kemurahan hati, moralitas, mengembangkan batin, menghargai atau menghormati, melayani dan menolong orang lain, melimpahkan jasa
29
Tripitaka Kitab Theragatha : 612. Tripitaka Majhima Nikaya : 187. 31 Tripitaka Kitab Anguttara Nikaya IX : 34. 32 Tripitaka Kitab Udana VIII : 1 30
8
pada orang lain, bergembira atas jasa orang lain, membabarkan dharma, mendengarkan dharma dan meluruskan pandangan. Sepuluh macam moral tercela tersebut di atas semua berhubungan dengan manusia dan alam sekitar, mengenai konsep pengobatan atau penyembuhan penyakit hati (moral tercela) tersebut adalah dengan melatih, membina diri sendiri tanpa bantuan pihak lain, untuk melakukan kebalikan dari moral tercela tersebut. Nampaknya ajaran moral yang dikembangakan oleh Sidharta Gautama di dalam kitab Tripitaka tersebut meniadakan atau menafikan moral atau sila yang berhubungan dengan Tuhan. (kekuatan yang maha dahsyat). Sedangkan menurut al-Ghazali moral adalah prilaku yang harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian terlebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu perbuatan memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, keadaan jiwa yang cenderung kepada kebaikan dan bisa cenderung kepada keburukan..33 moral merupakan tujuan hidup manusia sebagai individu dalam mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan paling utama yang harus ditemukan dalam kehidupan adalah kebahagiaan yang akan datang - akhirat - dan sarana utama kepada tujuan itu ada dua macam yaitu kekuatan amal baik lahiriah dan amal baik batiniah34. Oleh karena itu, moral menurut al-Ghazali adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Moral bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma'rifah. Moral adalah haal atau kondisi jiwa dan bentuknya bersifat batiniah35. Al-Ghazali membagi moral menjadi munjiyat (akhlaq yang baik dan menyelamatkan) muhlikat (akhlaq yang buruk dan menghancurkan). 33
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Ihya Ulum ad-Din. III. Surabaya Daar al-Kitab al-Islami, tt,III, hal. 52. 34 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. al-Amal, Terjemahan M.Ali Chasan Umar dan A.Chumaidi Umar. Timbangan amal menuju kebahagiaan Akhirat. Semarang : Toha Putra, 1982, hal. 37. 35 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Ihya’..., III, hal. 52
9
Moral yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, ikhlas, jujur, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati. Sedangkan moral yang buruk adalah rakus, banyak bicara sia-sia, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, ujub dan takabbur serta riya'36. Dalam pembagian tersebut, al-Ghazali mempunyai empat kriteria yang harus dipenuhi dalam moral yang baik dan buruk yaitu ; Kekuatan hikmah atau kebijaksanaan, kekuatan syaja'ah atau berani, kekuatan iffah atau memelihara diri dan kekuatan keseimbangan atau keadilan37. Sedangkan al-Ghazali membagi moral menjadi dua macam pertama moral yang
menghancurkan
(muhlikat)
dan
kedua
adalah
moral
yang
menyelamatkan (munjiyal). Moral yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'. Sedangkan akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati38 Semua moral tercela dan terpuji dalam konsep Sidharta Gautama dan al-Ghazali ada penyembuhannya. Sidharta membuat suatu pengobatan penyakit jiwa dengan melakukan dan melatih moral terpuji maka akan hilang moral tercela, sedangkan al-Ghazali pola pengobatannya dimulai dengan menghancurkan moral tercela dalam jiwa manusia, kemudian melatih (mujahadah)
dirinya
untuk
melakukan
moral
terpuji.
Al-Ghazali
berpandangan bahwa penyakit hati yang disebabkan oleh berkuasanya nafsu syahwat (kemaluan dan perut), harus diobati dengan cara berlapar, haus, diet dan berpuasa. Penyakit hati yang disebabkan oleh bahaya lisan, seperti berlebihan dalam berbicara, antara lain dapat diobati dengan diam. Penyakit hati yang disebabkan oleh marah, dengki, dan iri hati dapat diobati antara lain dengan menahan marah, pemaaf, lemah lembut, santun dan berbuat baik (ihsan). Penyakit hati yang disebabkan oleh cinta duniawi dapat diobati dengan hidup secara wajar, sederhana, dan mencintai kehidupan akhirat. Penyakit hati yang disebabkan oleh cintah harta benda dan kikir, dapat diobati dengan sifat pemurah, kepuasan hati, dan isar (mengutamakan orang 36
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Ihya’ ..., III, hal. 28. lihat juga Abdusshamad al-Palimbani. Siraa as-Salikin, III, Indonesia : Daar Ihya al-Kutub al-Arabiyah tt, hal. 3 37 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Ihya’..., III, hal. 53 38 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Ihya’ ..., III, hal. 28. lihat juga Abdusshamad al-Palimbani. Siraa ...,hal. 3
10
lain dari pada dirinya. penyakit hati yang disebabkan oleh sifat kebesaran dan pamer (riya’) dapat diobati dengan sifat ikhlas, mujahadah terhadap hawa nafsu, warak, zuhud, tawadlu, malu, tidak cendrung kepada kemewahan dan keriaan. Penyakit hati yang disebabkan oleh sombong dan ujub dapat diobati dengan sifat tawadlu’, khusyu’, ilmu dan syukur. Penyakit hati yang disebabkan oleh lalai, dapat diobati dengan zikir, penyakit jiwa yang disebabkan pikiran yang dapat diobati dengan kecerdasan akal dan ketajaman mata hati.39 Al-Ghazali berpandangan bahwa ada dua cara dalam membina moral yang terpuji yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Ringkasnya moral akan berubah dari yang tercela menjadi terpuji dengan adanya pendidikan dan latihan moral.40 Semua moral terpuji dan tercela yang digambar oleh al-Ghazali tersebut di atas tidak lepas dari tiga hubungan pertama hubungan dengan Allah SWT, kedua dengan manusia dan ketiga dengan alam sekitar. Semua moral tercela dan terpuji dalam konsep Sidharta Gautama dan al-Ghazali ada penyembuhannya. Sidharta membuat suatu pengobatan penyakit jiwa dengan melakukan dan melatih moral terpuji maka akan hilang moral tercela, sedangkan al-Ghazali pola pengobatannya dimulai dengan menghancurkan moral tercela dalam jiwa manusia, kemudian melatih (mujahadah) dirinya untuk melakukan moral terpuji. Jadi pada dasarnya ajaran moral Sidharta Gautama dan ajaran moral Imam al-Ghazali mempunyai kesamaan dan perbedaan. Adapun perbedaanya adalah ; a. Sumber moral Sidharta Gautama berasal dari pencerahan internal - usaha sendiri dengan latihan-latihan jiwa - tanpa adanya kekuatan diluar dirinya yang memberi petunjuk atau bimbingan karena bertitik tolak dengan adanya dukkha yang akan menentukan karma seseorang. Sedangkan alGhazali berasal dari kekuatan eksternal diluar dirinya (al-Quran, as39
Yahya Jaya, Spritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental. Jakarta : Ruhama, 1994. hal. 120. 40 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Mizan..., hal. 602.
11
Sunnah), hal ini bertitik tolak dari adanya rasa ketidakpuasan dengan batin, sehingga ia dilanda keraguan tentang kemampuan akal, panca indra, ilmu dalam mencapai kebahagiaan akan datang. b. Sidharta Gautama menggunakan metode latihan untuk mencapai pencerahan - nirwana - menggunakan konsep dasasila (sepuluh prilaku baik), pancasila (lima prilaku baik), dasa sikkhapada (sepuluh sila), dan silakkhapadha (kelompok sila). Al-Ghazali menggunakan konsep muhlikat (sifat-sifat yang membinasakan amal kebaikan) dan munjiat (sifat-sifat yang menyelamatkan amal kebaikan) dengan meninggalkan, membersihkan moral-moral tercela (sifat-sifat yang bisa membinaskan amal kebaikan) terlebih dahulu kemudian dilanjutkan menghiasi jiwa seseorang dengan moral-moral terpuji (sebab sifat tercela menutup pintu masuk sifat terpuji). c. Sedangkan dari segi persamaan antara moral yang dikembangkan oleh Sidharta Gautama dan al-Ghazali adalah pencapaian tujuan akhir bagi manusia. Sidharta Gautama berpandangan bahwa tujuan akhir dari moralitas manusia adalah mencapai nirwana yaitu suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa, adapun al-Ghazali berpandangan bahwa tujuan akhir dari moralitas manusia adalah mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan yang paling utama harus ditemukan dalam kehidupan adalah kebahagiaan yang akan datang yaitu negeri akhirat. Sedangkan titik temunya dalam tema-tema ajaran moral seperti ; (a) Berbicara yang tidak ada manfaat bagi manusia menurut Sidharta adalah suatu pembicaraan yang tidak berguna dan dapat dikatakan telah terjadi, apabila terdapat unsur-unsur ; pertama berniat untuk mengutarakan sesuatu yang tidak bermanfaat, kedua mengucapkan sesuatu yang tidak bermanfaat. Kemudian apabila pembicaraan yang tidak berguna menyebabkan pendengarnya percaya bahwa hal itu adalah suatu kebenaran, maka pembicara telah melanggar ajaran moral.41 Sedangkan menurut al-Ghazali bahwa yang disebut dengan 41
Pandita Dhimmavisarada, Sila dan ..., Hal. 37-38.
12
berbicara yang tidak bermanfaat atau berbicara sia-sia apabila terdapat unsur-unsur, niat buruk, berlebih-lebihan (tidak sesuai dengan fakta dan bukti), berbicara secara panjang lebar mengenai barang bathil (yang dilarang dalam agama), berbantah, berdebat, bertengkar, berkata keji, memaki, mengutuk, nyanyian (mendorong hawa nafsu), mengejek, menghina, menyiarkan rahasia, janji dusta, sumpah palsu, mengumpat dan mengadu domba.42 (b) Cinta dunia dalam pandangan Siddharta lebih menekankan unsur untuk melepaskan diri dan jiwa manusia dari ketergantungan dari kesenangan dunia yang semantara secara total43. Sebenarnya senada dengan apa yang diungkapkan oleh al-Ghazali ; “Golongan orang yang selamat di dunia dan akhirat adalah golongan pertengahan yaitu menempuh jalan yang telah dilalui oleh Rasul Muhammad SAW dan para sahabatnya ; yakni tidak meninggalkan dunia secara total dan tidak mengekang syahwat secara total pula, dunia diambil seperlunya saja, sedangkan syahwat dikendalikan agar jangan sampai keluar dari batas-batas syariat dan akal sehat, tidak memperturut nafsu syahwat dan tidak pula meninggalkan nafsu, tetapi menempuh jalan keadilan”44. (c) Marah dalam pandangan al-Ghazali apabila ada unsur ifrath (berlebihan) yang menguasai dirinya hingga keluar dari kendali akal dan agama. Begitu juga dengan pandangan Sidharta bahwa marah itu harus tetap ada pada diri seseorang diibaratkan dengan kompos (pupuk). Kemarahan dapat menjadi kompos yang di dalamnya terdapat kekuatan untuk melahirkan sesuatu yang indah pada saatnya. Seseorang memerlukan kemarahan sama seperti tukang kebun membutuhkan
kompos,
berarti
42
ia
sudah
mempunyai
sedikit
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali.. Ihya..., III, hal. 109. Buddha mengatakan ; “Tidak ada seorangpun yang dapat membebaskan dirinya dari lingkaran kehidupan sementara berada di tengah kesenangan duniawi dan menikmati kesenangan duniawi tanpa melepaskan nafsu terhadap kesenangan duniawi” (Tripitaka Kitab Majjhima Nikaya : 75) 44 Said hawwa Intisari Ihya’ Ulum ad-Din Mensucikan Jiwa Konsep Tazakiyah An-Nafs Terpadu, Terj. Ainur Rafiq, Jakarta : Robbani Press, 2005, hal. 310. 43
13
kedamaian dan suka cita45. Jadi, sifat marah - oleh kedua tokoh tersebut - mempunyai sisi sisi positif dari dalam diri seseorang, apabila dilatih dan diusahakan secara maksimal menjadi marah yang positif (d) Dengki dalam ajaran Sidharta adalah prilaku aksi pikiran untuk memenuhi keinginan dalam memiliki sesuatu yang tidak baik atau sesuatu yang bukan merupakan milik atau haknya.46 Sedangkan sifat dengki dalam pandangan al-Ghazali adalah wujud dari kenikmatan, apabila Allah SWT memberikan kepada seseorang kelebihan, maka akan timbul dalam diri seseorang benci kepada nikmat tersebut dan menyukainya hilang. Titik temu persamaanya dari sifat dengki antara Sidharta dan al-Ghazali adalah adanya rasa keinginan untuk memiliki milik orang lain. Hanya saja al-Ghazali menjadi adanya faktor dari prilaku (tujuan agama) bukan termasuk dengan dengki tetapi dianjurkan (sunnah). III. P E N U T U P Setelah mengemukakan ajaran moral dalam perspektif Sidharta Gautama dan al-Ghazali dalam kitab Tripitaka dan Ihya’ Ulum ad-Din, penulis mencoba untuk membuat kesimpulan akhir yang akan mempermudah pembaca dalam memahami makalah ini. Dalam pandangan Sidharta Gautama, ajaran moral terpuji ada sepuluh macam yaitu kemurahan/rendah hati, moralitas, mengembangkan batin, menghargai atau menghormati, melayani dan menolong orang lain, bersyukur atas jasa orang lain (bergembira atas jasa orang lain, melimpahkan jasa pada orang lain), membabarkan dharma, mendengarkan dharma dan meluruskan pandangan. Sedangkan sepuluh moral tercela seperti membunuh makhluk hidup, mencuri, berhubungan seksual secara tidak sah, menipu, memfitnah dan berkata tidak jujur, berkata kasar, berbicara yang tidak karuan dan tidak berarti, iri dan sangat menginginkan milik orang lain, niat buruk, dan pandangan salah. Al45
Joko Wuryanto dan Yayuk Sri Rahayu, Pengetahuan Dharma Untuk Mahasiswa, Jakarta : Dewi Kayana Abadi, 2003, hal. 6. 46 Joko Wuryanto, Pengetahuan Dharma ....., hal. 97.
14
Ghazali membagi moral menjadi dua macam pertama moral tercela dan kedua moral terpuji. Moral terpuji adalah taubat, sabar, syukur, takut, harap, fakir, zuhud, tauhid, tawakkal, cinta, rindu, intim, ridha, niat ikhlas, benar, muraqabah, muhasabah, tafakkur, zikir maut. Adapun moral tercela atau buruk adalah ; banyak bicara sia-sia, marah, dendam, dengki, cinta dunia, kikir, cinta harta, cinta kedudukan, pamer, sombong dan ujub. Walupun tema-tema yang diambil kedua tokoh moral tersebut ada yang sama dan berbeda tetapi tujuan yang diraih dan hendak dicapai oleh keduanya adalah sama yaitu kebahagiaan. Kebahagiaan hakiki dalam konsep Sidharta Gautama adalah pencapaian nirwana sedangkan menurut al-Ghazali kebahagiaan hakiki adalah negeri akhirat. Oleh karena itu, ajaran moral yang kembangkan oleh Sidharta Gautama dan al-Ghazali menggunakan teori teleologis (yang mengukur baik buruknya perbuatan dari akibat-akibat yang ditimbulkannya), hanya saja Sidharta menggunakan teori teleologis intuitif (ethical intuitionsm) yang berdasarkan teorinya dari nilai-nilai moral yang dipahami atau diterima secara intuitif. Sedangkan al-Ghazali menggunakan teori teleologi teologis yang berlandasakan kitab suci (wahyu dan akal).
15
DAFTAR PUSTAKA Anonim (Kitab Suci Agama Buddha Bagian Sutta Pitaka Majhima Nikaya IV), Jakarta : Dewi Kayana Abadi, 2004. ____ Perjanjian Baru New Testamen Kitab Petrus Indonesia : Lembaga Al-Kitab Indonesia The Gideons Internasional Abdurrahman. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Mizan al-Amal., Terj M.Ali Chasan Umar dan A.Chumaidi Umar. Timbangan Amal Menuju Kebahagiaan Akhirat. Semarang : Toha Putra, 1982. ____ Fadla’ikh al-Bathiniyah. Kairo : Daar al-Qaumiyah. 1964. ____ Ihya Ulum ad-Din. Surabaya : Daar al-Kitab al-Islami, tt. Al-Palimbani, Abdusshamad. Siraa as-Salikin. III. Indonesia : Daar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt. Asy-Syahrastani, Abu Fath Muhammad bin Abdu al-Karim. Al-Milal wa an-Nihal. I. Kairo : Mathbaah Musthafa al-Babi al-Halabi, 1961. Badawi, Abdurrahman. Mazhabul Islamiyin. II. Beirut : Daar Ilmu, 1973. Dharmeswara, Dharmacarya. Kuliah Agama Buddha Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Yayasan Sanata Dharma Indonesia (Yasadari), 1997. Dhammananda, Sri. What Buddhist Believe, Alih Bahasa oleh Ida kurniati Keyakinan Umat Buddha Buku Standard Wajib Baca, Jakarta : Pustaka Karaniya, 2005, cet. III Dhimmavisarada, Pandita Sila dan Vinaya. Jakarta : Budhis Bodohi, 1997 Gunadharma, Visakha. Keterangan Singkat Agama Buddha Narada Mahathera. Jakarta : Yayasan Dhamma Dipa Arama, 1983. Hawa, Said, Intisari Ihya’ Ulum Ad-Din Mensucikan Jiwa Konsep Tazakiyah AnNafs Terpadu, Terj. Ainur Rafiq, Jakarta : Robbani Press, 2005. Jaya, Yahya, Spritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental. Jakarta : Ruhama,1994.
16
Lewis, The Encyclopaedia of Islam, vol. II. Leiden : E.J.Brill,1983. Mahathera, Bhante Narada. Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya. I. Jakarta : Yayasan Dhammadipa Arama,1997. Majid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1984. Mudhafir, Ali. Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2001. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Jakarta : UIPress, 1986, cet. VII Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999. Panjika, N. Perawira, Kamus Baru Buddha Dhamma, Jakarta : Tri Sattva Buddhist Centre, 1993 Sivanda, Sri Swami. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya : Yayasan Sanatana Dharmasrama Paramaita, 1997. Farukh, Umar Ibnu Khaldun. Tarikh al-Fikri al-Arabi ila Aiyam. Beirut : Daar Ilm. 1966. Utsman, Abdul Karem. Apa dan Siapa 45 Budayawan Muslim Dunia. Surabaya : Risalah Gusti.1995 Wijono, Harun Hadi, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta : Gunung Mulia, 1990 Wuryanto, Joko dan Rahayu, Yayuk Sri, Pengetahuan Dharma Untuk Mahasiswa, Jakarta : Dewi Kayana Abadi, 2003.
17